Dosen:
Dr. Cecep Eli Kosasih
Laili Rahayuwati, Dra., M.Kes, M.Sc, Dr.PH (LR)
COVER .......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
2.1.HIV/AIDS ........................................................................................................ 6
2.2.Lost to follow up .............................................................................................. 13
2.3.Stigma ............................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak dinyatakan pandemik HIV/ AIDS ditemukan didunia pada tahun 1981 telah
membunuh 25 juta orang. Pada tahun 2010 terdapat 34juta/milliun orang hidup dengan
HIV/AIDS di dunia dan mayoritas hidup di daerah bagian Sub-Sahara Afrika. Setiap
tahunnya jumlah orang yang meninggal karena AIDS terus meningkat sehubungan dengan
meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDS yang mencapai puncak sebanyak 2,2juta/miliun pada
tahun 2005 dengan estimasi 1.8 juta pada tahun 2010 (Evangeli M, Newel, Richter, 2014).
Pada tahun 2014, the Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS)
baru meningkat 47 persen sejak 2005. Kematian akibat AIDS di Indonesia masih tinggi,
karena hanya 8 persen Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang mendapatkan pengobatan
obat antiretroviral (ARV).Indonesia adalah negara ketiga di dunia yang memiliki penderita
HIV terbanyak yaitu sebanyak 640.000 orang, setelah China dan India, karena ketiga negara
ini memiliki jumlah penduduk yang banyak. Hanya saja prevalensi di Indonesia hanya 0,43
Setiap 25 menit di Indonesia terdapat satu kasus baru pasien yang terinfeksi HIV. Satu
dari setiap lima orang yang terinfeksi berusia 25 tahun pada masa produktif. Proyeksi dari
penanggulangan HIV, lebih dari satu juta orang akan positif HIV pada tahun 2014. Hal
tersebut di picu oleh penularan seksual dan penggunaan narkoba suntik. Terapi ARV
(Antiretroviral) dan pelayanan pada klien HIV/AIDS diberikan secara gratis dengan tujuan
untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan harapan dan kualitas hidup
ODHA. Prevalensi kejadian HIV AIDS di jawa Barat untuk periode Januari- Maret 2016
menduduki kasus terbanyak kedua setelah Sulawesi selatan yaitu 49 kasus baru. Pasien
dengan HIV AIDS di Jawa Barat tidak sebanyak di Jawa timur dengan jumlah 14.499 kasus,
namun kematian dengan HIV AIDS di jawa barat termasuk tinggi jika dibandingkan dengan
jumlah kasusnya yaitu 3292 kasus meninggal dari 4919 kasus secara keseluruhan
(KEMENKES, 2016).
yang meninggal, yang masih menerima therapi, lost to follow up, rujuk keluar dan stop. Lost
to follow up pada pasien HIV AIDS yang sedang menjalankan therapi ARV bisa
mengevaluasi perkembangan pasien. Di Indonesia sendiri dari 127.128 kasus pasien yang
pernah mendapat therapi ARV sebanyak 26.901 pasien termasuk dalam lost to follow up
(KEMENKES, 2016).
Dari perspektif pasien, ketidakpatuhan kadang diakibatkan karena salah satu atau lebih
dari beberapa barier psikososial, seperti depresi dan gangguan mental, gangguan
penuh stres, konsumsi alkohol berlebihan, pengguna napsa aktif, tunawisma, kemiskinan,
menjaga rahasia status HIV, penolakan, stigma. Selain itu, umur pasien juga mempengaruhi
aderen. khususnya, beberapa remaja danpasien HIV dewasa muda merupakan kelompok
yang memiliki tantangan yang cukup besar dalam mencapai tingkat kepatuhan. Di samping
Pasien yang hidup dengan HIV/AIDS rentan terhadap stigma dan diskriminasi,
kehilangan martabat dan meningkatnya kemiskinan serta depresi. Di tanah Papua dengan
kasus HIV/AIDS yang tinggi stigma buruk masih menjadi gambaran umum masyarakat
terhadap pasien dengan HIV/AIDS. Ketakutan menimbulkan resistensi terhadap tes HIV,
rasa malu untuk memulai pengobatan dan beberapa hal lainnya mempersulit dalam
Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Terlebih jika
disertai dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien yang positif HIV
akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan resiko kematian. Menurut Ross
(1997) dalam Nursalam 2007, jika stress mencapai tingkat kelelahan (exhausted stage), maka
akan menimbulkan kegagalan pada fungsi sistem kekebalan tubuh. Modulasi respon
kekebalan tubuh pasien HIV/AIDS akan menurun secara signifikan, seperti aktivitas APC
(makrofag); Th1 (CD4); IFNy; IL-2; imunoglobulin A, G, E dan anti HIV. Penurunan
tersebut akan berdampak pada penuruanan jumlah CD4 hingga mencapai 180 sel/µl
pertahun.
Tingginya angka kejadian lost to follow up pada penderita HIV/AIDS, sehingga peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang “hubungan stigma terhadap lost to follow up
pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung”.
1.2 Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan stigma terhadap kejadian lost to follow up pada pasien
dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung?
b. Tujuan khusus
terhadap lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV
lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP
pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung.
pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung.
Adanya hubungan stigma terhadap kejadian lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS
1) Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan sebagai kebijakan
terhadap lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di
RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan di
rumah sakit.
