Buku Ranggawarsita Sang Peramal
Buku Ranggawarsita Sang Peramal
i
ii
RANGGAWARSITA
iii
iv
KATA PENGANTAR
v
Yang menarik, Ki Ranggawarsita dalam karya-karyanya ini; yakni
dalam Sabdajati, Sabdatama dan Jaka Lodhang menyebut dengan jelas
angka tahun datangnya Zaman Kalasuba ini. Yakni di tahun 1877 tahun
Jawa atau bertepatan dengan tahun 1945 M. Itulah tahun kemerdekaan
Republik Indonesia.
Akhirul kalam semoga kajian kami memberi manfaat khususnya bagi
para peminat Kajian Sastra Klasik dan bagi para pembaca semuanya.
Salam!
vi
DAFTAR ISI
vii
SERAT SABDATAMA PUPUH GAMBUH 47
Kajian Sabdatama (1-2): Nyenyuda Hardaning Ati 48
Kajian Sabdatama (3): Angkara Kalindhih 51
Kajian Sabdatama (4): Tyas Riwut Rawat Dahuru 53
Kajian Sabdatama (5): Kari Ketaman Pakewuh 55
Kajian Sabdatama (6): Ngleluri Para Leluhur 57
Kajian Sabdatama (7): Katenta Nawung Prihatos 60
Kajian Sabdatama (8): Sansaya Ewuh Kang Linakon 62
Kajian Sabdatama (9): Sidining Kala Bendu 64
Kajian Sabdatama (10): Mawut sangyaning dumados 66
Kajian Sabdatama (11): Sirna katentremanipun 68
Kajian Sabdatama (12): Cangkem Silite Anyaplok 70
Kajian Sabdatama (13): Ula daulu Sansaya Ndadra 72
Kajian Sabdatama (14): Sumurupa Jatining Hyang Manon 74
Kajian Sabdatama (15): Ramalan Sang Pujangga 76
Kajian Sabdatama (16): Cahyaning Wahyu Tumelung 78
Kajian Sabdatama (17): Yuwana Tumurun Tan Enting 81
Kajian Sabdatama (18): Wong Ngantuk Nemu Kethuk 83
Kajian Sabdatama (19): Nora Ana Rusuh Colong Jupuk 85
Kajian Sabdatama (20): Budyarja Marjaya Limut 87
Kajian Sabdatama (21): Tinggal Pakarti Dudu 89
Kajian Sabdatama (22): Pulih Jaman Rumuhun 91
viii
BAGIAN KEEMPAT: SERAT JAKA LODHANG 127
Kata Pengatar Serat Jaka Lodhang 128
ix
Transliterasi Arab ke Latin
=يy
x
Transliterasi Jawa ke Latin
xi
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Bagian Pertama
SERAT SABDAJATI
1
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Kata pengantar
2
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
SERAT SABDAJATI
PUPUH
MEGATRUH
3
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
4
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
buruk. Kata hayu sendiri bisa berarti cantik, indah jika berhubungan
dengan fisik, jika konteksnya non fisik kata hayu sering diartikan baik.
Jadi budyayu artinya hati yang baik. Jangan sekali-kali terputus dari usaha
mencari inti dari hati yang baik.
Suka adalah perasaan hati, senang atau gembira. Basuki adalah suatu
kondisi selamat, lepas dari marabahaya. Kedua kata itu tidak
menggambarkan keadaan yang sama. Bisa terjadi hati kita suka tetapi tidak
selamat secara fisik, atau selamat secara fisik (sehat, jauh dari penyakit)
tetapi hati tidak suka. Suka basuki adalah keadaan gabungan dari
keduanya, hati senang dan raga selamat. Kata yang pas dalam bahasa
Indonesia adalah bahagia. Maka ronging budyayu tadi adalah jalan menuju
kebahagiaan.
Dimen (supaya) luwar (lepas) kang (yang) kinayun (dikehendaki hati),
kalising (terhindar dari) panggawe (perbuatan) sisip (salah, sesat). Supaya
lepas apa yang dikehendaki hati, terhindar dari perbuatan salah.
Arti kayun adalah hati. Kinayun artinya yang diinginkan hati. Dalam kitab
klasik yang telah kita kaji selama ini ada keadaan yang berkaitan dengan
kata kayun ini, yakni geyonganing kayun yang terdapat dalam serat
Wedatama bait ke-16, artinya kecenderungan hati pada suatu yang baik.
Jadi kata kayun sering dipakai untuk menyebut keinginan hati yang
bersifat positif. Jika kita berhasil menggapai budyayu tadi dan berhasil
mencapai keadaan suka basuki, maka keinginan hati yang timbul pun
mengarah kepada hal-hal yang positif, mengarah kepada kebaikan.
Efeknya pada perilaku adalah terhindar dari perbuatan salah (sisip).
Karena apa yang didalam hati sudah serba baik, maka outputnya dalam
tindakan Insya Allah juga berupa kebaikan.
Ingkang (yang) taberi (rajin) prihatos (laku prihatin). Yang rajin laku
prihatin.
Namun keadaan tersebut di atas juga bukan hal yang mudah untuk dicapai.
Syarat pertama adalah rajin dalam laku prihatin. Selanjutnya laku
mencapai keadaan budyayu tadi masih panjang dan banyak syaratnya. Apa
saja yang diperlukan? Nantikan dalam kajian bait berikutnya.
6
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
7
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
9
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Jernihnya hati dicapai ketika hati sunyi dari niat buruk. Karena antara baik
dan buruk tidak dapat berkumpul dalam satu wadah secara harmonis,
keduanya akan saling mendesak, maka sepinya hati dari keburukan
menandakan hati berisi kebaikan. Inilah suwung nanging sejatining isi,
sunyi namun berisi.
Sayektos artinya sejati, sebenarnya, yang nyata. Cipta sayektos artinya,
angan-angan yang mendorong kepada kebaikan, bukan sekedar angan-
angan kosong. Cipta sayektos adalah gagasan yang nyata, yang muncul
dari pemahaman terhadap realitas. Bukan pikiran yang hanya berdasar
duga-duga saja.
10
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
12
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Jangan mengira bahwa orang yang berbuat jahat itu enak hidupnya. Sama
sekali tidak! Mereka bisa saja kelihatan keren dan mentereng, tetapi
hatinya selalu galau. Dikejar hati nurani dan polisi, selalu waspada bukan
terhadap hawa nafsu tetapi malah kepada kebenaran yang sewaktu-waktu
bisa membongkar kedoknya. Apakah hidup dalam keadaan seperti itu
enak? Jelas sulit dan repot!
Ewuh (sulit) mring (menuju ke) pana (pemahaman) ninging (ketenangan)
ati (hati), temah (sehingga) wuru (mabuk) kabesturon (lalai, seperti orang
tertidur). Sulit menuju kepada pemahaman tentang ketenangan hati,
sehingga mabuk layaknya orang tidur.
