Anda di halaman 1dari 23

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Diabetes Milietus

1. Definisi DM

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan

ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein, mengarah ke hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi), (Black 2014). DM

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Setiati,

2014).

2. Klasifikasi DM

Klasifikasi DM menurut, Black (2014) beberapa kategori, yaitu :

a. DM tipe 1

DM tipe 1 hasil destruksi auto imun sel beta, mengarah kepada defisiensi insulin

absolut.

b. DM tipe 2

DM tipe 2 akibat dari defek sekresi insulin progresif diikuti dengan resistensi

insulin, umumnya berhubungan dengan obesitas.

6
7

a. DM gestasional

Diabetes milietus gestasional yang didiagnosis selama hamil pada perempuan.

b. DM sindrom yang lainnya

Diabetes milietus sindrom yang lainnya mungkinsebagai akibat dari defek genetik

fungsi sel beta, penyakit pancreas (missal kistik fibrosis), atau penyakit yang

diinduksi oleh obat-obatan.

3. Manifestasi DM

Manifestasi DM, Black (2014) adalah Peningkatan kadar gula darah, disebut

hiperglikemia, mengarah kepada manifestasi klinis umum yang berhubungan dengan

DM. pada DM tipe 1, onset manifestasi klinis mungkin tidak ketara dengan

kemungkinan situasi yang mengancam hidup yang biasanya terjadi (misal,

ketoasisdosis diabetikum). Pada DM tipe 2, onset manifestasi klinis mungkin

berkembang secara bertahap yang klien mungkin mencatat sedikit atau tanpa

manifestasi klinis selama beberapa tahun. Menurut setiati (2014) manifestasi klinis

DM adalah peningkatan frekuensi buang air kecil (poliuria), peningkatan rasa haus

dan minum (polidipsi), dan karena penyakit berkembang, penurunan berat badan

meskipun lapar dan peningkatan makan (poliphagi).


8

4. Komplikasi DM

Komplikasi DM menurut, Black (2014) yaitu:

a. Komplikasi Akut DM.

1) Hiperglikemia dan ketoasidosis diabetic

Hiperglikemia akibat saat glukoa tidak dapat diangkut ke dalam sel karena

kurangnya insulin. Tanpa kesediannya KH untuk bahan bakar sel, hati

mengubah simpanan glikogennya kembali ke glukosa (glikogenesis) dan

meningkatkan biosintesis glukosa (gluconeogenesis).

2) Sindrom hiperglikemia hiperosmolar nonketosis.

Sindrom hiperglikemia hyperosmolar nonketosis (hyperglycemic hyperosmolar

nonketotic syndrome [HHNS]) adalah varian ketoasidosis diabetik yang

ditandai dengan hiperglikemia ekstern (600 – 2.000 mg/dl), dehidrasi nyata,

ketourinaria ringan atau tidak terdeteksi, dan tidak ada asidosis.

3) Hipoglikemia

Hipoglikemia (juga dikenal sebagai reaksi insulin atau reaksi hipoglikemia)

adalah ciri umum dari DM tipe 1 dan juga dijumpai di dalam klien dengan DM

tipe 2 yang diobati dengan insulin atau obat oral. Kadar glukosa darah yang

tepat pada klien mempunyai gejala hipoglikemia bervariasi, tapi gejala itu tidak

terjadi sampai kadar glukosa darah < 50 – 60 mg/dl.

4) Gangguan hipoglikemia lain.

Gejala lain perubahan mekanisme melawan regulator dalam DM tipe 1 adalah

tidak menyadari hipoglikemia, hipoglikemia dengan hiperglikemia pantulan

(efek somogyi), dan fenomena subuh.


9

a) Hipoglikemia tak terdeteksi

Hipoglikemi tak deteksi merujuk pada sindrom dimana orang dengan DM

tidak sadar bahwa mereka hipoglikemia sehingga tidak melakukan

pengobatan.

b) Hipoglikemia dengan hiperglikemia pantulan

Hipoglikemia diikuti dengan hiperglikemia pantulan, diketahui sebagai efek

somogyi atau fenomena somogyi, mungkin mempersulit penatalaksaan DM.

Hiperglikemia pantulan malam hari seharusnya dicari dengan kadar PGDS

antara jam 2 sampai jam 4 pagi dan sekali lagi jam 7 pagi. Jika kadar pagi

dini hari < 50 – 60 mg/dl dan jam 7 pagi > 180 – 200 mg/dl, hiperglikemia

pantulan mungkin terjadi.

c) Fenomena subuh

Fenomena subuh merujuk kepada peningkatan kadar glukosa darah pagi ini

hari (jam 4 – 8 pagi) tanpa didahului hipoglikemia malam hari.

