Anda di halaman 1dari 35

TERJEMAHAN BABAD DIPANAGARA

VII. Kinanthi-Kemudian segera diceritakan tentang Tuan Sutani atau


Manguntapa ketika ia berada di pulau Ambon kira-kira sudah lama sekali yaitu 12
tahun.
Demikian pangeran yang datang yaitu Pangeran Dipasana adik dari Sang
Raja. Pangeran Dipasana datang ke Ambon dan meminta izin kepada Gupermin
Tuan sang Mulki seraya menangis untuk menyambangi saudaranya karena sudah
lama tidak bisa bertemu. Dengan perkataan dan rayuannya yang dilebih-lebihkan
tidak lama kemudian segera memperoleh izin. Pangeran lantas masuk dan bertemu
dengan sang Raja.
Berlaku sopan dengan tanpa terburu-buru Pangeran Dipasana menaruh
hormat kepada Raja. Air matanya menetes dan diusapnya. Melihat hal tersebut
Sang Tuan Sri Bupati tidak jadi menangis dan lantas merangkul adiknya. Sungguh
sangat menyentuh hati. Sang Raja memikirkan betapa malang dirinya,
membayangkan dahulu mereka bersama-sama memerintah negara sekarang harus
pasrah menerima takdir, tetapi berkat kedatangan adiknya terhiburlah hati sang
Raja.
Diceritakan semuanya dari awal hingga akhir mengenai nasib Raja. Ia
sudah pasrah dengan semua ini, diterimanya dengan cara ikhlas dan bertobat
berbudi baik. Sang Prabu pun berkata lirih, “Sesungguhnya lebih baik orang yang
menguasai alam akan mendapat ampunan dari Tuhan Hyang Subkanakalahi. Di
luar keinginanmu harapkanlah mendapat anugrah atau rahmat Tuhan, rahmatNya
yang maha mulya.” Kemudian sang adik berkata pelan, “Sungguh bijak, terima
kasih semoga menjadi restu Raja.”
Sang Raja telah membagikan petuah-petuah bijak. Pangeran Dipasana
segera berkata “Mengapa badanmu terlihat sangat kurus?” Ratu Kencana
menjawab, “Kurus kami sudah menjadi hal yang lumrah karena dipenjara di
dalam negara.” Tidak lama kemudian segera disuguhkan banyak makanan. Tidak
ada rasa kecewa di antara mereka. Semua makanan dibagi sama rata. Makanan
tersebut diambilnya dan habis dalam waktu sekejap. Sekretaris atau juru tulis

1
dengan para perangkatnya turut serta meratakannya ke seluruh abdi, kemudian
habis sudah.
Sudah tiga hari tiga malam Pangeran merawat sang Raja. Pada waktu itu ia
harus pamit kembali ke tempat tinggal asalnya. Diizinkanlah oleh sang Raja
melalui perkatannya. Ketika hendak kembali, Pangeran Dipasana menyembah
sebagai wujud hormatnya kepada Sultan Manguntapa. Sedang pada waktu itu
Sultan Manguntapa sangat khusyuk mengheningkan cipta meyakikan iman
meminta kepada Sang Maha Suci, semoga terkabul doanya yaitu anak cucu yang
sedang memegang tonggak kekuasaan di Yogyakarta dan terhadap seluruh nenek
moyangnya dahulu yang telah berada di kasihan Tuhan mendapatkan ketenangan
jangan sampai ada gangguan atau permasalahan. Dalam hatinya hanya ada
Mataram sebagai tempat disemayamkannya ia kelak. Bersatu dengan leluhurnya
para raja dan leluhur yang telah ada di surga. Semua yang disemayamkan di
Mataram dapat berkumpul lagi menjadi satu di sisi Tuhan. Hal inilah yang akan
menjadi tanda tetapi belum terwujudkan.
Kemudian berganti yang diceritakan yaitu segeralah Tuan Gubernur
Negara Batavia (Tuan Godher Aleksander) dengan Baron Kapelen yang
memimpin Batavia mengadakan rapat bersama para jenderal besar untuk
menyelaraskan dan menyatukan gagasan. Tuan Bastitan dengan Wah Arnol
Akding Andriyan Yohanes Sibereh turut hadir pula pada rapat tersebut. Hal yang
didiskusikan dalam perkumpulan para jendral besar tersebut adalah memikirkan
Tuan Raja Bupati Manguntapa yang telah lama berada pada penguasaan Gubernur
atau penahanan Gubernur yang sekarang berada di Ambon, sungguh sangat
kasihan. Ia terlihat sedih tatkala Pangeran Dipasana telah kembali pulang ke
negara Yogyakarta. Bahwasannya sekarang ia takut dengan nasib kerajaan dan
juga cucunya sendiri.
Tuan Hendrik Praken dan ketiga, Tuan Bastian, semuanya memberikan
hormat dalam surat untuk sang Raja dari Tuan Gubernur. Supaya Tuan Raja
segera pulang ke negara Mataram. Keinginannya sungguh menjadi kenyataan
yaitu apa yang menjadi janjinya bahwa apabila ia meninggal akan dimakamkan di
permakaman Mataram.

2
Lugasnya, lebih baik dirinya Tuan Raja Manguntapa dipulangkan ke
Surabanggi karena dekat dengan sanak saudaranya di pulau Jawa yaitu dengan
Negara Matawis atau Mataram. Pada akhirnya apabila sampai akhir hayatnya
nanti dekat dengan para leluhurnya di permakaman Mataram, dengan di Ngampel
Demak juga dekat, apalagi makam orang suci sudah pasti tempatnya para wali.
Para Tuan Besar pun berpamitan seraya bersalaman dengan tanpa adanya
rasa sungkan. Segera Tuan Gubernur berbicara, “Seperti ini lebih baik, untuk
seluruh teman semua, besarnya para Tuan Besar Hindi punyalah tutur yang baik.”
Semua tertuju padanya. Tidak lama kemudian jadilah surat untuk seluruh
perangkatnya yang ada di Ambon. Para Tuan Besar pun bubar dan kembali pada
ruang kerja pribadi masing-masing.
Berganti lagi yang diceritakan yaitu Tuan Sultani di Ambon dengan anak
istrinya. Istrinya bernama Ratu Kencana dahulu bernama Dyah Dayaningrat dan
pernah menyusul ke Batavia. Sudah menjadi ratu dan tiba di Ambon kira-kira
sudah lama dengan anak-anaknya. Keponakannya dijadikan raja, ketika kecil
bernama Lara Limbuk dan sekarang telah diminta oleh Tuan Sri Bupati berganti
nama menjadi Dyah Ayu Ler, kemudian diperistri adiknya seorang priyayi
bernama Raden Mas Sumarja.
Demikian tidak begitu lama, dahulu Dyah Ayu Ler mengandung dan
melahirkan seorang anak perempuan kemudian ia beri nama Raden Ayu Dewi.
Nama lainnya Suratmiyah yang harum namanya dahulu ikhlas diangkat menjadi
anak oleh sang Ratu. Ratu Kencana yang agung dan penyayang, dianggapnya
seperti anak kandungnya sendiri. Dyah Ayu Ler yang diperanak oleh
Kertamenggala yaitu Kyai Demang Kaderma yang pertapaannya di Sukawati.
Apabila dirunut ketururannya masih termasuk trah dari Kertadirja yang kedua dari
Tumenggung Sukawati.
Pada waktu itu bersama-sama bekerja keras membersihkan makam dan
taman, datanglah utusan pembawa surat kepada Tuan Sri Bupati bersama dengan
anak istrinya. Kemudian disambut mereka yang datang.Surat yang datang dari
Batavia telah sampai pada sang Raja. Diterima dengan ikhlas hati, bahagia, serta
hati yang tentram karena ia Sri Manguntapa hendak dipindahkan ke tanah Jawa.

3
Sudah diperiksa oleh sang Raja bersama istri dan anaknya dari awal hingga akhir.
Dipindahnya ke Surabaya ini sang istri beserta anaknya siap sedia berpisah
dengan para abdi kesayangannya. Utusan pembawa pesan pun pamit undur diri
kembali ke negara Batavia.
Ragu-ragu ucapnya Tuan Sultan Daut abdinya bahwa pindah ke tanah
Jawa dengan mengendarai perahu mumi. Di samudra hingga sampai ke negara
Surabanggi sesungguhnya sedikit dekat rumahnya dengan sang Bupati. Puji
syukur tersampaikan kepada Tuhan dan dingin tentram hatinya.
Masih dalam satu bulan yang sama, Pangeran Mangkubumi dari Surakarta
yang telah lama di Batavia akhirnya kembali ke Jawa. Sesungguhnya di Batavia ia
juga menjadi seorang gubernur. Khawatir hati Pangeran Dipasana di Surakarta
ketika ia di Ambon harus berpamitan pangeran dengan Tuan Raja Manguntapa,
meskipun ia sangat kasihan tetapi harus ikhlas dengan semuanya.
Sekarang berbeda sudah yang diceritakan, yaitu di Yogyakarta sang Mister
Nais ingin menyampaikan maksudnya mengenai hal yang selama ini masih
digelisahkannya lantas ia memilih solusi terbaiklah yang ia pilih. Sebagai jasa
yang tidak pantas, kemudian tuan sekretaris Sang Dhabu berpikir bahwa begitu
polosnya tuan-tuan tersebut ketika Tuan Dhabu menjadi wakil dan dipercaya oleh
residen Jimsales.
Datanglah surat dari Surakarta dan Tuan Dhabu pun datang duduk di kursi
kehormatan dengan tanpa izin, padahal terlihat di sana ada banyak orang yang
diagungkan seperti Pangeran yang Agung dan para Tuan yang membantu sang
Raja. Tuan Nais berperang kembali dan segera kembali ke Batavia diikuti oleh
para pejabatnya.
Sungguh benar perbuatan yang melengserkan kekuasaan sang Penguasa.
Kekuasaan Raja di Batavia pun terombang-ambing dan tergantikan oleh De
Supalye namanya. Ia menjadi pemimpin kekuasaan Batavia sekarang dengan juru
bahasanya masih Dhitre dari negara Yogyakarta pejabat Tuan Nais.
Sesungguhnya ada rasa tentram sebentar rasa yang dirasakan oleh seorang
manusia.

4
Keinginannya yang sangat menggebu-gebu masih mantap dalam hati Tuan
Nais. Tidak lama kemudian datang Tuan Gubernur Jenderal. Disambut dengan
hangat kedatangannya, ia pun ditetapkan sebagai komisaris di tanah Jawa dengan
sebutan Gupermin tepatnya di Yogyakarta. Tuan Residen (Tuan Nais) pun diganti
dengan Tuan Sengmisret (Gubernur jenderal) dari Batavia. Tuan Sengmisret dari
Batavia telah datang ke Yogyakarta dan segera berserah terima jabatan dengan
Tuan Nais. Selesai sudah periode menjabat Tuan Nais. Ia ingin mengunjungi desa
Kalitan yang masih satu wilayah dengan Surakarta dan juga disuruh oleh komisi
atau perkumpulan. Ia pun tetap diberhentikan oleh Tuan Sermisar yang bertugas
di Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1823 Residen Semisar yang sekarang
berkuasa di negara Yogyakarta sekarang diangkat menjadi seorang raja atau
penguasa tertinggi.