2) Perawat
lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr.
Hasan Sadikin Bandung sebagai informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat dengan
ODHA terhadap hubungan stigma pada lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIV/AIDS
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian
menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia,
seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel de ndr it ik. HIV merusak sel T4 CD4+ secara langsung
dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik.
Sejak dilaporkan adanya kasus AIDS yang pertama oleh Gottlieb dkk. di Los Angeles pada
tangal 5 Juni 1981, pada bulan Januari 1983 Luc Montagnier dkk. menemukan virus penyebab
penyakit AIDS ini dan disebut dengan LAV (Lymphadenopathy Virus). Hasil penelitian Gallo,
Maret 1984 di Amerika menyatakan penyebab penyakit ini adalah Human T Lymphotropic
Virus Type III, disingkat dengan HTLV III dan tahun 1984 berdasarkan hasil penemuannya,
J.Levy menamakan AIDS Related Virus (ARV) sebagai penyebab penyakit ini. Pada bulan Mei
1986 Komisi Taksonomi Internasional menetapkan nama virus penyebab AIDS adalah Human
HIV adalah virus RNA yang termasuk dalam famili Retroviridae subfamili Lentivirinae
membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Satu kali terinfeksi
oleh retrovirus, maka infeksi ini akan bersifat permanen, seumur hidup.HIV merupakan
retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV terdiri dari 2 sub - tipe, yaitu HIV-1 dan
HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasinya lebih cepat. Secara struktural
morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang
melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan
komponen fungsional dan struktural yaitu gag (group antigen), pol (polymerase), dan env
(envelope).
AIDS adalah singkatan dari Acquires Immune Deficiency Syndrome yang didefinisikan
sebagai sekumpulan gejala penyakit yang menyerang kekebalan tubuh manusia, sesudah sistem
kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus ini
merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah diserang penyakit-penyakit
lain yang berakibat fatal. AIDS adalah penyakit yang fatal dan sudah banyak penderita AIDS
yang meninggal (Djoerban, 1999).Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari
penderita AIDS, tetapi karena ia terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS. Oleh karena itu,
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau
menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang, AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae.Virus famili ini
mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase.Enzim ini menyebabkan retrovirus mampu
mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik
dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi
genetik virus juga ikut diturunkan. virus HIV akan menyerangLimfosit T yang mempunyai
marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengakt ivasi sel B, killer cell,
dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+adalah reseptor pada limfosit T yang
menjadi target utama HIV.HIV menyerang CD4+baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T.
secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4+yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan
antigen.Setelah HIV mengifeksi seseorang,kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu
disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan
Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan
merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga
periode jendela (window periode). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa
tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan
jumlah CD4+sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat,
50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS
Dalam tubuh ODHA(Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV,seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.Dari
semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3tahun
pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. Seiring dengan makin memburuknya
kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti
penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,
infeksi jamur.
Anti retroviral (ARV) adalah beberapa obat yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV.
Obat-obatan ini tidak membunuh virus, tapi memperlambat pertumbuhan virus . HIV bisa
mudah beradaptasi dan kebal terhadap satu golongan ARV .Oleh karena itu kombinasi golongan
a. NNRTI (Non nucleoside reverse transcriptase inhibitor). Jenis ARV ini akan bekerja
dengan menghilangkan protein yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri
c. Protease inhibitors ARV jenis ini akan menghilangkan protease, jenis protein yang juga
d. Entry Inhibitors ARV jenis ini akan menghalangi HIV untuk memasuki sel-sel CD4
e. Integrase Inhibitors jenis ARV ini akan menghilangkan integrase, protein yang digunakan
Pengobatan kombinasi ini lebih dikenal dengan nama terapi antiretroviral(ART). Biasanya
pasien akan diberikan tiga golongan obat ARV. Kombinasi obat ARV yang diberikan
berbeda-beda pada tiap-tiap orang, jadi jenis pengobatan ini bersifat pribadi atau khusus.
Beberapa obat ARV sudah digabungkan menjadi satu pil. Begitu pengobatan HIV dimulai
mungkin obat ini harus dikonsumsi seumur hidup. Jika satu kombinasi ARV tidak berhasil
mungkin obat ini harus dikonsumsi seumur, jika satu kombinasi ARV tidak berhasil mungkin
perlu beralih ke kombinasi ARV lainnya, penggabungan beberapa tipe pengobatan untuk
mengatasi infeksi HIV bisa menimbulkan reaksi dan efek samping yang tidak terduga. Selalu
tubuh akan menurun dengan cepat dan pada umumnya tidak terdeteksi lagi di dalam
darah setelah pemakaian 6 bulan. Namun, terapi ARV harus dijalani seumuer hidup, bila
dihentikan maka perkembangbiakan HIV akan makin meningkat. Jika jumlah virus
menurun maka kekebalan tubuh (CD4) akan meningkat. Terapi ARV dapat
meningkatkan kualitas hidup ODHA dan memperpanjang masa hidup ODHA. Manfaat
Menurunkan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) infeksi HIV
Mencegah atau mengurangi resiko penularan horisontal (dari orang ke orang lainnya)
2.1.6. Langkah-Langkah Terapi ARV
yang mengikuti terapi ARV harus diberikan konseling terlebih dahulu. Konseling
bertujuan untuk pemberian pemahaman mengenai ARV dan proses terapinya mulai dari
pengertian, manfaat, persyaratan, proses terapi dan resikonya. Yang terpenting dalam memulai
b. Tes CD4
Tes untuk melihat jumlah CD4 di dalam darah. Jumalh CD4 merupakan salah satu
petunjuk penting untuk menentukan kapan harus mulai terapi ARV. Terapi ARV sebaiknya
c. SGOT/SGPT
Merupakan tes fungsi hati. Tes ini sangat penting dilakukan oleh seorang yang akan
mulai terapi karena ARV merupakan obat yang cukup keras dan kemungkinan akan mengganggu
fungsi hati. Jadi dengan mengetahui fungsi hati seseorang yang akan terapi, setidaknya dokter
d. DL
Merupakan tes darah lengkap untuk mengetahui jumlah hemoglobin karena ada obat
ARV yang apabila dipakai akan mengakibatkan efek samping terganggunya pembentukan sel
darah merah pemakainya dimana kecenderungan Hb akan menrun dan bisa mengakibatkan
anemia. Bila Hb menunjukkan angka dibawah normal (dibawah 12g/dl) biasanya tidak akan
diberikan ARV.
