Anda di halaman 1dari 150

ELFIRA PUBLISHING

Jangan Tinggalkan Desa


Wahyudi Anggoro Hadi

Editor & Konsep: Fachmy Casofa


Penggagas: Dewi Hadhy
Desain Sampul & Isi: Enxyclo.com
Foto Sampul: Fachmy Casofa
Pemeriksa Aksara: Zahra El-Humaira
Cetakan Pertama: Desember 2018

Elfira Publishing
Giwangan UH VII-2, Umbulharjo, Yogyakarta
www.elfirapublishing.com
elfirapublishing@gmail.com

© Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


All right reserved
Ibu, izinkanlah saya memohon
bukan agar penderitaan ini berakhir,
akan tetapi agar teguh
menjalaninya.
Kupersembahkan karya ini kepada segenap
warga Panggungharjo dan para pegiat
kedaulatan desa.
JANGAN TINGGALKAN DESA v
Doa bersama dalam Merti Kali Pedukuhan Sawit (Sowan Mbah
Buntung) pada Festival Srawung.

vi WAHYUDI ANGGORO HADI


Daftar Isi

iii Halaman Persembahan


vii Daftar Isi
1 Prolog
Suara Tanpa Kata
10 Bab 1
Jangan Tinggalkan Desa
18 Bab 2
Merawat Desa Membangun Indonesia
38 Bab 3
Jalan Pemimpin
44 Bab 4
Rekayasa Sosial
50 Bab 5
Tantangan Layanan Publik
74 Bab 6
Kepercayaan & Keteladanan
90 Bab 7
Kapasitas Dasar Pemimpin Desa
104 Bab 8
Berikan Desa Kesempatan
122 Bab 9
Membangun Kemandirian Desa,
Menghadirkan Layanan Negara
139 Epilog

viii WAHYUDI ANGGORO HADI


P R O LO G

Suara Tanpa Kata

H
ari Ahad pahing 14 Oktober 2018 menjadi
hari bersejarah di mana seorang calon
lurah desa menerima mandat politik dari
11.558 suara warga desa Panggungharjo. Jumlah
ini adalah sekitar 57,26% dari 20,185 warga desa
yang memiliki hak suara dalam pemilihan lurah
desa tahun ini atau sekitar 88,64% dari 13.039
warga desa yang memberikan suara sah kepada
kedua calon Lurah Desa.

Suara tanpa kata, karena suara rakyat yang


melahirkan mandat politik tersebut diberikan
tanpa ada motif apa pun selain kepercayaan
karena sebagaimana yang sudah diperjuangkan
sejak pemilihan Lurah Desa tahun 2012, proses
politik dalam pemilihan Lurah Desa di desa
Panggungharjo mengharamkan perilaku politik
uang. Alhasil, term politik tahun 2018 tidak ada
sepeser rupiah pun uang yang digunakan untuk
membeli suara. Suara tanpa kata tawar-menawar
harga jual-beli kepercayaan.

2 WAHYUDI ANGGORO HADI


Suara tanpa kata, sebagai mandat politik
yang diberikan secara sukarela oleh warga desa
dengan sebuah keyakinan, pemerintah desa
akan mampu mengemban amanah warga untuk
mampu memenuhi hak hak sipil sebagai warga
negara, dengan menjalankan roda pemerintahan

Kroscek Rumah Rawan Longsor di Dongkelan.

JANGAN TINGGALKAN DESA 3


yang bersih, transparan dan bertanggung jawab
guna menggerakan laju pembangunan yang
berpihak pada kepentingan warga serta upaya
mengangkat martabat warga desa melalui
program pemberdayaan dan program pembinaan
kemasyarakatan desa. Suara tanpa kata jual-beli
janji politik.

Suara tanpa kata, yang terselip doa dan


harapan di dalamnya agar kepemimpinan
nantinya mampu menghadirkan kultur birokrasi
pemerintahan desa yang dapat menghadirkan
pelayanan publik yang tidak hanya pelayanan
administrasi publik saja, tetapi juga meliputi
pelayanan atas barang dan jasa publik dengan
sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-
adilnya. Mandat politik yang di dalamnya
terkandung pesan yang sangat kuat bahwa
ini adalah amanah dari warga bangsa yang
merindukan kehadiran negara melalui pemerintah
desa. Amanah dari suara tanpa kata.

Suara tanpa kata, sebagai mandat politik yang


semakin meneguhkan relasi politik antara warga
desa dan pemerintah desa yang menjadikan

4 WAHYUDI ANGGORO HADI


kuasa warga atas ruang politik yang ada di desa.
Suara tanpa kata adalah pemilik sah dari arena
politik pemerintah desa, di mana kepada suara
tanpa kata, diri ini harus berkhidmah.

Ya Allah, saya ridha atas segala


kehendak-Mu. Rahmatilah diri
ini dengan kekuatan untuk senantiasa
mempunyai kesadaran bahwa suara
tanpa kata adalah amanah yang
harus ditunaikan dengan tanggung
jawab.

Sayangi diri ini dengan keistiqamahan untuk


senantiasa berkhidmah di jalan Mu. Dekap diri ini
ya Allah dalam samudera ampunan-Mu.

***
Uji coba kapal BPNB di Embung Julantoro.
BAB 1

Jangan Tinggalkan
Desa

8 WAHYUDI ANGGORO HADI


W
ahyudi Anggoro Hadi, terlahir
dan berkembang di keluarga yang
demokratis. Terlahir di keluarga
yang demokratis seperti ini menyebabkannya
mampu menemukan makna-makna hidup yang
membebaskannya untuk menentukan pilihan
hidup. Pola seperti ini juga yang kemudian
menuntutnya untuk terus belajar dengan berbagai
hal dan terus peduli juga dengan beragam hal.

Saya lahir dan tumbuh sebagai bungsu


bersama dengan tujuh orang saudara yang
walaupun secara ekonomi kehidupan keluargaku
memang terbatas, akan tetapi pendidikan
adalah hal istimewa yang selalu ditanamkan oleh
keluarga. Bayangkan, pada tahun 1980-an saja,
lima dari delapan orang saudaraku mengenyam
pendidikan tinggi dan empat di antaranya di
Universitas Gadjah Mada. Saya juga kemudian
menyusul masuk ke UGM pada tahun 1997
untuk masuk ke Fakultas Farmasi. Ada usaha
apotik keluarga yang sedang berkembang. Hal
itulah yang membuatku tertarik untuk masuk ke
fakultas tersebut, selain memang sains adalah
subjek pelajaran kegemaranku.

Bapakku adalah seorang pustakawan di


Universitas Gadjah Mada sedangkan ibuku
adalah seorang pedagang dolanan anak. Mari
berbincang sedikit tentang Bapakku. Dengan
profesinya sebagai seorang pustakawan, Bapak
berkesempatan memperoleh limpahan cakrawala
pengetahuan yang amat luas. Hal itulah yang
menjadikan beliau demokratis. Beliau memberikan
keleluasaan bagi anak-anaknya untuk memilih
jalan hidup apa yang ingin ditempuh. Termasuk
kepada diriku sebagai bungsu dari tujuh
bersaudara.

Pola asuh yang seperti ini amat besar


memengaruhiku ketika mengasuh anak-anakku.

10 WAHYUDI ANGGORO HADI


Contohnya, suatu kali, bersama anakku yang
sedang kuantar berangkat ke sekolah dan
melewati sebuah sawah, anakku yang pertama itu
tertegun dengan orang yang sedang membajak
sawahnya menggunakan traktor. Ia pun meminta
untuk bermain lumpur di sawah karena tertarik
dengan aktivitas tersebut. Tanpa pikir panjang,
saya pun meloloskan permintaannya.

Orang-orang yang berada di sawah tentu heran


dengan keputusanku karena bermain lumpur di
sawah dengan kondisi masih memakai seragam
sekolah bahkan kemudian tidak berangkat
sekolah tentu bukanlah hal lumrah. Akan tetapi,
itu hanyalah caraku untuk mengajari anakku
menikmati masa kecilnya dan menikmati alam
yang yang telah dibentangkan Tuhan untuknya.

Sebagaimana ketika masih kecil, saya


juga berkelimpahan kasih dari lingkungan
keluarga dan komunitas sekitar yang rata-rata
memiliki keterbatasan ekonomi, di mana untuk
dapat mempertahankan hidup, keluarga dan
komunitasnya harus saling dukung, saling tolong,
dan saling berbagi.

JANGAN TINGGALKAN DESA 11


Selain itu, semasa kecil, saya juga
berkelimpahan kemandirian dari lingkungan
sekitar yang senantiasa mengembangkan narasi
perlawanan atas interverensi negara yang
hegemonik.

Desa tempatku bertumbuh adalah desa yang


menawarkan narasi kreativitas. Lingkungan
perdesaan tempatku tinggal memiliki tradisi
dolanan anak yang kuat.

Keberadaan para pengrajin dolanan anak,


termasuk keluarganya, menyediakan ruang kreatif
yang tiada berbatas. Saya bisa mengeksplorasi
alam dan lingkungan sekitar sebagai arena
bertransaksi ide dan gagasan.

Hal inilah yang ingin terus saya kembangkan


dan lestarikan agar anak-anak zaman sekarang
juga merasakan aura yang sama di tengah
gempuran gawai dan internet yang makin
memudarkan kasadaran kita akan bentangan
alam yang menawarkan banyak keindahan dan
kebergunaan.

12 WAHYUDI ANGGORO HADI


JANGAN TINGGALKAN DESA 13
Saya ingin mendidik anak-anak
sesuai dengan kondisi lokal. Karena
itu, menggali kembali kekayaan
budaya lokal, seperti dolanan anak
perlu dilakukan agar anak-anak
tumbuh sesuai dengan lokalitas
mereka.

Hal ini juga bisa kukatakan sebagai bentuk


perlawananku terhadap kapitalisasi pendidikan.
Saya yakin, anak-anak bisa tumbuh dan
berkembang dengan budaya lokal, salah satunya
melalui dolanan tradisional anak-anak.

Makanya, setiap kali anak-anak muda yang


datang menanyakan hal yang sama kepadaku,
“Apa yang membentuk Pak Yudi hingga bisa
seperti ini? Bapak, Ibu, bacaan, atau apa?”

Dengan berulang-ulang saya akan menjawab


pertanyaan tersebut dengan uraian yang sama.

Ibu mengajarkan perspektif kemanusiaan.


Bapak mengajarkan perspektif demokrasi

14 WAHYUDI ANGGORO HADI


dan keterbukaan. Keluarga mengajarkan
kreativitas dan kemandirian. Masyarakat sekitar
mengajarkan narasi perlawanan. Pramoedya
Ananta Toer mengajarkan keadilan, Frithjof
Schuon mengajarkan transendensi, dan pesantren
mengajarkan kesederhanaan dan penyerahan
diri.

Itulah yang memberikan pengaruh paling


dominan dalam hidupku sekaligus menjawab
mengapa saya bisa seperti sekarang ini.

***

JANGAN TINGGALKAN DESA 15


BAB 2

Merawat Desa
Membangun Indonesia

18 WAHYUDI ANGGORO HADI


B
erkah Undang-Undang Desa bukanlah
sekadar dana desa, berkah Undang-
Undang Desa yang jauh lebih substantif
dan bermakna adalah upayanya dalam
mengembalikan kedaulatan dan kemandirian desa
serta adanya pengakuan dan penghormatan,
bahwa saat ini dan selanjutnya talenta lokal
memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengelola segala urusan baik pemerintahan,
pembangunan, pemberdayaan maupun
pembinaan kemasyarakatan desa dalam lingkup
skala lokal desa.