Menghilangnya insulin tidak tampak menjadi penyebab satu – satunya

fenomenas ini. Fenomena telah ditemukan pada orang dengan DM tipe 1 dan

2 kemungkinan terjadi pada orang tanpa DM. Hormon pertumbuhan,

meningkatkan bersihan insulin, dan variasi siang hari dalam kadar hormon

melawan regulator tampak memainkan peran.


10

b. Komplikasi Kronis DM.

1) Komplikasi Mikrovaskuler

a) Retinopati.

Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya

ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah

pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu

retinopati non proliferatif dan proliferatif. Retinopati. Non proliferatif

merupakan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma,

sedangkan retino proliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan

pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada

stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang

baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hamper tidak dapat diperbaiki

hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila

dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.

b) Nefropati diabetika.

DM tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling banyak, sebagai penyebab

terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM

mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul

besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih. Akibat nefropati diabetika

dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetik ditandai

dengan adanya proteinuri persisten atau lebih dari 0.5 gr/24 jam, terdapat

retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati

adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah.


11

c) Poli neuropati diabetika.

Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom.

Proses kejadian neuropati biasanya progresif dimana terjadi degenerasi

serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Saraf

yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati

disebabkan adanya ke rusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat

adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myoinositol,

penurunan Na / K ATPase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur

syaraf, demielinisasi segmental, atau atrofi axonal.

2) Komplikasi makrovaskuler

a) Arterosklerosis.

Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar,

khususnya arteri akibat timbunan plakateroma. Makroangioati tidak spesifik

pada diabetes, tetapi pada DM timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan

lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka

kematian akibat penyakit, kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat

4 hingga 5 kali dibandingkan orang normal.

b) Makroangiopati.

Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan

kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara

epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko

mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin menyebabkan

resiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa lebih dari 15
12

mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.

Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai factor aterogenik dan diduga berperan

penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular.

c) Penyakit Jantung Koroner.

Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina

pektoris yaitu, nyeri dada paroksimal seperti tertindih benda berat dirasakan

didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan yang

timbul saat beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau

mendapat nitrat sublingual.

d) Stroke.

Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada

penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita

diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius

untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran arteri karotis interna

dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia berupa

pusing, sinkop, hemiplegia parsial atau total, afasia sensorik dan motorik

serta keadaan pseudo-dementia.

e) Penyakit pembuluh darah.

Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang

dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh

darah koronaria, maka akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan

pada akhirnya terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2 hingga 5 kali

lebih besar pada diabetes dibanding pada orang normal. Risiko ini akan
13

meningkat lagi apabila terdapat keadaan - keadaan seperti dislipidemia,

obesitas, hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes

lebih sering dan lebih awal terjadi pada penderita diabetes dan biasanya

mengenai arteri distal. Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer

biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Faktor-

faktor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi

merupakan faktor utama terjadinya proses gangren diabetik. Pada penderita

dengan gangren dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai faktor

pencetus koma, ataupun kematian.

5. Penatalaksanaan DM

Penatalaksanaan DM menurut, Setiati (2014) yaitu:

a. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Terapi nutrisi medis merupakan bagian penatalaksanaan diabetes secara total.

Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim

(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta diabetisi dan keluarganya).

TNM ini pada dasarnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang

disasarkan pada status gizi, kebiasaan makan dan kondisi yang telah ada atau

sedang terjadi. TNM dapat dipakai sebagai pencegahan timbulnya diabetes bagi

penderita yang mempunyai risiko diabetes, terapi pada penderita yang sudah

terdiagnosa diabetes (diabetisi) serta mencegah laju berkembangnya komplikasi

diabetes.
14

b. Diet

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran

makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes

perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa

darah atau insulin.

c. Pola Hidup Sehat

Didalam praktek sehari-hari perlu dilakukan penyuluhan bagi para diabetisi agar

bisa melakukan pola hidup sehat yang meliputi pola makan dan pola latihan fisik

dengan mudah. (Askandar Tjokroprawiro, 1995-2010) menyusun sepuluh

petunjuk yaitu GULOH-SISAR = SINDROMA 10 yang akan memudahkan dalam

pola hidup sehat. GULOH-SISAR dilaksanakan dengan pedoman BNI (Batasi,

Nikmati, Imbangi) artinya bahwa bisa menikmati semua jenis makan dan juga

dibatasi yang manis. Meliputi :

1) G (Gula) : Bagi para diabetisi sebaiknya pantang gula kecuali Non-DM

membatasi asupan gula.

