Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jumlah pasien dengan gagal ginjal kronis telah meningkat secara
progresif dan mengkhawatirkan dalam beberapa tahunz terakhir, berhubungan
dengan penyakit kronis dan faktor usia.1 Lebih dari 10 % atau 20 juta orang
berusia 20 tahun atau lebih di Amerika Serikat menderita penyakit ginjal kronik
(Chronic Kidney Disease/ CKD). Tahun 2007, sekitar 110.000 pasien di Amerika
Serikat dengan CKD berlanjut menjadi gagal ginjal (End Stage Renal Disease/
ESRD).1 Peningkatan jumlah pasien ini memerlukan kemajuan teknologi seperti
sebagai modernisasi mesin hemodialisis dan penciptaan biomaterial baru. Oleh
karena itu, dialisis menjadi lebih efektif dan menjamin kualitas hidup yang lebih
baik, dan harapan hidup, bagi mereka yang mengalami gagal ginjal. 2 Kateter
hemodialisa sementara telah memfasilitasi akses darurat untuk pasien yang
memerlukan hemodialisis segera.3
Pengobatan pilihan untuk ERSD adalah hemodialisa atau transplantasi
organ ginjal.1 Lebih dari 300.000 individu di Amerika Serikat mengandalkan
akses vaskular untuk menerima terapi hemodialisis. Prevalensi yang menjalani
hemodialisis di Amerika Serikat terus meningkat yaitu sekitar 320.000 orang
kemudian pada tahun 2010 naik menjadi 650.000 orang.1 Pada tahun 1998,
jumlah pasien hemodialisis di Indonesia sekitar 3000 orang dan pada tahun 2007
naik menjadi 10.000 orang.4
Akses vaskular terus menjadi penyebab utama untuk rawat inap dan
morbiditas pada pasien dengan gagal ginjal.5 Akses vaskular yang ideal
memberikan dosis optimal, terapi yang adekuat, digunakan jangka panjang dan
memiliki angka morbiditas serta angka mortalitas yang rendah. Terdapat
hubungan yang signifikan antara tipe penggunaan akses dan tingkat morbiditas
pada pasien.6

1
Arteriovenous Fistula (AVF) merupakan salah satu teknik akses vaskular
yang paling sering digunakan dan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan teknik yang lainnya. Dibutuhkan penempatan yang tepat bagi akses
AVF.6,7 Alternatif utama AVF adalah penggunaan kateter lumen ganda (double-
lumen catheter / CDL).8 Meskipun merupakan pilihan yang aman dalam situasi
darurat, tidak seperti akses vaskular permanen, kateter vena sementara memiliki
insidensi komplikasi yang tinggi, seperti infeksi, trombosis, waktu tidur yang
lebih rendah dibandingkan dengan akses vaskular lainnya, dan laju alir darah yang
lebih rendah, yang mengurangi keefektifan hemodialisis.9-10
Angka kejadian gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler hemodialisa
semakin meningkat dan belum ada data akurat mengenai hal tersebut. Maka dari
itu, perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik gagal ginjal kronik dengan
akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 1
Januari – 31 Desember 2017.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana karakteristik penderita gagal ginjal kronik dengan akses
vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang pada 1 Januari
2016 - 31 Desember 2017?

1.3 Tujuan Penelitian


1. 3. 1 Tujuan Umum
Mendeskripsikan mengenai karakteristik penderita gagal
ginjal kronik dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember
2017.

1. 3. 2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui jumlah penderita gagal ginjal kronik dengan akses
vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017.

2
b. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan usia.
c. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan jenis kelamin.
d. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan gaya hidup.
e. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan riwayat penyakit pendahulu.
f. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan faktor resiko yang menyertai.
g. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan riwayat penggunaan akses hemodialisa vaskuler.
h. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan penggunaan kateter double lumen.
i. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad

3
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan regio anastomosis
j. Mendeskripsikan mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017
berdasarkan kalsifikasi arteri dan vena

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Teoritis
Sebagai data epidemiologi mengenai penderita gagal ginjal kronik
dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang pada 1 Januari 2016 - 31 Desember 2017.
1.4.2 Praktis
1. Informasi tambahan untuk pelayan kesehatan tentang penderita
gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
2. Informasi untuk peserta didik PPDS Bedah tentang penderita gagal
ginjal kronik dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang.

1.4.3 Peneliti
1. Sebagai proses pembelajaran tentang akses vaskuler hemodialisa
pada pasien gagal ginjal kronik.
2. Sebagai proses pembelajaran dalam menyusun suatu rangkaian
penelitian.
3. Sebagai karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan mengikuti
jenjang pendidikan bedah dasar di Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik


2.1.1 Definisi

5
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses
patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal
gijal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.11 Berikut ini adalah kriteria PGK :
• Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
manifestasi klinis dan kerusakan ginjal secara laboratorik atau kelainan
pada pemeriksaan radiologi, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal
atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang berlangsung > 3 bulan.
• Penurunan LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh
selama > 3 dengan atau tanpa kerusakan ginjal.12

2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu,
atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang
dihitung dengan mempergunakan rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/mnt/1,73m3) =

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi derajat penyakit, dikelompokkan atas penurunan faal


ginjal berdasarkan LFG sesuai rekomendasi National Kidney Fundation-
Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI) :

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik12


Derajat Penjelasan LFG
(ml/mnt/1,73m²)
6
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

2.1.3. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut :

7
Gambar 1. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik.

Penyebab PGK pada pasien hemodialisis dari data tahun 2011


didapatkan sebagai berikut, E1 (Glomerulopati Primer/GNC) 14%, E2
(Nefropati Diabetika) 27%, E3 (Nefropati Lupus/SLE) 1%, E4 (Penyakit
Ginjal Hipertensi) 34%, E5 (Ginjal Polikistik) 1%, E6 (Nefropati Asam
Urat) 2%, E7 (Nefropati obstruksi) 8%, E8 (Pielonefritis kronik/PNC) 6%,
dan E9 (Lain-lain) 6%, E10 (Tidak Diketahui) 1%. Penyebab terbanyak
adalah penyakit ginjal hipertensi dengan 34 % , hal ini tidak sesuai dengan
data epidemiologi dunia yang menempatkan nefropati diabetika sebagai
penyebab terbanyak.13

2.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi awalnya tergantung dari penyakit yang mendasari dan
pada perkembangan lebih lanjut proses yang terjadi hampir sama. Adanya
pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor
sehingga menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Keadaan ini
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa
dan pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin- angiotensin-aldosteron
intrarenal yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth
Factor (TGF-β) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas.
Selain itu progresifitas penyakit ginjal kronik juga dipengaruhi oleh
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.14

8
Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya
cadangan ginjal (renal reverse) dimana basal laju filtrasi glomerulus
(LFG) masih normal atau malah meningkat dan dengan perlahan akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif ditandai adanya
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 60%,
masih belum ada keluhan atau asimptomatik tetapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum pada pasien. Pada LFG
sebesar 30% mulai timbul keluhan seperti nokturia, lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan dan setelah terjadi penurunan
LFG dibawah 30% terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga mudah terjadi infeksi pada
saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia,
natrium dan kalium. Pada LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal
ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat dan
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dialisis atau transplantasi ginjal.11

2.1.5. Manifestasi Klinis


Pada penyakit ginjal kronis terjadi kerusakan regional glomerolus
dan penurunan GFR yang dapat berpengaruh terhadap pengaturan cairan
tubuh, keseimbangan asam basa, keseimbangan elektrolit, sistem
hematopoesis dan hemodinamik, fungsi ekskresi dan fungsi metabolik
endokrin. Sehingga menyebabkan munculnya beberapa gejala klinis secara
bersamaan, yang disebut sebagai sindrom uremia.11
Pasien GGK stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30 mL/menit/1,73
m2) biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium ini
masih belum ditemukan gangguan elektrolit dan metabolik. Sebaliknya,
gejala-gejala tersebut dapat ditemukan pada GGK stadium 4 dan 5 (dengan

9
GFR < 30 mL/menit/1,73 m2) bersamaan dengan poliuria, hematuria, dan
edema. Selain itu, ditemukan juga uremia yang ditandai dengan
peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, gangguan keseimbangan
cairan elektrolit dan asam basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut akan
menyebabkan gangguan fungsi pada semua sistem organ tubuh.15
Kelainan hematologi juga dapat ditemukan pada penderita ESRD.
Anemia normositik dan normokromik selalu terjadi, hal ini disebabkan
karena defisiensi pembentukan eritropoetin oleh ginjal sehingga
pembentukan sel darah merah dan masa hidupnya pun berkurang.15

2.1.6. Terapi

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi11:


• Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
• Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid
condition)
• Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
• Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
• Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
• Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai


dengan derajatnya, dapat dilihat di tabel.
Tabel 2. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai
dengan derajatnya11

Derajat LFG Rencana tatalaksana


(mL/menit/1,73 m²)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi perburukan
(progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan
10
(progression) fungsi ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi.


4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti
ginjal
5 < 15 atau dialisis Terapi untuk pengganti ginjal.

Terapi untuk penyakit penyebab tentu sesuai dengan patofisiologi


masing-masing penyakit. Pencegahan progresivitas penyakit ginjal kronik
bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain restriksi protein, kontrol
glukosa, kontrol tekanan darah dan proteinuria, penyesuaian dosis obat-
obatan dan edukasi. Pada pasien yang sudah mengalami penyakit ginjal
dan terdapat gejala uremia, hemodialisis atau terapi pengganti lain bisa
dilakukan.16

2.2 Hemodialisis
2.2.1 Definisi
Dialisa merupakan suatu proses solute dan air mengalami difusi
secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju
kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua
tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik
tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa
sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Hemodialisis (HD) adalah suatu proses menggunakan mesin HD dimana
terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan air secara pasif melalui darah
menuju kompartemen cairan dialisat melewati membran semipermeabel
dalam dializer.14
Hemodialisis adalah suatu proses pembersihan darah dengan
menggunakan ginjal buatan (dializer), dari zat-zat yang konsentrasinya
berlebihan di dalam tubuh. Zat-zat tersebut dapat berupa zat yang terlarut

11
dalam darah, seperti toksin ureum dan kalium, atau zat pelarutnya, yaitu
air atau serum darah.11

2.2.2 Indikasi Hemodialisa


Hemodialisa digunakan sebagai terapi penyakit ginjal end-stage.
Standarisasi terapi ini dimulai pada tahun 1973 oleh beberapa ahli seperti
Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner. Terapi ini juga mempertimbangkan
segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kesehatan pasien. Kebanyakan ahli
ginjal mengambil keputusan terapi berdasarkan kesehatan penderita yang
terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan
biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna
waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis
lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin
serum diatas 6 mg/100 ml pada pria sedangkan pada wanita diatas 4
mg/100 ml. Selain itu, nilai kadar glomeluro filtration rate (GFR) kurang
dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring
ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan
lagi.13

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Stadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus


(mL/menit/1,73m2)

Risiko meningkat Normal > 90, terdapat faktor risiko

Stadium 1 Normal atau meningkat > 90, terdapat kerusakan ginjal,


proteinuria menetap, kelainan
sedimen urin, kelainan kimia
darah dan urin, kelainan pada
pemeriksaan radiologi.

