Anda di halaman 1dari 68

FAKTOR RISIKO KEJADIAN LOST TO FOLLOW UP ODHA

KE LAYANAN VCT RSUD PROF. DR. W.Z JOHANNES

PROPOSAL TESIS

diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk


Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat

Disusun Oleh :

Dewi Ramliana Yani


NIM. 0613520009

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2021
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Proposal Tesis dengan judul “Faktor Risiko Kejadian Lost To Follow Up ODHA Ke
layanan VCT RSUD. Prof. Dr. W.Z. Johannes” karya,
Nama : Dewi Ramliana Yani
NIM : 0613520009
Program Studi : Kesehatan Masyarakat S2

Telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Seminar Proposal Tesis.

Semarang, 17 Desember 2021


Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Widya Hary Cahyati, M.Kes (Epid) dr. RR. Sri Ratna Rahayu. M.Kes, Ph.D
NIP197712272005012001 NIP 197205182008012011

2
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................3
BAB I..................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..............................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................................5
1.2 Identifikasi Masalah.....................................................................................................................8
1.3 Cakupan Masalah.........................................................................................................................8
1.4 Rumusan Masalah.........................................................................................................................9
1.5 Tujuan Penelitian........................................................................................................................10
1.6 Manfaat Penelitian......................................................................................................................12
BAB II..............................................................................................................................................13
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS
PENELITIAN...................................................................................................................................13
2.1. Kajian Pustaka...........................................................................................................................14
2.2. Kerangka Teori..........................................................................................................................41
2.3. Kerangka Konsep......................................................................................................................43
2.4. Hipotesis Penelitian...................................................................................................................44
BAB III.............................................................................................................................................46
METODE PENELITIAN.................................................................................................................46
3.1. Desain Penelitian.......................................................................................................................46
3.2. Populasi dan Sampel..................................................................................................................46
3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...........................................................................49
3.4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data................................................................................52
3.5. Teknik Analisis Data.................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................57

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency

Syndrome (AIDS) tetap menjadi salah satu tantangan dan masalah kesehatan

masyarakat yang paling signifikan di dunia. Epidemi HIV tidak hanya

mempengaruhi kesehatan individu tetapi juga mempengaruhi keluarga,

masyarakat dan pembangunan serta pertumbuhan ekonomi suatu negara (WHO,

2019).

Kasus HIV/AIDS (Human In (Human Immunodeficiency Virus / Acquired

Immunodeficiency Syndrome) sejauh ini telah merenggut 36,3 juta (27,2-47,8

juta) nyawa. Diperkirakan ada 37,7 juta (30,2–45,1 juta) orang yang hidup

dengan HIV pada akhir tahun 2020, lebih dari dua pertiganya (25,4 juta) berada di

Wilayah Afrika. Pada tahun 2020, 680.000 (480.000-1,0 juta) orang meninggal

karena penyebab terkait HIV dan 1,5 juta (1,0-2,0 juta) orang tertular HIVdan

WHO mencatat 3,8 juta kasus HIV (10%) terjadi di kawasan Asia Tenggara.

(WHO, 2020)

HIV Menyebabakn turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi

HIV, akibat menurunnya kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah

terserang berbagai penyakit (infeksi oportunistik) yang sering berakibat fatal,

pengidap HIV memerlukan pengobatan antiretroviral (ARV) untuk menurunkan

jumlah virus HIV dalam tubuh agar tidak masuk kedalam stadium AIDS,

4
sedangkan pengidap AIDS memerlukan pengobatan ARV untuk mencegah

terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya (Haerati, 2018).

Lost to follow up pada pasien HIV adalah pasien yang drop out pengobata

atau tidak melakukan kunjungan ke klinik dalam waktu 90 hari (3 bulan) atau

kembali ke klinik setelah beberapa saat (Krishnan et al., 2016). Dampak dari lost

to follow up pada pasien HIV/AIDS meningkatkan risiko kematian dampak

lainnya adalah meningkatnya gangguan pengobatan, kejadian kematian lebih

rendah di perkotaan daripada di daerah pedesaan (Zürcher, 2017).

Di Uganda dari 7.553 ODHA yang termasuk dalam sampel 42,8% memulai

ART dalam waktu tujuh hari setelah diagnosis HIV. Ada 1.180 kasus LTFU yang

diamati pada lebih dari 15.807,7 orang-tahun yang berisiko. Tingkat kejadian

keseluruhan (IR) LTFU adalah 7,5% orang tahun pengamatan. Insiden kumulatif

LTFU meningkat dengan durasi tindak lanjut dari 8,9% pada 6 bulan menjadi

20,2% pada 48 bulan (Julius, 2020).

Jumlah ODHA di Indonesia sampai dengan bulan Maret 2021 yang

ditemukan (419.551) dan dilaporkan mencapai 77% dari jumlah estimasi ODHA

hidup (543.100). ODHA yang rutin menerima pengobatan ARV sebanyak 26%

(142.906) dari estimasi ODHA (543.100) dengan LTFU setelah memulai

pengobatan ARV (65.779) sebesar 26% dari ODHA yang pernah memulai

pengobatan ARV (262.693) (Kemenkes RI, 2020).

Untuk menanggulangi ODHA yang LTFU, kementerian kesehatan

menerapkan program STOP (Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan) dengan

harapan tahun 2020, ODHA sebanyak 258.340 dapat kembali mengikuti regiment

5
ARV. Sampai saat ini, target baru tercapai 50% atau sebanyak 17 provinsi mulai

dari Aceh sampai Gorontalo yang melaporkan data telah mengikuti program

STOP dari kemenkes (Kemenkes RI, 2020).

Pekembangan HIV AIDS di Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai bulan

Oktober 2021 tercatat jumlah ODHA sebanyak 3.483 orang, on ART sebanyak

2.363 orang, dan LTFU sebanyak 742 orang dengan Sebaran fasilitas kesehatan

perawatan dukungan dan pengobatan (PDP) di Provinsi NTT Tahun 2021, Dari 22

Kabupaten di NTT tersedia 21 kabupaten/kota layanan PDP,Kota Kupang sebagai

penyumbang tertinggi kasus HIV/AIDS memiliki 3 Rumah Sakit rujukan dengan

jumlah kasus tertinggi yaitu Rumah sakit Prof dr. Wz.Johannes 525 ODHA On

ART menyusul Rumah sakit Wirasakti 208 ODHA on ART dan terakhir Rumah

sakit S.K Lerik 180 O ODHA on ART (Dinkes Prop NTT, 2021).

Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang merupakan

Rumah sakit fasilitas kesehatan perawatan dukungan dan pengobatan (PDP) di

Kota Kupang yang tercatat tertinggi Jumlah ODHA on ART dan Penderita ODHA

Lost to follow up yaitu Data dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr.W.Z. Johannes

Kupang pada bulan November 2016, ODHA yang menggunakan terapi

antiretroviral dari 597 orang, di mana 89 orang (14,9%) berada dalam status

LTFU terapi antiretroviral. Dan pada Oktober 2021 jumlah ODHA 920 orang, on

ART sebanyak 525 orang, dan yang LTFU sebanyak 187 orang (RS. Dr. W.Z.

Johannes Kupang, 2021).

Tantangan penanggulangan AIDS adalah makin banyak ODHA (orang

dengan HIV AIDS) yang kehilangan kontak/informasi karena tidak mau berobat

6
atau mendapat layanan dari fasilitas pelayanan di lapangan (ODHA Lost) hal ini

menyebabkan berhentinya terapi dan meningkatkan risiko kematian pada ODHA.

Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang faktor risiko kejadian lost to follow up ODHA ke layanan VCT RSUD.

Prof. Dr. W.Z. Johannes.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka identifikasi masalah

pada penelitian ini adalah :

1. Terdapat peningkatan kasus Data kasus  HIV/AIDS di Provinsi NTT yang

dihimpun Dinas Kesehatan  Provinsi NTT dari tahun 1997 sampai Maret

2021 terdapat sebanyak 7662 kasus yang tersebar di 22 kabupaten/kota

dengan 1443 orang penderita meninggal dunia.

2. Banyaknya ODHA yang kehilangan kontak/informasi karena tidak mau

berobat atau mendapat layanan dari fasilitas pelayanan di lapangan

(ODHA Lost to Follow UP). Data komulatif Januari – september 2021 ada

742 diprovinsi NTT.

3. Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang merupakan

Rumah sakit fasilitas kesehatan perawatan dukungan dan pengobatan

(PDP) di Kota Kupang yang tercatat tertinggi Jumlah ODHA on ART dan

Penderita ODHA yang Lost to follow up yaitu total ODHA yang on ART

525 dan 187 Odha Lost to follow up dari Total ODHA yang on ART.

7
1.3 Cakupan Masalah

Cakupan dari penelitian ini adalah faktor risiko kejadian lost to follow up

odha ke layanan VCT RSUD. Prof. Dr. W.Z. Johannes.

1.4 Rumusan Masalah

1.4.1 Rumusan Masalah Umum

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah

yang diambil yaitu “Faktor risiko apa sajakah yang berhubungan dengan kejadian

ODHA lost to Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes dan faktor yang

paling dominan memhubungani kejadian ODHA lost to Follow up?”

1.4.2 Rumusan Masalah Khusus

1. Apakah terdapat hubungan usia dengan kejadian ODHA lost to Follow

up kelayanan VCT RSUD. WZ. Yohanes ?

2. Apakah terdapat hubungan jenis kelamin dengan kejadian ODHA lost

to Follow up kelayanan VCT RSUD. WZ. Yohanes?

3. Apakah terdapat hubungan pendidikan dengan kejadian ODHA lost to

Follow up kelayanan VCT RSUD. WZ. Yohanes ?

4. Apakah terdapat hubungan pekerjaan dengan kejadian ODHA lost to

Follow up kelayanan VCT RSUD. WZ. Yohanes ?

5. Apakah terdapat hubungan status perkawinan dengan kejadian ODHA

lost to Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ. Yohanes ?

6. Apakah terdapat hubungan Kadar viral load dengan kejadian ODHA

lost to Follow up kelayanan VCT RSUD. WZ. Yohanes ?

8
7. Apakah terdapat hubungan stadium HIV dengan kejadian ODHA lost

to Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ. Yohanes ?

8. Apakah terdapat hubungan penyakit infeksi oportunistik dengan

kejadian ODHA lost to Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ.

Yohanes ?

9. Apakah terdapat hubungan efek samping ART dengan kejadian ODHA

lost to Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ. Yohanes ?

10. Apakah terdapat hubungan dukungan sosial dengan kejadian ODHA

lost to Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ. Yohanes ?

11. Apakah terdapat hubungan pelayanan di klinik VCT dengan kejadian

ODHA lost to Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ. Yohanes ?

12. Apakah terdapat hubungan pelayanan jarak akses dengan kejadian

ODHA lost to Follow up kelayananVCT di RSUD. WZ. Yohanes ?

13. Apakah terdapat hubungan Jenis transportasi dengan kejadian ODHA

lost to Follow up kelayananVCT di RSUD. WZ. Yohanes ?

14. Apakah terdapat hubungan biaya dengan kejadian ODHA lost to

Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ. Yohanes ?

15.

