Anda di halaman 1dari 6

NAMA : LISTIA WULANDARI

KELAS : XI - IPS

MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA BAB IV (CERPEN) TUGAS HALAMAN 134

PASAH KERAMAT
"Danum! Huh.... Dan--nuum," panggilnya lirih dan terputus-putus.

"Apa Dis?"

"Minggu depan kita m-mau nyari-ih kontrakan, kan?" Disma bertanya dengan nafas yang tidak teratur, seakan baru
saja lepas dari kejaran anjing.

"Iya. Mau yang dekat sanggar?"

"Terserah deh, huh..." lirihnya.

Disma, teman satu profesinya. Memiliki perawakan kurus dan pendek. Berwatak polos, agak pendiam, peduli dan
penurut. Tak dapat dipungkiri, dibalik wataknya yang sering disangka introvert, Disma adalah seorang wanita yang
membenci makhluk tak kasat mata lamun pemberani. Danum heran dengan kondisi wajah Disma yang pucat pasi
selepas menilik baik-baik sisi wajahnya. Terlihat rona wajah seolah sedang ketakutan akan sesuatu. Danum dengan
rasa penasaran yang kuat memberanikan diri bertanya dengan bahasa khas Dayak Ngajunya. "Dis, buhen ikau?"

"Tadi aku habis lihat penampakan di rumah kosong yang kemarin," jawabnya masih dengan tampang cemas.

"Udah, jangan diingat lagi. Nanti enggak bisa tidur, terus langsung nelpon si doi hehe...," ujarnya berharap Disma
tersenyum namun nihil.

"Iya. Aku pulang duluan ya? Sore ini aku enggak bisa ikut ngumpul dulu. Maaf ya, Num."

"Iya. Aku ngerti kok. Hati-hati Dis!"

"Assalamu'alaikum, Num!"

"Wa'alaikumussalam."

Satu minggu kemudian, tepat di hari Minggu di mana Danum dan Disma harus mencari kontrakan untuk menjadi
tempat tinggal sementara sebelum waktu seleksi tiba. Mereka memilih kontrakan yang harganya tak terlalu
menguras isi dompet dan berdekatan dengan sanggar tari. Akhirnya mereka tiba di kontrakan khusus Putri milik
Bapak tua bernama Arya Parsono Manuwu yang saat itu sedang menyapu halaman kontrakan tersebut.

"Assalamu'alaikum, Pak!" salam Danum pada Pak Arya.

"Selamat siang. Ada apa, Nak?"

Sedikit keheranan, mengapa bapak itu tak menjawab salamnya, ia bertanya lagi. "Kontrakannya masih ada yang
kosong, Pak?"

"Tidak ada. Semua sudah terisi penuh," ujar Bapak itu seolah menunjukkan antipatinya pada Danum.

1
Kemudian Disma angkat bicara, "Masa sih, Pak? Kok, kamar yang diujung sana nampak enggak terurus?"

Semakin membuat mereka ragu. Pak Arya tak dapat berkutik. Sembari menoleh ke arah ujung kamar yang coreng-
moreng dan kumuh tak terurus. Seolah ada yang disembunyikan dari Pak Arya. Sampai prasangka buruk
berkecimpung dipikiran Danum.

"Pyaaarrrr!" Sontak mereka bertiga terperanjat mendengar bunyi yang entah berasal dari mana memecah keheningan
layaknya puluhan piring keramik yang terjatuh dari atas meja seukuran meja pingpong.

Nampak Pak Arya semakin gelisah. Disma yang sedari tadi selalu terpaku ke arah kamar nomor sepuluh itu. Danum
pun memutuskan untuk pulang.

"Dis, kita pulang!" ajaknya pada Disma.

Sadar dari lamunannya, Disma langsung berucap, "Kok muleh sih?"

"Udah sore. Pulang aja!"

"Kan belum dapat kontrakannya. Masa muleh?"

"Kita harus pulang. Mereka enggak suka kita disini," ujar Danum bagaikan paham betul dengan suasana saat itu.
Pak Arya berlalu meninggalkan mereka ke arah halaman belakang. Danum dan Disma pulang membawa rasa
penasaran.

