Anda di halaman 1dari 247

Maktabah

Abul – Jauzaa’
Edisi
Ramadlaan
Penulis :

Abu Al-Jauzaa’ Al-Wonogiry

Penyusun :

Abu Hauna Al-Batawy


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

TENTANG PENULIS
Alhamdulillah,….perjalanan menulis blog ini telah menginjak usia lebih dari dua tahun
(sebagaimana tertulis dalam tanggal upload di atas) semenjak ditulis pertama kali tanggal 14
Mei 2008. Dan waktu akan senantiasa bertambah mempertuanya dan juga Penulisnya.
Sebenarnya, saya telah membuka account di multiply dan wordpress sebelum blogger. Namun
yang terakhir inilah yang tetap eksis berlanjut sampai sekarang.

Semula, blog ini adalah bersisi catatan-catatan diskusi atau surat menyurat antara saya dengan
beberapa orang kolega, tetangga, dan yang lainnya. Juga merupakan tulisan saya di buletin
masjid komplek yang saya tulis, print, foto copy, dan bagikan secara swadaya setiap hari Jum’at.
Beberapa catatan tersebut kemudian saya rapikan – walau kenyataannya belumlah rapi – dan
saya tampilkan di blog ini. Saya pun membuat beberapa catatan baru, dan kemudian banyak di
antaranya ditulis dengan tujuan di-upload-kan di blog. Terus terang saya senang menulis (walau
saya bukan pakar di bidang ini). Karena dengan menulis, saya belajar, dan dengan belajar saya
menjadi ingat. Saya kumpulkan beberapa faedah dari buku-buku, penjelasan para
ulama/asatidzah, catatan teman-teman, dan artikel-artikel yang tersebar di dunia nyata
ataupun maya, baik yang berbahasa Indonesia/Melayu, Inggris, ataupun 'Arab. Banyak hal yang
saya dapatkan darinya. Dan satu hal, ada perasaan ‘senang’ dapat ikut berpartisipasi
meringankan beban dakwah yang dipikul para du’aat, walau ini semua belum ‘seberapa’
dibanding jerih payah mereka untuk membina umat. Menyumbangkan apa yang bisa/mampu
dilakukan dari sebagian (kalau tidak bisa semua) sumberdaya yang dimiliki, begitu wejangan
salah seorang guru saya yang saya ingat sampai sekarang.

Artikel-artikel di blog ini saya usahakan tertulis dalam bahasa sekomunikatif mungkin, sesuai
dengan kapasitas penguasaan bahasa saya. Selain itu, saya berusaha menuliskan beberapa
referensi yang saya pakai dalam blog ini. Sebagian referensi dapat dijangkau oleh ikhwah
Pembaca melalui media internet. Allah ta’ala memberikan kemudahan dengan keberadaan
beberapa e-book dalam format scan pdf yang hal itu ekuivalen dengan kitab aslinya. Itulah
sedikit nikmat di antara banyak nikmat yang wajib kita (baca : saya) syukuri.

Banyak rekan-rekan yang berkunjung ke Blog ini. Membaca dan memberikan komentar. Ada
yang berisi pertanyaan, dukungan, sanjungan, kritikan, celaan, bahkan menginduksi berbagai
macam syubhaat. Tentu saja tidak semua komentar saya tampilkan. Dan di antara yang saya
tampilkan, tidak semua saya berikan tanggapan.

Di antara pengunjung blog, ada yang menautkan alamat blog ini ke dalam blog-blog mereka.
Senang rasanya mengetahui hal ini, karena tujuan dibuatnya blog ini memang untuk dibaca dan
berbagi faedah. Meskipun begitu, sedikit kekurangnyamanan terbersit di hati saya di sebagian
tautan-tautan tersebut. Ada sebagian ikhwah yang memasukkan alamat blog ini di deretan
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‘situs ustadz terpercaya’ (?). Yang lain : ‘tempat rujukan bertanya masalah agama’ (??). Ini
terlalu berlebihan. Tidak ada bagian dari hak saya – Allah Maha Tahu akan diri saya – terhadap
itu semua. Saya prefer jika cukup dituliskan semisal : ‘shahabat dakwah’ atau ‘blog ikhwan’ atau
yang semisalnya. Selebihnya saya katakan sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

‫ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻻ ﺗﺆﺍﺧﺬﱐ ﲟﺎ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﻭﺍﻏﻔﺮ ﱄ ﻣﺎ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ‬

“Ya Allah, semoga Engkau tidak menghukumku karena apa yang mereka katakan. Dan
ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-
Adabul-Mufrad no. 761 – dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-
Mufrad, hal. 284 no. 585; Maktabah Ad-Daliil, Cet. 4/1418].

Blog ini tidak terproteksi. Sangat dipersilakan apabila ada yang mau meng-copy atau
menggandakan ulang, baik dalam bentuk hard maupun soft, artikel-artikel di blog ini untuk
kemaslahatan dan tanpa tujuan komersial. Tidak diwajibkan mencantumkan sumber penulisan,
karena yang terpenting bagi saya, semoga, adalah tersampaikannya content dari tulisan itu
sendiri.

‫ ﺃﹸﻧﹺﻴﺐ‬‫ﻪ‬‫ﺇﹺﻟﹶﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﻛﹶّﻠﹾﺖ‬‫ﻮ‬‫ ﺗ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻲ ﺇﹺﻻ ﺑﹺﺎﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﻴﻘ‬‫ﻓ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﻄﹶﻌ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﻼﺡ‬‫ ﺇﹺﻻ ﺍﻹﺻ‬‫ﺇﹺﻥﹾ ﺃﹸﺭﹺﻳﺪ‬

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.
Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” [QS. Huud : 88].

Selanjutnya, saya tetap membutuhkan saran, nasihat, dan yang semisal yang bersifat
konstruktif dari ikhwah Pembaca sekalian. Semoga Allah ta’ala mencatat semua usaha ini
sebagai satu amal kebaikan bagi saya yang dapat memperberat timbangan di akhirat. Dan
semoga Allah mengampuni kesalahan-kesalahan saya, orang tua saya, keluarga saya, dan kaum
muslimin semuanya.

Jika ada di antara Pembaca yang bertanya : siapa saya, maka cukuplah Pembaca mengenal saya
dengan nama : Abu Al-Jauzaa'. Ada di antara Pembaca yang telah mengenal di dunia nyata,
namun banyak di antaranya yang belum mengenal. Saya bukanlah seorang ustadz yang punya
perhatian dan aktifitas khusus dalam dunia dakwah. Namun,.... Abu Al-Jauzaa' hanyalah
seorang pegawai biasa saja yang waktunya masih banyak tersita untuk urusan dunia. Dan apa
yang ditulis di Blog ini hanyalah sebagian usahanya mengumpulkan sebagian faedah syar'iy di
sisa waktu yang dipunya. Tentu saja, para Pembaca akan mendapati banyak kekurangan...........

Salam hangat,.......Abu Al-Jauzaa’, administratur Blog.


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

DAFTAR ISI

1. Ringkasan Hukum-hukum dalam bulan Ramadlaan........................................... 1


2. Keutamaan Shalat Tarawih berjama’ah……………………………………………………………. 97
3. Lailatul Qadr dan Nuzulul Qur’an……………………………………………………………………… 99
4. Hadits-Hadits tentang Menghidupkan Malam Hari Raya
[Takbiran Semalam Suntuk ?]…………………………………………………………………………… 104
5. Imsak-Imsak….. Saatnya Berhenti Makan !!.................................................... 109
6. Mana yang Afdlal (Lebih Utama) yang Dilakukan Ketika Safar :
Puasa atau Berbuka ? – revised…………………………………………………………………………. 115
7. Takhrij Doa Berbuka Puasa : Dzahabadh-Dhama-u…………………………………………….. 124
8. Puasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui di Bulan Ramadlaan…………………………….. 128
9. Riwayat Shalat Taraawih 23 Raka’at di Masa
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu…………………………………………………….. 158
10. Benarkah Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar Mencabut Fatwanya
Tentang Pembayaran Fidyah Bagi Wanita Hamil dan Menyusui ?........................ 170
11. Hukum Zakat Fithri Atas Janin yang Masih di dalam Perut………………………………… 176
12. Mana yang Afdlal : Berpuasa atau Berbuka Saat Safar ? (2)……………………………….. 179
13. Apakah Qunut Witir Hanya Dilakukan pada
Setengah Kedua Bulan Ramadlan ?................................................................. 195
14. Waktu Mengeluarkan Zakat Fithr………………………………………………………………………. 201
15. Waktu Minimal I’tikaaf………………………………………………………………………………………. 210
16. Qadlaa’ Shalat ‘Ied……………………………………………………………………………………………… 220
17. Waktu Dimulainya Takbir ‘Iedul-Fithr…………………………………………………………………. 228
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

1. Ringkasan Hukum-Hukum dalam Bulan Ramadlan dari


A-Z

Beberapa waktu lalu (tepatnya setahun yang lalu) saya pernah menulis tentang ringkasan
hukum-hukum seputar puasa Ramadlan. Tulisan ini pernah saya sumbangkan di MyQ Forum
yang dengan itu di forward di beberapa Blog ikhwah. Pernah juga saya imel kan ke milis
salafyitb. Setelah dibaca kembali, ternyata beberapa kekeliruan yang terhimpun dalam tulisan
tersebut; mulai salah pemberian nomor hadits, ketidaktepatan terjemahan, salah tulis, salah
nukil, dan yang lain sebagainya. Oleh karena itu, beberapa hari yang lalu (yang sebenarnya
sudah dicicil waktu-waktu sebelumnya - kemudian terhenti) saya coba perbaiki apa yang
menjadi kekeliruan di tulisan sebelumnya. Semoga Allah mengampuni kesalahan saya. Harapan
saya, semoga tulisan ini menjadi amal baik bagi saya di sisi Allah dan bermanfaat bagi siapa saja
yang membacanya. Amien......

Keutamaan-Keutamaan Puasa

Allah ta’ala telah berfirman :

‫ﺎﺑﹺﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ ﻭ‬‫ﻗﹶﺎﺕ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ ﻭ‬‫ﲔ‬‫ﻗ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺍﻟﹾﻘﹶﺎﻧﹺﺘ‬‫ ﻭ‬‫ﲔ‬‫ﺍﻟﹾﻘﹶﺎﻧﹺﺘ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﻨﹺﲔ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﲔ‬‫ﻤ‬‫ﻠ‬‫ﺴ‬‫ﺇﹺﻥﹼ ﺍﻟﹾﻤ‬
‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻭﺟ‬‫ ﻓﹸﺮ‬‫ﲔ‬‫ﻈ‬‫ﺎﻓ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺋ‬‫ ﻭﺍﻟﺼ‬‫ﲔ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺋ‬‫ ﻭﺍﻟﺼ‬‫ﻗﹶﺎﺕ‬‫ﺪ‬‫ﺼ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﲔ‬‫ﻗ‬‫ﺪ‬‫ﺼ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻌ‬‫ﺎﺷ‬‫ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻭ‬‫ﲔ‬‫ﻌ‬‫ﺎﺷ‬‫ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﺎﺑﹺﺮ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ﻭ‬
‫ﻴﻤﺎﹰ‬‫ﻈ‬‫ﺮﺍﹰ ﻋ‬‫ﺃﹶﺟ‬‫ﺓﹰ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻔ‬‫ﻐ‬‫ﻢ ﻣ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ ﺍﻟﻠﹼﻪ‬‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﺍﺕ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﺬﹼﺍﻛ‬‫ﲑﺍﹰ ﻭ‬‫ ﻛﹶﺜ‬‫ ﺍﻟﻠﹼﻪ‬‫ـﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺍﻟﺬﹼﺍﻛ‬‫ ﻭ‬‫ـﻈﹶﺎﺕ‬‫ﺎﻓ‬‫ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻭ‬

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan
yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Ahzab : 35).

Dalam ayat lain Allah juga telah berfirman :

‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺇﹺﻥ ﻛﹸﻨ‬‫ ﻟﹼﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍﹾ ﺧ‬‫ﻮﻣ‬‫ﺼ‬‫ﺃﹶﻥ ﺗ‬‫ﻭ‬

“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 184).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan dalam sunnahnya bahwasannya


puasa merupakan benteng dari hawa nafsu syahwat, penangkal dari sambaran api neraka, dan
Allah ta’ala telah mengkhususkannya sebagai nama salah satu pintu surga. Beberapa
keutamaan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Puasa Sebagai Perisai


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada orang yang diliputi
nafsu birahi untuk menikah. Jika dia tidak mampu untuk melaksanakannya, maka ia
diperintahkan berpuasa untuk mengekang nafsu syahwatnya. Sebab puasa bisa
menahan gejolak anggota tubuh dengan kelemahannya sehingga dapat mengekangnya
dari tindakan yang menyimpang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda
:
‫ﻳﺎ ﻣﻌﺸﺮ ﺍﻟﺸﺒﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﻣﻨﻜﻢ ﺍﻟﺒﺎﺀﺓ ﻓﻠﻴﺘﺰﻭﺝ ﻓﺈﻧﻪ ﺃﻏﺾ ﻟﻠﺒﺼﺮ ﻭﺃﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺮﺝ ﻭﻣﻦ ﱂ‬
‫ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻪ ﻭﺟﺎﺀ‬
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu (ba’ah), maka
hendaknya dia menikah, karena menikah itu dapat menjaga pandangan dan memelihara
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu untuk menikah, maka hendaknya dia
berpuasa, karena puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Al-Bukhari no. 5065 dan
Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu ; dan ini adalah lafadh Muslim).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam juga telah menjelaskan bahwa surga itu
dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi oleh berbagai
kesenangan syahwat. Oleh sebab itu, jelaslah kiranya bagi kita bahwa puasa itu dapat
mementahkan syahwat dan menumpulkan ketajamannya yang bisa mendekatkan
kepada api neraka, dan puasa itu bisa menjadi penyekat antara orang yang berpuasa
dengan neraka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﺎ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ‬ ‫ﺇﳕﺎ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺟﻨﺔ ﻳﺴﺘﺠﻦ‬

“Puasa itu adalah perisai yang dapat melindungi diri seorang hamba dari api neraka”
(HR. Ahmad 3/396; shahih bisyawaahidihi sebagaimana yang disimpulkan oleh Syaikh
Al-Arna’uth).
Dan tentunya, hanya puasa yang ikhlash dan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-
Nya sajalah yang dapat menjadi perisai dari api neraka.
2. Puasa Dapat Memasukkan Seseorang ke dalam Surga
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa puasa itu dapat menjauhkan diri
dari api neraka, yang otomatis mendekatkan dapat pelakunya kepada surga, bi-
idznillaah.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Diriwayatkan dari Abu Umamah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah


mendatangi Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bertanya kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam :
‫ﺃﺗﻴﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻠﺖ ﻣﺮﱐ ﺑﺄﻣﺮ ﺁﺧﺬﻩ ﻋﻨﻚ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻚ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻣﺜﻞ‬
‫ﻟﻪ‬
"Aku pernah mendatangi Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka aku berkata
kepada beliau : ”(Wahai Rasulullah), tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dapat aku
ambil darimu”. Maka beliau menjawab : “Hendaknya kamu berpuasa, karena puasa itu
tidak ada tandingan (pahala)-nya” (HR. An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2220, Ibnu
Hibban dalam Al-Mawarid hal. 232, dan Al-Hakim no. 1533 dengan sanad shahih.
Lafadh ini adalah milik An-Nasa’i. Lihat Shahih Sunan An-Nasa’i 2/122).
3. Orang yang Berpuasa akan Mendapatkan Pahala Tak Terhitung Nilainya.
4. Orang yang Berpuasa akan Mendapatkan Dua Kebahagiaan.
Bau Mulut Orang yang Berpuasa Lebih Harum di Hadapan Allah Ta’ala daripada Bau
Misk (Kesturi).
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam : Telah berfirman Allah ta’ala (merupakan hadits qudsi)
: ‫ﻛﻞ ﻋﻤﻞ ﺑﻦ ﺁﺩﻡ ﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﺈﻧﻪ ﱄ ﻭﺃﻧﺎ ﺃﺟﺰﻱ ﺑﻪ ﻭﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺟﻨﺔ ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻳﻮﻡ ﺻﻮﻡ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻼ‬
‫ﻳﺮﻓﺚ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﻭﻻ ﻳﺴﺨﺐ ﻓﺈﻥ ﺳﺎﺑﻪ ﺃﺣﺪ ﺃﻭ ﻗﺎﺗﻠﻪ ﻓﻠﻴﻘﻞ ﺇﱐ ﺍﻣﺮﺅ ﺻﺎﺋﻢ ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺲ ﳏﻤﺪ ﺑﻴﺪﻩ ﳋﻠﻮﻑ‬
‫ﻓﻢ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﺃﻃﻴﺐ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﻦ ﺭﻳﺢ ﺍﳌﺴﻚ ﻭﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﻓﺮﺣﺘﺎﻥ ﻳﻔﺮﺣﻬﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﺃﻓﻄﺮ ﻓﺮﺡ ﺑﻔﻄﺮﻩ‬
‫ﻭﺇﺫﺍ ﻟﻘﻲ ﺭﺑﻪ ﻓﺮﺡ ﺑﺼﻮﻣﻪ‬
“Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa, sesungguhnya
puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberi pahala atasnya. Puasa itu adalah perisai,
maka pada saat berpuasa hendaknya seseorang diantara kamu tidak melakukan rafats
(yaitu : berjima’ dan berbicara keji - Pent.) dan tidak juga membuat kegaduhan. Jika ada
orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia
mengatakan,”Sesungguhnya aku berpuasa”. Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah
daripada bau minyak kesturi di hari kiamat. Dan bagi orang yang berpuasa itu
mempunyai dua kegembiraan, yaitu ketika berbuka dan ketika berjumpa dengan
Rabbnya, ia gembira dengan puasanya” (HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151;
dan ini lafadh Muslim).
5. Puasa dan Al-Qur’an akan Memberi Syafa’at Bagi Orang Yang Menjalankannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻭﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻳﺸﻔﻌﺎﻥ ﻟﻠﻌﺒﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺃﻱ ﺭﺏ ﻣﻨﻌﺘﻪ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺍﻟﺸﻬﻮﺍﺕ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ‬
‫ﻓﺸﻔﻌﲏ ﻓﻴﻪ ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻨﻌﺘﻪ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ﻓﺸﻔﻌﲏ ﻓﻴﻪ ﻗﺎﻝ ﻓﻴﺸﻔﻌﺎﻥ‬
“Puasa dan Al-Qur’an itu akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari
kiamat nanti. Puasa akan berkata : “Wahai Tuhanku, saya telah menahannya dari makan
dan nafsu syahwat di waktu siang, karenanya perkenankanlah aku untuk memberikan
syafa’at kepadanya”. Dan Al-Qur’an berkata : “Saya telah melarangnya dari tidur di
malam hari, karenanya perkenankan aku untuk memberi syafa’at kepadanya”. Beliau
bersabda,”Maka syafa’at keduanya diperkenankan” (HR. Ahmad 2/174, Al-Hakim no.
2088, dan Abu Nu’aim 8/161 dari Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ; hasan
shahih. Lihat Shahihul-Jaami’ no. 3882).
6. Puasa Sebagai Kaffarat (Penebus Dosa)
Diantara keutamaan yang hanya dimiliki oleh ibadah puasa adalah bahwa Allah ta’ala
telah menjadikan puasa sebagai penebus dosa bagi orang yang mencukur kepala dalam
ihram karena ada halangan baginya, baik karena sakit atau karena gangguan yang
terdapat pada kepala (lihat QS. Al-Baqarah : 196). Dan puasa juga dapat menjadi
kaffarat (penebus) karena tidak mampu memotong hewan kurban (QS. Al-Baqarah :
196), membunuh seseorang yang berada dalam perjanjian karena kesalahan atau tidak
sengaja (QS. An-Nisaa’ : 92), melanggar sumpah (QS. Al-Maaidah : 89), membunuh
binatang buruan pada saat ihram (QS. Al-Maaidah : 95), dan dhihar 1 (QS. Al-Mujaadilah
: 3-4).
Demikian halnya dengan puasa dan shadaqah, keduanya berperan serta dalam
penebus pelanggaran dosa seseorang, baik di dalam keluarga, harta, atau tetangga. Dari
Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﻓﺘﻨﺔ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﰲ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﻣﺎﻟﻪ ﻭﻭﻟﺪﻩ ﻭﺟﺎﺭﻩ ﺗﻜﻔﺮﻫﺎ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻭﺍﻷﻣﺮ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ‬

“Fitnah (ujian) seseorang dalam keluarga (istri), harta, anak, dan tetangganya dapat
ditutupi dengan shalat, puasa, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar” (HR. Al-Bukhari
no. 525 dan Muslim no. 144; dan ini lafadh Al-Bukhari).
7. Ar-Rayyan Disediakan Bagi Orang-Orang yang Berpuasa

1
Dhihar adalah ucapan seorang suami kepada istrinya : anti ‘alayya ka-dhahri ummiy (kamu bagiku seperti
punggung ibuku). Maksudnya, engkau haram bagiku dan aku tidak halal menggaulimu. Perkataan ini adalah haram
menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺇﻥ ﰲ ﺍﳉﻨﺔ ﺑﺎﺑﺎ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﻟﺮﻳﺎﻥ ﻳﺪﺧﻞ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﺼﺎﺋﻤﻮﻥ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻻ ﻳﺪﺧﻞ ﻣﻌﻬﻢ ﺃﺣﺪ ﻏﲑﻫﻢ ﻳﻘﺎﻝ‬
‫ﺃﻳﻦ ﺍﻟﺼﺎﺋﻤﻮﻥ ﻓﻴﺪﺧﻠﻮﻥ ﻣﻨﻪ ﻓﺈﺫﺍ ﺩﺧﻞ ﺁﺧﺮﻫﻢ ﺃﻏﻠﻖ ﻓﻠﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﻣﻨﻪ ﺃﺣﺪ )ﻣﻦ ﺩﺧﻞ ﺷﺮﺏ ﻭﻣﻦ ﺷﺮﺏ‬
‫)ﱂ ﻳﻈﻤﺄ ﺃﺑﺪﺍ‬

“Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat satu pintu yang diberi nama Ar-
Rayyaan. Dari pintu tersebut orang-orang yang berpuasa akan masuk di hari kiamat
nanti dan tidak seorang pun yang masuk ke pintu tersebut kecuali orang-orang yang
berpuasa. Dikatakan kepada mereka : “Dimana orang-orang yang berpuasa ?”. Maka
mereka pun masuk melaluinya. Dan apabila orang terakhir dari mereka telah masuk,
maka pintu tersebut ditutup sehingga tidak ada seorangpun yang masuk melalui pintu
tersebut. (Barangsiapa yang masuk, maka ia akan minum minuman surga. Dan
barangsiapa yang minum minuman surga, maka ia tidak akan haus selamanya)” (HR. Al-
Bukhari no. 1896 dan Muslim 1152, dan tambahan terakhir – di dalam kurung – adalah
riwayat dari Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1902).

Keutamaan-Keutamaan Bulan Ramadlan

1. Bulan Al-Qur’an

Allah ta’ala telah menurunkan Kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk bagi umat
manusia, obat penyembuh bagi orang-orang yang beriman, petunjuk kepada jalan yang
lurus, penunjuk kepada jalan kebajikan, dan menjadikan Lailatul-Qadar di bulan
Ramadlan penuh dengan kebaikan. Allah ta’ala berfirman :

‫ﻨﻜﹸﻢ‬‫ ﻣ‬‫ﻬﹺﺪ‬‫ﻦ ﺷ‬‫ ﻓﹶﻤ‬‫ﻗﹶﺎﻥ‬‫ﺍﻟﹾﻔﹸﺮ‬‫ ﻭ‬‫ﻯ‬‫ﺪ‬‫ ﺍﻟﹾﻬ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﺎﺱﹺ ﻭ‬‫ﻯ ﻟﹼﻠﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺁﻥﹸ ﻫ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬‫ﻴﻪ‬‫ﺰﹺﻝﹶ ﻓ‬‫ ﺃﹸﻧ‬‫ﻱ‬‫ﺎﻥﹶ ﺍﻟﹼﺬ‬‫ﻀ‬‫ﻣ‬‫ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻬ‬‫ﺷ‬
‫ﻪ‬‫ﻤ‬‫ﺼ‬‫ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬‫ﺮ‬‫ﻬ‬‫ﺍﻟﺸ‬

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah : 185).

2. Setan-Setan Dibelenggu, Pintu-Pintu Neraka Ditutup, dan Pintu-Pintu Surga Dibuka


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Pada bulan yang penuh berkah ini, kejahatan di muka bumi ini menjadi sedikit, karena
jin-jin jahat dibelenggu dengan rantai dan diborgol sehingga mereka tidak bisa
melakukan pengrusakan terhadap umat manusia sebagaimana mereka bisa
melakukannya pada bulan-bulan selain Ramadlan. Karenanya kaum muslimin menjadi
lebih berkonsentrasi menjalankan puasa yang merupakan pengekang hawa nafsu, dan
juga mereka sibuk membaca Al-Qur’an dan berbagai macam ibadah lainnya yang
mampu mendidik sekaligus menyucikan jiwa.

Ditutup pintu Jahannam dan dibuka pintu-pintu surga karena banyak amal shalih serta
ucapan dan perkataan yang bagus dilakukan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :

‫ﺇﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﺘﺤﺖ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﳉﻨﺔ ﻭﻏﻠﻘﺖ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﺻﻔﺪﺕ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﲔ‬

“Jika bulan Ramadlan tiba, maka pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka
ditutup, dan setan-setan pun dibelenggu” (HR. Al-Bukhari no. 3277 dan Muslim no.
1079; ini adalah lafadh Muslim).

3. Lailatul-Qadr

Allah ta’ala telah memilih bulan Ramadlan dikarenakan pada bulan tersebut Al-Qur’an
diturunkan. Pada bulan tersebut terdapat Lailatul-Qadar, malam penuh barakah yang
lebih baik daripada seribu bulan. Penjelasan selanjutnya akan diuraikan kemudian.

Dorongan Mengerjakan Puasa Ramadlan


1. Pengampunan Dosa

Pembuat Syari’at yang Maha Bijaksana telah memotivasi untuk berpuasa di bulan
Ramadlan seraya menjelaskan keutamaan dan ketinggian kedudukannya. Sekalipun
orang yang menjalankan puasa itu memiliki tumpukan dosa bak buih di lautan, niscaya
dosa-dosa itu akan diampuni dengan melaksanakan ibadah yang penuh berkah ini, yaitu
ibadah puasa. Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺇﳝﺎﻧﺎ ﻭﺍﺣﺘﺴﺎﺑﺎ ﻏﻔﺮ ﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ‬


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadlan dengan penuh keimanan dan


mengharapkan pahala (ihtisaaban)2, niscaya akan diberikan ampunan kepadanya atas
dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 759).

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah


shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﳋﻤﺲ ﻭﺍﳉﻤﻌﺔ ﺇﱃ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻛﻔﺎﺭﺓ ﳌﺎ ﺑﻴﻨﻬﻦ ﻣﺎ ﱂ ﺗﻐﺶ ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ‬

“Shalat yang lima waktu, antara Jum’at ke Jum’at berikutnya, antara Ramadlan ke
Ramadlan berikutnya; bisa menghapuskan dosa-dosa yang terjadi diantaranya, jika
dosa-dosa besar dihindari” 3 (HR. Muslim no. 233).

2. Dikabulkannya Doa dan Pembebasan dari Api Neraka

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﺇﻥ ﷲ ﻋﺘﻘﺎﺀ ﰲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻟﻜﻞ ﻋﺒﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﺩﻋﻮﺓ ﻣﺴﺘﺠﺎﺑﺔ‬

“Sesungguhnya setiap hari Allah membebaskan (beberapa hamba-Nya yang muslim


dari api neraka) dari api neraka. Setiap muslim yang berdoa (di waktu tersebut) pasti
akan dikabulkan” (HR. Ahmad 2/254, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/257, ; dishahihkan
oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam ta’liq-nya atas Musnad Ahmad).4

2
Makna iimaanan wah-tisaaban (‫ )ﺇﳝﺎﻧﺎ ﻭﺍﺣﺘﺴﺎﺑﺎ‬berarti percaya sepenuhnya akan kewajiban puasa tersebut serta
mengharapkan pahalanya. Menjalankan puasa dengan sepenuh jiwa tanpa adanya unsur keterpaksaan dan juga
tidak merasa keberatan untuk menjalaninya.
3
Pengampunan dosa-dosa tersebut hanya merupakan dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa-dosa besar akan
diampuni oleh Allah apabila pelakunya bertaubat kepada Allah ta’ala dengan taubat nashuha. Maka, di bulan
Ramadlan ini, pergunakanlah waktu yang mustajab ini untuk bertaubat meminta ampunan kepada Allah untuk
semua dosa yang pernah kita lakukan.
4
Syaikh Al-Arna’uth menukil perkataan Ibnu Hajar dalam Athraaful-Musnad (7/203) bahwasannya kandungan
hadits ini terkait bulan Ramadlan. Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar (962 – Kasyful-Astaar) dengan lafadh :
‫ ﻭﺇﻥ ﻟﻜﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﰲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺩﻋﻮﺓ ﻣﺴﺘﺠﺎﺏ ﻟﻪ‬- ‫ ﻳﻌﲎ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬- ‫ﺇﻥ ﺍﷲ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﱃ ﻋﺘﻘﺎﺀ ﰲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ‬
“Sesungguhnya setiap hari Allah ta’ala membebaskan (beberapa orang dari api neraka) yaitu pada bulan
Ramadlan, dan sesungguhnya bagi setiap orang muslim apabila memanjatkan doa, maka pasti dikabulkan”.
Namun sanad hadits Al-Bazzar di atas adalah dla’if dengan sebab rawi yang bernama Abaan bin Abi ’Ayyaasy ----
(namun hadits tersebut adalah shahih dengan keseluruhan jalannya sebagaimana penshahihan Syaikh ’Ali Al-
Halaby dan Syaikh Salim Al-Hilaly dalam kitab Shifat Shaumin-Nabiy, wallaahu a’lam).
Makna ’Utaqaa’ (‫ )ﻋﺘﻘﺎﺀ‬dalam hadits ini adalah pembebasan dari siksa api neraka dengan sebab maghfirah Allah (di
bulan Ramadlan). [lihat ta’liq dan takhrij selengkapnya dalam Musnad Ahmad (12/421 no. 7450) dengan tahqiq,
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

3. Termasuk dalam Golongan Para Shiddiqiin dan Syuhadaa’

Dari ‘Amar bin Murrah Al-Juhhani bercerita :

‫ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﺇﱃ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺃﺭﺃﻳﺖ ﺇﻥ ﺷﻬﺪﺕ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﷲ‬
‫ﻭﺃﻧﻚ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻭﺻﻠﻴﺖ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﳋﻤﺲ ﻭﺃﺩﻳﺖ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﻭﺻﻤﺖ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻗﻤﺘﻪ ﻓﻤﻤﻦ ﺃﻧﺎ ﻗﺎﻝ ﻣﻦ‬
‫ﺍﻟﺼﺪﻳﻘﲔ ﻭﺍﻟﺸﻬﺪﺍﺀ‬

Ada seseorang yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya berkata :
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
yang haq untuk disembah melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa engkau adalah
Rasulullah, (dan aku) mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat, dan berpuasa
di bulan Ramadlan dan shalat (tarawih) di dalamnya; termasuk golongan siapakah aku
ini?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Termasuk golongan para
shiddiqiin dan syuhadaa’ “ (HR. Ibnu Hibban dalam Mawaaridudh-Dham’aan hal. 36
dengan sanad shahih).

Syarat Wajib dan Rukun Puasa

Syarat Wajib Puasa Ada Enam :

a. Islam

b. Baligh (Dewasa)

c. Berakal Sehat

d. Mukim

e. Berkesanggupan Puasa

f. Tidak dalam Keadaan Haidl dan Nifas

Rukun Puasa Ada Dua :

a. Niat (dalam Hati)

ta’liq, dan takhrij Syau’aib Al-Arna’uth dan ’Adil Mursyid; dan syarah Ahmad Syakir atas kitab yang sama (7/250-
251 no. 7443)].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

b. Meninggalkan Hal-Hal yang Membatalkan Puasa (Makan, Minum, Jima’ di Siang Hari, dan
Muntah yang Disengaja).

Larangan Berbuka dengan Sengaja pada Bulan Ramadlan

Dari Abu Umamah Al-Bahili radliyallaahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﺑﻴﻨﺎ ﺍﻧﺎ ﻧﺎﺋﻢ ﺇﺫ ﺃﺗﺎﱐ ﺭﺟﻼﻥ ﻓﺄﺧﺬﺍ ﺑﻀﺒﻌﻲ ﻓﺄﺗﻴﺎ ﰊ ﺟﺒﻼ ﻭﻋﺮﺍ ﻓﻘﺎﻻ ﱄ ﺍﺻﻌﺪ ﺣﱴ ﺇﺫﺍ ﻛﻨﺖ ﰲ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﳉﺒﻞ ﻓﺈﺫﺍ‬
‫ﺍﻧﺎ ﺑﺼﻮﺕ ﺷﺪﻳﺪ ﻓﻘﻠﺖ ﻣﺎ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺻﻮﺍﺕ ﻗﺎﻝ ﻫﺬﺍ ﻋﻮﺍﺀ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﰒ ﺍﻧﻄﻠﻖ ﰊ ﻓﺈﺫﺍ ﺑﻘﻮﻡ ﻣﻌﻠﻘﲔ ﺑﻌﺮﺍﻗﻴﺒﻬﻢ‬
‫ﻣﺸﻘﻘﺔ ﺍﺷﺪﺍﻗﻬﻢ ﺗﺴﻴﻞ ﺍﺷﺪﺍﻗﻬﻢ ﺩﻣﺎ ﻓﻘﻠﺖ ﻣﻦ ﻫﺆﻻﺀ ﻓﻘﻴﻞ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻔﻄﺮﻭﻥ ﻗﺒﻞ ﲢﻠﺔ ﺻﻮﻣﻬﻢ‬

“Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan
membawaku ke gunung yang terjal seraya berkata : “Naiklah”. Hingga sampailah aku di puncak
gunung. Tiba-tiba aku mendengar suara yang keras sekali. Maka aku tanyakan,”Suara apakah
itu?”. Salah satu dari mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka”.
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang
bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan dari robekan itu
mengalir darah. Kemudian aku bertanya,”Siapakah mereka itu?”. Maka dikatakan, ”Mereka
adalah orang-orang yang berbuka (dengan sengaja) sebelum tiba waktunya” (HR. An-Nasa’i
dalam Al-Kubra no. 3274, Ibnu Hibban no. 7491, Ibnu Khuzaimah no. 1986, dan lain-lain. Lafadh
ini milik Ibnu Hibban. Lihat Ta’liqatul-Hisaan ‘alaa Shahih Ibni Hibban 10/456 no. 7448).

Cara Penentuan Bulan Ramadlan


1. Menghitung Bilangan Hari di Bulan Sya’ban

Islam adalah agama yang mudah. Dalam penentuan awal Ramadlan, hendaknya umat
Islam membiasakan diri untuk menghitung bilangan hari pada bulan Sya’ban. Dalam
kalender Qamariyyah (kalender Islam), jumlah hari dalam satu bulan adalah 29 hari atau
30 hari. Kita diwajibkan berpuasa jika telah melihat bulan (hilal bulan Ramadlan). Dan
jika tertutup oleh awan (bulan tidak terlihat), maka bulan Sya’ban kita genapkan
menjadi 30 hari. Hal itu sangat sesuai dengan amalan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabatnya sebagaimana telah shahih dalam riwayat.

Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi


wasallam bersabda :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺗﺴﻊ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﻟﻴﻠﺔ ﻓﻼ ﺗﺼﻮﻣﻮﺍ ﺣﱴ ﺗﺮﻭﻩ ﻓﺈﻥ ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺄﻛﻤﻠﻮﺍ ﺍﻟﻌﺪﺓ ﺛﻼﺛﲔ‬

”Bulan itu ada 29 malam (hari). Janganlh kalian mulai berpuasa hingga melihat bulan.
Apabila ia tertutup dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah hitungan hari (dalam
satu bulan) menjadi 30 hari” (HR. Al-Bukhari no. 1907).

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam :

‫ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺃﻓﻄﺮﻭﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻓﺈﻥ ﻏﱯ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺄﻛﻤﻠﻮﺍ ﻋﺪﺓ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺛﻼﺛﲔ‬

“Berpuasalah jika kalian telah melihat bulan, dan berbukalah jika kalian melihatnya
pula. Dan apabila bulan tertutup (awan) dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah
bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081) 5.

2. Jika Ada Orang (Saksi) yang Telah Melihat Bulan, Maka Berpuasalah atau Berbukalah

Melihat bulan (hilal) awal Ramadlan ditentukan dengan kesaksian dua orang saksi
yang adil. Hal ini didasarkan oleh sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺃﻓﻄﺮﻭﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺍﻧﺴﻜﻮﺍ ﳍﺎ ﻓﺈﻥ ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺄﻛﻤﻠﻮﺍ ﺛﻼﺛﲔ ﻓﺈﻥ ﺷﻬﺪ ﺷﺎﻫﺪﺍﻥ‬
‫ﻓﺼﻮﻣﻮﺍ ﻭﺃﻓﻄﺮﻭﺍ‬

“Berpuasalah jika kalian melihat bulan dan berbukalah jika kalian melihatnya pula,
serta menyembelihlah (pada bulan Dzulhijjah) karena melihatnya. Jika bulan itu tertutup
dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari. Dan jika
ada dua orang yang memberi kesaksian melihat bulan, maka berpuasalah dan
berbukalah kalian” (HR. Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2116, Ahmad 4/321, dan Ad-
Daruquthni 3/120 no. 2193; lafadh ini milik An-Nasa’i. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Irwaaul-Ghalil no. 909).

Barangsiapa yang Berpuasa di Hari Syakk (Meragukan), Maka Dia Telah Bermaksiat
kepada Abul-Qasim (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam).

5
Dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan awal bulan Syawal, maka dalam Islam hanya mengenal metode
Ru’yatul-Hilal (melihat bulan) pada malam hari tanggal 29. Bila ternyata bulan tidak terlihat, maka hitungan bulan
disempurnakanl menjadi 30 hari. Adapun metode hisab adalah metode baru (bid’ah) dan selayaknya untuk
dihindari oleh umat Islam. Dan inilah yang membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mudah.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dengan demikian, tidak sepatutnya bagi seorang muslim untuk mendahului untuk
berpuasa sebelum bulan Ramadlan, sehari atau dua hari – dengan alasan untuk berhati-
hati. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﻻ ﻳﺘﻘﺪﻣﻦ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺑﺼﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﺃﻭ ﻳﻮﻣﲔ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺭﺟﻞ ﻛﺎﻥ ﻳﺼﻮﻡ ﺻﻮﻣﻪ ﻓﻠﻴﺼﻢ ﺫﻟﻚ‬
‫ﺍﻟﻴﻮﻡ‬

"Janganlah seseorang di antara kalian mendahului puasa Ramadlan dengan berpuasa


sehari atau dua hari sebelumnya; kecuali bagi yang biasa berpuasa, maka tidaklah
mengapa ia berpuasa pada hari itu” (HR. Al-Bukhari no. 1815 dan Muslim no. 1082;
lafadh ini adalah lafadh Al-Bukhari).

‘Ammar berkata :

‫ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺸﻚ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻘﺪ ﻋﺼﻰ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬

“Barangsiapa berpuasa pada hari yang meragukan (syak), berarti dia telah
mendurhakai Abul-Qasim (Rasulullah) shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. Abu Dawud no.
2334, At-Tirmidzi no. 686 – dan ia berkata : hasan shahih, Ibnu Majah no. 1645, An-
Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2190, dan yang lainnya; ini adalah lafadh At-Tirmidzi.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/52).

Imam An-Nawawi berkata :

‫ﺎ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﻠﻪ‬‫ﺼ‬‫ ﻳ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﺓ ﻟﹶﻪ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻑ ﻋ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺼ‬‫ ﻳ‬‫ ﻟﹶﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ ﻟ‬، ‫ﻦﹺ‬‫ﻴ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻳ‬‫ﻡ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻡﹺ ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﺎﻥ ﺑﹺﺼ‬‫ﻀ‬‫ﻣ‬‫ﺎﻝ ﺭ‬‫ﻘﹾﺒ‬‫ﺘ‬‫ﺳ‬‫ ﺍ‬‫ﻦ‬‫ﻲﹺ ﻋ‬‫ّﻬ‬‫ﺮﹺﻳﺢ ﺑﹺﺎﻟﻨ‬‫ّﺼ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﻴﻪ‬‫ﻓ‬
‫ﺎ‬‫ﺒﻨ‬‫ﺬﹾﻫ‬‫ﻲ ﻣ‬‫ﻴﺢ ﻓ‬‫ّﺤ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻮ‬‫ﺬﹶﺍ ﻫ‬‫ ﻫ‬، ‫ﺍﻡ‬‫ﺮ‬‫ ﺣ‬‫ﻮ‬‫ﺓ ﻓﹶﻬ‬‫ﺎﺩ‬‫ ﻋ‬‫ﻑ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻟﹶﺎ ﺻ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﻪ‬‫ﺼ‬‫ ﻳ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﻟﹶﻢ‬، ‫ﻠﻪ‬‫ﻗﹶﺒ‬

“Hadits ini secara tegas melarang menyambut bulan Ramadlan dengan berpuasa
sehari atau dua hari sebelumnya bagi orang-orang yang tidak memiliki kebiasaan
berpuasa atau tidak menyambungnya dengan puasa sebelumnya. Jika ia tidak
menyambungnya dengan puasa sebelumnya atau ia tidak memiliki kebiasaan berpuasa,
maka itu diharamkan dan inilah pendapat yang benar dalam madzhab kami” (Syarh
Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 789).

3. Doa Ketika Melihat Hilal (Bulan Baru Hijriyah) Ramadlan

Apabila hilal telah terlihat yang menandakan tanda mulainya Bulan Ramadlan (atau
bulan-bulan yang lainnya), maka disunnahkan membaca doa :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ـﻖﹺ ﻟ‬‫ﻴ‬‫ﻓ‬‫ّـﻮ‬‫ﺍﻟﺘ‬‫ ﻭ‬،‫ﻼﻡﹺ‬‫ﺍﹾﻹِﺳ‬‫ ﻭ‬‫ـﺔ‬‫ّﻼﻣ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬،‫ﻤـَﺎﻥ‬‫ﺍﹾﻹِﻳ‬‫ـﻦﹺ ﻭ‬‫ﺎ ﺑﹺﺎﹾﻷَﻣ‬‫ـﻨ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﹶّـﻪ‬‫ّ ﺃﹶﻫ‬‫ﻢ‬‫ ﺍﹶﻟﻠﹼﻬ‬،‫ﺮ‬‫ﺍﹶﷲُ ﺃﹶﻛﹾـﺒ‬
ُ‫ ﺍﷲ‬‫ّﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺭ‬‫ّﻨـَﺎ ﻭ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬،‫ـﻰ‬‫ﺿ‬‫ـﺮ‬‫ﺗ‬‫ّ ﻭ‬‫ـﺐ‬‫ﺤ‬‫ﺗ‬

[Alloohu akbar. Alloohumma ahillahu ‘alainaa bil-amni wal-iimaan. Was-salaamati


wal-islaami, wat-taufiiqi limaa tuhibbu wa tardloo. Robbunaa wa robbukallooh]

“Allah Maha Besar. Ya Allah, tampakkan bulan satu itu kepada kami dengan
membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan Islam serta mendapat taufiq
untuk menjalankan apa yang Engkau senang dan rela. Rabb kami dan Rabbmu (wahai
bulan sabit) adalah Allah” (HR. At-Tirmidzi no. 3451, Ad-Daarimi no. 1730, dan Ibnu
Hibban dalam Mawaridudh-Dham’an hal. 589. At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan
gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/423).

Menetapkan Niat Puasa

Wajib menetapkan niat untuk puasa fardlu (Ramadlan) pada malam harinya, yaitu sebelum
terbit fajar shadiq. Yang demikian itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
:

‫ﻣﻦ ﱂ ﳚﻤﻊ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﻼ ﺻﻴﺎﻡ ﻟﻪ‬

“Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka tidak sah puasa baginya” (HR.
Abu Dawud no. 2454, Ibnu Khuzaimah no. 1933, Al-Baihaqi 4/202, An-Nasa’i dalam Al-
Mujtabaa no. 2333, dan At-Tirmidzi no. 730. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 3/82).

‫ﻣﻦ ﱂ ﻳﺒﻴﺖ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﻼ ﺻﻴﺎﻡ ﻟﻪ‬

“Barangsiapa tidak berniat atas puasanya di malam hari, maka tidak sah puasa baginya” (HR.
Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2331; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil no.
914).

Niat itu tempatnya di dalam hati, karena niat itu maknanya adalah tujuan (al-qashdu)
sebagaimana penjelasan An-Nawawi. Melafadhkan niat dalam ibadah puasa Ramadlan tidak
ada contohnya dan bukan merupakan bagian dari sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Para imam seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan
para imam kaum muslimin lainnya tidak pernah melakukannya, apalagi mengajarkannya.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Kewajiban niat di malam hari/sebelum fajar hanya berlaku pada puasa wajib. Adapun untuk
puasa sunnah, niat boleh dilakukan pada siang harinya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
pernah mendatangi ‘Aisyah di luar bulan Ramadlan seraya bertanya :

‫ﻫﻞ ﻋﻨﺪﻛﻢ ﺷﻲﺀ ﻓﻘﻠﻨﺎ ﻻ ﻗﺎﻝ ﻓﺈﱐ ﺇﺫﻥ ﺻﺎﺋﻢ‬

“Apakah kamu punya persediaan makanan? Aisyah menjawab : Tidak ada. Maka beliau
berkata : “Maka aku akan berpuasa” (HR. Muslim no. 1154).

Waktu Berpuasa

Waktu untuk berpuasa adalah dimulai dari terbitnya fajar shadiq (fajar kedua) sampai
terbenamnya matahari. 6 Sebagai permulaan waktu puasa, Allah ta’ala telah berfirman :

‫ﺮﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺩ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻷﺳ‬‫ﻂ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺾ‬‫ﻴ‬‫ﻂﹸ ﺍﻷﺑ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻰ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍﹾ ﺣ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺍﺷ‬‫ﻛﹸﻠﹸﻮﺍﹾ ﻭ‬‫ﻭ‬

“Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar” (QS. Al-Baqarah : 187).

Dan untuk berakhirnya waktu puasa, yaitu tiba waktu berbuka puasa, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﺇﺫﺍ ﺃﻗﺒﻞ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻣﻦ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ ﻭﺃﺩﺑﺮ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻣﻦ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ ﻭﻏﺮﺑﺖ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻓﻘﺪ ﺃﻓﻄﺮ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ‬

“Apabila malam telah tiba dari arah sini dan siang telah berlalu dari arah sini serta matahari
pun terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1954 dan
Muslim 1100; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

6
Fajar itu ada 2 (dua) :

 Fajar Kadzib : adalah warna putih di arah timur, panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.
 Fajar Shadiq : adalah warna merah yang naik dan muncul dari arah timur (setelah berlalunya Fajar Kadzib),
sehingga terlihat jelas perbedaan antara malam dan siang.
Rasulullah bersabda :
‫ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﺠﺮﺍﻥ ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻷﻭﻝ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﳛﺮﻡ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻻ ﳛﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻣﺎ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﻓﺈﻧﻪ ﳛﺮﻡ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﳛﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬
“Fajar itu ada dua macam : Adapun fajar yang pertama, tidak diharamkan makan dan tidak dibolehkan
mengerjakan shalat (shubuh); sedangkan fajar yang kedua, diharamkan makan dan dibolehkan mengerjakan shalat
shubuh” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1927; Al-Hakim no. 690-691; dan Ad-Daruquthni 3/116 no. 2186; shahih).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Sahur

1. Hukum Sahur

Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik
radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
bersabda :

‫ﺗﺴﺤﺮﻭﺍ ﻓﺈﻥ ﰲ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﺑﺮﻛﺔ‬

“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat barakah” (HR. Al-
Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).

Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Dalam hadits tersebut terdapat dorongan


untuk melakukan sahur (sebelum puasa). Para ulama telah bersepakat tentang
sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban. Adapun barakah yang terdapat di
dalamnya, maka secara dhahir maknanya menunjukkan bahwa sahur dapat menguatkan
badan dan memantapkan seseorang untuk melaksanakan puasa, sehingga dapat
menjadi sebab adanya pengharapan tambahan pahala dari puasa yang dilakukan. Juga,
barakah itu ada karena menjadi ringannya kesulitan yang mungkin dialami oleh orang
yang berpuasa. Dan inilah makna yang benar” (Syarah Shahih Muslim hal. 793).

Penganjuran sahur sangat ditekankan kepada kaum muslimin walau hanya dengan
seteguk air, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﺃﻛﻠﻪ ﺑﺮﻛﺔ ﻓﻼ ﺗﺪﻋﻮﻩ ﻭﻟﻮ ﺃﻥ ﳚﺮﻉ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺟﺮﻋﺔ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ ﻓﺈﻥ ﺍﷲ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻭﻣﻼﺋﻜﺘﻪ‬
‫ﻳﺼﻠﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺘﺴﺤﺮﻳﻦ‬

“Sahur adalah makanan yang penuh barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya
sekalipun salah seorang diantara kalian hanya minum seteguk air. Karena sesungguhnya
Allah ’azza wa jalla dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang makan
sahur” (HR. Ahmad no. 11101; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-
Jami’ish-Shaghiir no. 3683).

2. Keutamaan Sahur

a. Dalam sahur terdapat barakah.

b. Pujian Allah dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang makan sahur.

c. Menyelisihi puasanya ahlul-kitaab.


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﻓﺼﻞ ﻣﺎ ﺑﲔ ﺻﻴﺎﻣﻨﺎ ﻭﺻﻴﺎﻡ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺃﻛﻠﺔ ﺍﻟﺴﺤﺮ‬

“Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab terletak pada makan sahur”
(HR. Muslim no. 1096).

3. Waktu Sahur

Disunnahkan untuk mengakhirkan waktu makan sahur sampai menjelang terbit fajar,
karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan sahur sampai menjelang shalat
shubuh tiba. Telah diriwayatkan dari Anas radliyallaahu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit bahwa
dia pernah berkata :

‫ﺗﺴﺤﺮﻧﺎ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰒ ﻗﺎﻡ ﺇﱃ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻗﻠﺖ ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﲔ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﻭﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻗﺪﺭ ﲬﺴﲔ ﺁﻳﺔ‬

”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian
kami berangkat shalat (shubuh). Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara
adzan dan makan sahur? Ia (Zaid) menjawab : ‫( ﲬﺴﲔ ﺁﻳﺔ‬kira-kira bacaan lima puluh ayat
dari Al-Qur’an)” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini adalah lafadh Al-
Bukhari).

4. Bagaimana Jika Kita Sedang Makan Sahur, Namun Adzan Telah Berkumandang ???

Sebagian masyarakat berpandangan, jika kita sedang makan sahur dan adzan telah
berkumandang, maka kita wajib berhenti dari makan dan minum dan
memuntahkan/membuang apa-apa yang ada di dalam mulut kita. Ini adalah pandangan
yang keliru. Mari kita simak hadits berikut :

Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wasallam bersabda :

‫ﺇﺫﺍ ﲰﻊ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺍﻟﻨﺪﺍﺀ ﻭﺍﻹﻧﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻩ ﻓﻼ ﻳﻀﻌﻪ ﺣﱴ ﻳﻘﻀﻲ ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻣﻨﻪ‬

“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana


(minumnya) ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menunaikan
keinginannya dari bejana (tersebut)” (HR. Ahmad 2/510 dan Abu Dawud no. 2350;
hasan shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud 3/58).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺎ‬‫ﺎ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﻓﺸﺮ‬‫ﺃﻗﻴﻤﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻹﻧﺎﺀ ﰲ ﻳﺪ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﺃﺷﺮ‬

“Pernah iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di tangan Umar (bin


Khaththab) radliyallaahu ‘anhu. Dia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam : Apakah aku boleh meminumnya?”. Beliau menjawab : “Boleh”. Maka Umar
pun meminumnya” (HR. Ibnu Jarir 3/527/3017 dengan dua sanad darinya; shahih. Lihat
Silsilah Ash-Shahiihah no. 1394).

Bila ditaqdirkan adzan telah dikumandangkan sedangkan kita masih bersantap sahur,
maka hendaklah kita selesaikan makan kita dengan tenang, tidak terburu-buru, baru
kemudian shalat shubuh.

Namun perlu dipahami bahwa tidaklah yang dimaksud dalam pembahasan ini untuk
menyengaja/membiasakan sahur persis menjelang akan adzan dikumandangkan7.
Dengan adanya jam atau jadwal waktu sahur dan berbuka puasa (sebagaimana banyak
dibagikan menjelang bulan Ramadlan), maka kita dapat mengatur waktu untuk
mengakhirkan sahur sehingga kita dapat selesai sebelum adzan berkumandang yang
dengan itu kita dapat berjalan dengan tenang melangkahkan kaki menuju masjid untuk
menunaikan shalat shubuh. 8

7
Dengan asumsi bahwa muadzin tepat waktu mengumandangkan adzan, yaitu ketika tepat fajar shadiq telah
nampak.
8
Perlu juga kami sampaikan bahwa kebiasaan masyarakat mengumandangkan waktu imsak (dengan sirine,
kentongan, bedug, atau ucapan) sekitar 15 menit sebelum shubuh merupakan kebiasaan yang kurang tepat tanpa
berlandaskan dalil. Mereka melakukannya dengan tujuan agar orang yang melakukan sahur menghentikan
sahurnya karena akan masuk waktu shubuh. Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-’Asqalani Asy-Syafi’iy rahimahullah telah
memperingatkan kebiasaan salah ini semenjak beratus-ratus tahun yang lalu dimana beliau mengatakan :
( ‫ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﳌﻨﻜﺮﺓ ﻣﺎ ﺃﺣﺪﺙ ﰲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻣﻦ ﺇﻳﻘﺎﻉ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺑﻨﺤﻮ ﺛﻠﺚ ﺳﺎﻋﺔ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺍﻃﻔﺎﺀ ﺍﳌﺼﺎﺑﻴﺢ ﺍﻟﱵ ﺟﻌﻠﺖ‬: (‫ﺗﻨﺒﻴﻪ‬
‫ﻋﻼﻣﺔ ﻟﺘﺤﺮﱘ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺯﻋﻤﺎ ﳑﻦ ﺃﺣﺪﺛﻪ ﺃﻧﻪ ﻟﻼﺣﺘﻴﺎﻁ ﰲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺍﻻ ﺁﺣﺎﺩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻗﺪ ﺟﺮﻫﻢ ﺫﻟﻚ ﺇﱃ‬
‫ﺃﻥ ﺻﺎﺭﻭﺍ ﻻ ﻳﺆﺫﻧﻮﻥ ﺍﻻ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻐﺮﻭﺏ ﺑﺪﺭﺟﺔ ﻟﺘﻤﻜﲔ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﺯﻋﻤﻮﺍ ﻓﺎﺧﺮﻭﺍ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﻋﺠﻠﻮﺍ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻭﺧﺎﻟﻔﻮﺍ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﻠﺬﻟﻚ ﻗﻞ ﻋﻨﻬﻢ ﺍﳋﲑ ﻭﻛﺜﲑ‬
‫ﻓﻴﻬﻢ ﺍﻟﺸﺮ ﻭﺍﷲ ﺍﳌﺴﺘﻌﺎﻥ‬
“(Peringatan) : Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang terjadi di jaman ini (yaitu jamannya Ibnu Hajar)
yakni adanya pengumandangan adzan kedua sekitar 1/3 jam (= 20 menit) sebelum waktu fajar bulan Ramadlan.
Serta memadam lampu-lampu sebagai pertanda telah datangnya waktu haram untuk makan dan minum bagi yang
berpuasa keesokan harinya. Orang yang berbuat seperti ini beranggapan bahwa hal itu dimaksudkan untuk
berhati-hati dalam beribadah, sebab yang mengetahui persis batas akhir sahur hanya segelintir manusia. Sikap
hati-hati yang demikian, juga menyebabkan mereka tidak diijinkan untuk berbuka puasa kecuali setelah matahari
terbenam beberapa saat agar lebih mantap lagi (menurut anggapan mereka). Akibatnya mereka suka
mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka mempercepat waktu sahur, dan suka menyalahi Sunnah. Oleh sebab
itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak mendapatkan keburukan” (selesai – Fathul-Baari
4/199).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

5. Membangunkan Orang untuk Sahur ?

Ada satu sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang ditinggalkan oleh
banyak kaum muslimin tentang hal ini, dan mereka menggantinya dengan sesuatu yang
lain (yang bukan berasal dari beliau). Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari
‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa sebagai berikut :

‫ﺃﻥ ﺑﻼﻻ ﻛﺎﻥ ﻳﺆﺫﻥ ﺑﻠﻴﻞ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﻠﻮﺍ ﻭﺍﺷﺮﺑﻮﺍ ﺣﱴ ﻳﺆﺫﻥ ﺑﻦ ﺃﻡ‬
‫ﻣﻜﺘﻮﻡ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺆﺫﻥ ﺣﱴ ﻳﻄﻠﻊ ﺍﻟﻔﺠﺮ‬

“Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu malam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda : ‘Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.
Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq” 9 (HR. Bukhari no.
1918, 1919).

Dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :

Hal di atas merupakan imsak versi jaman Ibnu Hajar dengan pengumandangan adzan 20 menit sebelum fajar plus
memadamkan lampu sebagai tanda berhentinya makan dan minum. Selain tidak ada contohnya dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat, secara bahasa pun tidak dapat dibenarkan. Karena imsak secara
bahasa berarti menahan diri (untuk tidak makan dan minum). Sedangkan dalam syari’at Islam, waktu imsak itu
sendiri adalah dengan terbitnya fajar (dikumandangkannya adzan shubuh). Adapun waktu 20 menit sebelum
shubuh masih merupakan waktu yang utama untuk melaksanakan makan sahur. Sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
9
Hadits ini menjelaskan pada kita bahwa di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, adzan dilakukan dua
kali. Adzan pertama dilakukan saat fajar kadzib tiba (waktu utama melaksanakan sahur dimana orang-orang
dibangunkan dari tidurnya – sepertiga malam terakhir). Sedangkan adzan kedua dilakukan saat waktu shubuh tiba
(fajar shadiq).
Pada saat adzan pertamalah dikumandangkan bacaan tatswib (ash-sholaatu khairum-minan-naum = “Shalat itu
lebih baik daripada tidur”). Ibnu ‘Umar meriwayatkan :
‫ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺧﲑ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻮﻡ ﻣﺮﺗﲔ‬: ‫ﻛﺎﻥ ﰲ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﺍﻷﻭﻝ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻔﻼﺡ‬
“Pada adzan pertama setelah membaca Hayya ‘alal-Falah, hendaknya membaca Ash-Sholaatu Khorum-Minan-
Naum” (HR. Al-Baihaqi 1/423 dan Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/82 dengan sanad hasan sebagaimana
dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhiishul-Habiir 1/212 – lihat Tamaamul-Minnah oleh Al-Albani, hal. 146-
147).
Ibnu Ruslan menukil perkataan Imam Ibnu Khuzaimah ketika menshahihkan riwayat ini dalam Takhrij Az-Zarkasyi li
Ahaadits Ar-Rafi’i sebagai berikut :
‫ ﻭﺩﻋﺎﺀ ﺇﱃ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬، ‫ ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﻓﺈﻧﻪ ﺇﻋﻼﻡ ﺑﺪﺧﻮﻝ ﺍﻟﻮﻗﺖ‬، ‫ ﻷﻧﻪ ﻹﻳﻘﺎﻅ ﺍﻟﻨﺎﺋﻢ‬، ‫ﻓﺸﺮﻋﻴﺔ ﺍﻟﺘﺜﻮﻳﺐ ﺇﳕﺎ ﻫﻲ ﰲ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﺍﻷﻭﻝ ﻟﻠﻔﺠﺮ‬
”Syari’at (pengucapan) tatswib ini dilakukan dalam adzan awal di Fajar untuk membangunkan orang yang tidur.
Adapun adzan yang kedua (tanpa tatswib), maka adzan ini merupakan pemberitahuan masuknya waktu (Shubuh)
dan panggilan untuk shalat” (lihat Tamaamul-Minnah hal. 147).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﻻ ﳝﻨﻌﻦ ﺃﺣﺪﺍ ﻣﻨﻜﻢ ﺃﺫﺍﻥ ﺑﻼﻝ ﺃﻭ ﻗﺎﻝ ﻧﺪﺍﺀ ﺑﻼﻝ ﻣﻦ ﺳﺤﻮﺭﻩ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺆﺫﻥ ﺃﻭ ﻗﺎﻝ ﻳﻨﺎﺩﻱ ﺑﻠﻴﻞ ﻟﲑﺟﻊ‬
‫ﻗﺎﺋﻤﻜﻢ ﻭﻳﻮﻗﻆ ﻧﺎﺋﻤﻜﻢ‬

“Janganlah adzannya Bilal itu menghalangi salah seorang di antara kalian dari
sahurnya. Karena Bilal menyerukan adzan di malam hari supaya orang-orang yang shalat
malam kembali beristirahat sejenak dan orang yang masih tidur segera bangun” (HR.
Bukhari no. 621 dan Muslim no. 1093; ini adalah lafadh Muslim).

Imam An-Nawawi menjelaskan maksud hadits (‫“ )ﻭﻳﻮﻗﻆ ﻧﺎﺋﻤﻜﻢ‬membangunkan orang


yang masih tidur” : “Yaitu untuk mempersiapkan diri menjelang waktu shubuh bagi
seseorang yang ingin melakukan amal-amal (yang disyari’atkan) seperti shalat tahajjud
ringan, shalat witir bagi mereka yang belum melaksanakan shalat witir, makan sahur
bagi mereka yang ingin melaksanakan puasa, mandi, berwudlu’, atau yang lainnya dari
apa-apa yang ingin dilaksanakan sebelum Fajar” (Syarh Shahih Muslim hal. 793).

6. Tamr adalah Sebaik-Baik Makanan untuk Sahur

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﻧﻌﻢ ﺳﺤﻮﺭ ﺍﳌﺆﻣﻦ ﺍﻟﺘﻤﺮ‬

“Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr” (HR. Abu Dawud no. 2345.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/55).

Tamr adalah kurma kering yang telah masak dan berwarna coklat tua (sebagaimana
umum dijual di pasaran).

7. Tidak Tidur Setelah Shalat Shubuh

Para ulama telah menjelaskan tentang dibencinya tidur setelah shalat shubuh. Dalil
yang mendasari itu adalah :

‫ﻋﻦ ﺻﺨﺮ ﺍﻟﻐﺎﻣﺪﻱ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺑﺎﺭﻙ ﻷﻣﱵ ﰲ ﺑﻜﻮﺭﻫﺎ‬

Dari Sakhr Al-Ghamidi ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wasallam : ”Ya Allah, berkahilah bagi umatku pada pagi harinya” (HR. Abu Dawud no.
2606, At-Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no. 2236, Ad-Darimi no. 2479, dan Ibnu Hibban
no. 4754. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/124).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-
nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata : “Termasuk hal yang makruh bagi
mereka – yaitu orang-orang shalih – adalah tidur antara waktu shalat shubuh dengan
terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga. Terdapat
kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari
orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka
tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia
adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki,
adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan
mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka
seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa”.10

Hendaknya seorang muslim menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya di bulan


Ramadlan. Setelah shalat shubuh, ia bisa menggunakannya untuk berdzikir, membaca
Al-Qur’an, atau kegiatan positif lainnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda :

‫ﻣﻦ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ ﰲ ﲨﺎﻋﺔ ﰒ ﻗﻌﺪ ﻳﺬﻛﺮ ﺍﷲ ﺣﱴ ﺗﻄﻠﻊ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﰒ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﻛﺄﺟﺮ‬
‫ﺣﺠﺔ ﻭﻋﻤﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﺎﻣﺔ ﺗﺎﻣﺔ ﺗﺎﻣﺔ‬

“Barangsiapa shalat Shubuh berjama’ah, kemudian duduk dan berdzikir kepada Allah
hingga terbit matahari, kemudian ia shalat dua raka’at (yaitu shalat Dluha/Isyraq), ia
akan memperoleh pahala ibadah haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna” (HR.
At-Tirmidzi nomor 586; hasan lighairihi).

Hal-Hal yang Membatalkan Puasa

1. Makan dan Minum dengan Sengaja

Allah ta’ala telah berfirman :

‫ ﺇﹺﻟﹶﻰ‬‫ﺎﻡ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍﹾ ﺍﻟﺼ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺗ‬‫ﺮﹺ ﺛﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺩ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻷﺳ‬‫ﻂ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺾ‬‫ﻴ‬‫ﻂﹸ ﺍﻷﺑ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻰ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍﹾ ﺣ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺍﺷ‬‫ﻛﹸﻠﹸﻮﺍﹾ ﻭ‬‫ﻭ‬
‫ﻞﹺ‬‫ﺍﻟﹼﻠﻴ‬

10
Madaarijus-Saalikiin 1/459 - dikutip melalui perantaraan kitab : At-Tabarruk, Anwa’uhu wa Ahkaamuhu karya
Dr. Naashir bin ’Abdirahman bin Muhammad Al-Juda’i, hal. 309-310.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqarah : 187).

Dari ayat tersebut bisa dipahami bahwa puasa adalah menahan diri dari makan dan
minum. Apabila orang yang berpuasa makan dan minum, berarti ia telah berbuka. Jika ia
lakukan dengan sengaja, maka jelas hal ini membatalkan ibadah puasa. Adapun jika
seseorang makan dan minum karena tidak sengaja (lupa), maka hal ini tidak
membatalkan puasa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﻣﻦ ﻧﺴﻲ ﻭﻫﻮ ﺻﺎﺋﻢ ﻓﺄﻛﻞ ﺃﻭ ﺷﺮﺏ ﻓﻠﻴﺘﻢ ﺻﻮﻣﻪ ﻓﺈﳕﺎ ﺃﻃﻌﻤﻪ ﺍﷲ ﻭﺳﻘﺎﻩ‬

“Barangsiapa yang berpuasa, kemudian ia lupa makan dan minum, hendaklah ia


menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan makan dan
minum kepadanya” (HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155; ini adalah lafadh
Muslim).

2. Muntah dengan Sengaja

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﻣﻦ ﺫﺭﻋﻪ ﻗﻲﺀ ﻭﻫﻮ ﺻﺎﺋﻢ ﻓﻠﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻀﺎﺀ ﻭﺇﻥ ﺍﺳﺘﻘﺎﺀ ﻓﻠﻴﻘﺾ‬

“Barangsiapa yang muntah dengan tidak sengaja dalam keadaan berpuasa, maka tidak
ada qadla’ baginya; dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka ia harus
mengqadla (puasanya)” (HR. Abu Dawud no. 2380, At-Tirmidzi no. 720, Ibnu Majah no.
1676, dan Ahmad 2/498; ini adalah lafadh Abu Dawud. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud
2/63).

3. Haidl dan Nifas

Apabila wanita kedatangan haidl dan nifas di siang hari bulan Ramadlan, baik di awal
maupun di akhir, maka ia harus berbuka (batal puasanya) dan mengqadlanya
(menggantinya) di hari lain. Jika ia tetap puasa, maka puasanya tidak sah.11

11
Keterangan tambahan :

Jika seorang wanita haidl di tengah hari saat berpuasa, maka puasanya batal dan tidak perlu meneruskannya
hingga maghrib. Sebaliknya, ia diperbolehkan berbuka, akan tetapi diusahakan agar tidak terlihat oleh orang yang
sedang berpuasa.

Jika seorang wanita mengalami haidl di bulan Ramadlan lalu suci di siang hari, maka dia tetap boleh makan dan
minum. Dan seandainya suaminya datang dari perjalanan (safar) dan tidak berpuasa, maka dia boleh berjima’
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﲤﻜﺚ ﺍﻟﻠﻴﺎﱄ ﻣﺎ ﺗﺼﻠﻲ ﻭﺗﻔﻄﺮ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻬﺬﺍ ﻧﻘﺼﺎﻥ ﺍﻟﺪﻳﻦ‬

“Dia (wanita) berdiam diri beberapa malam tidak shalat, dan berbuka puasa Ramadlan
(karena haidl), maka inilah kekurangan agamanya” (HR. Muslim 79).

Diriwayatkan dari Mu’adzah ia berkata :

‫ﺳﺄﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻓﻘﻠﺖ ﻣﺎ ﺑﺎﻝ ﺍﳊﺎﺋﺾ ﺗﻘﻀﻲ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﻻ ﺗﻘﻀﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﺃﺣﺮﻭﺭﻳﺔ ﺃﻧﺖ ﻗﻠﺖ‬
‫ﻟﺴﺖ ﲝﺮﻭﺭﻳﺔ ﻭﻟﻜﲏ ﺃﺳﺄﻝ ﻗﺎﻟﺖ ﻛﺎﻥ ﻳﺼﻴﺒﻨﺎ ﺫﻟﻚ ﻓﻨﺆﻣﺮ ﺑﻘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﻻ ﻧﺆﻣﺮ ﺑﻘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬

Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah. Aku katakan,”Bagaimana dengan wanita haidl,
ia mengqadla puasa namun tidak mengqadla shalat?”. Aisyah menjawab,”Apakah kamu
seorang Haruriyyah (Khawarij)?”. Aku menjawab,”Aku bukan Haruriyyah, tapi aku
sekedar bertanya”. Aisyah berkata,”Kami pernah mengalami begitu. Lalu kami
diperintahkan untuk mengqadla puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadla
shalat” (HR. Muslim no. 335).

4. Infus Makanan

Yaitu memasukkan zat-zat makanan ke dalam tubuh seseorang melalui infus sebagai
pengganti makan kepada orang yang sakit. Ini termasuk perkara yang membatalkan
puasa; karena infus tersebut mengandung zat makanan12 yang dapat membuat badan
tidak lemah sebagaimana keadaan orang yang sehat.

5. Jima’ (Berhubungan Badan).

Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Imam Asy-Syaukani rahimahullah
dalam kitab Ad-Darari Mudli’ah (2/22) berkata, ”Tidak ada perbedaan di kalangan ulama
bahwa jima’ membatalkan puasa, apabila terjadi dengan sengaja. Apabila terjadi karena
lupa, sebagian ulama’ mengkatagorikannya termasuk (dalam hukum) orang yang makan
dan minum karena lupa”.

(berhubungan badan) dengan suaminya, sebagaimana hal itu dijelaskan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm, bab :
Maa Yufthirush-Shaaimu was-Sahuuru wal-Khilaafu fiihi.

Jika wanita yang haidl itu telah suci sebelum fajar dan berniat berpuasa, maka puasanya sah, sekalipun ia
menunda mandi besarnya hingga setelah fajar. Ini adalah pendapat jmhur ulama sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul-Bari (4/192).
12
Lihat Haqiiqatush-Shiyaam karya Ibnu Taimiyyah.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Yang rajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan tidak
membatalkan puasa (jika jima’ tersebut dilakukan tanpa sengaja/lupa). 13

Dalil dalam Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 187. Adapun kaffaratnya
(tebusannya) dijelaskan dalam Sunnah Rasululah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :

‫ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﺇﱃ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﻫﻠﻜﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﻭﻣﺎ ﺃﻫﻠﻜﻚ ﻗﺎﻝ ﻭﻗﻌﺖ‬
‫ﻋﻠﻰ ﺍﻣﺮﺃﰐ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻫﻞ ﲡﺪ ﻣﺎ ﺗﻌﺘﻖ ﺭﻗﺒﺔ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﺎﻝ ﻓﻬﻞ ﺗﺴﺘﻄﻴﻊ ﺃﻥ ﺗﺼﻮﻡ ﺷﻬﺮﻳﻦ ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﲔ‬
‫ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﺎﻝ ﻓﻬﻞ ﲡﺪ ﻣﺎ ﺗﻄﻌﻢ ﺳﺘﲔ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﺎﻝ ﰒ ﺟﻠﺲ ﻓﺄﰐ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺮﻕ‬
‫ﺬﺍ ﻗﺎﻝ ﺃﻓﻘﺮ ﻣﻨﺎ ﻓﻤﺎ ﺑﲔ ﻻﺑﺘﻴﻬﺎ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺖ ﺃﺣﻮﺝ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻨﺎ ﻓﻀﺤﻚ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬ ‫ﻓﻴﻪ ﲤﺮ ﻓﻘﺎﻝ ﺗﺼﺪﻕ‬
‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺣﱴ ﺑﺪﺕ ﺃﻧﻴﺎﺑﻪ ﰒ ﻗﺎﻝ ﺍﺫﻫﺐ ﻓﺄﻃﻌﻤﻪ ﺃﻫﻠﻚ‬

Seseorang pernah datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya


berkata,”Aku telah binasa, wahai Rasulullah”. Beliau bertanya,”Apa yang telah
membinasakanmu?”. Ia menjawab,”Aku telah menggauli istriku di (siang hari) bulan
Ramadlan”. Beliau bertanya lagi,”Apakah engkau mampu memerdekakan budak?”. Ia
menjawab,”Tidak”. Beliau bertanya lagi,”Apakah engkau mampu berpuasa selama dua

13
Para ulama berbeda pendapat apakah permasalahan jima’ dapat diqiyaskan dengan makan minum apa tidak jika
ia dilakukan dengan tidak sengaja (lupa). Imam Ahmad dan shahabat-shahabatnya mengatakan bahwa jima’
membatalkan puasa meskipun dilakukan oleh orang yang tidak tahu atau lupa. Jika dilakukan pada siang hari pada
bulan Ramadlan, maka ia wajib melakukan kaffarat. Ini termasuk pendapat tunggal yang ternukil dari Imam
Ahmad. Pendapat ini terbangun dari pemahaman dalil bahwa hadits yang memberikan udzur (tidak batal) karena
tidak sengaja/lupa hanyalah terbatas pada makan dan minum saja. Tidak dalam masalah jima’ (lihat kembali HR.
Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155 sebelumnya). Di samping itu – menurut mereka – sangat sulit rasanya
orang yang melakukan melakukan jima’ karena lupa.
Adapun Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i, Imam Dawud, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan yang lainnya
menyatakan tidak batalnya puasa seseorang akibat jima’ yang dilakukan karena ketidaksengajaan (lupa). Mereka
berhujjah dengan beberapa dalil, diantaranya adalah keumuman nash Al-Qur’an :
‫ﺎ‬‫ﻄﹶﺄﹾﻧ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ﺴِﻴﻨ‬‫ﺎ ﺇﹺﻥﹾ ﻧ‬‫ﺬﹾﻧ‬‫ﺍﺧ‬‫ﺆ‬‫ﺎ ﻻ ﺗ‬‫ّﻨ‬‫ﺑ‬‫ﺭ‬
”(Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” (QS. Al-
Baqarah : 286).
Juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
‫ﻋﻔﻰ ﻷﻣﱵ ﻋﻦ ﺍﳋﻄﺄ ﻭﺍﻟﻨﺴﻴﺎﻥ ﻭﻣﺎ ﺍﺳﺘﻜﺮﻫﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ‬
”Dimaafkan bagi umatku karena kesalahan dan lupa, serta karena sesuatu yang dipaksakan kepadanya” (HR. Ibnu
Majah no. 2045, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/178 no. 1675).
Mereka menjawab pendalilan Imam Ahmad bahwasannya pengaitan hukum jima’ dengan makan dan minum
termasuk masalah penempatan hukum dengan sebutan, sehingga tidak menafikkan hal-hal yang lainnya. Pendapat
terakhir inilah yang rajih, insyaAllah. (Lihat pembahasan ini dalam Taisirul-’Allam Syarh ’Umdatil-Ahkaam oleh
Syaikh ’Abdullah bin ’Abdirrahman Aali Bassaam, 1/573-575 hadits no. 179).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

bulan berturut-turut?”. Ia menjawab,”Tidak”. Beliau bertanya lagi,”Apakah engkau


mampu memberi makan enam puluh orang miskin?”. Ia menjawab,”Tidak”. Orang itu
pun duduk. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dibawakan satu wadah kurma
kemudian beliau bersabda,”Sedekahkanlah dengan kurma ini”. Ia berkata,”Kepada
orang yang lebih miskin dari kami ? Tidak ada satu keluarga di tempat ini yang lebih
membutuhkan daripada kami”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga
nampak gigi taringnya. Beliau bersabda,”Ambillah, dan berikanlah sebagai makanan
untuk keluargamu” (HR. Al-Bukhari no. 1936, Muslim no. 1111, At-Tirmidzi no. 724, dan
lain-lain; ini adalah lafadh Muslim).

6. Niat untuk Membatalkan Puasa.

Jika seseorang berniat dan bertekad untuk membatalkan puasa secara sengaja dan
dalam keadaan sadar bahwa ia sedang berpuasa, maka puasanya batal walaupun ia
belum makan ataupun minum. Hal itu didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam :

‫ﻟﻜﻞ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺎ ﻧﻮﻯ‬

“Setiap orang hanya akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan” (HR. Al-Bukhari no. 1,
Muslim no. 1907, dan yang lainnya).

Ini adalah madzhab Asy-Syafi’i, dhahir madzhab Ahmad (bin Hanbal), Abu Tsaur,
Dhahiriyyah, dan Ashhaabur-Ra’yi.14

7. Keluar dari Agama Islam (Murtad).

Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu akan hal ini,
bahwasannya siapa saja yang murtad dari Islam di tengah ia menjalankan ibadah puasa,
maka puasanya itu menjadi rusak dan batal. Ia harus mengqadlanya jika ia kembali
memeluk agama Islam.15

Hal-Hal yang Harus Ditinggalkan oleh Orang yang Berpuasa

Untuk meraih kesempurnaan puasa, orang yang berpuasa selayaknya tidak hanya menahan diri
dari perkara-perkara yang membatalkan puasa saja. Namun ia juga harus menahan diri dari

14
Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (2/106).
15
Idem.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

akhlaq-akhlaq yang tercela dan perbuatan dosa lainnya. Salah satu tujuan yang diinginkan oleh
seorang yang berpuasa adalah mencapai derajat taqwa, sebagaimana firman Allah ta’ala :

‫ﻘﹸﻮﻥﹶ‬‫ﺘ‬‫ ﺗ‬‫ﻠﹼﻜﹸﻢ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠ‬‫ﻦ ﻗﹶﺒ‬‫ ﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﺬ‬‫ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ﺎ ﻛﹸﺘ‬‫ ﻛﹶﻤ‬‫ﺎﻡ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ﻮﺍﹾ ﻛﹸﺘ‬‫ﻨ‬‫ ﺁﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﹼﺬ‬‫ﻬ‬‫ﺄﹶﻳ‬‫ﻳ‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah : 183).

Beberapa hal yang harus ditinggalkan oleh orang yang berpuasa diantaranya adalah :

1. Perkataan Dusta

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah


shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﻣﻦ ﱂ ﻳﺪﻉ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺰﻭﺭ ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﷲ ﺣﺎﺟﺔ ﰲ ﺃﻥ ﻳﺪﻉ ﻃﻌﺎﻣﻪ ﻭﺷﺮﺍﺑﻪ‬

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka


Allah tidak memerlukan (puasa orang itu yang) meninggalkan makan dan minumnya”
(HR. Bukhari no. 1903).

2. Pembicaraan yang Tidak Bermanfaat dan Kata-Kata Kotor

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah


shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﻟﻴﺲ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻣﻦ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ ﺇﳕﺎ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻐﻮ ﻭﺍﻟﺮﻓﺚ ﻓﺈﻥ ﺳﺎﺑﻚ ﺃﺣﺪ ﺃﻭ ﺟﻬﻞ ﻋﻠﻴﻚ‬
‫ﻓﻠﺘﻘﻞ ﺇﱐ ﺻﺎﺋﻢ ﺇﱐ ﺻﺎﺋﻢ‬

“Puasa itu bukan hanya dari makan dan minum saja, tetapi puasa itu (menahan diri)
dari kata-kata tidak bermanfaat dan kata-kata kotor. Oleh karena itu jika ada orang yang
mencacimu atau membodohimu, maka katakanlah kepadanya : “Sesungguhnya aku
sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1996
dan Al-Hakim no. 1571 dengan sanad shahih; ini adalah lafadh Ibnu Khuzaimah).

3. Ghibah (Menggunjing/Ngrumpi)

Ghibah adalah menceritakan keburukan seseorang dimana orang tersebut tidak suka
jika hal itu diketahui oleh orang lain. Allah telah berfirman :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﻮﻩ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺘﺎﹰ ﻓﹶﻜﹶﺮﹺﻫ‬‫ﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﻴﻪ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﻢ‬‫ﺄﹾﻛﹸﻞﹶ ﻟﹶﺤ‬‫ ﺃﹶﻥ ﻳ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺪ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﺐ‬‫ﺤ‬‫ﻀﺎﹰ ﺃﹶﻳ‬‫ﻌ‬‫ﻜﹸﻢ ﺑ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ﺐ ﺑ‬‫ﺘ‬‫ﻐ‬‫ﻻﹶ ﻳ‬‫ﻭ‬

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya “ (QS. Al-Hujuraat : 12).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﺃﺗﺪﺭﻭﻥ ﻣﺎ ﺍﻟﻐﻴﺒﺔ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺫﻛﺮﻙ ﺃﺧﺎﻙ ﲟﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﻗﻴﻞ ﻓﺮﺃﻳﺖ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﰲ ﺃﺧﻲ ﻣﺎ‬
‫ﺘﻪ‬ ‫ﺃﻗﻮﻝ ﻗﺎﻝ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﻮﻝ ﻓﻘﺪ ﺍﻏﺘﺒﺘﻪ ﻭﺇﻥ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻓﻴﻪ ﻓﻘﺪ‬

“Apakah kalian tahu apa ghibah itu ? Mereka menjawab : ‘Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu’. Beliau bersabda : ‘Jika kamu menyebut saudaramu tentang apa yang ia benci,
(maka kamu telah melakukan ghibah)’. Beliau ditanya : ‘Bagaimana jika sesuatu yang
aku katakan ada pada saudaraku?’ Beliau menjawab : Bila sesuatu yang kamu bicarakan
ada padanya maka kamu telah melakukan ghibah, dan apabila yang kamu bicarakan
tidak ada maka kamu telah membuat kebohongan atasnya “ (HR. Muslim no. 2589, At-
Tirmidzi no. 1934, Malik no. 1998, dan Ahmad 2/384; ini adalah lafadh Muslim).

4. Namimah (Mengadu Domba)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :

‫ﻻ ﻳﺪﺧﻞ ﺍﳉﻨﺔ ﳕﺎﻡ‬

“Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba” (HR. Al-Bukhari no. 6056 dan
Muslim no. 105; ini adalah lafadh Muslim).

Sebagian ulama menjelaskan bahwa namimah itu lebih buruk daripada ghibah, karena
ia merupakan satu oengkhianatan dan kehinaan yang kemudian akan berakhir dengan
percekcokan dan pemutusan silaturahim.

5. Mengumbar Syahwat

Fenomena yang hampir terjadi di setiap tempat di sekitar kita adalah banyaknya kaum
muslimin yang menghabiskan waktu sehabis sahur dan menjelang berbuka untuk
“nongkrong”, “mejeng”, berdua-duaan dengan lain mahram, dan yang semisalnya
dengan alasan jalan sehat, cuci mata, atau ngabuburit. Alangkah meruginya mereka
dengan perbuatan sia-sia dan maksiat itu. Allah telah memerintahkan kepada orang-
orang yang beriman untuk menundukkan pandangan dan memelihara kemaluannya :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

*‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻌ‬‫ﻨ‬‫ﺼ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﺒﹺﲑ‬‫ ﺧ‬‫ ﺇﹺﻥﹼ ﺍﻟﻠﹼﻪ‬‫ﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﻛﹶﻰ‬‫ ﺃﹶﺯ‬‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻭﺟ‬‫ﻔﹶﻈﹸﻮﺍﹾ ﻓﹸﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﺎﺭﹺﻫ‬‫ﺼ‬‫ ﺃﹶﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻮﺍﹾ ﻣ‬‫ﻀ‬‫ﻐ‬‫ ﻳ‬‫ﻨﹺﲔ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ﻗﹸﻞﹾ ﻟﹼﻠﹾﻤ‬
‫ﻦ‬‫ﻬ‬‫ﻭﺟ‬‫ ﻓﹸﺮ‬‫ﻔﹶﻈﹾﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺭﹺﻫ‬‫ﺼ‬‫ ﺃﹶﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻀ‬‫ﻀ‬‫ﻐ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ﻗﹸﻞ ﻟﹼ ﹾﻠﻤ‬‫ﻭ‬

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan


pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah
kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya…. (QS. An-Nuur : 30-31).

‫ﻋﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﺳﺄﻟﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﻧﻈﺮ ﺍﻟﻔﺠﺎﺀﺓ ﻓﺄﻣﺮﱐ ﺃﻥ‬
‫ﺃﺻﺮﻑ ﺑﺼﺮﻱ‬

Dari Jabir bin Abdillah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : "Aku bertanya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari pandangan tidak sengaja (terhadap sesuatu
yang diharamkan), maka beliau memerintahkan kepadaku untuk memalingkan
pandanganku” (HR. Muslim no. 2159).

‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻫ‬‫ ﺯﹺﻧ‬‫ﺎﻥ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹸﺫﹸﻧ‬‫ ﻭ‬،‫ّﻈﹶﺮ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻤ‬‫ﺎﻫ‬‫ ﺯﹺﻧ‬‫ﺎﻥ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﻓﹶﺎﻟﹾﻌ‬،‫ﺎﻟﹶﺔﹶ‬‫ﺤ‬‫ ﻟﹶﺎ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ُ ﺫﹶﻟ‬‫ﺭﹺﻙ‬‫ﺪ‬‫ ﻣ‬،‫ﺎ‬‫ ﺍﻟﺰﹺّﻧ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ﺼ‬‫ ﻧ‬‫ﻡ‬‫ﻦﹺ ﺃﺩ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ﻛﹸﺘ‬
،‫ّﻰ‬‫ﻨ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﻯ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻬ‬‫ ﻳ‬‫ﺍﻟﹾﻘﹶﻠﹾﺐ‬‫ ﻭ‬،‫ﻄﹶﺎ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﺎﻫ‬‫ﻞﹸ ﺯﹺﻧ‬‫ﺍﻟﺮﹺّﺟ‬‫ ﻭ‬،‫ﻄﹾﺶ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﺎﻫ‬‫ ﺯﹺﻧ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻟﹾﻴ‬‫ ﻭ‬،‫ ﺍﻟﹾﻜﹶﻠﹶﺎﻡ‬‫ﺎﻩ‬‫ﺎﻥﹸ ﺯﹺﻧ‬‫ّﺴ‬‫ﺍﻟﻠ‬‫ ﻭ‬،‫ﺎﻉ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﺈﹺﺳ‬
‫ﻪ‬‫ّﺑ‬‫ﻜﹶﺬ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺝ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺮ‬‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ّﻕ‬‫ﺪ‬‫ﺼ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬

”Telah dituliskan atas Bani Adam bagian dari zina yang pasti ia melakukannya, tidak
bisa tidak. Maka, zina kedua mata adalah melihat (yang diharamkan), zina kedua telinga
adalah mendengar (yang diharamkan), zina lisan adalah berkata-kata (yang
diharamkan), zina tangan adalah memegang (yang diharamkan), zina kaki adalah
melangkah (ke tempat yang diharamkan), hati berkeinginan dan berangan-angan, dan
kemaluan membenarkan itu semua atau mendustakannya” (HR. Bukhari no. 6243 dan
Muslim no. 2657, ini adalah lafadh Muslim)

Oleh karena itu, muncul ancaman keras dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bagi
orang-orang yang melakukan keburukan-keburukan tersebut di atas. Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﺭﺏ ﺻﺎﺋﻢ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺻﻴﺎﻣﻪ ﺇﻻ ﺍﳉﻮﻉ ﻭﺭﺏ ﻗﺎﺋﻢ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﺴﻬﺮ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Berapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa haus dan lapar dari
puasanya” (HR. Ibnu Majah no. 1690, Al-Hakim no. 1572, Ahmad 2/373, dan Al-Baihaqi
dalam Al-Kubraa no. 8097; ini adalah lafadh Ibnu Majah. Syaikh Al-Albani berkata dalam
Shahih Sunan Ibni Majah 2/81 no. 1380 : Hasan shahih).