f. Rongent
Merupakan tes menggunakan sinar X dalam terapi ini bertujuan untuk mengetahui
apakah ada kelainan pada paru-paru seseorang. Misal jika dalam paru-paru ditemukan TB
Jika semua tahap sudah dilakukan, keputusan untuk menjalani terapi ARV tetap berada di
tangan ODHA. Apabila ODHA belum siap menjalani terapi ARV, konselor atau dokter akan
memberikan informasi lanjutan dalam rangka memotivasi ODHA. Konselor juga memberikan
informasi mengenai perilaku sehat dan mengikuti perkembangan pasien. Apabila dalam proses
selanjutnya ODHA kemudian menyatakan siap mengikuti pengobatan maka prosesnya dimulai
lagi dari awal. ODHA yang sudah siap menjalani terapi ARV diminta menunjuk PMO
(Pengawas Menelan Obat) yakni seseorang yang setiap saat mengingatkan dan memastikan
ODHA untuk minum dan menelan obatnya. PMO bisa ditunjuk dari lingkungan keluarga
terdekat atau orang yang dipercaya oleh ODHA. PMO juga bertugas membantu ODHA bila
Efek samping ringan yaitu sakit kepala, diare, perut kembung, lipodistropi (kehilangan
lemak) pada kaki, lengan dan wajah, masalah kulit seperti ruam, kelelahan. Untuk efek samping
berat yaitu terjadinya kerusakan hati, serangan jantung dan otak, kerusakan ginjal, kerusakan
saraf dll. Namun kadang kala penyakit HIV sendiri mungkin lebih mempengaruhi dibandingkan
Seorang pasien dikatakan Lost to Follow Up (LTFU) bagi yang sedang menalani terapi
ARV apabila dia melewatkan kunjungan klinik yang telah terjadwal sebulan sekali selama 3
minggu. Dalam beberapa program pengobatan, lebih dari sepertiga pasien mangkir (LTFU)
karena mereka berhenti datang dalam waktu tiga tahun setelah memulai pengobatan. Hal ini akan
mengancam keberhasilan program pengobatan pasien HIV yang telah direncanakan (Hannock,
T; et al. 2015).
Definisi LTFU berdasarkan "keterlambatan" pada kunjungan klinik berikutnya pasti akan
memiliki ketepatan yang lebih tinggi, namun kebanyakan catatan medis elektronik tidak secara
sebaiknya tanggal kunjungan klinis berikutnya disertakan dalam pendaftaran dan pelaporan
program standar, terutama mengingat perannya yang jelas dan penting dalam mengkoordinasikan
Pasien bisa menjadi LTFU dan kembali beberapa kali dalam masa tindak lanjut tertentu.
Ini berarti bahwa walaupun jumlah episode LTFU yang diprediksi oleh model mendekati
kenyataan, jumlah pasien yang bertahan lebih tinggi dalam data dari pada model. Hal ini
membuat lebih sulit untuk membandingkan model dengan data, namun seharusnya tidak
mempengaruhi infeksi baru terhadap hasil utama yang diminati (Benjamin H; et al. 2011).
Salah satu penyebab meningkatnya kejadian LTFU dianggap berasal dari penelusuran
pasien yang miskin di lingkungan berpendapatan rendah dan karena kurangnya pelaporan risiko
kejadian kematian yang dapat dianggap sebagai LTFU. Oleh karena itu, memahami faktor risiko
LTFU diperlukan untuk menjaga kepatuhan dan melakukan intervensi pada kelompok pasien
Lost to Follow Up (LTFU) berdampak negatif pada manfaat imunologi ART dan
meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan rawat inap terkait AIDS. LTFU pada pasien yang
toksisitas obat, kegagalan pengobatan karena ketidakpatuhan, dan resistansi obat sehingga
meningkatkan risiko kematian. Memiliki layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan unik
populasi ini, misalnya, klub remaja, dan desentralisasi untuk memberikan perawatan yang lebih
dekat ke rumah pasien dapat membantu mengurangi LTFU (Tezera, M; et al. 2014)
Secara khusus, pusat layanan kesehatan dengan volume pasien yang lebih besar
tampaknya memiliki definisi LTFU yang lebih pendek. Meningkatnya waktu tunggu yang
biasanya dikaitkan dengan pengaturan yang padat dan terbebani itu cenderung menjadi hambatan
penting untuk mempertahankan. Akibatnya, mereka yang memakai ART lebih cepat
membedakan dirinya sebagai orang yang aktif atau LTFU (Hannock, T; et al. 2015).
