Anda di halaman 1dari 30

Clinical Science Sessions

GLOBAL INITIATIVE FOR ASTHMA (GINA) : MANAGEMENT


OF WORSENING ASTHMA AND EXACERBATIONS, DIAGNOSIS
AND INITIAL TREATMENT OF ADULTS WITH ASTHMA, COPD
OR BOTH (ASTHMA-COPD OVERLAP)

Oleh:

Mella Warizka 2040312027

Ufairah Nabila 2040312042

Preseptor :

dr. Oea Khairsyaf Sp.P(K), FISR, FAPSR, MARS

dr. Dessy Mizarti Sp.P(K)

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Sessions (CSS) yang berjudul “Global
Initiative For Asthma (GINA): Management of Asthma Worsening and Exacerbation,
Diagnosis and Initial Treatment of Adults With Asthma, COPD, or Both (Asthma-COPD
Overlap)”. CSS ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas, Padang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Oea Khairsyaf, Sp.P(K), FISR, FAPSR,
MARS dan dr. Dessy Mizarti, Sp.P(K) sebagai preseptor yang telah memberikan arahan dan
petujuk, dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan CSS ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa CSS ini masih memiliki banyak kekurangan.
Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga CSS ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 14 Oktober 2020

Penulis
BAB 1

PENDAHULUA

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan penyakit heterogen, selalu dikarakteristikkan dengan inflamasi


kronis pada saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi seperti mengi atau
(wheezing), sesak napas, dada terasa seperti terhimpit dan batuk yang bervariasi dari
waktu ke waktu dan juga variasi intensitasnya, bersamaan dengan keterbatasan aliran
udara ekspirasi yang bervariasi. Asma merupakan masalah kesehatan global yang serius
yang mempengaruhi seluruh kelompok usia. Prevalensi asma meningkat di berbagai
negara, khususnya pada kelompok usia anak-anak.1
Asma eksaserbasi merupakan episode perburukan gejala asma yang progresif dari
sesak, batuk, mengi, atau rasa berat di dada, atau kombinasi gejala-gejala tersebut. Terjadi
penurunan progresif fungsi paru, seperti adanya perubahan status pasien dari kondisi biasa
yang membutuhkan perubahan pada terapi. Eksaserbasi dapat terjadi pada pasien yang
sebelumnya telah didiagnosis asma atau kadang sebagai presentasi awal asma.
Eksaserbasi biasanya terjadi sebagai respon terhadap paparan agen tertentu. 2 Kejadian
asma eksaserbasi merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas pasien asma. Kerja sama antara National Heart, Lung, and
Blood Institute dan World Health Organization (WHO) pada tahun 1993 menghasilkan
pedoman yaitu Global Intiative For Asthma (GINA) untuk meningkatkan kesadaran akan
asma dan meningkatkan pencegahan dan pengelolahan asma melalui upaya bersama oleh
semua orang yang terlibat di semua layanan dan kebijakan kesehatan untuk mengurangi
prevalensi, morbiditas dan mortalitas asma.1
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit umum, dapat dicegah,
memiliki karakteristik gejala pernapasan yang menetap karena abnormalitas saluran napas
dan/atau alveoli yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya.
PPOK juga merupakan penyakit radang saluran napas yang mempengaruhi terutama
saluran napas kecil dan parenkim. PPOK biasanya disebabkan oleh rokok, timbul setelah
usia 40 tahun berupa penurunan fungsi paru yang progresif.1
Asma dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit saluran napas
kronis yang paling sering terjadi. PPOK dan asma sulit dibedakan pada orang dewasa
yang memiliki manifestasi kedua kondisi tersebut, hal tersebut dikenal dengan istilah
asthma-COPD. Asthma-COPD overlap didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai
dengan hambatan aliran udara persisten dengan beberapa manifestasi klinis yang biasanya
berhubungan dengan asma dan PPOK. Asthma-COPD overlap diidentifikasi secara klinis
jika memiliki manifestasi asma dan PPOK. Saat ini Asthma-COPD overlap merupakan
masalah klinis penting karena sering eksaserbasi, kualitas hidup buruk, penurunan fungsi
paru lebih cepat, dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan pasien asma atau PPOK saja.1

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan clinical scientific session ini bertujuan untuk memahami serta menambah
pengetahuan tentang manajemen asma perburukan dan eksaserbasi serta diagnosis dan
terapi awal asma, PPOK, atau keduanya (asma-PPOK overlap).

