Anda di halaman 1dari 127

PDK3MI PC Regional

V
FREE WEBINAR
COVID-19 DAN
TINJAUAN KESEHATAN MASYARAKAT
Moderator :
Subur Prajitno, dr., MS, AKK, FISPH, FISCM.
Narasumber :
1. Herlin Ferliana, dr., MKes. Kadinkesprov Jatim
 Sistem Kesehatan Nasional, dalam Penanggulangan
COVID-19 di Jawa Timur
2. Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., MKes., FISPH., FISCM
 Tatalaksana COVID-19 dari sudut pandang Public Health
(Holistik Komprehensif)
3. Dr. Windhu Purnomo, dr., MS.
 Data, Prediksi, dan Estimasi Kasus COVID-19
4. Hj. Andiani, dr., MKes., CHt.
 Manajemen Klinik dan RS di Era Pandemi COVID-19
5. Wienta Diarsvitri, dr., MSc., PhD., FISPH., FISCM.
 COVID-19 Dari Perspektif Epidemiologi : Merespon Dampak
Determinan Sosial Terhadap Morbiditas dan Mortalitas
COVID-19
6. Dr. Lilik Djuari, dr., MKes., AKK, FISPH, FISCM.
 Perspektif Ekonomi Kesehatan dan Promosi Kesehatan Dalam
Penanggulangan COVID-19

PDK3MI PC Regional
VV
COVID-19 DAN
TINJAUAN KESEHATAN MASYARAKAT

Editor :
Dr. Lilik Djuari, dr., MKes., AKK, FISPH, FISCM.
Subur Prajitno, dr., MS, AKK, FISPH, FISCM.

Kontributor :
Herlin Ferliana, dr., MKes.
Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., MKes., FISPH., FISCM
Dr. Windhu Purnomo, dr., MS.
Hj. Andiani, dr., MKes., CHt..
Wienta Diarsvitri, dr., MSc., PhD., FISPH., FISCM.
Dr. Lilik Djuari, dr., MKes., AKK, FISPH, FISCM.

Diterbitkan oleh :
PDK3MI Pengurus Cabang Regional V
(Jatim, Bali, NTB, NTT)
edisi pertama Mei 2020
ISBN : 978-602-50114-2-9

Disajikan dalam :
Free Webinar COVID-19 Tinjauan Ilmu Kesehatan Masyarakat
2 Juni 2020
Kerjasama antara :
 IDI Cabang Surabaya
 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
 PDK3MI Pengurus Cabang Regional V

Hak cipta dilindungi Undang- Undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun
tanpa ijin tertulis dari Penerbit.
DAFTAR ISI :

Pokok Bahasan Kontributor halaman

Sambutan Ketua IDI Cabang Dr. Brahmana Askandar, dr., SpOG i


Surabaya (K)
Sambutan Ketua Umum Pengurus Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., ii
Pusat PDK3MI dan MKes., FISPH., FISCM
BKSIKMIKPIKKFKI
Sistem Kesehatan Nasional, dalam Herlin Ferliana, dr., MKes. 1
Penanggulangan COVID-19 di
Jawa Timur
Tatalaksana COVID-19 dari sudut Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., 26
pandang Public Health (Holistik MKes., FISPH., FISCM
Komprehensif)
Data, Prediksi, dan Estimasi Kasus Dr. Windhu Purnomo, dr., MS. 35
COVID-19
Manajemen Klinik dan RS di Era Hj. Andiani, dr., MKes., CHt. 58
Pandemi COVID-19
COVID-19 dari perspektif Wienta Diarsvitri, dr., MSc., PhD., 79
epidemiologi : merespon dampak FISPH., FISCM.
determinan sosial terhadap
morbiditas dan mortalitas COVID-
19
Perspektif Ekonomi Kesehatan dan Dr. Lilik Djuari, dr., MKes., 97
Promosi Kesehatan dalam AKK, FISPH, FISCM.
Penanggulangan COVID-19
di Indonesia
Sambutan Ketua IDI Cabang Surabaya

Assalamualaikum Wr Wb.

Yang saya hormati Guru besar, senior dan sejawat semua

Alhamdulillah kita semua dalam keadaan sehat dan bisa mengikuti acara webinar
saat ini. Pandemi COVID-19 sudah berjalan 4 bulan, dan sampai saat ini angka kejadian
COVID-19 di Indonesia masih terus meningkat. Pengendalian penyebaran COVID-19
telah dilakukan sedemikian rupa sampai pada pembatasan aktivitas sosial. Aktivitas
ekonomi melambat, beberapa sektor usaha mengalami kesulitan. Pandemi ini telah
membawa perubahan besar dalam tatatan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Diperlukan strategi yang jitu dalam mengelola pandemi COVID-19 : menekan angka
kejadian dengan memutus rantai penularan, menangani pasien korban COVID-19 secara
maksimal sehingga mortalitas kecil , tetapi tetap berusaha agar korban ekonomi dan
sosial tidak semakin luas.
Seminar “COVID-19 dan Tinjauan Kesehatan Masyarakat” akan membahas
secara lengkap semua aspek COVID-19 dengan pembicara pakar di bidang masing-
masing. Diharapkan setelah mengikuti seminar ini, kita akan mempunyai wawasan dan
pemahaman yang lebih luas mengenai penanganan COVID-19 di masyarakat secara
holistik. Semoga acara seminar ini membawa manfaat bagi kita semua. Mohon maaf bila
ada kekurangan. Tetap sehat…..tetap semangat….harapan selalu masih ada. Semoga
kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT

Assaalamualaikum Wr Wb
Surabaya, 26 Mei 2020

Dr. dr. Brahmana Askandar, SpOG (K)


Ketua IDI Cabang Surabaya

i
Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat PDK3MI dan BKSIKMIKPIKKFKI

Bapak dan Ibu yang Terhormat,


Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur
Ketua IDI Cabang Surabaya,
Narasumber
Semua peserta webinar IDI Cabang Surabaya

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Atas nama semua anggota Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan


Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI) dan Badan Kerjasama Ilmu Kesehatan
Masyarakat - Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran se-Indonesia (BKSIKMIKPIKKFKI) dengan senang hati
menyambut diselenggarakannya webinar COVID-19 dan Tinjauan Kesehatan
Masyarakat ini.
Kami mengharapkan dengan terselenggaranya webinar COVID-19 ini dapat
memberikan informasi dan pengetahuan yang akurat kepada masyarakat serta
sekaligus dapat mengembangkan ide, gagasan untuk para pembuat kebijakan dari
berbagai tingkatan dalam pengendalian pandemi COVID-19.
Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat PDK3MI dan BKSIKMIKPIKKFKI, saya
mengucapkan rasa terima kasih yang tulus kepada panitia dan semua narasumber
yang telah melakukan yang terbaik untuk terselenggaranya webinar ini. Semoga
kegiatan webinar ini dapat dilanjutkan dengan webinar atau simposium yang lain dan
semoga pengetahuan dari webinar ini dapat diimplementasikan khususnya untuk
penatalaksanaan COVID-19 di Indonesia serta meletakkan dasar yang kuat untuk
pengembangan kesehatan masyarakat di masa depan.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ketua Umum Pengurus Pusat PDK3MI dan


BKSIKMIKPIKKFKI

Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., MKes.,


FISPH., FISCM

ii
SISTEM KESEHATAN NASIONAL DALAM
PENANGGULANGAN COVID-19 DI JAWA TIMUR
Herlin Ferliana, dr., MKes.
(Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur)

PENDAHULUAN
Kepala BAPPENAS RI mengatakan bahwa : “Wabah Pandemi COVID-19 telah
membuka mata semua pihak bahwa Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Indonesia
selama ini rapuh.” (merdeka.com, 26 Mei 2020).
Hal tersebut meliputi kesiapan :
 APD
 Lab PCR
 RS Darurat
 Obat
 Dll

PERKEMBANGAN COVID-19 DI DUNIA, INDONESIA DAN JAWA TIMUR

Gambar 1. Perkembangan COVID-19 di Dunia, Indonesia

1
Gambar 2. Perkembangan COVID-19 di Indonesia

Update hingga tanggal 27 Mei 2020


Sumber : https://infeksiemerging.kemkes.go.id
Gambar 3. Distribusi COVID-19 di Indonesia

2
Gambar 4. Diagram peta sebaran COVID-19 di Jawa Timur

Gambar 5. Perkembangan COVID-19 di Jawa Timur

3
Update hingga tanggal 27 Mei 2020
Gambar 6. Distribusi sebaran COVID-19 di Jawa Timur

4
Proporsi Status Pasien Sebelum Menjadi Kasus Konfirmasi
di Provinsi Jawa Timur sd Tgl 27 Mei 2020

352
8,56%
1448
35,21% OTG
ODP
44,07% PDP

1812 12,16% Tidak Diketahui

500

Total 4112
OTG 1448
ODP 500
PDP 1812
Tidak Diketahui 352

Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur


Gambar 7. Perkembangan COVID-19 di Jawa Timur

Perkembangan Kasus Konfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur Kasus Kumulatif : 4,112 kasus
Kesembuhan Kumulatif : 548 kasus
Kumulatif s.d 27 Mei 2020 Recovery Rate : 13.33%
Kematian Kumulatif : 337 kasus
4500 Case Fatality rate (CFR) : 8.20% 30,00%

4000
25,00%
3500

3000 20,00%

2500
15,00%
2000

1500 10,00%

1000
5,00%
500

0 0,00%

Kasus Kematian
Gambar 8. Perkembangan COVID-19 di Jawa Timur

5
PENGERTIAN DAN GAMBARAN SKN

Tujuan Negara :
1. memajukan kesejahteraan umum
2. mencerdaskan kehidupan bangsa
3. ikut serta menjaga ketertiban dunia
Salah satu indikator kesejahteraan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
IPM ada 3 penilaian yaitu :
1. Kesehatan,
2. Tingkat Pendidikan
3. Ekonomi
Definisi SKN
Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia
secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
Tujuan SKN
Terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua komponen bangsa, baik
pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat termasuk badan hukum, badan
usaha dan Lembaga swasta secara:
1. Sinergis
2. Berhasil Guna
3. Berdaya Guna
Dasar atau Asas SKN :
a. Perikemanusiaan
b. Keseimbangan
c. Manfaat
d. Perlindungan
e. Keadilan
f. Penghormatan ham
g. Sinergisme dan Kemitraan yang dinamis
h. Komitmen dan tata pemerintahan yang baik
i. Legalitas
j. Antisipatif dan Proaktif
k. Gender dan Nondiskriminatif
l. Kearifan lokal

6
Upaya
Kesehatan Penelitian &
Pengembangan
kesehatan

Pembiayaan
kesehatan
Sediaan
SISTEM farmasi, alkes,
KESEHATAN & makanan
NASIONAL

Manajemen,
informasi &
regulasi Pemberdayaan
kesehatan masyarakat
SDM
Kesehatan

Gambar 9. Model subsistem SKN

Alur Pikir Sistem Kesehatan Nasional

KONDISI SAAT
INI
PARADIGMA NASIONAL
(Pancasila, UUD 1945)

1. AKI tinggi
2. AKB tinggi
3. Stunting Derajat
tinggi SKN Kesmas Rakyat
(Arah, dasar, bentuk dan setinggi Sehat Tujuan
4. Masalah Nasional
tinggi Produktif
Penyakit cara penyelengaraan
nya
Menular, Bangkes)
Penyakit
Tidak
Menular
5. Lingkunga
n Kurang
Sehat LINGKUNGAN STRATEGIS
6. SDM (Ideologi, Politik, Ekonomi
Kesehatan Sosial Budaya dan Pertahanan
Terbatas Keamanan)
7. PHBS
yang
kurang Global, Regional, Nasional, Lokal

Peluang/Kendala

Gambar 10. Diagram Alur Pikir SKN

7
Indikasi dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang rapuh bisa dilihat dari banyaknya
permasalahan kesehatan yang muncul khususnya yang terjadi pada Pandemi COVID-
19.

COVID-19

AKI HIV AIDS

AKB
TBC
DERAJAT KESEHATAN
MASYARAKAT

Stunting DBD

Faktor Lain Kesehatan Imunisasi Kesehatan


Jiwa Lingkungan

Gambar 11. Masalah Kesehatan yang mempengaruhi Derajat Kesehatan Masyarakat

8
Situasi HIV AIDS di Jawa Timur :

Gambar 12. HIV AIDS di Jawa Timur

POSISI JAWA TIMUR DALAM PENANGGULANGAN HIV AIDS DI INDONESIA,


2019

Jawa Timur : 9.981 1 Jateng : 1.613 1

Jakarta : 6.701 2 Papua : 1.061 2

Sama dengan tahun Jabar : 6066 3 Jatim : 792 3


2018 Pada tahun
2019 Jawa Timur juga
menempati urutan
pertama dari lima
Jateng : 4 Jakarta : 4
provinsi dengan 5.630 585
jumlah HIV terbanyak
di Indonesia
Papua : 5 Kepri : 5
3.753 411

Jumlah HIV Jumlah AIDS

Sama dengan tahun 2018 Pada


tahun 2019 Jawa Timur juga
menempati urutan ketiga dari
lima provinsi dengan jumlah
AIDS terbanyak di Indonesia

Sumber : Laporan Perkembangan HIV AIDS dan PIMS


Triwulan I-IV Tahun 2019 Kemenkes

Gambar 13. Posisi Jawa Timur dalam penanggulangan HIV AIDS di Indonesia, 2019

9
12000

10000
Pasien HIV
8000 Komulatif
Jumlah

70,482
6000

4000

2000

0
1989-
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
2004
HIV 197 570 1371 1435 2286 1558 2233 2646 3194 4209 5326 6212 6736 8317 8930 9981
AIDS 540 348 589 855 1215 1283 1193 1652 1975 2822 1610 1485 1847 1069 1388 1254

Gambar 14. Trend Penemuan Kasus HIV- AIDS baru per tahun di Jawa Timur Periode 1989 –
2019

Sumber data : SIHA - Dinas Kesehatan Prov Jawa Timur 2019

Gambar 15. Sebaran pasien HIV baru di Jawa Timur

10
Situasi TBC di Jawa Timur :

Gambar 16. Roadmap Program Penanggulangan TBC

SITUASI TBC DI JAWA TIMUR 2019


96.865

Estimasi
Jumlah Kasus

64.311 / 66%
Notifikasi
This Photo by Unknown Author is licensed
under CC BY-SA Kasus

34%
Kasus belum
terlaporkan

Kasus Terbanyak
2.125 / 858 5.189 1.685 No 2 se
TBC RO TBC Anak TBC HIV Indonesia
Ternotifikasi

Gambar 17. Situasi TBC di Jawa Timur

11
Gambar 18. Posisi Indonesia dalam penanggulangan TBC

Situasi DBD di Jawa Timur :

total
coverage

PSN melalui
serentak Gerakan 1 rumah bermutu
1 jumantik

berkesin
ambunga
n

Gambar 19. Program DBD di Jawa Timur

12
10
15
20
25
30

0
5
1000
1500
2000

0
500

CFR
27
KEDIRI

5000
10000
15000
20000
25000
30000

0
PONOROGO 1721

16
TULUNGAGUNG
MALANG 1600

13
PONOROGO
KEDIRI 1398
PAMEKASAN
NGAWI 1360
SIDOARJO
JEMBER 988

Meninggal : 186
BLITAR
18.631

TULUNGAGUNG 899

: 1,01%
BOJONEGORO
BLITAR 671

9 9 8 8 8
MALANG
PACITAN 664
JEMBER
KOTA MALANG 527
26.015

BANYUWANGI
BOJONEGORO 520
MAGETAN
TRENGGALEK 507
NGANJUK
MAGETAN 471
5.420

7 6 6 6 6
SUMENEP
SITUBONDO 448
PROBOLINGGO
GRESIK 441
TRENGGALEK
PROBOLINGGO 440

5 5 4
8.257

MADIUN
TUBAN 398
JOMBANG
LAMONGAN 384
KOTA KEDIRI BONDOWOSO 383
LAMONGAN SUMENEP 369
14.534

KOTA MALANG SIDOARJO 367


NGAWI JOMBANG 344

Total : 18.397
KOTA PASURUAN PAMEKASAN 328
9.483

KOTA PROBOLINGGO NGANJUK 318


SURABAYA MADIUN 305
TUBAN SURABAYA 277
KOTA BATU

Gambar 22. CFR DBD Jawa Timur


20.707

MOJOKERTO 267
GRESIK SAMPANG 265
LUMAJANG KOTA BLITAR 254
KOTA MADIUN KOTA MADIUN 245
24.461

PASURUAN

Gambar 21. Jumlah Kasus DBD di Jatim Tahun 2019


KOTA KEDIRI 223

3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2
SAMPANG KOTA… 215
BANGKALAN PASURUAN 190
7.854

KOTA BLITAR BANGKALAN 171


BONDOWOSO LUMAJANG 171
Gambar 20. Tren Tahunan Kasus DBD di Jawa Timur Tahun 2009 - 2019

PACITAN BANYUWANGI 138


9.452

MOJOKERTO KOTA… 82
KOTA MOJOKERTO KOTA BATU 24

1 1 1 1 0 0 0
Th. 2009 Th.2010 Th.2011 Th.2012 Th.2013 Th.2014 Th.2015 Th.2016 Th.2017 Th.2018 Th.2019

SITUBONDO KOTA… 24
18.397

13
Situasi Gangguan Jiwa di Jawa Timur :

Gambar 23. Jenis Gangguan Jiwa di Jawa Timur

2013 2018

25

20

15 11

10 7
3
5 2,3 1,7
1,3
0
Sulsel

Babel

Pabar
Sumbar

Kaltara

Banten

Sumut

Kalsel
Kaltim

Papua
Bali

NTB
Aceh

Sulut

Jatim
Lampung
Riau

NTT
Kepri
Gorontalo
INDONESIA
DIY

Sulteng
Sumsel

DKI

Jambi

Jabar

Malut

Kalteng
Maluku
Bengkulu
Jateng

Kalbar
Sulbar

Sultra

Gambar 24. Proporsi Rumah Tangga dengan ART Gangguan Jiwa Skizofrenia/Psikosis
menurut Provinsi (per mil), 2013-2018

14
% IDL; Bondowoso; 112,4
% IDL; Banyuwangi; 109,7
% IDL; Gresik; 107,2
% IDL; Ngawi; 106,3

2009
90,7
% IDL; Lamongan; 105,3
% IDL; Mojokerto; 104,1

101,4
% IDL; Jombang; 103,7

2010
% IDL; Tulungagung; 103,2
% IDL; Malang; 103,1
% IDL; Kediri; 102,5

2011
% IDL; Bojonegoro; 102,4

104,3
% IDL; Lumajang; 101,6
% IDL; Sumenep; 101,1

2012
Situasi Imunisasi di Jawa Timur :

% IDL; Probolinggo; 100,0


% IDL; PROV JATIM; 99,3
% IDL; Tuban; 99,3

97,43

2013
% IDL; Madiun; 98,8

Situasi AKI AKB Stunting di Jawa Timur :

97,39
% IDL; Kota Kediri; 98,8
% IDL

% IDL; Kota Madiun; 98,6


Ponorogo, Kota Blitar, Situbondo, Bangkalan

2014
% IDL; Pasuruan; 98,5
% IDL; Kota Pasuruan; 98,1
% IDL; Pacitan; 98,0

93,53

2015
% IDL; Kota Surabaya; 97,6

89,6

Angka Kematian Ibu (AKI)


Angka Kematian Ibu (AKI)
% IDL; Trenggalek; 97,5
% Target

% IDL; Magetan; 97,3

2016
91
% IDL; Nganjuk; 97,2
% IDL; Kota Probolinggo; 96,7
% IDL; Kota Batu; 96,6

2017
% IDL; Kota Malang; 96,3

91,92
% IDL; Jember; 96,3

Gambar 26. AKI dan Jumlah Kematian Ibu di Jawa Timur


91,45
% IDL; Blitar; 94,7

2018
% IDL; Kota Mojokerto; 94,4
% IDL; Pamekasan; 94,3
% IDL; Sidoarjo; 93,2

2019
89,81
Gambar 25. Capaian Indikator Bayi IDL Per Kab/Ko Di Jawa Timur Tahun 2019

% IDL; Sampang; 92,3


% IDL; Ponorogo; 91,8
% IDL; Kota Blitar; 91,4
% IDL; Situbondo; 89,8
5 Kab / Kota (13.15%) belum tercapai Target Min IDL 2019 ≥ 93% yaitu Sampang,

15
% IDL; Bangkalan; 72,1
700 642
627
598 582
600 567
531 534
529 522 520
500

400

300

200

100

0
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

JUMLAH IBU MENINGGAL

Gambar 27. Tren Jumlah Kematian Ibu di Jawa Timur

Tantangan dalam penurunan AKI di Jawa Timur :


1. Fasilitas pelayanan kesehatan primer (Puskesmas) belum terlatih
kegawatdaruratan maternal neonatal
2. Kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan (RS) dalam respon time
kegawatdaruratan maternal neonatal
3. P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) belum
dilaksanakan secara optimal
4. Buku KIA belum digunakan secara optimal dalam pelayanan KIA

AKB dan Jumlah Kematian Bayi di Jawa Timur

Angka Kematian Bayi (AKB)


25
24,5
24,5
24
24 23,6
23,5 23,1
22,83
23
22,46
22,5

22

21,5

21
Thn. Thn. Thn. Thn. Thn. Thn.
2014 2015 2016 2017 2018 2019

Gambar 28. AKB di Jawa Timur


16
6000
5132
4870
5000
4026
4028 3864
4000

3000

2000
Jumlah Kematian Bayi
1000

0
2015 2016 2017 2018 2019

Gambar 29. Jumlah Kematian Bayi di Jawa Timur

Prevalensi Stunting di Jawa Timur

1000

26,1 26,7 32,81 26,9


0
2016 2017 2018 2019

Gambar 30. Tren Prevalensi Stunting di Jawa Timur


Data dari Studi Status Gizi Balita di Indonesia

Tantangan dalam penurunan Prevalensi Stunting di Jawa Timur :


1. Kompetensi petugas kesehatan dalam pencatatan , pelaporan dan intervensi
pada balita stunting belum optimal
2. Perlunya peningkatan advokasi dan sosialisasi ke kabupaten/kota dalam rangka
penurunan prevalensi stunting
3. Belum semua sasaran bumil KEK, bumil risti dan balita stunting didampingi secara
maksimal
4. Perlu dukungan semua lintas sektor dalam program pencegahan dan penurunan
stunting, baik dari segi anggaran, SDM, sarpras dan konvergensi lokus dari
tingkat kab./kota

17
5. Perlu peran semua lintas program dalam kegiatan yang berfokus pada sasaran
yang tepat yaitu kelompok 1000 HPK sebagai sasaran yang berkontribusi terbesar
terhadap masalah stunting

SISTEM KESEHATAN NASIONAL DALAM PENANGGULANGAN COVID 19 DI JAWA


TIMUR

Gambar 31. Urusan Wajib terkait Pelayanan Kesehatan

Gambar 32. Pedoman manajemen penanganan COVID-19 dan dampaknya bagi Pemerintah
Daerah
18
Manajemen Penanganan COVID-19 di Jawa Timur :
1. Strategi Pencegahan Penyebaran Penularan COVID-19 :
a. Penyiapan Protokol : Menyusun Standar Kegiatan sesuai Protokol Kesehatan :
tempat Kerja, Pasar, tempat ibadah, dll.
b. Pelaksanaan protokol Kesehatan : Wajib Masker, Physical Distancing, Cuci
tangan.
c. Sosialisasi PHBS, Karakteristik Virus, penularan, Penyebaran, dll
d. Testing pemeriksaan Lab mell RT PCR, TCM, maupun Rapid test pada ODP,
PDP, OTG, ODR
e. Tracing : Identifikasi dan Tracking terhadap ODP, PDP, OTG
f. Rumah Observasi : orang dalam pantauan
g. Rumah Isolasi : Orang Konform tanpa Gejala atau Gejala ringan

