Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Keselamatan Pasien

1. Pengertian Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien merupakan suatu variabel untuk mengukur dan

mengevaluasi kualitas pelayan keperawatan yang berdampak terhadap

pelayanan kesehatan. Kesalahan karena identifikasi pasien sering terjadi

hampir semua aspek atau tahapan diagnosis dan pengobatan sehingga

diperlukan adanya ketepatan identifikasi pasien (Nursalam, 2018).

Keselamatan pasien adalah bebas dari cidera fisik dan psikologis

yang menjamin keselamatan pasien, melalui penetapan sistem operasional,

meminimalisasi terjadinya kesalahan, mengurangi rasa tidak aman pasien

dalam sistem perawatan kesehatan dan meningkatkan pelayanan yang

optimal (Hadi, 2017).

Keselamatan pasien juga merupakan hal yang sangat penting dalam

setiap pelayanan kesehatan, sehingga dapat dikatakan bahwa keselamatan

merupakan tanggung jawab dari pemberi jasa pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan disetiap unit

perawatan baik akut maupun lanjutan harus berfokus pada keselamatan

pasien baik dalam tatanan rumah sakit maupun perawatan dirumah

(Ismainar, 2015).

Sedangkan menurut Kemenkes RI (2015) keselamatan pasien

adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.

Sistem tersebut meliputi assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal

8
9

yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi

solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan

dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang

seharusnya dilakukan.

2. Tujuan Keselamatan Pasien

Tujuan keselamatan pasien menurut Permenkes RI (2017) meliputi

menciptakan budaya atau iklim keselamatan pasien di rumah sakit,

meningkatkan kepercayaan (akuntabilitas) pasien dan masyarakat terhadap

rumah sakit, mengurangi kejadian yang tidak diharapkan (KTD) serta

terwujudnya pelaksanaan program-program pencegahan sehingga tidak

terjadi kembali kejadian yang tidak diharapkan (KTD).

International Commission Joint (2013), menjelaskan tujuan

keselamatan pasien meliputi :meningkatkan keakuratan identifikasi pasien

dengan menggunakan dua identitas pasien untuk mengidentifikasi serta

mengeleminasi kesalahan tranfusi, meningkatkan komunikasi diantara

pemberi pelayanan kesehatan dengan menggunakan prosedur komunikasi,

secara teratur melaporkan informasi yang bersifat kritis dan memperbaiki

pola serah terima pasien, meningkatkan keselamatan penggunaan

pengobatan dengan cara pemberian label pada obat, mengurangi bahaya

penggunaan antikoagulan, mengurangi risiko yang berhubungan dengan

infeksi dengan mencuci tangan yang benar, mencegah resistensi penggunaan

obat infeksi, menjaga central line penyebaran infeksi melalui darah,


10

menggunakan pengobatan selama perawatan secara akurat dan lengkap,

mengkomunikasikan pengobatan kepada petugas selanjutnya, membuat

daftar pengobatan pasien, mengupayakan pasien mendapatkan pengobatan

seminimal mungkin, mengurangi risiko bahaya akibat jatuh, mencegah

terjadinya luka tekan, organisasi mengidentifikasi risiko keselamatan di

seluruh populasi pasien dan protokol umum untuk mencegah kesalahan

tempat, salah prosedur dan orang pada saat tindakan operasi.

Sedangkan tujuan keselamatan pasien menurut Hadi (2017) antara

lain terciptanya budaya keselamatan pasien, menurunnya kejadian yang

tidak aman bagi pasien (menurunnya KTD, KNC, kejadian sentinel),

memberikan kepuasan bagi pasien maupun pihak internal rumah sakit

sendiri, dan mutu pelayanan kesehatan menjadi lebih baik. Tujuan

keselamatan pasien sebagai arah dalam mencapai visi ke depan yaitu

terciptanya penerapan keselamatan pasien.

3. Sasaran Keselamatan Pasien di Rumah Sakit

Menurut Permenkes RI (2011) dalam Hadi (2017), semua rumah

sakit yang terakreditasi oleh Joint Commission International (JCI) wajib

mengimplementasikan six international safety goals atau enam sasaran

keselamatan pasien meliputi :

a. Ketepatan identifikasi pasien

b. Peningkatan komunikasi yang efektif

c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai

d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi

e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan


11

f. Pengurangan risiko pasien jatuh

Tujuan sasaran international keselamatan pasien (SIKP) adalah

untuk menggunakan tindakan-tindakan perbaikan tertentu mengenai

keselamatan pasien. Sasaran utama dari SIKP ada pada bidang-bidang yang

bermasalah dalam perawatan kesehatan dan juga pemberian bukti dan solusi

hasil konsensus menurut nasihat para ahli. Dengan demikian solusi yang

bisa diterapkan untuk keseluruhan sistem akan diambil dengan

pertimbangan bahwa pemberian perawatan kesehatan yang aman dan

berkualitas tinggi akan memerlukan desain sistem yang baik (International

Commission Joint, 2013).

