Anda di halaman 1dari 16

Sejarah Perjuangan Pembentukan Provinsi

Riau 1957

“KAMI TERPAKU, BISU, TUBUH MELAYANG, KUPING BERDESING,


KAMI TETAP TERDIAM TANPA ADA REAKSI APA-APA”
(Alm.H.Wan Ghalib)

Tokoh sentral dalam perjuangan pembentukan Provinsi Riau. Bapak (Alm) H.


Wan Ghalib mendedahkan kronologis perjuangan sejarah berdirinya Provinsi
Riau.

Sejarah Perjuangan Pembentukan Provinsi Riau


Undang-Undang Darurat tanggal 9 Agustus tahun 1957
Awal keinginan untuk menjadikan residen Riau sebagai sebuah provinsi,
dilatarbelakangi untuk sebuah keadilan bagi masyarakat Riau. Karena memang
Provinsi Sumatera Tengah yang memiliki tiga Residen yaitu Jambi, Riau, dan
Sumbar.

Karena pusat pemerintahan terdapat di Residen Sumatera Barat, Riau memang


tidak terlalu terperhatikan oleh pemerintah provinsi.
Keinginan membentuk Provinsi Riau juga didasari pada keinginan untuk
mewujudkan otonomi seluas-luasnya. Tanpa membentuk provinsi sendiri,
otonomi luas yang didengung-dengungkan pemerintah pusat dinilai sulit untuk
dilaksanakan.

Keinginan tersebut dimulai dengan membentuk provinsi sudah digaungkan


melalui pembentukan Panitia Persiapan Provinsi Riau (PPPR) pada rapat Panitia
Persiapan Provinsi Riau, 2-6 Desember 1955. PPPR dipimpin oleh :
H Abdul Hamid Yahya sebagai Ketua
HM Amin sebagai Wakil Ketua
T Kamarulzaman sebagai Sekretaris.
Sejumlah nama seperti :
Zaini Kunin,
Ridwan Taher,
dan H Abdullah Hasan
juga masuk dalam anggota PPPR.
PPPR yang beranggotakan 60 orang dalam beberapa kali rapatnya,
berkesimpulan bahwa untuk mewujudkan terbentuknya Provinsi Riau
diperlukan adanya Kongres Rakyat Riau.

Kebulatan tekad rakyat Riau untuk membentuk provinsi sendiri lahir melalui
Kongres Rakyat Riau (KRR) ke-1 yang berlangsung di Pekanbaru, 31 Januari
hingga 2 Februari 1956.

Kongres Rakyat Riau I merupakan langkah besar yang melandasi terbentuknya


Provinsi Riau. Kongres ini dihadiri 277 perwakilan dari empat kabupaten, yaitu
Indragiri, Kepulauan Riau, Kampar dan Bengkalis. Selain utusan dari
kabupaten, kongres ini juga dihadiri peninjau yang jumlahnya mencapai 700
orang.

Dari kongres inilah kebulatan tekad untuk membentuk Provinsi Riau


terlahirkan. Seluruh masyarakat Pekanbaru dan Riau umumnya bersatu, bahkan
warga sudah menyiapkan rumahnya untuk menampung para peserta kongres.
Karena memang Pekanbaru dulunya belum ada apa-apanya, jangankan hotel,
tempat pelaksanaan kongres saja dilaksanakan di gedung Kaum Wanita Islam.
*(Wan Ghalib).

Kongres Rakyat Riau tersebut meskipun tidak mendapat restu, tapi Gubernur
Sumatera Tengah Ruslan Mulyohardjo turut serta hadir. Seluruh bupati juga
hadir seperti :
Bupati Kabupaten BENGKALIS, BA Mochtar,
Bupati INDRAGIRI, Abdul Rachman,
Bupati KAMPAR, Ali Loeis
dan Bupati KEPULAUAN RIAU, Rakanaljan.

Riau yang kala itu memiliki penduduk 750.000 jiwa dinilai telah layak menjadi
provinsi sendiri. Riau akan berkembang jika rakyatnya memiliki inisiatif dan
aktif.

Namun, jika rakyat di provinsi ini hanya pasif, maka daerah ini akan sulit
berkembang. Usulan membagi Provinsi Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi
juga dilandasi pada kondisi daerah masing-masing.

Rakyat Riau banyak bergantung kepada sektor perikanan dan kelautan.


Sedangkan Sumatera Barat lebih banyak bergantung kepada sektor pertanian.