2. Peningkatan Sistem Kekebalan Tubuh :


a. Olah Raga secara Teratur : Olah raga sesuai kemampuan
b. Berjemur : Melaksanakan aktifitas berjemur setiap pagi
c. Konsumsi Asupan Bergizi : mengkonsumsi makanan sehat, seimbang, dan
bergizi
d. Konsumsi Vitamin Tambahan : Konsumsi Vitamin C, Vitamin D, Vitamin E
e. Cukup istirahat
f. Kurangi dan kelola Stress
3. Peningkatan Kapasitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan
a. Penambahan Tenaga Kesehatan : bagi fasilitas kesehatan dengan beban yang
tinggi, penambahan tenaga dokter, perawat, Analis tenaga Sanitasi, dan tenaga
administrasi,
b. Peningkatan Sarana Pendukung Kesehatan : ventilator, laboratorium, mesin PCR,
Reagen,
c. Peningkatan Ruang Perawatan : Menambah ruang isolasi, konversi ruang biasa
menjadi ruang isolasi, pembangunan RS darurat. Konversi bangunan untuk rumah
Observasi dan rumah Isolasi.
d. Penguatan Sistem Informasi dan Pelaporan : Penyediaan call Center alat
komunikasi, media informasi dan sistem informasi geografis.
4. Peningkatan Ketahanan Pangan dan Industri Alkes

a. Peningkatan Alat Kesehatan : Identifikasi Sentra Produksi Alkes, Peningkatan


Alkes Lainnya
19
b. Mengawal Produksi dan Distribusi Kebutuhan Pokok : Menjamin kebutuhan bahan
pangan. Menjamin Ketersediaan dan Distribusi Kebutuhan Pokok, Stabilisasi
harga.
c. Peningkatan Produksi Kebutuhan Medis : Peningkatan Produksi Masker, hand
sanitizer, google, sepatu, boots, hand glove, disinfektan, rapid test kit dan obat
obatan
5. Memperkuat Jaring Pengaman Sosial Nasional (Social Safety Net)
a. Stimulus Ekonomi : Insentif Perpajakan, stimulus kredit usaha rakyat, insentif
usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), dan Dana Desa untuk kegiatan Padat
Karya Tunai
b. Bantuan Langsung ke Masyarakat : Program Keluarga Harapan (PKH) Program
sembako murah. Bantuan Sosial Khusus. Kartu Pra Kerja. Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Santunan Kematian Korban COVID-19

Gambar 33. Penyesuaian Anggaran

20
Referensi Utama Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 :

Gambar 34. Gambar sampul referensi Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19

21
Deteksi dan Respon berdasarkan Kriteria Kasus :

Sumber : Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 Kemenkes RI


Gambar 35. Alur Deteksi dan Respon berdasarkan Kriteria Kasus

Gambar 36. Diagram Penanganan COVID-19 di Jawa Timur dalam Sistem Kesehatan Nasional

22
Fasyankes tersebar di seluruh kab/kota se Jawa Timur :

• Jumlah RS 385
• Jumlah Puskesmas 968 (PKM Rawat Inap 630)
• Jumlah Pustu 2.250
• Jumlah Ponkesdes 3.213
• Jumlah Polindes 4.413

• Jumlah Kecamatan 666


• Jumlah Desa 7.724
• Jumlah Kelurahan 777

Gambar 37. Sebaran fasyankes di Jawa Timur

Peta 99 RS Rujukan COVID-19 di Jawa Timur :

Gambar 38. Sebaran RS Rujukan COVID-19 di Jawa Timur

23
Gambar 39. Penguatan Sistem Kesehatan Nasional dalam RKP 2021

PENGUATAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL


1. Sistem Kesehatan Nasional belum kuat :
a. Kerentanan terhadap ancaman pandemi dan penyakit lainnya
b. Pencegahan lemah: screening test, tracing & tracking, perilaku masyarakat,
social distancing
c. Faskes dan farmalkes tidak siap: lab, manajemen kasus, kekurangan APD,
ruang siolasi dan alat test
d. Kapasitas tenaga kesehatan terbatas: tata laksana kasus, keterbatasan ruang
rawat
2. Memperkuat sistem kesehatan untuk :

a. Kesiapan menghadapi pandemi dan PHEIC (Public Health Emergency of


International Concern)
b. Recovery dan penyelesaian masalah kesehatan (TB, Malaria, kematian ibu dan
bayi, HIV, kusta, dll)
c. Penguatan promotif dan preventif
d. Peningkatan Anggaran kesehatan pemerintah

24
FOKUS PENGUATAN 2021
1. Penguatan Germas (Promotif dan Preventif)
Air bersih, sanitasi, cuci tangan pakai sabun, olahraga, kesehatan lingkungan,
kawasan sehat
2. Penguatan health security : kemampuan untuk prevent, detect, response
a. Pos pintu masuk (KKP)
b. Sistem peringatan dini (alert system), surveilans penyakit real time, kapasitas
dan jejaring laboratorium, kapasitas SDM, protokol dan tata laksana respon
cepat, litbang
c. Perluasan case detection, skrining, karantina kesehatan
3. Penguatan sumber daya: fasilitas, farmasi, alkes, dan SDM Kes
a. Pemenuhan fasilitas dan alkes sesuai kelas RS dan sistem rujukan
b. Pemenuhan dokter dan 9 jenis nakes di Puskesmas
c. Pemenuhan vaksin & obat (Pneumonia, TB, HIV/AIDS)
d. Dukungan insentif bagi industri farmasi dan alkes dalam negeri
e. Pengelolaan limbah medis

KESIMPULAN

Pandemi COVID-19 mengajarkan kita kecepatan dan ketepatan melangkah sinergitas


dan kolaborasi semua Sub-Sistem SKN.

25
TATALAKSANA PANDEMI COVID-19 MELALUI PENDEKATAN
HOLISTIK KOMPREHENSIF

Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., MKes., FISPH, FISCM.


(Departemen Kedokteran Keluarga, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Malang)

PENDAHULUAN

Wabah pneumonia dengan penyebab yang tidak diketahui pertama kali


dilaporkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 31 Desember 2019. Kota
Wuhan Propinsi Hubei, Cina merupakan tempat pertama kali ditemukannya wabah ini.
WHO kemudian mengkonfirmasi wabah ini sebagai coronavirus yaitu nCoV-2019 yang
merupakan betacorona virus, terkait dengan MERS-CoV dan SARS-CoV.1 Pandemi
COVID-19 telah terjadi di sekitar 215 negara. Indonesia mengkonfirmasi kasus COVID-
19 pertama kali pada tanggal 2 Maret 2020 sebanyak 2 (dua) kasus di Jakarta. Pada
saat ini konfirmasi kasus COVID-19 di Indonesia telah terjadi di 34 propinsi.2 COVID-19
dan jumlah kematian terbanyak terjadi di Amerika Serikat. Cina sebagai awal mula
dilaporkannya COVID-19 ini tidak termasuk dalam 10 negara terbanyak kasus COVID-
19.3
Kebanyakan virus corona menyebar seperti virus lain pada umumnya, yaitu
melalui mekanisme utama droplet infection, yaitu infeksi yang ditularkan melalui butiran
air liur atau dahak yang mengandung virus dan baik secara sengaja maupun tidak
sengaja dapat dikeluarkan oleh penderita melalui aktivitas batuk dan bersin atau saat
berbicara ada air liur yang terpercik keluar.4 Mekanisme penyebaran utama droplet
infection ini dapat secara langsung menularkan ke orang lain atau dapat secara tidak
langsung melalui:
1) Tangan atau telapak tangan, dimana penularan dapat terjadi apabila penderita
pada saat batuk menutup dengan telapak tangan dan kemudian bersalaman
dengan orang lain dan selanjutnya orang lain ini menyentuh mata, hidung dan
mulut sehingga secara langsung virus akan terhirup. Atau tangan yang
terkontaminasi virus menyentuh barang disekitarnya dan barang itu kemudian
tersentuh oleh orang lain.
2) Benda lain disekitar penderita yang terkontaminasi pada saat penderita batuk
atau bersin tidak memperhatikan etika batuk dan bersin yang benar.
Namun demikian, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika
Serikat (CDC) menyatakan bahwa menyentuh permukaan atau objek dengan virus dan

26
kemudian menyentuh wajah sendiri tidak dianggap sebagai cara utama penyebaran
virus. Penyebaran utama tetap melalui mekanisme droplet infection.
Salah satu aspek yang belum jelas adalah berapa lama SARS-CoV-2, nama
virus yang menyebabkan penyakit COVID-19, dapat bertahan hidup di luar tubuh
manusia. Beberapa studi tentang virus corona jenis lain, termasuk SARS dan MERS,
menemukan bahwa mereka dapat bertahan hidup pada logam, kaca, dan plastik
selama sembilan hari, kecuali mereka didesinfeksi dengan benar. Beberapa jenis virus
bahkan dapat bertahan hingga 28 hari di suhu rendah. Virus corona dikenal sangat
tangguh dalam hal tempat mereka dapat bertahan hidup. Hal ini yang membuat para
peneliti mulai lebih memahami tentang pengaruh sifat ini terhadap penyebaran virus
corona baru.5
Neeltje van Doremalen, seorang pakar virologi di US National Institutes of Health
(NIH), dan rekan-rekannya di Rocky Mountain Laboratories di Hamilton, Montana,
adalah salah satu tim peneliti pertama yang melakukan tes tentang kemampuan SARS-
CoV-2 bertahan hidup di berbagai permukaan. Studi mereka, yang telah diterbitkan
dalam New England Journal of Medicine, menunjukkan bahwa virus tersebut dapat
bertahan dalam droplet hingga tiga jam setelah terlepas ke udara. Droplet halus
berukuran antara 1-5 mikrometer - sekitar 30 kali lebih kecil dari lebar rambut manusia
sehingga SARS-CoV-2 bisa tetap mengudara selama beberapa jam di udara yang
tenang. Ini berarti menunjukkan bahwa virus yang bersirkulasi dalam sistem pendingin
udara tanpa filter hanya akan bertahan paling lama selama dua jam, terutama karena
tetesan aerosol cenderung mengendap pada permukaan lebih cepat dalam udara yang
berpolusi.6
Studi NIH juga menemukan bahwa virus SARS-CoV-2 bertahan lebih lama di
atas permukaan kardus hingga 24 jam dan dapat bertahan selama 2-3 hari di
permukaan plastik dan stainless steel. Berdasarkan temuan tersebut, para ilmuwan
menduga virus bertahan lama di gagang pintu, meja dapur yang dilaminasi atau dilapisi
plastik, dan permukaan keras lainnya. Namun, para peneliti mendapati bahwa virus
cenderung mati dalam waktu sekitar empat jam di permukaan tembaga. 6
Penelitian lain menunjukkan bahwa virus korona dapat dinonaktifkan hanya
dalam waktu satu menit dengan mendesinfeksi permukaan dengan alkohol 62-70%,
atau cairan pemutih yang mengandung hidrogen peroksida 0,5% atau cairan pemutih
rumah tangga yang mengandung 0,1% natrium hipoklorit. Suhu dan kelembaban yang
lebih tinggi juga cenderung menyebabkan virus corona lain mati lebih cepat, meskipun
penelitian telah menunjukkan bahwa kerabat virus corona lain yang menyebabkan

27
SARS bisa mati oleh suhu di atas 560C (cukup panas untuk mencederai kulit) dengan
laju sekitar 10.000 partikel virus setiap 15 menit. Meskipun tidak ada data tentang
berapa banyak partikel virus dalam satu droplet yang keluar dalam sekali batuk,
penelitian tentang virus flu menunjukkan bahwa tetesan yang lebih kecil dapat
mengandung puluhan ribu salinan virus influenza. Namun jumlah ini dapat bervariasi
tergantung pada jenis virus itu sendiri, tempat ditemukan dalam saluran pernapasan
dan tahapan infeksi orang yang batuk tersebut.6
Pada pakaian dan permukaan lain yang lebih sulit didesinfeksi, belum jelas
berapa lama virus bisa bertahan. Sifat penyerap serat alami dalam karton,
bagaimanapun, dapat menyebabkan virus mengering lebih cepat daripada pada plastik
dan logam, menurut Vincent Munster, kepala bagian ekologi virus di Rocky Mountain
Laboratories dan salah satu dari peneliti yang memimpin studi NIH. Perubahan suhu
dan kelembaban juga dapat mempengaruhi berapa lama virus dapat bertahan, dan
karenanya bisa menjelaskan mengapa ia kurang stabil dalam droplet yang
mengambang di udara, karena mereka lebih terekspos.7
Penyakit akibat infeksi virus pada dasarnya adalah self-limiting disease yang
berarti bahwa penderita infeksi virus akan sembuh sendiri apabila penderita memiliki
sistem kekebalan tubuh yang baik. COVID-19 merupakan penyakit infeksi karena virus
sehingga termasuk dalam self-limiting disease.8 Untuk itu sangat penting bagaimana
pelayanan kesehatan melakukan penataksanaan COVID-19 dengan meningkatkan
imunitas atau kekebalan tubuh dengan pendekatan holistik-komprehensif.
Pendekatan holistik komprehensif adalah melakukan pelayanan kesehatan
dengan memperhatikan aspek biopsikososial. Pendekatan diagnosis biopsikososial
adalah menegakkan diagnosis holistik dengan memperhatikan faktor biologis, faktor
psikis dan faktor sosial.9 Pada penatalaksanaan COVID-19 seharusnya tidak hanya
memperhatikan pada aspek biologis atau klinis semata, namun harus memperhatikan
aspek psikologis dan aspek sosial. Konsep biopsikososial merupakan suatu
pemahaman yang menyeluruh tentang munculnya suatu kondisi sakit yang
dihubungkan dengan faktor lingkungan dan stres yang terkait di dalamnya. Sebaliknya
kondisi lingkungan dalam hal ini dukungan sosial dalam konsep biopsikososial dapat
memberikan perubahan pada kondisi sakit.
Pada surveilans COVID-19, individu dapat dikategorisasikan menjadi ODP
(Orang Dalam Pemantauan), PDP (Penderita Dalam Pengawasan), OTG (Orang Tanpa
Gejala) dan Kasus Konfirmasi. Penjelasan kategorisasi tersebut adalah sebagai
berikut:10

28
1. Orang Dalam Pemantauan (ODP)
1) Orang yang mengalami demam (≥380C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk dan tidak
ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan dan pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal
di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal*.
2) Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit
tenggorokan/batuk dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.
2. Penderita Dalam Pengawasan (PDP)
1) Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38 0C)
atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan
seperti: batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga
berat dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal*.
2) Orang dengan demam (≥380C) atau riwayat demam atau ISPA dan pada 14
hari terakhir Sebelum Timbul Gejala Memiliki Riwayat Kontak Dengan Kasus
Konfirmasi COVID-19.
3) Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat** yang membutuhkan perawatan
di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan.
3. Orang Tanpa Gejala (OTG)
Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi
COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) merupakan kontak erat dengan kasus
konfirmasi COVID-19. Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik
atau berada dalam ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus
penderita dalam pengawasan atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul
gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Termasuk kontak erat
adalah:
1) Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan
ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai standar.
2) Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk
tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul
gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

29
3) Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat
angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14
hari setelah kasus timbul gejala.
4. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang sudah dinyatakan terinfeksi COVID-19 berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium RT-PCR (Real Time Polymerase Chain Reaction).

Penegakkan diagnosis COVID-19 sejauh ini menggunakan Rapid test yang


apabila hasilnya reaktif akan dilanjutkan dengan RT-PCR. Berdasarkan pada konsep
diagnosis holistik (biopsikososial), maka upaya ini merupakan diagnosis biologis atau
medis. Tentunya hal ini harus dilengkapi dengan diagnosis psikis dan diagnosis sosial.
Diagnosis psikis adalah harapan, ketakutan dan faktor psikis yang dialami oleh
penderita COVID-19. Diagnosis social adalah faktor risiko social budaya dan fungsi
keluarga dari penderita COVID-19.
Harapan penderita Covid-10 pastilah ingin segera sembuh (PCR negatif).
Ketakutan penderita COVID-19 adalah menjadi sumber penularan khususnya kepada
keluarga dan orang terdekat di sekitarnya serta ketakutan akan kondisi kesehatannya
menjadi lebih parah. Pada saat seorang individu dinyatakan sebagai ODP, PDP, OTG
dan bahkan terkonfirmasi, maka individu ini akan menjalani proses karantina, baik di
rumah, di fasilitas khusus atau di rumah sakit.10 Tentunya hal ini sudah menjadi beban
psikis tersendiri bagi penderita COVID-19. Interaksi langsung dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya menjadi terbatas, dan bahkan bila harus di rawat di rumah sakit
menjadi sangat terbatas.
Pada individu tanpa gejala klinis yang dinyatakan reaktif pada rapid test sudah
mengalami tekanan kejiwaan dimana individu ini akan merasa terkonfirmasi positif
COVID-19 dengan pemeriksaan PCR. Protap yang dilakukan adalah pada individu ini
harus melakukan isolasi diri selama jangka waktu tertentu (lebih kurang 14 hari). Hal ini
akan memunculkan stigma di masyarakat bahwa individu ini adalah sumber penularan
COVID-19 sehingga individu ini dan bahkan keluarganya akan “diisolasi” oleh
masyarakat disekitar tempat tinggalnya. Keadaan stres pada individu yang menjalani
karantina ini tentunya akan semakin melemahkan status imunnya, Kita mengetahui
bahwa COVID-19 merupakan infeksi virus yang merupakan self-limiting disease, yang
artinya bahwa penyembuhan COVID-19 ini sangat dipengaruhi oleh sistem imun. Stres
diketahui bisa menurunkan imunitas tubuh, sementara yang dibutuhkan untuk
menangkal COVID-19 adalah kekebalan tubuh yang baik.11

30
Stres psikologis atau kondisi psikosomatik mendorong terjadinya perubahan
imunologis. Peningkatan kadar kortisol dan epinefrin dapat mengganggu homeostasis
dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit melalui berbagai mekanisme. Kortisol
menyebabkan efek anti-inflamasi yang poten dan imunosupresif. Mekanisme biologis
stres mereduksi fungsi sistem imun, dan terjadinya inflamasi kronis dimediasi oleh
produksi hormon kortisol yang mengurangi kemampuan imun dengan menghambat IgA
dan IgG dan fungsi neutrofil, sehingga terjadi peningkatan kolonisasi biofilm dan
berkurangnya kemampuan untuk mencegah invasi bakteri atau virus pada jaringan
ikat.12
Sistem kekebalan tubuh manusia dibagi menjadi dua macam, yakni sistem
kekebalan tubuh alami dan sistem kekebalan tubuh didapat. 13 Kekebalan tubuh alami
yang diperantarai oleh sel (monosit, granulosit, makrofag, sel dendrit, dan limfosit) akan
bereaksi terhadap patogen secara cepat dengan mengenali patogen yang memiliki pola
molekul yang disebut pathogen associated molecular patterns (PAMPs) atau danger
associated molecular patterns (DAMPs).14 Jadi pada individu yang dikategorisasikan
pada surveilans COVID-1910 harus dinilai tingkat stresnya sehingga bisa dilakukan
penataksanaan lebih komprehensif berdasarkan kategorisasi surveilans COVID-19.
Penyebaran COVID-19 adalah droplet infection sehingga sangat penting untuk
mengetahui lingkungan sosial dari penderita COVID-19 sehingga dapat dilakukan
tracking untuk mengetahui lebih lanjut penderita COVID-19 ini tertular oleh siapa dan
berisiko menulari siapa pada lingkungan sosialnya. Pada diagnosis sosial sangat
diperlukan penilaian terhadap fungsi keluarga dari penderita COVID-19. Dukungan
keluarga sangatlah diperlukan sebagai upaya mempercepat proses kesembuhan dari
penderita COVID-19. Proses pengobatan penderita COVID-19 khususnya yang
mengalami gejala klinis akan dilakukan isolasi di fasilitas khusus yang disiapkan oleh
pemerintah dan bahkan di rumah sakit. Hal ini tentulah akan membatasi hubungan
penderita dengan keluarganya. Untuk itu tim kesehatan (tenaga medis dan tenaga
kesehatan) harus dapat menilai bagaimana fungsi keluarga dari penderita COVID-19
yang selanjutnya menentukan program yang tepat untuk dapat melibatkan keluarga
dalam proses pengobatan penderita COVID-19.
Penatalaksanaan penderita COVID-19 harus dilakukan secara komprehensif,
menyeluruh dan paripurna, melibatkan multi sektor tidak hanya bidang kesehatan
melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pedoman pencegahan dan
pengendalian COVID-19 di Indonesia sudah dibuat oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Penatalaksanaan dilakukan pada orang yang sehat, orang yang

31
sehat berkategori ODP, orang sakit dalam pengawasan (PDP) dan terkonfirmasi positif
COVID-19.
Upaya promotif dilakukan dengan memberikan informasi dan edukasi yang
benar tentang COVID-19. Informasi dan edukasi yang diberikan hendaknya bersifat
positif dan tidak memberikan ketakutan kepada masyarakat. Informasi bahwa infeksi
virus bersifat self-limiting disease dan pentingnya kekebalan tubuh sangat penting
disampaikan sehingga masyarakat bisa menginterpretasikan informasi dan edukasi ini
dengan upaya mandiri untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Informasi dan
edukasi yang dapat diberikan antara lain:
1. Pengetahuan tentang COVID-19 (penyebab, gejala, tanda, penularan,
pencegahan dan pengobatan)
2. Faktor risiko yang memperberat gejala klinis COVID-19
3. Pemantauan kondisi kesehatan melalui skrining mandiri
4. Sikap dan tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan kondisi kesehatan saat
ini
5. Pengelolaan stress
6. Akses informasi yang akurat tentang COVID-19 (WHO, Center for Disease Control
(CDC), dan Kementerian Kesehatan RI)

Upaya preventif dilakukan dengan memberikan langkah-langkah yang dapat


dilakukan untuk pencegahan penularan COVID-19. Langkah-langkah itu antara lain:
1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
2. Penggunaan masker
3. Cuci tangan
4. Makanan bergizi dan seimbang
5. Istirahat cukup
6. Olahraga
7. Mengendalikan komorbid
8. Menerapkan etika batuk dan bersin
9. Social distancing dan physical distancing
10. Pembersihan dan disinfeksi lingkungan
Upaya kuratif dilakukan sesuai protokol yang sudah ditetapkan dan sesuai
dengan gejala klinis yang terjadi. Pada upaya kuratif sebaiknya tidak hanya dilakukan
tatalaksana medikamentosa namun juga harus dilakukan tatalaksana non
medikamentosa, antara lain pemenuhan kebutuhan gizi dan manajemen stres sesuai

32
dengan kondisi masing-masing penderita COVID-19. Harapan yang besar dari
penderita COVID-19 adalah segera sembuh, dalam artian bahwa hasil 2 kali
pemeriksaan PCR negatif. Ini yang saat ini masih menjadi kendala bersama karena
hasil pemeriksaan PCR tidak bisa segera didapatkan, butuh waktu yang cukup lama
untuk mengetahui hasil pemeriksaan PCR. Kondisi ini dapat menambah tingkat stress
tersendiri bagi penderita COVID-19.
Upaya rehabilitatif dilakukan dengan sesegera mungkin melakukan upaya
pemulihan kondisi tubuh agar lebih optimal dan tidak jatuh dalam kondisi sakit kembali.
Penderita COVID-19 yang dirawat di rumah sakit dan telah dinyatakan sembuh (2 kali
PCR negatif), diperbolehkan pulang namun dianjurkan untuk tetap tinggal di rumah
minimal 1 minggu sebelum berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, memakai
masker, rajin cuci tangan dan menerapkan physical distancing. Hal ini dilakukan karena
pasien yang sudah dinyatakan sembuh ternyata masih bisa kembali tertular COVID-19.
Penatalaksanaan pandemi COVID-19 harus dilakukan dengan pendekatan
holistik komprehensif dengan keterlibatan multi sektor terutama melakukan
pemberdayaan masyarakat karena sampai saat belum ada obat spesifik dan juga
belum ada vaksin untuk COVID-19. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu
strategi promosi kesehatan yang dikemukakan oleh WHO. Masyarakat diharapkan
memiliki kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri
(self relince in health). Strategi yang melibatkan masyarakat dalam kesiapsiagaan dan
respon serta mengembangkan intervensi yang dapat diterima dan efektif untuk
menghentikan penyebaran wabah yang semakin meluas serta dapat melindungi
individu dan komunitas. Pada sisi lain, upaya ini juga sangat penting untuk
pengawasan, pelaporan kasus, pelacakan kontak, perawatan orang sakit dan
perawatan klinis, serta pengumpulan dukungan masyarakat lokal untuk kebutuhan
logistik dan operasional.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gardner L. Memetakan2019-nCoV [Internet]. Public Health. 2020 [cited 2020


March 13]. Available from: https://systems.jhu.edu/research/public-health/ncov/
2. Gugus Tugas Percepatan Pengananan COVID-19 Indonesia [Internet]. Data
Sebaran COVID-19. 2020 [diakses 13 Mei 2020]. Tersedia dari:
https://covid19.go.id/.