Desa adalah masa depan dunia, di sana dikelola


tiga komoditas strategis yang menentukan ke
mana masa depan dunia ini akan berjalan. Di desa
memiliki air bersih, udara bersih dan juga pangan
sehat. Tiga komoditas global yang akan sangat
mahal dalam sepuluh tahun ke depan.

Akan tetapi, kebanyakan dari kita tidak


menyadari bahwa ketiga hal tersebut ada di desa.

Artinya, peran-peran strategis desa saat


ini bukan hanya sebagai penyangga ekonomi
Indonesia, tetapi juga sebagai kontributor penting
pembangunan ekonomi berkelanjutan dunia.

Bukankah itu mengagumkan?

Hal tersebut harusnya menyadarkan kita


bahwa desa memiliki peran strategis. Dan peran
strategis itu tak akan berarti apa-apa tanpa
sumbangsih nyata kita terhadap desa. Selain
itu, nasib desa tidak akan pernah berubah,
kecuali warga masyarakat desa tersebut yang
mengubahnya.

Adapun bantuan dan fasilitasi dari pihak


luar lebih bersifat stimulan dan membantu
pengembangan, bukan yang utama. Hal utamanya
tetap ada pada kemampuan kita sebagai orang-

20 WAHYUDI ANGGORO HADI


orang yang tinggal di desa tersebut dalam
mengolah dan menjelmakan segala potensi
yang ada di desa menjadi lebih bermanfaat dan
berkelanjutan.

Dengan demikian, desa akan


berhasil menemu-kenali potensi
lokal dan mengembangkannya
menjadi produk dan layanan yang
bisa bersaing dalam lingkup regional,
nasional, bahkan internasional.

Mari kita seksamai bagaimana peran potensi


sebuah desa hingga mampu memberikan dampak
untuk skala yang lebih besar.

Dusun Pandes misalnya, merupakan dusun


yang secara historis dikenal sebagai daerah
penghasil dolanan anak‐anak berbahan bambu
dan kertas, dari salah satu sumber sejarah lokal,
dikatakan bahwa tradisi membuat dolanan anak‐

JANGAN TINGGALKAN DESA 21


anak ini dilakukan sejak pemerintahan HB VIII
atau sekitar pertengahan abad XVIII.

Hampir semua masyarakat Pandes


menggantungkan kehidupan ekonominya dari
pembuatan dolanan anak‐anak ini, sehingga
pada waktu itu pelestarian dolanan anak‐anak
dilakukan secara kultural dalam lingkup keluarga
karena biasanya seluruh anggota keluarga
terlibat dalam proses pembuatan dolanan
tersebut.

Seperti juga dengan daerah lain, berbagai


macam permainan bocah tempo dulu seperti
Gatheng, Gobag Sodor, Kasti, Jamuran, Benthik,
Balapan Jambe, Boy-Boyan, Sekar Puyang,
merupakan permainan favorit bagi anak‐anak
dusun Pandes, terlebih lagi pada saat purnama
datang, bisa dipastikan anak‐anak dan ibu‐
ibu didusun Pandes akan keluar rumah sejak
lingsir sampai menjelang tengah malam untuk
berinteraksi sambil memainkan berbagai
permainan tersebut.

Namun, segalanya berubah semenjak


dolanan plastik dari Tiongkok dan Jepang mulai

22 WAHYUDI ANGGORO HADI


hadir di awal‐awal tahun 80-an di mana perlahan
tapi pasti dolanan anak‐anak dari Pandes mulai
ditinggalkan yang secara tidak langsung memaksa
para pengrajin dolanan di dusun Pandes untuk alih
profesi, yakni menjadi buruh ataupun merantau
menjadi pilihan paling realistis agar kebutuhan
keluarga dapat tercukupi.

Alhasil, aktivitas pembuatan dolanan anak


pun meredup sehingga di akhir tahun 90-an
hanya tinggal 8 orang yang masih setia menekuni
profesi ini, dan kesemuanya adalah perempuan
lanjut usia.

Tawa yang membuncah yang bersumber dari


keceriaan anak‐anak di dusun Pandes sewaktu
melakukan berbagai macam permainan tradisi
di kala purnama semakin lirih terdengar sejak
program listrik masuk desa mulai diperkenalkan di
dusun Pandes yang kemudian digantikan wajah‐
wajah kosong anak‐anak dan orang tua yang
tertegun di depan televisi.

Tidak terdengar lagi kata-kata: sekong,


kungkung, blepsik, jagomu kon kluruk kang,

JANGAN TINGGALKAN DESA 23


nyanyian jamuran yo ge gethok, dingklik oglak
aglik, sekar puyang ponja–panji.....

Kita kelangan alon-alon (kehilangan


pelan-pelan) yang kemudian kesemuanya itu
tergantikan dengan kata‐kata: Ragnarok, Doom,
Redneck Rampage, Quake, Mario, Playstation,
serta berbagai istilah lain yang terasa asing dan
kering.

Tak terbayang, bagaimana imajinasi anak‐


anak kita terpenuhi dengan adegan-adegan yang
mengandung unsur kekerasan, individualis, serta
agresivitas untuk mengalahkan dan mematikan
lawan yang kesemuanya tersebut menjadikan
anak-anak kita menjadi teralienasi dan anti sosial.

Situasi lingkungan sosial tersebut mendasari


para pemuda di dusun Pandes untuk mendorong
kembali tumbuhnya berbagai macam seni tradisi
dan dolanan anak agar anak-anak tidak tercerabut
dari akar sosial di mana ia dilahirkan.

Sejak tahun 1999, upaya membangun


kesadaran kolektif untuk melestarikan keberadaan
dolanan serta seni tradisi terus saya dan teman-

26 WAHYUDI ANGGORO HADI


teman lakukan. Akan tetapi, baru pada akhir tahun
2006 setelah bencana gempa bumi melanda
daerah Bantul dan sekitarnya, kesadaran kolektif
tersebut muncul yang kemudian momentum
tersebut kami gunakan untuk mengorganisir
masyarakat dalam wadah Komunitas Pojok
Budaya yang pendiriannya ditujukan untuk turut
memperjuangkan terciptanya masyarakat yang
religius, demokratis, berdaya secara ekonomi,
serta yang berkesadaran ekologis dengan
melakukan serangkaian kegiatan pelestarian
budaya dan seni tradisi serta kegiatan revitalisasi
agar budaya dan seni tradisi tersebut memberi
manfaat untuk kepentingan yang lebih luas.

Kegiatan pelestarian dilakukan dengan


menjadikan anak-anak sebagai titik masuknya.
Kegiatan yang pertama dilakukan adalah
dengan melakukan kegiatan pendidikan berbasis
masyarakat di mana masyarakat dijadikan
subjek sekaligus objek dari kegiatan pendidikan
tersebut. Berbagai hal, terutama nilai‐nilai luhur
yang terkandung dalam aneka rupa permainan
maupun dolanan anak-anak yang ada kemudian
digali dan dimaknai kembali.

JANGAN TINGGALKAN DESA 27


Anak-anak dikenalkan kembali dengan
berbagai jenis permainan yang pernah tumbuh,
para pengrajin dolanan anak yang masih setia
dijadikan guru dalam pendidikan berbasis
komunitas tersebut. Ibu-ibu yang rindu akan suara
gejogan dari lesung yang dipukul, difasilitasi
untuk memainkan kembali gejogan-nya sekaligus
mengajari anak‐anak berbagai nyanyian yang
mengakar kuat pada tradisi.

Terkesan apa yang kami lakukan


tersebut adalah membangun
romantisme masa lalu. Akan tetapi,
tidaklah demikian karena anak-anak
juga dikenalkan dengan berbagai
hal yang berbau “modern” seperti
pembuatan film serta pelatihan
komputer.

Hal ini kita lakukan untuk tetap menjaga


relevansinya dengan perkembangan dunia
modern.

28 WAHYUDI ANGGORO HADI


Selain itu, digagas pula pembentukan desa
wisata minat khusus, di mana hal ini salah
satunya diorientasikan untuk memberikan media
pembelajaran tentang seni dan budaya lokal
bagi masyarakat di luar komunitas selain itu
juga kegiatan ini diarahkan dalam rangka untuk
meningkatkan nilai ekonomi dari dolanan anak‐
anak yang diproduksi oleh para pengrajin. Hal ini
karena dalam konsep desa wisata tersebut yang
“dijual” bukan semata-mata produk namun juga
experience, story serta knowledge.

Selain itu, hal tersebut juga ditujukan untuk


meningkatkan citra seni tradisi dan dolanan yang
ada di Pandes sehingga merangsang generasi
muda untuk turut serta dalam proses pelestarian
budaya dan seni tradisi lokal yang ada di
sekitarnya. Beragam kalangan telah berkunjung
ke Pandes baik sekitaran Jogja maupun dari luar
Jogja bahkan beberapa dari luar negeri. Baik hanya
untuk kepentingan berwisata dan bernostalgia,
untuk kepentingan pembelajaran muatan lokal
atau untuk kegiatan penelitian penyusunan
skripsi ataupun tesis.

JANGAN TINGGALKAN DESA 29


Hal ini kemudian memberikan pelajaran bagi
kita bersama, bahwa pilihan isu, strategi gerakan,
serta metode pengemasan yang tepat pada
akhirnya akan menarik perhatian media baik lokal,
nasional maupun internasional untuk datang
dan meliput kegiatan‐kegiatan yang digagas oleh
Komunitas Pojok Budaya. Tercatat media-media
besar seperti National Geographic, Reuters, The
Jakarta Post, LionMagz, Kompas, dan hampir
semua stasiun televisi nasional pernah datang
dan meliput kegiatan dari Komunitas Pojok
Budaya dan bahkan aktivitas anak‐anak tersebut
digunakan sebagai bagian dari iklan layanan
masyarakat yang didanai WHO.

Apresiasi terhadap dolanan anak produksi


masyarakat Pandes juga diberikan oleh Badan
Pelestarian Pusaka Indonesia dengan pengakuan
sebagai salah satu pusaka budaya tak bendawi
yang pada tahun 2010 menerbitkan sebuah buku
seri pendidikan pusaka untuk anak tentang dolanan
anak produksi masyarakat Pandes yang berkerja
sama dengan UNESCO, Erfgoed Nederland, Pusat
Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional RI
dan Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur, Jurusan

30 WAHYUDI ANGGORO HADI


Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik
UGM.

Seiring dengan meningkatnya citra diri


tersebut, Komunitas Pojok Budaya mulai
memperluas kelompok sasaran yaitu generasi
muda dengan mendorong mereka terlibat secara
langsung dalam proses-proses pelestarian
dolanan bocah dengan mendirikan bengkel kerja
pembuatan dolanan anak-anak dengan kualitas
yang lebih bagus untuk memperluas sasaran
pasar.

Kirab Hari Jadi Ke-186 Kabupaten Bantul di Lapangan Trirenggo.

JANGAN TINGGALKAN DESA 31


Adapun kegiatan revitalisasi atas nilai yang
terkandung dalam dolanan dan permaian anak
dilakukan dengan mendirikan sebuah “sekolah
masa depan” yang dimulai dari jenjang Kelompok
Bermain yang ke depan secara bertahap akan
dilanjutkan pada jenjang TK dan SD dengan nama
Among Siwi.

Kelompok Bermain Among Siwi yang didirikan


sejak bulan Maret 2011 merupakan sebuah
‘sekolah’ yang diselenggarakan secara sistematis
dan penuh kasih yang berusaha menempatkan
kembali moral dan etika keluarga sebagai basis
pembelajaran.

Kearifan moral dan etika dari keluarga


merupakan sebuah pendidikan yang sehat
yang secara sadar membantu anak untuk bisa
merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang
makna hidup dari yang bersifat fisikal, moral,
estetikal, bahkan sampai yang bersifat spiritual.

