Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL


GINJAL KRONIK DENGAN PENYEBAB INFEKSI SALURAN
KEMIH DI POLI HEMODIALISA RSD dr. SOEBANDI
JEMBER

oleh
Achmad Nur Muhaimin, S.Kep
NIM 142311101145

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
A. Konsep Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi Ginjal
Menurut Ethel (2003) “Sistem perkemihan (urinaria) terdiri dari organ-organ
yang memproduksi urine yang mengeluarkannya tubuh. Sistem ini merupakan
salah satu sistem utama untuk mempertahankan homeostatis (kekonstanan
lingkungan internal)” sedangkan menurut Guyton (2007) “Sistem perkemihan
merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga
darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap
zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi
oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih)”. Kesimpulan
yang dapat diambil bahwa sistem perkemihan merupakan suatu sistem yang terdiri
dari beberapa oragan yang memproduksi urine (air kemih) yang dihasilkan
melalui beberapa proses seperti penyaringan darah yang memisahkan darah antara
zat yang dibutuhan tubuh dan zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh.

Gambar 1 Anatomi Sistem Perkemihan


Struktur Sistem Perkemihan

Sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin,
b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih),
c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin
dikeluarkan dari vesika urinaria. Dua ginjal yang memproduksi urine, dua ureter
yang membawa urine ke dalam sebuah kandung kemih untuk penampungan
sementara, dan uretra yang mengalirkan urine keluar tubuh melalui orifisium
uretra eksterna.
a. Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada
kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal
seperti biji kacang berwarna merah tua, panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya
2,5 cm (kurang lebih sebesar kepalan tangan). Setiap ginjal memiliki berat antara
125 sampai 175 gr pada laki-laki dan 115 sampai 155 gr pada perempuan. Ginjal
kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter
yang besar.
Setiap ginjal diselubungi tiga lapisan jaringan ikat, fasia renal adalah
pembungkus terluar yang melabuhkan ginjal pada struktur di sekitarnya dan
mempertahankan posisi organ. Lemak perirenal adalah jaringan adipose yang
terbungkus fasia ginjal, jaringan ini membantali dan membantu organ tetap pada
posisinya. Kapsul fibrosa (ginjal) adalah membrane halus transparan yang
langsung membungkus ginjal dan dapat dengan mudah dilepas.
Fungsi ginjal adalah (1) sebagai pengeluaran zat sisa organik, ginjal
mensekresi urea, asam urat, kreatinin, dan produksi pengeluaran hemoglobin dan
hormon; (2) sebagai pengaturan konsentrasi ion-ion penting, ginjal mengsekresi
ion natrium, kalium, kalsium, magnesium, sulfat dan fosfat. Ekskresi ion-ion ini
seimbang dengan asupan dan ekskresinya melalui rute lain, seperti pada saluran
gastrointestinal atau kulit; (3) sebagai pengaturan keseimbangan asam-basa tubuh;
(4) sebagai pengaturan produksi sel dara merah, ginjal melepas eritropoietin yang
mengatur produksi sel darah merah dalam sumsum tulang; (5) sebagai pengaturan
tekanan darah; (6) sebagai pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa
darah dan asam amino darah; dan (7) sebagai tempat pengeluaran zat beracun,
ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obat-obatan, atau zat kimia
asing lain dari tubuh (Ethel, 2003).
Struktur internal ginjal terdiri dari (a) hilus (hilum) sebagai tempat
masuknya arteri renalis dan saraf dan tempat keluarnya vena renalis; (b) sinus
ginjal, yaitu rongga berisi lemak yang membuka pada hilus; (c) pelvis ginjal
adalah perluasan ujung proksimal ureter; (d) parenkim ginjal adalah jaringan
ginjal yang menyelubungi struktur sinus ginjal yang menyelubungi struktur sinus
ginjal. Jaringan ini terbagi menjadi medulla dalam dan korteks luar; dan (e) ginjal
terbagi-bagi lagi menjadi lobus ginjal.
G

Gambar 2. Ginjal
b. Nefron
Tiap ginjal tersusun atas unit struktural dan fungsional dalam pembentukan
urin yang dinamakan nefron (nephron). Tiap nefron terdiri atas bagian yang
melebar yang dinamakan korpuskula renalis atau badan malphigi, tubulus
kontortus proksimal, lengkung Henle serta tubulus kontortus distal. Satu ginjal
mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit pembentuk urin. Setiap
nefron memiliki satu komponen vascular (kapilar) dan satu komponen tubular.
c. Glomeruli
Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler yang ruwet yang
merupakan cabang dari arteriole aferen. Pada permukaan luar kapiler glomeruli
menempel sel berbentuk spesifik dan memiliki penjuluran-penjuluran yang
disebut podosit (sel kaki). Antara sel-sel endotel kapiler dan podosit membentuk
struktur kontinyu yang berlubang-lubang yang memisahkan darah yang terdapat
dalam kapiler dengan ruang kapsuler. Podosit berfungsi membantu filtrasi cairan
darah menjadi cairan ultra filtrat (urin primer). Cairan ultra filtrat ditampung di
dalam ruang urin yaitu ruang antara kapiler dengan dinding kapsula Bowmani dan
selanjutnya mengalir menuju tubulus contortus proksimal. Komposisi kimia
cairan ultra filtrat hampir sama dengan plasma darah.
d. Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal kebanyakan terdapat di bagian korteks ginjal.
Mukosa tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel-sel epitel kubus selapis,
apeks sel menghadap lumen tubulus dan memiliki banyak mikrovili (brush
border). Sel epitel tubulus contortus proksimal berfungsi untuk reabsorpsi.
e. Lengkung Henle (loop of Henle)
Lengkung Henle berbentuk seperti huruf U terdiri atas segmen tipis dan
diikuti segmen tebal. Bagian tipis lengkung henle yang merupakan lanjutan
tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel gepeng dan inti menonjol ke dalam
lumen. Cairan urin ketika berada dalam loop of Henle bersifat hipotonik, tetapi
setelah melewati loop of Henle urin menjadi bersifat hipertonik. Hal ini
dikarenakan bagian descenden loop of Henle sangat permeabel terhadap
pergerakan air, Na+, dan Cl-, sedangkan bagian ascenden tidak permeabel
terhadap air dan sangat aktif untuk transpor klorida bertanggung jawab terhadap
hipertonisitas cairan interstitial daerah medulla. Sebagai akibat kehilangan Na dan
Cl filtrat yang mencapai tubulus contortus distal bersifat hipertonik.
f. Tubulus Kontortus Distalis
Tubulus contortus distalis tersusun atas sel-sel epithelium berbentuk kuboid,
sitoplasma pucat, nuklei tampak lebih banyak, tidak ada brush border. ADH
disekresikan oleh kelenjar hipofise posterior. Apabila masukan air tinggi, maka
sekresi ADH dihambat sehingga dinding tubulus contortus distal dan tubulus
koligen tidak permeabel terhadap air akibatnya air tidak direabsioprsi dan urin
menjadi hipotonik dalam jumlah besar akan tetapi ion-ion untuk keseimbangan
osmotic tetap ditahan. Sebaliknya apabila air minum sedikit atau kehilangan air
yang banyak karena perkeringatan tubulus contortus distal permeabel terhadap air
dan air direabsorpsi sehingga urin hipertonik. Hormon aldosteron yang
disekresikan oleh korteks adrenal berperan meningkatkan reabsorpsi ion Na.
Sebaliknya mempermudah ekskresi ion kalium dan hidrogen. Penyakit Addison
merupakan akibat dari kehilangan natrium secara berlebihan dalam urin.
g. Tubulus Koligens
Urin berjalan dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens yang apabila
bersatu membentuk saluran lurus yang lebih besar yang disebut duktus papilaris
Bellini. Tubulus koligens dibatasi oleh epitel kubis. Peristiwa penting pada
tubulus koligens adalah mekanisme pemekatan atau pengenceran urin yang diatur
oleh hormon antidiuretik (ADH). Dinding tubulus distal dan tubulus koligens
sangat permeabel terhadap air bila terdapat ADH dan sebaliknya.
h. Tubulus Kolektivus
Tubulus kolektivus dari Bellini merupakan tersusun atas sel-sel epithelium
columnair, sitoplasma jernih, nukleus spheris.
i. Suplai Darah
Ginjal mendapatkan suplai darah dari aorta abdominalis yang bercabang
menjadi arteri renalis kemudian menuju arteri interlobaris yang merupakan cabang
arteri ranalis posterior dan anterior yang mengalir diantara piramida-piramida
ginjal kemudian mengalir menuju arteri arcuata, pertemuan antara korteks dan
medulla kemudian menuju arteri interlobularis yang melewati korteks yang
kemudian menuju arteriole aferen dan lanjut menuju glomerulus untuk kemudian
diteruskan menuju arteriole eferen dan menuju kapiler kemudian menuju juxta
glomerulare lanjut menuju peritubuler dan selanjutnya menuju vena interlobularis
dan melewati vena arcuata kearah vena interlobularis yang akhirnya menuju vena
renalis, vena ini meninggalkan ginjal untuk bersatu dengan vena kava inferior.
j. Proses pembentukan urin
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian
plasma darah, kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi,
dan ekresi (Syaefudin, 2006).
1) Proses filtrasi
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena tekanan
permukaan aferen lebih besar daripada permukaan eferen maka terjadi
penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian
cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpai
bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat
dan lain-lain yang diteruskan ke tubulus ginjal.

