Anda di halaman 1dari 15

MATERI I

PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK & SENSORIK


Tri Makmur

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran: Melakukan anamnesis dan pemeriksaan jasmani bidang penyakit
saraf.

B. SASARAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa setelah melakukan skills lab pemeriksaan fisik sistem sensorik
& motorik diharapkan dapat:
1. Menjelaskan kelainan-kelainan pada sistem motorik.
2. Menjelaskan kelainan-kelainan pada sistem sensorik.
3. Melakukan pemeriksaan sistem motorik.
4. Melakukan pemeriksaan sistem sensorik.

C. PENDAHULUAN
Sistem motorik neurologi atau sistem neuromuskular voluntar, adalah
sistem yang berperan terhadap fungsi kerja otot-otot skeletal, dalam melakukan
gerakan yang dikendalikan oleh kemauan (volunter). Pengaturan sistem
neuromuskular volunter terdapat pada korteks motorik, yang terletak pada
bagian korteks otak sebelah depan, yang dinamakan gyrus precentralis.
Sebagian besar manifestasi obyektif kelainan saraf, dapat bermanifestasi
dalam gangguan gerakan otot, yang merupakan pertanda klinis adanya suatu
kelainan, atau penyakit. Oleh karena itu keterampilan dalam melakukan
pemeriksaan fisik sistem motorik neurologi merupakan salah satu keterampilan
yang penting untuk dikuasai.
Sistem sensorik merupakan sistem yang berperan dalam proses
penginderaan, atau ”merasakan”, manusia terhadap lingkungan sekitarnya.
Proses penginderaan, atau sensibilitas, dilakukan dengan cara melihat,

1
mendengar, mencium, merasakan rasa nyeri, rasa raba, rasa panas, rasa dingin,
dan sebagainya.
Kedua sistem tersebut perlu dinilai bila kita melakukan pemeriksaan
terhadap fungsi saraf seseorang. Pada keterampilan ini kita akan mempelajari
tentang: menilai gerakan involunter, menilai tonus dan kekuatan otot, dan
menilai sensorik. Penilaian sistem sensorik akan dilakukan pada rangsangan
eksteroseptip dan proprioseptif.