Hal ini dikarenakan orang yang berpuasa tersebut tidak memahami hakikat puasa yang
sebenarnya sebagaimana yang Allah ta’ala telah perintahkan kepada kita……..sehingga
Allah membalasnya dengan mengharamkan pahala dan ganjaran puasanya.

Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang yang Berpuasa

1. Bersiwak

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﻢ ﺑﺎﻟﺴﻮﺍﻙ ﻣﻊ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ‬‫ﻟﻮﻻ ﺃﻥ ﺃﺷﻖ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﱵ ﺃﻭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻷﻣﺮ‬

“Jika aku tidak takut menyulitkan umatku – atau menyulitkan manusia – , niscaya akan
kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat” (HR. Al-Bukhari no. 887 dan
Muslim no. 252; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengkhususkan hal itu hanya pada
orang yang tidak berpuasa saja. Namun secara umum berlaku untuk orang yang
berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Dan bahkan, bersiwak ini sangat dianjurkan……

2. Masuk Waktu Fajar dalam Keadaan Junub (Belum Mandi).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bangun pagi ketika fajar, sedangkan beliau
dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya, lalu beliau mandi setelah
terbit fajar dan kemudian berpuasa. Hal ini berdasarkan hadits :

‫ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﺪﺭﻛﻪ‬: -‫ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬- ‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻭﺃﻡ ﺳﻠﻤﺔ‬
‫ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻭﻫﻮ ﺟﻨﺐ ﻣﻦ ﺃﻫﻠﻪ ﰒ ﻳﻐﺘﺴﻞ ﻭﻳﺼﻮﻡ‬

“Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya Rasulullah


shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau
dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan
berpuasa” (HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109; ini lafadh Al-Bukhari).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

3. Berkumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung (Ketika Wudlu’).

Hal ini karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa berkumur dan
memasukkan air ke hidung saat beliau berpuasa. Hanya saja beliau melarang orang yang
berpuasa untuk berlebih-lebihan dalam melakukan kedua hal tersebut. Laqith bin
Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

... ‫ﻭﺑﺎﻟﻎ ﰲ ﺍﻻﺳﺘﻨﺸﺎﻕ ﺇﻻ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺻﺎﺋﻤﺎﹰ‬

“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaaq (memasukkan air ke dalam


hidung saat berwudlu’) kecuali bila kalian berpuasa” (HR. At-Tirmidzi no. 788, Abu
Dawud no. 142, Ibnu Abi Syaibah no. 84, Ibnu Majah no. 407, dan Nasa’i dalam Al-
Mujtabaa no. 87; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaa’ul-Ghalil no. 935).

4. Bercumbu dan Berciuman Bagi Suami Istri yang Sedang Berpuasa

Hal ini ditegaskan oleh hadits berikut :

‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﺒﻞ ﻭﻫﻮ ﺻﺎﺋﻢ‬
‫ﻭﻳﺒﺎﺷﺮ ﻭﻫﻮ ﺻﺎﺋﻢ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﺃﻣﻠﻜﻜﻢ ﻹﺭﺑﻪ‬

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwasannya ia berkata : "Rasulullah shallallaahu


‘alaihi wasallam pernah mencium dan bercumbu pada saat beliau sedang berpuasa.
Namun beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya diantara kalian” (HR. Al-
Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106; ini adalah lafadh Muslim).

Hal itu dimakruhkan bagi orang yang masih muda dan tidak bagi yang sudah tua.
Telah diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :

‫ﻛﻨﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺠﺎﺀ ﺷﺎﺏ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺃﻗﺒﻞ ﻭﺃﻧﺎ ﺻﺎﺋﻢ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻓﺠﺎﺀ‬
‫ﺷﻴﺦ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﻗﺒﻞ ﻭﺃﻧﺎ ﺻﺎﺋﻢ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﻗﺎﻝ ﻓﻨﻈﺮ ﺑﻌﻀﻨﺎ ﺇﱃ ﺑﻌﺾ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ﻗﺪ ﻋﻠﻤﺖ ﱂ ﻧﻈﺮ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﺇﱃ ﺑﻌﺾ ﺍﻥ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﳝﻠﻚ ﻧﻔﺴﻪ‬

Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba seorang


pemuda mendekati beliau seraya berkata,”Wahai Rasulullah, bolehkah aku mencium
istriku sedangkan aku dalam kondisi berpuasa?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
menjawab,”Tidak boleh”. Kemudian datang seorang yang telah tua seraya
berkata,”Apakah aku boleh mencium (istriku) sedangkan aku dalam kondisi berpuasa?”.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Beliau menjawab,”Boleh”. Abdullah berkata,”Lalu kami saling berpandangan, kemudian


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang sudah tua
tersebut mampu untuk menahan nafsunya” (HR. Ahmad 2/185 dan 2/220. Dihasankan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 1606).

5. Tranfusi Darah dan Suntikan yang Tidak Dimaksudkan Sebagai Makanan.

Syaikh Ibnu ’Utsaimin pernah ditanya tentang hukum suntikan untuk pengobatan
yang dilakukan di siang hari bulan Ramadlan bagi orang yang berpuasa, maka beliau
menjawab : ”Suntikan pengobatan ada dua : Pertama, suntikan infus dimana dengan
suntikan ini bisa mencukupi kebutuhan makan dan minum. Maka dalam hal ini orang
yang melakukannya termasuk dalam orang yang telah berbuka (batal puasanya). Nash-
nash syar’i bertemu dengan satu makna yang mencakup satu bentuk dari keumuman
bentuk-bentuk hukum dalam nash, maka hal itu dihukumi dengan nash tersebut.
Adapun jenis yang kedua adalah suntikan yang tidak mengandung makanan dan
minuman. Maka orang yang melakukannya ini bukan termasuk orang yang berbuka
(tidak batal puasanya). Hal itu disebabkan karena suntukan tersebut tidak tercakup
dalam konteks nash secara lafadh maupun makna. Ia bukanlah termasuk cakupan
makan dan minum. Bukan pula sesuatu yang mempunyai makna makan dan minum.
Hukum asal (seseorang yang melakukan puasa) adalah sah puasanya hingga tetap
adanya sesuatu yang menyebabkan rusaknya berdasarkan dalil syar’i” (Fataawaa Ash-
Shiyaam oleh Ibnu ’Utsaimin, hal. 58; dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad).16

6. Berbekam

Pada awalnya berbekam (canduk) termasuk perkara yang membatalkan puasa


sebagaimana hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﺃﻓﻄﺮ ﺍﳊﺎﺟﻢ ﻭﺍﶈﺠﻮﻡ‬

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam” (HR. At-
Tirmidzi no. 774; Abu Dawud no. 2367, 2370,2371; Ibnu Majah no. 1679; dan lainnya.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/68).

Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum ini di-mansukh (dihapuskan) sehingga


berbekam tidaklah membatalkan puasa.17 Hal ini terlihat dari perbuatan Nabi

16
Dinukil melalui perantaraan kitab Al-Fataawaa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-’Ashriyyah min Fataawaa ’Ulamaa Al-
Baladil-Haraam oleh Dr. Khalid Al-Juraisy, hal. 295-296.
17
Ada ulama lain yang berusaha menjama’ (menggabungkan) beberapa hadits yang seakan-akan bertentangan
dengan penjelasan bahwasannya berbekam saat puasa itu makruh bagi orang yang fisiknya lemah yang dengan ia
berbekam bisa menjadi sebab batal puasanya. Namun sebaliknya, hal itu bukan menjadi satu kemakruhan bagi
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berbekam pada saat berpuasa, sebagaimana
hadits berikut :

‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﺣﺘﺠﻢ ﻭﻫﻮ ﳏﺮﻡ ﻭﺍﺣﺘﺠﻢ ﻭﻫﻮ‬
‫ﺻﺎﺋﻢ‬

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu anhuma bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi


wasallam berbekam saat beliau dalam keadaan ihram (haji) dan pernah berbekam
dalam keadaan berpuasa (HR. Bukhari no. 1938, 1939).

‫ ﺭﺧﺺ ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﰲ ﺍﳊﺠﺎﻣﺔ ﻭﺍﻟﻘﺒﻠﺔ‬: ‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﳋﺪﺭﻱ ﻗﺎﻝ‬

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata : ”Telah diberikan keringanan bagi orang yang
berpuasa untuk berbekam dan mencium istrinya (tidak menyebabkan batal)” (HR. Ibnu
Khuzaimah no. 1969 dan Ad-Daruquthni no. 2262; ini adalah lafadh Ibnu Khuzaimah.
Syaikh Al-Albani mengatakan dalam ta’liqnya atas Shahih Ibni Khuzaimah bahwa sanad
hadits ini shahih).

7. Mencicipi Makanan

Mencicipi makanan dibolehkan bagi orang yang berpuasa dengan catatan tidak
sampai masuk ke tenggorokan (tertelan). Hal tersebut didasarkan atsar dari Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhuma :

‫ ﺃﻭ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻣﺎ ﱂ ﻳﺪﺧﻞ ﺣﻠﻘﻪ ﻭﻫﻮ ﺻﺎﺋﻢ‬، ‫ﻻ ﺑﺎﺱ ﺃﻥ ﻳﺬﻭﻕ ﺍﳋﻞ‬

“Tidak ada masalah untuk mencicipi cuka atau yang lainnya selama tidak dimasukkan
ke dalam kerongkongannya, sedangkan dia dalam keadaan berpuasa” (HR. Ibnu Abi
Syaibah no. 9369 dengan sanad hasan).

8. Celak, Obat Tetes Mata, dan Semisalnya yang Dimasukkan ke dalam Mata

orang yang mempunyai fisik kuat dimana jika ia berbekam tidak menyebabkan badannya lemah yang dengan itu
bisa membatalkan puasa. (Lihat penjelasan Asy-Syaukani dalam Nailul-Authaar 4/228)
Pembolehan berbekam saat berpuasa (dan tidak menyebabkan batal) ini merupakan pendapat yang dipegang oleh
Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Al-Hasan bin ’Ali, ’Urwah bin Az-Zubair, Sa’id bin Jubair, dan
imam yang tiga (kecuali Ahmad). Adapun Imam Ahmad berpendapat batalnya orang yang berpuasa karena
berbekam atau membekam karena beliau men-ta’lil tambahan lafadh (‫” )ﻭﺍﺣﺘﺠﻢ ﻭﻫﻮ ﺻﺎﺋﻢ‬dan berbekam dalam
keadaan berpuasa”. Yang benar, tambahan lafadh tersebut adalah shahih. Silakan lihat Taudlihul-Ahkaam min-
Buluughil-Maraam (2/489-493 – dalam kitab ini berbeda kesimpulan dengan apa yang kami sebutkan di sini).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Memakai celak dan obat tetes mata tidak termasuk perkara yang membatalkan puasa,
baik pengaruh rasanya sampai tenggorokan maupun tidak. Pendapat ini dikuatkan
(ditarjih) oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di dalam risalahnya Haqiiqatush-Shiyaam,
dan juga oleh muridnya Ibnul-Qayyim dalam Zaadul-Ma’aad.

Imam Bukhari berkata dalam Shahih-nya :

‫ﻭﱂ ﻳﺮ ﺃﻧﺲ ﻭﺍﳊﺴﻦ ﻭﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﺎﻟﻜﺤﻞ ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﺑﺄﺳﺎ‬

”Anas, Al-Hasan, dan Ibrahim tidak mempermasalahkan celak mata bagi orang yang
berpuasa” (HR. Al-Bukhari 2/39 secara mu’allaq).18

9. Membasahi Kepala dengan Air Dingin dan Mandi

Al-Bukhari dalam Shahih-nya bab Ightisal Ash-Shaaim,”Ibnu Umar membasahi baju


(dengan air) lalu memakainya, sedang dia berpuasa.19 Asy-Sya’bi masuk ke kamar mandi,
sedang dia berpuasa.20 Al-Hasan berkata,”Tidak ada masalah dengan berkumur-kumur
dan mendinginkan (badan) bagi orang yang berpuasa”.21 Dalam suatu hadits disebutkan
:

‫ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺼﺐ ﺍﳌﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺳﻪ ﻣﻦ ﺍﳊﺮ ﻭﻫﻮ ﺻﺎﺋﻢ‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah menyiramkan air di atas kepalanya,


sedang dia berpuasa karena kepanasan” (HR. Abu Dawud no. 2365 dan Ahmad 4/63,
5/376. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/61).

Hal-Hal yang Disunnahkan di Bulan Ramadlan

18
Atsar Anas diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia mendla’ifkannya dari jalan marfu’. Atsar Al-Hasan disambungkan
sanadnya oleh ’Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah (3/47) dengan sanad shahih darinya. Adapun atsar Ibrahim,
disambungkan sanadnya oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Dawud dengan beberapa jalan
darinya, dan riwayat tersebut berkualitas shahih. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 368-370).
19
HR. Bukhari 2/603 secara mu’allaq. Disambungkan sanadnya oleh Al-Bukhari dalam At-Taarikh dan Ibnu Abi
Syaibah dari jalan ’Abdullah bin Abi ’Utsman bahwasannya ia melihat Ibnu ’Umar melakukan hal tersebut.
(Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 359).
20
Idem. Disambungkan sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih darinya. (Mukhtashar Shahih Al-
Bukhari 1/560 no. 360).
21
Idem. Disambungkan sanadnya oleh ’Abdurrazzaq dengan lafadh yang semakna dengannya. Dikeluarkan juga
oleh Malik dan Abu Dawud yang semisal dengannya secara marfu’. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 362).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

1. Memperbanyak Membaca Al-Qur’an

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bulan Ramadlan merupakan bulan Al-


Qur’an (QS. Al-Baqarah : 185). Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, para shahabat, dan
para ulama setelahnya telah memberikan keteladanan bagi kita dalam hal ini. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa membaca ulang Al-Qur’an/bertadarus di hadapan
Jibril setiap malam bulan Ramadlan, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhuma :

‫ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻠﻘﺎﻩ ﰲ ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻴﺪﺍﺭﺳﻪ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ‬

“Jibril biasa menemui beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam setiap malam di bulan
Ramadlan untuk bertadarus Al-Qur’an” (HR. Bukhari no. 6).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﺧﲑﻛﻢ ﻣﻦ ﺗﻌﻠﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻋﻠﻤﻪ‬

”Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an” (HR. Al-
Bukhari no. 5027, Abu Dawud no. 1452, At-Tirmidzi no. 2909, dan Ibnu Majah no. 211).

‫ﺍﳌﺎﻫﺮ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻊ ﺍﻟﺴﻔﺮﺓ ﺍﻟﻜﺮﺍﻡ ﺍﻟﱪﺭﺓ ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻳﺘﺘﻌﺘﻊ ﻓﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻴﻪ ﺷﺎﻕ ﻟﻪ ﺃﺟﺮﺍﻥ‬

“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia dan
baik, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata (tidak lancar – tapi
tetap berkemauan keras), maka baginya dua pahala” (HR. Al-Bukhari no. 4937, Muslim
no. 798, Abu Dawud no. 1454, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 4194, dan yang
lainnya; ini adalah lafadh Muslim).

‫ﻣﺜﻞ ﺍﳌﺆﻣﻦ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻷﺗﺮﺟﺔ ﺭﳛﻬﺎ ﻃﻴﺐ ﻭﻃﻌﻤﻬﺎ ﻃﻴﺐ ﻭﻣﺜﻞ ﺍﳌﺆﻣﻦ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻘﺮﺃ‬
‫ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﺘﻤﺮﺓ ﻻ ﺭﻳﺢ ﳍﺎ ﻭﻃﻌﻤﻬﺎ ﺣﻠﻮ ﻭﻣﺜﻞ ﺍﳌﻨﺎﻓﻖ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺮﳛﺎﻧﺔ ﺭﳛﻬﺎ ﻃﻴﺐ‬
‫ﻭﻃﻌﻤﻬﺎ ﻣﺮ ﻭﻣﺜﻞ ﺍﳌﻨﺎﻓﻖ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻘﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻛﻤﺜﻞ ﺍﳊﻨﻈﻠﺔ ﻟﻴﺲ ﳍﺎ ﺭﻳﺢ ﻭﻃﻌﻤﻬﺎ ﻣﺮ‬

“Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah Utrujah,


baunya wangi dan lezat rasanya. Sedangkan seorang mukmin yang tidak membaca Al-
Qur’an, maka ia seperti tamr (kurma), tidak berbau tetapi manis rasanya. Permisalan
seorang munafiq yang membaca Al-Qur’an seperti raihan, baunya wangi akan tetapi
rasanya pahit. Sedangkan permisalan seorang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an,
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

maka ia seperti buah handhalah, tidak wangi lagi pahit rasanya” (HR. Al-Bukhari no.
5427 dan Muslim no. 797).

Selain membaca Al-Qur’an, kita juga dituntut untuk mentadaburi dan


mengamalkannya.

2. Memperbanyak Shadaqah

Bershadaqah adalah satu kesempatan bagi kita untuk mencari keridlaan Allah serta
maghfirah-Nya di bulan Ramadlan. Shadaqah yang kita berikan haruslah berasal dari
harta yang halal untuk diberikan kepada faqir miskin, sanak kerabat, tetangga, anak-
anak yatim piatu, dan kaum muslimin pada umumnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda :

‫ﺇﻥ ﺍﷲ ﻃﻴﺐ ﻻ ﻳﻘﺒﻞ ﺇﻻ ﻃﻴﺒﺎ‬

“Sesungguhnya Allah itu Maha Bagus, Allah tidak akan menerima kecuali yang baik
(halal)” (HR. Muslim no. 1015).

‫ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺟﻮﺩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻛﺎﻥ ﺃﺟﻮﺩ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺣﲔ ﻳﻠﻘﺎﻩ‬
‫ﺟﱪﻳﻞ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻠﻘﺎﻩ ﰲ ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻴﺪﺍﺭﺳﻪ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻠﺮﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺟﻮﺩ‬
‫ﺑﺎﳋﲑ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻳﺢ ﺍﳌﺮﺳﻠﺔ‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau
lebih dermawan lagi ketika bulan Ramadlan pada saat Jibril menemui beliau. Jibril biasa
menemui beliau di setiap malam di bulan Ramadlan untuk bertadarus Al-Qur’an. Maka
pada saat itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam lebih dermawan dalam kebaikan
daripada angin yang berhembus” (HR. Al-Bukhari no. 6).

3. Memberi Makanan Berbuka kepada Orang yang Sedang Berpuasa

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﻣﻦ ﻓﻄﺮ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﻏﲑ ﺃﻥ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺃﺟﻮﺭﻫﻢ ﺷﻴﺌﺎ‬

“Barangsiapa yang memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka
baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi dari
pahala orang berpuasa itu sedikitpun” (HR. Ahmad 4/114, At-Tirmidzi no. 807, dan Ibnu
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Majah no. 1746. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/85
no. 1428).

4. Memperbanyak Do’a

Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa doa orang yang berpuasa sangat
mustajab. Mari kita ambil kesempatan itu untuk banyak berdoa dengan hati yang
ikhlash, mengikuti sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan berkeyakinan
bahwa doa kita akan dikabulkan oleh Allah ta’ala. Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu
ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ ﺩﻋﻮﺓ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻭﺩﻋﻮﺓ ﺍﳌﻈﻠﻮﻡ ﻭﺩﻋﻮﺓ ﺍﳌﺴﺎﻓﺮ‬: ‫ﺛﻼﺙ ﺩﻋﻮﺍﺕ ﻣﺴﺘﺠﺎﺑﺎﺕ‬

“Ada tiga doa yang dikabulkan : Doa orang yang berpuasa, doa orang yang dianiaya,
dan doa orang yang bepergian (musafir)” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3324;
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah no. 1797)

5. I’tikaf

Yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah dalam rangka taqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah ta’ala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ber-i’tikaf pada sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadlan.

‫ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻌﺘﻜﻒ ﺍﻟﻌﺸﺮ‬: ‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ‬
‫ﺍﻷﻭﺍﺧﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬

Dari ‘Abdillah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Adalah Rasulullah


shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan i’tikaf apabila masuk malam-malam sepuluh
hari yang terakhir dari bulan Ramadlan” (HR. Al-Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171).

6. Melakukan ‘Umrah

Dalil yang menunjukkan keutamaan ber-‘umrah pada bulan Ramadlan adalah sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang wanita Anshar yang tidak
sempat berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﻓﺈﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﺎﻋﺘﻤﺮﻱ ﻓﺈﻥ ﻋﻤﺮﺓ ﻓﻴﻪ ﺗﻌﺪﻝ ﺣﺠﺔ‬

“Apabila datang bulan Ramadlan, maka ber-umrah-lah kamu, sesungguhnya ‘umrah di


bulan Ramadlan itu nilainya sama dengan ibadah haji” (HR. Muslim no. 1256).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Melatih Anak-Anak untuk Berpuasa

Melatih anak-anak sedini mungkin untuk berpuasa (sesuai dengan kadar kesanggupannya)
sangatlah penting untuk menanamkan rasa cinta terhadap syari’at Islam. Selain itu, fisik mereka
akan terlatih di kemudian hari tahapan-demi tahapan sehingga pada satu waktu, si anak dapat
mengerjakan ibadah puasa secara sempurna (mulai fajar shadiq sampai matahari terbenam).
Ada teladan yang cukup baik dari para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam
hal ini :

‫ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻨﺖ ﻣﻌﻮﺫ ﻗﺎﻟﺖ ﺃﺭﺳﻞ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻏﺪﺍﺓ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﺇﱃ ﻗﺮﻯ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ ﻣﻦ ﺃﺻﺒﺢ ﻣﻔﻄﺮﺍ‬
‫ﻓﻠﻴﺘﻢ ﺑﻘﻴﺔ ﻳﻮﻣﻪ ﻭﻣﻦ ﺃﺻﺒﺢ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻓﻠﻴﺼﻢ ﻗﺎﻟﺖ ﻓﻜﻨﺎ ﻧﺼﻮﻣﻪ ﺑﻌﺪ ﻭﻧﺼﻮﻡ ﺻﺒﻴﺎﻧﻨﺎ ﻭﳒﻌﻞ ﳍﻢ ﺍﻟﻠﻌﺒﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻬﻦ‬
‫ﻓﺈﺫﺍ ﺑﻜﻰ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺃﻋﻄﻴﻨﺎﻩ ﺫﺍﻙ ﺣﱴ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ‬

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengirim
utusan di suatu pagi hari ‘Asyuura (10 Muharram) di pedesaan kaum Anshar. Ia berkata :
Barangsiapa di waktu pagi tidak berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa pada sisa harinya. Dan
barangsiapa di waktu pagi berpuasa, maka teruskanlah puasanya itu”. Maka Rubayyi’ berkata :
“Kami pun berpuasa dan menyuruh anak-anak kami berpuasa. Kami memberikan boneka-
boneka dari wol apabila mereka menangis karena lapar dan haus. Hal itu terus berlangsung
hingga waktu berbuka tiba” (HR. Al-Bukhari no. 1859).

Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa

1. Musafir

Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan jauh sejauh jarak (yang dianggap)
safar. Jarak safar menurut madzhab yang paling kuat (rajih) adalah jarak yang dianggap
oleh adat atau masyarakat setempat sebagai safar (Majmu’ Fataawaa, 34/40-50, 19/243
Orang yang melakukan safar boleh untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah
ta’ala :

‫ﺮ‬‫ﺎﻡﹴ ﺃﹸﺧ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺓﹲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹶﺮﹴ ﻓﹶﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﻠﹶﻰ‬‫ ﻋ‬‫ﺮﹺﻳﻀﺎﹰ ﺃﹶﻭ‬‫ﻨﻜﹸﻢ ﻣ‬‫ﻦ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ﻓﹶﻤ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain” (QS. Al-
Baqarah : 184).

‫ﺃﻥ ﲪﺰﺓ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻷﺳﻠﻤﻲ ﻗﺎﻝ ﻟﻠﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺃﺻﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﻭﻛﺎﻥ ﻛﺜﲑ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ‬
‫ﻓﻘﺎﻝ ﺇﻥ ﺷﺌﺖ ﻓﺼﻢ ﻭﺇﻥ ﺷﺌﺖ ﻓﺄﻓﻄﺮ‬

Bahwasannya Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Apakah saya berpuasa di waktu safar ?” – Ia adalah seorang yang
banyak melakukan puasa - . Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab :
“Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” (HR. Al-Bukhari no. 1943 dan
Muslim no. 1121).

Hadits di atas (dan beberapa lagi hadits lain) menunjukkan diperbolehkannya tidak
berpuasa bagi orang yang melakukan safar. Bagi yang berkehendak berpuasa, maka
puasa tersebut dilakukan bila ia memang mampu dan diperkirakan tidak membawa
mudlarat terhadap dirinya. Pertimbangan inilah yang terdapat dalam hadits berikut :

‫ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﱪ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬

“Berpuasa di dalam perjalanan bukanlah sebuah kebaikan” (HR. Al-Bukhari no. 1844
dan Muslim no. 1115; ini adalah lafadh Al-Bukhari)

‫ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺮﻭﻥ ﺃﻧﻪ ﻣﻦ ﻭﺟﺪ ﻗﻮﺓ ﻓﺼﺎﻡ ﻓﺤﺴﻦ ﻭﻣﻦ ﻭﺟﺪ ﺿﻌﻔﺎ ﻓﺎﻓﻄﺮ ﻓﺤﺴﻦ‬

“Dan mereka (para shahabat) berpendapat bahwa barangsiapa mempunyai


kemampuan, maka berpuasa lebih baik baginya. Dan barangsiapa yang merasa lemah,
maka berbuka lebih baik baginya” (HR. At-Tirmidzi no. 713. At-Tirmidzi berkata : Hadits
hasan shahih; dan Al-Albani berkata : Shahih).

Namun secara umum, safar membolehkan berbuka walau orang yang melakukannya
tidak merasakan berat, karena hal tersebut merupakan rukhshah (keringanan) yang
diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :

‫ﺇﻥ ﺍﷲ ﳛﺐ ﺃﻥ ﺗﺆﺗﻰ ﺭﺧﺼﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﺃﻥ ﺗﺆﺗﻰ ﻣﻌﺼﻴﺘﻪ‬


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Sungguh Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia


membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya” (HR. Ahmad 2/108 dan Ibnu Hibban no.
2742. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 3/9 no. 564).

Dan keringanan bagi seorang musafir (salah satunya) adalah berbuka (tidak berpuasa).

2. Orang yang Sakit

Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka adalah sakit yang jika ia
berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya,
atau dikhawatirkan menyebabkan lambatnya kesembuhan.22 (Lihat Fathul-Baari 8/179,
Syarhul-Umdah Kitab Shiyaam karya Ibnu Taimiyyah 1/208-209, Shifat Shaumin-Nabi
hal. 59). Lihat dalilnya dalam firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Baqarah ayat 185.

3. Wanita yang Haidl atau Nifas

Para ulama’ sepakat bahwa wanita yang sedang haidl atau nifas tidak boleh berpuasa,
dan keduanya harus berbuka dan mengqadla’ (mengganti)nya di hari yang lain. Dan bila
keduanya berpuasa, maka puasanya tersebut tidak sah. Lihat pada penjelasan
sebelumnya.

4. Orang yang Lanjut Usia dan Wanita yang Lemah

Allah ta’ala berfirman :

‫ﲔﹴ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺔﹲ ﻃﹶﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ﻴﻘﹸﻮﻧ‬‫ﻄ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﺬ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺎﻡﹴ ﺃﹸﺧ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺓﹲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹶﺮﹴ ﻓﹶﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﻠﹶﻰ‬‫ ﻋ‬‫ﺮﹺﻳﻀﺎﹰ ﺃﹶﻭ‬‫ﻨﻜﹸﻢ ﻣ‬‫ﻦ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ﻓﹶﻤ‬

“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain. Dan

22
Perlu diketahui bahwa orang yang sakit dalam pembahasan ini terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :

a) Sakit ringan yang tidak bertambah parah apabila dijalani sambil berpuasa dan tidak akan lebih baik jika orang
tersebut berbuka; seperti flu ringan, sakit kepala ringan, sakit gigi, dan yang semisalnya. Maka dalam hal ini tidak
boleh untuk meninggalkan berpuasa.

b) Sakit yang bertambah para dan kesembuhannya akan terhambat bila menjalani puasa. Hanya saja belum sampai
tingkat yang membahayakan (jiwanya). Maka dalam hal ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan makruh jika ia
tetap melaksanakan puasa.

c) Sakit yang terlalu berat apabila dijalani sambil berpuasa dan sangat membahayakn hingga dapat berpotensi
membawa kematian. Dalam kondisi seperti ini, maka diharamkan untuk berpuasa secara asal, karena Allah ta’ala
telah berfirman : {‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﻠﹸﻮﺍ ﺃﹶﻧ‬‫ﻘﹾﺘ‬‫ﻻ ﺗ‬‫” }ﻭ‬Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” (QS. An-Nisaa’ : 29).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah
yaitu memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah : 184).

Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengatakan :

‫ﻫﻮ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﻟﻜﺒﲑ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﻴﻔﻄﺮ ﻭﻳﻄﻌﻢ ﻋﻦ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻧﺼﻒ ﺻﺎﻉ ﻣﻦ‬
‫ﺣﻨﻄﺔ‬

”Dia adalah orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka ia berbuka dan
memberi makan kepada orang miskin setiap hari sebanyak setengah sha’ gandum” (HR.
Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/198 no. 2386 dengan sanad shahih).

Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia tua berkewajiban membayar
fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan sebesar setengah sha’
gandum. Adapun tentang fidyah, insyaAllah akan dijelaskan kemudian.

5. Wanita yang Mengandung dan Menyusui

Di antara keagungan rahmat Allah ta’ala kepada hamba-Nya yang lemah adalah
pemberian rukhshah (keringanan) untuk berbuka puasa kepada wanita hamil dan
menyusui. Dari Anas bin Malik , seorang laki-laki dari Bani Abdillah bin Ka’b radliyallaahu
‘anhu ia berkata :

‫ﺃﻏﺎﺭﺕ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺧﻴﻞ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺄﺗﻴﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻮﺟﺪﺗﻪ‬
‫ﻳﺘﻐﺪﻯ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﺩﻥ ﻓﻜﻞ ﻓﻘﻠﺖ ﺇﱐ ﺻﺎﺋﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﺩﻥ ﺃﺣﺪﺛﻚ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺇﻥ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻭﺿﻊ ﻋﻦ‬
‫ﺍﳌﺴﺎﻓﺮ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺷﻄﺮ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻋﻦ ﺍﳊﺎﻣﻞ ﺃﻭ ﺍﳌﺮﺿﻊ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻭﺍﷲ ﻟﻘﺪ ﻗﺎﳍﻤﺎ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬
‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﻠﺘﻴﻬﻤﺎ ﺃﻭ ﺇﺣﺪﺍﳘﺎ ﻓﻴﺎ ﳍﻒ ﻧﻔﺴﻲ ﺃﻥ ﻻ ﺃﻛﻮﻥ ﻃﻌﻤﺖ ﻣﻦ ﻃﻌﺎﻡ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ﻭﺳﻠﻢ‬

Datang kuda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada kami. Lalu aku
mendatangi beliau, dan ternyata aku mendapatkan beliau sedang makan. Kemudian
beliau bersabda,”Mendekatlah dan makanlah”. Aku menjawab,”Aku sedang puasa”.
Beliau bersabda,”Mendekatlah, akan aku ceritakan kepadamu tentang puasa.
Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan keringanan dari setengah shalat bagi seorang
musafir, dan memberikan keringanan dari beban puasa bagi wanita hamil dan
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

menyusui”. Demi Allah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam benar-benar telah


mengucapkan keduanya atau salah satunya, dan aku benar-benar berselera untuk
makan makanan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. At-Tirmidzi no. 715, An-
Nasa’i 4/180, Abu Dawud no. 2408, dan Ibnu Majah no. 1667; ini adalah lafadh At-
Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/64-65 no.
1361 dan Misykatul-Mashaabih 1/344).

Bagi wanita hamil dan/atau menyusui, menurut pendapat yang paling kuat (rajih),
bagi mereka hanyalah dibebani membayar fidyah saja tanpa ada kewajiban mengqadla.
Hal ini diperkuat oleh atsar para shahabat, diantaranya adalah perkataan Ibnu ‘Abbas
kepada seorang budak wanita yang hamil atau menyusui :

‫ ﻋﻠﻴﻚ ﺃﻥ ﺗﻄﻌﻤﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻭﻻ ﻗﻀﺎﺀ ﻋﻠﻴﻚ‬، ‫ﺃﻧﺖ ﲟﱰﻟﺔ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﻄﻴﻖ‬

“Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu memberi makan


satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban qadla atasmu”
(Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dengan sanad yang dikatakan Syaikh Al-Albani shahih
sesuai dengan syarat Muslim – Irwaaul-Ghalil 4/19. Juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq
dalam Al-Mushannaf 4/219 no. 7567 – tapi tanpa kata-kata : tidak ada kewajiban qadla
atasmu).

Juga perkataan Sa’id bin Jubair bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum mengatakan
kepada budaknya yang hamil atau menyusui :

‫ﺃﻧﺖ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﻄﻴﻘﻮﻥ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﳉﺰﺍﺀ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ‬

“Engkau termasuk tidak mampu, kewajibanmu memberi makan, bukan qadla”


(Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/196 dan ia berkata : sanadnya
shahih).

Juga perkataan Ibnu ‘Umar atas pertanyaan seorang wanita hamil :

‫ﺃﻓﻄﺮﻱ ﻭﺃﻃﻌﻤﻲ ﻋﻦ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻭﻻ ﺗﻘﻀﻲ‬

“Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan
jangan kamu mengqadla” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/198 no.
2388. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus – Irwaaul-Ghalil 4/20).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Namun jika mereka (wanita yang hamil atau menyusui) kuat untuk berpuasa dan
kemudian melaksanakan puasa tanpa menimbulkan kemudlaratan, maka itu lebih baik
baginya sesuai dengan keumuman ayat :

‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺧ‬‫ﻮﻣ‬‫ﺼ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﻭ‬

“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 185).

Berbuka Puasa

1. Waktu Berbuka

Allah telah menjelaskan kepada kita tentang waktu diperbolehkannya berbuka puasa
yaitu dengan tenggelamnya matahari, sebagaimana firman-Nya :

‫ﻞﹺ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠﻴ‬‫ﺎﻡ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍﹾ ﺍﻟﺼ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺗ‬‫ﺛﹸﻢ‬

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam” (QS. Al-Baqarah : 187).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menafsirkan ayat tersebut dengan datangnya


malam, berlalunya siang, dan tenggelamnya matahari. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda sambil mengisyaratkan tangannya:

‫ﺇﺫﺍ ﺃﻗﺒﻞ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻣﻦ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ ﻭﺃﺩﺑﺮ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻣﻦ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ ﻭﻏﺮﺑﺖ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻓﻘﺪ ﺃﻓﻄﺮ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ‬

“Apabila malam telah tiba dari arah sini dan siang telah berlalu dari arah sini serta
matahari pun terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” (HR. Al-
Bukhari no. 1954 dan Muslim no. 1100; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Dan sabdanya yang lain :

‫ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻢ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﺃﻗﺒﻞ ﻣﻦ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ ﻓﻘﺪ ﺃﻓﻄﺮ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ‬

“Apabila engkau melihat malam telah tiba dari arah sini, maka sungguh orang yang
berpuasa telah berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1941).

Imam Nawawi rahimahullah berkata :


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

( ‫ﻢ‬‫ﺎﺋ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ ﺃﹶﻓﹾﻄﹶﺮ‬‫ﺲ ﻓﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﺖ‬‫ﻏﹶﺎﺑ‬‫ﺎﺭ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺮ‬‫ﺑ‬‫ﺃﹶﺩ‬‫ﻞ ﻭ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ ) ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺃﹶﻗﹾﺒ‬: ‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻋ‬‫ﻟﻪ ﺻ‬‫ﻗﹶﻮ‬
‫ﻞﹶ‬‫ﺧ‬‫ﺩ‬‫ﺎﺭ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﺲ ﺧ‬‫ﻤ‬‫ﻭﺏﹺ ﺍﻟﺸ‬‫ﺮ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﱠ ﺑﹺﻐ‬, ‫ﻢ‬‫ﺎﺋ‬‫ ﺻ‬‫ﻪ‬‫ﻒ ﺍﻟﹾﺂﻥ ﺑﹺﺄﹶﻧ‬‫ﻮﺻ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻭ‬, ‫ﻢ‬‫ﺗ‬‫ﻣﻪ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻰ ﺻ‬‫ﻘﹶﻀ‬‫ﻧ‬‫ ﺍ‬: ‫ﺎﻩ‬‫ﻨ‬‫ﻌ‬‫ﻣ‬
‫ﻡﹺ‬‫ﻮ‬‫ﻠﺼ‬‫ﺎ ﻟ‬‫ﻠ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﺲ‬‫ﻞ ﻟﹶﻴ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ ﻭ‬, ‫ﻞ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻴ‬

“Makna sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apabila malam telah tiba dan siang
telah berlalu, serta matahari pun terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh
berbuka” ; adalah puasanya telah selesai sempurna, dan (pada waktu matahari sudah
tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan
terbenamnya matahari, habislah waktu siang dan malam pun tiba; dan malam hari
bukanlah waktu untuk berpuasa” (Syarah Shahih Muslim hal. 794).

Timbul pertanyaan : Bagaimana jika matahari telah tenggelam, namun adzan belum
berkumandang (muadzin telat mengumandangkan adzan) ???

Maka dijawab : Yang menjadi patokan untuk berbuka puasa adalah tenggelamnya
matahari. Hal ini sesuai dengan dalil di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta amalan
para shahabat sebagaimana telah disebutkan. Maka selayaknya bagi kaum muslimin
menyegerakan berbuka puasa setelah melihat matahari benar-benar telah tenggelam.
Dan bagi muadzin, hendaknya selalu menjaga amanah untuk mengumandangkan adzan
pada awal waktunya.

2. Menyegerakan Berbuka Puasa

Menyegerakan berbuka dapat mendatangkan kebaikan

Dari Sahl bin Sa’ad radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﻻ ﻳﺰﺍﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﲞﲑ ﻣﺎ ﻋﺠﻠﻮﺍ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬

“Manusia senantiasa berada di dalam kebaikan selama mereka menyegerakan


berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098).

Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam

Dari Sahl bin Sa’ad ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
:

‫ﻻ ﺗﺰﺍﻝ ﺃﻣﱴ ﻋﻠﻰ ﺳﻨﱴ ﻣﺎ ﱂ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﺑﻔﻄﺮﻫﺎ ﺍﻟﻨﺠﻮﻡ‬


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Umatku senantiasa berada di atas sunnahku, selagi mereka tidak menunggu


munculnya bintang ketika berbuka puasa” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2061 dan Ibnu
Hibban no. 3510 dengan sanad shahih. Lihat Ta’liq ‘alaa Shahih Ibni Khuzaimah).

Menyegerakan berbuka puasa agar tidak termasuk golongan orang-orang yang sesat

Apabila manusia menjalani manhaj dan memelihara sunnah Rasul mereka, maka Islam
akan tetap jaya dan berdiri kokoh serta tidak akan disusahkan oleh umat-umat yang
menentang mereka. Ummat Islam tidak mau mengekor kaum kafir dari golongan Yahudi
dan Nasharani, yang mereka ini dicap oleh Allah dan Rasulnya sebagai kaum yang sesat.
Dengan menyegerakan berbuka, berarti kita telah turut mengokohkan agama Islam dan
menyelisihi sebagian dari adat dan kebiasaan mereka yang tercela, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﻻ ﻳﺰﺍﻝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻣﺎ ﻋﺠﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻷﻥ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﻳﺆﺧﺮﻭﻥ‬

“Agama senantiasa kokoh selama manusia menyegerakan berbuka; karena Yahudi


dan Nashrani mengakhirkannya (menundanya)” (HR. Abu Dawud no. 2353; dihasankan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/58).

Berbuka sebelum shalat maghrib

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbuka puasa sebelum melaksanakan shalat


maghrib sebagaimana dikhabarkan dalam hadits berikut:

‫ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻔﻄﺮ ﻋﻠﻰ ﺭﻃﺒﺎﺕ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﻓﺈﻥ ﱂ ﺗﻜﻦ ﺭﻃﺒﺎﺕ ﻓﻌﻠﻰ‬
‫ﲤﺮﺍﺕ ﻓﺈﻥ ﱂ ﺗﻜﻦ ﺣﺴﺎ ﺣﺴﻮﺍﺕ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab sebelum


melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan
tamr. Jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air” (HR. Abu Dawud
no. 2356 dan lainnya dengan sanad hasan; lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/59 no. 2356
dan Irwaaul-Ghalil 4/45 no. 922).

Maka tidak ragu lagi, bahwa menyegerakan berbuka mempunyai keutamaan yang
sangat besar. Dari Abu Darda’ radliyallahu ‘anhu : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

‫ ﺗﻌﺠﻴﻞ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ ﻭ ﺗﺄﺧﲑ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻭ ﻭﺿﻊ ﺍﻟﻴﻤﲔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻤﺎﻝ ﰲ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬: ‫ﺛﻼﺙ ﻣﻦ ﺃﺧﻼﻕ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Tiga (perkara) termasuk akhlaq kenabian (yaitu) : menyegerakan berbuka,


mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat”
(HR. Thabarani dalam Al-Kabiir sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam
Majma’uz-Zawaaid 2/105, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihu Al-
Jami’ish-Shaghiir 1/583 no. 3038).

3. Apa yang Dimakan Saat Berbuka ?

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk mengawali berbuka


puasa dengan ruthab. Ruthab adalah kurma yang masih setengah matang, agak sedikit
lebih keras (dibandingkan tamr), dan berwarna hijau kecoklatan. Apabila tidak ada
ruthab, maka dianjurkan memakan tamr (= kurma yang biasa dijual di pasaran). Bila
tidak ada, maka beliau menganjurkan berbuka dengan air. Hal ini merupakan bentuk
kasih sayang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya (lihat QS.
At-Taubah : 128). Untuk haditsnya, lihat kembali pembahasan di atas.

Makan makanan manis di saat perut kosong itu lebih bermanfaat bagi tubuh,
terutama tubuh yang sehat, sehingga kekuatannya dapat pulih kembali. Adapun
berbuka dengan meminum air, dapat membasahi tubuh seperti halnya fungsi makanan,
karena tubuh mengalami kekeringan cairan saat berpuasa sehingga apabila dibasahi
dengan air akan sangat bermanfaat.

Dan ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa kurma memiliki berkah dan
keistimewaan. Begitu juga dengan air sebagai zat vital dalam metabolisme tubuh.
Wallaahu a’lam.

4. Apa yang Dibaca Ketika Berbuka ?

Adapun doa khusus yang terkait dengan berbuka puasa, menurut penelitian para ahli
hadits, hanya satu yang dapat diterima dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yaitu
hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, ia
berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka beliau mengatakan :

ُ‫ﺎﺀَ ﺍﷲ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﺷ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﹾﻷَﺟ‬‫ﺖ‬‫ﺛﹶﺒ‬‫ ﻭ‬‫ﻭﻕ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﻠﹶﺖ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺑ‬‫ﺄﹸ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻈﱠﻤ‬‫ﺐ‬‫ﺫﹶﻫ‬

[Dzahabazh-zhoma-u wab-talatil-‘uruuqu wa tsabatal-ajru insya Allooh]

“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta telah ditetapkan pahala
insya Allah” (HR. Abu Dawud no. 2357, Al-Hakim no. 1536, Ad-Daruquthni 3/156 no.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

2279, dan yang lainnya; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 4/39 no.
920).23

Doa ini dibaca setelah selesai menyantap makanan berbuka (- perhatikan arti doa
tersebut -). Adapun doa yang sering dibaca oleh sebagian kaum muslimin seperti :
Allaahumma laka shumtu….dst. dan yang lain-lain; maka doa tersebut berasal dari
hadits-hadits berstatus dl’aif. Sudah selayaknya kita hanya memilih doa yang tsabit
(tetap) berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

5. Makan Secara Berjama’ah

Disunnahkan berbuka secara berjama’ah dengan keluarga, rekan, atau kaum muslimin
lainnya. Allah menurunkan keberkahan dengan banyaknya tangan di atas makanan.

‫ﻋﻦ ﻭﺣﺸﻲ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺇﻧﺎ ﻧﺄﻛﻞ ﻭﻻ ﻧﺸﺒﻊ ﻗﺎﻝ ﻓﻠﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﺘﺮﻗﻮﻥ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻧﻌﻢ ﻗﺎﻝ ﻓﺎﺟﺘﻤﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﻃﻌﺎﻣﻜﻢ‬
‫ﻭﺍﺫﻛﺮﻭﺍ ﺍﺳﻢ ﺍﷲ ﻳﺒﺎﺭﻙ ﻟﻜﻢ ﻓﻴﻪ‬

Dari Wahsyi bin Harb, dari ayahnya, dari kakeknya radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
Sesungguhnya para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan
tapi tidak merasa kenyang”. Beliau menjawab : “Barangkali kalian makan secara
berpencar (sendiri-sendiri)”. Mereka menjawab : “Benar”. Maka beliau bersabda :
“Berkumpullah kalian atas makanan kalian dan sebutlah nama Allah, niscaya makanan
itu diberkahi untuk kalian” (HR. Abu Dawud no. 3764; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 664. Lihat pula Riyadlush-Shaalihiin no. 747).

6. Memberi Makanan Orang yang Berbuka Puasa

Allah ta’ala telah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang telah menyisihkan
sebagian harta/rizkinya secara ikhlash untuk memberi makan kepada orang yang
berbuka puasa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﻣﻦ ﻓﻄﺮ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﻏﲑ ﺃﻥ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺃﺟﻮﺭﻫﻢ ﺷﻴﺌﺎ‬

“Barangsiapa yang memberi makanan orang yang berpuasa, maka baginya pahala
seperti yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang
yang berpuasa itu sedikitpun juga” (HR. Ahmad 4/114, 4/116; At-Tirmidzi 807; Ibnu
23
Adapun Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i mendla’ifkan hadits ini dalam At-Tattabu’ hal. 583.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Majah no. 1746; dan Ibnu Hibban no. 3429; ini adalah lafadh Ibnu Majah. Dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/85 no. 1428).

Dan apabila ada seorang muslim yang berpuasa dan ia mendapat undangan untuk
makan/berbuka dari saudaranya, maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut.
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﺇﺫﺍ ﺩﻋﺎ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺃﺧﺎﻩ ﻓﻠﻴﺠﺐ ﻋﺮﺳﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﳓﻮﻩ‬

“Bila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah ia


memenuhi undangan tersebut, apakah (undangan tersebut adalah) undangan nikah
atau semisalnyai” (HR. Muslim no. 1429).

Hal ini tentunya dikecualikan apabila dalam undangan tersebut mengandung unsur
kemaksiatan atau terdapat unsur kemaksiatan (seperti nyanyi-nyanyian/musik, ikhtilath,
dan lain-lain).

Bagi yang diundang dan/atau yang diberikan makanan berbuka dari saudaranya, maka
hendaklah ia mendoakan saudaranya tersebut dengan kebaikan. Beberapa doa yang
diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam diantaranya:

‫ﻘﹶﺎﻧﹺﻲ‬‫ ﺃﹶﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻖﹺ ﻣ‬‫ﺃﹶﺳ‬‫ﻨﹺﻲ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﻃﹾﻌ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ ﺃﹶﻃﹾﻌ‬‫ـﻢ‬‫ﺍﻟﻠﹼﻬ‬

[Alloohumma ath’im man ath’amanii wa asqi man saaqoonii]

“Ya Allah, berikanlah makanan kepada orang yang memberiku makan, dan berikanlah
minuman kepada orang yang memberiku minuman” (HR. Muslim no. 2055 dari Al-
Miqdad).

‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ﺍﺭ‬‫ ﻭ‬‫ـﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ـﺮ‬‫ﺍﻏﹾﻔ‬‫ ﻭ‬،‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻗﹾـﺘ‬‫ﺯ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻴﻤ‬‫ ﻓ‬‫ﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ ﺑﺎﺭﹺﻙ‬‫ـﻢ‬‫ﺍﻟﻠﹼﻬ‬

[Alloohumma baariklahum fiiimaa rozaqtahum wagh-firlahum war-hamhum]

“Ya Allah, berikanlah barakah apa yang Engkau rizkikan kepada mereka, ampunilah
dan belas-kasihanilah mereka” (HR. Muslim no. 2042 dari Abdullah bin Busr).

Hukum Seputar Fidyah

Fidyah merupakan shadaqah yang dibayarkan oleh seorang yang sudah tidak mampu lagi
berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui (menurut pendapat yang paling kuat dari
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

para ulama’), yang dibayarkan kepada orang miskin (lihat QS. Al-Baqarah : 184). Lihat
pembahasan sebelumnya tentang Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Puasa.

Lalu berapa takaran jumlah fidyah yang harus dibayarkan ??? Para ulama berbeda pendapat
mengenai hal ini. Beberapa hal yang terkait dengan pertanyaan tersebut dapat dijelaskan pada
beberapa poin berikut :

Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis dan jumlah takaran fidyah tersebut. (lihat
Tafsir Ath-Thabari 2/83). 24 Yang rajih adalah apa yang difatwakan oleh Ibnu ’Abbas radliyallaahu
‘anhuma (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya), yaitu takaran jumlah fidyah tersebut
adalah setengah sha’ atau kurang lebih 1,5 kg (satu setengah kilogram) per jiwa. Dan pendapat
inilah yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdulaziz bin Baaz dan Lajnah Fatwa Saudi Arabia (Fataawaa
Ramadlan 2/554-555 dan 604). Sehingga apabila seseorang tidak sanggup berpuasa selama 30
hari, maka yang dibayarkan adalah 1,5 kg x 30 = 45 kg.

Diperbolehkan memberi makanan yang siap santap (makanan matang) dengan ukuran yang
dapat mengenyangkan si miskin (Fataawaa Ramadlan 2/652). Hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu ketika beliau lemah untuk berpuasa karena
tua (selama satu bulan : 30 hari); beliau membuat satu mangkok besar tsarid (bubur dari roti
yang diremas dan dicampur kuah), lalu beliau mengundang 30 orang miskin sehingga
mengenyangkan mereka. (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 3/199 no. 2390
dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul-Ghaliil 4/21).

Tidak diperbolehkan membayar fidyah dengan uang, tetapi harus dengan makanan
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah (Hadits Shahih).

Diperbolehkan membayar fidyah sekaligus atau terpisah-pisah waktunya (Lajnah Fatwa Saudi
Arabia, Fataawaa Ramadlan 2/652).

Bolehkan memberi fidyah kepada orang yang miskin yang kafir??? Maka pertanyaan ini
dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah (seorang fuqahaa, ahli
tafsir, dan ahli ushul) : “Jika di daerahnya ada orang Islam yang berhak, maka diberikan
kepadanya. Tapi jika tidak ada, maka disalurkan ke negeri-negeri Islam yang membutuhkannya”
(Fataawaa Ramadlan 2/655).

24
Sebagian ulama mengatakan ia wajib mengeluarkan setengah sha’ gandum bagi seorang miskin per hari sesuai
dengan jumlah hari yang ia berbuka. Sebagian yang lain mengatakan satu mud gandum. Sebagian lain mengatakan
setengah sha’ gandum, kurma, atau kismis (yang merupakan bahan makanan pokok sehari-hari). Sebagian lain
mengatakan apa saja dari jenis makanan yang dapat membuatnya kenyang pada hari ia tidak berpuasa (tanpa
menentukan takaran tertentu). Sebagian lain mengatakan seukuran makan pagi dan makan malam. (Jami’ul-
Bayaan ’an Ta’wiilil-Qur’an 2/83 oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Qadla Puasa Ramadlan

1. Bagi orang-orang yang diberikan rukhshah untuk tidak berpuasa di bulan Ramadlan
(karena safar, sakit, haidl, dan nifas), maka ia diwajibkan mengganti puasanya (qadla)
tersebut di hari lain sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan (lihat kembali
pembahasan Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa).
Qadla’ puasa Ramadlan tidak harus dilakukan seketika. Kewajiban mengqadla’ ini
bersifat fleksibel dan penuh keluasan. Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menceritakan tentang
qadla’ puasanya :
‫ﻛﺎﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻤﺎ ﺃﺳﺘﻄﻴﻊ ﺃﻥ ﺃﻗﻀﻴﻪ ﺇﻻ ﰲ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺍﻟﺸﻐﻞ ﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ‬
‫ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
“Aku mempunyai hutang puasa Ramadlan, lalu aku tidak bisa mengqadla’-nya kecuali di
bulan Sya’ban karena ada kesibukan dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”
(HR. Muslim no. 1146).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata dalam Fathul-Baari (4/212) :

‫ﻭﰲ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺩﻻﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺟﻮﺍﺯ ﺗﺄﺧﲑ ﻗﻀﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﻟﻌﺬﺭ ﺃﻭ ﻟﻐﲑ ﻋﺬﺭ‬

“Hadits ini merupakan petunjuk dibolehkannya menunda qadla’ Ramadlan secara


mutlak, baik karena alasan atau karena tidak ada alasan”.
Namun, menyegerakan qadla’ puasa adalah lebih utama daripada menundanya, karena
hal ini tercakup dalam keumuman dalil yang menunjukkan anjuran untuk segera
mengerjakan amal kebaikan dan tidak menunda-nunda, seperti firman Allah ta’ala :

‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺑ‬‫ﻦ ﺭ‬‫ ﻣ‬‫ﺓ‬‫ﺮ‬‫ﻔ‬‫ﻐ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﹾ ﺇﹺﻟﹶﻰ‬‫ﻮ‬‫ﺎﺭﹺﻋ‬‫ﺳ‬‫ﻭ‬

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu” (QS. Ali Imran : 133).
2. Tidak wajib mengqadla’ puasa secara berurutan.
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma telah menjelaskan :

‫ﻻ ﺑﺄﺱ ﺃﻥ ﻳﻔﺮﻕ‬

“Tidak apa-apa (mengqadla’ puasa) secara terpisah” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara
mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Abdurrazzaq, Ad-Daruquthni, dan Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Mukhtashar Shahih Bukhari 1/569).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Adapun hadits yang berbunyi :

‫ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺻﻮﻡ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻠﻴﺴﺮﺩﻩ ﻭﻻ ﻳﻘﻄﻌﻪ‬

“Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadlan, hendaklah ia


mengerjakannya secara berurutan dan tidak putus-putus” --- maka hadits ini adalah
dla’if.25
3. Para ulama’ sepakat bahwa orang yang meninggal dunia, sedangkan dia memiliki
tanggungan kewajiban puasa, maka walinya atau yang lainnya tidak wajib
mengqadla’-nya. Demikian juga orang yang tidak mampu berpuasa, tidak boleh ada
seseorang yang menggantikan puasanya selama orang tersebut masih hidup. Akan
tetapi yang harus ia lakukan adalah memberi makan satu orang miskin setiap hari
sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu.
Adapun permasalahan kebolehan seorang mempuasakan orang lain yang telah
meninggal (orang tua atau saudaranya) yang mempunyai tanggungan puasa yang belum
terbayar, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Yang rajih adalah bahwa
puasa yang dimaksud adalah puasa nadzar. Bukan termasuk puasa wajib yang lain (misal
: qadla puasa Ramadlan). 26

25
Dikeluarkan oleh As-Siraaj dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Al-Mikhladiy (2/99); Ad-Daruquthni (243),
dan Al-Baihaqi (4/259) – dinukil melalui perantaraan Irwaaul-Ghalil (4/95). Silakan lihat takhrij beserta penjelasan
akan kelemahannya dalam kitab ini (4/95-97).
26
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
‫ ﺻﺎﻡ ﻋﻨﻪ ﻭﻟﻴﻪ‬،‫ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻴﺎﻡ‬
”Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka ia dipuasakan oleh walinya” (HR. Al-
Bukhari no. 1952).

Jenis puasa yang disebutkan pada hadits di atas bersifat mutlak. Namun kemudian hadits tersebut ditaqyid oleh
hadits lain bahwasannya yang dimaksud hanyalah puasa nadzar saja.
‫ﺃﻥ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺍﺳﺘﻔﱴ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﻧﺬﺭ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﻣﻪ ﻓﺘﻮﻓﻴﺖ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﺗﻘﻀﻴﻪ ﻓﺄﻓﺘﺎﻩ ﺃﻥ ﻳﻘﻀﻴﻪ ﻋﻨﻬﺎ‬
“Bahwasannya Sa’id bin ‘Ubadah radliyallaahu ‘anhu meminta fatwa kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
mengenai nadzar ibunya yang telah meninggal sebelum melaksanakan nadzarnya tersebut. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam memberi fatwa agar Sa’id melaksanakan nadzar tersebut atas nama ibunya” (HR. Al-Bukhari no.
6698).
‫ ﺃﻥ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﻛﺒﺖ ﺍﻟﺒﺤﺮ ﻓﻨﺬﺭﺕ ﺇﻥ ﳒﺎﻫﺎ ﺍﷲ ﺃﻥ ﺗﺼﻮﻡ ﺷﻬﺮﺍ ﻓﻨﺠﺎﻫﺎ ﺍﷲ ﻓﻠﻢ ﺗﺼﻢ ﺣﱴ ﻣﺎﺗﺖ ﻓﺠﺎﺀﺕ ﺍﺑﻨﺘﻬﺎ ﺃﻭ ﺃﺧﺘﻬﺎ ﺇﱃ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬: ‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ‬
‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺄﻣﺮﻫﺎ ﺃﻥ ﺗﺼﻮﻡ ﻋﻨﻬﺎ‬
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya ada seorang wanita yang naik kapal lalu ia bernadzar jika
Allah menyelamatkan ia (sampai ke daratan) ia akan berpuasa selama sebulan. Allah pun kemudian
menyelamatkannya. Wanita tersebut belum berpuasa (memenuhi nadzarnya) hingga ia meninggal dunia. Maka
datanglah anak perempuannya atau saudara perempuannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka
beliau memerintahkannya untuk berpuasa untuknya” (HR. Abu Dawud no. 3308; shahih).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

4. Barangsiapa yang meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai hutang puasa nadzar,


maka jika ada beberapa orang yang berpuasa untuknya sesuai dengan jumlah hari yang
ia nadzarkan, maka hukumnya boleh. Al-Hasan berkata:

‫ﺇﻥ ﺻﺎﻡ ﻋﻨﻪ ﺛﻼﺛﻮﻥ ﺭﺟﻼ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﺟﺎﺯ‬

”Jika ada tiga puluh orang berpuasa untuknya, setiap orang satu hari, maka hukumnya
adalah boleh” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Ad-
Daruquthni dalam kitab Adz-Dzabhi dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/570).

Lailatul-Qadar

Keutamaan Lailatul-Qadar sangat besar, karena pada malam itulah diturunkannya Al-Qur’an Al-
Kariim yang membimbing manusia yang berpegang kepadanya kepada jalan kemuliaan dan
kehormatan, mengangkatnya ke puncak ketinggian dan keabadian.

1. Keutamaan Lailatul-Qadar
Tanda kebesaran dan keagungan Lailatul-Qadar adalah bahwa malam itu merupakan
malam yang penuh berkah yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah ta’ala telah
berfirman :

‫ﺭﹺﻳﻦ‬‫ﻨﺬ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺎ ﻛﹸﻨ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ﻛﹶﺔ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺒ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﺔ‬‫ﻲ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﻩ‬‫ﹾﻟﻨ‬‫ﺂ ﺃﹶﻧﺰ‬‫ﺇﹺﻧ‬

“Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan


sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan” (QS. Ad-Dukhaan : 3).

Dari Umrah bahwa ibunya meninggal dunia dan ia punya tanggungan puasa Ramadlan. Ia berkata kepada ‘Aisyah
radliyallaahu ‘anhaa : “Apakah aku harus membayar puasanya?”. Aisyah menjawab :
‫ﻻ ﺑﻞ ﺗﺼﺪﻗﻲ ﻋﻨﻬﺎ ﻣﻜﺎﻥ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻧﺼﻒ ﺻﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻜﲔ‬
”Tidak, tetapi keluarkanlah sedekah sebagai ganti dari puasanya itu, yaitu setiap satu hari diganti dengan
memberikan setengah sha’ kepada orang miskin” (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam kitab Musykiilul-Aatsaar
3/142 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4 dengan sanad shahih – dinukil melalui perantaraan Ahkaamul-Janaaiz
karya Syaikh Al-Albani).

Dan hal ini diperkuat oleh pemahaman Ibnu ‘Umar bahwasannya pada asalnya seseorang itu tidak boleh berpuasa
atau shalat atas nama orang lain. Ia berkata :
‫ ﻭﻻ ﻳﺼﻠﻲ ﺃﺣﺪ ﻋﻦ ﺃﺣﺪ‬،‫ﻻ ﻳﺼﻮﻡ ﺃﺣﺪ ﻋﻦ ﺃﺣﺪ‬
“Tidaklah seseorang berpuasa atas nama orang lain dan tidaklah seseorang shalat atas nama orang lain” (HR.
Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 738; shahih mauquf).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺮﹴ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ ﺃﹶﻟﹾﻒ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺭﹺ ﺧ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﺭﹺ * ﻟﹶﻴ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﺂ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬

“Dan tahukah kamu apakah lailatul-qadar itu? Malam kemuliaan itu lebih baik
daripada seribu bulan” (QS. Al-Qadr : 2-3).

Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa amalan di Lailatul-Qadar (yang penuh
barakah) itu menyamai pahala amal seribu bulan yang tidak ada Lailatul-Qadarnya.
Seribu bulan setara dengan 83 tahun lebih. Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam menganjurkan untuk berusaha mencari malam tersebut dengan
sabdanya :

‫ﻣﻦ ﻗﺎﻡ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺇﳝﺎﻧﺎ ﻭﺍﺣﺘﺴﺎﺑﺎ ﻏﻔﺮ ﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ‬

“Barangsiapa yang mendirikan ibadah (pada malam) Lailatul-Qadar karena iman dan
mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari
no. 1901 dan Muslim no. 760).

Allah mensifati malam itu dengan malam keselamatan/kesejahteraan, sebagaimana


firman-Nya :

‫ﺮﹺ‬‫ﻄﹾﻠﹶﻊﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ ﻣ‬‫ﻰ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬‫ﻲ‬‫ ﻫ‬‫ﻼﹶﻡ‬‫ﺳ‬

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr : 5).

Ini menunjukkan kemuliaan, kebaikan, dan keberkahannya. Orang yang terhalangi


dari kebaikan malam itu berarti terhalangi dari kebaikan yang sangat banyak. Inilah
keutamaan-keutamaan yang besar pada malam yang penuh barakah ini.

Pada malam ini kita diperintahkan untuk banyak-banyak berdoa dengan doa :

‫ﻲ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﻒ‬‫ ﻓﹶﺎﻋ‬‫ﻔﹾﻮ‬‫ ﺍﹾﻟﻌ‬‫ﺐ‬‫ﺤ‬‫ٌ ﺗ‬‫ﻔﹸﻮ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ـﻢ‬‫ﺍﻟﻠﹼﻬ‬

[Alloohumma innaka ‘afuwun tuhibbul-‘afwa fa’fu’annii]

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, menyukai maaf, maka berilah maaf
kepadaku” (HR. Tirmidzi no. 3513; Ibnu Majah no. 3850; Ahmad 6/171, 6/182, 6/183,
6/208; Al-Hakim no. 1942, An-Nasa’i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 878.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 3/259 no. 3119 dan
Misykatul-Mashaabih 1/353)27.

2. Waktu Terjadinya Lailatul-Qadar

Lailatul-Qadar terjadi pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadlan. Ada beberapa hadits shahih yang menyebutkan tentang hal ini, seperti
malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadlan28. Imam Asy-Syafi’i berkata,”Ini menurut
saya, wallaahu a’lam, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab sesuai dengan
pertanyaannya. Dan pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada malam-malam
yang ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan berdasarkan sabda Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwa Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan dan beliau
mengatakan :

‫ﲢﺮﻭﺍ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﰲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺍﻷﻭﺍﺧﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬

“Carilah Lailatul-Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan”
(HR. Al-Bukhari no. 2017 dan Muslim no. 1169; ini lafadh Al-Bukhari)29.

Silakan membuka Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang menyebutkan beberapa
hadits dimaksud.

3. Tanda-Tanda Lailatul-Qadar

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan kepada kita tentang


beberapa tanda yang mengisyaratkan terjadinya Lailatul-Qadar. Diantaranya adalah
hadits yang diriwayatkan dari Ubay radliyallaahu ‘anhu ketika ia menjawab tanda-tanda
Lailatul-Qadr yang diberitakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﺃﻥ ﺗﻄﻠﻊ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﰲ ﺻﺒﻴﺤﺔ ﻳﻮﻣﻬﺎ ﺑﻴﻀﺎﺀ ﻻ ﺷﻌﺎﻉ ﳍﺎ‬

“Matahari terbit di pagi harinya tampak putih tanpa cahaya yang menyinari (redup,
tidak panas)” (HR. Muslim no. 762).

27
Adapun tambahan Kariim sesudah kalimat Alloohumma innaka ‘afuwun bukanlah tambahan yang berasal dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
28
Berbagai macam pendapat tentang hal ini saling berbeda dan cukup beragam. Imam Al-‘Iraqi mengarang sebuah
risalah tersendiri yang berjudul Syarhush-Shadr bi Dzikri Lailatil-Qadr. Ia mengumpulkan di dalamnya pendapat
para ulama dalam masalah ini.
29
Seperti yang dinukil oleh Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wasallam bersabda :

‫ﰲ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻟﻴﻠﺔ ﲰﺤﺔ ﻃﻠﻘﺔ ﻻ ﺣﺎﺭﺓ ﻭﻻ ﺑﺎﺭﺩﺓ ﺗﺼﺒﺢ ﴰﺴﻬﺎ ﺻﺒﻴﺤﺘﻬﺎ ﺻﻔﻴﻘﺔ ﲪﺮﺍﺀ‬

“Lailatul-Qadar merupakan malam penuh kelembutan, cerah, tidak panas, dan tidak
dingin. Matahari di pagi harinya menjadi nampak lemah lagi nampak kemerah-merahan”
(HR. Ath-Thayalisi no. 2680, Ibnu Khuzaimah no. 2192, dan yang lainnya; ini adalah
lafadh Ath-Thayalisi. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani pada Shahihul-Jaami’sh-Shaghiir
no. 5475).

4. Beribadah di Lailatul-Qadar

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila telah memasuki sepuluh hari terakhir
bulan Ramadlan, beliau semakin giat dan khusyuk dalam beribadah. Beliau kencangkan
ikat pinggangnya dan beri’tikaf di dalam masjid. Tidaklah beliau keluar dari masjid
kecuali untuk menunaikan hajatnya saja.

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :

‫ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﺩﺧﻞ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺷﺪ ﻣﺌﺰﺭﻩ ﻭﺃﺣﻴﺎ ﻟﻴﻠﻪ ﻭﺃﻳﻘﻆ ﺃﻫﻠﻪ‬

“Apabila memasuki sepuluh (malam terakhir di bulan Ramadlan), Nabi shallallaahu


‘alaihi wasallam mengencangkan ikatan kainnya,30 menghidupkan malamnya, dan
membangunkan keluarganya (istri-istrinya)” (HR. Al-Bukhari no. 2024 dan Muslim no.
1174).

‫ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳚﺘﻬﺪ ﰲ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺍﻷﻭﺍﺧﺮ ﻣﺎﻻ ﳚﺘﻬﺪ ﰲ ﻏﲑﻩ‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam


terakhir (pada bulan Ramadlan) yang tidak beliau lakukan di saat-saat lain” (HR. Muslim
no. 1175).

Maka selayaknyalah kita sebagai ummat beliau untuk meneladani beliau dalam
menghidupkan bulan Ramadlan, khususnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan
dengan ibadah-ibadah, seperti : I’tikaf, membaca Al-Qur’an dan berusaha
menghafalnya, mempelajari hadits dan kandungan-kandungannya, dan lain-lain. Tidak
selayaknya kita habiskan waktu malam dan siang kita hanya dengan tidur dan makan.

30
Maksudnya meninggalkan hubungan badan dengan istrinya untuk beribadah serta berusaha keras mencari
Lailatul-Qadar.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

I’tikaf

1. Pengertian I’tikaf

Secara syari’at makna i’tikaf adalah bertempat tinggal di masjid31 dengan maksud
mendekatkan diri kepada Allah ta’ala 32 yang dilakukan dengan sifat-sifat tertentu 33.

2. Disyari’atkannya I’tikaf

Disunnahkan i’tikaf di bulan Ramadlan dan bulan lainnya sepanjang tahun. I’tikaf yang
paling utama adalah pada bulan Ramadlan, berdasarkan hadits Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu :

‫ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻌﺘﻜﻒ ﰲ ﻛﻞ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﺸﺮﺓ ﺃﻳﺎﻡ ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﺎﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻗﺒﺾ ﻓﻴﻪ‬
‫ﺍﻋﺘﻜﻒ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasanya beri’tikaf selama sepuluh hari setiap
bulan Ramadlan. Maka ketika di tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh
hari” (HR. Al-Bukhari no. 2044).

‫ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﺘﻜﻒ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﺍﻷﻭﺍﺧﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺣﱴ ﺗﻮﻓﺎﻩ ﺍﷲ‬

“Bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari


terakhir bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkan beliau” (HR. Al-Bukhari no. 2026 dari
‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa).

3. Waktu Pelaksanaan I’tikaf

Disunnahkan memulai i’tikaf setelah shalat fajar (shubuh), sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang i’tikaf Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam :

‫ﺇﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺃﻥ ﻳﻌﺘﻜﻒ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﰒ ﺩﺧﻞ ﻣﻌﺘﻜﻔﻪ‬

31
Lihat Tharhut Tatsrib (4/166) oleh Ibnul-‘Iraqi – dinukil melalui perantaraan I’tikaf Menurut Sunnah Nabi (Judul
Asli : Al-Inshaaf fii Ahkaamil-I’tikaaf oleh Syaikh ’Ali Al-Halaby hal. 15; Pustaka Mantiq. Cet. I. 1997. Solo.
32
Lihat Al-Mufradat (343) oleh Ar-Raghib – idem.
33
Lihat Syarhu Muslim (8/66) oleh Imam Nawawi – idem.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Bila beliau hendak i’tikaf, maka beliau shalat fajar kemudian masuk ke tempat i’tikaf-
nya” (HR. Muslim no. 1173).

4. Syarat-Syarat I’tikaf

a. Islam.

b. Berakal/Tamyiz.

c. Niat.

d. Tidak disyari’atkan melakukan i’tikaf selain di masjid, berdasarkan firman Allah


ta’ala :

‫ﺎﺟﹺﺪ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻔﹸﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﺎﻛ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺷ‬‫ﺒ‬‫ﻻﹶ ﺗ‬‫ﻭ‬

“Janganlah kamu campuri istri-istri kalian, sedangkan kamu dalam keadaan i’tikaf di
dalam masjid” (QS. Al-Baqarah : 187).

Disunnahkan bagi yang ber-i’tikaf untuk berpuasa. Adapun hadits ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa :

‫ﻭﻻ ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ ﺇﻻ ﺑﺼﻮﻡ‬

“Tidak ada ada I’tikaf melainkan dengan berpuasa” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no.
2473; hasan shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/87) --- maka maknanya di sini
adalah puasa tersebut hanya dihukumi sunnah saja, bukan wajib. Sebab, telah shahih
adanya pemalingan makna wajib kepada sunnah berdasarkan riwayat :

‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺳﺄﻝ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻛﻨﺖ ﻧﺬﺭﺕ ﰲ‬
‫ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﺃﻥ ﺍﻋﺘﻜﻒ ﻟﻴﻠﺔ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﺍﳊﺮﺍﻡ ﻗﺎﻝ ﻓﺄﻭﻑ ﺑﻨﺬﺭﻙ‬

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ta’ala ‘anhuma : Bahwasannya ‘Umar pernah bertanya
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Aku pernah bernadzar di masa Jahiliyyah
untuk ber-i’tikaf semalam suntuk di Masjidil-Haram. Maka beliau menjawab : “Penuhilah
nadzarmu” (HR. Al-Bukhari no. 2032 dan Muslim no. 1656). 34

5. Larangan I’tikaf

34
Pemahamannya adalah bahwa waktu malam dalam hadits ’Umar tentu tidak menunjukkan bahwa waktu itu ia
harus berpuasa, sebab makna puasa adalah menahan diri dari apa-apa yang membatalkan puasa mulai terbitnya
fajar shadiq sampai tenggelamnya matahari.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Berjima’/Bersetubuh dengan Istri

Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :

‫ﺎﺟﹺﺪ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻔﹸﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﺎﻛ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺷ‬‫ﺒ‬‫ﻻﹶ ﺗ‬‫ﻭ‬

“Dan janganlah kalian bercampur (berjima’) dengan istri-istri kalian sedangkan kalian
dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah : 187).

Ibnul-Mundzir berkata :

‫ﺍ‬‫ ﻭﺃﲨﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺟﺎﻣﻊ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻌﺘﻜﻒ ﻋﺎﻣﺪ‬.‫ﻭﺃﲨﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﳌﻌﺘﻜﻒ ﳑﻨﻮﻉ ﻣﻦ ﺍﳌﺒﺎﺷﺮﺓ‬
‫ ﻻﻋﺘﻜﺎﻓﻪ‬‫ﻟﺬﻟﻚ ﰲ ﻓﺮﺟﻬﺎ ﺃﻧﻪ ﻣﻔﺴﺪ‬

”Para ulama telah bersepakat bahwasannya seseorang yang beri’tikaf terlarang untuk
bercumbu. Dan para ulama pun telah bersepakat bahwa siapa saja yang menjima’i
istrinya dengan sengaja di kemaluannya dalam keadaan orang tersebut sedang ber-
i’tikaf, maka i’tikafnya tersebut batal” (Kitaabul-Ijma’ oleh Ibnul-Mundzir no. 133 dan
134, tahqiq dan ta’liq : Abu ’Abdil-A’la Khalid bin Muhammad bin ’Utsman; Daarul-Atsar,
Kairo, Cet. 1).

Keluar dari Masjid

Di antara petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah bila beliau melakukan
i’tikaf, maka beliau menyendiri di tempat i’tikafnya dan tidak masuk ke rumahnya
(keluar dari masjid) kecuali karena hajat manusia yang sifatnya mendesak, seperti mandi
apabila junub karena mimpi, buang hajat, dan lainnya.

‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﺍﻋﺘﻜﻒ ﻳﺪﱐ ﺇﱄ ﺭﺃﺳﻪ ﻓﺄﺭﺟﻠﻪ ﻭﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺪﺧﻞ‬
‫ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺇﻻ ﳊﺎﺟﺔ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ‬

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wasallam apabila beliau beri’tikaf, beliau mencondongkan kepalanya dan aku menyisir
rambutnya. 35 Tidaklah beliau masuk rumah kecuali karena hajat manusia” (HR. Muslim
no. 297).

35
Beliau mencondongkan kepalanya dengan posisi badannya masih berada di masjid, untuk disisir ‘Aisyah yang
berada di rumahnya. Sebagaimana diketahui bahwasannya rumah beliau dekat dengan masjid. Ini menunjukkan
bahwa beliau tidak keluar dari masjid kecuali ada kebutuhan yang sangat mendesak.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Ibnu Hazm berkata :

‫ﻭﺍﺗﻔﻘﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺧﺮﺝ ﻣﻦ ﻣﻌﺘﻜﻔﻪ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻟﻐﲑ ﺣﺎﺟﺔ ﻭﻻ ﺿﺮﻭﺭﺓ ﻭﻻ ﺑﺮ ﺃﻣﺮ ﺑﻪ ﺃﻭ ﻧﺪﺏ ﺍﻟﻴﻪ‬
‫ﻓﺎﻥ ﺍﻋﺘﻜﺎﻓﻪ ﻗﺪ ﺑﻄﻞ‬

“Para ulama telah bersepakat bahwa sesungguhnya seseorang yang keluar dari
tempat i’tikafnya di masjid tanpa ada satu keperluan, tanpa dlarurat, atau tidak karena
kebaikan yang diperintahkan atau disunnahkan; maka i’tikafnya batal” (Maratibul-Ijma’
halaman 40).

6. Hal-Hal yang Diperbolehkan dalam I’tikaf

Keluar dari tempat I’tikaf untuk satu keperluan yang mendesak.

Memperindah rambut dan menyisirnya.

Berwudlu dan semisalnya di masjid.

Telah diriwayatkan dari seorang shahabat, bahwa dia berkata :

‫ﺣﻔﻈﺖ ﻟﻚ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﻮﺿﺄ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ‬

“Aku menghafal buatmu, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wasallam berwudlu di masjid” (HR. Ahmad 5/364 dengan sanad shahih).

Membuat tenda kecil atau yang serupa dengannya di belakang masjid untuk i’tikaf.

‘Aisyah telah membuat khuba’ 36 buat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam i'tikaf 37 dan
hal itu dengan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam 38. Dan sungguh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah satu kali beri’tikaf di dalam Qubbah Tarkiyyah 39
sedang di atas suddah 40-nya ada tikaf 41.

36
Yaitu rumah kecil dari bulu domba (wol) yang ditegakkan di atas dua atau tiga tiang, sebagaimana yang dkatakan
Ibnul-Atsir dalam An-Nihaayah (2/9) - dinukil melalui perantaraan I’tikaf Menurut Sunnah Nabi (Judul Asli : Al-
Inshaaf fii Ahkaamil-I’tikaaf oleh Syaikh ’Ali Al-Halaby hal. 48; Pustaka Mantiq. Cet. I. 1997. Solo.
37
Dikeluarkan oleh Al-Bukhari 4/226 – idem.
38
Diriwayatkan oleh Muslim no. 1183 – idem.
39
Yaitu sejenis qubah kecil – idem.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Shalat Tarawih

Banyak diantara kaum muslimin yang masih belum paham tentang peristilahan : Shalat Lail,
Shalat Tahajjud, dan Shalat Tarawih. Shalat Lail adalah shalat sunnah yang dilakukan pada
waktu malam hari setelah shalat ‘isya’ sampai dengan sebelum fajar shadiq muncul. Adapun
Shalat Tahajjud adalah Shalat Lail yang didahului dengan tidur malam. Dan shalat Tarawih
adalah Shalat Lail yang dilakukan pada bulan Ramadlan.

1. Disyari’atkannya Shalat Tarawih dengan Berjama’ah

Shalat tarawih disyari’atkan dengan berjama’ah berdasarkan hadits ‘Aisyah


radliyallaahu ‘anhaa :

‫ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧﺮﺝ ﻣﻦ ﺟﻮﻑ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻓﺼﻠﻰ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻓﺼﻠﻰ ﺭﺟﺎﻝ ﺑﺼﻼﺗﻪ‬
‫ﻓﺄﺻﺒﺢ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﺘﺤﺪﺛﻮﻥ ﺑﺬﻟﻚ ﻓﺎﺟﺘﻤﻊ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻨﻬﻢ ﻓﺨﺮﺝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ‬
‫ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻓﺼﻠﻮﺍ ﺑﺼﻼﺗﻪ ﻓﺄﺻﺒﺢ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﺬﻛﺮﻭﻥ ﺫﻟﻚ ﻓﻜﺜﺮ ﺃﻫﻞ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﺍﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻓﺨﺮﺝ ﻓﺼﻠﻮﺍ‬
‫ﺑﺼﻼﺗﻪ ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ ﻋﺠﺰ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻋﻦ ﺃﻫﻠﻪ ﻓﻠﻢ ﳜﺮﺝ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻄﻔﻖ ﺭﺟﺎﻝ ﻣﻨﻬﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻠﻢ ﳜﺮﺝ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺣﱴ ﺧﺮﺝ‬
‫ﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻓﻠﻤﺎ ﻗﻀﻰ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺃﻗﺒﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﰒ ﺗﺸﻬﺪ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ ﻓﺈﻧﻪ ﱂ ﳜﻒ ﻋﻠﻲ ﺷﺄﻧﻜﻢ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ‬
‫ﻭﻟﻜﲏ ﺧﺸﻴﺖ ﺃﻥ ﺗﻔﺮﺽ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻓﺘﻌﺠﺰﻭﺍ ﻋﻨﻬﺎ‬

“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar pada waktu tengah


malam, lalu beliau shalat di masjid. Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau. Di
pagi hari, orang-orang memperbincangkannya. Maka berkumpullah kebanyakan dari
mereka. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat di malam kedua,
mereka pun shalat bersama beliau. Di pagi hari berikutnya, orang-orang
memperbincangkannya kembali. Di malam ketiga, jumlah jama’ah yang ada di masjid
bertambah banyak. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar dan
melaksanakan shalatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung

40
Naungan yang diletakkan di atas pintu untuk menjaga diri dari hujan dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam telah meletakkannya agar hati orang yang i'tikaf tidak terganggu oleh orang yang lewat di depannya dan
dapat memperoleh maksud (tujuan) i'tikaf. Lihat Risaalah Qiyaami Ramadlaan halaman 26 – idem.
41
Dikeluarkan oleh Muslim no. 1167.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

jama’ahnya, dan beliau tidak keluar melaksanakan shalat malam sebagaimana


sebelumnya kecuali beliau hanya melaksanakan shalat shubuh. Ketika telah selesai
melaksanakan shalat Shubuh, beliau menghadap kepada jama’ah kaum muslimin,
kemudian membaca syahadat, dan bersabda : Amma ba’du, sesungguhnya keadaan
kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian
dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada
kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”. (HR. Al-Bukhari no. 924 dan Muslim no.
761).

Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan syari’at telah mantap, maka
hilanglah kekhawatiran. Disyari’atkannya shalat tarawih berjama’ah tetap ada meski
telah hilang illat (sebab)-nya. Kemudian Khalifah Umar bin Khaththab radliyallahu
‘anhu menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah kembali, sebagaimana hadits
Abdurrahman bin ‘Abdil-Qari (HR. Al-Bukhari no. 2010 dan Abdurrazzaq no. 7723).

Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda ketika menekankan untuk
berjama’ah ketika shalat tarawih :

‫ﺇﻧﻪ ﻣﻦ ﻗﺎﻡ ﻣﻊ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺣﱴ ﻳﻨﺼﺮﻑ ﻛﺘﺐ ﻟﻪ ﻗﻴﺎﻡ ﻟﻴﻠﺔ‬

“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah) sampai


selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk” (HR. Ibnu Abi Syaibah
no. 5/226 no. 7777, Abu Dawud no. 1375, At-Tirmidzi no. 806, An-Nasa’i dalam Al-
Mujtabaa no. 1364, dan lainnya; ini adalah lafadh Ibnu Abi Syaibah. Dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/379-380).

2. Jumlah Raka’at Shalat Tarawih

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah raka’at tarawih. Namun selama
pendapat-pendapat tersebut dilandasi dengan dalil yang shahih, maka tetap dapat
dipakai dan diterima. Dan bahkan itu menunjukkan keluasan syari’at Islam.

Jumlah raka’at yang disebutkan melalui hadits-hadits shahih adalah 13 raka’at, 11


raka’at dan 9 raka’at. Diriwayatkan secara shahih dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa
bahwasannya beliau tidak pernah melakukan shalat lail/tahajjud/tarawih melebihi 11
raka’at, yaitu dengan perkataannya :

‫ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺰﻳﺪ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻻ ﰲ ﻏﲑﻩ ﻋﻠﻰ ﺇﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ‬
‫ﺭﻛﻌﺔ‬......
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melebihkan (jumlah raka’at) pada


bulan Ramadlan dan tidak pula pada selain bulan Ramadlan dari 11 raka’at” (HR. Al-
Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 736).

Adapun riwayat yang menyebutkan 13 raka’at (Muslim no. 737; Ahmad 1/324; Abu
Dawud no. 1338; dan At-Tirmidzi no. 442) tidak bertentangan dengan hadits ‘Aisyah di
atas. Sebab, 13 raka’at tersebut dihitung termasuk 2 raka’at ringan dari shalat rawatib
ba’diyyah ‘isya’. Untuk pembahasan selengkapnya, silakan merujuk pada kitab
Qiyaamu Ramadlan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Adapun pendapat yang menyebutkan jumlah raka’at shalat tarawih adalah 23 raka’at
adalah pendapat yang lemah (dla’if) berdasarkan penelitian dari para pakar ahli hadits.

Diantara hadits yang dijadikan hujjah diantaranya adalah :

Dari Yazid bin Ruman beliau berkata :

‫ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﰲ ﺯﻣﺎﻥ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺑﺜﻼﺙ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺭﻛﻌﺔ‬

“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadlan pada masa ‘Umar bin
Khaththab radliyallaahu ‘anhu 23 raka’at” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-
Muwaththa’ no. 282).

Sanad hadits ini terputus (munqathi’) antara Ibnu Ruman dan ’Umar. Imam Al-Baihaqi
berkata dalam Al-Kubraa : “Yazid bin Ruman tidak menemui masa Umar” (Nashbur-
Rayah 2/154). Kesimpulannya : hadits ini lemah (dla’if).

Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas
radliyallaahu ‘anhuma berkata :

‫ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﺭﻛﻌﺔ‬

“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadlan 20 raka’at


dan witir” (HR. Thabarani dalam Mu’jamul-Ausath no. 802 dan dalam Al-Mu’jamul-
Kabiir 3/148/2 no. 11934).

Imam Ath-Thabarani rahimahullah berkata : “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini
kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini
saja” (Al-Mu’jamul-Ausath 1/244). Dalam kitab Nashbur-Rayah (2/153) dijelaskan : “Abu
Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia
telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

bertanya pada ‘Aisyah : Bagaimana shalat Rasulullah di bulan Ramadlan?. Syaikh Al-
Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini palsu (maudlu’). (lihat Adl-Dla’iifah
2/35 no. 560 dan Irwaaul-Ghalil 2/191 no. 445).

Dari Dawud bin Qais dan yang lainnya, dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Sa’ib bin
Yazid ia berkata :

‫ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﲨﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﰊ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻭﻋﻠﻰ ﲤﻴﻢ ﺍﻟﺪﺍﺭﻱ ﻋﻠﻰ ﺇﺣﺪﻯ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺭﻛﻌﺔ‬
‫ﻳﻘﺮﺅﻭﻥ ﺑﺎﳌﺌﲔ ﻭﻳﻨﺼﺮﻓﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﻓﺮﻭﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ‬

“Umar radliyallaahu ‘anhu mengumpulkan orang-orang di bulan Ramadlan (untuk


melaksanakan shalat tarawih) yang diimami oleh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari
dengan 21 raka’at. Mereka membaca (surat-surat) Al-Mi’iin (= surat yang berjumlah
lebih dari 100 ayat) dan pulang di ambang fajar” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam
Al-Mushannaf no. 7730).

Dhahir sanad ini adalah shahih. Namun terdapat ‘illat, yaitu penyelisihan rawi yang
meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dimana riwayat yang lebih shahih dan lebih
kuat (yaitu riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Saain bin Yazid)
menyebutkan :

‫ﺃﻣﺮ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺃﰊ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻭﲤﻴﻤﺎ ﺍﻟﺪﺍﺭﻱ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻣﺎ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﺑﺈﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ‬

“Umar bin Al-Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamiim Ad-Daari untuk
mengimami manusia (melaksanakan shalat tarawih) dengan 11 raka’at” (HR. Malik
1/478 no. 271).