2) Proses reabsorsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif
yang dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada tubulus
proksimal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali
natrium dan ion bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara
aktif, dikenal dengan reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila
renalis.
Reabsorpsi zat tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi.
Sebagai contoh pada sisi tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus
renalis terjadi difusi ion Na+, sedangkan pada sisi sel tubulus yang
berdekatan dengan kapiler terjadi transpor aktif ion Na+. Adanya transpor
aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler menyebabkan menurunnya kadar ion
Na+ di sel tubulus renalis, sehingga difusi Na+ terjadi dari lumen sel
tubulus renalis. Pada umumnya zat yang penting bagi tubuh direabsorpsi
secara transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang secara aktif
direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin. Zat-zat
tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak ada
lagi di lengkung Henle (Aryulina, et al., 2004).

Gambar 3. Mekanisme reabsorpsi air dalam ginjal


3) Proses ekresi atau augmentasi
Sisa dari penyerapan urin yang terjadi pada tubulus akan diteruskan ke
piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.
Tabel 1. Bagian dan Fungsi Utama Nefron
Bagian dan fungsi utama nefron
Kapsula Bowman Filtrasi: ultrafiltrasi dan plasma masuk ke dalam
kapsula Bowman dan mengalir ke tubulus
kontortus proksimal

Tubulus kontortus Obligatory rearbsorption(66% dari filtrat


proksimal glomeruli): natrium, kalium, klorida, bikarbonat,
dan elektrolit. Lainnya: glukosa, asam amino,
air, dan urea. Sekresi: ion hidrogen, obat, dan
toksin

Ansa Henle Reabsorpsi (25% dari filtrat glomeruli): klorida,


natrium, ion kalsium, air, dan urea

Tubulus kontortus distal Facilitatory rearbsorption (9% dari filtrat


glomeruli): natrium, klorida, bikarbonat, air, dan
urea. Sekresi: hidrogen, kalium, dan amonia

Duktus koligentes Facilitatory rearbsorption: air dan urea


Sumber: Syaefudin (2006)

2. Konsep Penyakit
a. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kasus penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
akut (kambuhan) maupun kronis (menahun) (Syamsir, 2007). Penyakit ginjal
kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Gagal ginjal kronis atau
penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang menahun
bersifat progresif dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Smeltzer & Bare, 2001).
National Kidney Foundation-Kidney Outcome Quality Initiative (NKF-
K/DOQI) menyatakan bahwa pada CKD terjadi kerusakan ginjal selama 3 bulan
atau lebih, ditandai oleh adanya abnormalitas struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, yang dimanifestasikan oleh
abnormalitas patologis atau tanda kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas
komposisi darah atau urin, atau abnormalitas hasil tes; Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) < 60 ml/mnt/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan/tanpa kerusakan
ginjal (National Kidney Foundation, 2002).
CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih, dan
dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama
keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita sadari bahwa
gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea dalam darah (Smeltzer &
Bare, 2001). Menurut National Kidney Foundation (2002), penyakit ginjal kronik
adalah terdapat kelainan patologik ginjal atau adanya kelainan pada urin
umumnya jumlah protein urin atau sedimen urin selama tigabulan atau lebih yang
tidak bergantung pada nilai laju filtrasi glomerulus.
2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan sindrom klinis
yang disebabkan penurunan fungsinya yaitu berkurang, ringan, sedang dan tahap
akhir (Suhardjono, 2003). Ada beberapa klasifikasi dari gagal ginjal kronik yang
dipublikasikan oleh National Kidney Foundation (NKF) KidneyDisease Outcomes
Quality Initiative (K/DOQI). Klasifikasi tersebut diantaranya adalah :
a) Tahap pertama (stage 1)
Merupakan tahap dimana telah terjadi kerusakan ginjal dengan
peningkatan LFG (>90 mL/min/1.73 m2) atau LFG normal.
b) Tahap kedua (stage 2)
Reduksi LFG mulai berkurang sedikit (kategori mild) yaitu 60-89
mL/min/1.73 m2.
c) Tahap ketiga(stage 3)
Reduksi LFG telah lebih banyak berkurang (kategori moderate) yaitu 30-
59 mL/min/1.73.
d) Tahap keempat(stage 4)
Reduksi LFG sangat banyak berkurang yaitu 15-29 mL/min/1.73.
e) Tahap kelima(stage 5)
Telah terjadi gagal ginjal dengan LFG yaitu <15 mL/min/1.73.