D. MATERI SKILLS LAB


Gerakan Involunter
Beberapa gerakan abnormal yang tidak terkendali yang dapat diamati
antara lain adalah, tremor, khorea, atetosis, balismus, tik, dan spasme.
• Fasikulasi; merupakan kontraksi otot yang tidak beraturan. Kadaan ini
dapat mengindikasikan adanya lesi motor neuron (contohnya polimielitis,
amyotrophic lateral sclerosis) namun dapat juga tidak memiliki makna
patologis.
• Tremor; adalah gerakan otot yang tidak terkendali, dimana anggota
tubuh penderita tampak bergetar. Gerakan ini disebabkan oleh
berkontraksinya otot-otot tubuh yang bersifat berlawanan (antagonis)
secara bergantian. Tremor dapat dibedakan atas tremor fisiologis
(normal), tremor halus, dan tremor kasar. Contoh tremor fisiologis adalah
bergetarnya anggota badan pada saat melakukan gerakan tubuh dengan
sangat lambat. Tremor halus (tremor toksik) dapat diamati pada jari-jari
tangan penderita kasus hipertiroid. Sifatnya sangat halus dan sukar
dilihat. Tremor kasar dapat ditemukan pada penderita Parkinson. Tremor
ini gerakannya lambat, terlihat jelas, dan berulang-ulang. Contoh tremor
kasar adalah gerakan pada jari-jari tangan, seperti melinting pil (pil
rolling tremor), atau menghitung uang. Tremor juga dapat dibagi menjadi
3 kelompok, yaitu:
a. Resting (Static) Tremors; tremor ini paling mencolok saat istirahat
dan dapat berkurang atau menghilang dengan adanya pergerakan.
b. Postural Tremors; tremor ini terlihat saat bagian yang terkena aktif
menjaga postur. Contohnya tremor pada hipertiroid dan tremor
pada kecemasan atau kelelahan. Tremor ini dapat memburuk bila
bagian yang terkena disengaja untuk mempertahankan suatu
postur tertentu.
c. Intention Tremors; merupakan tremor yang hilang saat istirahat
dan timbul saat aktivitas dan semakin memburuk bila target yang
akan disentuh semakin dekat. Penyebabnya antara lain gangguan
jaras serebelar seperti pada multiple sclerosis.
• Khorea; merupakan gerakan yang singkat, cepat, tidak teratur, dan tak
terduga. Terjadi saat istirahat atau mengganggu gerakan terkoordinasi
normal. Tidak seperti tics, chorea jarang berulang. Wajah, kepala, lengan
bawah, dan tangan sering terlibat. Penyebabnya termasuk chorea
Sydenham (dengan demam rematik) dan penyakit Huntington.
• Atetosis; Gerakan Athetoid lebih lambat dan lebih memutar dan
menggeliat dibandingkan gerakan choreiform, dan memiliki amplitudo
yang lebih besar. Paling sering melibatkan wajah dan ekstremitas distal.
Athetosis sering dikaitkan dengan spastisitas. Penyebabnya antara lain
cerebral palsy.
• Balismus; Balismus adalah gerakan otot yang tidak terkendali, cepat,
tidak beraturan, dan dapat diamati pada otot-otot tubuh bagian
proksimal. Gerakan ini dapat dibedakan dengan khorea, yang terutama
melibatkan otot-otot tubuh bagian distal.
• Spasme; adalah gerakan otot yang tidak terkendali, yang disebabkan
kontraksi otot-otot yang dipersarafi oleh satu saraf. Spasme dapat
dibedakan menjadi spasme klonik, dan spasme tonik. Spasme klonik
muncul tiba-tiba, durasinya pendek, namun dapat berulang. Spasme tonik
yang berlangsung lama dan terus menerus.
• Tik (tic); merupakan gerakan otot involunter, yang berulang-ulang, dan
melibatkan sekelompok otot yang berhubungan secara sinergis. Contoh
tik yang paling sering ditemukan adalah tik fasialis, yang terlihat seperti
kedutan-kedutan otot pada wajah yang terjadi berulang-ulang.
Tonus Otot
Perhatikan bentuk otot, dan bandingkanlah dengan sisi yang sehat, baik
dalam keadaan otot beristirahat, maupun saat otot dalam keadaan berkontraksi.
Pada otot yang mengalami atrofi, otot akan tampak lebih kecil bila dibandingkan
dengan otot yang sehat. Pengamatan dilakukan secara sistematis dimulai dari
daerah kepala dan wajah, hingga ekstremitas bawah.
Perhatikan ukuran otot dengan membandingkan ukuran anggota gerak
atas dan bawah, baik sisi sebelah kanan maupun sebelah kiri, yang pada keadaan
normal sama panjang. Pada kasus kelumpuhan sejak masa kanak-kanak, ukuran
anggota gerak atas atau bawah penderita yang mengalami kelumpuhan, akan
terlihat lebih pendek, bila dibandingkan dengan anggota gerak yang sehat.

Gambar 1. Atrofi Otot

Atrofi otot dapat ditemukan pada:


• Penyakit kronis dan malnutrisi
• Penyakit muskular
• Setelah terjadi kerusakan saraf perifer
• Setelah kerusakan traktus kortikospinal
Bentuk atrofi dapat berupa:
a. Atrofi asimetris terjadi pada contohnya mononeuropathy.
b. Atrofi simetris terjadi pada contohnya penyakit muskular.
Penilaian tonus otot:
a. Rigiditas: adanya tahanan pada seluruh pergerakan. Kondisi ini
menandakan adanya keterlibatan sistem ekstrapiramidal. Ciri-ciri
rigiditas adalah; bila dilakukan gerakan pasif, tahanan akan didapatkan
baik sewaktu ekstremitas difleksikan, maupun pada saat diekstensikan,
bila gerakan pasif dihentikan, posisi ekstremitas tidak kembali seperti
semula, kekakuan dapat dipengaruhi oleh istirahat, atau emosi. pada
pemeriksaan gerakan pasif lengan kasus Parkinson, dapat ditemukan
tahanan yang terasa terputus-putus (fenomena coghwell), Contoh
rigiditas dapat ditemukan pada kasus Parkinson, tumor yang menekan
batang otak, kontusio cerebri berat, dan encephalitis.
b. Spastisitas: adanya tahanan pada bagian tertentu dari suatu gerakan,
letaknya dapat bervariasi. kondisi ini menandakan adanya keterlibatan
jaras kortikospinal (sistem piramidal). Ciri-ciri spastisitas adalah: bila
dilakukan gerakan pasif, tahanan didapatkan pada satu jurusan saja,
misalnya tungkai sulit difleksikan namun mudah diekstensikan, bila
gerakan pasif dihentikan, posisi ekstremitas kembali seperti semula
(fenomena pisau lipat, atau clasp knife phenomena), kekakuan tidak
dipengaruhi oleh istirahat, atau emosi, contoh gerakan spastisitas adalah
pada hemiplegia dan hemiparesis.
c. Hipotonia: pada keadaan relaksasi pun biasanya otot teraba sedikit
berkontraksi. Namun konduksi sensoris ke otot dapat terganggu,
misalnya pada kerusakan saraf tepi yang berat atau kerusakan akut jalur
kortikospinal, sehingga tonus otot dapat menghilang.

Kekuatan Otot
Penilaian kekuatan otot didasarkan kepada beberapa kriteria sebagai berikut:
1 : Tidak ada pergerakan sama sekali, tonus otot tidak teraba.
2 : Tonus otot teraba namun tidak ada pergerakan. Hanya bisa menggerakkan
sendi kecil.
3 : Terdapat pergerakan namun tidak dapat melawan gravitasi (gerakan
menggeser ke kanan dan kiri). Hanya bisa menggeser di permukaan.
4 : Kekuatan otot hanya cukup untuk melawan gravitasi namun tidak dapat
melawan tahanan ringan.
4- : Kekuatan otot dapat memberikan gerakan yang sedikit melawan tahanan yang
diberikan.
5 : Kekuatan otot dapat memberi perlawanan yang moderat (cukup) terhadap
tahanan.
4+: Kekuatan otot dapat memberi perlawanan yang submaksimal (sedikit kuat)
terhadap tahan yang diberikan.
6 : Kekuatan otot dapat menahan tahanan maksimal.

Kelainan-kelainan yang dapat ditemukan pada gangguan kekuatan otot diantaranya


adalah kelumpuhan. Kelumpuhan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
paresis, dan plegia. Paresis adalah kelumpuhan otot yang ringan dimana anggota
tubuh lumpuh, namun masih ada sedikit otot yang berkontraksi, tetapi tidak penuh.
Sebaliknya plegia adalah, kelumpuhan otot yang berat, anggota tubuh tidak dapat
digerakkan karena tidak ada otot yang berkontraksi. Beberapa istilah kelumpuhan
yang perlu diketahui adalah :
a. Monoparese atau monoplegia; adalah kelumpuhan yang terjadi hanya pada
salah satu dari keempat ekstremitas. Contoh dari monoparesis atau
monoplegia pada ekstremitas atas adalah monoplegia brachialis sinistra,
atau pada ekstremitas bawah misalnya, monoparesis cruralis dekstra.
b. Paraparese atau paraplegia; adalah kelumpuhan yang terjadi pada kedua
lengan, atau kedua tungkai. Contohnya adalah paraparesis superior (lengan),
atau paraplegia inferior (tungkai).
c. Hemiparesis atau hemiplegia; adalah kelumpuhan ekstremitas superior
dan inferior pada sisi yang sama. Contohnya hemiplegia dekstra pada
kelumpuhan lengan dan tungkai kanan, atau hemiparesis sinistra pada
kelumpuhan lengan dan tungkai kiri.
d. Tetraparesis atau tetraplegia; adalah kelumpuhan yang terjadi pada
keempat ekstremitas (kuadraplegia). Penyebab dari kelumpuhan jenis ini
adalah adanya lesi pada medula spinalis di atas tingkat konus.
e. Hemiparesis atau hemiplegia cruciata (crossed hemiplegia); adalah
kelumpuhan ekstremitas superior dan inferior pada sisi yang berlawanan
(kontralateral). Misalnya kelumpuhan lengan kanan dengan tungkai kiri,
atau kelumpuhan lengan kiri dengan tungkai kanan

