sebagai bentuk yang bermakna lebih umum. kohesi (1) repetisi, yaitu penanda hubungan
Kata genah ‘tempat’ hanyalah antarkalimat ditandai dengan adanya kata-kata
merupakan istilah yang lebih umum digunakan yang sama atau hampir sama yang berfungsi
untuk menyatakan sesuatu yang bermakna sebagai penanda hubungan antarkalimat;
tempat. Frase preposisional ring Banjar Batur (2) sinonim atau sinonimi sebagai penanda
Kusamba ‘di Banjar Batur Kusamba’ adalah hubungan ditandai dengan adanya bentuk
konstituen yang menyatakan makna suatu bahasa yang berbeda, tetapi memiliki kesama
tempat yang telah mengkhusus. Sebagai kata an atau kemiripan makna (3) kata generik
umum, kata genah ‘tempat’ dapat menunjuk (generic term) adalah kata yang maknanya
pada semua bentuk khusus yang memiliki mencakup semua anggota dari suatu kelas
ciri semantis tempat. Dalam peiristilahan tertentu; misalnya kata rumah yang mencakup
linguistik, kata-kata umum yang dapat pondok, gubuk, istana, dan sebagainya. (4)
mencakup semua anggota dari suatu kelas kolokasi adalah butir-butir kosa kata bahasa
kata tertentu disebut dengan kata generik yang dipakai dalam sandingan satu sama
(Kridalaksana, 1984:89). lain yang lazim dalam bahasa itu dan (5)
Dengan melihat perbedaan tersebut, superordinat, pembicaraan superordinat tidak
jelaslah bahwa penanda hubungan gugus dapat dilepaskan dari pembicaraan hiponim.
kalimat (9) berbeda dengan penanda hubungan Kedua hal itu saling berkaitan, dalam arti
gugus kalimat (10). Gugus kalimat (9) meng komponen yang satu menyebabkan timbulnya
gunakan penanda hubungan superordinat, komponen yang lain. Hubungan superordinat
sedangkan gugus kalimat (10) menggunakan di satu pihak dengan hiponim di pihak lain
penanda hubungan kata generik. Untuk disebut hiponimi.
memperjelas prinsip di atas, berikut ini
disajikan contoh berupa gugus kalimat
yang kepaduannya ditandai dengan penanda DAFTAR PUSTAKA
hubungan kata generik.
Alwasilah, Chaedar. 1983. Linguistik:
(11) a. Mēmē bapanipun tan purun SuatuPengantar. Bandung: Angkasa.
ngulgul, sami rēpot magarapan.
Alwasilah, Chaedar. 1985. Beberapa Madhab
‘Ibu bapaknya tidak berani dan Dikotomi Teori Linguistik.
mengganggu, semua sibuk bekerja’ Bandung: Angkasa.
b. Mēmēnipun mapunpun ring paon,
bapanipun nyangih arit ring natahē. Astuti, Wiwiek Dwi. 1985. “Elipsis sebagai
‘Ibunya memasak di dapur, bapaknya Penanda Hubungan Antarkalimat
mengasah sabit di halaman’ dalam Bahasa Indonesia”. Yogyakarta:
Skripsi Sarjana Fakultas Sastra
Universitas Gajah Mada.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, tulisan Bawa, I Wayan. 1988. “Dinamika Bahasa
yang berjudul “Aneka Perpaduan Leksikal Bali dalam Menyongsong Masa
Sebagai Penanda Kohesi Antarkalimat dalam Depan Bangsa” dalam Majalah Widya
Wacana Bahasa Bali” dapat disimpulkan Pustaka. Tahun VI, Edisi khusus,
sebagai berikut. Aneka perpaduan leksikal halaman 7—17. Denpasar: Fakultas
Sastra Universitas Udayana.
sebagai penanda kohesi ditemukan penanda
I Nengah Sukayana
Balai Bahasa Provinsi Bali
Jalan Trengguli I No. 34, Tembau, Denpasar 80238, Bali, Indonesia
Telepon (0361) 461714, Faksimile (0361) 463656
Pos-el: sukayana60@yahoo.co.id
Naskah diterima: 18 Maret 2014; direvisi: 6 Mei 2014; disetujui: 12 Mei 2014
Abstrak
Masyarakat di kota Tabanan mayoritas tergolong dwibahasawan karena setidak-
tidaknya mereka menguasai bahasa Bali (sebagai bahasa ibu) dan bahasa Indonesia
sebagai bahasa kedua yang didapatkan melalui pendidikan formal di sekolah.
