Anda di halaman 1dari 172

RANGGAWARSITA

SANG PERAMAL KEMERDEKAAN

i
ii
RANGGAWARSITA

SANG PERAMAL KEMERDEKAAN

Bambang Khusen Al Marie

iii
iv
KATA PENGANTAR

Disatukannya kajian empat karya Ranggawarsita dalam buku ini


sebagai bahan pelengkap untuk buku selanjutnya yang akan kami terbitkan
yang berjudul Zaman Kalabendu. Keempat karya Ranggawarsita ini
sebagian besarnya menceritakan keadaan di Zaman Kalabendu atau Zaman
Kutukan. Yakni, zaman ketika potensi masyarakat tidak dapat berkembang
dan tidak dapat dipakai mengatasi masalah yang timbul. Zaman ketika
semua yang diusahakan manusia selalu gagal. Zaman ketika tatanan
masyarakat semakin rusak walau dipegang oleh para punggawa yang
cakap dan pintar. Zaman ketika keangkaramurkaan mendapat panggung
yang luas untuk mempertontonkan keunggulan. Sedangkan manusia-
manuisa baik tercecer, tertinggal di belakang.
Namanun walau sepahit apapun, Ki Ranggawarsita dalam keempat
karyanya ini selalu menyisakan optimisme bahwa keadaan Kalabendu ini
pasti akan berlalu. Sederet upaya dia paparkan sebagai prasyarat
berakhirnya Zaman Kalabendu. Upaya-upaya itu sendiri takkan mampu
mengusir kutukan zaman yang juga disebut Zaman Edan ini. Namun
upaya-upaya itu akan mendatangkan pertolongan Allah. Upaya-upaya itu
menjadi sarana untuk mengetuk pintu-pintu langit sehingga barakah
tercurah kepada manusia di bumi. Jika pertolongan Allah sudah datang
siapa lagi yang bisa membendungnya. Itulah sebab sejati dari
menyingkirnya kutukan.
Setelah kutukan hilang hukum alam berjalan dengan normal dan
sesuai kaidah. Yang berusaha akan berhasil. Orang baik akan mendapat
pertolongan. Rezeki melimpah bagi yang berusaha mencarinya dengan
bekerja. Sedang kejahatan lenyap karena setiap orang yang berusaha telah
mendapat jaminan keberhasilan. Tidak perlu berbuat jahat hanya untuk
mendapatkan kekayaan. Dengan bekerja yang wajar pun cukup. Inilah
yang disebut dengan Zaman Kalasuba.

v
Yang menarik, Ki Ranggawarsita dalam karya-karyanya ini; yakni
dalam Sabdajati, Sabdatama dan Jaka Lodhang menyebut dengan jelas
angka tahun datangnya Zaman Kalasuba ini. Yakni di tahun 1877 tahun
Jawa atau bertepatan dengan tahun 1945 M. Itulah tahun kemerdekaan
Republik Indonesia.
Akhirul kalam semoga kajian kami memberi manfaat khususnya bagi
para peminat Kajian Sastra Klasik dan bagi para pembaca semuanya.
Salam!

Bambang Khusen Al Marie

vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR SANG PERAMAL v


DAFTAR ISI vii
TRANSLITERASI ARAB LATIN x
TRANSLITERASI JAWA LATIN xi

BAGIAN PERTAMA: SERAT SABDAJATI 1


Kata Pengantar Sabdajati 2

SERAT SABDAJATI PUPUH MEGATRUH 3


Kajian Sabdajati (1): Ngudiya Ronging Budyayu 5
Kajian Sabdajati (2): Tumanggap Dimen Tumanggon 7
Kajian Sabdajati (3): Angayomi Tyas Wening 9
Kajian Sabdajati (4): Klawan Sabaring Kalbu 11
Kajian Sabdajati (5): Pakuwoning Iblis 13
Kajian Sabdajati (6): Hayuning Tyas Sipat Kuping 15
Kajian Sabdajati (7): Ulap Kalilipan Wedhi 18
Kajian Sabdajati (8): Kewuhan Jroning Ati 19
Kajian Sabdajati (9): Kabegjan Anekani 21
Kajian Sabdajati (10): Allah Paring Pitulung 23
Kajian Sabdajati (11): Ambuka Warana 25
Kajian Sabdajati (12): Sudranira Andadi 28
Kajian Sabdajati (13): Sulaking Jaman Prihatos 30
Kajian Sabdajati (14): Wiku Memuji Ngesthi Sawiji 32
Kajian Sabdajati (15): Kala Suba Gumanti 36
Kajian Sabdajati (16): Mring Jatining Nggon 38
Kajian Sabdajati (17;18): Emating Pati Patitis 40
Kajian Sabdajati (19): Ki Pujangga Pamit Layon 43

BAGIAN KEDUA: SERAT SABDATAMA 45


Kata Pengantar Serat Sabdatama 46

vii
SERAT SABDATAMA PUPUH GAMBUH 47
Kajian Sabdatama (1-2): Nyenyuda Hardaning Ati 48
Kajian Sabdatama (3): Angkara Kalindhih 51
Kajian Sabdatama (4): Tyas Riwut Rawat Dahuru 53
Kajian Sabdatama (5): Kari Ketaman Pakewuh 55
Kajian Sabdatama (6): Ngleluri Para Leluhur 57
Kajian Sabdatama (7): Katenta Nawung Prihatos 60
Kajian Sabdatama (8): Sansaya Ewuh Kang Linakon 62
Kajian Sabdatama (9): Sidining Kala Bendu 64
Kajian Sabdatama (10): Mawut sangyaning dumados 66
Kajian Sabdatama (11): Sirna katentremanipun 68
Kajian Sabdatama (12): Cangkem Silite Anyaplok 70
Kajian Sabdatama (13): Ula daulu Sansaya Ndadra 72
Kajian Sabdatama (14): Sumurupa Jatining Hyang Manon 74
Kajian Sabdatama (15): Ramalan Sang Pujangga 76
Kajian Sabdatama (16): Cahyaning Wahyu Tumelung 78
Kajian Sabdatama (17): Yuwana Tumurun Tan Enting 81
Kajian Sabdatama (18): Wong Ngantuk Nemu Kethuk 83
Kajian Sabdatama (19): Nora Ana Rusuh Colong Jupuk 85
Kajian Sabdatama (20): Budyarja Marjaya Limut 87
Kajian Sabdatama (21): Tinggal Pakarti Dudu 89
Kajian Sabdatama (22): Pulih Jaman Rumuhun 91

BAGIAN KETIGA: SERAT KALATIDHA 93


Kata Pengantar Kalatidha 94

SERAT KALATIDHA: PUPUH SINOM 95


Kajian Kalatidha (1): Kalulun Kalatidha 96
Kajian Kalatidha (2): Tan Dadi Paliyasing Kala Bendu 99
Kajian Kalatidha (3): Ketaman Ing Reh Wirangi 101
Kajian Kalatidha (4): Mundak Apa Aneng Ngayun? 103
Kajian Kalatidha (5): Wong Hambeg Jatmika Kontit 106
Kajian Kalatidha (6): Mupus Pepesthening Takdir 108
Kajian Kalatidha (7): Luwih Begja Kang Eling Waspada 111
Kajian Kalatidha (8): Muhung Mahas Ing Asepi 114
Kajian Kalatidha (9): Saking Mangunah Prapti 117
Kajian Kalatidha (10): 4 Cagaking Ngaurip 119
Kajian Kalatidha (11): Mugi Aparinga Pitulung Ya Allah 121
Kajian Kalatidha (12): Mati Sajroning Urip 123

viii
BAGIAN KEEMPAT: SERAT JAKA LODHANG 127
Kata Pengatar Serat Jaka Lodhang 128

SERAT JAKA LODHANG: PEMBUKAAN 129


Kajian Jaka Lodhang : Pambuka 130

JAKA LODHANG: PUPUH GAMBUH 132


Kajian Jaka Lodhang (1-3): Sirna Tata Estining Wong 133

JAKA LODHANG: PUPUH SINOM 138


Kajian Jaka Lodhang (4-6): Bebendu Gung Nekani 139

JAKA LODHANG: PUPUH MEGATRUH 144


Kajian Jaka Lodhang (7-9): Tekane Jaman Adil 145

BAGIAN KELIMA: PEMBAHASAN 149


RANGGAWARSITA DAN KEMAMPUAN MERAMAL 150

RAMALAN KEMERDEKAAN 154


Ramalan yang tersirat 154
Ramalan Yang Terang 157
Datangnya Zaman Baru 158

ix
Transliterasi Arab ke Latin

Untuk kata-kata Arab yang ditulis dalam huruf latin dan


diindonesiakan, tulisan ini memakai Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia Disempurnakan. Untuk kata-kata yang belum diindonesiakan
bila ditulis dalam huruf latin mempergunakan transliterasi sebagai berikut:

‫ = ا‬a, i, u ‫=ر‬r ‫ = غ‬gh

‫=ب‬b ‫=ز‬z ‫=ف‬f

‫=ت‬t ‫= س‬s ‫=ق‬q

‫ = ث‬ts ‫ = ش‬sy ‫=ك‬k

‫=ج‬j ‫ = ص‬sh ‫=ل‬l

‫=ح‬h ‫ = ض‬dl ‫=م‬m

‫ = خ‬kh ‫ = ط‬th ‫=ن‬n

‫=د‬d ‫ = ظ‬dh ‫=ؤ‬w

‫ = ذ‬dz ‫‘=ع‬ ‫=ه‬h

‫=ي‬y

x
Transliterasi Jawa ke Latin

Transliterasi kata-kata Jawa yang ditulis dalam hurf latin adalah


sebagai berikut.
= Ha = Da = Pa = Ma
= Na = Ta = Dha = Ga
= Ca = Sa = Ja = Ba
= Ra = Wa = Ya = Tha
= Ka = La = Nya = Nga

xi
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Bagian Pertama

SERAT SABDAJATI

1
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kata pengantar

Serat Sabdajati merupakan karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari


Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sabda artinya perkataan, petuah, jati
artinya sejati. Sabdajati artinya petuah yang sejati. Serat Sabadajati terdiri
dari Pupuh Megatruh 19 bait.
Sumber naskah bahasa Jawa yang dipakai dalam buku ini diambil dari
Lima Karya Pujangga Ranggawarsita yang ditulis oleh Kamajaya yang
ditebitkan oleh Balai Puistaka. Karkana Kamajaya seorang budayawan
Jawa dan pejuang angkatan 45.
Dari penanda waktu ditulisnya serat ini dipastikan Serat ini ditulis di akhir
hayat Ki Ranggawarsita. Bahkan dengan jelas disebutkan bahwa penulisan
serat ini kurang dari delapan hari dari waktu beliau menjemput ajal. Waktu
meninggal dunia yang disebut dengan jelas dan detail sampai ke hari dan
jamnya membuat beberapa spekulasi tentang sebab-sebab beliau
meninggal. Namun kami tidak akan membahas masalah itu secara panjang
lebar. Tujuan kami hanya mengkaji isi serat ini dari segi bahasa, agar
dapat dipahami oleh mereka yang kurang memahami bahasa Jawa.
Akhirul kalam, semoga kajian ini bermanfaat bagi mereka yang
membutuhkan. Selamat membaca.

Bambang Khusen Al Marie.

2
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

SERAT SABDAJATI

PUPUH

MEGATRUH

3
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

4
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (1): Ngudiya Ronging Budyayu


Bait ke-1, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Aywa pegat ngudiya RONGing budyayu,
marGAne suka basuki,
Dimen lu WAR kang kinayun,
kalising panggawe SIsip.
Ingkang TAberi prihatos.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Jangan terputus dalam mencari inti dari hati yang baik,
jalan menuju kebahagiaan.
Supaya lepas apa yang dikehendaki hati,
terhindar dari perbuatan salah.
Yang rajin laku prihatin.

Kajian per kata:


Dalam bait di atas terdapat beberapa suku kata yang dimuat dengan huruf
kapital. Jika digabung sukukata-sukukata tersebut membentuk kata
RONGGAWARSITA. Inilah yang disebut sandiasma, nama yang
disandikan dalam bait lagu.
Aywa (jangan) pegat (putus, berhenti) ngudiya (mencari) ronging (pusat,
inti) budyayu (hati yang baik), margane (jalan menuju) suka (senang)
basuki (selamat). Jangan terputus dalam mencari inti dari hati yang baik,
jalan menuju kebahagiaan.
Rong artinya lubang, dalam bahasa Jawa juga disebut leng. Kata leng ini
sering dimaknai dari kata teleng yang diambil sukukata belakangnya. Kata
teleng artinya pusat atau inti. Jadi rong yang dipakai di sini bukan berarti
lubang tetapi pusat atau inti.
Budyayu dari kata budi hayu. Budi sering diartikan dengan pikiran, sering
pula diartikan dengan hati. Kedua kata itu tidak mempunyai arti yang
persis. Yang paling mendekati secara tepat arti dari kata budi sebenarnya
adalah kata Arab fuad, hati yang mampu membedakan yang baik dan
5
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

buruk. Kata hayu sendiri bisa berarti cantik, indah jika berhubungan
dengan fisik, jika konteksnya non fisik kata hayu sering diartikan baik.
Jadi budyayu artinya hati yang baik. Jangan sekali-kali terputus dari usaha
mencari inti dari hati yang baik.
Suka adalah perasaan hati, senang atau gembira. Basuki adalah suatu
kondisi selamat, lepas dari marabahaya. Kedua kata itu tidak
menggambarkan keadaan yang sama. Bisa terjadi hati kita suka tetapi tidak
selamat secara fisik, atau selamat secara fisik (sehat, jauh dari penyakit)
tetapi hati tidak suka. Suka basuki adalah keadaan gabungan dari
keduanya, hati senang dan raga selamat. Kata yang pas dalam bahasa
Indonesia adalah bahagia. Maka ronging budyayu tadi adalah jalan menuju
kebahagiaan.
Dimen (supaya) luwar (lepas) kang (yang) kinayun (dikehendaki hati),
kalising (terhindar dari) panggawe (perbuatan) sisip (salah, sesat). Supaya
lepas apa yang dikehendaki hati, terhindar dari perbuatan salah.
Arti kayun adalah hati. Kinayun artinya yang diinginkan hati. Dalam kitab
klasik yang telah kita kaji selama ini ada keadaan yang berkaitan dengan
kata kayun ini, yakni geyonganing kayun yang terdapat dalam serat
Wedatama bait ke-16, artinya kecenderungan hati pada suatu yang baik.
Jadi kata kayun sering dipakai untuk menyebut keinginan hati yang
bersifat positif. Jika kita berhasil menggapai budyayu tadi dan berhasil
mencapai keadaan suka basuki, maka keinginan hati yang timbul pun
mengarah kepada hal-hal yang positif, mengarah kepada kebaikan.
Efeknya pada perilaku adalah terhindar dari perbuatan salah (sisip).
Karena apa yang didalam hati sudah serba baik, maka outputnya dalam
tindakan Insya Allah juga berupa kebaikan.
Ingkang (yang) taberi (rajin) prihatos (laku prihatin). Yang rajin laku
prihatin.
Namun keadaan tersebut di atas juga bukan hal yang mudah untuk dicapai.
Syarat pertama adalah rajin dalam laku prihatin. Selanjutnya laku
mencapai keadaan budyayu tadi masih panjang dan banyak syaratnya. Apa
saja yang diperlukan? Nantikan dalam kajian bait berikutnya.

6
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (2): Tumanggap Dimen Tumanggon


Bait ke-2, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Ulatana kang nganti bisane kepangguh,
galedahen kang sayekti.
Talitinen aywa kleru,
larasen sajroning ati.
Tumanggap dimen tumanggon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Perhatikanlah sampai bisanya ketemu,
geledahlah yang sungguh-sungguh.
Telitilah jangan keliru,
selaraskan di dalam hati.
Tanggaplah supaya mau menetap.

Kajian per kata:


Ulatana (perhatikanlah) kang (yang) nganti (sampai) bisane (bisanya)
kepangguh (ketemu), galedahen (geledahlah, bongkarlah) kang (yang)
sayekti (sungguh-sungguh). Perhatikanlah sampai bisanya ketemu,
geledahlah yang sungguh-sungguh.
Ulat artinya roman muka. Ngulatke, ngulati artinya memperhatikan
dengan menghadapkan muka. Ulatana artinya perhatikanlah dengan
seksama dengan menghadapkan muka kepada yang diamati, sampai bisa
ketemu yang dicari. Apakah yang dicari? Sudah dijelaskan dalam bait
sebelumnya yakni ronging budyayu. Tempatnya ada di kedalaman hati,
maka geledahlah, bongkarlah dengan sungguh-sungguh.
Keluarkan apa saja yang tidak seharusnya ada di dalam hati, segala sifat
buruk, segala keinginan, hasrat yang membara, rasa terpendam, dendan
kesumat, pokoknya apa saja yang membuat hati kumuh sehingga tampak
kotor berserakan. Jika hati sudah bersih dari segala sifat kotor akan
tampaklah cahaya dalam hati, memancarkan kebenaran sejati. Hati yang
bercahaya ini disebut hati nurani.

7
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Talitinen (telitilah) aywa (jangan) kleru (keliru), larasen (selaraskan)


sajroning (di dalam) ati (hati). Telitilah jangan keliru, selaraskan di
dalam hati.
Telitilah jangan keliru segala isi hati, keluarkan, bersihkan hal-hal yang
tidak berguna dengan penuh kehati-hatian, selaraskan isi di dalamnya
sesuai dengan tujuan semula: mencari inti dari hati yang baik, ronging
budyayu.
Tumanggap (tanggap, responsif) dimen (supaya) tumanggon (bertempat,
menetap). Tanggaplah supaya mau menetap.
Tumanggap artinya bersifat tanggap. Tanggap artinya responsif, cepat-
cepat beraksi ketika melihat tanda-tanda atau menerima isyarat, ini
berbeda dengan reaktif. Respon yang cepat akan membuat yang memberi
respon berkenan menetap (tumanggon). Sebenarnya apa yang direspon itu?
Yakni budyayu tadi, jika kita memperlakukan dia dengan baik dia akan
betah menetap di dalam hati.
Penjelasannya adalah, hati kita selalu terbuka terhadap pengaruh dari luar,
godaan, rayuan dan bujukan. Juga dirongrong dari dalam oleh hasrat,
yakni keinginan yang sangat dan hawa nafsu yang selalu mengajak
melampaui batas. Namun ada kalanya juga datang pengaruh baik dari luar,
ajakan, nasihat, petuah dan pesan-pesan, juga muncul kehendak berbuat
baik dari dalam, kesadaran, niat mulia dan pengabdian.
Dua macam pengaruh luar-dalam tersebut saling desak saling sikut di
dalam hati. Kita sebagai pribadi harus mempunyai keberpihakan dalam
menyikapi pertarungan kedua macam sifat, baik dan buruk. Maka usaha
kita adalah membuat tidak betah salah satunya dan membuat nyaman
satunya lagi. Jika kita berpihak pada kebaikan maka sifat-sifat baik harus
kita buat betah di dalam hati. Kita harus tanggap hal apa saja yang
membuat sifat baik merasa nyaman di dalam hati. Jika kita responsif
terhadap hal itu maka sifat baik akan nyaman menetap di hati kita.
Sebaliknya jika kita menghendaki sifat buruk keluar dari hati, kita harus
membuatnya tidak nyaman. Caranya, jangan pernah turuti keinginannya.
Orang-orang zaman dahulu mempunyai metode yang sudah paten dalam
hal mengusir nafsu angkara itu, yakni dengan jalan cegah dhahar lan
guling, menahan makan dan tidur. Intinya adalah mengekang hal-hal yang
mengarah pada kenikmatan badani.
8
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (3): Angayomi Tyas Wening


Bait ke-3, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Pamanggone aneng pangesti rahayu,
angayomi ing tyas wening.
Eninging ati kang suwung,
nanging sejatining isi,
isine cipta sayektos.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Penempatannya ada di kehendak yang baik,
melindungi hati yang jernih.
Jernihnya hati yang sunyi,
tetapi sebenarnya berisi,
isinya gagasan sejati.

Kajian per kata:


Pamanggone (penempatannya) aneng (ada di) pangesti (kehendak,
angan-angan) rahayu (yang baik, indah), angayomi (melindungi) ing
(pada) tyas (hati) wening (jernih). Penempatannya ada di kehendak yang
baik, melindungi hati yang jernih.
Penempatannya (budyayu tersebut) ada di dalam kehendak yang baik. Jika
sudah berangan-angan baik, mempersiapkan diri dengan upaya
secukupnya dengan taberi prihatos, maka budyayu akan bersemayam
dalam hati yang jernih. Budyayu akan membuat hati terjaga dari kekotoran
niat. Jadi ada aksi resiprokal di dalam hati, angan-angan baik akan
mendatangkan budyayu, sebaliknya budyayu yang sudah bersemayan
dalam hati akan menjaga hati tetap jernih dan outputnya menjadi
perbuatan baik. Ini disebut raga mengasah jiwa, jiwa mamasuh raga.
Eninging (jernihnya) ati (hati) kang (yang) suwung (sunyi), nanging
(tetapi) sejatining (sebenarnya) isi (berisi), isine (isinya) cipta (gagasan,
idea) sayektos (sejati). Jernihnya hati yang sunyi, tetapi sebenarnya berisi,
isinya gagasan sejati.

9
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Jernihnya hati dicapai ketika hati sunyi dari niat buruk. Karena antara baik
dan buruk tidak dapat berkumpul dalam satu wadah secara harmonis,
keduanya akan saling mendesak, maka sepinya hati dari keburukan
menandakan hati berisi kebaikan. Inilah suwung nanging sejatining isi,
sunyi namun berisi.
Sayektos artinya sejati, sebenarnya, yang nyata. Cipta sayektos artinya,
angan-angan yang mendorong kepada kebaikan, bukan sekedar angan-
angan kosong. Cipta sayektos adalah gagasan yang nyata, yang muncul
dari pemahaman terhadap realitas. Bukan pikiran yang hanya berdasar
duga-duga saja.

10
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (4): Klawan Sabaring Kalbu


Bait ke-4, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Lakonana klawan sabaring kalbu,
lamun obah niniwasi.
Kasusupan setan gundhul ,
ambebidhung nggawa kandhi ,
isine rupiyah keton.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Lakukanlah dengan sabar di dalam hati,
jika goyah (pendirian) mencelakakan.
Kemasukan syetan bothak,
menyesatkan dengan membawa kantong,
isinya rupiyah koin perak Belanda.

Kajian per kata:


Lakonana (lakukanlah) klawan (dengan) sabaring (sabar di dalam) kalbu
(hati), lamun (jika) obah (goyah) niniwasi (mencelakakan). Lakukanlah
dengan sabar di dalam hati, jika goyah (pendirian) mencelakakan.
Dalam rangka mencapai budyayu tadi, lakukanlah dengan sabar di dalam
hati. Jangan sampai goyah pendirian akibat tidak tahan menahan bujukan
dan godaan. Akan fatal akibatnya nanti, bisa mencelakakan diri sendiri.
Diri menjadi hilang kewaspadaan, budyayu tak lagi bersemayam dalam
hati dan syetan-syetan berani masuk menyesatkan.
Kasusupan (kesusupan, kemasukan) setan (syetan) gundhul (bothak),
ambebidhung (menyesatkan) nggawa (dengan membawa) kandhi
(kantong, karung kecil), isine (isinya) rupiyah (uang) keton (koin
Belanda). Kemasukan syetan bothak, menyesatkan dengan membawa
kantong, isinya rupiyah koin perak Belanda.
Setan gundhul yang dimaksud tentulah manusia karena tidak mungkin
syetan membawa uang, kata itu adalah kiasan untuk godaan duniawi.
Ambebidhung artinya menggoda dengan tujuan mengerjai, membuat olok-
11
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

olok, itu memang wataknya setan. Godaan duniawi itu menawarkan


keuntungan berlipat ganda, dinyatakan dalam kata kandhi, yakni karung
kecil yang muat antara 25 kg beras. Bayangkan jika diisi uang perak
berapa nilainya, ini kiasan bahwa perbuatan buruk sering menawarkan
keuntungan yang sangat besar.
Rupiyah di sini bukan satuan mata uang RI karena zaman itu belum ada
negara Indonesia, tetapi dari kata dalam bahasa Sanskerta rupya yang
artinya koin perak. Kata itu di India menjadi satuan mata uang rupee dan
di Indonesia setelah merdeka menjadi satuan mata uang rupiah. Keton
yang dimaksud adalah ducaton, uang koin perak yang dikeluarkan oleh
pemerintah Belanda. Jadi rupiyah keton artinya koin perak Belanda.
Mengingat godaan dan bujukan syetan gundul ini sangat menggiurkan kita
harus waspada, jangan sampai hanyut dalam arus keburukan. Sekali
tercebur dalam lembah cela, selamanya akan sulit bangkit, bahkan makin
berontak makin terperosok. Ada baiknya waspada jangan sampai terjadi.
Kenali dulu akibat-akibatnya yang akan diuraikan dalam bait selanjutnya.

12
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (5): Pakuwoning Iblis


Bait ke-5, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Lamun kongsi korup mring panggawe dudu,
dadi pakuwoning eblis ,
mlebu mring alam pakewuh.
Ewuh pana ninging ati,
temah wuru kabesturon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Jika sampai terpengaruh kepada perbuatan tercela,
menjadi tempat singgah iblis,
terseret masuk ke alam penuh kesulitan.
Sulit menuju kepada pemahaman tentang ketenangan hati,
sehingga mabuk layaknya orang tidur.

Kajian per kata:


Lamun (jika) kongsi (sampai) korup (terpengaruh) mring (pada)
panggawe (perbuatan) dudu (tercela, yang bukan-bukan), dadi (menjadi)
pakuwoning (markas kecil, tempat singgah) eblis (syetan, iblis), mlebu
(masuk) mring (ke) alam (alam) pakewuh (kesulitan, kerepotan). Jika
sampai terpengaruh kepada perbuatan tercela, menjadi tempat singgah
iblis, terseret masuk ke alam penuh kesulitan.
Javanese-English Dictionary, Horne, mengartikan korup sebagaimana arti
zaman kini, mencuri uang, namun Kamajaya mengartikan korup dari kata
irup, artinya dipengaruhi. Arti terakhir lebih tepat dalam konteks kalimat
ini.
Pakuwon artinya bangunan sebagai markas sementara, artinya jika kita
melakukan perbuatan buruk maka hati kita menjadi markas sementara iblis
dalam melakukan aksi lanjutan. Waspadailah jangan sampai iblis membuat
hotel di situ, dan menginapkan syetan-syetan untuk semakin menggoda
kita. Jika Iblis punya markas maka dia akan leluasa menjalankan aksinya,
menyeret kita ke dalam alam yang penuh kesulitan, yakni alamnya orang
yang berbuat tercela.
13
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Jangan mengira bahwa orang yang berbuat jahat itu enak hidupnya. Sama
sekali tidak! Mereka bisa saja kelihatan keren dan mentereng, tetapi
hatinya selalu galau. Dikejar hati nurani dan polisi, selalu waspada bukan
terhadap hawa nafsu tetapi malah kepada kebenaran yang sewaktu-waktu
bisa membongkar kedoknya. Apakah hidup dalam keadaan seperti itu
enak? Jelas sulit dan repot!
Ewuh (sulit) mring (menuju ke) pana (pemahaman) ninging (ketenangan)
ati (hati), temah (sehingga) wuru (mabuk) kabesturon (lalai, seperti orang
tertidur). Sulit menuju kepada pemahaman tentang ketenangan hati,
sehingga mabuk layaknya orang tidur.
Kabesturon dari kata besturu artinya lalai. Ada kata asal turu disini,
artinya lalainya seperti orang yang tertidur, kesadarannya tidak ada sama
sekali. Lebih-lebih jika yang tertidur orang mabuk, pastilah tidurnya amat
panjang, tidak bangun-bangun.
Sekali terjebak dalam perbuatnan tercela akan sulit untuk mencapai
pemahaman tentang ketenangan hati, apalagi mencapi keadaan itu.
Mempelajari pun enggan, apalagi mengupayakan. Hati menjadi abai
terhadap hal-hal spiritual. Sehingga lalai seperti orang mabuk yang tertidur
melantur.
Demikianlah makna bait ke-5 serat Sabdajati ini. Semoga menjadi
peringatan bagi kita semua.

14
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (6): Hayuning Tyas Sipat Kuping


Bait ke-6, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Nora kengguh mring pamardi reh budyayu,
hayuning tyas sipat kuping.
Kinepung panggawe rusuh,
lali pasihaning Gusti.
Ginuntingan kaya mrenos.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Tidak tergerak pada upaya mendapatkan kebaikan hati,
bahkan kebaikan hati lari menjauh sangat cepat.
Terkepung perbuatan hina,
melupakan kasih sayang Tuhan.
Digunting-gunting seperti kardus.

Kajian per kata:


Nora (tidak) kengguh (tergerak) mring (pada) pamardi (upaya) reh
budyayu (mendapatkan kebaikan hati), hayuning (kebaikan) tyas (hati)
sipat kuping (lari menjauh). Tidak tergerak pada upaya mendapatkan
kebaikan hati, bahkan kebaikan hati lari menjauh sangat cepat.
Jika hati sudah terlanjur masuk dalam jebakan iblis, masuk alam serba
repot maka sudah tidak tergerak lagi untuk berupaya mencapai kebaikan
hati, budyayu. Akibatnya segala sifat baik lari menjauh dari hati dengan
cepat. Kata sipat kuping di atas berarti lari dengan sangat cepat.
Seperti yang telah diuraikan dalam bait ke-3, bahwa kebaikan dan
keburukan tidak bisa hadir bersamaan secara harmonis dalam satu hati.
Sekali kita berpihak pada salah satunya yang lain akan lari. Dengan
mengijinkan iblis masuk melalui sikap lalai kita, maka kebaikan akan lari
dengan cepat menjauh, sipat kuping!
Kinepung (terkepung) panggawe (perbuatan) rusuh (hina, jahat), lali
(melupakan) pasihaning (kasih sayang) Gusti (Tuhan). Terkepung
perbuatan hina, melupakan kasih sayang Tuhan.
15
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Hilangnya sifat-sifat kebaikan dari hati membuat keburukan kembali hadir


dan menguat. Outputnya perbuatan hina semakin mendapat pembenaran
dan pembiasaan. Hati seperti dikepung perbuatan hina dari luar dan dari
dalam. Dari luar oleh kebiasaan buruk yang semakin mendapat tempat,
dari dalam oleh desakan hawa nafsu yang dituruti. Hati manjadi redup,
nurani semakin samar, akibatnya lupa akan kasih sayang Tuhan.
Ginuntingan (digunting-gunting) kaya (seperti) mernos (kardus).
Digunting-gunting seperti kardus.
Kepribadian manusia seperti itu sudah rusak, terpecah-pecah, berkeping-
keping layaknya guntingan-guntingan kardus. Kepribadian yang terpecah
tidak akan melahirkan ketenangan, yang muncul malah sifat-sifat buruk
yang aneh-aneh. Waspadalah!

16
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (7): Ulap Kalilipan Wedhi


Bait ke-7, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Parandene kabeh kang samya andulu,
ulap kalilipen wedhi.
Akeh ingkang padha sujut,
kinira yen Jabarail,
kautus dening Hyang Manon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Walau demikian semua yang melihat,
silau seolah matanya kemasukan pasir.
Banyak yang sama patuh,
dikira kalau itulah malaikat Jibril,
yang diutus oleh Yang Maha Tahu.

