Anda di halaman 1dari 3

pemain :

Sunan Bonang oleh ………………….


Raden Mas Said/ Sunan Kalijaga oleh …………………..
Adhipati Wilwatikta oleh …………..
Dewi Ambarwati (Istri Adhipati) oleh …………………………
Dewi Rayung Wulan oleh …………………….
Patih Gajah Lembana oleh …………………………
Senopati Yudha Pati oleh ………………………….
Dayang 1 oleh …………………………
Dayang 2 oleh ……………………………
Pembaca Cerita Oleh………………………….

Sebuah kisah yang menceritakan perjalanan hidup seseorang dalam mencari kebenaran hingga
mendapatkan hidayah Allah dalam tataran ma’rifat lahiriyah juga batiniyahnya.
Prakisah : Perang saudara yang berkepanjangan di Majapahit, menyisakan penderitaan bagi seluruh rakyatnya,
penyakit dan kelaparan terjadi dimana-mana.
Kadipaten Tuban salah satu bawahan Majapahit mau tidak mau terkena imbasnya, kelaparan dan kematian
hampir setiap hari selalu terjadi.
Raden Mas Said putra Adhipati Wilwatikta tergerak hati untuk menolong rakyatnya, dengan mencuri bahan
makanan dari lumbung Kadipaten dia bagikan untuk rakyatnya. Lama kelamaan perbuatannya tercium juga,
berkurangnya bahan makanan di lumbung Kadipaten membuat Adhipati Wilwatikta marah besar. Ia
memerintahkan Patih Gajah Lembana dan para senopatinya untuk menangkap pencuri itu hidup atau mati.

Setting 1, (Kadipaten Tuban).


Patih Gajah Lembana berhasil menangkap pencuri di Lumbung pangan Kadipaten, segera dihadapkan kepada
Adhipati Wilwatikta.
Patih Gajah Lembana menghadap Adhipati membawa tawanan.
Patih Gajah Lembana : “Maaf Kanjeng Adhipati hamba datang menghadap”, posisi berlutut sambil
menyembah.
Adhipati : “Gajah Lembana.. Apa ini pencuri Istana Kadipaten?”.
Patih Gajah Lembana : “Daulat Gusti, ini pencuri yang berhasil saya tangkap waktu menyusup ke lumbung
pangan Kadipaten.
Adhipati : “Buka penutup wajahnya aku ingin tahu siapa orangnya..!!”, dengan nada tinggi
atau memerintah.
Patih Gajah Lembana dan Senopati Yudhapati membuka penutup wajah tawanan itu, alangkah terkejutnya sang
Adhipati juga permaisuri ketika mengetahui siapa dibalik penutup wajah itu. Ternyata pencuri yang selama ini
meresahkan Kadipaten adalah Raden Mas Said yang tak lain putranya sendiri.
Adhipati : “Apa yang kau lakukan Said? Tega-teganya kau menampar ayahandamu sendiri?”
Raden Said : “Ampun ayahanda.. semua yang ananda lakukan untuk menolong rakyat Kadipaten
Tuban yang kelaparan, kasihan mereka ayahanda. Apa ananda salah menolong rakyat Kadipaten?”
Adhipati : “Tidak salah kamu menolong, tapi kamu salah dalam menjalankannya, apa kamu
tidak tahu Said? Bahan pangan itu akan dikirim ke Istana Majapahit, untuk membantu pasukan di sana?”
Raden Said : “Kenapa kita harus membantu Majapahit ayahanda? Sedangkan rakyat kita sendiri
dalam kesusahan..?”
Adhipati : “Said!!! Tahu apa kamu tentang kerajaan?!! Sekarang kamu hentikan
perbuatanmu, atau kau akan menerima akibatnya?!
Raden Said : “Ampun ayahanda, kalau memang itu titah ayahanda, ananda akan tetap menolong
rakyat Tuban.
Adhipati : “Kalau itu mau mu, mulai sekarang juga, tinggalkan Kadipaten Tuban, jangan
pernah kembali ke Istana Tuban sebelum kamu bisa menggetarkan Istana Tuban dengan lantunan ayat-ayat
Allah”.
Raden Said : “Baiklah ayahanda kalau memang itu keputusan ayahanda ananda mohon pamit”,
menyembah Adhipati lantas pergi.
Dewi Ambarwati : “Ampuni Said Kang Mas, suruh dia kembali, dia putra kita pewaris takhta Kadipaten
Tuban, kalau dia pergi siapa yang menggantikan Kang Mas Adhipati?”.
Adhipati : “Tidak Diajeng! Aku seorang Adhipati, apa yang ku ucapkan tidak bisa ditarik lagi,
semoga Said menemukan kebenaran dalam perjalanannya.
Dewi Rayung Wulan : “Ampuni Kang Mas Said ayahanda, suruh kembali. Apa ayahanda tidak kasihan
dengan Kang Mas Said?”
Adhipati : “Rayung Wulan, seperti yang ayahanda bilang pada ibundamu, ayahanda tidak bisa
menarik ucapn ayahanda lagi. Kalau kamu kasihan dengan Kang Mas mu, kamu boleh ikut dengan Kang Mas
mu, sekarang juga kamu boleh pergi dari Istana Tuban”.
Rayung Wulan : (sambil menangis) “Baik ayahanda, ibunda, ananda mohon pamit”.
Ambarwati : “Jangan pergi putriku…” sambil menahan Rayung Wulan.
Adhipati : “Biarkan dia pergi Diajeng” sambil memegang tangan Ambarwati.

