Anda di halaman 1dari 70

MAKALAH KEGAWATDARURATAN JIWA : PERILAKU BUNUH DIRI

Disusun oleh :
Ari Firmanto Sukma Diyanatul Faikha
Yustina Dwi Cahyanti Widya Agustiani

Basuki Amelia Sabili Dintya Islami

Supardi Rustam Dewi Rohmana Hanin Utami

Nastiti Drian Udiyana Amilya Latifah Nur

Nissa Aryyakhya . W Nahar Willy Harso


Gita Cahyani Deni Kinasih
Evi Metti Purba Yuni Listiyana
Putri Ismaulidia

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


DAN PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
SEMARANG
2021
BAB I

PENDAHULUA

A. LATAR BELAKANG

Kesehatan jiwa adalah bagian internal dari upaya kesehatan yang


bertujuan menciptakan perkembangan jiwa yang sehat secara optimal
baik intelektual maupun emosional ( Kusumawati dan Hartono, 2011).
Masalah kesehatan jiwa mempunyai lingkup yang sangat luas dan
kompleks yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Apabila
individu tidak bisa mempertahankan keseimbangan atau kondisi mental
yang sejahtera, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dan
apabila gangguan tersebut secara psikologis maka akan mengakibatkan
individu mengalami ganguan jiwa. (Yosep, 2007).

Menurut WHO (Word Health Organization) menyebutkan bahwa


17% pasien yang berobat kedokter adalah pasien dengan depresi.
Diperkirakan prevalensi pada populasi masyarakat dunia adalah 3%.
Sementara itu Sartorius (1974) memperkirakan 100 juta penduduk
didunia mengalami depresi. Menurut WHO (Word Health Organization)
memperkirakan 450 juta orang mengalami gangguan mental, sekitar 10%
orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu dimasa
hidupnya. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (2007) di indonesia,
menunjukan bahwa prevalensi gangguan jiwa secara nasional mencapai
5,6% dari jumlah penduduk, dengan kata lain menunjukkan bahwa pada
setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima orang menderita
gangguan jiwa. Berdasarkan dari data tersebut bahwa data pertahun di
indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat terdapat di
provinsi daerah khusus ibu kota Jakarta (24,3%), diikuti Nangroe Aceh
Darussalam (18,5%), Sumatera Barat (17,7), NTB (10,9), Sumatera
Selatan (9,2%) dan Jawa tengah (6,8%). (Hidayati, 2011).
Bunuh diri merupakan upaya yang dilakukandengan sadar untuk
mengakhiri kehidupan secara sadar berupaya untuk mati (Muhith,
2015).Pendapat Farhangdoost (2010) ekspresi praktis seseorang secara
sadar dan sengaja untuk mati. lebih dari 800.000 orang/tahun melakukan
bunuh diri. Penyebab kematian kedua di Amerika Serikat tahun 2013
adalah bunuh diri remaja (CDC, 2016). Sementara di Korea prevalensi
bunuh diri dari ide bunuh diri dan usaha bunuh diri meningkat dari
penelitian sebelumnya 15,6% dan 3,2 % menjadi 24,8% dan 6,2%
(WHO,
2015).

Di indonesia prevalensi bunuh diri cenderung tinggi, pada usia


remaja kasus bunuh diri terus mengalami peningkatan. Alasan mereka
untuk melakukan hal ini beragam, akan tetapi pada dasarnya mereka
melakukannya karena mereka berpikir tidak ada jalan keluar untuk
masalahnya dan kematian adalah jalan keluar satu-satunya. Saat pandemi
ada banyak kasus kejadian bunuh diri, dorongan bunuh diri muncul
akibat tekanan ekonomi hingga perasaan frustrasi yang diderita. Lantaran
kondisi kesehatan buruk yang tak kunjung membaik. ”Bahwa selama
pandemi Covid-19 dengan banyaknya pengangguran akibat PHK. Sektor
perekomonian dan kebutuhan ekonomi terus berjala. Sehingga, berpikir
pintas unuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tercatat 1030 orang
melakukan percobaan bunuh diri setiap tahunnya dan lebih kurang 705
orang diantaranya meninggal (Surilena, 2004 dalam Rochmawati,2009).

Laporan pada pertengahan tahun 2012 dari KomNas


Perlindungan Anak menyebutkan kasus bunuh diri termuda terjadi pada
usia 13 tahun. Faktor risiko bunuh diri pada remaja diantaranya adalah :
faktor psikologis, faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor biologis,
perilaku bunuh diri sebelumnya dan orientasi seksual (Stuart, 2013).

Menurut Yosep (2007) alasan yang mempengaruhi seseorang


memiliki keinginan bunuh diri antara lain karena factor mood dan
biokimiawi otak, faktor riwayat gangguan mental, faktor meniru, imitasi
dan pembelajaran, faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman
kebutuhan dasar, faktor spiritualitas dan faktor sosialisasi.selain itu
karena adanya keputasaan seseorang dalam menyelasikan masalh,
ketidak
,mampuan seseorang dalam mengenal masalah yang dihadapi.

Beragam alasan menjadi penyebab seseorang mengambil jalan


nekat tersebut. Mulai dari himpitan ekonomi, gangguan kesehatan
mental, depresi, hingga hilangnya harapan hidup.karena merasa tidak ada
jalan keluar dari masalah yang dihadapi maka terjadi akibat perubahan
sosial yang negatif seperti perhatian keluarga yang kurang, hilangnya
dukungan keluarga,tidak ada keterbukaan dikeluarga dan teman. Faktor
biologi seperti keluhan somatik seperti sakit kepala juga menjadi faktor
risiko bunuh diri (Stuart,2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Khan (2011), didapatkan hasil


depresi memiliki hubungan dengan ide bunuh diri. Masalah yang tidak
terselesaikan akan menimbulkan stres. Sejumlah penelitian melaporkan
bahwa stres dan kehidupan yang penuh stres merupakan peristiwa yang
sangat terkait dengan gejala depresi, yang kemudian meningkatkan risiko
bunuh diri. Kondisi depresi yang dialami juga dapat menimbulkan rasa
ketidakberdayaan. Penelitian Page, dkk. (2006) didapatkan bahwa
kesepian, depresi, maupun ketidakberdayaan merupakan variabel kognitif
yang menjadi faktor resiko bunuh diri pada remaja.

Kondisi kesehatan yang buruk juga mendorong seseorang


melakukan aksi bunuh diri. Apalagi saat pandemi seperti sekarang ini,
dimana pemberlakuan PSBB, sangat mempengaruhi kondisi kesehatan
jiwa seseorang terutama para remaja, yang mayoritas usia produktif,
kemudian harus mengahadapi pemutusan hubungan kerja, sehingga jika
tidak punya keimanan yang kuat akan mendorongan seseorang untuk
berfikir praktis dengan melakukan bunuh diri. Ide muncul akibat
akumulasi berbagai masalah yang di dalam alam pikirnya, sehingga
merasa frustrasi. Karena merasa sudah tidak ada jalan keluar maka
seseorang nekat melakukan nekat bunuh diri. Keputusan mengakhiri
hidup sebenarnya merupakan hal yang berat, yang di ambil dai
seseorang.

B. Tujuan

Tujuan Penulisan ini adalah sebagi berikut:

1. Mengetahui penyebab terjadinya kasus bunuh diri


2. Mengetahui masalah yang dihadapi oleh remaja yang berusai 15-17
tahun
3. Mengetahui Penyebab depresi.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Perilaku Bunuh Diri


2.1.1 Definisi
Secara umum, kata bunuh diri berasal dari bahasa Latin
“suicidium” yang berarti “membunuh diri sendiri”. Jika berhasil,
tindakan ini merupakan tindakan fatal yang menunjukkan keinginan
orang tersebut untuk mati. Schneidman mendefinisikan bunuh diri
sebagai sebuah perilaku oleh seorang individu yang memandang
bunuh diri sebagai solusi terbaik untuk penyelesaian pada masalah
yang dihadapi. Istilah bunuh diri dapat mengandung arti ancaman
bunuh diri (threatened suicide), ide bunuh diri (suicide ideation),
percobaan bunuh diri (attempted suicide), bunuh diri yang telah
dilakukan (committed suicide), depresi dengan niat bunuh diri dan
melukai diri sendiri (self destruction). Jadi secara umum definisi
bunuh diri adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati
sebagai penyelesaian suatu masalah. (Maramis, 2010)
Ide bunuh diri, juga dikenal sebagai pikiran untuk bunuh diri
adalah pikiran tentang bagaimana untuk membunuh diri sendiri, yang
bisa berkisar dari pertimbangan sekilas sampai ke rencana yang rinci
dan tidak sampai tindakan akhir membunuh diri sendiri (Mosciki,
1997). Meskipun sebagian besar orang yang memiliki ide bunuh diri
tidak melaksanakan percobaan atau tindakan bunuh diri, ada beberapa
yang berusaha atau melakukan percobaan bunuh diri (Gliatto, 1999).

Berdasarkan definisi Beck, percobaan bunuh diri sebagai


sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku
yang sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi
menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tapi
belum berakibat pada kematian (Salkovkis, 1998). Dengan demikian,
yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya untuk
membunuh diri sendiri dengan intensi mati tapi belum berakibat pada
kematian.

2.1.2 Etiologi
1) Faktor Sosiologis
Menurut teori Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga kategori
sosial. Bunuh diri egoistic berlaku bagi mereka yang tidak
terintegrasi kuat ke dalam kelompok sosial manapun. Bunuh diri
altruistic berlaku untuk mereka yang rentan terhadap bunuh diri
karena integrasi yang berlebihan ke dalam kelompok. Bunuh diri
anomik berlaku bagi orang yang integrasinya ke dalam masyarakat
terganggu sehingga tidak dapat mengikuti norma perilaku yang
lazim.
2) Faktor Psikologis
Karl Menninger berpendapat bahwa bunuh diri sebagai
pembunuhan yang dibalik ke dalam diri sendiri karena kemarahan
pada orang lain. Menurut suatu studi oleh Aaron Beck
menunjukkan bahwa keputusasaan adalah salah satu indikator
yang paling akurat untuk risiko bunuh diri jangka panjang.
3) Faktor Biologis
Berkurangnya serotonin sentral memainkan peranan di dalam
perilaku bunuh diri. Konsentrasi metabolik serotonin 5-
hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) yang rendah di cairan
serebrospinal lumbal terkait dengan perilaku bunuh diri. Selain
itu, faktor genetik pada perilaku bunuh diri menunjukkan
kecenderungan menurun di dalam keluarga. Pada pasien psikiatri
riwayat bunuh diri di dalam keluarga meningkatkan risiko
percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan pada
sebagian besar dalam kelompok diagnostik (Sadock, 2007).
2.1.3 Klasifikasi
Pembagian atau klasifikasi perilaku bunuh diri menurut
Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
1) Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)
Pada kategori ini, individu sengaja melakukan kegiatan menuju
bunuh diri, dan bila kegiatan tersebut dilakukan sampai tuntas,
maka akan menyebabkan kematian. Kondisi ini telah terjadi
setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Individu yang
hanya berniat melakukan percobaan bunuh diri dan tidak benar-
benar ingin mati.
2) Isyarat Bunuh Diri (Suicide Gesture)
Kategori ini merupakan bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain. Hal ini dilakukan untuk
menarik perhatian dengan status emosional pasien yang terganggu
tetapi tidak seserius pada percobaan bunuh diri, meskipun dapat
mengakibatkan bunuh diri secara disengaja atau tidak disengaja.
Contoh isyarat bunuh diri termasuk cutting, dimana tidak diiris
cukup dalam untuk menyebabkan kehilangan darah yang
signifikan, atau mengkonsumsi obat non-berbahaya dengan dosis
yang berlebihan (Nock and Kessler, 2006).
3) Ancaman Bunuh Diri (Suicide Threat)
Kategori ini merupakan suatu peringatan baik secara langsung
maupun tidak langsung, verbal maupun non-verbal, bahwa
seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Individu tersebut
mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak akan ada di
kehidupannya lagi atau mengungkapkan secara non-verbal seperti
pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya. Kurangnya respon
positif dari orang-orang yang ada disekitarnya dapat dipersepsikan
sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri (Stuart
and Sundeen, 1995).
2.1.4 Faktor Risiko
1) Usia
Sebagian besar kejadian bunuh diri saat ini terdapat pada orang-
orang berusia 15 sampai 44 tahun. Prevalensi bunuh diri untuk
perempuan dengan kelompok usia yang sama meningkat lebih
lambat dibandingkan dengan laki-laki. Selama dekade terakhir,
angka kejadian bunuh diri pada laki-laki berusia 25 sampai 34
tahun meningkat hampir 30%. Angka terbesar bunuh diri yang
berhasil dilakukan pada perempuan terdapat setelah usia 55 tahun.
Di kalangan laki-laki, puncak bunuh diri terjadi setelah usia 45
tahun.
2) Jenis Kelamin
Laki-laki melakukan tindakan bunuh diri dan berhasil dalam
mengakhiri hidup mereka empat kali lebih sering daripada
perempuan, sedangkan perempuan memiliki kemungkinan untuk
melakukan percobaan bunuh diri empat kali lebih sering
dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan tingkat angka
keberhasilan bunuh diri pada laki-laki yang lebih tinggi berkaitan
dengan penggunaan sarana yang lebih mematikan, pengalaman
serangan dan niat atau intensi untuk mati lebih tinggi daripada
perempuan (Qin et al, 2000).
3) Agama
Katolik/Kristen, Islam dan Yahudi merupakan tiga agama besar
dunia yang sangat keras melarang seseorang melakukan bunuh
diri, tetapi pelarangan ini bersifat plastis. Di Asia, Hindu dan Buda
sebagai agama yang berlandaskan sikap penyerahan diri secara
tidak langsung mempunyai kecenderungan untuk mengajarkan
bunuh diri walau disertai alasan tertentu. Sedangkan aliran Khong
Hu Cu mengajarkan dengan penekanan nilai-nilai kebijakan
berlandaskan kesatuan keluarga bahwa seseorang tidak boleh
melukai diri sendiri karena semua sudah merupakan pemberian
kepadanya oleh kedua orang tuanya. Bunuh diri sangat dilarang
kecuali dalam keadaan tertentu seperti gagal dalam
melaksanakan tugas yang diberikan orang tua, atau
loyalitas terhadap Negara (Murthy, 2000).
4) Status Perkawinan
Angka kejadian bunuh diri pada individu yang sudah
menikah sekitar 11 per 100.000 populasi, sedangkan total
angka kejadian untuk individu yang berstatus lajang atau
tidak pernah menikah hampir dua kali lipatnya. Pada
individu yang memiliki riwayat pernah menikah
sebelumnya menunjukkan angka kejadian yang jauh lebih
tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah menikah.
Pada laki-laki yang dengan riwayat perceraian memiliki
angka kejadian sekitar 69 per 100.000, sedangkan untuk
perempuan sekitar 18 per 100.000 populasi. Individu yang
mengalami gangguan pada aspek sosial dan memiliki
riwayat keluarga bunuh diri (mulai dari percobaan atau
tindakan sesungguhnya) biasanya lebih banyak angka
kejadian untuk bunuh diri (Sadock, 2007).
5) Pekerjaan dan Status Sosial
Tingkatan status sosial seseorang sangat berpengaruh pada
tingginya risiko melakukan tindakan bunuh diri. Semakin
tinggi status sosial seseorang, semakin tinggi risiko bunuh
dirinya, tetapi penurunan status sosial juga meningkatkan
risiko bunuh diri. Faktor pekerjaan seorang individu
merupakan hal yang sangat berkaitan dengan risiko
tindakan bunuh diri terutama pada laki-laki. Populasi
khusus yang memiliki risiko adalah petugas penegak
hukum, dokter, pengacara, dan agen asuransi.
Ketidakstabilan pekerjaan dan pengangguran biasanya
menjadi faktor dibalik meningkatnya angka kejadian bunuh
diri, tetapi angka kejadian bunuh diri lebih tinggi pada
pengangguran dibandingkan dengan orang yang bekerja
(Hawton, 2000).

