Anda di halaman 1dari 190

Fallen & Allena

FALLEN & ALLENA

novel by

Dyancuq

1
Fallen & Allena

Saat dua pemeran kisah romansa yang berbeda,


dipaksa bertemu pada halaman buku yang sama oleh penulisnya

1. Salah Pilih Ekskul

Allena membayangkan ketampanan Fallen—ketua ekskul musik, memainkan gitarnya sambil


menyanyi di atas panggung untuk mendemokan ekskul terfavorit di sekolah ini. Lelaki

2
Fallen & Allena

berbadan jangkung itu, membius ratusan gadis yang menyaksikannya menyanyi lagu berjudul
Cinta Luar Biasa—lagu milik penyanyi Andmesh, yang tengah marak didengar anak muda.

Membicarakan Fallen, tak melupakan bahwa lelaki berambut lurus disertai poni
depannya yang kadang berantakan itu, merupakan ikon dari SMA Harapan Kasih kurang
lebih selama satu semester belakangan. Fallen langsung mendapatkan hati para pecinta musik
setelah Adit—ketua ekskul musik sebelumnya, lengser dari takhtanya karena naik ke kelas
dua belas dan harus mengikuti ujian hingga membawanya lulus dari sekolahan ini nantinya.

Parasnya yang tampan dengan mata sipit serta bibirnya yang tipis berwarna merah
muda, tak akan membuat gadis mana pun bosan menatap Fallen. Terlebih saat mendapat
kesempatan berbincang dengan Fallen, orang-orang akan menyebutnya seperti mendapatkan
jackpot. Bagaimana tidak? Sikapnya yang dingin dan tak peduli dengan orang yang belum
dikenalnya, masih menjadi habit yang tak henti-hentinya diperbincangkan oleh orang.

“Lo serius, mau ikut ekskul musik, Al?” Mawar menempelkan kaleng minuman
dingin ke pipi sepupunya yang sedang melamun, alhasil gadis itu tersentak.

“Sialan lo!” Allena tak terima, karena lamunan indahnya membayangkan wajah
Fallen harus terhenti karena ulah Mawar. “Ya serius, lah. Siapa tahu nih, gue dapat jackpot
seperti apa yang dibicarakan orang-orang,” lanjutnya penuh antusias.

“Emang, apa sih, yang lo suka dari Fallen?” Mawar merebut kembali minuman kaleng
dari Allena yang semula diberikannya. “Cuma karena dia ganteng doang, kan?”

Allena berhenti di sudut koridor yang membatasi ruang laboratorium fisika dan ruang
perpustakaan. “Yang gue suka dari Fallen, ya suaranya dong, sama skill main gitarnya itu,
lho!” lalu ia memeragakan gerakan layaknya gitaris yang andal. “Keren kan, dia?”

Mawar berdecak. “Iya, iya, terserah lo aja. Yang penting, setelah ini, lo harus
menceritakan hal menyenangkan tentang Fallen ke gue. Oke?”

“Iya, kayak ngga biasanya aja, kalau kita punya kecengan baru.”

Jawaban Allena menjadi akhir dari perbincangan dua gadis sepersepupuan, karena
setelah itu mereka menuju ke tempat perkumpulan masing-masing ekskul yang dipilih.
Mawar menuju ke aula untuk berkumpul dengan anggota ekskul bulu tangkis, sedangkan
Allena menuju ke ruang musik tentu saja untuk berkumpul dengan anggota ekskul musik.

3
Fallen & Allena

Allena dan Mawar merupakan salah dua dari sekian peserta didik baru di SMA Hakas,
dengan Allena yang menjadi penghuni kelas sepuluh IPS1, dan Mawar menjadi penghuni
kelas sepuluh IPA1. Allena si gadis berambut panjang berwarna hitam pekat itu, sejak TK
kemana-mana harus bersama dengan Mawar. Dari dulu pun, mereka selalu sekelas. Baru kali
ini, mereka terpisahkan oleh jurusan. Itu yang membuat Allena tidak memiliki teman baru,
karena sejak hari pertama acara pengenalan sekolah, kemana-mana selalu bersama Mawar.

Setibanya di ruang musik, Allena langsung masuk karena sempat mendengar tuts
piano yang berdenting, mengalun membentuk sebuah melodi teratur yang memanjakan
telinga. Ia mengira bahwa sesi pertunjukan dari calon anggota baru sudah dimulai, namun
kenyataannya ruang musik masih sepi layaknya tak berpenghuni.

Allena dibuat semakin tertegun, saat mendapati bahwa seseorang yang memainkan
piano itu adalah Fallen. Ditatapnya lelaki itu tanpa berkedip. Rasanya, detik itu pula, Allena
semakin jauh mengagumi sosok kakak kelas baru yang dikenalnya. Entah dengan Fallen,
apakah ia mengenal sosok gadis bermata belo yang mengaguminya ini?

“Ngapain di situ aja?”

Lamunan Allena membuyar, karena orang yang tengah memenuhi hati dan pikirannya
itu, ternyata mau menyapanya terlebih dahulu dengan suara yang begitu lembut. Sama seperti
suaranya pada saat menyanyi di atas panggung beberapa hari yang lalu.

Allena tak tahu harus berbuat apa, selain salah tingkah sembari menggaruk
tengkuknya yang tak gatal. “I-iya, Kak.”

“Sini,” Fallen bangkit dari kursi piano sembari melambai ke arah Allena.

Allena berjalan mendekat ke arah Fallen dengan langkah pelan. Kedatangannya


disambut dengan Fallen yang mengulurkan tangan padanya. Dada Allena semakin dibuat
berdebar tak karuan. Mungkin apabila seseorang menggunakan stetoskop untuk
mendengarkan degup jantungnya, orang itu akan tuli seketika.

“Sadar Len. Mana mungkin Fallen mau nyapa duluan begini, kalau bukan karena dia
mau menyambut calon anggota barunya,” batin Allena berteriak seakan menyadarkan delusi
yang sedang dialami tentang sikap manis Fallen padanya.

“Hai, siapa namamu?”

4
Fallen & Allena

Uluran tangan Fallen disambut oleh Allena dengan sedikit keraguan. “Hai, Kak. Na-
nama gue A-Allena, Kak.”

Melihat Allena yang nampak gugup, membuat Fallen terkekeh pelan.

“Kenapa gue gugup gini? Kan jadi diketawain Fallen,” batin Allena menjerit lagi.

“Allena? Nama kita mirip, lho. Bisa-bisa, kita salah tangkap waktu orang memanggil
Len, saat kebetulan kita sedang berada di tempat yang sama.”

“Iya juga, ya?” Allena heran sendiri, mengapa dia masih saja gugup begini. Ia berpikir
sejenak, karena ucapan Fallen ada benarnya. Mereka berdua memiliki nama nyaris sama.

Fallen mengusap punggung tangan Allena menggunakan ibu jari, karena gadis itu tak
kunjung melepas jabatan tangannya. Akibatnya, Allena segera melepaskan jabatan tangannya
itu, lalu berjalan menjauh beberapa langkah dari tempat lelaki itu. Beberapa saat kemudian,
datang murid berbondong-bondong ke dalam ruang musik, yang didominasi oleh siswi.

***

Allena menepuk dahinya berkali-kali, karena ia baru saja salah menilai orang berdasarkan
dari kover yang terlihat. Masih teringat saat Fallen menggodanya di depan banyak calon
anggota, pada pertunjukan masing-masing bakat yang dimiliki. Fallen memojokkan Allena.
Saat gadis itu tengah memetik senar gitar, ternyata bunyi yang dihasilkan fals dan sember.
Katanya, Allena merusak gitar milik ekskul musik, dan harus menggantinya dengan gitar
yang baru. Sontak saja, puluhan pasang mata yang menyaksikan menertawainya. Namun saat
Allena panik, Fallen baru mengakui bahwa gitar yang dipilih gadis itu ternyata belum disetel.

Nasib di ujung tanduk, ia sangat malu karena ulah Fallen. Niatnya unjuk gigi jadi
gagal. Padahal dua hari belakangan, Allena memaksa teman SMP-nya yang bernama Dodi
untuk mengajarinya kunci dasar bermain gitar. Tentu saja untuk bekalnya menunjukkan ke
Fallen saat perkumpulan ekskul musik, bahwa dirinya memiliki sedikit bakat bermain gitar,
daripada harus menunjukkan suaranya yang tak seirama dengan nada.

Di akhir perkumpulan sebelum dibubarkan, Fallen kembali mengungkit Allena ganti


rugi gitar yang rusak. Lagi-lagi audiensi menertawai ulah Fallen, dengan Allena sendiri
semakin kesal dibuatnya. Alhasil, saat melewati gerombolan murid yang baru saja kumpul
ekskul musik, Allena ditertawakan dan kembali diledek supaya ganti rugi membeli gitar baru.

5
Fallen & Allena

“Eh tahu ngga, Kak? Tadi, Fallen ngeledek salah satu calon anggota, lho!”

Ucapan seorang gadis berbadan gempal yang duduk di kursi bus pojok kanan,
membuat Allena yang duduk di kursi pojok kiri tertarik. Karena meski bukan namanya yang
dibawa-bawa, kejadian yang diceritakan barusan mampu membuatnya tahu bahwa orang itu
hendak menggosip tentang dirinya yang diusili oleh Fallen beberapa saat lalu.

“Fallen? Lo ikut ekskul musik? Hati-hati, lho. Dia tuh, usil banget, asli!”

“Masa sih, kelihatan kalem gitu, kok!”

“Gue kan sekelas sama dia. Jadi, setiap aib dia, gue tahu betul! Orang dia tuh
pernah ngumpetin sepatunya pak Ghofar waktu mau salat Zuhur. Kurang ajar banget, kan?”

“Hah yang benar, Kak?”

“Iya, benar! Tahu ngga, dia ngumpetin dimana?”

”Dimana emang?”

“Itu, di saluran tempat wudu! Tahu ngga, kenapa Fallen jahil gitu?”

“Ngga tahu, Kak. Emang kenapa?”

“Gara-gara pak Ghofar ngga kasih dia nilai ulangan harian doang!”

“Gila, dia nekat ya?”

“Iya! Jadi, dia ngumpetin di bawah papan berlubang kecil. Jadi waktu orang wudu
ngga akan tahu, kalau ada sepatu di situ. Alhasil, basah sepatunya! Pak Ghofar yang kesal
karena nyeker, langsung nyamperin ke kelas karena tahu kalau pelakunya tuh, si Fallen!”

“Hahaha kok lucu banget? Hidupnya kurang kerjaan apa gimana, sih?”

“Tahu, tuh! Pokoknya, tiap guru, pasti ada aja cerita keusilannya si Fallen.”

“Untung ganteng ya Kak, keusilannya itu jadi lucu gitu.”

“Iya, ada untungnya juga dia ganteng.”

Perbincangan dua gadis yang memiliki garis wajah hampir sama itu, didengarkan
Allena sampai selesai. Ia kembali mendapatkan poin tambahan untuk dirinya yang menilai

6
Fallen & Allena

Fallen hanya dari kovernya saja. Rupanya, sifat usil yang mendarah daging di diri Fallen,
tersembunyi di balik wajah kalem dan polosnya.

“Kiri, Pak!” Allena mengetuk kaca jendela bus menggunakan uang logam, lalu
bangkit dari kursi yang didudukinya, melangkah menuju ke pintu belakang.

Saat dirinya hendak keluar dari bus, ia kembali mendengar bahwa dua gadis itu
membicarakannya. Satu di antaranya, menunjukkan bahwa Allena adalah sosok yang menjadi
korban keusilan Fallen saat di ruang musik tadi. Allena tak mengindahkannya, selagi apa
yang terjadi padanya bukanlah hal yang fatal.

Allena berlalu turun dari bus, setelah membayar ke kernek. Sesampainya di rumahnya
yang tepat di depan jalan raya, ia disambut tatapan garang seorang wanita yang usianya
hanya terpaut dua tahun darinya. Wanita itu menghalangi pintu yang akan Allena lalui.

“Bisa tolong minggir, ngga?” Allena tak berniat menatap wanita itu.

“Jawab dulu, lo darimana aja jam segini baru balik, hah?!”

Allena beralih menatap tajam ke arah wanita itu. “Lit, bisa minggir ngga?”

Allena berani memanggil wanita yang seharusnya dipanggil dengan panggilan ibu itu,
dengan nama panggilannya saja. Namun dengan catatan, apabila ayahnya tak ada di rumah.
Tentu saja Allena sangat membenci Lita yang suka membuatnya naik darah itu, karena Lita
selalu cari muka dan mau menjadi ibu tirinya karena hanya memanfaatkan harta ayahnya.

“Lo berani sama gue?”

Allena berdecak, “gue habis ikut ekskul musik. Puas lo? Cepat minggir!”

Lita tak beranjak dari pintu, meski Allena menjelaskan mengapa pulang telat begini.
Tanpa pikir panjang, Allena menarik Lita supaya tak menghalangi jalannya ke dalam rumah.
Tanpa disadari, perbuatannya itu dilihat oleh sang ayah yang baru saja pulang dari kantor.

“LENA!”

Allena berdecak sembari bergumam, “mati aku!”

Pria berkumis tebal dengan rambut mulai beruban itu, menarik lengan Allena secara
tak santai. “Apa-apaan kamu, ke ibumu ngga sopan begitu? Apa maksud kamu ikut ekskul

7
Fallen & Allena

musik segala? Ayah kan ngga suka apapun yang berhubungan dengan musik, kamu tahu itu!”

Allena menepis tangan ayahnya. “Ayah yang apa-apaan! Masih aja belain perempuan
jahanam ini! Sadar Yah, dia cuma manfaatin harta Ayah aja! Terus, suka-suka aku dong, mau
ikutan ekskul apa! Apa hak Ayah ngelarang aku?”

Tanpa pikir panjang, ayah Allena mendaratkan tamparan pedasnya di pipi kanan
Allena. “Anak kurang ajar! Kayak ngga pernah diajarin tata karma aja. Masuk kamar!”

Allena terdiam beberapa saat di tempat berdirinya, lalu menatapi ayah dan Lita yang
tersenyum lebar. Cairan bening yang memanas keluar dari pelupuk matanya. “Aku ngga
kenal lagi sama Ayah!” kemudian ia lari sekencang mungkin menuju ke kamarnya yang ada
di lantai dua, tak lupa menutup pintunya dengan kencang dan menguncinya rapat-rapat.

Selalu begini. Tiap Allena melakukan kesalahan karena ulah Lita sendiri, ia pasti
dihardik ayahnya. Ayahnya tak mau mendengarkan alasan mengapa Allena tak pernah sopan
kepada Lita. Setelah ibunya tiada, setiap hari di kehidupan Allena seperti disiksa di neraka.

Yang mau menerimanya keberadaannya adalah kakek, nenek, tante Nisa—mama


Mawar, dan Mawar sendiri. Orang-orang itu adalah tempat Allena bersandar, tiap kali ada
masalah yang menimpa kehidupannya. Sejatinya, sudah sejak dua bulan lalu Allena berniat
untuk kabur dari rumah. Hanya saja, ia belum berani melakukannya. Dan kalaupun kabur, ia
harus pergi kemana? Sedangkan tante Nisa dan Mawar sendiri, hidupnya sudah susah di
rumah sempit dengan dua kamar tidur saja. Mereka hidup juga mengandalkan gaji bulanan
dari almarhum suami tante Nisa, yang mengabdi sebagai seorang Polisi semasa hidupnya.

Satu-satunya sisa harapan yang tersisa memang rumah kakek dan neneknya. Tetapi
lagi-lagi, Allena tidak mau menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya. Namun apabila
harus dihadapkan dengan kehidupan yang setiap hari begini menyiksanya, bukan tidak
mungkin Allena lelah dan bosan, sampai-sampai nekat untuk kabur dari rumah.

Setelah puas menangis di ranjangnya, Allena bangkit dan beralih mengobrak-abrik isi
lemarinya. Mencari sebuah benda yang sempat diberikan sang ibunda, dengan catatan ia
boleh menggunakannya apabila sedang dihadapi keadaan yang mendesak. Di laci lemari
bagian paling bawah, Allena mendapatkannya. Sebuah map berwarna merah muda yang tak
terlihat berharga. Namun, itu adalah satu-satunya peninggalan terakhir sang ibunda.

Allena menyeka air matanya sendiri, dan membuka isi map tersebut. Betapa

8
Fallen & Allena

terkejutnya ia, saat mendapati isinya merupakan sebuah sertifikat tanah dan rumah, serta surat
wasiat. “Sertifikat tanah dan rumah? Surat wasiat?”

Setelah membaca secarik surat wasiat itu, Allena baru tahu bahwa rumah yang
ditempatinya ini, adalah rumah yang dibangun oleh ibundanya, bukan oleh ayahnya.
Sedangkan tanah yang disebutkan dalam sertifikat, membuat Allena ingat bahwa tanah itu
terdapat di suatu daerah dataran tinggi di Bandung yang dikelola orang suruhan.

Dalam keadaan seperti ini, Allena bisa saja angkat kaki bermodalkan map berwarna
merah muda itu, dengan nasib kehidupan sang ayah dan ibu tirinya ada pada tangannya.
Seketika, ada setan lewat yang membisikinya, untuk segera kabur dan menjual rumah ini.
Allena ingin segera menelantarkan sosok yang dua bulan belakangan, membuat dirinya hidup
seperti di dalam neraka. Ayah yang tega, dan istri mudanya yang bermuka dua.

Allena meraih ponsel di saku bajunya, dan membuat panggilan ke nomor Mawar.
“War, gue butuh bantuan lo sama nyokap lo!” ujarnya saat panggilan telah tersambung
dengan Mawar. “Gue mau jual rumah yang gue tempati ini!”

“Apa? Lo udah gila?” suara tersentak Mawar terdengar nyaring dari seberang sana.

Allena tersenyum miring, lalu mematikan panggilannya begitu saja.

+ Fallen & Allena +

2. Si Usil Fallen (bagian A)

9
Fallen & Allena

Bel istirahat selalu terdengar merdu di telinga pelajar di mana pun tempat mereka menuntut
ilmu. Padahal sudah dijelaskan bahwa tujuan mereka sekolah, tentu saja untuk menuntut
ilmu, bukan untuk main-main. Namun entah mengapa jam kosong, rapat guru dadakan, jam
istirahat, hingga pulang lebih awal menjadi hal favorit bagi mereka semua.

Rasa-rasanya, saat bel istirahat berkumandang, tahanan narapidana akhirnya terbebas


dari penjara yang menjeratnya selama dua sampai tiga jam di balik sel tak berjeruji, alias
ruang kelas. Dengan tak lupa ditemani pendamping sel pemilik sifat yang terlampau baik,
lucu, santai, atau bahkan galak dan tak memberi kompromi bagi narapidana yang bandel.

Namun terkadang, sifat pendamping sel tahanan alias guru yang terakhir, menjadi
ajang narapidana bandel alias murid, sekalian saja melakukan ekspresi akan kekesalannya.
Seperti apa yang baru saja dilihat Allena dan Mawar, saat melintasi kelas sebelas IPS2.
Seorang guru wanita berbadan gempal yang disinyalir super killer di jurusan IPS, lari keluar
dari kelas dalam keadaan seperti hendak menangis, karena ada permen karet menempel di rok
yang dikenakan olehnya. Tentu saja ini pasti ulah salah satu muridnya yang bandel nan usil.

“Fallen sama Beni ada-ada aja! Besok tinggal dihukum, mampus tuh!”

Allena menatap Mawar dengan tatapan penuh pertanyaan, seiring gosip yang
didengarnya barusan, dari salah satu orang di gerombolan siswi yang baru saja keluar dari
kelas sebelas IPS2. Rupanya, kelas itu kelas Fallen. Allena baru tahu.

Sesaat kemudian, Mawar ikut tertawa seperti murid di dalam kelas tersangka. Allena
yang ingin dicap sebagai siswi baik dan berbudi pekerti luhur, menyikut badan sepupunya
dengan pelan. Mengingatkan bahwa menertawai nasib yang dialami guru itu bukan hal baik.

“Itu menunjukkan kalau lo sama aja, kayak kelas yang baru diajar sama guru tadi.
Kasihan gurunya, tahu,” Allena melirik sepintas kepada sepupunya itu.

Mawar berdecak. “Lo ngga tahu, sih. Itu guru yang kelewat killer, tahu!”

“Oh, ya? Tahu darimana lo?”

“Kata kakak kelas, dia anak IPS juga,” Mawar terkekeh, pipinya terlihat merona.

Menyadari ekspresi Mawar, Allena jadi terpancing untuk menggodanya. “Hayooo,


udah dapat gebetan aja, walaupun baru seminggu jadi anak baru!”

10
Fallen & Allena

“Ih ngga, Al! Bukan gebetan gue, kok. Eh, serius, deh! Guru ekonomi itu, nanti ngajar
lo pas kelas sebelas, tahu!” Mawar sukses mengalihkan topik pembicaraan, karena Allena
nampak tertarik dengan ucapannya barusan.

“Serius?”

Mawar mengangguk dengan yakin. “Jadi, wajar aja tadi Fallen usil begitu. Karena ya,
guru itu pas ngajar pelan banget suaranya, bikin ngantuk. Tapi giliran muridnya pada
ngantuk, pasti dia ngomel. Terus kalau ngasih tugas, beuh, seabrek! Kalau ulangan harian
juga dadakan kayak goreng tahu bulat! Dan kalau ada murid ketahuan nyontek, langsung dia
tarik kerah belakang bajunya, dia suruh keluar kelas, terus lari dah tuh, keliling lapangan!”

Celotehan Mawar mampu membuat Allena merinding dan menelan salivanya susah
payah. Padahal, ia sudah merasa cukup bertemu dengan pak Teguh, guru killer yang mengajar
mata pelajaran Fisika di SMP dahulu. Hampir sama dengan pribadi guru wanita tadi, seperti
yang dijelaskan Mawar. Bergidik ngeri seketika saat mendengar ceritanya.

Tak terasa membicarakan guru killer yang ketiban nasib sial tadi, membuat Allena dan
Mawar tiba di kantin. Mereka berdua bersorak girang, saat keadaan kantin masih sepi. Karena
selain sama-sama enggan dihadapkan dengan keramaian, Allena dan Mawar tidak suka
menunggu lama makanan datang ke mereka, karena harus mengantre dengan pembeli lain.

Setelah memilih duduk di bangku yang dirasa nyaman, Mawar meninggalkan Allena
untuk pesan makanan mereka. Allena dengan nasi goreng—makanan favoritnya bersamaan
dengan es teh, sedangkan Mawar memilih makan bakso di pagi menuju siang hari ini,
ditemani es jeruk kecut kesukaannya. Karena kantin masih sepi, makanan mereka datang
selang lima menit kemudian. Dengan keadaan mereka yang masih saja senang membicarakan
orang. Kini, ghibah marak menjadi hobi baru bagi anak muda jaman sekarang…

“Gimana Fallen?” Mawar menyeruput es jeruk kecut yang menggoyang lidah.

Allena seperti tak berselera makan, saat mendengar nama Fallen menghiasi
telinganya. “Satu kata buat dia, War. Ngeseliiiin!”

“Kok gitu?”

Daripada Mawar banyak tanya, Allena menceritakan apa yang terjadi padanya hari
lalu, saat dirinya diusili oleh Fallen di depan khalayak. Apa yang dilakukan Fallen kemarin,

11
Fallen & Allena

membekas sampai hari ini. Beberapa orang yang dilewatinya saat berjalan, saling berbisik
membawa nama Fallen dan tak lupa menunjuk ke arahnya. Lalu mereka terbahak kencang.
Jelas menandakan bahwa mereka tengah membicarakan hal memalukan yang terjadi kemarin.

“Ngga apa-apa, Al. Itu tandanya, lo membuat sejarah baru, yang akan dikenang orang,
bersama Fallen,” Mawar begitu santai menanggapi keluh kesah sepupunya.

Allena gemas sendiri. Bukan jawaban itu yang ia harapkan dari mulut Mawar. Sontak
saja, ia menarik kedua pipi bulat milik Mawar, hingga sang empunya meringis kesakitan. “Lo
kayak Fallen jadinya, sama-sama ngeselin, War!”

“Eh, tapi emang Fallen itu, orangnya suka usil tahu, Al. gue tadi diceritain sama
teman sekelas gue. Katanya, dia tetangganya Fallen, lho.”

Allena mempercepat makan nasi gorengnya, daripada jadi tambah tak berniat untuk
menghabiskannya, karena topik Mawar selanjutnya memang masih sama membicarakan
Fallen. Namun, entah mengapa Allena merasa sedikit tertarik.

“Masa ya, dia pernah naikin anjing tetangga ke atas pohon, sampai pemiliknya nyariin
seharian ngga ketemu-ketemu!” Mawar terbahak kencang. “Hanya karena apa, coba? Karena
Fallen kaget, pas jalan pulang malam-malam ke rumahnya, si anjing di rumah sebelah
menggonggong kencang banget, Al!”

Allena bungkam, ia betah untuk sebatas mendengarkan cerita dari sepupunya.

“Motor salah satu guru, juga dia pindahin ke tengah lapangan! Malu ngga tuh, siang
bolong itu guru lewat di depan kelas. Eh, ngelirik ke tengah lapangan ada motornya parkir di
sana?” Mawar menggebrak meja karena tak sanggup menahan tawanya. “Alasan Fallen
ngelakuin itu, katanya karena pernah dijewer sama tuh guru! Padahal, bukan dia yang
melakukan kesalahan. Ya, bisa dibilang dendam kesumat sih, menurut gue.”

Akhirnya, Allena ikut terkekeh. “Kok dia bisa ekstrim banget, ya? Pernah juga tahu,
ngumpetin sepatu guru di bawah saluran wudu, bisa jadi buat tempat ternak lele tuh, sepatu!”

“Ngeselin ya, dia?”

Allena mengangguk dengan pasti. “Banget!”

“Tapi lo suka, kan?” Mawar kembali menggoda.

12
Fallen & Allena

“Ngga jadi! Gue udah bilang, dia ngeselin, kan?!” Allena mengerucutkan bibirnya.

Seiring teriakannya barusan, Allena merasakan bahwa bangku panjang yang


didudukinya serasa berat. Dan di sebelahnya serasa ada makhluk lain, yang tengah
mengawasinya tajam. “Ngeselin apa ngangenin?”

Allena tersentak. Mawar bahkan sampai mengeluarkan bakso di dalam mulutnya, saat
mendapati siapa yang duduk di samping Allena. Selain usil, Fallen memiliki bakat cenayang
dan teleportasi, sepertinya. Dapat merasa bahwa dirinya sedang dibicarakan orang, lalu
berpindah ke tempat tersebut dalam satu waktu.

Fallen menatap Allena dan Mawar bergantian. “Lagi ngomongin aku, ya?”

Allena memberanikan diri menengok ke arah kanan, dan langsung saja ia menghadap
wajah tampan milik Fallen. Lelaki itu juga menaikkan dua alisnya dengan genit. Allena
bergidik ngeri sembari geleng-geleng kepala. Fallen terkekeh sendiri, lumayan dapat
hiburan.

“Hati-hati lho, ntar sayang sama aku,” Fallen menoel dagu Allena di akhir kalimatnya,
lalu bangkit dari bangku, beralih pergi begitu saja tanpa dosa.

Seiring kepergiannya, Allena yang memiliki hobi melamun, kali ini nampak lebih
menyeramkan dalam lamunannya. Mata belonya melotot, disertai gertakan gigi layaknya
orang menggigil. Mawar yang khawatir melihat reaksi dari sepupunya itu, segera mengajak
Allena pergi dari tempat ini, alih-alih takut apabila nanti tiba-tiba gadis itu malah kesurupan
namun ia tak mampu untuk mengatasinya, bisa tambah panjang masalahnya!

***

Saat langit senja menandakan malam menggantikan tugas siang, Fallen baru tiba ke
rumahnya. Ia memarkirkan motor maticnya di halaman, lalu lari ke dalam rumah dan tak lupa
mengucapkan salam. Tempat yang dituju tentu saja dapur, pulau harta karun baginya. Karena
di sana, ia mendapat berbagai jenis masakan lezat buatan mama maupun pegawai mamanya.

Benar saja, Fallen segera menyergap makanan kotak bernama risol berisi daging ayam
dan sambal dengan perasa daun jeruk. Beruntung, ia tidak pulang larut malam, karena ia tahu
jadwal pesanan katering sang mama diantar selepas isya. Kalau Fallen telat pulang, dia pasti
tak akan mendapatkan harta karun berupa risol ayam kesukaannya secara cuma-cuma.

13
Fallen & Allena

Tingkah Fallen selalu saja mengundang gelak tawa bagi pegawai-pegawai mama,
dengan mama sendiri selalu menggelengkan kepala. Wanita paruh baya yang biasa disapa bu
Mella itu sampai heran sendiri, mengapa ia bisa melahirkan anak semacam Fallen ke dunia
ini, dengan keluh kesah dari banyak orang tentang anaknya yang selalu saja berbuat keusilan
itu. Terkadang ia mendengar dari orang lain, terkadang juga Fallen sendiri yang bercerita.

“Ma, masaw tadiw awku nwempelin pewmen kawet ke roknya buw Mega,” curhatan
Fallen tak terdengar jelas, karena mulutnya penuh mengunyah risol.

Mama Fallen meraih kain lap untuk mengelap bibir anaknya yang mulai bertumbuh
dewasa itu, karena minyak sambal dari risol yang dimakan meleber kemana-mana. “Kamu
berulah lagi? Mama ngga mau ke sekolahan kamu lho ya, kalau kamu dipanggil guru BK.”

Fallen meraih satu risol ayam lagi, lalu hendak beralih dari hadapan sang mama.
“Yang penting, nakalku ngga sampai hamilin anak orang kan, Ma?”

“Apa kamu bilang?!” mama Fallen melempar lap yang digenggamnya tadi, tepat
mengenai kepala orang yang dituju. “Kalau sampai kamu hamilin anak orang, Mama potong
lagi nanti, burung biadab milik kamu itu, pakai pisau daging!”

Fallen terbahak. “Habis dong burungku, ngga bisa lagi hamilin anak orang?”

“FALLEN! AWAS KAMU, BESOK PASTI BAKALAN KENA KARMA!”

Teriakan sang mama justru membuat Fallen kembali terbahak kencang. Saat wanita
berbadan gempal yang sangat dicintainya itu kesal dibuatnya, rasanya ada kepuasan tersendiri
di dalam hati. Yang paling penting, semboyannya tadi jangan sampai dilanggar.

Yang penting nakalnya ngga sampai hamilin anak orang.

Kenyataannya, Fallen memang termasuk cowok dingin kepada sosok yang belum
dikenalinya, namun menjadi sosok yang ramah sekaligus menggemaskan layaknya anak
kecil, kepada orang yang sudah dekat dengannya. Termasuk mamanya sendiri. Meski suka
membuat naik darah, Fallen anak yang paling mama Mella banggakan. Terbukti dengan
piala-piala Fallen yang terpajang di lemari bufet. Mulai dari festival musik, balap mobil,
sampai pertandingan futsal—meski ia tak mengikuti ekskul tersebut di sekolah.

“Tapi Ma, aku lagi mau mencoba baperin anak orang. Boleh, kan?” Fallen berbalik
menuju ke sang mama kembali, setelah maju beberapa langkah.

14
Fallen & Allena

Mama Mella yang tengah mengisi dus dengan makanan buatannya, terhenti sejenak
lalu menatap anaknya tajam. “Kamu benar-benar mau kena karma?”

“Ngga mau, Ma,” Fallen merengek bak anak kecil. “Kan cuma main-main bentar.”

Mama Mella melanjutkan aktivitasnya. “Terserah kamu aja. Tapi Mama ngga mau
dengar cerita setelah ini, kalau kamu dibuat patah hati sama perempuan itu.”

Fallen semakin merasa puas, terbukti dengan tawanya yang semakin keras. Bukan
Fallen namanya, apabila ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.

***

“Psssttt, psssttt. Al, keluar!”

Bisikan dari seseorang di luar jendela kelas, membuat Allena yang duduk di sebelah
tembok membuyarkan lamunannya. Di depan, masih ada guru pria yang mengajar mata
pelajaran kesenian. Allena menyukai hal berbau kesenian seperti musik dan melukis, namun
saat Mawar sudah datang mengajaknya melakukan sesuatu hal, ia tak bisa menolak. Karena
biasanya, Mawar selalu memiliki hal menyenangkan yang dilakukan mereka.

“Apaan?” balas Allena sembari berbisik.

“Fallen!”

Tuh, kan, bukan hal menyenangkan lagi! Namun hal yang belakangan menjadi asupan
kebahagiaan Allena, meski lelaki berponi acak-acakan dengan mata sipit itu, suka sekali
berulah dengan keusilannya. Benar saja, Allena begitu tertarik dengan ajakan Mawar. Ia
segera bangkit dan izin ke pak Tomo, untuk sekadar ke kamar kecil untuk membuang hajat.

“Apaan?” Allena tak sabar mengetahui hal menarik tentang Fallen, sesampainya di
depan kelas menyambut Mawar. “Ganggu aja, orang lagi mapel, juga!”

Mawar menarik tangan Allena menjauh dari depan kelas sepupunya itu, menuju ke
dekat balkon. “Tuh, lihat! Si pangeran usil kesayangan lo.”

Pemandangan miris namun menjadi tontonan favorit orang-orang, terlihat dari tengah
lapangan sekolah berumput. Seorang guru wanita berbadan gempal, tengah memarahi siswa
jangkung berponi acak-acakannya. Sesekali, sang guru menuding dan menjewer siswa itu.

15
Fallen & Allena

Allena terbahak, saat menyaksikan calon gebetannya berlari mengelilingi lapangan,


menjalankan hukuman dari bu Mega yang terkenal killer di jurusan IPS itu. “Kasihan
pangeran, gue jadi pengen ngelapin keringatnya deh, War.”

Mawar menoyor kepala Allena. “Baru juga mulai lari, dia belum keringatan, bego!”

Allena menatap tajam ke satu-satunya orang yang memanggilnya dengan sebutan Al.
“Siapa tahu, badannya keringatan waktu ditarik bu Mega dari kelas?”

Ucapannya tak mendapat respon, karena Mawar menikmati tontonan gratis, seperti
kebanyakan murid lain yang menonton dari balkon atau koridor kelas di siang bolong begini.
Saat menjadi tontonan, Fallen justru makin percaya diri, dengan melambaikan tangan sambil
membagi kiss bye-nya yang memuakkan. Tontonan ini berlangsung sepuluh menit lamanya.

“Al, kayaknya lo dapat saingan berat, deh?” Mawar menggoyangkan tubuh sepupunya
yang terlihat sedang memainkan ponsel.

Saat Fallen selesai lari keliling lapangan, ia disambut tiga orang gadis. Salah satunya
berambut pontongan bob, berseragam ketat dan rok di atas lutut, memberikan sapu tangan
dan air minum kemasan. Meski begitu, gadis binal bertubuh pendek itu, nampak mungil nan
menggemaskan. Terlebih lagi, saat bersebelahan dengan Fallen yang tingginya sekitar 175cm.

Allena menggenggam ponselnya kencang, ekspresi terbakarnya api cemburu di dada.


Namun ia bisa apa? Saingannya lebih cantik, pandai berdandan dan bergaya mewah. Beda
dengannya yang berangkat sekolah ala kadarnya, hanya bermodal riasan liptint pemberian
Mawar, rambut panjang yang diikat separuh atau diikat ekor kuda, meski sesekali digerai.

“Udah, ah, War. Gue mundur aja, kalau begini,” Allena beralih meninggalkan balkon
tempatnya menonton Fallen menjalankan hukuman.

Allena bahkan tak peduli lagi saat sang sepupu berteriak memanggili namanya
berkali-kali, lalu ia memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kelas melanjutkan pelajaran
kesenian yang nampak lebih menyenangkan.

+ Fallen & Allena +

16
Fallen & Allena

3. Ketua Kelas Ngeselin

Saat Allena hendak meninggalkan kelas selepas pelajaran usai, ia ditahan oleh Leli—
ketua kelas ngeselin, sekaligus musuh bebuyutan sejak mereka duduk di bangku SMP. Leli si
gadis cungkring berkacamata bulat, menyilangkan tangan di dada. “Mau kemana lo?”

Allena memutar bola matanya. “Lo lihat kan, gue udah gendong tas? Ya mau pulang,
lah! Ya kali, mau bantuin bu Surti jualan gorengan di kantin?”

Leli memperlihatkan buku catatan piket tepat di depan muka Allena. “Lo belum piket
hari ini. Dan lihat, lantai kelas kotor banget. Gue mau, lo ngepel sampai bersih. Ingat, gue
bakal mantau dan nungguin lo sampai selesai!”

Allena mengerutkan kening. “Lo ngga lihat, ini udah jam berapa?”

Leli beralih menatap ke jam dinding kelas. Sudah pukul empat lebih dua puluh menit,
sekolah pun sudah sepi layaknya tak berpenghuni. Apa jadinya kalau Allena harus
menyelesaikan piketnya untuk mengepel lantai seluruh sudut kelas?

Leli yang kembali menyilangkan tangan di dada, menendang ember berisi alat pel
menuju ke Allena. “Salah sendiri, pagi tadi ngga piket. Buruan! Emangnya lo sendiri yang
pengen pulang, hah?” lalu ia duduk di bangku meja guru.

Allena menarik napasnya dalam, berusaha mengontrol emosinya. Berhadapan dengan


Leli, sama saja memancing keributan sampai bisa dipermasalahkan ke kepala sekolah.
Akhirnya, Allena mengalah. Salahnya juga tadi tidak piket, lagian sudah ada peraturan di
awal, bahwa setiap murid yang tidak piket, akan mengepel kelas saat pelajaran telah usai.

Dengan berat hati, Allena meraih ember dan meletakkan alat pel menyandar ke pintu
kelas. Ia keluar kelas menuju ke toilet siswa untuk mengisi ember dengan air, tak lupa
menambahnya dengan cairan wangi pembersih lantai.

Persaingan Allena dan Leli bermula pada saat keduanya sering menjadi kandidat
mengikuti lomba. Saat kelas tujuh, mereka terpilih mengikuti cabang olahraga lompat jauh,
dengan Allena yang menjadi atlet pilihan. Saat kelas delapan semester dua, lagi-lagi mereka
dipertemukan pada seleksi untuk mengikuti lomba cipta dan baca puisi, dengan Leli yang
akhirnya terpilih. Mereka juga beberapa kali saingan untuk merebut juara pararel di sekolah.

Sejatinya Allena tak menganggap bahwa Leli adalah saingannya, namun lama-lama ia

17
Fallen & Allena

gerah dengan sikap Leli yang seakan selalu mengajaknya bersaing. Bahkan, Leli acapkali
bertindak curang, suka menuduh Allena melakukan hal keburukan, lalu mengadu hal tersebut
ke guru. Hingga persaingan terakhir terjadi saat mereka berada di puncak jalan sebagai
murid, yaitu ujian sekolah. Mereka yang dielukan sebagai murid dengan predikat nilai bagus
di pelajaran bahasa Indonesia, ditantang oleh guru jika mendapat nilai sempurna, akan diberi
beberapa hadiah. Dengan kenyataan hasilnya, Allena yang mendapatkan nilai sempurna.
Lagi-lagi Leli merasa bahwa hidup Allena terlihat mulus dan lancar-lancar saja, tanpa suatu
hambatan apapun. Ia selalu mendapatkan apa yang dia mau, tetapi aku tidak. Pikirnya.

Allena tak menyangka, pil pahit kembali ia telan di jenjang SMA kali ini. Lagi-lagi
Leli yang ia temui. Sampai satu kelas, pula. Seperti tak ada teman lain saja. Hal inilah yang
membuat Allena tak betah di dalam kelas, karena ulah Leli yang suka sekali mengintimidasi,
atau mungkin teman-teman lain sudah terbuai oleh hasutannya tentang keburukan Allena.

Beberapa hari belakangan, Allena sedang benar-benar diserang oleh Leli. Seperti tiga
hari yang lalu, Leli membeberkan bahwa ayah Allena menikah lagi dengan daun muda, yang
usianya tak jauh berbeda darinya. Esoknya tugas Allena yang sudah dikerjakan, bukunya
hilang tiba-tiba hingga akhirnya ia tak mengumpulkan dengan alasan buku tertinggal di
rumah. Beruntung sang guru memberi dispensasi, karena masih bulan awal pembelajaran.

Hingga hari ini, Allena kembali dibuat naik darah karena harus pulang sore. Padahal,
ia berniat segera pulang ke rumah Mawar untuk menginap. Pun, sepanjang mengepel, Allena
disuruh-suruh oleh Leli secara tak santai. Seperti beberapa sudut lantai masih kotor, alat pel
tidak diperas dengan betul, bahkan sampai harus ganti air di ember karena sudah kotor.

Sekitaran sepuluh menit, Allena melaksanakan piket kelas suruhan Leli dengan sabar.
Kegiatan Allena akhirnya selesai, namun saat ia hendak berbalik menuju ember untuk
membuang air, Leli berjalan seolah-olah tak sengaja menendang ember tersebut. Alhasil air
menggenang kemana-mana, membuat lantai yang dipel Allena kembali kotor dibuatnya.

Leli terkekeh pelan. “Ups, sorry.”

“Makanya, kalau jalan matanya dipakai, buat ngelihat!” Allena menatap Leli tajam,
lalu ia ikut terkekeh mencibir. “Eh lupa, kan lo rabun, ya? Makanya ngga lihat.”

“Heh, ini salah lo sendiri, ya! Siapa suruh, menyimpan ember sembarangan!”

Leli menendang ember tersebut sampai terpental keluar kelas. Beberapa detik berlalu,

18
Fallen & Allena

ember yang semula terpental keluar kelas, kembali masuk ke kelas dengan keadaan di dorong
oleh seseorang. Orang yang masuk ke kelas ini membuat Allena tertegun dan menganga.

“Siapa yang nendang-nendang ember tak berdosa ini?”

Suasana hening beberapa saat. Hingga akhirnya, Leli menunjuk ke arah Allena. “Dia
lah, Kak. Lihat sendiri, kan? Dia lagi pegang alat pel?”

Lelaki jangkung dengan badge nama Fallen Mahendra di seragam itu, berjalan
mendekat ke arah Leli. “Tadi aku lihat bukannya kamu tuh, yang nendang? Bahkan, sampai
membuat lantainya kotor lagi begini. Tega ya?”

Leli bergidik ngeri mendengar Fallen melempar sarkasnya. “Ng-ng-ngga kok, Kak…”

Fallen menyilangkan tangan di dada. “Ang eng ang eng! Ngomong aja masih belum
khatam, udah belagu mau ngebully orang, hah?”

“I-iya, Kak… A-a-ampun…” Leli memelas.

“Bersihin sekarang!” Fallen berseru hingga suaranya memenuhi sudut ruangan.

Daripada terjadi hal lain, akhirnya Leli merebut alat pel dalam genggaman Allena, dan
meraih ember yang semula ia tendang. Namun nahas, saat ia berlari melewati genangan air,
badannya terpelanting, sampai menghasilkan bunyi brukk. Allena terbahak, namun lelaki
yang membelanya itu masih menatap Leli dengan tajam, tanpa berniat untuk menolongnya.

Allena tak mengerti, ia sedang dihadapi situasi menyenangkan, menjengkelkan, atau


miris di sore ini. Bahkan, ia merasa seperti mimpi. Tiba-tiba pangeran dalam imajinasinya
datang memberi pertolongan. Terlebih saat pangeran bernama Fallen itu melambai padanya.
Sepertinya lambaian tangan Fallen, akan menjadi hal favorit terbaru dalam kehidupan Allena.

“Yuk pulang, biarin aja dia basah-basahan, sekalian bersihin kelas karena ulahnya
sendiri,” tangan Fallen masih mengulur, seakan menyambut kedatangan Allena.

Allena membuyarkan lamunannya, lalu beralih meraih tasnya di atas meja. Ia berjalan
dengan hati-hati saat melewati genangan air dan juga Leli yang masih terduduk di lantai, lalu
menuju ke arah Fallen dalam keadaan mulutnya yang masih terkunci. Setibanya Allena di
sampingnya, Fallen merangkul gadis yang tingginya setara dengan dagunya yang panjang itu.

Allena sendiri seperti mati kaku, serta jangan ditanya lagi sekencang apa jantungnya

19
Fallen & Allena

berdegup. Sedangkan ia harus dihadapi situasi Fallen yang merangkul pundaknya, sepanjang
koridor kelas lantai dua, menuju ke parkiran motor di sekitar lapangan. Dalam hati pun,
Allena memikirkan apakah Fallen ini akan mengajaknya pulang ke rumah bersamaan?

“Mau pulang sama siapa?”

Begitulah, pertanyaan dari mulut Fallen yang diharapkan oleh Allena. Rasanya, Fallen
memang pantas dikatakan sebagai orang berbakat cenayang.

“Balik sama sepupu sih, cuma kayaknya dia udah ninggalin gue, deh,” Allena
berlagak santai meski dadanya berdebar tak karuan.

Fallen menatap kesana-kemari, memastikan bahwa parkiran sekolah hanya tersisa


beberapa motor saja. “Yakin dia masih nunggu di sini? Atau mau pulang bareng?”

Allena menatap Fallen terperanjat. “Serius?”

Fallen terkekeh. “Kayak dapat duit sekoper aja deh, kan cuma diajak pulang bareng
sama aku,” kemudian ia menaiki motor matic hitamnya.

Allena menggaruk tengkuknya. “Maksudnya, serius? Aku ngga ngerepotin?”

“Pulang kemana? Kali aja kita sejalan,” Fallen mencantelkan helmnya di bagian
depan motor. “Yuk, buruan? Sebelum aku berubah pikiran, lho.”

Allena berjalan mendekat dengan sedikit keraguan. “Ke jalan Patimura, Kak.”

“Wah, aku ngelewatin tuh! Yuk?”

Akhirnya, Allena duduk di jok belakang Fallen. Tentu dengan keadaan dadanya yang
berdebar tak karuan. Bisa sedekat ini dengan pangeran impiannya, layaknya fatamorgana di
dalam dunia mimpinya. Sudah menjadi hal yang tidak mungkin terjadi, kejadiannya ada di
dalam mimpi, pula. Khayal yang bertubi-tubi.

“Jangan tegang. Aku ngga gigit, kok!” Fallen menatap Allena dari spion.

“Hehe, ngga kok.”

Setelah memastikan Allena aman di belakang sana, Fallen mulai menstarter motornya.
Beberapa saat memainkan gas dalam keadaan motor masih diam, persekian detik kemudian ia
mulai meninggalkan kawasan parkiran sekolah. Hati Allena yang semula bergejolak karena

20
Fallen & Allena

tingkah Leli, berubah menjadi ditumbuhi banyak bunga serta kupu-kupu yang menari karena
perlakuan dari Fallen. Apakah Fallen sudah pantas disebut sebagai pahlawan kesorean?

***

Bukan rumah Mawar yang Allena tuju, meski ia sudah menunjukkan mana saja jalan yang
akan dilaui. Melainkan kini, Fallen mengajaknya nongkrong di sebuah pedagang bubur
kacang hijau kaki lima depan toko yang tutup. Fallen menanti bubur kacang hijau dilengkapi
ketan hitam dan durian, dan Allena memilih diam karena ia tak suka dengan menu yang ada.

“Sorry, ya. Aku jadi malah ngajak kamu ke sini,” Fallen menyambut kedatangan
semangkuk menu kesukaannya. “Habisnya, udah niat beli pas pulang sekolah.”

Inikah yang dinamakan jackpot oleh orang-orang? Allena berusaha menghalau delusi
yang datang, sebab perlakuan Fallen padanya seakan menunjukkan bahwa mereka sudah
kenal sejak lama. Sebuah hal yang mustahil, bukan? Allena juga dapat mendengar perkataan
Fallen, tanpa ia harus bertanya. Apa memang hanya segelintir orang yang merasakan hal
ini?

“Aku suka deh, sama cewek yang apa adanya, kayak kamu.”

Allena kembali membelalakkan mata. “Hah, maksudnya?”

“Udah beberapa kali ini, aku diajak makan bubur di sini sama cewek. Bilangnya
mereka suka bubur, tapi pas pesanannya datang cuma dimakan berapa sendok aja. Padahal,
mereka duluan yang ngajakin aku makan. Aneh kan? Bikin mubazir doang.”

“Hehe iya, Kak. Aneh. Kenapa gitu, ya?” Allena masih merasa canggung karena
Fallen rupanya terlampau terbuka padanya.

Fallen memasukkan satu suap bubur ke dalam mulutnya. “Sebenarnya, mereka cuma
pengen makan bareng aku aja. Aku kan orang ganteng, pantas gitu, diajakin nongkrong,”
kemudian ia nyengir kuda terlampau percaya diri.

Allena hanya meng-oh-kan penjelasan Fallen, karena bingung harus membalas


apalagi untuk lelaki terlampau percaya diri yang ada di hadapannya itu.

“Nah, beda sama kamu,” Fallen menatap Allena dalam. “Ngga suka ya bilang ngga,
lebih rela gitu, nungguin aku makan.”

21
Fallen & Allena

Allena nyengir beberapa detik, karena lagi-lagi bingung harus membalas apa.

“Anyway, cewek yang tadi, ketua kelas?”

Allena menatap Fallen sejenak, lalu mengangguk. “Iya, ketua kelas ngeselin.”

“Aku ngga tahu kenapa gitu ya, mungkin udah takdirnya ketua kelas itu diciptakan
ngeselin. Kayak di kelasku tuh,” Fallen menopang dagu.

“Emangnya kenapa?”

“Suka ngadu kalau aku jahilin guru-guru! Kayak tragedi permen karet, kalau bukan
karena ketua kelasnya ngadu, bu Mega ngga akan tahu aku sama Beni pelakunya,” celoteh
Fallen. “Beni juga lagi hoki tuh, ngga masuk waktu itu. Jadi ngga kena hukuman sama aku.”

Allena memperhatikan sepanjang Fallen bercerita, hingga ia terkekeh di akhir kalimat


karena merasa terhibur oleh tingkahnya. “Harus banget pakai istilah tragedi?” Ia tak pernah
memikirkan, Fallen sampai menyebutkan tindak keusilannya dengan sebuah sebutan tragedi.

Fallen terbahak. “Harus, lah! Biar keren.”

“Terus, Beni-Beni itu, belum dihukum juga sama bu Mega?”

Fallen menggeleng. “Sampai detik ini sih, belum. Biarin lah, kalau memang dia ngga
dihukum. Kan dia cuma ikut-ikutan ide isengku aja.”

“Syukur deh, lo mau berkorban demi teman gitu.”

“Eh, tunggu dulu!” Fallen berseru. “Kapan-kapan, tinggal Beni yang dihukum. Enak
aja, dia ikut menikmati sensasi kesenangan tragedi itu, tapi malah ngga dapat hukumannya.”

Allena menggeleng-gelengkan kepala. Ia lagi-lagi tak menyangka, Fallen yang terlihat


santai apabila menghadapi masalah, justru menyembunyikan dendam di balik kesantaiannya.
Benar-benar pribadi yang konsisten dalam segala hal memakai topeng. Konsisten dalam hal
menutupi keburukan lewat wajahnya yang lugu, konsisten menutupi sifat usilnya di balik
wajahnya yang kalem, sampai konsisten menutupi rasa dendam di balik jiwa kesantaiannya.

“Udah sore nih, yuk, balik?” Fallen bangkit dari kursi yang didudukinya.

Tak terasa, mangkuk berisi bubur kacang hijau, ketan hitam, dan durian, kini bersisa
beberapa tetes air saja. Termasuk orang kurus yang cepat menghabiskan makanan. Setelah

22
Fallen & Allena

membayar, Fallen kembali menuju ke motornya, begitu pula Allena yang kembali duduk di
jok belakang. Mendekati senja, Fallen dan Allena menyusuri jalanan kota bersama.

“Helmnya ngga dipakai?” Allena sengaja mengeraskan volume bicaranya.

Fallen sedikit menengok ke arah kiri, dengan mata yang masih fokus ke jalanan. “Aku
takut kalau nanti pakai helm, aku dikira bukan cowok gentle.”

“Kenapa?”

“Masa ceweknya ngga pakai helm, tapi cowoknya pakai? Sama aja mau melindungi
diri sendiri. Seandainya kita kecelakaan, kamu meninggal karena ngga pakai helm, tapi aku
waras karena pakai helm, aku disebut pelaku pembunuhan tak disengaja,” Fallen berceloteh.

“Kan kecelakaan, ngga akan ada orang yang tahu takdirnya bakalan gimana,” Allena
kembali menggelengkan kepala karena geli dengan pendapat Fallen.

Allena layaknya menjadi Milea yang dibonceng Dilan dengan motornya, menyusuri
jalanan sore hari. Sayangnya, cuaca sedang tidak hujan. Menyebabkan Allena belum menjadi
Milea yang dapat memeluk Dilannya dengan leluasa, saat air langit membasahi tubuh mereka
berdua. Kalaupun Allena ditakdirkan seperti Milea, ia berharap tak mendapat Dilan yang
meninggalkan selagi sayang-sayangnya

+ Fallen & Allena +

23
Fallen & Allena

4. Si Usil Fallen (bagian B)

Jam istirahat, masih menjadi hal menyenangkan bagi pelajar di mana pun tempatnya
menuntut ilmu. Terlebih bagi Fallen dan ke tiga teman karibnya, Beni si pemilik rambut agak
gondrong, Faza si pemilik hidung pesek, dan Erlan si pemilik tahi lalat di dekat hidung. Ke
empatnya bertubuh jangkung, hingga penghuni sekolah menyebut mereka geng Tengkorak.

“Eh, masa ya, tadi dadanya Sandra sengaja ditempel-tempelin ke gue,” Fallen
membuka pembicaraan saat mereka di perjalanan menuju ke kantin.

Fallen mengingat dengan pasti, si ketua geng pembuat onar di kelasnya beberapa
waktu lalu sengaja menempelkan dadanya ke lengannya. Pastinya Fallen ketiban rezeki,
karena lengannya bersentuhan dengan gundukan besar nan kenyal milik Sandra. Mendengar
cerita Fallen, temannya merem-melek membayangkan rasanya ketiban rezeki seperti Fallen.

“Kenapa ngga gue aja ya, yang ketiban rezeki?” Erlan menggosok lengannya, sedang
berimajinasi, membayangkan seandainya si Sandra memilihnya sebagai korban.

Fallen menoyor kepala Erlan kesal, “ambil aja sono! Dia tuh, terlalu terobsesi sama
gue, genit pula kayak lonte maribuan. Ngga suka gue mah, sama cewek model begituan!”

“Anjir! Yang penting, dia cantik!” Beni menggoyang-goyangkan tubuh Fallen. “Eh,
tuh, si Sandra!” ia berbisik sembari menunjuk ke arah tiga orang perempuan beberapa meter
di depan. Kemudian ia melangkah lebih cepat dari ketiga teman mengikuti di belakang.

Cepret!

Beni menarik tali bra milik Sandra yang menerawang dari balik seragam. Empunya
mengaduh dan menatap ke belakang. Bertepatan dengan ke tiga anggota geng Tengkorak
mendorong Fallen di belakang Sandra. Ekspresi kesal Sandra yang biasa dipasang untuk
menghadapi adik kelas, menjadi berubah nyengir layaknya keenakan.

“Eh, Fallen.”

Kedua teman Sandra ikut berhenti, menyadari sepertinya ada konflik yang terjadi di
antara ketua geng mereka dengan ketua geng Tengkorak.

“Bukan, bukan gue pelakunya! Si Beni, tuh!” Fallen angkat tangan, dalam hati ia
mengumpat. “Sialan si Beni, mengkambinghitamkan gue begini!”

24
Fallen & Allena

Beni, Faza, dan Erlan terus mendorong tubuh Fallen sampai benar-benar mendekati
Sandra. Gadis binal itu tak keberatan, sedangkan Fallen sendiri susah-payah menghindar dari
tingkah ke tiga sahabatnya. Akhirnya, daripada harus terjadi hal lain yang tak diinginkan
selanjutnya, Fallen memutuskan untuk segera pergi dari hadapan enam teman sekelasnya.

Kepergian Fallen membuat keheningan enam insan berbeda jenis, dengan Beni yang
berusaha mengendap-endap menjauh dari Sandra. Namun, gadis dengan potongan bob itu
berhasil menarik baju Beni, selanjutnya ia menjewer dan mencubiti lengan Beni. Sedangkan
dua teman Beni ngacir duluan, mengikuti Fallen yang sudah beberapa meter di depan sana.

Kelakuan usil geng Tengkorak terlihat nyata di mata Allena, saat ia baru saja turun
dari tangga lantai dua. Hatinya panas entah mengapa, meski sudah beberapa hari ingin
menyudahi diri untuk menyukai Fallen. Mawar yang langsung paham dengan reaksi
sepupunya, hanya bisa mengusap-usap pundak Allena—gadis yang jauh lebih tinggi darinya.

“Gue mencium ada bau-bau gosong, nih, dari hati lo.”

Ledekan Mawar berujung membuat Allena mempercepat langkahnya meninggalkan


sepupu keparat itu. Tapi persekian detik, Mawar sudah bisa kembali menyamakan langkahnya
dengan sang sepupu. Allena sendiri masih saja nampak memasang wajah masamnya.

“Lo kemana, kemarin sore ninggalin gue?” Allena tak mampu berdiam diri apabila
harus bersanding dengan Mawar. “Gue ketiban apes tahu, ngga?”

Mawar terkekeh pelan. “Apes apa hoki?”

Allena kikuk sendiri kemudian terkekeh, “dua-duanya, sih.”

Cekikikkan Mawar berhenti saat mereka tiba di kantin, dengan keadaan penuh dan
sesak. Melihatnya saja membuat tak berselera. Mawar hendak mengajak Allena jajan di
koperasi, namun Allena malah menarik tangannya menuju ke suatu meja yang masih kosong
di pojokkan. Rupanya, meja yang Allena pilih bersebelahan dengan meja geng Tengkorak

“Oh, pantesan dia ngga mau pergi. Ada pangerannya toh, di sini,” Mawar kembali
mencibir, dan kemudian ia mendapat cubitan pedas di lengannya dari Allena.

Setelah memesan nasi goreng dua porsi di kantin depan meja mereka, Allena kembali
ke meja dengan tatapan yang masih mencari si pangeran penyelamatnya. Beberapa menit
berlalu, Fallen akhirnya keluar dari salah satu kantin sembari menenteng gitar di tangannya.

25
Fallen & Allena

“Pinjam ya, Mang!” Fallen berseru, setelah mendapat persetujuan dari pemilik kantin
tersebut, ia kembali ke teman-temannya dan memilih untuk duduk di meja sembari
menunggu pesanan makanan datang. Fallen akhirnya memetik gitar dalam dekapannya,
membunyikan alunan melodi teratur dari sebuah intro lagu indie. “Menghilanglah dari...”

“Kehidupanku! Enyahlah dari hati yang tlah hancur,” dua kata di awal lagu yang
disenandungkan Fallen mendapat lanjutan dari tiga teman sepermainannya.

“Kehadiran sosokmu kian menyiksaku, biarkan di sini ku menyendiri...” Fallen


melanjutkan bait nyanyiannya sambil memainkan melodi teratur pada gitar di dekapannya.

“Pergilah bersamanya di sana… Dengan dia yang ada segalanya, bersenang-


senanglah sepuasnya… Biarkan di sini ku menyendiri…”

Konser dadakan yang selalu disukai penghuni sekolah, menjadi tontonan gratis bagi
Allena dan Mawar pula. Allena yang bersembunyi di balik tubuh Mawar supaya tak terlihat
Fallen, sedari tadi senyum-senyum melihat satria bergitarnya menyanyi dengan merdunya.

“Kapan lagi dapat tontonan gratis?” Allena menaikkan satu alisnya dan menyeringai
pada sepupunya. Alhasil Mawar mendelik dan mendengus kesal.

“Di sini…”

“Di sini!”

“Kembali...”

“Kembali!”

“Kau hadirkan ingatan yang seharusnya ku lupakan, dan ku hancurkan adanya...”

“Di sini...”

“Di sini!”

“Kembali...”

“Kembali!”

“Kau hadirkan ingatan yang seharusnya ku lupakan, dan ku hancurkan adanya...”

“Letih… Di sini, ku ingin hilang...”

26
Fallen & Allena

“Ingatan...”

“Letih... Di sini, ku ingin hilang...”

“Ingatan...”

Fallen menyudahi permainan gitar dan menyanyinya saat pesanannya bersama tiga
sekawannya datang. Setelah meletakkan gitar menyandar pada meja makan, Fallen bangkit
dan berjalan ke meja sebelah. Tempat di mana ada seseorang yang kecewa, saat ia berhenti
menyanyikan lagu. Dan… Allena terbelalak. Karena lagi-lagi menjadi korban jantungnya
dibuat berdegup kencang oleh Fallen yang tiba-tiba datang ke mejanya, membuat ia hanya
bisa menunduk. Berpura-pura sedang konsentrasi dengan makanannya.

“Ngga suka tomat?”

Allena mendongak, tepat beberapa senti di hadapannya ada wajah tampan Fallen, lalu
ia menggeleng dan tetap bungkam. Sedangkan Fallen meraih dua potong tomat yang tersisa
di pinggir piring Allena lalu memakannya, kemudian ia mengarahkan tangan gadis itu dengan
genggaman di pergelangan, supaya menyuapinya nasi goreng yang tinggal sesendok itu.
Fallen melukiskan senyum menyeringai di bibir tipis berwarna merah jambunya.

“Kalau mau nonton konser itu, ngga gratis,” Fallen berlalu kembali ke mejanya.

Jantung Allena berdegup semakin cepat, Fallen membuatnya tak bisa tidur malam ini!
Sedangkan saat sang pelaku kembali, tiga sekawannya menyambut dengan seruan lantang
dan menyorakinya. Seakan-akan mereka baru saja menyambut seorang teman yang baru saja
sukses melelehkan hati gebetannya. Keadaan sekitar dari penonton pun ramai dibuatnya.