VIII. Pangkur
Diselingi yang dibicarakan. Kabarnya Sultan Manguntapi yang dipercaya
berkuasa di Suurengkewuh sedang terlihat menghibur hati. Ia teringat akan
wibawanya dahulu ketika memerintah di Yogyakarta. Ia pun lantas menghibur diri
dengan cara menari. Istri kesayangannya juga ikut menemani dengan menanam
sayuran dan bunga-bungaan. Manguntapi menari menggunakan tombak dengan
abdi seadanya yang mengiringinya. Ia bermain-main menyenangkan hati.
Gamelan yang digunakan hanyalah gambang dan rebab sebagai pengiring musik
utama dan juga dilengkapi dengan kethuk dan kenong sebagai penghias. Suara dari
kedua alat musik kethuk kenong tersebut yang membuat senang hati sang Raja.
Ada juga tari srimpi bedhaya. Ia juga gemar mengarang atau menulis serat suluk
dan Suryaraja yang sudah jadi dan tertinggal di negara Yogyakarta yang agung.
Menjadi sangat khusyuk ibadahnya ketika ia bertirakat. Akibat godaan dari
Sang Mulku, ia terkesima dan suka dengan seorang perempuan. Wanita yang
sedang diimpikannya untuk dikasihi. Ia dibuat luluh oleh keberadaan wanita
tersebut layaknya manusia pada umumnya. Wanita itu tidak lain adalah Dyah
Ratu Kencana yang ingin diboyong oleh sang Raja. Adapun segala permintaannya

5
pasti dipenuhi. Semuanya tidak dihitung oleh sang Prabu hingga sang Raja pun
banyak keinginannya sehingga kekurangan menimpa Sri Paduka.
Belanja seribu rupiah, rupiah putih yang diperolehnya setiap bulan tidak
cukup. Yang namanya upah abdi naik, pagelaran tari semakin bertambah. Dyah
Ratu Kencana pun berkata kepada sang Raja, “Tuan Sultan, aduh seperti apa
sekarang keadaan Tuan, sekarang Paduka jatuh miskin kekurangan segalanya.
Tentunya jika meminta bantuan Tuan Gubernur Jenderal pasti ada rasa takut,
bagaimana kehendak Sang Prabu?”. Raja pelan berkata, “ Kakek Martasana,
sekarang kamu pikirkan seperti apa itu. Bagaimana caranya supaya bisa
tercukupi.” Pangeran Martasana berkata, “Hamba siap dengan perintah Tuan yang
meminta bantuan untuk mengatur dan mengurangi belanja.” Sang Ratu Kencana
tidak menyetujui, “Kecuali itu, keinginan Tuan Sultan yang menganggap tidak
baik terhadap cucu dan buyut tuan Raja di Mataram terkait dengan kekurangan ini
sesungguhnya para putra dan cucu Raja mereka tidak apa-apa, pasti tidak kecewa
dengan permintaan bantuan ini.” Kemudian melihat Sultan berkata lirih dan pelan,
“Aku bingung rasanya tidak enak hati, sesungguhnya lebih nista perbuatan itu dan
akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, banyak yang akan mengolok-
olok, jengkel dan menaruh dendam dihati. Dyah Ratu Kencana berkata lagi,
“Niskara tidak akan nista. Sesungguhnya mereka adalah darah keturuan Paduka
sendiri, lihat dan teliti semuanya, runtuhnya kekuasaan Paduka tetapi sekarang
telah tumbuh, itu semua dari bibit keturunan Paduka.” Kemudian Sag Raja
berkata, “Terlalu dalam permasalahan itu adinda, betul sesungguhnya di dalam
hatinya, perbuatan yang tidak karuan alangkah lebih baik jika aku memikirkan
kemakmuran negaraku. Bagaimana perkataanku nanti kepada cucuku?” Tuan Ratu
berkata dari awal hingga akhir terkait dengan semua permasalahan dan solusinya.
“Lebih baik Raja membuat sebuah surat yang pada pembukaannya ditujukan
kepada kedua Pangeran Wakil, cucu Paduka Raja Pangeran Dipanagara itu dan
putra Paduka yaitu Raden Mangkubumi wakil. Cucu Tuan Pamasa, Sri Nugraha
Ngayugya yang bertahta, yang masih muda. Apabila tidak terlaksana pasti jjika
berusaha dengan sungguh-sungguh dan wajib terhadap cucu, sesungguhnya tidak
menjadi masalah perkara doktrinasi nista dari orang lain.” Sang Raja pun luluh

6
dan mengikuti keinginan sang Ratu. Kemudian sebagai suratnya, terlebih dahulu
dibuka dengan tulisan yang kalimatnya sederhana selanjutnya dijelaskan ........

Tanpa Sekar
(Lampiran Surat Manguntapa kepada putra dan cucunya)
Permulaan surat Tuan Sultan Manguntapa, dengan memuji kepada Tuhan,
teruntuk anakku Pangeran Hariya Mangkubumi dan juga terhadap cucu Paduka
Raja Pangeran Hariya Dipanagara, berwakil penguasa keraton di Negara
Ngayugyakarta (Yogyakarta) Hadiningrat.
Awal dari saya memberi perhatian kepada anak cucu saya semua, sekarang
ini aku memeroleh ampunan dari Tuan Kompeni, diizinkan pindah dari pulau
Ambon pulang ke Tanah Jawa Timur yaitu berada di Surabaya. Hal itu sekiranya
menjadi berita kepada anak cucuku semua. Aku terserah semua, kepadamu hai
Pangeran Hariya Mangkubumi dan juga cucuku Pangeran Dipanagara.
Demikian juga pada istirahatku ini di Surabaya, aku sedang menderita
kekurangan harta (uang), apabila berkenan cucuku Sultan Timur, aku hendak
meminta harta darimu 3000 ringgit untuk membantuku mencukupi seluruh
kebutuhan rakyatku yang ada di Surabaya. Pada akhirnya selanjutnya apabila
diketahui oleh para penguasa, aku percaya pada keduanya engkau pangeran wakil.
Ditulis ke...........................

Diselingi Pupuh IX. Balabak


Setelah selesai ceritanya, singkat kemudian segera diberikan kepada
Residen Surabaya. Dia istrinya lantas berkata kepada Tuan Residen untuk
meminta bantuannya. Surat tersebut telah dikirim dari Surapringga. Masih berada
di Sopana dan tidak segera sampai. Akhirnya sampailah pada kerajaan
Ngayugrakarta, terlihat surat tersebut sampai pada Residhen Semisar dan segera
diserahkan kepada Mantri Muka katanya surat ini harap menjadi perhatian bagi
kedua pangeran wakil.

7
Berlanjut ke Pupuh Pangkur Tadi
Bahwasanya surat tersebut ditujukan kepada Tuan Pangeran wakil
keduanya.Sudah berada di Srimanganti kemudian surat tersebut dibuka dan pada
pembukaan surat tercantum tujuan daripada surat ini yaitu untuk kedua pangeran
wakil. Pangeran Mangkubumi dengan putranya Pangeran Dipanagara yang telah
merasa dirinya terpanggil segera berpikir dalam hatinya.
Pelan perkataan Tuan Pangeran Dipanagara kepada sang ibu, “Apabila
gagasanku telah disetujui, persetujuan para leluhur yang masih hidup hingga yang
telah tiada bahwa itu semua merupakan doa yang sangat memberkahi, yaitu
terhadap yang sedang bertahta (Raja) dan juga kepada putranya semua. Aku hanya
pasrah Paduka. Permasalahan ini dalam rumah tangga yang tidak tentu hamba
silahkan kepada Rama.” Tersenyum lah Tuan Mangkubumi, “Masuklah ke dalam
kerajaan, aku bersiap memberi tahu pada Ibu Ratu Tua (Ibu Suri).” Kemudian
Pangeran Dipanagara berkata, “Saya Setuju.”
Pangeran Mangkubumi masuk ke dalam kerajaan. Dalam perkumpulan
keluarga yang ada, disampaikan surat permintaan bantuan dari Tuan Raja
Manguntapa di Surabanggi. Tuan Rama Sultan Sepuh yang datang pun terkejut
mengetahui isi surat yang menyatakan bahwa Manguntapa ada di Surabaya.
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa sang Raja ingin meminta bantuan berupa
uang, tidak banyak jumlahnya hanya 3000 ringgit. Kemudian berkata Tuan Ratu,
“Saya setuju, setujunya kedua wakil apabila membantunya, itu sungguh perbuatan
terpuji.”
Tuan Mangkubumi pun memberitahukan kepada istri kesayangan dan anak
cucunya bahwa siapa saja yang masih sayang dengan Tuan Raja Manguntapa
maka segera dikumpulkannya di dalam kerajaan. Tidak luput kepada semuanya,
berkatalah Tuan Ratu bahwa dahulu ketika mengandung terucap, katanya sudah
terkumpul dari para pengirim (pemberi dana bantuan) beserta anak cucu juga
berunan rupiah dan juga pakaian berupa kain jarit, semuanya dikumpulkan dan
akhirnya terkumpul seribu riyal, sungguh itu dari anak cucunya. Permintaan
dalam surat hanyalah 3000 ringgit dan terkumpul semua 4000 yaitu rata-rata dari
saudara pangeran. Hanya pangeran Paku Alam saja yang tidak ikut memberi. Ia

8
masih teringat ketika dahulu bebetnya dibuang. Tuan Ratu pun memberitahu
kepada Tuan Pangeran Hariya Mangkubumi bahwa pokok kirimannya berupa
uang dan pakaian. Kemudian bantuan tersebut diberikan kepada Residen Semisar
dan dikirim ke Surabaya.
Bantuan telah sampai di Surabaya dan dibehentikan di Loji Besar. Di sana
Tuan Residen Surabaya telah bersiap menunggu. Bantuan tersebut segera
diberikan keapada sang Raja. Sultan yang agung masuk ke dalam pedapa dengan
tidak lupa membawa surat mengenai pengiriman bantuan tersebut. Kemudian
surat dibaca sudah, dipriksa secara keseluruhan kalimatnya yang menyatakan
mengenai pengiriman uang dan pakaian dengan keterangan sendiri-sendiri. Tuan
Ratu Kencanawungu pun diberitahu terkait bantuan yang diberikan oleh Mataram
kepada Surabanggi yang cukup banyak tersebut, kemudian ia langsung memuji
dan menuruti sesukahatinya. Diselingi cerita yang lain.

(Pupuh Pangkur Selesai)


Hendak berganti ke pupuh Gambuh

IX. Pupuh Gambuh


Bergantilah yang diceritakan, bahwa Tuan Residen Samiseret itulah,
pikirnya dalam hati ia bermaksud untuk merawat Ngayogya. Dalam kalbunya ia
mengenai barisan-barisan nasihat orang yang sangat bijaksana. Orang tersebut
tidak lain adalah Tuan Gubernur. Ketika berdiskusi, semua punggawa atau orang
yang memegang pemerintahan di kerajaan Ngayogya dengan sungguh-sungguh
diharap memberi pesan atau pemikirannya nantinya, begitu pula Pangeran
Dipanagara yang mengajak untuk kembali bersatu.
Pangeran Dipanagara memberikan gagasannya bahwa semua ini
merupakan bentuk peninggalannya dan peninggalan adalah akal budi yang baik.
Selesailah pekerjaan tanpa terputusnya penglihatan, tetap tepat terang agama
Yudanegara, Gunawan sang wakil prabu. Berbeda dengan saudara raja. Sungguh
nyata yang satu itu rawatlah, jangan sampai ia merasa sakit hati, sebab
sesungguhnya sifat iri akan merusak negara.