6) Riwayat Penyakit
Riwayat kesehatan fisik dan perawatan medis sebelumnya

mempunyai hubungan yang cukup bermakna dengan


bunuh diri. Hal itu merupakan suatu indikator pada risiko
bunuh diri. Individu yang mendapatkan perhatian medis
selama enam bulan sebelum kematiannya memiliki angka
32% melakukan tindakan bunuh diri. Risiko bunuh diri
juga lebih besar di antara pasien dengan penyakit fisik
yang cukup parah, seperti kanker atau infeksi HIV. Saat
ini, meningkatnya risiko bunuh diri telah ditemukan terkait
dengan beberapa kondisi medis, mulai dari asma hingga
trauma cedera otak. Faktor-faktor yang berkaitan dan turut
berperan di dalam percobaan bunuh diri adalah
menurunnya mobilitas terutama ketika aktivitas fisik
penting untuk pekerjaan, serta nyeri yang sulit sembuh dan
kronis (IASP, 2012).
7) Diagnosis Psikiatri
Sekitar 25% individu yang mencoba atau melakukan
tindakan bunuh diri memiliki diagnosis gangguan jiwa.
Gangguan depresif dan skizofrenia merupakan faktor
psikiatri yang bermakna pada kejadian bunuh diri.
8) Riwayat sebelumnya
Sekitar 40% pasien depresi yang melakukan tindakan
bunuh diri pernah mencoba sebelumnya. Pada 3 bulan
setelah percobaan pertama merupakan risiko percobaan
bunuh diri kedua paling tinggi (Sadock, 2007).
mempunyai hubungan yang cukup bermakna dengan
bunuh diri. Hal itu merupakan suatu indikator pada risiko
bunuh diri. Individu yang mendapatkan perhatian medis
selama enam bulan sebelum kematiannya memiliki angka
32% melakukan tindakan bunuh diri. Risiko bunuh diri
juga lebih besar di antara pasien dengan penyakit fisik
yang cukup parah, seperti kanker atau infeksi HIV. Saat
ini, meningkatnya risiko bunuh diri telah ditemukan terkait
dengan beberapa kondisi medis, mulai dari asma hingga
trauma cedera otak. Faktor-faktor yang berkaitan dan turut
berperan di dalam percobaan bunuh diri adalah
menurunnya mobilitas terutama ketika aktivitas fisik
penting untuk pekerjaan, serta nyeri yang sulit sembuh dan
kronis (IASP, 2012).
9) Diagnosis Psikiatri
Sekitar 25% individu yang mencoba atau melakukan
tindakan bunuh diri memiliki diagnosis gangguan jiwa.
Gangguan depresif dan skizofrenia merupakan faktor
psikiatri yang bermakna pada kejadian bunuh diri.
10) Riwayat sebelumnya
Sekitar 40% pasien depresi yang melakukan tindakan
bunuh diri pernah mencoba sebelumnya. Pada 3 bulan
setelah percobaan pertama merupakan risiko percobaan
bunuh diri kedua paling tinggi (Sadock, 2007).
11) Ketergantungan Zat Lain
Sejumlah studi di berbagai negara menemukan adanya
peningkatan risiko bunuh diri pada orang yang
menyalahgunakan zat. Pada orang yang memiliki
ketergantungan heroin memiliki kecenderungan bunuh diri
kira- kira 20 kali angka untuk populasi umum.
Ketersediaan zat dengan jumlah lethal, gangguan
kepribadian antisosial terkait, gaya hidup berantakan
merupakan faktor predisposisi untuk perilaku bunuh diri
pada orang dengan ketergantungan zat terutama ketika
sedang disforik, depresi atau intoksikasi. Maka dari itu,
kasus penyalahgunaan zat perlu penanganan lebih lanjut
untuk menurunkan risiko bunuh diri (Sadock, 2007).

2.2 Perilaku Seksual Sebelum Nikah


Menurut Lubis (2013), ketika seseorang memasuki usia
remaja, organ reproduksi juga ikut mengalami perkembangan dan
kematangan. Kematangan organ reproduksi dan perkembangan
psikologis dimana remaja mulai tertarik kepada lawan jenis, adanya
arus media elektronik maupun non-elektronik sangat berpengaruh
terhadap perilaku seksual individu remaja tersebut.
Menurut Taufik (2010), berikut merupakan pengertian
tentang batasan perilaku seksual, aktivitas seksual dan perilaku
seksual sebelum nikah :
1. Perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk
menarik perhatian lawan jenis dimana hal ini melibatkan
sentuhan secara fisik antara anggota badan pria dan wanita
dalam hal ini telah mencapai pada tahap hubungan intim
layaknya suami istri.
2. Aktivitas seksual merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk memenuhi dorongan seksual dalam rangka
mendapatkan kesenangan organ kelamin.
i 3. Perilaku seksual sebelum nikah merupakan perilaku seks
dimana pelakunya melakukan hal tersebut tanpa adanya
proses pernikahan resmi baik menurut hukum dan agama,
dengan kata lain hubungan terjadi atas dasar kepercayaan
masing-masing individu.
Alasan remaja melakukan hubungan seksual
sebelum menikah diantaranya adalah:
1. Untuk membuktikan bahwa mereka saling mencintai
2. Takut hubungan akan berakhir
3. Adanya rasa ingin tahu tentang seks
4. Kepercayaan bahwa setiap orang atau banyak
orang juga melakukan hubungan seks
5. Hubungan seks itu menyenangkan
6. Sama-sama suka
7. Mendapatkan uang atau fasilitas
8. Takut dianggap kurang pergaulan
9. Pacar mengatakan bahwa hal itu tidak apa-apa.

Cara-cara yang biasa dilakukan remaja dalam menyalurkan


hubungan seksual pranikah diantaranya melalui:
1. Bergaul dengan lawan jenis
2. Berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis
3. Menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas seperti olahraga
4. Mendekatkan diri pada tuhan
5. Berhayal atau berfantasi tentang seksual
6. Mengobrol tentang hal-hal yang seksual
7. Menonton film pornografi
8. Melakukan hubungan seksual non penetrasi seperti
berpegangan, bercumbu, berciuman dan berpelukan.
Menurut Lubis (2013), hubungan seksual pranikah lebih
banyak berdampak negatif dibanding dampak positifnya. Dampak
negatif antara lain :
1. Dampak Psikis
Ketika seorang remaja melakukan hubungan seks pranikah,
secara otomatis remaja tersebut akan merasa ketakutan,
cemas, menyesal serta rasa bersalah karena telah
melakukan perbuatan tersebut sebelum menikah. Selain itu,
dampak lainnya seperti takut akan mengalami kehamilan
yang tidak diinginkan.
2. Dampak Fisik
Penyakit menular seksual (PMS) merupakan dampak yang
akan diterima apabila seorang remaja melakukan hubungan
seks dengan berganti-ganti pasangan. Apabila mengalami
kehamilan yang tidak dinginkan, pada akhirnya akan
melakukan aborsi yang biasanya dilakukan secara tidak
aman sehingga dapat membahayakan keselamatan remaja
tersebut.
3. Dampak Sosial
Banyak kejadian dimana remaja perempuan mengalami
kehamilan diluar nikah karena mereka tidak
mempersiapkan diri terhadap risiko kehamilan yang
mungkin terjadi akibat hubungan seksualnya.

Menurut Hakim (2014), kehamilan yang tidak


dinginkan dapat berakibat aborsi yang dilakukan dengan
berbagai cara seperti meminum jamu tradisional, obat
peluntur di apotik atau toko, bahkan melakukan cara-cara
khusus seperti makan nenas, minum sprite, jongkok-
jongkok setelah berhubungan seks dan sebagainya yang
digunakan para remaja perempuan sebagai upaya
pencegahan kehamilan yang terkadang justru tidak berhasil
dan mengakibatkan kehamilan.
Dampak sosial yang ditimbulkan akibat melakukan
hubungan seksual pranikah diantaranya, timbul stigma
buruk, pergunjingan serta pengucilan dari lingkungan
sekitar.
Menurut Hakim (2014), kehamilan yang tidak
dinginkan dapat berakibat aborsi yang dilakukan dengan
berbagai cara seperti meminum jamu tradisional, obat
peluntur di apotik atau toko, bahkan melakukan cara-cara
khusus seperti makan nenas, minum sprite, jongkok-
jongkok setelah berhubungan seks dan sebagainya yang
digunakan para remaja perempuan sebagai upaya
pencegahan kehamilan yang terkadang justru tidak berhasil
dan mengakibatkan kehamilan.
Dampak sosial yang ditimbulkan akibat melakukan
hubungan seksual pranikah diantaranya, timbul stigma
buruk, pergunjingan serta pengucilan dari lingkungan
sekitar.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja


1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia
terhadap objek melalui indera yang dimilkinya yakni mata,
hidung, telinga, lidah dan kulit sehingga menghasilkan
pengetahuan, dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh
intensitas perhatian dari persepsi terhadap objek.
Menurut Notoadmodjo (2010), pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Sebagian
besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran dan penglihatan yakni telinga dan mata.
Pendidikan yang diperoleh dapat mempengaruhi
pengetahuan seseorang, dimana pengetahuan sangat erat
hubungannya dengan pendidikan. Secara tidak langsung sebagian
orang berharap bahwa dengan pendidikan tinggi maka
pengetahuannya juga semakin luas. Namun, Wawan & Dewi
(2010) menekankan bahwa bukan berarti pendidikan rendah maka
seseorang pun memilki pengetahuan yang rendah pula.
Menurut Yulianto (2013), remaja dapat melakukan
hubungan seks karena didasari oleh rasa ingin tahu untuk
mencoba segala macam hal yang belum diketahuinya.
Pengetahuan yang belum cukup menyebabkan remaja untuk
coba-coba dan akhirnya salah persepsi.
Hasil penelitian oleh Tang, et al (2011), menunjukkan
bahwa pekerja perempuan yang belum menikah sebagian besar
terlibat dalam perilaku hubungan seksual pranikah karena tidak
memiliki pengetahuan tentang hal tersebut.
Penelitian oleh Wamoyi, et al (2011), skor pengetahuan
tentang reproduksi dan kehamilan menunjukkan masih kurang
karena banyak negara berkembang memiliki remaja yang
pengetahuannya tentang seks dan reproduksi masih kurang
sehingga menyebabkan mereka memulai kegiatan seksual tanpa
informasi yang akurat. Oleh sebab itu pendidikan seks dapat
membantu menunda hubungan seksual pertama untuk remaja.
2. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap
stimulus atau objek tertentu yang melibatkan faktor pendapat
dan emosi yang bersangkutan seperti perasaan senang-tidak
senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya.

Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk atau


dipelajari. Menurut Wawan & Dewi (2010), sikap seseorang
dapat berubah-ubah apabila terdapat keadaan dan syarat-syarat
tertentu, sehingga sikap dapat bersifat positif dan juga negatif.
Dalam kenyataannya, sikap seseorang seringkali tidak
konsisten dengan perilakunya. Sikap positif belum tentu
perilakunya positif dan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena
banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang.
3. Peran Teman Sebaya
Teman sebaya adalah anak-anak dengan usia dan tingkat
kedewasaan yang kurang lebih sama. Teman sebaya memiliki
peran penting dalam kehidupan remaja. Remaja akan merasa
senang jika dirinya diterima oleh kelompoknya, dan sebaliknya
akan merasa tertekan jika ia diremehkan oleh teman-temannya.
Teman sebaya juga dapat menjadi pengaruh yang besar terhadap
seorang remaja dimana ia mengenal alkohol, kenakalan, serta
bentuk perilaku yang dianggap
maladaptive oleh orang dewasa.
Menurut Hakim (2014), salah satu fungsi terpenting dari
kelompok teman sebaya adalah menjadi sumber informasi dunia
diluar keluarga.
4. Peran Media Massa
Media massa dalam hal ini baik cetak maupun elektronik
banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan belakangan
lebih banyak digunakan sebagai perluasan pornografi. Selain
peranannya yang penting dalam kehidupan remaja, media massa
juga memberikan gambaran yang lebih baik mengenai cinta dan
kebutuhan seksualitas secara luas.
Sumber informasi seperti buku, film, video, situs
internet, gambar serta tabloid yang mengekspos seksualitas dan
pornografi semakin mudah diakses. Menurut Betha & Ahyani
(2010), hal ini dapat memancing individu khususnya kaum
remaja untuk meniru kebiasaan seperti melakukan hubungan
seksual pranikah dengan banyak pasangan.
Asosiasi penyelenggara jasa internet (APJI)
menyebutkan bahwa pada tahun 2009, pengguna internet di
Indonesia mencapai 25 juta. Riset yang dilakukan oleh Yahoo
menunjukkan bahwa pengguna internet terbanyak di Indonesia
dengan usia 15-19 tahun mencapai 64% dimana usia ini
termasuk dalam usia remaja.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bangkit dan
Ratna (2015) yang dilakukan di SMP Negeri 1 Sukoharjo,
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan dan secara
statistik antara penggunaan jejaring sosial yang sesuai dengan
kebutuhan perilaku seksual pranikah. Sebanyak 74%
penggunaan jejaring sosial mampu menjelaskan variasi-variasi
sikap seksual pranikah.
5. Situasi
Salah satu diantara banyak faktor yang mendukung
untuk terjadinya hubungan seksual pranikah adalah situasi.
Tempat-tempat dengan keadaan yang tenang dan sepi serta
tanpa pengawasan dapat memberikan kemungkinan untuk
terjadinya hubungan seks seperti di hotel, rumah kos, dan
rumah pribadi. Lingkungan yang semakin permisif, ditunjang
oleh fasilitas yang mendukung, serta situasi dan kondisi yang
ada, tanpa disadari akan memberikan sebuah peluang kepada
remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Menurut
Rachman dan Ibnu (2013), kebanyakan remaja akan memilih
tempat-tempat seperti pantai, taman dan tempat karaoke untuk
berpacaran. Namun, untuk melakukan hubungan seks, mereka
akan memilih tempat yang sifatnya lebih tertutup dan pribadi
yang jauh dari keramaian dan gangguan orang lain seperti
rumah kos dan
hotel.
6. Orang Tua
Salah satu penyebab penyimpangan perilaku seksual
pranikah pada remaja adalah peran orang tua dimana orang tua
memiliki peranan yang penting dalam hal membantu remaja
dalam meningkatkan rasa percaya diri dan mengajarkan remaja
untuk membuat keputusan. Tugas orang tua juga untuk
mengawasi perkembangan anak agar tidak terjerumus kedalam
hal- hal yang tidak baik. Beberapa peran orang tua yakni
sebagai pendidik, panutan, pendamping dan komunikator
(BKKBN, 2014).
Komunikasi tentang seksualitas yang diberikan oleh
orang tua pada usia sedini mungkin sangat berperan dalam
mencegah perilaku seksual remaja yang beresiko tinggi.
Komunikasi antara orang tua dan remaja dikatakan berkualitas
apabila kedua pihak memiliki hubungan yang baik, dapat
saling memahami dan mempercayai satu sama lain.
Sebaliknya, komunikasi yang kurang berkualitas
mengindikasikan kurangnya perhatian dan kasih sayang antar
keduanya (Sujalmo, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Erna pada tahun 2015,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
peran orang tua dengan perilaku seksual remaja dimana orang
tua harus mampu melakukan pendekatan kepada remaja
sehingga dapat membimbing remaja untuk berperilaku seksual
yang baik.
2.4 Remaja
Remaja atau sering di sebut dengan istilah pubertas atau
adolescent merupakan perubahan biologis yang meliputi morfologi
dan fisiologi yang terjadi dari masa anak-anak menuju dewasa
khususnya untuk organ reproduksi yakni perubahan alat kelamin.
Masa remaja merupakan perpaduan antara perkembangan usia
psikologis dan usia biologis yang sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor yang terjadi di masyarakat.
Terdapat berbagai definisi tentang remaja berdasarkan umur
kronologis dan berbagai kepentingan, yakni :
1. Pada buku-buku pediatri, umumnya definisi remaja adalah
apabila seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun
pada anak perempuan dan 10-20 tahun untuk anak laki-
laki.
2. Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang
kesejahteraan Anak, remaja merupakan individu yang
belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah.
3. Menurut Undang-Undang Perburuhan, anak dianggap
remaja jika telah mencapai umur 16-18 tahun atau jika
telah menikah dan memiliki tempat tinggal.
4. Menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, anak dianggap
remaja apabila cukup matang untuk menikah, yakni umur
16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
5. Menurut Diknas, anak dianggap remaja jika telah berumur
18 tahun, yang sesuai dengan usia saat lulus sekolah
menegah atas.
6. Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang
berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan
dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12
sampai 24 tahun.
Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3
tahap perkembangan remaja, sebagai berikut :
1. Remaja Awal (early adolescence)
Pada tahap ini, seorang remaja masih terheran-heran
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya
sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-
perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran
baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang
secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ditambah dengan
berkurangnya kendali terhadap ego yang menyebabkan
para remaja awal ini sulit mengerti dan sulit dimengerti
oleh orang dewasa.
2. Remaja Madya (Middle Adolescence)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan.
Mereka akan senang apabila banyak teman yang
menyukainya. Ada kecenderungan mencintai diri sendiri
dan menyukai teman-teman yang memiliki sifat yang sama
sepertinya.
3. Remaja Akhir (late adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa
dan ditandai dengan pencapaian 5 hal yakni : (a) minat
yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek, (b)
egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang
lain dan pengalaman baru, (c) terbentuknya identitas
seksual yang tidak akan berubah lagi, (d) keseimbangan
antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan (e)
tumbuh dinding yang memisahkan pribadinya dan
masyarakat umum.
Hurlock (1999) menyatakan bahwa remaja meliputi
beberapa perkembangan, yaitu :
1. Perkembangan fisik remaja
Seperti pada semua usia, dalam perubahan fisik juga
terdapat perbedaan individual. Perbedaan seks sangat jelas.
Meskipun anak laki-laki memulai pertumbuhan pesatnya
lebih lambat dibandingkan dengan anak perempuan yang
menyebabkan pada saat matang anak laki-laki lebih tinggi
daripada anak perempuan. Setelah masa puber, kekuatan
anak laki-laki melebihi kekuatan anak perempuan. Anak
yang matangnya terlambat, cenderung mempunyai bahu
yang lebih besar daripada anak yang matangnya lebih
awal.