Sistem Sensorik
Fungsi dari sistem sensorik adalah menerima rangasang dari lingkungan
luar tubuh melalui sistem indera. Proses penerimaan sensabilitas secara garis besar
dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu, sensasi superfisial, sensasi dalam, sensasi
viseral, dan sensasi khusus.
a. Sensasi Superfisial, atau perasaan eksteroseptif (protopatik), adalah
perasaan yang berasal dari alat perasa pada kulit dan mukosa, yang bereaksi
terhadap rangsangan dari luar, atau perubahan-perubahan lingkungan di
sekitarnya. Perasaan eksteroseptik berperan dalam merasakan nyeri,
merasakan suhu, merasakan raba.
b. Sensasi Dalam,disebut juga dengan perasaan (sensasi) proprioseptif,
meliputi rasa gerak atau kinetik, rasa sikap atau statognesia dari otot dan
persendian, rasa getar atau pallesthesia, rasa tekan dalam, dan rasa nyeri
dalam otot.
c. Sensasi Viseral atau interoseptif, merupakan perasaan (sensasi) yang
dihantarkan melalui serabut otonom aferen. Sensasi viseral mencakup rasa
lapar, rasa enek, dan rasa nyeri pada organ dalam.
d. Sensasi Khusus, meliputi perasaan yang berperan dalam proses menghidu,
melihat, mendengar, mengecap, dan keseimbangan tubuh. Sensasi viseral
diatur oleh saraf-saraf otak tertentu (nervus kranialis).

Beberapa terminologi yang perlu diketahui pada pemeriksaan sensibilitas antara


lain adalah:
• Hiperestesia. Merupakan kata yang dipakai untuk menyatakan adanya
peningkatan sensitivitas terhadap stimulus yang diberikan.
• Hipestesia. Merupakan kata yang dipakai untuk menyatakan penurunan
sensitivitas terhadap stimulus yang diberikan.
• Anastesia. Menyatakan hilangnya sensitivitas terhadap stimulus yang
diberikan.
• Disestesia. Menyatakan adanya perasaan yang berlainan dari rangsang yang
diberikan, misalnya bila pasien diraba, dia merasa seolah-olah ditusuk-tusuk
dengan jarum.
• Parestesia. Menyatakan perasaan abnormal yang timbul spontan, biasanya
ini berbentuk rasa dingin, panas, semutan, ditusuk-tusuk, rasa berat, rasa
ditekan, atau rasa gatal.
• Hiperalgesia. Menyatakan adanya respon yang berlebihan, terhadap
stimulus yang secara normal menimbulkan nyeri.
• Hipoalgesia. Menyatakan berkurangnya rasa nyeri terhadap stimulus, yang
secara normal menimbulkan nyeri.
• Analgesia. Menyatakan berkurangnya nyeri terhadap stimulus, yang secara
normal menimbulkan nyeri.
• Anastesia Dolorosa. Menyatakan adanya rasa nyeri pada daerah tubuh, yang
seharusnya bersifat anastetik. Misalnya pasien merasa nyeri bila rambutnya
disentuh. Alodinia. Menyatakan adanya respon yang berlebihan, terhadap
stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri. Misalnya apabila
lengan pasien diraba dengan pulpen, pasien akan mengeluh sakit sekali.