Allena saja tak habis pikir, ia sekarang merasa menjadi peran utama di dalam sebuah
novel, karena pangeran impian selalu mendatanginya secara tiba-tiba. “Lo tahu ngga, War?
Gue itu, seakan jadi kayak margarin yang dipanasin. Meleleh…”

***

Secangkir kopi hitam dilengkapi sepiring risol ayam, menemani sore hari Fallen yang agak
mendung di teras rumahnya. Sore hari menjadi hal yang penting baginya untuk segera pulang
ke rumah, supaya bisa menikmati hidangan sisa jualan katering sang mama. Tentu saja
dengan senang hati Fallen menghabiskan hidangan seperti lontong, kue donat, pastel, tahu
berontak, dan masih banyak yang lainnya. Selain mencegah pembuangan yang membuat

27
Fallen & Allena

mubazir, mama Fallen juga tak harus berpusing-pusing ria untuk memberi makan anaknya
tiap hari. Anak semata wayangnya yang usil, mau makan apapun itu masakan buatannya.

“Len, Mama punya kabar bagus buat kamu,” mama Mella keluar dari dalam rumah
sembari membawa sepiring jajanan lain sisa penjualan kateringnya.

Fallen menyambut dengan senang hati piring yang dibawa mamanya, berisi tiga
pastel, dua lontong, dan empat kue donat. “Ini kan, kabar bagusnya?”

Sebelum Fallen meraih piring yang dibawa olehnya, mama Mella menampik tangan
anaknya yang usil itu. “Urusan makanan aja, selalu nomor satu!”

Fallen berdecak. “Ma, hidup itu untuk makan, dan makan itu untuk hidup.”

Mama Mella menarik satu kursi kosong yang berada di kanan anaknya, duduk di sana
dan meletakkan piring ke atas meja. “Ada hal lain juga tahu, Len.”

Fallen memasukkan pastel ke dalam mulutnya hingga penuh. “Apwaaan Mwaaa?”

“Mama mau buka toko katering. Jadi ngga buka di rumah lagi, dan tentunya butuh
banyak karyawan!” mata wanita itu berbinar, membayangkan yang cita-citakan sejak lama
akhirnya dapat terwujud karena kerja kerasnya. “Nanti, sesekali kamu bantuin Mama ya?”

Fallen ikut berbinar. “Serius? Kirain, Mama bilang waktu itu, cuma bercanda.”

Sore yang agak mendung menjadi hari dimana Fallen dan mamanya, seseorang yang
paling ia cinta, memutuskan untuk memulai hari agar lebih baik lagi. Sang mama juga
berjanji akan menyekolahkan Fallen ke jenjang perguruan tinggi nantinya, dengan hasil yang
didapatkan dari bisnis kateringnya. Mama Mella menjelaskan bahwa ia mendapat pinjaman
dana dari teman lamanya, untuk membuka bisnis katering yang lebih besar lagi dan
menyediakan stan sampai cabang-cabang di tempat lain.

Ambisi besar sang mama membuat Fallen memiliki tujuan lain, selain mengiyakan
keinginan untuk melanjutkan kuliah. Melihat dari usaha kerja keras mamanya itu, Fallen jadi
tak enak hati apabila sampai detik ini belum bisa sepenuhnya menghasilkan uang sendiri.
Hanya sebatas dari hasil lomba musik apabila menjadi juara, dan juga taruhan balapan tak
resmi yang diikutinya, meski ia tahu uang yang dihasilkannya adalah uang haram.

***

28
Fallen & Allena

“Kebiasaan buruk lo kalau di rumah, ngga usah dibawa-bawa ke rumah gue bisa ngga, Al?”
Mawar melempar handuk basah yang tergeletak di karpet kamar, tepat sasaran mengenai ke
wajah sepupunya yang rebahan diatas kasur. “Dijemur deh, sana!”

Allena mendengus kesal. “Nanti gue jemur, kok! Malas ke belakang rumah.”

Mawar menjatuhkan pantatnya ke kasur empuknya yang berukuran sedang. Tepat di


sebelah kanannya, Allena tengah cengar-cengir sembari menaik-turunkan jarinya di layar
ponsel. Kelakuan Allena yang kadang terlihat tak waras ini, membuat Mawar geram. Sepupu
yang terbilang memiliki banyak cobaan itu, nyatanya mampu untuk santai menjalani hari-
hari. Mawar juga ingin merasa santai, tidak seperti dikejar target dan hal penuh aturan.

Mawar merebut ponsel Allena, “lihatin apa sih, sampai cengar-cengir gitu dari tadi!”
lalu ia melihat isi layar yang dipenuhi oleh sebuah video cover menyanyi di Instagram Fallen.

Allena merebut kembali aset berharga yang ia punya. Saat ia kembali melihat isinya,
ternyata video cover-an Fallen tak sengaja terpencet tombol like-nya, saat Mawar merebutnya
tadi. “Mawar bangke! Lihat nih, jadi ke-like gini, kan, videonya!”

Mawar terbahak. “Mampus dah tuh, sekalian aja biar Fallen tahu, kalau lo itu diam-
diam suka stalker-in ig-nya dia, gitu!”

Allena berdecak. “Mau ngga mau, sekalian gue follow aja nih, ig-nya. Biar dia ngga
curiga, kenapa gue nge-like videonya gini secara tiba-tiba.”

Akhirnya, Allena memencet tombol Mengikuti di profil Instagram sang gebetan, yang
kini sudah memiliki kurang lebih tiga ribu pengikut. Yang namanya orang populer memang
beda, dengan Allena yang sebatas orang cupu tak dikenal oleh banyak penghuni sekolahan.

Mawar berbaring menghadap langit-langit kamar, “ceritain lagi dong Al, detailnya
kenapa lo bisa bareng Fallen waktu itu, pas pulang sekolah?”

Allena yang semula menengkurap, kini memutuskan untuk telentang seperti Mawar
menghadap langit-langit kamar. Mereka berbaring seperti layaknya simbol Yin-Yang. Hingga
akhirnya setengah jam berlalu diisi cerita Allena yang mulai dikerjai oleh Leli, sampai Fallen
datang sebagai penyelamat, tak lupa mengajaknya pulang bersama. Namun di perjalanan,
mereka berhenti untuk memuaskan hasrat Fallen yang tengah ngidam bubur kacang hijau.

“Menurut lo, salah ngga, kalau gue menganggap si Fallen juga ada apa-apanya ke

29
Fallen & Allena

gue?” Allena melipat kedua tangannya untuk menjadikan bantal.

Mawar melirik ke sepupunya sejenak. “Jangan berharap terlalu jauh dulu. Cowok
mendekati cewek itu, banyak banget tujuannya. Ada yang cuma sebatas mau dijadiin teman,
dijadiin sahabat, atau cuma mau dimanfaatin doang.”

Allena terkekeh. “Gue yang kayak gini, mau dimanfaatin apanya sih, War? Duit aja
ngga punya, populer juga ngga, cantik apalagi. Huft…”

“Memanfaatkan bukan selalu tentang uang, kepopuleran, apalagi fisik, Al. Siapa tahu,
dia mendekati lo cuma karena lo itu berbeda dari cewek lain. Apa yang ngga ada di cewek
lain, itu ada di diri lo. Itu sebabnya, Fallen yang baru lo kenal itu, bisa sok asyik gitu ke lo.”

Allena menatapi sepupunya sendu. “Apa yang gue punya, War?”

Mawar bangkit dari bebaringannya. “Jalanin aja dulu. Setelah lo dekat, pasti lo
bakalan tahu. Sekiranya, Fallen mendekati lo itu karena ada niat apa?” lalu ia beralih menuju
ke lemari, menata beberapa pakaian untuk dimasukkan ke dalam tas.

Allena mengerutkan kening lalu berdecak. “Lo mau ngapain sih, War? Gue minggat
ke sini, lo malah mau minggat ninggalin gue.”

Mawar menghentikan aktivitasnya, lalu berkacak pinggang. “Lo masih muda udah
pikun aja, apalagi kalau nanti udah tua coba? Lo ngga ingat, besok itu ada acara kamping
gathering semua ekskul? Udah deh, lo kemas-kemas juga, sana!”

Allena bangkit dari bebaringan. “Ya ampun gue lupa, Munaroh!”

Mawar tak mengindahkan sang sepupu yang kerap memanggilnya Munaroh.

Persekian detik, Allena ikut beberes menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa
untuk mengikuti acara kamping ekskul di puncak. Allena bersyukur, seiring perkembangan
zaman sekolah yang biasanya terlihat menyeramkan di awal karena tingkah senior, berubah
menjadi segala suatu hal berbau keakraban dengan senior dan acara yang dilalui tak lepas dari
acara senang-senang, sebagai refreshing setelah lelah belajar seharian di sekolahan.

+ Fallen & Allena +

30
Fallen & Allena

5. Kamping Ekskul SMA Hakas

“Pemberangkatan kamping akan dimulai pukul dua, jadi untuk teman-teman kalian
yang belum datang, cepat dikabari agar merapat ke sekolahan, ya? Kalau mereka datang
terlambat, risikonya akan kami tinggal. Kemudian, jangan ada yang bawa minuman keras,
senjata tajam, apalagi obat-obatan terlarang, atau barang terlarang lainnya.”

Orasi oleh bu Widya selaku pembina Osis, menjadi akhir dari briefing siang menuju
sore hari ini, sebelum enam bus diberangkatkan ke puncak. Peserta didik baru dan senior
masing-masing ekskul yang semula berbaris, meninggalkan lapangan setelah diperbolehkan
kembali masuk ke dalam ruang transit untuk mengambil barang bawaan masing-masing.

Enam rombongan bus tersebut terdiri dari bus pertama untuk ekskul berbagai cabang
olahraga, bus kedua diisi oleh ekskul bidang kesenian, bus ketiga berisi ekskul bidang sastra,
bus keempat diisi oleh anggota Osis, Pramuka, dan PMR, bus kelima berisi ekskul bela diri,
serta bus terakhir berisi guru pendamping setiap ekskul dan juga guru tambahan yang ikut.

Allena sendiri termasuk dalam rombongan bus kedua. Sepanjang kursi dari pintu
depan hingga pertengahan, belum ada satu orang pun yang dikenali lebih dekat, meski
beberapa ada yang sempat satu kelas saat masa pengenalan sekolah. Untuk mengikuti
organisasi di sekolah semacam ini pun, apabila bukan karena ingin mengenal Fallen lebih
jauh, mana mungkin Allena mau gabung. Terlebih lagi tiada yang ia kenali.

Ini yang menyebabkan gadis berambut panjang dengan mata belo itu, memutuskan
untuk duduk seorang diri di kursi deretan supir, tiga baris dari pintu belakang. Beruntung
masih ada sisa tempat duduk kosong untuknya. Tadinya ia berniat duduk di kursi belakang,
namun nahasnya sudah ditempati oleh rombongan anak lelaki dari senior ekskul musik.

Mata Allena tak dapat berhenti, saat ia belum menemukan Fallen duduk di sepanjang
kursi yang ia lewati. Atau mungkin, Fallen masuk ke bus rombongan lain? Pikirnya. Namun
saat sedang ditunggu-tunggu, lelaki bermata sipit itu masuk lewat pintu depan. Ia terkejut saat
bus sudah terisi penuh. Tadinya, ia hendak turun karena menganggap bahwa tak ada tempat
untuknya, namun kondektur menutup pintu dan berkata bahwa ada kursi kosong di belakang.

Kedatangan Fallen membuat heboh para pengisi bus rombongan kedua. Kebanyakan
dari teman seangkatan memintanya untuk duduk di sebelahnya, namun Fallen menolaknya. Ia
hanya berhenti sejenak, saat ia disapa oleh mereka—teman-teman yang dikenalinya.

31
Fallen & Allena

Allena dari kejauhan mulai lelah menunggu, meski masih penasaran kiranya Fallen
akan duduk di mana. Karena terlihat ada kursi kosong lagi di seberang, selain di sebelahnya.
Di sana terdapat seorang perempuan dengan rambut potongan bob, yang disinyalir adalah
calon anggota dari kelas jurusan IPA. Wajah Allena memang nampak judes, namun saat ia
menatap ke gadis yang lebih judes darinya di seberang sana, rasanya belum seberapa. Gadis
itu seakan memiliki aura negatif, itu yang menjadikan Allena enggan duduk di sebelahnya.

Akhirnya, sosok yang ditunggu telah datang. Fallen mendapati dua kursi yang masih
kosong. Beberapa kali ia menatapi dua orang yang duduk di dekat jendela secara bergantian,
memikirkan bahwa ia akan memilih kursi mana untuk ia duduki. Hingga akhirnya, raut wajah
judes dari gadis berpotongan bob di seberang bangku Allena, berubah sumringah saat Fallen
menyimpan tas ranselnya di bagasi atas kursinya. Harapan Allena akhirnya kandas sudah.

Namun siapa yang mengira bahwa kursi di sebelah Allena terasa berat karena diisi
oleh seseorang. Allena yang semula merasa kecewa meratapi nasibnya sembari menatap ke
jendela luar, langsung mendapat serangan jantung kecil saat menengok ke arah kiri. Rupanya
Fallen memilih duduk di sebelahnya, dengan kondisi masih tersenyum lebar kepadanya. Di
seberang sana, gadis berpotongan bob itu semakin memasang wajah kesal ke Allena.

“Aku boleh duduk sini?”

Allena menatap Fallen sepintas, lalu kembali menatap ke luar jendela. “Seharusnya
Anda izin dulu baru duduk, Bung.”

“Tapi, aku udah duduk duluan. Gimana, dong?” Fallen nyengir kuda.

“Diizinkan dengan secara terpaksa.”

Jawaban singkat Allena mengundang tawa Fallen. Lelaki itu berlalu menengok ke
belakang karena sempat dipanggili oleh rombongan di kursi paling belakang, supaya duduk
berdesakan di sana. Namun Fallen menolaknya halus. “Nanti ah, baru juga jalan.”

Allena merasa tenang, Fallen tak jadi pindah tempat duduk ke belakang.

Bus rombongan kedua, mulai jalan meninggalkan kawasan depan sekolah. Semua
penumpang mulai doa menurut kepercayaan masing-masing. Beberapa saat kemudian, musik
mulai terdengar dari pengeras suara. Lagu yang diputar identik sebagai musik sejuta umat,
apalagi kalau bukan dangdut koplo? Kebanyakan ikut menyanyi, saat mba Via Vallen

32
Fallen & Allena

mengalunkan lagu Bidadari Kesleo. Termasuk juga dengan Fallen.

“Kira-kira, lagu apaan yang ngga Fallen tahu, coba? Dangdut dengan bahasa Jawa
aja, Fallen fasih banget begini,”Allena membatin sambil geleng-geleng kepala.

Allena tak peduli kepada keadaan sekitar, ia menambah volume musik yang
didengarnya lewat earphone lebih kencang lagi, supaya musik dangdut yang diputar oleh pak
supir tak ia dengar. Namun saat baru mendengarkan lagu beberapa detik, earphone Allena di
sebelah kiri ditarik oleh Fallen. Lelaki itu mengenakannya ke telinga kanannya.

“Dengarin apa, sih?”

Fallen memejamkan mata, mendengarkan lagu beraliran keras yang didengarkan oleh
Allena. Lagu Beast and the Harlot-nya Avenged Sevenfold, diputar Allena dengan volume
kencang. Fallen tak habis pikir, Allena mampu mendengarkan lewat kedua telinganya.

“Kencang banget, sih, suaranya? Nanti telinga kamu rusak,” Fallen merebut ponsel
dalam genggaman Allena, lalu mengecilkan volumenya.

Allena memalingkan muka karena blushing setelah mendapat perlakuan Fallen. Ia


merapatkan tubuhnya ke dekat jendela, membuat earphone yang dipakai Fallen di telinga
kanan tertarik. Alhasil, Fallen semakin mendekatkan tubuhnya ke Allena. Saat Allena kembali
menghadap ke kiri, ia disajikan wajah tampan Fallen dari dekat. Lagi-lagi Allena bisa mati
lebih cepat dari takdirnya, apabila selalu dikejutkan oleh wajah Fallen yang mengagetkannya.

“Sorry,” Fallen kembali ke posisinya semula. “Makanya, jangan narik-narik dong.


Akunya jadi ikut ketarik gini kan, hehehe.”

Allena masih bergeming, ia juga membiarkan Fallen menggenggam ponselnya.


Daripada terjadi kejadian seperti tadi lagi, Allena memutuskan untuk memindahkan earphone
ke telinga kirinya. Belum sempat lagu berakhir, Fallen menggantinya dengan lagu lain.
Hingga sepanjang jalan, Allena tak dapat berkutik. Ponselnya masih saja dalam genggaman
Fallen. Semua lagu yang diputar pun, sesuka hati Fallen. Apabila lelaki itu tidak suka dengan
lagunya, cepat-cepat ia ganti. Allena hanya pasrah saja, daripada tidak ada kejadian ini.

***

Rombongan sampai di tujuan pukul setengah enam sore. Setelah briefing sebentar untuk
pembagian kamar, bu Widya mengarahkan peserta kamping untuk ishoma. Acara inti akan

33
Fallen & Allena

dimulai malam nanti di aula, yaitu tentang pembekalan beberapa materi ringan. Setelah itu,
acara bakar-bakaran dilakukan di halaman vila sembari ada pentas seni kecil-kecilan. Selain
musik, katanya akan ditampilkan sebuah drama dan pembacaan puisi dari ekskul sastra.

Guru pembina membebaskan calon anggota untuk berkumpul dengan siapa saja, dari
kelas mana saja atau ekskul apa saja. Acara bakar-bakaran diselingi pentas seni, memang
dijadikan guru pembina supaya calon anggota lebih akrab dengan peserta lainnya. Dengan
calon anggota lain, maupun senior masing-masing ekskul. Itulah yang membuat Allena
akhirnya kembali bisa duduk bersanding dengan Mawar—sepupu sekaligus sahabat gilanya.

Menurutnya, acara ini tidak ada yang menarik, selain duduk di sebelah Fallen di bus,
atau menyaksikan Fallen menampilkan aksinya bermain gitar sembari menyanyi. Semua yang
Allena tunggu adalah tentang Fallen. Kecuali saat ia melihat Fallen dari seberang api unggun,
duduk bersebelahan dengan gadis pendek berambut potongan bob pemakai baju ketat, yang
tengah berusaha menarik perhatian lelaki itu. Api kecemburuan kembali membara...

“Acaranya makin ngga asik, ya, War?” Allena mengeluh, di tengah bisingnya suara
nyanyian para senior dari ekskul musik.

Mawar menatap sepupunya sejenak. “Gue asik-asik aja kok, Al,” lalu ia menyuapi
sate barbeku untuk sosok lelaki di sampingnya.

Allena melirik sebal. Rupanya Mawar benar-benar memiliki gebetan baru. Allena
sudah berkenalan dengan lelaki bernama Brian, senior di ekskul olahraga sekaligus siswa
penghuni kelas sebelas IPS1, tetangga kelas Fallen. Padahal belum tiga bulan bersekolah di
SMA Hakas, Mawar sudah lancar saja dekat dengan gebetannya. Allena jadi iri, level
badmood-nya bertambah, meski sudah ada jagung bakar rasa keju kesukaan di tangannya.

“Cewek rambut potongan bob itu, anak cheers katanya,” meski sudah bersanding
dengan gebetan, Mawar tak tega membiarkan sepupunya galau sendirian.

Allena tertarik dengan pembicaraan ini. Ia melirik ke Mawar. “Siapa namanya?”

“Sandra,” bukan Mawar yang menjawab. Melainkan Brian—gebetannya. “Dari


pertengahan kelas sepuluh, dia emang udah kelihatan dekati Fallen terus. Tapi Fallennya yang
ngga mau. Dia tipikal orang yang susah roboh pendiriannya.”

Level badmood Allena sedikit berkurang. “Mereka satu kelas, ya?”

34
Fallen & Allena

Brian mengangguk. “Tenang, mereka ngga duduk sebangku, kok. Intinya Fallen
meskipun bandel, sejak awal sekolah, dia belum pernah dicap sebagai playboy. Buktinya,
Sandra aja masih belum bisa dapatin hatinya. Fallen masih menjadi penyandang duta GGJ.”

“Apaan, tuh?” seru Mawar.

“Ganteng-ganteng jomblo!” kemudian Brian terbahak kencang.

Dua sudut bibir Allena terangkat ke atas.

“Lo suka sama Fallen?”

Allena jadi gelagapan.

Brian mendapat cubitan pedas dari Mawar di lengannya. “Udah dibilangin, juga.”

“Aduh, sakit War!” Brian meringis kesakitan, sembari menggosok lengannya. “Kalian
itu unik, lho. Siapa tahu berjodoh. Udah kelihatan tuh, dari nama kalian aja cuma beda dikit.”

“Iya, namanya Allena cukup ditambahi huruf F di depan, dan menghapus huruf A di
belakang. Jadi, deh, namanya Fallen,” sergap Mawar.

Allena yang semula badmood, akhirnya bisa goodmood kembali. Terlebih lagi, saat
Fallen tak ada lagi di samping Sandra di seberang sana. Rupanya, lelaki itu berpindah ke titik
dimana orang-orang menampilkan bakatnya. Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Malam serasa
berhenti, saat Fallen membawakan beberapa lagu-lagu melankolis semi romantis. Rasa-
rasanya, Allena ingin sekali menjadi sosok utama yang dituju Fallen lewat nyanyiannya.

***

Saat bulan melaksanakan tugasnya, kiranya saat jam menunjukkan pukul sebelas malam,
Allena masih berjaga di balkon belakang kamar. Udara puncak yang begitu sejuk, membuat
siapapun ingin meringkuk di bawah selimut. Namun nyatanya, Allena tak tertarik melakukan
hal itu. Cukup jaket dan celana trening yang menemani malam dinginnya kali ini.

“Ssttt.. Ssstttt..”

Bulu kuduk Allena berdiri saat ia mendengar suara tak jauh dari balkonnya. Meski
takut, ia memberanikan diri mencari sumber suara tersebut. Sekitar berjarak empat kamar di
sebelahnya, lagi-lagi sosok yang memenuhi hatinya melambaikan tangan seraya berdadah ria.

35
Fallen & Allena

Allena memalingkan muka sejenak, karena ia tak kuasa melihat senyuman dari Fallen.

“Belum tidur?”

Allena menggeleng. “Ngga bisa.”

“Mau nonton bulan sama-sama?”

“Di sini aja udah,” Allena kembali menggeleng.

“Jangan di sini. Tapi di bawah sana,” Fallen menunjuk ke arah api unggun yang masih
menyala, meski sudah mulai redup. Masih ada beberapa manusia yang duduk di dekat sana.

Allena menimang-nimang ajakan Fallen. Lalu akhirnya ia mengangguk.

“Bawa earphone-nya, ya!”

Allena kembali mengangguk dan tak lupa tersenyu. Ia meninggalkan balkon belakang,
seiring Fallen juga tak terlihat dalam pandangannya. Setelah meraih earphone yang tergeletak
di atas meja nakas, Allena meninggalkan kamar yang terisi lima temannya dari ekskul yang
lain. Mereka semua sudah berada di alam mimpi, tapi Allena masih beraktivitas begini.

Saat Allena melintasi kamar Fallen, lelaki itu juga muncul dari balik pintu. Fallen
tersenyum, dan mereka berjalan beriringan menuruni dua lantai menuju lapangan di dekat api
unggun. Mereka duduk bersebelahan memeluk lutut masing-masing. Orang di dekat mereka
tak mereka kenali, itu yang membuat Fallen dan Allena fokus dengan pembicaraan mereka.

“Kamu itu, jarang ngomong, ya?” Fallen menatapi api unggun, dengan ditemani kopi
hitam hangat di dalam tumblr hitam yang ia bawa.

“Gue tipikal orang yang jarang ngomong, kalau sama orang yang belum terlalu gue
kenal,” Allena terkekeh kikuk. “Jadi, ya, gue emang begini orangnya.”

Fallen berdeham. “Berarti aku ngga asyik, sampai kamu masih banyak diam begini?”

“Maksudnya?” Allena menatapi wajah Fallen yang memerah, karena terpancar cahaya
api unggun di depannya. Lalu ia menemukan maksud ucapan lelaki itu. “Ngga gitu, kok.”

“Udah, lupakan.” Fallen mengerti, tanpa Allena jelaskan pun.

Mungkin seperti inilah rasanya, orang-orang yang mencoba mengakrabinya, namun

36
Fallen & Allena

Fallen tetap berusaha batu dalam diamnya. Tak mau menyambut sapaan atau keakraban yang
orang-orang berikan. Kini, nasibnya dibalik oleh Tuhan saat bertemu dengan sosok gadis
bernama Allena yang ada di sisi kanannya. Allena berbeda dari gadis lain..

“Allena, kamu mau jadi temanku?” Fallen kembali menatap lurus ke arah api unggun.

Allena terkekeh. “Berteman mah, berteman aja. Ngga perlu nanya dulu, kali?”

“Ya bukan yang begini bertemannya, Allena,” Fallen mengacak poninya yang mulai
lepek karena seharian melakukan aktivitas.

“Maunya berteman yang gimana, emangnya?” Allena menaikkan satu alisnya,


menampilkan ekspresi sedang menantang lawan bicaranya.

Fallen tersenyum menyeringai. “Nantangin?”

“Kayaknya, lo tipikal orang yang suka ditantang.”

“Oke, kalau kamu juga mau tantangan, mulai lusa kita berangkat dan pulang sekolah
sama-sama. Ingat, Fallen ngga pernah menerima penolakan,” Fallen merebut satu earphone
yang dikenakan Allena, lalu memakainya ke telinga kirinya.

Allena kesal. “Hei! Kok jadi gitu, sih,”

Namun protes darinya tak diindahkan oleh Fallen.

Saat malam semakin dingin, lelaki itu merapatkan tempat duduknya. Tanpa ragu,
Fallen merangkul Allena, seperti apa yang dilakukan oleh orang lain di sekitar api unggun.
Akibatnya, Allena bergeming. Ia tak tahu harus bagaimana, selain berusaha merilekskan diri,
dan mengontrol degup jantungnya yang tak santai tiap bersama Fallen. Seiring berjalannya
waktu, Allena tanpa ragu menyandarkan kepalanya ke bahu Fallen. Kiranya selang sejam,
saat tak ada lagi orang, mereka berdua masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Karena masih ada acara lagi berupa outbond untuk esok hari. Berat rasanya bagi Allena untuk
berpisah dengan Fallen, sosok yang terang-terangan tengah berusaha mendekati dirinya.

+ Fallen & Allena +

6. Kisah Allena

37
Fallen & Allena

“Al, mama gue mau bicara sama lo.”

Allena yang tengah melipat baju yang diangkat dari jemuran, bangkit dari ranjang dan
melangkah keluar dari kamar karena mendengar sepupunya berkata demikian. Apabila tante
Nisa sudah berniat mengajaknya berbicara, pasti akan ada hal penting yang dibahas olehnya.
Allena melangkah menuju ke depan televisi, sedangkan Mawar mengekor di belakang.

“Len, duduk.” Nisa menepuk sofa kosong di sebelahnya. Keponakannya yang sebaya
dengan anaknya itu, menduduki tempat kosong yang ditunjuknya. “Tante mau ngomong.”

“Iya, Tante. Mau ngomong apa?” Allena menatap adik ibundanya dengan seksama.

Nisa mengembuskan napas. “Kamu serius, mau jual tanah peninggalan ibumu?”

Sebelumnya, Allena menduga bahwa tantenya ini akan membahas permasalahan tanah
peninggalan ibu yang akan dijual. “Mungkin serius, Tante...” ia mengangguk ragu.

Nisa menepuk bahu Allena. “Sebaiknya jangan, ya. Kamu saja ragu begitu, kan?
Kalau kamu mau punya pegangan uang untuk keseharian kamu, kan masih ada Tante sama
kakek dan nenek di sana. Kamu jangan khawatirkan kami, Len…”

“Tapi, aku ngga mau ngerepotin kalian. Sekadar untuk tinggal di sini, aku sudah
menjadi beban, kan?” Allena menunduk. Ia merasa hidupnya di dunia sudah sebatang kara.

Nisa mengusap bahu Allena. “Kamu pikirkan lagi, ya. Kalau menurut Tante, baiknya
jangan dijual. Karena pasti, kamu pasti butuh suatu saat nanti. Ya? Percaya deh, sama Tante.”

Allena akhirnya mengangguk. Ada benarnya juga, ucapan tantenya. Hidup di zaman
serba membutuhkan uang begini, kalau tak punya harta sedikit pun, pasti dianggap seperti
gelandangan. Bahkan terlintas dalam pikirannya, akan lebih baik apabila jika menjual rumah
yang ditempati ayah Lita terlebih dahulu. Toh, sertifikat ada di tangannya. Tertera nama
Allena Maheswari pula, sebagai pemiliknya.

“Ya udah, Ma. Aku mau keluar dulu sama Allena,” Mawar menarik tangan Allena. Ia
paham bahwa Allena butuh waktu untuk bernapas daripada memikirkan masalah di hidupnya.

Allena hanya menurut saja saat Mawar mengajaknya keluar rumah. Bertepatan saat
mereka keluar dari rumah sederhana itu, terdapat seorang lelaki mengenakan hoodie hitam,
tengah berdiri di depan pintu. Allena dan Mawar terkejut dibuatnya. Sedangkan lelaki itu

38
Fallen & Allena

seperti maling yang kepergok mencuri oleh korbannya. Kelincutan dan bingung sendiri.

“Kak Fallen?” Allena menatap Fallen dan Mawar bergantian. Lalu Mawar masuk ke
dalam rumah meninggalkannya bersama Fallen, karena mungkin memberi mereka waktu.

Allena berusaha memutar akal sehatnya. Fallen kini tiap hari mengisi kekosongan
waktu dalam hidupnya. Berangkat sekolah bersama, bertemu di sekolah, pulang sekolah
kembali bersama, sampai saat libur sekolah akhir pekan seperti saat ini pun, lelaki itu masih
sempat-sempatnya mengunjungi kediamannya.

“Allena, aku minta maaf. Tadi, aku sempat menguping pembicaraan kalian di dalam,”
Fallen menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena salah tingkah. “Aku juga baru tahu,
ternyata ini bukan rumah kamu, melainkan ini rumahnya Mawar.”

Allena beralih meninggalkan Fallen menuju ke kursi taman di depan rumah. Lelaki itu
mengekor di belakangnya, lalu ikut duduk di sebelah kanannya. Allena menimang-nimang
apakah ia akan bercerita tentang kisah hidupnya ke Fallen atau tidak. Hingga akhirnya ia
mengembuskan napas perlahan. “Gue ngga punya siapa-siapa selain Mawar, tante Nisa, dan
kakek-nenek. Rasa-rasanya, ngga ada lagi tujuan untuk apa gue hidup di dunia ini, Kak.”

“Bukannya aku udah bilang? Panggil aja namaku tanpa embel-embel Kakak.”

“Oke, sorry. Len,” Allena melirik Fallen. “Gue di sini cuma numpang.”

“Ke mana orang tuamu?” Fallen menanyakan hal ini dengan sangat hati-hati.

Pil pahit yang selalu Allena telan, akhirnya hari ini kembali ia telan. Untuk sekadar
bercerita pun, Allena seperti menggores luka di atas luka lamanya sendiri. Bukan hal enteng
saat ia mengingat sang kakak tercintanya harus mati karena dikeroyok oleh massa, karena
kesalah pahaman dituduh pencuri. Kemudian ia harus menyaksikan sang ibunda lama-lama
depresi, karena tak bisa merelakan kepergian anak sulungnya. Di saat begini, sang ayah tak
lagi memedulikan ibunya. Ia lebih memilih untuk mencari kebahagiaannya lagi di luar rumah,
dengan cara memacari Lita—kakak kelasnya dua tingkat saat mereka duduk di SMP dahulu.

Lita seharusnya masih kelas dua belas SMA, namun ia tak melanjutkannya selepas
lulus SMP. Gadis itu bekerja sebagai pekerja seks komersial, meski umurnya masih belia. Ia
beruntung, tak lagi bekerja sebagai wanita jalang, karena Mahesa—ayah Allena mengajaknya
berkencan, sampai akhirnya menikahinya, meski ia belum bercerai dengan Susi—istrinya.

39
Fallen & Allena

Kesehatan jiwa Susi yang tiap hari makin memburuk, membuat Mahesa
mengurungnya di gudang, tak lupa mengkerangkengnya supaya tidak kabur kemana-mana
membuat kegaduhan. Allena tak bisa berkutik, selain karena ayahnya akan menghardik
apabila mengetahuinya menemui sang ibunda, ayahnya juga telah menyembunyikan kunci
gudang entah ke mana. Allena hanya bisa sesekali mengintip keadaan ibunda saat ayahnya
datang ke gudang memberi makanan, atau mengintip keadaan ibunda lewat lubang pintu.

Semua nasib Allena nampak terasa sangat memprihatinkan. Hingga akhirnya, Allena
kehilangan wanita yang sangat ia cinta itu, sekiranya terhitung lima bulan setelah sang ibunda
diperlakukan secara tak manusiawi. Sang ayah bersorak, karena beban hidupnya berkurang.
Kini yang ia pikirkan hanyalah Lita, Lita, dan Lita. Pun, saat Allena belum angkat kaki dari
rumahnya, sang ayah mungkin menganggapnya sebagai sisa beban. Karenanya Allena kabur
dari rumah yang penuh kenangan pahit, penderitaan, dan juga terasa seperti di neraka itu.

Sekitar setengah jam, Allena membongkar semua cerita pahit dalam hidupnya. Ia
berusaha tegar, supaya tak meneteskan air mata. “Kalau bukan karena empat sisa keluarga
dekat yang masih gue punya, gue ngga yakin masih ada di dunia ini.”

“Kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan, itu hanya membuatmu sakit,” Fallen
mengusap bahu Allena. Persekian detik, ia mendengar Allena terisak. Tanpa ragu, Fallen
mendekap Allena. Ia mengusap punggung Allena seraya berusaha menenenangkan.

“Gue ngga iri lihat cewek seusia gue gandengan sama cowoknya kemana-mana, Len.
Tapi gue iri ke cewek seusia gue, yang punya keluarga utuh yang selalu menyayanginya. Tiap
sore berbagi cerita, malam-malam makan bersama, atau pergi jalan-jalan mengelilingi kota di
akhir pekan. Semua itu gue rasakan terakhir kali waktu gue masih kelas enam SD, Len.”

“Percayalah di setiap hujan, pasti akan ada pelangi setelahnya. Ini sama halnya seperti
akan ada kebahagiaan setelah kamu merasakan segala kesengsaraan,” Fallen meregangkan
dekapannya, lalu menyeka air mata Allena. Fallen menyesal, meminta Allena berbicara
tentang banyak hal. Namun yang Allena bicarakan adalah tentang kenangan pahit di dalam
hidupnya, bukan membicarakan hal bahagia seperti mengerjai guru, mencuri mangga
tetangga, atau berlari keliling komplek karena melempari batu ke anjing tetangga.

Bagi Fallen, anak-anak korban hancurnya keluarga, sangat pantas untuk mendapat
kebahagiaan. Entah dengan kehidupan yang layak, ruang lingkup pertemanan yang luas, atau
mendapat pekerjaan yang layak. Supaya mereka lebih memikirkan masa depan, dan tujuan

40
Fallen & Allena

untuk apa mereka hidup di dunia, bukannya kembali mengingat-ingat pahit masa lalunya.

“Punya bukti kekerasan yang dilakukan ayahmu, ngga?” Fallen kembali bertanya
secara hati-hati, setelah Allena sudah menghentikan tangisnya.

“Punya,” Allena meraih ponsel di dalam saku, lalu memperlihatkan ke Fallen potret
sang ibunda yang tengah dipukuli, diberi makan layaknya hewan peliharaan, sampai keadaan
paling buruk sebelum beliau meninggal. “Dia gila karena cinta ke wanita jalang itu, Len.”

“Doa terbaik untuk ibumu di surga. Penderitannya usai, Tuhan lebih sayang padanya.”

“Iya, Len. Gue juga udah merelakannya pergi, kok.”

“Baguslah. Aku tahu, kamu pasti bisa menjadi perempuan yang kuat,” Fallen
meremas lengan Allena dan mengusapnya seraya menguatkan.

Saat Fallen merasa bahwa perasaan Allena kembali rileks, tiba-tiba gadis itu kembali
gelisah. Semua terjadi saat dari dalam mobil mewah yang berhenti, keluar sepasang suami
istri. Keduanya menatapi Allena dengan tajam, berjalan mendekat dengan langkah panjang.
Allena takut. Bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa ia meminta Fallen untuk melindunginya.

“Anak keparat! Kembalikan sertifikat rumah sekarang!” suara pria paruh baya dengan
kumis tebalnya itu, menggelegar di telinga pendengar.

Fallen menarik Allena yang sedang mencengkram tangannya kencang, untuk berdiri
dan sembunyi di belakangnya. “Apa Anda masih belum puas?” Fallen menatap pria itu
dengan tajam. “Atau mungkin, Anda mau nasibnya berakhir di penjara?”

Mahesa naik pitam, terlebih lagi saat ada lelaki sebaya anaknya, tengah berusaha
menjadi pahlawan kesiangan. “Ah, urusan apa kamu ikut-ikutan, hah!” Mahesa mendorong
tubuh Fallen hingga terjungkal, lalu ia menarik Allena. Menamparnya keji beberapa kali.

Mendengar keributan dari luar rumah, Mawar keluar bersama sang mama. Mereka tak
dapat melakukan apa-apa, selain menangis saat melihat Allena dihardik oleh ayahnya. Saat
Mahesa lengah, Fallen bangkit dan mampu memberi bogeman ke pria yang sudah berumur
itu. Cekalan kepada anak gadisnya terlepas, Allena mampu berlari ke tante Nisa dan Mawar.
Sedangkan Lita datang mendekatinya seperti hendak melakukan hal sama seperti Mahesa.

“KAMU MAU APA, JALANG?!” Nisa menatap Lita dengan tajam.

41
Fallen & Allena

“Dia anak tiriku!” Lita tak mau kalah.

“DIA KEPONAKANKU! ANAK KANDUNG KAKAKKU!” Nisa tetap berusaha


melindungi Allena, sampai ia menonjok Lita sebagai ajang nostalgia masa mudanya yang
sempat menjadi atlet salah satu cabang ilmu bela diri.

Lita terjatuh, ia meringis kesakitan. Rupanya, bogeman mentah dari Nisa mampu
membuat dua giginya patah dan sudut bibirnya berdarah. Sedangkan keadaan suaminya
semakin parah, karena Fallen membabi-buta memukulinya.

“Berani sentuh Allena lagi, saya akan bawa Anda ke kantor polisi!” Fallen menarik
kerah baju Mahesa yang terkelunglai di tanah. Fallen menyundul dahinya tepat ke tulang
hidung pria itu, hingga keluar darah beberapa detik setelahnya. “Ancaman apapun dari Anda,
tidak membuat saya takut! Saya bisa saja menjatuhkan semua perusahaan yang Anda pimpin,
dan menggusur rumah yang Anda tempati!” lalu ia mendorong Mahesa sampai tersungkur.

Persekian detik, Mahesa yang dibantu Lita berdiri, meninggalkan pekarangan rumah
dengan susah payah. Mobil yang mereka tunggangi semakin lama semakin menjauh.
Semuanya terdiam sembari berusaha mengontrol emosi.

Saat menyadari wajah Fallen terluka, mereka mengajak lelaki itu ke dalam rumah
untuk diobati. Fallen terluka di sudut bibirnya, karena ayah Allena sempat berhasil melawan.
Dahinya juga sedikit membiru, karena sempat ia gunakan untuk menyundul lawan baku
hantamnya itu. Meski Fallen sudah menolak untuk diobati, namun Allena bersikeras untuk
mengobatinya sebagai ajang balas budi. Setelah luka Fallen diobati, suasana di ruang tamu
terasa sangat hening, meski semua penghuni rumah berkumpul di sana.

“Kalian semua harus hati-hati ya, setelah ini. Dia bisa datang kemari lagi bawa orang
suruhan, atau yang lebih parah akan menculik Allena,” Fallen masih meringis karena sudut
bibirnya nyut-nyutan saat dibawa berbicara.

“Terima kasih Nak Fallen. Kalau ngga ada kamu, kami tidak akan tahu nasib Allena
akan jadi seperti apa,” Nisa membuka mulutnya setelah keadaan menghening.

Fallen mengangguk. “Saya tidak keberatan. Orang seperti itu harus dihabisi.”

Nisa mengerutkan kening. “Kalau kami boleh tahu, apakah Nak Fallen serius dengan
ucapannya tadi? Memangnya, Nak Fallen bisa menjatuhkan perusahaan Mahesa?”

42
Fallen & Allena

Fallen mengangguk. “Saya serius akan memenjarakan ayah Allena, jika datang lagi
untuk menghardik Allena. Dia akan mendapat pasal berlapis tentang kekerasan dalam rumah
tangga, karena Allena sendiri memiliki buktinya, Tante.” Lalu ia terkekeh. “Itu cuma gertakan
buat ayah Allena. Aku mah boro-boro bisa pegang perusahaan, hidup aja masih susah, Tante.”

Nisa menepuk dahi, geregetan dengan sikap Fallen menghadapi ini. “Tapi kenapa
kamu berani berbicara hal itu. Kalau Mahesa datang, bagaimana?”

“Tentang Tante, orang yang gila jabatan seperti ayah Allena itu, sekali mendapat
gertakan akan berhenti, kok. Tiga poin kebanggaannya akan berbalik membuatnya sengsara,
saya yakin tidak akan lama lagi,” celoteh Fallen penuh percaya diri. “Kehilangan satu poin
saja, dua poin kebanggaan lain juga akan turut meninggalkannya.”

Allena tahu pasti tentang hal itu. Tiga hal yang merusak kehidupan pria; harta, takhta,
wanita. Benar juga kata Fallen, jika ayahnya kehilangan jabatan sebagai pemilik perusahaan,
harta dan wanita kebanggaannya itu pasti akan pergi sendiri. Siapa yang mau hidup dengan
pria susah yang semakin beranjak tua dan nantinya selalu sakit-sakitan? Apalagi Lita masih
sangat muda, apabila harus mengurus suami macam Mahesa seperti orang tuanya sendiri.

Sudut bibir Allena terangkat naik. Selain usil, Fallen ternyata dianugerahi otak yang
dipenuhi strategi tak terduga. Kalau bukan karena kedatangan Fallen begini, beban di hidup
Allena mungkin setiap hari akan semakin menggunung.

+ Fallen & Allena +

7. Berpaut tidak Bertali

“Ini rumah atau studio musik?”

Allena yang terkekeh langsung mendapat reaksi Fallen yang mengerlingkan matanya.

43
Fallen & Allena

Setelah itu, Fallen izin masuk ke kamarnya untuk ganti baju. Daripada bingung tak memiliki
aktivitas selain menunggu sang tuan rumah, Allena meraih gitar putih yang bersandar ke
sebuah piano di ruang tengah. Rumah dengan desain minimalis yang ditinggali Fallen ini,
didominasi oleh perabot dari kayu. Mulai dari lantai, dinding, hingga lemari di setiap sudut
memiliki tampilan warna coklat mengkilap. Suhu yang sejuk karena agak jauh dari hingar-
bingar kota, membuat siapapun yang datang tak ingin berlalu untuk pulang.

“Apa cuma gue ya, orang yang ngga punya bakat di dunia ini?” Allena memetik gitar
dengan asal. Ia tak tahu kunci apa yang dimainkannya, yang jelas merusak pendengaran.

Yang ditunggu-tunggu datang. Allena mengakui bahwa Fallen adalah tipikal orang
yang memakai baju santai maupun seragam sekolah selalu cocok di tubuhnya. Sudah tiga kali
ini, selain saat kamping dan tempo hari main ke rumah Mawar, Allena melihat pemandangan
Fallen mengenakan kaos oblong berwarna hitam, dan jeans berwarna biru muda kusut.

“Tolong ya Mas, kalau udah ganteng, jangan pakai kaos item juga, bisa ngga?”

Fallen terbahak. “Jadi, aku ganteng, nih?”

Allena memutar bola matanya. “Semua orang pun tahu itu,” cibirnya.

Fallen terkekeh. Lalu ia duduk di kursi piano, bersebelahan dengan Allena yang sejak
tadi sudah bertengger di sana. “Mau ku ajarin main gitar, ngga?”

Allena menggeleng, kemudian meletakkan gitar milik Fallen yang dimainkannya


secara asal-asalan tadi, kembali ke posisi semula. “Mau dengar lo main piano aja. Boleh?”

Fallen menautkan tangan lalu membuat gerakan untuk meregangkan otot,


terdengarlah bunyi krekk dari jari-jemarinya. “Apapun itu, untuk kembaranku.”

Allena terkekeh, senangnya disebut sebagai kembaran. Artinya, Allena diakui sebagai
orang yang berarti bagi Fallen, meski secara tidak langsung. Allena tak peduli rasa haus di
tenggorokkannya, meski sejak pulang sekolah tadi ditahannya. Melihat Fallen mengenakan
kaus oblong berwarna hitam, diselingi dengan memainkan alat musik, rasa dahaga pun sirna.

Setelah mendapat posisi duduk yang nyaman, Fallen mulai memainkan nada teratur,
membentuk intro dari sebuah lagu. Tanpa Fallen katakan, Allena sudah tahu lagu apa yang
akan dimainkan oleh lelaki di sampingnya itu. Sampai Jadi Debu dari Banda Neira, Allena
sangat meyakini Fallen akan menyanyikan lagu itu. Meski tak pandai bermusik, Allena suka

44
Fallen & Allena

mendengarkan musik dari berbagai genre. Jadi, meski dikenal penyuka aliran musik keras
atau cadas, Allena juga tetap tahu lagu-lagu Indie yang terdengar melankolis di telinga.

“Badai... Puan telah berlalu… Salahkah ku menuntut mesra… Tiap telepon


menyerang kau di sampingku… Kau aman ada bersamaku,” Fallen menyanyikan bait setelah
reff pertama. Sedari tadi Allena memperhatikannya seksama. “Habis ini nyanyi bareng, ya?”

“Tapi suara gue jelek!” keluh Allena.

“Ngga apa-apa,” Fallen memutar sekali lagi interlude sebelum kembali ke reff. “Yuk!”
ajaknya saat sudah di ujung interlude.

“Selamanya... Sampai kita tua... Sampai, jadi debu...” Allena akhirnya ikut Fallen
bernyanyi bersama, meski masih malu-malu.

“Ku di liang yang satu...” Fallen menaikkan satu alisnya, sembari melirik ke arah
Allena, menanti gadis itu menjawabnya dengan lirik selanjutnya.

Allena tersenyum sembari menatap Fallen dalam. “Ku tinggalin kamu…”

Fallen langsung melepas jemarinya dari tuts piano. “Lho, kok ditinggalin, sih?!”

Allena terbahak kencang, suaranya sampai memenuhi ke seluruh sudut ruangan. “Ya
ngapain, gue masih mau hidup, dong. Masa lo mati, gue ikutan mengubur diri?”

Fallen kesal. Ia memutuskan untuk menggelitiki badan Allena, membuat gadis itu
kegelian. “Kesel juga lama-lama ngomong sama kamu, ya!”

“Haaduhh, ampunhh...” Allena mulai pegal karena sibuk tertawa karena kegelian.

Fallen menghentikan aktivitasnya menggelitiki Allena sejenak. Saat mendapat


kesempatan, Allena bangkit dan berlari meninggalkan ruang tengah menuju ke luar rumah.
Fallen mengejar di belakangnya. Dengan langkah panjang, ia mendapatkan Allena kembali.
Fallen tak memberi Allena ampun, kalau bisa ia akan membuat gadis itu mati karena geli.

“Fallennn udahh dooongggg...” napas Allena terengah-engah menahan rasa geli yang
Fallen perbuat. Sejatinya, Allena paling anti kalau digelitikin orang begini. Tapi kali ini,
gebetan yang gelitikin, siapa yang ngga mau coba?

Namun saat mereka masih sibuk tertawa, tiba-tiba Fallen melepaskan Allena dan

45
Fallen & Allena

berhenti tertawa. Pandangan Fallen juga berubah kosong, mengikuti arah datangnya sosok
wanita berbadan gempal, yang berlari masuk ke halaman rumah dengan keadaan menangis.

Fallen berlari meninggalkan Allena menuju ke sang mama. “Ma, Mama kenapa?”

Cekalan Fallen melesat, wanita itu lolos masuk ke dalam rumah. Kemudian salah satu
pegawai mama Fallen berhenti setelah berlari keluar dari dalam taksi. Pegawai mamanya
yang berusia 25 tahunan itu biasa dipanggil Ana, ditahan oleh Fallen siap untuk diinterogasi.

“Mbak, mama kenapa?”

Ana mengatur napasnya yang terengah. “Itu, tadi bapak datang ke toko nemuin ibu...”

Fallen menepuk dahi. “Ya udah, Mbak, aku titip mama dulu. Dijagain ya, tolong.”

“Iya, Mas.” Ana berlalu masuk ke dalam rumah.

“Len,” Allena membuyarkan lamunan Fallen dengan cara menyentuh bahunya.

“Aku antar kamu pulang, ya?” Fallen beralih masuk ke ruang tengah untuk
mengambil jaket dan kunci motornya, Allena mengekor di belakangnya.

“Tapi mama lo?”

Fallen memasukkan kunci dan menstarter motor setelah mengenakan helm. “Udah,
aku antar kamu dulu. Kan aku yang bawa kamu ke sini, aku juga harus bawa kamu pulang.”

Daripada Fallen marah, Allena menurut saja. Mungkin, masalah yang menimpa mama
Fallen terbilang serius dan sensitif. Itu sebabnya, Fallen tak mau Allena ikut campur atau
bahkan sekadar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pukul tiga lebih sepuluh menit, Fallen
kembali ke rumahnya. Ia berlari sekencang mungkin menuju ke kamar sang mama. Terlihat,
wanita paruh baya itu tertidur dengan ditemani Ana yang mengusap-usap bahunya.

“Mbak, mama tidur?”

“Iya, Mas.” Ana menyudahi aktivitasnya, tak lupa menyelimuti tubuh mama Mella
dengan selimut. “Kalau Mas mau dengar ceritanya, kita bicara di luar aja, ya.”

Fallen mengangguk setuju. Ia segera keluar dari kamar sang mama, menuju ke ruang
tengah, dan duduk di sofa depan televisi. Beberapa detik kemudian, Ana datang menyusul
lalu segera duduk tak jauh darinya. “Kenapa, Mbak?”

46
Fallen & Allena

Ana mengembuskan napas. “Bapak datang bawa wanita lain, Mas. Tega banget...”

“Mbak ingat ciri-ciri wanitanya?”

“Putih, langsing, mulus, rambut panjang gelombang warna gelap kecoklatan, gitu.”

Fallen membasuh wajahnya menggunakan telapak tangan sebelah kanan. “Kalau itu
sih, banyak miripnya sama perempuan zaman sekarang, Mbak.”

Ana berdecak. “Saya ngefotoin sih, Mas. Nanti, saya kirim fotonya ke Mas, deh.”

Fallen mengangguk pasrah. “Mbak tahu ngga, mama sama papa ngomongin apa?”

Ana menggeleng. “Mereka masuk ke ruang manajer. Jadi, saya ngga tahu mereka
ngomongin apa. Yang jelas, bapak marah-marah, nah si ibu keluar dalam keadaan nangis.”

Fallen menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. “Berulah lagi itu orang.”

“Ya udah, Mas. Saya balik ke toko, lagi banyak pesanan buat syukuran malam ini,
sedangkan kita belum nambah karyawan,” Ana bangkit dari sofa. “Jagain Ibu, Mas. Kasihan.”

Fallen ikut bangkit. “Iya, Mbak. Hati-hati, ya. Saya nitip toko.”

Ana mengangguk, lalu berpamitan untuk keluar. Selepas kepergian pegawai mamanya
itu, Fallen menghela napas panjang dan diembuskannya kasar, sebagai ajang mengontrol
emosinya. Musibah apalagi yang akan dihadapi sang mama, di awal karirnya yang lebih baik
ini? Fallen tak habis pikir, mengapa dunia orang dewasa tak seasyik dunianya, sampai orang
memiliki hobi mengganggu kebahagiaan orang lain. Baru saja Fallen bernapas lega karena
sang mama tak lagi kumat penyakitnya selama kurang lebih lima bulan, papanya datang lagi
membawa kekacauan. Fallen takut saat tak bersamanya, sang mama kolaps karena sakit
jantungnya. Namun ia bersyukur kali ini, mama tak nampak kambuh dari sakit jantungnya.

Selain memiliki riwayat sakit jantung, mama Mella sempat depresi karena masalah
yang dihadapinya di masa lalu. Inilah yang membuat Fallen harus siaga 24 jam non stop, dan
bagaimanapun caranya sang mama harus merasa bahagia. Sedih sedikit saja, sang mama bisa
mengingat kenangan pahitnya, lalu menangis dan mengurung dirinya sepanjang hari.

***

Fallen duduk di ambar ranjang. Tadi ia membuatkan teh hangat untuk sang mama, berharap

47
Fallen & Allena

keadaannya sedikit membaik. Fallen bingung harus berbuat apa, untuk sekadar bertanya pun
rasanya sangat berdosa. Pasalnya sudah lima menit yang lalu, Fallen menanyakan mamanya
itu kenapa, namun wanita paruh baya itu masih terdiam—terduduk lesu di sandaran ranjang.

“Len, kalau Mama cerai bagaimana?”

Nah, saat yang Fallen tunggu telah tiba. Akhirnya sang mama mau juga membuka
mulut untuk berbicara. Sedangkan ia heran sendiri, bukankah orangtuanya sudah berpisah
sejak lama? Lantas mengapa sang mama baru sekarang membicarakan perihal perceraian?

“Fallen kira, Mama sama papa udah pisah.”

“Papamu yang ngga mau cerai,” mama Mella mengembuskan napas kasar. “Padahal,
dia ngga pernah kasih kita nafkah kan, Nak? Udah setahun dia ngga ada di antara kita. Tapi
Mama ngga boleh menggugat dia. Malah tadi ke toko, minta izin menikah lagi. Cukup lama
batin Mama tersiksa, tiba-tiba dia datang lagi malah ingin izin poligami. Maksudnya apa?”

Fallen terdiam, ia tak kuasa membayangkan bagaimana sakit hati yang kini diderita
mamanya. Kalau boleh memberi pelajaran, Fallen sudah menghabisi sang papa sejak lama.

“Jadi, Mama punya dua pilihan buat papamu. Kami cerai, atau tinggalkan wanita itu.
Tapi papamu menampar Mama,” air mata yang dibendung mama Mella akhirnya tumpah.
“Udah lama Mama berusaha untuk hidup sendiri, membahagiakan diri sendiri, cari nafkah
sendiri untuk kamu. Semuanya udah cukup bagi Mama, Nak. Mama ngga butuh pria itu lagi.”

Fallen mendekatkan tubuhnya ke sang mama, lalu ia menggenggam tangan wanita itu.
“Aku setuju kalau Mama cerai, lagian, hubungan ini memang ngga ada gunanya lagi, kan?”

“Ya udah kalau begitu, Mama akan cepat-cepat urus ini ke pengadilan. Mama ngga
akan peduli lagi dengan perlakuan pria itu setelah ini,” mama Mella membaringkan tubuhnya.
Fallen segera membantunya, tak lupa menyelimutinya dengan selimut tebal. “Oh, iya, kalau
bisa, kamu ke toko ya, untuk beberapa hari ke depan? Mama mau istirahat di rumah dulu.”

“Iya, nanti Fallen ke toko Ma,” Fallen bangkit dari tempat duduknya. “Mama
harusnya juga perbanyak karyawan, ngga apa-apa kan, kalau nanti Fallen bantu carikan?”

“Terserah kamu, yang penting orang yang kamu bawa bisa bertanggungjawab.”

“Ya udah, sekarang Mama istirahat ya. Fallen juga mau istirahat. Capek,” Fallen

48
Fallen & Allena

mendapat anggukkan kepala, yang membuatnya segera mencium kening sang mama,
kemudian berlalu keluar dari kamar mama untuk kembali ke kamarnya sendiri.

Setibanya di bilik dengan luas 3x3 meter dengan dominan warna hitam, Fallen segera
membaringkan tubuhnya di kasur. Kamar Fallen pencahayaannya rendah karena hanya
menyalakan lampu belajar, kasurnya pun tak beranjang, sedangkan di sebelahnya terdapat
meja yang di atasnya menjadi tempat seperangkat alat pengeras suara. Di dinding banyak
sekali poster dari band-band luar negeri seperti Avenged Sevenfold dan Bring Me the
Horison, serta terdapat beberapa poster dari musisi Indonesia favoritnya—Bondan Prakoso.
Lalu, jangan melupakan sampah putung rokok yang memenuhi asbak di pojok ruangan.

Jangan ditanya lagi, Fallen ini sejatinya perokok berat.

Meskipun begitu, Fallen jarang merokok di hadapan orang-orang tercintanya. Ia lebih


suka merokok di dalam kamar, atau di luar rumah sekalian. Apabila sedang dilanda stres
berat, ia menghabiskan dua bungkus rokok dalam waktu sehari saja. Seperti yang terlihat
sekarang, Fallen mulai mengeluarkan batang penenang itu dari wadahnya, lalu menyalakan
ujungnya menggunakan korek cricket yang acapkali menjadi rebutan oleh teman-temannya.

Fallen terdiam sepanjang malam. Ia syok berat. Terlebih saat Ana mengirimkannya
foto sosok wanita yang ke toko bersama ayahnya. Hingga jam menunjukkan pukul sebelas,
kiranya sudah separuh bungkus rokok telah ia isap, tak lupa musik penenang ia putar lewat
pengeras suara di kamar. Rasanya, hidup dunia akan lebih baik berjalan begini saja. Merokok
ditemani musik sepanjang hari, hingga menunggu maut yang datang menjemputnya saja.

Fallen meninju dinding di sebelah kanannya, rasanya tak sesakit apa yang dirasa oleh
hatinya. Berpaut tidak bertali. Ia kira sudah selesai masalah di masa lalunya, saat sang mama
harus menangis meronta, karena tak percaya bahwa sang papa pergi bersama wanita
pilihannya. Nyatanya, kedua orangtuanya belum mengucap kata-kata pisah. Cukup sekali saja
ia merasakan lara ditinggalkan seseorang yang ia cinta, karena satu orang yang sangat ia
benci di hidupnya. Ia tak mau lagi apabila sang mama merasakan luka oleh orang yang sama.

Papa hanyalah seorang perenggut kebahagiaan keluarga.

Kiranya benar begitu. Salah satu quotes yang Fallen tulis di salah satu sisi dinding
kamarnya, sekitar setahun yang lalu. Bertepatan setelah satu Minggu papanya meninggalkan
rumah dan hidupnya, dan enam bulan kemudian kebo bersama wanita pilihannya sekaligus

49
Fallen & Allena

orang yang pernah berarti penting dalam hidupnya. Bahkan, Fallen sudah menganggapnya
sebagai ibu kedua. Sosok wanita yang sama di dalam foto yang Ana kirim padanya barusan.

Fallen sudah menyayangi setulus hati, bahkan sudah memberinya kepercayaan.


Namun nyatanya, tante Linda sendiri yang merusak kepercayaan yang Fallen beri. Hubungan
kekeluargaan pun putus, hanya karena ego dari dua orang tersebut. Hanya karena salah
tempat untuk memulai sebuah cerita cinta. Namun siapa yang bersalah? Tuan rumah yang
senantiasa membukakan pintu, atau orang yang datang untuk bertamu?

+ Fallen & Allena +

8. Rumah Fallen

Pelajaran ekonomi telah usai, pun begitu dengan penderitaan yang dirasakan kelas
sebelas IPS2. Beberapa menit lalu, Fallen bertukar pesan singkat dengan Allena. Niatnya, hari
ini ia akan mengajak gadis itu ke toko. Sekadar melihat-lihat, siapa tahu Allena tertarik untuk
bekerja paruh waktu di sana. Karena memang, Allena sudah lama ingin kerja paruh waktu
untuk mendapat uang tambahan. Kebetulan, mama Mella membuka toko untuk bisnisnya, dan

50
Fallen & Allena

membutuhkan pegawai. Allena dengan senang hati menerima ajakan Fallen tersebut.

Ketika bu Mega keluar dari kelas diikuti oleh yang lain, tersisa geng Tengkorak
bersama geng rempong yang diketuai oleh Sandra. Sejak tadi, kode yang ditunjukkan Sandra
seakan-akan tengah menahan Fallen yang sudah sangat ingin meninggalkan kelasnya.

“Guys, Fallen buka toko katering baru, lho!” seruan Sandra menggelegar ke seluruh
sudut ruangan yang bersisa tujuh penghuni saja.

Beni, Faza, dan Erlan merasa dikhianati sebagai seorang sahabat. Pasalnya, mereka
bertiga tak tahu-menahu tentang toko baru Fallen. Fallen yang mendapatkan tatapan tak enak
dari tiga temannya, merasa terusik karena ulah Sandra sebagai pemicu konlfik ini.

“Toko nyokap gue, bukan milik gue,” ujar Fallen ketus.

Sandra berjalan mendekati Fallen. “Tapi kita boleh dong, main ke toko lo itu?”

Fallen berdecak kesal. “Sorry ya, toko nyokap gue ini bukan kafe. Jadi, bukan tempat
yang tepat, buat kalian nongkrong,” ia hendak berlalu.

Sandra berkacak pinggang, berdiri menutup jalan yang Fallen lalui. “Gue tahu itu toko
katering, bukan berarti gue ngga boleh ke sana, kan? Gini-gini, gue pelanggan mama lo, lho.”

“Bro, gue duluan ya. Udah ditungguin orang penting, nih,” Fallen menyalami ke tiga
sahabatnya ala cowok banget, dan tak mengindahkan ucapan Sandra. Kemudian ia berlalu
keluar kelas setelah Beni mengingatkannya supaya hati-hati di jalan.

Sandra yang ketiban nasib sial karena kembali diabaikan oleh Fallen, mendapat
tawaan kencang dari ke tiga sahabat Fallen. Satu di antaranya maju mendekatinya, yaitu Beni.
“Mending, nongkrong di kafe bareng Aa aja yuk, Neng?” Beni mencekal pergelangan tangan
Sandra, sesaat kemudian mendapat tepisan dari gadis itu.

