di Kabupaten Pasaman
oleh:
Wahyuni Endila
Artikel Linguistik
Program Pascasarjana
Program Studi Linguistik
Universitas Andalas
Padang
2011
PENDAHULUAN
Apabila kita berbicara mengenai metafora maka yag muncul pada fikiran kita
pertama sekali mungkin berupa majas, perumpamaan. Semua kategori makna yang muncul
tersebut tidaklah salah. Namun metafora akan dipaparkan lebih luas dan menarik dalam kajia
ini. Metafora dapat juga diistilahkan kepada kias. Namun tidak semua yang metafora adalah
kias , tetapi semua kias termasuk kepada golongan metafora. Di dalam pembahasan ini
Metafora adalah suatu kekreatif makna dalam bahasa, metafora sendiri sangat berkaitan
dengan tuturan manusia. Tuturan sebagai bagian dari bahasa, juga memiliki kecendrungan
referensi terhadap kosa kata lain baik yang sejajar (lejas/ jelas) ataupun yang tidak sejajar
(makna buram/legap).
Analisis makna yang muncul secara lejas, atau makna yang tampak masih
berhubungan erat dan masih memiliki kedekatan emosi dan budaya serta konteks dengan
benda yang akan dimaknai. Cruse (1986:41) menyatakan ujaran yang mempunyai kejelasan
dan kesesuaian dengan makna literalnya disebut dengan makna primer (lejas/transparant).
Sementara makna legap memiliki kedekatan makna yang agak jauh dari analogi
simbol asalnya. Ia tetap bertolak dari benda atau simbolisasi awal tetapi maknanya sedikit
ditarik lebih jauh kepada pemahaman analogi. Karena itulah makna ini bisa juga di dapatka
dengan cara referensi trhadap suatu benda maka benda tersebut dapat dijadikan simbolisasi.
Apalagi jika sudah diperkuat oleh beberapa macam unsur budaya dan kebiasaan
di Kabupaten Pasaman
Metafora adalah suatu kekreatif makna dalam bahasa, metafora sendiri sangat
berkaitan dengan tuturan manusia. Tuturan sebagai bagian dari bahasa, juga memiliki
menggunakan referensi terhadap kosa kata lain baik yang sejajar (lejas/ jelas) ataupun yang
maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang, karena makna dimaksud
terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu. Sehingga, terdapat berbagai macam
interpretasi yang kaya akan makna dari satu unsur bahasa itu saja.
Metafora muncul sebagai wujud dari permasalahan pemaknaan yang tidak cukup hanya
dengan makna literal saja. Metafora kemudian maju sebagai bentuk baru yang diungkapkan
Metafora sendiri memiliki suatu kekhususanya dari makna interpretasi luas bebas dari
linguistik. Makna metafora masih terikat dengan unsur linguistik, karena ia menjadikan
sinyal dan unsur linguistik di dalam referensi kata atau klausanya sebagai wadah nantinya
Tulisan ini mengkaji mengenai metafora dalam pasambahan yang dipakai oleh
Pasaman. Ada alasan penting kenapa penulis mengambil bahan metafora dari pasambahan
manjapuik marapulai, karena pasambahan ini populer dan sering dipakai. Selain itu masih
banyak kaum muda yag belum atau kurang mengerti mengenai apa yang disampaikan dalam
prosesi pasambahan itu. Mereka cendrung sebagai pendengar pasif saja dan tidak memahami
makna secara keseluruhan. Alasan lainya adalah pengambilan pasambahan sebagai kajian ini
Kajian mengenai fungsi dan pemetaforaan sesuatu terhadap benda lain akan dikupas
pula sedikit di dalam artikel ini. Dalam kajian ini penulis melakukan pendekatan semantik
dalam mengkaji struktur dan maknanya. Sebagaimana di dalam salah satu bagian dari
pasambahan berikut:
FN + FV
gajah mati ma- tingga -kan gadiang
gajah mati AKT tiggal KAU gading
‘Gajah mati meninggalkan (gading) sesuatu yang sangat berharga’
Teori struktur kalimat inti bertolak dari suatu gagasan bahwa sebuah kalimat dirumuskan
dengan pola K→FN+FV. Yaitu sebuah kalimat yang terdiri dari frasa nomina dan frasa
verba. Selain itu kalimat juga ada yang ekuatif dan eksistensial. Kalimat ekuatif adalah
kalimat yang prediketnya bukan verba. Kalimat eksensial adalah kalimat yang prediketnya
yaitu ‘ada’.
Bagian yang menjadi kiasan adalah bagian 4.a,b dan c. Masing-masing ujaran
semuanya memiliki keterkaitan. Di dalam ungkapan di atas terdapat suatu bentuk kata yaitu
harimau yang memiliki arti suatu binatang buas dan binatang sangat ditakuti. Tetapi ia
memiliki kulit yang biasanya diburu oleh manusia dan dijadikan tas dan berbagai barang
mewah lainnya. Sedangkan gajah adalah binatang yang ukuran tubuhnya besar dan memiliki
gading. Gadingnya juga dimanfaatkan oleh orang banyak untuk pengobatan. Walaupun kedua
binatang ini kurang dapat begitu bersahabat dengan manusia, namun pada saat mati nya
harimau dan gajah menjadi bermanfaat dan sangat dicari oleh orang. Gading merupakan
metafora dari sesuatu yang bernilai dan berharga. Jadi gading melambangkan kebernilaian
sesuatu. Belang pada harimau melambangkan suatu kekuatan dan keberaniannya, serta
memang sudah kekal dikenal sejak dahulu. Orang Minangkabau juga melambangkan inyiak
kepada harimau. Inyiak adalah kakek jelmaan orang tua yang sudah lama meninggal dan
mengawasi tindak tanduk manusia. Hal ini juga menjadi mitos di kalangan manusia, dan
nama baik dan hasil budayanya yang telah ia ukir dan lakukan dahulu disaat ia tiada. Maka
dapat disimpulkan bahwa di dalam bagian klausa-klausa di atas, didapatkan segala sesuatu
kemudian menjadi kajian metafora. Sepanjang kajian secara analitis, belum ada kajian
mengenai pasambahan melalui makna semantik leksikal dan makna semantik metaforikal.
Walaupun banyak kajian yang terdahulu telah mengkaji makna metafora, kias ataupun
mengenai kajian pasambahan. Namun pengkajianya masih parsial dan memusatka pada
beberapa bentuk kajian yang berbeda. Kajian ini bertitik tolak dari pengamatan penulis akan
adanya idiom dan pribahasa yang terdapat dalam pasambahan. Selanjutnya, pituah dan
bagaimana unsur linguistik yang terdapat dalam bahasa atau ujara seseorang. Linguistik
adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajianya. Sementara pasambahan adalah
bagian dari bahasa yang dijadikan media komunikasi. Pasambahan merupakan jalinan
hubungan komunikasi yang seremonial yang menyebabkan bahasa bervariasi dari segi bentuk
dan ujarannya. Bentuk pasambahan adalah salah satu bagian dari ragam bahasa dan
menyatakan dalam Sperber dan Wilson (1986; 45), bahwa bahasa dan komunikasi bisa saja
terjadi melalui 2 tahapan: presumption of relevant dan contextual effect. Sehingga, dalam
kasus ini penulis menyimpulkan ada beberapa proses dan pengambilan makna yang terjadi
diakibatkan dari konteks sosial yang ada saat ujaran disampaikan. Maksudnya adalah setelah
ujaran tersebut disampaikan maka si pendengar akan menganalisis efek makna tersurat dan
tentang makna. Makna dalam kajian sentral komunikasi itu sendiri adalah kajian yang
menjadi bagian dari faktor penting dalam sosial kemasyarakatan. Semantik juga adalah kajian
proses kognitif kenseptual sehingga kita dapat mengekspresikan segala pengalaman hidup ke
dalam bahasa. Interpretasi dan ungkapan fikiran manusia tersebut diekspresikan ke dalam
bahasa.
