MAKASSAR
MAKASSAR
KEPERAWATAN
TRANSKULTURAL
TUJUAN PEMBELAJARAN
Etnik
Istilah atau terminology yang sering digunakan dalam konsep etnik dan
budaya adalah kelompok dominan dan kelompok minoritas. Kelompok dominan
adalah sekelompok komunitas yang memiliki otoritas karena mereka berfungsi
sebagai pengawal (guardian), yaitu mengendalikan sistem nilai dan memberi
ganjaran kepada masyarakat. Kelompok minoritas adalah sekelompok orang yang
mempunyai fisik atau karakteristik budaya yang berbeda dengan masyarakat
setempat sehingga mengalami perbedaan perlakuan (Kozier & Erb, 1995).
Kelompok dominan sering disebut kelompok masyarakat yang mayoritas,
misalnya orang Jawa di Indonesia. Kelompok dominan tidak selalu yang terbesar,
misalnya orang Padang yang mengalami perdagangan makanan matang (Rumah
Makan) di Indonesia.
Budaya
Pengertian
Tujuan
Klien yang dirawat dirumah sakit harus belajar budaya baru, yaitu budaya
rumah sakit, selain membawah budayanya sendiri. Klien secara aktif memilih
budaya dari lingkungan, termasuk dari perawat dan semua pengunjung di rumah
sakit. Klien yang sedang dirawat belajar agar cepat pulih dan segera pulang ke
rumah untuk memulai aktivitas hidup yang lebih sehat.
Kesehatan
Lingkungan
Keperawatan
Keperawatan adalah ilmu dan kiat yang diberikan kepada klien dengan
landasan budaya (Andrew & Boyle, 1995). Keperawatan merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan
berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan
kepada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sehat maupun sakit yang
mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan klien sesuai latar belakang budayanya (Andrew &
Boyle, 1995; Giger & Davidhizar, 1995; Kozier & Erb, 1995). Pola
pengkajian di rumah sakit atau di rumah dirancang untuk memfasilitasi
perawat pelaksana dalam memahami keseluruhan latar belakang budaya
klien. Pada penelitian ini, pengkajian dengan pendekatan Leininger’s
sunrise model, seperti pada Gambar 1.1 yang telah, dipaparkan
sebelumnya, menelaah tujuh komponen dimensi budaya dan struktur sosial
yang saling berinteraksi, yaitu :
Pemanfaatan teknologi kesehatan
Teknologi kesehatan adalah sarana yang memungkinkan
manusia untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan
masalah dalam pelayanan kesehatan (Loedin, 2003). Masalah
kesehatan adalah masalah manusia dan mencakup berbagai aspek
kehidupan manusia, lingkungan hidup dan budaya (Loedin, 2003).
Pemanfaatan teknologi kesehatan dipengaruhi oleh sikap tenaga
kesehatan, kebutuhan serta permintaan masyarakat.
Berkaitan dengan pemanfaatan teknologi kesehatan ini,
perawat perlu mengkaji persepsi klien tentang penggunaan dan
pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan
saat ini, alasan mencari bantuan kesehatan, persepsi sehat-sakit,
kebiasaan berobat, atau mengatasi masalah kesehatan. Sebagai
contoh, klien mempunyai alasan tidak mau dioperasi untuk
mengatasi kanker yang dialami dan lebih memilih pengobatan
alternative. Pilihan lain, klien mengikuti tes laboratorium darah dan
memahami makna hasil tes tersebut.
Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah respons klien sesuai dengan latar
belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah, atau dikurangi melalui
intervensi keperawatan (Andrew & Boyle, 1995; Giger & Davidhizar,
1995; Potter & Perry, 1997). Perawat dapat melihat respons klien dengan
cara mengidentifikasi budaya yang mendukung kesehatan, budaya yang
menurut klien pantang untuk dilanggar, dan budaya yang bertentangan
dengan kesehatan. Budaya yang mendukung kesehatan, seperti olahraga
teratur, membaca, atau suka makan sayur. Budaya yang menurut klien
pantang untuk dilanggar, seperti hal yang tabu dilakukan atau makanan
pantang. Budaya yang bertentangan dengan kesehatan, seperti merokok.
Menurut Andrew & Boyle (1995) dan Giger & Davidhizar (1995), ada tiga
diagnosis keperawatan transkultural yang paling sering ditegakkan, yaitu
gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan perbedaan kultur,
gangguan interaksi sosial yang berhubungan dengan disorientasi
sosiokultural, dan ketidakpatuhan dalam pengobatan yang berhubungan
dengan sistem nilai yang diyakini.
