Anda di halaman 1dari 43

TUGAS PROPOSAL KUANTITATIF

HUBUNGAN STIGMA TERHADAP KEJADIAN LOST TO FOLLOW UP PADA PASIEN


HIV/AIDS YANG MENERIMA TERAPI ARV DI RSUP dr. HASAN SADIKIN
BANDUNG

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Kuantitatif

Dosen:
Dr. Cecep Eli Kosasih
Laili Rahayuwati, Dra., M.Kes, M.Sc, Dr.PH (LR)

Oleh Peminatan Keperawatan Medikal Bedah:

Tuti Sahara 220120170027

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017
DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang ................................................................................................. 1


1.2.Tujuan Penelitian ............................................................................................. 4
1. Tujuan Umum ............................................................................................. 4
2. Tujuan Khusus............................................................................................. 4
1.3.Hipotesis penelitian .......................................................................................... 4
1.4.Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1.HIV/AIDS ........................................................................................................ 6
2.2.Lost to follow up .............................................................................................. 13
2.3.Stigma ............................................................................................................. 16

BAB III KERANGKA KONSEP

3.1.Rancangan penelitian ...................................................................................... 22


3.2.Definisi Operasional ........................................................................................ 23
3.3.Populasi dan sampel ......................................................................................... 24
3.4.Instrument Penelitian ....................................................................................... 26
3.5.Prosedur dan cara pengumpulan data............................................................... 26
3.6.Pengolahan data .............................................................................................. 27
3.7.Analisa data ..................................................................................................... 28
3.8.Uji Validitas .................................................................................................... 28
3.9.Etika penelitian ................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN 1

LAMPIRAN 2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak dinyatakan pandemik HIV/ AIDS ditemukan didunia pada tahun 1981 telah

membunuh 25 juta orang. Pada tahun 2010 terdapat 34juta/milliun orang hidup dengan

HIV/AIDS di dunia dan mayoritas hidup di daerah bagian Sub-Sahara Afrika. Setiap

tahunnya jumlah orang yang meninggal karena AIDS terus meningkat sehubungan dengan

meningkatnya jumlah kasus HIV/AIDS yang mencapai puncak sebanyak 2,2juta/miliun pada

tahun 2005 dengan estimasi 1.8 juta pada tahun 2010 (Evangeli M, Newel, Richter, 2014).

Pada tahun 2014, the Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS)

memberikan rapor merah kepada Indonesia sehubungan penanggulangan HIV/AIDS. Pasien

baru meningkat 47 persen sejak 2005. Kematian akibat AIDS di Indonesia masih tinggi,

karena hanya 8 persen Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang mendapatkan pengobatan

obat antiretroviral (ARV).Indonesia adalah negara ketiga di dunia yang memiliki penderita

HIV terbanyak yaitu sebanyak 640.000 orang, setelah China dan India, karena ketiga negara

ini memiliki jumlah penduduk yang banyak. Hanya saja prevalensi di Indonesia hanya 0,43

persen atau masih di bawah tingkat epidemi sebesar satu persen.

Setiap 25 menit di Indonesia terdapat satu kasus baru pasien yang terinfeksi HIV. Satu

dari setiap lima orang yang terinfeksi berusia 25 tahun pada masa produktif. Proyeksi dari

Kementerian Kesehatan Indonesia memperlihatkan bahwa jika tidak dilakukan percepatan

penanggulangan HIV, lebih dari satu juta orang akan positif HIV pada tahun 2014. Hal

tersebut di picu oleh penularan seksual dan penggunaan narkoba suntik. Terapi ARV

(Antiretroviral) dan pelayanan pada klien HIV/AIDS diberikan secara gratis dengan tujuan
untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan harapan dan kualitas hidup

ODHA. Prevalensi kejadian HIV AIDS di jawa Barat untuk periode Januari- Maret 2016

menduduki kasus terbanyak kedua setelah Sulawesi selatan yaitu 49 kasus baru. Pasien

dengan HIV AIDS di Jawa Barat tidak sebanyak di Jawa timur dengan jumlah 14.499 kasus,

namun kematian dengan HIV AIDS di jawa barat termasuk tinggi jika dibandingkan dengan

jumlah kasusnya yaitu 3292 kasus meninggal dari 4919 kasus secara keseluruhan

(KEMENKES, 2016).

Penggolongan pasien yang mendapatkan pelayanan kesehatan therapi ARV yaitu;pasien

yang meninggal, yang masih menerima therapi, lost to follow up, rujuk keluar dan stop. Lost

to follow up pada pasien HIV AIDS yang sedang menjalankan therapi ARV bisa

mengakibatkan terputusnya therapi, meningkatkan resiko kematian dan menyulitkan untuk

mengevaluasi perkembangan pasien. Di Indonesia sendiri dari 127.128 kasus pasien yang

pernah mendapat therapi ARV sebanyak 26.901 pasien termasuk dalam lost to follow up

(KEMENKES, 2016).

Dari perspektif pasien, ketidakpatuhan kadang diakibatkan karena salah satu atau lebih

dari beberapa barier psikososial, seperti depresi dan gangguan mental, gangguan

neurokognitif, rendahnya pengetahuan tentang kesehatan, rendahnya support social, hidup

penuh stres, konsumsi alkohol berlebihan, pengguna napsa aktif, tunawisma, kemiskinan,

menjaga rahasia status HIV, penolakan, stigma. Selain itu, umur pasien juga mempengaruhi

aderen. khususnya, beberapa remaja danpasien HIV dewasa muda merupakan kelompok

yang memiliki tantangan yang cukup besar dalam mencapai tingkat kepatuhan. Di samping

itu , kegagalanuntuk mengadopsi praktek-praktek yang memfasilitasi kepatuhan, seperti


kegiatan ambil obat untuk sehari-hari atau menggunakansistem pengingat obat atau organizer

pil, juga terkait dengan kegagalan pengobatan.

Pasien yang hidup dengan HIV/AIDS rentan terhadap stigma dan diskriminasi,

kehilangan martabat dan meningkatnya kemiskinan serta depresi. Di tanah Papua dengan

kasus HIV/AIDS yang tinggi stigma buruk masih menjadi gambaran umum masyarakat

terhadap pasien dengan HIV/AIDS. Ketakutan menimbulkan resistensi terhadap tes HIV,

rasa malu untuk memulai pengobatan dan beberapa hal lainnya mempersulit dalam

menanggulangi pengendalian epidemi HIV AIDS.

Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Terlebih jika

disertai dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien yang positif HIV

akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan resiko kematian. Menurut Ross

(1997) dalam Nursalam 2007, jika stress mencapai tingkat kelelahan (exhausted stage), maka

akan menimbulkan kegagalan pada fungsi sistem kekebalan tubuh. Modulasi respon

kekebalan tubuh pasien HIV/AIDS akan menurun secara signifikan, seperti aktivitas APC

(makrofag); Th1 (CD4); IFNy; IL-2; imunoglobulin A, G, E dan anti HIV. Penurunan

tersebut akan berdampak pada penuruanan jumlah CD4 hingga mencapai 180 sel/µl

pertahun.

Tingginya angka kejadian lost to follow up pada penderita HIV/AIDS, sehingga peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang “hubungan stigma terhadap lost to follow up

pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin

Bandung”.
1.2 Tujuan Penelitian

a. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan stigma terhadap kejadian lost to follow up pada pasien

dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung?

b. Tujuan khusus

1) Untuk mengetahui hubungan stigma ketakutan kontak dengan Pasien HIV/AIDS

terhadap lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV

di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.

2) Untuk mengetahui hubungan stigma malu, menyalahkan, dan penghakiman terhadap

lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP

dr. Hasan Sadikin Bandung.

3) Untuk mengetahui hubungan stigma diskriminasi terhadap lost to follow up pada

pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin

Bandung.

4) Untuk mengetahui hubungan stigma pengungkapan terhadap lost to follow up pada

pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin

Bandung.

1.3 Hipotesis Penelitian

Adanya hubungan stigma terhadap kejadian lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS

yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.


1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat bagi:

1) Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan sebagai kebijakan

terhadap lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di

RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan di

rumah sakit.

2) Perawat

Sebagai landasan dalam memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi

lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS yang menerima terapi ARV di RSUP dr.

Hasan Sadikin Bandung sebagai informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan untuk mencegah pasien dengan .

