Anda di halaman 1dari 65

YAYASAN BRATA UTAMA BHAYANGKARA

MAKASSAR

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


KELUARGA

BY : MATHIUS T., S.Kep., M.MKep.

AKADEMI KEPERAWATAN MAPPAOUDANG


MAKASSAR
YAYASAN BRATA UTAMA BHAYANGKARA

MAKASSAR

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


KELUARGA

BY : MATHIUS T., S.Kep., M.MKep.

AKADEMI KEPERAWATAN MAPPAOUDANG


MAKASSAR
Daftar Isi
Refleksi Budaya dan Bertindak
Kontributor
Ucapan Terima Kasih
Kata Pengantar

Bab 1 Keperawatan Transkultural (Sudiharto)


Konsep Etnik dan Budaya
Konsep Dasar Keperawatan
Konsep Keperawatan Transkultural

Bab 2 Konsep Keluarga (Sudiharto)


Definisi Keluarga
Bentuk Keluarga
Struktur dan Fungsi Keluarga
Tumbuh-Kembang Keluarga
Pelaksanaan Pembangunan Keluarga Sejahtera
Peran Perawat Keluarga
Keluarga Sebagai Unit Fungsional Terkecil

Bab 3 Asuhan Keperawatan Keluarga


(Sudiharto, Wahyu Wdasdo)
Pengertian dan Tujuan Asuhan Keperawatan Keluarga
Misi Memberikan Asuhan Keperawatan Keluarga Berkualitas
Menggunakan Proses Keperawatan Sebagai Pendekatan
Penyelesaian Masalah
Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Keluarga
Intervensi Keperawatan Keluarga (Perencanaan)
Bab 4 Peran Puskesmas dalam Membangun Budaya Hidup Sehat Melalui
Asuhan Keperawatan Keluarga (Sudiharto)
Puskesmas Sebagai Unit Fungsional Terdepan dalam melaksanakan
Asuhan Keperawatan Keluarga
Visi dan Misi Puskesmas
Tata Kerja Puskesmas
Upaya dan Azas Penyelenggaraan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Bab 5 Peran Promosi Kesehatan dalam Membangun Kesehatan Sebagai


Gaya Hidup Keluarga (Sudiharto, Wahyu Widagdo)
Strategi Promosi Kesehatan
Perubahan Perilaku yang Diharapkan dalam Promosi Kesehatan
Metode dan Media Promosi Kesehatan di Keluarga

Bab 6 Perawat Keluarga (Sudiharto)


Tugas dan Wewenang Perawat Keluarga
Praktik Perawat Keluarga
Standar Praktik Asuhan Keperawatan Keluarga
BAB 1

KEPERAWATAN

TRANSKULTURAL

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :

1. Menjelaskan konsep etnik dan budaya,


2. Menjelaskan konsep dasar keperawatan,
3. Mendiskusikan konsep dasar keperawatan transkultural,
4. Mendiskusikan komunikasi lintas budaya,
5. Menjabarkan hubungan antara budaya dan makanan,
6. Mengidentifikasi budaya kesehatan di Indonesia.
KEPERAWATAN TRANSKULTURAL

Konsep Etnik dan Budaya

Etnik

Etnik adalah seperangkat kondisi spesifik yang dimiliki oleh kelompok


tertentu (kelompok etnik). Sekelompok etnik adalah sekumpulan individu yang
mempunyai budaya dan sosial yang unik serta menurunkannya kepada generasi
berikutnya (J-fenderson & Primeaux, 1981). Etnik berbeda dengan ras (rrice). Ras
merupakan sistem atau pengklasifikasian manusia berdasarkan karakteristik fisik,
pigmentasi, bentuk tubuh, bentuk wajah, bulu pada tubuh, dan bentuk kepala. Ada
tiga jenis ras yang umumnya dikenal, yaitu Kaukasoid, Negroid, dan Mongoloid.

Istilah atau terminology yang sering digunakan dalam konsep etnik dan
budaya adalah kelompok dominan dan kelompok minoritas. Kelompok dominan
adalah sekelompok komunitas yang memiliki otoritas karena mereka berfungsi
sebagai pengawal (guardian), yaitu mengendalikan sistem nilai dan memberi
ganjaran kepada masyarakat. Kelompok minoritas adalah sekelompok orang yang
mempunyai fisik atau karakteristik budaya yang berbeda dengan masyarakat
setempat sehingga mengalami perbedaan perlakuan (Kozier & Erb, 1995).
Kelompok dominan sering disebut kelompok masyarakat yang mayoritas,
misalnya orang Jawa di Indonesia. Kelompok dominan tidak selalu yang terbesar,
misalnya orang Padang yang mengalami perdagangan makanan matang (Rumah
Makan) di Indonesia.

Kelompok minoritas tidak selamanya kehilangan karakteristik budayanya


karena pengaruh kelomppok dominan, sebagai contoh kelompok etnik Jakarta asli
di Jakarta. Mereka dapat melakukan adaptasi dan mempertahankan budaya,
seperti Lenong, Ondel-ondel, Bir Pletok, Bajigur, Kerak telor, dan lain-lain. Hal
tersebut dapat kita temui saat pekan raya Jakarta. Proses ini disebut asimilasi
budaya atau akulturasi, yaitu suatu proses saling mengisi antarbudaya yang
berinteraksi. Sebagai contoh, orang Jawa yang bertransmigrasi ke Lampung tetap
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar antar transmigran. Akan
tetapi, mereka juga mempelajari bahasa Lampung untuk dapat berkomunikasi
dengan kelompok etnik setempat.

Budaya

Budaya adalah keyakinan dan perilaku  yang diturunkan atau diajarkan


manusia kepda generasi berikutnya (Taylor, 1989).budaya merupakan rencana
atau petunjuk untuk menentukan nilai nilai, keyakinan dan aktifitas (Andrews &
Boyle,1995).Menurut pandangan antropologi tradisional, budaya dibagi menjadi
dua, yaitu budaya material dan budaya non material. Budaya material dapat
berupa objek, seperti pakaian, seni, benda-benda kepercyaan (jimat), atau
makanan. Budaya nonmaterial mencakup kepercayaan, kebiasaan, bahasa, dan
institusi sosial.

Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan kara manusia yang di


biasakan dengan belajar, beserta hasil keseluruhan hasil budi dan karyanya
(Kuntjaraningrat, 1928 dalam napitupulu,1988). Budaya merupakan sebuah
rencana untuk melakukan kegiatan tertentu (Leininger, 1991). Menurut pengertian
di atas, budaya adalah nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini oleh perawat
untuk melakukan asuhan keperawatan.
Menurut konsep budaya Leininger (1978; 1984), karakteristik budaya
dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Budaya adalah pengalaman yang bersifat
universal sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis; (2) budaya bersifat
stabil, tetapi dinamis karena budaya diturunkan kepada generasi berikutnya
sehingga mengalami perubahan; dan (3) budaya diisi dan ditentukan oleh
kehidupan manusianya  sendiri tanpa disadari.
 Menurut Taylor (1989),karakteristik budaya mencakup:manusia
mempelajari budaya sepanjang pengalaman hidupnya, orang tua menularkan
budaya kepada anak-anak mereka, interaksi dengan manusia lain dapat
mengembangkan budaya, budaya selalu mengalami adaptasi  setiap saat, elemen-
elemen budaya memiliki kecenderungan  yang bersifat konsisten  setiap saat dan
terintegrasi secara sistematis (seperti sistem kepercayaan dan perilaku yang
mempengaruhinya). Budaya membentuk citra atau objek yang dipikirkan, dan
budaya mengalami adaptasi setiap saat, elemen-elemen budaya memiliki
kecenderungan yang bersifat konsisten setiap saat dan terintegrasi secara
sistematis (seperti sistem kepercayaan dan perilaku yang mempengaruhinya),
budaya membentuk citra atau objek yang dipikirkan, dan budaya merupakan
kenyamanan dalam melakukan kebiasaan yang sudah dikenal untuk memenuhi
kebutuhan dasar individu atau kelompok.

Budaya menurut Leininger (1991) ada 2 jenis yaitu, budaya yang


diturunkan oleh orangtuanya disebut etno caring dan budaya yang dipelajari
melalui kegiatan formal disebut professional caring. Perawat sebagai pemberi
asuhan keperawatan kepada klien yang dirawat memiliki budaya professional
caring, yang dipelajari selama mengikuti pendidikan keperawatan. Professional
caring yang dimiliki oleh perawat, antara lain melakukan asuhan keperawatan
dengan pendekatan proses keperawatan. Proses keperawatan terdiri dari
pengkajian, menegakkan diagnosis keperawatan, intervensi, implementasi, dan
evaluasi. Proses keperawatan merupakan salah satu bentuk budaya perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan kepada setiap klien yang dirawat di rumah sakit.
Di sisi lain, perawat memiliki budaya etnocaring yang diperoleh selama
berinteraksi dengan keluarganya sendiri atau rumpun etniknya. Misalnya,
kebiasaan sarapan dengan nasi, kebiasaan minum susu, kebiasaan makan sago
atau umbi-umbian, atau kebiasaan saling memuji sesama anggota keluarga.

Konsep Dasar Keperawatan

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayan profesional yang merupakan


bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, dalam bentuk bio-psiko-sosiokultural-spiritual yang komprehensif,
ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sakit maupun sehat
yang mencakup seluruh proses kehidupan (K-3 CHS, 1984, dalam kelompok kerja
keperawatan CHS, 1994). Dari batasan tersebut, perawat meyakinkan bahwa
setiap individu merupakan makluk yang holistik dan unik. Perawat menggunakan
dirinya sendiri secara terapeutik untuk memberikan stimulus yang konstruktif
kepada klien dalam pelayanan keperawatan. Pelayanan keperawatan adalah
bantuan yang diberikan kepada klien karena adanya kelemahan fisik dan mental,
keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan
melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.

Kegiatan dilakukan dalam upaya  peningkatan kesehatan, pencegahan


penyakit, penyembuhan, pemulihan serta pemeliharaan kesehatan, dengan
penekanan upaya pelayanan kesehatan utama/dasar sesuai dengan wewenang,
tanggungjawab, dan etika profesi keperawatan yang memungkinkan setiap orang
mencapai kemampuan hidup sehat dan produktif. .

Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan dalm


praktik keperawatan yang diberikan kepada klien pada berbagai tatanan pelayanan
kesehatan dengan menggunakan proses keperawatan, pedoman standar
keperawatan, serta landasan etika dan etiket keperawatandalam lingkup
wewenang dan tanggungjawab keperawatan.Asuhan keperawatan ditujukan untuk
memandirikan dan menyejahterakan klien, diberikan sesuai dengan karakteristik
ruang lingkup keperawatan, dan dikelolah  secara profesional dalam konteks
kebutuhan asuhan keperawatan (K-3C 1-1S, 1992, dalam Kelompok Kerja
Keperawatan CHS, 1994).

Selanjutnya, menurut Kelompok Kerja Keperawatan (Kelompok Kerja


Keperawatan CHS, 1994), praktik keperawatan adalah tindakan mandiri perawat
professional melalui kerja sama berbentuk kolaborasi dengan klien dan tenaga
kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup
wewenang dan tanggung jawabnya. Praktik keperawatan sebagai tindakan
keperawatan professional menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan
kokoh dari berbagai ilmu dasar, seperti biologi, fisika, biomedik, perilaku, sosial
(Kelompok Kerja Keperawatan CHS, 1994), dan ilmu Keperawatan sebagai
landasan untuk melakukan pengkajian, menetapkan diagnosis keperawatan,
menyusun perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan, melakukan evaluasi
hasil tindakan keperawatan, serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan
untuk menentukan tindakan selanjutnya.

Konsep Keperawatan Transkultural

Pengertian

Keperawatan Transkultural adalah suatu pelayanan keperawatan yang


berfokus pada analisis dan studi perbandingan tentang perbedaan budaya
(Leininger, 1978). Keperawatan transkultural adalah ilmu dan kiat yang humanis,
yang difokuskan pada perilaku individu atau kelompok, serta proses untuk
mempertahankan atau meningkatkan perilaku sehat atau perilaku sakit secara fisik
dan psikokultural sesuai latar belakang budaya (Leininger, 1984). Pelayanan
keperawatan transkultural diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang
budayanya.

Tujuan

Tujuan penggunaan keperawatan transkultural adalah untuk


mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta
praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal (Leininger, 1978).
Kultur yang spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai dan norma spesifik yang
tidak dimiliki oleh kelompok lain, seperti pada bahasa suku Dayak di Kalimantan,
suku Kubu di Jambi, dan suku Asmat di Irian. Kultur yang universal adalah nilai-
nilai dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan oleh hampir semua kultur,
seperti budaya minum teh yang dapat membuat tubuh sehat (Leininger, 1978),
atau budaya berolahraga agar dapat tampil cantik, sehat, dan bugar (Cansebu).
Dalam pelaksanaan praktik keperawatan yang bersifat humanis, perawat
perlu memahami landasan teori dan praktik keperawatan yang berdasarkan
budaya. Keberhasilan seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
bergantung pada kemampuan menyintesis konsep antropologi, sosiologi, dan
biologi dengan konsep caring, proses keperawatan, dan komunikasi interpersonal
ke dalam konsep asuhan keperawatan transcultural (Andrews & Boyle, 1995).