2) U (Urat) : Mencegah hiperurisemia maka batasi konsumsi yaitu, jerohan,

alkhohol, sarden, burung dara, ungags, kaldu kacang-kangan, emping dan

tape.

3) L (Lemak) : Batasi telor, keju-kepiting, udang, kerrang-cumi, susu dan santan.

4) O (Obesitas) Lakukanlah penurunan berat badan bila terjadi obesitas.


15

5) H (Hipertensi) : Untuk yang mempunyai hipertensi batasi ekstra garam, ikan

asin, kacang asin dan lain-lain.

6) S (Sigaret) : yaitu stop merokok

7) I (Inaktivitas) : melakukan olahraga yang mampu mengeluarkan kalori kurang

lebih 300 kcal/hari.

8) S (Stres) : Usahakan tidur 6-7 jam sehari tanpa gangguan tidur.

9) A (Alkohol) : Stop alkohol.

10) R (Reguler Check Up) : melakukan control secara teratur, konsultasi kepada

ahlinya dan terapi.

d. Latihan Fisik

Selama latihan fisik kebutuhan energi akan meningkat dan ini dipenuhi dari

pemecahan glikogen dan pembongkaran trigliserida, asam lemak bebas dari

jaringan adiposa serta pelepasan glukosa dari hepar. Kadar glukosa dipertahankan

normal untuk memenuhi kebutuhan energi otak selama latihan fisik melalui

mekanisme hormonal.

6. Patofisiologi DM Tipe 2

Patofisiologi terjadinya DM tipe 2 menurut setiati (2014) berbeda signifikan dengan

DM Tipe 1. Respon terbatas sel beta terhadap hiperglikemia tampak menjadi faktor

mayor dalam perkembangannya. Sel beta terpapar secara kronis terhadap kadar

glukosa darah tinggi menjadi secara progresif kurang efisien ketika merespons

peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena ini dinamai desensitisasi, dapat kembali

dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio proinsulin (precursor insulin) terhadap


16

insulin tersekresi juga meningkat. Proses patofisiologi kedua dalam DM tipe 2 adalah

resistansi terhadap aktivitas insulin biologis, baik di hati maupun jaringan perifer.

Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Orang dengan DM tipe 2 memiliki

penurunan sensitivitas insulin terhadap kadar glukosa, yang mengakibatkan produksi

glukosa darah tinggi. Hal ini bersamaan dengan ketidakmampuan otot dan jaringan

lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa. Mekanisme penyebab resistansi insulin

perifer tidak jelas; namun, ini tampa terjadi setelah insulin berikatan terhadap

reseptor pada permukaan sel. Insulin adalah hormone pembangun (anabolik).

B. Kadar Glukosa Darah

1. Definisi

Glukosa merupakan karbohidrat terpenting yang kebanyakan diserap ke dalam aliran

darah sebagai glukosa dan gula lain diubah menjadi glukosa di hati. Glukosa adalah

bahan bakar utama dalam jaringan tubuh serta berfungsi untuk menghasilkan energi.

Kadar glukosa darah sangat erat kaitannya dengan penyakit DM (Amir, 2015).

2. Macam-macam Kadar Glukosa Darah

Macam-macam kadar glukosa darah menurut setiati (2014) yaitu:

a. Kadar Glukosa Darah Puasa

Sampel glukosa darah puasa diambil saat klien tidak makan-makanan selain

minum air selama paling tidak 8 jam. Sampel darah ini secara umum

mencerminkan kadar glukosa dari produksi hati. Jika klien mendapatkan cairan

dekstrosa intravena (IV), hasil pemeriksaan harus dianalisis dengan hati-hati. Pada
17

klien yang diketahui memiliki DM, makanan dan insulin tidak diberikan sampai

setelah sampel diproleh.

b. Kadar Glukosa Darah Sewaktu

Klien mungkin juga didiagnosis DM berdasarkan manifestasi klinis dan kadar

glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL. Sampel glukosa darah sewaktu diambil

sewaktu -waktu tanpa puasa. Peningkatan kadar glukosa darah mungkin terjadi

setelah makan, situasi penuh stress, dan darah sampel yang diambil dari lokasi IV

atau dalam kasus DM.