9
Di gedung agung, seluruh petinggi kerajaan telah siap untuk berdiskusi.
Pemikiran pangeran pun diringkas dan segera Tuan Residen maju dan pangeran
menghaturkan selamat datang. Residhen pun membuka acara secara perlahan-
lahan. Kata sang Pangeran, “Rahayu, semoga selamat dan terlindungi semuanya.
Permisi Tuan apakah ada hal penting yang akan dibicarakan di kerton ini sehingga
hamba dipanggil untuk menghadap Tuan.” Tuan Residen berkata, “Perhatikan
perkataanku, sungguh besar kasihku kepadamu.” Ucapan tersebut muncul karena
dahulu Batavia sudah tersohor di telinga para rakyat, akan tetapi karena Pangeran
Dipanagara yang menginginkan untuk bersatu, bujukan rayu dilakukan oleh Tuan
Residhen.
Syukurlah atas kehendak Tuan yang mengajak berdiskusi. Semoga
sungguh-sungguh dibahas dan ditemukan suatu solusi atau jalan keluar. Semua ini
disaksikan oleh Tuhan. Dalam perkataan sang Residen, “Sungguh tanpa kiranya
untuk meminta yang sebenarnya diperlukan, itulah naanya kawan saudara, agar
semua kokoh/kuat berjalan dalam keselamatan. Jika tidak seperti itu, akhirnya
akan tersisih dari dunia”. Perjanjian sudah bergantian sumpah dan disumpahi,
apabila dilanggar akan mendapat musibah, terkena amarah oleh tuhan.
Dalam perkataan Residen, “Sudah, Pangeran Dipanegara sesungguhnya,
engkau akan pergi ke mana? Apakah bertirakat?” Sungguh ia tidak memiliki
ketakutan, sebab rasa yakinlah yang sudah tertanam dalam dirinya. Tidak ada rasa
khawatir dalam hatinya. Apalagi ia telah mendapat izin dari Tuan Gubernur,
sehingga tidak menghalangi keinginannya. Pangeran Dipanagara izin pamit
dengan berkata sambil tersenyum memberikan doa keselamatan bagi semuanya. Ia
pun segera mundur dari pertemuan dan langsung menuju ke Tegareja.
Sudah waktunya sedih layu, sungguh malam memanggil, para kaum
menerima orang suci dan para abdi, Raden Jayamustapa sudah, juga Amat Bahwi
sudah siap sedia. Ketiganya antara lain yaitu Ki Mupit pujangga dusun,
Mangunarja yang dijadikan saudara, dan juga Janodin Sastranangun yang dahulu
sudah memberi kesepakatan. Ada pula Abukasunu dan Kyai Sabodi yang
berkeinginan.

10
Pangeran Dipanegara memulai perbincangan seraya berkata pelan,
”Barang siapa yang membantu dalam pembicaraan diskusi, sungguh laksana
sebagai bertadarus Al-Quran. Bergantian saja engkau bertiga. Tiga saja sudah
cukup. Janganlah engkau keberatan dengan hal ini”. Tiga juzlah tadarus Al-Quran
malam hari itu, selesainya mereka segera beristirahat. Sungguh berkahNya, dapat
tercapai apa saja yang engkau inginkan, jika perintah dalam Al-Quran engkau
menfaatkan, tiraya bagimu menyembahlah engkau kepada Tuhan.
“Terima kasih”, dengan mengucap syukur dalam hati, Pangeran
Dipanagara juga mendapatkan giliran untuk bertadarus sebanyak 3 juz. Dengan
sekejap saja ia telah selesai membaca Al-Quran. Jamuan pun hadir dan
disuguhkan kepada yang berdiskusi, belajar, dan tadarus pada malam hari itu.
Jamuan makanan dengan nasi, nasi dengan lalapan / ikan atau daging, dan juga
minuman karemahan. Pangeran Dipanagara akhirnya merasa kenyang setelah
makan bersama mereka. Secara tidak langsung ia turut membahagiakan semua
orang karena perbuatannya yang menghargai mereka.
Mengamati perkataan dan pembacaan Al-Quran oleh Pangeran Dipanagara
yang sebulan selesai, semakin lancar, dan baik. Bergantilah perintah kepada
Pangeran Dipanagara untuk membaca kitab pekih atau fikih, tasawuf. Seperti
kewajiban untuk beribadah, kesempurnaan ilmu yang tinggi dengan cara
menyisingkan kain dan berbuat baik atau santun dalam satu bulan ini, kemudian
disuruh pula untuk membaca surat suluk, babad (sejarah) raja sebelumnya, dan
juga Kitab Ambiya apa adanya atau yang aslinya.
Peperangan melawan hawa nafsu pun diawali, dimulai dari Paramayoga
dulu pemberian Tajusalatin. Suluk tersebut merupakan tanda pengabdian bagi
seorang raja. Maka kelak jadilah raja yang adil di kerajaan. Setelah selesai
mengaji mereka para abdi, imam, dan santri segera kembali pulang ke rumah
masing-masing. Terlewat dari itu masih tertinggal para guru karena belum
bersedia beristirahat.
Segera sang putra raja bertanya kepada Jayamustapa akan segala rasa
penasaran dan keinginan yang ada dalam hatinya, “Kakak Jayamustapa lihatlah
dengan teliti, dahulu ia berkata yang aneh-aneh menggunakan kata Kawi dan Jawa

11
yang dicampur-campur. Di tempat keramat itu, ketiganya sangar dan angker. Ada
empat kali dan juga lima tempat itu terlihat berdaya atau memiliki kekuatan.” Ki
Jayamustapaa pun menjawab, “Bahwa yang curam itu jurang yang jurang itu
dalam. Hutan besar yang keramat, gang, dan kiri jalan yang sepi semuanya
dianggap sangar atau memiliki kekuatan diantara keduanya, tanah-tanah
melengkung seperti punggung sapi, sungguh menjadi sesembahan orang-orang
yang beragama raja, kolam angker itu Tuan seperti menyiratkan kekuatan atas
wajah semua orang yang berdaya.
“Wah tempat yang sepi”, kata putra raja. Tidak bimbang pemikirannya
sesungguhnya, ia juga menyakini bahwa menganggap tempat menjadi keramat
tersebut sungguh sangat berbahaya bagi semua orang. Melihat Jayamustapa itu,
mengapa tempat keramat tersebut dianggap berbahaya, yang berbahaya karena
jauh dari dusun, serta orang jahat sering menghalang orang yang lewat, sedangkan
singup artinya, adalah rumah yang teduh. Jika terlihat sempit atau sesak, memang
pantas, seperti layaknya tanah kecil yang terlihat kecil”, berkata Pangeran, “Apa
benar Kakang Bahwi?”, lalu Ki Bahwi berkata “Juga luas pun sesungguhnya tidak
ada lainnya.”
“Duhai, Kakang Bahwi, engkau dan Eyang Mupit, serta para guru,
segeralah kamu semua beristirahat dahulu, sebab aku juga ingin beristirahat. Yang
penting setelah itu, kamu sekalian bergantian berjaga, untuk terjaga dari semua
kenyamanan batin/hati. Mereka akhirnya beristirahat, yang mengikutiku ada dua
orang yaitu Janodin dan Jayamustapa yang memberi perkataan sanggup dan
berani, segera mundur dan pergi menuju tempat-tempat untuk berjaga, menunggu
malam berakhir dan tidak diceritakan.
Pagi sudah tiba, saat itu Pangeran Dipanegara sudah berbusan. Ia
menggunakan pakaian layaknya pakaian santri dan juga memakai busana atau
setelan hitam kebiruan (wulung), dan setelan itu terlihat seperti pakaian untuk
menyamar. Ia pun dijuluki sebagai Seh Ngabdurakim. Hanya Ki Jayamustapa
dengan Janodin yang tidak terpisah mengikutinya dibelakang. Terlihat langkahnya
pelan dan lurus, sebab di Dusun Manjingan yang dituju, Jungkung sholat hajat

12
sehingga lupa kanan kiri sekelilingnya. Ternyata ia telah dikelilingi oleh sang
pemuda.
Pemuda tersebut lama di Parangtritis. Di sini merupakan pulang perginya
ke Gunung Kidul (pegunungan pantai selatan). Juga ke Gebangtinatar yang
terpagari oleh pohon belimbing. Mulusan Guwa Gelung dan Sapar Paliyan turun.
Karena sudah masuk malam Jungkung segera pulang.
Semua sopan dan tidak ada lagi yang berbicara. Melihat sampai menuju
Selaraja kemudian semua menepi. Terlihat olehnya mengeluarkan kekuatan. Hal
ini ditangkapnya sebagai pertanda akan keselamatan keraton. Akhirnya pada
Jumat Kamis memberi kewajiban, kepada para istri juga kesukaannya semua.
Diputusnya cerita sudah dan akhirnya terseling cerita.

X. Pupuh Asmaradana
Adalah Kangjeng Nareswari, ratu agung yang diceritakan. Istri dari sang
Raja ke-tiga yang sudah mangkat. Ia merupakan ratu yang taat beribadah. Pada
suatu malam di keraton saat Sang Kangjeng Nareswari pergi tidur, pada saat
tengah malam yang beriringan dengan bulan purnama Sang Ratu bermimpi.
Terdengar suara yang jelas dalam mimpinya, suara tersebut memberi pertanda
kepada Sang Ratu. Kurang lebih seperti ini yang diwangsitkan suara tersebut
dalam mimpinya. “Engkau Sri Wranarini, anakmu Dyah Ratu Kencana yang
masih muda, nikakahnlah dia dengan saudara tuanya sedarah supaya ia menjadi
kerabat raja, sebagai alat keselamatan negara. Jika tidak kau laksanakan seperti itu
zaman yang penuh huru-hara akan mulai datang, maka akan dipenuhi kesedihan
yang menyebabkan pertengkaran atau geger di negara Mataram. Bahkan
pecahnya Ngayogyakarta dan tidak dapat dipungkiri akan terobrak-abrik.
Selain itu, sesungguhnya akan datang segera seorang wali dari arah barat
laut yang akan menjelaskan tentang pernikahan tersebut. Tetapi jika semua ini
tidak terjadi, maka tidak heran jika akan tergulung oleh petinggi-petinggi di
kerajaan Ngayugyakarta. Sesungguhnya ini merupakan takdir Tuhan, yang
ditakutkan pasti akan datang seperti engkau menghadapi kematian!”