Budaya yang telah menjadi kebiasaan tersebut diterapkan dalam asuhan


keperawatan transcultural, melalui tiga strategi utama intervensi, yaitu
mempertahankan, menegoisasi, dan merestrukturisasi budaya.

Paradigma Keperawatan Transkultural

Paradigma keperawatan Transkultural adalah cara pandang, persepsi,


keyakinan, nilai-nilai, dan konsep-konsep dalam pelaksanaan asuhan keperawatan
yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral, yaitu
manusia, keperawatan, kesehatan, dan lingkungan (Leininger, 1984, Andrew &
Boyle, 1995, & Barnim, 1998).
Manusia.
Manusia adalah individu atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang diyakini berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan
tindakan (Leininger,1984 dalam Barnum, 1998; Giger & Davidhizar, 1995; dan
Andrew & Boyle,1995).Menurut Leininger (1984), manusia memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan budayanya  setiap saat dan dimanapun dia
berada.

Klien yang dirawat  dirumah sakit harus belajar budaya baru, yaitu budaya
rumah sakit, selain membawah budayanya sendiri. Klien secara aktif memilih
budaya dari lingkungan, termasuk dari perawat dan semua pengunjung di rumah
sakit. Klien yang sedang dirawat belajar agar cepat pulih dan segera pulang ke
rumah untuk memulai aktivitas hidup yang lebih sehat.
Kesehatan

Kesehatan adalah keseluruhan  aktivitas yang dimiliki klien dalam mengisi


kehidupanya, yang terletak pada rentang sehat-sakit (Leininger, 1978). Kesehatan
merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan yang dalam konteks budaya
digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat, yang dapat
diamati dalam aktivitas sehari-hari (Andrew & Boyle, 1995). Kesehatan menjadi
fokus dalam interaksi antara perawat dan klien.

Menurut DepKes (1999), sehat adalah suatu keadaan yang memungkinkan


seseorang produktif. Klien yang sehat adalah yang sejahtera dan seimbang secara
berlanjut dan produktif. Produktif bermakna dapat menumbuhkan dan
mengembangkan kualitas hidup seoptimal mungkin. Klien memiliki kesempatan
yang lebih luas untuk memfungsikan diri sebaik mungkin di tempat ia berada.

Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin


mempertahankan keadaan sehat dalam  rentang sehat-sakit yang adaptif (leininger,
1978). Asuhan keperawatan  yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan 
kemampuan klien untuk memilih secara aktif  budaya yang sesuai dengan  status
kesehatannya. Untuk memilih secara aktif budaya yang sesuai dengan status
kesehatannya, klien harus mempelajari lingkungannya. Sehat yang akan dicapai
adalah kesehatan yang holistic dan humanistik karena melibatkan peran serta klien
yang lebih dominan.

Lingkungan

Lingkungan adalah keseluruhan fenomena yang memengaruhi


perkembangan, keyakinan, dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai
suatu totaliats kehidupan klien dengan budayanya.Ada Tiga bentuk lingkungan,
yaitu lingkungan fisik, sosial, dan simbolik (andrew & Boyle,1995).dari ketiga
bentuk tersebut berinteraksi dengan diri manusia membentuk budaya tertentu.
Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau lingkungan yang diciptakan
oleh manusia, seperti daerah khatulistiwa, pegunungan, pemukiman padat, dan
iklim tropis (Andrews & Boyle, 1995). Lingkungan fisik dapat membentuk
budaya tertentu, misalnya bentuk rumah di daerah panas yang mempunyai banyak
lubang, berbeda dengan bentuk rumah orang eskimo yang hampir tertutup rapat
(Andrew & Boyle, 1995). Daerah pedesaan atau perkotaan dapat menimbulkan
pola penyakit tertentu, seperti infeksi saluran pernafasan akut pada balita di
Indonesia lebih tinggi di daerah perkotaan (Depkes, 1999). Bring (1984 dalam
Kozier & Erb, 1995) menyatakan bahwa respons klien terhadap lingkungan baru,
misalnya rumah sakit dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini
klien.

Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan


dengan sosialisasi individu atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas
seperti keluarga, komunitas, dan masjid atau gereja. Di dalam lingkungan sosial,
individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan
tersebut (Andrew & Boyle, 1995). Keluarga adalah tempat pertama kali klien
berinteraksi dan dipandang sebagai pilar utama untuk mencapai keberhasilan klien
bersosialisasi dengan lingkungan yang lebih besar (Andrew & Boyle, 1995).
Keberhasilan klien bersosialisasi di dalam keluarga merupakan pengalaman yang
digunakan untuk bersosialisasi dengan kelompok lain seperti saat dirawat di
rumah sakit. Klien yang dirawat di rumah sakit melakukan sosialisasi antar
individu di ruangannya dan klien dari ruangan yang lain.

Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk atau symbol yang


menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu, seperti musik, seni, riwayat
hidup, bahasa, atau atribut yang digunakan (Andrew & Boyle, 1995; Putt, 2002).
Penggunaan lingkungan simbolik bermakna bahwa individu memiliki tenggang
rasa dengan kelompoknya, seperti penggunaan bahasa pengantar, identifikasi
nilai-nilai dan norma, serta penggunaan atribut-atribut, seperti pemakaian ikat
kepala, kalung, anting, telepon, hiasan dinding, atau slogan-slogan (Andrew &
Boyle, 1995). Rumah sakit umumnya memiliki bentuk lingkungan simbolik,
misalnya penggunaan baju seragam dan atributnya.

Keperawatan

Keperawatan adalah ilmu dan kiat yang diberikan kepada klien dengan
landasan budaya (Andrew & Boyle, 1995). Keperawatan merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan
berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan
kepada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sehat maupun sakit yang
mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan dalam


praktik keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang
budayanya. Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan proses
keperawatan sebagai pendekatan penyelesaian masalah (Leininger, 1984
Kelompok kerja keperawatan CHS, 1994). Asuhan keperawatan dipandang
sebagai pembelajaran kemanusiaan yang memfokuskan pada pelayanan diri dalam
berperilaku hidup sehat atau penyembuhan penyakit. Strategi yang digunakan
dalam intervensi dan implementasi keperawatan, yaitu mempertahankan,
menegoisasi, dan merestrukturisasi budaya klien.

Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya klien tidak bertentangan


dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai
dengan nilai-nilai relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat
meningkatkan dan mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya
berolahraga setiap pagi.
Gambar 1.1 Leininger sunrise model untuk menggambarkan teori asuhan
keperawatan transcultural yang diberikan pada berbagai budaya. (Kelley &
Frisch, 1990 dan Geisser, 1991 dalam Andrew & Boyle, 1995).

Negoisasi budaya adalah intervensi dan implementasi keperawatan untuk


membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan
kesehatannya. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan
budaya lain yang lebih mendukung peningkatan status kesehatan. Misalnya, klien
yang sedang hamil mempunyai pantangan makan yang berbau amis, maka klien
tersebut dapat mengganti ikan dengan sumber protein hewani yang lain.

Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki


merupakan status kesehatannya. Perawat berupaya menstrukturisasi gaya hidup
klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Seluruh perencanaan dan
implementasi keperawatan dirancang sesuai latar belakang budaya sehingga
budaya dipandang sebagai rencana hidup yang lebih baik setiap saat. Pola rencana
hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan
keyakinan yang dianut.

Proses keperawatan digunakan karena merupakan suatu pendekatan yang


terorganisasi dan sistematis dalam menelaah respons klien (Kozier dan Erb,
1995). Penggunaan proses keperawatan harus menjadi budaya perawat.

 Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan klien sesuai latar belakang budayanya (Andrew &
Boyle, 1995; Giger & Davidhizar, 1995; Kozier & Erb, 1995). Pola
pengkajian di rumah sakit atau di rumah dirancang untuk memfasilitasi
perawat pelaksana dalam memahami keseluruhan latar belakang budaya
klien. Pada penelitian ini, pengkajian dengan pendekatan Leininger’s
sunrise model, seperti pada Gambar 1.1 yang telah, dipaparkan
sebelumnya, menelaah tujuh komponen dimensi budaya dan struktur sosial
yang saling berinteraksi, yaitu :
 Pemanfaatan teknologi kesehatan
Teknologi kesehatan adalah sarana yang memungkinkan
manusia untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan
masalah dalam pelayanan kesehatan (Loedin, 2003). Masalah
kesehatan adalah masalah manusia dan mencakup berbagai aspek
kehidupan manusia, lingkungan hidup dan budaya (Loedin, 2003).
Pemanfaatan teknologi kesehatan dipengaruhi oleh sikap tenaga
kesehatan, kebutuhan serta permintaan masyarakat.
Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan ini,
perawat perlu mengkaji persepsi klien tentang penggunaan dan
pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan
saat ini, alasan mencari bantuan kesehatan, persepsi sehat-sakit,
kebiasaan berobat, atau mengatasi masalah kesehatan. Sebagai
contoh, klien mempunyai alasan tidak mau dioperasi untuk
mengatasi kanker yang dialami dan lebih memilih pengobatan
alternative. Pilihan lain, klien mengikuti tes laboratorium darah dan
memahami makna hasil tes tersebut.

Gambar 1.2 seorang nenek yang memiliki budaya minum jamu


gendong untuk menjaga kesehatan tetap dipelihara dan
diturunkan kepada cucunya. Jamu merupakan teknologi
tradisional.
 Agama dan filosofi
Agama adalah suatu sistem simbol yang berkontribusi
terhadap pandangan dan motivasi yang amat realistis (uniquely
realistic) bagi para pemeluknya. Sifat realistis ini merupakan ciri
khusus yang menandai agama. Agama menyebabkan orang
mempunyai sifat rendah hati dan membuka diri (Berten, 20003).
Perawat perlu mengkaji faktor-faktor yang berhubungan
dengan klien, seperti agama yang dianut, kebiasaan pemeluk
agama yang berdampak positif terhadap kesehatan, melakukan
ikhtiar untuk sembuh tanpa mengenal putus asa, mempunyai
konsep diri yang utuh, status pernikahan, persepsi klien terhadap
kesehatan, cara klien beradaptasi terhadap situasi saat ini, cara
pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan, dan
cara penularan kepada orang lain.

 Kekeluargaan dan sosial


Keluarga adalah dua orang individu atau lebih yang
bergabung karena ikatan tertentu untuk berbagi pengalaman dan
emosi, serta mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari keluarga
(Friedman, 1998). Sosial adalah segala sesuatu yang berkenaan
dengan perilaku interpersonal atau yang berkaitan dengan proses
sosial (Soekanto, 1983).
Menurut Shield (1999), di rumah sakit Negara berkembang,
khususnya di ruang perawatan anak, untuk mengurangi dampak
kejiwaan pada anak yang dirawat di rumah sakit akibat cultural
shock, asuhan keperawatan yang diberikan harus melibatkan
keluarga. Keluarga perlu dilibatkan agar asuhan keperawatan yang
diberikan sesuai dengan budaya anak.
Faktor kekeluargaan dan sosial yang perlu dikaji oleh
perawat, yaitu nama lengkap dan nama panggilan di dalam
keluarga termasuk marga bila ada, usia atau tempat dan tanggal
lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, tumbuh kembang
keluarga, pengambilan keputusan dalam anggota keluarga,
hubungan klien dengan kepala keluarga, kebiasaan rutin yang
dilakukan oleh keluarga, misalnya arisan keluarga.

 Nilai-nilai budaya dan gaya hidup


Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri
manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk. Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan
ditetapkan oleh penganut budaya yang baik atau buruk (Soekanto,
1983). Norma adalah aturan sosial atau patokan perilaku yang
dianggap pantas.
Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang memiliki
sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait (Soekanto,
1983;Meyer, 2003).
Hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya dan gaya
hidup adalah posisi atau jabatan, misalnya ketua adat atau direktur,
bahasa yang digunakan, bahasa nonverbal yang sering ditunjukkan
klien, kebiasaan membersihkan diri, kebiasaan makan, pantang
terhadap makanan tertentu berkaitan dengan kondisi tubuh yang
sakit, sarana hiburan yang biasa dimanfaatkan, dan persepsi sakit
berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, misalnya klien menganggap
dirinya sakit apabila sudah tergeletak dan tidak dapat pergi ke
sekolah atau ke kantor.

 Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku


Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah
segala sesuatu yang memengaruhi kegiatan individu dan kelompok
dalam asuhan keperawatan transkultural (Andrew & Boyle, 1995).
Misalnya, peraturan atau kebijakan yang berkaitan dengan jam
berkunjung, klien harus memakai baju seragam, jumlah anggota
keluarga yang boleh menunggu, hak dan kewajiban klien dalam
perjanjian dengan rumah sakit, serta cara klien membayar
perawatan di rumah sakit.

 Status ekonomi klien


Ekonomi adalah usaha-usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhan material dari sumber-sumber yang terbatas (Soekanto,
1982). Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-
sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar
segera sembuh. Sumber ekonomi yang umumnya dimanfaatkan
klien, antara lain asuransi, biaya kantor, tabungan atau patungan
antar anggota keluarga. Faktor ekonomi yang perlu dikaji oleh
perawat, antara lain pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan,
kebiasaan menabung, dan jumlah tabungan dalam sebulan. Faktor
ekonomi ikut menentukan pasien atau keluarganya dirawat di
ruang yang sesuai dengan kemampuannya.

 Latar belakang pendidikan klien


Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien
dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. dalam
menempuh pendidikan formal tersebut, klien mengalami suatu
proses eksperimental. Proses eksperimental adalah suatu proses
menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dimulai dari
keluarga, kemudian dilanjutkan ke pendidikan di luar keluarga
(Leininger, 1978; Ardhana, 1986). Semakin tinggi pendidikan
seorang individu akan semakin baik menyelesaikan masalah secara
ilmiah (Ardhana, 1986). Semakin tinggi pendidikan klien maka
keyakinannya harus didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang
rasional dan diadaptasikan terhadap budaya yang sesuai dengan
kondisi kesehatannya. Perawat dapat mengkaji latar belakang
pendidikan klien yang meliputi tingkat pendidikan klien dan
keluarga, kemampuan klien menerima pendidikan kesehatan, serta
kemampuan klien belajar secara mandiri tentang pengalaman
sakitnya sehingga tidak terulang kembali.

 Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah respons klien sesuai dengan latar
belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah, atau dikurangi melalui
intervensi keperawatan (Andrew & Boyle, 1995; Giger & Davidhizar,
1995; Potter & Perry, 1997). Perawat dapat melihat respons klien dengan
cara mengidentifikasi budaya yang mendukung kesehatan, budaya yang
menurut klien pantang untuk dilanggar, dan budaya yang bertentangan
dengan kesehatan. Budaya yang mendukung kesehatan, seperti olahraga
teratur, membaca, atau suka makan sayur. Budaya yang menurut klien
pantang untuk dilanggar, seperti hal yang tabu dilakukan atau makanan
pantang. Budaya yang bertentangan dengan kesehatan, seperti merokok.
Menurut Andrew & Boyle (1995) dan Giger & Davidhizar (1995), ada tiga
diagnosis keperawatan transkultural yang paling sering ditegakkan, yaitu
gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan perbedaan kultur,
gangguan interaksi sosial yang berhubungan dengan disorientasi
sosiokultural, dan ketidakpatuhan dalam pengobatan yang berhubungan
dengan sistem nilai yang diyakini.
 Perencanaan dan Implementasi
Perencanaan dan implementasi adalah suatu proses memilih
strategi keperawatan yang tepat dan melaksanakan tindakan sesuai dengan
latar belakang budaya klien (Andrew & Boyle, 1995; Giger dan
Davidhizar, 1995). Perencanaan dan implementasi keperawatan
transkultural menawarkan tiga strategi sebagai pedoman (Leininger, 1984;
Andrew & Boyle, 1995), yaitu mempertahankan budaya bila budaya
pasien tidak bertentangan dengan kesehatan, negoisasi budaya yaitu
intervensi keperawatan untuk membantu klien beradaptasi terhadap
budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya, dan
restrukturisasi budaya klien karena budaya yang dimiliki saat ini
bertentangan dengan kesehatannya.
Intervensi dan implementasi keperawatan dilakukan berdasarkan
budaya klien dengan strategi yang telah ditetapkan di atas. Sebagai contoh,
apabila budaya klien dengan perawat berbeda, perawat dank lien mencoba
mernaluarni budaya masing-masing, melalui proses akulturasi, yaitu
proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang pada
akhirnya akan memperkaya budaya mereka sehingga akan terjadi tenggang
rasa terhadap budaya masing-masing. Bila perawat tidak memahami
budaya klien, klien akan merasa tidak percaya pada perawat sehingga
mengakibatkan hubungan terapeutik perawat-klien terganggu. Sebagai
akibatnya, inseraksi keperawatan yang telah diberikan tidak sepenuhnya
dilaksanakan oleh klien. Pemahaman budaya klien amat mendasari
efektivitas keberhasilan menciptakan hubungan perawat-klien yang
bersifat terapeutik. Hubungan perawat-klien yang bersifat terapeutik akan
menciptakan kepuasan klien dan membangkitkan energy kesembuhan
(McCloskey & Grace, 2001).
 Evaluasi
Evaluasi adalah sekumpulan metode dan keterampilan untuk
menentukan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan
dan memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan individu (Posavac,
1980 dalam Sahar, 1998).
Evaluasi juga merupakan cara kritis untuk suatu pengambilan
keputusan yang baik mengenai tingkat kualitas, alokasi sumber daya, dan
pola tenaga keperawatan untuk perencanaan berikutnya (Sahar, 1998).
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien dalam mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, negoisasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan
kesehatan, dan restrukturisasi budaya yang bertentangan dengan
kesehatan. Melalui evaluasi, perawat dapat mengetahui asuhan
keperawatan yang sesuai dengan keinginan atau sesuai latar belakang
budaya klien.

 Kompetensi Budaya
Kompetensi budaya adalah seperangkat perilaku, sikap, dan
kebijakan yang bersifat saling melengkapi dalam suatu sistem kehidupan
sehingga memungkinkan untuk berinteraksi secara efektif dalam suatu
kerangka berhubungan antarbudaya di dunia (Cross, T. et al, 1989).
Kompetensi budaya juga merupakan suatu kemampuan dan sistem nilai
yang dimiliki individu dalam berespons secara efektif terhadap semua
kultur yang dihadapi, kelompok kelas kehidupan ras, latar belakang etnik
dan agama, serta memahami perilaku yang diaktualisasikan, memahami
perbedaan dan kesamaan sistem nilai yang dianut individu, keluarga dan
komunitas, serta kemampuan memproteksi dan memelihara harga diri
siapa pun yang dihadapi.
Kompetensi budaya mencakup memahami dan menghormati
perbedaan antara klien dan keluarga mengenai sistem nilai yang dianut,
harapan, dan pengalaman menerima pelayanan kesehatan. Pada
kesempatan yang sama, perawat perlu mencermati potensi
teraktualisasinya praktik keperawatan / kesehatan berbasis budaya. Asuhan
keperawatan yang berbasis kompetensi budaya memungkinkan perawat
sebagai petugas kesehatan mengelola secara utuh elemen-elemen
pelayanan kesehatan di keluarga, termasuk mengelola hambatan atau
tantangan di tingkat institusional. Pendekatan transkultural merupakan
suatu perspektif yang unik karena bersifat kompleks dan sistematis secara
alamiah. Bersifat kompleks dan sistematis secara alamiah karena secara
kontekstual melibatkan banyak hal, seperti bahasa yang digunakan, tradisi,
nilai historis yang teraktualisasikan, serta ekonomi. Konsekuensinya,
perawat sebagai tenaga kesehatan perlu memahami perbedaan substansi di
antara individu, keluarga, komunitas, termasuk organisasi pelayanan
kesehatan. Misalnya, keluarga di daerah pantai, pegunungan, atau keluarga
yang tinggal di pengungsian, mereka memiliki konteks yang berbeda
termasuk sistem nilai yang diaktualisasikan. Perawat keluarga idealnya
memiliki kompetensi budaya sehingga asuhan keperawatan yang diberikan
efektif dan bersifat humanis.

 Komunikasi Lintas Budaya


Komunikasi perawat-klien merupakan komunikasi lintas budaya.
Komunikasi lintas budaya dapat dimulai melalui proses diskusi, dan bila
perlu, dapat dilakukan melalui identifikasi cara-cara orang berkomunikasi
dari berbagai budaya di Indonesia. Misalnya, suku Jawa, Betawi, Sunda,
Padang, Bengkulu, Dayak, Irian, dan sebagainya. Komunikasi lintas
budaya dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa ibu. Bila tidak memahami bahasa klien, perawat dapat
menggunakan penerjemah. Dalam komunikasi lintas budaya, kita dapat
menjumpai suatu hal yang pada budaya tertentu bermakna positif, tetapi di
budaya lain bermakna negatif. Hal ini harus dipahami oleh perawat
sehingga tidak menyebabkan komunikasi terputus. Misalnya, orang Batak
yang baru datang ke Jawa bertemu tetangganya seorang ibu yang cantik,
maksudnya ingin mengatakan ibu cantik (ibu ayu dalam bahasa Jawa,
tetapi malah berkata ibu kemayu). Bila tidak diklarifikasi akan
menyebabkan komunikasi terputus karena salah ucap tersebut (ibu kemayu
artinya “ibu genit”).
Perawat keluarga saat bekerja bersama keluarga harus melakukan
komunikasi secara alamiah agar mendapat gambaran budaya keluarga
yang sesungguhnya. Pada saat melakukan asuhan keperawatan kepada
keluarga dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan perawat,
sebaiknya perawat mengidentifikasi budaya keluarga agar dapat
mengaktualisasikan secara bermakna ke dalam kehidupan sehari-hari. Bila
perlu, klien tidak sendiri, tetapi ditemani oleh anggota keluarganya yang
lain yang dapat memberikan klarifikasi perbedaan budaya yang
memengaruhi interaksi tersebut.
Situasi mayoritas lokal dan nasional perlu diperhatikan. Hal ini
terkait dengan sistem nilai dan kepercayaan yang mendasari interaksi
dalam pola asuhan keluarga. Misalnya, secara lokal dan nasional mayoritas
muslim, maka sistem nilai dalam pola asuhan keluarga dan interaksi di
dalamnya dapat didominasi oleh ajaran islam.
Praktik mempertahankan kesehatan atau menyembuhkan anggota
keluarga dari gangguan kesehatan dapat didasarkan pada kepercayaan
yang dianut tersebut. Di Negara-negara islam, pria dan wanita dipisahkan
termasuk anak-anak. Naik kendaraan umum (bus) laki-laki dan perempuan
terpisah, tidak dapat duduk berdampingan. Para wanita muslimah di
Indonesia, misalnya saat melahirkan ada yang lebih memilih ditolong oleh
tenaga kesehatan wanita. Secara lokal dan nasional, orang Indonesia masih
menghargai orang yang usianya lebih tua. Kompetensi komunikasi lintas
budaya ini perlu menjadi perhatian khusus perawat.
Komunikasi nonverbal acapkali lebih bermakna dibanding
komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal meliputi mimik wajah, sorot
mata, bentuk bibir, jarak, gerakan anggota tubuh dan posisi tubuh, tekanan
suara, objek yang selalu diperhatikan, serta sentuhan. Mimik wajah dapat
menunjukkan emosi seseorang secara universal (Andrew & Boyle, 1995).
Sorot mata dapat menunjukkan sikap bersahabat atau marah. Untuk dapat
memahami bahasa nonverbal, perawat harus berlatih secara optimal.
Cobalah diam, melakukan kontak mata secara kontinu, melakukan
sentuhan, dan memasang mimik wajah empati. Pada kepercayaan islam,
bersalaman dengan sesama jenis menunjukkan keakraban dan senyum
pada umumnya menunjukkan kita menerima lawan bicara tanpa syarat.

