Adnan yang dari tadi duduk di pinggir lapangan, akhirnya memutuskan pindah tempat
duduk. Saat hendak bangun, tiba-tiba ada yang memanggilnya, “Adnan! Mau ke mana?”
“Jawab dong pertanyaanku.” Perempuan dengan rambut sebahu, tinggi sekitar 155
sentimeter, bermata cokelat, kulit sawo matang, serta mengenakan kaos putih serta rok hitam,
wajahnya terlihat masam setelah pertanyaannya tidak dijawab Adnan.
“Aku hanya ingin pindah tempat duduk. Eum, entahlah, mau cari tempat lain aja, deh.
Mau ikut?”
Wajah perempuan tersebut terlihat sumringah. “Nah, gitu dong. Mau!” Ia juga
merogoh sesuatu di saku roknya. “Aku mau mengisi daya baterai dulu kalau begitu, ya,
tunggu sebentar!”
“Eh, tunggu sebentar! Sekalian, dong. Tolong ambilkan sandalku di rak sana.” Adnan
menunjuk ke arah belakang.
“Oke, Pak Bos!” Perempuan itu tertawa sambil berjalan masuk ke dalam.
Perempuan itu kembali setelah beberapa menit yang lalu masuk ke dalam ruangan. Ia
juga membawa jaket dan dua botol minum.
“Nih, buat kamu. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu tidak akan menyesal
setelah tiba di sana.” Ia juga memberikan sandal milik Adnan.
Ketika hendak beranjak pergi, tiba-tiba ada yang memanggil mereka, “Adnan, Yuna!”
“Tidak, Bu. Ibu tenang saja! Coba, lihat. Mendungnya sudah mulai hilang. Baru saja
aku tiup awannya.” Yuna tertawa, menyambung topik dengan candaannya.
Mama yang sebelumnya terlihat cemas wajahnya, sekarang telah berubah menjadi
tenang. “Baiklah, kalian tetap hati-hati, ya! Kalau sewaktu-waktu mendung lagi, kalian
segera pulang, oke?”
“Iyaa, Ma. Aku akan pulang sebelum matahari terbenam. Aku jalan dulu, ya!” Mereka
berdua kembali melanjutkan langkah mereka.
Suasana sekitar padepokan cukup ramai. Karena, padepokan berada di Desa Berkasih,
Kadipaten Sunyoto, yang mana daerah tersebut merupakan kawasan yang ramai. Banyak
sekali penduduk dari kadipaten lain yang membeli hasil tanah di Kadipaten Sunyoto,
terutama pembeli dari Kadipaten Pancer, banyak sekali yang berasal dari sana.
“Mereka sedang melakukan transaksi, Yuna. Coba kamu perhatikan lebih jelas, orang-
orang dari luar Kadipaten Sunyoto membeli banyak sekali hasil tanah dari sini.”
“Loh, bukankah di sana mereka juga memiliki hasil tanah sendiri? Mengapa harus
jauh-jauh datang ke sini?”
“Memang betul mereka memiliki hasil tanah sendiri, Yuna. Tetapi, membeli di sini
akan lebih murah harganya jika dibandingkan di sana.” Adnan juga ikut memperhatikan
kegiatan orang-orang sejenak. “Jika saja kamu membeli tomat dengan harga yang tinggi di
kadipaten lain, maka kamu harus menjual dengan harga yang lebih tinggi lagi agar modal
kamu tertutupi. Masalahnya, harga pasar tidak mungkin setinggi itu. Minat pembeli akan
hilang, dan toko kamu tidak akan laku. Berbeda jika kamu membeli tomat di sini—dengan
harga murah—maka, ketika kamu menjual, kamu akan menjual dengan harga pasar.
Walaupun dengan harga pasar, modalmu akan tertutupi. Kesimpulannya, para penjual di pasar
tidak akan mengambil hasil tanah dengan harga yang tinggi, agar mereka tidak menjual
kembali dengan harga yang melebihi pasar.”
Adnan tersenyum. “Yaa, begitulah risiko menjadi pedagang, Yun. Terkadang untung,
terkadang rugi. Seperti hidup, terkadang di atas, terkadang di bawah, terkadang tidak sadar
kalau sandalnya beda sebelah.”
Yuna seketika melihat ke bawah, lantas berteriak, “Adnaaaaaaan! Mengapa kamu baru
mengatakannyaaa?”
***
“Mbah, para makhluk hitam di luar sana sudah sangat meresahkan. Mereka
mengganggu warga, bahkan hingga ada yang membunuh warga desa. Kita sudah harus
bertindak juga seperti SM (Satria Manunggal), yang berani menghadapi para makhluk hitam.