Walhasil, hadits ini pun berderajat lemah (dla'if) lagi syadz.42

42
Terdapat pembicaraan yang panjang mengenai hadits dalam bahasan ini. Sebagian ulama ada yang
menshahihkannya seperti An-Nawawi, Az-Zaila’i, Al-’Aini, Ibnul-’Iraqi, As-Subki, dan Ibnu Baaz rahimahumullah.
Mereka menshahihkan riwayat ini karena dhahir sanad menyatakan demikian. Adapun ’illat yang dikatakan oleh
sebagian ulama yang kontra dengan mereka adalah diabaikan karena jalan-jalan tersebut pada hakekatnya bisa
dilakukan pen-jamak­-an. Pemahaman yang dihasilkan oleh para ulama di kelompok ini adalah bahwasannya
’Umar memerintahkan Ubay bin Ka’b dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia, kadang dengan 21 raka’at,
kadang 11 raka’at. Namun hal ini tidak bisa diterima, karena dhahir matan hadits pada hakekatnya adalah satu.
Oleh karena itu, jalan tarjih lah yang semestinya ditempuh. Perawi yang meriwayatkan dengan 11 raka’at lebih
kuat daripada perawi yang meriwayatkan dengan 21 raka’at. Dan tentu kita mafhum bahwasannya sosok ’Umar
bin Khaththab adalah orang yang sangat bersemangat mencontoh sunnah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.
Tidaklah ia memerintahkan sesuatu kecuali sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam. Dan contoh yang ada pada diri beliau adalah bahwasannya shalat tarawih dilakukan tidak lebih dari 11
atau 13 raka’at sebagaimana telah disebutkan haditsnya. Wallaahu a’lam.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

==>Apabila kaum muslimin tetap bersikeras melakukan shalat tarawih dengan 23


raka’at (walaupun pendapat ini adalah lemah), maka mereka tetap harus
mengerjakannya secara thuma’ninah. Karena tidak jarang mereka yang melakukan 23
raka’at, shalat tarawih dilakukan dengan sangat cepat dan tidak thuma’ninah. Dan
bahkan ada diantara mereka yang membaca Al-Fatihah dengan satu nafas. Padahal Allah
telah memerintahkan dalam membaca Al-Qur’an : ‫ﻴﻼﹰ‬‫ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﺁﻥﹶ ﺗ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬‫ﺗ‬‫ﺭ‬‫ =( ﻭ‬dan bacalah Al-
Qur’an itu secara perlahan-lahan/tartil – QS. Al-Muzammil : 4). Diantara mereka juga
ada yang melakukan rukuk dan sujud seperti patukan ayam (karena cepatnya – tidak
thuma’ninah), padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﻻ ﲡﺰﺉ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺣﱴ ﻳﻘﻴﻢ ﻇﻬﺮﻩ ﰲ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭﺍﻟﺴﺠﻮﺩ‬

“Tidak sah shalat seseorang hingga ia menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika


ruku’ dan sujud” (HR. Abu Dawud no. 855, An-Nasa’i no. 1027, At-Tirmidzi no. 265, dan
Ibnu Majah no. 870; ini adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/241).

‫ ﻟﻮ ﻣﺎﺕ ﻫﺬﺍ ﻋﻠﻰ ﺣﺎﻟﻪ ﻫﺬﻩ؛ ﻣﺎﺕ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬،‫ ﻭﻳﻨﻘﺮ ﰲ ﺳﺠﻮﺩﻩ ﻭﻫﻮ ﻳﺼﻠﻲ‬،‫ﺭﺃﻯ ﺭﺟﻼﹰ ﻻ ﻳﺘﻢ ﺭﻛﻮﻋﻪ‬
‫ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺘﻢ ﺭﻛﻮﻋﻪ ﻭﻳﻨﻘﺮ ﰲ ﺳﺠﻮﺩﻩ؛‬،[‫ﻋﻠﻰ ﻏﲑ ﻣﻠﺔ ﳏﻤﺪ؛ ]ﻳﻨﻘﺮ ﺻﻼﺗﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﻨﻘﺮ ﺍﻟﻐﺮﺍﺏ ﺍﻟﺪﻡ‬
‫ﻣﺜﻞ ﺍﳉﺎﺋﻊ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺄﻛﻞ ﺍﻟﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺘﻤﺮﺗﲔ ﻻ ﻳﻐﻨﻴﺎﻥ ﻋﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎﹰ‬

“Beliau melihat seorang laki-laki yang tidak menyempurnakan ruku’-nya dan mematuk
di dalam sujudnya ketika shalat. Kemudian beliau bersabda,”Sekiranya orang ini mati
dalam keadaan seperti ini, niscaya ia mati bukan pada millah (agama) Muhammad
[karena ia mematuk dalam shalatnya sebagaimana burung gagak mematuk darah].
Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematuk di dalam
sujudnya seperti orang yang lapar makan satu buah kurma dan dua buah kurma yang
tidak memberikan manfaat apa-apa baginya” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad 340/1,
349/1; dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 1/192/1 dengan sanad hasan. Lihat Ashlu
Shifati Shalatin-Nabiyy oleh Syaikh Al-Albani halaman 642).

Maka selayaknyalah kaum muslimin tetap melaksanakan dengan khusyu’,


thuma’ninah, dan sesuai dengan contoh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

3. Bentuk-Bentuk Shalat Tarawih dan Witir dalam Riwayat yang Shahih

Tiga belas raka’at, dua raka’at-dua raka’at yang diawali dengan dua raka’at ringan.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﻋﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺧﺎﻟﺪ ﺍﳉﻬﲏ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻷﺭﻣﻘﻦ ﺻﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﻓﺼﻠﻰ‬
‫ﺭﻛﻌﺘﲔ ﺧﻔﻴﻔﺘﲔ ﰒ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻃﻮﻳﻠﺘﲔ ﻃﻮﻳﻠﺘﲔ ﻃﻮﻳﻠﺘﲔ ﰒ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻭﳘﺎ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻠﺘﲔ ﻗﺒﻠﻬﻤﺎ ﰒ‬
‫ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻭﳘﺎ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻠﺘﲔ ﻗﺒﻠﻬﻤﺎ ﰒ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻭﳘﺎ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻠﺘﲔ ﻗﺒﻠﻬﻤﺎ ﰒ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻭﳘﺎ‬
‫ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻠﺘﲔ ﻗﺒﻠﻬﻤﺎ ﰒ ﺃﻭﺗﺮ ﻓﺬﻟﻚ ﺛﻼﺙ ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ‬

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani ia berkata : “Aku akan mempraktekkan shalat malam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau shalat dua raka’at ringan, lalu shalat dua
raka’at yang sangat lama, demikian pula dua raka’at berikutnya dan sesudahnya. Lalu
shalat dua raka’at tetapi lebih pendek dari sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang
lebih pendek dari sebelumnya, kemudian shalat witir (tiga raka’at). Maka jumlahnya tiga
belas raka’at (HR. Muslim no. 1284).

Tiga belas raka’at, delapan raka’at dilakukan dua-dua, lalu witir lima raka’at dengan
duduk tasyahud di raka’at terakhir.

‫ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﺮﻗﺪ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﺳﺘﻴﻘﻆ ﺗﺴﻮﻙ ﰒ ﺗﻮﺿﺄ ﰒ ﺻﻠﻰ ﲦﺎﻥ ﺭﻛﻌﺎﺕ‬
‫ﳚﻠﺲ ﰲ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻓﻴﺴﻠﻢ ﰒ ﻳﻮﺗﺮ ﲞﻤﺲ ﺭﻛﻌﺎﺕ ﻻ ﳚﻠﺲ ﺍﻻ ﰲ ﺍﳋﺎﻣﺴﺔ ﻭﻻ ﻳﺴﻠﻢ ﺍﻻ ﰲ ﺍﳋﺎﻣﺴﺔ‬

Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa tidur malam, apabila


bangun beliau bersiwak lalu berwudlu kemudian melakukan shalat delapan raka’at,
salam setiap dua raka’at. Setelah itu beliau berwitir lima raka’at dengan duduk tasyahud
dan salam pada raka’at yang kelima.” (HR. Muslim no. 737 dan Ahmad 6/123).

Sebelas raka’at, salam setiap dua raka’at, dan witir satu raka’at.

‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺯﻭﺝ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻟﺖ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺼﻠﻲ ﻓﻴﻤﺎ‬
‫ﺑﲔ ﺃﻥ ﻳﻔﺮﻍ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﻭﻫﻲ ﺍﻟﱵ ﻳﺪﻋﻮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻟﻌﺘﻤﺔ ﺇﱃ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺇﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ ﻳﺴﻠﻢ ﺑﲔ‬
‫ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻭﻳﻮﺗﺮ ﺑﻮﺍﺣﺪﺓ ﻓﺈﺫﺍ ﺳﻜﺖ ﺍﳌﺆﺫﻥ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻭﺗﺒﲔ ﻟﻪ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻭﺟﺎﺀﻩ ﺍﳌﺆﺫﻥ ﻗﺎﻡ ﻓﺮﻛﻊ‬
‫ﺭﻛﻌﺘﲔ ﺧﻔﻴﻔﺘﲔ ﰒ ﺍﺿﻄﺠﻊ ﻋﻠﻰ ﺷﻘﻪ ﺍﻷﳝﻦ ﺣﱴ ﻳﺄﺗﻴﻪ ﺍﳌﺆﺫﻥ ﻟﻺﻗﺎﻣﺔ‬

Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ia berkata : “Biasanya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat setelah isya’ – yang oleh orang-orang
dinamakan dengan shalat ‘atamah – sampai menjelang fajar sebanyak sebelas raka’at,
salam pada setiap dua raka’at dan witir satu raka’at. Apabila mu’adzin telah
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

mengumandangkan adzan fajar, dan fajar telah nampak jelas dan muadzinpun telah
hadir, maka beliau shalat dua raka’at ringan (yaitu shalat sunnah fajar) kemudian
berbaring di sisi badan yang kanan sehingga muadzin datang mengumandangkan
iqamat” (HR. Muslim no. 736).

Sebelas raka’at, empat raka’at-empat raka’at lalu witir tiga raka’at.

‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺃﻧﻪ ﺳﺄﻝ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻛﻴﻒ ﻛﺎﻧﺖ ﺻﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻗﺎﻟﺖ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺰﻳﺪ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻻ ﰲ ﻏﲑﻩ ﻋﻠﻰ ﺇﺣﺪﻯ‬
‫ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ ﻳﺼﻠﻲ ﺃﺭﺑﻌﺎ ﻓﻼ ﺗﺴﺄﻝ ﻋﻦ ﺣﺴﻨﻬﻦ ﻭﻃﻮﳍﻦ ﰒ ﻳﺼﻠﻲ ﺃﺭﺑﻌﺎ ﻓﻼ ﺗﺴﺄﻝ ﻋﻦ ﺣﺴﻨﻬﻦ ﻭﻃﻮﳍﻦ‬
‫ﰒ ﻳﺼﻠﻲ ﺛﻼﺛﺎ‬

Dari Abu Salamah bin Abdirrahman bertanya kepada ‘Aisyah : “Bagaimana shalat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan ?”. Aisyah menjawab :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun
di bulan selainnya lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at, kamu jangan
menanyakan bagus dan panjangnya. Setelah itu shalat empat raka’at dan kamu jangan
menanyakan bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka’at 43” (HR.
Al-Bukhari no. 2013 dan Muslim no. 738; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Sebelas raka’at, delapan raka’at dengan tasyahud, tetapi tidak salam, kemudian
bangkit satu raka’at dan salam (berarti sembilan raka’at). Kemudian shalat dua raka’at
dan salam.

‫ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺃﻡ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﺃﻧﺒﺌﻴﲏ ﻋﻦ ﻭﺗﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻛﻨﺎ ﻧﻌﺪ ﻟﻪ ﺳﻮﺍﻛﻪ‬
‫ﻭﻃﻬﻮﺭﻩ ﻓﻴﺒﻌﺜﻪ ﺍﷲ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺃﻥ ﻳﺒﻌﺜﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻓﻴﺘﺴﻮﻙ ﻭﻳﺘﻮﺿﺄ ﻭﻳﺼﻠﻲ ﺗﺴﻊ ﺭﻛﻌﺎﺕ ﻻ ﳚﻠﺲ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻻ‬
‫ﰲ ﺍﻟﺜﺎﻣﻨﺔ ﻓﻴﺬﻛﺮ ﺍﷲ ﻭﳛﻤﺪﻩ ﻭﻳﺪﻋﻮﻩ ﰒ ﻳﻨﻬﺾ ﻭﻻ ﻳﺴﻠﻢ ﰒ ﻳﻘﻮﻡ ﻓﻴﺼﻠﻲ ﺍﻟﺘﺎﺳﻌﺔ ﰒ ﻳﻘﻌﺪ ﻓﻴﺬﻛﺮ ﺍﷲ‬
‫ﻭﳛﻤﺪﻩ ﻭﻳﺪﻋﻮﻩ ﰒ ﻳﺴﻠﻢ ﺗﺴﻠﻴﻤﺎ ﻳﺴﻤﻌﻨﺎ ﰒ ﻳﺼﻠﻲ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﺑﻌﺪﻣﺎ ﻳﺴﻠﻢ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﻋﺪ ﻓﺘﻠﻚ ﺇﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ‬
‫ﺭﻛﻌﺔ ﻳﺎ ﺑﲏ‬

43
Kaifiyat pelaksanaan shalat witir tiga raka’at ini bisa dua macam. Pertama, dilakukan tiga raka’at sekaligus
dengan duduk tasyahud dan salam di raka’at ketiga, Kedua, dilakukan dua raka’at salam, dan satu raka’at salam;
sesuai dengan keumuman kaifiyat shalat malam : ‫“ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻣﺜﲎ ﻣﺜﲎ‬Shalat malam itu dilaksanakan dua raka’at-dua
raka’at” (HR. Muslim no. 749).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dari Sa’d bin Hisyam bin ‘Amir, ia berkata : “Wahai Ummul-Mukminin, kabarkan
kepadaku tentang shalat witir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. ‘Aisyah
menjawab : “Kamilah yang mempersiapkan siwak dan air wudlu beliau. Bila Allah
membangunkan beliau pada waktu yang dikehendaki di malam hari, beliau bersiwak dan
berwudlu lantas shalat sembilan raka’at tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at
kedelapan. Beliau berdzikir, memuji Allah, dan berdoa, kemudian beliau bangkit dan
tidak salam meneruskan raka’at kesembilan. Kemudian beliau duduk, berdzikir, memuji
Allah, dan berdoa, kemudian salam dengan satu salam yang terdengar oleh kami.
Setelah itu beliau shalat dua raka’at sambil duduk. Jadi jumlahnya sebelas raka’at wahai
anakku. Ketika beliau telah tua dan gemuk, beliau berwitir tujuh raka’at, kemudian dua
raka’at setelahnya dilakukan seperti biasa, maka jumlahnya sembilan wahai anakku”
(HR. Muslim no. 746).

Sembilan raka’at, diantaranya enam raka’at, duduk tasyahud pada raka’at keenam
namun tidak salam, kemudian bangkit satu raka’at dan salam (berarti tujuh raka’at).
Kemudian shalat dua raka’at dengan duduk.

Dasarnya adalah hadits yang telah disebut sebelumnya (HR. Muslim no. 746).

4. Disunnahkan Membaca Qunut dalam Shalat Witir 44

Doa qunut yang dibaca dalam shalat witir adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Al-Hasan bin ‘Ali : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku
beberapa kata yang selalu kuucapkan pada waktu witir :

‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ـﻴ‬‫ ﻓ‬‫ﻟﱠـﻨﹺﻲ‬‫ﻮ‬‫ﺗ‬‫ ﻭ‬،‫ﺖ‬‫ﺎﻓﹶـﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ـﻴ‬‫ ﻓ‬‫ﻨـِﻲ‬‫ـﺎﻓ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ـﺖ‬‫ﻳ‬‫ـﺪ‬‫ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ـﻴ‬‫ ﻓ‬‫ﻧـِﻲ‬‫ـﺪ‬‫ ﺍﻫ‬‫ـﻢ‬‫ﺍﻟﻠﹼﻬ‬


‫ﻰ‬‫ﻘﹾـﻀ‬‫ﻻ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻲ‬‫ﻘﹾـﻀ‬‫ ﺗ‬‫ـﻚ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬،‫ﺖ‬‫ـﻴ‬‫ﺎ ﻗﹶﻀ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ـﻨﹺﻲ‬‫ﻗ‬‫ ﻭ‬،‫ﺖ‬‫ﻄﹶـﻴ‬‫ﺎ ﺃﹶﻋ‬‫ﻤ‬‫ـﻴ‬‫ ﻓ‬‫ ﻟـِﻲ‬‫ﺎﺭﹺﻙ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺖ‬‫ﻟﱠـﻴ‬‫ﻮ‬‫ﺗ‬
‫ﺎ‬‫ـﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻛﹾـﺖ‬‫ـﺎﺭ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬،[ ‫ﺖ‬‫ﻳ‬‫ـﺎﺩ‬‫ﻦ ﻋ‬‫ ﻣ‬‫ـﺰ‬‫ﻌ‬‫ﻻ ﻳ‬‫ ] ﻭ‬،‫ﺖ‬‫ ﻭﺍﻟﹶـﻴ‬‫ﻦ‬‫ﻝﱡ ﻣ‬‫ـﺬ‬‫ ﻻ ﻳ‬‫ـﻪ‬‫ ﺇﹺﻧ‬، ‫ﻚ‬‫ﻠﹶـﻴ‬‫ﻋ‬
‫ﺖ‬‫ـﺎﻟﹶـﻴ‬‫ﻌ‬‫ﺗ‬‫ﻭ‬

[Alloohummah-dinii fiiman hadait, wa’aafinii fiiman ‘aafait, watawallanii fiiman


tawallait, wabaariklii fiimaa a’thoit, waqinii syarro maa qodloit. Fa-innaka taqdlii walaa

44
Kami masukkan bahasan shalat witir bersama shalat tarawih karena kami menguatkan pendapat bahwasannya
shalat witir tersebut merupakan keumuman dari shalat malam. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ – sebagaimana
dinukil oleh Abu Malik dalam Shahih Fiqhis-Sunnah (1/381) – menukil khilaf ulama dalam pendefinisian ini.
Sebagian ulama memasukkan shalat witir dalam keumuman shalat malam, sedangkan ulama lain mengatakan
bahwa shalat witir ini merupakan shalat tersendiri yang bukan merupakan bagian dari shalat malam.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

yuqdloo ‘alaik, innahu laa yadzillu man waalait, walaa ya’izzu man ‘aadait, tabaarokta
robbanaa wata’aalait]

“Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk,
berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang
yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau
sayangi. Berikanlah berkah terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan kepadaku,
jauhkanlah aku dari kejelekan apa yang telah Engkau telah taqdirkan. Sesungguhnya
Engkau yang menjatuhkan hukum, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman
kepada-Mu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak akan
mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami yang Maha
Tinggi” (HR. Abu Dawud no. 1425, At-Tirmidzi no. 464, Ibnu Majah no. 1178, An-Nasa’i
dalam Al-Kubraa no. 1446, dan Ahmad no. 1/200, dan Al-Baihaqi no. 4637; shahih. Lihat
Irwaaul-Ghalil 2/172).

Bisa ditambahkan shalawat di akhir doa qunut (lihat Irwaaul-Ghalil 2/175 no. 430).

Doa qunut bisa dilakukan sebelum atau setelah rukuk. Keduanya telah ada contohnya
dalam Sunnah.

‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﻨﺖ ﻳﻌﲏ ﰲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ‬

Dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu : "Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam melakukan qunut dalam shalat witir sebelum rukuk” (HR. Abu Dawud no.
1427; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/268 dan
Irwaaul-Ghalil 2/167).

‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺴﻠﻤﻲ ﺃﻥ ﻋﻠﻴﺎ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻨﺖ ﰲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ‬

Dari Abu ‘Abdirrahman As-Sulamy : Bahwasannya ‘Ali radliyallaahu ‘anhu melakukan


qunut pada shalat witir setelah rukuk (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 4638).

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia menceritakan qunut nazilah yang dibaca
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﰲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻳﺪﻋﻮ‬
‫ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu : "Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah berqunut selama satu bulan (yaitu qunut nazilah) setelah rukuk dalam
shalat shubuh mendoakan kecelakaan atas Bani Ri’l, Dzakwan…..” (HR. Muslim no. 677).

==> Mengangkat Tangan dan Mengucapkan Amien (Bagi Makmum)

Dasarnya adalah keumuman hadits Salman Al-Farisi radliyallaahu ‘anhu bahwasannya


Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﺇﻥ ﺭﺑﻜﻢ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﱃ ﺣﻴﻲ ﻛﺮﱘ ﻳﺴﺘﺤﻲ ﻣﻦ ﻋﺒﺪﻩ ﺇﺫﺍ ﺭﻓﻊ ﻳﺪﻳﻪ ﺇﻟﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺮﺩﳘﺎ ﺻﻔﺮﺍ‬

“Sesungguhnya Rabbmu Tabaraka wa Ta’ala adalah Yang Maha Pemalu dan Maha
Pemurah. Dia merasa malu terhadap hamba-Nya apabila ia mengangkat kedua
tangannya berdoa kepada-Nya, lalu kembali dengan tangan hampa” (HR. Abu Dawud no.
1488, At-Tirmidzi no. 3556, dan Ibnu Majah no. 3865; ini adalah lafadh Abu Dawud.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/409).

‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﺭﺍﻓﻊ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻪ ﻓﻘﻨﺖ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ ﻭﺭﻓﻊ ﻳﺪﻳﻪ‬
‫ﻭﺟﻬﺮ ﺑﺎﻟﺪﻋﺎﺀ‬

Dari Abu Rafi’ bahwa ia menceritakan : “Aku pernah shalat di belakang ‘Umar bin
Khaththab, beliau berqunut setelah rukuk dan mengangkat kedua tangannya sambil
menjahrkan (mengeraskan) doa” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Al-Kubra
no. 2698; beliau menyatakan : “Ini adalah riwayat dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu
sanadnya shahih).

‫ﻗﻨﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺷﻬﺮﺍ ﻣﺘﺘﺎﺑﻌﺎ ﰲ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﻭﺍﳌﻐﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﻭﺻﻼﺓ‬
‫ﺍﻟﺼﺒﺢ ﰲ ﺩﺑﺮ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ ﲰﻊ ﺍﷲ ﳌﻦ ﲪﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﻳﺪﻋﻮ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺑﲏ ﺳﻠﻴﻢ‬
‫ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻞ ﻭﺫﻛﻮﺍﻥ ﻭﻋﺼﻴﺔ ﻭﻳﺆﻣﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻔﻪ‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah qunut (nazilah) pada waktu shalat
Dhuhur, ‘Asar, Maghrib, ‘Isya’, dan Shubuh di akhir shalat; dan ketika mengucapkan
Sami’alloohu liman hamidah pada raka’at terakhir, beliau mendoakan kecelakaan atas
Bani Sulaim, yaitu suku Ri’l, Dzakwaan, dan Ushayyah. Sementara orang-orang di
belakang beliau mengaminkannya” (HR. Abu Dawud no. 1443 dan dihasankan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/397).

Doa di Akhir Shalat Witir


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Yaitu berdoa sebelum atau sesudah salam pada shalat witir. Telah shahih dari ‘Ali
bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa mengucapkan di akhir witirnya :

‫ﺫﹸ ﺑﹺﻚ‬‫ـﻮ‬‫ﺃﹶﻋ‬‫ ﻭ‬،‫ﻚ‬‫ـﺘ‬‫ﺑ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ـﻚ‬‫ـﺎﻓﹶﺎﺗ‬‫ﻌ‬‫ﺑﹺﻤ‬‫ ﻭ‬،‫ـﻚ‬‫ﻄ‬‫ﺨ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ـﺎﻙ‬‫ﺫﹸ ﺑﹺﺮﹺﺿ‬‫ـﻮ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ـﻲ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ـﻢ‬‫ﺍﻟﻠﹼﻬ‬
‫ﻔﹾﺴـِﻚ‬‫ﻠﹶـﻰ ﻧ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ـﻴ‬‫ـﺎ ﺃﹶﺛﹾﻨ‬‫ ﻛﹶﻤ‬‫ـﺖ‬‫ ﺃﹶﻧ‬،‫ﻚ‬‫ﻠﹶـﻴ‬‫ ﺛﹶﻨـَﺎﺀً ﻋ‬‫ـﻲ‬‫ﺼ‬‫ ﻻ ﺃﹸﺣ‬،‫ـﻚ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬

[Alloohumma innii a’uudzu biridlooka min sakhothik, wabimu’aafaatika min


‘uquubatik, wa-a’uudzubika minka, laa uhshii tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita
‘alaa nafsik]

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan keridlaan-Mu dari kemarahan-Mu,


dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari diri-Mu. Tidak
dapat kuhitung pujian kepada diri-Mu, sebagaimana yang dapat Engkau lakukan
terhadap diri-Mu sendiri” (HR. Abu Dawud no. 1427, At-Tirmidzi no. 3566, Ibnu Majah
no. 1179, dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud 1/393 dan Irwaaul-Ghalil 2/175 no. 430).

‫ﻜﹶﺔ‬‫ ﺍﹾﳌﹶﻼﺋ‬‫ﺏ‬‫ﻭﺱ ]ﺭ‬‫ ﺍﻟﻘﹸﺪ‬‫ﻚ‬‫ﺤﺎﻥﹶ ﺍﹾﳌﹶﻠ‬‫ـﺒ‬‫ﻭﺱ ﺳ‬‫ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪ‬‫ﻚ‬‫ﺤﺎﻥﹶ ﺍﹾﳌﹶﻠ‬‫ـﺒ‬‫ﻭﺱ ﺳ‬‫ ﺍﹾﻟﻘﹸﺪ‬‫ﻚ‬‫ﺤﺎﻥﹶ ﺍﹾﳌﹶﻠ‬‫ـﺒ‬‫ﺳ‬
‫ﺡ‬‫ﻭ‬‫ﺍﻟﺮ‬‫]ﻭ‬

[Subhaanal-Malikil-Qudduus, Subhaanal-Malikil-Qudduus, Subhaanal-Malikil-


Qudduus, Rabbil-Malaaikati war-Ruuh]

“Maha Suci Allah Raja Yang Suci, Maha Suci Allah Raja Yang Suci, Maha Suci Allah Raja
Yang Suci” (Nabi mengangkat suara dan memanjangkannya pada saat yang ketiga)
Rabbnya para malaikat dan ruh” (HR. Abu Dawud no. 1430, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa
no. 446-447, Ahmad 3/406, dan Ad-Daruquthni 2/354 no. 1659 Bab Maa Yuqra-u fii
Raka’aatil-Witr wal-Qunuut Fiih. Adapun kalimat dalam tanda kurung merupakan
tambahannya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud
1/393).

Bolehkah Witir Dua Kali dalam Satu Malam ?

Mengerjakan witir dua kali dalam satu malam hukumnya adalah makruh berdasarkan
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

‫ﻻ ﻭﺗﺮﺍﻥ ﰲ ﻟﻴﻠﺔ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Tidak ada witir dalam satu malam” (HR. Abu Dawud no. 1439, At-Tirmidzi no. 470,
dan An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 1392, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-
Abani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/396).

Shalat witir bisa dilakukan sebelum atau sesudah tidur. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

‫ﻣﻦ ﺧﺎﻑ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻘﻮﻡ ﻣﻦ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻓﻠﻴﻮﺗﺮ ﺃﻭﻟﻪ ﻭﻣﻦ ﻃﻤﻊ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻡ ﺁﺧﺮﻩ ﻓﻠﻴﻮﺗﺮ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻓﺈﻥ‬
‫ﺻﻼﺓ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻣﺸﻬﻮﺩﺓ ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻓﻀﻞ‬

“Barangsiapa yang merasa khawatir tidak bisa bangun pada akhir malam, maka
hendaklah ia shalat witir pada awalnya (yaitu sebelum tidur). Dan barangsiapa yang
mampu bangun di akhir malam, maka hendaklah ia shalat di waktu tersebut.
Sesungguhnya shalat di akhir waktu malam disaksikan (oleh para malaikat). Dan itulah
yang lebih utama” (HR. Muslim no. 755).

5. Bilamana Kaum Wanita Shalat Berjama’ah di Masjid ?

Pada Asalnya, Kaum Wanita Tidak Terlarang Melaksanakan Shalat di Masjid

Hal ini sesuai dengan keumuman ayat :

‫ ﺇﹺﻻﹼ ﺍﻟﻠﹼﻪ‬‫ﺶ‬‫ﺨ‬‫ ﻳ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻰ‬‫ﺁﺗ‬‫ﻼﹶﺓﹶ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﺃﹶﻗﹶﺎﻡ‬‫ﺮﹺ ﻭ‬‫ﻡﹺ ﺍﻻﹶﺧ‬‫ﻮ‬‫ﺍﻟﹾﻴ‬‫ ﻭ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﻠﹼﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﺁﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ ﺍﻟﻠﹼﻪ‬‫ﺎﺟﹺﺪ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﻧ‬
‫ﻳﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺘ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻮﺍﹾ ﻣ‬‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ ﺃﹶﻥ ﻳ‬‫ﻚ‬‫ﻟﹶـَﺌ‬‫ ﺃﹸﻭ‬‫ﻰ‬‫ﺴ‬‫ﻓﹶﻌ‬

“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman


kepada Allah dan hari kemudian, serta mereka tetap mendirikan salat, menunaikan
zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah orang-orang yang
mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah : 17-18).

‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻟﻌﻤﺮ ﺗﺸﻬﺪ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻭﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﰲ ﺍﳉﻤﺎﻋﺔ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻓﻘﻴﻞ ﳍﺎ ﱂ‬
‫ﲣﺮﺟﲔ ﻭﻗﺪ ﺗﻌﻠﻤﲔ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﻳﻜﺮﻩ ﺫﻟﻚ ﻭﻳﻐﺎﺭ ﻗﺎﻟﺖ ﻭﻣﺎ ﳝﻨﻌﻪ ﺃﻥ ﻳﻨﻬﺎﱐ ﻗﺎﻝ ﳝﻨﻌﻪ ﻗﻮﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ‬
‫ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻻ ﲤﻨﻌﻮﺍ ﺇﻣﺎﺀ ﺍﷲ ﻣﺴﺎﺟﺪ ﺍﷲ‬

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Salah seorang istri ‘Umar bin Al-
Khaththab radliyallaahu ‘anhu biasa menghadiri shalat ‘isya’ dan shubuh berjama’ah di
masjid. Ada yang berkata kepadanya : ‘Mengapa Anda keluar, bukankah Anda tahu
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

bahwa ‘Umar tidak menyukai hal ini dan pencemburu ?’. Ia menjawab : ‘Apa yang
menghalanginya untuk melarangku adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan
Muslim no. 442; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Rumah Lebih Afdlal bagi Kaum Wanita daripada Masjid untuk Melaksanakan Shalat

‫ﻦ ﺧﲑ ﳍﻦ‬‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻻ ﲤﻨﻌﻮﺍ ﻧﺴﺎﺀﻛﻢ ﺍﳌﺴﺎﺟﺪ ﻭﺑﻴﻮ‬

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah


shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Janganlah kalian melarang wanita-wanitamu pergi ke
masjid; akan tetapi shalat di rumah adalah lebih baik bagi mereka” (HR. Abu Dawud no.
567, Ibnu Khuzaimah no. 1683, Al-Hakim no. 755 dan yang lainnya; shahih lighairihi
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/169
dan Syaikh Musthafa Al-‘Adawi dalam Jami’ li-Ahkaamin-Nisaa’ 1/293).

Keluarnya Wanita ke Masjid untuk Shalat Setidaknya Memenuhi Beberapa Syarat


Berikut:

Tidak Memakai Wangi-Wangian

‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻻ ﲤﻨﻌﻮﺍ ﺇﻣﺎﺀ ﺍﷲ ﻣﺴﺎﺟﺪ ﺍﷲ ﻭﻟﻜﻦ ﻟﻴﺨﺮﺟﻦ‬
‫ﻭﻫﻦ ﺗﻔﻼﺕ‬

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Bahwasannya Rasulullah


shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah kalian melarang kaum wanita ke
masjid, dan hendaklah mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian” (HR. Abu Dawud
no. 565; Ahmad 2/438,475; Ibnu Khuzaimah no. 1679, dan lain-lain; hasan shahih. Lihat
Shahih Sunan Abi Dawud 1/169).

Tidak Menimbulkan Fitnah

‫ﺎ ﲰﻌﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺯﻭﺝ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬‫ﻋﻦ ﳛﲕ ﻭﻫﻮ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﻋﻦ ﻋﻤﺮﺓ ﺑﻨﺖ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺃ‬
‫ﻭﺳﻠﻢ ﺗﻘﻮﻝ ﻟﻮ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭﺃﻯ ﻣﺎ ﺃﺣﺪﺙ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﳌﻨﻌﻬﻦ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻛﻤﺎ ﻣﻨﻌﺖ‬
‫ﻧﺴﺎﺀ ﺑﲏ ﺇﺳﺮﺍﺋﻴﻞ ﻗﺎﻝ ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻌﻤﺮﺓ ﺃﻧﺴﺎﺀ ﺑﲏ ﺇﺳﺮﺍﺋﻴﻞ ﻣﻨﻌﻬﻦ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻗﺎﻟﺖ ﻧﻌﻢ‬

Dari Yahya bin Sa’id, dari ‘Amrah binti ‘Abdirrahman, bahwasannya ia telah
mendengar ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

”Sekiranya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat apa yang dilakukan kaum
wanita sekarang, tentu beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana
dilarangnya kaum wanita Bani Israil”. Aku berkata kepada ‘Amrah : “Apakah wanita Bani
Israil dilarang pergi ke tempat ibadah mereka ?”. Ia menjawab : “Benar” (HR. Bukhari no.
869 dan Muslim no. 445; ini adalah lafadh Muslim).

Zakat Fithri45

1. Hukum Zakat Fithri

Zakat fithri hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma :

‫ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺮﺽ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻧﻔﺲ ﻣﻦ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ‬

“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fithri


di bulan Ramadlan terhadap setiap orang dari kalangan muslimin” (HR. Muslim no. 984).

2. Siapa yang Wajib Membayar Zakat Fithri ??

Zakat fithri diwajibkan kepada semua golongan dari kaum muslimin baik anak kecil
dan orang tua, laki-laki dan wanita, merdeka dan budak. Hal berdasarkan hadits
Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :

‫ﻓﺮﺽ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﲤﺮ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺷﻌﲑ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﺪ‬
‫ﻭﺍﳊﺮ ﻭﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﺍﻷﻧﺜﻰ ﻭﺍﻟﺼﻐﲑ ﻭﺍﻟﻜﺒﲑ ﻣﻦ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ‬

“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fithri


di bulan Ramadlan kepada manusia; satu sha’ tamr (kurma) atau satu sha’ gandum atas
budak dan orang merdeka, laki-laki dan wanita dari kalangan umat muslimin” (HR. Al-
Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Seorang muslim wajib mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan orang-orang yang
menjadi tanggungannya, baik anak kecil, besar, laki-laki, wanita, orang merdeka,
maupun budak. Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma :

‫ﺃﻣﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺼﺪﻗﺔ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻐﲑ ﻭﺍﻟﻜﺒﲑ ﻭﺍﳊﺮ ﻭﺍﻟﻌﺒﺪ ﳑﻦ ﲤﻮﻧﻮﻥ‬
45
Istilah inilah yang lebih tepat, sebab – dalam bahasa Arab – Al-Fithr tidak sama dengan Al-Fithratu.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan menunaikan zakat fithri


untuk anak kecil, orang tua, orang merdeka, dan budak yang masuk dalam
tanggungannya” (HR. Ad-Daruquthni no. 2078 dan Al-Baihaqi no. 7474 dengan sanad
hasan).

Tidak wajib zakat fithri atas janin yang masih ada di dalam perut ibunya.

3. Jenis-Jenis yang Dibayarkan Sebagai Zakat Fithri

Jenis-jenis yang dapat dibayarkan sebagai zakat fithri adalah semua jenis makanan
pokok, gandum, kurma, keju, dan kismis (anggur kering). Hal berdasarkan hadits dari
Abu Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu :

‫ﻛﻨﺎ ﳔﺮﺝ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﻃﻌﺎﻡ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺷﻌﲑ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﲤﺮ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺃﻗﻂ ﺃﻭ‬
‫ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺯﺑﻴﺐ‬

“Dulu kami mengeluarkan zakat fithri (sebanyak) satu sha’ makanan, atau satu sha’
gandum, atau satu sha’ tamr (kurma), atau satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering
(kismis)” (HR. Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985).

4. Ukuran Zakat Fithri

Seorang muslim mengeluarkan zakat fithri sebanyak satu sha’ dari berbagai jenis
makanan yang telah disebutkan. Satu sha’ kira-kira hampir setara dengan 3 kg beras.46

5. Yang Berhak Menerima Zakat Fithri

Adapun golongan yang berhak menerima zakat fithri hanyalah dari golongan orang-
orang miskin saja, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :

‫ﻓﺮﺽ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻃﻬﺮﺓ ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻐﻮ ﻭﺍﻟﺮﻓﺚ ﻭﻃﻌﻤﺔ‬
‫ﻟﻠﻤﺴﺎﻛﲔ‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih


bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi
makanan bagi orang-orang miskin” (HR. Abu Dawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827, dan

46
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kontemporer ketika mereka mengkonversikan satu sha’ ke dalam
satuan kilogram. Ada yang mengatakan 2,3 kg; 2,5 kg; 2,75 kg; dan 3 kg. Di sini kami mengambil pendapat paling
selamat di antara pendapat-pendapat tersebut.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Al-Hakim no. 1488. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud
1/447 dan Irwaaul-Ghaliil 3/332 no. 843).

Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’
Fataawaa (25/71-78) dan muridnya Ibnul-Qayyim dalam kitabnya Zaadul-Ma’aad
(2/44).47

Adapun mengqiyaskan pemberian zakat fithri ini dengan zakat maal (yaitu untuk
delapan golongan), maka pengqiyasan ini adalah pengqiyasan yang salah. Zakat fithri
berbeda sifatnya dengan zakat maal, sehingga tidak boleh adanya pengqiyasan
(terhadap 2 hal yang berbeda).

6. Waktu Penyerahan Zakat Fithri

Zakat fithri dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘Ied, dan
tidak boleh menundanya hingga shalat didirikan. Hal ini didasarkan pada hadits Ibnu
‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :

.... ‫ﻣﻦ ﺃﺩﺍﻫﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻬﻲ ﺯﻛﺎﺓ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ ﻭﻣﻦ ﺃﺩﺍﻫﺎ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻬﻲ ﺻﺪﻗﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ‬

“….Barangsiapa yang menyerahkannya sebelum shalat (‘Ied), berarti ia adalah zakat


yang diterima. Dan barangsiapa yang menyerahkan setelah shalat (‘Ied), maka ia
hanyalah sedekah biasa” (idem)

Diperbolehkan membentuk panitia pengumpulan zakat fithri serta diperbolehkan juga


membayarkannya bagi kaum muslimin sehari atau dua hari sebelum pelaksanaan shalat
‘Ied.

‫ﻭﺃﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻛﺎﻥ ﻳﺆﺩﻱ ﻗﺒﻞ ﺫﻟﻚ ﺑﻴﻮﻡ ﻭﻳﻮﻣﲔ‬

“Bahwasannya Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma membayarkan zakat fithri


sehari atau dua hari sebelum shalat ‘Ied” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no.
2421).

47
Dinukil melalui perantaraan leaflet yang diterbitkan oleh Markaz Imam Al-Albani (no. 25, Ramadlan 1427 H) yang
berjudul Zakaatul-Fithri yang terpublikasi dalam situs resmi Majalah Al-Ashalah, ’Urdun,Yordania :
http://www.asaala.com/viewTopic.php?topicID=117.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Menentukan Jatuhnya Tanggal 1 (Satu) Syawal

Penjelasan dalam bab ini serupa dengan pembahasan Bab Cara Penentuan Bulan Ramadlan.
Ada satu penjelasan penting dalam bab ini untuk penekanan pentingnya menjaga persatuan
umat (di atas sunnah).

Syaikh Al-Albani berkata : “Inilah yang sesuai dengan syari’at yang mudah ini (yaitu : berpuasa
dan berhari raya ‘Iedul-Fithri bersama masyarakat/orang banyak – tidak menyendiri) yang
diantara tujuan-tujuannya adalah menyatukan umat dan menyamakan barisan-barisan mereka,
serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang dapat mencerai-beraikan persatuan mereka
dari pemikiran-pemikiran individualistis, sehingga syari’at tidaklah memihak kepada pemikiran
seseorang – walaupun benar dari sudut pandang dirinya – dalam peribadatan yang bersifat
jama’i seperti puasa, hari raya, dan shalat berjama’ah. Tidaklah Anda pernah melihat bahwa
para shahabat radliyallaahu ‘anhum, mereka sebagiannya shalat di belakang lainnya dalam
keadaan di antara mereka ada yang menilai bahwa menyentuh wanita, kemaluan, atau
keluarnya darah termasuk pembatal-pembatal wudlu. Sebagian mereka ada yang shalat secara
sempurna di waktu safar, dan sebagian lagi ada yang mengqasharnya ? Kendatipun demikian,
perselisihan mereka dengan yang lainnya tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk
berkumpul (bersatu) di dalam masalah shalat di belakang imam yang tunggal, sehingga mereka
tidak berpecah karenanya. Hal itu karena pengetahuan mereka bahwa perpecahan dalam
agama lebih jelek dari sekedar perbedaan sebagian pendapat. Bahkan sampai pada tingkatan
dimana sebagian mereka tidak menghiraukan suatu pendapat yang menyelisihi pendapat imam
besar di lingkup yang lebih besar seperti ketika di Mina, hingga mendorongnya untuk
meninggalkan pendapat pribadi secara mutlak dalam lingkup tersebut, demi menjauhi akibat
buruk yang akan ditimbulkan karena beramal dari hasil pemikirannya (yang menyelisihi imam)”.
Maka diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/307 (sebuah contoh yang sangat baik dalam masalah ini)
:

‫ ﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬: ‫ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻣﻨﻜﺮﺍ ﻋﻠﻴﻪ‬, ‫ﺃﻥ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺻﻠﻰ ﲟﲎ ﺃﺭﺑﻌﺎ‬
‫ ﰒ‬, ‫ ﻭ ﻣﻊ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺻﺪﺭﺍ ﻣﻦ ﺇﻣﺎﺭﺗﻪ ﰒ ﺃﲤﻬﺎ‬, ‫ ﻭ ﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺭﻛﻌﺘﲔ‬, ‫ ﻭ ﻣﻊ ﺃﰊ ﺑﻜﺮ ﺭﻛﻌﺘﲔ‬, ‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭﻛﻌﺘﲔ‬
‫ ﰒ ﺇﻥ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺻﻠﻰ ﺃﺭﺑﻌﺎ ! ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ‬, ‫ﺗﻔﺮﻗﺖ ﺑﻜﻢ ﺍﻟﻄﺮﻕ ﻓﻠﻮﺩﺩﺕ ﺃﻥ ﱄ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺭﻛﻌﺎﺕ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻣﺘﻘﺒﻠﺘﲔ‬
‫ ﺍﳋﻼﻑ ﺷﺮ‬: ‫ ﻋﺒﺖ ﻋﻠﻰ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﰒ ﺻﻠﻴﺖ ﺃﺭﺑﻌﺎ ! ﻗﺎﻝ‬: .

Bahwasannya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah
Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar)
bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan
bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian berselisih,
dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) Akan tetapi kemudian Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at.
Maka ditanyakan kepadanya : Engkau telah mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri
shalat empat raka’at ?”. Maka beliau menjawab : “Perselisihan itu jelek”

[selesai - Lihat selengkapnya dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 224].

Dalam atsar Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu tersebut tergambar sebuah pemahaman yang
agung dalam menjaga persatuan umat 48. Tidak dipungkiri di sini bahwa apa yang menjadi
pendapat Ibnu Mas’ud itulah yang benar, yaitu mengqashar shalat ketika mabit di Mina
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan itulah yang
berlaku hingga kini.

Larangan untuk Berpuasa di Dua Hari Raya

Dari Abu ‘Ubaid budak Ibnu Azhar. Ia mengatakan :

‫ﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬ ‫ﺷﻬﺪﺕ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻣﻊ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻫﺬﺍﻥ ﻳﻮﻣﺎﻥ‬
‫ﻋﻦ ﺻﻴﺎﻣﻬﻤﺎ ﻳﻮﻡ ﻓﻄﺮﻛﻢ ﻣﻦ ﺻﻴﺎﻣﻜﻢ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻵﺧﺮ ﺗﺄﻛﻠﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﻧﺴﻜﻜﻢ‬

Aku ikut shalat ‘Ied bersama ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu lalu ia berkata : “Dua
hari ini telah dilarang untuk melakukan puasa padanya : Hari kalian berbuka dari berpuasa
(‘Iedul-Fithri) dan hari dimana kalian memakan kurban kalian (‘Iedul-Adlha)” (HR. Al-Bukhari no.
1990 dan Muslim no. 1137; ini adalah lafadh Muslim).

Imam An-Nawawi berkata :

‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﺓ‬‫ ﻛﹶﻔﱠﺎﺭ‬‫ﻉﹴ ﺃﹶﻭ‬‫ﻄﹶﻮ‬‫ ﺗ‬‫ﺬﹾﺭﹴ ﺃﹶﻭ‬‫ ﻧ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺍﺀ ﺻ‬‫ﻮ‬‫ ﺳ‬، ‫ﺎﻝ‬‫ﻦﹺ ﺑﹺﻜﹸﻞﱢ ﺣ‬‫ﻴ‬‫ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ﺬﹶﻳ‬‫ﻡ ﻫ‬‫ﻮ‬‫ﺮﹺﱘ ﺻ‬‫ﺤ‬‫ﻠﹶﻰ ﺗ‬‫ﺎﺀ ﻋ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺟ‬‫ﻗﹶﺪ‬‫ﻭ‬
‫ﻚ‬‫ﺮﹺ ﺫﹶﻟ‬‫ﻏﹶﻴ‬

“Ulama telah berijma’ tentang haramnya melakukan bentuk puasa apapun di kedua hari ini,
apakah ia puasa nadzar, puasa sunnah, puasa kaffarat, maupun puasa lainnya” (Syarh Shahih
Muslim lin-Nawawi hal. 809).
48
Atsar tersebut janganlah dipahami bahwa upaya menjaga persatuan dan kesatuan umat menafikkan nasihat dan
penyampaian kebenaran. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud dan para shahabat lain tetap
menyampaikan nasihat kepada ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhum. Hal ini merupakan satu upaya untuk
menampakkan al-haq dan tidak menyembunyikankannya. Dan kebenaran itu memang harus disampaikan.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Shalat ‘Ied di Mushalla (Tanah Lapang)

Adalah sunnah yang pasti dari Rasulullah shallallaahu ‘laihi ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya untuk melaksanakan shalat ‘Ied di mushalla (tanah lapang). Dari Abdillah bin
‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :

‫ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻐﺪﻭ ﺇﱃ ﺍﳌﺼﻠﻰ ﻭﺍﻟﻌﱰﺓ ﺑﲔ ﻳﺪﻳﻪ ﲢﻤﻞ ﻭﺗﻨﺼﺐ ﺑﺎﳌﺼﻠﻲ ﺑﲔ ﻳﺪﻳﻪ ﻓﻴﺼﻠﻲ ﺇﻟﻴﻬﺎ‬

”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa berpagi-pagi (menuju) ke tanah lapang pada
hari ‘Ied, sedangkan ‘anazah (semacam tombak – Pent.) dibawa di depannya. Ketika beliau
sampai di sana, (‘anazah tadi) ditancapkan di depan beliau dan beliau menghadapnya (yaitu
dijadikannya sebagai sutrah/pembatas shalat). Hal ini karena tanah lapang itu terbuka, tidak
ada yang membatasinya” (HR. Al-Bukhari no. 973).

Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu ia berkata :

‫ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳜﺮﺝ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﺍﻷﺿﺤﻰ ﺇﱃ ﺍﳌﺼﻠﻰ ﻓﺄﻭﻝ ﺷﻲﺀ ﻳﺒﺪﺃ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﰒ‬
‫ﻳﻨﺼﺮﻑ ﻓﻴﻘﻮﻡ ﻣﻘﺎﺑﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻠﻮﺱ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﻮﻓﻬﻢ ﻓﻴﻌﻈﻬﻢ ﻭﻳﻮﺻﻴﻬﻢ ﻭﻳﺄﻣﺮﻫﻢ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻳﺮﻳﺪ ﺃﻥ ﻳﻘﻄﻊ‬
‫ﺑﻌﺜﺎ ﻗﻄﻌﻪ ﺃﻭ ﻳﺄﻣﺮ ﺑﺸﻲﺀ ﺃﻣﺮ ﺑﻪ ﰒ ﻳﻨﺼﺮﻑ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺳﻌﻴﺪ ﻓﻠﻢ ﻳﺰﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ‬.....

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa keluar menuju tanah lapang pada hari ‘Iedul-
Fthri dan ‘Iedul-Adlhaa. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau
berpaling menghadap manusia, dimana mereka dalam keadaan duduk di shaff-shaff mereka.
Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka
(beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau
memerintahkannya dan kemudian berpaling”. Abu Sa’id berkata : “Maka manusia terus-
menerus melakukan yang demikian (sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam)…..” (HR. Al-Bukhari no. 913, Muslim no. 889, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 1798
dan yang lainnya; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Tidak diragukan lagi bahwasannya Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang lebih dari
tempat lain.49 Walaupun demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya tetap melaksanakannya di tanah lapang. Hal ini menunjukkan bahwa

49
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
‫ﺻﻼﺓ ﰲ ﻣﺴﺠﺪﻱ ﻫﺬﺍ ﺧﲑ ﻣﻦ ﺃﻟﻒ ﺻﻼﺓ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻮﺍﻩ ﺇﻻ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﺍﳊﺮﺍﻡ‬
”Shalat di masjidku ini (yaitu Masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 kali shalat di masjid lainnya, kecuali Al-
Masjidil-Haram” (HR. Al-Bukhari no. 1190 dan Muslim no. 1394; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

disyari’atkannya pelaksanaan shalat ‘Ied adalah di tanah lapang. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata
:

‫ﺎ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﳌﻮﺍﻇﺒﺔ‬‫ﻭﺍﺳﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﺤﺒﺎﺏ ﺍﳋﺮﻭﺝ ﺇﱃ ﺍﻟﺼﺤﺮﺍﺀ ﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻭﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺃﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﺻﻼ‬
‫ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻣﻊ ﻓﻀﻞ ﻣﺴﺠﺪﻩ‬

“Dari hadits ini diambillah dalil atas sunnahnya keluar ke tanah lapang untuk shalat ‘Ied.
Sesungguhnya yang demikian itu lebih utama daripada shalat ‘Ied di masjid karena Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam terus-menerus melakukan demikian. Padahal shalat di masjid
beliau memiliki banyak keutamaan” (lihat Fathul-Bari 2/450).

Namun jika ada sesuatu yang tidak memungkinkan mengerjakannya di tanah lapang (karena
hujan, atau tidak tersedianya tanah lapang/tanah kosong sebagaimana lazim di sebagian
perkotaan padat), maka shalat di masjid adalah tidak mengapa. Wallaahu a’lam.

Shalat ‘Ied

1. Makan Sebelum Shalat ‘Iedul-Fithri dan Tidak Makan Sebelum Shalat ‘Iedul-Adlha

‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﺑﺮﻳﺪﺓ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻻ ﳜﺮﺝ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺣﱴ ﻳﺄﻛﻞ ﻭﻛﺎﻥ‬
‫ﻻ ﻳﺄﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻨﺤﺮ ﺣﱴ ﻳﺮﺟﻊ‬

Dari (Abdullah) bin Buraidah dari ayahnya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu


‘alaihi wasallam tidaklah keluar (menuju tanah lapang untuk melaksanakan shalat) pada
hari raya ‘Iedul-Fithri sebelum makan. Dan tidaklah beliau makan pada hari raya ‘Iedul-
Adlhaa sebelum beliau kembali (dari melaksanakan shalat)” (HR. At-Tirmidzi no. 542,
Ibnu Majah no. 1756, Ad-Darimi no. 1641, dan Ahmad 5/352; ini adalah lafadh Ibnu
Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/86).

2. Mandi di Pagi Hari Sebelum Melaksanakan Shalat ‘Ied

Dari Nafi’ ia berkata :

‫ﺃﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻛﺎﻥ ﻳﻐﺘﺴﻞ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﻐﺪﻭ ﺇﱃ ﺍﳌﺼﻠﻰ‬

“Abdullah bin ‘Umar biasa mandi pada hari raya ‘Iedul-Fithri sebelum pergi ke tanah
lapang (untuk melaksanakan shalat)” (Diriwayatkan oleh Malik no. 468, Asy-Syafi’i
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

dalam Musnad Asy-Syafi’i bersama Syifaaul-‘Iyyi dalam Kitaabul-‘Iedain 1/316, dan


Abdurrazzaq no. 5754 dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim
Al-Hilaly dalam tahqiq dan takhrij beliau atas kitab Al-Muwaththa’).

3. Berpakaian yang Bagus

‫ﺃﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﺃﺧﺬ ﻋﻤﺮ ﺟﺒﺔ ﻣﻦ ﺇﺳﺘﱪﻕ ﺗﺒﺎﻉ ﰲ ﺍﻟﺴﻮﻕ ﻓﺄﺧﺬﻫﺎ ﻓﺄﺗﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ‬
‫ﺎ ﻟﻠﻌﻴﺪ ﻭﺍﻟﻮﻓﻮﺩ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺍﺑﺘﻊ ﻫﺬﻩ ﲡﻤﻞ‬
‫ﻭﺳﻠﻢ ﺇﳕﺎ ﻫﺬﻩ ﻟﺒﺎﺱ ﻣﻦ ﻻ ﺧﻼﻕ ﻟﻪ ﻓﻠﺒﺚ ﻋﻤﺮ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ ﺍﷲ ﺃﻥ ﻳﻠﺒﺚ ﰒ ﺃﺭﺳﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬
‫ﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺇﻧﻚ‬ ‫ﺎ ﻋﻤﺮ ﻓﺄﺗﻰ‬ ‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﲜﺒﺔ ﺩﻳﺒﺎﺝ ﻓﺄﻗﺒﻞ‬
‫ﺬﻩ ﺍﳉﺒﺔ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬ ‫ﻗﻠﺖ ﺇﳕﺎ ﻫﺬﻩ ﻟﺒﺎﺱ ﻣﻦ ﻻ ﺧﻼﻕ ﻟﻪ ﻭﺃﺭﺳﻠﺖ ﺇﱄ‬
‫ﺎ ﺣﺎﺟﺘﻚ‬ ‫ﺗﺒﻴﻌﻬﺎ ﺃﻭ ﺗﺼﻴﺐ‬

Bahwasannya Abdullah bin ‘Umar berkata : ‘Umar (bin Khaththab) mengambil sebuah
baju dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam dan berkata : “Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat
berdandan dengannya di hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Umar : “Ini adalah pakaiannya orang yang tidak
mendapatkan kebahagiaan (di akhirat)”. Maka tinggallah ‘Umar sepanjang waktu yang
Allah inginkan. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengirimkan
kepadanya jubah dari sutera. ‘Umar menerimanya lalu mendatangi beliau. Ia berkata :
“Ya Rasulullah, dulu engkau pernah berkata bahwa pakaian ini merupakan pakaian
orang yang tidak mendapatkan kebahagiaan (di akhirat), dan engkau kemudian
mengirimkan kepadaku jubah ini”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata
kepadanya : “Juallah ia atau penuhilah kebutuhanmu dengannya” (HR. Al-Bukhari no.
948, Muslim no. 2068, Abu Dawud no. 1076, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Al-
Bukhari).

Al-‘Allamah As-Sindi berkata :

‫ﺃﻥ ﺍﻟﺘﺠﻤﻞ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﺩﺓ ﻣﺘﻘﺮﺭﺓ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﱂ ﻳﻨﻜﺮﻫﺎ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻌﻠﻢ‬
‫ﺑﻘﺎﺅﻫﺎ‬

“Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari
raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka (para shahabat), dan Nabi
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan


itu” (Hasyiyah As-Sindi ‘alan-Nasa’i 3/181 no. 1560).

4. Semua Kaum Muslimin Keluar Menuju Tanah Lapang (untuk Melaksanakan Shalat)
Tanpa Terkecuali

Bahkan, bagi para wanita yang haidl yang mereka tidak melaksanakan puasa dan
shalat pun tetap diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk
datang di tanah lapang menyaksikan pelaksanaan shalat.

‫ﻋﻦ ﺃﻡ ﻋﻄﻴﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﻛﻨﺎ ﻧﺆﻣﺮ ﺃﻥ ﳔﺮﺝ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺣﱴ ﳔﺮﺝ ﺍﻟﺒﻜﺮ ﻣﻦ ﺧﺪﺭﻫﺎ ﺣﱴ ﳔﺮﺝ ﺍﳊﻴﺾ‬
‫ﻓﻴﻜﻦ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻴﻜﱪﻥ ﺑﺘﻜﺒﲑﻫﻢ ﻭﻳﺪﻋﻮﻥ ﺑﺪﻋﺎﺋﻬﻢ ﻳﺮﺟﻮﻥ ﺑﺮﻛﺔ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻭﻃﻬﺮﺗﻪ‬

Dari Ummu ‘Athiyyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Kami diperintahkan untuk


keluar pada hari ’Ied, hingga kami pun mengeluarkan wanita-wanita gadis dari tempat
pingitannya dan para wanita haidl untuk ditempatkan di belakang orang-orang. Maka
mereka pun bertakbir mengikuti takbir kaum laki-laki dan berdoa mengikuti doa kaum
laki-laki. Mereka mengharapkan barakah dan kesucian pada hari itu” (HR. Al-Bukhari no.
971 dan Muslim no. 890; ini adalah lafadh Al-Bukhari).

Pada riwayat lain disebutkan :

‫ﻭﺃﻣﺮ ﺍﳊﻴﺾ ﺃﻥ ﻳﻌﺘﺰﻟﻦ ﻣﺼﻠﻰ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ‬

”....dan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan para wanita haidl


menjauhi tempat shalat kaum muslimin” (HR. Muslim no. 890).50

5. Berjalan Kaki Menuju Tanah Lapang

‫ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻃﺎﻟﺐ ﻗﺎﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺃﻥ ﲣﺮﺝ ﺇﱃ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻣﺎﺷﻴﺎ‬

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Termasuk sunnah yaitu engkau keluar
(menuju tanah lapang) di hari ‘Ied dengan berjalan kaki” (HR. At-Tirmidzi no. 530 dan Ibnu
Majah no. 1296. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/164).

50
Hadits ini menunjukkan bahwa para wanita haidl diperintahkan untuk mendatangi tanah lapang, akan tetapi
tempat mereka agar terpisah dari shaff-shaff kaum muslimin yang melaksanakan shalat (sedikit menjauh).
Sebagian ulama juga beristidlal dengan hadits ini atas terlarangnya wanita haidl untuk menetap di masjid.
Wallaahu a’lam.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Imam At-Tirmidzi berkata ketika mengomentari hadits di atas : “Kebanyakan dari ahli
‘ilmu (ulama) mengamalkan hadits ini dimana mereka menyukai seseorang yang keluar
menuju shalat ‘Ied (di tanah lapang) dengan berjalan kaki. Mereka (ahli ilmu) juga men-
sunnah-kan memakan sesuatu sebelum mereka keluar untuk shalat ‘Iedul-Fithri.
Janganlah seseorang menaiki kendaraan kecuali jika ia mempunyai udzur”.

6. Menempuh Jalan yang Berbeda Ketika Berangkat dan Pulang dari Tanah Lapang

‫ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ ﺧﺎﻟﻒ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ‬

Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di
hari ‘Ied, beliau mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkatdan pulang dari tanah
lapang)” (HR. Al-Bukhari no. 986).

7. Takbir ‘Ied

Waktu Disunnahkannya Mengumandangkan Takbir Hari Raya ‘Iedul-Fithri

‫ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﳜﺮﺝ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻓﻴﻜﱪ ﺣﱴ ﻳﺄﰐ ﺍﳌﺼﻠﻰ ﻭﺣﱴ ﻳﻘﻀﻲ‬
‫ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺈﺫﺍ ﻗﻀﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻗﻄﻊ ﺍﻟﺘﻜﺒﲑ‬

“Bahwasannya bila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar (dari rumah beliau)
pada hari ‘Iedul-Fithri, maka beliau bertakbir hingga tiba di tanah lapang dan hingga
ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat beliau menghentikan
takbir” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 4/192-193 no. 5667 dan Al-
Muhamili dalam Kitab Shalatul-‘Iedaian dengan sanad mursal shahih. Namun memiliki
pendukung yang menguatkannya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-
Shahiihah no. 171).

Lafadh Takbir Hari Raya

Tidak ada lafadh takbir hari raya shahih yang marfu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Hanya saja ada beberapa riwayat shahih dari para shahabat, antara lain :

Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu :

‫ﺪ‬‫ﷲِ ﺍﹾﳊﹶﻤ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺍﹶﻛﹾﺒ‬‫ﺮ‬‫ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬‫ ﻭ‬، ُ‫ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺍﷲ‬‫ ﻻ ﺇﹺﻟﹶﻪ‬، ‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬‫ﺮ‬‫ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬

[Alloohu akbar, alloohu akbar. Laa ilaaha illalloohu walloohu akbar, alloohu akbar wa
lillaahil-hamd]
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Allah Maha Besar Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah
dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Dan untuk Allah lah segala puji” (Diriwayatkan
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 5697; shahih).

Dari Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :

‫ﺪ‬‫ﷲِ ﺍﹾﳊﹶﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬، ‫ﻞﱡ‬‫ﺃﹶﺟ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬، ً‫ﺮﺍﹶ‬‫ ﻛﹶﺒﹺﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺍﹶﻛﹾﺒ‬، ً‫ﺮﺍﹶ‬‫ ﻛﹶﺒﹺﻴ‬‫ﺮ‬‫ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬

[Alloohu akbar kabiiro, Alloohu akbar kabiiro, Alloohu akbar wa ajallu, Alloohu akbar
wa lillaahil-hamd]

“Allah Maha Besar Kabiir, Allah Maha Besar Kabiir, Allah Maha Besar dan Maha Mulia,
Allah Maha Besar dan untuk Allah lah segala puji.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf no. 5701 dengan sanad shahih).

‫ﺎ‬‫ﺍﻧ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ﻠﹶﻰ ﻣ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬، ‫ﻞﱡ‬‫ﺃﹶﺟ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬، ‫ﺪ‬‫ﷲِ ﺍﹾﳊﹶﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬،‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺍﹶﻛﹾﺒ‬‫ﺮ‬‫ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬

[Alloohu akbar alloohu akbar alloohu akbar, alloohu akbar wa lillaahil-hamd, alloohu
akbar wa ajallu, alloohu akbar ‘alaa maa hadaanaa]

“Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Allah Maha Besar untuk Allah
lah segala puji. Allah Maha Besar dan Maha Mulia. Allah Maha Besar atas petunjuk yang
diberikan-Nya kepada kita” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi no. 6074 dengan sanad
shahih).

Dari Salman Al-Khair radliyallaahu ‘anhu :

ً‫ﺮﺍﹶ‬‫ ﻛﹶﺒﹺﻴ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﷲُ ﺍﹶﻛﹾﺒ‬‫ﺮ‬‫ﺍﷲُ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬

[Alloohu akbar alloohu akbar allohu akbar kabiira]

“Allah Maha Besar Allah Maha Besar Kabiir” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-
Kubraa no.6076) 51.

Takbir ini hendaknya terus diucapkan oleh semua kaum muslimin sampai datangnya
imam untuk ditegakkannya shalat ‘Iedul-Fithri.

8. Waktu Ditegakkanya Shalat ‘Ied

51
Adapun lafadh takbir hari raya ‘Iedul-Fithri (juga ‘Iedul-Adlhaa) selain dari yang disebut di atas, menurut ulama
ahli hadits, bukanlah berasal dari riwayat yang shahih. Allaahu a’lam.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Ibnul-Qayyim berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan shalat


‘Iedul-Fithri dan menyegerakan shalat ‘Iedul-Adlhaa. Dan adalah Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhuma – dengan kuatnya upayanya untuk mengikuti Sunnah Nabi – tidak
keluar hingga matahai terbit” (Zaadul-Ma’ad 1/442).

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata : “Waktu shalat ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlha
adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang
paling utama, shalat ‘Iedul-Adlhaa dilakukan di awal waktu agar manusia dapat
menyembelih hewan-hewan kurban mereka. Sedangkan shalat ‘Iedul-Fithri agak
diakhirkan waktunya agar manusia dapat mengeluarkan zakat fithri mereka 52 ”
(Minhajul-Muslim halaman 278).

9. Tidak Ada Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat ‘Ied

‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺻﻠﻰ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﱂ ﻳﺼﻞ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻭﻻ ﺑﻌﺪﻫﺎ‬

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
shalat ‘Iedul-Fithri dua raka’at, dan beliau tidak shalat sebelum maupun sesudahnya….”
(HR. Al-Bukhari no. 964).

Peniadaan shalat sunnah tersebut hanya ketika berada di tanah lapang. Akan tetapi
bila ia telah sampai rumah, maka ia boleh shalat sunnah mutlak sebagaimana hadits :

‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﳋﺪﺭﻱ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻻ ﻳﺼﻠﻲ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺟﻊ‬
‫ﺇﱃ ﻣﱰﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﲔ‬

Dari Abu Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu


‘alaihi wasallam tidak pernah shalat sebelum ‘Ied, tetapi bila beliau pulang ke rumahnya
maka beliau shalat dua raka’at” (HR. Ibnu Majah no. 1293 dan Ahmad 3/28,3/40; ini
adalah lafadh Ibnu Majah. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil
3/100).

10. Tidak Ada Adzan dan Iqamat

‫ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﲰﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻴﺖ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻌﻴﺪﻳﻦ ﻏﲑ ﻣﺮﺓ ﻭﻻ ﻣﺮﺗﲔ ﺑﻐﲑ‬
‫ﺃﺫﺍﻥ ﻭﻻ ﺇﻗﺎﻣﺔ‬

52
Waktu paling utama mengeluarkan zakat adalah dipagi hari sebelum pelaksanaan shalat ‘Iedul-Fithri.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah shalat hari raya
bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua kali tanpa
adzan dan iqamat” (HR. Muslim no. 887).

Ibnul-Qayyim berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila sampai ke tanah


lapang, beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat, tidak pula ucapan : Ash-Sholaatu
jaami’ah [‫]ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺟﺎﻣﻌﺔ‬. Menurut sunnah, itu semua tidak usah dilakukan” (Zaadul-Ma’ad
1/442).

11. Kaifiyat Shalat ‘Ied

Dilaksanakan dalam Dua Raka’at

Hal ini berdasarkan riwayat ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu :

‫ﺻﻼﺓ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﺭﻛﻌﺘﺎﻥ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺭﻛﻌﺘﺎﻥ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻷﺿﺤﻰ ﺭﻛﻌﺘﺎﻥ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺭﻛﻌﺘﺎﻥ ﲤﺎﻡ‬
‫ﻏﲑ ﻗﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻟﺴﺎﻥ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬

Shalat Jum’at itu dua raka’at, shalat ‘Iedul-Fithri itu dua raka’at, shalat ‘Iedul-Adlhaa
itu dua raka’at, shalat safar itu dua raka’at; sempurna tanpa dikurangi menurut lisan
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 1420,
dan Ibnu Majah no. 1063-1064. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
An-Nasa’i 1/457).

Takbiratul-Ihram, kemudian takbir tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada
raka’at kedua

‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﻜﱪ ﰲ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﺍﻷﺿﺤﻰ ﰲ ﺍﻷﻭﱃ ﺳﺒﻊ‬
‫ﺗﻜﺒﲑﺍﺕ ﻭﰲ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﲬﺴﺎ‬

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wasallam bertakbir pada shalat ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlhaa tujuh kali pada raka’at
pertama dan lima kali pada raka’at kedua” (HR. Abu Dawud no. 1149, Ibnu Majah no.
1280, dan Baihaqi 3/287; ini adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/315 dan Irwaaul-Ghalil no. 639).

Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarhus-Sunnah (4/309) : Inilah pendapat mayoritas


ahli ilmu dari kalangan shahabat dan generasi setelahnya, yaitu takbir tujuh kali pada
raka’at pertama setelah takbir iftitah (pembukaan) dan lima takbir pada raka’at kedua
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

selain takbir berdiri sebelum membaca. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar,
‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudri, dan ini juga
merupakan pendapat ahli Madinah dan Az-Zuhri, ‘Umar bin Abdilaziz, Mali, Auza’i,
Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq”.53

Pada setiap takbir disunnahkan untuk mengangkat tangan. Hal ini sesuai dengan
keumuman hadits :

‫ﻋﻦ ﻭﺍﺋﻞ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﳊﻀﺮﻣﻲ ﻗﺎﻝ ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺮﻓﻊ ﻳﺪﻳﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﺘﻜﺒﲑ‬

Dari Wail bin Hujr Al-Hadlrami radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku melihat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir”
(HR. Ahmad 4/316; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil no. 641).

Tidak ada satu pun riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang bacaan-
bacaan tertentu yang diucapkan di sela-sela takbir tadi. Akan tetapi telah shahih atsar
dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu :

‫ﺑﲔ ﻛﻞ ﺗﻜﺒﲑﺗﲔ ﲪﺪ ﺍﷲ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻭﺛﻨﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﷲ‬

“Diantara dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah ‘azza wa jalla”
(Diriwayatkan oleh Al-Mahammili dalam Shalatul-‘Iedain 2/121 dengan sanad jayyid.
Lihat Irwaaul-Ghalil 3/115).

Membaca Al-Fatihah dan Membaca Surat

‫]ﻻ ﺻﻼﺓ ﳌﻦ ﱂ ﻳﻘﺮﺃ ]ﻓﻴﻬﺎ[ ﺑﻔﺎﲢﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ]ﻓﺼﺎﻋﺪﺍﹰ‬

“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca di dalamnya Fatihatul-Kitab (Al-
Fatihah)” (HR. Al-Bukhari no. 723, Muslim no. 394, dan lain-lain. Lihat Ashlu Shifat Shalat
Nabi oleh Syaikh Al-Albani halaman 300).

Sunnah membaca surat Al-A’la dan Al-Ghaasyiyah setelah Al-Fatihah.

‫ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻌﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺑﺸﲑ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﺮﺃ ﰲ ﺍﻟﻌﻴﺪﻳﻦ ﻭﰲ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﺑﺴﺒﺢ‬
‫ﺍﺳﻢ ﺭﺑﻚ ﺍﻷﻋﻠﻰ ﻭﻫﻞ ﺃﺗﺎﻙ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻐﺎﺷﻴﺔ‬

53
Lihat pula keterangan senada dalam Al-Mughni (3/272-273).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dari An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu


‘alaihi wasallam biasa membaca Sabbihisma rabbikal-a’la (Surat Al-A’la) dan Hal ataaka
hadiitsul-ghaasyiyah (Surat Al-Ghasyiyah) pada shalat ‘Iedain dan shalat Jum’at” (HR.
Muslim no. 878).

Atau membaca Surat Qaaf dan Al-Qamar.

‫ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺳﺄﻝ ﺃﺑﺎ ﻭﺍﻗﺪ ﺍﻟﻠﻴﺜﻲ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﺮﺃ ﺑﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ‬
‫ﻴﺪ ﻭﺍﻗﺘﺮﺑﺖ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻭﺍﻧﺸﻖ ﺍﻟﻘﻤﺮ‬‫ﺍﻷﺿﺤﻰ ﻭﺍﻟﻔﻄﺮ ﻓﻘﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﺮﺃ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﺑﻖ ﻭﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍ‬

Bahwasanya ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu bertanya kepada Abu Waqid Al-
Laitsi : “Apa yang biasa dibaca oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam shalat
‘Iedul-Adlhaa dan ‘Iedul-Fithri ?”. Ia menjawab : “Beliau biasa membaca Qaaf, wal-
qur’aanil-majiid (Surat Qaaf) dan Iqtarabatis-saa’ati wan-syaqal-qamar (Surat Al-
Qamar)” (HR. Muslim no. 891).

Kaifiyat lainnya seperti shalat biasa, tidak ada perbedaan.

12. Tertinggal Shalat ‘Ied

Orang yang tertinggal shalat hari raya secara jama’ah, hendaknya ia shalat dua
raka’at. Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya : Bab Apabila Seseorang
Ketinggalan Shalat ‘Ied Maka Hendaknya Ia Shalat Dua Raka’at. Kemudian beliau
menyebut atsar ‘Atha’ secara mu’allaq : “Apabila ketinggalan shalat ‘Ied, maka ia shalat
dua raka’at” (di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Firyabi dengan sanad shahih.
Lihat Mukhtashar Shahih Bukhari 1/302 no. 198).

Imam Malik berkata :

‫ﰲ ﺭﺟﻞ ﻭﺟﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗﺪ ﺍﻧﺼﺮﻓﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺇﻧﻪ ﻻ ﻳﺮﻯ ﻋﻠﻴﻪ ﺻﻼﺓ ﰲ ﺍﳌﺼﻠﻰ ﻭﻻ ﰲ‬
‫ﺑﻴﺘﻪ ﻭﺃﻧﻪ ﺇﻥ ﺻﻠﻰ ﰲ ﺍﳌﺼﻠﻰ ﺃﻭ ﰲ ﺑﻴﺘﻪ ﱂ ﺃﺭ ﺑﺬﻟﻚ ﺑﺄﺳﺎ ﻭﻳﻜﱪ ﺳﺒﻌﺎ ﰲ ﺍﻷﻭﱃ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﲬﺴﺎ ﰲ‬
‫ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ‬

“Apabila seseorang mendapati orang-orang telah selesai mengerjakan shalat ‘Ied,


(sebagian orang berpandangan bahwa) ia tidak perlu mengerjakan shalat di tanah
lapang maupun di rumahnya. (Akan tetapi), bila ia shalat (sendirian) di tanah lapang
atau di rumahnya, menurutku hal itu tidak mengapa. Hendaklah ia bertakbir tujuh kali di
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua sebelum Al-Fatihah” (Al-Muwaththa’
no. 477).

13. Khutbah ‘Ied

Khutbah Dilaksanakan Setelah Shalat.

‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ ﺷﻬﺪﺕ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﰊ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﺭﺿﻰ‬
‫ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻬﻢ ﻓﻜﻠﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﻗﺒﻞ ﺍﳋﻄﺒﺔ‬

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Aku menghadiri shalat ‘Iedul-
Fithri bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman.
Semuanya melaksanakan shalat sebelum khutbah” (HR. Al-Bukhari no. 962 dan Muslim
no. 884; ini adalah lafadh Al-Bukhari)

Hukum Menghadiri Khutbah adalah Sunnah, Tidak Wajib.

‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﻟﺴﺎﺋﺐ ﻗﺎﻝ ﺷﻬﺪﺕ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻓﻠﻤﺎ ﻗﻀﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬
‫ﻗﺎﻝ ﺇﻧﺎ ﳔﻄﺐ ﻓﻤﻦ ﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﳚﻠﺲ ﻟﻠﺨﻄﺒﺔ ﻓﻠﻴﺠﻠﺲ ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﻳﺬﻫﺐ ﻓﻠﻴﺬﻫﺐ‬

Dari Abdullah bin Saib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku menghadiri ‘Ied bersama
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ketika telah selesai shalat, maka beliau
bersabda : “Sesungguhnya kami akan berkhutbah. Barangsiapa yang ingin duduk untuk
mendengarkan khutbah, hendaklah ia duduk. Dan barangsiapa yang ingin pergi, maka
silakan ia pergi” (HR. Abu Dawud no. 1155, Ibnu Majah no. 1290, dan yang lainnya; ini
adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud 1/316).

Khutbah Dimulai dengan Pujian dan Tasyahud kepada Allah.

Telah menjadi sunnah yang tsabit (tetap) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
apabila beliau akan memulai khutbah, maka beliau memulainya dengan pujian kepada
Allah ta’ala.

‫ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳜﻄﺐ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﳛﻤﺪ ﺍﷲ ﻭﻳﺜﲏ ﻋﻠﻴﻪ ﲟﺎ ﻫﻮ ﺃﻫﻠﻪ ﰒ‬
‫ﻳﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﻳﻬﺪﻩ ﺍﷲ ﻓﻼ ﻣﻀﻞ ﻟﻪ ﻭﻣﻦ ﻳﻀﻠﻞ ﻓﻼ ﻫﺎﺩﻱ ﻟﻪ ﻭﺧﲑ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ‬

Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Adalah Rasulullah berkhutbah kepada


manusia, beliau memuji Allah dan menyanjungnya yang memang Dia pemilik (puji-
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

pujian dan sanjungan). Dan kemudian beliau mengucapkan : “Barangsiapa yang Allah
pimpin, tidak ada satupun yang menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan
Allah, maka tidak ada satupun yang akan bisa menunjukinya”. Kemudian beliau
mengucapkan : “Amma ba’du, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan itu adalah
adalah Kitabullah” (HR. Muslim no. 867).

‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻛﻞ ﺧﻄﺒﺔ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻬﺎ ﺗﺸﻬﺪ ﻓﻬﻲ ﻛﺎﻟﻴﺪ ﺍﳉﺬﻣﺎﺀ‬

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda : “Setiap khutbah yang tidak (dimulai) dengan tasyahhud, maka ia (khutbah)
itu sepeti tangan yang berpenyakit” (HR. Abu Dawud no. 4861. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 169).

Khutbah ‘Ied Dua Kali Diselingi dengan Duduk (Seperti Shalat Jum’at) ?

Yang rajih dalam hal ini adalah bahwa khutbah ‘Ied itu satu kali dan tidak diselingi
dengan duduk. Dasarnya adalah :

‫ﺷﻬﺪﺕ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻓﺒﺪﺃ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﻗﺒﻞ ﺍﳋﻄﺒﺔ ﺑﻐﲑ ﺃﺫﺍﻥ‬
‫ﻭﻻ ﺇﻗﺎﻣﺔ ﰒ ﻗﺎﻡ ﻣﺘﻮﻛﺌﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻼﻝ ﻓﺄﻣﺮ ﺑﺘﻘﻮﻯ ﺍﷲ ﻭﺣﺚ ﻋﻠﻰ ﻃﺎﻋﺘﻪ ﻭﻭﻋﻆ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺫﻛﺮﻫﻢ ﰒ ﻣﻀﻰ‬
‫ﺣﱴ ﺃﺗﻰ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻓﻮﻋﻈﻬﻦ ﻭﺫﻛﺮﻫﻦ ﻓﻘﺎﻝ ﺗﺼﺪﻗﻦ ﻓﺈﻥ ﺃﻛﺜﺮﻛﻦ ﺣﻄﺐ ﺟﻬﻨﻢ ﻓﻘﺎﻣﺖ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺳﻄﺔ‬
‫ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺳﻔﻌﺎﺀ ﺍﳋﺪﻳﻦ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﱂ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﻷﻧﻜﻦ ﺗﻜﺜﺮﻥ ﺍﻟﺸﻜﺎﺓ ﻭﺗﻜﻔﺮﻥ ﺍﻟﻌﺸﲑ ﻗﺎﻝ ﻓﺠﻌﻠﻦ‬
‫ﻳﺘﺼﺪﻗﻦ ﻣﻦ ﺣﻠﻴﻬﻦ ﻳﻠﻘﲔ ﰲ ﺛﻮﺏ ﺑﻼﻝ ﻣﻦ ﺃﻗﺮﻃﺘﻬﻦ ﻭﺧﻮﺍﲤﻬﻦ‬

Dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku hadir bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari ‘Ied. Beliau memulai shalat sebelum khutbah
tanpa adzan dan iqamat. Kemudian beliau berdiri dengan berpegangan kepada Bilal.
Lalu beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, menganjurkan ketaatan
kepada-Nya, lalu beliau memberi nasihat dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau
berjalan hingga mendatangi wanita, menyampaikan nasihat kepada mereka dan
mengingatkan mereka, lalu bersabda : “Wahai sekalian wanita, hendaklah kalian
mengeluarkan shadaqah, karena kalian adalah kayu bakar Jahannam yang paling
banyak”. Seorang wanita dari kerumunan para wanita yang kedua pipinya kehitaman,
berdiri dan berkata : “Mengapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab : “Karena kalian
banyak mengeluh dan mengingkari suami”. Jabir berkata : “Maka mereka dengan segera
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

bershadaqah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan ke kain Bilal, berupa


anting-anting dan cincin mereka” (HR. Muslim no. 885).

Dhahir hadits di atas menunjukkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya
berkhutbah sekali dan kemudian pergi ke tempat para wanita. Adapun hadits yang
menyebutkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dua kali
(sebagaimana khutbah Jum’at), maka ia adalah hadits dla’if.

‫ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻗﺎﻝ ﺧﺮﺝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻮﻡ ﻓﻄﺮ ﺃﻭ ﺃﺿﺤﻰ ﻓﺨﻄﺐ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﰒ ﻗﻌﺪ ﻗﻌﺪﺓ‬
‫ﰒ ﻗﺎﻡ‬

Dari Jabir ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar pada hari raya
‘Iedul-Fithri atau ‘Iedul-Adlha, maka beliau berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk,
dan kemudian berdiri kembali” (HR. Ibnu Majah no. 1289 – dla’if/munkar. Lihat Dla’if
Sunan Ibni Majah 1/95).

Adapun apa yang diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1446 (shahih) :

‫ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﳜﻄﺐ ﺍﳋﻄﺒﺘﲔ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﺋﻢ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻔﺼﻞ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﲜﻠﻮﺱ‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dua kali dengan berdiri dan
memisahkan antara dua khutbah itu dengan duduk” ;

maka ini adalah shifat khutbah Jum’at. Hal itu dikarenakan dalam riwayat lain, hadits
tersebut dibawakan dengan redaksi :

‫ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳜﻄﺐ ﻳﻮﻡ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﰒ ﳚﻠﺲ‬

"Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah pada hari Jum’at dengan
berdiri kemudian duduk…” (HR. Muslim no. 861).

14. Bila ‘Ied Bertepatan dengan Hari Jum’at

Apabila hari raya ‘Ied jatuh bertepatan dengan hari Jum’at, maka kewajiban
melaksanakan shalat Jum’at bagi laki-laki (yang telah melaksanakan shalat ‘Ied di hari
itu) menjadi gugur – akan tetapi ia wajib melaksanakan shalat Dhuhur. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﻗﺪ ﺍﺟﺘﻤﻊ ﰲ ﻳﻮﻣﻜﻢ ﻫﺬﺍ ﻋﻴﺪﺍﻥ ﻓﻤﻦ ﺷﺎﺀ ﺃﺟﺰﺃﻩ ﻣﻦ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻭﺇﻧﺎ ﳎﻤﻌﻮﻥ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Pada hari ini telah berkumpul dua hari raya pada kalian. Maka barangsiapa yang
ingin, maka tidak ada kewajiban Jum’at baginya. Karena sesungguhnya kita telah
dikumpulkan” (HR. Abu Dawud no. 1073 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abi Dawud 1/296).

Bolehnya Mendengarkan Rebana (Duff) yang Dimainkan oleh Anak Kecil di Hari Raya

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :

‫ﺩﺧﻞ ﻋﻠﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻋﻨﺪﻱ ﺟﺎﺭﻳﺘﺎﻥ ﺗﻐﻨﻴﺎﻥ ﺑﻐﻨﺎﺀ ﺑﻌﺎﺙ ﻓﺎﺿﻄﺠﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﺮﺍﺵ‬
‫ﻭﺣﻮﻝ ﻭﺟﻬﻪ ﻭﺩﺧﻞ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺎﻧﺘﻬﺮﱐ ﻭﻗﺎﻝ ﻣﺰﻣﺎﺭﺓ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺄﻗﺒﻞ‬
‫ﻤﺎ ﻓﺨﺮﺟﺘﺎ‬‫ﻋﻠﻴﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﻘﺎﻝ ﺩﻋﻬﻤﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﻏﻔﻞ ﻏﻤﺰ‬

"Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memasuki rumahku sedang aku bersama dua
orang anak perempuan kecil yang sedang mendendangkan nyanyian Bu’ats. Lalu beliau
berbaring dan mengarahkan wajahnya ke arah lain. Kemudian Abu Bakar masuk dan
memukulku seraya berkata : “Ada seruling syaithan di dekat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajahnya
kepada Abu Bakar seraya bersabda : “Biarkan saja mereka berdua”. Ketika Abu Bakar
lengah, aku mencubit kedua anak perempuan itu dan merekapun pergi keluar. Dan
waktu itu adalah hari ’Ied....” [HR. Bukhari no. 949 dan Muslim no. 892].

‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺃﻥ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻪ ﺩﺧﻞ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻋﻨﺪﻫﺎ ﺟﺎﺭﻳﺘﺎﻥ ﰲ ﺃﻳﺎﻡ ﻣﲎ ﺗﺪﻓﻔﺎﻥ ﻭﺗﻀﺮﺑﺎﻥ‬
‫ﻭﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﺘﻐﺶ ﺑﺜﻮﺑﻪ ﻓﺎﻧﺘﻬﺮﳘﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﻜﺸﻒ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ‬
‫ﺎ ﺃﻳﺎﻡ ﻋﻴﺪ ﻭﺗﻠﻚ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺃﻳﺎﻡ ﻣﲎ‬‫ﻭﺟﻬﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺩﻋﻬﻤﺎ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﻓﺈ‬

Dari ’Aisyah : ”Bahwasannya Abu Bakr radliyallaahu ta’ala ’anhu masuk menemuinya
(’Aisyah) dimana di sampingnya terdapat dua orang anak perempuan di hari Mina yang
memukul duff. Adapun Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam waktu itu dalam keadaan
menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, maka Abu Bakr
membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian
membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata : ”Biarkan mereka wahai Abu
Bakr, sesungguhnya hari ini adalah hari raya Mina” . Pada waktu itu adalah hari-hari
Mina” [HR. Bukhari no. 987].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﻭﰲ ﻫﺬﺍ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﻟﻔﻮﺍﺋﺪ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺍﻟﺘﻮﺳﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﻴﺎﻝ ﰲ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻻﻋﻴﺎﺩ ﺑﺄﻧﻮﺍﻉ ﻣﺎ ﳛﺼﻞ ﳍﻢ ﺑﺴﻂ‬
‫ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻭﺗﺮﻭﻳﺢ ﺍﻟﺒﺪﻥ ﻣﻦ ﻛﻠﻒ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭﺃﻥ ﺍﻹﻋﺮﺍﺽ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﺃﻭﱃ ﻭﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﺇﻇﻬﺎﺭ ﺍﻟﺴﺮﻭﺭ ﰲ‬
‫ﺍﻻﻋﻴﺎﺩ ﻣﻦ ﺷﻌﺎﺭ ﺍﻟﺪﻳﻦ‬

“Dalam hadits ini ada beberapa faedah, yaitu disyari’atkannya untuk memberikan
kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang
dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban
ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga
menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi’ar
agama” (Fathul-Bari 2/307)

Ucapan Selamat (Tahniah) Hari Raya

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul-Bari 2/310 mengatakan : “Kami meriwayatkan
dari guru-guru kami dalam Al-Mahamiliyyat dengan sanad hasan dari Jubair bin Nufair, beliau
berkata :

: ‫ﻋﻦ ﺟﺒﲑ ﺑﻦ ﻧﻔﲑ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﺍﻟﺘﻘﻮﺍ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻳﻘﻮﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻟﺒﻌﺾ‬
‫ﻚ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻞﹶ ﺍﷲُ ﻣ‬‫ﻘﹶﺒ‬‫ﺗ‬

Para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila mereka saling jumpa pada hari
raya, sebagian mereka mengucapkan pada lainnya : “Taqabbalalloohu minnaa wa minka”
(Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu).

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al-Mughni 3/294-295 menyebutkan :

‫ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ‬-‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬- ‫ ﻛﻨﺖ ﻣﻊ ﺃﰊ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻰ ﻭﻏﲑﻩ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﱯ‬:‫ﺃﻥ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﰊ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺟﻴﺪ‬:‫ ﻭﻗﺎﻝ ﺃﲪﺪ‬‫ﻚ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻞﹶ ﺍﷲُ ﻣ‬‫ﻘﹶﺒ‬‫ ﺗ‬:‫ﺇﺫﺍ ﺭﺟﻌﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻳﻘﻮﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻟﺒﻌﺾ‬

“Bahwasannya Muhammad bin Ziyad pernah berkata : Aku pernah bersama Abu Umamah Al-
Bahily dan selainnya dari kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; apabila
mereka kembali dari ‘Ied, sebagian mereka mengucapkan kepada sebagian yang lain :
“Taqabbalalloohu minnaa wa minka” (Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu).
Imam Ahmad berkata : Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)”.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Adapun ucapan selain yang dicontohkan tersebut, hendaknya kita tinggalkan dan kita gantikan
dengan yang dicontohkan. Allah telah berfirman :

‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻮ‬‫ﻱ ﻫ‬‫ ﺑﹺﺎﻟﹼﺬ‬‫ﻰ‬‫ﻧ‬‫ ﺃﹶﺩ‬‫ﻮ‬‫ﻱ ﻫ‬‫ﻟﹸﻮﻥﹶ ﺍﻟﹼﺬ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﺃﹶﺗ‬

“Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang baik” (QS. Al-Baqarah : 61).