Stadium 2 Penurunan ringan 60-89

12
Stadium 3 Penurununan sedang 30-59

Stadium 4 Penurunan berat 15-29

Stadium 5 Gagal Ginjal <15

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik13

Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia


(PERNEFRI), secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerolus
(LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan
gejala uremia atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun
tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga
disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut
seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan
nefropatik diabetik.13,21,22

Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan


Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal

Nilai GFR Kreatinin Clearance Rate


(mg/dl) (ml/menit/1,73 m2) (ml/menit)

Normal >90 Pria : <1,3 Pria : 90-145

Wanita : <1,0 Wanita : 75-115

Gangguan 60-89 Pria : 1,3-1,9 56-100


Ginjal Ringan
Wanita : 1,0-1,9

Gangguan 30-59 2-4 35-55


Ginjal Sedang

Gangguan 15-29 >4 <35


Ginjal Berat

Tabel 2. Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan


Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal13

13
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal
kronis adalah laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari < 15
mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai
pemeriksaan tanda dan gejala serta pemeriksaan laboratorium, sebagai
berikut13 :

a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata


Penderita dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan
asidosis metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah
dan anoreksia. Tanda – tanda overload cairan seperti edem, sesak napas
akibat edema paru, serta adanya gangguan jantung. Penderita juga dapat
mengeluhkan sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.

b. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan :


 Kreatinin serum > 8 mg/dL
 Ureum darah > 200 µ/dL
 Hiperkalemi
 pH darah < 7,1

2.2.3 Kontraindikasi
Kontraindikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak
responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak
organik, tidak didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler
sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontraindikasi hemodialisa
yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut.13

14
2.2.4 Prinsip Kerja
Prinsip kerja fisiologis dari hemodialisis adalah filtrasi, difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Filtrasi adalah proses lewatnya suatu zat melalui
filter untuk memisahkan sebagian zat itu dari zat yang lain. Difusi
merupakan proses perpindahan molekul dari larutan dengan konsentrasi
tinggi ke daerah dengan larutan berkonsentrasi rendah sampai tercapai
kondisi seimbang melalui membran semipermeabel. Proses terjadinya difusi
dipengaruhi oleh suhu, visikositas dan ukuran dari molekul. Osmosis terjadi
berdasarkan prinsip bahwa zat pelarut akan bergerak melewati membran
untuk mencapai konsentrasi yang sama di kedua sisi, dari daerah dengan
konsentrasi lebih rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi. Dengan ini zat-zat
terlarut tidak ikut melewati membran. Ini merupakan proses pasif. Saat
darah dipompa melalui dialiser maka membran akan mengeluarkan tekanan
positifnya, sehingga tekanan diruangan yang berlawanan dengan membran
menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan cairan dan larutan dengan ukuran
kecil bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah yang
bertekanan rendah (tekanan hidrostatik). Karena adanya tekanan hidrostatik
tersebut maka cairan dapat bergerak menuju membran semipermeabel.
Proses ini disebut dengan ultrafiltrasi.17
Ada tiga komponen utama yang terlibat dalam proses hemodialisis
yaitu alat dializer, cairan dialisat dan sistem penghantaran darah. Dializer
adalah alat dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan darah dan
dialisat dalam kompartemen-kompartemen di dalamnya, dengan dibatasi
membran semi permeabel.18
Sistem penghantaran darah dapat dibagi menjadi bagian di mesin
dialisis dan akses dialisis di tubuh pasien. Bagian yang di mesin terdiri atas
pompa darah, sistem pengaliran dialisat, dan berbagai monitor. Sementara
akses juga bisa dibagi atas beberapa jenis, antara lain fistula, graft atau
kateter. Prosedur yang dinilai paling efektif adalah dengan membuat suatu

15
fistula dengan cara membuat sambungan secara anastomosis (shunt) antara
arteri dan vena. Salah satu prosedur yang paling umum adalah
menyambungkan arteri radialis dengan vena cephalica, yang biasa disebut
fistula Cimino-Breschia.19

2.2.5 Proses Hemodialisa


Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan
melaui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki
konsentrasi tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient
tekanan, gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif
yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak
dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan
cairan hingga tercapai isovelemia (keseimbangan cairan).
Sistem tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan
berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami
metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan
kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena.
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan
suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan
untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat
sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan
hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang
akan masuk ke dalam mesin hemodialisa. Hemodialisa dilakukan pada
penyakit gagal ginjal terminal yaitu dengan mengalirkan darah ke dalam
suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang
terpisah. Darah pasien dialirkan dan dipompa ke kompartemen darah yang
dibatasi oleh selaput permiabel buatan (artificial) dengan kompartemen

16
dialisat. Kompartemen dialisat dialairi cairan dialysis yang bebas pirogen,
berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang sama dengan serum normal
dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialysis dan darah
yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zar terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah
sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada
proses dialysis, air juga berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen
cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negative pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air disebut dengan
ultrafiltrasi.21,23,24
Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses
hemodialisa, terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai
konsentrasi hampir sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan
osmotic yang sama dengan darah. Fungsi cairan dialysis adalah
mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme dari
tubuh, serta mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa.
Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit dan atau zat
antara lain23,24:
1. NaCl / Sodium Chloride.
2. CaCl2 / Calium Chloride.
3. Mgcl2 / Magnesium Chloride.
4. NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bilkarbonat.
5. KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.
6. Dextrose.