 Penggunaan Bahasa
Bahasa yang digunakan pada komunikasi lintas budaya perlu
mendapat perhatian khusus. Bahasa di tanah Jawa umumnya bertingkat-
tingkat bergantung dari lawan bicara yang dihadapi. Dalam bahasa Jawa
dan Sunda, dikenal tingkatan bahasa kelas bawah (kasar), menengah (agak
halus, dan kromo inggil (sangat halus). Bila kita memerhatikan orang Jawa
atau orang Sunda sedang berbicara dengan lawan bicaranya, maka kita
akan tahu dari bahasa yang digunakan. Bila seseorang menggunakan
bahasa yang kasar, biasanya posisinya secara sosial lebih terhormat,
sedangkan yang menggunakan bahasa kromo inggil lebih rendah karena
menghormati orang yang posisinya lebih tinggi atau lebih dituakan.
Pada etnik Betawi tidak dikenal pembagian pola bahasa seperti
pada orang Jawa dan Sunda. Anak dapat memanggil kedua orang tuanya
dengan menyebut namanya saja. Flo dan Gee dalam bahasa Betawi yang
artinya ‘kamu’ dan ‘saya’ tidak memiliki tingkatan. Antar anggota
keluarga Betawi berhubungan tanpa jarak bila ditinjau dari bahasa yang
digunakan. Untuk menunjukkan jarak anak dengan ayah teraktualisasikan
dalam bentuk otoritas ayah kepada anak dan istri. Keputusan ayah mutlak
bagi anak dan istri. Oleh karena itu, anak-anak Betawi memiliki dualisme
kepribadian, yaitu antara kebebasan berekspresi dengan kontrol ketat
sehingga menghasilkan keraguan untuk bertindak.
 budaya dan Makanan
budaya dan makanan memiliki hubungan yang sangat erat.
Makanan berfungsi untuk mempertahankan, meningkatkan, dan
mengembalikan kesehatan yang optimal, pemilihan bahan, pengolahan,
penyajian, dan pengonsumsiannya berkaitan dengan budaya individu,
keluarga, dan komunitas setempat. Misalnya, wanita hamil dari suku
Sunda yang harus dapat mempertahankan kesehatan selama hamil perlu
mengonsumsi protein, tetapi adat melarang wanita hamil memakan
makanan yang berbau amis karena khawatir akan kondisi anak yang
dilahirkan nanti. Contoh lainnya, budaya makan nasi pada saat panen padi
dan meninggalkan makan sayur-sayuran (wortel) di daerah Cianjur pada
era tahun 70-an, ternyata menyebabkan angka rabun senja meningkat saat
musim padi dan menurun saat musim tanam padi.
Kondisi tersebut dapat dialami berbagai suku yang dijumpai oleh
perawat saat melakukan asuhan keperawatan keluarga. Setiap suku acap
kali mengaktualisasikannya secara berbeda. Kondisi ini harus dipahami
betul oleh perawat. Contoh lain, daun kelor muda di Jakarta umumnya
untuk memandikan mayat dan tidak dimakan, tetapi di Ujung Pandang
daun kelor disayur dan dimakan. Suku Padang tidak bisa makan sayur atau
lalapan seperti suku Sunda. Budaya makan suku Padang yang banyak
mengonsumsi lemak dan amat sedikit sayur dapat beresiko terjadinya
penyakit saluran pencernaan dan pembuluh darah, misalnya kanker
lambung atau stroke. Sementara, budaya makan suku Sunda yang sedikit
mengonsumsi lemak, tetapi banyak sayur-sayuran beresiko terjadi
defisiensi vitamin A karena vitamin A larut dalam lemak dan lemak yang
tersedia di struktur otot orang suku Sunda tidak optimal untuk menyimpan
vitamin A.
Budaya memengaruhi individu dan keluarga dalam menentukan
makanan yang dikonsumsi. Orang muslim tidak akan memakan daging
anjing, babi, atau hewan yang dianggap halal, misalnya ayam, Jika tidak
disembelih dengan menyebut nama Allah. Orang Kristen boleh makan
daging anjing atau babi, sementara orang Hindu tidak mengonsumsi
daging sapi walaupun menurut agama lain boleh. Makanan untuk hewan
biasanya tidak disajikan untuk manusia, tetapi makan untuk manusia
biasanya dapat diberikan kepada hewan. Ada keluarga atau etnik tertentu
percaya bahwa memakan darah hewan akan meningkatkan vitalitas dan
kekuatan, misalnya darah yang sudah beku (mars), atau etnik di Irian yang
meminum darah babi segar. Marus yang merupakan darah beku, banyak
dijumpai dan dijual di pasar-pasar untuk dikonsumsi sehari-hari.
Makanan juga dikaitkan dengan jenis kelamin, makanan maskulin
atau feminim. Gado-gado, rujak, ketoprak, sate ayam, soto ayam, atau the
adalah makanan feminim yang identic dengan perempuan. Sate kambing,
sop kambing, atau kopi adalah makanan maskulin yang identic dengan
lelaki. Makanan juga berkaitan dengan usia, susu dan madu adalah
makanan untuk anak-anak. Makanan untuk orang dewasa, misalnya
kacang goreng, kopi, atau teh tubruk. Makanan juga dikaitkan dengan
kondisi kesehatan seseorang, makanan orang sakit biasanya menggunakan
sedikit garam dan tanpa cabe sehingga rasanya hambar.
Perawat harus menyadari dan memahami jenis makanan dan pola
diet yang dilakukan oleh keluarga. Keluarga Indonesia, pada umumnya
makan tiga kali sehari walaupun ada etnik tertentu yang mempunyai pola
makan dua kali dalam sehari. Pada pagi hari biasanya menyantap makanan
ringan dengan kopi atau teh. Setiap keluarga mempunyai pola jenis
makanan yang berbeda untuk setiap kali makan, misalnya sarapan pagi,
makan siang atau makan malam. Perawat perlu mengidentifikasi kebiasaan
tersebut. Pola makan dalam keluarga amat erat dengan kebiasaan
menyimpan makanan di lemari es atau dapur mereka.
Makanan juga dapat mempererat hubungan kekerabatan. Pada
orang Jawa atau orang Sunda saat lebaran, mereka akan mengantar
makanan kepada yang lebih dituakan walaupun yang lebih muda mungkin
lebih miskin. Makanan hantaran di sini berfungsi sebagai bentuk
pengakuan bahwa yang menerima dituakan/dihormati sekaligus sebagai
ungkapan syukur orang yang muda kepada yang lebih tua. Makanan dapat
membangun dan mempertahankan hubungan antar manusia, misalnya
makanan yang dibawa sendiri-sendiri kemudian diletakkan di satu tempat
selanjutnya disantap bersama-sama. Situasi ini dapat meningkatkan rasa
keakraban dan kebersamaan. Untuk menghilangkan kebencian kepada
orang lain yang membenci kita, kita dapat memberikan makanan kepada
orang tersebut. Saling hantar dan tukar menukar makanan antar keluarga
di Indonesia merupakan hal yang lazim dan perlu dipertahankan.
Bentuk penyajian makanan dapat mengindikasikan sesuatu yang
istimewa. Misalnya, nasi tumpeng, bubur merah putih, rujak nujubulanan,
dan hantaran dengan kardus atau besek. Pada hari istimewa seringkali kita
menyajikan makanan dalam bentuk yang berbeda di dalam keluarga,
misalnya merayakan keberhasilan atau ulang tahun. Nasi goreng,
misalnya, lebih sering disajikan keluarga pada saat sarapan pagi.

Budaya Kesehatan di Indonesia


Indonesia sebagai Negara agraris sebagian besar penduduknya
bermukim di daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan penduduk
mayoritas sekolah dasar dan belum memiliki budaya hidup sehat. Hidup
sehat adalah hidup bersih, kebersihan belum menjadi budaya sehari-hari.
Kita masih melihat setiap hari mulai dari yang bermobil mewah sampai
pejalan kaki, membuang sampah sembarangan, termasuk di jalan tol,
hidup sehat adalah hidup berdisiplin dan disiplin belum menjadi budaya
sehari-hari bangsa kita. Sekolah, lembaga pemerintahan termasuk penegak
hukum, organisasi massa, organisasi yang berbasis agama, dan tokoh
masyarakat yang seharusnya menegakkan dan memberi contoh disiplin
ternyata tidak disiplin.
Berdasarkan pengamatan di salah satu wilayah Jakarta, jentik
nyamuk demam berdarah banyak ditemukan di tower air rumah-rumah
ibadah, yang seharusnya secara berkala bak penampungannya harus
dikuras dan dibersihkan. Kita telah meninggalkan makanan tradisional kita
dan beralih ke makanan siap saji dan kaya lemak, yang ternyata tidak sehat
serta miskin kandungan gizi dibanding makanan tradisional yang kita
miliki. Hal ini mengakibatkan berbagai penyakit metabolik, seperti stroke,
darah tinggi, atau kencing manis (diabetes mellitus) meningkat.
Budaya memeriksakan secara dini kesehatan anggota keluarga
belum tampak. Hal ini tercermin dari banyaknya klien yang datang ke
pelayanan kesehatan sudah dalam keadaaan kronis atau komplikasi.
Budaya memeriksakan keadaan kesehatan sebagai tindakan promotif dan
preventif belum didukung oleh instansi penyelenggara pelayanan
kesehatan, misalnya penyemprotan / pengasapan nyamuk demam berdarah
tidak akan dilakukan sebelum ada yang terkena DHF atau ada korban yang
meninggal.
Keluarga sebagai elemen terdepan dalam mencapai Indonesia
Sehat 2010 belum diberdayakan secara optimal oleh berbagai pihak.
Keluarga sehat maka Rukun Tetangga akan sehat, RT sehat maka RW
sehat, kelurahan sehat, yang akhirnya akan tercapai provinsi sehat dan
Indonesia sehat 2010. Bila ingin mencapai Indonesia sehat 2010, keluarga
sebagai pilar utama pembangunan kesehatan bangsa Indonesia harus
dilibatkan secara aktif. Menanamkan sehat sebagai gaya hidup kepada
individu akan lebih efektif bila dimulai dari keluarga.

Gambar 1.3 skema inovasi strategis membangun perilaku hidup


bersih sehat dan berbudaya (PHBSB) di Indonesia dengan
pendekatan keperawatan transkultural yang menghasilkan
masyarakat sehat.

Mananamkan budaya hidup sehat harus sejak dini dengan


melibatkan pranata yang ada di masyarakat, seperti posyandu atau sekolah.
Posyandu yang ada di komunitas seharusnya diberdayakan untuk
menanamkan perilaku hidup bersih, sehat, dan berbudaya pada balita.
Setelah masa balita, menanamkan perilaku hidup bersih, sehat, dan
berbudaya dilanjutkan di sekolah dalam program UKS (Usaha Kesehatan
Sekolah). Anak usia 13-15 tahun di sekolah lanjutan pertama, dan 16-18
tahun di sekolah lanjutan tingkat atas. Setelah usia tersebut, di pendidikan
tinggi dan masyarakat mereka akan mengimplementasikan secara
bermakna karena perilaku hidup bersih, sehat, dan berbudaya telah
tertanam selama 18 tahun dan telah menjadi budaya sehari-hari. Perilaku
hidup bersih, sehat, dan berbudaya telah mengkristal dalam setiap
penduduk Indonesia.
Di sisi lain, posyandu dan sekolah juga dapat diberdayakan sebagai
lembaga deteksi dini masalah-masalah kesehatan di Indonesia. Misalnya,
posyandu dapat dijadikan deteksi dini untuk mencegah gizi buruk pada
anak Indonesia. Sekolah dapat digunakan untuk mendeteksi dini perilaku
remaja atau kesehatan reproduksi remaja. Bila hal ini dapat dilakukan,
tujuan pembangunan yang diamanatkan dalam Sistem Kesehatan Nasional
dapat kita capai.
BAB 2

KONSEP KELUARGA

Sudiharto

Tujuan Pembelajaran

Setelah menyelesaikan bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :

1. menjelaskan pengertian keluarga,


2. menjelaskan bentuk keluarga,
3. menjelaskan struktur keluarga,
4. mendiskusikan fungsi keluarga,
5. mendiskusikan pertumbuhan dan perkembangan keluarga,
6. mendeskripsikan pelaksanaan pembangunan keluarga sejahtera,
7. mengidentifikasi tugas keluarga dalam bidang kesehatan,
8. mendeksripsikan prinsip-prinsip keperawatan keluarga,
9. menjelaskan peran perawat keluarga,
10. menjelaskan keluarga sebagai unit pelayanan yang dirawat,
11. menjelaskan keluarga sebagai klien.
KONSEP KELUARGA

Keluarga merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam


meningkatkan derajat kesehatan komunitas. Apabila setiap keluarga sehat, akan
tercipta komunitas yang sehat. Masalah kesehatan yang dialami oleh salah satu
anggota keluarga dapat memengaruhi anggota keluarga yang lain. Masalah
kesehatan yang dialami oleh sebuah keluarga dapat memengaruhi sistem keluarga
tersebut dan memengaruhi komunitas setempat, bahkan komunitas global. Sebagai
contoh, apabila ada seorang anggota keluarga yang menderita penyakit demam
berdarah, nyamuk sebagai faktor penyebab dapat menggigit keluarga tetangganya.
Hal tersebut dapat memengaruhi sistem keluarga tersebut dan memengaruhi
komunitas tempat keluarga tersebut menetap. Membangun Indonesia sehat
seharusnya dimulai dengan membangun keluarga sehat sesuai dengan budaya
keluarga.