Kajian per kata:


Parandene (walau demikian) kabeh (semua) kang (yang) samya (pada)
andulu (melihat), ulap (silau) kalilipen (matanya kemasukan) wedhi
(pasir). Walau demikian semua yang melihat, silau seolah matanya
kemasukan pasir.
Bait ini menyinggung tentang fenomena seseorang yang sebenarnya
perbuatannya tidak baik (sebagaimana digambarkan dalam bait
sebelumnya) tetapi justru dikagumi orang banyak, menjadi idola, dielu-
elukan, dipatuhi dan mempunyai banyak pengikut.
Fenomena yang demikian itu sering kita jumpai dalam kehidupan. Orang
yang baik dihujat, yang lancung disembah-sembah layaknya dewata.
Apakah para manusia-manusia pengikutnya itu semua sudah kemasukan
pasir matanya? Sehingga tak mampu membedakan mana panutan yang
baik, mana panutan yang hanya cari sensasi?
Akeh (banyak) ingkang (yang) padha (sama) sujut (sujud, patuh), kinira
(dikira) yen (kalau) Jabarail (itulah Jibril), kautus (yang diutus) dening

17
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

(oleh) Hyang (Yang) Manon (Maha Tahu). Banyak yang sama patuh,
dikira kalau itulah malaikat Jibril, yang diutus oleh Yang Maha Tahu.
Banyak yang sujud pada orang tersebut. Sujud artinya menghamba begitu
rupa sampai segala titahnya dipatuhi dengan pengorbanan jiwa dan raga.
Mereka sedemikian patuhnya seolah-olah orang itu adalah jelmaan
malaikat Jibril yang sedang menjalankan tugas sebagai utusan yang Maha
Tahu.
Dalam bait ini Ki Pujangga tampaknya sedang menyoroti keadaan tata
masyarakat saat itu. Pada akhir abad 19 kekuasaan Belanda memang
berada pada puncaknya. Setelah perang Jawa selesai Belanda menangguk
untung besar-besaran karena biaya perang dibebankan kepada negri
Mataram dalam bentuk kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Kekuasaan kerajaan lokal seperti Surakarta dan Yogyakarta hampir tak
bersisa kecuali hanya sebagai simbol. De facto Belanda sudah menjajah
tanah Vorstenlanden, terutama di kerajaan Surakarta tempat sang pujangga
mengabdi. Raja Jawa tinggal sebagai raja simbolik saja.
Sulitnya keadaan ini tampaknya membuat banyak orang kehilangan
kendali diri, terseret dalam perbuatan cela demi keselamatan pribadi. Ki
Pujangga mengabadikan fenomena ini dalam tembang yang penuh kias
dan sasmita (isyarat). Agar orang pandai di kemudian hari dapat
mengambil manfaat, tanpa membuat keruh hati orang-orang bodoh yang
tak paham.

18
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (8): Kewuhan Jroning Ati


Bait ke-8, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Yen kang uning marang sejatining dhawuh,
kewuhan sajroning ati.
Yen tan niru ora arus,
uripe kaesi-esi,
yen niruwa dadi asor.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Kalau yang tahu tentang perintah sebenarnya,
akan canggung dalam hati.
Kalau tidak meniru tidak dihargai,
hidupnya tersia-siakan,
jika meniru akan menjadi hina.

Kajian per kata:


Yen (kalau) kang (yang) uning (tahu) marang (kepada) sejatining
(sebenarnya) dhawuh (perintah), kewuhan (canggung, kerepotan)
sajroning (di dalam) ati (hati). Kalau yang tahu tentang perintah
sebenarnya, akan canggung dalam hati.
Sungguh celaka jika kita harus hidup di bawah kendali orang yang tak
mengerti agama namun sangat populer seperti diuraikan dalam bait
sebelumnya. Tak melaksanakan hukum-hukum agama namun dielu-elukan
orang banyak, bak malaikat Jibril. Orang yang paham perintah agama yang
sebenarnya, akan menjadi serba repot jika punya atasan (atau panutan)
seperti itu. Yang dirasakan dalam hati serba canggung, geregeten dan
dongkol.
Yen (kalau) tan (tidak) niru (meniru) ora (tidak) arus (dihargai), uripe
(hidupnya) kaesi-esi (tersia-siakan), yen (kalau) niruwa (meniru) dadi
(menjadi) asor (hina). Kalau tidak meniru tidak dihargai, hidupnya tersia-
siakan, jika meniru akan menjadi hina.

19
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Sebagai panutan orang banyak tentu segala pernyataannya akan menjadi


acuan, segala perintahnya akan menjadi panutan, padahal sudah jelas
terang salahnya. Orang waras menjadi bingung, tidak meniru kok melawan
arus, bertentangan dengan kemauan orang banyak. Akibatnya hidupnya
akan menjadi bulan-bulanan, setiap hari menerima bully, disia-siakan
dalam pergaulan, dijauhi teman dan tetangga. Tentu hidup dengan cara ini
susah sekali. Sudah susah masih dianggap salah. Dianggap tak pro dengan
kebenaran. Mumet to?
Namun sebaliknya, jika meniru kok dalam hati juga tidak nyaman. Sudah
tahu keliru kok masih ditiru. Ini kan mengingkari hati nurani, mengingkari
kebenaran yang diyakini. Diam ketika melihat kesalahan saja sudah
membuat hati merasa kecut dan lemah. Lha kalau sudah tahu salah tapi
terpaksa meniru karena takut dengan akibatnya jika menentang? Sudah
jelas perbuatan ini sangat tercela, hanya orang-orang munafik yang biasa
melakukan ini, dan orang-orang penakut yang lemah iman.
Tetapi yang menjadi pertanyaan: siapakah panutan yang dimaksud dalam
bait ini? Melalui penelusuran sejarah sebenarnya tidak sulit
mengungkapnya, namun tidak ada kepentingan kita di sini untuk
mengungkap siapa dia. Cukuplah kami ingatkan bahwa sejarah akan
berulang dalam siklus tertentu dengan pola yang sama. Bisa saja itu terjadi
lagi di zaman ini. Maka hendaknya kita dapat mengambil pelajaran dari
masa lalu.

20
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (9): Kabegjan Anekani


Bait ke-9, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Ora ngandel marang gaibing Hyang Agung,
anggelar sakalir-kalir.
Kalamun temen tinemu,
kabegjane anekani ,
kamurahane Hyang Manon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Tidak percaya terhadap rahasia Yang Maha Agung,
yang menggelar segala-galanya.
Jikalau bersungguh-sungguh akan menemukan,
keberuntungan mendatangi,
atas kemurahan Yang Maha Tahu.

Kajian per kata:


Pada bait yang lalu diuraikan tentang keadaan canggung (ewuh) yang
dialami oleh orang yang tahu tentang sebenarnya perintah agama dalam
menghadapi panutan yang perbuatan sering melanggar aturan agama,
namun sangat populer dan dielu-elukan banyak orang. Diuraikan
bagaimana situasi tersebut membuat serba canggung, mau ikut kok salah,
tak menurut kok melawan arus. Bait ini memberi peneguhan hati bahwa
dalam berbuat semestinya kita hanya mempertimbangkan keridhaan Allah
SWT, penguasa sejati hidup kita.
Ora (tidak) ngandel (percaya) marang (terhadap) gaibing (rahasia)
Hyang (Yang) Agung (Maha Besar), anggelar (yang menggelar) sakalir-
kalir (segala-galanya). Tidak percaya terhadap rahasia Yang Maha
Agung, yang menggelar segala-galanya.
Orang yang meniru-niru walau sudah tahu bahwa panutan itu salah seolah-
olah tidak percaya dengan kekuasaan Tuhan yang tidak tampak. Memang
sekilas Tuhan tidak hadir dalam kehidupan kita, namun sesungguhnya Dia
tidak abai terhadap makhluknya. Dia senantiasa menangani segala urusan.

21
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Dia bukan pencipta yang setelah menciptakan sesuatu kemudian


meninggalkannya, tetapi selalu mengawasi ciptaanya dan memberi
petunjuk. Namun karena dia ghaib maka diperlukan mata batin untuk
menyadari kehadiranNya. Jika kita telah meyakini hal ini, Isya Allah yang
namanya pakewuh, ragu-ragu, tidha-tidha, waswas akan hilang.
Kalamun (jikalau) temen (bersungguh-sungguh) tinemu (akan
menemukan), kabegjane (keberuntungan) anekani (mendatangi),
kamurahane (atas kemurahan) Hyang (Yang) Manon (Maha Tahu).
Jikalau bersungguh-sungguh akan menemukan, keberuntungan
mendatangi atas kemurahan Yang Maha Tahu.
Jikalau bersungguh-sungguh mencari jalan kepadaNya, maka Dia akan
menyambut dengan turun memberi pertolongan. Memudahkan jalan,
menyingkirkan penghalang, mempercepat perjalanan. Begitulah cara Dia
menyambut hamba-hambanya yang berjuang menemuinya, dengan
sambutan yang berkali lipat lebih ramah dari apa yang kita lakukan.
Jika sudah menemukan jalan, keberuntungan akan mendatangi atas
kemurahan Yang Maha Tahu. Di sini Tuhan disebut sebagai Yang Maha
Tahu semata-mata untuk menegaskan bahwa Dia tidak abai tetapi selalu
mengetahui apa yang dilakukan hambanya, termasuk dalam upaya untuk
menemukan jalan kepadaNya. Untuk itu tidak perlu memelihara sikap
pekewuh tadi, singkirkan keraguan dan berbuatlah sesuai nurani.

22
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (10): Allah Paring Pitulung


Bait ke-10, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Anuhoni kabeh kang duwe panyuwun,
yen temen-temen sayekti.
Allah aparing pitulung,
nora kurang sandang bukti,
saciptane kelakon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Mengabulkan semua yang mempunyai permintaan,
jika benar-benar bersungguh-sungguh.
Tuhan memberi pertolongan,
tidak kurang sandang pangan,
semua yang dikehendaki terwujud.

Kajian per kata:


Hanuhoni (menuruti, mengabulkan) kabeh (semua) kang (yang) duwe
(mempunyai) panyuwun (permintaan), yen (jika) temen-temen
(bersungguh-sungguh) sayekti (benar-benar). Mengabulkan semua yang
mempunyai permintaan, jika benar-benar bersungguh-sungguh.
Menuruti semua yang meminta adalah sifat Allah Yang Maha Kaya. Jika
seorang hamba bersungguh-sungguh dalam menekuni jalan yang sudah
ditetapkanNya maka bukan hal yang sulit bagiNya untuk menuruti segala
permintaan itu. Tiada susah payah atau penghalang bagiNya untuk
melakukan itu. Sifat WelasNya akan membuatNya menyegerakan semua
permintaan.
Allah (Allah) aparing (memberi) pitulung (pertolongan), nora (tidak)
kurang (kurang) sandang (sandang) bukti (pangan), saciptane (semua
yang dikehendaki) kelakon (terwujud). Allah memberi pertolongan, tidak
kurang sandang pangan, semua yang dikehendaki terwujud.
Jangan khawatir kalau hanya berbeda sikap dengan makhlukNya lantas
membuatmu kelaparan. Tidak sekali-kali tidak! Sudah benar bahwa dalam
23
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

berbuat kita mesti menuruti hati nurani. Setelah itu serahkan akibatnya
kepada kekuasaan Allah, sebagai Yang Memberi perintah dan larangan.
Allah pasti akan memberi pertolongan dalam urusan duniwi. Takkan
kurang sandang dan pangan, serta keperluan lainnya. Semua yang
dikehendaki pasti akan terwujud.
Gatra ini menegaskan kekuasaan Tuhan sebagai pemilik alam raya
seisinya (sakalir-kalir). Bahwa dia akan mencukupi segala kebutuhan kita
apabila kita telah melaksanakan segala perintah dan larangannya.
Meskipun perintah dan larangan itu akan membuatnya berada dalam posisi
pakewuh seperti pada bait sebelumnya. Tinggalkanlah rasa pakewuh itu
dan mantapkan di jalanNya. Insya Allah segala urusanmu di dunia Dia
yang akan menyelesaikan.

24
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (11): Ambuka Warana


Bait ke-11, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Ki Pujangga nyambiwara weh pitutur,
saka mangunahing Widhi.
Ambuka warananipun,
aling-aling kang ngalingi,
angilang satemah katon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Ki Pujangga sambil mengabarkan memberi nasihat,
atas pertolongan Yang Maha Benar.
Membuka penghalang,
tabir yang menutupi,
setelah hilang akhirnya kelihatan.

Kajian per kata:


Ki Pujangga (Ki Pujangga) nyambiwara (sambil mengabarkan) weh
(memberi) pitutur (nasihat), saka (atas) mangunahing (pertolongan)
Widhi (Yang Maha Benar). Ki Pujangga sambil mengabarkan memberi
nasihat, atas pertolongan Yang Maha Benar.
Arti kata nyambiwara di atas terdapat dua tafsiran, dari kata sambewara
yang artinya berdagang, bebakulan. Dari kata sambi wara artinya sambil
membawa berita. Kata sambiwara sering dikaitkan dengn berita yang
menyebar dari mulut ke mulut, seperti pada kalimat: antuk kabar saka
mbok bakul sambiwara, mendapat kabar dari ibu-ibu pedagang yang
berdagang sambil membawa berita. Pada umumnya ibu-ibu kalau
berdagang sambil ngerumpi mengabarkan berita di sana, menanyakan
berita di sini. Lepas dari mana yang benar sesuai kaidah bahasa Jawa yang
baku, yang sudah kaprah bahwa sambiwara diartikan sebagai berita
sambilan yang dibawa bukan oleh utusan atau yang berwenang. Hanya
berita sambil lalu saja. Arti ini yang lebih sesuai konteks gatra di atas.

25
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Yang dimaksud mangunah (dari kata Arab ma’unah) adalah pertolongan


yang Allah berikan kepada sang Pujangga sehingga beliau dapat
menuliskan nasihat-nasihat dalam serat ini. Walau apa yang tertulis beliau
anggap hanyalah kabar berita saja, adapun jika ada yang berguna semua
itu adalah karena mangunah Yang Widhi, Tuhan Yang Maha Benar.
Ambuka (membuka) warananipun (penghalang, hijab), aling-aling (tabir)
kang (yang) ngalingi (menghalangi, menutupi), angilang (setelah hilang)
satemah (akhirnya) katon (kelihatan). Membuka penghalang, tabir yang
menutupi, setelah hilang akhirnya kelihatan.
Atas pertolongan Allah jualah beliau dapat membuka penghalang, hijab,
yang menjadi tabir yang menutupi. Sehingga setelah tabir itu hilang maka
tampaklah kenyataan yang terang benderang, tiada keraguan lagi.
Apa sesungguhnya yang hendak disampaikan Ki Pujangga sehingga beliau
membuat pernyataan ini? Nantikan kejelasannya dalam bait berikutnya.
Namun sebelum kita beralih ke kajian selanjutnya ada baiknya kita lihat
dahulu apa yang ditekankan oleh sang Pujangga melalui teks-teks dalam
beberapa bait yang sudah kita kaji.
Dalam bait ke-8 diceritakan tentang orang yang mengetahui hukum-
hukum agama yang berada pada situasi canggung dan penuh keraguan,
ikut arus tapi jelas salah atau mengikuti nurani tapi kehidupan terancam
(secara ekonomi). Pada bait ke-9 Ki Pujangga menegaskan bahwa
seharusnya kita tidak perlu ragu dalam bertindak, sudah jelas bahwa Allah
akan memberi pertolongan jika kita betul-betul melaksanakan segala
perintahnya. Di sini Allah disebut dengan sifatnya, yakni Hyang Manon,
Yang Maha Tahu. Penyebutan ini mengandung pesan bahwa apapun yang
engkau lakukan Allah tahu dan memberi respon. Respon tersebut berupa
mencukupi kebutuhan sandang panganmu, asalkan engkau bersungguh-
sungguh, kalamum temen tinemu, kabegjane anekani.
Dalam bait ini ketika tiba-tiba Ki Pujangga beralih topik tentang
terbukanya tabir yang menutupi kenyataan sebenarnya, sehingga tampak
apa yang tersembunyi, Ki Pujangga menyebut sifat Allah yang lain, Hyang
Widhi, Yang Maha Benar. Penyebutan ini juga tidak asal-asalan, beliau
bermaksud menegaskan bahwa apa yang akan beliau ungkapkan adalah
kabar dan nasihat yang benar yang beliau dapatkan atas pertolongan

26
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

(mangunah) dari Yang Maha Benar. Sekarang yang menjadi pertanyaan:


kabar apa yang hendak beliau sampaikan?
Nantikan dalam kajian bait berikutnya.

27
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (12): Sudranira Andadi


Bait ke-12, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Para jalma sajroning jaman Pakewuh
sudranira andadi,
rahurune saya ndarung.
Keh tyas mirong murang margi,
kasekten wus nora katon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Para manusia pada jaman serba sulit ini,
kenistaannya menjadi-jadi,
kerusuhannya semakin melantur.
Banyak hati yang membangkang menyimpang dari jalan yang
benar,
segala kemampuan sudah tidak terlihat.

Kajian per kata:


Para (para) jalma (manusia) sajroning (di dalam) jaman (zaman)
Pakewuh (sulit, repot), sudranira (kenistaan) andadi (menjadi-jadi),
rahurune (kerusuhan) saya (semakin) ndarung (melantur). Para manusia
pada jaman serba sulit ini, kenistaannya menjadi-jadi, kerusuhannya
semakin melantur.
Dalam serat Sabdatama yang sudah tuntas kita kaji, pada bait ke-2
disebutkan tentang keadaan serba sulit, pakewuh yang terjadi pada zaman
Kala Bendu, zaman yang penuh kutukan. Di zaman itu seolah semua
upaya manusia mandul tanpa guna. Orang-orang kehilangan kepercayaan
akan perbuatan baik karena selalu gagal. Akibatnya kebaikan tidak populer
untuk dikerjakan, yang terjadi kemudian penyimpangan merajalela.
Agaknya bait ini juga merujuk pada zaman tersebut. Kata zaman pakewuh
di atas, pada bait sebelumnya banyak menjangkiti para orang pandai yang
sebenarnya tahu aturan agama, paham aturan moral tetapi terpaksa ikut
arus akibat pakewuh tadi. Kecuali beberapa orang yang berpegang teguh

28
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

pada keyakinan, banyak orang yang kemudian ikut-ikutan berbuat sudra


(hina, nista). Akibatnya kehinaan menjadi hal yang lumrah dan semakin
menjadi-jadi (sudranira andadi). Karena sudah menjadi perilaku yang
lazim orang yang berbuat nista tidak lagi merasa malu.
Dalam tingkat sosial tindak-tindak rusuh semakin lama semakin
menggejala dalam keseharian. Kata ndarung bermakna terus menerus,
melantur ke mana-mana, tak dapat dicegah penyebarannya. Yang
demikian itu memang sudah menjadi watak dari masyarakat, sebagian
besar orang hanya ikut arus saja. Amat sedikit yang berpegang teguh pada
prinsipnya.
Keh (banyak) tyas (hati) mirong (membangkang) murang margi
(menyimpang dari jalan yang benar), kasekten (kesaktian, kepandaian,
kemampuan) wus (sudah) nora (tidak) katon (tampak). Banyak hati yang
membangkang menyimpang dari jalan yang benar, segala kemampuan
sudah tidak terlihat.
Tyas mirong adalah hati yang memberontak terhadap aturan yang baik.
Aturan-aturan ini bisa berarti aturan yang disepakati antar warga seperti
dalam sebuah komunitas. Bisa juga aturan universal dalam bentuk hukum-
hukum agama. Hati yang memberontak tadi sudah tidak mau menuruti
aturan bersama tadi, juga sudah abai terhadap aturan Tuhan yang berupa
hukum-hukum agama. Akibatnya perbuatannya murang margi,
menyimpang dari jalan yang benar, atau tersesat.
Gatra terakhir kasektene nora katon merujuk pada tumpulnya kemampuan
manusia dalam menyelesaikan masalah yang ada. Semua serba bingung,
ragu-ragu, repot, canggung dan tak berdaya. Gatra ini mengingatkan kita
pada kajian serat Kalatidha. Dalam redaksi yang berbeda Ki pujangga
mengungkapkan keadaan serupa: tidhem tandaning dumadi, sepi dari
tanda-tanda kehidupan. Artinya segala kemampuan manusiawi yang
seharusnya dapat dipakai untuk mencari solusi dan mengatasi masalah,
mandul. Seolah tak ada orang hidup yang tinggal di situ. Inilah zaman
Kala Bendu.

29
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (13): Sulaking Jaman Prihatos


Bait ke-13, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Katuwone winawas dahat matrenyu,
kenyaming sasmita yekti.
Sanityasa tyas malatkun,
kongas welase kapati,
sulaking jaman prihatos.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Kenyataannya terlihat amat mengharukan,
(Ki Pujangga) merasakan isyarat yang sebenarnya.
Senantiasa hati melihat kesedihan,
terlihat belas kasihan yang sangat,
karena tampak tanda-tanda zaman sengsara.

Kajian per kata:


Katuwone (katuhone, kenyataannya) winawas (terlihat) dahat (amat)
matrenyuh (mengharukan), kenyaming (merasakan) sasmita (isyarat)
yekti (sebenarnya). Kenyataannya terlihat amat mengharukan, (Ki
Pujangga) merasakan isyarat yang sebenarnya.
Kenyataannya terlihat amat mengharukan akibat dari rusaknya tatanan
kehidupan. Dalam masyarakat kebaikan tidak mendapat penghargaan,
dalam kenegaraan pejabat mencari selamat sendiri-sendiri, lebih suka ikut
arus yang menerjang aturan-aturan baik. Dalam serat kalatida disebut
atilar silastuti, meninggalkan aturan moral yang baik.
Keadaan ini membuat Ki Pujangga merasakan isyarat-isyarat keadaan
yang akan terjadi. Beliau sebagai seorang yang visioner pastilah sangat
memahami hukum-hukum kesejarahan, konsekuensi apa yang bakal
ditemui akibat rusaknya tatanan kehidupan seperti yang terjadi sekarang
ini (waktu ditulisnya serat Sabdajati ini).
Sanityasa (senantiasa) tyas (hati) malatkung (melihat kesedihan), kongas
(terlihat, menonjol) welase (belas kasihan) kapati (yang sangat), sulaking
30
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

(tanda-tanda) jaman (zaman) prihatos (sengsara). Senantiasa hati melihat


kesedihan, terlihat belas kasihan yang sangat, karena tampak tanda-tanda
zaman sengsara.
Hati sang Pujangga senantiasa merasakan kesedihan di mana-mana.
Terlihat belas kasihan yang sangat dari beliau karena sudah melihat tanda-
tanda bahwa akan terjadi zaman yang penuh kesengsaraan. Kalimat di atas
menunjukkan bahwa kesengsaraan yang akan terjadi begitu hebatnya.
Kalimat kongas welase kapati, terlihat belas kasihan yang sangat,
menunjukkan bagaiman besarnya kesedihan Ki Pujangga akan isyarat-
isyarat yang beliau terima.
Apakah yang akan terjadi dan sampai kapan terjadinya kesengsaraan yang
dimaksud? Jawabannya akan semakin terang pada bait-bait berikutnya.
Jangan lewatkan!

31
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (14): Wiku Memuji Ngesthi Sawiji


Bait ke-14, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Waluyane benjang lamun ana wiku,
memuji ngesthi sawiji,
sabuk tebu lir majenun,
galibedan tudang tuding,
anacahken sakehing wong.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Sembuhnya besok kalau sudah ada pendeta,
beribadah menghendaki Yang Satu.
Berikat pinggang tebu seperti orang gila,
berseliweran menunjuk-nunjuk,
menghitung-hitung semua orang.

Kajian per kata:


Waluyane (sembuhnya) benjang (besok) lamun (kalau) ana (ada) wiku
(pendeta, ulama), memuji (beribadah) ngesthi (menghendaki) sawiji
(Yang Satu). Sembuhnya besok kalau sudah ada pendeta beribadah
menghendaki Yang Satu.
Sembuhnya jaman yang penuh kerepotan, kesedihan dan kesengsaraan tadi
akan terjadi jika ada wiku (pendeta) yang memuji (beribadah menghendaki
Yang Satu. Ngesthi sawiji artinya hanya menghendaki Tuhan Yang Maha
Esa. Ini adalah ibadah yang sebenar-benarnya. Jika niat ibadah sudah
benar maka diharapkan zaman penuh kerepotan dan kesengsaraan tersebut
akan berakhir.
Gatra di atas selain bermakna tekstual di atas juga mengandung isyarat lain
yang tersembunyi. Kata wiku memuji ngesthi sawiji adalah kata yang
mengandung bilangan candra sengkala. Wiku = 7; memuji = 7; Ngesti =
8; Sawiji = 1, jika dibaca terbalik sesuai kaidah candra sengkala akan
menghasilkan angka 1877 tahun Jawa. Tahun itu bertepanan dengan
Tahun Masehi 1945-1946 Masehi. Apa yang terjadi di tahun-tahun itu
sudah kita ketahui bersama yakni bangsa Indonesia merebut kemerdekaan
32
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

dari tangan Belanda. Tahun 1945 adalah proklamasi, penyataan bahwa


kita sekarang merdeka, lepas dari cengkeraman Belanda. Sesudah tahun itu
sampai tahun 1949 negara kita dirundung peperangan yang hebat dalam
rangka mewujudkan impian mempunyai negara sendiri. Ada banyak
korban sekitar tahun-tahun yang bergolak itu. Mungkin itulah yang
dimaksud bahwa penderitaan akan mengalami ekskalasi sehingga
mencapai puncak. Sebelum akhirnya datang anugrah Tuhan berupa
kemerdekaan.
Sabuk (ikat pinggang) tebu (tebu) lir (seperti) majenun (orang gila),
galibedan (berseliweran) tudhang- tudhing (menunjuk-nunjuk),
anacahken (menghitung) sakehing (semua) wong (orang). Berikat
pinggang tebu seperti orang gila, berseliweran menunjuk-nunjuk,
menghitung-hitung semua orang.
Pada gatra ini ada sedikit perbedaan, Kamajaya dalam Lima Karya
Pujangga Ranggawarsita menulis sebagai sabuk lebu (berikat pinggang
debu). Sedangkan S Margana dalam Pujangga Jawa dan bayang-bayang
Kolonial menulis sebagai sabuk tebu. Kami ambil salah satunya saja
karena kami tak tahu mana yang lebih benar. Pemilihan kata sabuk tebu
hanya semata didasarkan pada ramalan lain dalam serat Sabdatama yang
juga memakai kata tebu, yakni pada kalimat gegaman tebu wulung arsa
ngrabaseng wedhon. Kami akan terus meneliti mana yang lebih benar,
kelak akan kami edit kembali post ini jika sudah mendapatkan kepastian.
Baik Karkana maupun S. Margana tidak menjelaskan lebih lanjut apa arti
tiga gatra terakhir tersebut. Kamajaya hanya menjelaskan makna per kata
dan menyerahkan kesimpulan kepada para pembaca. Berikut keterangan
Kamajaya yang kami ringkaskan di sini:
Sabuk lebu lir majenun, sang (pendeta) berikat pinggang debu seperti
orang sinting.
Di kalangan orang Jawa dikenal istilah sabuk galeng, galeng atau galengan
adalah pematang sawah, artinya orang yang mempunyai sawah, orang
yang berkecukupan. Sedangkan lebu (debu) adalah adalah tanah yang
tidak berharga, mungkin bisa mendatangkan penyakit. Mungkin sabuk
lebu berarti orang yang tidak mempunyai apa-apa, orang melarat.

33
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Galibedan tudhang-tudhing, berseliweran atau mondar-mandir ke sana ke


mari atau ada dimana-mana sambil menunjuk-nunjuk dengan jari
telunjuknya. Biasanya menunjuk-nunjuk dilakukan seseorang untuk
menunjukkan kesalahan (tunjuk hidung) atau untuk mengajak orang-orang
tertentu untuk melakukan suatu pekerjaan bersama-sama.
Anacahaken sakehing wong, menghitung-hitung semua orang (yang
disalahkan atau yang diajak melakukan suatu pekerjaan tadi).
Setelah menjelaskan arti masing-masing gatra di atas Kamajaya tidak
menjelaskan lebih lanjut maknanya. Beliau menyerahkan kepada kearifan
pembaca untuk menilai. Sedangkan S. Margana lebih jelas merujuk ke
tahun kemerdekaan RI, namun juga tanpa penjelasan lebih lanjut karena
kajian beliau bukan tentang topik tersebut.
Yang namanya ramalan memang sulit untuk dipastikan apa yang dimaksud
oleh yang meramal, karena disampaikan dalam bahasa kiasan atau sandi.
Namun berdasarkan ciri-ciri yang disampaikan dalam bait ini bisa
disimpulkan bahwa kejadian yang dimaksud adalah peristiwa sekitar tahun
kemerdekaan negara kita. Kami punya pendapat tersendiri berkaitan
dengan tafsiran bait ini.
Wiku memuji ngesthi sawiji adalah seorang tokoh agamis yang
mempelopori gerakan merebut kemerdekaan tersebut. Ini terbukti dari
banyak pelopor dan pahlawan kemerdekaan adalah orang-orang beriman
yang taat beragama.
Sabuk tebu lir majenun, adalah bahwa orang-orang tersebut menyandang
senjata yang sederhana untuk melawan penjajah. Ingat kata tebu pada serat
Sabdatama, gegaman tebu wulung arsa angrabaseng wedho, bersenjatakan
tebu wulung hendak memporak-porandakan pasukan hantu pocong. Boleh
dikata jika bukan orang nekad atau gila takkan berani dengan senjata
seadanya melawan pasukan Belanda yang memakai senapan. Kata wedhon
merujuk pada Belanda yang menakutkan karena senjatanya.
Sedangkan galibedan tudhang-tudhing adalah aktivitas membangkitkan
dan mengajak para pemuda untuk bangkit merebut dan mempertahankan
kemerdekaan. Para tokoh pejuang seperti Bung Karno, Bung Tomo
seringkali pidato dengan gestur tudhang-tudhing ini untuk membakar
semangat pemuda.

34
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Anacahaken sakehing wong, berarti menghitung-hitung kekuatan untuk


mengkonsolidasi penyerangan, mencari strategi berdasarkan kekuatan
pasukan kita dan memperhitungkan kekuatan musuh. Demikian tafsiran
kami.

35
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (15): Kala Suba Gumanti


Bait ke-15, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Iku lagi sirep jaman Kala Bendu,
Kala Suba kang gumanti,
wong cilik bisa gumuyu,
nora kurang sandhang bukti,
sedyane kabeh kelakon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Itu baru reda zaman Kala Bendu,
zaman Kala Suba yang menggantikan.
Rakyat jelata bisa tertawa,
tidak kurang sandang pangan,
yang dikehendaki semua tercapai.

Kajian per kata:


Iku (itu) lagi (baru) sirep (reda) jaman (zaman) Kala Bendu (Kala
Bendu), Kala Suba (Kala Suba) kang (yang) gumanti (menggantikan). Itu
baru reda zaman Kala Bendu, zaman Kala Suba yang menggantikan.
Sesudah ada pejuangan yang hebat seperti diuraikan dalam bait
sebelumnya, baru akan reda zaman Kala Bendu, kutukan akan hilang
berganti dengan zaman baru yang disebut Kala Suba. Arti Kala Suba
adalah, kala artinya zaman, suba artinya senang. Jadi Kala Suba artinya
zaman kesenangan.
Wong cilik (orang kecil, rakyat jelata) bisa (bisa) gumuyu (tertawa), nora
(tidak) kurang (kurang) sandhang (sandang) bukti (pangan), sedyane
(yang dikehendaki) kabeh (semua) kelakon (tercapai). Rakyat jelata bisa
tertawa, tidak kurang sandang pangan, yang dikehendaki semua tercapai.
Ciri-ciri dari zaman Kala Suba adalah rakyat jelata bisa tertawa, tidak
kurang sandang pangan, apa yang dikehendaki semua tercapai. Kalimat
terakhir tentu saja dikaitkan dengan konteks saat itu, bukan pada saat ini.
Zaman itu setiap orang sudah muak dengan penjajahan, mereka
36
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

menghendaki Belanda segera hengkang dari nusantara. Itulah kehendak


mereka saat itu.
Dari ciri-ciri yang disebutkan tadi tampaknya ramalan Ki Pujangga dalam
bait sebelumnya memang tentang proklamasi kemerdekaan. Setelah negara
kita resmi merdeka dan Belanda sudah betul-betul hengkang tidak
mengganggu lagi barulah dimulai era baru, zaman baru. Kini setelah lebih
dari 70 tahun merdeka tampaknya apa yang dicirikan dari zaman Kala
Suba baru perlahan-lahan terwujud.
Meski belum semua menjadi kenyataan setidaknya beberapa hal sudah tak
terbantah lagi. Sekarang kita tidak kurang sandang dan pangan. Setiap
orang sudah mempunyai baju satu lemari, dengan banyak model dan
jenisnya. Sekarang tidak ada lagi orang yang kurang pangan, malah
terkadang makanan pun dibuang-buang.
Adapun mengenai ciri ketiga yang disebut eksplisit dalam gatra di atas
yakni sedyane kabeh kelakon, tampaknya hanya akan menjadi cerita
sepanjang kita tak membiasakan mengukur diri sendiri. Keinginan
manusia selalu berlari melebihi laju pesawat jet sekalipun. Kapan sih kita
pernah puas?