17
Gambar 1. Cairan Dializer13
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan
hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan
dialisat dan aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan
memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal.
Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat
dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal
dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran
membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan
mempengaruhi pemindahan larutan.13

18
Gambar 2. Mesin Hemodialisa13
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian
lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah
dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer
merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari
ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui
bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian
luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan
yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler.14,25,26,27

19
Gambar 3. Aliran Darah
Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah
kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah
membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu
ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt
(AV-shunt).27,28

Gambar 4. Sirkuit
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu
lagi untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur
arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien
melalui jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan
20
dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan
konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat
atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer,
dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar
melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang
membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi.14,29
Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati
komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal
ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na +, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat
dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan
mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat
dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam
dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah
untuk mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh
tubuh pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah
ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam
dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada
hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena
pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat.14
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik
dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen
darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena,
atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan
memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik
diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit
darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %,

21
sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien
mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di
luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu
aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit)
merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus
dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah
pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam
jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam
aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer
modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk
berbagai parameter.14,30
Menurut PERNEFRI waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15
jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Pada akhir interval 2–3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal
lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses hemodialisa.13
Price dan Wilson menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan
meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien
meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran
kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat.
Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama
pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa
yang digunakan dan keadaan pasien.14

2.2.6 Dosis dan Kecukupan Dosis Hemodialisis

22
Dosis hemodialisis yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali
seminggu dengan setiap hemodialisis selama 5 jam atau sebanyak 3 kali
seminggu dengan setiap hemodialisis selama 4 jam.11
Lamanya hemodialisis berkaitan erat dengan efisiensi dan adekuasi
hemodialisis, sehingga lama hemodialisis juga dipengaruhi oleh tingkat
uremia akibat progresivitas perburukan fungsi ginjalnya dan faktor-faktor
komorbiditasnya, serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran
dialisat.20
Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan disebut dengan
adekuasi hemodialisis. Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung
urea reduction ratio (URR) dan urea kinetik modeling (Kt/V). Nilai URR
dihitung dengan mencari nilai rasio antara kadar ureum pradialisis yang
dikurangi kadar ureum paskadialisis dengan kadar ureum paskadialisis.
Kemudian, perhitumgan nilai Kt/V juga memerlukan kadar ureum
pradialisis dan paskadialisis, berat badan pradialisis dan paskadialisis dalam
satuan kilogram, dan lama proses hemodialisis dalam satuan jam. Pada
hemodialisis dengan dosis 2 kali seminggu, dialisis dianggap cukup bila
nilai URR 65-70% dan nilai Kt/V 1,2-1,4.20

2.2.7 Penatalaksanaan Hemodialisa


Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal
terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan
hal yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan
yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita.
Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita
pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan
pasien yang gagal ginjal.26
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani
hemodialisa mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak
mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat

23
asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan
toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif
dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan
dengan demikian meminimalkan gejala.26
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan
gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan
cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan
penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat
diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. 26

2.2.8 Komplikasi
Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang
rusak tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa
hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan
muntah (5-15% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5%
dialisis), sakit tulang belakang (2- 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis)
dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis). Sedangkan komplikasi serius
yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium, arrhythmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan emboli paru.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam dan menggigil.13,14

Komplikasi dari renal replacement theraphy14


complication Hemodialysis Peritonel dialysis

24
kardiovaskuler  Air embolism  Aritmia
 Angina  Hipotensi
 Arrytmia  Edema paru
 Cardiac tamponade
 Hipotensi*
Infeksi  Bacterimia  Catheter exit sitre
 Colonization of infection
temporary central venous  peritonitis
cateters
 Endocarditis
 Meningitis
 Osteomyelitis
 Sepsis
 Vascular access celulitis
or absess
Mekanik  Obstruksi pada  Obstruksi kateter
arterivena, terbentuk oleh klot, fibrin,
fistul trombosis atau omentum, atau
infeksi fibrous
 Stenosis atau trombosis  Kebocoran dialisat
pada vena subklavia atau disekitar kateter
superior vena cava dan  Diskesi cairan ke
intern vena jugular rongga abdomen
 Hematoma di traktus
perikateter
 Perforasi viskus oleh
kateter
Metabolik  Hipoglikemi pada orang  Hipoalbumin
diabetik yang memakai  Hiperglikemi
insulin  Hipertrigliserid
 Hipokalemi  Obesitas
 Hiponatremi dan
hipernatremi
Pulmonary  Dispnea sampai reaksi  Ateletaksis
anafilasis oleh membran  Efusi pleura
hemodialisa  Pneumonia
 Hipoksia
Miscellaneous  Deposit amiloid  Hernia abdominal
 Hemorragic cateter dan inguinal
 Demam yang disebabkan  Catheter-related
oleh bakterimia, pirogen, intra-abdominal
atau panas dialisat bleeding
 Perdarahan (GI,  Hipotermia
Intracranial,  Sklerosis
retroperitonel, peritoneum
intraocular)  Kejang
 Insomnia

25
 Pruritus
 Keram otot
 Restlessness
 Kejang
*komplikasi tersering

2.3 Akses Vaskuler Hemodialisa


2.3.1 Fistula arteriovena (AVF)
AVF perlu direncanakan setidaknya satu atau dua bulan sebelum
memulai hemodialisa, waktu yang dibutuhkan untuk pematangan akses
vaskuler (VA) yang tepat. Diagram alur yang benar harus mencakup fase
pra operasi, fase operasi, dan pasca operasi.

Evaluasi klinis dan instrumental diperlukan untuk menentukan


jenis VA, pendekatan teknis, dan tindak lanjut yang benar untuk menangani
komplikasi sedini mungkin. Untuk mempertahankan sistem vaskular,
penting untuk menghindari penarikan darah atau infus intravena dari lengan,
dan menggunakan pembuluh darah tangan untuk tujuan ini.