Peran perawat keluarga sangat dibutuhkan oleh keluarga untuk


membangun keluarga sehat sesuai dengan budayanya. Perawat berperan sebagai
pemberi asuhan keperawatan, konselor, pendidik, atau peneliti agar keluarga dapat
mengenal tanda bahaya diri gangguan kesehatan pada anggota keluarganya.
Dengan demikian, apabila keluarga tersebut mempunyai masalah kesehatan,
mereka tidak datang ke pelayanan kesehatan dalam kondisi yang sudah kronis.
Perawat keluarga memiliki peran yang sangat strategis dalam pemberdayaan
kesehatan keluarga sehingga tercapai Indonesia Sehat 2010. Program pemerintah
dalam pemberdayaan keluarga di bidang kesehatan belum mengikutsertakan
perawat keluarga secara optimal. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan
adanya satu orang perawat keluarga dalam satu kelurahan atau desa dalam
membangun keluarga sehat, asuhan keperawatan tersebut tentunya dilaksanakan
dengan melibatkan peran serta aktif keluarga.
Definisi Keluarga

Menurut Departemen Kesehatan (1988), keluarga adalah unit terkecil dari


masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.

Bailon dan Maglaya (1978) mendefinisikan keluarga sebagai dua atau


lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau adopsi.
Mereka hidup dalam satu rumah tangga, melakukan interaksi satu sama lain
menurut peran masing-masing, serta menciptakan dan mempertahankan suatu
budaya. Menurut Friedman (1998), definisi keluarga adalah dua atau lebih
individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman
dan melakukan pendekatan emosional, serta mengidentifikasi diri mereka sebagai
bagian dari keluarga. Menurut BKKBN (1999), keluarga adalah dua orang atau
lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan,
memiliki hubungan yang selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan
masyarakat serta lingkungannya.

Bentuk Keluarga

Beberapa bentuk keluarga adalah sebagai berikut :

 keluarga inti (nuclear family), adalah keluarga yang dibentuk karena;


ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suami, istri dan
anak-anak, baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi.
 Keluarga asal (family of origin), merupakan suatu unit keluarga, tempat
asal seseorang dilahirkan.
 Keluarga besar (extended family), keluarga inti ditambah keluarga yang
lain (karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu
termasuk keluarga modern, seperti orangtua tunggal, keluarga tanpa anak,
serta keluarga pasangan sejenis (gay/lesbian families).
 Keluarga berantai (social family), gambar 1.2 keluarga inti, ayah-ibu
keluarga yang terdiri dari wanita dan dengan lima orang anak. Gambaran
pria yang menikah lebih dari satu kali keluarga kelas menengah atas, dan
merupakan suatu keluarga inti.
 Keluarga duda atau janda, keluarga (Sumber : Tabloid Bintang Home,
September 2005) yang terbentuk karena perceraian dan atau kematian
pasangan yang dicintai.
 Keluarga komposit (Composite family), keluarga dari perkawinan
poligami dan hidup bersama.
 Keluarga kohabitasi (Cohabitation), dua orang menjadi satu keluarga tanpa
pernikahan, bisa memiliki anak atau tidak. Di Indonesia bentuk keluarga
ini tidak lazim dan bertentangan dengan budaya timur. Namun, lambat
laun keluarga kohibitasi ini mulai dapat diterima.
 Keluarga inses (Incest family), seiring dengan masuknya nilai-nilai global
dan pengaruh informasi yang sangat dahsyat, dijumpai bentuk keluarga
yang tidak lazim, misalnya anak perempuan menikah dengan ayah
kandungnya, ibu menikah dengan anak kandung laki-laki, paman menikah
dengan keponakannya, kakak menikah dengan adik dari satu ayah dan satu
ibu, dan ayah menikah dengan anak perempuan tirinya. Walaupun tidak
lazim dan melanggar nilai-nilai budaya, jumlah keluarga inses semakin
hari semakin besar. Hal tersebut dapat kita cermati melalui pemberitaan
dari berbagai media cetak dan media elektronik.
 Keluarga tradisional dan nontradisional, dibedakan berdasarkan ikatan
perkawinan. Keluarga tradisional diikat oleh perkawinan, sedangkan
keluarga nontradisional tidak diikat oleh perkawinan. Contoh keluarga
tradisional adalah ayah-ibu dan anak dari hasil perkawinan atau adopsi.
Contoh keluarga nontradisional adalah sekelompok orang yang tinggal di
sebuah asrama.
Struktur dan Fungsi Keluarga

Setiap anggota keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal.


Misalnya, ayah mempunyai peran formal sebagai kepala keluarga dan pencari
nafkah. Peran informal ayah adalah sebagai panutan dan pelindung keluarga.

Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi,


kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan sistem pendukung di
antara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan
menyelesaikan masalah.

Menurut Friedman (1999), lima fungsi dasar keluarga adalah sebagai


berikut :

 Fungsi afektif, adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan


kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih,
serta saling menerima dan mendukung.
 Fungsi sosialisasi, adalah proses perkembangan dan perubahan
individu keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi secara sosial
dan belajar berperan di lingkungan sosial.
 Fungsi reproduksi, adalah fungsi keluarga meneruskan kelangsungan
keturunan dan menambah sumber daya manusia.
 Fungsi ekonomi, adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, seperti sandang, pangan, dan papan.
 Fungsi perawatan kesehatan, adalah kemampuan keluarga untuk
merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

Tumbuh Kembang Keluarga

Menurut Duval (1997), daur atau siklus kehidupan keluarga terdiri dari
delapan tahap perkembangan yang mempunyai tugas dan resiko tertentu pada
tiap tahap perkembangannya.
 Tahap 1, pasangan baru menikah (keluarga baru). Tugas perkembangan
keluarga pada tahap ini adalah membina hubungan perkawinan yang
saling memuaskan, membina hubungan harmonis dengan saudara dan
kerabat, dan merencanakan keluarga (termasuk merencanakan jumlah
anak yang diinginkan).
 Tahap 2, menanti kelahiran (child bearing family) atau anak tertua
adalah bayi berusia kurang dari 1 bulan. Tugas perkembangan keluarga
pada tahap ini adalah menyiapkan anggota keluarga baru (bayi dalam
keluarga), membagi waktu untuk individu, pasangan, dan keluarga.
 Tahap 3, keluarga dengan anak prasekolah atau anak tertua 2,5 tahun
sampai dengan 6 tahun. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini
adalah menyatukan kebutuhan masing-masing anggota keluarga, antara
lain ruang atau kamar pribadi dan keamanan, mensosialisasikan anak,
menyatukan keinginan anak-anak yang berbeda, dan mempertahankan
hubungan yang “sehat” dalam keluarga.
 Tahap 4, keluarga dengan anak sekolah atau anak tertua berusia 7
sampai 12 tahun. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini adalah
mensosialisasikan anak-anak termasuk membantu anak-anak mencapai
prestasi yang baik di sekolah, membantu anak-anak membina hubungan
dengan teman sebaya, mempertahankan hubungan perkawinan yang
memuaskan, dan memenuhi kebutuhan masing-masing anggota
keluarga.
 Tahap 5, keluarga dengan remaja atau dengan anak tertua berusia 13
sampai 20 tahun. Tugas perkembangan pada tahap ini adalah
mengimbangi kebebasan remaja dengan tanggung jawab yang sejalan
dengan maturitas remaja, memfokuskan kembali hubungan perkawinan,
dan melakukan komunikasi yang terbuka di antara orangtua dengan
anak-anak remaja.
 Tahap 6, keluarga dengan anak dewasa (pelepasan). Tugas
perkembangan keluarga pada tahap ini adalah menambah anggota
keluarga dengan anggota keluarga yang baru melalui pernikahan anak-
anak yang telah dewasa, menata kembali hubungan perkawinan,
menyiapkan datangnya proses penuaan, termasuk timbulnya masalah-
masalah kesehatan.
 Tahap 7, keluarga usia pertengahan. Tugas perkembangan keluarga
pada tahap ini adalah mempertahankan kontak dengan anak dan cucu,
memperkuat hubungan perkawinan, dan meningkatkan usaha promosi
kesehatan.
 Tahap 8, keluarga usia lanjut. Tugas perkembangan keluarga pada
tahap ini adalah menata kembali kehidupan yang memuaskan,
menyesuaikan kehidupan dengan penghasilan yang kurang,
mempertahankan hubungan perkawinan, menerima kehilangan
pasangan, mempertahankan kontak dengan masyarakat, dan
menemukan arti hidup.

Menurut BKKBN (1999), tahapan keluarga dapat diukur berdasarkan


tingkat kesejahteraannya, yaitu sebagai berikut :

 Keluarga prasejahtera, yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat


memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) secara minimal, seperti
kebutuhan akan pengajaran, agama, pangan, sandang, papan, dan
kesehatan. Keluarga sejahtera tahap 1, yaitu keluarga-keluarga yang
telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum
dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologis (Social
Psychological aced), seperti kebutuhan terhadap pendidikan, keluarga
berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan
tempat tinggal, dan transportasi.
 Keluarga sejahtera tahap II, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat
memenuhi kebutuhan dasar dan seluruh kebutuhan psikologis, tetapi
belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan perkembangannya
(developmental needs), seperti kebutuhan untuk menabung dan
memperoleh informasi.
 Keluarga sejahtera tahap III, yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat
memenuhi seluruh kebutuhan dasar, kebutuhan sosial-psikologis, dan
kebutuhan perkembangan, namun belum dapat memberikan sumbangan
(kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat. Misalnya, secara
teratur (waktu tertentu) memberikan sumbangan dalam bentuk material
dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan dan berperan
serta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan
atau yayasan-yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olahraga,
pendidikan, dan sebagainya.
 Keluarga sejahtera tahap III plus, yaitu keluarga-keluarga yang telah
dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial
psikologis, maupun yang bersifat pengembangan serta dapat pula
memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.
Indikator keluarga sejahtera adalah sebagai berikut :
 Keluarga prasejahtera
Keluarga ini belum mampu untuk melaksanakan indikator sebagai
berikut :
1. Keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut masing-
masing.
2. Keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
3. Keluarga menggunakan pakaian yang berbeda untuk berbagai
keperluan.
4. Keluarga mempunyai rumah yang sebagian besar berlantai bukan
dari tanah.
5. Keluarga memeriksakan kesehatan ke petugas atau sarana kesehatan
(bila anak sakit atau PUS ingin ber-KB).
 Keluarga sejahtera I
Keluarga ini sudah mampu melaksanakan indikator I sampai 5,
tetapi belum mampu melaksanakan indikator sebagai berikut :
6. Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang
dianut.
7. Keluarga makan daging, ikan, atau telur sebagai lauk-pauk
sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu.
8. Keluarga memperoleh pakaian baru dalam satu tahun terakhir.
9. Setiap anggota keluarga mempunyai ruang kamar yang luasnya
8m2.
10. Semua anggota keluarga sehat dalam tiga bulan terakhir sehingga
dapat melaksanakan fungsi mereka masing-masing.
11. Paling sedikit satu anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas
memiliki penghasilan tetap.
12. Seluruh anggota keluarga yang berusia 10 sampai 60 tahun mampu
membaca dan menulis latin.
13. Anak usia sekolah (7 sampai 15 tahun) dapat bersekolah.
14. Keluarga yang masih pasangan usia subur (PUS) memakai
kontrasepsi dan mempunyai dua anak atau lebih yang hidup.
 Keluarga sejahtera II
Keluarga ini sudah mampu melaksanakan indikator 1 sampai 14,
tetapi belum mampu melaksanakan indikator-indikator sebagai berikut :
15. Keluarga berusaha meningkatkan atau menambah pengetahuan
agama.
16. Keluarga mempunyai tabungan.
17. Keluarga makan bersama paling sedikit sekali sehari.
18. Keluarga ikut serta dalam kegiatan masyarakat.
19. Keluarga melakukan rekreasi bersama / penyegaran paling kurang
sekali dalam 6 bulan.
20. Keluarga memperoleh berita dari surat kabar, majalah, radio, dan
televisi.
21. Keluarga mampu menggunakan sarana transportasi.
 Keluarga sejahtera III
Keluarga ini sudah mampu melaksanakan indikator 1 sampai 21,
tetapi belum mampu melaksanakan indikator sebagai berikut :
22. Keluarga memberikan sumbangan secara teratur (waktu tertentu)
dan sukarela dalam bentuk material kepada masyarakat.
23. Keluarga aktif sebagai pengurus yayasan atau institusi masyarakat.
 Keluarga sejahtera III plus
Sebuah keluarga dapat disebut keluarga sejahtera plus bila sudah
mampu melaksanakan semua indikator (23).

Pelaksanaan Pembangunan Keluarga Sejahtera

Peraturan pemerintah No. 21 Tahun 1994, pasal 2, menyatakan bahwa


penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera diwujudkan melalui
pengembangan kualitas keluarga dan keluarga berencana yang diselenggarakan
secara menyeluruh dan terpadu oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga.

Tujuan :

Mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, bertaqwa kepada


Tuhan Yang Maha Esa, sehat, produktif mandiri, dan memiliki kemampuan untuk
membangun diri sendiri dan lingkungan.

