Anda di halaman 1dari 4

A.

Kasus

Tn. A , umur 20 tahun, mahasiswa semester IV disebuah perguruan tinggi negeri di Malang. Karena
kecelakaan ia menderita kelumpuhan total (quadriplegia) dan harus bed rest dalam waktu lama. Akibat
dari bed rest, ia menderita ulkus decubitus yang luas dipunggungnya. Kondisi klien semakin melemah
dan mengalami sesak yang tersengal-sengal dan dada sakit sehingga dibawa ke UGD dan membutuhkan
bantuan ventilator, dengan pemeriksaan fisik dan diagnostik lengkap ditemukan suara napas bronkial
dan ronki, suhu 38°C dan hasil laboratorium leukosit dengan jumlah 16.790H, juga pemeriksaan sputum
ditemukan Staphylococcus pneumoniae(pneumokokus), serta pemeriksaan radiologis dengan hasil
gambaran konsolidasi homogen di lobus kanan, berdasar diagnosa dokter, ia terkena pneumonia, klien
maksimal hanya dapat bertahan beberapa hari saja. Dokter menetapkan untuk pemasangan infus dan
pemberian antibiotik dosis tinggi serta ventilator. Pada waktu akan dilakukan tindakan pemasangan
infus dan injeksi antibiotik oleh perawat, klien berisyarat untuk tidak memberikan obat atau melakukan
tindakan apapun kepadanya. Klien menyatakan ingin meninggal dengan damai dan bermartabat tidak
ingin merasa sakit lagi. Keluarga juga sudah mengikhlaskan klien karena tidak ingin melihat klien
menderita terus. Masalah konflik terjadinya terkait dengan hak klien untuk menentukan hal yang terbaik
untuk dirinya sendiri. Apa yang sebaiknya perawat lakukan pada situasi tersebut?

B. Pemecahan Masalah
1. State problem (Masalah negara)
Misalnya, “ada sesuatu tentang keputusan ini yang membuat saya tidak nyaman "atau" apakah
saya memiliki konflik kepentingan?
Klien tidak mau diberikan tindakan apapun untuk memperpanjang hidupnya, karena ia ingin
meninggal dengan damai dan bermartabat, dan masalah perawat disini adalah jika mengabulkan
keinginan klien dapat mempercepat kematian klien yang berarti melanggar prinsip etik
Beneficience- Nonmaleficience, jika tidak menuruti klien untuk tidak melakukan tindakan
apapun , itu pelanggaran hak klien yang dapat melanggar nilai autonomy dan klien akan
menyalahkan perawat karena dianggap membatasi hak-hak pasien dan juga pasien menderita
karena tidak sesuai keinginanya dan juga klien kecewa dengan tindakan perawat.
2. Checks Fact(periksa fakta)
Verifikasi masalah dan klarifikasi masalah. Juga banyak masalah hilang setelah pemeriksaan
lebih dekat situasi, sementara yang lain berubah secara radikal.
- Pemberian antibiotik dosis tinggi terhadap klien
 Pemberian antibiotik dengan dosis tinggi dapat memperburuk keadaan klien
berdasar penelitian (Nugroho, et al, 2011) Pemberian antibiotik yang tidak
memenuhi dosis regimen dapat meningkatkan resistensi antibiotik. Jika resistensi
antibiotik tidak terdeteksi dan tetap bersifat patogen maka akan terjadi penyakit
yang merupakan ulangan dan menjadi sulit disembuhkan.

Dilihat dari review penelitian dan jurnal yang didapat mengenai resiko dari rencana
tindakan yang akan diberikan kepada klien, ini beresiko juga buat klien jika diberi dosis
tinggi karena akan memperburuk kondisi pasien lagi.

- Mengenai hak otonomi pasien(yang ingin meninggal dengan damai) dan dilema etik
perawat
Dalam (Pavlish, et al, 2011), menyatakan bahwa yang menjadi prioritas dalam merespon
dilema etik yang pertama adalah quality of life(31,4%), yang dinyatakan sebagai obligasi
untuk mengobati simptom distres, nyeri dan pederitaan. Kedua mendukung otonomi pasien
(21,4%) dalam keadaan ini perawat harus mendahulukan keinginan pasien dibandingkan
keinginan keluarga atau tim kesehatan.

3. Identifikasi faktor relevan


Misalnya, orang yang terlibat, hukum,kode profesional, kendala praktis lainnya

 Orang yang terlibat


Orang yang terlibat dalam kasus ini adalah pasien, keluarga, dan perawat serta dokter.

 Hukum
- Hukum di Indonesia Permenkes NO. 37 Tahun 2014
(BAB III Penghentian Atau Penundaan Terapi Bantuan Hidup)
(Pasal 14)
(1) Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat
penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia
(futile) dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
(2) Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien yang terminal state dan tindakan
kedokteran yang sudah sia-sia (futile) ditetapkan oleh Direktur atau Kepala Rumah
Sakit.
(3) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim
dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang
ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik.
(4) Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus
diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga pasien atau yang
mewakili pasien.
(5) Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya tindakan yang
bersifat terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary),
meliputi: a. Rawat di Intensive Care Unit; b. Resusitasi Jantung Paru; c. Pengendalian
disritmia; d. Intubasi trakeal; e. Ventilasi mekanis; f. Obat vasoaktif; g. Nutrisi
parenteral; h. Organ artifisial; i. Transplantasi; j. Transfusi darah; k. Monitoring
invasif; l. Antibiotika; dan m. Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan
kedokteran.
(6) Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi oksigen,
nutrisi enteral dan cairan kristaloid.
(Pasal 15)
(1) Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau penundaan
terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien untuk penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup
(2) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim
dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk
oleh Komite Medik atau Komite Etik.
(3) Permintaan keluarga pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam hal:
a. pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang hal ini
(advanced directive) yang dapat berupa:
1. pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian atau penundaan
terapi bantuan hidup apabila mencapai keadaan futility (kesia-siaan)
2. pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada seseorang
tertentu (surrogate decision maker)
b. pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga pasien yakin
bahwa seandainya pasien kompeten akan memutuskan seperti itu, berdasarkan
kepercayaannya dan nilainilai yang dianutnya.
 Kultural konteks (keluarga sebagai pembuat keputusan)
- Sebelum pengambil keputusan tindakan, tenaga kesehatan harus menjelaskan
pengertian, tujuan dan pelaksanaan tindakan dengan jelas kepada keluarga dan
pasien. Apabila pasien tidak kompeten, maka keluarga terdekatnya yang
melakukannya atas nama pasien
- 32% anggota keluarga lebih senang untuk membuat keputusan akhir setelah
mempertimbangkan dokter dan tim kesehatan. Dalam jurnal ini juga menjelaskan
keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien.
(Hafifah dan Fithriyah, 2018)
 Kode profesional
- Utilirisme dan Deontologi
Ultirisme adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan bahwa
suatu tindakan yang patut adalah memaksimalkan penggunaan (utility), didfinisikan
sebagai memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan pasien.
Deontologi adalah pandangan etika normatif yang menilai moralitas suatu
tindakan berdasarkan kepatuhan pada peraturan.
- Autonomy dan nonmaleficence
Autonomy merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri, dan perawat haruslah bisa menghormati dan menghargai
kemandirian ini.
Nonmaleficence merupakan prinsip seorang perawat dalam melakukan
pelayanannya sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan dengan tidak menimbulkan
bahaya/cedera fisik dan psikologi pada klien.
4. Kembangkan daftar pilihan dan opsi pengujian
a. Tidak menuruti keinginan klien tetap memberikan tindakan dan pemeberian antibiotik
sesuai anjuran dokter

b. Menuruti keinginan klien untuk tidak melakukan tindakan apapun yang memperpanjang
hidupnya dan membantu keluarga dalam proses berdukanya
5. Test Option
a. Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian klien
2) Membiarkan Klien meninggal sesuai proses semestinya
3) Tidak melanggar melanggar prinsip etik Beneficience- Nonmaleficience
4) klien akan terus menderita dengan penyakit dideritanya
5) Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
6) Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien
2) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
3) Kecemasan pada keluaraga karena belum siap kehilangan anggota keluarganya
4) Beresiko melanggar peraturan yang berlaku.
5) Keluarga tidak dapat melewati proses berduka dengan seharusnya
6. Make a Choice
a. Perawat tetap melakukan tidakan pemberian Oksigen atau tidak melepas ventilator kepada
Klien, tetapi melakukan penghentian pemberian antibiotic dan infus.
b. Keputusan yang ditetapkan akan dirembukan lagi Kembali bersama dengan para dokter
yang menangani beserta direktur rumah sakit.
c. Pemberian dukungan perawatan Paliatif kepada Pasien dan Keluarga.
7. Review
a. yang menjadi peringatan untuk kita adalah ketika Keluarga pasien tersebut tidak setuju
dengan keputusan pasien, akan menjadi masalah yang panjang dan terbelit-belit, ada
beberapa kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan Kode professional Perawat.
b. Selain itu, yang menjadi peringatan adalah ketika penyakit pasien belum mencapai terminal
masih bisa di selamatkan, tetapi pasiennya ingin segera di lepas tindakannya agar dia cepat
meninggal, karna dalam pasal sudah di sebutkan hanya boleh penyakit terminal memang
kalo dilakukan tindakan itu juga sia-sia bagi pasiennya karena berujung meninggal.

Anda mungkin juga menyukai