Fase pra operasi AVF mencakup pengumpulan riwayat kesehatan,


pemeriksaan fisik, dan evaluasi instruksional yang akurat.31 Hasil
Anamnesis harus mencari tahu riwayat penyakit jantung, untuk menilai
adanya perubahan pada curah jantung. Memang, sebagai konsekuensi AVF,
mungkin ada perubahan aliran darah, tekanan pulmonal, dan curah jantung,
terutama bila aliran darah AVF lebih besar dari 2.000 mL / menit. 32
Kebutuhan kateterisasi arteri dan / atau vena sebelumnya perlu dicari tahu
untuk mengetahui risiko tinggi stenosis vena sentral dengan akibat
berkurangnya vena output dari akses vaskuler yang akan dipasang. Penting
untuk mengidentifikasi anggota tubuh yang dominan untuk menghindari
keterbatasan kualitas hidup pasien.

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menyelidiki fungsi sistem arteri


dan vena dan mengecualikan adanya edema, scar post operasi, denyut
pembuluh darah radius, ulnaris dan brakialis, dan lingkaran vena
26
superfisial. Uji Allen harus dilakukan untuk mengevaluasi vaskularisasi
abnormal pada arkus palmar.

Gold Standard untuk menentukan jenis dan lokasi akses


hemodialisa adalah pemeriksaan ultrasound dupleks. Pemeriksaan ini
memungkinkan penilaian diameter arteri dan vena; diameter vena 2 mm dan
diameter arteri 1,6 mm dianggap adekuat untuk pemasangan akses
hemodialisa. Kedua parameter ini prediktif terhadap pematangan AVF.33

Menurut pedoman the National Kidney Foundation (NKF-K /


DOQI)34, urutan lokasi untuk intervensi AVF untuk HD adalah sebagai
berikut: forearm (radio-cephalic atau distal AVF), siku (brachio-cephalic
atau AVF proksimal), lengan (AVF brakial-basilika dengan transposisi
atau AVF proksimal).

AVF langsung di pergelangan tangan dianggap sebagai Gold


Standard pemasangan akses vaskuler. Hal ini relatif mudah untuk dipasang,
dan karena ada insiden komplikasi yang rendah, tingkat patensi jangka
panjang sangat baik dan tidak menghalangi kemungkinan pemasangan akses
vaskuler selanjutnya.35 Berbagai macam tipe anastomosis arteriovenosa
adalah memungkinkan: sisi ke ujung dari pembuluh darah arteri, latero-
lateral, sisi ke sisi, sisi ke ujung arteri pada vena, dan ujung ke ujung
(Gambar 1). Yang paling umum adalah anastomosis adalah sisi vena ke
ujung arteri.

Tingkat patensi untuk akses distal pada 1 tahun, dilaporkan dalam


literatur, bervariasi dari 56%7 sampai 79% .36

Pilihan terapi kedua adalah AVF proksimal. AVF proksimal


memiliki keuntungan menggunakan bahan autolog kaliber besar, yang
memudahkan pembuatan akses dan kanulasi vena berikutnya untuk
penggunaan akses, serta tingkat patensi yang lebih tinggi dibandingkan

27
dengan yang distal. Namun, memiliki karakteristik tingkat komplikasi yang
lebih tinggi seperti sindrom steal dan perubahan arteri pada curah jantung.

AVF brachio-basilica juga memerlukan prosedur teknis tambahan;


yaitu, superfisiasi vena basilica. Hal ini dapat dilakukan dalam dua tahap,
dengan keuntungan penanganan vena yang sudah "tersentralisasi" dan oleh
karena itu lebih punya daya tahan, namun dengan kekurangan waktu
pematangan penggunaan akses yang lebih lama. Tingkat patensi satu tahun
untuk akses proksimal yang dilaporkan dalam literatur bervariasi dari 70% 37
sampai 84% .38

Sebelum mulai menggunakan AVF, Terdapat waktu yang


diperlukan untuk mendapatkan modifikasi struktural dinding vena yang
terdiri dari "arterialisasi" sebagai akibat aliran turbulen. Menurut pedoman
NKF-K / DOQI 20066, akses dapat didefinisikan fungsional bila alirannya
600 mL / menit, vena memiliki diameter minimum 0,6 cm dan tidak
melebihi kedalaman 0,6 cm, dan marginnya bisa dikenali dengan jelas.
Waktu yang terkait dengan pencapaian karakteristik ini berkisar antara 1
sampai 3 bulan dari intervensi pemasangan AVF. Untuk mengevaluasi
parameter di atas, pemantauan klinis dan instrumental yang cermat
dibutuhkan. Secara khusus, metode pengukuran aliran akan berguna.

Komplikasi yang paling sering terkait dengan AVF adalah


kegagalan maturasi AVF, stenosis, trombosis, infeksi, aneurisma, sindrom
steal karena iskemia, dan aliran AVF tingkat tinggi.

Kegagalan AVF dapat dikaitkan dengan stenosis arteri vena.


Komplikasi semacam itu dapat dikoreksi dengan prosedur endovaskular
atau pembedahan, sehingga segmen stenotik pendek dapat diobati dengan
cara angioplasti transluminal perkutan, operasi bedah adalah gold standard
untuk segmen stenotik yang lebih luas.

28
Saat ini, peningkatan jumlah orang yang memerlukan dialisis
adalah penderita berusia 75 tahun atau lebih, dengan tiga perempat dari
mereka memiliki lima atau lebih komorbiditas, dan 90% memiliki penyakit
kardiovaskular.39 Memang, ketika fistula radio-sefalika diperkenalkan pada
tahun 1966 oleh Cimino dan Brescia, usia rata-rata pasien adalah 43 tahun,
hampir semuanya memiliki glomerulonefritis kronis. Pre operatif, prediksi
klinis yang memutuskan untuk menentukan fistula yang cenderung gagal
dewasa menunjukkan relevansi usia yang lebih tua sebagai kategori risiko
tinggi untuk "gagal matang". 40 Untuk alasan ini, penempatan AVF yang
tidak menunjang pada pasien lanjut usia dengan kehidupan rendah harapan
tidak dianjurkan.