3) Pasien dengan ODHA

penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat dengan

ODHA terhadap hubungan stigma pada lost to follow up pada pasien dengan HIV/AIDS

yang menerima terapi ARV di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS

2.1.1. Definisi HIV

HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian

menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia,

seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel de ndr it ik. HIV merusak sel T4 CD4+ secara langsung

dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik.

Sejak dilaporkan adanya kasus AIDS yang pertama oleh Gottlieb dkk. di Los Angeles pada

tangal 5 Juni 1981, pada bulan Januari 1983 Luc Montagnier dkk. menemukan virus penyebab

penyakit AIDS ini dan disebut dengan LAV (Lymphadenopathy Virus). Hasil penelitian Gallo,

Maret 1984 di Amerika menyatakan penyebab penyakit ini adalah Human T Lymphotropic

Virus Type III, disingkat dengan HTLV III dan tahun 1984 berdasarkan hasil penemuannya,

J.Levy menamakan AIDS Related Virus (ARV) sebagai penyebab penyakit ini. Pada bulan Mei

1986 Komisi Taksonomi Internasional menetapkan nama virus penyebab AIDS adalah Human

Immunodeficiency Virus,disingkat dengan HIV.

HIV adalah virus RNA yang termasuk dalam famili Retroviridae subfamili Lentivirinae

Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk

membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Satu kali terinfeksi

oleh retrovirus, maka infeksi ini akan bersifat permanen, seumur hidup.HIV merupakan

retrovirus yang terdiri dari sampul dan inti. Virus HIV terdiri dari 2 sub - tipe, yaitu HIV-1 dan

HIV-2. HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasinya lebih cepat. Secara struktural
morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang

melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan

komponen fungsional dan struktural yaitu gag (group antigen), pol (polymerase), dan env

(envelope).

2.1.2. Definisi AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquires Immune Deficiency Syndrome yang didefinisikan

sebagai sekumpulan gejala penyakit yang menyerang kekebalan tubuh manusia, sesudah sistem

kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus ini

merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh mudah diserang penyakit-penyakit

lain yang berakibat fatal. AIDS adalah penyakit yang fatal dan sudah banyak penderita AIDS

yang meninggal (Djoerban, 1999).Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari

penderita AIDS, tetapi karena ia terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS. Oleh karena itu,

AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau

menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang, AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis

Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae.Virus famili ini

mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase.Enzim ini menyebabkan retrovirus mampu

mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik

dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi

genetik virus juga ikut diturunkan. virus HIV akan menyerangLimfosit T yang mempunyai

marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengakt ivasi sel B, killer cell,

dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+adalah reseptor pada limfosit T yang
menjadi target utama HIV.HIV menyerang CD4+baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T.

secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24

berinteraksi dengan CD4+yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan

antigen.Setelah HIV mengifeksi seseorang,kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu

disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan

antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi.

Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan

merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga

periode jendela (window periode). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa

tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan

jumlah CD4+sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat,

50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS

adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+akan mencapai <200 sel/μL.

Dalam tubuh ODHA(Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan DNA sel

pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV,seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.Dari

semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3tahun

pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun

hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.

Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan

perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. Seiring dengan makin memburuknya

kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti
penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis,

infeksi jamur.

2.1.4. ARV (Anti Retroviral Virus)

Anti retroviral (ARV) adalah beberapa obat yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV.

Obat-obatan ini tidak membunuh virus, tapi memperlambat pertumbuhan virus . HIV bisa

mudah beradaptasi dan kebal terhadap satu golongan ARV .Oleh karena itu kombinasi golongan

ARV akan diberikan pada penderita, beberapa golongan ARV adalah :

a. NNRTI (Non nucleoside reverse transcriptase inhibitor). Jenis ARV ini akan bekerja

dengan menghilangkan protein yang dibutuhkan virus HIV untuk menggandakan diri

b. NRTI(Nucleoside Reverse trancriptase inhibitors). Golongan ARV ini menghambat

perkembangan HIV di dalam sel tubuh

c. Protease inhibitors ARV jenis ini akan menghilangkan protease, jenis protein yang juga

dibutuhkan HIV untuk memperbanyak diri

d. Entry Inhibitors ARV jenis ini akan menghalangi HIV untuk memasuki sel-sel CD4

e. Integrase Inhibitors jenis ARV ini akan menghilangkan integrase, protein yang digunakan

HIV untuk memasukkan materi genetik ke dalam sel-sel CD4

Pengobatan kombinasi ini lebih dikenal dengan nama terapi antiretroviral(ART). Biasanya

pasien akan diberikan tiga golongan obat ARV. Kombinasi obat ARV yang diberikan

berbeda-beda pada tiap-tiap orang, jadi jenis pengobatan ini bersifat pribadi atau khusus.

Beberapa obat ARV sudah digabungkan menjadi satu pil. Begitu pengobatan HIV dimulai

mungkin obat ini harus dikonsumsi seumur hidup. Jika satu kombinasi ARV tidak berhasil

mungkin perlu beralih ke kombinasiARV lainnya.


Beberapa obat ARV sudah digabungkan menjadi satu pil, begitu pengobatan HIV dimulai

mungkin obat ini harus dikonsumsi seumur, jika satu kombinasi ARV tidak berhasil mungkin

perlu beralih ke kombinasi ARV lainnya, penggabungan beberapa tipe pengobatan untuk

mengatasi infeksi HIV bisa menimbulkan reaksi dan efek samping yang tidak terduga. Selalu

konsultasikan kepada dokter sebelum mengonsumsi obat yang lain.

2.1.5. Manfaat Terapi ARV

ARV dapat menghambat perkembangan HIV sehingga jumlah HIV di dalam

tubuh akan menurun dengan cepat dan pada umumnya tidak terdeteksi lagi di dalam

darah setelah pemakaian 6 bulan. Namun, terapi ARV harus dijalani seumuer hidup, bila

dihentikan maka perkembangbiakan HIV akan makin meningkat. Jika jumlah virus

menurun maka kekebalan tubuh (CD4) akan meningkat. Terapi ARV dapat

meningkatkan kualitas hidup ODHA dan memperpanjang masa hidup ODHA. Manfaat

ARV antara lain :

 Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh

 Meningkatkan jumlah CD4 dalam tubuh

 Membuat tubuh menjadi mampu melawan infeksi

 Mengurangi terjadinya infeksi oportunistik

 Menghentikan progesifitas atau perjalanan HIV

 Menurunkan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) infeksi HIV

 Mencegah atau mengurangi resiko penularan vertikal dari ibu ke bayi

 Mencegah atau mengurangi resiko penularan horisontal (dari orang ke orang lainnya)
2.1.6. Langkah-Langkah Terapi ARV

a. Pra terapi ARV

yang mengikuti terapi ARV harus diberikan konseling terlebih dahulu. Konseling

bertujuan untuk pemberian pemahaman mengenai ARV dan proses terapinya mulai dari

pengertian, manfaat, persyaratan, proses terapi dan resikonya. Yang terpenting dalam memulai

pengobatan ARV adalah kesiapan dan komitmen dari ODHA.

b. Tes CD4

Tes untuk melihat jumlah CD4 di dalam darah. Jumalh CD4 merupakan salah satu

petunjuk penting untuk menentukan kapan harus mulai terapi ARV. Terapi ARV sebaiknya

dimulai sebelum jumlah CD4 turun dibawah 200/mm3.

c. SGOT/SGPT

Merupakan tes fungsi hati. Tes ini sangat penting dilakukan oleh seorang yang akan

mulai terapi karena ARV merupakan obat yang cukup keras dan kemungkinan akan mengganggu

fungsi hati. Jadi dengan mengetahui fungsi hati seseorang yang akan terapi, setidaknya dokter

akan dapat memberikan pertimbangan pemberian ARV

d. DL

Merupakan tes darah lengkap untuk mengetahui jumlah hemoglobin karena ada obat

ARV yang apabila dipakai akan mengakibatkan efek samping terganggunya pembentukan sel

darah merah pemakainya dimana kecenderungan Hb akan menrun dan bisa mengakibatkan

anemia. Bila Hb menunjukkan angka dibawah normal (dibawah 12g/dl) biasanya tidak akan

diberikan ARV.
f. Rongent

Merupakan tes menggunakan sinar X dalam terapi ini bertujuan untuk mengetahui

apakah ada kelainan pada paru-paru seseorang. Misal jika dalam paru-paru ditemukan TB

(tuberkulosis), ODHA akan diberikan obat TB terlebih dahulu selama 2 bulan .

g. Mulai terapi ARV

Jika semua tahap sudah dilakukan, keputusan untuk menjalani terapi ARV tetap berada di

tangan ODHA. Apabila ODHA belum siap menjalani terapi ARV, konselor atau dokter akan

memberikan informasi lanjutan dalam rangka memotivasi ODHA. Konselor juga memberikan

informasi mengenai perilaku sehat dan mengikuti perkembangan pasien. Apabila dalam proses

selanjutnya ODHA kemudian menyatakan siap mengikuti pengobatan maka prosesnya dimulai

lagi dari awal. ODHA yang sudah siap menjalani terapi ARV diminta menunjuk PMO

(Pengawas Menelan Obat) yakni seseorang yang setiap saat mengingatkan dan memastikan

ODHA untuk minum dan menelan obatnya. PMO bisa ditunjuk dari lingkungan keluarga

terdekat atau orang yang dipercaya oleh ODHA. PMO juga bertugas membantu ODHA bila

terjadi efek samping dari obat.

