Riau 1957
Kebulatan tekad rakyat Riau untuk membentuk provinsi sendiri lahir melalui
Kongres Rakyat Riau (KRR) ke-1 yang berlangsung di Pekanbaru, 31 Januari
hingga 2 Februari 1956.
Kongres Rakyat Riau tersebut meskipun tidak mendapat restu, tapi Gubernur
Sumatera Tengah Ruslan Mulyohardjo turut serta hadir. Seluruh bupati juga
hadir seperti :
Bupati Kabupaten BENGKALIS, BA Mochtar,
Bupati INDRAGIRI, Abdul Rachman,
Bupati KAMPAR, Ali Loeis
dan Bupati KEPULAUAN RIAU, Rakanaljan.
Riau yang kala itu memiliki penduduk 750.000 jiwa dinilai telah layak menjadi
provinsi sendiri. Riau akan berkembang jika rakyatnya memiliki inisiatif dan
aktif.
Namun, jika rakyat di provinsi ini hanya pasif, maka daerah ini akan sulit
berkembang. Usulan membagi Provinsi Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi
juga dilandasi pada kondisi daerah masing-masing.
Amanat yang dihasilkan dari KRR I menjadi tugas berat bagi Panitia Persiapan
Provinsi Riau (PPPR) yang berpusat di Pekanbaru dan Badan Penghubung yang
berpusat di Jakarta. Badan Penghubung yang dipimpin oleh Wan Ghalib
menjadi ujung tombak bagi perjuangan pembentukan Provinsi Riau.
Badan Penghubung bertugas menjalankan tugas-tugas dari PPPR. Badan
Penghubung juga diberikan kewenangan mengambil inisiatif demi kelancaran
perjuangan sepanjang tidak menyimpang dari kesepakatan Kongres Rakyat
Riau.
Kami terpaku, bisu, tubuh ringan melayang, kuping berdesing, kami tetap
terdiam tanpa ada reaksi apa-apa,’’ kata Wan Ghalib ketika Mendagri
menyampaikan Provinsi Riau resmi diteken Presiden Soekarno.
Kabar lahirnya Undang Undang ini diterima langsung oleh Ketua Badan
Penghubung Wan Ghalib beserta Wakil Ketua DM Yanur dari Menteri
DalamNegeri Sanusi Hardjadinata. Menteri mengatakan bahwa Undang Undang
ini akan diundangkan dalam Lembaran Negara oleh Menteri Kehakiman GA
Maengkom pada tanggal 10 Agustus 1957.
Sepanjang perjalanan tidak ada terbesit hari itu akan menjadi hari bersejarah
bagi seluruh masyarakat Riau. Sesampai di kantor Mendagri, beberapa saat
menunggu akhirnya Mendagri mempersilahkan masuk ke ruangannya.
"Kami terpaku, bisu, tubuh ringan melayang, kuping berdesing, kami tetap
terdiam tanpa ada reaksi apa-apa," kata Wan lagi, mengenang.
Dengan lahirnya undang-undang ini, maka dengan sendirinya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 tahun 1950 yang
menggabungkan Sumatera Barat, Jambi dan Riau dalam wadah pemerintahan
Sumatera Tengah dinyatakan batal.
Pada "MALAM RIAU" inilah awal mula tampilnya lagu LANCANG KUNING
yang menjadi LAGU DAERAH Provinsi Riau sampai saat ini. Penetapan Riau
menjadi Provinsi juga disambut gembira hampir di seluruh pelosok negeri Riau.
Masyarakat dengan caranya masing-masing melakukan perayaan dengan penuh
kebahagian.
Suatu pagi menjelang siang di bulan Juli 1954. Udara sedikit panas dan
berdebu. Aktivitas Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta sibuk. Calon
penumpang didominasi oleh tentara. Hanya beberapa gelintir saja orang sipil.
Hari itu terlihat seorang pemuda sedikit kurus. Ia menunggu kesempatan untuk
dapat menumpang pesawat yang akan ke Padang. Tujuannya adalah Pekanbaru
lewat jalan darat. Ia bersama empat orang sipil lainnya bergegas naik pesawat
dan mendapat tempat duduk dekat jendela.
“Dia tokoh pergerakan di Riau yang mau memisahkan diri dari Sumatera
Tengah. Kalau ada di pesawat ini kami akan menangkapnya dan mengirimnya
ke Camp Situjuh, biar tahu rasa dia”
Jawab sang komandan PM dengan tegas. Kalau tak ada sekarang tak apa, besok
kita patroli lagi, ujarnya sembari memerintahkan anggotanya kembali ke mobil.
Letkol Hasan Basri pun berlalu. Yang komandan PM itu tidak tahu adalah
Letkol Hasan Basri salah seorang perwira Dewan Banteng yang intelektual dan
kenal baik dengan Wan Ghalib.
Letkol. Hasan Basri faham apa yang diperjuangkan aktivis pergerakkan Riau
itu. Secara diam-diam, Letkol. Hasan Basri memberitahukan kepada teman Wan
Ghalib dan meminta agar aktivis itu tidak pulang ke Pekanbaru, karena sudah
ditunggu dan akan dikirim ke Camp Situjuh.
Akhirnya Wan Ghalib pun batal pulang ke Pekanbaru. Mengapa saya katakan
ini pertolongan Allah SWT, jika letkol Hasan Basri tidak berangkat , maka kami
tidak akan tahu bahwa saya sedang dicari-cari ole PM Dewan Banteng,ujar Wan
Ghalib.