33
3. Coronavirus Resource Center Johns Hopkins [Internet]. Confirmed and Deaths
Cases by Country. 2020 [cited 2020 March 13]. Available from:
https://coronavirus.jhu.edu/map.html.
4. Susilo A, et al. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia. 2020; 7(1); 45-67.
5. BBC. Virus Corona: Berapa Lama Virus Corona Bisa Bertahan Pada Permukaan?
[Internet]. News Indonesia [diakses 14 Mei 2020]. Tersedia dari:
https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-51956329.
6. Doremalen N.V, Bushmaker T, Morris, et al. Aerosol and Surface Stability of
SARS-CoV-2 as Compared with SARS-CoV-1. The New England Journal of
Medicine. 2020; 382:1564-1567.
7. Mukaromah, V.F. Perubahan Suhu Dan Kelembaban Juga Dapat Mempengaruhi
Berapa Lama Virus Dapat Bertahan [Internet]. Kompas.com [cited 2020 May 21].
Available from:
https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/24/060500365/perbedaan-lama-
waktu-bertahan-virus-corona-di-udara-kardus-plastik-
dan?utm_source=LINE&utm_medium=today&utm_campaign=messaging.
8. Denis M, et al. Information available to support the development of medical
countermeasures and interventions against COVID-19. Covipendium. 2020 May
19 [cited 2020 May 22].
9. Nitra, N. Rifki.. Diagnosis Holistik. 2017. Edisi Ketiga. Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas FKUI. Jakarta.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19). Rev 4. 2020 [update 2020 March
27]. Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
11. Ika. Cara Atasi Stres Selama Pandemi COVID-19 [Internet]. Universitas Gadjah
Mada News [cited 2020 May 25]. Available from: https://ugm.ac.id/id/berita/19150-
cara-atasi-stres-selama-pandemi-COVID-19.
12. Larasati, R. Pengaruh Stres Pada Kesehatan Jaringan Periodontal, Jurnal Skala
Husada. 2020; 13(1): 81-89.
13. Chaplin DD. Overview of the immune response. J Allergy Clin Immunol.
2010;125(2):3-21
14. Menard C, Pfau ML, Hodes GE, Russo SJ. Immune and neuroendocrine
mechanisms of stres vulnerability ad resilience. Neuropsychopharmacology.
2017;42(1):62-80.

34
COVID-19 : DATA, ESTIMASI, DAN PREDIKSI DI INDONESIA

Dr. Windhu Purnomo, dr., MS.


(Departemen Biostatistika dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Airlangga)

Kasus COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) pertama kali dilaporkan di Indonesia pada
2 Maret 2020 dengan dua kasus (Kemkes RI, 2020; Portal Informasi Indonesia, 2020).
Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan status
pandemi COVID-19, setelah saat itu terdapat lebih dari 118.000 kasus terinfeksi di lebih
dari 110 negara di dunia, yang mempunyai risiko tinggi berkelanjutan untuk menyebar ke
seluruh dunia (World Health Organization, 2020).

Selama pandemi COVID-19 ini, ada banyak upaya untuk mengestimasi dan memprediksi
kasus infeksi, kematian, dan indikator medis lainnya, dengan menggunakan berbagai
macam data yang relevan, yang kemudian dianalisis melalui statistika dan model
epidemiologi. Hasil prediksi itu seharusnya bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah di
beberapa wilayah dan negara. Pandemi COVID-19 yang merupakan masalah yang
sangat serius, karena cepat dan luasnya penyebaran, merupakan salah satu yang tidak
mudah diprediksi karena mengandung ketidakpastian yang cukup tinggi.

DATA SURVEILANS COVID-19

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi


sistematis yang berkelanjutan dari data terkait kesehatan yang penting untuk
perencanaan, implementasi, dan evaluasi praktik kesehatan masyarakat.
Untuk surveilans COVID-19, dan virus yang menyebabkannya, SARS-COV-2, bisa
digunakan beberapa sistem pengawasan yang dijalankan untuk memantau COVID-19 di
suatu wilayah. Surveilans COVID-19 berasal dari kombinasi sumber data dari surveilans
penyakit pernapasan virus yang ada, surveilans sindroma, pelaporan kasus, pelaporan
laboratorium, sistem keselamatan kesehatan, platform penelitian berkelanjutan, dan
sistem baru lainnya yang dirancang untuk menjawab pertanyaan spesifik. Sistem ini,
digabungkan, membuat gambar SARS-COV-2 yang diperbarui dan akurat serta
dampaknya dan menyediakan data yang digunakan untuk menginformasikan respons

35
kesehatan masyarakat terhadap COVID-19 (Center for Disease Control and Prevention,
2020).
Tujuan surveilans COVID-19 (Center for Disease Control and Prevention, 2020; World
Health Organization, 2020):
1. memantau penyebaran dan intensitas penyakit COVID-19
2. memahami tingkat keparahan penyakit dan spektrum penyakit
3. memahami faktor risiko penyakit dan penularan yang parah
4. memantau perubahan virus yang menyebabkan COVID-19
5. memperkirakan beban penyakit
6. menghasilkan data untuk perkiraan penyebaran dan dampak COVID-19
7. memahami bagaimana COVID-19 berdampak pada kapasitas sistem perawatan
kesehatan (misalnya: ketersediaan dan kekurangan sumber daya utama)

Data COVID-19 dapat digunakan untuk membantu profesional kesehatan masyarakat


dan penyedia layanan kesehatan dalam melakukan pemantauan penyebaran COVID-19
dan mendukung pemahaman yang lebih baik tentang penyakit, keparahan penyakit, dan
gangguan sosial yang terkait dengan COVID-19. Data ini membantu menginformasikan
respons kesehatan masyarakat nasional terhadap COVID-19.

No Parameter Penilaian
1 Epidemiologi - Apakah epidemi Ya/ Tidak
Public health criteria to terkendali?
adjust public health and 2 Sistem kesehatan - Apakah Ya/ Tidak
social measures in the sistem kesehatan dapat
context of COVID-19 menangani kenaikan kembali
jumlah kasus COVID-19 yang
Annex: dapat timbul setelah
Considerations in adjusting disesuaikannya langkah-langkah
public health and social tertentu?
measures in the context of 3 Surveilans Kesehatan Ya/ Tidak
COVID-19 Masyarakat - Apakah sistem
12 May 2020 surveilans kesehatan masyarakat
mampu mendeteksi dan
melakukan 3 T (test, tracing,
treatment) dengan adekuat?

Tingkat Risiko
Tinggi
Sedang
Rendah

Gambar 1. Tiga Parameter untuk mengambil keputusan: Melonggarkan vs Memperketat

36
Macam data dan statistik yang dibutuhkan untuk bisa menganalisis berbagai hal
berkaitan dengan pandemi COVID-19 antara lain adalah (Center for Disease Control and
Prevention, 2020):
1. Jumlah penduduk yang rentan, jumlah penduduk yang berisiko tinggi terinfeksi
2. Jumlah pemeriksaan, kapasitas pemeriksaan
3. Jumlah kasus terinfeksi, jumlah kasus yang sembuh, jumlah kasus meninggal
4. Jumlah kasus suspek
5. Jumlah kontak, waktu kontak
6. Waktu onset
7. Kurva epidemik
8. Bilangan reproduksi dasar dan bilangan reproduksi efektif
9. Masa inkubasi, masa infeksius
10. Waktu masuk rumah sakit, durasi tinggal di rumah sakit
11. Lokasi geografis kasus (koordinat)
12. Karakteristik virus (probabilitas penularan)
13. Perilaku individu dan populasi (jarak sosial, kontak fisik, tinggal di rumah,
penggunaan masker, kebiasaan cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir)
14. Kapasitas pelayanan kesehatan (jumlah rumah sakit rujukan, jumlah rumah sakit
darurat, bed isolasi, bed isolasi tekanan negatif, ventilator, sumber daya manusia:
tenaga medis dan paramedis)
15. Kemampuan melakukan penyelidikan epidemiologi
16. Kebijakan dan upaya pemerintah dalam penanganan wabah (karantina wilayah,
PSBB).

PENGAMBILAN
KEPUTUSAN

1. Deskriptif: Potret yang dilaporkan


INFORMASI 2. Estimasi: di Populasi
3. Prediksi: Eksplanatif

DATA
EPIDEMIOLOGI

Gambar 2. Alur Pengambilan Keputusan Kebijakan tentang COVID-19

37
PEMAHAMAN DATA DAN STATISTIK COVID-19

Jumlah kasus COVID-19 dan jumlah kematian mencakup kasus dan kematian yang
dikonfirmasi dan yang probable.
Kasus yang probable adalah yang (a) memenuhi kriteria klinis dan bukti epidemiologis
tanpa uji laboratorium konfirmasi yang dilakukan untuk COVID-19; atau (b) memenuhi
bukti laboratorium dugaan (presumptive) dan kriteria klinis atau bukti epidemiologis; atau
(c) memenuhi kriteria catatan vital tanpa uji laboratorium konfirmasi yang dilakukan untuk
COVID-19 (Center for Disease Control and Prevention, 2020).
Keterlambatan dalam pelaporan dapat menyebabkan jumlah kasus COVID-19 yang
dilaporkan pada hari-hari sebelumnya meningkat. Kementerian Kesehatan RI atau Dinas
Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota memerlukan waktu untuk melakukan pengujian
laboratorium, kasus dari hari-hari sebelumnya dapat ditambahkan ke hitungan harian
yang sudah beberapa hari terlambat.

Meningkatnya jumlah kasus mencerminkan penyebaran COVID-19 yang cepat karena


banyak wilayah mengalami penyebaran di komunitas. Juga, ada jumlah kasus COVID-
19 yang dilaporkan meningkat karena adanya sedikit peningkatan pengujian dan
pelaporan laboratorium di seluruh negeri. Data yang lebih rinci dan akurat akan
memungkinkan kita untuk lebih memahami dan melacak ukuran dan ruang lingkup
wabah dan memperkuat upaya pencegahan dan respons.

Statistik COVID-19 meliputi :

1. Attack Rate (AR): jumlah kasus terkonfirmasi/besar populasi

2. Case Fatality Rate (CFR): jumlah kasus kematian/jumlah kasus terkonfirmasi

3. Case Recovery Rate (CRR): jumlah kasus kesembuhan/jumlah kasus terkonfirmasi

4. Positive Rate: jumlah kasus terkonfirmasi/jumlah yang diperiksa

38
Tabel 1. Apakah Epidemi Covid-19 Terkendali? Ukuran utama: Angka reproduksi efektif (R ):
t
menurun secara bermakna

Kriteria Epidemiologis* Penjelasan


Penurunan minimal 50% selama 3 minggu Mengindikasikan penurunan transmisi
sejak puncak terakhir dan penurunan selama tiga pekan sejak puncak terakhir
berkelanjutan insidensi kasus konfirmasi dan
probable
Kurang dari 5% sampel positif COVID-19, Persentase sampel positif dapat
minimal selama 2 pekan terakhir, dengan diinterpretasikan hanya dengan surveilans
asumsi bahwa surveilans kasus suspek dan tes terhadap kasus suspek yang
sudah komprehensif komprehensif, dengan laju 1/1000
penduduk/pekan
Kurang dari 5% sampel positif COVID-19, Melalui surveilans sentinel ILI, persentase
minimal selama 2 pekan terakhir, di antara sampel positif yang rendah
sampel-sampel influenza-like-illness mengindikasikan penularan masyarakat
(ILI/penyakit serupa influenza) yang dites di yang rendah*
situs-situs surveilans sentinel
Minimal 80% kasus berasal dari daftar kontak Mengindikasikan bahwa sebagian besar
dan dapat dikaitkan dengan klaster yang rantai penularan telah teridentifikasi,
diketahui sehingga pemantauan (follow-up) dapat
dilakukan.
Penurunan jumlah kematian pada kasus Kriteria ini akan mengindikasikan bahwa
konfirmasi dan probable selama 3 pekan jumlah total kasus dan kematian menurun.
terakhir
Penurunan berkelanjutan jumlah perawatan Kriteria ini mengindikasikan telah terjadi
di rumah sakit dan IGD atas kasus konfirmasi penurunan jumlah kasus yang memerlukan
dan probable selama minimal 2 pekan perawatan rumah sakit (PDP).
terakhir
Penurunan angka kematian tambahan sesuai Penurunan jumlah kematian akibat
kelompok umur akibat pneumonia pneumonia akan secara tidak langsung
mengindikasikan penurunan jumlah
kematian tambahan akibat COVID-19.

KURVA EPIDEMIK COVID-19

Kurva epidemik merupakan serangkaian data epidemiologi yang divisualisasi dalam


bentuk grafis. Data disajikan di antara sumbu X yang menjadi ukuran waktu observasi
dan sumbu Y yang menunjukkan jumlah kasus.
Kurva epidemik berbeda dengan kurva perkembangan kasus terkonfirmasi yang
dilaporkan. Sumbu X adalah waktu onset, yaitu waktu saat kasus yang terinfeksi
mengalami gejala untuk pertama kalinya. Kurva ini mempunyai peran penting untuk
memahami bagaimana penularan penyakit COVID-19 di dalam komunitas, sehingga
berfungsi sebagai alat bantu atau pemandu dalam menyusun dan melaksanakan strategi
pemerintah dalam menangani wabah. Dari kurva epidemik ini bisa diketahui
perkembangan kasus di sebuah wilayah apakah telah memasuki masa puncak atau
bahkan sudah mulai melandai (Systrom K, 2020).
39
Tanpa adanya data epidemiologi yang valid dan lengkap, maka kurva tidak akan ideal
atau mendekati kebenaran.
Kurva epidemik yang ideal bila kurva tersebut menunjukkan data kasus terkonfirmasi,
suspek, diagnosis secara klinis dan yang asimptomatis, selain data tentang waktu atau
tanggal. Adalah tidak lengkap bila data pemeriksaan (testing) secara proporsional dilihat
dari besar populasi terlalu kecil sehingga sangat mempengaruhi akurasi pemodelan
COVID-19.

Gambar 3. Perkembangan Kasus Konfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur Kumulatif s.d.
31 Mei 2020

Gambar 4. Tren Harian Kasus Konfirmasi COVID-19 yang Sembuh dan Meninggal di Provinsi
Jawa Timur s.d. 31 Mei 2020

40
Gambar 5. Perkembangan Kasus Konfirmasi COVID-19 Baru Berdasarkan tanggal Declare
PHEOC di Provinsi Jawa Timur Kumulatif s.d. 31 Mei 2020

Gambar 6. Kurva Epidemi Kasus Konfirmasi COVID-19 menurut Onset di Provinsi Jawa Timur
Kumulatif s.d. 27 Mei 2020

41
KUMULATIF KASUS KONFIRMASI BERDASARKAN
ONSET DAN TANGGAL PHEOC DI JAWA TIMUR S/D 27 MEI 2020

4500
PSBB
4000 MALANG
RAYA
17 MEI
3500 2020

3000

2500
PSBB
SURABAY
2000 A RAYA
tgl Onset 28 APRIL
1500 tgl PHEOC

1000

500

0
07 February 2020

14 February 2020

21 February 2020

28 February 2020

06 March 2020

13 March 2020

20 March 2020

27 March 2020

03 April 2020

10 April 2020

17 April 2020

24 April 2020

01 May 2020

08 May 2020

15 May 2020

22 May 2020
Gambar 7. Kumulatif Kasus Konfirmasi Berdasarkan Onset dan Tanggal PHEOC di Jawa
Timur s/d 27 Mei 2020

Keterangan :
• Kumulatif onset menunjukan kenaikan kasus tiap hari.
• Bila PSBB berhasil kasus dimungkinkan akan melandai setelah satu bulan mulai
pelaksanaan
• Ada perbedaan kumulatif antara onset dengan PHEOC. Kurva onset
menggambarkan bahwa kasus harian sudah banyak diatas PHEOC.

BILANGAN REPRODUKSI DASAR DAN BILANGAN REPRODUKSI EFEKTIF COVID-


19

Untuk menilai keberhasilan suatu intervensi dan memastikan strategi berikutnya,


diperlukan sebuah indicator penting yang disebut sebagai bilangan reproduksi (growth
factor).
Bilangan reproduksi dasar (R0) didefinisikan sebagai rerata jumlah individu yang rentan
(susceptible) yang secara langsung terkena infeksi oleh populasi yang telah terinfeksi,
dan masuk ke dalam populasi yang seluruhnya masih rentan. Sedang bilangan
reproduksi efektif (Rt) didefinisikan sebagai jumlah rerata individu yang rentan
42
(susceptible) yang secara langsung terkena infeksi oleh populasi yang telah terinfeksi,
dan masuk ke dalam populasi yang sebagian sudah tidak rentan.
Bilangan reproduksi mempunyai nilai batas 1.
Bila bilangan reproduksi kurang dari satu (R0 atau Rt<1), yaitu satu individu yang terkena
infeksi akan menularkan penyakit ke kurang dari satu individu yang rentan, maka
penyakit kemungkinan akan hilang dari populasi. Sebaliknya, bila bilangan reproduksi
lebih dari satu (R0 atau Rt>1), yaitu satu individu yang terkena infeksi akan menularkan
penyakit ke lebih dari satu individu yang rentan, maka penyakit akan makin menyebar
dan jadi wabah di populasi. Sedang bila bilangan reproduksi sama dengan satu (R0 atau
Rt=1), yaitu satu individu yang terkena infeksi akan menularkan penyakit pada satu
individu yang rentan, maka penyakit akan konstan ada, tidak bertambah dan tidak
berkurang, di populasi sehingga menjadi endemis (Systrom K, 2020).

R (atau R ) ~ p*t*c
0 t

p : probabilitas virus bisa menulari → given


t : masa contagious → perawatan dan atau isolasi
c : jumlah orang yang ditemui (kontak) selama masa contagious → isolasi atau karantina
Bila
• R0 atau Rt<1, maka penyakit kemungkinan akan hilang dari populasi
• R0 atau Rt=1, maka penyakit akan konstan ada, tidak bertambah dan tidak
berkurang di populasi sehingga menjadi endemis
• R0 atau Rt>1), maka penyakit akan makin menyebar dan jadi wabah di populasi.

43
Gambar 8. Epidemic Curve dan Estimated R

Bilangan Reproduksi Efektif (Rt) Covid-19 di Jawa Timur pada 16 Mei 2020
Tabel 2. Bilangan Reproduksi Efektif (Rt) Covid-19 di Jawa Timur pada 16 Mei 2020
Tanggal Rt
28-Apr 1.7
29-Apr 1.7
30-Apr 1.7
01-May 0.5
02-May 1.9
03-May 0.6
04-May 1.8
05-May 1.6
06-May 1.6
07-May 0.6
08-May 1.4
09-May 0.8
10-May 0.5
11-May 2.2
12-May 2.1
13-May 3.4
14-May 2.0
15-May 2.7
16-May 1.1

44
INFORMASI SPASIAL

Gambar 9. Sebaran OTG, ODP dan PDP Jawa Timur


Sumber Data: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

45
Proporsi asal kasus konfirmasi

Tidak Diketahui
9%

OTG
35%
Konfirmasi
4.600
PDP
44%
ODP
12%

Gambar 10. Proporsi asal kasus konfirmasi

OTG = 18.469
ODP = 24.190
PDP = 6.595

46
Perkembangan proporsi penduduk yang “stay at home” di Provinsi Jawa Timur

Gambar 11. Perkembangan proporsi penduduk yang “stay at home” di Provinsi Jawa Timur
Simpulan:
• Secara umum ada perkembangan yang membaik, warga yang “stay at home”
meningkat, terutama kota Surabaya dan kabupaten Bondowoso
• Ada wilayah “merah” yang mengelilingi daerah “cerah”, berisiko tinggi transmisi bila
ada pergerakan warga antar wilayah

47
Perkembangan proporsi penduduk yang “stay at home” di kota Surabaya

Gambar 12. Perkembangan proporsi penduduk yang “stay at home” di kota Surabaya
(Sumber: Google Mobility)

48
ESTIMASI DATA COVID-19

Data COVID-19 yang dilaporkan bagaikan puncak dari sebuah gunung es, karena
banyak kasus terinfeksi yang tidak diperiksa.
Rendahnya kasus terinfeksi di beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia, bisa
disebabkan karena rendahnya jumlah pemeriksaan. Kurangnya pemeriksaan akan
mengakibatkan ruang lingkup pandemi menjadi tidak jelas. WHO telah mengeluarkan
peringatan keras tentang masalah ini, ketika jumlah kasus melonjak tinggi secara global
tetapi di beberapa negara jumlah kasus tetap rendah. “Anda tidak dapat melawan virus
jika Anda tidak tahu di mana (virus) itu berada,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros
Adhanom Ghebreyesus. “Itu berarti (harus ada) kontrol yang kuat untuk menemukan,
mengisolasi, menguji, dan memperlakukan setiap kasus, untuk memutuskan rantai
penularan.” Di Inggris, diperkirakan jumlah kasus terinfeksi lebih dari 12 kali dari jumlah
resmi kasus yang dikonfirmasi (Kresoe N & Gretler C, 2020). Bagaimana di Indonesia?
Dari perspektif kesehatan masyarakat, hanya menguji kasus yang parah adalah
keputusan yang membawa bencana. Orang dengan sedikit atau tanpa gejala dapat
dengan mudah menularkan virus. Untuk itu lah, bila jumlah pemeriksaan rendah dan
tidak luas, diperlukan metode estimasi untuk bisa memperkirakan penyebaran infeksi di
komunitas.
Estimasi di populasi bisa dilakukan secara statistikal dengan menggunakan analisis
inferensial dengan mempertimbangkan galat baku (standard error), bila data bersifat
parametrik (kuantitatif) dan berasal dari populasi yang berdistribusi normal, atau
mempertimbangkan kuartil bila data bersifat non parametrik.
Selain secara statistika inferensial, estimasi juga bisa dilakukan dengan berbagai cara
lain.