Selah satu bentuk intepretasi makna yang pernah dituangkan sebagai model oleh
Fungsi triangle makna di atas sebagai acua bagi pengembagan makna lain sebagai
bentuk pemaknaan dalam linguistik. Maksudnya adalah apabila ada muncul suatu ujaran
maka lambang yang keluar sebagai ujaran mawar kemudian disimbolisasikan kepada
bentuknya. Baru kemudian simbolisasi mencuat kepermukaan dalam bentuk yang arbritrer
yaitu acuan yang bebas terikat. Sebagai contoh mawar yang dapat dimaknai dengan sesuatu
Kajian ini memberikan bentuk analisis bahasa dari segi semantik baik itu dalam
bentuk semantik leksikal dan gramatikal. Bentuk analisa yang dimulai dengan melihat
leksikal pada ungkapan baru kemudian menghubungkanya dengan kenyataan dan dunia
Kajian ini terbatas pada pembahasan struktur kalimat, makna dan fungsi. Struktur membahas
mengenai bentuk kalimat dasar, turunan dan bentuk penambahan konjungsi atau pelesapan.
Sedagkan makna berupa metafora ujaran kepada sesuatu yang dipahami secara alamiah dan
mengacu pada model yang dikemukakan oleh Haley (dalam Wahab,1980:139—154), yang
mineral), terrestrial (gunung, sungai, laut), subtance (semacam gas), energy (cahaya, angin,
api), cosmos (matahari, bumi, bulan), dan being (konsep yang abstrak, kebenaran, kesedihan,
dan lain-lain). Model metafora yang dianalisis disesuaikan dengan bentuk metafora
mencakup: (1) analisis metafora manusia; (2) analisis metafora hewan; (3) analisis metafora
tumbuhan; (4) analisis metafora makhluk gaib; (5) analisis metafora benda magis; (6) analisis
ini.
Metafora ini diambil dari kiasan dari tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang banyak
terdapat di hutan atau rimba yaitu bambu. Bambu sering digunakan sebagai pembuluh pada
zaman dahulu karena belum adanya pipa. Bambu adalah sejenis buluh yang sudah dipotong
sedemikian rupa dan dijadikan sebagai pembuluh pambuluah guna melancarkan saluran air.
Tujuanya membuat saluran menjadi terkumpul ke arah yang diinginkan biasanya dipakai di
daerah persawahan bagi masyarakat Minangkabau. Di sini aliran air diartikan sesuatu yang
belum bersatu tapi sesuatu yang berserakan namun menurut falsafah Minangkabau mereka
dapat disatukan atau dikumpulkan dengan masuk ke dalam pambuluah secara semantik
sejenis bambu. Bambu ini adalah bambu yang berukuran sebesar pipa paralon yang dapat
menjadi tempat aliran air. Pambuluah dapat membuat air menjadi bersatu untuk dialirkan
kepada tujuan yang diinginkan bersama. Kenapa pemilihan pambuluah sebagai metafora
bahasa di sini, karena pambuluah adalah sesuatu yang banyak terdapat di dalam masyarakat
Minang dikawasan hutan mereka dan bambu ini dipakai sebagai ganti pipa untuk
mengalirkan air di sawah-sawah. Secara semantis pambuluh adalah bentuknya panjang dan di
Di dalam klausa jalan merupakan bentuk kata benda dengan klausa seperti di bawah
ini kita dapat memahami maksud dari jalan yang dituturkan di atas jalan ko alah lamo indak
di lalui jalan ini sudah lama tidak dilewati. Sehingga banyak mungkin yang tidak diketahui
atau terlupakan. Misalnya persimpangan yang biasanya terdapat di sisi jalan. Ada lika-liku
dan juga tanda di sekitar jalan yang mungkin saja sudah terlupakan bahkan mungkin sudah
banyak penambahan atau perubahan bentuk menyebabkan sipejalan kaki atau yang
mengendarai mobil tidak lagi hafal jalan tersebut untuk menuju sesuatu daerah yang
ditujunya.
Samak atau semak belukar adalah rumput sejenisnya yang biasa menutupi jalan yang
sudah lama tidak dilewati, tidak pernah dibersihkan. Biasanya semak inilah yang membuat
ragu seseorang karena sebelumnya mungkin saja tidak terdapat dedaunan dan semak
rerumputan di suatu tempat. Namun karena jalan itu sudah tak pernah dilalui lagi maka akan
tumbuh semak belukar dan membuat ragu orang yang pernah lewat di sana. Secara literal
demikianlah makna yang terungkap pada bagian tersebut. Tetapi maknanya semak sebagai
sesuatu dengan keragu-raguan. Niat hati si penutur bahasa sebenarnya ingin memberikan rasa
hormat dan rasa yang tinggi terhadap pendengar sembah dan sambahnya. Kiasan semak dan
kaji menjadi utuh menggambarkan keragu-raguan seseorang tentang sesuatu yang sedang ia
lakukan.
Bagian yang menjadi metafora adalah bagian 4.a,b dan c. Masing-masing ujaran
semuanya memiliki keterkaitan. Di dalam ungkapan di atas terdapat suatu bentuk kata yaitu
harimau yang memiliki arti suatu binatang buas dan binatang sangat ditakuti. Tetapi ia
memiliki kulit yang biasanya diburu oleh manusia dan dijadikan tas dan berbagai barang
mewah lainya. Sedangkan gajah adalah binatang yang berukuran tubuh yang besar dan
memiliki gading. Gadingnya dimafaatkan oleh orang banyak untuk pengobatan dan
sebagainya. Walupun kedua binatang ini kurang dapat begitu bersahabat dengan manusia
namun pada saat mati nya harimau dan gajah menjadi bermanfaat dan sangat dicari oleh
orang. Di Minangkabau harimau juga dilambangkan sebagai inyiak. Inyiak adalah jelmaan
orang tua yang sudah lama meninggal dan mengawasi tindak tanduk manusia. Hal ini juga
menjadi mitos dikalangan manusia. Inilah yang kemudian menjadi lambang perbandingan
bagi masyarakat
Bahasa kias tidak akan sama dengan bahasa yang dipakai dengan bahasa non kias
pasambahan, bukan dalam percakapan sehari-hari. Akan terlihat berbagai perbedaan di dalam
pola kalimat bentuk dan fungsi kalimatnya. Sebagaimana akan dibahas berikut ini, dimulai
dari kalimat dasar sampai strukstur paralel atau klausa yang beragam.
