Anda di halaman 1dari 15

NAMA: LAURA OKTOFINA HEATUBUN

NIM: 2019-43-053
KELAS : A
MATKUL: FISIKA MODERN

Sifat partikel dari gelombang :


a. Efek Fotolistrik

Ketika seberkas cahaya dikenakan pada logam, ada elektron yang keluar dari permukaan logam.
Gejala ini disebut efek fotolistrik.

Efek fotolistrik diamati melalui prosedur sebagai berikut. Dua buah pelat logam (lempengan
logam tipis) yang terpisah ditempatkan di dalam tabung hampa udara. Di luar tabung kedua pelat
ini dihubungkan satu sama lain dengan kawat. Mula-mula tidak ada arus yang mengalir karena
kedua plat terpisah. Ketika cahaya yang sesuai dikenakan kepada salah satu pelat, arus listrik
terdeteksi pada kawat. Ini terjadi akibat adanya elektron-elektron yang lepas dari satu pelat dan
menuju ke pelat lain secara bersama-sama membentuk arus listrik.

Efek Fotolistrik (sumber: wikipedia)

Hasil pengamatan terhadap gejala efek fotolistrik memunculkan sejumlah fakta yang merupakan
karakteristik dari efek fotolistrik. Karakteristik itu adalah sebagai berikut.

1. Hanya cahaya yang sesuai (yang memiliki frekuensi yang lebih besar dari frekuensi
tertentu saja) yang memungkinkan lepasnya elektron dari pelat logam atau menyebabkan terjadi
efek fotolistrik (yang ditandai dengan terdeteksinya arus listrik pada kawat).

Frekuensi tertentu dari cahaya dimana elektron terlepas dari permukaan logam disebut
frekuensi ambang logam. Frekuensi ini berbeda-beda untuk setiap logam dan merupakan
karakteristik dari logam itu.
2. Ketika cahaya yang digunakan dapat menghasilkan efek fotolistrik, penambahan
intensitas cahaya dibarengi pula dengan pertambahan jumlah elektron yang terlepas dari pelat
logam (yang ditandai dengan arus listrik yang bertambah besar).

Tetapi, Efek fotolistrik tidak terjadi untuk cahaya dengan frekuensi yang lebih kecil dari
frekuensi ambang meskipun intensitas cahaya diperbesar.

3. Ketika terjadi efek fotolistrik, arus listrik terdeteksi pada rangkaian kawat segera setelah
cahaya yang sesuai disinari pada pelat logam. Ini berarti hampir tidak ada selang waktu elektron
terbebas dari permukaan logam setelah logam disinari cahaya.

Karakteristik dari efek fotolistrik di atas tidak dapat dijelaskan menggunakan teori gelombang
cahaya. Diperlukan cara pandang baru dalam mendeskripsikan cahaya dimana cahaya tidak
dipandang sebagai gelombang yang dapat memiliki energi yang kontinu melainkan cahaya
sebagai partikel.

Perangkat teori yang menggambarkan cahaya bukan sebagai gelombang tersedia melalui konsep
energi diskrit atau terkuantisasi yang dikembangkan oleh Planck dan terbukti sesuai untuk
menjelaskan spektrum radiasi kalor benda hitam.

Konsep energi yang terkuantisasi ini digunakan oleh Einstein untuk menjelaskan terjadinya efek
fotolistrik. Di sini, cahaya dipandang sebagai kuantum energi yang hanya memiliki energi yang
diskrit bukan kontinu yang dinyatakan sebagai 

E = hf.

Konsep penting yang dikemukakan Einstein sebagai latar belakang terjadinya efek fotolistrik
adalah bahwa satu elektron menyerap satu kuantum energi. Satu kuantum energi yang diserap
elektron digunakan untuk lepas dari logam dan untuk bergerak ke pelat logam yang lain.
Hal ini dapat dituliskan sebagai

Energi cahaya = Energi ambang + Energi kinetik maksimum elektron

E = W0 + Ekm

hf = hf0 + Ekm

Ekm = hf – hf0

Persamaan ini disebut persamaan efek fotolistrik Einstein. Perlu diperhatikan bahwa W0 adalah


energi ambang logam atau fungsi kerja logam, f0 adalah frekuensi ambang logam, f adalah
frekuensi cahaya yang digunakan, dan Ekm adalah energi kinetik maksimum elektron yang lepas
dari logam dan bergerak ke pelat logam yang lain.
Dalam bentuk lain persamaan efek fotolistrik dapat ditulis sebagai

Dimana m adalah massa elektron dan ve adalah dan kecepatan elektron. Satuan energi dalam SI
adalah joule (J) dan frekuensi adalah hertz (Hz). Tetapi, fungsi kerja logam biasanya dinyatakan
dalam satuan elektron volt (eV) sehingga perlu diingat bahwa 1 eV = 1,6 × 10−19 J.