1.3 Batasan Masalah

Dalam clinical scientific session ini akan dibahas mengenai manajemen asma
perburukan dan eksaserbasi serta diagnosis dan terapi awal asma, PPOK, atau keduanya
(asma-PPOK overlap).

1.4 Metode Penulisan

Penulisan clinical scientific session ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu pada GINA 2020.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Asma Perburukan dan Eksaserbasi

2.1.1 Pendahuluan

Definisi Asma

Eksaserbasi
Asma eksaserbasi adalah sebuah episode yang ditandai dengan peningkatan
progresif gejala sesak nafas, batuk, mengi atau chest thightness, dan penurunan progresive
fungsi paru. Eksaserbasi ini bisa terjadi pada pasien yang sebelumnya memang sudah
didiagnosis asma atau pernah eksaserbasi sebelumnya atau pasien yang pertama kali asma.
Eksaserbasi ini biasanya terjadi karena ada paparan dengan agen eksternal seperti infeksi
virus saluran pernafasan atas, serbuk sari bunga, atau polusi. Eksaserbasi ini juga bisa
terjadi akibat ketidakpatuhan dalam controller medication (munculan bisa lebih akut dan
tanpa pajanan faktor resiko). Eksaserbasi berat dapat terjadi pada pasien dengan asma
1
terkontrol atau terkontrol ringan.
Terminologi

Kata ‘eksaserbasi’ sering digunakan dalam literatur klinis dan ilmiah, sedangkan
studi rumah sakit lebih sering menggunakan ‘asma akut berat’. Namun, kata eksaserbasi
tidak cocok digunakan dalam praktik klinis karena sulit diingat dan diucapkan oleh
pasien. Kata ‘flare-up’ lebih sederhana dan menggambarkan bahwa asma tetap ada
meskipun tidak ada gejala. Kata ‘attack’ sering digunakan oleh pasien dan tenaga
kesehatan tetapi memiliki definisi yang luas, dan tidak termasuk perburukan bertahap.
Dalam literatur pediatrik, kata ‘episode’ sering digunakan, tetapi pemahaman pasien dan
1
tenaga kesehatan mengenai kata ini tidak diketahui.
Identifikasi Pasien dengan Risiko Kematian terkait Asma

Ada juga faktor resiko pada pasien eksaserbasi yang rentan untuk terjadinya
kematian (Asthma related death), berikut faktor resikonya:

5 5
Riwayat asma hampir fatal yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik
Hospitalisasi atau kunjungan IGD karena asma dalam 1 tahun terakhir
Sedang atau baru berhenti mengonsumsi kortikosteroid oral (penanda severitas)
Tidak sedang menggunakan kortikosteroid inhalasi
Penggunaan SABA berlebihan, khususnya penggunaan lebih dari satu kanister salbutamol (atau ekuiv
Riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial.
Ketidakpatuhan terhadap obat asma dan/atau ketidakpatuhan terhadap
perencanaan asma tertulis.
Alergi makanan pada pasien asma.

2.1.2.Diagnosis

Eksaserbasi menandakan adanya perubahan gejala dan fungsi paru dari status biasa
pasien. Penurunan aliran ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran fungsi paru seperti
arus puncak ekspirasi (APE) atau volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1), dibandingkan
dengan fungsi paru pasien sebelumnya atau nilai prediksi. Dalam kondisi akut,
pengukuran ini merupakan indikator severitas eksaserbasi yang lebih reliabel daripada
gejala. Frekuensi gejala dapat menjadi pengukuran onset eksaserbasi yang lebih sensitif
1
daripada APE.
Minoritas pasien dapat mengalami gejala yang buruk dan penurunan fungsi paru
yang signifikan tanpa perubahan jelas pada gejala. Keadaan ini biasanya lebih sering
terjadi pada pasien yang pernah mengalami asma yang fatal (near-fatal asthma) dan
biasanya sering terjadi pada laki-laki. Asma eksaserbasi berat dapat mengancam nyawa
dan penatalaksanaan membutuhkan penilaian yang hati-hati dan pemantauan yang ketat.
Pasien asma eksaserbasi berat disarankan segera menemui tenaga kesehatan atau layanan
kesehatan terdekat supaya dapat segera ditatalaksana oleh fasilitas kesehatan dengan akses
emergensi untuk pasien asma akut.1

