LP CKD Etiologi Isk
LP CKD Etiologi Isk
oleh
Achmad Nur Muhaimin, S.Kep
NIM 142311101145
Sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin,
b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih),
c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin
dikeluarkan dari vesika urinaria. Dua ginjal yang memproduksi urine, dua ureter
yang membawa urine ke dalam sebuah kandung kemih untuk penampungan
sementara, dan uretra yang mengalirkan urine keluar tubuh melalui orifisium
uretra eksterna.
a. Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada
kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal
seperti biji kacang berwarna merah tua, panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya
2,5 cm (kurang lebih sebesar kepalan tangan). Setiap ginjal memiliki berat antara
125 sampai 175 gr pada laki-laki dan 115 sampai 155 gr pada perempuan. Ginjal
kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter
yang besar.
Setiap ginjal diselubungi tiga lapisan jaringan ikat, fasia renal adalah
pembungkus terluar yang melabuhkan ginjal pada struktur di sekitarnya dan
mempertahankan posisi organ. Lemak perirenal adalah jaringan adipose yang
terbungkus fasia ginjal, jaringan ini membantali dan membantu organ tetap pada
posisinya. Kapsul fibrosa (ginjal) adalah membrane halus transparan yang
langsung membungkus ginjal dan dapat dengan mudah dilepas.
Fungsi ginjal adalah (1) sebagai pengeluaran zat sisa organik, ginjal
mensekresi urea, asam urat, kreatinin, dan produksi pengeluaran hemoglobin dan
hormon; (2) sebagai pengaturan konsentrasi ion-ion penting, ginjal mengsekresi
ion natrium, kalium, kalsium, magnesium, sulfat dan fosfat. Ekskresi ion-ion ini
seimbang dengan asupan dan ekskresinya melalui rute lain, seperti pada saluran
gastrointestinal atau kulit; (3) sebagai pengaturan keseimbangan asam-basa tubuh;
(4) sebagai pengaturan produksi sel dara merah, ginjal melepas eritropoietin yang
mengatur produksi sel darah merah dalam sumsum tulang; (5) sebagai pengaturan
tekanan darah; (6) sebagai pengendalian terbatas terhadap konsentrasi glukosa
darah dan asam amino darah; dan (7) sebagai tempat pengeluaran zat beracun,
ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obat-obatan, atau zat kimia
asing lain dari tubuh (Ethel, 2003).
Struktur internal ginjal terdiri dari (a) hilus (hilum) sebagai tempat
masuknya arteri renalis dan saraf dan tempat keluarnya vena renalis; (b) sinus
ginjal, yaitu rongga berisi lemak yang membuka pada hilus; (c) pelvis ginjal
adalah perluasan ujung proksimal ureter; (d) parenkim ginjal adalah jaringan
ginjal yang menyelubungi struktur sinus ginjal yang menyelubungi struktur sinus
ginjal. Jaringan ini terbagi menjadi medulla dalam dan korteks luar; dan (e) ginjal
terbagi-bagi lagi menjadi lobus ginjal.
G
Gambar 2. Ginjal
b. Nefron
Tiap ginjal tersusun atas unit struktural dan fungsional dalam pembentukan
urin yang dinamakan nefron (nephron). Tiap nefron terdiri atas bagian yang
melebar yang dinamakan korpuskula renalis atau badan malphigi, tubulus
kontortus proksimal, lengkung Henle serta tubulus kontortus distal. Satu ginjal
mengandung 1 sampai 4 juta nefron yang merupakan unit pembentuk urin. Setiap
nefron memiliki satu komponen vascular (kapilar) dan satu komponen tubular.
c. Glomeruli
Glomerulus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler yang ruwet yang
merupakan cabang dari arteriole aferen. Pada permukaan luar kapiler glomeruli
menempel sel berbentuk spesifik dan memiliki penjuluran-penjuluran yang
disebut podosit (sel kaki). Antara sel-sel endotel kapiler dan podosit membentuk
struktur kontinyu yang berlubang-lubang yang memisahkan darah yang terdapat
dalam kapiler dengan ruang kapsuler. Podosit berfungsi membantu filtrasi cairan
darah menjadi cairan ultra filtrat (urin primer). Cairan ultra filtrat ditampung di
dalam ruang urin yaitu ruang antara kapiler dengan dinding kapsula Bowmani dan
selanjutnya mengalir menuju tubulus contortus proksimal. Komposisi kimia
cairan ultra filtrat hampir sama dengan plasma darah.
d. Tubulus Kontortus Proksimal
Tubulus kontortus proksimal kebanyakan terdapat di bagian korteks ginjal.
