Anda di halaman 1dari 3

Erizeli Jely Bandaro

9 jam

Memahami APBN secara sederhana.


( Ekonomi).

Penghasilan Pak Dulah sebagai Guru honorer sebulan Rp.800.000. Itu pekerjaannya untuk 3
jam di sekolah SLTP. Dengan penghasilan sebesar itu pak Dulah harus menghidupi biaya
rumah tangga dengan satu anak. Pengeluaran sebulan setelah di hitung mencapai Rp.
3.000.000. Artinya defisit sebesar Rp. 2.200.000. Pengeluaran itu terdiri dari biaya
transfortasi sebesar Rp. 500.000. Biaya makan Rp. 1.000.000. Biaya sewa rumah Rp.
700.000. Lantas bagaimana Pak Dulah bisa bertahan hidup dengan biaya lebih besar dari
pendapatan tetapnya ?

Perhatikan solusi yang dikakukannya. Pertama dia membeli motor dengan kredit. Dengan
uang gaji dia pakai untuk uang muka pembelian motor sebesar Rp. 300.000. Cicilan sebesar
Rp. 800.000 sebulan untuk jangka waktu 3 tahun. Motor itu digunakannya untuk pergi
mengajar. Artinya ada penghematan sebesar Rp.500.000/Bulan biaya transfortasi. Sepulang
mengajar, motor itu digunakan untuk ngojek dengan penghasilan rata rata sebulan Rp. Rp.
1500.000. Kemudian di bantu istrinya , dia membuka warung depan rumah. Untuk modal ,
dia menarik kredit dari koperasi simpan pinjam sebesar Rp. 3 juta. Dengan cicilan sebesar
Rp. 300.000 sebulan. Dari usaha warung rumahan itu , diperoleh pendapatan rata rata sebulan
Rp. 1500.000.0.

Sekarang perhatikan struktur anggaran rumah tangga Pak Dulah.


Penerimaan
Gaji honorer = Rp. 800.000.
Pendapatan dari ngoject = Rp. 1.500.000
Pendapatan dari Usaha warung = Rp. 1.500.000
Penghematan transfortasi = Rp. 500.000
Total penerimaan adalah Rp. 4.300.000.0

Pengeluaran
-Belanja rutin = 3.000.000
Cicilan motor = 800.000
Cicilan hutang koperasi = Rp. 300.000
Total pengeluaran Rp. 4.100.000

Selisih surplus antara penerimaan dan pengeluaran adalah Rp. 200.000. Nah Rp. 200.000 ini
disebut dengan ruang fiskal bagi keluaga Pak Dulah. Ini bebas dia gunakan. Tapi Pak Dulah
tidak gunakan uang ini untuk konsumsi makan di mall atau piknik. Tapi ditabung untuk biaya
investasi anak sekolah dan sebagian di gunakan meningkatkan modal bagi usaha rumahannya
agar semakin besar peluang menghasilkan penerimaan. Juga biaya pendidikan Pak Dulah
untuk kuliah lagi. Berlalunya waktu semakin besar penerimaan, maka Dulah membeli rumah
agar biaya sewa tidak perlu ada lagi. Diapun memperluas usahanya menjadi pedagang
kelontongan di pasar tradisional yang dibantu istrinya. Apalagi Pak Dulah sudah jadi sarjana
berpeluang mendapatkan karir lebih baik.
Cerita tentang Pak Dulah ini pernah diterapkan oleh Jepang dan Korea ketika awal
membangun setalah perang korea dan perang dunia kedua. Korea dan Jepang tidak punya
sumber pendapatan yang bisa menutupi anggaran negaranya. Benar benar minus. Tapi AS
memberikan pinjaman dalam rangka restorasi perang kepada Korea dan Jepang. PInjaman ini
tidak di pakai untuk konsumsi tapi produksi dan investasi. Pemerintah berhutang lebih 300%
dari PDB. Apakah akhirnya jepang dan korea bangkrut ? tidak. Malah berkat hutang dari AS
itu mereka menjadi negara maju dengan tingkat pendapatan diatas rata rata negara
berkembang. Artinya hutang berperan besar meningkat ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Begitu pula dengan Pak Dulah yang sukses melewati hidup yang keras berkar hutang.