Menurut Hadi (2017) sasaran keselamatan pasien meliputi

tercapainya hal-hal sebagai berikut ketepatan identifikasi pasien,

peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang

perlu diwaspadai, kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien

operasi, pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan

pengurangan resiko pasien jatuh

4. Prinsip keselamatan pasien

Menurut Kohn (2000) dalam Hadi (2017) ada lima prinsip untuk

merangcang safety sistem di organisasi kesehatan yaitu:

1) Provide leadership meliputi :

a) Menjadikan keselamatan pasien sebagai tujuan utama atau prioritas

b) Menjadikan keselamatan pasien sebagai tanggung jawab bersama.

c) Menunjuk atau menugaskan seseorang yang bertanggung jawab untuk

program keselamatan.
12

d) Sistem

e) Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk mengidentifikasi

“unsafe” dokter

2) Memperhatikan keterbatasan manusia dalam perancangan proses yakini :

a) Design jo for safety

b) Menyederhanakan proses

c) Membuat standar proses

3) Mengembangkan tim yang efektif

4) Antisipasi untuk kejadian tak terduga :

a) Pendekatan proaktif,

b) Menyediakan antidotum dan

c) Training simulasi.

5) Menciptakan atmosfer “learning”

B. Konsep Ketepatan Identifikasi Pasien

1. Pengertian ketepatan Identifikasi Pasien

Identifikasi berasal dari kata identify yang artinya meneliti,

menelaah, identifikasi adalah kegiatan yang mencari, menemukan,

mengumpulkan meneliti, mendaftarkan, mencatat data dan informasi dari

kebutuhan lapangan, dengan kata lain identifikasi adalah mengetahui

identitas seseorang dan dengan identitas tersebut kita dapat mengenal

sesorang dengan membedakan dari orang lain (Mathar, 2018).

Identifikasi pasien adalah suatu upaya atau usaha yang dilakukan

dalam sebuah pelayanan kesehatan sebagai suatu proses yang bersifat

konsisten, prosedur yang memiliki kebijakan atau telah disepakati,


13

diaplikasikan sepenuhnya, diikuti dan dipantau untuk mendapatkan data

yang akan digunakan dalam meningkatkan proses identifikasi (Joint

Commission International, 2012).

Identifikasi pasien yang benar merupakan landasan keselamatan

pasien dalam pengaturan kesehatan. Kesalahan identifikasi pasien dapat

terjadi dalam setiap lokasi dimana layanan kesehatan di berikan seperti

ruang rawat inap, rawat jalan, laboratorium. Identifikasi pasier yang diakui

untuk mengidentifikasi pasien adalah nama, nomor rekam medis dan

tanggal lahir (Hadi, 2017).

Keamanan pelayanan di rumah sakit salah satunya dimulai dari

ketepatan identifikasi pasien. Kesalahan identifikasi pasien diawal

pelayanan akan berdampak pada kesalahanan pelayanan pada tahap

selanjutnya. Proses identifikasi pasien yang digunakan diseluruh rumah

sakit memerlukan setidaknya dua cara untuk mengidentifikasi pasien,

seperti nama, nomor kartu identitas/KTP, tanggal lahir, gelang berkode

batang atau cara lain. Nomor kamar atau lokasi tidak dapat digunkan untuk

identifikasi. Proses yang menggunakan dua penanda identitas yang berbeda

digunakan secara seragam diseluruh rumah sakit. Namun demikian, dua

penanda identitas yang digunakan di unit rawat inap dapat berbeda dari dua

penanda identitas di unit rawat jalan. Sebagai contoh, nama pasien dan

nomor rekam medis dapat digunakan diseluruh area rawat inap, dan nama

pasien serta tanggal lahir dapat digunakan diseluruh unit rawat jalan, seperti

di unit gawat darurat, unit pelayanan rawat ambulatoryatau area rawat jalan

lainnya (Joint Commission International, 2017).


