Anda di halaman 1dari 6

Padepokan Macan Bumi, Desa Berkasih, Kadipaten Sunyoto

Sebuah pohon tua menjulang setinggi 10 meter di tengah-tengah komplek bangunan


padepokan. Langit terlihat agak mendung, bulan-bulan ini sedang masuk cuaca musim hujan.
Awan-awan tebal berwarna kelam menyelimuti langit yang tadi pagi terlihat cerah. Pohon-
pohon kecil juga bergoyang diterpa angin. Terdapat lapangan latihan juga di sana, dengan
beberapa orang sedang berlatih menggunakan senjata tajam, terutama pedang. Lingkungan di
padepokan ini terlihat asri, banyak warga yang kadang masuk ke padepokan untuk sekadar
berjalan-jalan, atau melihat orang-orang latihan bertarung.

Adnan yang dari tadi duduk di pinggir lapangan, akhirnya memutuskan pindah tempat
duduk. Saat hendak bangun, tiba-tiba ada yang memanggilnya, “Adnan! Mau ke mana?”

“Haduh, dasar, baru juga mau pindah tempat duduk. Kenapa?”

“Jawab dong pertanyaanku.” Perempuan dengan rambut sebahu, tinggi sekitar 155
sentimeter, bermata cokelat, kulit sawo matang, serta mengenakan kaos putih serta rok hitam,
wajahnya terlihat masam setelah pertanyaannya tidak dijawab Adnan.

“Aku hanya ingin pindah tempat duduk. Eum, entahlah, mau cari tempat lain aja, deh.
Mau ikut?”

Wajah perempuan tersebut terlihat sumringah. “Nah, gitu dong. Mau!” Ia juga
merogoh sesuatu di saku roknya. “Aku mau mengisi daya baterai dulu kalau begitu, ya,
tunggu sebentar!”

“Eh, tunggu sebentar! Sekalian, dong. Tolong ambilkan sandalku di rak sana.” Adnan
menunjuk ke arah belakang.

“Oke, Pak Bos!” Perempuan itu tertawa sambil berjalan masuk ke dalam.

“Dasar!” Adnan bergumam pelan.

Perempuan itu kembali setelah beberapa menit yang lalu masuk ke dalam ruangan. Ia
juga membawa jaket dan dua botol minum.

“Nih, buat kamu. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu tidak akan menyesal
setelah tiba di sana.” Ia juga memberikan sandal milik Adnan.

“Apakah tempatnya jauh?”


“Tidak. Hanya sekitar 200 meter dari padepokan ini, Adnan. Percaya denganku, kamu
akan menyukainya.” Perempuan tersebut tersenyum.

Adnan mengangguk. “Baiklah, aku akan ikut denganmu, Yuna.”

Ketika hendak beranjak pergi, tiba-tiba ada yang memanggil mereka, “Adnan, Yuna!”

Mereka berdua menoleh serempak.

“Langit sedang mendung, lho. Nanti kalian bisa kehujanan.”

“Tidak, Bu. Ibu tenang saja! Coba, lihat. Mendungnya sudah mulai hilang. Baru saja
aku tiup awannya.” Yuna tertawa, menyambung topik dengan candaannya.

Mama yang sebelumnya terlihat cemas wajahnya, sekarang telah berubah menjadi
tenang. “Baiklah, kalian tetap hati-hati, ya! Kalau sewaktu-waktu mendung lagi, kalian
segera pulang, oke?”

“Iyaa, Ma. Aku akan pulang sebelum matahari terbenam. Aku jalan dulu, ya!” Mereka
berdua kembali melanjutkan langkah mereka.

Suasana sekitar padepokan cukup ramai. Karena, padepokan berada di Desa Berkasih,
Kadipaten Sunyoto, yang mana daerah tersebut merupakan kawasan yang ramai. Banyak
sekali penduduk dari kadipaten lain yang membeli hasil tanah di Kadipaten Sunyoto,
terutama pembeli dari Kadipaten Pancer, banyak sekali yang berasal dari sana.

Yuna yang daritadi memperhatikan suasana, memutuskan untuk bertanya, “Adnan,


kok di sini ramai banget, ya? Aku melihat banyak sekali kendaraan dari luar Kadipaten.”

“Mereka sedang melakukan transaksi, Yuna. Coba kamu perhatikan lebih jelas, orang-
orang dari luar Kadipaten Sunyoto membeli banyak sekali hasil tanah dari sini.”

“Loh, bukankah di sana mereka juga memiliki hasil tanah sendiri? Mengapa harus
jauh-jauh datang ke sini?”