Tabel 1. Klasifikasi gagal ginjal kronis menururt K/DOQI

3. Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronik ada berbagai macam salah satunya
disebabkan oleh infeksi saluran kemih.
Infeksi saluran kemih adalah keadaan yang ditandai dengan adanya bakteri
dalam urin dan pada pemeriksaan biakan mikroorganisme didapatkan jumlah
bakteri sebanyak 100,000 koloni per milliliter urin atau lebih yang dapat disertai
dengan gejala-gejala (simtomatik) atau tidak (asimtomatik). Menurut Widayati
(2004), pada pasien dengan simtom ISK, jumlah bakteri dikatakan signifikan jika
lebih besar dari 100,000 per milliliter urin. Penderita wanita adalah yang paling
banyak terinfeksi dan setiap wanita diperkirakan akan mengalami gejala-gejala
ISK sebanyak 5 kali dalam siklus hidupnya. Manakala pada penderita pria, jarang
dilaporkan tetapi jika berlaku bisa menyebabkan komplikasi yang serius. Pada
umumnya infeksi saluran kemih pada wanita terbatas pada saluran kemih bagian
bawah yaitu uretra dan kandung kemih, akan tetapi dapat pula menyebar ke
saluran kemih bagian atas sampai ke ginjal. Sebaliknya infeksi yang terjadi pada
saluran kemih bagian atas hampir selalu disertai dengan infeksi saluran kemih
bagian bawah (Junizaf, 1994).
Urin biasanya berada dalam keadaan yang steril. Infeksi berlaku apabila
bakteri atau mikroorganisme patogen yang lain masuk ke dalam urin dan mula
membiak. Lokasi infeksi biasanya bermula pada bukaan uretra, didapat dari
daerah anus dan bergerak naik ke atas melalui traktus urinari dan bisa menginfeksi
kandung kemih. Ini mungkin disebabkan oleh kebersihan diri yang kurang atau
hubungan seksual. (Balentine, 2009). Jika bakteri sampai ke ginjal, ini mungkin
mengakibatkan infeksi ginjal atau pyelonephritis yang bisa mengakibatkan
komplikasi yang sirius jika tidak dilakukan tindakan intervensi yang tepat.
Hampir semua penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa penyebab utama
dari infeksi saluran kemih adalah bakteria patogen Escherichia Coli yang
diperkirakan 50% dari bakteriuria nosokomial. Sedangkan Klebsiella-
Enterobacter diperkirakan 3-13% dan Pseudomonas Aerogenosa, Serratia,
Entero Cocci, Staphylococcus dan jamur sebagai penyebab lain. E-Coli dan
Klebsiella-Enterobacter sering sebagai penyebab terjadinya infeksi pada pasien
yang tidak mendapat pengobatan antimikroba (Junizaf, 1994). Berikut adalah
golongan yang mempunyai risiko untuk mengidap ISK :
a. Penderita batu ginjal yaitu individu yang mengalami obstruksi saluran kemih.
b. Penderita yang mengalami gangguan pengosongan kandung kemih seperti
kerusakan pada syaraf spinalis dan wanita yang menopause.
c. Penderita imunosupresan seperti pada penderita diabetes dan HIV.
d. Pada penderita wanita yang mempunyai aktif seksualnya.
e. Penderita yang mengalami pembesaran prostat karena ini akan melambatkan
pengosongan kandung kemih sehingga infeksi terjadi.
f. Pemakaian kateter untuk pengosongan kandung kemih akan menyebabkan
infeksi saluran kemih 1-2%, hal ini karena pada waktu pemasangan kateter
tersebut kemungkinan kuman yang ada dalam uretra akan terdorong ke dalam
kandung kemih sehingga dapat menimbulkan infeksi.

4. Tanda dan gejala


Menurut Smeltzer & Bare (2001), tanda dan gejala pada gagal ginjal
kronik yaitu sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler: hipertensi,pitting edema, edema periorbital,
pembesaran vena leher, friction sub pericardial
b. Sistem pulmoner: krekel, nafas dangkal, kusmaul, sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal: anoreksia, mual dan muntah, perdarahan saluran GI,
ulserasi dan perdarahan mulut, nafas berbau amonia
d. Sistem muskuloskeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang
e. Sistem integumen: warna kulit abu-abu mengkilat, pruritus, kulit kering
bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
f. Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis
g. Sistem hematologi: anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

5. Patofisiologi
Urin biasanya berada dalam keadaan steril. Infeksi berlaku apabila bakteri
masuk ke dalam urin dan mula bertumbuh. Proses infeksi ini biasanya bermula
pada pembukaan uretra di mana urin keluar dari tubuh dan masuk naik ke dalam
traktus urinari. Biasanya, dengan miksi ia dapat mengeluarkan bakteri yang ada
dari uretra tetapi jika bakteri yang ada terlalu banyak, proses tersebut tidak
membantu. Bakteri akan naik ke atas saluran kemih hingga kandung kemih dan
bertumbuh kembang di sini dan menjadi infeksi. Infeksi bisa berlanjut melalui
ureter hingga ke ginjal. Di ginjal, peradangan yang terjadi disebut pielonefritis
yang akan menjadi keadaan klinis yang serius jika tidak teratasi dengan tuntas
(Balentine, 2009).
Patogenesis infeksi saluran kemih sangat kompleks, karena tergantung dari
banyak faktor seperti faktor pejamu (host) dan faktor organisme penyebab.
Bakteri dalam urin dapat berasal dari ginjal, ureter, vesika urinaria atau dari
uretra. Beberapa faktor predisposisi ISK adalah obstruksi urin, kelainan struktur,
urolitiasis, benda asing, refluks atau konstipasi yang lama. Bakteri uropatogenik
yang melekat pada pada sel uroepitelial, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot
polos dinding ureter, dan menyebabkan gangguan peristaltik ureter. Melekatnya
bakteri ke sel uroepitelial, dapat meningkatkan virulensi bakteri tersebut (Hanson,
1999).
Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi
sebagai anti bakteri. Rusaknya lapisan ini akibat dari mekanisme invasi bakteri
seperti pelepasan toksin dapat menyebabkan bakteri dapat melekat, membentuk
koloni pada permukaan mukosa, masuk menembus epitel dan selanjutnya terjadi
peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal
melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi bila ada refluks vesikoureter
maupun refluks intrarenal. Bila hanya vesika urinaria yang terinfeksi, dapat
mengakibatkan iritasi dan spasme otot polos vesika urinaria, akibatnya rasa ingin
miksi terus menerus (urgency) atau miksi berulang kali (frequency), dan sakit
waktu miksi (dysuri). Mukosa vesika urinaria menjadi edema, meradang dan
perdarahan (hematuria). Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system.
Pelvis dan medula ginjal dapat rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan
urin akibat refluks berupa atrofi ginjal. Pada pielonefritis akut dapat ditemukan
fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal dapat membengkak, infiltrasi lekosit
polimorfonuklear dalam jaringan interstitial, akibatnya fungsi ginjal dapat
terganggu. Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk bakteri atau zat
mediator toksik yang dihasilkan oleh sel yang rusak, mengakibatkan parut ginjal
(renal scarring). (Hanson, 1999).Ginjal pun membentuk jaringan parut progresif,
berkontraksi dan tidak berfungsi.
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang
harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah,
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawahnilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup
berhasil dalam mempertahankankeseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga
tingkat fungsi ginjal yangsangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75%
massa nefron sudahhancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi
setiap nefrondemikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus
(keseimbangan
antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapatlagi
dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proseskonservasi
zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan padamakanan dapat
mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makinrendah GFR (yang
berarti maikn sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan
ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkanatau mengencerkan urine
menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010atau 285 mOsm (yaitu sama
dengan plasma) dan merupakan penyebab gejalapoliuria dan nokturia (Price,
2006).