37
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (16): Mring Jatining Nggon


Bait ke-16, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Pandulune Ki Pujangga durung kemput,
mulur lir benang tinarik.
Nanging kaseranging ngumur,
andungkap kasidan jati.
Mulih mring jatining enggon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Penglihatan Ki Pujangga belum tuntas,
memanjang seperti benang ditarik.
Namun sudah terserang umur,
hampir mencapai keabadian sejati.
Pulang kepada sejatinya tempat.

Kajian per kata:


Pandulune (penglihatan) Ki Pujangga (Ki Pujangga) durung (belum)
kemput (tuntas), mulur (memanjang) lir (seperti) benang (benang) tinarik
(ditarik). Penglihatan Ki Pujangga belum tuntas, memanjang seperti
benang ditarik.
Penglihatan Ki Pujangga belum tuntas, masih banyak hal lain yang akan
terlihat. Pandangannya seolah seperti benang yang ditarik, memanjang
menjangkau jauh ke masa depan. Visi beliau yang jauh melampaui zaman
seakan melihat dengan jelas apa yang akan terjadi di hari esok.
Nanging (namun) kaseranging (terserang oleh) ngumur (usia),
andungkap (hampir mencapai) kasidan (keabadian) jati (sejati). Namun
sudah terserang umur, hampir mencapai keabadian sejati.
Namun apa daya, sudah harus berhenti karena terserang umur. Sudah
hampir sampai pada alam keabadian sejati. Kata kasidan jati adalah kata
yang sering dipakai untuk menyebut alam lain, alam tempat manusia
mengalami kelanggengan yang sejati, terhindar dari perubahan-perubahan.

38
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Mulih (pulang) mring (kepada) jatining (sejatinya) enggon (tempat).


Pulang kepada sejatinya tempat.
Pulang ke tempatnya yang sejati. Mulih mula mulanira, pulang ke tempat
asal mula. Yakni tempat kita dahulu berasal dan tempat kita akan kembali.
Itulah rumah kita, tempat tinggal kita yang sebenarnya.
Dengan kata lain Ki Pujangga sudah merasa bahwa hari-hari beliau akan
meninggalkan dunia ini sudah dekat. Kenyataan ini memupus penglihatan
beliau yang sedang terang-terangnya, sedang di puncak penglihatan masa
depan. Namun apa boleh buat manusia takkan mampu menolak ketetapan
Yang Maha Kuasa.
Kematian adalah hal pasti terjadi pada setiap manusia, ini peristiwa luar
biasa yang lumrah namun dalam bait selanjutnya kita akan disuguhi
kenyataan yang mencengangkan. Peristiwa tak biasa yang akan membuat
para pembaca salto tujuh kali. Apa itu? Nantikan kajian berikutnya.

39
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (17;18): Emating Pati Patitis


Bait ke-17;18, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat
Sabdajati karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Amung kurang wolung ari kang kadulu,
emating pati patitis.
Wus katon neng lokil makpul,
angumpul ing madya ari,
amarengi ri Budha Pon.

Tanggal kaping lima antarane luhur,


selaning tahun Jimakir,
tolu uma aryang jagur,
sengara winduning pati,
netepi kumpul saenggon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Hanya kurang delapan hari yang terlihat,
nyamannya mati yang benar.
Sudah terlihat di lauhil mahfudh.
Bertemu perhitungannya di tengah hari,
bersamaan denga hari Rabu Pon.

Tanggal yang ke-15, kira-kira waktu dhuhur,


bulan Sela, pada tahun Jimakir.
Wuku Tolu, padewan Uma, padangon Aryang, paringkelan Jagur,
windunya Sengara, itulah waktu ajal
Mematuhi ketetapan berkumpul di satu tempat.

Kajian per kata:


Amung (hanya) kurang (tinggal) wolung (delapan) ari (hari) kang (yang)
kadulu (terlihat), emating (nyamannya) pati (mati) patitis (yang benar,
tepat). Hanya kurang delapan hari yang terlihat, nyamannya mati yang
benar.
Ki Pujangga melihat hanya tinggal delapan hari dari waktu ajal. Emat
artinya nyaman, khusu’, fokus, jelas. Kematian itu terlihat jelas dan
40
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

nyaman, tidak menimbulkan kegalauan. Nyatanya Ki Pujangga masih


sempat untuk menuliskan karya ini sebagai sarana untuk berpamitan.
Wus (sudah) katon (terlihat) neng (di) lokil (lauhil) makpul (mahfudh).
Sudah terlihat di lauhil mahfudh.
Sudah jelas di Lauhil Mahfudh, tempat yang terpelihara dalam lindungan
Allah SWT. Tentu saja kalau ini hanya dugaan saja karena tak mungkin Ki
Pujangga mengetahui Lauhil Mahfudh. Hanya saja ini adalah isyarat akan
keyakinan Ki Pujangga tentang hari kematian itu. Dengan mengatakan
sudah tertulis di Lauhil Mahfudh Ki Pujangga bermaksud menegaskan
keyakinan itu, bahwa pada hari itu sudah pasti beliau akan menemui ajal.
Angumpul (bertemu perhitungannya) ing (di) madya (tengah) ari (hari),
amarengi (bersamaan) ri (hari) budha (rabu) pon (pon). Tanggal
(tanggal) kaping (yang ke) lima (lima) antarane (kira-kira waktu) luhur
(dhuhur), sela (sasi Sela) ning (pada) tahun (tahun) Jimakir (Jim Akhir).
Tolu (wuku Tolu) uma (padewan Uma) aryang (paringkelan Aryang)
jagur (padangon Jagur), sengara winduning (windunya sengara) pati
(waktu ajal).
Bertemu perhitungannya di tengah hari, bersamaan denga hari Rabu Pon.
Tanggal yang ke-5, kira-kira waktu dhuhur, bulan Sela, pada tahun
Jimakir. Wuku Tolu, padewan Uma, padangon Aryang, paringkelan Jagur,
windunya Sengara, itulah waktu ajal.
Untuk angka dan nama di atas kiranya tidak perlu kami jelaskan lagi
karena hanya menandakan waktu. Namun bagi yang belum jelas tentang
beberapa istilah akan kami jelaskan secara singkat:
Budha adalah nama hari dalam kalender Jawa yang artinya sama dengan
Rabu. Urutannya mulai dari hari pertama adalah: Radite, Soma, Anggara,
Budha, Respati, Sukra, Tumpak.
Pon adalah siklus 5 harian dalam hitungan Jawa, ada lima nama hari: Pon,
Wage, Kliwon, Legi, Pahing.
Sela adalah nama lain bulan Dulkangidah atau Apit atau sama dengan
bulan Dzulkaidah. Nama bulan yang lain mulai dari bulan pertama: Sura,
Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akir, Rejeb, Ruwah,
Pasa, Sawal, Sela, Besar.

41
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Jimakir adalah nama tahun Jawa. Ada 8 nama tahun yang berulang mulai
dari yang pertama: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir.
Sengara adalah nama windu, yakni hitungan tiap 8 tahun. Ada 4 nama
windu: Adi, Kuntara, Sengara, Sancaya.
Tolu adalah nama wuku (wuku=7 hari). Ada 30 nama wuku: Sinta,
Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung,
Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya,
Julungpujut, Pahang, Kuruwekut, Marakeh, Tambir, Medangkungan,
Maktal, Waye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu,
Dukut, Watagunung.
Uma adalah nama padewan, yakni siklus hitungan 8 harian. Ada 8 nama
hari mulai yang pertama: Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala,
Uma. Semua itu nama-nama dewa sehingga siklus ini disebut padewan.
Tampaknya ini berasal dari pananggalam lama, yakni sewaktu masih
mengikuti tahun Saka.
Aryang adalah nama paringkelan, yakni siklus 6 harian. Nama-nama
harinya adalah: Tungle, Aryang, Wurukung, Paningron, Uwas, Maulu.
Jagur adalah nama padangon, yakni siklus 9 harian. Nama-nama harinya
adalah: Dangu, Jagur, Gigis, Kerangan, Nohan, Wogan, Tulus, Wurung,
Dadi.
Semua sistem di atas adalah yang berlaku bagi orang Jawa. Masih ada satu
lagi sistem perhitungan yakni pranatamangsa, yang berguna bagi petani.
Jadi bagi orang Jawa perhitungan hari menjadi sangat rumit. Semua itu ada
gunanya masing-masing dan tidak selalu disertakan bersama-sama. Kalau
Ki Pujangga pada kesempatan ini memakai semua perhitungan semata-
mata karena penegasan bahwa hitungan beliu sangat tepat.
Netepi (mematuhi ketetapan) kumpul (berkumpul) saenggon (satu
tempat). Mematuhi ketetapan berkumpul di satu tempat.
Mematuhi ketetapan di sini adalah ketetapan takdir, bahwa semua manusia
pasti akan berkumpul manjadi satu di padang Mahsyar. Ki Pujangga sadar
itu, dan menyambutnya dengan ketenangan.

42
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdajati (19): Ki Pujangga Pamit Layon


Bait ke-19, Pupuh Megatruh (metrum: 12u,8i,8u,8i,8o), Serat Sabdajati
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Kasunanan Surakarta
Adiningrat.
Cinitra ri budha kaping wolulikur,
sawal ing tahun Jimakir,
candraning warsa pinetung,
sembah mukswa pujanga ji.
Ki Pujangga pamit layon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Digubah hari Rabu, tanggal 28
Sawal di tahun Jimakir, 1802Jawa atau 1873 Masehi.
Candra sengkala tahun dihitung:
Sembah = 2. Mukswa = 0, Pujangga = 8, Ji = 1 (1802Jawa) / 1873
M.
Ki Pujangga pamit mati.

Kajian per kata:


Cinitra (dikarang) ri (hari) budha (Rabu) kaping (yang ke) wolulikur (dua
puluh delapan, 28), sawal (sawal) ing (di) tahun (tahun) Jimakir
(Jimakir).
Candraning (candra sengkala) warsa (tahun) pinetung (dihitung), sembah
(menyembah) mukswa (dengan suksa dan raga) pujanga (pujangga) ji
(satu). Candra sengkala tahun dihitung: Sembah = 2. Mukswa = 0,
Pujangga = 8, Ji = 1 (1802) bertepatan dengan tahun Masehi 1873.
Digubah hari Rabu, tanggal 28 Sawal di tahun Jimakir, 1802Jawa atau
1873 Masehi.
Ki Pujangga (Ki Pujangga) pamit (pamit) layon (mati). Ki Pujangga
pamit mati.
Keterangan:
Ki pujangga meninggal 24 Desember 1873, pada hari Rabu Pon, tepat satu
minggu dari serat ini digubah atau pada hari ke-8. Seperti yang kita lihat
bahwa dalam serat Sabdajati ini Ki Pujangga meramalkan hari
43
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

kematiannya sendiri dengan tepat. Ada banyak kontroversi mengenal hal


ini, namun hal itu di luar topik bahasan kali ini dan memerlukan analisa
tersendiri. Kami tidak ingin terjebak dalam perdebatan yang dapat
mengurangi fokus kajian ini, yakni mengungkap makna dalam ajaran para
leluhur agar dapat kita pilih, kita pilah dan kita teladani.
Sekian kajian serat Sabdajati, semoga bermanfaat.
TAMMAT.

Mirenglor, 30 Oktober 2017

Bambang Khusen Al Marie

44
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Bagian Kedua

SERAT SABDATAMA

45
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kata pengantar

Serat Sabdatama merupakan karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dari


Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sabda artinya perkataan, petuah,
tama artinya utama. Sabdatama artinya petuah yang utama.
Serat Sabadatama terdiri dari Pupuh Gambuh 22 bait, berisi petuah agar
selamat dari zaman kutukan, mengapa bisa datang zaman kutukan itu dan
cara untuk menghilangkan kutukan itu.
Sumber naskah bahasa Jawa yang dipakai dalam buku ini diambil dari
Lima Karya Pujangga Ranggawarsita yang ditulis oleh Kamajaya yang
ditebitkan oleh Balai Pustaka. Karkana Kamajaya adalah seorang
budayawan Jawa dan pejuang angkatan 45.

Terjemah dan komentar oleh Bambang Khusen Al Marie.

46
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

PUPUH

GAMBUH

47
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (1-2): Nyenyuda Hardaning Ati


Bait ke-1-2, Pupuh Gambuh, Serat Sabdatama karya R. Ng.
Ranggawarsita.
Rasaning tyas kayungyun,
angayomi lukitaning kalbu.
Gambir wana kalawan hening ing ati,
kabekta kudu pitutur,
sumingkiring reh tyas mirong.

Den samya amituhu,


ing sajroning Jaman Kala Bendu,
yogya samya nyenyuda hardaning ati.
Kang anuntun mring pakewuh,
uwohing panggawe awon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Rasanya hati sangat terpesona,
untuk menjaga keindahan kalbu
Dengan ketenangan hati,
terbawa harus memberi nasihat,
agar menjauh dari hati yang membangkang.

Harap semua mematuhi,


di saat jaman terkutuk,
seyogyanya semua mengurangi hasrat angkara di hati.
Yang menuntun pada kerepotan,
buah dari perbuatan buruk.

Kajian per kata:


Rasaning (rasanya) tyas (hati) kayungyun (terpesona), angayomi
(menjaga) lukitaning (keindahan) kalbu (rasa). Rasanya hati sangat
terpesona, untuk menjaga keindahan kalbu.
Kata lukita berarti gubahan kalimat, lukitaning kalbu artinya gubahan
kalimat di dalam hati, yang dimaksud adalah inspirasi atau ilham sehingga
membuat perasaan menjadi terpesona atau terdorong untuk
mengungkapkannya.
48
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Gambir wana (wantun) kalawan (dengan) hening (ketenangan) ing ati


(dalam hati), kabekta (terbawa) kudu (harus) pitutur (memberi nasihat),
sumingkiring (menjauhi) reh (dalam hal) tyas (hati) mirong
(membangkang). Dengan ketenangan hati, terbawa harus memberi
nasihat, agar menjauh dari hati yang membangkang.
Gambir wana kalawan adalah wangsalan, yakni sejenis teka-teki dalam
sastra Jawa yang merupakan hiasan kalimat agar terdengar indah. Kaidah
wangsalan adalah mengambil satu atau beberapa suku dari jawaban
sebelumnya untuk membentuk kata berikutnya. Dalam kalimat di atas
teka-tekinya adalah gambir wana, jawabannya adalah wantun. Maka
diambil suku kata wan dan membentuk kata kalawan.
Mirong adalah kata yang sering dipakai untuk menggambarkan
pemberontakan, lengkapnya mirong kampuh jingga, secara tekstual artinya
menyelitmutkan kampuh (kain sejenis selendang) jingga. Yang dimaksud
adalah orang yang sengaja menyelimutkan kain sebagai tanda memisahkan
diri dari kelompok. Kalimat itu sering dipakai untuk menyebut seseorang
yang melakukan pembangkangan atau pemberontakan. Jadi yang
dimaksud tyas mirong adalah hati yang membangkang.
Apa yang dirasakan dalam hati tadi membawa atau mendorong untuk
membeberkan sebuah nasihat, agar menjauh dari hati yang membangkang.
Membangkang di sini maksudnya memberontak terhadap aturan moral
yang benar, ungkapan lain dari hati yang menuruti hawa nafsu.
Den (harap) samya (semua) amituhu (mematuhi), ing (di) sajroning
(dalam, waktu, saat) Jaman Kala Bendu (jaman terkutuk), yogya
(seyogyanya) samya (semua) nyenyuda (mengurangi) hardaning (hasrat
angkara) ati (hati). Harap semua mematuhi, di saat jaman terkutuk,
seyogyanya semua mengurangi hasrat angkara di hati.
Mengenai zaman Kala Bendu ini silakan melihat uraiannya di kajian serat
Kalatidha. Secara singkat zaman terkutuk adalah zaman ketika negara
rusak padahal seluruh punggawa negara isinya orang-orang cakap dan
pandai. Orang-orang itu seolah tak berdaya membenahi rusaknya tatanan
negara, lumpuh mirip orang yang dikutuk. Nah, pada zaman seperti ini
seyogyanya semua orang mengurangi hasrat angkara di hati, agar
kerusakan tidak bertambah parah.

49
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Arti kata harda dalam frasa hardaning ati sudah kami kupas dalam kajian
serat Wulangreh dan Wedatama, harda adalah keinginan yang sangat dari
hati, nafsu yang memuncak, yang hampir-hampir tak tertahankan dan
segera ingin dipenuhi. Harda ini akan menyeret manusia kepada tindak
angkara karena sering ketika keinginan itu tak tertahankan kemudian
menempuh cara tercela untuk melampiaskannya.
Kang (yang) anuntun (menuntun) mring (pada) pakewuh (kerepotan),
uwohing (buah) panggawe (dari perbuatan) awon (buruk). Yang
menuntun pada kerepotan, buah dari perbuatan buruk.
Harda yang terlampiaskan dengan cara tercela tadi akan berujung pada
kerepotan diri sendiri. Hasratnya terpuaskan sesaat, akibatnya datang
berkepanjangan. Ibarat menebar angin akan menuai badai. Itulah buah dari
perbuatan buruk.

50
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (3): Angkara Kalindhih


Bait ke-3, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Ngajapa tyas rahayu,
ngayomana sasameng tumuwuh,
Wahanane ngendhak angkara kalindhih.
Ngendhangken pakarti dudu,
dinuwa luwar tibeng doh.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Berharaplah pada keselamatan hati,
lindungilah sesama makhluk hidup.
Itulah sarana untuk menghentikan angkara murka.
Membuang perbuatan yang bukan-bukan,
didorong keluar hingga jatuh ke tempat jauh.

Kajian per kata:


Ngajapa (berharaplah) tyas (hati) rahayu (keselamatan), ngayomana
(lindungilah) sasameng (sesama) tumuwuh (yang hidup). Berharaplah
pada keselamatan hati, lindungilah sesama makhluk hidup.
Ada sebuah kalimat bijak dari orang terdahulu, dalam diri seseorang ada
segumpal daging yang jika yang segumpal itu baik maka baiklah orang itu,
jika jelek maka jeleklah orang itu. Daging yang segumpal itu dinamakan
hati.
Oleh karen itu dalam keadaan apapun, entah ketika sedang mengalami
zaman terkutuk seperti pada zaman serat ini digubah atau dalam keadaan
ketika orang serba repot, susah dan bingung, tetaplah berusaha menjaga
hati. Jangan sampai hati kita kotor oleh cemarnya nafsu syetan yang
membujuk.
Yang pertama berharaplah (tentu dengan disertai usaha) agar hati kita
penuh keselamatan, yang kedua lindungilah sesama makhluk hidup.
Upayakan dua hal ini secara sungguh-sungguh dalam keadaan apapun.

51
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Wahanane (sarananya) ngendhak (menghentikan) angkara (angkara


murka) kalindhih (kalah). Itulah sarana untuk menghentikan angkara
murka.
Hati yang selamat (qalbun salim), penuh kedamaian, tenang dalam
bersikap, cermat dalam rencana dan berhati-hati dalam bertindak. Keadaan
hati yang demikian akan menekan hardaning ati, membuat hawa nafsu
menciut sehingga hati menjadi bersinar (hati nurani). Hasrat angkara akan
kalah terdesak oleh hati nurani. Itulah cara untuk menghentikan angkara.
Ngendhangken (membuang) pakarti (perbuatan) dudu (yang bukan-
bukan), dinuwa (didorong) luwar (keluar) tibeng (jatuh) doh (jauh).
Membuang perbuatan yang bukan-bukan, didorong keluar hingga jatuh ke
tempat jauh.
Jika hati mengalahkan desakan hawa nafsu maka outputnya akan berwujud
tindakan mulia dan simpatik. Segala perbuatan tercela, yang tidak ada
anjurannya, akan hilang terdorong keluar hingga jatuh ke tempat yang
jauh.
Dalam bait ini ada sebuah nasihat yang amat bernilai tinggi: cara
menghilangkan perbuatan buruk adalah dengan meningkatkan perbuatan
baik, sehingga makin lama keburukan akan terdesak keluar.

52
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (4): Tyas Riwut Rawat Dahuru


Bait ke-4, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Beda kang ngaji pupung,
nir waspada rubedane tutut,
Akekinthil tan angop anggung tut wuri.
Tyas riwut rawat dahuru.
Korup sinerung ing goroh.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Berbeda yang aji mumpung,
tanpa kewaspadaan halangan dekat.
Membuntuti tak mau berhenti, senantiasa mengikuti di belakang.
Hati yang kacau memelihara kerusuhan.
Niat korupsi tersembunyi dalam kebohongan.

Kajian per kata:


Beda (berbeda) kang (yang) ngaji pupung (aji mumpung), nir (tanpa)
waspada (waspada) rubedane (halangan) tutut (jinak, akrab, dekat).
Berbeda yang aji mumpung, tanpa kewaspadaan halangan dekat.
Yang dimaksud aji pupung (aji mumpung) adalah menggunakan waktu
selagi masih ada kesempatan. Namun kata ini biasanya untuk menyebut
kebiasaan buruk yang berupa penyalahgunaan wewenang. Misalnya,
mumpung berkuasa kemudian membuat kebijakan yang menguntungkan
diri sendiri atau kerabatnya. Orang yang demikian biasanya tidak ingat dan
waspada terhadap resiko yang timbul dari konsekuensi perbuatannya.
Gatra kedua, nir waspada rubedane tutut, tanpa waspada halangan dekat,
ini kalimat yang bermakna dalam. Tutut biasanya dipakai untuk menyebut
binatang galak yang sudah terbiasa dengan manusia. Meski sudah terbiasa
binatang galak menyimpan potensi bahaya, dapat membuat celaka
sewaktu-waktu. Jadi makna tanpa waspada halangan dekat adalah tanpa
kewaspadaan sewaktu-waktu halangan bisa mencelakakan karena sudah
berada di dekat kita.

53
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Akekinthil (membuntuti) tan (tak) anggop (berhenti) anggung


(senantiasa) tut wuri (mengikuti). Membuntuti tak mau berhenti,
senantiasa mengikuti di belakang.
Inilah potensi bahaya yang selalu mengikuti orang yang tidak waspada,
seperti binatang buas yang selalu mengekor di belakang, sewaktu-waktu
siap menerkam.
Tyas (hati) riwut (kacau) rawat (memelihara) dahuru (kerusuhan). Hati
yang kacau memelihara kerusuhan.
Dahuru berarti huru-hara atau rusuh. Orang yang hatinya kacau (tyas
riwut) seolah memelihara huru-hara dalam dirinya yang sewaktu-waktu
juga bisa meledak menjadi perbuatan tercela jika ada pemicunya.
Korup (korupsi) sinerung (tersembunyi) ing (dalam) goroh (kebohongan).
Niat korupsi tersembunyi dalam kebohongan.
Menurut Javanese-English Dictionary, Horne, 1974, kata korup dalam
bahasa Jawa memang serapan dari corrupt, misal pada kalimat: dhuwite
Jawatan dikorup karo kepalane dhewe, uang Jawatan dikorupsi oleh
kepalanya sendiri. kata serapan dalam bahasa Jawa yang diambil dari
bahasa asing memang banyak ditemukan karena kita punya sejarah yang
panjang berinteraksi dengan mereka. Jadi kata korup sudah lama kita
kenal, karena itu mungkin juga sudah ada kejadiannya di masa lalu.
Orang yang sudah berniat korupsi akan menyusun kebohongan demi
kebohongan agar niatnya terlaksana. Jika dia pejabat dia akan menyusun
anggaran yang menguntungkan kroni-kroninya dengan berbagai dalih
pembenar. Merekayasa spek agar hanya kroninya yang bisa lolos tender,
dll. Kalau soal contoh perbuatan buruk kita bisa menyebutkan banyak,
namun kita sebenarnya tidak terlalu butuh contoh seperti itu. Cukuplah
kita ketahui bahwa perbuatan buruk tak pantas kita lakukan.

54
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (5): Kari Ketaman Pakewuh


Bait ke-5, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Ilang budayanipun.
Tanpa bayu weyane ngalumpuk.
Saciptane wardaya kang mbebayani.
Ubayane nora payu,
kari ketaman pakewuh.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Hilanglah kehalusan budinya.
Tanpa kekuatan lengahnya berkumpul.
Apapun yang dikehendaki dalam pikiran selalu membahayakan.
Janjinya tidak dipercaya,
tinggal tertimpa kerepotan.

Kajian per kata:


Ilang (hilang) budayanipun (kehalusan budinya). Hilanglah kehalusan
budinya.
Bait ini menggambarkan keadaan orang yang tidak mencari keselamatan
hati, yang terjadi kemudian tumpul akal budinya sehingga hilanglah
budayanya, lenyaplah kesopanan tindak-tanduknya.
Tanpa (tanpa) bayu (kekuatan) weyane (lengahnya) ngalumpuk
(berkumpul). Tanpa kekuatan lengahnya berkumpul.
Seolah tanpa kekuatan, karena potensi-potensi kebaikan tidak muncul
menjadi tindakan nyata, tidak mewujud sebagai sifat-sifat kebaikan. Yang
ada lemah dan lengah, berkumpul dalam satu diri. Ini berbahaya karena
seperti yang sudah diuraikan pada bait sebelumnya, sifat angkara akan
hilang jika kita mengupayakan keselamatan hati, qalbun salim. Namun
akan kembali menguat ketika sifat luhur hilang dari hati. Karena kedua
kutub sifat manusia itu akan saling mengintip untuk saling mendesak dan
menguasai.

55
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Saciptane (apapun yang dikehendaki) wardaya (hati) kang (yang)


mbebayani (membahayakan). Apapun yang dikehendaki dalam pikiran
selalu membahayakan.
Apabila hati sudah dikuasai oleh sifat-sifat tercela apapapun yang keluar
darinya, dalam bentuk angan-angan atau kehendak akan selalu
membahayakan. Hati akan selalu menerbitkan keinginan buruk, sementara
akal akan mencari cara agar tindak angkara terlaksana. Meski tahu segala
resiko keburukan tetapi diringankan dalam pandangan, segala bahaya
dipandang sebelah mata.
Ubayane (janjinya) nora (tidak) payu (dipercaya), kari (tinggal) ketaman
(tertimpa) pakewuh (kerepotan). Janjinya tidak dipercaya, tinggal
tertimpa kerepotan.
Jika sudah menjalar ke ranah perbuatan akan tiba saatnya hilangnya
kepercayaan orang. Janji-janji yang keluar dari hati yang sakit itu takkan
dipercaya orang lain. Yang tertinggal hanyalah kerepotan yang silih
berganti menimpanya.
Orang yang lalai menjaga hati dan menyerahkan kepada syetan
sesungguhnya yang ditemui hanyalah kerepotan yang berlipat, namun
banyak orang melakukannya karena menyerah pada hati yang
membangkang (tyas mirong).

56
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (6): Ngleluri Para Leluhur


Bait ke-6, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Rong asta wus katekuk,
kari ura-ura kang pakantuk,
Dandanggula lagu palaran sayekti,
ngleluri para leluhur.
Abot ing sih swami karo.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Dua tangan sudah dilipat,
tinggal berdendang yang bermanfaat.
Dandang Gula lagu palaran sungguh,
melestarikan ajaran para leluhur.
Demi karena kasih dua majikan.

Kajian per kata:


Rong (dua) asta (tangan) wus (sudah) katekuk (dilipat), kari (tinggal) ura-
ura (berdendang) kang (yang) pakantuk (bermanfaat). Dua tangan sudah
dilipat, tinggal berdendang yang bermanfaat.
Dua tangan dilipat dalam bahasa Jawa disebut sedhakep, yakni melipat
tangan di dada dengan saling berkaitan. Sikap ini umumnya dilakukan oleh
para juragan ketika mengawasi anak buahnya, atau sering juga dilakukan
ketika mengawasi tanaman padi, atau lainnya. Yang jelas gesture sedhakep
menunjukkan superioritas.
Sedhakep sambil ura-ura (berdendang lagu jawa tanpa iringan musik), ini
makin lengkap superioritasnya. Ura-ura adalah kebiasaan orang yang
sudah mulya hidupnya. Misalnya, seorang kaya yang sedhakep berdiri
mengawasi burung perkutut sambil ura-ura. Benar-benar jalma pinilih
alias extraordinary people. Umumnya kebiasaan ini dilakukan oleh orang
tua yang urusan dunianya sudah selesai, tinggal menekuni ibadah sambil
sesekali mengawasi anak-cucu.
Dhandhanggula (dhandhang gula, salah satu tembang macapat) lagu
(lagu) palaran (palaran adalah jenis cengkok lagu Jawa) sayekti
57
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

(sungguh), ngleluri (melestarikan) para (para) leluhur (leluhur). Dandang


Gula lagu palaran sungguh, melestarikan ajaran para leluhur.
Yang dimaksud ura-ura bagi seorang pujangga tentu saja menggubah
karya, karena umumnya karya-karya pujangga Ranggawarsita berupa
tembang Macapat yang biasa dilagukan dengan cara ura-ura tadi. Di atas
disebut Dhandhanggula lagu palaran. Kata palaran berasal dari kata Palar,
sebuah tempat yang sekarang masuk kecamatan Trucuk, kabupaten Klaten.
Tempat tersebut asal leluhur Ranggawarsita yang bernama Raden Ngabei
Sudiradirja Gantang, kakek Ranggawarsita dari pihak ibu. Raden Ngabei
Sudiradirja Gantang ini sangat piawai melagukan Dhandhang Gula dengan
cengkok tertentu yang kemudian disebut cengkok palaran.
Ngleluri para leluhur bisa diartikan sang pujangga membuat karya yang
berkaitan dengan cerita para leluhur dengan irama Dhandhang Gula.
Sekaligus dilagukan dengan cengkok yang dipakai leluhurnya, yakni
cengkok palaran tadi. Sampai di sini ada benang merah yang
menghubungkan antara serat Sabdatama ini dengan serat Kalatidha (sudah
kita kaji tuntas). Ada kata kunci yang menghubungkan keduanya yakni
sama-sama menyebut jaman Kala Bendu. Kita akan sedikit melihat
kembali kaitan ini agar mendapat gambaran yang jelas tentang latar
belakang serat Sabdatama ini.
Di dalam serat Kalatidha sang pujangga berniat untuk mundur dari hiruk-
pikuk dunia politik dan fokus untuk angiket cariteng kuna. Tampaknya
serat Sabdatama ini adalah tindak lanjut dari niat itu. Dalam bait ini
dipakai simbol sedhakep sambil ura-ura, sikap ini hanya biasa dilakukan
oleh orang yang sudah mundur dari pencarian dunia sehingga hanya
mengawasi apa yang terjadi saja. Dan ini cocok dengan situasi yang
dialami sang pujangga.
Abot (demi karena) ing sih (kasih) swami (majikan) karo (dua). Demi
karena kasih dua majikan.
Kata abot dalam gatra di atas bermakna abot-abote, demi karena.
Sedangkan kata swami bisa berarti suami, dan ini tidak cocok dengan
konteks kalimat. Yang lebih tepat arti swami dalam gatra di atas adalah
majikan. Dua majikan yang dimaksud adalah Raja dan Belanda. Hal itu
sesuai dengan tata pemerintahan saat itu ketika para pegawai keraton pun

58
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

selain tunduk pada raja juga harus melapor semua kegiatan kepada
Belanda untuk minta persetujuan.
Bait ini menceritakan keadaan Ranggawarsita pasca mundur dari dunia
politik, beliau kemudian fokus untuk menulis karya-karya sastra. Semua
itu dilakukan agar beliau tetap bisa berkontribusi bagi masyarakat, demi
karena sudah diberi anugrah oleh dua majikan.

59
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (7): Katenta Nawung Prihatos


Bait ke-7, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Galap gangsuling tembung,
Ki Pujangga panggupitanipun.
Rangu-rangu pamanguning reh harjanti,
tinanggap prana tumambuh.
Katenta nawung prihatos.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Keliru dan tidak runtut perkataan,
Ki Pujangga dalam merangkai kalimat (dalam serat ini).
Ragu-ragu dalam usaha menyenangkan hati,
ditanggapi dalam hati dengan abai.
Sudah terbiasa menderita prihatin.