13
Kangjeng Nareswari terperanjat bangun dari tidurnya, hatinya terheran-
heran bercampur miris serta khawatir. Batinnya sangat takut melihat perkara yang
dialami dalam mimpinya. Kangjeng Ratu berpikir untuk memanggil Pangeran
Mangkubumi, segeralah ia memerintah seorang utusan. Dengan sekejap utusan
sudah tak terlihat. Selang tak begitu lama Pangeran Mangkubumi sudah sampai di
keraton, lalu dengan cundhuk atau hiasan rambut Sang Ratu lalu berusaha
mengartikan mimpi tersebut, disuruhnya Sang Ratu menceritakan mimpinya 3x
dengan apa adanya.
Berkatalah sang Pangeran Mangkubumi “Menurut pemikiran saya, dari
apa yang diceritakan dengan apa adanya serta menebak raut muka yang serius,
sesungguhnya yang dimaksud di dalam mimpi adalah Pangeran Dipanegara,
alangkah lebih baik jika dilaksanakan apa yang disebutkan dalam mimpi”.
Terkadang bersedia untuk menjalankan, sebab mendengar nasihat para
orang tua. Para orang tua saling membujuk keduanya diantara Pangeran
Dipanegara dan Pangeran Mangkubumi. Yang mungkin diarah oleh mimpi
dengan menggunakan perkataan yang manis seakan-akan berbau harum dan tidak
kasar kata-kata tersebut.
Semua itu sepantasnya jauh lebih baik hanya dilakukan oleh ibuku. Sang
utusan pun membenarkan jika semua sudah hancur tanpa disadari. Jangan sampai
Pangeran Dipanegara tahu walaupun tidak akan terima, akan tetapi akan
mengurangi rasa malu sebab merupakan tindakan yang seenaknya sendiri.
Kangjeng Ratu menambahkan, “Sungguh aku yang menjadi korban, segeralah
putuskan, sebab Pangeran Mangkubumi segera pulang bertemu Sang Merdu untuk
memberi tahu.”
Pangeran Mangkubumi akhirnya memberi tahu, “Yayi saya menyuruhmu
sebab juga berdasarkan atas kemauanku serta Ratu Agung yang memerintahkan
juga. Hal ini dikarenakan untuk menjadi sarana tentramnya kerajaan, maka
Dipanegara putramu supaya menikah dengan putraku. Supaya santosa serta
berkurang rasa khawatir, sebab bencana ini disamar akan terjadi.” Sang Ayu
berkata pelan, “Jika mendapat kesempatan, lakukanlah”. Segera Pangeran
menjawab, “Bujuklah dengan perkataan yang manis, bicarakanlah keperluannya

14
agar segera dituju. Supaya putramu Dipanegara tidak berontak perhatikanlah
lama-kelamaan”. Sang Dyah lalu meninggalkan tempatnya beserta para
embannya.
Tak lama Kategareja datang segera dan melihat Pangeran Dipanegara.
Segeralah ia menemuinya di luar gerbang. Memberitahukan bahwa
kepentingannya selir sudah tersedia di kedudukannya maka segera menuju kepada
mereka. Raden Mangkubumi bersabda, “Semoga kalian semua dalam keadaan
selamat. Sungguh sudah lama tidak bertemu.” Pangeran pun berterima kasih serta
merendahkan hati. Mereka pun lalu disuguhi dengan rata tidak ada yang merasa
kekurangan. Pangeran berpikir dalam hati, “Sungguh apakah ada niat ia tetiba
datang menemuiku, kelihatannya pasti ada keperluan yang ingin disampaikan.”
Dyah Mangkubumi menggelar seluruhnya, lalu menemuinya sendirian. Siap untuk
menyampaikan yang tidak tersampaikan. Lantas pangeran merangkai kata. Ia pun
menyatakan sungguh sudah mati nalar Yayi Rajeng karena terkena perasaan.
Sungguh tidaklah baik hal tersbeut. Menertawakan apa yang disebut rusuh maka
kelak akan tersisih dari dunia.
Pangeran menjawab bahwa Ia tak berdaya menjalankan lalu bersungguh-
sungguh meminta pengampunan kepada Ibu Kangjeng Ratu Werdoh. Dyah Ayu
mangkubumi lalu menanggapi, bahwa jika Pangeran tidak patuh maka akan terjadi
kesusahan di tanah Jawa. Tetapi Pangeran menjawab, “Jika memang itu kehendak
Tuhan pasti tidak akan terhalangi jika sudah dipastikan sedari dulu, tetapi jika
kehendak rakyat yang apa adanya sebagai manusia walaupun menggunakan
sarana sungguh tidak akan dapat merusak dan menyebabkan kesusahan.”
Sepertinya perkataan manis Raden Ayu Mangkubumi tidak bermanfaat,
lalu segeralah ia pamit pulang setelah memberi hormat kepada Pangeran. Dengan
istri juga anak dan semua orang mengantarnya hingga di luar gerbang menunggu
Raden Ayu Mangkubumi berjalan. Sesampainya di dalam gedung Ia sudah
bersama sang suami. Pangeran Mangkubumi bertanya kepada istrinya apa yang
sebenarnya menjadi niatnya. Dyah Ayu pun menjawab dengan mengatakan
semuanya, dari awal hingga akhir. Pangeran pun menjadi tahu lalu menyudahi
perkataan, dikembalikan kepada Jeng Ratu Werda.

15
Sesungguhnya Dyah Waragini akan menyandang duka yang tiada tara
lamanya. Pangeran Dipanegara lalu bergegas menghadap sang putra raja. Di
dalam keraton dan masukan ke dalam Bangsal Kencana, Ia meraih putra raja
segera dipangku lalu dicium serta ditimang-timang. Lama Ia membelai sehingga
membuat bahagia rasa hati. Terjatuhlah air mata keluar dari mata Pangeran
Mangkubumi mengetahui jika putranya di Bangsal Kencana, segera menemui
sang putri, dan ternyata juga mengetahui putranya Pangeran Dipanegara ada di
sana. Karena berada di keraton tiada suara mereka di Bangal Kencana sebab
hanya mereka sendiri. Tiba-tiba disentuhlah sebab dipanggil oleh sang Dyah
Kangjeng Ratu Werdu, mereka pun segera menyambut kedatangannya. Kemudian
ia memanggil Pangeran Dipanegara dan bergegas menuju Gedung Jenar. Di sana
hanya mereka duduk bertiga. Lalu terpikir olehnya hingga membuat tidak enak
hati jika tidak dilaksanakan Pangeran Mangkubumi dan Dipanegara.
Ratu Agung berkata pelan, “Supaya Nakmas seperti orang yang pintar,
harap selalu dinalar apa yang kukatakan. Maka katakanlah yang senyatanya,
bagiku hanya engkau pujaan hati sungguh baik kelakuannya”. Sembari mengucap
syukur Pangeran berkata “Bahwa itulah yang disebut dengan godaan,
sesungguhnya adalah iblis yang mengganggu dengan memerintah melalui agama
yang sebenarnya tidak nyata. Halangan sepertinya sudah dirasakan bahwa bukan
pertanda dari Tuhan. Jika seperti itu maka tidak heran hanya mengagungkan rasa
kesedihan”. Lalu Jeng Ratu berkata, “Sepertinya tidak seperti itu. Wangsit itu
dengan jelas menyebutkan, tentang wali yang disebutkan akan datang dari arah
barat laut, jikalau gagal sungguh lebih malu aku”. Segera ia mengatakan kepada
sang ayah, “Ayah Pangeran Mangkubumi, tentang wali yang disebutkan, kepada
siapa diterangkan?”. Sang Ayah pelan berkata, “Katanya wali akan gagal tidak
jadi dikeramatkan, apakah begitu yang diceritakan?”. Pangeran Dipanegara pun
lalu menggagas rasa hatinya, hatinya sedih hingga tidak terlihat gerak geriknya.
Sebab wali yang disebutkan yang masih belum jelas, sehingga merasa malu Ia
pada tuhan hingga susah hatinya.

16
Melihat gerak-gerik putranya Jeng Pangeran Mangkubumi, terpancar serta
bertambahlah rasa sedih namun hanya sesaat dan kemudian hilang, sungguh
direlakan untuk membahas hal tersebut. Besok jika sudah terjadi, Tuan Pangeran
barat hendak berperang?
Segera pulang kedua pangeran. Keluar dari keraton dengan berjalan
sendiri-sendiri. Lalu Pangeran Dipanegara segera menuju Selareja dengan khusuk
Ia mengeluarkan kekuatan untuk bersemedi, sebab sangat bersusah hati kepada
Tuhan akan semua peristiwa dan permasalahan ini.

XI. Pupuh Sinom


Seraya memuja atau berdoa kepada Tuhan YME. Sudah tiga hari tiga
malam ia berada di sanggar pemujaan. Ia pun keluar menuju serambi dan
memanggil kyai gurunya. Yaitu Kyai Bahwi namanya. Pangeran Dipanagara
berkeluhkelah menyampaikan semua permasalahnnya kepada Kyai Bahwi.
Apakah hal ini merupakan cobaan dari Tuhan. Pangeran Dipanagara
menyampaikan permasalahannya, “Kakak Bahwi akukabarkan kepada engkau
mengenai perintah dari Bu Suri, Ratu Agung dan Ayahanda Raja. Mangkubumi
memberikan berita bahwa aku diminta untuk menikah dengan saudaraku sedarah
sendiri demi menjaga keselamanat kerajaan Ngayogya.” Jelaskanlah
sesungguhnya yang benar itu seperti apa.
Kyai Ahmad Bahwi menjawabnya, “Lahirku ini sesungguhnya dari Tuhan,
sungguh para wali, wali yang menjelaskan bahwa menjadi seorang raja haruslah
mampu dan pandai memangku keadilan, harus menguasi ilmu ketatanegaraan dan
ilmu agama. Mengagungkan Tuhan, hal itu sungguh sangatlah utama. Oleh karena
itu para nabi di dunia ini jumlahnya sesungguhnya ada satu kethi atau 100.000
dan yang 24.000 dijelaskan 6 terlebih dahulu. Bermula dari Tuan Adam nama
kalifatullah atau utusan Allah, dan juga Nabi Nuh nabi Allah, Nabi Ibrahim
ketiga. Ia juga utusan Allah, dan Musa, Isa disebutnya Roh Kullahu, dan yang
terkahir bernama Nabi Muhammad Mustofa Rasulullah yang disebut juga sebagai
duta Tuhan di bumi ini. Di pulau Jawa eyang Tuan Sultan Agung dahulu sudah
pernah dijelaskan, bahwa keluarnya di gunung, ratu melihat dan berbisik.