Pembentukan Provinsi Riau, berpisah dari Provinsi Sumatera Tengah sudah


menjadi sebuah ikrar mati bagi seluruh masyarakat Riau. Sehingga perjuangan
untuk mewujudkan hal itu mendapat dukungan luas dari masyarakat. Kongres
Rakyat Riau (KRR I) yang dilaksanakan selama tiga hari, benar-benar
menggambarkan sebuah perjuangan yang merata. Semua elemen, baik tokoh,
politisi, dan masyarakat larut dalam sebuah euforia perjuangan yang padu. Tak
heran, dalam KRR I itu, tidak ada perbedaan pendapat yang berujung
perpecahan.

Perjuangan sebelumnya masih bersifat berkelompok, namun karena tekad sudah


kuat, maka seluruh kelompok masyarakat tersebut sudah mulai melakukan
rapat-rapat untuk menyatukan dan menyamakan persepsi perjuangan
pembentukan Riau, *(Wan Ghalib).

Kongres tersebut berakhir 2 Februari 1956, dan berhasil melahirkan beberapa


keputusan penting. Keputusan itu meliputi, PERTAMA, menuntut supaya
daerah Riau yang meliputi Kabupaten Kampar, Indragiri, Bengkalis dan
Kepulauan Riau dijadikan daerah otonom setingkat provinsi. KEDUA,
memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan Rakyat Riau.
Selanjutkan kongres juga menghasilkan beberapa keputusan yang intinya,
bahwa pemerintah harus mempercepat seluruh proses keinginan dari 750.000
jiwa masyarakat Riau tersebut.

Perjuangan setelah KRR I berakhir tidak hanya dipusatkan di Pekanbaru,


bahkan sampai ke tingkat pusat. Dengan tujuan agar pihak pemerintah pusat
bisa langsung mengetahui keinginan masyarakat Riau tersebut.

Untuk melaksanakan tujuan tersebut, kongres menugaskan PPPR untuk


mengirimkan resolusi kepada pemerintah dan DPR. Kongres juga menugaskan
PPPR untuk menyelenggarakan dan melaksanakan segala pekerjaan guna
mencapai tujuan tuntutan tersebut *(Wan Ghalib).

Amanat yang dihasilkan dari KRR I menjadi tugas berat bagi Panitia Persiapan
Provinsi Riau (PPPR) yang berpusat di Pekanbaru dan Badan Penghubung yang
berpusat di Jakarta. Badan Penghubung yang dipimpin oleh Wan Ghalib
menjadi ujung tombak bagi perjuangan pembentukan Provinsi Riau.
Badan Penghubung bertugas menjalankan tugas-tugas dari PPPR. Badan
Penghubung juga diberikan kewenangan mengambil inisiatif demi kelancaran
perjuangan sepanjang tidak menyimpang dari kesepakatan Kongres Rakyat
Riau.

Anggota Badan Penghubung awalnya terdiri dari :


Wan Ghalib (Ketua),
A Djalil (sekretaris)
dan anggota yang terdiri dari :
M Sabir,
Ali Rasahan,
Azhar Husni,
T Arief,
Dt Bendaro Sati,
Nahar Efendi,
dan Kamarudin R.

Setelah dilakukan perombakan anggotanya berubah menjadi :


Wan Ghalib (Ketua),
A Djalil M (sekretaris)
dan anggota terdiri dari :
T Arief,
DM Yanur,
Kamaruddin AH,
Hasan Ahmad,
A Manaf Hadi,
Azhar Husni,
dan Hasan Basri.

Perjuangan pembentukan provinsi juga dilakukan melalui parlemen. Terdapat


satu putra terbaik Riau yang duduk di parlemen pada waktu itu adalah Marifat
Mardjani dari unsur partai. Dalam setiap kesempatan Marifat Mardjani selalu
menyuarakan tuntutan pembentukan Provinsi Riau di parlemen. Putra asal
KUANSING ini merupakan seorang Tokoh yang sangat konsen dalam
menuntut ke pemerintah pusat agar Riau menjadi Provinsi.
Bahkan dalam berbagai kesempatan, ia mencoba melakukan lobi-lobi politik
kepada anggota DPR lainnya. Dengan gaung yang dilakukan oleh almarhum
Marifat Mardjani tersebut, tentang keinginan membentuk Provinsi sendiri
berpisah dari Provinsi induk, membuat Pemerintah Pusat sedikit memperhatikan
keinginan ini. Keinginan yang besar tersebut tidak mampu dibendung pihak
manapun, sehingga beberapa waktu, usai pelaksanaan Kongres Rakyat Riau I
tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Tengah mulai melunak dan tidak
mampu untuk membendungnya. *(Wan Ghalib).