Bahasa kias memiliki bentuk yang tidak sama dengan pola non kias. Sebagaimana di
kutip dalam Oktavianus (2005:48) dalam membedah kalimat kias atau pribahasa dibutuhkan
pemakaian teori transformasi. Artinya di dalam kalimat kias terdapat suatu susunan yang
tetap dan padat (Oktavianus,2005:44). Teori transformasi memiliki pola dasar kalimat
K→FN+FV. Di dalam kalimat terdiri dari frasa nominal dan frasa verbal. Dengan pola dasar
yang memiliki frasa tunggal dan unsur intinya lengkap serta bukan merupakan negasi. BM
Oleh karena itu pola kalimat dasar di atas yang berupa induk kalimat, kalimat deklaratif,
kalimat afirmatif, dan klausa aktif yang diungkapkan oleh Givon (1984;85 dalam Oktavianus,
2005;245) dapat dijadikan sebagai pola yang sama sebagai acuan dalam Bahasa
Minangkabau.
Sebagai salah satu acuan kajian penulis memakai pendekatan struktur kalimat inti.
Struktur kalimat yang terdiri dari pokok-pokok kalimat dsar. Baru kemudian dikembangkan
kepada ragam macam bentuk yang lain. Apabila pola struktur kalimat lain itu cocok dengan
Pendekatan kalimat inti (kernel sentence) bertolak dari suatu gagasan bahwa sebuah
kalimat dirumuskan dengan pola K→FN+FV. Yaitu sebuah kalimat yang terdiri dari frasa
1. FN +V
ameh ma- bayang
emas AKT bayang
‘kebaikan tampak dari luar’
Pola kalimat di dalam ungkapan kias di atas adalah kalimat inti dengan frasa
nominanya adalah ameh ‘emas’ dan frasa verbanya mambayang ‘membayang’. Bentuk ini
merupakan bentuk sederhana dari klausa kiasan yang ada di dalam pasambahan. Karena pada
umumnya bentuk klausa di dalam pasambahan lebih banyak mengandung klausa turunan
sehingga paparanya lebih panjang.
Rumusan dalam beberapa jenis ungkapan dalam pasambahan adalah dengan bentuk
metafora. Dalam bentuk atau konstruksi pasambahan dapat digolongkan kepada bentuk
Ungkapan yang dibentuk dari klausa pertama berupa kalimat ergatif. Kalimat ergatif
sendiri secara morfologis adalah apabila komplemen Subyek (S) verba intransitif dimarkahi
dengan cara yang sama dengan objek (pasien) verba transitif, dan berbeda dari komplemen
Agen (A) verba transitif. Dan secara sintaksis dikatakan bahwa kalimat memiliki kaedah
tersebut subjek menempati seolah-olah ditandai sebagai objek penderita. Dengan bentuk
asalnya
Bentuk konstruksi yang mengandung negasi ini tentu saja apabila kita ubah kedalam
kalimat deklaratif positif akan memiliki makna yang berbeda bahkan akan bermakna negatif.
dapat diterima, tetapi di dalam makna sebagai pribahasa mereka mengalami perubahan.
Karena maksud dari pribahasa atau ungkapan metafora di atas adalah suatu yang baik tidak
perlu dijaga ketat. Karena suatu kepercayaan muncul dengan sendirinya. Jadi pada dasarnya
menutupi subjek yang ada di dalam kalimat. Dengan tujuan menghilangkan kesan pengarahan
sindiran atau nasehat kepada orang yang dituju. Seperti pada contoh berikut:
Bentuk pasif dari prediket: ditiru, dibunuah, disimpani, dan dibilang sebenarnya diawali
Setelah proses pemasifan maka berubah menjadi kalimat berikut tetapi subjek tetap ada
kepada penyampaian orang yang dituju maka inyo dihilangka, maka bentuknya adalah seperti
Untuk prediket diatok dapat diperhatikan dalam konstruksi awal kalimat aktifnya berikut:
Subjek dalam kalimat ini adalah ninik mamak dan mamak atau orang yag dituakan
dan dihormati. Agar tidak menyinggung perasaan hadirin yang lain ungkin seperti rang
sumando, manti dan lainnya. Penutur kias mengungkapkan rasa hormatnya namun dikiaskan
dan subjek dilesapkan. Sesuai juga dengan bentuk awal pembahasan kalimat pasif kias
biasanya bersifat impersonalisasi. Baik untuk subjek dan komplemen sebagai persona
(orang) dihilangkan. Ambo dan mamak sama-sama dilesapkan dari kalimat di atas.
Menjadilah bentuknya:
Struktur klausa yang mengandung makna metafora memiliki pola-pola tersendiri yang
tidak sama dengan struktur klausa biasa. Metafora kias yang direalisasikan melalui pribahasa
atau ungkapan memiliki struktur klausa yang bersifat tetap (Oktavianus,2005:256). Jika
terjadi pengubahan struktur klausa pada kias maka yang terjadi adalah makna akan berubah
dan klausanya menjadi klausa kalimat biasa. Strukturnya biasanya bersifat padat,
menandakan adanya konstruksi bahasa kias yang berusaha untuk disederhanakan dan
dikreasikan kata-katanya. Atau dengan kata lain telah terjadi minimalisasi kata atau kalimat
dengan makna dan maksud yang tetap. Pelesapan kata adalah salah satu bentuk menimalisir
memiliki keparalelan. Bentuk klausa biasanya dihubungkan dengan dan, tapi, tu, lalu dan
sebagainya. Hal ini dapat dilihat di dalam pasambahan yang mengandung metafora sebagai
berikut:
Konjungsi di dalam klausa b dan c seolah-olah tidak ada. Hal ini berbentuk
penyederhanaan dan menyingkat kalimat agar bunyi menjadi indah. Bentuk klausa yang
konjungsinya dilesapkan sebenarnya adalah, lai bagala jo banamo. Konjungsi jo yang berarti
dan menjadi hilang karena jenis klausanya disederhanakan agar terkesan dapat menjadi lebih
sederhana.
Jenis kalimat pada a sampai c sebagai kalimat yang mengandung metafor di atas
adalah kalimat deklaratif. Yang memiliki prediket di awal dan bersifat transitif membutuhkan
objek.
Objek pada klausa pertama adalah daun, pada klausa kedua dan ketiga kulik, dan
sado nan paguno (jenis benda tidak jelas identifikasinya). Apabila ingin menjadikanya
kalimat sempurna namun menguragi nilai mataforanya da tidak dipakai dalam bentuk
Bentuk di atas adalah salah satu contoh pelesapan konjungsi dengan tujuan
menyederhanakan klausa agar enak didengar serta padat dan menjadi lebih singkat. Tu di
dalam klausa a menjadi konjungsi pada klausa tersebut. Artinya adalah lalu. Bentuk klausa
yang ditambahkan dengan konjungsi tu dan lalu membuat kalimatnya menjadi panjang.