Gambar 13. Estimasi ODP dan PDP

49
Positive rate di Indonesia = 9,3%
Estimasi PDP yang positif = 9,3%*6410 = 598
Bila CFR 5%, maka yang meninggal = 5%*598 = 30
Estimasi ODP yang positif = 9,3%*24.420 = 2.271
Bila CFR 1% saja, maka yang meninggal = 1%*2.271 = 23

PREDIKSI COVID-19 BERBASIS DATA

Banyak pihak di seluruh dunia saat ini ingin tahu kapan pandemi COVID-19 akan
berakhir. Prediksi kapan akhir pandemi telah menjadi kebutuhan kebanyakan orang,
karena diperlukan sebagai bagian penting dari perencanaan selama pandemi COVID-
19.
Karena adanya kebutuhan yang disebutkan di atas, maka prediksi berdasarkan data dari
lintasan dan tanggal akhir COVID-19 di berbagai wilayah dilakukan dan terus
diperbaharui setiap hari dengan data terbaru. Untuk setiap wilayah, deretan angka
tersedia untuk memvisualisasi perkiraan siklus hidup pandemi dengan data aktual hingga
saat ini, yang selanjutnya mengungkapkan titik puncak dan titik akhir yang diperkirakan.
Hanya prediksi dengan model yang sesuai dan signifikan secara statistika yang layak
dilaporkan.

Gambar 14. Jumlah Kasus Positif Kumulatif Yang Dilaporkan Indonesia

50
Gambar 14. Prediksi Jumlah Kasus COVID-19 Positif Kumulatif Provinsi Jawa Timur

Gambar 15. Prediksi Jumlah Kasus Positif Baru COVID-19 per Hari Indonesia

Gambar 16. Prediksi Jumlah Kumulatif Kasus Positif COVID-19 Indonesia

51
Sebuah prediksi tidak selalu bisa dilakukan dengan baik karena ketidakpastian di masa
depan sebagai akibat dari faktor yang kompleks, dinamis dan heterogen. Sementara itu,
pengetahuan tentang pola proses dan data pandemi saat ini yang terus terakumulasi
memungkinkan untuk mengambil pendekatan berbasis model dan data-driven untuk
prediksi obyektif waktu berakhirnya COVID-19 dan juga terus memperbaharui prediksi
seiring perkembangan. Pemantauan prediktif berkelanjutan untuk memperkirakan
kemungkinan kejadian di masa depan, seperti akhir pandemi yang sedang berlangsung,
dengan menggunakan data terbaru yang dihasilkan setiap hari, dapat mengurangi
ketidak-tahuan masa depan, merancang tindakan kewaspadaan yang proaktif,
melakukan pengambilan keputusan, menyesuaikan perilaku dan mentalitas yang lebih
sesuai dengan apa yang akan terjadi menurut hasil prediksi. Sementara ini, sebagian
besar pemantauan saat ini terfokus pada pelaporan aktual kasus infeksi, kesembuhan,
dan kematian setiap hari, memandu kebijakan reaktif dan pasif, seperti kebijakan PSBB
ketika banyak infeksi telah dilaporkan (Jianxi Luo, 2020a; Jianxi Luo, 2020b).

Perjalanan COVID-19 tidak sepenuhnya acak. Seperti pandemi lainnya, perkembangan


kejadian wabah mengikuti pola siklus wabah, yaitu fase akselerasi, titik puncak, fase
deakselerasi, dan berakhir. Siklus hidup seperti itu adalah hasil adaptif dari perilaku
individu (misalnya: menjaga jarak fisik dan sosial yang aman atau menghindari kontak
fisik) dan pemerintah (misalnya: karantina wilayah atau PSBB), serta kondisi alami dari
virus dan ekosistem. Setiap wilayah mempunyai pola yang mungkin berbeda.
Pola siklus pandemi diharapkan muncul sebagai kurva berbentuk “S” untuk jumlah
kumulatif dari kasus infeksi dari waktu ke waktu, dan itu atau setara dengan kurva
berbentuk "lonceng" dari pertambahan kasus harian dari waktu ke waktu. “Lonceng” di
sini bisa simetris, tapi bisa juga tidak.
Yang pertama kali dilakukan dalam proses prediksi adalah memilih model prediksi dan
sumber data, selanjutnya dilakukan perbaruan dan pemantauan prediksi dengan
menggunakan data baru yang setiap hari datang dari waktu ke waktu.

Terdapat beberapa model prediksi yang bisa digunakan, tetapi yang lebih sering
digunakan dalam pemodelan perjalanan penyakit menular adalah model regresi, time
series, atau S-I-R (Susceptible-Infected-Recovered/Removed) dengan beberapa
variasinya (misalnya S-E-I-R: Susceptible-Exposed-Infected-Removed-Recovered).
Model S-I-R yang menggambarkan proses dinamis penyebaran penyakit menular. Model
S-I-R yang spesifik dalam konteks paling sering digunakan dalam percobaan ini karena

52
beberapa alasan. Pertama, model ini memodelkan proses dinamis infleksi dalam suatu
populasi dari waktu ke waktu. Kedua, model ini membutuhkan input data sederhana yang
tersedia untuk umum. Ketiga, terdapat aplikasi open source yang tersedia.
Pada dasarnya, model SIR menggunakan tiga persamaan diferensial biasa untuk
menggambarkan aliran dinamik di antara tiga kompartemen populasi, yaitu: S untuk
jumlah orang yang rentan, I untuk jumlah orang yang menular, dan R untuk jumlah orang
yang dikeluarkan (baik yang pulih, mau pun yang meninggal). Model SIR
menggabungkan dua parameter utama, yaitu beta dan gamma.
Gamma adalah jumlah hari menular. Beta adalah jumlah rata-rata orang yang terinfeksi
oleh orang yang sebelumnya terinfeksi dan terkait dengan tidak hanya pola interaksi
orang-orang dalam komunitas (yang dapat mempengaruhi jarak sosial) tetapi juga proses
infeksi yang merupakan karakteristik virus (Jianxi Luo, 2020a; Yang Z, et al., 2020).

53
Model Prediksi S-I-R untuk Surabaya Raya dengan data sd. 26 Mei

Gambar 17. Model Prediksi S-I-R untuk Surabaya Raya dengan data sd. 26 Mei bila Rt = 1,4

Asumsi:
• Bilangan reproduksi dasar efektif (Rt) = 1,4
• Recovery Rate = 8,1%
• Hari ke-0: hari ini
Perkiraan puncak kasus akan terjadi antara 5 hari ke depan, dengan puncak yang sangat
tinggi, dan baru selesai setelah 45 hari

54
Model Prediksi S-I-R untuk Surabaya Raya dengan data sd. 26 Mei

Gambar 18. Model Prediksi S-I-R untuk Surabaya Raya dengan data sd. 26 Mei bila Rt = 1,1

Asumsi seandainya kemarin:


• Bilangan reproduksi dasar efektif (Rt) = 1,1
• Recovery Rate = 50%
• Hari ke-0: hari ini
Perkiraan puncak kasus akan terjadi antara 2 hari ke depan, dengan puncak yang
rendah, dan selesai pada 15 hari ke depan

55
Gambar 19. Epidemic Calculator

SIMPULAN

Untuk mampu merancang sebuah kebijakan dan strategi percepatan penanganan wabah
COVID-19, dan juga melakukan pemantauan dan evaluasi, yang tepat, diperlukan data
yang lengkap dan akurat. Data yang akurat akan bisa menghasilkan informasi yang
benar dan menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi di populasi.
Dalam proses menghasilkan informasi yang tepat ini diperlukan berbagai alat bantu yang
sesuai, berupa metode statistika dan matematika.
Dengan data yang valid dan metodologi yang tepat untuk menghasilkan informasi,
diharapkan kebijakan yang dibuat dalam percepatan penanganan COVID-19 akan tepat
untuk menyelamatkan sebanyak-banyaknya anggota populasi, sehingga pandemi
COVID-19 diharapkan segera berakhir.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Center for Disease Control and Prevention. (2020) Coronavirus Disease 2019
(COVID-19). <https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/covid-data/faq-
surveillance.html>, diakses pada 30 Mei 2020.

2. Jianxi Luo. (2020a) Predictive Monitoring of COVID-19. White Paper.

3. Jianxi Luo. (2020b) Data-Driven Innovation. Keynote Speech, 13th International


Workshop on Design Theory, Paris, France, 27 January.

4. Kemkes RI. (2020) Dashboard Kasus COVID-19 di Indonesia.


<https://data.kemkes.go.id/covid19/index.html>, diakses pada 30 Mei 2020.

5. Kresoe N & Gretler C. (2020).Coronavirus Tally May Be Tip of Iceberg as Sick Go


Untested. Bloomberg.

6. Portal Informasi Indonesia. (2020) Kasus Covid-19 Pertama, Masyarakat Jangan


Panik. <https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/kasus-
covid-19-pertama-masyarakat-jangan-panik>, diakses pada 30 Mei 2020.

7. Sysytrom K. (2020). The Metric We Need to Manage COVID-19.


<http://systrom.com/blog/the-metric-we-need-to-manage-covid-19/>, diakses pada
30 Mei 2020.

8. World Health Organization. (2020) Novel coronavirus (COVID-19).

9. Yang Z., et al. (2020) Modified SEIR and AI prediction of the epidemics trend of
COVID-19 in China under public health interventions. J Thorac Dis, 12(3): 165-174.

57
MANAJEMEN KLINIK DAN RS
DI ERA PANDEMI COVID-19

Hj. Andiani, dr., MKes., CHt.


(Fakultas Kedokteran Universitas Wijayakusuma Surabaya)

PENDAHULUAN

Pada awal tahun 2020 merebak kasus infeksi virus Corona yang berawal di
Provinsi Hubei Tiongkok pada Desember 2019 hingga dinyatakan sebagai pandemi
global pada bulan Maret 2020. Penyebarannya yang cepat dan belum diketahui dengan
pasti bagaimana virus ini menyebar, sementara diduga melalui droplet dan beberapa
waktu terakhir WHO telah menyatakan ada kemungkinan penularan secara airborne.
Pemerintah Republik Indonesia (RI) pertama kali mengumumkan adanya kasus
positif COVID-19 pada 2 Maret 2020. Hingga 10 Maret 2020 jumlahnya berkembang
menjadi 13 pasien positif terinfeksi virus Corona. Hingga saat ini (13 Mei 2020) jumlah
kasus telah mencapai 16.700 jiwa, pasien sembuh 3.513 jiwa, dan meninggal sebanyak
1.064 jiwa.
Rumah Sakit (RS) menjadi bagian penting dari sistem penanggulangan dalam
menekan angka kematian dan penularan. Pemerintah RI membagi rumah sakit menjadi
RS rujukan dan RS darurat atau non rujukan dimana Untuk RS rujukan kesiapannya
perlu difokuskan pada penyediaan kapasitas intensive dan critical care beserta seluruh
sumber daya terkait (SDM, peralatan, logistik). RS non rujukan perlu ditingkatkan juga
kapasitasnya dalam mendeteksi kasus, karena sebagian besar masyarakat lebih
mudah mengakses layanan kesehatan non rujukan COVID-19. Disinilah informasi
mengenai manajemen RS dan fasilitas pelayanan kesehatan pertama diperlukan.

PROSEDUR PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI COVID 19 DI


FASILITAS KESEHATAN

Baik pada lingkungan klinik ataupun RS sebagai fasilitas kesehatan (faskes)


sangat berperan dalan proses penularan infeksi sekaligus pembatasan dan
pencegahannya. Komponen yang termasuk didalamnya adalah : Petugas pelayanan
kesehatan, instrumen dan peralatan, pasien serta lingkungan RS itu sendiri.
1. Petugas pelayanan kesehatan
Petugas disini baik dokter, perawat ataupun petugas paramedis lain serta
petugas pendukung yang ikut terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap
58
penanganan COVID-19. Hal ini berhubungan dengan kondisi host, agent di
sekitarnya serta lingkungan tempat petugas melaksanakan pekerjaannya
ataupun diluar ruang kerja rutinnya seperti di rumah, di perjalanan dan
sebagainya.
2. Instrumen dan peralatan.
Segala bentuk peralatan yang dipergunakan dalam proses penanganan pasien
baik yang melekat sebagai APD petugas ataupun yang dipergunakan
menangani kondisi pasien perlu mendapatkan perlakuan terstandar sesuai
protokol COVID-19
3. Pasien
Pasien dengan keragaman karakteristik individualnya seperti usia, jenis
pekerjaan, tempat tinggal, kemungkinan dan risiko kontak serta penyakit
penyerta yang dimiliki membawa tingkat kegawatan ataupun keparahan
terhadap respon infeksi yang berbeda-beda. Hal ini juga masih dipengaruhi oleh
kemampuan psikis pasien dalam melakukan manajemen emosi dan kondisi
psikologi pribadinya masing-masing.
4. Lingkungan RS
Pengendalian lingkungan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya
merupakan salah satu aspek dalam upaya pencegahan pengendalian
lingkungan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.
Ruang lingkup manajemen lingkungan RS meliputi :
a. Penyehatan Ruang Bangunan dan Halaman Rumah Sakit
b. Persyaratan Higiene dan Sanitasi Makanan dan Minuman
c. Penyehatan Air
d. Pengelolaan Limbah
e. Pengelolaan Tempat Pencucian Linen
f. Pengendalian Serangga, Tikus & Binatang Pengganggu
g. Dekontaminasi melalui Disinfeksi permukaan
h. Persyaratan Pengamanan Radiasi
i. Upaya Promosi Kesehatan Lingkungan
Pembersihan Lingkungan adalah proses membuang semua atau sebagian besar
patogen dari permukaan dan benda yang terkontaminasi. Pembersihan
permukaan di lingkungan pasien sangat penting karena agen infeksius yang
dapat menyebabkan infeksi COVID-19 dapat bertahan di lingkungan selama
beberapa jam atau bahkan beberapa hari. Pembersihan dapat dilakukan dengan

59
air dan deterjen netral. Disinfektan standar rumah sakit yang dibuat dengan
larutan yang dianjurkan dan digunakan sesuai dengan petunjuk dapat
mengurangi tingkat kontaminasi permukaan lingkungan. Pembersihan harus
dilakukan sebelum proses disinfeksi. Hanya perlengkapan dan permukaan yang
pernah bersentuhan dengan kulit atau mukosa pasien atau sudah sering
disentuh oleh petugas yang memerlukan disinfeksi setelah dibersihkan.
Jenis disinfeksi yang digunakan di fasilitas kesehatan tergantung pada
ketersediaannya dan peraturan yang berlaku. Sebagian disinfektan yang cocok
untuk keperluan ini adalah :
1) Sodium hipoklorit – digunakan pada permukaan atau peralatan bukan logam
2) Alkohol – digunakan pada permukaan yang lebih kecil
3) Senyawa fenol
4) Senyawa amonium quaterner , dan/atau
5) Senyawa peroksigen

Penataan ruangan dan lingkungan untuk penanganan COVID-19 termasuk dalam


area zona risiko tinggi dan zona risiko sangat tinggi.
Zona risiko tinggi meliputi ruang isolasi, ruang perawatan intensif, laboratorium,
ruang penginderaan medis (medical imaging), ruang jenazah dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Dinding permukaan harus rata dan berwarna terang
1) Dinding laboratorium dibuat dari porselin atau keramik setinggi 1,50 meter
dari lantai
2) Dinding ruang penginderaan medis harus berwarna gelap dengan
ketentuan dinding disesuaikan dengan pancaran sinar yang dihasilkan dari
peralatan yang dipasang di ruangan tersebut, tembok pembatas antara
ruang sinar X dengan kamar gelap dilengkapi dengan transfer cassette
b. Lantai kuat, mudah dibersihkan, kedap air, berwarna terang, serta pertemuan
lantai dan dinding harus berbentuk melengkung tidak bersiku
c. Langit-langit harus terbuat dari bahan multipleks atau bahan yang kuat, warna
terang, mudah dibersihkan, kerangka harus kuat dan tinggi minimal 2,70 meter
dari lantai
d. Lebar pintu minimal 1,20 meter, tinggi minimal 2,10 meter, ambang bawah
jendela minimal 1,00 meter dari lantai

60
Zona risiko sangat tinggi meliputi ruang operasi, ruang bedah mulut, ruang
perawatan gigi, ruang gawat darurat, ruang bersalin, dan ruang patologi dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Dinding terbuat dari bahan porselin atau vinyl setinggi langit-langit atau dicat
dengan cat tembok yang tidak luntur dan aman, berwarna terang
b. Langit-langit harus terbuat dari bahan yang kuat dan aman, dan tinggi minimal
2,70 meter dari lantai
c. Lebar pintu minimal 1,20 meter, tinggi minimal 2,10 meter, dan semua pintu
kamar harus selalu dalam keadaan tertutup
d. Lantai kuat, mudah dibersihkan, kedap air, dan berwarna terang,
e. Khusus ruang operasi harus disediakan gelagar (gantungan) lampu bedah
dengan profil baja double INP 20 yang dipasang sebelum pemasangan langit-
langit
f. Tersedia rak dan lemari untuk menyimpan reagensia siap pakai
g. Ventilasi atau penghawaan sebaiknya digunakan AC tersendiri yang dilengkapi
filter bakteri, untuk setiap ruang operasi yang terpisah dengan ruang lainnya.
Pemasangan AC minimal 2 meter dari lantai dan aliran udara bersih yang
masuk ke dalam kamar operasi berasal dari atas ke bawah. Khusus untuk
ruang bedah ortopedi atau transplantasi organ harus menggunakan pengaturan
udara UCA (ultra clean air) system
h. Tidak dibenarkan terdapat hubungan langsung dengan udara luar, untuk itu
harus dibuat ruang antara
i. Hubungan dengan ruang scrub up untuk melihat ke dalam ruang operasi perlu
dipasang jendela kaca mati, hubungan ke ruang steril dari bagian cleaning
cukup dengan sebuah loket yang dapat dibuka dan ditutup.
j. Pemasangan gas medis secara sentral diusahakan melalui bawah lantai atau
diatas langit-langit
k. Dilengkapi dengan sarana pengumpulan limbah medis

61
STRATEGI UNIT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI (PPI) UNTUK
MEMBATASI PENYEBARAN COVID-19 DI FASILITAS KESEHATAN

PPI sebagai bagian penting dalam upaya membatasi dan mencegah penyebaran
infeksi COVID-19 mengambil peran besar disemua bidang terutama pada penerapan 8
kewaspadaan standar (Standard precaution) yang wajib dilaksanakan di semua
layanan kesehatan antara lain ;
1. Kebersihan Tangan
2. Penggunaan APD
3. Pengendalian Lingkungan
4. Pemilihan Peralatan Perawatan Pasien
5. Penanganan Linen
6. Perlindungan Kesehatan Karyawan
7. Penempatan Pasien
8. Tindakan Medis

I. Tatalaksana Penetapan Diagnosis


Pasien Dalam Pengawasan (PDP)
1. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam
(≥38°C) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala atau tanda
penyakit pernapasan seperti: batuk/sesak nafas/sakit
tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat DAN tidak ada penyebab
lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal
2. Orang dengan demam (≥38°C) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi COVID-19.
3. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis
yang meyakinkan.
Tindakan pada PDP :
1. Perawatan :
a. Ringan : Isolasi diri dirumah
b. Sedang : Rawat di RS
c. Darurat, Berat : Rawat di RS Rujukan
62
Orang Dalam Pemantauan (ODP)
1. Orang yang mengalami demam (≥38°C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN tidak
ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan
atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal
2. Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti
pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul
gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19
Tindakan pada ODP :
1. Isolasi diri dirumah
2. Pemeriksaan Spesimen
3. fasyankes melakukan pemantauan kondisi pasien setiap hari kurang lebih
selama 2 minggu (menggunakan form pemantauan), apabila mengalami
perburukan sesuai kriteria pasien dalam pengawasan atau laboratorium positif
maka dibawa ke RS darurat (gejala sedang)/RS rujukan (gejala berat)

Orang Tanpa Gejala (OTG)


Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi
COVID-19. merupakan kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19
Tindakan pada OTG :
1. dilakukan karantina mandiri
2. pemeriksaan spesimen
3. puskesmas melakukan pemantauan kondisi pasien setiap hari kurang lebih
selama 2 minggu (menggunakan form pemantauan), apabila mengalami
muncul gejala/tanda maka :
a. Ringan : isolasi diri dirumah
b. Sedang : rawat di RS darurat
c. Berat : rawat di RS rujukan

Kontak erat
adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan atau
berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan atau

63
konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah
kasus timbul gejala.

Tabel 1. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan COVID-19

Uncomplicated Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri


illness tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot. Perlu
waspada pada usia lanjut dan imunocompromised karena gejala dan
tanda tidak khas.
Pneumonia ringan Pasien dengan pneumonia dan tidak ada tanda pneumonia berat.
Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau kesulitan
bernapas + napas cepat: frekuensi napas: <2 bulan, ≥60x/menit; 2–11
bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit dan tidak ada tanda pneumonia
berat.
Pneumonia berat / Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan
ISPA berat infeksi saluran napas, ditambah satu dari: frekuensi napas >30 x/menit,
distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada
udara kamar.
Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya
satu dari berikut ini:
 sianosis sentral atau SpO2 <90%;
 distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding dada
yang berat);
 tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau minum,
letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea :<2
bulan, ≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit;>5
tahun, ≥30x/menit.
Diagnosis ini berdasarkan klinis; pencitraan dada yang
dapat menyingkirkan komplikasi.
Acute Respiratory Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu minggu.
Distress Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi paru): opasitas
Syndrome bilateral, efusi pluera yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, kolaps
(ARDS) paru, kolaps lobus atau nodul.
Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat gagal jantung atau
kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan objektif (seperti ekokardiografi)
untuk menyingkirkan bahwa penyebab edema bukan akibat hidrostatik
jika tidak ditemukan faktor risiko.
Kriteria ARDS pada dewasa:
• ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg (dengan PEEP
atau continuous positive airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O, atau
yang tidak diventilasi)
• ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤200 mmHg dengan PEEP
≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
• ARDS berat: PaO2 / FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau
yang tidak diventilasi)
• Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315 mengindikasikan ARDS
(termasuk pasien yang tidak diventilasi)

64
Kriteria ARDS pada anak berdasarkan Oxygenation Index dan
Oxygenatin Index menggunakan SpO2:
• PaO2 / FiO2 ≤ 300 mmHg atau SpO2 / FiO2 ≤264: Bilevel noninvasive
ventilation (NIV) atau CPAP ≥5 cmH2O dengan menggunakan full
face mask
• ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 ≤ Oxygenation Index (OI) <8 atau 5 ≤
OSI <7,5
• ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 ≤ OI <16 atau 7,5 ≤ OSI <12,3
• ARDS berat (ventilasi invasif): OI ≥ 16 atau OSI ≥ 12,3
Sepsis Pasien dewasa: Disfungsi organ yang mengancam nyawa disebabkan
oleh disregulasi respon tubuh terhadap dugaan atau terbukti infeksi*.
Tanda disfungsi organ meliputi: perubahan status mental/kesadaran,
sesak napas, saturasi oksigen rendah, urin output menurun, denyut
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-4

II. Manajemen APD


Prinsip manajemen APD pada faskes adalah dengan memegang 3 prinsip utama
yaitu ; 1) Minimalisasi kebutuhan APD, 2) Penggunaan APD secara rasional dan
3) Koordinasi distribusi dan pengadaan APD.
1) Minimalisasi kebutuhan APD, antara lain :
a. Pelayanan medis jarak jauh (telemedicine) dan saluran siaga (hotline) jika
memungkinkan untuk melakukan penilaian dini kasus-kasus suspek
COVID-19,
b. Gunakan pembatas fisik untuk mengurangi pajanan virus COVID-19,
seperti jendela kaca atau plastik.
c. menunda prosedur dan perawatan inap elektif yang tidak mendesak,
kurangi frekuensi kunjungan pasien kronis.
d. Kelompokkan pasien terkonfirmasi COVID-19 tanpa koinfeksi dengan
mikroorganisme menular lainnya dalam ruangan yang sama untuk
merampingkan alur kerja dan memfasilitasi penggunaan APD diperpanjang
e. menunjuk tenaga kerja/tim tenaga kerja yang khusus merawat pasien
COVID-19 sehingga tenaga kerja tersebut dapat menggunakan APD lebih
lama (penggunaan APD diperpanjang), jika perlu.
f. Batasi jumlah tenaga kesehatan yang masuk ke ruangan pasien COVID-19
dan rampingkan alur kerja.
g. Pertimbangkan penggunaan APD tertentu hanya jika berada dalam kontak
erat langsung dengan pasien atau saat menyentuh lingkungan (misalnya,
jika petugas masuk ruangan hanya untuk menyampaikan pertanyaan atau
65
melakukan pemeriksaan visual, masker dan pelindung wajah saja yang
dikenakan, tanpa sarung tangan atau jubah dan scrub).
h. Pembatasan pengunjung; beri instruksi yang jelas tentang APD yang wajib
dipakai selama kunjungan, cara pemakaian dan pelepasan APD, dan
bersihkan tangan untuk memastikan bahwa pengunjung menghindari
pajanan.
2) Penggunaan APD secara rasional, antara lain dengan melaksanakan ;
a. Penentuan jenis dan level APD yang digunakan saat merawat pasien
COVID-19 akan berbeda-beda tergantung situasi, jenis tenaga kerja, dan
kegiatannya.
b. Memisahkan dengan jelas jenis dan waktu pengunaan APD baik bagi
nakes, pasien ataupun pengunjung pasien.
3) Koordinasi distribusi dan pengadaan APD, dengan langkah-langkah berikut ;
a. Perkiraan penggunaan APD berdasarkan model kuantifikasi rasional
b. Pemantauan dan pengendalian permintaan APD dari unit dengan jumlah
anggota yang besar
c. Promosi pendekatan pengelolaan permintaan terpusat guna menghindari
duplikasi persediaan dan dipastikannya kepatuhan yang ketat pada aturan-
aturan pengelolaan persediaan esensial untuk membatasi pembuangan,
kelebihan persediaan, dan kurangnya persediaan
d. Pemantauan distribusi APD secara keseluruhan
e. Monev inventaris berkala
Jenis APD terdiri dari topi, goggle, pelindung muka, masker medik, masker N95,
gaun, apron, sarung tangan dan sepatu/boot.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen APD ;


1. Pemilihan APD, berdasarkan ;
a. Kajian Risiko pajanan
b. Dinamika transmisi infeksi
2. Cara menggunakan APD, langkah-langkah ;
a. Lakukan “hand hygiene” sebelum dan sesudah memakai APD.
b. Ukuran APD disesuaikan dengan pemakai.
c. Selalu digunakan sebelum kontak dengan pasien
d. Segera lepaskan setelah menyelesaikan tugas dan atau meninggalkan area
pasien.