“Minggir! Gue ngga level ya, jalan sama cowok tengkorak kaya lo!” Sandra mengajak
dua temannya pergi dari kelas, tak lupa memberi injakan pedas untuk kaki Beni.

Tingkah Beni yang diabaikan Sandra, mendapat reward menyedihkan dari Faza dan
Erlan. Ke tiganya saling berpelukan ala Teletubbies. Menyedihkan...

Sedangkan Sandra yang diikuti oleh dua sahabatnya—Bella dan Rosa, tengah
mengendap-endap untuk mengikuti kemana arah kaki Fallen melangkah. Mereka berhenti di

51
Fallen & Allena

persimpangan koridor yang berhadapan dengan ruang Tata Usaha, bersembunyi sembari
menyaksikan Fallen yang berbincang dengan seorang siswi di depan ruang perpustakaan.

Tangan Sandra mengepal. “Jadi ini orang pentingnya? Gue bakal kasih dia pelajaran!”

Bella dan Rosa saling pandang, lalu keduanya berusaha menenangkan pikiran Sandra.

Lelaki yang tengah diawasi tiga orang gadis itu, disambut hangat oleh gadis lain yang
menunggu di depan perpustakaan, sesuai keinginannya. Beberapa menit mereka sempatkan
untuk berbincang, layaknya dua orang teman yang sudah lama tak bertemu. Setelah Fallen
menatap langit yang nampak mendung, keduanya melenggang pergi menuju ke parkiran.

Fallen dan Allena naik sepeda motor berdua meninggalkan sekolahan yang mulai sepi,
meski masih tersisa beberapa kelas yang belum selesai mata pelajarannya. Tak lama setelah
memacu sepeda motor di jalanan, Fallen dan Allena tiba di sebuah toko. Tempat baru untuk
melanjutkan bisnis katering mama Mella. Allena dibuat kagum dengan bisnis ibunda Fallen,
yang disinyalir sudah merintis sejak lama, hingga bisa mendirikan sebuah toko sendiri.

Kedatangan mereka disambut oleh tiga pegawai toko, Ana yang menjaga meja kasir,
bu Bejo dan anaknya—Sulis sebagai tukang masak. Allena berkenalan dengan ketiganya, lalu
Fallen menyampaikan bahwa gadis ini akan kerja paruh waktu. Tak hanya Allena, tantenya
juga menjadi kandidat pegawai baru di toko ini. Berita baik yang disampaikan Fallen
mendapat respon yang baik pula dari ketiga pegawai mamanya, karena jujur saja mereka
kewalahan untuk mengurus bisnis yang terbilang melanglang buana di daerah sekitar sini.

Sesuai persetujuan, Allena dan tantenya akan mulai bekerja esok hari di sini. Tante
Nisa akan bekerja full mulai dari jam delapan pagi hingga delapan malam, sedangkan Allena
datang setiap pulang sekolah hingga jam sembilan malam untuk beres-beres peralatan masak,
menjaga kasir, ataupun ikut memasak. Setelah ini, pasti toko akan semakin ramai. Selain
euforia baru karena ada pegawai baru, pasti akan banyak juga pelanggan baru dari kenalan
tante Nisa karena banyak memiliki teman saat menjadi anggota Bhayangkari.

Selepas mengamati seluruh sudut toko dimulai dari etalase makanan berat, makanan
ringan, dan berbagai jenis kue, lalu membantu bu Bejo dan mbak Sulis memasak pesanan di
dapur, Allena diajak Fallen untuk kembali singgah di kediamannya. Meski hari sudah sore,
terlihat langit yang berubah warna menjadi jingga, Allena tetap mengikuti keinginan Fallen.
Karena tempo hari ia hanya berkunjung sebentar ke sana, Fallen juga belum menunjukkan

52
Fallen & Allena

sesuatu hal penting, padahal sejak kamping ekskul, Fallen sudah ingin memperlihatkannya.

Dan di sinilah dua insan itu sekarang, ditemani satu insan lain yang usianya terpaut
sekitar dua puluh tahunan dari mereka. Fallen izin ke kamarnya untuk ganti baju, sedangkan
Allena tengah dihujani banyak pertanyaan dari tante Mella—mama Fallen yang cerewet.

Sejatinya Mella sudah merasa bahwa sejak tempo hari ada seorang gadis berkunjung
kemari, itulah gadis yang sempat Fallen ceritakan akan ia buat baper. Mella tertawa geli,
ternyata malahan anaknya sendiri yang terlampau jatuh cinta. Terlihat dari Fallen yang
membawa ke rumah setelah cukup lama tak mengenalkan perempuan lagi ke mamanya,
memperlakukannya seperti tuan putri, atau sampai jadi menyebalkan tiap kali berbincang.

Mella sekarang jadi tahu, apa alasan anak semata wayangnya menarik perhatian gadis
berambut panjang ini. Selain pendiam, keduanya memiliki nama yang nyaris sama.
Kebetulan apalagi ini yang ditakdirkan oleh Tuhan? Pikirnya. Meski pendiam, rupanya
Allena sangat pantas dijadikan sebagai lawan berbincang. Allena juga pandai memasak,
katanya.

“Kamu mau bantu-bantu di tokonya Tante?” Mella datang membawakan segelas teh
hangat, ditemani biskuit coklat buatannya di dalam stoples.

Allena mengangguk dengan pasti. “Iya Tante, saya butuh uang tambahan.”

Mella mengerutkan kening, “lho, kamu tinggal sama siapa memangnya?”

“Sementara waktu, saya akan tinggal bersama kakek dan nenek,” Allena tersenyum
miris dan memalingkan wajahnya. “Ibu dan kakak saya sudah meninggal, sedangkan ayah
saya malahan menikah lagi,” sesaat kemudian ia menertawakan dirinya sendiri.

Mella merasa tak enak hati karena membuat Allena menjadi berkabung. “Maafin
Tante, Sayang,” lalu ia memeluk gadis yang ada di hadapannya, tak lupa mengusap puncak
kepalanya yang dihiasi rambut panjang nan wangi itu. “Mulai sekarang, kamu boleh deh,
panggil mama Fallen ini dengan sebutan Mama, ya? Ayo Sayang, jangan canggung.”

Allena meregangkan pelukannya, lalu menatap wanita itu sejenak. “Ta-tapi...”

Mella menautkan kedua telapak tangannya ke pipi Allena. “Ngga apa-apa, Sayang...
Mama senang bisa ketemu kamu, di saat Mama ingin memiliki anak perempuan lagi.”

53
Fallen & Allena

Butiran air halus keluar dari pelupuk mata Allena. Sudah lama ia tak mengeluarkan
panggilan Mama atau Ibu dari mulutnya. Seakan sudah lama bermimpi tentang sesuatu yang
tak akan lagi menjadi kenyataan, justru kini Allena dengan mudah mendapatkannya. Ia
memeluk mama Mella seakan tak berniat untuk melepasnya. Meski Allena mendapatkan
sosok ibu baru dalam diri mama Mella, bukan berarti ia melupakan ibu kandungnya yang
telah tiada. Setelah ini, ia ingin mengunjungi rumah terakhir ibunya untuk bercerita bahwa ia
menemukan orang baru yang baik, yang mau menganggapnya seperti anak kandung sendiri.

“Mamaaaa.. Allena suruh ke sini,” suara teriakan yang berasal dari dalam kamar
Fallen di lantai atas membuyarkan suasana penuh haru di ruang keluarga.

Mama Mella meregangkan pelukannya, lalu menyeka air mata Allena. “Tuh, kamu
dipanggil. Sana, ke kamar Fallen. Ada di lantai dua, kamarnya.”

“Tapi Tant, maksudnya… Ma?”

“Sudah, ngga apa-apa. Fallen anak baik, kalau dia jahatin kamu bilang aja ke Mama
ya? Kamu kan sekarang anak Mama,” Mella mengusap pipi Allena menggunakan ibu jarinya.

Akhirnya Allena menurut. Ia meninggalkan mama Mella di depan televisi yang tengah
memutar drama India. Sesuai dengan arahan yang didapat untuk menuju ke kamar Fallen,
Allena tiba di sana setelah melewati anak tangga yang tidak terlalu tinggi. Rumah Fallen dan
mamanya ini memang memiliki dua lantai, namun desain dan luasnya sangat minimalis, yang
tentu nyaman untuk ditinggali. Allena menatapi kamar Fallen. Ruangan dengan pencahayaan
minim itu, memiliki wewangian maskulin. Tentu hal ini membuat Allena ingin berlama-lama
disana. Allena kesal melihat Fallen terlihat berbaring di atas kasurnya yang tak beranjang.
Apa gunanya ia dipanggil kemari, sedangkan lelaki itu bersantai dengan nyaman di sana?

“Ngapain panggil-panggil gue?”

“Sini,” Fallen menggeser tempat bebaringannya untuk menyisakan ruang kosong di


sebelah kiri. Ucapan dan perlakuannya langsung mendapat tatapan ngeri dari lawan
bicaranya. “Aku ngga akan macam-macam di rumah sendiri, Allena.”

Setelah tak mendapat kebohongan dari raut wajah Fallen, Allena mendekat dan duduk
di tempat yang Fallen tunjuk. Kemudian Fallen pindah tempat bebaringannya, menjadikan
paha Allena sebagai bantalnya. Sontak saja, Allena terkejut disertai degup jantung yang tak
karuan. Namun pelakunya biasa saja, bahkan ia memejamkan mata dengan nyamannya.

54
Fallen & Allena

“Manggil gue ke sini buat kayak gini doang?”

“Gimana Mama?”

“Baik,” Allena tersenyum tipis. “Ini ya, yang mau lo tunjukkan ke gue?”

Fallen berdeham pelan, ia tak memedulikan Allena yang keberatan karena ulahnya.
Namun Allena bisa apa, kapan lagi ia mendapatkan pemandangan sebagus ini, menyaksikan
wajah tampan Fallen ketika memejamkan mata, menghirup aroma kamar Fallen yang khas,
serta tinggal di dalam sini lebih lama. Bahkan sesuai ucapan dari mama Mella tadi, ia adalah
gadis pertama yang Fallen bawa ke rumah untuk berkunjung, setelah sekian lama. Sudah
dipastikan, cewek seantero sekolah akan iri kepada Allena apabila gosip ini sampai bocor.

Allena hanyut dalam lamunan, ia bahkan tak dapat mengontrol diri sendiri, yang
sedari tadi mengagumi ketampanan Fallen yang biasa usil dan pemberontak, kini terlihat
sangat pendiam dan tengah damai di dalam tidurnya. Seluruh bagian wajah Fallen ia absen
menggunakan jemarinya. Matanya yang sipit, hidungnya yang mancung, pipinya yang sedikit
bulat, dagunya yang panjang, serta bibir tipis merah jambu yang terlihat sangat menggoda.
Allena tak pernah menyangka akan sedekat ini dengan lelaki yang dikaguminya diam-diam.

Saat melakukan aktivitas baru yang menyenangkan itu, tangan Allena ditahan oleh
Fallen. Allena panik, ia memikirkan banyak hal, termasuk apa perbuatanku ini lancang dan
termasuk pelecehan? Allena berusaha melepaskan cekalan tangan Fallen, namun kekuatan
lelaki tak akan mampu dikalahkan oleh perempuan. Allena pasrah. Ia tetap bergeming.

“Kenapa? Sedang mengagumi ketampananku, ya?”

Pertanyaan Fallen justru membuat perut Allena geli. Fallen yang kalem, kembali
berubah menyebalkan meskipun ia masih memejamkan mata sipitnya. Allena terkekeh
dibuatnya. “Iya…” ujar Allena akhirnya mau mengakui itu.

Fallen yang semula memiringkan badan, kini tidur secara telentang. Sesaat kemudian,
mata sipitnya terbuka, mendongak menatapi Allena dalam. “Kamu beruntung.”

“Kenapa?” Allena mengerutkan kening.

Fallen tersenyum tipis, lalu memejamkan matanya kembali. Tanpa Fallen katakan
pun, Allena bisa tahu maksud ucapannya, setelah sekian lama kalut dalam pikirannya. Yang
Allena pikirkan, mungkin saja Fallen akan mengatakan padanya bahwa ia satu-satunya gadis

55
Fallen & Allena

yang beruntung. Bukan hanya mendapat jackpot karena bisa berbincang hangat dengan
Fallen, Allena bisa diajak main ke rumahnya, bahkan bisa puas mengagumi Fallen dari dekat,
di saat gadis lain mustahil merasakan semua hal itu. Dada Allena berdesir pelan.

Pergelangan Allena yang semula masih Fallen genggam, kini ia letakkan kembali ke
wajahnya. “Kamu bebas melakukan apapun padaku,” gumamnya.

Allena bergeming. Ia tak tahu harus bagaimana, selain memuja ketampanan Fallen.
Tangannya masih betah mengabsen tiap lekuk wajah Fallen yang damai di dalam tidurnya.
Tak disangka, Fallen mendengkur setelah beberapa menit memejamkan mata. Hal itu
membuat Allena terkekeh, sangat pelan—karena tak mau Fallen terbangun karena ulahnya.

“Besok tinggal temani gue ke rumah nenek, ya?” Allena bicara sendiri, seakan-akan
tengah berbincang dengan Fallen yang tengah tertidur pulas. Ucapannya mendapat jawaban
berupa dengkuran kencang dari lelaki itu, sontak saja Allena kembali terkekeh. “Gue anggap
itu sebagai jawaban iya. Emangnya lo doang ya, yang bisa maksa-maksain orang?”

Kebersamaannya dengan Fallen takkan pernah Allena lupakan. Kalau ada museum
kenangan di dunia ini pun, Allena akan mengabadikan momen ini di dalam museum tersebut.

Hukum alam yang menyatakan bahwa Fallen adalah lelaki yang usil tak bisa diam,
namun tertutup dan cuek terhadap orang baru, tidak berlaku bagi Allena. Buktinya, Allena itu
orang baru di kehidupan Fallen. Namun hanya hitungan waktu tak sampai genap empat
bulan, ia sudah seperti orang yang dikenal Fallen sejak lama. Kalau saja boleh berharap lebih,
Allena berharap bisa mendapatkan hati Fallen. Supaya ia memiliki bukti bahwa gadis payah
semacam dirinya pun, bisa meluluhkan hati lelaki hebat seperti Fallen.

Momen yang tak terlupakan ini, terekam pula oleh mata wanita paruh baya yang
melahirkan Fallen ke dunia. Dari balik pintu kamar anaknya yang sedikit terbuka, Mella
dapat menyaksikan kebersamaan Fallen dengan gadis sopan nan lemah lembut itu. Mella
bersyukur pula setelah mengamati perbedaan Fallen yang suka mengurung diri di dalam
kamar selepas pulang sekolah, menjadi sering pulang telat karena ikut banyak kegiatan,
katanya. Tawa di rona wajahnya juga berbeda dengan pada saat Fallen baru selesai mengusili
orang. Yang jelas, Mella berharap kebahagiaan yang dirasakan oleh anak sulung yang kini
telah menjadi anak semata wayangnya ini tidaklah sementara.

+ Fallen & Allena +

56
Fallen & Allena

9. Rumah Nenek Allena

Sebelum berangkat sekolah, heboh mencari kaus kaki, heboh mencari dasi, dan
menanti sarapan yang belum jadi, sudah menjadi tradisi di rumah ini. Rumah yang kini dihuni
oleh tiga dara—siapa lagi kalau bukan Mawar dan mamanya, beserta Allena sang sepupu.
Sudah sejak lima menit yang lalu, Mawar sibuk mencari kaus kaki berwarna merah muda
dengan corak polkadot hitam, namun tak kunjung ia temukan. Sedangkan Allena sudah siap
untuk berangkat, hanya tinggal menanti tantenya selesai memasak nasi goreng di dapur.

Celotehan Mawar yang menginginkan kaus kaki sebelah kanannya yang hilang,
membuat Allena geram dan merasa gerah sendiri, meski ia tetap sadar diri tinggal

57
Fallen & Allena

menumpang di rumah ini. Dengan cekatan, ia melongok ke bawah sofa depan ruang keluarga,
Allena mendapatkan apa yang Mawar cari-cari. Mawar nyengir kuda, saat Allena menjumput
kaus kaki keramat miliknya itu, lalu berusaha menyumpal mulutnya tanpa segan. Mawar
mendengus sebal setelah kepergian Allena, lalu kembali menuju ke meja makan.

Kedatangan dua gadis yang seperti kucing dan tikus itu bertepatan dengan Nisa yang
membawa mangkuk saji berisi nasi goreng berwarna kecoklatan. Ia menatap anaknya tajam.
“Makanya, kalau nyari barang itu pakai mata, bukan pakai mulut.”

Serasa menang pagi ini melihat Mawar dimarahi mamanya, Allena bersorak dengan
diakhiri menjulurkan lidah ke arah sepupunya sembari bergumam, “mampus.”

Mawar menjambak rambut panjang Allena beberapa detik. “Gue dengar, ya!”

“Udah, kalau ribut terus, kapan berangkat sekolahnya?” Nisa melerai Allena dan
Mawar yang selalu melakukan perang saudara tiap pagi sebelum berangkat sekolah.

2-0.
Allena menang lagi. Rasanya begitu bahagia saat Mawar diomelin mamanya. Mungkin hal
membahagiakan ini, yang dirasakan kakaknya tiap kali ia dimarahi sang mama, saat mereka
masih ada di dunia, saat tiap pagi mereka melakukan ritual yang sama. Heboh mencari kaus
kaki maupun dasi, menanti masakan mama, sampai heboh menunggu ojek jemputan.

Allena tersenyum tipis. Ada untungnya juga ia numpang tinggal di rumah tantenya ini.
Hal yang lama tak ia rasakan, selalu hadir dengan sendirinya. Tapi Allena tidak lekas
berpangku tangan hanya menikmati semua hal ini. Karena kemarin, tantenya berpesan supaya
ia tinggal di rumah neneknya. Bukan karena mengusirnya untuk tak lagi tinggal di rumah ini,
hanya saja tantenya itu baru mendapat teroran dari nomor tak dikenal, yang menghubungi
tiap tengah malam. Tantenya takut apabila hal lain yang tak diinginkan terjadi, menyangkut
keselamatan hidup Allena, yang dilakukan oleh ayahnya sendiri.

“Tante hari ini berangkat ke toko mamanya Fallen, kamu sebaiknya berangkat besok
aja,” Nisa meraih secentong nasi goreng ke dalam piringnya, lalu duduk di salah satu kursi.

Allena menelan kunyahan nasi goreng karena tiba-tiba kerongkongannya sesak. “Lho,
kenapa? Habis beresin barang dari rumah nenek, aku bisa langsung berangkat ke sana, kok.”

“Ada benarnya juga mama gue, Al. Rumah nenek agak jauh kan, dari tokonya Fallen?

58
Fallen & Allena

Lo udah dianterin sama dia, habis itu mau minta dianterin lagi ke toko,” Mawar menangkap
makna mengapa mamanya melarang Allena mulai masuk kerja hari ini. “Tolong, lah, kalian
ini lagi pedekate, ya. Lo jangan memperlakukan dia jadi kayak tukang ojek gitu, dong.”

Allena mengerucutkan bibirnya. Kali ini Mawar menang, karena sedang cari muka di
depan mamanya, untuk mencari kesalahan Allena pula. Kini Allena mengalah. “Iya, deh...”

“Tapi ngga apa-apa, sih, kalau Fallennya sendiri bersedia,” balas Nisa. Ia melirik ke
anaknya. “Bilang aja kamu iri, Allena diantar-jemput cowok ke sekolah, tapi kamunya ngga?”

Allena bersorak kembali. Seakan tak mau bersekutu dengan anaknya sendiri, tante
Nisa malah justru membelanya lagi. “Syukurin! Jomblo ya, jadi irian gitu,” bisiknya telinga
Mawar. Kemudian Allena langsung mendapat tabokan tak manusiawi dari Mawar.

“Bilangnya lagi pedekate juga sama cowok, kok cowoknya ngga antar-jemput, sih?”
Nisa mencibir anaknya sendiri. Beberapa waktu lalu, anak gadisnya itu bercerita padanya
bahwa ada kakak kelas yang sedang gencar mendekatinya.

“Mama iih...” Mawar mencubit lengan mamanya dengan ganas. “Brian tuh pendiam
dan ngga pekaan. Kalau aku ngga minta terus terang, dia mana mau nawarin. Terus, masa aku
minta diantar-jemput? Ya ngga enak, dong. Nanti dikiranya, aku cuma manfaatin dia doang.”

Allena terbahak kencang. Dekat dengan Fallen yang super perhatian, membawa
dirinya satu langkah lebih maju di depan Mawar. Terlebih saat ia mendengar suara klakson
motor di depan rumah, yang menandakan pangeran berkuda besinya datang. “Dadah Sayang,
pangeran berkuda besiku datang. Emang enak, berangkat sekolah masih naik angkot?”

Setelah puas terbahak bersama adik mamanya, Allena berpamitan berangkat duluan.
Selain karena sarapannya telah tandas, ia juga tak mau Fallen menunggu lama di luar rumah.
Allena hanya mencium tangan tante Nisa, sedangkan Mawar ia acak-acak rambutnya sebagai
ajang kembali meledek karena pagi ini, perseteruan kembali dimenangkan olehnya. Allena
tak lupa pula memasukkan beberapa centong sisa nasi goreng ke dalam wadah makanan
berwarna biru muda milik Mawar yang dipinjamnya. Meski sederhana, setidaknya bekal
untuk Fallen itu, ia jadikan sebagai tanda balas budi karena mau mengantar-jemput tiap hari.

Kedatangan Allena di halaman disambut oleh senyum Fallen di balik kaca helmnya.
Sebelum naik ke jok belakang, Allena memasukkan wadah bekal ke dalam tas Fallen. Meski
sudah menolak beberapa hari belakangan, akhirnya Fallen mengalah untuk menerimanya.

59
Fallen & Allena

Setidaknya ia juga ingin menghargai pemberian dari orang padanya. Setelah tas Fallen
kembali tertutup, lelaki itu memberikan helm kepada Allena yang sengaja dibeli sebulan lalu.

“Sudah siap, Tuan putri?” Fallen melirik ke spion untuk melihat wajah Allena.

“Ayay, Kapten!”

Fallen menarik gas hingga mesin motornya menciptakan suara gerungan. Motor
maticnya bukanlah motor sport yang nampak gagah saat gas ditarik dalam. Namun apa yang
dilakukannya itu tetap mendapatkan tawa renyah dari Allena. Sebelum terlambat, Fallen
segera memacu kuda besinya di jalanan kota. Sekitar sepuluh menit, kuda besi kesayangan
Fallen membawa mereka tiba di kawasan sekolah. Fallen membunyikan klakson sebagai
tanda hormat kepada guru dan mahasiswa magang, yang tengah melakukan piket 3S di
gerbang sekolah. Setelah masuk ke gerbang kedua, Fallen kembali memacu motornya sedikit
lebih kencang. Sampai mereka tiba di parkiran yang dekat dengan gedung kelas Allena.

“Baru juga berangkat sekolah bareng, udah besar kepala tuh dia!”

“Ngga tahu diri banget. Padahal kan, Fallen udah lama pacaran sama Sandra.”

“Sandra yang cantik bahenol, kok bisa tergantikan sama bambu berjalan kayak dia?
Mata Fallen katarak atau buta kali, ya? Atau mungkin, Fallen kena guna-guna, lagi!”

Allena melirik ke arah rombongan siswi yang tadi melewatinya sambil bergosip ria,
saat dirinya turun dari motor dan memberikan helm ke Fallen kembali. Berangkat dan pulang
sekolah bersama Fallen, tandanya Allena harus menebalkan telinga ketika mendapat cibiran.

Setelah mengunci helm di cantelan bagasi motor, Fallen menghampiri Allena yang
terdiam. “Udah, jangan dengarin nenek lampir ngegosip. Kalau kamu kesal, nanti mereka
tambah senang,” ia menutup kedua telinga Allena menggunakan kedua telapak tangannya.

Perlakuan Fallen dibalas Allena dengan senyuman, meski tatapannya sendu. Dekat
dengan Fallen sampai berangkat dan pulang sekolah bersama, menjadi bayangan paling
membahagiakan bagi Allena. Nyatanya saat mendapatkan itu semua, Allena melupakan hal
bahwa Fallen memiliki banyak penggemar, yang bisa saja tiap waktu akan menyerangnya.

Sebelum melanjutkan langkahnya ke kelas, Fallen bersandar di pintu kelas Allena,


dengan gadis itu yang berdiri di ambang pintu. “Jam dua, ya?”

60
Fallen & Allena

“Hah, apa?” Allena mencari makna yang Fallen ucapkan.

“Ke rumah nenek, kan?” Fallen menyeringai.

Padahal Allena belum membicarakan hal ini, selain pada saat Fallen terlelap dalam
tidurnya. “Emang gue udah bilang, ya?” Allena memutar bola matanya.

“Kamu ngomong sendiri kan, waktu aku tidur?”

Allena nyengir kuda. “Lho, lo dengar?”

“Walaupun mataku tertutup, telingaku tetap terbuka mendengarkan segala keluh


kesahmu. Azeeek,” Fallen berganti gaya jadi berkacak pinggang.

Allena terkekeh. “Bacot lo, Len, bacot.”

Bel masuk berkumandang kencang. Padahal dalam hati, Allena tak mau Fallen pergi.

“Aku ke kelas, ya?” Fallen mengacak rambut Allena setelah gadis itu mengangguk.

Allena tak ingin masuk kelas, sebelum pangeran berkuda besinya itu lenyap dalam
pandangan. Kelas Allena ada di pojok lantai dua, untuk menuju kemari pun, mereka terlebih
dahulu melewati kelas Fallen. Entah apa tujuan Fallen belakangan ini mengantar Allena ke
kelas terlebih dahulu, dan mengabaikan panggilan teman-teman sekelasnya di koridor.

“Wah, enak banget ya, ngomong sama Fallen yang lagi tidur? Ngapain aja, tuh?”

Allena mendapatkan cibiran dari ketua kelas ngeselin, dan langsung mendapat respon
cibiran lagi yang merambat ke hal lain. Bahkan perbincangan sepele di depan kelas tadi
bersama Fallen, menjadi masalah besar bagi Allena apabila sampai terdengar ke telinga Leli.

“Tuh, kan, Fallen mau sama dia tuh, karena udah nyerahin tubuhnya. Ngga heran
sih, Fallen yang kelihatan kalem gitu, aslinya bisa jadi cowok player, lho!”

“Ketemunya sama cewek sok kalem kayak dia, lagi. Huh… dasar muka dua!”

“Tinggal tunggu aja perutnya membesar.”

“HAHAHAHA.”

***

61
Fallen & Allena

Suasana kelas yang berisik saat bel pulang, menjadi hening ketika mereka keluar dari penjara
yang menyiksanya. Bukan tanpa sebab, karena ternyata orang yang mereka perbincangkan
bertengger di koridor kelas mereka. Fallen yang selalu berekspresi dingin tiap bertemu orang
asing, membuat teman sekelas Allena diam tak berkutik. Melihat kondisi yang terjadi begini,
Fallen sangat yakin ada sesuatu hal buruk yang menimpa kepada Allena saat dirinya tak ada.

Setelah menunggu sepuluh menit, hingga benar-benar tak ada teman lain yang tersisa,
Allena akhirnya keluar dari kelasnya. Di koridor kelas Allena melihat Fallen tengah
berbincang dengan Abi teman sekelas—yang rumornya akan menjadi drumer sekolah terbaik
setelah satu dekade tak ada drumer sehebat dia. Kedatangan Allena membuat Abi pamit ke
Fallen. Sebelumnya Allena tak tahu kalau Abi juga berkesempatan berteman dengan Fallen.

“Ke sana sekarang?”

Tanpa berniat untuk berbicara, Allena hanya mengangguk. Sepanjang jalan dari
koridor kelas menuju ke parkiran pun, mulut Allena masih bungkam. Sesekali ia tersenyum
karena ulah Fallen, sebagai penghargaan untuknya. Rupanya, tempat yang dituju masih satu
jalur dengan rumah Fallen. Rumah Fallen terbilang lebih jauh dari rumah tante dan nenek
Allena, untuk menuju ke sekolahan maupun ke toko. Setibanya di sana, Fallen mendapatkan
tatapan sinis dari pria tua dengan rambut dan kumis yang hampir beruban seluruhnya.

Allena mengenalkan Fallen ke kakeknya dengan susah payah, karena orang tua yang
pikun biasanya susah untuk diajak bicara. Namun beda halnya dengan sang nenek, wanita
pemilik rambut panjang yang selalu digelung itu, menyambut Fallen dengan hangat. Bahkan
sampai memeluk dan menciumnya, katanya ajang melepas rindu ke cucu lelakinya sendiri.

“Nenek titip Lena ya, kalau di sekolah?” nenek Allena mengusap bahu Fallen dengan
lembut. “Kasihan dia, udah ngga punya kakak lagi yang bisa jagain dia.”

“Kemaren ade janda penjual jamu gendong, godain gue masa, Cu. Kalo pagi lo ke
sini, gue tunjukin dah ke lo orangnya,” kakek Allena menoyor kepala Fallen.

Perbincangan yang tak sinkron antara dua insan yang termakan usia itu, membuat
Fallen hanya mengangguk karena bingung harus menjawab bagaimana.

“Si Bapak mah, kalau ngomong selalu beda sama topik,” nenek Allena melempar
kerikil kecil yang ia ambil dari pot bunga, tepat sasaran ke dahi suaminya. “Maafin ya, Cu.”

62
Fallen & Allena

“Iya, Nek. Ngga apa-apa kok,” sahut Fallen.

Allena pamitan sudah sekitar lima belas menit yang lalu, untuk menata barangnya
menuju ke kamar barunya. Itu yang membuat Fallen terjebak dalam perbincangan konyol
kakek dan nenek renta di teras rumah. Namun akhirnya Fallen bernapas lega, karena Allena
kembali datang, dengan membawa nampan berisi dua gelas kopi hitam dan singkong rebus.

“Cu, lo suka ngopi?” kakek Allena menyeringai saat cucunya membawa kopi hitam.

Fallen mengangguk. “Suka banget, Kek.”

“Ahhh,” kakek Allena menyeruput kopi buatan sang cucu. “Manis kayak gue ngga
tuh, Cu, kopinya?” lalu kembali beralih menatap Fallen penuh harap.

“Belum juga dicobain,” ucapan Fallen mendapat respon tawa renyah dari semuanya.

Perbincangan tak jelas itu berakhir, karena kakek Allena dipaksa masuk ke dalam
rumah oleh istrinya, supaya tidak mengganggu sang cucu berbincang di teras rumah bersama
temannya. Kini menyisakan Allena yang nampak masih saja terbahak menertawai nasib yang
dialami oleh Fallen, karena ulah kakeknya yang sudah pikun.

“Kenapa ketawa terus, sih?”

Allena baru tahu, kalau Fallen bisa ngambek juga karena suatu hal. “Yeuh, ngambek.”

“Habis, kamu ketawanya ngga bagi-bagi,” Fallen meraih kopi hitam buatan Allena,
meminumnya sedikit demi sedikit. “Enak,” gadis itu berhenti tertawa setelah diberi pujian.

“Serius?” mata Allena berbinar. Ia mendapat anggukan dari Fallen. “Syukur, deh,
kalau gitu. Padahal gue baru pertama kali bikin kopi, lho!”

“Berapa adukan, emangnya?”

“Mana mungkin gue hitung, sih, Len! Ngeselin juga lo lama-lama kayak kakek gue,”
Allena mencubit lengan Fallen dengan gemas, dan lelaki itu mengaduh.

“Nih, menurut resep turun-temurun dari leluhur aku, kopi hitam yang enak itu, harus
diaduk sampai tiga puluh tiga kali,” Fallen sok serius dalam ucapannya.

Allena terbahak mendengar petuah Fallen. Ada-ada saja tingkahnya. Untung ganteng,
tingkah tengilnya bukan membuat ilfeel, tapi membuat kegantengannya semakin nambah.

63
Fallen & Allena

“Tadi di kelas pada jahatin kamu, ya?”

Perbincangan yang semula disertai humor receh, berubah menjadi perbincangan serius
saat Fallen bertanya barusan. Allena bingung harus menjawab apa. Ia tak mau kelasnya
menjadi mangsa Fallen melakukan aksinya. Meski sudah disakiti, Allena akan terus
melindungi teman-temannya.

“Mereka cuma ngeledekin gue kok,” Allena beralibi.

“Kata siapa? Ngga usah bohong, aku udah dengar ceritanya dari Abi,” Fallen merutuk
saat Allena belum menjawab pertanyaannya. “Pasti ketua kelas itu lagi ya yang memulai?”

“Len, udah ngga apa-apa…”

+ Fallen & Allena +

10. Sandra’s Habit

Beni tertegun saat pertama kali masuk ke kelasnya pagi ini. Bukan mengapa, namun
karena ia melihat Fallen tengah duduk di bangku yang biasa diduduki oleh Sandra, sembari
menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Tak mau berlama-lama memendam pertanyaan, Beni
yang sejatinya menyimpan rasa ke Sandra memutuskan untuk mendatangi Fallen, berniat
menanyakan banyak hal. Namun, seakan tahu bahwa Beni hendak banyak tanya padanya,
Fallen membatin bahwa ia akan tetap diam sampai Beni penasaran tujuh turunan.

“Lo ngapain di bangku Sandra?”

Fallen menatap Beni sepintas sambil menaikkan satu alis.

“Woy, gue nanya!” Beni duduk di bangku depan Fallen lalu menggebrak meja.

“Lagi nungguin Sandra, dong,” Fallen beralih menatap ke luar jendela kelas.

64
Fallen & Allena

“Kesambet setan apaan lo, pagi-pagi gini nungguin Sandra?”

Pertanyaan Beni hanya mendapat seringai dari Fallen, lalu lelaki itu lanjut bergeming.
Karena kesal, akhirnya Beni memutuskan untuk kembali ke bangkunya sendiri, namun tetap
masih mengawasi gerak-gerik Fallen dari jauh. Terlebih lagi saat gadis pujaan hatinya datang
ke dalam kelas, dengan sudut bibir yang terangkat naik karena melihat Fallen duduk di
bangkunya. Tak hanya Beni yang mengamati, namun teman sekelas yang sudah berangkat
juga seakan menjadi penonton dadakan untuk tragedi mustahil ini karena tidak percaya.

Pasalnya sudah sejak pertengahan kelas sepuluh, Fallen yang selalu dikejar-kejar oleh
Sandra, tak pernah menatap balik ke gadis itu. Boro-boro menyambut, berbicara atau
menyapa Sandra pun sangat jarang. Ia hanya pernah satu kali, menerima pemberian air
mineral dari Sandra, saat dirinya menjalani hukuman dari bu Mega. Namun rupanya hal itu
membuat dirinya geram, karena berdampak ke popularitasannya di sekolah. Seantero sekolah
menganggap bahwa dirinya itu memiliki hubungan khusus dengan Sandra. Itulah yang
menyebabkan Fallen rela menunggu Sandra masuk kelas di bangku gadis itu.

“Fallen, gue ngga mimpi kan?” Sandra duduk di bangku yang tadinya diduduki oleh
Beni, lalu menggenggam tangan Fallen. “Lo ngapain duduk di bangku gue?”

Fallen menatapi seisi kelas yang tengah mengamati gerak-geriknya, lalu berakhir
menyeringai ke Sandra yang ada di hadapannya. “Nungguin lo, dong.”

“Nungguin gue?” mata Sandra berbinar, sangat bahagia sampai hendak menangis
terharu dibuatnya karena baru di-notice oleh Fallen. “Lo mau ngajak nge-date? Atau apa?”

“Gue cuma mau ngomong sesuatu sama lo,” Fallen menarik tangannya yang sedari
tadi dicekal oleh Sandra, lalu menatap gadis itu dengan tajam.

Ekspresi Fallen yang semula bersahabat dengan suara lembutnya, kini berubah dingin
membuat seisi kelas ikut menegang. Masalahnya, mereka tidak ada yang berani apabila
Fallen sudah membeku begitu. Fallen yang terbilang usil dan lucu, jikalau sudah marah akan
memilih diam dan tak banyak bicara. Sekali bicara, ucapannya pasti selalu ngena.

“Ngomong apa, Len?” nyali Sandra menciut. Ia yang semula bahagia mendapatkan
jackpot dari Fallen, berubah murung karena takut melakukan hal yang salah bagi lelaki itu.

“Tolong deh, jangan sebar kabar kalau gue ini pacar lo. Tolong ya, tolong banget, gue

65
Fallen & Allena

ngga nyaman sama asumsi orang-orang di sekolah,” ujar Fallen to the point.

“Maksud lo apa?” dahi Sandra mengerut, ia tak terima dengan sanggahan yang Fallen
berikan. Pasalnya, ia tak pernah melakukan hal murahan itu. “Gue emang suka sama lo Len,
tapi gue ngga akan ngelakuin hal itu di depan orang-orang. Gue ngga mungkin dengan
bangga mengumumkan ke semua, kalau gue ini pacar lo. Sedangkan lo aja ngga pernah
memandang gue sedikit pun. Buat apa gue ngelakuin hal itu?”

Fallen bangkit dari tempat duduknya. “Coba tanya ke diri lo sendiri, kenapa gue
bilang gini ke lo. Kalau bukan lo yang ngaku jadi pacar gue, kenapa banyak orang berasumsi
bahwa gue pacar lo?!” ia lalu menuding Sandra di akhir kalimat, dan kembali ke bangkunya

Kalimat yang Fallen ucapkan teramat pedih bagi Sandra. Meski sakit hati karena
ditolak sejak lama, keberadaannya tak dianggap, dan hanya bisa memandang dari kejauhan,
baru kali ini ucapan dari Fallen membuatnya berhenti berharap. Dengan keadaan pipi yang
berlinang air mata, membuat bekas jalan lurus di atas polesannya, Sandra keluar dari kelas
sambil berlari. Ia malu dengan semua hal yang menjadi bahan tontonan jika bersangkutan
dengan Fallen. Seakan-akan di sini dirinya memang murahan dan suka mengemis cinta.

Kepergian Sandra diikuti oleh Bella dan Rosa, dua gadis yang selalu menemani
Sandra pergi kemana-mana. Suasana kelas masih hening sampai akhirnya bel masuk berbunyi
nyaring di pengeras suara. Murid berbondong-bondong masuk ke dalam kelas, duduk di
bangku masing-masing, menyiapkan diri mengikuti pelajaran Sosiologi dari bu Fatmawati.
Guru wanita yang masih muda itu membuka kelas dengan meminta tugas Minggu lalu untuk
absen. Apabila tugas tidak dikumpulkan, maka murid tersebut dinyatakan tidak hadir hari ini.

Kedatangan Fallen ke bangkunya setelah mengumpulkan tugas, disambut dengan


tatapan kesal dari Beni. Fallen merasa bahwa kini tidak setia kawan, karena mengumpulkan
tugas. Sedangkan Beni hanya sendiri, di geng Tengkorak yang tak mengumpulkan tugas.

“Lo benar-benar tega!” Beni mendelik ke Fallen.

“Beni, tugasmu mana?” bu Fatmawati berjalan menghampiri Beni di bangkunya.

Beni yang salah tingkah hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil
menunduk. “Buku tugas saya ketinggalan di rumah, Bu.”

Bu Fatmawati menyilangkan tangan di dadanya sembari menggelengkan kepala.

66
Fallen & Allena

“Daripada kamu di dalam kelas saya tanpa absen, lebih baik kamu ke perpustakaan saja sana,
garap tugas Minggu ini sekalian merangkum bab 4 dan 5 untuk tugas Minggu depan.”

Mata Beni terbelalak.

“Kenapa? Bukannya sama saja? Kamu bisa santai di perpustakaan, sedangkan kalau
kamu di sini juga selalu tidak memperhatikan pelajaran Ibu?”

Beni akhirnya pasrah. “Baik, Bu.” Ia mengambil buku catatan dan buku paket
miliknya di dalam tas, lalu keluar dari kelas menuju perpustakaan.

Selepas kepergian Beni, kelas dimulai dengan bu Fatmawati menyatakan bahwa geng
rempong tidak masuk kelas hari ini. Jika tidak mengumpulkan tugas pun, beliau tetap
memberi keringanan seperti apa yang diberlakukan kepada Beni. Tapi kenyataannya, gadis-
gadis yang bandel seperti geng Tengkorak itu, tak masuk hingga jam Sosiologi usai.

***

Sandra diikuti dua sahabatnya untuk nongkrong di kafe depan sekolah, saat keadaan hatinya
gundah gulana. Mereka tak peduli, meskipun ada pelajaran bu Fatmawati hari ini selama tiga
jam. Yang penting, mood Sandra bisa kembali membaik setelah nongkrong cantik ini selesai.
Sandra mengajak Bella dan Rosa kembali ke kelas setelah mapel Sosiologi usai, namun ia
mendapatkan penolakan karena dua sahabatnya itu masih khawatir dengan keadaannya.

“Lo yakin, habis nge-skip mapel bu Fat, kita mau balik pas mapel pak Rojak?” Bella
melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Sandra bangkit dari tempat duduknya. “Iya, gue ngga mau remidi praktik voli. Bisa-
bisa gue sepanjang hari digenitin pak Rojak terus. Yuk!”

Benar juga kata Sandra. Mengingat pak Rojak adalah guru olahraga paruh baya, yang
terkenal suka genit ke murid perempuan di sekolah. Apabila ada sisiwi yang absen di
mapelnya, apalagi saat penilaian praktik, beliau akan senantiasa mengejarnya untuk meminta
remidi sendirian. Bayangkan saja kalau hari itu tidak masuk seorang diri, pak Rojak akan
meremidi siswi itu empat mata, dengan alasan tetap belum benar praktiknya.

Akhirnya setelah membayar menu pesanannya selama nongkrong, Sandra beserta dua
sahabatnya kembali masuk ke sekolah. Beruntung gerbang dalam keadaan terbuka, karena
ada mobil pick up masuk dan berhenti di depan perpustakaan. Saat mobil itu melaju, Sandra,

67
Fallen & Allena

Bella dan Rosa lari mengendap-endap lewat samping, mengelabui satpam yang bertugas.

Mereka bernapas lega karena aksinya berjalan mulus. Seringai Sandra bertambah, saat
pupil matanya menangkap sosok gadis yang belakangan ini dekat dengan Fallen, tengah
berjalan berlawanan arah dengannya untuk keluar kawasan sekolah. Sandra pun mendapat ide
gila, untuk sedikit menggertak gadis itu. Meski jalan terbuka lebar, langkah Sandra sengaja
dirapatkan menuju ke Allena yang sibuk berbincang dengan temannya. Seketika, byuurr..
Milkshake cokelat milik Sandra tumpah membasahi seragamnya sendiri, saat ia sengaja
menabrak tubuh Allena. Buku paket yang digenggam Allena juga basah dibuatnya.

”Heh, kalau jalan pake mata, dong!” Sandra memekik, membuat dua sahabatnya yang
tertinggal beberapa langkah di belakang berlari mendekatinya.

Allena belum menyulut emosinya. Ditatapnya Sandra dalam diam. Ia kesal karena
amanat dari bu Dewi, guru matematikanya, jadi tersendat karena insiden ini. Buku paket yang
hendak difotokopi, menjadi rusak karena ketumpahan milkshake cokelat milik Sandra.

Sandra berkacak pinggang. “Lo bisa ngomong ngga, sih?!”

Tatapan mata Allena semakin tajam, hingga akhirnya ia naik pitam. “Lo tuh, yang
jalan meleng, ngga ngelihat kondisi sekitar, malah nyalahin gue!”

“Kita balik aja Len, bukunya basah gitu...” teman Allena yang juga disinyalir teman
Fallen itu, menahan Allena yang nampaknya sebentar lagi meledakkan emosinya. Abi, siswa
yang tak mau hidup ribet itu harus berusaha melerai temannya.

“Heh, ngga bisa gini dong! Teman lo ini harus tanggung jawab, lihat tuh seragam
Sandra jadi kotor!” gadis berbadan gempal bernama Rosa membela ketua gengnya.

Allena memberikan buku paket yang kotor ke Abi. “Bi, lo ke perpus, minta buku yang
kayak gini lagi, habis itu lo yang fotokopi. Gue mau ngurus mak Lampir satu dulu, nih.”

Abi hanya mengangguk, lalu meninggalkan Allena.

“Tadi lo bilang apa?” Sandra menjambak rambut Allena.

“Mak Lampir,” ujar Allena santai.

Sandra mengencangkan tarikannya. “Sekali lagi, dong? Gue ngga dengar, nih.”

68
Fallen & Allena

“MAK LAMPIR!” Allena berseru, bertepatan dengan rasa pedas nan perih di kulit
kepalanya, karena rambutnya dijambak kencang oleh mak Lampir itu.

Sandra melepaskan cengkramannya, lalu mendorong Allena hingga tersungkur. “Lo


harus mintain seragam baru ke koperasi, terus temani gue ganti! Enak aja, mau kabur gitu.”

Seakan sudah paham dengan instruksi yang diberikan Sandra, Bella dan Rosa pamit
pergi terlebih dahulu. Sedangkan Allena tengah menjalankan apa yang Sandra suruh. Ia pergi
ke koperasi, untuk meminjam seragam. Sedangkan Sandra menunggunya di toilet perempuan.
Hingga bel istirahat berbunyi, Allena mendatangi toilet dengan membawakan seragam yang
baru. Memberikannya kepada Sandra dengan cara ogah-ogahan. Lalu ia menunggu di luar.
Setelah tiga menit di dalam toilet, Sandra keluar dengan terbalut seragam yang sempit, lebih
minim dari seragam yang biasa dikenakannya tiap hari ke sekolah. Allena jadi terbahak.

“Lo ngerjain gue?!”

“Cuma sisa ukuran itu di koperasi. Lagian, bukannya lo suka mengumbar aurat, ya?”

“Gue ngga semurahan itu, ya!”

Allena masih terbahak, karena Dewi Fortuna berpihak padanya. Ia mengira bahwa
Sandra sengaja melakukan itu, untuk cari muka ke penghuni sekolah, bahwasannya ia yang
menumpahkan milkshake ke seragam Sandra. Namun justru seragam yang dikenakan Sandra
itu begitu sesak dan kekecilan, membuat Allena percaya dengan petuah karma is real.

Saat Sandra diam-diam melewati koridor ruang guru, supaya terhindar dari poin,
nahasnya malah ia kepergok oleh bu Mita, salah satu guru kesiswaan. Dengan cepat bu Mita
berlari menuju Sandra, sebelum siswi itu kabur lebih jauh.

“Kamu ngga salah?” bu Mita berkacak pinggang. “Mau jual diri di sekolah?”

Sandra memasang wajah memelas sambil menunduk. “Bu, saya habis disiram
Milkshake seragamnya sama anak kelas sepuluh. Terus waktu ke koperasi pinjam seragam,
hanya sisa ukuran ini saja, Bu. Lantas saya mau pakai seragam apalagi?”

Bu Mita memijat pelipisnya, mengingat ucapan Sandra sebagai ajang pembelaan itu
memang benar. Seragam siswi di koperasi tinggal dua buah berukuran M. Sedangkan untuk
ukuran tubuh Sandra seperti gitar Spanyol meskipun pendek, tentunya tidak akan muat,
malah semakin memperlihatkan lekuk tubuh Sandra sebenarnya, dari pada seragam aslinya.

69
Fallen & Allena

“Ya sudah, tapi kalau besok kamu masih pakai seragam ini, ibu kasih kamu poin!”

“Iya, Bu. Baik,” Sandra bersikap sesopan mungkin pada guru kesiswaan itu, hingga
akhirnya ia menjulurkan lidah karena merasa menang setelah beliau pergi meninggalkannya.

Sepanjang jalan menuju ke kelasnya, Sandra mendapat tatapan genit dari para
penghuni sekolah. Terlebih lagi, beberapa siswa bersiul seiring Sandra sengaja berjalan
berlenggak-lenggok di hadapan mereka. Siapa yang tidak bergairah, saat sedang puber-
pubernya begini. Sedangkan teman sekelas menatap Sandra iba, karena gadis itu kembali ke
kelas dengan mata yang sembab, dan lagi rambutnya tak beraturan.

“Lo kenapa, San?”

“Kok lo pakai seragam ketat gini, sih?”

“Apa yang terjadi, San?”

Begitu kiranya timpalan teman-teman yang menyaksikan kondisi Sandra. Fallen yang
telanjang dada hendak ganti pakaian olahraga, hanya melirik sekilas, lalu kembali melengos.

“Gue ditabrak sama adik kelas waktu jalan, padahal kondisinya gue lagi nenteng
Milkshake. Tumpah semua deh ke seragam gue,” Sandra kembali memulai dramanya.

“Siapa San, kok tega sih?”

“Siapa sih? Biar kita kasih palajaran aja!”

Sandra menatap Fallen sedetik lalu kembali menunduk. “Kalian jangan gegabah deh,
nanti bisa-bisa Fallen ikut marahin kalian, lagi.”

“Lho, emang kenapa?”

“Iya, Fallen kok dibawa-bawa?”

Sandra tersenyum simpul. “Adik kelas yang nabrak gue, kan, lagi dekat sama Fallen.
Sebaiknya jangan kalian sentuh dia, bisa-bisa Fallen marah sama kalian.”

Setelah mendengar pengakuan Sandra, teman yang berempati akhirnya membubarkan


kerumunan. Beberapa ada yang mengajak Sandra ganti pakaian olahraga, beberapa orang ada
yang keluar kelas karena lapar. Sedangkan Fallen yang kembali disangkut-pautkan dengan
masalah Sandra, hanya berbaring terdiam di atas meja, mengabaikan ocehan dua temannya.

70
Fallen & Allena

Erlan melempar Fallen dengan seragamnya. “Berulah lagi tuh, pakai bawa cewek lo!”

“Tahu nih, cemburu ngga gini-gini amat, lah!” timpal Faza tak mau kalah.

Fallen melirik ke dua sahabatnya. “Gue belum jadian juga sama Allena.”

“Halah, intinya ya bentar lagi jadian gitu, kan?” cibir Faza.

Fallen bangkit dari bebaringannya, menatap Erlan dan Faza beberapa saat. “Ngga
tahu,” lalu ia keluar dari kelas dengan mendapat panggilan dari teman-temannya.

Keadaan kelas Fallen sepi, karena penghuninya hendak mengikuti pelajaran olahraga,
lain halnya dengan kelas Allena yang tiba-tiba ramai, mengerumuni bangkunya yang kacau
balau. Kelas yang semula sepi ditinggal ke kantin itu, kini ramai karena saling bertanya, siapa
yang mengotori bangku Allena dengan sampah bau. Meja Allena juga penuh dengan tulisan
makian menggunakan spidol, lalu kursi dan laci dipenuhi sampah, sampai tas sekolahnya
basah dan kotor sebab disiram air got. Allena tertegun dan merasa terhina melihat semua ini.

“Waduh, lo habis cari gara-gara ya, Len? Pokoknya gue ngga mau tahu, lo harus
bersihin sampah ini sebelum istirahat selesai! Lo tahu kan, bu Jeje paling ngga suka kelas
kotor?” Leli berceloteh tanpa memikirkan bagaimana perasaan Allena sekarang.

Seisi kelas pun setuju dengan sang ketua kelas, mereka tidak mau ikut disalahkan saat
bu Jeje melihat bangku Allena yang sangat kotor. Allena tak habis pikir, setelah di-bully
begini, teman sekelas justru tak peduli, tak ada yang berniat membantunya membersihkan.
Mereka malah ikut-ikutan menambah bully-an. Dalam keadaan hati yang sangat ingin
memberontak, Allena berlari keluar kelas dan tak peduli berapa banyak teman atau orang tak
dikenalinya yang ia tabrak. Hingga seseorang terakhir yang ia tabrak, membuatnya
menghentikan langkah, karena sosok itu mencekal pergelangan tangannya kencang dan
hangat. Tangisan Allena pecah, saat mendapati sosok yang ada di hadapannya. Kalau saja
bukan di sekolah, kalau saja keadaan sedang lenggang, ia sudah memeluk lelaki ini erat-erat.

“Len, kamu kenapa?!”

Allena tak dapat menjawab, sesenggukkannya semakin kencang. Fallen yag tak peduli
dengan keadaan sekitar, lalu mendekap Allena kencang, meski murid yang berlalu-lalang
menyaksikan mereka dengan tatapan tajam. Dua sahabatnya sudah ia suruh mengecek isi
kelas Allena, sedangkan ia merangkul gadis ini, membantunya berjalan ke taman sekolah.

71
Fallen & Allena

Setelah cukup tenang, akhirnya Allena menceritakan yang terjadi. Mulai dari ia
ditabrak Sandra hingga menumpahkan milkshake, dan melihat bangkunya dipenuhi sampah
serta tulisan kata-kata makian, tasnya juga basah karena disiram air got, namun tiada satu
orang pun di kelas yang mau membantu dirinya. Fallen tahu tanpa harus mencari tahu, siapa
yang membuat bangku Allena menjadi kotor dan tak layak pakai. Sudah pasti Sandra maupun
antek-anteknya. Kalau tahu akan begini, Fallen tidak akan menegur Sandra pagi tadi, karena
mengaku sebagai pacarnya ke orang-orang. Namun nasi sudah menjadi bubur, Fallen hanya
bisa menenangkan Allena, dan menyuruh dua sahabatnya membantu membersihkan bangku
gadis itu, lalu memilih diam saat kembali bertemu Sandra yang menyeringai di dalam kelas.

Semua kelakuan buruk Sandra serasa sudah di luar kepala Fallen. Karena tiap kali
Fallen digosipkan dekat dengan perempuan, Sandra selalu datang memberi pelajaran ke
perempuan itu tanpa segan. Kali ini Fallen masih diamkan, lihat saja nanti apabila gadis itu
berulah lagi, Fallen berjanji akan menggantungnya di cantelan paku papan informasi. Supaya
seisi sekolah melihatnya dan tahu, bahwa Sandra adalah tukang bully dan ratu drama.

+ Fallen & Allena +

11. Asmaraloka

Selepas kejadian yang tak diinginkan oleh Allena hari itu, kini tiap hari baginya,
menapak kaki di sekolah adalah hal yang buruk di dunia. Teman sekelas tak ada yang
berempati, kecuali Abi yang dipasrahi oleh Fallen supaya menjaganya dari bully-an orang.
Mereka menganggap bahwa bully-an dari kakak kelas yang Allena dapatkan, setimpal karena
ia sok dekat dan sok akrab dengan Fallen yang memiliki banyak penggemar di sekolahan.
Apalagi jika Sandra yang dihadapinya, rasanya penghuni sekolah sudah menganggapnya hal
wajar, karena gadis binal berbadan pendek itu paling suka memberi adik kelas pelajaran.
Jangankan adik kelas, kakak kelas pun berani ia hadapi apabila memperebutkan Fallen.

Kabar Fallen yang dekat dengan Allena, merambah dari mulut ke mulut, dari telinga
ke telinga penghuni sekolah. Semua orang membicarakan tentang Allena. Gadis biasa, jauh
dari kata cantik, yang kini berangkat dan pulang sekolah bareng Fallen. Gadis yang didatangi
Fallen saat istirahat, gadis yang Fallen lindungi dari segala bully-an apa pun, dari orang mana
pun. Bahkan, sekarang Allena bekerja paruh waktu di toko katering mama Fallen. Semua
pembicaraan menjadi menitikberatkan Allena yang sejatinya hanya memanfaatkan ketenaran

72
Fallen & Allena

Fallen, supaya orang juga memandangnya ada, meski ia gadis yang biasa-biasa saja.

Hal ini membuat Allena merasa jengah, ia tak bisa bebas berekspresi atau melakukan
segala hal yang diinginkan, karena setiap gerakan yang dilakukannya, pasti mendapat tatapan
nanar dari orang di sekitarnya. Belakangan ini, ia jadi sering absen dari ekskul musik yang
sempat diikutinya, untuk modus supaya dekat dengan Fallen. Dari hal ini, kembali muncul
asumsi bahwa Allena hanya ikut-ikutan saja gabung di ekskul musik, supaya bisa dekat
dengan Fallen, namun saat sudah dekat begini, gadis itu tak terlihat mengikuti acara latihan
rutin lagi. Meski di balik semua itu, Allena hanya ingin menghindar dari gosip yang beredar.

Namun bukan Allena namanya, jika ia mengindahkan pandangan dan pembicaraan


orang. Baginya, kehilangan ibunda dan kakaknya, kemudian ayahnya menikah dengan daun
muda, adalah hal terburuk di dunia. Jika dibandingkan dengan mendapat bully-an orang
karena dikira memanfaatkan ketenaran Fallen, itu bukan apa-apanya, dan belum seberapa.

Allena masih merasa beruntung dan bersyukur, karena di sekolah masih memiliki
Mawar—sepupu tercinta yang selalu membelanya setiap waktu. Mawar juga kini memiliki
seorang teman bernama Cindy, yang kini membuntuti mereka kemana pun mereka pergi. Tak
melupakan Brian, gebetan Mawar yang tentunya memiliki banyak teman.

Setidaknya Allena masih banyak yang membela, apabila mendapat serangan tak
mengenakkan lagi dari para penghuni sekolah—yang didominasi dari penggemar Fallen.

Cindy sendiri, merupakan gadis berbadan gempal bermuka sangar. Ia dapat menjadi
tameng Allena, karena ia tak pernah takut dengan siapa pun, apalagi Sandra—gadis pendek
yang dapat dipoles atau dijitak kepalanya kapan saja olehnya. Hanya cukup melihat keadaan
sekitar jika Sandra mengajak berkelahi, sekiranya jika ada guru yang menyaksikan, maka lain
waktu saja perkelahiannya mereka lanjutkan. Namun kenyataannya, beberapa Minggu
belakangan, mereka masih terlihat sering cek-cok dengan Sandra si ketua geng rempong itu.

Saat jam kosong karena diadakan classmeeting dalam rangka menyambut hari ulang
tahun sekolah, Mawar dan Cindy mendatangi kelas Allena. Keduanya membalas tatapan
tajam dari teman sekelas Allena yang tak menyukai kedatangan mereka kemari. Mawar
melototkan mata, sebagai tanda ia tak pernah takut akan ancaman dari penghuni sepuluh IPS1
ini. Yang terpenting, Allena tetap aman dan terlindungi, tentu karena kedatangannya.

Mawar menarik tangan Allena, tanda bahwa harus keluar kelas. “Al, dicariin Fallen!”

73
Fallen & Allena

Allena membelalakkan mata, memberi kode kepada sepupunya supaya volume


suaranya dikecilkan. Karena tiap kali mereka membicarakan Fallen, keadaan sekitar berubah
menjadi sensitif seketika. “Ngapain, sih? Gue masih sibuk,” lalu ia melepas cekalan tangan
sepupunya, dan melanjutkan aktivitasnya merangkai bait demi bait puisi.

Mawar menduduki bangku di depan Allena lalu berdecak. “Antek-anteknya Fallen


yang nyuruh gue, supaya bawa lo ke aula. Dia bentar lagi dia tampil, lho!”

“Iya, ngga kasihan apa? Dia kan mau ditonton sama lo Al,” Cindy angkat bicara.
Bahkan, ia mengikuti Mawar yang memanggil Allena dengan sebutan Al.

Allena menatap Mawar dan Cindy bergantian. Mungkin hatinya boleh jujur, bahwa ia
ingin menonton penampilan satria bergitar dan berkuda besinya itu. Namun pengumpulan
naskah lomba cipta dan baca puisi, terakhir adalah pulang sekolah nanti. Setelah berpikir
cukup lama, sambil menghitung waktu mundur dari sekarang menuju jam pulang sekolah,
akhirnya Allena luluh dengan ajakan Mawar dan Cindy, karena masih ada waktu dua jam-an.

Tumben, sepanjang jalan dari kelas menuju ke aula, Allena tak mendengar cibiran
maupun tatapan mata tajam dari orang-orang. Kebanyakan dari mereka, tengah asyik
menyaksikan pertandingan basket, futsal, maupun voli di lapangan terbuka. Sedangkan
beberapa kelas dijadikan tempat untuk lomba kaligrafi, pertandingan catur, hingga lomba
cerdas cermat. Kemudian, esok hari giliran cipta dan baca puisi, tenis meja, serta pidato yang
dilombakan untuk memeriahkan hari ulang tahun sekolah. Lomba karaoke serta festival band
yang diadakan di aula, juga sudah berjalan sejak kemarin, dan lusa adalah hari penutupnya.

Hiruk-pikuk terdengar dari luar aula. Saat memasuki ruangan luas itu, suara bising
makin terdengar nyaring di telinga. Yang diduga ternyata benar adanya, Fallen adalah
penyebab utamanya. Lelaki itu sudah di atas panggung, mengalungkan strap gitar berwarna
hitam, sembari menyetel gitar berwarna putih miliknya membentuk sebuah nada.

Rupanya, lomba karaoke telah usai. Penampilan Fallen kali sebagai pembukaan dari
lomba festival band antar kelas dan antar angkatan. Lusa, ia akan kembali tampil bersama
bandnya sebagai penutup. Ketua ekskul musik ini memang selalu dibutuhkan dimana-mana.

“Cek. Hallo?” setelah dirasa gitar miliknya sudah pas suara nadanya, Fallen menyapa
penonton lewat mikrofon. Alhasil suara penonton pecah membalas sapaannya, lalu ia
tersenyum lebar, membuat garis lengkung di mata sipitnya. “Kira-kira, kalian mau gue nyanyi

74
Fallen & Allena

lagu apa?” pertanyaan Fallen kembali dibalas teriakan dari para penonton, saking berisiknya,
hingga ia tak mendengar judul-judul lagu yang penonton sebutkan.

Di pojok kanan belakang, di tempat berdirinya Allena, Mawar dan Cindy, mereka juga
nampak heboh memikirkan lagu apa yang harusnya Fallen bawakan. Sejatinya Mawar dan
Cindy saja yang heboh, Allena sendiri diam dan tersenyum menatap Fallen di atas panggung.

“Bilang gih sana, maju ke depan, dan naik ke atas panggung kalau lo mau dinyanyiin
lagu apaan,” Mawar berkali-kali menyikut tubuh sepupunya.

Allena nyengir sekilas. “Udah telepati kok, ini.”

“Emang, lo minta dinyanyiin apaan?” sanggah Cindy kemudian setelah terbahak.