14

Proses identifikasi pasien perlu dilakukan dari sejak awal pasien

masuk rumah sakit yang kemudian identitas tersebut akan selalu

dikonfirmasi dalam segala proses di rumah sakit, seperti saat sebelum

memberikan obat, darah atau produk darah atau sebelum mengambil darah

dan spesimen lain untuk pemeriksaan. Sebelum pengobatan dan tindakan

atau prosedur. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan identifikasi

pasien yang nantinya bisa berakibat fatal jika pasien menerima prosedur

medis yang tidak sesuai dengan kondisi pasien seperti salah pemberian obat,

salah pengambilan darah bahkan salah tindakan medis (Permenkes RI,

2017).

2. Elemen ketepatan identifikasi pasien

Menurut Permenkes (2011) dalam Hadi (2017) terdapat lima

elemen ketepatan identifikasi pasien yaitu: pasien dididentifikasikan

menggunakan dua identitas pasien, misalnya : nama pasien, nomor rekam

medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan barcode, tidak boleh

menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien, pasien diidentifikasikan

sebelum pemberian obat, darah atau produk darah, pasien dididentifikasikan

sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis,

pasien diidentifikasikan sebelum pemberian pengobatan dan tindakan atau

prosedur, dan kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi

yang konsisten pada semua situasi dan lokasi.

Menurut SNARS (2018), dalam mengidentifikasi pasien terdapat

beberapa elemen penilaian antara lain:

a) Ada regulasi yang mengatur pelaksanaan identifikasi pasien


15

b) Identifikasi pasien dilakukan dengan menggunakan minimal dua (2)

identitas dan tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien

dirawat sesuai dengan regulasi rumah sakit

c) Identifikasi pasien dilakukan sebelum tindakan, prosedur diagnostik, dan

terapeutik

d) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, produk darah,

pengambilan spesimen, dan pemberian diet

e) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian radioterapi, menerima cairan

intravena, hemodialisis, pengambilan darah atau pengambilan spesimen

lain untuk pemeriksaan klinis, katerisasi jantung, prosedur radiologi

diagnostik dan identifikasi terhadap pasien koma.

3. Tujuan Ketepatan Identifikasi Pasien

Kegagalan atau kesalahan dalam melakukan identifikasi terhadap

pasien bisa terjadi disemua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan, seperti

ketika pemberian obat dan darah, pengambilan darah dan spesimen lain

untuk pemeriksaan klinis serta penyerahan bayi kepada bukan keluarganya.

Kesalahan dalam mengidentifikasi pasien dapat juga terjadi saat pasien

dalam kondisi terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar,

bertukar tempat tidur/kamar/lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori,

atau akibat situasi lain (Permenkes RI RI, 2011).

Menurut Peraturan Menteri kesehatan Nomor 1691, 2011 tujuan

dan maksud dari identifikasi adalah :

a. Untuk mengidentifikasi pasien yang akan menerima pelayanan atau

pengobatan
16

b. Kesesuaian atau pengobatan terhadap individu tersebut

Menurut Mathar (2018) tujuan dari identifikasi pasien yaitu :

a. Mencegah salah pasien

Mencegah petugas melakukan kesalahan pada pasien dikarenakan salah

identitas tidak sesuai dengan yang dimaksud/atau pasien yang

diinstruksikan oleh dokter tidak sesuai

b. Mencegah tertukarnya identitas pasien meinyalnya untuk bayi kembar

baru lahir

c. Memudahkan dokter untuk mengevaluasi kondisi pasien setiap hari.

Ada 2 tujuan standar : pertama, memastikan ketepatan pasien yang

akan menerima layanan atau tindakan dan kedua , untuk menyelaraskan

layanan atau tindakan yang dibutuhkan oleh pasien (SNARS, 2018).

4. Cara Mengidentifikasi Pasien

Identifikasi pasien yang benar merupakan landasan keselamatan

pasien dalam pengaturan kesehatan. Identifikasi pasien yang diakui adalah

nama, nomor rekam medis dan tanggal lahir.mengidentifikasi pasien penting

saat pemberian obat dan tranfusi darah, pemeriksaan laboratorium,

prosedur/tindakan diagnostik dan operasi. Identifikasi gelang nama

(tangan/kaki) wana, dan barcode/label nama. Perawat harus verifikasi

gelang nama dan warna setiap serah terima pasien (shift) (Hadi, 2017).

Pada saat pemberian pengobatan harus menggunakan prinsip 6

benar : benar obat, benar dosis, benar pasien, benar rute, benar waktu dan

benar pendokumentasian (Potter & Perry, 2010).