Mukosa tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel-sel epitel kubus selapis,
apeks sel menghadap lumen tubulus dan memiliki banyak mikrovili (brush
border). Sel epitel tubulus contortus proksimal berfungsi untuk reabsorpsi.
e. Lengkung Henle (loop of Henle)
Lengkung Henle berbentuk seperti huruf U terdiri atas segmen tipis dan
diikuti segmen tebal. Bagian tipis lengkung henle yang merupakan lanjutan
tubulus kontortus proksimal tersusun atas sel gepeng dan inti menonjol ke dalam
lumen. Cairan urin ketika berada dalam loop of Henle bersifat hipotonik, tetapi
setelah melewati loop of Henle urin menjadi bersifat hipertonik. Hal ini
dikarenakan bagian descenden loop of Henle sangat permeabel terhadap
pergerakan air, Na+, dan Cl-, sedangkan bagian ascenden tidak permeabel
terhadap air dan sangat aktif untuk transpor klorida bertanggung jawab terhadap
hipertonisitas cairan interstitial daerah medulla. Sebagai akibat kehilangan Na dan
Cl filtrat yang mencapai tubulus contortus distal bersifat hipertonik.
f. Tubulus Kontortus Distalis
Tubulus contortus distalis tersusun atas sel-sel epithelium berbentuk kuboid,
sitoplasma pucat, nuklei tampak lebih banyak, tidak ada brush border. ADH
disekresikan oleh kelenjar hipofise posterior. Apabila masukan air tinggi, maka
sekresi ADH dihambat sehingga dinding tubulus contortus distal dan tubulus
koligen tidak permeabel terhadap air akibatnya air tidak direabsioprsi dan urin
menjadi hipotonik dalam jumlah besar akan tetapi ion-ion untuk keseimbangan
osmotic tetap ditahan. Sebaliknya apabila air minum sedikit atau kehilangan air
yang banyak karena perkeringatan tubulus contortus distal permeabel terhadap air
dan air direabsorpsi sehingga urin hipertonik. Hormon aldosteron yang
disekresikan oleh korteks adrenal berperan meningkatkan reabsorpsi ion Na.
Sebaliknya mempermudah ekskresi ion kalium dan hidrogen. Penyakit Addison
merupakan akibat dari kehilangan natrium secara berlebihan dalam urin.
g. Tubulus Koligens
Urin berjalan dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens yang apabila
bersatu membentuk saluran lurus yang lebih besar yang disebut duktus papilaris
Bellini. Tubulus koligens dibatasi oleh epitel kubis. Peristiwa penting pada
tubulus koligens adalah mekanisme pemekatan atau pengenceran urin yang diatur
oleh hormon antidiuretik (ADH). Dinding tubulus distal dan tubulus koligens
sangat permeabel terhadap air bila terdapat ADH dan sebaliknya.
h. Tubulus Kolektivus
Tubulus kolektivus dari Bellini merupakan tersusun atas sel-sel epithelium
columnair, sitoplasma jernih, nukleus spheris.
i. Suplai Darah
Ginjal mendapatkan suplai darah dari aorta abdominalis yang bercabang
menjadi arteri renalis kemudian menuju arteri interlobaris yang merupakan cabang
arteri ranalis posterior dan anterior yang mengalir diantara piramida-piramida
ginjal kemudian mengalir menuju arteri arcuata, pertemuan antara korteks dan
medulla kemudian menuju arteri interlobularis yang melewati korteks yang
kemudian menuju arteriole aferen dan lanjut menuju glomerulus untuk kemudian
diteruskan menuju arteriole eferen dan menuju kapiler kemudian menuju juxta
glomerulare lanjut menuju peritubuler dan selanjutnya menuju vena interlobularis
dan melewati vena arcuata kearah vena interlobularis yang akhirnya menuju vena
renalis, vena ini meninggalkan ginjal untuk bersatu dengan vena kava inferior.
j. Proses pembentukan urin
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian
plasma darah, kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorsi,
dan ekresi (Syaefudin, 2006).