17
Sekarang Tuan yang mulia semua hal itu akan kerusakan merupakan
wallahuallam, lebih-lebih kehendak Tuhan.”
Dalam hatinya terasa, “Sungguh tidak akan dariku hanya mengikuti garis
takdir Tuhan. Tuhan Agung yang menguasai, tetapi kita harus berusaha. Pangeran
pun membaca alhamdulillah dan berkata kepada Bahwi, “Sejatinya diriku
diciptakan atas kehendak Allah. Sudahlah kamu istirahatlah, ucapku yang terakhir
kepada Bahwi. sebab, engkau bantulah aku dengan memanjatkan doa kepada
Tuhan.” Mad Bahwi mengiyakan, kemudian dengan segera ia mohon izin kembali
ke panti atau pondok.
Tuan Pangeran Dipanagara, dalam hatinya ketika dahulu diminta oleh Ibu
Tuan Nareswara sungguh sangat malu apabila aku kembali datang ke puri atau
istana. Sesungguhnya aku baru diperkenankan kembali ke kerajaan oleh Tuan
Residhen hanyalah apabila aku telah selesai melaksanakan kewajibanku. Pangeran
semakin sedih dan pada waktu itu ia tidak datang ke tempat peribadatannya.
Lantas ia pun ditemui oleh kedua abdinya yaitu Jayamustapa dan Janodin serta Ki
Bahwi sebagai gurunya.
Ki Mupit Guyangan, berkatalah sang anak raja, “Lahirnya Ki Mupit,
kemanakah dan bagaimanakah hal itu. Semuanya dijelaskan, tetapi hanya sebatas
maksimal kemampuan hatinya terhadap dewa dan wetonnya.” Dengan sangat lirih
Ki Mupit berkata, “Pemberian Tuan Raja, sungguh perkataannku apa adanya.
Dahulu hamba mengaji, mengaji kitab Manjur Idayat namanya, tujuh jumlah sifat
di dalamnya. Pertama adalah sifat Mutlak, kedua sifat Salikin, sifat Subkhi yang
ketiga, Subuhun keempat, Khadim kelima, Satmata keenam, dan Malih
ketujuhnya Tuhan.” Putra raja pun berkata, “Yang dimaksud Malik itu bagaimana
maksudnya?”. Kemudian Ki Mupit menjawab, “Terang lebih terang. Makan roh
yang tak berwujud, tetapi sesungguhnya itu merupakan inti dari seluruh dunia.”
Kemudian pangeran berkata bijak, “Yang disebut sifat Salikin, bagaimana
pengertiannya?” “Hal itu merupakan sucinya sifat dan tidak ada yang
mengotorinya.” “Sifat Subkhi berarti berani gelap dalam makna suasana di Jawi,
sungguh sifat Subuhun sangat dalam maknanya.”

18
Tuan Pangeran berkata lagi, “Lah dalam hal yang bagaimana itu?” Tuan
Mupit menjelaskan lagi, “Bagaikan Tuhan, penjelasannya singkat tak panjang
lebar, bahwa yang dekat tidak bersentuhan, dan yang jauh tanpa adanya batasan.
Juga sifat Khadim merupakan jalan tanpa permulaan, tanpa berakhir. Bahwa abadi
yang hidup. Yang disebut Satmata merupakan sifat dari keadaan, keadannya
pribadi bahwa wajib merupakan wujud yang wajib wujudnya.”
Bersama Tuan Pangeran, dengan sopan ia bertanya kembali kepada Bahwi
dan Jamustapa mengenai apakah mereka setuju dengan penjelasan dan pemikiran
Ki Mupit tadi. Keduanya menjawab iya dan menyatakan setuju, karena mereka
berdua telah yakin kepada Makdur Idayat. Mereka semua diminta untuk bersiap-
siap. Semuanya mohon izin untuk undur diri kembali ke tempat tinggal masing-
masing.
Datanglah anak raja yang telah lama tidak datang ke kerajaan. Masuk loji
sudah dan bertemu dengan Residhen. Segera duduk sang pangeran dan
menyembah kepada Tuan Residhen Semisar. Pangeran berkata, “Semoga semua
sehat dan selamat”, Tuan berkata bijak, “Bagaimana keadaanmu, apakah sudah
terurus dan memperoleh pengukuhan, kukuh menerima tanda, tanda atas nama
semua?” Berkata pangeran, “Tidak ada kekurangan.” Begini saja, batas pagar
wayang sungguh rusak kemudian, dan juga engkau telah lama pula dikerajaan ini.
Residhen pun mengizinkan pangeran pamit untuk meninggalkan kerajaan. Belum
jauh dari wilayah kerajaan ia bertemu dengan putranya.
Sultan Timur yang diiringi oleh para abdinya ketika berada di pelataran,
para prajurit dengan pangkat tinggi dan rendah serta Jayapermadi, Tuan Lurah
Sukabja, juga Raden Mas Surya, Tuan Mas Guntur, Tuan Mas Dawud, dan
Senthot sebagai pemimpinnya. Sakim seorang abdi dari para rantenearan Gus
Cokik, antara lain ada pula Bagus Sambiya yaitu anak dari Panji Nyutra berkata
lirih, Sang Gandamana dahulu anak Raden Jayadiraneki, yang disebut juga
dengan sebutan Tuan Tumenggung Jayadirja.Katanya makamnnya ada di Wiyara.
Tingkah anaknya yang bernama Menggung Naladirja dijelaskan bahwa
makamnya berada di Taji, dahulu bernama Karanglo. Pulanglah Tuan Sri
Nugraha, disuruhnya ke hutan oleh Kanjeng Pangeran Hariya Dipanagara.

19
Mas Ayu Dati segera memberitahu kepada sang raja bahwa Tuan Sultan
Timur dipegangnya, “Whai Tuan Raja, Tuan dipanggil oleh ayah Tuan Raja.”
Tanpa bersuara mendengar pemberitahuan sang emban, Raja dengan Kecanadi
mereka semua mengadap kepada ayahanda Raja.
Cekat sang Tuan Pangeran Dipanagara kemudian segera memangku putra
raja. Diusap-usap rambutnya, tetapi terasa dalam hatinya, ia sangat sedih bahwa ia
telah ditinggal ayahnya ketika ia masih muda. Tidak ada kasih sayang yang ia bisa
rasakan dari ayah kandungnya ketika masih kecil. Sang putra raja dikudang-
kudang oleh Pangeran Dipanagara kembali.
Lama olehnya memomong putra raja, kemudian dikembalikannya lagi.
Diterima oleh dua emban yaitu Mas Ayu Dati. Pangeran pun segera pamit undur
diri dan pamitnya diperhatikan oleh raja. Dua emban tersebut juga pergi dan
membawa putra raja ke Tegarja.
Tuan pangeran kemudian membuat sang raja menjadi tidak nyaman. Pada
waktu itu tepatnya ketika waktu asar, telah dijemput oleh para Tuan kemudian
pulanglah sang Raja. Sampailah di kerajaan. Sungguh Tuan Sri Pamasa ketika Sri
Bupati turun atau berkunjung ke wilayah di Tegareja. Bahwa terkadang kepada
eyangnya Ratu Waragarini yaitu juga kadang dengan sang Dyah Rtau Kencana.
Oleh karena itu dia ingin ayahnya sendiri yaitu Tuan Suwalyemyang menjadi juru
bahasanya.
Sang Adipati Dhitrelan setuju atas kehendaknya. Hal ini didasarkan atas
keuntungan. Sebab Tuan Adipati mengapa sangat berani pada Belanda termasuk
terhadap Kompeni yaitu hanya satu alasan ingin memasuki tempat tinggal
Residhen Semisar. Semua hal yang masuk akal sering kali mengorbankan teman
dan pertemanan. Hal ini disebabkan karena hanya emosional yang dikedepankan.
Dengan menggunakan strategi sandi, Tuan Wiranagara berusaha dan semua ini
diperuntukan sang Ratu Agung.
Dahulu Tuan Patih dan wakilnya berbeda pendapat, kemudian mereka
menjawab bahwa apa yang dijelaskan ketika waktu Mardikalir zaman itu,
memberitahukan bahwa bumi pintu tanah Jawa telah dirusak oleh Sala. Tuan Patih
melapor bahwa hal itu sungguh tidak dipikir dan dirasakan dengan hati, kemudian

20
besarlah perkara ini. Berkumpul para menteri-menterinya dna juga Resdihen.
Kedua pangeran wakil pun diminta untuk menghadap termasuk Pangeran
Dipanagara.
Oleh Tuan Pangeran Mangkubumi, telah diberitahukan kepadanya bahwa
ia diminta untuk hadir di loji pertemuan untuk memikirkan bumi kori. Semuanya
telah siap berkumpul. Kedua pangeran wakil merasa terkejut dengan berita yang
disampaikan dalam pertemuan tersebut. ia beranggapan bahwa usaha terhadap
perusakan bumi Jawa ini sangat sulit dilakukan. Hal ini harus menjadi pelajaran
bagi orang yang jahat dan licik. Pangeran Dipanagara pun berkata, “Dahulu telah
ku perintahkan kepada Danurja, beberapa perkara yang harus diselesaikan, tetapi
begitu ku pikir sesungguhnya. Di situlah kepandaiannya atas kelicikan dan
keprigelannya memainkan perkara ini.
Dibantu oleh pemerintah di Surakarta diharapkan semuanya berbuat yang
baik dan pantas. Bahwa Sala dan Ngayogya ukurlah terkikisnya pagar wayang,
sungguh batas sejak dahulu. Semua hal yang berdiri di situlah terdapat suatu
kebaikan. Kebaikan bupati dan pembesar kerajaan dikarenakan hal yang sejatinya
benar dicatat dengan tidak baik. Apabila menjadi suatu kerusakan dapat engkau
selesaikan dengan suatu perjanjian tertulis dan harus dijunjung tinggi oleh kedua
belah pihak. Jagalah semua peninggalan itu jangan sampai rusak.
Pangeran Dipanagara segera menghadap Adipati. Tumenggung yang
dituduh adalah Tuan Jayadipura dan Sumardija Ngabei. Semua lantas menatap
kepada juru penuduh ketika itu. Sekarang diringkas hal yang diceritakan, segala
hal yang merusak keutuhan kerajaan dilawan. Pangeran pun segera masuk ke
dalam panti dan yang diutus mendampinginya adalah Tumenggung Jayadipura
dan Sumardija Ngabei kembali kepada hubungan yang baik dan harmonis.
Keindahan di Surakarta, peraturan tidak lama akan selalu sama. Supaya menjadi
satu lagi harus diterima secara baik dan akhirnya selesai sudah tidak ada lagi yang
bermasalah. Telah bangkit kerajaan. Diselingi cerita mengenai negeri Batavia.