17

Menurut Suharjo (2013) ada beberapa metode yang sering

digunakan dalam mencegah kesalahan identifikasi pasien yaitu melalui

verifikasi menggunakan metode : identifikasi visual dan verbal, identifikasi

menggunakan kartu/papan, gelang tangan (wristband), bar code dan

teknologi lain

a) Identifikasi visual dan verbal

Cara ini merupakan metode identifikasi pasien yang paling sederhana

yaitu dengan melihat dan menanyakan nama, tanggal lahir atau identitas

lainnya. Dokter dan perawat menyapa dan bertanya kaepada pasien,

begitupun sebaliknya

b) Identifikasi menggunakan kartu/papan

Petugas kesehatan memanfaatkan papan nama yang tertera di tempat

tidur pasien atau di sekitar tempat tidur pasien (dinding). Sebelum

memberikan atau melakukan sesuatu kepada pasien. Cara ini juga masih

beresiko terutama bila pasien berpindah tempat tanpa diikuti penggantian

identitas pasien

c) Gelang tangan

Saat ini gelang tangan dianggap sebagai prosedur standar yag yang harus

dikenakan setiap pasien menjalani rawat inap di rumah sakit. Pihak

rumah sakit menentukan warna gelang yang yang dipakai. Identitas

gelang ditulis dengan huruf balok, jelas terbaca dan ditlis dengan pena

serta di desain sedemikian rupa agar tulisan tidak memudar saat pasien di

mandikan. Identitas ynag tertu;lis mencakup dua informasi misalnya


18

nama, tanggal lahir, umur, jenis kelamin, nomor register. Pemasangan

gelang merupakan yang dibuat oleh rumah sakit

d) Bar code

Ditoko atau super market adanya sistem bar code membuat kasir bekerja

lebih cepat dan lebih sedikit membuat kesalahan dalam menghitung

barang yang dibeli. Melihat tingkat kesalahannya yang relatif sangat

kecil, bar code memiliki peran penting dalam meminimalisasi kesalahan

identifikasi pasien, pemberian obat, penanganan spesimen dan rekam

medis

e) Cheklist

Tujuan pembuatan cheklist adalah menjamin bahwa apa yang kita

lakukan sudah sesuai dengan prosedur dan tidak ada sesusatupun yang

terlewat entah karena lupaatau tidak terfikirkan. Cheklist menjadi alat

bantu untuk mengurangi keterbatasan kita soal daya ingat.

Strategi mengidentifikasi pasien dan mengurangi kesalahan

meliputi penciptaan dan pelaksanaan praktik keselamatan yang berkualitas

secara rutin, pemantauan indikator yang dapat diandalkan secara terus

menerus, analisis akar penyebab, penggunaan bar-code, kegiatan pendidikan

keselamatan pasien secara profesional dan bertanggung jawab, kerjasama

interdisipliner (perawat dengan dokter, laboratorium dan farmasi),

menangani masalah identifikasi pasien pada perawat baru dalam masa

orientasi dan pemantauan berkelanjutan (Hassan et al , 2011)


19

5. Akibat Kesalahan Identifikasi

Pasien Kesalahan identifikasi pasien adalah adanya ketidakcocokan

antara pasien yang terkait dengan identifikasi pasien yang akan

mendapatkan pelayanan atau perawatan. Kesalahan identifikasi memiliki

potensi untu menimbulkan kejadian adverse events atau kejadian tidak

diharapkan (KTD), near miss atau kejadian nyaris cidera (KNC), kejdian

potensi cidera (KPC), dan kejadian tidak cidera (KTC). (Australian on

Safety and Quality in Health Care, 2010).

Menurut Ismaniar (2015) kesalahan identifikasi pasien akan

menyebabkan kerugian bagi pasien dan pihak Rumah Sakit, sepserti biaya

yang harus di tanggung pasien menjadi lebih besar, pasien semakin lama di

rawat di Rumah Sakit dan terjadinya resistensi obat. Kerugian bagi Rumah

Sakit yang harus di keluarkan menjadi lebih besar yaitu pada upaya tindakan

pencegahan terhadap kejadian luka tekan, infeksi nosokomial, pasien jatuh

dengan cedera, kesalahan obat yang mengakibatkan cedera.

National Patient Safety Agency (2017) melaporkan dalam rentang

waktu Januari sampai Desember 2016 angka kejadian keselamatan pasien

yang dilaporkan dari Negara Inggris adalah sebanyak 1.879.822 kejadian.