Perencanaan dan Implementasi
Perencanaan dan implementasi adalah suatu proses memilih
strategi keperawatan yang tepat dan melaksanakan tindakan sesuai dengan
latar belakang budaya klien (Andrew & Boyle, 1995; Giger dan
Davidhizar, 1995). Perencanaan dan implementasi keperawatan
transkultural menawarkan tiga strategi sebagai pedoman (Leininger, 1984;
Andrew & Boyle, 1995), yaitu mempertahankan budaya bila budaya
pasien tidak bertentangan dengan kesehatan, negoisasi budaya yaitu
intervensi keperawatan untuk membantu klien beradaptasi terhadap
budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya, dan
restrukturisasi budaya klien karena budaya yang dimiliki saat ini
bertentangan dengan kesehatannya.
Intervensi dan implementasi keperawatan dilakukan berdasarkan
budaya klien dengan strategi yang telah ditetapkan di atas. Sebagai contoh,
apabila budaya klien dengan perawat berbeda, perawat dank lien mencoba
mernaluarni budaya masing-masing, melalui proses akulturasi, yaitu
proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang pada
akhirnya akan memperkaya budaya mereka sehingga akan terjadi tenggang
rasa terhadap budaya masing-masing. Bila perawat tidak memahami
budaya klien, klien akan merasa tidak percaya pada perawat sehingga
mengakibatkan hubungan terapeutik perawat-klien terganggu. Sebagai
akibatnya, inseraksi keperawatan yang telah diberikan tidak sepenuhnya
dilaksanakan oleh klien. Pemahaman budaya klien amat mendasari
efektivitas keberhasilan menciptakan hubungan perawat-klien yang
bersifat terapeutik. Hubungan perawat-klien yang bersifat terapeutik akan
menciptakan kepuasan klien dan membangkitkan energy kesembuhan
(McCloskey & Grace, 2001).
Evaluasi
Evaluasi adalah sekumpulan metode dan keterampilan untuk
menentukan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan
dan memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan individu (Posavac,
1980 dalam Sahar, 1998).
Evaluasi juga merupakan cara kritis untuk suatu pengambilan
keputusan yang baik mengenai tingkat kualitas, alokasi sumber daya, dan
pola tenaga keperawatan untuk perencanaan berikutnya (Sahar, 1998).
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien dalam mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, negoisasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan
kesehatan, dan restrukturisasi budaya yang bertentangan dengan
kesehatan. Melalui evaluasi, perawat dapat mengetahui asuhan
keperawatan yang sesuai dengan keinginan atau sesuai latar belakang
budaya klien.
Kompetensi Budaya
Kompetensi budaya adalah seperangkat perilaku, sikap, dan
kebijakan yang bersifat saling melengkapi dalam suatu sistem kehidupan
sehingga memungkinkan untuk berinteraksi secara efektif dalam suatu
kerangka berhubungan antarbudaya di dunia (Cross, T. et al, 1989).
Kompetensi budaya juga merupakan suatu kemampuan dan sistem nilai
yang dimiliki individu dalam berespons secara efektif terhadap semua
kultur yang dihadapi, kelompok kelas kehidupan ras, latar belakang etnik
dan agama, serta memahami perilaku yang diaktualisasikan, memahami
perbedaan dan kesamaan sistem nilai yang dianut individu, keluarga dan
komunitas, serta kemampuan memproteksi dan memelihara harga diri
siapa pun yang dihadapi.
Kompetensi budaya mencakup memahami dan menghormati
perbedaan antara klien dan keluarga mengenai sistem nilai yang dianut,
harapan, dan pengalaman menerima pelayanan kesehatan. Pada
kesempatan yang sama, perawat perlu mencermati potensi
teraktualisasinya praktik keperawatan / kesehatan berbasis budaya. Asuhan
keperawatan yang berbasis kompetensi budaya memungkinkan perawat
sebagai petugas kesehatan mengelola secara utuh elemen-elemen
pelayanan kesehatan di keluarga, termasuk mengelola hambatan atau
tantangan di tingkat institusional. Pendekatan transkultural merupakan
suatu perspektif yang unik karena bersifat kompleks dan sistematis secara
alamiah. Bersifat kompleks dan sistematis secara alamiah karena secara
kontekstual melibatkan banyak hal, seperti bahasa yang digunakan, tradisi,
nilai historis yang teraktualisasikan, serta ekonomi. Konsekuensinya,
perawat sebagai tenaga kesehatan perlu memahami perbedaan substansi di
antara individu, keluarga, komunitas, termasuk organisasi pelayanan
kesehatan. Misalnya, keluarga di daerah pantai, pegunungan, atau keluarga
yang tinggal di pengungsian, mereka memiliki konteks yang berbeda
termasuk sistem nilai yang diaktualisasikan. Perawat keluarga idealnya
memiliki kompetensi budaya sehingga asuhan keperawatan yang diberikan
efektif dan bersifat humanis.