21
XII. Pupuh Dhandhanggula
Inilah Tuan Gubernur Batavia, yaitu Tuan Godher Aleksandhar, Dhan
Pandher Kapelen Baron. Mereka semua diharapkan berkumpul untuk memberi
priksa atau memeriksa. Sesuai dengan perintah dari Tuan Raja Nederland.
Mengenai urusan pajak terhadap tanah di Ngayogya tidak boleh dilanjutkan.
Meskipun telah diberhentikan, segala hal berkaitan dengan urusan
admisnistrasi wilayah harus dilaksanakan secara mudah, semua harus patuh.
Pabrik-pabrik di Pidari segeralah semuanya tidak boleh dipajaki. Mendengar hal
terssebut, tuan-tuan yang dahulu memajaki tanah seakan-akan tidak ingat terhadap
tindakannya dahulu. Pabrik Bedhoyo sebutannya. Terletak di desa Rejamegatan
dan juga desa Jawinangun. Kopi yang ditanam hanyalah demi keuntungan saja.
dahulu ketika di desa tersebut, tuan ketiganya, sang Raja, Residhen juga
memusyawarahkannya.
Bintowa segera memberikan wakilnya yaitu Pangeran Dipanagara dengan
Pangeran Mnagkubumi. Semuanya bersama para petinggi kerajaan, berbondong-
bondong telah sampai. Semuanya merasa sangat lelah dan lemas. Tuan Residhen
Semisar pun turun untuk menemui kedua pangeran wakil tersebut.
Manukarta telah duduk di kursi. Di sana juga telah hadir para pembesar
atau petinggi pemerintah. Tuan Residhen pun dengan suara yang pelan. Tuan
Mantri pun berharap semoga dari pertemuan ini diperoleh perintah dari tuan
pemerintah Batavia. Tidak lama kemudian selesai sudah musyawarah
mendiskusikan mengenai permasalahan pabrik. Dimana semua hal mengenai
permasalahan ini dipasrahkan kepada Tuan Sri Pamase.
Mereka utusan dari kerajaan bermaksud untuk meminta ganti atas biaya
yang telah dikeluarkan dalam perang, pabrik yang ada di Pidari. Seluruh hal yang
telah dipajaki diminta untuk diganti. Para petinggi desa pun setuju dengan
tuntutan tersebut. segeralah Tuan Patih Danurja pada akhirnya, “Teman seperti
apa, semua musyawarah untuk mempertimbangkan mengenai hal itu.” Hal itulah
yang menyebabkan permusuhan dan pertengaran. Tuan Adipati pun
memebranikan diri untuk protes, ia lantas memberikan jawaban balik, “Meskipun
sangat banyak keinginan tuan wakil. Oleh karenanya para tuan-tuan pabrik

22
semuanya kehilangan uang dan juga biaya yang telah banyak keluar. Sungguh
kami telah mendapatkan izin dari sang Raja yang pantas disebut Sri Narendra,
sesungguhnya yang bertahta di Ngayogya semuanya memiliki raja dan berhak
memberikan serta menjamin hak atas rakyatnya.”
Pangeran Dipanagara kemudian tersenyum dan berkata, “Iya betul engkau
Tuan, engkau mengiyakan saja, padahal tuan Rsidhen belum memberikan
pertimbangannya.” Tuan Residhen pun berkata seraya tersenyum, “Sungguh aku
tanpa pertimbangan, karena secara mudah saya adalag wakil dari Gubernur.”
Dalam perintahnya Tuan Raja Belanda.
Pangeran Dipanagara di sini merupakan wakil yang paling ulung dan
cerdas sendiri. Ia berkata secara keras, “Sesungguhnya banyak orang yang
melanggar dari peraturan dan hanya memikirkan upah saja. pikirlah tentang hal
itu, tentang tanah yang dipajaki dan pada waktu itu semua orang saling mematuhi.
Dalam pertemuan tersebut yang hadir tidak hanya beberapa orang saja, melainkan
hadir pula para kawula atau rakyat bahkan seluruh abdi dalem yang merasa juga
dirugikan atas pajak ini. Apabila pulang sering mereka tidak menerima upah.
Cobalah engkau pahami, apabila dahulu engkau menepati janji yang telah
disahkan dan dipatuhi, maka tidak akan terjadi perkara seperti ini.
Tuan memajaki dengan mendapatkan izin dari tuan Gubernur Nederland.
Dengan patuh dan perbuatan yang baik pula semua menjadi rukun kembali dengan
munculnya surat perjanjian guna mengurangi atau menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan. Tetapi hal itu sekarang justru dilanggar. Maka dari itu lelanglah pabrik
tersebut supaya tidak menjadi hal yang sia-sia. Akan tetapi jangan sampai jatuh
kepada tangan raja.
Keadaan pun semakin penat. Akhirnya Tuan Residhen Semisar berkata
lirih, dan Tuan Mantri serta para adipati di sini berharap dari adanya perkumpulan
ini. Semuanya berkata kepada kedua pangeran wakil yaitu Mangkubumi dan
Dipanagara. “Tidak akan ada habisnya membahas mengenai permasalahan
pemajakan tanah ini. Sesungguhnya kami mengharap jawaban dari Tuan
Gubernur.” Oleh karena itu perintah dari Gubernur pun ditunggu. Satu per satu
mereka mulai mengundurkan diri.

23
Dengan ragu-ragu tuan Pabrik berkata, “Sungguh memajaki tanah di
Yogyakarta dan segala hal berkaitan dengan kebudayaan seperti Tari Bedhaya
sendiri, itu semua merupakan peninggalan Residhen Nais. Untuk saat ini itu
semua diurus oleh pemerintah. Laporlah Tuan Gubernur Batavia, bahwa Baron
Kapelen tergugah hatinya untuk mempertimbangkan hal itu atas kesejahteraan
rakyat Indiya semua. Pada akhirnya permasalahan ini diselesaikan oleh Mister
Bastian.
Sampailah di negara Yogya. Setelah diperiksa semuanya. Sungguh seluruh
tuan-tuan agung yang telah memajaki tanah setelah diperiksa lantas Pangeran
Dipanagara memerhatikan nasihat dari Patih Danurja (Danureja). Nasihat itu
berisi bahwa dhalang dari permasalahan besar ini tidak lain adalah Residhen
Semisar itu sendiri. Alasannya bahwa, ia tidak memiliki uang untuk
mengoperasikan pabrik. Mendengar hal tersebut, Residhen Semisar percaya
terhadap Raja bahwa Tuan Kumisaris akan berkata bijak nantinya kepada semua
yang sedang menghadiri rapat atau datang. Ia menegaskan sekali lagi bahwa
merka para tuan hanya menjalankan perintah dari gubernur Batavia. Semua pun
kembali ke tempatnya masing-masing.
Raja menemui Patih Danureja, ia berkata, “Dhuhai raja, beberapa perkara
yang sedang dihadapi tersebut antara lain masalah pabrik, bedhaya, dan desa.” Hal
itu juga dibetulkan oleh Pangeran Dipanagara bahwa langkang yang sudah kita
tempuh gagal dan tidak mendapatkan hasil. Sesungguhnya Tuan Kompeni Agung
tidak berbohong akan hal ini. Hanya saja surat Wawarawan dan Kataliyah dari
sang Residhen yang membuat sakit hati. Tuan Raja berkata, “Penjelasanmu
membuatku terkejut. Tidak hanya mengenai kepatuhan kita, tetapi harapanku
lebih dari itu.” Tuan Patih menjawab, “Sungguh benar Paduka, yang disebut
sebagai perintah pada akhirnya Tuan Semisar sebenarnya yang mengambil
dana/uang di pabrik. Justru ia sekarang telah kabur Gusti.
Lalu siapa tuan yang akan mengganti. Orang yang telah berbuat licik di
belakang sesungguhnya banyak akalnya. Kelicikan itulah yang harus kita sadari.
Rupanya yang menjadi dalang sesungguhnya dari permasalahan ini adalah bukan
Tuan Residhen Semisar melainkan cucu Raja sendiri yaitu tidak lain beliau

24
Pangeran Dipanagara. Untuk menitpkan cucu Pduka Raja, dahulu Residhen
Semisar memiliki uang yang banyaknya 40.000. pada akhirnya nanti apabila
menginginkan dari 26 ribu sebagai pinjaman guna membiayai dan mengatur
kerajaan ini Tuan. Patih Danurja memalingkan muka seraya menghela nafas
seakan-akan sangat lega dengan tindakannya ini.
“Lho Dhi Wiranagara, bagaimana, sesuailah engkau? Sesungguhnya bagus
yang mana?” Wiranagari menjawab dengan manis dan sopan, “Duhai Tuan, betul
sekali hal itu. Saya hanya ikut Paduka dan mengiyakan saja. apabila mengikuti
keinginan Pangeran Dipanagara, justru akan semakin rusak negeri ini.
Bicaranya yang kasar serta kurang ajar membuat geram, memberotak
dengan tidak sabar dan kukuh dengan gagah mengandalkan keangkuhannya.
Kanjeng Ratu kemudian mengucap dengan lembut “Sebab ucapanmu itu akan aku
turuti.” Segeralah diberikan uang yang banyaknya dua puluh enam ribu ringgit.
Raden adipati sudah engkau terima. Habis sudah semua direlakan keluar.
Karena sudah mengerti adanya desakan, adipati segera keluar dari keraton.
Kemudian datang kedua patih secara bersamaan yang sudah berkumpul dengan
rukun. Janjimu Raden Dipati kepada Wiranegara yang jadi dibiarkan semalaman.
Kemudian secara ringkas perkataanya yang katanya sampai pada menyanggupi
janji pada Kanjeng Kumisaris Besar. Telah duduk Tuan Kumisaris bersama
Residhen Samisaret yang telah menghadap. Serta ada Pangeran Dipanegara juga
ayahnya yaitu Pangeran Harya Amangkubumi. Juga ada Tuan Sapalya dan Juru
Dhitre sang juru bahasa di Ngayogya. Kemudian segera Patih Danureja Wranagri
menyetujui dengan tuan tanah yaitu yang membayar pajak tanah. Mengharaplah
pada Tuan Jendral Kumisaris. Dyan yang bersiap akan memberikan perintahnya
tentang perkara yang sudah diselesaikan Pangeran Harya Amangkubumi, sebab
daripada dengan Kumisaris yang berasal dari Nederland. Lalu ditetapkanlah apa
yang menjadi perintah Raja. Jajahanya biaya pabrik hendaknya diputuskan begitu
pula Dyan Dipatya atau Tuan Adipati.
Bertemulah mereka menyelesaikan perkara dengan berhati-hati
menghaturkan uang bayaran yang berjumlah dua puluh enam ribu banyaknya.
Engkau Danureja juga reyal dan batu. Sejatinya sudah menerima keterangan sebab

25
dari perkara yang sudah diterima demikianlah wujud dari sebuah kerukunan.
Kanjeng Tuan Kumisaris Besar bersama menerima Nawarawan yang menjadi
saksi meneruskan penerimaan.
Sedang berbicara tentang perkara perang, pada akhirnya pembicaraanya
Pangerang Dipanegara menjadi kaget hatinya “Duhai engkau Danureja seperti
apakah pembicaraan yang menyenangkanku, menjadi demikianlah dirimu, disebut
sebagai perusak urusan. Sebab uang-uangnya siapa? Pasti itu kepemilikan dari
dalem Sang Aji yang selalu kau buat cacad”.
Raden Dipati menghaturkan dengan pelan “Ketakuta paduka bendara,
sebab hamba hanyalah melakukan apa yang sesungguhnya dikehendaki kanjeng
Ratu. Ratu Agung kesal pada perkara yang dilatarbelakangi atas perbuatan licik.
Segeralah berdamai, membinasakan perintah yang harus direlakan”. Kemudian
Pangeran Dipanegara berbicara dengan keras mendahului pemberian tanpa ijin.
Dengan nyata tanpa perundingan dan perwakilan karena saya dan Kanjeng Rama
Mangkubumi tanpa membuat suatu akhiran. Hanya engkau dan Wiranagari itu
adalah orang yang melanggar aturan, yang dilakukan hanyalah kekerasan seperti
sepatutnya perilaku jahat yang disebabkan sikap nakal, curang, dan dengki hati
serta tega terhadap sesama”.
Menjadi gelagarapan karena ketahuan berbuat curang. Ilmumumenbolak-
bailakn perkataan tidak memiliki bahasa keselamatan. Kemudian Kanjeng
Pangeran Agung, Peekataanya pangeran yang bersedia dengan tulus, segera
melaksankan perintah. Segera disuruhlah pergi untuk menghaturkan kepada kedua
pangeran. Sudahlah pulang para punggawa ditempat tinggalnya masing-masing
juga semua yang menghadap.
Di waktu malam yang tidak ada suara hingga pagi. Kumisaris Besar sudah
kembali keperjalanannya di jalan yang tidak diceritakan yang pada akhirnya
sampai di Batavia. Lagi pula jangan sampai pada semuanya. Pada para pejabat
agung perkataanya hingga Ngayogya. Segera selesai dibiarkanlah menjawab apa
yang terucap. Negeri Ngayogyakarta.