“Waktu yang Salah, lagunya Fiersa Besari. Kalau emang dinyanyiin Fallen, nanti gue
traktir kalian pas pulang sekolah,” ujar Allena penuh dengan percaya diri.

“Yang benar?” Mawar menggoyangkan tubuh Allena seraya tak percaya, namun
sepupunya itu tetap manggut-manggut sangat percaya diri.

Allena begitu percaya diri karena mana mungkin Fallen mendengar permintaan
hatinya? Mereka tak membicarakan hal ini sebelumnya, apalagi Fallen terpaut jauh di atas
panggung, sedangkan ia di sudut belakang aula. Namun saat intro sebuah lagu mulai Fallen
mainkan, sorakan meriah juga kian terdengar, tubuh Allena seketika itu juga menegang.

Lagu yang diinginkannya itu, benar-benar Fallen bawakan untuknya. Bukan, bukan.
Allena menganggap ini hanyalah sebuah kebetulan. Kalau pun memang sebuah kebetulan,
lantas untuk apa pula, Fallen terlihat beberapa kali tersenyum merekah ke arahnya? Sungguh
Allena berjanji, setelah Fallen turun dari panggung dan menemuinya, ia akan mencubit
lengan lelaki itu dengan pedas. Karena ulahnya, Allena harus menanggung janji yang sudah
ia ikrarkan, perihal mentraktir Mawar dan Cindy makan sepulang sekolah.

***

Setelah kabar kedekatan Fallen dengan Allena yang membuat gempar satu sekolahan, muncul
beberapa idola baru sebagai anak band dadakan. Ada yang membawakan lagu melankolis,
ada pula yang membawakan lagu cadas. Namun tak menyulutkan rasa kagum para penonton,
kepada mereka yang baru terjamah keberadaannya sebagai idola sekolah.

75
Fallen & Allena

Itu yang membuat Fallen tak lagi kesusahan melewati kerumunan. Biasanya tiap kali
turun dari panggung setelah tampil, Fallen ditahan penggemar fanatiknya untuk foto bareng,
maupun berbincang sok akrab dengannya. Ketenaran Fallen ini bisa dibilang meredup,
namun tak ia pikirkan. Karena bukan ini alasan ia belajar sambil berkarya lewat musik.

Fallen yang berlari membelah kerumunan penonton, tertangkap oleh mata tiga gadis
di pojok ruangan. Satu di antaranya, adalah faktor mengapa Fallen datang dengan penuh
semangat sembari melambaikan tangan. Allena. Gadis sederhana namun unik itu, sedari tadi
disikut oleh sepupunya, seraya diberi kode bahwa Fallen tengah berlari mendekatinya.

“Gue sama Cindy duluan, ya, Al?” Mawar berbisik, sebelum Fallen datang
menghampiri mereka. “Jamnya Brian minta diapelin, nih,” lalu ia nyengir kuda.

Allena mengerlingkan mata. “Cewek kok ngapelin, diapelin dong!”

“Hahaha tahu, nih!” Cindy setuju dengan Allena.

“Sabodo teuing! Udah ya, gue duluan. Dadaaah!” Mawar menarik tangan Cindy,
setibanya Fallen di dekat Allena. Gadis itu membalas lambaian tangan sepupunya.

“Kok mereka pergi?” Fallen beralih menatap Mawar yang menghilang di kerumunan.

“Jamnya Brian minta diapelin, katanya,” Allena tertawa mencibir.

Fallen ikut tertawa, mengingat Brian yang pendiam namun konyol dan berbadan
kekar itu, juga salah satu temannya di kelas sebelah. “Si Brian anaknya juragan petai?”

“Lho, emangnya iya?”

“Iya, tahu. Dia itu, anaknya juragan petai,” Fallen berusaha ingin meyakinkan Allena.

“Serius?” Allena terkejut dengan penyataan serius dari Fallen.

Fallen mengangguk lalu mengajak Allena keluar dari aula. “Tetangga kelasku.”

Allena terbahak. “Berarti, dia bau dong?”

“Tapi kaya lho, apalagi petai sekarang mahal!”

“Sabi juga diperetin tuh, gebetannya Mawar.”

“Peretin aja,” Fallen terkekeh pelan. “Mau kemana?”

76
Fallen & Allena

Allena menghentikan tawanya, menaikkan bahu sejenak, tanda ia tak memiliki tujuan.
“Tadinya, gue nulis naskah puisi. Tapi Mawar ngajak nonton lo konser, jadi tertunda, deh.”

“Mau selesaiin naskah puisinya? Ada tempat yang enak kalau hari-hari non KBM gini
lho,” Fallen menghentikan langkah di dekat lapangan basket, lalu menatap Allena seksama.

“Dimana?” Allena ikut menghentikan langkah.

“Perpus. Sekalian supaya aku bisa tidur,” Fallen menyeringai.

Allena memutar bola matanya. “Ya udah, ayo.”

Fallen menjawabnya dengan seringai yang masih tergambar di bibir tipisnya. Di pagi
menuju siang hari ini, tempat rekomendasi darinya untuk Allena, benar-benar sepi penghuni.
Selain Allena bisa damai berimajinasi, Fallen juga bisa melanjutkan mimpi yang terhenti.
Dengan memilih tempat duduk pojok disertai udara sepoi-sepoi dari kipas angin, Fallen dan
Allena melakukan aktivitas masing-masing mengisi kekosongan di hari classmeeting ini.

Fallen sebagai ketua ekskul musik, kali ini ia tak dibebani memegang acara festival
band, seperti tahun lalu yang begitu menyita waktu. Ia sudah meminta ke bu Venti supaya
tidak menjadikan dirinya menduduki jabatan penting di acara lomba, namun ia berjanji tetap
menampilkan suara emasnya sebagai ajang hiburan. Tawaran Fallen itu akhirnya diiyakan
oleh bu Venti, menjadikan dirinya bisa bersantai begini di perpustakaan. Sekiranya hingga
setengah jam Allena lalui untuk kembali menatapi Fallen yang selalu saja terlihat damai
dalam tidurnya, sambil sesekali menuliskan kata-kata yang menari di atas kertas putihnya.

Kaktus. Itulah judul yang Allena pilih untuk melengkapi puisi rangkaiannya. Namun
Allena berniat tak memberi judul di kertas puisinya, karena ingin membuat orang penasaran
dengan puisi anonimnya. Judul beserta siapakah alasan ia menulis puisi anonimnya, cukup
Allena yang tahu. Namun, jawabannya tentu Fallen. Ya, Fallen memang seperti kaktus…

Allena melambaikan tangan tepat di hadapan muka Fallen. Ia berniat pergi ke


koperasi, sebab rasa-rasanya begitu hampa apabila nongkrong tanpa ditemani camilan.
Karena tak ada gerakan dari Fallen, Allena memutuskan untuk bangkit sembari mendorong
kursi yang didudukinya dengan pelan. Takut Fallen bangun karena ulahnya. Namun saat
Allena berhasil memundurkan kursi dengan pelan, sebelum ia benar-benar beranjak pergi,
mata sipit Fallen terbuka. Bola mata hitam itu menatapnya tajam, serasa tengah bersiap untuk
menerkam, terlebih dilengkapi cekalan kencang di tangan Allena darinya secara tiba-tiba.

77
Fallen & Allena

“Mau kemana?”

“Ke koperasi, bentar kok. Nongkrong ngga pakai nyemil, rasanya hampa, Len.”

Fallen mengangkat kepalanya yang sedari tadi ia benamkan ke lipatan tangannya di


atas meja, lalu bersiap hendak bangkit. “Aku ikut, ya?”

“Ngga usah, lo di sini aja. Bentar doang, kok.” Allena menahan Fallen, lalu melepas
cekalan lelaki itu. Beberapa saat kemudian, Fallen akhirnya melunak, lalu mengangguk.

“Hati-hati,” Fallen menatapi Allena seakan tak mau gadis itu pergi dari sisinya.

Allena terkekeh pelan. “Astaga Len, perpus ke koperasi cuma tiga puluh meteran,
kali. Kayak gue mau pindah ke luar angkasa aja, deh.”

Fallen berdecak mendengar cibiran Allena, lalu kembali membenamkan kepalanya ke


lipatan tangannya, namun membelakangi gadis itu. Membuat Allena mengacak-acak rambut
halusnya sembari tertawa, lalu pergi meninggalkan perpustakaan. Sepeninggal Allena, Fallen
menarik sebuah kertas bernoda tinta yang gadis itu tinggalkan. Ia baca bait demi bait kalimat
mengandung banyak makna itu, yang mampu membuat sudut bibirnya terangkat naik
menggambarkan seutas senyum di sana. Rupanya, Allena pandai merangkai kata-kata.

***

Mawar tak mengerti, mengapa tiap sudut yang ia singgahi tak memperlihatkan batang hidung
milik sepupu gilanya. Mawar juga sempat tak melihat Fallen berlalu-lalang di sekolah, yang
ia yakini adalah sosok terakhir yang Allena temui. Kenyataannya, lelaki itu memang tak
bersama Allena, karena akhirnya Mawar menemukan Fallen di perpustakaan seorang diri.

“Kak, lo lihat Allena?” Mawar langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan
Fallen, sambil menormalkan napasnya yang sedikit tersengal karena sedari tadi lari-larian.

“Gue kira, dia pergi sama lo,” Fallen terperangah, baru saja ia hendak menanyakan
kehadiran Allena kepada Mawar, gadis pendek itu malah bertanya balik tentang Allena
padanya. “Masalahnya, udah setengah jam dia ke koperasi ngga balik-balik.”

Mawar menepuk dahi. “Aduh, kenapa ngga diikutin aja sih, Kak?”

“Dia yang ngga mau, padahal gue udah minta ikut.”

78
Fallen & Allena

Mawar terdiam sejenak. Pandangannya kosong, sembari menggelengkan kepala. “Tuh


anak, ngga bisa lihat kondisi bentar, deh. Gue khawatir karena seisi sekolah kebanyakan lagi
sensitif sama dia, setelah ada kabar kedekatan kalian. Kalau dia kenapa-kenapa, gimana?”

Fallen melipat kertas berisi puisi Allena, lalu memasukkannya ke dalam saku bajunya.
“Lo di sini aja, sambil nunggu kali aja dia balik ke sini. Gue yang gantian cari dia, ya?”

Mawar mengangguk setuju. Sangat setuju, karena ia sudah lelah mengelilingi penjuru
sekolahan tanpa absen. Kalau Allena tak hanya membaca pesan dan mengabaikan panggilan
telepon darinya, Mawar takkan sekhawatir ini mencari keberadaan sepupunya itu. “Al, Al. Lo
kemana, sih?” Mawar memijat pelipisnya karena pusing memikirkan Allena.

+ Fallen & Allena +

12. Belungsing

“Mawar!” Cindy terbirit-birit masuk ke perpustakaan saat mendapati hal penting.

Sesorang yang terpanggil namanya tersentak, saat melihat teman barunya terlihat
begitu cemas. Lantas Mawar meminta Cindy supaya duduk terlebih dahulu, sembari
menenangkan dirinya. Namun gadis berbadan gempal itu menolak, karena hal penting
yang akan ia sampaikan, dapat menjadi jawaban akan keberadaan Allena sekarang.

“Kenapa? Lo udah ketemu sama Allena?” Mawar bangkit dari tempat duduknya.

Cindy menggeleng, lalu mengatur napas. “Bukan… tapi, gue, nemu, HP-nya, dia…”

“Dimana?” Mawar bertanya tak santai.

“Lagi… dipegang, temannya… Sandra…”

Mawar berdecak. “Aduh, terus lo lihat mereka dimana?”

Cindy menunjuk ke arah perginya dua gadis itu menggunakan dagunya. “Di lobi…”

“Ya udah, lo di sini aja. Atur napas, biar gue samperin mereka,” setelah mendapat

79
Fallen & Allena

anggukkan kepala, Mawar pergi dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya.

Sesuai arahan Cindy, Mawar melangkahkan kakinya menuju ke lobi, dan


kenyataannya memang benar, dua gadis itu berada di sana. Bella dan Rosa, mereka
tengah duduk di kursi lobi, entah sedang melakukan hal apa. Yang jelas, ponsel milik
Allena memang berada di genggaman salah satunya. Dan mereka nampak terlihat gelisah.

Dengan sejuta keyakinan, Mawar mendekati dua kakak kelasnya itu. “Kalian, ya!”

Dua gadis itu dibuat terperangah dan makin gelisah.

“Mana Allena?! Kenapa HP-nya bisa ada di kalian?!” kalau saja ada meja di
hadapannya, mungkin Mawar sudah menggebraknya sekencang mungkin.

“Apaan, sih? Ngga jelas banget!” sahut si gendut Rosa. “Ngapain nanyain Allena ke
kami. Lagian, itu HP-nya Bella sendiri, lah! Emang, teman lo doang yang punya, hah?!”

Mawar tak mengindahkan celotehan Rosa. Ia berusaha merebut ponsel milik Allena,
namun Bella yang menggenggamnya menghindar darinya. “Balikin, ngga!”

“Ada apa ini?”

“Ini Bu, ngga tahu siapa tiba-tiba datang mau ngerebut HP saya,” keluh Bella
kemudian setelah melirik sepintas ke arah Mawar.

Mawar yang menggemari pertengkaran berdecak, karena guru BK yang bernama bu


Clara nampak tiba-tiba datang melerai mereka. Mawar juga sudah menduganya, Bella dan
Rosa pasti membuat suatu pembelaan. Mawar sendiri membelalakkan mata. Bagaimana
mungkin, antek-anteknya Sandra itu mengaku-aku sebagai pemilik ponsel Allena.

Bu Clara menatap ke Mawar, murid yang diwali kelasi olehnya. “Apa benar, Mawar?”

Mawar juga mengalihkan pandangan sambil berdecak. “Saya ngga mau ribut ya, Bu.”
lalu ia kembali menatap bu Clara. “Mereka ini, yang mengakui HP sepupu saya.”

“Mana coba buktinya?!” seru Bella tak terima.

“Saya ngga kenal mereka, Bu!” Mawar meraih ponsel di saku roknya, memilih sebuah
nomor lalu menghubunginya. “Mana mungkin nomor saya ada di dalam HP-nya, kalau
saya ngga kenal mereka?” Mawar menunjuk layar ponsel yang digenggam Bella.

80
Fallen & Allena

Bu Clara menatap kedua gadis itu tajam. Bella dan Rosa nampak belingsat. Tak tahu
lagi harus berkata apa. Hingga kejadian ini, membawa mereka masuk ke dalam ruang BK.
Begitu pula dengan Mawar yang selalu nampak percaya diri, karena ia merasa benar di
sini. Apalagi saat mendengar pengakuan kedua kakak kelasnya itu, menemukan ponsel
Allena di koperasi dan hendak menyimpannya sejenak. Mereka sejatinya khawatir kalau
mereka ditipu, karena Mawar tiba-tiba datang mengakui ponsel yang mereka temukan itu.

Suara pintu diketuk terdengar beriringan dengan kedatangan Fallen yang masih
menampakkan wajah cemas. Ia diizinkan masuk oleh bu Clara, karena guru wanita itu
juga makin penasaran akan maksud kedatangan siswa itu.

“Bu saya mau melaporkan, karena ada kejanggalan di sini,” belum sempat Fallen
duduk, ia mengeluhkan isi hati dan pikirannya. “Kapan kalian nemuin HP-nya Allena?” ia
beralih menatap Bella dan Rosa yang duduk berhadapan dengan bu Clara.

Bella dan Rosa saling pandang beberapa saat, kemudian Bella nampak menghindar
dari tatapan Fallen. “Jam sebelas tadi,” Bella menjawab setelah beberapa saat terdiam.

Fallen menyeringai. “Berarti, dari tadi gue chat-an sama kalian? Kalau tahu ini HP
Allena, kenapa ngga kalian balikin ke orangnya? Pakai acara ngaku jadi Allena, lagi!”

“Ada apa sebenarnya? Allena siapa?” dahi bu Clara mengerut sembari menatap Fallen
penuh dengan pertanyaan. Hanya siswa ini yang lebih ia kenal di antara yang lainnya.

“Bu, saya sepupunya Allena, anak kelas sepuluh IPS1. Dia hilang sejak jam sepuluh
tadi. Saya sudah cari ke seluruh ruangan, ngga ketemu, Bu!” keluh Mawar dengan cepat.
“HP-nya juga hilang dan tiba-tiba dipegang mereka. Aneh sekali, seperti disengaja.”

“Mana Sandra!?” Fallen mengintimidasi kedua teman sekelasnya itu dengan tajam,
tanpa berniat memberi bu Clara celah untuk bertanya.

Bu Clara memijit pelipisnya, karena dibuat pusing oleh masalah tidak jelas ini.
“Orang dinyatakan hilang itu, apabila sudah lebih dari 24 jam, Mawar, Fallen. Sedangkan
Allena yang kalian bicarakan, baru menghilang satu jam lebih beberapa menit saja.”

Mawar berdecak. “Ibu ngga tahu situasinya! Waktu itu, mereka menyiram bangku
Allena pakai air got, lacinya juga diisi sampah! Apalagi niat mereka, kalau bukan mem-
bully Allena? Patut dicurigai Bu, kalau Allena hilang begini, ya gara-gara mereka.”

81
Fallen & Allena

Fallen menggebrak tumpukan buku di atas meja bu Clara. “Sekarang begini Bu, kalau
Ibu ngga mau bantu masalah muridnya ini, saya akan bawa kabar ini ke media, kalau
sekolahan kita yang menyandang gelar Sekolah Anti Kekerasan selama satu dekade,
ternyata memiliki murid tukang bully seperti mereka!” ia menuding Bella dan Rosa.

“Bu, kami ngga ngapa-ngapain, Bu! Kami cuma nyekap Allena aja!” Bella membekap
mulutnya sendiri, karena tak sadar mengatakan apa yang sedari tadi ia sembunyikan.

Semua mata menatapnya tajam. Rosa juga geregetan karena Bella ceplas-ceplos tanpa
berpikir terlebih dahulu. Fallen menarik kerah baju Bella karena tidak terima mendengar
pengakuan gadis itu. Suasa ruang BK memanas dibuatnya, bu Clara juga tak bisa berbuat
apa-apa selain ikut mengintimidasi Bella dan Rosa, supaya mereka terus-terang dengan
perbuatan mereka. Usut punya usut, Bella dan Rosa tengah melakukan drama mengulur
waktu untuk strategi mereka, karena Sandra sendiri tengah menjalankan aksinya.

***

Allena mengerang. Ia berusaha melepaskan diri dari tali yang membelenggunya, namun
hasilnya nihil karena ikatannya terlalu kuat. Allena menatap gadis di hadapannya nanar,
dan sesekali menghindar dari perbuatan gadis itu. Bukan tangisan yang Allena raungkan,
namun bukan tidak mungkin batinnya tersiksa karena suatu alasan yang sama.

Keadaan Allena kacau. Tangannya terikat ke belakang kursi yang didudukinya,


mulutnya tersumpal kain, seragamnya kotor karena noda saus dan juga krim coklat,
rambut panjangnya juga tak beraturan. Sandra yang melakukan semua hal ini. Beralasan
karena Fallen semakin jauh darinya, namun semakin dekat dengan Allena. Sandra tak
sudi, karena ia susah payah merawat dan memoles diri, Fallen justru terpikat dengan
gadis biasa saja semacam Allena yang tak pandai bergaya apalagi mempercantik diri.

“Dengar, ya!” Sandra menjambak rambut Allena tanpa ampun. “Gue udah satu tahun
nyingkirin cewek murahan, yang dekat-dekat sama Fallen. Cewek model ngga jelas kayak
lo mah, kecil banget bagi gue!” ia menyeringai memamerkan deretan gigi bersih yang
dilengkapi taring panjang mengerikan layaknya drakula. “Kira-kira, apa yang membuat
Fallen tertarik sama lo?” kemudian ia melepas kain yang menyumpal mulut Allena.

Allena terengah-engah. Dunia putih abu-abu yang ia bayangkan akan indah penuh
warna, nyatanya justru kelabu baginya. Ia yang tergolong gadis tahan bully-an dan berani

82
Fallen & Allena

dengan siapapun sewaktu SMP, namun terlihat bukan apa-apanya di hadapan gadis seperti
Sandra. Karena Allena berani jamin, tidak ada yang seberani Sandra di luaran sana untuk
melakukan hal ini, kalau bukan karena orangnya memiliki jiwa layaknya psikopat.

Sandra mengusap rambut Allena, dan berakhir pada jambakan pedasnya. “Oh, karena
rambut panjang lo?” lalu, ia mengeluarkan permen karet yang sedari tadi dikunyahnya.
Sandra melepas jambakan untuk menarik permen karet menjadi lebar. “Lo mau tahu,
kenapa gue rambutnya pendek?” seringai Sandra, Allena lihat dari cahaya remang-remang
di gudang gelap ini. “Mau tahu, rasanya rambut ditempelin permen karet?” suaranya
melembut. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Allena. Deru napasnya begitu nyata.

“Jangan...” Allena menatap Sandra memelas. Ia tak tahu jadinya jika benda jijik nan
lengket itu, menempel di rambut panjangnya. “Please, Sandra.. Jangan...”

“Tahu nama gue, ternyata!” Sandra tertawa kencang. “Yang sopan, dong! Gue ini
kakak kelas lo! Coba, panggil Kakak, kek!”

“Kak Sandra, please jangan...”

Sandra menampar pipi Allena. “Lo tahu kesalahan lo? Selain ganggu Fallennya gue,
lo juga sok cantik! Padahal, muka lo itu burik! Waktu itu, lo tumpahin minuman gue,
sekarang lo panggil gue tanpa sebutan kakak? Lo waras, hah?! Anjing!”

Tanpa pikir panjang, permen karet yang Sandra bentangkan, ia tempelkan ke rambut
Allena, sembari mengacak-acaknya lebih parah lagi. Selepas itu tawanya menggelegar ke
seluruh sudut ruangan. “Kira-kira, apalagi yang Fallen suka dari lo?” Sandra berjongkok
di hadapan Allena. Sesaat kemudian, ia mendapat tendangan dari gadis itu hingga
terduduk. “Berani juga, ya?” Sandra kembali menyeringai, lalu merangkak maju dan
menarik satu kaki Allena. “Kaki lo yang panjang ini ya, yang bikin Fallen suka?”

Allena berusaha menendang Sandra kembali, namun gadis pendek itu mencekalnya
begitu kuat. Mata Allena terbelalak, saat gadis itu mengeluarkan silet dari sakunya.

“Mau tahu? Kenapa gue pendek?” tawa Sandra melengking di telinga Allena, lalu ia
mendekatkan benda tajam di genggamannya itu ke kaki jenjang yang dicekalnya.

Allena semakin panik, namun ia tetap berusaha menendang Sandra sebagai


pembelaan diri, karena kelakuan Sandra telah di ambang batas. Bisa-bisa ia mati seketika,

83
Fallen & Allena

jika setan lewat sini memasuki tubuh Sandra. “Jangan, Kak… Please...”

“Diam! Mau gue potong cepat-cepat ya, kaki lo ini?!” Sandra berseru, mengarahkan
siletnya ke perut Allena. “Ikuti permainan gue, atau lo game over sebelum waktunya!”

Allena menuruti ancaman Sandra. Ia terdiam, meski tubuhnya bergetar ketakutan.


Terlebih saat Sandra mengarahkan silet ke kakinya. Dan, terjadilah. Allena menjerit saat
Sandra menggores luka panjang di betisnya. Darah mengucur seketika. Tak puas berhenti
di situ, Sandra bangkit meraih ember berisi tanah berair, lalu menyiram Allena seketika.
Hingga sesenggukkan tangis dari gadis itu, membuat Sandra kembali tertawa puas.

Sandra membersihkan pipi kanan Allena menggunakan dasinya membentuk pola


memutar, kemudian menciumnya. “Jangan menangis, Sayang... Kamu terlihat lebih
cantik kalau begini. Aku yakin, Fallen akan tetap sayang padamu.
HAHAHAHAHAHAHA.”

Setelah menatapi Allena yang menangis tak berdaya, Sandra menutup kepala gadis itu
mengenakan ember yang ia isi tanah tadi. Kemudian berlalu pergi dari gudang,
menguncinya rapat-rapat dari luar. Sandra mengelap bibirnya, tak sudi karena semula ia
gunakan untuk mencium Allena, tak lupa membuang dasinya yang kotor karena noda.

“Sandra!”

Pemilik nama itu terbelalak. Pasalnya, Dewi Fortuna sedang tidak berpihak padanya
hari ini. Namun setidaknya, jika mendapatkan serangan baru dari orang itu, kali ini
Sandra merasa puas karena baru saja menghabisi mangsanya. Tanpa ragu, Sandra
melangkah mendekati lelaki yang meneriaki namanya itu. “Ada apa, Fallenku Sayang?”

“Mana Allena?!” Fallen menepis tangan Sandra yang berusaha menyentuhnya.

“Kenapa cari Allena?” Sandra menarik tangan Fallen, lalu mengarahkan ke dadanya.
“Tempatnya sepi nih, kamu ngga mau melakukan sesuatu sama aku?” Ia menggosokkan
telapak tangannya di bagian terlarang Fallen, hingga pemiliknya terperanjat seketika.

Plak!
Tamparan pedas meluncur di pipi mulus Sandra. Namun, ulah Fallen tak membuat Sandra
jera. Gadis itu justru menyeringai. “Tampar aku lagi, tamparanmu itu nikmat bagiku…”

Fallen gerah. Ia mendorong tubuh Sandra hingga tersungkur, tak peduli lagi jika

84
Fallen & Allena

nantinya dianggap kasar kepada perempuan dan dianggap tak berperikemanusiaan. Lalu
ia berlari menuju ke pintu gudang yang tak pernah terjamah oleh murid sekolahan.
Namun nahas, pintunya terkunci. Itulah yang membuat Sandra kembali mendekatinya,
sembari menjumput kunci gudang seraya memperlihatkannya kepada Fallen.

Sialan. Fallen tak tahu harus bagaimana menghadapi gadis gila ini. Sedangkan dari
dalam gudang, Allena berteriak meminta tolong karena kesakitan. Sedetik berlalu, ia lega
karena bu Clara beserta dua guru pria lain datang, diikuti Mawar, Faza, Erlan, dan Cindy.
Belum sempat mereka mendapatkan kunci gudang sebagai tempat penyekapan, Sandra
melempar benda tersebut ke atas genting, yang tak dapat dijamah dengan tangan kosong.

Bu Clara ditemani pak Sujito mengamankan Sandra, sedangkan pak Gino membantu
Fallen dan dua temannya mendobrak pintu gudang, daripada harus mengambil kunci di
atas genting. Dan pintu terbuka setelah dua menit keduanya berusaha mendobrak.

Keadaan Allena yang memprihatinkan, membuat Mawar dan Cindy menjerit. Fallen
dan pak Gino berusaha melepaskan ikatan, sedangkan Faza dan Erlan mencari kain yang
bisa digunakan. Mawar yang menangis histeris membersihkan tubuh sepupunya yang bisa
ia bersihkan terlebih dahulu dengan kain tersebut. Kalau saja ayahnya masih hidup,
Mawar sudah memintanya untuk memenjarakan Sandra meski belum cukup umurnya.

Setelah tubuh Allena sedikit bersih dari sebelumnya, lukanya juga bisa disumbat
sementara, mereka yang tersisa saling diam. Karena pak Gino baru saja pamit melapor ke
kesiswaan untuk memulangkan Allena dan mengantarnya dengan mobil.

Masih terdengar sesenggukkan Allena yang membuat hati Fallen pedih, terlebih saat
gadis itu ketakutan menatap dirinya. Tanpa memedulikan dua orang lain di dalam mobil,
Fallen menarik Allena dan dipeluknya erat-erat. Tangis Allena kembali pecah, begitu pun
Mawar. Fallen mengusap puncak kepala Allena, meski kotor dan bau bercampur aduk jadi
satu. Yang paling penting, gadis yang butuh tempat berlindung ini, sudah berhasil ia
temukan setelah sejam menghilang. “Harusnya, tadi kamu ke koperasi ngga sendirian.”

+ Fallen & Allena +

85
Fallen & Allena

13. Fatherfucker

Kejadian tragis kala itu, menyita perhatian penghuni sekolahan. Allena yang menjadi
korban, lambat laun banyak yang peduli dengannya. Meski masih ada saja yang membela
Sandra—sang pelaku kejahatan kriminal, meski usianya masih belia. Dan karena usia yang
belia ini, membuat Sandra terbebas dari jerat hukuman penjara. Bahkan, yang lebih tragis,
pihak sekolah menutup rapat masalah kekerasan ini dari orang luar, dengan embel-embel
mempertahankan gelar Sekolah Anti Kekerasan dalam kurun waktu selama satu dekade ini.

Tak terlepas dari masalah yang dibuat, dengan bangga Sandra mengatakan ; “kalau
sekolah tidak mau menanggung malu, dan gelar Sekolah Anti Kekerasan tidak dicabut
pemerintah, tutup rapat saja masalah ini. Anggap saja masalah ini tidak pernah terjadi.”

Selama tiga hari, pihak sekolah memikirkan hal ini dengan sungguh-sungguh.
Bantahan Sandra sebagai pelaku memang ada benarnya, namun saat sebelum masalah ini
ditutup, mahasiswa yang tengah magang dan mengambil kuliah jurusan Psikologi itu
mengancam hal yang berbanding terbalik. Namanya Anjar. Dia mengancam akan membawa
masalah ini ke ranah publik, karena kebetulan ia salah satu wartawan di suatu surat kabar.
Atau masalah ini tetap bisa ditutup, asalkan Sandra sebagai pelaku mendapat ganjaran yang

86
Fallen & Allena

setimpal. Semacam mendapat sanksi skorsing, atau sampai dikeluarkan dari sekolah.

Namun dengan seringainya, Sandra kembali berpendapat ; “menjadi hal lucu, jika
penyandang Sekolah Anti Kekerasan, mengeluarkan seorang siswi dengan kasus kekerasan
yang dilakukannya ke pada siswi lain. Masih mau mengeluarkanku dari sekolahan ini?”

Buah simalakama. Penjahat selalu memiliki akal cerdik untuk mengelabui, sedangkan
korban seakan terombang-ambing nasibnya tanpa kepastian. Selain itu, tentu saja korban
akan mendapat derita depresi sepanjang masa. Meski keluarga Allena terus berusaha
menuntut, kenyataannya mereka tak bisa melakukan hal lebih. Karena Sandra katanya hidup
di keluarga kaya nan terpandang, ia bisa saja menyewa pengacara untuk menindaklanjuti
masalah ini dengan ia sebagai pemenangnya. Lagi-lagi, Allena tetap bernasib sama. Sial.

Namun sekolah tetap mempertimbangkan hal lain, hingga memberikan hasil bahwa
Sandra mendapat skorsing selama satu Minggu. Karena ia dalang sekaligus pelaku dalam
masalah ini, sedangkan Bella dan Rosa hanya diskorsing tiga hari, karena mereka membantu
mengamankan Allena ke gudang tanpa melukai gadis itu seperti yang dilakukan oleh Sandra.
Meski Sandra menang di masalah ini, tidak mungkin ia terlepas dari sanksi sosial.
Kebanyakan orang kini menjauhinya, karena takut berhadapan dengan gadis psikopat itu.
Namun tetap ada saja yang berani mencibir, seperti hari pertama ini Sandra kembali masuk
sekolah setelah skorsing satu Minggu, dan melanjutkan beberapa hari membolos, banyak
yang menatap nanar, mendelik, lari ketakutan saat melihat dan berpapasan dengannya.

Atau mencibir perihal wajahnya yang cantik dengan gayanya menggemaskan, namun
ternyata berotak sadis dan licik layaknya pembunuh bayaran. Trending topik yang semula
membicarakan motif Allena mendekati Fallen, berubah menjadi membicarakan perihal
Sandra si gadis keji, murahan, dan berotak licik. Namun bukan Allena namanya, apabila ia
harus berlama-lama dalam keterpurukan. Terbukti sehari setelah kejadian yang menimpanya,
ia tetap masuk sekolah dengan keadaan baik-baik saja. Rambutnya yang rusak karena bekas
permen karet, memiliki tampilan baru. Allena potong rambut, panjangnya jadi sebahu.

Sekarang, ia tak boleh kemana-mana sendirian. Harus ada teman. Mawar, Cindy, atau
antek-anteknya Fallen sekali pun, mereka harus membuntuti kemana Allena pergi. Seperti
tiap berangkat dan pulang sekolah bersama Fallen, sedangkan saat jam istirahat, ia berkumpul
bersama Mawar, Cindy, dan geng Tengkorak di kantin. Allena benar-benar merasa dilindungi.

Hari ini, sekolah dipulangkan lebih awal, karena lusa dimulai ujian semester gasal.

87
Fallen & Allena

Allena bersama sepupunya terlihat sudah menyelesaikan masalah keuangan, beserta kartu
ujian. Kini, dua gadis itu tengah menunggu dambaan hati masing-masing di parkiran sekolah.
Allena menanti Fallen yang usil, Mawar menanti Brian yang konyol namun sedikit pendiam.

“Al! Dari kemarin, gue lihat cewek itu mondar-mandir di depan sekolahan!” Mawar
menepuk bahu Allena, saat mendapati gadis berbadan mungil berambut panjang sepinggang.
Gadis yang berseragam sekolah lain itu, nampaknya tengah mencari orang di sekolah ini.

Allena mengikuti arah pergerakan mata Mawar, hingga ia juga mendapati gadis itu.
Beberapa kali tatapan mereka bertemu, dengan gadis itu yang terlihat gugup saat mendapat
tatapan dari Allena. Allena menyikut pelan bahu Mawar. “Kelihatannya aneh banget, ya?”

Mawar mengangguk. “Iya, dia ngapain, sih?”

Allena dan Mawar masih mengawasi gadis yang nampak kebingungan itu, hingga
akhirnya mereka mendapati gadis itu tersenyum merekah seiring kedatangan Fallen dan
Brian. Allena saling pandang dengan Mawar, karena mereka mendapatkan jawabannya, salah
satu dari lelaki inilah yang gadis itu cari-cari di sini.

“Lo mau kemana sama Mawar?” Fallen meraih helmnya, sambil menatap Brian.

“Minta ngemal nih bocah, duluan ya!” Brian menyalami Fallen, lalu ia memberikan
helm kepada Mawar. Setelah gadis itu naik, ia menstarter motor, mulai menjalankan pelan.

“Al, hati-hati!” Mawar berbisik seiring kepergiannya melewati sang sepupu.

Dan benar saja. Bila bukan Brian tujuan gadis itu datang, kenyataannya memang
Fallen-lah tujuannya. Saat Fallen tengah lengah karena fokus memijiti layar ponselnya, gadis
mungil itu berlari dan seketika memeluk tubuh Fallen. Fallen tertegun. Raut wajah yang
sebelumnya nampak ceria, berubah masam seketika dibuatnya.

“Ngapain sih, lo ke sini lagi?!” Fallen melepaskan dekapan gadis itu secara paksa,
lalu berjalan mundur beberapa langkah. “Len, ayo cepat pulang,” Fallen memberikan helm
kepada Allena, lalu memberi kode supaya gadis itu cepat membonceng.

“Fallen, aku kangen kamu.” Sesuai tampilannya, saat berbicara, gadis itu terdengar
menggemaskan. Nampak tak pantas jadi anak SMA, lebih pantas menjadi anak SMP menurut
Allena. Gadis tak dikenal itu Fallen hindari, hingga Allena tak percaya saat melihatnya.

88
Fallen & Allena

Fallen mendorong gadis itu hingga tersungkur, menampakkan layaknya lelaki kasar
pada umumnya. Namun Allena tahu, sekali membenci, Fallen tak akan sudi menemui hal itu
sampai maut menjemput sekalipun. Karena hal ini, Fallen yang biasa cerewet, kini sepanjang
jalan hanya terdiam. Bahkan laju motornya lebih cepat dari biasa, membuat Allena khawatir,
namun ia takut jika pertanyaan atas dasar rasa penasarannya akan menyinggung lelaki itu.

***

“Bagus, ya. Habis datangi sekolah gue, sekarang malah ke rumah. Untung aja nyokap gue
lagi di toko, kalau di rumah dia bakalan kambuh, sakit jantungnya gara-gara lihat kalian di
sini!” Fallen menumpahkan emosinya, setelah melepaskan helm yang dikenakannya.

Ditatapnya nanar gadis yang tadi ia temui di sekolah. Ada sosok lain menemani gadis
itu, lebih tepatnya sang ibunda. Mereka yang Fallen kenal sebagai ratu drama, tengah
menampakkan wajah memelasnya, membuat ia semakin muak bahkan ingin meludah saja.

“Fallen, aku mohon. Dengarkan kami bicara dulu...” gadis mungil dengan badge nama
Kirana Larasati itu mendekati Fallen, tak lupa menggenggam tangan lelaki itu erat-erat.

Sudah lama mereka tak bertemu. Sekiranya terhitung hampir setahun berlalu, selepas
Fallen memutuskan hubungan memuakkan ini. Seakan nampak terlihat biasa-biasa saja tanpa
luka, gadis bernama Kirana itu tak pernah lagi memperlihatkan batang hidungnya di depan
Fallen. Di sosial media pun, gadis itu terlihat bahagia dengan dunia barunya. Lantas, untuk
apalagi ia datang kemari, apalagi sampai membawa sang ibunda segala?

Fallen menepis tangan Kirana, ia berlalu membuka pintu rumah yang dikunci,
kemudian masuk ke dalam dan kembali menguncinya. Tingkah Fallen yang belum mampu
menerimanya, membuat Kirana dan ibunya memutuskan pergi dari rumah ini. Rumah yang
memiliki banyak kenangan di dalamnya. Jika mama Mella mengatakan Allena gadis pertama
yang Fallen bawa ke rumah, kenyataannya memanglah dusta. Kirana-lah yang pertama.

“Ngapain sih, dia datang lagi?” Fallen menggerutu sendiri. Namun tak menyulutkan
niatnya untuk berganti pakaian, lalu kembali menjemput Allena di rumah kakek-neneknya.

Fallen dibuat tertegun, saat melihat sebuah kertas tebal diikat pita keemasan. Matanya
memanas seketika menahan amarah sekaligus air matanya. Tak mau membuat Allena
menunggu lama, Fallen meraih korek api dari dalam saku celananya, kemudian membakar
undangan pernikahan yang dibawa oleh Kirana beserta ibundanya itu. Mama Mella tak boleh

89
Fallen & Allena

mengetahui hal ini, atau Fallen menyesali perbuatannya untuk seumur hidup.

Dengan sigap, Fallen kembali melajukan motornya di jalanan kota. Hingga sepuluh
menit berlalu, ia tiba di rumah sederhana milik kakek dan nenek Allena. Rupanya, hari ini
adalah hari di mana ia dibuat tertegun berkali-kali. Karena sebuah mobil yang tak asing bagi
Fallen, parkir di depan pekarangan rumah yang ia tuju ini. Pintu rumah terbuka, sedangkan
bunyi benda berjatuhan disertai umpatan terdengar dari dalam sana. Fallen tak mau terjadi hal
buruk lagi di kehidupan Allena, ia segera memasuki rumah berpagar hijau ini setelah
memarkirkan motornya. Di ruang keluarga, Fallen mendapatkan apa yang ia pertanyakan.

Pria itu datang lagi membuat kekacauan. Sedangkan di sebelahnya, wanita jalangnya
tak segan-sega menjambak rambut Allena. Dengan tanpa permisi lagi, Fallen menarik pria
paruh baya itu, menonjoknya dengan bogeman mentah berkali-kali. Setelah tersungkur dan
tak dapat membalas, ia beralih untuk memberi pelajaran wanita yang tengah menyakiti
Allena. Seakan mengulang kejadian yang sama seperti kala itu di rumah Mawar, kedatangan
orangtua Allena yang berniat menyiksa, kembali Fallen lumpuhkan seketika.

Mereka pergi dengan kekalahan lagi. Emosi Fallen yang memuncak di ubun-ubun hari
ini, mampu membuatnya membabi-buta seperti kesetanan. Ia tak peduli umur dan kenyataan
bahwa orang tua harus dihormati. Persetan dengan itu semua, cukuplah Allena menanggung
derita dianiaya Sandra kala itu, Fallen tak mau Allena menderita lagi karena ulah ayahnya.

Setelah menenangkan kakek dan nenek Allena yang syok berat, mereka pergi dari
rumah itu menuju ke toko katering mama Mella. Tak mau pria dan wanita tua itu mendapat
serangan lanjutan, Fallen menghubungi tiga temannya untuk datang melindungi dua orang tua
itu. Meski tadinya Allena menolak, Fallen berkali-kali meyakinkannya. Fallen hanya takut
jika kakek dan nenek tua itu, justru menjadi tujuan utama ayah Allena untuk menyakitinya,
mengancam supaya Allena memberikan sertifikat rumah. Akhirnya, Allena pasrah.

Di dapur toko, mama Mella beserta tiga pegawainya termasuk tante Nisa, tengah
menyelesaikan pesanan makanan untuk hajatan sebanyak 250 bungkus. Setibanya Fallen dan
Allena di sana, mereka mengambil alih pekerjaan Ana di meja kasir, lalu gadis berumur 25
tahunan itu masuk ke dapur, membantu menyelesaikan pesanan.

Kalau saja tidak ada pelanggan yang datang, Fallen dan Allena tetap saling diam
dalam kecanggungan. Namun, Allena tak mau berlama-lama terjebak di dalam situasi ini.
Hingga setelah menerima pesanan kue ulang tahun dua tingkat untuk lusa, Allena

90
Fallen & Allena

menghampiri Fallen di tempat duduknya. Lelaki itu menyandarkan dagu panjangnya ke atas
meja, sembari membuat gambar sketsa tak teratur di kertas HVS tak terpakai.

“Lo kenapa?” Allena mengusap kepala Fallen. Lelaki itu mendongak dan menggeleng
tanpa suara. Allena dengan sabar ia menanti Fallen membuka pembicaraan. Karena ia begitu
yakin, Fallen mana mungkin kuat berdiam diri tanpa mengoceh ria membicarakan suatu hal.

“Kalau aku jadi ayah yang gagal bagi anaknya, apakah mereka membenciku seperti
kamu membenci ayahmu?” Fallen beralih duduk di lantai, bersandar ke etalase pendingin.

Allena ikut duduk di lantai, di sebelah kiri Fallen. Ia menatap sendu. “Anak itu, akan
membalas perilaku orangtuanya. Kalau lo berbuat buruk, mungkin mereka membenci lo.”

“Apakah mereka nanti memaafkan perbuatan buruk ayahnya?” Fallen mendapati


Allena mengangguk. “Termasuk memaafkan perihal menjijikkan seperti perselingkuhan?”

Allena terdiam. Lebih tepatnya tak bisa menjawab. Ia kembali tersenyum getir.
“Kalau orangtua bisa berubah, anak pasti bisa merubah pikirannya untuk memaafkan.”

“Jadi, apa kamu akan memaafkan ayahmu, kelak di kemudian hari?”

Allena terkekeh pelan. “Kalau dia sadar. Kalau ngga, buat apa gue memaafkan dia.
Orang dia yang bikin nyokap gue mati, kok. Tapi, rasa-rasanya, gue pengen lihat bokap gue
menderita dulu, deh, sebelum dia gue maafkan, kalau nanti sadar dari kesalahannya.”

Fallen mengembuskan napas kasar. Semakin hari, makin banyak beban yang ia derita.
Kalau Allena tak mau memaafkan sebab kehilangan sang ibunda karena kelakuan ayahnya,
apakah Fallen juga tak memaafkan ayahnya yang telah menelantarkan hidupnya setahun
belakangan ini? Meskipun sosok yang biasa disebut pahlawan di hidup anaknya itu, suatu
saat nanti akan berubah menjadi lebih baik. Namun kenyataannya, luka yang telah tergores
tak akan hilang seperti sedia kala. Akan terus membekas dan bisa berulang kapan saja.

“Kalian ini, sedang apa, sih?” kedatangan tante Nisa memecah keheningan di antara
Fallen dan Allena. Wanita itu menyingkirkan dua remaja yang duduk di depan etalase
pendingin, karena ia membawa salah satu kue ulang tahun untuk di letakkan di dalam sana.

“Sedang musyawarah,” Fallen menyeringai. “Kalau aku kuliah tata boga gimana?”

Tante Nisa terbelalak, lalu terbahak kencang. “Kamu mau kuliah tata boga?”

91
Fallen & Allena

Fallen bangkit dari lantai. “Kayak ngga pernah bisa meyakinkan orang aja, aku ini.”

“Iya lah, Fallen. Tante khawatir, yang ada nanti oven tempat kuliahmu setiap Minggu
ganti, karena dirusak sama kamu!” cibir tante Nisa.

Fallen terulur untuk membantu Allena bangkit. “Aku diejek nih, sama tantemu.”

Allena menyambut uluran tangan Fallen untuk bangkit. “Biarin, gue juga ragu sama
ucapan lo. Coba buatin gue nasi goreng. Kalau enak, lo boleh deh, ambil kuliah tata boga.”

“Aku buatin nanti malam!” seakan yakin dengan pilihannya meski masih setahun
beberapa bulan lagi, Fallen tak mendapat kepercayaan dari dua perempuan di hadapannya.

Terlebih saat sang mama datang, diceritakan oleh Allena perihal keluh kesah Fallen,
wanita itu juga terbahak kencang. Mengingat anak semata wayangnya itu, dengan minyak
goreng panas saja takutnya bukan main. Apa jadinya mau kuliah ambil jurusan tata boga?

+ Fallen & Allena +

14. Malam Panjang

Apa yang ditanyakan Fallen tempo hari menjadi kenyataan. Allena tengah berlindung
di balik tubuh lelaki itu, untuk menghindari ayahnya yang datang membawa berita duka.
Entah Allena harus bahagia melihat ayahnya mendapat karma, atau bersedih karena tak tega
melihatnya. Perusahaan Mahesa pailit setelah kalah tender. Aset yang dimilikinya, tak mampu
menutup segala kerugian dan hutangnya. Terlebih lagi saat ia tiba-tiba diusir dari rumah,
karena sebuah keluarga datang mengaku menjadi pemilik baru rumah yang ditinggalinya.

Ternyata, Allena memberi balasan tersebut untuk sang ayah, dengan melibatkan teman
tante Nisa yang sedang mencari rumah kontrakan. Mereka mengusir Mahesa dan Lita, dengan
membawa surat kepemilikan rumah dan tanah di tangan mereka, meski sebenarnya surat
palsu. Sebutlah mereka keluarga Raharjo. Rupanya mereka sudah kongkalikong. Selain itu, ia
ditinggal sang istri muda, dan tak tahu mau hidup di mana. Kenyataan ini membuat Mahesa
tiba-tiba bertekuk lutut di hadapan anak gadisnya. Melihat kejadian seperti ini, Allena
bukannya bersimpati, malah ia semakin muak. Kenyataannya, setiap manusia harus merasa
tak punya, hingga ia akan tersadar, bahwa yang telah tiada lebih berguna dari harta semata.

Allena tak menghiraukan kedatangan sang ayah yang memohon-mohon, justru ia kini
berusaha menariki tangan Fallen supaya mereka lekas pulang. “Fallen, ayo kita pulang.”

92
Fallen & Allena

Fallen menahan Allena sejenak. “Len, dia ayahmu lho.”

“Gue emang bakalan memaafkan dia, tapi setidaknya, biarkan dulu gue lihat dia
menderita. Karena dia adalah alasan, kenapa gue kehilangan nyokap gue!” Allena menatap
Fallen nanar sembari menuding pria paruh baya yang berlutut di hadapannya.

“Lena, maafkan Ayah, Nak…”

Fallen terdiam memandang Allena dan pria itu bergantian. Tempo hari, ia memberi
pria itu pelajaran, namun kini merasa iba dengan kondisi yang dialami. Tetapi jika Allena
selaku orang yang bersangkutan tak mau memaafkan, ia sebagai orang awam bisa apa?

Allena membungkuk, mendekati ayahnya yang posisinya lebih rendah darinya. “Puas,
kan? Udah ngerasain kehilangan semua, seperti apa yang gue rasa? Gimana? Enak?”

Mahesa sangat terpuruk. Apapun yang ia lakukan. Yang telah hilang, tak akan kembali
lagi padanya. Termasuk kepercayaan sang anak sekalipun. “Ayah menyesal, Nak…”

“Mon maap aja nih ya, gue tinggal numpang sama orangtua dari wanita yang lo sia-
siakan, wanita yang meninggal karena perbuatan lo sendiri. Sekarang, lo datang buat ngemis-
ngemis ke gue, supaya lo bisa tinggal numpang juga sama mereka. Lo sehat, Pak? Lo ngga
punya malu, ya?” Allena terkekeh pelan sambil mengalihkan pandangan. “Gue masih ingat
ya, betapa angkuhnya lo waktu datangin gue ke rumah Mawar, dan juga waktu lo datang ke
rumah kakek-nenek gue. Masih punya malu, buat ngemis-ngemis ke kami?”

Fallen menarik Allena supaya menjauh dari pria itu. “Len, udah. Bagaimana pun juga,
dia ayah kamu. Meski waktu itu aku sempat pukuli dia, sekarang aku ngerasa kasihan.”

Allena menepis tangan Fallen. “Lo tahu apa, tentang ayah yang ngga punya hati?!”

Fallen terdiam. Bukan tak mengerti, bahkan ia merasakan hal sama. Namun sekarang
keadaannya, orang terpuruk berhak memiliki sandaran hidup. Meski ia orang paling pendosa
sekalipun. Dan tanpa dihakimi anaknya pun, Mahesa sudah mengerti dimana kesalahannya.

“Lo mau punya tempat tinggal?” Allena bersedekap angkuh tak menatap ayahnya.
“Tenang, lo bakalan punya tempat tinggal yang mau nampung lo! Gue bakal kirim lo ke
penjara,” lalu ia menarik tangan Fallen, beralih dari hadapan ayahnya. Lelaki hanya menurut.

Fallen tak dapat berbuat banyak, untuk sekadar membantu ayah Allena berdiri pun tak

93
Fallen & Allena

diperbolehkan oleh gadis itu. Akhirnya, ia hanya bisa melajukan motornya meninggalkan
sekolahan. Sesekali Fallen menatapi kaca spion melihat keadaan Allena. Gadis yang nampak
tegar di hadapan ayahnya itu, berubah lemah dengan tangisan derasnya. Satu hal yang Fallen
dapatkan selama menemani Allena di tiap masalah, Allena selalu berusaha menjadi kuat nan
tegar saat menghadapi masalah, namun ia menangis dan melemah saat sedang bersama orang
yang dianggapnya paling mengerti, ataupun nampak lemah saat sedang seorang diri.

Fallen berhenti di depan rumah berpagar hijau, menstandarkan motornya, lalu turun
membiarkan Allena tetap di atas motornya. “Hari ini ngga usah masuk kerja dulu aja, ya?”

Allena memandangnya dengan putih mata yang memerah. “Gue tetap kerja, Len.”

Fallen meletakkan helm yang semula dikenakan Allena yang dilepasnya, ke atas salah
satu kaca spion motornya. “Ngga, jangan. Sebagai anak CEO perusahaan tempat kamu
bekerja, aku melarang kamu untuk berangkat kerja khusus hari ini.”

Tak disangka, Allena tersenyum dan terkekeh pelan. “Perusahaan?”

Fallen mengerutkan kening. “Jangan salah. Meski toko kecil-kecilan, mamaku udah
memimpin perusahaannya sendiri. Dan aku, sekarang dijadikan sebagai tangan kanannya.”

Allena turun dari motor Fallen. “Iya, percaya.”

Fallen nyengir kuda. “Ya udah, aku balik ya?”

Allena mengangguk dan tersenyum, seiring Fallen kembali menaiki jok motornya.
Saat tersengar suara mesin motor distarter, Allena mencekal pergelangan tangan lelaki itu.

Fallen menatapnya hangat. “Kenapa?”

“Jangan pergi,” Allena membalas tatapan Fallen dengan sendu.

Fallen meraih puncak kepala Allena, lalu mengusapnya pelan. “Aku pulang dulu, ya.
Ganti baju bentar, kok. Nanti bakal kemari lagi. Ya?”

Akhirnya Allena melepas cekalannya. Fallen berangsur menjauh dari hadapannya.


Kehilangan Fallen, sama saja seperti kehilangan seisi dunia, bagi Allena. Kalau saja ia boleh
meminta kepada Tuhan, ia akan meminta 24 jam di hidup Fallen hanya untuk menemaninya.

***

94
Fallen & Allena

“Jangan pergi.”

Allena mengulang kalimat lima jam lalu. Tadi terbilang wajar, meminta Fallen supaya
jangan pergi, lalu lelaki itu mendatanginya lagi karena hari masih sore. Namun kini, bulan
menggantikan tugas matahari. Mana mungkin Fallen akan tetap menemani di sampingnya?

Fallen melepaskan cekalan Allena dengan perlahan. “Besok kita kan ketemu lagi.
Kalau aku ngga pulang, mama pasti nyariin aku, Allena.”

Allena menunduk. Hatinya remuk redam. Baru kali ini Fallen menolak
permintaannya. Padahal biasanya, jika diibaratkan Allena meminta bulan, Fallen akan
senantiasa memetiknya. Kini Allena merasa Fallen tak sama lagi seperti biasa. Tingkahnya,
membuat Fallen hanya bisa membasuh mukanya dengan udara malam. Terlebih saat Allena
kecewa dan memasuki rumah sambil membanting pintu. Karena tak bisa melakukan apa-apa
lagi, Fallen meninggalkan rumah kakek dan nenek Allena. Udara dingin yang ditembusnya di
jalanan kota, membuat Fallen makin merasa bersalah meninggalkan Allena yang tengah
rapuh itu.

Allena sendiri tetap diam setibanya di kamar, bahkan, saat sang nenek mendatanginya
dan menanyakan kemana Fallen pergi. Karena tak mendapat jawaban dari sang cucu, wanita
tua itu pergi kembali ke kamarnya sendiri, tak lupa mengingatkan sang cucu untuk
mematikan lampu kalau tidur. Allena hanya mengangguk. Selepas sang nenek pergi, ia
mengunci pintu kamar dan mematikan lampu, lalu kembali naik ke atas ranjangnya.

Pikirannya saat ini kacau. Hanya ingin ditemani, itu saja. Namun tak ada seseorang
pun yang ada di sisinya. Bahkan sang sepupu yang biasa selalu ada di susah dan senangnya,
kini seakan dibuat sibuk dengan dunia percintaannya. Allena memang memaklumi itu. Setiap
orang memiliki hak meluangkan waktu untuk membahagiakan dirinya sendiri, bukan?

Allena ingin menangis, tetapi rasanya, air matanya sudah ia keluarkan semua saat di
atas motor Fallen, ketika keduanya pulang dari sekolah. Tak ada lagi yang bisa ia perbuat.
Mengingat sang ayah, hanya membuatnya mengingat masa lalu yang kelam. Itu sebabnya,
Allena memutuskan untuk memejamkan matanya saja, karena esok pagi ia harus belajar
Matematika dan Sejarah Indonesia untuk bekal ujian semester gasalnya.

Namun saat baru beberapa menit menutup mata, Allena dikejutkan oleh suara ketukan
pelan di jendela kamarnya. Allena dibuat merinding seketika. Siapa pula malam-malam

95
Fallen & Allena

begini, iseng mengetuk jendela rumah orang? Akhirnya, daripada pikiran kemana-mana,
Allena memutuskan untuk menutupi seluruh tubuhnya di bawah selimut. Berpura-pura bahwa
ia sudah tidur. Namun suara itu kembali mengganggunya.

Dengan seribu keberaniannya, Allena membuka gorden berwarna biru lautnya secara
perlahan, memastikan siapa yang melakukan perbuatan iseng ini. Karena ia sempat
mendapati sebuah bayangan dari seorang lelaki, bukan berbentuk pocong, atau gondrong
seperti Genderuwo, apalagi mengenakan gaun panjang seperti mba Kunti.

Suara ketukan terdengar, “Len, buka...” diikuti suara bisikkan yang membuat Allena
terperanjat. Secepat kilat ia membuka gorden biru lautnya.

Terlihat nyata, siapa yang ada di balik jendela kamar. Fallen. Lelaki itu memberi kode
supaya Allena membuka jendela. Seakan terhipnotis tiap Fallen meminta suatu hal padanya,
Allena menurut saja membuka jendelanya. Hingga lelaki itu kini berada di kamarnya, Allena
masih saja tak percaya. Ia tetap menghalau akal sehatnya, alih-alih ini hanya sebuah delusi.

“Aku Fallen, bukan dedemit!” Fallen menutup kembali gorden kamar Allena.

“Lo ngapain balik lagi?”

Fallen menatap Allena tajam. “Tadi aku ngga boleh pergi. Sekarang giliran aku—”

Allena meletakkan telunjuknya di bibir tipis Fallen. “—sssttt… ya udah, diam.”

Karena takut sang nenek mendengar pembicaraan mereka, Allena menyalakan musik
cadas dengan volume keras di ponselnya, dan meletakkan benda pipih itu di dekat pintu.

Fallen menaiki ranjang Allena setelah membuka hoodie-nya, membuat Allena


membelalakkan mata. “Aku susah-payah meyakinkan mama, lho. Kamu malah kayak gitu.”

“Meyakinkan apa?”

“Kalau kamu lagi butuh aku, jadinya aku dibolehin pergi, alias boleh menginap.”

Allena menyusul Fallen menaiki ranjangnya. “Serius, lo diizinin?”

Fallen mengangguk sembari tersenyum. “Sini,” ia merentangkan kedua tangan,


seakan siap menyambut Allena datang ke pelukannya. Namun gadis itu nampak terlihat ragu.
“Aku ngga akan macam-macam di rumah orang, Allena.”

96
Fallen & Allena

Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya Allena menyusul Fallen ke atas


ranjangnya. Meski dengan sedikit keraguan, gadis itu tetap datang ke dekapan Fallen. Lelaki
itu menyambutnya, memeluknya begitu erat. Sedangkan Allena meski mendapat kekuatan
dari Fallen, ia tetap merasa semakin waktu berlalu, tiap detik di hidupnya terasa sia-sia.

Ibu dan kakaknya telah tiada, ayahnya datang hanya pada saat membutuhkan, kakek
dan nenek semakin renta. Kalau kedua orang tua itu meninggalkannya, Allena harus
menjadikan siapa sebagai penyemangat hidupnya? Ia juga telah bersumpah, mengganti
pikirannya untuk tak akan pernah memaafkan sang ayah, bahkan sampai ia dan tantenya
melaporkan pria itu ke polisi. Dengan beberapa bukti kuat, yang menunjukkan bahwa ia
sebagai salah satu korban kekerasan ayahnya, bahkan sang istri sendiri dibuat meregang
nyawa. Dalam hitungan hari, polisi pasti akan meringkus Mahesa menjadi tawanan penjara.

“Bokap gue bangkrut tiba-tiba, terlilit hutang banyak, katanya. Rumahnya juga gue
manipulasi, seakan-akan gue jual ke orang. Setelah itu, istri mudanya pergi ninggalin dia
karena udah ngga punya apa-apa,” keluh Allena di sela tangisannya.

Fallen menatap wajah Allena di cahaya remang-remang. Ia tetap mendengarkan


dengan seksama, keluhan yang gadis itu sampaikan, meski ia tahu titik permasalahan itu.

“Gue cuma mau hidup bahagia, layaknya orang-orang yang udah berusaha nyakitin
gue, dan orang-orang yang merampas semua kebahagiaan gue. Tapi kenapa rasanya susah
banget, Len? Apa gue seburuk itu untuk merasakan kebahagiaan?”

Fallen mengusap puncak kepala Allena seraya menenangkan, dan menyeka air mata
gadis itu. “Ya ngga, dong. Kamu itu, pantas merasakan kebahagiaan kok, Len.”

Allena mendongak, menatap Fallen yang ada di atas kepalanya. Lelaki itu juga
menatapnya dalam. “Tapi kenapa gue ngerasa bersalah gini, ya? Padahal gue senang, bokap
gue yang durjana itu, mendapat balasan yang setimpal atas segala kesalahan yang dia buat.”

Fallen menyispkan anak rambut Allena ke belakang telinga. “Udah, jangan dipikirkan.
Kita lagi ujian, lho. Kalau nilai kita jelek, gimana caranya nanti kita nyari kampus bagus?”

Allena memang masih jauh dari jenjang kuliah. Apalagi, ia belum tahu apakah setelah
lulus SMA akan melanjutkan pendidikannya. Namun perkataan Fallen ada benarnya juga.
Sekarang, nilai lebih dihargai daripada usaha yang dilakukan demi mendapatkan hasilnya.
Siapa lagi kalau bukan diri sendiri yang memulai untuk ingin mendapatkan nilai bagus?

97
Fallen & Allena

“Tidur, ya. Aku di sini, kok.”

Allena sedikit tersentak. “Ngga apa-apa?”

Fallen menjawab dengan anggukkan dan senyuman, membuat Allena juga terdiam.
Dengan berusaha mengumpulkan rasa kantuknya, Allena mulai memejamkan mata. Meski tak
bisa terlelap, ia tetap berusaha memejamkan matanya. Hingga pada saat Fallen merasa bahwa
Allena sudah terlelap, Allena tetap tahu apa yang Fallen lakukan padanya diam-diam. Suatu
hal yang lagi-lagi takkan pernah Allena lupakan. Hal yang seakan membiusnya secara
perlahan, dan membawanya ke alam bawah sadar. Allena merasakan bibir itu. Bibir manis itu
mengecup pipi dan keningnya. Cukup lama. Hingga ia tak tahu lagi, kapan musik cadas yang
ia putar di ponsel sudah mati. Mungkin Fallen yang mematikan, karena ia tak mau tidurnya
terganggu. Dan malam yang terasa panjang itu, kembali membuat Allena merasakan candu.

Tengah malam entah pukul berapa, mata berat Allena terbuka. Bukan tanpa sebab.
Melainkan karena ia merasakan orang yang merengkuh tubuhnya erat itu tengah dibanjiri
oleh keringat. Bahkan Allena melihat sepintas malam itu Fallen sudah telanjang dada,
sampai-sampai membuat napasnya tersendat dan menciptakan sedikit gerakan. Allena tahu
Fallen kegerahan, namun dekapan lelaki itu bertambah erat. Seakan tahu bahwa Allena akan
pergi, seakan tak mau gadis itu meninggalkannya begitu saja malam ini.