Pokok-pokok kegiatan :

1. Pembinaan ketahanan fisik keluarga adalah kegiatan pertumbuhan dan


pengembangan perilaku usaha dan tenaga terampil sehingga dapat
melakukan usaha ekonomi produktif untuk mewujudkan keluarga kecil,
bahagia, dan sejahtera.
Bentuk kegiatan pembinaan ketahanan fisik keluarga adalah sebagai
berikut :
a. Penumbuhan dan pengembangan pengetahuan, sikap perilaku usaha,
dan keterampilan keluarga melalui penyuluhan, pelatihan magang,
studi banding, dan pendampingan.
b. Penumbuhan dan pengembangan kelompok usaha, melalui kelompok
usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS).
c. Pembinaan permodalan, melalui tabungan, takesra (Tabungan
Keluarga Sejahtera), dan Kukesra (Kredit Keluarga Sejahtera).
d. Pembinaan pemasaran, melalui kerja sauna dengan para pengusaha dan
sektor terkait.
e. Pembinaan produksi, melalui bimbingan dalam memilih dan
memanfaatkan alat teknologi tepat guna yang diperlukan dalam proses
produksi.
f. Pembinaan kemitrausahaan, dengan para pengusaha dari sektor terkait
koperasi.
g. Pengembangan jaringan usaha, khususnya bekerja sama dengan
Departemen Koperasi dan PPKM.
2. Pembinaan ketahanan nonfisik keluarga.
Tujuan :
 Peningkatan kualitas anak
 Pembinaan kesehatan reproduksi remaja
 Peningkatan keharmonisan keluarga, keimanan, dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Bentuk kegiatan ketahanan nonfisik keluarga adalah sebagai berikut :

a. Bina keluarga balita


Pembinaan terhadap orangtua anak balita agar pertumbuhan dan
perkembangan anaknya optimal secara fisik dan mental melalui
kelompok dengan bantuan alat permainan edukatif (APE),
b. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan melalui :
 Pusat-pusat konsultasi remaja,
 Penyuluhan konseling di sekolah dan pesantren, kelompok-
kelompok remaja, kayang taruna, remaja masjid, pramuka, dan
lain-lain.
 Kelompok bina keluarga remaja (BKR), dan penyuluhan
melalui media massa.
c. Pembinaan keluarga lansia melalui kelompok BWA keluarga lansia
(BKL)
d. Kegiatan-kegiatan lain adalah sebagai berikut :
 Gerakan keluarga sejahtera sadar buta aksara
 Beasiswa supersemar
 Satuan karya pramuka keluarga berencana (Saka Kencana)
kegiatan lomba-lomba
3. Pelayanan keluarga berencana
a. Kegiatan komunikasi informasi edukasi (KIE)
Kegiatan ini meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan perubahan
perilaku masyarakat dalam pelaksanaan KB.
b. Pelayanan kesehatan reproduksi meliputi pelayanan kontrasepsi,
pelayanan kesehatan reproduksi bagi ibu, serta pelayanan lain yang ada
hubungannya dengan reproduksi.
4. Pendataan keluarga sejahtera
Dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan gerakan keluarga
sejahtera setiap tahun, antara bulan januari sampai maret, dilakukan
pendataan keluarga untuk mengetahui pencapaian keluarga berencana dan
tahapan keluarga sejahtera.
Friedman (1981) membagi lima tugas kesehatan yang harus dilakukan
oleh keluarga, yaitu :
a. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya,
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat,
c. Memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit dan
yang tidak dapat membantu dirinya sendiri,
d. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan
dan perkembangan kepribadian anggota keluarga,
e. Mempertahankan hubungan timbal-balik antara keluarga lembaga-
lembaga kesehatan yang menunjukkan manfaat fasilitas kesehatan
dengan baik.

Peran Perawat Keluarga

Dalam melakukan asuhan keperawatan keluarga, perawat keluarga perlu


memperhatikan prinsip-prinsip berikut : (a) melakukan kerja bersama keluarga
secara kolektif, (b) memulai pekerjaan dari hal yang sesuai dengan kemampuan
keluarga, (c) menyesuaikan rencana asuhan keperawatan dengan tahap
perkembangan keluarga, (d) menerima dan mengakui struktur keluarga dan (e)
menekankan pada kemampuan keluarga.

Peran perawat keluarga adalah sebagai berikut :

 Sebagai pendidik, perawat bertanggungjawab memberikan pendidikan


kesehatan kepada keluarga, terutama untuk memandirikan keluarga dalam
merawat anggota keluarga yang memiliki masalah kesehatan. Sebagai
coordinator pelaksana pelayanan keperawatan, perawat bertanggungjawab
memberikan pelayanan keperawatan yang komprehensif. Pelayanan
keperawatan yang berkesinambungan diberikan untuk menghindari
kesenjangan antara keluarga dan unit pelayanan kesehatan (Puskesmas dan
Rumah Sakit).
 Sebagai pelaksana pelayanan perawatan, pelayanan keperawatan dapat
diberikan kepada keluarga melalui kontak pertama dengan anggota
keluarga yang sakit yang memiliki masalah kesehatan. Dengan demikian,
anggota keluarga yang sakit yang memiliki masalah kesehatan. Dengan
demikian, anggota keluarga yang sakit dapat menjadi “entry Point” bagi
perawat untuk memberikan asuhan keperawatan keluarga secara
komprehensif.
 Sebagai supervisor pelayanan keperawatan, perawat melakukan supervise
ataupun pembinaan terhadap keluarga melalui kunjungan rumah secara
teratur, baik terhadap keluarga beresiko tinggi maupun yang tidak.
Kunjungan rumah tersebut dapat direncanakan terlebih dahulu atau secara
mendadak.
 Sebagai pembela (advokat), perawat berperan sebagai advokat keluarga
untuk melindungi hak-hak keluarga sebagai klien. Perawat diharapkan
mampu mengetahui harapan serta memodifikasi sistem pada perawatan
yang diberikan untuk memenuhi hak dan kebutuhan keluarga. Pemahaman
yang baik oleh keluarga terhadap hak dan kewajiban mereka sebagai klien
mempermudah tugas perawat untuk memandirikan keluarga.
 Sebagai fasilitator, perawat dapat menjadi tempat bertanya individu,
keluarga, dan masyarakat untuk memecahkan masalah kesehatan dan
keperawatan yang mereka hadapi sehari-hari serta dapat membantu
memberikan jalan keluar dalam mengatasi masalah.
 Sebagai peneliti, perawat keluarga melatih keluarga untuk dapat
memahami masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh anggota
keluarga. Masalah kesehatan yang muncul di dalam keluarga biasanya
terjadi menurut siklus atau budaya yang dipraktikkan keluarga. Misalnya,
diare pada balita terjadi karena budaya menjaga kebersihan makanan dan
minuman kurang diperhatikan. Peran sebagai peneliti difokuskan kepada
kemampuan keluarga untuk mengidentifikasi penyebab, menanggulangi,
dan melakukan promosi kepada anggota keluarganya. Selain itu, perawat
perlu mengembangkan asuhan keperawatan keluarga terhadap binaannya.

Peran perawat keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan berpusat pada


keluarga sebagai unit fungsional terkecil dan bertujuan memenuhi kebutuhan
dasar manusia pada tingkat keluarga sehingga tercapai kesehatan yang optimal
untuk setiap anggota keluarga. Melalui asuhan keperawatan keluarga, fungsi
keluarga menjadi optimal. Bila keluarga dapat menjalankan fungsinya secara
optimal, setiap individu di dalam keluarga tersebut memiliki karakter yang kuat,
tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya negative sehingga memiliki
kemampuan berpikir yang cerdas, dan pada akhirnya memiliki daya saing yang
tinggi terutama di era kompetisi yang semakin sengit.

Keluarga Sebagai Unit Fungsional Terkecil

Keluarga adalah unit fungsional terkecil dalam asuhan keperawatan


keluarga karena masalah kesehatan keluarga saling berkaitan dan saling
memengaruhi antara sesama anggota keluarga dan juga akan memengaruhi pula
keluarga-keluarga di sekitarnya atau komunitas global.

Menurut Friedman (1981), alasan keluarga sebagai unit pelayanan adalah sebagai
berikut :

a. Keluarga sebagai unit utama masyarakat dan merupakan lembaga yang


menyangkut kehidupan bermasyarakat.
b. Keluarga sebagai suatu kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah,
mengabaikan, atau memperbaiki masalah-masalah kesehatan dalam
kelompok dan komunitasnya.
c. Masalah-masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan. Apabila
salah satu anggota keluarga memiliki masalah kesehatan, anggota keluarga
lainnya akan terpengaruh.
d. Dalam memelihara kesehatan anggota keluarga sebagai individu (klien),
keluarga tetap berperan sebagai pengambil keputusan dalam memelihara
kesehatan setiap anggotanya.
e. Keluarga merupakan perantara yang aktif dan mudah untuk berbagai
upaya kesehatan komunitas.

Dalam melakukan asuhan keperawatan dan keluarga sebagai klien, beberapa


karakteristik yang perlu diperhatikan oleh perawat keluarga adalah sebagai berikut
:
a. Setiap keluarga memiliki cara yang unik dalam menghadapi masalah
kesehatan para anggotanya. Keluarga memiliki budaya yang unik yang
diaktualisasikan dalam mengatasi permasalahan kesehatan walaupun
memiliki garis keturunan yang sama. Di sisi lain, masih terdapat budaya
yang dipertahankan meskipun telah ratusan tahun berselang, misalnya
budaya nujuuh buhanart pada keluarga Betawi, Jawa, atau suku-suku lain
di Indonesia pada umumnya.
b. Memperhatikan pola-pola keluarga, antara lain : (1) pola komunikasi, (2)
pengambilan keputusan, (3) sikap dan nilai dalam keluarga, serta (4)
kebudayaan dan gaya hidup.
c. Keluarga daerah perkotaan akan berbeda dengan lingkungan keluarga
daerah pedesaan. Secara umum, semangat gotong royong keluarga di
perkotaan lebih rendah dibandingkan keluarga di pedesaan. Keluarga yang
tinggal di daerah perbatasan antara kota dan desa memiliki semangat yang
berbeda pula dengan keluarga di perkotaan dan pedesaan.
d. Kemandirian dari setiap anggota keluarga amat bergantung pada pola-pola
yang diaktualisasikan keluarga, tingkat maturitas dan perkembangan
individu, pendidikan, kesehatan, dan budaya komunikasi setempat.

Dalam melakukan asuhan keperawatan keluarga, yang menjadi prioritas utama


adalah keluarga-keluarga yang tergolong beresiko tinggi dalam bidang kesehatan,
yaitu :

 Keluarga dengan anggota keluarga pada masa usia subur yang memiliki
kondisi, seperti (a) tingkat sosial ekonomi rendah; (b) keluarga kurang
mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri; (c) keluarga dengan
keturunan yang kurang baik atau keluarga dengan penyakit keturunan.
 Keluarga dengan resiko tinggi, masalah maternitas pada salt ham ii: (a)
usia ibu(<16/>35 tahun.); (b) menderita kekurangan gizi atau anemia; (c)
menderita hipertensi; (d) primipara atau multipara; dan (e) riwayat
persalinan dengan komplikasi.
Keluarga dengan anak yang beresiko tinggi karena : (a) lahir prematur; (b) berat
badan kurang atau tidak naik dalam bulan berikutnya; (c) lahir dengan cacat
bawaan; (d) ASI kurang sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, dan (e) ibu
menderita penyakit menular yang dapat mengancam bayi atau anaknya,

Keluarga mempunyai masalah dalam hubungan antara anggota keluarga, seperti :


(a) adanya anak yang tidak dikehendaki dan pernah mencoba untuk
menggugurkannya, (b) tidak ada kesesuaian pendapat antara keluarga dan sering
timbul pertengkaran dan ketegangan antar anggota keluarga, (c) ada anggota
keluarga yang sering sakit, (d) salah satu orang tua (suami/istri) meninggal, cerai,
atau meninggalkan keluarganya.

Keluarga lanjut usia atau balita, yaitu : (a) pasangan lanjut usia tinggal serumah,
(b) keluarga yang memiliki anggota lanjut usia dalam keadaan tidak sehat, (c)
keluarga memiliki anggota lanjut usia dan balita, dan (d) keluarga yang memiliki
dua balita, 1 keluarga yang tidak mampu menjalankan tugas perkembangan
individu dan atau tugas perkembangan keluarga, keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan penyakit kronis yang menular atau tidak menular atau penyakit
metabolik.