Among Siwi merupakan sebuah reka cipta


ruang pendidikan yang mampu membuka akses
bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh

32 WAHYUDI ANGGORO HADI


pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang
murah, karena seluruh pembiayaan kegiatan
pembelajaran diperoleh dari hasil pengelolaan
sampah rumah tangga dari masing-masing warga
belajar.

Dengan kata lain, warga belajar membayar


biaya pendidikannya (SPP) dengan cara
melakukan pengelolaan sampah di masing-masing
rumah untuk kemudian secara rutin dan terjadwal
mengumpulkan sampah yang sudah terkelola
tersebut ke sekolah. Sebuah langkah kecil namun
komprehensif untuk menjawab permasalahan
lingkungan sekaligus permasalahan biaya
pendidikan.

Berkaitan dengan cita-cita untuk berdaya


secara ekonomi sehingga memungkinkan kegiatan
yang digagas Komunitas Pojok Budaya anggota
masyarakat ini berlangsung secara ‘merdeka’
maka dibangun pula upaya untuk membangun
basis-basis ekonomi secara mandiri baik dalam
lingkup keluarga maupun komunitas semisal
didirikannya Kelompok Kerja Ekonomi Perempuan
(KeKEP) yang diperuntukan bagi ibu-ibu anggota

JANGAN TINGGALKAN DESA 33


komunitas yang telah berkegiatan sejak tahun
2008.

Di samping itu pula, dalam rangka membangun


kemandirian ekonomi lembaga sehingga dalam
menjalankan aktivitasnya tidak mempunyai
ketergantungan finansial dengan siapa pun baik
lembaga dana maupun pemerintah, maka pada
Desember 2010, didirikan ‘Satubumi’ sebagai
entitas bisnis yang bergerak dalam bidang
lingkungan, yang pendiriannya di samping
diharapkan sebagai basis ekonomi lembaga
juga ditujukan untuk mendorong terwujudnya
kesadaran masyarakat untuk bersama-
sama meningkatkan kualitas hidup dengan
penciptaan lingkungan yang bersih dan sehat
melalui pengelolaan sampah secara bijak dan
berkelanjutan, sebuah upaya untuk memberi
makna lebih atas sampah.

Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas


bisnis Satubumi ini digunakan oleh Komunitas
Pojok Budaya untuk membiayai berbagai kegiatan
pelestarian dan revitalisasi budaya dan seni tradisi
yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat.

34 WAHYUDI ANGGORO HADI


Tak terbayangkan, sebuah ketulusan
bersama telah mampu menggugah
kesadaran masyarakat untuk
kembali menggali nilai yang
terkandung dalam warisan leluhur
dan menjadikannya sebagai sebuah
kebanggaan dan identitas bersama,
kebanggaan, dan identitas sebagai
sebuah bangsa bernama Indonesia
walaupun tanpa peran serta dan
campur tangan pemerintah.

Oleh karena itu, jangan pernah tinggalkan


desa. Rawatlah sebaik mungkin karena dari
sanalah sebenarnya kita bisa membangun
Indonesia.

***

JANGAN TINGGALKAN DESA 35


“Anak dudu dolanan,
anak kudu dolanan.”
(Anak bukan mainan, tetapi anak
harus bermain)
JANGAN TINGGALKAN DESA 37
BAB 3

Jalan Pemimpin

38 WAHYUDI ANGGORO HADI


J
alan pemimpin bukanlah jalan yang
mudah. Memimpin adalah menderita
sebagaimana yang disampaikan oleh
Kasman Singodimedjo kepada Haji Agus Salim,
“Een Liedenswerg is een lijdenwerg, Lieden
is lijden—Jalan pemimpin bukanlah jalan yang
mudah, memimpin adalah menderita.” Yang oleh
karenanya telah kuikhlaskan diri ini untuk meniti
jalan sunyi sebagai seorang pemimpin bagi rakyat
yang berada dalam satu kesatuan masyarakat
hukum yang bernama desa.

Setiap gagasan selalu menemui tantangannya


tersendiri. Apalagi bila gagasan itu harus
melibatkan hajat hidup orang banyak. Mungkin
ada beberapa yang mendukung, tetapi pastinya
akan ada beberapa lagi yang akan menentang, di
mana biasanya jumlah para penentang itu justru
lebih banyak.

Namun satu hal, sebagai seorang pemimpin,


apalagi pemimpin di sebuah desa, baik resistensi
(penolakan) maupun apresiasi (penghargaan
ataupun dukungan) yang ada, semuanya harus
diterima secara berimbang, netral dan apa adanya
karena hal ini merupakan bagian dari dinamika
perubahan itu sendiri

Dengan demikian, seharusnya kita sebagai


pemimpin tak akan pernah merasakan dua hal
yaitu putus asa dan dendam. Mengapa? Karena
semuanya baik apresiasi maupun resistensi
dimaknai sebagai bagian dari “karakter perubahan
sosial” yang memang sewajarnya ada.

Meletakkan setiap apresiasi maupun resistensi


atas gagasan perubahan pada sebuah garis yang
sama di mana masing-masing berfungsi sebagai
sebuah penanda atas perubahan, menjadikan diri
kita bisa berlaku adil bahkan sejak dari pikiran
sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer.

40 WAHYUDI ANGGORO HADI


Apresiasi yang diterima baik dari
warga desa maupun dari pihak luar,
hanyalah sebuah penanda bahwa
perubahan yang dilakukan telah
berada pada jalan yang benar.

Pun demikian sebaliknya, resistensi atas


perubahan yang dilakukan juga hanyalah sebagai
penanda bahwa bisa jadi gagasan perubahan
tersebut perlu dicarikan alternatif pendekatan
yang lain.

Apresiasi tidak kemudian melahirkan hak-hak


istimewa bagi pihak yang memberikannya, pun
demikian halnya dengan resistensi, perbedaan,
atau bahkan mungkin perlawanan yang dilakukan
oleh sebagian orang yang tidak menghendaki
perubahan, tidaklah menggugurkan kewajiban
negara untuk memenuhi hak-hak sipilnya sebagai
seorang warga negara.

Konteks inilah yang menjadikan setiap


apresiasi yang diberikan atas setiap capaian,
seharusnya tidak menjadikan kita berpuas diri

JANGAN TINGGALKAN DESA 41


atau berhenti melakukan inovasi, tetapi justru
menjadi sekumpulan energi dan menjadikannya
pijakan agar kita dapat terus senantiasa
memberikan makna baru bagi peradaban.

***

42 WAHYUDI ANGGORO HADI


JANGAN TINGGALKAN DESA 43
BAB 4

Rekayasa Sosial

44 WAHYUDI ANGGORO HADI


D
alam khazanah ilmu farmasi, dikenal
sebuah kaidah umum yang disebut
sebagai ars praeparandi--seni meracik,
dan kaidah inilah yang senantiasa dipakai dalam
upaya untuk merekayasa kehidupan sosial guna
mendorong terwujudnya pembaharuan di desa.

Meletakkan setiap langkah dalam konteks


rekayasa sosial menjadikan semua tantangan
yang dihadapi bukanlah sebuah alasan untuk
berhenti dan berinovasi, karena menjadi salah
satu tugas utama bagi seorang pemimpin adalah
memahamkan bahwa setiap orang mempunyai
tugas kesejarahan untuk menjadi pemimpin
setidaknya bagi diri mereka sendiri.
Meletakkan kepingan langkah dalam konteks
rekayasa sosial sama halnya dengan menjadikan
perubahan tersebut sebagai bagian dari
permainan catur (chess), di mana pemimpin tidak
memposisikan dirinya sebagai raja, patih, perwira
maupun pion, akan tetapi pemimpin harus keluar
dari papan catur tersebut dan berlaku sebagai
pemain catur dan bukan sebagai bidak.

Bidak catur yang sedang kita mainkan


adalah ibarat gagasan perubahan dengan raja,
patih, perwira maupun pion sebagai agen agen
perubahan yang memainkan peran dan fungsinya
masing-masing. Sedangkan bidak catur di sisi
yang berhadapan dengan bidak catur yang
sedang kita mainkan adalah ibarat kondisi status
quo yang pada saat ini sedang berjalan, yang
biasanya enggan menerima perubahan.

Rekayasa sosial adalah upaya untuk


melahirkan sekaligus memerankan setiap
agen perubahan dalam melawan keberadaan
status quo. Kadang langkah kita membuahkan
perubahan berarti, tetapi tidak jarang pula kita
harus menarik kembali bidak-bidak catur untuk

46 WAHYUDI ANGGORO HADI


kemudian menyusun langkah dan strategi yang
baru. Bahkan, terkadang pula raja kita terjepit
oleh karena sekak mat dari bidak lawan. Akan
tetapi, hal ini tidaklah kemudian menjadikan kita
baperan atau bahkan putus asa, karena sejatinya
yang disekak mat bukanlah diri kita, tetapi
gagasan, strategi serta pendekatan kita dalam
mendorong lahirnya pembaharuan.

Meletakkan segala hal dalam


konteks rekayasa sosial, menjadikan
kita mampu untuk menerima
kegagalan dengan tetap tersenyum
sembari kembali menata bidak-bidak
catur untuk memulai permainan
baru, gagasan yang baru dengan
langkah dan strategi yang baru pula.

Pun demikian sebaliknya mampu menerima


setiap keberhasilan dari perubahan yang kita
gagas dengan datar serta minim ekspresi

JANGAN TINGGALKAN DESA 47


kepuasan, karena sejatinya yang menang
hanyalah gagasan kita dan bukan diri kita,
yang kemudian hal ini menjadikan kita untuk
menyegerakan untuk menata kembali bidak
catur demi membangun gagasan gagasan baru
yang dapat mendorong lahirnya pembaharuan
sosial.

Hal ini dapat memberikan pemahaman bahwa


betapa pentingnya kepemimpinan diletakkan
dalam konteks rekayasa sosial, karena hanya
dengan demikianlah kita akan mampu mengatasi
setiap tantangan yang dihadapi dari setiap upaya
mengubah kondisi faktual menjadi kondisi yang
diharapkan.

***

48 WAHYUDI ANGGORO HADI


Kirab Hari Jadi Kota Bantul

Upacara bendera HUT RI ke-73


BAB 5

Tantangan Layanan
Publik

50 WAHYUDI ANGGORO HADI


S
etiap perubahan senantiasa terselip
tantangan di dalamnya, di mana untuk
mengelola tantangan perubahan tersebut,
diperlukan waktu untuk mengubahnya.

Jikalau keduanya kita letakkan dalam sebuah


kurva, maka terbentuklah suatu kurva waktu
versus tantangan, di mana waktu bertindak
sebagai absis yang berada pada sumbu x yang
serupa dengan garis mendatar dan tantangan
merupakan ordinat yang berada pada sumbu y
yang serupa dengan garis tegak lurus.

Bila diilustrasikan akan menjadi sebagaimana


berikut:
Gambar: Kurva Waktu vs Tantangan

Di awal gagasan perubahan didengungkan,


muncullah beragam tantangan sebagai reaksi
atas gagasan tersebut, semakin kuat gagasan
perubahan didorong, semakin keras pula
tantangan yang akan dihadapi sampai kemudian
mencapai puncaknya, saat momen puncak itu
sudah tercapai, bobot tantangan akan berkurang
dengan sendirinya.

Demikian halnya dalam membangun


suatu kultur baru dalam birokrasi pemerintah.
Sebagaimana umumnya birokrasi pemerintahan,

52 WAHYUDI ANGGORO HADI


kita sering berhadapan dengan kultur birokrasi
yang lamban, korup, tidak transparan dan bias
kepentingan elit tak terkecuali dengan kultur
birokrasi pemerintahan desa.