Penggunaan Bahasa
Bahasa yang digunakan pada komunikasi lintas budaya perlu
mendapat perhatian khusus. Bahasa di tanah Jawa umumnya bertingkat-
tingkat bergantung dari lawan bicara yang dihadapi. Dalam bahasa Jawa
dan Sunda, dikenal tingkatan bahasa kelas bawah (kasar), menengah (agak
halus, dan kromo inggil (sangat halus). Bila kita memerhatikan orang Jawa
atau orang Sunda sedang berbicara dengan lawan bicaranya, maka kita
akan tahu dari bahasa yang digunakan. Bila seseorang menggunakan
bahasa yang kasar, biasanya posisinya secara sosial lebih terhormat,
sedangkan yang menggunakan bahasa kromo inggil lebih rendah karena
menghormati orang yang posisinya lebih tinggi atau lebih dituakan.
Pada etnik Betawi tidak dikenal pembagian pola bahasa seperti
pada orang Jawa dan Sunda. Anak dapat memanggil kedua orang tuanya
dengan menyebut namanya saja. Flo dan Gee dalam bahasa Betawi yang
artinya ‘kamu’ dan ‘saya’ tidak memiliki tingkatan. Antar anggota
keluarga Betawi berhubungan tanpa jarak bila ditinjau dari bahasa yang
digunakan. Untuk menunjukkan jarak anak dengan ayah teraktualisasikan
dalam bentuk otoritas ayah kepada anak dan istri. Keputusan ayah mutlak
bagi anak dan istri. Oleh karena itu, anak-anak Betawi memiliki dualisme
kepribadian, yaitu antara kebebasan berekspresi dengan kontrol ketat
sehingga menghasilkan keraguan untuk bertindak.
budaya dan Makanan
budaya dan makanan memiliki hubungan yang sangat erat.
Makanan berfungsi untuk mempertahankan, meningkatkan, dan
mengembalikan kesehatan yang optimal, pemilihan bahan, pengolahan,
penyajian, dan pengonsumsiannya berkaitan dengan budaya individu,
keluarga, dan komunitas setempat. Misalnya, wanita hamil dari suku
Sunda yang harus dapat mempertahankan kesehatan selama hamil perlu
mengonsumsi protein, tetapi adat melarang wanita hamil memakan
makanan yang berbau amis karena khawatir akan kondisi anak yang
dilahirkan nanti. Contoh lainnya, budaya makan nasi pada saat panen padi
dan meninggalkan makan sayur-sayuran (wortel) di daerah Cianjur pada
era tahun 70-an, ternyata menyebabkan angka rabun senja meningkat saat
musim padi dan menurun saat musim tanam padi.
Kondisi tersebut dapat dialami berbagai suku yang dijumpai oleh
perawat saat melakukan asuhan keperawatan keluarga. Setiap suku acap
kali mengaktualisasikannya secara berbeda. Kondisi ini harus dipahami
betul oleh perawat. Contoh lain, daun kelor muda di Jakarta umumnya
untuk memandikan mayat dan tidak dimakan, tetapi di Ujung Pandang
daun kelor disayur dan dimakan. Suku Padang tidak bisa makan sayur atau
lalapan seperti suku Sunda. Budaya makan suku Padang yang banyak
mengonsumsi lemak dan amat sedikit sayur dapat beresiko terjadinya
penyakit saluran pencernaan dan pembuluh darah, misalnya kanker
lambung atau stroke. Sementara, budaya makan suku Sunda yang sedikit
mengonsumsi lemak, tetapi banyak sayur-sayuran beresiko terjadi
defisiensi vitamin A karena vitamin A larut dalam lemak dan lemak yang
tersedia di struktur otot orang suku Sunda tidak optimal untuk menyimpan
vitamin A.