66
e. Jangan pakai-ulang APD yang dirancang disposable.
f. Lakukan dekontaminasi APD sebelum dipakai ulang
g. Segera ganti APD bila tampak terpajan atau rusak.
h. Hindari mengatur kembali atau menyentuh APD
i. selama melakukan tindakan
3. Cara melepas APD
a. pastikan urutan pelepasan dengan benar
b. tetap gunakan protokol kewaspadaan standar
c. Pisahkan ruangan kontaminer langsung dan tidak langsung
d. Gunakan ruangan dengan HEPA filter atau minimal paparan partikel mikron
4. Cara mengumpulkan / mengelola APD-bekas pakai (disposable atau pakai ulang )
a. gunakan kotak penampungan khusus dan berlabel
b. atur waktu pengambilan dan rute bersih – kotor
c. pembuangan dan penghancuran APD single use sesuai standar
d. pastikan petugas melaksanakan standar

III. Alur Pasien

Gambar 1 : Alur Pasien Umum / Reguler

67
Gambar 2 : Alur Pasien IGD

68
Gambar 3 : Alur Pasien Diluar jam kerja

Gambar 4 : Alur Pemeriksaan Penunjang Radiologi

69
Gambar 5 : Alur Pasien ODP/PDP pindah ke ICU Isolasi

IV. Manajemen Rujuk Pasien

Gambar 6 : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasyankes Pra Rujukan

70
Gambar 7 : Alur Pasien ODP/PDP dirujuk

V. Manajemen Ambulans dan Pemulasaran Jenazah

1. Manajemen Ambulans
a. Pemilihan ambulans yang digunakan (lihat tipe ambulans RS)
b. Standar ambulans dan petugas ambulans sesuai protokol
c. Pembentukan tim khusus
d. Pembuatan SOP khusus
e. Pembersihan dan desinfeksi ambulans setiap selesai penggunaan

71
Gambar 8 : Manajemen Ambulans

2. Manajemen Pemulasaran Jenazah


Merupakan kegiatan pengelolaan jenazah pasien menular mulai dari ruangan,
pemindahan ke kamar jenazah, pengelolaan jenazah di kamar jenazah, serah
terima kepada keluarga dan pemulangan jenazah. Tujuan antara lain adalah
Penanganan jenazah pasien menular di layanan kesehatan, Mencegah
terjadinya transmisi / penularan penyakit dari jenazah ke petugas kamar
jenazah dan Mencegah terjadinya penularan penyakit dari jenazah ke
lingkungan dan pengunjung.
Manajemen ini terdiri dari ;
a. Persiapan pemulasaran jenazah
b. Pembentukan tim khusus
c. Standar penggunaan APD petugas
d. Perlakuan terhadap jenazah
e. Perlakuan dan pengaturan ruangan
f. Pengaturan prosedur pemakaman
g. Pembuangan limbah

72
Gambar 9 : Manajemen Pemulasaran Jenazah

VI. Manajemen Pelaporan


Manajemen pelaporan selama masa pandemi mengacu pada langkah
penyelidikan epidemiologi untuk kasus COVID-19 sama dengan penyelidikan
KLB pada kasus MERS. Tahapan penyelidikan epidemiologi secara umum
meliputi :
1. Konfirmasi awal KLB
Petugas surveilans atau penanggung jawab surveilans puskesmas/Dinas
Kesehatan melakukan konfirmasi awal untuk memastikan adanya kasus
konfirmasi COVID-19 dengan cara wawancara dengan petugas puskesmas
atau dokter yang menangani kasus.
2. Pelaporan segera
Mengirimkan laporan W1 ke Dinkes Kab/Kota dalam waktu <24 jam,
kemudian diteruskan oleh Dinkes Kab/Kota ke Provinsi dan PHEOC.
3. Persiapan penyelidikan
a. Persiapan formulir penyelidikan sesuai form terlampir (lampiran 5)
b. Persiapan Tim Penyelidikan
c. Persiapan logistik (termasuk APD) dan obat-obatan jika diperlukan
4. Penyelidikan epidemiologi
a. Identifikasi kasus
b. Identifikasi faktor risiko
c. Identifikasi kontak erat
d. Pengambilan spesimen di rumah sakit rujukan
e. Penanggulangan awal

73
5. Pengolahan dan analisis data
6. Penyusunan laporan penyelidikan epidemiologi

Formulir yang digunakan dalam pelaporan antara lain :


a. Rumah Sakit, Klinik
1) Formulir pemantauan
2) Formulir laporan harian penemuan kasus Konfirmasi, PDP, ODP dan OTG
yang dilaporkan setiap hari kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas
Kesehatan Kab/Kota setempat.
3) Formulir pengambilan dan pengiriman spesimen
b. Puskesmas/Dinas Kesehatan
1) Formulir pemantauan
2) Formulir laporan harian penemuan kasus Konfirmasi, PDP, ODP dan OTG
yang dilaporkan setiap hari kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas
Kesehatan Kab/Kota setempat.
3) Formulir penyelidikan epidemiologi
4) Formulir pengambilan dan pengiriman spesimen
5) Formulir pelacakan kontak erat
6) Formulir identifikasi kontak erat
7) Formulir pendataan kontak

74
VII. Manajemen Pembiayaan Pasien

Gambar 10 : Pembayaran Pasien ODP

Gambar 11 : Pembayaran Pasien PDP

75
VIII. Manajemen Contact Tracing

Dalam hal ini identifikasi kontak yang merupakan bagian dari investigasi kasus
dilakukan jika ditemukan kasus COVID-19 yang memenuhi kriteria kasus
konfirmasi. Identifikasi kontak erat bisa berasal dari kasus yang masih hidup
ataupun yang sudah meninggal.
Informasi yang perlu dikumpulkan pada fase identifikasi kontak adalah orang yang
mempunyai kontak dengan kasus dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan
hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala, yaitu pada :
1. Lingkungan saat pasien diperiksa : RS , klinik, dokter praktik mandiri
2. Lingkungan tempat tinggal pasien
3. Lingkungan tempat kerja pasien
4. Lingkungan sosialisasi pasien
Lingkungan yang bersinggungan dengan 4 lingkungan dekat pasien diatas
meliputi :
a. Semua orang yang berada di lingkungan tertutup yang sama dengan kasus
(rekan kerja, satu rumah, sekolah, pertemuan)
b. Semua orang yang mengunjungi rumah kasus baik saat di rumah ataupun
saat berada di fasilitas layanan kesehatan
c. Semua tempat dan orang yang dikunjungi oleh kasus seperti kerabat, spa dll.
d. Semua fasilitas layanan kesehatan yang dikunjungi kasus termasuk seluruh
petugas kesehatan yang berkontak dengan kasus tanpa menggunakan alat
pelindung diri (APD) yang standar.
e. Semua orang yang berkontak dengan jenazah dari hari kematian sampai
dengan penguburan.
f. Semua orang yang bepergian bersama dengan segala jenis alat
angkut/kendaraan (kereta, angkutan umum, taxi, mobil pribadi, dan
sebagainya.

76
IX. Manajemen Pengkodingan

Tabel 2 : koding COVID-19

No DIAGNOSIS ODP PDP CONFIRMED


RAWAT INAP DAN RAWAT JALAN
1 Diagnosis utama Z03.8 B34.2
Observation for other suspected Coronavirus infection,
disease unspecified
Diagnosis utama bayi P96.8 P39.8
dibawah 7 hari Other specified conditions Other specified infections
origination in the perinatal period specific to perinatal period
2 Diagnosis sekunder Sesuai dengan kondisi komorbid Sesuai dengan kondisi
dan komplikasi pasien komorbid dan komplikasi
pasien
3 Prosedur Sesuai dengan prosedur yang Sesuai dengan prosedur
dilakukan kepada pasien yang dilakukan kepada
pasien

PENUTUP

Sebagai tenaga medis secara personal ataupun dari persepsi institusional


seorang tenaga medis wajib memegang kode etik profesi dalam menjalankan tugas
keprofesiannya, namun pada kondisi pandemi ada hal-hal khusus yang perlu
diperhatikan dengan kewaspadaan tinggi antara lain bahwa telah disampaikan melalui
KEPPRES nomor 11 tahun 2020 tentang penetapan kedaruratan kesehatan
masyarakat bahwa “tidak ada kondisi darurat dalam pandemi” bagi tenaga medis.
Sehingga penting bagi seorang tenaga medis memegang prinsip-prinsip keselamatan
dan keamanan dengan tagline “PINTAR YA” sebagai berikut ;
1. Patuh melaksanakan Hand Hygiene
2. Inisiatif dan tetap aware melaksanakan triage
3. Transmisi covid 19 dan perkembangan informasi selalu diperbarui
4. Apd digunakan dengan kedisiplinan tinggi
5. Rapi dalam pelaksanaan administrasi dan pelaporan
6. Yankes (Pelayanan kesehatan) dilaksanakan secara bijaksana

77
DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Direktur Rumah Sakit Nomor 949/PER/R/I/2014 tentang Panduan


Pengendalian Lingkungan Rumah Sakit
2. Pedoman Umum Menghadapi Pandemi COVID-19 Bagi Pemerintah Daerah.
2020. KEMENDAGRI
3. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) revisi
ke 4. 2020. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. KEMENKES
4. Pedoman dan Pengelolaan Limbah di Puskesmas, Rumah Sakit, Rumah Sakit
Rujukan dan Rumah Sakit Darurat Yang Menangani Pasien COVID-19. 2020.
KEMENKES

78
COVID-19 DARI PERSPEKTIF EPIDEMIOLOGI:
MERESPON DAMPAK DETERMINAN SOSIAL TERHADAP
MORBIDITAS DAN MORTALITAS COVID-19

Wienta Diarsvitri, dr., MSc., PhD., FISPH., FISCM.


Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah,
Jalan Gadung No. 1 (Kompleks Barat RSPAL Dr. Ramelan) Surabaya 60244
Email: wienta.diarsvitri@hangtuah.ac.id

ABSTRAK

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dinyatakan WHO sebagai Public Health


Emergency of International Concern (PHEIC) dan pandemi berkaitan dengan dampak
dan penyebarannya secara luas ke berbagai negara. Sampai dengan 27 Mei 2020 di
Indonesia terdapat sekitar 195.518 kasus dengan spesimen diperiksa RT-PCR yang
terdiri dari 171.667 kasus negatif (87,8% spesimen), 23.851 kasus konfirmasi SARS-
CoV-2 (12,2% spesimen). Sementara itu 1.473 kasus meninggal dari kasus konfirmasi
(CFR 6,2%), 6.057 kasus sembuh dari kasus konfirmasi (25,4%), dan 16.321 kasus
dalam perawatan dari kasus konfirmasi (68,4%). Kasus COVID-19 tertinggi ditemukan
pada usia 31-45 tahun (29,2%), diikuti usia 46-59 tahun (27,8%), 18-30 tahun (20,3%),
dan lebih dari 60 tahun (15,2%). Kasus kematian terkait COVID-19 sebagian besar terjadi
pada usia 60 tahun ke atas (43,5%), diikuti kelompok usia 46-59 tahun (40,2%) dan
kelompok usia 31-45 tahun (11,6%). Penelitian menunjukkan bahwa pandemi ini
terutama berdampak pada mereka dengan latar belakang sosial tertentu. Namun,
penelitian kasus COVID-19 berdasarkan faktor resiko sosial belum dilakukan di
Indonesia, oleh karena itu penelitian-penelitian yang dilakukan di negara lain diharapkan
dapat memberikan gambaran pentingnya memperhatikan faktor sosial ini, sebagai dasar
pengambilan kebijakan terkait COVID-19.

Kata Kunci: social determinants of health, COVID-19, morbiditas, mortalitas

79
LATAR BELAKANG

Kasus coronavirus disease 2019 (COVID-19) telah menyebar luas ke 213 negara
dan wilayah, dan penelitian menunjukkan bahwa pandemi ini terutama berdampak pada
mereka dengan latar belakang sosial tertentu (Kirby, 2020). Namun, penelitian kasus
COVID-19 berdasarkan faktor resiko sosial belum dilakukan di Indonesia, oleh karena itu
penelitian-penelitian yang dilakukan di negara lain diharapkan dapat memberikan
gambaran pentingnya memperhatikan faktor sosial ini, sehingga dapat diambil kebijakan
yang tepat dalam penanggulangan COVID-19.
COVID-19
Pada 31 Desember 2019, Cina melaporkan ke WHO adanya kejadian luar biasa
pneumonia dengan penyebab yang belum diketahui, yang dengan cepat menyebar luas
ke seluruh Cina. Pada Bulan Januari 2020, Thailand, Jepang dan Korea juga melaporkan
adanya kejadian serupa yang disebabkan oleh 2019-nCoV (novel coronavirus) ke WHO.
Patogen ini secara resmi disebut severe acute respiratory syndrome coronavirus 2
(SARS-CoV-2) karena secara genetik berkaitan dengan coronavirus yang menyebabkan
pandemi SARS pada tahun 2003, dan penyakit yang disebabkan patogen ini secara
resmi disebut coronavirus disease 2019 (COVID-19). Pada akhir Januari 2020, 18
negara lain melaporkan kejadian serupa ke WHO. Berdasarkan laporan-laporan
tersebut, maka pada tanggal 30 Januari 2020 WHO mengeluarkan deklarasi situasi
darurat kesehatan publik yang menjadi perhatian internasional (Public Health Emergency
of International Concern, PHEIC), yaitu kejadian luar biasa yang menimbulkan resiko
bagi lebih dari satu negara dan membutuhkan respon internasional yang terkoordinasi
untuk menanggulanginya, sesuai dengan regulasi kesehatan internasional (International
Health Regulation, IHR); dan pada tanggal 11 Maret 2020 WHO menyatakan COVID-19
sebagai pandemi, berkaitan dengan penyebarannya secara luas ke berbagai negara
(VERTIC, 2020).

80
Gambar 1. Distribusi geografi kasus COVID-19 sampai 27 Mei 2020 (ECDC, 2020)

Berdasarkan data yang diperoleh melalui Early Warning and Response System
(EWRS), The European Surveillance System (TESSy), WHO, laman kementerian
kesehatan dari 196 negara sejak 31 Desember 2019 sampai dengan 27 Mei 2020
(Gambar 1) dilaporkan terdapat sekitar 5.452.125 total kasus COVID-19 terdiri dari
353.495 kasus kematian terkait COVID-19 (CFR 6,5%), 2.641.712 kasus aktif COVID-
19, dan 2.456.918 kasus COVID-19 yang sembuh (Gambar 2). Kasus COVID-19 yang
dimaksud, sesuai dengan definisi kasus dan strategi tes yang berlaku di negara
terdampak (ECDC, 2020).

48.5% 45%

6.5

Gambar 2. Distribusi total kasus, kasus kematian, kasus aktif dan kasus sembuh COVID-19
sejak 31 Desember 2019 sampai 27 Mei 2020 (ECDC, 2020)

81
Di Indonesia, COVID-19 telah menyebar ke seluruh provinsi (Gambar 3).
Berdasarkan laman resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terkait COVID-
19, sampai dengan 27 Mei 2020 (Gambar 4) terdapat sekitar 195.518 kasus dengan
spesimen diperiksa RT-PCR yang terdiri dari 171.667 kasus negatif (87,8% spesimen),
23.851 kasus konfirmasi SARS-CoV-2 (12,2% spesimen). Sementara itu 1.473 kasus
meninggal dari kasus konfirmasi (CFR 6,2%), 6.057 kasus sembuh dari kasus konfirmasi
(25,4%), dan 16.321 kasus dalam perawatan dari kasus konfirmasi (68,4%)
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).

Gambar 3. Distribusi geografi kasus COVID-19 sampai 27 Mei 2020 (ECDC, 2020)

82
Gambar 4. Distribusi total kasus konfirmasi, kasus kematian, kasus aktif dan kasus sembuh
COVID-19 sampai 27 Mei 2020 di Indonesia (WHO Indonesia and PHEOC Kemkes RI, 2020)

Berdasarkan gambar 5, tampak bahwa sebagian besar kasus konfirmasi SARS-


CoV-2 sampai tanggal 28 Mei 2020 ditemukan di Pulau Jawa, disusul Sulawesi dan
Sumatera. Untuk Pulau Jawa, sebagian besar kasus konfirmasi SARS-CoV-2 ditemukan
di provinsi DKI Jakarta, disusul Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah (WHO
Indonesia and PHEOC Kemkes RI, 2020). Namun, tidak diketahui faktor resiko dari kasus
konfirmasi SARS-CoV-2 dan kasus meninggal terkait COVID-19 tersebut.

Gambar 5. Kumulatif kasus konfirmasi SARS-CoV-2 dan kasus meninggal terkait COVID-19
sampai 28 Mei 2020 berdasarkan provinsi di Indonesia (PHEOC Kemkes RI, 2020)

83
Pada tanggal 24 Mei 2020, secara nasional proporsi kasus konfirmasi SARS-CoV-
2 tertinggi ditemukan pada usia 31-45 tahun (29,2%), diikuti usia 46-59 tahun (27,8%),
18-30 tahun (20,3%), lebih dari 60 tahun (15,2%), 6-17 tahun (5,4%), 0-5 tahun (2,0%),
dan 8,2% kasus tidak memiliki data usia. Distribusi usia kasus konfirmasi SARS-CoV-2
berdasarkan provinsi tampak di gambar 6. Kasus kematian terkait COVID-19 sebagian
besar terjadi pada usia 60 tahun ke atas (43,5%), diikuti kelompok usia 46-59 tahun
(40,2%) dan kelompok usia 31-45 tahun (11,6%) (WHO Indonesia and PHEOC Kemkes
RI, 2020).

Gambar 6. Distribusi usia kasus konfirmasi SARS-CoV-2 berdasarkan provinsi di Indonesia


pada tanggal 24 Mei 2020 (WHO Indonesia and PHEOC Kemkes RI, 2020)

84
Case fatality rate (CFR) COVID-19 diperoleh dari penghitungan jumlah kematian
terkait COVID-19 dengan jumlah kasus konfirmasi SARS-CoV-2. Pelaporan CFR
COVID-19 berbeda di tiap negara, yang antara lain tergantung dari jumlah penduduk
yang menjalani tes, faktor demografi, karakteristik sistem kesehatan dan faktor lain yang
belum diketahui. Semakin banyak penduduk yang menjalani tes dengan spesimen
hapusan saluran nafas diperiksa, maka akan semakin banyak kasus ringan yang
diketahui, sehingga bisa menurunkan CFR. Faktor demografi yang diketahui
berpengaruh terhadap kematian karena COVID-19 adalah usia, karena kematian
cenderung meningkat pada penderita COVID-19 usia lanjut. Karakteristik sistem
kesehatan berkaitan dengan ketersediaan pelayanan dan fasilitas kesehatan, karena
kematian COVID-19 cenderung meningkat pada kondisi rumah sakit dengan
keterbatasan sumber daya manusia dan sarana (CRC, 2020). Berdasarkan gambar 7
diketahui bahwa CFR kasus COVID-19 di Indonesia menempati urutan ke-19 dunia (Oke
and Heneghan, 2020).

Gambar 7. Urutan case fatality rate (CFR) kasus COVID-19 sampai dengan 26 Mei 2020 (Oke
and Heneghan, 2020)

Namun, disayangkan bahwa tidak diketahui faktor sosial yang menentukan cukup
tingginya CFR COVID-19 di Indonesia.

85
SOCIAL DETERMINANTS OF HEALTH (SDOH)
Social determinants of health (SDOH) adalah kondisi di mana orang dilahirkan,
tumbuh, hidup, bekerja dan menua yang mempengaruhi kesehatan dan kualitas
hidupnya (CSDH, 2008). Setidaknya ada lima faktor penentu dalam SDOH (Gambar 8)
yaitu 1) stabilitas ekonomi, 2) pendidikan, 3) konteks sosial, 4) kesehatan dan pelayanan
kesehatan, dan 5) lingkungan yang mempengaruhi terjadinya penyakit, kualitas hidup,
kematian dan kesenjangan kesehatan di dalam sebuah negara, bahkan antar negara
(ODPHP, 2020).

Gambar 8. Lima faktor penentu dalam SDOH (ODPHP, 2020)

Faktor stabilitas ekonomi termasuk pekerjaan, ketahanan pangan, tempat tinggal,


dan kemiskinan. Faktor pendidikan termasuk kesempatan memperoleh pendidikan sejak
usia dini serta pendidikan lanjut, bahasa dan literasi. Faktor konteks sosial termasuk
diskriminasi, partisipasi dalam kegiatan masyarakat, dan penahanan. Faktor kesehatan
dan pelayanan kesehatan termasuk akses ke informasi kesehatan dan pelayanan
kesehatan, perilaku hidup bersih dan sehat dan membuat keputusan kesehatan yang
tepat. Faktor lingkungan termasuk dukungan terhadap perilaku hidup bersih dan sehat,
kejahatan dan kekerasan, kondisi rumah dan lingkungan (ODPHP, 2020).