Namun jenis klausa ini tidak dapat dijadikan bentuk pasambahan kias, karena kias pada
umumnya singkat dan padat dan terkadang terjadi pelesapan seperti yang terjadi di dalam
klausa tadi.
Makna adalah suatu persoalan yang terlihat rumit apabila akan dibahas. Makna juga
memiliki suatu keadaan yang disebut makna konkrit dan juga abstak. Makna kias biasanya
muncul dari beberapa bentuk unsur makna intrinsik suatu benda yang memiliki kesaaman
karakter dan spesialisasi terhadapa apa ynag disimbolkan biasanya menurut acuan pemakai
simbol tersebut.
Analisis makna dilakukakan secara dua tahap pertama analisis dengan menggunakan
komponen makna diterapkan kepada parafrase atau pendefenisian. Tahapan keduanya adalah
analisis makna. Jadi makna kias dapat diketahui terlebih dahulu dari makna literalnya. Salah
satu cara membuktikan tipe makna literal maupun kiasan menggunakan metode distribusional
dan metode padan. Metode distribusional adalah mencocokan makna hubungan suatu
linguistik yang satu dengan makna linguistik yang lainya (distribusi). Metode padan
diterapkan karena keberadaan suatu jenis makna tergantung pada hubungan kesepadanaan
Makna literal dalam ungkapan lah bulek aia..., adalah sudah bulat terkumpul air oleh
pembuluh. Namun apabila kita jelaskan korelasinya maka akan muncul ungkapan yang
menyataan bahwa dalam memulai sebuah permusyawarahan muncul leksikon bulek. Bentuk
klausanya dibantu modalitas lah yang artinya sudah, jadi tampak di sini bahwa apabila kita
aia lah bulek dek pambuluah, kato lah bulek dek mufakaik
Kesan yang dirasakan pada makna menjadi sedikit melemah karena adanya
ungkapan keterangan lah di awal klausa 1.d. Sehingga apa yang akan di lakukan pada
mufakat hari itu direlevansikan dengan keadaan alam dan kehidupan sehari-hari. Orang
Minangkabau juga memiliki prinsip sebagaimana yang di gambarkan dalam pepatah Minang
alam takambang jadi guru, semua yang tampak di sekitar di alam ini dapat dijadikan sebagai
Selajutnya apabila kita lihat dari sisi makna dan simbol dapat kita maknai
sebagai berikut;
Tadi sialek mananti panitahan adalah bentuk klusa yang dapat dijelaskan sebagai
berikut: tadi si alek mananti panitahan nan ciek bana sabuah, keadaan inilah yang dijadikan
pengantar pada bagian idiom selanjutnya. Namun tetap pada bagian yang sering disebutkan
sebagai pembuka pada pasambahan, klausa demi klausa dirangkai memakai sedikit kiasan.
Diawali dengan memakai kata ciek bana sabuah meningkat menjadi kata dan klausa ynag
Pada bagian ini terdapatlah dua klausa Lah bulek aie dek pambuluah, lah bulek
kato dek mufakat segala sesuatu yang berhubungan dengan hal diatas menjadi hasil
kesepakatan bersama. Air adalah sesuatu yang bersifat cair dan mengalir dari tempat yang
tinggi ke yang rendah. Di sini aliran air diartikan sesuatu yang belum bersatu tapi sesuatu
yang berserakan namun menurut falsafah Minangkabau mereka dapat disatukan atau
dikumpulkan dengan masuk ke dalam pambuluah secara semantik sejenis bambu. Bambu ini
adalah bambu yang beukuran sebesar pipa paralon yang dapat menjadi tempat aliran air.
Serta pambuluah dapat membuat air menjadi bersatu untuk dialirkan kepada tujuan yang
pambuluah adalah sesuatu yang banyak terdapat di dalam masyarakat Minang. Pada
umumnya di kawasan hutan bambu, dan dipakai sebagai ganti pipa untuk mengalirkan air
disawah-sawah. Mengalirkan air untuk diminum agar terjaga kebersihanya dan tidak
bercampur tanah. Hal ini masih saja digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang hidup di
daerah pedalaman atau disekitar lokasi hutan yang sarat teknologi dan lengang penduduknya.
Jadi metafora pambuluah yang bisa membulatkan air apabila kita hubungkan bambu tadi
sebagai solusi untuk menjadikan air menjadi berkumpul dan terarah alirannya serta menjadi
bersih serta dapat dimanfaatkan. Begitu pula pada bagian ini, yang berlangsung antara si
pangkalan dan si helat. Si pangkalan menyampaikan maksud dari sialek menantikan sebuah
musyawarah. Yaitu adanya kesamaan pandangan untuk mengambil keputusan yang baik.
2. a. ambo ma- pulang -kan kato ka Sutan baro
saya AKT pulang KAU kato PREP ST Baro
‘Saya mengembalikan kata ke Sutan Baro’
Makna denotatif dari kiasan kok pitaruah indak kabaunian... adalah kalau pesta tidak
akan ditunggui dan kalau pesan tidak akan dituruti. Dari dua klausa di atas tampak negasi dari
metafora yang muncul. Proses negasi atau penidakan sangat bertentangan dengan kebudayaan
yang memiliki tenggang rasa barek samo dipikua ringan samo dijinjiang. Apapun masalah
dan segala kesulitan dapat diselesaikan dengan rasa kebersamaan tenggang rasa, saling
membantu. Semuanya menggambarkan orang Minang memiliki rasa yang amat tinggi suka
membantu dan bergotong royong. Namun pada dua klausa sebagai ungkapan pitaruah dan
pesan tanggung jawab tidak serta merta merefleksikan pepatah kebersamaan tadi. Maka dari
itu kita perlu melihat konteks dari pepatah klausa di atas bahwa di saat kedua Sutan dari
pihak si pangkalan memiliki kedudukan yang sama. Ujaran yang disampaikan oleh sutan tadi
menyerahkan sebagian kebijaksanaan kepada sutan lain yang ia ajak bicara yaitu Sutan Baro.
Ditekankan pula agar sebagai seorang sutan, tidak akan mempengaruhi sedikitpun pada saat
Sutan Baro melakukan pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar keputusan yang diambil
menjadi independen, tidak terpengaruh oleh ungkapan pasan indak ka baturuik i kok pitaruah
indak ka baunian. Bentuk asal ungkapan tersebut sebenarnya adalah pasan baturuik,
semanda yang sama-sama memiliki gelar Sutan maka akhirnya ungkapan itu dibalik menjadi
Angin sebagai sumber kehidupan dalam klausa di ateh angin nan baasa terdapat
kata angin dan selanjutnya ada kata benda yang biasa dijadikan sebagai sumber kehidupan
masyarakat terutama petani. Seperti kayu dan hujan semua jenis bahan ini dijadikan sebagai
perumpamaan untuk mengikat tautan kehidupan yang komplit. Salah satu contoh di dalam
memenuhi kebutuhan pokok, kebutuhan akan semua bentuk bahan bakar manusia bergantung
kepada angin, hujan, dan kayu,. Dijadikanlah hujan dan angin sebagai lambang kehidupan
dan lambang kekuatan serta lambang kekuasaan. Hujan dan angin apabila muncul pada
ukuran yang pantas akan memberikan berkah kepada para petani. Angin dapat dijadikan
kincir angin dan menyalurkan air serta listrik, lalu hujan akan menjadi sumber air dan irigasi
serta tadah hujan. Namun apabila semuanya pada jumlah yang berlebihan maka akan
terjadilah apa yang disebut oleh orang Minangkabau hujan galodo (hujan dan angin serta
Arti dari klausa secara literal akan tetap, namun nilai rasa seakan berubah dari asal
mulanya. Karena kata ateh yang diletakan pada awal klausa menunjukan bahwa adanya
keterikatan antara yang berbicara dan yang di ajak berbicara antara saling meninggikan
Kebijaksanaan yang dimiliki tersebut kemudian berlanjut pula dengan menjelaskan hujan dan
kayu yang semuanya memiliki asal usul dan tautan mendalam dalam kehidupan. Begitupun
pada kesempatan tersebut, angin, air hujan serta pohon adalah lambang kekokohan serta
ketetapan.