Karena matanya berat untuk terbuka, Allena tidur kembali. Hingga suara alarm dari
ponselnya, mengganggu waktu tidur damainya. Saat matanya terbuka, lelaki yang semalaman
menemani tidurnya sudah tidak ada. Keadaan gorden dan jendela kamarnya masih terbuka.
Jika malam panjang tadi hanyalah mimpi, jika kedatangan Fallen hanyalah bayang-bayang
ilusi, mana mungkin lelaki itu meninggalkan kaus hijau army polos miliknya di sini?

Kedua sudut bibir Allena naik, merasakan bahwa mood pagi ini lebih baik dari hari
kemarin. Dan meski tak terdengar, burung berkicau pun seakan tahu bahwa Allena
mengucap ; “terima kasih, Fallen.”

+ Fallen & Allena +

98
Fallen & Allena

15. Penolakan Fallen

“Bang Erlan?”

Allena menghentikan kegiatannya memasukkan kue donat ke dalam etalase, saat


melihat satu sahabat karib Fallen di geng Tengkorang tiba di tempat ini. Lelaki jangkung
pemilik tahi lalat di dekat hidung yang ditemani wanita tua di sampingnya tersenyum, Allena
berjalan mendekat tak lupa menyalami kedua pelanggan yang baru datang itu.

“Mau pesan nasi tumpeng nih, sama kue ulang tahun. Besok adik gue ulang tahun,
gue mana mungkin dikasih ginian,” Erlan berbisik ke Allena saat ibunya menjauh darinya,
menuju ke meja kasir untuk bernegosiasi pesanan dengan Ana.

Allena terbahak. “Lo udah ngga pantas Bang, ngerayain ulang tahun pakai tiup lilin.”

Erlan juga ikut menertawai topik yang membicarakan dirinya sendiri. “Iya, gue mah
nyadar diri, Len. Emangnya Fallen, tuh? Kelamin udah berambut aja, masih sering ngerayain
ulang tahun di dalam kelas pakai tumpeng. Heran gue, Len!”

Allena menghentikan tawanya. Sejenak ia mencerna ucapan Erlan. Mungkin dari


Erlan inilah, ia bisa mengetahui info lanjutan tentang Fallen-yaitu berupa hari ulang
tahunnya. “Emang, Fallen kapan ulang tahunnya?”

99
Fallen & Allena

“Astaga! Emangnya lo ngga tahu?” Erlan mencibir. “Kalau dah masuk sekolah, nanti
lihat dah, gelagatnya. Mendekati ulang tahunnya, dia ngga pernah tuh, keluar kelas apalagi ke
kantin. Karena dia malas banget dapat ejekan, sekaligus tagihan traktir dari orang-orang.”

“Serius, Fallen bentar lagi ulang tahun?”

Erlan mengangguk, lalu ia beralih dari tempat berdirinya, karena sang ibunda menarik
tangannya. Di ambang pintu toko, ia berhenti sejenak. “Tanggal 26 ulang tahunnya Fallen, lo
jangan sampai lupa!” teriaknya kepada Allena.

Belum sempat Allena berterima kasih, lelaki pemilik tahi lalat dekat hidung itu sudah
menjauh dari pandangannya. Lebih tepatnya sudah siap sedia di atas sepeda motornya,
menanti sang ibunda yang tengah mengenakan helm.

Perasaan senang nan bangga seperti baru memenangkan undian, menghiasi sisa hari
Allena yang melelahkan ini. Meskipun ia pulang tak dijemput dan diantar Fallen, setidaknya
sepanjang jalan dari toko menuju ke rumah Mawar, senyumnya tak menipis. Bahkan, ia
memberi uang tip banyak kepada abang taksi online yang mengantarnya dengan tante Nisa.

Karena sedang libur sekolah semester gasal, Allena memutuskan untuk menginap di
rumah sepupunya beberapa hari. Selain tak ingin kesepian, Allena juga berniat untuk
berkeluh kesah kepada gadis yang disinyalir baru saja ditembak oleh kakak kelas itu. Dengan
penuh rasa semangat, Allena memasuki kamar Mawar hingga pemiliknya yang tengah
memakai masker melonjak. Dua potongan timun yang menutupi kelopak mata Mawar
terpental, hingga Allena disuguhi masker di wajah sepupunya itu retak-retak seiring umpatan
yang terdengar. Allena terbahak kencang, karena ia merasa selalu menang tiap kali berhasil
mengusik kehidupan Mawar. Tak mau menjadi bahan ledekan sekaligus tak mau berlama-
lama mendengarkan curhatan Allena, akhirnya Mawar memutuskan untuk membersihkan
mukanya, serta bersiap-siap menebalkan telinga selama Allena bercerita. Karena sudah
dipastikan tiap kali membahas Fallen, dunia Allena seakan tak ada habisnya.

“Jadi, ada apa lo ke sini, Al?” Mawar menyandarkan dirinya ke bantal dan boneka
yang ia tumpuk tinggi-tinggi. “Fallen nembak lo? Akhirnya…”

Allena mencubit lengan Mawar hingga gadis itu mengaduh. “Ih, bukan.”

“Ngeledekin gue mah tiap hari, katanya ‘digantungin sama gebetan.’ Tapi buktinya
apa? Gue duluan kan, yang jadian sama Brian?” Mawar menjulurkan lidahnya ke sisi kanan

100
Fallen & Allena

bibirnya, membuat ia kembali mendapat cubitan pedas dari sang sepupu.

“Jadi, mau dengarin curhatan, atau mau ngeledek jomblo? Lo mau apa, gue doain
supaya bentaran doang pacaran sama Briannya?”

“Ya jangan, dong! Sepupu jahanam, namanya!” protes Mawar. “Buruan, ada apa?”

Allena menarik napas dalam, kemudian ia embuskan panjang. “Bentar lagi Fallen
ulang tahun, menurut lo gue harus gimana?”

“Curahin perasaan lo!” sergap Mawar dengan cepat.

Kemudian Mawar mendapatkan pemandangan Allena yang melamun, bergelut dengan


pikirannya sendiri cukup lama. Hingga ia bosan, dan akhirnya memutuskan untuk menata
tempat bebaringannya, serta mulai merebahkan badan. Ia tak peduli jika setelah ini Allena
menggoyangkan tubuhnya untuk berkeluh kesah, karena mata tak dapat ditolerir lagi.

Benar saja, setelah hampir sepuluh menit terdiam dan bergelut dengan pikirannya
sendiri, Allena menggoyangkan tubuh Mawar yang telah menciptakan sebuah bunyi
dengkuran. “War, lo serius gue harus curahin perasaan gue ke Fallen?”

Hanya pertanyaan itu yang menghiasi malam di kamar sempit bernuansa merah jambu
ini. Pemiliknya tak lagi peduli dengan adanya pengusik mimpi indahnya, sedang sang
pengusik merasa bahwa kehidupannya sebentar lagi akan terancam. Mencurahkan isi hati
kepada gebetan, apakah tidak terlalu buruk sebagai kaum Hawa?

***

Setelah dua Minggu lamanya libur sekolah, para penghuni SMA Harapan Kasih kembali ke
rutinitas harian mereka. Dan sejak pagi tadi, Allena merasa ada yang aneh pada Fallen. Lelaki
itu lebih murah senyum, atau lebih tepatnya tengah mengharapkan suatu darinya. Pun begitu
di detik ini, Fallen tersenyum lebar menyambut kedatangan Allena di atas motornya, saat
langit berubah kelabu karena selain hendak turun hujan, matahari juga hendak tenggelam.

“Lo kenapa, sih?” Allena merebut kasar pemberian helmnya dari Fallen.

Kemudian senyum Fallen hilang. Senyum yang sejatinya Allena idamkan, senyum
yang sejatinya membuat Allena berdebar diam-diam. Tak ada lagi ucapan yang terdengar dari
lelaki jangkung itu. Fallen hanya memberi kode supaya Allena cepat naik ke jok belakang,

101
Fallen & Allena

lalu kuda besi itu melaju lebih cepat dari biasanya meninggalkan kawasan sekolah.

Keadaan canggung yang melanda ke duanya, membuat Allena tak tahu harus berbuat
apa selain bermain dengan menu ponselnya. Hingga hal kecil berdampak besar, membuatnya
tersadar. 26 Januari. Allena membacanya berulang, tanggal yang tertera di halaman utama
ponselnya. Bahkan sudah ia beri memo peringatan ultah bossq. Namun nyatanya, ia lupa.

Banyak hal menyebalkan bagi Allena yang terjadi di hari spesial Fallen ini. Dimulai
dari adanya drama penagihan utang oleh tetangga kepada neneknya, mendapat hukuman
karena buku tugas tertinggal, hingga kembali berselisih dengan ketua kelas ngeselin. Itu
semua membuat Allena benar-benar lupa akan hari ulang tahun Fallen ini. Hingga ada satu
hal lagi yang Allena lupakan. Kado untuk Fallen. Allena meninggalkan kotak kecil itu di laci
meja nakas di kamarnya, padahal hadiah itu sudah ia siapkan sejak Minggu lalu. Ia merasa
bersalah, karena mungkin menjadi gebetan yang paling tidak tahu diri sepanjang sejarah.

“Anjing!”

Umpatan dari Fallen membuyarkan Allena dari lamunannya. Gadis itu semakin heran
saat Fallen menepikan kendaraan yang mereka tunggangi ke bahu jalan.

“Turun,” ucapan Fallen terdengar ketus saat sepeda motor benar-benar berhenti.

Allena tak mengerti apa yang terjadi, membuatnya seakan dibenci oleh Fallen saat ini.

Fallen berdecak. “Turun, ban motornya kempes,” suaranya terdengar melemah lagi.

Allena turun sesuai dengan keinginan Fallen. Lelaki itu juga turun dari kuda besinya
yang sekarat itu, beralih mendorongnya dengan setengah berlari. Fallen merasa kesulitan
karena bebannya bertambah, sebab terdapat gitar yang digendong di punggungnya. Melihat
Fallen kesulitan, Allena akhirnya mempercepat langkahnya untuk mendekat.

“Sini gitarnya gue bawain,” Allena menawarkan diri.

“Ngga perlu,” Fallen membelokkan motor maticnya ke bengkel tambal ban.

Allena makin merasa bahwa ia tak berguna di sini. Meski begitu, ia tetap berani untuk
duduk di samping Fallen yang terlihat lelah. Lalu dengan sigap, Allena memberikan tumblr
berisi air minumnya kepada Fallen. Setidaknya, ia mencoba kembali melunakkan hati lelaki
di sebelahnya. Fallen menatap Allena tanpa kata, lalu menerima pemberian tumblr gadis itu.

102
Fallen & Allena

Ia meminum isinya hingga tandas, kemudian kembali memberikannya kepada Allena. Allena
merasa lega karena Fallen masih menerima pemberiannya, meski ia sudah tak tahu diri.

“Maaf, ya?” Allena tak berani menatap Fallen, meski lelaki itu akhirnya tersenyum.

Fallen bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan agak jauh dari Allena, mendekati
kuda besinya yang hendak ditangani oleh seorang montir. Beberapa saat kemudian ia kembali
membawa keadaan muka yang semakin ditekuk, membuat Allena sadar akan hal itu.

“Kenapa?”

Fallen mengembuskan napas berat, seakan banyak beban yang dipikulnya, lalu duduk
di tempat semula dan menyandarkan kepalanya ke bahu Allena. “Ban dalamnya harus ganti.”

Allena dibuat berdebar karena mendapat perlakuan sedemikian rupa dari Fallen. Ia
kira, lelaki yang jika marah terlihat mengerikan itu, tengah benar-benar marah kepadanya.

“Kayaknya bakalan lama. Ngga apa-apa kan, kalau nunggu?”

Allena berusaha meminimalisir rasa gugupnya. “Tenang. Kan, gue numpang, Len.”

Fallen tak memberikan jawaban. Membuat keadaan serasa kembali canggung. Atau
lebih tepatnya, Allena sendiri yang merasa canggung. Bukan mengapa, melainkan karena ia
masih merasa tak enak hati atas segala kesalahannya hari ini kepada Fallen, yang seharusnya
merasakan banyak kebahagiaan di hari spesialnya.

Setelah beberapa saat menatapi jalan kesana-kemari, Allena mengangkat kepala


Fallen dari bahunya. “Daripada nunggu lama, jalan-jalan lihat sekitar dulu, yuk?”

Fallen mengikuti arah pandangan mata Allena yang tertuju kepada sepanjang sungai
di seberang jalan. Tanpa diminta satu kali lagi oleh gadis itu, Fallen bangkit dari tempat
duduknya kembali sebagai jawaban iya. Allena ikut bangkit, bahkan ia berlari terlebih dahulu
di depan Fallen. Kemudian ia naik ke pembatas beton sepanjang sungai, berjalan di atasnya
sembari mengatur keseimbangan. Bahkan ia memutar tubuhnya seakan sedang menjadi
penari balet andal yang tengah tampil di atas panggung, membuat Fallen was-was jikalau bisa
saja terjadi peristiwa jatuh ke dalam sungai yang tak terlihat dasarnya itu.

“Kalau kamu jatuh, aku ngga mau nolongin!”

“Yakin? Kalau gue jatuh, dan ngga bisa ditemukan, lo ngga akan kehilangan?” Allena

103
Fallen & Allena

menghentikan langkah, lalu duduk di atas pembatas beton yang dijadikan tempat beraksi.

Fallen terbahak. “Aku mah gampang, bisa nyari teman lagi. Yang susah itu nanti
kamu. Kalau kamu mati, di akhirat nanti ngga akan nemuin teman yang kayak aku!”

“Oh, jadi lo ngedoain gue mati?”

Fallen memegang perutnya, sembari berusaha menahan tawa. “Ngga-ngga, bukan


begitu. Cuma lagi ngingatin, nyawa orang itu cuma satu, bukan sembilan!”

“Ya emangnya gue kucing?”

“Makanya!”

Tawa Fallen membuat Allena kesal. Padahal semula ia merasa tak karuan, karena
lelaki di hadapannya itu berubah dingin layaknya tak saling kenal. Kenyataannya, mood
Fallen justru lebih cepat membaik karena ulah konyolnya. Fallen menyusul Allena duduk di
pembatas beton, lalu menatapi gadis yang kini memiliki rambut sebahu itu.

“Kamu tahu? Ternyata, di dunia ini tuh, ngga ada yang spesial lagi, selain martabak.”

Allena terkekeh. “Martabak yang spesial aja dikacangin, Len.”

“Makanya! Apalagi aku,” Fallen memalingkan muka dari Allena.

Allena tersenyum, kemudian menarik tangan kanan Fallen untuk digenggamnya.


Membuat lelaki itu terperanjat, namun ia masih berusaha untuk stay cool. “Gue sebenarnya
ngga akan tahu kalau Erlan ngga ngasih tahu,” Allena kembali membuka percakapan. “Gue
juga sebenarnya udah siapin kado buat lo. Tapi, karena banyak banget insiden menyebalkan
yang terjadi hari inilah, yang membuat gue malah jadi lupa sama hari spesial lo, Len.”

Fallen menarik tangannya dari genggaman Allena, lalu terbahak. “Sejak kapan kamu
jadi banyak ngomong gini, Allena? Kocak banget, sumpah!”

“Len, sorry. Kado yang udah gue bikin buat lo, ketinggalan di rumah,” Allena
berusaha menarik tangan Fallen kembali, namun lelaki itu terus menghindar.

Fallen berdecak. “Aku ngga butuh kado, aku cuma butuh kamu ingat aja, kok.”

Allena mengatur napasnya, selain karena jantungnya berdegup lebih cepat, tatapan
Fallen yang kembali dingin itu, membuatnya ragu untuk mencurahkan segala isi hatinya.

104
Fallen & Allena

Namun ia kembali mengingat perkataan Mawar pagi tadi, kalau bukan lo yang nembak
duluan, mau sampai kapan kalian saling tunggu gini? Ngga capek apa, friendzone-an terus?

Fallen turun dari pembatas beton untuk berdiri, namun sebelum menyeberangi jalan,
Allena menahan pergelangan tangannya. Fallen kembali berbalik menatap Allena. “Kenapa?”

“Kalau gue bilang sesuatu sebagai ganti kado ulang tahun lo, lo mau dengarin ngga?”
Allena menggigit bibir bawahnya, seraya meminimalisir rasa gugupnya.

Fallen tersenyum tipis. “Kayak aku ngga pernah dengarin kamu ngomong aja?”

Allena juga turun dari pembatas beton, lalu berdiri tak jauh dari Fallen. Beberapa kali
ia menatapi lelaki itu, lalu membuang pandangan ke sembarang arah. Begitu yang terjadi
selama beberapa detik. Hingga Fallen menahan pergerakan Allena dengan cara menarik dagu
gadis itu. “Kenapa?” Fallen mengulang pertanyaannya beberapa detik yang lalu.

“Gue... Gue...”

Fallen menaikkan alisnya, menunggu kalimat yang keluar dari bibir Allena.

“Gue suka sama lo Len,” Allena mengembuskan napas panjang, lalu menunduk. Ia tak
berani menatap lelaki di hadapannya. “Ngga tahu sejak kapan. Dan gue selalu ngga bisa
tenang, kalau ngga bilang-bilang soal ini ke lo.”

Fallen melepaskan cekalannya di dagu Allena, lalu terdiam cukup lama. Ia terkejut
dengan pengakuan gadis di hadapannya. Gadis yang ia kira akan berbeda dari gadis-gadis
lain. Nyatanya sama saja, Allena menjadi cewek ke 79 yang menembak Fallen duluan.

Tanpa mengucapkan kalimat lain, Fallen beralih dari tempat berdirinya.


Menyeberangi jalan dengan berlari, dan kembali ke bengkel tambal ban beberapa meter dari
tempatnya tadi mendapatkan pengakuan mengejutkan. Fallen membayarkan beberapa lembar
uang sepuluh ribuan kepada montir bengkel berbaju lusuh karena noda oli, lalu menuntun
motornya keluar dari bengkel. Ia mengenakan helm dan kembali menaiki kuda besinya, lalu
melirik ke belakang, beberapa meter dari tempatnya. Gadis itu masih berdiri di sana.

“Kamu ngga mau pulang, apa?”

Teriakan Fallen membuyarkan lamunan Allena, membuat gadis itu melangkahkan


kaki beberapa detik kemudian. Setibanya di dekat Fallen, Allena kembali mendapatkan

105
Fallen & Allena

helmnya dan membonceng di belakang seperti biasa. Fallen mulai menjalankan kuda besinya.
Lebih cepat dari biasanya, seperti beberapa menit sebelum insiden ban bocor menimpanya.

Rasanya, Allena ingin menghentikan dan memutar waktu saat sebelum ia


mencurahkan isi hatinya kepada Fallen. Seharusnya Allena tahu, Fallen saja tidak suka
Sandra karena gadis itu memperlihatkan bahwa ia suka ke padanya. Hal yang membuat
Fallen membangun tembok tinggi, supaya tak bisa Sandra naiki. Mengapa Allena juga
melakukan hal memuakkan yang sama? Yang nantinya membuat Fallen juga membangun
tembok tinggi di antara mereka. Seharusnya Allena tak mendengar perkataan Mawar...

+ Fallen & Allena +

16. Telat

Keadaan kelas sepuluh IPS1 nampak bising, karena bu Beti baru saja membagikan
buku ulangan harian mata pelajaran Sejarah Indonesia beserta nilainya. Kebanyakan dari
muridnya itu, tengah sibuk berseliweran menanyakan nilai teman-teman yang lain, kemudian
mereka saling membandingkan. Daripada pusing karena keadaan kelas yang seperti pasar,
guru wanita yang mengandung sekitar lima bulan itu, memilih meninggalkan kelas setelah
memberi tugas tambahan untuk remidi, bagi siswa yang nilainya tidak memenuhi KKM.

Allena sendiri, tak begitu memikirkan nilainya yang sangat pas dengan KKM. Kalau
dibilang tidak rajin, Allena tetap berusaha belajar. Namun, ia tetap pasrah dengan nilai yang
didapatkannya itu, karena ia tak begitu menggemari mata pelajaran ini. Menurutnya,
berlama-lama mengenang masa lalu, sama saja tidak menghargai masa kini yang sedang
dilalui. Ini hanya jokesnya saja, sih, tiap kali harus berdebat dengan Mawar untuk membahas
Perundingan Meja Bundar, maupun tanggal berapa pembentukan BPUPKI di masa lalu itu.

Baru saja terlintas di pikirannya tentang Mawar yang menggemari Sejarah Indonesia,
tiba-tiba Brian masuk ke dalam kelas ini. Lelaki berbadan kekar karena senang berolahraga
yang kini menjadi kekasih Mawar itu, kelihatan cemas dengan napasnya yang tersengal
setibanya di bangku Allena. Brian tak memedulikan tatapan kesal dari teman-teman Allena

106
Fallen & Allena

karena kedatangannya, yang penting, Allena harus tahu tentang keadaan Mawar saat ini.

“Kak, lo kayak habis dikejar setan aja, deh?” Allena memasukkan buku ulangan
harian Sejarah Indonesianya ke dalam tas, lalu memandangi Brian dengan keheranan.

Brian mengelap peluhnya di dahi, lalu menatap Allena dengan seserius mungkin. “Al,
gue butuh bantuan lo! Mawar lagi kesakitan di UKS, gue ngga tahu harus gimana.”

Seakan baru saja mendapat kabar berkabung, ekspresi Allena yang semula santai, kini
akhirnya berubah cemas seperti ekspresi Brian. Dengan secepat kilat, gadis berkaki jenjang
itu berlari membelah koridor demi koridor menuju ke ruang UKS. Beruntung, beberapa menit
setelah itu, bel istirahat berbunyi. Allena jadi tak khawatir untuk meninggalkan kelasnya,
demi untuk menemani sang sepupu gilanya yang keadaannya sedang genting.

Secara tak santai, Allena memasuki ruang UKS. Bahkan, ia membuka tirai demi tirai
yang menyekat ranjang pasien satu dengan yang lainnya. Membuat pasien yang berbaring
menjadi tersentak, merasa kesal dengan perbuatannya. Namun, Allena tak peduli. Karena
Mawar adalah satu-satunya alasan, mengapa ia cemas layaknya habis diterpa musibah.

Di ranjang pasien paling pojok, Allena melihat Mawar berbaring sembari meringkuk
kesakitan. Gadis itu tengah memegangi perutnya, sambil terus mengaduh mengeluarkan kata
umpatan. Allena yang semula cemas, kembali santai dan mengembuskan napas lega
dibuatnya. Bukan mengapa, namun karena ia sudah paham kebiasaan Mawar tiap datang
bulan, kadang membuat heboh satu kampung seakan tak ada yang bisa menolongnya.

Allena memegang dahi Mawar. Hangat, tak demam seperti biasanya pada saat gadis
itu sakit akibat nyeri datang bulannya. “Lo udah makan?”

Mengetahui kedatangan sang sepupu, membuat Mawar menghentikan umpatannya,


dan membalikkan badannya menghadap pintu UKS. “Belum,” lalu ia menggeleng perlahan.

Allena mengembuskan napasnya berat, kebiasaan. Padahal, sudah diingatkan olehnya,


meski nyeri datang bulan membuatnya tak bernafsu makan, tetap tak boleh melewatkan
makan apalagi sarapan. Allena mengeluarkan uang sepuluh ribuan dari saku roknya, lalu
memberikannya kepada Brian. Brian yang diberi uang oleh Allena menjadi kebingungan.

“Beliin Mawar makan, Kak. Kalau lagi sakit dismenore kayak gini, dia ngga boleh
telat makan,” Allena masih menyodorkan uangnya kepada Brian.

107
Fallen & Allena

“Ngga usah, biar pakai duit gue aja,” Brian menolaknya. “Mau makan apa?”

“Aku ngga nafsu,” keluh Mawar sebelum ia kembali membelakangi Allena dan Brian.

Allena tetap memberi kode kepada Brian, supaya lelaki itu tetap pergi membelikan
kekasihnya itu makan. Brian juga sempat memberi isyarat untuk menanyakan, ia harus
membelikan makanan apa untuk Mawar. Sedangkan Allena menjawabnya pelan. Mawar
sangat suka ayam penyet super pedas tiap datang bulan. Meski semula Brian menolaknya,
takut apabila makanan itu justru merusak pencernaan Mawar, namun Allena segera
menyangkalnya, karena gadis yang berbaring itu, bisa dibilang maniak makanan pedas.

Selepas kepergian Brian, Allena memutuskan untuk duduk di ambang ranjang, dan
memijit kaki kanan Mawar. “Lo belum cerita ke Brian ya, soal kebiasaan lo ini?”

Mawar terlihat menggeleng.

“Gue heran, kenapa sih, lo selalu kesakitan tiap datang bulan?” Allena terkekeh pelan.

Cibiran Allena membuat Mawar membalikkan badannya lagi menghadap padanya.


Persekian detik gadis itu menoyor kepala Allena. “Anjing, lo! Seharusnya, gue yang heran,
kenapa lo ngga pernah sakit, tiap datang bulan! Jangan-jangan, jiwa lo ini setengah laki-laki.”

Membahas masalah kewanitaan ini, membuat Allena melonjak. Rasa-rasanya, ia


melewatkan rutinitas bulanannya di bulan ini. Seharusnya, Minggu lalu, ia sudah biasa datang
bulan, tepatnya di sekitar akhir bulan. Namun, ia melewatkan hal itu.

“Kenapa, lo? Seketika kayak orang kesurupan gitu,” giliran Mawar yang mencibir,
saat melihat keadaan sepupunya langsung pucat pasi.

“War...” suara Allena yang semula kencang, tiba-tiba berubah pelan. “Gue telat.”

“APA?!”

Allena segera membekap mulut sepupunya, karena teriakannya membuat pasien dan
juga penunggu pasien di ranjang lain jadi terganggu saat mendengarnya.

***

“Pokoknya, gue minta pertanggungjawaban ke Fallen!” Mawar memberikan segelas susu


untuk Allena. Susu itu, bukan susu kental manis, melainkan susu ibu hamil. “Bisa-bisanya,

108
Fallen & Allena

habis nidurin lo, terus lo jujur soal perasaan lo ke dia, dia malah jadi ngejauhin lo gini. Dia
itu, tampangnya aja yang sok kalem. Aslinya bejat!” Mawar terus mengomel hingga
mengerucutkan bibirnya. Omelannya ini, semata-mata tentu untuk membela sepupu
kesayangannya, yang tengah tergolek lemas di atas ranjangnya selama tiga hari belakangan.

Dua Minggu setelah berkeluh kesah kepada Mawar bahwa ia telat datang bulan,
Allena terus bersabar menanti rutinitas bulanannya sebagai kaum hawa. Namun, hal itu tak
kunjung mendatanginya sampai detik ini. Allena menyangkal Mawar, bahwa Fallen hanya
sempat tidur bersama dengannya di kamar ini, satu setengah bulan yang lalu, saat dirinya
benar-benar kacau oleh masalah yang dihadapinya. Hanya itu yang dilakukan Fallen dan
Allena. Atau bahkan, mungkin, hanya kejadian itu yang Allena ingat?

Bisa saja, Fallen melakukan tindakan bejatnya itu, saat Allena begitu pulas dalam
tidurnya? Bisa saja, Fallen memberinya obat bius, supaya Allena benar-benar lupa dan
seakan tak merasakan apa-apa? Mawar terus memikirkan hal itu seminggu belakangan.
Bahkan, ia tak tega, saat melihat Allena yang biasa hiperaktif dalam kesehariannya, menjadi
banyak diam dan menarik diri dari keramaian. Tiap berangkat ke sekolah, ia lebih memilih
untuk naik ojek online, dan saat pulang sekolah, terkadang ia ikut nebeng Abi. Selain karena
Allena sudah jarang melihat Fallen, ia juga tak mau mencari keberadaan lelaki itu, setelah
kecanggungan yang terjadi di antara keduanya, karena Allena mencurahkan perasaannya.

Tanda-tanda Allena yang seperti orang hamil muda, membuat asumsi Mawar semakin
kuat. Kurang nafsu makan, badan lemas, gampang capek, mual-mual, sampai Allena jatuh
sakit tiga hari belakangan. Allena benar-benar hamil. Pikiran Mawar kemana-mana. Ia tak
tahu, bagaimana caranya menyembunyikan masalah ini dari sang mama, kakek dan nenek,
atau teman di sekolahan dan juga Fallen sang pelaku tentunya. Karena Allena tak mau Fallen
tahu akan hal ini. Meski dalam hati, Mawar sangat ingin datang memberi Fallen pelajaran.

Allena yang tak mau makan selama beberapa hari belakangan, membuat Mawar
pasrah. Tak ada hal lain selain ia memberi Allena asupan energi dari susu ibu hamil.
Persediaan susu ibu hamil itu, Mawar beli kemarin sore secara diam-diam di belakang sang
mama. Saat dirinya ditanyai oleh kasir minimarket pun, ia beralibi bahwa sedang disuruh
oleh mama untuk beli susu ibu hamil tersebut. Tentunya dengan tetap menatap kesana-
kemari, seraya berjaga-jaga apabila ada orang yang dikenalinya memergoki ulahnya ini.

“Udah, ah. Gue ngga doyan susunya, War. Rasanya aneh,” Allena memberikan gelas

109
Fallen & Allena

besar itu kepada Mawar, tadi ia hanya meminum beberapa mili saja.

Allena tak habis pikir, mengapa Mawar bersikeras memberinya susu hamil. Kemarin
sore, tadi pagi, tadi siang, bahkan malam ini pun, Mawar sengaja diantarkan Brian ke rumah
kakek dan neneknya ini, demi mengingatkan dan membuatkan susu ibu hamil ini untuknya.

“Lo ngga jadi beliin gue testpack juga?”

Mawar berdecak. “Gila lo, ya! Ya kali, gue beli testpack sama susu ibu hamil sambil
ditemani Brian? Dikiranya, nanti gue yang habis mantap-mantap, lagi, sama dia!”

Allena menggelengkan kepala. Ada benarnya juga ucapan Mawar. Kalau gadis itu jadi
membelikannya alat tes kehamilan, bisa-bisa ada kehebohan. Gadis yang biasa dikira lebih
muda dari umurnya itu, akan menarik asumsi orang yang melihatnya. Terlebih lagi, pegawai
apotek dan minimarket sekitar sini, kebanyakan adalah kenalan sang mama. Bisa-bisa, saat
pulang, Mawar dihabisi tanpa ampun oleh mamanya, atau bahkan diusir begitu saja.

“Apa gue gugurin aja, ya?” Allena pasrah. Tak ada cara lain untuk menjaga aibnya
dan aib keluarganya ini. Ia tak mau jika perutnya membesar nanti, mengundang pertanyaan
teman atau guru di sekolah. Hingga ia dikeluarkan karena melanggar peraturan yang ada.

Mawar berdecak. “Lo boleh mengeluh, lo boleh ngerasa dunia itu ngga adil. Tapi, lo
jangan jadi pembunuh, Al. Bahkan, anak yang ada di perut lo itu, ngga berdosa sedikit pun.”

Allena membuang pandangannya ke arah lain setelah menatap Mawar. “Dunia emang
ngga adil, War. Tapi, cuma sama gue doang. Lama-lama, gue capek.”

Tak ada yang Mawar bantah lagi setelah itu, karena ia memutuskan untuk berganti
pakaian. Malam ini ia menginap, selain karena besok akhir pekan, Mawar juga ingin
menemani Allena yang kelihatan sedang membutuhkan teman. Tak lama setelah itu, Mawar
mengajak Allena untuk beristirahat, melupakan sejenak masalah besar yang menimpa ke
kehidupan mereka, dan berharap semoga hari esok semua masalah akan lenyap seketika.

+ Fallen & Allena +

110
Fallen & Allena

17. Murid Baru

Hal menggemparkan terjadi selepas pelajaran pertama. Pasalnya, wali kelas Allena
dan kepala sekolah memasuki kelas, mendampingi sosok asing di antara murid lain. Sosok itu
menyita perhatian. Nampaknya, ia akan menjadi penghuni baru di kelas ini. Bisik-bisik murid
kian terdengar, tak melupakan sering terselip kata-kata pujian di antara mereka.

Lumayan ganteng. Badannya berisi, tapi lucu. Senyumnya manis. Orangnya ramah.

Begitu yang Allena dengar. Dan gadis ini tak peduli. Yang ia mau, semoga hari ini
cepatlah berlalu. Selain tak tertarik dengan kedatangan anak baru itu, lebih dari sebulan
lamanya, semangatnya untuk berangkat ke sekolah juga menghilang. Tak harus lagi
dijelaskan siapa penyebabnya, tentu saja karena Fallen yang menjauhinya secara terang-
terangan, setelah ia mencurahkan perasaannya kepada lelaki itu. Serta, jangan melupakan
sebuah nyawa lain yang mungkin tengah hidup di dalam dirinya.

Allena kembali sekolah seperti biasa, dan berusaha terlihat baik-baik saja dengan
keadaannya. Pribadi yang suka menentang, tak suka diganggu orang lain, kembali tercipta
seiring tak ada lagi keberadaan orang yang sering melindunginya. Selama Fallen selalu
membantunya keluar dari masalah, melindunginya dari bahaya mengancam, Allena merasa
bahwa dirinya seakan menjadi sosok cengeng dan lebih penakut dari sebelumnya. Terbukti
dari adanya masalah penyekapan oleh Sandra kala itu. Mungkin, saat tak ada Fallen di

111
Fallen & Allena

hidupnya, ia bisa saja berontak dan datang ke Sandra untuk membalaskan dendamnya.

Namun, karena kondisinya Fallen selalu melindunginya, Allena menjadi takut dan
merasa bahwa pahlawannya pasti akan datang menyelamatkannya dari jeratan Sandra. Dan
saat memiliki pikiran untuk balas dendam pun, rasanya Allena tak mau menjadi pribadi yang
sekejam itu ke pada orang lain. Karena bisa saja, Fallen tak mau lagi menjadi temannya.
Hingga kenyataannya, beberapa bulan belakangan, dua sosok itu menjadi tak pernah
membuat keributan. Allena yang suka memberontak, lebih memilih santai menjalani
hidupnya. Sedangkan Fallen yang biasa usil, lebih memilih vakum dari pekerjaan tengilnya.

“Kenalin, gue Leonard Abimanyu. Panggil aja Leo. Asal jangan ditambahin keripik
kentang. Sebelum pindah ke sini, gue tinggal di Singapura bareng bokap. Alasan pindah ke
sini, gue bosan dengan keadaan monoton di sekolah gue yang sebelumnya.”

Hiruk pikuk terdengar selepas anak baru bernama Leo itu mengenalkan diri. Banyak
yang berharap menjadi teman semejanya, namun akhirnya, kenyataan pahit diterima para
siswi. Pasalnya, wali kelas mengarahkan Leo untuk duduk di bangku kosong sebelah Allena.
Sorakan kembali terdengar, dibarengi cibiran pedas yang gadis itu dapatkan. Membuat Leo
keheranan saat berjalan menuju ke tempat duduknya. Bersekolah di sini, tak berbeda dengan
sekolah lamanya. Di mana sering terjadi pembunuhan karakter semacam pem-bullyan verbal
barusan. Meski ada keadaan yang berbeda. Yaitu korban bully mengabaikan semua perkataan
pedas yang ditujukan padanya. Hal ini membuat Leo tersenyum tipis dan penasaran.

Suasana kelas stabil kembali, tatkala guru pengampu Bahasa Indonesia, mata
pelajaran kesukaan Allena, datang membawa tumpukan buku tugas, sedangkan Leo juga
sudah duduk di bangku kosong sebelah Allena. Di sela pelajaran dari guru wanita berparas
rupawan itu, Leo curi-curi pandang ke Allena yang ada di sebelah kanannya. Gadis berambut
sebahu, dengan tatapan tajam dan bibir manyun itu, tak tertarik pada anak baru di sebelahnya.

Leo geram, pasalnya, ia tak pernah mendapat perlakuan diabaikan oleh perempuan
begini sebelumnya. Hingga mau tak mau, akhirnya Leo membuka pembicaraan di antara
mereka terlebih dahulu. “Lo ngga ada niatan apa, buat menyapa anak baru?” Leo berbisik
dengan cara mendekatkan dirinya ke Allena. Ia mendapat balasan tatapan Allena yang tajam
sambil mengerutkan kening. Sepertinya gadis itu tak berniat membalas ucapan Leo.

Leo akhirnya membuang pandangannya sejenak sambil menggerutu dalam hati.


Ternyata, ia kembali diabaikan oleh gadis tomboi di sebelahnya. Namun niatnya untuk

112
Fallen & Allena

berkenalan dan meluluhkan gadis ini, tak berhenti sampai di situ. Leo kembali menatap
Allena dan tersenyum, sembari memperlihatkan deretan gigi rapinya. “Lo pasti punya jabatan
penting di kelas. Bantu gue mengenal dan keliling sekolah lebih jauh lagi, ya?”

Ucapan lelaki itu selanjutnya, berhasil membuat Allena kembali menatap sinis.
“Bahkan, yang lo ngga tahu, gue ngga dianggap ada di kelas ini.”

Leo senang, gadis yang menjadi teman pertamanya di sekolahan ini, akhirnya mau
membuka mulutnya untuk berbicara. Namun ia juga tersentak di waktu yang sama. Dugaan
Leo bahwa gadis dengan badge nama Allena Maheswari di seragamnya itu sering di-bully,
mungkin memanglah benar-benar terjadi kenyataannya.

“Dan apa urusan gue, bantuin lo kenal sekolahan lebih jauh? Gue bukan cucunya
kepsek!” Allena meraih buku cetak di dalam tasnya, tanpa berniat menatap lawan bicaranya.

Ucapan dari Allena yang terakhir membuat Leo akhirnya mengalah untuk terdiam.
Mungkin terlalu cepat untuk mendekati gadis tomboi yang terbilang dingin semacam Allena,
apalagi posisinya dia sebagai anak baru di sekolahan ini. Leo juga harus berjaga-jaga, karena
bisa saja Allena adalah penguasa sekolah, bersama geng sepermainannya yang terbilang
berbahaya. Bisa-bisa, ia ditahan saat pulang sekolah karena mengganggu Allena.

***

Kenyataan bahwa Leo adalah tipikal orang yang pantang menyerah, apalagi dalam hal ingin
mengenal Allena lebih jauh dari ini, terlihat nyata saat bel istirahat berbunyi. Leo mengikuti
ke manapun Allena melangkah, termasuk menuju ke kantin seperti saat ini. Dimulai dari
Allena memilih menu makanan pesanannya, Allena menyambar minuman kaleng bersoda di
lemari pendingin, hingga Allena memilih tempat untuk didudukinya, Leo terus-terusan berada
tak jauh darinya. Meski tak ada percakapan yang terdengar intens di antara mereka.

Allena bisa bernapas lega, saat rasa canggungnya karena diikuti oleh Leo, berakhir
dengan adanya kedatangan Mawar bersama Cindy ke mejanya. Dua gadis itu tengah saling
menikmati es krim coklat dalam genggaman masing-masing. Tak lama, pesanan bakso Allena
yang ditiru oleh Leo akhirnya datang beserta dua gelas es teh manis. Sedangkan Mawar dan
Cindy harus lebih lama menunggu, karena mereka baru datang untuk memesan makanan.

“Dia siapa, Al? Kayaknya, gue baru lihat dia,” Mawar yang sedari tadi mengamati
Leo yang tengah menyantap makanannya, akhirnya gemas sendiri karena merasa penasaran.

113
Fallen & Allena

Ia berbisik mendekati Allena, berharap lelaki asing itu tak mendengar pertanyaannya.

Nahas, kenyataannya, Leo memiliki pendengaran baik. Meskipun Mawar berbisik, ia


dapat mendengar dengan jelas pertanyaan seputar dirinya itu, lalu menghentikan aktivitas
makannya sejenak. Ditatapnya Mawar dengan lembut, lalu tersenyum. “Hai, kenalin, gue
Leo. murid baru di kelas Allena. Kebetulan, gue jadi teman semejanya dia sekarang.”

Mawar meraih uluran tangan Leo untuk bersalaman, tak lupa pula ia membalas
senyuman Leo dengan senyuman penuh keraguan. “Gue Mawar, sepupunya Allena.”

“Gue Cindy!” karena tak mau diabaikan, Cindy segera merebut tangan Leo yang
masih bersalaman dengan Mawar. “Gue teman sekelasnya Mawar,” lanjutnya.

Leo nampak tersenyum lagi memperlihatkan deretan gigi rapinya. “Salam kenal, ya.
Kalian itu, teman pertama gue di sekolahan ini.”

“Wah, gue jadi terharu dan senang mendengarnya,” Cindy memegang kedua pipi
bulatnya, sembari terus menatapi Leo kagum. Hingga perbincangan selanjutnya, hanya Cindy
yang mendominasi untuk menjawab segala pertanyaan dari si anak baru. Kelihatannya, gadis
berbadan gempal itu, tengah mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Leo.

Di sisa-sisa waktu istirahat pertama, Allena segera beranjak dari tempat duduknya
sembari menarik lengan Mawar. Tentu saja dengan tujuan utamanya menghindar dari Leo
yang terus-terusan mengikutinya. Lelaki itu juga sempat ingin mengikuti Allena lagi, namun
dengan lantang, Mawar membela bahwa mereka hendak pergi ke toilet. Akan terlihat kurang
etis, apabila seorang anak laki-laki mengikuti anak perempuan yang hendak pergi ke toilet.
Akhirnya, dengan alasan itu, Leo pergi meninggalkan kantin terlebih dahulu. Dengan
kenyataan yang lebih membuat Allena lega adalah, Cindy pergi bersama lelaki itu, karena
katanya mau menjadi tour guide mengelilingi sekolah. Allena dan Mawar menjadi
mengetahui maksud dan tujuan lain dari Cindy. Tentu saja untuk modus mendekati Leo.

Allena menatap Cindy dan Leo yang semakin jauh dari radius pandangannya, lalu ia
bernapas lega. “Gue ngga nyaman, War. Cowok ngga jelas itu, ngikutin gue terus dari tadi.”

Mawar manggut-manggut mengerti. “Dia juga kelihatan aneh banget deh, Al.”

“Makanya, gue malas ngerespon dia. Untung, ada Cindy, kalau ngga, gue masih
diikuti terus sama Leo keripik kentang itu!” Allena menggerutu kesal.

114
Fallen & Allena

Mawar menghabiskan es jeruknya, dan menatap Allena lagi. “Baru dijauhin Fallen,
udah menclok aja, yang bening. Hidup lo mulus banget kayak jalan tol, Al. Gue iri, deh!”

Allena menoyor kepala Mawar. “Lo kira, dengan cara membawa perut yang makin
hari akan makin membesar ke sekolahan itu, pantas dikatakan hidup semulus jalan tol?”

Mawar tersenyum kecut. Ia mengakui kesalahannya mengatakan hal tadi, karena


ternyata begitu menyinggung perasaan Allena, hingga membuat gadis itu akhirnya benar-
benar melangkah meninggalkan kantin selepas membayar tagihan makanannya.

***

Keadaan Cindy yang terlihat terang-terangan mengejar Leo untuk mendapatkan hatinya,
nyatanya tak membuat lelaki itu berhenti untuk mendekati Allena. Layaknya cerita cinta
segitiga, ketiganya saling berkaitan satu sama lain saat disatukan dalam sebuah situasi. Allena
yang terus-terusan diajak Leo untuk ke kantin bareng, namun saat keluar dari kelas, Cindy
sudah bertengger menantinya. Leo yang modus ingin mengajak Allena pulang berdua, tiba-
tiba Cindy menyambar duduk di jok belakang motornya. Hingga Allena selalu diberi bekal
makanan oleh Leo, hasil pemberian Cindy setiap harinya. Hal ini terus terjadi berulang kali,
hingga tak terasa, mereka telah melewatinya selama dua Minggu lamanya.

Tak terasa pula, perhitungan kandungan Allena sudah berumur lebih dari dua bulan.
Namun ada yang aneh. Allena tak lagi lemas, mual-mual, atau susah makan. Justru, Allena
kembali menjadi sosok yang hiperaktif, dan sangat doyan makan. Hal ini membuat Mawar
kembali berasumsi, bahwa ini adalah efek dari susu ibu hamil yang ia buatkan untuk Allena.

Allena berdecak. Pasalnya, ia mendapati sebuah roti isi cokelat berukuran besar di laci
mejanya. Ia menatap kesana-kemari, lalu berakhir di bangku kosong sebelahnya. Terdapat tas
selempang milik Leo, namun lelaki itu tak terlihat batang hidungnya. Tak diragukan lagi,
bahwa Leo adalah pelaku yang menyimpan roti isi cokelat itu di dalam laci mejanya.

“Bi!” Allena berseru saat mendapati Abi mengangguk-anggukkan kepala sembari


bergaya ala drumer andal di seberang bangkunya. “Ada roti, nih. Lo mau?”

Abi menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu melepaskan earphone di telinganya.


“Mau!” lalu ia bangkit dari tempat duduknya, berlari menuju bangku Allena. Ia menerima roti
pemberian Allena tersebut, lalu segera membuka bungkusnya, dan memakan isinya. Tak lama
lelaki itu terlihat serius memijiti layar ponselnya, seakan bertukar pesan dengan seseorang.

115
Fallen & Allena

Allena bernapas lega karena ia tak lagi membuang makanan pemberian Leo, sebab
kali ini bisa ia hibahkan kepada Abi. Hingga perasaan leganya berakhir seiring kedatangan
Leo ke dalam kelas, dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Allena mengira bahwa Leo
kecewa, karena pemberian darinya itu, harus diberikan kembali kepada orang lain. Namun
paling tidak, ini bisa membuat Leo juga merasakan, apa yang dirasakan oleh Cindy, selepas
memberi sesuatu ke padanya, namun dengan enteng, ia memberikannya kepada orang lain.

“Le, tolong jangan kasih gue lagi segala hal yang dikasih Cindy ke lo. Kalau lo ngga
suka gue selalu kasihin itu ke orang lain, lo juga harus stop kasihin itu ke gue,” sebelum Leo
memberinya sumpah serapah, Allena akhirnya berbicara terlebih dahulu.

Leo berjalan menuju ke bangkunya dengan keheranan. “Maksud lo apa?”

Allena yang semula membenamkan wajahnya di atas tangannya yang dilipat di meja,
menjadi kembali mendongak menatapinya. “Lo kan, yang nyimpan roti ke laci meja gue?”

Leo mengerutkan kening keheranan. “Gue ngga ngerasa nyimpan roti di laci lo.”

“Terus? Kalau bukan lo, siapa lagi?”

“Cindy ngga pernah kasih apa-apa lagi. Jadi, bukan gue yang kasih lo roti,” Leo
berusaha tenang untuk meluruskan masalah ini. Pasalnya, ia sudah meminta Cindy berhenti
memberi, karena selain tak mau berutang budi, Leo juga tidak mau merepotkannya lagi.

Allena terdiam sejenak mendengar penjelasan Leo. Akhirnya, bel masuk berbunyi,
tanda pelajaran pertama dimulai. Hingga bel pulang sekolah, tak ada perbincangan di antara
mereka. Bahkan, saat harus berbagi buku paket, Leo seenak hatinya merebut buku tersebut
untuk disimpannya di tengah meja. Sepulang sekolah pun, saat biasanya mengajak Allena
pulang bersama, Leo justru mendatangi kelas Cindy untuk mengajaknya pulang bersama.

Sebelum Allena meninggalkan koridor kelasnya yang sepi, Mawar berlari ke arahnya,
lalu menyampaikan suatu hal penting. “Pokoknya, gue minta Fallen tanggung jawab, sebelum
dia tahu masalah ini dari orang lain, Al. Bakal susah nantinya, bisa-bisa, dia lari dari
kenyataan, dan menganggap kalau bukan sama dia, lo melakukan ini.”

Allena menatap kesana-kemari sembari memastikan pembicaraan mereka tak


didengar oleh orang lain. “Gue pokoknya ngga mau, War. Biar gue aja yang jalanin sendiri.”

“Jalanin apa? Jalanin takdir yang menurut lo ini ngga adil?” sergap Mawar seketika.

116
Fallen & Allena

“Bukan takdir yang memposisikan lo dalam tidak keadilan, tapi justru lo sendiri yang
membuatnya ngga adil. Lo ngga mau berbagi masalah ini ke orang lain, Al.”

“Ya, emang, kenapa sih, kalau gue pengen ngebesarin anak ini sendirian?” Allena tak
mau kalah membela dirinya, dengan prinsip yang ia ciptakan sendiri.

“Anak?”

Allena dan Mawar tersentak, dan mengalihkan pandangan mata mereka ke arah
sumber suara seketika. Keduanya belingsat, selain malu karena rahasia ini menjadi
terbongkar, mereka juga amat menyayangkan siapa orangnya yang mengetahui akan rahasia
besar ini. Si murid baru itu kembali, dengan ekspresi wajahnya yang penasaran.

“Anak siapa?” Leo mengulang pertanyaannya lagi.

“Ini salah lo!” Allena beralih menatap Mawar dengan tajam. “Gue kan udah bilang,
jangan bahas masalah ini di sekolahan. Apa jadinya sekarang? Lo mau tanggung jawab, War?
Mau taruh dimana muka gue, War?”

Mawar membasuh wajah menggunakan kedua telapak tangannya. Hal yang ia


takutkan selama ini, akhirnya terbongkar begitu mudahnya. Namun, yang menjadi
pertanyaan, apakah anak baru itu bisa menyimpan rahasia ini dari orang lain?

“Siapa yang hamil?” Leo semakin penasaran, karena kedua gadis itu tak kunjung
menjawab pertanyaan berulang darinya.

Sekian lama terdiam, akhirnya Allena mengembuskan napasnya pasrah. “Gue.”

“What?” Leo terbelalak bukan main, lalu ia melangkah mendekati Allena. “Kenapa
bisa? Lo ngga pakai pengaman waktu main? Astaga, terus, di mana ayahnya?”

Allena dan Mawar saling mengerutkan kening karena keheranan. Mereka mengira
bahwa setelah mengetahui hal ini, Leo akan memberi mereka tatapan iba ataupun masukan
supaya bisa keluar dari masalah ini. Namun, yang ada, lelaki itu justru menanyakan hal tak
penting semacam pengaman begitu. Atau mungkin, kenyataan hidup yang Allena terima ini,
termasuk hal wajar yang terjadi dalam pergaulan Leo selama hidup di negara tetangga.

+ Fallen & Allena +

117
Fallen & Allena

18. Bandar Narkoba

Hari itu, hari dimana Leo mengetahui rahasia besar Allena dan Mawar, berakhir pada
sebuah pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Siapa ayahnya? Sampai detik ini, Leo terus
menghantui Allena dan Mawar, untuk mengetahui fakta ini. Di kantin sekolah, mereka bertiga
merundingkannya dengan hati-hati. Yang jadi pertanyaan lain, di manakah Cindy? Sebagai
perbincangan di awal, Mawar menjelaskan bahwa gadis itu sakit, entah karena hal apa. Itu
sebabnya, Allena merasa lega karena Cindy jadi tak mengetahui topik perundingan urgent ini.

“Pokoknya, sebelum minta dia tanggung jawab, kami ngga akan jawab pertanyaan lo,
Le,” Mawar melanjutkan perundingan setelah membahas Cindy yang tiba-tiba jatuh sakit.

Leo berdecak. “Kenapa, sih? Takut banget ya, kalau seandainya setelah gue tahu
nanti, gue bakalan sebarin masalah ini? Ya ngga, lah! Gue bukan cepu, kali, War!”

“Bagaimanapun juga, ini menyangkut privasi Allena dan cowok itu. Kalau Allena
ngga mau jelasin siapa orangnya, lo sebagai orang awam bisa apa?” Mawar menatap Allena
yang tak bersemangat menikmati nasi gorengnya. “Tapi, kalau hal ini menjadi alasan lo
membeberkan kehamilan Allena, rasanya, lo menjilat ludah sendiri yang baru saja lo cerca.”

Leo menyandarkan tubuhnya ke tembok, lalu menghela napas dalam, dan


diembuskannya perlahan. “Atau kalian begini, karena kalian itu takut, semisal semua orang
nanti tahu, pelaku itu juga ngga mau bertanggung jawab?”

“Gue tetap bisa lewatin ini kok, meski nantinya dia ngga mau tanggung jawab,”
Allena meletakkan sendoknya ke atas piring dengan kencang, dan beralih menatap Leo tajam.

118
Fallen & Allena

“Sebentar,” Mawar menghentikan perdebatan. Selain tidak mau suasananya semakin


memanas, ia juga melihat sosok yang selama ini seakan menghilang dari hidup Allena, datang
kembali ke kantin bersama teman satu gengnya. “Gue mau ngomong sama pacar gue dulu.”

Fallen terlihat menyapa orang-orang yang dikenalinya yang dilewatinya, lalu segera
memilih tempat duduk bersama tiga sahabat karibnya. Satu di antara mereka memilih untuk
memasuki salah satu kantin untuk memesan makanan, sedangkan tak lama setelah itu, Fallen
terlihat mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Ia tempelkan rokok itu di bibir tipis
merah jambunya, lalu menghidupkan korek untuk ditempelkan ke ujung batang penenang itu.
Hal seperti ini seakan memang sudah wajar terjadi, namun entah mengapa, Mawar baru
melihatnya—tingkah laku buruk yang mungkin selama ini Fallen tutup-tutupi.

Mawar bangkit dari tempat duduknya. Ia mengedipkan matanya ke Allena sebagai


tanda kongkalikong menyimpan rahasia, lalu melangkah ke meja Fallen beserta satu gengnya.

Kepergian Mawar membuat Allena hanya bisa bungkam, sedangkan Leo kembali
dibuatnya penasaran. Ia baru tahu, bahwa lelaki jangkung yang tengah merokok secara
terang-terangan di kantin sekolah itu, adalah kekasih Mawar. Sedangkan kedatangan Mawar
di meja geng Tengkorak, membuat ke empatnya keheranan. Terlebih lagi, saat gadis pendek
berambut panjang itu meraih pergelangan tangan Fallen untuk dicekalnya.

“Gue mau ngomong penting,” ujar Mawar ketus.

“Kan bisa ngomong di sini?” Fallen mengembuskan asap rokoknya ke wajah Mawar.

Mawar menjadi terbatuk-batuk dibuatnya, oleh sebab itu, ia meraih batang


memuakkan itu dari tangan Fallen, lalu dibuang dan ia injak mengenakan sepatunya. “Lo
tahu, kan? Kalau di sekolah itu, ngga boleh ngerokok? Lo boleh aja, melanggar peraturan ini.
Tapi tolong, jangan bikin orang lain menderita karena rokok bejat lo itu!”

“Eh, lo kenapa, sih?” Fallen mengerutkan keningnya makin heran. Ia tak mengerti,
mengapa gadis itu tiba-tiba datang mengomel, dan ingin mengajaknya pergi dari sini. Namun,
daripada terjadi keributan, akhirnya ia mengalah untuk mengikuti kemana Mawar pergi.

Kejadian Mawar merebut rokok Fallen dan membuangnya begitu saja tadi, sempat
disaksikan oleh beberapa pasang mata, disertai dengan rasa penasaran yang tinggi dari
mereka. Selepas dua bulan lebih terlihat jauh dengan adik kelas yang selalu dibelanya, Fallen
justru terlihat dekat dengan sepupu dari gadis sebelumnya. Asumsi ini bisa saja langsung

119
Fallen & Allena

menyebar ke penjuru sekolahan, apalagi, Mawar terlihat begitu intens saat mencekal
pergelangan Fallen dan mengajak lelaki itu pergi menuju sebuah koridor yang sepi.

Setibanya di sana, Mawar terdiam, Fallen juga terdiam, karena ia tak tahu-menahu,
apa alasannya gadis itu membawanya kemari. Fallen menunggu dengan sabar, meski ia tahu,
Mawar sedang mengulur waktu, dan masih mempertimbangkan hal yang akan dibahasnya.
Dan mungkin saja, hal yang hendak dibahas Mawar ini, ada sangkut-pautnya dengan Allena.

“Lo itu, kenapa ngga tahu diri banget, sih?”

“Maksud lo apa?” Fallen kembali mengerutkan kening-menatap Mawar heran.

Mawar membasuh wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu mengembuskan


napas berat, karena bimbang untuk menimang apakah hal ini akan ia sampaikan ke Fallen.

“Kenapa? Ini ada sangkut-pautnya, sama Allena?” Fallen kembali bertanya.

“Ya!” Mawar berdecak, “dan Allena hamil karena perbuatan lo.”

Seakan diterpa badai di siang bolong, setelah mendengar alasan Mawar mengajaknya
berbicara di tempat sepi ini, rasanya Fallen langsung berhenti bernapas. Tidak mungkin, ini
mustahil. Pikirnya. Namun, Mawar sudah mengatakan hal itu, mana mungkin bisa dikatakan
bohongan? Tetapi, Fallen berani bersumpah. Kalau kabar Allena hamil benar adanya, tentu
saja bukan dia pelakunya. Karena Fallen merasa, malam itu, mereka hanya tidur bersama.

***

“Gue udah di warung depan sekolah lo, nih,” suara berat berasal dari ponsel Fallen,
membuat lelaki itu bergegas untuk melajukan motornya meninggalkan parkiran sekolahan.

Keadaan sekolah nampak sepi, karena Minggu depan tepatnya dua hari yang akan
datang, diadakan ujian tengah semester genap. Para guru sibuk menyiapkan lembar soal dan
jawaban masing-masing mata pelajaran, kelas untuk ujian, dan juga kartu ujian untuk para
muridnya sejak dua hari belakangan. Itulah yang menyebabkan keadaan sekolah nampak
lebih sepi dari hari biasanya. Sedangkan Fallen sendiri, kedatangannya ke sekolah, tentu saja
karena ia baru membayarkan uang sekolahnya, sebagai syarat pengambilan kartu ujian.

Selepas menyelesaikan urusannya, semula, ia hendak menuju kontrakan Beni.


Namun, telepon dari orang bersuara berat di seberang jalan, membuat Fallen menghentikan

120
Fallen & Allena

langkahnya. Saat jalanan sepi dari dua arah berlawanan, Fallen memutuskan menyeberang,
untuk menemui orang berbadan besar yang mengenakan baju serba hitam itu.

“Berapa, nih, Bang?” Fallen meraih sebuah barang yang diberikan oleh bang Aji—
salah satu preman kenalannya itu, secara hati-hati dan terus mengawasi kesana-kemari,
berjaga-jaga apabila ada orang yang mengawasi mereka berdua.

“Biasa, Len.”

Fallen memasukkan barang itu ke dalam saku celananya, lalu mengeluarkan uang
seratus ribuan dari dompetnya, lalu diberikannya kepada bang Aji. “Makasih, Bang.”

“Iya, Len. Sering-sering aja, ya?” bang Aji meninggalkan Fallen menunggangi motor
butut berkenalpot bising, setelah menerima uang bernominal seratus ribu rupiah itu.

Selepas kepergian mang Aji, Fallen tak langsung meninggalkan warung depan
sekolahan. Melainkan, ia memarkirkan motornya sejenak, dan memasuki warung tersebut
untuk membeli air mineral. Setelah membayarnya, Fallen mengeluarkan sebuah obat dari
saku celananya, lalu meminumnya ditemani air mineral yang baru saja ia beli. Lalu Fallen
kembali ke atas motor maticnya, dengan terus memastikan bahwa keadaan sekitar tetap aman.

Tanpa disadari ada sosok lelaki yang tadi merekam menggunakan ponselnya, kejadian
Fallen bertransaksi sebuah barang dengan mang Aji, hingga kejadian Fallen meminum sebuah
obat. Selepas Fallen pergi, lelaki ini menyeringai penuh kemenangan. Kabar burung
keburukan Fallen ini, bisa ia sebar dengan mudahnya ke seluruh antero sekolahan. Reputasi
Fallen sebagai ketua ekskul musik yang selalu menjadi idola, akan terancam seketika.

***

Kabar burung perihal transaksi antara Fallen dan seorang preman itu, belum terserbar sampai
ujian tengah semester genap SMA Harapan Kasih berjalan selama tiga hari belakangan.
Namun, di hari ke empat, tiap mading sekolahan dikerumuni oleh banyak orang. Tak lupa,
dengan adanya sebuah broadcast sebuah rekaman video dari seseorang yang tak dikenal, di
grup chat umum murid SMA Hakas. Reputasi Fallen benar-benar terancam kali ini.

“Ada apaan, sih, War? Kok, ramai banget,” Allena sendiri dibuat keheranan, karena
keadaan mading di tiap sudut sekolahan, pasti ramai oleh orang-orang.

Pertanyaan Allena barusan, tak diindahkan oleh Mawar, melainkan kini, gadis mungil

121
Fallen & Allena

itu menerobos kerumunan di satu mading dekat ruang musik. Mawar menatap seksama, tiap
sudut mading yang menjadi tujuan orang berkerumun. Hingga akhirnya ia dapatkan jawaban
yang selain membuatnya syok berat, juga membuatnya menyesal akan rasa penasarannya.

Tanpa pikir panjang, Mawar segera meraih satu lembar kertas yang dipenuhi dengan
foto Fallen. Di tiap lembar itu, terdapat foto Fallen yang tengah bertansaksi dengan seorang
preman, dan juga foto Fallen yang tengah memasukkan sebuah obat ke dalam mulutnya. Tak
lupa pula, ia mengecek grup kelas yang ikut-ikutan menyebar video, sebagai bukti penguat
dari gambar yang ditempel di setiap mading yang membuat geger satu sekolahan.

Mawar keluar dari kerumunan, mendatangi Allena yang tak mengerti dengan situasi
yang terjadi. Dengan berat hati, ia memberikan selembar kertas yang ia dapatkan, beserta
ponselnya yang memutar video tersebut. Beberapa menit Allena merasakan seperti yang
Mawar rasakan, saat pertama kali mengetahuinya. Atau bahkan, rasa syoknya lebih besar.