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisis faktor risiko yang berpengaruh pada kejadian ODHA

lost to Follow up ke layanan VCT di Nusa Tenggara Timur

9
1.5.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis hubungan faktor usia dengan kejadian ODHA lost to

Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

2. Menganalisis hubungan jenis kelamin dengan kejadian ODHA lost to

Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

3. Menganalisis hubungan pendidikan dengan kejadian ODHA lost to

Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

4. Menganalisis hubungan pekerjaan dengan kejadian ODHA lost to

Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

5. Menganalisis hubungan status perkawinan dengan kejadian ODHA lost

to Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

6. Menganalisis hubungan viral load dengan kejadian ODHA lost to

Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

7. Menganalisis hubungan stadium HIV dengan kejadian ODHA lost to

Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ. Yohanes

8. Menganalisis hubungan penyakit infeksi oportunistik dengan kejadian

ODHA lost to Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ. Yohanes

9. Menganalisis hubungan efek samping ART dengan kejadian ODHA lost

to Follow up kelayanan VCT di RSUD. WZ. Yohanes

10. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan kejadian ODHA

lost to Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

10
11. Menganalisis hubungan Pelayanan di klinik VCT dengan kejadian

ODHA lost to Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes

Kupang

12. Menganalisis hubungan jarak akses dengan kejadian ODHA lost to

Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

13. Menganalisis hubungan Jenis transportasi dengan kejadian ODHA

lost to Follow up kelayananVCT di RSUD. WZ. Yohanes

14. Menganalisis hubungan biaya dengan kejadian ODHA lost to Follow

up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan dapat

digunakan sebagai acuan kajian pustaka untuk menambahan wawasan, dan

memperkaya khasanah keilmuan, khususnya di bidang ilmu kesehatan tropis dan

pencegahan penyakit menular

1.6.2 Manfaat Aplikatif

Hasil dari penelitian ini bisa menjadi masukan pada program

pengendalian HIV/AIDS tentang faktor risiko kejadian lost to follow up sehingga

dapat dimanfaatkan oleh pemangku kebijakan di Dinas Kesehatan, Rumah sakit,

institusi kesehatan, dan lembaga yang bergerak dalam upaya penanggulangan

HIV/AIDS untuk merancang program dalam upaya mencegah terjadinya lost to

follow up HIV khususnya diwilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

11
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS, KERANGKA KONSEP,

DAN HIPOTESIS PENELITIAN

12
2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Uraian HIV AIDS

2.1.1.1. Pengertian

HIV/AIDS adalah singkatan dari Human Immunodefiency Virus yaitu

virus yang menyebabkan AIDS (Acquired Immnune Deficiency Syndrome). AIDS

adalah tahap lanjut dari infeksi HIV yang menyebabkan beberapa infeksi lainnya.

Virus akan memperburuk sistem kekebalan tubuh dan penderita HIV/AIDS akan

berakhir dengan kematian dalam waktu 5-10 tahun kemudian jika tanpa

pengobatan yang cukup. HIV adalah organisme patogen yang menyebabkan AIDS

retro virus yang menyebabkan HIV, menular melalui darah, serum, semen,

jaringan tubuh dan cairan tubuh lainnya (Najmah, 2016).

Human Immunodefiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang atau

menginfeksi sel darah putih menyebabkan kekebalan tubuh manusia menurun.

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit

yang muncul karena menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh

HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah

terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik) yang sering berakibat

fatal. Pengidap HIV memerlukan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya

infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya (Kemenkes RI, 2016).

2.1.1.2. Manifestasi Klinis

Berdasarkan gambaran klinik WHO (2006) dalam Amin & Hardhi, (2016):

Tanpa gejala : Fase klinik 1

Ringan : Fase klinik 2

13
Lanjut : Fase klinik 3

Parah : Fase klinik 4

Fase Klinik HIV

1. Fase klinik 1

Tanpa gejala, limfadenopati (gangguan kelenjar/pembuluh limfe)

menetap dan menyeluruh.

2. Fase klinik 2

a) Penurunan BB (10%) tanpa sebab.

b) Infeksi saluran pernafasan atas (sinusitis, tonsillitis, otitis media,

pharyngitis) berulang.

c) Herpes zoster.

d) Infeksi sudut bibir dan ulkus mulut berulang.

e) Seborrhoic dermatitis.

f) Infeksi jamur pada kuku.

3. Fase klinik 3

a) Penurunan BB (10%) tanpa sebab.

b) Diare kronik tanpa sebab sampai >1 bulan.

c) Demam menetap (intermitten atau tetap >1 bulan).

d) Kandidiasis oral menetap.

e) TB pulmonal (baru).

f) Plak putih pada mulut.

g) Infeksi bakteri berat : pneumonia empyema (nanah dirongga tubuh

terutama pleura, abses pada otot skelet, infeksi sendi atau tulang).

14
h) Meningitis.

i) Bakterimia.

j) Gangguan inflamasi berat pada pelvic.

k) Acute nercrotizing ulcerative stomatitis.

l) Gingivitis atau periodontitis anemia yang penyebabnya tidak

diketahui (<8 g/dL).

m)Neutropenia (<0,5 x 109/l) dan atau trombositopenia kronik (<50 x

109/l).

4. Fase klinik 4

a) Gejala menjadi kurus (HIV wasting syndrome).

b) Pneumocystis pneumonia (pneumonia karena pneumocystis carinii)

c) Pneumonia bakteri berulang’infeksi herpes simplek kronik

(orolabial, genital atau anorektal >1 bulan) Oesophageal

candidiasis.

d) TBC ekstrapulmonal.

e) Cytomegalovirus.

f) Toksoplasma di SSP.

g) HIV encephalopathy.

h) Meningitis.

i) Lymphoma, invasive cervical carcinoma.

j) Leukoencephalopathy.

Tabel 2.1 Fase-fase infeksi HIV dan AIDS


15
Fase Lama Fase Antibodi yang Gejala-gejala
terdeteksi
1) Periode jendela 4 minggu – 6 Tidak Tidak ada
minggu bulan
infeksi
2) Infeksi HIV 1-2 minggu Mungkin Sakit seperti flu
primer akut

3) Infeksi 1-15 tahun atau Ya Tidak ada


Asimptomatik lebih

4) Supresi imun Sampai 3 tahun Ya Demam, keringat pada


Simptomatik malam hari, BB turun,
diare, neuropatik,
keletihan, ruam kulit,
limfadenopati,
perlambatan kognitif
dan lesi oral.
5. AIDS 1-5 tahun dari Ya Infeksi oportunistik
pertama berat dan tumor,
penentuan manifestasi neurologic
kondisi AIDS

(Sumber: Grimes E& St. Louis. Mosby Year Book. 1991 dalam Amin &
Hardhi, 2016).

Menurut Najmah (2016), Infeksi HIV memiliki 4 stadium sampai nantinya

menjadi AIDS yaitu sebagai berikut:

a. Stadium I

Belum menunjukkan gejala dan dalam hal ini pasien dengan HIV tidak

menunjukkan gejala klinis yang berarti, sehingga pasien akan tampak sehat

seperti orang normal dan mampu melakukan aktifitasnya seperti biasanya.

16
b. Stadium II

Sudah mulai menunjukkan gejala yang ringan dan gejala ringan seperti

penurunan berat badan kurang dari 10%, infeksi yang berulang pada saluran

nafas dan kulit.

c. Stadium III

Pasien sudah tampak lemah, gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan,

enderita akan mengalami penurunan berat badan yang lebih berat, diare yang

tidak kunjung sembuh, demam yang hilang timbul dan mulai mengalami

infeksi jamur pada rongga mulut bahkan infeksi sudah menjalar ke paru-paru.

d. Stadium IV

Pasien akan menjadi AIDS, aktivitas pasien akan banyak dilakukan di tempat

tidur karena kondisi dan keadaannya sudah mulai lemah dan infeksi mulai

bermunculan dimana-mana dan cenderung berat.

2.1.1.3. Tata laksana

Penatalaksanaan untuk kasus HIV (human immunodeficiency virus) adalah

dengan memberikan terapi antiretroviral (ARV) yang berfungsi untuk mencegah

sistem imun semakin berkurang yang berisiko mempermudah timbulnya infeksi

oportunistik. Hingga kini, belum terdapat penatalaksanaan yang bersifat kuratif

untuk menangani infeksi HIV. Walau demikian, terdapat penatalaksanaan HIV

yang diberikan seumur hidup dan bertujuan untuk mengurangi aktivitas HIV

dalam tubuh  penderita sehingga memberi kesempatan bagi sistem imun, terutama

CD4 untuk dapat diproduksi dalam jumlah yang normal. Pengobatan kuratif dan

vaksinasi HIV masih memerlukan penelitian lebih lanjut (WHO, 2016).

17
Pada lingkungan perawatan kritis, prosedur-prosedur isolasi tambahan

seperti tindakan kewaspadaan neutropenik mungkin diperlukan untuk mencegah

tenaga perawatan kesehatan dari penularan organisme lingkungan yang umum

kepada pasien dengan AIDS. Infeksi stafilokokus adalah perhatian utama pada

lingkungan perawatan kritis. Pasien-pasien dengan AIDS yang terinfeksi oleh

bakteri ini akan mengalami septic, yang ditandai oleh demam, hipotensi, dan

takikardi. Tindakan-tindakan pengendali infeksi yang aman untuk mencegah

kontaminasi bakteri dan komplikasi-komplikasi yang mengakibatkan sepsis harus

dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan krisis (WHO, 2016).

2.1.2. VCT

2.1.2.1. Definisi VCT

VCT merupakan pelaksanaan konseling pra testing, testing, dan konseling

post testing HIV yang bersifat rahasia dan secara lebih dini membantu orang

mengtahui status HIV yang penting untuk pencegahan dan perawatannya

(Kemenkes RI, 2018).

Ada dua kegiatan utama dalam program VCT yaitu konseling dan testing.

Seorang konselor VCT harus mendapat pelatihan khusus dengan standar nasional.

Konseling post testing di VCT dibedakan menjadi konseling untuk tes HIV positif

dan konseling untuk tes HIV negative.

2.1.2.2. Tujuan VCT

18
Tujuan dari program VCT adalah pencegahan penularan dari ibu ke anak,

pencegahan dan manajemen klinis segala penyakit yang diakibatkan oleh

HIV/AIDS, serta memberikan dukungan psikologi dan hukum. Program VCT

bertujuan mendorong seseorang yang tanpa keluhan untuk mengetahu tentang

HIV sehingga dapat mencegah kemungkinan tertular HIV, mengubah persepsi

ODHA tentang HIV/AIDS merupakan vonis kematian, serta memberikan

informasi VCT tentang tes, pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS (Kemenkes

RI, 2018).

2.1.2.3. Peran VCT

VCT merupakan strategi kesehatan masyarakat sebagai pintu masuk

seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan yang memberikan layanan

dini dan memadai bagi pasien dengan HIV positif maupun negative. VCT

merupakan pencegahan primer melalui konseling dan KIE (komunikasi,

informasi, dan edukasi) tentang pemahaman HIV, pencegahan dari ibu ke anak

dan akses terapi pada infeksi yang diakibatkan HIV/AIDS.