Sebagai dwibahasawan, dalam berkomunikasi mereka akan menyesuaikan diri
dengan topik, situasi, serta lawan bicaranya untuk memilih bahasa yang cocok atau
pantas digunakan. Tentunya sebagai dwibahasawan, mereka akan lebih leluasa
untuk memilih bahasa yang lebih sesuai bila dibandingkan dengan seorang yang
ekabahasawan. Dari kajian yang dilakukan, ternyata masyarakat di kota Tabanan
telah melakukan alih kode dalam berkomunikasi, baik antarwarga Tabanan maupun
dengan warga di luar Tabanan. Adapun faktor-faktor yang memotivasi mereka untuk
beralih kode sebagai berikut. (a) Kehadiran orang ketiga yang tidak mengenal atau
tidak mengerti bahasa Bali. (b) Adanya pergantian topik untuk menonjolkan suasana
kebalian. (c) Adanya peralihan suasana dari suasana santai ke suasana formal. (d)
Adanya pengutipan kode yang digunakan dalam teks.
Abstract
In majority, people in Tabanan city are categorized as bilingual due to at least they
master Balinese language (as mother tongue) and Indonesian language as second
language which is acquired through formal education at school. As bilingual, they
will adjust themselves with the topic being discussed, situation, as well as interlocutor
to choose the suitable language to do communication. Surely, as bilingual, they will
be more flexible to choose language which is more appropriate than those who are
monolingual. Through the study, it is found that people in Tabanan city has done code
switching in communicating intercommunity and outside community in Tabanan city.
There are some factors that are motivating them to use code switching as follows.
(a) The presence of the third person who does not know or understand Balinese
language. (b) Changing of topic to accentuate the sense of Balinese atmosphere. (c)
Changing of informal to formal situation. (d) The existence of code citation which
are commonly used in the text.
masyarakat yang lain. ini dibantu dengan teknik catat dan rekam.
Dalam pemilihan bahasa ada tiga Seluruh data yang terkait dengan data yang
jenis pilihan, yaitu (1) dengan memilih satu dicurigai mengandung alih kode yang terdapat
variasi bahasa yang sama (intra-language- pada peristiwa tutur dikumpulkan melalui
variation), (2) dengan melakukan alih kode penyimakan secara langsung. Data hasil
(code switching), dan (3) dengan melakukan penyimakan dan perekaman kemudian
campur kode (code mixing) (bdk.Pasold, 1984; dicatat. Dalam analisis data digunakan metode
Chaer dan Leonie, 1995:203). deskriptif sinkronis. Maksudnya, penelitian
Alat komunikasi yang merupakan ini bertujuan mendeskrpsikan bentuk-bentuk
varian dari bahasa dikenal dengan istilah alih kode BI –BB. Dalam penelitian ini
kode. Menurut Poedjosudarmo (1982:30), akan diterapkan metode formal dan metode
kode dibatasi sebagai suatu sistem tutur yang informal. Dalam metode formal, peneliti
penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri akan memanfaatkan tanda-tanda atau gambar-
khas sesuai dengan latar belakang penutur, gambar atau simbol-simbol yang sudah lazim
relasi penutur dengan lawan bicara, dan situasi digunakan dalam penelitian bahasa. Tanda-
tutur yang ada. tanda formal yang dimaksudkan dapat berupa
Alih kode menurut Suwito (1983;68— tanda petik tunggal ( ’...’) untuk mengapit
69), yaitu peristiwa peralihan dari kode yang makna kata, frasa, kalimat, dan alinea; tanda
satu ke kode yang lain. Karena di dalam titik dua (:) untuk menandai pelaku dan yang
kode terdapat banyak varian , seperti varian diucapkan, dan sebagainya. Metode informal
regional, varian kelas sosial, register, ragam, yang dimaksud adalah mendeskripsikan
ataupun gaya, peristiwa alihkode dapat juga gagasan dengan uraian kata-kata umum.
berwujud peralihan dari varian yang satu ke Dalam penelitian ini, kedua metode penyajian
varian yang lain (bdk. Braight, 1992). hasil analisis itu akan dikombinasikan
penggunaannya sesuai dengan karakter data
METODE PENELITIAN sehingga kombinasi itu diharapkan dapat
Dalam kegiatan penelitian bahasa, ada mempermudah si pembaca untuk memahami
tiga tahapan, seperti yang disarankan oleh hasil penelitian ini. Jadi, penerapan kedua
Sudaryanto (1993:4—8). Ketiga tahapan yang metode ini akan digunakan secara bergantian
dimaksud adalah (a) tahapan penyediaan data sesuai dengan keperluan.