2. Perkembangan sosial
Salah satu tugas perkembangan remaja yang paling sulit
adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial.
Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam
hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus
menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan
3. Perkembangan emosi
Masa remaja ini biasa juga dinyatakan sebagai periode
badai dan tekanan, masa dimana ketegangan emosi
meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Meningginya perubahan emosi ini dikarenakan adanya
tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Pada masa
ini, remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan
meledak-ledak, melainkan dengan cara menggerutu atau
dengan suara keras mengkritk orang-orang yang
menyebabkan amarah.
4. Perkembangan moral
Pada perkembangan moral ini, remaja telah dapat
mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok
daripadanya kemudian mau membentuk perilakunya agar
sesuai dengan harapan sosial tanpa erus dibimbing, diawasi
atau diancam seperti yang dialami waktu nak- anak.
5. Perkembangan kepribadiaan
Diantara perubahan-perubahan fisik, yang terbesar adalah
perkembangan jiwa remaja. Anak laki-laki dan perempuan
yang telah menyadari sifat-sifat buruk, menilai sifat-sifat
yang sesuai dengan teman-temannya. Sadar akan peran
kepribadian dalam hubungan sosial dan terdorong.
2.5 Pencegahan Seks Bebas pada Remaja
Berikut ini ada beberapa saran yang mungkin bisa diterapkan untuk
mencegah perilaku seks bebas pada remaja seperti :
1. Memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup bagi
remaja disertai pengawasan yang tidak mengekang.
Mereka yang terjerumus pada perilaku seks bebas mayoritas
adalah mereka yang kekurangan kasih sayang dari orang tua,
akan menjadi fatal jika
mereka yang kekurangan kasih sayang dan perhatian
menemukan lingkungan di luar yang mampu memenuhi
kebutuhan mereka, akan tetapi yang mereka temukan adalah
lingkungan yang salah.
Maka dari itu, berikan kasih sayang dan perhatian yang cukup
kepada anak, komunikasi yang intens, dan pengawasan yang
luwes dan tidak mengekang kepada anak yang bisa
menyebabkannya berontak.
2. Pengawasan orang tua yang perlu dan intensif terhadap media
komunikasi yang digunakan remaja
Di jaman globalisasi seperti saat ini, komunikasi berkembang
pesat tanpa adanya monitor dan pengawasan, sehingga orang tua
lah yang wajib mengawasi media yang digunakan anak. Hal ini
dilakukan agar remaja yang cenderung mengimitasi figur yang
dilihatnya terkontrol dengan baik.
3. Menyarankan remaja untuk mengikuti kegiatan positif di luar
sekolah Kegiatan positif di luar sekolah akan membuat anak
sibuk dan mengalihkan segenap perhatian mereka pada kegiatan
tersebut dan memperkecil kemungkinan mereka untuk
berperilaku menyimpang, terutama seks bebas.
2.6 Hubungan Bunuh Diri dengan Seks Bebas pada Remaja
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, seks bebas sudah
dipastikan menyalahi norma yang berlaku. Selain itu, bisa berisiko
buruk bagi kesehatan misalnya terjadi infeksi menular seksual
(IMS). Tak berhenti sampai di situ, seks bebas juga bisa
menyebabkan depresi dan bahkan menimbulkan pikiran untuk
bunuh diri.
Para peneliti dari Ohio State University yang mewawancarai
sekitar
10.000 orang dan menemukan bahwa remaja yang mengalami
depresi lebih mungkin terlibat dalam seks bebas. Namun, setelah
itu mereka juga secara serius mempertimbangkan untuk bunuh diri.
Beberapa studi telah menemukan hubungan antara
kesehatan mental yang buruk dan seks bebas. Studi ini memberi
bukti bahwa kesehatan mental yang buruk bisa menyebabkan seks
bebas tapi juga sebaliknya seks bisa menyebabkan penurunan bagi
kesehatan mental (Dr Sara Sandberg-Thoma.)
Partisipan penelitian berasal dari 80 sekolah di Amerika.
Peneliti mewawancarai mereka ketika duduk di kelas 1 SMP
sampai 3 SMA. Kemudian, mereka diwawancarai lagi ketika
berusia 18-26 tahun.
Mereka ditanya tentang hubungan seks bebas, depresi, dan pikiran
untuk
bunuh diri. Sebanyak 29 persen partisipan mengaku pernah
melakukan seks bebas dengan persentase pria 33 persen dan wanita
24 persen.
Menurut Sara, setidaknya studi ini bisa mengidentifikasi
remaja- remaja yang memiliki kesehatan mental yang buruk
kemudian bisa dilakukan intervensi agar mereka tidak melakukan
seks bebas. Sehingga, kondisi kesehatan mental mereka tidak
memburuk. Selain itu, yang paling penting adalah mencegah para
remaja untuk tidak melakukan seks bebas yang jelas- jelas bisa
memperburuk kondisi kesehtaan mentalnya yakni depresi dan
memicu keinginan bunuh diri.
BAB III

PEMBAHASAN

A. RINGKASAN KASUS KEGAWATDARURATAN


Terjadi sebuah aksi percobaan bunuh diri seorang warga dari atas
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Halte Gelanggang Remaja,
Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (28/1/2021). Warga
tersebut terlihat menggantung dan dipegangi oleh sejumlah orang di JPO
Halte Gelanggang Remaja. Terdengar pula teriakan histeris meminta tolong
di dalam video tersebut. Saat dikonfirmasi, Direktur Keuangan PT
Transjakarta Welfizon Yuza mengatakan, aksi percobaan bunuh diri
tersebut terjadi sekitar pukul 10.30 WIB.
Welfizon menambahkan, petugas Transjakarta bernama Lutfi dan
Fina dibantu oleh sopir ojek online kemudian menyelamatkan warga
tersebut. “Sekali lagi, kami sangat bangga memiliki petugas-petugas yang
sigap dan memiliki jiwa kepedulian yang kuat antarsesama seperti Lutfi dan
Fina,” ujar Welfizon dalam keterangan resmi, Kamis sore. Petugas layanan
halte (PLH) bernama Kurniatul mulanya melihat seorang wanita akan
melompat dari atas JPO. Welfizon menyebutkan, Kurniatul kemudian
segera melaporkan hal tersebut kepada Lutfi dan Fina yang saat itu bertugas
di sekitar lokasi kejadian. “Petugas kami dibantu sopir ojek online lantas
saling membantu untuk mengangkat wanita tersebut kembali ke atas. Dan
alhamdulillah bisa terselamatkan. Terima kasih atas pertolongan ini,” ucap
Welfizon.
Setelah berhasil diselamatkan, petugas segera menenangkan pelaku
dengan memberikan air minum serta membujuk wanita inisial NS itu agar
tidak melakukan hal tersebut lagi. Setelah ditanyakan motif percobaan
bunuh diri, NS mengaku depresi karena tengah hamil lima bulan, tetapi
ditinggalkan oleh sang kekasih. Saat ini NS sudah diserahkan ke pihak
Dinas Sosial (Dinsos) untuk ditindaklanjuti.
B. PEMBAHASAN
Beberapa penelitian menyebutkan depresi memiliki hubungan
dengan ide bunuh diri. Masalah yang tidak terselesaikan akan menimbulkan
stres. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa stres dan kehidupan yang
penuh stres merupakan peristiwa yang sangat terkait dengan gejala depresi,
yang kemudian meningkatkan risiko bunuh diri. Seperti yang terjadi pada
kasus percobaan bunuh diri diatas dimana
korban berusaha untuk melakukan bunuh diri karena depresi ditinggal
dalam keadaan hamil oleh kekasihnya.
Kasus bunuh diri terus mengalami peningkatan. Alasan mereka
untuk melakukan hal ini beragam, akan tetapi pada dasarnya mereka
melakukannya karena mereka berpikir tidak ada jalan keluar untuk
masalahnya dan kematian adalah jalan keluar satu-satunya. Orang tua dan
lingkungan yang berada di sekitar mereka semestinya mengambil peran
penting dalam kasus bunuh diri. Seorang yang merasakan tidak ada orang
yang mengasihi mereka, bahkan keluarga mereka juga cenderung bersikap
menolak mereka, kemungkinan akan merasa depresi dan putus asa. “Jika
seseorang terlalu lama terhanyut oleh rasa putus asa, pada akhirnya hal itu
akan menimbulkan perasaan ingin mati dan bunuh diri saja.” (Derrek
Prince, 1994). Kurangnya perhatian, tanggapan dari orang tua bahkan
lingkungan akhirnya membuat keadaan tidak dapat ditolong dan harus
mengakhiri hidupnya.
Dilihat dalam kondisi emosi terlihat bahwa laki-laki memiliki emosi
yang lebih baik (menuju ke arah yang lebih baik) daripada perempuan.
Kebanyakan perempuan sering merasa tertekan, sedih, ingin menangis dan
juga cepat cemas. Jika nilai keluarga, kesehatan dan emosi terus bertambah,
maka nilai untuk tidak melakukan bunuh diri juga semakin besar. Tetapi
sebaliknya jika nilai keluarga, kesehatan dan emosi terus berkurang, maka
nilai untuk tidak bunuh diri semakin kecil dan nilai untuk bunuh diri
semakin besar.
Ada tiga masalah yang membuat berniat melakukan bunuh diri,
yaitu: Depresi. Depresi yang mereka alami adalah puncak dari semua
perasaan bersalah, marah, tidak berarti dan tidak diinginkan. Depresi yang
berat menjadi salah satu penyebab terjadinya bunuh diri. Konsep diri.
Konsep diri yang keliru membuat mereka merasa tidak diinginkan, tidak
berharga dan tidak seorang pun mengasihi mereka. Hubungan dalam
keluarga. Hubungan dalam keluarga menyangkut penerimaan dari orang tua
(Mallo, H dan Ronda D., 2016).
Faktor penyebab terkuat keinginan untuk bunuh diri adalah
kebiasaan koping yang buruk, diikuti masalah keuangan yang serius dan
bunuh diri sebagai wujud penyesalan. Berdasarkan penemuan, mereka yang
pernah melakukan percobaan bunuh diri, berniat untuk menyiratkan
percobaan bunuh diri sebagai "teriakan minta tolong" tetapi tidak ada
keinginan untuk mati. Selain itu adapun faktor resiko bunuh diri lainnya
yaitu sering merasa tidak dipercaya orang lain, hidup sendiri,
pengangguran, penyakit fisik yang serius, penyakit kejiwaan, alkohol dan
narkoba, dan konflik intrapersonal. (Choo CC, 2018)
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan data yang telah diuraikan, dapat disimpilkan bahwa
persepsi “bunuh diri sebagai jalan keluar” bukanlah suatu tindakan yang
patut dilakukan, karena justru akan menambah masalah yang telah ada.
Bunuh diri merupakan hasil dari ketidakmampuan seseorang dalam
menghadapi cobaan hidup. Penyebab utama terjadinya bunuh diri di
masyarakat adalah karena kurang iman dan kepercayaan pada diri
sendiri. Oleh karena itu, perlu ditanamkan sikap percaya diri yang
mengarah kea rah positif dan untuk menangkalnya juga harus
diintensifkan pendidikan agama sejak masa kanak-kanak.
Kedaruratan psikiatri dibagi dalam beberapa bagian diantaranya
ialah bunuh diri, gaduh, atau gelisah dan penyalahgunaan napza. Bunuh
diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada
kematian (Gail w. Stuart, Keperawatan Jiwa, 2007). Secara garis besar
bunuh diri dapat dibagi menjadi 3 kategori besar, yaitu :
1. Upaya bunuh diri (Suicide Attempt) yaitu sengaja melakukan
kegiatan menuju bunuh diri dan bila keinginan itu samoai tuntas
akan menyebabkan kematian.
2. Isyarat bunuh diri (Suicide Gesture) yaitu bunuh diri yang
direncanakan untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (Suicide Threat) yaitu suatu peringatan baik
secara langsung maupun tidak langsung, verbal atau nonverbal
bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri.

