Bab 1-6 Print
Bab 1-6 Print
PENDAHULUAN
1
Arteriovenous Fistula (AVF) merupakan salah satu teknik akses vaskular
yang paling sering digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan teknik yang lainnya. Dibutuhkan penempatan yang tepat bagi akses
AVF.6,7 Alternatif utama AVF adalah penggunaan kateter lumen ganda (double-
lumen catheter / CDL).8 Meskipun merupakan pilihan yang aman dalam situasi
darurat, tidak seperti akses vaskular permanen, kateter vena sementara memiliki
insidensi komplikasi yang tinggi, seperti infeksi, trombosis, waktu tidur yang
lebih rendah dibandingkan dengan akses vaskular lainnya, dan laju alir darah yang
lebih rendah, yang mengurangi keefektifan hemodialisis.9-10
Angka kejadian gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler hemodialisa
semakin meningkat dan belum ada data akurat mengenai hal tersebut. Maka dari
itu, perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik gagal ginjal kronik dengan
akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 1
Januari – 31 Desember 2017.
1. 3. 2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui jumlah penderita gagal ginjal kronik dengan akses
vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017.
2
b. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan usia.
c. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan jenis kelamin.
d. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan gaya hidup.
e. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan riwayat penyakit pendahulu.
f. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan faktor resiko yang menyertai.
g. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan riwayat penggunaan akses hemodialisa vaskuler.
h. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan penggunaan kateter double lumen.
i. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
3
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan regio anastomosis
j. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan kalsifikasi arteri dan vena
1.4.3 Peneliti
1. Sebagai proses pembelajaran tentang akses vaskuler hemodialisa
pada pasien gagal ginjal kronik.
2. Sebagai proses pembelajaran dalam menyusun suatu rangkaian
penelitian.
3. Sebagai karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan mengikuti
jenjang pendidikan bedah dasar di Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses
patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal
gijal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.11 Berikut ini adalah kriteria PGK :
• Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
manifestasi klinis dan kerusakan ginjal secara laboratorik atau kelainan
pada pemeriksaan radiologi, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal
atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang berlangsung > 3 bulan.
• Penurunan LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh
selama > 3 dengan atau tanpa kerusakan ginjal.12
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu,
atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang
dihitung dengan mempergunakan rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/mnt/1,73m3) =
2.1.3. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut :
7
Gambar 1. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik.
2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi awalnya tergantung dari penyakit yang mendasari dan
pada perkembangan lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama. Adanya
pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor
sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Keadaan ini
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa
dan pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin- angiotensin-aldosteron
intrarenal yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth
Factor (TGF-β) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas.
Selain itu progresifitas penyakit ginjal kronik juga dipengaruhi oleh
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.14
8
Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya
cadangan ginjal (renal reverse) dimana basal laju filtrasi glomerulus
(LFG) masih normal atau malah meningkat dan dengan perlahan akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif ditandai adanya
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 60%,
masih belum ada keluhan atau asimptomatik tetapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum pada pasien. Pada LFG
sebesar 30% mulai timbul keluhan seperti nokturia, lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan dan setelah terjadi penurunan
LFG dibawah 30% terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga mudah terjadi infeksi pada
saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia,
natrium dan kalium. Pada LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal
ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat dan
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dialisis atau transplantasi ginjal.11
9
GFR < 30 mL/menit/1,73 m2) bersamaan dengan poliuria, hematuria, dan
edema. Selain itu, ditemukan juga uremia yang ditandai dengan
peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, gangguan keseimbangan
cairan elektrolit dan asam basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut akan
menyebabkan gangguan fungsi pada semua sistem organ tubuh.15
Kelainan hematologi juga dapat ditemukan pada penderita ESRD.