atau pengumpulan data, (b) tahapan analisis
data, dan (c) tahapan penyajian hasil analisis. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketiga tahapan itu masing-masing dijelaskan
secara berurutan di bawah ini. Masyarakat Bahasa di Kota Tabanan
Pengumpulan data dilakukan dengan Kota Tabanan sebagai salah satu
metode penyimakan (lihat Sudaryanto, kota kabupten di Bali berada di daerah
1993:12). Maksudnya, peneliti terjun langsung yang berbahasa Bali. Penduduk aslinya
ke lapangan mengamati pemakaian bahasa adalah orang-orang yang berbahasa Bali.
yang dilakukan oleh masyarat di Kota Pada dasarnya, dahulu di kota ini terdapat
Tabanan. Dalam hal ini, peneliti tidak ikut masyarakat yang ekabahasa, yaitu bahasa Bali,
terlibat langsung dalam percakapan, tetapi tetapi sifat ekebahasa sudah tidak murni lagi
hanya sebagai pengamat. Sudaryanto (1993) karena sejak lama di kota ini terdapat banyak
menyebut dengan metode simak bebas pendatang yang bergabung dengan penduduk
libat cakap (SBLC). Metode penyimakan asli yang menggunakan bahasa Indonesia.
Para pendatang tersebut, antara Dengan demikian, sifat ekabahasa Bali pada
lain, suku-suku bangsa Indonesia lainnya, masyarakat di Kota Tabanan sedang bergeser
orang-orng Cina, dan orang-orang Arab. ke arah dwibahasawan Bali Indonesia.
Dipergunakannya BI oleh para pendatang Menurut pengamatan penulis,
dengan penduduk asli di Kota Tabanan masyarakat di Kota Tabanan bersifat majemuk,
berakibat BI berkontak dengan BB. Dalam yang pada dasarnya terdiri atas orang-
kontak itu terjadilah dwibahasawan Bali- orang yang dapat disebut ekabahasawan
Indonesia. Dalam masyarakat majemuk seperti Bali, dwibahasawan Bali—Indonesia, dan
halnya masyarakat yang terdapat di Kota orang-orang yang mungkin dapat disebut
Tabanan, pada umumnya para penuturnya ekabahasawan Indonesia dan bahasa daerah
tergolong dwibahasawan. Dalam hal ini, non-Bali. Bahkan terdapat juga orang-orang
masyarakat Tabanan keturunan Cina, Arab, yan g anekabahasawan, misalnya, yang dapat
dan India) dan mereka yang berasal dari suku menggunakan BI, BB, dan bahasa daerah
Jawa yang bergabung mwnjadi masyarakat lainnya atau ditambah dengan bahasa asing.
di Kota Tabanan yang sudah menguasai BI Yang disebutkan terakhir ini terutama di
akan menimbulkan kontak antara BI dan kalangan cendekiawan.
BB yang menjadi bahasa pertama penduduk Dengan adanya orang-orang yang
asli (Tabanan). Proses komunikasi antaretnis yang dapat disebut ekabahasawan Bali, maka
akan memaksa mereka untuk menentukan di Kota Tabanan pada dasarnya pada dasarnya
kode (bahasa) yang dapat memperlancar ada masyarakat ekabahasawan Bali, yaitu
proses komunikasi itu. Oleh karena itu, masyarakat yang anggota-anggotanya boleh
masyarakat Kota Tabanan yang pada mulanya dikatakan tidak pernah secara formal belajar
hanya menguasai BB akan berusaha untuk BI; kalaupun pernah sangt minim sekali;
menguasai BI yang dapat menjembatani dan yang dalam kehidupannya sehari-hari
komunikasi antaretnis itu (bdk. Hymes, 1964). biasanya hanya berbahasa Bali. Masyarakat
Sehubungan dengan itu, ada pula ekabahasawan Bali initerdapat di daerah
pernyataan Weinreich bahwa dua atau lebih pinggiran kota.
bahasa berada dalam kontak bila bahasa- Dengan banyaknya terdapat kedwi
bahasa itu dipergunakan secara bergantian bahasaan Indonesia—Bali, maka di Kota
oleh orang-orang yang sama. Individu- Tabanan terdapat masyarakat yang anggota-
individu yang menggunakan dua bahasa anggotanya dalam kehidupan sehari-hari
secara bergantian itu disebut dwibahasawan, biasa dan perlu mempergunakan kedua
sedangkan praktik mempergunakan dua bahasa tersebut di antara sesamanya. Adapun
bahasa secara bergantian kedwibahasaan masyarakat bahasa dimaksudkan adalah
(Weinreich, 1953:1). suatu masyarakat yang anggota-anggotanya
Pengaruh BI dalam masyarakat di bersama-sama memiliki paling sedikit
Kota Tabanan makin lama semakin kuat. memiliki stu bahasa dan beberapa norma yang
Pemerintahan, ketentaraan, kepolisian, sama tentang pemakaiannya.
sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi, sert Kota tabanan merupakan suatu ma
perdagangan menyebabkan BI semakin kuat syarakat bahasa karena anggota-anggotanya
berkembang di kota ini. Di samping itu, media pada dasarnya bersama-sama memiliki satu
massa, seperti koran-koran, majalah-majalah, bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Dengan bahasa
televisi, dan film tidak kalah pentingnya Indonesia ini, orang akan dapat berkomunikasi
dalam penyebarluasan BI di Kota Tabanan. di antara orang-orang ekabahasawan meskipun
babarapa hal yang menyebabkan seseorang kode dari unsur-unsur yang “tertandai”
melakukan alih kode. Appel (1976:3) (marked) bagi peristiwa bicara itu (bdk.
menyebutkan faktor-faktor penyebab alih Appel, 1976:122). Misalnya seseorang sedang
kode, antara lain: berbicara dalam bahasa Bali, kemudian secara
(a) pembicara dan lawan bicara; tiba-tiba memakai kata-kata dari bahasa
(b) objek atau topi pembicaraan; Indonesia dan beralih pada bahasa ini. Kata-
(c) konteks bahasa yang terdiri atas semua kata Indonesia yang mengikuti tuturannya
tuturan dalam peristiwa bicara karena dalam bahasa Bali itu adalah “tertandai”
hal ini dapat mempengaruhi pemilihan bagi tuturan dan peristiwa bicara itu karena
kode dalam tuturan berikutnya dan sebetulnya orang tidak mengira bahwa setelah
aspek konteks bahasa adalah kode tuturan dalam bahasa Bali, pembicara akan
pembicara dan kode lawan bicara; memakai kata-kata dari bahasa Indonesia.
(d) saluran pemakaian bahasa;
(e) tempat dan aktivitas tempat peristiwa Peristiwa Alih Kode antara BI dan BB
terjadi (berlangsung). di Kota Tabanan
Hal-hal yang masih dapat ditambahkan, Dalam uraian ini, penulis akan
misalya kehadiran orang ketiga, keintiman menunjukkan beberapa peristiwa alih kode
antara pembicara dan lawan bicara, antara BI dan BB yang terjadi di Kota
serta suasana hati para pembicara (bdk. Tabanan (Bali). Dalam hal ini penulis tidak
Poedjosoedarmo, 1978). menguraikannya secara detail karena peristiwa-
Dapat dikatakan bahwa alih kode itu peristiwa yang diamati hanyalah bersifat
terjadi pasti ada sebabnya. Disadari atau sepintas. Peristiwa-peristiwa yang diuraikan
tidak, masyarakat bahasa yang melakukan hal di sini lebih banyak bersifat kebetulan. Oleh
itu sebagian besar sangat sadar akan hal-hal karena itu, contoh-contoh yang diuraikan di
yang dilakukannya. Oleh karena itu, dapat sini sudah tentu jumlahnya terbatas. Contoh-
dikatakan bahwa peralihan pada kode yang contoh yang dimaksud adalah sebagai berikut.
dipilih mempunyai arti sosial (bdk. Appel,
1976:118). Sehubungan dengan hal itu, appel Peristiwa Bicara I
(1976) menjelaskan bahwa kode yang dipilih Latar belakang: Kompleks perumahan POLRI
mempunyai arti sosial tertentu bagi para (Tabanan)
pemakai bahasa itu dan harus diinterpretasikan Pembicara : Ibu-ibu rumah tangga; Ibu
sedemikian rupa, misalnya, dalam contoh alih Kondri (K), dan Ibu Sukarti
kode antara bahasa Bali dan bahasa Indonesia, (S) yang berbahasa Bali (BB),
diinterpretasikan oleh masyarakat yang Ibu Fani (F) dari Surabaya
bersangkutan bahwa pembicara menunjukkan yang tinggal di Denpasar
penghargaannya terhadap orang ketiga yang dan kebetulan berkunjung ke
tidak berbahasa Bali (tidak mengerti bahasa kompleks POLRI Tabanan
Bali). Sebaliknya, seandainya pembicara Topik : Kenaikan harga buah-buahan
tidak beralih kode ke bahasa Indonesia dalam Sebab Alih Kode: Kehadiran Ibu F dalam
kasus di atas, orang ketiga tersebut mungkin peristiwa bicara
akan merasa dirinya diremehkan dalam Peristiwa Bicara:
pembicaraan atau peristiwa itu. Ibu K : “Bu S, ajin buah-buahan
Tanda bahwa seseorang beralih kode jani makejang menek makire
adalah ia mulai memakai kode unsur-unsur Galungan. Salake aji molas
Naskah diterima: 10 Februari 2014; direvisi: 5 Mei 2014; disetujui: 12 Mei 2014
Abstrak
Verba pengalam adalah verba yang mengungkapkan gejala psikologis yang berkaitan
dengan kognisi, emosi, sensasi, atau komunikasi. Verba ini mengikat dua atau
tiga kasus: agen (A), objek (O), dan pengalam (P). Karya tulis ini bertujuan untuk
menganalisis verba pengalam bahasa Bali (yang selanjutnya disingkat BB). Teori
yang diterapkan untuk membahas verba pengalam BB adalah teori kasus yang
digagas oleh Fillmore (1968), dimodifikasi dan dikembangkan oleh Chafe (1970)
dan Cook (1979). Hasil analisis menunjukkan bahwa verba pengalam BB secara
semantis dibedakan menjadi Verba pengalam keadaan, verba pengalam proses, dan
verba pengalam aksi. Verba pengalam BB memiliki kasus inti dan kasus non-inti.