2.1.7. Efek Samping Terapi ARV

Efek samping ringan yaitu sakit kepala, diare, perut kembung, lipodistropi (kehilangan

lemak) pada kaki, lengan dan wajah, masalah kulit seperti ruam, kelelahan. Untuk efek samping

berat yaitu terjadinya kerusakan hati, serangan jantung dan otak, kerusakan ginjal, kerusakan

saraf dll. Namun kadang kala penyakit HIV sendiri mungkin lebih mempengaruhi dibandingkan

efek samping obat yang tepat.


2.2. LOST TO FOLLOW UP (LTFU)

Seorang pasien dikatakan Lost to Follow Up (LTFU) bagi yang sedang menalani terapi

ARV apabila dia melewatkan kunjungan klinik yang telah terjadwal sebulan sekali selama 3

minggu. Dalam beberapa program pengobatan, lebih dari sepertiga pasien mangkir (LTFU)

karena mereka berhenti datang dalam waktu tiga tahun setelah memulai pengobatan. Hal ini akan

mengancam keberhasilan program pengobatan pasien HIV yang telah direncanakan (Hannock,

T; et al. 2015).

Definisi LTFU berdasarkan "keterlambatan" pada kunjungan klinik berikutnya pasti akan

memiliki ketepatan yang lebih tinggi, namun kebanyakan catatan medis elektronik tidak secara

rutin memberikan informasi pada kunjungan terjadwal berikutnya. Bila memungkinkan,

sebaiknya tanggal kunjungan klinis berikutnya disertakan dalam pendaftaran dan pelaporan

program standar, terutama mengingat perannya yang jelas dan penting dalam mengkoordinasikan

penjangkauan jika mangkir dalam pengobatan (Benjamin H; et al. 2011).

Pasien bisa menjadi LTFU dan kembali beberapa kali dalam masa tindak lanjut tertentu.

Ini berarti bahwa walaupun jumlah episode LTFU yang diprediksi oleh model mendekati

kenyataan, jumlah pasien yang bertahan lebih tinggi dalam data dari pada model. Hal ini

membuat lebih sulit untuk membandingkan model dengan data, namun seharusnya tidak

mempengaruhi infeksi baru terhadap hasil utama yang diminati (Benjamin H; et al. 2011).

Salah satu penyebab meningkatnya kejadian LTFU dianggap berasal dari penelusuran

pasien yang miskin di lingkungan berpendapatan rendah dan karena kurangnya pelaporan risiko

kejadian kematian yang dapat dianggap sebagai LTFU. Oleh karena itu, memahami faktor risiko
LTFU diperlukan untuk menjaga kepatuhan dan melakukan intervensi pada kelompok pasien

(Tezera, M; et al. 2014).

Lost to Follow Up (LTFU) berdampak negatif pada manfaat imunologi ART dan

meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan rawat inap terkait AIDS. LTFU pada pasien yang

menerima ART dapat mengakibatkan konsekuensi serius, seperti penghentian pengobatan,

toksisitas obat, kegagalan pengobatan karena ketidakpatuhan, dan resistansi obat sehingga

meningkatkan risiko kematian. Memiliki layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan unik

populasi ini, misalnya, klub remaja, dan desentralisasi untuk memberikan perawatan yang lebih

dekat ke rumah pasien dapat membantu mengurangi LTFU (Tezera, M; et al. 2014)

Secara khusus, pusat layanan kesehatan dengan volume pasien yang lebih besar

tampaknya memiliki definisi LTFU yang lebih pendek. Meningkatnya waktu tunggu yang

biasanya dikaitkan dengan pengaturan yang padat dan terbebani itu cenderung menjadi hambatan

penting untuk mempertahankan. Akibatnya, mereka yang memakai ART lebih cepat

membedakan dirinya sebagai orang yang aktif atau LTFU (Hannock, T; et al. 2015).

2.2.1 Faktor Resiko Lost to Follow up

Faktor risiko tingginya angka LTFU pada penderita HIV disebabkan oleh kesenjangan

dalam layanan konseling saat mengisi ulang pengobatan, dan saat melakukan layanan

pengobatan hanya menggunakan telepon seluler. Kelemahan utama layanan ini adalah asumsi

pasien yang terbatas akibat cakupan jaringan dan tingkat ponsel yang lebih tinggi oleh non-

pengguna. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien drop-out dari pengobatan di tahun

pertama, dan periode puncaknya pada 6 bulan pertama pengobatan sehingga menyebabkan

kurangnya kesadaran pasien saat awal pengobatan (Hannock, T; et al. 2015).


Menjadi lajang merupakan salah satu faktor risiko untuk menjadi LTFU dan pasien yang

tidak memiliki pasangan yang berkomitmen memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi LTFU.

Hal ini menunjukkan bahwa memiliki hubungan utama yang berkomitmen adalah protektif

terhadap LTFUkarena pasien tidak melakukan hubungan primer. (Mazvita N; et al 2015)

Menurut penelitian Mazvita; et al di South Afrika ada berbagai temuan berkaitan dengan

hubungan antara jumlah CD4 pada awal dan LTFU, dengan beberapa penelitian menunjukkan

bahwa pasien dengan jumlah CD4 di antara 301 dan 350 memiliki risiko lebih rendah menjadi

LTFU dibandingkan dengan jumlah CD4 <200 sel / ml, sementara yang lain menunjukkan

bahwa jumlah CD4 di awal yang lebih tinggi dikaitkan dengan risiko LTFU yang lebih tinggi.

Temuan kami menunjukkan bahwa pasien yang memiliki jumlah CD4> 200 pada pengobatan

memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi LTFU. Temuan ini mungkin dapat dijelaskan oleh

fakta bahwa pasien dengan jumlah CD4 tinggi umumnya tidak memiliki gejala klinis khas

penyakit HIV lanjut dan oleh karena itu, pasien tidak merasakan manfaat jadwal tindak lanjut

yang ketat.

Dalam penelitian kami, kami dapat menunjukkan bahwa pasien yang tidak tertekan

secara virologi (VL> 50) pada kunjungan klinik terakhir memiliki risiko tiga kali lebih tinggi

untuk menjadi LTFU daripada mereka yang menderita HB tertekan. Demikian pula, pasien yang

mengalami penyakit klinis stadium lanjut pada kunjungan klinik terakhir (stadium klinis WHO

tiga atau empat) dua kali lebih mungkin menjadi LTFU. Temuan serupa telah dilaporkan pada

penelitian lain Mazvita N; et al. 2015

Adopsi definisi standar untuk LTFU, para peneliti mencatat, harus memfasilitasi

harmonisasi pemantauan dan evaluasi program ART di seluruh dunia dan harus membantu untuk

mengidentifikasi "praktik terbaik" yang terkait dengan tingkat LTFU yang rendah. Hal ini
penting agar menyediakan kerangka kerja yang diperlukan dalam penelitian yang dirancang

untuk memperbaiki retensi pasien dalam program ART, sehingga membantu memaksimalkan

dan mempertahankan keuntungan kesehatan dari program pengobatan HIV (Benjamin. H, et al.

2011).

2.3. Stigma Pasien HIV AIDS

2.3.1. Definisi Stigma

Stigma adalah atribut yang sangat luas yang dapat membuat individu kehilangan

kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan (Goffman dalamMajor & O’Brien,

2005). Menurut Kamus Psikologi stigma adalah satu tanda atau ciri pada tubuh (Chaplin, 2009).