Faktor risiko tingginya angka LTFU pada penderita HIV disebabkan oleh kesenjangan
dalam layanan konseling saat mengisi ulang pengobatan, dan saat melakukan layanan
pengobatan hanya menggunakan telepon seluler. Kelemahan utama layanan ini adalah asumsi
pasien yang terbatas akibat cakupan jaringan dan tingkat ponsel yang lebih tinggi oleh non-
pengguna. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien drop-out dari pengobatan di tahun
pertama, dan periode puncaknya pada 6 bulan pertama pengobatan sehingga menyebabkan
tidak memiliki pasangan yang berkomitmen memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi LTFU.
Hal ini menunjukkan bahwa memiliki hubungan utama yang berkomitmen adalah protektif
Menurut penelitian Mazvita; et al di South Afrika ada berbagai temuan berkaitan dengan
hubungan antara jumlah CD4 pada awal dan LTFU, dengan beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pasien dengan jumlah CD4 di antara 301 dan 350 memiliki risiko lebih rendah menjadi
LTFU dibandingkan dengan jumlah CD4 <200 sel / ml, sementara yang lain menunjukkan
bahwa jumlah CD4 di awal yang lebih tinggi dikaitkan dengan risiko LTFU yang lebih tinggi.
Temuan kami menunjukkan bahwa pasien yang memiliki jumlah CD4> 200 pada pengobatan
memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi LTFU. Temuan ini mungkin dapat dijelaskan oleh
fakta bahwa pasien dengan jumlah CD4 tinggi umumnya tidak memiliki gejala klinis khas
penyakit HIV lanjut dan oleh karena itu, pasien tidak merasakan manfaat jadwal tindak lanjut
yang ketat.
Dalam penelitian kami, kami dapat menunjukkan bahwa pasien yang tidak tertekan
secara virologi (VL> 50) pada kunjungan klinik terakhir memiliki risiko tiga kali lebih tinggi
untuk menjadi LTFU daripada mereka yang menderita HB tertekan. Demikian pula, pasien yang
mengalami penyakit klinis stadium lanjut pada kunjungan klinik terakhir (stadium klinis WHO
tiga atau empat) dua kali lebih mungkin menjadi LTFU. Temuan serupa telah dilaporkan pada
Adopsi definisi standar untuk LTFU, para peneliti mencatat, harus memfasilitasi
harmonisasi pemantauan dan evaluasi program ART di seluruh dunia dan harus membantu untuk
mengidentifikasi "praktik terbaik" yang terkait dengan tingkat LTFU yang rendah. Hal ini
penting agar menyediakan kerangka kerja yang diperlukan dalam penelitian yang dirancang
untuk memperbaiki retensi pasien dalam program ART, sehingga membantu memaksimalkan
dan mempertahankan keuntungan kesehatan dari program pengobatan HIV (Benjamin. H, et al.
2011).
Stigma adalah atribut yang sangat luas yang dapat membuat individu kehilangan
kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan (Goffman dalamMajor & O’Brien,
2005). Menurut Kamus Psikologi stigma adalah satu tanda atau ciri pada tubuh (Chaplin, 2009).
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma didefinisikan sebagai ciri negatif yang
menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma dapat juga
didefinisikan sebagai suatu fenomena yang dapat memengaruhi diriindividu secara keseluruhan
(Crocker dkk., Jones dkk., Link & Phelan dalam Major & O’Brien, 2005). Menurut Goffman
mark residing in the person as something the person possesses” artinya bahwa konsep stigma
mengidentifikasi atribut atau tanda yang berada pada seseorang sebagai sesuatu yang dimiliki.
2010).Menurut Surgeon General Satcher’s (dalam Teresa, 2010) menyatakan stigma adalah
kejadian atau fenomena yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan perhatian, mengurangi
seseorang untuk memperoleh peluang dan interaksisosial. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010)
juga menjelaskan bahwa stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah.
Dari beberapa definisi dari stigma tersebut, maka calon peneliti menyimpulkan definisi
stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah serta fenomena yang terjadi ketika individu
Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut Major & O’Brien (2005), yaitu :
Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif dan diskriminsi secara
langsung yang artinya terdapat pembatasan pada akses kehidupan dan diskriminasi secara
langsung sehingga berdampak pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik.
Stigma dapat terjadi dibeberapa tempat seperti di sebuah toko, tempatkerja, setting pendidikan,
pelayanan kesehatan dan sistem peradilan pidana (Eshieman, dalam Major & O’Brien, 2005).
Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self fullfilling prophecy
(Jussim dkk., dalam Major & O’Brien, 2005). Persepsi negatif, stereotipe dan harapan bisa
mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma yang diberikan sehingga
Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivasi stereotip otomatis secara negatif pada
suatu kelompok.