Di dalam SDOH ada konsep health inequity atau ketidakadilan kesehatan, yang
merujuk pada ketidaksetaraan kesehatan antara kelompok orang di dalam negara dan
antar negara, yang sebenarnya dapat dihindari (WHO, 2008). Ketidakadilan ini muncul
dari ketidaksetaraan dalam kesehatan (inequality in health) di dalam dan diantara
masyarakat. Kondisi sosial dan ekonomi serta dampaknya terhadap kehidupan
86
masyarakat menentukan resiko mereka terhadap penyakit, serta perilaku mereka
terhadap pencegahan dan pengobatan penyakit (WHO, 2008).

COVID-19 dan DAMPAK SDOH

SDOH seperti kemiskinan, lingkungan fisik (paparan asap rokok, ketiadaan


tempat tinggal), dan etnis memiliki dampak terhadap COVID-19. Orang yang hidup dalam
kemiskinan dan tidak memiliki tempat tinggal memiliki resiko lebih tinggi untuk terinfeksi
virus penyebab COVID-19 (Abrams and Szefler, 2020). Penelitian di kota-kota besar di
AS dan Kanada melaporkan para tunawisma tinggal di tempat yang padat penghuni atau
tidak layak huni, memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan air bersih dan jamban
sehat, keterbatasan akses ke pelayanan kesehatan termasuk tes penapisan (Hwang et
al., 2010), banyak yang merokok (Haustein, 2006) dan menggunakan NAPZA
(Maremmani et al., 2017), memiliki penyakit fisik kronis dan penyakit mental (Tsai,
Gelberg and Rosenheck, 2019), mobilitas tinggi dibandingkan populasi umum (Gray et
al., 2011), dan angka kematian 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum
(Baggett et al., 2013). Semua kondisi ini, ditambah lagi dengan adanya temuan bahwa
COVID-19 berpotensi ditularkan lewat fekal-oral (Zhang et al., 2020), akan menyulitkan
dalam pencegahan, pelacakan kontak dan manajemen pasien jika para tunawisma
menderita COVID-19 (Tsai and Wilson, 2020). Penelitian di Boston, AS, yang dilakukan
pada 408 orang yang tinggal di tempat penampungan, menemukan bahwa 147 (36%)
orang terkonfirmasi SARS-CoV-2 dari tes PCR (Baggett et al., 2020).
Penelitian di Jerman melaporkan bahwa masyarakat kurang mampu
menggunakan pendapatan mereka hingga 20% untuk konsumsi rokok, dan sebagian
besar menderita penyakit terkait rokok pada usia relatif muda (Haustein, 2006).
Sementara itu, penelitian systematic review menunjukkan bahwa merokok berkaitan
dengan progresivitas dan prognosis buruk terhadap COVID-19 (Vardavas and Nikitara,
2020). Perokok aktif dan mantan perokok menunjukkan gejala COVID-19 yang lebih
berat (RR 1,4; 95% CI 0,98-2,00), memiliki resiko lebih tinggi untuk dirawat di ICU,
membutuhkan ventilator, dan angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok (RR 2,4; 95% CI 1,43-4,04) (Vardavas and Nikitara, 2020).
Di AS, insiden COVID-19 tiga kali lebih tinggi di daerah berpenduduk mayoritas
etnis kulit hitam dibandingkan daerah yang berpenduduk mayoritas etnis kulit putih, dan
angka kematian enam kali lebih tinggi pada etnis kulit hitam dibandingkan etnis kulit putih
(Yancy, 2020). Di Chicago, AS, lebih dari 50% kasus COVID-19 dan lebih dari 70%

87
kematian terkait COVID-19 terjadi pada etnis kulit hitam yang merupakan 30% dari
penduduk Chicago (Yancy, 2020). Penelitian kohort pada 305 pasien COVID-19 yang
dirawat di Georgia, AS, menunjukkan sekitar 81% pasien berasal dari etnis kulit hitam,
yang memiliki resiko kondisi penyakit serupa dengan etnis kulit putih (diabetes mellitus,
penyakit jantung dan pembuluh darah, asma, penyakit paru obstruktif kronis, penyakit
ginjal, reumatologi dan penyakit autoimun) (Gold et al., 2020). Etnis minoritas cenderung
tinggal di daerah padat penduduk, membentuk rumah tangga multi generasi termasuk
lanjut usia, lebih banyak yang mengalami masalah hukum, berpenghasilan lebih rendah,
tidak memiliki asuransi kesehatan, mengalami stigma dan diskriminasi (CDC, 2020).
Penelitian juga menunjukkan bahwa kasus konfirmasi SARS-CoV-2 lebih tinggi
sepuluh kali lipat pada etnis Indian Navajo di AS dibandingkan populasi umum di Arizona,
Panama dan Peru. Hal ini diduga berkaitan dengan keterbatasan etnis Indian Navajo
terhadap akses air bersih dan tempat tinggal (Lane, 2020).
Penelitian di Inggris melaporkan bahwa dari 106 kasus kematian terkait COVID-
19 pada petugas medis dan paramedis sampai 22 April 2020, 63% diantaranya terjadi
pada etnis BAME (Black, Asian, and Minority Ethnic) (Kirby, 2020). Dari 13.918 pasien
konfirmasi SARS-CoV-2 yang dirawat di rumah sakit di Inggris, 16,2% diantaranya dari
etnis BAME. Penelitian yang dilakukan BMA (British Medical Association) menemukan
bahwa dari 150 tenaga kesehatan yang meninggal dunia terkait COVID-19, 16 orang
diantaranya adalah dokter dan 94% dokter tersebut dari etnis BAME. Seluruh dokter ini
bekerja secara langsung berhadapan dengan pasien. Lebih lanjut, BMA memperkirakan
adanya kaitan antara faktor pekerjaan dan etnis BAME. Para dokter dari etnis BAME
merasa lebih tertekan dibandingkan etnis kulit putih menghadapi pasien beresiko tinggi
tetapi tidak memiliki alat pelindung diri yang adekwat, dan mereka lebih merasa tidak
percaya diri untuk menyampaikan kekhawatiran tentang keselamatan kerja bagi mereka,
dibandingkan dokter dari etnis kulit putih (Kirby, 2020). IFS (Institute for Fiscal Studies)
di Inggris menyampaikan laporan bahwa sebagian besar etnis minoritas di Inggris hidup
di daerah terdampak COVID-19, dengan angka kematian terkait COVID-19 mencapai
3,5 kali lebih tinggi pada keturunan etnis kulit hitam Afrika dibandingkan etnis kulit putih
Inggris. Sementara itu, angka kematian terkait COVID-19 mencapai 1,7 kali lebih tinggi
pada keturunan etnis hitam Karibia dan 2,7 kali lebih tinggi pada keturunan etnis Pakistan
dibandingkan etnis kulit putih Inggris (Kirby, 2020).
Selain itu adanya kesenjangan kesehatan, seperti orang-orang yang menderita
asma, memiliki hubungan timbal balik dengan COVID-19. Di satu sisi, penelitian
menunjukkan bahwa kemiskinan, paparan asap rokok dan etnis kulit hitam berkaitan

88
dengan peningkatan kasus gawat darurat terkait asma dan ketidakpatuhan terhadap
terapi asma (Federico et al., 2020). Di sisi lain, penderita asma memiliki resiko lebih tinggi
untuk menderita COVID-19. Data CDC menunjukkan sekitar 27% penderita COVID-19
berusia 18-49 tahun, sekitar 13% penderita COVID-19 berusia 50-64 tahun dan sekitar
13% penderita COVID-19 berusia 65 tahun ke atas yang dirawat di rumah sakit memiliki
riwayat asma (CDC COVID-19 Response Team, 2020).

KEBIJAKAN TERKAIT COVID-19 dan SDOH

Dengan dinyatakannya COVID-19 sebagai Public Health Emergency of


International Concern (PHEIC), maka sesuai dengan regulasi kesehatan internasional
(International Health Regulation, IHR) WHO merekomendasikan antara lain adalah
perlunya dilakukan surveilan, deteksi dini, isolasi, manajemen kasus, pelacakan kontak
dan pencegahan, pencegahan stigma dan diskriminasi, mendukung negara
berpenghasilan rendah dan menengah untuk menanggulangi COVID-19, serta
melakukan penilaian resiko berkaitan dengan perjalanan dan perdagangan (VERTIC,
2020).
Kebijakan terkait COVID-19 termasuk lockdown dan pembatasan sosial jika tidak
diantisipasi bisa berdampak terhadap kerentanan penduduk dan memperbesar dampak
SDOH. Sebagai contoh, komunitas Batwa di Rwanda yang terancam tidak memiliki
penghasilan karena pekerjaan mereka menuntut perjalanan ke luar kota, sementara
kebijakan melarang adanya perjalanan tersebut (Lane, 2020). Di India, sebagian besar
pekerja migran terancam tidak memiliki penghasilan karena penutupan tempat kerja dan
adanya larangan melakukan perjalanan. Para pekerja yang bisa pulang juga beresiko
menyebarkan infeksi SARS-CoV-2 ke komunitasnya (Chakma and Chakma, 2020).
Kebijakan lockdown juga berpengaruh terhadap penurunan penghasilan, pengangguran
dan stigmatisasi para pekerja informal di Bangladesh, India dan Filipina (Lane, 2020;
Human Rights Watch, 2020). Pengangguran berdampak pada kesehatan fisik dan
mental (Paul and Moser, 2009), serta resiko kematian (Roelfs et al., 2011).
Kelompok rentan dan ketidaksetaraan kesehatan juga berdampak pada penduduk
yang tidak memiliki asuransi kesehatan di AS. Saat pandemi flu babi H1N1 tahun 2009,
sebagian besar yang terdampak dan meninggal adalah dari kelompok masyarakat
kurang mampu yang tidak memiliki asuransi kesehatan, dan saat ini kelompok ini juga
merupakan kelompok rentan yang memiliki resiko tinggi terhadap COVID-19 (The
Lancet, 2020).

89
Pada Bulan Maret 2020 UNICEF melaporkan di Amerika Latin dan Karibia sekitar
154 juta anak tidak bisa belajar di sekolah karena COVID-19. Lockdown dan pembatasan
sosial seperti penutupan sekolah sangat berdampak pada penduduk di wilayah ini,
karena sekolah memberikan makan pagi atau siang secara gratis. Dengan penutupan
sekolah, maka sekitar 10 juta anak yang bergantung pada makan gratis dari sekolah
terancam kekurangan gizi karena keluarga tidak bisa menyediakan makanan (UNICEF,
2020). Sementara itu, belajar dari pengalaman saat ada wabah Ebola di Afrika,
penutupan sekolah dan tempat kerja berdampak pada peningkatan kasus kekerasan,
pelecehan seksual dan kehamilan pada remaja (UN Economic Commission for Africa,
2015).
Isolasi di rumah dan karantina pasien di rumah sakit bisa berdampak negatif
terhadap psikologis seseorang, dan bisa memicu timbulnya gejala stress pasca trauma.
Efek ini diperparah dengan adanya keterbatasan informasi, keterbatasan penghasilan,
kekhawatiran, stigma, kebosanan, dan frustrasi (Brooks et al., 2020).

MERESPON DAMPAK SDOH


Tiga kriteria kesehatan masyarakat yang menunjukkan keberhasilan
penanggulangan COVID-19 meliputi kriteria epidemiologi, sistem kesehatan dan
surveilans kesehatan masyarakat (WHO, 2020). Kriteria epidemiologi antara lain
meliputi:
1. Penurunan transmisi COVID-19 minimal 50% dalam periode 3 minggu sejak
puncak kasus terakhir dan penurunan secara kontinyu kasus konfirmasi SARS-
CoV-2 dan probabel.
2. Kurang dari 5% sampel positif COVID-19 minimal selama 2 minggu terakhir,
dengan surveilan dan tes kasus suspek 1 tes /1.000 populasi /minggu
3. Penurunan jumlah kematian pada kasus konfirmasi SARS-CoV-2 dan probabel
minimal selama 3 minggu terakhir
Kriteria sistem kesehatan antara lain adalah penurunan secara kontinyu jumlah kasus
konfirmasi SARS-CoV-2 dan probabel yang dirawat di rumah sakit dan ICU minimal
selama 2 minggu terakhir. Kriteria surveilans kesehatan masyarakat antara lain meliputi:
1. Kasus baru dapat diidentifikasi, dilaporkan dan dianalisa dalam waktu 24 jam.
2. Minimal 80% kasus baru dapat dilacak kontaknya dan dikarantina dalam waktu 72
jam setelah kasus konfirmasi SARS-CoV-2.
3. Minimal 80% kontak dari kasus baru dimonitor selama 14 hari (WHO, 2020).

90
Untuk mencapai kriteria keberhasilan penanggulangan COVID-19 tersebut, maka
pengambilan kebijakan terkait COVID-19 perlu dilakukan dengan hati-hati berdasarkan
kajian ilmiah serta memperhatikan kelompok rentan, dan kebijakan perlu terus
dievaluasi. Jika kelompok rentan diabaikan, maka dampak COVID-19 akan jauh lebih
luas (The Lancet, 2020; Tsai and Wilson, 2020). Kebijakan terkait COVID-19 perlu
disebarluaskan dalam berbagai bahasa, sehingga dipahami oleh seluruh masyarakat.
Akses terhadap air bersih, jamban sehat, informasi dan pelayanan kesehatan,
pendidikan dan transportasi harus ditingkatkan terutama untuk masyarakat kurang
mampu dan penduduk yang tinggal di daerah terpencil. Stigma dan diskriminasi terkait
COVID-19, etnis, kekerasan berbasis gender dan kemiskinan harus dihilangkan (Lane,
2020). Paparan asap rokok perlu dikurangi dengan lebih ketat, bantuan pendapatan
secara reguler perlu diberikan untuk masyarakat kurang mampu, serta akses terhadap
tes penapisan dan tes konfirmasi perlu ditingkatkan untuk masyarakat kurang mampu
(Abrams and Szefler, 2020).
Penduduk asli di berbagai negara menggunakan pengetahuan dan praktik
tradisional mereka untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap COVID-19, seperti
isolasi sukarela dan penutupan desa mereka (Lane, 2020). Penduduk asli yang memiliki
tanah dan dapat mengelola tanahnya dengan baik tidak khawatir dengan adanya
kebijakan lockdown, karena mereka yakin bahwa tanah mereka dapat menyediakan
makanan yang cukup (AIPP, 2020). Penduduk asli di Huay-E-Khang, Thailand,
membentuk tim sukarela COVID-19, melakukan penutupan desa, melakukan
pemeriksaan suhu tubuh pengunjung, isolasi sukarela oleh penduduk yang pulang
kampung, melakukan pelatihan pembuatan masker dan pengolahan makanan, serta
membagikan hasil panen ke masyarakat (AIPP, 2020). Di Indonesia, penutupan desa
juga dilakukan oleh suku-suku Lapago, Meepago dan Animha, serta suku-suku di distrik
Boven Digoel dan Maybrat di Provinsi Papua. Masyarakat khawatir akan adanya infeksi
dari luar desa, dan jika ada anggota masyarakat yang menderita COVID-19 akan
berdampak besar pada kehidupan mereka (Gokkon, 2020).
Isolasi dan karantina perlu mempertimbangkan aspek psikologis pasien, oleh
karena itu durasinya perlu diperhitungkan dengan baik, penjelasan secara rasional perlu
diberikan, komunikasi tetap dijaga dan kebutuhan esensial dipastikan terpenuhi (Brooks
et al., 2020).
Namun, krisis yang terjadi juga merupakan kesempatan bagi sebagian orang yang
disebut sebagai “disaster capitalists” (Klein, 2008), yang mengambil keuntungan di saat
krisis dengan cara menaikkan harga barang tertentu, sehingga berdampak negatif

91
terhadap masyarakat terdampak COVID-19. Hal ini perlu diwaspadai agar tidak terjadi.
Setelah wabah berakhir diharapkan dengan adanya kebijakan yang positif maka kondisi
akan dapat pulih kembali (Harris et al., 2020; Douglas et al., 2020).

KESIMPULAN

Morbiditas dan mortalitas terkait COVID-19 di Indonesia cukup tinggi. Social


determinants of health seperti kemiskinan, lingkungan fisik (paparan asap rokok,
ketiadaan tempat tinggal), dan etnis memiliki dampak terhadap morbiditas dan mortalitas
terkait COVID-19. Pengambilan kebijakan terkait COVID-19 perlu dilakukan dengan hati-
hati berdasarkan kajian ilmiah serta memperhatikan kelompok rentan, dan kebijakan
perlu terus dievaluasi. Jika kelompok rentan diabaikan, maka dampak COVID-19 akan
jauh lebih luas

DAFTAR PUSTAKA

1. Abrams, E.M. and Szefler, S.J., 2020. COVID-19 and the impact of social
determinants of health. The Lancet.
2. AIPP, 2020. COVID-19 and Humanity. Lessons learned from Indigenous
Communities in Asia. Available at: <https://aippnet.org/wp-
content/uploads/2020/04/Combined-2nd-flash-Brief-C19.pdf>.
3. Baggett, T.P., Hwang, S.W., O’Connell, J.J., Porneala, B.C., Stringfellow, E.J.,
Orav, E.J., Singer, D.E. and Rigotti, N.A., 2013. Mortality among homeless adults
in Boston: Shifts in causes of death over a 15-year period. JAMA Internal Medicine,
173(3), pp.189–195.
4. Baggett, T.P., Keyes, H., Sporn, N. and Gaeta, J.M., 2020. Prevalence of SARS-
CoV-2 Infection in Residents of a Large Homeless Shelter in Boston. JAMA -
Journal of the American Medical Association, [online] p.e206887. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7186911/?report=printable>.
5. Brooks, S.K., Webster, R.K., Smith, L.E., Woodland, L., Wessely, S., Greenberg,
N. and Rubin, G.J., 2020. The psychological impact of quarantine and how to
reduce it: rapid review of the evidence. The Lancet, 395(10227), pp.912–920.
6. CDC, 2020. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Racial and Ethnic Minority
Groups. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

92
7. CDC COVID-19 Response Team, 2020. Coronavirus Disease 2019 in Children -
United States, February 12-April 2, 2020. MMWR. Morbidity and mortality weekly
report, 69(14), pp.422–426.
8. Chakma, D. and Chakma, P., 2020. COVID-19 in India: Reverse migration could
destroy indigenous communities. [online] Copenhagen. Available at:
<https://www.iwgia.org/en/news-alerts/news-covid-19/3549-covid-19-india-
reverse-migration.html>.
9. CRC, 2020. How does mortality differ across countries? John Hopkins University
and Medicine Coronavirus Resource Center.
10. CSDH, 2008. Closing the gap in a generation: health equity through action on the
social determinants of health. Final Report of the Commission on Social
Determinants of Health. [online] World Health Organization,. Geneva: World Health
Organization,. Available at:
<https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/43943/9789241563703_eng.pdf;j
sess>.
11. Douglas, M., Katikireddi, S.V., Taulbut, M., McKee, M. and McCartney, G., 2020.
Mitigating the wider health effects of covid-19 pandemic response. The BMJ, 369,
p.m1557.
12. ECDC, 2020. COVID-19 situation update worldwide, as of 27 May 2020.
Epidemiological update.
13. Federico, M.J., McFarlane, A.E., Szefler, S.J. and Abrams, E.M., 2020. The impact
of social determinants of health on children with asthma. The Journal of Allergy and
Clinical Immunology: In Practice, 20.
14. Gokkon, B., 2020. Indigenous Papuans initiate own lockdowns in face of COVID-
19. Mongaby, [online] p.5. Available at:
<https://news.mongabay.com/2020/04/indigenous-papuans-initiate-own-
lockdowns-in-face-of-covid-19/>.
15. Gold, J.A.W., Wong, K.K., Szablewski, C.M., Patel, P.R., Rossow, J., da Silva, J.,
Natarajan, P., Morris, S.B., Fanfair, R.N., Rogers-Brown, J., Bruce, B.B., Browning,
S.D., Hernandez-Romieu, A.C., Furukawa, N.W., Kang, M., Evans, M.E.,
Oosmanally, N., Tobin-D’Angelo, M., Drenzek, C., Murphy, D.J., Hollberg, J., Blum,
J.M., Jansen, R., Wright, D.W., Sewell, W.M., Owens, J.D., Lefkove, B., Brown,
F.W., Burton, D.C., Uyeki, T.M., Bialek, S.R. and Jackson, B.R., 2020.
Characteristics and Clinical Outcomes of Adult Patients Hospitalized with COVID-

93
19 - Georgia, March 2020. MMWR. Morbidity and mortality weekly report, 69(18),
pp.545–550.
16. Gray, D., Chau, S., Huerta, T. and Frankish, J., 2011. Urban-Rural Migration and
Health and Quality of Life in Homeless People. Journal of Social Distress and the
Homeless, 20(1–2), pp.75–93.
17. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Republik Indonesia, 2020.
Jumlah tenaga medis per 100.000 penduduk. Laman Resmi COVID-19.
18. Harris, P., Baum, F., Friel, S., Mackean, T., Schram, A. and Townsend, B., 2020. A
glossary of theories for understanding power and policy for health equity. Journal of
epidemiology and community health, 0, pp.1–5.
19. Haustein, K.O., 2006. Smoking and poverty. European Journal of Preventive
Cardiology, 13(3), pp.312–318.
20. Human Rights Watch, 2020. India: COVID-19 Lockdown Puts Poor at Risk. Ensure
All Have Access to Food, Health Care. [online] Available at:
<https://www.hrw.org/news/2020/03/28/india-covid-19-lockdown-puts-poor-risk>
[Accessed 29 May 2020].
21. Humas Litbangkes, 2020. Badan Litbangkes Kemenkes sebagai Laboratorium
Rujukan Covid 19 Dalam Mendukung Surveilans. Berita Litbangkes.
22. Hwang, S.W., Ueng, J.J.M., Chiu, S., Kiss, A., Tolomiczenko, G., Cowan, L.,
Levinson, W. and Redelmeier, D.A., 2010. Universal health insurance and health
care access for homeless persons. American Journal of Public Health, 100(8),
pp.1454–1461.
23. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020. COVID-19 update hingga 27
Mei 2020 pukul 16.00 WIB. [online] Info Khusus COVID-19. Available at:
<https://covid19.kemkes.go.id/category/situasi-infeksi-emerging/info-corona-
virus/#.Xs6LkxMzbwc> [Accessed 27 May 2020].
24. Kirby, T., 2020. Evidence mounts on the disproportionate effect of COVID-19 on
ethnic minorities. The Lancet Respiratory Medicine. [online] Available at:
<https://www.thelancet.com/action/showPdf?pii=S2213-2600%2820%2930228-
9>.
25. Klein, N., 2008. The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. 1st ed.
Picador.
26. Lane, R., 2020. The Impact of COVID-19 on Indigenous Peoples. [online] New York.
Available at: <https://www.un.org/development/desa/dpad/wp-
content/uploads/sites/45/publication/PB_70.pdf>.