Ministry of Health Malaysia melaporkan angka insiden keselamatan pasien

dalam rentang waktu Januari-Desember 2013 sebanyak 2.769 kejadian

(National Patient Safety Agency, 2017). Selain itu berdasarkan hasil

penelitian di Amerika memperlihatkan bahwa 1.5 juta orang mengalami

insiden setiap tahunnya dan diperkirakan rata-rata 10% dari semua

kunjungan rawat inap menimbulkan beberapa bentuk bahaya yang tidak


20

diinginkan, laporan dari negara-negara berkembang juga menunjukkan

angka 77% pada kasus kejadian tidak di harapkan (KTD) (Aspend, 2017).

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Keselamatan Pasien

Pelaksanaan keselamatan pasien sering mengalami kesalahan. Hal ini

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Vincent (2010) mengidentifikasi tujuh

elemen yang mempengaruhi keselamatan yaitu : faktor organisasi dan

manajemen, faktor lingkungan kerja, faktor tim, faktor individu, karakteristik

pasien dan faktor lingkungan eksternal.

Menurut Wardhani (2017) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi kinerja petugas kesehatan terhadap keselamatan pasien

diantaranya yaitu kelelahan, stress, komunikasi tidak adekuat dan kurang

kompeten menjadi sangat penting. Depkes, (2008) mengungkapkan bahwa

faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien

adalah: faktor eksternal/luar rumah sakit, faktor organisasi dan manajemen,

faktor lingkungan kerja, faktor tim, faktor petugas dan kinerja, faktor tugas,

faktor pasien, dan faktor komunikasi.

Menurut Hadi (2017) faktor yang mempengaruhi keselamatan pasien

yaitu :

a) Budaya keselamatan

Budaya keselamatan merupakan nilai-nilai individu dan kelompok,

sikap, persepsi, kompetensi, dan pola perilaku berkomitmen untuk

mendukung manajemen dan program keselamatan pasien. Budaya

keselamatan pasien dasarnya mencerminkan sikap dan nilai pelaksana yang

terkait dengan pengelolaaan manajemen dan risiko keselamatan. Dimensi


21

budaya keselamata organisasi mencakup komitemn manajemen terhadap

keselamatan, praktik kerja yang berkaitan dengan keselamatan, kepatuhan

terhadap peraturan keselamatan, risiko manajemen, pelaporan kesalahan dan

insiden. Budaya keselamatan telah menjadi masaah yang signifikan bagi

organisasi kesehatan berusaha untuk meningkatkan keselamatan pasien.

Organisasi perlu mnegubah budaya karyawan untuk mudah untuk

melakukan hal yang benar dan tidak melakukan kesalahan dalam perawatan

pasien. Institute of medicine menyatakan, kesehatan organisasi perawatan

harus mengembangkan budaya keselamatan sehingga proses desain

organisasi dan tenaga kerja yang difokuskan pada tujuan yang jelas,

peningkatan kompetensi dan proses keamanan perawatan.

b) Manajer atau pimpinan

Manajer atau pimpinan mempunyai kemampuan untuk

mempengaruhi orang terhadap pencapaian tujuan organisasi. Para manajer

bertanggung jawab menjalankan kebijakan dan prosedur yang telah dibuat

dan teah disepakati bersama terkait dengan keselamatan pasien di tingkat

unit pelayanan masing-masing dan memegang peranan pada setiap tingkat

manajemen, mulai dari manajer bawah (kepala ruang), manajer menengah

dan top manajer.

Manajer atau pimpinan memainkan peran dalam mengembangkan

program keselamatan pasien. Manajer memimpin perubahan dan

bertanggung jawab untuk menetapkannarah bagi suatu unit yang

dipimpinnya. Manajer atau pemipin berkomitmen dan memberikan contoh

yang dinyatakan dalam tindakan untuk keberhasilan program keselamatan


22

pasien. Manajer tingkat menengah atas harus menunjukkan komitmen

terhadap keselamatan pasien dengan cara mengunjungi ruang perawat

pelaksana. Manajer tingkat bawah (kepala ruang) sebagai manajer di ruang

rawat mempunyai peran yang sangat penting, salah satunya adalah membuat

perencanaan ruangan. Perencanaan merupakan tahap yang sangat penting

dan menjadi prioritas di antara fungsi manajemen yang lain. Tahap

perencanaan yang adekuat, proses manajemen akan mengalami kegagalan.

c) Komunikasi

Komunikasi sangat penting untuk efisiensi kerja dan untuk

koordinasi antara pelaksana, tim dan manajer. Komunikasi dalam organisasi

biasanya digambarkan sebagai satu arah (mislanya dalam instruksi tertulis)

atau dua arah (percakapan misalnya dengan telepon). Pebedaan utama antara

satu dan komunikasi dua arah adalah bahwa dua arah memberikan umpan

balik yang memungkinkan pengirim dan penerima untuk memastikan bahwa

arti dalam informasi tersebut telah dipahami. Masalah komunikasi dapat

dikategorikan sebagai kegaglan sistem, pesan dan penerimaan, dapat

menyebabkan kesalahan yang dapat terjadi sebagai individu gagal untuk

menerima atau untuk menyampaikan informasi atau berkomunikasi.