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma didefinisikan sebagai ciri negatif yang

menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma dapat juga

didefinisikan sebagai suatu fenomena yang dapat memengaruhi diriindividu secara keseluruhan

(Crocker dkk., Jones dkk., Link & Phelan dalam Major & O’Brien, 2005). Menurut Goffman

(dalamScheid& Brown, 2010) menyatakanbahwa “stigma concept identifies an attribute or a

mark residing in the person as something the person possesses” artinya bahwa konsep stigma

mengidentifikasi atribut atau tanda yang berada pada seseorang sebagai sesuatu yang dimiliki.

Stigma juga berartisebuahfenomena yang terjadiketikaseseorangdiberikanlabeling,

stereotip, separation, danmengalamidiskriminasi (Link Phelan dalamScheid& Brown,

2010).Menurut Surgeon General Satcher’s (dalam Teresa, 2010) menyatakan stigma adalah

kejadian atau fenomena yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan perhatian, mengurangi

seseorang untuk memperoleh peluang dan interaksisosial. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010)

juga menjelaskan bahwa stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah.
Dari beberapa definisi dari stigma tersebut, maka calon peneliti menyimpulkan definisi

stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah serta fenomena yang terjadi ketika individu

memperoleh labeling, stereotip, separation dan mengalami diskriminasi sehingga memengaruhi

diri individu secara keseluruhan.

2.3.2 Mekanisme Stigma

Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut Major & O’Brien (2005), yaitu :

2.3.2.1. Adanya perlakuan negatif dan diskriminasi secara langsung

Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif dan diskriminsi secara

langsung yang artinya terdapat pembatasan pada akses kehidupan dan diskriminasi secara

langsung sehingga berdampak pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik.

Stigma dapat terjadi dibeberapa tempat seperti di sebuah toko, tempatkerja, setting pendidikan,

pelayanan kesehatan dan sistem peradilan pidana (Eshieman, dalam Major & O’Brien, 2005).

2.3.2.2. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy

Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self fullfilling prophecy

(Jussim dkk., dalam Major & O’Brien, 2005). Persepsi negatif, stereotipe dan harapan bisa

mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma yang diberikan sehingga

berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku individu tersebut.

2.3.2.3. Munculnya stereotip secara otomatis

Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivasi stereotip otomatis secara negatif pada

suatu kelompok.

2.3.2.4.Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu

2.3.3. Dimensi Stigma


Menurut Link dan Phelan (dalamScheid& Brown, 2010) stigma mengacup ada pemikiran

Goffman (1961), komponen-komponen dari stigma sebagai berikut :

2.3.3.1. Labeling

Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan berdasarkan perbedaan-

perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat tersebut (Link & Phelan dalam Scheid& Brown,

2010). Sebagian besar perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun beberapa

perbedaan yang diberikan dapat menonjol secara sosial. Pemilihan karakteristik yang menonjol

dan penciptaan label bagi individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu

dipahami sebagai komponen penting dari stigma.

Berdasarkan pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan perbedaan yang dimiliki

kelompok tertentu.

2.3.3.2. Stereotip

Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan

keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu (Judd, Ryan & Parke dalam Baron

& Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013) stereotip merupakan keyakinan mengenai karakteristik

tertentu dari anggota kelompok tertentu.Stereotip adalah komponen kognitif yang merupakan

keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu kelompok

tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan, stereoti padalah komponen kognitif dari

individu yang merupakan keyakinan tentang atribut personal atau karakteristik yang dimiliki

oleh individu dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu.

2.3.3.3. Separation
Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki stigma atau

pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatkan stigma). Hubungan label

dengan atribut negatif akan menjadi suatu pembenaran ketika individu yang dilabel percaya

bahwa dirinya memang berbeda sehinggah alter sebut dapat dikatakan bahwa proses pemberian

stereotip berhasil (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).

Berdasarkan pemaparan di atas, separation artinya pemisahan yang dilakukan antara

kelompok yang mendapatkan stigma dengan kelompok yang tidak mendapatkan stigma.

2.3.3.4.Diskriminasi

Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena keanggotaannya dalam

suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) diskriminasi adalah

komponen behavioral yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena individu

tersebut adalah anggota dari kelompok tertentu. Berdasarkan pemaparan tersebut, diskriminasi

adalah komponen behavioral yang merendahkan individu karena individu tersebut adalah

anggota kelompok tertentu.

Menurut Jones (dalam Link, Yang, Phelan & Collins, 2001) mengidentifikasi dimensi dari

stigma yang tediri dari enam dimensi, yaitu :

a. Concealability, menunjukkan atau melakukan deteksi tentang karakteristik dari individu

lain. Concealability bervariasi tergantung pada sifat stigma tersebut. Individu yang

mampu menyembunyikan kondisinya, biasanya sering melakukan stigma tersebut.

b. Course, menunjukkan kondisi stigma reversibel atau ireversibel. Individu yang

mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk memperoleh sikap yang lebih

negatif dari orang lain.


c. Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikanoleh orang lain kepada individu

yang mengakibatkan ketegangan atau menghalangi interaksi interpersonal.

d. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang menarik atau

menyenangkan.

e. Origin, merujuk kepada bagaimana munculnya kondisi yang menyebabkan stigma.

f. Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami orang lain.

Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacup ada bahaya fisik atau perasaan yang

tidaknyaman. Berdasarakan pemaparan sebelumnya, dimensi yang digunakan dalam penelitian

ini mengacup ada teori Link dan Phelan (dalamScheid& Brown, 2010) yang juga berpedoman

pada pemikiran Goffman (1961) yaitu Labeling, Stereotip, Separation dan Diskriminasi.

Penelitian yang dilakukanoleh Monika, et al (2014) juga melakukan penelitian untuk

mengeksplorasi stigma dan pengalaman diskriminasi pada ODHA di Afrika Selatan. Penelitian

ini menggunakan metode kuantitatif dan menggunakan instrumen Stigma Index. Hasil penelitian

dari 486 responden yang bersedia mengisi kuesione rtersebut didapatkan analisis sesuai

pengalaman stigma dan diskriminasi sebanyak 13% responden pernah diperbincangkan

mengenai penyakitnya, 19% mengalami kekerasan secara verbal, 26% dikucilkan oleh

lingkungan sekitar, 17% pernah diserang secara fisik, 31% dikucilkan dari kegiatan keluarga,

17% dilecehkan secara fisikdan 31% dikeluarkan dari kegiatan keagamaan. Dari hasil penelitian

tersebut diketahui bahwa ODHA memiliki tingkat signifikansi pada stigma dan diskriminasi

yang berdampak pada kesehatan mereka, dan dalam lingkungan, pekerjaan serta keluarga.

Hal ini sesuai dengan penelitian Fatemeh, et al (2017) berjudul“Qualitative study of HIV

related stigma and discrimination: What women say in Iran”. Penelitian tersebut menggunakan

metode kualitatif yang bertujuan untuk mengungkapkan perasaan partisipan perempuan yang
terinfeksi HIV di Iran, dan pengalaman mereka dari stigma. Dari hasilpenelitiantersebutdari 25

partisipandidapatkan data analisisberupa 4 dimensidari stigma padakliendengan HIV yaituyaitu

ketakutan, malu, penolakan dari lingkungan sekitar dan merasa frustasi.

2.3.4 Proses Stigma

Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu

memiliki beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya namun akhirnya terjadi devaluasi

pada kontek stertentu. Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid& Brown, 2010) stigma terjadi

ketika muncul beberapa komponen yang saling berkaitan. Adapun komponen-komponen

tersebut, yaitu:

a. Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan label atas perbedaan

yang dimiliki oleh individu tersebut

b. Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang dimiliki individu terhadap

karakteristik individu atau kelompok lain dan menimbulkan stereotip.

c. Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang telah diberikan label

pada individu atau kelompok dalam kategori yang berbeda sehingga terjadi separation.

d. Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label mengalami diskriminasi.
BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan rancangan penelitian yang akan digunakan, desain

penelitian, definisi orparasional, popolasi dan sampel yang berkontribusi dalam penelitian,

instrument penelitian, prosedur dan cara pengumpulan data, analisa data, uji validitas dan

reliabilitas instruments, pengolahan data, analisa data dan etika penelitan.

3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan (design) penelitian ini adalah penelitian deskripsi kuantitatif untuk menggali

dan memahami Hubungan stigma pada pasien HIV/AIDS terhadap kejadian lost to follow up di

RSUP dr Hasan Sadikin Bandung. Metode kuantitatif berlandaskan pada filsafat positivisme.