Setiap orang ingin melakukan perilaku bunuh diri biasanya melewati


beberapa rentang ataupun tahapan-tahapan diantaranya : Suicidal
Ideation, Suicidal Intent, Suicidal Threat, Suicidal Gesture, Suicidal
Attempt dan Suicide.
B. SARAN
1. Perlunya kewaspadaan dan penanganan secara intensif pada klien
perilaku mencederai diri: bunuh diri, yaitu perlindungan bagi klien
(menjauhkan dari hal-hal/benda-benda yang memudahkan klien
untuk bunuh diri)
2. Perlunya peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat
(apabila rumah sakit) dalam memberikan asuhan keperawatan pada
klien bunuh diri.
3. Perlunya pendekatan khusus pada klien bunuh diri, misalnya dengan
membina hunungan saling percaya sehingga klien mau
menceritakan permasalahannya dan konsultan dapat mencarikan
jalan keluar.
4. Perlunya meningkatkan dukungan sosial seperti keluarga, teman
dekat, dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Hakim, L. E. (2014). Fenomena Pacaran Dunia Remaja. Riau : Zanafa


Publishing. Hurlock, E. B. (2004). Psikologi Perkembangan : Suatu
Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. ISSN
2442-7659. Lubis, L. N. (2013). Psikologi Kespro Wanita dan
Perkembangan Reproduksi.
Jakarta : Rineka Cipta.
Mesra, M. (2015). Peran Orang Tua Merupakan Faktor Dominan
Terhadap Perilaku Seksual Remaja. Jurnal Ilmu dan Tekhnologi
Kesehatan.
Rachman & Ibnu (2013). Perilaku Seks Pra Nikah Mahasiswa Pada
Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer Bina Bangsa
Kendari. Universitas Hasanuddin.
Santrock, J.W. (2007). Psikologi Perkembangan. Edisi 11 Jilid 1. Jakarta :
Erlangga. Taufik, M. (2010). Analisis Penyebab Perilaku Hubungan
Seksual Pranikah Pada
Remaja di Kota Pontianak Depok. Universitas Indonesia.
Tang, J., Gao, X., Yu, Y., Ahmed, N. I., Zhu, H., Wang, J., & Du, Y.
(2011).
Sexual Knowledge, Attitudes and Behaviors Among Unmarried Migrant
Female Workers in China : a comparative analysis. BMC Public
Health.
Wawan, A., & Dewi,. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap,
dan Perilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika.
Widiyanti, A.M., & Marheni, A. (2013). Perbedaan Efikasi Diri
Berdasarkan Tipe Pola Asuh Orang Tua Pada Remaja Tengah di
Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1), 172-176.
Yulianto, Y. (2013). Gambaran Sikap Siswa SMP Terhadap Perilaku
Seksual Pranikah (penelitian dilakukan di SMPN 159 Jakarta).
Jurnal Psikologi.
RESEARCH ARTICLE
Clinical assessment of suicide risk and suicide attempters’ self-reported
suicide intent: A cross sectional study

Carol C. Choo 1*, Keith M. Harris2,3, Peter K. H. Chew1, Roger C. Ho4,5,6


1 College of Healthcare Sciences, James Cook University, Singapore,
Singapore, 2 School of Psychology, Charles Sturt University, Port Macquarie,
NSW, Australia, 3 School of Psychology, University of Queensland, St Lucia,
Queensland, Australia, 4 Yong Loo Lin School of Medicine, National
University of Singapore, Singapore, Singapore, 5 Institute for Health
Innovation and Technology (iHealthtech), National University of Singapore,
Singapore, Singapore, 6 Centre of Excellence in Behavioral Medicine,
Nguyen Tat Thanh University (NTTU), Ho Chi Minh City, Vietnam

* carol.choo@jcu.edu.au

Abstract

OPEN ACCESS This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons
Citation: Choo CC, Harris KM, Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in
Chew PKH, Ho RC (2019) any medium, provided the original author and source are credited.
Clinical assessment of suicide Data Availability Statement: We are unable to share the underlying data because of
risk and suicide attempters’ self- restrictions due to patient confidentiality reasons. Qualified researchers could send
reported suicide intent: A cross data requests to the authors (Carol Choo and Roger Ho) and we will liaise with the
sectional study. PLoS ONE 14(7): relevant ethics board on the request. Carol Choo (email carol.choo@jcu.edu.au); Roger
e0217613. Ho (email pcmrhcm@nus.edu.sg). Although the authors cannot make their study’s
https://doi.org/10.1371/journal.po data publicly available at the time of publication, all authors commit to make the
ne.0217613 data underlying the findings described in this study fully available without
Editor: Vincenzo De Luca, restriction to those who request the data, in
University of Toronto,
CANADA
Received: April 21, 2017

Accepted: December 22, 2018

Published: July 5, 2019

Copyright: © 2019 Choo et al.

PLOS ONE | https://doi.org/10.1371/journal.pone.0217613 July 5, 2019 1 / 11


This study explored medical healthcare services. Hospitalizations for attempted suicides occur at a rate of
doctors’ clinical assessment of six to seven times that of completed suicides [2], and are an important
suicide risk and suicide attemp- predictor of eventual suicide [3].
A review of articles examining suicidal behaviour highlights the
ters’ self-reported suicide
importance of definitional clarity [4]. Suicide attempt is defined as a self-
intent. Three years of archival
inflicted, potentially injurious behaviour with a non-fatal outcome for which
assessment records related to there is evidence of intent to die, and it is differentiated from
sui- cide attempters who were self-harm, where it is evident that there is no intent to die [5], and highlights
admitted to the emergency the importance of suicide intent in differentiating both behaviours [4,5]. A high
department of a large teaching degree of suicide intent is associ- ated with hopelessness, pessimism [6], a
hospital in Singapore were sense of isolation, older age, a history of suicide attempts, and a higher risk for
subjected to analysis. Records completed suicide [7].
Suicide attempts have been rated in terms of the medical consequences or
related to 460 suicide
medical lethality and seriousness of the intent of the individual to die [8]. The
attempters (70.4% females; Beck Medical Lethality Scale [9]
28.6% males) were analysed
using logistic regressions.
Their ages ranged from 12 to
85 (M = 29.08, SD = 12.86).
The strongest predictor of
suicide intent was habitual
poor coping, followed by
serious financial problems, and
expressed regret. The strongest
predictor of suicide risk was
hiding the attempt followed by
prior planning. The findings
were discussed in regards to
implications in clinical
assessments and suicide
prevention efforts.

Introduction
Suicide is a serious problem
worldwide, with an annual
global age-standardized suicide
rate of
11.4 per 100 000 population
[1]. Suicide attempts are also
a serious public health
problem, with significant
tolls on psychiatric and other
PLOS ONE | https://doi.org/10.1371/journal.pone.0217613 July 5, 2019 2 / 11
Suicide risk

compliance with the PLOS Data addresses the medical lethality of the suicide attempt but gathers very little
Availability policy. Data sharing other information. The Suicidal Behaviour Questionnaire [10] asks for a
is contingent on the data being count of previous self-injuries and sui- cide attempts together with
handled appropriately by the data information about the medical treatment for each, but does not include other
requester and in accordance with aspects of the attempt. Other lethality scales which have been developed more
all applicable local requirements. recently are more comprehensive, as they include other dimensions in
addition to medical severity, and empirical support has been cited [4,11].
Funding: Costs associated with
Subjective intent to die has been demonstrated to be of high importance,
administrative support and
through empirical studies of multiple samples and advanced statistical
publications are obtained from an analyses [12]. Suicide intent could be mea- sured by the Suicide Intent Scale
internal research grant at James SIS [13], which includes items on the preparation and man- ner of execution
Cook University, Grant Code CRT- of the attempt, the setting, prior clues given that could facilitate or hamper
2016-30. The funders had no role intervention or discovery, the attempter’s perception of the lethality of the
in study design, data collection method, the extent of premeditation, purpose, and expectation of the
and analysis, decision to possibility for rescue. Factor analysis of the SIS revealed four factors: attitude
publish, or preparation of the towards the attempt, planning, precautions against interven- tion, and
manuscript. communication with others. Subsequent research [14] found that the
precautions dimension differentiated between attempters who did and did not
Competing interests: The authors
ultimately die by suicide, implying that attempters who took precautions
have declared that no competing against being discovered, such as those who found isolated places and
interests exist. scheduled their attempts at times when discovery was less likely, would be
particularly at risk of eventual suicide. An important component of the nature
of sui- cide is the typical pattern of the index attempt. Those who had taken
precautions against dis- covery at the time of the index attempt might have
been more likely to use similar methods at the ultimate attempt. Since
precautions would militate against discovery and intervention, this pattern, if
repeated, would seem likely to foster a successful suicide.
Suicide intent and lethality may have overlapping features, and most
clinicians will assume that high medical lethality suggests high suicide intent.
However, lethality may not be a true reflection of intent [15]. Greater suicide
intent increases suicide risk [16], but studies did not consistently show an
association between suicide intent and lethality of the suicide attempt.
Some researchers found minimal association between the degree of suicide
intent and the extent of medical lethality in suicide attempts [9,17,18].
However, for attempters with accurate expectations about the likelihood of
dying from the attempts, medical lethality was propor- tional to the degree of
suicide intent. Attempters were more likely to make medically severe
attempts when they had accurate expectations of the lethality of the method
used, and higher suicide intent [17]. A study done in China found a positive
correlation between suicide intent and lethality. Zhang and Xu [19]
postulated that the high fatality rate for Chinese females who swallowed
poisonous pesticides was a function of strong suicide intent and the well-
known lethality of pesticides. In contrast, some studies found that the medical
lethality of the chosen
method did not match the
adolescent attempter’s intent
to die, as the adolescent had
limited knowledge of the
toxicity [20]. It has been
suggested that both suicide
intent and medical lethality
should be assessed when
ascertaining the seriousness
of the attempt.
Neimeyer and Pfeiffer [21]
cited the inadequate
assessment of suicide intent
as one of the common errors
of suicide interventionists. It
was suggested that effective
assessments should include
assessment of suicide intent,
lethality of the suicide plan
(e.g., by enquiring about pre-
cautions against discovery
and rescue), and perturbation
associated with the suicide
plan [7,21].
Issues that have been
identified in suicide risk
assessment include
membership of a high risk
group, the acuteness of risk,
the need for risk indicators to
be clinically relevant, and the
recognition that the risk
factors are multi-dimensional,
intersecting and interacting
[22]. Back- ground risk
factors include socio-
demographic and related
indices which are correlated
with increased risk for suicide.
They can assist the clinician in
overall formulation of suicide
risk.
Suicide risk

Beautrais [23] proposed that in the accumulative risk model, the risk of
serious suicide attempts rose dramatically with the risk factor burden to which
an individual was exposed. Four or more risk factors were found to elevate
the odds of serious suicide attempts over 120 times more than those with
fewer than three risk factors. Risk increases as the risk factors accu- mulate
for a suicidal individual [7]. Suicide risk is also increased with certain
combinations of risk factors, for example, patients with bipolar disorder and
comorbid alcohol use disorder had twice the suicide risk of those with bipolar
disorder but without alcohol use disorder [24]. Substantially higher risks
occur among those with history of suicide attempts and psychiatric diagnosis,
such as mood disorder and schizophrenia [23, 25–27].
When researchers tried to use the commonly recognized suicide risk factors
to predict sui- cide, predictive power was found to be poor with low clinical
utility. Pokorny [28] used the 20 best predictors of suicide to identify the 67
subjects who died by suicide in a sample of 4,800 American veterans.
Statistical analysis yielded 1,206 false-positive identifications, and had lim-
ited usage in a clinical capacity. Goldney and Spence [29] also found that the
predictive ability of six clinical features of suicide was poor. Even in high
risk patients with affective disorders, prediction of suicide using the suicide
risk factors was poor [30]. Furst and Huffine [31] found that when subjects
were asked to predict suicide, the potential for suicidal behaviour was under-
estimated. Factors associated with accurate prediction were female gender
and presence of a family member who died by suicide.
In summary, there are limitations in the usage of checklists on recognized
risk factors, and standardized assessments in assessment of suicide risk and
intent. There is insufficient evi- dence to support a model for accurate
prediction of suicide risk. An investigation of the cur- rent practice in clinical
assessment of suicide risk, and factors contributing to suicide intent for
suicide attempts in the local context would inform efforts in defining best
practice in sui- cide assessment.
A review of relevant literature shows that many risk and protective
factors were related to suicide deaths and suicide attempts in both Western
and Asian studies, listed in the next two paragraphs. However, there is a
lack of large scale research examining prediction of suicide intent and risk
using recognized suicide risk and protective factors, and circumstances sur-
rounding the attempt.
This current study aims to explore prediction of medical doctors’ clinical
assessment of sui- cide risk and suicide attempters’ self-report of suicide intent.
Based on past evidence in both Western and Asian studies, analysis will be
conducted on the following available variables.
These variables were collected as part of standard clinical assessment. The risk
factors include: living alone [32], unemployment [32–35], financial problem
[36], physical illness [36], mental illness [34,35,37], alcohol/ drug use [38,39]
interpersonal conflict [34,35,40] protective factors include: presence of
dependents [41], emotional support [42], willingness to seek help [43,44],
resolution of precipitants [45], religion [46], regret of the attempt [47], and
positive future planning [48]. It is hypothesized that their suicide risk and
suicide intent will be predicted by the above-mentioned risk and protective
factors as well as features of the attempt, e.g., plan- ning, and precautions taken
to hide the attempt [8,14].

Method
Procedure
Ethics approval was obtained from the Domains-Specific Review Board of a
large teaching hos- pital in Singapore and the Human Research Ethics
Committee at James Cook University. This study is based on an archival
retrospective review of de-identified hospital records of patients who were
admitted for a suicide attempt from January 2004 to December 2006. Data
were
Suicide risk

collected from the hospital database related to the suicide attempters who
were admitted over the three year period and this data set is the most
comprehensive data set available from the hospital, as such assessment data
were not collected prior to and following the stipulated period. Archival data
was extracted from the Patient Psychiatric Assessment Form (PPAF). The
PPAF includes the Suicide Risk Assessment Form.
All cases of attempted suicide were assessed by medical doctors in the
emergency depart- ment under the supervision of a consultant psychiatrist, and
the interview took approximately 20 minutes. This assessment was part of the
protocol standard operating procedure for patients admitted following a
medically treated suicide attempt. At the time of the evaluation, the medi- cal
doctor made a formal psychiatric and/ or medical diagnosis. After the
assessment, a man- agement plan was recommended.
The inclusion criterion for the current study were suicide attempt cases
admitted to the emergency department from January 2004 to December
2006 and were assessed by medical doctors using the PPAF. Data were
extracted from multiple hospital databases in relation to the suicide attempt.
The majority of them (78.5%) overdosed in the suicide attempt.

Measures
Suicide risk assessment form. The Suicide Risk Assessment Form is a 2-
page question- naire designed to be conducted as a semi-structured interview
by medical doctors. The ques- tions used in the semi-structured interview
were developed based on consensus from consultant psychiatrists at the
hospital who were experienced in suicide risk assessment. This semi-
structured interview was devised for the collation of information deemed
important for clinical usage in suicide risk assessment and recommendation of
management plan, and psy- chometric properties were not available. The
content of the assessment form includes demo- graphic information such as
gender, age, and ethnicity. It documents presence of prior planning, efforts to
hide the suicide attempt, and suicide attempters’ report of suicide intent, on
dichotomous scales (yes and no). It records the presence of risk and protective
factors, as well as recommended management plan. The risk factors are
recorded on discrete dichoto- mous scales (yes and no) and include: lack of
confidantes, living alone, unemployment, finan- cial problem, mental illness
or suicide in the family, alcohol or drug abuse, history of mental illness,
interpersonal conflict, and poor coping; the protective factors are recorded on
discrete dichotomous scales (yes and no) and include: presence of
dependents, emotional support, will- ingness to seek help, resolution of
precipitant, religion, regret, and positive future planning. It records the
medical doctor’s clinical assessment of current suicide risk on a 4-point scale
(low, low to moderate, moderate to high, high). Suicide risk was recoded, low
and low to moderate were recoded into low and moderate and moderate to
high were recoded into high.

Data analysis
The data were analyzed using SPSS version 23 with the alpha level set at .05.
Two binary logis- tic regressions were conducted with suicide intent (Yes
versus No) and suicide risk (High ver- sus Low) as the criterion variables,
respectively. A total of 20 independent variables were included in each
regression: 10 risk factors (e.g., lack of confidantes), 7 protective factors
(e.g., has dependants), and 3 features of the suicide attempt (i.e., prior
planning, attempt to hide, and place of suicide attempt). The risk and
protective factors are listed in Table 1.