Allena tak habis pikir. Mengapa sejak dulu, ia selalu salah menilai Fallen. Fallen yang
dikiranya lugu itu, selalu bertindak usil kepada orang-orang, mungkin masih dibilang wajar.
Namun, untuk sekelas meninggalkannya setelah berbuat hal tak senonoh, merokok secara
terang-terangan di sekolah, hingga bertransaksi dan meminum barang haram, rasa-rasanya
bukan lagi menjadi hal wajar. Bahkan, Allena ingin benar-benar membunuh Fallen detik itu
juga, kemudian menyusulnya meregang nyawa dengan cara menggantung dirinya sendiri.

Tangis Allena berhenti, saat tatapannya bertemu dengan orang yang tengah menjadi
perbincangan. Sudah dipastikan, Fallen berusaha menerobos pusat kerumunan itu, mencari
tahu apa yang tengah terjadi. Sesaat setelah ia mendapatkan jawabannya, ia mendapatkan
sorakan kebencian. Sungguh, bukan seperti ini, kehidupan yang Fallen harapkan.

***

Kejadian menggemparkan di SMA Harapan Kasih hari itu, langsung ditangani oleh guru yang
berwajib. Guru kesiswaan dan guru BK segera mengamankan Fallen, yang disinyalir akan
menjadi aib buruk bagi sekolahan ini. Setelah kejadian pagi itu, Fallen tak mengikuti ujian di
kelasnya, bahkan sampai ujian berakhir sekalipun. Menurut berita yang beredar, Fallen tetap
diperbolehkan mengikuti ujian, selepas ia memohon-mohon, dan akan menjelaskan masalah
yang terjadi sebenarnya, di balik foto dan videonya yang beredar itu. Fallen memang tak
terlihat mengikuti ujian di kelasnya, melainkan ia mengikuti ujian di ruang guru, selepas
semua murid selesai melaksanakan ujian hari itu di tiap mata pelajaran.

122
Fallen & Allena

Masalah yang masih simpang siur ini, belum mendapat kebenaran langsung dari
Fallen, karena selain ia masih bungkam. Pihak sekolah juga tak mau salah satu muridnya itu
terus-terusan mendapat serangan, hingga akhirnya merasa terbebani sana-sini. Hal ini,
menjadikan Fallen masih bernapas lega. Karena setidaknya, sang ibunda belum mengetahui
akan hal ini. Fallen juga sebelumnya meminta kepada pihak sekolahan, bahwa sebaiknya,
masalah ini jangan sampai terdengar oleh ibundanya, karena ibundanya memiliki riwayat
sakit jantung. Tentu saja, Fallen tak mau jika ibundanya akan kolaps setelah mengetahui hal
ini. Namun, pihak sekolah sudah mewanti-wanti, bahwa mereka akan membicarakan hal ini
secara pelan-pelan, dan akan mengganti biaya perawatan, apabila nantinya Fallen terbukti tak
bersalah, namun ibundanya tetap kolaps karena tak percaya dengan keadaannya.

“Silakan masuk, Bu.”

Fallen menatap tajam guru BK pemilik kumis tebal, yang baru saja menyambut
kedatangan mama Mella itu. Bukan tanpa sebab, Fallen menatapnya begitu, namun karena
tentu saja orang itu, adalah satu-satunya guru yang ngotot untuk tetap mendatangkan
orangtua Fallen ke sekolah, demi menyelesaikan masalah ini.

“Ada apa, ini?” Mella menduduki kursi kosong di sebelah anak semata wayangnya.
“Ada apa ini, Fallen?” kemudian ia meraih kedua pipi Fallen.

“Begini, Ibu,” guru berkumis tebal dengan badge nama Sujito di seragamnya itu,
berusaha membuka pembahasan dengan secara hati-hati. “Beberapa waktu yang lalu, sekolah
dihebohkan dengan beredarnya foto dan video anak Ibu,” kemudian ia beralih menunjukkan
lembaran foto dan video Fallen yang menyebar kepada ibunda muridnya itu.

Selepas menyaksikan video tersebut, Mella membekap mulutnya sendiri, dan menatap
Fallen tak percaya. “Kenapa seperti ini, Nak? Jelaskan ke Mama...”

“Ma, itu ngga seperti yang Mama kira,” Fallen berusaha membela diri. “Fallen bukan
bandar, Fallen juga bukan pemakai barang haram, seperti yang diasumsikan orang-orang,
Ma…” ia beralih menggenggam pergelangan ibundanya, seraya menguatkan penjelasannya.

“Sekiranya begitu. Setelah melihat foto dan video yang beredar, muncul asumsi
bahwa anak Ibu, adalah bandar dan pemakai narkoba,” pak Jito ikut andil dalam percakapan
ini. “Pihak sekolahan berbesar hati, untuk tetap mengizinkan Fallen mengikuti ujian sampai
selesai, dan menyimpan masalah ini sampai Fallen tak terbebani lagi oleh ujian. Jadi, kami

123
Fallen & Allena

baru memanggil orangtuanya kali ini, untuk meluruskan masalah, atau berklarifikasi.”

Sebelum Fallen berterus terang, hal yang tak diinginkan terjadi. Mamanya kesakitan
memegangi dadanya. Tak selang berapa lama, wanita berbadan gempal itu pingsan, membuat
semua orang di ruangan ini panik. Semuanya berusaha membawa wanita itu masuk ke dalam
mobil sekolah, untuk selanjutnya dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan.

Ini yang Fallen takuti. Sungguh, ia tak akan melewatkan pak Sujito sekalipun, karena
beliau-lah, sakit ibundanya jadi kambuh kembali. Ia akan menuntut ganti rugi seperti apa
yang dijanjikan pihak sekolah di awal, sekaligus menuntutnya ke pihak yang berwajib,
apabila ada hal lain yang tak diinginkannya terjadi setelah ini.

“Bagaimana, Pak? Sudah puas membuat ibu saya menderita?” Fallen menahan
emosinya, berusaha tetap sopan kepada salah satu gurunya itu. “Bapak kira, saya berbohong
tentang ibu saya memiliki riwayat sakit jantung? Jika ibu saya harus meregang nyawa akan
kejadian ini, apakah boleh, nyawa ibu saya dibayar dengan nyawa Bapak?”

Sujito bergidik ngeri, saat muridnya yang sering usil di sekolah itu, memberinya
tatapan tajam menusuk layaknya elang yang akan memburu mangsanya. “Duduk dulu, Fallen.
Bapak kan sudah bilang, kalau kamu jangan terlalu mengulur waktu.”

Cekalan pak Jito yang semula hendak mengajak Fallen duduk itu, ditepisnya. Fallen
meninju tembok tepat di belakang guru berkumis tebal itu. “Saya juga sudah bilang, kalau
saya sedang menjelaskan, Anda ngga usah ikut-ikutan banyak bicara! Di sini, siapa yang
akhirnya mengulur waktu? Atau kalian sengaja, mau membunuh ibu saya?”

“Nak Fallen, bukan begitu,” guru wanita berkacamata bulat yang biasa disapa bu
Clara, berusaha menenangkan Fallen dengan cara mengusap bahu anak lelaki itu. “Alangkah
lebih baiknya, kita semua berdoa dulu demi kebaikan ibu kamu, ya. Masalah yang membuat
ambigu satu sekolahan ini, biar kita semua tutup dulu, sambil mencari jalan keluarnya.”

+ Fallen & Allena +

124
Fallen & Allena

19. Rencana

Ujian tengah semester genap telah usai, namun tidak dengan penderitaan yang dialami
Fallen. Pasalnya, ia masih terus menjadi perbincangan penghuni sekolah tentang kasus foto
dan video kala itu, hingga sang mama harus tergeletak di rumah sakit karena masalah ini. Dan
ternyata, selama lebih dari dua mingguan kasus itu beredar, menjadikan Fallen dijauhi teman
satu gengnya. Entah mengapa, semua yang semula selalu ada, kini seketika tiada. Namun
meski dijauhi Beni, Erlan, dan Faza, nyatanya tak menyulutkan niat Fallen untuk tetap
menyapa ketiganya. Walaupun hasil yang ia terima adalah selalu diabaikan. Namun entah
mengapa, kali ini bukan diabaikan, dia justru mendapat cibiran tak menyenangkan dari Erlan.

“Lo boleh nyebut gue pengedar, atau pecandu narkoba sekalipun. Tapi, gimana kalau
gue lempar kepala lo pakai batu, semisal kabar miring ini, sebenarnya cuma kebohongan
yang sengaja diciptakan sama seseorang?” Fallen menggebrak meja yang ada di hadapannya.

Erlan tertawa kencang, ucapan apapun dari mulut Fallen, seakan tak masuk ke dalam
otak dan telinganya. “Kalau pun emang kabar itu ngga benar adanya, tapi bukannya reputasi
lo di sini bakal tetap turun? Mau nyari pembelaan kemana lagi, setelah ini?”

“Kami semua di kelas ini, amat menyayangkan kenapa lo masih bisa sekolah, di saat
lo habis tertimpa masalah besar kayak gini,” Faza tak mau kalah untuk berasumsi.

“Lagian, lo dari dulu kan, selalu bikin masalah sama guru? Lo bayar mereka berapa?
Sampai-sampai, mereka masih mempertahankan lo yang kayak gini?” sergap Beni.

Fallen semakin muak dibuatnya. Inikah yang dinamakan sahabat karib? Bahkan,
sudah dari kelas sepuluh, mereka bersatu membangun geng ini. Namun, saat satu di antara
mereka tertimpa masalah besar, bukannya menolong, mereka justru ikut menghakimi seperti

125
Fallen & Allena

orang yang tak mengerti dengan kondisi sebenarnya. Daripada emosinya semakin menganak
di ubun-ubun, Fallen memutuskan untuk meninggalkan kelasnya. Namun, belum sempat
keluar dari pintu, Erlan mengejar dan menarik bahunya secara tak santai sembari mencerca.

“Woy, kami ini lagi ngomong sama lo, bangsat!” Erlan berseru di depan wajah Fallen.

Tak mau melewatkan kesempatan, Fallen menjatuhkan bogem mentahnya di wajah


Erlan yang memuakkan, hingga lelaki pemilik tahi lalat di dekat hidung itu tersungkur. Fallen
makin membabi-buta, saat Erlan tak mampu membalas pukulannya, sedangkan Beni dan
Faza berusaha melerai pertengkaran mereka. Beberapa orang yang menyaksikan pertengkaran
ini, hanya bergidik ngeri, meski ada beberapa yang berusaha membantu melerai keduanya.

“Siapa yang pecandu, di sini? Bahkan, lo hampir tiap hari memakai barang haram itu,
kan?! Jawab gue, Lan! Yang harusnya di DO itu, siapa Lan?! Lo, kan, Lan?!” Fallen terus
berusaha menghindar dari orang yang melerainya, dan ia masih saja menariki kerah baju
Erlan dan melemparinya pertanyaan yang membuat penonton keheranan.

Erlan pemakai barang haram itu? Erlan sampai jadi pecandu? Sejak kapan?

Setelah merasa puas mengeluarkan uneg-unegnya dan terdiam beberapa saat, Fallen
melempar tubuh Erlan ke lantai. Beberapa orang berhasil mengamankannya, sedangkan Beni
dan Faza membantu Erlan berdiri. Dari perkelahian dan sumpah serapah yang dikeluarkan
Fallen barusan, seketika membuat banyak pertanyaan dari orang yang menyaksikan.

“Gue mohon ke kalian, demi kenyamanan kelas kalian, dan juga teman-teman kita,
masalah ini cukup kita di sini aja yang tahu, dan jangan sampai bocor ke luar kelas, apalagi
sampai didengar oleh guru,” Brian yang tiba-tiba datang saat melihat kekacauan, menengahi
situasi yang masih memanas, setelah membantu Fallen untuk duduk terlebih dahulu seraya
menenangkan keadaannya terlebih dahulu. Satu teman lain memberi Fallen minum.

Orang-orang yang tadi berperan sebagai penonton, terlihat manggut-manggut


mengerti dengan wejangan yang diberikan Brian, meski lelaki itu adalah siswa kelas sebelah.
Keadaan sedikit mencair, saat kedua belah pihak yang bertengkar tadi, tak lagi melempar
sumpah serapahnya. Setelah itu, Brian membubarkan sisa teman-teman di kelas. Sedangkan
ia menemani Fallen berjalan sampai menuju ke parkiran sekolah, dan mereka memutuskan
untuk pergi meninggalkan sekolah saling beriringan menuju suatu tempat.

***

126
Fallen & Allena

“Ini, minum buat lo, Len.”

Allena hanya menerima pemberian minuman dari Leo secara pasrah. Pertemuan
nongkrong ala-ala anak baru gede di salah satu kafe di dekat sekolah ini, sebenarnya sudah
berusaha Allena hindari. Namun, dengan ajakan Abi yang kini menjadi tukang nebengnya
kemana-mana, Allena akhirnya hanya menurut saja. Beruntungnya, Mawar juga sedang tak
pulang bersama kekasihnya, menyebabkan Allena bisa ditemani sepupu gilanya saat ini.

“Ada apaan, sih, sebenarnya? Kenapa sih, Le, lo terus bersikeras buat berteman sama
gue?” Allena tetap pada kebiasannya yang suka to the point ketika dihadapkan pada situasi
yang tak membuatnya senang atau keadaan yang tak nyaman.

Abi menyalakan rokoknya, menggunakan korek milik Leo. “Len, ada baiknya, kalau
kami bantuin lo keluar dari masalah yang sedang lo hadapi itu.”

Jika ucapan Abi menimbulkan pertanyaan, apakah lelaki maniak drum itu mengetahui
masalah Allena yang hamil, maka jawabannya adalah iya. Allena sudah menceritakan
masalahnya kepada Abi, karena ia percaya kepada lelaki pemilik rambut ikal itu. Selain yakin
bahwa orang kenalan Fallen bisa menyimpan rahasia, Allena juga berpikir, paling tidak, Abi
adalah satu dari sekian teman yang mungkin bisa membantunya keluar dari masalah ini.

“Dengan cara apa?” belum sempat Allena membalas ucapan Abi, Mawar lebih dahulu
menyergapnya. Gadis ini benar-benar ingin menyaring pertemanan di antara Allena, supaya
masalah besar ini tak semakin menyebar kemana-mana. “Bahkan, gue udah bilang ke
orangnya, tapi sampai saat ini ngga mendapatkan respon serius dari dia,” lanjutnya.

Abi mengembuskan asap pekat dari rokoknya. “Kalian juga harus mengerti keadaan
dia. Kalian tahu sendiri kan, masalah foto dan video yang beredar, masih belum menemukan
titik temunya? Kalau ditambah harus menghadapi masalah Allena ini, bukan tidak mungkin,
dia semakin merasa terbebani. Apalagi, sampai sekarang, nyokapnya masih dirawat karena
sakit jantungnya kambuh, saat pihak sekolah memanggilnya demi meluruskan masalah ini.”

Allena dan Mawar terbelalak. Bahkan, mereka tidak tahu-menahu masalah lanjutan
yang dialami oleh Fallen. Allena yang sudah lama tak datang bekerja di toko katering mama
Mella, membuatnya makin buta informasi akan keberlangsungan hidup Fallen. Meski tante
Nisa masih bekerja di sana, mana mungkin ia menanyakan keadaan Fallen tiap hari, bukan?

Namun, satu hal informasi lain yang Mawar tahu, “gue juga sempat dengar kabar ini

127
Fallen & Allena

dari nyokap gue. Toko katering nyokap Fallen, sempat hampir ditutup, karena sekarang,
kendalinya ngga jelas dipegang siapa. Tapi, untungnya, nyokap gue dan karyawan yang lain
tetap berusaha membangun bisnis ini, supaya mereka juga ngga kehilangan pekerjaannya.”

“Nah, sekarang, paham kondisinya, kan?” Abi membuang abu rokoknya yang sudah
memanjang ke asbak, lalu kembali menyesap batang menenangkan itu. “Kalau Allena tetap
bersikeras untuk melanjutkan sekolahnya, selain harus menggugurkan kandungan, Allena
harus pandai-pandai menyembunyikan perutnya kalau semakin hari semakin membesar.”

“Kalau gue berniat gugurin anak ini, udah gue gugurin sejak lama, Bi!” Allena
menggebrak meja karena tak terima dengan usulan Abi yang pertama.

Mawar yang duduk di sebelahnya, berusaha menenangkan Allena dengan terus


mengusap lengan gadis itu. “Kalau mau kasih masukan, yang benar dong, Bi!”

“Kalau Fallen ngga mau tanggung jawab, biar gue yang bakalan tanggung jawab!”

Seketika, perbincangan serius mereka terhenti. Tentu saja karena barusan mendengar
ucapan lantang keluar dari mulut Leo. Allena dan Mawar dibuat keheranan, sedangkan Abi
terlihat masih santai, karena mungkin saja, kedua lelaki itu sudah membicarakan hal ini di
belakang sebelumnya. Leo juga sempat terbelalak, karena beberapa saat yang lalu, Mawar
mengaku menjadi kekasih Fallen. Namun tiba-tiba mendapat jawaban karena Fallen-lah
Allena hamil, Leo jadi mengerti bahwa dua gadis itu tengah sangat bingung mencari jalan
keluar. Dan dengan ide brilian Leo ini, mungkin saja lebih baik berkali-kali lipat dari ide
menggugurkan kandungan. Namun, ada banyak hal lain pula yang harus dipertimbangkan.

Semacam, apakah tetap disembunyikan dari kedua pihak keluarga? Atau jika harus
diceritakan, apakah keluarga Leo akan menerima kenyataannya? Jika Leo benar-benar
bertanggung jawab dan mereka menikah, apakah Allena tetap berhenti sekolah? Lantas,
bagaimana dengan Leo? Di usia mereka saat ini, bukan tidak mungkin, Leo masih menjadi
tanggungan orangtuanya. Darimana Leo mendapatkan uang untuk menghidupi Allena?

“Lo udah gila?” Mawar mengerutkan keningnya. “Terus, Allena mau tetap berhenti
sekolah? Lo bakal dapat uang darimana untuk menghidupi Allena dan anaknya?”

“Masalah Allena berhenti sekolah, menurut gue ngga terlalu berat, karena dia bisa aja
setelah ini kejar paket supaya dapat ijazah setara SMA. Untuk pertanyaan Leo dapat uang
darimana, kalian ngga perlu khawatir, karena Leo hidup di keluarga yang serba

128
Fallen & Allena

berkecukupan,” Abi berceloteh seakan ia sudah kenal sosok yang sedari tadi dibela olehnya.

Mawar berdecak. “Kalian masih gila? Nasib orangtua dan keluarga, gimana?”

“Gue bakal bawa Allena ke suatu tempat, yang jauh dari keluarganya. Bahkan, untuk
masalah gue sampai diusir orangtua karena hal ini, gue masih bisa hidup dari hasil balapan
gue,” Leo terdengar begitu serius dengan ucapannya. Namun, memang benar keadaannya.
Lelaki pemilik bola mata kecoklatan ini, memang aktif dalam dunia balapan, yang
menghasilkan pundi-pundi rupiah dengan jumlah yang tidak sedikit tentunya.

“Tunggu,” Allena memijit pelipisnya. “Kayaknya, gue harus pikir-pikir lagi soal ini.”

***

Bukan rumah yang Brian tuju untuk mengajak Fallen pergi bersamanya. Melainkan, kini
keduanya tiba di sebuah kafe yang tak jauh dari sekolah. Kedatangan Brian ini, tentu saja
karena ajakan dari Mawar, yang mengatakan bahwa ia tengah bersama dengan Allena.

Permasalahan berat yang harus Fallen hadapi perihal kandungan Allena, juga sudah
diketahui oleh Brian. Selain Mawar yang menceritakannya, beberapa waktu yang lalu, Fallen
juga menceritakannya sendiri ke padanya. Merupakan hal yang sedikit mustahil, sebenarnya.
Karena meksipun Brian lumayan dekat dengan lelaki sipit itu, Fallen nyatanya dinilai olehnya
sebagai orang yang sukar terbuka dengan masalahnya kepada teman-teman.

Namun dengan terang-terangan, disertai ekspresi dan embusan napas gusar, Fallen
mendatangi Brian untuk menceritakan masalah besar yang sedang menimpanya selain foto
dan video yang menggemparkan itu. Fallen sempat membela dirinya sendiri, bahwa kala itu,
ia tak melakukan hal yang lebih dari sekadar memeluk Allena untuk memberi ketenangan
dalam tidurnya. Mana mungkin, ia tak merasakannya sama sekali, saat setan mengguruinya
untuk melakukan perbuatan yang dibenci oleh Tuhan itu? Jawabannya, kalau bukan Fallen
dibuat tak sadar oleh Allena, tentu Allena pasti melakukan perbuatan itu dengan orang lain.

“Kayaknya, gue harus pikir-pikir lagi soal ini.”

Fallen terbelalak, saat dirinya mendapati Allena berada di dalam kafe yang sama-sama
ia singgahi ini. Seketika, ia menatap Brian. Sebelumnya, lelaki kekar itu tak memberitahu
dirinya akan membawanya ke tempat ini, dan terlebih lagi membawanya ke dalam
perundingan tak diketahui ini. Fallen terus menuntut Brian dengan tatapan penuh pertanyaan.

129
Fallen & Allena

Ia semakin muak dengan keadaan, selain karena sedang tak ingin bertemu dengan Allena dan
antek-anteknya, ternyata ada satu hal lain yang mengejutkannya. Yaitu keberadaan Leo di
antara perkumpulan yang dihadiri Allena, Abi, dan Mawar.

Tanpa berniat pamit, Fallen berbalik arah meninggalkan tempat yang atmosfernya
terasa sudah menyesakkan ini. Di luar, hujan turun rintik-rintik membasahi bumi. Namun,
tanpa ragu, Fallen menunggangi motor maticnya, tak mengindahkan panggilan dari Brian,
dan melesat begitu saja membelah jalanan kota di bawah hujan yang turun semakin lebat.

Niat Brian dan Mawar untuk mendudukkan dua insan yang diterpa musibah itu,
seketika gagal karena satu di antaranya dengan terang-terangan tak mau membahas masalah
ini. Selain Brian dan Mawar, sisanya juga merasa sudah buntu. Sebagai anak SMA yang
notabenenya jadi anak baru gede, mereka tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menghadapi
masalah fatal ini, selain jalan lain adalah menerima kesempatan terdekat yang ada.

Kedatangan Fallen semula membuat perbincangan pada perkumpulan di dalam kafe


terhenti. Allena merasakan hatinya remuk redam, karena tatapan Fallen beberapa menit yang
lalu, seakan menjadi tanda bahwa kini, lelaki itu begitu membencinya, tak mau
mengharapkan keberadaannya, dan akan terus menghindarinya. Sedangkan Mawar merasa
geram dibuatnya, karena lelaki yang sempat menjadi idola seluruh kaum hawa di SMA Hakas
itu, dengan terang-terangan sedang menghindari masalah yang menimpa sepupunya ini.

Keadaan menjadi hening dan terasa canggung begitu saja. Hingga akhirnya, ucapan
lirih disertai sesenggukan dari Allena, membuat yang lainnya terbelalak, serta menjadi
puncak akhir dari perkumpulan pada hari ini.

“Gue terima tawaran lo Le, untuk tanggung jawab masalah anak ini.”

+ Fallen & Allena +

130
Fallen & Allena

20. Terbongkar

Kepulangan Nisa disambut oleh Allena yang membukakan pintu, karena anak dari
adik ibundanya itu tengah buang air besar. Melihat keberadaan sang keponakan, wanita yang
masih berumur tiga puluhan itu, mengingat sesuatu hal yang sudah lama ingin ia tanyakan.
Nisa sangat bersyukur tak harus menunggu hari berikutnya untuk bertemu Allena, karena
keponakan kesayangannya itu, justru datang kemari berniat menginap di rumahnya ini.

“Kamu ini, kenapa berhenti bekerja di toko mamanya Fallen, sih?”

Setelah membantu tantenya menyimpan sepatu, Allena duduk di sofa depan televisi.
Ia belingsat, bingung harus memberi alasan apa. “Kayaknya, aku ngga bisa bagi waktu, deh.”

Nisa berdecak. “Kan Tante udah bilang, kamu ngga usah kerja dulu.”

Allena tak menjawab lagi, melainkan kini ia sedang garuk-garuk kepala.

Karena merasa sudah mendapatkan jawabannya, sang tuan rumah akhirnya


memutuskan untuk memasuki kamarnya. Beberapa saat kemudian, wanita itu kembali terlihat
sembari mengalungkan handuknya, dan berlalu menuju ke belakang. Di depan kamar mandi,
ia bertemu dengan anak gadisnya yang baru selesai buang air besar.

“Besok kamu ngga kemana-mana, kan, sama Allena?”

Mawar memutar bola matanya seraya berpikir. “Belum ada rencana, sih, Ma.”

Tak ada yang diperbincangkan lagi oleh mereka. Melainkan Nisa sudah masuk ke
dalam kamar mandi, dan anaknya kembali menemui sepupunya di ruang tengah. Dilihatnya,
Allena tengah berusaha menghabiskan mili demi mili susu ibu hamil yang dibuat olehnya.
Mawar tersenyum tipis, ia bersyukur, meski Fallen tak kunjung memberi mereka kepastian,
paling tidak, masih ada Leo yang tiba-tiba datang seakan menjadi pahlawan untuk Allena.

“Semoga, Leo ngga cuma omong doang ya, Len, tentang masalah ini?” Mawar

131
Fallen & Allena

kembali duduk di sebelah Allena, beberapa saat kemudian, ia mendekap sepupunya itu.

Allena melirik ke arah Mawar, lalu tersenyum. “Semoga aja gitu, War.”

Keduanya tersenyum, lalu Mawar mengusap perut Allena meski belum terlihat
membesar. Mereka kembali menyaksian televisi yang menayangkan serial komedi rutin tiap
malam. Di luar terdengar gemuruh, yang menandakan sebentar lagi turun hujan. Dan benar,
bau tanah tersapu gerimis, menyeruak di indra penciuman memberi efek menenangkan.

“Apa-apaan, ini?!”

Seruan itu membuyarkan aktivitas dua gadis di ruang tengah. Suara itu terdengar dari
bagian belakang rumah, lebih tepatnya adalah dapur. Terlihat, Nisa yang baru saja selesai
mandi, berjalan mendekat dengan menenteng kotak susu ibu hamil di tangannya. Sesaat
kemudian, wanita itu menatapi Allena maupun anak gadisnya seraya meminta penjelasan.

Mawar bangkit dari tempat duduknya dalam keadaan bergetar karena ketakutan.
Kecerobohannya yang lupa menyembunyikan benda itu, setelah membuatkannya untuk
Allena, berujung petaka. “Tenang, Ma… Aku bisa jelasin ini, Ma.”

Nisa mengerutkan keningnya. “Jelasin apa?! Kamu...”

“Tante, aku yang bakal jelasin,” Allena juga bangkit dari tempat duduknya.

Dalam keadaan bergetar, sama seperti Mawar, Allena menjelaskan segala keluh
kesahnya. Dari asal muasal susu ibu hamil yang dibeli Mawar untuknya, hingga keadaan
dirinya yang berbadan dua karena kecelakaan yang dilakukan oleh Fallen kepadanya.
Sepanjang penjelasan Allena, Nisa hanya bisa terdiam sembari menganga tak percaya. Wanita
itu amat menyayangkan kejadian ini, dan ia bersaksi kepada alam, bahwa ini semua juga
salahnya. Ia kurang mengawasi dan terlalu fokus memikirkan kehidupannya sendiri, yang
membuat dirinya jadi tak seintens itu memperhatikan kelangsungan hidup keponakannya.

Bukan kemarahan yang tercipta, melainkan kini, Nisa tengah memeluk Allena dengan
erat di sela sesenggukkannya. “Maafin Tante, Allena. Maafin Tante. Ngga seharusnya, Tante
terlalu membiarkan pergaulan kamu, sehingga bisa menjadi seperti ini.”

Mawar yang menyaksikan kejadian ini, turut menangis, dan ia tidak bisa melakukan
hal lain. Selain ikut mengusap bahu Allena seraya menguatkan. “Maafin kami juga, Ma.
Ngga seharusnya kami tutupin masalah besar ini dari Mama.”

132
Fallen & Allena

Namun tak lama, Nisa melepaskan pelukannya dari keponakannya, lalu menyeka air
matanya sendiri, kemudian menatap Allena lagi. “Tapi, kamu benar melakukan itu sama
Fallen? Terus, memangnya, kamu udah tes kehamilan pakai testpack?”

Beberapa pertanyaan itu, membuat Allena melemparkan pandangannya kepada sang


sepupu, namun sesaat setelahnya, ia kembali mentap sang tante dengan penuh keraguan.
“Aku ngga sadar, Tante. Kejadian aku tidur sama Fallen itu, udah lebih dari tiga bulan yang
lalu, setelah aku pindah ke rumah nenek. Dan aku belum pernah tes kehamilan. Aku malu
buat beli alat itu, begitu pula dengan Mawar, aku mana mungkin menyuruhnya.”

Nisa memijit pelipisnya. “Kalau kamu ngga yakin melakukan hal itu dengan Fallen,
dan belum tes kehamilan, bagaimana kamu yakin kalau kamu hamil, Allena? Ada-ada saja.”

“Sejak hari Fallen menginap sampai detik ini, aku belum datang bulan, Tante.”

Nisa menggelengkan kepala sambil berdecak. “Besok, kamu Tante bawa periksa ke
dokter. Ngga apa-apa kalau besok kamu bolos, dan Tante izin masuk kerjanya agak telat.
Supaya kita semua dapat kepastiannya, ya? Kamu, ngga perlu malu sama orang-orang.”

Allena hanya mengangguk pasrah mendengar celotehan sang tante. Meski ia tetap saja
malu membayangkan dirinya masuk ke klinik dokter kandungan, tentu saja akan banyak
timbul pertanyaan dari pasien lain yang datang. Namun, bagaimanapun juga, ini untuk
kebaikannya. Ia tak perlu dibebani banyak pikiran dan pertanyaan lagi setelah ini, seperti apa
aku benar-benar hamil, kalau nanti perutku membesar bagaimana sekolahku, apa Leo
benar-benar mau bertanggung jawab, atau bagaimana cara berdamai dengan Fallen, kalau
aku benar-benar mengandung anaknya dan justru karena hal itu ia terus menghindariku?

***

Setelah selesai dengan pekerjaan rumah seperti mencuci baju, menyiapkan sarapan, Nisa
memutuskan untuk memesan taksi online, guna mengantarnya dan sang keponakan menuju
ke klinik dokter kandungan. Mawar sudah berangkat ke sekolah karena ia tak ikut
berkepentingan, sedangkan Allena yang tengah mengandung berdasar asumsinya sendiri,
sudah bersiap-siap di depan rumah menunggu tantenya yang sepertinya masih berdandan.

Allena mengikat rambutnya seperti buntut kuda, mengenakan celana jeans dan juga
hoodie berwarna merah berukuran oversize. Hari ini, ia siap beralibi ke pasien lain apabila
mereka bertanya hal-hal aneh, dengan jawaban “aku mengantar mamaku yang sedang hamil

133
Fallen & Allena

muda,” dan alasan ini, semalaman ia cari-cari sampai tak bisa tidur hingga dini hari.

“Len, ayo keluar gang, mobilnya ngga bisa masuk,” Nisa keluar dari rumah, lalu
beralih mengunci pintu dan berjalan terlebih dahulu di depan keponakannya.

Mereka berjalan keluar gang sempit yang hanya bisa dilalui sepeda motor ini sejauh
seratus meter, menuju gang utama yang masih bisa dilalui mobil. Terlihat sebuah mobil Ayla
berwarna merah, sudah menanti keduanya, dengan kaca jendela depan yang terbuka.

“Dengan Ibu Annisa Fitriani?” supir taksi online yang terlihat sudah berumur itu
menyapa kedua perempuan yang baru keluar dari gang dengan ramah.

“Iya, saya, Pak.” Nisa mengangguk, lalu meraih gagang pintu mobil dan
membukanya. “Tolong antar kami ke klinik kandungan ya, Pak.”

“Baik, Bu,” supir tua ini memberikan senyuman. “Wah, yang hamil, siapa Bu?”

Mobil itu melaju selepas Allena masuk dan menutup pintu. Ia menatap tantenya
sejenak, setelah mendengar pertanyaan itu. “Mama saya ini, lagi hamil muda, Pak!” ia
menjawabnya dengan cepat, menampakkan orang yang tengah berbohong pada umumnya.
Persekian detik, ia mendapat kekuatan dari tantenya yang menggenggam tangannya.

“Hehe, iya, Pak. Sudah tiga bulan, harus tetap periksa, meski saya sehat-sehat saja,”
Nisa ikut beralibi, berharap penjelasannya mengakhiri pembicaraan bersama sang supir itu.

“Wah, sudah mulai besar, Bu. Tapi, sepertinya, perut Ibu belum membesar, ya?”

Allena dan tantenya kembali saling pandang. Nisa juga menutupi perutnya dengan
tasnya, karena tak nyaman ditatap sang supir dari kaca spion tengah. Nyatanya, pertanyaan
dari supir taksi online yang dipesannya ini, tak ada ujungnya. Hingga akhirnya, perbincangan
itu berakhir karena kedua perempuan itu telah sampai di tujuan. Nisa memberi selembar uang
dua puluh ribuan, dan tak mau menerima kembaliannya. Setidaknya ia memberi sedekah
dengan pikiran, semoga ngga ketemu lagi sama supir taksi online yang model beginian.

Meski kedua perempuan itu memaklumi keadaan, mungkin saja pertanyaan demi
pertanyaan dari supir taksi online ditujukan untuk mencairkan suasana, ditujukan supaya
tidak terjadi kecanggungan, atau justru karena beliau memang jauh dan merasa rindu dengan
anak-anaknya yang seumuran dengan penumpangnya, yang menyebabkan dirinya ramah dan
banyak tanya bisa dijadikan ajang pelepas rindu kepada anaknya.

134
Fallen & Allena

Yang tak Allena sangka, klinik yang didatanginya tak seramai yang ia pikirkan. Hanya
terlihat dua pasien yang berperut besar, yang satu ditemani sang suami, dan pasien yang
satunya pergi seorang diri. Melihat kedua gambaran ini, membuat Allena membayangkan
apabila ia benar-benar sedang mengandung, pasien satu adalah gambaran dirinya pergi
periksa ditemani Leo maupun Fallen yang mungkin akan benar-benar bertanggung jawab,
dan pasien ke dua adalah gambaran saat dirinya menjalani kehidupannya seorang diri. Saat
tak ada lagi sanak saudara maupun teman yang menerimanya, atau sekadar membantunya,
mungkin adalah hal yang belum tentu bisa Allena lewati seorang diri.

Nisa memberi kekuatan kepada Allena dengan cara mengusap lengan gadis itu.
Wanita berumur tiga puluhan itu paham dengan kondisi keponakannya, yang menatapi kedua
pasien itu dengan tatapan penuh beban. “Tante berharap, semua ini salah paham, Len.”

“Nyonya Annisa Fitriani?”

Allena mengangguk percaya diri menghadap tantenya, selepas mendengar panggilan


dari asisten dokter yang baru saja keluar dari ruangan. Dengan rasa yang berkecamuk, kedua
perempuan itu masuk ruang pemeriksaan. Tentu saja dengan Allena yang percaya diri dan
selalu mendoktrin pikirannya sendiri, bahwa ia kemari hanya menemani tantenya periksa.

***

Allena turun dari brankar dengan perasan masih berkecamuk. Selama menjalani beberapa
pemeriksaan tadi, dokter paruh baya itu tak kunjung membuka mulutnya untuk berbicara.
Ekspresi muka yang datar, membuat Allena bertanya-tanya dalam hati. Dengan keadaan
setengah terhuyung, gadis itu kembali ke meja dokter, duduk di kursi sebelah tantenya.

“Jadi, bagaimana Dok, keadaan keponakan saya?” Nisa sangat penasaran, karena
dokter di hadapan mereka itu benar-benar masih bergeming.

Dokter dengan pin nama Farah di seragamnya itu, terlihat tengah menuliskan suatu
resep, namun sesaat kemudian berhenti dan menatap kedua pasiennya itu. “Begini, Bu. Allena
keponakan Ibu ini, tidak sedang mengandung.”

Allena dan tantenya saling pandang, lalu membasuh muka mereka dengan telapak
tangan masing-masing. “ALHAMDULILLAH.....”

“Tapi, Dok. Kenapa dia ngga menstruasi selama tiga bulan ini?” Nisa menghentikan

135
Fallen & Allena

rasa syukurnya, karena tetap saja keponakannya itu dihadapi dengan hal yang tak wajar.

“Jadi, Allena terkena Amenorrhea. Amenorrhea adalah kondisi dimana perempuan


yang sudah menginjak masa remaja, kurang lebih enam belas tahun, namun belum pernah
mengalami menstruasi. Kondisi ini bisa terjadi pula pada perempuan yang sudah mengalami
menstruasi, namun tidak mengalaminya lagi sampai terhitung 90 hari atau bahkan lebih dari
itu, seperti kondisinya Allena ini,” dokter Farah menjelaskan secara pelan-pelan, supaya
pasiennya itu mengerti. “Untuk kondisi perempuan yang sudah berumah tangga, hal ini bisa
terjadi karena adanya efek penggunaan alat kontrasepsi. Namun untuk kondisi Allena sendiri,
sepertinya terjadi karena disebabkan kelebihan hormon androgen serta gaya hidupnya. Yang
sudah pasti terlihat, berat badan Allena ini terlalu rendah untuk perempuan seusianya, atau
karena habis melakukan olahraga yang berlebihan, dan mungkin stres yang dialaminya.”

Nisa masih tak berhenti di situ, masih ada hal yang membuatnya penasaran. “Tapi,
kejadian keponakan saya tidur dengan anak laki-laki itu, bagaimana Dok?”

“Ibu, selama sel telur tidak dibuahi sel sperma, kehamilan mustahil terjadi. Untuk
sekadar tidur bersama lawan jenis, itu tidak akan membuat suatu kehamilan. Nah, untuk itu,
setelah ini jangan lakukan lagi, ya? Bisa-bisa, nanti kamu hamil betulan, karena kebablasan,
bagaimana?” dokter Farah terkekeh pelan, lalu menoel dagu Allena di akhir kalimatnya.

“Tuh, dengarin! Ngga dapat pengawasan Tante, bukan berarti kamu bebas begitu, ya,
Allena!” Nisa melototi keponakannya itu. “Oh iya, Dokter, kondisi ini apakah tetap terjadi
secara berkelanjutan? Saya jadi khawatir, Dok.”

“Kondisi ini, kadang mengkhawatirkan, namun untuk sementara akan saya berikan
obat. Kemudian perbaiki gaya hidup kamu ya Allena, dengan cara naikkan berat badan kamu
supaya ideal, dan jangan terlalu stres. Apabila Allena tetap tidak menstruasi beberapa bulan
ke depan, lakukan pemeriksaan kembali, dan nanti diberikan penanganan lebih lanjut,” dokter
Farah memberi selembar kertas resep obat. “Silakan, obat ditebus di apotek bagian depan.”

Selepas mengucapkan terima kasih, Allena dan tantenya keluar dari ruang
pemeriksaan, menuju ke apotek sesuai yang diarahkan. Rasa penasaran pun akhirnya sirna
setelah sekian lama. Hal membahagiakan ini, akan Allena ceritakan pertama kali kepada
Mawar, dan tentunya Fallen yang kemungkinan besar sudah sempat diberi sumpah serapah
oleh sepupunya. Setelah itu, ia juga akan membagikan kabar ini kepada Abi dan juga Leo,
supaya salah satu lelaki itu tak harus melanjutkan aksi untuk bertanggung jawab.

136
Fallen & Allena

+ Fallen & Allena +

21. Fallen & Allena

“Peserta upacara yang berbahagia, saya, selaku pembina upacara akan


mengumumkan sebuah kabar. Atau yang lebih tepatnya bisa disebut klarifikasi, dari
maraknya kasus yang menyeret nama Fallen Mahendra, sebulan yang lalu.”

Mawar menyikut lengan Allena yang berbaris di sebelahnya. Sudah biasa, gadis
cerewet itu hampir dua semester, tiap upacara ia masuk ke barisan kelas Allena. Karena selain
tak terlalu ketat peraturannya, paling tidak, keberadaannya itu bisa membuat Allena memiliki
teman di barisan tiap kali upacara rutinan hari Senin. Niatnya menyikut Allena, tentu saja
supaya sepupunya itu menyadari hal yang dibahas pembina upacara bersangkutan dengan
Fallen, dengan keadaan lelaki itu juga berdiri tak jauh dari beliau pak Sujito.

“Apaan sih, War?” Allena berdecak karena lamunannya buyar oleh gangguan Mawar.

“Kasus Fallen, bukanlah kasus yang berhubungan dengan narkoba. Pertemuannya


kala itu dengan seorang preman, sebenarnya mereka sedang bertransaksi jual beli obat
herbal, untuk menangani orang sakit jantung. Kami pihak sekolah, amat sangat menyesal,
karena sudah membuat sakit jantung ibunda Fallen kambuh, setelah mengetahui anaknya
tersandung kasus yang masih simpang siur. Selama ini, kami terus melakukan ganti rugi
untuk biaya perawatan ibunda Fallen di rumah sakit. Untuk itu, kami para guru, meminta
supaya kalian melupakan masalah ini, karena Fallen tidaklah bersalah. Ini hanya salah
paham, atau bahkan fitnah, yang sengaja dibuat oleh si penyebar informasinya,” pak Sujito
berorasi panjang lebar, membuat kerumunan barisan menjadi sedikit ramai.

“Dengar deh, Al! Ternyata, Fallen bukan pemakai apalagi pengedar narkoba!” Mawar
kembali menyikut Allena yang terlihat berbinar selepas mendengarkan orasi dari pak Sujito.

“Halah, akal-akalan sekolahan, tuh, supaya ngga diribetin kasus pengeluaran siswa.”

Allena menengok ke belakang barisannya, menatapi orang yang barusan memberi


bantahan dari perkembangan kasus Fallen ini. Orang itu adalah Leo, yang baris bersebelahan
dengan Abi. “Kok lo ngeyel? Fallen juga ngga sekaya itu ya, buat nyogok pihak sekolah.”

Leo hanya melirik, lalu memutar bola matanya. “Terus, maksudnya apaan, minum

137
Fallen & Allena

obat sesuatu di depan warung?” seruannya membuat keadaan menciptakan pro dan kontra.

Selepas melirik Leo, Mawar kembali menyikut Allena. “Leo apa-apaan, sih?”

“Ngga tahu!” Allena berdecak kesal.

“Tenang, untuk masalah Fallen meminum obat sesuatu itu, bisa dijelaskan oleh yang
bersangkutan,” pak Sujito kembali berbicara, demi menghentikan keributan yang ada.

Fallen meraih mikrofon untuk berbicara. “Memangnya salah, kalau gue meminum
obat antidepresan? Gue yang lo semuanya tahu, selalu kelihatan baik-baik aja, belum tentu
demikian di belakang kalian. Gue juga manusia biasa, punya banyak masalah, memiliki rasa
cemas, rasa takut yang terbilang parah, dan hanya pada obat antidepresan itu gue bisa
bergantung. Terima kasih,” kemudian ia mengembalikan mikrofonnya kepada pak Sujito.

Namun, rasanya, penjelasan Fallen yang menceritakan sepenggal keluh kesahnya, tak
berdampak besar kepada peserta upacara yang masih berselisih menjadi pro dan kontra.
Kebanyakan dari mereka membantah alasan Fallen dan terus menuntut sebuah kejujuran.

“Anak-anakku, Fallen sudah menjelaskan dengan jujur dan apa adanya. Apabila
kalian terus membantah, kami juga memiliki bukti sebuah hasil pemeriksaan lab,
menyangkut Fallen terbukti pemakai narkoba atau tidak. Kami juga sudah
menginterogasikan preman yang bersangkutan, karena kenyataannya, dia memang penjual
obat-obatan herbal. Kalau kalian masih mau ribut, Bapak akan membuat upacara ini lebih
lama. Bapak juga bisa melakukan pemeriksaan lab kepada kalian semua, yang masih saja
mencibir Fallen, bukan tidak mungkin kalian juga salah satu dari sekian juta pemakai
barang haram di dunia ini.”

Orasi pak Sujito yang terakhir, menjadi ajang peserta upacara mengalah pada
keadaan. Bahkan, bukan lagi membicarakan masalah Fallen. Kebanyakan justru takut, jika
memang benar dilakukan tes pemakai narkoba tersebut, karena bisa saja mereka dikeluarkan
dari sekolah setelah ini. Karena tak mendengar bantahan kembali dari masalah Fallen, pihak
guru menyatakan bahwa masalah Fallen yang semula simpang siur ini ditutup, mereka
menyebutkan bahwa salah satu muridnya yang berprestasi itu seratus persen tidak bersalah.

Dan upacara dibubarkan.

***

138
Fallen & Allena

Sepertinya, menyikut Allena menjadi hobi baru Mawar. Karena tak hanya pada saat upacara
tadi, gadis cerewet itu terus-terusan menyikut Allena, detik ini kembali ia lakukan hal itu.
Sampai membuat sepupunya makin kesal. Namun bukan tanpa sebab, Mawar melakukan hal
itu, melainkan karena keberadaan Fallen menanti mereka di sudut koridor lumayan sepi ini.

“Len.”

Allena kembali mendengar suara Fallen yang menyebut namanya itu, dan hal ini
membuat dadanya berdesir. “Fallen mau ngapain?” batinnya menjerit.

“Mau apalagi, lo?” Mawar menahan lengan Allena, lalu ia maju mendekati Fallen.

“Aku, mau mempertimbangkan masalah yang waktu itu,” Fallen menggaruk


tengkuknya yang tak gatal, karena ia tak tahu harus memulainya dari mana. “Aku mau minta
maaf juga, karena sempat menghindar, bukannya tanggung jawab begini. Tapi ya, kalian tahu
sendiri, aku sedang dihadapi banyak masalah,” tambahnya.

“Telat, Len. Telat,” Mawar terkekeh.

“Mawar!” Allena gantian menarik lengan gadis itu supaya tak berbicara banyak.

“Udah deh, Al! Biar masalah ini gue yang atur, cowok yang ngga bisa tanggung jawab
kayak Fallen, emang pantas mendapatkan ganjarannya,” Mawar yang semula menatap
Allena, kembali menatap Fallen dengan tajam. “Lo telat! Karena kalau pun lo mau tanggung
jawab, udah ada Leo yang dengan senang hati mau menggantikan posisi lo.”

“Leo?” Fallen mengerutkan kening, tak percaya dengan keadaan ini.

“Dan, yah... tapi kalau lo masih bersikeras, rasanya ngga usah, karena Allena ngga
hamil, kok,” suara Mawar yang semula meninggi, akhirnya melemah karena poin ini.
“Semuanya cuma salah paham, karena Allena cuma sakit, sedangkan posisinya pas banget
setelah kalian tidur berdua. Gue juga mau minta maaf ya Len, waktu itu, kebawa emosi.”

Fallen menggelengkan kepala, menyeringai karena tak percaya dihadapi masalah yang
saling berputar-putar ini. “Lo semua ngga ngerti keadaannya! Pernah ngga, mikir kalau gue
ini stres dihadapi masalah segini banyaknya, hah?! Sekarang, dengan tiba-tiba kalian datang
minta maaf karena salah paham? Kalian ngga ngerti? Gue hampir bunuh diri karena ini!”

“Emangnya Allena ngga stres? Ngga usah sok memperlihatkan kalau lo itu, manusia

139
Fallen & Allena

paling tersakiti di dunia, deh! Semua orang punya masalah, ngga cuma lo yang bermasalah!”
Mawar kembali meninggikan suaranya. “Tinggal lo nya aja, bisa menghadapi apa ngga.”

“Gila. Lo berdua, gila!” Fallen menunjuk pelipisnya.

Allena menyadari perubahan nada dan gaya bahasa Fallen yang memperlihatkan
bahwa lelaki itu benar-benar marah. Oleh sebab itu, ia kembali menarik sepupunya supaya
menyudahi perdebatan ini. “Udah, War. Ini masalah gue sama Fallen, biar gue yang bicara.”

“Ngga ada yang perlu dibicarain lagi,” Fallen menyahutnya cepat dan ketus.

“Tapi, Len....”

Belum sempat Allena berucap banyak, lelaki berponi acak-acakan itu pergi dari
hadapannya dengan aura kemarahan yang masih terpancar. Allena tak percaya lagi dengan
keadaan ini. Semula ia membayangkan Fallen akan kembali bertutur sapa dengannya, setelah
ia menjelaskan salah paham ini dengan pelan-pelan. Namun nyatanya, Mawar yang sejatinya
berusaha membantunya, justru memperkeruh masalah dan memanaskan keadaan.

Setelah ini, Allena tak tahu lagi Fallen akan bersikap bagaimana kepadanya. Kembali
memaafkan dan berjalan seperti biasanya, atau bahkan mungkin, lelaki itu berubah menjadi
Fallen yang sempat tak Allena kenal. Fallen yang sulit digapai. Fallen yang kembali
diidolakan semua murid perempuan. Fallen yang hanya bisa dimiliki oleh Sandra. Fallen
yang tak pernah memberi jackpot lagi kepada dirinya.

“Semua ini gara-gara lo!” Allena mendorong Mawar yang berusaha memeluknya.

“Kok gue?! Gue itu belain lo, Allena!”

“Belain gue, bukan begini caranya!”

Perselisihan itu berakhir saat Leo datang bersamaan dengan Abi. Kedua lelaki itu
sejatinya sudah mengawasi kedua gadis sepersepupuan itu dari kejauhan, hingga situasi
menjadi memanas, kedua lelaki itu akhirnya keluar dari tempat persembunyian.

“Kalian ini sepupu, udah lama dekat, bahkan ngga terpisahkan. Jangan berantem
gara-gara ini,” Abi mendudukkan kedua gadis yang semula berseteru itu. “Oke, cara Mawar
salah. Tapi paling ngga, lo jadi tahu, Fallen ngga bisa lagi menunjukkan topengnya ke lo.”

“Topeng?! Maksud lo apa?” Allena mengerutkan kening, heran mendengar penjelasan

140
Fallen & Allena

Abi. “Jangan mentang-mentang kondisinya memanas, kalian juga datang jadi kompor, ya!”

Abi berdecak, dan meremas rambutnya sendiri. “Len, lo kira, Fallen baik ke lo, karena
dia suka sama lo? Ngga, Len! Sekelas Sandra yang cantiknya paripurna aja, dia tolak, kok.
Gue tahu Fallen, dia itu sepupu jauh gue, dia baik ke lo, ya karena dia anggap lo teman dia.
Dia selalu baik ke teman-temannya, dan baginya, ngga ada yang lebih dari sebatas teman.”

Tangisan Allena menggema ke seluruh koridor yang sepi ini. Tak ada yang
membantunya, Mawar sekalipun. Ia masih sakit hati karena pertolongannya dianggap sebagai
sebuah kesalahan. Namun, siapa yang mengira bahwa Leo dengan sigap mendekap Allena,
dan berusaha menenangkan dengan cara mengusap puncak kepalanya.

“Tenang Allena, masih ada gue. Gue tetap mau tanggung jawab, kok.”

Allena mendorong tubuh Leo. Sungguh ia membenci orang-orang tetap membahas


kehamilannya yang sudah pasti tidak terjadi. “Gue ngga hamil, bangsat! Semua ini, salah dia!
Dia sok pintar mendiagnosis kondisi gue!” kemudian, ia menuding Mawar.

Mawar terbelalak. Lagi-lagi, ia disalahkan. “Heh, tanpa mama gue pun, lo bakalan
tetap dihantui rasa bersalah lo, anjing! Emang enak, hamil, hah? Makanya, ngga usah belagu
ngajak cowok tidur berduaan. Gatel si lo! Dasar sepupu ngga tahu diuntung!”

“Bangsat!” Allena bangkit dari tempat yang didudukinya, lalu menarik lengan Mawar
secara tak santai. “Yang bantu gue itu, mama lo! Bukan lo!”

“Heh, udah, dong!” Abi menarik Mawar dari cekalan Allena, “ngga malu apa? Bikin
orang-orang jadi penasaran sama masalah kalian?”

Emosi Allena melemah setelah terdiam. Sedangkan Mawar dibawa pergi oleh Abi dari
hadapannya, karena lelaki itu tak mau ada perselisihan lagi yang terjadi. Hingga kesunyian
meninggalkan dua orang yang berkecamuk dengan pikirannya masing-masing. Allena dengan
banyak beban yang harus diterimanya, sedangkan Leo dengan hatinya yang tak henti-henti
membuatnya menginginkan Allena untuk menjadi kekasihnya. Meski usaha pertamanya gagal
karena Allena tak benar-benar mengandung, Leo tak mau berhenti sampai di sini.

“Allena, gue tahu lo ngga benar-benar hamil, tapi setidaknya jangan halangi gue
untuk dapatin hati lo,” Leo akhirnya membuka percakapan setelah sekian lama memendam
perasaan. “Gue bakal bantu lo ngelupain Fallen, tapi lo juga harus bantuin gue, supaya gue

141
Fallen & Allena

mendapatkan apa yang gue mau. Yaitu lo,” tambahnya diiringi dengan tatapan yang sendu.

Allena makin jatuh ke dalam lubang yang digali sendiri. Fallen yang mengabaikan
ucapan darinya selepas ia menyatakan perasaan, Fallen yang menghindar saat sang sepupu
berasumsi dirinya hamil karena perbuatan malam itu, Fallen yang tak mau mendengar
penjelasannya lagi, hingga penjelasan Abi yang mencengangkan beberapa saat tadi, rasanya
tak kunjung membuat Allena menerima kenyataan. Bahkan ia tak mau sedikitpun menatap
kedatangan orang baru di hidupnya. Leo? Seakan jauh dari kata suka bagi Allena. Karena jika
boleh meminta, Allena hanya akan meminta Tuhan kembalikan Fallen kepadanya.

Karena sebelumnya, ia terlanjur berangan-angan tinggi, mengharapkan segala dunia


Fallen adalah dunianya juga. Hingga delusi yang dibuatnya sendiri, menyadarkannya bahwa ;

Fallen dan Allena merupakan planet dengan poros dan rotasi yang berbeda,

Fallen dan Allena adalah rel kereta yang berjalan beriringan, namun bukan dengan
tujuan yang sama,

Fallen dan Allena adalah dua pemeran kisah romansa yang berbeda, dipaksa
bertemu pada halaman buku yang sama oleh penulisnya.

+ Fallen & Allena +

142
Fallen & Allena

22. Kenyataan

Fallen Mahendra.

Lelaki yang entah sejak kapan mengisi kekosonganku. Tak hanya hati, namun juga
kehidupanku. Dia tak hanya pantas untuk dibanggakan kepada teman-teman, karena aku
mendapatkan sikap yang tak pernah ia tujukan kepada perempuan lain, karena dia adalah
malaikat pelindung yang dikirim Tuhan untukku, dan karena dia adalah cinta pertamaku.

Aku tak peduli bahwa kenyataannya, aku yang tak seberharga itu, menjadi satu dari
sekian ribu orang yang singgah di kehidupannya. Entah ini akan ku sebut apa. Curahan
perasaanku setelah sekian lama, tulisan anonim yang tak berharga, atau sebuah surat cinta
yang ku tulis namun tak pernah ia baca. Karena kenyataannya, semua yang telah ku beri
untuknya, selalu tak pernah sepadan dengan segala pengorbanan yang selama ini ia
lakukan.

Datang berkawan, membelaku yang selalu dikucilkan orang. Ia tak memusingkan


gosip-gosip murahan yang beredar, karena entah mengapa, aku merasa bahwa aku adalah
suatu hal yang selalu saja ia lindungi dalam dekapan. Datang menyelamatkanku dari
belungsing, membawa dan mengenalkanku kepada dunia asing, serta membuat sejarah
bahwa ia pernah menemaniku sepanjang malam hingga sang fajar kian menyingsing.

Mungkin ini hal yang gila. Aku memang mencintainya pada pandang pertama,
terlebih saat ku dengar alunan melodi yang dimainaknnya, diiringi dengan suara indahnya.
Siapa yang mengira sebelumnya, bahwa lelaki yang menjadi dambaan kaum hawa itu, justru
memberi pandangan berbeda kepada diriku. Mereka menilai Fallen adalah lelaki yang
dingin, namun terkadang ramah kepada seseorang, selalu memiliki jalan kehidupan yang
mulus tanpa suatu hambatan, dan juga ia seperti bintang yang terlalu tinggi apabila digapai.
Hingga semua kenyataan kini ku dapatkan, seiring hampir setahun bersama. Bersama
namun tak berdua, seiring namun tak menjadi yang paling, terpaku namun dia tetap
membeku.

Dia memang tidak dingin kepadaku. Bahkan, dia terlalu lucu tiap kali melakukan hal
usil kepada orang lain. Dia memang ramah. Namun tak segan lagi menyapa jika dihadapkan

143
Fallen & Allena

dengan orang yang sudah bermasalah. Hidupnya juga tak pernah selalu mulus. Seiring
berjalannya waktu, selama mengenalnya, ia tak pernah lepas dari masalah.

Hidupnya yang hanya bersama sang mama, lalu muncul sebuah fintah hingga asumsi
Mawar tentang kehamilanku, membuatnya sempat gila sampai hilang arah. Dan satu hal
lagi, dia memang sebuah bintang yang terlalu tinggi apabila digapai. Dengan selalu
mendapat perhatiannya, menjadi alasan mengapa selalu menyita waktunya, kenyataannya,
aku tak akan pernah bisa menggapai dirinya untuk ku miliki hanya seorang diri.

Fallen Mahendra, lelaki berponi acak-acakannya yang menjadi favoritku, kini tak
lagi ku dengar kabarnya dengan lancar. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Dengan
satu hal yang ku benci, karena kini senyum dan seringai dari bibirnya tak terlihat lagi. Dia
kini lebih suka menyendiri, tak mau berbaur dengan banyak orang lagi, dan tak terlihat
mengisi acara berbau musik di sekolah dengan banyak penggemar yang selalu meneriaki.

Kata Brian, sepanjang mendapat pelajaran dari guru, Fallen terdiam di bangkunya,
dengan tatapan mata lurus ke depan. Dia menyimak, namun jarang berbicara. Fallen tak
pernah datang terlambat apalagi membolos, kepada guru tak lagi menyangkal, tugas selalu
ia kumpulkan, ulangan harian pun selalu ia ikuti dengan serius. Tak ada lagi kabar beredar
lelaki itu membuat keusilan. Bahkan, justru hal ini yang guru-guru rindukan. Mereka senang
Fallen tak lagi memberontak, namun terkadang pula, mereka ingin Fallen berulah lagi.
Sekadar menempelkan permen karet di kursi guru, memutus listrik sebagian gedung sekolah,
memindahkan motor guru ke tengah lapangan, atau sampai minggat ke toilet perempuan
saat jam pelajaran. Semua hal itu, seakan kini hanya tersisa sebagai kenangan cerita.
Karena jangankan bercanda, mengajak Fallen bicara, sama seperti mengajak patung bersua.

Kini, Fallen tak bisa ku temui. Tak bisa lagi ku sapa, atau ku tanyakan kabarnya.
Namun, bukan berarti segala perasaanku padanya telah sirna. Bahkan, selepas masalah kala
itu berlalu, datanglah seorang Leo yang terus saja berusaha mengambil hatiku. Hingga kami
memutuskan untuk menjalin hubungan, namun sampai detik ini Fallen tak pernah bisa ku
lupakan. Sampai detik ini, aku tak bisa mencintai Leo, sebagaimana aku mencintai Fallen.
Perlakuanku kepada Leo, tak selembut bagaimana aku memperlakukan Fallen. Serta dunia
baruku bersama Leo, nyatanya tak seindah dunia lamaku saat bersama Fallen.

Seiring kepergian Fallen dari hidupku, bayangan penghuni sekolahan yang selalu
menyerangku, juga ikut menghilang. Tak lagi ku dapatkan cemoohan, tak lagi ku dapatkan

144
Fallen & Allena

teror menjijikan, atau sekadar cibiran merendahkan. Kisah romansaku dengan Leo, justru
seakan menjadi hal baru yang senang mereka perbincangkan. Mereka seakan menjadi
pendukungku menjalani hubungan dengan Leo. Tak hanya murid, namun ku rasa, guru di
sekolahanku juga senang melihat kebersamaanku dengan Leo.

Entahlah, untuk hal semeyakinkan ini pun, rasanya aku masih tetap ragu. Aku masih
terbayang, mungkin saja mimpi buruk akan menjelma ke dalam mimpi indah yang ku
rasakan ini. Namun lagi-lagi, perilaku Leo yang selalu menspesialkan diriku, seakan
meyakinkan bahwa dia adalah malaikat penjaga yang dikirim Tuhan selanjutnya setelah
Fallen pergi.

Aku tak sepandai itu merangkai kata, namun setidaknya, ini menjadi perwakilan
tentang rasa cinta. Hal yang selama ini ku sembunyikan. Bahwa sejatinya, tawaku bersama
orang baru, tak membuatku bahagia dan serta-merta membuatku melupakan dunia lamaku.

Siapa pun yang kelak nanti akan membaca tulisan ini, aku mohon jangan sampaikan
ini ke padanya. Aku lebih memilih memendam, namun masih bisa merasakan, bagaimana
sensasi saat dia membuat hati berdebar. Bukannya mencurahkan perasaan, hingga akhirnya
berujung membawa kami ke sebuah jurang luka dalam bernama perpisahan.

Allena menutup buku catatan miliknya, setelah beberapa menit tadi ia tuliskan segala
keluh kesahnya di sana. Tak hanya tulisan panjang tentang perasaannya, air mata yang
membasahi pipi turut menjadi bukti, bahwa perasaannya kepada Fallen tak pernah berubah.
Dan kisahnya yang telah lalu itu, menghantui setiap hari serta membuatnya begitu rindu.

“Allena, ada temanmu di luar.”

Seruan dari sang nenek yang terdengar dari luar kamar, membuat Allena bergegas
menyeka sisa air matanya di pipi. Ia segera bangkit dari kursi meja belajarnya, kemudian
beralih berkaca untuk merapikan penampilannya. Siapapun orangnya, teman, atau bukan,
orang itu tak boleh mengetahui kesedihan yang dipendam olehnya.