Anemia normositik dan normokromik selalu terjadi, hal ini disebabkan
karena defisiensi pembentukan eritropoetin oleh ginjal sehingga
pembentukan sel darah merah dan masa hidupnya pun berkurang.15
2.1.6. Terapi
2.2 Hemodialisis
2.2.1 Definisi
Dialisa merupakan suatu proses solute dan air mengalami difusi
secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju
kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua
tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik
tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa
sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Hemodialisis (HD) adalah suatu proses menggunakan mesin HD dimana
terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan air secara pasif melalui darah
menuju kompartemen cairan dialisat melewati membran semipermeabel
dalam dializer.14
Hemodialisis adalah suatu proses pembersihan darah dengan
menggunakan ginjal buatan (dializer), dari zat-zat yang konsentrasinya
berlebihan di dalam tubuh. Zat-zat tersebut dapat berupa zat yang terlarut
11
dalam darah, seperti toksin ureum dan kalium, atau zat pelarutnya, yaitu
air atau serum darah.11
12
Stadium 3 Penurununan sedang 30-59
13
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal
kronis adalah laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari < 15
mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai
pemeriksaan tanda dan gejala serta pemeriksaan laboratorium, sebagai
berikut13 :
2.2.3 Kontraindikasi
Kontraindikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak
responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak
organik, tidak didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler
sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontraindikasi hemodialisa
yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut.13
14
2.2.4 Prinsip Kerja
Prinsip kerja fisiologis dari hemodialisis adalah filtrasi, difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Filtrasi adalah proses lewatnya suatu zat melalui
filter untuk memisahkan sebagian zat itu dari zat yang lain. Difusi
merupakan proses perpindahan molekul dari larutan dengan konsentrasi
tinggi ke daerah dengan larutan berkonsentrasi rendah sampai tercapai
kondisi seimbang melalui membran semipermeabel. Proses terjadinya difusi
dipengaruhi oleh suhu, visikositas dan ukuran dari molekul. Osmosis terjadi
berdasarkan prinsip bahwa zat pelarut akan bergerak melewati membran
untuk mencapai konsentrasi yang sama di kedua sisi, dari daerah dengan
konsentrasi lebih rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi. Dengan ini zat-zat
terlarut tidak ikut melewati membran. Ini merupakan proses pasif. Saat
darah dipompa melalui dialiser maka membran akan mengeluarkan tekanan
positifnya, sehingga tekanan diruangan yang berlawanan dengan membran
menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan cairan dan larutan dengan ukuran
kecil bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah yang
bertekanan rendah (tekanan hidrostatik). Karena adanya tekanan hidrostatik
tersebut maka cairan dapat bergerak menuju membran semipermeabel.
Proses ini disebut dengan ultrafiltrasi.17
Ada tiga komponen utama yang terlibat dalam proses hemodialisis
yaitu alat dializer, cairan dialisat dan sistem penghantaran darah. Dializer
adalah alat dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan darah dan
dialisat dalam kompartemen-kompartemen di dalamnya, dengan dibatasi
membran semi permeabel.18
Sistem penghantaran darah dapat dibagi menjadi bagian di mesin
dialisis dan akses dialisis di tubuh pasien. Bagian yang di mesin terdiri atas
pompa darah, sistem pengaliran dialisat, dan berbagai monitor. Sementara
akses juga bisa dibagi atas beberapa jenis, antara lain fistula, graft atau
kateter. Prosedur yang dinilai paling efektif adalah dengan membuat suatu
15
fistula dengan cara membuat sambungan secara anastomosis (shunt) antara
arteri dan vena. Salah satu prosedur yang paling umum adalah
menyambungkan arteri radialis dengan vena cephalica, yang biasa disebut
fistula Cimino-Breschia.19
16
dialisat. Kompartemen dialisat dialairi cairan dialysis yang bebas pirogen,
berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang sama dengan serum normal
dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialysis dan darah
yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zar terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah
sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada
proses dialysis, air juga berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen
cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negative pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air disebut dengan
ultrafiltrasi.21,23,24
Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses
hemodialisa, terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai
konsentrasi hampir sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan
osmotic yang sama dengan darah. Fungsi cairan dialysis adalah
mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme dari
tubuh, serta mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa.
Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit dan atau zat
antara lain23,24:
1. NaCl / Sodium Chloride.
2. CaCl2 / Calium Chloride.
3. Mgcl2 / Magnesium Chloride.
4. NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bilkarbonat.
5. KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.
6. Dextrose.
17
Gambar 1. Cairan Dializer13
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan
hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan
dialisat dan aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan
memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal.
Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat
dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal
dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran
membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan
mempengaruhi pemindahan larutan.13
18
Gambar 2. Mesin Hemodialisa13
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian
lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah
dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer
merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari
ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui
bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian
luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan
yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler.14,25,26,27
19
Gambar 3. Aliran Darah
Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah
kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah
membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu
ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt
(AV-shunt).27,28
Gambar 4. Sirkuit
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu
lagi untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur
arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien
melalui jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan
20
dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan
konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat
atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer,
dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar
melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang
membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi.14,29
Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati
komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal
ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na +, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat
dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan
mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat
dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam
dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah
untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh
tubuh pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah
ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam
dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada
hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena
pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat.14
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik
dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen
darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena,
atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan
memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik
diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit
darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %,
21
sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien
mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di
luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu
aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit)
merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus
dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah
pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam
jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam
aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer
modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk
berbagai parameter.14,30
Menurut PERNEFRI waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15
jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Pada akhir interval 2–3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal
lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses hemodialisa.13
Price dan Wilson menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan
meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien
meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran
kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat.
Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama
pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa
yang digunakan dan keadaan pasien.14
22
Dosis hemodialisis yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali
seminggu dengan setiap hemodialisis selama 5 jam atau sebanyak 3 kali
seminggu dengan setiap hemodialisis selama 4 jam.11
Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi
hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhi oleh tingkat
uremia akibat progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor
komorbiditasnya, serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran
dialisat.20
Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan disebut dengan
adekuasi hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung
urea reduction ratio (URR) dan urea kinetik modeling (Kt/V). Nilai URR
dihitung dengan mencari nilai rasio antara kadar ureum pradialisis yang
dikurangi kadar ureum paskadialisis dengan kadar ureum paskadialisis.
Kemudian, perhitumgan nilai Kt/V juga memerlukan kadar ureum
pradialisis dan paskadialisis, berat badan pradialisis dan paskadialisis dalam
satuan kilogram, dan lama proses hemodialisis dalam satuan jam. Pada
hemodialisis dengan dosis 2 kali seminggu, dialisis dianggap cukup bila
nilai URR 65-70% dan nilai Kt/V 1,2-1,4.20
23
asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan
toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif
dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan
dengan demikian meminimalkan gejala.26
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan
gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan
cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan
penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat
diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. 26
2.2.8 Komplikasi
Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang
rusak tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa
hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan
muntah (5-15% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5%
dialisis), sakit tulang belakang (2- 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis)
dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius
yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium, arrhythmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan emboli paru.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam dan menggigil.13,14
24
kardiovaskuler Air embolism Aritmia
Angina Hipotensi
Arrytmia Edema paru
Cardiac tamponade
Hipotensi*
Infeksi Bacterimia Catheter exit sitre
Colonization of infection
temporary central venous peritonitis
cateters
Endocarditis
Meningitis
Osteomyelitis
Sepsis
Vascular access celulitis
or absess
Mekanik Obstruksi pada Obstruksi kateter
arterivena, terbentuk oleh klot, fibrin,
fistul trombosis atau omentum, atau
infeksi fibrous
Stenosis atau trombosis Kebocoran dialisat
pada vena subklavia atau disekitar kateter
superior vena cava dan Diskesi cairan ke
intern vena jugular rongga abdomen
Hematoma di traktus
perikateter
Perforasi viskus oleh
kateter
Metabolik Hipoglikemi pada orang Hipoalbumin
diabetik yang memakai Hiperglikemi
insulin Hipertrigliserid
Hipokalemi Obesitas
Hiponatremi dan
hipernatremi
Pulmonary Dispnea sampai reaksi Ateletaksis
anafilasis oleh membran Efusi pleura
hemodialisa Pneumonia
Hipoksia
Miscellaneous Deposit amiloid Hernia abdominal
Hemorragic cateter dan inguinal
Demam yang disebabkan Catheter-related
oleh bakterimia, pirogen, intra-abdominal
atau panas dialisat bleeding
Perdarahan (GI, Hipotermia
Intracranial, Sklerosis
retroperitonel, peritoneum
intraocular) Kejang
Insomnia
25
Pruritus
Keram otot
Restlessness
Kejang
*komplikasi tersering
27
dengan yang distal. Namun, memiliki karakteristik tingkat komplikasi yang
lebih tinggi seperti sindrom steal dan perubahan arteri pada curah jantung.