c. Kadar Glukosa Darah setelah Makan

Kadar glukosa darah setelah makan dapat juga diambil dan digunakan untuk

mendiagnosis DM. kadar glukosa darah setelah makan diambil setelah 2 jam

makan standart dan mencerminkan efisiensi ambilan glukosa yang diperantai

insulin oleh jaringan perifer. Secara normal, kadar glukosa darah seharusnya

kembali kekadar puasa didalam 2 jam setelah makan > 200 mg/dl selama tes

toleransi glukosa oral (OGTT) memperkuat diagnosis DM

3. Faktor resiko peningkatan kadar gula darah

Glukosa darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor resiko atau faktor

pencetus misalnya, adanya infeksi virus, kegemukan, perilaku makan yang salah,

obat-obatan, proses menua, stress dan lain - lain. Diet tetap merupakan pengobatan

yang utama pada penatalaksanaan diabetes, terutama pada DM tipe 2. Peran diet

dapat mengontrol kadar glukosa darah pasien. Diet disini dapat diartikan sebagai

perilaku gizi pasien diabetes (Syauqy, 2015).


18

4. Dampak peningkatan kadar gula darah

Peningkatan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL yang disertai dengan gejala

poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hal ini dapat

mengakibatkan adanya gangguan pada kualitas tidur pasien karena mengalami

polyuria di malam hari yang membuatnya terbangun dan mungkin akan sulit kembali

untuk tidur (Amir, 2015).

5. Hasil pemeriksaan

Menurut IDF (2015) yaitu:

a. Diabetes harus didiagnosis jika satu atau lebih dari kriteria terpenuhi, berikut

hasilnya:

1) Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol / L (126 mg / dl).

2) Glukosa plasma dua jam ≥ 11,1 mmol / L (200 mg / dl) setelah beban glukosa

oral 75g.

b. Gangguan Toleransi Glukosa (IGT) harus didiagnosis jika kedua kriteria berikut

terpenuhi:

1) Glukosa plasma puasa <7.0 mmol / L (126 mg / dl).

2) Glukosa plasma dua jam 7,8-11,1 mmol / L (140-200 mg / dl) setelah beban

glukosa oral 75g.


19

c. Gangguan Glukosa Puasa (IFG) harus didiagnosis jika kedua kriteria berikut

terpenuhi:

1) Glukosa plasma puasa 6.1-6.9 mmol / L (110-125 mg / dl).

2) Glukosa plasma dua jam <7,8 mmol / L (140) setelah beban glukosa oral 75g.

C. Tidur

1. Definisi

Tidur adalah suatu keadaan berulang, teratur, mudah reversible yang ditandai dengan

keadaan relatif tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respons terhadap

stimulus eksternal dibandingkan dengan keadaan terjaga. Pemantauan tidur yang

ketat merupakan bagian penting praktik klinis: gangguan tidur sering menjadi gejala

awal penyakit jiwa yang akan terjadi. Beberapa gangguan jiwa menyebabkan

perubahan khas fisiologi tidur (Kaplan & sadock, 2010).

2. Proses terjadi tidur

Proses terjadi tidur menurut Kaplan & Sadock (2010) ada dua jenis yaitu: NonRapid

Eye Movement (NREM), dan Rapid Eye Movement (REM).

a. NonRapid Eye Movement (NREM)

Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1 sampai 4, sebagian besar fisiologis

sangat berkurang dibandingkan dengan keadaan terjaga. Pada orang normal

NREM merupakan keadaan tentram dibandingkan saat terjaga. Denyut jantung

secara khas melambat lima hingga sepuluh denyut per menit dibawah tingkat saat

terjaga sedang istirahat dan sangat teratur denyutnya.


20

Tidur NREM dibagi atas 4 tingkat, yaitu: tingkat 1 (tidur ringan), keadaan

mengantuk. Tingkat 2 (tidur konsolidasi), individu yang berada dalam tingkat 2,

bila dibangunkan ia merasa bahwa ia memang tertidur. Namun, sebagaimana

halnya dengan tingkat 1, ada individu yang merasa ia cukup sadar terhadap

sekelilingnya, namun ia tidak menyadari sebara jauh kesadarannya sudah

menumpul (Lumbantobing, 2004).

b. Rapid Eye movement (REM)

Tidur REM merupakan jenis tidur yang secara kualitatif berbeda, ditandai dengan

tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat aktivitas fisiologis yang menyerupai

tingkat aktivitas terjaga. Potensial otot istirahat pada otot – otot tubuh lebih rendah

pada tidur REM daripada keadaan terjaga.