2.3.3.1. Labeling
Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan berdasarkan perbedaan-
perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat tersebut (Link & Phelan dalam Scheid& Brown,
2010). Sebagian besar perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun beberapa
perbedaan yang diberikan dapat menonjol secara sosial. Pemilihan karakteristik yang menonjol
dan penciptaan label bagi individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu
Berdasarkan pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan perbedaan yang dimiliki
kelompok tertentu.
2.3.3.2. Stereotip
Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan
keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu (Judd, Ryan & Parke dalam Baron
& Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013) stereotip merupakan keyakinan mengenai karakteristik
tertentu dari anggota kelompok tertentu.Stereotip adalah komponen kognitif yang merupakan
keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu kelompok
tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan, stereoti padalah komponen kognitif dari
individu yang merupakan keyakinan tentang atribut personal atau karakteristik yang dimiliki
oleh individu dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu.
2.3.3.3. Separation
Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki stigma atau
pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatkan stigma). Hubungan label
dengan atribut negatif akan menjadi suatu pembenaran ketika individu yang dilabel percaya
bahwa dirinya memang berbeda sehinggah alter sebut dapat dikatakan bahwa proses pemberian
stereotip berhasil (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).
kelompok yang mendapatkan stigma dengan kelompok yang tidak mendapatkan stigma.
2.3.3.4.Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena keanggotaannya dalam
suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) diskriminasi adalah
komponen behavioral yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena individu
tersebut adalah anggota dari kelompok tertentu. Berdasarkan pemaparan tersebut, diskriminasi
adalah komponen behavioral yang merendahkan individu karena individu tersebut adalah
Menurut Jones (dalam Link, Yang, Phelan & Collins, 2001) mengidentifikasi dimensi dari
lain. Concealability bervariasi tergantung pada sifat stigma tersebut. Individu yang
mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk memperoleh sikap yang lebih
d. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang menarik atau
menyenangkan.
f. Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami orang lain.
Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacup ada bahaya fisik atau perasaan yang
ini mengacup ada teori Link dan Phelan (dalamScheid& Brown, 2010) yang juga berpedoman
pada pemikiran Goffman (1961) yaitu Labeling, Stereotip, Separation dan Diskriminasi.
mengeksplorasi stigma dan pengalaman diskriminasi pada ODHA di Afrika Selatan. Penelitian
ini menggunakan metode kuantitatif dan menggunakan instrumen Stigma Index. Hasil penelitian
dari 486 responden yang bersedia mengisi kuesione rtersebut didapatkan analisis sesuai
mengenai penyakitnya, 19% mengalami kekerasan secara verbal, 26% dikucilkan oleh
lingkungan sekitar, 17% pernah diserang secara fisik, 31% dikucilkan dari kegiatan keluarga,
17% dilecehkan secara fisikdan 31% dikeluarkan dari kegiatan keagamaan. Dari hasil penelitian
tersebut diketahui bahwa ODHA memiliki tingkat signifikansi pada stigma dan diskriminasi
yang berdampak pada kesehatan mereka, dan dalam lingkungan, pekerjaan serta keluarga.
Hal ini sesuai dengan penelitian Fatemeh, et al (2017) berjudul“Qualitative study of HIV
related stigma and discrimination: What women say in Iran”. Penelitian tersebut menggunakan
metode kualitatif yang bertujuan untuk mengungkapkan perasaan partisipan perempuan yang
terinfeksi HIV di Iran, dan pengalaman mereka dari stigma. Dari hasilpenelitiantersebutdari 25
Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu
memiliki beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya namun akhirnya terjadi devaluasi
pada kontek stertentu. Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid& Brown, 2010) stigma terjadi
tersebut, yaitu:
a. Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan label atas perbedaan
b. Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang dimiliki individu terhadap
c. Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang telah diberikan label
pada individu atau kelompok dalam kategori yang berbeda sehingga terjadi separation.
d. Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label mengalami diskriminasi.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini peneliti akan menjelaskan rancangan penelitian yang akan digunakan, desain
penelitian, definisi orparasional, popolasi dan sampel yang berkontribusi dalam penelitian,
instrument penelitian, prosedur dan cara pengumpulan data, analisa data, uji validitas dan
Rancangan (design) penelitian ini adalah penelitian deskripsi kuantitatif untuk menggali
dan memahami Hubungan stigma pada pasien HIV/AIDS terhadap kejadian lost to follow up di
RSUP dr Hasan Sadikin Bandung. Metode kuantitatif berlandaskan pada filsafat positivisme.