Kabesturon dari kata besturu artinya lalai. Ada kata asal turu disini,
artinya lalainya seperti orang yang tertidur, kesadarannya tidak ada sama
sekali. Lebih-lebih jika yang tertidur orang mabuk, pastilah tidurnya amat
panjang, tidak bangun-bangun.
Sekali terjebak dalam perbuatnan tercela akan sulit untuk mencapai
pemahaman tentang ketenangan hati, apalagi mencapi keadaan itu.
Mempelajari pun enggan, apalagi mengupayakan. Hati menjadi abai
terhadap hal-hal spiritual. Sehingga lalai seperti orang mabuk yang tertidur
melantur.
Demikianlah makna bait ke-5 serat Sabdajati ini. Semoga menjadi
peringatan bagi kita semua.
14
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
16
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
17
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
(oleh) Hyang (Yang) Manon (Maha Tahu). Banyak yang sama patuh,
dikira kalau itulah malaikat Jibril, yang diutus oleh Yang Maha Tahu.
Banyak yang sujud pada orang tersebut. Sujud artinya menghamba begitu
rupa sampai segala titahnya dipatuhi dengan pengorbanan jiwa dan raga.
Mereka sedemikian patuhnya seolah-olah orang itu adalah jelmaan
malaikat Jibril yang sedang menjalankan tugas sebagai utusan yang Maha
Tahu.
Dalam bait ini Ki Pujangga tampaknya sedang menyoroti keadaan tata
masyarakat saat itu. Pada akhir abad 19 kekuasaan Belanda memang
berada pada puncaknya. Setelah perang Jawa selesai Belanda menangguk
untung besar-besaran karena biaya perang dibebankan kepada negri
Mataram dalam bentuk kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Kekuasaan kerajaan lokal seperti Surakarta dan Yogyakarta hampir tak
bersisa kecuali hanya sebagai simbol. De facto Belanda sudah menjajah
tanah Vorstenlanden, terutama di kerajaan Surakarta tempat sang pujangga
mengabdi. Raja Jawa tinggal sebagai raja simbolik saja.
Sulitnya keadaan ini tampaknya membuat banyak orang kehilangan
kendali diri, terseret dalam perbuatan cela demi keselamatan pribadi. Ki
Pujangga mengabadikan fenomena ini dalam tembang yang penuh kias
dan sasmita (isyarat). Agar orang pandai di kemudian hari dapat
mengambil manfaat, tanpa membuat keruh hati orang-orang bodoh yang
tak paham.
18
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
19
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
20
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
21
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
22
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
berbuat kita mesti menuruti hati nurani. Setelah itu serahkan akibatnya
kepada kekuasaan Allah, sebagai Yang Memberi perintah dan larangan.
Allah pasti akan memberi pertolongan dalam urusan duniwi. Takkan
kurang sandang dan pangan, serta keperluan lainnya. Semua yang
dikehendaki pasti akan terwujud.
Gatra ini menegaskan kekuasaan Tuhan sebagai pemilik alam raya
seisinya (sakalir-kalir). Bahwa dia akan mencukupi segala kebutuhan kita
apabila kita telah melaksanakan segala perintah dan larangannya.
Meskipun perintah dan larangan itu akan membuatnya berada dalam posisi
pakewuh seperti pada bait sebelumnya. Tinggalkanlah rasa pakewuh itu
dan mantapkan di jalanNya. Insya Allah segala urusanmu di dunia Dia
yang akan menyelesaikan.
24
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
25
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
26
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
27
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
28
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
29
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
31
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
33
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
34
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
35
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
37
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
38
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
39
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
41
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Jimakir adalah nama tahun Jawa. Ada 8 nama tahun yang berulang mulai
dari yang pertama: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir.
Sengara adalah nama windu, yakni hitungan tiap 8 tahun. Ada 4 nama
windu: Adi, Kuntara, Sengara, Sancaya.
Tolu adalah nama wuku (wuku=7 hari). Ada 30 nama wuku: Sinta,
Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung,
Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya,
Julungpujut, Pahang, Kuruwekut, Marakeh, Tambir, Medangkungan,
Maktal, Waye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu,
Dukut, Watagunung.
Uma adalah nama padewan, yakni siklus hitungan 8 harian. Ada 8 nama
hari mulai yang pertama: Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala,
Uma. Semua itu nama-nama dewa sehingga siklus ini disebut padewan.
Tampaknya ini berasal dari pananggalam lama, yakni sewaktu masih
mengikuti tahun Saka.
Aryang adalah nama paringkelan, yakni siklus 6 harian. Nama-nama
harinya adalah: Tungle, Aryang, Wurukung, Paningron, Uwas, Maulu.
Jagur adalah nama padangon, yakni siklus 9 harian. Nama-nama harinya
adalah: Dangu, Jagur, Gigis, Kerangan, Nohan, Wogan, Tulus, Wurung,
Dadi.
Semua sistem di atas adalah yang berlaku bagi orang Jawa. Masih ada satu
lagi sistem perhitungan yakni pranatamangsa, yang berguna bagi petani.
Jadi bagi orang Jawa perhitungan hari menjadi sangat rumit. Semua itu ada
gunanya masing-masing dan tidak selalu disertakan bersama-sama. Kalau
Ki Pujangga pada kesempatan ini memakai semua perhitungan semata-
mata karena penegasan bahwa hitungan beliu sangat tepat.
Netepi (mematuhi ketetapan) kumpul (berkumpul) saenggon (satu
tempat). Mematuhi ketetapan berkumpul di satu tempat.
Mematuhi ketetapan di sini adalah ketetapan takdir, bahwa semua manusia
pasti akan berkumpul manjadi satu di padang Mahsyar. Ki Pujangga sadar
itu, dan menyambutnya dengan ketenangan.
42
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
44
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Bagian Kedua
SERAT SABDATAMA
45
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Kata pengantar
46
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
PUPUH
GAMBUH
47
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
49
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Arti kata harda dalam frasa hardaning ati sudah kami kupas dalam kajian
serat Wulangreh dan Wedatama, harda adalah keinginan yang sangat dari
hati, nafsu yang memuncak, yang hampir-hampir tak tertahankan dan
segera ingin dipenuhi. Harda ini akan menyeret manusia kepada tindak
angkara karena sering ketika keinginan itu tak tertahankan kemudian
menempuh cara tercela untuk melampiaskannya.
Kang (yang) anuntun (menuntun) mring (pada) pakewuh (kerepotan),
uwohing (buah) panggawe (dari perbuatan) awon (buruk). Yang
menuntun pada kerepotan, buah dari perbuatan buruk.