1) Proses filtrasi
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena tekanan
permukaan aferen lebih besar daripada permukaan eferen maka terjadi
penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian
cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan dalam simpai
bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat
dan lain-lain yang diteruskan ke tubulus ginjal.
2) Proses reabsorsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif
yang dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi pada tubulus
proksimal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi penyerapan kembali
natrium dan ion bikarbonat bila diperlukan. Penyerapannya terjadi secara
aktif, dikenal dengan reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila
renalis.
Reabsorpsi zat tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi.
Sebagai contoh pada sisi tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus
renalis terjadi difusi ion Na+, sedangkan pada sisi sel tubulus yang
berdekatan dengan kapiler terjadi transpor aktif ion Na+. Adanya transpor
aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler menyebabkan menurunnya kadar ion
Na+ di sel tubulus renalis, sehingga difusi Na+ terjadi dari lumen sel
tubulus renalis. Pada umumnya zat yang penting bagi tubuh direabsorpsi
secara transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang secara aktif
direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin. Zat-zat
tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak ada
lagi di lengkung Henle (Aryulina, et al., 2004).
2. Konsep Penyakit
a. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kasus penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
akut (kambuhan) maupun kronis (menahun) (Syamsir, 2007). Penyakit ginjal
kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Gagal ginjal kronis atau
penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang menahun
bersifat progresif dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Smeltzer & Bare, 2001).
National Kidney Foundation-Kidney Outcome Quality Initiative (NKF-
K/DOQI) menyatakan bahwa pada CKD terjadi kerusakan ginjal selama 3 bulan
atau lebih, ditandai oleh adanya abnormalitas struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, yang dimanifestasikan oleh
abnormalitas patologis atau tanda kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas
komposisi darah atau urin, atau abnormalitas hasil tes; Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) < 60 ml/mnt/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan/tanpa kerusakan
ginjal (National Kidney Foundation, 2002).
CKD adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu tidak dapat pulih, dan
dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia sendiri telah dipakai sebagai nama
keadaan ini selama lebih dari satu abad. Walaupun sekarang kita sadari bahwa
gejala CKD tidak selalu disebabkan oleh retensi urea dalam darah (Smeltzer &
Bare, 2001). Menurut National Kidney Foundation (2002), penyakit ginjal kronik
adalah terdapat kelainan patologik ginjal atau adanya kelainan pada urin
umumnya jumlah protein urin atau sedimen urin selama tigabulan atau lebih yang
tidak bergantung pada nilai laju filtrasi glomerulus.
2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan sindrom klinis
yang disebabkan penurunan fungsinya yaitu berkurang, ringan, sedang dan tahap
akhir (Suhardjono, 2003). Ada beberapa klasifikasi dari gagal ginjal kronik yang
dipublikasikan oleh National Kidney Foundation (NKF) KidneyDisease Outcomes
Quality Initiative (K/DOQI). Klasifikasi tersebut diantaranya adalah :
a) Tahap pertama (stage 1)
Merupakan tahap dimana telah terjadi kerusakan ginjal dengan
peningkatan LFG (>90 mL/min/1.73 m2) atau LFG normal.
b) Tahap kedua (stage 2)
Reduksi LFG mulai berkurang sedikit (kategori mild) yaitu 60-89
mL/min/1.73 m2.
c) Tahap ketiga(stage 3)
Reduksi LFG telah lebih banyak berkurang (kategori moderate) yaitu 30-
59 mL/min/1.73.
d) Tahap keempat(stage 4)
Reduksi LFG sangat banyak berkurang yaitu 15-29 mL/min/1.73.
e) Tahap kelima(stage 5)
Telah terjadi gagal ginjal dengan LFG yaitu <15 mL/min/1.73.
3. Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronik ada berbagai macam salah satunya
disebabkan oleh infeksi saluran kemih.