Kami terpaku, bisu, tubuh ringan melayang, kuping berdesing, kami tetap
terdiam tanpa ada reaksi apa-apa,’’ kata Wan Ghalib ketika Mendagri
menyampaikan Provinsi Riau resmi diteken Presiden Soekarno.

KABAR GEMBIRA bagi rakyat Riau akhirnya tersiar ketika Presiden


Soekarno, akhirnya menandatangani Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun
1957 tanggal 9 Agustus 1957 di Bali. Undang-undang ini menyatakan
pembentukan daerah-daerah tingkat I, yaitu Sumatera Barat, Jambi dan Riau.
Hingga saat ini Tanggal 9 AGUSTUS di peringati sebagai HARI JADI
PROVINSI RIAU.

Kabar lahirnya Undang Undang ini diterima langsung oleh Ketua Badan
Penghubung Wan Ghalib beserta Wakil Ketua DM Yanur dari Menteri
DalamNegeri Sanusi Hardjadinata. Menteri mengatakan bahwa Undang Undang
ini akan diundangkan dalam Lembaran Negara oleh Menteri Kehakiman GA
Maengkom pada tanggal 10 Agustus 1957.

"Pagi JUM’AT tanggal 9 AGUSTUS saya dijemput D M Yanur Wakil Ketua


Badan Penghubung di Jakarta dengan menggunakan mobil pribadinya, melaju
untuk menghadap Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata,"
*(Wan Ghalib).

Sepanjang perjalanan tidak ada terbesit hari itu akan menjadi hari bersejarah
bagi seluruh masyarakat Riau. Sesampai di kantor Mendagri, beberapa saat
menunggu akhirnya Mendagri mempersilahkan masuk ke ruangannya.

"Tadi malam kabinet sudah bersidang, termasuk membicarakan masalah


Provinsi Riau. Sidang kabinet menyetujui, membagi Provinsi SumateraTengah
menjadi tiga provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau dengan
Undang Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 yang ditandatangani Presiden
Seokarno," ungkap Mendagri ketika itu, seperti ditirukan Wan Ghalib.

Informasi dari Mendagri yang menggembirakan itu tidak membuat suasana


menjadi riuh rendah.

"Kami terpaku, bisu, tubuh ringan melayang, kuping berdesing, kami tetap
terdiam tanpa ada reaksi apa-apa," kata Wan lagi, mengenang.
Dengan lahirnya undang-undang ini, maka dengan sendirinya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 tahun 1950 yang
menggabungkan Sumatera Barat, Jambi dan Riau dalam wadah pemerintahan
Sumatera Tengah dinyatakan batal.

Setelah mengirim berita ke Tanjungpinang, kembali Badan Penghubung


mengirim rilis ke seluruh surat kabar yang ada di Ibu Kota tentang keputusan
Riau menjadi Provinsi terpisah dari Provinsi Sumatera Tengah. Beberapa
elemen masyarakat Riau di Jakarta seperti :
Ikatan Warga Riau,
Ikatan Pelajar Riau,
dan Badan Penghubung, sepakat untuk menyiarkan informasi ini secara besar-
besaram atas kelahiran Provinsi Riau.

Setelah adanya keputusan ini selanjutnya dipersiapkanlah perayaan menyambut


Provinsi Riau dengan mengadakan malam syukuran dan malamsyukuran ini
diberi nama "MALAM RIAU".

Dibentuklah suatu panitia pelaksana yang diketuai DM Yanu. Pada ‘’Malam


Riau’’ ini akan ditampilkan kesenian daerah Riau. Dan tamu yang diundang
termasuk beberapa menteri seperti :
Menteri Agraria,
Menteri Urusan antara Daerah,
Sri Sultan Siak,
dan Mendagri.

Pada "MALAM RIAU" inilah awal mula tampilnya lagu LANCANG KUNING
yang menjadi LAGU DAERAH Provinsi Riau sampai saat ini. Penetapan Riau
menjadi Provinsi juga disambut gembira hampir di seluruh pelosok negeri Riau.
Masyarakat dengan caranya masing-masing melakukan perayaan dengan penuh
kebahagian.

Keputusan penetapan UU pada tanggal 9 Agustus 1957 tersebut menjadi hari


paling bersejarah bagi seluruh masyarakat Riau. Keputusan tersebut merupakan
keputusan yang terbaik demi untuk membawa masyarakat Riau ke arah yang
lebih baik.