Puasa Syawal

1. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal Sebanding dengan Puasa Setahun

Disunnahkan mengiringi puasa Ramadlan dengan puasa enam hari di bulan Syawal
dan itu sebanding dengan puasa setahun. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari
radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﰒ ﺃﺗﺒﻌﻪ ﺳﺘﺎ ﻣﻦ ﺷﻮﺍﻝ ﻛﺎﻥ ﻛﺼﻴﺎﻡ ﺍﻟﺪﻫﺮ‬

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa


enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun” (HR. Muslim no.
1164, Abu Dawud no. 2433, At-Tirmidzi no. 759, dan lain-lain).

Imam An-Nawawi berkata :

، ‫ﺮﹴ‬‫ﻬ‬‫ ﺃﹶﺷ‬‫ﺓ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﺎﻥﹸ ﺑﹺﻌ‬‫ﻀ‬‫ﻣ‬‫ ﻓﹶﺮ‬، ‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺜﹶﺎﻟ‬‫ﺮﹺ ﺃﹶﻣ‬‫ﺸ‬‫ﺔﹶ ﺑﹺﻌ‬‫ﻨ‬‫ﺴ‬‫ﺄﹶﻥﱠ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺮ ؛ ﻟ‬‫ﻫ‬‫ﺎﻡﹺ ﺍﻟﺪ‬‫ﻴ‬‫ ﻛﹶﺼ‬‫ﻚ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺫﹶﻟ‬‫ﻤ‬‫ﺇﹺﻧ‬‫ ﻭ‬: ‫ﺎﺀ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﹾﻌ‬
‫ﻲ‬‫ﺎﺋ‬‫ﺴ‬‫ﺎﺏ ﺍﻟﻨ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﻛ‬‫ﻓﹸﻮﻉ ﻓ‬‫ﺮ‬‫ﻳﺚ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻲ ﺣ‬‫ﺬﹶﺍ ﻓ‬‫ﺎﺀَ ﻫ‬‫ ﺟ‬‫ﻗﹶﺪ‬‫ ﻭ‬، ‫ﻦﹺ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻬ‬‫ﺔ ﺑﹺﺸ‬‫ﺴﺘ‬
 ‫ﺍﻟ‬‫ ﻭ‬.

“Para ulama mengatakan bahwa itu sebanding dengan puasa setahun karena satu
kebaikan balasannya sepuluh kali lipat dan puasa sebulan Ramadlan sama dengan puasa
sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari sama dengan puasa dua bulan. Keterangan
ini juga terdapat pada hadits marfu’ dalam kitab An-Nasa’i" (Syarah Shahih Muslim lin-
Nawawi hal. 827).

2. Tidak Disyaratkan Melakukannya Secara Berurutan

Hal itu sesuai dengan kemutlakan hadits : “lalu ia mengiringinya dengan puasa enam
hari”. Kalimat hadits ini tidak menunjukkan keharusan melakukannya secara berurutan.
Imam Ahmad berkata : “Nabi mengatakan : ‘Enam hari dari bulan Syawal’ ; maka bila
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

seseorang berpuasa enam hari tersebut, ia tidak peduli apakah dilakukan secara acak
atau berurutan” (Masa’il Abdullah bin Ahmad bin Hanbal halaman 93).

3. Bolehkan Mendahulukan Puasa Enam Hari Bulan Syawal dari Meng-Qadla Puasa
Ramadlan ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjawab : “Di sini ada satu masalah yang
perlu dijelaskan. Yaitu bahwa puasa enam hari bulan Syawal tidak boleh didahulukan
dari meng-qadla puasa Ramadlan. Jika itu terjadi, maka puasa tersebut menjadi puasa
sunnah mutlak dan pelakunya tidak memperoleh pahala seperti yang dijelaskan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya :

‫ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﰒ ﺃﺗﺒﻌﻪ ﺑﺴﺖ ﻣﻦ ﺷﻮﺍﻝ ﻛﺎﻥ ﻛﺼﻴﺎﻡ ﺍﻟﺪﻫﺮ‬

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa


enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun”.

Hal itu karena bunyi hadits tersebut adalah : Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan,
dan ini sangat jelas. Sebagian pengkaji ilmu mengira bahwa masalah perbedaan tentang
sahnya melakukan puasa sunnah sebelum meng-qadla puasa wajib berlaku pula pada
masalah ini. Padahal masalah ini tidak berlaku pada kasus yang satu ini, karena
haditsnya jelas menyatakan bahwa tidak ada puasa enam hari kecuali setelah meng-
qadla puasa Ramadlan” (Asy-Syarhul-Mumti’ 6/448).54 Wallaahu a’lam.

Abul-Jauzaa' - Ramadlan 1429

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman. Taudlihul-Ahkaam min Buluughil-Maraam. Maktabah


Al-Asady. Cet. V. 1423.

Abdul-‘aziz, Usamah. Puasa Sunnah : Hukum dan Keutamaannya (Judul Asli : Shiyaamu
Tathawwu’ Fadlaailu wa Ahkaam). Daarul-Haq. Cet. I. 1425/2004 M. Jakarta.

Ad-Daarimi, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin Fadhl bin Bahram. Sunan Ad-Daarimi. Tahqiq :
Husain Salim Asad. Daarul-Mughni. Cet. I. 1421. Riyadl.

54
Dikuti melalui buku Puasa Sunnah : Hukum dan Keutamaannya (Judul Asli : Shiyaamu Tathawwu’ Fadlaailu wa
Ahkaam) oleh Usamah bin ’Abdil-’Aziz.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Ad-Daruquthni, ‘Ali bin ‘Umar. Sunan Ad-Daruquthni. Ta’liq : Abu Thayyib Muhammad Syamsul-
Haq ‘Adhim ‘Abadi. Tahqiq : Syu’aib Al-Arna’uth, Hasan ‘Abdil-Mun’im Asy-Syibliy, ‘Abdul-Lathif
Hirzallah, dan Ahmad Barhuum. Muassasah Ar-Risalah. Cet. 1. 1424. Beirut.

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Ashlu Shifat Shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
minat-Takbiir ilat-Tasliim. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. 1427/2006 M. Riyadl.

____________________________. Dla’if Sunan Ibni Majah. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-


Tauzi’. Cet. I. 1417 H/1997 M. Riyadl.

____________________________. Irwaa’ul-Ghaliil fii Takhriiji Ahaaditsi Manaaris-Sabiil. Al-


Maktab Al-Islami. Cet. I. 1399/1979 M.

____________________________. Jaami’ At-Tirmidzi. Free Program (down load from :


http://www.alalbany.net/).

____________________________. Mukhtashar Shahih Al-Imam Al-Bukhari. Maktabah Al-


Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. 1422/2002 M. Riyadl.

____________________________. Risaalah Qiyaami-Ramadlaan : Fadlluhu wa Kaifiyyatu


Adaaihi wa Masyru’iiyatul-Jamaa’ati Fiih. Al-Maktabah Al-Islamiyyah. Cet. VI. 1413.

____________________________. Shahih wa Dla’if Al-Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyaadatihi. Al-


Maktab Al-Islamy. Cet. III. 1408 H/1988 M. Damaskus.

____________________________. Shahih At-Targhib wat-Tarhib. Maktabah Al-Ma’arif lin-


Nasyr wat-Tauzi’. Cet. 1412 H. Riyadl. (Maktabah Sahab - down load from :
www.sahab.org/books).

____________________________. Shahih Sunan Abi Dawud. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr


wat-Tauzi’. Cet. I. 1419 H/1998. Riyadl.

____________________________. Shahih Sunan An-Nasa’i. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-


Tauzi’. Cet. I. 1419 H/1998 M. Riyadl.

____________________________. Shahih Sunan At-Tirmidzi. Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’.


Cet. I. 1420 H/2000 M. Riyadl.

____________________________. Shahih Sunan Ibni Majah. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr


wat-Tauzi’. Cet. I. 1417 H/1997 M. Riyadl.

____________________________. Shifat Shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam minat-Takbiir


ilat-Tasliim. Maktabah Al-Ma’arif. Cet. 1996. Riyadl.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

____________________________. Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah. Maktabah Al- Ma’arif lin-


Nasyr wat-Tauzi’. Riyadl.

____________________________. Qiyaamur-Ramadlaan. Al-Maktabah Al-Islamiyyah. Cet. 1.


1421. Urdun.

____________________________. Tamaamul-Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis-Sunnah. Daarur-


Raayah. Cet. II. Tanpa Tahun.

Al-Ashbahani, Abu Nua’im Ahmad bin ‘Abdillah. Hilyatul-Auliyaa’. Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah.


Cet. I. 1409.

Al-’Asqalaniy, Ahmad bin ’Ali bin Hajar. Fathul-Bari bi-Syarh Shahih Al-Bukhari. Daarul-Ma’rifah.
Tanpa Tahun. Beirut.

Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin Husain. As-Sunanul-Kubraa. Free Program Mausu’ah Al-
Haditsiyah An-Nabawiyyah (down load from : http://www.islamspirit.com/).

Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin Husain. Al-Jaami’ li-Syu’abil-Iman. Tahqiq : ‘Abdul-‘Ali bin
‘Abdil-Hamid Al-Haamid. Maktabah Ar-Rusyd. Cet. 1. 1423.

Al-Barik, Haya binti Mubarak. Ensiklopedi Wanita (Judul Asli : Mausu’ah Mar’atil-Muslimah).
Daarul-Falah. Cet. X. 1423. Jakarta.

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Shahih Al-Bukhari. Tahqiq : Muhibbuddin Al-Khathib. Al-
Maktabah As-Salafiyyah. Cet. I. 1400. Kairo, Mesir.

Al-Haitsami, Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakr. Mawaaridudh-Dham’aan ilaa Zawaaidi Ibni Hibban. Al-
Maktabah Al-Mahmudiyyah. Cet. Tahun 1351.

Al-Halaby, Ali bin Hasan Al-Atsary. I’tikaf Menurut Sunnah Nabi (Judul Asli : Al-Inshaaf fii
Ahkaamil-I’tikaaf). Pustaka Mantiq. Cet. I. 1997. Solo.

____________________________. Shalat Hari Raya dan Qurban Menurut Sunnah Rasulullah


shallallaahu ‘alaihi wasallam (Judul asli : Ahkaamul-‘Iedain fis-Sunnatil-Muthahharah). Pustaka
Hauraa’. Cet. III. 1420/1999 M. Yogyakarta.

Al-Hilaly, Salim bin ‘Ied. Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Jilid 2) (Judul
Asli :Mausu’ah Al-Manahiyyisy-Syar’iyyah fii Shahiihis-Sunnah An-Nabawiyyah). Pustaka Imam
Asy-Syafi’i. Cet. I. 1426/2005. Bogor.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Al-Hilaly, Salim bin ‘Ied dan Al-Halaby, Ali bin Hasan Al-Atsary. Mukhtashar Kitab Shifat
Shaumin-Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam fii Ramadlan. Maktahab Sahab (down load from :
www.sahab.org/books).

____________________________. Puasa Bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam (Judul Asli


: Shifat Shaumin-Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam fii Ramadlan). Daarus-Sunnah Press. Cet. I.
2004. Jakarta.

Al-Juda’i, Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad. At-Tabarruk, Anwa’uhu wa Ahkaamuhu.


Maktabah Ar-Rusyd, Cet. Tahun 1411. Riyadl.

Al-Juraisy, Khalid bin ‘Abdirrahman. Al-Fataawaa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-’Ashriyyah min


Fataawaa ’Ulamaa Al-Baladil-Haraam. Muassasah Al-Juraisy. Cet. 1. 1420. Riyadl.

Al-Maqdisi, Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin
Qudamah. Al-Mughni. Tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turky dan Dr. ‘Abdul-Fattah
Muhammad Al-Halawi. Daarul-‘Aalamil-Kutub. Cet. 3. 1417. Riyadl.

Al-Mishri, Abu ‘Umair Majdi bin Muhammad bin ‘Arafat. Syifaaul-’Iyyi bi-Takhriiji wa Tahqiiqi
Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i bi-Tartiibi Al-’Allamah As-Sindi. Taqdim : Syaikh Muqbil bin Hadi Al-
Wadi’i. Maktabah Ibnu Taimiyyah. Cet. 1. 1416. Kairo.

Al-Mundziri, Zakiyyuddin ‘Abdil-‘Adhim Al-Hafidh. Mukhtashar Shahih Muslim (Tahqiq : Syaikh


Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Al-Maktab Al-Islamy. Cet. VI. 1408/1987.

Al-Qahthani, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf. Hisnul-Muslim min Adzkaaril-Kitaab was-Sunnah. Maktabah
Sahab (down load from : www.sahab.org/books).

An-Naisaburi, Al-Hakim Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abdillah. Al-Mustadrak ‘alash-Shahihain


(Ma’a Tattabu’u Auham Al-Hakim Allatii Sakata ‘alaihaa Adz-Dzahabi). Tahqiq : Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i. Daarul-Haramain. Cet. 1. 1417.

An-Nasa’i, Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali. Sunan Ash-Shughra (Al-Mujtabaa)
(dengan penghukuman hadits : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Maktabah Al-
Ma’aarif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. Tanpa Tahun. Riyadl.

____________________________. Sunan Al-Kubraa. Tahqiq dan takhrij : Hasan bin ‘Abdil-


Mun’im Asy-Syalbiy. Muassasah Ar-Risalah. Cet. 1. 1421. Beirut..

An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf. Syarah Shahih Muslim. Maktabah Ash-
Shaid. (down load from : www.saaid.net/book).

Al-Qusyairi, Muslim bin Al-Hajjaj. Shahih Muslim. Bait Al-Afkar Ad-Dauliyyah. Cet. Tahun 1419 H.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

As-Sijistani, Sulaiman bin Al-Asy’ats (Abu Dawud). Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimis-Sunnah lil-
Khaththabiy. Daar Ibni Hazm. Cet. I. 1418. Beirut.

As-Sindi, Nuuruddin bin Abdil-Hadi. Hasyiyah As-Sindi ‘alan-Nasa’i. Maktabah Sahab (down load
from : www.sahab.org/books).

Ash-Shan’any, Abu Bakr ‘Abdurrazzaq bin Hammam. Al-Mushannaf. Tahqiq, takhrij dan ta’liq :
Habiburrahman Al-A’dhamy. Al-Majlisul-‘Ilmy. Cet. 1. 1390.

Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Al-Umm. Free Program (down load from :
http://www.islamway.com/).

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Jaami’ul-Bayaan ‘an Ta’wiilil-Qur’an
(Tafsir Ath-Thabari). Tahqiq & ta’liq : Mahmud bin Muhammad Syaakir. Takhrij : Ahmad bin
Muhammad Syaakir. Maktabah Ibnu Taimiyyah. Tanpa tahun. Kairo.

At-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad bin Saurah. Al-Jaami’ul-Kabiir (Sunan At-Tirmidzi). Tahqiq,
Takhrij, dan Ta’liq : Dr. Basyaar bin ‘Awwaad. Daarul-Gharbil-Islamy. Cet. I. 1996.

Ath-Thayalisi, Sulaiman bin Dawud. Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisi. Maktabah Sahab. (down
load from : www.sahab.org/books).

Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad. Al-Mushannaf. Tahqiq dan takhrij :
Muhammad ‘Awwamah. Daarul-Qiblah. Cet. I. 1427. Jeddah.

Ibnu Anas, Malik. Al-Muwaththa’. Majmu’atul-Furqaan At-Tijaariyyah. Tahqiq dan takhrij : Abu
Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Cet. Tahun 1424.

Ibnu Hanbal, Ahmad. Al-Musnad. Syarah : Syaikh Ahmad Syaakir. Daarul-Hadiits. Cet. I. 1419.
Kairo.

____________________________. Al-Musnad. Tahqiq, ta’liq, dan takhrij oleh Syaikh Syu’aib Al-
Arna’uth dan ’Aadil Mursyid. Muassasah Ar-Risalah. Cet. I. 1417. Beirut.

Ibnu Hazm. Maraatibul-Ijmaa’. Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Beirut (down load from :


www.almeshkat.net/books).

Ibnu Khuzaimah, Abu Bakar Muhammad bin Ishaq. Shahih Ibni Khuzaimah. Tahqiq dan Ta’liq :
Dr. Muhammad Musthafa Al-A’dhamy. Al-Maktab Al-Islamy. Cet. Tahun 1400 H/1980 M.
Damaskus.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibni Majah (dengan penghukuman
hadits : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Maktabah Al-Ma’aarif lin-Nasyr wat-Tauzi’.
Cet. I. Riyadl.

Ibnul-Mundzir. Kitaabul-Ijma’. Tahqiq dan ta’liq : Abu ‘Abdil-A’la Khalid bin Muhammad bin
‘Utsman. Daarul-Atsar. Cet. 1. 1425. Kairo.

Jawas, Yazid bin Abdil-Qadir. Doa & Wirid. Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Cet. III. 1424/2003 M.
Bogor.

Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid. Shahih Fiqhis-Sunnah. Al-Maktabah At-Taufiqiyyah. Cet.
Tahun 2003. Kairo.

‘Utsamin, Muhammad bin Shalih dan Aalu Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman. Tanbiihul-
Afhaam dan Taisirul-‘Allaam; Syarh ‘Umdatil-Ahkaam. Daar Ibn Haitsam (Dicetak Bersama).
1425/2004 M. Mesir.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

2. Keutamaan Shalat Tarawih Berjama'ah

‫ﻬﺮﹺ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﻦ‬‫ﻲﺀٌ ﻣ‬‫ ﺑﻨﺎ ﺷ‬‫ﻘﹸﻢ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﻥﹶ ﻓﹶﻠﹶﻢ‬‫ﻀ‬‫ﻣ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﺎ ﻣﻊ‬‫ﻨ‬‫ﻤ‬‫ ﺻ‬:‫ ﺃﹶﰊ ﺫﹶﺭﹴ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
‫ﺎ‬‫ﺔﹸ ﻗﺎﻡ ﺑﹺﻨ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﳋﹶﺎﻣ‬‫ ﻓﻠﻤ‬،‫ﺎ‬‫ﻘﹸﻢ ﺑﹺﻨ‬‫ ﹸﺔ ﱂ ﻳ‬‫ﺎﺩﺳ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﺎ ﻛﹶﺎﻧﺖ‬‫ ﻓﻠﻤ‬،‫ ﺛﹸﻠﹸﺚﹸ ﺍﻟﻠﱠﻴﻞﹺ‬‫ﺐ‬‫ﻰ ﺫﹶﻫ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻡ ﺑﻨﺎ ﺣﺘ‬‫ﺒﻊ‬‫ ﺳ‬‫ﻘﻲ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﺘ‬‫ﺣ‬
‫ﻊ‬‫ﻠﱠﻰ ﻣ‬‫ﻞﹶ ﺇﺫﺍ ﺻ‬‫ﺟ‬‫ ﺇﻥﱠ ﺍﻟﺮ‬:‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ ﺍﻟﻠﱠﻴﻠﺔ‬‫ ﻫﺬﻩ‬‫ﺎﻡ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﻗ‬‫ﻨ‬‫ﻔﹶﻠﹾﺘ‬‫ ﻟﻮ ﻧ‬،‫ﻮﻝﹶ ﺍﷲ‬‫ﺳ‬‫ ﻳﺎ ﺭ‬:‫ ﺍﻟﻠﱠﻴﻞﹺ ﻓﹶﻘﹸﻠﺖ‬‫ ﺷﻄﹾﺮ‬‫ﺐ‬‫ﻰ ﺫﹶﻫ‬‫ﺣﺘ‬
‫ﺎﺀَﻩ‬‫ ﻭﻧﹺﺴ‬‫ﻠﹶﻪ‬‫ ﹶﺃﻫ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺜﱠﺎﻟﺜﹶﺔﹸ ﺟ‬‫ ﻓﻠﻤ‬،‫ﻘﹸﻢ‬‫ﺔﹸ ﱂ ﻳ‬‫ﺍﺑﹺﻌ‬‫ﺖ ﺍﻟﺮ‬‫ﺎ ﻛﺎﻧ‬‫ ﻓﻠﻤ‬:‫ ﻗﺎﻝﹶ‬،‫ ﻟﹶﻴﻠﹶﺔ‬‫ﺎﻡ‬‫ﻴ‬‫ ﻟﻪ ﻗ‬‫ﺴِﺐ‬‫ ﺣ‬‫ﺮﹺﻑ‬‫ﻨﺼ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﺎﻡﹺ ﺣ‬‫ﺍﻹِﻣ‬
‫ﻬﺮ‬‫ﺔ ﺍﻟﺸ‬‫ﻴ‬‫ﻘ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻘﹸﻢ ﺑﻨ‬‫ ﰒﱠ ﱂ ﻳ‬،‫ﻮﺭ‬‫ﺤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬:‫؟ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺎ ﺍﻟﻔﹶﻼﺡ‬‫ ﻣ‬:‫ ﻗﹸﻠﺖ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬.‫ﺎ ﺍﻟﻔﹶﻼﺡ‬‫ﻨ‬‫ﻔﹸﻮﺗ‬‫ﺎ ﺃﻥ ﻳ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺸ‬‫ﻰ ﺧ‬‫ﺎ ﺣﺘ‬‫ ﺑﻨ‬‫ ﻓﻘﹶﺎﻡ‬‫ﺎﺱ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬

‫ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ‬.

Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadlan. Tidaklah beliau shalat tarawih bersama
kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan tersebut. Saat itu baru beliau shalat bersama kami
hingga berakhir/selesai pada sepertiga malam (yang terakhir). Pada saat malam tersisa enam
hari lagi, beliau kembali tidak shalat bersama kami. Ketika malam tersisa lima hari lagi, maka
beliau shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada waktu tengah malam. Aku berkata :
“Wahai Rasulullah, seandainya kita shalat kembali pada (sisa) malam ini ?”. Maka beliau
menjawab : ”Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka
dihitung baginya shalat semalam suntuk”. Ketika malam tersisa empat hari lagi, beliau tidak
shalat bersama kami. Namun ketika malam tinggal tersisa tiga hari, beliau mengumpulkan
keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada; kemudian shalat bersama kami hingga
kami khawatir tertinggal waktu falah. Aku pernah bertanya : ”Apa makna falah itu ?”. Beliau
shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Waktu sahur”. Kemudian beliau kembali tidak shalat
bersama kami pada sisa malam di bulan Ramadlan tersebut.

[Diriwayatkan oleh empat imam, dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi]1.

Beberapa Faidah dan Hukum yang Terkandung dalam Hadits di Atas :

1. Disunnahkannya shalat tarawih. Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam


melakukannya dengan berjama’ah bersama manusia dan kemudian meninggalkannya
karena takut diwajibkan atas kaum muslimin.

1
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1375), At-Tirmidzi (no. 806) dan ia berkata : Hasan shahih, An-Nasa’i (3/83),
Ibnu Maajah (no. 1327), Ahmad (5/163). Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 2205) dan Ibnu Hibban (no. 2547).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

2. Disyari’atkannya shalat tarawih bagi wanita di masjid secara berjama’ah bersama kaum
muslimin, dikarenakan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam mengumpulkan keluarganya,
istri-istrinya, dan orang-orang yang ada yang kemudian shalat bersama mereka.
3. Barangsiapa yang shalat bersama imam hingga ia selesai dari shalatnya tersebut, maka
dituliskan baginya shalat semalam suntuk yang ia shalat berjama’ah bersama imam
tersebut. Sudah sepatutnya bagi seorang muslimin untuk tidak melalaikan kebaikan
yang sangat besar ini. Ia harus tamak dan bersemangat untuk menyempurnakan shalat
tarawih berjama’ah bersama kaum muslimin pada setiap malam bulan Ramadlan. Imam
Ahmad rahimahullah pernah ditanya : «”Mana yang engkau senangi shalatnya
seseorang bersama manusia di bulan Ramadlan ataukah ia shalat sendirian ?. Maka
beliau menjawab : ”Jika ia shalat bersama manusia, maka ia telah menghidupkan
sunnah”. Beliau menambahkan : ”Aku menyukai untuk shalat bersama imam dan witir
bersamanya” ».2
4. Bahwasannya yang menjadi sunnah dalam shalat tarawih adalah mengerjakan di awal
waktu malam sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan
para shahabatnya radliyallaahu ’anhum. Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya :
«”Bagaimana pendapatmu) mengakhirkan shalat – yaitu tarawih – hingga akhir malam
?”. Maka beliau menjawab : ”Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku cintai (yaitu shalat
di awal waktu malam)” » 3. Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : «”Apabila
orang-orang menyepakati untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat witir pada waktu
akhir malam ?”. Maka beliau menjawab : ”Shalat mereka secara berjama’ah bersama
manusia pada waktu awal malam lebih utama”».
5. Apabila pada diri seseorang terdapat semangat dan kekuatan untuk melakukan ibadah
dimana ia menyempurnakan shalatnya bersama manusia di awal malam dan kemudian
ia melanjutkan shalat bagi dirinya sendiri di akhir malam sesuai dengan
kesanggupannya, maka ia telah mengumpulkan dua kebaikan sekaligus : a) kebaikan
shalat berjama’ah bersama imam hingga selesai, dan b) kebaikan shalat di akhir malam.4

Diterjemahkan oleh Abul-Jauzaa’ dari buku Al-Muntaqaa lil-Hadiitsi fii Ramadlaan oleh Ibrahim
bin Muhammad Al-Haqiil, Cet. 1/1427, halaman 99-100.

2
Tuhfatul-Ahwadzi (3/448). Lihat pula Al-Mughni (1/457).
3
Al-Mugni (1/457).

4
Penulis berpendapat bolehnya melaksanakan shalat tarawih lebih dari 11 atau 13 raka’at tanpa batasan bilangan
tertentu – Abul-Jauzaa’.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

3. Lailatul-Qadar dan Nuzulul-Qur’an

Artikel ini adalah tambahan dari apa yang telah dituliskan pada artikel Ringkasan Hukum-
Hukum dalam Bulan Ramadlan.

Allah ta’ala berfirman :

‫ﻭﺡ‬‫ﺍﻟﺮ‬‫ﻜﹶﺔﹸ ﻭ‬‫ﻼﹶﺋ‬‫ﻝﹸ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺰ‬‫ﻨ‬‫ﺮﹴ * ﺗ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ ﺃﹶﻟﹾﻒ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺭﹺ ﺧ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﺭﹺ * ﻟﹶﻴ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﺂ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﺭﹺ * ﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﻠﹶﺔ‬‫ﻲ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﻩ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧﺰ‬‫ﺇﹺﻧ‬
‫ﺮﹺ‬‫ﻄﹾﻠﹶﻊﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ ﻣ‬‫ﻰ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬‫ﻲ‬‫ ﻫ‬‫ﻼﹶﻡ‬‫ﺮﹴ * ﺳ‬‫ﻦ ﻛﹸﻞﹼ ﺃﹶﻣ‬‫ﻬﹺﻢ ﻣ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺎ ﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻥ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻓ‬

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah
kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada
malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr : 1-5).

Mengapa Disebut Lailatul-Qadar ?

Lailatul-Qadar diambil dari dua rangkaian kata, yaitu Lailah [‫ﻠﹶﺔ‬‫ ]ﻟﹶﻴ‬dan Qadr [‫ﺭ‬‫]ﻗﹶﺪ‬. Lailah berarti
malam. Dipilihnya malam hari, bukan siang hari, menujukkannya keistimewaan waktu tersebut.
Allah dan Rasul-Nya seringkali menyebut waktu malam yang mengandung pengkhususan dan
pengistimewaan.

‫ﺂ‬‫ﻨ‬‫ﺎﺗ‬‫ ﺁﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻪ ﻣ‬ ‫ﺮﹺﻳ‬‫ﻨ‬‫ ﻟ‬‫ﻟﹶﻪ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﻛﹾﻨ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻱ ﺑ‬‫ﻰ ﺍﻟﹼﺬ‬‫ ﺍﻷﻗﹾﺼ‬‫ﺠﹺﺪ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺍﻡﹺ ﺇﹺﻟﹶﻰ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺠﹺﺪ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻼﹰ ﻣ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﻩ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﺑﹺﻌ‬‫ﻯ‬‫ﺮ‬‫ﻱ ﺃﹶﺳ‬‫ﺎﻥﹶ ﺍﻟﹼﺬ‬‫ﺤ‬‫ﺒ‬‫ﺳ‬
‫ﲑ‬‫ﺼ‬‫ ﺍﻟﺒ‬‫ﻴﻊ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﻪ‬‫ﺇﹺﻧ‬

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil-
Haram ke Al Masjidil-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Israa’ : 1).

‫ﻳﻦ‬‫ﺍﻟﹼﺬ‬‫ﻮﻥﹶ ﻭ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻮﹺﻱ ﺍﻟﹼﺬ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﻞﹾ ﻳ‬‫ ﻗﹸﻞﹾ ﻫ‬‫ﻪ‬‫ﺑ‬‫ﺔﹶ ﺭ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ﻮﺍﹾ ﺭ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺓﹶ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻻﹶﺧ‬‫ﺬﹶﺭ‬‫ﺤ‬‫ﻤﺎﹰ ﻳ‬‫ﻗﹶﺂﺋ‬‫ﺎﺟﹺﺪﺍﹰ ﻭ‬‫ﻞﹺ ﺳ‬‫ﺂﺀَ ﺍﻟﻠﹼﻴ‬‫ ﺁﻧ‬‫ ﻗﹶﺎﻧﹺﺖ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﺃﹶﻣ‬
‫ﺎﺏﹺ‬‫ﻟﹸﻮ ﺍﻷﻟﹾﺒ‬‫ ﺃﹸﻭ‬‫ﺬﹶﻛﹼﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ﻮﻥﹶ ﺇﹺﻧ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻻﹶ ﻳ‬

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-
waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui


dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar : 9).

‫ﻮﻡﹺ‬‫ﺠ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺑ‬‫ﺇﹺﺩ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﺤ‬‫ﺒ‬‫ﻞﹺ ﻓﹶﺴ‬‫ ﺍﻟﻠﹼﻴ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ * ﻭ‬‫ﻘﹸﻮﻡ‬‫ ﺗ‬‫ﲔ‬‫ ﺣ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﺑﹺﺤ‬‫ﺢ‬‫ﺒ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨﹺﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑﹺﺄﹶﻋ‬‫ﻚ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﻜﹾﻢﹺ ﺭ‬‫ﺤ‬‫ ﻟ‬‫ﺒﹺﺮ‬‫ﺍﺻ‬‫ﻭ‬

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada
dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun
berdiri Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam
bintang-bintang (di waktu fajar). (QS. Thuur : 49).

‫ﻳﱰﻝ ﺭﺑﻨﺎ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﱃ ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﺇﱃ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺣﲔ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻠﺚ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﺍﻵﺧﺮ ﻳﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﻳﺪﻋﻮﱐ ﻓﺄﺳﺘﺠﻴﺐ ﻟﻪ‬
‫ﻣﻦ ﻳﺴﺄﻟﲏ ﻓﺄﻋﻄﻴﻪ ﻣﻦ ﻳﺴﺘﻐﻔﺮﱐ ﻓﺄﻏﻔﺮ ﻟﻪ‬

“Rabb kami tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tinggal
sepertiga malam terakhir, lalu berfirman : Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan
Aku kabulkan doanya. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi
permintaannya. Dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku akan
mengampuninya” (HR. Al-Bukhari nomor 1145 dan Muslim nomor 758).

Keutamaan malam yang disebutkan di sini (dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabawy) dikarenakan
waktu malam adalah waktu yang terdapat kebeningan hati, keikhlasan, dan ketenangan jiwa
dari kesibukan (Lihat Adlwaaul-Bayan 9/393 oleh Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi).

Adapun makna Qadr, para ulama berselisih pendapat. Diantaranya adalah :

1. Al-Qadr bermakna “Kemuliaan”. Makna ini sebagaimana diisyaratkan dalam firman


Allah ta’ala :

‫ﺭﹺﻩ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ﻖ‬‫ ﺣ‬‫ﻭﺍﹾ ﺍﻟﻠﹼﻪ‬‫ﺭ‬‫ﺎ ﻗﹶﺪ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬

“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya” (QS.
Al-An’aam : 91).

Sehingga, Lailatul-Qadar di sini mempunyai arti : Malam yang mempunyai kemuliaan


yang sangat besar – yaitu malam dimana turunnya Al-Qur’an dan malam turunnya
malaikat yang membawa keberkahan/kesejahteraan.

Allah telah berfirman :


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﻗﹶﺎﻥ‬‫ﺍﻟﹾﻔﹸﺮ‬‫ ﻭ‬‫ﻯ‬‫ﺪ‬‫ ﺍﻟﹾﻬ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﺎﺱﹺ ﻭ‬‫ﻯ ﻟﹼﻠﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺁﻥﹸ ﻫ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹸﺮ‬‫ﻴﻪ‬‫ﺰﹺﻝﹶ ﻓ‬‫ ﺃﹸﻧ‬‫ﻱ‬‫ﺎﻥﹶ ﺍﻟﹼﺬ‬‫ﻀ‬‫ﻣ‬‫ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻬ‬‫ﺷ‬

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS.
Al-Baqarah : 185).

‫ﺭﹺﻳﻦ‬‫ﻨﺬ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺎ ﻛﹸﻨ‬‫ ﺇﹺﻧ‬‫ﻛﹶﺔ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺒ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﺔ‬‫ﻲ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﻩ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺂ ﺃﹶﻧﺰ‬‫ﺒﹺﲔﹺ * ﺇﹺﻧ‬‫ﺎﺏﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﻜ‬‫ * ﻭ‬‫ﺣﻢ‬

“Haa miim. Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang
memberi peringatan” (QS. Ad-Dukhaan : 1-3).

‫ﻝﹸ‬‫ﺰ‬‫ﻨ‬‫ﺮﹴ * ﺗ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ ﺃﹶﻟﹾﻒ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺭﹺ ﺧ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﺭﹺ * ﻟﹶﻴ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﺍﻙ‬‫ﺭ‬‫ﺂ ﺃﹶﺩ‬‫ﻣ‬‫ﺭﹺ * ﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﺪ‬‫ﻠﹶﺔ‬‫ﻲ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﻩ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧﺰ‬‫ﺇﹺﻧ‬
‫ﺮﹺ‬‫ﻄﹾﻠﹶﻊﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ ﻣ‬‫ﻰ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬‫ﻲ‬‫ ﻫ‬‫ﻼﹶﻡ‬‫ﺮﹴ * ﺳ‬‫ﻦ ﻛﹸﻞﹼ ﺃﹶﻣ‬‫ﻬﹺﻢ ﻣ‬‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﺎ ﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻥ‬‫ﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﻭﺡ‬‫ﺍﻟﺮ‬‫ﻜﹶﺔﹸ ﻭ‬‫ﻼﹶﺋ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan
tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu
bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya
untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
(QS. Al-Qadr : 1-5).

Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada kita sebab dimuliakannya Lailatul-Qadr.


Sekaligus, sebagai bantahan terhadap kesalahan tentang anggapan sebagian masyarakat
kita bahwasannya Al-Qur’an diturunkan pada tanggal 17 Ramadlan yang terkenal
dengan perayaan Nuzulul-Qur’an1. Telah jelas bagi kita – sebagaimana penjelasan para
1
Peringatan Nuzulul-Qur’an tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, para shahabat,
tabi’in, tabi’ut-tabi’in ataupun para ulama mu’tabar nan masyhur dalam Islam. Peringatan tersebut hanyalah
diadakan oleh generasi belakang dalam Islam. Hukumnya adalah bid’ah terlarang. Bukankah Islam ini dijalankan
melalui dalil dan contoh ? Apabila tidak ada dalil dan contoh (baik bersifat umum atau khusus), maka tidak boleh
kita mengada-adakannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﻋﻤﻼ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ‬

"Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan bukan atas perintah/agama kami maka itu tertolak." [HR Muslim
dari 'Aisyah].

Apabila ada yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan untuk syi’ar agama Islam, maka kita katakan : Justru pada
awal perkembangan Islam dulu – jika hal itu merupakan amalan yang disyari’atkan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam – tentu alasan itu lebih layak untuk diamalkan. Islam masih dalam tahap penyebaran. Namun
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

ulama – bahwa Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada bulan Ramadlan, tepatnya pada
waktu Lailatul-Qadar. Lailatul Qadar tidaklah jatuh pada tanggal 17 Ramadlan,
melainkan pada 10 hari terakhir (malam-malam ganjil) pada bulan Ramadlan menurut
pendapat/riwayat yang kuat. Bahkan dalam satu hadits disebutkan :

‫ﺃﻧﺰﻟﺖ ﺻﺤﻒ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﰲ ﺃﻭﻝ ﻟﻴﻠﺔ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺃﻧﺰﻟﺖ ﺍﻟﺘﻮﺭﺍﺓ ﻟﺴﺖ ﻣﻀﲔ ﻣﻦ‬
‫ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺍﻹﳒﻴﻞ ﻟﺜﻼﺙ ﻋﺸﺮﺓ ﺧﻠﺖ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺍﻧﺰﻝ ﺍﻟﻔﺮﻗﺎﻥ ﻷﺭﺑﻊ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺧﻠﺖ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬

“Shuhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan


Ramadlan. Taurat diturunkan pada tanggal 6 Ramadlan, Injil diturunkan pada tanggal 13
Ramadlan, dan Al-Furqaan (Al-Qur’an) diturunkan pada tanggal 24 Ramadlan” (HR.
Ahmad 4/107, Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 22/75, An-Na’ali 131/2, Abdul-Ghani Al-
Maqdisi dalam Fadlaailul Ramadlan 53/1, dan Ibnu ‘Asakir 2/167/1; lihat Silsilah Ash-
Shahihah nomor 1575).

Para ulama pun telah berselisih pendapat mengenai turunnya Al-Qur’an dalam ayat
tersebut. Satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Al-Qur’an
sekaligus dari Lauh Mahfudh ke langit pertama dunia (Baitul-‘Izzah). Sedangkan
pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah permulaan turunnya Al-
Qur’an (sebagaimana riwayat masyhur tentang turunnya QS. Al-‘Alaq 1-5). Wallaahu
a’lam.

2. Al-Qadr bermakna Penetapan. Maksudnya, Lailatul-Qadr merupakan malam penetapan


dan pengaturan Allah bagi perjalanan hidup manusia selama setahun. Alla berfirman :

‫ﻴﻢﹴ‬‫ﻜ‬‫ﺮﹴ ﺣ‬‫ ﻛﹸﻞﹼ ﺃﻣ‬‫ﻕ‬‫ﻔﹾﺮ‬‫ﻴﻬﺎ ﻳ‬‫ﻓ‬

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad-Dukhaan : 4).

Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata :

tetap saja beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, para shahabat, dan para ulama setelahnya TIDAK melaksanakannya.
Itu merupakan pertanda yang jelas bahwa amalan peringatan Nuzulul-Qur’an bukan merupakan syari’at Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam (walau sebagian orang menganggapnya BAIK). Imam Asy-Syafi’i telah berkata : ‫ﻣﻦ‬
‫( اﺳﺘﺤﺴﻦ ﻓﻘﺪ ﺷﺮع‬Barangsiapa yang telah menganggap baik suatu amal ibadah (tanpa berlandaskan dalil), maka
sungguh ia telah membuat syariat). Dan membuat syari’at itu haram hukumnya, karena hal itu merupakan otoritas
Allah ta’ala saja.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﻳﻜﺘﺐ ﻣﻦ ﺃﻡ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﰲ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻛﺎﺋﻦ ﰲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻣﻦ ﺍﳋﲑ ﻭﺍﻟﺸﺮ ﻭﺍﻷﺭﺯﺍﻕ ﻭﺍﻵﺟﺎﻝ ﺣﱴ‬
‫ﺍﳊﺠﺎﺝ‬

“Dicatat di Ummul-Kitaab pada Lailatul-Qadr segala hal yang terjadi pada setahun ke
depan berupa kebaikan, keburukan, rizki, ajal, hingga keberangkatan menuju ibadah
haji” (Tafsir Al-Baghawi QS. Ad-Dukhaan : 4). Hal yang semakna juga diungkapkan oleh
Mujahid, Qatadah, Abu Malik, dan yang lainnya (lihat Tafsir Ath-Thabari QS. Ad-
Dukhaan : 4).

Tidak ada pertentangan antara dua makna di atas, karena dua-duanya terjadi secara bersamaan
dan menambah kemuliaan malam Lailatul-Qadr.

Semoga Allah menyampaikan kita untuk mendapatkan kemuliaan Lailatul-Qadr di bulan


Ramadlan ini.

Semoga ada manfaatnya --- Abul-Jauzaa’, Ramadlan 1429 H.


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

4. Hadits-Hadits tentang Menghidupkan Malam Hari Raya


[Takbiran Semalam Suntuk ?]

Ketika malam hari raya, sudah menjadi tradisi pada sebagian masyarakat kita untuk berkumpul
di masjid guna melakukan ibadah. Bahkan pada banyak daerah, kaum muslimin melakukan
pawai atau kirab dengan mengumandangkan takbir. Orang Jawa bilang : ”Takbiran”. Yang kelas
perkotaan, pawainya dengan mobil plus sound system lengkap bak kirab tujuhbelasan. Yang
kelas kampung, cukup jalan kaki dengan membawa obor bambu. Walaupun bermacam-macam
bentuk dan model, kebanyakan mereka mempunyai kesamaan motif dalam hal alasan
melakukan perbuatan tersebut, yaitu : ibadah di malam hari raya (baik ’Iedul-Fithri maupun
’Iedul-Adlhaa) mempunyai keutamaan besar menurut syari’at. Namun, kita juga tidak menutup
mata atas realitas bahwa banyak pula di antara mereka yang sekedar ikut-ikutan untuk hura-
hura daripada di rumah tidak ada kerjaan. Lumayan bisa kumpul sama teman-teman dan ”kota-
kota” 1.

Sebagian asatidzah dan da’i yang menjadi motor kegiatan tersebut seringkali menyebut
beberapa hadits yang mereka gunakan sebagai pijakan. Tentu saja, mereka lakukan itu untuk
memenuhi aspek legalitas. Melalui tulisan ini, saya akan mengajak pembaca sekalian untuk
mencermati validitas hadits-hadits yang mereka gunakan sehingga kita mengetahui seberapa
legal aktifitas tersebut dari kaca mata syari’at. Jika legal, tentu saja itu termasuk sunnah yang
sudah semestinya diamalkan lagi dilestarikan. Namun jika ilegal, maka dengan ”sangat
menyesal” kita katakan bahwa hal itu adalah bid’ah yang wajib untuk kita tinggalkan.

Beberapa hadits tersebut antara lain adalah :

Pertama :

‫ﺏ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹸﻠﹸﻮ‬‫ﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻪ‬‫ ﻗﹶﻠﹾﺒ‬‫ﺖ‬‫ﻤ‬‫ ﻳ‬‫ ﻟﹶﻢ‬, ‫ﻰ‬‫ﺤ‬‫ﻠﹶﺔﹶ ﺍﻟﹾﺄﹶﺿ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﻄﹾﺮﹺ ﻭ‬‫ﻠﹶﺔﹶ ﺍﻟﹾﻔ‬‫ﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ﻴ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬

”Barangsiapa yang menghidupkan malam ’Iedul-Fithri dan malam ’Iedul-Adlhaa, niscaya


hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati-hati”.

Al-Haitsami berkata pada Al-Majma’ (2/198) : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir
dan Al-Ausath dari ’Ubadah bin Ash-Shaamit. Dan di dalamnya ada perawi yang bernama ’Umar

1
Maksudnya : putar-putar kota.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

bin Harun Al-Balkhiy. Yang lebih banyak ada padanya adalah kelemahan. Ibnu Mahdi dan yang
lainnya memujinya, namun golongan yang banyak telah melemahkannya”.

Asy-Syaikh Al-Albani berkata : ”Ibnu Mahdi mempunyai perkataan yang lain mengenai ’Umar
bin Harun yang bertentangan dengan di atas dimana ia berkata : ’Ia tidak ada nilainya di sisiku”
! Ibnu Ma’in dan Shaalih Jazarah berkomentar tentang ’Umar bin Harun : ”Pendusta”. Hal yang
sama dikatakan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat (2/142). Ibnul-Jauzi menyebutkan baginya
sebuah hadits yang ia menuduhnya memalsukannya.

Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqrib (hal. 728 no. 5014) : ”Matruk”. Ibnu Hibban
memasukkannya dalam jajaran perawi lemah dalam kitab Al-Majruuhiin (2/63 no. 650).

Adz-Dzahabi mengumpulkan banyak jarh (celaan) atas dirinya dari para ulama dalam kitabnya
Mizaanul-I’tidaal (3/228-229 no. 6237), diantaranya adalah : ”..... Telah berkata Ibnu Mahdi,
Ahmad, dan An-Nasa’i : ’Matruk’. Yahya (bin Ma’in) berkata : ’Pendusta yang jelek’. Abu Dawud
berkata : ’Tidak tsiqah’. ’Ali dan Ad-Daruquthni berkata : ’Dla’if jiddan (sangat lemah)’. Ibnul-
Madini berkata : ’Dla’if jiddan’. Shalih Jazarah berkata : ’Pendusta’. Zakariyya As-Saajiy berkata :
’Padanya terdapat kelemahan’. Abu ’Ali An-Naisabury berkata : ’Matruk’.....”.

Kesimpulannya, hadits ini adalah maudlu’ (palsu).

Kedua :

‫ﺏ‬
 ‫ ﺍﻟﹾﻘﹸﻠﹸﻮ‬‫ﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻪ‬‫ ﻗﹶﻠﹾﺒ‬‫ﺖ‬‫ﻤ‬‫ ﻳ‬‫ ﻟﹶﻢ‬, ِ‫ﺒﺎﹰ ﷲ‬‫ﺴ‬‫ﺘ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻴ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻠﹶﺘ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ ﻗﹶﺎﻡ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬

”Barangsiapa yang beribadah pada dua malam hari raya (yaitu ’Iedul-Fithri dan ’Iedul-Adlhaa),
niscaya hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati-hati”.

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1/542) dari Baqiyyah bin Al-Waliid, dari Tsaur bin Yaziid, dari
Khaalid bin Mi’daan, dari Abu Umaamah secara marfu’. Berkata pengarang Az-Zawaaid :
”Sanadnya dla’if karena tadlis yang dilakukan Baqiyyah”. Al-’Iraqy berkata dalam Takhriij Al-
Ihyaa’ (1/328) : ”Sanadnya dla’if”.

Asy-Syaikh Al-Albani berkata : ”Tadlis yang dilakukan Baqiyyah ini adalah tadlis yang buruk,
karena ia meriwayatkan dari para pendusta, dari orang-orang tsiqaat. Kemudian ia
menggugurkan (tidak menyebutkan) para pendusta itu antara dia dan orang-orang tsiqaat
tersebut, serta melakukan tadlis dari mereka. Maka sangat boleh jadi gurunya yang tidak
disebutkan pada sanad hadits ini termasuk pada jajaran pendusta tadi”.

Ibnul-Qayyim berkata mengenai petunjuk pada malam nahar (yaitu malam ’Iedul-Adlhaa) dalam
kitab Al-Manaasik (1/212) : ”Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidur hingga waktu
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

shubuh. Beliau tidak menghidupkan malam tersebut. Tidak ada yang shahih satupun hadits
yang berasal dari beliau shallallaahu ’alaihi wasallam yang berbicara tentang menghidupkan
dua malam ’Iedain”.

Kesimpulannya, hadits ini dla’if jiddan (sangat lemah).

Ketiga :

‫ﻄﹾﺮﹺ‬‫ﻠﹶﺔﹶ ﺍﻟﹾﻔ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ﺮﹺ ﻭ‬‫ﺤ‬‫ﻠﹶﺔﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ﻓﹶﺔﹶ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻠﹶﺔﹶ ﻋ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺔ‬‫ﻭﹺﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻠﹶﺔﹶ ﺍﻟﺘ‬‫ ﻟﹶﻴ‬, ‫ﺔﹸ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬‫ﻊ‬‫ﺑ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ‬‫ﻲ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﻴ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬

”Barangsiapa yang menghidupkan empat jenis malam, maka wajib baginya surga : Malam
tarwiyyah (tanggal 8 Dzulhijjah), malam ’Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), malam Nahar (tanggal 10
Dzulhijjah), dam malam ’Iedul-Fithri (tanggal 1 Syawal)”.

Diriwayatkan oleh Nashr Al-Maqdisi dalam satu juz dari kitab Al-Amaaliy (186/2) dari Suwaid
bin Sa’iid, telah menceritakan kepadaku ’Abdurrahiim bin Zaid Al-’Ammiy, dari bapaknya, dari
Wahb bin Munabbih, dari Mu’adz bin Jabal secara marfu’. Sanad hadits ini adalah maudlu’
(palsu) sebagaimana akan datang penjelasannya. As-Suyuthi membawakannya dalam Al-
Jamii’ush-Shaghiir dari riwayat Ibnu ’Asakiir dari Mu’adz.

Akan tetapi pensyarah kitab tersebut, yaitu Al-Munawi, telah memberikan kritikan dengan
perkataannya : ”Ibnu Hajar berkata dalam Takhriij Al-Adzkaar : ’Hadits ghariib’. ’Abdurrahiim
bin Zaid Al-’Ammiy yang merupakan salah satu dari para perawi hadits tersebut adalah matruk.
Ibnul-Jauzi telah mendahului Ibnu Hajar dengan perkataannya : ’Hadits itu tidak shahih. Dan
tentang ’Abdurrahiim ini, Yahya (bin Ma’in) berkata : Pendusta. Adapun An-Nasa’i berkata :
Matruk”.

Asy-Syaikh Al-Albani berkata : ”Dan Suwaid bin Sa’id adalah termasuk perawi yang lemah juga.
Jadi sanad hadits tersebut adalah gelap, sebagian di atas sebagian yang lain. Hadits tersebut
dibawakan oleh Al-Mundziri dalam At-Targhiib (2/100) dengan lafadh : ”...lima jenis malam”,
dimana ia menambahkan di akhir hadits (selain dari empat jenis malam yang telah disebutkan
sebagaimana di atas) : ”dan malam Nishfu Sya’ban”. Kemudian setelah itu Al-Mundziri berkata :
”Diriwayatkan oleh Al-Ashbahani”. Ia mengisyaratkan tentang kelemahan atau kepalsuan hadits
tersebut.

Kesimpulannya, hadits ini adalah maudlu’ (palsu).

Dari ketiga hadits yang ada di atas dapat diketahui bahwa hadits-hadits itu tidak ada yang sah
dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka, menyandarkan perbuatan menghidupkan malam
’Iedul-Fithri dan malam ’Iedul-Adlhaa pada sabda atau perintah Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam adalah tidak dibenarkan.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Pada asalnya beribadah di waktu malam itu disyari’atkan, terutama pada sepertiga malam
terakhir. Namun mengkhususkan diri untuk beribadah pada malam ’Iedain plus diiringi i’tiqad
bahwasannya hal itu merupakan perintah yang dituntut dalam syari’at, maka masuk dalam
katagori bid’ah. Jika dikembalikan pada awal perbincangan, maka amalan ini termasuk amalan
illegal dalam Islam. Bahkan pada tataran realitas di lapangan, amalan ini malah banyak
suplemen maksiatnya. Takbiran malam hari raya dijadikan ajang gaul dan mejeng bagi para
muda-mudi. Ajang nongkrong bagi pemuda-pemuda pengangguran dengan ”genjrengan” gitar
plus ketipung yang mengiringi alunan takbir. Penghambur-hamburan uang dengan diadakannya
festival bedug (jadilah acara ini bid’ah di atas bid’ah). Mirisnya, festival bedug ini malah banyak
disponsori oleh pabrik rokok. Dan yang lainnya. Akhirmya,..... setelah lelah bergadang
semalaman dengan dalih takbiran, badan loyo mata ngantuk..... kumandang adzan shubuh di
masjid malah tidak mereka sambut. Shalat shubuh pun kesiangan. Efek lanjutannya, shalat ’Ied
pun bisa jadi mereka lakukan dengan penuh kelesuan. Ini di satu sisi. Adapun sisi lain, cara
takbiran yang mereka lakukan pun tidak sesuai dengan tata waktu yang dicontohkan Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam.2

Walhasil, ajakan di akhir tulisan ini hanyalah : Mari kita lakukan ap-apa yang dicontohkan, dan
meninggalkan apa-apa yang tidak dicontohkan (apalagi yang jelas-jelas dilarang). Sederhana
bukan ? Orang Jawa bilang : Gedhang woh pakel, ngomong gampang nglakoni angel. Ya,....
semoga kita tidak termasuk objek sindiran pepatah Jawa ini. Wallaahu a’lam.

Abul-Jauzaa’.

2
Sunnah telah memberikan penjelasan bahwasannya takbir hari raya ‘Iedul-Fithri dilakukan pada saat seseorang
keluar dari rumahnya menuju tanah lapang untuk menunaikan shalat ‘Ied dan berakhir saat imam menegakkan
shalat. Dasarnya adalah :

‫ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﳜﺮﺝ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻓﻴﻜﱪ ﺣﱴ ﻳﺄﰐ ﺍﳌﺼﻠﻰ ﻭﺣﱴ ﻳﻘﻀﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺈﺫﺍ ﻗﻀﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻗﻄﻊ ﺍﻟﺘﻜﺒﲑ‬

“Bahwasannya bila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar (dari rumah beliau) pada hari ‘Iedul-Fithri, maka
beliau bertakbir hingga tiba di tanah lapang dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan
shalat beliau menghentikan takbir” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 4/192-193 no. 5667 dan Al-
Muhamili dalam Kitab Shalatul-‘Iedaian dengan sanad mursal shahih. Namun memiliki pendukung yang
menguatkannya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 171].

Adapun takbir hari raya ‘Iedul-Adlhaa dilakukan semenjak fajar hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) hingga
berakhirnya hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) berdasarkan pengamalan dari beberapa orang shahabat seperti ‘Ali
dan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhuma [sebagaimana yang disitir oleh Ash-Shan’any dalam Subuulus-Salaam
2/101, Daarul-Hadits, Cet. 1, 1425 H].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

[takhrij hadits di atas terutama sekali bersandar pada kitab Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah
wal-Ma’dluu’ah karya Asy-Syaikh Al-Albani 2/11-12 no. 520-522, Maktabah Al-Ma’arif, Cet. 5,
1412 – dengan sedikit tambahan dari Taqribut-Tahdzib karya Al-Hafidh Ibnu Hajar, tahqiq Abu
Asybal Al-Bakistaniy, Daarul-’Ashimah, tanpa tahun; Al-Majruhiin minal-Muhadditsiin karya Al-
Hafidh Ibnu Hibban, tahqiq Majdi ’Abdul-Majid As-Salafy, Daarush-Shumai’i, Cet. 1, 1420; dan
Mizaanul-I’tidaal karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi, tahqiq ’Ali Muhammad Al-Bajawi, Daarul-
Ma’rifah, tanpa tahun]
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

5. Imsak-Imsak….. Saatnya Berhenti Makan !!

Begitulah yang sering kita dengar 10-15 menit sebelum adzan Shubuh berkumandang….. Tidak
lupa diiringi kentongan, sirine, atau peringatan-peringatan semisal yang disuarakan lewat
speaker masjid. Katanya, jika waktu imsak telah datang kita sudah tidak diperbolehkan lagi
makan dan minum karena termasuk waktu makruh – dan bahkan sebagian lain mengatakan
waktu yang haram (untuk makan dan minum).

Di bawah ini akan disajikan tulisan ringan yang berisi beberapa hadits/atsar serta penjelasan
ulama yang berkaitan dengan imsak puasa untuk mendudukkan perbuatan tersebut dalam
syari’at Islam.

‫ ﻗﹶﺎﻡ‬‫ﻮﻝﹺ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺛﹸﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻊ ﺭ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺴ‬‫ ﺗ‬:‫ﺎ ﻗﺎﻝ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻲ ﺍﷲ ﻋ‬‫ﺿ‬‫ ﺭ‬‫ﻦ ﺛﹶﺎﺑﹺﺖ‬‫ﺪ ﺑ‬‫ ﺯﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ ﺍﻧﺲ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
‫ﻼﺓ‬‫ﺇﱃ ﺍﻟﺼ‬.

‫ ﺁﻳﺔ‬‫ﺴِﲔ‬‫ﻤ‬‫ ﺧ‬‫ﺭ‬‫ ﻗﹶﺪ‬:‫ﻮﺭﹺ؟ ﻗﺎﻝ‬‫ﺤ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻷﺫﹶﺍﻥ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺑ‬‫ ﻛﹶﻢ‬: ‫ﺪ‬‫ﺰﻳ‬‫ ﻟ‬‫ ﻗﹸﻠﹾﺖ‬:‫ ﻗﺎﻝ ﺃﻧﺲ‬.

Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : ”Kami pernah makan
sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berdiri untuk shalat.
Maka saya (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur?”. Ia (Zaid)
menjawab : ‫( ﲬﺴﲔ ﺁﻳﺔ‬kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” [Diriwayatkan oleh Al-
Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097].

Yang dimaksud adzan di sini adalah iqamat.

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Aali Bassam dalam Taisirul-‘Allam Syarh ‘Umdatil-
Ahkaam (1/569-570 no. 177) mengatakan bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut
adalah iqamat. Iqamat disebut juga dengan adzan sebagaimana hadits :

‫ ﳌﻦ ﺷﺎﺀ‬- ‫ ﺛﻼﺛﺎ‬- ‫ ﺑﲔ ﻛﻞ ﺃﺫﺍﻧﲔ ﺻﻼﺓ‬: ‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻣﻐﻔﻞ ﺍﳌﺰﱐ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ‬.

Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Al-Muzanniy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam pernah bersabda : “Diantara dua adzan ada shalat – beliau mengatakannya tiga kali –
bagi siapa saja yang ingin melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 624, Muslim no.
838, Ad-Daarimiy no. 1480, dan Ibnu Hibbaan no. 1559-1561].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Juga, sahur yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat adalah
mendekati adzan shubuh atau bahkan (selesai) mendekati iqamat. Hal itu ditunjukkan oleh
beberapa qarinah (keterangan) riwayat sebagai berikut :

1. Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi


wasallam bersabda :

‫ﺇﺫﺍ ﲰﻊ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺍﻟﻨﺪﺍﺀ ﻭﺍﻹﻧﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻩ ﻓﻼ ﻳﻀﻌﻪ ﺣﱴ ﻳﻘﻀﻲ ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻣﻨﻪ‬

“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana


(minumnya) ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan
keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 10637 dan Abu
Dawud no. 2350 dengan sanad hasan; lihat Al-Jaami’ush-Shahiih 2/418-419 oleh Asy-
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i].

2. Hadits maushul yang diriwayatkan dari Al-Husain bin Waqid dari Abu Umamah, ia
berkata :

‫ﺎ‬‫ﺎ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﻓﺸﺮ‬‫ﺃﻗﻴﻤﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻹﻧﺎﺀ ﰲ ﻳﺪ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﺃﺷﺮ‬

“Pernah iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di tangan Umar (bin


Khaththab) radliyallaahu ‘anhu. Dia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam : Apakah aku boleh meminumnya?”. Beliau menjawab : “Boleh”. Maka Umar
pun meminumnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir 3/527/3017 dengan dua sanad
darinya; shahih].

3. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah dari Abu Zubair, ia berkata : Aku pernah
bertanya kepada Jabir tentang seseorang yang bermaksud puasa sedangkan ia masih
memegang gelas untuk minum, kemudian ia mendengar adzan. Jabir menjawab :

‫ ﻟﻴﺸﺮﺏ‬: ‫ﻛﻨﺎ ﻧﺘﺤﺪﺙ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ‬

“Kami pernah mengatakan hal seperti itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
dan beliau bersabda : ‘Hendaklah ia minum’” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/348 no.
14797 dan ia berkata : Telah meriwayatkan pada kami Musa, ia berkata : Telah
meriwayatkan kepada kami Ibnu Lahi’ah].

Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Isnad ini tidak mengapa (dapat dipakai), jika untuk
penguat. Al-Walid bin Muslim juga meriwayatkannya dari Ibnu Lahi’ah [Diriwayatkan
oleh Abul-Husain Al-Kilabi dalam Nuskhah Abul-‘Abbas Thahir bin Muhammad]”.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Perawi-perawinya tsiqaat, para perawi Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah, karena jelek
hafalannya. Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma’ (3/153) : “Diriwayatkan oleh Ahmad
dan isnadnya hasan”. Berkata Syu’aib Al-Arna’uth : “Hasan lighairihi, dan sanad hadits ini
adalah dla’if karena jeleknya hapalan Ibnu Lahi’ah”.

4. Hadits yang dikeluarkan oleh Ishaq dari Abdullah bin Mu’aqal dari Bilal, ia berkata :

‫ ﰒ‬, ‫ ﻓﺪﻋﺎ ﺑﺈﻧﺎﺀ ﻓﺸﺮﺏ‬, ‫ ﻭ ﻫﻮ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ‬, ‫ﺃﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻭﺫﻧﻪ ﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻔﺠﺮ‬
‫ ﰒ ﺧﺮﺟﻨﺎ ﺇﱃ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬, ‫ﻧﺎﻭﻟﲏ ﻓﺸﺮﺑﺖ‬

“Aku pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk adzan shalat
shubuh, padahal beliau akan berpuasa. Kemudian beliau meminta segelas air untuk
minum. Setelah itu beliau mengajakku untuk minum dan kami keluar untuk shalat”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir no. 3018 dan 3019, Ahmad 6/12 no. 23935, dan perawi-
perawinya tsiqaat, para perawi Al-Bukhari dan Muslim. Namun sanad hadits ini adalah
dla’if, karena tidak diketahui penyimakan ‘Abdullah bin Ma’qil Al-Muzanniy dari Bilaal.
Ada riwayat lain yang semakna dari Ja’far bin Barqan dari Syaddaad maula ‘Iyadl bin
‘Amir dari Bilal, namun ia juga lemah karena jahalah Syaddaad - sebagaimana
diriwayatkan oleh Ahmad 6/13 no. 23947].

5. Muthi’ bin Rasyid meriwayatkan : Telah menceritakan kepada kami Taubah Al-Anbariy
bahwa ia mendengar Anas bin Malik berkata :

, ‫ ﺍﳌﺴﺠﺪ‬- ‫ ﻳﻌﲏ‬- ‫ ﻓﺪﺧﻠﺖ‬, ‫ " ﺃﻧﻈﺮ ﻣﻦ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﻓﺎﺩﻋﻪ‬: ‫ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ ﻓﺼﻠﻰ‬, ‫ ﰒ ﺧﺮﺟﻮﺍ‬, ‫ ﻓﺄﻛﻞ ﻭ ﺃﻛﻠﻮﺍ‬, ‫ ﻓﻮﺿﻌﺘﻪ ﺑﲔ ﻳﺪﻳﻪ‬, ‫ ﻓﺄﺗﻴﺘﻪ ﺑﺸﻲﺀ‬, ‫ﻤﺎ‬‫ﻓﺈﺫﺍ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻭ ﻋﻤﺮ ﻓﺪﻋﻮ‬
‫ﻢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻐﺪﺍﺓ‬ "

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Lihatlah, siapa yang berada di


masjid. Panggillah ia !”. Kemudian aku (Anas) masuk masjid dan aku dapati Abu Bakr dan
‘Umar. Kemudian aku memanggil mereka, lalu aku bawakan suatu makanan dan aku
letakkan di depan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau makan bersama
mereka, setelah itu mereka keluar. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
shalat bersama mereka, yaitu shalat shubuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzar no. 993
dalam Kasyful-Astar dan ia berkata : “Kami tidak mengetahui Taubah menyandarkan
kepada Anas kecuali hadits ini dan satu hadits lain dan tidak meriwayatkan dua hadits
itu darinya – yaitu Anas - , kecuali Muthi’].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Az-Zawaid hal. 106 : “Isnad hadits ini hasan”. Asy-Syaikh
Al-Albani berkata : “Al-Imam Al-Haitsami berkata seperti itu juga (seperti perkataan Al-
Hafidh Ibnu Hajar) dalam Al-Majma’ (3/152)”.

6. Qais bin Rabi’ meriwayatkan dari Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’maa dari Tamim bin ‘Iyaadl
dari Ibnu ‘Umar ia berkata :

‫ ﻓﻘﺎﻝ‬, ‫ ﻓﺠﺎﺀ ﺑﻼﻝ ﻳﺆﺫﻧﻪ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ‬, ‫ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻘﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﻼﺛﺔ ﻋﻨﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ ﻭﻫﻮ ﻳﺘﺴﺤﺮ ﺑﺮﺃﺱ‬,‫ ﺭﻭﻳﺪﺍ ﻳﺎ ﺑﻼﻝ ! ﻳﺘﺴﺤﺮ ﻋﻠﻘﻤﺔ‬: ‫ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬

Alqamah bin Alatsah pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam


kemudian datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan. Kemudian Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tunggu sebentar wahai Bilal ! Alqamah sedang
makan sahur. – Dan ia (‘Alqamah) baru mulai makan sahur ” [Diriwayatkan oleh Ath-
Thayalisi no. 2010 dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir sebagaimana dalam Al-Majma’
3/153 dan ia berkata : “Qais bin Ar-Rabi’ dianggap tsiqah oleh Syu’bah dan Sufyan Ats-
Tsauri padahal padanya – yaitu Qais – ada pembicaraan].

Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Haditsnya (Qais) hasan jika ada syawahid-nya, karena
ia (Qais) sendiri shaduq (jujur). Hanya yang dikhawatirkan adalah jeleknya hafalannya.
Maka apabila ia meriwayatkan hadits yang sesuai dengan perawi-perawi tsiqat lainnya,
haditsnya dapat dipakai”.

Dr. Muhammad bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy (pen-tahqiq Musnad Abi Dawud Ath-
Thayalisiy) berkata : “Sanadnya dla’if, karena ke-dla’if-an Qais bin Ar-Rabii’”.

7. Diriwayatkan dari Syuhaib bin Gharqadah Al-Bariqi dari Hiban bin Harits ia berkata :

‫ ﻓﻠﻤﺎ ﻓﺮﻏﻨﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﺃﻣﺮ ﺍﳌﺆﺫﻥ ﻓﺄﻗﺎﻡ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬, ‫ﺗﺴﺤﺮﻧﺎ ﻣﻊ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻃﺎﻟﺐ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬

“Kami pernah makan sahur bersama ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Maka
ketika kami telah selesai makan sahur, ia (‘Ali) menyuruh muadzin untuk iqamat”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/106 dan Al-Muhlis dalam
Al-Fawaid Al-Munthaqah 8/11/1].

Perawi-perawinya tsiqat kecuali Hibban. Ibnu Abi Hatim 1/2/269 membawakan


riwayat ini dan ia tidak menyebutkan jarh ataupun ta’dil-nya. Sedangkan Ibnu Hibban
menulisnya dalam Ats-Tsiqaat.

[Lihat keseluruhan riwayat ini dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 1394].


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dengan melihat beberapa riwayat di atas jelaslah bagi kita bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabat makan sahur sampai hampir mendekati adzan atau bahkan
iqamat. Hampir dikatakan tidak ada jeda antara keduanya (sahur dan adzan). Maka, makna
kadar waktu 50 ayat itu merupakan kadar waktu selesai makan sahur sampai menjelang shalat
shubuh (iqamat). Bukan waktu berhentinya sahur sampai adzan.

Itulah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika
sebagian ulama menganggap perbuatan mengumandangkan waktu imsak sebelum waktu
shubuh sebagai perbuatan bid’ah. Telah berkata Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah tentang
keadaan imsak sahur di jamannya yang mirip-mirip dengan yang ada sekarang :

‫ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﳌﻨﻜﺮﺓ ﻣﺎ ﺃﺣﺪﺙ ﰲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻣﻦ ﺇﻳﻘﺎﻉ ﺍﻷﺫﺍﻥ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺑﻨﺤﻮ ﺛﻠﺚ ﺳﺎﻋﺔ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬
‫ﻭﺍﻃﻔﺎﺀ ﺍﳌﺼﺎﺑﻴﺢ ﺍﻟﱵ ﺟﻌﻠﺖ ﻋﻼﻣﺔ ﻟﺘﺤﺮﱘ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺯﻋﻤﺎ ﳑﻦ ﺃﺣﺪﺛﻪ ﺃﻧﻪ ﻟﻼﺣﺘﻴﺎﻁ‬
‫ﰲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺍﻻ ﺁﺣﺎﺩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻗﺪ ﺟﺮﻫﻢ ﺫﻟﻚ ﺇﱃ ﺃﻥ ﺻﺎﺭﻭﺍ ﻻ ﻳﺆﺫﻧﻮﻥ ﺍﻻ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻐﺮﻭﺏ ﺑﺪﺭﺟﺔ‬
‫ﻟﺘﻤﻜﲔ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﺯﻋﻤﻮﺍ ﻓﺎﺧﺮﻭﺍ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﻋﺠﻠﻮﺍ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﻭﺧﺎﻟﻔﻮﺍ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﻠﺬﻟﻚ ﻗﻞ ﻋﻨﻬﻢ ﺍﳋﲑ ﻭﻛﺜﲑ ﻓﻴﻬﻢ ﺍﻟﺸﺮ‬
‫ﻭﺍﷲ ﺍﳌﺴﺘﻌﺎﻥ‬

“Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang terjadi di jaman ini (jamannya Ibnu Hajar)
yaitu adanya pengumandangan adzan kedua tiga perempat jam sebelum waktu fajar bulan
Ramadlan. Serta memadam lampu-lampu sebagai pertanda telah datangnya waktu haram
untuk makan dan minum bagi yang berpuasa keesokan harinya. Orang yang berbuat seperti ini
beranggapan bahwa hal itu dimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang
mengetahui persis batas akhir sahur hanya segelintir manusia. Sikap hati-hati yang demikian,
juga menyebabkan mereka tidak diijinkan untuk berbuka puasa kecuali setelah matahari
terbenam beberapa saat agar lebih mantap lagi (menurut anggapan mereka). Akibatnya mereka
suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka mempercepat waktu sahur, dan suka menyalahi
Sunnah. Oleh sebab itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak mendapatkan
keburukan” [Fathul-Baariy, 4/199].

Hal di atas merupakan imsak versi jaman Ibnu Hajar dengan pengumandangan adzan tiga
perempat jam sebelum fajar plus memadamkan lampu sebagai tanda berhentinya makan dan
minum. Sungguh, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

‫ﻫﻠﻚ ﺍﳌﺘﻨﻄﻌﻮﻥ ﻗﺎﳍﺎ ﺛﻼﺛﺎ‬


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Telah binasa orang-orang terdahulu yang berlebih-lebihan” – beliau mengatakannya tiga kali
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2670].

Semoga kita bukan termasuk golongan yang binasa karena menyelisihi sunnah dan membuat
bid’ah dalam agama.

Wallaahu a’lam.

Catatan Penting :

1. Apa yang ditulis di sini bukan berarti menyuruh untuk berlambat-lambat makan sahur
mepet waktu Shubuh hingga kita tertinggal shalat Shubuh. Semua bisa diperkirakan.
Barangsiapa yang rumahnya jauh dengan masjid, maka ia dapat menyelesaikan makan
sahur dengan segera tanpa harus tertinggal shalat berjama’ah. Insya Allah ia
mendapatkan keutamaan mengakhirkan makan sahur sebagaimana dalam sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
2. Untuk menghindari salah paham, perlu kami tegaskan bahwa tulisan ini juga tidak
menganjurkan kaum muslimin untuk sahur setelah adzan shubuh dikumandangkan.
Atau bahkan sengaja sahur mendekati iqamat. Imsak puasa tetaplah berpatokan pada
ayat :

‫ﺮﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺩ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻷﺳ‬‫ﻂ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺾ‬‫ﻴ‬‫ﻂﹸ ﺍﻷﺑ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ّﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ّﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍ ﺣ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺍﺷ‬‫ﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻭ‬‫ﻭ‬

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar” [QS. Al-Baqarah : 187].

Tidak ada perubahan hukum dalam masalah ini berdasarkan nash dan ijma’ ulama.

Tulisan ini hanyalah mengkritisi adat kebiasaan masyarakat yang tidak ada dalilnya
dengan melakukan imsak makan minum beberapa saat sebelum adzan Shubuh
berkumandang – sehingga banyak di antara mereka kehilangan keutamaan
mengakhirkan sahur sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabat.

[Dihimpun oleh Abu Al-Jauzaa’ dari beberapa sumber, after midnight in Ramadlan Mubarak
1430 H].

Diedit kembali tanggal : 16 Ramadlan 1430 H. 1

1
Dikarenakan ada beberapa ikhwah yang salah paham akibat adanya kekurangjelasan yang ada pada tulisan
sebelumnya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah semata.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

6. Mana yang Afdlal (Lebih Utama) yang Dilakukan Ketika


Safar : Puasa atau Berbuka ? - revised

Pendapat Pertama : Berbuka adalah Afdlal

Di antara ulama yang memegang pendapat ini adalah Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Al-
Musayyib, Asy-Sya’biy, Al-Auza’iy, Ishaaq (bin Rahawaih), Ahmad dan yang masyhur dalam
madzhabnya, Ibnu Habiib, serta Ibnu Maajisyuun dari kalangan shahabat Maalik (bin Anas)
rahimahumullah. 1 Inilah yang menjadi pilihan Ibnu Taimiyyah rahimahullah.2

Dalil utama yang mereka pakai adalah :

‫ ﻓﻬﻞ‬.‫ﺓ ﻋﻠﻰ ﺻﻴﺎﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬‫ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ! ﺇﱐ ﺃﺟﺪ ﰊ ﻗﻮ‬: ‫ﻋﻦ ﲪﺰﺓ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻷﺳﻠﻤﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺐ‬،‫ﺎ ﻓﺤﺴﻦ‬ ‫ ﻓﻤﻦ ﺃﺧﺬ‬،‫ ))ﻫﻲ ﺭﺧﺼﺔ ﻣﻦ ﺍﷲ‬: ‫ﻋﻠﻲ ﺟﻨﺎﺡ ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫))ﺃﻥ ﻳﺼﻮﻡ ﻓﻼ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻪ‬.

Dari Hamzah bin ‘Amr Al-Aslamiy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku merasa kuat berpuasa dalam perjalanan/safar. Apakah dalam hal ini aku
berdosa ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berbuka merupakan
keringanan (rukhshah) dari Allah. Barangsiapa yang mengambil keringanan itu, maka baik, dan
barangsiapa yang senang untuk berpuasa, maka tidak ada dosa baginya” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1121, An-Nasa’iy no. 2303, Ibnu Maajah no. 2026, dan Al-Baihaqiy no. 7947].

Sisi pendalilannya adalah bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada
pihak yang berbuka puasa pada waktu safar : “Berbuka merupakan keringanan (rukhshah) dari
Allah. Barangsiapa yang mengambil keringanan itu, maka baik”, dan di lain pihak beliau
bersabda kepada pihak yang tetap berpuasa pada waktu safar : “Dan barangsiapa yang senang
untuk berpuasa, maka tidak ada dosa baginya”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya
mencukupkan pada penafikan dosa bagi orang yang tetap berpuasa, dan di lain pihak beliau
memberikan pujian bagi orang yang berbuka. Ini merupakan dalil yang kuat yang menunjukkan
berbuka puasa ketika safar adalah afdlal (lebih utama). Tidak ada bedanya apakah padanya
terdapat kesulitan (masyaqqah) atau tidak. Hal ini ditunjukkan pada perkataan Hamzah :

1
Jaami’ul-Fiqh 3/149, Al-Ifshaah 1/247, Al-Inshaaf 3/287, Ar-Raudlun-Nadiy hal. 162, dan Al-Fawaakihud-
Dawaaniy 1/364.
2
Mausu’ah Fiqhi Ibni Taimiyyah 2/938.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“sesungguhnya aku merasa kuat berpuasa dalam perjalanan/safar” ( ‫ﺓ ﻋﻠﻰ ﺻﻴﺎﻡ ﰲ‬‫ﺇﱐ ﺃﺟﺪ ﰊ ﻗﻮ‬

‫)ﺍﻟﺴﻔﺮ‬.

Mengenai rukhshah dalam syari’at, maka telah shahih hadits yang menyinggung hal itu :

‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﺍﷲ ﳛﺐ ﺃﻥ ﺗﺆﺗﻰ ﺭﺧﺼﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﺃﻥ ﺗﺆﺗﻰ ﻣﻌﺼﻴﺘﻪ‬

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh
Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci
dilaksanakan maksiat kepada-Nya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/108 dan Ibnu Hibban no. 2742.
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 3/9 no. 564].

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan tidak ada kebaikan berpuasa dalam
safar melalui sabdanya :

‫ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﱪ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬

“Berpuasa di dalam perjalanan bukanlah sebuah kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.
1946 dan Muslim no. 1115, dari hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu].

Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mencela orang-orang yang tetap berpuasa saat
hari pembebasan kota Makkah (Fat-hu Makkah) :

‫ﺃﻭﻟﺌﻚ ﺍﻟﻌﺼﺎﺓ‬

“Mereka (orang yang tetap berpuasa) adalah orang yang durhaka” [Diriwayatkan oleh An-
Nasa’iy no. 2263; shahih].

Pendapat Kedua : Berpuasa adalah Afdlal

Berpuasa saat safar afdlal bagi mereka yang mampu (tanpa menimbulkan mudlarat) merupakan
pendapat Anas (bin Malik), ‘Utsman bin Abil-‘Aash, ulama Hanafiyyah, ulama Malikiyyah, dan
ulama Syafi’iyyah.3

Dalil utama yang mereka pakai adalah :

3
Jaami’ul-Fiqh 3/150, Al-Ikhtiyaar 1/134, Fathul-Qadiir 2/351, Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin 2/117, Al-Kaafiy hal. 121,
Al-Fawaakihud-Dawaaniy 1/364, Bulghatul-Masaalik 1/243, At-Tanbiih hal. 66, Raudlatuth-Thaalibiin 2/370, dan
Al-Majmuu’ 6/265.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ّﻉ‬‫ﻄﹶﻮ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﲔﹴ ﻓﹶﻤ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺔﹲ ﻃﹶﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ﻴﻘﹸﻮﻧ‬‫ﻄ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹶّﺬ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ّﺎﻡﹴ ﺃﹸﺧ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ّﺓﹲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹶﺮﹴ ﻓﹶﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺳ‬‫ ﻋ‬‫ﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ﺮﹺﻳﻀ‬‫ ﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻓﹶﻤ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺧ‬‫ﻮﻣ‬‫ﺼ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻮ‬‫ﺍ ﻓﹶﻬ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺧ‬

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 184].

Ayat di atas merupakan nash sharih (jelas) yang menunjukkan keutamaan berpuasa jika sangup,
dibandingkan mereka yang berbuka.

Selain itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sebagian shahabat tetap melanjutkan
puasa saat shahabat yang lainnya berbuka :

‫ ﺧﺮﺟﻨﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﰲ ﺣﺮ‬:‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﺍﻟﺪﺭﺩﺍﺀ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ؛ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﺇﻻ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬،‫ ﻭﻣﺎ ﻓﻴﻨﺎ ﺻﺎﺋﻢ‬.‫ ﺣﱴ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻴﻀﻊ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺳﻪ ﻣﻦ ﺷﺪﺓ ﺍﳊﺮ‬.‫ﺷﺪﻳﺪ‬
‫ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﺭﻭﺍﺣﺔ‬

Dari Abud-Dardaa’ radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Kami pernah keluar bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadlan pada hari yang sangat panas. Sehingga ada
seseorang di antara kami yang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang sangat
panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan ‘Abdullah bin Rawaahah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122].

Sisi pendalilannya adalah : Jika memang berbuka puasa memang afdlal secara mutlak di sisi
syari’at, tentu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan berbuka bersama shahabat yang lain.
Apalagi cuaca pada hari itu adalah sangat terik yang pada asalnya diperbolehkan untuk berbuka
karena ada kesulitan di dalamnya. Jika ada yang mengatakan bahwa hal itu dikhususkan bagi
beliau saja, maka terbantah dengan perbuatan ‘Abdullah bin Rawaahah radliyallaahu ‘anhu
yang ikut berpuasa bersama beliau sementara beliau tidak berkomentar apapun tentangnya.

Tarjih

Yang raajih (kuat) menurut kami di antara dua pendapat tersebut adalah pendapat kedua yang
mengatakan berpuasa ketika safar afdlal bagi mereka yang mempunyai kemampuan/kekuatan.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Jika tidak, maka boleh berbuka dan itu afdlal baginya. Pendalilan yang dipakai oleh pendapat
pertama dijawab sebagai berikut :

1. Hadits Hamzah bin ‘Amr Al-Aslamiy radliyallaahu ‘anhu.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan
pilihan bagi Hamzah, untuk tetap berpuasa atau berbuka.

‫ ﻋﻦ‬:‫ ﺳﺄﻝ ﲪﺰﺓ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻷﺳﻠﻤﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬:‫ﺎ ﻗﺎﻟﺖ‬‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ؛ ﺃ‬
‫ ﻭﺇﻥ ﺷﺌﺖ ﻓﺄﻓﻄﺮ‬،‫ "ﺇﻥ ﺷﺌﺖ ﻓﺼﻢ‬: ‫"ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ؟ ﻓﻘﺎﻝ‬.

Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Hamzah bin ‘Amr Al-Aslamiy pernah bertanya
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal berpuasa di waktu safar. Maka beliau
bersabda : “Jika engkau menghendaki silakan berpuasa, dan jika engkau menghendaki silakan
berbuka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1943 dan Muslim no. 1121].

‫ ﺃﻧﻪ ﺳﺄﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ‬: - ‫ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬- ‫ﻋﻦ ﲪﺰﻩ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻷﺳﻠﻤﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬
‫ ﻳﻌﲏ ﺇﻓﻄﺎﺭ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻭ ﺻﻴﺎﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬.‫ ﺃﻱ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻴﻚ ﺃﻳﺴﺮ ﻓﺎﻓﻌﻞ‬: ‫ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ؟ ﻓﻘﺎﻝ‬.

Dari Hamzah bin ‘Amr Al-Aslamiy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah bertanya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal berpuasa di waktu safar. Maka beliau bersabda
: “Mana saja yang paling ringan bagimu, maka lakukanlah” – yaitu antara berbuka di bulan
Ramadlan atau berpuasa di waktu safar [Diriwayatkan dalam Al-Fawaaid 161/1 dengan sanad
shahih. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2884].

Dua riwayat ini sama sekali tidak menunjukkan pengutamaan berbuka dibandingkan berpuasa
ketika safar. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepada Hamzah dengan
pertimbangan kemudahan. Manusia – sebagaimana tabiatnya – mempunyai kemampuan yang
berbeda-beda. Ada sebagian manusia yang menganggap lebih ringan untuk berpuasa dengan
tidak menggantinya di saat mereka tidak diwwajibkan berpuasa, dan ada sebagian lain ada yang
tidak mempersoalkan sehingga mereka pun mengambil rukhshah kemudian menggantinya di
waktu yang lain.

Adapun sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “barangsiapa yang senang untuk
berpuasa, maka tidak ada dosa baginya” – bagi yang berpuasa ketika safar, maka tidak selalu
menunjukkan bahwa hal itu berkonsekuensi berpuasa mempunyai kedudukan lebih rendah dari
lawannya (tidak berpuasa). Perbuatan yang dinafikkan adanya dosa padanya kadangkala
merupakan perbuatan yang disyari’atkan dan mempunyai keutamaan, bahkan merupakan
bagian dari satu kewajiban. Hanya saja datangnya nash tentang dicabutnya dosa ini untuk
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

menghilangkan kesalahpahaman atau dugaan orang yang menganggapnya satu dosa jika
melakukannya. Contoh yang cukup baik dalam perkara ini adalah satu riwayat yang dibawakan
oleh Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, ia berkata :

‫ }ﺇﻥ ﺍﻟﺼﻔﺎ ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ ﻣﻦ ﺷﻌﺎﺋﺮ ﺍﷲ ﻓﻤﻦ ﺣﺞ‬:‫ ﺃﺭﺃﻳﺖ ﻗﻮﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬:‫ ﻓﻘﻠﺖ ﳍﺎ‬،‫ﺳﺄﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ‬
،‫ ﻓﻮﺍﷲ ﻣﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﺪ ﺟﻨﺎﺡ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻄﻮﻑ ﺑﺎﻟﺼﻔﺎ ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ‬.{‫ﻤﺎ‬ ‫ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻤﺮ ﻓﻼ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﻄﻮﻑ‬
‫ ﻻ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺘﻄﻮﻑ‬:‫ ﻛﺎﻧﺖ‬،‫ ﺇﻥ ﻫﺬﻩ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﻛﻤﺎ ﺃﻭﻟﺘﻬﺎ ﻋﻠﻴﻪ‬،‫ ﺑﺌﺲ ﻣﺎ ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺍﺑﻦ ﺃﺧﱵ‬:‫ﻗﺎﻟﺖ‬
،‫ﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﳌﺸﻠﻞ‬‫ ﺍﻟﱵ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻌﺒﺪﻭ‬،‫ ﻳﻬﻠﻮﻥ ﳌﻨﺎﺓ ﺍﻟﻄﺎﻏﻴﺔ‬،‫ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺴﻠﻤﻮﺍ‬،‫ ﻭﻟﻜﻨﻬﺎ ﺃﻧﺰﻟﺖ ﰲ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ‬،‫ﻤﺎ‬
‫ ﺳﺄﻟﻮﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ‬،‫ ﻓﻠﻤﺎ ﺃﺳﻠﻤﻮﺍ‬،‫ﻓﻜﺎﻥ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﻳﺘﺤﺮﺝ ﺃﻥ ﻳﻄﻮﻑ ﺑﺎﻟﺼﻔﺎ ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ‬
‫ }ﺇﻥ ﺍﻟﺼﻔﺎ ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ‬:‫ ﻓﺄﻧﺰﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬،‫ ﺇﻧﺎ ﻛﻨﺎ ﻧﺘﺤﺮﺝ ﺃﻥ ﻧﻄﻮﻑ ﺑﲔ ﺍﻟﺼﻔﺎ ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ‬،‫ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬:‫ ﻗﺎﻟﻮﺍ‬،‫ﺫﻟﻚ‬
‫ ﺍﻵﻳﺔ‬.{‫ﻣﻦ ﺷﻌﺎﺋﺮ ﺍﷲ‬.

‫ ﻓﻠﻴﺲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺘﺮﻙ‬،‫ ﻭﻗﺪ ﺳﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ‬:‫ﻗﺎﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ‬
‫ﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ‬.

Aku bertanya kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, maka aku katakan kepadanya : “Apa
pendapatmu mengenai firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian
dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka
tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya’ (QS. Al-Baqarah : 158). Maka demi
Allah, tidak ada dosa pula bagi seorang pun untuk tidak melakukan thawaf antara Shafa dan
Marwah”. ‘Aisyah berkata : “Sungguh jelek apa yang engkau katakan wahai anak saudariku.
Sesungguhnya ayat tersebut jika pengertiannya seperti yang engkau ta’wilkan, tentu itu akan
berkonsekuensi : tidak ada dosa untuk tidak melakukan thawaf antara keduanya. Akan tetapi
ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang Anshar ketika dahulu mereka sebelum
masuk Islam, mereka berteriak sambil ber-talbiyah kepada berhala Manaat yang dulu mereka
sembah di daerah Musyallal; sehingga orang yang ber-ihram merasa berdosa melakukan thawaf
(sa’i) antara Shafa dan Marwah. Dan ketika mereka telah masuk Islam, mereka bertanya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal tersebut. Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami merasa berdosa jika melakukan thawaf di Shafa dan Marwah’. Maka Allah
menurunkan ayat : ‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka
barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sai antara keduanya’ (QS. Al-Baqarah : 158)”.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : “Dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah men-sunnah-kan thawaf (sa’i) di antara keduanya. Maka tidak boleh bagi seorang pun
untuk meninggalkan thawaf di antara keduanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1643,
Ahmad 6/144, Al-Humaidiy no. 219, Muslim no. 1277, At-Tirmidzi no. 2965, dan yang lainnya].

Jika demikian, maka sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

‫ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﻳﺼﻮﻡ ﻓﻼ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻪ‬

“Dan barangsiapa yang senang untuk berpuasa, ”.

bukan bermakna tarjih untuk berbuka atas yang berpuasa. Namun maknanya pencabutan dosa
atas kekhawatiran adanya anggapan sebagian orang bahwa berpuasa ketika safar adalah
dilarang/berdosa.

Maka, meskipun hadits Hamzah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhu menegaskan adanya kebaikan bagi
orang yang berbuka, bukan berarti orang yang berpuasa tidak ada kebaikan. Dua-duanya
mempunyai kebaikan. Dan kebaikan itu tergantung pada keadaan diri masing-masing yang
menjalankannya. Jika mampu berpuasa dan ia merasa ringan untuk mengerjakannya, maka
berpuasa itu afdlal (lebih utama) dibandingkan berbuka. Jika sebaliknya, maka berbuka afdlal
dibandingkan berpuasa.

2. Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma.

Hadits ini tidak bisa dibawa secara mutlak, namun dibawa pada orang yang merasakan berat
atau kesulitan saat menjalankan puasa ketika safar. Dalam hal itu, maka ia dianjurkan
mengambil rukhshah sebagai bentuk pengamalan firman Allah ta’ala :

‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺑﹺﻜﹸﻢ‬‫ﺮﹺﻳﺪ‬‫ﻻ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ ﺑﹺﻜﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺮﹺﻳﺪ‬‫ﻳ‬

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [QS. Al-
Baqarah : 185].

3. Hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu.

Hadits ini berkaitan dengan orang yang berpuasa sementara ia merasa kepayahan dalam
menjalankannya. Selengkapnya hadits tersebut – sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam
Muslim rahimahullah – adalah :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ ﻓﺮﺃﻯ ﺭﺟﻼ ﻗﺪ‬.‫ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺳﻔﺮﻩ‬: ‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬
‫ "ﻟﻴﺲ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬.‫ ﺭﺟﻞ ﺻﺎﺋﻢ‬:‫ "ﻣﺎ ﻟﻪ ؟" ﻗﺎﻟﻮﺍ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ ﻭﻗﺪ ﺿﻠﻞ ﻋﻠﻴﻪ‬.‫ﺍﺟﺘﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫"ﻣﻦ ﺍﻟﱪ ﺃﻥ ﺗﺼﻮﻣﻮﺍ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬.

Dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Saat Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa
sallam tengah berada dalam safarnya, beliau melihat seorang laki-laki yang dikerumuni orang
banyak dan diberi naungan. Beliau bertanya : “Kenapa dia ?”. Mereka menjawab : “Ia sedang
berpuasa”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berpuasa di dalam
perjalanan bukanlah sebuah kebaikan”.

Dan apa yang terjadi pada hadits di atas, juga dikisahkan oleh Anas radliyallaahu ‘anhu :

‫ ﺃﻛﺜﺮﻧﺎ‬.‫ ﻓﱰﻟﻨﺎ ﻣﱰﻻ ﰲ ﻳﻮﻡ ﺣﺎﺭ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻓﻤﻨﺎ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻭﻣﻨﺎ ﺍﳌﻔﻄﺮ‬.‫ﻛﻨﺎ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬
‫ ﻭﻗﺎﻡ ﺍﳌﻔﻄﺮﻭﻥ ﻓﻀﺮﺑﻮﺍ ﺍﻷﺑﻨﻴﺔ ﻭﺳﻘﻮﺍ‬.‫ ﻓﺴﻘﻂ ﺍﻟﺼﻮﺍﻡ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ﻇﻼ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻜﺴﺎﺀ ﻭﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﻳﺘﻘﻲ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﺑﻴﺪﻩ‬
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ "ﺫﻫﺐ ﺍﳌﻔﻄﺮﻭﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺑﺎﻷﺟﺮ‬.‫"ﺍﻟﺮﻛﺎﺏ‬.

“Kami pernah menyertai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. Ada sebagian di
antara kami yang berpuasa, dan sebagian lain yang berbuka. Lalu kami berhenti di suatu tempat
pada hari yang panas. Kebanyakan kami membuat naungan dengan kain yang kami bawa, dan
sebagian yang lain bernaung dari terik matahari dengan tangan. Orang-orang yang berpuasa
tergeletak, sedangkan orang-orang yang berbuka tetap tegar. Lalu mereka membuat tempat
berteduh dan mereka memberi minum hewan-hewan tunggangan. Maka Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Pada hari ini orang-orang yang berbuka pergi sambil
membawa pahala” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 2890 dan Muslim no. 1119].

Jika keadaan demikian, tidak diragukan lagi bahwa berbuka lebih utama/baik bagi mereka.

4. Hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu tentang peristiwa Fathu Makkah.

Hadits ini sama halnya dengan hadits Jaabir sebelumnya. Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam untuk berbuka karena dalam safar tersebut karena ada kesulitan, yaitu safar dalam
rangka jihad (berperang). Dalam hal ini, berbuka lebih utama karena terdapat kemaslahatan
yang besar agar mereka dapat lebih kuat berperang untuk menghadapi musuh. ‘Illat ini
tergambar dalam riwayat berikut :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ ﺇﱐ ﻻ‬:‫ ﻗﻠﺖ‬،‫ ﻓﻠﻤﺎ ﺗﻔﺮﻕ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻪ‬.‫ ﺃﺗﻴﺖ ﺃﺑﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﳋﺪﺭﻱ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻜﺴﻮﺭ ﻋﻠﻴﻪ‬: ‫ﻋﻦ ﻗﺰﻋﺔ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﺳﺎﻓﺮﻧﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬:‫ ﺳﺄﻟﺘﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ؟ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ﺃﺳﺄﻟﻚ ﻋﻤﺎ ﻳﺴﺄﻟﻚ ﻫﺆﻻﺀ ﻋﻨﻪ‬
‫ "ﺇﻧﻜﻢ ﻗﺪ ﺩﻧﻮﰎ ﻣﻦ ﻋﺪﻭﻛﻢ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬.‫ ﻓﱰﻟﻨﺎ ﻣﱰﻻ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ﺇﱃ ﻣﻜﺔ ﻭﳓﻦ ﺻﻴﺎﻡ‬
‫ "ﺇﻧﻜﻢ ﻣﺼﺒﺤﻮﺍ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ ﰒ ﻧﺰﻟﻨﺎ ﻣﱰﻻ ﺁﺧﺮ‬.‫ ﻓﻤﻨﺎ ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﻭﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﺃﻓﻄﺮ‬.‫ ﻓﻜﺎﻧﺖ ﺭﺧﺼﺔ‬."‫ﻭﺍﻟﻔﻄﺮ ﺃﻗﻮﻯ ﻟﻜﻢ‬
‫ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬،‫ ﺭﺃﻳﺘﻨﺎ ﻧﺼﻮﻡ‬:‫ ﰒ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻓﺄﻓﻄﺮﻧﺎ‬.‫ ﻓﺄﻓﻄﺮﻭﺍ" ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻋﺰﻣﺔ‬،‫ ﻭﺍﻟﻔﻄﺮ ﺃﻗﻮﻯ ﻟﻜﻢ‬.‫ﻋﺪﻭﻛﻢ‬
‫ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬،‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ‬.

Dari Faza’ah ia berkata : “Aku pernah datang kepada Abu Sa’iid Al-Khudriy ketika ia sedang
menerima tamu yang banyak. Setelah para tamu sudah bubar, aku katakan kepada Abu Sa’iid :
‘Aku tidak menanyakan kepadamu apa yang ditanyakan oleh mereka tadi. Aku menanyakan
perihal puasa ketika safar’. Maka Abu Sa’iid berkata : ‘Kami pernah melakukan safar menuju
Makkah bersama Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam ketika kami sedang berpuasa. Lalu
kami berhenti di suatu tempat. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‘Sesungguhnya kalian telah dekat dengan musuh kalian dan berbuka akan lebih menguatkan
tubuh kalian’. Hal itu merupakan rukhshah (keringanan). Sebagian dari kami ada yang berpuasa,
dan sebagian yang lain ada yang berbuka. Kemudian kami berhenti lagi di tempat lain. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam kembali bersabda : ‘Sungguh, kalian besok pagi akan menghadapi
musuh, dan berbuka akan lebih menguatkan tubuh kalian. Oleh karena itu, berbukalah kalian !’.
Lalu kami pun berbuka. Setelah peristiwa itu, aku ketahui bahwa kami berpuasa bersama
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika safar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1120].

Akhirnya, tarjih ini lebih nampak kebenarannya dengan adanya riwayat :

‫ ﻛﻨﺎ ﻧﻐﺰﻭ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻤﻨﺎ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ‬:‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﳋﺪﺭﻱ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ‬
‫ ﻓﺈﻥ ﺫﻟﻚ‬،‫ ﻳﺮﻭﻥ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻭﺟﺪ ﻗﻮﺓ ﻓﺼﺎﻡ‬.‫ ﻭﻻ ﺍﳌﻔﻄﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ‬.‫ ﻓﻼ ﳚﺪ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻔﻄﺮ‬.‫ﻭﻣﻨﺎ ﺍﳌﻔﻄﺮ‬
‫ﺣﺴﻦ ﻭﻳﺮﻭﻥ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻭﺟﺪ ﺿﻌﻔﺎ ﻓﺄﻓﻄﺮ ﻓﺈﻥ ﺫﻟﻚ ﺣﺴﻨﺎ‬.

Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia bekata : “Kami pernah melakukan safar bersama Rasulullah
shallalaahu ‘alaihi wa sallam. Ada di antara kami yang berpuasa, ada pula di antara kami yang
berbuka. Tidaklah orang yang berpuasa marah kepada orang yang berbuka, dan orang yang
berbuka marah kepada orang yang berpuasa. Mereka (para shahabat) berpendapat bahwa
barangsiapa yang mempunyai kekuatan/kemampuan dan ia berpuasa, maka itu baik baginya.
Dan barangsiapa yang mendapatkan kelemahan dan ia berbuka, maka itu baik baginya”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1116 dan At-Tirmidzi no. 713].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Kesimpulan : Berpuasa ketika safar adalah afdlal bagi mereka yang mempunyai
kemampuan/kekuatan (tanpa menimbulkan mudlarat bagi dirinya). Namun jika mendapatkan
kelemahan, mengambil rukhshah untuk berbuka adalah afdlal.

Wallaahu a’lam.

[Ditulis oleh Abu Al-Jauzaa’, 16 Ramadlan 1430, pukul 01.02 WIB – perumahan Ciomas Permai,
Bogor, 16610].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

7. Takhrij Doa Berbuka Puasa : Dzahabadh-Dhama-u…..dst.

Al-Imaam Abu Daawud rahimahullah berkata :

‫ﺍﻥﹸ‬‫ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻗ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺴ‬‫ﻧﹺﻲ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺧ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻦ‬‫ّ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻠ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ّﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﻮ ﻣ‬‫ﻰ ﺃﹶﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﻦﹺ ﻳ‬‫ ﺑ‬‫ّﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺳ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺭ‬‫ّ ﻭ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻜﹶﻒ‬‫ ﻋ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺎ ﺯ‬‫ ﻣ‬‫ﻘﹾﻄﹶﻊ‬‫ ﻓﹶﻴ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﻠﹶﻰ ﻟ‬‫ ﻋ‬‫ﻘﹾﺒﹺﺾ‬‫ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﺖ‬‫ﺃﹶﻳ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬‫ﻘﹶﻔﹶّﻊ‬‫ﻢﹴ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﺳ‬‫ﺑﻦ‬‫ﻨﹺﻲ ﺍ‬‫ﻌ‬‫ﻳ‬
‫ﺎﺀَ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﺷ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹶﺟ‬‫ﺖ‬‫ﺛﹶﺒ‬‫ ﻭ‬‫ﻭﻕ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻠﹶّﺖ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺑ‬‫ﺄﹸ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻈﹶّﻤ‬‫ﺐ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺫﹶﻫ‬‫ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺃﹶﻓﹾﻄﹶﺮ‬‫ﻠﹶّﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﹶّﻰ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺻ‬

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Yahyaa Abu Muhammad : Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan : Telah mengkhabarkan kepadaku Al-Husain bin
Waaqid : Telah menceritakan kepada kami Marwaan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ - , ia
berkata : Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar menggenggam jenggotnya dan memotong selebih
dari (genggaman) telapak tangannya, lalu berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam apabila berbuka puasa berdoa : ‘(Dzahabazh-zhoma-u wab-talatil-‘uruuqu wa tsabatal-
ajru insya Allooh) Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta telah ditetapkan
pahala insya Allah” [As-Sunan, hal. no. 2357].

Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (3/374 no. 3315 & 9/119 no. 10058 –
tahqiq & takhrij : Hasan bin ‘Abdil-Mun’im Syalbiy; MuassasahAr-Risaalah, Cet. 1/1421) dan
‘Amalul-Yaum wal-Lailah (hal. 268-269 no. 299 – tahqiq : Faaruq Hamaadah; Muassasah Ar-
Risaalah, Cet. 2/1405), Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (hal. 226 no. 478 – tahqiq :
Basyiir Muhammad ‘Uyuun; Maktabah Daaril-Bayaan, Cet. 1/1407), Ad-Daaruquthniy (3/156
no. 2279 – tahqiq : Syu’aib Al-Arna’uth, dkk; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1424), Al-Haakim
(1/422 – Mathba’ah Majlis Daairatil-Ma’aarif, Cet. 1/1340), Al-Baihaqiy (4/239 – 4/403 no.
8133, tahqiq : Muhammad bin ‘Abdil-Qaadir ‘Athaa; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 3/1424),
dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (27/391 – tahqiq : Basyaar ‘Awwaad; Muassasah Ar-
Risaalah, Cet. 1/1413; semuanya dari jalan ‘Aliy bin Hasan bin Syaqiiq yang selanjutnya seperti
hadits di atas.

Keterangan singkat para perawi :


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

a. ‘Abdullah bin Muhammad bin Yahyaa Ath-Tharasuusiy Abu Muhammad, dikenal dengan
sebutan ‘Adl-Dla’iif’1 ; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 543 no. 3623, tahqiq : Abul-
Asybaal Shaghiir Al-Baakistaaniy; Daarul-‘Aaashimah].

b. ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy;
seorang yang tsiqah lagi haafidh (137-211/212/215 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam
Shahih-nya [idem, hal. 692 no. 4740].

c. Al-Husain bin Waaqid Al-Marwaziy Abu ‘Abdillah; seorang yang tsiqah namun mempunyai
beberapa keraguan (tsiqah lahu auhaam) (w. 157/159 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 251 no. 1367].

d. Marwaan bin Saalim Al-Muqaffa’ Al-Mishhriy; seorang yang diperselisihkan statusnya oleh
para ahli hadits. Tidak ada yang mentsiqahkannya selain Ibnu Hibbaan [Ats-Tsiqaat, 5/424;
Mathba’ah Daairatil-Ma’aarif, Cet. 1/1393], dan hanya dua orang perawi yang meriwayatkan
darinya (yaitu : Al-Husain bin Waaqid Al-Marwaziy dan ‘Azrah bin Tsaabit Al-Anshaariy). Ibnu
Hajar berkata tentangnya : “Maqbuul” [idem, hal. 931 no. 6613]. Maksudnya, riwayatnya
diterima jika ada mutaba’ah; jika tidak, maka dla’iif. Adz-Dzahabiy berkata : “Telah ditsiqahkan”
[Al-Kaasyif, 2/253 no. 5365, tahqiq : Ahmad Muhammad Al-Khathiib; Daarul-Qiblah, Cet.
1/1413]. Basyaar ‘Awwaad dan Syu’aib Al-Arna’uth berkata : “Majhuul haal” [Tahriirut-Taqriib,
3/362-363 no. 6569; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1417]. Muqbil Al-Wadii’iy berkata :
“Majhuul haal”2 [At-Tatabbu’, 1/583; Daarul-Haramain, Cet. 1/1417].

Dhaahir status dari Marwaan adalah majhuul haal. Akan tetapi ini perlu di ditinjau kembali. Ad-
Daaruquthniy3 (3/156 no. 2279) saat membawakan hadits ini berkata : “Al-Husain bin Waaqid

1
Telah berkata Al-Haafidh Abu Muhammad ‘Abdul-Ghaniy bn Sa’iid Al-Mishriy : “Ada dua orang laki-laki mulia yang
ditetapkan dengan laqab yang buruk : (1) Mu’aawiyyah bin ‘Abdil-Kariim Adl-Dlaal. Ia disebut dengan laqab itu
karena pernah tersesat di jalan kota Makkah. (2) ‘Abdullah bin Muhammad Adl-Dla’iif. Ia dipanggil dengan laqab
itu karena lemah dalam jasmaninya, bukan dalam haditsnya” [Tahdziibul-Kamaal, 16/99].

2
Atas faktor inilah beliau mendla’ifkan riwayat ini. Begitu pula dengan Asy-Syaikh Yahyaa Al-Haajuriy yang
mendla’ifkannya dengan alasan kemajhulan Ibnul-Muqaffa’ ini - lihat :
http://aloloom.net/vb/showthread.php?t=1378.
3
Sanad Ad-Daaruquthniy sebagai berikut :

‫ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻳﻘﺒﺾ ﻋﻠﻰ‬: ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﳊﺴﲔ ﺑﻦ ﺇﲰﺎﻋﻴﻞ ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﺑﻦ ﺷﻘﻴﻖ ﺛﻨﺎ ﺍﳊﺴﲔ ﺑﻦ ﻭﺍﻗﺪ ﺛﻨﺎ ﻣﺮﻭﺍﻥ ﺍﳌﻘﻔﻊ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﳊﻴﺘﻪ ﻭﻳﻘﻄﻊ ﻣﺎﺯﺍﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻒ ﻗﺎﻝ‬:

Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Muslim : Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain
bin Waaqid : Telah menceritakan kepada kami Marwaan Al-Muqaffa’, ia berkata : Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

menyendiri dalam periwayatan hadits ini, dan sanadnya hasan”. Semua perawi Ad-
Daaruquthniy adalah perawi tsiqah, kecuali Marwaan bin Saalim Al-Muqaffa’. Oleh karena itu,
penghukuman Ad-Daaruquthniy tersebut merupakan dilalah penghasanan terhadap Marwaan.
Wallaahu a’lam.

Ada yang mengatakan bahwa tahsin isnad Ad-Daaruquthniy itu maknanya adalah sanad hadits
tersebut ghariib, sehingga tidak mengkonsekuensikan tahsin terhadap perawinya. Perkataan ini
perlu ditinjau kembali. Benar bahwasannya sanad tersebut ghariib sebagaimana dikatakan Ad-
Daaruquthniy4. Akan tetapi Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya menjadikan hadits yang ia sifati
dengan : ‘isnaduhu hasan’ (sanadnya hasan) sebagai hujjah, semisal :

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﳐﻠﺪ ﺍﻟﺒﺠﻠﻲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺣﻜﻴﻢ ﺍﻷﻭﺩﻱ ﻧﺎ ﺳﻬﻞ ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮ ﺍﻟﺒﺠﻠﻲ ﺛﻨﺎ ﻫﺮﱘ ﺑﻦ‬
‫ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻋﻦ ﺇﲰﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺧﺎﻟﺪ ﻋﻦ ﻗﻴﺲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺣﺎﺯﻡ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺑﺎﻟﺒﺼﺮﺓ ﻓﻘﺮﺃ ﰲ ﺃﻭﻝ ﺭﻛﻌﺔ‬
‫ﺑﺎﳊﻤﺪ ﻭﺃﻭﻝ ﺁﻳﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﰒ ﻗﺎﻡ ﰲ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻓﻘﺮﺃ ﺍﳊﻤﺪ ﻭﺍﻵﻳﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﰒ ﺭﻛﻊ ﻓﻠﻤﺎ ﺍﻧﺼﺮﻑ ﺃﻗﺒﻞ ﻋﻠﻴﻨﺎ‬
‫ﻓﻘﺎﻝ ﺇﻥ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﺎﻗﺮﺅﺍ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ ﻣﻨﻪ ﻫﺬﺍ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺣﺴﻦ ﻭﻓﻴﻪ ﺣﺠﺔ ﳌﻦ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﻥ ﻣﻌﲎ ﻗﻮﻟﻪ ﻓﺎﻗﺮﺅﺍ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ‬
‫ﻣﻨﻪ ﺇﳕﺎ ﻫﻮ ﺑﻌﺪ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻓﺎﲢﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﷲ ﺃﻋﻠﻢ‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad Al-Bajaliy : Telah menceritakan
kepada kami Ahmad bin ‘Utsmaan bin Hakiim Al-Audiy : Telah mengkhabarkan kepada kami
Sahl bin ‘Aamir Al-Bajaliy : Telah menceritakan kepada kami Hariim bin Sufyaan, dari Ismaa’iil
bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abu Haazim, ia berkata : “Aku pernah shalat di belakang Ibnu
‘Abbaas di Bashrah, lalu ia membaca di awal raka’at dengan alhamdulillah (Al-Fatihah) dan awal
ayat surat Al-Baqarah. Kemudian ia berdiri untuk raka’at yang kedua lalu membaca

menggenggam jenggotnya dan memotong selebih dari (genggaman) telapak tangannya, lalu berkata : “….(al-
hadits)….”.

Al-Husain bin Ismaa’iil bin Muhammad Al-Mahaamiliy; seorang yang tsiqah [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ oleh Adz-
Dzahabiy, 15/258 dan Taraajimu Rijaali Ad-Daaruquthniy oleh Muqbil bin Haadiy Al-Waadi’iy, hal. 194 no. 466].

‘Aliy bin Muslim bin Sa’iid Ath-Thuusiy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 705 no. 4833].

4
Yaitu perkataan Ad-Daaruquthniy : “Al-Husain bin Waaqid menyendiri dalam periwayatan hadits ini, dan
sanadnya hasan”.

Jika ada orang yang mencacatkan hadits ini karena keghariban Al-Husain bin Waaqid, maka ini tidak diterima;
sebab ia seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar. Atau, ia seorang yang hasan haditsnya
sebagaimana dikatakan Al-Albaaniy dan yang lainnya. Penyendirian Al-Husain tidaklah memudlaratkan riwayatnya
jika tidak ada penyelisihan dengan riwayat lainnya, dan di sini tidak ada.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

alhamdulillah (Al-Fatihah) dan ayat kedua dari surat Al-Baqarah. Kemudian rukuk. Setelah
selesai, ia pun menghadap kami dan berkata : ‘Sesungguhnya Allah ta’ala befirman : ‘Bacalah
oleh kalian apa yang mudah darinya”. (Ad-Daaruquthniy berkata) : “Sanad hadits ini hasan. Dan
padanya terdapat hujjah bagi orang yang berkata : ‘Sesungguhnya makna perkataan lalu
bacalah oleh kalian apa yang mudah darinya (Al-Qur’an), bahwasannya ia hanyalah dibaca
setelah bacaan Al-Faatihah’. Wallaahu a’lam” [Sunan Ad-Daaruquthniy, 2/136-137 no. 1279].

Penghukuman isnaduhu hasan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Sunan-nya juga bermakna sebagai
satu tautsiq terhadap para perawinya, misalnya :

‫ﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﳐﻠﺪ ﻭﺁﺧﺮﻭﻥ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﺍﳍﻴﺜﻢ ﻧﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻋﻴﺎﺵ ﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﻄﺮﻑ ﻧﺎ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺳﻠﻢ‬
‫ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻃﻬﻮﺭ ﻛﻞ ﺃﺩﱘ ﺩﺑﺎﻏﻪ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﺣﺴﻦ ﻛﻠﻬﻢ‬
‫ﺛﻘﺎﺕ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Makhlad dan yang lainnya, mereka berkata
: Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Haitsam : Telah mengkhabarkan kepada
kami ‘Aliy bin ‘Ayyaasy : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Mutharrif : Telah
mengkhabarkan kepada kami Zaid bin Aslam, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari ‘Aaisyah, dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sucinya setiap kulit adalah (dengan)
penyamakannya”. (Ad-Daaruquthniy berkata : ) “Sanadnya hasan, semua perawinya tsiqaat”
[idem, 1/72 no. 124].

Singkatnya, tautsiq Ibnu Hibbaan juga ditetapi oleh Ad-Daaruquthniy yang menghasankannya.
Oleh karena itu, perkataan yang benar tentang Marwaan bin Saalim Al-Muqaffa’ adalah seorang
yang hasanul-hadiits (hasan haditsnya).

Kesimpulan hadits : Hasan. Dihasankan oleh Ibnu Hajar sebagaimana dalam Mausu’ah Al-
Haafidh Ibni Hajar Al-Hadiitsiyyah (2/360 no. 78 – disusun oleh Al-Waliid Az-Zubairiy, dkk; Al-
Hikmah, Cet. 1/1422), Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil (4/39-41 no. 920 – Al-Maktab Al-
Islaamiy, Cet. 1/1399), serta ‘Aliy Al-Halabiy & Saliim Al-Hilaaliy dalam Shifatu Shaumin-Nabiy
(hal. 68 – Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 2/1409).5

Ini saja yang dapat dituliskan – sebagaimana permintaan salah seorang rekan.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abu al-jauzaa’ al-bogoriy – 1 Ramadlaan 1431].

5
Sebagai perbandingan, silakan baca : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=87781 dan http://al-
fikrah.net/index.php?name=Forums&file=viewtopic&p=134561.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

8. Puasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui di Bulan Ramadlaan

Para ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap dirinya atau
anaknya, maka mereka boleh berbuka.

Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :

‫ﻭﺃﻧﻪ ﳚﻮﺯ ﻟﻠﺤﺒﻠﻰ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ ﻭﻗﺪ ﺫﻫﺐ ﺇﱃ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻌﺘﺮﺓ ﻭﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻓﺖ ﺍﳌﺮﺿﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺿﻴﻊ‬
‫ ﻭﻻ ﺧﻼﻑ ﰲ ﺍﳉﻮﺍﺯ‬:‫ﺎ ﺗﻔﻄﺮ ﺣﺘﻤﺎﹰ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻃﺎﻟﺐ‬‫ﻭﺍﳊﺎﻣﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﳉﻨﲔ ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ ﺇ‬.

“Dan bahwasannya diperbolehkan bagi wanita hamil dan menyusui untuk berbuka puasa.
Telah berpendapat tentang hal tersebut ‘itrah (ahlul-bait) dan fuqahaa’, yaitu apabila wanita
yang menyusui khawatir dengan anak yang disusuinya dan wanita yang hamil khawatir dengan
anak yang dikandungnya/janin. Mereka berkata : ‘Sesungguhnya ia wajib untuk berbuka’. Abu
Thaalib berkata : ‘Dan tidak ada perbedaan pendapat tentang kebolehannya” [Nailul-Authaar,
4/230].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ﻠﹶﻰ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻊﹺ ﺃﹶﻭ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬‫ﺮﹺ ﻭ‬‫ﺎﻓ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻡ‬‫ّﻮ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ ﻭ‬‫ّﻠﹶﺎﺓ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻒ‬‫ ﻧﹺﺼ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ّﻠﹶﺎﺓ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻄﹾﺮ‬‫ ﺷ‬‫ﻊ‬‫ﺿ‬‫ﺎﻟﹶﻰ ﻭ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﺇﹺﻥﹶّ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬

“Sesungguhnya Allah ta’ala telah menggugurkan setengah shalat dan puasa bagi seorang
musafir; serta wanita yang menyusui dan wanita yang hamil" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud
no. 2408, At-Tirmidziy no. 715, An-Nasaa’iy 4/190, Ahmad 4/347 & 5/29, ‘Abd bin Humaid no.
430, Ibnu Maajah no. 1667 & 2042 & 2043 & 3299, ‘Abdullah bin Ahmad dalam tambahannya
atas Musnad Ahmad 4/347, dan Ibnu Khuzaimah no. 2044; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam
Shahih Sunan Abi Daawud 2/71].

‫ ﻭﰲ‬: ‫ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﺗﻔﻄﺮ ﺍﳊﺎﻣﻞ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻓﺘﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﻭﻻﺩﳘﺎ ﰲ ﺍﻟﺼﻴﻒ‬: ‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﻗﺎﻝ‬
‫ﺍﻟﺸﺘﺎﺀ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻓﺘﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﻭﻻﺩﳘﺎ‬.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dari Ibnu Juraij1, dari ‘Athaa’2, ia berkata : “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan
Ramadlaan apabila khawatir terhadap anaknya, baik di musim panas ataupun di musim dingin”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 4/217 no. 7557; shahih].3

Akan tetapi kemudian mereka berselisih pendapat tentang konsekuensi bagi wanita hamil dan
menyusui tersebut setelah berbuka, apakah ia harus mengqadla’, membayar fidyah,
mengqadla’ dan membayar fidyah, atau bahkan tidak ada kewajiban mengqadla’ maupun
membayar fidyah.

Allah ta’ala berfirman :

‫ﻦ‬‫ ﻓﹶﻤ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻭﺩ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ّﺎﻣ‬‫ّﻘﹸﻮﻥﹶ * ﺃﹶﻳ‬‫ﺘ‬‫ ﺗ‬‫ﻠﹶّﻜﹸﻢ‬‫ ﻟﹶﻌ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹶّﺬ‬‫ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ﺎ ﻛﹸﺘ‬‫ ﻛﹶﻤ‬‫ﺎﻡ‬‫ّﻴ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ﻮﺍ ﻛﹸﺘ‬‫ﻨ‬‫ ﺁﻣ‬‫ﻳﻦ‬‫ﺎ ﺍﻟﹶّﺬ‬‫ّﻬ‬‫ﺎ ﺃﹶﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﺍ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ّﻉ‬‫ﻄﹶﻮ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﲔﹴ ﻓﹶﻤ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺔﹲ ﻃﹶﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ﻴﻘﹸﻮﻧ‬‫ﻄ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹶّﺬ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ّﺎﻡﹴ ﺃﹸﺧ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ّﺓﹲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹶﺮﹴ ﻓﹶﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺳ‬‫ ﻋ‬‫ﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ﺮﹺﻳﻀ‬‫ ﻣ‬‫ﻨﻜﹸﻢ‬ ‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺧ‬‫ﻮﻣ‬‫ﺼ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻮ‬‫ﻓﹶﻬ‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 183-184].

1
Ia adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid (wafat : 149/150/151 H) –
seorangyang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan irsaal [At-Taqriib,
hal. 624 no. 4221].
2
‘Athaa’ bin Abi Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai banyak keutamaan (w. 114 H). Dipakai Al-
Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 677 no. 4623].
3
‘An’anah Ibnu Juraij dari ‘Athaa’ – dan ia seorang mudallis – tidak memudlaratkannya. Ibnu Abi Khaitsamah
membawakan satu riwayat shahih dari Ibnu Juraij, bahwa ia (Ibnu Juraij berkata) :
‫ﺇﺫﺍ ﻗﻠﺖ ﻗﺎﻝ ﻋﻄﺎﺀ ﻓﺄﻧﺎ ﲰﻌﺘﻪ ﻣﻨﻪ ﻭﺇﻥ ﱂ ﺃﻗﻞ ﲰﻌﺖ‬
“Apabila aku berkata : Telah berkata ‘Atha’ , maka artinya aku telah mendengarnya walau aku tidak mengatakan :
Aku telah mendengar” [Tahdziibut-Tahdziib, 2/617 – biografi ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziz bin Juraij Al-Umawiy].
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah pun kemudian memberikan penegasan :
‫ ﺗﺪﻟﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻋﻨﻌﻨﺔ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﰲ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺴﻤﺎﻉ‬، ‫ﻭﻫﺬﻩ ﻓﺎﺋﺪﺓ ﻫﺎﻣﺔ ﺟﺪﺍ‬
“Ini satu faedah yang sangat besar, yang menunjukkan pada kita bahwa ‘an’anah Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dihukumi
penyimakan (sama’)” [Irwaaul-Ghaliil, 4/244].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

} ‫ﺃﹸ‬‫ﻘﹾﺮ‬‫ّﺎﺱﹴ ﻳ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﻄﹶﺎﺀٍ ﺳ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺭﹴ ﻋ‬‫ﻳﻨ‬‫ ﺩ‬‫ﻦ‬‫ﻭ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺎﻕ‬‫ﺤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ّﺎﺀُ ﺑ‬‫ﻛﹶﺮﹺﻳ‬‫ﺎ ﺯ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺡ‬‫ﻭ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﺎﻕ‬‫ﺤ‬‫ّﺛﹶﻨﹺﻲ ﺇﹺﺳ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﺓﹸ‬‫ﺃﹶﺓﹸ ﺍﻟﹾﻜﹶﺒﹺﲑ‬‫ﻤﺮ‬ ‫ﺍﻟﹾ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﹾﻜﹶﺒﹺﲑ‬‫ﺦ‬‫ّﻴ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﺔ‬‫ﻮﺧ‬‫ﺴ‬‫ﻨ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﺖ‬‫ﺴ‬‫ّﺎﺱﹴ ﻟﹶﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﲔﹴ { ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﺑ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺔﹲ ﻃﹶﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ّﻗﹸﻮﻧ‬‫ﻄﹶﻮ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹶّﺬ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬
‫ﺎ‬‫ﻴﻨ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ﻡﹴ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻜﹶﺎﻥﹶ ﻛﹸﻞﹺّ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻥ‬‫ﻤ‬‫ﻄﹾﻌ‬‫ﺎ ﻓﹶﻴ‬‫ﻮﻣ‬‫ﺼ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺎﻥ‬‫ﻴﻌ‬‫ﻄ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬

Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Rauh : Telah
menceritakan kepada kami Zakariyyaa bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin
Diinaar, dari ‘Athaa’ (bahwa) ia mendengar Ibnu ‘Abbaas membaca : ‘wa ‘alalladziina
yuthawwaquunahu fidyatun tha’aamu miskiina (Dan bagi orang-orang yang dibebani puasa,
membayar fidyah yaitu : memberi makan seorang miskin)’. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Ayat ini
tidak mansuukh (hukumnya), yaitu laki-laki tua renta atau wanita tua renta dimana keduanya
sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka keduanya wajib memberi makan seorang miskin
sebagai ganti untuk setiap harinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4505].

Jumhur ulama telah mengkritik perkataan Ibnu ‘Abbaas, bahwa yang benar dalam masalah ini
ayat tersebut mansuukh. Mereka berargumen dengan riwayat :

‫ﻉﹺ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺄﹶﻛﹾﻮ‬‫ﺔﹶ ﺑ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻟﹶﻰ ﺳ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﺰﹺﻳﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺮﹺ ﺑ‬‫ﻜﹶﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺭﹺﺙ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺮﹺﻭ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﻀ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻜﹾﺮ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺔﹸ ﺣ‬‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﻗﹸﺘ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﻟﹶﺖ‬‫ﺰ‬‫ّﻰ ﻧ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬‫ﻱ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹾﺘ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻔﹾﻄ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺍﺩ‬‫ ﺃﹶﺭ‬‫ﻦ‬‫ﲔﹴ{ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺔﹲ ﻃﹶﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ﻴﻘﹸﻮﻧ‬‫ﻄ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹶّﺬ‬‫ﻋ‬‫ }ﻭ‬‫ﻟﹶﺖ‬‫ﺰ‬‫ّﺎ ﻧ‬‫ﺔﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻤ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﺨ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻓﹶﻨ‬‫ﻫ‬‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ﻲ ﺑ‬‫ﺔﹸ ﺍﻟﹶّﺘ‬‫ﺍﻟﹾﺂﻳ‬

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bakr bin Mudlar,
dari ‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin ‘Abdillah, dari Yaziid maulaa Salamah bin Al-Akwa’,
dari Salamah, ia berkata : “Ketika turun ayat : ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan
seorang miskin’ , barangsiapa yang ingin berbuka maka hendaklah membayarkan fidyah hingga
kemudian turunlah ayat setelahnya yang menghapus (hukum)-nya” [Diriwayatkan oleh Al-
Bukhaariy no. 4507].

‫ﺎﻡ‬‫ ﹲﺔ ﻃﹶﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﺃﹶ }ﻓ‬‫ﺎ ﻗﹶﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻊﹴ ﻋ‬‫ﺎﻓ‬‫ ﻧ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺪ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻠﹶﻰ ﺣ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ّﺎﺵ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﺔﹲ‬‫ﻮﺧ‬‫ﺴ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻲ‬‫{ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻫ‬‫ﲔ‬‫ﺎﻛ‬‫ﺴ‬‫ﻣ‬

Telah menceritakan kepada kami ‘Ayyaasy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa :
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa, bahwasannya ia membaca ayat : fidyatun tha’aamu masaakiin (‘membayar fidyah,
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

yaitu : memberi makan seorang miskin’), lalu berkata : ‘Ayat ini mansuukh (hukumnya)”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1949 & 4506].

‫ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﳊﺎﻓﻆ ﺃﺧﱪﱐ ﺃﺑﻮ ﺃﲪﺪ ﻳﻌﲏ ﺍﳊﺎﻓﻆ ﺃﻧﺒﺄ ﺍﳊﺴﲔ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻔﲑ ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﻳﻌﲏ ﺑﻦ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ‬
‫ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﳕﲑ ﻋﻦ ﺍﻷﻋﻤﺶ ﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻣﺮﺓ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻟﻴﻠﻰ ﺛﻨﺎ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﳏﻤﺪ‬
‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺃﺣﻴﻞ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻋﻠﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﺣﻮﺍﻝ ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﳌﺪﻳﻨﺔ ﻭﻻ ﻋﻬﺪ ﳍﻢ ﺑﺎﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ‬
‫ﻳﺼﻮﻣﻮﻥ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﻬﺮ ﺣﱴ ﻧﺰﻝ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﺎﺳﺘﻜﺜﺮﻭﺍ ﺫﻟﻚ ﻭﺷﻖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻜﺎﻥ ﻣﻦ ﺃﻃﻌﻢ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ‬
‫ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﳑﻦ ﻳﻄﻴﻘﻪ ﺭﺧﺺ ﳍﻢ ﰲ ﺫﻟﻚ ﻭﻧﺴﺨﻪ ﻭﺇﻥ ﺗﺼﻮﻣﻮﺍ ﺧﲑ ﻟﻜﻢ ﺇﻥ ﻛﻨﺖ ﺗﻌﻠﻤﻮﻥ ﻗﺎﻝ ﻓﺄﻣﺮﻭﺍ‬
‫ﺑﺎﻟﺼﻴﺎﻡ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh4 : Telah mengkhabarkan kepadaku
Abu Ahmad – yaitu Al-Haafidh5 - : Telah memberitakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad
bin ‘Ufair6 : Telah menceritakan kepadaku ‘Aliy – yaitu Ibnur-Rabii’ Al-Anshaariy7 : Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair8, dari Al-A’masy9 : Telah menceritakan kepada
kami ‘Amru bin Murrah10 : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa11 :

4
Ia adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakam Adl-Dlabbiy An-
Naisaabuuriy Al-Haafidh Abu ‘Abdillah Al-Haakim, penulis kitab Al-Mustadrak; seorang imam, tsiqah, lagi haafidh di
jamannya [lihat selengkapnya di : Syuyuukh Al-Imaam Al-Baihaqiy no. 141].
5
Ia adalah Abu Ahmad ‘Abdullah bin ‘Adiy bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Mubaarak bin Al-Qaththaan Al-
Jurjaaniy Al-Haafidh, lebih terkenal dengan nama Ibnu ‘Adiy, penulis kitab Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’; seorang imam,
haafidh, naaqid, lagi tsiqah (w. 365 H) [lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/154-156 no. 111].
6
Al-Husain bin Muhammad bin Muhammad bn ‘Ufair bin Muhammad bin Sahl bin Abi Khatsmah Al-Anshaariy Abu
‘Abdillah; seorang yang tsiqah, sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy (219-315 H) [Taariikh Baghdaad
8/662-664 dan Mushbaahul-Ariid 1/378 no. 7901].
7
‘Aliy bin Ar-Rabii’ Al-Anshaariy, belum saya ketemukan biografinya.
8
‘Abdullah bin Numair Al-Hamdaaniy Abu Hisyaam Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah shaahibul-hadiits dari kalangan
Ahlus-Sunnah (w. 199 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 553 no.
3692]
9
Ia adalah Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat
(w. 147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 414 no. 2630].
10
‘Amru bin Murrah bin ‘Abdillah bin Thaariq bin Al-Haarits Al-Jumaliy Al-Muraadi Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang
yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 118 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 745 no. 5147].
11
‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa Al-Anshaariy Al-Ausiy; seorang yang tsiqah (w. 83 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan
Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 597 no. 4019].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Telah menceritakan kepada kami para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
mereka berkata : Syari’at puasa telah mengalami tiga kali perubahan. Orang-orang saat tiba
pertama kali di Madiinah tidak diwajibkan kepada mereka berpuasa. Lalu, mereka berpuasa tiga
hari dalam setiap bulannya, hingga turunlah (kewajiban puasa di) bulan Ramadlaan. Mereka
menganggap kewajiban itu terlalu banyak dan menyusahkan mereka. Maka, orang-orang yang
memberi makan orang miskin diperbolehkan meninggalkan puasa, bagi yang merasa berat
menjalankannya sebagai satu keringanan bagi mereka atas hal itu. Dan kemudian (rukhshah) itu
dihapus dengan ayat : ‘Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui’. Maka mereka
pun diperintahkan (diwajibkan) untuk berpuasa” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 4/220].

Oleh karena itu, Ibnu Hajar rahimahulah sampai berkata :

‫ﻫﺬﺍ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻭﺧﺎﻟﻔﻪ ﺍﻷﻛﺜﺮ‬

“Ini adalah madzhab Ibnu ‘Abbaas, sedangkan kebanyakan ulama telah menyelisihinya”
[Fathul-Baariy, 8/180].

Akan tetapi ada riwayat shahih dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa bahwa ia juga
membaca ayat sebagaimana qira’at jumhur.

‫ﻦﹺ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻄﹶﺎﺀٍ ﻋ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺭﹴ ﻋ‬‫ﻳﻨ‬‫ﻦﹺ ﺩ‬‫ﺮﹺﻭ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻗﹶﺎﺀُ ﻋ‬‫ﺭ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺄﹶﻧ‬‫ﺒ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻧ‬‫ﺰﹺﻳﺪ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣ‬‫ﻴﻢ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻦﹺ ﺇﹺﺑ‬‫ﻴﻞﹶ ﺑ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ّﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬
‫ﲔﹴ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺔﹲ ﻃﹶﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ﻜﹶﻠﹶّﻔﹸﻮﻧ‬‫ ﻳ‬‫ﻪ‬‫ﻴﻘﹸﻮﻧ‬‫ﻄ‬‫ﲔﹴ { ﻳ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺔﹲ ﻃﹶﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ﻴﻘﹸﻮﻧ‬‫ﻄ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹶّﺬ‬‫ﻋ‬‫ﻞﹶّ } ﻭ‬‫ﺟ‬‫ّ ﻭ‬‫ﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ﻟ‬‫ﻲ ﻗﹶﻮ‬‫ّﺎﺱﹴ ﻓ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬
‫ { ﻟﹶﺎ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺧ‬‫ﻮﻣ‬‫ﺼ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻮ‬‫ } ﻓﹶﻬ‬‫ﺔ‬‫ﻮﺧ‬‫ﺴ‬‫ﻨ‬‫ ﺑﹺﻤ‬‫ﺖ‬‫ﺴ‬‫ ﻟﹶﻴ‬‫ﺮ‬‫ﲔﹴ ﺁﺧ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺍ { ﻃﹶﻌ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ّﻉ‬‫ﻄﹶﻮ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ } ﻓﹶﻤ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺣ‬‫ﻭ‬
‫ﻔﹶﻰ‬‫ﺸ‬‫ﺮﹺﻳﺾﹴ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﺎﻡ‬‫ّﻴ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻴﻖ‬‫ﻄ‬‫ﻱ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻠﹶّﺬ‬‫ﺬﹶﺍ ﺇﹺﻟﹶّﺎ ﻟ‬‫ﻲ ﻫ‬‫ ﻓ‬‫ّﺺ‬‫ﺧ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil bin Ibraahiim12, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Yaziid13, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Warqaa’14,
dari ‘Amru bin Diinaar15, dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan

12
Muhammad bin Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Al-Mughiirah Abu ‘Abdillah Al-Bukhaariy, pemilik kitab Ash-Shahiih;
seorang imam di bidang hadits di jamannya.
13
Yaziid bin Haaruun bin Zaadzaan As-Sulamiy; seorang perawi tsiqah, mutqin, lagi ‘aabid (w. 206 H). Dipakai Al-
Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].
14
Warqaa’ bin ‘Umar bin Kulaib Al-Yasykuriy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-
nya [Tahriirut-Taqriib, 4/58-59 no. 7403].
15
‘Amru bin Diinaar Al-Makkiy Abu Muhammad Al-Atsram; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 126 H). Dipakai Al-
Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 734 no. 5059].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin’. Ia (Ibnu ‘Abbaas) berkata : “Makna
yuthiiquunahu adalah yukallafunahu (dibebani puasa); untuk membayar fidyah, memberi
makan satu orang miskin. ‘Barangsiapa yang dengan kerelaan mengerjakan kebajikan’; yaitu
memberi makan orang miskin yang lain, tidaklah dihapus. ‘Maka itulah yang lebih baik baginya.
Dan berpuasa lebih baik bagimu’ ; yaitu, tidak diberikan keringanan dalam hal ini kecuali bagi
orang yang tidak mampu berpuasa atau sakit yang tidak diharapkan sembuhnya" [Diriwayatkan
oleh An-Nasaa’iy no. 2317; shahih – lihat : Shahih Sunan An-Nasaa’iy 2/144].

Riwayat di atas juga memberikan keterangan pada kita bahwa antara qira’at
yuthawwaquunahu (yang dianggap sebagai qira’at syaadzah) dan yuthiiquunahu menurut Ibnu
‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tidak berbeda maknanya.

Kemudian perhatikan riwayat berikut :

‫ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﻣﺮﺯﻭﻕ ﻗﺎﻝ ﺛﻨﺎ ﺭﻭﺡ ﻗﺎﻝ ﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻋﺮﻭﺑﺔ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﻋﺰﺭﺓ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺟﺒﲑ ﻋﻦ‬
‫ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺭﺧﺺ ﻟﻠﺸﻴﺦ ﺍﻟﻜﺒﲑ ﻭﺍﻟﻌﺠﻮﺯ ﺍﻟﻜﺒﲑﺓ ﰲ ﺫﻟﻚ ﻭﳘﺎ ﻳﻄﻴﻘﺎﻥ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺃﻥ‬
‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻬﹺﺪ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﻳﻔﻄﺮﺍ ﺇﻥ ﺷﺎﺀﺍ ﺃﻭ ﻳﻄﻌﻤﺎ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻭﻻ ﻗﻀﺎﺀ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﰒ ﻧﺴﺦ ﺫﻟﻚ ﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ }ﻓﹶﻤ‬
‫{ ﻭﺛﺒﺖ ﻟﻠﺸﻴﺦ ﺍﻟﻜﺒﲑ ﻭﺍﻟﻌﺠﻮﺯ ﺍﻟﻜﺒﲑﺓ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺎ ﻻ ﻳﻄﻴﻘﺎﻥ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﳊﺒﻠﻰ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻓﺘﺎ‬‫ﻪ‬‫ﻤ‬‫ﺼ‬‫ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬‫ﺮ‬‫ّﻬ‬‫ﺍﻟﺸ‬
‫ﺃﻓﻄﺮﺗﺎ ﻭﺃﻃﻌﻤﺘﺎ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq16, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Rauh17, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah18, dari
Qataadah19, dari ‘Azrah20, dari Sa’iid bin Jubair21, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala

16
Ibraahiim bin Marzuuq bin Diinaar Al-Umawiy; seorang yang tsiqah, namun kadang melakukan kekeliruan (w.
270 H) [lihat biografi selengkapnya dalam Tahdziibul-Kamaal 2/197-198 no. 242 dan Tahdziibut-Tahdziib 1/163 no.
290].
17
Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan Al-Qaisiy; seorang yang tsiqah faadlil, mempunyai banyak tulisan (w.
205 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].
18
Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi mempunyai banyak tulisan. Akan tetapi ia mengalami
percampuran dalam hapalan (ikhtilaath) (w. 156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 384 no. 2378].
19
Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan
tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102
no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-
484].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‘anhumaa, ia berkata : “Diberikan keringanan (rukhshah) bagi laki-laki dan wanita yang telah
tua/lanjut usia atas hal itu meskipun mereka mampu berpuasa, untuk berbuka bila
menghendakinya atau memberi makan orang miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya.
Kemudian hal itu di-nasakh dengan ayat : ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah : 185). Akan
tetapi hukum itu tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut
usia apabila mereka tidak sanggup berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui apabila
mereka khawatir (atas dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang miskin
setiap harinya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jaaruud no. 381; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam
Irwaaul-Ghaliil 4/18].

‫ﻊﹺ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﹶﻰ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ﻠﹾﺤ‬‫ ﻟ‬‫ﺖ‬‫ّﺎﺱﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹸﺛﹾﺒﹺﺘ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺃﹶﻥﹶّ ﺍﺑ‬‫ّﺛﹶﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺔﹶ ﺣ‬‫ﻜﹾﺮﹺﻣ‬‫ﺓﹸ ﺃﹶﻥﹶّ ﻋ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺎ ﻗﹶﺘ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺎﻥﹸ ﺣ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻴﻞﹶ ﺣ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻮﺳ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil22 : Telah menceritakan kepada kami
Abaan23 : Telah menceritakan kepada kami Qataadah : Bahwasannya ‘Ikrimah24 telah
menceritakan kepadanya : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata : “(Hukum itu) ditetapkan bagi
wanita hamil dan menyusui” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2317; dishahihkan oleh Al-
Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/48].

Terdapat faedah yang sangat berharga dalam riwayat di atas. Pada riwayat di atas, Ibnu ‘Abbaas
radliyallaahu ‘anhumaa menjelaskan makna mansuukh yang ia katakan pada riwayat lainnya
(HR. Al-Bukhaariy no. 4505), yaitu mansuukh sebagian hukumnya. Oleh karena itu, ini tidak
bertentangan dengan pendapat jumhur. Sebab, salaf ketika memutlakkan kata mansuukh,
adalah mansuukh hukum secara keseluruhan. Adapun yang dimaksud Ibnu ‘Abbaas dalam
riwayat-riwayat di atas adalah mansuukh sebagian hukumnya yang bermakna takhshiish.

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata saat menjelaskan atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa :

20
‘Azrah bin ‘Abdirrahmaan bin Zuraarah Al-Khuzaa’iy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 676 no. 4608].
21
Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (w. 95
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 374-375 no. 2291].
22
Muusaa bin Ismaa’iil Al-Minqariy Abu Salamah At-Tabuudzakiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w.
223 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
23
Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-
nya [idem, hal. 977 no. 6992].
24
‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺮ‬‫ّﻬ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻬﹺﺪ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ } ﻓﹶﻤ‬:‫ ﺑﻘﻮﻟﻪ‬،‫ﻓﺤﺎﺻﻞ ﺍﻷﻣﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺴﺦ ﺛﺎﺑﺖ ﰲ ﺣﻖ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺍﳌﻘﻴﻢ ﺑﺈﳚﺎﺏ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ ﻷﻧﻪ ﻟﻴﺴﺖ ﻟﻪ‬،‫ { ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﻟﻔﺎﱐ ]ﺍﳍﺮﻡ[ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﻔﻄﺮ ﻭﻻ ﻗﻀﺎﺀ ﻋﻠﻴﻪ‬‫ﻪ‬‫ﻤ‬‫ﺼ‬‫ﻓﹶﻠﹾﻴ‬
‫ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻓﺘﺎ ﻋﻠﻰ‬،‫ ﺍﳊﺎﻣﻞ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ‬:‫ﺬﺍ ﺍﳌﻌﲎ‬ ‫ ﻭﳑﺎ ﻳﻠﺘﺤﻖ‬....... ،‫ﺣﺎﻝ ﻳﺼﲑ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻳﺘﻤﻜﻦ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ‬
‫ﺃﻧﻔﺴﻬﻤﺎ ﺃﻭ ﻭﻟﺪﻳﻬﻤﺎ‬......

“Maka kesimpulannya adalah, nasakh itu tetap berlaku bagi orang sehat yang bermukim (tidak
melakukan perjalanan) dengan kewajiban berpuasa baginya melalui ayat : ‘Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa’.
Sedangkan orang yang lanjut usia yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa, maka boleh baginya
berbuka tanpa perlu mengqadlanya, karena ia tidak akan lagi mengalami keadaan yang
memungkinkannya untuk mengqadla’ puasa yang ditinggalkannya itu…… Termasuk dalam
pengertian ini adalah wanita hamil dan menyusui apabila mereka khawatir akan dirinya dan
anaknya…..” [Tafsir Ibni Katsiir, 1/500-501].

Bersamaan dengan pengetahuan Ibnu ‘Abbaas atas adanya nasakh ayat, maka dapat diketahui
bahwa takhshiish terhadap orang-orang yang lanjut usia yang tidak mampu lagi berpuasa serta
wanita hamil dan menyusui; bukan berasal dari ijtihadnya semata.

[Jika para ulama sepakat menerima takhshiish untuk orang-orang lanjut usia, maka tidak ada
halangan untuk menerima takhshiish tersebut untuk wanita hamil dan menyusui].

Dan ternyata dalam hal ini, Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tidaklah sendiri. Ibnu ‘Umar
menyepakatinya sebagaimana terlihat dalam riwayat berikut :

‫ ﻣﺜﻞ ﻗﻮﻝ ﺍﺑﻦ‬،‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ‬،‫ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ‬،‫ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ‬،‫ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ‬،‫ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺓ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻋﺒﺎﺱ ﰲ ﺍﳊﺎﻣﻞ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ‬

Telah menceritakan kepada kami Hanaad25, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdah26, dari Sa’iid27, dari Naafi’28, dari ‘Aliy bin Tsaabit29, dari Naafi’30, dari Ibnu ‘Umar –

25
Hanaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah (w. 243 H). Dipakai
Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1025 no. 7370].
26
‘Abdah bin Sulaimaan Al-Kilaabiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 187 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 635 no. 4297].
27
Ia adalah Sa’iid bin Abi ‘Aruubah.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbaas dalam permasalahan wanita hamil dan menyusui
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 3/428; dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dan
Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺻﺎﱀ ﺍﻷﺻﺒﻬﺎﱐ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺛﻨﺎ ﺍﳊﺠﺎﺝ ﺛﻨﺎ ﲪﺎﺩ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻥ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﺳﺄﻟﺘﻪ‬
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﻓﻄﺮﻱ ﻭﺃﻃﻌﻤﻲ ﻋﻦ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻭﻻ ﺗﻘﻀﻲ‬، ‫ﻭﻫﻲ ﺣﺒﻠﻰ‬

Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih Al-Ashbahaaniy 31 : Telah menceritakan kepada
kami Abu Mas’uud32 : Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj33 : Telah menceritakan
kepada kami Hammaad34, dari Ayyuub35, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya anak
perempuannya pernah bertanya kepadanya (tentang kewajiban puasa) yang pada saat itu ia
dalam keadaan hamil. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Berbukalah dan berilah makan satu orang
miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla” [Diriwayatkan oleh Ad-
Daruquthni 3/198 no. 2388; sanadnya jayyid sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaaniy dalam
Irwaaul-Ghaliil 4/20].

Perlu kita ingat bersama, Ibnu ‘Umar juga merupakan salah satu shahabat yang mengatakan
mansukh-nya hukum atas ayat : ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah…..dst.’ (HR. Al-Bukhaariy no. 1949 & 4506). Oleh
karena itu, posisinya di sini persis sebagaimana Ibnu ‘Abbaas dalam hal pemahaman dan
praktek.
28
Ia adalah Naafi’ bin Maalik bin Abi ‘Aamir At-Taimiy Abu Suhail Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. setelah
tahun 140-an). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 996 no. 7131].
29
‘Aliy bin Tsaabit bin ‘Amru bin Akhthab Al-Bashriy Al-Anshaariy; seorang yang tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/177
no. 968].
30
Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
31
Ia adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Haaruun Abu Mas’uud Al-Ashbahaaniy; seorang yang tsiqah sebagaimana
dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy (w. 324 H) [Taraajimu Rijaali Ad-Daaruquthniy, hal. 56 no. 94].
32
Ia adalah Ahmad bin Al-Furaat bin Khaalid Adl-Dlabbiy Abu Mas’uud Ar-Raaziy Al-Haafidh (w. 258 H) [Taqriibut-
Tahdziib, hal. 96 no. 88].
33
Hajjaaj bin Al-Minhaal Al-Anmaathiy Abu Muhammad As-Sulamiy; seorang yang tsiqah lagi faadlil (w. 216 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 224 no. 1146].
34
Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, berubah hapalannya di akhir
hayatnya (w. 167). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 268-269 no. 1507].
35
Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131
H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Maka, riwayat Ibnu ‘Abbas – yang didukung Ibnu ‘Umar - radliyallaahu ‘anhum dihukumi marfu’
yang merupakan penafsiran mengenai turunnya sebuah ayat Al-Qur’an, sehingga dapat
diamalkan konsekuensi hukumnya.

Telah diketahui juga bahwa Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dikenal sebagai salah seorang
shahabat yang sangat besar semangat itttiba’-nya terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Sebailknya, tidak diketahui satu pun shahabat yang menyelisihi mereka berdua dalam
permasalahan ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudaamah :

‫ﻭﻻ ﳐﺎﻟﻒ ﳍﻤﺎ ﰲ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ‬

“Tidak ada shahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar)” [Al-
Mughniy fil-Fiqh 3/140 – melalui perantaraan At-Tarjiih, hal. 60].

Inilah pendapat yang raajih yang diambil Sa’iid bin Jubair, Ishaaq bin Rahawaih, Al-Qaasim bin
Muhammad, dan sekelompok ulama lainnya. Al-Albaaniy, ‘Aliy Al-Halabiy, Saliim Al-Hilaaliy,
Muhammad Al-Bazmuul, dan Abu Maalik Kamaal adalah di antara ulama kontemporer yang
diketahui (Penulis) sebaris dengan mereka.

Walaupun begitu, tidak selayaknya bagi wanita yang mengandung dan menyusui untuk
bermudah-mudah dalam masalah ini. Khususnya, mereka yang tidak merasa berat untuk
berpuasa; hendaknya ia tetap (mencoba) berpuasa. Orang yang mampu mengerjakan puasa
adalah lebih baik daripada yang tidak melakukannya, sebab ia telah mengerjakan asal
kewajiban yang diperintahkan syari’at. Hal ini sesuai dengan keumuman firman Allah ta’ala :

‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺧ‬‫ﻮﻣ‬‫ﺼ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﻭ‬

“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 184].

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Inilah sedikit yang bisa disampaikan…. Segala kekurangan hanyalah milik makhluk-Nya, karena
segala kesempurnaan kembali pada Allah semata.

Bahan bacaan : Shahiih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin As-Sayyid, 2/125-127,
Maktabah At-Taufiqiyyah; Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albaaniy 4/17-25 no. 912, Al-Maktab Al-
Islaamiy, Cet. 1/1399; Jaami’ Ahkaamin-Nisaa’ oleh Mushthafaa bin Al-‘Adawiy, 2/394-402,
Daarus-Sunnah, Cet. 1/1415; At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah oleh Muhammad bin
‘Umar Bazmuul hal. 55-64, Daarul-Hijrah, Cet. 1/1415; Hukum-Hukum Wanita Hamil
(terjemahan) oleh Yahyaa bin ‘Abdirrahmaan Al-Khathiib, hal. 40-58, Al-Izzah, Cet. 1/1424; dan
yang lainnya].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Sebagai bahan perbandingan dan pengayaan pengetahuan tentang khilaf ulama pada bahasan
ini, baca pula : http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3085-perselisihan-ulama-mengenai-
puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html.

[abu al-jauzaa’ – 6 Ramadlaan 1431]. - silakan baca artikel lanjutannya di sini untuk membaca
bahasan apakah Ibnu 'Abbaas dan Ibnu 'Umar mencabut fatwanya dalam pembayaran fidyah.

Comments

abu faadhilah mengatakan...

Jazakumullahu khaira ustadz, sangatilmiyyah

16 Agustus 2010 11:38

Anonim mengatakan...

Yang mewajibkan qodho bukan fidyah:

Sebagai bahan perbandingan dan pengayaan pengetahuan tentang khilaf ulama pada
bahasan ini, baca pula:

http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-
hamil-dan-menyusui.html

Ana kutip:

...maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan
menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya
dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini.

Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan
qodho’. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’
di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’
puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka
kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia
bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada
satu orang miskin setiap harinya.

Qiyas antara orang sakit/safar dan wanita hamil/menyusui memang ada benarnya. Akan
tetapi, menurut ana tidak ada khilaf di sini. Alasannya, qodho hanya berlaku sebelum ramadhon
berikutnya tiba (koreksi ana kalau salah). Maka, pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar
rodhiallahu'ahmuma (anggaplah sebuah ijtihad, bukan marfu') sangat kuat, karena wanita hamil
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

selama 9 bulan, 3 bulan sisanya untuk menyusui sehingga tidak sempat qodho. Sedangkan
menyusui itu sendiri butuh waktu 2 tahun (alBaqoroh: 233). Bukankah dengan demikian
otomatis tidak ada qodho?

-Abu 'Abdullaah-

17 Agustus 2010 09:58

Hendra mengatakan...

Assalamu'alaikum,

Maaf ustadz, ada yang masih kurang jelas bagi saya (dari url rujukan yang disebutkan), yaitu,
bagaimana pendapat sahabat selevel Ibnu Abbas yang dijuluki "habrul ummah" dan juga Ibnu
Abbas yang dikenal paling ketat dalam ber-ittiba' kepada Rasulullah, bahkan tidak ada
seorangpun sahabat yang menyelisihinya, bisa diletakkan di bawah (dilemahkan
dengan)pendapat para ulama yang datang kemudian?

Mohon pencerahannya ustadz.

18 Agustus 2010 10:39

Hendra mengatakan...

Assalamu'alaikum,

Maaf ustadz, ada yang masih kurang jelas bagi saya (dari url rujukan yang disebutkan), yaitu,
bagaimana pendapat sahabat selevel Ibnu Abbas yang dijuluki "habrul ummah" dan juga Ibnu
Abbas yang dikenal paling ketat dalam ber-ittiba' kepada Rasulullah, bahkan tidak ada
seorangpun sahabat yang menyelisihinya, bisa diletakkan di bawah (dilemahkan
dengan)pendapat para ulama yang datang kemudian?

Mohon pencerahannya ustadz.

18 Agustus 2010 10:41

Hendra mengatakan...

Assalamu'alaikum,

Maaf ustadz, ini ralat komentar sebelumnya ada salah ketik nama sahabat yang disebut ke-2
adalah Ibnu Umar dan bukan Ibnu Abbas)

18 Agustus 2010 13:51


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@abu fadlillah,.... Qiyas tidak diterima bila telah tetap nash. Dalam hal ini, nash untuk wanita
hamil dan menyusui itu ada. Shahih lagi. Juga, qadla itu tidak gugur dengan bertemunya
kewajiban semisal di waktu mendatang seperti qadla shalat shubuh tidak gugur jika bertemu
dengan waktu shubuh keesokan harinya. Tentu saja, ini dari sisi pandang ulama yang
mewajibkan qadla tanpa fidyah.

@akh Hendra, inilah perselisihan ulama dalam memandang nash. Tentu saja masing2 punya
sisi pentarjihan. Semoga Allah memberikan rahmat bagi mereka semua.

18 Agustus 2010 16:14

Mohd mengatakan...

Maaf kerana guna artikel ini untuk tanya soalan yang tidak berkaitan dengan topik ini.
Bolehkah tuliskan perbahasan pasal doa keluar WC? Betulkah doa "ghufranuka" itu dhaif?

22 Agustus 2010 08:25

Yulian Purnama mengatakan...

Membawakan perkataan Ibnu Qudamah untuk meng-klaim ijma sukuti pada pendapat fidyah
saja, agak kurang pas. Karena Ibnu Qudamah sendiri berpendapat tetap qadha untuk semua
keadaan, hanya saja ada tambahan fidyah jika khawatir pada anaknya. Silakan cek Al Mughni.

Tentu antum tahu, hukum asal bagi ibadah wajib yang ditinggalkan karena udzur temporer,
maka di-qadha. Ibu hamil dan menyusui kita tidak bisa bilang selamanya tidak akan mungkin
bisa puasa lagi sampai meninggal. Andai demikian adanya, sedih sekali mereka.

Kemudian fatwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menyelisihi hadits Anas Al Ka'bi, dimana
diangkatnya kewajiban puasa pada ibu hamil memiliki hukum sama dengan diangkatnya
kewajiban puasa dari musafir. Jika musafir qadha, maka ibu hamil pun sama.

Kemudian, terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas
radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.

‫ ﻭﺗﻘﻀﻴﺎﻥ‬، ‫ ﺗﻔﻄﺮ ﺍﳊﺎﻣﻞ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬: ‫ ﻭﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ‬، ‫ﻋﻦ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ‬
‫ﺻﻴﺎﻣﺎ ﻭﻻ ﺗﻄﻌﻤﺎﻥ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil
dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa
fidyah‘”

Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan
bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Namun dari sini kita ketahui tidak
tepatnya klaim ijma' sukuti, dan pendapat yang menyatakan tetap qadha juga didukung oleh
Ibnu 'Abbas. Bahkan ada pula riwayat serupa dari Ibnu Umar namun ada kritikan pada
sanadnya.

Wallahu’alam.

22 Agustus 2010 23:24

newbie_python mengatakan...

Assalamu'alaikum..

Jazakallohu khoir atas artikelnya, yang ingin ana tanyakan bagaimana dengan riwayat ibnu
abbas & ibnu umar yang LAIN, yang mewajibkan qodha bukan fidyah ?? seperti artikel di blog

http://kangaswad.wordpress.com/2010/08/05/permasalahan-qadha-fidyah-wanita-hamil-
dan-menyusui/

Barokallohu fiik..

23 Agustus 2010 08:42

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tidak ada penyelisihan dari kalangan shahabat adalah realitas - dan itu satu hal, dan
pendapat Ibnu Qudamah yang menyelisihinya adalah satu hal yang lain yang tidak berpengaruh
terhadap realitas yang ada.

Dalam masalah ini, kebolehan wanita hamil dan menyusui membayar fidyah mempunyai satu
illat, yaitu jika mereka tidak mampu dan merasa khawatir terhadap dirinya dan anaknya. Jika
memang wanita tersebut mampu, kuat, dan tidak ada kekhawatiran apa-apa (apalagi didukung
fakta medis), maka itu kembali ke hukum asal, yaitu qadla'.

Seandainya pun mereka berkeinginan mengqadla', maka itu tetap lebih baik bagi mereka
sebagaimana tertulis pad artikel di atas.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Tentang hadits Anas Al-Ka'biy, apakah di sana disebutkan adanya keterangan bahwa
keduanya mesti mengqadla' ? Bukankah disebutkannya dua hal secara bersama tidak mesti
keduanya mempunyai kesamaan hukum dalam setiap sisinya ?

Tentang riwayat Ibnu 'Abbaas dan Ibnu 'Umar, maka kebetulan saya telah menulisnya di
artikel : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/08/benarkah-ibnu-abbaas-dan-ibnu-umar.html.

Waallaahu a'lam bish-shawwaab.

23 Agustus 2010 09:03

Yulian Purnama mengatakan...

Saya hanya katakan kurang pas membawakan perkataan Ibnu Qudamah, karena yang
dimaksud Ibnu Qudamah dari perkataan itu bukan seperti yg anda maksud.

Selain itu qaul ash shahabiy tidak disepakati kehujjahannya ketika ada indikasi menyelisihi
ayat, atau menyelisihi hadits atau menyelisihi qiyas shahih. (Demikian yg saya pahami dari
Ma'lim Ushulil Fiqh, Mahmud Al Jizani). Terlebih fatwa Ibnu Abbas diselihi oleh sejumlah Ashab
Ibni Abbas sendiri (Keterangan ini saya dapat dari Syaikh Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi).

Mengenai sikap terhadap 2 riwayat yg bertentangan, di sinilah letak ijtihadnya. Saya lebih
cenderung, yang inshaf adalah menyatakan bahwa Ibnu Abbas memiliki 2 pendapat karena
tidak diketahui mana riwayat yang terakhir.

Mengenai hadits Anas Al Ka'bi, pada asalnya wa athof berfaedah samanya hukum. Setidaknya
demikianlah yang juga dipahami Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah.

23 Agustus 2010 11:02

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Adapun saya membawakan perkataan Ibnu Qudamah hanya sebagai keterangan bahwa
dalam permasalahan ini tidak ada shahabat yang menyelisihinya. Syaikh Al-Bazmul saat
mentarjih permasalahan ini juga membawakan perkataan Ibnu Qudamah tersebut. Syaikh Al-
Firkuz sendiri mengatakan :

‫ﻭﻷﻥﹼ ﻗﻮﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻭﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻢ ﺍﻧﺘﺸﺮ ﺑﲔ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭﱂ ﻳﻌﻠﻢ ﳍﻤﺎ ﳐﺎﻟﻒ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﻬﻮ‬
‫ ﻭﻫﻮ ﺍﳌﻌﺮﻭﻑ ﻋﻨﺪ ﺍﻷﺻﻮﻟﻴﲔ ﺑﺎﻹﲨﺎﻉ ﺍﻟﺴﻜﻮﰐ‬،‫ﺔ ﻭﺇﲨﺎﻉ ﻋﻨﺪ ﲨﺎﻫﲑ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬‫ﺣﺠ‬

"Hal itu dikarenakan perkataan Ibnu 'Abbaas dan Ibnu 'Umar radliyallaahu 'anhum telah
tersebar di kalangan shahabat dan tidak diketahui adanya penyelisihan di kalangan shahabat
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

terhadap mereka berdua. Maka, ia merupakan hujjah dan ijma' menurut pakar ushul, yang
disebut ijma' sukuti" [selesai].

Perkataan antum bahwa perkataan Ibnu 'Abbaas dan Ibnu 'Umar paling mentok hanyalah
riwayat mauquf (aqwal shahaabiy) sehingga tidak bisa dijadikan sebagai asal hujjah, ya...itu
menurut ulama yang memberikan tarjih selain pendapat mereka berdua. Akan tetapi ini pun
sarat kritik.

Tafsir Ibnu 'Abbaas (yang ini disepakati Ibnu 'Umar) berkaitan dengan sebab turunnya ayat,
sehingga dalam ilmu hadits, tafsir shahabat yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat
dihukumi marfu'. Oleh karena itu, saya tidak sepakat jika perkataan Ibnu 'Abbaas (yang
disepakati juga oleh Ibnu 'Umar) hanya sekedar pendapat pribadi saja.

Ditambah lagi redaksi riwayat yang mengatakan :

‫ﻭﺛﺒﺖ ﻟﻠﺸﻴﺦ ﺍﻟﻜﺒﲑ ﻭﺍﻟﻌﺠﻮﺯ ﺍﻟﻜﺒﲑﺓ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺎ ﻻ ﻳﻄﻴﻘﺎﻥ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﳊﺒﻠﻰ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻓﺘﺎ ﺃﻓﻄﺮﺗﺎ ﻭﺃﻃﻌﻤﺘﺎ‬
‫ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ‬

"Akan tetapi hukum itu tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi laki-laki dan wanita yang telah
tua/lanjut usia apabila mereka tidak sanggup berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui
apabila mereka khawatir (atas dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang
miskin setiap harinya".

Darimana asalnya Ibnu 'Abbaas mengatakan satu penetapan hukum tersebut ? Susah
dikatakan bahwa ini hanya merupakan pendapat pribadi semata. Bukankah ini ekuivalen
dengan perkataan minas-sunnah (termasuk sunnah) dalam perkataan shahabat yang dalam
ilmu hadits termasuk marfu' hukman ?.

Oleh karena itu, tidak ada pertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah sama sekali.

Penyelisihan sebagian ashhaab bukanlah dalil untuk membatalkan perkataan Ibnu 'Abbaas;
sebagaimana juga penyelisihan seorang perawi bukanlah sebagai dalil kuat untuk membatalkan
(kandungan hukum) hadits yang ia bawakan/riwayatkan. Apalagi, Sa'iid bin Jubair merupakan
jajaran murid Ibnu 'Abbaas yang mengikuti pendapat syaikh-nya.

Adapun pengkompromian dua riwayat Ibnu 'Abbaas, maka saya tetap cenderung memilih
metode penjamakan sebagai metode yang paling baik untuk riwayat-riwayat yang saling
bertentangan, sebagaimana itu ma'ruf dalam ushul-fiqh dan ushul-hadits.

Tentang qiyas,.... saya hanya akan menukilkan perkataan Syaikh Al-Bazmuul :


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﻷﻥ ﻗﻴﺎﺱ ﺍﳊﺎﻣﻞ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺮﻳﺾ ﻻ ﻳﺼﺢ ﺇﺫ ﻫﻮ ﰲ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ ﺍﻟﻨﺺ‬

Walau beliau sedang mengomentari qiyas terhadap orang sakit, maka hal yang sama
dikatakan kepada orang yang mengqiyaskan kepada orang yang safar.

Tentang 'athaf pada hadits Anas, pada asalnya memang demikian adanya selama tidak ada
keterangan/dalil lain yang memalingkannya. Namun, bukankah dalam hal ini ada dalil yang
memalingkannya ? Maksudnya, masing-masing objek telah ditetapkan hukum masing-masing
melalui dalil-dalil khusus yang menunjukkannya.

Wallaahu a'lam bish-shawwaab.

23 Agustus 2010 12:32

Abduh mengatakan...

Penukilan ijma' sukuti ini kami katakan gak tepat skali,

‫ﻭﻻ ﳐﺎﻟﻒ ﳍﻤﺎ ﰲ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ‬

“Tidak ada shahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar)” [Al-
Mughniy fil-Fiqh 3/140 – melalui perantaraan At-Tarjiih, hal. 60].

Coba antum baca baik2 di Al Mughni, beliau itu masih tetap wajibkan qodho' dalam setiap
keadaan. Bahkan untuk wanita yang meninggalkan puasa karena khawatir pada dirinya, mk ia
wajib qodho'. Ini beliau katakan ijma'.

Coba perhatikan baik2 perkataan Ibnu Qudamah

‫ﺐ‬‫ﺴ‬‫ﺎﺀُ ﻓﹶﺤ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻀ‬‫ﻬﹺﻤ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬، ‫ﻄﹾﺮ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﻔ‬‫ﻤ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻬ‬، ‫ﺎ‬‫ﻔﹸﺴِﻬﹺﻤ‬‫ﻠﹶﻰ ﺃﹶﻧ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎﻓﹶﺘ‬‫ ﺇﺫﹶﺍ ﺧ‬، ‫ﻊ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻞﹶ ﻭ‬‫ﺎﻣ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻚ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺫﹶﻟ‬‫ﻤ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬.

‫ﻔﹾﺴِﻪ‬‫ﻠﹶﻰ ﻧ‬‫ ﻋ‬‫ﻒ‬‫ﺎﺋ‬‫ﺮﹺﻳﺾﹺ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺰﹺﻟﹶﺔ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﺑﹺﻤ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺄﹶﻧ‬‫ﻠﹶﺎﻓﹰﺎ ؛ ﻟ‬‫ﺘ‬‫ﻠﹾﻢﹺ ﺍﺧ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻴﻪ‬‫ ﻓ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ﻌ‬‫ ﻟﹶﺎ ﻧ‬.

Lalu beliau masih tetap katakan qodho' jika ibu hamil dan menyusui khawatir pada anaknya.
Lihat di sini:

‫ﻡﹴ‬‫ﻮ‬‫ ﻛﹸﻞﱢ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﲔﹴ ﻋ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺇﹺﻃﹾﻌ‬‫ﺎﺀُ ﻭ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﻘﹶﻀ‬‫ﻬﹺﻤ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺎ‬‫ﺗ‬‫ﺎ ﺃﹶﻓﹾﻄﹶﺮ‬‫ﻬﹺﻤ‬‫ﻳ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ﻠﹶﻰ ﻭ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎﻓﹶﺘ‬‫ﺇﹺﻥﹾ ﺧ‬‫ ﻭ‬.

Jadi sebenarnya nukilan Ibnu Qudamah itu, beliau masih maksudkan tetap ada qodho'.
Mohon bisa dicek ulang secara utuh di Al Mughni sebelum menukil.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Semoga Allah beri keberkahan ilmu pada antum.

23 Agustus 2010 13:57

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Saya membawakan perkataan Ibnu Qudamah tentang tidak adanya penyelisihan di antara
shahabat atas perkataan Ibnu 'Umar dan Ibnu 'Abbaas bukan berarti saya ingin menunjukkan
bahwa Ibnu Qudaamah sepakat dengan mereka berdua. Telah saya katakan sebelumnya :

Tidak ada penyelisihan dari kalangan shahabat adalah realitas - dan itu satu hal, dan
pendapat Ibnu Qudamah yang menyelisihinya adalah satu hal yang lain yang tidak berpengaruh
terhadap realitas yang ada.

Mohon agar diperhatikan.....

Selengkapnya perkataan Ibnu Qudaamah tersebut dapat dibaca di :

http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=1696&idto=1696&bk_no=15&
ID=1641.

Dalam Al-Mughniy, saat Ibnu Qudaamah memaparkan beberapa khilaf, maka ia pun
menyebut pendapat Ibnu 'Abbaas dan Ibnu 'Umar; yang ia lanjutkan dengan perkataan :

‫ﻭﻻ ﳐﺎﻟﻒ ﳍﻤﺎ ﰲ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ‬

Setelah menyebutkan ini, lalu Ibnu Qudaamah menyebutkan pendapatnya (dan juga
tarjihnya).

Adapun perkataan Ibnu Qudaamah sebelum itu :

‫ ﻻ‬. ‫ ﻭﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﻓﺤﺴﺐ‬، ‫ ﻓﻠﻬﻤﺎ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬، ‫ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻓﺘﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻔﺴﻬﻤﺎ‬، ‫ﻭﲨﻠﺔ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﺍﳊﺎﻣﻞ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ‬
‫ﻧﻌﻠﻢ ﻓﻴﻪ ﺑﲔ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﺧﺘﻼﻓﺎ‬

saya yakin antum tahu, apakah memang hal itu tidak ada khilaf di antara ulama atau tidak.....

Dan kembali pada permasalahan Ibnu 'Abbaas dan Ibnu 'Umar; apakah antum mengetahui
ada shahabat yang menyelisihi mereka berdua dalam hal ini ?

Wallaahu ta'ala a'lam.

23 Agustus 2010 14:28


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Abduh mengatakan...

Pertama, kami lebih merojihkan bahwa Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar telah meralat
pendapatnya.

Kedua, jika kami memilih bahwa Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar telah memilih qodho' maka
tepatlah nukilan Ibnu Qudamah selanjutnya:

ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻠﹾﻘﹶﻀ‬‫ ﻟ‬‫ﺽ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺗ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺎﻡ‬‫ ﺍﻟﹾﺈﹺﻃﹾﻌ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺟ‬‫ﺔﹸ ﺃﹶﻭ‬‫ﺍﻟﹾﺂﻳ‬‫ ﻭ‬، ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻔﹶﺴ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﺾﹺ ﻭ‬‫ﺎﺋ‬‫ ﻛﹶﺎﻟﹾﺤ‬، ‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺰﹺﻣ‬، َ‫ﺎﺀ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻀ‬‫ﻴﻘﹶﺎﻥ‬‫ﻄ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻟﹶﻨ‬‫ﻭ‬
‫ﺮ‬‫ﻴﻞﹴ ﺁﺧ‬‫ﻟ‬‫ ﺩ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻩ‬‫ﺬﹾﻧ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺧ‬، .

‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒﹺﻲ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬، ‫ﺔﹶ‬‫ﻴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹸﻣ‬‫ﺮﹺﻭ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻳﺚ‬‫ﺪ‬‫ﻲ ﺣ‬‫ﺎﺀَ ﻓ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ ﻛﹶﻤ‬، ‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﺬﹾﺭﹺﻫ‬‫ ﻋ‬‫ﺓ‬‫ﺪ‬‫ﻲ ﻣ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ﻌ‬‫ﺿ‬‫ﻡﹺ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻊﹺ ﺍﻟﺼ‬‫ﺿ‬‫ ﺑﹺﻮ‬‫ﺍﺩ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻭ‬
‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫ﺮﹺ ﺍﻟﺼ‬‫ﺎﻓ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻊ‬‫ﺿ‬‫ ﻭ‬‫ } ﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬: ‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻴﻪ‬ ‫ﻠﹶ‬‫ } ﻋ‬.

‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺍﻥ‬‫ﺭ‬‫ﻘﹾﺪ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬، ِ‫ﺎﺀ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻀ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺟﹺﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ﺄﹶﻧ‬‫ ﻟ‬، ‫ﺮﹺﻡﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻬ‬‫ﺦ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﺎﻥ‬‫ﺒﹺﻬ‬‫ﺸ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻭ‬.

‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ‬‫ﻳﺚ‬‫ﺪ‬‫ ﺇﻟﹶﻰ ﺣ‬‫ﺐ‬‫ ﺃﹶﺫﹾﻫ‬: ‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺣ‬.

ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻊﹺ ﺍﻟﹾﻘﹶﻀ‬‫ﻨ‬‫ﻲ ﻣ‬‫ ﻓ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﺍﺑ‬‫ﺎﺱﹴ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﻝﹺ ﺍﺑ‬‫ﻟﹶﺎ ﺃﹶﻗﹸﻮﻝﹸ ﺑﹺﻘﹶﻮ‬‫ﻨﹺﻲ ﻭ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬.

Mudah2an dengan adanya penjelasan ini, bukan berarti kita semakin menjauh. Namun
semakin menambah wacana ilmiah kita. Sehingga tidak mengklaim dirinya 100% benar dan
tidak menganggap bahwa salafiyah hanya berpendapat fidyah saja. Karena masalah ini adalah
masalah khilafiyah yg sudah ma'ruf,tergantung dari sisi mana kita memandangnya.

Semoga Allah merahmati dan memberkahi ilmu antum

23 Agustus 2010 15:18

Yulian Purnama mengatakan...

Hanya sedikit menambah faidah. Mengklaim ijma' sukutiy sama saja mengklaim ijma'.
Padahal kita semua tentu tahu permasalahan ini khilaf mu'tabar masyhur sejak dahulu. Kurang
sreg rasanya mengatakan jumhur ulama, bahkan imam 4 mazhab, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh
Shalih Fauzan, Syaikh Ibnu Utsaimin, Lajnah Daimah -Rahimahumullah- menyelisihi ijma'.

Lebih lagi adanya riwayat shahih dari Ibnu 'Abbas yang tidak hanya menyuruh untuk qadha
namun bahkan menafikan fidyah.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Oleh karena itu tepatlah kiranya perkataan Abu Muhammad Ibnu Hazm:

‫ﻻ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺑﹺﻪ‬‫ﺟ‬‫ﻲ ﻭ‬‫ّ ﻓ‬‫ﺺ‬‫؛ ﺇﺫﹾ ﻻ ﻧ‬‫ﻚ‬‫ ﺫﹶﻟ‬‫ﻦ‬‫ﺀٌ ﻣ‬‫ﻲ‬‫ ﺷ‬‫ﺠﹺﺐ‬‫ﺎﻡﹺ ﻓﹶﻼ ﻳ‬‫ﺎﺏﹺ ﺍﻹِﻃﹾﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺇﳚ‬‫ﻻ ﻋ‬‫ﺎﺀِ ﻭ‬‫ﺎﺏﹺ ﺍﻟﹾﻘﹶﻀ‬‫ﻠﹶﻰ ﺇﳚ‬‫ﻘﹸﻮﺍ ﻋ‬‫ّﻔ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻢ‬
‫ﺎﻉ‬‫ﻤ‬‫ﺇﺟ‬

"Para ulama tidak bersepakat tentang wajibnya qadha, tidak pula wajibnya fidyah, maka
(menurutku) tidak wajib keduanya, karena tidak ada nash yang menunjukkan wajibnya dan juga
tidak ada ijma'" (Al Muhalla, 4/251)

23 Agustus 2010 21:12

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@akh abduh,.....baarakallaahu fiikum.

akh@yulian,... kalau antum perhatikan pada tulisan saya, saya hanya menggunakan kalimat :

tidak diketahui satu pun shahabat yang menyelisihi mereka berdua dalam permasalahan ini,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudaamah........

Penyebutan tidak adanya penyelisihan berbeda dengan ijma' menurut sebagian ulama
mutaqaddimiin. Asy-Syaafi'iy pernah berkata :

“Ilmu itu ada tingkatannya. Pertama, Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Kedua, Ijma’
yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketiga, perkataan salah seorang di
antara shahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya. Keempat, perbedaan di kalangan
shahabat. Kelima, qiyas terhadap salah satu tingkatan yang di atas. Tidak mengambil selain Al-
Qur’an dan As-Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu diambil dari yang di atas”.

Oleh karena itu, Asy-Syaafi'iy lebih banyak menggunakan termonologi : aku tidak mengetahui
adanya penyelisihan dalam hal itu dan yang semisal, daripada kata : ijma'. Begitu juga para
ulama yang lainnya dalam kitab-kitab mereka.

Para ulama ushuuliyyuun kemudian mengistilahkan itu sebagai ijma' sukutiy. Mereka berbeda
pendapat sangat panjang dalam perincian masalah ini, termasuk keabsahan berhujjah
dengannya, dimana sebagian di antara bahasan itu gak bermanfaat untuk kita baca.

Anyway,.... kalau pun misalnya perkataan tidak diketahui adanya penyelisihan di antara
shahabat dikonsekuensikan sebagai ijma' sukutiy, ini merupakan konsekuensi peristilah dalam
ushul-fiqh sebagaimana dikenal para ulama. Dan memang tidak ternukil ada penyelisihan
tersebut, terlepas ada ulama yang menakwilkan bahwa Ibnu 'Abbaas mempunyai dua
pendapat.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Apapun itu, bahasan ini memang menjadi khilaf ulama semenjak jaman dahulu. Dan itu
terbukti dalam kitab-kitab fiqh para ulama yang menghasilkan banyak ijtihad. Walau mungkin
terselip sedikit pertanyaan kecil padanya : adakah para shahabat khilaf dalam masalah ini ?.

Terima kasih atas masukannya yang berharga.

Baarakallaahu fiik.

24 Agustus 2010 09:40

Abduh mengatakan...

Satu hal yang mengganjal ketika ada yang menanyakan pada kami:

"Bagaimana jika wanita mengalami nifas setelah ia melahirkan, apakah ia harus fidyah
ataukah mengganti puasanya (qodho')?"

Jika yg dipilih dalam masalah ini bhwa wanita menyusui sebagai gantinya adalah fidyah, maka
aneh sj jika mengatakan bahwa wanita nifas pada saat itu diwajibkan fidyah.

Karena memang para ulama telah sepakat bahwa hukum haidh sama dengan nifas karena
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengistilahkan haidh juga nifas (anti nafisti?). Jadi yang tepat,
memang harus qodho' dalam kasus ini dan bukanlah fidyah. Karena tidak ada ulama yg katakan
bahwa haidh harus fidyah. Maka demikianlah dengan nifas.

Ini cuma sharing sj, dg apa yg mengganjal di hati.

Intinya, kami doakan semoga Allah menjadikan ilmu antum adalah ilmu yang berkah.

24 Agustus 2010 14:38

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Ya itu beda sekali akh.... Dengan adanya nifas, maka ia haram untuk berpuasa.

Pertanyaannya : "Apakah wanita yang hamil dan menyusui juga jadi haram berpuasa ?".

Menurut saya, men-ta'arudl-kan antara wanita yang hamil dan menyusui dengan wanita yang
nifas tidaklah tepat. Wallaahu a'lam.

24 Agustus 2010 14:45

Abduh mengatakan...
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Nah itu malah pilih qodho'. Berarti antum kan yakin ia (wanita nifas sekaligus menyusui) di
hari lain mampu mengqodho'.

Seharusnya antum pilih pendapat sebagaimana wanita menyusui harus fidyah. Karena wanita
nifas juga lama, 40 hari gak puasa. Sebulan penuh di bulan Ramadhan, boleh jadi ia tidak puasa.
Kalau antum menganut pendpaat Ibnu 'Abbas, seharusnya fidyah.

Kami memang tahu bahwa saat nifas haram untuk puasa. Namun coba sekarang lihat, wanita
nifas di hari lain kan mampu mengqodho' puasa, maka ia diharuskan qodho'. Lalu kenapa beda
halnya dengan wanita menyusui?

Dari sini tepatlah apa yg dikatakan Ibnu Qudamah:

ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻠﹾﻘﹶﻀ‬‫ ﻟ‬‫ﺽ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺗ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺎﻡ‬‫ ﺍﻟﹾﺈﹺﻃﹾﻌ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺟ‬‫ﺔﹸ ﺃﹶﻭ‬‫ﺍﻟﹾﺂﻳ‬‫ ﻭ‬، ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻔﹶﺴ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﺾﹺ ﻭ‬‫ﺎﺋ‬‫ ﻛﹶﺎﻟﹾﺤ‬، ‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺰﹺﻣ‬، َ‫ﺎﺀ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻀ‬‫ﻴﻘﹶﺎﻥ‬‫ﻄ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻟﹶﻨ‬‫ﻭ‬
‫ﺮ‬‫ﻴﻞﹴ ﺁﺧ‬‫ﻟ‬‫ ﺩ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻩ‬‫ﺬﹾﻧ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺧ‬، .