Kasus inti yang diikat oleh verba ini berupa kasus proporsional yang meliputi kasus
A, P, Ok (objek keadaan), dan O. Kasus inti dalam struktur lahir bisa berupa kasus
teraga dan kasus tidak teraga. Kasus non-inti dalam verba pengalam BB berupa;
kasus lokasi, kasus tujuan, dan kasus waktu dan kasus ini tidak diikutkan pada
kerangka kasus. Pada verba pengalam BB juga ditemukan: kasus terkandung, yaitu
kasus inti yang tidak teraga dalam struktur lahir tetapi terkandung dalam verbanya,
kasus dileksikalisasi yaitu kasus inti yang pada struktur lahir terleksikalisasi pada
verba, dan kasus koreferensial yaitu kasus yang mengacu pada kasus yang sama
Abtract
Verb of experience is a verb expressing psychological phenomena which relates to
cognition, emotion, sensation, or communication. This type of verb ties two or three
cases: agent (A), object (O), and experiencer (P). This article attempts to analyze
verb of experience in Balinese. The theory applied in discussing experience verbs
in Balinese is case theory proposed by Fillmore (1968), modified and developed by
Chafe (1970) and Cook (1979). The result of the analysis shows that the Balinese
verbs of experience can be semantically distinguished into experience verb of state,
process, and action. They have core and non-core cases. The core cases tied by
core verbs are proportional cases which cover: A, P, Os (state object), and O. Core
cases in the surface structure can be in the form of overt and covert cases. Non-core
cases in the Balinese experience verb can be in the form of: location, purpose, and
time cases and these cases are not covered in the case frames. It is also found that
in the Balinese experience verbs there is implied case, that is a core case which is
not realized in the surface structure but implied in the verb, lexicalized case, a core
case which is overtly realized in the verb in the surface structure, and coreferential
case that is a case referring to the same case.
dengan meniadakan verba pelengkap. Dengan kasus, (6) verba dengan kerangka kasus yang
menggabungkan tipe verba dasar dengan verba sama termasuk tipe verba yang sama, (7) kasus
dasar tambahan, Cook mengusulkan duabelas proposisi merupakan bagian dari kerangka
tipe verba dasar, akan tetapi verba yang kasus, (8) peran kasus proposisi ditentukan
diliput dalam karya tulis ini berupa gabungan oleh verba untuk nomina, (9) kasus modal
verba dasar dengan verba pengalam yang tidak dihadirkan pada kerangka kasus, dan
menghasilkan verba keadaan pengalam, verba (10) kasus modal merupakan kasus yang tidak
proses pengalam, dan verba aksi pengalam. tergantung pada verba tertentu.
(2) kasus pengalam tidak muncul tapi dapat supaya ikut rame-rame, anggap saja sebagai
difahami dalam konteks, kasus pengalam perayaan’.
adalah seseorang yang berada dalam
(11) Gusti Ngurah bengong.
keadaan: eneh ‘nyaman’, karasa ‘terasa’,
‘Gusti Ngurah melamun’
dan demen ‘senang’, akibat stimulus atau isi
dari pengalam dalam data di atas: nike ‘itu’, (13) Kadenanga sing nyak ngring uang timpal
abulan ‘sebulan’, ketonge ‘dibegitukan’ sedeng kangen.
(data (1), (2), (3). Ciri-ciri verba pengalam ‘Dikira tidak mau memperhatikan teman yang
keadaan di atas tidak bisa disisipi kata sedek sedang sedih’.