Jika sudah masuk dan diantar ke camp jawabannya pasti mati, tidak ada yang
selamat jika sudah berada di dalam Camp tersebut. Saya termasuk tokoh yang
paling dicari untuk dimasukkan kedalam Camp Situjuh tersebut.
*(Wan Ghalib).
Menurut Wan Ghalib penderitaan demi penderitaan dialami rakyat Riau saat
menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah tersebut. Berbagai sendi
kehidupan tidak ada yang maju. Rakyat banyak yang miskin, pendidikan
terabaikan apalagi sarana dan prasarana infrastruktur seperti jalan, jembatan dan
sebagainya. Ketidakadilan sangat dirasakan, kekayaan yang dimiliki negeri
yang bernama Riau itu terus dikeruk habis, tidak ada yang dikembalikan ke
Riau, semuanya diangkut ke ibukota provinsi Sumatera Tengah yang
berkedudukan di Sumatera Barat dan kemudian dikirim ke ke Jakarta.
Pedih dan derita ditanggung rakyat Riau , hasil kekayaan negeri yang dimiliki
tidak dirasakan rakyat. Pedih sangat pedih penderitaan yang dialami rakyat Riau
ketika masih bersama dengan Provinsi Sumatera Tengah itu.
*(Wan Ghalib).
Ketika itu Riau tidak dipandang, kekayaan yang ada diambil dan dikeruk habis
dan dibawa dan tidak ada yang dibalikkan untuk membangun berbagai
kepentingan Riau.
Orang-orang Riau yang menjadi camat, bupati maupun gubernur mereka ganti
dengan orang-orang mereka yang berasal dari luar Riau. Saat itu, orang Riau
tidak menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri, semuanya dikuasai oleh orang
lain, ujar Wan Ghalib.
SMA pada ketika itu di Riau hanya ada di Tanjung Pinang, itupun bukan
dibangun oleh Pemerintah Provinsi akan tetapi sekolah peninggalan Belanda.
SMA yang ada di Pekanbaru juga bukan dibangun oleh Pemerintah akan tetapi
Swasta dalam hal ini PT Caltex Pacifik Indonesia. Inilah selanjutnya menjadi
cikal bakal Rakyat Riau berontak.
Jika terus seperti ini, Riau tidak akan maju-maju. Selagi Riau masih dibawah
Provinsi Sumatera Tengah orang Riau tidak akan hidup berkembang, selagi
masih bernaung dibawah Provinsi Sumatera Tengah orang Riau tidak bisa hidup
di kampungnya sendiri.
Tindakan penguasa saat itu sangat melukai hati rakyat, karenanya mulailah
muncul perlawanan-perlawanan dan diwacana Pembentukan Provinsi Riau.
*(Wan Ghalib).
Pada Kongres Rakyat Riau (KRR), maka disepakati lah pembentukkan Badan
Penghubung Panitia Persiapan Provinsi Sumatera Tengah, kami dengan niat
yang mantap berangkat ke Jakarta guna memperjuangakan Provinsi Riau,ujar
Wan Ghalib.
Pernah Isteri saya bilang “jika sudah terbentuk Provinsi Riau, kembalikan uang
belanja saya”. Tak tahu siang atau malam, kami terus berjuang, tutur Wan
mengisahkan masa lalunya.
Hampir 2,5 tahun perjuangan untuk memisahkan diri dari Provinsi Sumatera
Tengah mulai menemui titik terang setelah diberlakukan UU darurat tanggal 9
Agustus tahun 1957.
Nama saya juga dimasukkan sebagai salah seorang anggota DPR, namun saya
tolak sebab mereka tidak berhak membentuk itu dan Pemerintah Indonesia
sendiri sudah tegas membentuk Provinsi Riau,ujarnya.
Upaya lobi ke Mendagri yang saat itu Sanusi Hardja terus dilakukan dan kami
katakana :
“Sebaiknya pembentukkan Provinsi Riau jangan lewat dari tanggal 31 Agustus
karena pada tanggal tersebut Malaysia akan merdeka, karenanya dikhawatirkan
akan ada gerakan-gerakan untuk bergabung dengan Malaysia”.
Mendagri pada ketika itu menjawab akan diusahakan dan keinginan itu akhirnya
terwujud. Isu akan ada “Gerakan untuk bergabung dengan Malaysia” itu
memang sengaja kami sampaikan agar pembentukkan Provinsi Riau itu bisa
terwujud segera dan Alhamdulillah pada akhirnya keinginan itu terwujud dan
sampai saat ini Riau menjadi salah satu Provinsi terkemuka di Indonesia,
ujarnya lagi.
Setelah resmi menjadi Provinsi Riau, maka selanjutnya dilantiklah Gubernur
Riau yang pertama MR SM Amin pada tanggal 3 Maret 1958. Setelah
terbentukpun masih banyak kerja yang harus diselesaikan terutama sekali
menumpas para anggota Dewan Banteng yang masih enggan mengakui Provinsi
Riau.
Hingga saat ini, kisah penzholiman terhadap Provinsi Riau masih berlanjut,
ketidak adilan Birokrasi di Pemerintahan Pusat pada masa Orde Baru terutama
dalam Keadilan Pemerataan Pembangunan, Keadilan Pembagian DBH
Migas,Infrastruktur, Kelistrikan, dan lain-lain dikarenakan Regulasi masih
dipegang sesuai dengan kebijakkan Pusat hingga pasca Reformasi
menghantarkan Riau menuju sebuah wacana khusus yaitu Otonomi Khusus
Provinsi Riau.