26
XIII. Pupuh Pangkur
Selang beberapa hari Kanjeng Pangeran Dipanagara tengah menghadap
Pangeran Mangkubumi. Di Bangsal Sri Manganti telah menghadap juga para
Pangulu yaitu sebutan untuk para pemuka negara. Ada juga Rahadyan Patih
Danureja yang bersanding dengan para Wiranagari atau prajurit negara yang amat
ditakuti.
Harum manis jwaliteng. Kalimat sambutan yang disampaikan oleh
Pangeran Dipanegara dengan nada yang pelan berbicara dengan Rahmanodin
Pangulu “Wahai Kyai Pangulu, apakah menjadi suatu kewajiban untuk melakukan
perintah Ratu? Seorang Ratu yang belum cukup umur dan belum menjadi dewasa,
sebab itu menjadi persoalan berat.” Dengan berhati-hati Kyai Rahmanodin
Pangulu menjawab, “Karena apabila Gusti menjadi Ratu, akan pantas dengan
kewajibannya, juga budi dan tanggung jawabnya, para Wedana Mantri Muka,
yang mengenal kitab serta negara.”
Segera Kanjeng Pangeran Mangkubumi berkata, “Sebab maka dari itu
memakai seorang wakil, apabila Sang Prabu meninggalkan tugasnya, maka yakin
saja tetap bisa, maka untuk itu dipilih wakil yang mampu, siap menguasai dalam
kerajaan, tempatnya semua keadilan dan hukum. Serta yang Yudanagara, atau
yang mempunyai keberanian itulah yang pantas menjadi wakil, bagaimana
Danureja?”. Dengan setengah yakin menyembah, “Sesuai, sudah lengkap Gusti
hitungannya atau kriterianya”.
Pangeran Dipanegara kembali berbicara pada perkumpulan “Sudah, ini
sudah waktunya, sebab hampir tengah malam ayo semua yang kita bicarakan kita
sudahi.” Semua menghaturkan sembah dengan segera semua mundur dari
pertemuan dan segera pulang menuju tempatnya masing-masing. Kedua Pangeran
sudah keluar dan yakin bahwa semuanya sudah pulang.
Demikian ujaran yang diceritakan, yaitu maksud dari Manggung
Kertadirja. Tanah dusun Sukawati, dirasa sudah salah. Perkaranya ada pada
Rahadyan Mantri Ngayun. Dengan nyata diminta untuk dibuka, perkataan kanjeng
Pangeran wakil.

27
Kebetulan Kanjeng Pangeran Riya Dipanagara yang mengadili dan juga
Rahmanodin sang pemuka. Segera daripada penjelasannya yang belum
dipikirkannya, sebab ini perintah kepada Rahadyan Patya juga Danureja Dipati.
Disuruhlah untuk memeriksa, menenangkan pikirannya yang disakiti habis-
habisan. Diterimalah, permintaan punggawa kerajaan atas ketidaksabaranya.
Dengan segera bersedialah para prajuritku dengan apa yang telah dirundingkan,
pembuka lahan pasti menyamar saat menghadap padanya.
Sang Kanjeng Ratu Werda mendatangi pura menghaturkan persetujuan
pemecatan Kertadirja yang akan lebih baik dengan kebenaranya. Dengan sungguh
Tumenggung Sasrawirana mengatakan gagasan yang benar paman, kelebihan
anda Kanjeng Ratu Werda. Tuan dan Nyonya Ayu Danureja juga selalu tidak
berbeda dengan pamanya. Segeralah dipaksa pelengserannya. Pada kenyataanya
Kertadirja selalu tidak terima dengan keadilan yang diperintahkan Residhen, pada
akhirnya Patih memutuskan tetapi meninggalkan pangeran wakil.
Dengan tega tanpa jemu langkahnya, setelah selesai Pangeran Dipanegara
merasa malu di hatinya serta kesal dengan Dyan Dipatya atau adipati juga kepada
pemuka Kyai Rahmanodin yang rupanya dia tetua yang berbalik meninggalkan
hukum yang sudah pasti. Kegelisahan hati sudah terbayangkan, tidak lebih Ibu
kanjeng Nareswari. Para wiranegara atau prajurit berkumpul dengan terburu-buru
menjadi rusak pemikirannya. Sebenarnya kasihan dengan seluruh rakyat yang
dengan segera menjadi bekas luka yang telah terputus.
Pangeran Dipanegara dengan cepat menggagas pergi ke Selareja.
Jamustapan dan Kyai Amad Bahwi serta Mangunarja yang dinantikan. Kemudian
Pangeran Dipanegara berbicara “Engkau Mangunarja apa saja yang kau dengar,
tentang berbagai macam kabar dari Danurejan, bagaimana itu kabarnya, ceritakan
yang senyatanya. Jangan menyuruh supaya iri dengan perbuatan merugikan orang
lain itu. Ya lebih baik apa adanya”. Segera Mangunarja menjawab “Kanjeng
Pangeran Dyan Danureja itu, yang saya dengar kabar, bahwasanya senang
bersembunyi di kerabat dari Gusti. Serta wataknya sulit untuk diketahui dasarnya
dan tidak punya malu, berani dan licik tanpa ada yang ditakuti. Kepada para putri

28
juga semau-maunya, mengusir tanpa sedikitpun rasa takut, hanya marah-marah
dengan keras yang bukan semestinya. Itu terjadi sedari dia bergelar patih.
Kemudian Pangeran berkata, “Engkau Jayamustapan bagaimana kabar
darimu, ceritakan dengan runtut”. Dirinya segera menghaturkan sembah, “Pantas
Gusti perkataan Mangkuarja, saya juga sudah mendengar dimana-mana ada, sudah
saya tidak banyak berbicara tentang perbuatan maksiat”.
Kemudian Pangeran Dipanagara mengucap, “Sebab demikian
keinginannya si Patih Danureja, maka dari itu sungkan untuk menghalanginya
selamanya, pantasnya bukan manusia, seperti kuwuk menjadi besi. Karena saya
ikut berkuasa di wilayahnya yaitu negara di Ngayogya, jadi saya ikut
merundingkan. Tetapi saya tidak berkewajiban dan tidak ada niat untuk
berkeinginan menganggu, membuat pangkat rusak, dan tidak menaikkan pangkat
seperti dirinya sendiri. Selain itu, saya mengetahui dengan melihat si Danureja
Dipati yang tidak pernah merasa berbelas kasih kepada semua orang. Banyak
nyawa melayang dimana-mana, perbuatan anak cucu sang Prabu menjadi banyak
yang sia-sia. Maka dari itu disebut tidak pantas menjadi patih. Tidak seperti itu
kelakuan para Patih yang sudah terdahulu, semua dekat dan saling peluk (saling
rukun dan melindungi) soal makanan tidak di sia-siakan, kuat tidak hanya dengan
mengandalkan tubuhnya, berakhir kemenangan tidak hanya sekali, keluarga
priyayi dihormati”.
Menyembah Ki Jayamustapan, “Sebab begitulah yang benar Paduka Gusti,
juga sangat luas hatinya untuk ingat pasti seperti terbangun, kekuasaan Patih Dyan
Danureja di Mataram. Dari yang keempat itu, menjadikan rusaknya negara. Bukan
begitu nak Mangunarja. Karena itu si anak berjalan-jalan dengan geloyoran ketika
kemarin dahulu memberikan Kuncen ke arah Selatan, mengarah tidak sesuai
sampai ke Barat, sampai di Bedhog Utaranya Gamping sebab masih berjalan,
kemudian Krunggahan ke Timur sampai di Trunaguyangan Garja. Toh nak apa
yang kamu ketahui?”.
Berkatalah Mangunarja, “Saya melakukannya bertempat di jembatan
bekalnya ternyata semua rusak. Salain itu utara, timur, serta selatan tempat yang
dekat negara namanya saya tidak mengetahui. Terpaksa saya bertanya kepada

29
orang setempat yang sedikit muda, berhenti saya untuk memastikan. Kemudian
bercerita demikian, jembatan dibiayai terlebih dahulu oleh orang dhusun, semua
dibiayai penuh. Alasanya tidak diberikan, hanya mendahulukan pajak negara.
Menjadi lumayan banyak kewajiban orang desa, semua menggerutu sehingga
menjadikan batang pohon kelapa yang dipotong untuk dijadikan papan untuk
palang. Mengumpulkan ayaman bambu untuk pembatas atasnya saja sudah
selesai. Pernyataan perintah Tuan Patih untuk menambah jembatan sungai yang
terlebih banyak yang rusak”.
Beliau Kyai Ahmad Bahwi turut menerangkan, “Apa nak Mangunarja,
karena perlumu yang bersamaan sehingga melakukan perjalanan melewati
sepanjang jalan”. Berhati-hati Mangunarja berkata “Hanya patroli berjaga
dimalam hari, ya itulah kedudukannya penjaga. Pergi menuju Dhusun Krungah
merawat padi. Karena melakukan kegiatan di waktu luang itu baik daripada tidak
mengerjakan sesuatu, maka itu lebih buruk. Memikirkan sesuatu selagi bertirakat
hingga tidak terasa menginjak jam empat malam. Dilanjutkan dengan berjaga
hingga subuh di sungai, hingga di Sungai Bedhog.
Kemudian Kanjeng Pangeran berkata, “Engkau Jayamustapa ingat,
pergilah menuju Gunung Kidul. Datanglah sampai di Paliyan, disana ada kayu jati
yang dikelupas semua kulitnya supaya tidak kering tetapi kayu jatinya rusak
berserakan hilangnya dimana?”
Segera Jayamustapan menyembah, “saya tidak lupa dan ingat dengan jelas
Gusti, dengan jelas kanjeng, jati itu keempatnya dijual semua kepada Dyan Pati
Danureja. Hartanya diambil, tidak diberikan kepada paduka. Sekaligus ada dua
lagi. Leluhur-leluhur menjadi sedih karena kerusakan kubur yang tidak dibenahi.
Seluruh macam bangsal-bangsal semua yang menghadap juga tidak mendapatkan
persetujuannya. Hanya harta saja yang masuk maka menjadi semakin kaya Dyan
Dipati. Selain itu Gunung Gamping yang selalu menghasilkan uangnya juga
hanya dikantongi olehnya”. Mengucaplah sang anak raja, “Tetapi juga sudah
seperti dipastikan, leluhur bangsa ini sudah tidak dapat diperbaiki. Ibarat akar
yang sudah keropos. Sangat bisa merusak tatanan”.