Infeksi saluran kemih adalah keadaan yang ditandai dengan adanya bakteri
dalam urin dan pada pemeriksaan biakan mikroorganisme didapatkan jumlah
bakteri sebanyak 100,000 koloni per milliliter urin atau lebih yang dapat disertai
dengan gejala-gejala (simtomatik) atau tidak (asimtomatik). Menurut Widayati
(2004), pada pasien dengan simtom ISK, jumlah bakteri dikatakan signifikan jika
lebih besar dari 100,000 per milliliter urin. Penderita wanita adalah yang paling
banyak terinfeksi dan setiap wanita diperkirakan akan mengalami gejala-gejala
ISK sebanyak 5 kali dalam siklus hidupnya. Manakala pada penderita pria, jarang
dilaporkan tetapi jika berlaku bisa menyebabkan komplikasi yang serius. Pada
umumnya infeksi saluran kemih pada wanita terbatas pada saluran kemih bagian
bawah yaitu uretra dan kandung kemih, akan tetapi dapat pula menyebar ke
saluran kemih bagian atas sampai ke ginjal. Sebaliknya infeksi yang terjadi pada
saluran kemih bagian atas hampir selalu disertai dengan infeksi saluran kemih
bagian bawah (Junizaf, 1994).
Urin biasanya berada dalam keadaan yang steril. Infeksi berlaku apabila
bakteri atau mikroorganisme patogen yang lain masuk ke dalam urin dan mula
membiak. Lokasi infeksi biasanya bermula pada bukaan uretra, didapat dari
daerah anus dan bergerak naik ke atas melalui traktus urinari dan bisa menginfeksi
kandung kemih. Ini mungkin disebabkan oleh kebersihan diri yang kurang atau
hubungan seksual. (Balentine, 2009). Jika bakteri sampai ke ginjal, ini mungkin
mengakibatkan infeksi ginjal atau pyelonephritis yang bisa mengakibatkan
komplikasi yang sirius jika tidak dilakukan tindakan intervensi yang tepat.
Hampir semua penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa penyebab utama
dari infeksi saluran kemih adalah bakteria patogen Escherichia Coli yang
diperkirakan 50% dari bakteriuria nosokomial. Sedangkan Klebsiella-
Enterobacter diperkirakan 3-13% dan Pseudomonas Aerogenosa, Serratia,
Entero Cocci, Staphylococcus dan jamur sebagai penyebab lain. E-Coli dan
Klebsiella-Enterobacter sering sebagai penyebab terjadinya infeksi pada pasien
yang tidak mendapat pengobatan antimikroba (Junizaf, 1994). Berikut adalah
golongan yang mempunyai risiko untuk mengidap ISK :
a. Penderita batu ginjal yaitu individu yang mengalami obstruksi saluran kemih.
b. Penderita yang mengalami gangguan pengosongan kandung kemih seperti
kerusakan pada syaraf spinalis dan wanita yang menopause.
c. Penderita imunosupresan seperti pada penderita diabetes dan HIV.
d. Pada penderita wanita yang mempunyai aktif seksualnya.
e. Penderita yang mengalami pembesaran prostat karena ini akan melambatkan
pengosongan kandung kemih sehingga infeksi terjadi.
f. Pemakaian kateter untuk pengosongan kandung kemih akan menyebabkan
infeksi saluran kemih 1-2%, hal ini karena pada waktu pemasangan kateter
tersebut kemungkinan kuman yang ada dalam uretra akan terdorong ke dalam
kandung kemih sehingga dapat menimbulkan infeksi.
5. Patofisiologi
Urin biasanya berada dalam keadaan steril. Infeksi berlaku apabila bakteri
masuk ke dalam urin dan mula bertumbuh. Proses infeksi ini biasanya bermula
pada pembukaan uretra di mana urin keluar dari tubuh dan masuk naik ke dalam
traktus urinari. Biasanya, dengan miksi ia dapat mengeluarkan bakteri yang ada
dari uretra tetapi jika bakteri yang ada terlalu banyak, proses tersebut tidak
membantu. Bakteri akan naik ke atas saluran kemih hingga kandung kemih dan
bertumbuh kembang di sini dan menjadi infeksi. Infeksi bisa berlanjut melalui
ureter hingga ke ginjal. Di ginjal, peradangan yang terjadi disebut pielonefritis
yang akan menjadi keadaan klinis yang serius jika tidak teratasi dengan tuntas
(Balentine, 2009).
Patogenesis infeksi saluran kemih sangat kompleks, karena tergantung dari
banyak faktor seperti faktor pejamu (host) dan faktor organisme penyebab.