Allena mengerutkan kening, saat ia mendapati siapa yang berkunjung kemari. Leo,
lelaki berkumis tipis dengan badan sedikit berisi itu, terlihat menanti dirinya di kursi ruang
tamu, dan menggenggam sebuah bingkisan. Lelaki itu tersentak dari lamunannya, saat
mengetahui Allena sudah ada di hadapannya.

“Kamu ke sini kenapa ngga ngabarin dulu, sih?” Allena duduk di salah satu kursi.

145
Fallen & Allena

Leo terlihat nyengir kuda, lalu mengeluarkan isi dari kantung plastik yang dibawanya.
Dua bungkus bubur ayam komplit beserta sate jeroan, disuguhkan Leo untuk gadisnya. “Tadi
aku habis joging, terus ngelewatin abang tukang bubur. Seketika, aku ingat kamu. Jadinya,
aku beli dua buat makan bersama. Yuk?”

Allena manggut-manggut mengerti. “Kakek dan nenekku ngga dibelikan juga?”

“Aduh, lupa!” Leo belingsat, tak enak hati karena melupakan dua penghuni lain di
rumah ini. Ia makin tak enak hati melihat ekspresi kecewa dari Allena. “Aku beliin lagi, ya?”

“Ngga usah, ngga usah, lagian, mereka ngga suka bubur ayam, kok,” Allena terkekeh,
karena barusan melihat eskpresi Leo yang tak enak hati padanya. Ternyata, Leo lucu juga,
ya? Batinnya. “Kamu joging kenapa ngga ajak aku, sih? Jahat banget.”

Leo memasukkan sambal ke dalam buburnya maupun bubur milik Allena. “Len, aku
sedang ada program untuk menaikkan berat badan kamu. Kalau kamu ku ajak joging,
bukannya gemuk, malah makin kurus. Gagal dong usaha aku?”

Benar kata Leo. Semenjak dua bulan memutuskan untuk menjalin hubungan, lelaki itu
selalu saja membawakan maupun mentraktir Allena makan. Pagi hari setiap akhir pekan,
siang hari setiap nongkrong di kantin sekolahan, hingga malam-malam datang untuk
ngapelin, Leo selalu saja menyuruh Allena supaya banyak makan. Selain mengetahui alasan
Allena harus menaikan berat badan karena sakit Amenorrhea kala itu, Leo juga tak mau
Allena terlihat terlalu kurus, hingga orang-orang menganggap gadis itu orang susah.

Terbukti dengan adanya kenaikan berat badan Allena sekitar lima sampai tujuh
kilogram per dua bulan, program Leo menggemukkan badan Allena ternyata berhasil.
Meskipun Allena masih jauh dari kata gemuk, namun paling tidak, ia terlihat lebih baik dari
sebelumnya yang kurus kering kelontang. Terkadang, Leo yang sebegitu memperhatikannya
ini, membuat Allena juga merasa bahwa lelaki itu benar-benar tulus kepadanya. Kehadiran
Leo ke kehidupannya, merupakan cinta di waktu yang tepat, karena paling tidak, bisa
menyembuhkan luka di hatinya dan melupakan orang yang singgah sebelumnya.

***

Hari begitu cepat berlalu, namun terasa begitu lama bagi Allena. Bukan mengapa, namun
karena kini kesehariannya tak lagi sama seperti kisah masa lalunya. Allena tak pernah
bertutur sapa lagi dengan Fallen, bahkan melihatnya berseliweran di sekolahan pun jarang.

146
Fallen & Allena

Hingga tak terasa, kehidupan barunya sudah berlalu sampai lebih dari lima bulan lamanya.

Suasana berganti. Mereka berpindah status pelajarnya. Kelas dua belas telah lulus
sekolah, kelas sebelas naik ke kelas dua belas, kelas sepuluh menjadi penghuni kelas sebelas,
hingga anak baru gede dan lulus SMP menjadi siswa baru SMA Hakas di kelas sepuluh.

Kelas yang diacak, membuat Allena tak lagi satu kelas dengan Leli si ketua kelas
ngeselin, namun ia masih satu kelas dengan Abi dan Leo. Ia tetap pada kelas sebelas IPS1,
yang disinyalir sebagai podium anak-anak lebih pintar di jurusan IPS. Mawar sendiri, tak lagi
satu kelas dengan Cindy di kelas sebelas IPA1, karena peringkatnya menurun, membawanya
menjadi penghuni kelas sebelas IPA2. Sedangkan Brian —lelaki yang kini masih menjadi
kekasih Mawar, memberinya kabar bahwa ia tetap menjadi penghuni kelas dua belas IPS1,
dan jadi satu kelas dengan seluruh anggota geng Tengkorak, terkecuali Beni. Sedangkan
ketiga anggota geng rempong yang semula penghuni kelas sebelas IPS2, menurun drastis
menjadi di kelas dua belas IPS5, karena selain nilainya merosot, kasus pem-bullyan
terdahulu-lah yang membawa mereka menjadi penghuni kelas peringkat terendah.

Allena kesal. Minuman kaleng yang dibeli olehnya, dan baru saja hendak ia minum,
terjatuh dari genggaman karena terkena bola futsal yang melambung ke arahnya. Ia memang
sedikit bernapas lega, karena bola itu tak sampai mengenai wajahnya. Hanya saja, ia tak jadi
melepas dahaganya, setelah tiga jam lebih terkurung di dalam kelas.

Segera ia raih bola sialan itu, dan berniat balas dendam kepada sang pelaku. Paling
tidak, Allena berharap lemparannya mengenai wajah, perut, atau sampai bagian kemaluan
orang yang melambungkan bola ini kepadanya. Hingga akhirnya, semua niatnya itu berakhir,
karena mengetahui siapakah sosok yang datang untuk meminta bolanya kembali.

“Balikin bolanya.”

Allena meringis menahan emosinya. Bukannya meminta maaf, lelaki berponi acak-
acakan yang sedikit basah karena keringat itu, justru dengan santainya meminta bolanya
kembali. “Heh, lo itu udah jatuhin minuman gue. Minta maaf dulu, kek!”

Lelaki itu berdecak, dan berlalu kembali ke tengah lapangan begitu saja dari hadapan
Allena, tanpa mengindahkan omelannya. Mendapat perlakuan begini, membuat emosi Allena
menganak di ubun-ubun. Dengan mengumpulkan segenap tenaganya, gadis ini melemparkan
bola sialan yang semula ia genggam, ditujukan kepada sang pelaku. Hingga.... Bug. Meski tak

147
Fallen & Allena

mengenai organ incarannya, paling tidak, Allena sudah berhasil mengenai pantat Fallen.

Yah, Fallen...

Setelah mendapat lemparan dari Allena pada pantatnya, Fallen mengaduh, menggosok
bagian tubuhnya yang seakan terus berkedut dan memanas itu. Dilihatnya sepintas, Allena
meninggalkan tepi lapangan sembari mengerucutkan bibirnya, sesekali menggerutu kepada
angin yang berembus. Fallen mengembuskan napasnya kasar. Dalam hati, kalau hubungan
kami tak sejauh seperti saat ini, mungkin aku sudah meledeknya, atau menggantikan
minuman kalengnya dengan yang baru. Bahkan lebih banyak dari yang dia mau.

Nasi sudah menjadi bubur. Untuk sekadar bertutur sapa dengan Allena, rasanya sudah
terlalu berat dan canggung. Terlebih Fallen menyadari kesalahannya kala itu, yang tak mau
mendengar penjelasan dari Allena. Tetapi, paling tidak, usahanya untuk menjauh sejenak dari
gadis itu, membuahkan hasil untuk ia lebih fokus lagi dengan segala hal bernama ujian yang
sudah ada di depan mata. Seperti kali ini, ia tengah melaksanakan penilaian ujian praktik
olahraga memasukkan bola ke gawang. Tendangannya tadi sempat meleset, bahkan terlalu
kencang saat melihat Allena melintas di tepian lapangan. Tanpa ia duga, tendangannya justu
mengenai gadis yang tak bersalah itu. Dalam hati, Fallen meminta maaf.

Lain Fallen, lain Allena. Gadis itu berhenti sejenak di koridor kelas yang sudah ia
tinggali lebih dari satu semester. Meski kekesalannya masih terasa, namun, menemukan
Fallen di dalam radarnya, ia berdebar dibuatnya. Terlebih saat ia mendapatkan tatapan sendu
dari lelaki itu. Rasanya, meski bibir tak saling berkata, masih ada hati yang saling merasa.

Tanpa sadar, bibir Allena mengeluarkan sebuah gumaman kecil, hingga membuat air
matanya menetes tanpa diminta. “Semangat, Fallen...”

Allena hanya bisa melihat lelaki itu dari kejauhan. Ia tak bisa menggapai cita-citanya,
untuk sekadar memberi minuman atau handuk kecil dan menanti di tepi lapangan, seperti apa
yang pernah Sandra lakukan kepada Fallen, saat dahulu mendapat hukuman dari bu Mega. Ia
tak lagi merasakan berangkat dan pulang sekolah berboncengan. Ia tak lagi merasa dilindungi
dari orang-orang. Dan kenyataan yang terkecil namun begitu menyakitkan adalah, ia tak lagi
bisa berbincang dan tertawa selepas dahulu bersamanya.

Dia baik-baik saja. Allena beralih masuk ke dalam kelasnya, sedangkan Fallen
kembali fokus kepada nasihat dari guru olahraga. Keduanya saling membatin, menganggap

148
Fallen & Allena

bahwa, mereka tetap merasa baik-baik saja, meski sudah tidak lagi bersama. Padahal tidak
seperti itu kenyataannya. Fallen membutuhkan Allena yang berbeda, namun sempat berubah.
Allena juga membutuhkan Fallen yang banyak tingkah, namun sempat tak lagi berulah.
Hingga saat keduanya tak lagi bersama, mereka kembali pada kebiasaan sebelumnya. Fallen
yang akhirnya kembali berulah di sisa akhir perjalanan SMA nya, sedangkan Allena yang
akhirnya lebih tegas dan tak peduli kepada keadaan di sekitarnya.

“Kalau udah ada yang jagain Allena, aku bisa apa?” Fallen sedikit tak fokus saat
melakukan passing atas di praktik cabang olahraga voli. Sesaat setelah Allena masuk ke
dalam kelas, ia mendapat tatapan tajam dari Leo yang mengekor di belakangnya.

“Kalau Fallen udah kembali bahagia dengan dunianya, gue bisa apa?”Allena
menduduki bangkunya, dan terus melamun hingga Leo datang membuyarkannya.

“Fallen habis apain kamu?” Leo menatap Allena penuh selidik, karena perubahan
sikap gadis ini, ternyata seiring dengan keberadaan Fallen yang menatap dari kejauhan.

Allena mengerutkan kening. “Bukan urusan kamu.”

Memang benar kami menjalin hubungan pacaran, namun bukan berarti seisi dunia
harus dibagikan bersama. Begitu prinsip Allena. Terlebih, orang yang Allena pilih sebagai
sandaran hidup selanjutnya, adalah seseorang yang belum ia kenal sepenuhnya. Bagaimana
keluarga Leo, bagaimana sifat aslinya saat marah, dan seperti apa ruang lingkup pertemanan
sebelumnya. Kalau lelaki itu tak mau berbagi, Allena juga tak mau berbagi keluh kesahnya.

+ Fallen & Allena +

149
Fallen & Allena

23. Pertaruhan

Saat matahari tepat di atas ubun-ubun, Leo beserta tiga temannya berkumpul di
kontrakan Beni, melakukan tradisi baru mereka. Duduk melingkar, gelas berputar. Tentu saja
mereka tidak masuk sekolah sejak pagi hari, meski usia mereka di sekolah tak lama lagi,
karena kelas dua belas akan dihadapkan oleh ujian. Berbeda dengan Leo yang lebih merasa
tenang, karena dia baru duduk di bangku kelas sebelas, tidak seperti ke tiga temannya itu.

Perkumpulan keempatnya, tentu mengundang banyak pertanyaan dari pihak yang tak
mengetahui hal ini. Mengapa mereka bisa sedekat ini? Mengapa tak ada lagi Fallen di
antara mereka? Sebenarnya, siapakah Leo itu?

Tak lama dari kasus foto dan video Fallen beredar, Leo memanfaatkan keadaan. Kabar
burung itu, membuat anggota geng Tengkorak yang lain merasa was-was. Fallen yang diduga
terjerat kasus narkoba, membuat satu temannya yang justru pemakai narkoba, takut jika
namanya akan dibawa-bawa. Seperti apa yang dikatakan Fallen saat memukuli Erlan di kelas
kala itu, keadaan Erlan sebagai pemakai, memang benar kenyataannya. Bahkan, sudah sejak
lama, sejak mereka baru menjadi siswa baru di SMA Harapan Kasih.

Dahulu Fallen tak nyaman, harus berteman dengan Erlan si pemakai. Karena bisa
saja, akan membawanya ke dalam pergaulan bebas yang berbahaya. Namun, dengan
keyakinan yang diberikan dan tingkah laku Erlan yang tak pernah mengajaknya untuk ikut
mengonsumsi barang haram itu, membuat Fallen tetap nyaman berteman dengannya. Selain
itu, karena Beni sudah bersahabat dengan Fallen sejak SMP, dan Faza menjadi sejoli Erlan
dari awal sekolah, akhirnya lingkup geng Tengkorak tercipta. Hampir dua tahun berjalan.

Namun, segalanya hancur, di semester genap kelas sebelas kemarin. Dari Fallen yang
terlihat jarang berkumpul, dan lebih memilih asyik dengan kesibukannya, sampai akhirnya
beredar foto dan video Fallen yang disinyalir tengah melakukan transaksi dan juga sedang
mengonsumsi barang haram itu, membuat ketiga sahabat karibnya menjauhinya.

Beni sudah lama memendam rasa cemburu karena Sandra, gadis yang disukainya,

150
Fallen & Allena

justru terobsesi kepada Fallen. Kelakuan Fallen yang membuat Sandra harus menanggung
malu, dan berujung kepada tindak kekerasan, membuat Beni merasakan hubungan
persahabatan mereka tak pantas dipertahankan lagi. Terlebih saat ia mengetahui bahwa Fallen
tetap bersekolah di SMA Hakas, menjadi penghuni kelas unggulan dua belas IPS1, meski
terjerat kasus serius. Sedangkan ia yang bersusah-payah belajar selama ujian, justru menjadi
penghuni kelas berpodium sama seperti tahun lalu. Rasanya, dunia tidak adil ke padanya.

Sedangkan alasan Erlan tak mau berteman dengan Fallen, tentu saja karena ia tak mau
kedoknya ikut terbongkar. Tetap berteman dengan Fallen, bukan tidak mungkin, membuat ia
lebih mudah ditangkap polisi karena menjadi pemakai narkoba sejak lama. Dan yang tak
disangka, Faza juga ikut menjauhi Fallen karena Erlan yang menjadi sejolinya, menjauhi
Fallen. Faza yang terbilang lebih pendiam, pandai, dan berprestasi dari ketiga anggota geng
Tengkorak lain, takut apabila ia tak mengikuti keputusan Erlan, dan tetap menjadi teman
Fallen, ia akan tak mendapat teman lagi dan dipandang sama-sama nakal atau bermasalah.

Di tengah gentingnya keadaan persahabatan geng Tengkorak ini, kedatangan Leo


seakan menjadi seorang dewa penolong. Lelaki yang hidup di keluarga kaya raya itu,
belakangan ini mengajak Beni, Erlan, dan Faza nongkrong bersama. Di kafe menghabiskan
banyak tagihan, maupun di kontrakan Beni untuk main play station dan juga pesta minuman.

Semula, Faza tak mau mengikuti kebiasaan buruk ketiga temannya. Namun lagi-lagi,
ia tak mau jika penolakannya membuatnya tak memiliki teman. Akhirnya, ia mau-mau saja
meminum segala alkohol yang dibeli Leo untuk perkumpulan ini. Dan kenyataannya, tak
hanya membelikan makanan dan minuman, Leo juga senantiasa membelikan barang haram
kesukaan Erlan tanpa meminta tagihan. Hal ini, membuat geng Tengkorak menyambutnya,
dan selalu berkata, sebenarnya, orang seperti Leo yang dari awal kami butuhkan.

Akhirnya, hal ini menjadi habit bagi Beni, Erlan, dan Faza. Sejak beberapa bulan
pisah dari Fallen, mereka merasa kebahagiaan baru tercipta saat nongkrong bersama Leo.

“Fallen udah ngga punya teman lagi, ya?” Leo membuka botol Anggur Merah yang
kedua, setelah mereka berempat menghabiskan sebotol Anggur Hitam.

Beni meraih gelas sakti, seakan-akan tengah meminta porsi untuk menjadi yang
pertama. “Siapa lagi yang mau berteman sama orang muka dua kayak dia? Allena aja udah
benar-benar ngejauhi dia, Bro!” wajahnya yang merona karena mulai terbang efek minuman,
semakin memerah saat Leo memberinya beberapa mili Anggur Merah yang dicampur dengan

151
Fallen & Allena

Bintang Zero. Dalam sekejap, Beni tandas meminumnya.

Faza merebut gelas yang Beni genggam. “Gue juga mau, anjing! Lo doang yang
keenakan,” lalu ia meminta Leo kembali mengisi gelas takarannya.

Leo kegirangan saat mendengar pengakuan Beni, sekaligus melihat respon dari Faza.
Tak disangka, langkah yang ia pilih untuk balas dendam menjatuhkan Fallen, ia dapatkan
semuanya. Tanpa susah payah, teman sepermainan Fallen yang seakan biasanya menjadi
tameng, kini tak lagi ada bersamanya. Fallen telah ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya...
Kini Beni, Erlan, dan Faza telah ada di tangan Leo, musuh bebuyutan Fallen sejak lama.

Selain itu, mama Fallen juga masuk rumah sakit karena sakit jantungnya, setelah kala
itu mengetahui kabar burung tentang anak semata wayangnya menjadi pemakai dan bandar
narkoba. Tak lupa ada satu hal lagi yang Leo dapat, yang membuatnya semakin girang. Yaitu,
Leo bisa mengalihkan seorang gadis yang dekat dengan Fallen. Semua pencapaian yang Leo
dapat, adalah beberapa dari sekian banyak rencana yang telah ia susun sejak lama.

“Lo benaran suka ke Allena, Le?” tak mau kalah dari dua temannya, Erlan meminta
jatah minumnya kepada Leo. “Gue heran, Fallen juga kenapa bisa kecantol sama Allena?”

Leo mengisi gelas sambil terbahak. “Lo gila? Kayak ngga ada cewek yang lebih jelek
aja, dari dia? Cewek kutilang darat, apanya yang bikin puas? Enakan Sandra, uhh bulat.”

“Sadis lo, Le, sama Allena!” Beni ikut terbahak. “By the way, Sandra itu punya gue!”

Leo mengisi gelas kosong yang terakhir menjadi takaran Erlan, lalu menenggaknya
sendiri. “Lho, gue kan cuma jadiin Allena sebagai pelengkap, kalau Fallen sekarang ngga
punya apa-apa lagi selain nasib malangnya.”

Ke empat lelaki yang mabuk karena efek alkohol yang diminumnya, terbahak-bahak
memenuhi tiap sudut kontrakan Beni, meski perbincangan mereka jauh dari kata-kata lucu.

Di sisi lain, orang yang diperbincangkan empat lelaki itu rupanya tengah berada di
depan pintu kontrakan Beni. Fallen nyatanya semenjak dahulu memang sudah pantas
menyandang gelar cenayang. Sekali merasa dibicarakan, tanpa segan ia mendatangi orang-
orang yang tengah membicarakannya tersebut. Meski sejatinya niat utama Fallen datang ke
mari hanya untuk menagih beberapa barangnya yang dahulu dipinjam oleh Beni, justru
mengetahui bahwa ia tengah menjadi topik pembicaraan.

152
Fallen & Allena

Sebentar lagi, emosi Fallen akan diledakannya tanpa segan. Hingga kejadian Leo
tergeletak karena mendapat bogeman darinya, terjadi dengan cepat begitu saja. Keempat
manusia yang tengah di ambang abnormal, menjadi panik bukan main. Walaupun sejatinya,
korban yang diamuk Fallen masih dalam keadaan setengah sadar dengan sekitarnya.

“Maksud lo apa? Kalau dari dulu lo ada masalah sama gue, ngga usah bawa-bawa
orang yang ada di sekitar gue, bangsat!” Fallen kembali menarik kerah seragam Leo secara
tak santai. Sekali lagi, ia jatuhkan pukulan penuh kebencian kepada lelaki itu.

Leo menyeka sudut bibirnya yang berdarah karena ulah Fallen, ia menyeringai
sebagai tanda khasnya menghadapi masalah sepele. “Tanpa menjadikan Allena alat balas
dendam, cewek murahan itu udah terpikat sama gue! Sebentar lagi, dia bakal gue rusak.”

Fallen kembali mendaratkan bogeman mentahnya untuk kesekian kali, kini sudut bibir
sebelah kanan Leo yang menjadi imbasnya. “Gue tantang lo balapan lagi, bangsat! Kalau lo
kalah, lo harus lakuin semua apapun yang gue minta!”

Leo masih menyeringai. “Termasuk rumah lo, kalau gue kalahin lo?”

Fallen mendorong tubuh Leo hingga terjengkang. “Ambil semua kalau gue kalah,
bangsat! Asal setelah gue menang, jangan perlihatkan wajah lo lagi di sini!”

“Oke, deal! Hahahaha.”

***

Semua terjadi begitu saja layaknya mimpi di siang hari bagi Fallen. Keadan tubuhnya yang
sedikit tak bersahabat, ternyata masih mampu membawanya menjadi seorang pemenang di
balapan bersama Leo sebagai ajang taruhan untuk kesekian kali. Bukan Fallen si raja jalanan
namanya, apabila ia harus terkalahkan, meski Leo menyandang gelar raja jalanan selama
beberapa bulan belakangan, saat Fallen vakum. Sebagian tim Fallen berlarian menyambut
lelaki jangkung dengan matanya yang sipit itu keluar dari mobil, sedangkan sebagian yang
lain menjemput Leo sebagai pecundang untuk menagih janji taruhan yang dilakukan mereka.

“Sial!” Leo keluar dari dalam mobil sembari mengumpat. Ia berjalan ke tengah
jalanan, dikelilingi oleh tim Fallen, sedangkan timnya telah pergi saat dirinya terlihat
tertinggal jauh dari Fallen yang sudah dekat di garis finis.

Fallen keluar dari mobilnya mendekati Leo. Persekian detik, lelaki di hadapannya itu,

153
Fallen & Allena

melempar segepok uang berjumlah sekitar dua puluh juta. Fallen menyeringai.

“Apa lagi yang lo minta, bangsat!”

Fallen memberikan segepok uang dari Leo ke salah satu timnya, lalu menyilangkan
tangan di dada. “Gue mau lo menjauh dari Allena sekarang. Kalau sampai gue lihat lo
ngedeketin dia meski hanya berjarak lima meter, gue bakar rumah orangtua lo itu. Belum
cukup apa, lo bikin nyokap gue sekarat di rumah sakit?”

Perihal Leo adalah pelaku yang menyebarkan foto dan video yang membuat gempar
satu sekolahan, Fallen dapatkan infonya dari Abi. Lelaki yang disinyalir tengah berteman
akrab juga dengan Leo itu, langsung mengadu ke Fallen—karena tentu saja ia masih berpihak
pada sepupu jauhnya. Meski Leo mengira Abi menjadi musuh dalam selimut Fallen.

Leo memalingkan pandangannya sembari menyeringai. “Kalau lo cuma minta itu,


ngga perlu sok-sokan sampai ngajakin gue balapan, bangsat!”

“Gue bukan pecundang, yang cuma bisa nyerang dari belakang, waktu musuhnya
lengah!” Fallen berbisik tepat di dekat telinga Leo.

Setelah berbisik, Fallen meninggalkan Leo beserta timnya. Lelaki sedikit bongsor
dengan kumis tipis yang menjadi musuh bebuyutan Fallen sejak lama itu, hanya bisa
berteriak sembari mengumpat. Nyatanya kalau bukan karena uang, ia tak akan memiliki
teman banyak seperti yang dimiliki Fallen, meski ketiga teman gengnya menjauhinya.

***

Permintaan Fallen sebagai pemenang taruhan balapan, memang dikabulkan oleh Leo—yaitu
berupa menjauh dari Allena. Namun kenyataan yang ada, justru Allena sendiri yang masih
mencari-cari keberadaan Leo yang jelas-jelas masih menjadi kekasihnya. Leo tak memberi
kabar selama kurang lebih satu Minggu. Terhitung saat kelas sepuluh dan kelas sebelas
diliburkan karena ada ujian sekolah untuk kelas dua belas.

Allena memaklumi apabila kekasihnya itu menghilang karena mungkin tengah


menikmati liburan ke luar kota, atau melakukan hal sibuk lain sampai tak sempat
memberinya kabar. Meski masih saja ada rasa was-was, alih-alih ada hal tak diinginkan
terjadi kepada kekasihnya yang terlampau manis perlakuannya itu.

Lantas siapa yang mengira bahwa Allena akhirnya melihat keberadaan Leo, saat

154
Fallen & Allena

setelah pergi menonton film action di bioskop bersama Abi. Leo terlihat tertawa cekakak-
cekikik di pojok kafe bersama tiga temannya, Beni, Erlan, dan Faza. Namun ada satu hal lagi
yang nampak ganjal, yaitu keberadaan dua gadis binal dengan pakaian kelewat minim, yang
kini keduanya tengah memeluk Leo. Tanpa ragu, Allena yang hendak duduk berhadapan
dengan Abi, mengurungkan niatnya menjadi melangkah mendekat ke tempat nongkrong Leo
dan kawan-kawannya. Keberadaan Allena yang tanpa diduga, membuat empat lelaki itu
belingsat, dengan keadaan dua gadis binal itu yang nampak kebingungan.

“Jadi kamu kayak gini, habis ngilang seminggu?” Allena menatap Leo dengan tajam.

Leo melepaskan rangkulan kepada kedua gadis di sampingnya, lalu bangkit dari kursi
yang didudukinya. “Ini ngga seperti apa yang kamu lihat, Sayang...”

Allena berkacak pinggang. “Masih pede aja ya, panggil gue sayang?”

Leo meraih tangan Allena lalu digenggamnya. “Aku bisa jelasin. Mereka berdua ini
pacarnya Beni sama Erlan, dan tadi kita cuma lagi bercandaan doang, kok!”

Tanpa menunggu aba-aba, kedua nama yang disebut Leo segera mendekati dua gadis
binal itu. Mereka menyambut segala perlakuan Beni dan Erlan tanpa ragu. Merangkulnya,
menoel dagunya, atau bahkan mencium pipinya. Hal itu sedikit meyakinkan Allena.

“Aku bakal jelasin semuanya. Tapi jangan di sini, ya?” Leo menarik tangan Allena
untuk menjauh dari temannya, sampai meninggalkan Abi dengan meja berisi menu
pesanannya. Keadaan menghening begitu Leo menstarter mobilnya untuk menyalakan AC.
Yang terdengar hanya suara pelan mengalun dari penyiar radio, di pengeras suara mobil Leo.
“Kamu tahu? Aku menjauh dari kamu selama seminggu ini karena siapa?”

Allena menatap Leo yang ada di samping kanannya. Sedangkan Leo menatap lurus ke
depan, ucapan pembuka darinya dibumbui dengan ekspresi wajah yang terlampau masam.

“Maafin aku Len, aku udah jadiin kamu barang untuk taruhan sama Fallen,” Leo
membasuh wajahnya, lalu mengembuskan napas berat. “Aku berusaha untuk menang, supaya
aku bisa bahagiain kamu. Tapi kenyataannya, aku kalah taruhan dari Fallen, Sayang.”

“Taruhan sama Fallen? Sebenarnya, kalian ini taruhan apa?”

Leo mengangkat wajahnya, lalu menatap Allena sendu. “Kami balapan mobil, dengan
konsekuensi kalau aku kalah, aku harus menjauh dari kamu, Sayang.”

155
Fallen & Allena

“Tapi kenapa?” Allena mengerutkan kening, ia tak mengerti jalan pikiran Fallen.
Fallen menolak perasaannya, menjauh karena asumsi kehamilannya, dan tak mau mendengar
alasan bahwa kehamilannya adalah sebuah kesalahan. Namun saat ia mulai dekat dengan
lelaki lain, Fallen kembali mengusiknya. Lantas, apakah Allena tak pantas untuk bahagia?

Leo menaikkan bahunya. “Aku cuma ngga mau kamu diapa-apain sama Fallen. Tapi
kenyataannya, aku kalah. Aku gagal menjaga kamu,” lalu ia memegang kedua pipi Allena.

Allena menggenggam tangan Leo. “Fallen ngga macam-macam, kok.”

Leo mengeratkan pegangannya. “Kamu janji ya, kalau Fallen apa-apain kamu, kamu
harus lapor ke aku. Aku ngga mau kamu terluka sedikitpun.”

Allena mengangguk, ia memeluk erat lelaki yang mengisi kekosongan hatinya, lelaki
yang sempat hendak bertanggung jawab, saat ia diduga hamil akan perbuatan Fallen. Hingga
akhirnya kebenaran Allena hanya sakit kala itu, tak menyulutkan niat Leo mendekatinya.
Namun, tanpa Allena tahu, Leo menyeringai memikirkan strategi lanjutan di baliknya.

***

Allena memasuki toko katering mama Mella secara tak santai, membuat Fallen dan Ana yang
bertengger di meja kasir melonjak. Kedatangannya itu membuat Ana keheranan, karena
sudah lama Allena enyah dan tak bekerja lagi di tempat ini. Namun Fallen sudah mengerti,
mungkin saja, gadis itu datang kemari karena hendak memberinya banyak sumpah serapah.

“Lo licik, ya! Udah nolak gue, ngga mau dengarin penjelasan gue, sekarang lo ngga
rela gue bahagia?” Allena tetap pada pendiriannya yang to the point saat berbicara. “Maksud
lo apa ngajak Leo taruhan, dengan konsekuensi kalau dia kalah, dia harus jauhin gue?”

Fallen melangkah mendekati Allena. “Len, dengarin aku dulu.”

“Ngga ada yang perlu dijelasin, begitu kan, ucapan terakhir lo ke gue waktu itu? Dan
sekarang, itu juga menjadi ucapan terakhir gue ke lo,” sepanjang berceloteh, Allena menatap
Fallen tajam. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi karena tak mendapat jawaban lagi.

Di luar, hujan rintik-rintik. Fallen sempat melihat Allena memasuki mobil Leo sore
ini, dari balik jendela toko katering mamanya ini. Dengan napas gusar, Fallen membasuh
mukanya. Sudah pasti, Leo berkhianat dengan janjinya, dengan memutarbalikkan fakta yang
ada. Sampai kapan pun, Allena akan berpikiran bahwa, Fallen yang bersalah.

156
Fallen & Allena

+ Fallen & Allena +

24. Rahasia Gadis Asing

Langkah Mawar terhenti di depan food court dari mal yang ia datangi bersama Brian
ini. Bukan karena ia melihat paket makanan dengan diskon atau harga murah, melainkan
pemandangan sosok Sandra dengan seorang gadis berambut panjang, yang menyita
perhatiannya. Sampai-sampai ia lupa tujuan utamanya datang kemari.

Bermodalkan mengendap-endap memasuki food court supaya tak terlihat oleh Sandra,
Mawar akhirnya berhasil lolos, dan kini ia bersama Brian menduduki kursi yang tak jauh dari
gadis pemberontak itu. Sejatinya, Brian sudah menolak ajakan Mawar untuk menguping
pembicaraan Sandra dan gadis asing itu, sampai-sampai menunda waktu menonton mereka.
Namun sekali lagi, ini demi keinginan sang pujaan hati. Apapun maunya, akan ia turuti.

“Kamu kenapa kepoin Sandra, sih?” Brian berbisik kepada Mawar.

Mawar yang tengah berusaha menajamkan pendengaran, beralih menatap Brian


sejenak. “Masalahnya, dia ketemu cewek itu. Aku kayak pernah lihat di mana, gitu.”

Brian menoleh ke belakang sejenak. Gadis yang tengah berbincang dengan Sanda itu,
bisa ia lihat setengah wajahnya. Sejenak, ia memutar memori dalam otaknya, kemudian
beralih menatap Mawar kembali. “Yang waktu itu di depan sekolahan?”

Mawar juga berusaha memutar memori dalam otaknya. Pertanyaan Brian barusan,
membuatnya mengingat akan suatu kejadian, di mana dirinya dan juga Allena tengah ditatap
oleh gadis tersebut yang berada di seberang jalan sekolahan. “Oh, iya, benar!”

Kali ini, Mawar dan Brian benar-benar harus menajamkan pendengaran mereka.
Meski, jarak tempat duduk mereka hanya terpisahkan satu meja, namun musik yang diputar
lewat pengeras suara food court sedikit keras dan berisik. Jadi tak semua percakapan dua
gadis itu mereka dengar, namun paling tidak masih bisa mengambil intinya saja.

“Lo suka sama Fallen? Lo ngga ingat, tugas lo di sini, cuma jadi suruhan gue?”

“Suruhan?” Mawar menatap Brian sembari mengerutkan kening. Gadis berambut


panjang yang tengah berbincang dengan Sandra itu, rupanya kembali membuka topik.

“Kalau iya, emang kenapa? Ngga ada yang salah dalam cinta!” Sandra menjawab

157
Fallen & Allena

pertanyaan gadis di hadapannya. “Lo salah, menjadikan gue suruhan supaya menjaga
Fallen. Cowok dingin itu, ngga pernah melihat gue ada, meski beribu cara gue lakukan buat
dekatin dia. Tapi justru di situ, gue bisa merasakan tantangan baru. Apalagi, kalau harus
menghabisi para benalu yang mendekati Fallen selain gue,” kemudian terdengar tawa sarkas
darinya.

“Sudahi semua, San. Atau gue....”

“Atau lo mau keluarin gue dari sekolah, dan mencabut fasilitas yang lo kasih ke
gue?” Sandra memutus ucapan gadis di hadapannya. “Seharusnya, lo berterima kasih ke
gue. Karena satu benalu lagi, udah gue kasih pelajaran setelah ngerebut Fallen dari gue.”

“Bukan ini San, yang gue mau. Dari awal, gue percayain lo, karena gue mau, lo yang
jagain Fallen buat gue yang hanya bisa melihat dia dari kejauhan.”

“Udah, deh. Ikuti semua permainan gue, atau keberadaan lo, bakal gue bongkar ke
Leo!” Sandra kembali tertawa sarkasme. “Lo mau, kejadian itu terulang lagi?”

Percakapan kedua gadis itu, membuat Mawar dan kekasihnya bingung. Terlebih lagi,
saat mereka bawa-bawa nama Leo ke dalam masalah ini. Seketika, Mawar membelalakkan
mata. Ia tersadar, bahwa setelah kejadian adu mulut bersama Allena kala itu, hingga kini
mereka masih belum akur, Mawar mendengar kabar sepupunya itu jadian dengan Leo.

Dari awal, Mawar memang tak menyukai Leo, namun lelaki berkumis tipis dengan
badan sedikit berisi itu, seakan-akan datang menjadi seorang pahlawan. Meski hal yang
hendak ia pertanggungjawabkan, terbongkar bahwa itu adalah salah paham, nyatanya Leo
masih bersikeras ingin menempati posisi penting di hati Allena.

Mawar memang sedang marahan dengan Allena, namun bukan tidak mungkin ia tak
mengawasi sepupunya itu dari kejauhan. Terlebih lagi saat kabar jadian Allena dan Leo
menyebar, sempat membuatnya ingin memberi sepupunya peringatan. Namun, perlakuan Leo
yang terlihat selalu memuliakan Allena, lambat laun membuat Mawar luluh. Percaya bahwa
Leo adalah lelaki baik. Tapi jika harus dihadapkan dengan perbincangan Sandra dan gadis
asing itu perihal Leo begini, rasa-rasanya Mawar ingin segera mengetahui titik berat
masalahnya, dan segera mendatangi sepupunya untuk memberitahukan semuanya.

“Oke, gue ikuti semua kemauan lo, tapi please San, jangan kasih tahu ke Leo tentang
keberadaan gue,” terdengar suara pintaan dari gadis yang berhadapan dengan Sandra.

158
Fallen & Allena

“Kirana Larasati, mending lo ngaca. Perbuatan apa yang yang berdampak besar ke
kehidupan Fallen. Sadar diri juga, kalian ini, bukannya udah resmi jadi kakak adik?”

Mawar dan Brian membelalakkan mata. Perkataan Sandra membuat mereka bingung
untuk kesekian kalinya. Kalau saja tak mengendap-endap sebagai penguping sore ini, mereka
tak akan mendapatkan fakta mengejutkan tentang kehidupan Fallen dan gadis asing itu.

“Kirim uang bulanan gue sekarang!” Sandra terdengar memaksa sambil menggebrak
meja di hadapannya. “Atau Fallen kesayangan Kirana itu, bakalan gue celakai setelah ini.”

Setelah mengatakan hal itu, Sandra bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi
meninggalkan tempat ini. Saat Sandra melewati meja Mawar, Mawar menutupi wajahnya
dengan buku menu untuk bersembunyi. Sedangkan Brian kembali menoleh ke belakang.
Wajah gadis asing yang semula separuh tertutup badan Sandra itu, kini terlihat dengan jelas.
Ia terlihat tengah membanjiri pipinya dengan air mata sembari memijit pelan pelipisnya.

“Sayang, kamu mau kemana?” Brian mencekal tangan Mawar yang terlihat beranjak
dari tempatnya. Cekalan tangannya itu, langsung dilepaskan oleh Mawar, sebelum akhirnya
gadis itu mendatangi sosok yang tengah menangis seorang diri.

Mawar duduk di hadapan gadis berseragam sekolah sebelah, yang beberapa saat lalu
berinteraksi dengan Sandra. Menyadari keberadaan orang lain, gadis asing itu mendongak
dan menyeka air matanya. Seketika, ia terbelalak mengetahui siapa yang ada di hadapannya.

“Sorry, gue tadi menguping pembicaraan kalian,” Mawar berbicara kepada intinya,
dan langsung mendapat respon Brian kembali mencekal tangannya, namun segera ditepisnya.
“Masalah Fallen dan Allena, adalah masalah gue juga. Gue bukan hanya sahabatnya Allena,
tapi sepupunya. Gue mau lo jelasin, maksud semua yang lo bahas sama Sandra,” tambahnya.

Gadis dengan nama Kirana itu, bergeming beberapa detik. Hingga ia pasrah dengan
keadaan. Segala masalah yang tengah dihadapinya ini, seakan menjadi kilas balik dari karma
berkat masa lalunya. Tak ada lagi yang bisa ia tutupi. Mawar, gadis yang sama-sama ia
selidiki pula identitasnya selain Allena, justru menguping sebagian dari rencananya dengan
Sandra. Yang lebih parah lagi, Mawar ternyata adalah sepupu Allena—sosok gadis yang
sempat menjadi korban penganiayaan Sandra, karena berani dekat-dekat dengan Fallen.

“Kami bakal bantuin lo, buat keluar dari masalah ini, apapun caranya,” Mawar
menatap Brian dan Kirana bergantian. Dalam hati, ia membatin miris. Gadis asing yang

159
Fallen & Allena

disinyalir adalah adik Fallen, sedang membutuhkan pertolongan.

Sore itu, Mawar dan Brian membatalkan niat mereka menonton bioskop. Cerita dari
Kirana, membuatnya mengerti mengapa Fallen, Allena, Sandra, dan Leo, menjadi satu dalam
lingkaran yang susah dilepaskan. Semuanya saling berkaitan. Dan kenyataan ini, tak boleh
dipendam. Allena sebagai orang asing yang terseret, harus mengetahui kenyataannya.

***

“Ada apa ini?”

Allena dibuat keheranan di tempat berdirinya—di ambang pintu rumah kakek dan
neneknya. Satu meter di hadapannya, ia disuguhi pemandangan Mawar dan kekasihnya yang
tiba-tiba datang, ditemani sosok gadis lain yang tentunya asing bagi dirinya. Allena kembali
dibuat terperanjat, karena Mawar tiba-tiba mendekapnya setelah beberapa detik saling
pandang. Gadis yang lebih pendek darinya itu, rupanya datang kemari untuk meminta maaf.
Namun, masih terbesit satu pertanyaan, siapa cewek yang dibawa Mawar ini?

Setelah Mawar puas meminta maaf sambil menangis, akhirnya Allena mengizinkan
tamunya masuk ke dalam rumah, tak lupa membawa hidangan teh hangat dan camilan
sederhana untuk mereka. Hingga kenyataan yang ada, kembali membuat dirinya terbelalak.

“Gue mantannya Fallen, yang sekarang udah jadi adiknya,” tak ada ekspresi
kekecewaan di wajah Kirana, karena sudah lama berusaha menerima takdirnya. “Kedatangan
gue ke sini, selain mau minta maaf, gue juga bakalan jelasin semuanya.”

Allena mengerutkan keningnya. Ia tak mengerti, sedang dihadapkan masalah seperti


apa kali ini. “Oke, tapi sebelumnya, gue ngga tahu apa-apa.”

“Lo masih ingat gue?” Kirana tersenyum simpul. Pertanyaannya mendapat tatapan
penuh pertanyaan balik dari Allena. “Gue pernah ngawasin lo di depan sekolah, dan beberapa
kali juga kalian sempat pergoki,” tambahnya.

“Gue adalah alasan, kenapa Fallen berubah. Dia yang mematuhi aturan, jadi berontak
setelah adanya perselingkuhan orangtua kami,” Kirana kembali melanjutkan kisahnya yang
sudah berlalu, yang sudah sempat ia timbun dalam-dalam. “Kami berdua pacaran sejak kelas
delapan SMP, sampai pertengahan kelas sepuluh SMA. Gue anak yatim, dan Fallen adalah
anak yang berjarak dari ayahnya. Itu membuat kami mulai dekat sampai menjalin hubungan

160
Fallen & Allena

pacaran. Awalnya, semua baik-baik saja sampai tahun kedua. Hingga akhirnya, ayah Fallen
yang memang sudah meninggalkan keluarganya, ternyata menjadikan ibu gue yang kedua.”

“Gue yang tahu lebih dulu masalah ini dari Fallen, berusaha menutupi dari dia. Gue
yang sering diajak makan bersama ibu dan om Hendra, selalu tutup mulut dan berjanji ngga
akan membocorkan masalah perselingkuhan ini. Sampai akhirnya, Fallen memergoki kami,
saat makan malam di sebuah restoran. Gue ngga nyangka, Fallen yang penurut dan jauh dari
kekerasan, dengan entengnya malam itu memberi ayahnya sendiri pelajaran sampai terkapar,”
Kirana terkekeh miris, mengingat kejadian yang berlalu hampir dua tahun itu. “Sebelum
pergi, dia memutuskan hubungan kami, dan sempat gue lihat dia juga menangis. Rasanya
waktu itu, gue menjadi orang yang paling Fallen benci di dunia. Gue selalu berusaha jelasin
ke dia, tapi dia selalu menghindar. Bahkan tanpa segan, dia sampai main tangan. Satu hal
yang ngga pernah dia lakukan ke perempuan lain, apalagi lo dan juga mamanya,” Kirana
tersenyum kepada Allena di akhir kalimatnya. “Gue mengalah dengan keadaan. Gue pindah
dari sekolah kalian, dengan tetap mempertahankan supaya masalah ini, ngga akan didengar
oleh siapapun. Jangankan orang awam, sahabat Fallen juga ngga pernah tahu, apa masalah
yang terjadi di kehidupan kami. Sepandai itu, Fallen menyembunyikan masalah besarnya.”

“Lo pernah sekolah di Hakas? Gue ngga pernah lihat lo, dan juga ngga tahu tentang
hubungan lo sama Fallen,” Brian melempar Kirana pertanyaan yang sejak sore tadi ia tahan.
Ia tak pernah melihat Kirana berseliweran di sekolah, bahkan tak tahu hubungan mereka.

“Fallen sukanya backstreet. Kalian bisa bayangkan sendiri, gimana kuatnya gue nahan
cemburu, tiap Fallen diteriakin cewek pas manggung,” Kirana terkekeh. “Tapi di belakang
mereka, Fallen cuma milik gue. Semua dunianya milik gue, poros Fallen adalah gue, dan gue
adalah rumah untuk dia pulang,” senyumnya yang lebar, menyusut disertai tatapan
kosongnya. “Tapi tenang Al, itu dulu. Sekarang, dunia Fallen dunia lo juga, lo adalah poros
dan rumah Fallen untuk pulang, Allena,” Kirana meraih tangan Allena untuk ia digenggam.

“Apa hubungan lo dengan Sandra dan Leo?” Mawar memutus topik pembicaraan dan
menatap Kirana dengan tajam, karena masih ada hal yang gadis itu sembunyikan.

Allena makin heran. Mendengar nama Sandra dan Leo, membuat ia melepaskan
genggaman tangan Kirana padanya. “Kenapa bawa-bawa Sandra dan Leo?”

“Leo sahabat Fallen saat SMP dulu. Satu geng dengan Beni. Dia pernah suka sama
gue, tapi gue tolak,” Kirana menunduk selepas mendapat tatapan tajam dari Mawar. “Hingga

161
Fallen & Allena

hubungan backstreet kami, merusak persahabatan dua cowok itu. Sepulang sekolah, Leo
pernah mukuli Fallen sampai hampir koma. Hal ini, membuat Leo dikeluarkan dari sekolah,
sampai setelah itu, kabarnya ngga lagi terdengar,” Kirana meraih cangkir berisi teh buatan
Allena, lalu menyesapnya beberapa mili. “Sampai dia kembali setelah tahu, kalau gue dan
Fallen udah ngga ada hubungan lagi. Kedatangan dia memang membalut luka, tapi di balik
semua itu, dia udah ngga menyukai gue lagi. Gue jadi pelampiasan masalah masa lalu itu.”

Kirana terdengar terisak. Sepanjang penjelasan, Allena membekap mulutnya karena


tak percaya. Ia tak menyangka, dunia begitu sempit, dalam masalah berat begini sekalipun.

“Leo berbohong tentang kepindahan dari Singapura. Padahal, dia masuk ke sekolah
baru gue setelah Hakas. Karena sempat di-drop out, Leo berhenti sekolah setahun, membuat
dia jadi adik kelas gue maupun Fallen,” Kirana tetap menjelaskan segala kisahnya, meski
isakannya masih terdengar. “Oh, iya, waktu Leo udah masuk ke sekolahan gue, dia sempat
hampir perkosa gue di suatu tempat,” kalimat lanjutannya membuat Allena tercengang.
Sedangkan Mawar dan Brian biasa saja karena mereka sudah tahu. “Itu yang menjadikan om
Hendra ingin menyegerakan pernikahannya dengan ibu, supaya beliau bisa seintens itu
memberi gue perlindungan. Tapi hal ini, bikin gue lagi-lagi merasakan dilema. Kalau mereka
menikah, om Hendra harus minta izin ke tante Mella. Tetap atau tanpa melanjutkan rumah
tangga mereka sebelumnya, demi pernikahan ini. Lagi-lagi, Fallen tersakiti karena gue...”

Allena tak kuasa menahan keinginannya untuk memeluk Kirana yang terus terisak.
Kisah panjang memilukan yang diceritakan gadis itu, membuat Allena selangkah lebih maju
untuk mengetahui fakta kehidupan yang Fallen sembunyikan. Namun di sisi lain, dirinya
syok, dan merasa bahwa kedekatannya dengan Fallen belum seberapa. Karena hal masa lalu
yang membuat permasalahan berat pun, tak pernah Fallen ceritakan kepadanya. Soal sang
ibunda yang menderita sakit jantung, sempat ditinggalkan oleh ayahnya, sampai hubungan
yang rusak karena perselingkuhan orangtua, sama sekali tak pernah Fallen ungkap padanya.

“Gue sayang sama Fallen, Al. Gue ngga mau dia jatuh ke pelukan cewek yang salah.
Masalah berat yang menimpanya ini, cukup membuat Fallen jadi perokok berat, dan cukup
membuat Fallen terkadang suka mabuk dan nge-drugs.”

Allena melepas dekapannya lalu mengerutkan kening. “Lo ngga bercanda kan, Ran?”

“Ngga Al, Kirana jujur,” Mawar yang sudah mengetahui semuanya, merasa bahwa di
sini, ia juga perlu membantu Kirana menjelaskan pelan-pelan kepada Allena. “Fallen pernah

162
Fallen & Allena

bilang pas upacara, kan? Kalau dia sering minum obat antidepresan? Oke, kita tahu itu adalah
obat buat bikin seseorang ngga depresi. Tapi, Fallen ngga bilang kan, kalau sekali minum
lebih dari dosis dan takaran yang dianjurkan. Memang ngga setiap hari, tapi tiap kali dia
dihadapi masalah, kalau ngga mabuk, ya dia minum obat itu dalam jumlah banyak.”

Allena meremas rambutnya. Kenyataan pahit ini, datang bertubi-tubi padanya. Tak
hanya Leo yang kini menjadi kekasihnya, kedoknya telah terbongkar oleh Kirana, lagi-lagi
fakta tentang Fallen yang tak ia ketahui, semua diungkap oleh Kirana. Hal ini membuat
Allena keheranan, bagaimana mungkin gadis yang sudah mengetahui seluk-beluk Fallen ini,
tetap tak dimaafkan oleh lelaki itu. Bahkan, Tuhan pun tetap memaafkan umatnya yang
pendosa, bukan? Namun mengapa Fallen tak bisa melakukan hal itu?

“Kalau Sandra, di Hakas kami satu geng. Sampai akhirnya, kami berpisah karena gue
pindah sekolah,” Kirana kembali melanjutkan kisahnya, karena merasa tak ada perbincangan
lagi yang tercipta. “Gue nitip Fallen ke dia, karena cuma dia yang tahu tentang hubungan
kami, yang udah ngga bisa dipertahankan ini. Tadinya, gue percaya sama dia. Sampai
akhirnya, bukannya melakukan tugas, dia justru terobsesi termakan sandiwaranya sendiri. Dia
jadi sebegitu inginnya jadi pacar Fallen, sampai ngga segan kasih pelajaran ke cewek-cewek
yang juga ingin dekat dengan Fallen. Termasuk lo Allena,” ia beralih menatap Allena dalam.
“Maafin gue, Al. Tanpa adanya motif gue menjaga Fallen dari kejauhan, sepertinya, lo ngga
akan terkena masalah di-bully, sampai hampir dibunuh begitu sama Sandra,” tambahnya.

Allena kembali mendekap Kirana, dan mengusap bahu gadis itu. “Tenang. Masalah
itu udah berlalu kok. Justru, masalah itu bikin gue belajar, supaya berhati-hati sama orang.”

Kirana melepas dekapan Allena, lalu menatap gadis itu dalam. “Oh, iya, gue juga mau
ingatin lo. Motif Leo datang ke kehidupan Fallen, pastinya untuk melanjutkan ajang balas
dendamnya, Al. Gue harap, lo putusin aja Leo. Karena bukan ngga mungkin, cowok brengsek
itu, bakal melakukan hal di luar nalar, untuk semakin menyakiti orang di sekitar Fallen.”

“Iya, Al. Putusin Leo aja, ya?” pinta Mawar tak mau kalah.

Allena terdiam sejenak. Kisahnya dengan Leo, baru belum genap sepuluh bulan.
Perlakuan lelaki itu juga tak lain dari memberikan segalanya, tanpa berharap timbal balik.
Kedatangan Leo memang selalu disebutkan sebagai penyembuh luka, namun bukan tidak
mungkin, lelaki itu justru akan menambah luka baru selanjutnya.

163
Fallen & Allena

“Gue juga minta tolong, Al. Jagain Fallen, ya?” Kirana meraih tangan Allena untuk
kembali ia genggam. “Gue lihat dari kejauhan, sejak kenal lo, dia berhenti jadi anak bandel,
dan lebih ceria dari biasanya. Tapi setelah kalian berdua dihadapi masalah bertubi-tubi begini,
Fallen kembali kehilangan alasan dia untuk bahagia. Dia memang masih memiliki mama
yang menjadi alasan dia hidup di dunia, tapi dia juga butuh pendamping lain, bukan? Apalagi,
semenjak kedatangan Leo itu, dia benar-benar hampir kehilangan semuanya.”

Benar juga. Terdengar kabar bahwa Fallen tak lagi terlihat bergabung dengan Beni,
Erlan, dan Faza. Dari cerita Brian, Fallen sempat berkelahi dengan Erlan beberapa bulan yang
lalu. Leo juga terlihat lebih sering nongkrong dengan Beni, Erlan, dan Faza. Dan yang tak
disadari oleh Allena, dirinya yang kini menjadi kekasih Leo, benar-benar menjadi semakin
jauh dari Fallen. Jangankan untuk bertemu, bertutur sapa pun, rasanya berat untuk berucap.

Kalau sudah begini, apalah daya, Allena harus menarik sumpah serapahnya beberapa
saat lalu, setelah Leo memutarbalikkan fakta bahwa dirinya dijadikan bahan taruhan.
Mengingat hal ini, mungkin dari Kirana, Allena juga mendapat info seputar balapan ini.

“Lo tahu ngga, Fallen dan Leo waktu itu, balapan karena apa?” setelah sekian lama
mendengarkan, Allena akhirnya mengeluarkan pertanyaannya.

Kirana tersenyum. “Karena lo. Fallen ngga mau lo diapa-apain sama Leo, itulah
mengapa mereka taruhan. Dengan konsekuensi kalau Fallen menang, selain dapat uang, dia
ngga perbolehin Leo dekat sama lo. Fallen bukan jadiin lo barang taruhan, Al. Melainkan, lo
adalah piala yang diselamatkan dia. Bukan ngga mau melihat lo bahagia dengan dunia baru,
justru dia ngga mau lo jatuh karena terlalu asyik dengan dunia baru yang menipu itu.”

Setelah mengetahui semua ini, Allena ingin mendatangi Fallen. Ia ingin mendekap
lelaki itu erat-erat, menangis di hadapannya, sembari meminta lelaki itu untuk bisa berbagi
masalahnya. Semua hal yang diceritakan Kirana panjang lebar, rasanya begitu memilukan
apabila hanya dipikul oleh seorang Fallen saja. Terlebih lagi, ia hidup hanya dengan
mamanya seorang. Hidup di keluarga sederhana, dengan ia yang selalu berjuang tegar tanpa
tempaan dari seorang ayah, yang dibutuhkan oleh anak lelakinya. Allena tak tahu lagi apa
yang terjadi, akhirnya Fallen hidup seorang diri menjadi sebatang kara. Apakah lelaki itu
tetap berusaha terlihat menyombongkan diri karena selalu saja tegar manghadapi dunia?

+ Fallen & Allena +

164
Fallen & Allena

25. Akhir sebuah Cerita

Kemarin, Mawar memang datang memberi penjelasan menemani Kirana ke rumah


Allena. Mawar juga telah meminta maaf atas segala kesalahan yang dibuat olehnya. Namun,
kecanggungan yang Allena rasakan masih saja menyeruak, meskipun Mawar sudah bersusah
payah mengakrabi dan mencari topik pembicaraan. Seperti saat dihadapi Mawar dan
pacarnya begini di kantin sekolahan, Allena nyatanya masih saja memilih untuk berdiam diri
—menunduk sambil mengaduk mie ayam pedas di hadapannya. Meski begitu, sesekali ia
menatap Mawar dan Brian secara bergantian. Memastikan bahwa sepupunya itu apakah
benar-benar meminta maaf padanya dengan tulus, atau hanya karena ada maksud lain.

“Al, gue emang udah minta maaf ke lo, tapi kayaknya, gue ngga akan merasa bersalah
karena serta-merta mau bikin lo sakit hati lagi setelah ini,” Mawar beralih menatap Brian.
Ucapannya dipastikan membuat Allena bingung bukan kepalang. Tetapi peristiwa yang
beberapa menit lalu dilihatnya, harus disampaikan ke Allena. Mawar menarik napas dan
diembuskannya pelan. “Tadi, gue lihat Leo sama Sandra kissing di depan toilet barat, Al.”

“Sepertinya, mereka berdua memang ada hubungan khusus yang ngga Kirana kasih
tahu ke kita,” Brian menambah asumsi untuk menguatkan laporan dari kekasihnya.

Allena tak peduli. Ia tetap melanjutkan aktivitasnya melahap mie ayam pedas pak
Umang favoritnya. Membahas Leo bukannya membuat dia sakit hati, namun merasa gereget
dan ingin memaki. Untuk lagi-lagi, lelaki yang berhubungan dengannya kembali berhadapan
dengan Sandra, rasanya bukan hal yang mengejutkan baginya.

Mawar geram sendiri, karena sudah membahas Leo sekali pun, ternyata sepupunya
tetap tak mau berbicara dengannya. Dengan sedikit memutar otaknya, Mawar menemukan
pembahasan yang mungkin menarik perhatian Allena. “Al, rumah gue sekarang sepi tiap
akhir pekan. Lo ngga ada niatan buat menginap lagi sesekali? Oke deh, masalah yang gue
buat emang fatal banget, sampai membuat lo makin berjarak sama Fallen. Tapi, apa lo tetap
mau memutus persahabatan dan persaudaraan ini, hanya karena masalah percintaan?”

Seperti yang Mawar pikirkan, Allena akhirnya merespon perbincangan ini, meski
hanya sebatas dengan tawaan mencibir dan tatapan mencemooh.

165
Fallen & Allena

“Sekarang gini, posisinya kalau gue balik, gimana? Gue ngelabrak Brian, karena
asumsi gue bahwa lo dihamilin dia,” Allena menunjuk Brian dengan dagunya. “Di saat gue
ngga tahu, kalau ternyata, Brian lagi banyak masalah. Brian sempat menghindar, tapi gue atau
lo ngga tahu kan, kalau di balik sikapnya ini, dia sedang mengambil banyak risiko, demi
bertanggungjawab sama kehamilan lo. Tapi di saat dia udah mau mempertanggungjawabkan
perbuatannya yang belum pasti terjadi, di sisi lain masih dihadapi banyak masalah, tiba-tiba
gue datang ngelabrak dia lagi, terus gue minta maaf. Karena ternyata asumsi gue tentang
kehamilan lo itu salah paham,” tambahnya. “Lalu hubungan kalian renggang. Salah ngga,
kalau lo marah ke gue, tapi gue marah balik, beranggapan kalau apa yang gue lakuin wajar?”

Mawar melempar pandang ke Brian. Kemarahan Allena sejak berjarak dengan Fallen,
menjadi kemarahan terbesarnya sepanjang sejarah hidup Mawar. Kalau memang Mawar
egois, rupanya saat dihadapkan dengan Allena yang lebih egois, dia kalah telak begitu saja.

Di sela perbincangan memanas, tiba-tiba tangan Allena dicekal oleh seseorang yang
baru datang. Orang itu Leo. Yang lebih tak diduga, Sandra berada di belakang lelaki itu.
Berdiri menyilangkan tangan di dada, dengan memasang wajah angkuhnya.

“Aku mau ngomong sama kamu, Allena,” Leo tetap berusaha menarik tangan Allena,
meski gadis itu berusaha menepisnya.

“Apa? Ngga ada yang perlu diomongin!” Allena lebih tegas saat mengambil tindakan.
Ditepisnya tangan Leo tak santai, lalu bangkit dari bangkunya. “Udah cukup Le, lo berkedok
mau bahagiain gue. Tapi di belakang, ternyata lo jadiin gue alat balas dendam ke Fallen.”

Leo membelalakkan mata. Bagaimana Allena tahu akan hal ini? Siapa yang memberi
tahu Allena? “Maksud kamu apa Allena?” Dengan penuh selidik, ia beralih menatap Sandra.
Namun, gadis itu kembali memandang penuh pertanyaan padanya. “Kamu ketemu Fallen ya,
di belakang aku? Aku kan udah bilang, kamu harus jauhin dia. Dia itu bermuka dua, Allena.”

Mawar juga bangkit dari bangkunya, lalu menggebrak meja. “Lo ngga punya kaca
gede, di rumah? Ngga cukup apa, lo permainkan Allena dengan cinta palsu? Ngga cukup juga
lo datang membalaskan dendam, membuat orangtua Fallen sakit? Apalagi yang lo perbuat?
Lo ambil hati teman-teman Fallen, tapi di belakang lo makan teman juga, dengan ciuman
sama Sandra di toilet sekolah. Gimana, siapa yang muka dua di sini, hah?!” celotehnya.

“Apa? Ciuman sama Sandra?”

166
Fallen & Allena

Situasi makin memanas saat ini, terlebih saat Beni tiba-tiba datang bersama dua teman
karibnya, Erlan dan Faza. Ia mendengar semua celotehan Mawar, sampai di titik Leo ciuman
dengan Sandra—gadis pujaannya, di toilet sekolah, pula. Padahal, Leo tahu kalau Beni itu
menyimpan rasa pada Sandra sejak lama. Sejak Leo belum kembali lagi di pertemanan ini.

“Lo tega banget sih, Le?” Beni mendorong dada Leo tak santai. “Fallen yang selama
ini Sandra kejar-kejar aja, dia selalu menolak perlakuan dari Sandra. Kenapa lo main
belakang sama Sandra, di saat lo tahu, gue suka sama dia sejak lama?”

Leo merasa benar-benar terpojokkan kali ini. Namun paling tidak, dia masih memiliki
satu kekuatan. Yaitu Sandra, gadis yang terkenal suka berperilaku sadis.

“Harus berapa kali gue bilang, gue ngga suka sama lo! Mau gue ciuman sampai ML
sama Leo, itu bukan urusan lo!” giliran Sandra mendorong dada Beni dengan telunjuknya.

“Lo murahan banget sih, jadi cewek?!” Mawar memekik.

“Lo ngga usah ikutan masalah ini!” Sandra beralih menuding Mawar. “Kalau benar
Leo menjadikan lo semua di sini sebagai alat untuk belas dendam ke Fallen, emang kenapa?
Gimana? Enak kan, terjebak sama permainan kami?” lanjutnya dengan disertai tawa setan.

“Gimana, kalian udah puas permainkan kami semua di sini?”