28
Saat ini, peningkatan jumlah orang yang memerlukan dialisis
adalah penderita berusia 75 tahun atau lebih, dengan tiga perempat dari
mereka memiliki lima atau lebih komorbiditas, dan 90% memiliki penyakit
kardiovaskular.39 Memang, ketika fistula radio-sefalika diperkenalkan pada
tahun 1966 oleh Cimino dan Brescia, usia rata-rata pasien adalah 43 tahun,
hampir semuanya memiliki glomerulonefritis kronis. Pre operatif, prediksi
klinis yang memutuskan untuk menentukan fistula yang cenderung gagal
dewasa menunjukkan relevansi usia yang lebih tua sebagai kategori risiko
tinggi untuk "gagal matang". 40 Untuk alasan ini, penempatan AVF yang
tidak menunjang pada pasien lanjut usia dengan kehidupan rendah harapan
tidak dianjurkan.
Tipe akses vaskuler ini terdiri dari AVF yang dibuat dengan
interposisi prostetik antara arteri dan vena, dengan dua tujuan: yang pertama
adalah untuk dapat menghubungkan dua pembuluh yang tidak
memungkinkan untuk terhubung karena jaraknya,42 dan yang kedua adalah
untuk menghubungkan antara arteri dan pembuluh darah dengan segmen
prostetik kapasitas tinggi yang juga dapat digunakan untuk pemasangan
kateter hemodialisa.
29
hemodialisis (anak-anak),44 atau pada pasien dengan badan pendek yang
gemuk, di mana vena superfisial berada jauh di dalam jaringan subkutan,
dan akhirnya pada pasien dengan vaskular fragility yang ekstrim (purpura
trombositopenik), di mana tusukan vena simpel menyebabkan luka dan
hematoma serius.45
30
BAB III
METODE PENELITIAN
31
Penelitian ini adalah suatu penelitian retrospektif dengan desain
penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu
rekam medis pasien.
32
8. Regio Anastomosis
9. Kalsifikasi arteri dan vena
33
3.7 Pengolahan dan Penyajian Data Penelitian
Data sekunder yang didapatkan kemudian dikelompokkan
berdasarkan variabel penelitian dengan batasan operasional yang telah
ditentukan. Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
Variabel dianalisis secara deskriptif.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Usia
Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2015
hingga 31 Desember 2016, usia termuda pasien dengan kanker kandung kemih
yang dirawat inap yaitu 29 tahun, sedangkan usia tertua yaitu 85 tahun, dengan
rerata usia penderita gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler hemodialisa yaitu
60,6 tahun.