Kajian per kata:


Galap (keliru) gangsuling (tidak runtut) tembung (perkataan), Ki
Pujangga (Ki Pujangga) panggupitanipun (dalam merangkai kalimat).
Keliru dan tidak runtut perkataan, Ki Pujangga dalam merangkai kalimat
(dalam serat ini).
Galap artinya keliru, gangsul artinya tidak tertata, tidak runtut. Varian
kata gangsul adalah gingsul yang sering dipakai untuk menyebut gigi yang
tidak rapi, tidak rata tumbuhnya. Gupita artinya mengarang atau
menggubah. Karena serat ini berupa tembang yang ada irama dan tata
penulisan, maka yang tepat adalah menggubah.
Rangu-rangu (ragu-ragu) pamanguning (dalam usaha) reh harjanti
(menyenangkan hati), tinanggap (ditanggapi) prana (dalam hati)
tumambuh (dengan abai). Ragu-ragu dalam usaha menyenangkan hati,
ditanggapi dalam hati dengan abai.
Rangu-rangu adalah keadaan bimbang, maju-mundur, ragu-ragu, antara
iya dan tidak. Pamanguning artinya bentuknya diusahakan indah. Hal ini
berkaitan dengan niat beliau untuk menulis serat ini, apakah nanti dapat
menyenangkan semua pihak.
60
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

S. Margana dalam Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial


menyebut meski Ranggawarsita adalah abdi dalem dan pujangga yang
mengabdi di keraton tetapi hampir semua karyanya ditulis atas kehendak
sendiri, bukan atas perintah raja. Tercatat hanya ada beberapa naskah yang
ditulis atas kehendak orang lain, Serat Cemporet atas perintah raja PB IX,
Serat Aji Pamasa atas permintaan MN IV dan Serat Panji Wulung atas
keinginan CF Winter.
Atas keragu-raguan tersebut Ki Ranggawarsita menanggapi sendiri dalam
batin dengan mengabaikannya (tumambuh). Kira-kira: masa bodohlah,
yang penting gue nulis! Menurut Brotokesowo dalam Kalatidha, pujangga
memang bukan jabatan resmi, yang ada adalah carik (penulis) dan
tugasnya juga bukan menggubah tembang tetapi tugas administrasi
kenegaraan. Jadi dari karya-karya Ranggawarsita yang jumlahnya banyak
sekali memang atas keinginan beliau sebagai sumbangsih bagi kehidupan.
Katenta (terbiasa) nawung (menderita) prihatos (prihatin). Masih
terbiasa menderita prihatin.
Gatra ini masih berkaitan dengan sikap abainya tadi. Bahwa sekalipun
orang tidak suka atau justru memojokkannya karena beliau menulis ini dan
itu, maka beliau berbesar hati menerimanya. Karena sudah terbiasa
menderita hidup prihatin.
Jika dilihat sejarah pada masa itu, meski Ranggawarsita terkenal sebagai
pujangga besar dengan nama harum, tetapi kisah hidupnya tak begitu
semerbak seperti namanya. Masih menurut S. Margana dalam Pujangga
Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial, saat itu sudah banyak berdiri sekolah-
sekolah modern Belanda dan anak-anak bangsawan pun sudah banyak
mengenyam pendidikan modern. Bagi mereka aliran sastra Ranggawarsita
terkesan ketinggalan jaman karena dari sudut pandang modern banyak
karya itu tak tergolong ilmiah. Bahkan seorang Jawa yang kemudian
menempuh doktor di Leiden, Dr. Poerbatjaraka menilai karya-karya
Ranggawarsita dengan nada yang amat minor. Serat Pustaka Raja Purwa
oleh Poerbatjaraka dalam Kapustakan Jawa, dinilai sarat omong kosong.
Tampaknya Ranggawarsita sadar bahwa zaman akan bergulir dan
kesempatan baginya tinggal sebentar, oleh karena itu dia mengabaikan
segala pandangan miring itu, dan memilih untuk terus berkarya. Namun
kegalauan hatinya jelas tergambar dalam bait ini.
61
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (8): Sansaya Ewuh Kang Linakon


Bait ke-8, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Wartine para jamhur,
pamawasing warsita datan wus.
Wahanane apan owah angowahi,
Yeku sansaya pakewuh,
ewuh aya kang linakon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Menurut para orang pintar,
wawasan kita tentang ajaran takkan pernah selesai.
Walau caranya berubah atau (sengaja) diubahnya.
Itulah yang semakin membuat sulit,
serba sulit dalam melakukan.

Kajian per kata:


Wartine (ajaran) para (para) jamhur (orang pintar, ulama), pamawasing
(pandangan, penilaian, wawasan) warsita (ajaran) datan (takkan) wus
(selesai). Menurut para orang pintar, wawasan kita tentang ajaran takkan
pernah selesai.
Kata jamhur di sini berasal dari kata arab jumhur ulama, yang artinya
mayoritas ulama yang dipakai rujukan dalam hukum Islam. Diambil kata
jumhur dan dijawakan dengan arti sama, orang-orang pintar (ulama).
Bahwa wawasan kita tentang ajaran, atau dengan kata lain tentang
kebenaran takkan pernah selesai. Yang dimaksud adalah kebenaran dalam
sebuah ajaran takkan pernah final. Hal itu karena zaman berubah, maka
diperlukan tafsiran baru atas suatu ajaran. Lebih-lebih yang berkaitan
dengan etika dan tatakrama, bentuknya selalu mengikuti perkembangan
jaman. Dahulu bagi laki-laki rambut harus digelung dan memakai penutup
kepala, itu baru sopan namanya. Zaman sekarang yang seperti tak lagi
perlu, mau digelung bagaimana wong laki-laki zaman sekarang rambutnya
pendek.

62
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Wahanane (caranya) apan (walau) owah (berubah) angowahi (merubah).


Walau caranya berubah atau (sengaja) diubahnya.
Oleh karena zamannya berubah itulah cara-cara mempraktikan ajaran juga
berubah. Atau bisa juga bentuk pengamalan ajarannya yang dirubah agar
sesuai dengan perkembangan zaman. Contohnya dalam hal penutup kepala
seperti di atas. Dahulu jika seorang pegawai kerajaan tidak melengkapi
tatacara pakaian dengan menggelung rambut berarti melanggar kesopanan
dan harus diberi sangsi. Ketika kemudian orang-orang mengikuti gaya
potongan rambut orang-orang barat (baca: Belanda) yang pendek, maka
terbitlah aturan bahwa pegawai boleh tidak menggelung rambut, cukup
memakai penutup kepala saja. Di zaman kemerdekaan pegawai tak perlu
memakai penutup kepala, cukup merapikan rambut. Seperti inilah contoh
yang sederhana. Contoh yang lebih kompleks tidak akan dibahas, penulis
kajian ini pun tak mampu membahas hal-hal yang lebih rumit.
Yeku (itulah) sansaya (yang semakin) pakewuh (sulit, repot), ewuh aya
(serba sulit) kang (yang) linakon (melakukan). Itulah yang semakin
membuat sulit, serba sulit dalam melakukan.
Tidak ada yang mapan dan langgeng di dunia ini, semua serba berubah dan
perubahan itu menyulitkan. Apalagi bagi generasi tua yang sudah sensitif
terhadap perubahan, akan menjadi lebih sulit lagi.
Memang tidak dipungkiri bahwa perubahan zaman akan menuntut
perubahan perilaku dan juga akan sedikit mengubah norma-norma etika
dalam masyarakat. Misalnya dahulu kalau mempunyai hajat dan
mengundang orang datang harus dengan mendatangi rumahnya dan matur
dengan bahasa yang halus agar yang diundang berkenan hadir. Zaman
sekarang kalau mau melakukan itu akan memakan banyak waktu, maka
cukup dikirim surat undangan. Bahkan kalau acaranya tidak terlalu resmi
cukup dengan mengirim pesan singkat melalui gawai. Bagi generasi lama
hal-hal seperti ini kadang masih menimbulkan ketidaknyamanan. Di
sinilah sulitnya menyesuaikan perkembangan zaman.

63
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (9): Sidining Kala Bendu


Bait ke-9, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Sidining Kala Bendu,
saya ndadra hardaning tyas limut.
Nora kena sinirep limpating budi.
Lamun durung mangsanipun,
malah sumuke angradon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Puncak zaman terkutuk,
makin menjadi hasrat angkara dari hati yang (diliputi) kegelapan.
Tidak bisa dipadamkan dengan kecerdasan akal budi.
Jika belum saatnya,
justru panasnya menjadi-jadi.

Kajian per kata:


Sidining (puncaknya) Kala (zaman) Bendu (terkutuk), saya (makin)
ndadra (menjadi) hardaning (hasrat angkara) tyas (hati) limut (gelap).
Puncak zaman terkutuk, makin menjadi hasrat angkara dari hati yang
(diliputi) kegelapan.
Sidi adalah puncak atau keadaan maksimal dari sesuatu. Kata purnama sidi
sering dipakai untuk menyebut bulan purnama yang bulannya bundar
sempurna. Tampaknya zaman terkutuk sudah mencapai puncaknya.
Tampak dari hasrat angkara semakin menjadi-jadi, yang timbul dari hati
yang diliputi kegelapan.
Nora (tidak) kena (bisa) sinirep (dipadamkan) limpating (kecerdasan)
budi (akal budi). Tidak bisa dipadamkan dengan kecerdasan akal budi.
Gatra ini mengingatkan pada karya Ranggawarsita yang lain, yang juga
berbicara tentang zaman Kala Bendu, yakni serat Kalatidha. Pada bait
pertama Kalatidha (yang juga sudah kita kaji sampai tuntas) disinggung
tentang sujana sarjana kelu, orang cerdik pandai pun hanyut tak mampu
menahan gempuran kerusakan yang melanda. Sudah amat parah
kerusakannya sehingga tidak bisa diredam dengan kecerdasan akal budi.
64
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Walau demikian bait ini secara tersirat mengabarkan harapan yang baik,
yakni pada kata sidi yang artinya puncak. Ini berarti bahwa tingkat
kerusakannya sudah maksimal, tak bisa lebih rusak lagi. Ibarat kurva
lonceng, jika sudah mencapai puncak akan terjadi titik balik, kerusakannya
menurun atau semakin berkurang dan diiringi oleh pembangunan kembali.
Lamun (jika) durung (belum) mangsanipun (saatnya), malah (justru)
sumuke (panasnya) angradon (menjadi-jadi). Jika belum saatnya, justru
panasnya menjadi-jadi.
Sumuk dalam bahasa Jawa dipakai untuk menggambarkan kondisi udara
panas sehingga tubuh mengeluarkan keringat yang banyak. Fenomena
sumuk itu terjadi saat hampir turun hujan dikala mendung menutupi
matahari. Terjadi panas luar biasa yang membuat setiap orang berkeringat
hebat. Keadaannya panas, gerah, risih, dan gatal-gatal di kepala. Sungguh
tak nyaman. Tetapi manakala hujan kemudian turun dengan lebat
keadannya seketika berubah menjadi kesejukan, segar, dingin dan sangat
nyaman.
Jaman Kala Bendu tampaknya sedang memasuki puncak mendung
tersebut. Sehingga keadaannya benar-benar gerah dan memuakkan. Kita
sedang menanti hujan yang akan segera jatuh membawa kesejukan. Tapi
kapan? Jika belum waktunya rasa sumuk ini akan terus kita rasakan dengan
tekanan yang semakin menjadi-jadi. Sabarlah!

65
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (10): Mawut sangyaning dumados


Bait ke-9, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Tatanane tumruntun,
panuntune tyas angkara antuk.
Kaladewa wenganing karsa kaeksi.
Limput kalimut angawut,
mawut sangyaning dumados.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Peraturan (negara) lengkap sekali.
Mengarahkan hati yang penuh angkara mendapat,
kesempatan yang tepat untuk menampakkan diri dengan jelas.
Kegelapan menyelimuti (sehingga orang) membabi buta.
Kacau balaulah semua makhluk.

Kajian per kata:


Bait ini masih senada dengan bait sebelumnya yang menggambarkan
puncak zaman Kala Bendu. Keadaan sudah amat kritis, tinggal menunggu
waktu saja. Dan berikut ini yang terjadi dalam sisi lain praktik kenegaraan.
Tatanane (peraturan) tumruntun (bertubi-tubi, lengkap sekali).
Peraturan (negara) lengkap sekali.
Tumruntun dari kata tumaruntun yang artinya bertubi-tubi, jadi banyak
sekali, lengkap sekali peraturannya. Semua ada undang-undangnya, dalam
berbagai bidang kehidupan manusia sudah diatur sedemikian rupa.
Pokoknya dalam hal regulasi tidak ada kekurangan lagi.
Panuntune (mengarahkan) tyas (hati) angkara (angkara) antuk
(mendapat), kaladesa (saat yang tepat) wenganing (terbukanya) karsa
(kehendak) kaeksi (terlihat jelas). Mengarahkan hati yang penuh angkara
mendapat, kesempatan yang tepat untuk menampakkan diri dengan jelas.
Semua peraturan itu justru menjadi penuntun bagi hati yang penuh angkara
untuk mendapat kesempatan mewujudkan kehendak buruknya. Adanya
peraturan itu malah menjadi kedok atau dalih untuk mengeruk keuntungan.

66
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Peraturan apa sih yang tidak bisa diakali? Semua bisa direkayasa agar
tampak sesuai aturan yang berlaku, sehingga perbuatan curangnya
tersembunyikan.
Inilah yang terjadi dalam masyarakat ketika prinsip-prinsip moral sudah
diabaikan. Negara menjadi kacau balau kalau hanya berlandaskan hukum
semata. Orang bisa saling melaporkan hanya karena sedikit tersinggung,
toh ada peraturan yang mengcover. Orang bisa seenaknya demo besar-
besaran hanya karena masalah sepele, toh ada peraturan yang melindungi.
Penguasa bisa menindas rakyat dengan berbagai dalih kemaslahatan, toh
tidak menabrak kaidah perundangan yang berlaku. Jika moralitas sudah
lenyap celah hukum sesempit apapun dapat menjadi pintu masuk bagi
watak murka (tamak) untuk menggarong uang negara.
Limut (gelap) kalimput (menyelimuti) angawut (membabi buta).
Kegelapan menyelimuti (sehingga orang) membabi buta.
Kegelapan sudah menyelimuti hati orang-orang, mereka hanya
memikirkan bagaimana cara agar kepentingannya terwujud. Berbuat
membabi buta tanpa mengingat kepentingan orang banyak.
Mawut (berantakan, kacau balau) sanggyaning (semua) dumados
(makhluk). Kacau balaulah semua makhluk.
Apa yang tersisa dari masyarakat yang demikian? Sudah tidak ada lagi
harapan untuk perbaikan. Sudah menuju saat terakhir menuju kehancuran.
Ibarat bangunan tua yang sudah lapuk dan sekujur bagiannya digerogoti
rayap. Satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah dengan
menghancurkannya kemudian membangun kembali bangunan yang baru.
Eh tetapi tunggulah, tak perlu dihancurkan karena sudah hampir roboh
sendiri. Keadaannya sudah mendung mentiyung, laksana awan yang sudah
menggantung, tinggal menunggu hujan jatuh.

67
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (11): Sirna katentremanipun


Bait ke-11, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Ing antara sapangu,
pangungaking kahanan wus mirud.
Morat-marit panguripaning sesami,
sirna katentremanipun,
wong udrasa sak anggon-anggon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Dalam waktu yang sebentar saja,
terlihat keadaan sudah hanyut.
Porak-poranda kehidupan sesama orang,
hilanglah ketenteraman,
orang menangis di mana-mana.

Kajian per kata:


Bait ini masih melanjutkan bait sebelumnya yang menggambarkan puncak
zaman Kala Bendu. Dan berikut ini yang terjadi di sisi lain dalam
masyarakat.
Ing (dalam) antara (waktu) sapangu (yang sebentar), pangungaking
(terlihat) kahanan (keadaan) wus (sudah) mirud (sudah hanyut). Dalam
waktu yang sebentar saja, terlihat keadaan sudah hanyut.
Keadaan sudah tak terselamatkan. Ibarat sudah hanyut ditelan banjir
bandang. Semua yang berharga (bagi kemanusiaan) hilang. Jika pada suatu
masyarakat yang lengkap dan maju moralitas sudah hilang, apa lagi yang
tersisa. Gelombang kehancuran sudah merenggut semuanya. Yang tersisa
tinggal wujud peradaban yang mentereng, tetapi kosong dari nilai-nilai.
Tidak terbelakang namun nurani hilang. Inilah Jaman Kala Bendu.
Morat-marit (porak-poranda) panguripaning (kehidupan) sesami (sesama
orang), sirna (hilang) katentremanipun (ketenteramannya), wong (orang)
udrasa (menangis) sak anggon-anggon (di mana-mana). Porak-poranda
kehidupan sesama orang, hilanglah ketenteraman, orang menangis di
mana-mana.
68
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Hancurlah kehidupan sesama orang, tiada lagi kepedulian. Elu-elu, gue-


gue! Atau elu-gue end! Kalimat yang sering terdengar dimana-mana. Sirna
ketenteraman, kisruh, ribut, hiruk-pikuk dimana-mana. Orang makin sensi
dan eksplosif, mudah meledak, kemana-mana membawa bom dalam
hatinya. Orang tak lagi mampu menampung kelemahan dirinya, tumpahlah
di setiap tempat segala cela.
Tak ada lagi kata nyaman, semua serba terjepit, kepepet, nggudag,
mendesak, menyikut, memukul. Lha wong semua berebut selamat, seperti
orang lari menghindari tsunami. Semua sudah kepayahan, tapi tak tahu
cara berhenti. Hanya bisa menangis sambil terus berlari menabrak sana-
sini. Air mata tumpah di mana-mana. Inilah zaman Kala Bendu!

69
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (12): Cangkem Silite Anyaplok


Bait ke-12, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.
Kemat isarat lebur,
bubar tanpa daya kabarubuh.
Paribasan tidhem tandhaning dumadi.
Begjane ula daulu,
cangkem silite anyaplok.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Segala macam daya magis dan syarat-syarat hancur,
bubar tanpa kekuatan, hancurlah total.
Ibarat tak ada lagi dari tandha-tandha kehidupan.
Yang beruntung adalah ular daulu,
mulut dan duburnya bisa mencaplok.

Kajian per kata:

Kemat (daya magis, tenung) isarat (syarat-syarat) lebur (hancur), bubar


(bubar) tanpa (tanpa) daya (kekuatan) kabarubuh (hancur total). Segala
macam daya magis dan syarat-syarat hancur, bubar tanpa kekuatan,
hancurlah total.
Kemat adalah kekuatan magis yang diberikan oleh dukun, bentuknya bisa
mantra atau amalan tertentu. Biasanya digabung dengan jimat, benda
magis yang juga produk dari dukun, menjadi kata majemuk jimat-kemat.
Pada zaman Kala Bendu yang begini pun tak mempan untuk
menyembuhkan kutukan. Zaman ini memang benar-benar dahsyat
kutukannya, segala hal-hal yang bisanya mempengaruhi hidup manusia
dari hal-hal yang baik seperti ilmu pengetahuan sampai hal-hal buruk
seperti tenung, santet, jimat dan mantra lumpuh total.
Mengapa bisa demikian? Penyebabnya sebenarnya sudah diketahu sejak
bait awal serat ini yakni, manusia tidak lagi mengupayakan tyas rahayu
(hati yang selamat, yang indah, yang bagus) tetapi malah menuruti tyas
mirong (hati yang membangkang).

70
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Paribasan (ibarat) tidhem (sepi, tak ada lagi) tandhaning (tanda-tanda)


dumadi (makhluk, kehidupan). Ibarat tak ada lagi dari tandha-tandha
kehidupan.
Suasananya diibaratkan sepi dari tanda-tanda kehidupan. Seperti
sekumpulan manusia-manusia tanpa jiwa, karena kualitas manusiawinya
lenyap. Seperti kota zombie, dimana manusia berkeliaran hanya untuk
saling memakan.
Begjane (yang beruntung) ula (ular) daulu (kepala dua), cangkem (mulut)
silite (dubur) anyaplok (bisa mencaplok). Yang beruntung adalah ular
daulu, mulut dan duburnya bisa mencaplok.
Dalam keadaan yang demikian yang beruntung adalah ular kepala dua.
Daulu berasal dari kata dwa (dua) ulu (menelan), artinya dua jalan
menelan, maknanya adalah dua kepala karena tak ada mulut tanpa kepala.
Dan letak kepala itu tidak bercabang dua, tetapi satu didepan dan satu di
belakang, di tempat yang seharusnya tumbuh ekor.
Ular kepala dua ini bisa mencaplok dari dua sisi, depan dan belakang.
Tempat yang seharusnya dipakai untuk membuang kotoran pun (dubur)
dipakai untuk mencaplok. Luar biasa bejatnya ular ini. Walau
bagaimanapun kebinasaannya tinggal menunggu waktu, karena ia
menyimpan kotoran yang menumpuk di perutnya.
Tentu kita mafhum bahwa yang dimaksud ula daulu adalah orang-orang
munafik yang menjual perkara ke sana dan ke sini. Minta bayaran pihak
sana dan pihak sini. Mencaplok baik musuh maupun teman. Hiii,...bener-
bener ngeri! Namun si ular bukan saja melakukan itu. Bait berikutnya akan
mengabarkan tentang kelakuan si ula daulu yang memporak-porandakan
tatanan kehidupan.

71
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (13): Ula daulu Sansaya Ndadra


Bait ke-13, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Ndhungkari gunung-gunung,
kang geneng-geneng padha jinugrug,
Parandene tan ana kang nanggulangi.
Wedi kalamun sinembur,
upase lir wedang umob.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Membongkar gunung-gunung,
puncak-puncaknya dirobohkan.
Walau demikian tak ada yang menghalangi.
Takut jikalau disembur (dengan bisanya),
bisanya seperti air mendidih.

Kajian per kata:


Bait ini masih merupakan sambungan bait sebelumnya yang menceritakan
ular daulu yang mempunyai dua mulut. Selain mencaplok sana mencaplok
sini, ular ini juga menimbulkan kehebohan yang luar biasa.
Ndhungkari (membongkar) gunung-gunung (gunung-gunung), kang
(yang) geneng-geneng (puncak-puncaknya) padha (semua) jinugrug
(dirobohkan). Membongkar gunung-gunung, puncak-puncaknya
dirobohkan.
Si ular tadi membongkar gunung-gunung. Kata ndhungkari
menggambarkan aktivitas merongrong kaki gunung untuk mengeluarkan
isinya. Akibatnya gunung menjadi rapuh dan puncak-puncaknya roboh.
Parandene (walau demikian) tan (tak) ana (ada) kang (yang)
nanggulangi (menghalangi). Walau demikian tak ada yang menghalangi.
Si ular ini memang kuat dan berbahaya. Bagaimana tidak wong mulutnya
saja dua, bisanya juga dua dan letaknya saja di depan dan dibelakang tentu
sulit ditaklukkan. Dikepung prajurit lolos, ditangkap penegak hukum
lepas, dipanggil penyidik pura-pura sakit, dituntut jaksa di
72
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

praperadilankan, di vonis hakim malah plesiran ke Bangkok. Serba licin si


ular ini, bisa nyakot sana-sini, menelusup, menelisik, dan akhirnya lolos.
Oleh karena itu kemudian banyak yang membiarkan si ular ini berkeliaran,
asal tidak tercokot olehnya saja orang-orang diam. Biar aja nyokot orang
lain, asal bukan saya. Karena sudah saking pusingnya orang-orang
menghadapi ular ini.
Wedi (takut) kalamun (jikalau) sinembur (disembur dengan
bisanya), upase (bisanya) lir (seperti) wedang umob (air mendidih). Takut
jikalau disembur (dengan bisanya), bisanya seperti air mendidih.
Di jaman Kala Bendu ini memang orang hanya mencari selamat sendiri-
sendiri. Oleh karena mereka takut resiko bagi dirinya. Tidak ada lagi
semangat berkorban bagi yan lain. Meski sama-sama menderita tetapi
mereka ogah bekerja sama memecahkan masalah. Semua takut maju
duluan, takut terkena semburan bisa ular daulu, yang bisanya seperti air
mendidih.
Itulah ular daulu, kiasan dari watak orang yang mencari untung di tengah
kekacauan, mengail di air keruh. Ada-ada saja orang yang berperilaku
demikian itu pada setiap zaman, sejak dahulu sampai sekarang.

73
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (14): Sumurupa Jatining Hyang Manon


Bait ke-14, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Kolonganing kaluwung,
prabanira kuning abang biru.
Sumurupa iku mung soroting warih.
Wewarahe para Rasul,
dudu jatining Hyang Manon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Lingkaran pelangi,
sinarnya kuning merah biru.
Ketahuilah bahwa warna-warna itu hanya merupakan sinarnya air.
Ajaran para utusan Allah,
bukan sebenarnya Tuhan Yang Maha Melihat.

.
Kajian per kata:
Kolonganing (lingkaran) kaluwung (pelangi), prabanira (sinarnya)
kuning (kuning) abang (merah) biru (biru). Lingkaran pelangi, sinarnya
kuning merah biru.
Bait ini tiba Ki Ranggawarsita beralih topik ke pelangi, tema ini tampak
tidak berkaitan dengan bait sebelumnya atau bait sesudahnya. Seolah
hanya ingin menyampaikan suatu penegasan, atau premis kebenaran
tertentu.
Lihatlah lingkaran pelangi itu, warnanya kuning merah biru. Penyebutan
tiga warna dasar ini hanya untuk menyatakan bahwa pelangi mempunyai
banyak warna. Yang sebenarnya menurut ilmu alam ada tujuh warna,
merah, jingga, kuning,hijau, biru, nila, ungu. Namun seperti kita ketahui
semua warna hanya merupakan kombinasi dari tiga warna dasar di atas.
Sumurupa (ketahuilah) iku (itu) mung (hanya) soroting (sinarnya) warih
(air). Ketahuilah bahwa warna-warna itu hanya merupakan sinarnya air.
Dalam ilmu alam penampakan pelangi terjadi karena dispersi cahaya yang
melewati gelembung air di awan. Sinar matahari yang putih itu sebenarnya
74
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

terdiri dari banyak warna dengan panjang gelombang yang berbeda-beda.


Ketika melewati gelembung air masing-masing warna dibiaskan sehingg
membelok. Karena panjang gelombangnya tidak sama maka membeloknya
juga tidak sama. Yang terjadi kemudian masing-masing warna terpisah.
Tampaklah sebagai pelangi yang warna-warni.
Oleh karena itu Ki Ranggawarsita menyebut bahwa itu hanyalah sinarnya
air. Yang dimaksud adalah bahwa warna-warni yang terlihat itu bukanlah
seperti itu adanya, tetapi karena dibiaskan oleh air, seperti yang dijelaskan
di atas.
Wewarahe (ajaran) para (para) Rasul (utusan Allah), dudu (bukan)
jatining (sebenarnya) Hyang (Yang) Manon (Maha Melihat). Ajaran para
utusan Allah, bukan sebenarnya Tuhan Yang Maha Melihat.

Arti manon yang sebenarnya adalah melihat. Hyang Manon artinya Yang
Maha Melihat, maksudnya adalah Allah, Tuhan semesta alam. Tetapi
karena sudah kaprah diketahui bahwa yang dimaksud Hyang Manon
adalah Tuhan sering kali diterjemahkan sebagai Yang Maha Kuasa. Meski
tidak salah dari segi pengertian tetapi tidak tepat dari segi bahasa.
Terjemahan yang tepat dari Hyang Manon adalah Yang Maha Melihat.

Kata Rasul berasal dari kata Arab yang artinya utusan, penyampai kabar
gembira dan peringatan. Sebagai utusan Rasul bukanlah Tuhan, bukan
pula manifestasiNya, bukan pula penjelmaanNya. Namun jika kita
mengikuti ajarannya dengan sungguh-sungguh kita akan sampai kepada
Tuhan Yang Sejati. Maka dalam melaksanakan ajaran Rasul kita harus
kaffah, yang dimaksud harus dengan seluruh raga dan jiwa kita. Tidak bisa
setengah-setengah dengan tubuhnya mengikuti namun hatinya
menyangkal.

Dalam bait ini Ki Ranggawarsita hendak membandingkan ajaran para


Rasul dengan pelangi sebagai perumpamaan bahwa dalam menjalani
ajaran para Rasul janganlah berpuas diri dengan hanya melaksanakan
ajaran tersebut secara formal, tetapi carilah Allah di balik ajaran itu.
Lakukan secara lahir batin. Tubuhnya disiplin melaksanakan, hatinya
ikhlas menjalani.

75
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (15): Ramalan Sang Pujangga


Bait ke-15, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Supaya pada emut,


amawasa benjang jroning tahun,
windu kuning kono ana wewe putih.
Gegamane tebu wulung,
arsa angrabaseng wedhon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Hendaklah semua ingat,
lihatlah kelak pada tahun,
windu kuning di situ ada hantu perempuan.
Dengan senjata tebu wulung,
hendak menghangcurkan hantu pocong.

Kajian per kata:


Supaya (hendaklah) pada (semua) emut (ingat), amawasa (lihatlah)
benjang (kelak) jroning (dalam) tahun (tahun), windu (windu) kuning
(kuning) kono (di situ) ana (ada) wewe (hantu perempuan) putih (putih).
Gegamane (dengan senjata) tebu (tebu) wulung (wulung, hitam kebiruan),
arsa (hendak) angrabaseng (merusak, menyerang dan menghancurkan)
wedhon (hantu pocong).
Hendaklah semua ingat, lihatlah kelak pada tahun, windu kuning di situ
ada hantu perempuan. Dengan senjata tebu wulung hendak
menghangcurkan hantu pocong.
Bait ini mengandung ramalan yang oleh karena sangat sulit menentukan
apa sebenarnya yang diramalkan oleh sang pujangga, maka kami hanya
akan mengutip pendapat para ahli yang berkaitan dengan ini.
Salah seorang pakar budaya Jawa Karkana Kamajaya dalam buku lima
karya pujangga Ranggawarsita hanya menyebut bahwa bait ini
mengandung jangka yakni pada kalimat: benjang jroning tahun windu
kuning kono ana wewe putih, gegamane tebu wulung, arsa angrabaseng

76
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

wedhon. Sedangkan maksud dari ramalan itu beliau tidak menjelaskan


lebih lanjut. Beliau hanya menjelaskan arti beberapa lambang sebagai
berikut ini.
Windu kuning, zaman keemasan, zaman serba senang. Ingatlah gada wesi
kuning milik Minakjingga juga berwarna keemasan.
Wewe putih, hantu perempuan berwarna putih. Hantu = makhluk halus,
bukan manusia, dikenal sebagai pengganggu manusia, menakutkan.
Wedhon, hantu berbentuk manusia yang diberi kafan, (jaman sekarang
sering disebut hantu pocong).
Tebu wulung, tebu yang berwarna hitam kehijauan, batangnya kecil tetapi
konon lebih manis. Tebu wulung berbeda dengan tebu hitam.
Setelah menguraikan arti lambang-lambang yang digunakan dalam jangka
tersebut Karkana Kamajaya tidak menjelaskan makna ramalan. Beliau
menyerahkan sepenuhnya kepada kearifan para pembaca.
Berbeda dengan Kamajaya, seorang pakar sastra dari UGM S. Margana
dalam buku Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial menyebutkan
bahwa yang dimaksud dari ramalan itu adalah peristiwa perang
kemerdekaan pasca proklamasi. Kala itu banyak rakyat yang berhati tulus
berjuang (wewe putih) bersenjatakan bambu runcing (tebu wulung)
menyerang dan menghancurkan pasukan Belanda (wedhon).
Demikian kutipan dari dua pakar yang ahli di bidangnya. Semoga
pendapat keduanya memberi sedikit gambaran tentang makna bait ini.
Adapun hikmat yang dapat diambil dari serat ini sepenuhnya amat
tergantung pada kearifan pembaca sekalian.

77
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (16): Cahyaning Wahyu Tumelung


Bait ke-16, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Rasane wes karasuk,


kesuk lawan kala mangsanipun,
kawisesa kawasanira Hyang Widhi.
Cahyaning wahyu tumelung,
tulus tan kena tinegor.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Rasanya (datangnya masa itu) sudah merasuk dalam (sanubari).
Terdesak oleh waktu berlakunya,
kekuasaan yang menjadi wewenang Yang Maha Kuasa.
Sinarnya wahyu yang hampir turun,
akan sampai tak bisa dipatahkan.