3. Fungsi tidur

Tidur memberikan fungsi homeostatic yang bersifat menyegarkan dan tampak

penting untuk termoregulasi normal dan penyimpanan energi. Karena tidur NREM

meningkat setelah olahraga dan kelaparan, tahap ini mungkin terkait dengan

kebutuhan metabolic yang memuaskan (Kaplan & sadock, 2010).

4. Kualitas tidur pada pasien DM

Menurut, tarihoran, Muttaqin, dan Mulyani (2015) menjelaskan bahwa bila seseorang

kurang tidur maka akan sangat mudah terserang stres. Kondisi ini terkait dengan

peningkatan risiko diabetes karena membuat kerja insulin, yang kadarnya sudah

berkurang menjadi tidak maksimal. Kurang tidurpun menyebabkan peningkatan


21

hormon ghrelin, yang otomatis meningkatkan nafsu makan, dan menurunkan kadar

leptin yaitu hormon pengirim sinyal kenyang. Dalam kondisi kerja insulin yang tidak

maksimal tersebut, peningkatan nafsu makan tentunya juga berperan meningkatkan

risiko DM.

5. Kebutuhan tidur

Beberapa orang normalnya merupakan penidur pendek (short-sleeper) dan hanya

membutuhkan tidur kurang dari 6 jam setiap malam untuk dapat berfungsi dengan

adekuat. Penidur Panjang (long-sleeper) adalah orang yang tidur lebih dari 9 jam

setiap malam untuk dapat berfungsi untuk adekuat. Penidur panjang memiliki periode

REM yang lebih banyak serta lebih banyak REM didalam setiap periode (dikenal

sebagai densistas REM) daripada penidur pendek.

Pergerakan ini kadang-kadang dianggap sebagai ukuran intensitas tidur REM dan

terkait dengan kejelasan mimpi. Penidur pendek umumnya efisien, ambisius,

beradaptas social, dan menyenangkan. Penidur panjang cenderung mengalami

depresi ringan, cemas, dan menarik diri secara social. Meningkatnya kebutuhan tidur

terjadi pada kerja fisik, olah raga, penyakit, kehamilan, tekanan jiwa umum, dan

meningkatnya aktivitas mental. Periode REM meningkat setelah stimulus psikologis

yang kuat, seperti situasi belajar yang sulit serta stres, dan setelah penggunaan bahan

kimia atau obat yang menurunkan katekolamin otak. (Kaplan & Sadock, 2010).
22

6. Pola tidur normal berdasarkan kriteria usia

Pola tidur normal menurut Potter (2014) ada beberapa kriteria yaitu:

a. Dewasa muda
½
Kebanyakan orang dewasa muda rata-rata 6-8 jam permalam. Sekitar 20% dari

waktu tidur adalah tidur REM yang tetap konsisten sepanjang hidup. Tekanan

dalam pekerjaan, hubungan keluarga, dan kegiatan sosial sering mengarah pada

insomnia dan penggunanaan obat tidur. Kantuk di siang hari menyebabkan

peningkatan jumlah kecelakaan, penurunan produktivitas, dan masalah

interpersonal dalam kelompok usia ini.

b. Dewasa menengah

Selama masa dewasa menengah, total waktu tidur di malam hari mulai menurun.

Jumlah tidur stadium 4 mulai turun, penurunan terus berlanjut seiring dengan

meningkatnya usia. Insomnia sangat umum, mungkin karena perubahan dan stress

pada usia dewasa menengah. Kecemasan, depresi, atau penyakit fisik tertentu yang

menyebabkan gangguan tidur.

c. Lansia

Keluhan kesulitan tidur meningkat seiring dengan meningkatnya umur. Lebih dari

50% lansia yang berusia 65 tahun atau lebih melaporkan mempunyai masalah

dengan tidur. Episode tidur REM cenderung menyingkat. Ada penurunan progresif

dalam tidur tahap 3 dan 4 NREM; beberapa lansia hampir tidak memiliki tidur

tahap atau tidur nyenyak. Seorang lansia terbangun lebih sering pada malam hari,

dan memerlukan lebih banyak waktu untuk mereka agar dapat tidur kembali.
23

Kecenderungan untuk tidur siang tampaknya semakin meningkat seiring

bertambahnya usia karena sering terjaga di malam hari.