Metode ini sebagai metode ilmiah karena telah memenuhi kaidah ilmiah yaitu konkrit/ empiris,

obeyektif atau terukur, relativ tetap, rasional, dan sistematis. Metode kuantitatif baik digunakan

untuk konfirmatif. Adapun data dalam penelitian ini berupa angka-angka dan analisis

menggunakan statistik. Metode kuantiatif yang digunakan dalam penelitian ini bersifat survey

(Sugiono, 2013). Menurut Neuman W Laurence (2003) dalam penelitian survey peneliti

menanyakan ke responden tentang keyakinan, pendapat karakteristik suatu obyek dan prilaku

yang telah lalu atau sekarang.

Rumusan masalah dalam penelitian ini bersifat asosiatif yaitu suatu rumusan masalah

yang bersifat hubungan antara dua variabel atau lebih dimana peneliti ingin mengetahui variabel

independen stigma pada pasien HIV/AIDS yang akan dihubungakan terhadap variable dependen

kejadian lost to follow up. Dalam penelitian ini juga terdapat variabel confounding yaitu; umur,

jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan.


Skema3.1
Desain Penelitian

Variabel independen Variabel dependen

HIV/AIDS 1. Stigma Loss to follow up

2. Deskriminasi

Variable konfonding
1. Umur
2. Pendidikan
3. Jenis kelamin,
4. Pekerjaan

3.2. Defini Operasioanal

Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur dan Alat Hasil Ukur Skala
Ukur Ukur
Variabel ciri negatif yang cara ukur: wawancara Dinyatakan Interval
independen menempel pada alat ukur: Kuisioner dalam bentuk
: stigama pribadi seseorang sebanyak 33 skala likert
pada karena pengaruh pernyataan Berupa skor
Pasien lingkungannya
HIV/AIDS
Variabel melewatkan kunjungan cara ukur: wawancara Dinyatakan Interval
dependen: klinik yang telah alat ukur: Kuisioner dalam bentuk
Loss to terjadwal sebulan sebanyak 18 skala likert
follow up sekali selama 3 pernyataan Berupa
minggu. kategori
Confounding
umur Lama hidup Kuisioner tentang umur Dinyatakan Interval
berdsarkan tanggal dalam tahun
lahir
Pendidikan Tingkat pendidikan Pendidikan dasar Dinyatakan Nominal
yang ditempuh (SD,SMP) dalam
Pendidikan Menengah kategori
(SMU) jenjang
Pendidikan Tinggi (DIII,
SI,S2, S3)
Jenis Penggolongan menurut Kuisioner tentang Jenis Terdiri dari: Nominal
kelamin ciri biologis dibagi kelamin 1. Laki-laki
menjadi laki-laki dan 2. Perempua
perempuan n
Pekerjaan Jenis pekerjaan Kuisioner tentang Jenis Dinyatakan Nominal
pekerjaan dalam bentuk
pekerjaan

3.3.Populasi dan sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian mempunyai representatif dari generalisasi yang terdiri

atas; obyek/subyek yang mmepunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan (Sugiono, 2013). Adapun populasi

dalam penelitian ini seluruh pasien HIV/AIDS yang terdaftar di pelayanan kesehatan di

di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung Jawa Barat

3.3.2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposif

sampling. Sugiyono (2013) purposive sampling yaitu informan - informan yang peneliti

tentukan, merupakan orang-orang yang menurut peneliti memiliki informasi yang

dibutuhkan dalam penelitian ini, karena mereka dalam kesehariannya senantiasa

berurusan dengan permasalahan yang sedang peneliti teliti. Kriteria sampel penelitian

yaitu:

3.3.2.1.Pasien yang terbukti positif HIV/AIDS berdasarkan hasil laboratorium yang berobat di

RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung yang dinyatakan loss to follow up dan tidak tercatat
di peleyanan kesehatan lainnya

3.3.2.2.Tidak mengalami gangguan kognitif

3.3.2.3.Mampu berkomunkasi dengan baik dan kooperatif.

3.3.2.4.Termasuk dalam kategori lost to follow up

Besarnya partisipan dalam penelitian menggunakan rumus dari Isaac dan Michael.

Sampel ditentukan berdasarkan tingkat kesalahan 1%, 5% dan 10% berikut rumusnya:

ℵ2 . N. P. Q
S=
𝑑 2 (𝑁 − 1) + ℵ2 . P. Q

Keterangan:

S = Jumlah sampel

ℵ2 = Chi kuadrat yang nilainya bergantung pada derajat kebebasan dan tingkat

kesalahan. Untuk derajat kebebasan 1 dan derajat kesalahan 5% nilai chi kuadrat

= 3,841.

N = Jumlah populasi

P = Peluang benar (0.5)

Q = Peluang salah (0.5)

d = Perbedaan anatara sampel yang diharapkan dengan yang terjadi. Perbedaan bisa

1%, 5% dan 10%

3.3.3. Tempat penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilakukan di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung Jawa

Barat, yang menjadi tintik sentral pengobatan HIV/AIDS di kota Bandung. Pasien

HIV/AIDS yang berobat di rumah sakit Bandung yang terdata loss to follow up.
3.4. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

kuesioner stigma pada HIV/AIDS dan Kuesioner Lost to follow up.

3.4.1. Bagian pertama:1- 7 data confounding berupa: ( umur, jenis kelamin, pendidikann

dan pekerjaan)

3.4.2. Bagian kedua: pengalaman stigma yang dialami oleh pasien, Dalam membuat

instrumen stigma peneliti merujuk pada instrumen yang telat di buat oleh Laura

Nyblade and Kerry MacQuarrie (2006) bentuk kualitatif namun peneliti

memodifikasi kembali menjadi bentuk instrumen kuantitatif agar memudahkan

dalam melakukan penelitian: yang dibagi dalam empat indikator yaitu : Ketakutan

kontak dengan ODHA (fear of contact with PLWH) sebanyak 7 pernyataan: no 1-7,

NIlai: Malu, menyalahkan, dan penghakiman (shame, Blame and judgment)

sebanyak 6 pernyataan: no 8-13, Pengalaman tentang stigma dan diskriminasi

sebanyak 16 pernyataan: no 14-29 dan Pengungkapan (Disclosure) sebanyak 4

pernyataan: no 30-33.

3.4.3. Bagian ketiga: kuesioner lost to follow up pada pasien dengan pemberian ARV

sebanyak 18 pernyataan.

3.5.Prosedur dan cara pengumpulan data

3.5.1. Pra pengumpulan data

Proses pra pengumpulan data dimulai dengan melangkapi data administrasi berupa izin

secara tertulis dari Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran yang ditujukan ke

RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung kemudian dlanjutkan ke Dinas Kesehatan Kota

Bandung. Setelah pengizinan selesai peneliti membawa surat izin penelitian dari Dinas
Kesehatan peneliti menemui direktur RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung untuk

menyampaikan maksud dan tujuan penelitian.

3.5.2. Prosedur pengumpulan data

a. Peneliti melakukan identifikasi pasien yang tercatat sebagai pasien positif

HIV/AIDS dan yang Lost to follow up.

b. Peneliti memilih sampel dalam penelitian ini sebagian responden yang kemudian

diberikan kuesioner penelitian

c. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden

d. Peneliti memberikan informconsent kepada pasien dan menjelaskan hak pasien

untuk bersedia ikut atau tidak dalam penelitian ini, kerahasiaan data serta

keuntungan bagi pasien.

e. Peneliti meminta kepada responden untuk melakukan pengisisan kuesioner.

f. Peneliti memeriksa kembali kelengkapan jawaban responden.

g. Mengumpulkan data hasil penelitian untuk dianalisis.

3.6. Pengolahan data

Tahapan dalam pengelolaan data yang harus dilalui adalah:

3.6.1. Editing; Peneliti melakukan pengecekan kelengkapan data. Apabila terdapat data

yang tidak jelas atau tidak relevan dengan pertanyaan maka penulis melakukan

klarifikasi kepada responden.

3.6.2. Coding; Peneliti memberikan kode nomor urut responden (A,1,2,...)

3.6.3. Processing; Peneliti memproses data dengan cara melakukan entry data dari masing-

masing responden ke dalam program komputer. Data dimasukkan sesuai nomor

responden, kemudian dimasukkan kedalam software pengolah statistik.