Metode ini sebagai metode ilmiah karena telah memenuhi kaidah ilmiah yaitu konkrit/ empiris,
obeyektif atau terukur, relativ tetap, rasional, dan sistematis. Metode kuantitatif baik digunakan
untuk konfirmatif. Adapun data dalam penelitian ini berupa angka-angka dan analisis
menggunakan statistik. Metode kuantiatif yang digunakan dalam penelitian ini bersifat survey
(Sugiono, 2013). Menurut Neuman W Laurence (2003) dalam penelitian survey peneliti
menanyakan ke responden tentang keyakinan, pendapat karakteristik suatu obyek dan prilaku
Rumusan masalah dalam penelitian ini bersifat asosiatif yaitu suatu rumusan masalah
yang bersifat hubungan antara dua variabel atau lebih dimana peneliti ingin mengetahui variabel
independen stigma pada pasien HIV/AIDS yang akan dihubungakan terhadap variable dependen
kejadian lost to follow up. Dalam penelitian ini juga terdapat variabel confounding yaitu; umur,
2. Deskriminasi
Variable konfonding
1. Umur
2. Pendidikan
3. Jenis kelamin,
4. Pekerjaan
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur dan Alat Hasil Ukur Skala
Ukur Ukur
Variabel ciri negatif yang cara ukur: wawancara Dinyatakan Interval
independen menempel pada alat ukur: Kuisioner dalam bentuk
: stigama pribadi seseorang sebanyak 33 skala likert
pada karena pengaruh pernyataan Berupa skor
Pasien lingkungannya
HIV/AIDS
Variabel melewatkan kunjungan cara ukur: wawancara Dinyatakan Interval
dependen: klinik yang telah alat ukur: Kuisioner dalam bentuk
Loss to terjadwal sebulan sebanyak 18 skala likert
follow up sekali selama 3 pernyataan Berupa
minggu. kategori
Confounding
umur Lama hidup Kuisioner tentang umur Dinyatakan Interval
berdsarkan tanggal dalam tahun
lahir
Pendidikan Tingkat pendidikan Pendidikan dasar Dinyatakan Nominal
yang ditempuh (SD,SMP) dalam
Pendidikan Menengah kategori
(SMU) jenjang
Pendidikan Tinggi (DIII,
SI,S2, S3)
Jenis Penggolongan menurut Kuisioner tentang Jenis Terdiri dari: Nominal
kelamin ciri biologis dibagi kelamin 1. Laki-laki
menjadi laki-laki dan 2. Perempua
perempuan n
Pekerjaan Jenis pekerjaan Kuisioner tentang Jenis Dinyatakan Nominal
pekerjaan dalam bentuk
pekerjaan
3.3.1. Populasi
atas; obyek/subyek yang mmepunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan (Sugiono, 2013). Adapun populasi
dalam penelitian ini seluruh pasien HIV/AIDS yang terdaftar di pelayanan kesehatan di
3.3.2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
sampling. Sugiyono (2013) purposive sampling yaitu informan - informan yang peneliti
berurusan dengan permasalahan yang sedang peneliti teliti. Kriteria sampel penelitian
yaitu:
3.3.2.1.Pasien yang terbukti positif HIV/AIDS berdasarkan hasil laboratorium yang berobat di
RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung yang dinyatakan loss to follow up dan tidak tercatat
di peleyanan kesehatan lainnya
Besarnya partisipan dalam penelitian menggunakan rumus dari Isaac dan Michael.
Sampel ditentukan berdasarkan tingkat kesalahan 1%, 5% dan 10% berikut rumusnya:
ℵ2 . N. P. Q
S=
𝑑 2 (𝑁 − 1) + ℵ2 . P. Q
Keterangan:
S = Jumlah sampel
ℵ2 = Chi kuadrat yang nilainya bergantung pada derajat kebebasan dan tingkat
kesalahan. Untuk derajat kebebasan 1 dan derajat kesalahan 5% nilai chi kuadrat
= 3,841.
N = Jumlah populasi
d = Perbedaan anatara sampel yang diharapkan dengan yang terjadi. Perbedaan bisa
Penelitian ini direncanakan akan dilakukan di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung Jawa
Barat, yang menjadi tintik sentral pengobatan HIV/AIDS di kota Bandung. Pasien
HIV/AIDS yang berobat di rumah sakit Bandung yang terdata loss to follow up.
3.4. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
3.4.1. Bagian pertama:1- 7 data confounding berupa: ( umur, jenis kelamin, pendidikann
dan pekerjaan)
3.4.2. Bagian kedua: pengalaman stigma yang dialami oleh pasien, Dalam membuat
instrumen stigma peneliti merujuk pada instrumen yang telat di buat oleh Laura
dalam melakukan penelitian: yang dibagi dalam empat indikator yaitu : Ketakutan
kontak dengan ODHA (fear of contact with PLWH) sebanyak 7 pernyataan: no 1-7,
pernyataan: no 30-33.
3.4.3. Bagian ketiga: kuesioner lost to follow up pada pasien dengan pemberian ARV
sebanyak 18 pernyataan.
Proses pra pengumpulan data dimulai dengan melangkapi data administrasi berupa izin
RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung kemudian dlanjutkan ke Dinas Kesehatan Kota
Bandung. Setelah pengizinan selesai peneliti membawa surat izin penelitian dari Dinas
Kesehatan peneliti menemui direktur RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung untuk
b. Peneliti memilih sampel dalam penelitian ini sebagian responden yang kemudian
untuk bersedia ikut atau tidak dalam penelitian ini, kerahasiaan data serta
3.6.1. Editing; Peneliti melakukan pengecekan kelengkapan data. Apabila terdapat data
yang tidak jelas atau tidak relevan dengan pertanyaan maka penulis melakukan
3.6.3. Processing; Peneliti memproses data dengan cara melakukan entry data dari masing-
tidak ada kesalahan, dilakukan tahapan analisis data sesuai jenis data.