Prinsip VCT Pemeriksaan VCT berdasarkan pada beberapa prinsip, yaitu

sukarela dalam melaksanakan testing, pelaksanaan dan test rahasia hanya

diketahui konselor/petugas dan klien, Harus dengan konseling, dan adanya

persetujuan dari klien dalam bentuk inform consent. Pemeriksaan testing dalam

VCT bersifat sukarela, yaitu klien dapat memilih untuk mengikuti testing ataupun

tidak tanpa paksaan dari pihak manapun. Pelayanan VCT yang mencakup

konseling dan testing bersfiat rahasia, sehingga dalam pelaksanaannya baik

pelaksanaan maupun hasil dari pelayanan VCT tersebut hanya diketahui oleh

19
klien dan petugas yang bertugas. Sebelum memutuskan untuk mengikuti testing

VCT, klien harus mendapatkan konseling terlebih dahulu agar klien memahami

prosedur dan tujuan dari testing VCT. Dalam pemeriksaan VCT, apabila klien

setuju untuk dilakukan testing, klien harus menandatangani inform consent

sebagai bukti dokumentasi persetujuan dilakukannya testing VCT (Kemenkes RI,

2018).

2.1.2.4. Pelaksanaan VCT

Pelaksanaan VCT mencakup konseling pra testing, testing, dan konseling

pasca testing yang merupakan komponen pelaksanaan dari komponen pelayanan

kesehatan. Komponen pelaksanaan merupakan aktvitas dari seluruh karyawan dan

tenaga profesi dalam interaksinya dengan pelanggan, baik pelanggan internal

(sesama petugas atau karyawan) maupun pelanggan eksternal (pasien, pemasok

barang, masyarakat yang datang ke Puskesmas atau rumah sakit untuk maksud

tertentu) (Nursalam 2016).

Komponen pelaksanaan merupakan pendekatan langsung terhadap mutu

pelayanan kesehatan. Semakin patuh petugas (profesi) terhadap standar

pelayanan, maka semakin bermutu pula pelayanan kesehatan yang diberikan.

Sebuah pelaksanaan adalah interaksi kegiatan dalam sebuah organisasi.

Kebanyakan pelaksanaan terus menerus dalam sebuah organisasi dengan

persyaratan input pasti dan outcome yang dihasilkan. Baik tidaknya komponen

pelaksanaan dapat diukur dari relevan tidaknya pelaksanaan itu bagi pasien,

fleksibel dan efektifitas, Mutu pelaksanaan itu sendiri sesuai dengan standar

20
pelayanan (Nursalam, 2016). Pelaksanaan VCT dikatakan baik apabila memenuhi

75% dari standar yang ditentukan.

2.1.3. Terapi ARV

2.1.3.1. Definisi ARV

Antiretroviral (ARV) atau antiretroviral terapi (ART) adalah obat untuk

mengatasi AIDS. Obat ini tidak dapat menyembuhkan AIDS, hanya dapat

memperlambat perkembangan HIV pada tahap awal. ARV telah terbukti mampu

memperpanjang masa hidup penderita dan memperbaiki kualitas hidup penderita.

ARV di minum seumur hidup oleh seseorang yang terinfeksi HIV dan AIDS

(Nursalam, 2016).

2.1.3.2. Tujuan Pemberian ARV

Menurut Nursalam, tujuan pemberian ARV adalah :

1. Menghentikan replikasi HIV.

2. Memperbaiki kualitas hidup

3. Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV.

4. Memulihkan system imun dan.

5. Mengurangi terjadiny infeski oportunistik (Nursalam, 2016)

6. Menemukan kombinasi pengobatan yang tepat pada dosis yang tepat

yang cukup untuk melawan HIV dalam tubuh tetapi tidak menimbulkan

efek samping (Barus, 2017).

2.1.3.3. Kriteria Memulai ARV

1. Kriteria Inklusi Medis menurut (WHO) dalam Nursalam :

21
a. HIV positif

b. Semua kasus stadium klinik jika sudah memasuki stadium VI tanpa

memperhatikan hasil hitung CD4.

c. Stadium Klinik II-III dan nilai hitung limfosit total <1200/ui.

Informasi terkait nilai CD4 tidak selalu diperlukan saat memulai

ART, tetapi diperlukan saat Tindakan lanjut dalam perkembangan

pasien.

2. Kreteria Inklusi nonmedis :

a. Adanya kepatuhan.

b. Adanya kesinambungan.

c. Adanya pendampingan dan lain-lain.

3. Saat belum memulai ARV, ada beberapa hal yang harus diperhatikan

antara lain:

a. Menentukan HIV positif

b. Melakukan evaluasi klinis :

1) Menentukan stadium sesuai dengan WHO.

2) Mendiagnosa dan mengobati infeksi oportunistik.

3) Adanya infeksi oportunistik dan patuh dalam meminum obat.

4) Mempertimbangkan dalam kepatuhan meminum obat.

(Nursalam, 2016).

2.1.3.4. Syarat Memulai ARV

Beberapa persyaratan memulai ARV menurut Nursalam, adalah :

1. Adanya infeksi HIV yang telah dikonfirmasi dengan hasil tes positif

22
yang tercatat.

2. Ada indikasi medis, jika tidak ada indikasi klinis, maka jangan

memulai ARV. Tetapi melakukan pemeriksaan ulang CD4 setiap 4

bulan jika memungkinkan.

3. Pasien yang memenuhi syarat dapat memulai di pelayanan kesehatan.

4. Infeksi oportunistik harus diobati dan stabil.

5. Pasien yang siap dalam pengobatan ART:

a. Pasien memahami akan terapi ART, memahami efek samping yang

timbul, diperlukan dalam pengobatan tinggi, dan pasien

menginginkan pengobatan.

b. Pasien siap dan patuh dalam mengkonsumsi obat ART.

c. Pasien berperan aktif dalam merawat dirinya sendiri.

d. Dukungan dari keluarga dan masyarakat.

e. Tersedianya kelompok dukungan sebaya.

f. Mengenali adanya kemungkinan dalam ketidakpatuhan.

6. Tim medis AIDS mampu memberikan perawatan kronis.

7. Tersedianya obat (Nursalam, 2016).

2.1.3.5. Cara Kerja ARV

Jenis obat ARV mempunyai target yang berbeda pada silkus replikasi HIV

yaitu (Nursalam, 2016) :

1. Entry atau saat masuk, HIV masuk kedalam sel T untuk merusak, HIV

melekat pada sel lalu menyatu dengan membrane luar sel, membutuhkan

bantuan enzim reverse trascriptase. Enzim enzim reverse trascrip-


23
tase bisa dihalangan dengan jenis obat ARV seperti AZT, ddC, 3TC

dan D4T. Enzim protease dapat dihalangi obat Saquinavir, Ritronavir

dan Indinivir.

2. Early replication. HIV mengabil alih genetic sel T. HIV mengalami

masalah dengan kode genetic di sebut RNA, sedangkan manusia DNA.

Sehingga HIV membuata enzim reverse transcriptase (RT) menyalin

RNA menjadi DNA. Obat Nucleose RT inhibitors membuat enzim

reverse transcriptase menjadi cacat sehingga menjadi tidak berfungsi.

3. Late replication. Setelah HIV berubah menjadi DNA, DNA HIV akan

mengunting DNA yang belum terinfeksi HIV dan menyambungnya. Alat

penyambung adalah enzim integrase, maka obat integrase inhibitor

dibutuhkan untuk menghalangi dalam proses penyambungan DNA HIV

dengan DNA yang belum terinfeksi HIV untuk menekan meningkatnya

HIV dalam tubuh orang dengan HIV dan AIDS.

4. Assmbly atau penyatuan. Ketika HIV mengambil alih bahan genetic sel,

sel akan diatur untuk membuat potongan virus baru. potongan virus

baru harus dalam ukuran yang benar dan memerlukan enzim protease

HIV, sehingga memerlukan obat protease inhibitor untuk menghalangi

penyambungan.

2.1.3.6. Jenis Obat ARV


Beberapa jenis obat ARV :

1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI).

Obat NRTI sebagai analog nukleosida dapat menghambat proses

24
perubahan RNA virus menjadi DNA (proses ini dilakukan oleh virus

HIV untuk bereplikasi).

Tabel 2.2. Contoh Beberapa Obat ARV NRTI

Nama Generik Nama Dagang Nama Lain


Zidovudine Retrovir AZT, ZCV
Didanosine Videx Ddi
Zalzitabine Hivid ddC,
dideokxycytidine
Stavudine Zerit D4T
Lamivudine Epivir 3TC
Zidovu dine/ Combivir Kombinasi AZT dan
Lamivudine 3TC
Abacavir Ziagen ABC
Zidavu dine/ Trizivir Kombinasi AZT, 3TC,
Lamivudine/Abacavir dan Abacavir
Tenofavir Viread Bis-pac PMPA
(Nursalam. 2016)
2. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI). Termasuk

golongan tenofovir (TDF).

3. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI).

Bekerja menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan

cara mengikat reverse transcriptase untuk tidak berfungsi.

Tabel 2.3. Contoh Obat NNRTI

Nama Generik Nama Dagang Nama Lain


Nevirapine Viramune NVP, BI-RG-587
Delavirdine Rescriptor DLV
Efavirenz Sustiva EFV, DMP-266
(Nursalam. 2016)
4. Protease inhibitor.

Menghalangi kerja enzim protease, berfungsi memotong DNA yang

dibentuk oleh virus. Adapun salah satu contoh golongan obat ini ialah
25
loponavir atau ritonavir (LPV/r), indinavir (IDV), amprenavir (APV),

nelvinavir (NFV), ritonavir (RTV) dan squinavir (SQV).

5. Fusion inhibitor termasuk golongan nenfuvirtide (T 20)

2.1.3.7. Jenis Profilaksis

Menurut Kemenkes 2016 tujuan pemberian profilaksis kotrimoksasol

adalah untuk melindungi ODHA dari beberapa IO (Infeksi Oportunistik) seperti

PCP, Toksoplasmosis, infeksi bacterial dan diare kronis. Terdapat dua macam

profilaksis, yaitu :

1. Profilaksis primer untuk mencegah infeksi yang belum pernah

didapatkan.

2. Profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan dari infeksi yang

sama.

Profiliaksis sekunder diberikan segera setelah seseorang selesai

mendapatkan pengobatan IO. Sebagai contoh, seorang menderita PCP, maka

setelah selesai mendapatkan pengobatan PCP dan sembih maka kotrimoksasol

diberikan sebagai profiliaksis sekunder.

Selain pemberian profilaksis kotrimoksasol untuk mencegar timbulnya IO,

perlu juga menerapkan pola hidup sehat (menjaga kebersihan pribadi maupun

lingkugan seperti mencuci tangan, makan masakan yang sudah matang). Selain itu

perlu juga imunisasi untuk mencegah penyakit – penyakit yang bisa dicegah oleh

imunisasi (misal imunisasi Hepatitis B).

Panduan pelaksanaan profiaksis kontrimoksasol (Kemenkes RI, 2016):

1. Pengobatan Pencagahan Kotrimoksasol (PPK) merupakan bagian

26
penting dari rencana pengobatan bagi ODHA.

