Anda di halaman 1dari 3

Mitos Terdahulu

Oleh : Norul Kholifah*

“Hompimpa ala iyum gambring” semangat ank-anak desa yang sedang


asik bermain petak umpet di dekat hutan desa yang sangat rimbun.

“Hahahahhaa giliran Devi yang jaga” sahut Sari sambil memainkan


rambut gimbalnya.

“Hmm, ya udah sekarang aku jaga, kalian ngumpet, aku hitung sampek
sepuluh” jawabku dengan muka tak semangat. Tak berpikir panjang, akhirnya
mereka bertiga segera mencari tempat persembunyian yang nyaman dan sulit
untuk tertangkap oleh Devi.

“Satu…Dua….Tiga…Empat…” seketika diriki berhenti menghitung


karena yang semula ramai seketika hening. Hanya ada aku dan bunyi pohon yang
ada di lapangan.

“Hei, kalian dimana?” teriakku. Tak ada seorangpun di lapangan hanya


semilir angin sore yang begitu tenang. Satu yang mencari keberadaan mereka
bertiga. Akhirnya aku menemukan keanehan di balik pohon besar, tak berpikir
panjang, aku menghampiri pohon besar itu ternyata, “Dor. Kena kamu Sari!
Sekarang kamu tertangkap. Jadi, kamu harus bantu aku untuk mencari Farhan dan
Dadang”

“Ya, udah aku bantu cari” sanggup Sari sambil keluar dari tempat
persembunyiannya.

Akhirnya kami berdua punya ide untuk tidak mencari mereka. Kami hanya
duduk santai. Benar saja, tak berselang lama, Farhan dan Dadang keluar dari
tempat persembunyiannya. “Huh, gimana, sih kalian berdua malah duduk santai”

“Tau tuh, jaddi gak asik mainnya” celetuk mereka berdua


“Habisnya kalian bersembunyi jauh amat. Yah, kita jadi capek carinya”
ucapku dan Sari bersamaan.

Saking asiknya, sampai tak terasa hari mulai petang, maka hari mulai tak
menampakkan cahayanya. Kami bertiga ingin langsung pulang, tapi Dadang
masih saja asik bermain layangan. Kami mengajak Dadang untuk pulang, tapi
Dadang menolak ajakan kami bertiga. “Kalian pulang duluan saja!” jawab Dadang
sambil mengulur layangannya.

“Dadang, ayo pulang! Karena orang tua dulu, anak-anak tidak boleh
bermain di luar rumah kalau sudah petang. Soalnya ada malapetaka” Sari
memberitahu DAdang tentang mitos di waktu petang.

“Hahahaa zaman sekarang kalian masih percaya aja sama mitos orang
terdahulu, aneh banget” jawab Dadang disusul dengan tawanya. Kita bertiga
pulang ke rumah masing-masing. Sekarang Dadang masih di lapangan desa.

# # #

Sampai di rumah aku langsung mandi dan bersiap untuk berangkat


mengaji. “Ibu, Bapak, Devi berangkat ngaji dulu. Assalamualaikum!” pamitku
kepada Bapak dan Ibu.

“Iya, hati-hati, Devi. Waalaikumsalam” jawab ibu yang sedang menjahit


baju seragam di ruang tamu. Aku berangkat ngaji dari sebelum Maghrib sampai
Isya’, masih untung masjidnya gak jauh dari rumah. Malam semakin Panjang,
adzan Isya’pun berkumandang, semua anak-anak bergegas untuk salat berjamaah.
Semua pulangb ke rumah masing-masing. Aku pulang bersama Sari, karena
rumahku dan rumah Sari berdekatan. Kami berjalan sambil bercanda gurau
Bersama. Di tengah senda gurauku dan Sari, sontak kami berdua terhenti. Kami
melihat kerumunan warga di rumah Dadang. Tanpa berpikir Panjang kami
menghampiri rumah Dadang, ternyata Ibu Dadang sedang menangis. Kami berdua
menghampirinya dan bertanya apa yang terjadi. “Bibi, ada apa sebenarnya, apa
ada sesuatu dengan Dadang?” firasatku nyeleweng
“Dadang hilang, Devi, Sari dari tadi siang. Dan sampai sekarang Dadang
belum ditemukan.” Sahut Ibu Dadang dengan isakan tangis.

“Tadi Dadang sempat bermain dengan kami. Dan kami mengajak Dadang
pulang karena hari sudah petang, takut terjadi apa-apa” jawab Sari sambil
mengelus tubuh Ibu Dadang. ”Tapi Dadang tak mau pulang”

# # #

Semua warga termasuk Ayahku ikut mencari atas hilangnya Dadang,


anehnya, ada sebagian warga yang membawa panci yang dipukul-pukul. Sempat
aku bertanya-tanya pada diriku sendiri kenapa harus membawa panci. Aku tidak
menemukan jawaban, akhirnya aku bertanya pada Ibu. Kata Ibu, “Kalau anak
hilang pas waktu petang dan belum ditemukan, maka semuanya membawa alat
dapur untuk membuat suasana menjadi ramai dan hantu akan mengembalikan
anak yang hilang.

Sampai larut malam Dadang belum ditemukan. Pencarian dihentikan, dan


diteruskan pada pagi harinya.

# # #

Keesokan paginya rumah Dadang masih ramai dengan warga. Dadang


sudah ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Lebih sadisnya, tubuh Dadang ada
luka-luka di bagian tangan dan lehernya. Aku dan Sari menemui Dadang untuk
terakhir kalinya. “Semoga amalmu diterima oleh Allah, Dang.” Ucapku yang
sudah bersimbah air mata.

*Warga Literasi

Anda mungkin juga menyukai