Kajian per kata:


Isi bait ini masih melanjutkan isi dari bait sebelumnya tentang wewe putih
angrabaseng wedhon, wewe putih menerjang hantu pocong.
Rasane (rasanya) wes (sudah) karasuk (merasuk). Rasanya (datangnya
masa itu) sudah merasuk dalam (sanubari).
Yang dimaksud masa itu adalah tentang wewe putih akan menerjang
wedhon, yang menurut S. Margana dalam buku Pujangga Jawa dan
Bayang-Bayang Kolonial, berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia.
Bahwa masa itu sudah menunjukkan tanda-tanda dan sudah masuk ke
dalam sanubari sang Pujangga.
Jika kita perhatikan memang sesuai teori siklus Ibnu Khaldun bahwa
peristiwa sejarah akan berulang dengan pola yang sudah baku. Dalam
kaitannya dengan zaman Kala Bendu yang oleh Ki Ranggawarsita disebut
sudah mencapai puncak, sidining Kala Bendu, maka dipastikan bahwa
masa itu akan segera berakhir. Sistem akan mengalami pembusukan dan
menjadi tidak efektif lagi. Jika sudah demikian akan muncul kekuatan baru
yang akan angrabaseng wedhon, merombak tatanan lama.

78
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kesuk (terdesak) lawan (oleh) kala (waktu) mangsanipun (berlakunya),


kawisesa (kekuasaan) kawasanira (wewenang) Hyang Widhi (Yang Maha
Kuasa). Terdesak oleh waktu berlakunya, kekuasaan yang menjadi
wewenang Yang Maha Kuasa.
Demikianlah sunatullah yang berlaku, jika sebuah sistem pemerintahan
sudah rusak dan tak mampu memberi perlindungan dan ketenteraman bagi
warganya maka akan datang orang-orang yang mengganti sistem itu. Hal
ini adalah hukum yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, yang
telah mengatur dunia dengan ketentuan-ketentuan. Dan ketentuannya
mendesak (mendeterminasi) untuk berlaku, mengalahkan segala upaya dan
kehendak manusia.
Cahyaning (sinarnya) wahyu (wahyu) tumelung (yang hampir turun),
tulus (sampai) tan (tak) kena (bisa) tinegor (dipatahkan). Sinarnya wahyu
yang hampir turun, akan sampai tak bisa dipatahkan.
Dalam budaya Jawa wahyu berarti anugrah Tuhan yang diberikan kepada
makhluk atas kesungguhan hatinya dalam berupaya. Wahyu ini diberikan
sebagai bentuk penguatan agar ketentuan Allah segera berlaku di muka
bumi. Wahyu adalah bagian dari sistem berlakunya sunatullah. Dalam
kasus Zaman Kala Bendu ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Karena zaman Kala Bendu begitu sangat membuat orang susah, menderita
dan hidup dalam suasana mencekam seolah hukum Allah tak berlaku.
Maka Allah berkehendak untuk menurunkan pertolongan kepada manusia
agar zaman itu segera berakhir. Namun pertolongan itu takkan serta-merta
turun jika manusia tidak menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh
dalam mengakhiri zaman terkutuk itu. Wong menghadapi ular daulu saja
takut tersembur, hingga tak ada yang berani maju duluan, semua saling
menunggu. Bagaimana mungkin pertolongan Allah akan turun jika
manusia bersikap loyo begitu?
Namun ketika ada aksi nyata dari manusia, yang digambarkan dengan
wewe putih menerjang wedhon tadi, maka segera saja pertolongan Allah
(wahyu) turun dan sampai (tulus) di tujuan dengan cepat layaknya
cepatnya cahaya sampai di bumi, tak dapat dipatahkan di tengah jalan (tan
kena tinegor).

79
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Jika Allah sudah turut campur dengan wahyu yang Dia simpan untuk
manusia yang berupaya dengan sungguh-sungguh dan usaha yang luar
biasa, sesulit apapun keadaan pasti akan ada jalan keluar.
Konsep wahyu dalam budaya Jawa sering diungkapkan dengan wujud
materialis, seperti pada kisah pewayangan dimana wahyu dilambangkan
berupa pusaka yang tiba-tiba turun ketika seseorang bertapa. Yang
demikian itu hanyalah kiasan atau perumpamaan agar para pemirsa lebih
mudah dalam memahami maksudnya. Tetapi konsep wahyu sebenarnya
adalah pertolongan Allah bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam
berupaya. Adapun bagaimana bentuk wahyu tersebut, demi menghindari
perdebatan yang tidak perlu kami serahkan pada para kearifan masing-
masing pembaca dalam memahaminya.

80
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (17): Yuwana Tumurun Tan Enting


Bait ke-17, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Karkating tyas katuju,


jibar-jibur adus banyu wayu.
Yuwanane turun-temurun tan enting.
Liyan praja samyu sayuk,
keringan saenggon-enggon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


(Karena) keinginan hati (telah) terlaksana,
mengguyur badan mandi dengan air dingin.
Keselamatan menurun ke anak cucu tak habis-habis.
Negara lain semua mendukung,
dihargai di mana-mana.

Kajian per kata:


Karkating (keinginan) tyas (hati) katuju (terlaksana), jibar-jibur
(mengguyur badan) adus (mandi) banyu (air) wayu (dingin). (Karena)
keinginan hati (telah) terlaksana, mengguyur badan mandi dengan air
dingin.
Karkat adalah keinginan yang sangat, maka ketika terlaksana seolah ingin
meluapkan kegembiraan. Jibar-jibur adalah aktivitas mengguyur tubuh
berulang-ulang dengan air, kata ini juga memberi kesan air yang
digunakan banyak sekali. Banyu wayu adalah air yang ditimba dari sumur
di hari kemarin. Jadi airnya sudah melewati malam hari, menjadi sangat
dingin.
Makna gatra di atas mengisyaratkan seseorang yang karena keinginannya
sudah terlaksana kemudian melampiaskan kegembiraan dengan
mengguyur badan dengan air dingin yang banyak, menghilangkan rasa
capai di badan sehingga badannya menjadi segar kembali.

81
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Yuwanane (keselamatan) turun-temurun (menurun ke anak cucu) tan


(tak) enting (habis-habis). Keselamatan menurun ke anak cucu tak habis-
habis.
Ternyata yang membuat seseorang itu demikian gembira, sampai jibar-
jibur mandi dengan air dingin adalah karena sudah lega hatinya. Jaman
Kala Bendu yang membuat susah dan menderita selama ini sudah sirna.
Yang tinggal adalah keselamatan yang menurun ke anak cucu, tak ada
habis-habisnya. Semua itu berkah pertolongan Allah melalui wahyu yang
turun tanpa terhalang-halangi. Akhirnya tercapailah keselamatan yang
sudah lama diinginkan.
Liyan (lain) praja (negara) samyu (semua) sayuk (mendukung), keringan
(dihargai) saenggon-enggon (di mana-mana). Negara lain semua
mendukung, dihargai di mana-mana.
Setelah sirnanya zaman Kala Bendu masyarakat kembali bangkit,
kemakmuran terwujud, negara kuat dan sentosa. Negara-negara lain pun
mendukung dan berkerja sama, negara kita dihargai di mana-mana.
Inilah gambaran akan datangnya masa setelah zaman Kala Bendu berakhir.
Kalau dilihat dari ciri-ciri yang digambarkan dalam bait di atas tampaknya
memang cocok dengan gambaran negara merdeka yang diimpi-impikan
itu. Di sini lebih terlihat rasa optimis dari Ki Ranggawarsita terhadap masa
depan, bahkan dalam menggambarkan sangat berlebihan mirip seorang
yang bermimpi, seperti akan kita lihat dalam bait berikutnya.

82
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (18): Wong Ngantuk Nemu Kethuk


Bait ke-18, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Tatune kabeh tuntum,


lelarane waluya sadarum.
Tyas prihatin ginantya suka mepeki.
Wong ngantuk anemu kethuk,
isine dinar sabokor.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Lukanya semua pulih,
sakitnya sembuh semua.
Hati yang sedioh berganti senang sepenuhnya.
Orang mengantuk menemukan kethuk,
isinya uang dinar satu guci.

Kajian per kata:


Tatune (lukanya) kabeh (semua) tuntum (pulih), lelarane (sakitnya)
waluya (sembuh) sadarum (semua). Lukanya semua pulih, sakitnya
sembuh semua.
Semua luka hati akibat derita di masa Kala Bendu sudah pulih. Sakit
karena penderitaan hidup akibat zaman terkutuk telah sembuh semuanya.
Ini adalah pengaruh baik dari zaman baru yang datang menghalau kutukan.
Tyas (hati) prihatin (sedih) ginantya (berganti) suka (senang) mepeki
(penuh). Hati yang sedioh berganti senang sepenuhnya.
Kesedihan yang sudah-sudah, yang kemarin terasa menyesakkan dada kini
berganti dengan rasa senang yang sepenuhnya. Kegembiraan yang penuh
rasa optimisme. Sudah terbebas dari kungkungan zaman yang
membelenggu segenap daya, menghalangi segenap upaya, menggagalkan
segenap usaha. Kini semua yang dilakukan terasa lebih mudah dan
berpengharapan, seolah kekuatan diri meningkat berlipat-lipat. Kini seolah
keberuntungan selalu datang, bagi yang berusaha keras maupun yang
melakukan sekadarnya saja.

83
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Wong (orang) ngantuk (mengantuk) anemu (menemukan) kethuk


(kethuk), isine (isinya) dinar (uang dinar) sabokor (satu guci). Orang
mengantuk menemukan kethuk, isinya uang dinar satu guci.
Bahkan bagi orang yang tidak berusaha sekalipun keberuntungan tak lari
darinya. Orang mengantuk menemukan kethuk, isinya uang dinar satu
bokor. Bener-bener zaman yang penuh berkah bagi semuanya.
Kethuk adalah instrumen yang mirip gong tapi kecil, lebih kecil dari
bonang. Dinar adalah mata uang emas yang terdiri dari 4,25 gram,
merupakan mata uang kuno yang sudah digunakan sejak sebelum zaman
Nabi Muhammad SAW. Bokor adalah sejenis guci kecil, biasanya terbuat
dari logam.
Memang zaman telah berganti. Jika kemarin serba susah dan sulit sekarang
semuanya tampak mudah. Mencari rezeki pun sangat gampang, seolah
Allah sedang menyebarkan rezeki dari langit seperti Dia menurunkan
hujan. Tapi walau begitu tetaplah waspada, karena siklus kehidupan
berulang dan nasib orang dipertukarkan.

84
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (19): Nora Ana Rusuh Colong Jupuk


Bait ke-19, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Amung padha tinumpuk,


nora ana rusuh colong jupuk.
Raja kaya cinancangan aneng njawi,
tan ono nganggo tinunggu,
parandene tan cinolong.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Semua (dinar) hanya ditumpuk,
tidak ada perbuatan rusuh, mencuri dan mengambil.
Hewan ternak ditambatkan di luar,
tak perlu ditunggui,
walau demikian tak dicuri orang.

Kajian per kata:


Amung (hanya) padha (sama, semua) tinumpuk (ditumpuk), nora (tidak)
ana (ada) rusuh (perbuatan rusuh) colong (mencuri) jupuk
(mengambil). Semua (dinar) hanya ditumpuk, tidak ada perbuatan rusuh,
mencuri dan mengambil.
Dinar-dinar tadi, yang sekarang mendapatkannya amat mudah, hanya
ditumpuk saja. Maksudnya hanya disimpan sekadarnya, tak perlu brankas
anti maling segala. Karena sudah sama-sama punya maka tak ada
keinginan untuk berbuat rusuh, mencuri dan mengambil yang bukan
haknya.
Raja kaya (hewan ternak) cinancangan (ditambatkan) aneng (di) njawi
(luar), tan (tak) ono (ada) nganggo (pakai) tinunggu (penunggu),
parandene (walau demikian) tan (tak) cinolong (dicuri). Hewan ternak
ditambatkan di luar, tak perlu ditunggui, walau demikian tak dicuri
orang.

85
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Hewan-hewan ternak banyak berkeliaran di luar, hanya ditambatkan saja,


tak ada penunggu, tak ada sekuriti, CCTV dan kawat berduri. Walau
demikian tak ada dari hewan-hewan itu yang dicuri.
Inilah ganjaran bagi para orang yang mau dan berani mengakhiri zaman
Kala Bendu. Hasil yang diperoleh dari keberanian dan pengorbanan
mereka sungguh sepadan. Sebuah negeri yang subur makmur, gemah ripah
loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Mirip di negeri dongeng saja
layaknya.
Tapi mungkinkah negeri seperti itu benar-benar ada? Wallahu a’lam.

86
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (20): Budyarja Marjaya Limut


Bait ke-20, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Diraning durta katut,


anglakoni ing panggawe runtut.
Tyase katrem kayoman hayuning budi.
Budyarja marjayeng limut,
amawas pangesthi awon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Keberanian berbuat jahat hilang,
hanya melakukan pekerjaan yang baik.
Hatinya nyaman dan ternaungi keselamatan akal budi.
Budi yang selamat membunuh kegelapan,
mewaspadai maksud buruk.

Kajian per kata:


Diraning (keberanian) durta (berbuat jahat) katut (hilang), anglakoni
(melakukan) ing (dalam hal) panggawe (pekerjaan) runtut (teratur, baik).
Keberanian berbuat jahat hilang, hanya melakukan pekerjaan yang baik.
Gatra ini menggambarkan bagaimana sebuah kejahatan hilang apabila
sistem sosial dan ketatanegaraan berjalan kondusif untuk merealisasikan
kebaikan. Tak ada lagi kezaliman, penindasan, ketimpangan, kesenjangan
dan penyimpangan. Sebaliknya masyarakat adil makmur, gemah ripah loh
jinawi, tata tentrem karta raharja. Jika sudah tercapai keadaan demikian
yang ada hanyalah orang yang melakukan pekerjaan yang baik-baik.
Ada banyak sebab mengapa orang tidak berani berbuat jahat. Pertama dia
menganggap itu sebagai tindakan yang tidak perlu, tidak ada manfaatnya
sama sekali. Kedua takut akan akibat dan dosa-dosa yang akan
ditanggung. Ketiga karena dia memang tidak punya keberanian walau
sebenarnya ingin melakukan. Untuk alasan terakhir boleh jadi akan
berubah jika sedang terjepit keadaan, tiba-tiba menjadi gelap mata dan
muncul keberanian.

87
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Namun jika berada dalam sistem yang baik ketiga alasan tersebut semua
terpenuhi. Jika sudah makmur dan tercukupi kebutuhan hidupnya untuk
apa lagi mencuri? Orang yang sangat paham bahwa hukuman kejahatan
sungguh amat berat juga akan berpikir beribu kali sebelum melakukannya.
Untuk yang terakhir, di sebuah negeri yang makmur takkan ditemukan
orang yang kepepet kebutuhan, jadi alasan untuk mencuri pun tak ada.
Tyase (hatinya) katrem (nyaman) kayoman (ternaungi) hayuning
(keselamatan) budi (akal budi). Hatinya nyaman dan ternaungi
keselamatan akal budi.
Hatinya merasa nyaman ketika berbuat baik. Tidak kuatir dizalimi,
dieksploitasi, ditilep, dikadali dan ditipu. Ia yakin akan mendapat keadilan
oleh karenanya tak ragu lagi melakukan sesuai tuntunan moral yang baik,
dorongan akal budi dan panggilan hati nurani.
Budyarja (akal budi yang selamat) marjayeng (membunuh) limut
(kegelapan), amawas (mewaspadai) pangesthi (maksud) awon (buruk).
Budi yang selamat membunuh kegelapan, mewaspadai maksud buruk.
Akal budi yang mulia akan membunuh kegelapan hati, seperti halnya
cahaya terang akan membunuh kegelapan. Hati kita sebenarnya adalah
medan tempur dari kehendak baik dan buruk, jika membiarkan keburukan
menguasai hati maka kegelapanlah yang tampak. Semua maksud buruk
menjadi tersembunyi di balik berbagai dalih dan alasan.
Sebaliknya, jika kita memenangkan kebaikan niscaya hati akan terang
benderang, segala maksud buruk, kecenderungan jahat dan hasrat yang
bergejolak, akan tampak jelas. Mudah bagi kita untuk mengawasinya dan
menyingkirkannya.

88
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (21): Tinggal Pakarti Dudu


Bait ke-21, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Ninggal pakarti dudu,


kadarpaning parentah ginugu.
Mring pakaryan saregep temen nastiti.
Ngisor ndhuwur tyase jumbuh,
tan ana wahon winahon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Meninggalkan pekerjaan tercela,
kerasnya perintah dipatuhi.
Terhadap pekerjaan rajin, bersungguh-sungguh dan teliti.
Golongan bawah dan golongan atas sesuai,
tak ada cela mencela.

Kajian per kata:


Ninggal (meninggalkan) pakarti (pekerjaan) dudu (tercela), kadarpaning
(kerasnya) parentah (perintah) ginugu (dipatuhi). Meninggalkan
pekerjaan tercela, kerasnya perintah dipatuhi.
Kata dudu berarti bukan, maknanya bukan yang dianjurkan. Pakarti dudu
atau tumindak dudu adalah sebutan untuk perbuatan yang tidak dianjurkan
atau perbuatan tercela. Darpa artinya keras, merujuk pada perintah atau
aturan yang bagi orang malas atau sering mengabaikan, terasa amat keras.
Contohnya perintah untuk melakukan sholat lima waktu, bagi orang yang
sebelumnya malas untuk mengerjakan akan terasa berat.
Bait ini menyoroti perubahan yang terjadi pada masyarakat dari hilangnya
Kala Bendu, orang-orang yang tadinya suka melanggar aturan dan sering
berbuat tercela setelah mendapat wahyu mampu meninggalkan semua
pekerjaan buruknya. Kerasnya aturan, tata tertib dan perintah agama
mampu dikerjakan dengan patuh.

89
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Mring (terhadap) pakaryan (pekerjaan) saregep (rajin) temen


(bersungguh-sungguh) nastiti (teliti). Terhadap pekerjaan rajin,
bersungguh-sungguh dan teliti.
Orang-orang menjadi rajin bekerja, bersungguh-sungguh dan teliti. Tak
ada lagi orang yang pekerjaanya hanya mencaplok sana mencaplok sini
seperti ular berkepala dua. Hal ini terjadi karena ada jaminan keberhasilan
dari setiap usaha. Dalam sistem yang baik orang akan mendapatkan hasil
dari setiap apa yang dikerjakannya, tak perlu takut akan ditipu atau
dirugikan pihak lain. Kondisi ini membuat setiap orang bersemangat
bekerja mengaktualisasikan potensi dirinya. Bekerja menjadi lambang
kemuliaan, membuat bangga pelakunya dan membuahkan hasil yang
barokah.
Ngisor (kalangan bawah) ndhuwur (atas) tyase (hatinya) jumbuh
(sesuai), tan (tak) ana (ada) wahon (cela) winahon (mencela). Golongan
bawah dan golongan atas sesuai, tak ada cela mencela.
Jumbuh artinya sesuai antara dua keinginan. Golongan bawah dan
golongan atas, rakyat dan pemerintah, sesuai dalam kehendak dan
keinginan. Sama-sama puas dengan keadaan yang ada. Pemerintahnya
memperhatikan rakyat, bisa ngemong dan bijak dalam mengambil
keputusan, adil dalam membuat peraturan, disiplin dalam menegakkan
hukum dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Jika sudah demikian yang dibawah pun akan bersikap patuh tanpa
mengeluh, takkan banyak protes karena keinginannya ditampung, takkan
melanggar peraturan karena aturannya tak merugikan orang banyak. Tak
perlu juga unjuk rasa di jalanan karena saluran penyampaian pendapat
tidak mampet. Tak ada juga mencaci-maki, karena sudah ada kesesuaian
kehendak dan saling pengertian.

90
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Sabdatama (22): Pulih Jaman Rumuhun


Bait ke-22, Pupuh Gambuh (metrum: 7u 10u 12i 8u 8o), Serat Sabdatama
karya R. Ng. Ranggawarsita.

Ngratani sapraja agung.


Keh sarjana sujana ing kewuh,
nora kewran mring wicara agal alit.
Pulih duk jaman rumuhun,
tyase teteg teguh tanggon

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Merata ke seluruh negara.
Banyak cerdik-cendekia sibuk bekerja,
tidak tercecer dalam bicara perkara besar dan perkara kecil.
Keadaan kembali seperti dahulu,
hatinya tabah, kuat dan dapat diandalkan.

Kajian per kata:


Ngratani (merata) sapraja (ke seluruh negara) agung (besar). Merata ke
seluruh negara.
Kemakmuran sudah merata ke seluruh negara, mencari rezeki mudah,
bahkan sampai orang mengantuk saja dapat menemukan dinar sabokor.
Ketenteraman sudah terwujud dengan adanya saling pengertian (jumbuh)
antara golongan atas dan golongan bawah, tak ada lagi caci maki antara
keduanya. Kebaikan juga sudah menjadi watak. Terbukti orang-orang
mudah meninggalkan perbuatan tercela dan tidak berat lagi menaati
aturan. Sekarang bagaimana dengan para cerdik-cendekia yang dahulu
memilih ikut arus?
Keh (banyak) sarjana (cerdik) sujana (cendekia) ing kewuh (sibuk
bekerja), nora (tidak) kewran (tercecer, kerepotan) mring (dalam) wicara
(bicara perkara) agal (besar) alit (kecil). Banyak cerdik-cendekia sibuk
bekerja, tidak tercecer dalam bicara perkara besar dan perkara kecil.
Ternyata para cerdik-pandai sekarang pada sibuk dengan pekerjaan
masing-masing sesuai bidangnya, tidak lagi kerepotan menganalisa

91
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

perkara besar dan kecil. Dapat bicara secara profesional sesuai disiplin
ilmunya. Berdasar kaidah ilmiah dalam menyampaikan analisa dan tidak
partisan dalam menyarankan kebijakan.
Pulih (kembali) duk (saat) jaman (zaman) rumuhun (dahulu), tyase
(hatinya) teteg (tabah) teguh (kuat) tanggon (andal). Keadaan kembali
seperti dahulu, hatinya tabah, kuat dan dapat diandalkan.

Ini sudah kembali ke zaman dahulu, ketika para ilmuwan dapat bersikap
idealis, tidak tergoda dengan rayuan harta benda, tidak mengeluh karena
sulit hidupnya dan dapat diandalkan dalam mengatasi masalah. Jika
mereka sudah bersikap ilmiah outputnya pun akan berupa kebijakan yang
adil dan merata, tidak memihak golongan tertentu.

TAMMAT.

Mirenglor, 25 Oktober 2017

Bambang Khusen Al Marie

92
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Bagian Ketiga

SERAT KALATIDHA

93
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kata Pengantar

Di tengah budaya feodal yang paternalistik beliau masih sanggup


menyuarakan kritik terhadap penguasa. Posisinya sebagai bawahan tak
membuat ketajaman hatinya kabur. Serat ini menjadi bukti sebuah
perlawanan yang disampaikan secara apik, sekaligus refleksi sikap mupus.
Sebuah sikap untuk selalu mencari hikmat yang terkandung dalam setiap
kejadian, dan mencari tindakan yang terbaik. Inilah karya sang pujangga
besar, Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Serat Kalatidha ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1860. Ketika itu karir
beliau mentok dan tampaknya hubungannya dengan raja kurang harmonis.
Ada ketidakpuasan dalam dirinya sehingga lahirlah serat Kalatidha ini.
Kita tidak akan mengupas terlalu panjang tentang latar belakang sang
pujangga. Bagaimanapun diperlukan riset yang mumpuni untuk
mengambil kesimpulan sejarah yang tepat. Dan saya tak punya
kemampuan untuk itu. Maka kami cukupkan dengan mengkaji isi serat
Kalatidha secara tekstual saja.
Alasan lain dari kajian Kalatidha ini adalah serat ini cukup populer di
kalangan masyarakat. Beberapa bulan yang lalu saya mendapatkan
rekaman gending sinom parijatha yang memuat serat ini. Jadi serat ini
cukup akrab terdengar di telinga banyak orang Jawa. Karena itu kami
merasa perlu untuk mengkajinya agar generasi muda yang sudah tak
begitu paham kosa kata Jawa lama menjadi sedikit mengerti.
Selamat membaca.

Salam.

Bambang Khusen Al Marie

94
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

PUPUH

SINOM

95
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (1): Kalulun Kalatidha


Bait ke-1, tembang Sinom, serat Kalatidha karya Raden Ngabei
Ranggawarsita:
Mangkya darajating praja,
kawuryan wus sunyaruri.
Rurah pangrehing ukara,
karanatanpa palupi,
atilar silastuti.
Sujana sarjana kelu,
kalulun kalatidha.
Tidhem tandhaning dumadi,
andayengrat dene karoban rubeda.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Keadaan keluhurang negara,
terlihat sudah semakin samar.
Rusak kepemimpinannya,
karena tanpa teladan baik,
(pejabat) meninggalkan aturan terpuji.
Orang cerdik cendekia terseret,
ikut tergulung jaman keragu-raguan.
Sepi dari tanda-tanda kehidupan,
membuat seolah dunia tenggelam dalam kerepotan.

Kajian per kata:


Mangkya (keadaan sekarang) darajating (keluhuran, martabat) praja
(negara), kawuryan (terlihat) wus (sudah) sunyaruri (secara samar).
Keadaan keluhurang negara, terlihat sudah semakin samar.
Kata sunyaruri sering dipakai untuk menyebut alam gaib, yang tidak
terlihat atau samar bagi kita. Karena itu saya lebih sreg menerjemahkan
kalimat itu sebagai terlihat makin samar. Hal ini berkaitan dengan
kewibaan pemerintah yang sudah merosot, keluhuran pemerintahan
Mataram seperti yang dicita-citakan pendirinya semakin samar-samar.
Rurah (rusak) pangrehing (pengendalian) ukara (perkataan), karana
(karena) tanpa (tanpa) palupi (teladan baik), atilar (meninggalkan)
96
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

silastuti (aturan terpuji). Rusak kepemimpinannya, karena tanpa teladan


baik, (pejabat) meninggalkan aturan terpuji.
Pangrehing ukara, pangreh artinya mengendalikan, ukara artinya
perkataan dalam hal ini berarti peraturan, karena pada jaman itu perkataan
raja atau pejabat menjadi aturan yang berlaku. Jadi kalimat ini lebih tepat
diterjemahkan sebagai kepemimpinan. Silastuti dari kata sila dan astuti.
Sila adalah aturan, asas atau pedoman, seperti pada Panca Sila. Astuti
artinya terpuji, silastuti adalah aturan yang terpuji, yang dimaksud adalah
aturan moral karena kata ini lebih sering dipakai untuk menyebut sikap
atau tatakrama.
Sujana (orang cerdik) sarjana (cendekia) kelu (terseret), kalulun (ikut
tergulung) kalatidha (jaman keragu-raguan). Orang cerdik cendekia
terseret, ikut tergulung jaman keragu-raguan.
Orang-orang serba ragu, perbuatan apa yang seharusnya diambil. Mau
berbuat ini takut salah, tidak berbuat juga disalahkn. Mengambil opsi A
dihujat kelompok sana, mengambil opsi B dihujat kelompok sini.
Akibatnya para cerdik pandai pun terseret arus pasar. Kira-kira mana yang
akan disukai orang itulah yang akan disuarakan. Padahal yang dikatakan
belum tentu sesuai hati nurani. Para cendekia pun memilih ikut arus yang
menguntungkan.
Tidhem (sepi) tandhaning (dari tanda) dumadi (kehidupan), andayengrat
(membuat seolah dunia) dene (seperti) karoban (tenggelam) rubeda
(dalam kerepotan). Sepi dari tanda-tanda kehidupan, membuat seolah
dunia tenggelam dalam kerepotan.
Saking tidak jelasnya keadaan negara sampai berkesan tidak ada
kehidupan di situ. Yang dimaksud adalah daya hidup yang menjiwai setiap
kebijakan. Segala keputusan diambil seolah mengabaikan kecerdasan. Lha
iya wong para cedik-pandai sudah memilih ikut arus. Keadaan orang-
orang yang loyo ini membuat seolah dunia sedang dirundung malang,
tertimpa banyak halangan.
Rubeda adalah keadaan repot yang diakibatkan faktor halangan dari luar,
yang di luar kuasa seseorang. Keadaan repot ini membuat seseorang terlalu
sibuk mengurus diri sendiri, hingga tak mampu peduli kepada orang lain.
Sekedar empati pun tak sempat. Bagaimana kalau para pejabat berada

97
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

dalam kondisi demikian. Anda bayangkan sendiri, kalau tak sanggup


membayangkan lihat saja contohnya yang banyak bertebaran dalam
kehidupan.

98
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (2): Tan Dadi Paliyasing Kala Bendu


Bait ke-2, tembang Sinom, serat Kalatidha karya Raden Ngabei
Ranggawarsita:

Ratune ratu utama,


Patihe patih linuwih,
pra nayaka tyas raharja,
panekare becik-becik.
Parandene tan dadi,
paliyasing Kala Bendu,
mandar mangkin andadra.
Rubeda angrebedi,
beda-beda ardaning wong sanegara.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Rajanya raja utama,
patihnya patih pilihan,
para punggawa berhati mulia,
para bawahannya baik-baik.
Walau demikian tidak menjadi,
penolak d ari jaman Kutukan,
malah makin menjadi-jadi (kerusakannya).
Banyak halangan yang membuat kerepotan,
dari hasrat yang berbeda-beda setiap orang seluruh negara.
.

Kajian per kata:


Ratune (rajanya) ratu (raja) utama (utama), Patihe (patihe) patih (patih)
linuwih (pilihan), Pra (para) nayaka (punggawa) tyas (berhati) raharja
(mulia, baik), Panekare (bawahan, pejabat rendah) becik-becik (baik-
baik). Rajanya raja utama, patihnya patih pilihan, para punggawa berhati
mulia, para bawahannya baik-baik.
Inilah gambaran dari negara yang sedang kita bicarakan pada bait pertama,
sebagai negara yang surut kewibawaannya, merosot keluhurannya.
Padahal di dalamnya penuh dengan orang-orang baik. Rajanya seorang
yang utama, Patihnya juga orang pilihan, punggawa negara berhati mulia
dan pegawai-pegawai negara juga orang baik-baik semua. Sebuah negara
99
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

yang sebenarnya ideal untuk memberi keadilan dan kemakmuran bagi


penduduknya.
Sekedar informasi bahwa pemerintahan jaman serat ini digubah adalah
sistem kerajaan dimana raja secara simbolis menjadi pemegang kekuasaan
negeri dan berwenang menentukan kebijakan. Dalam hal ini yang
bertindak sebagai pelaksana atau perdana menteri adalah Patih. Namun
karena masa itu Belanda sudah sedemikian berkuasa kedudukan Belanda
di atas raja. Jadi setiap kebijakan apapun harus disetujui oleh Belanda
yang dalam hal ini diwakili Residen surakarta. Dengan demikian posisi
raja sebenarnya terbelenggu, karena apapun kalau tidak disetujui Residen
takkan terjadi.
Parandene (walau demikian) tan (tak) dadi (menjadi), paliyasing
(penolak dari) Kala (jaman) Bendu (kutukan), mandar (malah) mangkin
(makin) andadra (menjadi-jadi). Walau demikian tidak menjadi penolak
dari jaman Kutukan, malah makin menjadi-jadi (kerusakannya).
Kalau dalam bait pertama keadaan negara baru disebut Kalatidha, artinya
jaman penuh keraguan, di bait ini sudah disebut Kalabendu, jaman penuh
kutukan. Kerusakan ada dimana-mana, penyimpangan merajalela. Walau
negara diisi oleh para cerdik cendekia, raja, patih, punggawa dan pegawai
yang baik-baik tetap saja tak mampu menolak datangnya kutukan ini.
Sebenarnya gatra ini mengandung sindiran kepada para pejabat itu: kalian
ngapain aja? Orang-orang pintar kok nggak becus ngurus negara?
Rubeda (halangan) angrebedi (membuat kerepotan), beda-beda (berbeda-
beda) ardaning (hasratnya) wong (orang-orang) sanegara (seluruh
negara). Banyak halangan yang membuat kerepotan, dari hasrat yang
berbeda-beda setiap orang seluruh negara.
Mungkin karena setiap orang punya hasrat yang berbeda-beda hingga
banyak merepotkan. Mau begini kok tidak melanggar kepentingan
kelompok sana, mau berbuat begini kok melanggar kepentingan kelompok
sini. Setiap orang punya kepentingan berbeda-beda dan mereka semua
mengejar kepentingannya masing-masing. Mungkin inilah yang membuat
negara itu menjadi negara terkutuk.