2. PKK diberikan pada ODHA dengan stadium klinis 2, 3 dan 4 pada

CD4<200 sel/ mm3 atau stadium klinis 3 dan 4 tidak tersedia

pemeriksaan CD4

3. Dosis PPK untuk orang dewasa 1 x 960 mg (dua tablet atau satu tablet

forte)

4. Efek samping yang timbul anatara lain ruam kulit (alergi) dari tingkat

ringan sampai berat. Bila timbul ruam kulit yang luas atau basah disertai

gejala sistemik seperti demam, secepatnya mencari pertolongan.

5. Desensitisasi tidak dianjurkan pada pasien dengan riwayat alergi berat

(Steven Johnson Syndrome).

6. Kontrimoksasol tidak menggantikan terapi ARV. Oleh karena itu perlu

direncanakan pemberian ARV setelah kotrimoksasol, idealnya sekitar 2

minggu setelah pemberian kotrimoksasol.

7. Prodilaksis kotrimoksasol tetap diberikan walaupun pasien mendapatkan

pengobatan untuk IO-nya.

8. Profiliasis kotrimoksasol dihentikan satu tahun setelah pasien sehat

kembali dengan tingkat kepatuhan minimum obat ATV baik dan CD4 >

200 setelah pemberian terapi ARV pada 2 kali pemeriksaan berturut –

turut.

2.1.3.8. Alasan mengganti ARV

Beberapa alasan jika mengganti ARV adalah:

1) Adanya efek samping yang tidak tertahan.

27
2) Adanya kegagalan terapi.

3) Jika tidak ada efek mungkin mengganti satu obat pada lini pertama

dengan obat lain (substitusi)

4) Terjadinya resistensi (Nursalam, 2016).

2.1.3.9. Efek samping Terapi ARV

1. Efek samping berdasarkan klas ARV

a. NRTI, umumnya memiliki efek samping asidosis laktat, biasanya

gejala yang muncul adalah volmiting, muntah, nyeri pada daserah

perut, adanya hepatomegaly, fatigue, penurunan berat badan secara

cepat tanpa di katahui penyebabnya, dispneu atau takipneu.

b. NNRTI, adanya ruam pada kulit dan hepatitis, ruam pada kulit pada

umumnya terjadi pada wanita, biasanya terjadi setelah

mengkonsumsi obat jenis NNRTI setelah empat minggu pertama

(Nursalam, 2016).

2. Efeksamping berdasarkan jenis obat ARV.

Tabel 2.4 Efek samping berdasarkan jenis obat ARV

Jenis obat ARV Efek Samping


NRTI Stavudine Pangkreatitis, asidosis laktat, hepatitis,
neuropati periver, lipodistrifi.
Zidovudine Anemia, neutropenia, intolensi gastro-
intestinal, sakit kepala, sulit tidur,
miopati, asidosis laktat.
Lamivudine Asidosis laktat (jarag)
Didanosine Pangkratitis, neuropati perifer, limpatrofi,
asidosis laktat (jarang)
NNRTI NVP Ruam pada kulit, hepatitis.
EFV Tetatogenik (jarang di berikan pada usia
mudah yang masih dalam
usia reproduksi).
28
PI Nelfinavir (NFV) Diare, hiperglikemi, perpindahan lemak
(lipodistrofi), kelainan lipid.
(Nursalam, 2016).

2.1.3.10. Keberhasilan Terapi ARV

1. Kreteria klinis terlihat membaik infeksi oportunistik berkurang.

2. Kreteria CD4

3. Kreteria viral (Nursalam, 2016)

2.1.3.11. Kegagalan Terapi ARV

Kriteria gagal terapi, ditentukan berdasarkan kriteria klinis, imunologis

maupun virologis. Pada tempat dimana tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4

dan atau viral load, maka diagnosa kegagalan terapi menurut gejala klinis dapat

dilakukan. Sebaliknya pada tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan

CD4 dan atau viral load, maka diagnosa kegagalan terapi ditegakkan dengan

panduan pemeriksaan CD4 dan atau viral load setelah pemeriksaan fisik dijumpai

tampilan gejala klinis yang mengarah pada kegagalan terapi. Dua macam kriteri

kegagalan terapi, yang pertama adalah yang menggunakan pemeriksaan CD4 dan

VL sebagai dasar penentuan (kriteria WHO) dan yang menggunakan pemeriksaan

klinis sebagai dasar penentuan gagal terapi (utamanya digunakan pada tempat

yang tidak memiliki sarana pemerikasaan CD4 dan VL).

Kegagalan terapi menurut kriteria WHO

1. Kegagalan klinis:

Munculnya Infesi Oportunistik dari kelompok stadium 4 setelah

minimal 6 bulan dalam terapi ARV. Beberapa penyakit yang termasuk

29
dalam stadium klinis 3 (TB paru, infeksi bakteri berat) dapat

merupakan petunjuk kegagalan terapi.

2. Kegagalan Imunologis

Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan

mempertahankan jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi

penurunan/ penekanan jumlah virus. Disebut gagal virologis jika viral

load tetap > 5.000 copies/ml atau viral load menjadi terdeteksi lagi

setelah sebelumnya tidak terdeteksi. Kriteria klinis untuk gagal terapi

yang timbul dalam 6 bulan pertama pengobatan tidak dapat dijadikan

dasar untuk mengatakan gagal terapi.

Perlu dilihat kemungkinan penyebab lain timbulnya keadaan klinis

tersebut, misal IRIS. Kriteria virologi dimasukkan dalam menentukan

kegagalan terapi di buku ini, untuk mengantisipasi suatu saat akan

tersedia sarana pemeriksaan viral load yang terjangkau. Viral load

masih merupakan indikator yang paling sensitif dalam menentukan

adanya kegagalan terapi. Kadar viral load yang optimal sebagai

batasan untuk mengubah paduan ARV belum dapat ditentukan dengan

pasti. Namun >5.000 copies/ml diketahui berhubungan dengan progresi

klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4 (Nursalam, 2016).

2.1.2. Definisi Lost to Follow Up

30
Pasien HIV/AIDS Lost to follow up atau disingkat dengan LTFU

merupakan salah satu klasifikasi pasien HIV/AIDS yang sedang menerima

terapi ARV. LTFU berkaitan erat dengan kepatuhan pasien. Namun, dua hal

tersebut mempunyai arti yang berbeda. Jika LTFU adalah ketidakhadiran pasien

ke klinik VCT untuk kontrol dan mengambil obat, sedangkan ketidakpatuhan

adalah pasien tidak meminum obat sesuai aturan dengan berbagai alasan

meskipun datang ke klinik dan mengambil obat secara rutin (Udeagu et al dalam

Sarah, 2018).

LTFU adalah pasien yang tidak melakukan kunjungan ke klinik dalam

waktu 90 hari (3 bulan) atau kembali ke klinik setelah beberapa saat (Krishnan et

al., 2016). Program pengobatan ARV di Indonesia menetapkan jika pasien LTFU

adalah pasien yang tidak berkunjung kembali 3 bulan atau lebih dari kunjungan

terakhir. Penentuan tanggal kunjungan terakhir di pelayanan tersebut sebagai

waktu penetapan LTFU.

LTFU terbagi menjadi dua yaitu LTFU permanen dan LTFU sementara.

Pasien LTFU permanen adalah jika pasien tidak melakukan kunjungan ke klinik

dalam waktu 90 hari kemudian tidak pernah berkunjung kembali, sedangkan

pasien yang tidak melakukan kunjungan ke klinik dalam waktu 90 hari kemudian

berkunjung kembali setelah beberapa saat disebut dengan LTFU sementara. Obat

ARV harus diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan yang tinggi (>95%)

sehingga petugas kesehatan perlu untuk membantu pasien agar dapat patuh

minum obat. ODHA harus minum obat rata-rata sebanyak 60 kali dalam sebulan,

maka pasien diharapkan tidak lebih dari 3 kali lupa minum obat. Sebagian dari

31
pasien LTFU memiliki riwayat ketidakpatuhan terapi ARV. Cara pemberian terapi

ARV (4S start, substitute, switch, dan stop) terdapat dalam Pedoman Pengobatan

Antiretroviral Kemenkes Tahun 2014.

2.1.3. Dampak LTFU Terapi ARV

Penggunaan ARV pada ODHA merupakan salah satu upaya untuk

memperpanjang harapan hidup ODHA. ARV bekerja dengan menekan

progresifitas penyakit HIV, menekan replikasi virus, sehingga mampu

menurunkan viral load dan meningkatkan jumlah CD4. Meskipun ARV belum

mampu menyembuhkan penyakit atau membunuh HIV, namun terapi ARV telah

mampu memulihkan sistem imun pasien. Hal ini mengakibatkan infeksi

oportunistik menjadi jarang, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat

HIV/AIDS, sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup ODHA (Kemenkes RI,

2016).

Secara umum pemberian terapi ARV diberikan dalam bentuk kombinasi

yang harus dikonsumsi seumur hidupnya. ODHA yang mengalami LTFU akan

memberikan efek, baik itu efek klinis maupun program terapi ARV. Pada

tingkatan klinis, kelanjutan terapi ARV ODHA yang LTFU tidak akan dapat

dievaluasi. Bagi ODHA yang memutuskan untuk berhenti mengikuti terapi, akan

memiliki risiko kematian yang lebih besar. Hal ini disebabkan sistem imun yang

awalnya dikendalikan oleh terapi ARV akan menjadi semakin buruk, sehingga

ODHA rentan terhadap infeksi oportunistik dan berakibat pada kematian. Selain

itu HIV akan menjadi resisten dan akan menjadi kebal terhadap ARV. Akibatnya

32
jika ODHA memutuskan untuk kembali mengikuti terapi, kemungkinan ODHA

akan mengalami kegagalan terapi di lini 1 sehingga harus beralih ke lini 2. Akan

tetapi apabila ODHA sudah sampai di lini 2 tetapi kembali terjadi kegagalan

terapi, ARV sudah tidak mampu mengendalikan replikasi HIV. Dengan kata lain

akan terjadi resistensi obat, sehingga ARV tidak lagi dapat berfungsi atau terjadi

kegagalan terapi ARV. Selain itu, adanya LTFU akan mengakibatkan risiko

penularan yang lebih tinggi. ODHA yang tidak mengikuti terapi ARV atau

berhenti mengikuti terapi ARV akan memiliki risiko untuk menularkan virusnya

pada orang lain. Pada tingkat program, LTFU akan menyebabkan kesulitan untuk

mengevaluasi efektivitas terapi (Kemenkes RI, 2016).

2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Lost to Follow Up

Berdasarkan teori dari Lawrence Green, kesehatan seseorang atau

masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor perilaku (behavior

causes) dan faktor yang di luar perilaku (non-behavior causes). Faktor perilaku

dibagi menjadi 3 faktor lain yaitu faktor predisposisi (predisposing), penguat

(reinforcing), dan pemungkin (enabling).