Pagi hari, sang mentari mulai memancar untuk membuka lembaran baru. Sinarnya yang hangat merasuk dalam jiwa.
Membangunkan tubuh itu dari tidur lelapnya. Udara pagi yang sejuk juga tak lupa menyapanya, membuat awal hari
semakin sempurna. Danum bersiap untuk menjemput teman seprofesinya itu. Dengan menunggangi kendaraan dua
roda miliknya. Setelah 35 menit melewati rute jalan yang menurutnya rumit, sampailah ia dirumah Disma.

"Assalamu'alaikum, Dis!"

"Wa'alaikumussalam!" jawab Disma sembari membuka pintu dengan sigap.

"Kita cari kontrakan di daerah kampung Dayak aja. Kamu enggak papa, kan?"

"Emangnya di kampung ada kontrakan?"

"Bukan kontrakan, kita tinggal di rumah kosong sebelah pasah keramat," terang Danum.

"Pasah keramat?" tanya Disma sambil mengerutkan kening.

"Nanti kamu tau. Hari ini kita ke sana. Jangan ngomong yang aneh-aneh ya!" perintahnya.

Disma mengangguk mengerti. Tanpa persiapan apapun, hanya ransel milik Danum yang dibopongnya, menjadi
bekal untuk perjalanan mereka yang tak begitu jauh jaraknya. Dengan memanfaatkan sepeda motor milik Danum,
mereka pun pergi.

Tibalah di perkampungan Dayak Ngaju, di mana semua warganya sangat bersahabat dengan alam, waspada, tak
mampu berpura-pura, apa adanya dan tak mudah menerima hal baru lebih-lebih orang asing. Satu hal yang tak
pernah tak ada di kehidupan suku etnik ini, ritual sesajen untuk roh halus dengan alasan tertentu. Mereka pun tiba di
halaman rumah tua. Hunian itu dibangun menggunakan kayu ulin yang mulai rapuh, pondasi depan rumah terdapat
bongkahan-bongkahan kecil nan berjalur layaknya bekas geramus rayap, rumput yang mulai tumbuh tinggi merayap
ke kaki-kaki rumah, dan bentuknya yang memanjang serupa Rumah Betang khas Kalimantan Tengah.

2
"Num, kok ke rumah jelek ini, sih? Kenapa harus ke sini? Kan, banyak kontrakan yang lebih bagus dari ini. Ana-ana
wae kamu!" protes Disma yang tak berkenan selepas mengamati rumah tua itu.

"Jangan ngomong kasar, Dis. Nanti ada warga yang denger. Lagipula rumah ini dikasih cuma-cuma, aku enggak
mau nolak rezeki."

"Emang siapa yang ngasih tau rumah ini ke kamu?"

"Derena, sepupu aku. Dia asli sini. Kita tinggal bertiga sama dia. Katanya, dia agak takut tinggal sendiri disini.
Sanggar tari juga deket, kok," jelas Danum pada Disma.

"Aku ngerasa enggak enak Num, kita cari yang lain aja yuk, Num! Ayo, Num! Cari yang lain aja plis..." rengek
Disma seraya memohon agar tak jadi tinggal di rumah ulin nan tua itu.

"Maaf, Dis. Kita harus tinggal di sini. Aku udah janji sama Dere," tolak Danum.

"Di sebelahnya itu pasah keramat yang kamu sebut tadi ya, Num?" Disma menanyakan hal itu seakan mengingat
dengan baik ucapan Danum saat ada di rumahnya tadi.

"Iya. Rumah sesajen khas Dayak Ngaju. Kamu jangan main-main kesana, kamu enggak ngerti!" Danum
mengingatkan.

"Ada pemiliknya? Sesajennya buat siapa?" tanya Disma dengan kemelitannya.

"Ada. Kamu enggak perlu tau itu buat siapa," ujar Danum seperti menutupi sesuatu dari temannya itu.

"Dis, ayo!" ajaknya seraya berjalan mendekati tangga rumah diikuti Disma yang membuntuti dari belakang.

Baru setengah menaiki tangga, ada seseorang yang menyeru nama Danum. Serentak mereka berpaling ke arah
belakang dan mendapati sosok Derena.

"Salamat dumah en salamat hanjewu!" salam Dere pada mereka.