100
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (3): Ketaman Ing Reh Wirangi


Bait ke-3, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:

Katetangi tangisira,
Sira sang paramengkawi,
Kawileting tyas duhkita,
ketaman ing rehwirangi,
Dening upaya sandi,
Sumaruna anarawung,
Mangimur manuhara,
Met pamrihmelik pakolih,
Temah suka ing karsa tanpa weweka.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Tumpahlah tangis (kesedihan)-nya,
engkau sang pujangga
Terbelit hati oleh rasa sedih,
tertimpa rasa malu.
Oleh perbuatan tersembunyi,
yang menyertai dalam pergaulan,
menyamar dengan berkata manis.
Yang sebenarnya mencari pamrih berharap keuntungan,
sehingga membuat suka dalam harapan tanpa kewaspadaan.

Kajian per kata:


Katetangi (tertumpahlah) tangisira (tangismu), sira (engkau) sang (sang)
paramengkawi (ahli bahasa, pujangga). Tumpahlah tangis (kesedihan)-
nya, engkau sang pujangga.
Tumpahlah kesedihan sang pujangga. Katetangi tangisira di sini berarti
bangkitlah tangismu. Menunjukkan adanya kesadaran yang tiba-tiba
menyeruak dan menjadi penyesalan. Paramengkawi adalah ahli bahasa
Kawi, yang dimaksud adalah diri sang pujangga Ranggawarsita sendiri.
Jadi bait ini sedang menceritakan pergolakan hati Ranggawarsita sendiri.

101
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kawileting (terbelit) tyas (hati) duhkita (brsedih), ketaman (tertimpa) ing


reh (dalam hal) wirangi (memalukan). Terbelit hati oleh rasa sedih,
tertimpa rasa malu.
Kawilet dari kata wilet artinya tali, maksudnya kesedihannya begitu
membelit, sangat sedih. Selain sedih juga merasa malu, jadi kesedihannya
menjadi berlipat ganda.
Dening (oleh) upaya (perbuatan) sandi (sembunyi), sumaruna
(pergaulan) anarawung (bersamaan), mangimur (menyamar) manuhara
(berkata manis). Oleh perbuatan tersembunyi, yang menyertai dalam
pergaulan, menyamar dengan berkata manis.
Apalagi jika kesedihan itu akibat perbuatan orang lain. Upaya sandi disini
adalah perbuatan yang ditujukan kepada beliau dengan sembunyi-
sembunyi atau operasi senyap. Yang dilakukan oleh seorang yang sudah
dikenal dalam pergaulan, bahkan mungkin bukan orang asing lagi. Orang
itu menyamar atau berpura-pura (mangimur) dengan berkata-kata manis
(manuhara).
Met (mencari) pamrih (pamrih) melik (berharap) pakolih (keuntungan),
temah (hingga) suka (suka) ing (dalam) karsa (hati) tanpa (tanpa)
weweka (kewaspadaan). Yang sebenarnya mencari pamrih berharap
keuntungan, sehingga membuat suka dalam harapan tanpa kewaspadaan.
Padahal sebenarnya orang itu menyembunyikan pamrih, berharap
keuntungan. Kata-kata manisnya membuat senang hati dan
membangkitkan harapan (karsa) sang pujangga sehingga hilanglah
kewaspadaan (weweka).
Kesedihan sang pujangga tidak berhenti di bait ini, namun beliau adalah
manusia yang sudah mumpuni dalam reh kasudarman, sehingga hal ini
tidak menjadikan kesedihan yang berlarut-larut. Bagaimana sang pujangga
mengatasi perasaan sedih di hatinya? Nantikan dalam bait-bait berikutnya.

102
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (4): Mundak Apa Aneng Ngayun?


Bait ke-3, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:
Dasar karoban pawarta,
bebaratan ujar lamis,
pinudya dadya pangarsa.
Wekasan malah kawuri.
Yen pinikir sayekti,
mundhak apa aneng ngayun,
Andhedher kaluputan.
Siniram ing banyu lali.
Lamun tuwuh dadi kekembenging beka.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Pokok persoalannya adalah mendapat berita,
kabar angin yang seolah-olah,
akan ditunjuk sebagai pemuka.
Akhirnya malah tersingkir.
Kalau direnungkan dengan sungguh-sungguh,
bertambah apa sih menjadi pemuka itu?
Hanya menebarkan kesalahan.
Seperti tenggelam dalam kealpaan.
Jika membesar menjadi penuh dengan kesusahan.

Kajian per kata:


Dasar (pokok persoalannya) karoban(mendapat) pawarta (berita),
bebaratan (kabar angin) ujar (perkataan) lamis (berpura-pura, seolah-
olah), pinudya (ditunjuk) dadya (sebagai) pangarsa (pemuka). Pokok
persoalannya adalah mendapat berita, kabar angin yang seolah-olah,
akan ditunjuk sebagai pemuka.
Bait ini mengungkap lebih dalam pokok masalah yang mendera sang
pujangga. Berawal dari kabar angin yang dibawa seorang yang berpura-
pura (lamis) tadi, bahwa beliau akan ditunjuk menjadi seorang pemuka.
Mengingat serat ini ditulis setelah sang pujangga memasuki usia matang,
maka tak heran kalau kabar ini sangat membuat beliau berharap lebih.
103
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Mengingat beliau sebagai pujangga yang banyak karya-karyanya ternyata


kariernya mentok. Pangkat beliau pun terhenti, ditilik dari gelar beliau
yang hanya seorang Raden Ngabehi serta jabatan beliau yang hanya
kaliwon carok kadipaten anom. Bandingkan dengan kakek beliau yang
sesama pujangga namun bergelar Kanjeng Raden Tumenggung, yakni
KRT Yasadipura yang juga menjabat sebagai bupati.
Wekasan (akhirnya) malah (malah) kawuri (tersingkir). Akhirnya malah
tersingkir.
Setelah sempat menaruh harap akhirnya tidak menjadi kenyataan, bahkan
beliau tersingkir posisinya. Ada riwayat yang mengatakan bahwa
hubungan beliau dengan raja yang berkuasa waktu itu kurang baik. Hal ini
tampak masuk akal mengingat jasa-jasa beliau mengapa beliau
dimakamkan di Palar, sebuah kecamatan yang jauhnya 25 km dari pusat
kerajaan, dan bukan termasuk wilayah kotaraja. Tradisi leluhur
Ranggawarsita bila meninggal dimakamkan di Pengging, pada sebuah
tanah pemberian Sultan Hamengku Buwana I kepada R. Ng. Yasadipura
Tus Pajang. Tercatat yang dimakamkan di Pengging adalah Yasadipura I,
Yasadipura II dan ibu Ranggawarsita sendiri.
Yen (kalau) pinikir (direnungkan) sayekti (sungguh-sungguh), mundhak
(bertambah) apa (apa) aneng (menjadi) ngayun (pemuka). Kalau
direnungkan dengan sungguh-sungguh, bertambah apa sih menjadi
pemuka itu?
Dalam gatra ini sang pujangga mulai mengambil hikmat dari peristiwa
yang beliau alami. Dengan menimbang-nimbang untung ruginya.
Sebenarnya kalau menjadi pemuka apa sih yang bertambah? Kok saya
demikian berharap.
Andhedher (menebarkan) kaluputan (kesalahan). Hanya menebarkan
kesalahan.
Menjadi pemuka, pejabat atau pemimpin jika tidak cakap justru berbuah
hina. Hanya menebarkan banyak kesalahan, blunder, salah langkah, dan
mungkin melakukan kedzaliman. Oleh karena itu ada untungnya juga tak
jadi ditunjuk sebagai pemimpin.
Siniram ing banyu(seperti tenggelam) lali (dalam kealpaan). Seperti
tenggelam dalam kealpaan.
104
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Pemimpin yang tidak cakap dan tak tahan godaan justru seringkali lupa
diri. Tenggelam dalam kealpaan, kekhilafan, kemunafikan, pencitraan, dan
aneka penyimpangan lain.
Lamun (jika) tuwuh (membesar) dadi (menjadi) kekembenging (penuh
dengan) beka (kerepotan, kesusahan). Jika membesar menjadi penuh
dengan kesusahan.
Jika tidak segera sadar justru semakin lama semakin menjadi-jadi, kelak
penyimpangannya semakin membesar hingga menimbulkan kesusahan.
Baik bagi orang banyak karena kebijakannya yang salah, juga bagi diri
sendiri karena bisa-bisa menuntunnya ke bui.
Dalam bait ini Ki Ranggawarsita secara apik menggambarkan pergolakan
batin beliau. Sejak timbul kekecewaan, sampai munculnya kesadaran
untuk mencari hikmat dari setiap keadaan yang menimpanya. Kita
beruntung ada orang berjiwa besar yang mau berbagai pengalaman
batinnya kepada kita sehingga kita bisa meneladaninya. Orang lain
mungkin akan mengubur setiap rasa kekecewaannya dalam-dalam dan
menampilkan muka manis demi sebuah citra diri. Namun beliau bukan
orang seperti itu.

105
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (5): Wong Hambeg Jatmika Kontit


Bait ke-5, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:
Ujaring panitisastra,
aawewarah asung peling.
Ing jaman keneng musibat,
wong hambeg jatmika kontit.
Mengkono yen niteni.
Pedah apa amituhu,
pawarta lelawara.
Mundhak angreranta ati,
angurbaya angiket cariteng kuna.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Sudah termaktub dalam Panitisastra,
yang menasihati dan memberi peringatan.
Di jaman yang penuh malapetaka,
orang berbudi halus akan tertinggal.
Demikian jika diperhatikan.
Apa gunanya menuruti,
kabar yang tak jelas,
hanya tambah menyusahkan hati.
Lebih baik merangkai cerita tentang jaman dahulu kala.

Kajian per kata:


Ujaring (termaktub dalam) panitisastra (buku Panitisastra), awewarah
(menasihati) asung (memberi) peling (peringatan). Sudah termaktub
dalam Panitisastra, yang menasihati dan memberi peringatan.
Panitisastra atau serat Panitisastra adalah kitab kuna yang disusun
kembali dan diterjemahkan dari bahasa Kawi ke bahasa Jawa atas perintah
Sunan Paku Buwana IV. Pengarang kitab ini tidak diketahui, tetapi isinya
banyak dipakai pedoman dalam bersikap sebagai punggawa negara, juga
sebagai pedoman pribadi. Di dalamnya termuat nasihat-nasihat tentang
bagaimana harus bersikap dalam kehidupan sehari-hari.

106
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Ing (di) jaman (jaman) keneng (yang penuh) musibat (malapetaka), wong
(orang) hambeg (berbudi) jatmika (halus, tenang) kontit (tersingkir).
Mengkono (demikian) yen (jika) niteni (perhatikan). Di jaman yang
penuh malapetaka, orang berbudi halus akan tersingkir. Demikian jika
diperhatikan.
Orang-orang yang berbudi halus akan tersingkir di jaman pernuh
malapetaka, karena mereka tak sampai hati berebut periuk nasi. Hati
mereka terlalu halus untuk diajak berperilaku mburog, ngusruk, mepet
sesama. Padahal di jaman terkutuk ini orang-orang yang tak tahu malulah
yang paling sering tampil, lebih berpeluang mendapat jabatan dan kursi.
Itulah yang terjadi.
Kontit artinya tertinggal dengan memalukan. Ibarat pertandingan lari dia
ketinggalan jauh hingga disoraki penonton.
Pedah (guna, faidah) apa (apa) amituhu (menuruti), pawarta (kabar)
lelawara (angin, tak jelas), mundhak (tambah) angreranta (menyusahkan)
ati (hati). Apa gunanya menuruti, kabar yang tak jelas, hanya tambah
menyusahkan hati.
Pada gatra ini sang pujangga sudah menunjukkan tanda-tanda melupakan
kesedihan dan mulai move on. Beliau sadar bahwa mempercayai kabar
yang tak jelas tidak ada gunanya. Jika tak sesuai harapan malah akan
membuat hati semakin susah saja.
Angurbaya (lebih baik) angiket (merangkai, menyusun) cariteng (cerita)
kuna (tentang jaman dahulu). Lebih baik merangkai cerita tentang jaman
dahulu kala.
Inilah langkah yang akhirnya ditempuh sang pujangga. Dan ini tampaknya
bukan sekedar angan-angan. Beliau banyak menelurkan karya-karya
bermutu selain serat Kalatidha ini. Termasuk juga tentang kisah-kisah
kuno seperti Serat Pustaka Raja Purwa, yang sering dipakai sebagai
pakem pedalangan.

107
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (6): Mupus Pepesthening Takdir


Bait ke-6, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:
Keni kinarya darsana,
Panglimbang ala lan becik,
Sayekti akeh kewala,
Lelakon kangdadi tamsil,
Masalahing ngaurip,
Wahaninira tinemu,
Temahan anarima,
Mupus pepesthening takdir
Puluh-Puluh anglakoni kaelokan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Bisa dipakai sebagai teladan,
perbandingan antara yang buruk dan yang baik.
Sesungguhnya banyak sekali,
kejadian yang menjadi tamsil,
masalah kehidupan.
(Dengan begitu) makna kehidupan ditemukan,
sehingga bisa menerima (keadaan).
Menerima segala keadaan yang sudah ditetapkan takdir,
bagaimanapun sedang menjalani kejadian yang aneh.

Kajian per kata:


Keni (bisa) kinarya (dipakai) darsana (contoh tauladan), panglimbang
(perbandingan) ala (buruk) lan (dan) becik (baik). Bisa dipakai sebagai
teladan, perbandingan antara yang buruk dan yang baik.
Bait ini masih melanjutkan bait sebelumnya tentang rencana sang
pujangga yang akan merangkai cerita kuna. hal ini beliau lakukan sebagai
upaya beliau untuk tetap memberi sumbangan pada kehidupan masyarakat,
meski beliau tidak jadi menempati kedudukan yang diharapkan.
Dalam cerita-cerita tentang kehidupan jaman dahulu ada banyak kisah
yang bisa dipakai sebagai teladan, sebagai bahan perbandingan antara
yang baik dan yang buruk.
108
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Sayekti (sesungguhnya) akeh (banyak) kewala (sekali), lelakon (kejadian)


kang (yang) dadi (menjadi) tamsil (teladan baik, perumpamaan,
perbandingan), masalahing (masalah) ngaurip (kehidupan).
Sesungguhnya banyak sekali, kejadian yang menjadi tamsil, masalah
kehidupan.
Kisah-kisah lama banyak memuat ajaran tentang budi pekerti, nasihat
tentang kehidupan, tamsil atau perumpamaan kehidupan yang dapat kita
tiru, dan hal-hal lain yang berguna dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Hal ini beliau lakukan dengan menulis serat Pustaka Raja Purwa yang
berisi tentang sejarah pewayangan. Beliau juga menulis serat Kridhamaya,
berisi tentang nasihat kehidupan yang dibingkai dalam sebuah percakapan
antara guru dan murid.
Wahaninira (makna hidupnya) tinemu (ditemukan) , temahan (sehingga)
anarima (bisa menerima). (Dengan begitu) makna kehidupan ditemukan,
sehingga bisa menerima (keadaan).
Beliau berharap dari kisah-kisah lama yang beliau dituliskan dapat digali
dari makna hidup masing-masing orang, sehingga bisa menerima keadaan
apapun yang menimpanya.
Mupus (menerima segala keadaan) pepesthening (yang sudah ditetapkan)
takdir (oleh takdir), puluh-puluh (bagaimanapun juga) anglakoni
(menjalani) kaelokan (kejadian aneh). Menerima segala keadaan yang
sudah ditetapkan takdir, bagaimanapun sedang menjalani kejadian yang
aneh.
Mupus adalah salah satu bentuk akhlakul karimah bagi orang jawa, yang
artinya rela menerima segala keadaan atau kejadian yang dibawah
harapannya. Mupus ini biasanya disertai rasa syukur walau yang
diharapkan tidak tercapai tetapi sudah mampu melangkah sejauh ini.
Misalnya seseorang yang bersemangat menempuh pendidikan. Setelah
bersusah payah dan berusaha dengan segala cara yang ada dia gagal
diterima di program S3. Tentu itu sangat mengecewakannya, membuatnya
tak habis pikir. Tetapi setelah merenungkan kembali dia kemudian mupus,
mengubur impiannya untuk melanjutkan sekolah dan merasa bahwa apa
yang telah diraihnya sudah merupakan karunia yang besar.

109
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Dalam bait ini sang pujangga melakukan hal serupa. Beliau mupus,
mengubur impiannya menjadi seorang pemuka (mungkin yang ingin
diraihnya pangkat tumenggung), dan bersyukur atas apa yang diterimanya
saat ini. Bagaimanapun (puluh-puluh) beliau sudah melalui banyak
kejadian yang berat (elok-elok) tapi masih mampu meraih jabatannya
sekarang ini.
Demikian pergolakan batin sang pujangga Ranggawarsita, yang beliau
bagi untuk kita sebagai pelajaran.

110
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (7): Luwih Begja Kang Eling Waspada


Bait ke-7, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:
Amenangi jaman edan,
Ewuh aya ing pambudi,
Milu edan nora tahan,
Yen tan miluanglakoni,
Boya kaduman melik,
Kaliren wekasanipun,
Ndilalah karsa Allah,
Begjabegjanekang lali,
Luwih begja kang eling lawan waspada.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Hidup di jaman gila,


serba sulit dan repot dalam bertindak.
Ikut gila tidak tahan,
kalau tidak ikut melakukan,
tidak kebagian pendapatan,
kelaparan akhirnya.
Namun sudah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri,
masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.

Kajian per kata:


Amenangi (menyaksikan, hidup di) jaman (jaman) edan (gila), ewuh
(repot) aya (sulit) ing (dalam) pambudi (bertindak, berusaha). Hidup di
jaman gila, serba sulit dan repot dalam bertindak.
Kata amenangi sering diartika sempat hidup dan mengalami, misalnya
pada kalimat: amenangi jaman panjajahan Walanda, masih hidup dan
menyaksikan jaman penjajahan Belanda. Dalam kalimat di atas bermakna
bahwa beliau hidup dan mengalami sendiri jaman edan itu. Dan merasakan
seulit dan repotnya hidup tersebut.

111
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Milu (ikut) edan (gila) nora (tidak) tahan (tahan), yen (kalau) tan (tidak)
milu (ikut) anglakoni (melakukan), boya(tidak) kaduman (kebagian)
melik (pendapatan), kaliren (kelaparan) wekasanipun (akhirnya). Ikut gila
tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan,
kelaparan akhirnya.
Dalam bait sebelumnya pernah disinggung tentang di jaman penuh petaka
wong hambeg jatmika kontit, di jaman penuh petaka orang yang berbudi
halus tersingkir. Nah inilah yang terjadi ketika dunia sudah penuh dengan
penyimpangan. Orang-orang yang berbudi halus tidak tahan kalau mau
ikut-ikutan gila. Tak sampai hati kalau harus rebutan periuk nasi, merasa
malu kalau harus rebutan kursi. Merasa tak pantas kalau berebut jabatan
dengan menyikut orang lain. Tak tega kalau demi mendapat proyek harus
menyingkirkan teman. Akibatnya seringkali lebih suka mundur dan
mengalah, dengan resiko pendapatannya atau peruntungannya berkurang.
Jaman edan memang tidak berpihak kepada orang baik-baik. Orang yang
tekun mengabdi disingkirkan, yang banyak bacot dijunjung tinggi. Asal
bisa njeplak banyak pengikutnya, tentu saja sesama orang sakit hati yang
sama gilanya.
Ndilalah (namun sudah menjadi) karsa (kehendak) Allah (Allah), begja
begjane (sebahagia-bahagianya) kang (yang) lali (lupa diri), luwih (masih
lebih) begja (bahagia) kang (yang) eling (ingat) lawan (dan) waspada
(waspada). Namun sudah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya
orang yang lupa diri, masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.
Kata ndilalah sebenarnya bermakna kebetulan yang tidak diharapkan
seperti pada kalimat, ora nggawa payung ndilalah udan, tidak membawa
payung tiba-tiba hujan. Agaknya kata ini dipakai sebagai ungkapan bahwa
mereka yang berperilaku gila itu boleh merencanakan ini dan itu, berbuat
sesk mereka namun yang terjadi tetaplah kehendak Allah yang tidak
mereka duga ata rencanakan.
Walau orang-orang yang berlaku gila dalam hidupnya itu tampak bahagia
dan hidup enak, tetapi belum tentu seperti yang terlihat. Mungkin kelak
tiba-tiba masuk bui karena terbongkar kejahatannya. Mungkin suatu saat
terkena banyak penyakit karena gaya hidupnya. Karena sesungguhnya
manusia hanya dapat menilai orang lain dari penampilan luarnya saja,
sedangkan yang ada didalam kehidupannya kita tidak tahu.
112
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Namun orang-orang yang tetap ingat dan waspada akan lebih bahagia.
Hidupnya lebih terarah dan teratur. Keinginannya sederhana sesuai
kemampuannya dan gaya hidupnya pun sewajarnya. Tidak ada keinginan
yang menyiksa hati siang dan malam, karena orang seperti ini sudah
pasrah dengan apa yang diterimanya.
Di sini ada dua kata kunci, yakni eling (ingat) dan waspada. Artinya sudah
sering kami uraikan dalam kajian sastra klasik ini. Ingat berarti mengingat
diri sendiri, menjaga diri dari keinginan hati yang melampuai batas, jadi
ingat lebih ditujukan ke dalam. Waspada lebih ditujukan ke luar dalam
menghadapi berbagai godaan dan halangan yang muncul. Dua kata ini juga
sering muncul dalam werat Wedatama yang kajiannya sudah kita
khatamkan bulan lalu.

113
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (8): Muhung Mahas Ing Asepi


Bait ke-8, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:
Semono iku bebasan,
Padu-padune kepengin,
Enggih mekaten man Dhoblang,
Bener ingkang angarani,
Nanging sajroning batin,
Sejatine nyamut-nyamut,
Wis tuwa arep apa,
Muhung mahas ing asepi,
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Yang demikian itu seperti orang,


yang sangat kepengin (jabatan).
Bukankah begitu Paman Doblang?
Benar yang mengatakan demikian,
tetapi dalam hati,
sebenarnya keinginan itu belum seberapa.
Sudah tua akan berbuat apa.
Lebih baik hanya fokus dalam kesepian,
agar mendapat ampunan Yang Maha Suci.

Kajian per kata:


Semono (Yang demikian) iku (itu) bebasan (seperti), padu-padune (orang
yang sangat) kepengin (kepengin). Enggih mekoten man Doblang (bukan
begitu Paman Doblang?). Yang demikian itu seperti orang yang sangat
kepengin (jabatan). Bukankah begitu Paman Doblang?
Maksud dari kalimat retoris ini adalah orang yang begitu susah ketika tak
jadi diangkat sebagai pejabat (seperti yang dibahas bait sebelumnya) kok
berkesan seperti orang yang sangat menginkan jabatan itu. Bukankah
begitu Paman Doblang?

114
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Paman Doblang disini bisa sembarang orang, seperti pada kata fulan
dalam bahasa arab. Kata Paman Doblang ini diambil dari lagu dolanan
anak yang terdiri dari beberapa bait, di akhir bait selalu diakhiri dengan
pertanyaan, “Nggih mekaten, Man Dhoblang?”
Bener (benar) ingkang(yang) angarani (mengatakan demikian), nanging
(tetapi) sajroning (dalam) batin (batin, hati), sejatine (sebenarnya)
nyamut-nyamut (belum seberapa). Benar yang mengatakan demikian,
tetapi dalam hati, sebenarnya keinginan itu belum seberapa.
Bahwa memang benar demikian, sang pujangga memang mengharapkan
itu. Tetapi jika direnungkan dalam batin, sebenarnya keinginannya tak
begitu sangat. Tak seberapa keinginannya.
Nyamut-nyamut atau klamut-klamut sering dipakai untuk menyebut hasil
dari sesuatu yang tak seberapa. Misalnya buah kelapa muda yang baru
muncul buahnya atau degan, kalau belum tua masih tipis sekali buahnya,
ini disebut klamut-klamut.
Wis (sudah) tuwa (tua) arep (akan) apa (apa), muhung (lebih baik hanya)
mahas (fokus) ing (dalam) asepi (kesunyian), supayantuk (agar
mendapat) pangaksamaning (ampunan) Hyang (Yang) Suksma (Maha
Suci). Sudah tua akan berbuat apa. Lebih baik hanya fokus dalam
kesepian, agar mendapat ampunan Yang Maha Suci.
Sudah tua apa lagi yang mau dicapai. Mestinya disediakan waktu untuk
beribadah. Tidak terus-menerus mengejar dunia. Cukuplah sekian porsinya
untuk kehidupan dunia yang penuh intrik dan gejolak ini. Sudah saatnya
memperbanyak muhasabah, menyendiri di tempat sepi (mahas ing asepi)
mencari pengampunan kepada Allah Yang Maha Suci. Sambil di sela-sela
waktu luang mengarang kitab untuk anak-anak muda di kemudian hari,
agar menjadi pelajaran bagi mereka.
Kira-kira begitulah sikap batin Ki Ranggawarsita yang setelah merenung
mampu mencapai ketenangan hidup. Tidak lagi galau oleh godaan
keinginan menjadi pemuka yang sebelumnya sangat beliau inginkan.
Jika kita belajar sejarah seputar kerajaan Mataram, Surakarta dan
Yogyakarta, mengabdi kepada raja memanhg menjadi cita-cita besar
setiap orang. Apalagi bagi seorang abdi dalem yang sudah sejak muda
membaktikan hidupnya untuk raja. Keridhaan raja yang dalam hal ini
115
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

diwujudkan dengan kenaikan pangkat adalah sesuatu yang diidam-


idamkan.
Dr. Kuntowijaya dalam buku Raja, Priyayi dan Kawula, menyebut bahwa
pejah ing sahandhap sampeyan dalem (mati di bawah kaki paduka raja)
adalah obsesi setiap priyayi pada saat itu. Maka tak aneh kalau setiap
priyayi menginginkan kedudukan yang dekat dengan raja. Namun Ki
Ranggawarsita mampu menyelesaikan konflik internal yang bergemuruh
di dalam dada, dan mendapat pemecahan yang menenteramkan.

116
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (9): Saking Mangunah Prapti


Bait ke-9, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:
Beda lan kang wus santosa,
kinarilah ing Hyang Widhi.
Satiba malanganeya,
tan susahngupaya kasil.
Saking mangunah prapti,
Pangeran paring pitulung,
marga samaning titah,
Rupa sabarang pakolih,
parandene maksih taberi ikhtiyar.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Berbeda dengan yang sudah kuat,


diridhali oleh Yang Maha Kuasa.
Di manapun tempatnya,
tidak sulit mencari penghasilan.
Dari manapun pertolongan datang,
Tuhan memberi pertolongan,
lewat sesama makhluk.
Berupa sembarang pendapatan,
namun demikian masih rajin berusaha agar lebih baik.

Kajian per kata:


Beda (beda) lan (dengan) kang (yang) wus (sudah) santosa (kuat),
kinarilah (diridhai) ing (oleh) Hyang (Yang) Widhi (Maha Kuasa).
Berbeda dengan yang sudah kuat, diridhali oleh Yang Maha Kuasa.
Setelah berbicar tentang niat untuk menyepi untuk bermuhasabah dan
mencari ampunan Allah, Ki Ranggawarsita menyoroti orang yang sudah
kuat dalam hubungannya dengan Allah. Suatu pencapaian yang masih jauh
dari jangkauannya, paling tidak menurut penuturannya dalam serat ini.

117
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Satiba (di mana pun) malanganeya (tempatnya), tan (tidak) susah (sulit)
ngupaya (mencari) kasil (penghasilan). Di manapun tempatnya, tidak sulit
mencari penghasilan.
Kapan pun, di manapun, kalau orang Jawa menyebutnya satiba-tibane
kepenak, artinya dia jatuh di manapun akan hidup enak. Mencari makan
pun tak sulit, mencari penghasilan pun mudah. Ini adalah gambaran orang
yang sudah mempunyai kepasrahan yang kuat kepada Sang Pencipta.
Saking (dari mana pun) mangunah (pertolongan) prapti (datang),
Pangeran (Tuhan) paring (memberi) pitulung (pertolongan), marga
(lewat) samaning (sesama) titah (manusia, makhluk). Dari manapun
pertolongan datang, Tuhan memberi pertolongan, lewat sesama makhluk.
Mangunah adalah pertolongan yang diberikan kepada seseorang agar
orang tersebut mampu menjalani tugas yang dibebankan. Orang yang
sudah pasrah dan diridhai Allah akan mendapat mangunah ini, entah dari
mana datangnya pertolongan itu. Bisa juga datang dari sesama makhluk
Tuhan (titah). Bisa dari tetangga, kenalan, atau malah orang yang tak
dikenal sama sekali.
Rupa (berupa) sabarang (sembarang) pakolih (pendapatan, rejeki),
parandene (namun demikian) maksih (masih) taberi (rajin) ikhtiyar
(berusaha lebih baik). Berupa sembarang pendapatan, namun demikian
masih rajin berusaha agar lebih baik.
Pertolongan itu berupa sembarang hasil, rejeki, pendapatan atau apapun.
Mereka tidak merasa sulit dalam mendapatkan itu semua. Walau demikian
mereka tetap rajin berusaha untuk mencari penghasilan yang lebih baik.

118
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (10): 4 Cagaking Ngaurip


Bait ke-10, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:
Sakadare linakonan,
Mung tumindak mara ati,
Angger tan dadi prakara,
Karana riwayat muni,
Ikhtiyar iku yekti,
Pamilihing reh rahayu,
Sinambi budidaya,
Kanthi awas lawaneling,
Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Sekedarnya dilakukan,
hanya berbuat yang menyenangkan hati,
asal tidak menjadi masalah.
Karena ada riwayat mengatakan,
ikhtiyar itu harus dilakukan,
untuk memilih hal yang lebih baik.
Sambil berusaha,
dengan tetap waspada dan ingat.
Disertai doa semoga mendapat anugrah dari Allah.