Harda yang terlampiaskan dengan cara tercela tadi akan berujung pada
kerepotan diri sendiri. Hasratnya terpuaskan sesaat, akibatnya datang
berkepanjangan. Ibarat menebar angin akan menuai badai. Itulah buah dari
perbuatan buruk.
50
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
51
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
52
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
53
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
54
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
55
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
56
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
58
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
selain tunduk pada raja juga harus melapor semua kegiatan kepada
Belanda untuk minta persetujuan.
Bait ini menceritakan keadaan Ranggawarsita pasca mundur dari dunia
politik, beliau kemudian fokus untuk menulis karya-karya sastra. Semua
itu dilakukan agar beliau tetap bisa berkontribusi bagi masyarakat, demi
karena sudah diberi anugrah oleh dua majikan.
59
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
62
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
63
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Walau demikian bait ini secara tersirat mengabarkan harapan yang baik,
yakni pada kata sidi yang artinya puncak. Ini berarti bahwa tingkat
kerusakannya sudah maksimal, tak bisa lebih rusak lagi. Ibarat kurva
lonceng, jika sudah mencapai puncak akan terjadi titik balik, kerusakannya
menurun atau semakin berkurang dan diiringi oleh pembangunan kembali.
Lamun (jika) durung (belum) mangsanipun (saatnya), malah (justru)
sumuke (panasnya) angradon (menjadi-jadi). Jika belum saatnya, justru
panasnya menjadi-jadi.
Sumuk dalam bahasa Jawa dipakai untuk menggambarkan kondisi udara
panas sehingga tubuh mengeluarkan keringat yang banyak. Fenomena
sumuk itu terjadi saat hampir turun hujan dikala mendung menutupi
matahari. Terjadi panas luar biasa yang membuat setiap orang berkeringat
hebat. Keadaannya panas, gerah, risih, dan gatal-gatal di kepala. Sungguh
tak nyaman. Tetapi manakala hujan kemudian turun dengan lebat
keadannya seketika berubah menjadi kesejukan, segar, dingin dan sangat
nyaman.
Jaman Kala Bendu tampaknya sedang memasuki puncak mendung
tersebut. Sehingga keadaannya benar-benar gerah dan memuakkan. Kita
sedang menanti hujan yang akan segera jatuh membawa kesejukan. Tapi
kapan? Jika belum waktunya rasa sumuk ini akan terus kita rasakan dengan
tekanan yang semakin menjadi-jadi. Sabarlah!
65
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
66
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Peraturan apa sih yang tidak bisa diakali? Semua bisa direkayasa agar
tampak sesuai aturan yang berlaku, sehingga perbuatan curangnya
tersembunyikan.
Inilah yang terjadi dalam masyarakat ketika prinsip-prinsip moral sudah
diabaikan. Negara menjadi kacau balau kalau hanya berlandaskan hukum
semata. Orang bisa saling melaporkan hanya karena sedikit tersinggung,
toh ada peraturan yang mengcover. Orang bisa seenaknya demo besar-
besaran hanya karena masalah sepele, toh ada peraturan yang melindungi.
Penguasa bisa menindas rakyat dengan berbagai dalih kemaslahatan, toh
tidak menabrak kaidah perundangan yang berlaku. Jika moralitas sudah
lenyap celah hukum sesempit apapun dapat menjadi pintu masuk bagi
watak murka (tamak) untuk menggarong uang negara.
Limut (gelap) kalimput (menyelimuti) angawut (membabi buta).
Kegelapan menyelimuti (sehingga orang) membabi buta.
Kegelapan sudah menyelimuti hati orang-orang, mereka hanya
memikirkan bagaimana cara agar kepentingannya terwujud. Berbuat
membabi buta tanpa mengingat kepentingan orang banyak.
Mawut (berantakan, kacau balau) sanggyaning (semua) dumados
(makhluk). Kacau balaulah semua makhluk.
Apa yang tersisa dari masyarakat yang demikian? Sudah tidak ada lagi
harapan untuk perbaikan. Sudah menuju saat terakhir menuju kehancuran.
Ibarat bangunan tua yang sudah lapuk dan sekujur bagiannya digerogoti
rayap. Satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah dengan
menghancurkannya kemudian membangun kembali bangunan yang baru.
Eh tetapi tunggulah, tak perlu dihancurkan karena sudah hampir roboh
sendiri. Keadaannya sudah mendung mentiyung, laksana awan yang sudah
menggantung, tinggal menunggu hujan jatuh.
67
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
69
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
70
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
71
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Ndhungkari gunung-gunung,
kang geneng-geneng padha jinugrug,
Parandene tan ana kang nanggulangi.
Wedi kalamun sinembur,
upase lir wedang umob.
73
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Kolonganing kaluwung,
prabanira kuning abang biru.
Sumurupa iku mung soroting warih.
Wewarahe para Rasul,
dudu jatining Hyang Manon.
.
Kajian per kata:
Kolonganing (lingkaran) kaluwung (pelangi), prabanira (sinarnya)
kuning (kuning) abang (merah) biru (biru). Lingkaran pelangi, sinarnya
kuning merah biru.
Bait ini tiba Ki Ranggawarsita beralih topik ke pelangi, tema ini tampak
tidak berkaitan dengan bait sebelumnya atau bait sesudahnya. Seolah
hanya ingin menyampaikan suatu penegasan, atau premis kebenaran
tertentu.
Lihatlah lingkaran pelangi itu, warnanya kuning merah biru. Penyebutan
tiga warna dasar ini hanya untuk menyatakan bahwa pelangi mempunyai
banyak warna. Yang sebenarnya menurut ilmu alam ada tujuh warna,
merah, jingga, kuning,hijau, biru, nila, ungu. Namun seperti kita ketahui
semua warna hanya merupakan kombinasi dari tiga warna dasar di atas.
Sumurupa (ketahuilah) iku (itu) mung (hanya) soroting (sinarnya) warih
(air). Ketahuilah bahwa warna-warna itu hanya merupakan sinarnya air.
Dalam ilmu alam penampakan pelangi terjadi karena dispersi cahaya yang
melewati gelembung air di awan. Sinar matahari yang putih itu sebenarnya
74
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Arti manon yang sebenarnya adalah melihat. Hyang Manon artinya Yang
Maha Melihat, maksudnya adalah Allah, Tuhan semesta alam. Tetapi
karena sudah kaprah diketahui bahwa yang dimaksud Hyang Manon
adalah Tuhan sering kali diterjemahkan sebagai Yang Maha Kuasa. Meski
tidak salah dari segi pengertian tetapi tidak tepat dari segi bahasa.
Terjemahan yang tepat dari Hyang Manon adalah Yang Maha Melihat.