Sumberdaya manusia di padepokan ini sangat mumpuni untuk menghadapi makhluk hitam.
Terutama Adnan, aku melihat potensi pada anak itu sejak ia berlatih pedang umur 12 tahun.”
jelas Bimo, selaku tangan kanan Mbah Wono.
“Baik, Mbah. Aku akan mengumumkannya ke beberapa orang yang mampu untuk
melawan makhluk hitam dalam waktu dekat.”
“Akhirnya, kita tiba juga. Coba, Adnan, kamu singkap rerumputan di sana.” Yuna
menunjuk ke arah yang di maksud.
Adnan dengan perasaan yang penasaran segera menyingkap rerumputan itu secara
perlahan. Angin sepoi-sepoi langsung menerpa dirinya—memainkan anak rambutnya. Secara
tidak sadar, matanya berbinar, mulutnya terbuka, jantungnya terasa seperti berhenti. Di bawah
sana, terlihat banyak sekali kuda berlarian di padang rumput hijau, sebagian sedang makan
bersama yang lainnya. Terdapat juga sungai jernih yang mengalir, tidak besar, juga tidak
kecil. Ditambah cahaya matahari kekuningan yang memantul di permukaan sungai. Sangat
indah.
“Aku belum pernah melihat yang seperti ini.” Matanya tak berpaling dari
pemandangan di depannya.
“Bagaimana kamu menemukan tempat ini, Yuna? Bahkan aku tidak pernah ...” Adnan
menelan ludah. “… bahkan aku tidak pernah melihat yang seperti ini selama hidupku.”
“Aku tidak sengaja menemukannya saat aku sedang berkeliling untuk mendamaikan
hati. Saat itu, ekspresiku juga sama sepertimu sekarang.” Yuna juga maju ke depan, berdiri di
samping Adnan. “Di Negeri Manunggal, banyak sekali tempat-tempat yang tidak kita duga,
Adnan. Tempat indah, tempat berbahaya, tempat para perewa, dan lain-lain. Kuncinya hanya
satu untuk menemukan tempat seperti itu, yaitu berpetualang.”
RRRROAAAARRRR!
Wajah mereka berdua beradu tatap, saling bertanya, suara apa itu?
RRRROAAAARRRR!
Dari balik pohon, muncul serigala bersayap yang ternyata sudah mengintai mereka
sejak tadi. Adnan dan Yuna mematung, jalan satu-satunya terhalangi oleh makhluk hitam itu.
Ia semakin mendekat perlahan, tatapannya tak lepas dari dua targetnya. Terlihat giginya yang
tajam, bulunya yang lebat berwarna hitam, serta sayap di punggungnya. Seketika, makhluk
itu melompat, cakarnya yang tajam bersiap mengoyak tubuh targetnya.
“Lompat, Yuna!”
Tanpa disuruh dua kali, Yuna melompat ke kanan, sedangkan Adnan ke kiri.
BRAKK! Cakarnya hanya mengenai batang pohon, bekasnya cukup dalam. Sungguh,
serigala ini berniat membunuh.
“Ayo, sini!” Teriakan Adnan membuat serigala tersebut kesal. Ia juga ikut meraung,
seolah mengerti apa yang diucapkan Adnan.
“Yuna!” Tangan Adnan menunjuk ke arah jalan yang dimaksud. Yuna segera mengerti
maksudnya. Kabur.
Tap tap tap! Mereka akhirnya lari dari serigala tersebut dengan sekuat tenaga. Tetapi
mereka salah, mereka berpikir sudah aman, ternyata serigala tersebut masih tetap berusaha
mendapatkan mereka. Lihatlah, sekitar 20 meter di belakang, serigala tampak mengejar
dengan marah. Kemudian 15 meter, 10 meter, 5 meter.
“Tapi, Adnan—“
“Ada apa, hah? Apa kau takut?” Adnan tersenyum. “Bicaralah jika takut, makhluk
jahat!” Adnan agak sedikit membentaknya.
TRANG! Dua benda tajam beradu, cakar dan pisau Adnan. TANG! TING! TANG!
Mereka terus beradu, hingga salah satu pisau Adnan terjatuh. Pertahanannya terbuka, hingga
akhirnya cakar serigala pun mengenai lengan sebelah kirinya.
BUM! Serigala terpental sejauh 7 meter. “Lawanlah aku jika kau mampu, makhluk
hitam.”
***