Kajian per kata:


Sakadare (sekedarnya) linakonan (dilakukan), mung (hanya) tumindak
(berbuat) mara ati (menyenangkan hati), angger (asal) tan (tidak) dadi
(menjadi) prakara (masalah). Sekedarnya dilakukan, hanya berbuat yang
menyenangkan hati, asal tidak menjadi masalah
Bait masih melanjutkan bahasan bait sebelumnya tentang orang yang
sudah kuat kepasrahannya kepada Allah. Mereka walau seringkali
mendapat kemudahan dan pertolongan Allah tetapi tidak bersikap
mentang-mentang. Dalam arti tidak mentang-mentang dekat dengan Allah
yang ditunjukkan dengan seringnya mereka beribadah secara kusyu’ dan

119
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

khusus, sehingga mereka kemudian mengadalkan pertolongan itu semata-


mata.
Tidak, merek tetap melakukan berusaha sebagaimana manusia yang lain.
Hanya saja semua itu dilakukan dengan sekadarnya, tidak dengan hati
yang penuh ambisi atau hasrat yang kuat. Mereka selalu menjaga agar
dapat berusaha dengan hati senang, dan tidak membuat masalah dengan
sesama. Wong cuma sekedar mancari makan saja kok sikut-sikutan, kira-
kira begitulah.
Karana (karena) riwayat (ada riwayat) muni (mengatakan), ikhtiyar
(iktiyar) iku (itu) yekti (harus dilakukan), pamilihing (memilih) reh (hal)
rahayu (yang lebih baik). Karena ada riwayat mengatakan, iktiyar itu
harus dilakukan, untuk memilih hal yang lebih baik.
Hal itu karena ada riwayat yang mengatakan bahwa ikhtiyar itu wajib bagi
manusia. Riwayat di sini yang dimaksud adalah hadits Nabi, namun beliau
tidak menyebutkan periwayat dan sanadnya. Sedangkan yang dimaksud
ikhtiyar sesuai dengan pengertian dalam budaya Jawa adalah berusaha
untuk memilih kehidupan yang lebih baik. Ini sesuai dengan maksud yang
tersurat dalam bait ini, pamilihing reh rahayu, memilih keadaan yang
lebih baik.
Sinambi (sambil) budidaya (berusaha), kanthi (dengan) awas (waspada)
lawan (dan) eling (ingat). Kanti (disertai) kaesthi (memikirkan, berdoa)
antuka (semoga mendapat) parmaning (anugrah dari) Suksma (Allah).
Sambil berusaha, dengan tetap waspada dan ingat, disertai doa semoga
mendapat anugrah dari Allah.
Di sini muncul lagi dua kata kunci yang sudah kita bahas dalam bait yang
lalu, yakni eling (ingat) dan waspada. Kita ulangi lagi penjelasannya agar
semakin hapal. Ingat berarti mengingat diri sendiri, menjaga diri dari
keinginan hati yang melampaui batas, jadi ingat lebih ditujukan ke dalam.
Waspada lebih ditujukan ke luar dalam menghadapi berbagai godaan dan
halangan yang muncul. Maka yang harus selalu diingat di sini adalah:
sambil berusaha dengan tetap waspada dan eling, disertai doa semoga
mendapat anugrah dari Allah. Inilah 4 pilar orang hidup: budidaya, awas ,
eling dan berdoa. Empat hal itu jika dilakukan bersama-sama disebut
dengan ikhtiyar. Semoga dengan 4 pilar kehidupan tadi hidup kita akan
tegak dan tidak timpang.
120
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (11): Mugi Aparinga Pitulung Ya Allah


Bait ke-10, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:
Ya Allah ya Rasulullah,
kang sipat murah lan asih,
mugi-mugi aparinga,
pitulung ingkang martani.
Ing alam awal akhir,
dumununging gesang ulun.
Mangkya sampuna wredha,
Ing wekasan kadi pundi.
Mula mugi wontena pitulung Tuwan.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Ya Allah, Ya Rasulullah,
yang bersifat Maha Penyayang dan Maha Pengasih,
mohon berikanlah
pertolongan yang menggembirakan.
Di alam dunia dan akhirat,
tempat kehidupanku.
Padahal sudah beerusia lanjut,
pada akhirnya bagaimana nasibku nanti.
Semoga datang pertolonganmu, Ya Allah!
.

Kajian per kata:


Ya Allah ya Rasulullah, Kang (yang) sipat (bersifat) murah (Maha
Pengasih) lan (dan) asih (Maha Penyayang), mugi-mugi (mohon)
aparinga (berikanlah), pitulung (pertolongan) ingkang (yang) martani
(menggembirakan). Ya Allah, Ya Rasulullah, yang bersifat Maha
Penyayang dan Maha Pengasih, mohon berikanlah pertolongan yang
menggembirakan.
Ya Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang, berikanlah
pertolonganmu kepada kami. Ya Rasulullah berikanlah syafa’atmu
(pertolonganmu) nanti.

121
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Ing (di) alam (alam) awal (awal, dunia) akhir (akhir, akhirat),
dumununging (tempat) gesang (hidup) ulun (aku). Di alam dunia dan
akhirat, tempat kehidupanku.
Di alam dunia dan akhirat, tempat aku menghabiskan hidup, tempat aku
menghabiskan sisa umurku. Sudah sedikit yang bisa kukerjakan di dunia,
karena jabatan pun tak ada. usia sudah semakin tua. Sanak saudara pun
semakin jauh. Hanya tersisa sedikit saja dari kamaremaning donya ini
sekarang. Akhiratlah tempat sejati untuk hidup sebenarnya.
Mangkya (padahal) sampuna (sudah) wredha (lanjut usia), ing (pada)
wekasan (akhirnya) kadipundi (bagaimana nasibku). Padahal sudah
beerusia lanjut, pada akhirnya bagaimana nasibku nanti.
Sudah lanjut usia tetapi merasa amal belum seberapa, merasa belum
mengenal Allah dengan dekat, merasa masih banyak melakukan kesalahan
dan dosa. Bagaimana akhir dari hidupku nanti? Apakah dapat beroleh
husnul khatimah? Hati ini sungguh sangat berharap padamu, Ya Allah!
Mula mugi (semoga) wontena (ada) pitulung (pertolonganmu) Tuwan (ya
Allah). Semoga datang pertolonganmu, Ya Allah!
Semoga datang pertolongan darimu Ya Allah.
.

122
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Kalatidha (12): Mati Sajroning Urip


Bait ke-12, tembang Sinom dari serat Kalatidha karya Raden
NgabeiRanggawarsita:
Sageda sabar santosa,
mati sajroning ngaurip.
Kalis ing reh aruraha,
murka angkara sumingkir.
Tarlen meleng malat sih,
Sanityaseng tyas mematuh.
Badharing sapudhendha,
antuk mayar sawetawis.
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Semoga bisa sabar dan kuat,


dalam menjalani mati sajroning urip (mati dalam hidup).
Terhindar dari dari segala kerepotan,
sifat tamak dan amarah menyingkir.
Tak lain hanya memusatkan diri untuk mencari karunia (Ilahi),
senantiasa menjaga hati agar tetap patuh.
Hilangnya kutukan,
dan mendapat kemudahan seperlunya.
Serahkan diri sekeluarga untuk agar tercapai sejahtera.

Kajian per kata:


Sageda (semoga bisa) sabar (sabar) santosa (kuat), mati (mati) sajroning
(dalam) ngaurip (hidup). Semoga bisa sabar dan kuat, dalam menjalani
mati sajroning urip (mati dalam hidup).
Mati sajroning urip adalah falsafat Jawa yang berarti natinya kehendak
atau kepentingan diri, berganti menjadi kehendak Ilahi semata-mata. Ini
adalah pencapaian yang sangat seulit bagi kebanyakan orang, mesti
berlatih mengendalikan nafsu dn keinginan dengan cara bertapa dan
menyepi. Untuk lebih jelasnya soal ini silahkan mengikuti kajian serat
Wedatama yang sudah tuntas dimuat dalam blog ini.

123
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kalis (terhindar) ing (dari) reh (segala) aruraha (kerepotan), murka


(tamak) angkara (amarah) sumingkir (menghindar). Terhindar dari dari
segala kerepotan, sifat tamak dan amarah menyingkir.
Karena sudah mati dalam hidup, maka segala ambisi dan keinginan, yang
merupakan biaang dari segala kerepotan menjadi hilang. Terhindar dari
nafsu tamak dan amarah. Dua yang terakhir ini menyingkir karena sudah
tidak kita butuhkan lagi.
Tarlen (tak lain) meleng (konsentrasi, fokus) malat (mencari) sih (sayang,
karunia), sanityaseng (senantiasa) tyas (hati) mematuh (patuh). Tak lain
hanya memusatkan diri untuk mencari karunia (Ilahi), senantiasa menjaga
hati agar tetap patuh.
Hidupnya sekarang hanya untuk mencari kasih sayang Ilahi, segala tindak-
tanduk fokus menuju karuniaNya. Senantiasa menjaga hati agar tetap
dalam keadaan patuh dan tunduk.
Badharing (hilangnya) sapudhendha (hukuman, kutukan), antuk
(mendapat) mayar (kemudahan) sawetawis (seperlunya). Hilangnya
kutukan, dan mendapat kemudahan seperlunya.
Jia kita sudah ikhlas dalam menjalani lehidupan sebagai hamba Allah,
maka hilanglah kutukan dalam diri kita, hilanglah segala bala’ dan
hukuman. Segala kesulitan menjadi ujian yang mendatangkan pahala,
menjadi peringatan agar kita hati-hati dan tetap fokus.
Bahwa seseorang yang sudah membaktikan diri untuk mendekati Tuhan
maka akan Dia memberi jalan kemudahan, tetapi tetaplah petunjuk yang
diberikan dalam batas sewajarny. Kedekatan dengan Tuhan tidak lantas
membuat kita menjadi istimewa dalam tatanan hukum alam. Mentang-
mentan dekat dengan Tuhan lantas kita dimanja, tidak demikian. Karena
sesungguhnya dunia dan seisinya diciptakan agar menjadi alat belajar
tentangNya. Maka setiap proses mesti dilalui dengan sewajarnya.
BoRONG (serahkan) angGA (diri) saWARga (sekeluarga) meSI (memuat,
berisi) marTAya (sejahtera). Serahkan diri sekeluarga untuk agar tercapai
sejahtera.
Pasrah atas semua yang akan terjadi, menyerahkan diri agar kehidupan
menjadi sejahtera, terhindar kerepotan yang tak perlu, hati menjadi tenang
karena kepatuhan kepada Sang Pencipta.
124
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Gatra terakhir ini juga memuat sandi asma, yakni nama yang
disembunyikan. Perhatikan suku kata yang berhuruf besar jika
dikumpulkan akan membentuk nama: RONGGAWARSITA.
Sekian kajian serat Kalatidha. Semoga memberi manfaat kepada para
pembaca yang berkenan mampir ke blog ini. Saya doakan Anda semua
panjang umur, murah rejeki dan berhati tenang di akhir kehidupan,
sebagaimana yang telah dicapai oleh sang pujangga Ki Ranggawarsita
rahimahullah.

125
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

126
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Bagian Keempat

SERAT JAKA LODHANG

127
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kata pengantar

Serat Jaka Lodhang karya Raden Ngabei Ranggawarsita meski merupakan


serat yang pendek namun termasuk dalam karya yang penting. Hal itu
karena di dalam serat ini termuat ramalan yang memuat dengan jelas
tahun-tahun kejadian dalam sejarah.
Seperti tiga karya Ranggawarsita lainnya, Sabdajati, Sabdatama dan
Kalatidha, serat Jaka Lodhang ini masih membicarakan keadaan negara
yang serba kacau. Kali ini yang dibidik adalah keadaan batin dalam
masyarakat. Perasaan gelisah dan bingung akan berbuat apa karena segala
daya upaya kehilangan kekuatannya. Segala obat kehilangan mujarabnya.
Segala kebaikan kehilangan manfaatnya. Orang menjadi kehilangan
pegangan hidup. Semua orang menderita kesusahan berkepanjangan.
Walau demikian selalu ada harapan bagi mereka yang tidak putus asa
mengupayakan kebaikan. Yang tidak lelah berusaha. Yang tidak kendor
berbuat baik. Akan datang masanya ketika semua yang diinginkan tercapai
dengan mudah. Kelak. Syaratnya adalah: orang-orang tidak berhenti
mengupayakan datangnya masa itu.
Itulah secercah harapan yang berusaha dipupuk oleh sang pujangga agar
anak cucu tidak kehilangan semangat.
Selamat membaca!

Bambang Khusen Al Marie


Penerjemah dan Tukang Komentar

128
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Pembukaan

129
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Jaka Lodhang : Pambuka


Pembukaan Serat Jaka Lodhang karya R. Ng. Ranggawarsita dari
Surakarta Adiningrat berupa dua bait puisi berikut.
RONGeh jleg tumiBA BArang-barang ngRONG.
Gagaran santoSA SAguh tanpa raGA
WARtane meh teKA KAtali kawaWAR
SIkara karoDA DAdal amekaSI
TAtage tan kaTON TONda murang taTA.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia


Kegelisahan mendadak datang menimpa,
pegangan kuat,
akan sampainya,
kesewenangan yang bergejolak,
ketabahannya tak terlihat.

Semua yang bersembunyi,


sanggup tanpa raga (mati),
terbelengu hancur berkeping,
bedah tak bersisa,
sebagai tanda melawan angkara.

Kajian per kata:


RONGeh (gelisah, tidak tenang) jleg (mendadak) tumiBA (datang,
menimpa), Gagaran (pegangan) santoSA (sentosa, kuat), WARtane
(beritanya) meh (hampir) teKA (sampai), SIkara (kesewenangan) karoDA
(bergejolak), TAtage (ketabahan) tan (tak) kaTON (terlihat). Kegelisahan
mendadak datang menimpa, pegangan kuat, akan sampainya,
kesewenangan yang bergejolak, ketabahannya tak terlihat.
Sebelum masuk ke kajian kita cermati bentuk puisi di atas. Jika dilihat
setiap awal baris ke bawa akan membentuk kata RONG-GA WAR-SI-TA
(Ronggawarsita). Sedangkan setiap suku kata di akhir baris membentuk
kata BA-SA KE-DA-TON (basa kedaton). Inilah yang disebut sandiasma.
Yakni nama yang disembunyikan dalam sebuah karya sastra. Hal yang
130
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

sama juga terdapat pada kolom kedua dari puisi di atas, hanya saja
berkebalikan dengan kolom pertama. Awal baris membentuk kata “basa
kedaton” dan akhir baris membentuk kata “Ronggawarsita”.
Sekarang kita kaji makna dari puisi tersebut. Di sini ada kata rongeh yang
artinya gelisah, tidak tenteram. Tiba-tiba saja rasa itu datang mendadak,
seolah seperti pertanda yang kuat akan datangnya sesuatu yang tidak
diharapkan. Bagi orang yang awas dalam penglihatan atau disebut
waskitha, setiap akan terjadi kejadian besar pasti mendapat tanda-tanda
atau sasmita sehingga perasaan mendadak gelisah.
Kegelisahan itu menguatkan keyakikan bahwa akan datang sesuatu yang
tidak diharapkan, yakni kesewenangan yang makin merajalela. Tidak
dapat dilawan lagi sehingga membuat banyak orang menderita. Itu dapat
dilihat dari fenomena tatage tan katon, yakni ketangguhan dalam menahan
derita itu tak lagi terlihat. Artinya penderitaan itu sudah di ambang batas
kemampuan mereka.
BArang-barang (semua yang) ngRONG (bersembunyi), SAguh
(sanggup) tanpa (tanpa) raGA (raga), KAtali (terbelenggu) kawaWAR
(hancur berkeping), DAdal (bedah) amekaSI (tak bersisa), TONda
(pertanda) murang taTA (melanggar aturan, angkara). Semua yang
bersembunyi, sanggup tanpa raga (mati), terbelengu hancur berkeping,
bedah tak bersisa, sebagai tanda melawan angkara.
Oleh karena derita mereka anggap tak tertahankan mereka yang semula
bersembunyi atau tidak tampil tiba-tiba bangkit dan sanggup mati. Saguh
tanpa raga artinya sanggup mengorbankan raganya. Mereka juga sanggup
katali (terbelenggu) katawar (hancur berkeping). Juga sanggup dadal
amekasi (bedah sampai akhir atau sampai tak bersisa). Semua itu
dilakukan untuk melawan si angkara yang datang mendadak. Oleh karena
semua sudah muak dan tak tahan lagi dengan keadaan yang mereka alami.
Sampai di sini, dari penjabaran dua bait puisi di atas yang kita kaji per
kata, kita mendapat gambaran bahwa tiba-tiba ada kegelisahan yang
datang. Kesewenangan memuncak sehingga ketabahan atau batas toleransi
untuk menerima kesewenangan itu sudah sampai batas akhir. Akhirnya
timbullah perasaan gelisah yang kolektif sehingga membangkitkan
keberanian untuk melawan kesewenangan itu. Walau sampai raga mereka
hancur tak bersisa, mereka tak peduli.
131
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Pupuh

GAMBUH

132
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Jaka Lodhang (1-3): Sirna Tata Estining Wong


Bait 1-3, Gambuh (7u, 10u, 12i, 8u, 8o), Serat Jaka Lodhang karya R. Ng.
Ranggawarsita dari Surakarta Adiningrat.
Jaka Lodhang gumandhul,
praptaning pang ngthengkrang sru muwus:
Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi.
Gunung mendhak jurang mbrenjul,
ingusir praja prang kasor.

Nanging aywa kaliru,


sumurupa kanda kang tinamtu.
Nadyan mendak mendaking gunung wus pasti,
maksih katon tabetipun,
beda lawan jurang gesong.

Nadyan bisa mbarenjul,


tanpa tawing enggal jugrugipun,
kalakone karsaning Hyang wus pinasti.
Yen ngidak sangkalanipun,
sirna tata estining wong.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia


Jaka Lodhang bergelantungan,
sesampai di dahan duduk santai dengan keras berkata:
Ingat-ingatlah pasti kehendak dari Tuhan Yang Maha Benar.
Gunung menurun jurang menonjol,
diusir dari negara karena kalah perang.

Tapi jangan keliru,


ketahuilah perkataan yang sudah pasti benar.
Walau menurun turunnya gunung sudah pasti,
masih kelihatan bekasnya,
beda dengan jurang gerowong.

Walau bisa menonjol,


tanpa penahan segera runtuh,
terjadinya kehendak Tuhan sudah dipastikan.
Kalau menginjak masa itu sengkalanya,

133
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

hilang aturan dan tujuan orang.

Kajian per kata:


Jaka Lodhang (Jaka Lodhang) gumandhul (bergelantungan), praptaning
(sesampai di) pang (dahan) ngthengkrang (duduk santai, mengangkat
kaki) sru (keras) muwus (berkata): Jaka Lodhang bergelantungan,
sesampai di dahan duduk santai dengan keras berkata:
Jaka Lodhang adalah nama orang yang diceritakan dalam serat ini. Bagi
orang Jawa, dari nama itu dapat disimpulkan karakter orang tersebut. Jaka
artinya pemuda, lodhang artinya senggang atau orang yang tidak sibuk
karena pekerjaannya telah selesai. Di sini Jaka Lodhang mewakili diri sang
pengarang serat ini, yang hendak mengatakan sesuatu kepada para
pembaca. Pemilihan kata lodhang sebagai nama diri menunjukkan bahwa
pengarang menyampaikan pesan ini dalam keadaan tidak ada kepentingan
tertentu, dalam keadaan hatinya lodhang.
Gumandhul artinya bergelantungan di pohon, mengesankan bahwa si Jaka
Lodhang ini memang sedang punya banyak waktu bermain-main. Juga
keadaan hati si Jaka Lodhang ini sedang dalam mood yang baik atau jiwa
yang merdeka. Terbukti dia bisa dengan enak duduk santai di dahan dalam
posisi ngedhengkrang. Yakni posisi duduk dengan salah satu kaki diangkat
ke dahan yang diduduki. Ini posisi duduk orang yang santai tak punya
beban.
Dari atas pohon, dalam posisi yang tinggi, kemudian dia berkata keras.
Dengan maksud agar banyak orang yang mendengarkan perkataannya itu.
Eling-eling (ingat-ingatlah) pasthi (pasti) karsaning (kehendak dari)
Hyang (Tuhan) Widhi (Yang Maha Benar). Ingat-ingatlah pasti kehendak
dari Tuhan Yang Maha Benar.
Dia katakan, “Ingat-ingatlah bahwa pasti akan terjadi kehendak Tuhan
Yang Maha Benar!”
Semua yang terjadi di dunia ini adalah pasti telah Tuhan kehendaki.
Namun yang akan dikatakan ini berkaitan dengan sesuatu yang khusus,
yang perlu diperhatikan oleh semua orang.

134
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Gunung (gunung) mendhak (menurun) jurang (jurang) mbrenjul


(menonjol), ingusir (diusir) praja (negara) prang (perang) kasor (kalah).
Gunung turun jurang menonjol, diusir dari negara karena kalah perang.
Yakni, bahwa akan terjadi gunung menurun dan jurang menjadi menonjol.
Akan ada pergantian keadaan. Gunung yang semula menonjol akan
mendhak atau turun kedudukannya. Sedangkan jurang yang tadinya berupa
cekungan akan menjadi menonjol ke permukaan. Akan ada perubahan
yang revolusioner sehingga mengubah tatanan yang selama ini terlihat.
Perubahan yang terjadi revolusioner itu akibat dari peristiwa yang juga
revolusioner yakni akan ada yang kalah perang dan diusir dari negara yang
selama ini ditempati.
Nanging (tetapi) aywa (jangan) kaliru (keliru), sumurupa (ketahuilah)
kanda (perkataan) kang (yang) tinamtu (pasti). Tapi jangan keliru,
ketahuilah perkataan yang sudah pasti benar.
Tetapi melihat perubahan kenyataan yang terjadi tersebut jangan sampai
keliru penglihatan, jangan sampai keliru pemahaman. Ketahuilah
perkataan yang sudah pasti benar. Perkataan di sini mengacu pada hukum
ketetapan Tuhan yang sudah diketahui bersama. Bahwa apa yang terjadi
tidak akan menyalahi hukum tersebut.
Nadyan (walau) mendak (menurun) mendaking (runtuhnya) gunung
(gunung) wus (sudah) pasti (pasti), maksih (masih) katon (kelihatan)
tabetipun (bekasnya), beda (beda) lawan (dengan) jurang (jurang) gesong
(gerowong). Walau menurun turunnya gunung sudah pasti, masih
kelihatan bekasnya, beda dengan jurang gerowong.
Yakni walau gunung itu menurun pasti masih ada bekas-bekasnya. Artinya
walau menurun sesaat pasti masih berdiri. Tidak hilang sama sekali. Masih
bisa dibangun kembali sesuatu di atasnya. Keadaan ini berbeda dengan
keadaan jurang yang tadinya gerowong lalu menonjol.
Nadyan (walau) bisa (bisa) mbarenjul (menonjol), tanpa (tanpa) tawing
(penahan) enggal (segera) jugrugipun (runtuh), kalakone (terjadinya)
karsaning (kehendak) Hyang (Tuhan) wus (sudah) pinasti (dipastikan).
Walau bisa menonjol, tanpa penahan segera runtuh, terjadinya kehendak
Tuhan sudah dipastikan.

135
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Walau kelihatan menonjol, jurang yang tadinya gerowong tadi tidak stabil.
Kalau tanpa penahan tanah gundukan tanah yang menonjol tadi akan
segera runtuh pula. Itulah kehendak Tuhan yang sudah dipastikan akan
terjadi.
Yen (kalau) ngidak (menginjak) sangkalanipun (sengkalanya), sirna
(hilang) tata (aturan) estining (tujuan) wong (orang). Kalau menginjak
masa itu sengkalanya, hilang aturan tujuan orang.
Kalau telah menginjak masa itu, penanda waktunya atau sengkala
tahunnya adalah sirna tata esthining wong. Arti harfiahnya adalah hilang
aturan dan tujuan orang. Makna dari kalimat ini menunjukkan angka tahun
sebagai berikut. Sirna = 0; Tata = 5; Esthi = 8; Wong = 1, sehingga bisa
dimaknai tahun 1850 AJ. Dalam kalender Masehi bertepatan dengan tahun
1919-1920 M.
Apa yang terjadi di tahun tersebut? Seperti kita ketahui bahwa di tahun itu
kekuasaan Belanda mencapai puncaknya. Seluruh wilayah yang sekarang
disebut Indonesia telah dikuasai. Kekuasaan raja-raja nusantara tinggal
simbolik saja. Keadaan para raja lokal seolah sudah kalah perang dan
terusir. Tangan mereka telah terbelenggu, artinya tak lagi memegang
kendali atas negeri mereka. Ini mirip dengan gunung yang mendhak atau
menurun.
Sedangkan kekuasaan Belanda semakin besar. Belanda yang tadinya hanya
berdagang, mendompleng kuasa dengan mempengaruhi kebijakan
penguasa lokal, kemudian justru memegang kendali segala urusan negara.
Inilah yang digambarkan sebagai jurang mrenjul, jurang yang menonjol.
Walau demikian, jurang yang menonjol tersebut tanpa penahan tanah akan
segera runtuh. Artinya kekuasaan Belanda tidak kuat mengakar dalam
masyarakat. Ketika rakyat merasa bahwa Belanda harus hengkang dari
tanah air munculah perlawanan yang hebat di seluruh negeri. Kekuasaan
Belanda segera runtuh segera setelah seluruh kendali kekuasaan berada di
tangan mereka. Ini kiasan dari jurang mrenjul yang tanpa tawing enggal
jugrug.
Kalimat sirna tata esthining wong, hilang tatanan dan tujuan orang
bermakna bahwa pada masa itu, yakni setelah Belandan berkuasa penuh,
orang kehilangan aturan dan tujuan hidup. Tatanan kehidupan menjadi

136
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

rusak, tak berguna, tak beraturan sehingga tak mampu menampung


kebutuhan bermasyarakat. Orang yang lurus belum tentu menemui
keberuntungan, orang durjana kadang malah mendapat untung. Hilangnya
aturan kehidupan ini menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat. Seperti
yang akan diuraikan dalam kajian bait selanjutnya..

137
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Pupuh

SINOM

138
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Jaka Lodhang (4-6): Bebendu Gung Nekani


Bait 4, Sinom (8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a), Serat Jaka Lodhang karya
R. Ng. Ranggawarsita dari Surakarta Adiningrat.
Sasedyane tanpa dadya,
sacipta-cipta tan polih,
kang raraton-raton rantas,
mrih luhur asor pinanggih.
Bebendu gung nekani,
kongas ing kanistanipun,
wong agung nis gungira,
sudireng wirang jrih lalis,
ingkang cilik tan tolih ring cilikira.

Wong alim-alim pulasan,


njaba putih njero kuning.
Ngulama mangsah maksiat,
madat madon minum main,
kaji-kaji ambanting,
dulban kethu putih mamprung.
Wadon nir wadonira,
prabaweng salaka rukmi,
kabeh-kabeh mung marono tingalira.

Para sudagar ingargya,


jroning jaman keneng sarik.
Marmane saisiningrat,
sangsarane saya mencit.
Nir sad estining urip,
iku ta sengkalanipun.
Pantoging nandhang sudra,
yen wus tobat tanpa mosik,
sru nalangsa narima ngandel ing suksma.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia


Semua kehendaknya tanpa terjadi,
semua yang dipikirkan tak didapatkan,
yang bergerombol kuat bubar,
yang berharap mulia kehinaan yang ditemui.

139
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kutukan besar mendatangi,


tercium kenistaannya,
orang besar hilang kebesarannya,
orang berani pada malu takut pada mati,
orang kecil tak menoleh pada keadaannya.

Orang alim hanya alim dalam penampilan,


di luar putih di dalam kuning.
Ulama melakukan ma’siat,
madat main perempuan mabuk minuman berjudi,
para haji membanting,
surban tutup kepala putih dilempar jauh.
Perempuan hilang sifat wanitanya,
terpengaruh emas-perak,
semuanya hanya ke situ pandangannya.

Para pedagang kaya sangat dihargai,


di dalam zaman terkena kutukan ini.
Karena itu seisi dunia,
kesengsaraannya semakin menjadi-jadi.
Seperti kering tujuan hidup,
itulah sengkalanya.
Berhentinya menderita kehinaan,
kalau sudah taubat tanpa berubah,
sangat menyesal menerima percaya kepada Tuhan.

Kajian per kata:


Sasedyane (semua kehendaknya) tanpa (tanpa) dadya (terjadi), sacipta-
cipta (semua yang dipikirkan) tan (tak) polih (didapatkan), kang (yang)
raraton-raton (bergerombol) rantas (bubar), mrih (yang berharap) luhur
(mulia) asor (hina) pinanggih (tang ditemui). Semua kehendaknya tanpa
terjadi, semua yang dipikirkan tak didapatkan, yang bergerombol kuat
bubar, yang berharap mulia kehinaan yang ditemui.
Segera setelah kekuasaan Belanda yang penuh kesewenangan itu
menguasai tanah Jawa dan Nusantara rusaklah seluruh tatanan lama.
keadaan masyarakat menjadi kacau balau. Segala kehendak tak terjadi,
semua yang dipikirkan tak didapatkan. Yang bergerombol membentuk

140
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

barisan pun bubar tak karuan. Yang menghendaki kemuliaan justru jatuh
ke dalam kenistaan. Pendek kata hukum alam seolah anomali, tidak
berlaku lurus sebagaimana biasa.
Bebendu (kutukan) gung (besar) nekani (mendatangi), kongas (tercium,
terkenal) ing (dalam) kanistanipun (kenistaannya), wong (orang) agung
(besar) nis (hilang) gungira (kebesarannya), sudireng (berani pada)
wirang (malu) jrih (takut) lalis (mati), ingkang (yang) cilik (kecil) tan
(tak) tolih (menolih) ring (pada) cilikira (keadaannya). Kutukan besar
mendatangi, tercium kenistaannya, orang besar hilang kebesarannya,
orang berani pada malu takut pada mati, orang kecil tak menoleh pada
keadaannya.
Kutukan besar seolah melanda seluruh negeri. Sudah tercium
kenistaannya. Orang besar hilang kebesarannya, lupa dengan kemuliaan
yang disandangnya. Orang menjadi berani menanggung malu, tapi takut
menghadapi mati. Rakyat kecil menjadi tak tahu diri, lupa dengan
kedudukannya.
Wong alim (orang alim) alim pulasan (hanya alim penampilan), njaba (di
luar) putih (putih) njero (di dalam) kuning (kuning). Orang alim hanya
alim dalam penampilan, di luar putih di dalam kuning.
Orang alim pun hilang. Adanya orang alim pulasan. Hanya alim di
penampilan. Kelihatan berbaju putih namun menyembunyikan kotoran di
baliknya. Kata alim di sini dari kata Arab ‘alim yang artinya berilmu.
Namun dalam bahasa Jawa artinya menjadi orang yang berilmu agama dan
sholih. Nah orang yang demikian itu pun menghilang, yang ada hanya
orang alim abal-abal. Hanya penampilannya mirip orang alim, tetapi
dalamnya culas.
Ngulama (ulama) mangsah (melakukan) maksiat (ma’siat), madat
(madat) madon (main perempuan) minum (mabuk minuman) main
(berjudi), kaji-kaji (para haji) ambanting (membanting), dulban (surban)
kethu (tutup kepala) putih (putih) mamprung (dibuang, dilempar jauh).
Ulama melakukan ma;siat, madat main perempuan mabuk minuman
berjudi, para haji membanting, surban tutup kepala putih dilempar jauh.
Para ulama melakukan ma’siat, madat, main perempuan, cabul, mabuk,
judi dan aneka perilaku bejat. Mereka seolah sudah menanggalkan

141
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

keulamaannya. Para haji, yang di zaman dahulu merupakan orang pilihan,


seolah sudah membuang surban mereka. Topi putih yang biasa mereka
kenakan sebagai penanda pun mereka buang jauh-jauh.
Wadon (perempuan) nir (tanpa, hilang) wadonira (sifat perempuannya),
prabaweng (terpengaruh) salaka (perak) rukmi (emas), kabeh-kabeh
(semuanya) mung (hanya) marono (ke situ) tingalira (pandangannya).
Perempuan hilang sifat wanitanya, terpengaruh emas-perak, semuanya
hanya ke situ pandangannya.
Para wanita juga kehilangan sifat wanitanya. Tak lagi menjaga diri.
Tingkah laku sopan santun sudah dibuang. Rasa malu dicampakkan.
Semua itu karena pengaruh emas dan perak. Semua pandangan dan tujuan
hidup sudah mengarah ke sana. Harta dunia menjadi ukuran kemuliaan.
Tak peduli dengan cara mendapatkannya.
Para (para) sudagar (pedagang kaya) ingargya (sangat dihargai), jroning
(dalam) jaman (zaman) keneng (terkena) sarik (kutukan). Para pedagang
kaya sangat dihargai, di dalam zaman terkena kutukan ini.
Para sudagar kaya menjadi orang-orang yang terhormat. Sangat dihargai
dan dipuja-puja. Di zaman terkena kutukan ini memang harta benda
menjadi tuan dari segala tuan.
Marmane (karena itu) saisiningrat (seisi dunia), sangsarane
(kesengsaraannya) saya (semakin) mencit (menjadi). Karena itu seisi
dunia, kesengsaraannya semakin menjadi-jadi.
Karena itu pula seisi dunia kesengsaraan semakin menjadi-jadi. Sudah
sesat seluruh manusia. Sesat pikir dan perbuatan. Rusak akidah dan
amaliyah.
Nir (seperti) sad (kering) estining (tujuan) urip (hidup), iku ta (itulah)
sengkalanipun (sengkalanya). Seperti kering tujuan hidup, itulah
sengkalanya.
Nir sad esthining urip artinya seperti kering tujuan hidup. Maksudnya
orang-orang sudah putus asa. Keinginan untuk berbuat baik pun tak ada
karena berbuat baik juga tidak menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan.
Selain arti tersebut kalimat ini juga mengandung candra sengkala yang
artinya sebagai berikut. Nir = 0; sad = 6, Esti = 8; urip = 1, artinya

142
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

menunjukkan angka tahun 1860 AJ. dalam kalender Masehi bertepatan


dengan tahun 1929-1930 M.
Pantoging (mentoknya, berhentinya) nandhang (menderita) sudra
(kehinaan), yen (kalau) wus (sudah) tobat (taubat) tanpa (tanpa) mosik
(berubah), sru (sangat) nalangsa (menyesal) narima (menerima) ngandel
(percaya, pasrah) ing (pada) Suksma (Tuhan). Berhentinya menderita
kehinaan, kalau sudah taubat tanpa berubah, sangat menyesal menerima
percaya kepada Tuhan.
Berhentinya semua derita kehinaan itu kalau sudah bertaubat tanpa
berubah lagi. Tobatnya taubat nasuha, tobat yang tidak mengulang lagi
kesesatan yang sama. Disertai dengan rasa menyesal yang sangat.
Menerima dan pasrah, percaya sepenuhnya kepada Tuhan.
Kata ngandel artinya percaya. Namun juga mengandung pengertian
ngandelake, mengandalkan. Artinya orang yang ngandel kepada Tuhan
berarti telah mengandalkan hidupnya hanya kepadaNya. Tidak
menggantungkan kehidupannya kepada selainNya.
Di sini Tuhan disebut dengan salah satu namanya yakni Suksma, yang
artinya Yang Maha Suci. Hal ini karena berkaitan dengan sifatNya sebagai
Dzat yang wajib kita percayai. Hanya kepada Tuhan Yang Maha Suci kita
layak menyandarkan kehidupan kita.
Pada bagian kedua serat Jaka lodhang ini kita mendapat angka tahun
1930an. Di sini disebut sebagai zaman yang penuh kutukan dengan gejala-
gejala atau ciri-ciri yang disebut di atas. Jika kita cermati dalam sejarah
sejak Belanda datang sampai kemudian pergi dari tanah ait kita, periode
tahun 1930an inilah periode terburuk bagi bangsa kita. Kekayaan tanah air
kita dikeruk maksimal untuk menolong negeri Belanda yang hampir
bangkrut karena krisis malaise yang melanda dunia.
Namun demikian di akhir bagian kedua serat ini Ki Ranggawarsita
mengisyaratkan bahwa ada harapan bahwa semua ini akan berakhir. Yakni
ketika kita melakukan taubat dengan tanpa berubah lagi, taubatan nasuha.
Kemudian pasrah dan percaya kepada Tuhan sebagai sandaran hidup.