16 15
14
12
12
10
%
8
JUMLAH PASIEN
6
4 4 4
4 3
2 1
0
20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89
35
Grafik 4.1 Distribusi pasien dengan kanker kandung kemih berdasarkan
usia
Seperti yang tersaji pada grafik di atas (Grafik 4.1), dari 43 pasien dengan
kanker kandung kemih yang dirawat di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
pada periode waktu 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015. Sebaran
berdasarkan usia yaitu terdapat 1 pasien yang berada dalam kelompok usia 20-29
tahun, 4 pasien dalam kelompok usia 30-39 tahun, 4 pasien dalam kelompok usia
40-49 tahun, 15 pasien dalam kelompok usia 50-59 tahun, 12 pasien dalam
kelompok usia 60-69 tahun, 4 pasien dalam kelompok usia 70-79 tahun, dan 3
pasien dalam kelompok usia 80-89 tahun. Distribusi usia ≥ 60 tahun yaitu
sebanyak 19 pasien (44%) dan < 60 tahun sebanyak 24 pasien (56%).
4. 2 Jenis Kelamin
Dari 43 kasus kanker kandung kemih yang dirawat di sub bagian bedah
Urologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari 2015 hingga
31 Desember 2016 didapatkan penderita gagal ginjal kronik dengan akses
vaskuler hemodialisa dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 36 orang dan
wanita sebanyak 7 orang.
40 36
35
30
25
20
JUMLAH PASIEN
15
10 7
5
0
Laki-laki Perempuan
36
Grafik 4.2 Distribusi pasien dengan kanker kandung kemih berdasarkan
jenis kelamin
35
30 32
25
20
Jumlah Pasien
15
10
11
5
0
Merokok Tidak merokok
37
Gejala lainnya adalah gejala – gejala pada LUTS yaitu terdapat pada 7 orang
pasien.
38
Grafik 4.5 Grafik yang menunjukkan jenis histopatologi kanker kandung
kemih
20
19
19
15
10
0 Jumlah Pasien
Low grade High grade
39
BAB V
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini telah dikumpulkan pasien kanker kandung kemih yang
dirawat di sub bagian Bedah Urologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
periode 1 Januari 2015 sampai 31 Desember 2016, didapatkan distribusi usia
penderita terbanyak pada rentang usia 50-59 tahun yaitu sebanyak 15 (35%) orang
pasien dari 43 orang pasien dibandingkan dengan rentang usia lainnya. Distribusi
usia ≥ 60 tahun yaitu sebanyak 19 pasien (44%) dan < 60 tahun sebanyak 24
pasien (56%) dengan rerata usia penderita gagal ginjal kronik dengan akses
vaskuler hemodialisa yaitu 60,6 tahun. Temuan ini sama dengan yang didapatkan
Mehrsai dkk dimana usia rata-rata pasien kanker kandung kemih yaitu 61 tahun,
dengan rentang 36 sampai 80 tahun. 18 Namun, berbeda dengan Roger Chou bahwa
kanker kandung kemih terjadi terutama pada usia ≥ 60 tahun.16 Peningkatan
morbiditas terkait usia ini berpengaruh terhadap lamanya proses keganasan setelah
terjadinya paparan yaitu sekitar 15-40 tahun.19 Teori penuaan dan mutasi genetik
menjelaskan bahwa terdapat akumulasi material genetik yang mengalami
penurunan fungsi seiring dengan pertambahan usia, khususnya inaktivasi p53.20
Pada penelitian ini penderita gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler
hemodialisa yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 36 orang (84 %) dan wanita
7 orang (16 %). Hasil ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa penderita gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler
40
hemodialisa laki-laki lebih banyak daripada wanita. Erik Pasin dkk mendapati
insidensi kanker kandung kemih pada laki-laki mendekati 4 kali lebih tinggi
daripada wanita.14 Sependapat dengan Erik Pasin, Wu Ji-Tahu pada penelitiannya
juga menyampaikan hasil yang sama.15 Tidak juga banyak berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Theo M. de Reijke bahwa kanker kandung kemih