Bakteri dalam urin dapat berasal dari ginjal, ureter, vesika urinaria atau dari
uretra. Beberapa faktor predisposisi ISK adalah obstruksi urin, kelainan struktur,
urolitiasis, benda asing, refluks atau konstipasi yang lama. Bakteri uropatogenik
yang melekat pada pada sel uroepitelial, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot
polos dinding ureter, dan menyebabkan gangguan peristaltik ureter. Melekatnya
bakteri ke sel uroepitelial, dapat meningkatkan virulensi bakteri tersebut (Hanson,
1999).
Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi
sebagai anti bakteri. Rusaknya lapisan ini akibat dari mekanisme invasi bakteri
seperti pelepasan toksin dapat menyebabkan bakteri dapat melekat, membentuk
koloni pada permukaan mukosa, masuk menembus epitel dan selanjutnya terjadi
peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal
melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi bila ada refluks vesikoureter
maupun refluks intrarenal. Bila hanya vesika urinaria yang terinfeksi, dapat
mengakibatkan iritasi dan spasme otot polos vesika urinaria, akibatnya rasa ingin
miksi terus menerus (urgency) atau miksi berulang kali (frequency), dan sakit
waktu miksi (dysuri). Mukosa vesika urinaria menjadi edema, meradang dan
perdarahan (hematuria). Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system.
Pelvis dan medula ginjal dapat rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan
urin akibat refluks berupa atrofi ginjal. Pada pielonefritis akut dapat ditemukan
fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal dapat membengkak, infiltrasi lekosit
polimorfonuklear dalam jaringan interstitial, akibatnya fungsi ginjal dapat
terganggu. Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk bakteri atau zat
mediator toksik yang dihasilkan oleh sel yang rusak, mengakibatkan parut ginjal
(renal scarring). (Hanson, 1999).Ginjal pun membentuk jaringan parut progresif,
berkontraksi dan tidak berfungsi.
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang
harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah,
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawahnilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup
berhasil dalam mempertahankankeseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga
tingkat fungsi ginjal yangsangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75%
massa nefron sudahhancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi
setiap nefrondemikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus
(keseimbangan
antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapatlagi
dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proseskonservasi
zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan padamakanan dapat
mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makinrendah GFR (yang
berarti maikn sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan
ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkanatau mengencerkan urine
menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010atau 285 mOsm (yaitu sama
dengan plasma) dan merupakan penyebab gejalapoliuria dan nokturia (Price,
2006).
6. Komplikasi
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer & Bare (2001) dan Suwitra
(2006) adalah sebagai berikut.
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
b. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion Anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar urea dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008). Pemeriksaan urin mencakup
evaluasi hal-hal berikut:
1) Observasi warna dan kejernihan urin
2) Pengkajian bau urin
3) Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
4) Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton dalam
urin.
5) Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging)untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah
putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal
dengan menmukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan denan menemukan
berbagau silinder dalam sedimen urin (Speicher, 2006). Hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis, yaitu:
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang
terjadisetelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan
urine tak ada (anuria).
2) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau keruh,
sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin dan
porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan kekeruhan
urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid,
fosfat atau urat.
3) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,
sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
4) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi yang
sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal, dan
rasio urine/serum 1:1.
5) Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
6) Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik.
7) Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria terletak
pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila
terdapat sedimen dan perubahan warna (Doenges, 2000).
b. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea
nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Hb:
menurun pada adanya anemia
1) Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan
hidup.
2) pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir
metabolisme.
3) BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin meningkat pada
kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam
pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit. Biasanya
meningkat pada proporsi rasio 10:1.
4) Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urine.
5) Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
6) Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
7) pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
8) Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
9) Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Doenges,
2000).
c. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
d. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate.
e. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen
dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa pemeriksaan
radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal
antara lain:
1) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
4) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena,
dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal,
arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal
serta post transplantasi ginjal.
f. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
g. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi
heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO 2 normal,PCO2
rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan Borley, 2006).
1) Pencitraan radionuklida
Dapat menunjukkan kalikektasis, hidronefrosis, penyempitan dan lambatnya
pengisian dan pengosongan sebagai akibat dari GGA.
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
5) Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan
dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah
satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2) Dialisis Peritoneal
Dialisisperitoneal merupakan alternatif hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan
dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui
kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang berbeda-
beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya gravitasi
ke dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah drainase selesai,
dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali. Pembuangan zat
terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi dicapai melalui
perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari perbedaan tekanan hidrostatik
seperti pada hemodialisis
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
oleh pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan meletakannya
pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian terletak di
sebelah anterior pembuluh darah ginjal ke dalam kemih resipien. Arteria
renalis beranastomosis end-to-end pada arteri iliaka interna, dan vena
renalis beranastomosis dengan vena iliaka komunis atau eksternal.