1. Faktor Predisposisi (Predisposing)

Faktor predisposisi (predisposing) adalah faktor pendorong perilaku yang

berasal dari unsur-unsur yang ada di dalam diri seseorang. Faktor predisposisi

yang mempengaruhi kejadian LTFU adalah:

a. Usia

33
Usia yang semakin muda akan meningkatkan risiko ODHA untuk gagal

follow-up. Kemungkinan ODHA gagal follow-up pada umur yang lebih

muda dikarenakan penolakan psikologis bahwa mereka telah terinfeksi

HIV mereka mencoba mencari alternatif pengobatan lain. Penelitian lain

menunjukkan bahwa ODHA dengan usia < 30 tahun lebih berisiko untuk

gagal follow-up (Manowati, 2019).

b. Jenis Kelamin

Kemungkinan laki-laki lebih berisiko untuk gagal follow-up dikarenakan

perempuan cenderung lebih memperhatikan masalah kesehatan

dibandingkan laki-laki. Selain itu telah ada layanan kesehatan khusus bagi

perempuan terutama masalah kesehatan reproduksi dan anak, sementara

belum ada layanan kesehatan yang dikhususkan untuk laki-laki

(Manowati, 2019).

c. Pendidikan

Pendidikan sangat berkaitan erat dengan pengetahuan yang memengaruhi

pola pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,

semakin baik pula pengetahuan yang dimiliki. Pasien HIV dengan

pendidikan lebih tinggi cenderung berpikir jangka panjang, memikirkan

ancaman yang akan didapat jika tidak melanjutkan terapi, lebih mudah

menerima informasi baik dari media massa, kampanye, atau nasehat orang

lain sehingga memhubungani perilaku dalam mengikuti terapi. Kejadian

lost to follow up lebih banyak pada ODHA dengan pendidikan lebih

rendah (Krishnan et al., 2016).

34
d. Pendapatan

ODHA yang memiliki pendapatan yang rendah akan lebih berisiko

untuk loss to follow up, dan ada pula interaksi yang signifikan antara

pendapatan yang rendah dengan kadar CD4 yang rendah saat memulai

terapi. ODHA dengan kadar CD4 yang rendah dan dengan pendapatan

yang rendah akan lebih meningkatkan risiko untuk loss to follow up

dibandingkan pengaruh kedua faktor ini secara mandiri (Yudhi, 2016).

e. Pekerjaan

Responden yang bekerja memiliki kecenderungan untuk loss to follow

up. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti responden

tidak bisa pergi ke layanan karena sibuk bekerja dan tetap bekerja

tanpa memperhatikan kondisi kesehatannya. Responden merasa

terganggu dengan efek samping yang ditimbulkan oleh ARV

jika diminum sebelum bekerja. Di samping itu, responden tidak mengurus

rujuk keluar terapi ARV ketika bekerja di luar kota, sehingga loss to

follow up. Kemudian responden yang sudah pulang bekerja dari

luar kota tidak meneruskan ART dengan alasan responden masih

merasa sehat dan biaya cek lengkap awal yang dirasa cukup mahal.

Kemudian setelah kondisi kesehatan responden semakin memburuk,

responden tergerak untuk meneruskan ART kembali (Yudhi, 2016).

f. Status Perkawinan

Status kawin tidak hanya bagi mereka yang kawin sah secara hukum (adat,

agama, negara dan sebagainya) tetapi juga mereka yang hidup bersama

35
dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sebagai suami istri (BPS-RI,

2019).

g. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

perilaku seseorang, dengan kata lain pengetahuan mempunyai pengaruh

sebagai motivasi awal bagi seseorang dalam berperilaku.Semakin

responden tahu pentingnya memakai kondom dalam upaya pencegahan

IMS maka semakin konsisten dalam penggunaan kondom saat

berhubungan seksual (Yuni Sri Utami, 2016).

h. Kadar Viral Load

Viral load adalah istilah yang digunakan untuk merujuk jumlah /

banyaknya virus di dalam darah seseorang. Jadi viral load HIV adalah

jumlah / banyak virus HIV yang ada di dalam tubuh atau seseorang yang

telah terinfeksi HIV. Untuk mengetahui jumlah suatu virus tersebut maka

dilakukan Tes Viral Load pada Orang dengan HIV AIDS atau ODHA.

Tes Viral Load pada ODHA dapat dipakai untuk melihat efektivitas

pengobatan pada ODHA. Tes Viral load idealnya dilakukan kepada pasien

yang sudah melakukan pengobatan pada 6 bulan pertama, kemudian 12

bulan berikutnya dan kemudian bisa dilakukan secara rutin 12 bulan sekali

atau juga pada ODHA yang dicurigai mengalami kegagalan pengobatan.

Hasil viral load diatas 100.000 copy/ml menunjukkan jumlah virus yang

tinggi di dalam darah. Hasil viral load dibawah 10.000 copy/ml

menunjukkan jumlah virus dalam darah rendah. Hasil viral load dibawah

36
20 copy/ml menunjukkan bahwa virus tidak terdeteksi. Viral load yang

semakin sedikit menunjukkan bahwa ODHA memeliki risiko yang

semakin kecil untuk menularkan HIV kepada orang lain (Dinkes DIY,

2021).

i. Stadium Klinis

WHO-stage adalah tingkatan stadium klinis penyakit HIV/AIDS.

Peningkatan stadium pada HIV juga menunjukkan peningkatan gejala dan

keparahan. Pada stadium III dan IV, sudah nampak gejala klinik yang

jelas. Pasien dengan stadium III atau IV, tidak memungkinkan untuk

melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan karena kondisi fisik yang

lemah sehingga cenderung pasrah pada keadaan. Pada penelitian lain

menunjukkan bahwa pasien dengan stadium klinis rendah (I dan II)

berisiko lebih tinggi mengalami LTFU dibandingkan dengan pasien

dengan stadium klinis tinggi (III dan IV). Kondisi tersebut terjadi karena

ODHA menganggap dirinya berada dalam kondisi baik sehingga tidak

perlu melanjutkan terapi ARV (Sarah, 2018).

j. Infeksi Oportunistik

Koinfeksi adalah penyakit penyerta yang sering terjadi pada penderita

HIV. Koinfeksi ini dapat menggambarkan stadium penyakit HIV. Adanya

koinfeksi menunjukkan bahwa pasien HIV telah berada pada stadium yang

lebih parah. Hal ini menyebabkan pasien merasa lebih penting untuk

melakukan pengobatan dan meningkatkan kepatuhan sehingga kondisi

kesehatan cenderung membaik.Pada penelitian Melloni menyatakan bahwa

37
pasien yang mempunyai koinfeksi TB pada awal terapi ARV berhubungan

signifikan dengan kejadian lost to follow up (Handayani, 2017).

Kondisi sistem imun ODHA yang lemah akan menjadi buruk ketika

ODHA berhenti mengikuti terapi ARV, sehingga ODHA rentan terhadap

infeksi oportunistik dan berakhir pada kematian. Selain itu, HIV akan

menjadi resisten terhadap ARV dan jika ODHA berhenti mengikuti terapi

lagi, maka akan mengalami kegagalan terapi pada lini 1 sehingga harus

beralih pada lini 2. Apabila terapi lini 2 mengalami kegagalan, maka ARV

sudah tidak mampu mengendalikan replikasi HIV sehingga dapat

dikatakan bahwa terapi ARV tidak dapat berfungsi lagi pada ODHA

tersebut.

k. Efek samping obat

Efek samping obat (ESO) atau adverse drug reaction adalah suatu efek

yang merusak/merugikan dan tidak diharapkan serta yang ditemukan pada

dosis yang digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau

terapi. Sedangkan pengertian lain dari efek samping obat adalah semua

efek yang tidak dikehendaki yang membahayakan atau merugikan pasien

(adverse reactions) akibat penggunaan obat. Masalah efek samping obat

tidak bisa dikesampingkan karena dapat menimbulkan berbagai dampak

dalam penggunaan obat baik dari sisi ekonomik, psikologik dan

keberhasilan terapi. Dampak ekonomik seperti meningkatnya biaya

pengobatan dan dampak psikologik pada kepatuhan penderita dalam

minum obat akan berakibat kegagalan terapi (Nurihwani, 2017).

38
Beberapa gejala dari efek samping obat ARV yang dikeluhkan oleh

beberapa pasien lost to follow-up diantaranya adalah mual dan muntah,

halusinasi dan telinga berdenging. Hal tersebut dimungkinkan, karena efek

samping dari jenis ARV zidovudin yang memiliki gejala efek samping

mual dan muntah, halusinasi dan telinga berdenging, mungkin karena

gejala efek samping dari jenis ARV efavirenz (Irmawati, 2019).

2. Faktor Penguat (Reinforcing)

Faktor penguat (reinforcing) adalah faktor yang berasal dari dukungan

sosial yang diberikan kepada seseorang seperti keluarga, teman, maupun petugas

kesehatan yang dapat memperkuat perilaku.

a. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga disini sangat penting perannya. Karena setiap hari

yang berinteraksi dengan pasien HIV yaitu adalah keluarga. Keluarga bisa

sebagai penghambat atau pendukung pasien HIV untuk terapi. Dukungan

keluarga berperan besar dalam hal kepatuhan minum obat ARV pada

ODHA dalam menjalani pengobatan. Dengan adanya dukungan keluarga

yang baik akan memengaruhi positif pada kepatuhan minum obat ARV

(Bachrun, 2017).

3. Faktor Pemungkin (Enabling)

a. Pelayanan di Klinik VCT

Pelayanan serta fasilitas yang diberikan kepada pasien meliputi lamanya

antrian saat pengobatan, sikap dokter atau petugas kesehatan, prosedur

administrasi, tes laboratorium, dan sarana prasarana klinik merupakan

39
faktor yang pertama kali memhubungani pasien untuk mengunjungi klinik.

Beberapa hal tersebut sangat memhubungani persepsi pasien dalam

perjalanan terapi ARV (Handayani, 2017).

b. Jarak Akses Menuju Pelayanan Kesehatan

Jarak rumah dengan pelayanan kesehatan menunjukkan ketersediaan dan

askes pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Jarak rumah yang jauh

dengan fasilitas kesehatan untuk mengakses ARV memiliki kontribusi

untuk kejadian lost to follow up. Hasil penelitian menunjukkan jarak

rumah ≥ 10 km berisiko 1.51 kali mengalami lost to follow up terapi ARV

(Handayani, 2017). Faktor penyebab yang paling umum bagi pasien yang

tidak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan

ARV adalah jarak yang cukup jauh dan sarana transportasi yang kurang.

Hal ini berkaitan dengan kondisi geografis yang merupakan pedesaan,

sehingga akses ke pelayanan kesehatan sangat sulit.

2.2. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjuan pustaka, maka disusun kerangka teori mengenai

kejadian LTFU yang berasal dari modifikasi teori Green, Rosiana, dan

Widyanthini. Menurut teori Green, terdapat 3 faktor yang menentukkan seseorang

dalam berperilaku kesehatan yaitu faktor presdiposisi (presdiposing), faktor

penguat (reinforcing), dan faktor pemungkin (enabling). Presdiposisi

(presdiposing) meliputi Usia, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pekerjaan,

pengetahuan, status perkawinan, lama terapi, adanya stigma, nilai yang dirasa,

40
motivasi, kadar viral load, stadium HIV, Infeksi Oportunistik, efek Samping

ARV. Faktor penguat (reinforcing) meliputi dukungan sosial. Faktor pemungkin

(enabling) yaitu pelayanan klinik VCT, jarak akses, jenis transportasi, dan biaya.