hampir 3 kali lebih umum dijumpai pada laki-laki daripada wanita.17 Terdapat
eksperimen yang menyatakan bahwa kanker kandung kemih diinduksi oleh suatu
karsinogen kimia secara lebih mudah pada laki-laki dibanding wanita. Demikian
dapat dikatakan, adanya sinyal androgen dipertimbangkan sebagai satu penjelasan
yang dapat diterima. Meskipun kandung kemih bukan merupakan organ seks
asesorius, kandung kemih berpotensi merespon suatu sinyal androgen, hal ini
dimungkinkan karena organ ini beserta organ-organ seks asesorius lainnya berasal
dari sinus urogenital.15
Gaya hidup merokok sebagai faktor risiko kanker kandung kemih pada
penelitian ini tercatat terdapat pada sebanyak 32 (74 %) orang pasien, sedangkan
pada 11 (26 %) lainnya tidak merokok. Dalam tinjauan literatur oleh Erik Pasin,
dibandingkan dengan bukan perokok, seorang perokok berisiko 2 – 4 kali lebih
besar menderita kanker kandung kemih, perokok berat berisiko sampai 5 kali
lebih besar. Karsinogen urothelial seperti akrolein, 4-amino-biphenyl, arylamine,
dan radikal bebas berperan terhadap proses ini. Peningkatan durasi dan intensitas
terhadap paparan rokok turut berpengaruh signifikan.14
Berdasarkan gejala klinis, pada penelitian ini didapatkan terbanyak adalah
painless hematuria sejumlah 36 (84%) orang pasien dan LUTS sejumlah 7 (16%)
orang pasien. Sama seperti diungkapkan Theo M. de Reijke dalam penelitiannya
bahwa 85% pasien kanker kandung kemih mengalami painless hematuria, dan
Kathryn King bahwa hematuria dikenal sebagai gejala klasik kanker kandung
kemih, dimana dialami oleh 70-80% pasien.7,17
Jenis histopatologi kanker kandung kemih yang terdata di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang selama 2015-2016 terdiri dari karsinoma sel
transisional atau urothelial carcinoma 38 (88 %) orang pasien, karsinoma sel
41
skuamosa 5 (12 %) orang pasien, dan tidak terdapat pasien dengan jenis
adenokarsinoma. Hasil ini tidak sepenuhnya sama dengan literatur yang
disampaikan oleh Donald S Kaufman dan Erik Pasin dalam penelitiannya masing-
masing, dimana > 90% kanker kandung kemih adalah karsinoma sel transisisonal,
5% adalah karsinoma sel skuamosa, dan < 2% adalah adenokarsinoma.
Diagnosis grading kanker kandung kemih pada penelitian ini menunjukkan
terdapat 19 (50%) orang pasien urothelial carcinoma dengan kategori high grade
dan 19 (50%) orang pasien dengan kategori low grade. Hasil pada penilitian ini
berbeda dengan yang diungkapkan Eugene dalam penelitiannya bahwa sebesar
58.7 % kasus merupakan low grade and 41.3 % kasus merupakan high grade.
Sependapat dengan penelitian tersebut, data penelitian lainnya menyebutkan
bahwa low grade lebih sering ditemukan pada pemeriksaan dibandingkan dengan
high grade yaitu sebanyak 65% dari seluruh kasus.22 Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa high grade memiliki persentase lebih rendah dibandingkan
low grade yaitu sebesar 42,1%.21
42
BAB VI
RINGKASAN
43
6. Selama periode penelitian ini, didapatkan distribusi gambaran diagnosis
histopatologi. Dari 43 pasien kanker kandung kemih didapatkan 38 (88%)
pasien dengan jenis karsinoma sel transisional atau urothelial carcinoma dan
5 (12%) pasien dengan jenis karsinoma sel skuamosa, dan tidak ada pasien
dengan jenis adenokarsinoma.
7. Grading jenis urothelial carcinoma pada pasien di RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang meliputi 19 (50%) orang pasien dengan kategori high
grade dan 19 (50%) orang pasien dengan kategori low grade.
44