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
9. Konsep Hemodialisis
Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian
arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru. BL yang baik harus
mempunyai bagian pompa, sensor vena, air leakdetector (penangkap udara),
karet tempat injeksi, klem vena dan arteri dan bagian untuk heparin (Misra,
2005). Fungsi dari BL adalah menghubungkan dan mengalirkan darah
pasien ke dialyzer selama proses hemodialisis
5) Fistula Needles
Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai ArteriVena Fistula
(AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK yang
akan menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu
warna merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena
e. Prosedur
Hemodialisa mencakup shunting / pengalihan arus darah dari tubuh pasien ke
dialisator dimana terjadi difusi dan ultrafiltrasi dan kemudian kembali ke sirkulasi
pasien. Untuk pelaksanaan hemodialisa terjadi yang masuk ke darah pasien, suatu
mekanisme yang mentraspor darah ke dan dari dialisator, dan dialisator
(daerah dimana terjadi pertukaran larutan elektrolit dan produk-produk sisa
berlangsung). Pengobatan dialisis berlangsung 3 sampai 5 jam tergantung
kepada tipe dialisator yang dipakai dan jumlah waktu yang yang diperlukan demi
koreksi cairan,elektrolit, asam basa dan masalaah produk sisa yang ada. Dialise
untuk masalah yang akut harus dilaksanakan tiap hari atau lebih sering
berdasarkan kondisi pasien yang masih menjamin. Hemodialisa bagi orang
dengan gaggal ginjal kronik biasanya dikerjakan dua atau tiga kali seminggu.
(Long, 1996).
f. Perawatan Pra Dialisa
Sebelum prosedur pasien harus merasa terbiasa dengan melihat unit dialise. Ia
harus mendapatkan penerangan apa yang akan dikerjakan dan apa yang
akan dirasakan pada waktu pengobatan berlangsung.
Pasien biasanga ingin mengetahuhi :
a. Bentuk rasa nyeri yang bagaimana yang akan dialami selama
pengobatan
b. Berapa lama dan berapa kali dialisis akan dilakukan
c. Apakan yang dirasakn selama dan setelah pengobatan (hemodialisa)
d. Apa yang harus dikerjakan pada waktu dialise
e. Keluarga pasien dapat hadir pada waktu terapi.
Kegiatan pemantauan selama pada tahap ini meliputi :
a. Mencatat berat badan
b. Mengetahui garis dasar gejala vital
c. Mengakaji kebanyakan cairan (udim pada pedis, periorbital,
distensi
d. vena leher kelainan bunyi nafas)
e. Pengkajian kelancaran masuk ke vaskular dan gejala infeksi
Bahan darah diambil untuk pemeriksaan kadar elektrolit dalam serum
dan produk sisa dan status fisik pasien dikaji.Harus diberitahukan kepada pasien
bahwa ia akan mengalami sedikit sakit kepala dan mual pada waktu
pengobatan dan beberapa jam sesudahnya. Sakit kepalaadalah dampak dari
perubahan cairan, asam dan basa, dan keseimbangan produk sisa selama dialisis.