3.6.4. Cleaning; Peneliti mengecek kembali data yang telah dimasukkan. Setelah dipastikan

tidak ada kesalahan, dilakukan tahapan analisis data sesuai jenis data.

3.7. Analisa data

Adapun analisis data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pengujian hipotesis

asosiatif (hubungan) menggunakan tehnik korelasi Pearson Product Moment (r) dimana data

yang dikorelasikan dalam bentuk interval. Dengan hipotesis penelitian:

- Ho ditolak: terdapat hubungan antara stigma pada pasien HIV/AIDS dengan kejadian

lost to follow up.

- Ho diterima: tidak terdapat hubungan antara stigma pada pasien HIV/AIDS dengan

kejadian lost to follow up. Adapun rumusan korelasi Pearson Product Moment (r) yaitu

∑ 𝑥𝑦
rxy =
√(∑ 𝑥 2 )(∑ 𝑦 2 )

3.8. Validitas dan reabilitas

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini perlu dilakukan uji validitas karena

hanya memodifikasi dari kuesioner baku. Ada tiga bentuk validitas yang harus dilalui

menurut creswell (2016) yaitu:

a. Konten validity untuk menganalisa konten dalam item sudah sesuai

b. Predictive validity/ concurent validity yaitumelihat skor yang diperoleh sudah sesuai

dengan kriteria yang ingin diukur

c. Construct validity, item yang dianalisa sudah sesuai dengan hipothesis


3.9.Etika penelitian

Dalam penelitian ini direncanakan untuk mendapat persetujuan dari Komisi Etik

Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam hal ini

peneliti melakukan pertimbangan menurut etika penelitin ada atau tidak ada masalah seperti

Polit & Beck (2008). Sebelumnya peneliti telah memprediksi bahwa penelitian ini bukan

merupakan penelitian yang high risk sehingga setelah uji etik selesai diharapkan hasilnya

peningkatan status pasien dari sakit menjadi bertambah parah. Prinsip yang diterapkan oleh

Polit & Beck (2008) adalah sebagai berikut

3.9.1. Beneficience

Prinsip etika yang harus dipenuhi dalam sebuah penelitian yaitu beneficience.

Sebuah prinsip yang menkankan pada peneliti bahwa penelitian tersebut memberi

manfaat pada partisipan. Selain keuntungan juga menjauhkan partisipan dari bahaya.

Adapun manfaat dalam penelitian ini untuk partisipan akan dibentuk perkumpulan

antarapasien loss to follow up dengan partisipan yang menjali therapi sesuai arahan

pelayanan kesehatan yang menunjukkan perkembangan yang baik sehingga partisipan

bisa berbagi pengalaman dan cara mengurangi kesakitan serta perbaikan koping pasien

dalam menghadapi persoalan kesehatannya.

Dalam penelitian in peneliti juga akan menciptakan suasana yang nyaman dan

santai selama wawancara pengisian kuesioner berlangsung sehingga partisipan tidak

merasa di ekploitasi. Peneliti berusaha peka dengan partisipan dengan cara

memperhatikan reaksi verbal dan non verbal dari partisipan. Peneliti juga

memperhitungkan kejadian yang tidak terduga apabila tiba-tiba partisipan mengalami

perburukan status kesehatan. Jika hal tersebut terjadi peneliti akan menghentikan
wawancara pengisian kuesioner dan berkonsultasi pada perawat fasilitator.

3.9.2. Authonomy

Peneliti memberikan hak penuh kepada partisipan untuk menentukan apakah

bersedia ikut dalam penelitian atau tidak. Authonomy memberikan makna bahwa

pengambilan keputusan partisipan atas kemauan dirinya sendiri.

3.9.3. Anonimity

Peneliti harus memberikan jaminan kepada partisipan untuk tidak mencantumkan

nama partisipan pada lembar alat ukur dan hanya akan menuliskan kodepada lembar

pengumpulan data karakteristik dan hasil penelitian.

3.9.4. Justice

Justice yang bermakna keadilan yang berarti seluruh partisipan memiliki peluang

dan memberikan perlakuan yang sama. Seleksi telah dilakukan berdasarkan kriteria

yang telah ditentukan oleh peneliti sebelumnya. Peneliti juga memberikan privacy

kepada partisipan dengan cara melakukan pertemuan ditempat yang telah disepakati

sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial edisi kesepuluh. Jakarta : Erlangga.

Benjamin, H; Chi, C; Yiannoutsos, A; Westfall, J; Newman Jialun Z; et al. 2011. Universal

Definition of Loss to Follow-Up in HIV Treatment Programs: A Statistical Analysis of 111

Facilities in Africa, Asia, and Latin America. Plos Medicine Journal

Chaplin, J.P. (2009). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali.

Carpenter, D.R. (2007). Phenomenology as method in H.J. staubert & Carpenter,D.R (Eds),
Qualitative Research In Nursing: Advencing The Humanistic Imperative (pp.75-99).
Philadelphia, PA:Lippincott.

Evangeli M, Newel ML, Richter L McGrath N. (2014). The Association Betwen Self Reported
Stigma And Loss-To-Follow Up In Treatment Cligible HIV Positif Adult In Rural Kwazula-
Natal, South Africa. PloS One. 4:9 (2);e88235.

Fatemeh Oskouie, Farzaneh Kashefi, Forough Rafii, et al. (2017). Qualitative study of HIV
related stigma and discrimination: What women say in Iran. Electronic Physician; Volume:
9, Issue: 7, Pages: 4718-4724,

Giorgi , A. (2011). IPA and science: a response to jonathan smith. Journal of fenomenological
psychologi. 42, P; 195-216

Hannock, T; Matthias, E; Gilles, W; Caryl, F; Leigh F. J; et al. 2015. Tracing of patients lost to

follow-up and HIV transmission: Mathematical modelling study based on two large ART

programmes in Malawi. HSS Public Accsess.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pencegahan Dan Pengendalian


Penyakit: Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan I Tahun 2016.

Laura Nyblade and Kerry MacQuarrie. (2006). Can We Measure Hiv/Aids-Related Stigma
And Discrimination? Current Knowledge About Quantifying Stigma In Developing
Countries. International Center for Research on Women (ICRW) and POLICY Project,
USAID, 2006.

Lin chi-shiou. (2013). Reaveling the “essence of thing: using phenomenologi in LIS research.
Qualitative and quantitative methode in libraries (QQML) 4. P: 469-478.
Link, B. G., Struening, E. L., Tood, S. N., Asmussen, S., & Phelan, J. C. (2001). The
consequences of stigma for the self esteem of people with mental illnesses. Psychiatric
Service, 52(12), 1621-1626. Diunduh 11 April 2015, dari Google Scolar.

Major, B., & O'Brien, L. T. (2005). The social psychology of stigma. Annual review of
psychology (56), 393.doi:10.1146/annurev.psych.56.091103.070137.

Mazvita N; Lazarus, R;Nomathemba, M;Cornelius, N;Samuel, M;Robert,S. 2015. Determinants


of loss to follow-up in patients on antiretroviral treatment, South Africa, 2004–2012: a
cohort study. BioMed Central Publisher.

Meleong Lexy. J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung; Remaja Rosdakarya.

Monika Santos, Pieter Kruger, Shaun E Mellors, et al. (2014). An exploratory survey measuring
stigma anddiscrimination experienced by people living withHIV/AIDS in South Africa: the
People Living withHIV Stigma Index. Journl of BMC Public Health; pages: 14:80.

Nanang Munif Yasin, Hesaji Maranty, dan Wahyu Roossi Ningsih,( 2011)Analisis respon terapi
antiretroviral pada pasien HIV/AIDS. Majalah Farmasi Indonesia, 22(3)

Nursalam. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta ; Salemba
Medika.

Polit, D.F., & Back, C.L. (2008). Nursing Research:Principle And Methode 7 Th Edtion.
Philadelphia, PA:Lippincott.

Rahman, A. A. (2013). Psikologi sosial integrasi pengetahuan wahyu dan pengetahuan empirik.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23458/4/Chapter%20II.pdf, di akses tanggal 23


November 2017 pukul 10.45(BAB II ).

Sanders, C. (2013). Aplication Of Collaizi’s Methode: Intepretation Of An Auditable Decision


Trail By A Navice Researcher. Contemporary Nurse. P: 292-302

Scheid, T. L., & Brown, T. N. (2010). A handbook for the study of mentak health social context,
theories, and system second edition. New York: Cambridge University Press.