Kata Rasul berasal dari kata Arab yang artinya utusan, penyampai kabar
gembira dan peringatan. Sebagai utusan Rasul bukanlah Tuhan, bukan
pula manifestasiNya, bukan pula penjelmaanNya. Namun jika kita
mengikuti ajarannya dengan sungguh-sungguh kita akan sampai kepada
Tuhan Yang Sejati. Maka dalam melaksanakan ajaran Rasul kita harus
kaffah, yang dimaksud harus dengan seluruh raga dan jiwa kita. Tidak bisa
setengah-setengah dengan tubuhnya mengikuti namun hatinya
menyangkal.
75
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
76
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
77
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
78
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
79
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Jika Allah sudah turut campur dengan wahyu yang Dia simpan untuk
manusia yang berupaya dengan sungguh-sungguh dan usaha yang luar
biasa, sesulit apapun keadaan pasti akan ada jalan keluar.
Konsep wahyu dalam budaya Jawa sering diungkapkan dengan wujud
materialis, seperti pada kisah pewayangan dimana wahyu dilambangkan
berupa pusaka yang tiba-tiba turun ketika seseorang bertapa. Yang
demikian itu hanyalah kiasan atau perumpamaan agar para pemirsa lebih
mudah dalam memahami maksudnya. Tetapi konsep wahyu sebenarnya
adalah pertolongan Allah bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam
berupaya. Adapun bagaimana bentuk wahyu tersebut, demi menghindari
perdebatan yang tidak perlu kami serahkan pada para kearifan masing-
masing pembaca dalam memahaminya.
80
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
81
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
82
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
83
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
84
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
85
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
86
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
87
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Namun jika berada dalam sistem yang baik ketiga alasan tersebut semua
terpenuhi. Jika sudah makmur dan tercukupi kebutuhan hidupnya untuk
apa lagi mencuri? Orang yang sangat paham bahwa hukuman kejahatan
sungguh amat berat juga akan berpikir beribu kali sebelum melakukannya.
Untuk yang terakhir, di sebuah negeri yang makmur takkan ditemukan
orang yang kepepet kebutuhan, jadi alasan untuk mencuri pun tak ada.
Tyase (hatinya) katrem (nyaman) kayoman (ternaungi) hayuning
(keselamatan) budi (akal budi). Hatinya nyaman dan ternaungi
keselamatan akal budi.
Hatinya merasa nyaman ketika berbuat baik. Tidak kuatir dizalimi,
dieksploitasi, ditilep, dikadali dan ditipu. Ia yakin akan mendapat keadilan
oleh karenanya tak ragu lagi melakukan sesuai tuntunan moral yang baik,
dorongan akal budi dan panggilan hati nurani.
Budyarja (akal budi yang selamat) marjayeng (membunuh) limut
(kegelapan), amawas (mewaspadai) pangesthi (maksud) awon (buruk).
Budi yang selamat membunuh kegelapan, mewaspadai maksud buruk.
Akal budi yang mulia akan membunuh kegelapan hati, seperti halnya
cahaya terang akan membunuh kegelapan. Hati kita sebenarnya adalah
medan tempur dari kehendak baik dan buruk, jika membiarkan keburukan
menguasai hati maka kegelapanlah yang tampak. Semua maksud buruk
menjadi tersembunyi di balik berbagai dalih dan alasan.
Sebaliknya, jika kita memenangkan kebaikan niscaya hati akan terang
benderang, segala maksud buruk, kecenderungan jahat dan hasrat yang
bergejolak, akan tampak jelas. Mudah bagi kita untuk mengawasinya dan
menyingkirkannya.
88
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
89
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
90
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
91
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
perkara besar dan kecil. Dapat bicara secara profesional sesuai disiplin
ilmunya. Berdasar kaidah ilmiah dalam menyampaikan analisa dan tidak
partisan dalam menyarankan kebijakan.
Pulih (kembali) duk (saat) jaman (zaman) rumuhun (dahulu), tyase
(hatinya) teteg (tabah) teguh (kuat) tanggon (andal). Keadaan kembali
seperti dahulu, hatinya tabah, kuat dan dapat diandalkan.
Ini sudah kembali ke zaman dahulu, ketika para ilmuwan dapat bersikap
idealis, tidak tergoda dengan rayuan harta benda, tidak mengeluh karena
sulit hidupnya dan dapat diandalkan dalam mengatasi masalah. Jika
mereka sudah bersikap ilmiah outputnya pun akan berupa kebijakan yang
adil dan merata, tidak memihak golongan tertentu.
TAMMAT.
92
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Bagian Ketiga
SERAT KALATIDHA
93
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Kata Pengantar
Salam.
94
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
PUPUH
SINOM
95
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
97
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
98
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
100
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Katetangi tangisira,
Sira sang paramengkawi,
Kawileting tyas duhkita,
ketaman ing rehwirangi,
Dening upaya sandi,
Sumaruna anarawung,
Mangimur manuhara,
Met pamrihmelik pakolih,
Temah suka ing karsa tanpa weweka.
101
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
102
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Pemimpin yang tidak cakap dan tak tahan godaan justru seringkali lupa
diri. Tenggelam dalam kealpaan, kekhilafan, kemunafikan, pencitraan, dan
aneka penyimpangan lain.
Lamun (jika) tuwuh (membesar) dadi (menjadi) kekembenging (penuh
dengan) beka (kerepotan, kesusahan). Jika membesar menjadi penuh
dengan kesusahan.
Jika tidak segera sadar justru semakin lama semakin menjadi-jadi, kelak
penyimpangannya semakin membesar hingga menimbulkan kesusahan.
Baik bagi orang banyak karena kebijakannya yang salah, juga bagi diri
sendiri karena bisa-bisa menuntunnya ke bui.
Dalam bait ini Ki Ranggawarsita secara apik menggambarkan pergolakan
batin beliau. Sejak timbul kekecewaan, sampai munculnya kesadaran
untuk mencari hikmat dari setiap keadaan yang menimpanya. Kita
beruntung ada orang berjiwa besar yang mau berbagai pengalaman
batinnya kepada kita sehingga kita bisa meneladaninya. Orang lain
mungkin akan mengubur setiap rasa kekecewaannya dalam-dalam dan
menampilkan muka manis demi sebuah citra diri. Namun beliau bukan
orang seperti itu.
105
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
106
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Ing (di) jaman (jaman) keneng (yang penuh) musibat (malapetaka), wong
(orang) hambeg (berbudi) jatmika (halus, tenang) kontit (tersingkir).
Mengkono (demikian) yen (jika) niteni (perhatikan). Di jaman yang
penuh malapetaka, orang berbudi halus akan tersingkir. Demikian jika
diperhatikan.