Keluarga harmonis Indonesia adalah keluarga yang di dalamnya dapat tercipta


hubungan yang setara, saling memanjakan, saling melayani, saling
membahagiakan, saling memotivasi, saling mempromosikan, dan menciptakan
sinkronisasi dengan sesama anggota keluarga. Bila kita mencermati keluarga di
lingkungan tempat tinggal kita, hubungan yang terjadi mirip hubungan pelayan
dengan majikan, misalnya suami dimanjakan istri, anak dimanjakan orangtua, dan
suami dibuatkan masakan yang enak-enak serta disediakan minuman dan pakaian.
Seharusnya yang tercipta adalah hubungan partnership, misalnya saling
melindungi, atau saling membahagiakan. Dengan demikian, keluarga akan
dirasakan dan dibutuhkan oleh setiap anggota keluarganya.
Coba cermati keluarga kita sendiri, apakah termasuk keluarga harmonis ?
bandingkan dengan keluarga teman kita atau keluarga tetangga kita. Coba lakukan
intropeksi terhadap diri sendiri dan diskusikan dengan rekan anda.
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA

Sudiharto

Wahyu Widagdo

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :

1. Menjelaskan pengertian asuhan keperawatan keluarga,


2. Menjelaskan tujuan asuhan keperawatan keluarga,
3. Menjelaskan misi memberikan asuhan keperawatan keluarga yang
berkualitas,
4. Mendiskusikan penggunaan proses keperawatan sebagai pendekatan
penyelesaian masalah,
5. Mendiskusikan pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga.

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA

Pengertian dan Tujuan Asuhan Keperawatan Keluarga

Asuhan keperawatan keluarga adalah suatu rangkaian kegiatan dalam praktik


keperawatan yang diberikan kepada klien sebagai anggota keluarga, pada tatanan
komunitas dengan menggunakan proses keperawatan, berpedoman pada standar
keperawatan, berlandaskan pada etika dan etiket keperawatan, dalam lingkup
wewenang serta tanggung jawab keperawatan (Kelompok Kerja Keperawatan
CHS, 1994; Mc Closkey & Grace, 2001).

Tujuan asuhan keperawatan keluarga (Kozier & Erb, 1995; Friedman, 1998; Mc
Closkey & Grace, 2001) adalah sebagai berikut :
1. Memandirikan klien sebagai bagian dari anggota keluarga.
2. Mensejahterakan klien sebagai gambaran kesejahteraan keluarga.
3. Meningkatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap anggota keluarga
4. Meningkatkan produktivitas klien dan keluarga
5. Meningkatkan kualitas keluarga

Karakteristik “Keluarga Indonesia Berkualitas” menurut BKKBN (2003)


adalah (1) sejahtera, (2) sehat, (3) maju, (4) jumlah anak ideal, (5) harmonis,
(6) berwawasan, (7) bertanggung jawab, (8) berjiwa mandiri, dan (9)
bertakwa.

Misi Memberikan Asuhan Keperawatan Keluarga Berkualitas

Misi memberikan asuhan keperawatan keluarga yang berkualitas adalah


sebagai berikut.

1. Memberdayakan keluarga untuk membangun setiap anggota keluarganya


agar dapat memelihara kesehatan yang optimal.
2. Membina kemitraan dengan keluarga sehingga dapat mandiri dan
meningkatkan ketahanan keluarga.
3. Meningkatkan peran keluarga dalam prevensi primer, sekunder, dan tersier
di bidang kesehatan
4. Mewujudkan kesehatan sebagai hak setiap individu dalam anggota
keluarga.
5. Mempersiapkan SID yang berkualitas dengan peran serta aktif keluarga
sehingga memiliki karakter yang kuat dan cerdas.

Menggunakan Proses Keperawatan Sebagai Pendekatan Penyelesaian


Masalah

Pengkajian

Pengkajian Keluarga

 Identifikasi data demografi dan structural termasuk lokasi


 Agama yang dianut dan kaitannya dengan kondisi kesehatan saat ini
 Lingkungan rumah termasuk lambing-lambang yang ditampilkan
 Struktur bangsa
 Fungsi dasar keluarga
 Perkembangan keluarga dan tugas perkembangan yang dilaksanakan
strategi yang digunakan keluarga bila stress dan mekanisme koping
 Pengkajian pelasanaan tugas kesehatan keluarga Bahasa pengantar
yang digunakan keluarga
 Hubungan keluarga dengan tetangga dan antarkeluarga yang
berhubungan darah
 Pendidikan
 Sistem dan sumber pendukung yang tersedia untuk keluarga

Pengkajian Anggota Keluarga

 Pengkajian fisik setiap anggota keluarga pengkajian mental setiap


anggota keluarga
 Pengkajian emosional setiap anggota keluarga
 Pengkajian sosial setiap anggota keluarga
 Pengkajian spiritual setiap anggota keluarga
 Pengkajian terlaksananya tugas perkembangan individu

Diagnosis Keperawatan Keluarga

Masalah keperawatan adalah bidang garapan keperawatan yang harus


diatasi oleh perawat. Bidang garapan keperawatan adalah kesenjangan
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia pada tingkat individu,
keluarga, atau komunitas. Pada asuhan keperawatan keluarga, bidang
garapan keperawatan adalah kesenjangan tidak terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia pada tingkat keluarga, disebut juga sebagai masalah
keperawatan keluarga. Etiologi yang menyebabkan masalah dalam
keperawatan keluarga adalah tidak optimalnya tugas keluarga dalam
bidang kesehatan. Tugas keluarga dalam bidang kesehatan adalah
kemampuan mengenal masalah kesehatan, kemampuan mengambil
keputusan untuk mengatasi masalah kesehatan, kemampuan merawat
anggota keluarga yang sakit, kemampuan memodifikasi lingkungan untuk
keluarga agar tetap sehat dan optimal, serta kemampuan memanfaatkan
sarana kesehatan yang tersedia di lingkungannya.

Bagan 1

Proses keperawatan sebagai kerangka kerja

Dalam melakukan Asuhan Keperawatan Keluarga

Gambar 3.1 bagan proses keperawatan sebagai kerangka kerja asuhan


keperawatan keluarga

Selanjutnya dilakukan penetapan prioritas diagnosis keperawatan keluarga


melalui penentuan masalah yang bersifat sedang sakit atau defisit (aktual).
Ancaman atau resiko, dan kritis. Diagnosis keperawatan diintervensi
sesuai dengan prioritas.

Perencanaan

Perencanaan adalah suatu proses merumuskan tujuan yang diharapkan


mampu mengatasi prioritas masalah keperawatan keluarga, memilih
strategi keperawatan yang tepat, dan mengembangkan rencana asuhan
keperawatan keluarga sesuai dengan kebutuhan klien. Perawat perlu
menyeleksi sumber-sumber dalam keluarga yang dapat dimanfaatkan, serta
memprioritaskannya. Lihat bagan proses keperawatan keluarga pada
Gambar 3.1.
Implementasi

Implementasi adalah suatu proses pelaksanaan terapi keperawatan


keluarga yang berbentuk intervensi mandiri atau kolaborasi melalui
pemanfaatan sumber-sumber yang dimiliki oleh keluarga. Implementasi
diprioritaskan sesuai dengan kemampuan keluarga dan sumber yang
dimiliki oleh keluarga.

Evaluasi

Evaluasi adalah suatu proses menilai diagnosis keperawatan keluarga yang


teratasi, teratasi sebagian, atau timbul masalah baru. Melalui kegiatan
evaluasi, kita dapat menilai pencapaian tujuan yang diharapkan dan tujuan
yang telah tercapai oleh keluarga. Bila tercapai sebagian atau timbul
masalah keperawatan baru, kita perlu melakukan pengkajian lebih lanjut,
memodifikasi rencana, atau mengganti dengan rencana yang lebih sesuai
dengan kemampuan keluarga.

Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Keluarga

Asuhan keperawatan keluarga diberikan kepada klien yang masih dirawat


di rumah sakit, yaitu melalui kunjungan rumah, atau klien yang telah
selesai dirawat di rumah sakit dalam rangka perawatan tindak-lanjut.
Asuhan keperawatan keluarga dapat dilakukan pula oleh perawat
puskesmas sesuai wilayah kerjanya dalam bentuk kunjungan rumah untuk
menemukan kasus (cast finding) atau melalui peran serta kader kesehatan,
yaitu perawatan tindak-lanjut terhadap klien yang berkunjung ke
puskesmas atau berdasarkan, rujukan dari rumah sakit setelah klien
dirawat.

Pengkajian

Pengkajian yang dilakukan terhadap keluarga meliputi : identifikasi data


demografi dan sosiokultural, lingkungan rumah, struktur keluarga, fungsi
keluarga, perkembangan keluarga, strategi yang digunakan keluarga bila
stress, mekanisme koping, budaya hidup sehat yang diaktulisasikan sehari-
hari oleh keluarga, lingkungan fisik-simbiolik-sosial keluarga, dan Bahasa
yang digunakan.

Bagan 2

Model Asuhan Keperawatan Keluarga

Di Komunitas

Gambar 3.2 Bagan model asuhan keperawatan keluarga di komunitas

Pengkajian anggota keluarga meliputi : pengkajian fisik, pengkajian


mental, pengkajian emosional, pengkajian sosial, dan pengkajian spiritual
setiap anggota keluarga.

 Data Demografi dan Sosiokultural Keluarga


1. Nama KK
2. Alamat dan telepon
3. Komposisi anggota keluarga yang satu dapur serta dilengkapi
dengan genogram (meliputi nama, jenis kelamin, hubungan
dengan KK, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir,
pekerjaan, dan kondisi kesehatan saat ini).
4. Tipe keluarga
5. Suku dan pola kebiasaan yang dilakukan
6. Agama dan pola kebiasaan yang dilakukan
7. Status ekonomi (dikaji melalui uang yang telah dibelanjakan
setiap hari, seminggu sampai sebulan termasuk tabungan yang
dimiliki).
8. Pola rekreasi keluarga, misalnya setiap hari biasa nonton
televisi, berenang atau ke mall, dan pola komunikasi yang
dilakukan selama berekreasi tersebut.
 Data lingkungan rumah (termasuk denah dan pola membersihkan
di dalam dan di luar rumah serta keadaan saat dilakukan
pengkajian).
 Struktur keluarga
 Fungsi keluarga
 Perkembangan keluarga dan tugas yang telah dilakukan
 Strategi yang digunakan keluarga bila menghadapi stress dan
mekanisme koping yang digunakan
 Tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang telah dilakukan
 Pengkajian anggota keluarga meliputi : pengkajian fisik,
pengkajian mental, pengkajian emosional, pengkajian sosial, dan
pengkajian spiritual setiap anggota keluarga.

Diagnosis Keperawatan Keluarga

Diagnosis keperawatan keluarga yang dikembangkan adalah diagnosis


tunggal yang hampir serupa dengan diagnosis keperawatan di rumah
sakit. Diagnosis keperawatan keluarga terdiri dari tiga komponen, yaitu
masalah, etiologi, serta tanda dan gejala. Etiologi untuk diagnosis
keperawatan keluarga adalah salah satu dari lima tugas keluarga yang
paling dominan menyebabkan masalah keperawatan tersebut. Sebagai
contoh, resiko gangguan tumbuh kembang pada balita X berhubungan
dengan ketidakmampuan keluarga memenuhi kebutuhan nutrisi yang
seimbang dalam merawat anggota keluarga.