Adapun analisis data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pengujian hipotesis
asosiatif (hubungan) menggunakan tehnik korelasi Pearson Product Moment (r) dimana data
- Ho ditolak: terdapat hubungan antara stigma pada pasien HIV/AIDS dengan kejadian
- Ho diterima: tidak terdapat hubungan antara stigma pada pasien HIV/AIDS dengan
kejadian lost to follow up. Adapun rumusan korelasi Pearson Product Moment (r) yaitu
∑ 𝑥𝑦
rxy =
√(∑ 𝑥 2 )(∑ 𝑦 2 )
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini perlu dilakukan uji validitas karena
hanya memodifikasi dari kuesioner baku. Ada tiga bentuk validitas yang harus dilalui
b. Predictive validity/ concurent validity yaitumelihat skor yang diperoleh sudah sesuai
Dalam penelitian ini direncanakan untuk mendapat persetujuan dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam hal ini
peneliti melakukan pertimbangan menurut etika penelitin ada atau tidak ada masalah seperti
Polit & Beck (2008). Sebelumnya peneliti telah memprediksi bahwa penelitian ini bukan
merupakan penelitian yang high risk sehingga setelah uji etik selesai diharapkan hasilnya
peningkatan status pasien dari sakit menjadi bertambah parah. Prinsip yang diterapkan oleh
3.9.1. Beneficience
Prinsip etika yang harus dipenuhi dalam sebuah penelitian yaitu beneficience.
Sebuah prinsip yang menkankan pada peneliti bahwa penelitian tersebut memberi
manfaat pada partisipan. Selain keuntungan juga menjauhkan partisipan dari bahaya.
Adapun manfaat dalam penelitian ini untuk partisipan akan dibentuk perkumpulan
antarapasien loss to follow up dengan partisipan yang menjali therapi sesuai arahan
bisa berbagi pengalaman dan cara mengurangi kesakitan serta perbaikan koping pasien
Dalam penelitian in peneliti juga akan menciptakan suasana yang nyaman dan
memperhatikan reaksi verbal dan non verbal dari partisipan. Peneliti juga
perburukan status kesehatan. Jika hal tersebut terjadi peneliti akan menghentikan
wawancara pengisian kuesioner dan berkonsultasi pada perawat fasilitator.
3.9.2. Authonomy
bersedia ikut dalam penelitian atau tidak. Authonomy memberikan makna bahwa
3.9.3. Anonimity
nama partisipan pada lembar alat ukur dan hanya akan menuliskan kodepada lembar
3.9.4. Justice
Justice yang bermakna keadilan yang berarti seluruh partisipan memiliki peluang
dan memberikan perlakuan yang sama. Seleksi telah dilakukan berdasarkan kriteria
yang telah ditentukan oleh peneliti sebelumnya. Peneliti juga memberikan privacy
kepada partisipan dengan cara melakukan pertemuan ditempat yang telah disepakati
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial edisi kesepuluh. Jakarta : Erlangga.
Carpenter, D.R. (2007). Phenomenology as method in H.J. staubert & Carpenter,D.R (Eds),
Qualitative Research In Nursing: Advencing The Humanistic Imperative (pp.75-99).
Philadelphia, PA:Lippincott.
Evangeli M, Newel ML, Richter L McGrath N. (2014). The Association Betwen Self Reported
Stigma And Loss-To-Follow Up In Treatment Cligible HIV Positif Adult In Rural Kwazula-
Natal, South Africa. PloS One. 4:9 (2);e88235.
Fatemeh Oskouie, Farzaneh Kashefi, Forough Rafii, et al. (2017). Qualitative study of HIV
related stigma and discrimination: What women say in Iran. Electronic Physician; Volume:
9, Issue: 7, Pages: 4718-4724,
Giorgi , A. (2011). IPA and science: a response to jonathan smith. Journal of fenomenological
psychologi. 42, P; 195-216
Hannock, T; Matthias, E; Gilles, W; Caryl, F; Leigh F. J; et al. 2015. Tracing of patients lost to
follow-up and HIV transmission: Mathematical modelling study based on two large ART
Laura Nyblade and Kerry MacQuarrie. (2006). Can We Measure Hiv/Aids-Related Stigma
And Discrimination? Current Knowledge About Quantifying Stigma In Developing
Countries. International Center for Research on Women (ICRW) and POLICY Project,
USAID, 2006.
Lin chi-shiou. (2013). Reaveling the “essence of thing: using phenomenologi in LIS research.
Qualitative and quantitative methode in libraries (QQML) 4. P: 469-478.
Link, B. G., Struening, E. L., Tood, S. N., Asmussen, S., & Phelan, J. C. (2001). The
consequences of stigma for the self esteem of people with mental illnesses. Psychiatric
Service, 52(12), 1621-1626. Diunduh 11 April 2015, dari Google Scolar.
Major, B., & O'Brien, L. T. (2005). The social psychology of stigma. Annual review of
psychology (56), 393.doi:10.1146/annurev.psych.56.091103.070137.
Monika Santos, Pieter Kruger, Shaun E Mellors, et al. (2014). An exploratory survey measuring
stigma anddiscrimination experienced by people living withHIV/AIDS in South Africa: the
People Living withHIV Stigma Index. Journl of BMC Public Health; pages: 14:80.
Nanang Munif Yasin, Hesaji Maranty, dan Wahyu Roossi Ningsih,( 2011)Analisis respon terapi
antiretroviral pada pasien HIV/AIDS. Majalah Farmasi Indonesia, 22(3)
Nursalam. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta ; Salemba
Medika.