“Memang betul mereka memiliki hasil tanah sendiri, Yuna. Tetapi, membeli di sini
akan lebih murah harganya jika dibandingkan di sana.” Adnan juga ikut memperhatikan
kegiatan orang-orang sejenak. “Jika saja kamu membeli tomat dengan harga yang tinggi di
kadipaten lain, maka kamu harus menjual dengan harga yang lebih tinggi lagi agar modal
kamu tertutupi. Masalahnya, harga pasar tidak mungkin setinggi itu. Minat pembeli akan
hilang, dan toko kamu tidak akan laku. Berbeda jika kamu membeli tomat di sini—dengan
harga murah—maka, ketika kamu menjual, kamu akan menjual dengan harga pasar.
Walaupun dengan harga pasar, modalmu akan tertutupi. Kesimpulannya, para penjual di pasar
tidak akan mengambil hasil tanah dengan harga yang tinggi, agar mereka tidak menjual
kembali dengan harga yang melebihi pasar.”

Yuna mengangguk-angguk. “Rumit juga ternyata kalau menjadi pedagang.”

Adnan tersenyum. “Yaa, begitulah risiko menjadi pedagang, Yun. Terkadang untung,
terkadang rugi. Seperti hidup, terkadang di atas, terkadang di bawah, terkadang tidak sadar
kalau sandalnya beda sebelah.”

Yuna seketika melihat ke bawah, lantas berteriak, “Adnaaaaaaan! Mengapa kamu baru
mengatakannyaaa?”

***

Padepokan Macan Bumi, padepokan tempat tinggalnya Adnan.

“Mbah, para makhluk hitam di luar sana sudah sangat meresahkan. Mereka
mengganggu warga, bahkan hingga ada yang membunuh warga desa. Kita sudah harus
bertindak juga seperti SM (Satria Manunggal), yang berani menghadapi para makhluk hitam.
Sumberdaya manusia di padepokan ini sangat mumpuni untuk menghadapi makhluk hitam.
Terutama Adnan, aku melihat potensi pada anak itu sejak ia berlatih pedang umur 12 tahun.”
jelas Bimo, selaku tangan kanan Mbah Wono.

Mbah Wono terlihat menimbang-nimbang sambil menatap hamparan sawah di


belakang padepokan. Terlihat matahari sore yang cerah berwarna kekuningan. Burung-burung
beterbangan dengan elok dan berformasi. Embusan angin sore memainkan ujung pakaian
Mbah Wono dan Bimo. “Untuk sementara ini, kita harus melatih beberapa orang lagi,
termasuk Adnan. Aku yang akan melatihnya sendiri.”

“Baik, Mbah. Aku akan mengumumkannya ke beberapa orang yang mampu untuk
melawan makhluk hitam dalam waktu dekat.”

“Terima kasih, Bimo. Tolong sampaikan kepadaku mengenai setiap


perkembangannya.”

Bimo mengangguk, lantas kembali ke padepokan.

“Mereka semakin dekat,” gumam Mbah Wono.


***

“Akhirnya, kita tiba juga. Coba, Adnan, kamu singkap rerumputan di sana.” Yuna
menunjuk ke arah yang di maksud.

Adnan dengan perasaan yang penasaran segera menyingkap rerumputan itu secara
perlahan. Angin sepoi-sepoi langsung menerpa dirinya—memainkan anak rambutnya. Secara
tidak sadar, matanya berbinar, mulutnya terbuka, jantungnya terasa seperti berhenti. Di bawah
sana, terlihat banyak sekali kuda berlarian di padang rumput hijau, sebagian sedang makan
bersama yang lainnya. Terdapat juga sungai jernih yang mengalir, tidak besar, juga tidak
kecil. Ditambah cahaya matahari kekuningan yang memantul di permukaan sungai. Sangat
indah.

Yuna tersenyum, dia seperti tahu ekspresi Adnan meskipun ia di belakangnya.

“Aku belum pernah melihat yang seperti ini.” Matanya tak berpaling dari
pemandangan di depannya.

“Aku tahu, Adnan, kau akan menyukainya.”

“Bagaimana kamu menemukan tempat ini, Yuna? Bahkan aku tidak pernah ...” Adnan
menelan ludah. “… bahkan aku tidak pernah melihat yang seperti ini selama hidupku.”

“Aku tidak sengaja menemukannya saat aku sedang berkeliling untuk mendamaikan
hati. Saat itu, ekspresiku juga sama sepertimu sekarang.” Yuna juga maju ke depan, berdiri di
samping Adnan. “Di Negeri Manunggal, banyak sekali tempat-tempat yang tidak kita duga,
Adnan. Tempat indah, tempat berbahaya, tempat para perewa, dan lain-lain. Kuncinya hanya
satu untuk menemukan tempat seperti itu, yaitu berpetualang.”