Situasi apalagi ini? Tiba-tiba, kedatangan Cindy dan Abi, membuat Sandra terbelalak.
Gadis berbadan gempal yang sempat ia jadikan mata-mata untuk mengintai Allena, justru
bersekongkol dengan Abi yang notabenenya ada di pihak Fallen sebagai sepupu lelaki itu.
Leo juga tak menyangka, di awal pertemanannya dengan Abi yang meyakinkan bahwa
drumer itu juga membenci Fallen, justru sekarang seperti berbalik menyerang dirinya.

“Gue sempat jadi mata-mata Sandra untuk mengintai lo Al, tapi semua berhenti saat
gue ketemu Kirana. Dia datang dan menjelaskan semua, bahwa Sandra—mantan satu
gengnya Kirana ini, justru ingin mempermainkan kita semua,” Cindy membuka kembali
pembicaraan yang terhenti. “Menurut gue, bukannya suka, tapi dia terobsesi sama Fallen.
Dan dia bertemu Leo—musuh bebuyutan Fallen. Sandra ini bukan anak orang kaya, segala
kemewahan yang dia punya, dia hasilkan dari pemerasan kepada Kirana dan juga upah
tambahan dari Leo karena mereka kerja sama. Niat mereka berdua ini, tadinya memang ingin
balas dendam ke orang yang sama. Yaitu Fallen. Karena dengan Sandra yang selalu ditolak
perasaannya, sedangkan Leo sempat merebutkan orang yang sama, yaitu Kirana.”

167
Fallen & Allena

Celotehan Cindy membuat keadaan menghening. Kedok Leo dan Sandra terbongkar
oleh seseorang yang tak terduga. Seseorang yang sempat Sandra sepelekan keadaannya.

“Ben, Lan, Za, kalian kira, apa yang Leo kasih ke kalian, tetap menjadi kebaikan dari
dia?” giliran Abi yang membuka pembicaraan, sambil menatap Leo tajam. “Asal lo tahu, Lan,
saat nanti lo udah ngga punya uang buat beli obat, Leo bakalan menyiksa lo. Bukannya
gratisin lo lagi, tapi dia bakal tagih semua hutang lo, karena selama ini pasokan barang itu
dari dia. Lo Za, reputasi lo turun sebagai anggota yang paling cerdas dan berprestasi, gara-
gara sebentar lagi, Leo bakal sebar video mabok, sama kayak apa yang dia lakukan ke Fallen
waktu tragedi video transaksi narkoba waktu itu. Dan lo Ben, gimana sekarang, Leo baru aja
menusuk lo dengan cara ciuman sama Sandra di toilet sekolah. Kalian belum tahu aja, nanti
dia mau berbuat apalagi, demi kepuasan dendam dia hanya karena satu orang.”

“Lo semua ngga usah salahin Leo! Semua ini, gara-gara Fallen! Kalau dia dari dulu
ngga bikin masalah, kalian semua di sini ngga akan terlibat!” timpal Sandra dengan cepat.

“Kalian bisa stop ngomong ngga, sih? Gue capek, dengar kalian semua debat! Semua
ini ngga ada untungnya buat gue,” Allena berseru.

Sebelum Allena meninggalkan kantin yang memiliki suasana memanas, langkahnya


terhenti karena sosok paling penting tiba-tiba datang menambah rasa tegang. Orang itu
bersangkutan dengan apa yang mereka bahas sepanjang hampir setengah jam. Mereka rela
membolos demi membicarakan hal ini, meski bel masuk sudah terdengar beberapa saat lalu.

Keadaan KBM di sekolah memang belum efektif bagi kelas sepuluh dan kelas
sebelas, karena kelas dua belas dua Minggu lagi ujian nasional. Guru sebagai tenaga
pengajar, lebih memprioritaskan kelas dua belas untuk mendalami materi untuk menempuh
ujian, hingga berharap lulus dengan nilai memuaskan. Pembelajaran ini biasanya diisi
pembahasan kisi-kisi soal ujian tahun lalu, yang biasanya tak jauh berbeda dengan ujian yang
akan datang. Jadi, kelas yang ditinggalkan guru untuk pendalaman materi kelas dua belas
biasanya kosong.

“Gue ngga peduli lagi dengan upaya balas dendam lo. Kalau lo masih mau Kirana,
ambil aja! Dia udah bukan punya gue lagi,” Fallen akhirnya berbicara, setelah terdiam sambil
mengabsen orang-orang sekitarnya dengan tatapan tajam. Hingga tatapan itu berhenti pada
Leo—biang kerok semua masalah. “Tapi gue mohon, jangan sakiti teman-teman gue. Gue
yang salah, ngga seharusnya gue memulai cinta bersama Kirana di belakang lo,” tambahnya.

168
Fallen & Allena

“Shut up! Lo kasih Kirana ke gue, karena dia dan nyokapnya, ngehancurin keluarga
lo? Apa bedanya lo sama gue? Membalaskan dendam sakit hati di masa lalu,” Leo mencibir.

“Gue bukan lo, ya, bangsat!” Fallen mengambil kuda-kuda untuk menyerang Leo,
namun tiga temannya yang sudah lama menjauh, segera menahan gerakannya.

“Heh bangsat, asal lo tahu, gue ngga tertarik lagi sama Kirana. Tapi gue, mulai
tertarik sama Allena mainan baru lo ini,” Leo menyeringai, lalu beralih menoel dagu Allena,
dengan respon gadis itu menepis tangannya. Namun tawanya semakin kencang.

Tanpa basa-basi lagi, Leo mendapat pukulan kencang. Bukan dari Fallen, melainkan
Beni yang tiba-tiba melesat melepaskan cekalannya pada Fallen. Hal ini hampir membuat
suasana kantin menjadi heboh, dengan sisa murid yang masih menikmati hidangan, maupun
pemilik kantin yang berbondong-bondong keluar. Tak mau temannya mendapatkan masalah,
Fallen menarik Beni untuk menyudahi perbuatannya, karena Leo benar-benar sudah terkapar
di lantai, dengan kedua sudut bibirnya membiru lebam dan mengeluarkan darah.

“Mau lo apa, anjing? Kirana lo perkosa, Sandra lo cium, Allena korban selanjutnya?”
Beni terus memberontak ingin memberi Leo pelajaran, namun tiga temannya mencekalnya.

Cekalan satu di antaranya terlepas. Fallen orangnya. Dia terbelalak dengan pengakuan
Beni. Darah yang mengalir dalam tubuhnya, seakan berhenti mendengar kabar bahwa Leo
memperlakukan Kirana dengan tak senonoh. Fallen melesat dengan cepat, ia menarik kerah
baju Leo. Melanjutkan pukulan dari Beni, sampai wajah lelaki itu tak berbentuk normal lagi.
Para pemilik kantin berbondong-bondong melerai, sedangkan Brian kembali ke kantin sambil
berlari bersama guru kesiswaan yang datang, setelah ia mengadu karena ada perkelahian.

***

“Siapa yang memulai?” pak Jito memandangi semua murid bermasalah di hadapannya.
Mereka berjumlah lebih dari lima orang. “Kalian ini, dari dulu selalu bermasalah.”

“Beni yang memukul Leo duluan! Terus, Fallen selanjutnya, sampai membuat Leo
terluka begini,” Sandra menyergap sebelum pihak Fallen menyalahkan Leo.

Semua yang menjadi korban, beralih menatap Sandra dengan tajam. Tak ada habisnya
gadis itu memainkan drama. Namun Fallen tak peduli, jika karena tindak kekerasan kepada
Leo ini membuatnya di-drop out, paling tidak ia puas memberi lelaki brengsek itu pelajaran.

169
Fallen & Allena

Beni bangkit dari kursi, lalu menggebrak meja pak Jito. “Saya rela di-drop out kalau
sampai dinyatakan bersalah dalam masalah ini. Tapi saya juga mau, Leo dan Sandra dipenjara
karena semua perbuatan licik mereka, Pak! Kalau bisa, dites aja kejiwaan mereka!”

Pak Jito kembali menatap semua muridnya yang bermasalah itu secara bergantian,
karena semakin tak mengerti ke manakah, ranah pembicaraan kali ini. Hingga semuanya
terkuak, meskipun Leo maupun Sandra masih saja membela dirinya masing-masing. Namun
sekolah telah memberi keputusan terakhir.

+ Fallen & Allena +

170
Fallen & Allena

26. Sisi Lain

“Allena.”

Suara itu menghentikan langkah si gadis pemilik nama Allena. Lelaki yang sedari tadi
menanti di koridor kelas, membuat dadanya berdesir merasakan sakit yang teramat dalam.
Berbulan-bulan mereka lalui tanpa komunikasi maupun percakapan. Hingga kini, Fallen
kembali datang, membuat Allena berpikir bahwa ini akan menjadi akhir dari cerita indahnya.
Pemikiran ini muncul karena Allena beranggapan bahwa, pukulan Fallen yang membabi-buta
kepada Leo karena lelaki itu murka dengan kelakuannya kepada Kirana. Artinya, Fallen
masih bersangkutan dengan gadis baik itu. Fallen mungkin bisa saja kembali ke Kirana
setelah ini, dan memulai kisahnya lagi setelah menyelesaikan kisah mereka yang tertunda.

“Mau apa?” Allena memberi Fallen kesempatan mengucapkan selamat tinggal.

Fallen mengajak Allena duduk di kursi koridor. Lalu ia memandangi langit luas yang
begitu terik siang ini. Keadaan sekolah telah sepi, karena kebanyakan pulang lebih awal dan
kelas dua belas yang lain masih mengerjakan kisi-kisi. “Aku mau minta maaf,” Fallen beralih
menatap Allena. “Ngga seharusnya aku menghindar dari masalah yang menimpa kita.”

“Itu cuma salah paham. Gue yang harusnya minta maaf, karena ucapan Mawar bikin
lo tambah banyak pikiran,” Allena terkekeh, memalukan jika mengingat kejadian itu.

Fallen tersenyum, hal yang telah lama tak Allena lihat. “Dari dulu, kamu selalu sama.
Meski dihadapi masalah, kamu berusaha untuk tegar menghadapinya, Allena.”

Allena juga tersenyum, tak berniat mengucapkan kalimat lagi. Rasanya, dia sudah rela
jika harus dihadapi nasib lelaki itu pergi dari hidupnya. Namun, ada satu hal yang selama ini
Allena merasa tak adil, yang ingin ia sampaikan. “Gue ngga bermasalah lagi, justru lo yang
bermasalah. Tapi lo ngga pernah mau ceritain semua itu. Lo anggap gue apa selama ini?”

Fallen menarik napasnya dalam, kemudian ia embuskan dengan perlahan. “Aku


mungkin salah, menjadikan kamu orang selanjutnya untuk aku usili, apalagi menyangkut
urusan perasaan. Tapi kenyataannya, saat aku hanya ingin membuat kamu jatuh cinta
kemudian aku tinggalkan, rasanya aku kehilangan semuanya.”

Allena meloloskan air matanya yang memanas di pelupuk mata, lalu beralih menatap
Fallen. Yang tak ia duga, lelaki itu juga menitikkan air mata.

171
Fallen & Allena

“Aku kehilangan penyemangat, aku kehilangan sosok pengganti adikku yang telah
pergi, aku juga kehilangan alasan untuk apa aku berhenti usil kepada guru-guru di sekolah,”
Fallen menatap Allena dalam, kemudian menyeka air matanya, karena gadis itu mengetahui
dirinya tengah menangis. “Sorry, pembahasan ini malah jadi melebar. Aku menemui kamu,
sebenarnya karena aku ingin izin menjauh terlebih dulu dari kamu.”

Air mata Allena makin deras membasahi pipi. Dugaannya soal Fallen pergi dan
mengucap selamat tinggal, ternyata memang benar adanya. “Lo boleh menikmati waktu
untuk sendiri, tapi kenapa lo menjauh lagi dari gue? Semarah itukah, lo sama kesalahan
gue?”

“Aku mau ujian, lulus, lalu menyelesaikan studi lanjutan, atau meniti karirku di
tempat yang entah aku ketahui ada di mana. Kalau saat masih bersama begini, aku hanya
bisa menyakitimu, apa yang terjadi kalau nanti kita berjauhan?” pandangan Fallen kembali
beralih menatap langit luas. “Aku pernah meminta izin untuk berteman denganmu, saat aku
pergi, harusnya, aku juga meminta izin pamit kepadamu, kan?”

“Kalau ada yang jahatin gue, gimana? Gue ke sekolah sama siapa? Siapa yang
temani gue curhat, dan nenangin pakai pelukan?” Allena bangkit dari kursi, lalu menatap
Fallen tajam dengan air matanya yang terus menetes. “Jadi, menjauh beberapa bulan
belakangan ini, menjadi ajang gladi resik sebelum lo benar-benar pergi dari hidup gue?”

Fallen kian berdiri, lalu merentangkan kedua tangannya, menatap Allena dalam,
seakan menanti gadis itu datang ke dalam pelukannya. Meskipun Allena tengah memuncak
kemarahannya, Fallen yakin hal ini akan membuat gadis itu melunak kembali. Benar saja.
Gadis itu menghambur memeluk Fallen. Dan yang lebih memilukan, Fallen yakin ini adalah
pelukan terakhir untuk Allena, sebelum nanti mereka berpisah akhirnya.

“Sejak awal, kamu kuat tanpa aku. Kamu hanya perlu kembali ke diri kamu yang
dulu, sebelum kamu mengenal aku,” Fallen mengusap puncak kepala Allena yang tersedu-
sedu di dalam pelukannya. “Aku ngga akan pergi lama. Aku janji kita akan bertemu lagi.
Dan aku mau, saat pertemuan kita nanti, aku mau melihat rambut panjangmu. Boleh, ya?”

Sudah setahun berlalu. Kiranya itu yang menjadi akhir dari kisah Fallen dan Allena
yang sejatinya belum usai. Hanya perbincangan itu yang Allena ingat hingga saat ini. Sejenak
Allena tatap pantulan dirinya di dalam cermin toilet siswi, lalu membenarkan rambutnya
yang sedikit acak-acakan. Entah mengapa, saat berhias dengan rambut panjangnya yang kini

172
Fallen & Allena

lebih sering ia gerai, memori tentang perpisahannya dengan Fallen kembali terngiang.

Cuaca sedang terik-teriknya, selain itu Mawar mengomel dari luar, membuat Allena
akhirnya cepat bergegas dari dalam toilet. Mereka hendak mendatangi kediaman Brian sesuai
permintaan Mawar, untuk memberi kekasihnya itu kejutan ulang tahun. Sepanjang Mawar
mengomel banyak tentang dekorasi tempat perayaan, kado untuk Brian, sampai harus
memakai gaun seperti apa, Allena abaikan setibanya di depan koridor bersejarah itu.

Tempat Allena pertama kali melihat Fallen dihukum keliling lapangan oleh bu Mega,
dan tempat terakhir yang memisahkan jarak keduanya. Allena tersenyum, mengingat harunya
pertemuan terakhir dengan Fallen siang itu. Fallen memeluknya dan memberinya kecupan di
puncak kepala. Berselang dua Minggu, Fallen dan kelas dua belas lain melaksanakan ujian
nasional, sedangkan kelas sepuluh dan sebelas diliburkan. Kelas dua belas libur setelah
dihadapi ujian nasional, giliran kelas sepuluh dan sebelas yang kembali melanjutkan rutinitas,
hingga mereka ujian kenaikan kelas. Waktu memang terasa begitu cepat. Kini, giliran Allena,
Mawar, Abi, dan Cindy yang harus menempuh bagaimana rasanya ujian nasional.

Kenyataan dari perpisahannya dengan Fallen, tak terlalu buruk bagi Allena. Tanpa
kehadiran Fallen dalam hidupnya, membuat Allena lebih fokus belajar, dan menjadi pribadi
yang makin tegar. Allena tersenyum, membiarkan sepupunya sudah ngacir duluan beberapa
meter di depannya. “Tanpa adanya pertemuan di antara kita, membuat hidup gue tenang, Len.
Mungkin ini juga ya, tujuan lo pergi? Tapi, apa lo kadang kangen juga kayak gue?”

“Al, lo tuh ngga bisa diajak kompromi, ya?! Bentar lagi, Brian balik kuliah! Gue mau
kita udah ada di kamar dia duluan!”

Allena beralih menatap Mawar yang ada di depannya beberapa meter, lalu terkekeh.
“Iya, iya, sorry. Lagi keingat kenangan setahun yang lalu, War.”

Selain interogasi pak Jito setahun yang lalu itu, hasil tes kejiwaan juga menjadi alasan
mengapa Leo dan Sandra dikeluarkan dari sekolah. Kejiwaan mereka terganggu, hingga
membuat orang di sekitarnya terancam karena ulah mereka. Itulah yang membuat dua sejoli
itu dimasukkan ke salah satu rumah sakit jiwa. Orangtua Leo juga rela anaknya ditahan di
sana, karena sejak dulu tak bisa menghentikan rencana-rencana gila anaknya. Sedangkan
Sandra, karena sebenarnya tak lahir di keluarga yang berada, orangtuanya merelakan anaknya
juga ditahan, selain karena tak mampu menebus anaknya untuk dipindah ke tempat yang
lebih berada, mereka juga malu menanggung aib yang dibicarakan para tetangga.

173
Fallen & Allena

Brian kuliah mengambil jurusan olahraga, seperti bidang yang diminatinya. Kalau
menurut cerita Brian, Beni juga kuliah di luar kota mengambil jurusan teknik industri.
Sedangkan Erlan membuka usaha nasi goreng, yang tiap malam ramai sampai mendapat
omset jutaan. Faza sendiri, menjadi teman satu kampus Brian, di jurusan Fisika. Setelah
interogasi pak Jito itu, pertemanan geng Tengkorak kembali. Mereka saling bermaaf-maafan.

Dan kini, setahun berlalu, hanya Fallen yang tak mereka ketahui ada di mana.
Kalaupun lelaki itu ada di tempat nun jauh di sana, Allena berharap Fallen masih ada di
dunia. Hingga suatu saat nanti ia mencari Fallen lagi, atau dirinya yang didatangi Fallen tanpa
terduga. Janji Fallen yang terakhir itu, tak akan pernah Allena lupakan.

***

Fallen mendatangi kediaman Kirana, yang kini menjadi rumah ayahnya juga. Tanpa permisi,
tanpa memberi salam, ia memasuki rumah besar yang terbuka pintu depannya. Fallen terus
menembus ke dalam, meski satpam sudah memanggilinya dan menariknya keluar. Karena
bagaimana pun juga, Fallen bisa disebut pendatang tak diundang yang membuat kekacauan.
Namun perlakuan sang satpam terhenti, saat nona mudanya menyuruhnya keluar, karena
tamu ini bukanlah seorang pendatang tak diundang, apalagi sang pembuat kekacauan.

Kirana yang baru selesai masak di dapur, lalu mendengar kegaduhan dari ruang tamu
hingga ke ruang keluarga, membuatnya meninggalkan masakannya. Setelah memastikan apa
yang ada, ternyata Fallen yang datang. Sudah lama. Bahkan hampir tiga tahun lamanya, lelaki
yang masih menempati hatinya itu, tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini.

“Kamu ngga apa-apa?” Fallen mencekal kedua pipi bulat Kirana lekat-lekat.

Kirana keheranan karena Fallen tiba-tiba bersikap manis padanya. “Kamu kenapa?”

“Leo,” Fallen memastikan keadaan Kirana. “Kamu diapain sama Leo?”

“Aku—”

“Anak brengsek temanmu itu, hampir saja merenggut mahkota Kirana,” suara berat
seorang pria jangkung dengan garis wajah penuh wibawa dan hampir mirip dengan Fallen itu,
menahan jawaban Kirana. Pria yang disapa pak Hendra ini, keluar dari dalam kamarnya.
“Fallen anakku, papa juga memang brengsek, karena telah merusak hubungan kalian
berdua, apalagi dengan cara meninggalkan mama dan kamu. Tapi di balik semua itu, Papa

174
Fallen & Allena

punya banyak alasannya, Nak. Alasan yang ngga pernah bisa kamu atau mamamu terima,
Nak.”

Linda mengajak suaminya untuk duduk di kursi meja makan, begitu pula dengan
Kirana yang juga mengajak Fallen untuk duduk, supaya tidak saling menegang.

“Harusnya kamu mengingatnya, Fallen. Pertengkaran pertama kita di kelas


sembilan, karena perselisihan kamu dan Leo,” Kirana membuka percakapan setelah
menghening. “Kamu lebih memilih persahabatan kalian, tanpa kamu ketahui, Leo terus
mendekati aku di belakang kamu. Sampai insiden aku hampir dicium Leo di toilet waktu itu,
membuat kalian kembali bertengkar dan kamu hampir koma. Setelah itu, Leo di-drop out,” ia
kembali mengorek kisah masa lalu itu, supaya hal yang tak Fallen ketahui, terbongkar
semuanya. “Kita kembali berpacaran, sampai akhirnya sekolah di Hakas. Tapi, itu tidak
menyulutkan Leo untuk terus mengintai aku. Sampai akhirnya, kepergian adik kamu karena
kecelakaan, membuat mamamu depresi, dan om Hendra akhirnya berhubungan dengan
ibuku.”

“Hubungan kita selesai setelah kamu tahu perselingkuhan orangtua kita, sampai aku
memutuskan pindah sekolah, dan menjauh dari kamu,” Kirana melanjutkan kisahnya. “Niat
om Hendra yang tadinya hanya mencari kebahagiaan dengan ibuku, yang tak bisa dia
dapatkan lagi dari mamamu, ternyata berujung kepada tanggung jawab besar. Hal ini
terjadi, karena aku sempat diculik Leo yang ternyata menjadi adik kelas di sekolah baruku.
Dia hampir perkosa aku, tapi gagal karena om Hendra menyelamatkan aku. Dari kejadian
itu, om Hendra makin yakin untuk melindungi aku, dengan cara menikahi ibuku. Namun,
banyak hal yang harus dipertimbangkan. Meminta izin ke mamamu menjadi istri kedua,
atau, kembali menyakiti kalian karena om Hendra pergi dari mamamu demi pernikahan ini.”

Fallen menggelengkan kepala. Ia tak percaya semua yang disembunyikan oleh Kirana
dan sang ayah ini, sudah berlalu hampir tiga tahun lamanya. Dan kini, ia baru mengetahui
semuanya. Ia semula berempati, bahkan sakit hati mendengar Leo menyakiti Kirana. Namun
jika sudah begini, ia justru ingin menyalahkan Kirana. “Tapi ngga seharusnya, kamu renggut
kebahagiaan mama dan keluargaku,” ia bangkit dari kursi, lalu menuding Kirana.

“Fallen, Papa juga tidak sepenuhnya bersalah, untuk menjalin hubungan dengan
tante Linda, dan setelah itu melindungi Kirana sepenuhnya,” Hendra kembali membuka
mulutnya untuk membela diri, perihal luka masa lalu yang sekian lama juga diderita olehnya.

175
Fallen & Allena

“Mama yang depresi, selalu menyalahkan Papa sebagai alasan kenapa adikmu meninggal.
Padahal, kejadian itu adalah kecelakaan. Papa sudah berusaha tegar, menahan sakitnya
disalahkan, tapi batin Papa lama-lama juga tersiksa. Bukan tidak mungkin, Papa juga ikutan
depresi. Padahal, kita semua tahu, semua yang bernyawa akan kembali kepada Pencipta.”

Fallen mengingat kejadian itu. Saat ia hendak lulus SMP, mendiang adiknya baru SD
kelas enam. Gadis cilik bernama Allena Mahendra itu, dijemput sang ayah sepulang sekolah.
Allena terlalu bersemangat, saat menghetahui sang ayah yang menjemputnya di seberang
jalan. Saat itu juga, ia berlari hendak menuju sang ayah. Namun ia tersandung batu hingga ia
terjatuh di trotoar. Belum sempat bangun, gadis itu mendapat kejadian nahas karena tertimpa
batang pohon yang patah. Kejadian itu menggemparkan daerah sekitar.

Kepergian Allena membuat sang ibunda merasakan duka mendalam, hingga tak bisa
mencerna akal sehatnya, seakan semua ini terjadi karena ulah suaminya sendiri. Dari kejadian
ini, Mella didiagnosis depresi, membuat hubungannya dan Hendra memburuk. Pertengkaran
mereka membuat Hendra jenuh dan akhirnya mencari kebahagiaan di luar. Termasuk, tanpa
diduga jatuh cinta kepada ibunda pacar anaknya sendiri. Hendra mengakui dosanya, namun
bukannya semua manusia berhak bahagia? Begitu pikirnya. Hingga hubungan gelapnya itu,
berlanjut ke jenjang pernikahan resmi, setelah beberapa Minggu cerai dari Mella.

“Papa memang jahat meninggalkan kalian, tapi Papa melindungi dan membantu
kalian dari kejauhan” Hendra melepas kacamatanya, lalu memijit pelipisnya karena pening.
“Yang memberi pinjaman teman mama untuk modal toko katering, siapa kalau bukan Papa?
Lalu yang membuat perusahaan papa Allena bangkrut itu, gadis yang dekat denganmu, yang
namanya sama seperti nama adikmu, siapa kalau bukan Papa, Nak? Kasus kamu difitnah
jadi bandar narkoba, siapa yang mengungkap kalau bukan Papa yang minta bantuan Abi,
Nak? Lalu, biaya rumah sakit selama mama koma, memangnya sekolahmu mau menanggung
semuanya? Tentu tidak, itu semua Papa yang menanggungnya, Nak. Papa memang tak lagi
bersama kalian, namun bukan berarti Papa tidak melindungi kalian di sana.”

“Semua om Hendra lakukan, karena sayang sama kamu, Fallen. Mungkin ada
mantan istri, tapi ngga ada mantan anak. Kamu juga harus tahu, aku yang mengawasi kamu,
dan membantu om Hendra mencari tahu orang-orang terdekat kamu,” Kirana menggenggam
tangan Fallen, lalu mendongak menatap lelaki itu sendu. “Om Hendra juga tahu, alasan
kamu sebegitu memperjuangkan Allena. Pasti karena ketidak sengajaan persamaan nama
cewek itu dengan adik kamu, kan? Kamu memang tadinya ingin mengusili cewek itu, seperti

176
Fallen & Allena

apa yang kamu lakukan saat adikmu masih ada. Tapi setelah mamamu tahu nama cewek itu,
saat kamu bawa dia ke rumah, mamamu melarang kamu mempermainkan cewek itu, kan?
Fallen, kalau dia menjadi kebahagiaan kamu, tolong jangan tinggalkan dia.”

Penjelasan panjang dari Kirana tentang setahun lalu kedatangan Fallen ke rumahnya,
membuat ia menahan kepergian Allena bersama Mawar. Kirana menunggu Allena pulang di
gerbang sekolah, dan tanpa ba-bi-bu lagi, gadis mungil ini menarik Allena masuk ke dalam
mobilnya, meninggalkan Mawar seorang diri dan beranjak pergi menuju suatu restoran.

“Fallen kacau, dia butuh lo. Tahun ini, gue harap kalian ketemu,” Kirana mengaduk
menu pesanannya tanpa berselera untuk memakannya. “Dia waktu itu memang memaafkan
gue dan papa, tapi dengan syarat, dia ngga mau lagi papanya maupun gue ikut campur sama
kehidupannya. Yang bisa menata kehidupan dia lagi, cuma lo Allena. Lo yang dia butuhkan.”

Sepanjang penjelasan Kirana, Allena nangis bombay. Alasan utamanya, terfokus pada
namanya yang sama dengan adik Fallen mendiang. Mungkin inilah alasan lelaki itu begitu
baik, perhatian, dan selalu ingin membuatnya bahagia. Detik ini, Allena meyakini ia
merindukan Fallen dan tentu saja ingin segera bertemu. Namun ada satu permintaan Allena
kepada Kirana, ia ingin bertemu om Mahendra terlebih dahulu sebelum bertemu Fallen.

+ Fallen & Allena +

177
Fallen & Allena

27. Bertemu

Kau tahu kaktus itu berduri?


Aku begitu menyukai tumbuhan berduri itu
Layaknya sepertimu
Indah, namun menyakitkan apabila ku dekap dan ku miliki

Ia sederhana, tak meminta disiram tiap waktu


Tak meminta setiap hari diperhatikan olehku
Namun saat tiap kali aku melihatnya, ia begitu menenangkan jiwa
Bahkan, ia membuatku bersyukur, karena tegar menghadapi segala cuaca

Selaras nian denganmu yang tak menuntutku untuk selalu ada


Namun, kau selalu hadir saat aku menginginkan kau ada di sana
Seringai dan prakarsamu yang meneduhkan acapkali mengundang tawa
Membuatku menerka, apakah kau hanya delusi yang Tuhan ciptakan di dunia?

Jikalau memang kau sebuah fatamorgana


Ku harap kau yang terindah di dunia
Jikalau kau hadir karena asmaraloka
Ku harap kau ajak aku menikmati indahnya dunia

Yang mencinta sejak awal bersua,

-Allena

Fallen melipat kertas lusuh bernoda hitam dalam genggamannya. Sebuah kertas berisi
puisi Allena yang masih ia simpan secara diam-diam, semenjak Allena meninggalkannya di
perpustakaan, kemudian menghilang dan membuat peristiwa heboh seantero sekolahan.
Lelaki yang biasa berponi acak-acakan ini, kini nampak lebih dewasa, karena rambut maupun
poninya lebih panjang daripada saat masih sekolah. Fallen kini sering mengikat separuh
rambutnya ke belakang, dengan meninggalkan beberapa helai poninya di depan.

Puisi tak berjudul itu, menjadi satu-satunya hal yang tersisa, yang ia miliki sebagai
kenangan terindah dari Allena. Sosok gadis yang sempat ingin ia permainkan sebagai korban
keusilan selanjutnya, nyatanya justru menjadi orang yang berarti bagi kehidupannya.

Meski Fallen tak merasakan jatuh cinta, namun segala tentang Allena membuatnya

178
Fallen & Allena

mengenal bahwa ada hal yang lebih dari cinta. Yaitu, rasa nyaman yang sampai saat ini tak
ada gantinya. Terbukti dengan banyaknya perempuan yang singgah selepas berjarak dengan
Allena, tak membuat dirinya serta-merta kembali berkecimpung dengan dunia percintaan
anak muda. Baginya, tak ada yang bisa membuatnya senyaman saat bersama dengan Allena.
Mungkin, dia dianggap terlalu jahat, saat menjauh selepas gadis itu menyatakan perasaannya.
Namun, yang tak Allena tahu, ada banyak hal yang Fallen pikirkan, apabila ia menerima
perasaannya. Persahabatan akan rusak, berpisah semudah memetik jari selepas memutuskan
hubungan, bahkan ia kembali trauma karena kisah cinta. Namun kenyataannya, tanpa ia
menerima perasaan Allena, tiga hal itu tetap dirasakan Fallen. Mereka tak lagi menyapa dan
bersua, Fallen juga merasa ada kekosongan dalam hati dan kehidupannya.

Fallen menatapi keadaan sekitar, cuaca begitu terik di siang menuju sore ini, sampai
membuat tempat yang kini menjadi tempatnya bernaung tiap hari, juga terasa panas meski
ada pendingin di sudut ruangan. Fallen menyeka peluh di sekitar pelipisnya, kemudian
memasukkan kertas berisi puisi itu ke dalam celemeknya. Dua orang gadis yang datang ke
meja tempatnya bekerja, dengan masing-masing memilih pesanan kopi dan sebuah hidangan,
adalah alasan Fallen menghentikan aktivitasnya membaca puisi karya Allena.

“Kopi Americano dan Espresso satu, roti bakar dua ya, Kak?” Fallen mengulang
pesanan lalu menerima uang dari salah satu gadis itu, tak lupa mengutak-atik mesin kasir
yang memunculkan kertas tagihan. “Ini nomor meja dan setruknya, ditunggu pesanannya.”

Setelah dua gadis berseragam SMA itu beralih pergi, Fallen melanjutkan kegiatan
rutin selama enam bulan belakangan, yaitu meracik kopi. Dengan segala usaha yang ia
lakukan untuk menghasilkan uang, Fallen akhirnya membeli kios di sudutan kota, untuk
mendirikan coffe shop dengan menambah sentuhan ala dia banget. Tembok yang dicoret
tulisan atau gambar abstrak, kursi dan meja terbuat dari kayu artistik, panggung live musik
kecil di sudut ruangan, serta tampak depan yang lusuh dan tak begitu memperlihatkan bahwa
tempat ini adalah sebuah coffe shop. Meski begitu, tempat ini selalu ramai tiap harinya,
karena pelanggan banyak menganggap bahwa tempat ini lain daripada coffe shop yang lain.

“Roti bakar dua Ris,” Fallen melongok ke jendela kecil pembatas dapur dan meja
depan. “Nanti pesanannya diantar ke meja dua belas ya, Sep. Gue mau ke atas dulu, pusing
banget nih,” lalu ia menepuk bahu satu pegawainya yang sedang meracik kopi Americano.

Coffe shop yang dirintis Fallen ini, memiliki dua pegawai. Asep membantu meracik

179
Fallen & Allena

kopi, sedangkan Riska berkutat membuat makanan di dapur. Selain ingin irit, hanya menggaji
dua orang, selagi dirinya mampu meng-handle pekerjaan sebagai barista, Fallen tak berniat
menambah pegawai. Meski kadang, merasa kewalahan tiap malam Minggu, karena dirinya
double job sebagai barista dan menyanyi saat live musik. Namun kenyataannya, selama enam
bulan lebih menjalani bisnis ini, Fallen tak mendapat masalah yang berat.

“Bentar lagi, Allena lulus SMA ngga, sih?”

Fallen meraih kalender di atas meja ruangan pribadinya ini. Bilik berukuran kurang
lebih enam meter di lantai dua kios, Fallen jadikan sebuah ruangan untuknya beristirahat.
Ruangan berornamen berwarna gelap, tentunya hal favorit Fallen ini, terdapat sebuah meja
kerja dengan laptop layaknya ruangan manajer kantoran, sebuah sofa dan karpet tebal untuk
malas-malasan, lemari buku, serta kipas dan gitar putih miliknya di sudut ruangan.

Fallen kembali meletakkan kalender ke tempat semula. Mei, adalah bulan dimana
murid kelas dua belas sibuk mengikuti serangkaian kegiatan yang menjadi syarat kelulusan.
Fallen yakin, Allena juga merasakan beban yang sama seperti kala itu. Ujian praktik, ujian
sekolah, sampai ujian nasional. Sudah setahun pula lamanya, Fallen menjadi alumnus SMA
Harapan Kasih. Sekolah yang membuatnya merasakan banyak masalah yang berbeda dari
banyaknya remaja seusianya. Jujur saja, terkadang ia merindukan masa sekolahnya dahulu.

Baru saja Fallen hendak memejamkan mata di atas sofa, tiba-tiba pintu ruangan
diketuk dari luar. Kemudian, wajah Asep yang terengah, nampak melongok dari balik pintu.

“Bang, ada cewek mau bikin rusuh di bawah!” lelaki dengan potongan rambut batok
kelapa ini, mengeluhkan alasan kedatangannya mengganggu atasannya kemari.

Mendengar keluhan Asep, Fallen bangkit dari bebaringannya. “Siapa, Sep?”

“Aing teh teu kenal, Bang.”

Fallen mengikuti Asep yang menuruni anak tangga. Lelaki ekspresif yang lebih muda
dua tahun dari Fallen yang tidak melanjutkan pendidikan SMA itu, benar-benar terlihat
khawatir. Tentu saja membuat Fallen berpikir macam-macam. Namun, sesampainya mereka
di depan meja kasir, Fallen yang semula was-was, ekspresinya menjadi datar seketika. Ada
cewek mau bikin rusuh, keluhan Asep beberapa saat yang lalu, kenyataannya memang sedikit
benar adanya. Gadis itu kembali datang mengusik kehidupan Fallen.

180
Fallen & Allena

“Lo jadi cowok yang tegas, dong! Sok-sokan tegar, padahal, lo kangen juga, kan?”

Fallen menarik pergelangan gadis itu untuk masuk ke dapur, karena tak mau membuat
pelanggannya terganggu. Fallen juga menyuruh Riska untuk keluar dari dapur, lalu menutup
pintu dan jendela kecil tempat memberikan catatan pesanan makanan. Ditatapnya lekat, gadis
yang empat tahun lalu membuat kekacauan di hidupnya. Gadis yang semula ia anggap sudah
musnah dari dunia, kenyataannya masih saja nampak percaya diri mendatanginya.

“Lo mau apalagi, sih?” tatapan tajam Fallen tak beralih dari gadis di hadapannya.

“Lo yang maunya apa?! Jangan egois, dong. Dikira gampang, ya? Menganggap
seakan semuanya udah usai, tapi masih ada perasaan yang lo gantung sampai saat ini.”

Fallen mengerutkan keningnya. Kondisi Kirana menjadi adik tirinya memang sudah ia
terima lapang dada, dengan catatan, ia tak mau kehidupannya terusik. Semuanya juga sudah
usai. Termasuk hubungan percintaan di masa lalu, yang tak harus dibahas lagi. Kirana yang
memberinya sumpah serapah soal perasaan begini, sudah tidak menjadi urusan Fallen lagi.

“Bukan gue, tapi Allena, Fallen...”

***

Kedatangan Kirana membuat Fallen tak bisa tidur. Bukan karena keberadaannya, melainkan
karena ucapannya yang membawa nama Allena. Fallen tahu, ini perihal janji setahun yang
lalu belum ia tepati, karena ia belum memiliki bekal untuk bertemu dengan Allena.

Pilihannya untuk menghilang dari kehidupan orang-orang sekitar kecuali sang mama,
selama enam bulan diisi Fallen untuk mengumpulkan uang. Bekerja kuli bangunan, paruh
waktu di kafe atau restoran, ikut balapan, hingga mengisi acara musik, semua sudah Fallen
lakukan. Jerih payahnya itu sudah menghasilkan bisnis coffe shop yang kini menghidupinya.
Namun, ia masih memikirkan bekalnya untuk mengajak Allena kuliah di kampus yang sama.
Fallen merasa belum cukup akan hal itu, membuatnya merasa jadi seorang pecundang.

Fallen menghentikan aktivitas semula yang mencoret menggunakan pen table-nya,


hingga sebuah gambar menakjubkan di layar laptopnya. Di sudut atas, terdapat sebuah foto
Allena Mahendra—mendiang adiknya, tengah tersenyum tanpa memperlihatkan giginya. Dari
gambar gadis cilik yang sedikit gempal dengan pipi bulatnya, di-remake ulang oleh Fallen,
hingga menghasilkan gambar yang lebih besar menutupi layar utama. Gadis itu tetap sama,

181
Fallen & Allena

berpakaian kaus biru langit, berambut panjang dan berponi. Namun yang membedakan,
Fallen tengah menggambar potret adiknya menjadi versi dewasanya. Imajinasi Fallen ini,
memang pantas dikatakan gila. Namun, beginilah Fallen. Tak mau menganggurkan otaknya.

Setelah puas dengan gambarnya, Fallen menyimpannya menjadi folder baru. Niatnya,
ia akan mencetak gambar tersebut, lalu dipajang di ruangan ini. Dua jam melakuan kegiatan
ini, membuatnya meninggalkan Asep dan Riska bekerja, karena bisa memantau cctv keadaan
coffe shop-nya masih sepi. Setelah menutup aplikasi gambar digital di laptopnya, Fallen
kembali membuka pantauan cctv-nya. Ada satu hal yang membuatnya tersentak dan
terbelalak. Seorang gadis berkaki jenjang dengan rambut panjangnya, terlihat memasuki
tempat ini. Gadis itu beralih ke meja kasir untuk memesan menu. Melihat keberadaan gadis
itu, membuat Fallen semakin menyipitkan mata sipitnya sembari berpikir sejenak.

“Allena?”

Fallen bergegas dari ruang kerjanya, berlari menuruni anak tangga. Ia jatuh terjungkal
di sisa empat anak tangga, membuat kegaduhan dan jadi spot utama pelanggan menyaksikan
kejadiannya. Di waktu yang sama, gadis berambut panjang yang berdiri berhadapan dengan
Asep, terbelalak dan tak percaya menatap kejadian heboh ulah Fallen tersebut.

“Fallen?”

Fallen bangkit dari tempat mendaratkan pantatnya. Tanpa memedulikan orang sekitar
yang menatapnya, lelaki ini berlari dan segera menarik gadis itu ke dalam dekapannya cukup
lama, seakan tak mau melepaskannya. Sontak saja, peristiwa ini membuat semua pemilik
pasang mata bertanya-tanya. Termasuk Asep dan Riska, karena mereka begitu yakin, bosnya
ini jauh dari hal-hal seorang wanita. Gadis di dalam dekapan Fallen nampak terlihat bergetar,
dan menciptakan sebuah bunyi sesenggukkan. Beberapa menit berlalu hingga kedua makhluk
itu puas melepas rindu, dan para penonton juga sudah bosan dengan kelakuan keduanya,
Fallen akhirnya melepaskan dekapannya. Ditatapnya gadis dihadapannya begitu dalam.

“Gue menepati keinginan lo, Fallen.”

“Terima kasih banyak, Allena.” Fallen menciptakan garis lengkung di bibir dan mata
sipitnya. “Maafkan aku, karena membuat kamu menunggu terlalu lama.”

***

182
Fallen & Allena

“Kamu ke sini, karena keinginan Kirana?”

Allena terbelalak. Fallen meletakkan cangkir berisi coffe latte di atas meja ruang
kerjanya ini, lalu duduk tak jauh dari gadis itu. Bagi Allena pertanyaan Fallen ada benarnya,
meski tak sepenuhnya. Allena ingin bertemu dengan Fallen sejak lama, namun keberadaan
lelaki itu tak ia ketahui di mana, hingga Kirana datang memberikan alamat kediaman Fallen.

“Gue cuma dikasih alamat coffe shop lo ini kok, Len, sama Kirana,” Allena tersenyum
simpul. “Selebihnya, untuk menemui lo di sini, adalah kemauan gue sendiri.”

Fallen beralih menatap langit-langit ruang kerjanya ini, lalu mengembuskan napas
kasar. “Apakah aku menghilang terlalu lama?”

Allena menggeleng sembari tersenyum. “Waktu yang tepat, membuat gue fokus dan
giat belajar sampai ujian. Apa ini juga alasan, kenapa lo ingin menjauh sejenak dari gue?”

Fallen kembali menatap Allena, lalu terkekeh. “Sudah dapat jawaban, rupanya?”

“Lo itu, dari dulu, selalu sama,” Allena mengetuk jari telunjuknya ke dada Fallen.
“Usil, banyak tingkah. Ngga pernah terduga pemikirannya,” ujar Allena singkat.

Fallen kembali terkekeh. “Kuliah bareng yuk, Allena? Aku, nunggu kamu dari dulu.”

Bukan itu, jawaban yang Allena inginkan dari kritikannya kepada Fallen. Namun,
tiba-tiba pipinya dibuat memanas. Lelaki yang pemikirannya tak pernah terduga itu, lagi-lagi
seakan membuat Allena mengulang bagaimana rasanya jatuh cinta. Sama seperti pertama kali
ia merasakan sebuah karisma terpancar begitu kuat dari Fallen, saat lelaki itu mendemokan
ekskul musik di atas panggung aula sekolah.

“Gue ngga punya uang, Len, buat lanjut kuliah.”

“Kita nyari sama-sama,” sergapan Fallen berhasil membuat Allena diam terpaku.
“Ayolah. Emangnya, kamu ngga punya tujuan untuk meraih cita-cita?”

+ Fallen & Allena +

183
Fallen & Allena

Epilog

Fallen keluar dari salah satu minimarket, setelah membeli dua botol air mineral, dan
camilan untuk bekal di kereta. Lelaki yang rambutnya diikat separuh ini, melangkahkan kaki
menuju salah satu kursi peron—tempat seorang gadis tengah terdiam di sana, sembari
memandangi kereta pemberangkatan ke kota lain yang berhenti dan membuat kebisingan.
Berbondong-bondong orang keluar dari kereta, langkah mereka berlawanan arah dengan
orang yang sedari tadi duduk di kursi maupun berdiri, menunggu kedatangan kereta tersebut.

Fallen memberikan sebotol air mineral kepada gadis berambut panjang itu, lalu duduk
di sebelahnya. “Kalau ada orang yang menghipnotis kamu karena melamun, bagaimana?”

Gadis itu menengok ke kiri, menatap Fallen dan bibirnya tersenyum otomatis. “Ngga
ada yang mampu menghipnotis gue, Len,” diterimanya pemberian air mineral dari Fallen,
lalu ia buka tutupnya untuk minum—menghilangkan dahaga selama dari rumah menuju ke
stasiun. “Kecuali lo,” kalimat lanjutannya diiringi tatapan yang dibuang ke sembarang arah.

Fallen tersenyum simpul mendengar ucapan gadis di sebelahnya itu, tanpa berniat
mengucapkan sepatah atau dua patah kata setelah itu. Baginya, menyangkal kembali tentang
perasaan seseorang padanya, tetap sejahat orang yang melakukan pembunuhan. Karena sama-
sama menyakiti korban, maupun orang yang terdekat dengan korban.

Selepas pertemuan tak terduga kala itu di coffe shop-nya bersama Allena, Fallen jadi
tahu satu hal penting dari gadis itu. Perasaan Allena tak pernah berubah, meski berulang kali
ia mencoba melupakan Fallen, menjadikan banyak lelaki sebagai pelarian. Hingga saat ini,
Fallen bisa bernapas lega, karena setidaknya hubungan mereka kembali seperti sedia kala.

Walau tanpa kemajuan hubungan lebih dari teman. Fallen memang menerima curahan
perasaan Allena, namun selain ia tak mau berpacaran, ternyata justru gadis itu yang meminta
duluan. Alasannya tentu sama, Allena tak mau berpisah dengan Fallen, apabila selepas putus
menjadi seorang kekasih. Meski tadinya, Fallen cemas akan keadaan Allena, karena mungkin
gadis itu berdusta menutupi kesedihannya. Namun paling tidak, memilih untuk tetap menjadi
sahabat, membuat keduanya tak lagi ada jarak. Perbincangan yang biasa membuat Allena
canggung, kini tak dirasakan lagi. Karena dari perpisahannya dengan Fallen sebelumnya,
memberinya pelajaran bahwa, segala sesuatu sebaiknya dicurahkan meski menyakitkan.

Hari ini adalah hari di mana Fallen sudah sejak lama ingin mengajak Allena ke suatu

184
Fallen & Allena

tempat. Selain refreshing setelah setahun lulus dan banting tulang kerja serabutan, Fallen juga
ingin menunjukkan hal besar kepada Allena. Yaitu dengan adanya kondisi dirinya yang kini
sering mengisi acara undangan di kampus maupun di kafe untuk menyanyi. Selain dari mulut
ke mulut, Fallen menjadi artis dadakan, dari media sosial juga ia dikenal orang ke luar kota.

“Maksud puisi yang kamu buat itu apa, Allena?” tiba-tiba, terlintas dalam benak
Fallen, untuk mengajukan pertanyaan yang sekian lama ia pendam ini.

Allena yang semula mengikuti arah kepergian kereta menuju kota lain, terhenti dan
beralih menatap Fallen keheranan. “Puisi yang mana?”

Fallen tak menjawab pertanyaan balik dari Allena, melainkan ia merogoh saku jaket
denimnya, dan mengeluarkan kertas yang lusuh bernoda tinta hitam. Ia memberikan lembaran
itu kepada penciptanya kembali, setelah sekian lama gadis itu berpisah dengan karyanya.

Allena terperanjat. “Kenapa ini ada di lo?”

“Aku ambil sebelum kamu menghilang dan membuat heboh satu sekolahan,” Fallen
tersenyum kecut sembari mengingat sejenak kejadian tragis menimpa Allena kala itu.

Allena terdiam membaca puisi karyanya itu—bait demi bait, kemudian ia tersenyum
menatap Fallen. “Puisi ini, judulnya kaktus. Kaktus itu, lo, Fallen,” dadanya berdesir di akhir
kalimat, mengingat betapa banyak luka yang menjadi modal dirinya menulis puisi itu.

“Kenapa?”

Allena mengembuskan napas beratnya, lalu menatap Fallen sendu. “Lo tahu kan,
kaktus itu berduri? Gue suka tumbuhan itu, meski gue bukan salah satu pengoleksinya. Indah,
tapi sakit kalau gue memilikinya, sakit kalau gue memeluknya. Sama kayak lo, lo itu indah,
tapi sakit kalau gue miliki seorang diri, karena banyak orang yang ingin memiliki lo juga.”

Allena tak menyangka, selama menimbun puisi yang terus menggema dalam
pikirannya karena seseorang, sekarang ia bedah di depan orang yang bersangkutan.

“Kaktus itu, ngga harus disiram dan diperhatikan setiap waktu. Sama kayak lo, lo
ngga pernah meminta untuk gue perhatikan, tapi tiap kali gue lihat lo, lo itu menenangkan. Di
saat gue membutuhkan lo, lo selalu ada buat gue. Kaktus itu juga tegar menghadapi segala
cuaca, begitu pun dengan lo yang selalu tegar menghadapi segala masalah yang ada,” Allena
merasakan napasnya tersengal, karena selain menahan tangis, entah mengapa kini emosinya

185
Fallen & Allena

begitu meluap karena membahas kisah masa lalunya bersama lelaki di hadapannya itu.

Butiran halus nan hangat itu lolos dari tempat persembunyinya, membuat pipi Allena
basah. Untuk gadis cuek dan egois semacam Allena, nyatanya ia tak bisa menahan sebuah
tangisan. “Seringai dan keusilan lo, selalu membuat gue tertawa. Membuat gue mikir, apakah
lo cuma delusi yang Tuhan ciptakan di dunia? Kalau lo hanya hayalan semata, gue berharap
lo itu yang terindah di dunia. Kalau lo diciptakan karena dunia cinta, gue mau lo ajak gue
menikmati betapa indahnya dunia cinta,” ucapannya tersendat, tangisannya tertahan karena
tak mau didengar orang. “Yang lo harus tahu, gue jatuh cinta sejak pertama kita bersua.”

Hingga kalimat terakhir darinya itu, berhasil membuat Fallen menjadi seorang
pecundang yang paling menyesal di dunia.

Pengumuman dari pengeras suara bahwa kereta menuju kota tujuan Fallen dan Allena,
menjadi akhir dari dua makhluk Tuhan itu berbincang. Lagi-lagi Fallen seperti dulu. Ia tak
merespon sedikitpun, segala ucapan dari seseorang yang tengah mencurahkan isi hatinya.
Fallen memang egois, sangat egois. Terlebih lagi saat dia memiliki asumsi ; tentang perasaan
seseorang ada baiknya memang dicurahkan, namun bukan berarti harus terbalaskan,
bukan?

Kereta yang hendak Fallen dan Allena naiki mulai melambat memasuki rel di jalur
empat. Lelaki yang kini memiliki rambut sedikit gondrong itu bangkit menyambar koper
bawaannya dan barang Allena. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, ia mencekal
pergelangan Allena. Fallen dan Allena berjalan beriringan dengan orang-orang yang hendak
menunggangi kereta yang sama dengan mereka berdua. Meski orang lain terlihat berjalan
dengan tergesa, Fallen nampak santai saat berjalan sambil menggandeng Allena.

“Maafin aku Allena. Seharusnya, aku ngga melibatkan kamu ke dalam kisah hidupku.
Mungkin aku selalu menyakiti kamu, dan mungkin sampai detik ini. Tapi yang perlu kamu
tahu, saat aku kehilangan kamu, aku kehilangan poros dan rotasiku. Ngga ada yang seiring
bersamaku. Dan aku menjadi pemeran buku yang kesepian, karena kehilangan hal besar yang
selalu membuatnya tertantang,” Fallen berceloteh sambil menatap dalam gadis di sebelahnya.

Kalimat yang keluar dari bibir Fallen memang sayup-sayup karena kebisingan di
sekitar, namun Allena tetap mendengar semuanya. Begitu pun makna yang tersirat, ia
mengerti tanpa harus Fallen berceloteh lagi.

186
Fallen & Allena

Kalau Fallen adalah bawang yang tak banyak orang ketahui isinya, Allena menjadi
orang pertama yang mengetahui isi Fallen dengan banyaknya kisah yang dilalui bersama.
Fallen itu tak mau dikekang, namun dia suka tantangan. Fallen memang tak suka menerima
perasaan orang, namun ia tetap bisa menghargai dengan caranya sendiri. Dan Fallen pandai
memakai topeng, tapi dengan Allena, ia tak lagi bisa menggunakannya dengan leluasa.

“Kalau di dunia ini ada konotasi lebih dari perasaan cinta, aku akan memberikan itu
ke kamu semuanya, Allena,” Fallen menghentikan langkah di depan gerbong kereta yang
hendak dinaikinya, menatap Allena lagi begitu dalam.

Mata Allena kembali memanas menahan tangis. Sepanjang Fallen berceloteh, dada
Allena terus berdesir dan jantungnya berdegup kencang. Terlebih lagi saat Fallen
memberinya kecupan di pipi yang begitu tak terduga. Memang tak lama, namun paling tidak
telah membuatnya mempunyai tanda bahwa Fallen memilikinya.

Allena merasa kini hidupnya sudah lebih dari cukup. Ia juga sudah berusaha berdamai
dengan masa lalu memilukan yang melibatkan keluarga kecilnya, yang hanya menyisakan
sang ayahnya saja. Dua bulan belakangan, gadis itu seminggu sekali mendatangi sel tahanan
ayahnya, untuk sekadar membawakan makanan, setelah ada drama saling bermaafan.

Begitu pula dengan Fallen, ia kembali tinggal bersama sang ibunda seorang diri, yang
dari hari ke hari nampak lebih sehat dan lebih ceria dari biasanya. Ia tak memedulikan sang
ayah, meski acapkali masih meminta bertukar kabar. Yang paling penting di hidupnya setelah
ini adalah, tetap melihat sang ibunda sehat hingga nantinya ia bisa membuatnya bahagia.

Namun ada satu hal lagi yang Fallen dan Allena ingin gapai bersama-sama. Yaitu
sebuah predikat bagus untuk dunia pendidikan yang selanjutnya, demi menemukan masa
depan pekerjaan yang menjanjikan untuk mereka berdua.

+ Selesai +

187
Fallen & Allena

EXTRA PART

“Sabtu malam ku sendiri, tiada teman ku nanti… di sekitar, ku lihat dia, tiada
seindah dulu…” Fallen menyanyikan lagu jadul dari band legendaris Koes Plus. Penonton
yang mengisi penuh kafe berukuran cukup besar di tengah kota ini, dibuatnya terkagum-
kagum. “Mungkinkah, ini berarti… aku tlah’ patah hati… walaupun, ku berkata bukan.
Bukan itu…”

“Penyesalanku semakin dalam dan sedih… Tlah’ ku serahkan semua milik dan
hidupku. Aku tak mau menderita begini. Mudah-mudahan ini, hanya mimpi…”

Sepanjang Fallen bernyanyi, pengunjung ikut bersenandung. Sampai tak terasa, sudah
lima belas lagu ia bawa. Hampir semua bertema jadul, tahun 90-an, sesuai keinginan pemilik
kafe. Karena malam Minggu begini, selain pengunjung dari kalangan muda, tentu saja ada
kalangan tua. Dengan adanya pembawaan lagu jadul namun selalu enak didengar sepanjang
masa, bukan tidak mungkin akan menyatukan selera musik kalangan tua dan muda. Dan dari
pengalaman ini, Fallen merasakan adanya sebuah kebahagiaan baru dalam hidupnya.

“Malam Minggu begini, ngga akan afdal, kalau gue nyanyi sendirian lagi di sini.
Gimana, kalau gue minta salah satu dari kalian, nemenin gue menyanyi di depan?”

Ucapan Fallen dari mikrofon mendapat respon berupa suasana kebisingan. Selalu
begini tiap mengajak audiensi mengobrol. Dan tiba-tiba, Fallen mendapat partner, seorang
gadis yang berani naik ke atas paggung, dan berdiri di sebelahnya. Gadis berbadan sedikit
berisi itu, meraih mikrofon yang menganggur. Ditatapinya pelanggan kafe di hadapannya,
hingga berakhir di mata Fallen. Tak lama, para pelanggan terdengar saling bertepuk tangan.

Fallen terdiam beberapa saat dan menatapi gadis itu sembari membatin. Namun, ia
harus tetap profesional di atas panggung. Niat pribadinya, bisa ia salurkan nanti saat di balik
layar. “Hallo… kalau boleh tahu, gue mau nyanyi sama siapa?” Fallen menyapa calon partner
bernyanyinya malam ini. “Sepertinya, penonton penasaran, nih?”

“Aku Ardella. Selamat malam Four Sides kafe. Aku disuruh nyanyi sama sahabatku,”
gadis itu menyapa para penonton dengan hangat, dan langsung mendapat tepuk tangan.

“Hallo Ardella… senang banget malam ini, gue mau mengiringi lo bernyanyi,” Fallen
membalas perkenalan gadis itu. “Mau nyanyi golden memories lagu apa, nih?”

188
Fallen & Allena

“Seberkas sinar. Boleh?”

“Seberkas sinar untuk kalian,” Fallen meraih gitar yang diselempangkan ke belakang.
Persekian detik, terdengar melodi sebuah intro yang mengalun menyapa indra pendengaran.
Di putaran kedua, Fallen menatap gadis itu, seraya memberi kode untuk mulai bernyanyi.

“Kala ku seorang diri, hanya berteman sepi dan angin malam… ku coba merenungi,
tentang jalan hidupku. Hooo…” tepuk tangan para penonton kian terdengar, saat gadis itu
mulai memamerkan suara emasnya. Begitu pula dengan Fallen. Lelaki yang tengah sibuk
memetik gitar, nampak terbelalak dan begitu menyukai suara dari gadis bernama Ardella itu.

“Ku langkahkan kakiku, dan menyimak sebuah arti kehidupan… hati selalu bertanya,
adakah kasih suci? Dalam cinta, adakah cintamu? Ha… haaa…. Seberkas cahaya terang…
menyinari hidupku… sesejuk embun-embun di pagi hari… dambaan insan dunia ini…”

Allena menatap ke arah kanannya, di mana ada seorang lelaki yang bersorak kencang
seiring Fallen mengiring salah satu penonton itu menyanyi. Melihat ekspresi yang begitu
antusias, membuat Allena penasaran. Dengan seribu keyakinannya untuk menyapa, akhirnya
ia bergeser ke meja sebelah. “Sendirian aja, Bang? Kayaknya, asyik banget, nih?”

Lelaki itu melirik sejenak. “Lagi nongkrong tadi, iseng nyuruh sahabat gue nyanyi.”

“Yang nyanyi sama sahabat gue itu, sahabat lo?” Allena sangat penasaran. Pasalnya ia
tak pernah melihat seorang lelaki mendukung sahabat perempuannya sebegini semangatnya.

“Iya,” Lelaki itu tersenyum dan mengangguk. “Nama lo siapa?”

Allena mengulurkan tangannya, “Allena. Lo?”

“Alden!”

Bukan lelaki yang berkenalan dengannya yang menyebutkan nama itu, melainkan
gadis yang semula menemani Fallen menyanyi di atas panggung, yang tiba-tiba datang dan
merengek bak anak kecil meminta dibelikan balon atau permen oleh kakaknya.

“Aku malu.” gadis itu menutup wajahnya dengan telapak tangannya. “Pulang, yuk!”

Alden terbahak, kemudian ia menatap Allena lagi sejenak, “ah, iya, nama gue Alden.
Gue balik dulu, ya,” tambah lelaki memperkenalkan diri sebelum akhirnya melenggang dari
hadapan Allena, karena gadis bernama Ardella itu menariki tangannya untuk ke luar kafe.

189
Fallen & Allena

“Oke, gue Fallen. Pamit undur diri, sorry to say kalau banyak yang salah dari gue.
Sampai jumpa lagi di lain kesempatan!” ucapan Fallen barusan menjadi penutup acara malam
ini. Ia kembali mendapat tepuk tangan yang meriah. Terhitung hampir dua puluh lagu yang
dibawanya, tiga lagu yang diiringinya untuk bapak-bapak rocker sebagai pembuka, dan dua
lagu penutup yang diiringinya pula untuk gadis bersuara emas bernama Ardella itu.

Fallen turun dari panggung menuju meja Allena yang berada paling depan. Gadis itu
menyambutnya dengan tepuk tangan dan senyuman. Dalam hati, Fallen tak salah mengajak
gadis itu menemaninya manggung malam ini. Ia pamit sejenak untuk ke belakang, untuk
menemui pemilik kafe. Hingga setelah menunggu sepuluh menit, Fallen kembali datang.

“Udah nih, Len?”

Fallen mengangguk, namun tatapannya beralih kesana-kemari. “Sebentar,” ia beralih


keluar kafe, mengikuti dua orang yang terlihat mulai memasuki sebuah mobil. Belum sempat
Fallen mendatangi, mobil itu melenggang keluar parkiran. “Ah, sial!”

“Kenapa?”

Fallen dikejutkan Allena yang tiba-tiba ada di sebelahnya. “Aku mau minta kontaknya
cewek yang nyanyi sama aku tadi. Katanya pemilik kafe, aku disuruh kolab sama dia nanti.”

“Terus gimana?”

“Kayaknya, ngga akan ketemu lagi, deh.”

Allena menyadari rasa kekecewaan Fallen, dan sebenarnya juga dia kecewa, karena
tak sempat berkenalan lebih jauh barusan dengan orang di kota ini. Yang ternyata, mereka
berdua mencari-cari dua orang yang datang bersama ke tempat ini pula. Karena bagai
menunggu suatu hal yang tak pasti lagi, akhirnya ia mengajak Fallen untuk segera kembali
saja ke penginapan. Bagaimanapun juga, pasti Fallen juga sudah lelah. Untuk masalah gadis
bersuara emas ditemani sahabat lelakinya yang begitu antusias menudukung itu, mungkin
menjadi hal yang amat disayangkan, karena Fallen dan Allena tak dapat bertemu lagi setelah
ini. Padahal, akan menjadi hal yang menyenangkan, apabila Fallen mendalami lagu-lagu
jadul, ditemani rekan duet bersuara tinggi nan mengalun itu, sedangkan Allena bisa ditemani
lelaki yang memiliki bakat sama sepertinya, yaitu menjadi pendukung utama sahabatnya.

+ Sampai jumpa di Four Sides Love! +

190

Anda mungkin juga menyukai