Setting 2 (Hutan Gelagah Wangi)


Perjalanan Raden Said setelah diusir dari Kadipaten Tuban sampai pada hutan lebat, letaknya
perbatasa antara perbatasan Kadipaten Tuban, Kadipaten Bojonegoro, dan Kadipaten Madiun. Orang sekitar
menyebutnya hutan Gelagah Wangi. Dari sini Raden Said merampas semua pajak atau upeti yang dikirim untuk
Kerajaan Majapahit, dia dikenal dengan sebutan berandal Loka Jaya. Semua hasil rampasan ia bagikan untuk
rakyat yang kelaparan, namanya menggetarkan Majapahit. Dia disangjung rakyat tapi dibenci punggawa
kerajaan.
Suatu hari melintas orang tua di Hutan Gelagah Wangi, Loka Jaya mengejar orang tua itu karena
tertarik pada tongkatnya, dengan napas terengah Loka Jaya berhasil menyusul orang tua itu.
Loka Jaya : “Berhenti Pak tua!” dengan napas terengah.
Sunan Bonang : “Ada apa anak muda kamu menghentikan langkahku?”.
Loka Jaya : “Aku menginginkan tongkatmu Pak tua, kelihatannya bagus dan mahal harganya”.
Sunan Bonang : “Tongkat ini hanya terbuat dari kayu anak muda, dan tidak ada harganya. Untuk apa kamu
mencari harta seperti itu anak muda?”.
Loka Jaya : “Akan ku bagikan kepada rakyat yang membutuhkan”.
Sunan Bonang : “ Niatmu untuk menolong sesama itu bagus, tapi caramu yang tidak benar , apa kamu
membasuh dengan air kotor, tubuhmu akan menjadi bersih? Merampok itu perbuatan dosa apapun alasannya.
Sedangkan hasilnya kamu bagikan pada rakyat, apa kamu mau membagi dosamu dengan mereka semua? Kalau
kamu mau harta lihatlah itu anak muda” menunjuk pohon dengan tongkatnya. ”Itu pohon berbuah emas, itu halal
anak muda, ambilah sesukamu..” sambil berjalan….
Loka Jaya kaget menghampiri pohon itu, memanjat dan mengambil buah yang dikiranya emas. Nafsu
yang menguasai sehingga ia terjatuh, dan buah itu menimpa tubuhnya, berubah menjadi wujud aslinya, yaitu
pohon buah kolang kaling. Setelah sadar Loka Jaya terkejut, ternyata buah yang dikiranya emas hanyalah
kolang-kaling. Dia baru menyadari kalau orang tua yang di hadapannya tadi bukan orang sembarangan. Dia mau
berguru, maka dikejarnya orang tua itu.