Namun, agar memiliki alat untuk memprediksi kesuksesan /


kegagalan AVF atau yang berhasil, sebuah percobaan klinis multisenter
yang sedang berlangsung, "The Hemodialysis Fistula Maturation (HFM)
Study", telah dirancang untuk menjelaskan faktor klinis dan biologis yang
terkait dengan hasil kesuksesan fistula.41

2.3.2 Arteriovenous graft (AVG)

Tipe akses vaskuler ini terdiri dari AVF yang dibuat dengan
interposisi prostetik antara arteri dan vena, dengan dua tujuan: yang pertama
adalah untuk dapat menghubungkan dua pembuluh yang tidak
memungkinkan untuk terhubung karena jaraknya,42 dan yang kedua adalah
untuk menghubungkan antara arteri dan pembuluh darah dengan segmen
prostetik kapasitas tinggi yang juga dapat digunakan untuk pemasangan
kateter hemodialisa.

AVG adalah tatalaksana pilihan kedua, setelah AVF yang dibuat


dengan pembuluh darah sebenarnya.43 Pada kasus tertentu, AVG dipilih
sebagai pilihan tatalaksana pertama, seperti kasus kekurangan autologous
dan atau untuk jangka waktu yang dapat diprediksi singkat. Pengobatan

29
hemodialisis (anak-anak),44 atau pada pasien dengan badan pendek yang
gemuk, di mana vena superfisial berada jauh di dalam jaringan subkutan,
dan akhirnya pada pasien dengan vaskular fragility yang ekstrim (purpura
trombositopenik), di mana tusukan vena simpel menyebabkan luka dan
hematoma serius.45

Akses vaskuler prostetik telah menjadi akses paling umum untuk


dialisis di Amerika Serikat. Hal ini terkait dengan beberapa alasan dan
pilihan tindakan nihilistik pada dokter bedah yang berkontribusi terhadap
kurangnya akses situs akses autogenous.46-48 Namun, ada beberapa upaya di
AS dan Kanada untuk mengembalikan tren saat ini, karena beberapa
penelitian menyatakan adanya morbiditas AVG yang lebih tinggi
dibandingkan dengan akses autogenous.46,48

Untuk perencanaan AVG yang optimal, evaluasi klinis terhadap


ekstremitas atas adalah penting. Penampakan kulit, adanya vena superfisial,
yang mengambarkan oklusi vena sentral, dan adanya pulsasi perifer harus
dievaluasi. Langkah kedua untuk perencanaan yang optimal adalah
pemeriksaan ultrasonografi dupleks. Pemetaan pembuluh darah sangat
penting untuk mengurangi prosedur bedah atau endovaskular sekunder.49

USG dupleks memberikan indikasi pada patensi arteri ekstremitas


atas dan adanya stenosis atau oklusi yang dapat ditatalaksana sebelum
mengembalikan aliran yang adekuat. Studi outflow diperlukan untuk
mengevaluasi patensi dan diameter pembuluh darah, yang merupakan faktor
prediktif kegagalan.

Silva dkk menerapkan ultrasonografi duplex pra operasi dari arus


masuk arteri dan arus keluar vena dan menyimpulkan bahwa diameter vena
minimal 4 mm diperlukan untuk kesuksesan anastomosis
polytetrafluoroethylene-vein.50

30
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

31
Penelitian ini adalah suatu penelitian retrospektif dengan desain
penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu
rekam medis pasien.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Pembuatan penelitian berlangsung pada Februari 2018 hingga
Maret 2018. Tempat penelitian adalah RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang, yaitu bagian Rekam Medik.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien gagal ginjal
kronis dengan akses vaskuler hemodialisa yang dirawat inap di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang pada 1 Januari 2016 hingga 31 Desember
2017. Sampel pada penelitian adalah seluruh populasi yang memenuhi
kriteria inklusi.
Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronis
dengan akses vaskuler hemodialisa dan didapatkan semua variabel yang
diteliti secara lengkap, Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah
pasien dengan diagnosis gagal ginjal kronis dengan akses vaskuler
hemodialisa dengan variabek yang diteliti tidak lengkap.

3.4 Variabel Penelitian


Variabel penelitian yaitu:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Gaya Hidup
4. Riwayat Penyakit Dahulu
5. Faktor Resiko yang menyertai
6. Riwayat penggunaan akses vaskuler hemodialisa
7. Riwayat penggunaan kateter double lumen

32
8. Regio Anastomosis
9. Kalsifikasi arteri dan vena

3.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian


1. Usia yaitu ulang tahun terakhir saat penderita diambil data rekam
medik.
2. Jenis kelamin yaitu dibedakan menjadi dua; pria atau wanita.
3. Gaya hidup yaitu kebiasaan harian penderita, dibedakan menjadi dua;
merokok atau tidak merokok.
4. Riwayat penyakit pendahulu yaitu penyakit penyerta seperti hipertensi,
diabetes mellitus, batu ginjal, atau penyakit penyerta lain
5. Faktor resiko yang menyertai yaitu penyakit jantung,
hiperkolestrolemia, usia tua.
6. Riwayat penggunaan akses vaskuler hemodialisa yaitu dibedakan
menjadi dua; ya atau tidak
7. Riwayat penggunaan kateter double lumen yaitu dibedakan menjadi
dua; ya atau tidak
8. Regio anastomosis yaitu dibedakan menjadi wrist kiri, cubiti kiri, wrist
kanan, cubiti kanan, atau lain nya
9. Kalsifikasi arteri dan vena yaitu dibedakan menjadi dua ; ya atau tidak

3.6 Pengumpulan Data Penelitian


Data yang digunakan adalah data sekunder, berupa rekam medik
penderita gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler hemodialisa di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama 2 tahun, pada 1 Januari 2016
hingga 31 Desember 2017. Data yang diambil meliputi seluruh variabel
penelitian. Data kemudian dimasukkan dalam lembar kerja Microsoft
Excel.