Potensial Penghenti

Gerakan elektron yang ditandai sebagai arus listrik pada gejala efek fotolistrik dapat dihentikan
oleh suatu tegangan listrik yang dipasang pada rangkaian. Jika pada rangkaian efek fotolistrik
dipasang sumber tegangan dengan polaritas terbalik (kutub positif sumber dihubungkan dengan
pelat tempat keluarnya elektron dan kutub negatif sumber dihubungkan ke pelat yang lain),
terdapat satu nilai tegangan yang dapat menyebabkan arus listrik pada rangkaian menjadi nol.

Arus nol atau tidak ada arus berarti tidak ada lagi elektron yang lepas dari permukaan logam
akibat efek fotolistrik. Nilai tegangan yang menyebabkan elektron berhenti terlepas dari
permukaan logam pada efek fotolistrik disebut tegangan atau potensial penghenti (stopping
potential). Jika V0 adalah potensial penghenti, maka

Ekm = eV0

Persamaan ini pada dasarnya adalah persamaan energi. Perlu diperhatikan bahwa e adalah
muatan elektron yang besarnya 1,6 × 10−19 C dan tegangan dinyatakan dalam satuan volt (V).

Aplikasi Efek Fotolistrik


Efek fotolistrik merupakan prinsip dasar dari berbagai piranti fotonik (photonic device) seperti
lampu LED (light emitting device) dan piranti detektor cahaya (photo detector)

b. Teori kuantum cahaya

Pertengahan abad ke-17, yang mana seorang matematikawan dan fisikawan Belanda bernama
Christiaan Huygens mengutarakan pendapatnya bahwa cahaya adalah sebuah gelombang.
Huygens bahkan berhasil membuat gagasan-gagasan tentang gelombang secara umum yang
kemudian kita kenal sebagai Prinsip Huygens.

Namun, gagasan itu ditolak oleh Sir Isaac Newton .Di awal abad ke-18, Isaac Newton
menerbitkan bukunya yang berjudul “Opticks” yang mana di dalam buku tersebut diuraikan
secara terperinci gagasan-gagasan tentang cahaya, yang kemudian dikenal sebagai Teori
Korpuskular Cahaya.

Dalam teorinya tersebut, Newton berpendapat bahwa cahaya adalah sekumpulan partikel-partikel
sangat halus yang disebut corpuscles.

Ternyata dua pendapat dari dua tokoh besar matematikawan dan fisikawan dunia ini tetap
menjadi pertarungan epik antara dua gagasan ilmiah yang tidak terselesaikan hingga 400 tahun.
Baru pada awal abad ke-20, yakni saat Teori Kuantum dilahirkan, Teori Kuantum-lah yang akan
menjadi penentu yang menentukan teori mana yang lebih tepat di antara keduanya.

telah dijelaskan secara singkat dan jelas bagaimana sejarah perkembangan Teori Kuantum yang
bermula dari hilangnya keimanan para fisikawan abad ke-20 akan teori Fisika Klasik. Di mulai
dengan ramalan Bencana Ultraviolet yang diperkenalkan oleh Lord Rayleigh dan Sir James Jeans
pada awal abad ke-20 yang pada saat itu menjadi misteri terbesar dalam dunia fisika. Bencana
Ultraviolet menyatakan bahwa apabila frekuensi radiasi benda hitam dekat dengan frekuensi
Ultraviolet maka energy radiasi yang dipancarkan akan sangat besar sekali, ini sangatlah
berbahaya. Bisa jadi saat kita duduk diperapian, atau duduk di bawah terik matahari, atau duduk
di samping secangkir kopi yang panas, bisa jadi tubuh kita terbakar oleh radiasi tersebut. Inilah
Bencana Ultraviolet yang diramalkan oleh Rayleigh dan Jeans. Namun, kenyataannya Bencana
Ultraviolet itu tidak terbukti. Kita bebas duduk di dekat perapian, duduk di bawah terik matahari
atau pun duduk menikmati secangkir kopi tanpa harus khawatir dengan Bencana Ultraviolet.