"Namun perubahan dan kemajuan tersebut bukanlah akhir dari seluruh


perjuangan. Karena dari total masyarakat Riau sebanyak 5 juta jiwa, masih ada
13,30 persen lagi masyarakat Riau yang hidup dalam garis kemiskinan,".

Suatu pagi menjelang siang di bulan Juli 1954. Udara sedikit panas dan
berdebu. Aktivitas Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta sibuk. Calon
penumpang didominasi oleh tentara. Hanya beberapa gelintir saja orang sipil.
Hari itu terlihat seorang pemuda sedikit kurus. Ia menunggu kesempatan untuk
dapat menumpang pesawat yang akan ke Padang. Tujuannya adalah Pekanbaru
lewat jalan darat. Ia bersama empat orang sipil lainnya bergegas naik pesawat
dan mendapat tempat duduk dekat jendela.

Pemuda itu meletakkan bawaannya di dalam pesawat. Ia pun duduk sembari


meluruskan kakinya melepas penat. Namun belum sempat bernafas lega datang
pengumuman dari kokpit pesawat agar empat orang penumpang sipil segera
turun kembali dari pesawat karena ada empat orang tentara yang ada keperluan
ke Padang. Kecewa, tapi apa daya. Pemuda itu bersama empat orang sipil
lainnya pun turun. Mereka faham bahwa era itu adalah era-nya militerisme.
Selain tentara,masyarakat awam hanya dianggap warga kelas dua.
Ia hanya bisa melihat pesawat itu kemudian bergerak di landasan pacu dan
membumbung ke udara. Bersama harapannya ke Pekanbaru yang sirna.
Ia terpaksa menunggu pesawat keesokkan harinya. Ia hanya tak menyangka
bahwa Tuhan sedang menyelamatkannya. Udara cerah begitu pesawat mendarat
di Bandara Tabing, Padang . Sejumlah polisi militer (PM) dari Dewan Banteng
segera menyongsong pintu pesawat terbuka. Dengan senjata lengkap mereka
bertanya apa ada di penerbangan ini warga sipil. Ternyata mereka mencari
seseorang.

” Mana Wan Ghalib” , tanya komandan regu PM Banteng kepada sejumlah


tentara yang ada. Tak ada yang mengenalnya.
Komandan regu segera memberi hormat ketika seorang perwira TNI Letkol
Hasan Basri ikut turun dari pesawat. Mengapa mencari Wan Ghalib ?
Tanyanya kepada para Polisi Militer itu.

“Dia tokoh pergerakan di Riau yang mau memisahkan diri dari Sumatera
Tengah. Kalau ada di pesawat ini kami akan menangkapnya dan mengirimnya
ke Camp Situjuh, biar tahu rasa dia”

Jawab sang komandan PM dengan tegas. Kalau tak ada sekarang tak apa, besok
kita patroli lagi, ujarnya sembari memerintahkan anggotanya kembali ke mobil.
Letkol Hasan Basri pun berlalu. Yang komandan PM itu tidak tahu adalah
Letkol Hasan Basri salah seorang perwira Dewan Banteng yang intelektual dan
kenal baik dengan Wan Ghalib.

Letkol. Hasan Basri faham apa yang diperjuangkan aktivis pergerakkan Riau
itu. Secara diam-diam, Letkol. Hasan Basri memberitahukan kepada teman Wan
Ghalib dan meminta agar aktivis itu tidak pulang ke Pekanbaru, karena sudah
ditunggu dan akan dikirim ke Camp Situjuh.
Akhirnya Wan Ghalib pun batal pulang ke Pekanbaru. Mengapa saya katakan
ini pertolongan Allah SWT, jika letkol Hasan Basri tidak berangkat , maka kami
tidak akan tahu bahwa saya sedang dicari-cari ole PM Dewan Banteng,ujar Wan
Ghalib.

Sebelum Riau menjadi provinsi berdaulat (menjadi Provinsi sendiri), Riau


masih bergabung dengan Provinsi Sumtera Tengah yang Ibu Kotanya
berkedudukan di Sumatera Barat (Sumbar). Provinsi Sumatera Tengah sendiri
ketika itu wilayahnya Sumbar, Riau, dan Jambi.

Pembentukkan Provinsi Riau lepas dari Provinsi Sumatera Tengah mendapat


tantangan dari penguasa waktu itu. Jika ada saja masyarakat yang berbicara
tentang Provinsi Riau bersiap-siaplah akan dibawa ke Camp penjara di daerah
Situjuh. Pada masa itu sangat banyak aktivis Riau yang diantar dan dibuang ke
Camp Situjuh tersebut.