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur

Faktor yang mempengaruhi tidur menurut Potter (2010) yang memengaruhi kualitas

dan kuantitas tidur. Sering kali faktor tunggal bukanlah satu-satunya penyebab untuk

masalah tidur. Faktor fisiologis, psikologis, dan faktor lingkungan sering mengubah

kualitas dan kuantitas tidur.

a. Obat

Kantuk, insomnia, dan kelelahan sering terjadi sebagai akibat langsung dari obat

umum yang diresepkan. Obat ini mengubah pola tidur dan menurunkan

kewaspadaan disiang hari, yang kemudian menjadi masalah bagi individu. Obat

yang diresepkan untuk tidur sering menyebabkan lebih banyak masalah daripada

manfaat. Lansia mengonsumsi berbagai obat untuk mengontrol atau mengobati

penyakit kronis, dan efek gabungan beberapa obat bisa sangat menggangu tidur.

b. Gaya hidup

Rutinitas seseorang dapat memengaruhi pola tidur. Seorang individu yang bekerja

secara rotasi sering mengalami kesulitan menyesuaikan perubahan jadwal tidur.

Kesulitan mempertahankan kewaspadaan selama waktu kerja menghasilkan

penurunan dan bahkan kinerja yang berbahaya.

c. Makanan dan asupan kalori

Mengikuti kebiasaan makan yang baik penting untuk menciptakan tidur yang baik.

Makan besar, berat, dan makanan pedas dimalam hari sering mengakibatkan
24

gangguan pencernaan yang menggangu tidur. Kafein, alkohol, dan nikotin yang

dikonsumsi di malam hari menghasilkan insomnia. Kopi, teh, cola, dan cokelat

yang mengandung kafein dan xanthenes menyebabkan keadaan tidak dapat tidur.

Pengurangan secara drastis atau menghindari zat-zat ini merupakan strategi

penting yang bisa digunakan untuk meningkatkan tidur.

8. Jenis gangguan tidur

a. Hipersomnia

Hipersomnia tampak sebagai tidur yang berlebihan, rasa mengantuk (somnolen)

disiang hari yang berlebihan, atau kadang-kadang keduanya. Istilah somnolen

harus diberikan kepada pasien yang mengeluhkan keadaan mengantuk dan

memiliki kecenderungan yang tampak jelas untuk jatuh tertidur tiba-tiba pada

keadaan terjaga, yang mengalami serangan tidur, dan yang tidak dapat tetap

terjaga, istilah ini sebaiknya tidak digunakan untuk orang yang secara fisik Lelah

atau letih (Kaplan & Sadock, 2010).

b. Parasomnia

Parasomnia merupakan fenomena yang tidak diinginkan atau yang tidak biasa

yang terjadi tiba-tiba saat tidur atau terjadi pada ambang antara bangun dan tidur.

Parasomnia biasanya terjadi pada tahap 3 dan 4 sehingga dikaitkan dengan ingatan

buruk mengenai gannguan ini (Kaplan & Sadock, 2010).


25

c. Insomnia

Insomnia adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur. Gangguan ini

merupakan keluhan tidur yang paling lazim ditemui dan dapat bersifat sementara

atau menetap.

1) Insomnia sementara

Insomnia sementara jenis ini dapat disebabkan berkabung, kehilangan atau

nyaris semua perubahan kehidupan maupun stress. Keadaan ini cenderung tidak

berat, meskipun episode psikotik atau depresi berat kadang-kadang dimulai

dengan insomnia akut (Kaplan & Sadock, 2010).

2) Insomnia menetap

Insomnia tetap adalah kelompok keadaan yang cukup lazim ditemukan dengan

masalah yang paling sering adalah kesulitan untuk jatuh tidur bukannya untuk

tetap mempertahankan tidur. Insomnia ini melibatkan dua masalah yang

kadang-kadang dapat dipisahkan, tetapi sering saling berkaitan, yaitu tegangan

somatisasi serta ansietas dan respons asosiatif yang dipelajari (Kaplan &

Sadock, 2010).

3) Gangguan – gangguan Insomnia (Lumbantobing, 2004).

a) Gangguan Psikiatrik.

- Alkoholisme, gangguan tidur oleh ketergantungan alcohol.