Hingga setelah beberapa tahun kemudian, akhirnya misteri tersebut dipecahkan oleh fisikawan
Jerman bernama Max Planck. Hal yang menarik dari penemuan Max Planck adalah sifat cahaya
yang harus dipaksa menjadi potongan-potongan diskret cahaya selayaknya partikel, agar radiasi
benda hitam dapat sesuai dengan hasil eksperimen yang sebelumnya telah ada. Bukankah ini
sejalan dengan gagasan Newton? Bahwa cahaya adalah partikel.

Padahal pada masa itu, para fisikawan percaya bahwa cahaya merupakan gelombang yang
kontinyu, sebagaimana gagasan yang diutarakan oleh Christiaan Huygens. Fisikawan lebih
mempercayai gagasan Huygens karena lebih sesuai dengan sifat-sifat cahaya sesuai hasil
eksperimen, yakni dapat dipantulkan, dapat dibelokkan, dan sifat-sifat interferensi cahaya.

Bahkan sejak abad ke-19 para fisikawan telah berhasil menemukan bahwa cahaya
merupakan gelombang elektromagnet, yang tersusun oleh dua gelombang transversal kuat medan
magnet dan kuat medan listrik yang garis sumbu rambatnya saling berhimpit, dan masing-masing
arah vektornya saling tegak lurus satu sama lain, namun memiliki arah rambat yang sama.
Seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 1 Cahaya

Akan tetapi, gagasan Max Planck dalam memecahkan misteri radiasi benda hitam tidak
terbantahkan. Gagasannya bahkan semakin kuat setelah sahabatnya yang bernama Wilhelm
Wien menurunkan persamaan Hukum Pergeseran Wien miliknya menggunakan gagasan Planck
tersebut. Ini artinya gagasan Planck sangat shahih dalam menjelaskan bahwa cahaya bersifat
diskret selayaknya partikel.
Beberapa tahun kemudian, seorang fisikawan teoritis Jerman yang bernama Albert Einstein pun
secara tidak langsung menguatkan gagasan Planck. Ia dengan cara lain menemukan persamaan
yang revolusioner dalam menjelaskan Efek Fotolistrik.

Gambar 2 Efek Fotolistrik Einstein

Ditambah lagi dengan persamaan yang menghubungkan antara panjang gelombang cahaya
dengan momentum linear cahaya yang ditemukan oleh Pangeran de Broglie dari Perancis.
Persamaan gelombang de Broglie ini dapat menjelaskan bahwa cahaya pun memiliki momentum
linear, meskipun cahaya tidak memiliki massa. Padahal kita tahu bahwa momentum linear dapat
dinyatakan sebagai massa dikalikan dengan kecepatan, namun rumus ini tidak berlaku untuk
cahaya.

Secara bersamaan namun terpisah, seorang fisikawan Amerika Serikat bernama Arthur Holy
Compton menemukan efek Compton, yakni efek yang menjelaskan tentang peristiwa tumbukan
antara cahaya dan elektron. Sekali lagi, meskipun tidak memiliki massa, namun Teori Kuantum
menjelaskan bahwa cahaya memiliki momentum, cahaya bersifat dikret, cahaya terdiri dari
paket-paket cahaya, dan cahaya dapat menumbuk partikel. Inilah yang kemudian membuktikan
bahwa cahaya adalah materi, dan bentuk materi dari partikel cahaya disebut foton.

Gambar 3 Efek Compton

Akan tetapi perlu digarisbawahi, bahwa meskipun penemuan demi penemuan telah membuktikan
bahwa cahaya adalah partikel, namun semua gagasan pada Teori Kuantum tidak menihilkan sifat
gelombang pada cahaya. Jadi, sifat gelombang pada cahaya masih melekat dengan adanya
panjang gelombang cahaya dan atau frekuensi cahaya. Pada gagasan Planck pun, cahaya masih
dipandang sebagai gelombang yang memiliki panjang gelombang dan atau frekuensi tertentu.
Menurut Planck, energi foton cahaya pun dinyatakan sebagai perkalian antara Konstanta Planck
dengan frekuensicahaya.