Results
A total of 671 suicide attempt cases were analyzed. Cases with missing data
on at least one of the key variables were removed from the data set (n = 211),
resulting in a sample of 460 cases
Suicide risk

Table 1. Percentage of patients assessed with high or low suicide risk,


risk and protective factors, and suicide intent (n = 460).
Predictors and Criteria Percentag
e (%)
Ye No
s
Risk Factors
1) Lack of confidantes 35. 64.
9 1
2) Living alone 11. 88.
1 9
3) Unemployment 16. 83.
5 5
4) Serious financial problems 14. 85.
8 2
5) Serious physical illness 5.0 95
6) Mental illness/Suicide in family 10. 89.
9 1
7) Alcohol/Drug abuse 17. 82.
4 6
8) History of Mental illness 24. 75.
8 2
9) Ongoing interpersonal conflict 48. 51.
5 5
10) Habitual poor coping 36. 63.
1 9
Protective Factors 59. 40.
3 7
1) Has dependants 76. 23.
1 9
2) Emotional support 70. 29.
7 3
3) Willing to seek help 49. 50.
1 9
4) Resolution of precipitant 35. 65.
0 0
5) Religion 81. 18.
7 3
6) Expressed regret 75. 24.
2 8
7) Positive future planning 4.3 95.
7
Criteria 4.3 (High) 95.7 (Low)
1) Suicide Intent
2) Suicide Risk
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0217613.t001

(70.4% females; 61.7% Chinese, 15.0% Malays, 16.1% Indians,


6.3% Others, and .9% unknown). Their ages ranged from 12 to 85
(M = 29.08, SD = 12.86).
Medical doctors’ clinical assessment of suicide risk was recoded: ‘low’ and
‘low to moderate’ were recoded into ‘low risk’ whereas ‘moderate to high’
and ‘high’ were recoded into ‘high risk’. This procedure was done because
there were insufficient frequencies in the ‘moderate to high’ and ‘high’
categories. The percentages of suicide attempters assessed with suicide risk
(High, Low), as well as risk and protective factors, and self-reported suicide
intent are pre- sented in Table 1. In addition to risk and protective factors,
features of the attempt, such as prior planning (11.3% Yes, 88.7% No),
attempt to hide (30.9% Yes, 69.1% No), and place of suicide attempt (80%
Home, 2.2% Workplace, 9.3% Public place, 2.8% Friend’s house, .7% Public
housing, and 5% Others) were also included in the analysis.
Logistic regression was performed to examine the prediction of self-reported
suicide intent.
The model contained 20 independent variables (see Table 1). The full model
containing all predictors was statistically significant, χ2 (24, N = 460) =
79.99, p < .001, indicating that the model was able to distinguish between
suicide attempters with and without suicide intent. The model as a whole
explained between 15.9% (Cox and Snell R2) and 52.9% (Nagelkerke R2) of
the variance in suicide intent, and correctly classified 96.1% of the suicide
attempters with sui- cide intent. As shown in Table 2, only three of the
independent variables made a unique statis- tically significant contribution to
the model (serious financial problems, habitual poor coping, and expressed
regret). The strongest predictor of suicide intent was habitual poor coping,
with an odds ratio of 8.11. This indicated that patients who had habitual poor
coping were 8.11 times more likely to be assessed with suicide intent than
those who did not have habitual poor coping, controlling for all other
predictors in the model. The second strongest predictor was serious financial
problems with an odds ratio of 4.39. This indicated that patients who had seri-
ous financial problems were 4.39 times more likely to be assessed with
suicide intent than those who did not have serious financial problems,
controlling for all other predictors in the
Suicide risk

Table 2. Logistic regression predicting suicide intent (n = 460).

Predictors B S.E. Wald d p O 95.0% CI for


OR
f R Low Upp
er er
Risk Factors
1) Lack of confidantes -.33 .74 .10 1 . .72 .17 3.07
65
9
2) Living alone -.05 .92 .00 1 . .95 .16 5.79
95
4
3) Unemployment - .88 2.3 1 . .26 .05 1.46
1.34 3 12
7
4) Serious financial 1.48 .72 4.2 1 . 4.3 1.07 18.0
problems 0 04 9 7
0
5) Serious physical illness 1.95 1.06 3.3 1 . 7.0 .88 56.2
9 06 4 9
6
6) Mental illness/Suicide in - 4583. .00 1 . .00 .00 -
family 18.2 89 99
5 7
7) Alcohol/Drug abuse 1.05 .71 2.1 1 . 2.8 .71 11.5
8 13 7 9
9
8) Mental illness .45 .69 .44 1 . 1.5 .41 6.05
51 7
0
9) Ongoing interpersonal -.54 .68 .64 1 . .58 .15 2.21
conflict 42
5
10) Habitual poor coping 2.09 .90 5.3 1 . 8.1 1.38 47.5
7 02 1 8
0
Protective Factors -.77 .68 1.2 1 . .47 .12 1.76
7 26
0
1) Has dependants .01 .78 .00 1 . 1.0 .22 4.60
99 1
4
2) Emotional support -.63 .67 .91 1 . .53 .14 1.96
34
1
3) Willing to seek help - .96 1.9 1 . .26 .04 1.71
1.34 6 16
2
4) Resolution of precipitant -.24 .70 .12 1 . .79 .20 3.11
73
1
5) Religion - .79 9.2 1 . .09 .02 .43
2.40 7 00
2
6) Expressed regret .04 .72 .00 1 . 1.0 .26 4.22
95 4
8
7) Positive future planning 1.19 .79 2.2 1 . 3.3 .70 15.5
6 13 0 9
2
Other Variables .22 .70 .10 1 . 1.2 .32 4.89
75 4
4
1) Prior planning - 10702 .41 5 . .00 .00 -
18.0 .83 99
7 5
2) Attempt to hide .17 .90 .00 1 . 1.1 .20 6.87
99 8
9
3) Place of act - 9286. .03 1 . .00 .00 -
16.7 06 85
4 4
Home vs. Workplace - 21837 .00 1 . .00 .00 -
16.6 .76 99
2 9
Home vs. Public place -.79 1.33 .00 1 . .45 .03 6.11
99
9
Home vs. Friend’s house - 1.09 .36 1 . .07
2.66 55
1
Home vs. HDB building 5.9 1 .
6 01
5
Home vs. Others
Constant
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0217613.t002

model. The last predictor was expressed regret with an odds ratio of .09. This
indicated that patients who expressed regret were .09 times less likely to be
assessed with suicide intent than those who did not express regret, controlling
for all other predictors in the model.
Logistic regression was performed to examine the prediction of suicide
risk. The model contained 20 independent variables (see Table 1). The full
model containing all predictors was statistically significant, χ2 (24, N = 460)
= 75.23, p < .001, indicating that the model was able to distinguish between
patients assessed with high and low suicide risk. The model as a whole
explained between 15.1% (Cox and Snell R2) and 50.1% (Nagelkerke R2) of
the variance in sui- cide risk, and correctly classified 96.1% of the cases. As
shown in Table 3, only two of the inde- pendent variables made a unique
statistically significant contribution to the model (prior planning and attempt
to hide). The strongest predictor of suicide risk was attempt to hide, with an
odds ratio of 13.13. This indicated that suicide attempters who tried to hide
the attempt were 13.13 times more likely to be assessed as high suicide risk
than those who did not attempt to hide, controlling for all other predictors in
the model. The second strongest predic- tor was prior planning with an odds
ratio of 8.32. This indicated that suicide attempters who had prior planning
were 8.32 times more likely be assessed as high suicide risk than those who
did not have prior planning, controlling for all other predictors in the model.

Discussion
This study aimed to explore the prediction of medical doctors’ clinical
assessment of suicide risk and suicide attempters’ self-reported suicide intent.
Three years of medical records of 460
Suicide risk

Table 3. Logistic Regression Predicting Suicide Risk (n = 460).

Predictors B S.E. Wald d p Odds 95.0% CI for


Odds Ratio
f Ratio Low Upp
er er
Risk Factors
1) Lack of confidantes .09 .68 .02 1 .901 1.0 .29 4.13
9
2) Living alone 1.38 .85 2.6 1 .103 3.9 .76 20.9
5 8 8
3) Unemployment -.10 .91 .01 1 .911 .90 .15 5.35
4) Serious financial .87 .72 1.4 1 .224 2.3 .59 9.73
problems 8 9
5) Serious physical illness - 7419. .00 1 .998 .00 .00 -
17.8 68
3
6) Mental illness/Suicide in 1.39 .73 3.6 1 .056 4.0 .96 16.5
family 5 0 8
7) Alcohol/Drug abuse 1.30 .73 3.1 1 .077 3.6 .87 15.3
3 6 8
8) Mental illness .38 .66 .33 1 .568 1.4 .40 5.30
6
9) Ongoing interpersonal .25 .65 .14 1 .708 1.2 .36 4.59
conflict 8
10) Habitual poor coping .03 .65 .00 1 .967 1.0 .29 3.67
3
Protective Factors .23 .70 .11 1 .736 1.2 .32 4.94
6
1) Has dependants .08 .75 .01 1 .915 1.0 .25 4.71
8
2) Emotional support -.54 .63 .74 1 .389 .58 .17 2.00
3) Willing to seek help -.45 .74 .38 1 .540 .64 .15 2.71
4) Resolution of precipitant -.50 .68 .53 1 .465 .61 .16 2.32
5) Religion -.99 .72 1.9 1 .169 .37 .09 1.52
0
6) Expressed regret -.73 .71 1.0 1 .300 .48 .12 1.92
7
7) Positive future planning 2.12 .64 11. 1 .001 8.3 2.38 29.0
03 2 6
Other Variables 2.58 .71 13. 1 < . 13. 3.28 52.5
25 000 13
1) Prior planning - 9806. 1.3 5 .929 .00 .00 -
18.7 64 6
8
2) Attempt to hide - 2.18 .00 1 .998 .10 .00 7.21
2.29
3) Place of act - 10248 1.1 1 .293 .00 .00 -
16.4 .96 1
7
Home vs. Workplace - 22962 .00 1 .999 .00 .00 -
14.5 .36
6
Home vs. Public place -.70 1.23 .00 1 .999 .50 .05 5.53
Home vs. Friend’s - 1.40 .32 1 .571 .01
house 4.71
Home vs. HDB building 11. 1 .001
32
Home vs. Others
Constant

Note. Suicide Risk was recoded from a 4-point Likert Scale (0 = Low, 1 = Low to Moderate, 2 = Moderate

to High, and 3 = High) to a dichotomous variable (0 and 1 = Low, and 2 and 3 = High).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0217613.t003

suicide attempters were analyzed. It was hypothesized that suicide risk and
suicide intent would be predicted by recognised risk and protective factors, as
well as features of the attempt.
As hypothesized, the full model containing all the recognized risk and
protective factors and features of the attempt was significant in distinguishing
suicide attempters with and with- out suicide intent, correctly classifying 96%
of the cases. The strongest predictor of suicide intent was habitual poor
coping, followed by serious financial problems, and expressed regret. The
association between coping, financial problems and suicide intent may
explain the well established relationships between poor coping [49] and
financial problems [50,51] with sui- cides. The concept of regret was a
variable collected in the interview, but it is not well estab- lished in previous
literature. The finding that those who expressed regret were less likely to
report suicide intent, might imply that the suicide attempt could be a ‘cry for
help’ but not reflective of a desire to die, suggesting that likely interventions
include those that promote bet- ter decision making and regret regulation [52].
As hypothesized, the full model containing all the recognized risk and
protective factors and features of the attempt was significant in distinguishing
suicide attempters assessed with high and low suicide risk, correctly
classifying 96% of the cases. The strongest predictor for sui- cide risk was
hiding the attempt followed by prior planning. This is consistent with
previous literature which reported that attempters who took precautions
against being discovered, such as those who found isolated places and
scheduled their attempts at times when discovery was less likely, would be
particularly at risk of eventual suicide [14].
Suicide risk

The results of this study provided evidence to support best practice for
suicide assessment and management for medical doctors in the Emergency
Department of the acute hospital. The results are consistent with qualitative
informal feedback from the hospital’s clinical staff that the semi-structured
interview has worked well in that it is brief, and it allows suicide risk
assessment to be done quickly without missing important items on suicide risk
assessment.
When a brief and accurate suicide risk assessment and effective suicide
management is needed in a busy clinical environment following a suicide
attempt, evidence from this study supports the assessment of prior suicide
planning and attempt to hide to be incorporated into the risk assessment
protocol. Information about the place of the index attempt could be collected,
which might be corroborating evidence for whether precautions might have
been taken to reduce the possibility of being discovered and rescued, e.g.,
attempting suicide alone in one’s home would lessen the probability for
discovery by potential persons who could intervene and rescue, as compared to
the workplace, friend’s house, public place or public housing. This could be in
addition to the assessment of recognised risk and protective factors. Such
informa- tion could be integrated to inform risk assessment, and to formulate a
suicide management plan, together with incorporation of contribution of
habitual poor coping, serious financial problems, and expressed regret into
suicide management. Previous research had found that brief interventions [53],
including safety planning [54] reduced suicide risk post-discharge from the
Emergency Department. Results from the current study suggest brief
interventions could also include practical strategies to enhance coping. The
results also suggest that brief interventions with the suicide attempter could
include clarification if there was expressed regret of the attempt, if the attempt
was a cry for help and not intent to die, and reasons for liv- ing could be
elicited.
Limitations of the study include a cross-sectional design, a longitudinal
design could enhance the interpretability of the results, as well as including
outcomes such as multiple hos- pital admissions of repeated suicide attempts
or eventual suicide death. The criterion variables, including suicide intent
were not measured using validated instruments. Future research could employ
valid continuous measures of suicidal symptoms. The reliance on self-report
and the usage of single dichotomous items also constrains the depth of
information obtained. It might be possible for attempters to mask their suicide
intent in their self-reports if they feared negative consequences of reporting
high-risk behaviours. Future research could employ qualitative interviews to
reveal the interplay of relationships and processes impacting on sui- cide risk,
and suicide intent that might be relevant for understanding suicide attempts.
In this study, suicide intent was recorded dichotomously and medical doctor’s
clinical assessment of current suicide risk was recorded on a 4-point response
set, and then recoded into dichoto- mous variables. Classifying suicide risk
and intent as discrete or dichotomous outcomes is often necessary in a busy
emergency department to inform clinical decision making and treat- ment
planning. However, this conceptualization of risk and intent does not reflect
the multi- dimensional and dynamic nature of both risk and intent, which
cover a wide continuous spec- trum. Although the analyses followed clinical
decision models that conceptualized current sui- cide risk and intent at the
point of clinical assessment, it is good to bear in mind that accurate modelling
of suicide risk requires using validated continuous measures of suicidal affect,
behaviours and cognitions, incorporated into a comprehensive clinical
assessment, as well as ongoing monitoring for fluctuations in risk and intent.
Although the models demonstrated good clinical utility for our sample, the
specific configurations of patterns of risk and protec- tive factors might differ
among individuals, further research to examine the intricacies of underlying
patterns could be explored using in-depth interviews and qualitative
methodology.
In conclusion, the findings have implications for informing best practice in
suicide assess- ment and primary prevention for suicides in Singapore. By
using brief risk assessments that
Suicide risk

are substantiated by empirical findings from current research in the local


population, the clini- cian would be taking a step forward in utilizing the
scientist-practitioner model in their evi- dence based practice. This study adds
to the current literature on suicide risk and suicide intent, building evidence
on the usage of recognized risk and protective factors in suicide assessment,
and casting light on the relevance of prior planning and attempt to hide the
suicide attempt in risk assessment protocols for use by emergency department
clinicians following an index suicide attempt. The important contribution of
habitual poor coping, serious financial problems, and expressed regret into
suicide intent is highlighted and further enhances our understanding for how
these factors could be incorporated in the formulation of intervention
strategies in our efforts to prevent premature deaths by suicide in vulnerable
individuals.