Polit, D.F., & Back, C.L. (2008). Nursing Research:Principle And Methode 7 Th Edtion.
Philadelphia, PA:Lippincott.
Rahman, A. A. (2013). Psikologi sosial integrasi pengetahuan wahyu dan pengetahuan empirik.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Scheid, T. L., & Brown, T. N. (2010). A handbook for the study of mentak health social context,
theories, and system second edition. New York: Cambridge University Press.
Suryani dan Henderdy. (2015). Metode Riset Kualitatif Teori Dan Aplikasi Pada Penelitian
Bidang Manajemen Ekonomi Islam, Jakarta Prenadamedia group.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial edisi kedua belas. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Tezera, M;Demissew, B;Salahuddin, M. 2014. Predictors of Loss to follow-up in Patients Living
Medical Sciences.
UNSAIDS. Global report: UNAIDS report on the global epidemic 2013. Ganeva; Joint united
nation programme on HIV/AIDS;
Dalam membuat instrumen stigma peneliti merujuk pada instrumen yang telat di buat oleh Laura
Nyblade and Kerry MacQuarrie(2006) bentuk kualitatif namun peneliti memodifikasi kembali menjadi
bentuk instrumen kuantitatif agar memudahkan dalam melakukan penelitian:
TABLE 1:
RECOMMENDED INDICATORS, QUESTIONS
FOR FEAR OF CASUAL CONTACT WITH
PEOPLE LIVING WITH HIV/AIDS
TABLE 2:
RECOMMENDED INDICATORS, QUESTIONS FOR VALUES (SHAME, BLAME
AND JUDGMENT)
Community-level Percent of people who Do you agree/disagree with the following statement:
judge or blame persons 1. HIV is a punishment from God.
living with HIV/AIDS for 2. HIV/AIDS is a punishment for bad behavior.
their illness. 3. It is women prostitutes who spread HIV in the community.
4. People with HIV are promiscuous.
How do you think most people in your community would answer the
previous questions?
How do you think most people in your community would answer the
previous questions?
Provider-level Percent of people working in Do you agree/disagree with the following statement:
institutions/facilities 1. HIV is a punishment from God.
(e.g., managers, health care 2. HIV is punishment for bad behavior.
workers) who report judgment.
3. People with HIV should be ashamed of themselves.
Provider-level Percent of people in In the past 12 months, have you seen or observed the following happen in
institutions/facilities this health facility because a client was known to have or was suspected of
(e.g., managers, health having HIV/AIDS?
care workers) who 1. Receiving less care/attention than other patients.
personally know 2. Extra precautions being taken in the sterilization of instruments used on
patients who were [fill HIV- positive patients.
in type of discrimi- 3. Requiring some clients to be tested for HIV before scheduling surgery.
nation] in the past 12 4. Using latex gloves for performing noninvasive exams on clients suspected
months because they of having HIV.
were known or
5. Because a patient is HIV-positive, a senior health care provider assigned
suspected to have
the client to a junior provider.
HIV/AIDS: neglected,
6. Testing a client for HIV without his/her consent.
treated differently,
7. Health care providers gossiping about a client’s HIV status.
denied care, verbally
abused, tested for HIV
or had sero-status
disclosed without
consent.
PLHA-level Percent of PLHA In the last year, have you [fill in from list below] because of your HIV status?
who experienced 1. Been excluded from a social gathering.*
enacted stigma 2. Been abandoned by your spouse/partner.
in last year. 3. Been isolated in your household.
4. Been no longer visited or visited less
frequently by family and friends.
5. Been teased, insulted or sworn at.
6. Lost customers to buy produce/goods or lost a job.
7. Lost housing or not been able to rent housing.
8. Been denied religious rites/services.
9. Had property taken away.
10. Been gossiped about.
11. Lost respect/standing within the family and/or community.
12. Been threatened with violence.
13. Been given poorer quality health services.
14. Been physically assaulted.
15. Been denied promotion/further training.
16. Had an increase of visitors to “check out” how you are doing.
17. Been abandoned by your family/sent away to the village.
*Bolded items indicate the minimum core group of items recommended from this analysis
TABLE 4:
RECOMMENDED INDICATORS, QUESTIONS FOR DISCLOSURE
* It is not always considered ethical to ask if a person living with HIV has disclosed her or her HIV status. It is important to be
aware of how that is perceived in each context.
LAMPIRAN 2
LEMBAR KUESIONER
HUBUNGAN STIGMA TERHADAP KEJADIAN LOST TO FOLLOW UP PADA
PASIEN DENGAN HIV/AIDS YANG MENERIMA TERAPI ARV DI RSUP DR.
HASAN SADIKIN BANDUNG
Kode Responden
1. Selama 4 hari yang lalu, berapa banyak waktu minum obat yang anda lewatkan?
□ 0 □ 1 □ 2 □ 3
□ 0 □ 1 □ 2 □ 3 □ 4
3. Pengobatan anti –HIV anda mempunyai petunjuk yang khusus, misalnya “ minum
bersamaan dengan makanan” atau “saat perut kosong” atau “disertai dengan air yang
banyak”. seberapa sering anda telah mengikuti petunjuk khusus dalam beberapa
hari yang lalu?
Tidak Beberapa Sebagian kecil Sebagian Setiap
pernah saat besar saat
□ 0 □ 1 □ 2 □ 3 □ 4