6. Komplikasi
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer & Bare (2001) dan Suwitra
(2006) adalah sebagai berikut.
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
b. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion Anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar urea dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008). Pemeriksaan urin mencakup
evaluasi hal-hal berikut:
1) Observasi warna dan kejernihan urin
2) Pengkajian bau urin
3) Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
4) Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton dalam
urin.
5) Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging)untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah
putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal
dengan menmukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan denan menemukan
berbagau silinder dalam sedimen urin (Speicher, 2006). Hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis, yaitu:
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang
terjadisetelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan
urine tak ada (anuria).
2) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau keruh,
sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin dan
porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan kekeruhan
urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid,
fosfat atau urat.
3) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,
sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
4) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi yang
sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal, dan
rasio urine/serum 1:1.
5) Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
6) Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik.
7) Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria terletak
pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila
terdapat sedimen dan perubahan warna (Doenges, 2000).
b. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea
nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Hb:
menurun pada adanya anemia
1) Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan
hidup.
2) pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir
metabolisme.
3) BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin meningkat pada
kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam
pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit. Biasanya
meningkat pada proporsi rasio 10:1.
4) Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urine.
5) Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
6) Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
7) pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
8) Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
9) Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Doenges,
2000).
c. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).

d. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate.
e. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen
dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa pemeriksaan
radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal
antara lain:
1) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
4) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena,
dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal,
arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal
serta post transplantasi ginjal.
f. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
g. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi
heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO 2 normal,PCO2
rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan Borley, 2006).
1) Pencitraan radionuklida
Dapat menunjukkan kalikektasis, hidronefrosis, penyempitan dan lambatnya
pengisian dan pengosongan sebagai akibat dari GGA.

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
5) Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan
dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah
satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2) Dialisis Peritoneal
Dialisisperitoneal merupakan alternatif hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan
dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui
kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang berbeda-
beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya gravitasi
ke dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah drainase selesai,
dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali. Pembuangan zat
terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi dicapai melalui
perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari perbedaan tekanan hidrostatik
seperti pada hemodialisis
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
oleh pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan meletakannya
pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian terletak di
sebelah anterior pembuluh darah ginjal ke dalam kemih resipien. Arteria
renalis beranastomosis end-to-end pada arteri iliaka interna, dan vena
renalis beranastomosis dengan vena iliaka komunis atau eksternal.
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
9. Konsep Hemodialisis

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk


mengeluarakan cairan dan produk limbah dalam tubuh kita, dimana ginjal tidak
mampu untuk melaksanakan proses tersebut. Salah satu terapi yang diberikan
pada pasien gagal ginjal kronik adalah hemodialisis. Tujuan terapi dialisa dalah
untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal
pulih kembali (Smeltzer dan Bare , 2002).
Terapi hemodialisis menurut Setyawan (2001) dalam Purtinah (2010)
adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti
natrium, air, kalium, hidrogen, urea, kreatin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semipermiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat terdapat ginjal
buatan, dimana terjadi proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada klien GGK
stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007). Frekuensi pasien melakukan hemodialisis
bervariasi dari 203 kali seminggu, dan lamanya mesin hemodialisis berjalan antara
4-6 jam tergantung dari system dialysis yang digunakan dan keadaan pasien.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan hemodialisis adalah
suatu terapi dari pengganti fungsi ginjal yaitu dengan membran yang selektif-
permeabel yang akan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun dan zat
tertentu yang tidak terpakai oleh tubuh (seperti: natrium, air, kalium, hidrogen,
urea, kreatin, asam urat) dari peredaran darah manusia guna mempertahankan
kehidupan dan kesejahteraan pasien dengan penyakit ginjal. Suatu sistem dialisis
yang terdiri dari dua saluran, saluran untuk darah dan saluran untuk cairan
dialisat. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik
(jalur arteri), melalui hollow fiberpada alat dialisis dan kembali ke pasien
melalui jalur vena. Cairan dialisis membentuk saluran kedua. Air kran
difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh kemudian dicampur
dengan konsentrat melalui perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk
dialisat atau bak dialisis. Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam alat dialisis,
dan cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui
drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang
membran dialisa melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Komposisi
cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehinggga mendekati komposisi ion darah
normal, dan sedikit dimodifikasi untuk memperbaiki gangguan cairan dan
elektrolit yang menyertai gagal ginjal .
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan
melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi
tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Air yang
berlebihan dikeluarkan dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan; dengan kata lain, air
bergerakdari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan
yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis.
Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Pasien tidak mampu
mengekskresikan air, maka kekuatan tekanan tersebut diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan) (Smeltzer
dan Bare, 2002).
Menurut Le Mone (1996) hemodialisis menggunakan prinsip difusi dan
ultrafltrasi untuk membersihkan elektrolit dari produk tak berguna dan kelebihan
cairan tubuh. Hal ini dikarenakan sistem gijal buatan yang dilakukan oleh dialyzer
memungkinkan terjadinya pembuangan sisa metabolisme berupa ureum, creatini
dan asam urat, pembuangan cairan, mempertahankan sistem buffer tubuh, serta
mengembalikan kadar elektrolit tubuh (Lewis, 2000). Darah akan diambil dari
tubuh melalui jalan masuk vaskular dan memompa kemembran dari selulosa
asetat dan zat yang sama. Pengeluaran kira-kira sama dengankomposisi seperti
ekstra cairan selular normal. Dialisa menghangatkan suhu tubuhdan melewati
sepanjang ukuran dari membran lain. Semua larutan molekul lebih kecil dari sel
darah, plasma dan protein mampu bergerak bebas di membran melalui difusi.
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara
mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan
yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran
semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal
pada membran). Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori
terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran
memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan
asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui
membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu
besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua
kompartemen disebut gradien konsentrasi.
a. Indikasi
Price dan Wilson (2005) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang
jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan
harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan
kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat
jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi
bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala
klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin
serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro
filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan
terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-
hari tidak dilakukan lagi.
Beberapa indikasinya adalah sebagai berikut
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya
K >6,5mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
b. Kontraindikasi
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif
terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler
sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa
yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003).
c. Komplikasi
Komplikasi hemodialisa dapat disebabkan oleh karena penyakit yang
mendasari terjadinya penyakit ginjal kronik tersebut atau oleh karena proses
selama menjalani hemodialisa itu sendiri. Sedangkan komplikasi akut
hemodialisa adalah komplikasi yang terjadi selama proses hemodialisis
berlangsung (Rahardjo et al., 2006).
Himmelfarb (2004) menjelaskan komplikasi hemodialisa sebagai berikut :
1) Komplikasi yang sering terjadi
a) Hipotensi
Intradialytic Hypotension (IDH)adalah tekanan darah rendah yang
terjadi ketika proses hemodialisis sedang berlangsung. IDH terjadi
karena penyakit diabetes millitus, kardiomiopati, left ventricular
hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin rendah,
kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan atau target
ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering terlalu rendahdan
usia diatas 65 tahun.
Komplikasi akut hemodialisa yang paling sering terjadi, insidensinya
mencapai 15-30%. Dapat disebabkan oleh karena penurunan volume
plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena energi panas, obat anti
hipertensi.
b) Kram otot.
Terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya idiopatik namun
diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh peningkatan volume
ekstraseluler. Kram otot yang terjadi selama hemodialisis terjadi karena
targetultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na dialysate yang rendah
2) Komplikasi yang jarang terjadi
a) Dialysis disequilibrium syndrome (DDS)
Ditandai dengan mual dan muntah disertai dengan sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung. Disebabkan karena perubahan yang mendadak
konsentrasi elektrolit dan pH di sistem saraf pusat.
b) Aritmia dan angina
Disebabkan oleh karena adanya perubahan dalam konsentrasi potasium,
hipotensi, penyakit jantung.
c) Perdarahan
Dipengaruhi oleh trombositopenia yang disebabkan oleh karena
sindrom uremia, efek samping penggunaan antikoagulan heparin yang
lama dan pemberian anti-hypertensive agents.
d) Hipertensi
Disebabkan oleh karena kelebihan cairan, obat-obat hipotensi,
kecemasan meningkat, dan DDS.
d. Komponen hemodialisa
1) Mesin Hemodialisa
Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai
membran semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi karena terdapat cairan dialysate didalam dialyzer. Proses
dalam mesin hemodialisa merupakan proses yang komplek yang mencakup
kerja dari deteksi udara, kontrol alarm mesin dan monitor data proses
hemodialisa (Misra, 2005)