Faktor Faktor Enabling


Faktor Predisposing Reinforcing Pelayanan di klinik
Usia Dukungan sosial VCT
Jenis kelamin Keluarga Jarak akses
Pendidikan Teman Jenis Transportasi
Pekerjaan Sebaya Biaya
Status
perkawinan
Kadar viral
load
Stadium HIV
Infeksi
Oportunistik
Lost to follow up
Efek Samping ODHA ke layanan
ARV VCT di RSUD. Prof.
Dr. W.Z. Johannes

Gambar 1.1. Kerangka Teori

2.3. Kerangka Konsep

Variabel Independen

Variabel Dependen
Faktor Risiko
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
5. Status perkawinan
6. Kadar viral load Kejadian
7. Stadium HIV lost to Follow up ODHA Ke
8. Infeksi Oportunistik layanan VCT
9. Efek Samping ARV 41 RSUD. Prof. Dr. W.Z.
10. Dukungan sosial
Johannes
11. Pelayanan di klinik VCT
12. Jarak akses menuju
13. Jenis Transportasi
14. Biaya
Variabel Perancu
Tingkat Kepatuhan

Gambar 1.2. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep dalam penelitian ini menunjukkan variabel yang diamati

selama penelitian dilakukan. Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2

variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas merupakan

variabel yang mempengaruhi variabel terikat, antara lain usia, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kadar viral load, stadium HIV, infeksi

opurtunistik, efek samping ARV, dukungan sosial, pelayanan di klinik VCT,

jarak akses menuju, jenis transportasi dan biaya.

Variabel perancu pada penelitian ini adalah tingkat kepatuhan,

dikendalikan dengan cara restriksi (pembatasan). Hal ini dilakukan karena

variabel perancu tersebut berada pada kondisi yang homogen dimana seluruh

ODHA di RSUD. Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang yang LTFU rata-rata tidak

patuh terhadap terapi ARV. Sedangkan variabel terikat yaitu kejadian ODHA lost

to Follow up di RSUD. WZ. Yohanes Kupang.

42
2.4. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan faktor usia dengan kejadian ODHA lost to Follow up ke

layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang.

2. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian ODHA lost to Follow up

ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

3. Ada hubungan pendidikan dengan kejadian ODHA lost to Follow up ke

layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

4. Ada hubungan pekerjaan dengan kejadian ODHA lost to Follow up ke

layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

5. Ada hubungan status perkawinan dengan kejadian ODHA lost to Follow

up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

6. Ada hubungan Kadar viral load dengan kejadian ODHA lost to Follow

up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

7. Ada hubungan stadium HIV dengan kejadian ODHA lost to Follow up

ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

8. Ada hubungan infeksi oportunitis dengan kejadian ODHA lost to Follow

up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

9. Ada hubungan efek samping ART dengan kejadian ODHA lost to

Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

10. Ada hubungan dukungan keluarga dengan kejadian ODHA lost to

Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

11. Ada hubungan Pelayanan di klinik VCT dengan kejadian ODHA lost to

Follow up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

43
12. Ada hubungan jarak akses dengan kejadian ODHA lost to Follow up ke

layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

13. Ada hubungan Jenis transportasi dengan kejadian ODHA lost to Follow

up ke layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

14. Ada hubungan biaya dengan kejadian ODHA lost to Follow up ke

layanan VCT RSUD. WZ. Yohanes Kupang

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional

menggunakan rancangan case control. Rancangan case control dilakukan

berdasarkan perbandingan dua kelompok yaitu kelompok kasus (pasien

44
HIV/AIDS dengan ARV yang lost to follow up) serta kelompok kontrol (pasien

HIV/AIDS dengan ARV yang masih dalam perawatan). Penelitian ini dilakukan

di RSUD. WZ Yohanes Kupang Nusa Tenggara Timur pada bulan februari

sampai dengan bulan Desember 2021.

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah ODHA (Orang dengan HIV AIDS )

dengan Case = ODHA LTFU, dan Control = ODHA tidak LTFU di RSUD. WZ

Yohanes Kupang periode tahun 2016-2021.

3.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan Purposive Sampling dimana sampel dipilih antara populasi sesuai

dengan yang dikehendaki peneliti. Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus

besar sampel pada studi kasus kontrol untuk data yang tidak berpasangan

(Kuntoro, 2010). Penelitian ini menggunakan α=0,05 dan β=0,1.

Perhitungan sampelnya sebagai berikut:

[Z  2 P (1  P )  Z 1  P1 (1  P1 )  P2 (1  P2 ) ] 2
1
n 2

( P1  P2 ) 2

Keterangan:

n : Jumlah sampel yang dibutuhkan

45
 
Z1   : 1,96 (Derajat Kepercayaan 95%, derajat kemaknaan 5%)
2
Z 1  : 1,28 (kekuatan uji 90%)

P1 : 0,82 (Proporsi distribusi faktor employment Lost to Follow up


ARV Therapy among People Living with HIV and AIDS
P2 : Proposi penelitian 30% = P1-30%=0,52

P1  P2
P  0,82  0,52 / 2  0,67
2

[1,96 2 x0,67(1  0,67)  1,28 0,82(1  0,82)  0,52(1  0,52)] 2


n
(0,82  0,52) 2

[(1,96 x 0,66)  (1,28 x 0,63)] 2


n
0,09

n  49 responden

= 49 orang

Besar sampel ditambah 10% dengan maksud untuk mengatasi responden

yang mengalami drop out. Sehingga besar sampel minimal yang diperlukan

adalah (10% x 49) + 49 = 53,9 jadi dibulatkan menjadi 54 responden. Besar

sampel kelompok kasus (54 responden HIV/AIDS dengan ARV yang mengalami

lost to follow up) dan besar sampel kelompok kontrol (54 responden HIV/AIDS

dengan ARV yang masih dalam perawatan).

Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Adapun kriteria sampel dibagi menjadi dua yaitu kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari populasi target

yang terjangkau dan akan diteliti, sedangkan kriteria eksklusi adalah

menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari

46
penelitian karena berbagai sebab misalnya subjek menolak berpartisipasi. Sampel

pada Case dan control harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

Kelompok kasus (case)

Kriteria inklusi :

1) Semua ODHA yang lost to follow up.

2) Dapat diketahui keberadaannya dan sampai saat penelitian masih

dinyatakan hidup.

Kriteria eksklusi :

1) ODHA yang tidak bersedia di wawancarai.

2) ODHA yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik

Kelompok kontrol (control)

Kriteria inklusi:

1) ODHA yang menjalani terapi ARV di waktu yang berdekatan dengan

sampel case

2) ODHA dengan alamat yang jelas.

Kriteria eksklusi :

1) ODHA yang tidak bersedia di wawancarai.

2) ODHA yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


3.3.1. Variabel Penelitian
Sanusi (2014), mendefinisikan variabel penelitian adalah segala sesuatu

yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga

47
diperoleh informasi tentang hal tersebut kemudian ditarik kesimpulannya. Dalam

penelitian ini ada dua variabel yang akan dianalisa:

a. Variabel bebas (X), merupakan variabel yang mempengaruhi variabel

terikat. Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel X yaitu umur (X1),

jenis kelamin (X2), pendidikan (X3), pekerjaan (X4), status perkawinan

(X5), lama terapi (X6), stigma masyarakat (X7), motivasi (X8), kadar viral

load (X9), dukungan sosial (X10), pelayanan di klinik VCT (X11), jarak

akses (X12), dan biaya (X13).

b. Variabel terikat (Y), Merupakan variabel terikat yang dipengaruhi oleh

variabel bebas (variabel X). dalam penelitian ini, yang menjadi variabel Y

yaitu lost to follow up.

3.3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur


Penelitian Ukur
Variabel Dependent
1. Lost to Pasien yang tidak Rekam Ordinal 1. Ya.
follow up. mengikuti terapi ARV di medis. 2. Tidak
Rumah sakit dalam Jona, 2020
waktu 90 hari.

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur


Penelitian Ukur
Variabel Independent
2. Usia Satuan waktu dalam tahun Rekam Nominal 1. < 32 tahun.
yang dihitung dari medis. 2. ≥ 32 tahun
responden lahir hingga
48
saat Responden loss to
follow up

3. Jenis Kelamin Perbedaan status Rekam Nominal 1. Laki-laki.


responden antara medis. 2. Perempuan
perempuan dan laki-laki
yang tercantum di Kartu
Tanda Penduduk (KTP)
dan tercatat di
rekam medis

4. Pendidikan Jenjang pedidikan yang Rekam Ordinal. 1. Rendah (tidak sekolah


dimiliki oleh responden medis. atau SD atau SMP).
melalui pendidikan formal 2. Tinggi (SMA/sederajat
Hingga pasien loss to atau lebih tinggi dari itu)
follow up

5. Pekerjaan Pekerjaan responden terapi Rekam Nominal 1. Bekerja.


ARV hingga pasien loss to medis 2. Tidak Bekerja
follow up

6. Status Kedudukan responden Rekam Nominal 1. Kawin.


perkawinan dengan pasangannya medis. . 2. Belum kawin, atau lainnya
berdasarkan KTP hingga
pasien loss to follow up

7. Kadar viral Jumlah atau banyaknya Rekam Ordinal 1. Rendah (≤ 100.000


load virus HIV yang ada di medis. copy/ml).
dalam tubuh atau 2. Tinggi (≥100.000
seseorang yang telah copy/ml)
terinfeksi HIV.  (Dinkes DIY, 2021).

8. Stadium Tingkat kesehatan atau Rekam Ordinal 1. Rendah (stadium 1 dan 2).
HIV. kondisi kesehatan medis. . 2. Tinggi (stadium 3 dan 4)
responden berdasarkan
status HIV/AIDS yang
ditetapkan oleh WHO saat
responden memulai terapi
ARV

9. Infeksi Ada tidaknya penyakit lain Rekam Ordinal 1. Ada.


oportunistik. selain AIDS yang dialami medis. . 2. Tidak ada
responden selama
mengikuti terapi ARV
Hingga pasien loss to
follow up

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur


Penelitian Ukur

Variabel Independent
10. Efek samping Ada tidaknya efek Kuesioner Ordinal 1. Ada
49
ARV samping 2. Tidak ada
yang dialami responden
selama mengikuti terapi
ARV hingga pasien loss to
follow up

11. Dukungan Kuesioner Ordinal 1. Tidak mendukung


sosial Bantuan sokongan yang Nilai dukungan keluarga <
diterima salah satu anggota 70 %
keluarga dari anggota 2. Mendukung
lainnya. Dukungan ini Nilai dukungan keluarga ≥
dalam bentuk perawatan 70%
dan pengawasan pada (Jona, 2020)
pasien HIV/AIDS

12. Pelayanan di Jenis dan cara pelayanan Kuesioner Ordinal 1. Puas


klinik VCT yang diberikan oleh pihak 2. Tidak puas
rumah sakit hingga pasien (Sugiyono, 2010)
loss to follow up

13. Jarak akses Jarak rumah pasien ke Kuesioner Ordinal 1. Berisiko positif: Jarak
klinik VCT terdekat dalam rumah > 10 km
kilometer hingga pasien 2. Berisiko negatif: Jarak
loss to follow up rumah ≤ 10 km
(Shaweno, getnet, dan Fikru,
2019)

14. Biaya Pembiayaan pengobatan Kuesioner Ordinal 1. Tidak terjangkau


responden di fasilitas Nilai keterjangkauan < 70 %
pelayanan kesehatan 2. Terjangkau
hingga pasien loss to Nilai keterjangkauan ≥ 70%
follow up (Jona, 2020)

3.4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan

instrument penelitian yang sudah penulis susun dalam bentuk kuesioner

yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status

50
perkawinan, lama terapi, stigma masyarakat, motivasi, dukungan sosial,

pelayanan di klinik VCT, jarak akses, dan biaya.

b. Data Sekunder

Data sekunder berupa data pendukung penelitian yang penulis dapatkan

dari rumah sakit seperti data jumlah ODHA baik yang masih follow up

maupun yang lost to follow up, data rekam medis tentang kadar viral load,

dan data lainnya yang relevan.