33
3.7 Pengolahan dan Penyajian Data Penelitian
Data sekunder yang didapatkan kemudian dikelompokkan
berdasarkan variabel penelitian dengan batasan operasional yang telah
ditentukan. Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
Variabel dianalisis secara deskriptif.

34
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif. Data yang


digunakan berupa data sekunder yang didapatkan dari rekam medik dan hasil
pemeriksaan patologi anatomi. Sampel penelitian adalah semua pasien bedah
urologi yang telah menjalani TUR-B dan mendapatkan hasil patologi anatomi
berupa kanker kandung kemih di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada
1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2016. Dalam rentang waktu tersebut terdapat
43 orang pasien yang didiagnosis sebagai kanker kandung kemih dengan data
yang lengkap.

4.1 Usia
Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2015
hingga 31 Desember 2016, usia termuda pasien dengan kanker kandung kemih
yang dirawat inap yaitu 29 tahun, sedangkan usia tertua yaitu 85 tahun, dengan
rerata usia penderita gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler hemodialisa yaitu
60,6 tahun.

16 15
14
12
12
10
%
8
JUMLAH PASIEN
6
4 4 4
4 3
2 1
0
20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89

35
Grafik 4.1 Distribusi pasien dengan kanker kandung kemih berdasarkan
usia

Seperti yang tersaji pada grafik di atas (Grafik 4.1), dari 43 pasien dengan
kanker kandung kemih yang dirawat di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
pada periode waktu 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015. Sebaran
berdasarkan usia yaitu terdapat 1 pasien yang berada dalam kelompok usia 20-29
tahun, 4 pasien dalam kelompok usia 30-39 tahun, 4 pasien dalam kelompok usia
40-49 tahun, 15 pasien dalam kelompok usia 50-59 tahun, 12 pasien dalam
kelompok usia 60-69 tahun, 4 pasien dalam kelompok usia 70-79 tahun, dan 3
pasien dalam kelompok usia 80-89 tahun. Distribusi usia ≥ 60 tahun yaitu
sebanyak 19 pasien (44%) dan < 60 tahun sebanyak 24 pasien (56%).

4. 2 Jenis Kelamin
Dari 43 kasus kanker kandung kemih yang dirawat di sub bagian bedah
Urologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari 2015 hingga
31 Desember 2016 didapatkan penderita gagal ginjal kronik dengan akses
vaskuler hemodialisa dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 36 orang dan
wanita sebanyak 7 orang.

40 36
35
30
25
20
JUMLAH PASIEN
15
10 7
5
0
Laki-laki Perempuan

36
Grafik 4.2 Distribusi pasien dengan kanker kandung kemih berdasarkan
jenis kelamin

4.3 Gaya Hidup


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2015
hingga 31 Desember 2016, gaya hidup yang menjadi faktor risiko utama pada
pasien kanker kandung kemih berupa merokok didapatkan pada 32 orang pasien,
sedangkan pada 11 pasien lainnya tidak didapatkan faktor risiko merokok.

35

30 32
25

20
Jumlah Pasien
15

10
11
5

0
Merokok Tidak merokok

Grafik 4.3 Grafik yang menunjukkan gaya hidup pasien

4.4 Gejala Klinis


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari
2015 hingga 31 Desember 2016, gejala utama yang dialami pasien adalah
painless hematuria dimana terdapat 36 pasien yang mengalami keluhan ini.

37
Gejala lainnya adalah gejala – gejala pada LUTS yaitu terdapat pada 7 orang
pasien.

Grafik 4.4 Grafik yang menunjukkan gejala klinis pasien

4.5 Jenis Histopatologi Kanker Kandung Kemih


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2015
hingga 31 Desember 2016, terdapat beberapa jenis histopatologi kanker kandung
kemih yaitu berupa karsinoma sel transisional atau urothelial carcinoma berjumlah
38 orang pasien, karsinoma sel skuamosa berjumlah 5 orang pasien, serta tidak
terdapat pasien dengan jenis adenokarsinoma.

38
Grafik 4.5 Grafik yang menunjukkan jenis histopatologi kanker kandung
kemih

4.6 Grading Urothelial Carcinoma


Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode 1 Januari 2015
hingga 31 Desember 2016, tercatat 19 orang pasien urothelial carcinoma dengan
kategori high grade dan 19 orang pasien dengan kategori low grade.

20
19
19
15

10

0 Jumlah Pasien
Low grade High grade

Grafik 4.6 Grafik yang menunjukkan grading urothelial carcinoma

39
BAB V
PEMBAHASAN

Pada penelitian ini telah dikumpulkan pasien kanker kandung kemih yang
dirawat di sub bagian Bedah Urologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
periode 1 Januari 2015 sampai 31 Desember 2016, didapatkan distribusi usia
penderita terbanyak pada rentang usia 50-59 tahun yaitu sebanyak 15 (35%) orang
pasien dari 43 orang pasien dibandingkan dengan rentang usia lainnya. Distribusi
usia ≥ 60 tahun yaitu sebanyak 19 pasien (44%) dan < 60 tahun sebanyak 24
pasien (56%) dengan rerata usia penderita gagal ginjal kronik dengan akses
vaskuler hemodialisa yaitu 60,6 tahun. Temuan ini sama dengan yang didapatkan
Mehrsai dkk dimana usia rata-rata pasien kanker kandung kemih yaitu 61 tahun,
dengan rentang 36 sampai 80 tahun. 18 Namun, berbeda dengan Roger Chou bahwa
kanker kandung kemih terjadi terutama pada usia ≥ 60 tahun.16 Peningkatan
morbiditas terkait usia ini berpengaruh terhadap lamanya proses keganasan setelah
terjadinya paparan yaitu sekitar 15-40 tahun.19 Teori penuaan dan mutasi genetik
menjelaskan bahwa terdapat akumulasi material genetik yang mengalami
penurunan fungsi seiring dengan pertambahan usia, khususnya inaktivasi p53.20
Pada penelitian ini penderita gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler
hemodialisa yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 36 orang (84 %) dan wanita
7 orang (16 %). Hasil ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa penderita gagal ginjal kronik dengan akses vaskuler