Oleh sebab itulah semua bentuk klausa tersebut dijadikan sebagai pembuka dalam
menyampaikan basa basi penghormatan akan semua keterlibatan niniak mamak atas masalah
dan perhelatan yang akan dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk ikut dalam mengambil
keputusan yang bijak. Agar semua yang ada menjadi berpangkal (memiliki garis asal usul
yang jelas) dapat dipertimbangkan dan di pakai nantinya oleh mempelai laki-laki pada
Di dalam klausa “d” di atas jalan merupakan bentuk kata benda. Kita dapat
memahami maksud dari jalan yang dituturkan di atas jalan ko alah lamo indak di lalui ‘ jalan
ini sudah lama tidak dilewati’. Banyak kemungkinan yang tidak diketahui atau terlupakan
seperti kelokan atau simpang yang biasanya terdapat disisi jalan menjadi terlupakan. Ada
lika-liku dan juga tanda di sekitar jalan yang mungkin saja sudah terlupakan, bahkan
mungkin sudah banyak penambahan atau perubahan bentuk. Hal ini menyebabkan sipejalan
kaki atau yang mengendarai mobil tidak lagi hafal jalan tersebut untuk menuju sesuatu daerah
yang ditujunya.
Samak atau semak belukar adalah rumput sejenisnya yang biasa menutupi jalan
yang sudah lama tidak dilewati, tidak pernah dibersihkan. Biasanya semak inilah yang
membuat ragu seseorang karena sebelumnya mungkin saja tidak terdapat dedaunan dan
semak rerumputan di suatu tempat. Namun, karena sudah tak pernah dilalui lagi maka akan
tumbuh dan membuat ragu orang yang pernah lewat di sana. Secara literal demikianlah
makna yang terungkap pada bagian tersebut. Tetapi makna yang ada di dalam sebagai
sesuatu dan keragu-raguan. Makna metafora dari ‘keragu-raguan’ dan ‘jalan’ di dalam ujaran
di atas adalah suatu niat hati si penutur bahasa dalam memberikan rasa hormat. Rasa hormat
yang tinggi terhadap para pendengar dengan ungkapan ‘jalan yang sudah lama tak ditempuh’
dan ‘antah lah kok samak tu kini’, relefan dengan padanan kata berbasa basi dalam
Di dalam pasambahan ini, banyak hal yang diutarakan untuk merendahkan diri di
hadapan orang yang mendengarkan. Ada perkataan sambah manyambah kemudian kurang
mereka. Hal ini terlihat dari kalimat selanjutnya antara jalan dan sembah menyembah tidak
ada hubungan jelas diantaranya. Pada dasarnya di dalam ungkapan jalan yang sudah lama
tidak ditempuh dan sudah lama tidak dilalui tersebut merupakan bagian dari metafora.
Perumpamaan yang digambarkan sebagai jalan adalah media yang dibangun untuk
menghubungkan bagian daerah tertentu dengan daerah lain. Bagian dari perlintasan yang
dilalui oleh seseorang apabila ingin menuju suatu daerah. Jalan tersebut bisa berbentuk aspal
atau hanya tanah berupa jalan setapak, yang merupakan unsur dari jalan juga. Jadi, jalan
biasanya panjang dan terbentang untuk menghubungkan sesuatu. Maka di dalam ungkapan
‘jalan yang sudah jarang ditempuh’ dimetaforakan terhadap sesuatu aktifitas penuturan
sesembahan yang telah jarang dilakukan penutur. Oleh karena itu, pengambilan jalan sebagai
perumpamaan disambut pula dengan kaji nan lah lamo tak baulang menjadi syarat akan
menggambarkan sesuatu yang sudah sangat lama dilakukan. Hal menyebabkan ketidak
fasihan seseorang menguasai sesuatu karena sudah tidak lagi pernah atau jarang mengulang-
ulang kaji (pelajaran). Si penutur pada bagian berikutnya sangat ragu akan apa yang akan ia
sampaikan serta apa yang ia perbuat dalam menyambut niniak mamak serta yang hadir
Bentuk ungkapan dengan klausa ka ba tanyo... adalah bentuk klausa dengan bentuk
perkerjaan yang belum dikerjakan. Memiliki ciri dalam prediket nya di dalam BM adalah ka.
Namun apakah maknanya akan sama ketika ka kita letakkan di sesudah subjek dengan
klausa: ambo ka batanyo di dalam klausa pasambahan tersebut dihilangkan subjek orang
pertama tunggal. Peluruhan terjadi dan kalimatnya menjadi kalimat tak sempurna bahkan
menjadi kalimat maka ambo ka batanyo gurulah mati makna literalnya tetap sama.