Author Contributions
Conceptualization: Carol C. Choo, Keith M. Harris, Peter K. H. Chew, Roger
C. Ho.
Data curation: Carol C. Choo, Peter K.
H. Chew. Formal analysis: Carol C.
Choo, Peter K. H. Chew. Funding
acquisition: Carol C. Choo.
Investigation: Carol C. Choo, Roger C. Ho.
Methodology: Carol C. Choo, Peter K. H.
Chew. Project administration: Carol C.
Choo, Roger C. Ho. Resources: Carol C.
Choo, Roger C. Ho.
Software: Carol C. Choo.
Supervision: Keith M. Harris, Roger C. Ho.
Validation: Carol C. Choo.
Visualization: Carol C. Choo.
Writing – original draft: Carol C. Choo.
Writing – review & editing: Carol C. Choo, Keith M. Harris, Peter K. H.
Chew, Roger C. Ho.

References
1. World Health Organization (2016). Global Health Observatory Data.
Retrieved from: http://www.who. int/gho/mental_health/en/
2. Langlois S., & Morrison P. (2002). Suicide deaths and suicide attempts.
Health Rep 13:9–22.
3. Beautrais A. (2007). Subsequent mortality in medically serious
suicide attempts: A 5 year follow-up. Aust N Z J Psychiatry 37:395–
599.
4. Linehan M., Comtois K.A., Brown M.Z., Heard H.L., & Wagner A
(2006). Suicide Attempt Self-Injury Interview (SASII): Development,
reliability, and validity of a scale to assess suicide attempts and inten-
tional self-injury. Psychol Assessment 18:303–312.
5. Silverman M.M., Berman A.L., Sanddal N.D., O’ Carroll P.W., & Joiner
T.E. (2007). Rebuilding the tower of Babel: A revised nomenclature for
the study of suicide and suicidal behaviours part 2: Suicide- related
ideations, communications and behaviour. Suicide Life Threat Behav
37:264–277. https://doi. org/10.1521/suli.2007.37.3.264 PMID:
17579539
6. Cole D. (1988). Hopelessness, social desirability, depression and
parasuicide in two college student samples. J Consult Clin Psychol
56:131–136. PMID: 3346438
7. Kral M., & Sakinovsky I. (1994). A clinical model for suicide risk
assessment. In Leenaars A., Maltsber- ger J., & Neimeyer R. (Eds.),
Treatment of suicidal people (pp. 19–31). Washington: Taylor and
Francis.
Suicide risk

8. Beck A., Weismann A., Lester D., & Trexler L. (1976). Classification
of suicidal behaviors, II: Dimen- sions of suicidal intent. Arch Gen
Psychiatry 33:835–837. PMID: 942287
9. Beck A., Beck R., & Kovacs M. (1975). Classification of suicidal
behaviours: Quantifying intent and med- ical lethality. Am J Psychiatry
132:285–287. https://doi.org/10.1176/ajp.132.3.285 PMID: 1115273
10. Linehan M. (1981). Suicidal Behaviors Questionnaire (SBQ). Seattle:
University of Washington.
11. Magaletta P.R., Patry M.W., Wheat B., & Bates J. (2008). Prison
inmates characteristics and suicide attempt lethality: An exploratory
study. Psychol Serv 5:351–361.
12. Harris K. M., Lello O. D., & Willcox C. H. (2017). Reevaluating
Suicidal Behaviors: Comparing Assess- ment Methods to Improve Risk
Evaluations. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment,
39(1), 128–139. https://doi.org/10.1007/s10862-016-9566-6
13. Beck A., Shuyler D., & Herman I. (1974). Development of suicide intent
scales. In Beck A., & Resnick D. (Eds.), The prediction of suicide (pp.
45–56). New York: Charles Press.
14. Beck A., & Steer R. (1989). Clinical predictors of eventual suicide: A 5–
10 year prospective study of sui- cide attempters. J Affect Disord
17:203–209. PMID: 2529288
15. Silverman M.M., Berman A.L., Sanddal N.D., O’ Carroll P.W., &
Joiner T.E. (2007). Rebuilding the tower of Babel: A revised
nomenclature for the study of suicide and suicidal behaviours part 1:
Back- grounds, rationale, and methodology. Suicide Life Threat Behav
37:248–263. https://doi.org/10.1521/ suli.2007.37.3.248 PMID:
17579538
16. Zalsman G., Braun M., Arendt M., Grunebaum M., Sher L., Burke A.,
Brent D., Chaudhury S., Mann J., & Oquendo M. (2006). A comparison
of the medical lethality of suicide attempts on bipolar and major
depressive disorders. Bipolar Disord 8:558–565.
https://doi.org/10.1111/j.1399-5618.2006.00381.x PMID: 17042829
17. Brown G., Henriques G., Sosdjan D., & Beck A. (2004). Suicide
intent and accurate expectations of lethality: Predictors of medical
lethality in suicide attempts. J Consult Clin Psychol 72:1170–1174.
https://doi.org/10.1037/0022-006X.72.6.1170 PMID: 15612863
18. Lester D., & Beck A.T. (1975). Attempted suicide: Correlates of
increasing medical lethality. Psychol Rep 37:1236–1238.
https://doi.org/10.2466/pr0.1975.37.3f.1236 PMID: 1208746
19. Zhang J., & Xu H. (2007). Degree of suicide intent and the lethality of
the means employed: A study of Chinese attempters. Arch Suicide Res
11:343–350. https://doi.org/10.1080/13811110701541889 PMID:
17882622
20. King C. (1997). Suicidal behaviour in adolescence. In Maris R.,
Silverman M., & Canetto S. (Eds.), Review of Suicidology (pp. 61–
95). New York: Guilford.
21. Neimeyer R., & Pfeiffer A. (1994). Errors in suicide intervention. In
Leenaars A., Maltsberger J., & Nei- meyer R. (Eds.), Treatment of
suicidal people (pp. 207–224). Washington: Taylor and Francis.
22. Maris R., Berman A., & Maltsberger J. (1992). Summary and
conclusions: What have we learned about suicide assessment and
prediction. In Maris R., Berman A., Maltsberger J. & Yufit R. (Eds.),
Assess- ment and prediction of suicide (pp. 640–672). New York:
Guilford Press.
23. Beautrais A. (1998). Risk factors for serious suicide attempts among
young people: A case control study. In Kosky R., Eshkevari H.,
Goldney R., & Hassan R. (Eds.), Suicide prevention: The global con-
text (pp. 267–282). New York: Plenum Press.
24. Oquendo M., Currier A., Liu S., Hasin D., Grant B., & Blanco C.
(2011). Increased risk for suicidal behaviour in comorbid bipolar
disorder and alcohol use disorder. J Clin Psychia 71(7):902–909.
25. Chia B. (1999). Too young to die: An Asian perspective on youth suicide.
Selangor: Times.
26. Nordstrone P., Asberg M., Asberg-Wistedt A., & Nordin C. (1995).
Attempted suicide predicts suicide risk in mood disorders. Acta
Psychiat Scand 92:345–350. PMID: 8619338
27. Vallente S., & Fann (2002). Overcoming barriers to suicide risk
management. J Psychosoc Nurs Ment Health Serv 40:22–33.
28. Pokorny A. (1983). Prediction of suicide in psychiatric patients. Arch
Gen Psychiatry 40;249–257. PMID: 6830404
29. Goldney R., & Spence N. (1987). Is suicide predictable? Aust N Z J
Psychiatry 21:3–4. https://doi.org/ 10.1080/00048678709160893 PMID:
3476106
30. Goldstein R., Black D., Nasrallah A., & Winokur G. (1991). The
prediction of suicide. Sensitivity, speci- ficity, and predictive value of a
multi-variate model applied to suicide among 1,906 patients with
affective disorders. Arch Gen Psychiatry 48:418–422. PMID: 2021294
31. Furst J., & Huffine C. (1991). Assessing vulnerability to suicide. Suicide
Life Threat Behav 21:329–344. PMID: 1799015
32. Mann J. (2002). A current perspective of suicide and attempted suicide.
Ann Intern Med 136:302–311. https://doi.org/10.7326/0003-4819-136-
4-200202190-00010 PMID: 11848728
Suicide risk

33. Chen V., Chou J., Hsieh T., Chang H., Lee C., Dewey M., . . . Tan H.
(2013). Risk and predictors of sui- cide and non-suicide mortality
following non-fatal self-harm in Northern Taiwan. Soc Psychiatry Psy-
chiatr Epidemiol 48:1621–1627. https://doi.org/10.1007/s00127-013-0680-4
PMID: 23563393
34. Choo C., Diederich J., Song I., & Ho R. (2014a). Suicide Risk Analysis.
In Lech M., Song I., Yellowlees P., Diederich J. (eds). Mental Health
Informatics. Springer: Berlin, Heidelberg New York (pp. 217– 246).
35. Choo C., Diederich J., Song I., & Ho R. (2014b). Cluster Analysis
Reveals Risk Factors for Repeated Suicide Attempts in A Multi-ethnic
Asian Population. Asian J Psychiatr 8:38–42.
36. Chong M., Yeh E., & Wen J. (1992). Suicidal behaviour in Taiwan. Kok,
L., & Tseng, W. (1992). Orienta- tion to cross-society comparison. In
Kok L. & Tseng W. (Eds.), Suicidal behaviour in the Asia Pacific region
(pp. 69–82). Kent Ridge: Singapore University Press.
37. Judd F., Jackson H., Komiti A., Bell R., & Fraser C. (2012). The profile
of suicide: Changing or change- able? Soc Psychiatry Psychiatr
Epidemiol 47:1–9.
38. Cheng A., & Lee C. (2000). Suicide in Asia and Far East. In Hawton K.
& Van Heeringen K. (Eds.), The international handbook of suicide and
attempted suicide (pp. 29–48). West Sussex: John Wiley & Sons.
39. LeardMann C., Powell T., Smith T., Bell M., Smith B., Boyko E., Hoge
C. (2013). Risk factors associated with suicide in current and former US
military personnel. JAMA 310:496–506. https://doi.org/10.1001/
jama.2013.65164 PMID: 23925620
40. Chen Y. Y., Chien-Chang Wu K., Yousuf S., & Yip P. S. F. (2012).
Suicide in Asia: Opportunities and challenges. Epidemiol Rev 34:129–
144. https://doi.org/10.1093/epirev/mxr025 PMID: 22158651
41. Appleby L., & Turnbull G. (1995). Parasuicide in the first postnatal
year. Psychol Med 25, 1087. PMID: 8588005
42. Takahashi Y. (1998). Suicide in Japan: What are the problems? In Kosky
R., Eshkevari H., Goldney R., & Hassan R. (Eds.), Suicide prevention:
The global context (pp. 121–130). New York: Plenum Press.
43. Evans E., Hawton K., & Rodham K. (2005). In what ways are
adolescents who engage in self-harm or experience thoughts of self-
harm different in terms of help-seeking, communication and coping
strate- gies? J Adolesc 28:573–587.
https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2004.11.001 PMID: 16022890
44. Harris K. M., McLean J. P., & Sheffield J. (2013). Suicidal and online:
How do online behaviors inform us of this high-risk population? Death
Stud 38:387–394. https://doi.org/10.1080/07481187.2013. 768313
PMID: 24666145
45. Schneidman E. (2001). Understanding suicide. Washington: American
Psychological Association.
46. Kok L., & Tseng W. (1992). Orientation to cross-society comparison. In
Kok L. & Tseng W. (Eds.), Sui- cidal behaviour in the Asia Pacific
region (pp.1–14). Kent Ridge: Singapore University Press.
47. Bhugara D. (2002). Suicidal behaviour in South Asians in the UK.
Crisis, 23:108–113. https://doi.org/ 10.1027//0227-5910.23.3.108
PMID: 12542108
48. Williams J.M., & Pollock L.R. (2000). The psychology of suicidal
behaviour. In Hawton K. & Van Heerin- gen K. (Eds.), The international
handbook of suicide and attempted suicide (pp. 79–94). West Sussex:
John Wiley & Sons.
49. Kumar P. N. S., & George B. (2013). Life events, social support, coping
strategies, and quality of life in attempted suicide: A case-control study.
Indian J Psychiatry 55:46. https://doi.org/10.4103/0019-5545. 105504
PMID: 23439644
50. Buro´n P., Jimenez-Trevino L., Saiz P. A., Garc´ıa-Portilla M. P.,
Corcoran P., Carli V., . . . Bobes J. (2016). Reasons for attempted suicide
in Europe: Prevalence, associated factors, and risk of repetition. Arch
Suicide Res 20:45–58. https://doi.org/10.1080/13811118.2015.1004481 PMID:
26726966
51. Stone D. M., Holland K. M., Schiff L. B., & McIntosh W. L. (2016).
Mixed methods analysis of sex differ- ences in life stressors of middle-
aged suicides. Am J Prev Med 51:S209–S218. https://doi.org/10.1016/
j.amepre.2016.07.021 PMID: 27745609
52. de Bruine W., Dombrovski A. Y., Parker A. M., & Szanto K. (2016).
Late-life depression, suicidal idea- tion, and attempted suicide: The role
of individual differences in maximizing, regret, and negative deci- sion
outcomes: Maximizing, late-life depression, and suicide. J Behav Decis
Mak 29:363–371. https:// doi.org/10.1002/bdm.1882 PMID: 27840559
53. Miller I. W., Camargo C. A., Arias S. A., Sullivan A. F., Allen M. H.,
Goldstein A. B., . . . Boudreaux E. D. (2017). Suicide prevention in an
emergency department population: The ED-SAFE study. JAMA Psy-
chiatry, 74(6), 563–570. https://doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2017.0678
PMID: 28456130
54. Stanley B., Chaudhury S. R., Chesin M., Pontoski K., Bush A. M., Knox
K. L., & Brown G. K. (2016). An emergency department intervention
and follow-up to reduce suicide risk in the VA: Acceptability and
effectiveness. Psychiatric Services, 67(6), 680–683.
https://doi.org/10.1176/appi.ps.201500082 PMID: 26828397
Farid
a

PemIkIran
Pergaulan BeBaS dan
hamil Pranikah

Ol eh Far Ida

aBSTracT:

Married by accident cases or pragnancy outside marriage boundages and free


intercourse are blur pictures of our youth generation. In addition to break religious, social,
and ethical norms, those acts also ruine their own futures. These cases happen usually
because of lack of youth abilities to screen, to select and to choose positive relationship. In
addition, this is because of their unstable emotion, lack of partens’ monitoring and less in
religious knowledges. To prevent married by accident cases and effects of free intercourse, it
is advisable for every families to strengthen faith of their family mambers, to build
harmonious communication with the teenagers, to improve diciplines in family circles, to
control educatively and to direct the teenagers in performing positive activities, and to give
sex education wisely and proportionally. Furthermore, schools and societies are expected to
contribute in monitoring the teenagers so they are not cought up in free intercourse.