Allahu yubaarik fiik. Semoga Allah senantiasa memberkahi ilmu antum.

25 Agustus 2010 07:47

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Mungkin antum salah paham....

Saya katakan : Penyandingan antum antara wanita nifas dengan wanita hamil dan menyusui
adalah kurang tepat, karena memang keduanya keadaan itu berbeda.

Seorang wanita yang menyusui pada asalnya ia boleh berbuka puasa atau melanjutkan
puasanya jika ia khawatir terhadap dirinya. Tidak dinukil perbedaan pendapat mengenai
kebolehan ini sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaukaaniy.

Akan tetapi jika wanita tersebut jatuh dalam keadaan nifas, maka ia menjadi diharamkan
berpuasa, meskipun ia menyusui. Dan tidak ada perbedaan pendapat tentang pelarangan dua
hal ini.

Sama halnya seorang wanita yang sedang melakukan safar. Pada asalnya ia boleh berbuka.
Namun jika ia jatuh dalam keadaan haidl atau nifas saat safar, maka ia menjadi diharamkan
untuk berpuasa.

Oleh karena itu, dua keadaan yang berbeda sangat logis jika mengkonsekuensikan hukum
yang berbeda.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Permasalahannya adalah bukan karena di hari lain ia mampu berpuasa. Ini timbul karena
antum menggunakan logika qiyas. Dalam hal ini, antum telah menyamakan dua hal yang
berbeda (qiyas ma'al-fariq).

Baarakallaahu fiikum wa zaadakallaahu 'ilaman wa hirshan....

25 Agustus 2010 08:39

Abduh mengatakan...

Qiyas ma'al fariqnya di mana?

Wanita nifas dan haidh sama-sama tidak puasa (haram puasa), mereka mampu mengqodho'
di hari lain karena mereka bukanlah orang yang tua rentah yg sudah lemah.

Wanita menyusui pun demikian, mereka mampu mengqodho' di hari lain karena mereka pun
bukan orang yang tua rentah yang sudah lemah.

Lantas mana qiyas ma'al fariqnya?

Kita mesti lihat dalil lain sebagaimana kata Ibnu Qudamah,

ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻠﹾﻘﹶﻀ‬‫ ﻟ‬‫ﺽ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺗ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺎﻡ‬‫ ﺍﻟﹾﺈﹺﻃﹾﻌ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺟ‬‫ﺔﹸ ﺃﹶﻭ‬‫ﺍﻟﹾﺂﻳ‬‫ ﻭ‬، ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻔﹶﺴ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﺾﹺ ﻭ‬‫ﺎﺋ‬‫ ﻛﹶﺎﻟﹾﺤ‬، ‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺰﹺﻣ‬، َ‫ﺎﺀ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻀ‬‫ﻴﻘﹶﺎﻥ‬‫ﻄ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻟﹶﻨ‬‫ﻭ‬
‫ﺮ‬‫ﻴﻞﹴ ﺁﺧ‬‫ﻟ‬‫ ﺩ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻩ‬‫ﺬﹾﻧ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺧ‬، .

Coba perhatikan baik2 perkataan beliau tsb.

Intinya, kami anggap ini adalah masalah khilaf yang mu'tabar. Jadi kami pun menghargai
pendapat lainnya.

Namun keliru, jika menganggap bahwa salafiyah hanyalah berpendapat fidyah sj


sebagaimana inilah yg dianggap sebagian ikhwan yg sering komentar di muslim.or.id dan di web
sy sendiri.

Semoga Allah selalu berkahi ilmu antum. Inni uhibbuka fillah.

25 Agustus 2010 10:19

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Qiyas ma'al fariq-nya terletak pada : Antum menyamakan dua hal yang berlainan hukumnya.
Jelas wanita haidl dan nifas adalah haram berpuasa dalam segala keadaan, meskipun ia sangat
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

mampu untuk berpuasa. Adapun wanita hamil dan menyusui, maka ia diberikan rukhshah
untuk berbuka jika mengkhawatirkan diri dan/atau anaknya.

Wanita pertama diwajibkan qadla', sedangkan wanita kedua tidak diharuskan qadla'. Saya
kira cukup sharih perbedaannya. Tidak ada ta'arudl dalam hal penerapan hukum. Masing-
masing mempunyai keadaan dan hukum tersendiri. Perkara keduanya mampu untuk
mengqadla di hari lain, maka itu tidak ada kaitannya dengan hal ini. Karena, permasalahan
hukum membayar fidyah atau qadla' bukanlah terletak pada : Apakah ia mampu melaksanakan
qadla' di hari lain.

Adapun jika antum ingin mengikuti pendapat Ibnu Qudaamah, sangat dipersilakan, karena itu
adalah hak antum. Saya sangat menghargai itu. Tapi, ijinkanlah saya berbeda pendapat dengan
antum dalam hal ini.

Saya tidak pernah menganggap ini bukan khilaf mu'tabar. Adapun jika disimpulkan dalam hal
ini bahwa di jaman shahabat tidak ada yang menyelisihi fatwa Ibnu 'Abbaas dan Ibnu 'Umar
radliyallaahu 'anhum, maka itu perkara lain dalam pentarjihan. Dan itu biasa dalam dunia bahts.

Saya pun tidak pernah mengatakan membayar fidyah adalah satu-satunya pendapat dalam
permasalahan ini. Tidak ditampilkannya pendapat lain dalam artikel di atas tidak harus selalu
mengkonsekuensikan itulah satu-satunya pendapat. Saya hanya ingin meringkas dalam satu
bentuk pentarjihan saja. Oleh karena itu, dalam tulisan di atas saya arahkan bagi pengunjung
Blog ini untuk melihat pendapat lain di Blog antum. Saya tidak ingin mengulang apa yang telah
dituliskan ikhwan lain jika saya pandang itu telah mencukupi.

Semoga Allah memberikan barakah kepada ilmu kita untuk memudahkan beramal....

Innii uhibbuka fillaah....

25 Agustus 2010 11:08

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebagai perkataan ringkas dari apa yang saya tulis di atas tentang penyamaan wanita nifas
dengan wanita hamil/menyusui :

Jika 'illat diperbolehkannya berbuka bagi wanita hamil/menyusui adalah karena


ketidakmampuan atau kekhawatiran, apakah dalam kasus wanita nifas juga demikian ?.

Jawabannya tidak.

25 Agustus 2010 12:31


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Abduh mengatakan...

Cara pandang qiyasnya saja antara antum dan Ibnu Qudamah yg berbeda:

Wanita nifas dan haidh sama-sama tidak puasa (haram puasa), mereka mampu mengqodho'
di hari lain karena mereka bukanlah orang yang tua rentah yg sudah lemah.

Wanita menyusui pun demikian, mereka mampu mengqodho' di hari lain karena mereka pun
bukan orang yang tua rentah yang sudah lemah.

Jadi maal musykilah?

ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻠﹾﻘﹶﻀ‬‫ ﻟ‬‫ﺽ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﺗ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺎﻡ‬‫ ﺍﻟﹾﺈﹺﻃﹾﻌ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺟ‬‫ﺔﹸ ﺃﹶﻭ‬‫ﺍﻟﹾﺂﻳ‬‫ ﻭ‬، ِ‫ﺎﺀ‬‫ﻔﹶﺴ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﺾﹺ ﻭ‬‫ﺎﺋ‬‫ ﻛﹶﺎﻟﹾﺤ‬، ‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺰﹺﻣ‬، َ‫ﺎﺀ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻀ‬‫ﻴﻘﹶﺎﻥ‬‫ﻄ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻟﹶﻨ‬‫ﻭ‬
‫ﺮ‬‫ﻴﻞﹴ ﺁﺧ‬‫ﻟ‬‫ ﺩ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻩ‬‫ﺬﹾﻧ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺧ‬، .

Jadi dari sisi cara pandang sj yg berbeda.

Kami hargai pendapat antum, kami juga tidak paksakan pendapat kami.

Mohon agar kami bisa berbeda pendapat dengan antum karena dari sisi pandangnya yg
berbeda.

Barakallahu fiikum.

26 Agustus 2010 11:33

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Sebenarnya itulah yang letak saya tidak sepakat dengan apa yang dikatakan Ibnu Qudaamah.
Nyata sekali perbedaan sebab atau alasan hukum mengapa keduanya (yaitu wanita
hamil/menyusui dan wanita haidl/nifas) berbuka. Jadi sangat wajar jika yang satu cukup
membayar fidyah, dan yang lain qadla'. Tidak ada musykilah.

Oleh karena itu, 'aneh' rasanya menyandingkan dengan logika qiyas :

jika wanita hamil/menyusui membayar fidyah, maka seharusnya wanita haidl/nifas juga
membayar fidyah.

Adapun masalah bahwa keduanya diandaikan sama-sama mampu mengqadla' di lain hari,
maka ini adalah masalah lain. Mengapa ? Karena antara wanita haidl/nifas dan wanita
hamil/menyusui, masing-masing telah tetap nash yang mengaturnya. Ketika telah menerima
nash, maka batallah qiyas. 'Illat berbukanya saja sudah beda, maka wajar konsekuensi hukum
lanjutannya berbeda.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Oleh karena itu, sedari awal saya tidak menganggap satu kesulitan dalam mendudukkan
permasalahan antara wanita haidl/nifas dengan wanita hamil/menyusui, karena keduanya
adalah BERBEDA.

Baarakallaahu fiik.

26 Agustus 2010 11:58

Abduh mengatakan...

Jadi letak perbedaan kami dan antum, yah sudah jelas, tentang riwayat Ibnu 'Abbas dan Ibnu
'Umar. Kami tidak setuju dengan riwayat tersebut. Maka ujung2nya yah tetap berbeda.
Sehingga jadilah kami menggunakan qiyas sebagaimana yg dipilih oleh Ibnu Qudamah dan ini
karena memperhatikan dalil lain. Sehingga tidak perlu antum katakan ini qiyas yang "aneh".

Sehingga kami rasa demikian diskusi tentang masalah ini. Tolong hargai pendapat kami, dan
sama sekali kami pun tidak memaksakan pendapat tersebut pada antum

Barakallahu fiikum. Terima kasih atas tambahan ilmunya.

26 Agustus 2010 12:26

Kartika mengatakan...

Assaslaamu'alaikum Wr. Wb.

Saya seorang muslimah yg merasa sangat berkepentingan dg hukum puasa saat melahirkan
dan menyusui. Maka saya mencoba mencari tahu sebanyak2nya termasuk di blog ini. Tetapi
maaf sbg orang awam saya jadi bingung. Memang perbedaan pendapat sah-sah saja dlm Islam.
Namun ijiknak saya bertanya tentang kondisi saya dan bagaimana hukumnya, sebagai berikut:

pada saat masuk ramadhan saya sdg hamil 9bln dan disarankan dokter utk tidak berpuasa
maka saya tidak berpuasa krn khawatir dg kondisi janin. saya melahirkan tgl 28 ramadhan,
sehingga sisa 2 hari adalah saat saya nifas. kemudian saya menyusui anak saya hingga 2 tahun.

Pertanyaannya:

1. Apakah saya wajib meng-qodlo puasa saya sebulan penuh? (28 hari krn hamil dan 2 hari
krn nifas) ataukah hanya 2 hari saja?

2, Apakah saya wajib juga membayar fidyah?

3. Apakah qodlo harus selesai sebelum ramadhan berikutnya?

Pada saat itu saya sudah bertanya pada seorang ustadz dan dijawab sbg berikut:
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

jika wanita hamil berbuka krn khawatir pada kondisi dirinya, maka hanya wajib membayar
fidhyah. tetapi jika tidak puasa krn khawatir kondisi janinnya maka wajib fidhyah dan juga
qodlo. benarkah demikian?

Pada waktu itu saya mengikuti jawaban ustadz tsb, jadi saya membayar fidhyah dan jg meng-
qodlo puasa saya. tetapi krn saya menyusui maka qodlho saya baru lunas tahun berikutnya
(melewati 1x ramadhan).

Terimakasih banyak atas jawabannya.

Wassalaamu'alaikum wr. wb.

30 Agustus 2010 13:03

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Tidak.

2. Ibu wajib membayar fidyah untuk 27 hari. Untuk hari nifas, maka ibu wajib mengqadlanya.

3. Qadla tidaklah gugur dengan datangnya Ramadlan berikutnya.

Jika ibu sanggup mengqadla keseluruhan hari (29 hari), maka itu lebih baik sebagaimana
dituliskan dalam artikel di atas. Tidak ada dobel kewajiban mengqadla dan membayar fidyah
menurut pendapat yang rajih.

Wallahu a'lam.

Semoga jawaban ini bermanfaat.

30 Agustus 2010 14:22

Anonim mengatakan...

Akhiy Abul Jauzaa yang ana hormati, ana pernah dengar sebuah riwayat dimana 'Aaisyah
rodhiallaahu'anhaa karena sibuknya melayani Nabi shollallaahu'alaihiwasallam baru bisa
mengqodho puasa pada bulan sya'ban (sebelum romadhon).

1. Apakah dengan riwayat ini bisa ditarik istimbath/hukum bahwa qodho puasa romadhon
hanya boleh sebelum romadhon berikutnya datang?

2. Kenapa beliau rodhiallaahu`anhaa (terkesan) terburu-buru menghabiskan hutang puasanya


di bulan Sya'ban, kalau toh ternyata bisa diqodho di hari-hari lain sesudah romadhon selesai?

Barokallaahu fiik.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Abu 'Abdillaah.

30 Agustus 2010 21:33

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Tidak bisa.

2. Kok saya gak menangkap kesan terburu2 ya. 'Aisyah sendiri telah mengatakan sebabnya
bahwa di bulan2 lain ia sibuk melayani Rasulullah shallallähu 'alaihi wa sallam. Sbgmana
diketahui dalam hadits bahwa bulan Sya'ban adalah bulan dmana beliau paling banyak
berpuasa (sunnah). Pada saat itulah 'Aisyah baru bisa melaksanakan qadla puasanya. Tentu saja
ia tidak menunda-nundanya setelah adanya kelonggaran waktu untuk menunaikannya sebagai
perwujudan sikap bersegera melakukan amal kebaikan. Wallähu a'lam.

31 Agustus 2010 03:59

Abu Zahroh mengatakan...

Diskusi ilmiah yang bagus antara Ustadz Abul Jauzaa dan Ustadz Abduh hafidhahumallah.
Banyak faedah yang bisa dipetik darinya.

Sekedar catatan, ada baiknya kalimat-kalimat berikut dihindari dalam diskusi:

1. "Mohon agar kami bisa berbeda pendapat dengan antum karena dari sisi pandangnya yg
berbeda."

2. "Tolong hargai pendapat kami, dan sama sekali kami pun tidak memaksakan pendapat
tersebut pada antum"

Kesan yang saya tangkep seakan-akan ada salah satu pihak yang memaksakan pendapat.

Sependek yang saya pahami, tidak ada pemaksaan pendapat dalam artikel maupun di bagian
komentar. Atau saya yang salah memahami ? CMIIW

Sekedar tambahan referensi, nampaknya Ustadz Aris Munandar hafidhahullah sependapat


dengan artikel di atas. Monggo, silakan ambil faedahnya di sini:

a. http://muslim.or.id/soal-jawab/ramadhan-12-wanita-menyusui-fidyahqodho.html

b. http://ustadzaris.com/mengganti-puasa-ramadhan-karena-hamil/comment-page-
1#comment-4447

Barakallahu fikum
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Abu Zahroh

2 September 2010 17:03

Hendra mengatakan...

Masya Allah, akhir diskusi yang berbobot dan ilmiah. Salut untuk ust Abul Jauzaa dan ust M
Abduh.

Saya jadi ingat ustadz di tempat saya (meskipun belum selevel ustadz berdua) namun
insyaAllah tsiqoh, yang menukil perkataan Imam Al Auzaa'i:

"Sabarkan dirimu untuk tetap berada pada jalan Sunnah, berhentilah di mana para Sahabat
berhenti, katakanlah menurut apa yang mereka katakan, diamlah terhadap apa yang mereka
diam dan tempuhlah jalan Salafush Shalih. Sesungguhnya akan cukup bagimu apa yang sudah
cukup bagi mereka."

5 September 2010 07:46

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Komentar antum saya tampilkan bukan berarti saya 'meridlainya'. Saya masih jauh dari Ust.
Abduh atau Ustadz yang antum sebut.....

7 September 2010 10:48

Anonim mengatakan...

Bisa sebagai tambahan informasi untuk kita semua

tulisan Ustadz Firanda -hafidzahullah- dalam masalah ini

Bisa dilihat di

http://www.firanda.com/index.php/konsultasi/fiqh/49-kewajiban-fidyah-bagi-wanita-hamil-
dan-wanita-menyusui

18 September 2010 17:25

Noor Akhmad S mengatakan...

Qaul antum:
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

"Saya membawakan perkataan Ibnu Qudamah tentang tidak adanya penyelisihan di antara
shahabat atas perkataan Ibnu 'Umar dan Ibnu 'Abbaas bukan berarti saya ingin menunjukkan
bahwa Ibnu Qudaamah sepakat dengan mereka berdua. Telah saya katakan sebelumnya :

Tidak ada penyelisihan dari kalangan shahabat adalah realitas - dan itu satu hal, dan
pendapat Ibnu Qudamah yang menyelisihinya adalah satu hal yang lain yang tidak berpengaruh
terhadap realitas yang ada.

Mohon agar diperhatikan....."

Sebenarnya sudah sangat jelas terhadap permasalahan yang didiskusikan, baarakallahu


fiikum

28 November 2010 08:01


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

9. Riwayat Shalat Taraawih 23 Raka’at di Masa ‘Umar bin Al-


Khaththaab radliyallaahu ‘anhu

Disebutkan dalam Al-Muwaththa’ :

‫ﺐﹴ‬‫ ﻛﹶﻌ‬‫ﻦ‬‫ّ ﺑ‬‫ﻲ‬‫ﻄﹶّﺎﺏﹺ ﺃﹸﺑ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻣ‬‫ّﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﺰﹺﻳﺪ‬‫ﻦﹺ ﻳ‬‫ﺐﹺ ﺑ‬‫ّﺎﺋ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻒ‬‫ﻮﺳ‬‫ﻦﹺ ﻳ‬‫ ﺑ‬‫ّﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻚ ﻋ‬‫ﺎﻟ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ّﺛﹶﻨﹺﻲ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻭﺣ‬
‫ﻠﹶﻰ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ّﺎ ﻧ‬‫ّﻰ ﻛﹸﻨ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬‫ﲔ‬‫ﺌ‬‫ﺃﹸ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻘﹾﺮ‬‫ ﻳ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﹾﻘﹶﺎﺭﹺﺉ‬‫ﻗﹶﺪ‬‫ﺔﹰ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻭ‬‫ﻛﹾﻌ‬‫ﺓﹶ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﻯ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ّﺎﺱﹺ ﺑﹺﺈﹺﺣ‬‫ﻠﻨ‬‫ﺎ ﻟ‬‫ﻘﹸﻮﻣ‬‫ّ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ّﺍﺭﹺﻱ‬‫ﺎ ﺍﻟﺪ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻤ‬‫ﺗ‬‫ﻭ‬
‫ﺮﹺ‬‫ﻭﻉﹺ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ﻲ ﻓﹸﺮ‬‫ ﺇﹺﻟﹶّﺎ ﻓ‬‫ﺮﹺﻑ‬‫ﺼ‬‫ﻨ‬‫ّﺎ ﻧ‬‫ﺎ ﻛﹸﻨ‬‫ﻣ‬‫ﺎﻡﹺ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ ﻃﹸﻮﻝﹺ ﺍﻟﹾﻘ‬‫ﻦ‬‫ﻲﹺّ ﻣ‬‫ﺼ‬‫ﺍﻟﹾﻌ‬

Dan telah menceritakan kepada kami dari Maalik, dari Muhammad bin Yuusuf, dari As-Saaib bin
Yaziid, bahwasannya ia berkata : ‘Umar bin Al-Khaththahab pernah memerintahkan Ubay bin
Ka'b dan Tamiim Ad-Daariy mengimami orang-orang (shalat taraawih) dengan sebelas rakaat".
As-Saaib berkata : "Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat
karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar" [1/478 no.
271].

Riwayat ini shahih.

Muhammad bin Yuusuf, ia adalah Ibnu ‘Abdillah bin Yaziid Al-Kindiy Abu ‘Abdillah Al-Madaniy
Al-A’raj, keponakan dari As-Saaib bin Yaziid. Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan berkata :
Muhammad bin Yuusuf lebih tsabt (teguh/kokoh) daripada ‘Abdurrahmaan bin Humaid dan
‘Abdurrahmaan bin ‘Ammaar. Ia seorang yang pincang (kakinya), namun tsabt”. Al-Bukhaariy
berkata : “Yahyaa bin Sa’iid telah memberikan sifat tsabt kepadanya”. Yahyaa bin Ma’iin
mengatakan bahwa Yahyaa bin Sa’iin pernah berkata kepadanya : “Aku tidak pernah melihat
seorang syaikh yang menyerupainya dalam ke-tsiqah-an”. Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin
Ma’iin, dan An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat
[lihat : Tahdziibul-Kamaal, 27/49-52 no. 5715]. Periwayatan Maalik darinya juga merupakan
keterangan tentang pentsiqahannya. Ibnu Syaahiin berkata : “Ia adalah anak saudara laki-laki
As-Saaib bin Yaziid, seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan ‘Aliy bin Al-Madiiniy” [Taariikh
Asmaa’ Ats-Tsiqaat, hal. 279 no. 1145]. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah tsabt” [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 911 no. 6454].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Adapun As-Saaib bin Yaziid bin Sa’iib bin Tsumaamah bin Al-Aswad Al-Kindiy; salah seorang
shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia pernah berhaji dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam saat usianya tujuh tahun.1

Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (no. 4687), Ath-Thahawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar (1/293), Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam (129/174), Ibnu Syabbah dalam
Taariikh Al-Madinah (2/281), Abu Bakr An-Naisabuuriy dalam Al-Fawaaid (‫أ‬/135‫)ق‬, dan Al-
Baihaqiy dalam Al-Kubraa (2/496); dari beberapa jalan, dari Maalik.

Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah (2/391-392), Al-Marwaziy dalam Qiyaamul-Lail
sebagaimana dalam Fathul-Baariy (4/253-254), dan Saiid bin Manshuur sebagaimana dalam Al-
Mashaabih (hal. 28-29); dari beberapa jalan, dari Muhammad bin Yuusuf.

Riwayat Maalik bin Anas di atas diselisihi oleh ‘Abdurrazzaaq sebagai berikut :

‫ﻋﻦ ﺩﺍﻭﺩ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﻭﻏﲑﻩ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺎﺋﺐ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﲨﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺃﰊ ﺑﻦ‬
‫ﻛﻌﺐ ﻭﻋﻠﻰ ﲤﻴﻢ ﺍﻟﺪﺍﺭﻱ ﻋﻠﻰ ﺇﺣﺪﻯ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺭﻛﻌﺔ ﻳﻘﺮﺅﻭﻥ ﺑﺎﳌﺌﲔ ﻭﻳﻨﺼﺮﻓﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﻓﺮﻭﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ‬

Dari Daawud bin Qais dan yang lainnya, dari Muhammad bin Yuusuf, dari As-Saaib bin Yaziid :
Bahwasannya ‘Umar mengumpulkan orang-orang di bulan Ramadlaan yang diimami oleh Ubay
bin Ka’ab dan Tamiim Ad-Daari dengan 21 raka’at. Mereka membaca (surat-surat) Al-Mi’iin (=
surat yang berjumlah lebih dari 100 ayat) dan pulang di ambang fajar” [Al-Mushannaf, 4/260-
261 no. 7730].

Dhahir riwayat ini juga shahih.

Daawud bin Qais, ia adalah Al-Farraa’ Ad-Dabaagh Abu Sulaimaan Al-Qurasyiy Al-Madaniy. Asy-
Syaafi’iy berkata : “Tsiqah haafidh”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Tsiqah haafidh”. Abu Zur’ah,
Abu Haatim, dan An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah” [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 8/439-442 no.
1781]. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 308 no. 1817].

1
Sebagaimana riwayat :
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﳌﻘﺪﺍﻡ ﺑﻦ ﺩﺍﻭﺩ ﺛﻨﺎ ﺃﺳﺪ ﺑﻦ ﻣﻮﺳﻰ )ﺡ( ﻭﺛﻨﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﻫﺎﺭﻭﻥ ﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺛﻨﺎ ﺣﺎﰎ ﺑﻦ ﺇﲰﺎﻋﻴﻞ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺎﺋﺐ ﺑﻦ‬
‫ ﺣﺞ ﰊ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺣﺠﺔ ﺍﻟﻮﺩﺍﻉ ﻭﺃﻧﺎ ﺍﺑﻦ ﺳﺒﻊ ﺳﻨﲔ‬: ‫ﻳﺰﻳﺪ ﻗﺎﻝ‬.
Telah menceritakan kepada kami Al-Miqdaam bin Daawud : Telah menceritakan kepada kami Asad bin Muusaa.
Dan telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Haaruun : Telahmenceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid :
Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa’iil, dari Muhammad bin Yuusuf, dari As-Saaib bin Yaziid, ia
berkata : “Aku pernah berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam haji wadaa’ dimana saat itu
aku berusia tujuh tahun” [Diriwayatkan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir, 7/185 no. 6678; shahih].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dengan keberadaan riwayat ‘Abdurrazzaaq ini, sebagian orang menghukumi Muhammad bin
Yuusuf mengalami idlthirab dalam periwayatan dari As-Saaib bin Yaziid. Akan tetapi ini tidak
benar, sebab riwayat ‘Abdurrazzaaq mempunyai ‘illat tersembunyi.

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang membawakan riwayat-riwayat dalam Al-Mushannaf


karya ‘Abdurrazzaaq lebih dari satu orang. Dan yang meriwayatkan dalam Kitaabush-Shiyaam
adalah Ishaaq bin Ibraahiim bin ‘Abbaad Ad-Dabariy2. Ia bukanlah seorang ahlul-hadiits.
Mendengar riwayat dari ‘Abdurrazzaaq saat berumur tujuh tahun [Lisaanul-Miizaan, 2/37],
yaitu pada tahun 210 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/416 no. 203]. Oleh karena itu, para
ulama mengingkari banyak hadits Ad-Dabariy, karena ia telah meriwayatkan di akhir umur
‘Abdurazzaaq setelah berubah hapalannya – sebagaimana dikatakan Ibnush-Shalaah [Al-
Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy, hal. 75]. Ahmad berkata : “Kami menemui ‘Abdurrazzaaq sebelum
tahun 200 H yang waktu itu penglihatannya masih baik/sehat. Barangsiapa yang mendengar
darinya setelah hilang penglihatannya (buta), maka penyimakan haditsnya itu lemah (dla’iifus-
samaa’)” [Taariikh Abi Zur’ah, hal. 215 no. 1160]. Al-Qaadliy Muhammad bin Ahmad Al-
Qurthubiy mengumpulkan beberapa kekeliruan penulisan Ad-Dabariy dalam Al-Mushannaf
dalam Kitaabul-Huruuf Allatii Akhtha-a fiihaa Ad-Dabariy wa Shahhafahaa fii Mushannaf
‘Abdurrazzaq [Al-Lisaan, 2/37].

Dengan data di atas, maka riwayat ‘Abdurrazzaaq ada kemungkinan mengalami tashhif (salah
tulis) dari faktor Ad-Dabariy; yaitu yang seharusnya tertulis ‫( ﺇﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ‬sebelas raka’at)

menjadi ‫( ﺇﺣﺪﻯ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺭﻛﻌﺔ‬duapuluh satu).

Kalaupun ‘illat tidak dianggap, maka riwayat ‘Abdurrazzaaq adalah syaadz. Daawud bin Qais
telah menyelisihi Maalik bin Anas, Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, Muhammad bin Ishaaq, dan
Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz dalam periwayatan dari Muhammad bin Yuusuf.

Oleh karena itu, yang shahih (benar) dalam periwayatan Muhammad bin Yuusuf Al-A’raj adalah
sebagaimana diriwayatkan oleh Maalik bin Anas rahimahullah.

Muhammad bin Yuusuf dalam periwayatan dari As-Saaib bin Yaziid di atas (riwayat Maalik bin
Anas dalam Al-Muwaththa’) diselisihi oleh Yaziid bin Khushaifah sebagai berikut :

‫ﻭﻗﺪ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﳊﺴﲔ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﳊﺴﲔ ﺑﻦ ﻓﻨﺠﻮﻳﻪ ﺍﻟﺪﻳﻨﻮﺭﻱ ﺑﺎﻟﺪﺍﻣﻐﺎﻥ ﺛﻨﺎ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ‬
‫ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺍﻟﺴﲏ ﺃﻧﺒﺄ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺍﻟﺒﻐﻮﻱ ﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺍﳉﻌﺪ ﺃﻧﺒﺄ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺫﺋﺐ ﻋﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ‬

2
Al-Mushannaf, 4/153 : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’iid Ahmad bin Muhammad bin Ziyaad Al-
A’rabiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim bin ‘Abbaad Ad-Dabariy, ia berkata :
Kami membaca di hadapan ‘Abdurrazzaaq……. dst.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺧﺼﻴﻔﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺎﺋﺐ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻪ ﰲ ﺷﻬﺮ‬
‫ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺑﻌﺸﺮﻳﻦ ﺭﻛﻌﺔ ﻗﺎﻝ ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻘﺮﺅﻭﻥ ﺑﺎﳌﺌﺘﲔ ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺘﻮﻛﺆﻥ ﻋﻠﻰ ﻋﺼﻴﻬﻢ ﰲ ﻋﻬﺪ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥ ﺭﺿﻰ‬
‫ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﺷﺪﻩ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ‬

Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Husain bin Muhammad bin Al-Husain
bin Fanjuwaih Ad-Diinawariy di Daamighaan : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Muhammad bin Ishaaq As-Sunniy : Telah memberitakan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-
‘Aziiz Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ja’d : Telah memberitakan Ibnu
Abi Dzi’b, dari Yaziid bin Khushaifah, dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : “Mereka berdiri
(shalat) di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ta’ala ‘anhu di bulan Ramadlaan
sebanyak duapuluh raka’at”. As-Saaib berkata : “Mereka membaca dua ratus ayat hingga
bersandar dengan tongkat-tongkat mereka di jaman ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ta’ala
‘anhu karena lamanya berdiri” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 2/496].

Dhahir riwayat ini shahih.

Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Abd bin Shaalih bin Syu’aib bin Fanjuwaih Ats-Tsaqafiy Abu
‘Abdillah Ad-Diinawariy; seorang yang tsiqah, shaduuq, dan banyak mempunyai riwayat [lihat :
Syuyuukh Al-Baihaqiy no. 48].

Ahmad bin Muhammad bin Ishaaq As-Sunniy, ia lebih dikenal dengan nama Ibnus-Sunniy
pengarang kitab ‘Amalul-Yaum wal-Lailah; seorang haafidh yang tsiqah [lihat : Siyaru A’laamin-
Nubalaa’, 16/255-257 no. 178].

‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Baghawiy; seorang haafidh lagi tsiqah [lihat :
Tadzkiratul-Huffadh, 2/737].

‘Aliy bin Ja’d bin ‘Ubaid Al-Jauhariy; seorang yang tsiqah lagi tsabat [Taqriibut-Tahdziib, hal.
691 no. 4732].

Ibnu Abi Dzi’b, ia adalah Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Mughiirah bin Al-Haarits bin Abi
Dzi’b Al-Qurasyiy Al-‘Aamiriy Abul-Haarits Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil
[idem, hal. 871 no. 6122].

Yaziid bin ‘Abdillah bin Khushaifah bin ‘Abdillah bin Yaziid Al-Kindiy Al-Madaniy; seorang yang
tsiqah [idem, hal. 1077 no. 7789]. Akan tetapi Ahmad dalam satu riwayat berkata tentangnya :
“Munkarul-hadiits” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad, 4/152 no. 3547 dan Tahdziibul-
Kamaal 32/173].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Riwayat ini juga ma’lul, dari sisi Yaziid bin Khushaifah. Perkataan munkarul-hadiits dari Ahmad
terhadapnya bermakna (sebagaimana diterangkan Ibnu Hajar dalam Hadyus-Saariy) : ia
menyendiri/asing (ghariib) dalam periwayatan hadits dari aqran-nya.

Dalam hal ini, ia (Yaziid) menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dalam periwayatan dari As-
Saaib bin Yaziid, yaitu Muhammad bin Yuusuf. Muhammad bin Yuusuf adalah perawi yang
berpredikat tsiqah tsabat, sedangkan Yaziid bin Khushaifah hanya berpredikat tsiqah saja. Ini
termasuk jenis gharabah yang dimaksudkan oleh Ahmad di atas.

Penyelisihan ini dalam bentuk perbedaan periwayatan antara sebelas raka’at dengan dua puluh
raka’at. Yaziid mengkhabarkan bahwa di jaman ‘Umar, orang-orang shalat sebanyak duapuluh
raka’at; sedangkan pada riwayat Muhammad bin Yuusuf mengkhabarkan bahwa orang-orang
shalat di belakang Ubay bin Ka’b dan Tamiim Ad-Daariy sebanyak sebelas raka’at. Yang terakhir
inilah yang mahfudh yang terjadi di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab sebagaimana diriwayatkan
oleh As-Saaib bin Yaziid radliyallaahu ‘anhumaa.

Dikatakan bahwa riwayat Yaziid bin Khushaifah ini dikuatkan oleh Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan
bin Abi Dzubaab [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, 4/261-262 no. 7733].3 Akan tetapi riwayat
itu sangat lemah, karena faktor Al-Aslamiy. Ia adalah Ibraahiim bin Muhammad bin Abi Yahyaa
Al-Aslamiy; seorang yang matruuk [At-Taqriib, hal. 115 no. 243].

Ada riwayat lain yang menceritakan taraawih di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu :

‫ﻭﺣﺪﺛﲏ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﺭﻭﻣﺎﻥ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﰲ ﺯﻣﺎﻥ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺑﺜﻼﺙ‬
‫ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺭﻛﻌﺔ‬

Dan telah menceritakan kepadaku dari Maalik, dari Yaziid bin Ruumaan, bahwasannya ia
berkata : “Orang-orang menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadlan pada masa ‘Umar bin
Khaththaab radliyallaahu ‘anhu sebanyak duapuluh tiga raka’at” [Al-Muwaththa’ 1/479 no.
272].

Yaziid bin Ruumaan – meskipun ia tsiqah [At-Taqriib, hal. 1074 no. 7763] – namun ia tidak
pernah menemui masa ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, sehingga riwayat ini
munqathi’ (terputus) lagi dla’iif (lemah).

Riwayat Yaziid bin Ruumaan ini tidak bisa menguatkan riwayat Yaziid bin Khushaifah, karena ia
adalah riwayat syaadz. Telah dimaklumi dalam kaedah-kaedah ilmu hadits bahwa sebuah

3
Sebagaimana tertulis di sebuah artikel majalah kesayangan kita : As-Sunnah, Edisi 07/VII/1424 H/2003 M, hal. 30.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

riwayat syaadz tidak bisa terangkat kedudukannya dengan keberadaan syawaahid.


Kesimpulan : Shalat taraawih di jaman Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththaab dan yang beliau
perintahkan adalah sebelas raka’at. Tidak sah riwayat yang menyatakan duapuluh, duapuluh
satu, atau duapuluh tiga raka’at.

Al-Aajuriiy berkata :

‫ ﺍﻟﺬﻱ ﲨﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺃﺣﺐ ﺇﱄ ﻭﻫﻮ ﺇﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ‬: ‫ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻭﻫﻲ ﺻﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬....

Dari shahabat kami, dari Maalik, ia berkata : “(Shalat) dimana ‘Umar mengumpulkan orang-
orang lebih aku senangi, yaitu sebanyak sebelas raka’at. Ia adalah shalat yang pernah dilakukan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam….” [Al-Mashaabih, hal. 32].

Wallaahu a’lam.

Bahan bacaan :

a. Kasyfush-Shariih ‘an Aghlaathish-Shaabuuniy fii Shalaatit-Taraawih oleh ‘Aliy Al-Halabiy;


Maktabah Ash-Shahaabah, Cet. 1/1413 H.

b. Al-Mashaabih fii Shalaatit-Taraawih oleh As-Suyuthiy, tahqiq & takhrij & ta’liq : ‘Aliy Al-
Halabiy – ebook (http://www.kulalsalafiyeen.net).

c. Shifatu Shamin-Nabiy oleh Saliim Al-Hilaliy dan ‘Aliy Al-Halabiy; Al-Maktabah Al-
Islaamiyyah, Cet. 2/1409 H.

[abu al-jauzaa’ – 21-08-2010 – perumahan ciomas permai].

Comments

Anonim mengatakan...

Jazakallah khair ustad , cepat sekali permintaan ana di penuhi oleh ustad .

Kalau demikian halnya , kenapa ya masjid Haram melakukan shalat 23 ra'kaat ?

Bukankah disana terkumpul ulama ahlus sunnah / hadits , yang tentunya tidak membiarkan
sebuah kesalahan di tempat yang menjadi rujukan kaum muslimin sedunia.

Atau mungkin ada alasan lain , yang kami orang-orang pada umumnya tidak tau , kenapa
disana dilakukan shalat 23 ra'kaat.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Afwan ustad , kalau pertanyaan ini menjadikan fitnah tidak perlu ditampilkan .

Semoga Allah memudahkan ustad.

23 Agustus 2010 11:33

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Karena para ulama di sana mentarjih tidak ada pembatasan dengan raka'at shalat tarawih.
Dan khusus untuk riwayat 'Umar bin Al-Khaththaab, mereka pun mentarjih atas penshahihan
riwayat pelaksanaan shalat tarawih 23 raka'at di jamannya. Ini semua tidak terlepas khilaf di
antara ulama.

Bahkan jumhur ulama menetapkan tidak ada pembatasan dalam jumlah raka'at shalat
tarawih.

Perbedaan di kalangan ulama adalah biasa. Itu telah terjadi semenjak dulu kala.

23 Agustus 2010 12:48

Anonim mengatakan...

Afwan ustad,ana mau tanya kaedah yg antum sebutkn di atas, ketika antm mengatakan
"Telah dimaklumi dalam kaedah-kaedah ilmu hadits bahwa sebuah riwayat syaadz tidak bisa
terangkat kedudukannya dengan keberadaan syawaahid."

Mohon penjelasan akan kaedah ini.

Kemudian apakah ini kaedah yg disepakati ulama?

lalu, bukankah hadits syadz pd asalnya shahih? jika ada syawahidnya tdkkah hal itu akan lebih
menguatkan posisinya untuk dibandingkan dengan hadits mahfuzh, yg kmd mungkin akhirnya
kekuatannya akan mjd seimbang atau bhkn lebih kuat.

24 Agustus 2010 13:51

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dalam ilmu mushthalah, hadits syaadz termasuk hadits pada asalnya shahih, namun tidak
diamalkan. Karena hadits syaadz pada hakekatnya adalah hadits yang keliru yang menyelisihi
hadits lain yang lebih shahih, baik dari faktor jumlah perawi, kekuatan perawi, ataupun faktor-
faktor lain yang dikenal dalam tarjih.

Faktor syudzuudz termasuk faktor kelemahan yang parah (syadiid).


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

[lihat : Taisiru Diraasatil-Asaanid, oleh Syaikh 'Amru bin 'Abdil-Mun'im Saliim, hal. 247-249].

24 Agustus 2010 14:18

Anonim mengatakan...

Ustad , mumpung di bulan ramadhan , tolong di tampilkan hadits dhoif/palsu yang sering
didakwahkan para penceramah di mimbar-mimbar yang berhubungan dengan puasa
ramadhan.

Maunya ana cetak untuk oleh-oleh saat mudik nanti ustad .

Jazakallah khairan

26 Agustus 2010 08:11

Anonim mengatakan...

Ustadz , mau tanya tolong dijawab singkat nggak apa-apa , karena mungkin sedikit nggak
nyambung dengan topik bahasan.

1. Shahihkah perintah qunut witir

2. Shahihkah perintah untuk berkumpul melakukan qiyamul lail setelah sore harinya
melaksanakan sholat taraweh dan witir .

Urgent ustadz , mohon dijawab segera ya .

Sukron

30 Agustus 2010 15:44

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

1. Shahih.

2. Saya tidak tahu hadits atau dalil yang mendasarinya.

30 Agustus 2010 15:57

Anonim mengatakan...

ah dasar wahabi selalu memutarbalikkan fakta. Jangan selalu bermain di dunia maya atau
cetak. Kalau berani adakan forum debat dengan yang tidak sepaham agar umat jadi melihat
mana yang benar mana yang salah. ref : penulis buku mantan kiai NU diajak bedak buku oleh
NU Jombang tidak berani memenuhinya. MuNAFIKKKKKKKKKKKKKKKKKK!!!!!
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

17 September 2010 12:40

Anonim mengatakan...

Assalaamu'alaykum....

Ustadz, ada baiknya jika jawaban antum di bagian komentar ini "(Karena para ulama di sana
mentarjih tidak ada pembatasan dengan raka'at shalat tarawih. Dan khusus untuk riwayat
'Umar bin Al-Khaththaab, mereka pun mentarjih atas penshahihan riwayat pelaksanaan shalat
tarawih 23 raka'at di jamannya. Ini semua tidak terlepas khilaf di antara ulama.

Bahkan jumhur ulama menetapkan tidak ada pembatasan dalam jumlah raka'at shalat
tarawih.

Perbedaan di kalangan ulama adalah biasa. Itu telah terjadi semenjak dulu kala.)".

juga di cantumkan di artikel di atas. Bahwa dalam hal roka'at tarawih ini tidak mutlaq 11
roka'at. Ada ulama yang mentarjihnya. Hal ini menghindari ada saudara2 kita yang mengcopas
artikel antum lalu ta'ashub berlebihan. Bahkan mengatakan yang di luar 11 roka'at adalah
Bid'ah Dholalah... (Naudzubillah).

Wassalaamu'alaykum...

6 Januari 2011 13:23

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

wa'alaikumus-salaam...

artikel di atas temanya bukan membahas dari segi fiqh haditsnya. namun, saya khususkan
dalam pembahasan riwayat.

bagaimanapun, terima kasih atas masukannya.... baarakallaahu fiik.

6 Januari 2011 22:45

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum. Tanya Ustadz: Ditempat ana sholat tarawih dilakukan 4 rekaat 4 rekaat, 3
rekaat witir, pertanyaanya:

1. apakah ada dalilnya?

2. Apakah kami ikut solat demikian sah?


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

ditunggu jawabanya ustadz

Jazakallahu khoiron...

3 Agustus 2011 05:31

Anonim mengatakan...

Bukankah kalau masih bisa di-Jama' kita menempuhnya terlebih dahulu sebelum mentarjih
salah satunya?

Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro mengatakan,

‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻮﺗ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺮﹺﻳﻦ‬‫ﺸ‬‫ﻮﻥﹶ ﺑﹺﻌ‬‫ﻘﹸﻮﻣ‬‫ﻮﺍ ﻳ‬‫ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﺛﹸﻢ‬، ‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﺸ‬‫ﻯ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﻮﻥﹶ ﺑﹺﺈﹺﺣ‬‫ﻘﹸﻮﻣ‬‫ﻮﺍ ﻳ‬‫ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻧ‬، ‫ﻦﹺ‬‫ﻴ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻳ‬‫ﻭ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻦ‬‫ﻜ‬‫ﻤ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬
‫ﺑﹺﺜﹶﻼﹶﺙ‬

“Dan mungkin saja kita menggabungkan dua riwayat (yang membicarakan 11 raka’at dan 23
raka’at, -pen), kita katakan bahwa dulu para sahabat terkadang melakukan shalat tarawih
sebanyak 11 raka’at. Di kesempatan lain, mereka lakukan 20 raka’at ditambah witir 3 raka’at.”

[Sunan Al Baihaqi Al Kubro, Al Baihaqi, Maktabah Darul Baaz, 2/496]

Begitu pula Ibnu Hajar Al Asqolani juga menjelaskan hal yang serupa. Beliau rahimahullah
mengatakan,

‫ﺍﺀَﺓ‬‫ﺮ‬‫ﻄﹾﻮﹺﻳﻞﹺ ﺍﻟﹾﻘ‬‫ﺐﹺ ﺗ‬‫ﺴ‬‫ ﺑﹺﺤ‬‫ﻠﹶﺎﻑ‬‫ﺘ‬‫ﺎﺧ‬‫ ﺍﻟ‬‫ﻚ‬‫ﻞ ﺃﹶﻥﱠ ﺫﹶﻟ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺤ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺍﻝ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹶﺣ‬‫ﻠﹶﺎﻑ‬‫ﺘ‬‫ ﺑﹺﺎﺧ‬‫ﻦ‬‫ﻜ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺕ ﻣ‬‫ﺍﻳ‬‫ﻭ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻩ‬‫ﺬ‬‫ﻦ ﻫ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻭ‬
‫ﺮﻩ‬‫ﻏﹶﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﻱ‬‫ﺩ‬‫ﺍﻭ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻡ‬‫ﺰ‬‫ ﺟ‬‫ﻚ‬‫ﺑﹺﺬﹶﻟ‬‫ﻜﹾﺲﹺ ﻭ‬‫ﺑﹺﺎﻟﹾﻌ‬‫ﺎﺕ ﻭ‬‫ﻛﹶﻌ‬‫ﻞﱡ ﺍﻟﺮ‬‫ﻘ‬‫ﺍﺀَﺓ ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﻴﻞﹸ ﺍﻟﹾﻘ‬‫ﻄ‬‫ﺚﹸ ﻳ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﻓﹶﺤ‬‫ﻬ‬‫ﻴﻔ‬‫ﻔ‬‫ﺨ‬‫ﺗ‬‫ﻭ‬

“Kompromi antara riwayat (yang menyebutkan 11 dan 23 raka’at) amat memungkinkan


dengan kita katakan bahwa mereka melaksanakan shalat tarawih tersebut dilihat dari
kondisinya. Kita bisa memahami bahwa perbedaan (jumlah raka’at tersebut) dikarenakan
kadangkala bacaan tiap raka’atnya panjang dan kadangkala pendek. Ketika bacaan tersebut
dipanjangkan, maka jumlah raka’atnya semakin sedikit. Demikian sebaliknya. Inilah yang
ditegaskan oleh Ad Dawudi dan ulama lainnya.”

[Fathul Bari, 4/253]

Jika dikritisi kembali sanad dari 23 raka'at, maka simaklah penjelasan syaikh musthafa al-
'adawiy atau syaikh hasan masyhur salman tentang hal tersebut.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Namun jika sanadnya diakui shahiih, namun dianggap "syadz" karena matannya menyelisihi
matan dari perawi-perawi yang lebih shahiih; maka kembali kepada muqaddimah tadi,
mengapa tidak ditempuh jalan men-jama' keduanya, sebelum mentarjihnya padahal masih bisa
dijama'?

Semoga bermanfaat.

3 Agustus 2011 20:07

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Hadits syaadz pada asalnya adalah hadits shahih.

Jika yang antum maksudkan adalah riwayat Daawud bin Qais, maka telah dijelaskan bahwa
yang mahfudh dari Muhammad bin Yuusuf adalah sebelas raka'at. Daawud di sini telah
menyelesihi beberapa orang perawi tsiqaat (bahkan lebih tsiqah dari dirinya. Juga telah
dijelaskan ada kemungkinan tashhif.

Jika yang antum maksud adalah riwayat Yaziid bin Khushaifah, selain ta'lil yang telah
disebutkan di atas, ada 'illat yang lain, yaitu riwayat yang disebutkan oleh Abu Bakr An-
Naisaaburiy dalam Al-Fawaaid no. 37 :

‫ ﺃﻥﹼ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻳﻮﺳﻒ ﺍﺑﻦ ﺃﺧﺖ‬،‫ ﺣﺪﺛﲏ ﺇﲰﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ ﺃﻣﻴﺔ‬،‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ‬،‫ ﺛﻨﺎ ﺣﺠﺎﺝ‬،‫ﺛﻨﺎ ﻳﻮﺳﻒ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ‬‫ﺣﺪ‬
‫ ﲨﻊ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺃﰊ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻭﲤﻴﻢ‬:‫ﺎﺋﺐ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺃﺧﱪﻩ ﻗﺎﻝ‬‫ ﺃﻥﹼ ﺍﻟﺴ‬،‫ﺎﺋﺐ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺃﺧﱪﻩ‬‫ﺍﻟﺴ‬
‫ ﻓﻜﻨﺎ ﻧﻘﻮﻡ ﺑﺄﺣﺪ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻓﻤﺎ ﻧﻨﺼﺮﻑ ﺣﱴ ﻧﺮﻯ ﺃﻭ ﻧﺸﻚ ﰲ ﻓﺮﻭﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ‬،‫ ﻓﻜﺎﻧﺎ ﻳﻘﻮﻣﺎﻥ ﲟﺎﺋﺔ ﰲ ﺭﻛﻌﺔ‬،‫ﺍﻟﺪﺍﺭﻱ‬
‫ ﻟﻘﺪ ﲰﻊ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺎﺋﺐ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺍﺑﻦ‬:‫ ﺃﻭ ﻭﺍﺣﺪ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ؟! ﻗﺎﻝ‬:(‫ ﻗﻠﺖ )ﺍﻟﻘﺎﺋﻞ ﻫﻮ ﺇﲰﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ ﺃﻣﻴﺔ‬.‫ﻋﺸﺮ‬
(38)[...] :‫ ﻗﺎﻝ ﳏﻤﺪ‬.‫ ﺃﺣﺪ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ‬:‫ﺎﺋﺐ ﻗﺎﻝ‬‫ ﺃﻥﹼ ﺍﻟﺴ‬‫ ﺣﺴﺒﺖ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬،‫ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﺧﺼﻴﻔﺔ‬‫ ﻓﺴﺄﻟﺖ‬.‫ﺧﺼﻴﻔﺔ‬
‫ﻹﺣﺪﻯ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ‬

Perhatikan khususnya perkataan Ismaa'iil bin Umayyah : "Atau 21 raka'at ?. Sungguh Ibnu
Khushaifah telah mendengar hal itu dari As-Saaib bin Yaziid. Ia (Ibnu Khushaifah) berkata : 'Aku
kira/sangka bahwasannya As-Saaib berkata : 21 raka'at"....

Syaikh Al-Albaaniy berkata : Shahih. Beliau juga berkata bahwa riwayat di atas perkataan
Yaziid bin Khushaifah : aku kira/sangka bahwa....dst. menunjukkan bahwa ia tidak begitu yakin
atas perkataan As-Saaib bin Yaziid.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Walhasil, yang shahih atas riwayat As-Saaib bin Yaziid adalah 11 raka'at, dan inilah yang
mahfudh. Wallaahu a'lam. Dan inilah yang dikatakan oleh Al-Albaaniy dan yang lainnya.

Dikarenakan tidak mahfudh, lantas bagaimana bisa dijamak ?.

Lafadh 11 raka'at itu menafikkan dan bertentangan dengan lafadh 21 raka'at. Dan dalam
bahasan ini tidak bisa dikatakan bahwa kadang yang dilakukan 11 raka'at, dan kadang 21
raka'at; karena ini adalah pembahasan mengenai mana lafadh yang benar yang diriwayatkan
oleh As-Saaib bin Yaziid.

4 Agustus 2011 08:53

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim 3 Agustus 2011 05:31,...

1. Ada.

‫ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺃﻧﻪ ﺳﺄﻝ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻛﻴﻒ ﻛﺎﻧﺖ ﺻﻼﺓ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬
‫ﻗﺎﻟﺖ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺰﻳﺪ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻻ ﰲ ﻏﲑﻩ ﻋﻠﻰ ﺇﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ ﻳﺼﻠﻲ‬
‫ﺃﺭﺑﻌﺎ ﻓﻼ ﺗﺴﺄﻝ ﻋﻦ ﺣﺴﻨﻬﻦ ﻭﻃﻮﳍﻦ ﰒ ﻳﺼﻠﻲ ﺃﺭﺑﻌﺎ ﻓﻼ ﺗﺴﺄﻝ ﻋﻦ ﺣﺴﻨﻬﻦ ﻭﻃﻮﳍﻦ ﰒ ﻳﺼﻠﻲ ﺛﻼﺛﺎ‬

Dari Abu Salamah bin Abdirrahman bertanya kepada ‘Aisyah : “Bagaimana shalat Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan ?”. Aisyah menjawab : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun di bulan selainnya lebih dari
sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at, kamu jangan menanyakan bagus dan panjangnya.
Setelah itu shalat empat raka’at dan kamu jangan menanyakan bagus dan panjangnya.
Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka’at” (HR. Al-Bukhari no. 2013 dan Muslim no. 738; ini
adalah lafadh Al-Bukhari).

2. Sah

4 Agustus 2011 13:22


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

10. Benarkah Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar Mencabut


Fatwanya Tentang Pembayaran Fidyah Bagi Wanita Hamil dan
Menyusui ?

Tanya : Benarkah Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar meralat pendapatnya tentang pembayaran
fidyah bagi wanita hamil dan menyusui ?

Jawab : Sepanjang pengetahuan kami tidak benar klaim atas hal tersebut. Memang benar ada
riwayat dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang kewajiban qadla’ sebagai berikut :

،‫ ﺗﻔﻄﺮ ﺍﳊﺎﻣﻞ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬: ‫ ﻭﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ‬،‫ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻋﻦ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ‬
‫ﻭﺗﻘﻀﻴﺎﻥ ﺻﻴﺎﻣﺎﹰَ ﻭﻻ ﺗﻄﻌﻤﺎﻥ‬.

‘Abdurrazzaaq, dari Ats-Tsauriy1 dan dari Ibnu Juraij2, dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas, ia
berkata : “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadlaan dimana keduanya
menqadla’ puasa (yang ditinggalkannya) tanpa membayar fidyah” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq
4/218 no. 7564].

Sanad riwayat ini shahih.

Ibnu Hazm juga membawakan riwayat ‘Abdurrazzaaq tersebut dalam Al-Muhallaa, namun
tanpa penyebutan Ats-Tsauriy :

‫ﻲ‬‫ ﻓ‬‫ﻊ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻭ‬,‫ﻞﹸ‬‫ﺎﻣ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﺮ‬‫ﻔﹾﻄ‬‫ ﺗ‬:‫ّﺎﺱﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺒ‬‫ﻦﹺ ﻋ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ ﻋ‬،ٍ‫ﻄﹶﺎﺀ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،‫ﺞﹴ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻦﹺ ﺟ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ ﻋ‬،‫ّﺍﻕﹺ‬‫ّﺯ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻃﹶﺮﹺﻳﻖﹺ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻭﹺّﻳﻨ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻛﹶﻤ‬
‫ﺎ‬‫ﻬﹺﻤ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﻡ‬‫ﻻﹶ ﺇﻃﹾﻌ‬‫ ﻭ‬،‫ﺎ‬‫ﺎﻣ‬‫ﻴ‬‫ ﺻ‬‫ﺎﻧﹺﻪ‬‫ﻴ‬‫ﻘﹾﻀ‬‫ﻳ‬‫ﺎﻥﹶ ﻭ‬‫ﻀ‬‫ﻣ‬‫ﺭ‬.

“Sebagaimana yang kami riwayatkan dari jalan ‘Abdurazzaaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’3,
dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Wanita yang hamil dan menyusui bolh berbuka di bulan

1
Sufyaan bin Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi faqih (97-161 H). Dipakai Al-
Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriib, hal. 394 no. 2458].
2
Ia adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid (wafat : 149/150/151 H) –
seorangyang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan irsaal [idem, hal. 624
no. 4221].
3
‘Athaa’ bin Abi Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai banyak keutamaan (w. 114 H). Dipakai Al-
Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 677 no. 4623].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Ramadlaan dimana keduanya menqadla’ puasa (yang ditinggalkannya) tanpa membayar fidyah”
[Al-Muhallaa, 6/263].4

Riwayat ini seakan-akan bertentangan riwayat Ibnu ‘Abbaas yang lain seperti :

‫ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﻣﺮﺯﻭﻕ ﻗﺎﻝ ﺛﻨﺎ ﺭﻭﺡ ﻗﺎﻝ ﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻋﺮﻭﺑﺔ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﻋﺰﺭﺓ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺟﺒﲑ ﻋﻦ‬
‫ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺭﺧﺺ ﻟﻠﺸﻴﺦ ﺍﻟﻜﺒﲑ ﻭﺍﻟﻌﺠﻮﺯ ﺍﻟﻜﺒﲑﺓ ﰲ ﺫﻟﻚ ﻭﳘﺎ ﻳﻄﻴﻘﺎﻥ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺃﻥ‬
‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﻬﹺﺪ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ﻳﻔﻄﺮﺍ ﺇﻥ ﺷﺎﺀﺍ ﺃﻭ ﻳﻄﻌﻤﺎ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻭﻻ ﻗﻀﺎﺀ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﰒ ﻧﺴﺦ ﺫﻟﻚ ﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ }ﻓﹶﻤ‬
‫{ ﻭﺛﺒﺖ ﻟﻠﺸﻴﺦ ﺍﻟﻜﺒﲑ ﻭﺍﻟﻌﺠﻮﺯ ﺍﻟﻜﺒﲑﺓ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺎ ﻻ ﻳﻄﻴﻘﺎﻥ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﳊﺒﻠﻰ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻓﺘﺎ‬‫ﻪ‬‫ﻤ‬‫ﺼ‬‫ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬‫ﺮ‬‫ّﻬ‬‫ﺍﻟﺸ‬
‫ﺃﻓﻄﺮﺗﺎ ﻭﺃﻃﻌﻤﺘﺎ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq5, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Rauh6, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah7, dari
Qataadah8, dari ‘Azrah9, dari Sa’iid bin Jubair10, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa,
ia berkata : “Diberikan keringanan (rukhshah) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut
usia atas hal itu meskipun mereka mampu berpuasa, untuk berbuka bila menghendakinya atau
memberi makan orang miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya. Kemudian hal itu di-
nasakh dengan ayat : ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan

4
Untuk diketahui, bahwa riwayat yang dibawakan Ibnu Hazm ini bukan sebagai penguat riwayat ‘Abdurrazzaaq,
karena keduanya hanyalah satu jalan riwayat dengan sanad dan matan yang sama.
5
Ibraahiim bin Marzuuq bin Diinaar Al-Umawiy; seorang yang tsiqah, namun kadang melakukan kekeliruan (w. 270
H) [lihat biografi selengkapnya dalam Tahdziibul-Kamaal 2/197-198 no. 242 dan Tahdziibut-Tahdziib 1/163 no.
290].
6
Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan Al-Qaisiy; seorang yang tsiqah faadlil, mempunyai banyak tulisan (w.
205 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].
7
Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi mempunyai banyak tulisan. Akan tetapi ia mengalami
percampuran dalam hapalan (ikhtilaath) (w. 156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 384 no. 2378].
8
Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun banyak melakukan
tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102
no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-
484].
9
‘Azrah bin ‘Abdirrahmaan bin Zuraarah Al-Khuzaa’iy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya
[idem, hal. 676 no. 4608].
10
Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (w. 95
H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 374-375 no. 2291].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah : 185). Akan tetapi hukum itu
tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi laki-laki dan wanita yang telah tua/lanjut usia apabila mereka
tidak sanggup berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui apabila mereka khawatir (atas
dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya”
[Diriwayatkan oleh Ibnul-Jaaruud no. 381; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil
4/18].

‫ ﻷﻡ ﻭﻟﺪ ﻟﻪ‬،‫ ﺫﹸﻛﺮ ﻟﻨﺎ ﺃﻥ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ‬:‫ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﻗﺎﻝ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺑﺸﺮ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﻫﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﺧﺎﻓﺖ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻬﺎ‬.‫ ﻋﻠﻴﻚ‬‫ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻟﻔﺪﺍﺀُ ﻭﻻ ﺻﻮﻡ‬،‫ ﺃﻧﺖ ﲟﱰﻟﺔ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﻄﻴﻘﻮﻧﻪ‬:‫ﺣﺒﻠﻰ ﺃﻭ ﻣﺮﺿﻊ‬.

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz11, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Yaziid12, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah, ia berkata :
Disebutkan kepada kami bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata kepada Ummu Waladnya sedang
hamil atau menyusui : “Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu adalah
membayar tebusan (fidyah) tanpa perlu berpuasa”. Ini berlaku jika ia khawatir terhadap dirinya
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy, 3/429 no. 2761; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-
Ghaliil, 4/19].

‫ﻊﹺ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﹶﻰ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ﻠﹾﺤ‬‫ ﻟ‬‫ﺖ‬‫ّﺎﺱﹴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹸﺛﹾﺒﹺﺘ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺃﹶﻥﹶّ ﺍﺑ‬‫ّﺛﹶﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺔﹶ ﺣ‬‫ﻜﹾﺮﹺﻣ‬‫ﺓﹸ ﺃﹶﻥﹶّ ﻋ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺎ ﻗﹶﺘ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺎﻥﹸ ﺣ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻴﻞﹶ ﺣ‬‫ﺎﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﺇﹺﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻮﺳ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil13 : Telah menceritakan kepada kami
Abaan14 : Telah menceritakan kepada kami Qataadah : Bahwasannya ‘Ikrimah15 telah
menceritakan kepadanya : Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata : “(Hukum itu) ditetapkan bagi
wanita hamil dan menyusui” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2317; dishahihkan oleh Al-
Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/48].

Bagaimana memahami riwayat-riwayat di atas ?

11
Bisyr bin Mu’adz Al-‘Aqadiy Abu Sahl Al-Bashriy Adl-Dlariir; seorang yang shaduuq (w. 245 H) [idem, hal. 171 no.
709].
12
Ia adalah Yaziid bin Zurai’ Al-‘Aisyiy Abu Mu’aawiyyah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (101-182 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1074 no. 7764].
13
Muusaa bin Ismaa’iil Al-Minqariy Abu Salamah At-Tabuudzakiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w.
223 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
14
Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-
nya [idem, hal. 977 no. 6992].
15
‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Cara yang paling inshaf dalam memahami riwayat-riwayat yang terlihat bertolak-belakang
adalah dengan jalan penjamakan. Dan di sini sangat memungkinkan. Riwayat Ibnu ‘Abbaas yang
dibawakan Ibnul-Jaarud dan Ath-Thabariy tentang kebolehan membayar fidyah dijelaskan ‘illat-
nya, yaitu jika ada kekhawatiran terhadap dirinya atau anaknya. Adapun riwayat yang
dibawakan ‘Abdurrazzaaq tidak dijelaskan. Oleh karena itu, perkataan Ibnu ‘Abbaas agar wanita
yang hamil atau menyusui itu mengqadla’ puasa yang ditinggalkannya, karena ia termasuk
orang yang kuat dan tidak ada kekhawatiran terhadap dirinya. Maka, ini kembali ke hukum asal
perintah untuk berpuasa (qadla’).

Untuk riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, maka ada riwayat sebagai berikut :

‫ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻭﻗﺪ ﺭﻭﻯ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻋﻴﺎﺽ ﻋﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻋﻦ ﺑﻦ ﻟﺒﻴﺒﺔ ﺃﻭ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻟﺒﻴﺒﺔ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ‬
‫ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺃﻥ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺻﺎﻣﺖ ﺣﺎﻣﻼ ﻓﺎﺳﺘﻌﻄﺸﺖ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﺴﺌﻞ ﻋﻨﻬﺎ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻓﺄﻣﺮﻫﺎ ﺃﻥ ﺗﻔﻄﺮ ﻭﺗﻄﻌﻢ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ‬
‫ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻣﺪﺍ ﰒ ﻻ ﳚﺰﻳﻬﺎ ﻓﺈﺫﺍ ﺻﺤﺖ ﻗﻀﺘﻪ‬

Telah berkata Syaikh (yaitu Al-Baihaqiy) : Telah diriwayatkan oleh Anas bin ‘Iyaadl16, dari Ja’far
bin Muhammad17, dari Ibnu Labiibah atau Ibnu Abi Labiibah18, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin
‘Utsmaan19 : Bahwasannya ada seorang wanita hamil berpuasa yang kemudian kehausan di
bulan Ramadlaan. Maka ditanyakan tentangnya kepada Ibnu ‘Umar, dan ia memerintahkannya
untuk berbuka dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap harinya sebanyak satu
mudd. Kemudian ia tidak membolehkannya. Apabila telah sehat, maka ia harus mengqadlanya
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 4/230].

Kualitas riwayat di atas adalah lemah (dla’iif) dengan kelemahan yang ada pada diri Ibnu Abi
Labiibah. Selain itu Al-Baihaqiy membawakan riwayat secara mu’allaq dari Anas bin ‘Iyaadl.
Oleh karena itu, riwayat ini tidak layak dipergunakan sebagai hujjah.

Yang shahih dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah kebolehan berbuka dan membayar
fidyah.

16
Anas bin ‘Iyaadl bin Dlamrah Abu Dlamrah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (104-200 H). Dipakai Al-Bukhaariy
dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 154 no. 569].
17
Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Ash-Shaadiq;
seorang yang shaduuq lagi imaam (80-148 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 200 no. 958].
18
Ia adalah Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Labiibah atau dipanggil Ibnu Abi Labiibah; seorang yang lemah dan
banyak memursalkan riwayat [idem, hal. 870 no. 6120].
19
‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman bin ‘Affaan Al-Qurasyiy Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi mulia/terhormat
(w. 96 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 530 no. 3525].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ ﻣﺜﻞ ﻗﻮﻝ ﺍﺑﻦ‬،‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ‬،‫ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ‬،‫ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ‬،‫ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ‬،‫ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺓ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻋﺒﺎﺱ ﰲ ﺍﳊﺎﻣﻞ ﻭﺍﳌﺮﺿﻊ‬

Telah menceritakan kepada kami Hanaad20, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdah21, dari Sa’iid22, dari Naafi’23, dari ‘Aliy bin Tsaabit24, dari Naafi’25, dari Ibnu ‘Umar –
sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbaas dalam permasalahan wanita hamil dan menyusui
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 3/428; dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dan
Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺻﺎﱀ ﺍﻷﺻﺒﻬﺎﱐ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺛﻨﺎ ﺍﳊﺠﺎﺝ ﺛﻨﺎ ﲪﺎﺩ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻥ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﺳﺄﻟﺘﻪ‬
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﻓﻄﺮﻱ ﻭﺃﻃﻌﻤﻲ ﻋﻦ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻭﻻ ﺗﻘﻀﻲ‬، ‫ﻭﻫﻲ ﺣﺒﻠﻰ‬

Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih Al-Ashbahaaniy 26 : Telah menceritakan kepada
kami Abu Mas’uud27 : Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj28 : Telah menceritakan
kepada kami Hammaad29, dari Ayyuub30, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya istrinya

20
Hanaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah (w. 243 H). Dipakai
Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1025 no. 7370].
21
‘Abdah bin Sulaimaan Al-Kilaabiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 187 H). Dipakai
Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 635 no. 4297].
22
Ia adalah Sa’iid bin Abi ‘Aruubah.
23
Ia adalah Naafi’ bin Maalik bin Abi ‘Aamir At-Taimiy Abu Suhail Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. setelah
tahun 140-an). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 996 no. 7131].
24
‘Aliy bin Tsaabit bin ‘Amru bin Akhthab Al-Bashriy Al-Anshaariy; seorang yang tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/177
no. 968].
25
Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136]
26
Ia adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Haaruun Abu Mas’uud Al-Ashbahaaniy; seorang yang tsiqah sebagaimana
dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy (w. 324 H) [Taraajimu Rijaali Ad-Daaruquthniy, hal. 56 no. 94].
27
Ia adalah Ahmad bin Al-Furaat bin Khaalid Adl-Dlabbiy Abu Mas’uud Ar-Raaziy Al-Haafidh (w. 258 H) [Taqriibut-
Tahdziib, hal. 96 no. 88].
28
Hajjaaj bin Al-Minhaal Al-Anmaathiy Abu Muhammad As-Sulamiy; seorang yang tsiqah lagi faadlil (w. 216 H).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 224 no. 1146].
29
Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, berubah hapalannya di akhir
hayatnya (w. 167). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 268-269 no. 1507].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

pernah bertanya kepadanya (tentang kewajiban puasa) yang pada saat itu ia dalam keadaan
hamil. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai
ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla” [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni 3/198 no.
2388; sanadnya jayyid sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].

Oleh karena itu, kedudukan atsar kedua orang shahabat di atas adalah sangat kuat. Tidak
ternukil adanya penyelisihan dari kalangan shahabat lain atas perkataan mereka sebagaimana
dikatakan Ibnu Qudaamah :

‫ﻭﻻ ﳐﺎﻟﻒ ﳍﻤﺎ ﰲ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ‬

“Tidak ada shahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar)” [Al-
Mughniy fil-Fiqh 3/140 – melalui perantaraan At-Tarjiih, hal. 60].

Kesimpulan : Tidak benar bahwa Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhum menarik
pendapatnya dalam kebolehan membayar fidyah bagi wanita hamil dan menyusui.

Silakan baca artikel lebih lanjut tentang permasalahan puasa wanita hamil dan menyusui di :
sini.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – 12 Ramadlaan 1431].

30
Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131
H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

11. Hukum Zakat Fithri Atas Janin yang Masih di dalam Perut

Para ulama berbeda pendapat akan hal tersebut. Ibnu Hazm rahimahullah dan kalangan
madzhab Dhaahiriy berpendapat wajib bagi janin yang telah ditiupkan ruh yang berusia 120 hari
di dalam perut ibunya sebelum lewat fajar malam Fithri [Al-Muhallaa, 6/131-132; Daarul-Fikr].

Dalil utama yang dipakai Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya adalah :

‫ ﻋﻦ‬،‫ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻧﺎﻓﻊ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﲰﺎﻋﻴﻞ ﺍﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ‬:‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﻬﻀﻢ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﲕ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺴﻜﻦ‬
‫ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﲤﺮ ﺃﻭ‬،‫ ﻓﺮﺽ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬:‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ‬،‫ﺃﺑﻴﻪ‬
‫ﺎ ﺃﻥ ﺗﺆﺩﻯ ﻗﺒﻞ‬ ‫ ﻭﺃﻣﺮ‬،‫ ﻣﻦ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ‬،‫ ﻭﺍﻟﺼﻐﲑ ﻭﺍﻟﻜﺒﲑ‬،‫ ﻭﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﺍﻷﻧﺜﻰ‬،‫ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻭﺍﳊﺮ‬،‫ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺷﻌﲑ‬
‫ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﱃ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬.

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Jahdlam : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far,
dari ‘Umar bin Naafi’, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
“Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa salam mewajibkan zakat fithri satu shaa’ tamr (kurma) atau
satu shaa’ gandum atas budak, orang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari
kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum orang-orang keluar
menuju shalat ‘Ied (di lapangan)” [Diriwayatan oleh Al-Bukhaariy no. 1503].

Menurut Ibnu Hazm, setiap hukum yang diwajibakan atas anak kecil (ash-shaghiir), maka
berlaku pula atasnya (janin yang telah ditiupkan ruh). Dalam hal ini, Ibnu Hazm dan orang yang
bersamanya juga mengetengahkan dalil :

‫ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﺠﺒﻬﻢ ﺃﻥ ﻳﻌﻄﻮﺍ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻐﲑ ﻭﺍﻟﻜﺒﲑ ﺣﱴ ﻋﻠﻰ‬: ‫ﻋﻦ ﻣﻌﻤﺮ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﺃﰊ ﻗﻼﺑﺔ ﻗﺎﻝ‬
‫ﺍﳊﺒﻞ ﰲ ﺑﻄﻦ ﺃﻣﻪ‬

Dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, ia berkata : “Sesuatu yang mereka sukai adalah
menunaikan zakat dari anak kecil dan orang tua, hingga janin yang masih dalam perut ibunya”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, 3/319 no. 5788; shahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi
Syaibah 3/172 (4/281 - tahqiq Hamd Al-Jum’ah & Muhammad Al-Luhaidaan) dari jalan Ibnu
‘Ulayyah, dari Ayyuub].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Abu Qilaabah, namanya adalah ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Amru, seorang ulama dari kalangan
tabi’iy pertengahan. Oleh karena itu yang dimaksud ‘mereka’ dalam perkataan Abu Qilaabah ini
adalah para shahabat dan tabi’iin yang pernah sejaman dengannya.

‫ﺣﺪﺛﲏ ﺃﰊ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﻤﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺍﻟﺘﻴﻤﻲ ﻋﻦ ﲪﻴﺪ ﺑﻦ ﺑﻜﺮ ﻭﻗﺘﺎﺩﺓ ﺃﻥ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﻄﻲ ﺻﺪﻗﺔ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻋﻦ‬
‫ﺍﻟﺼﻐﲑ ﻭﺍﻟﻜﺒﲑ ﻭﺍﳊﻤﻞ‬

Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar bin
Sulaimaan At-Taimiy, dari Humaid bin Bakr dan Qataadah : Bahwasannya ‘Utsmaan
membayarkan zakat fithri dari anak kecil, orang tua, dan wanita hamil” [Diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Al-Masaail, no. 644; dla’iif].

Di pihak lain, jumhur fuqahaa’ berpendapat tidak wajib membayarkan zakat bagi janin yang
masih dalam kandungan. Bahkan disebutkan oleh Ibnul-Mundzir rahimahullah adanya ijma’
mengenai hal ini.

‫ ﻓﻜﺎﻥ ﳛﺒﻪ ﻭﻻ ﻳﻮﺟﺒﻪ‬:‫ ﻭﺍﻧﻔﺮﺩ ﺍﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ‬،‫ﻭﺃﲨﻌﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺯﻛﺎﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﳉﻨﲔ ﰲ ﺑﻄﻦ ﺃﹸﻣﻪ‬.

“Mereka (para ulama) telah bersepakat tidak ada kewajiban zakat atas janin yang masih ada di
dalam perut ibunya. Dan Ibnu Hanbal1 bersendirian dimana menganggapnya sunnah dan bukan
satu kewajiban” [Al-Ijmaa’, hal. 47 no. 111, tahqiq : Fuaad bin ‘Abdil-Mun’im; Daarul-Muslim,
Cet. 1/1425 H].

Namun klaim ijma’ ini perlu diteliti kembali, sebab Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
dalam satu riwayat menyatakan wajib [lihat : Al-Inshaaf oleh Al-Mardawiy, 3/168, tahqiq :
Muhammad bin Haamid Al-Faqiy; Cet. 1/1375 H].

Maalik bin Anas rahimahullah berkata :

‫ﻞ‬‫ﻻ ﺗﺆﺩﻯ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﻋﻦ ﺍﳊﹶﺒ‬

“Tidak dibayarkan zakat dari janin dalam kandungan” [Al-Mudawwanah, 1/388, tahqiq :
Zakariyyaa ‘Umairaat; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].

An-Nawawiy rahimahullah berkata :

1
Yaitu Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﻻ ﲡﺐ ﻓﻄﺮﺓ ﺍﳉﻨﲔ ﻻ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻴﻪ ﻭﻻ ﰲ ﻣﺎﻟﻪ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﻟﻮ ﺧﺮﺝ ﺑﻌﻀﻪ ﻗﺒﻞ ﻏﺮﻭﺏ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﺑﻌﻀﻪ ﺑﻌﺪ‬
‫ﺎ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﱂ ﲡﺐ ﻓﻄﺮﺗﻪ ﻻﻧﻪ ﰲ ﺣﻜﻢ ﺍﳉﻨﲔ ﻣﺎ ﱂ ﻳﻜﻤﻞ ﺧﺮﻭﺟﻪ ﻣﻨﻔﺼﻼ‬‫ﻏﺮﻭ‬

“Tidak wajib zakat bagi janiin, tidak atas ayahnya (untuk membayarkannya), tidak pula pada
hartanya tanpa ada perselisihan di sisi kami (madzhab Syaafi’iyyah). Meskipun sebagian tubuh
janin keluar sebelum tenggelamnya matahari dan sebagian lainnya keluar setelahnya pada
malam ‘Iedul-Fithr, tidak wajib zakat fithri atasnya karena ia tetap dihukumi sebagai janin
selama belum lahir secara sempurna (dari perut ibunya)” [Al-Majmuu’, 6/67; Daaru ‘Aalamil-
Kutub, Cet. Thn. 1423 H].

Dalil jumhur adalah hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sebelumnya. Dalam hadits
disebutkan ash-shaghiir, yang artinya : anak kecil. Maka, janiin tidak dapat disebut ‘anak kecil’
dan masuk dalam cakupan ini; sama saja apakah janin itu sudah ditiupkan ruhnya ataukah
belum.2

Tarjih :

Yang raajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur, karena tidak ada dalil yang menunjukkan
kewajiban zakat fithri bagi janin yang masih dalam perut. Penyamaan hukum antara janin
dengan anak kecil tidak bisa diterima, karena penyamaan ini (dalam wasiat dan warisan) tetap
dibatasi dengan persyaratan bahwa janin tersebut lahir dalam keadaan hidup.

Adapun atsar Abu Qilaabah atas perbuatan para shahabat dan tabi’iin menunjukkan perbuatan
tersebut masyhur di kalangan salaf, dan maksimal hanya menunjukkan hukum sunnah saja.
Yaitu, membayarkan zakat pada janin jika berusia 120 hari yang telah ditiupkan ruh padanya.3

Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciomas, bogor, 1432 H].

2
Asy-Syaikh Ibnu Jibriin rahimahullah berkata :

"..... ‫ﺔ ﺍﻟﱵ ﰲ ﺑﻄﻮﻥ ﺍﻷﻣﻬﺎﺕ ﺳﻮﺍﺀً ﻗﺒﻞ ﻧﻔﺦ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻓﻴﻬﻢ ﺃﻭ‬‫ ﻓﻼ ﺗﺪﺧﻞ ﰲ ﺫﻟﻚ ﺍﻷﺟﻨ‬،‫ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﺍﻟﻨﺺ ﻭﺭﺩ ﺑﺈﺧﺮﺍﺟﻬﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻐﲑ ﻭﺍﻟﻜﺒﲑ‬
‫ﺑﻌﺪﻩ‬....."

“Hal itu dikarenakan nash datang dengan menyebutkan kewajiban pengeluarannya dari anak kecil (ash-shaghiir)
dan orang tua (al-kabiir). Maka tidak masuk padanya janin yang masih ada dalam perut ibu-ibu mereka, sama saja
sebelum atau setelah ditiupkannya ruh kepada mereka...” [lihat : http://ibn-
jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=399&parent=964].
3
Sebab, jika usianya belum genap 120 hari, maka itu hanyalah disebut gumpalan daging saja (yang belum
bernyawa).
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

12. Mana yang Afdlal : Berpuasa atau Berbuka Saat Safar ? (2)

Para ulama sepakat bahwasannya safar1 merupakan sebab diperbolehkannya berbuka bagi
orang yang berpuasa, sebagaimana firman Allah ta’ala :

‫ﺮ‬‫ّﺎﻡﹴ ﺃﹸﺧ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ّﺓﹲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹶﺮﹴ ﻓﹶﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺳ‬‫ ﻋ‬‫ﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ﺮﹺﻳﻀ‬‫ ﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻓﹶﻤ‬

“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”
[QS. Al-Baqarah : 184].

‫ ﺳﺌﻞ ﺃﻧﺲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ؟‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺧﻴﺜﻤﺔ ﻋﻦ ﲪﻴﺪ‬.‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﲕ ﺑﻦ ﳛﲕ‬
‫ ﻓﻠﻢ ﻳﻌﺐ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻔﻄﺮ ﻭﻻ ﺍﳌﻔﻄﺮ ﻋﻠﻰ‬.‫ ﺳﺎﻓﺮﻧﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬:‫ﻓﻘﺎﻝ‬
‫ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ‬.

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu
Khaitsamah, dari Humaid, ia berkata : Anas radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang puasa
Ramadlaan ketika safar, maka ia menjawab : “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlaan. Maka, orang yang berpuasa tidaklah
mencela orang yang berbuka. Begitu pula orang yang berbuka tidak mencela orang yang
berpuasa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1118].

Dari pendapat jumhur yang menyatakan kebolehan tetap berpuasa dalam keadaan safar,
mereka berbeda pendapat tentang keafdlalan antara berbuka atau tetap berpuasa bagi
musafir, yang terbagi menjadi dua kelompok besar :

1. Berbuka afdlal, baik berpuasa itu mudah baginya atau tidak.

Dalilnya adalah :

‫ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺍﺑﻦ ﻭﻫﺐ( ﺃﺧﱪﱐ‬:‫ ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮ‬.‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ‬:‫ﻭﺣﺪﺛﲏ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮ ﻭﻫﺎﺭﻭﻥ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﻷﻳﻠﻲ )ﻗﺎﻝ ﻫﺎﺭﻭﻥ‬
‫ ﻋﻦ ﲪﺰﺓ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻷﺳﻠﻤﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ‬،‫ ﻋﻦ ﻋﺮﻭﺓ ﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﲑ ﻋﻦ ﺃﰊ ﻣﺮﺍﻭﺡ‬،‫ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻋﻦ ﺃﰊ ﺍﻷﺳﻮﺩ‬
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬،‫ ﻓﻬﻞ ﻋﻠﻲ ﺟﻨﺎﺡ ؟‬.‫ ﺃﺟﺪ ﰊ ﻗﻮﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬:‫ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬:‫ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ‬:‫ﻋﻨﻪ‬

1
Lihat : Mausu’ah Al-Ijmaa’ fil-Fiqhil-Islaamiy oleh Sa’diy Abu Jaib, hal. 731 no. 2582.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ ﻗﺎﻝ ﻫﺎﺭﻭﻥ ﰲ‬."‫ ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﻳﺼﻮﻡ ﻓﻼ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻪ‬.‫ﺎ ﻓﺤﺴﻦ‬ ‫ "ﻫﻲ ﺭﺧﺼﺔ ﻣﻦ ﺍﷲ ﻓﻤﻦ ﺃﺧﺬ‬:‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ "ﻫﻲ ﺭﺧﺼﺔ" ﻭﱂ ﻳﺬﻛﺮ ﻣﻦ ﺍﷲ‬:‫ﺣﺪﻳﺜﻪ‬.

Telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir dan Haaruun bin Sa’iid Al-Ailiy - Haaruun berkata :
‘Telah menceritakan kepada kami’, dan Abuth-Thaahir berkata : ‘Telah mengkhabarkan kepada
kami’ – Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Al-Haarits, dari Abul-Aswad,
dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari Abu Muraawih, dari Hamzah bin ‘Amr Al-Aslaamiy radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya ia pernah berkata : “Wahai Rasulullah, aku merasa kuat berpuasa ketika
safar. Apakah berdosa jika aku berpuasa ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Berbuka merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah. Barangsiapa mengambilnya, maka itu
baik. Namun barangsiapa yang lebih suka berpuasa, maka ia tidak berdosa”. Haaruun berkata
dalam haditsnya : “Berbuka merupakan rukhshah” – tanpa menyebutkan : “dari Allah”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1121].

Sisi pendalilannya : Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada pihak yang
berbuka : ‘Berbuka merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah. Barangsiapa mengambilnya,
maka itu baik’ ; sedangkan untuk yang tetap berpuasa : ‘Namun barangsiapa yang lebih suka
berpuasa, maka ia tidak berdosa’. Beliau mencukupkan peniadaan dosa bagi yang berpuasa
sehingga hukumnya boleh saja; sementara bagi yang berbuka, beliau menetapkan adanya
kebaikan. Padahal Hamzah sebelumnya mengatakan : ‘Sesungguhnya aku merasa kuat
berpuasa ketika safar’.

Keutamaan pengambilan rukhshah juga ditegaskan dalam riwayat berikut :

‫ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ‬: ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻋﻦ ﻋﻤﺎﺭﺓ ﺑﻦ ﻏﺰﻳﺔ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ‬
‫ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﻥ ﺍﷲ ﳛﺐ ﺃﻥ ﺗﺆﺗﻰ ﺭﺧﺼﺔ ﻛﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﺃﻥ ﺗﺆﺗﻰ ﻣﻌﺼﻴﺘﻪ‬.

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid2 : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-
‘Aziiz bin Muhammad3, dari ‘Ammaarah bin Ghaziyyah4, dari Naafi’5, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata
2
Qutaibah bin Sa’iid bin Jamiil bin Thariif bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy, Abu Rajaa’ Al-Balkhiy; seorang yang tsiqah lagi
tsabat. Termasuk thabaqah ke-10, wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-
Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 799 no. 5557].
3
‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin ‘Ubaid bin Abi ‘Ubaid Ad-Daraawardiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang
yang tsiqah, sedikit mendapat kritikan dari jurusan hapalannya. Ada perkataan panjang para ulama tentangnya.
Silakan baca di artikal ini (catatan kaki no. 7).
4
‘Ammaarah bin Ghaziyyah bin Al-Haarits bin ‘Amru bin Ghaziyyah bin ‘Amru bin Tsa’labah An-Najaar Al-Anshaariy.
Ibnu Hajar menghukuminya : laa ba’sa bih. Namun yang benar – wallaahu a’lam – ia seorang yang tsiqah. Telah
ditsiqahkan oleh Abu Zur’ah, Ibnu Sa’d, Ibnu Hibbaan, Ad-Daaruquthniy, dan Al-‘Ijly. Adapun Ibnu Ma’iin berkata :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menyukai


dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat
kepada-Nya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/108; shahih].

‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻏﻨﺪﺭ‬: ‫ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ‬.‫ ﲨﻴﻌﺎ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ‬.‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺷﻴﺒﺔ ﻭﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﺜﲎ ﻭﺍﺑﻦ ﺑﺸﺎﺭ‬
‫ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ‬،‫ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺍﳊﺴﻦ‬،‫ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ‬،‫ﻋﻦ ﺷﻌﺒﺔ‬
.‫ ﻭﻗﺪ ﺿﻠﻞ ﻋﻠﻴﻪ‬.‫ ﻓﺮﺃﻯ ﺭﺟﻼ ﻗﺪ ﺍﺟﺘﻤﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻴﻪ‬.‫ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺳﻔﺮﻩ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ﻋﻨﻪ‬
‫ "ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﱪ ﺃﻥ ﺗﺼﻮﻣﻮﺍ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬.‫ ﺭﺟﻞ ﺻﺎﺋﻢ‬:‫ "ﻣﺎ ﻟﻪ ؟" ﻗﺎﻟﻮﺍ‬:‫"ﻓﻘﺎﻝ‬.

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Muhammad bin Al-Mutsannaa, dan
Ibnu Basyaar, mereka semua dari Muhammad bin Ja’far – Abu Bakr berkata : Telah
menceritakan kepada kami Ghundar - , dari Syu’bah, dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin
Sa’d, dari Muhammad bin ‘Amru bin Al-Hasan, dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berada dalam safarnya, beliau melihat
sekelompok orang berkumpul dan memayungi seorang laki-laki. Beliau bertanya : “Ada apa
dengannya ?”. Mereka menjawab : “Ia sedang berpuasa”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Tidak ada kebaikan berpuasa ketika safar” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
1115].

Sisi pendalilan : Sangat jelas di sini bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menafikkan kebaikan bagi orang yang berpuasa dalam keadaan safar.

‫ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺭﺿﻲ‬،‫ﻴﺪ( ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺟﻌﻔﺮ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ‬‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﻟﻮﻫﺎﺏ )ﻳﻌﲏ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍ‬.‫ﺣﺪﺛﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﺜﲎ‬
‫ ﻓﺼﺎﻡ ﺣﱴ ﺑﻠﻎ ﻛﺮﺍﻉ‬.‫ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ؛ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧﺮﺝ ﻋﺎﻡ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﺇﱃ ﻣﻜﺔ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬
‫ ﺇﻥ ﺑﻌﺾ‬:‫ ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ‬.‫ ﰒ ﺷﺮﺏ‬.‫ ﺣﱴ ﻧﻈﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻴﻪ‬.‫ ﰒ ﺩﻋﺎ ﺑﻘﺪﺡ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ ﻓﺮﻓﻌﻪ‬.‫ ﻓﺼﺎﻡ ﺍﻟﻨﺎﺱ‬.‫ﺍﻟﻐﻤﻴﻢ‬
‫ ﺃﻭﻟﺌﻚ ﺍﻟﻌﺼﺎﺓ‬.‫ " ﺃﻭﻟﺌﻚ ﺍﻟﻌﺼﺎﺓ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫" ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗﺪ ﺻﺎﻡ‬.