Kegagalan komunikasi merupakan penyebab utama membahayakan pasien.

Analisis peristiwa 2.455 kejadian sentinel dilaporkan ke badan akreditasi di

amerika serikat (JCAHO) mengungkapkan bahwa penyebab utama kejadian

sentinel tersebut 70% adalah kegagalan komunikasi. Beberapa masalah

utama berkaitan dengan shift atau hand offer pasien, kualitas informasi yang

di catat di dokumen pasien, catatan kasus dan insiden laporan, efek status
23

staf junior menghambat pelaporan, dan kesulitan transmisi informasi di

suatu organisasi. Hal ini perlu diciptakan memberikan kesempatan kepada

semua anggota tim untuk berbicara dan bertukar informasi dengan baik.

Permenkes RI (2011) mengemukakan komunikasi yang efektif

masuk dalam sasaran keselamatan pasien pada sasaran II peningkatan

komunikasi yang efektif yaitu komunikasi efektif yang tepat waktu, akurat,

lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien akan mengurangi kesalahan,

dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien.

d. Petugas kesehatan

Petugas kesehatan memiliki kemampuan untuk pedul dan perhatian

bagi keselamatan pasien. Terkait dengan keselamatan pasien yang paling

mudah dilakukan oleh petugas kesehatan adalah menjaga kebersihan tangan,

untuk membatasi penularan pathogen. Kepatuhan menjaga kebersihan

tangan merupakan perubahan perilaku yang bekerja dengan cara yang dapat

mempengaruhi kesehatan dan keselamatan yaitu umur dan tingkat melalui

proses belajar dan pengalaman yang di dapat dalam lingkungan.

Kemampuan untuk menganli dan mencegah bahaya seiring dengan

pertambahan usia dan tingkat perkembangannya.

D. Konsep Budaya Keselamatan Pasien

1. Definisi Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan pasien adalah produk dari nilai, sikap,

kompetensi dan pola perilaku individu dan kelompok yang menentukan

komitmen, style dan kemampuan suatu organisasi pelayanan kesehatan

terhadap program keselamatan pasien. Jika suatu organisasi pelayanan


24

kesehatan tidak mempunyai budaya keselamatan pasien maka kecelakaan

bisa terjadi akibat dari kesalahan laten, gangguan psikologis dan fisiologis

pada staf, penurunan produktifitas, berkurangnya kepuasan pasien dan

menimbulkan konflik internal (Kemenkes, 2017).

Budaya keselamatan pasien merupakan suatu kondisi di mana

budaya organisasi mendukung dan mempromosikan keselamatan pasien.

Budaya keselamatan pasien merujuk dari keyakinan, nilai dan norma-norma

yang ditunjukkan oleh praktisi pelayanan kesehatan dan staf lain dalam

suatu organisasi yang mempengaruhi tindakan dan sikapnya. Budaya

keselamatan pasien merupakan sesuatu yang bisa diukur dengan cara

menghargai apa yang dilakukan oleh pegawai, dukungan yang diberikan dan

penerimaan dari organisasi terhadap sesuatu yang terkait dengan

keselamatan pasien (Sorra et al. 2016).

2. Manfaat budaya keselamatan pasien

Menurut Hadi (2017) budaya keselamatan pasien merupakan hal

yang penting dalam keselamatan pasien. Manfaat utama dalam budaya

keselamatan pasien adalah organisasi menyadari apa yang salah dan

pembelajaran terhadap kesalahan tersebut. Manfaat lain dalam budaya

keselamatan pasien antaralain:

a. Organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau

jika keselahan yang sudah terjadi.

b. Meningkatkan laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan

yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang

kembali dan keparahan dari keselamatan pasien.