Key Words: Married By Accident, Intercouse, Teenager, Religion

Pendahuluan

Pergaulan bebas dan hamil pranikah menjadi potret buram kehidupan


remaja saat ini di Indonesia. Seks bebas (free sex), hamil di luar nikah, aborsi,
perkosaan, pelecehan seksual, peredaran VCD porno, pornografi, dan
pornoaksi merajalela di kalangan remaja saat ini. Gejala demikian,
nampaknya dipengaruhi oleh eksploitasi seksual dalam video klip, majalah,
televisi dan film-film “orang dewasa”. Tampilan atau tayangan seks di media
yang mudah diakses, melahirkan anggapan para remaja bahwa seks adalah
sesuatu yang bebas dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
(KapanLagi. com) Sebagaimana film-film dewasa yang mereka tonton.
Farid
a

Para remaja mengadopsi gaya pergaulan hidup yang berasal dari tontonan
tersebut, termasuk soal hubungan seks di luar nikah dianggap suatu
kewajaran.(WorldPress.com) Di negara maju, seperti Amerika, gejala
demikian seringkali dilihat sebagai ekspresi “rasa ingin tahu” atau rasa ingin
memperoleh pengalaman baru, dan tidak atau kurang dilihat dari sisi agama.
Karena itu bisa dimengerti kalau kebiasaan sebagian orang tua di Amerika
Serikat, selain memberi uang saku kepada anaknya yang berangkat ke
sekolah juga membekalinya dengan kondom (salah satu alat keluarga
berencana). Hal itu dilakukan karena pergaulan bebas telah menyeret remaja
Amerika Serikat ke dalam budaya seks bebas, yang dapat mengakibatkan
kehamilan pranikah atau terjangkit penyakit menular seksual seperti
HIV/AIDS. Dengan bekal alat keluarga berencana itu, orang tua berharap
anak-anaknya terbebas dari akibat yang menakutkan. Tapi orang tua lupa atau
tidak peduli bahwa melakukan hubungan seks pranikah itu jelas melanggar
norma agama dan moral.(Mukti, 2005: 89) Hal tersebut perlu untuk disadari
bersama (orang tua dan remaja) bahwa bergaul bebas sampai melakukan
hubungan seks pranikah akan menyebabkan kehamilan yang dapat merugikan
diri sendiri. Seks bebas apalagi hamil pranikah, dalam budaya timur
(Indonesia) merupakan pelanggaran kesusilaan dan dilarang agama (termasuk
dosa besar).
Kekhasan karakteristik remaja dan dengan gencarnya arus budaya
Barat yang membidik remaja membuat tuntutan kebebasan bergeser menjadi
liar tidak terkendali. Pola hidup sekuler yang dipraktikkan masyarakat Barat,
jelas bertolak belakang dengan kehidupan budaya Timur yang mayoritas
beragama Islam. Parahnya, gaya hidup sekuler menjadi acuan dalam
perjalanan remaja mencari identitas.(STUDIA. 2005)
Tingginya kasus penyakit Human Immunodeficiany Viris/Accuired
Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), khususnya pada kelompok umur
remaja, salah satu penyebabnya adalah pergaulan bebas. Semakin banyak
penderita HIV/AIDS memberikan gambaran bahwa cukup banyak
permasalahan kesehatan reproduksi yang timbul di antara remaja.
Farid
a

Beberapa hasil penelitian di bawah ini dapat menjadi gambaran, bahwa


remaja Indonesia mulai banyak melakukan pergaulan bebas dan hamil
pranikah:
1. Hasil penelitian di 12 kota di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31%
remaja yang belum menikah, sudah pernah melakukan hubungan seksual. Di
Denpasar, dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) yang baru
duduk di kelas II, 155 orang atau 23,4% mempunyai pengalaman hubungan
seksual (putra 27% siswa dan 18% siswa).

2. Perusahaan riset Internasional Synovate atas nama DKT Indonesia melakukan


penelitian perilaku seksual remaja berusia 14-24 tahun kepada 450 orang remaja
dari Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya. Hasilnya, 64% remaja mengakui
secara sadar melakukan hubungan seks pranikah, karena tidak memiliki
pengetahuan khusus dan komprehensif atau menyeluruh mengenai seks.
Informasi perihal seks justru diperoleh dari teman 65%, film porno 35%, sekolah
19%, dan orang tua 5%. (WorldPress.com)

3. Data akurat yang bisa tercatat dari 285 pemudi hamil yang memeriksakan diri
kepada seorang dokter ahli kandungan kenamaan di Jakarta, 80% responden
melakukan free sex di rumah, 11,2% di hotel dan 5% di tempat wisata.
Kebanyakan dari mereka adalah pelajar dan mahasiswa. Hal ini menunjukkan
betapa minimnya kontrol orang tua sehingga remaja menggunakan rumah sebagai
tempat bebas bergaul.(Fitriah, 2008: 28)

4. Hasil penelitian Jane Brown, dkk (Ilmuwan dari Universitas North Carolina, AS),
menunnukkan bahwa semakin banyak remaja disuguhi dengan eksploitasi seks di
media, maka memberi pengaruh signifikan banyak remaja menjadi berani
mencoba seks pada usia muda. Sebanyak 1,017 remaja berusia 12-14 tahun,
disuguhi 264 tema seks dari film, televisi, pertunjukan, musik dan majalah selama
2 tahun berturut-turut.

Hasilnya menunjukkan bahwa remaja yang paling banyak mendapat


dorongan seksual dari media cenderung melakukan seks pada usia 14-16 tahun,
jumlahnya 2,2 kali lebih tinggi. Dari data ini menjadi tidak mengherankan
kalau tingkat kehamilan di luar nikah remaja Amerika Serikat (AS) sepuluh kali
lipat lebih tinggi dibanding negara-negara industri maju lainnya. Karena itu,
penyakit menular seksual (PMS) kini menjadi ancaman kesehatan publik di AS.
Farid
a

(KapanLagi.com)

PemBahaSan

1. Remaja

Kasus yang sering terjadi pada usia remaja ialah soal pergaulan. “Dian”,
seorang pelajar kelas dua SMA misalnya, “ngambek” kepada orang
tuanya karena tidak diijinkan punya teman dekat cowok, jalan-jalan di
mal, nonton bareng-bareng teman dan masih banyak lagi trend. Padahal
Dian sudah berusia tujuh belas tahun. Kasus Dian sepertinya sering dan
banyak terjadi. Pada usia remaja, sering anak beranggapan bahwa
orang tua belum memberi kebebasan (remaja masih dianggap anak kecil,
keseharian di atur orang dewasa) sementara di luar rumah ada alam
kebebasan yang mulai banyak digandrungi dan menggoda remaja untuk
mencicipi (meskipun tidak semua remaja melakukannya).(STUDIA. 2005)
Seorang penulis, bernama Aria Ganna Henryanto (mahasiswa Fakultas
Ekonomi UGM Yogyakarta) mempunyai pengalaman menarik bahwa
model pergaulan remaja di Yogyakarta cukup “bebas”. Pada suatu waktu,
Henryanto menemukan alat-alat tes kehamilan berceceran di bilangan jalan
Babarsari (salah satu lokasi di kota Yogyakarta). Tak berselang lama,
sebuah kabar menyatakan ditemukan banyak kondom yang menyumbat
saluran air toilet dan pada saat malam tahun baru, dan penjualan kondom di
apotek-apotek meningkat drastis. Padahal Yogyakarta adalah terkenal
sebagai kota pelajar. Temuan Henryanto menunjukkan gejala aktivitas
remaja (pelajar) mengalami pergeseran, tidak lagi hanya berkutat pada
diskusi, belajar kelompok, mendengarkan radio dan melihat TV, tetapi
remaja sekarang sudah biasa melakukan kegiatan di luar norma kesusilaan
(meskipun tidak semua remaja Yogyakarta melakukannya).
Dua contoh tingkah laku remaja di atas perlu dipahami
dengan melihat karakteristik perkembangan remaja (baik fisik
maupun psikis). Batasan usia remaja menurut Hurlock adalah 13-21
tahun. Ciri-ciri biologis remaja putri: haid pertama/menarche (primer),
Farid
a

pinggul yang membesar dan membulat, buah dada yang semakin


nampak menonjol, tumbuhnya rambut di daerah alat kelamin, ketiak,
lengan dan kaki, perubahan suara menjadi lebih merdu, kelenjar keringat
lebih aktif dan sering tumbuh jerawat, kulit menjadi lebih kasar
dibanding kulit anak-anak (sekunder). Ciri-ciri biologis remaja putra:
mimpi basah pertama/polutio (primer), otot-otot tubuh, dada, lengan, paha
dan kaki tumbuh kuat, tumbuhnya rambut di alat kelamin, betis dan
kadang-kadang di dada, terjadi perubahan suara yaitu pecah dan suara
merendah, aktifnya kelenjar-kelenjar keringat sehingga berkeringat
walaupun bergerak sedikit saja (sekunder). Ciri-ciri psikologis remaja:
sikap tidak tenang dan tidak menentu, hal yang dulu menarik sekarang
tidak lagi (rasa bosan terhadap permainan yang pernah disenangi), adanya
penantangan terhadap orang lain seakan-akan ingin mengatasi
kesenangan orang lain (terutama pada orang dewasa dan berkuasa),
kurang berhati-hati, gemar membicarakan orang lain, cepat
tersinggung, mudah curiga, rasa sedih (ingin menangis dan marah
meskipun penyebabnya “remeh”), memusuhi jenis kelamin lain, keinginan
untuk menyendiri dan senang melamun tentang dirinya, enggan
bekerja, nampak selalu lelah, dan kadang-kadang perilakunya “tidak
sopan”.(Mappiare, 1982: 31)
Pendapat pakar psikologi bahwa remaja dikenal dengan proses
pencarian jati diri (untuk mengetahui peranan dan kedudukannya
dalam lingkungan sekaligus mengenal dirinya lebih dekat).(STUDIA,
2005) Remaja, dalam proses mencari jati diri, arti dari hidup dan
memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar, sehingga semakin dilarang,
semakin penasaran dan akhirnya remaja berani untuk mengambil resiko
tanpa pertimbangan terlebih dahulu.(WorldPress.com)
Konflik-konflik yang sering dialami remaja, antara lain:
a. Konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dan kebuthuhan untuk
bebas merdeka.
b. Konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan
Farid
a

kepada orang tua.


c. Konflik antara kebutuhan seks dan ketentuan agama serta nilai sosial.

d. Konflik antara nilai-nilai yang dipelajari ketika kecil dengan prinsip nilai yang
dilakukan oleh orang dewasa di lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
(Daradjat, 1983: 62)

“Remaja”, kata itu mengandung aneka kesan. Ada yang menganggap


remaja merupakan kelompok yang biasa saja (tiada beda dengan kelompok
manusia lain), menganggap remaja adalah kelompok orang-orang yang
sering menyusahkan orang tua, menganggap bahwa remaja sebagai potensi
manusia yang perlu dimanfaatkan. Sedangkan kesan dari pihak remaja
sendiri adalah sebaliknya. Remaja berbicara tentang ketidakacuhan atau
ketidakpedulian orang-orang dewasa terhadap remaja, kelompok remaja
adalah minoritas yang punya “dunia” sendiri yang yang sukar dijamah oleh
orang dewasa, menganggap bahwa kelompok remajalah yang mempunyai
tanggung jawab masa depan terhadap bangsa.
Dalam GBHN, meletakkan pemuda (yang hampir seluruhnya adalah
remaja) sebagai kader penerus perjuangan bangsa dan pembangunan
nacional. Lebih lengkapnya, “pengembangan generasi muda
diarahkan untuk mempersiapkan kader penerus perjuangan bangsa dan
pembangunan nasional dengan memberikan bekal keterampilan,
kepemimpinan, kesegaran jasmani, daya kreasi, patriotisme, idealisme,
kepribadian, dan budi pekerti luhur. Untuk itu perlu diciptakan iklim
yang sehat, sehingga memungkinkan kreativitas generasi muda
berkembang secara wajar dan bertanggung jawab. Dalam rangka itu
perlu ada usaha-usaha guna mengembangkan generasi muda untuk
melibatkannya dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara serta
pelaksanaan pembangunan nasional”.(Mappiare, 1982: 13)
Pengetahuan tentang remaja dengan segala perkembangan fisik dan
psikis yang mengalami perubahan sangat cepat, harapan dan tantangan
atau tugas yang harus dihadapi remaja, pertukaran budaya yang sangat
mudah dan cepat masuk ke Indonesia, perkembangan teknologi yang
Farid
a

memungkinkan remaja mudah mendapatkan informasi secara bebas,


anggapan dan stereotype orang dewasa terhadap remaja serta penanaman
nilai-nilai agama yang kurang kuat dan lain-lain.
Hal tersebut akan membawa remaja (khususnya remaja Indonesia) pada
pergaulan bebas yang mengakibatkan salah satunya adalah kehamilan sebelum
menikah.

2. Pergaulan bebas

Pergaulan bebas sering dikonotasikan dengan sesuatu yang negatif


seperti seks bebas, narkoba, kehidupan malam, dan lain-lain. Istilah ini
diadaptasi dari budaya Barat di mana orang bebas untuk melakukan hal-hal
di atas tanpa takut menyalahi norma-norma yang ada dalam masyarakat
Barat. Berbeda dengan budaya Timur yang menganggap semua itu adalah
tabu sehingga seringkali kita mendengar “jauhi pergaulan bebas”.
Meskipun sebenarnya makna pergaulan bebas tidak sebatas itu. Buktinya
seperti pada film “Pay It Forward”, seorang murid yang memanggil
gurunya di luar jam sekolah dengan sebutan “Eugene” atau tidak menyebut
bapak/ibu guru. Artinya untuk membangun hubungan yang akrab dan baik
(tanpa ada batasan usia dan perbedaan status) sehingga yang muda tidak
sungkan dengan yang lebih tua dan yang tua tidak “jaim/jaga image”
dengan yang muda.(WorldPress.com)
Membicarakan tentang pergaulan bebas sebenarnya sudah muncul
dari dulu, hanya saja sekarang ini terlihat semakin parah dan
memprihatinkan. Pergaulan bebas remaja ini dapat dipicu dengan
semakin canggihnya teknologi, pertukaran budaya, perubahan zaman,
juga sekaligus dari faktor ekonomi global. Menurut Fitriah, dalam
pergaulan bebas yang sering dijumpai pada siswa SMA (termasuk
remaja) adalah: pacaran, seks bebas, narkoba dan merokok.(Fitriah, 2008:
25)
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas:
a. Faktor agama (pemahaman terhadap agama yang kurang) dan iman (lemahnya
Farid
a

iman, sehingga mudah dibujuk rayuan setan).

b. Faktor lingkungan, seperti: orang tua (keluarga yang kurang harmonis), teman
(peer group yang memberi pengaruh negatif)), tetangga (masyarakat yang
kurang memberi kontrol karena akibat dari individualisme) dan media
(pornografi di media cetak, pornoaksi di tempat-tempat umum atau di media TV
dan internet).

c. Faktor pengetahuan dan pengalaman yang minim dan ditambah rasa ingin
tahu/ curiousity yang berlebihan.

d. Faktor perubahan zaman.(WorldPress.com)

Beberapa akibat kebebasan yang "kebablasan" hasil jiplakan remaja


terhadap budaya Barat:
a. Free thinker/bebas berpikir: Remaja merasa punya hak untuk berpikir tanpa
dibatasi oleh norma-norma agama, terutama dalam upaya mencari jalan keluar
dari masalah dengan cara pintas (misal bunuh diri, nge-drugs, minum minuman
keras, melakukan kriminal untuk mendapatkan uang dan lain-lain).

b. Permissif/bebas berbuat: Remaja mau melakukan apapun di manapun boleh


saja, mulai dari berbusana, berdandan, berbicara, bergaul atau berperilaku.
Remaja “malah” merasa bangga jika daya tarik seksualnya disapu setiap mata
lawan jenis yang jelalatan, antimalu (tidak punya malu, padahal malu adalah
budaya timur) dengan mengantongi label “kebebasan berekspresi”.

c. Free sex/pergaulan bebas: pergaulan antar lawan jenis yang banyak


digandrungi remaja sangat mudah terkontaminasi unsur cinta dan seks,
kampanye terselubung antijomblo yang diopinikan di media via sinetron
(membuat remaja untuk punya pacar), membuka peluang untuk aktif
melakukan kegiatan seksual (pemicunya

karena menonton VCD porno yang dijual bebas dan murah, melihat
tayangan erotis di TV, kurangnya kontrol orang tua/masyarakat).(STUDIA,
2005)

3. Married By Accident (hamil di luar nikah)

Permasalahan remaja yakni Married By Accident (MBA) dan


pergaulan bebas, kini makin sering diperbincangkan, tidak hanya oleh
Farid
a

kalangan masyarakat dan media namun oleh remaja itu sendiri. Karena
hamil di luar pernikahan dan pergaulan bebas merupakan perbuatan yang
melanggar norma agama, hukum, sosial (kemasyarakatan) dan merupakan
aib keluarga.
Hamil sebelum menikah bagi remaja putri yang berada di masyarakat
praindustri merupakan hal tabu, namun mungkin tidak di kota-kota besar.
Namun di Indonesia yang menjunjung tinggi etika kesopanan tentu MBA
di sebut sebagai sebuah “gejala kemerosotan kesopanan”.
Sepenggal cerita tentang pernikahan yang didahului dengan kehamilan,
seorang ibu rumah tangga bertutur, “saya sudah dikaruniai seorang putera.
Terus terang akhir-akhir ini merasa resah dikarenakan kejadian masa lalu
(pengalaman traumatis). Tiga tahun lalu saya ketemu dengan seorang pria
dan akhirnya kami jatuh cinta. Akibat dari keteledoran dan kurang kuatnya
iman, maka kami terjebak dalam perzinaan dan akhirnya saya hamil. Kami
menikah setelah usia kandungan menginjak empat bulan.”
Hamil di luar nikah (pernikahan terpaksa karena sudah hamil) akan
menimbulkan banyak hal yang dirasakan oleh sepasang remaja, antara lain:
munculnya perasaan berdosa dan bersalah (guilty feeling), malu pada diri
sendiri ataupun malu pada orang lain, menghukum diri sendiri dengan cara
menarik diri (mengasingkan diri), penyesalan yang berlarut-larut, stres
yang mengakibatkan tidak nafsu makan dan sulit tidur (insomnia), lari dari
kenyataan (kemungkinan terburuk adalah melakukan aborsi atau bunuh
diri) dan lain-lain. Artinya, MBA akan menimbulkan gangguan fisik
maupun mental. Tapi yang pasti, MBA adalah suatu perbuatan yang tidak
diinginkan atau diharapkan dan tidak sesuai dengan budaya Timur
(Indonesia) karena budaya Indonesia menginginkan virginitas sebagai
sebuah “keharusan” bagi calon pasangan suami istri.