94
27. Maremmani, A.G.I., Bacciardi, S., Gehring, N.D., Cambioli, L., Schütz, C., PhD, K.J.
and Krausz, M., 2017. Substance use among homeless individuals with
schizophrenia and bipolar disorder. Journal of Nervous and Mental Disease, 205(3),
pp.173–177.
28. ODPHP, 2020. Social Determinants of Health. [online] Healthy People 2020.
Available at: <https://www.healthypeople.gov/2020/topics-objectives/topic/social-
determinants-of-health> [Accessed 26 May 2020].
29. Oke, J. and Heneghan, C., 2020. Global COVID-19 Case Fatality Rate. [online]
CEBM Research. Oxford COVID-19 Evidence Service. Available at:
<https://www.cebm.net/covid-19/global-covid-19-case-fatality-rates/> [Accessed 28
May 2020].
30. Paul, K.I. and Moser, K., 2009. Unemployment impairs mental health: Meta-
analyses. Journal of Vocational Behavior, 74(3), pp.264–282.
31. PHEOC Kemkes RI, 2020. Situasi terkini perkembangan novel coronavirus
(COVID-19). Data dilaporkan sampai 28 Mei 2020. Jakarta.
32. Roelfs, D.J., Shor, E., Davidson, K.W. and Schwartz, J.E., 2011. Losing life and
livelihood: A systematic review and meta-analysis of unemployment and all-cause
mortality. Social Science and Medicine, 72, pp.840–854.
33. The Lancet, 2020. Redefining vulnerability in the era of COVID-19. The Lancet,
Available at: <https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32247378/>.
34. Tsai, J., Gelberg, L. and Rosenheck, R.A., 2019. Changes in Physical Health After
Supported Housing: Results from the Collaborative Initiative to End Chronic
Homelessness. Journal of General Internal Medicine, 34(9), pp.1703–1708.
35. Tsai, J. and Wilson, M., 2020. COVID-19: a potential public health problem for
homeless populations. The Lancet Public Health, 5(4), pp.E186–E187.
36. UN Economic Commission for Africa, 2015. Socio-Economic Impacts of Ebola on
Africa. Revised ed ed. [online] Addis Ababa: UN Economic Commission for Africa.
Available at:
<https://www.uneca.org/sites/default/files/PublicationFiles/eca_ebola_report_final_
eng_0.pdf>.
37. UNICEF, 2020. COVID-19: More than 95 per cent of children are out of school in
Latin America and the Caribbean. [online] For every child. Available at:
<https://www.unicef.org/press-releases/covid-19-more-95-cent-children-are-out-
school-latin-america-and-caribbean> [Accessed 29 May 2020].

95
38. Vardavas, C.I. and Nikitara, K., 2020. COVID-19 and smoking: A systematic review
of the evidence. Tobacco Induced Diseases, 18, p.20.
39. VERTIC, 2020. Addendum to Fact Sheet 15 on National Implementation Measures
for the International Health Regulations 2005 (IHR). COVID-19 as a Public Health
Emergency of International Concern (PHEIC) under the IHR. London.
40. WHO, 2008. Social determinants of health. Key concepts. [online] WHO. Available
at:
<https://www.who.int/social_determinants/thecommission/finalreport/key_concepts
/en/> [Accessed 26 May 2020].
41. WHO, 2020. Public health criteria to adjust public health and social measures in the
context of COVID-19. Annex to Considerations in adjusting public health and social
measures in the context of COVID-19. WHO.
42. WHO Indonesia and PHEOC Kemkes RI, 2020. Coronavirus Disease 2019
(COVID-19) Situation Report-9. [online] Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Available at: <https://www.who.int/docs/default-
source/searo/indonesia/covid19/external-situation-report-9-
25052020.pdf?sfvrsn=e2219417_2> [Accessed 28 May 2020].
43. Yancy, C.W., 2020. COVID-19 and African Americans. JAMA - Journal of the
American Medical Association, 323(19), pp.1891–1892.
44. Zhang, Y., Chen, C., Zhu, S., Shu, C., Wang, D., Song, J., Song, Y., Zhen, W.,
Feng, Z., Wu, G., Xu, J. and Xu, W., 2020. Isolation of 2019-nCoV from a Stool
Specimen of a Laboratory-Confirmed Case of the Coronavirus Disease 2019
(COVID-19). CCDC Weekly. [online] Available at:
<http://weekly.chinacdc.cn/en/article/id/ffa97a96-db2a-4715-9dfb-ef662660e89d>.

96
PERSPEKTIF EKONOMI KESEHATAN DAN PROMOSI
KESEHATAN DALAM PENANGGULANGAN COVID-19
DI INDONESIA
Dr. Lilik Djuari, dr., MKes., AKK, FISPH, FISCM.
(Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat - Kedokteran Pencegahan, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya)

COVID-19
Coronavirus disease-19 (COVID-19) telah dinyatakan sebagai pandemi dunia pada 11
Maret 2020 oleh WHO (WHO, 2020). COVID-19 diketahui berawal di kota Wuhan,
provinsi Hubei, Cina sejak Desember 2019 memiliki gejala demam, rasa letih, batuk, dan
kesulitan bernapas sebagai gejala utama. Agen COVID-19 adalah virus SARS-CoV-2.
COVID-19 merupakan penyakit menular zoonosis atau penyakit yang ditularkan antara
hewan dan manusia. Hewan yang dapat menularkan virus tersebut adalah kelelawar,
musang, luwak, tikus bambu, dan unta liar, COVID-19 kemudian berkembang
penularannya menjadi dari manusia ke manusia, melalui kontak dan droplet, dengan
masa inkubasi selama 14 hari.

Tanggal 30 Mei 2020, 215 negara terpapar COVID-19, terbanyak adalah AS, Brazil dan
Rusia. Indonesia berada di peringkat 33. Jumlah kasus COVID-19 di dunia lebih dari 6
juta orang, dengan CFR 6%. Active cases 49%, didapatkan 98% mild condition dan 2%
serious condition. Close cases 51% dengan jumlah sembuh 88% dan yang meninggal
12%

SITUASI COVID-19 DI INDONESIA


Pasien konfirmasi positif sebagai COVID-19 di Indonesia pertama kali di Jakarta
sebanyak 2 orang pada tanggal awal Maret 2020. Data per tanggal 30 Mei 2020
menyebar ke 34 provinsi di Indonesia, 496 kabupaten/kota terpapar COVID-19.

97
Gambar 1. Infografis update COVID-19 per tanggal 30 Mei 2020

Istilah terkait dengan COVID-19 adalah :


a. Orang Tanpa Gejala (OTG) : Orang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular
dari orang positif COVID-19 atau ada kontak erat dengan kasus konfirmasi positif
COVID-19
b. Orang Dalam Pemantauan (ODP) : Orang yang mengalami demam (≥ 38 0C) atau
riwayat demam; atau gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit
tenggorokan/batuk; dan
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal
di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal; atau memiliki riwayat kontak
dengan kasus konfirmasi positif COVID-19.
c. Pasien Dalam Pengawasan (PDP) : Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) yaitu demam (≥ 38 oC) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala / tanda
penyakit pernapasan seperti : batuk / sesak nafas / sakit tenggorokan / pilek /
pneumonia ringan hingga berat; dan

98
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal
di negara / wilayah yang melaporkan transmisi lokal; atau memiliki riwayat kontak
dengan kasus konfirmasi positif COVID-19; yang membutuhkan perawatan di rumah
sakit.
d. Konfirmasi Positif : Pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan tes
positif melalui pemeriksaan PCR.

Presiden Republik Indonesia (RI) telah menyatakan status penyakit ini menjadi tahap
Tanggap Darurat pada tanggal 17 Maret 2020. Presiden RI juga telah mengeluarkan
Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Corona yang diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan nasional di bidang
kesehatan; mempercepat penanganan COVID-19 melalui sinergi antar kementerian /
lembaga dan pemerintah daerah; meningkatkan antisipasi perkembangan eskalasi
penyebaran COVID19; meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan operasional; dan
meningkatkan kesiapan dan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons
terhadap COVID-19.

PERSPEKTIF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT - KEDOKTERAN PENCEGAHAN

Perspektif Ilmu Kesehatan Masyarakat dapat dipelajari dengan model The Force Field
and Well Being Paradigms of Health (HL Blum) sebagai berikut :

Gambar 2. The Force Field and Well Being Paradigms of Health (HL Blum)

99
Kejadian pandemi COVID-19 merupakan kejadian epidemiologis, yang dipengaruhi
empat faktor / determinan yaitu :
1. Environment (Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja)
2. Life styles (Perilaku / Promosi Kesehatan)
3. Medical care services (Pelayanan Kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas,
Klinik, Dokter Praktik Mandiri, dan Sistem Kesehatan Nasional, Ekonomi Kesehatan)
4. Population / Heredity (Kependudukan, Penelitian, Statistik).
Sehingga perspektif Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam penanganan COVID-19
seharusnya meliputi kajian Epidemiologis serta semua kajian terhadap empat rumpun
Ilmu Kesehatan Masyarakat tersebut.
Ilmu Kesehatan Masyarakat tidak bisa dilepaskan dari upaya Kedokteran Pencegahan
yang merupakan himpunan upaya :
1. Pencegahan primer : pencegahan pada saat belum sakit (promotif / peningkatan
dan preventif / pencegahan)
2. Pencegahan sekunder : pencegahan pada saat sedang sakit (kuratif/pengobatan)
3. Pencegahan tersier : pencegahan pada saat selesai sakit (rehabilitatif/pemulihan)
4. Pencegahan kuaterner : pencegahan terhadap hal-hal yang tidak diperlukan pada
fasilitas pelayanan kesehatan (kendali biaya dan kendali mutu)
Dengan demikian perspektif Ekonomi Kesehatan dalam penanganan COVID-19
merupakan kajian faktor / determinan Medical care services, dan perspektif Promosi
Kesehatan merupakan kajian faktor / determinan Life styles.

PERSPEKTIF EKONOMI KESEHATAN

Ekonomi Kesehatan adalah disiplin ilmu ekonomi yang diterapkan pada bidang
kesehatan, karena ekonomi dan kesehatan merupakan sektor yang saling
mempengaruhi. Prinsip Ekonomi Kesehatan adalah keterjangkauan, keadilan, bermutu
dan efektif efisien.

100
Sistem
Keamanan
Nasional

Sistem
Sistem Sistem Pendidikan
Ketahanan Pangan Ketahanan Nasional
Nasional Nasional
Sistem
Sistem Jaminan Sosial
Ekonomi Sistem Nasional
Nasional Kesehatan
Nasional
COVID-19

Gambar 3. Sistem Ketahanan Nasional

Sistem Ketahanan Nasional bangsa Indonesia sebenarnya merupakan suatu sistem


yang sangat besar dan kompleks yang terdiri dari berbagai sub-sistem (sektor) antara
lain :
1. Sistem Kesehatan Nasional
2. Sistem Jaminan Sosial Nasional
3. Sistem Ekonomi Nasional
4. Sistem Pendidikan Nasional
5. Sistem Ketahanan PanganNasional
6. Sistem Keamanan Nasional
dan lain-lain.
Bencana COVID-19 merupakan masalah yang terjadi dalam tatanan Sistem Kesehatan
Nasional namun bisa meluas ke sistem / sektor lain (expanding scope). Bencana COVID-
19 merupakan masalah kesehatan yang berdampak pada ekonomi. Menurut Menteri
Keuangan RI Sri Mulyani, dampak bencana COVID-19 pada pertumbuhan ekonomi
China menjadi minus 6,8%, AS minus 4,8%, Itali berpotensi minus 2 digit. Sri Mulyani
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia walaupun menurun namun masih bisa
mencapai plus 2,5% atau bahkan menjadi 0% jika dalam 6 bulan pandemi COVID-19
belum terkendali.

101
Gambar 4. Kurva Epidemiologis Penyakit Menular

Gambar 4, kurva Without mitigation : puncak kurva tinggi, melampaui kapasitas


pelayanan kesehatan yang tersedia, yang berakibat banyak pasien COVID-19 yang tidak
dapat ditangani di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga angka kematian akan sangat
tinggi. Kurva tersebut dapat dilandaikan dengan adanya mitigasi sehingga puncak kurva
menurun seiring dengan peningkatan kapasitas pelayanan kesehatan, dengan harapan
pasien COVID-19 mampu terlayani dengan baik dan angka kematian tidak terlalu tinggi.
COVID-19 merupakan penyakit menular yang baru, dimana sarana-prasarana untuk
diagnosis (laboratorium yang mampu memeriksa PCR) dan Rumah Sakit (RS) Rujukan
COVID-19 belum siap, demikian juga obat masih belum diketahui dan alat ventilator
jumlahnya terbatas, bahkan tenaga kesehatan belum memiliki pengalaman dalam
merawat pasien konfirmasi positif, gejala yang ditimbulkan oleh COVID-19 bisa
bermacam-macam, Alat Pelindung Diri (APD) juga belum tersedia dalam jumlah yang
memadai.
Upaya meningkatkan kesiapan dan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan
merespons terhadap COVID-19 dilakukan bersama dengan kucuran dana untuk bantuan
sosial bagi masyarakat terdampak COVID-19.
Kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan yang harus disiapkan untuk penanganan
bencana COVID-19 meliputi penyediaan sarana-sarana :
1. RS COVID-19 :
a. RS Rujukan COVID-19
b. RS Karantina
c. RS non COVID-19
2. Obat-obatan :
a. antiviral
b. antiinflamasi
3. Alat Kesehatan : ventilator

102
4. APD : coverall, masker, face shield, dsb
5. Tenaga Kesehatan / Medis :
6. Sarana pemeriksaan :
a. Laboratorium
b. Rapid test
c. PCR
d. VTM
Penyediaan sarana-sarana tersebut dalam skala nasional secara bersamaan
membutuhkan biaya (cost) yang sangat besar dan menimbulkan masalah ekonomi bagi
negara. Biaya tersebut membengkak karena faktor :
1. Pengadaan
2. Kelangkaan barang di pasar dengan penggelembungan harga oleh spekulan
3. Berebut barang / bahan di pasar dunia karena serentak semua negara
membutuhkan dalam jumlah besar

Upaya pencegahan dilakukan dalam upaya memutus mata rantai penularan, yang akan
dibahas dalam Perspektif Promosi Kesehatan. Upaya mendeteksi kasus baru COVID-19
dilakukan contact tracing pada pasien konfirmasi positif.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/182/2020
tentang jejaring Laboratorium Pemeriksaan COVID-19, ada 2 jenis yaitu Laboratorium
Rujukan Nasional Pemeriksaan COVID-19 dan Laboratorium Pemeriksa COVID-19.
Pada awal pandemi COVID-19 di Indonesia hanya ada 1 laboratorium yang sanggup
memeriksa spesimen COVID-19 yakni Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI di Jakarta. Kemudian dikembangkan menjadi
12 laboratorium pemeriksa COVID-19 di bawah satuan kerja KEMENKES,
KEMENDIKBUD dan KEMENRISTEK yang tersebar di Indonesia. Ada 3 jenis spesimen
yang diambil untuk pemeriksaan COVID-19, yaitu swab pada nasofaring, sputum dan
serum. Spesimen kemudian dikirim ke laboratorium pemeriksa COVID-19 melalui Dinas
Kesehatan masing-masing daerah, untuk diperiksa dengan menggunakan metode Real
Time PCR gen N.
Untuk meningkatkan keterjangkauan pemeriksaan, jumlah laboratorium pemeriksa PCR
ditambah dengan melengkapi alat pemeriksa PCR beserta Viral Transportasion Media
(VTM). Tenaga kesehatan ditingkatkan kemampuannya untuk dapat melakukan
pemeriksaan PCR. Per tanggal 30 Mei jumlah laboratorium pemeriksa sebanyak 145

103
jumlah spesimen yang diperiksa PCR sebanyak 311.906 dari 216.769 orang. Hasil positif
25.733, sehingga Positif rate sebesar 11,87%
Mass screening dilakukan dengan menggunakan Rapid test dalam upaya skrining pada
masyarakat yang diduga terpapar COVID-19. Rapid test mempunyai nilai sensitivitas dan
spesifisitas.
Tabel 1 : Sensitivitas dan Spesifisitas

Rapid Test Pemeriksaan PCR


Positif Negatif Total
Positif Positif benar (a) Positif palsu (b) a+b
Negatif Negatif palsu (c) Negatif benar (d) c+d
Total a+c b+d

Sensitivitas = a/(a + c) x 100%


Spesifisitas = d/(b + d) x 100%

Saat ini pandemi COVID-19 melanda 215 negara, semuanya membutuhkan alat Rapid
Test maupun PCR untuk masyarakat di masing-masing negara. Sedangkan jumlah
negara yang mampu memproduksi alat Rapid Test dan PCR sangat terbatas. Sehingga
jumlah alat Rapid test maupun PCR yang bisa disediakan oleh Pemerintah RI jumlahnya
juga terbatas. Berdasarkan konsep Supply & Demand, dimana jumlah permintaan
meningkat sedangkan jumlah barangnya terbatas, akan mendorong kenaikan harga.
Dalam upaya melakukan efisiensi dan efektivitas maka Pemerintah RI mengembangkan
metode pemeriksaan dengan menggunakan alat PCR HIV, juga dikembangkan
pemeriksaan dengan menggunakan metode Test Cepat Molekuler (TCM) yang sudah
ada di Puskesmas yang biasanya digunakan untuk mendiagnosa TBC.
Pemerintah RI juga telah berhasil memproduksi Rapid test RI-GHA19 demi menekan
biaya pemeriksaan Rapid test.
Bertambahnya kasus baru, selain menunjukkan masih adanya penularan, dapat pula
dimaknai sebagai keberhasilan upaya mendeteksi kasus baru COVID-19.

Upaya meningkatkan kesiapan dan kemampuan dalam merespons terhadap COVID-19.


Respon karantina bagi pasien korfimasi positif COVID-19 adalah sebagai berikut : tanpa
gejala dan gejala ringan melakukan isolasi mandiri di rumah, gejala sedang dirawat di
RS Darurat COVID-19, sedangkan gejala berat di rawat di RS Rujukan COVID-19.

Pemerintah RI menyediakan 132 RS Rujukan yang tersebar di 32 Provinsi beserta Ruang


Isolasi Tekanan Negatif (RITN) dan Ventilator beserta tenaga kesehatannya. Pada 132
RS Rujukan tersebut terdapat 751 Ruangan Isolasi, dengan kapasitas 2.100 Tempat

104
Tidur (TT) di Ruangan Isolasi, 516 Ventilator, 2.660 orang Dokter, 289 orang Dokter Sp.
Paru, 2.247 orang tenaga kefarmasian dan 11.725 orang tenaga perawat.
Pemerintah RI kemudian menambah RS Rujukan menjadi 492 RS, dan menyiapkan
Wisma Altet sebagai RS Darurat COVID-19, serta menyiapkan RS Khusus Corona di
Pulau Galang Batam untuk warga negara Indonesia yang datang dari luar negeri.
Pemerintah RI merekrut relawan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan COVID-19,
jumlahnya mencapai 30.375 per tanggal 30 Mei 2020.
Kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD), mengakibatkan banyak korban tenaga kesehatan
gugur dalam tugas, Pemerintah RI mengupayakan APD dengan segala upaya, dan tentu
dengan harga yang tinggi untuk mendatangkan APD dari luar negeri, berebut APD
dengan negara lain. Selain itu Pemerintah RI meningkatkan produksi APD dari dalam
negeri, menjaga distribusi APD medis supaya tidak diperdagangkan secara bebas di
masyarakat.
Pemerintah RI juga mengembangkan terapi plasma konvalesen serta mengembangkan
ventilator produksi dalam negeri. Unit cost Ventilator PT. Pindad sekitar Rp. 10 – 15 juta.
Sedangkan harga 1 unit ventilator import Rp. 500-700 juta
Berdasarkan Lampiran Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-275/MK.02/2020 tertanggal
6 April 2020, biaya perawatan pasien COVID-19 selama 14 hari sekitar Rp 105 juta –
231 juta dan biaya pemakaman Rp 3,36 juta per jenazah.

Tabel 2. biaya perawatan pasien COVID-19


biaya perawatan pasien COVID-19 tanpa biaya perawatan pasien COVID-19 dengan
komplikasi komplikasi
di ruang ICU dengan ventilator Rp. 15.5 juta/ di ruang ICU dengan ventilator Rp. 16.5 juta /hari
hari
di ruang ICU tanpa ventilator Rp. 12 juta/hari di ruang ICU tanpa ventilator Rp. 12 juta / hari
di RITN dengan ventilator Rp. 10,5 juta/hari di RITN dengan ventilator Rp. 14,5 juta /hari
di RITN tanpa ventilator Rp 7,5 juta /hari di RITN tanpa ventilator Rp 9,5 juta/hari
di non RITN dengan ventilator Rp 10,5 juta di non RITN dengan ventilator Rp 14,5 juta/hari
/hari
di non RITN tanpa ventilator Rp 7,5 juta /hari di non RITN tanpa ventilator Rp 9,5 juta/hari

Dari Tabel 2. bisa dilihat bahwa biaya perawatan pasien COVID-19 juga sangat besar,
sehingga dalam skala nasional masalah COVID-19 menimbulkan beban ekonomi yang
sangat besar dalam pengelolaan keuangan negara.
Dalam Penelitian oleh Dokter Muda dalam kepaniteraan Community Medicine FK UNAIR
(Rieza Rizqi Alda, dkk.) tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan Sikap serta Partisipasi
Masyarakat dengan Upaya Pencegahan Covid-19, bulan Mei 2020, n = 56, wilayah
105
Surabaya, Jombang, Tulungagung, accidental sampling, metode operational research
diperoleh hasil :
 pengetahuan COVID-19 = cukup
 sikap COVID-19 = negatif
 upaya pencegahan COVID-19 = cukup
Setelah dilakukan Lokakarya Daring Diagnosis Komunitas disimpulkan bahwa akar
masalah sikap negatif masyarakat adalah karena masalah ekonomi.

Penanganan dampak ekonomi akibat pandemi COVID-19 diantisipasi oleh Pemerintah


RI dengan mengucurkan dana sebanyak Rp. 405 trilyun melalui PERPU tanggal 31 Maret
2020, dengan rincian : bidang kesehatan Rp. 75 trilyun, Jaring Pengaman Sosial Rp. 110
trilyun, Insentif Perpajakan & Stimulus Kredit Usaha Rp. 70 trilyun, Pembiayaan Program
Pemulihan Nasional Rp. 150 trilyun.

Uraian tersebut diatas menggambarkan bahwa pandemi COVID-19 memerlukan kajian


Ekonomi Kesehatan.

LOCKDOWN vs PSBB

Lockdown adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan upaya pengendalian


penyebaran virus. Lockdown mengharuskan sebuah wilayah menutup akses masuk dan
keluar sepenuhnya. Masyarakat di wilayah diberlakukan lockdown tidak dapat lagi keluar
rumah dan berkumpul, sementara semua transportasi dan kegiatan perkantoran,
sekolah, maupun ibadah dinonaktifkan. Penerapan lockdown di beberapa negara
berbeda.
Misalnya di Wuhan, Cina, lockdown diterapkan secara total. Selama diberlakukan
lockdown, seluruh warga di kota tersebut dilarang keluar rumah dan semua area publik,
seperti mal dan pasar ditutup. Pada tanggal 23 Januari 2020, mulai diberlakukan
lockdown, setelah 2 bulan lockdown diberlakukan, tidak ada laporan kasus baru.
Kesimpulannya lockdown efektif mengendalikan COVID-19 di Wuhan.
Sementara di Itali, kebijakan lockdown masih memperbolehkan warganya pergi ke luar
rumah untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dan membeli obat. Sejak 9 Maret hingga
16 Mei 2020, peningkatan kasus tetap saja terjadi. Ada sekitar 223.885 kasus dengan
jumlah kematian 31.610. CFR sebesar 14,12% lebih tinggi dari rata-rata dunia. Kebijakan
lockdown tidak efektif mengendalikan COVID-19 di Itali.

106
Karantina wilayah menurut Undang Undang RI Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina
Kesehatan. Karantina didefinisikan sebagai upaya pembatasan dan/atau pemisahan
seseorang yang terpapar penyakit menular. Berdasarkan skalanya, karantina dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan
pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

karantina rumah

lingkungan /
desa

rumah sakit

wilayah

PSBB /
negara

Gambar 5. Karantina COVID-19


Namun kenyataannya adapula karantina lingkungan oleh desa-desa serta ada pula
karantina tingkat negara seperti dibangunnya Pulau Galang dan Natuna untuk karantina
penduduk Indonesia yang baru pulang dari luar negeri.
Selama karantina wilayah diberlakukan, masyarakat yang tinggal di wilayahnya dan
masyarakat dari luar daerah tersebut tidak diizinkan masuk ke dalam wilayah yang
dikarantina. Kebutuhan hidup orang dan hewan ternak yang berada di wilayah yang
dikarantina akan menjadi tanggung jawab pemerintah.