Gejala-gejala tersebut tidak boleh parah dan harus menjadi kurang setelah istirahat
dan tidur, analgetik ringan atau anti piretik. Hipertensi postural bisa juuga terjadi
dialisis, sifatnya transit dan disebabkan oleh kekurangan volume sekunder
dampak dari pergeseran.hipotensi menyebabkan pusing dan kelenger. Dapat
disembuhkan dengan istirahat beberapa jam. Pasien harus diyakinkan bahwa
semua gejala tersebut adalah akan mereda, seringnya dipantau pada waktu
sedang dilakukan prosedur dapat mengendalikan tingkat perubahan yang
terjadi demikianjuga gejala-gejala tersebut. (Long, 1996)
g. Perawatan Pada Waktu Hemodialisa
Bila pada pasien dipasang shunt eksternal tidak akan timbul nyeri pada
permulaan dialise. Namun rasa nyeri sedikit akan tetap terasa bila sedang
dilakukan fungsi vena pada fistula arteriovena. Pada umumnya suka
dilakukan anesthesi dipusat-pusat dialise sebelum memasukan jarum.Asuhan
keperawatan terdiri dari peningkatan kenyamanana fisik. Berbaring tanpa
gerakan meskipun berlangsung beberapa jam dapat menimbulkan
ketidaktenangan. Pergantian posisi dapat memberi kesadaran kepada
keterbatasan gerakan.Pasien perlu berkumur bila mual dan muntah. Karena
ekstremitas atas dipertahankanimobilitas pada waktu dialisa pasien perlu
dibantu bila ada kegiatan yang dilakukan pakai kedua tangan.Aktifitas pada
waktu dialisis hanya merupakan pilihan dari pasien. Sementara orang terus tidur
selama pengobatan, yang lain membaca atau menegerjakan sesuatu.Makan sedang
dialise merupakan pilihan inddividu saja. Sementara orang bisa menjadi sangat
lapar, sedangkan yang lain jadi mual karena bau darah. Para pasien menghendaki
makan pada waktu dialise yang pada umumnya tidak diizinkan. Dalam praktek
yang baik mengizinkan atau memperbolehkan makan pada waktu dialise
adalah merupakan fisiologi masing-masing unit. Karena seringnya mual dan
muntah dan disequilibilibrium yang sering dialami pasien lebih baik untuk
tidak memperbolehkan makan pada waktu dialise agar dapat mencegah
aspirasi yang potensial (Long, 1996).
10. Pathways
Infeksi bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella-Enterobacter, Obstruksi urin urolitiasis
Pseudomonas Aerogenosa, Serratia, Entero Cocci,
Staphylococcus)
Produksi Hb turun
Sekresi protein terganggu Gangguan peristaltik ureter
Oksihemoglobin turun
Sindrom uremia Urokom Rusaknya lapisan glycoprotein mucin layer
tertimbun di
kulit Ketidakefektifan perfusi Suplai O2 turun Intoleransi
Gang. Keseimbangan jaringan perifer aktivitas
Membentuk koloni, menembus epitel
asam-basa
Gatal pada kulit
Payah jantung kiri Bendungan atrium
Prod.asam naik inflamasi
kiri naik
Resiko kerusakan
integritas kulit
Bakteri di saluran kemih naik ke ginjal
Nausea vomiting COP turun Tek.vena pulmonalis
Kelebihan vol.cairan
preload naik dan beban
jantung naik
2) Diagnosa Keperawatan
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
b) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan hipermetabolisme, nausea, vomitting, intake kurang
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
d) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder.
e) Kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit, gangguan turgor kulit atau uremia, pruritus.
3) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan
5. Resiko kerusakan Setelah dilakukan 1. Integritas kulit yang NIC: 1. Mengetahui keadaan
intregitas kulit tindakan keperawatan baik bisa kulit pasien jika
berhubungan dengan selama 1x24 jam dipertahankan Pressure management mengalami kerusakan
akumulasi toksik 2. Melaporkan adanya integritas jaringan
diharapkan kerusakan 1. Inspeksi kulit terutama pada tulang-
dalam kulit, gangguan sensasi 2. Pasien merasa
gangguan turgor kulit integritas kulit tidak atau nyeri pada tulang yang menonjol dan titik-titik nyaman untuk
atau uremia, pruritus terjadi daerah kulit yang tekanan ketika merubah posisi keadaan tirah baring
mengalami pasien. yang lama
NOC: gangguan 2. Anjurkan pasien untuk 3. Meminimalkan resiko
3. Mampu melindungi menggunakan pakaian yang longgar kerusakan intergritas
Tissue integrity: skin and 3. Hindari kerutan pada tempat tidur
kulit dan kulit
mucous membranes mempertahankan 4. Jaga kebersihan kulit agar tetap 4. Kelembapan dan
kelembapan kulit bersih dan kering kebersihan kulit tetap
dan perawatan alami 5. Mobilisasi pasien (ubah posisi terjaga
pasien) setiap dua jam sekali 5. Tidak terjadi
6. Monitor kulit akan adanya komplikasi ulkus
kemerahan dekubitus akibat tirah
baring
6. Mengetahui kondisi
kulit pasien
DAFTAR PUSTAKA
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. Jakarta: EGC
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC
Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
Syamsir, Alam dkk. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.