"Maksudnya opo num?" tanya Disma tak mengerti.

Mengacuhkan pertanyaan Disma, Danum pun menjawab salam Dere. "Yohh, salamat hanjewu, Der!" Merasa
diacuhkan, Disma lantas merengut. Dere pun menghampiri mereka berdua, lalu bertanya pada Danum sambil
mengamati paras cantik juga kulit hitam manis Disma. "Num, ini yang namanya Disma?"

"Iyoh, Der. Narai kabar?"

"Bahalap, ih"

"Palus wei..." ajak Dere pada mereka berdua mempersilakan masuk.

Tatkala memasuki rumah tua itu, Danum seolah-olah terhembus oleh udara beringsang. Tiba-tiba saja bulu
kuduknya berdiri. Tak biasanya dialami oleh Danum. Lebih-lebih ketika dia baru saja menemukan buku dilapisi
debu yang berjudul 'Pasah Keramat itu Percuma'. Tergeletak begitu saja di lantai. Dibukanya per halaman dan
menjumpai judul sub-bab 'Jangan beri mereka sesajen'. Tertarik dengan buku tersebut, ia pun menyimpannya di tas
ransel yang dibopongnya sedari tadi. Mungkin akan dibaca pada saat malam hari.

Disma dan Derena menghilang seketika dari penglihatannya. Dicarinya mereka ke halaman belakang, tak lupa
menelusuri sisi dan sudut rumah tapi tetap tak bersua. Dan berlalu keluar sampai terhenti di perbatasan pagar kayu

3
berukuran panjang 165 cm guna membatasi pasah keramat dan rumah tua tersebut. Setelah diamati, ternyata Disma
dan Derena berada didalam wilayah pasah keramat itu. Sontak Danum yang tak ingin Disma mengarungi hal buruk,
ia pun berlari memasuki tempat itu dan langsung merengkuh lengan Disma sembari membawanya ke halaman
rumah.

"Disma! Kamu harus nurut. Jangan bandel! Kalau gini terus, kamu pulang aja!" bentak Danum seakan benar-benar
tak ingin Disma ke tempat itu lagi.

"Apa salahnya sih, aku kesana? Ada Derena juga, kan?" tanya Disma dengan raum wajah kesal.

"Sekalipun ada Dere, kamu jangan pernah kesana!" larang Danum.

Derena datang menghampiri, lantas berucap, "Emang dia asli mana, sih? Sampe segitunya kamu larang dia." Belum
sempat Danum menjawab, Disma nyeletuk begitu saja. "Asli Jawa. Emang kenapa? Orang Jawa enggak boleh liat
tempat begituan, ya? Alasannya apa?"

"Kamu enggak perlu tau alasannya, Dis. Aku salah bawa kamu kesini. Maaf ya, Dis!" Danum benar-benar merasa
bersalah.

"Udah, jangan drama. Aku enggak akan bawa dia ke tempat itu lagi, Num," imbuh Dere mengerti maksud
sepupunya.

Mereka bertiga memasuki rumah tua itu untuk kedua kalinya hari ini. Tak terasa, matahari mulai menghilang
dibawah garis cakrawala di sebelah barat menandakan temaram gelap akan datang. Bermalam sementara di sana,
Danum di kamarnya teringat dengan buku temuannya tadi. Diambilnya buku itu dan di sapunya dengan telapak
tangan berharap debu yang bersemayam di sampul buku tebal yang agak menutupi tulisan tersebut tersingkir.
Dibukanya halaman pertama buku tersebut, terlihat daftar isi yang terlebih dahulu tampil disana. Tak ada kata
pengantar, apalagi penerbit. Padahal buku tersebut layaknya buku novel yang berisi 100 halaman. Danum benar-
benar teliti dan konsentrasi meskipun dia tak berniat membaca isi buku tersebut malam itu. Hanya sedikit mengarifi
bagian daftar isi. Entah karena tak mau tahu lebih dalam atau terlalu lelah. Pilihan terbaiknya adalah tidur.