Suryani dan Henderdy. (2015). Metode Riset Kualitatif Teori Dan Aplikasi Pada Penelitian
Bidang Manajemen Ekonomi Islam, Jakarta Prenadamedia group.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial edisi kedua belas. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Tezera, M;Demissew, B;Salahuddin, M. 2014. Predictors of Loss to follow-up in Patients Living

with HIV/AIDS after Initiation of Antiretroviral Therapy. North American Journal of

Medical Sciences.

Unicef Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Respon Terhadap HIV/AIDS.

UNSAIDS. Global report: UNAIDS report on the global epidemic 2013. Ganeva; Joint united
nation programme on HIV/AIDS;

www.aidsindonesia.or.id/contents/37/78/Info-HIV-dan-AIDS,di akses tanggal 24 November

2017 pukul 09.00 (2017)


LAMPIRAN 1.

Dalam membuat instrumen stigma peneliti merujuk pada instrumen yang telat di buat oleh Laura
Nyblade and Kerry MacQuarrie(2006) bentuk kualitatif namun peneliti memodifikasi kembali menjadi
bentuk instrumen kuantitatif agar memudahkan dalam melakukan penelitian:

TABLE 1:
RECOMMENDED INDICATORS, QUESTIONS
FOR FEAR OF CASUAL CONTACT WITH
PEOPLE LIVING WITH HIV/AIDS

INDICATOR DATA COLLECTION QUESTIONS


Community-level Percent of people expressing Please tell me if you have fear, do not have fear, or do not know in
fear of contracting HIV from response to the following statements:
noninvasive contact with 1. You could become infected with HIV if you are exposed to the saliva of a
PLHA. PLHA. 2.. You could become infected with HIV if you are exposed to the
sweat of a PLHA.
3. You could become infected with HIV if you are exposed to the excreta of a
PLHA.
4. Your child could become infected with HIV if they play with a child
who has HIV or AIDS.
5. You could become infected if you care for a PLHA.
Percent of people who In a market of several food vendors, would you buy food from a PLHA or
would refuse casual person suspected of HIV/AIDS who was not visibly sick?
contact with a PLHA And what if they were visibly sick?
who:
a) was not exhibiting signs of
AIDS.
b) was exhibiting signs of
AIDS.
Provider-level Percent of people working in In response to the following situations, please indicate if you have fear of
institutions/facilities (e.g., HIV transmission, do not have fear of HIV transmission, or do not know if
managers, health care workers) you have fear of HIV transmission:
who fear contact with non- 1. Touching the sweat of a person with HIV or AIDS.
blood bodily fluids of patients 2. Touching the saliva of a person with HIV or AIDS.
with HIV/AIDS.
Percent of people working in In response to the following situations, please indicate if you have fear of
institutions/facilities (e.g., HIV transmission, do not have fear of HIV transmission, or do not know if
managers, health care workers) you have fear of HIV transmission:
who fear providing invasive 1. Giving an injection to a person with HIV or AIDS.
medical care for patients with 2. Caring for a person with HIV or AIDS.
HIV/AIDS. 3. Dressing the wounds of a person with HIV or AIDS.
4. Conducting surgery on or suturing a person with HIV or AIDS.
5. Putting a drip in someone who is showing signs of AIDS.
Percent of people working in Do you strongly agree, agree, disagree or strongly disagree with each
institutions/facilities (e.g., statement:
managers, health care 1. I am comfortable assisting or being assisted by a colleague who is HIV
workers) who are infected.
uncomfortable working with or 2. I am comfortable performing surgical or invasive procedures on clients
treating PLHA. whose HIV status is unknown.
3. I am comfortable providing health services to clients who are HIV-
positive.
4. I am comfortable sharing a bathroom with a colleague who is HIV-
infected.
5. Clients who are sex workers deserve to receive the same level and
quality of health care as other clients.
6. You avoid touching the clothing and belongings of clients known or
suspected to have HIV for fear of becoming HIV-infected.
Percent of people working in Do you strongly agree, agree, disagree or strongly disagree with each
institutions/facili- ties (e.g., statement:
managers, health care 1. The most frequent mode of contracting HIV among health care
workers) who perceive work- workers is through work-related exposure.
related HIV exposure to be 2. Most HIV-positive health care workers get infected at work.
high.

TABLE 2:
RECOMMENDED INDICATORS, QUESTIONS FOR VALUES (SHAME, BLAME
AND JUDGMENT)

INDICATOR DATA COLLECTION QUESTIONS

Community-level Percent of people who Do you agree/disagree with the following statement:
judge or blame persons 1. HIV is a punishment from God.
living with HIV/AIDS for 2. HIV/AIDS is a punishment for bad behavior.
their illness. 3. It is women prostitutes who spread HIV in the community.
4. People with HIV are promiscuous.

How do you think most people in your community would answer the
previous questions?

Percent of people who Do you agree/disagree with the following statement:


would feel shame if 1. I would be ashamed if I were infected with HIV.
they associated with 2. I would be ashamed if someone in my family had HIV/AIDS.
a PLHA. 3. People with HIV should be ashamed of themselves.

How do you think most people in your community would answer the
previous questions?

Provider-level Percent of people working in Do you agree/disagree with the following statement:
institutions/facilities 1. HIV is a punishment from God.
(e.g., managers, health care 2. HIV is punishment for bad behavior.
workers) who report judgment.
3. People with HIV should be ashamed of themselves.

Percent of people working in Do you agree/disagree with the following statement:


institutions/facilities 1. Promiscuous men are the ones that spread HIV in our community.
(e.g., managers, health care 2. It is the women prostitutes who spread HIV.
workers) who report blame.
Percent of people working in Do you agree/disagree with the following statement:
institutions/facilities 1. I would feel ashamed if I was infected with HIV.
(e.g., managers, health care 2. I would feel ashamed if someone in my family was infected with HIV.
workers) who report shame.
TABLE 3: RECOMMENDED INDICATORS, QUESTIONS FOR ENACTED STIGMA
(DISCRIMINATION)

INDICATOR DATA COLLECTION QUESTIONS


Community-level Percent of people who Do you know someone in the past year who has had the following happen
personally know to him/her because of HIV or AIDS?
someone who has 1. Excluded from a social gathering.
experienced enacted 2. Lost customers to buy his/her produce/goods or lost a job.
stigma in the past year 3. Had property taken away.
because he or she was 4. Abandoned by spouse/partner.
known or suspected to 5. Abandoned by family/sent away to the village.
have HIV or AIDS.
6. Teased or sworn at.
7. Lost respect/standing within the family and/or community.
8. Gossiped about.
9. No longer visited, or visited less frequently by family and friends.
10. Visitors increase to “check them out.”
11. Isolated within the household.

Provider-level Percent of people in In the past 12 months, have you seen or observed the following happen in
institutions/facilities this health facility because a client was known to have or was suspected of
(e.g., managers, health having HIV/AIDS?
care workers) who 1. Receiving less care/attention than other patients.
personally know 2. Extra precautions being taken in the sterilization of instruments used on
patients who were [fill HIV- positive patients.
in type of discrimi- 3. Requiring some clients to be tested for HIV before scheduling surgery.
nation] in the past 12 4. Using latex gloves for performing noninvasive exams on clients suspected
months because they of having HIV.
were known or
5. Because a patient is HIV-positive, a senior health care provider assigned
suspected to have
the client to a junior provider.
HIV/AIDS: neglected,
6. Testing a client for HIV without his/her consent.
treated differently,
7. Health care providers gossiping about a client’s HIV status.
denied care, verbally
abused, tested for HIV
or had sero-status
disclosed without
consent.
PLHA-level Percent of PLHA In the last year, have you [fill in from list below] because of your HIV status?
who experienced 1. Been excluded from a social gathering.*
enacted stigma 2. Been abandoned by your spouse/partner.
in last year. 3. Been isolated in your household.
4. Been no longer visited or visited less
frequently by family and friends.
5. Been teased, insulted or sworn at.
6. Lost customers to buy produce/goods or lost a job.
7. Lost housing or not been able to rent housing.
8. Been denied religious rites/services.
9. Had property taken away.
10. Been gossiped about.
11. Lost respect/standing within the family and/or community.
12. Been threatened with violence.
13. Been given poorer quality health services.
14. Been physically assaulted.
15. Been denied promotion/further training.
16. Had an increase of visitors to “check out” how you are doing.
17. Been abandoned by your family/sent away to the village.