PSBB, menurut PERMENKES RI Nomor 9 tahun 2020 yang mengatur tentang Pedoman
PSBB, menyebutkan bahwa PSBB adalah pembatasan semua kegiatan tertentu.
Pembatasan kegiatan tersebut ditujukan bagi penduduk dalam satu wilayah yang diduga
terpapar COVID-19, tujuannya untuk memblokir dan mencegah penyebaran virus corona
dalam skala yang lebih besar lagi. Kepala daerah memiliki hak untuk mengajukan
permohonan PSBB yang didasari oleh data epidemiologi kasus COVID-19 yang terjadi
di daerahnya masing-masing. Apabila permohonan tersebut disetujui oleh Menkes RI,
maka PSBB akan diberlakukan selama masa inkubasi terpanjang, yaitu 14 hari. Apabila
107
setelah 14 hari tersebut masih terlihat adanya penyebaran dengan ditemukannya
peningkatan kasus baru, maka masa PSBB akan diperpanjang selama 14 hari kedepan
sampai jumlah kasus baru menurun.

Tabel 3 : perbedaan lockdown dan PSBB

Lockdown PSBB
Penetapan Pemerintah Pusat Kementerian Kesehatan atas
permohonan dari Pemerintah
Daerah
Transportasi Umum Menutup transportasi umum Membatasi jumlah penumpang
transportasi umum
Transportasi Pribadi Hanya kendaraan tertentu dan Mengurangi jumlah
mengukur suhu pengemudi penumpangnya 50%
Keluar masuk wilayah Dilarang Dibatasi

Dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, demografi, ekonomi dan sumberdaya


yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, maka Presiden RI memutuskan PSBB sebagai
upaya pengendalian COVID-19 di Indonesia.
Cost Benefit Analysis (CBA) dan Cost Effectiveness Analysis (CEA) dapat digunakan
untuk mempertimbangkan pemilihan untuk diberlakukan Lockdown atau PSBB.

Cost Benefit Analysis (CBA) = Benefit


Cost

Semakin besar Cost dan semakin kecil Benefit, maka upaya menjadi tidak bermanfaat
atau terjadi pemborosan tanpa manfaat yang berarti.

Cost Effectiveness Analysis (CEA) = Effectiveness


Cost

Semakin besar Cost dan semakin kecil Effectiveness, maka upaya menjadi tidak efektif
atau terjadi pemborosan tanpa hasil yang efektif.

CBA merupakan pendekatan sistematis untuk mempertimbangkan elemen biaya dan


manfaat terhadap pilihan kebijakan Lockdown atau PSBB. Elemen cost / biaya meliputi
biaya program pelaksanaan dan biaya yang timbul karena dampak dari program
tersebut. Elemen Benefit / Manfaat meliputi efek utama yaitu berkurangnya kasus baru
konfirmasi positif dan jumlah kematian karena COVID-19, serta efek samping dari
program tersebut yang meliputi sektor ekonomi, social, keamanan, ketahanan pangan,
produktifitas dan sebagainya.

108
CEA adalah cara memilih untuk menilai program yang terbaik kebijakan Lockdown atau
PSBB, dengan membandingkan biaya dan output (objective) yang dihasilkan. Biaya
untuk mempertimbangkan aspek efisiensi, sedangkan output mempertimbangkan aspek
efektifitas / effectiveness. Dengan memperhitungkan CEA kita tidak bisa melihat hanya
dari 1 aspek saja, efisiensi atau efektif. Keputusan yang diambil berdasarkan CEA selalu
mempertimbangkan efektif dan efisien.

PERSPEKTIF PROMOSI KESEHATAN


Promotion berasal dari to promote yang berarti meningkatkan, sehingga health promotion
secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan kesehatan bagi orang
sehat.
Health Promotion is "the process of enabling people to increase control over their health
and its determinants, and thereby improve their health".
(World Health Organization's (WHO) 2005 Bangkok Charter for Health Promotion in a
Globalized World).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/MENKES/SK/ll/2005 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah maka : “Promosi Kesehatan
adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari,
oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong diri sendiri, serta
mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat, sesuai dengan kondisi
sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.”
Aktivitas utama Promosi Kesehatan menurut Piagam Ottawa adalah Advokasi
(Advocating), Pemberdayaan (Enabling) dan Mediasi (Mediating). WHO memberikan
pengertian Promosi Kesehatan sebagai “the process of enabling individuals and
communities to increase control over the determinants of health and thereby improve
their health”.
Tabel 4. Strategi dasar utama Promosi Kesehatan COVID-19

Strategi dasar utama Promosi Kesehatan COVID-19

Pemberdayaan Individu 4 sehat 5 sempurna


Keluarga (masker, jaga jarak, CTPS,
Masyarakat aktivitas/istirahat, makanan bergizi)
Bina Suasana menciptakan suasana kondusif Cegah “panic buying”
Advokasi kebijakan2 Tokoh agama
protokol2 Tokoh Masyarakat

109
Kemitraan kerja sama sektor lain, TNI-POLRI, Dinas Perhubungan,
kerja sama swasta, Perdagangan, Pendidikan, Agama,
kerja sama luar negeri Sosial, dan lain-lain

Strategi Komunikasi :
Dalam situasi bencana, maka dibutuhkan penerapan semua bentuk Strategi Komunikasi
dalam Promosi Kesehatan COVID-19.

Tabel 5. Strategi komunikasi yang digunakan dalam Promosi Kesehatan COVID-19

PERSUASIF menggunakan daya tarik untuk Sembako. BLT


agak memaksa msyarakat : Putar Balik
− daya tarik positif, berupa imbalan SIKM
, insentif, hadiah, dsb.
− daya tarik negatif, berupa
ancaman, sanksi, denda , dsb.
KOMPULSIF menciptakan suasana yang Lagu “Ojo Mudik” Didi Kempot
kondusif
PERVASIF dilakukan dengan melakukan Jubir Kemenkes
pengulang ulangan materi
KOERSIF memberikan hukuman fisik dan Push up, Denda
atau materi untuk memaksa
EDUKATIF menggunakan pendekatan edukatif Info Gugus Tugas Percepatan
dengan memperbaiki domain Penanganan COVID-19
Kognitif, Afektif sampai Psikomotor
secara bertahap

Bahwa sebenarnya untuk mengantisipasi bencana, baik itu bencana kesehatan maupun
bencana alam, Kementerian Kesehatan RI telah membuat suatu Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1529/MENKES/SK/X/2010 tentang Pedoman
Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif.
Pengertian Desa / Kelurahan Siaga Aktif :
1. Penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar yang
memberikan pelayanan setiap hari melalui Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) atau
sarana kesehatan yang ada di wilayah tersebut seperti Pusat Kesehatan
Masyarakat Pembantu (Pustu), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau
sarana kesehatan lainnya.
2. Penduduknya mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
(UKBM) dan melaksanakan survailans berbasis masyarakat (meliputi pemantauan
penyakit, kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaruratan

110
kesehatan dan penanggulangan bencana, serta penyehatan lingkungan sehingga
masyarakatnya menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Implementasi Desa / Kelurahan Siaga Aktif dalam bencana COVID-19 adalah
dibentuknya :
1. Pos Jaga Desa atau Pos Covid Desa, jumlahnya telah mencapai lebih dari 84.000
desa.
2. Jogo Tonggo
3. Kampung Tangguh COVID
4. Kampung Jaga COVID, dan lain-lain

Pemberdayaan masyarakat dimulai dari tingkat individu, keluarga dan masyarakat.


Pemberdayaan Individu dalam penanggulangan COVID-19 meliputi protokol :
1. Cuci tangan secara berkala dengan sabun dan air mengalir atau pembersih tangan
berbasis alkohol (hand sanitizer, alcohol swab 70%)
2. Hindari memegang area muka terutama hidung, mulut dan muka
3. Makan 3 kali sehari dengan menu gizi seimbang, minum 8 kali sehari, tambahkan
Vitamin C 500 mg (setara dengan BB 50 kg)
4. Hindari alkohol, rokok dan narkoba
5. Mandi, keramas, sikat gigi setiap hari, kalau bisa 2 kali sehari
6. Tidur efektif 6-8 jam sehari
7. Etika batuk dan bersin yang benar yakni menutup mulut dan hidung dengan siku
bagian dalam atau tissue lalu membuang tissue setelah digunakan ke tempat
sampah
8. Kurangi kecemasan dengan membatasi informasi, kecuali dari sumber yang dapat
dipercaya (Kementerian Kesehatan RI atau siaran TV mainstream)
9. Tetap tinggal di rumah, hindari bepergian terutama berkelompok atau kerumunan
orang
10. Bila sakit ringan tetap tinggal di rumah. Bila ada gejala demam, batuk dan sesak
nafas segera ke fasilitas pelayanan kesehatan (dokter, klinik, puskesmas, RS)
11. Bila terpaksa bepergian :
a. Gunakan alat pelindung diri berupa pakaian tertutup, alas kaki, penutup kepala,
kacamata, masker
b. Jaga jarak 1-2 meter dengan orang lain (physical distance)
c. Hindari memegang benda-benda di fasilitas umum

111
d. Sepulang di rumah, rendam alat pelindung diri tersebut dalam larutan deterjen
minimal 20-25 menit serta mandi keramas
Pemberdayaan Keluarga dalam penanggulangan COVID-19 meliputi protokol :
1. Menjaga lingkungan dalam keluarga supaya tetap bersih dan sehat, dengan cara :
a. Pel lantai dengan bahan antiseptik seperti karbol, lisol, kreolin, deterjen minimal
1 kali sehari
b. Sediakan semprotan tangan (handsprayer) 2 botol : botol ke-1 isi air dan
campurkan dengan sejenis Bayclin dengan komposisi 90% air : 10% Bayclin
atau Rodalon komposisi 20 ml per 500 liter air, semprotkan di ruangan demi
ruangan di dalam rumah, namun untuk campuran Bayclin jangan sampai kena
benda logam, elektronik, binatang dan makanan; botol ke-2 isi alkohol 70%,
semprotkan di ruangan demi ruangan terutama pegangan pintu atau benda
yang sering dipegang oleh orang, hindari sumber api karena alkohol mudah
terbakar
c. Sediakan lampu Ultraviolet 20 Watt atau 40 Watt, nyalakan di ruangan demi
ruangan dengan perhitungan : luas ruangan 10 m 2 adalah 20 Watt selama 15
menit, jangan ada orang, binatang dan tanaman hidup di ruangan selama
lampu Ultraviolet menyala
d. Bersihkan barang barang di rumah dan usahakan tidak ada barang bekas yang
bisa membuat rumah menjadi kotor termasuk baju di gantungan.
2. Beribadah bersama keluarga di rumah
3. Belajar dan bekerja bersama keluarga di rumah
4. Melakukan aktifitas bersama keluarga, memasak, nonton TV, karaoke, berkebun,
mencuci mobil, olahraga, dan lain-lain di rumah
Pemberdayaan Masyarakat dalam penanggulangan COVID-19 perlu melibatkan setiap
komponen dari masyarakat mulai dari Ketua RT/RW/Kepala Desa, Tokoh Agama/Tokoh
Masyarakat, Bhabinkamtibnas, kader kesehatan, warga masyarakat termasuk Ormas
dan pihak swasta, Puskesmas dan Posyandu
Pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan COVID-19 adalah segala upaya yang
dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat dengan menggali potensi yang dimiliki
masyarakat agar berdaya dan mampu berperan serta mencegah penularan COVID-19.

112
Tahapan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pencegahan COVID-19
1. Pendataan Kesehatan Warga di RT/RW/Kepala Desa
a. Mendata kesehatan seluruh warga menggunakan formulir pendataan warga
termasuk warga yang berisiko tinggi
b. Mendata warga yang keluar dan masuk di wilayahnya
c. Menghimbau warga untuk menginformasikan jika ada orang asing atau warga
yang datang dari wilayah yang sudah terjangkit COVID-19 yang masuk ke
wilayahnya
2. Cari kemungkinan faktor penyebab penularan COVID-19 dan potensi wilayah
a. Faktor Perilaku : tidak melakukan PHBS/CTPS
b. Non Perilaku: lingkungan
c. Mendata potensi : SDM, Dana, Sarana Prasarana
3. Musyawarah Masyarakat RT/RW/Desa
a. Sosialisasi hasil pendataan dan kemungkinan faktor penyebab penularan
b. Sosialisasi program pemerintah dalam pencegahan COVID-19
c. Menyepakati kegiatan melalui pemberdayaan masyarakat
4. Menyusun Rencana Kegiatan di Masyarakat
a. Menyampaikan informasi tentang COVID-19 (penyebab, penularan,
pencegahan)
b. Edukasi tentang cara-cara pencegahan COVID-19 (etika batuk, cara CTPS,
cara menggunakan masker)
c. Sarana edukasi: pengeras suara/toa, saluran komunikasi elektronik (group
WHATSAPP, dll)
d. Jadwal pelaksanaan, sasaran kegiatan, rencana anggaran dan penanggung
jawab sesuai formulir Rencana Kegiatan
5. Pelaksanaan Kegiatan
a. Dilaksanakan sesuai jadwal yang telah direncanakan bersama. Kegiatan
dicatat dan dilaporkan menggunakan format Laporan Kegiatan
6. Keberlangsungan Kegiatan
Dilakukan oleh masyarakat bersama dengan pengurus RT/RW/Desa dan
pendamping teknis (puskesmas), untuk menjamin kesinambungan pemberdayaan
masyarakat.

113
protokol pertahanan pribadi

keluarga

lingkungan

wilayah

nasional

Gambar 6. ruang lingkup protokol kesehatan

Perlu dilakukan protokol pertahanan secara bertingkat berupa protokol pertahanan


pribadi, keluarga, lingkungan, wilayah sampai nasional.

Pokok bahasan dalam pelaksanaan Promosi Kesehatan meliputi rantai infeksi (chain of
infection) yaitu 6 komponen rantai penularan, apabila satu mata rantai diputus atau
dihilangkan, maka penularan infeksi dapat dicegah atau dihentikan sehingga infeksi-pun
tidak akan terjadi.

Agen infeksi

Pejamu rentan Reservoir

Pintu masuk Pintu keluar

Cara penularan

Gambar 7. rantai penularan infeksi (chain of infection) penyakit menular

114
Upaya pemutusan 6 komponen rantai penularan infeksi COVID-19 :
1. Agen infeksi : mikroorganisme penyebab infeksi virus SARS-CoV-2
a. desinfeksi
b. cuci pakaian, penutup kepala, alas kaki dengan deterjen
c. rajin mandi pakai sabun, keramas pakai shampoo, sikat gigi pakai pasta gigi
2. Reservoir : pasien COVID-19
a. perawatan pasien di RS Rujukan
3. Pintu keluar : virus meninggalkan reservoir : lendir, air mata, feces, urine, sperma
a. isolasi pasien
b. orang dalam pemantauan (ODP) karantina mandiri
4. Cara penularan : cara penularan reservoir ke pejamu yang rentan/sensitif. (droplet,
kontak, makanan, air/minuman, dsb)
a. jaga jarak 1-2 meter (physical distance)
b. karantina wilayah
c. karantina skala besar (pembatasan sosial skala besar / PSBB)
d. lock down
5. Pintu masuk : tempat virus masuk ke pejamu yang rentan/sensitif, bisa melalui
saluran napas, saluran cerna, saluran kemih dan lain – lain.
a. APD bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan sesuai level
(universal precaution / kewaspadaan Umum).
b. masker kain bagi masyarakat
c. jangan sentuh wajah
d. rajin cuci tangan pakai sabun (CTPS)
6. Pejamu rentan : orang dengan kekebalan tubuh menurun yang mudah sekali
terinfeksi atau kesulitan melawan agen infeksi.
a. tinggal di rumah (stay at home)
b. jaga imunitas tubuh (makanan bergizi, sering minum, vitamin C 500 mg/hari,
cukup istirahat, tidak panik / stress)

Pemberdayaan Masyarakat pada Isolasi Mandiri warga dengan status OTG/ODP


COVID-19, selayaknya masyarakat tidak memberi stigma pada warga dengan status
OTG/ODP COVID-19, namun bagi warga dengan status OTG/ODP tetap
memperlakukan physical distancing, PHBS, etika batuk, memakai masker di dalam
rumah, memakai peralatan makan dan mandi yang terpisah dengan anggota keluarga
lain, serta mengisi lembar kesediaan melakukan isolasi mandiri. Bagi warga sekitar

115
dianjurkan berempati dengan memberikan bantuan kebutuhan sehari hari dari warga
yang berstatus OTG/ODP COVID-19 serta memantau mobilitasnya.

PERSPEKTIF EKONOMI KESEHATAN DAN PROMOSI KESEHATAN DALAM


PENANGGULANGAN COVID-19

1. Jumlah kasus baru COVID-19 yang semakin meningkat dengan angka kematian
yang cukup tinggi serta tidak semua pasien konfirmasi positif COVID-19 dalam
keadaan sakit berat. Tingginya biaya perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit,
Keterbatasan kapasitas RS untuk merawat semua pasien COVID-19, maka
Penanganan pasien COVID-19 perlu dilakukan secara berjenjang, Pasien dengan
status OTG/ODP dapat melakukan isolasi mandiri di rumah dalam pengawasan
FKTP, PDP dapat dirawat di Rumah Sakit Darurat COVID-19, Pasien konfirmasi
positif selayaknya dirawat di RS Khusus COVID yang ditunjuk oleh masing-masing
pemerintah daerah yang tidak dicampur dengan pasien non COVID-19. Sehingga
pasien non COVID-19 masih dapat terlayani dengan baik dan mengurangi resiko
terpapar COVID-19. Demikian juga pengunaan APD dan pengerahan SDM tenaga
kesehatan akan lebih efektif dan efisien.
2. Tingginya jumlah OTG dan ODP, sehingga besar kemungkinan kita juga terpapar
dengan COVID. Dampak ekonomi yang diakibatkan pandemi COVID-19,
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah, namun roda kehidupan
tetap harus berjalan, kemampuan adaptasi yang dimiliki oleh manusia, maka kita
perlu pola hidup baru berdamai dengan COVID-19.

Pra Bencana Bencana Pasca Bencana


historical •Mitigasi •PSBB •New Normal
analogy
penyakit
lain

Gambar 8. historical analogy tahapan bencana kesehatan dan bencana alam

Bahwa dalam semua bencana baik itu bencana kesehatan maupun bencana alam, akan
terdapat tiga tahap :

116
1. Tahap Pra Bencana : tahap belum terjadi bencana, dalam tahap ini sebaiknya
dilakukan mitigasi atau upaya-upaya persiapan bila terjadi bencana seperti Desa /
Kelurahan Siaga Aktif.
2. Tahap Bencana : tahap terjadi bencana, dalam tahap ini dilakukan semua upaya
baik itu pemerintah, swasta maupun rakyat untuk mengatasi bencana semisal
dilakukan kebijakan PSBB dalam suatu wilayah.
3. Tahap Pasca Bencana : tahap bencana sudah selesai atau kita beradaptasi dengan
keadaan yang baru misalnya konsep New Normal. Kita tidak punya pilihan lain
walaupun vaksin dan obat belum ditemukan, namun roda kehidupan harus tetap
berjalan, sehingga kita harus melakukan langkah2 adaptasi dengan situasi yang
baru.

Gambar 9. Persiapan kembali bekerja di kantor dalam tahap New Normal

117
Dalam tahap Pasca Bencana, akan terdapat adaptasi perilaku berupa perubahan
perilaku yang baru supaya aman walau kita harus hidup bersama penyakit COVID-19
bersama dengan penyakit-penyakit menular lainnya seperti DBD, Hepatitis, HIV-AIDS,
Herpes dan lain-lain.

Namun akan terdapat kendala perubahan perilaku karena karakteristik masyarakat


dalam melakukan perubahan perilaku.

Gambar 10. Kategori adopter dalam perubahan perilaku

Terdapat lima kategori adopter dalam perubahan perilaku :


1. Innovators
2. Early Adopters
3. Early Majority
4. Late Majority
5. Laggards
Perlu perhatian khusus terhadap kelompok Late Majority dan Laggards agar mereka
tidak gagal / terlambat melakukan adaptasi perubahan perilaku dalam tahap Pasca
Bencana.

Indikator suatu wilayah bisa memasuki tahap Pasca Bencana (New Normal) :
1. Indikator Epidemiologi
Penurunan jumlah kasus positif, PDP, ODP, kematian minimal 2 minggu
2. Indikator Kesehatan Publik
Test pemeriksaan Covid-19 meningkat, dg postivite rate menurun
Kedisiplinan Perilaku masyarakat dalam menjalankan Protokol Kesehatan
3. Indikator Kesiapan Layanan Kesehatan

118
Peningkatan kesembuhan, Jumlah RS Rujukan COVID-19, RS Darurat COVID-19,
Tenaga kesehatan, APD, Ventilator, dan lain-lain

Bahwa sebenarnya upaya penanganan bencana COVID-19 telah dilakukan secara


komprehensif / menyeluruh / paripurna dengan melibatkan segenap komponen bangsa.

Tabel 6. upaya penanganan bencana COVID-19 secara komprehensif

Primary Prevention Secondary Tertiary Quaternary


Prevention Prevention Prevention
Pencegahan pada saat belum Pencegahan Pencegahan Pencegahan
sakit pada saat pada saat pada fasyankes
sedang sakit selesai sakit
Promotif Preventif Kuratif Rehabilitatif Manajemen
mutu
Peningkatan Pencegahan Pengobatan Pemulihan Kendali mutu
dan biaya
 health  pakai  tracing /  plasma terapi  RI GHA 19
education masker contact konvalesen  ventilator
 protokol-2  physical survey Pindad
 jaring distance  mass  diversifikasi
pengaman  personal screening produk APD
sosial hygiene  isolasi pasien oleh
 jaga  stay at home (RS) masyarakat
imunitas  CTPS … dll.  karantina
tubuh  jangan
sentuh wajah

DAFTAR PUSTAKA

1. Dirjen P2P Kementerian Kesehatan, Situasi dan Kebijakan Pengendalian COVID-


19
2. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Pedoman Penanganan Cepat
Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID-19 di Indonesia, 2020
3. Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Pemberdayaan Massyarakat dalam
Pencegahan COVID-19 di RT/RW/Desa
4. Kementerian Kesehatan, Sistem Rujukan COVID-19 di Indonesia
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/Menkes/182/2020 tentang
jejaring Laboratorium Pemeriksaan COVID-19,

119
6. Wang Zhou, MD, Buku Panduan Pencegahan Coronavirus 101 Tips Berbasis Sains
Yang Dapat Menyelamatkan Hidup Anda
7. https://www.who.int/publications-detail/global-surveillance-forhuman-infection-
with-novel-coronavirus-(2019-ncov). Diakses pada 20 Maret 2020.
8. https://www.worldometers.info/coronavirus/. Diakses pada 16 Mei 2020
9. https://kabar24.bisnis.com/read/20200427/15/1232988/ventilator-impor-rp700-
juta-buatan-pindad-harganya-rp10-jutaan.-ini-penampakannya. Diakses 16 Mei
2020
10. Lampiran surat Menteri Keuangan RI No S-275/MK.02/2020 tertangal 6 April 2020
11. Anne Mills, Ekonomi Kesehatan Untuk Negara-Negara Yg Sedang Berkembang,
1990
12. Prijono Tjiptoherijanto, Ekonomi Kesehatan, 1994

120
Tinjauan
Ilmu Kesehatan Masyarakat

Disajikan dalam :
Free Webinar COVID-19 Tinjauan Ilmu Kesehatan Masyarakat
2 Juni 2020

Kemitraan :
 IDI Cabang Surabaya
 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
 PDK3MI Pengurus Cabang Regional V

Anda mungkin juga menyukai