‘sedang’ (pemarkah progresif) dan jika
dipaksakan akan menghasilkan kalimat yang Verba: cicipin ‘cicipi’, bengong
tidak berterima dalam BB. ‘melamun’, ngeringuang ‘memperhati-
kan’ merupakan verba pengalam proses
(4) *Nika ngawe kenehne tuara sedek eneh- dalam BB. Verba cicipi berhubungan
eneh. dengan perasa, sedangkan yang lainnya
berhubungan dengan penglihatan dan
(5) *Mara limang dina kalahina teken Gusti pendengaran. Kadangkala sulit menentukan
Ngurah,*sedek karasa sampun abulan
apakah verba di atas termasuk verba
(6) *Lale Dumilah tuara sedek demen ketonge
pengalam proses. Untuk mengatasi hal
tersebut diterapkan tes yang dianjurkan
Kalimat-kalimat di atas juga tidak bisa oleh Chafe dan Cook dan juga diterapkan
diubah ke dalam bentuk perintah (imperatif) oleh Tampobolon dalam menganalisis
jika dipaksakan akan menghasilkan bentuk tipe-tipe kata kerja bahasa Indonesia
yang tidak berterima dalam BB. kontemporer antara lain.
1. Ve r b a t e r s e b u t b i s a m e n j a w a b
(7) * eneh-enehan kenehe!. pertanyaan : ‘apa yang terjadi pada
N(nomina)’ dalam BB ngengken
(8) * rasaang sampun abulan! Nomina?
2. Verba tersebut bisa diprogresifkan
(9) * demenang ketonge!
dalam BB bisa disisipkan
Verba Pengalam Proses leksikal:sedek/sedeng
Verba pengalam proses memiliki 3. Verba tersebut tidak bisa diubah ke
ciri semantik proses pengalaman. Dalam dalam bentuk perintah.
struktur semantiknya, verba ini mengikat Bila tes no.1 “ngenken Nomina?”
satu kasus pengalam dan satu kasus objek. diterapkan pada ke tiga contoh di atas
Kasus pengalam menyatakan entiti animat maka kalimat-kalimat pada contoh di
yang mengalami perubahan psikologis atas berterima sebagai jawaban atas
sehubungan dengan isi dari atau stimulus pertanyaan tersebut. Ketigacontoh tersebut
untuk pengalaman yang direalisasikan juga berterima jika disisipi makna sedek
oleh kasus Objek. Berikut ini verba yang ‘sedang’. Verba pada ketiga contoh di
termasuk dalam verba pengalam proses BB. atas yang tidak bisa diubah ke bentuk
perintah hanya verba bengong (*bengongan
(10) Napi to cicipin mangda sareng marame-rame, ragane!), sedangkan yang lainnya masih
satmaka anggen selametan ‘Cicipi apa saja bisa berterima jika diubah ke dalam bentuk
secara semantis pada verba keadaan pengalam. (20) Beh, Tu Ngurah ajum. [-P-*Ok/O terkandung]
Argumen verba pengalam keadaan diberi label ‘Beh, Tu Ngurah sombong.’
kasus P. Argumen kasus P berwujud nomina
(21) ”Ten dados kimud. .”. [-P-*Ok/O terkandung]
animat insani. Nomina animat insani berada
”Tidak boleh malu”’
dalam entiti yang merasakan secara psikologis
suatu keadaan. Argumen verba pengalam Pada contoh (20) di atas kasus objek
keadaan BB dinyatakan secara jelas dalam (isi pengalam yang mutlak dikehendaki oleh
struktur lahirnya. Verba pengalam keadaan verba ajum ‘sombong’) tidak direalisasi pada
dengan argumen inti yang menyertainya, struktur lahir tapi ada pada struktur batin.
direalisasikan dalam struktur lahir dapat Pada contoh (21) verba kimud mengikat dua
dilihat pada data berikut. kasus yaitu kasus P dan kasus Ok, akan tetapi
pada struktur lahir kasus P tidak direalisasi
(17) Tiang tusung inget apa-apa buin.
[P-Ok]
tetapi dapat dipahami melalui konteks karena
‘Saya tidak ingat apa-apa lagi.’ data di atas dikutip dari teks yang tidak
terlepas dari konteks. Pada konteks di atas
(18) Mangda para sentanane sane jagi rauh uning kasus pengalam direalisasi dengan entiti
indik kawentenan Wayang Wong niki. [-P-Ok]. animat yaitu Tu Ngurah sebagai pengalam
‘Supaya para generasi yang akan datang tahu keadaan yang direalisasi verba kimud jadi
tentang keberadaan Wayang Wong ini’
pada contoh tersebut kasus P bukan tidak
(19) Generasi muda pastik a pacang seneng
teraga. Sementara itu, kasus Ok merupakan
n y a re n g i n k e s e n i a n i n u c a p . [ P - O k ] kasus tak teraga karena tidak direalisasi
‘Generasi muda pasti akan senang ikut dalam struktur lahir, tapi terkandung pada
kesenian tersebut.’ verba pengalam keadaan sehingga dalam
kerangka kasus diberi tanda (*).