*Bolded items indicate the minimum core group of items recommended from this analysis
TABLE 4:
RECOMMENDED INDICATORS, QUESTIONS FOR DISCLOSURE

INDICATOR DATA COLLECTION QUESTIONS


Community-level Percent of people who have had Are there people you personally know who have either disclosed
someone they personally know their HIV- positive status directly to you or publicly in the last 12
disclose their HIV-positive status months? For example, a family member, friend, neighbor, church
to them. member, work colleague?
Percent of persons tested for How many people have you disclosed your status to?
HIV who have disclosed their
status beyond a trusted few
individuals. How soon after learning your HIV status did you disclose your status to
these specific people?
Percent of persons tested for HIV
in relationship who have
disclosed their status to their
primary sexual partner and who
have disclosed within
6 months of learning their
status.
Percent of persons reporting that In your community, what is the primary way people know if someone has
self-disclosure by PLHA is a HIV?
primary way that people in the 1. The infected person discloses his/her status.
community find out about a 2. From general rumors/gossip.
person’s HIV status. 3. From the HIV-positive person’s family.
4. From the HIV-positive person’s employer.
5. From the HIV-positive person’s friends/neighbors.
6. From the health center/health care worker where the person got
tested.
7. The person looks ill and has lost a lot of weight.
8. Other (specify).
Provider-level Percent of people working in Is there anyone you know in the health facility who has HIV, but has not yet
institutions/facilities (e.g., shown signs and symptoms of AIDS? How did you know that he/she has
managers, health care workers) HIV infection?
who learned about a patient’s HIV Do you know of a health worker/colleague who has HIV or
status through unofficial
channels during the past year. 8 AIDS? How did you know he/she has HIV or AIDS?
1. The infected person told me her/himself.
2. Family member of infected person told me.
3. Community member told me.
4. General gossip/rumors.
5. From a health care provider where the person tested.
6. Read from his/her hospital file.
7. Other.
PLHA-level Percentage of PLHA who have Have you told anyone about your HIV
disclosed their status beyond status? * Who have you told?
a few trusted individuals and
who have disclosed within 6 How soon after learning your HIV status did you disclose your status to
months of learning his/her these specific people?
status.
Percentage of PLHA who have Who have you told?
disclosed their HIV sero-status
to their primary sexual partner.
Percent of PLHA whose HIV Has your HIV status ever been revealed without your consent?
status has been disclosed
without their consent.

* It is not always considered ethical to ask if a person living with HIV has disclosed her or her HIV status. It is important to be
aware of how that is perceived in each context.
LAMPIRAN 2

LEMBAR KUESIONER
HUBUNGAN STIGMA TERHADAP KEJADIAN LOST TO FOLLOW UP PADA
PASIEN DENGAN HIV/AIDS YANG MENERIMA TERAPI ARV DI RSUP DR.
HASAN SADIKIN BANDUNG

Kode Responden

(kode responden di isi oleh peneliti)


A. Data Identitas
Umur :
Jenis Kelamin :
Pendidikan :
Pekerjaan :

B. Kuesioner Stigma Pada Pasien Dengan HIV/AIDS


Kuesioner Stigma Pada Pasien Dengan HIV/AIDS
No Jawaban
Pernyataan Tidak Setuju Sangat
setuju setuju
Ketakutan kontak dengan pasien HIV/AIDS
1 Orang menghindari bersentuhan dengan anda setelah tahu
anda terkena HIV/AIDS
2 Orang takut tertular jika bersentuhan dengan cairan tubuh
anda
3 orang khawatir bergaul dengan anda akan tertular HIV/AIDS
4 orang takut tertular jika merawat pasien HIV/AIDS
5 orang menolak makanan yang anda berikan setelah tahu anda
terkena HIV/AIDS
6 tenaga kesehatan tampak ketakutan saat memberikan injeksi
pada anda
7 tenaga kesehatan tampak peduli dengan pasien HIV/AIDS
Malu, menyalahkan, dan penghakiman (shame, Blame and judgment)
8 Anda merasa HIV/AIDS adalah hukuman dari Tuhan
9 Kebanyakan orang HIV/AIDS tertular dari prostitusi
10 Penderita HIV/AIDS berasal dari lingkungan yang buruk
11 Penderita HIV/AIDS mempunyai riwayat kehidupan yang
tidak beraturan
12 Terinfeksi HIV/AIDS merupakan hal yang sangat memalukan
13 anda merasa diri anda merupakan aib setelah terkena
HIV/AIDS
Diskriminasi
14 anda di kucilkan dari keluarga setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
15 anda dijauhi oleh pasangan setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
16 anda di isolasi didalam rumah setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
17 keluarga jarang berkunjung setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
18 teman-teman jarang berkunjung setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
19 anda kehilang pekerjaan setelah tahu anda terkena HIV/AIDS
20 anda kehilangan tempat tinggal setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
21 anda di jauhi oleh ahli agama setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
22 anda harus memindahkan barang- barang setelah tahu anda
terkena HIV/AIDS
23 anda menjadi pusat pembicaraan setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
24 anda kurang peduli terhadap lingkungan setelah anda terkena
HIV/AIDS
25 anda diperlakukan dengan kasar setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
26 anda menerima pelayanan kesehatan yang buruk setelah tahu
anda terkena HIV/AIDS
27 anda sering mendapatkan ancaman fisik setelah tahu anda
terkena HIV/AIDS
28 orang-orang jarang menanyakan keadaan anda setelah tahu
anda terkena HIV/AIDS
29 keluarga menjauhkan anda setelah tahu anda terkena
HIV/AIDS
Pengungkapan (disclousure)
30 anda harus memberitahu seseorang tetang status terkena
HIV/AIDS
31 Keluarga adalah oarang yang tepat mengetahui status anda
sekarang
32 Teman adalah oarang yang tepat mengetahui status anda
sekarang
33 Apakah anda menyesal telah memberitahu anda telah terkenan
HIV/AIDS
C. Kuesioner lost to follow up pada pasien HIV/AIDS dengan pemberian terapi ARV

1. Selama 4 hari yang lalu, berapa banyak waktu minum obat yang anda lewatkan?

Tidak ada Satu hari Dua hari Lebih dari


dua hari

□ 0 □ 1 □ 2 □ 3

2. Sebagian besar pengobatan anti-HIV mensyaratkan untuk diminum menurut


jadwalnya misalnya “dua kali dalam sehari” atau “tiga kali dalam sehari” atau “
delapan kali dalam sehari”. Bagaimana kebiasaan anda mengikuti jadwal selama
beberapa waktu yang lalu?

Tidak Beberapa Sebagian kecil Sebagian Setiap


pernah saat besar saat

□ 0 □ 1 □ 2 □ 3 □ 4

3. Pengobatan anti –HIV anda mempunyai petunjuk yang khusus, misalnya “ minum
bersamaan dengan makanan” atau “saat perut kosong” atau “disertai dengan air yang
banyak”. seberapa sering anda telah mengikuti petunjuk khusus dalam beberapa
hari yang lalu?
Tidak Beberapa Sebagian kecil Sebagian Setiap
pernah saat besar saat

□ 0 □ 1 □ 2 □ 3 □ 4

4. Kemungkianan alasan dan seberapa sering anda melewati pengobatan:


Tidak jarang sesekali sering
pernah
1. Pada saat jauh dari rumah? 1 2 3 4
1 2 3 4
2. Pada saat sibuk dengan hal lainnya?
1 2 3 4
3. Hanya lupa?
1 2 3 4
4. memepunyai banyak obat yang harus diminum?
1 2 3 4
5. Ingin menghindari efek sampingnya?
1 2 3 4
6.apakah anda ingin alasan lain untuk
menaggapi pengobatan yang anda jalani
?
1 2 3 4
7. sudah mengubah kebiasaan harian?
1 2 3 4
8. merasa pengobatan adalah racun/
berbahaya ?
1 2 3 4
9.merasa mengantuk selama obat bereaksi?
1 2 3 4
10. Merasa tidak nyama atau sakit?
1 2 3 4
11. Merasa depresi?
1 2 3 4
12. mempunyai kesulitan minum obat pada
waktu khusus (dengan makanan, dalam
perut kososng, dan lainnya)?
1 2 3 4
13. meninggalkan obat?
14. merasa baik-baik saja? 1 2 3 4

15. jauh dari pusat pelayanan kesehatan 1 2 3 4

Anda mungkin juga menyukai