***
Ada lagi cerita. Pak Somad seorang Pegawai swasta. Gajinya sebulan Rp. 10.000.000. Tapi
pengeluaran sebesar Rp. 13.000.000. Artinya defisit sebesar Rp. 3 juta rupiah. Somad sepakat
dengan istrinya bahwa mereka akan berhutang maksimum sebesar 3 % dari total hartanya.
Total hartanya Rp. 300 juta. Artinya mereka bisa berhutang maksimum sebesar Rp. 9 juta.
Nah karena defisit hanya sebesar Rp. 3 juta atau 1 % dari harta maka mereka berani
berhutang menutupi defisit. Tapi hutang itu tidak menyisakan ruang fiskal apapun. Karena
semua hutang itu habis untuk belanja rutin.

Apa yang terjadi dari tahun ketahun hutang terus bertambah karena gali lobang tutup lobang.
Akibatnya perbandingan antara hutang dengan harta mencapai 80%, Akhirnya terpaksa harta
dijual untuk bayar hutang. Mengapa sampai begitu ? karena setiap berhutang habis untuk
belanja rutin. Tidak tersisa untuk produksi yang bisa meningkatkan harta. Padahal apabila
hutang bertambah namun harta produktif juga bertambah, maka rasio hutang terhadap harta
tidak akan naik. Apa yang terjadi pada Somad, juga terjadi pada pemerintahan Bolivia,
venezuela, Italia, Yunani. Defisit ditutupi dari hutang namun ruang fiskal sangat kecil sekali.

Sebetulnya yang terjadi di Era SBY hampir sama. Ruang fiskal tidak cukup untuk bangun
bandara atau pelabuhan atau kawasan industri. Karena sebagian besar habis untuk konsumsi.
Akibatnya sejak 2011 ketika penerimaan menurun belanja terus meningkat defisit ditutup dari
hutang. Walau rasio defisit dibawah 3% dari PDB namun tidak ada peningkatan harta.
Makanya perbandingan hutang terhadap PDB terus meningkat. Tapi untung di era Jokowi
kebijakan anggaran diubah. Bagaimana perubahan itu?

Katakanlah penerimaan sebesar Rp. 100 juta rupiah. Pengeluaran Rp. 120 juta. Artinya defisit
sebesar Rp. 20 juta. Kalau PDB sebesar Rp, 1 miliar maka perbanding defisit terhadap PDB
sebesar 2%. Ini jelas aman dibawah pagu 3% yang ditetapkan oleh DPR. Tapi tidak ada ruang
fiskal untuk produksi dan investasi yang dilakukan Jokowi untuk ekspansi. Kalau Jokowi
pertahankan platform APBN seperti SBY maka tidak akan ada pembangunan insfrastruktur.
Lambat namun pasti Indonesia akan terjebak hutang tanpa ada peningkatan PDB secara
significant. Keputusan yang diambil adalah pemangkasan belanja rutin. Tapi penerimaan juga
menurun karena krisis global. Memang tidak ada defisit setelah pemangkasan anggaran itu.
Tapi juga tidak ada ruang fiskal untuk ekspansi. Sementara hutang masa lalu harus terus
dibayar sebagai belanja rutin.

Nah agar bisa ekspansi maka pos pengeluaran ditambah lagi sebesar ruang fiskal yang di
inginkan agar pertumbuhan ekonomi terjadi. Dampaknya APBN jadi defisit. Defisit ini
ditutupi dari hutang. Tapi semua hutang digunakan untuk investasi yang bisa memacu
produksi dan peningkatan pendapatan. Apa yang terjadi ? Walau hutang bertambah tapi harta
( PDB) juga bertambah, dan rasio hutang terhadap PDB juga tidak berpengaruh significant.
Apa yang dilakukan oleh Jokowi kurang lebih sama dengan Dulah tapi Jokowi masih lebih
baik karena masih ada harta. Beda. dengan Dulah yang mengawali dari nol atau defisit
gigantik. Kuncinya sama halnya dengan Dulah, bukan seberapa besar hutang atau rasio
hutang tapi sejauh mana focus kepada produksi bukan konsumsi, Makanya kerja keras dan
efisien adalah keniscayaan dan sukses akan terjadi sebagaimana sunatullah.

Anda mungkin juga menyukai