2) Ginjal Buatan (dialyzer)


Dialyzer atau ginjal buatan adalah tabung yang bersisi membrane
semipermiabel dan mempunyai dua bagian yaitu bagian untuk cairan
dialysate dan bagian yang lain untuk darah (Levy,dkk., 2004). Beberapa
syarat dialyzer yang baik (Heonich & Ronco, 2008) adalah volume priming
atau volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi sehingga bisa
menghasilkan clearance urea dan creatin yang tinggi tanpa membuang
protein dalam darah, koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi tekanan
membrane yang negatif yang memungkinkan terjadi back ultrafiltration,
tidak mengakibatkan reaksi inflamasi atau alergi saat proses hemodialisa
(hemocompatible), murah dan terjangkau, bisa dipakai ulang dan tidak
mengandung racun. Syarat dialyzer yang baik adalah bisa membersihkan
sisa metabolisme dengan ukuran molekul rendah dan sedang, asam amino
dan protein tidak ikut terbuang saat proses hemodialisis, volume dialyzer
kecil, tidak mengakibatkan alergi atau biocompatibility tinggi, bisa dipakai
ulang dan murah harganya (Levy, dkk., 2004)
3) Dialysate
Dialysate adalah cairan elektrolit yang mempunyai komposisi seperti cairan
plasma yang digunakan pada proses hemodialisis (Hoenich & Ronco, 2006).
Cairan dialysate terdiri dari dua jenis yaitu cairan acetat yang bersifat asam
dan bicarbonat yang bersifat basa. Kandungan dialysate dalam proses
hemodialisis menurut Reddy & Cheung ( 2009 )
Tabel 2. Kandungan dialysate
Elektrolit/zat yang lain Konsentrasi (mmol/l)
Sodium 135-145
Potasium 0-4
Calsium 1,5
Magnesium 0,25-0,5
Clorida 102-106
Bicarbonat 30-39
Dextrose 11
Acetat 2.0-4.0

4) Blood Line (BL) atau Saluran Darah

Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian
arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru. BL yang baik harus
mempunyai bagian pompa, sensor vena, air leakdetector (penangkap udara),
karet tempat injeksi, klem vena dan arteri dan bagian untuk heparin (Misra,
2005). Fungsi dari BL adalah menghubungkan dan mengalirkan darah
pasien ke dialyzer selama proses hemodialisis
5) Fistula Needles

Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai ArteriVena Fistula
(AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK yang
akan menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu
warna merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena
e. Prosedur
Hemodialisa mencakup shunting / pengalihan arus darah dari tubuh pasien ke
dialisator dimana terjadi difusi dan ultrafiltrasi dan kemudian kembali ke sirkulasi
pasien. Untuk pelaksanaan hemodialisa terjadi yang masuk ke darah pasien, suatu
mekanisme yang mentraspor darah ke dan dari dialisator, dan dialisator
(daerah dimana terjadi pertukaran larutan elektrolit dan produk-produk sisa
berlangsung). Pengobatan dialisis berlangsung 3 sampai 5 jam tergantung
kepada tipe dialisator yang dipakai dan jumlah waktu yang yang diperlukan demi
koreksi cairan,elektrolit, asam basa dan masalaah produk sisa yang ada. Dialise
untuk masalah yang akut harus dilaksanakan tiap hari atau lebih sering
berdasarkan kondisi pasien yang masih menjamin. Hemodialisa bagi orang
dengan gaggal ginjal kronik biasanya dikerjakan dua atau tiga kali seminggu.
(Long, 1996).
f. Perawatan Pra Dialisa
Sebelum prosedur pasien harus merasa terbiasa dengan melihat unit dialise. Ia
harus mendapatkan penerangan apa yang akan dikerjakan dan apa yang
akan dirasakan pada waktu pengobatan berlangsung.
Pasien biasanga ingin mengetahuhi :
a. Bentuk rasa nyeri yang bagaimana yang akan dialami selama
pengobatan
b. Berapa lama dan berapa kali dialisis akan dilakukan
c. Apakan yang dirasakn selama dan setelah pengobatan (hemodialisa)
d. Apa yang harus dikerjakan pada waktu dialise
e. Keluarga pasien dapat hadir pada waktu terapi.
Kegiatan pemantauan selama pada tahap ini meliputi :
a. Mencatat berat badan
b. Mengetahui garis dasar gejala vital
c. Mengakaji kebanyakan cairan (udim pada pedis, periorbital,
distensi
d. vena leher kelainan bunyi nafas)
e. Pengkajian kelancaran masuk ke vaskular dan gejala infeksi
Bahan darah diambil untuk pemeriksaan kadar elektrolit dalam serum
dan produk sisa dan status fisik pasien dikaji.Harus diberitahukan kepada pasien
bahwa ia akan mengalami sedikit sakit kepala dan mual pada waktu
pengobatan dan beberapa jam sesudahnya. Sakit kepalaadalah dampak dari
perubahan cairan, asam dan basa, dan keseimbangan produk sisa selama dialisis.
Gejala-gejala tersebut tidak boleh parah dan harus menjadi kurang setelah istirahat
dan tidur, analgetik ringan atau anti piretik. Hipertensi postural bisa juuga terjadi
dialisis, sifatnya transit dan disebabkan oleh kekurangan volume sekunder
dampak dari pergeseran.hipotensi menyebabkan pusing dan kelenger. Dapat
disembuhkan dengan istirahat beberapa jam. Pasien harus diyakinkan bahwa
semua gejala tersebut adalah akan mereda, seringnya dipantau pada waktu
sedang dilakukan prosedur dapat mengendalikan tingkat perubahan yang
terjadi demikianjuga gejala-gejala tersebut. (Long, 1996)
g. Perawatan Pada Waktu Hemodialisa
Bila pada pasien dipasang shunt eksternal tidak akan timbul nyeri pada
permulaan dialise. Namun rasa nyeri sedikit akan tetap terasa bila sedang
dilakukan fungsi vena pada fistula arteriovena. Pada umumnya suka
dilakukan anesthesi dipusat-pusat dialise sebelum memasukan jarum.Asuhan
keperawatan terdiri dari peningkatan kenyamanana fisik. Berbaring tanpa
gerakan meskipun berlangsung beberapa jam dapat menimbulkan
ketidaktenangan. Pergantian posisi dapat memberi kesadaran kepada
keterbatasan gerakan.Pasien perlu berkumur bila mual dan muntah. Karena
ekstremitas atas dipertahankanimobilitas pada waktu dialisa pasien perlu
dibantu bila ada kegiatan yang dilakukan pakai kedua tangan.Aktifitas pada
waktu dialisis hanya merupakan pilihan dari pasien. Sementara orang terus tidur
selama pengobatan, yang lain membaca atau menegerjakan sesuatu.Makan sedang
dialise merupakan pilihan inddividu saja. Sementara orang bisa menjadi sangat
lapar, sedangkan yang lain jadi mual karena bau darah. Para pasien menghendaki
makan pada waktu dialise yang pada umumnya tidak diizinkan. Dalam praktek
yang baik mengizinkan atau memperbolehkan makan pada waktu dialise
adalah merupakan fisiologi masing-masing unit. Karena seringnya mual dan
muntah dan disequilibilibrium yang sering dialami pasien lebih baik untuk
tidak memperbolehkan makan pada waktu dialise agar dapat mencegah
aspirasi yang potensial (Long, 1996).
10. Pathways
Infeksi bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella-Enterobacter, Obstruksi urin urolitiasis
Pseudomonas Aerogenosa, Serratia, Entero Cocci,
Staphylococcus)

Infeksi saluran kemih (ISK) Gagal ginjal kronik

Sekresi eritropoetin turun


Gagal ginjal kronik Bakteri melekat pada sel uroepitelial

Produksi Hb turun
Sekresi protein terganggu Gangguan peristaltik ureter
Oksihemoglobin turun
Sindrom uremia Urokom Rusaknya lapisan glycoprotein mucin layer
tertimbun di
kulit Ketidakefektifan perfusi Suplai O2 turun Intoleransi
Gang. Keseimbangan jaringan perifer aktivitas
Membentuk koloni, menembus epitel
asam-basa
Gatal pada kulit
Payah jantung kiri Bendungan atrium
Prod.asam naik inflamasi
kiri naik
Resiko kerusakan
integritas kulit
Bakteri di saluran kemih naik ke ginjal
Nausea vomiting COP turun Tek.vena pulmonalis

Iritasi lambung pielonefritis


Kapiler paru naik
Aliran darah ginjal Suplai O2 otak turun
Ketidakseimbangan turun
infeksi perdarahan Parut ginjal progresif
nutrisi kurang dari Edema paru
keb. tubuh
gastritis Hematemesis Syncope (kehilangan
Gagal ginjal kronik RAA tunun
melena kesadaran)

Mual, muntah edema Retensi Na & air naik


anemia (kelebihan volume cairan)