Bukan dalam rangka untuk memberikan


afirmasi, akan tetapi buruknya kultur birokrasi
pemerintahan desa mempunyai perbedaan yang
mendasar jika dibandingkan dengan kondisi di
lingkungan birokrasi pemerintahan supra desa.

Setidaknya, ada dua alasan yang mendasar


pertama, terhitung sejak dikeluarkanya UU
No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa, pemerintah desa hanyalah suatu unit
administratif dalam lingkup geografis yang
menjadi wilayahnya.

Dengan meminjam istilah dari Prof. Sutoro


Eko, bahwa ada upaya ‘negaraisasi’ atas desa
melalui undang-undang tersebut, dimana
hal ini menyebabkan menciutnya peran desa
khususnya dalam aspek pelayanan publik.
Dengan menjadikan desa hanya sebagai unit
administratif terendah maka lingkup pelayanan
publik di desa hanyalah sebatas pelayanan

JANGAN TINGGALKAN DESA 53


administrasi publik, sedangkan pelayanan barang
dan jasa publik sebagai dimensi dari pelayanan
publik lainnya, kewenangannya diambil alih oleh
pemerintah supra desa. Yang dengan demikian,
selama puluhan tahun desa dimandulkan peran
sosiologisnya.

Konsekuensi dari cara pandang negara


terhadap desa ini adalah adanya pembiaran
oleh negara, puluhan tahun desa dibiarkan dan
tidak diurusi oleh negara maka menjadi wajar
kultur birokrasinya rusak. Hal yang mungkin bisa
mengkonfirmasi atas kondisi ini, adalah tidak
adanya upaya peningkatan kapasitas aparatur
pemerintah desa secara berkelanjutan oleh
pemerintah supra desa. Upaya negaraisasi ini
terus berlangsung sampai dengan tumbangnya
rezim orde baru di pertengahan tahun 1998.

Pasca reformasi, cara pandang negara


terhadap desa sedikit bergeser, meskipun telah
ada upaya untuk mengembalikan kedaulatan
desa melalui Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 yang kemudian digantikan dengan Undang-
Undang No. 32 tahun 2004, akan tetapi secara

54 WAHYUDI ANGGORO HADI


umum didalam cara pandang negara terhadap
desa di fase reformasi ini tersimpan semangat
untuk melakukan liberalisasi di desa di mana
pendekatan negara yang digunakan dalam
mendukung gerak laju pembangunan di desa
adalah Community Development Driven (CDD)
yang secara sederhana mengasumsikan bahwa
karena birokrasi dianggap lemah dan bobrok,
maka agar pembangunan ini tetap berlangsung
maka yang diperkuat adalah entitas sosialnya,
yang kemudian diharapkan kelompok swadaya
masyarakat yang dibentuk bisa berperan sebagai
prime mover menggantikan peran pemerintah
desa.

Dalam konteks ini, sekali lagi


entitas politik yang ada di desa yaitu
pemerintah desa dilemahkan.

Dan yang kedua, sulitnya mengubah kultur


birokrasi pemerintahan desa disebabkan oleh
karena dalam pemerintahan desa tidak dikenal

JANGAN TINGGALKAN DESA 55


Parade Nusantara dalam event Rembug Desa Nasional 2018 di Kampoeng Mataraman.
dengan sistem penjenjangan karir, yang kemudian
menyebabkan aparatur pemerintahan desa tidak
memperoleh manfaat langsung atas membaiknya
kultur birokrasi tersebut.

Seorang perangkat desa yang masuk


sebagai seorang staf desa misalnya, meski yang
bersangkutan telah puluhan tahun mengabdi
dan bekerja dengan kinerja baik sekalipun, pada
saatnya memasuki masa purna tugas yang
bersangkutan tetap tercatat sebagai seorang staf.

Kedua permasalahan mendasar itulah yang


kemudian menjadikan upaya membangun kembali
kultur birokrasi pemerintahan desa memperoleh
tantangan yang tidak ringan.

Pengkerdilan dimensi pelayanan publik di desa


dengan hanya mengurusi pelayanan administrasi
publik saja, melahirkan persepsi di dalam benak
perangkat desa bahwa pelayanan publik adalah
sama dengan pelayanan administrasi publik saja,
sehingga ketika pulang awal dengan alasan sudah
tidak ada pekerjaan oleh karena tidak adanya
lagi warga desa yang membutuhkan pelayanan
administrasi publik memperoleh permakluman,

58 WAHYUDI ANGGORO HADI


ataupun kalau pada akhirnya muncul pemahaman
bahwa tidak perlu memperbaiki kinerja oleh karena
hal tersebut tidak kemudian menjadikannya naik
pangkat menjadi sesuatu yang bisa diterima.

Menjawab semua tantangan tersebut di atas,


sejak awal periode kepemimpinan, saya berupaya
untuk menata ulang tata kelola pemerintahan
desa Panggungharjo melalui reformasi birokrasi
menjadi prioritas pembangunan.

Upaya untuk meletakan dasar-dasar reformasi


birokrasi dilakukan dengan cara mengembangkan
pola hubungan yang baru antara pemerintah
desa dan warga desa dengan cara memperluas
dimensi pelayanan publik sehingga mencakup
juga pelayanan atas barang dan jasa publik.

Selama barang dan jasa tersebut menjadi


kebutuhan publik wajib bagi negara untuk
memberikan pelayanan, sehingga ketika seorang
anak tidak bisa sekolah karena keterbasan biaya,
seorang ibu hamil tidak bisa memperoleh layanan
kesehatan secara layak, sampah berserakan dan
warga desa gagal membangun mekanisme atau
tata cara untuk menyelesaikan permasalahan

JANGAN TINGGALKAN DESA 59


social tersebut serta tiadanya bantuan dari
pihak swasta untuk membantu warga desa
menyelesaikan permasalahan sosial tersebut,
hukumnya menjadi wajib bagi pemerintah untuk
hadir dan menyelesaikan. Karena pendidikan,
kesehatan, lingkungan hidup dan persoalan lain
yang menjadi hajat hidup orang banyak adalah
bagian dari barang dan jasa publik yang menjadi
domain dari pelayanan publik.

Hal yang demikian ini dimaksudkan agar antara


pemerintah desa dan warga desa hubungannya
tidak hanya lagi sebatas hubungan administratif
saja, tetapi melingkupi atas segala hal yang
menjadi kebutuhan dan permasalahan sosial
yang ada di desa.

Mindset aparatur pemerintah desa yang


sudah sejak lama memiliki pemahaman bahwa
pelayanan publik adalah sama dengan pelayanan
administrasi publik saja tentunya gagap
ketika muncul tuntutan baru untuk juga bisa
menghadirkan pelayanan barang dan jasa publik.

60 WAHYUDI ANGGORO HADI


Parade Senja Upacara Rutin tanggal 20.
Dan tentunya hal kondisi semacam ini tidaklah
mungkin bisa dengan segera berubah. Yang oleh
karenanya dalam rangka untuk membangun pola
hubungan yang baru tersebut, perlu dilakukan
penyesuaian tata kelembagaan desa dengan
cara memberdayakan lembaga-lembaga desa
sekaligus dalam rangka untuk membuka ruang
partisipasi dan mendorong proses pelembagaan
partisipasi.

Oleh karenanya, sejak itulah dibentuklah


lembaga-lembaga desa guna membantu
pemerintah desa dalam menjalankan sebagian
kewenangan pemerintah desa.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Panggung


Lestari menjadi lembaga pertama yang didirikan
oleh pemerintah desa Panggungharjo guna
membantu pemerintah desa dalam menyelesaikan
masalah persampahan dan lingkungan hidup
lainnya.

Menyusul kemudian Badan Pelaksana Jaring


Pengaman Sosial (Bapel JPS), Lembaga Mediasi
Desa (LMD), Lembaga Pengelola Desa Budaya
Bumi Panggung, Lembaga Pengelola Sistem

62 WAHYUDI ANGGORO HADI


Informasi Desa, Sanggar Anak Desa, Dewan
Masjid Desa, Forum Pengurangan Risiko Bencana
dan beberapa lembaga desa lainnya.

Keberadaan lembaga lembaga


desa tersebut sejatinya menjalankan
sebagian fungsi pemerintah desa,
khususnya untuk membantu
pemerintah desa dalam memberikan
pelayanan atas barang dan jasa
publik yang selama ini belum mampu
dijalankan sendiri oleh aparatur
pemerintah desa.

Baru kemudian membangun kultur birokrasi


pemerintahan desa dengan cara mengembangkan
system penggajian berbasis kinerja, di
mana perangkat desa yang berkinerja baik
berkesempatan untuk memperoleh pendapatan
yang baik pula, demikian sebaliknya.

JANGAN TINGGALKAN DESA 63


Angkringan Budaya pada pembukaan Lorong Budaya Kring Utara Desa Panggungharjo
dalam event Hari Jadi Ke-70 Desa Panggungharjo di Krapyak Wetan.
Dalam rangka untuk menerapkan sistem
penggajian berbasis kinerja tersebut dilakukan
analisis jabatan, analisis beban kerja, penetapan
kinerja, pengukuran kinerja dan memberikan
tambahan berupa tunjangan kinerja. Dari analisis
jabatan ini pula, dapat diketahui persyaratan
minimum yang dipersyaratkan bagi seseorang
untuk menduduki suatu jabatan.

Sebagai contoh, di Panggungharjo untuk


dapat menduduki jabatan sebagai seorang kepala
dusun, idealnya setidaknya lulusan diploma,
secara kompetensi setidaknya memahami
proses perencanaan partisipatif, pengelolaan
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat.
Sehingga sejak tahun 2015, pemerintah desa
menugas-belajarkan tujuh orang perangkat
desanya untuk kuliah di STPMD ‘APMD’
Yogyakarta.

Lingkungan kerja juga merupakan salah


satu elemen penting yang dibutuhkan dalam
membangun kultur birokrasi pemerintahan
desa yang baru, salah satunya adalah dengan
memerhatikan tata letak ruang kerja.

66 WAHYUDI ANGGORO HADI


Ketika ruang pelayanan desa Panggungharjo
dirubah sedemikian hingga hanya memiliki satu
buah pintu, di mana hal itu dimaksudkan agar
jelas arus keluar masuknya perangkat desa
sehingga dapat mencegah niatan untuk pulang
awal sebelum waktu kerja berakhir.

Walaupun ide ini nampak sederhana, namun


dalam mewujudkannya tak semudah yang saya
kira. Buktinya, masih saja ada oknum perangkat
desa yang curi-curi waktu untuk meninggalkan
ruang kerja saat masih dalam jam kerja.

Terselenggaranya tata kelola pemerintahan


desa yang baik adalah yang mampu
menyelenggarakan roda pemerintahan secara
bersih, transparan dan bertanggung jawab. Bila
hal itu bisa tercapai, maka untuk mewujudkan
masyarakat Panggungharjo yang demokratis,
mandiri dan sejahtera serta berkesadaran
lingkungan bukan sekadar mimpi.

Bisa kita lihat, front office desa Panggungharjo


telah berubah secara total. Warga desa bahkan
secara langsung bisa merasakan sebuah
perubahan besar yang nyata.

JANGAN TINGGALKAN DESA 67


Di mana, tak ada lagi yang namanya loket-
loket pelayanan yang tertutup, sempit, apalagi
pengap. Selain itu, hal paling krusial adalah tak ada
lagi adanya ‘ruang-ruang’ yang memungkinkan
terjadinya perilaku pungutan liar atau pungli
dengan leluasa.