Orang-orang yang berbudi halus akan tersingkir di jaman pernuh
malapetaka, karena mereka tak sampai hati berebut periuk nasi. Hati
mereka terlalu halus untuk diajak berperilaku mburog, ngusruk, mepet
sesama. Padahal di jaman terkutuk ini orang-orang yang tak tahu malulah
yang paling sering tampil, lebih berpeluang mendapat jabatan dan kursi.
Itulah yang terjadi.
Kontit artinya tertinggal dengan memalukan. Ibarat pertandingan lari dia
ketinggalan jauh hingga disoraki penonton.
Pedah (guna, faidah) apa (apa) amituhu (menuruti), pawarta (kabar)
lelawara (angin, tak jelas), mundhak (tambah) angreranta (menyusahkan)
ati (hati). Apa gunanya menuruti, kabar yang tak jelas, hanya tambah
menyusahkan hati.
Pada gatra ini sang pujangga sudah menunjukkan tanda-tanda melupakan
kesedihan dan mulai move on. Beliau sadar bahwa mempercayai kabar
yang tak jelas tidak ada gunanya. Jika tak sesuai harapan malah akan
membuat hati semakin susah saja.
Angurbaya (lebih baik) angiket (merangkai, menyusun) cariteng (cerita)
kuna (tentang jaman dahulu). Lebih baik merangkai cerita tentang jaman
dahulu kala.
Inilah langkah yang akhirnya ditempuh sang pujangga. Dan ini tampaknya
bukan sekedar angan-angan. Beliau banyak menelurkan karya-karya
bermutu selain serat Kalatidha ini. Termasuk juga tentang kisah-kisah
kuno seperti Serat Pustaka Raja Purwa, yang sering dipakai sebagai
pakem pedalangan.
107
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
109
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Dalam bait ini sang pujangga melakukan hal serupa. Beliau mupus,
mengubur impiannya menjadi seorang pemuka (mungkin yang ingin
diraihnya pangkat tumenggung), dan bersyukur atas apa yang diterimanya
saat ini. Bagaimanapun (puluh-puluh) beliau sudah melalui banyak
kejadian yang berat (elok-elok) tapi masih mampu meraih jabatannya
sekarang ini.
Demikian pergolakan batin sang pujangga Ranggawarsita, yang beliau
bagi untuk kita sebagai pelajaran.
110
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
111
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Milu (ikut) edan (gila) nora (tidak) tahan (tahan), yen (kalau) tan (tidak)
milu (ikut) anglakoni (melakukan), boya(tidak) kaduman (kebagian)
melik (pendapatan), kaliren (kelaparan) wekasanipun (akhirnya). Ikut gila
tidak tahan, kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian pendapatan,
kelaparan akhirnya.
Dalam bait sebelumnya pernah disinggung tentang di jaman penuh petaka
wong hambeg jatmika kontit, di jaman penuh petaka orang yang berbudi
halus tersingkir. Nah inilah yang terjadi ketika dunia sudah penuh dengan
penyimpangan. Orang-orang yang berbudi halus tidak tahan kalau mau
ikut-ikutan gila. Tak sampai hati kalau harus rebutan periuk nasi, merasa
malu kalau harus rebutan kursi. Merasa tak pantas kalau berebut jabatan
dengan menyikut orang lain. Tak tega kalau demi mendapat proyek harus
menyingkirkan teman. Akibatnya seringkali lebih suka mundur dan
mengalah, dengan resiko pendapatannya atau peruntungannya berkurang.
Jaman edan memang tidak berpihak kepada orang baik-baik. Orang yang
tekun mengabdi disingkirkan, yang banyak bacot dijunjung tinggi. Asal
bisa njeplak banyak pengikutnya, tentu saja sesama orang sakit hati yang
sama gilanya.
Ndilalah (namun sudah menjadi) karsa (kehendak) Allah (Allah), begja
begjane (sebahagia-bahagianya) kang (yang) lali (lupa diri), luwih (masih
lebih) begja (bahagia) kang (yang) eling (ingat) lawan (dan) waspada
(waspada). Namun sudah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya
orang yang lupa diri, masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.
Kata ndilalah sebenarnya bermakna kebetulan yang tidak diharapkan
seperti pada kalimat, ora nggawa payung ndilalah udan, tidak membawa
payung tiba-tiba hujan. Agaknya kata ini dipakai sebagai ungkapan bahwa
mereka yang berperilaku gila itu boleh merencanakan ini dan itu, berbuat
sesk mereka namun yang terjadi tetaplah kehendak Allah yang tidak
mereka duga ata rencanakan.
Walau orang-orang yang berlaku gila dalam hidupnya itu tampak bahagia
dan hidup enak, tetapi belum tentu seperti yang terlihat. Mungkin kelak
tiba-tiba masuk bui karena terbongkar kejahatannya. Mungkin suatu saat
terkena banyak penyakit karena gaya hidupnya. Karena sesungguhnya
manusia hanya dapat menilai orang lain dari penampilan luarnya saja,
sedangkan yang ada didalam kehidupannya kita tidak tahu.
112
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Namun orang-orang yang tetap ingat dan waspada akan lebih bahagia.
Hidupnya lebih terarah dan teratur. Keinginannya sederhana sesuai
kemampuannya dan gaya hidupnya pun sewajarnya. Tidak ada keinginan
yang menyiksa hati siang dan malam, karena orang seperti ini sudah
pasrah dengan apa yang diterimanya.
Di sini ada dua kata kunci, yakni eling (ingat) dan waspada. Artinya sudah
sering kami uraikan dalam kajian sastra klasik ini. Ingat berarti mengingat
diri sendiri, menjaga diri dari keinginan hati yang melampuai batas, jadi
ingat lebih ditujukan ke dalam. Waspada lebih ditujukan ke luar dalam
menghadapi berbagai godaan dan halangan yang muncul. Dua kata ini juga
sering muncul dalam werat Wedatama yang kajiannya sudah kita
khatamkan bulan lalu.
113
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
114
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Paman Doblang disini bisa sembarang orang, seperti pada kata fulan
dalam bahasa arab. Kata Paman Doblang ini diambil dari lagu dolanan
anak yang terdiri dari beberapa bait, di akhir bait selalu diakhiri dengan
pertanyaan, “Nggih mekaten, Man Dhoblang?”
Bener (benar) ingkang(yang) angarani (mengatakan demikian), nanging
(tetapi) sajroning (dalam) batin (batin, hati), sejatine (sebenarnya)
nyamut-nyamut (belum seberapa). Benar yang mengatakan demikian,
tetapi dalam hati, sebenarnya keinginan itu belum seberapa.
Bahwa memang benar demikian, sang pujangga memang mengharapkan
itu. Tetapi jika direnungkan dalam batin, sebenarnya keinginannya tak
begitu sangat. Tak seberapa keinginannya.