40
hemodialisa laki-laki lebih banyak daripada wanita. Erik Pasin dkk mendapati
insidensi kanker kandung kemih pada laki-laki mendekati 4 kali lebih tinggi
daripada wanita.14 Sependapat dengan Erik Pasin, Wu Ji-Tahu pada penelitiannya
juga menyampaikan hasil yang sama.15 Tidak juga banyak berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Theo M. de Reijke bahwa kanker kandung kemih
hampir 3 kali lebih umum dijumpai pada laki-laki daripada wanita.17 Terdapat
eksperimen yang menyatakan bahwa kanker kandung kemih diinduksi oleh suatu
karsinogen kimia secara lebih mudah pada laki-laki dibanding wanita. Demikian
dapat dikatakan, adanya sinyal androgen dipertimbangkan sebagai satu penjelasan
yang dapat diterima. Meskipun kandung kemih bukan merupakan organ seks
asesorius, kandung kemih berpotensi merespon suatu sinyal androgen, hal ini
dimungkinkan karena organ ini beserta organ-organ seks asesorius lainnya berasal
dari sinus urogenital.15
Gaya hidup merokok sebagai faktor risiko kanker kandung kemih pada
penelitian ini tercatat terdapat pada sebanyak 32 (74 %) orang pasien, sedangkan
pada 11 (26 %) lainnya tidak merokok. Dalam tinjauan literatur oleh Erik Pasin,
dibandingkan dengan bukan perokok, seorang perokok berisiko 2 – 4 kali lebih
besar menderita kanker kandung kemih, perokok berat berisiko sampai 5 kali
lebih besar. Karsinogen urothelial seperti akrolein, 4-amino-biphenyl, arylamine,
dan radikal bebas berperan terhadap proses ini. Peningkatan durasi dan intensitas
terhadap paparan rokok turut berpengaruh signifikan.14
Berdasarkan gejala klinis, pada penelitian ini didapatkan terbanyak adalah
painless hematuria sejumlah 36 (84%) orang pasien dan LUTS sejumlah 7 (16%)
orang pasien. Sama seperti diungkapkan Theo M. de Reijke dalam penelitiannya
bahwa 85% pasien kanker kandung kemih mengalami painless hematuria, dan
Kathryn King bahwa hematuria dikenal sebagai gejala klasik kanker kandung
kemih, dimana dialami oleh 70-80% pasien.7,17
Jenis histopatologi kanker kandung kemih yang terdata di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang selama 2015-2016 terdiri dari karsinoma sel
transisional atau urothelial carcinoma 38 (88 %) orang pasien, karsinoma sel

41
skuamosa 5 (12 %) orang pasien, dan tidak terdapat pasien dengan jenis
adenokarsinoma. Hasil ini tidak sepenuhnya sama dengan literatur yang
disampaikan oleh Donald S Kaufman dan Erik Pasin dalam penelitiannya masing-
masing, dimana > 90% kanker kandung kemih adalah karsinoma sel transisisonal,
5% adalah karsinoma sel skuamosa, dan < 2% adalah adenokarsinoma.
Diagnosis grading kanker kandung kemih pada penelitian ini menunjukkan
terdapat 19 (50%) orang pasien urothelial carcinoma dengan kategori high grade
dan 19 (50%) orang pasien dengan kategori low grade. Hasil pada penilitian ini
berbeda dengan yang diungkapkan Eugene dalam penelitiannya bahwa sebesar
58.7 % kasus merupakan low grade and 41.3 % kasus merupakan high grade.
Sependapat dengan penelitian tersebut, data penelitian lainnya menyebutkan
bahwa low grade lebih sering ditemukan pada pemeriksaan dibandingkan dengan
high grade yaitu sebanyak 65% dari seluruh kasus.22 Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa high grade memiliki persentase lebih rendah dibandingkan
low grade yaitu sebesar 42,1%.21

42
BAB VI
RINGKASAN

1. Selama rentang waktu antara 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2016 di


RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang didapatkan 43 penderita
karsinoma kandung kemih dengan data rekam medik yang lengkap.
2. Usia termuda pasien dengan kanker kandung kemih yang dirawat adalah 29
tahun. Sedangkan usia tertua adalah 85 tahun. Dengan rerata usia 60,6 tahun.
3. Berdasarkan jenis kelamin terdapat 36 (84%) pasien dengan jenis kelamin
laki-laki dan 7 (16%) pasien dengan jenis kelamin perempuan.
4. Terdapat 32 (74%) orang pasien dengan faktor risiko gaya hidup merokok
dan 11 (26%) pasien lainnya tidak merokok.
5. Gejala klinis yang terutama dialami pasien adalah painless hematuria
dimana terdapat 36 (84%) orang pasien yang mengalami keluhan ini. Gejala
lainnya adalah gejala LUTS yang dialami oleh 7 (16%) orang pasien.

43
6. Selama periode penelitian ini, didapatkan distribusi gambaran diagnosis
histopatologi. Dari 43 pasien kanker kandung kemih didapatkan 38 (88%)
pasien dengan jenis karsinoma sel transisional atau urothelial carcinoma dan
5 (12%) pasien dengan jenis karsinoma sel skuamosa, dan tidak ada pasien
dengan jenis adenokarsinoma.
7. Grading jenis urothelial carcinoma pada pasien di RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang meliputi 19 (50%) orang pasien dengan kategori high
grade dan 19 (50%) orang pasien dengan kategori low grade.

44

Anda mungkin juga menyukai