“Aku sangat ingin berpetualang, semoga nanti—“

RRRROAAAARRRR!

Wajah mereka berdua beradu tatap, saling bertanya, suara apa itu?

RRRROAAAARRRR!

Dari balik pohon, muncul serigala bersayap yang ternyata sudah mengintai mereka
sejak tadi. Adnan dan Yuna mematung, jalan satu-satunya terhalangi oleh makhluk hitam itu.
Ia semakin mendekat perlahan, tatapannya tak lepas dari dua targetnya. Terlihat giginya yang
tajam, bulunya yang lebat berwarna hitam, serta sayap di punggungnya. Seketika, makhluk
itu melompat, cakarnya yang tajam bersiap mengoyak tubuh targetnya.

“Lompat, Yuna!”

Tanpa disuruh dua kali, Yuna melompat ke kanan, sedangkan Adnan ke kiri.

BRAKK! Cakarnya hanya mengenai batang pohon, bekasnya cukup dalam. Sungguh,
serigala ini berniat membunuh.

Serigala menggerung, terlihat amat sangat marah. Ia mengarah ke Adnan, perlahan-


lahan, makhluk itu mendekatkan dirinya ke targetnya. Adnan mengambil posisi bersiap
dengan segala kemungkinan. Tak ingin kehilangan mangsanya, serigala itu maju—bersiap
menggigit. Adnan menghindar ke kiri, lantas mendengkul kepala serigala tersebut, sehingga
serigala tersebut mundur dua langkah.

“Ayo, sini!” Teriakan Adnan membuat serigala tersebut kesal. Ia juga ikut meraung,
seolah mengerti apa yang diucapkan Adnan.

RRRROAAAARRRR! Serigala merangsek maju. BRAKK! Adnan menghindar dari


cakarnya. BUK! Adnan balas meninju wajah serigala itu. Kemudian Adnan segera
mengambil tanah, melemparkannya ke arah serigala tersebut. BFFFF! Debu mengepul
kemana-mana. Serigala kebingungan, karena matanya terkena debu yang dilemparkan Adnan.

“Yuna!” Tangan Adnan menunjuk ke arah jalan yang dimaksud. Yuna segera mengerti
maksudnya. Kabur.

Tap tap tap! Mereka akhirnya lari dari serigala tersebut dengan sekuat tenaga. Tetapi
mereka salah, mereka berpikir sudah aman, ternyata serigala tersebut masih tetap berusaha
mendapatkan mereka. Lihatlah, sekitar 20 meter di belakang, serigala tampak mengejar
dengan marah. Kemudian 15 meter, 10 meter, 5 meter.

Sial! “Yuna, larilah terlebih dahulu, serigala itu mengincarku!”

“Tapi, Adnan—“

“Sekarang, Yuna!” Adnan agak sedikit kasar.

Yuna melanjutkan berlari. Sementara, Adnan meladeni serigala tersebut. Mereka


berhenti di sebuah lokasi yang agak lebar dari pohon dan semak, agar Adnan lebih leluasa
bertarung. “Ayo, makhluk hitam. Aku tahu kamu mengincarku. Makhluk hitam tidak
seharusnya berada di wilayah sini.”

Serigala menatap penuh keganasan. Atmosfer pertarungan terasa pekat.

“Ada apa, hah? Apa kau takut?” Adnan tersenyum. “Bicaralah jika takut, makhluk
jahat!” Adnan agak sedikit membentaknya.

RRRROAAAARRRR! Serigala merangsek maju ke arah Adnan yang daritadi sudah


bersiap. Adnan mengeluarkan pisau ganda dari belakang bajunya.

TRANG! Dua benda tajam beradu, cakar dan pisau Adnan. TANG! TING! TANG!
Mereka terus beradu, hingga salah satu pisau Adnan terjatuh. Pertahanannya terbuka, hingga
akhirnya cakar serigala pun mengenai lengan sebelah kirinya.

“Arrrghh!” Darah mengucur banyak, beruntung Adnan sempat mundur, sehingga


lukanya tidak terlalu dalam. Meski sebetulnya itu tergolong luka parah. “Jika terus begini,
aku bisa—“

BRUK! Adnan terjatuh. Kesadarannya perlahan memudar, tubuhnya terasa lemas


akibat darah yang terus keluar. “Tidak … aku harus ….” Kesadaran Adnan telah menyerah.
Sementara, serigala di depan sana melompat, bersiap, membunuh targetnya.

BUM! Serigala terpental sejauh 7 meter. “Lawanlah aku jika kau mampu, makhluk
hitam.”

***

Anda mungkin juga menyukai