Pada contoh di atas verba inget ‘ingat’, Kasus argumen inti verba proses
uning ‘tahu’, seneng ‘senang’ mengikat pengalam adalah kasus argumen yang
dua kasus inti yang juga disebut kasus menyatakan perubahan kondisi yang dirasakan
proposisi yaitu kasus pengalam dan kasus argumen inti secara psikologis. Argumen
objek. Kedua kasus tersebut berupa kasus inti berupa nomina animat yang diberi label
teraga. Pada contoh (17) kasus pengalam pengalam P. Perubahan kondisi yang terjadi
direalisasi dengan pronomina tiang ‘saya’ pada argumen inti merupakan hasil proses
dan kasus objek direalisasi dengan apa-apa yang dilakukan secara sengaja. Kasus argumen
‘apa-apa’. Pada contoh (18) kasus pengalam inti verba proses pengalam yang berlabel kasus
direalisasi dengan para sentanane sane pengalam P dapat dijelaskan pada contoh
jagi rauh ‘para generasi yang akan datang’ berikut.
dan kasus objek dengan kesenian inucap
‘kesenian tersebut’sedangkan pada contoh (22) Lale Dumilah bengong inget teken pabesen
(19) kasus Pengalam direalisasi dengan Inaqne [-P-O]
‘Lale Dumilah melamun ingat dengan pesan
generasi muda dan kasus objek dengan ikut
Inaqnya’
kesenian tersebut. Berikut ini contoh verba
pengalam keadaan BB yang kasus intinya (23) Keneh tiange jani sedeng bingung [-P-*O/
tidak teraga atau tidak direalisasi dalam Oterkandung]
struktur lahir kasus yang tidak teraga diberi ‘Hati saya sekarang sedang bingung’
tanda *sebelum penulisan lambang kasus.
(24) Lale Dumilah sayan sangsaya [-P-*O/O ‘Begitu Lale Dumilah menjawab pelan’.
terkandung]
‘Lale Dumilah semakin ragu’ Kasus inti verba pengalam aksi
mareraosan ‘berbicara’, metakon ‘bertanya’
Pada ketiga contoh di atas verba dan mesaut ‘menjawab’ pada contoh di atas
pengalam proses mengikat dua kasus berupa agen, pengalam dan objek. Kasus
yaitu kasus P dan kasus O. Pada contoh 1, agen pada contoh (25), direalisasi dengan Pan
kasus P direalisasi dengan nomina ‘Lale Kobar (pelaku entiti animat yang merupakan
Dumilah’ dan kasus O direalisasi dengan pelaku mareraosan ‘berbicara’), pada contoh
pesan Inaqnya. Sedangkan pada contoh (23) (26) dan (27), agen direalisasi dengan Lale
kasus P direalisasi dengan nomina kenehne Dumilah sebagai pelaku matakon ‘bertanya’
‘hatinya’ dan kasus O tidak teraga sehingga dan masaut ‘menjawab’. Sedangkan Kasus
pada kerangka kasus ditandai dengan tanda objek yang berupa entiti yang merupakan
(*). Pada contoh (24) kasus P direalisasi isi dari atau stimulus bagi pengalaman
dengan nomina ‘Lale Dumilah’ dan kasus tidak terealisasi pada struktur lahir, tapi
O tidak teraga tapi terkandung pada verba terleksikalisasi pada verba pengalam aksi.
sangsaya ‘ragu’. Pada contoh (25), kasus objek dari mereraosan
Kasus inti verba pengalam aksi adalah ‘berbicara’ adalah raos ‘bicara’, pada contoh
kasus argumen yang terikat secara semantis (26) kasus objek dari metakon ‘bertanya’
pada verba pengalam aksi. Verba ini memiliki adalah petakon ‘pertanyaan’ dan pada contoh
ciri: aksi, proses, dan pengalam sehingga (27) kasus objek dari mesaut ‘menjawab’
verba ini mengharuskan kehadiran satu kasus adalah pesaut ‘jawaban’.
agen yang direalisasi oleh entiti animat yang
merupakan pelaku suatu aksi, kasus pengalam Kasus Non-Inti Verba Pengalam BB
yaitu argumen inti verba pengalam tindakan Kasus argumen non-inti adalah kasus
yang berupa nomina yang berperan sebagai yang tidak terikat secara semantis pada verba
entiti yang merasakan secara psikologis hasil atau kasus yang tidak diikat oleh verba. Kasus
dari suatu tindakan dan kasus objek berupa non-inti hadir dalam struktur lahir sebagai
entiti yang merupakan isi dari atau stimulus tuntutan semantik gramatikal. Kasus non-inti
bagi pengalaman tersebut. Kasus inti verba berfungsi untuk menghasilkan klausa yang
pengalam aksi BB dapat dilihat pada contoh berterima. Kasus argumen non-inti meliputi:
berikut. kasus argumen cara, kasus argumen waktu,
kasus argumen alat, kasus argumen sebab,
(25) PanKobar mareraosan ngajak perawat
kasus argumen maksud, kasus argumen akibat
uli RSU Mataram [-A-P-
O/dileks.]. luar, dan kasus argumen lokasi luar. Kasus
‘Wayan Galang lan Pan Kobar berbicara argumen non-inti pada verba pengalam BB
dengan perawat dari RSU Mataram’ dapat dijelaskan sebagai berikut:
(26) Kenten Lale Dumilah matakon saha nesekang (28) Luh Purnama ane nguratiang yehe di kamar
[-A-P-*O/Dileks.] mandi [A-*P-O/A=P].
‘Begitu Lale Dumilah bertanya sambil ‘Luh Purnama yang memperhatikan air di
mendesak” kamar mandi’
(29) Luh Purnama nuturin timpalne apang tunayan 2. Verba pengalam BB memiliki kasus
sedihne [A-P- inti dan kasus non-inti. Kasus inti yang
*O/dileks.].
bisa diikat oleh verba ini berupa kasus
‘Luh Purnama menasehati temannya supaya
proporsional yang meliputi kasus A
berkurang sedihnya’.
(agen), kasus P(pengalam), kasus Ok
(30) kenten perawate negesang makire pesu ka (objek keadaan), dan kasus O (objek).
rurunge. [A-P-*O/dileks]. Kasus inti dalam struktur lahir bisa
‘Begitu si perawat menjelaskan sebelum keluar berupa kasus teraga dan kasus tidak
ke jalan’. teraga. Kasus non-inti dalam verba
pengalam BB berupa kasus lokasi,
Pada contoh (28) kasus yang diikat kasus tujuan, dan kasus waktu. Kasus
oleh verba nguratian ‘memperhatikan’ ini tidak diikutkan pada kerangka
adalah kasus A (Luh Purnama), kasus P kasus. Pada verba pengalam BB juga
(Luh Purnama), dan Kasus O (yehe ‘air’), ditemukan kasus terkandung yaitu
sedangkan nomina kamar mandi dalam di kasus inti yang tidak teraga dalam
kamar mandi merupakan kasus non-inti yaitu struktur lahir tapi terkandung dalam
kasus lokasi. Pada contoh (29) kasus yang verbanya. Kasus dileksikalisasi yaitu
diikat oleh verba nuturin ‘menasehati’ adalah kasus inti yang pada struktur lahir
kasus A (Luh Purnama) kasus P(timpalne terleksikalisasi pada verba, dan kasus
‘temannya’) dan kasus O (tuturan ‘nasehat’) koreferensial yaitu kasus yang mengacu
yang tidak hadir dalam struktur lahir. Kasus pada kasus yang sama.
sedihnya pada apang tunayan sedihne ‘supaya
berkurang sedihnya’ merupakan kasus non-
inti yang menunjukkan tujuan. Pada contoh DAFTAR PUSTAKA
(30) verba negesang menghendaki kehadiran
kasus A (Perawate) kasus P (tidak direalisasi Budi Utami. 2000. “Peran Semantis Verba
tapi bisa difahami dalam konteks yaitu yang Bahasa Bali” (tesis). Denpasar:
diajak komunikasi), dan kasus O (teteges Universitas Udayana.
‘ yang dijelaskan’). nomina jalan dalam
makire pesu ka rurunge ‘sebelum ke luar ke Chafe, W. A. 1970. Meaning and the Structure
of Language. London: The University
jalan’ merupakan kasus waktu yaitu waktu
of Chicago Press.
proposisi itu diungkapkan.
C o o k , W. A . 1 9 7 0 . C a s e G r a m m a r :
SIMPULAN Development of the Matrix Model.
Dengan menerapkan teori kasus dari Washington, D.C: Georgtown
Fillmore, Chafe, dan yang dimodifikasi University Press.
oleh Cook pada analisis verba pengalam BB
Cook, W.A. 1989. Case Grammar Theory.
dalam karya tulis ini, maka dapat disimpulkan
Washington, D.C: Georgtown
seperti berikut. University Press.
1. Dilihat dari tipe semantis verba
pengalam BB, verba ini dapat dibedakan Fillmore, C.J. 1968. “The Case for Case”.
menjadi tiga yaitu verba pengalam Dalam E. Bach dan R.T Harms (eds)
keadaan, verba pengalam proses, dan Universal in Linguistik Theory. New
verba pengalam aksi. York: Halt, Renehart &Winston,