Maksudnya adalah ‘akan bertanya tetapi guru sudah tiada’, pada makna metaforanya ka
menggambarkan kebimbangan. Sebenarnya, bukan guru yang telah mati. Namun sesuatu
yang tidak lumrah untuk ditanyakan lagi karena si penutur adalah termasuk orang yang
dipercaya pula dalam adat dalam menyampaikan sambah. Jadi kata ‘mati’ makna
metaforanya adalah berhenti dan tidak ada jalan lain, karena apabila sesuatu dinyatakan matai
maka tidak ada pergerakan dan aktivitas yang bisa dilakukanya. Cara yang paling akurat
untuk menyembunyikan rasa malu yaitu merendahkan diri dengan memintakan maaf kepada
Makna literal kata kalah, galanggang dan rumpun pisang menunjukan kepada kita
bahwasanya secara semantis kalah adalah sesuatu yag memalukan apalagi bagi masyarakat
Minang. Jenis dari kiasan ini sudah jauh dari makna denotatif. Makna konotatifnya sangat
tajam dan halus, namun masih dapat diambil hubungan antara rumpun pisang dengan maksud
Peribahasa ini bukan menyatakan sesuatu yang mustahil karena ungkapanya sedikit
agak miring dan negatif. Apabila kita cermati lebih dalam akan sesuai dengan filosofi rakyat
Minagkabau. Seseorang melakukan perjuangan hidup sebagai orang yang kuat ia pantang
menyerah dan gigih. Tidak ada istilahnya ia lemah dan terkurung oleh kelemahannya sendiri,
Ada prinsip yang sudah turun temurun digariskan pada kalimat tersebut rumpun
pisang adalah pisang yang mempunyai anakan dan induk yang terkumpul di dalam suatu
rumpun. Rumpun adalah sesuatu yang menjadi pokok tempat tumbuhnya pohon disana
berkumpul semua pohon pisang dari bagian paling kecil ke yang besar. Namun ada budaya di
sebagian dan hampir sebagian masyarakat bahwa apabila rumpun pisang sudah sangat banyak
maka bagian anak akan dipisah atau dibuang dari induknya yang sudah besar pada saat
belum berbuah. Hal ini disebabkan karena akan mengganggu pertumbuhan pembuahan
pisang yang lain. Maka dari itu, walaupun banyak, pisang tidak terlalu diharapkan dan lemah
pada posisinya sebagai pohon karena batangnya yang lunak, tidak bergerak dan mudah
dirobohkan. Sedangkan apa yang diharapkan oleh perumpamaan ini adalah harga diri agar
tetap terjaga dengan adanya harga diri yang tidak kalah sebelum bertanding tidak mau
menyerah sebelum berusaha. Menurut hemat penulis pasambahan ini menyampaikan tentang
penyampaian kata sambutan penghormatan seperti salah ucap, salah dalam menghidang,
salah dalam memperlakukan niniak mamak. Hal demikian termasuk kepada kesilapan, tetapi
prinsip yang lebih dalam lagi adalah lebih hina dan malu apabila sambah dan sembah tak
18.a. ma- suruak kan aua nan babarih, parik nan balingka
AKT suruak KAU aua yang berbaris’
‘Perjalanan yang dilalui penuh rintangan fisik dan non fisik’
bambu dan parit di sekelilingnya. Aua adalah sejenis bambu yang biasanya sering tumbuh di
tepi sungai atau parit di sekitarnya. Memiliki ranting yang banyak dan biasanya sangat
rimbun. Bentuk kiasan dalam semak dan rimbun ini mengkiaskan kepada pendengar betapa
banyaknya rintangan yang sudah dilewati oleh si pihak perempuan selama mempersiapkan
pernikahan. Selain itu juga pemberian sanjungan kepada pihak marapulai. Sanjungan
Dalam pilihan leksikon rumah dan di bunuah tergambar sesuatu yang nyaman dan
sesuatu yang tragis dan tidak nyaman. Pada saat klausa utama menyebutkan ...kok sudah
banyak sangsaronyo... rumah sudah tukang dibunuah...merupakan dua klausa yang saling
berhubungan, yaitu sebab akibat. Kenapa terjadi sengsara karena tukang dibunuh. Leksikon
sangsaro di pakai untuk menggambarkan makna kemiskinan dan penderitaan batin seperti
pada kalimat:
samanjak apak ba- hanti karajo yo lah sangsaro bana hiduik kini
semenjak ayah ERG henti bekerja yo PART sengsara betul hidup kini
‘Semenjak ayah berhenti kerja iya sengsara menderita kita sekarang’
iyo lah sangsaro hiduik ang mah induak mati apak tiado
‘iyalah sengsara hidup 3TGL ya ibu mati ayah tiada’
‘Menderita sekali hidupmu ibu meninggal bapakpun tak ada’
Bentuk kalimat rumah sudah tukang dibunuh adalah bentuk kalimat yang sudah
rumah -lah sudah di- bangun tukang -nyo pun di- bunuah
rumah PART sudah PAS bangun tukang 3TGL PART PAS bunuh
‘Rumah selesai tukanya dibunuh’
Terdapat beberapa kunjungsi dan kata bantu yang hilang seperti lah, sudah, nyo dan
dan bentuk serta bunyi menjadi lebih indah ringkas tetapi jelas. Bentuk ungkapan dan petatah
petitih sering sekali berbentuk seperti ini. Hal ini disebabkan karena menurut maksud dan
makna kalimatnya sama tetapi nilai rasanya yang akan di tangkap oleh sipendengar akan
Bentuk klausa yag sering muncul sederhana biasanya dipakai sebagai nasehat dan
bukan untuk menirukan apa yang diceritakan di dalam klausa atau kalimat tersebut. Seperti
yaitu:
SUBJ NEG
Hal yang seperti itu tak boleh ditiru pula
maksud dan tujuan baru sebab dikemudian. Seperti sangsaro adalah penggambaran dari
betapa malangnya nasib seseorang yang pada konteks ini adalah orang yang tidak dihargai
dengan segala pengorbananya. Tukang di ibaratka sebagai oranag yang sudah bersusah payah
membagun sebuah tempat kehidupan dan di gantungkan pada makna seseorang yang sudah
Rumah adalah tempat tinggal manusia yang dibangun begitu susah dan penuh
perjuangan materi, fisik dan jerih payah. Tukang adalah orang yang menyelesaikan rumah
dari membuat pondasi rumah sampai atap rumah. Antara yang punya rumah dan tukang
saling mengisi dengan materi dan kekuatan. Namun kontras yang terjadi sesudah rumah
diselesaikan untuk di bangun tukang dibunuh pula. Jerih payah sedikitpun tidak dihargai.
Begitu dalam perumpamaan yang dibuat dalam dua klausa di atas pengambilan keputusan
dan kegiatan menyelesaikan masalah bersama diambil dengan gotong royong dan
musyawarah. Tetapi ada satu hal yang perlu dihindari jangan sampai seperti rumah sudah
tukang dibunuah pembunuhan karakter yang kemudian muncul sesudah segala sesuatunya
selesai dengan baik. Maka habislah semua apa yang diimpikan nantinya dengan gambaran
laraklah kato disimpani. Kiasan di dalam pasambahan ini mengandung larangan agar nanti
jangan lupa untuk balas budi dan melecehkan orang lain yang sudah berusaha berjuang untuk
kita.
Pengulangan kata sarato sebagai penekanan dari klausa yang di atas. Kemudian
bentuknya yang sederhana hanya terdiri dari satu frase yaitu frase nominal. Jenis frasenya
yang sederhana dan tidak memiliki verbal atau kata kerja. Merupakan suatu wujud penekanan
kembali terhadap kiasan dan perumpamaan. Tetapi akan lebih enak dan lebih halus terdengar
apabila kalimatnya singkat dan jelas. Namun di sini tidak terlalu banyak memberikan makna
dan arti karena pada f sampai i inti dari kalimatnya adalah pada e , yo ka manjapuik
marapulai frase verbal pada manjapuik (menjemput) adalah inti dari seluruh frase nominal di
atas denga artian dijemput seluruh yang perlu, Tentu saja bukan orang banyak dan segala
macam hartanya. Karena dalam budaya orang Minangkabau sendiri laki-laki tidak membawa
sepeserpun harta dari rumah mandehnya . Tetapi di sini hanyalah kiasan dalam bentuk
hiperbola. Yaitu tentang sesuatu yang tidak mungkin untuk dikerjakan namun disebutkan
sebagai sesuatu yang akan dilakukan. Maksud dan tujuan inilah yang pada akhirnya akan
diarahkan kepada pihak laki-laki agar paham dengan pemberia gelar yag cocok dan baik
supaya semua berjalan lancar di kemudian hari. Hal ini akan di jelaskan pada paragraf
Langan adalah bagian tubuh yang digunakan untuk mengangkat mengambil dan
di Minangkabau fungsinya ayah/bapak bagi anak-anaknya dan juga perantara dan sebagai
mamak di kaumnya (apabila ia mempunyai posisi yang baik di sana) dan perupamaan lengan
dicincang menggambarkan keringanan dan kemudahan bagi sumando untuk memulai dan
membantu menyelesaikan masalah. Sumando kerap dijadikan penyambung lidah bagi suaatu
kaum atau suku. Sedangkan ba unuih biasaya adalah pisauatau pedang yang di bentangkan
tinggi dengan terhunus. Posisi ini adalah posisi siaga dan bersiap melakukan sesuatu atau
menyerang. Begitulah peran mamak sesuatu yang sangat mendesak penting dan lain-lain
Mengambil keputusan dengan cara baik dengan niat hasil yang baik pula.