Rumus 1 Persamaan Kuanta Energi Planck

Begitupun juga dengan gagasan Einstein tentang Efek Fotolistrik. Sahabat Warstek perlu tahu,
pada Efek Fotolistrik, untuk memindahkan sejumlah elektron di dalam suatu konduktor,
dibutuhkan cahaya dengan frekuensi tertentu yang nilainya harus lebih besar dari frekuensi
ambang konduktor yang dikenai cahaya tersebut. Jika tidak maka tidak akan ada Efek Fotolistrik.

Rumus 2 Persamaan Efek Fotolistrik Einstein

Pun demikian dengan Pangeran de Broglie dan juga Arthur Holy Compton, yang menyatakan
bahwa momentum linear cahaya sama dengan Konstanta Planck per panjang gelombang cahaya.

Rumus 3 Persamaan Momentum Cahaya

Hal ini secara tidak langsung telah membuktikan bahwa sifat gelombang pada cahaya adalah
melekat, sementara sifat partikel pada cahaya adalah hakiki. Cahaya dapat berperilaku
selayaknya gelombang dan sekaligus ia dapat berperilaku selayaknya partikel. Inilah yang
kemudian kita sebut sebagai sifat Dualisme Gelombang-Partikel sahabat Warstek, yang secara
sederhana dapat kita artikan secara bebas sebagai “Dua Sifat Dalam Satu”.

c. Sinar X
Sinar X terbentuk melalui proses yang merupakan kebalikan dari mekanisme efek fotolistrik.
Pada efek fotolistrik, elektron keluar dari permukaan logam akibat disinarinya logam oleh sinar
dalam bentuk foton. Sementara sinar X terbentuk akibat logam yang ditumbuk oleh aliran
elektron. Perhatikan skema pembentukan sinar X pada Gambar berikut.

Skema pembentukan sinar X

Mekanisme pembentukan atau pembangkitan sinar X adalah sebagai berikut:

Filamen di bagian katode dari tabung dipanaskan dengan suhu sangat tinggi (20.000oC).
Tabung dibuat hampa udara. Berkas elektron dipercepat oleh beda potensial antara kotode
dan anode. Berkas elektron menumbuk logam di anode. Tumbukan antara berkas elektron dan
logam inilah yang menghasilkan radiasi sinar X. Pembentukan sinar X melalui mekanisme
seperti ini disebut juga bremsstrahlung atau radiasi pengereman.

Panjang gelombang minimum (λmin) sinar X yang dihasilkan dalam tabung sinar X memenuhi
persamaan:

atau

Pada persamaan tersebut h =konstanta Planck, c = kelajuan cahaya di ruang hampa, e = muatan


elektron, dan V = beda potensial atau tegangan antara katode dan anode.

d. Difraksi sinar x
Difraksi sinar-X (XRD) adalah teknik non-destruktif untuk menganalisis struktur bahan
kristalin atau semi-kristalin, namun XRD dapat juga untuk mempelajari bahan non-kristalin.
Teknik XRD bergantung pada berkas sinar-X yang memiliki panjang gelombang pada skala
±1Å. Ketika berkas tersebut terhambur dari suatu bahan dengan struktur atom/molekul pada
skala tersebut, akan terjadi interferensi yang menghasilkan pola dengan intensitas berbeda.
Secara kualitatif serupa dengan pola warna-warni yang dihasilkan oleh gelembung sabun - warna
berbeda terlihat dari arah berbeda.

XRD sangat berbeda dari radiografi sinar-X, atau tomografi yang bergantung pada fakta bahwa
sinar-X diserap lebih kuat oleh beberapa bahan daripada yang lain, contohnya: tulang atau tumor
menyerap lebih dari otot atau lemak, sehingga gambar yang ditransmisikan memberikan gambar
langsung dari struktur di dalam tubuh atau objek dalam skala milimeter atau lebih. Sebaliknya,
XRD menghasilkan pola difraksi yang tidak menyerupai struktur yang mendasarinya, dan
memberikan informasi tentang struktur internal pada skala 1 hingga 100 Å. 

Secara umum teknik XRD dapat digambarkan seperti diagram pada gambar 1 berikut:

Gambar 1. Diagram Mekanisme XRD 

Sinar datang (1,2,3…) dengan panjang gelombang l mengenai rangkaian atom yang membentuk
pola teratur pada bidang hkl dengan jarak antar bidang dhkl akan menghasilkan sinar pantul
(1’,2’,3’…) dengan intensitas yang diukur sebagai fungsi sudut pantul terhadap sudut datang
(2q). Interferensi konstruktif hanya dapat terjadi jika Hukum Bragg (1) dipenuhi.