Budaya memengaruhi individu dan keluarga dalam menentukan
makanan yang dikonsumsi. Orang muslim tidak akan memakan daging
anjing, babi, atau hewan yang dianggap halal, misalnya ayam, Jika tidak
disembelih dengan menyebut nama Allah. Orang Kristen boleh makan
daging anjing atau babi, sementara orang Hindu tidak mengonsumsi
daging sapi walaupun menurut agama lain boleh. Makanan untuk hewan
biasanya tidak disajikan untuk manusia, tetapi makan untuk manusia
biasanya dapat diberikan kepada hewan. Ada keluarga atau etnik tertentu
percaya bahwa memakan darah hewan akan meningkatkan vitalitas dan
kekuatan, misalnya darah yang sudah beku (mars), atau etnik di Irian yang
meminum darah babi segar. Marus yang merupakan darah beku, banyak
dijumpai dan dijual di pasar-pasar untuk dikonsumsi sehari-hari.
Makanan juga dikaitkan dengan jenis kelamin, makanan maskulin
atau feminim. Gado-gado, rujak, ketoprak, sate ayam, soto ayam, atau the
adalah makanan feminim yang identic dengan perempuan. Sate kambing,
sop kambing, atau kopi adalah makanan maskulin yang identic dengan
lelaki. Makanan juga berkaitan dengan usia, susu dan madu adalah
makanan untuk anak-anak. Makanan untuk orang dewasa, misalnya
kacang goreng, kopi, atau teh tubruk. Makanan juga dikaitkan dengan
kondisi kesehatan seseorang, makanan orang sakit biasanya menggunakan
sedikit garam dan tanpa cabe sehingga rasanya hambar.
Perawat harus menyadari dan memahami jenis makanan dan pola
diet yang dilakukan oleh keluarga. Keluarga Indonesia, pada umumnya
makan tiga kali sehari walaupun ada etnik tertentu yang mempunyai pola
makan dua kali dalam sehari. Pada pagi hari biasanya menyantap makanan
ringan dengan kopi atau teh. Setiap keluarga mempunyai pola jenis
makanan yang berbeda untuk setiap kali makan, misalnya sarapan pagi,
makan siang atau makan malam. Perawat perlu mengidentifikasi kebiasaan
tersebut. Pola makan dalam keluarga amat erat dengan kebiasaan
menyimpan makanan di lemari es atau dapur mereka.
Makanan juga dapat mempererat hubungan kekerabatan. Pada
orang Jawa atau orang Sunda saat lebaran, mereka akan mengantar
makanan kepada yang lebih dituakan walaupun yang lebih muda mungkin
lebih miskin. Makanan hantaran di sini berfungsi sebagai bentuk
pengakuan bahwa yang menerima dituakan/dihormati sekaligus sebagai
ungkapan syukur orang yang muda kepada yang lebih tua. Makanan dapat
membangun dan mempertahankan hubungan antar manusia, misalnya
makanan yang dibawa sendiri-sendiri kemudian diletakkan di satu tempat
selanjutnya disantap bersama-sama. Situasi ini dapat meningkatkan rasa
keakraban dan kebersamaan. Untuk menghilangkan kebencian kepada
orang lain yang membenci kita, kita dapat memberikan makanan kepada
orang tersebut. Saling hantar dan tukar menukar makanan antar keluarga
di Indonesia merupakan hal yang lazim dan perlu dipertahankan.
Bentuk penyajian makanan dapat mengindikasikan sesuatu yang
istimewa. Misalnya, nasi tumpeng, bubur merah putih, rujak nujubulanan,
dan hantaran dengan kardus atau besek. Pada hari istimewa seringkali kita
menyajikan makanan dalam bentuk yang berbeda di dalam keluarga,
misalnya merayakan keberhasilan atau ulang tahun. Nasi goreng,
misalnya, lebih sering disajikan keluarga pada saat sarapan pagi.
KONSEP KELUARGA
Sudiharto
Tujuan Pembelajaran
Bentuk Keluarga
Menurut Duval (1997), daur atau siklus kehidupan keluarga terdiri dari
delapan tahap perkembangan yang mempunyai tugas dan resiko tertentu pada
tiap tahap perkembangannya.
Tahap 1, pasangan baru menikah (keluarga baru). Tugas perkembangan
keluarga pada tahap ini adalah membina hubungan perkawinan yang
saling memuaskan, membina hubungan harmonis dengan saudara dan
kerabat, dan merencanakan keluarga (termasuk merencanakan jumlah
anak yang diinginkan).
Tahap 2, menanti kelahiran (child bearing family) atau anak tertua
adalah bayi berusia kurang dari 1 bulan. Tugas perkembangan keluarga
pada tahap ini adalah menyiapkan anggota keluarga baru (bayi dalam
keluarga), membagi waktu untuk individu, pasangan, dan keluarga.