Ruang pelayanan juga menjadi


lebih bersih, nyaman, dan memiliki
pendingin udara untuk kenyamanan
dalam bekerja.
Selain itu, juga dilengkapi dengan
deretan kursi untuk warga yang
sedang antri mengurus sesuatu.
Tak hanya itu, ada juga rak buku
yang dipenuhi beragam koleksi
buku bacaan hasil sumbangan dari
berbagai kelompok masyarakat yang
bisa dimanfaatkan sembari menunggu
antrian atau sekadar bersantai.

68 WAHYUDI ANGGORO HADI


Juga, terdapat standing banner berisi
pengumuman bahwa semua pelayanan publik di
Panggungharjo tidak dipungut biaya.

Bahkan, kalau kita perhatikan, kondisinya


seperti di customer service yang ada di sebuah
bank, di mana warga dan petugas kelurahan
dibatasi oleh pemisah yang berfungsi sebagai
meja panjang terbuka.

Semua petugas bisa melihat pekerjaan satu


sama lain sebagaimana warga yang datang juga
bisa menyaksikan apa yang dikerjakan para
perangkat desa.

Demikianlah salah satu fragmen bagaimana


mengelola tantangan layanan publik di tingkat
desa. Satu pelajaran penting yang bisa dipetik
adalah guna memenangkan sebuah tantangan
seratus persen tergantung kepada karakter
kepemimpinan yaitu seberapa kuat seorang
pemimpin mengalahkan tantangan, adapun
ketika tantangan sudah mulai menurun, maka
yang harus dilakukan adalah sebuah sistem untuk
mengunci perubahan.

JANGAN TINGGALKAN DESA 69


Pengibaran bendera start Jalan Sehat PKK Desa Panggungharjo dalam
event peringatan Hari Kartini 2018 di Kampoeng Mataraman.
Berubahnya kebiasan dari sebagian perangkat
desa yang telah mulai mengikuti ketentuan waktu
kedatangan dan kepulangan kemudian dikunci
dengan diberlakukannya sistem penggajian
berbasis kinerja.

Sehingga, mau tidak mau semua perangkat


desa mentaati ketentuan jam kerja, mau tidak
mau semua perangkat desa perlahan mulai
meningkatkan kinerjanya untuk setidaknya
memperjuangkan kepentingan untuk memperoleh
peningkatan kesejahteraan bagi diri mereka.

***

72 WAHYUDI ANGGORO HADI



Semakin kuat gagasan
perubahan didorong, semakin
keras pula tantangan yang
akan dihadapi sampai kemudian
mencapai puncaknya. Akan
tetapi, saat momen puncak
itu sudah tercapai, bobot
tantangan akan berkurang
dengan sendirinya.


JANGAN TINGGALKAN DESA 73
BAB 6

Kepercayaan
& Keteladanan

74 WAHYUDI ANGGORO HADI


E
fektivitas pemerintahan desa sangat
tergantung pada satu hal: dukungan
kepercayaan warga. Karena partisipasi dan
dukungan warga desa kepada pemerintah desa
hanya lahir dari sebuah kepercayaan. Partisipasi
mempunyai korelasi positif dengan kepercayaan,
semakin tinggi tingkat kepercayaan, semakin
mudah pula partisipasi dilahirkan, sehingga hal
pertama yang harus dilakukan dalam rangka
untuk membangun partisipasi adalah dengan
mengembalikan kepercayaan warga desa, karena
pada saat ini kita sedang hidup dalam situasi
di mana warga negara sudah tidak lagi percaya
kepada negara.
Padahal, kunci kemandirian desa terletak
pada seberapa besar kapasitas sosial yang
disumbangkan sebagai modal sosial sebagaimana
yang kita pahami sebagai partisipasi.

Kepercayaan warga desa sudah pasti


hanya bisa diraih dengan kemampuan birokrasi
desa yang menyentuh kebutuhan warga serta
pemerintahan desa yang bebas beban politik,
buah dari pemilihan kepala desa yang diraih
melalui proses yang bebas dari politik uang.

Membangun kepercayaan harus dimulai


dari hal yang paling mendasar, yakni proses
pemilihan kepala desa. Proses politik yang dapat
memenuhi prasyarat bagi calon kepala desa untuk
membangun kapasitas politiknya, proses politik
yang terbebas dari politik uang, karena kapasitas
politik yang sehat hanya lahir dari sebuah proses
politik yang sehat pula.

Pemerintah merupakan salah satu aktor


negara yang berperan sebagai prime mover
yang mempunyai fungsi untuk mengkerangkai ke
mana arah pembangunan akan dituju. Yang oleh
karenanya di dalam pemerintahan dibutuhkan

76 WAHYUDI ANGGORO HADI


sosok pemimpin yang mempunyai kapasitas
politik yang cukup sehingga mampu mengarahkan
perubahan dengan menjalankan program program
kolektif yang menjadi kepentingan bersama
secara berkelanjutan.

Sebagai ilustrasi bagaimana


kepercayaan menjadi prasyarat
bagi efektifnya sebuah pemerintahan
berjalan dan juga menjadi
prasyarat lahirnya partisipasi,
mari kita melihat permasalahan di
Panggungharjo.

Di sisi pemerintah desa Panggungharjo, jumlah


perangkat desanya sebanyak 38 orang, dengan
pendidikan rata-rata sekolah menengah dan
hanya tiga puluh persen saja yang mengenyam
pendidikan tinggi.

Pada tahun 2018 mengelola anggaran hanya


senilai Rp5,6 miliar. Dan di sisi yang lain, warga

JANGAN TINGGALKAN DESA 77


Penerimaan poster kolaborasi BangkitArise (Seniman Jogja & Amerika) dalam
event Nonton Bersama Piala Dunia 2018 di Kampoeng Dolanan.
desa Panggungharjo berjumlah 25.727 jiwa
dengan pendapatan warga desanya secara
kumulatif sebesar Rp86 miliar serta dengan
jumlah penduduk yang mengenyam sampai
dengan pendidikan tinggi lebih dari seribu orang.

Yang menjadi pertanyaanya adalah


bagaimana mungkin pemerintah desa yang
kapasitasnya jauh lebih kecil jika dibandingkan
dengan warga desanya mampu mengelola dan
mengatur warga desa bila hal tersebut dilakukan
tanpa berlandaskan kepercayaan?

Kepercayaan hanya lahir dari


sebuah keterbukaan, sehingga seiring
dengan proses meletakan dasar dasar
reformasi birokrasi, membangun
akuntabilitas dan transparansi atas
apa yang dilakukan oleh pemerintah
desa menjadi hal mendasar.

80 WAHYUDI ANGGORO HADI


Dalam hal membangun akuntabilitas, bermitra
dengan BPKP dalam rangka untuk melakukan kaji
ulang atas dokumen RPJMDes sekaligus dalam
rangka untuk menyusun mekanisme pengendalian
internal merupakan sebuah langkah strategis
sekaligus membingungkan bagi beberapa pihak.

Bagaimana tidak, di saat banyak institusi


pemerintah menghindari bersinggungan dengan
lembaga auditor, desa Panggungharjo malah
melakukan sebaliknya.

Mengingat pengelolaan dokumentasi dan


arsip merupakan salah satu elemen kunci dalam
upaya untuk membangun akuntabilitas maka
bersamaan dengan proses asistensi dengan BPKP,
pemerintah desa Panggungharjo juga membangun
kemitraan dengan Kantor Arsip Daerah guna
membantu pemerintah desa membangun system
arsip desa.

Upaya membangun transparansi dilakukan


dengan cara mendistribusi informasi sampai
kelevel warga dengan menggunakan berbagai
platform yang dikembangkan melalui Sistem

JANGAN TINGGALKAN DESA 81


Informasi Desa. Berbeda dengan desa yang lain,
pengelolaan informasi desa tidak dilakukan oleh
perangkat desa, akan tetapi Sistem Informasi
Desa ini dikelola oleh sebuah lembaga desa di
mana yang bertindak selaku pengurus adalah
warga desa, hal ini di samping dalam rangka
untuk membuka ruang partisipasi sekaligus
dalam rangka untuk menjaga agar informasi yang
disampaikan kepada publik tidak bias kepentingan
elit desa.

Dan upaya untuk membangun demokratisasi


informasi di desa Panggungharjo memperoleh
momentum puncaknya ketika pada tahun 2017
ditetapkan bahwa semua informasi yang dikelola
oleh pemerintah desa adalah informasi publik
selain yang dikecualikan menurut undang-undang,
sehingga sejak saat itu selain data kependudukan
dan data asset warga desa, di Panggungharjo,
semua informasi adalah informasi publik.

Menggerakkan sebuah perubahan positif


akan menghasilkan sebuah energi yang dapat
mendorong orang lain dan lingkungan di sekitarnya
mengikuti gerakan tersebut. Agar gerakan

82 WAHYUDI ANGGORO HADI


JANGAN TINGGALKAN DESA 83
perubahan tersebut diamini serta didukung tidak
perlu harus dengan perintah ataupun peraturan
tertulis, karena senyatanya yang dilihat bukanlah
perkataan ataupun peraturan tersebut, tetapi
ada tidaknya keteladanan yang ditunjukan oleh
seorang pemimpin.

Apalagi jika keteladanan tersebut terlihat


dalam hal-hal yang sifatnya sederhana tetapi
mendasar seperti misalnya kejujuran, kebersihan,
dan disiplin waktu kerja. Nyatanya, hal-hal
sederhana memang tidak pernah mudah.

Kejujuran dalam ranah sekecil apa pun harus


ditegakkan, karena hal ini dapat mencegah
berkembangnya perilaku koruptif yang telah
membobrokkan bangsa.

Hal ini terlihat dari berapa kali, pemerintah


desa menolak gratifikasi yang diberikan oleh pihak
pihak yang berkepentingan dengan pemerintah
desa, dan hal ini senantiasa dikabarkan kepada
warga desa untuk sekadar menyampaikan pesan
bahwa perilaku koruptif sekecil apa pun harus
dilawan.

84 WAHYUDI ANGGORO HADI


Dalam ranah kebersihan, membersihkan toilet
misalnya. Toilet adalah tempat yang sering kita
kunjungi setiap hari, akan tetapi kepedulian yang
lemah akan menghasilkan toilet yang kotor.

Apalagi, bila toilet tersebut adalah toilet


mushalla yang ada di kelurahan. Tentu akan
sangat “mengganggu” banyak jamaah yang
hendak melakukan ibadah.

Bila ingin toilet itu bersih, sederhana saja.

Yang diperlukan hanyalah membersihkannya


secara rutin. Bukan demi mencari muka, tetapi
demi kenyamanan pribadi karena kita jugalah
yang akan menggunakannya.

Akan tetapi, dalam ranah kepemimpinan, bila


hal itu dilakukan, maka itu akan menjadi teladan
bagi orang orang yang dipimpin dan hal-hal
seperti itu akhirnya akan dijaga besama.

Ranah berikutnya adalah disiplin waktu kerja,


di mana semua desa pasti merasakan betapa
susahnya mengatur hal yang satu ini.

JANGAN TINGGALKAN DESA 85


Dalam situasi di mana disiplin
kerja bukan menjadi ukuran kinerja,
mengharapkan semua perangkat desa
datang dan pulang kerja tepat waktu
ibarat pungguk merindukan bulan,
hampir mustahil.

Sehingga, dalam mengatasi hal tersebut


sebelum pemberlakuan sistem penggajian
berbasis kinerja maka keteladananlah yang
pertama kali harus dilakukan.

Itulah mengapa dalam tiga tahun pertama,


saya sebagai pemimpin setiap hari datang tepat
waktu dan sudah standby di ruangan mulai pukul
08.00 dan tak akan pulang sampai sekurangnya
pukul 16.00. Yang pada akhirnya para aparatur
pemerintah desa yang sebelumnya bisa pulang
sewaktu-waktu dengan tanpa beban, tentu akan
perlahan sungkan. Yang kemudian setelah satu
dua orang perangkat desa sudah mulai berubah,
maka tinggal membangun sistem pengunci yang

86 WAHYUDI ANGGORO HADI


bisa memaksa 36 orang perangkat desa lainnya
ikut serta berubah.