Jika sudah masuk dan diantar ke camp jawabannya pasti mati, tidak ada yang
selamat jika sudah berada di dalam Camp tersebut. Saya termasuk tokoh yang
paling dicari untuk dimasukkan kedalam Camp Situjuh tersebut.
*(Wan Ghalib).

Menurut Wan Ghalib penderitaan demi penderitaan dialami rakyat Riau saat
menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah tersebut. Berbagai sendi
kehidupan tidak ada yang maju. Rakyat banyak yang miskin, pendidikan
terabaikan apalagi sarana dan prasarana infrastruktur seperti jalan, jembatan dan
sebagainya. Ketidakadilan sangat dirasakan, kekayaan yang dimiliki negeri
yang bernama Riau itu terus dikeruk habis, tidak ada yang dikembalikan ke
Riau, semuanya diangkut ke ibukota provinsi Sumatera Tengah yang
berkedudukan di Sumatera Barat dan kemudian dikirim ke ke Jakarta.

Pedih dan derita ditanggung rakyat Riau , hasil kekayaan negeri yang dimiliki
tidak dirasakan rakyat. Pedih sangat pedih penderitaan yang dialami rakyat Riau
ketika masih bersama dengan Provinsi Sumatera Tengah itu.
*(Wan Ghalib).

Berkat informasi Letkol. Hasan Basri ia pun membatalkan niatnya pulang ke


Pekanbaru. Ia kemudian bertahan di Jakarta dan kemudian menjadi Ketua
Badan Penghubung Panitia Persiapan Provinsi Riau di Jakarta.

Ketika itu Riau tidak dipandang, kekayaan yang ada diambil dan dikeruk habis
dan dibawa dan tidak ada yang dibalikkan untuk membangun berbagai
kepentingan Riau.

Rakyatpun hidup dengan melarat, pendidikan rakyat tidak diperhatikan,


akibatnya rakyat menjadi bodoh. Lebih lanjut Wan Ghalib menceritakan bahwa
Provinsi Sumatera Tengah yang pada ketika itu dikuasai militer yakni Dewan
Banteng memang sangat semena-mena dalam memerintah.

Orang-orang Riau yang menjadi camat, bupati maupun gubernur mereka ganti
dengan orang-orang mereka yang berasal dari luar Riau. Saat itu, orang Riau
tidak menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri, semuanya dikuasai oleh orang
lain, ujar Wan Ghalib.

Upaya-upaya pembodohan terhadap masyarakat Riau terus dilakukan. Sebagai


daerah yang memiliki kekayaan alam yang juga sebagai penopang
pembangunan Sumatera Tengah, di Riau malah tidak ada sekolah sama sekali.
Sementara ibukota Sumatera Tengah sana, di semua kecamatan berdiri sekolah-
sekolah mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Mereka bangun sekolah dan berbagai sarana
infrastruktur lainnya di Ibu Kota Sumatera Tengah dengan kekayaan negeri
Riau ini. Bahkan, Universitas yang ada sekarang itu dibangun dengan
menggunakan hasil kekayaan ikan dari Bagansiapi-api, sementara Riau tidak
diperhatikan dan dibiarkan.*(Wan Ghalib).

SMA pada ketika itu di Riau hanya ada di Tanjung Pinang, itupun bukan
dibangun oleh Pemerintah Provinsi akan tetapi sekolah peninggalan Belanda.
SMA yang ada di Pekanbaru juga bukan dibangun oleh Pemerintah akan tetapi
Swasta dalam hal ini PT Caltex Pacifik Indonesia. Inilah selanjutnya menjadi
cikal bakal Rakyat Riau berontak.

Jika terus seperti ini, Riau tidak akan maju-maju. Selagi Riau masih dibawah
Provinsi Sumatera Tengah orang Riau tidak akan hidup berkembang, selagi
masih bernaung dibawah Provinsi Sumatera Tengah orang Riau tidak bisa hidup
di kampungnya sendiri.

Tindakan penguasa saat itu sangat melukai hati rakyat, karenanya mulailah
muncul perlawanan-perlawanan dan diwacana Pembentukan Provinsi Riau.
*(Wan Ghalib).

Pada Kongres Rakyat Riau (KRR), maka disepakati lah pembentukkan Badan
Penghubung Panitia Persiapan Provinsi Sumatera Tengah, kami dengan niat
yang mantap berangkat ke Jakarta guna memperjuangakan Provinsi Riau,ujar
Wan Ghalib.