25

c. Kesadaran akan keselamatn pasien, yaitu bekerja untuk mencegah eror

dan melaporkan jika ada kesalahan .

d. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena

kesalahan yang telah diperbuat.

e. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami

insiden, pada umumnya akan mengalami perpanjangan hari perawatan

dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya

diterima pasien.

f. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan

terapi.

g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan

pasien

3. Aspek Budaya Keselamatan Pasien

O’Neal (2012) menilai budaya keselamatan pasien melalui tiga

aspek :

a. Tingkat unit, mencakup: supervisor/manager action promoting

safety, organizational learning-perbaikan berkelanjutan, kerjasama

dalam unit di rumah sakit, komunikasi yang terbuka, umpan balik

dan komunikasi mengenai kesalahan, respon tidak mempersalahkan

terhadap kesalahan, dan manajemen ketenagakerjaan

b. Tingkat rumah sakit, mencakup: dukungan manajemen terhadap

upaya keselamatan pasien, kerjasama antar unit di rumah sakit,

perpindahan transisi pasien


26

c. Keluaran, mencakup persepsi keseluruhan staf di rumah sakit terkait

keselamatan pasien, frekuensi pelaporan kejadian, peringkat

keselamatan pasien, jumlah total laporan kejadian dalam 12 bulan

terakhir

4. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien

Dimensi budaya keselamatan pasien menurut Agensi For Health

Care Research And Quality (AHRQ) dalam Hadi (2017) adalah The

Hospital Survey And Pasien Safety dengan 12 elemen untuk mengukur

keselamatan pasien. Agensi For Health Care Research And Quality

(AHRQ), menilai dimensi budaya keselamatan pasien melalui tiga aspek:

a. Tingkat unit mencakup: supervisor atau manager action promoting

safety, organisational learning-perbaikan berkelanjutan, kerjasama

dalam unit dirumahsakit, komunikasi yang terbuka, umpan balik dana

komunikasi mengenai kesalahan, respon tidak mempersalahkan terhadap

kesalahan, manajemen ketenagakerjaan.

b. Tingkat rumah sakit mencakup: dukungan manajemen terhadap upaya

keselamatan pasien, kerjasama antar unit dirumahsakit, perpindahan dan

transisi pasien.

c. Keluaran mencakup: persepsi keseluruhan staff dirumahsakit terkait

keselamatan pasien, frekuensi pelaporan kejadian, dan peringkat

keselamatan pasien.
27

Dimensi dalam budaya keselamatan pasien yaitu (Sorra et al. 2016):

a. Keterbukaan komunikasi

Staff merasa bebas untuk berbicara jika melihat sesuatu yang egative

yang berpengaruh terhadap pasien dan staff merasa bebas untuk bertanya

lebih dalam dengan menggunakan otoritas yang mereka miliki

b. Feedback dan komunikasi tentang kesalahan yang terjadi

Staff diinformasikan mengenai kesalahan yang terjadi, diberikan

feedback mengenai perubahan yang akan diimplementasikan, dan

mendiskusikan cara untuk mencegah kesalahan

c. Frekuensi pelaporan kejadian

Kesalahan yang dilaporkan yaitu dalam bentuk:

1) Kesalahan yang diketahui dan diperbaiki karena menyangkut pasien

2) Kesalahan yang tidak berpotensi membahayakan pasien

3) Kesalahan yang dapat membahayakan pasien

d. Dukungan organisasi untuk keselamatan pasien

Manajemen rumah sakit menyediakan lingkungan kerja yang

mempromosikan keselamatan pasien dan menunjukkan bahwa

keselamatan pasien merupakan prioritas dalam manajemen rumah sakit

e. Nonpunitive respon to error/respon tidak menghakimi pada kesalahan

yang dilakukan

Staff merasa bahwa kesalahan dan kejadian yang dialporkan tidak

ditujukan untuk menyalahkan dirinya, dan kesalahan tersebut tidak hanya

menjadi masalah pribadinya saja


28

f. Organizational learning-pembelajaran berkelanjutan Kesalahan akan

mendorong perubahan positive dan perubahan tersebut akan dievaluasi

untuk menilai keefektifannya

g. Persepsi keseluruhan mengenai keselamatan pasien

Sistem dan prosedur yang ada sudah bagus untuk pencegahan kesalahan

dan hanya terdapat sedikit masalah mengenai keselamatan pasien

h. Staffing

Staff yang ada di rumah sakit sudah cukup untuk mengatasi beban kerja

yang tinggi dan jam kerja sudah sesuai untuk melakukan perawatan dan

pelayanan terbaik untuk pasien

i. Supervisor/harapan manajer dan tindakan yang dilakukan untuk

meningkatkan keselamatan pasien

Supervisor/manajer mempertimbangkan saran dari staff untuk

meningkatkan keamanan pasien, memberikan respon positif terhadap

staff yang mengikuti prosedur keselamatan pasien dengan benar dan

tidak berlebihan dalam melakukan pembahasan mengenai masalah

keselamatan pasien

j. Kerjasama lintas unit Unit-unit dalam rumah sakit bekerja sama dan

berkordinasi satu sama lain untuk menyediakan pelayanan terbaik untuk

pasien

k. Kerjasama antar unit/dalam unit

Staff dalam unit saling mendukung satu sama lain, saling menghargai

satu sama lain dan bekerja sama sebagai satu tim.


29

E. Konsep Lingkungan Kerja

1. Definisi Lingkungan Kerja

Lingkungan dapat didefinisikan sebagai tempat pemukiman dengan

segala sesuatunya dimana organismenya hidup beserta segala keadaan dan

kondisi yang secara langsung maupun tidak langsung diduga ikut

mempengaruhi tingkat kehidupan dari organisme tersebut (Effendi, 2013).

Lingkungan kerja yang kondusif akan membuat tenaga kerja dapat

menikmati apa yang sedang dikerjakan (Malik, 2016).

Menurut Sedarmayati (2016) definisi lingkungan kerja adalah

keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya

di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik

sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok.

Menurut Bahri (2018) lingkungan kerja memiliki pengertian bahwa

segala sesuatu yang ada disekitar karyawan yang dapat mempengaruhi

dirinya dalam melakukan pekerjaan. Lingkungan fisik yang nyaman dan

nyaman sungguh mempengaruhi terhadap kinerja karyawan. Sedangkan

menurut Afandi (2016) lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di

sekitar karyawan yang dapat mempengaruhi dalam menjalankan tugas yang

diembankan padanya.

Kondisi lingkungan kerja (misalnya panas, bising debu, zat-zat

kimia dan lain-lain) dapat menjadi beban tambahan terhadap pekerja.

Beban-beban tambahan tersebut secara sendiri atau bersama-sama dapat

menimbulkan gangguan pada pekerja sehingga dapat merugikan pasien

(Effendi, 2013)
30

2. Manfaat Lingkungan Kerja

Setiap lingkungan kerja hendaknya dikondisikan yang aman dan

sehat karena hal tersebut mengurangi tingkat kecelakaan kerja, penyakit,

stress kerja dan mampu meningkatkan kualitas kehidupan kerja para

pekerjaannya. Manfaat lingkungan kerja adalah menciptakan gairah kerja,

sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang

diperoleh karena pekerja dengan mrang-orang termotivasi adalah pekerjaan

dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan di selesaikan sesuai

standar yang benar dan dalam skala waktu yang ditentukan (Afandi, 2016).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja

Faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja menurut Bahri (2018)

mencakup dua macam yaitu :

a. Lingkungan kerja fisik

Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang dapat

mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Lingkungan kerja fisik dapat dibagi menjadi dua kategori yatu :

1. Lingkungan yang berhubungan lansung dengan karyawan seperti

fasilitas

2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum yang mempengaruhi

kondisi menusia misalnya temperatur, kelembapan, sirkulasi udara,

pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, warna dan lain-lain


31

b. Lingkungan kerja non-fisik

Lingkungan kerja non-fisik adalah semua keadaan yang terjadi berkaitan

dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun

hubungan sesama rekan kerja ataupun hubungan dengan bawahan.


32

F. Kerangka Teori

Bagan 2.1
Kerangka Teori

Elemen ketepatan
identifikasi pasien
Faktor-faktor pelaksanaan
ketepatan identifikasi pasien:  identifikasi menggunakan
a. Faktor organisasi dan dua identitas.
manajemen.  identifikasi sebelum
b. Faktor lingkungan kerja. pemberian obat
c. Faktor teamwork.
d. Faktor individu  identifikasi sebelum
e. Karakteristik pasien mengambil darah
f. Faktor lingkungan  identifikasi sebelum
eksternal. pemberian pengobatan
g. Budaya keselamatan dan tindakan atau
h. Manajer/pimpinan
prosedur.
i. Komunikasi
j. Petugas kesehatan  Kebijakan dan prosedur
Vincent (2010), Hadi (2017) mengarahkan
pelaksanaan identifikasi
yang konsisten
(Hadi, 2017)

Sumber : Vincent (2010) & Hadi (2017)

Anda mungkin juga menyukai