Sebagai penutup, bahwa hanya


kepercayaanlah yang dapat menjadikan suatu
kepemimpinan efektif membawa perubahan,
dan tidak ada namanya kepemimpinan tanpa
keteladanan. Kepercayaan dan keteladanan
adalah soal sederhana dan mendasar, namun
menemukan kebaikan saat ini justru tidaklah
mudah.

***

JANGAN TINGGALKAN DESA 87


Penutupan Rembug Desa Nasional 2018 di Kampoeng Mataraman.

Menggerakkan sebuah perubahan
positif akan menghasilkan sebuah
energi yang dapat mendorong
orang lain dan lingkungan di
sekitarnya mengikuti gerakan
tersebut.

JANGAN TINGGALKAN DESA 89


BAB 7

Kapasitas Dasar
Pemimpin Desa

90 WAHYUDI ANGGORO HADI


K
ualitas kepemimpinan dari seorang
pemimpin di desa, salah satunya dapat
dilihat dari kemampuannya untuk
menggunakan kewenangan politiknya dalam
menentukan arah kebijakan pembangunan.
Kemampuan pemimpin dalam mengelola
kewenangan politik tersebut sangat tergantung
dari kapasitas politik yang dimilikinya.

Arah kebijakan yang baik hanya lahir


dari sebuah kapasitas politik yang baik pula.
Kapasitas politik yang baik hanya bisa dibangun
jika seorang kepala desa memenuhi prasyarat
yang dibutuhkan agar dia berkesempatan
mengembangkan kapasitasnya. Prasyarat itu
terletak pada proses politik yang menjadikan dia
sebagai pemimpin desa.

Ketika seorang pemimpin desa terpilih melalui


sebuah proses politik yang sehat sehingga
mandat politik yang diperoleh semata-mata
merefleksikan kehendak dan kepercayaan warga
desa dan bukan merupakan mandat politik yang
diperoleh atas dasar pengaruh politik uang, maka
dia telah memenuhi prasyarat untuk memiliki
kapasitas politik yang baik.

Demikian sebaliknya, jika seorang pemimpin


desa terpilih melalui sebuah proses politik yang
bermasalah, maka kapasitas politiknya dapat
dipastikan akan bermasalah dan sulit untuk
mengembangkan kapasitas politiknya secara
baik.

Di samping terpenuhinya prasyarat yang


diperlukan, guna melahirkan kapasitas politik
yang baik, seorang pemimpin desa menurut
Prof. Sutoro Eko setidaknya harus memiliki lima
kapasitas dasar, yaitu Kapasitas Regulasi,
Kapasitas Ekstraktif, Kapasitas Distributif,
Kapasitas Responsif, dan Kapasitas Jaringan.

92 WAHYUDI ANGGORO HADI


Mari kita bahas satu per satu.

Kapasitas Regulasi adalah kemampuan dasar


dari seorang pemimpin dalam memahami tata
aturan yang berlaku sekaligus kemampuan untuk
merumuskan kebijakan dan melahirkan peraturan
di tingkatan desa.

Kapasitas ini dibutuhkan dalam rangka


untuk mengatur kehidupan desa beserta isinya
(wilayah, kekayaan, dan penduduk) berdasarkan
kebutuhan dan aspirasi warga desa. Kapasitas
regulasi ini menjadi kapasitas dasar pertama
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin desa
apalagi dalam konteks UU 6/2014 tentang Desa,
Peraturan Desa merupakan bagian dari produk
hukum negara yang sifatnya mengikat yang oleh
karenanya harus diundangkan.

Kapasitas regulasi ini penting, agar arah


kebijakan yang diambil oleh pemerintah desa
senantiasa berada dalam koridor rule of law di
mana seluruh aspek pemerintahan menjunjung
tinggi supremasi hukum yang dibangun di atas
prinsip keadilan dan kesetaraan.

JANGAN TINGGALKAN DESA 93


Keterangan foto di sini.
Sumber daya yang ada di desa
menjadi modal penting dalam
membangun kemandirian desa,
dibutuhkan kemampuan untuk
mengumpulkan, mengerahkan dan
mengoptimalkan aset-aset tersebut
guna menopang kebutuhan dan
kepentingan pemerintah dan warga
masyarakat desa.

Tidak hanya aset yang berwujud sebagaimana


yang terbentang di alam saja (landscapes) tetapi
aset desa yang tidak berwujud berupa bentang
hidup (lifescapes) dari warga desa seperti
bentang sosial, bentang politik, bentang budaya,
bentang teknologi serta bentang ekonomi harus
didayagunakan sehingga mampu menopang
kebutuhan desa.

Dan kemampuan yang dibutuhkan guna


mendayagunakan semua sumber daya desa
tersebut dan sekaligus menjadi kapasitas dasar
kedua yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin

96 WAHYUDI ANGGORO HADI


desa adalah Kapasitas Ekstraktif. Dan basis
kompentesi yang harus dimiliki bagi seorang
pemimpin agar dapat mengembangkan kapasitas
ekstraktif ini adalah entrepreneurship.

Undang-Undang Desa melalui asas


rekognisinya, mengakui dan menghormati
kewenangan yang telah dimiliki oleh desa jauh
sebelum negara ini terbentuk. Kewenangan
desa yang inheren dengan proses kelahiran desa
tersebut dikenal sebagai kewenangan asli/asal
usul dan kewenangan berskala lokal desa.

Kedua kewenangan tersebut jika diperinci


setidaknya terdapat 120 jenis kewenangan
yang terbagi dalam empat bidang urusan yaitu
pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan,
dan pembinaan kemasyarakatan.

Dengan banyaknya kewenangan tersebut,


tentunya pemerintah desa tidak akan mampu
menjalankan seluruh kewenangan tanpa
memerankan warga masyarakat desa. Sehingga
dibutuhkan kemampuan untuk mendistribusikan
kewenangan tersebut agar kewenangan yang
menjadi substansi dari Undang-Undang

JANGAN TINGGALKAN DESA 97


Desa dapat dijalankan secara optimal dalam
rangka untuk mengelola aset yang ada di desa.
Kemampuan seorang pemimpin desa untuk
membagi kewenangan tersebut disebut sebagai
Kapasitas Distributif.

Kapasitas Distributif ini merupakan kapasitas


dasar ketiga yang harus dimiliki oleh pemimpin
desa jikalau ingin mengembangkan kapasitas
politiknya.

Kapasitas dasar yang keempat yang


harus dimiliki oleh seorang pemimpin desa
adalah Kapasitas Responsif, daya tanggap
atas kebutuhan maupun permasalahan yang
melingkupi warga desa.

Kapasitas ini sangat tergantung intuisi dari


seorang pemimpin, sehingga untuk membangun
kapasitas responsif ini yang diperlukan hanyalah
upaya untuk meningkatkan intensitas pertemuan
dengan warga desa untuk lebih banyak mendengar
dan melihat secara langsung dinamika sosial yang
ada di desa, yang dengan demikian kebutuhan
maupun permasalahan yang dapat diketahui
secara baik sehingga arah kebijakan pemerintah

98 WAHYUDI ANGGORO HADI


Festival Pemuda Desa 2018

desa segaris dengan apa yang dibutuhkan oleh


warga desa.

Permasalahan yang ada di desa sangatlah


banyak dan kompleks, yang tentunya
membutuhkan peran tidak hanya dari pemerintah
desa sendiri, tetapi juga membutuhkan peran
pemerintah supra desa terutama terkait dengan
permasalahan di desa yang menjadi kewenangan
dari pemerintah supra desa.

Di samping itu peran dari aktor negara


lainnya seperti kelompok swadaya masyarakat

JANGAN TINGGALKAN DESA 99


maupun swasta juga harus senantiasa dilibatkan
dalam menyelesaikan permasalahan sosial
yang ada. Karena sejatinya semua aktor negara
baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat
mempunyai kewajiban yang sama dalam hal
menyelesaikan permasalahan negara.

Hal inilah yang menyebabkan seorang


pemimpin desa harus mempunyai kemampuan
untuk berjejaring dengan semua aktor negara.
Kemampuan Jaringan ini merupakan kemampuan
dasar kelima yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin desa.

Dengan kembali mengulang pesan yang


disampaikan oleh Kasman Singodimedjo kepada
H. Agus Salim bahwa “‘jalan pemimpin bukanlah
jalan yang mudah, memimpin adalah menderita”
ternyata pesan ini benar adanya.

Betapa tidak, untuk menjadi seorang


pemimpin yang mempunyai kapasitas politik
yang memadai, prasyarat berupa proses politik
yang baik harus terpenuhi terlebih dahulu, baru
kemudian berkesempatan untuk mengembangkan
kapasitas politiknya lima kapasitas dasar yang

100 WAHYUDI ANGGORO HADI


tentunya untuk memenuhi prasyarat ataupun
untuk bisa memiliki kapasitas dasar sebagaimana
yang telah diuraikan di atas tidaklah mudah.

Kalaupun prasyarat politik dan lima kapasitas


dasar taruh kata sudah bisa dipenuhi oleh
seorang pemimpin desa, ternyata tidak kemudian
lahir kepemimpinan yang transformatif karena
masih terdapat satu aspek lagi yang dibutuhkan
yaitu keteladanan, sehingga secara singkat dapat
disampaikan bahwa kepemimpinan yang baik
hanya lahir dari proses politik yang baik dan dalam
perjalanannya mengembangkan kapasitasnya
dengan memiliki lima kapasitas dasar tersebut,
dan kesemuanya haruslah dibingkai dengan
sebuah keteladanan. Karena sejatinya tidak ada
kepemimpinan tanpa keteladanan.

***

JANGAN TINGGALKAN DESA 101


Kirab Hari Jadi Ke-71 Desa Panggungharjo di Embung Julantoro.
BAB 8

Berikan Desa
Kesempatan

104 WAHYUDI ANGGORO HADI


B
erikan desa kesempatan. Berikan ia hak
untuk berkembang. Dukung setiap praktik
baik yang dilahirkan oleh talenta-talenta
lokal dalam menemu-kenali dan mendayagunakan
setiap potensi yang ada di desa tersebut, entah
berupa landscape ataupun lifescape-nya.

Berikan desa kesempatan. Berikan ia hak


untuk berkembang. Dukung setiap praktik baik
yang dilahirkan oleh talenta-talenta lokal dalam
menemu-kenali dan mendayagunakan setiap
potensi yang ada di desa tersebut, entah berupa
landscape ataupun lifescape-nya.

Enam tahun berkhidmah di desa


Panggungharjo, melahirkan kesadaran bahwa
setiap desa memang seharusnya diberikan
kesempatan untuk berkembang karena memang
sudah menjadi hak desa untuk mandiri.

Kemandirian desa terletak pada kemampuan


desa untuk mengelola kewenangan dan asetnya,
dan keduanya telah memperoleh landasan hukum
melalui Undang-Undang Desa. Dengan demikian,
kehadiran Undang-Undang Desa adalah
momentum untuk mengembalikan kedaulatan dan
kemandirian yang dulunya telah dimiliki oleh desa
karena jika dibandingkan institusi negara pada
kenyataanya desa lebih dulu hadir sebagai sebuah
institusi yang mandiri, hanya kemudian adanya
proses “negaraisasi” menjadikan desa-desa
menjadi subsisten, mempunyai ketergantungan.