Metode pengumpulan data dilakukan melalui proses administrasi dengan

cara mendapatkan Izin dari Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat S2 Pasca

Sarjana Universitas Negeri Semarang dan izin dari RSUD. WZ. Yohanes Kupang

sebagai lokasi penelitian.

Adapun proses pengumpulan data sebagai berikut :

a. Sebelumnya peneliti meminta data-data ODHA baik yang LTFU maupun

yang masih menjalani terapi ARV di RSUD. WZ. Yohanes Kupang, dan

mencatat nomor telephone/handphone ataupun kontak lain yang bisa

dihubungi.

b. Membuat catatan ulang dan merangkumnya dibuku catatan yang sudah

peneliti sediakan tentang hal-hal yang terkait dengan penelitian.

c. Setelah mendapatkan informasi, selanjutnya peneliti menelepon calon

responden dan mengatur jadwal agar bisa wawancara langsung. Untuk

wawancara dan pengisian kuesioner, jika calon responden bisa dijangkau,

maka akan langsung tatap muka, sedangkan bila tidak, maka peneliti

51
menggunakan media telepon untuk keperluan tanya jawab yang

berhubungan dengan variabel penelitian.

d. Bila responden dapat dijangkau, maka satu per satu responden akan

diberikan kuesioner. Setelah dibagikan, diberikan penjelasan terlebih

dahulu mengenai cara pengisian dan setiap responden diminta mengisi

surat persetujuan menjadi responden.

e. Bila responden tidak mampu mengisi sendiri kuesioner, maka peneliti

membantu membacakan isi kuesioner dan mengisi jawaban yang diberikan

oleh responden.

f. Kemudian setelah kuesioner tersebut terisi, peneliti kumpulkan sesuai

dengan nomor urut untuk diolah datanya.

3.5. Teknik Analisis Data

3.5.1. Analisis Univariat

Analisa univariat menggunakan metode statistik deskriptif untuk

menentukan rata-rata atau mean ( ) dan untuk masing-masing variabel penelitian

sehingga dapat ditentukan katagori-katagori berdasarkan metode distribusi normal

dengan rumus :

Keterangan :
: nilai rata-rata
∑x : hasil penjumlahan observasi
n : jumlah responden menjadi sampel

52
Selanjutnya data dimasukkan dalam tabel distribusi frekuensi. Analisis ini

dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing hasil

pengukuran variabel independent dan variabel dependent dengan rumus

sebagai berikut :

P=

Keterangan :
P : Persentase
f : Frekuensi teramati
n : Jumlah responden menjadi sampel

3.5.2. Analisa Bivariat

Untuk melihat faktor risiko kejadian Lost To Follow Up ODHA

menggunakan uji Chi-Square. Analisis bivariat digunakan untuk melihat

hubungan masing-masing variabel independen dan variabel dependen. Dalam

penelitian ini digunakan uji statistik dengan menggunakan rumus Chi-Square

(Machfoedz, 2017) sebagai berikut :

Rumus Chi-Square:

Keterangan :
O : Frekuensi observasi
E : Frakuensi Harapan (nilai ekspektasi)
: Chi-Square Test

Syarat terpenuhinya uji Chi-Square yaitu:

a) Tidak ada sel yang nilai observed yang bernilai nol.

53
b) Sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah

sel.

c) Nilai yang diambil “continuity correction”

Jika syarat uji Chi-Square tidak terpenuhi, maka dipakai uji alternatifnya.

Alternatif uji Chi-Square untuk tabel 2 x 2 adalah uji Fisher. Alternatif uji Chi-

Square untuk tabel 2 x K adalah uji Kolmogorof – Smirnov. Alternatif uji Chi-

Square untuk tabel selain 2 x 2 dan 2 x K adalah penggabungan sel akan terbentuk

suatu tabel B x K yang baru. Uji hipotesis yang dipilih sesuai dengan tabel B x K

yang baru tersebut.

Penerapan pengolahan data dengan menganalisis hubungan antara variabel

independen dan variabel dependen, dilakukan dengan menggunakan Program

Komputerisasi Analisa Stasistik (SPPS Versi 17.0) dengan derajat kemaknaan

(level of signifikan 95% (α = 0,05). Selanjutnya apabila nilai p<0,05 maka hasil

statistik bermakna, artinya ada hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen (Ho ditolak dan Ha diterima), namun apabila p>0,05 maka

hasil perhitungan statistik tidak bermakna, artinya tidak ada hubungan antara

variabel independen dan variabel dependen (Ha ditolak dan Ho diterima).

3.5.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk melihat variable independen yang

paling berhubungan terhadap variable dependen. Analisis multivariat yang

digunakan adalah uji regresi logistic berganda model prediksi, dengan tingkat

kepercayaan 95% dan menggunakan metode menentukan odds rasio variable

54
kategorik polikontom dengan salah satu kategori menjadi pembanding dengan

cara Chi Square.

DAFTAR PUSTAKA

Amin. Hardi. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis


Dan Nanda Nic-Noc. Edisi revisi jilid 2. MediAction: Jogjakarta

55
Bachrun, E. 2017. Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat
antiretroviral pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Jurnal Elektronik,
7(1), 57-61.

Barus dkk. 2017. Evaluasi Efek Samping Antriretroviral dan. Penatalaksanaannya


pada Pasien HIV/AIDS di Puskesmas Kecamatan. Penjaringan. Jakarta

BPS-RI, 2019. Status Perkawinan. Dikutip dari https://sirusa.bps.go.id/sirusa


/index.php/variabel/35

Chalachew et all, 2020. Lost to Follow-up and Predictors Among HIV-Exposed


Infants in Northwest Ethiopia

Chammartin et al., 2018. Outcomes of Patients Perilaku lost to follow-up in


African Antiretroviral Therapy Programs: Individual Patient Data Meta-
analysis.

Dinkes Prov. NTT, 2021. Laporan Program HIV Bidang P2P, Nusa Tenggara
Timur.

Ernawati,  2016. Perilaku Seksual Pekerja Migran “Boro” Yang.


Menderita HIV/AIDS Di Wilayah Kudus

Haerati, 2019. Loss To Follow Up Pada Odha Yang Menerima Terapi


Antiretroviral Di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba, Jurnal
Volume 1 Nomor 2 April 2019

Handayani, L., Ahmad, R. A., & Subronto, Y. W. 2017. Faktor Risiko Lost to
Follow Up pada Terapi Pasien ARV.BKM Journal of Community
Medicine and Public Health, 33(4):173–180.

Jona, 2020. Faktor risiko kejadian lost to follow up pada penderita HIV yang
menjalani pengobatan ARV di Puskesmas Sumberjambe dan Puskemas
Sukowono

Julius Kiwanuka et al, 2020. Determinants of loss to follow-up among HIV


positive patients receiving antiretroviral therapy in a test and treat
setting: A retrospective cohort study in Masaka, Uganda

Kemenkes RI, 2021. Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit lnfeksi
Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2021. Jakarta

______, 2020. Pusat Data dan Informasi Keenterian Kesehatan RI, Jakarta

56
______, 2018. Pedoman dan tata laksanaan VCT. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI.

______, 2016. Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Jakarta: Kementrian


Kesehatan RI.

Krishnan, S., Koletar, S. L., & Team, A. A. (2016). Incidence Rate of and Factors
Associated with Loss to Follow-up in a Longitudinal Cohort of
Antiretroviral-Treated HIV-Infected Persons: An AIDS Clinical Trials
Group (ACTG) Longitudinal Linked Randomized Trials (ALLRT) Analysis
S.HIV Clinical Trials, 12(4): 190-200.

Machfoedz Ircham, 2017. Metodologi Penelitian Kuantitatif Dan Kaulitatif


Bidang Kesehatan Keperawatan Kebidanan Kedokteran Disertai Contoh
KTI Skrips Tesis.Yogyakarta: Fitramayah.

Manowati, 2019. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku lost to follow-up pada


Pasien HIV/AIDS dengan Terapi ARV Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Najmah. 2016. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Trans Info Media

Notoatmodjo, S. 2016. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurihwani, 2017. Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Pengobatan


Antiretroviral (ARV) pada Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di
Puskesmas Jumpandang Baru.

Nursalam. 2016. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik. Keperawatan


Profesional (5 ed.). Jakarta: Salemba Medika

Paul, 2021. Kasus HIV AIDS di Provinsi NTT Tetap Meningkat, Artikel dikutip
dari : https://parekrafntt.id/bacaartikel?id_artikel=87

Sanusi, 2014. Metodologi Penelitian Bisnis. Salemba Empat. Jakarta

Sarah, 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Lost to Follow


Up pada Terapi Antiretroviral (Studi Kasus di Balai Kesehatan Wilayah
Semarang). Jurnal Kesmas UNS

Sutini, 2020. Socio-demographic Factors Associated with Loss to Follow up Anti


Retro Viral Therapy among People Living with HIV and AIDS in
Semarang City. Public Health Perspectives Journal 5 (3) 2020 186-193

UNAIDS. 2017, UNAIDS Data 2017. United Nation Program on HIV/AIDS


(UNAIDS).

57
______, 2017. Global Reports. UNAIDS Report on the Global AIDS Epidemic
2017. Dikutip dari http://www.unaids.org

WHO. About HIV/AIDS. 2019, dikutip dari https://www.who.int/news-room/fact-


sheets/detail/hiv-aids

_______, 2016. HIV/AIDS, Dikutip dari:


http://www.who.int/mediacentre-/factsheets/fs360/en/

Yudhi, 2016. Hubungan karakteristik ODHA dengan Kejadian Loss To Follow


Up Terapi ARV di Kabupaten Jember. Jurnal IKESMA Volume 12 Nomor
1

Yuni Sri Utami, 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku


Penggunaan Kondom Pada Klien Wanita Pekerja Seks (WPS) Dalam
Upaya Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) Di Kelurahan
Bandungan Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 4, Nomor 3,
Juli 2016 (ISSN: 2356-3346)

Zürcher, K., Mooser, A., Anderegg, N., Tymejczyk, O., Couvillon, M. J., Nash,
D. dan Egger, M. 2017. Outcomes of HIV-positive patients lost to follow-
up in African treatment programmes. Tropical medicine & international
health : TM & IH. 22(4): 375–387.