143
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Pupuh

MEGATRUH

144
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kajian Jaka Lodhang (7-9): Tekane Jaman Adil


Bait 7-9, Megatruh (12u, 8i, 8u, 8i, 8o), Serat Jaka Lodhang karya R. Ng.
Ranggawarsita dari Surakarta Adiningrat.
Mbok parawan sangga wang duhkiteng kalbu.
Jaka Lodang nabda malih:
nanging ana marmanipun,
ing weca kang wus pinesthi,
estinen murih kelakon.

Sangkalane maksih nunggal jamanipun,


neng sajroning madya akir,
wiku sapta ngesthi ratu.
Adil parimarmeng dasih,
ing kono kersaning Manon.

Tinemune wong ngantuk anemu kethuk,


malenuk samargi-margi,
marmane bungah kang nemu,
marga jroning kethuk isi,
kencana sesotya abyor.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia


Mbok Perawan menopang dagu sedih dalam hatinya.
Jaka Lodhang berkata lagi:
tetapi ada belas kasihNya,
dalam sabda yang sudah dipastikan,
upayakan agar tercapai.

Sengkalanya masih satu zaman,


di dalam zaman tengah menjelang akhir,
pendeta tujuh memikirkan raja.
Adil dan berbelas kasih kepada rakyat,
di situ kemudian berlaku kehendak Tuhan.

Ditemukannya orang mengantuk mendapat kethuk,


bergeletakan mencolok di sepanjang jalan.
Karena itu gembira yang menemukan,
karena dalam kethuk berisi,

145
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

emas perhiasan gemerlap.

Kajian per kata:


Mbok (ibu, wanita) Parawan (perawan) sangga (menopang) wang (dagu)
duhkiteng (sedih dalam) kalbu (hati). Mbok Perawan menopang dagu
sedih dalam hatinya.
Sebutan Mbok Parawan tidak lazim dipakai dalam bahasa Jawa. Kata
mbok itu sendiri berarti perempuan, sedang parawan artinya gadis. Kami
lebih condong bahwa sebutan Mbok Parawan mengacu kepada sosok atau
person, seperti halnya sebutan Jaka Lodhang. Dikatakan bahwa Mbok
Parawan di sini bertopang dagu, menunjukkan sedang bersedih hati atau
gelisah akibat zaman terkutuk ini.
Jaka Lodang (Jaka Lodhang) nabda (berkata) malih (lagi): nanging
(tetapi) ana (ada) marmanipun (belas kasihNya), ing (dalam) weca
(sabda) kang (yang) wus (sudah) pinesthi (dipastikan), estinen (upayakan)
murih (agar) kelakon (tercapai). Jaka Lodhang berkata lagi: tetapi ada
belas kasihNya, dalam sabda yang sudah dipastikan, upayakan agar
tercapai.
Di saat itulah Jaka Lodhang berkata lagi: Tetapi ada belas kasih dari
Tuhan. Dalam perkataan yang sudah dipastikan kebenarannya. Yang perlu
dilakukan adalah mengupayakan agar perkataan itu segera terwujud.
Perkataan ini telah disebut dalam bait yang lalu bahwa semua ini akan
berakhir bila manusia taubat dengan taubatan nasuha, serta pasrah dan
percaya kepada Tuhan. Nah sekarang tugas manusia hanyalah
mengupayakan agar kondisi tersebut segera terwujud. Mesti harus proaktif
mengubah nasib karena Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila
kaum itu sendiri tidak mau berusaha untuk berubah.
Sangkalane (sengkalanya) maksih (masih) nunggal (satu) jamanipun
(zaman), neng (di) sajroning (dalam) madya (tengah) akir (akhir), wiku
(pendeta) sapta (tujuh) ngesthi (memikirkan) ratu (raja). Sengkalanya
masih satu zaman, di dalam zaman tengah menjelang akhir, pendeta tujuh
memikirkan raja.
Wiku sapta ngesthi ratu artinya pendeta tujuh memikirkan raja.
Memikirkan di sini artinya ikut memprihatinkan keadaan raja, senantiasa
146
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

membantu dengan menasihati agar sang raja tetap di jalan kebenaran.


Kalimat itu selain mengandung arti tersebut juga merupakan candra
sengkala yang menunjukkan angka tahun berikut: Wiku = 7; Sapta 7; Esti
= 8; ratu = 1, maknanya tahun 1877 AJ. Dalam kalender Masehi
bertepatan dengan tahun 1945. Inilah hari kemerdekaan Republik
Indonesia. Pada tahun inilah segala duka dan kesengsaraan akan berakhir.
Yang ditandai dengan keadaan yang digambarkan dalam baris barikut
Adil (adil) parimarmeng (berbelas kasih) dasih (kawula, rakyat), ing (di)
kono (situ) kersaning (kehendak) Manon (Tuhan). Adil dan berbelas
kasih kepada rakyat, di situ kemudian berlaku kehendak Tuhan.
Setelah tahun tersebut akan muncul raja yang adil dan berbelas kasih
kepada rakyatnya. Dengan demikian berlaku kehendak Tuhan atau
sunatullah bahwa di negeri yang adil dan penuh kasih akan turun rahmat
dan barakah dari Tuhan. Kesejahteraan tercapai, kemakmuran terwujud.
Di sini Tuhan disebut dengan salah satu sifatnya, Manon (Maha Melihat).
Artinya Ki Ranggawarsita sedang menegaskan bahwa Tuhan melihat
penderitaan hambaNya dan menanggapi dengan memberi anugrah sesuai
upaya manusia untuk keluar dari penderitaan itu.
Tinemune (ditemukannya) wong (orang) ngantuk (mengantuk) anemu
(mendapat) kethuk (kethuk), malenuk (bergeletakan mencolok) samargi-
margi (di sepanjang jalan). Ditemukannya orang mengantuk mendapat
kethuk, bergeletakan mencolok di sepanjang jalan.
Tanda-tanda dari datangnya zaman makmur itu adalah ditemukannya
orang mengantuk yang mendapat kethuk. Kethuk adalah alat musik
tradisional gamelan yang berbentuk seperti bonang tapi lebih kecil. Kethuk
itu malenuk, artinya terlihat jelas, menonjol di antara lainnya.
Bergeletakan di sepanjang jalan. Jadi orang mengantuk yang menemukan
kethuk tidak hanya satu, karena kethuknya bergelatakan di sepanjang jalan.
Ini adalah kiasan dari mudahnya mencari rezeki. Jika di zaman kutukan
dahulu orang harus menanggung malu demi mendapat harta, sekarang
harta mudah didapat dengan sedikit usaha. Bahkan orang mengantuk pun
mendapat keberuntungan yang besar.
Marmane (karena itu) bungah (gembira) kang (yang) nemu
(menemukan), marga (karena) jroning (dalam) kethuk (kethuk) isi

147
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

(berisi), kencana (emas) sesotya (perhiasan) abyor (gemerlap). Karena itu


gembira yang menemukan, karena dalam kethuk berisi, emas perhiasan
gemerlap.
Karena kethuk yang ditemukan, artinya rezeki yang didapatkan itu ternyata
besar sekali. Seumpama kethuk yang berisi emas perhiasan gemerlap.
Inilah zaman ketika kemakmuran terwujud. Dangan sedikit usaha saja
orang sudah mendapat rezeki yang banyak. Semua serba mudah dan pasti.
Tak ada orang yang merugi atau bangkrut. Setiap orang berusaha
mendapat hasil. Setiap kebaikan mendapat balasan yang baik pula. Orang
menjadi semangat berusaha. Orang tidak kendor dalam berbuat baik
karena mendapat ganjaran yang setimpal.
Bila kita cermati kadaan kehidpan sekarang dibanding kehidupan di zaman
serat ini ditulis rasa-rasanya tak salah jika dikatakan bahwa ramalan ini
cocok seratus persen. Kondisi kehidupan masyarakat sekarang sudah
mendekati gambaran dari bait akhir serat Jaka Lodhang ini. Sepantasnya
kita syukuri pencapaian ini, agar kemakmuran yang kita peroleh dapat
langgeng kita nikmati. Sesuai dengan firman Allah: barangsiapa
bersyukur kepadaKu niscaya aku tambahkan nikmat, barangsiapa kufur
kepadaKu sungguh siksaku amat pedih.
Sekian kajian serat Jaka Lodhang karya Raden Ngabei Ranggawarsita.
Semoga dapat menambah wawasan para pembaca. Jika banyak salah kata
yang kurang berkenan di hati pembaca, kami selaku pengkaji mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

TAMMAT.

Mirenglor, 14 Nopember 2018


Bambang Khusen Al Marie

148
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

BAGIAN KELIMA

PEMBAHASAN

149
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

RANGGAWARSITA DAN KEMAMPUAN MERAMAL

Kemampuan meramal masa depan memang menjadi salah satu


keunggulan dari R. Ng. Ranggawarsita. Bukan saja dalam karya-karyanya,
di dalam kehidupan sehari-hari pun seringkali Ki Ranggawarsita
menunjukkan penglihatan yang waskitha, pandangan yang tajam tentang
masa depan. Beberapa kisah berikut menjadi bukti.

Dalam Babad Ranggawarsita disebutkan bahwa suatu ketika


Ranggawarsita sedang bercakap-cakap dengan Raden Mas Gandakusuma.
Waktu itu RM Gandakusuma sedang dalam keadaan gelisah karena
karirnya mentok. Sudah lama tak kunjung diangkat menjadi pangeran. RM
Gandakusuma menanyakan kepada Ranggawarsita apakah kelak dirinya
akan diangkat menjadi pangeran. Ki Ranggawarsita menjawab bahwa
kelak beliau tidak saja diangkat sebagai pangeran bahkan bisa mengangkat
seseorang menjadi pangeran.

RM Gandakusuma menanyakan apa maksud perkataan


Ranggawarsita tersebut. Ki Ranggawarsita menjawab bahwa kelak beliau
akan diangkat menjadi penguasa Praja Mangkunagaran dan dengan
demikian berhak mengangkat seseorang menjadi pangeran. RM
Gandakusuma terkejut. Namun belum selesai mereka bicara mendadak ada
tamu yang datang. Dua orang utusan Raja Pakubuwana VII yang
menyerahkan hadiah jam emas kepada Ranggawarsita. Setelah dua utusan
pulang Ranggawarsita dan Gandakusuma melihat-lihat jam emas itu.
Seketika wajah Ranggawarsita menjadi sedih. Gandakusuma bertanya ada
apa gerangan?

Ki Ranggawarsita menjawab bahwa soal ini rahasia. Namun


mengingat RM Gandakusuma sudah dianggap sebagai orang dekat tak
apalah diberitahu. Asal jangan diungkakan kepada orang banyak.
Penyebab dirinya bersedih adalah menurut penglihatannya dari isyarat
yang diterima pada waktu pemberian jam tersebut, dirinya akan menemui
musibah. Sepupuh hari lagi dirinya akan kehilangan seorang putra yang
baru berumur 10 tahun. Sedangkan sepuluh bulan lagi dirinya akan
kehilangan istri.

150
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

RM Gandakusuma kaget dan setengah tidak percaya. Kalau sudah


diketahui akan meninggal sebaiknya diupayakan pengobatannya. Namun
kedua orang itu tidak menderita sakit apapun. Akhirnya RM Gandakusuma
hanya bisa menunggu datangnya hari itu sambil berharap ramalan itu
meleset.

Sepuluh hari kemudian Ki Ranggawarsita bermaksud mengadakan


wisuda sekaligus mengajarkan ijazah ilmu kepada para murid. Maka
diadakan sedikit jamuan yang meriah. Sang putra yang diramalkan akan
meninggal juga masih terlihat bermain-main. Bahkan dia ikut melihat
acara menyembelih kambing. Dia kemudian melapor kepada sang ayah
untuk minta ganti kambing yang disembelih itu. Orang-orang tertawa
mendengarnya. RM Gandakusuma yang turut menyaksikan pun terheran-
heran karena anak itu masih sehat seperti anak kebanyakan.

Tak berapa lama dari arah tempat mandi terdengar jeritan para
wanita. Si anak ditemukan telah tekapar pingsan. Setelah ditolong dan
dibawa masuk si anak tetep tak siuman. Sore harinya si anak meninggal
dunia. Ramalan yang pertama tepat seperti perkataan sang pujangga.
Hanya RM Gandakusuma yang tahu tentang hal itu.

Begitu pun sepuluh bulan kemudian istri sang pujangga, RA


Gombak, benar-benar meninggal setelah didahului sakit yang tak seberapa
lama. Ramalan kedua juga tepat waktunya. RM Gandakusuma kemudian
menanti datangnya ramalan ketiga, yakni dirinya diangkat menjadi
penguasa Mangkunagaran. Ramalan itu juga terbukti kelak, setelah 5 tahun
berlalu.

Masih ada kisah lain seputar kepiawian Ki Ranggawarsita dalam


meramal. Dalam buku Pujangga dan Bayang-bayang Kolnial karya S.
Margana, disebutkan bahwa suatu ketika Ranggawarsita dipanggil oleh
Raja Pakubuwana IX. Dia disuruh untuk menebak jenis kelamin dari bayi
yang dikandung oleh permaisuri. Ki Ranggawarsita tidak menjawab apa
jenis kelaminnya. Hanya mengatakan bahwa kelak si anak akan lahir hayu.
Raja kecewa karena menafsirkan bahwa sang putra berjenis kelamin
perempuan. Ketika sang anak lahir ternyata berjenis kelamin laki-laki.
Maka Raja memanggil Ranggawarsita dan bertanya mengapa ramalannya
meleset. Ki Ranggawarsita menjawab bahwa dirinya tidak salah karena
tidak pernah mengatakan bahwa anak dalam kandungan itu perempuan.
Dirinya mengatakan bahwa kelak anak itu akan lahir hayu, yakni menjadi
orang yang baik dan disukai banyak orang.
151
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kelak Ramalan Ki Ranggawarsita juga terbukti. Anak itu kemudian


menjadi raja pengganti Pakubuwana IX yang bergelar Pakubuwana X.
Seorang raja besar yang disukai oleh rakyat dan pandai memainkan siasat
kepada Belanda tanpa menimbulkan peperangan. Kepribadiannya luwes
dan dapat bergaul dengan Belanda serta dipatuhi oleh rakyat. Benar-benar
menjadi raja yang hayu seperti ramalan Ki Ranggawarsita .

Masih banyak cerita seputar kemampuan Ki Ranggawarsita yang


waskitha atau tajam penglihatan. Akan panjang jika diuraikan. Kita ambil
satu lagi yang berkaitan dengan serat yang telah kita kaji di depan. Yakni
serat Sabdajati bait ke 17 dan 18 berikut ini:

Amung kurang wolung ari kang kadulu,


emating pati patitis.
Wus katon neng lokil makpul,
angumpul ing madya ari,
amarengi ri Budha Pon.

Tanggal kaping lima antarane luhur,


selaning tahun Jimakir,
tolu uma aryang jagur,
sengara winduning pati,
netepi kumpul saenggon.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Hanya kurang delapan hari yang terlihat,


nyamannya mati yang benar.
Sudah terlihat di lauhil mahfudh.
Bertemu perhitungannya di tengah hari,
bersamaan denga hari Rabu Pon.

Tanggal yang ke-15, kira-kira waktu dhuhur,


bulan Sela, pada tahun Jimakir.
Wuku Tolu, padewan Uma, padangon Aryang, paringkelan Jagur,
windunya Sengara, itulah waktu ajal
Mematuhi ketetapan berkumpul di satu tempat.

Dalam bait di atas secara jelas Ki Ranggawarsita meramalkan


kematiannya sendiri dengan sangat detil sampai hari dan waktunya. Dan

152
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

memang pada hari ke delapan dari tanggal ditulisnya serat ini Ki


Ranggawarsita meninggal dunia.

Banyak spekulasi tentang kematiannya. Ada yang mengatakan


bahwa Ranggawarsita mati dihukum sehingga mengetahui kapan waktu
matinya. Ada yang menyangsikan bahwa bait itu benar-benar ditulis oleh
Ranggawarsita. Mustahil seseorang yang mengetahui delapan hari akan
mati masih bisa menulis sebuah karya. Namun argumen ini kami anggap
lemah. Dalam sejarah hidupnya Ranggawarsita sering menunjukkan
ketenangan di saat genting, seperti pada kasus ramalan kematian putranya
di atas. Walau demikian kami tidak hendak berpolemik tentang hal ini.
Cukup kami kutipkan pendapat dari tokoh sastra Jawa R. Karkana
Kamajaya dalam Lima Karya Pujangga Ranggawarsita, bahwa segala
spekulasi seputar kematian Ki Ranggawarsita tidak mempunyai bukti
yang kuat dan tidak masuk akal. Ki Ranggawarsita menemui ajal secara
wajar sebagaimana yang dikehendakinya, yakni secara emating pati patitis
(meninggal dengan cara yang tepat dan sesuai kehendak).

153
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

RAMALAN KEMERDEKAAN

Dari empat serat yang telah kita kaji di muka, tiga diantaranya dengan
jelas memuat ramalah tentang kemerdekaan. Hanya satu serat yang tidak
memuat ramalan itu dengan jelas, yakni Serat Kalatidha. Namun kami
tetap menyatukan Serat Kalatidha dalam kajian ini karen kesamaan isinya
dan melengkapi serat lainnya dalam hal keterangan tentang Zaman
Kalabendu.
Pokok bahasan dari keempat serat ini senada, yakni tentang kacaunya
negeri yang seolah tekena kutukan. Dalam keempat serat ini disebut bahwa
upaya-upaya manusia selalu mandul untuk mengatasi masalah yang
muncul. Bahkan kekacauan semakin menjadi-jadi yang diungkapkan
dengan frasa sudranira andadi dan sumuke angradon.
Mengenai keadaan Zaman Kalabendu ini kami tidak akan membahas
panjang lebar. Kami telah menerbitkan buku tersendiri yang berjudul,
Kajian Filosofis Zaman Kalabendu dalam Karya-Karya Ranggawarsita.
Silakan membaca buku tersebut bagi yang berminat. Kami akan fokuskan
pada pembahasan tentang ramalan kemerdekaan yang termuat dalam
ketiga serat yang telah kita kaji di muka.

Ramalan yang tersirat


Dalam serat Sabdatama disebutkan bahwa hilangnya Zaman Kalabendu
yang penuh kesengsaraan itu akan terjadi. Secara samar disebutkan
peristiwa itu dalam bait 15 dan 16, seperti di bawah:
Supaya pada emut,
amawasa benjang jroning tahun,
windu kuning kono ana wewe putih.
Gegamane tebu wulung,
arsa angrabaseng wedhon.

Rasane wes karasuk,


154
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

kesuk lawan kala mangsanipun,


kawisesa kawasanira Hyang Widhi.
Cahyaning wahyu tumelung,
tulus tan kena tinegor.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Hendaklah semua ingat,
lihatlah kelak pada tahun,
windu kuning di situ ada hantu perempuan.
Dengan senjata tebu wulung,
hendak menghangcurkan hantu pocong.

Rasanya (datangnya masa itu) sudah merasuk dalam (sanubari).


Terdesak oleh waktu berlakunya,
kekuasaan yang menjadi wewenang Yang Maha Kuasa.
Sinarnya wahyu yang hampir turun,
akan sampai tak bisa dipatahkan.

Yang dimaksud masa itu adalah tentang wewe putih akan menerjang
wedhon, yang menurut S. Margana dalam buku Pujangga Jawa dan
Bayang-Bayang Kolonial, berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia.
Bahwa masa itu sudah menunjukkan tanda-tanda dan sudah masuk ke
dalam sanubari sang Pujangga.
Jika kita perhatikan memang sesuai teori siklus Ibnu Khaldun bahwa
peristiwa sejarah akan berulang dengan pola yang sudah baku. Dalam
kaitannya dengan zaman Kala Bendu yang oleh Ki Ranggawarsita disebut
sudah mencapai puncak, sidining Kala Bendu, maka dipastikan bahwa
masa itu akan segera berakhir. Sistem akan mengalami pembusukan dan
menjadi tidak efektif lagi. Jika sudah demikian akan muncul kekuatan baru
yang akan angrabaseng wedhon, merombak tatanan lama.
Demikianlah sunatullah yang berlaku, jika sebuah sistem pemerintahan
sudah rusak dan tak mampu memberi perlindungan dan ketenteraman bagi
warganya maka akan datang orang-orang yang mengganti sistem itu. Hal
ini adalah hukum yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, yang
telah mengatur dunia dengan ketentuan-ketentuan. Dan ketentuanNya
mendesak (mendeterminasi) untuk berlaku, mengalahkan segala upaya dan
kehendak manusia.
155
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Dalam bait ke 16 disebut adanya kata wahyu yang berarti pertolongan


Tuhan. Dalam budaya Jawa wahyu berarti anugrah Tuhan yang diberikan
kepada makhluk atas kesungguhan hatinya dalam berupaya. Wahyu ini
diberikan sebagai bentuk penguatan agar ketentuan Allah segera berlaku di
muka bumi. Wahyu adalah bagian dari sistem berlakunya sunatullah.
Dalam kasus Zaman Kala Bendu ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Karena zaman Kala Bendu begitu sangat membuat orang susah, menderita
dan hidup dalam suasana mencekam seolah hukum Allah tak berlaku.
Maka Allah berkehendak untuk menurunkan pertolongan kepada manusia
agar zaman itu segera berakhir. Namun pertolongan itu takkan serta-merta
turun jika manusia tidak menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh
dalam mengakhiri zaman terkutuk itu.
Namun ketika ada aksi nyata dari manusia, yang digambarkan dengan
wewe putih menerjang wedhon tadi, maka segera saja pertolongan Allah
(wahyu) turun dan sampai (tulus) di tujuan dengan cepat layaknya
cepatnya cahaya sampai di bumi, tak dapat dipatahkan di tengah jalan (tan
kena tinegor).
Jika Allah sudah turut campur dalam dengan wahyu yang Dia simpan
untuk manusia yang berupaya dengan sungguh-sungguh dan usaha yang
luar biasa, sesulit apapun keadaan pasti akan ada jalan keluar.
Konsep wahyu dalam budaya Jawa sering diungkapkan dengan wujud
materialis, seperti pada kisah pewayangan dimana wahyu dilambangkan
berupa pusaka yang tiba-tiba turun ketika seseorang bertapa. Yang
demikian itu hanyalah kiasan atau perumpamaan agar para pemirsa lebih
mudah dalam memahami maksudnya. Tetapi konsep wahyu sebenarnya
adalah pertolongan Allah bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam
berupaya. Adapun bagaiman bentuk wahyu tersebut, demi menghindari
perdebatan yang tidak perlu kami serahkan pada para kearifan masing-
masing pembaca dalam memahaminya.
Bait 15 dan 16 Serat Sabdatama tadi memberi isyarat akan datangnya
Zaman Baru yang mengusir segala kutukan. Namun kapan datangnya
belum jelas. Hanya diperlukan upaya permulaan yang berupa kesungguhan
hati dan tekad untuk mewujudkannya.

156
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Ramalan Yang Terang


Dalam Serat Sabdajati Ki Ranggawarsita tidak puas hanya memberi isyarat
bahwa Zaman Kalabendu akan berakhir. Dia bahkan secara jelas
menyebutkan kapan saat itu datang. Berikut kutipan bait ke-14 Serat
Sabdajati.
Waluyane benjang lamun ana wiku,
memuji ngesthi sawiji,
sabuk tebu lir majenun,
galibedan tudang tuding,
anacahken sakehing wong.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:


Sembuhnya besok kalau sudah ada pendeta,
beribadah menghendaki Yang Satu.
Berikat pinggang tebu seperti orang gila,
berseliweran menunjuk-nunjuk,
menghitung-hitung semua orang.

Dalam bait di atas disebutkan bahwa sembuhnya jaman yang penuh


kerepotan, kesedihan dan kesengsaraan tadi atau yang sering disebut
Zaman Kalabendu, akan terjadi jika ada pendeta (wiku) yang beribadah
(memuji) menghendaki Yang Satu (Sawiji). Ngesthi sawiji artinya hanya
menghendaki Tuhan Yang Maha Esa. Ini adalah ibadah yang sebenar-
benarnya. Jika niat ibadah sudah benar maka diharapkan zaman penuh
kerepotan dan kesengsaraan tersebut akan berakhir. Artinya adalah Zaman
Kalabendu tidak akan berlalu jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh
dan penuh keikhlasan dari orang-orang yang tertimpa zaman itu.
Selain bermakna tekstual seperti di atas bait ke-14 serat Sabdajati juga
mengandung isyarat lain yang tersembunyi. Kata wiku memuji ngesthi
sawiji adalah kata yang mengandung bilangan candra sengkala. Wiku = 7;
memuji = 7; Ngesti = 8; Sawiji = 1, jika dibaca terbalik sesuai kaidah
candra sengkala akan menghasilkan angka 1877 tahun Jawa. Tahun itu
bertepanan dengan Tahun Masehi 1945-1946 Masehi. Apa yang terjadi di
tahun-tahun itu sudah kita ketahui bersama yakni Indonesia sedang
merebut kemerdekaan.

157
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Dalam bait ini Ki Ranggawarsita menunjukkan dua sosok kepribadian


yang komplit. Pertama beliau adalah ilmuwan yang sangat menguasai
fenomena sejarah. Bahwa sesudah Zaman Kalabendu, jika ada upaya yang
sungguh-sungguh dari orang untuk mengakhiri keadaan itu pastilah akan
datang Zaman baru yang makmur. Ini adalah hukum sejarah yang bersifat
ilmiah. Anjuran dari Ki Ranggawarsita untuk tetap mencari budyayu
margane suka basuki, adalah upaya ilmiah untuk menangkal Zaman
Kalabendu.

Namun disisi lain Ki Ranggawarsita memberi tahu datangnya Zaman Baru


yang disebut Kalasuba itu dengan angka tahun yang pasti. Kemampuan
meramal ini jelas bukan kualifikasi seorang cendekia. Tapi pastilah
kualifikasi seorang yang waskitha, seorang yang mempunyai penglihatan
amat tajam tentang masa depan. Sosok cendekiawan yang waskitha adalah
fenomena langka yang jarang bertemu dalam satu pribadi.

Datangnya Zaman Baru


Jika sebuah ramalan ditulis sekali, mungkin saja si penulis belum yakin
akan ramalan itu. Namun Ki Ranggwarsita menulis ramalan yang jelas itu
sampai dua kali. Dengan makna yang sama walau dengan redaksi yang
sedikikit berbeda. Berikut kami kutipkan Serat Jaka Lodhang bait ke-8 dan
ke-9:

Sangkalane maksih nunggal jamanipun,


neng sajroning madya akir,
wiku sapta ngesthi ratu.
Adil parimarmeng dasih,
ing kono kersaning Manon.

Tinemune wong ngantuk anemu kethuk,


malenuk samargi-margi,
marmane bungah kang nemu,
marga jroning kethuk isi,
kencana sesotya abyor.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia


Sengkalanya masih satu zaman,

158
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

di dalam zaman tengah menjelang akhir,


pendeta tujuh memikirkan raja.
Adil dan berbelas kasih kepada rakyat,
di situ kemudian berlaku kehendak Tuhan.

Ditemukannya orang mengantuk mendapat kethuk,


bergeletakan mencolok di sepanjang jalan.
Karena itu gembira yang menemukan,
karena dalam kethuk berisi,
emas perhiasan gemerlap.

Dalam bait ke-8 di atas tramalan tentang datangnya Zaman Baru diulang
dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan yang tertera pada Serat
Sabdajati. Kalimat yang digunakan adalah wiku sapta ngesthi ratu artinya
pendeta tujuh memikirkan raja. Memikirkan di sini artinya ikut
memprihatinkan keadaan raja, senantiasa membantu dengan menasihati
agar sang raja tetap di jalan kebenaran. Kalimat itu selain mengandung arti
tersebut juga merupakan candra sengkala yang menunjukkan angka tahun
berikut: Wiku = 7; Sapta 7; Esti = 8; ratu = 1, maknanya tahun 1877 AJ.
Dalam kalender Masehi bertepatan dengan tahun 1945. Inilah hari
kemerdekaan Republik Indonesia. Angka tahun yang ditunjukkan sama
persis dengan yang disebut dalam serat Sabdajati. Ini menunjukkan bahwa
Ki Ranggawarsita telah mempunyai keyakinan yang kuat akan datangnya
masa itu. Bahkan ketepatan tahunnya menunjukkan bahwa bagi
Ranggawarsita peristiwa itu jelas sekali.
Dalam serat Jaka Lodhang selain disebutkan waktunya juga disebutkan
ciri-ciri Zaman Baru yang akan datang. Yakni berupa kemudahan dalam
mencari penghidupan, murah sandang pangan dan berbagai keperluan.
Setiap orang yang berusaha mendapat jaminan usahanya akan berhasil
sehingga orang tidak ingin lagi berbuat jahat. Buat apa berbuat jahat kalau
saluran untuk kebaikan terbukan dengan luas.
Bila kita cermati kadaan kehidupan sekarang dibanding kehidupan di
zaman serat ini ditulis rasa-rasanya tak salah jika dikatakan bahwa ramalan
ini cocok seratus persen. Kondisi kehidupan masyarakat sekarang sudah
mendekati gambaran dari bait akhir serat Jaka Lodhang ini. Sepantasnya
kita syukuri pencapaian ini, agar kemakmuran yang kita peroleh dapat
langgeng kita nikmati.
159
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal

Kami cukupkan kajian kami tentang Ranggawarsita Sang Peramal


Kemerdekaan. Bila ada salah kata kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Akhirul kalam, kami berharap karya kecil ini bermanfaat bagi
yang membutuhkan.
Salam.

Bambang Khusen Al Marie

160

Anda mungkin juga menyukai