Desa hanya dapat mengoptimalkan


kewenangan dan asetnya hanya jika negara
memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada desa untuk mengelolanya, tidak dengan
mengembangkan narasi kecurigaan yang
dibangun dari pandangan negatif bahwa desa
adalah sumber masalah sehingga harus diawasi

106 WAHYUDI ANGGORO HADI


dengan beragam instrumen pengawasan yang
cenderung mematikan inovasi dan kreativitas.

Kampoeng Mataraman misalnya, yang


merupakan salah satu unit usaha dari BUMDes
Panggung Lestari. Kampoeng Mataraman dikemas
untuk menghadirkan nuansa masyarakat agraris
di awal abad XIX dengan mendasarkan pada
tiga aspek yaitu sandang, pangan, dan papan.
Konsep Kampoeng Mataraman dibangun di atas
lahan seluas 6 hektar yang dibagi ke dalam dua
kawasan yakni njaban kampung yang berarti luar
kampung dan njeron kampung yang bermakna di
dalam kampung.

Meski saat ini baru terealisasi konsep njaban


kampung dengan kawasan seluas 1,5 hektar
dengan suguhan nuansa ndeso yang lebih nge-
pop. Akan tetapi, secara bertahap kawasan
njeron kampung akan dihadirkan suasana ndeso
dengan suasana yang lebih jadul.

Kehadiran Kampoeng Mataraman


berangkat dari sebuah kenyataan bahwa Desa
Panggungharjo tidak memiliki bentang alam

JANGAN TINGGALKAN DESA 107


(landscape) yang baik. Tetapi Panggungharjo
dan setiap desa pasti masih memiliki bentang
hidup (lifescape) berupa bentang budaya,
bentang sosial, bentang lingkungan, bentang
teknologi, bentang ekonomi, dan bentang hidup
lainnya.

Kampoeng Mataraman, adalah contoh


bagaimana bentang budaya warga desa
dimanfaatkan secara kreatif guna meningkatkan
kesejahteraan desa dan warganya. Di Kampoeng
Mataraman, untuk memberi suguhan kepada
setiap tamu yang datang dihadirkanlah menu
makanan yang sangat tradisional, seperti sayur
lodeh, oseng genjer, apem, tempe goreng, kacang
rebus, pisang goreng, dan menu tradisional
yang lainnya, yang semuanya dimasak dengan
menggunakan tungku kayu untuk memasaknya.
Bagi orang-orang kota yang terbiasa dengan
kompor, melihat aktivitas memasak seperti ini
akan menghadirkan experience yang tak biasa.

Di Kampoeng Mataraman, terdapat dua


rumah limasan yang dapat dipergunakan untuk
menikmati makanan maupun tempat bersantai

108 WAHYUDI ANGGORO HADI


bersama keluarga dan kolega. Di belakang
joglo utama ada hamparan sawah di mana para
pengunjung bisa mencoba untuk ikut membajak
sawah. Ada pula tempat luas untuk anak-
anak memainkan berbagai macam permainan
tradisional. Ada juga danau kecil dengan suguhan
jembatan melengkung di atasnya. Titik ini adalah
spot foto paling favorit para pengunjung.

Atmosfer di Kampoeng Mataraman membuat


para pengunjung kembali ke suasana desa,
baik dari sisi tempatnya, makanannya, maupun
interaksi sosialnya. Nuansa yang dibangun
memang suasana pedesaan, di mana interaksi
sosial masih sangat kuat dan sangat cair. Ini
menjadi oase bagi orang kota untuk kembali ke
desa.

Sekarang unit usaha BUMDes ini jadi tempat


bergantung puluhan tenaga kerja yang berasal
dari kelompok marjinal seperti perempuan kepala
keluarga, lansia, penyandang disabilitas, pemuda
putus sekolah, dan lain-lain.

Nah, inilah menariknya.

JANGAN TINGGALKAN DESA 109


Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa warga
desa yang termasuk dalam golongan marjinal di
atas, merupakan kelompok tenaga kerja yang
relatif tidak cukup bisa diterima di pasar tenaga
kerja umum, sehingga diterimanya mereka sebagai
karyawan di Kampoeng Mataraman adalah
salah satu cara mewujudkan prinsip BUMDes
dalam menjalankan sebagian fungsi pemerintah
desa. Sehingga, perilakunya BUMDes harus
mencerminkan perilaku negara bukan perilaku
swasta di mana bukan bertumpu pada profit,
akan tetapi jauh lebih mementingkan benefit atau
kebermanfaatan bagi masyarakat.

Oleh karena berprinsip seperti itu, kesempatan


terbukanya lapangan kerja jauh lebih penting
daripada hanya sekadar efisiensi biaya. Mereka
yang bekerja di Kampoeng Mataraman, pada saat
penerimaan tidak pernah ditanya lulusan mana,
ijazahnya apa, usianya berapa. Selama mereka
mau bekerja, maka akan difasilitasi untuk bekerja.

Masalah kompetensi memang jadi bagian


proses yang senantiasa ditingkatkan. Ini bagian
dari upaya memberdayakan, menampung dan

110 WAHYUDI ANGGORO HADI


menyelesaikan masalah sosial. Pengunjung
pun kemudian mampu mengafirmasi kelemahan
pelayanan yang belum terstandardisasi. Malahan,
mereka mengapresiasi karena tidak banyak yang
melakukan itu meskipun business process-nya
masih belum benar-benar sesuai standar yang
biasa didapatkan di tempat lain.

Hadirnya Kampoeng Mataraman


pun jadi bukti bahwa ketika desa
diberi kesempatan untuk membangun,
mereka mampu mengembangkan diri.

Persepsi yang sering kita dengar bahwa


orang-orang desa itu bodoh, identik dengan
keterbelakangan, kemiskinan dan sebagainya itu
gugur oleh karena adanya praktik baik yang sudah
dilakukan oleh Kampoeng Mataraman.

Praktik baik lainnya dari pemanfaatan bentang


hidup warga desa dalam upaya peningkatan
kesejahteraan warga desa melalui BUMDes

JANGAN TINGGALKAN DESA 111


Suasana Kampoeng Mataraman.
Suasana Kampoeng Mataraman.
adalah pengelolaan sampah yang dilakukan sejak
pertama kali BUMDes Panggung Lestari didirikan
pada bulan Maret tahun 2013.

Aktivitas dari 27.000 jiwa warga desa yang


mendiami wilayah Panggungharjo, setiap harinya
menghasilkan 56 meter kubik sampah, yang
apabila sampah tersebut hanya di ambil dari
masing-masing rumah tangga untuk kemudian di
kirim ke TPA, biaya yang dibutuhkan lebih kurang
4,1 juta rupiah setiap harinya. Biaya tersebut
meliputi biaya sewa kendaraan, biaya tenaga
kerja, biaya bahan bakar maupun biaya retribusi
di TPA, yang artinya bahwa biaya pengelolaan
sampah di Panggungharjo relatif mahal.

Tingginya biaya pengelolaan sampah


tersebut mendorong lahirnya perilaku warga
desa yang membuang sampah sembarang yang
kemudian pada masa itu di desa Panggungharjo
terdapat banyak tempat pembuangan sampah
liar. Banyaknya tempat pembuangan sampah
liar tersebut disamping membawa dampak bagi
lingkungan dan kesehatan juga berperan dalam
melahirkan berbagai macam masalah sosial,

116 WAHYUDI ANGGORO HADI


khususnya bagi warga yang berada di sekitar
tempat pembuangan sampah liar tersebut berada.

Dengan bermodalkan awal sebesar 37 juta


rupiah, pada tanggal 25 Maret 2013, pemerintah
desa Panggungharjo mendirikan badan usaha
milik desa Panggung Lestari yang bergerak
pada jasa pengelolaan lingkungan yang salah
satu tujuan pendiriannya adalah dalam rangka
untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang
melingkupi warga desa.

Selang lima tahun kemudian, saat ini


setidaknya unit usaha pengelolaan sampah
ini telah berhasil mengelola pendapatan
bulanan antara Rp30-40 juta per bulan dengan
mempekerjakan belasan warga desa yang terbagi
ke dalam dua kelompok pekerjaan: ada yang
bertindak sebagai petugas penjemput sampah
dan sebagian yang lain berperan sebagai petugas
pemilah sampah.

Menariknya, keberadaan para petugas penarik


sampah tersebut, di samping melakukan hal-hal
teknis terkait dengan penjemputan sampah,
mereka juga diperankan sebagai representasi

JANGAN TINGGALKAN DESA 117


dari pemerintah desa yang senantiasa menyapa
warga desa.

Para petugas penjemput sampah tersebut


berperan sebagai mata dan telinga pemerintahan
desa. Aspirasi warga dapat diserap, salah
satunya, dari interaksi petugas pengumpul
sampah dengan warga saat mengambil sampah.

Pengelolaan sampah melalui pendekatan


socio enterprise oleh BUMDes ini adalah salah
satu contoh pemanfaatan bentang sosial warga
desa sebagai salah satu potensi ekonomi yang
memberdayakan.

BUMDes Panggung Lestari juga merupakan


satu satunya produsen minyak nyamplung yang
secara luas dikenal sebagai Tamanu Oil.

Minyak ini merupakan komoditas internasio-


nal yang mempunyai nilai jual yang tinggi. Di situs
amazon.com setiap 30 ml ditawarkan dengan
harga antara 12-14 US dollar. Unit produksi
minyak nyamplung yang dikelola oleh BUMDes
ini mampu menghasilkan lebih kurang 1.000 lliter

118 WAHYUDI ANGGORO HADI


yang kemudian dikirim ke pasar internasional
melalui satu mitra yang ada di Jawa Tengah.

Menariknya adalah di desa Panggungharjo


tidak mempunyai tanaman nyamplung, akan
tetapi kenapa BUMDes Panggung Lestari
bisa memproduksi minyak nyamplung sampai
ribuan liter setiap tahunnya? Ini adalah
gambaran bagaimana desa Panggungharjo
mampu memanfaatkan bentang teknologi dari
warga desa. Meskipun tidak mempunyai bahan
baku sehingga harus mendatangkan dari luar
wilayah desa Panggungharjo seperti Cilacap,
Kebumen, Purworejo, Banyuwangi bahkan dari
Pulau Madura, tetapi dengan memanfaatkan
kompetensi warga dalam bidang teknologi
tepat guna sehingga mampu merancang suatu
teknologi proses yang mampu mengolah buah
nyamplung menjadi Tamanu Oil yang bernilai
ekonomi yang tinggi.

Terkelolanya segala hal yang ada di desa, baik


bentang alam maupun bentang hidup, hanya bisa
dilakukan jika desa diberikan kesempatan untuk
seluas-luasnya menjalankan hak dan kewenangan

JANGAN TINGGALKAN DESA 119


yang telah di rekognisi melalui Undang-Undang
Desa.

Mengelola desa dalam konteks UU Desa


seharusnya selayaknya permainan sepak bola,
apa pun boleh dilakukan selain yang dilarang,
agar pemain dapat memanfaatkan luas lapangan
bola.

Pemain diperkenankan untuk memasukkan


bola ke gawang lawan dengan gaya apa pun,
mau pakai kaki, mau pakai dada atau mau kepala
sekalipun, diperkenankan asalkan jangan pakai
tangan, jangan offside maupun melakukan
tackling dan pelanggaran lain. Boleh melakukan
apa pun asalkan jangan korupsi, tidak melanggar
hak hak sipil warga desa dan tidak mengatur desa
sebelah. Hanya dengan keleluasaan tersebut
kreativitas dan inovasi lahir dan dapat menemukan
ruang yang kondusif bagi perkembangannya.

***

120 WAHYUDI ANGGORO HADI



Sejatinya,
tidak ada
kepemimpinan
tanpa
keteladanan.