Lampiran 1 : Surat Pernyataan Bersedia Menjadi Responden (Informed Concent)

SURAT PERNYATAAN BERSEDIA MENJADI RESPONDEN


(INFORMED CONSENT)

58
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan BERSEDIA / TIDAK
BERSEDIA *) menjadi peserta / responden penelitian yang akan dilakukan oleh
Dewi Ramliana Yani, mahasiswa Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, yang berjudul:
“Faktor Risiko Kejadian Lost To Follow Up ODHA Ke layanan VCT RSUD.
Prof. Dr. W.Z. Johannes”

Nama : ………………………………………………………………………...
Umur : …………… tahun
Alamat : ………………………………………………………………………...
No Telp / Hp : ………………………………………………………………………...
Kode ** : ………………………………………………………………………...

Sebagai responden dari penelitian tersebut. Persetujuan ini saya buat dengan sadar
dan tanpa paksaan dari siapa pun. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.

*) coret yang tidak perlu


**) diisi oleh peneliti

Kupang, ……………….2022
Peneliti, Responden,

(Dewi Ramliana Yani) (……………………………)

Saksi,

(……………….…………)
Lampiran 2 Instrumen Penelitian
No. Resp. :
Tanggal Wawancara : …….……..

59
LEMBAR KUESIONER
FAKTOR RISIKO KEJADIAN LOST TO FOLLOW UP ODHA KE
LAYANAN VCT RSUD PROF. DR. W.Z JOHANNES

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN
Inisial : ______

Usia : ______ tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan *) coret yg tidak perlu

Memberikan tanda checklist () pada salah satu kolom pilihan jawaban.

Pendidikan Terakhir : SD

SMP

SLTA/Sederajat D-3

S1 S2/S3

Pekerjaan : Tidak bekerja IRT

Petani/nelayan/buruh Wiraswata

PNS/TNI/POLRI Peg. Swasta

Pekerjaan : Pekerja Seks Komersil Pengemudi

Sudah Menikah : Sudah Belum

Biaya Kesehatan : Pribadi (umum) BPJS Mandiri

BPJS Tenaga Kerja BPJS Bantuan


Pemerintah
B. KUESIONER TENTANG KADAR VIRAL LOAD
Memberikan tanda checklist () pada salah satu kolom pilihan jawaban.
60
Hasil viral load : 100.000 copy/ml atau lebih

Di bawah 100.000 copy/ml

C. KUESIONER TENTANG STADIUM HIV
Memberikan tanda checklist () pada salah satu kolom pilihan jawaban.

Hasil viral load : Stadium I Stadium III

Stadium II Stadium IV

D. KUESIONER TENTANG INFEKSI OPORTUNISTIK
Memberikan tanda checklist () pada salah satu kolom pilihan jawaban.

Infeksi Oportunistik : Ada Tidak ada

E. KUESIONER TENTANG EFEK SAMPING ARV


Memberikan tanda checklist () pada salah satu kolom pilihan jawaban.

Efek samping ARV : Ada Tidak ada

F. KUESIONER TENTANG DUKUNGAN KELUARGA
Memberikan tanda checklist () pada salah satu kolom pilihan jawaban.
Jawaban
No. Pernyataan
Ya Tidak
1. Pasangan atau keluarga saya tahu bahwa saya
adalah seorang HIV-positive (+)

2. Pasangan atau keluarga saya selalu mengingatkan


jadwal pemeriksaan kondisi kesehatan saya secara
rutin (+)

3. Sejak tahu saya seorang HIV-positif, beberapa


orang dalam keluarga saya menjauhi dan tidak
perduli dengan konsidi saya (-)

4. Sejak tahu saya seorang HIV-positif, beberapa


orang dalam keluarga saya memilih tidak
menyentuh dan berbicara dengan saya (-)

61
5. Pasangan atau keluarga saya selalu mengingatkan
saya supaya saya mengkonsumsi ARV secara
rutin (+)

6. Pasangan atau keluarga saya merasa keberatan


secara finansial, apabila saya melanjutkan
pengobatan/pemeriksaan kondisi saya (-)

G. KUESIONER TENTANG PELAYANAN DI KLINIK VCT


Memberikan tanda checklist () pada salah satu kolom pilihan jawaban.
Jawaban
No. Pernyataan
Ya Tidak
1. Petugas melayani anda dengan ramah meskipun
mengetahui anda adalah seorang HIV-positif (+)

2. Pelayanan sesuai dengan jadwal yang telah


ditetapkan
3. Anda pernah di tolak untuk mendapatkan
pelayanan/pemeriksaan/perawatan/pengobatan
yang seharusnya anda terima (-)

4. Dokter/petugas yang sudah mempunyai jadwal


yang jelas (+)
5. Petugas terlihat kurang nyaman berinteraksi
dengan anda. Dilihat dari cara melihat dan
berbicara dengan anda (-)

6. Kesigapan petugas dalam melayani pasien tidak


dibeda-bedakan (sama) antara pasien HIV-positif
dengan pasien lainnya (+)

7. Keterangan (informasi) dari petugas kurang


meyakinkan (-)

8. Petugas menjamin kepercayaan dan kerahasiaan


informasi pasien (+)

9. Catatan dan administrasi yang baik tentang


pasiennya (+)

Jawaban
No. Pernyataan
Ya Tidak

62
10. Memberikan waktu yang khusus kepada pasien
untuk berkonsultasi (+)

H. KUESIONER TENTANG JARAK MENUJU LOKASI KE PELAYANAN


Memberikan tanda checklist () pada salah satu kolom pilihan jawaban.
Jarak menuju lokasi pelayanan : ≥10 km <10 km

I. KUESIONER TENTANG JENIS TRANSPORTASI MENUJU PELAYANAN


Memberikan tanda checklist () pada salah satu kolom pilihan jawaban.
Jenis transportasi yang digunakan : Jalan Kaki
Sepeda
menuju lokasi pelayanan
Sepeda motor Mobil

Kendaraan umum

Pesawat Terbang

Kapal laut

CATATAN TAMBAHAN (Diisi oleh peneliti) / wawancara :


63
1. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
2. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
3. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
4. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
5. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
6. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
7. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
8. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
9. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
10. ……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………….
64
Lampiran Keaslian Penelitian

Tempat dan
Nama Judul Tahun Rancangan
No Variabel Hasil Penelitian
Peneliti Penelitian Penelitian Penelitian

1. Sutini, Socio- Education, Semarang, Observational Multivariate models


2020 demographic employment Indonesia, with case- showed the most
Factors status, 2020 control study. influen-tial factors
65
Associated distance from was education level
with Loss to home to health (p= 0,000. OR =
Follow up services 6.270). A Ttreatment
Anti Retro literacy program
Viral Therapy should be emphasized
among People to people living with
Living with HIV and AIDS who
HIV and are starting treatment
AIDS in and during treatment
Semarang City ARV.
2. Jona, Faktor risiko Pengetahuan, Kab. Analitik Faktor paling
2020 kejadian lost sikap, Jember- observasional dominan yang
to follow up kepatuhan Indonesia, menggunakan memengaruhi
pada penderita konsumsi 2020 rancangan kejadian Lost To
HIV yang ARV, case control Follow Up dengan
menjalani dukungan nilai odds ratio
pengobatan keluarga, sebesar 34,798.
ARV di sikap petugas Artinya terjadinya
Puskesmas kesehatan, lost to follow up
Sumberjambe jarak rumah, karena sikap yang
dan Puskemas dana menolak adalah
Sukowono kesehatan, 34,798 kali lebih
fasilitas besar dibandingkan
tempat dengan terjadinya
pelayanan lost to follow up
kesehatan karena sikap yang
mendukung.

3. Chalach Lost to Maternal age, Northwest Retrospective A total of 402


ew et all, Follow-up Marital status Ethiopa, cohort study child–mother
2020 and of mother, 2020 pairs were
Predictors Religion of included in the
Among HIV- mother, study. Of the study
Exposed Residence of participants,
Infants in mother, 6.0% were lost to
Northwest Occupation of follow-up for
Ethiopia mother, more than
Educational 3 months before
status of the declaration of
mother, their HIV
Number of status. Born from
births rural residence
mother
(AHR = 3.5; 95%
CI 1.549–7.894),
infants whose
mothers have
three and more
children (AHR =
3; 95% CI 1.284–
6.963), and low
birth weight
infants (AHR =
3.2; 95% CI

66
1.055–9.450)
were
independent
predictors of lost
to follow-up
among HIV-
exposed infants

4. Lilik Faktor yang Age, CD4 RSUD Dr Deskriptif Terdapat hubungan


Manowa Mempengaruh count, Soetomo korelasi antara perceived
ti, 2019 i Perilaku lost duration of Surabaya, dengan susceptability
to follow-up therapy, ARV 2019 pendekatan (p=0,002),
pada Pasien regimens, cross- perceived severity
HIV/AIDS education, sectional (p=0,025),
dengan Terapi patients perceived barrier
ARV Di perception, to action (p=0,022),
RSUD Dr. social support, cues to action
Soetomo level of (p=0,011) dengan
Surabaya compliance. perilaku lost to
follow up. Tidak
terdapat hubungan
antara perceived
benefit of action
(p=0,196) dan self
efficacy (p=0,071)
dengan perilaku
lost to follow up.
5. Chamma Outcomes of Sex, CD4, Saharan Case study Nine studies
rtin et Patients WHO Clinical Africa, 2018 contributed data
al., 2018 Perilaku lost Stage, Last on 7377 patients
to follow-up in Clinic visit, who started
African Age, time on cART and were
Antiretroviral cART, subsequently
Therapy interaction LTFU in sub-
Programs: Saharan Africa.
Individual The median CD4
Patient Data count at the start
Meta- of cART was 129
analysis cells/μL. At 4
years after the
last clinic visit,
21.8% (95%
confidence
interval [CI],
20.8%–22.7%)
were known to
have died, 22.6%
(95% CI,
21.6%–23.6%)
were alive but
had stopped
cART, 14.8%
(95% CI,
14.0%– 15.6%)

67
had transferred
to another clinic,
9.2% (95% CI,
8.5%–9.8%)
were retained on
cART, and
31.6% (95% CI,
30.6%–32.7%)
could not been
found. Mortality
was associated
with male sex,
more advanced
disease, and
shorter cART
duration;
stopping cART
with less
advanced
disease
andlonger cART
duration; and
silent transfer
with female sex
and less
advanced
disease

Perbedaan penelitan ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi/tempat


penelitian, jenis variabel antara lain; kadar viral load yang digunakan untuk
merujuk jumlah / banyaknya virus di dalam darah seseorang yang telah terinfeksi
HIV yang dapat dipakai untuk melihat efektivitas pengobatan pada ODHA
sekaligus mengetahui mengalami kegagalan pengobatan. selain itu penelitian ini
menitik beratkan terhadap Faktor Pemungkin (Enabling) yaitu Pelayanan di klinik
VCT,Jarak akses menuju,Jenis Transportasi ( darat, Laut, Udara) dan Biaya yang
dikeuarkan untuk bisa ke layanan VCT RSUD Prof. Dr. W.Z . Yohanes.

68

Anda mungkin juga menyukai