30
Kemudian telah selesai pembicaraannya. Para abdi yang berpergian
semuanya istirahat dirumahnya. Pekerja yang menjadi saksi apa yang sudah
diceritakan tentang perkataanya pada waktu itu yang kemudian diceritakan pada
waktu ini ialah keluarga priyayi Mantri Ngarsi.
Sang Dyan Dipati Danureja juga para Cina banyak yang menjadi Jawa.
Mereka banyak yang menjadi kepala dhusun dan lurah sementara yang bermukim
di sekitar dari Bedhoyo. Para Cina yang sudah kaya itulah menjadi saudaranya
Dyan Patih. Terima menjadi pengambil biaya di pelabuhan desa. Mereka bersama
mengambil alih pembuatan tambangan (gethek) yang ada di sungai. Tindakannya
itu kemudian menjadi kerusuhan karena pada kenyataannya di sungai didahulukan
untuk para Cina-cina lainya. Sebab itu juga orang mati telah menjadi jasad juga di
mintai biaya lebih. Semua barang yang dipesan dikenai biaya. Cukup banyak
tempat pengambilan biaya seperti itu di Kalasan, Mlati, hingga Godean serta
Bantul, Jodhog, Prambanan juga Imogiri, Kamlaka, Kapundhung. Sangat banyak
jika diceritakan. Tentu jasad orang mati

XIV. Pupuh Durma


Dimintai biaya oleh Cina Banjar di sungai-sungai Praga. Bagaikan
bersembunyi di perahu penyebrangan kemudian lebih dulu memberikan biaya
rangkap seperti bersekongkol tidak jelas. Merusak orang di Pidari. Disaksikan
oleh orang dhusun, lurah, dan petinggi desa serta para orang kecil. Tingkahnya
orang yang terlena. Di depan tempat pengambilan biaya, di situlah mereka
menagih biaya, yaitu jika akan lewat.
Akhirnya prang Pidari dengan rukun berkumpul mengerubungi orang
selatan negara namanya Kyai Suranjaya. Berkatalah Jayuda kemudian Kyai
Surawana, pemuka Nitimenggala dengan bersama bertanya kepada Suranjaya “Itu
zaman apa Adhi Suranjaya, mengapa orang yang sudah mati dimintai biaya apa
bila melewati tempat pengambilan biaya itu. Mendapat ijin darimana? Itu tidak
wajar akan tidak masuk akal jika mendapatkan ijin”. Ki Suranjaya menjawab, “ini
disebut jaman edan serta jaman penuh duka merupakan permulaannya
kelaknatan”. Menyambung Jayasudeku “Jikalau saya, seperti apa adanya

31
permulaan jaman. Manusia rusak, orang-orang besar semua kacau. Kacau balau
bermusuhan satu sama lain”. Kyai Surawan mengucap “benar katamu, iya jika ini
Zaman sengari, melebur, rusak dan tidak trasparan. Ketidak transparan orang
besar yang tidak jujur. Selalu amatilah pada akhirnya pasti tidak akan lama.”
Suranjaya mengakhiri “Ya sudah jangan mengunjing, nanti jika ada yang
terlihat oleh mata-matanya Dyan Dipati. Batasi ucapanmu karena bisa masuk
penjara. Akan diadili selama tiga bulan. Sebaiknya sama sedang berkumpul
dengan teman”. Dengan segera selesai perundingannya, membuat reka daya pasti
sudah mendapat hasil.
Mendapati kedua belah pihak yang kemudian meminta peradilan di Loji
atau rumah besar milik Belanda. Hanya meminta keadilan dan perintah negara.
Semua berkumpul menghadap pada Kanjeng Residhin memberikan aduan untuk
memeriksa karena melihat suatu perkara. Pada akhirnya semua Cina-cina yang
memintai biaya dari jalan yang dilewati oleh jasad manusia dengan memaksa
dalam meminta biaya. Dengan jelas yidak bisa membantah walaupun orang yang
menyebrang pasti tetap dimintai semua.
Supaya Tuan Samisaret memberikan perintah serta mengadili “Besok
jangan ada yang meminta biaya apalagi jasad yang lebih utama jalannya. Segera
perintahkan kepada Dyan Dipati. Serta suruhlah untuk menjadi itu para pemungut
biaya. Desa besar para mantri juga para abdi, semua pemuka negara berjaga.
Dengan bergiliran berganti-gantian. Tidak ada biaya untuk jasad yang lewat.
Sampaikan perintah Ordenas kepada Dyan Dipati segera jangan sampai menyebar
rata kepada semua. Segera laksanankan hingga selesai.
Hanya sebentar dia melakukan tetapi tetap tidak ada para mantri yang
menggagas. Yang gemetar adalah orang yang di rawat oleh para Cina yang
menyangga semua pangan bahkan tanpa dihitung tetapi mudah bergantian untuk
berhutang. Kemudian tidak berubah tawarannya Pak Kucir, sebab tidak berkurang
biayanya malah bertambah banyak. Semua orang-orang Pidari menjadi hacur
hatinya, menjadi tidak tentram menyimpang dari aturan. Pecah nafsunya dengan
sangat berkehendak besar untuk selalu mengancam serta tidak peduli dengan
keinginannya.

32
Tawaran ketika mendengar kabar tetapi jelas yang mendengar, nantinya
Kanjeng Pangeran Riya Dipanagara, tidak setuju dengan kehendak bahasa yang
menyiksa menjadi prahara dan Dyan Patih. Tetapi lega di hati karena membatu
harapanya yang bersedia didukung. Dengan pasti Pangeran Riya Dipanegara
disebut sebagai bubuk mendapat sopani, tetapi tidak membicarakan secara tenang
kesepakatannya dibelakang. Setelah itu dilanjutkan bergatian dalam bercerita.
Katanya kedua keraton yakni Keraton Surakarta serta Ngayogyakarta sedang
merundingkan tentang perwilyahan supaya dikukuhkan. disertai jalan-jalan gang
yang dekat dengan negara saja.
Perjalanan yang dingin bersanding dengan sebuah gagasan putri
dihadapannya. Yang ke Timur ikut Sala dan yang ke Barat berbatas pagar ikut
Yogya. Segera dirundingkan di dalam negara. Gagasan putrinya seorang priyayi
di Surakarta. Perbatasan Pajang dengan yang tadinya Mataram disebut batasnya
adalah Sungai Opak. Dyangung Matawis (orang terhormat dari Mataram)
batasnya Pajang itu sampai Sungai Gondhang.
Saat disana Pangeran Dipanagara menghistirahatkan pikirannya dan tidak
mengikuti perundingan. Pasti hanya Dyan Dipari serta para bupati juga para abdi
yang disebut bunjarari. Saat itu menuju Garebeg Siyam dan dengan nyata Kanjeng
Sri Bupati masih muda dan belum pandai. Pada waktu itu bersama dengan
pelanyannya yang menghadap di singgasananya di Sitinggil yang menenangkan
tangisannya.
Kemudian Kanjeng Residhen datang memberikan perintah pada Kanjeng
Pangeran Riya Amangkubumi serta Kanjeng Pangeram Riya Dipanegara beserta
wakil. Ketiganya Residhen memberikan perintah untuk perudingan “Nanti saudara
berdua dengan Pangeran Panular Mangkukusuma serta Dikusumeki harap segera
datang berunding tentang jalan itu”. Kanjeng Pangeran Mangkubumi berkata
dengan sebenarnya, “Kanjeng Tuan jika benar waktunya tidak lain bagaikan
sejajar dalam langkah. Apakah menjadi seperti biasanya seperti singgasana di
Sitinggil”. Segera saudara, Residhen yang memberikan perintah juga kepada Dyan
Dipati Danureja yang selalu memerintah semuanya. Seluruh dari jalannya tentu
juga dengan Patih Wadham.

33
Demikianlah Residhen sudah menerima keputusan dari perundingan dan
segera semua yang ada menyepakati. Kemudian segara diringkasi semuanya yang
menghadap yitu para pamgeran Gusti, serta para mantri muka atau patih yang
mereka semua adalah orang tersohor. Randen Pringgakusuma dan Sindunagra
semuanya dari Medura yang menghadap. Begitu juga Dyan Hayor Wiranegara
Juga menghadap. Golongan Para Bupati, para Prawira ditambah beberapa mantri
di Bangsal Manguntur Tangkil juga mengahadap Kanjeng Tuan Residhen.
Duduk di kursi pinggir singgasana para pangeran sedang menghadap. Juga
kedua pangeran wakil berada di dekat kanjeng tuan. Tuan Samisaret dengan
segera memerintah seperti biasanya kepada Raden Dipati. Bergiliran dipanggil itu
para pemuka kemudian melihat ringkasan dari surat. Kenyataanya demikian,
sebab Rumah Loji sedan dibuat den belum jadi. Maka menjadi sangat suka
berpesta yang dicukupi Dyan Dipati. Benar-benar pesta di Kadanurejan.
Kanjeng Pangeran Mangkubumi serta Kanjeng Pangeran Riya Dipanagara
juga Residhen Samisaret mengiringi berkumpulnya semua para Gusti serta para
pangeran juga para abdi semua sesinggasana.
Demikianlah yang diceritakan. Kanjeng Pangeran Dipanegara menyimpan
rasa susah. Adanya simpanan katanya pada Dyan Dipati. Sungguh simpanan itu
diharapkan bisa dibuka jika selesai makan. Pada dasarnya Dyan Dipati masih ada
di perjamuan. Kemudian dimulailah makan. Di situ Residhen mengundi semua
penjaga dan seluruh bupati. Satu sacop kalian semua makan. Meringkas itu surat
yang sudah serba rusak semua sudah rapuh. Setelah itu semua pangeran Gusti
serta Tuan Semisaret semua sudah berdiri. Sang Kanjeng Pangeran Dipanegara
disebut sengaja berlama-lama dalam berangkat. Kepada Raden Danurja “selalu
padamu saya bertanya, benar katanya wakil saya, semua yang cacad adalah
rundinganmu sendiri. Semaumu besar maupun kecil tidak memberikan kabar,
untuk itu berkatalah padaku”. Berkatalah Dyan Danureja “Kanjeng Pangeran,
hamba ini hanya berkewajiban untuk melakukan, juga meneliti.
Hamba melakukan hal itu tentu ada yang diutus, bukan Kanjeng sendiri.
Tempat Sri dayita yang luas tanpa peperangan”. Tetapi Kanjeng Pangeran dengan
kasar “Ambil keparat si Gembring. Barisan nakal yang berbicara buruk serta

34
keras. Disebut tega hatinya seperti seta yang laknat kesalahannya”. Kemudian
Raden Adipati segera memalingkan diri dan dengan cepat menghindari tamparan.
Tetapi dengan sekejap mata tamparan itu mengenai mahkotanya. Segera
diperintahkan untuk menangkap. Sudah tertangkap segera Gendhing dan Residhen
dengan cepat. Menggagaslah hatinya benar-benar salah Dyan Dipati menyiksa
hati, hatinya pangeran wakil.

35

Anda mungkin juga menyukai