Nyamut-nyamut atau klamut-klamut sering dipakai untuk menyebut hasil
dari sesuatu yang tak seberapa. Misalnya buah kelapa muda yang baru
muncul buahnya atau degan, kalau belum tua masih tipis sekali buahnya,
ini disebut klamut-klamut.
Wis (sudah) tuwa (tua) arep (akan) apa (apa), muhung (lebih baik hanya)
mahas (fokus) ing (dalam) asepi (kesunyian), supayantuk (agar
mendapat) pangaksamaning (ampunan) Hyang (Yang) Suksma (Maha
Suci). Sudah tua akan berbuat apa. Lebih baik hanya fokus dalam
kesepian, agar mendapat ampunan Yang Maha Suci.
Sudah tua apa lagi yang mau dicapai. Mestinya disediakan waktu untuk
beribadah. Tidak terus-menerus mengejar dunia. Cukuplah sekian porsinya
untuk kehidupan dunia yang penuh intrik dan gejolak ini. Sudah saatnya
memperbanyak muhasabah, menyendiri di tempat sepi (mahas ing asepi)
mencari pengampunan kepada Allah Yang Maha Suci. Sambil di sela-sela
waktu luang mengarang kitab untuk anak-anak muda di kemudian hari,
agar menjadi pelajaran bagi mereka.
Kira-kira begitulah sikap batin Ki Ranggawarsita yang setelah merenung
mampu mencapai ketenangan hidup. Tidak lagi galau oleh godaan
keinginan menjadi pemuka yang sebelumnya sangat beliau inginkan.
Jika kita belajar sejarah seputar kerajaan Mataram, Surakarta dan
Yogyakarta, mengabdi kepada raja memanhg menjadi cita-cita besar
setiap orang. Apalagi bagi seorang abdi dalem yang sudah sejak muda
membaktikan hidupnya untuk raja. Keridhaan raja yang dalam hal ini
115
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
116
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
117
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Satiba (di mana pun) malanganeya (tempatnya), tan (tidak) susah (sulit)
ngupaya (mencari) kasil (penghasilan). Di manapun tempatnya, tidak sulit
mencari penghasilan.
Kapan pun, di manapun, kalau orang Jawa menyebutnya satiba-tibane
kepenak, artinya dia jatuh di manapun akan hidup enak. Mencari makan
pun tak sulit, mencari penghasilan pun mudah. Ini adalah gambaran orang
yang sudah mempunyai kepasrahan yang kuat kepada Sang Pencipta.
Saking (dari mana pun) mangunah (pertolongan) prapti (datang),
Pangeran (Tuhan) paring (memberi) pitulung (pertolongan), marga
(lewat) samaning (sesama) titah (manusia, makhluk). Dari manapun
pertolongan datang, Tuhan memberi pertolongan, lewat sesama makhluk.
Mangunah adalah pertolongan yang diberikan kepada seseorang agar
orang tersebut mampu menjalani tugas yang dibebankan. Orang yang
sudah pasrah dan diridhai Allah akan mendapat mangunah ini, entah dari
mana datangnya pertolongan itu. Bisa juga datang dari sesama makhluk
Tuhan (titah). Bisa dari tetangga, kenalan, atau malah orang yang tak
dikenal sama sekali.
Rupa (berupa) sabarang (sembarang) pakolih (pendapatan, rejeki),
parandene (namun demikian) maksih (masih) taberi (rajin) ikhtiyar
(berusaha lebih baik). Berupa sembarang pendapatan, namun demikian
masih rajin berusaha agar lebih baik.
Pertolongan itu berupa sembarang hasil, rejeki, pendapatan atau apapun.
Mereka tidak merasa sulit dalam mendapatkan itu semua. Walau demikian
mereka tetap rajin berusaha untuk mencari penghasilan yang lebih baik.
118
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Sekedarnya dilakukan,
hanya berbuat yang menyenangkan hati,
asal tidak menjadi masalah.
Karena ada riwayat mengatakan,
ikhtiyar itu harus dilakukan,
untuk memilih hal yang lebih baik.
Sambil berusaha,
dengan tetap waspada dan ingat.
Disertai doa semoga mendapat anugrah dari Allah.
119
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Ya Allah, Ya Rasulullah,
yang bersifat Maha Penyayang dan Maha Pengasih,
mohon berikanlah
pertolongan yang menggembirakan.
Di alam dunia dan akhirat,
tempat kehidupanku.
Padahal sudah beerusia lanjut,
pada akhirnya bagaimana nasibku nanti.
Semoga datang pertolonganmu, Ya Allah!
.
121
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Ing (di) alam (alam) awal (awal, dunia) akhir (akhir, akhirat),
dumununging (tempat) gesang (hidup) ulun (aku). Di alam dunia dan
akhirat, tempat kehidupanku.
Di alam dunia dan akhirat, tempat aku menghabiskan hidup, tempat aku
menghabiskan sisa umurku. Sudah sedikit yang bisa kukerjakan di dunia,
karena jabatan pun tak ada. usia sudah semakin tua. Sanak saudara pun
semakin jauh. Hanya tersisa sedikit saja dari kamaremaning donya ini
sekarang. Akhiratlah tempat sejati untuk hidup sebenarnya.
Mangkya (padahal) sampuna (sudah) wredha (lanjut usia), ing (pada)
wekasan (akhirnya) kadipundi (bagaimana nasibku). Padahal sudah
beerusia lanjut, pada akhirnya bagaimana nasibku nanti.
Sudah lanjut usia tetapi merasa amal belum seberapa, merasa belum
mengenal Allah dengan dekat, merasa masih banyak melakukan kesalahan
dan dosa. Bagaimana akhir dari hidupku nanti? Apakah dapat beroleh
husnul khatimah? Hati ini sungguh sangat berharap padamu, Ya Allah!
Mula mugi (semoga) wontena (ada) pitulung (pertolonganmu) Tuwan (ya
Allah). Semoga datang pertolonganmu, Ya Allah!
Semoga datang pertolongan darimu Ya Allah.
.
122
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
123
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Gatra terakhir ini juga memuat sandi asma, yakni nama yang
disembunyikan. Perhatikan suku kata yang berhuruf besar jika
dikumpulkan akan membentuk nama: RONGGAWARSITA.
Sekian kajian serat Kalatidha. Semoga memberi manfaat kepada para
pembaca yang berkenan mampir ke blog ini. Saya doakan Anda semua
panjang umur, murah rejeki dan berhati tenang di akhir kehidupan,
sebagaimana yang telah dicapai oleh sang pujangga Ki Ranggawarsita
rahimahullah.
125
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
126
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Bagian Keempat
127
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Kata pengantar
128
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Pembukaan
129
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
sama juga terdapat pada kolom kedua dari puisi di atas, hanya saja
berkebalikan dengan kolom pertama. Awal baris membentuk kata “basa
kedaton” dan akhir baris membentuk kata “Ronggawarsita”.