- Gangguan tidur oleh ketergantungan obat.

- Gangguan suasana hati (mood).

- Gangguan ansietas.

- Psikosis.
26

b) Gangguan Medis

- Gangguan pernapasan (penyakit paru obstruktif kronis, asma).

- Refluks gastroesofageal.

- Fibromialgia, penyakit reutamalogi lainnya.

c) Gangguan Neurologis

- Parkinsonisme dan gangguan gerak lainnya.

- Demensia, penyakt degenerative.

- Penyakit serebrovaskuler.

- Epilepsi.

- Nyeri kepala dan sindrom nyeri lainnya.

- Fatal familial insomnia.

d) Gangguan Lingkungan

e) Gangguan Ritme Sirkadian

- Sindrom perubahan zona waktu (time zone change syndrome).

- Gangguan tidur oleh kerja shift (shift work sleep disorders).

- Delayed or advanced sleep phase syndrome.

- Pola tidur yang tidak regular.

f) Gangguan Prilaku

- Insomnia psiko-fisiologis

- Hygiene tidur yang tidak adekuat.

- Gangguan pada penyesuaian tidur.

g) Gangguan Tidur Primer.

- Salah persepsi keadaan tidur (misperception sleep state)


27

- Insomnia idiopatis (insomnia primer)

- Apnea waktu tidur (sleep apnea)

- Sindrom tungkai gelisah dan gerak ekstremitas periodic (retless legs

syndrome (RLS) and periodic limb movement.

- Parasomnia.

h) Gangguan tidur pada pasien DM

- Terbangun ditengah malam hari

- Sulit untuk memulai tidur

- Rasa ingin berkemih, haus dan lapar di malam hari

9. Gejala gangguan tidur

Kantuk di siang hari yang berlebihan dan kelelahan adalah keluhan yang dirasakan

dengan orang-orang yang sering melaporkan melakukan tidur siang hari dan

mengalami gangguan dalam aktivitas sehari-hari mereka karena mengantuk.

Perasaan kantuk biasanya paling sering terjadi, atau terjadi sesaat sebelum tidur,

dan sekitar 12 jam setelah periode midsleeps (Pooter, 2010).

10. Macam-macam kuesioner tidur

Beberapa macam kuesioner tidur menurut, Morin (2011) yaitu:

a. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

PSQI adalah kuesioner 19-item yang mengevaluasi kualitas tidur dan gangguan

selama sebulan terakhir. 4 item pertama adalah pertanyaan terbuka, sedangkan

item 5 hingga 19 dinilai pada skala Likert 4 poin. Skor item individual
28

menghasilkan 7 komponen. Skor total, mulai dari 0 hingga 21, diperoleh dengan

menambahkan 7 komponen skor. Skor > 5 menunjukkan kualitas tidur yang

buruk. Sifat psikometrik dari PSQI telah didokumentasikan dalam beberapa

penelitian, termasuk satu dengan sampel Perancis-Kanada. PSQI digunakan

karena mengukur konstruk (kualitas tidur) yang terkait dengan insomnia tetapi

konstruk yang lebih luas daripada keparahan insomnia. Itu diberikan hanya

kepada sampel komunitas.

b. Insomnia Severity Indexy (ISI)

ISI adalah kuesioner laporan diri 7-item yang menilai sifat, keparahan, dan

dampak insomnia. Periode recall yang biasa adalah "bulan terakhir" dan dimensi

yang dievaluasi adalah: keparahan onset tidur, pemeliharaan tidur, dan masalah

bangun pagi, ketidakpuasan tidur, gangguan kesulitan tidur dengan fungsi siang

hari, masalah tidur oleh orang lain, dan kesusahan. disebabkan oleh kesulitan

tidur. Skala Likert 5 poin digunakan untuk menilai setiap item (misalnya, 0 =

tidak ada masalah; 4 = masalah sangat berat), menghasilkan skor total mulai dari

0 hingga 28. Skor total ditafsirkan sebagai berikut: tidak adanya insomnia (0 -7);

insomnia sub-ambang (8-14); insomnia sedang (15-21); dan insomnia berat (22-

28). Tiga versi tersedia — pasien, dokter, dan orang lain yang signifikan —

tetapi makalah ini berfokus hanya pada versi pasien. Penelitian sebelumnya telah

melaporkan sifat psikometrik yang memadai untuk versi bahasa Inggris dan

Perancis.

Anda mungkin juga menyukai