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-Wahhaab - yaitu Ibnu ‘Abdil-Majiid - : Telah menceritakan kepada kami Ja’far, dari

“Shaalih”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya” [Lihat : At-Taqriib,
hal. 713 no. 4892; dan Tahdziibut-Tahdziib, 7/422-423 no. 688].
5
Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur. Termasuk
thabaqah ke-3, wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 996 no. 7136].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

ayahnya, dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah keluar pada tahun Fath menuju Makkah pada bulan Ramadlaan. Beliau
berpuasa hingga mencapai satu tempat yang bernama Kuraa’ul-Ghamiim. Orang-orang pun
turut berpuasa. Kemudian beliau meminta segelas air dan mengangkatnya sehingga orang-
orang melihat kepada beliau. Lalu beliau meminumnya. Kemudian setelah itu dikatakan kepada
beliau : “Sesungguhnya sebagian manusia tetap berpuasa”. Beliau bersabda : “Mereka itu
adalah orang-orang yang durhaka, mereka itu adlah orang-orang yang durhaka” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 1114].

Sisi pendalilannya : Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada orang yang tidak
berbuka bersama beliau sebagai orang yang durhaka. Tidak bisa tidak bahwasannya berbuka
tentu lebih utama daripada yang berpuasa. Bahkan, dhahir hadits menyatakan berpuasa ketika
safar adalah kemaksiatan/kedurhakaan.

Pendapat ini dikuatkan oleh Ahmad serta Ibnu Habiib dan Ibnu Maajisyuun dari kalangan
shahabat Maalik [Al-Ifshaah 1/247, Al-Inshaaf 3/287, Ar-Taudlun-Nadiy hal. 162, dan Al-
Fawaakihud-Dawaaniy 1/264 – melalui perantaraan At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-
Zakaah oleh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul, hal. 76; Daarul-Hijrah, Cet. Thn. 1415 H]. Di
antara ulama kontemporer yang merajihkan pendapat ini antara lain : Lajnah Daaimah6,
‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Aali Bassaam [Taisirul-‘Allaam Syarh ‘Umdatil-Ahkaam, 1/594;
Daar Ibnil-Haitsam, Thn. 1425 H], Muhammad ‘Umar Bazmuul [At-Tarjiih, hal. 77], ‘Abdullah bin
‘Abdil-‘Aziiz Al-‘Uqail7, dan yang lainnya.

2. Berpuasa afdlal.

Dalilnya utama mereka adalah firman Allah ta’ala :

‫ّﻉ‬‫ﻄﹶﻮ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﲔﹴ ﻓﹶﻤ‬‫ﻜ‬‫ﺴ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺔﹲ ﻃﹶﻌ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ ﻓ‬‫ﻪ‬‫ﻴﻘﹸﻮﻧ‬‫ﻄ‬‫ ﻳ‬‫ﻳﻦ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹶّﺬ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ّﺎﻡﹴ ﺃﹸﺧ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ّﺓﹲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹶﺮﹴ ﻓﹶﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺳ‬‫ ﻋ‬‫ﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ﺮﹺﻳﻀ‬‫ ﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻓﹶﻤ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ ﺇﹺﻥﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺧ‬‫ﻮﻣ‬‫ﺼ‬‫ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻮ‬‫ﺍ ﻓﹶﻬ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺧ‬

“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 184].

6
Baca : http://www.saudistudents.org/vb/showthread.php?t=2199
7
Baca : http://www.islamway.com/?fatwa_id=18531&iw_a=view&iw_s=Fatawa
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Sisi pendalilannya : Setelah menetapkan rukhshah berbuka bagi orang yang sakit atau dalam
perjalanan (safar), Allah ta’ala menutupnya dengan firman-Nya : ‘Dan berpuasa lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui’.

Ini adalah pendapat Anas bin Maalik8, Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash9, ‘Athaa’10,
Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar11, Sa’id bin Jubair12, Mujaahid13, dan yang lainnya. Pendapat ini

8
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
‫ ﻭﻣﻦ ﺻﺎﻡ‬، ‫ ﻣﻦ ﺃﻓﻄﺮ ﻓﱪﺧﺼﺔ ﺍﷲ‬: ‫ ﺃﻧﻪ ﺳﺌﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﻓﻘﺎﻝ‬: ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﻭﺃﺑﻮ ﺍﻟﺴﺎﺋﺐ ﻗﺎﻻ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ‬
‫ﻓﺎﻟﺼﻮﻡ ﺃﻓﻀﻞ‬
Telah menceritakan kepada kami Hanaad dan Abus-Saaib, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada
kami Abu Mu’aawiyyah, dari ‘Aashim, dari Anas : Bahwasannya ia pernah ditanya tentang puasa ketika safar, maka
ia menjawab : “Barangsiapa yang berbuka, maka ia melakukannya dengan rukhshah yang diberikan Allah. Dan
barangsiapa yang berpuasa, maka puasa itu lebih utama” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/466-467 no. 2874, tahqiq :
Ahmad Syaakir; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1420 H].
Sanad riwayat ini shahih.
9
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
‫ ﻭﺍﻟﺼﻮﻡ ﺃﻓﻀﻞ‬،‫ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺭﺧﺼﺔ‬:‫ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺍﻟﻌﺎﺹ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﻋﻦ ﺃﺷﻌﺚ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﳌﻠﻚ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺃﺳﺎﻣﺔ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻛﺮﻳﺐ ﻗﺎﻝ‬
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari
Asy’ats bin ‘Abdil-Malik, dari Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ia berkata : “Berbuka ketika safar itu
rukhshah, sedangkan puasa adalah afdlal” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/467 no. 2875].
Sanad riwayat ini shahih.
10
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
‫ﺧﺼﺔ‬‫ ﻭﺇﻥ ﺃﻓﻄﺮﰎ ﻓﺮ‬،‫ ﺇﻥ ﺻﻤﺘﻢ ﺃﺟﺰﺃ ﻋﻨﻜﻢ‬:‫ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﻋﻦ ﺑﺴﻄﺎﻡ ﺑﻦ ﻣﺴﻠﻢ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻭﻛﻴﻊ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﻗﺎﻝ‬.
Telah menceritakan kepada kami Hanaad : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Busthaam bin Muslim,
dari ‘Athaa’, ia berkata : “Apabila engkau berpuasa, engkau akan diberikan pahala. Dan jika engkau berbuka, maka
itu adalah rukhshah” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/468 no. 2877].
Sanad riwayat ini shahih.
11
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
‫ ﻭﺇﻥ ﺃﻓﻄﺮﰎ ﻓﺮﺧﺼﺔ‬،‫ ﺇﻥ ﺻﻤﺘﻢ ﺃﺟﺰﺃ ﻋﻨﻜﻢ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬،‫ ﺳﺄﻟﺖ ﺳﺎﱂ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬:‫ ﻋﻦ ﻛﻬﻤﺲ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻭﻛﻴﻊ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﻗﺎﻝ‬
Telah menceritakan kepada kami Hanaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Kahmas, ia
berkata : Aku pernah bertanya kepada Saalim bin ‘Abdillah tentang puasa ketika safar. Maka ia menjawab :
“Apabila engkau berpuasa, engkau akan diberikan pahala. Dan jika engkau berbuka, maka itu adalah rukhshah”
[Tafsiir Ath-Thabariy, 3/468 no. 2878].
Sanad riwayat ini shahih.
12
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
‫ ﺃﻓﻀﻞ‬‫ ﻭﺍﻟﺼﻮﻡ‬،‫ﺧﺼﺔ‬‫ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺭ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺟﺒﲑ‬،‫ ﻋﻦ ﲪﺎﺩ‬،‫ ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎﻥ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻭﻛﻴﻊ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﻗﺎﻝ‬.
Telah menceritakan kepada kami Hanaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari
Hammaad, dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Berbuka puasa ketika safar itu rukhshah, dan puasa adalah afdlal
(lebih utama)” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/468 no. 2880].
Sanad riwayat ini shahih.
13
Ath-Thabariy rahimahullah berkata :
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

dinisbatkan kepada pendapat jumhur dari kalangan Hanafiyyah, Maalikiyyah, dan Syaafi’iyyah
[Al-Ikhtiyaar 1/134, Fathul-Qadiir 2/351, Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin 2/117, Al-Kaafiy hal. 121, Al-
Fawaakihud-Dawaaniy 1/364, Bulghatus-Saalik 1/243, At-Tanbiih hal. 66, Raudlatuth-Thaalibiin
2/370, dan Al-Majmuu’ 6/265 – melalui perantaraan At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-
Zakaah hal. 77].

Pembahasan (Tarjih)

Apabila kita lihat beberapa nash yang menjelaskan berbukanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dan beberapa shahabat lain, maka dijelaskan ‘illat perbuatan tersebut. Di antaranya :

‫ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬:‫ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﻋﻦ ﻣﻮﺭﻕ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﻔﺺ ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﺍﻷﺣﻮﻝ‬.‫ﻭﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻛﺮﻳﺐ‬
‫ ﻭﻋﻤﻠﻮﺍ ﻭﺿﻌﻒ ﺍﻟﺼﻮﺍﻡ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ‬.‫ ﻓﺘﺤﺰﻡ ﺍﳌﻔﻄﺮﻭﻥ‬.‫ ﻓﺼﺎﻡ ﺑﻌﺾ ﻭﺃﻓﻄﺮ ﺑﻌﺾ‬.‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺳﻔﺮ‬
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﰲ ﺫﻟﻚ "ﺫﻫﺐ ﺍﳌﻔﻄﺮﻭﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺑﺎﻷﺟﺮ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫"ﺍﻟﻌﻤﻞ‬.

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : Telah menceritakan kepada kami Hafsh, dari
‘Aashim Al-Ahwal, dari Muwarriq, dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berada dalam satu safar. Lalu sebagian orang berpuasa,
dan sebagian lain berbuka. Orang-orang berbuka semangat dalam beramal, akan tetapi orang
yang berpuasa merasa lemah dalam sebagian amal. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda tentang hal itu : “Orang-orang yang berbuka pada hari ini pergi dengan membawa
pahala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1119].

:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﺣﺪﺛﲏ ﻗﺰﻋﺔ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻋﻦ ﺭﺑﻴﻌﺔ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﻣﻬﺪﻱ ﻋﻦ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺑﻦ ﺻﺎﱀ‬.‫ﺣﺪﺛﲏ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﺎﰎ‬
‫ ﺇﱐ ﻻ ﺃﺳﺄﻟﻚ ﻋﻤﺎ‬:‫ ﻗﻠﺖ‬،‫ ﻓﻠﻤﺎ ﺗﻔﺮﻕ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻪ‬.‫ﺃﺗﻴﺖ ﺃﺑﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﳋﺪﺭﻱ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻜﺜﻮﺭ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ ﺳﺎﻓﺮﻧﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﱃ ﻣﻜﺔ‬:‫ ﺳﺄﻟﺘﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ؟ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ﻳﺴﺄﻟﻚ ﻫﺆﻻﺀ ﻋﻨﻪ‬
‫ "ﺇﻧﻜﻢ ﻗﺪ ﺩﻧﻮﰎ ﻣﻦ ﻋﺪﻭﻛﻢ ﻭﺍﻟﻔﻄﺮ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬.‫ ﻓﱰﻟﻨﺎ ﻣﱰﻻ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ﻭﳓﻦ ﺻﻴﺎﻡ‬

‫ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ‬:‫ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﻗﺎﻝ‬:‫ﺎﻫﺪ‬ ‫ ﻗﻠﺖ‬:‫ﺍﻡ ﺑﻦ ﺣﻮﺷﺐ ﻗﺎﻝ‬‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﻌﻮ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺑﻦ ﺣﺒﻴﺐ ﻗﺎﻝ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﲪﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﺪﺓ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﻭﺃﻥ ﺗﺼﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﺣﺐ ﺇﱄﹼ‬،‫ﺧﺼﺔ‬‫ ﺇﳕﺎ ﻫﻲ ﺭ‬:‫ ﻓﺄﻳﻬﻤﺎ ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻴﻚ؟ ﻗﺎﻝ‬:‫ ﻗﻠﺖ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺼﻮﻡ ﻓﻴﻪ ﻭﻳﻔﻄﺮ‬.
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin
Habiib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Awwaam bin Hausyab, ia berkata : Aku pernah bertanya
kepada Mujaahid : “Apa pendapatmu tentang puasa ketika safar ?”. Ia menjawab : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah berpuasa dan berbuka ketika safar”. Aku berkata : “Lalu, yang manakah di antara keduanya yang
engkau sukai ?”. Ia menjawab : “Berbuka hanyalah merupakan rukhshah. Namun jika engkau berpuasa Ramadlaan,
maka lebih aku senangi” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/468 no. 2883].
Sanad riwayat ini hasan.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

.‫ "ﺇﻧﻜﻢ ﻣﺼﺒﺤﻮﺍ ﻋﺪﻭﻛﻢ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ ﰒ ﻧﺰﻟﻨﺎ ﻣﱰﻻ ﺁﺧﺮ‬.‫ ﻓﻤﻨﺎ ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﻭﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﺃﻓﻄﺮ‬."‫ ﻓﻜﺎﻧﺖ ﺭﺧﺼﺔ‬.‫ﺃﻗﻮﻯ ﻟﻜﻢ‬
‫ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬،‫ ﺭﺃﻳﺘﻨﺎ ﻧﺼﻮﻡ‬:‫ ﰒ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻓﺄﻓﻄﺮﻧﺎ‬."‫ ﻓﺄﻓﻄﺮﻭﺍ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻋﺰﻣﺔ‬،‫ﻭﺍﻟﻔﻄﺮ ﺃﻗﻮﻯ ﻟﻜﻢ‬
‫ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬،‫ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ‬.

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Haatim : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari Rabii’ah, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Qaza’ah, ia berkata : Aku pernah menemui Abu Sa’iid Al-Khudriy
radliyallaahu ‘anhu yang saat itu sedang dikerumuni banyak orang. Ketika orang-orang bubar,
aku berkata : “Sesungguhnya aku tidak bertanya kepadamu tentang apa yang telah ditanyakan
orang-orang tadi. Aku bertanya kepadamu tentang hukum puasa ketika safar ?”. Ia menjawab
: “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menuju Makkah
dalam keadaan berpuasa. Kami pun tiba di suatu tempat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : ‘Sesungguhnya jarak antara kalian dengan musuh kalian semakin dekat.
Berbuka puasa akan menjadikan kalian lebih kuat. Dan ia adalah sebuah keringanan”. Lalu, ada
di antara kami yang tetap berpuasa, ada pula yang berbuka. Kemudian kami tiba di satu tempat
yang lain. Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya besok pagi kalian akan bertemu dengan musuh
kalian, dan berbuka berpuasa itu akan menjadikan kalian lebih kuat. Maka berbukalah kalian,
dan ia adalah satu ketetapan’. Maka kami pun berbuka”. Kemudian Abu Sa’iid berkata : “Aku
melihat kami masih berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah itu pada
waktu safar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1120].

‫ ﻋﻦ ﺃﻡ‬،‫ ﻋﻦ ﺇﲰﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪﺍﷲ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻟﻌﺰﻳﺰ‬.‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺩﺍﻭﺩ ﺑﻦ ﺭﺷﻴﺪ‬
‫ ﺧﺮﺟﻨﺎ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﰲ‬:‫ﺍﻟﺪﺭﺩﺍﺀ ﻋﻦ ﺃﰊ ﺍﻟﺪﺭﺩﺍﺀ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ؛ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﺇﻻ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬،‫ ﻭﻣﺎ ﻓﻴﻨﺎ ﺻﺎﺋﻢ‬.‫ ﺣﱴ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻴﻀﻊ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺳﻪ ﻣﻦ ﺷﺪﺓ ﺍﳊﺮ‬.‫ﺣﺮ ﺷﺪﻳﺪ‬
‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﺭﻭﺍﺣﺔ‬.

Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Rasyiid : Telah menceritakan kepada kami Al-
Waliid bin Muslim, dari Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz, dari Ismaa’iil bin ‘Ubaidillah, dari Ummud-
Dardaa’, dari Abud-Dardaa’ radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Kami pernah keluar bersama
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlaan yang ketika itu hari sangat
panas/terik. Hingga salah seseorang harus meletakkan tangannya di atas kepalanya
dikarenakan panasnya hari itu. Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ‘Abdullah bin Rawaahah” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
1122].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‘Illat-nya adalah : Adanya kesulitan dan kelemahan bagi orang yang berpuasa sehingga lemah
pula untuk beramal. Oleh karena itu, dalam beberapa riwayat beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan para shahabat untuk berbuka. Inilah yang afdlal bagi mereka (dengan
adanya penetapan kebaikan dan pahala bagi yang berbuka).

Akan tetapi, jika mereka merasa kuat dan tidak merasa payah, tetap diperbolehkan untuk
berbuka sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Hamzah bin ‘Amru Al-
Aslamiy, dan juga perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri dalam hadits Abud-
Dardaa’ radliyallaahu ‘anhumaa di atas.

Perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sebagian shahabat yang tetap berpuasa
menunjukkan bahwa berpuasa saat safar tetap mempunyai keutamaan, yaitu jika mereka kuat
dan tidak lambat dalam beramal. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat adalah
orang-orang yang rakus akan kebaikan. Seandainya berpuasa ketika safar sama sekali tidak ada
kebaikan di dalamnya (atau bahkan perbuatan maksiat), niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan sebagian shahabat beliau tidak akan melakukannya.

Keadaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berpuasa sebelum berbuka atau
memerintahkan para shahabat untuk berbuka ketika safar, menguatkan makna ini.

Ringkas kata, barangsiapa yang mendapati kekuatan/kemampuan pada dirinya sehingga puasa
tidak memberatkan dirinya, maka berpuasa itu afdlal baginya. Dan barangsiapa yang mendapati
kelemahan pada dirinya, maka berbuka itu afdlal baginya. Makruh baginya untuk berpuasa.
Inilah yang raajih, insya Allah.

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻧﺼﺮ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﺯﺭﻳﻊ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺍﳉﺮﻳﺮﻱ ﻭﺃﺧﱪﻧﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺑﻦ ﻭﻛﻴﻊ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻷﻋﻠﻰ ﻋﻦ‬
‫ ﻛﻨﺎ ﻧﺴﺎﻓﺮ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻤﻨﺎ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ‬:‫ﺍﳉﺮﻳﺮﻱ ﻋﻦ ﺃﰊ ﻧﻀﺮﺓ ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﳋﺪﺭﻱ ﻗﺎﻝ‬
،‫ ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺮﻭﻥ ﺃﻧﻪ ﻣﻦ ﻭﺟﺪ ﻗﻮﺓ ﻓﺼﺎﻡ ﻓﺤﺴﻦ‬،‫ﻭﻣﻨﺎ ﺍﳌﻔﻄﺮ ﻓﻼ ﳚﺪ ﺍﳌﻔﻄﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻭﻻ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻔﻄﺮ‬
‫"ﻭﻣﻦ ﻭﺟﺪ ﺿﻌﻔﺎ ﻓﺄﻓﻄﺮ ﻓﺤﺴﻦ‬

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy 14 : Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid
bin Zurai’15 : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Jurairiy16. Dan telah mengkhabarkan kepada

14
Nashr bin ‘Aliy bin Nashr bin ‘Aliy bin Shahbaan bin Abil-Azdiy Al-Jahdlamiy, Abu ‘Amru Al-Bashriy; seorang yang
tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-10, wafat tahun 250 H di Bashrah. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 1000 no. 7170].
15
Yaziid bin Zurai’ Al-‘Aisyiy, Abu Mu’aawiyyah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-
8, wafat tahun 182 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah
[idem, hal. 1074 no. 7764].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

kami Sufyaan bin Wakii’17: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-A’laa18, dari Al-Jurairiy,
dari Abu Nadlrah19, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : “Kami pernah bersafar bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ada di antara kami yang tetap berpuasa, ada pula
yang berbuka. Orang yang berbuka tidaklah marah kepada orang yang berpuasa, begitu juga
sebaliknya, orang yang berpuasa kepada orang yang berbuka. Dan mereka (para shahabat)
berpendapat bahwa barangsiapa mempunyai kemampuan, maka berpuasa lebih baik baginya.
Dan barangsiapa yang merasa lemah, maka berbuka lebih baik baginya” [Diriwayatkan oleh At-
Tirmidziy no. 713, dan ia berkata : “Hasan shahih”. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih
Sunan At-Tirmidziy, 1/382; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420 H].

‫ﻤﺎ ﻛﺎﻧﺎ ﻋﻨﺪ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ‬‫ ﺃ‬:‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺮﻭﺓ ﻭﺳﺎﱂ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﻳﻮﺏ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﻗﺎﻝ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺑﺸﺎﺭ‬
.‫ﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬‫ ﻛﺎﻥ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻻ ﻳﺼ‬:‫ ﻗﺎﻝ ﺳﺎﱂ‬،‫ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬‫ ﻓﺘﺬﺍﻛﺮﻭﺍ ﺍﻟﺼﻮﻡ‬،‫ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺪﻳﻨﺔ‬‫ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺇﺫ ﻫﻮ ﺃﻣﲑ‬
.‫ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ‬‫ ﺇﳕﺎ ﺃﺧﺬﺕ‬:‫ ﻭﻗﺎﻝ ﻋﺮﻭﺓ‬.‫ ﺇﳕﺎ ﺃﺧﺬﺕ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺳﺎﱂ‬.‫ ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺗﺼﻮﻡ‬.‫ﻭﻗﺎﻝ ﻋﺮﻭﺓ‬
‫ﺍ‬‫ﺴﺮ‬‫ ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻋ‬،‫ﺍ ﻓﺼﻮﻣﻮﺍ‬‫ﺴﺮ‬‫!ﺍ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻳ‬‫ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻋﻔﻮ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ‬.‫ﻤﺎ‬‫ﺣﱴ ﺍﺭﺗﻔﻌﺖ ﺃﺻﻮﺍ‬
‫ﻓﺄﻓﻄﺮﻭﺍ‬.

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-Wahhaab, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Urwah dan Saalim : Bahwasannya keduanya pernah berada di sisi
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz ketika ia menjadi gubernur di Madiinah. Mereka berdiskusi tentang
hukum puasa ketika safar. Saalim berkata : “Ibnu ‘Umar tidak berpuasa ketika safar”. ‘Urwah
berkata : “Akan tetapi, ‘Aaisyah berpuasa (ketika safar)”. Saalim berkata : “Aku hanya akan

16
Sa’iid bin Iyaas Al-Jurairiy, Abu Mas’uud Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, namun mengalami ikhtilaath tiga tahun
sebelum wafatnya. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 144 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 374 no. 2286].
Dan di sini, Yaziid bin Zurai’ termasuk perawi yang mendengar haditsnya sebelum masa ikhtilaath, sebagaimana
dikatakan Al-Abnaasiy [lihat : Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy (bersama komentar muhaqqiq-nya), hal. 37-38 no.
16, tahqiq : Raf’at bin Fauziy & ‘Aliy bin ‘Abdil-Baasith; Maktabah Al-Khaanijiy, Kairo].
17
Sufyaan bin Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Al-Kuufiy; seorang yang lemah [Natsnun-Nabaal, hal. 598
no. 1304] – namun riwayatnya dapat digunakan sebagai i’tibar sebagaimana yang diterapkan oleh Al-Albaaniy
dalam Ash-Shahiihah 5/90.
18
‘Abdul-A’laa bin ‘Abdil-A’laa bin bin Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-8, wafat
tahun 189 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem,
hal. 562 no. 3758].
19
Namanya, Al-Mundzir bin Maalik bin Qath’ah, Abu Nadlrah Al-‘Abdiy Al-‘Aufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk
thabaqah ke-3, wafat tahun 108/109 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam riwayat mu’allaq, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, 971 hal. no. 6938]
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

mengambil pendapat Ibnu ‘Umar”. ‘Urwah berkata : “Adapun aku, hanya akan mengambil
pendapat ‘Aaisyah”. Hingga suara keduanya meninggi (karena pertengkaran tersebut). Lalu
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz berkata : “Ya Allah, berilah maaf. Apabila merasa mudah, berpuasalah.
Namun bila merasa susah/payah, maka berbukalah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam
Tafsir-nya, 3/465 no. 2869; shahih].

Pendapat inilah yang dipilih oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, dan ‘Abdullah bin Al-
Mubaarak sebagaimana disebutkan oleh At-Tirmidziy rahimahumullah.20 Pendapat inilah yang
dipilih oleh Ibnu ‘Utsaimin21, Ibnul-Jibriin22, Mushthafaa Al-‘Adawiy23, dan yang lainnya.

Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan : Mana saja yang mudah baginya
untuk melakukanya, maka itulah yang afdlal. 24

Allah ta’ala berfirman :

‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ ﺑﹺﻜﹸﻢ‬‫ﺮﹺﻳﺪ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ ﺑﹺﻜﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺮﹺﻳﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ّﺎﻡﹴ ﺃﹸﺧ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ّﺓﹲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﻔﹶﺮﹴ ﻓﹶﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺳ‬‫ ﻋ‬‫ﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ﺮﹺﻳﻀ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [QS. Al-Baqarah : 185].

20
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
‫ ﺣﱴ‬،‫ ﻓﺮﺃﻯ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻏﲑﻫﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﺃﻓﻀﻞ‬،‫ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﰲ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬
‫ ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ ﺃﲪﺪ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬.‫ﺭﺃﻯ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻹﻋﺎﺩﺓ ﺇﺫﺍ ﺻﺎﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬.
‫ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ‬،‫ ﻭﺇﻥ ﺃﻓﻄﺮ ﻓﺤﺴﻦ‬،‫ ﺇﻥ ﻭﺟﺪ ﻗﻮﺓ ﻓﺼﺎﻡ ﻓﺤﺴﻦ ﻭﻫﻮ ﺃﻓﻀﻞ‬:‫ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻏﲑﻫﻢ‬
‫ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻭﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﳌﺒﺎﺭﻙ‬.
“Para ulama berbeda pendapat tentang puasa ketika safar. Sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya berpendapat bahwa berbuka ketika safar lebih utama, hingga
sebagian dari mereka mengulangi (menqadla’)-nya apabila terlanjur berpuasa ketika safar. Ahmad dan Ishaaq
memilih pendapat untuk berbuka ketika safar.
Dan sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya berpendapat :
Seandainya ia mendapatkan kekuatan lalu ia berpuasa, maka itu baik dan afdlal (lebih utama). Namun seandainya
ia berbuka, itu pun baik. Ini adalah pendapat Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, dan ‘Abdullah bin Al-Mubaarak”
[Shahih Sunan At-Tirmidziy, 1/380-381].
21
Baca : http://www.ibnothaimeen.com/all/books/article_16605.shtml.
22
Baca : http://www.islamway.com/?iw_s=Fatawa&iw_a=view&fatwa_id=29691
23
Baca : http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=125629
24
Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menyatakan pendapat ini dalam Silsilah Ash-Shahiihah, 6/898-899 no. 2884.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ ﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﲝﺮ‬: ‫ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﻠﻲ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺍﺑﻦ ﻓﻀﺎﻟﺔ ﺑﻦ ﻏﻴﻼﻥ ﺑﻦ ﺍﳊﺴﲔ ﺍﻟﺴﻮﺳﻲ ﺍﳊﻤﺼﻲ ﺍﻟﺼﻔﺎﺭ‬
‫ ﺃﻥ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﺣﺪﺛﻪ ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ‬: ‫ ﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﳍﻴﻌﺔ ﻋﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺣﺒﻴﺐ‬: ‫ ﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﻭﻫﺐ‬: ‫ﺍﺑﻦ ﻧﺼﺮ‬
‫ ﺃﻱ‬: ‫ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ ﺃﻧﻪ ﺳﺄﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺻﻴﺎﻡ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ؟‬: ‫ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﻋﻦ ﲪﺰﺓ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ‬
‫ ﻳﻌﲏ ﺇﻓﻄﺎﺭ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻭ ﺻﻴﺎﻣﻪ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ‬.‫ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻴﻚ ﺃﻳﺴﺮ ﻓﺎﻓﻌﻞ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Ahmad bin Muhammad bin Fudlaalah bin
Ghailaan bin Al-Husain As-Suusiy Al-Himshiy Ash-Shaffaar : Telah menceritakan kepada kami
Abu ‘Abdillah Bahr bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Yaziid bin Abi Habiib : Bahwasannya ‘Imraan bin
Anas telah menceritakan kepadanya, dari Abu Salamah bin ‘Abdirahmaan, dari Hamzah bin
‘Amru : Bahwasannya ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tentang puasa ketika safar ?. Maka beliau menjawab : “Mana saja yang paling mudah bagimu,
lakukanlah” – yaitu berbuka atau berpuasa di bulan Ramadlaan ketika safar [Diriwayatkan oleh
Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid (Ar-Raudlul-Bassaam) 2/180-181 no. 571; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah 6/898-899 no. 2884, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1416
H].

Karena….., pendapat sebelumnya juga terbangun di atas prinsip kemudahan bagi orang yang
berpuasa.

Lantas, apa jawaban atas dalil-dalil yang diutarakan oleh pendapat pertama di atas ?

Jawab :

1. Pengutamaan pengambilan rukhshah.

Dalam beberapa riwayat dijelaskan tentang ‘illat keutamaan/kewajiban mengambil


rukhshah berbuka ketika safar :

‫ﺃﺧﱪﱐ ﺷﻌﻴﺐ ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﺑﻦ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺷﻌﻴﺐ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ‬
:‫ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﲏ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻛﺜﲑ ﻗﺎﻝ ﺃﺧﱪﱐ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﻗﺎﻝ ﺃﺧﱪﱐ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ‬
‫ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﺮ ﺑﺮﺟﻞ ﰲ ﻇﻞ ﺷﺠﺮﺓ ﻳﺮﺵ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﳌﺎﺀ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﺑﺎﻝ ﺻﺎﺣﺒﻜﻢ ﻫﺬﺍ‬
‫ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﺎﺋﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺍﻟﱪ ﺃﻥ ﺗﺼﻮﻣﻮﺍ ﰲ ﺍﻟﺴﻔﺮ ﻭﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺮﺧﺼﺔ ﺍﷲ ﺍﻟﱵ ﺭﺧﺺ‬
‫ﻟﻜﻢ ﻓﺎﻗﺒﻠﻮﻫﺎ‬.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Telah mengkhabarkan kepadaku Syu’aib bin Ishaaq25, ia berkata : Telah menceritakan


kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin Sa’iid26, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Syu’aib27, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Auza’iy28, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Yahyaa bin Abi Katsiir29, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepadaku Muhammad bin ‘Abdirrahmaan30, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepadaku Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melewati seorang laki-laki yang berada di bawah naungan pohon yang dirinya disiram
air. Beliau bersabda : “Ada apa dengan shahabat kalian ini ?”. Mereka menjawab :
“Wahai Rasulullah, ia sedang berpuasa”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya tidak ada
kebaikan kalian berpuasa ketika safar. Wajib atas kalian mengambil rukhshah yang telah
Allah berikan kepada kalian. Terimalah ia” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 2258;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan An-Nasa’iy 2/130, Maktabah Al-
Ma’aarif, Cet. 1/1419 H].

Yaitu, adanya kepayahan dari orang yang bersangkutan.

Adapun sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “barangsiapa yang senang


untuk berpuasa, maka tidak ada dosa baginya” – bagi yang berpuasa ketika safar, maka
tidak selalu menunjukkan bahwa hal itu berkonsekuensi berpuasa mempunyai
kedudukan lebih rendah dari lawannya (tidak berpuasa). Perbuatan yang dinafikkan
adanya dosa padanya kadangkala merupakan perbuatan yang disyari’atkan dan

25
Syu’aib bin Syu’aib bin Ishaaq bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdillah bin Raasyid Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu
Muhammad Ad-Dimasyqiy. Ibnu Hajar mengatakan ia seorang yang shaduuq. Akan tetapi yang raajih – walaahu
a’lam - , ia seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan Adz-dzahabiy. Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 264
H. Dipakai oleh An-Nasaaa’iy dalam Sunan-nya [lihat : Tahriirut-Taqriib, 2/117 no. 2802].
26
‘Abdul-Wahhaab bin Sa’iid bin ‘Athiyyah As-Sulamiy, Abu Muhammad Ad-Dimasyqiy; seorang yang shaduuq.
Termasuk thabaqah ke-10. Dipakai oleh An-Nasaaa’iy dan Ibnu Maajah dalam Sunan-nya [idem, hal. 632 no. 4284].
27
Syu’aib bin Ishaaq bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Abdillah bin Raasyid Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abu Muhammad Ad-
Dimasyqiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 189 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 436 no. 2808].
28
‘Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy, Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy; seorang imam, tsiqah, jaliil, dan
faqiih. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 157 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 593 no. 3992].
29
Yahyaa bin Abi Katsiir Ath-Thaa’iy, Abu Nashr Al-Yamaamiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun melakukan
tadlis dan irsaal. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 132 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-
Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 1065 no. 7682].
Ibnu Hajar memasukkannya dalam tingkatan kedua dalam Thabaqaat Al-Mudallisiin (no. 63).
30
Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Tsaubaan Al-Qurasyiy Al-‘Aamiriy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang
tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [idem, hal. 869 no. 6108].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

mempunyai keutamaan, bahkan merupakan bagian dari satu kewajiban. Hanya saja
datangnya nash tentang dicabutnya dosa ini untuk menghilangkan kesalahpahaman
atau dugaan orang yang menganggapnya satu dosa jika melakukannya. Contoh yang
cukup baik dalam perkara ini adalah satu riwayat yang dibawakan oleh Az-Zuhriy, dari
‘Urwah, ia berkata :

‫ }ﺇﻥ ﺍﻟﺼﻔﺎ ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ ﻣﻦ ﺷﻌﺎﺋﺮ ﺍﷲ ﻓﻤﻦ‬:‫ ﺃﺭﺃﻳﺖ ﻗﻮﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬:‫ ﻓﻘﻠﺖ ﳍﺎ‬،‫ﺳﺄﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ‬
‫ ﻓﻮﺍﷲ ﻣﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﺪ ﺟﻨﺎﺡ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻄﻮﻑ ﺑﺎﻟﺼﻔﺎ‬.{‫ﻤﺎ‬ ‫ﺣﺞ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺃﻭ ﺍﻋﺘﻤﺮ ﻓﻼ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﻄﻮﻑ‬
‫ ﻻ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻪ‬:‫ ﻛﺎﻧﺖ‬،‫ ﺇﻥ ﻫﺬﻩ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﻛﻤﺎ ﺃﻭﻟﺘﻬﺎ ﻋﻠﻴﻪ‬،‫ ﺑﺌﺲ ﻣﺎ ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺍﺑﻦ ﺃﺧﱵ‬:‫ ﻗﺎﻟﺖ‬،‫ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ‬
‫ ﺍﻟﱵ ﻛﺎﻧﻮﺍ‬،‫ ﻳﻬﻠﻮﻥ ﳌﻨﺎﺓ ﺍﻟﻄﺎﻏﻴﺔ‬،‫ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺴﻠﻤﻮﺍ‬،‫ ﻭﻟﻜﻨﻬﺎ ﺃﻧﺰﻟﺖ ﰲ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ‬،‫ﻤﺎ‬ ‫ﺃﻥ ﻻ ﻳﺘﻄﻮﻑ‬
‫ ﺳﺄﻟﻮﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬،‫ ﻓﻠﻤﺎ ﺃﺳﻠﻤﻮﺍ‬،‫ ﻓﻜﺎﻥ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﻳﺘﺤﺮﺝ ﺃﻥ ﻳﻄﻮﻑ ﺑﺎﻟﺼﻔﺎ ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ‬،‫ﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﳌﺸﻠﻞ‬‫ﻳﻌﺒﺪﻭ‬
،‫ ﺇﻧﺎ ﻛﻨﺎ ﻧﺘﺤﺮﺝ ﺃﻥ ﻧﻄﻮﻑ ﺑﲔ ﺍﻟﺼﻔﺎ ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ‬،‫ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬:‫ ﻗﺎﻟﻮﺍ‬،‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ‬
‫ ﺍﻵﻳﺔ‬.{‫ }ﺇﻥ ﺍﻟﺼﻔﺎ ﻭﺍﳌﺮﻭﺓ ﻣﻦ ﺷﻌﺎﺋﺮ ﺍﷲ‬:‫ﻓﺄﻧﺰﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬.

‫ ﻓﻠﻴﺲ ﻷﺣﺪ‬،‫ ﻭﻗﺪ ﺳﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ‬:‫ﻗﺎﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ‬
‫ﺃﻥ ﻳﺘﺮﻙ ﺍﻟﻄﻮﺍﻑ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ‬.

Aku bertanya kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, maka aku katakan kepadanya : “Apa
pendapatmu mengenai firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah
sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-
‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya’ (QS. Al-Baqarah
: 158). Maka demi Allah, tidak ada dosa pula bagi seorang pun untuk tidak melakukan
thawaf antara Shafa dan Marwah”. ‘Aisyah berkata : “Sungguh jelek apa yang engkau
katakan wahai anak saudariku. Sesungguhnya ayat tersebut jika pengertiannya seperti
yang engkau ta’wil-kan, tentu itu akan berkonsekuensi : tidak ada dosa untuk tidak
melakukan thawaf antara keduanya. Akan tetapi ayat tersebut turun berkenaan dengan
orang-orang Anshar ketika dahulu mereka sebelum masuk Islam, mereka berteriak
sambil ber-talbiyah kepada berhala Manaat yang dulu mereka sembah di daerah
Musyallal; sehingga orang yang ber-ihram merasa berdosa melakukan thawaf (sa’i)
antara Shafa dan Marwah. Dan ketika mereka telah masuk Islam, mereka bertanya
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal tersebut. Mereka berkata :
‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa jika melakukanthawaf di Shafa
dan Marwah’. Maka Allah menurunkan ayat : ‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-
‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya’ (QS. Al-Baqarah
: 158)”.

‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : “Dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa


sallam telah men-sunnah-kan thawaf (sa’i) di antara keduanya. Maka tidak boleh bagi
seorang pun untuk meninggalkan thawaf di antara keduanya” [Diriwayatkan oleh Al-
Bukhaariy no. 1643, Ahmad 6/144, Al-Humaidiy no. 219, Muslim no. 1277, At-Tirmidzi
no. 2965, dan yang lainnya].

Jika demikian, maka sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

‫ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﻳﺼﻮﻡ ﻓﻼ ﺟﻨﺎﺡ ﻋﻠﻴﻪ‬

“Dan barangsiapa yang senang untuk berpuasa, ”.

bukan bermakna tarjih untuk berbuka atas yang berpuasa. Namun maknanya
pencabutan dosa atas kekhawatiran adanya anggapan sebagian orang bahwa berpuasa
ketika safar adalah dilarang/berdosa.

Maka, meskipun hadits Hamzah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhu menegaskan adanya
kebaikan bagi orang yang berbuka, bukan berarti orang yang berpuasa tidak ada
kebaikan. Dua-duanya mempunyai kebaikan. Dan kebaikan itu tergantung pada keadaan
diri masing-masing yang menjalankannya. Jika mampu berpuasa dan ia merasa ringan
untuk mengerjakannya, maka berpuasa itu afdlal (lebih utama) dibandingkan berbuka.
Jika sebaliknya, maka berbuka afdlal dibandingkan berpuasa.

2. Tidak ada kebaikan berpuasa ketika safar.

Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini diucapkan ketika melihat orang yang
kepayahan ketika berpuasa sehingga memudlaratkannya.

3. Orang yang berpuasa ketika safar termasuk orang yang durhaka.

Hadits ini disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak berangkat dalam
peperangan pembebasan negeri Makkah. Kemungkinan, sabda beliau ini diucapkan
pada kali kedua setelah jarak jarak musuh semakin dekat untuk mempersiapkan fisik
para pasukan (lihat dalam hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy dalam Shahih Muslim no. 1120 di
atas).

Ini saja yang dapat dituliskan. Kurang dan lebihnya mohon dimaafkan.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – semoga ada manfaatnya – artikel ini merupakan kelanjutan penjabaran artikel :
Mana Yang Afdlal (Lebih Utama) Yang Dilakukan Ketika Safar : Puasa Atau Berbuka ? - Revised].

Comments

Anonim mengatakan...

Saya tinggal di Jakarta, kalau ke Surabaya atau ke Bali termasuk safar tidak ? perjalanan dapat
ditempuh dalam beberapa jam saja , tidak panas dan melelahkan .

Afdal berpuasa atau berbuka , termasuk sholatnya perlu di jama' tidak .

3 Agustus 2011 13:18

Abu Furqon mengatakan...

Assalamu'alaikum warohmatulloh. Alhamdulillah, bagus ulasannya Pak Ustadz (seperti


biasanya) Jazaakallohu khoir. Kalau bisa, tolong diulas juga masalah sholat tarawih, khususnya
tentang pelaksanaan sholat tarawih 2 kali (11 rokaat sebelum tidur, kemudian sholat malam
lagi setelah tidur/ sebelum sahur; witirnya bagaimana seharusnya menurut pendapat yang lebih
kuat?

Wassalam,

Abu Furqon

4 Agustus 2011 01:09

Abu Zaid mengatakan...

Barokallohu fiik, artikel yang bermanfaat.

Jazaakallohu khoir,

Abu Zaid (Cimahpar, Bogor)

4 Agustus 2011 10:28

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim,... termasuk safar. Jika antum tidak merasa berat untuk menjalankan ibadah puasa,
afdlal puasa. Adapun masalah shalat, sebaiknya tetap dilakukan sesuai dengan waktunya
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

(karena itu sangat memungkinkan untuk antum lakukan), sesuai dengan keumuman firman
Allah ta'ala :

‫ﺎ‬‫ﻗﹸﻮﺗ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺎﺑ‬‫ﺘ‬‫ ﻛ‬‫ﻨﹺﲔ‬‫ﻣ‬‫ﺆ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ّﻼﺓﹶ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﺇﹺﻥﹶّ ﺍﻟﺼ‬

"Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman" [QS. An-Nisaa' : 103].

****

@Abu Furqon,... wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakatuh. Semoga ada


kesempatan untuk membahasnya...

****

@Abu Zaid,... bumi di Cimahpar ? abdi di Ciomas...

4 Agustus 2011 12:54

Anonim mengatakan...

Pak ustad , masih masalah sholat dalam safar .

Dalam praktek para ustad yang pernah saya ikuti daurahnya , mereka yang dari luar kota
biasanya menjamak sholat dhuhur dan ashar sekalian di qosor di waktu dhuhur tersebut.

Hal ini pernah saya tanyakan dan mereka ( lebih dari seorang ustad ) mengatakan bahwa
afdolnya di jama' qosor karena itu shodaqoh atau kemudahan dari Allah , dan Allah menyukai
kalau keringanannya di terima hamba-Nya.

Sedangkan ayat yang menyatakan demikian kalau nggak salah berhubungan dengan
keamanan dalam menghadapi orang kafir , mohon maaf kalau salah.

Saya suka bigung menghadapi masalah seperti ini , dan kalau tidak keberatan bisa dibahas
yang lebih mendalam fiqh-nya .

5 Agustus 2011 10:26


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

13. Apakah Qunut Witir Hanya Dilakukan pada Setengah


Kedua Bulan Ramadlan ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Berikut ringkasannya seperti yang dikatakan
oleh At-Tirmidziy rahimahullah :

‫ ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ‬،‫ ﻓﺮﺃﻯ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﰲ ﺍﻟﻮﺗﺮ ﰲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻛﻠﻬﺎ‬،‫ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﰲ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﰲ ﺍﻟﻮﺗﺮ‬
‫ ﻭﺑﻪ ﻳﻘﻮﻝ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﳌﺒﺎﺭﻙ ﻭﺇﺳﺤﻖ ﻭﺃﻫﻞ‬.‫ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ‬.‫ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ‬
‫ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻨﺖ ﺑﻌﺪ‬،‫ ﻭﻗﺪ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻃﺎﻟﺐ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﺇﻻ ﰲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻵﺧﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬.‫ﺍﻟﻜﻮﻓﺔ‬
‫ ﻭﺑﻪ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﲪﺪ‬.‫ ﻭﻗﺪ ﺫﻫﺐ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺇﱃ ﻫﺬﺍ‬.‫ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ‬.

“Para ulama berbeda pendapat tentang qunut yang dilakukan pada shalat witir. ‘Abdullah bin
Mas’uud berpendapat bahwa qunut pada shalat witir sepanjang tahun, dan ia memilih qunut
tersebut dilakukan sebelum rukuk. Itu merupakan pendapat sebagian ulama. Itulah pendapat
yang dipegang oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, Ishaaq, dan penduduk Kuufah. Dan
telah diriwayatkan dari ‘Aliy bin Abi Thaalib bahwasannya ia tidak melakukan qunut kecuali
pada setengah akhir bulan Rmadlaan, yang dilakukan setelah rukuk. Sebagian ulama
berpendapat dengan ini. Inilah pendapat yang dipegang oleh Asy-Syaafi’iy dan Ahmad” [Sunan
At-Tirmidziy, 1/479-480].

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata :

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﺇﻻ ﰲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻳﻌﲏ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬

Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah, dari Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar :
Bahwasannya ia tidak melakukan qunut kecuali pada setengah bulan Ramadlaan [Al-
Mushannaf, 2/304].

Sanad riwayat ini shahih.

‫ﻢ ﺍﻟﻨﺼﻒ‬ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﺸﺮ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﻩ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﺃﻥ ﺃﺑﻴﺎ ﺃﻡ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﰲ ﺧﻼﻓﻪ ﻋﻤﺮ ﻓﺼﻠﻰ‬
‫ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻻ ﻳﻘﻨﺖ ﻓﻠﻤﺎ ﻣﻀﻰ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻗﻨﺖ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ‬....
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Sa’iid (bin Abi ‘Aruubah), dari Qataadah, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) : Bahwasannya Ubay
pernah mengimami manusia di jaman kekhilafahan ‘Umar. Ia shalat bersama mereka setengah
bulan Ramadlan tanpa melakukan qunut. Ketika lewat setengah (pertama) bulan Ramadlaan, ia
melakukan qunut setelah rukuk….” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/304].

Qataadah mempunyai mutaba’ah dari Yuunus bin ‘Ubaid sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Daawud no. 1429. Sanad riwayat ini lemah karena adanya keterputusan antara Al-Hasan
dengan ‘Umar.

‫ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ‬‫ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺃﻥ ﺃﰊ‬،‫ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻫﺸﺎﻡ‬،‫ ﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﻜﺮ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ‬
‫ّﻬﻢ ﻳﻌﲏ ﰲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻨﺖ ﰲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻵﺧﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬‫ﺃﻣ‬.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Hanbal : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Bakr : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam, dari
Muhammad, dari sebagian shahabatnya : Bahwasannya Ubay bin Ka’b mengimami mereka
pada bulan Ramadlan, dan ia melakukan qunut pada pertengahan akhir bulan Ramadlaan
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1428].

Sanad ini lemah, karena mubham-nya syaikh dari Muhammad (bin Siiriin).

‫ﻧﺎ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺍﳌﺮﺍﺩﻱ ﻧﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻭﻫﺐ ﺃﺧﱪﱐ ﻳﻮﻧﺲ ﻋﻦ ﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﺃﺧﱪﱐ ﻋﺮﻭﺓ ﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﲑ ﺃﻥ ﻋﺒﺪ‬
‫ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ ﻭﻛﺎﻥ ﰲ ﻋﻬﺪ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﻣﻊ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﻷﺭﻗﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻴﺖ ﺍﳌﺎﻝ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺧﺮﺝ‬
‫ﻟﻴﻠﺔ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﺨﺮﺝ ﻣﻌﻪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ ﻓﻄﺎﻑ ﺑﺎﳌﺴﺠﺪ ﻭﺃﻫﻞ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﺃﻭﺯﺍﻉ ﻣﺘﻔﺮﻗﻮﻥ ﻳﺼﻠﻲ‬
‫ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻭﻳﺼﻠﻲ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﻴﺼﻠﻲ ﺑﺼﻼﺗﻪ ﺍﻟﺮﻫﻂ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﻭﺍﷲ ﺇﱐ ﺃﻇﻦ ﻟﻮ ﲨﻌﻨﺎ ﻫﺆﻻﺀ ﻋﻠﻰ ﻗﺎﺭﺉ ﻭﺍﺣﺪ‬
‫ﻟﻜﺎﻥ ﺃﻣﺜﻞ ﰒ ﻋﺰﻡ ﻋﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻭﺃﻣﺮ ﺃﰊ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻡ ﳍﻢ ﰲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﺨﺮﺝ ﻋﻤﺮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﺍﻟﻨﺎﺱ‬
‫ﻳﺼﻠﻮﻥ ﺑﺼﻼﺓ ﻗﺎﺭﺋﻬﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﻧﻌﻢ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﻫﻲ ﻭﺍﻟﱵ ﺗﻨﺎﻣﻮﻥ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﱵ ﺗﻘﻮﻣﻮﻥ ﻳﺮﻳﺪ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﻠﻴﻞ‬
‫ﻓﻜﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﺃﻭﻟﻪ ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻠﻌﻨﻮﻥ ﺍﻟﻜﻔﺮﺓ ﰲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻗﺎﺗﻞ ﺍﻟﻜﻔﺮﺓ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺼﺪﻭﻥ ﻋﻦ ﺳﺒﻴﻠﻚ‬
‫ﻢ ﺍﻟﺮﻋﺐ ﻭﺃﻟﻖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺭﺟﺰﻙ ﻭﻋﺬﺍﺑﻚ‬‫ﻭﻳﻜﺬﺑﻮﻥ ﺭﺳﻠﻚ ﻭﻻ ﻳﺆﻣﻨﻮﻥ ﺑﻮﻋﺪﻙ ﻭﺧﺎﻟﻒ ﺑﲔ ﻛﻠﻤﺘﻬﻢ ﻭﺃﻟﻖ ﰲ ﻗﻠﻮ‬
‫ﺇﻟﻪ ﺍﳊﻖ ﰒ ﻳﺼﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻳﺪﻋﻮ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﲔ ﲟﺎ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﻣﻦ ﺧﲑ ﰒ ﻳﺴﺘﻐﻔﺮ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﲔ‬
‫ﻗﺎﻝ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺇﺫﺍ ﻓﺮﻍ ﻣﻦ ﻟﻌﻨﺔ ﺍﻟﻜﻔﺮﺓ ﻭﺻﻼﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﱯ ﻭﺍﺳﺘﻐﻔﺎﺭﻩ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﲔ ﻭﺍﳌﺆﻣﻨﺎﺕ ﻭﻣﺴﺄﻟﺘﻪ ﺍﻟﻠﻬﻢ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺇﻳﺎﻙ ﻧﻌﺒﺪ ﻭﻟﻚ ﻧﺼﻠﻲ ﻭﻧﺴﺠﺪ ﻭﺇﻟﻴﻚ ﻧﺴﻌﻰ ﻭﳓﻔﺪ ﻭﻧﺮﺟﻮ ﺭﲪﺘﻚ ﺭﺑﻨﺎ ﻭﳔﺎﻑ ﻋﺬﺍﺑﻚ ﺍﳉﺪ ﺍﻥ ﻋﺬﺍﺑﻚ ﳌﻦ‬
‫ﻋﺎﺩﻳﺖ ﻣﻠﺤﻖ ﰒ ﻳﻜﱪ ﻭﻳﻬﻮﻯ ﺳﺎﺟﺪﺍ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaimaan Al-Muraadiy : Telah mengkhabarkan
kepada kami ‘Abdullah bin Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus, dari Ibnu Syihaab :
Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya ‘Abdurrahmaan bin
‘Abdil-Qaariy – dimana ia bersama ‘Abdullah bin Al-Arqam pada jaman kekhalifahan ‘Umar bin
Al-Khaththaab dipercaya mengurus Baitul-Maal -, berkata : Bahwasannya ‘Umar pernah keluar
bersama ‘Abdurrahmaan bin ‘Abdil-Qaariy pada suatu malam pada bulan Ramadlaan. Lalu
mereka berkeliling masjid dan mendapatkan orang-orang di mesjid terbagi-bagi lagi tidak
bersatu, seseorang shalat sendiri dan yang lainnya mengimami shalat sejumlah orang. Maka
‘Umar berkata : “Demi Allah, aku berpendapat seandainya kita kumpulkan mereka pada satu
imam saja tentunya akan lebih baik”. Kemudian ‘Umar bertekad untuk itu dan memerintahkan
Ubay bin Ka’b untuk mengimami shalat malam mereka di bulan Ramadlan. Lalu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhu keluar menemui mereka lagi dalam keadaan orang-orang shalat di belakang
satu imam, sehingga ‘Umar berkata : “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini dan yang tidur (tidak
ikut) lebih utama dari yang ikut shalat – ia memaksudkan bahwa (yang shalat) di akhir malam
(lebih utama), karena pada saat itu orang-orang melakukan shalat tarawih di awal malam.
Mereka melaknati orang kafir pada separuh bulan Ramadlan dengan doa : ‘Ya Allah,
binasakanlah orang-orang kafir yang menghalangi (orang) dari jalan-Mu, mendustakan para
Rasul-Mu, dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan
timpakanlah rasa takut di hati-hati mereka, serta timpakanlah siksaan dan adzab-Mu pada
mereka, wahai tuhan yang haq’. Kemudian (mereka) bershalawat kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin semampunya, kemudian
memohon ampunan untuk kaum mukminin’……” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1100].

Sanad riwayat ini shahih.

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺑﻜﺮ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﺑﺞ ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ ﻟﻌﻄﺎﺀ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﰲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺃﻭﻝ ﻣﻦ ﻗﻨﺖ ﻗﻠﺖ‬
‫ﺍﻟﻨﺼﻒ ﺍﻵﺧﺮ ﺃﲨﻊ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah
bertanya kepada ‘Athaa’ (bin Abi Rabbaah) tentang qunut yang dilakukan di bulan Ramadlaan.
Ia menjawab : “’Umar adalah orang yang pertama melakukan qunut”. Aku bertanya kembali :
“Setengah terakhir secara keseluruhan ?”. Ia menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah, 2/304].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Sanad riwayat ini shahih sampai ‘Athaa’.

‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻭﻛﻴﻊ ﻋﻦ ﻋﺒﺎﺩ ﺑﻦ ﺭﺍﺷﺪ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻨﺖ ﰲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬.

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abbaad bin Raasyid, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) :
Bahwasannya ia melakukan qunut pada setengah bulan Ramadlaan [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah, 2/304].

Sanad riwayat ini hasan.

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﻋﻦ ﺍﳌﻬﻠﺐ ﺑﻦ ﺣﺒﻴﺒﺔ ﻗﺎﻝ ﺳﺄﻟﺖ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻓﻘﺎﻝ ﰲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ‬
‫ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻛﺬﻟﻚ ﻋﻠﻤﻨﺎ‬

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid (Al-Qaththaan), dari Al-Muhallab bin
Habiibah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Sa’iid bin Abil-Hasan1 tentang qunut. Lalu ia
menjawab : “Dilakukan pada setengah bulan Ramadlaan. Begitulah yang kami ketahui”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/304].

Sanad riwayat ini hasan.

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺯﻫﺮ ﺍﻟﺴﻤﺎﻥ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻮﻥ ﻋﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﰲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻛﻠﻬﺎ ﻗﺎﻝ ﻭﻛﺎﻥ ﺍﺑﻦ ﺳﲑﻳﻦ ﻻ‬
‫ﻳﺮﺍﻩ ﺇﻻ ﰲ ﺍﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬

Telah menceritakan kepada kami Azhar As-Samaan, dari Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy)
: Bahwasannya ia berkata : “Qunut dilakukan sepanjang tahun”. Ia melanjutkan : “Adapun Ibnu
Siiriin tidak memandang hal itu dilakukan kecuali pada setengah bulan Ramadlaan saja”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/304].

Sanad riwayat ini shahih.

Beberapa riwayat di atas menunjukkan di antara salaf ada yang memutlakkan qunut pada
setengah bulan Ramadlan saja (tanpa menentukan awal atau akhir), dan yang lain mengatakan
setengah terakhir bulan Ramadlan.

Adapun yang ternukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

1
Saudaranya Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻣﻴﻤﻮﻥ ﺍﻟﺮﻗﻲ ﺛﻨﺎ ﳐﻠﺪ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻋﻦ ﺯﺑﻴﺪ ﺍﻟﻴﺎﻣﻲ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺃﺑﺰﻱ‬
‫ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺃﰊ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﻮﺗﺮ ﻓﻴﻘﻨﺖ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ‬

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Maimuun Ar-Raqiy : Telah menceritakan kepada kami
Makhld bin Yaziid, dari Sufyaan, dari Zaid Al-Yaamiy, dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Abziy,
dari ayahnya, dari Ubay bin Ka’b : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat
witir lalu qunut sebelum rukuk [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1182].

Dinyatakan shahih oleh Al-Albaaniy.

Riwayat-riwayat semisal yang marfu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan
kapan dilakukannya qunut, sehingga dipahami bahwa dalil itu bersifat mutlak. Yaitu, qunut witir
masyru’ dilakukan sepanjang tahun (setiap waktu yang disyari’atkan). Tidak terbatas hanya
bulan Ramadlaan, atau setengah bulan Ramadlaan saja.

Inilah yang raajih, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahmahullah [lihat :
http://www.binbaz.org.sa/mat/15416].

Namun seandainya ada kaum muslimin yang meninggalkan qunut pada shalat witir, maka ini
tidak apa-apa, karena ia hukumnya sunnah (tidak wajib). Atau seandainya hanya melakukan
pada setengah bulan Ramadlan, ini pun tidak apa-apa, karena mereka mempunyai salaf dalam
perbuatan mereka.

Wallaahu a’lam.

Semoga bahasan kecil ini ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 16610].

Comments

Anonim mengatakan...

Nanya ustad , nah kalau begitu afdolnya sholat taraweh, dilakukan bersama imam di awal
malam atau sholat sendiri di akhir malam , ?

16 Agustus 2011 12:24

Anonim mengatakan...

Ustadz bagaimana kebiasaan di arab saudi?

17 Agustus 2011 07:20


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim 16 Agustus 2011,.... silakan baca Keutamaan Shalat Tarawih Berjama'ah.

@Anonim 17 Agustus 2011,.... kebiasaan di Masjid Haram, antum bisa lihat di TV atau dengar
di radio Rodja tiap malam.

18 Agustus 2011 08:47

Anonim mengatakan...

barusan ana lihat di salafiyunpad syaikh sudais dalam qunut witr nya memakai doa sendiri
bukan sebagaimana lafadz2 yg ada dalam hadist2,bagaimana pendapat para ulama mengenai
hal tersebut ustadz ? mohon pencerahannya

18 Agustus 2011 11:17

Perlengkapan Safety Online mengatakan...

apakah makmum disyariatkan mengangkat tangannya pada saat imam qunut witir?
jazakallahu khoir

19 Agustus 2011 15:57

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim 18 Agustus,... coba antum baca atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no.
1100. Di situ imam menambahkan doa lain selain allahumah-diinaa fiiman hadait...dst.

@Perlengkapan Safety... ya, disyari'atkan.

walaahu a'lam.

20 Agustus 2011 13:49


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

14. Waktu Mengeluarkan Zakat Fithr

Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :

‫ ﻋﻦ‬،‫ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻧﺎﻓﻊ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺇﲰﺎﻋﻴﻞ ﺍﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ‬:‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺟﻬﻀﻢ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﲕ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺴﻜﻦ‬
‫ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﲤﺮ ﺃﻭ‬،‫ ﻓﺮﺽ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬:‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ‬،‫ﺃﺑﻴﻪ‬
‫ﺎ ﺃﻥ ﺗﺆﺩﻯ ﻗﺒﻞ‬ ‫ ﻭﺃﻣﺮ‬،‫ ﻣﻦ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ‬،‫ ﻭﺍﻟﺼﻐﲑ ﻭﺍﻟﻜﺒﲑ‬،‫ ﻭﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﺍﻷﻧﺜﻰ‬،‫ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻭﺍﳊﺮ‬،‫ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺷﻌﲑ‬
‫ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﱃ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬.

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan1 : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Jahdlam2 : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far3,
dari ‘Umar bin Naafi’4, dari ayahnya5, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibakan zakat fithri satu sha’ tamr atau satu
shaa’ sya’iir/gandum bagi setiap orang, baik ia orang yang merdeka, hamba, laki-laki, wanita,
anak kecil, dan orang dewasa dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk
menunaikannya sebelum orang-orang keluar menuju shalat (‘Ied)” [Diriwayatkan oleh Al-
Bukhaariy no. 1503].

1
Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan bin Habiib Al-Qurasyiy, Abu ‘Ubaidillah/Abu ‘Ubaid Al-Bashriy Al-Bazzaar;
seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-11, wafat setelah tahun 250 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu
Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1065 no. 7686].
2
Muhammad bin Jahdlam bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy, Abu Ja’far Al-Bashriy; seorang yang shaduuq. Termasuk
thabaqah ke-10. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [idem, hal. 833 no. 5827].
3
Ismaa’iil bin Ja’far bin Abi Katsiir Al-Anshaariy Az-Zarqaa, Abu Ishaaq Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat.
Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 180 H di Baghdaad. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-
Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 138 no. 435].
4
‘Umar bin Naafi’ Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-Madaniy, maulaa Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-6, wafat pada masa kekhilafahan Al-Manshuur. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah [idem, hal. 728 no. 5008].
5
Naafi’ maulaa ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang
yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 117 H, atau dikatakan setelahnya.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 996 no.
7136].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ‬:‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬،‫ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﻋﻘﺒﺔ‬:‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﻔﺺ ﺑﻦ ﻣﻴﺴﺮﺓ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺁﺩﻡ‬
‫ ﻗﺒﻞ ﺧﺮﻭﺝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﱃ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬،‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻣﺮ ﺑﺰﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬.

Telah menceritakan kepada kami Aadam 6 : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin
Maisarah7 : Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin ‘Uqbah8, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami
mengeluarkan zakat fithri sebelum orang-orang keluar menuju shalat (‘Ied) [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1509]

Lihat pula no. 1504 & 1507 & 1511-1512.

Hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang batas akhir penunaian zakat fithri, yaitu
sebelum shalat ditegakkan. Jika zakat fithri ditunaikan setelah ditegakkannya shalat ‘Ied, maka
ia hanyalah shadaqah biasa saja.

‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻳﺰﻳﺪ‬.‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺮﻭﺍﻥ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ‬:‫ ﻗﺎﻻ‬.‫ ﻭﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﺍﻷﺯﻫﺮ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﺑﺸﲑ ﺑﻦ ﺫﻛﻮﺍﻥ‬
‫ ﻓﺮﺽ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬:‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ؛ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﻋﻦ ﻋﻜﺮﻣﺔ‬،‫ ﻋﻦ ﺳﻴﺎﺭ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺼﺪﰲ‬،‫ﺍﳋﻮﻻﱐ‬
‫ ﻓﻬﻲ ﺯﻛﺎﺓ‬،‫ ﻓﻤﻦ ﺃﺩﺍﻫﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬.‫ ﻭﻃﻤﻌﺔ ﻟﻠﻤﺴﺎﻛﲔ‬.‫ﻭﺳﻠﻢ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻃﻬﺮﺓ ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻐﻮ ﻭﺍﻟﺮﻓﺚ‬
‫ ﻓﻬﻲ ﺻﺪﻗﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ‬،‫ ﻭﻣﻦ ﺃﺩﺍﻫﺎ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬.‫ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ‬.

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Basyiir bin Dzakwaan9 dan Ahmad
bin Al-Azhar10, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Marwaan bin

6
Aadam bin Abi Iyaas – namanya ‘Abdurrahmaan – bin Muhammad Al-Khurasaaniy Al-Marwadziy; seorang yang
tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 221 H di ‘Asqalaan. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu
Daawud dalam An-Naasikh, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 102 no. 133].
7
Hafsh bin Maisarah Al-‘Uqailiy, Abu ‘Umar Ash-Shan’aaniy; seorang yang tsiqah namun kadang keliru. Termasuk
thabaqah ke-8, wafat tahun 181 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud dalam Al-Maraasiil, An-
Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 260 no. 1442].
8
Muusaa bin ‘Uqbah bin Abi ‘Ayyaasy Al-Qurasyiy Al-Mutharrifiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang
tsiqah, tsabat, dan imaam dalam maghaaziy. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 141 H, dan dikatakan setelah
itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 983 no. 7041].
9
‘Abdullah bin Ahmad bin Basyiir bin Dzakwaan Al-Bahraaniy, Abu ‘Amru atau Abu Muhammad Ad-Dimasyqiy;
seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10, wafat tahun 242 H. Dipakai oleh Abu Daawud dan Ibnu Maajah
[idem, hal. 490 no. 3220].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Muhammad11 : Telah menceritakan kepada kami Abu Yaziid Al-Khaulaaniy 12, dari Sayyaar bin
‘Abdirrahmaan Ash-Shadafiy13, dari ‘Ikrimah14, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang
berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi makanan bagi orang-orang
yang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka ia termasuk zakat
yangditerima. Namun barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka ia termasuk
shadaqah biasa saja” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1827].

Sanad riwayat ini hasan. Dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Ibni Maajah, 2/111-
112.

Akan tetapi, para ulama bersepakat bahwa kewajiban zakat fithri bagi orang yang mampu
tidaklah gugur karena telah lewat batas waktu yang ditentukan [lihat : Shahih Fiqhis-Sunnah,
2/84].

Para ulama berbeda pendapat tentang waktu wajib penunaian zakat fithri. Hanafiyyah
berpendapat bahwa dimulainya waktu wajib dimulai ketika munculnya fajar ada hari ‘Iedul-
Fithri. Alasan mereka adalah bahwa zakat tersebut disandarkan pada berbuka (al-fithr).
Penyandaran ini merupakan bentuk pengkhususan. Berbuka sendiri merupakan lawan dari
puasa. Syari’at puasa hanyalah dilakukan pada siang hari, bukan pada malam hari, karena puasa
di waktu itu (malam hari) adalah haram.

Adapun jumhur ulama dari kalangan Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanaabilah berpendapat
bahwa dimulainya waktu wajib adalah tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan
Ramadlaan. Alasan mereka adalah bahwasannya berbuka (al-fithr) untuk keseluruhan bulan
Ramadlaan (setelah puasa) adalah dengan tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan
Ramadlaan. Waktu itulah berakhir puasa Ramadlaan.
10
Ahmad bin Al-Azhar bin Manii’ bin Saliith bin Ibraahiim Al-‘Abdiy, Abul-Azhar An-Naisaabuuriy; seorang yang
shaduuq. Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 263 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah [idem, hal. 85
no. 5].
11
Marwaan bin Muhammad bin Hassaan Al-Asadiy Ath-Thaathariy, Abu Bakr atau Abu Hafsh atau Abu
‘Abdirrahmaan Ad-Dimasyqiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 210 H. Dipakai oleh
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 932 no. 6617].
12
Abu Yaziid Al-Khaulaaniy Al-Mishriy Ash-Shaghiir; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai Abu
Daawud dan Ibnu Maajah [idem, hal. 1225 no. 8518].
13
Sayyaar bin ‘Abdirrahmaan Ash-Shadafiy Al-Mishriy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai
Abu Daawud dan Ibnu Maajah [idem, hal. 427 no. 2731].
14
‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih. Termasuk
thabaqah ke-3, wafat tahun 104 H, atau dikatakan setelah itu, di Madinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 687-688 no. 4707].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Yang raajih – wallaahu a’lam - adalah pendapat Hanaafiyyah, karena berbuka (al-fithr) itu
dimaksudkan berbuka setelah berpuasa penuh pada bulan Ramadlaan di siang hari. Yang
mendukung pemahaman ini di antaranya adalah hadits :

‫ ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﹼﻪ ﻋﻠﻴﻪ‬،‫ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﻨﻜﺪﺭ‬،‫ ﺛﻨﺎ ﲪﺎﺩ ﰲ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﻳﻮﺏ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ‬
،‫ ﻭﺃﺿﺤﺎﻛﻢ ﻳﻮﻡ ﺗﻀﺤﻮﻥ‬،‫ "ﻭﻓﻄﺮﻛﻢ ﻳﻮﻡ ﺗﻔﻄﺮﻭﻥ‬:‫ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻴﻪ ﻗﺎﻝ‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid15 : Telah menceritakan kepada kami
Hammaad16 dalam hadits Ayyuub17, dari Muhammad bin Al-Munkadir18, dari Abu Hurairah yang
menyebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam padanya, dimana beliau bersabda : “(Hari)
berbuka kalian adalah hari dimana kalian berbuka, dan (hari) menyembelih adalah hari dimana
kalian menyembelih (hewan kurban kalian)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2324].

Sanad riwayat ini shahih. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/50.

Hari dimana orang-orang berbuka adalah hari dimana mereka tidak berpuasa. Oleh karenanya,
kaum muslimin disunnahkan untuk makan terlebih dahulu sebelum berangkat menuju shalat
(‘Ied), karena hari itu adalah hari untuk berbuka dan diharamkan berpuasa.

Empat madzhab sepakat bolehnya menyegerakan penunaian zakat fithri sebelum waktu yang
diwajibkan di atas, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri membolehkannya.

‫ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ؛ ﺃﻥ‬،‫ ﻋﻦ ﺍﳊﻜﻢ ﻋﻦ ﺣﺠﻴﺔ‬،‫ّﺎﺝ ﺑﻦ ﺩﻳﻨﺎﺭ‬‫ ﻋﻦ ﺍﳊﺠ‬،‫ ﺛﻨﺎ ﺇﲰﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ ﺯﻛﺮﻳﺎ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ‬
‫ّﺺ ﻟﻪ ﰲ ﺫﻟﻚ‬‫ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺳﺄﻝ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﹼﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰲ ﺗﻌﺠﻴﻞ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﲢﻞ ﻓﺮﺧ‬

15
Muhammad bin ‘Ubaid bin Hassaab Al-Ghubariy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10,
wafat tahun 238 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [idem, hal. 875 no. 6155].
16
Hammaad bin Zaid bin Dirham Al-Azdiy Al-Jahdlamiy, Abu Ismaa’iil Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi
faqiih. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 179 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. [idem, hal. 268 no. 1506].
17
Ayyuub bin Abi Tamiimah – Kaisaan – As-Sukhtiyaaniy, Abu Bakr Al-Bashriy; tsiqah, tsabat, lagi hujjah. Termasuk
thabaqah ke-5, wafat tahun 131 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah. [idem, hal. 158 no. 610].
18
Muhammad bin Al-Munkadir bin ‘Abdilah bin Al-Hudzair bin ‘Abdil-‘Uzzaa Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu ‘Abdillah;
seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 130 H atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-
Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. [idem, hal. 158 no. 610].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur19 : Telah menceritakan kepada kami
Ismaa’iil bin Zakariyyaa20, dari Al-Hajjaaj bin Diinaar21, dari Al-Hakam22, dari Hujayyah23, dari
‘Aliy : Bahwasannya Al-‘Abbaas pernah bertanya kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam
tentang menyegerakan zakat sebelum waktunya tiba. Maka beliau memberikan keringanan
padanya akan hal itu [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1624].

Sanad riwayat ini hasan. Dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 1/450].

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺛﻨﺎ ﺍﳊﺴﻦ ﺑﻦ ﺃﰊ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﻋﻦ‬
‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺩﻭﺍ‬، ‫ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺛﻌﻠﺒﺔ ﻗﺎﻝ ﺧﻄﺐ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺑﻴﻮﻡ ﺃﻭ ﻳﻮﻣﲔ‬
‫ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺑﺮ ﺃﻭ ﻗﻤﺢ ﺑﲔ ﺍﺛﻨﲔ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﲤﺮ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺷﻌﲑ ﻋﻦ ﻛﻞ ﺣﺮ ﻭﻋﺒﺪ ﻭﺻﻐﲑ ﻭﻛﺒﲑ‬

Telah menceritkan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Ishaaq24 : Telah menceritakan
kepada kami Al-Hasan bin Abir-Rabii’25 : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq26, dari

19
Sa’iid bin Manshuur bin Syu’bah Al-Khuraasaaniy, Abu ‘Utsmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah. Termasuk
thabaqah ke-10, wafat tahun 227 H, atau dikatakan setelahnya, di Makkah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 389 no. 2412].
20
Ismaa’iil bin Zakariyyaa bin Murrah Al-Khulqaaniy Al-Asadiy, Abu Ziyaad Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, sedikit
melakukan kekeliruan. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 198 H, atau dikatakan sebelumnya, di Baghdaad.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 139 no.
449].
21
Al-Hajjaaj bin Diinaar Al-Asyja’iy/As-Sulamiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘tidak mengapa dengannya’.
Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 223 no.
1133].
22
Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy, Abu Muhammad atau Abu ‘Abdillah atau Abu ‘Umar Al-Kuufiy; seorang yang
tsiqah lagi tsabat, namun kadang melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 113 H, atau dikatakan
setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem,
hal. 263 no. 1461].
23
Hujayyah bin ‘Adiy Al-Kindiy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq sebagaimana dikatakan Adz-Dzahabiy. Termasuk
thabaqah ke-3. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [lihat penjelasan dalam 3
kitab : At-Taqriib hal. 226 no. 1159, Tahriirut-Taqriib 1/256 no. 1150, dan Kasyful-Iihmaam limaa Tadlammanahu
Tahriirit-Taqriib minal-Auhaam hal. 339-341 no. 221].
24
‘Abdullah bin Muhammad bin Ishaaq bin Yaziid, Abul-Qaasim Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah [Mishbaahul-
Ariib, 2/183 no. 14324].
25
Al-Hasan bin Yahyaa bin Al-Ja’d bin Nasyiith Al-‘Abdiy, Abu ‘Aliy bin Abir-Rabii’ Al-Jurjaaniy; seorang yang
shaduuq. Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 263 H. Dipakai oleh Ibnu Maajah [At-Taqriib, hal. 243 no. 1300].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Ibnu Juraij27, dari Ibnu Syihaab28, dari ‘Abdullah bin Tsa’labah29, ia berkata : Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada manusia sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul-
Fithri. Beliau bersabda : “Tunaikanlah satu sha’ gandum burr atau gandum qamh untuk setiap
dua shaa’30, atau satu shaa’ tamr atau satu shaa’ gandum sya’iir bagi orang, baik ia merdeka,
hamba, anak kecil, atau orang dewasa” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 2118].

Al-Hasan bin Abir-Rabii’ mempunyai mutaba’ah dari :

1. Al-Hasan bin Shaalih Al-Mishriy31 sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1621.

2. Ahmad bin Hanbal (Al-Musnad, 5/432).

Riwayat ini lemah karena Ibnu Juraij tidak menjelaskan tashrih penyimakan riwayatnya,
sedangkan ia seorang mudallis. Akan tetapi Ibnu Juraij mempunyai mutaba’ah dari Yahyaa bin
Jurjah Al-Makkiy, sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy (no. 2111). Sanadnya lemah
karena Ibnu Jurjah (Abu Haatim berkata : “Syaikh”) dan ‘Aliy bin ‘Aashim (dikatakan Ibnu Hajar :
“shaduuq, namun sering keliru”). Namun riwayat ini dapat menjadi mutaba’ah karena
kelemahannya ringan.

Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Shahih Sunan Abi Daawud 1/450.

26
‘Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy; seorang yang tsiqah
lagi haafidh, namun berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 211 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 607 no. 4092].
27
‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy; seorang
yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-6, wafat
tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-
Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 624 no. 4221].
28
Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-
Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 125 H, atau
dikatakan sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [idem, hal. 896 no. 6336].
29
‘Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air Al-‘Udzriy, Abu Muhammad Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Wafat tahun 87/89 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy
[idem, hal. 495 no. 3259].
30
Maksudnya : masing-masing dibayarkan setengah shaa’ [lihat penjelasan muhaqqiq Musnad Al-Imaam Ahmad,
39/67].
31
Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy, Abu Ja’far Al-Haafidh – yang terkenal dengan nama Ibnuth-Thabariy; seorang yang
tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, wafat tahun 248 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, dan At-
Tirmidziy dalam Asy-Syamaail. [idem, hal. 91 no. 48].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ ﻳﻌﻄﻴﻬﺎ‬:‫ﻭﻛﺎﻥ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬...... ،‫ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﻳﻮﺏ‬:‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﲪﺎﺩ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻨﻌﻤﺎﻥ‬
‫ ﻭﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻌﻄﻮﻥ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺑﻴﻮﻡ ﺃﻭ ﻳﻮﻣﲔ‬،‫ﺎ‬‫ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻘﺒﻠﻮ‬.

Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan32 : Telah menceritakan kepada kami


Hammaad bin Zaid : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’ : ..... Dan Ibnu ‘Umar
memberikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya. Dan mereka (para shahabat)
menunaikannya sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul-Fithri [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
1511].

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺃﺳﺎﻣﺔ ﻗﺎﻝ ﻧﺎ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﺟﻠﺲ ﻣﻦ ﻳﻘﺒﺾ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺑﻴﻮﻡ‬
‫ﺃﻭ ﻳﻮﻣﲔ ﻭﻻ ﻳﺮﻯ ﺑﺬﻟﻚ ﺑﺄﺳﺎ‬

Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah33, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada
kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar34, dari Naafi, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia dulu jika
mengangkat orang yang mengurusi zakat fithri, sehari atau dua hari (sebelum ‘Iedul-Fithri). Dan
ia memandang hal itu tidak apa-apa [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah; sanadnya shahih].

‫ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﺃﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻛﺎﻥ ﻳﺒﻌﺚ ﺑﺰﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺇﱃ ﺍﻟﺬﻱ ﲡﻤﻊ ﻋﻨﺪﻩ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺑﻴﻮﻣﲔ ﺃﻭ ﺛﻼﺛﺔ‬

Dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar pernah mengutus untuk seseorang untuk
menyetorkan zakat fithri kepada petugas pengumpul, dua hari atau tiga hari sebelum ‘Iedul-
Fithri [Diriwayatkan oleh Maalik 2/301-302 no. 684; shahih].

Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang tentang batas penyegeraannya. Hanaafiyyah
berpendapat bahwa zakat fithri boleh disegerakan secara mutlak, bahkan sebelum Ramadlaan
tiba. Maalikiyyah dan Hanaabilah berpendapat boleh disegerakan sehari atau dua hari
sebelumnya, tidak boleh lebih dari itu. Syaafi’iyyah berpendapat boleh dibayarkan semenjak
awal bulan Ramadlan.

32
Muhammad bin Al-Fadhl As-Saduusiy, Abun-Nu’maan Al-Bashriy, terkenal dengan nama ‘Aarim; seorang yang
tsiqah lagi tsabat, akan tetapi berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 223/224
H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, dan At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail. [idem, hal. 889 no. 6266].
33
Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy, Abu Usaamah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun
kadang melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 201 H di Kuufah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 267 no. 1495].
34
‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Hafsh bin ‘Aashim bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-‘Umariy, Abu
‘Utsmaan Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 140-an H di Madinah.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [idem, hal. 643 no.
4353].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat Maalikiyyah dan Hanaabilah, karena itulah yang
diamalkan para shahabat radliyallaahu ‘anhum ajma’iin sebagaimana ditunjukkan dalam nash-
nash di atas. Selain itu, di antara hikmah pensyari’atan zakat fithri adalah sebagai pembersih
bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi makanan
bagi orang-orang yang miskin. Hikmah ini terwujud pada akhir Ramadlaan, yaitu bagi mereka
yang telah melaksanakan puasa selama sebulan penuh.

Ini saja yang dapat dituliskan, lebih dan kurangnya mohon dimaafkan. Semoga ada manfaatnya.

Wallaahu a’lam.

Bahan bacaan : At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah oleh Muhammad ‘Umar Bazmuul
hal. 170-172, Shahiih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin As-Sayyid hal. 83-84, Al-Fiqhul-
Islaamiy wa Adillatuh oleh Wahbah Az-Zuhailiy 2/906-908, dan yang lainnya.

[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 1432 H]. Baca juga artikel :
Apakah Membayar Zakat Fitrah/Fithri dengan Uang Merupakan Kebid'ahan dalam Agama ?.

Comments

abdurrahman mengatakan...

saya seorang mahasiswa tingkat akhir, yang kuliah, makan dan tempat tinggal masih
dibayarin Ortu.

Namun saya punya penghasilan dari Freelance dan bbrp hasil perdagangan.

Apakah Saya bayar Zakat Fitri Sendiri ? atau masih ditanggung oleh orang tua ? Kalo bayar
zakat sendiri pun saya tidak masalah, krn ada tabungan untuk beli berasnya.

20 Agustus 2011 17:40

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Jika zakat antum telah dibayarkan ortu, maka kewajiban itu telah gugur.

Seandainya antum ragu apakah ortu antum telah membayarkan zakat antum, maka antum
membayarkan sendiri zakat antum untuk menghilangkan keraguan itu.

Semoga komentar ini dapat menjawab.

Wallaahu a'lam.

20 Agustus 2011 23:00


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Anonim mengatakan...

"..zakat fithri satu shaa’ sya’iir/gandum.."

Klo beras kira² berapa kilogram ya ustadz, kwalitas yg bagus?

22 Agustus 2011 15:12

Anonim mengatakan...

Saya ingin tanya soalan:

1) Apa hukum keluar zakat fitri/fitrah guna wang/uang?

2) Bolehkah bayar zakat fitri melalui amil yang dilantik oleh kerajaan? (yang sudah semestinya
menggunakan wang dan diselingi ijab qabul [lafaz akad yang disediakan oleh pihak amil] zakat)

25 Agustus 2011 17:17

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim 22 Agustus,.... amannya, ambil saja 3 kg.

----------

@Anonim 25 Agustus,...

a. Baca : Apakah Membayar Zakat Fitrah/Fithri dengan Uang Merupakan Kebid'ahan dalam
Agama ?.

b. Pada asalnya boleh. Namun jika antum khawatir dengan adanya hal-hal yang tidak
disyari'atkan tercampur di dalamnya, maka antum memberikannya langsung kepada yang
berhak tidak lah mengapa.

Wallaahu a'lam.

28 Agustus 2011 03:43


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

15. Waktu Minimal I’tikaaf

Para ulama berselisih pendapat dalam permasalahan ini, yang secara ringkas terbagi menjadi
dua pendapat. Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Maalikiyyah, dan Syaafi’iyyah
berpendapat bahwa i’tikaf sah walau hanya dilakukan sebentar saja, sesuai kadar i’tikaaf itu
sendiri. Beberapa dalil yang dipakai dalam pendapat ini antara lain :

Firman Allah ta’ala :

‫ﺎﺟﹺﺪ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻔﹸﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﺎﻛ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ّ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺷ‬‫ﺒ‬‫ﻻ ﺗ‬‫ﻭ‬

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i`tikaf dalam mesjid” [QS. Al-
Baqarah : 187].

Sisi pendalilannya adalah : Allah ta’ala menyebutkan secara mutlak i’tikaaf tanpa membatasi
waktu ataupun kadarnya.

‫ﻋﻦ ﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻗﺎﻝ ﲰﻌﺖ ﻋﻄﺎﺀ ﳜﱪ ﻋﻦ ﻳﻌﻠﻰ ﺑﻦ ﺃﻣﻴﺔ ﻗﺎﻝ ﺇﱐ ﻷﻣﻜﺚ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻭﻣﺎ ﺃﻣﻜﺚ ﺍﻻ‬
‫ﻷﻋﺘﻜﻒ‬

Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar ‘Athaa’ mengkhabaran dari Ya’laa bin Umayyah, ia
berkata : “Sesungguhnya aku benar-benar akan tinggal di masjid sesaat/satu jam saja. Dan
tidaklah aku tinggal di dalamnya kecuali untuk ber-i’tikaaf” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq
no. 8006; sanadnya shahih].

‫ﻗﺎﻝ ﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻗﺎﻝ ﻋﻄﺎﺀ ﻫﻮ ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ ﻣﺎ ﻣﻜﺚ ﻓﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﺟﻠﺲ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﺍﺣﺘﺴﺎﺏ ﺍﳋﲑ ﻓﻬﻮ ﻣﻌﺘﻜﻒ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ‬

Telah berkata Ibnu Juraij : Telah berkata ‘Athaa’ : “Aktifitas itu disebut i’tikaaf selama
tinggal/menetap di dalamnya. Dan seandainya orang itu duduk di dalam masjid dan
mengharapkan kebaikan, maka ia disebut orang yang ber-i’tikaaf. Jika tidak, maka tidak disebut
orang yang ber-i’tikaaf” [idem, no. 8007; sanadnya shahih].

Juga dilihat dari sisi bahasa, bahwasannya i’tikaaf itu artinya mendiami atau melazimi
sebagaimana ada dalam firman Allah ta’ala :

‫ﻔﹸﻮﻥﹶ‬‫ﺎﻛ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻲ ﺃﹶﻧ‬‫ﻴﻞﹸ ﺍﻟﹶّﺘ‬‫ﺎﺛ‬‫ّﻤ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﻩ‬‫ﺬ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻣ‬‫ﻗﹶﻮ‬‫ ﻭ‬‫ﺇﹺﺫﹾ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻷﺑﹺﻴﻪ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini
yang kamu tekun beribadah kepadanya?" [QS. Al-Anbiyaa’ : 51].

Adapun pendapat yang mu’tamad dari kalangan Maalikiyyah dan satu riwayat dari Abu Haniifah
mengatakan bahwa batas minimal waktu i'tikaf adalah sehari semalam. Pendapat ini dibangun
dengan alasan bahwa puasa merupakan syarat sahnya i’tikaaf. Jika puasa merupakan syarat
sahnya i'tikaaf, dan puasa sendiri dilakukan di siang hari, maka i’tikaaf harus dilakukan pada
siang dan sekaligus malamnya. Beberapa dalil yang menunjukkan puasa sebagai syarat sahnya
i’tikaaf antara lain :

Allah ta’ala berfirman :

‫ﻻ‬‫ﻞﹺ ﻭ‬‫ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﹶّﻴ‬‫ﺎﻡ‬‫ّﻴ‬‫ّﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬‫ﻤ‬‫ّ ﺃﹶﺗ‬‫ﺮﹺ ﺛﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹶﺠ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺩ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻷﺳ‬‫ﻂ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﺾ‬‫ﻴ‬‫ﻂﹸ ﺍﻷﺑ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ّﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ّﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﻮﺍ ﺣ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺍﺷ‬‫ﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻭ‬‫ﻭ‬
‫ﺎﺟﹺﺪ‬‫ﺴ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻔﹸﻮﻥﹶ ﻓ‬‫ﺎﻛ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ّ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺷ‬‫ﺒ‬‫ﺗ‬

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” [QS. Al-Baqarah : 187].

Sisi pendalilannya adalah sebagaimana riwayat berikut :

‫ﺣﺪﺛﲏ ﳛﲕ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﺑﻠﻐﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻭﻧﺎﻓﻌﺎ ﻣﻮﱃ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻻ ﻻ ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ ﺇﻻ ﺑﺼﻴﺎﻡ‬
‫ﺑﻘﻮﻝ ﺍﷲ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﱃ ﰲ ﻛﺘﺎﺑﻪ } ﻭﻛﻠﻮﺍ ﻭﺍﺷﺮﺑﻮﺍ ﺣﱴ ﻳﺘﺒﲔ ﻟﻜﻢ ﺍﳋﻴﻂ ﺍﻷﺑﻴﺾ ﻣﻦ ﺍﳋﻴﻂ ﺍﻷﺳﻮﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺠﺮ‬
‫ﰒ ﺃﲤﻮﺍ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺇﱃ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻭﻻ ﺗﺒﺎﺷﺮﻭﻫﻦ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﻋﺎﻛﻔﻮﻥ ﰲ ﺍﳌﺴﺎﺟﺪ { ﻓﺈﳕﺎ ﺫﻛﺮ ﺍﷲ ﺍﻻﻋﺘﻜﺎﻑ ﻣﻊ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻣﺎﻟﻚ ﻭﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺍﻷﻣﺮ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ ﺇﻻ ﺑﺼﻴﺎﻡ‬

Telah menceritakan kepadaku Yahyaa, dari Maalik : Bahwasannya ia telah menyampaikan


kepadanya bahwa Al-Qaasim bin Muhammad dan Naafi’ maulaa ‘Abdullah bin ‘Umar berkata :
“Tidak sah i’tikaaf kecuali dengan puasa, dengan dasar firman Allah tabaaraka wa ta’ala dalam
kitab-Nya : ‘Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu ber-i`tikaf dalam mesjid’ (QS. Al-Baqarah : 187). Allah ta’ala
hanyalah menyebutkan i’tikaaf bersamaan dengan puasa”. Maalik berkata : “Atas dasar itulah
bahwasanya perkara yang ada di sisi kami, tidak sah i'tikaaf kecuali dengan puasa” [Al-
Muwaththa, 2/378-379].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺎ‬‫ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺃ‬،‫ ﻋﻦ ﻋﺮﻭﺓ‬،‫ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﻳﻌﲏ ﺍﺑﻦ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻱ‬،‫ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺧﺎﻟﺪ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻭﻫﺐ ﺑﻦ ﺑﻘﻴﺔ‬
‫ّ ﺍﻣﺮﺃﺓﹰ ﻭﻻ ﻳﺒﺎﺷﺮﻫﺎ ﻭﻻ ﳜﺮﺝ ﳊﺎﺟﺔ‬‫ ﻭﻻ ﳝﺲ‬،‫ ﻭﻻ ﻳﺸﻬﺪ ﺟﻨﺎﺯﺓﹰ‬،‫ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﺘﻜﻒ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻌﻮﺩ ﻣﺮﻳﻀﺎﹰ‬:‫ﻗﺎﻟﺖ‬
‫ ﻭﻻ ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ ﺇﻻ ﰲ ﻣﺴﺠﺪ ﺟﺎﻣﻊ‬،‫ ﻭﻻ ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ ﺇﻻ ﺑﺼﻮﻡ‬،‫ّ ﻣﻨﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺇﻻ ﳌﺎ ﻻﺑ‬.