Kelebihan vol.cairan
preload naik dan beban
jantung naik

Hipertrofi ventrikel kiri


11. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Biodata
Gagal ginjal kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 tahun),
usia muda dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70% pada
pria.
b) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi),mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal padakulit.
c) Riwayat penyakit sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis,renjatan
kardiogenik.
d) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign
ProstaticHyperplasia, prostatektomi, penyakit gout.
e) Riwayat penyakit keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM)
f) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafascepat
dan dalam (Kussmaul), dyspnea
g) Body system
(1) Pernafasan (B1: Breathing)
Gejala: nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk
dengan/tanpasputum, kental dan banyak
Tanda: takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, batuk produktif
dengan/tanpa sputum.
(2) Cardiovascular (B2: Bleeding)
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada
atau anginadan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda: Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, pitting pada
kaki,telapak tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat
kehijauan,kuning.kecendrungan perdarahan.
(3) Persyarafan (B3: Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai
koma.
(4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B4: Bladder)
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua
dan pekat, tidak dapat kencing.
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
(5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B5: Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremikum, hiccup, gastritis
erosiva dan Diare)
(6) Tulang-Otot-Integumen (B6: Bone)
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki,
(memburuk saatmalam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda: Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis
padakulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit,
jaringanlunak, sendi keterbatasan gerak sendi.
h) Pola aktivitas sehari-hari
(1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksanahidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gagal ginjalkronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi
prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu
perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
(2) Pola nutrisi dan metabolism
Anoreksi, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake
minum yang kurang, dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolism yang
dapat mempengaruhi status kesehatan klien.
Gejala: peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat
badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau
mulut (amonia)
Penggunaan diuretic
Tanda: Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang,
rambut tipis, kuku rapuh.
(3) Pola Eliminasi
Eliminasi uri: Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna
urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing.
Gejala: Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
Eliminasi alvi: Diare
(4) Pola tidur dan Istirahat: Gelisah, cemas, gangguan tidur
(5) Pola Aktivitas dan latihan: Klien mudah mengalami kelelahan dan
lemas menyebabkan klien tidak mampu melaksanakan aktivitas
sehari-hari secara maksimal.
Gejala: kelelahan ektremitas, kelemahan, malaise
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang
gerak
(6) Pola hubungan dan peran
Gejala: kesulitan menentukan kondisi (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran)
(7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami
neuropati/mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya
trauma. Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak,
klien mengalami disorientasi/tidak.
(8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran
pada keluarga (self esteem).
(9) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada
proses ejakulasi serta orgasme.
Gejala: Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
(10) Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik,
faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada
kekuatan, karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain-lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif/adaptif.
Gejala: faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak
ada kekuatan
Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian
(11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
serta gagalg injal kronik dapat menghambat klien dalam
melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien.
(12) Pemeriksan fisik
(a) Kepala: Edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas
ureum
(b) Dada: Pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
(c) Perut: Adanya edema anasarka (ascites)
(d) Ekstrimitas: Edema pada tungkai, spatisitas otot
(e) Kulit: Sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun,
hiperpigmentasi akibat penumpukan urea, kering, dan
bersisik
(13) Pemeriksaan penunjang
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya.
Menurut Suhardjono (2002), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien penyakit ginjal kronik yaitu:
(1) Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat PGK,
menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi.
Blood ureum nitrogen (BUN) atau kreatinin meningkat, kalium
meningkat, magnesium meningkat, kalsium menurun, protein menurun.
(2) Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
Kemungkinan abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
(3) Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh
karena batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah
lanjut.
(4) Foto polos abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi
ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau
obstruksi lain.
(5) Pieolografi Intra-Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk
menilai sistem pelviokalises dan ureter.
(6) Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
(7) Pemeriksaan foto dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
(8) Pemeriksaan radiologi tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik.

2) Diagnosa Keperawatan
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
b) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan hipermetabolisme, nausea, vomitting, intake kurang
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
d) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder.
e) Kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit, gangguan turgor kulit atau uremia, pruritus.
3) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan

1. Kelebihan volume Setelah dilakukan 1. Terbebas dari Fluid management


cairan berhubungan tindakan keperawatan edema, efusi, 1. Ukur masukan dan haluaran, catat 1. Menunjukkan status
dengan penurunan selama 1x24 diharapkan anasarka keseimbangan positif (pemasukan volume sirkulasi,
haluaran urin, diet pasien menunjukkan 2. Bunyi nafas bersih, melebihi pengeluaran). Timbang terjadinya atau
berlebih, serta pengeluaran urin tepat tidak ada berat badan tiap hari, dan catat perbaikan
resistensi cairan dan dengan pemasukan dyspneu/orthopneu peningkatan lebih dari 0,5 kg/hari. perpindahan cairan,
natrium sekunder 3. Terbebas dari dan respon terhadap
terhadap penurunan NOC: distensi vena 2. Awasi tekanan darah dan CVP. terapi. Keseimbangan
fungsi ginjal 1. Electrolit and acid jugularis, reflek Catat JVD/Distensi vena. positif/peningkatan
base baance hepatojugular (+) berat badan sering
2. Fluid balance 4. Memelihara tekanan menunjukkan retensi
3. Hydration vena sentral, cairan lanjut.
tekanan kapiler Mengetahui
paru, output jantung pemasukan dan
dan vital sign alam pengeluaran dari
batas normal cairan.
5. Terbebas dari 2. Peningkatan tekanan
kelelahan, darah biasanya
kecemasan atau 3. Auskultasi paru, catat berhubungan dengan
kebingungan penurunan/tak adanya bunyi nafas kelebihan volume
6. Menjelaskan dan terjadinya bunyi tambahan cairan, mungkin tidak
indikator kelebihan (contoh krekels). terjadi karena
cairan perpindahan cairan
4. Awasi disritmia jantung. Auskultasi keluar area vaskuler.
bunyi jantung, catat terjadinya Distensi juguler
irama gallop S3/S4. eksternal dan vena
abdominal
5. Kaji derajat perifer atau edema sehubungan dengan
dependen. kongesti vaskuler.
3. Peningkatan kongesti
pulmonal
mengakibatkan
6. Kolaborasikan dengan tim medis konsolidasi, gangguan
pemberian diuretic (spironolakton pertukaran gas, dan
(Aldakton); furosemid (lasix). komplikasi, (contoh
edema paru).
4. Mungkin disebabkan
oleh GJK, penurunan
perfusi arteri koroner,
dan
ketidakseimbangan
elektrolit.
5. Perpindahan cairan
pada jaringan sebagai
akibat retensi natrium
dan air, penurunan
albumin, dan
penurunan ADH.
6. Digunakan dengan
perhatian untuk
mengontrol edema
dan asites.
Menghambat efek
aldosteron,
meningkatkan
ekskresi air sambil
menghemat kalium,
bila terapi konservatif
dengan tirah baring
dan pembatasan
natrium tidak
mengatasi.
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Adanya peningkatan Nutritional management
nutrisi: kurang dari tindakan keperawatan berat badan sesuai 1. Kaji status nutrisi. 1. Mengetahui status
kebutuhan tubuh selama 2x24 jam dengan tujuan nutrisi pasien.
berhubungan dengan diharapkan pasien 2. Berat badan ideal 2. Ukur masukan diet harian dengan 2. Memberikan
katabolisme protein, mempertahankan status sesuai dengan tinggi jumlah kalor. informasi tentang
pembatasan diet, nutrisi adekuat badan 3. Bantu dan dorong pasien untuk kebutuhan
perubahan membran 3. Mampu makan, jelaskan alasan tipe diet. pemasukan/defisiensi
mukosa mulut, NOC: mengidentifikasi Beri makan pasien bila pasien 3. Diet yang tepat
peningkatan 1. Nutritional status: food kebutuhan nutrisi mudah lelah atau biarkan orang penting untuk
metabolisme, and fluid intake 4. Tidak ada tanda- terdekat membantu pasien. penyembuhan. Pasien
anoreksia, mual dan 2. Nutritional status: tanda malnutrisi Pertimbangkan pemilihan makanan mungkin makan lebih
muntah nutrient intake 5. Menunjukkan yang disukai. baik bila keluarga
3. Weight control peningkatan fungsi 4. Berikan makanan sedikit tapi sering, terlibat dan makanan
pengecapan dari sajikan makanan kesukaan pasien yang disukai
menelan kecuali kontraindikasi. sebanyak mungkin.
6. Tidak terjadi
penurunan berat 4. Membantu
badan yang berarti meningkatkan nafsu
makan pasien,
5. Berikan makanan halus, hindari Buruknya toleransi
makanan kasar sesuai indikasi. terhadap makan
6. Timbang BB tiap hari. banyak mungkin
berhubungan dengan
peningkatan tekanan
intra-abdomen /asites.
5. Perdarahan dari
7. Lakukan perawatan mulut, berikan varises esofagus dapat
penyegar mulut. terjadi pada serosis
berat.
8. Awasi pemeriksaan laboratorium 6. Membantu pasien
(contoh: glukosa serum, albumin, untuk mendapatkan
total protein, amonia). BB ideal/normal.
7. Kebersihan dan
kesegaran mulut dapat
meningkatkan nafsu
makan pasien.
8. Glukosa menurun
karena gangguan
glikogenesis,
penurunan simpanan
glikogen atau
masukan tak adekuat.
Protein menurun
karena gangguan
metabolisme,
penurunan sistesis
hepatik, atau
kehilangan ke rongga
peritoneal (asites).
Peningkatan kadar
amonia perlu
pembatasan masukan
protein untuk
mencegah  komplikasi
serius.