                                                            n λ = 2 d sin θ                                                          (1)

Dengan transformasi Fourier, informasi intensitas fungsi 2q dapat diubah kembali menjadi
gambaran 3 dimensi kerapatan elektron dalam kristal yang merupakan informasi tentang grup
ruang (space group), ukuran kristal (lattice parameters), posisi atom, serta crystallite size dan
strain.

XRD dapat menjadi alat utama untuk berbagai bidang ilmu dasar, ilmu rekayasa, life sciences,
manufaktur dan masih banyak lagi. Berikut beberapa teknik umum XRD.

 Small Angle X-ray Scattering (ukuran, bentuk dan distribusi partikel)


 Gracing Incidence X-Ray Scattering (ukuran, bentuk dan distribusi partikel pada lapisan
tipis)
 Gracing Incidence XRD (aplikasi untuk lapisan tipis)
 In-plane XRD (aplikasi untuk lapisan ultra tipis)
 X-ray Reflectivity (densitas, tebal dan interface lapisan tipis)
 Texture (Pole Figure dan Orientation Distribution Function)
 Residual Stress (Tegangan sisa pada logam)
 Single Crystal (Protein, small molekul)
 Pair Distribution Function (amorf, short range order, atomic substitution)
 In-situ (temperature, pressure, formation, structure change etc)
 Amorphous content, % crystallinity (Farmasi, Biologi, Kimia, Fisika)

*Single Crystal (difraksi kristal tunggal)

Difraksi sinar-X oleh kristal tunggal menghasilkan pola bintik-bintik pada gambar 2 akan
memberikan informasi tentang simetri dan dimensi kisi kristal, intensitasnya menentukan posisi
atom dalam setiap sel unit, bentuk dan lebar puncak individu menentukan rincian ukuran kristal,
serta strain dan cacat mikroskopis.

Pengukuran kristal tunggal menghasilkan informasi lebih lengkap dan akurat. Malasahnya
terletak pada sulitnya proses menumbuhkan kristal tunggal berkualitas tinggi.

Aplikasi pernting dari difraksi kristal tunggal adalah pada protein crystallography, yang
merupakan Teknik utama dalam bidang biologi molecular.
Gambar 2. Pola difraksi kristal tunggal enzyme (Jeff Dahl) 

(sumber: Wikipedia - X-ray crystallography)

*Powder Diffraction (Difraksi serbuk)

Alih-alih kristal tunggal, sampel terdiri dari campuran banyak kristalit dalam bentuk bubuk
halus. Alih-alih pola bintik-bintik tajam yang ditunjukkan di atas, pola sekarang terdiri dari
cincin konsentris, masing-masing memiliki sudut hamburan yang sama 2θ yang dimiliki oleh
satu bidang tertentu dalam pola kristal tunggal.

Gambar 3 kiri menunjukan pola difraksi serbuk dari silver-behenate (kristal organik berlapis) dan
gambar 3 kanan adalah plot 2θ terhadap intensitas-nya.

Gambar 3. Pola difraksi silver behate


Difraksi serbuk lebih banya digunakan dibanding difraksi kristal tunggal karena jauh
lebih mudah untuk menghasilkan sampel bubuk daripada kristal tunggal. Meskipun beberapa
informasi hilang karena mengubah bintik-bintik tajam menjadi cincin, struktur kristal masih
dapat diselesaikan dengan teknik ini selama tidak ada tumpang tindih yang berlebihan antara
puncak. Metode Rietveld adalah metode yang paling umum untuk menentukan struktur kristal,
bentuk dan lebar puncak, serta strain dan cacat mikroskopis pada difraksi serbuk.

Dengan perkembangan teknologi peralatan XRD (hardware) dan algoritma perhitungan


(software), beberapa informasi yang lebih spesifik (advance) dapat dihasilkan dari teknik ini,
diantaranya:

 Ketidakteraturan susunan kristal (Dislocation density, Faulting, Anti phase Grain


Boundary, Grain surface relaxation, Stoichiometric fluctuations etc).
 Pair Distribution Function (Amorf, Short range order, Atomic substitution etc)
 In-situ (temperature, pressure, formation, structure change etc)
 Amorphous content, % crystallinity (Farmasi, Biologi, Kimia, Fisika)
 Maximum Entropy Method (3D electron density)

Identifikasi fase, paling sering digunakan dalam mineralogi untuk menentukan jenis mineral atau
tanah liat yang terdiri dari campuran berbagai fase kristal, dimana "Sidik jari" dari pola
difraksinya dibandingkan dengan basis data (ICDD-PDF) dari pola yang diketahui untuk
menentukan fase yang terkandung dalam sampel uji.