4. Solusi untuk Married By Accident dan Pergaulan Bebas

Remaja dengan idealisme dan daya kritis yang tinggi (dalam proses
pencarian jati diri) sebenarnya mempunyai kemampuan untuk
Farid
a

menghindarkan diri atau menolak keberadaan budaya pergaulan bebas dan


Married By Accident karena dampak negatif dari perbuatan tersebut sudah
banyak contohnya (lihat hasil-hasil penelitian maupun kenyataan di
sekitar). Banyak cara yang dapat dilakukan oleh siapapun dan kapanpun
yang peduli akan keberadaan remaja sebagai generasi penerus perjuangan
bangsa agar mampu berprestasi. Di antara usaha-usaha itu antara lain:
a. Usaha di dalam keluarga, misalnya:

1) Menciptakan kehidupan keluarga yang beragama. Artinya membuat


suasanan rumah tangga menjadi kehidupan yang taat dan taqwa kepada
Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari.(Fitriah, 2008: 41)

2) Menciptakan suasana yang harmonis, dengan cara menjalin komunikasi.


Komunikasi dari orang dewasa (khususnya orang tua) dan anak sangat
diperlukan, karena akan dapat menghindarkan anak dari rasa sungkan
(malu) menceritakan atau menanyakan apapun pada orang tua.
Kesempatan komunikasi dapat mencegah anak (khususnya remaja)
dari perbuatan yang melanggar norma. Karena bisa dikatakan, tidak
banyak remaja yang berani bercerita tentang first kiss-nya ke orang tua
mereka. Kalau remaja ditanya pengetahuannya tentang love, seks dan
dating, banyak yang menjawab dari teman. Bisa jadi, cerita dari teman
lebih banyak yang seru-seru, yang membuat remaja jadi ingin
melakukan. Ada pendapat bahwa kalau perempuan masih virgin,
dianggap tidak gaul. Akhirnya, karena ketidaktahuannya banyak yang
merelakan “mahkota”-nya hanya karena empat huruf “gaul”. Remaja
tidak berpikir panjang bahwa melakukan hubungan suami istri di luar
nikah dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.
(WorldPress.com) Untuk menghindari kehamilan yang tidak
diinginkan (Married By Accident), orang tua perlu meluangkan waktu
untuk berdiskusi dengan anak-anak (menjalin komunikasi yang terbuka
antara orang tua dan anak), sehingga orang tua adalah sumber
informasi tentang seks yang benar. Karena dengan kedekatan dan
perasaan nyaman dalam keluarga, remaja akan terhindar dari hal-hal
Farid
a

yang negatif dan bekal yang harus dimiliki orang tua adalah
pengetahuan tentang gaya hidup remaja, hal-hal yang lagi “nge-trend”
di kalangan remaja, keadaan fisik (perubahan fisik yang sangat cepat)
maupun psikologis (keinginan dan harapan) remaja. Di antara yang
paling penting adalah berkomunikasi sesuai dengan keadaan remaja.
3) Menumbuhkan suasana disiplin sejak dini. Dengan pembiasaan pembuatan
jadwal kegiatan sehari-hari dan melaksanakan secara disiplin, akan
membuat anak terhindar dari kegiatan yang tidak ada manfaatnya.

4) Orang tua mengontrol remaja dengan menyadari keadaan remaja. Di antara


cara-cara menolong remaja keluar dari persoalan tubuh, antara lain:

- Membantu remaja untuk mempelajari hal-hal tentang tubuhnya.

- Mendorong remaja untuk memeriksakan diri kepada dokter.

- Mendorong remaja untuk makan secara seimbang dan teratur.

- Menolong remaja untuk memilih pakaian yang serasi untuk tubuhnya.

- Membantu remaja untuk mengembangkan ketrampilan yang dapat


mengalihkan perhatian dari tubuhnya.

- Tidak melakukan kritik atau menghina tubuh remaja.(Daradjat, 1983: 10)

5) Mengarahkan remaja untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif. Karena


remaja mempunyai energi yang “lebih”, maka tugas orang dewasa adalah
membimbing remaja agar aktif beraktivitas (olah raga, ikut organisasi
keagamaan atau sosial). Jangan sampai orang tua membiarkan anaknya
yang sudah remaja, mengurung diri/melamun di dalam kamar.

6) Pendidikan seks. Pendidikan seks atau sex education sudah seharusnya


diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa/remaja (baik
melalui pendidikan informal, formal maupun nonformal). Pendidikan ini
penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Berdasarkan kesepakatan
internasional di Kairo 1994, tentang kesehatan reproduksi yang
ditandatangani oleh 184 negara (termasuk Indonesia), diputuskan tentang
perlunya pendidikan seks pada remaja.

Sementara meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia,


agaknya masih timbul pro dan kontra, lantaran adanya anggapan
bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks
Farid
a

akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar


masyarakat masih berpandangan secara stereotype bahwa pendidikan
seks seolah sebagai suatu yang vulgar.
Menurut M. Sofyan Sauri (senior koordinator Centre Mitra
Remaja/CMR) selama ini, ketika berbicara mengenai seks, maka yang
terbersit dalam benak sebagian besar orang adalah hubungan seks.
Padahal, seks itu artinya jenis kelamin yang membedakan perempuan
dan laki-laki secara biologis. Seksualitas menyangkut beberapa hal,
antara lain:
- Dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi, cara merawat
kebersihan dan kesehatan organ reproduksi.

- Dimensi psikologis berkaitan dengan identitas peran jenis (kejelasan peran


remaja pria dan wanita), perasaan terhadap seksualitas dan bagaimana
menjalankan fungsinya sebagai makhluk seksual.

- Dimensi sosial berkaitan dengan bagaimana seksualitas muncul dalam


relasi antarmanusia, bagaimana lingkungan berpengaruh terhadap
pembentukan pandangan mengenai seksualitas dan pilihan perilaku seks.

- Dimensi kultural menunjukkan bahwa perilaku seks merupakan bagian dari


budaya yang ada di masyarakat.

Dengan sex education diharapkan remaja dapat menjaga organ-


organ reproduksi dan orang lain tidak boleh menyentuh (khususnya
bagi remaja wanita), sehingga terhindar dari kehamilan yang tidak
diinginkan maupun penyakit pada alat reproduksi dan kelamin.
Menurut Said (penyiar radio) belajar tentang seks berbeda dengan
belajar keterampilan yang lain. Artinya, belajar tentang seks bukanlah
belajar bagaimana aktivitas seks yang baik, melainkan apa yang
akan timbul atau dampak dari aktivitas seks. Karena itu, pembekalan
tentang seks memang sangat penting dan perlu. Caranya adanya antara
lain: (1) menjalin hubungan yang lebih akrab/cara curhat (curahan
hati) sehingga remaja yang belajar seks tidak merasa malu, (2) seminar
dengan mengundang pakar (yang cakap dan paham dalam urusan gaya
hidup remaja) yang bisa menjelaskan lebih detil lagi.(WorldPress.com)
Farid
a

7) Mengarahkan persepsi remaja yang benar tentang “kebebasan”.

Menurut Sutari Imam Barnadib, dalam proses pencarian jati diri,


remaja memerlukan kemandirian yang meliputi: perilaku mampu
berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa
percaya diri dan dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Artinya, remaja ingin melepaskan ikatan psikis dengan orang tua, ingin
dihargai sebagai orang dewasa, ingin berpikir secara merdeka, bisa
mengambil keputusan sendiri, punya hak untuk menolak/menerima
masukan dari orang lain dan belajar bertanggung jawab terhadap setiap
perbuatannya.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Robert Havighurst bahwa
kemandirian terdiri beberapa aspek:
- Emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantung emosi
dari orang tua.
- Ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya
ekonomi pada orang tua.

- Intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang


dihadapi.

- Sosial, yaitu kemampuan mengadakan interaksi dengan orang lain dan


tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.(STUDIA, 2005)
Sehingga persepsi remaja yang benar tentang “kebebasan” dapat terwujud
dengan adanya kemandirian pada setiap remaja.

Persepsi remaja yang benar tentang “kebebasan” adalah bahwa


pergaulan bebas (bergaul dengan siapa saja, di mana saja dan kapan
saja) selalu perlu diingat:
- Tanggung jawab atas kesejahteraan sesama manusia.

- Menghormati hak-hak dan harga diri wanita dan pria.

- Berpegang teguh pada norma sosial, nilai-nilai moral dan tata susila serta
norma hukum.(Gunarsa, 2004: 50)

8) Mengarahkan remaja untuk melakukan 10 aturan hidup (strategi hidup).


Di antara caranya yaitu:
a. Usaha dari diri internal remaja
Farid
a

- Antara mengerti dan tidak. Remaja hapuslah “pecundang” dalam diri.

- Buat sendiri pengalamanmu. Remaja jadilah bintang dalam hidupmu


sendiri.

- Pakai yang pasti manjur. Remaja ketahuilah alasan sebenarnya kenapa


bertingkah laku sangat aneh.

- Sesuatu yang tidak kamu ketahui, takkkan bisa kamu ubah. Remaja
perhatikan benar-benar kekuranganmu dan buatlah daftar “yang harus
kulakukan”.

- Tak ada kenyataan, hanya persepsi. Remaja bukalah matamu dan


konsentrasi.

- Hidup itu diatasi, bukan diobati. Remaja tetap tekan “gas” jangan
sekedar mengapung.

- Kita memberitahu orang cara memperlakukan kita. Remaja jangan mau


jadi “keset”.

- Kekuatan memaafkan. Remaja inilah kartu “keluar penjara gratis” mu.

- Kamu harus bisa menyebutnya sebelum mengambilnya. Remaja


ketahuilah keinginanmu dan akan kau lakukan saat ini juga.(McGraw,
2004: 8)

b. Usaha di dalam sekolah, misalnya:

- Menciptakan suasana sekolah yang baik. Artinya hubungan yang baik


antara guru dan murid akan menghindarkan murid (remaja) dari
pergaulan bebas tanpa batas.

- Kehadiran guru yang lebih teratur di dalam mengajar. Artinya, guru yang
disiplin akan menjadikan panutan murid, sehingga murid akan berbuat
sesuai dengan aturan.

- Perlu adanya hubungan yang baik antara guru dan orang tua. Artinya,
apa yang diajarkan guru di sekolah dapat dilanjutkan bahkan dilatihkan

oleh orang tua kepada anaknya yang remaja.

- Perlu adanya kesatuan norma di antara para guru. Artinya apa yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dijadikan pedoman oleh
semua guru (tanpa terkecuali).

c. Usaha di dalam masyarakat, mi-salnya:

- Perlu adanya kontrol/pengawasan terhadap perkumpulan para remaja


Farid
a

di masyarakat. Orang dewasa (orang tua) dapat menjadi pengarah atau


penasehat kegiatan yang ada dalam masyarakat.

- Untuk mengisi waktu luang remaja di masyarakat, perlu dibentuk suatu


organisasi remaja.(Fitriah, 2008: 43) Baik yang bersifat keagamaan
(IRMAFA, IPNU-IPPNU) maupun sosial (karang taruna).

PenuTuP

Potret buram remaja Indonesia sekarang ini (pergaulan bebas dan Married
By Accident yang merusak moral remaja) janganlah semakin dibuat buram.
Artinya, berlomba-lombalah menjadi remaja yang bermoral agar menjadi
kebanggaan keluarga, bahkan membawa nama harum bangsa. Perbuatan
apapun yang tidak sesuai dengan kebudayaan Timur (apalagi norma agama
Islam) segera untuk diubah menjadi baik sesuai dengan norma kesusilaan.
Usia remaja yang rawan terhadap godaan budaya menyesatkan, segera untuk
“membentengi” diri yang kuat agar dapat menjadi generasi penerus
perjuangan bangsa yang berprestasi.
Hal yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana remaja dapat
menempatkan dirinya sebagai remaja yang baik dan benar sesuai dengan
tuntunan agama dan norma yang berlaku di masyarakat Indonesia, peran serta
orang tua (orang dewasa) dalam memperhatikan tingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari anaknya (khususnya remaja) dalam memberikan bekal
pendidikan agama, memberikan pendidikan seks yang benar dapat
menghindarkan remaja dari pergaulan bebas yang mengakibatkan married by
accident. Namun terwujudnya hal tersebut sangat diperlukan peran serta
semua pihak, sehingga permasalahan ini merupakan tugas seluruh elemen
bangsa tanpa terkecuali.
Farid
a

dafTar PuSTaka

Daradjat, Z. 1983. Memahami Persoalan Remaja. Jakarta: Bulan Bintang


Daradjat, Z. 1995. Remaja (Harapan dan Tantangan). Jakarta: Ruhama
Fitriah, N. 2008. “Hubungan Pendidikan Agama Islam dengan Pola
pergaulan Bebas Siswa SMU Kelas XI di SMU PGRI Mejobo Kudus
Tahun Pelajaran 2007/2008”. Skripsi (tidak diterbitkan) STAIN Kudus
Gunarsa, S. D. 2004. Psikologi Untuk Muda-Mudi. Jakarta: Gunung Mulia
KapanLagi.com. “Seks di Media, Biang Keladi Pergaulan Bebas
Remaja”. Dari situs
internet KapanLagi.com

Mappiare, A. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional

McGraw, J. 2004. Strategi Hidup untuk Remaja. Terj. S. Pratidina. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama

Mukti, A., dkk. 2005. “Kesehatan Reproduksi Remaja”. Program Studi


Psikologi Universitas Muria Kudus

STUDIA Edisi 257/TAHUN ke-6 (15 Agustus 2005). “Usia Remaja Kudu
Bebas?” Diunduh dari internet

WordPress.com. “Pergaulan Bebas”. Diunduh dari internet 4 April 2007

Anda mungkin juga menyukai