Sekarang kita kaji makna dari puisi tersebut. Di sini ada kata rongeh yang
artinya gelisah, tidak tenteram. Tiba-tiba saja rasa itu datang mendadak,
seolah seperti pertanda yang kuat akan datangnya sesuatu yang tidak
diharapkan. Bagi orang yang awas dalam penglihatan atau disebut
waskitha, setiap akan terjadi kejadian besar pasti mendapat tanda-tanda
atau sasmita sehingga perasaan mendadak gelisah.
Kegelisahan itu menguatkan keyakikan bahwa akan datang sesuatu yang
tidak diharapkan, yakni kesewenangan yang makin merajalela. Tidak
dapat dilawan lagi sehingga membuat banyak orang menderita. Itu dapat
dilihat dari fenomena tatage tan katon, yakni ketangguhan dalam menahan
derita itu tak lagi terlihat. Artinya penderitaan itu sudah di ambang batas
kemampuan mereka.
BArang-barang (semua yang) ngRONG (bersembunyi), SAguh
(sanggup) tanpa (tanpa) raGA (raga), KAtali (terbelenggu) kawaWAR
(hancur berkeping), DAdal (bedah) amekaSI (tak bersisa), TONda
(pertanda) murang taTA (melanggar aturan, angkara). Semua yang
bersembunyi, sanggup tanpa raga (mati), terbelengu hancur berkeping,
bedah tak bersisa, sebagai tanda melawan angkara.
Oleh karena derita mereka anggap tak tertahankan mereka yang semula
bersembunyi atau tidak tampil tiba-tiba bangkit dan sanggup mati. Saguh
tanpa raga artinya sanggup mengorbankan raganya. Mereka juga sanggup
katali (terbelenggu) katawar (hancur berkeping). Juga sanggup dadal
amekasi (bedah sampai akhir atau sampai tak bersisa). Semua itu
dilakukan untuk melawan si angkara yang datang mendadak. Oleh karena
semua sudah muak dan tak tahan lagi dengan keadaan yang mereka alami.
Sampai di sini, dari penjabaran dua bait puisi di atas yang kita kaji per
kata, kita mendapat gambaran bahwa tiba-tiba ada kegelisahan yang
datang. Kesewenangan memuncak sehingga ketabahan atau batas toleransi
untuk menerima kesewenangan itu sudah sampai batas akhir. Akhirnya
timbullah perasaan gelisah yang kolektif sehingga membangkitkan
keberanian untuk melawan kesewenangan itu. Walau sampai raga mereka
hancur tak bersisa, mereka tak peduli.
131
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Pupuh
GAMBUH
132
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
133
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
134
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
135
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Walau kelihatan menonjol, jurang yang tadinya gerowong tadi tidak stabil.
Kalau tanpa penahan tanah gundukan tanah yang menonjol tadi akan
segera runtuh pula. Itulah kehendak Tuhan yang sudah dipastikan akan
terjadi.
Yen (kalau) ngidak (menginjak) sangkalanipun (sengkalanya), sirna
(hilang) tata (aturan) estining (tujuan) wong (orang). Kalau menginjak
masa itu sengkalanya, hilang aturan tujuan orang.
Kalau telah menginjak masa itu, penanda waktunya atau sengkala
tahunnya adalah sirna tata esthining wong. Arti harfiahnya adalah hilang
aturan dan tujuan orang. Makna dari kalimat ini menunjukkan angka tahun
sebagai berikut. Sirna = 0; Tata = 5; Esthi = 8; Wong = 1, sehingga bisa
dimaknai tahun 1850 AJ. Dalam kalender Masehi bertepatan dengan tahun
1919-1920 M.
Apa yang terjadi di tahun tersebut? Seperti kita ketahui bahwa di tahun itu
kekuasaan Belanda mencapai puncaknya. Seluruh wilayah yang sekarang
disebut Indonesia telah dikuasai. Kekuasaan raja-raja nusantara tinggal
simbolik saja. Keadaan para raja lokal seolah sudah kalah perang dan
terusir. Tangan mereka telah terbelenggu, artinya tak lagi memegang
kendali atas negeri mereka. Ini mirip dengan gunung yang mendhak atau
menurun.
Sedangkan kekuasaan Belanda semakin besar. Belanda yang tadinya hanya
berdagang, mendompleng kuasa dengan mempengaruhi kebijakan
penguasa lokal, kemudian justru memegang kendali segala urusan negara.
Inilah yang digambarkan sebagai jurang mrenjul, jurang yang menonjol.
Walau demikian, jurang yang menonjol tersebut tanpa penahan tanah akan
segera runtuh. Artinya kekuasaan Belanda tidak kuat mengakar dalam
masyarakat. Ketika rakyat merasa bahwa Belanda harus hengkang dari
tanah air munculah perlawanan yang hebat di seluruh negeri. Kekuasaan
Belanda segera runtuh segera setelah seluruh kendali kekuasaan berada di
tangan mereka. Ini kiasan dari jurang mrenjul yang tanpa tawing enggal
jugrug.
Kalimat sirna tata esthining wong, hilang tatanan dan tujuan orang
bermakna bahwa pada masa itu, yakni setelah Belandan berkuasa penuh,
orang kehilangan aturan dan tujuan hidup. Tatanan kehidupan menjadi
136
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
137
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Pupuh
SINOM
138
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
139
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
140
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
barisan pun bubar tak karuan. Yang menghendaki kemuliaan justru jatuh
ke dalam kenistaan. Pendek kata hukum alam seolah anomali, tidak
berlaku lurus sebagaimana biasa.
Bebendu (kutukan) gung (besar) nekani (mendatangi), kongas (tercium,
terkenal) ing (dalam) kanistanipun (kenistaannya), wong (orang) agung
(besar) nis (hilang) gungira (kebesarannya), sudireng (berani pada)
wirang (malu) jrih (takut) lalis (mati), ingkang (yang) cilik (kecil) tan
(tak) tolih (menolih) ring (pada) cilikira (keadaannya). Kutukan besar
mendatangi, tercium kenistaannya, orang besar hilang kebesarannya,
orang berani pada malu takut pada mati, orang kecil tak menoleh pada
keadaannya.
Kutukan besar seolah melanda seluruh negeri. Sudah tercium
kenistaannya. Orang besar hilang kebesarannya, lupa dengan kemuliaan
yang disandangnya. Orang menjadi berani menanggung malu, tapi takut
menghadapi mati. Rakyat kecil menjadi tak tahu diri, lupa dengan
kedudukannya.
Wong alim (orang alim) alim pulasan (hanya alim penampilan), njaba (di
luar) putih (putih) njero (di dalam) kuning (kuning). Orang alim hanya
alim dalam penampilan, di luar putih di dalam kuning.