‫ ﺍﻟﺴﻨﺔ‬:‫ "ﻗﺎﻟﺖ‬:‫ ﻏﲑ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﻻ ﻳﻘﻮﻝ ﻓﻴﻪ‬:‫"ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ‬.

‫ ﺟﻌﻠﻪ ﻗﻮﻝ ﻋﺎﺋﺸﺔ‬:‫ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ‬.

Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah : Telah mengkhabarkan kepada kami
Khaalid, dari ‘Abdurahmaan – yaitu Ibnu Ishaaq - , dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah,
bahwasannya ia pernah berkata : “Termasuk sunnah bagi orang yang beri’tikaf adalah ia tidak
menjenguk orang sakit, tidak menyaksikan jenazah, tidak menyentuh dan berjimak dengan
wanita (istrinya), tidak keluar untuk satu keperluan kecuali ia memang harus melakukannya.
Dan tidak sah i’tikaaf kecuali dengan puasa. Dan tidak sah pula i'tikaaf kecuali di dalam masjid
jaami’”.

Abu Dawud berkata : “Selain ‘Abdurrahmaan bin ‘Iisaa tidak mengatakan padanya : ‘’Aaisyah
berkata : Termasuk sunnah”.

Abu Daawud berkata : “Ia menjadikannya sebagai perkataan ‘Aaisyah” [Sunan Abi Daawud no.
2473].

Dhahir riwayat ini shahih dan dihukumi marfuu’, dengan sebab perkataan ‘Aaisyah : “Termasuk
sunnah”. Akan tetapi riwayat ini banyak dikritik oleh para ulama, di antara Abu Daawud di atas
yang mengindikasikan adanya ‘illat riwayat. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/317 pun
mengatakan hal yang serupa bahwa dalam lafadh riwayat tersebut terdapat idraaj dari
perkataan selain ‘Aaisyah. Begitu juga Ad-Daaruquthniy (3/187 no. 2363), yang kemudian
dikutip Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (4/273).

Seandainya ta’lil tersebut shahih, maka riwayat itu hanya dihukumi mauquf saja. Bersamaan
dengan itu, telah shahih atsar dari shahabat lain yang tidak mensyaratkan puasa bagi orang
yang melakukan i’tikaaf kecuali jika ia mewajibkan bagi dirinya sendiri. Al-Baihaqiy rahimahullah
berkata :

‫ﻭﻗﺪ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺍﳊﻤﻴﺪﻱ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻋﻦ ﺃﰊ ﺳﻬﻴﻞ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﺟﺘﻤﻌﺖ ﺃﻧﺎ ﻭﳏﻤﺪ ﺑﻦ‬
‫ﺷﻬﺎﺏ ﻋﻨﺪ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻭﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻣﺮﺃﰐ ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ ﺛﻼﺙ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﺍﳊﺮﺍﻡ ﻓﻘﺎﻝ ﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ ﺇﻻ ﺑﺼﻮﻡ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺃﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﻦ ﺃﰊ ﺑﻜﺮ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻻ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺳﻬﻴﻞ ﻓﺎﻧﺼﺮﻓﺖ ﻓﻮﺟﺪﺕ ﻃﺎﻭﺳﺎ ﻭﻋﻄﺎﺀ ﻓﺴﺄﻟﺘﻬﻤﺎ‬
‫ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻘﺎﻝ ﻃﺎﻭﺱ ﻛﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻻ ﻳﺮﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﺘﻜﻒ ﺻﻴﺎﻣﺎ ﺇﻻ ﺃﻥ ﳚﻌﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻄﺎﺀ ﺫﻟﻚ‬
‫ﺭﺃﻱ ﻫﺬﺍ‬

Dan telah diriwayatkan oleh Abu Bakr Al-Humaidiy, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad dari Abu
Suhail bin Maalik, ia berkata : Aku dan Muhammad bin Syihaab (Az-Zuhriy) pernah berkumpul di
sisi ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz. Pada waktu itu, istriku telah mewajibkan bagi dirinya (bernadzar)
untuk ber-i’tikaaf selama tiga hari di Al-Masjidil-Haraam. Ibnu Syihaab berkata : “Tidak ada
i’tikaaf kecuali dengan puasa”. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz berkata : “Apakah itu berasal dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah dari
Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah dari ‘Umar ?”. Ia menjawab :
“Tidak”. ‘Umar kembali berkata : “Apakah dari ‘Utsmaan ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Abu Suhail
berkata : Lalu aku pergi dan bertemu dengan Thaawus dan ‘Athaa’. Aku bertanya tentang hal
tersebut kepada mereka berdua. Thaawus berkata : “Ibnu ‘Abbaas tidak berpendapat adanya
kewajiban bagi orang yang ber-i’tikaaf untuk berpuasa, kecuali ia menjadikannya wajib bagi
dirinya sendiri”. ‘Athaa’ berkata : “Itulah pendapat dalam permasalahan ini” [Al-Kubraa, 4/319
– dan Al-Baihaqiy menshahihkannya].1

Oleh karena itu, pendapat salah seorang shahabat yang diselisihi shahabat lain bukanlah dalil.

Juga ada riwayat marfuu’ yang menjelaskan bahwa puasa bukan sebagai syarat i’tikaaf.

1
Ibnu Hazm rahimahulah dalam Al-Muhallaa membawakan riwayat ini dengan sanad sebagai berikut :
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻧﺒﺎﺕ ﻧﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﳏﻤﺪ ﺍﻟﻘﻠﻌﻲ ﻧﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﲪﺪ ﺍﻟﺼﻮﺍﻑ ﻧﺎ ﺑﺸﺮ ﺑﻦ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﺻﺎﱀ ﺑﻦ ﻋﻤﲑﺓ ﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺍﳊﻤﻴﺪﻱ‬
‫ﻧﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺍﻟﺪﺭﺍﻭﺭﺩﻱ ﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺳﻬﻴﻞ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’iid bin Nabaat : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdulllah
bin ‘Umar bin Muhammad Al-Qala’iy : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ahmad Ash-Shawaaf :
Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Musaa bin Shaalih bin ‘Umairah : Telah mengkhabarkan kepada kami
Abu Bakr Al-Humaidiy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad Ad-Daraawardiy : Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Huhail paman Maalik, ia berkata : “......(atsar)....”.
Sanad riwayat ini shahih.
Bisyr bin Muusaa bin Shaalih seorang yang tsiqah. Muhammad bin Ahmad Ash-Shawaaf namanya adalah
Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan bin Ishaaq bin Ibraahiim, seorang yang tsiqah lagi ma’muun. ‘Abdullah bin
Muhammad bin Al-Qaasim bin Hazm, Abu Muhammad Al-Andalusiy Al-Qala’iy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun.
Muhammad bin Sa’iid bin Muhammad bin Nabaat, Abu ‘Abdillah Al-Umawiy; seorang yang tsiqah lagi shaalih.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺳﺄﻝ‬:‫ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ‬،‫ ﺃﺧﱪﱐ ﻧﺎﻓﻊ‬:‫ ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺴﺪﺩ‬
‫ )ﻓﺄﻭﻑ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻛﻨﺖ ﻧﺬﺭﺕ ﰲ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﺃﻥ ﺃﻋﺘﻜﻒ ﻟﻴﻠﺔ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﺍﳊﺮﺍﻡ؟‬:‫ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ‬
‫)ﺑﻨﺬﺭﻙ‬.

Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Sa’iid, dari ‘Ubaidullah : Telah mengkhabarkan kepadaku Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa : Bahwasannya ‘Umar pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Aku pernah bernadzar di masa Jahiliyyah untuk ber-i’tikaaf semalam suntuk di Al-Masjidil-
Haram. Maka beliau menjawab : “Penuhilah nadzarmu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
2032].

Riwayat di atas menjelaskan kebolehan ber-i’tikaaf hanya di malam hari saja, sehingga tidak
perlu berpuasa di dalamnya.

Akan tetapi, membawakan riwayat tersebut untuk menunjukkan puasa bukan sebagai syarat
i’tikaaf mendapat sanggahan, karena dalam riwayat lain disebutkan nadzar ‘Umar adalah ber-
i’tikaaf selama sehari.

‫ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ‬:‫ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ‬:‫ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ‬،‫ ﻋﻦ ﺃﻳﻮﺏ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﲪﺎﺩ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻨﻌﻤﺎﻥ‬
،‫ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﻔﻲ ﺑﻪ‬،‫ ﺇﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻲ ﺍﻋﺘﻜﺎﻑ ﻳﻮﻡ ﰲ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ‬،‫ﺍﷲ‬....

Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Hammaad
bin Zaid, dari Ayyuub, dari Naafi : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyalaahu ‘anhu
pernah berkata : “Wahai Rasulullah, sesunguhnya aku pernah bernadzar ber-i’tikaaf selama
sehari di masa Jaahiliyyah”. Lalu beliau memerintahkannya agar nadzarnya itu dipenuhi.....
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3144].

Sanad riwayat ini munqathi’, karena Naafi’ tidak pernah meriwayatkan dari ‘Umar radliyallaahu
‘anhu. Akan tetapi ia dihukumi muttashil (bersambung) karena telah diketahui bahwa yang
menjadi perantara Naafi’ dengan ‘Umar adalah Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.

‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺟﺮﻳﺮ ﺑﻦ ﺣﺎﺯﻡ؛ ﺃﻥ ﺃﻳﻮﺏ ﺣﺪﺛﻪ؛ ﺃﻥ ﻧﺎﻓﻌﺎ ﺣﺪﺛﻪ؛ ﺃﻥ‬.‫ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﻭﻫﺐ‬.‫ﻭﺣﺪﺛﲏ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮ‬
‫ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﺭﺟﻊ‬،‫ ﻭﻫﻮ ﺑﺎﳉﻌﺮﺍﻧﺔ‬،‫ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺣﺪﺛﻪ؛ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺳﺄﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ ﻓﻜﻴﻒ ﺗﺮﻯ؟ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ! ﺇﱐ ﻧﺬﺭﺕ ﰲ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﺃﻥ ﺃﻋﺘﻜﻒ ﻳﻮﻣﺎ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﺍﳊﺮﺍﻡ‬:‫ ﻓﻘﺎﻝ‬،‫ﻣﻦ ﺍﻟﻄﺎﺋﻒ‬
‫))ﺍﺫﻫﺐ ﻓﺎﻋﺘﻜﻒ ﻳﻮﻣﺎ‬.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Dan telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir : Telah mengkhbarkan kepada kami ‘Abdullah
bin Wahb : Telah menveritakan kepada kami Jariir bin Haazim : Bahwasannya Ayyuub telah
menceritakan kepadanya : Bahwasannya Naafi’ telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya
‘Abdullah bin ‘Umar telah menceritakan kepadanya : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab
pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang saat itu ia berada di
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1656].

Tarjih

Melihat pendalilan dan hujjah masing-masing pendapat, maka yang raajih – wallaahu a’lam –
adalah pendapat jumhur. Tidak ada nash shahih dan sharih yang dikemukakan oleh pendapat
kedua (dari kalangan Maalikiyyah) yang menyatakan batas minimal. Seandainya shahih bahwa
puasa sebagai syarat sahnya i’tikaaf, maka itu juga tidak menunjukkan bahwa batas minimalnya
sehari semalam atau hanya sehari saja, karena satu ibadah tidaklah tergantung pada ukuran
syaratnya. Oleh karena itu, sah i’tikaaf walau hanya beberapa saat walau dengan syarat orang
yang melakukannya dalam keadaan berpuasa.

Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciomas, bogor – 1432 H].

Comments

Bayu mengatakan...

Ustadz, saya agak sedikit bingung dengan kesimpulan akhirnya.

"Oleh karena itu, sah i’tikaaf walau hanya beberapa saat dengan syarat orang yang
melakukannya dalam keadaan berpuasa."

jika dikatakan 'dalam keadaan berpuasa'; tidakkah itu berarti bahwa ada batasan bahwa
i'tikaf itu dilakukan di siang hari?

22 Agustus 2011 07:55

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Coba antum perhatikan lagi kalimat selengkapnya :

"Seandainya shahih bahwa puasa sebagai syarat sahnya i’tikaaf, maka itu juga tidak
menunjukkan bahwa batas minimalnya sehari semalam atau hanya sehari saja, karena satu
ibadah tidaklah tergantung pada ukuran syaratnya. Oleh karena itu, sah i’tikaaf walau hanya
beberapa saat dengan syarat orang yang melakukannya dalam keadaan berpuasa".
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Jadi, kalimat yang antum tanyakan itu dengan pengandaian bahwa puasa merupakan syarat
sahnya i'tikaaf. Ya, tentu saja itu dilakukan di siang hari.

Mungkin perlu saya perbaiki kalimatnya, karena yang dimaksud adalah : Orang tersebut
berpuasa.

22 Agustus 2011 08:46

Anonim mengatakan...

Sekarang banyak masjid yang sore hari melakukan taraweh dan witir malamnya melakukan
sholat qiyamul lail secara berjamaah .

Apakah hal ini dicontohkan generasi salaf ? dan kalau kita berada di masjid itu dalam rangka
i'tikaf apakah sebaiknya ikut sholat malam atau mencukupkan dengan sholat nafilah secara
sendiri-senfiri .

22 Agustus 2011 09:10

Anonim mengatakan...

abu aljauzaa biasa iktikaf di mesjid mana ? orang2/ust2 salafi/y biasa dimana ? boleh tahu ?

22 Agustus 2011 11:50

Anonim mengatakan...

@ anon 22-8/11.50. Alhamdulillah malam di ma'had khidmatussunnah metro pekalongan ada


i'tikaaf beberapa malam. bersama ust Azim dari tasik, dan banyak lagi info2 i'tikaaf kalo anta
mau googling...

Abu Aisyah

22 Agustus 2011 22:22

Abu Aqil di Langsa mengatakan...

mumtaz ustadz...

tambahan bagi fatwa ulama yang ana kutip. http://alatsar.wordpress.com/2011/08/21/itikaf-


minimal-satu-hari-atau-satu-jam/#more-1022

Barakallaahu fikum

23 Agustus 2011 09:07


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Anonim mengatakan...

ustadz, kalau boleh disimpulkan dari tulisan diatas jadi seperti ini.

Pertama, kalau itikaf itu dilakukan sehari semalam kalau dalam keadaan tidak berpuasa.
Karena ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu tidak menjadikan puasa syarat itikaf.

Kedua, kalau itikaf hanya sebentar saja misalkan hanya satu jam, maka syaratnya orang itu
harus dalam keadaan berpuasa.

Apakah benar kesimpulan ini? wallahu'alam.

24 Agustus 2011 19:20

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Tidak seperti itu.

Kesimpulannya adalah sah i'tikaf walaupun hanya beberapa saat - sebagaimana pendapat
jumhur - , baik di waktu siang ataupun malam.

Mungkin kalimat yang saya buat agak membingungkan ya... Untuk kedua kalinya, saya
perbaiki dengan menyisipkan kata 'walau' (yang saya warnai biru). Semoga dapat memberikan
kejelasan.

24 Agustus 2011 22:17

Alif Ba-ta mengatakan...

afwan ust. klo keluar dr tema..

mengenai ucapan maaf lahir batin..,apakah boleh mengucapkan asalkan tdk di khususkan n
tdk mnyakini ini adalah sunnah, lagian ini masuk dlm perkara muamalah,

gmn pendapat ust tntng pernyataan di atas, syukran,

http://alif-belajar.blogspot.com/

25 Agustus 2011 13:35

Anonim mengatakan...

Afwan Ustadz ana mo ikut nimbrung,

ana sedikit memberikan tanggapan


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

tentang kesimpulan pendapat yang rojih bahwa waktu minimal i'tikaf tidak ada batasannya.

ana setuju dengan pendapat batas i'tikaf adalah sehari semalam. adapun sanggahan
terhadap pendapat yang mengatkan tidak ada batasannya dari beberapa point :

1. kalo tidak ada batasan minimalnya tentu Rosululloh tidak membuat hal-hal yang
membatalkan puasa seperti keluar tanpa ada keperluan.

2. Para sahabat tidak mengatakan orang yang tinggal dimasjid walau sebentar dikatakan
i'tikaf, tapi lebih baik kalo dikatakan dia menunggu waktu sholat berikutnya sehingga bisa
mendapatkan pahala seperti orang yang sedang sholat sebagaimana dalam hadits yang shohih.

demikian sementara tanggapan saya, mohon maaf kalo saya tidak bisa menjelaskannya
secara ilmiyah karena keterbatasan ilmu yang ada pada saya.

Akhukum Fillah

Abu Said

26 Agustus 2011 10:45

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Terima kasih atas tanggapannya.

1. Tidak ada korelasi antara batas minimal i'tikaf dengan hal-hal yang membatalkan i'tikaf.
Begitu juga dengan ibadah-ibadah lain.

2. Justru Ya'laa bin Umayyah, dan ia seorang shahabat Nabi - memahami bahwa i'tikaf itu sah
walau dilakukan hanya beberapa saat saja. Dan seperti itulah yang dipahami oleh 'Atha'. Satu
perbuatan berdiam diri di masjid itu dinilai sebagai i'tikaf kalau memang diniatkan untuk i'tikaf.

Dan yang dituntut di sini adalah : Adakah shahabat Nabi yang mengatakan bahwa i'tikaf itu
harus sehari semalam ?.

26 Agustus 2011 11:41

Anonim mengatakan...

Tanya Ustadz: Sebenarnya bagamaimana contoh i'tikaaf yang dicontohkan oleh Rosululloh?
apakah Rosululloh pernah i'tikaaf atau tidak? terlepas dari bahasan "batas minimal waktu
i'tikaaf". Syukron atas perhatiannya.

abu abdillah
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

27 Agustus 2011 06:50

Anonim mengatakan...

Dan yang dituntut di sini adalah : Adakah shahabat Nabi yang mengatakan bahwa i'tikaf itu
harus sehari semalam ?.

jawabannya pasti tidak ada-lah ustad , karena kita sama-sama tau bagaimana sikap sahabat
terhadap junjungan kita shalallahu alaihi wassalam , mereka pasti tidak berani mendahului
Allah dan Rasul-Nya.

Justru kitalah yang sering mendahului Allah dan Rasul-Nya karena kebodohan dan
kesombongan, dan kita bermohon agar dijauhkan dari sikap yang demikian.

27 Agustus 2011 08:20


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

16. Qadlaa’ Shalat ‘Ied

Saat baca-baca lembar fesbuk, ada pertanyaan yang disampaikan seorang teman kepada teman
yang lain mengenai masalah di atas, yaitu ketika ada seseorang yang tertinggal shalat ‘Ied.
Walau pertanyaan itu bukan tertuju pada saya, tidak ada salahnya jika saya menyebutkan
beberapa paragraph keterangan yang disebutkan para ulama kita tentang bahasan yang
ditanyakan tersebut.

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Madzhab Hanafiyyah berpendapat –
dan ini yang masyhur dari mereka - tidak disyari’atkan qadlaa’, sedangkan jumhur ulama
berpendapat disyari’atkan qadlaa’.

Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah disyari’atkan qadlaa’, dengan dalil keumuman
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat berikut :

‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ﺓﹶ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ ﻭﺃﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﻋ‬،‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬،ّ‫ﺮﹺﻱ‬‫ّﻫ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﺰ‬،‫ﺋﹾﺐﹴ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺫ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﻡ‬‫ﺎ ﺁﺩ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﻮ‬‫ﻧﹺﻲ ﺃﹶﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،ّ‫ﺮﹺﻱﹺ‬‫ّﻫ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺰ‬‫ ﻋ‬،‫ﺐ‬‫ﻴ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺷ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺎﻥ‬‫ﻤ‬‫ﻮ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﻭﺣ‬‫ﻠﹶّﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹶّﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ّﺒﹺﻲﹺّ ﺻ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻋ‬،‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ﻋ‬
‫ّﻠﹶﺎﺓﹸ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﺖ‬‫ﻴﻤ‬‫ " ﺇﹺﺫﹶﺍ ﺃﹸﻗ‬:‫ﻘﹸﻮﻝﹸ‬‫ ﻳ‬‫ﻠﹶّﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹶّﻰ ﺍﷲُ ﻋ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺳ‬‫ ﺭ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ ﺳ‬:‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ ﺃﹶﻥﹶّ ﺃﹶﺑ‬،‫ﻦﹺ‬‫ﻤ‬‫ّﺣ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﺑﻦ‬ ‫ﺔﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﺳ‬
‫ّﻮﺍ‬‫ﻤ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﺗ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺎ ﻓﹶﺎﺗ‬‫ﻣ‬‫ﻠﹸّﻮﺍ ﻭ‬‫ ﻓﹶﺼ‬‫ﻢ‬‫ﻛﹾﺘ‬‫ﺭ‬‫ﺎ ﺃﹶﺩ‬‫ ﻓﹶﻤ‬،‫ﺔﹸ‬‫ﻴﻨ‬‫ّﻜ‬‫ ﺍﻟﺴ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻮﻥﹶ ﻋ‬‫ﺸ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻮﻫ‬‫ﺃﹾﺗ‬‫ﻥﹶ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻌ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻮﻫ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫" ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ‬

Telah menceritakan kepada kami Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi
Dzi’b, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Az-Zuhriy, dari Sa’iid dan Abu Salamah, dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah
menceritakan kepada kami Abul-Yamaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Syu’aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Salamah bin
‘Abdirrahmaan : Bahwasannya Abu Hurairah berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila shalat telah didirikan, janganlah kalian mendatanginya
sambil berlari. Datangilah dengan berjalan. Hendaklah kalian tenang. Apa yang kalian dapatkan
(raka’atnya), maka shalatlah, dan apa yang kalian tertinggal (raka’atnya), maka
sempurnakanlah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 908].

Al-Imaam Al-Bukhaariy membuat bab dalam Shahiih-nya1 :

‫ﻠﻲ ﺭﻛﻌﺘﲔ‬‫ ﻳﺼ‬‫ﺑﺎﺏ ﺇﹺﺫﺍ ﻓﺎﺗﻪ ﺍﻟﻌﻴﺪ‬

1
Dan ini menunjukkan madzhabnya.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Bab : Apabila seseorang ketinggalan shalat ‘Ied, hendaknya ia shalat dua raka’at”.
[Mukhtashar Shahih Al-Bukhaariy, 1/302].

‫ ﻭﺻﻠﻰ ﻛﺼﻼﺓ ﺃﻫﻞ ﺍﳌﺼﺮ ﻭﺗﻜﺒﲑﻫﻢ‬،‫ ﻓﺠﻤﻊ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﺑﻨﻴﻪ‬،‫ﻭﺃﻣﺮ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻣﻮﻻﻫﻢ ﺍﺑﻦ ﺃﰊ ﻋﺘﺒﺔ ﺑﺎﻟﺰﺍﻭﻳﺔ‬

“Dan Anas bin Maalik memerintahkan maulaa-nya yang bernama Ibnu Abi ‘Utbah yang tinggal
di Zaawiyyah, lalu ia mengumpulkan keluarganya dan orang kampungnya untuk shalat seperti
shalat dan takbirnya penduduk kota” [idem, no. 196].

Riwayat mu’allaq Anas yang disebutkan Al-Bukhaariy tersebut disambungkan oleh Ath-
Thahawiy rahimahullah sebagai berikut :

‫ﻦﹺ‬‫ﺲﹺ ﺑ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﻧ‬‫ﻜﹾﺮﹺ ﺑ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺪ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬: ‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻢ‬‫ﻴ‬‫ﺸ‬‫ ﺛﻨﺎ ﻫ‬: ‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻴﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺛﻨﺎ ﺳ‬: ‫ﻦﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻤ‬‫ّﺣ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺢ‬‫ﺎﻟ‬‫ﺎ ﺻ‬‫ّﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﺮﹺﻩ‬‫ﺼ‬‫ ﺇﻟﹶﻰ ﻣ‬‫ﻴﺪ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﺸ‬‫ ﻳ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻢ‬، ّ‫ ﺑﹺﺎﻟﻄﹶّﻒ‬‫ﻪ‬‫ﺰﹺﻟ‬‫ﻨ‬‫ﻲ ﻣ‬‫ ﺇﺫﹶﺍ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻓ‬: ‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﻲ‬‫ﺿ‬‫ ﺭ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻦﹺ ﻣ‬‫ﺲﹺ ﺑ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ّﻩ‬‫ﺪ‬‫ ﺟ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻣ‬
‫ﺮﹺ‬‫ﺼ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻛﹶﺼﻼﺓ ﺃﹶﻫ‬‫ّﻲ ﺑﹺﻬﹺﻢ‬‫ﻠ‬‫ﺼ‬‫ ﻓﹶﻴ‬، ‫ﺔﹶ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬، ‫ﻻﻩ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺄﹾﻣ‬‫ّ ﻳ‬‫ ﺛﹸﻢ‬، ‫ﻩ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ﻭ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻴ‬‫ﺍﻟ‬‫ﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺟ‬

Telah menceritakan kepada kami Shaalih bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidulah bin Abi Bakr bin Anas, dari kakeknya, yaitu Anas bin
Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Apabila ia berada di kediamannya di daerah Thaff, lalu
tidak menghadiri shalat ‘Ied di kota, maka ia mengumpulkan maula-maula dan anaknya.
Kemudian memerintahkan maulaa-nya yang bernama ‘Abdullah bin Abi ‘Utbah, lalu shalat
bersama mereka seperti shalatnya penduduk kota [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 4/348 no. 7289].

Sanad riwayat ini hasan. Shaalih bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Amru bin Al-Haarits; dikatakan Ibnu Abi
Haatim : “Tempatnya kejujuran” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 4/408 no. 1790]. Sa’iid dalam sanad
tersebut adalah Ibnu Manshuur bin Syu’bah Al-Khuraasaaniy, seorang yang tsiqah. ‘Ubaidullah
bin Abi Bakr bin Anas bin Maalik, seorang yang tsiqah.

Begitu juga dengan Ibnu Abi Syaibah yang juga menyambungkan sanadnya :

‫ﻢ‬ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﻋﻠﻴﺔ ﻋﻦ ﻳﻮﻧﺲ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺑﻌﺾ ﺁﻝ ﺃﻧﺲ ﺃﻥ ﺃﻧﺴﺎ ﻛﺎﻥ ﺭﲟﺎ ﲨﻊ ﺃﻫﻠﻪ ﻭﺣﺸﻤﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻓﺼﻞ‬
‫ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻋﺘﺒﺔ ﺭﻛﻌﺘﲔ‬

Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah, dari Yuunus, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami sebagian keluarga Anas : Bahwasannya Anas kadangkala mengumpulkan keluarga
dan pelayannya pada hari ‘Ied, lalu ‘Abdullah bin Abi ‘Utbah shalat mengimami mereka dua
raka’at [Al-Mushannaf, 2/183].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Namun sanadnya lemah karena mubham-nya keluarga Anas yang menyampaikan atsar.

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﲕ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺟﺮﻳﺞ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﻗﺎﻝ ﻳﺼﻠﻲ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻭﻳﻜﱪ‬

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’ (bin Abi
Rabbaah), ia berkata : “Shalat dua raka’at dan bertakbir” [idem; sanadnya shahih].

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺟﺮﻳﺮ ﻋﻦ ﻣﻐﲑﺓ ﻋﻦ ﲪﺎﺩ ﻋﻦ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻗﺎﻝ ﺇﺫﺍ ﻓﺎﺗﺘﻚ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻣﻊ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﻓﺼﻞ ﻣﺜﻞ ﺻﻼﺗﻪ ﻗﺎﻝ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ‬
‫ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺳﺘﻘﺒﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺍﺟﻌﲔ ﻓﻠﺘﺪﺧﻞ ﺃﺩﱏ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﰒ ﻓﻠﺘﺼﻞ ﺻﻼﺓ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﻭﻣﻦ ﻻ ﳜﺮﺝ ﺇﱃ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻓﻠﻴﺼﻞ ﻣﺜﻞ‬
‫ﺻﻼﺓ ﺍﻻﻣﺎﻡ‬

Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Mughiirah, dari Hammaad, dari Ibraahiim (An-
Nakha’iy), ia berkata : “Apabila engkau tertinggal shalat bersama imam, shalatlah seperti
shalatnya imam”. Ibraahiim berkata : “Dan apabila orang-orang sudah balik/bubar, hendaklah
engkau masuk ke masjid lalu shalat seperti shalatnya imam. Dan barangsiapa yang tidak keluar
untuk shalat ‘Ied, hendaklah ia shalat seperti shalatnya imam” [idem, 2/184; sanadnya shahih].

Maalik bin Anas rahimahullah berkata :

‫ﰲ ﺭﺟﻞ ﻭﺟﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗﺪ ﺍﻧﺼﺮﻓﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺇﻧﻪ ﻻ ﻳﺮﻯ ﻋﻠﻴﻪ ﺻﻼﺓ ﰲ ﺍﳌﺼﻠﻰ ﻭﻻ ﰲ ﺑﻴﺘﻪ ﻭﺃﻧﻪ ﺇﻥ‬
‫ﺻﻠﻰ ﰲ ﺍﳌﺼﻠﻰ ﺃﻭ ﰲ ﺑﻴﺘﻪ ﱂ ﺃﺭ ﺑﺬﻟﻚ ﺑﺄﺳﺎ ﻭﻳﻜﱪ ﺳﺒﻌﺎ ﰲ ﺍﻷﻭﱃ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﲬﺴﺎ ﰲ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ‬

“Apabila seseorang mendapati orang-orang telah selesai mengerjakan shalat ‘Ied, (sebagian
orang berpandangan bahwa) ia tidak perlu mengerjakan shalat di tanah lapang maupun di
rumahnya. (Akan tetapi), bila ia shalat (sendirian) di tanah lapang atau di rumahnya, menurutku
hal itu tidak mengapa. Hendaklah ia bertakbir tujuh kali di raka’at pertama dan lima kali pada
raka’at kedua sebelum Al-Fatihah” [Al-Muwaththa’ no. 477].

Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :

‫ ﺭﻭﻱ‬، ‫ ﻳﺼﻠﻲ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﻣﺜﻞ ﺻﻼﺓ ﺍﻹﻣﺎﻡ‬: ‫ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻃﺎﺋﻔﺔ‬، ‫ﺍﺧﺘﻠﻒ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻓﻴﻤﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻣﻊ ﺍﻹﻣﺎﻡ‬
‫ﱃ ﺍﻷﻗﻮﺍﻝ‬‫ ﻭﺃﹶﻭ‬، … ‫ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﰊ ﺛﻮﺭ‬، ‫ ﻋﻄﺎﺀ ﻭﺍﻟﻨﺨﻌﻲ ﻭﺍﳊﺴﻦ ﻭﺍﺑﻦ ﺳﲑﻳﻦ‬:‫ﺫﻟﻚ ﻋﻦ‬
‫ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ‬، ‫ّﻴﻬﺎ ﻛﻤﺎ ﺳﻨﻬﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬‫ﻠ‬‫ﺼ‬‫ ﺃﻥ ﻳ‬: ‫ﺑﺎﻟﺼﻮﺍﺏ‬

“Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang ketinggalan shalat ‘Ied bersama imam.
Berkata sekelompok ulama : Ia shalat dua raka’at seperti shalatnya imam. Diriwayatkan hal itu
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

dari ‘Athaa’, An-Nakha’iy, Al-Hasan, dan Ibnu Siiriin. Itulah pendapat yang dipegang Maalik, Asy-
Syaafi’iy, dan Abu Tsaur. ..... Dan pendapat yang paling tepat adalah : Ia shalat sebagaimana
disunnahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan itulah pendapat yang diisyaratkan
oleh Al-Bukhaariy2” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 2/573].

Tentang madzhab Ahmad bin Hanbal, maka Ishaaq pernah bertanya :

‫ ﺇﻥ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﺃﺭﺟﻮ ﺃﻥ ﳚﺰﺋﻪ‬: ‫ ﻗﺎﻝ‬.‫ ﻣﻦ ﻓﺎﺗﻪ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻛﻢ ﻳﺼﻠﻲ ؟‬: ‫ﻗﻠﺖ‬

“Aku bertanya : ‘Orang yang tertinggal shalat ‘Ied, berapa raka’at ia shalat (sebagai qadla’-nya)
?’. Ahmad menjawab : ‘Apabila ia shalat dua raka’at, aku harap itu telah mencukupinya”
[Masaailul-Imaam Ahmad wa Ishaaq bin Rahawaih, hal. 768 no. 399].

Dalam kitab Al-Inshaaf (2/433), disebutkan bahwa ia mengqadlanya sesuai dengan sifatnya
(dalam raka’at dan takbirnya), inilah riwayat yang masyhur dari Ahmad. 3

Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah berkata :

‫ ﺑﺄﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺭﻛﻌﺘﲔ ﺑﺎﻟﺘﻜﺒﲑﺍﺕ ﺍﻟﺰﻭﺍﺋﺪ ﺑﻌﺪ ﺗﻜﺒﲑﺓ ﺍﻹﺣﺮﺍﻡ ﰲ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ‬،‫ﻣﻦ ﻓﺎﺗﺘﻪ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺃﻥ ﻳﻘﻀﻴﻬﺎ‬
‫ﺍ ﺃﻭ ﻣﻊ ﲨﺎﻋﺔ‬‫ ﻭﻳﺼﻠﻴﻬﺎ ﻣﻨﻔﺮﺩ‬،‫ ﻭﳚﻬﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﺑﺎﻟﻘﺮﺍﺀﺓ‬،‫ ﻭﺑﻌﺪ ﺗﻜﺒﲑﺓ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺠﻮﺩ ﰲ ﺍﻟﺮﻛﻌﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ‬،‫ﺍﻷﻭﱃ‬

“Barangsiapa yang ketinggalan shalat ‘Ied, tidak mengapa untuk meng-qadla’-nya dengan
melakukan shalat dua raka’at; dengan takbir-takbir tambahan setelah takbiratul-ihraam pada
raka’at pertama, dan setelah takbir untuk berdiri dari sujud pada raka’at kedua. Ia men-jahr-kan
(mengeraskan) bacaan padanya. Ia boleh melakukan shalat qadlaa’ tersebut baik secara
munfarid (sendirian) atau bersama jama’ah” [Al-Muntaqaa min Fataawaa Fadliilatisy-Syaikh
Shaalih Al-Fauzaan, 3/93].

Kesimpulan : Disyari’atkan qadlaa’ bagi orang yang tertinggal shalat ‘Ied karena ‘udzur. Dan
tidaklah qadlaa’ dilakukan kecuali dengan sifat-sifat asalnya (dalam hal raka’at dan takbir).
Afdlal dilakukan secara berjama’ah.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

Semoga ada manfaatnya.

[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, 30 Ramadlaan 1432 H].

2
Lihat di awal tulisan, bersama catatan kaki no. 1.
3
Ada beberapa riwayat berbeda dari Ahmad dalam permasalahan ini.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Comments

Anonim mengatakan...

dalam hadisnya Rasul mengatakan bahwa umatku ini ummiy.. (tidak tau tulis baca. karena
pada waktu itu memang tidak ada umat yang tau teknologi untuk bs melihat bulan atau
menghitung kalender sesuai hisab). hadis Rasul yg mengatakan bahwa “berpuasalah karena
melihat bulan dan berbuka karena melihat bulan”, ini merupakan metode untuk menjawab
keummiyan umat Muhammad pd waktu itu. nah, sekarang ini kecanggian teknologi sudah
begitu pesatnya, kita sudah tau waktu berbuka tidak mesti melihat tenggelamnya matahari
dengan penglihatan yg sempurnah, jadi kalau sudah yakin bahwa metode hisab mengatakan
bahwa tgl 30 merupakan bulan baru, saya kira tidak diragukan bahwa tgl 30 merupakan 1
syawal. hal ini sesuai kata Allah bahwa Dialah yg menjadikan matahari dan bulan untuk
mengetahui hitungan tahun.. begitu. sukron

------

apa komentar ust dr prnyataan di atas..?, syukran jawabanx...

31 Agustus 2011 14:10

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Mulai berpuasa dan berbuka tetaplah berdasarkan peredaran matahari dan/atau bulan.
Begitu juga dengan waktu-waktu shalat. Adapun jadwal waktu shalat abadi, kalender, atau jam;
maka itu adalah alat bantu, bukan sebagai penentu.

Ketika Allah ta'ala melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa
puasa dimulai ketika melihat bulan, dan berakhir dengan melihat bulan juga; maka Dia tidaklah
lupa bahwa umatnya kelak akan mengenal jam, kalender, ilmu hitung, dan ilmu perbintangan.
Dan perintah untuk melihat bulan bukanlah untuk mwnjawab keummian Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam dan umatnya di waktu itu. Perintah ini mengandung hikmah yang besar sesuai
dengan universalan Islam. Ia dapat dipahami dan dipraktekkan oleh semua orang yang berakal,
di setiap tempat, dan di setiap waktu.

Ketika Allah ta'ala mengatakan bahwa bangsa Arab (waktu itu) adalah bangsa yang ummi
yang tidak bisa baca tulis, maka syari'at telah menganjurkankan mereka untuk
membaca/menulis dan mempelajarinya. Allah tidaklah lupa untuk itu. Namun ketika syari'at
memerintahkan untuk melihat bulan, maka ia tidak memerintahkan selain darinya (baca : ilmu
hisab falakiy). Padahal Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah berdoa untuk Mu'aawiyyah :

‫ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻋﻠﻢ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﳊﺴﺎﺏ ﻭﻗﻪ ﺍﻟﻌﺬﺍﺏ‬


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

"Ya Allah, anugerahkanlah kepada Mu’awiyah ilmu Al-Kitab (Al-Qur`an) dan Al-Hisab (ilmu
hitung) serta jauhkanlah ia dari adzab.” [Diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Al-
Albaaniy dalam Ash-Shahihah : 3227].

Tidak ternukil satu riwayat dari beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan
Mu'aawiyyah untuk mempelajari ilmu hisab falakiy. Tidak ternukil pula riwayat dari
Mu'aawiyyah hingga ia meninggal dunia, ia mempelajari ilmu hisab falakiy atau memerintahkan
kaum muslimin untuk mempelajari ilmu hisab falakiy. Dan sekali lagi, Allah tidaklah lupa. Jika
memang itu inti syari'at dalam penentuan ibadah (shalat atau puasa), niscaya Allah dan Rasul-
Nya akan memerintahkannya.....

1 September 2011 00:53

Rohis Facebook mengatakan...

Syukran ust tas jawabax:

ini ust sy berikan linkx tntng 'Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?'

http://regional.kompasiana.com/2011/09/04/mengapa-muhammadiyah-memakai-hisab/

mgkn ust bisa mengomentarix lebih jauh...,

4 September 2011 23:12

Anonim mengatakan...

Bagus artikelnya, terima kasih ustadz. Oh ya ustadz, jika antum ga berkeberatan, tolong
dibahas (ditinjau dari sisi riwayat) mengenai rukhshah untuk tidak shalat Jum'at ketika sudah
menunaikan sholat 'Ied ketika hari raya Ied bertepatan dengan hari Jum'at.

Jazakalloh khoir

5 September 2011 16:30

fahruljawi mengatakan...

Assalamu`alaikum

Apa tanggapan ustadz ttg penentuan puasa dan hari raya pemerintah dengan hisab imkanur
rukyat yaitu

Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

-Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan
sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau

-Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.

Bila tak memenuhi kriteria di atas maka semua kesaksian hilal ditolak,inilah sebabnya
kesaksian hilal 1 Syawal 1432 H di Cakung Jakarta ditolak karena masih di bawah 2 derajat.
Mohon penjelasan / tanggapan ustadz.

17 September 2011 16:41

fahruljawi mengatakan...

Rohis Facebook:

Muhammadiyah menurut pengakuan beberapa ahli astronomi mengatakan metode hisab


mereka sudah ketinggalan zaman sudah ada hisab imkanur rukyat MABIBS yang dipakai ormas2
islam. Tentang Imkanur Rukyat MABIMS:

Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan
berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada
Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:

Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:

* Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°,
dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau

* Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.

Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal.


Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode
hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi.

* Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu
belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.

* Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian
ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga
awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.

* Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat
secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab
sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat
menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam
kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.

Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak
mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi
ini.Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.

Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap
tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat
(BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang
Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru,
atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara
lain oleh Persis

Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa,
dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.

17 September 2011 16:44

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Penentuan puasa atau hari raya adalah berdasarkan ru'yah. Apabila melihat hilal, maka itulah
bulan baru. Jika tidak terlihat, maka masih ada di bulan lama. Adapun imkaanur-ru'yah, itu
adalah peristilahan para pakar astronomi dimana mereka mengatakan secara teoristis, bulan
tidak akan mungkin terlihat jika ketinggiannya kurang dari dua derajat.

Sebagian ulama (misalnya : Syaikh 'Abdullah bin Sulaimaan Al-Manii' hafidhahullah)


mengatakan bahwa ilmu semacam ini boleh digunakan untuk menerima atau menolak satu
persaksian. Maksudnya, jika secara ilmu pengetahuan bulan tidak mungkin terlihat pada
ketinggian derajat tertentu, maka ulil-amri boleh menolak persaksian seseorang yang mengaku
telah melihat hilaal, karena kemungkinan persaksian itu keliru.

Menerima atau menolak persaksian seperti ini tidaklah berarti menggunakan ilmu hisab
falakiy dalam penentuan awal puasa atau hari raya. Karena, ketika secara ilmu pengetahuan
bulan memungkinkan untuk dilihat, maka tetap dilakukan ru'yat. Jika terlihat, maka dimulai
puasa atau hari raya. Jika tidak, maka perhitungan bulan digenapkan 30 hari.

wallaahu a'lam.

17 September 2011 21:33


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

17. Waktu Dimulainya Takbir ‘Iedul-Fithri

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini.

Pendapat pertama mengatakan bahwa takbir dimulai saat ketika tenggelamnya matahari di hari
terakhir bulan Ramadlaan dan terlihatnya hilaal bulan Syawaal.

Dalil yang mereka pakai antara lain firman Allah ta’ala :

‫ﻭﻥﹶ‬‫ﻜﹸﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﺗ‬‫ﻠﹶّﻜﹸﻢ‬‫ﻟﹶﻌ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﻛﹸﻢ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ﻠﹶﻰ ﻣ‬‫ ﻋ‬‫ﻭﺍ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﻜﹶﺒﹺّﺮ‬‫ﺘ‬‫ﻟ‬‫ّﺓﹶ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻜﹾﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻟ‬‫ﻭ‬

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” [QS. Al-Baqarah : 185].

Sisi pendalilannya : Penyebutan takbir dalam ayat tersebut merupakan tartib setelah orang-
orang menyempurnakan puasa bulan Ramadlaan. Puasa bulan Ramadlaan berakhir dengan
terbenamnya matahari (di hari terakhir bulan Ramadlaan), sehingga otomatis setelah itu
disyari’atkan untuk bertakbir.

Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata tentang ayat di atas :

‫ ﻟﺘﻜﻤﻠﻮﺍ ﻋﺪﺓ ﺻﻮﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺗﻜﱪﻭﺍ ﺍﷲ ﻋﻨﺪ ﺇﻛﻤﺎﻟﻪ ﻋﻠﻰ‬: ‫ﲰﻌﺖ ﻣﻦ ﺃﺭﺿﻰ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﻳﻘﻮﻝ‬
‫ ﻭﺇﻛﻤﺎﻟﻪ ﻣﻐﻴﺐ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻣﻦ ﺁﺧﺮ ﻳﻮﻡ ﻣﻦ ﺃﻳﺎﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬،‫ﻣﺎ ﻫﺪﺍﻛﻢ‬

“Aku telah dari mendengar orang yang aku ridlai dari kalangan orang yang berilmu tentang Al-
Qur’an berkata : ‘Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan puasa bulan Ramadlaan. Dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) dalam hal penyempurnaannya, atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu. Dan penyempurnaannya adalah terbenamnya matahari pada
hari terakhir bulan Ramadlaan” [Al-Umm, 2/486 - dikutip juga oleh Al-Baihaqiy, 3/278].

Di lain tempat ia juga berkata :

‫ ﰲ ﻛﻞ ﺣﺎﻝ ﺣﱴ ﳜﺮﺝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻟﺼﻼﺓ‬،‫ ﻓﺮﺍﺩﻯ ﻭﲨﺎﻋﺔ‬،‫ ﺣﲔ ﺗﻐﻴﺐ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬،‫ﻳﻜﱪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﰲ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬
‫ ﰒ ﻳﻘﻄﻌﻮﻥ ﺍﻟﺘﻜﺒﲑ‬،‫ﺍﻟﻌﻴﺪ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

“Orang-orang bertakbir pada ‘Iedul-Fithri, ketika terbenamnya matahari pada malam ‘Iedul-
Fithri, secara sendiri-sendiri ataupun berjama’ah, pada setiap keadaan hingga imam keluar
untuk mengerjakan shalat ‘Ied. Kemudian mereka menghentikan takbiir” [Al-Umm, 2/519].

Ibnu Haani’ rahimahullah berkata :

‫ ﻛﺎﻥ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻳﻜﱪ ﺇﺫﺍ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻌﺸﺎﺀ‬:‫ ﻓﺘﺮﻯ ﺃﻥ ﻳﻜﱪ ﻣﻦ ﺳﺎﻋﺔ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ ﻣﻦ ﺍﳌﻐﺮﺏ؟ ﻗﺎﻝ‬:‫ﻗﻠﺖ‬

“Aku bertanya : ‘Apakah engkau berpandangan untuk bertakbir dari saat berbuka pada waktu
maghrib ?’. Ahmad menjawab : ‘Adalah Ibnu ‘Umar bertakbir apabila selesai shalat ‘Isyaa’”
[Masaail Ibni Haani’ li-Ahmad bin Hanbal, 1/94 no. 472].

Inilah pendapat masyhuur madzhab Hanaabilah [Al-Inshaaf, 2/434].

Catatan : Setahu saya, tidak ada riwayat dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘annhumaa yang
menyatakan ia bertakbir setelah shalat ‘Isyaa’. Ada satu riwayat yang menyatakan ia bertakbir
pada waktu malam, namun statusnya adalah munkar (lihat penjelasannya di bawah).

Ibnu Hazm rahimahullah :

:‫ ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﱃ ﻭﻗﺪ ﺫﻛﺮ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ‬،‫ ﻭﻫﻮ ﰲ ﻟﻴﻠﺔ ﻋﻴﺪ ﺍﻻﺿﺤﻰ ﺣﺴﻦ‬،‫ﻭﺍﻟﺘﻜﺒﲑ ﻟﻴﻠﺔ ﻋﻴﺪ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻓﺮﺽ‬
‫)ﻭﻟﺘﻜﻤﻠﻮﺍ ﺍﻟﻌﺪﺓ ﻭﻟﺘﻜﱪﻭﺍ ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻫﺪﺍﻛﻢ( ﻓﺒﺈﻛﻤﺎﻝ ﻋﺪﺓ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺟﺐ ﺍﻟﺘﻜﺒﲑ‬

“Takbir pada waktu malam ‘Iedul-Fithri adalah wajib, dan takbir pada malam ‘Iedul-Adlhaa
adalah baik. Allah ta’ala berfirman menyebutkan puasa Ramadlaan : ‘Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu’ (QS. Al-Baqarah : 185). Maka dengan sempurnanya bilangan puasa
Ramadlaan, wajib untuk bertakbir...” [Al-Muhallaa, 5/89].

‫ ﲰﻌﺖ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺳﻠﻢ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﻋﻦ ﺩﺍﻭﺩ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ‬،‫ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺍﺑﻦ ﺍﳌﺒﺎﺭﻙ‬،‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻮﻳﺪ ﺑﻦ ﻧﺼﺮ ﻗﺎﻝ‬،‫ﺣﺪﺛﲏ ﺍﳌﺜﲏ ﻗﺎﻝ‬
،‫ﺮﻯ ﺍﳍﻼﻝ ﺣﱴ ﻳﻨﺼﺮﻑ ﺍﻹﻣﺎﻡ‬‫ ﻣﻦ ﺣﲔ ﻳ‬‫ ﻓﺎﻟﺘﻜﺒﲑ‬،‫ ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻯ ﺍﳍﻼﻝ‬:‫ ﻗﺎﻝ‬،"‫"ﻭﻟﺘﻜﱪﻭﺍ ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻫﺪﺍﻛﻢ‬:‫ﻳﻘﻮﻝ‬
‫ ﺇﻻ ﺑﺘﻜﺒﲑﻩ‬‫ ﻓﻼ ﻳﻜﱪ‬‫ ﻛﻒ‬‫ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺣﻀﺮ ﺍﻹﻣﺎﻡ‬،‫ﰲ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﻭﺍﳌﺴﺠﺪ‬.

Telah menceritakan kepadaku Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami


Suwaid bin Nashr, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnul-Mubaarak, dari
Daawud bin Qais, ia berkata : Aku mendengar Zaid bin Aslam berkata : “Firman Allah : ‘dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu’ (QS. Al-
Baqarah : 185), yaitu apabila seseorang melihat hilaal, maka takbir dilakukan dari ketika ia
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

melihat hilaal hingga imam berpaling (selesai). Takbir dikumandang di jalan dan di masjid,
kecuali jika imam telah hadir, maka berhenti. Janganlah ia bertakbir kecuali dengan takbirnya”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy, 3/478-479 no. 2901].

Riwayat ini lemah dikarenakan Al-Mutsannaa, syaikh Ath-Thabariy, seorang yang majhuul haal.1

‫ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺇﺫﺍ ﻧﻈﺮﻭﺍ‬‫ ﺣﻖ‬:‫ ﻛﺎﻥ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻳﻘﻮﻝ‬:‫ ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺪ‬،‫ ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺍﺑﻦ ﻭﻫﺐ ﻗﺎﻝ‬،‫ﺣﺪﺛﲏ ﻳﻮﻧﺲ ﻗﺎﻝ‬
‫"ﻭﻟﺘﻜﻤﻠﻮﺍ ﺍﻟﻌﺪﺓ ﻭﻟﺘﻜﱪﻭﺍ‬:‫ ﻷﻥ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﺫﻛﺮﻩ ﻳﻘﻮﻝ‬،‫ﻭﺍ ﺍﷲ ﺣﱴ ﻳﻔﺮﻏﻮﺍ ﻣﻦ ﻋﻴﺪﻫﻢ‬‫ﺇﱃ ﻫﻼﻝ ﺷﻮﺍﻝ ﺃﻥ ﻳﻜﱪ‬
‫"ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻫﺪﺍﻛﻢ‬.

Telah menceritakan kepadaku Yuunus, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu
Wahb, ia berkata : Telah berkata Ibnu Zaid : Ibnu ‘Abbaas pernah berkata : “Hak bagi kaum
muslimin apabila mereka melihat hilaal bulan Syawaal adalah bertakbir kepada Allah hingga
mereka menyelesaikan ‘Ied mereka, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu’ (QS. Al-Baqarah : 185)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy, 3/479 no. 2903].

Sanad riwayat ini lemah atau mungkin sangat lemah karena ‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Aslam,
ia seorang yang lemah menurut kesepakatan ulama (sebagaimana dikatakan Ibnul-Jauziy). 2 Juga
karena adanya keterputusan (inqitha’) antara dirinya dengan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa.

‫ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﲏ ﺻﺎﱀ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺯﺍﺋﺪﺓ ﺃﻧﻪ ﲰﻊ ﺍﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﻭﻋﺮﻭﺓ ﺑﻦ ﺍﻟﺰﺑﲑ ﻭﺃﺑﺎ ﺳﻠﻤﺔ ﻭﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ‬
‫ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﻳﻜﱪﻭﻥ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﰲ ﺍﳌﺴﺠﺪ ﳚﻬﺮﻭﻥ ﺑﺎﻟﺘﻜﺒﲑ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim (bin Muhammad), ia berkata : Telah


menceritakan kepadaku Shaalih bin Muhammad bin Zaaidah : Bahwasannya ia mendengar
Sa’iid bin Al-Musayyib, ‘Urwah bin Az-Zubair, Abu Salamah, Abu Bakr bin ‘Abdirrahmaan

1
Yang mahfuudh dari riwayat Zaid bin Aslam rahimahullah adalah :
‫ ﺍﻟﺘﻜﺒﲑ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﰊ ﺛﻨﺎ ﺳﻬﻞ ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺍﳌﺒﺎﺭﻙ ﻋﻦ ﺩﺍﻭﺩ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﻋﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺳﻠﻢ ﰲ ﻗﻮﻟﻪ }ﻭﻟﺘﻜﱪﻭﺍ ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻫﺪﺍﻛﻢ{ ﻗﺎﻝ‬
Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Sahl bin ‘Utsmaan : Telah
menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak, dari Daawud bin Qais, dari Zaid bin Aslam tentang firman Allah ta’ala :
‘dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu’ (QS. Al-Baqarah : 185), ia
berkata : “Takbiir pada hari ‘Iedul-Fithri” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya, 1/344; sanadnya
shahih].
2
Bahkan Ibnu Ma’iin berkata berkata : “Haditsnya tidak ada apa-apanya”. Ibnu Sa’d berkata : “Sangat lemah”. As-
Saajiy berkata : “Munkarul-hadiits”. Al-Haakim dan Abu Nu’aim berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya hadits-
hadits palsu” [Tahdziibut-Tahdziib, 6/177-179 no. 361].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

bertakbir pada malam ‘Iedul-Fithri di masjid, dimana mereka mengeraskan takbirnya itu
[Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm, 2/486-487 no. 495].

Sanad riwayat d atas sangat lemah, karena Ibraahiim bin Muhammad (bin Abi Yahyaa Al-
Aslamiy), seorang yang matruuk.

‫ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺍﻷﺻﺒﻬﺎﱐ ﺃﻧﺒﺄ ﺃﺑﻮ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻴﺎﻥ ﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺃﰊ ﻋﺎﺻﻢ ﺛﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﻣﺼﻔﻰ ﺣﺪﺛﲏ‬
‫ﳛﲕ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺍﻟﻌﻄﺎﺭ ﺛﻘﺔ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻜﱪ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬
‫ﺣﱴ ﻳﻐﺪﻭ ﺇﱃ ﺍﳌﺼﻠﻰ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin Al-Haarits Al-Faqiih Al-Ashbahaaniy : Telah
memberitakan Abu Muhammad bin Hayyaan : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi
‘Aashim : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mushaffaa : Telah menceritakan kepadaku
Yahyaa bin Sa’iid Al-‘Aththaar, seorang yang tsiqah, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Ubaidullah bin
‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia bertakbir pada malam ‘Iedul-Fithri hingga
pagi hari saat ia keluar menuju tanah lapang [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 3/278-279].

Yahyaa bin Sa’iid adalah seorang yang lemah, dimana ia meriwayatkan hadits-hadits munkar
sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin dan As-Saajiy. Riwayat ini bertentangan dengan riwayat-
riwayat Ibnu ‘Umar lain yang tidak menyebutkan lafadh : ‘malam hari’, sehingga tambahan ini
munkar. Setelah menyebutkan riwayat ini Al-Baihaqiy berkata : ‘Penyebutan waktu malam
dalam riwayat tersebut ghariib”.

Pendapat kedua, dan ia adalah pendapat jumhur ulama, mengatakan bahwa takbir ‘Iedul-Fithri
dilakukan pada pagi hari ketika keluar menuju tanah lapang untuk menunaikan shalat. An-
Nawawiy rahimahullah berkata :

‫ ﺣﻜﺎﻩ ﺍﺑﻦ ﺍﳌﻨﺬﺭ ﻋﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ‬،‫ﻗﺎﻝ ﲨﻬﻮﺭ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻻ ﻳﻜﱪ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﺇﳕﺎ ﻳﻜﱪ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻐﺪﻭ ﺇﱃ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪ‬

“Jumhur ulama mengatakan tidak ada takbir pada malam ‘Ied. Bertakbir hanya dilakukan
ketika keluar di pagi hari menuju shalat ‘Ied. Ibnul-Mundzir menghikayatkannya dari
kebanyakan ulama” [Al-Majmuu’, 5/48].

Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :

‫ ﻓﻤﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﻳﻔﻌﻞ‬،‫ﻢ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻜﱪﻭﻥ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺇﺫﺍ ﻏﺪﻭﺍ ﺇﱃ ﺍﻟﺼﻼﺓ‬‫ﻓﺄﻣﺎ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻷﺧﺒﺎﺭ ﻋﻦ ﺍﻷﻭﺍﺋﻞ ﺩﺍﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺃ‬
‫ ﻭﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻃﺎﻟﺐ ﻭﺃﰊ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻲ ﻭﺃﰊ ﺭﻫﻢ ﻭﻧﺎﺱ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬،‫ﺫﻟﻚ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ‬
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ ﻭﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﻨﺨﻌﻲ ﻭﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺟﺒﲑ ﻭﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺃﰊ ﻟﻴﻠﻰ ﻭﺃﺑﻮ ﺍﻟﺰﻧﺎﺩ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻋﻤﺮ‬..‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻭﺃﺑﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﺃﰊ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻭﺍﳊﻜﻢ ﻭﲪﺎﺩ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ‬
‫ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﻭﺃﺑﻮ ﺛﻮﺭ‬

“Adapun seluruh riwayat dari awal menunjukkan bahwasannya mereka bertakbir pada hari
‘Iedul-Fithri apabila keluar di pagi hari menuju shalat. Dan yang termasuk orang yang
melakukannya adalah Ibnu ‘Umar. Dan diriwayatkan hal itu dari ‘Aliy bin Abi Thaalib, Abu
Umaamah Al-Baahiliy, Abu Rahm, dan sekelompok orang dari shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam.... Dan hal itu juga dilakukan oleh Ibraahiim An-Nakha’iy, Sa’iid bin Jubair,
‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa, Abuz-Zinaad, dan ia adalah pendapat ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz,
Abaan bin ‘Utsmaan, Abu Bakr bin Muhammad, Al-Hakam, Hammaad, Maalik bin Anas, serta
dengannya Ahmad bin Hanbal, Ishaaq, dan Abu Tsaur berpendapat” [Al-Ausath, 4/249].

Catatan : Tidak semua penisbatan riwayat Ibnul-Mundzir dari kalangan salaf di atas berkualitas
shahih.

Dalil yang mereka pakai adalah :

‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﺨ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻳ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺳ‬‫ " ﺃﹶﻥﹼ ﺭ‬: ‫ﺮﹺﻱ‬‫ﻫ‬‫ﻦﹺ ﺍﻟﺰ‬‫ ﻋ‬، ‫ﺋﹾﺐﹴ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺫ‬‫ﻦﹺ ﺍﺑ‬‫ ﻋ‬، ‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺎﺭ‬‫ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺰﹺﻳﺪ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﻜﹾﺒﹺﲑ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﻠﹶﺎﺓﹶ ﻗﹶﻄﹶﻊ‬‫ﻰ ﺍﻟﺼ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﺫﹶﺍ ﻗﹶﻀ‬، ‫ﻠﹶﺎﺓﹶ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻲ‬‫ﻘﹾﻀ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﺣ‬‫ ﻭ‬، ‫ﻠﱠﻰ‬‫ﺼ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻲ‬‫ﺄﹾﺗ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬‫ﺮ‬‫ﻜﹶﺒ‬‫ ﻓﹶﻴ‬، ‫ﻄﹾﺮﹺ‬‫ ﺍﻟﹾﻔ‬‫ﻡ‬‫ﻮ‬‫"ﻳ‬.

Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Az-Zuhriy :
Bahwasannya Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari rumah beliau) pada hari
‘Iedul-Fithri, maka beliau bertakbir hingga tiba di tanah lapang, dan hingga ditunaikannya
shalat. Apabila shalat telah selesai, beliau menghentikan takbir [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah 2/164; sanadnya shahih, akan tetapi mursal]. 3

Diriwayatkan pula oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Al-‘Ilal (no. 2376), yang kemudian berkata :

‫ﺙﹾ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ ﻟﹶﺎ ﺗ‬: ‫ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ ﻭ‬, ‫ﺙﹶ ﺑﹺﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺎﻩ‬‫ﻬ‬‫ﺋﹾﺐﹴ ﻓﹶﻨ‬‫ﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺫ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﺑ‬‫ﺔﹸ ﻋ‬‫ﺒ‬‫ﻌ‬‫ﻞﹶ ﺷ‬‫ﺧ‬‫ ﺩ‬: ‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ ﺛﹸﻢ‬, ‫ﻜﹶﺮ‬‫ﻨ‬‫ﻳﺚﹲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﺬﹶﺍ ﺣ‬‫ ﻫ‬: ‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﹺﻲ‬
‫ﺔﹸ‬‫ﺒ‬‫ﻌ‬‫ ﺷ‬‫ﻩ‬‫ﻜﹶﺮ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬، ‫ﺬﹶﺍ‬‫ﺑﹺﻬ‬

“Ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkata : ‘Ini adalah hadits munkar’. Kemudian ia berkata :
‘Syu’bah masuk menemui Ibnu Abi Dzi’b, lalu ia melarangnya untuk meriwayatkan hadits

3
Ada riwayat maushul dengan menyebutkan perantara Ibnu ‘Umar setelah Az-Zuhriy, sebagaimana diriwayatkan
oleh Ad-Daaruquthniy no. 1714, Al-Haakim 1/297-298, dan Al-Baihaqiy 3/279. Akan tetapi riwayat ini lemah.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

tersebut. Ia (Syu’bah) berkata : ‘Janganlah engkau meriwayatkan hadits ini’. Syu’bah


mengingkari hadits tersebut” [selesai].

Penghukuman Ahmad ini perlu untuk dikritisi, karena ia muncul dengan sebab pengingkaran
Syu’bah terhadap riwayat tersebut. Dan Syu’bah sendiri tidak menjelaskan sebab mengapa ia
melarang Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan hadits tersebut. Ibnu Abi Dzi’b adalah seorang yang
tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan dimana Al-Bukhaariy dan Muslim mengambil
riwayatnya yang berasal dari Az-Zuhriy dalam kitab Shahiih mereka.

Riwayat mursal ini dikuatkan oleh :

‫ﺃﺧﱪﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﻃﺎﻫﺮ ﻧﺎ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻧﺎ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﻭﻫﺐ ﺛﻨﺎ ﻋﻤﻲ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ‬
‫ﻋﻤﺮ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﳜﺮﺝ ﰲ ﺍﻟﻌﻴﺪﻳﻦ ﻣﻊ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻭﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ‬
‫ﻭﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻭﻋﻠﻲ ﻭﺟﻌﻔﺮ ﻭﺍﳊﺴﻦ ﻭﺍﳊﺴﲔ ﻭﺃﺳﺎﻣﺔ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﻭﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺣﺎﺭﺛﺔ ﻭﺃﳝﻦ ﺑﻦ ﺃﻡ ﺃﳝﻦ ﺭﺍﻓﻌﺎ ﺻﻮﺗﻪ ﺑﺎﻟﺘﻬﻠﻴﻞ‬
‫ﻭﺍﻟﺘﻜﺒﲑ ﻓﻴﺄﺧﺬ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﳊﺪﺍﺩﻳﻦ ﺣﱴ ﻳﺄﰐ ﺍﳌﺼﻠﻰ ﻓﺈﺫﺍ ﻓﺮﻍ ﺭﺟﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﳊﺬﺍﺋﲔ ﺣﱴ ﻳﺄﰐ ﻣﱰﻟﻪ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu bakr
: Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Aliy bin Wahb : Telah menceritakan kepada
kami pamanku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dri ‘Abdullah
bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat ‘Ied
bersama Al-Fadhl bin ‘Abbaas, ‘Abdullah bin ‘Abbaas, Al-‘Abbaas, ‘Aliy, Ja’far, Al-Hasan, Al-
Husain, Usaamah bin Zaid, Zaid bin Haaritsah, dan Aiman bin Ummu Aiman mengeraskan
suaranya dengan tahliil dan takbiir. Mereka mengambil satu jalan hingga sampai di tanah
lapang. Ketika telah selesai, beliau mengambil jalan lain hingga sampai di rumah beliau”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1431].

Sanad hadits ini lemah karena kelemahan dalam faktor hapalan Ahmad bin ‘Aliy bin Wahb4 dan
‘Abdullah bin ‘Umar. Namun ia bisa digunakan sebagai i’tibar.

Oleh karena itu, sanad riwayat ini hasan lighairihi. Dishahihkan pula oleh Al-Albaaniy dalam Ash-
Shahiihah 1/329-331 no. 171.

Riwayat di atas dikuatkan juga oleh riwayat berikut :

4
Yang benar namanya adalah : Ahmad bin ‘Abdirrahmaan bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺣﻔﺺ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﰊ ﻋﻦ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ ﺣﻔﺼﺔ ﻋﻦ ﺃﻡ ﻋﻄﻴﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﻛﻨﺎ ﻧﺆﻣﺮ ﺃﻥ ﳔﺮﺝ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ‬
‫ﺣﱴ ﳔﺮﺝ ﺍﻟﺒﻜﺮ ﻣﻦ ﺧﺪﺭﻫﺎ ﺣﱴ ﳔﺮﺝ ﺍﳊﻴﺾ ﻓﻴﻜﻦ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻴﻜﱪﻥ ﺑﺘﻜﺒﲑﻫﻢ ﻭﻳﺪﻋﻮﻥ ﺑﺪﻋﺎﺋﻬﻢ ﻳﺮﺟﻮﻥ‬
‫ﺑﺮﻛﺔ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻭﻃﻬﺮﺗﻪ‬

Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafsh, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
ayahku, dari ‘Aashim, dari Hafshah, dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata : “Kami diperintahkan
untuk keluar pada hari ’Ied, hingga kami pun mengeluarkan wanita-wanita gadis dari tempat
pingitannya dan para wanita haidl untuk ditempatkan di belakang orang-orang. Maka mereka
pun bertakbir mengikuti takbir kaum laki-laki dan berdoa mengikuti doa kaum laki-laki. Mereka
mengharapkan barakah dan kesucian pada hari itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 971].

Sisi pendalilannya : Takbir yang dilakukan adalah pada saat orang-orang keluar menuju shalat
‘Ied di tanah lapang di pagi hari.

‫ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻜﱪ ﺇﺫﺍ ﻏﺪﺍ ﺇﱃ ﺍﳌﺼﻠﻰ‬: ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﳛﲕ ﺃﺑﻨﺎ ﻣﻌﻦ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ‬
‫ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻌﻴﺪ‬

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ja’far bin Yahyaa : Telah memberitakan kepada
kami Ma’n, dari Maalik, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia bertakbir apabila pergi di
waktu pagi menuju tanah lapang pada hari ‘Ied [Diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam
Ahkaamul-‘Iedain, hal. 110 no. 39; sanadnya shahih].

Sebagaimana diketahui, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu adalah salah seorang shahabat yang
sangat besar semangat ittiba’-nya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

: ‫ ﻗﺎﻻ‬،‫ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻋﻦ ﺇﻇﻬﺎﺭ ﺍﻟﺘﻜﺒﲑ ﰲ ﺍﻟﻌﻴﺪﻳﻦ‬‫ ﺳﺄﻟﺖ‬: ‫ﺣﺪﺛﲏ ﺻﻔﻮﺍﻥ ﺑﻦ ﺻﺎﱀ ﺛﻨﺎ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﻛﺎﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻳﻈﻬﺮﻩ ﰲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺣﱴ ﳜﺮﺝ ﺍﻹﻣﺎﻡ‬،‫ﻧﻌﻢ‬

Telah menceritakan kepadku Shafwaan bin Shalih : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid,
ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Auzaa’iy dan Maalik bin Anas tentang mengeraskan
takbir pada waktu ‘Iedain ?”. Mereka berdua menjawab : “Ya, dulu ‘Abdullah bin ‘Umar
mengeraskannya pada hari ‘Iedul-Fithri hingga imam keluar (untuk mengimami)” [Diriwayatkan
oleh Al-Firyaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedain, hal. 111 no. 41; sanadnya shahih].

Sahnuun rahimahullah berkata :


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

‫ﻭﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﺘﻜﺒﲑ ﺇﺫﺍ ﺧﺮﺝ ﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪﻳﻦ ﻳﻜﱪ ﺣﲔ ﳜﺮﺝ ﺇﱃ ﺍﳌﺼﻠﻰ‬

“Dan berkata Maalik : ‘Dan takbir adalah apabila seseorang keluar menuju shalat ‘Iedain, ia
bertakbir ketika keluar hingga sampai di tanah lapang” [Al-Mudawwanah, 1/167].

‫ ﺳﺄﻟﺖ ﺍﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﻋﻦ ﺗﻜﺒﲑ‬: ‫ ﺃﺧﱪﱐ ﺍﺑﻦ ﺃﰊ ﺫﺋﺐ ﻗﺎﻝ‬: ‫ ﻗﺎﻝ‬- ‫ ﻳﻌﲏ ﺍﺑﻦ ﺍﳌﺒﺎﺭﻙ‬- ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﳘﺎﻡ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ‬
‫ ﻭﺗﺮﻙ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬،‫ ﺍﻟﺘﻜﺒﲑﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬: ‫ ﻓﻘﺎﻝ‬،‫ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻔﻄﺮ‬

Telah menceritakan kepada kami Abu Hamaam : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah –
yaitu Ibnul-Mubaarak - , ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Abi Dzi’b, ia berkata :
Aku pernah bertanya kepada Ibnu Syihaab (Az-Zuhriy) tentang takbir pada malam ‘Iedul-Fithri,
lalu ia menjawab : “Takbir itu dilakukan pada hari ‘Iedul-Fithri”. Dan ia meninggalkan (takbir)
pada malam ‘Iedul-Fithri [Diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedain, hal. 117 no.
58; sanadnya shahih].

‫ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻜﱪﻭﻥ ﻣﻦ ﺣﲔ ﳜﺮﺟﻮﻥ ﻣﻦ‬: ‫ ﻗﺎﻝ‬،‫ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻱ‬،‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﲤﻴﻢ ﺑﻦ ﺍﳌﻨﺘﺼﺮ ﺃﺑﻨﺎ ﻳﺰﻳﺪ ﺃﺑﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺃﰊ ﺫﺋﺐ‬
‫ ﻓﺈﺫﺍ ﻛﱪ ﻛﱪﻭﺍ‬،‫ ﻓﺈﺫﺍ ﺧﺮﺝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺳﻜﺘﻮﺍ‬،‫ ﺣﱴ ﳜﺮﺝ ﺍﻹﻣﺎﻡ‬،‫ﻢ ﺣﱴ ﻳﺄﺗﻮﺍ ﺍﳌﺼﻠﻰ‬‫ﺑﻴﻮ‬

Telah menceritakan kepada kami Tamiim bin Al-Muntashir : Telah memberitakan kepada kami
Yaziid : Telah memberitakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b, dari Az-Zuhriy, ia berkata : “Orang-
orang biasa bertakbir dimulai semenjak mereka keluar dari rumah-rumah mereka hingga
sampai di tanah lapang, hingga imam keluar (memimpin shalat). Apabila imam telah keluar,
mereka diam. Apabila ia bertakbir, mereka pun bertakbir” [Diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy
dalam Ahkaamul-‘Iedain, hal. 117 no. 59; sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi
Syaibah 2/165 dari jalan Yaziid].

‘Orang-orang’ yang dimaksudkan oleh Az-Zuhriy adalah sebagian tabi’iin dan shahabat yang
semasa dengannya.

‫ ﺭﺃﻳﺖ ﺑﻜﲑ ﺑﻦ ﺍﻷﺷﺞ ﻳﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ‬: ‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﳘﺎﻡ ﺣﺪﺛﲏ ﺍﺑﻦ ﻭﻫﺐ ﺃﺧﱪﱐ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﻧﺸﻴﻂ ﻗﺎﻝ‬

Telah menceritakan kepada kami Abu Hamaam : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb :
Telah mengkhabarkan kepadaku Ibraahiim bin Nasyiith, ia berkata : “Aku pernah melihat Bukair
bin Al-Asyaj melakukannya (yaitu : mengeraskan takbir pada pagri saat ‘Iedul-Fithri hingga
imam keluar – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Al-Firyaabiy dalam Ahkaamul-‘Iedain, hal. 116
no. 54; sanadnya shahih].
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Bukair bin ‘Abdillah bin Al-Asyaj, seorang ulama generasi tabi’iin (thabaqah ke-5, wafat tahun
120 H); tsiqah.

Setelah membawakan riwayat marfuu’ Ibnu ‘Umar tentang sifat takbir di pagi hari ‘Iedul-Fithri,
Al-Haakim rahimahullah berkata :

‫ﻭﻫﺬﻩ ﺳﻨﺔ ﺗﺪﺍﻭﳍﺎ ﺃﺋﻤﺔ ﺃﻫﻞ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻭﺻﺤﺖ ﺑﻪ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻭﻏﲑﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ‬

“Inilah sunnah yang dilakukan para imam Ahlul-Hadiits. Dan telah shahih riwayat tersebut dari
‘Abdullah bin ‘Umar dan yang lainnya dari kalangan shahabat” [Al-Mustadrak, 1/297-298].

Tarjih

Pendapat yang raajih adalah pendapat kedua (jumhur ulama), karena ada riwayat marfu’ dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sifat takbir beliau ketika ‘Iedul-Fithri. Dan itulah yang
dilakukan para shahabat dan tabi’iin. Adapun pendalilan pendapat pertama dengan QS. Al-
Baqarah : 185, yang alasan bahwa takbir di situ dilakukan setelah sempurnanya puasa, maka itu
tidak benar sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawiy rahimahullah :

‫ ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ‬, ‫ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻻﺳﺘﺪﻻﻝ ﻻ ﻳﺼﺢ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﻣﻦ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻥ ﺍﻟﻮﺍﻭ ﺗﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﺮﺗﻴﺐ ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺑﺎﻃﻞ‬
‫ﺍﳌﺬﻫﺐ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺗﺮﺗﻴﺒﻬﺎ ﺍﻟﻔﻮﺭ‬

“Istidlaal ini tidak benar kecuali bagi madzhab yang mengatakan bahwa huruf wawu
menunjukkan makna tartib, dan ia adalah madzhab baathil” [Al-Majmuu’, 5/32].

Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Turkumaaniy [lihat : catatan kaki As-Sunan Al-Kubraa, 3/393
versi cetak, tahqiq : Muhammad ‘Abdil-Qaadir ‘Athaa].

Sampai di sini saja yang bisa dituliskan. Semoga ada manfaatnya.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – 1 Syawal 1432 H – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].

Comments

abul wafaa' mengatakan...

ust, afwan di picture posting antum yg ini, terdapat perkataan 'mohon maaf lahir dan batin',
sebetulnya ana menunggu pembahasan antum mengenai ini, yaitu mengkhususkan minta maaf
ketika 'ied fithri.
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Karena saya melihat pembahasan di sini : http://muslim.or.id/fiqh-dan-


muamalah/menyingkap-keabsahan-halal-bihalal.html

perbuatan tersebut sepertinya tidak tepat dilakukan di momen 'ied.

mohon pencerahannya ust?

31 Agustus 2011 22:08

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Meminta maaf untuk menghalalkan kesalahan tidak tergantung pada waktu tertentu. Yang
masyru', ia segera minta penghalalan kepada saudaranya jika merasa bersalah, tidak perlu
menunggu Ramadlaan atau Syawal. Seandainya ada pengkhususan bahwa minta maaf di hari
'Ied itu disyari'atkan atau afdlal, maka jadilah ia bid'ah.

Akan tetapi, memanfaatkan moment Syawal untuk saling bermaafan bukanlah hal yang
terlarang, sependek pengetahuan saya. Apalagi, bagi sebagian orang, moment Lebaran adalah
moment saling bertemu dan berkumpul (pulang kampung), sehingga dijadikan moment untuk
bersilaturahmi dan memafkan satu dengan yang lainnya. Dan bagi sebagian orang di
masyarakat kita, bulan Syawal ('Iedul-Fithri) ini ia menjadi 'lebih mudah untuk memaafkan' dan
membuka diri dibandingkan waktu-waktu lain.

wallaahu ta'ala a'lam.

1 September 2011 00:11

Anonim mengatakan...

afwan ustadz OOT, request tulisan yang terkait dengan pelatihan shalat khusyu'nya Abu
Sangkan, boleh/tidaknya ustadz...

jazakallah khairan sebelumnya

1 September 2011 03:37

Anonim mengatakan...

ust gmn mnjaawab prtanyaan ini:

Sahabat, aku mau tanya,

Sbg muslimah kan d.larang membuka aurat kta trmasuk rambut, lalu, jka misal.a kta mau
wudlu & tempat tidak memungkinkan untuk membuka jilbab kta, lalu apa sah jika hanya diusap
krudungnya??
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

syukran jawabanx ust...., :)

2 September 2011 13:27

Anonim mengatakan...

tlg beri komentar atas artikel ini ust...

http://kenapatakutbidah.wordpress.com/2011/05/26/99/

2 September 2011 15:59

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Anonim September,....

Sah, silakan baca : Bolehkah Seorang Wanita Mengusap Kerudungnya Ketika Berwudlu ?.

wallaahu a'lam

7 September 2011 09:22

Anonim mengatakan...

ust.., ada pertanyaan gini:

----------

assalamualaikum,,afwan,sy mw tnya mngenai arah kiblat sholat,sprti yg sdh umum Qta kn


sholat mnghdap ke barat,yg dtjukn ke masjidil harram,mslhnya skrg sy sdng brda di luar
negeri,sy sdh tw arah utara timur barat dn selatan,yg jd mslh sy sdng bkrja ditempt bkn org
muslim,klo ingn sholat jdinya scra smbunyi2,krna tkt kthuan dn dilrng untk sholat,dn yg jd mslh
lg tmpt yg sy gnkn sholt adlh dkmr sy yg smpit dn klopun bsa sholat di ats dipan,itupun
mnghdap selatan utara,dlm keadaan darurat sprti itu adkh makfunya??? krna mski mnghdp
sltan atopun utara,hati tetap trtuju pda yg kuasa,,,mhon pencerahannya,,,,syukron

--------

jawabx gimana ust... :((

mohon jawaban dr ust.., barakallahu fiikum...

7 September 2011 19:58

Rohis Facebook mengatakan...


Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

ust..., malam seribu bulan ini makna kias atau makna yg hakiki..,

mksdx kias seribu bulan adalah angka yg terbanyak pd saat itu (zaman Nabi)

mksdx hakiki seribu bulan adalah yg sering kita dgr dimimbar2 seribu bulan = 80 atau 83...???

penafsiran mana yg betul ust..,

jazakallahu khoiran...

10 September 2011 10:19

EHEND mengatakan...

ASSALAMU ALAYKUM ustadz abu jauzaa ana sering diinfokan JT ATAU JAMA`AH TABLIQ
HADITS INI TOLONG DIJELASKAN ADA GAK HADITSNYA :Jamaah Tabligh

ISLAM BANGKIT DARI INDIA Daripada Saidina Tsauban r.hu menceritakan bahawa Nabi SAW
bersabda :

“Akan muncul dua kumpulan dari umatku yang kedua-duanya dipelihara Allah dari neraka;
satu kumpulan yang berjihad/berdakwah di India dan satu kumpulan lagi yang akan bersama
Nabi Isa bin Maryam as."

Ahmad [Musnad 5/278 no.22759],

al-Bukhari [Tarikh al-Kabir Tarjamah Abd al-A'la bin 'Adiy al-Bahrani], al-Nasai [al-Mujtaba'
no.3175] Tiada komen, al-Tabarani [Mu'jam al-Awsath 7/23-24] Komen: Tidak diriwayatkan (La
Yurwa) hadis ini dari Tsauban melainkan dengan sanad ini. Tafarrud padanya al-Zubaidi, Ibn
'Adiy [al-Kaamil 2/161], al-Haitsami [Majma'uz Zawaaid no.9452] Komen al-Albani [Sahih al-
Jami' no.4012,Silsilah as-Sahihah no.1934] Sahih, al-Arnaouth [Tahqiq Musnad Ahmad 37/81
no.22396] Komen(ringkasan) : Hadis hasan dan sanad ini dhaif kerana Baqiyyah bin al-
Walid,Rijal yang lain tsiqah kecuali Abu Bakr bin al-Walid al-Zubaidi majhul halnya, Imam As-
Suyuti menghasankan hadith ini,lihat Kitab Tanzilul Isa Ibnu Maryam.TOLONG DIBANTU USTADZ
YA? KARNA HADITS INI MENYEBAR DI FB DAN BAYAN MEREKA

WA SALAM

abu nail

11 September 2011 06:53

EHEND mengatakan...
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

ASSALAMU ALAYKUM, USTADZ ABU JAUZAA ana sering lihat para jamaah tabliq/JT
MEMBAWA HADITS INI BETUL GAK INI ADA HADITSNYA

(Jamaah Tabligh

ISLAM BANGKIT DARI INDIA Daripada Saidina Tsauban r.hu menceritakan bahawa Nabi SAW
bersabda :

“Akan muncul dua kumpulan dari umatku yang kedua-duanya dipelihara Allah dari neraka;
satu kumpulan yang berjihad/berdakwah di India dan satu kumpulan lagi yang akan bersama
Nabi Isa bin Maryam as."

Ahmad [Musnad 5/278 no.22759],

al-Bukhari [Tarikh al-Kabir Tarjamah Abd al-A'la bin 'Adiy al-Bahrani], al-Nasai [al-Mujtaba'
no.3175] Tiada komen, al-Tabarani [Mu'jam al-Awsath 7/23-24] Komen: Tidak diriwayatkan (La
Yurwa) hadis ini dari Tsauban melainkan dengan sanad ini. Tafarrud padanya al-Zubaidi, Ibn
'Adiy [al-Kaamil 2/161], al-Haitsami [Majma'uz Zawaaid no.9452] Komen al-Albani [Sahih al-
Jami' no.4012,Silsilah as-Sahihah no.1934] Sahih, al-Arnaouth [Tahqiq Musnad Ahmad 37/81
no.22396] Komen(ringkasan) : Hadis hasan dan sanad ini dhaif kerana Baqiyyah bin al-
Walid,Rijal yang lain tsiqah kecuali Abu Bakr bin al-Walid al-Zubaidi majhul halnya, Imam As-
Suyuti menghasankan hadith ini,lihat Kitab Tanzilul Isa Ibnu Maryam.) MEREKA SEMANGAT
SEKALI BERDALIL DGN INI TUK TUK MEMBENARKAN DAKWAH MEREKA...TOLONG DISYARAH
USTADZ

WASSALAM

abu abdillah

11 September 2011 06:59

fahruljawi mengatakan...

Abu Al-Jauzaa' : berkata...

Meminta maaf untuk menghalalkan kesalahan tidak tergantung pada waktu tertentu. Yang
masyru', ia segera minta penghalalan kepada saudaranya jika merasa bersalah, tidak perlu
menunggu Ramadlaan atau Syawal. Seandainya ada pengkhususan bahwa minta maaf di hari
'Ied itu disyari'atkan atau afdlal, maka jadilah ia bid'ah.

Akan tetapi, memanfaatkan moment Syawal untuk saling bermaafan bukanlah hal yang
terlarang, sependek pengetahuan saya. Apalagi, bagi sebagian orang, moment Lebaran adalah
moment saling bertemu dan berkumpul (pulang kampung), sehingga dijadikan moment untuk
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

bersilaturahmi dan memafkan satu dengan yang lainnya. Dan bagi sebagian orang di
masyarakat kita, bulan Syawal ('Iedul-Fithri) ini ia menjadi 'lebih mudah untuk memaafkan' dan
membuka diri dibandingkan waktu-waktu lain.

wallaahu ta'ala a'lam.

1 September 2011 00:11

Fahrul says: sebaiknya abul jauzaa mengoreksi kembali pendapat Akan tetapi, memanfaatkan
moment Syawal untuk saling bermaafan bukanlah hal yang terlarang, sependek pengetahuan
saya. Bukankah para ulama menyatakan pengkhususan maaf di hari raya atau waktu tertentu
termasuk bid`ah,bukankah orang islam haram membuat bid`ah?! Tolong dikoreksi ya ustadz

11 September 2011 17:35

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Coba teliti kembali komentar saya yang antum kutip. Bukankah di situ saya juga menegaskan
akan bid'ahnya 'pengkhususan' ?.

12 September 2011 08:38

fahruljawi mengatakan...

Maaf ana memang gak membaca semuanya,cuma dengan antum memasang gambar Selamat
Idul Fitri Mohon Maaf Lahir dan Batin itu juga membuat orang awam melestarikannya.
Sehingga menurut ana sama saja itu melestarikan kebodohan orang awam. Bukankah
Rasulullah menyuruh tak memberitahukan siapa2 kepada Muaz Bin Jabal soal La illahaillah bisa
memasukkan kita surga supaya semua orang tak malas beramal shaleh.

12 September 2011 15:35

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Dari komentar antum nampaknya antum terlalu terburu-buru dalam bersikap dan mengambil
kesimpulan terhadap orang yang menyelisihi antum.....

Adapun masalah yang antum singgung, maka hal ini sebagaimana permasalahan kultum
shalat tarawih (coba baca di sini). Ada kondisi boleh dan tidak boleh.

Tidaklah setiap orang yang mengucapkan permohonan maaf di hari 'Ied itu termasuk orang
yang bodoh; sebagaimana juga tidak setiap orang yang tidak mengucapkannya termasuk orang
yang pintar. Bisa jadi kedua-duanya hanyalah sekedar ikut-ikutan saja. Namun saya yakin, jika
antum meninggalkan hal itu, maka termasuk orang yang meninggalkannya berdasarkan ilmu.....
Maktabah Abul Jauzaa’ Edisi Ramadlan

Apapun itu, saya sangat-sangat menghargai sikap yang antum ambil. Jazaakallaahu khairan
atas komentarnya.

13 September 2011 01:35

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

@Ehend,.... hadits itu dihasankan (lighairihi) oleh Al-Arna'uth dkk. rahimahullah. Akan tetapi
hadits bersama artinya adalah sebagai berikut :

‫ﻋﺼﺎﺑﺘﺎﻥ ﻣﻦ ﺃﻣﱵ ﺃﺣﺮﺯﻫﻢ ﺍﷲ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻋﺼﺎﺑﺔ ﺗﻐﺰﻭ ﺍﳍﻨﺪ ﻭﻋﺼﺎﺑﺔ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﻋﻴﺴﻰ ﺑﻦ ﻣﺮﱘ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ‬

"Ada dua golongan dari umatku yang Allah jaga mereka dari neraka. Satu golongan yang
mereka memerangi India, dan satu golongan bersama 'Isaa bin Maryaam 'alaihis-salaam"
[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/278].

Idem dengan Tsaubaan, Abu Hurairah pun meriwayatkan demikian :

‫ﺖ‬‫ﻞﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﺃﹸﻗﹾﺘ‬،‫ﻲ‬‫ﺎﻟ‬‫ﻣ‬‫ﻔﹾﺴِﻲ ﻭ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ﻴﻬ‬‫ ﻓ‬‫ﻖ‬‫ﻔ‬‫ﺎ ﺃﹸﻧ‬‫ﻬ‬‫ﻛﹾﺘ‬‫ﺭ‬‫ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﺃﹶﺩ‬،‫ﺪ‬‫ﺓﹶ ﺍﻟﹾﻬﹺﻨ‬‫ﻭ‬‫ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻏﹶﺰ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﹶّﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻧ‬‫ﺪ‬‫ﻋ‬‫ﻭ‬
‫ّﺭ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﺓﹶ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻮ ﻫ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ ﻓﹶﺄﹶﻧ‬‫ﺟﹺﻊ‬‫ﺇﹺﻥﹾ ﺃﹶﺭ‬‫ ﻭ‬،ِ‫ﺍﺀ‬‫ﺪ‬‫ّﻬ‬‫ﻞﹺ ﺍﻟﺸ‬‫ ﺃﹶﻓﹾﻀ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menjanjikan kepada kami tentang peperangan di


negeri India. Apabila aku mendapatinya, aku akan menginfakkan jiwaku dan hartaku
padanya.....dst. [Diriwayatkan oleh An-Nasaa'iy dan lainnya].

Jadi, itu hadits menerangkan tentang peperangan atau penaklukan negeri India.

wallaahu a'lam.

13 September 2011 02:20

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...

Rohis Facebook, hakiki.

wallaahu a'lam.

13 September 2011 03:24

Anda mungkin juga menyukai