Jam menunjukkan pukul 24.00, lantunan musik instrumen sape khas Dayak terdengar hingga masuk melintasi
remang-remang di daun pintu bilik Danum. Membangunkan tubuh yang lelah dari tidur lelapnya. Ia pun mencoba
bangkit meski masih diselimuti kantuk dan mulai mencermati lantunan indah nan menenangkan. Gelap lengkap
dengan sunyi, kian terdengar jelas lantunan musik itu. Tak ingin berprasangka buruk, Danum mengira bahwa itu
lantunan musik dari bilik kamar Dere. Hanya dia dan Dere yang mengenali musik indah itu. Rupanya, semakin
dihayati, semakin mengundang kantuk. Tanpa pikir panjang, ia pun kembali membaringkan tubuhnya ke kasur yang
sedikit lusuh.

"Pagi, Num! Kamu kemarin ngapain duduk di sini?" tanya Disma sembari duduk mendekati Danum yang tengah
termenung di teras rumah.

"Kapan?"

"Kemarin malam."

"Jam berapa?"

"Lupa, sekitar jam delapan."

"Kemarin aku ambil minum ke dapur, eh enggak sengaja lihat pintu depan kebuka terus aku lihat ada kamu di teras
lagi duduk ngadep halaman," sambung Disma.

4
"Mungkin Dere, aku di kamar dari jam tujuh," jawabnya.

"Dere? Tapi pakaiannya kayak punya kamu tuh!"

"Aku di kamar dari jam tujuh," ulang Danum meyakinkan Disma bahwa ia tak pernah kemana-mana setelah jam
enam.

"Pinter banget ngapusi," ledek Disma tak percaya pada ucapan Danum.

"Ikau tuh nanjaru!"

Tak mengerti bahasa yang diungkapkan Danum, ia pun tak berkutik.

"Hari Sabtu udah acara seleksi, kita beneran pindah ke sini?" Disma bertanya seakan tak peduli dengan apa yang
dipikirkan temannya itu. Membiarkan Disma menunggu jawaban, Danum beranjak pergi menuju kamarnya. Disma
merasa aneh dengan sikap Danum yang tidak seperti biasanya.

Selepas memasuki kamarnya, Danum melangkah menuju jendela kayu yang tak terlalu lebar. Menatap pasah
keramat yang ternyata posisinya berdampingan dengan jendela kamar tidurnya. Bahkan terasa lebih dekat.

Dere, dia teringat sepupunya. Sedari tadi berseliweran di dalam rumah itu, tak sedikit pun ia melihat batang hidung
Dere. Disma juga tak lagi terlihat. "Jangan-jangan ke rumah sesajen itu lagi mereka," gumamnya. Bergegas menuju
tempat perbatasan, ia tak melihat siapa pun berada di sana. Dia benar-benar bingung. Kemudian mencoba
menghubungi Dere, tapi tak ada jawaban. Beralih menelepon Disma, namun sama, tak ada jawaban. Tak sengaja, ia
melihat kaki manusia seperti melayang di udara yang sedikit terlihat dari dalam rumah-rumahan panggung tempat
sesajen diletakkan. Seperti yang diketahuinya, sesaji yang disajikan untuk 'mereka' tidak lain hanyalah darah dari
hewan yang telah dikorbankan dan 41 macam bahan lainnya juga minuman seperti air kelapa muda, lauk-pauk,
buah-buahan, gulungan uang serta rokok yang ditancapkan. Tak ada mayat manusia.

Ia pun memberanikan diri untuk menghampiri rumah sesajen berbahan kayu yang dibalut kain kuning tersebut.
Berjalan perlahan mendekatinya, setelah dilihat ternyata sekujur tubuh Disma yang digantung layaknya seseorang
yang bunuh diri. Danum tercengang melihat nasib temannya. Sungguh tak pernah terbayang olehnya. Menangis,
hanya itu yang dapat dilakukannya sambil memegangi kaki Disma. Penglihatannya kabur, tubuhnya terasa lemas,
dan pandangan sekitarnya seperti sedang berputar, Danum pun terjatuh dan pingsan.

Keesokan harinya, ia terbangun dan menyadari dirinya terbaring di lantai rumah sesajen itu. Dia hanya bermimpi.
Dan memandang sekitarnya, tidak ada seorang pun di sana kecuali bangunan yang sama, pasah keramat.

---the end---

5
6

Anda mungkin juga menyukai