Orang alim pun hilang. Adanya orang alim pulasan. Hanya alim di
penampilan. Kelihatan berbaju putih namun menyembunyikan kotoran di
baliknya. Kata alim di sini dari kata Arab ‘alim yang artinya berilmu.
Namun dalam bahasa Jawa artinya menjadi orang yang berilmu agama dan
sholih. Nah orang yang demikian itu pun menghilang, yang ada hanya
orang alim abal-abal. Hanya penampilannya mirip orang alim, tetapi
dalamnya culas.
Ngulama (ulama) mangsah (melakukan) maksiat (ma’siat), madat
(madat) madon (main perempuan) minum (mabuk minuman) main
(berjudi), kaji-kaji (para haji) ambanting (membanting), dulban (surban)
kethu (tutup kepala) putih (putih) mamprung (dibuang, dilempar jauh).
Ulama melakukan ma;siat, madat main perempuan mabuk minuman
berjudi, para haji membanting, surban tutup kepala putih dilempar jauh.
Para ulama melakukan ma’siat, madat, main perempuan, cabul, mabuk,
judi dan aneka perilaku bejat. Mereka seolah sudah menanggalkan
141
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
142
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
143
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Pupuh
MEGATRUH
144
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
145
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
147
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
TAMMAT.
148
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
BAGIAN KELIMA
PEMBAHASAN
149
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
150
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Tak berapa lama dari arah tempat mandi terdengar jeritan para
wanita. Si anak ditemukan telah tekapar pingsan. Setelah ditolong dan
dibawa masuk si anak tetep tak siuman. Sore harinya si anak meninggal
dunia. Ramalan yang pertama tepat seperti perkataan sang pujangga.
Hanya RM Gandakusuma yang tahu tentang hal itu.
152
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
153
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
RAMALAN KEMERDEKAAN
Dari empat serat yang telah kita kaji di muka, tiga diantaranya dengan
jelas memuat ramalah tentang kemerdekaan. Hanya satu serat yang tidak
memuat ramalan itu dengan jelas, yakni Serat Kalatidha. Namun kami
tetap menyatukan Serat Kalatidha dalam kajian ini karen kesamaan isinya
dan melengkapi serat lainnya dalam hal keterangan tentang Zaman
Kalabendu.
Pokok bahasan dari keempat serat ini senada, yakni tentang kacaunya
negeri yang seolah tekena kutukan. Dalam keempat serat ini disebut bahwa
upaya-upaya manusia selalu mandul untuk mengatasi masalah yang
muncul. Bahkan kekacauan semakin menjadi-jadi yang diungkapkan
dengan frasa sudranira andadi dan sumuke angradon.
Mengenai keadaan Zaman Kalabendu ini kami tidak akan membahas
panjang lebar. Kami telah menerbitkan buku tersendiri yang berjudul,
Kajian Filosofis Zaman Kalabendu dalam Karya-Karya Ranggawarsita.
Silakan membaca buku tersebut bagi yang berminat. Kami akan fokuskan
pada pembahasan tentang ramalan kemerdekaan yang termuat dalam
ketiga serat yang telah kita kaji di muka.
Yang dimaksud masa itu adalah tentang wewe putih akan menerjang
wedhon, yang menurut S. Margana dalam buku Pujangga Jawa dan
Bayang-Bayang Kolonial, berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia.
Bahwa masa itu sudah menunjukkan tanda-tanda dan sudah masuk ke
dalam sanubari sang Pujangga.
Jika kita perhatikan memang sesuai teori siklus Ibnu Khaldun bahwa
peristiwa sejarah akan berulang dengan pola yang sudah baku. Dalam
kaitannya dengan zaman Kala Bendu yang oleh Ki Ranggawarsita disebut
sudah mencapai puncak, sidining Kala Bendu, maka dipastikan bahwa
masa itu akan segera berakhir. Sistem akan mengalami pembusukan dan
menjadi tidak efektif lagi. Jika sudah demikian akan muncul kekuatan baru
yang akan angrabaseng wedhon, merombak tatanan lama.
Demikianlah sunatullah yang berlaku, jika sebuah sistem pemerintahan
sudah rusak dan tak mampu memberi perlindungan dan ketenteraman bagi
warganya maka akan datang orang-orang yang mengganti sistem itu. Hal
ini adalah hukum yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, yang
telah mengatur dunia dengan ketentuan-ketentuan. Dan ketentuanNya
mendesak (mendeterminasi) untuk berlaku, mengalahkan segala upaya dan
kehendak manusia.
155
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
156
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
157
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
158
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
Dalam bait ke-8 di atas tramalan tentang datangnya Zaman Baru diulang
dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan yang tertera pada Serat
Sabdajati. Kalimat yang digunakan adalah wiku sapta ngesthi ratu artinya
pendeta tujuh memikirkan raja. Memikirkan di sini artinya ikut
memprihatinkan keadaan raja, senantiasa membantu dengan menasihati
agar sang raja tetap di jalan kebenaran. Kalimat itu selain mengandung arti
tersebut juga merupakan candra sengkala yang menunjukkan angka tahun
berikut: Wiku = 7; Sapta 7; Esti = 8; ratu = 1, maknanya tahun 1877 AJ.
Dalam kalender Masehi bertepatan dengan tahun 1945. Inilah hari
kemerdekaan Republik Indonesia. Angka tahun yang ditunjukkan sama
persis dengan yang disebut dalam serat Sabdajati. Ini menunjukkan bahwa
Ki Ranggawarsita telah mempunyai keyakinan yang kuat akan datangnya
masa itu. Bahkan ketepatan tahunnya menunjukkan bahwa bagi
Ranggawarsita peristiwa itu jelas sekali.
Dalam serat Jaka Lodhang selain disebutkan waktunya juga disebutkan
ciri-ciri Zaman Baru yang akan datang. Yakni berupa kemudahan dalam
mencari penghidupan, murah sandang pangan dan berbagai keperluan.
Setiap orang yang berusaha mendapat jaminan usahanya akan berhasil
sehingga orang tidak ingin lagi berbuat jahat. Buat apa berbuat jahat kalau
saluran untuk kebaikan terbukan dengan luas.
Bila kita cermati kadaan kehidupan sekarang dibanding kehidupan di
zaman serat ini ditulis rasa-rasanya tak salah jika dikatakan bahwa ramalan
ini cocok seratus persen. Kondisi kehidupan masyarakat sekarang sudah
mendekati gambaran dari bait akhir serat Jaka Lodhang ini. Sepantasnya
kita syukuri pencapaian ini, agar kemakmuran yang kita peroleh dapat
langgeng kita nikmati.
159
Kajian Sastra Klasik Sang Peramal
160