Diagnosis keperawatan keluarga dapat bersifat potensial, resiko, atau


aktual. Diagnosis keperawatan keluarga yang bersifat potensial
merupakan diagnosis bahwa keluarga tersebut memiliki potensi yang
memadai untuk berkembang lebih baik. Jadi, diagnosis keperawatan
keluarga yang bersifat potensial merupakan suatu keadaan
perkembangan keluarga ke arah sejarahtera.
Dalam menyusun masalah kesehatan dan keperawatan keluarga,
seorang perawat keluarga harus mengacu pada tipologi masalah
kesehatan dan keperawata. Tiga kelompok besar dalam tipologi
masalah kesehatan keluarga adalah sebagai berikut :

 Ancaman kesehatan adalah keadaan yang dapat memungkinkan


terjadinya penyakit, kecelakaan, dan kegagalan dalam
mencapai potensi kesehatan.
Yang termasuk ancaman kesehatan adalah sebagai berikut :
1. Penyakit keturunan
2. Keluarga atau anggota yang mengidap penyakit menular
3. Jumlah anggota keluarga terlalu besar dan tidak sesuai
dengan kemampuan dan sumber daya keluarga
4. Resiko terjadi kecelakaan dalam keluarga
5. Kekurangan atau kelebihan gizi
6. Keadaan yang dapat menimbulkan stress
7. Sanitasi lingkungan buruk
8. Kebiasaan yang merugikan kesehatan
9. Sikap kepribadian yang melekat
10. Riwayat persalinan yang sulit
11. Aktivitas permainan yang tidak sesuai
12. Imunisasi anak tidak lengkap
 Kurang atau tidak sehat adalah kegagalan memantapkan
kesehatan
 Situasi kritis adalah kondisi disaat individu atau keluarga
banyak dituntut untuk menyesuaikan diri, termasuk juga dalam
hal sumber daya keluarga. Yang termasuk situasi kritis adalah
perkawinan, kehamilan, persalinan, masa nifas, menjadi orang
tua, penambahan anggota keluarga, abortus, anak masuk
sekolah, kehilangan pekerjaan, kematian anggota keluarga, dan
pindah rumah. Ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan
tugas-tugas kesehatan dan keperawatan termasuk dalam kondisi
kritis. Macam-macam kondisi kritis adalah sebagai berikut :
o Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah
kesehatan karena hal-hal sebagai berikut.
- Kurang pengetahuan atau tidak mengetahui fakta
- Rasa takut akibat masalah yang diketahui
- Sikap dan falsafah hidup
o Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan dalam
melakukan tindakan yang tepat karena hal-hal sebagai
berikut.
- Keluarga tidak memahami dan mengenal sifat dan
luasnya masalah,
- Masalah kesehatan tidak begitu menonjol,
- Keluarga tidak sanggup memecahkan masalah
karena kurangnya pengetahuan dan sumber daya
keluarga,
- Keluarga tidak sanggup memilih tindakan di antara
beberapa pilihan,
- Ketidakcocokan pendapat terjadi antar anggota
keluarga,
- Keluarga tidak mengetahui fasilitas kesehatan yang
ada,
- Keluarga takut mendapat akibat dari tindakan yang
akan dilakukan,
- Keluarga mempunyai sikap negatif terhadap
masalah kesehatan,
- Fasilitas kesehatan tidak terjangkau,
- Keluarga kurang percaya terhadap petugas dan
lembaga kesehatan,
- Keluarga mendapat informasi yang salah terhadap
tindakan yang diharapkan.
o Ketidakmampuan merawat anggota keluarga yang sakit
karena hal-hal sebagai berikut.
- Tidak mengetahui keadaan penyakit
- Tidak mengetahui tentang perkembangan perawatan
yang dibutuhkan
- Kurang atau tidak ada fasilitas yang diperlukan
untuk perawatan ketidakseimbangan sumber yang
ada dalam keluarga
- Sikap negatif terhadap anggota yang sakit
- Konflik individu dalam keluarga
- Sikap dan pandangan hidup
- Perilaku yang mementingkan diri sendiri
o Ketidakmampuan memelihara lingkungan rumah yang
dapat memengaruhi kesehatan dan perkembangan
pribadi anggota keluarga karena hal-hal sebagai berikut.
- Sumber dari keluarga tidak cukup
- Kurang mampu memelihara keuntungan dan
manfaat dari pemeliharaan lingkungan rumah
- Ketidaktahuan pentingnya sanitasi lingkungan
- Konflik personal dalam keluarga
- Ketidaktahuan tentang usaha pencegahan penyakit
- Sikap dan pandangan hidup
- Ketidakkompakan keluarga karena sifat
mementingkan diri sendiri
o Ketidakmampuan menggunakan sumber di masyarakat
untuk memelihara kesehatan karena hal-hal sebagai
berikut.
- Tidak tahu bahwa fasilitas kesehatan itu ada
- Tidak memahami keuntungan yang diperoleh
- Kurang percaya terhadap petugas kesehatan dan
lembaga kesehatan
- Pengalaman yang kurang baik dengan petugas
kesehatan
- Rasa takut akibat dari tindakan
- Fasilitas yang diperlukan tidak terjangkau
- Tidak adanya fasilitas yang diperlukan
- Rasa asing dan tidak ada dukungan dari masyarakat
- Sikap dan falsafah hidup
 Menentukan prioritas masalah
Prioritas masalah keperawatan dilakukan setelah analisis data.
Masalah perlu diprioritaskan karena pertimbangan sebagai
berikut.
1. Masalah keperawatan keluarga yang dijumpai lebih dari
satu
2. Sumber daya yang dimiliki keluarga dan komunitas
terbatas
3. Keterbatasan IPTEK keperawatan yang dikuasai perawat
keluarga
4. Berat dan menonjolnya masalah yang dirasakan oleh
keluarga berbeda-beda
5. Waktu yang dimiliki terbatas
6. Mengatasi masalah prioritas dapat mengatasi masalah lain
yang ditimbulkan akibat masalah inti tersebut.
 Berdasarkan sifat atau tipologi masalah, penilaian masalah adalah
sebagai berikut.
1. Ancaman kesehatan (2) : keadaan yang dapat beresiko
terjadinya penyakit, kecelakaan atau kegagalan dalam
mempertahankan kesehatan optimal. Misalnya, riwayat
penyakit keturunan, risiko tertular, risiko kecelakaan, dan lain-
lain.
2. Kurang sehat (3) : suatu keadaan sedang sakit atau gagal
mendapat kesehatan optimal. Misalnya, keadaan sedang sakit
dan kegagalan tumbuh-kembang.
3. Krisis (1) : suatu keadaan individu atau keluarga memerlukan
penyesuaian lebih banyak dalam hal sumber daya yang
dimiliki. Sebagai contoh, kehamilan, aborsi, lahir di luar nikah,
dan kehilangan orang yang dicintai.
 Kemungkinan masalah dapat diubah adalah kemungkinan
berhasilnya mengurangi masalah keperawatan atau mencegah
masalah bila ada tindakan tertentu. Pemberian nilainya adalah
dengan mudah (2), hanya sebagian (1), dan tidak dapat diubah (0).
 Potensi masalah untuk dicegah adalah sifat dan beratnya masalah
keperawatan yang akan terjadi bila dapat dikurang atau dicegah.
Pemberian nilainya adalah tinggi (3), cukup (2), dan rendah (1).
 Menonjolnya masalah adalah cara keluarga memandang dan
menilai masalah keperawatan berkaitan dengan berat dan
mendesaknya untuk segera diatasi. Pemberian nilainya adalah
masalah berat dan harus segera diatasi (2), masalah dirasakan,
tetapi tidak perlu segera diatasi (1), dan masalah tidak dirasakan
(0).

Tabel 3.1 Penghitungan Prioritas

NO KRITERIA SKOR BOBOT NILAI


1 Sifat masalah 1
Ancaman 2 Misal :
2/3 x 1
Kurang sehat 3
Krisis 1
2 Kemungkinan 2
masalah dapat
diubah
Dengan mudah 2
Hanya sebagian 0 1/2 X 2
Tidak dapat 1
3 Potensi masalah 1
untuk dicegah
Tinggi 2
Cukup 3 2/3 X 1
Rendah 1
4 Menonjolnya
masalah
Masalah berat dan 2
harus segera diatasi
Masalah dirasakan, 0 1 1/2 X 1
tetapi tidak perlu
segera diatasi
Masalah tidak
dirasakan

Penghitungan nilai adalah skor yang diperoleh sesuai dengan kriteria


dibagi angka tertinggi dalam skor dikalikan bobot.

Skor (total nilai sesuai kriteria) X bobot = nilai tertinggi 5 (bobot total)
Angka tertinggi dalam skor

Prioritas sifat masalah yang paling tinggi diberikan kepada poin


kurang sehat karena memerlukan tindakan segera, biasanya disadari
dan dirasakan keluarga.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki masalah


keperawatan keluarga adalah sebagai berikut.

1. IPTEK keperawatan yang ada saat ini untuk mengatasi masalah


2. Sumber dana keluarga dalam bentuk uang, fisik, dan tenaga.
3. SDM Keperawatan dalam bentuk IPTEK keperawatan yang
dikuasai oleh perawat keluarga saat ini termasuk keterampilan dan
waktu yang tersedia bila tindakan dilaksanakan.
4. Sumber daya komunitas dalam bentuk fasilitas kesehatan,
organisasi masyarakat, dan dukungan masyarakat.
5. Dalam menentukan skor yang tepat berdasarkan potensi masalah
untuk dapat dicegah, kita perlu memerhatikan hal-hal sebagai
berikut.
 Berhubungan dengan beratnya masalah, prognosis atau
potensi untuk diubah. Pada umumnya makin berat masalah
makin sulit potensi untuk diubah
 Lamanya masalah, berkaitan dengan jangka waktu.
Biasanya, bila masalah sudah berlangsung lama, makin
sulit untuk diubah.
 Tindakan yang tepat, makin tepat tindakan makin baik
untuk mencegah atau mengatasi masalah.
 Pada kelompok resiko tinggi, masalah mungkin makin sulit
untuk dicegah.

Intervensi Keperawatan Keluarga (Perencanaan)

Pengertian intervensi keperawatan keluarga

Ada beberapa definisi intervensi keperawatan dalam literatur. ANA’s


Social Policy Statement (1995) mendefinisikan intervensi keperawatan
keluarga sebagai tindakan perawat untuk kepentingan pasien, keluarga
atau komunitas dengan tujuan untuk membantu pasien, serta keluarga
dan komunitas dengan tujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki
kondisi fisik, emosional, psikososial, spiritual, budaya, serta lingkungan
tempat mereka mencari bantuan. Selain itu, Bulechek dan McCloskey
(1994) mendefinisikan intervensi keperawatan sebagai penanganan
perawatan langsung yang perawat lakukan untuk kepentingan klien.
Intervensi keperawatan meliputi tindakan yang diprakarsai oleh perawat
dan tindakan yang diprakarsai oleh dokter. Menurut Wright Thin Bell
(1994), intervensi keperawatan adalah tindakan atau respons dari
perawat yang meliputi hubungan tindakan terapeutik yang terjadi dalam
konteks hubungan perawat klien untuk memengaruhi individu,
keluarga, atau fungsi komunitas yang merupakan tanggung jawab
perawat.

Intervensi keperawatan keluarga atau perencanaan adalah proses


menetapkan tujuan, mengidentifikasi sumber-sumber dalam keluarga
untuk tindakan keperawatan, membuat alternatif-alternatif pendekatan
kepada keluarga, merancang intervensi, dan menetapkan prioritas terapi
keperawatan.

Tujuan jangka panjang dalam asuhan keperawatan keluarga merupakan


arah untuk menghilangkan penyebab atau etiologi. Tujuan jangka
pendek ditetapkan melalui pelaksanaan lima tugas keluarga dalam
bidang kesehatan.

Tahap intervensi dan evaluasi keperawatan merupakan tahap lanjut dari


proses keperawatan keluarga. Setelah menyusun rencana keperawatan,
perawat mencoba untuk mengimplementasikannya dalam bentuk
tindakan secara nyata di dalam keluarga dengan mengerahkan segala
kemampuan professional yang dimiliki untuk mendapatkan perubahan
kondisi kesehatan keluarga yang lebih baik dari sebelumnya. Pada tahap
intervensi, perawat diharapkan dapat memobilisasi sumber-sumber
yang ada di dalam dan di luar keluarga untuk mencapai tujuan yang
diharapkan dalam rencana keperawatan.

Kemampuan perawat dalam mengimplementasikan rencana


keperawatan keluarga dihadapkan dengan berbagai faktor-faktor yang
ada di dalam keluarga, seperti keterbatasan pengetahuan keluarga,
keterbatasan sumber daya dan dana keluarga, serta pengaruh sosial
budaya masyarakat. Berbagai bentuk intervensi keperawatan keluarga
dapat dilakukan, mulai dari intervensi yang sederhana sampai kompleks
yang memerlukan kemampuan khusus tatanan kondisi kesehatan
keluarga.

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam asuhan keperawatan


keluarga, perawat perlu melakukan evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang dapat dilaksanakan secara bertahap atau pada akhir
asuhan keperawatan ambilan. Hasil evaluasi ini sangat bermanfaat
sebagai bahan untuk pengambilan keputusan, apakah asuhan
keperawatan perlu diakhiri atau modifikasi terhadap rencana
keperawatan yang telah disusun.

Indikasi untuk intervensi keperawatan keluarga

Wright & Leahey dalam Friedman (1998) menganjurkan untuk


melakukan intervensi keperawatan keluarga pada kondisi-kondisi
berikut.

1. Adanya keluarga dengan suatu masalah yang berhubungan di antara


anggota keluarga yang dipengaruhi
2. Adanya anggota keluarga dengan penyakit yang memiliki dampak
yang merugikan secara nyata terhadap anggota keluarga yang lain.
3. Anggota keluarga mendukung permasalahan atau gejala pada
individu
4. Salah satu anggota keluarga menunjukkan perbaikan dari gejala,
sedangkan anggota keluarga yang lain mengalami kemunduran.
Seorang anggota keluarga didiagnosis penyakitnya untuk pertama
kali.
5. Seorang anggota keluarga didiagnosis penyakitnya untuk pertama
kali
6. Perkembangan anak atau remaja secara emosional, tingkah laku,
atau fisik dalam konteks anggota keluarga yang sakit
7. Salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit kronis pulang
atau pindah dari suatu institusi ke komunitas.
8. Anggota keluarga mengalami penyakit yang mematikan

Tingkatan intervensi keperawatan keluarga

Anda mungkin juga menyukai