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang akan digunakan dalam pemeriksaan sistem sensorik &
motorik antara lain :
1. Sarung tangan.
2. Tusuk gigi.
3. Cotton bud.
4. Dua tabung reaksi berisi air dengan suhu 10° dan 30°.
5. Manekin orang dewasa.
F. CARA KERJA
 Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
 Siapkan alat dan bahan.
 Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
 Inspeksi Gerakan Involunter:
• Minta pasien berdiri dengan santai.
• Nilai postur tubuh pasien dan kontur otot. Amati tanda-tanda adanya
hipertrofi maupun atrofi otot.
• Nilai adanya gerakan involunter seperti tremor, fasikulasi dan
gerakan koreiform.
 Penilaian Tonus Otot:
• Persiapkan pasien dalam posisi berbaring, se-rileks mungkin.
• Pegang lengan pasien dengan menempatkan tangan pemeriksa
disekitar pergelangan tangan pasien (hanya di sendi siku dan
lutut;sendi-sendi besar).
• Siku dalam keadaan menempel pada meja periksa.
• Tempatkan jari-jari pemeriksa pada tendon biceps.
• Fleksi dan ekstensikan sendi siku beberapa kali.
• Nilai tonus otot-otot lengan atas pasien dan bandingkan kanan dan
kiri.
• Nilai juga tonus otot-otot tungkai atas dengan fleksi dan ekstensi
secara pasif sendi panggul dan lutut.
 Penilaian Kekuatan Otot:
• Untuk menilai kekuatan otot, pasien harus mengkontraksikan ototnya
secara maksimal.
• Coba untuk membuat tahanan terhadap otot yang diperiksa dengan
menggunakan tangan pemeriksa.
• Saat menilai kekuatan otot pasien, coba untuk membuat
perbandingan dengan kekuatan pemeriksa.
• Buat penilaian semi kuantitatif berdasarkan skala 0-5.
 Penilaian Sensasi Nyeri:
• Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan saat pemeriksa
menekan ujung runcing tusuk gigi dan ujung tumpul cotton bud pada
area dimana pemeriksa yakin tidak terdapat defisit sensorik.
• Minta pasien menutup mata.
• Kemudian lakukan prosedur ini di beberapa tempat dengan
menekankan ujung tajam tusuk gigi dan ujung tumpul cotton bud
secara bergantian dan acak. Tanyakan kepada pasien setiap
pemeriksa menekankan salah satu benda diatas, apakah pasien
merasakan tajam atau tumpul.
• Apabila terdapat gangguan membedakan sensasi tajam dan tumpul,
gunakan istilah hipalgesia atau analgesia dan catat bagian tubuh yang
mengalami gangguan.
 Penilaian Sensasi Suhu:
• Pada pemeriksaan ini, siapkan dua buah tabung reaksi yang berisi air
dingin dan air panas.
• Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan suhu yang
diberikan pada area dimana pemeriksa yakin tidak terdapat defisit
sensorik.
• Minta pasien menutup mata.
• Sentuhkan rangsangan panas dan dingin di beberapa area pada tubuh
pasien, tanyakan apa yang pasien rasakan setiap kali memberikan
rangsangan.
• Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan dalam
membedakan rangsangan suhu.
 Penilaian Sensasi Raba Halus:
• Untuk pemeriksaan ini, gunakan ujung cotton bud.
• Minta pasien untuk menutup mata.
• Selalu sentuh pasien dengan sentuhan ringan, jangan di tekan.
• Minta pasien mengatakan “ya” setiap kali pasien merasakan kontak.
• Minta pasien untuk menyebutkan bila pasien merasakan sensasi yang
berbeda saat disentuh.
• Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan dalam
membedakan rangsangan suhu.
 Penilaian Rasa Posisi (Propioseptif):
• Minta pasien menutup mata.
• Pegang jempol kaku pasien diantara jempol dan jari telunjuk
pemeriksa.
• Pastikan bahwa pemeriksa tidak menyentuh jari pasien yang lainnya.
• Gerakkan jempol kaki pasien dan tanyakan bila pasien merasakan
gerakan tersebut dan menyebutkan arahnya.
• Lakukan juga prosedur ini pada ekstremitas atas.
• Lakukan pula pemeriksaan getar dan posisi dua tempat (two point
discrimination).
G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2020
Instruktur

(..........................................)
H. LEMBAR PENGAMATAN
LEMBAR PENGAMATAN
PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK & SENSORIK
*) Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1. Informed consern
2. Siapkan alat dan bahan
3. Cuci tangan
4. Inspeksi gerakan involunter
5. Penilaian tonus otot
6. Penilaian kekuatan otot
7. Penilaian sensasi nyeri
8. Penilaian sensasi suhu
9. Penilaian sensasi raba halus
10. Penilaian sensasi rasa posisi

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna
REFERENSI
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th
Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination. 2009.
3. Fuller G (2008). Neurological examination made easy. Edinburg: Churcill
Livingstone Elsivier.
198

Anda mungkin juga menyukai