Sejak diamanahkan untuk berjuang di Jakarta bersama sembilan teman yang


lain masing-masing :
Kamaruddin,
Tengku Arief,
Abdul Manaf Hadi,
Hasan Ahmad,
Aidir Sani,
Azhar Husni,
Abdul Jalil M (Sekretaris),
DM Yanur (Wakil Ketua),
Wan Ghalib (Ketua).

Secara perlahan namun pasti upaya lobi ke Departemen Dalam Negeri


(Depdagri) terus dilakukan. Untuk berjuang membentuk Provinsi tersendiri,
menurut Wan Ghalib lagi mereka tidak pernah mendapatkan uang sedikitpun.
Pandai-pandai kamilah di Jakarta berjuang, terkadang uang belanja, isteri kami
pakai untuk berjuang.

Pernah Isteri saya bilang “jika sudah terbentuk Provinsi Riau, kembalikan uang
belanja saya”. Tak tahu siang atau malam, kami terus berjuang, tutur Wan
mengisahkan masa lalunya.

Susahnya membentuk provinsi itu, dikarenakan partai-partai yang berkuasa saat


itu dikuasai atau dipegang oleh saudara-saudara kita yang berasal dari Sumbar.
Mereka rata-rata yang menghalagi keinginan untuk pembentukkan Provinsi
Riau tersebut. Namun kami tak gentar, upaya lobi ke Depdagri dan menggalang
kekuatan media massa terus kami lakukan. Setiap hari di media massa harus ada
berita tentang keinginan pembentukkan Provinsi Riau, ujarnya.

Hampir 2,5 tahun perjuangan untuk memisahkan diri dari Provinsi Sumatera
Tengah mulai menemui titik terang setelah diberlakukan UU darurat tanggal 9
Agustus tahun 1957.

Di dalam Undang-Undang Darurat tanggal 9 Agustus tahun 1957. Di dalam


UU tersebut dinyatakan bahwa Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi tiga
Provinsi masing-masing Provinsi Sumbar, Riau dan Jambi. Namun Dewan
Banteng tidak setuju. Dewan Banteng selanjutnya membentuk Gubernur muda
Riau yang dipegang oleh Syamsu Nurdin yang kemudian dilanjutkan dengan
pembentukkan DPR.

Nama saya juga dimasukkan sebagai salah seorang anggota DPR, namun saya
tolak sebab mereka tidak berhak membentuk itu dan Pemerintah Indonesia
sendiri sudah tegas membentuk Provinsi Riau,ujarnya.

Upaya lobi ke Mendagri yang saat itu Sanusi Hardja terus dilakukan dan kami
katakana :
“Sebaiknya pembentukkan Provinsi Riau jangan lewat dari tanggal 31 Agustus
karena pada tanggal tersebut Malaysia akan merdeka, karenanya dikhawatirkan
akan ada gerakan-gerakan untuk bergabung dengan Malaysia”.

Mendagri pada ketika itu menjawab akan diusahakan dan keinginan itu akhirnya
terwujud. Isu akan ada “Gerakan untuk bergabung dengan Malaysia” itu
memang sengaja kami sampaikan agar pembentukkan Provinsi Riau itu bisa
terwujud segera dan Alhamdulillah pada akhirnya keinginan itu terwujud dan
sampai saat ini Riau menjadi salah satu Provinsi terkemuka di Indonesia,
ujarnya lagi.
Setelah resmi menjadi Provinsi Riau, maka selanjutnya dilantiklah Gubernur
Riau yang pertama MR SM Amin pada tanggal 3 Maret 1958. Setelah
terbentukpun masih banyak kerja yang harus diselesaikan terutama sekali
menumpas para anggota Dewan Banteng yang masih enggan mengakui Provinsi
Riau.

Hingga saat ini, kisah penzholiman terhadap Provinsi Riau masih berlanjut,
ketidak adilan Birokrasi di Pemerintahan Pusat pada masa Orde Baru terutama
dalam Keadilan Pemerataan Pembangunan, Keadilan Pembagian DBH
Migas,Infrastruktur, Kelistrikan, dan lain-lain dikarenakan Regulasi masih
dipegang sesuai dengan kebijakkan Pusat hingga pasca Reformasi
menghantarkan Riau menuju sebuah wacana khusus yaitu Otonomi Khusus
Provinsi Riau.

Anda mungkin juga menyukai