JANGAN TINGGALKAN DESA 121
BAB 9

Membangun Kemandirian
Desa, Menghadirkan
Layanan Negara

122 WAHYUDI ANGGORO HADI


K
eberadaan BUMDes di samping
pendiriannya guna memenuhi amanat
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian,
Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran
Badan Usaha Milik Desa di mana dalam peraturan
tersebut disebutkan bahwa tujuan dari pendirian
BUMDes adalah untuk:

• Meningkatkan perekonomian desa;

• Mengoptimalkan aset desa agar berman-


faat untuk kesejahteraan desa;

• Meningkatkan usaha masyarakat dalam


pengelolaan potensi ekonomi desa;
• Mengembangkan kerja sama usaha antar
desa dan/atau dengan pihak ketiga;

• Menciptakan peluang dan jaringan pasar


yang mendukung kebutuhan layanan
umum warga;

• Membuka lapangan kerja;

• Meningkatkan kesejahteraan masyarakat


melalui perbaikan pelayanan umum,
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi
Desa; dan

• Meningkatkan pendapatan masyarakat


desa dan pendapatan asli desa.

Keberadaan BUMDes juga didirikan dalam


rangka untuk menjalankan sebagian fungsi
pemerintah desa, dalam artian bahwa apa yang
dilakukan oleh BUMDes sejatinya merupakan
bagian dari kewenangan dari pemerintah desa
yang oleh karena kewenangan tersebut tidak
dapat dijalankan sendiri oleh pemerintah desa,
oleh karenanya kewenangan tersebut dilimpahkan

124 WAHYUDI ANGGORO HADI


kepada lembaga desa, lembaga kemasyarakatan
desa maupun organisasi sosial kemasyarakatan
desa termasuk di dalamnya adalah BUMDes.

Dengan konteks tersebut di atas, maka


setidaknya BUMDes harus bisa dipandang dari
setidaknya dalam tiga perspektif, yakni perspektif
ekonomi, sosial, dan politik.

Perspektif pertama, jika dipandang dari


perspektif ekonomi, BUMDes merupakan
badan usaha, sebuah institusi bisnis. Yang oleh
karenanya entrepreneurship bisa digunakan
sebagai basis analisis dalam memahami perilaku
BUMDes dalam menjalankan usahanya.

Misalnya kemampuan desa dalam menemukan


peluang usaha, apakah berbasis potensi ataukah
usaha yang dilakukan tersebut menjadi bagian
dari penyelesaian permasalahan sosial yang
dihadapi oleh warga desa.

Adakah inovasi yang dilakukan agar usaha


yang dijalankan oleh BUMDes berbeda dengan
usaha yang lainnya?

JANGAN TINGGALKAN DESA 125


Festival Pemuda Desa 2018
Pentas Sanggar Omah Dongaji di event Padhang Bulanan Kampoeng Mataraman Ke-2.
Bagaimana dengan manajemen risiko, apakah
sudah terkalkulasi secara baik?

Pun demikian, karena BUMDes merupakan


institusi bisnis, maka perkembangan usahanya
juga bisa dibaca dari siklus hidup usaha. Dengan
menggunakan berbagai parameter, kita bisa lihat
tingkat perkembangan dari BUMDes, apakah baru
berada dalam tahapan mengawali menuju tumbuh
(start up to growth), ataukah tumbuh menuju
dewasa (growth to mature) ataukah dewasa yang
cenderung menua (mature to decline).

Pemahaman atas posisi usaha BUMDes


dalam siklus hidupnya penting untuk dipahami
khususnya bagi pengelola maupun pemerintah
desa sehingga dapat dipetakan kebutuhan
yang diperlukan oleh BUMDes dalam mengelola
usahanya.

Dalam perspektif ekonomi, tahapan yang


paling kritis adalah dalam hal penentuan ide
bisnis, karena sekali kita salah dalam memilih ide
bisnis yang akan dijalankan oleh BUMDes, sulit
bagi BUMDes untuk mengembangkan usahanya.
Ukuran keberhasilan dari BUMDes jika dipandang

128 WAHYUDI ANGGORO HADI


dari perspektif ekonomi adalah seberapa besar
kontribusi usaha BUMDes dalam meningkatkan
pendapatan warga desa dan pemerintah desa.

Perspektif yang kedua adalah sosial. Sebagai


lembaga desa yang menjalankan sebagian
fungsi dari pemerintah desa, mengharuskan
BUMDes mengemban peran pemerintah dalam
menghadirkan negara yang dengan demikian,
perilakunya BUMDes harus juga mencerminkan
perilaku negara.

Perspektif ini penting agar dalam menjalankan


usahanya, BUMDes tidak hadir sebagai pesaing
bagi usaha yang telah dijalankan oleh warga desa,
akan tetapi harus memberikan daya ungkit bagi
perkembangan usaha dan perekonomian warga
desa.

Sebagai lembaga desa yang menjalankan


sebagian fungsi pemerintah desa, BUMDes harus
juga berperan menghadirkan layanan negara
kepada warga desa. Seperti misalnya BUMDes
bisa hadir sebagai instrumen untuk membangun
ketahanan sosial (social security) misalnya
dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi

JANGAN TINGGALKAN DESA 129


warga masyarakat yang berasal dari kelompok
rentan. Hal ini sebagaimana yang diperlihatkan
oleh Kampoeng Mataraman di mana 90% tenaga
kerjanya berasal dari kelompok rentan misalnya,
lansia, perempuan kepala keluarga, penyandang
disabilitas, dan pemuda putus sekolah. Sehingga
dalam perspektif sosial, ukuran keberhasilan
BUMDes terletak pada seberapa besar manfaat
yang diperoleh oleh warga desa.

Perspektif ekonomi menjadikan profit sebagai


ukuran keberhasilan BUMDes sedangkan
perspektif sosial menjadikan benefit sebagai
ukuran keberhasilannya. Sepertinya dua hal yang
kontradiktif akan tetapi ada pendekatan yang
dapat mempertemukan keduanya yaitu socio
entrepreneurship atau kewirausahaan sosial.
Di mana keuntungan tetap diperlukan untuk
memastikan keberlanjutan dan pengembangan
usaha sehingga dapat senantiasa memberikan
manfaat bagi warga desa maupun pemerintah
desa.

Perspektif ketiga yang bisa digunakan untuk


memahami perilaku BUMDes adalah perspektif

130 WAHYUDI ANGGORO HADI


politik, di mana keberadaan BUMDes harus
menjadi bagian penting dalam mewujudkan desa
sebagai arena demokratisasi ekonomi di desa. Di
mana warga desa dapat menjadi pemilik langsung
atas usaha yang dikelola oleh BUMDes.

Di Panggungharjo, keberadaan PT Sinergi


Panggung Lestari adalah sebuah upaya awal
dari jalan panjang mewujudkan BUMDes sebagai
arena demokratisasi ekonomi tersebut.

JANGAN TINGGALKAN DESA 131


Warga desa yang dihimpun melalui Koperasi
Wanita Dewi Kunthi menjadi pemegang atas
lima persen saham perseroan sedangkan dua
pemegang saham lainnya adalah Pemerintah
Desa Panggungharjo selaku pemegang saham
mayoritas yaitu sebesar 60% dan sebesar
tiga puluh lima persen sisanya dimiliki oleh
PT Mertani Inovasi Group selaku perusahaan
inkubator. Dan ditargetkan dalam 5 tahun ke
depan, kepemilikan saham warga desa melalui
koperasi warga desa tersebut secara bertahap
akan meningkat presentasenya.

Diperlukan sebuah rekayasa sosial yang


cukup guna meningkatkan kemampuan dan
kesadaran warga desa untuk dapat menabung dan
berinvestasi. Dan menjadi tugas dari pemerintah
desa selaku pemegang saham mayoritas dan
perusahaan inkubator untuk mendampingi warga
desa meningkatkan kapabilitas ekonominya
dengan melakukan peningkatan kesejahteraan
sekaligus meningkatkan pengetahuan dalam
pengelolaan keuangan (financial literacy).

132 WAHYUDI ANGGORO HADI


Menjadikan BUMDes sebagai alat dalam
rangka meningkatkan kemandirian desa sekaligus
menghadirkan layanan negara bukanlah
sesuatu yang mustahil, jika saja kita senantiasa
memandang BUMDes dengan menggunakan tiga
perspektif tersebut, karena memang demikianlah
adanya.

BUMDes bukanlah institusi usaha an sich,


tetapi BUMDes juga merupakan institusi sosial
dan sekaligus institusi politik yang menjadikan
desa sebagai sebuah arena demokratisasi
ekonomi dan politik lokal.

***

JANGAN TINGGALKAN DESA 133


Penandatanganan kerja sama UCO antara BUMDes
Panggung Lestari dengan PT Tirta Investama
(Danone Klaten).
Peletakan Batu Pertama Co-Working Space Gedhong Rembulan di Kampoeng Mataraman.
138 WAHYUDI ANGGORO HADI
Epilog

S
umpah telah diikrarkan, janji telah
terucapkan. Demi Allah saya bersumpah
untuk menjaga Pancasila dan UUD
1945, menegakkan kehidupan demokrasi,
serta menjalankan tugas sebagai Lurah Desa
Panggungharjo dengan sebaik-baiknya, sejujur-
jujurnya, dan seadil-adilnya.

Jika bukan karena amanah yang telah diberikan


oleh warga desa Panggungharjo, tentulah tiada
keberanian diri ini, seorang faqir, mengangkat
sumpah atas nama Tuhan.

Saya sangat memahami bahwa jalan


pemimpin bukanlah jalan yang mudah. Memimpin
adalah menderita, sebagaimana yang pernah
disampaikan oleh Kasman Singodimedjo kepada
H. Agus Salim, dan demikian pulalah yang
dialami oleh para pemimpin bangsa ini, mulai
dari Prof. Sardjito, Gus Dur, Yap Thiam Hien, RA
Kartini, Jend. Soedirman, Bung Karno, Hatta, KH.
Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, RM. Panji
Sosrokartono ataupun Dewi Sartika.

Kepada beliau para pahlawan


kami, sumpah tersebut kuucap
sebagai wujud kecintaan kami
kepada negeri dan para pemimpin-
pemimpin bangsa ini dan untuk
sekadar mengingatkan bahwa
kemerdekaan bukan diperoleh dengan
cara yang mudah.

Sumpah tersebut juga menjadi wujud


penghormatanku kepada Mbah Lurah Hardjo
Sumarto Mbah Lurah Pawiro Sudarmo, Mbah

140 WAHYUDI ANGGORO HADI


Lurah Broto Asmoro, Mbah Lurah Siti Sremah Sri
Djazuli, Mbah Lurah H. Samidjo atas keberanian
dan keteguhannya menjalani penderitaan
sebagai pemimpin desa kami, yang sejak 24
Desember 1946 terus berjuang dan menorehkan
karya-karya besar guna meletakkan dasar-
dasar kemandirian desa.

Semoga dengan senantiasa mengingat


perjuangan dan penderitaan yang telah dialami
oleh para pahlawan dan pendahulu kami,
menjadikan diri kami agar semakin hati-hati
untuk tidak sekali-kali mengkhianati perjuangan
para pahlawan dan pendahulu kami. Menjalankan
tugas sejarah dengan berlaku “adil sejak dalam
pikiran”.

Saatnya kembali bangkit, bergerak, berjuang


dan berkarya mewujudkan mimpi-mimpi mereka,
karena karya adalah wujud penghormatan atas
hidup. Bersama kita lanjutkan perubahan. Banyak
pekerjaan yang belum tuntas benar. Hanyalah
pecundang yang meninggalkan medan perang
sebelum menang.[]

JANGAN TINGGALKAN DESA 141


Dalam kegiatan jalan sehat dan upacara bendera HUT RI ke-73.

Anda mungkin juga menyukai