Setting 3 (Di pinggir Sungai Terusan Bengawan Solo).


Ketika napasnya hampir terputus, Loka Jaya baru bisa menyusul orang tua itu, di pinggir Sungai
Terusan Bengawan Solo, Loka Jaya bersimpuh di hadapan orng tua tadi.
Loka Jaya : “Izinkan aku tau siapa kamu orang tua?”.
Sunan Bonang : “Orang-orang menyebutku Sunan Bonang”.
Loka Jaya : “Kanjeng Sunan, izinkan saya berguru, saya ingin menebus semua kesalahan saya”.
Sunan Bonang : “Aku sebenarnya tau siapa dirimu anak muda, kamu putra Adhipati Tuban. Apa kamu sudah
siap lahir batinmu untuk berguru kepadaku?”
Loka Jaya : “Lahir batin saya sudah siap Kanjeng Sunan, apa pun yang Kanjeng Sunan perintahkan akan
saya junjung tinggi”.
Sunan Bonang : “Baiklah anak muda, tapi aku sedang ada keperluan ke Istana Demak. Tunggu aku di sini
(sambil menancapkan tongkatnya), jangan pernah pergi sebelum aku kembali!”.
Loka Jaya : “Baik Kanjeng Sunan….”
Sepeninggal Sunan Bonang, Loka Jaya atau Raden Said duduk bersila di depan tongkat yang
ditancapkan Sunan Bonang tadi.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Tubuhnya dipenuhi
tumbuhan dan semak belukar, tak terasa 3 tahun sudah Raden Said atau Loka Jaya, bertapa menunggu
kedatangan Sunan Bonang. Suatu ketika Sunan Bonang melintasi wilayah itu dan baru teringat dengan Raden
Said. Ketika Sunan Bonang datang ke tempat dulu ia menancapkan tongkatnya, Raden Said tidak terlihat, yang
ada hanya gerombolan semak belukar. Ketika didekati, tenyata itu tubuh Said yang ditumbuhi semak belukar.
Dengan terenyuh dibersihkan tubuh Said dari semak belukar. Sunan Bonang mencoba membangunkan Said dari
pertapaannya, tapi Said tidak bisa dibangunkan dengan cara biasa. Sunan Bonang tersenyum dia tahu kalau
Raden Said mendapatkan ma’rifat dari Allah, maka tidak ada cara lain untuk membangunkannya selain dengan
adzan di telinga kanan dan dikhomati di telinga kiri. Barulah Raden Said terbangun dari tapanya.
Sunan Bonang : “Assalammu’alaikum Said”.
Loka Jaya : “Wa’alaikum salam Kanjeng Sunan”.
Sunan Bonang : “Alhamdulillah kamu berhasil menyelesaikan ujianmu, kamu mendapat hidayah dari Allah
dalam Ma’rifat lahiriyahmu juga batiniyahmu. Pakailah pakaian ini Said (menyerahkan baju berupa jubah dan
sorban putih). Kamu akan menggenapi wali di Demak, menjadi wali songo”.
Loka Jaya : “Tidak Kanjeng Sunan, biarlah saya memakai pakaian serba hitam ini… Dengan begini saya
akan selalu mengingat akan dosa-dosa saya, maka saya akan berusaha untuk memperbaiki diri.
Sunan Bonang : “Baiklah Said kalau itu yang menjadi keputusanmu, karena selama 3 tahun kamu bertapa di
sini, aku memberimu nama Jaga Kali, tapi orang-orang akan mengenalmu dan menyebutmu sebagai Sunan Kali
Jaga…”

Kesimpulan dari cerita Sunan Kali Jaga ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang kita ucapkan sebaiknya itu yang kita jalankan, jadi kita akan dipercaya oleh sesama.
2. Kita harus perduli kepad sesama, menolong pada yang membutuhkan, tapi hendaklah pertolongan kita
atau bantuan kita dengan cara yang benar.

3. Kalau kita punya keinginan dan mau menjalani dengan sungguh-sungguh juga dengan sepenuh
hati niscaya Allah pasti akan mengabulkannya.

Anda mungkin juga menyukai