3 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Activity therapy


berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Berpartisipasi dalam 1. Kaji kemampuan ADL pasien. 1. Mempengaruhi
penurunan produksi selama 1x24 jam aktivitas fisik tanpa 2. Kaji kehilangan atau gangguan pilihan
energi metabolik, diharapkan pasien dapat disertai peningkatan keseimbangan, gaya jalan dan intervensi/bantuan.
anemia, retensi meningkatkan aktivitas tekanan darah, nadi, kelemahan otot. 
produk sampah dan yang dapat diltoleransi dan RR 3. Observasi tanda-tanda vital
prosedur dialisa 2. Mampu melakukan sebelum dan sesudah aktivitas. 
NOC: aktivitas sehari-hari 4. Berikan lingkungan tenang, batasi 2. Menunjukkan
1. Energy conservation (ADLs) secara pengunjung, dan kurangi suara perubahan neurology
2. Activity tolerance mandiri bising, pertahankan tirah baring bila karena defisiensi
3. Self care: ADLs 3. Tanda-tanda vital di indikasikan. vitamin B12
normal 5. Gunakan teknik menghemat energi, mempengaruhi
4. Energy psikomotor anjurkan pasien istirahat bila terjadi keamanan
5. Level kelemahan kelelahan dan kelemahan, anjurkan pasien/risiko cedera.
6. Mampu berpindah pasien melakukan aktivitas 3. Manifestasi
dengan atau tanpa semampunya (tanpa memaksakan kardiopulmonal dari
bantuan alat diri).  upaya jantung dan
7. Status paru untuk membawa
kardiopulmunari jumlah oksigen
adekuat adekuat ke jaringan.
8. Sirkulasi status baik 4. Meningkatkan
9. Status respirasi: istirahat untuk
pertukaran gas dan menurunkan
ventilasi adekuat kebutuhan oksigen
tubuh dan
menurunkan regangan
jantung dan paru.
5. Meningkatkan
aktivitas secara
bertahap sampai
normal dan
memperbaiki tonus
otot/stamina tanpa
kelemahan.
Meingkatkan harga
diri dan rasa
terkontrol
Setelah dilakukan Menunjukkan tidak ada NIC: 1. mengetahui
tindakan keperawatan gangguan pada: 1. Lakukan pengkajian komprehensif perkembangan pasien
selama 1x24 jam a. tekanan darah terhadap sirkulasi perifer terkait perfusi jaringan
2. Pantau perbedaan ketajaman atau
diharapkan pasien dapat b. nadi perfier perifer
ketumpulan, panas atau dingin
meningkatkan aktivitas c. turgor kulit 3. Pantau parestesia, kebas, kesemutan, 2. mengetahui
yang dapat diltoleransi d. suhu, sensasi, hiperestesia dan hipoestesia perkembangan pasien
elastisitas, hidrasi, 4. Ajarkan pasien dan keluarga tentang: terkait perfusi jaringan
NOC: keutuhan dan ketebalan Menghindari suhu yang eksterm pada perifer
Status sirkulasi kulit ekstremitas 3. mengetahui
Perfusi jaringan: perifer e. pengisian ulang 5. letakkan ekstremitas pada posisi perkembangan pasien
menggantung, jika perlu
kapiler terkait perfusi jaringan
6. beri obat antitrombosit atau
f. warna kulit antikoagulan, jika perlu perifer
g. integritas kulit 4. supaya pasien
memiliki batas suhu
yang normal
5. darah dapat dengan
mudah kembali
kejantung
6. masalah gangguan
perfusi jaringan perifer
dapat teatasi

5. Resiko kerusakan Setelah dilakukan 1. Integritas kulit yang NIC: 1. Mengetahui keadaan
intregitas kulit tindakan keperawatan baik bisa kulit pasien jika
berhubungan dengan selama 1x24 jam dipertahankan Pressure management mengalami kerusakan
akumulasi toksik 2. Melaporkan adanya integritas jaringan
diharapkan kerusakan 1. Inspeksi kulit terutama pada tulang-
dalam kulit, gangguan sensasi 2. Pasien merasa
gangguan turgor kulit integritas kulit tidak atau nyeri pada tulang yang menonjol dan titik-titik nyaman untuk
atau uremia, pruritus terjadi daerah kulit yang tekanan ketika merubah posisi keadaan tirah baring
mengalami pasien. yang lama
NOC: gangguan 2. Anjurkan pasien untuk 3. Meminimalkan resiko
3. Mampu melindungi menggunakan pakaian yang longgar kerusakan intergritas
Tissue integrity: skin and 3. Hindari kerutan pada tempat tidur
kulit dan kulit
mucous membranes mempertahankan 4. Jaga kebersihan kulit agar tetap 4. Kelembapan dan
kelembapan kulit bersih dan kering kebersihan kulit tetap
dan perawatan alami 5. Mobilisasi pasien (ubah posisi terjaga
pasien) setiap dua jam sekali 5. Tidak terjadi
6. Monitor kulit akan adanya komplikasi ulkus
kemerahan dekubitus akibat tirah
baring
6. Mengetahui kondisi
kulit pasien
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.

Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. Jakarta: EGC

Johnson, M., et all. 2002. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River Mangunkusuma, Vidyapati W,
1988, Penanganan Cidera Mata dan Aspek Sosial Kebutaan, Universitas
Indonesia, Jakarta

Grace & Borley.2007.At a Glance Ilmu Bedah. edisi ketiga.Jakarta: Erlangga.

McCloskey, Joanne C. dkk. 2004. IOWA Intervention Project Nursing


Intervention Classifcation (NIC), Second edition. USA: Mosby.

NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi


National Kidney Foundation. 2002. Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kideny Disease: Evaluation, Classification and Stratification.
New York: National Kidney Foundation, Inc.

Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.

Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan


Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Syamsir, Alam dkk. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai