Anda di halaman 1dari 6

Kematian pada umumnya disepakati sebagai berhentinya kehidupan.

Dalam sejarah terlihat


bahwa keputusan hukum selalu mengikuti ilmu kedokteran dalam menentukan definisi kematian
dan saat terjadinya kematian.

Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomik
serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia, menyatakan bahwa meninggal dunia
adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak,
pernafasan dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti

Berkaitan dengan proses kematian, aspek etik dan hukum dari sikap dan tindakan dokter
terhadap pasien-pasien dengan kondisi tertentu menjadi bahan perdebatan. Masalah utamanya
adalah pertanyaan “kapankah seseorang dapat dinyatakan mati, apa kriterianya dan bagaimana
prosedur penentuannya”. Ketika pasien belum dapat dinyatakan mati, dokter melakukan tindakan
secara aktif menghentikan kehidupannya, maka ia dapat dinyatakan sebagai melakukan
pembunuhan.

kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :


1. Mengembangkan data dasar
2. Mengidentifikasi konflik
3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil    akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat
5. Mendefinisikan kewajiban perawat
6. Membuat keputusan

PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK


1. Mengembangkan data dasar :
a. Orang yang terlibat : Klien, keluarga klien, dokter, dan perawat
b. Tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan klien untuk memberikan
penambahan dosis morphin.
c. Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak diberikan penambahan dosis morphin,
klien dan keluarganya menyalahkan perawat dan apabila keluarga klien kecewa terhadap
pelayanan di bangsal mereka bisa menuntut ke rumah sakit.

2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :


Penderitaan klien dengan kanker payudara yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri
yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Klien meminta penambahan
dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarga mendukung keinginan
klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi adalah :
a. Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian klien.
b. Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien.
3. Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi
tindakan tersebut
a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri.
Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian klien
2) Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
3) Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
4) Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut

b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian pasien
2) Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan ambang nyeri)
3) Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi

c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan apabila
diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya pada
malam hari agar klien bisa tidur cukup.
Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat cukup
beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :


Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang secara
legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu didiskusikan
dengan klien dan keluarganya mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan dari penambahan
dosis tersebut. Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat keputusan bagi
dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam asuhan keperawatan
yang dapat mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan mekanisme koping klien,
mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga, dan lain-lain.

5. Mendefinisikan kewajiban perawat


a.Memfasilitasi klien dalam manajemennyeri
b. Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri
c. Mengoptimalkan sistem dukungan
d. Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang
sedang dihadapi
e. Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
keyakinannya
6. Membuat keputusan
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-masing
terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling
menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu dilakukan
terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau meditasi) dan
kemudian dievaluasi efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif
tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/
keluarganya akan dilaksanakan.

DISKUSI :
Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien namun dapat
mengakibatkan kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut sebagai euthanasia
aktif. Di Indonesia hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena tujuan dari
euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan euthanasia pasif bertujuan
untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya dapat berdampak
pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian
klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada kanker dapat ditatalaksanakan oleh petugas kesehatan
profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak dapat
membantu sepenuhnya pada penderitaan klien tertentu. Upaya untuk mengurangi penderitaan
nyeri klien mungkin akan mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah
untuk mengurangi nyeri dan penderitaan klien.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Dewasa ini menghadapi pasien yang dalam kondisi antara hidup dan mati kadang
menimbulkan dilema. Meminta petimbangan keluarga pasien, seringkali tidak
menyelesaikan masalah justru menimbulkan masalah baru.
Pasien-pasien sakit berat yang mengandalkan bantuan ventilator dan alat-alat
penunjang hidup lainnya, seringkali membingungkan dokter yang merawatnya. Dari sisi
medis, pasien tidak ada harapan hidup karena hampir semua organ vital tubuhnya
sudah rusak. Namun di sisi lain, mencabut semua alat bantu hidup dianggap sebagai
tindakan pembunuhan´ yang tentunya bisa berbuntut peluang penuntutan oleh keluarga
pasien. Di luar itu, biaya perawatan ICU yang tidak murah semakin membengkak dan
bisa jadi keluarga pasien pun tak sanggup menanggungnya.
Situasi tersebut seringkali dialami oleh dokter yang bertugas di ICU. End-of life
decisions, atau keputusan untuk mengakhiri hidup pasien-pasien yang tidak ada harapan
hidup, dilihat dari pertimbangan etis dan medis. Pasien kritis yang memiliki harapan
hidup wajib masuk ICU. Namun hanya ada empat kemungkinan bagi pasien yang
masuk ICU: sembuh (getting better), meninggal, mengalami mati batang otak (brain
stem death), atau dalam kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung
dengan bantuan ventilator.
Pasien jenis terakhir inilah yang terkadang menjadi dilema bagi dokter. Dari sisi
penilaian medis, pemberian ventilator tidak akan bermanfaat, hanya memperpanjang
proses kematian. Masalahnya di Indonesiabelum banyak dokter yang berani melakukan
end-of-life decision. Padahal, sudah ada fatwa IDI yang membolehkan hal itu. Ada
beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni
with-holding atau with-drawing life supports, yakni penundaan atau penghentian alat
bantuan hidup.
Kedua tindakan ini bisa dilakukan pada pasien yang dalam kondisi vegetatif
(sindroma aplika atau mati sosial). Kondisi vegetatif bisa dijelaskan secara medis bila
terdapat kerusakan otak berat yang ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan
tidak responsive, tetapi pasien memiliki EEG aktif dan beberapa refleks yang utuh.Pada
pasien bisa saja terdapat daur antara sadar dan tidur. Ini harus dibedakan dari mati
serebral yang EEG-nya tenang atau dari mati batang otak (MBO), di mana tidak ada
refleks saraf otak dan nafas spontan. Meski sebagian masyarakat masih sulit menerima,
namun pasien yang sudah mati batang otak, dari sisi medis dinyatakan sudah
meninggal.
Normalnya, ventilator secara otomatis akan dilepaskan dari pasien dan jantung
akan berhenti tidak lama kemudian. Namun secara legal maupun moral, sebenarnya
tidak ada perbedaan di antara kedua tindakan tersebut.Tindakan ini berbeda dengan
eutanasia yang diartikan sebagai tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri
kehidupan.
http://fadli-irwansyah.blogspot.com/2012/01/dilema-etik-keperawatan.html
Mati otak mengacu kepada kondisi tiadanya distribusi darah dan oksigen (O2 ) ke otak yang
menyebabkan seluruh sistem otak (termasuk batang otak, saraf dan bagian-bagian otak lain yang
mengatur aktivitas-aktivitas penghidupan seperti pernapasan dan denyut jantung) tidak lagi
bekerja dengan sempurna dan keseluruhan. Kehilangan fungsi otak ini umumnya tidak lagi dapat
dipulihkan, akhirnya membawa kepada masalah kematian otak. Untuk segelintir pasien,
kematian otak dapat terjadi sebelum denyut jantung mereka berhenti sepenuhnya.

Hal ini mungkin terjadi apabila pasien itu mengalami koma akibat kondisi-kondisi seperti yang
disebutkan berikut dan telah mendapat perawatan bantuan pernapasan dari mesin khusus
pernafasan (ventilator) seperti yang terjadi di unit perawatan rapi:

 Kecedaran otak yang menyebabkan bengkak otak,


 Pendarahan otak yang parah terjadi secara spontan,
 Otak bengkak yang teruk kerana diserang jangkitan kuman,
 Strok yang akut ataupun teruk

http://id.wikipedia.org/wiki/Mati_otak

Anda mungkin juga menyukai