Tahap 3, keluarga dengan anak prasekolah atau anak tertua 2,5 tahun
sampai dengan 6 tahun. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini
adalah menyatukan kebutuhan masing-masing anggota keluarga, antara
lain ruang atau kamar pribadi dan keamanan, mensosialisasikan anak,
menyatukan keinginan anak-anak yang berbeda, dan mempertahankan
hubungan yang “sehat” dalam keluarga.
Tahap 4, keluarga dengan anak sekolah atau anak tertua berusia 7
sampai 12 tahun. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini adalah
mensosialisasikan anak-anak termasuk membantu anak-anak mencapai
prestasi yang baik di sekolah, membantu anak-anak membina hubungan
dengan teman sebaya, mempertahankan hubungan perkawinan yang
memuaskan, dan memenuhi kebutuhan masing-masing anggota
keluarga.
Tahap 5, keluarga dengan remaja atau dengan anak tertua berusia 13
sampai 20 tahun. Tugas perkembangan pada tahap ini adalah
mengimbangi kebebasan remaja dengan tanggung jawab yang sejalan
dengan maturitas remaja, memfokuskan kembali hubungan perkawinan,
dan melakukan komunikasi yang terbuka di antara orangtua dengan
anak-anak remaja.
Tahap 6, keluarga dengan anak dewasa (pelepasan). Tugas
perkembangan keluarga pada tahap ini adalah menambah anggota
keluarga dengan anggota keluarga yang baru melalui pernikahan anak-
anak yang telah dewasa, menata kembali hubungan perkawinan,
menyiapkan datangnya proses penuaan, termasuk timbulnya masalah-
masalah kesehatan.
Tahap 7, keluarga usia pertengahan. Tugas perkembangan keluarga
pada tahap ini adalah mempertahankan kontak dengan anak dan cucu,
memperkuat hubungan perkawinan, dan meningkatkan usaha promosi
kesehatan.
Tahap 8, keluarga usia lanjut. Tugas perkembangan keluarga pada
tahap ini adalah menata kembali kehidupan yang memuaskan,
menyesuaikan kehidupan dengan penghasilan yang kurang,
mempertahankan hubungan perkawinan, menerima kehilangan
pasangan, mempertahankan kontak dengan masyarakat, dan
menemukan arti hidup.
Tujuan :
Pokok-pokok kegiatan :
Menurut Friedman (1981), alasan keluarga sebagai unit pelayanan adalah sebagai
berikut :
Keluarga dengan anggota keluarga pada masa usia subur yang memiliki
kondisi, seperti (a) tingkat sosial ekonomi rendah; (b) keluarga kurang
mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri; (c) keluarga dengan
keturunan yang kurang baik atau keluarga dengan penyakit keturunan.
Keluarga dengan resiko tinggi, masalah maternitas pada salt ham ii: (a)
usia ibu(<16/>35 tahun.); (b) menderita kekurangan gizi atau anemia; (c)
menderita hipertensi; (d) primipara atau multipara; dan (e) riwayat
persalinan dengan komplikasi.
Keluarga dengan anak yang beresiko tinggi karena : (a) lahir prematur; (b) berat
badan kurang atau tidak naik dalam bulan berikutnya; (c) lahir dengan cacat
bawaan; (d) ASI kurang sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, dan (e) ibu
menderita penyakit menular yang dapat mengancam bayi atau anaknya,
Keluarga lanjut usia atau balita, yaitu : (a) pasangan lanjut usia tinggal serumah,
(b) keluarga yang memiliki anggota lanjut usia dalam keadaan tidak sehat, (c)
keluarga memiliki anggota lanjut usia dan balita, dan (d) keluarga yang memiliki
dua balita, 1 keluarga yang tidak mampu menjalankan tugas perkembangan
individu dan atau tugas perkembangan keluarga, keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan penyakit kronis yang menular atau tidak menular atau penyakit
metabolik.
Sudiharto
Wahyu Widagdo
TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan asuhan keperawatan keluarga (Kozier & Erb, 1995; Friedman, 1998; Mc
Closkey & Grace, 2001) adalah sebagai berikut :
1. Memandirikan klien sebagai bagian dari anggota keluarga.
2. Mensejahterakan klien sebagai gambaran kesejahteraan keluarga.
3. Meningkatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap anggota keluarga
4. Meningkatkan produktivitas klien dan keluarga
5. Meningkatkan kualitas keluarga
Pengkajian
Pengkajian Keluarga
Bagan 1
Perencanaan
Evaluasi
Pengkajian
Bagan 2
Di Komunitas
Skor (total nilai sesuai kriteria) X bobot = nilai tertinggi 5 (bobot total)
Angka tertinggi dalam skor