c. tagak sapamatang
tegak sepematang
‘Tegak sepematang’
Jenis klausa-klausa sebagai kiasan di atas adalah kalimat deklaratif. Klausa dan
sado nan paguno (jenis benda tidak jelas identifikasinya). Apabila ingin menjadikanya
Sebenarnya memiliki arti secara liuteral sama dengan asala kiasan di atas namun
nilai makna dan rasa terlihat jelas dengan berubahnya bentuk kalimat kepada kalimat
pemberitahuan saja. Tanpa adanya unsur prosedural dalam kalimat selanjutnya karena apabila
kita bawa kepada kiasan. Di dalam bahasa sehari-hari ia akan terterima namun dalam keadaan
sedang melakukan sambah pasambahan dan kiasan ia menjadi kurang terterima. Sifat klausa
daun adalah sesuatu yang rimbun dan harus di buka dan di sibakan agar jelas tampak
buahnya. Kulit yang menutupi isi sebagai pelindungpun harus disingkap agar semua isi di
dalam dapat dilihat. Kesemuanya adalah umpama dari sebuah isi/masalah yang perlu di
carikan solusinya. Diambiak sado nan paguno mempertegas bahwa tak semuanya harus di
pakai dan dibahas dalam perundingan. Di ambil hal-hal yang penting kiranya untuk
Selain makna yag diutarakan dalam pembahasan ini, fungsi bahasa dari metafora
pasambahan juga menjadi salah satu bentuk kajian yang penting untuk diutarakan.
Diataranya ada fungsi bahasa yang bersifat informasional, phatik, estetik, direktif dll. Berikut
dijelaskan beberapa macam fungsi bahasa metafora terhadap kaitanya dengan fungsi
berbahasa.
18.a. ma- suruak kan aua nan babarih, parik nan balingka
AKT suruak KAU aua yang berbaris’
‘Perjalanan yang dilalui penuh rintangan fisik dan non fisik’
bambu dan parit di sekelilingnya. Aua adalah sejenis bambu yang biasanya sering tumbuh di
tepi sungai atau parit di sekitarnya. Memiliki ranting yang banyak dan biasanya sangat
rimbun. Bentuk kiasan dalam semak dan rimbun ini mengkiaskan kepada pendengar betapa
banyaknya rintangan yang sudah dilewati oleh si pihak perempuan selama mempersiapkan
pernikahan. Selain itu juga pemberian sanjungan kepada pihak marapulai. Sanjungan
terselubung kepada pihak yang diajak berbicara. Diantranya pujian terhadap pihak marapulai
Makna literal dari halaman nan indak rancak bana adalah halaman yang tidak
terlalu bagus atau sederhana dengan intan dan padi sebagai pasirnya. Halaman secara
denotatif leksikalnya adalah bagian terdepan dari rumah. Secara implisit terkandung suatu
maksud yang bertentangan bahwa rumah seseorang yang sedehana dicermati dari bagian luar
rumah seseorang . Menggambarkan keadaan pemilik rumah, karena halaman adalah bagian
yang menjadi cermin pemilik rumahnya. Selanjutnya, muncul metafora berupa intan dan
padi. Metafora ini memperlihatkan intan sebagai sesuatu yang berharga dan padi sesuatu
yang dibutuhkan sebagai pangan masyarakat Minangkabau pada umumnya. Intan sejenis
bebatuan yang sangat mahal dan menggambarkan prestise seseorang. Jadi terdapat kiasan dari
kesederhanaan pemilik rumah atau pihak marapulai namun mereka memiliki kedudukan dan
prestise yang baik dimata orang lain. Sehingga menjadi nilai yang baik bagi pihak anak daro.
Kedudukan dan nama baik menjadi salah satu dasar bagi mereka untuk meneruskan niat
berikut:
Ameh adalah suatu barang yang sangat berharga dan sangat sering Ibu-ibu (induak-
induak) menyimpan ameh atau emas yang menjadi barang penyimpan harta. Selain itu emas
juga merupakan salah satu lambang barang mewah bagi masyarakat. Emas adalah salah satu
bagian dari lambang kilauan dan kekayaan warna umumnya adalah kuning dan sangat
berharga. Ombak adalah aliran air seperti disebutkan gelombang tetapi berkekuatan besar.
Biasanya ombak ini besar dan dapat menghanyutkan kapal-kapal perahu kecil. Ombak yang
besar dan mempunyai kekuatan ini menjadi sesuatu yang berharga dan berkekuatan besar.
Jadi, kedua kiasan di atas masih menggambarkan pujian kepada kedudukan dan kehormatan
tuan rumah sebagai pihak marapulai. Agar pihak marapulai juga menghargai tingginya adat
analisis mengenai fungsi bahasa baik itu makna konseptualnya ataupun makna afektifnya.
Makna konseptual bertitik beratnya pada konsepsi kata atau klausa ujaran tersebut. Makna
afektif berhubungan erat dan lebih bertitik tumpu kepada kebebasan perasaan dan
informasional (memakai bahasa untuk menyampaikan informasi kepada orang lain mengenai
keadaan-keadaan eksternal atau pokok persoalan), fungsi ekspresif (memakai bahasa untuk
pendengar/pembaca), fungsi fatik (memelihara hubungan yang baik di dalam kelompok sosial
atau sarana komunikasi), dan fungsi estetik (menciptakan efek artistik atau pesan) (Leech,
2003:63—88).
bahwa yang paling penting aturan dan adat dijadikan pegangan. Salah satunya dengan adanya
penanda cupak tatagak baisi dan adat limbago batuang. Pengkiasan yang dilakukan disini
adalah merupakan informasi penekanan terhadap semua peserta agar musyawarah dilakukan
Informasi yang didapatkan dari metafora di atas diantaranya dari nan baunuih dan
sakian disampaikan merupakan salah satu bagian dari komunikasi informasi yang diinginkan
untuk disampaikan. Diantaranya bagaimana keputusan dan musyawarah akan selesai dengan
beberapa elemen penting sebagai peserta musyawarah yaitu urang sumando, niniak mamak.