Identifikasi fasa dan analisa kualitatif banyak digunakan dalam proses produksi seperti pada
semen, baja, aluminium dan masih banyak lagi. Dapat dikatakan bahwa semua yang berbentuk
kristal (bahkan non-kristal) dapat dianalisa dengan teknik ini. Gambar 4. Menunjukan bidang-
bidang ilmu yang memanfaatkan teknik difraksi serbuk ini.
Gambar 4. Aplikasi difraksi serbuk pada berbagai bidang

(Sumber: Reviews on Advanced Materials Science. 38 (2014), p95)

Grazing Incidence Diffraction and X-ray Reflectivity

Teknik-teknik yang berhubungan erat dengan Grazing Incidence Difraction (GID), juga disebut
Grazing Incidence X-ray Scattering (GIXS) dan X-ray Reflectivity (XR) yang memanfaatkan
fakta bahwa berkas sinar-X mengenai permukaan dengan sudut (ai) yang sangat kecil seperti
pada gambar 5. Oleh karena itu pendekatan ini ideal untuk mengukur sifat-sifat film tipis atau
multilayers pada substrat padat atau cair. Dalam pengukuran GID tipikal, αi dipertahankan tetap
dan intensitasnya diukur sebagai fungsi 2θ. Profil intensitas yang dihasilkan dapat dianalisis
untuk menetapkan struktur kristal dua dimensi dalam bidang film. Dalam pengukuran XR tipikal,
2θ ditetapkan pada nol, dan intensitas pantulan diukur sebagai fungsi αi. Profil intensitas yang
dihasilkan dapat dianalisis dengan ketebalan lapisan (atau, lapisan dalam film multilayer) dan
kerapatan elektron dalam setiap lapisan.
Gambar 4. Geometri grazing incidence and X-ray reflectivity

(Sumber: Wikipedia- Grazing incidence diffraction)

*Small-angle X-ray Scattering (SAXS)

Hamburan sinar-X sudut-kecil (SAXS), juga dikenal sebagai Hamburan Sudut Kecil (SAS)
mengacu pada definisi dimana sudut hamburan 2θ kecil (< 10°). Berdasarkan Hukum Bragg,
skala benda yang diukur cukup besar (3 dan 100 nm). Teknik ini digunakan untuk mempelajari
"objek" yang terdispersi seperti protein yang dilarutkan dalam medium berair, partikel koloid,
misel, atau rongga di media berpori. Sampel ditempatkan dalam wadah transparan untuk X-ray
seperti pipa kapiler atau ring holder (mylar, kapton) dengan metode transmisi.

Gambar 5 menunjukan pola difraksi bubuk sudut kecil dari molekul bercabang yang disebut
dendrimer yang terangkai membentuk bola dengan struktur kubik berukuran ± 20nm.

Gambar 5. Small-angle scattering pattern from dendrimers


(sumber: LRSM Multi-Angle X-ray Scattering Central Facility)
e. Efek Compton

Menurut teori kuantum cahaya, foton (berkas cahaya) berlaku sebagai partikel, hanya
saja foton tidak memiliki massa diam. Dengan pernyataan ini dapat dikatakan bahwa analisis
tumbukan foton dengan elektron serupa dengan analisis tumbukan bola biliard.

Gambar. skema tumbukan efek compton

Pada tumbukan ini foton sebagai partikel yang kehilangan energi yang besarnya kehilangan
tersebut sama dengan besar energi kinetik dari elektron. Untuk penurunan persamaan efek
compton dapat dilihat pada postingan efek compton.

Persamaan yang diperoleh dari skema ini adalah:

Pada persamaan ini besarnya panjang gelombang hambur foton, bersesuaian dengan sudut
hambur dari foton tersebut. Kuantitas h/moc disebut panjang gelombang compton dari
partikel penghambur. Dimana untuk penghambur elektron besar kuantitas ini adalah
2,426×10^-12 m.

Anda mungkin juga menyukai