Semua bentuk ini adalah sikap yang dinyatakan oleh penutur kepada peserta
musyawarah atau peserta lawan tutur. Salah satu bentuk sikapnya adalah menjadikan
musyawarah diartikan sebagai keputusan yang terbaik apapun hasilnya nanti diharapkan
semuanya dapat menerima dan menjalankan . Hal ini berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai
fungsi direktif. Pernyataan ini menguatkan pendapat mengenai bahasa atau suatu ekspresi
dalam ujaran bentuk karya seni (estetik/puitis) belum tentu memiliki hanya satu fungsi saja
sebagaimana dalam Leech (2003:64). Mereka dapat memiliki berbagai macam fungsi dan
ekspresi.
Berikut ini adalah fungsi direktif yang disampikan di dalam proses peyampaian pasambahan:
Sebenarnya fungsi estetik terdapat di awal pasambahan di atas, seperti pada kata
bakato, talalok, talupo. Seluruhnya adalah ekspresi dari suatu sikap yang diuntai dengan
keindahan rangkaian kata. Namun pada akhir pasambahan terlihat bahwa muncul
permohonan. Permohonan tersebut berkaitan dengan keinginan lawan tutur agar si pendengar
mewujudkan permintaan mereka. Salah satu keunikan pasambahan adalah satu dalam satu
komunikasi terdapat beberapa fungsi bahasa di dalamnya. Hal ini sesuai pula dengan bentuk
dan nilai sastra dalam pasambahan. Sikap bermohon dan permintaan seterusnya muncul di
dalam ujaran marapulai tolong di- pakai lamo-lamo, sikap yang secara jelas diutarakan
penutur. Ujaran dipakai lamo-lamo merupakan makna tersirat artinya jangan nanti marapulai
merasa tidak nyaman dan kurang merasa dihargai. Perasaan ini yang pada akhirnya menjadi
gejolak yang membuat perpecahan dan kebencian diantara pihak marapulai dan pihak
perempuan (anak daro) yang disebut dengan perceraian. Hal seperti itulah yang terlebih
Pasambahan dengan bentuk ini hanya berupa basa-basi atau menyampaikan sesuatu
yang sebenarnya hanya sebagai penguat pembicaraan atau percakapan. Sebagaimana dalam
fungsi phatic dijelaskan yang penting adalah terjadi atau adanya percakapan. Di dalam BM
khususnya dikenal juga adanya basa-basi sekedar mengisi percakapan. Di dalam metafora ini
muncul kata nasi siso dan kato siso semua bentuk metafora di atas hanya sebagai ungkapan
awal sapaan kepada si pemilik rumah. Selain itu nasi siso mamakani juga berarti sama-sama
melakukan sesuatu secara gotongroyong, yang berarti muncul dua fungsi bahasa di dalam
ujaran tersebut. Fungsi kedua selain fungsi phatik adalah fungsi direktif atau berupa sikap
yang diharapkan oleh penutur agar lawa tuturnya juga melakukan hal yang sama dengan apa
yang dilakukanya.
berbagai macam makna yang muncul. Makna tersebut dapat diketahui melalui dua kali proses
interpretasi. Interpretasi pertama melalui struktur kalimat dan baru kemudian semantiknya.
Semantik makna terdiri pula dari metafora makna primer dan sekunder. Struktur kalimat di
dalam pasambahan manjapuik marapulai berbentuk kalimat dasar, turunan, kalimat yang
Sementara konsep metafora berdasarkan hasil kesimpulan yang penulis dapatkan berbentuk
metafora pada tumbuhan, hewan dan benda atau hal lain di alam ini.
Hasil temuan ini juga menemukan adanya makna yang muncul setelah konteks,
bentuk ujaran semua dibangun ke dalam sebuah pemahaman. Maka dapat pula ditarik
kesimpulan bahawa kias dapat memiliki makna pertanggungjawab, penyampaian janji, basa-
marapulai adalah fungsi informasional yaitu penyampaian suatu informasi kepada pendengar
fungsi direktif bagaimana penyampaian sesuatu dengan keindahan kata untuk memohonkan
sesuatu kepada lawan tutur. Selanjutnya, fungsi phatik yang berbentuk bahasa yang indah dan
menarik serta beberapa alunan metafora namun hanya berupa basa-basi saja. Fungsi yang
terakhir adalah fungsi ekspresif mengenai bagaimana perasaan dan sikap sipenutur kepada
lawan tutur di dalam proses adat dan musyawarah dalam pasambahan manjapuik marapulai.
Namun setelah penulis perhatikan tampaklah bahwa masing masing fungsi selalu bertumpang
tindih dengan fungsi estetis. Hal ini disebabkan karena pasambahan merupakan salah satu
hasil karya seni sastra di Minangkabau. Sehingga fungsi estetis selalu lekat di dalam setiap
ujaranya.
Hasil temuan ini juga menemukan adanya makna yang muncul setelah konteks,
bentuk ujaran semua dibangun ke dalam sebuah pemahaman. Maka dapat pula ditarik
kesimpulan bahawa kias dapat memiliki makna pertanggungjawab, penyampaian janji dan
lain sebagainya.
Rekomendasi yang penulis sampaikan di dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan
telaah yang dapat dilakukan dalam bentuk lain pada pasambahan. Namun penelaahan makna
masih dapat dilakukan agar analisis ini menjadi lebih sempurna. Pembaca dapat mencarinya
di dalam pasambahan daerah lain, yang pada dasarnya sama. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan budaya, dialek dan lain sebagainya. Selanjutnya, penelitian lebih lanjut dapat
dilakukan dalam kaitanya kepada bentuk metafora di dalam ujaran lain yang non
pasamabahn. Semuanya dapat dilakukan dengan modal dan pemahaman yang kritis terhadap
Secara keseluruhan artikel ini menggambarkan bagaimana struktur, makna, dan fungsi
menjadi salah satu kajian yang cukup padat untuk mengolah sebuah pasambahan. Hal ini bisa
saja berkaitan denga linguistik ataupun dengan fungsi dan bentuk sosial dari kegunaan
pasambahan sebagai budaya lisan yang masih dipakai zaman sekarang harus dipahami secara
akademik agar pemahaman menjadi sistematik dan dapat memperkaya dan meningkatkan
Basa, Nagari Datuak. 1966. Tambo dan Silsilah Adat Minagkabau. Payakumbuh:CV
Eleonora;
Chaika, Elaine. 1989. Language the Social Mirror. Chicago: Newbury House
Publisher
Rosdakarya Offset
Linsky, Leonard. 1955. Semantic and Philosophy of Language. Urban, lll: University
of Illinois Press.
Oxford: Blackwell.
Pendidikan Kebudayaan
M.S, Amir. 1999. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan hidup Orang Minang. Jakarta
Parera, Jos Daniel. 1982. Pengantar Linguistik Umum Bidang Sintaksis. Endeflores:
Nusa Indah.
University Press.
Blackwell.
Wahab, Abdul. 1990. ”Sepotong Model Studi tentang Metafor”. Air Langga:
University Prees.