2.1.3 Manajemen Mandiri Asma Eksaserbasi dengan Menulis Asthma Action Plan

Semua pasien asma harus diberikan edukasi manajemen mandiri terpandu, termasuk
pemantauan gejala dan/atau fungsi paru, rencana Asthma Action Plan, dan kontrol teratur
ke tenaga kesehatan.
Pilihan Terapi untuk Asthma Action Plan

Asthma Action Plan membantu pasien mengenali dan menanggapi dengan tepat
perburukan asma. Asthma Action Plan ini harus berisikan instruksi spesifik untuk pasien
mengenai perubahan obat reliever menjadi controller, cara menggunakan kortikosteroid
oral jika dibutuhkan dan kapan dan bagaimana akses pelayanan kesehatan.1
Kriteria untuk memulai peningkatan obat controller akan bervariasi antara satu
pasien dengan pasien lain. Pada pasien perawatan konvensional dengan terapi ICS,
peningkatan dilakukan bila ada perubahan klinis berarti dari level kontrol asma pasien
biasanya, contoh, bila gejala asma mengganggu aktivitas normal harian, atau penurunan
APE >20% selama >2 hari.
 Inhaled reliever medication (Kombinasi ICS dosis rendah-formoterol)

 Kombinasi ICS dosis rendah dengan LABA onset cepat

 Kombinasi lain ICS/LABA controller

 Antagonis Reseptor Leukotrien

 Kortikosteroid Oral

Evaluasi Respon

Pasien harus segera menemui dokter atau pergi ke layanan emergensi ketika asma
terus memburuk meskipun telah mengikuti rencana aksi asma tertulis, atau ketika asma
mengalami perburukan secara mendadak.

Follow Up setelah penanganan mandiri eksaserbasi

Setelah penatalaksanaan mandiri eksaserbasi, pasien harus mengunjungi layanan


kesehatan primer untuk kontrol semi-urgent (dalam 1-2 minggu), untuk penilaian kontrol
gejala dan faktor risiko eksaserbasi tambahan, serta identifikasi penyebab potensial
eksaserbasi. Rencana aksi asma tertulis harus ditinjau ulang untuk melihat kesesuaian
dengan kebutuhan pasien. Terapi controller harian dapat dilanjutkan pada level
sebelumnya 2-4 minggu setelah eksaserbasi, kecuali eksaserbasi terjadi akibat asma
tidak terkontrol lama. Dalam situasi tersebut, teknik inhaler dan kepatuhan berobat harus
terus dicek, dan dianjurkan peningkatan satu langkah terapi.1
Gambar 1. Manajemen Mandiri Asma Eksaserbasi dengan Menulis Asthma Action Plan1

2.1.4 Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Layanan Primer Penilaian


Severitas Eksaserbasi

Anamnesis tajam dan pemeriksaan fisik relevan harus dilakukan bersamaan dengan
terapi awal yang cepat. Bila pasien menunjukkan tanda eksaserbasi berat dan mengancam
nyawa, terapi dengan SABA, oksigen terkontrol dan kortikosteroid sistemik harus segera
dimulai sementara mempersiapkan transportasi pasien ke layanan gawat darurat dimana
monitor dan tenaga ahli lebih siap sedia. Eksaserbasi ringan dapat ditatalaksana pada
layanan primer sesuai sumber daya dan tenaga ahli.
Anamnesis

Anamnesis harus mencakup:

 Waktu onset dan penyebab eksaserbasi (jika diketahui).

 Gejala asma berat, termasuk keterbatasan latihan atau gangguan tidur

 Gejala anafilaksis

 Faktor risiko kematian terkait asma (asthma related death)

 Semua obat reliever dan contoller, termasuk dosis dan penulisan resep, pola
kepatuhan, perubahan dosis, dan respon terhadap terapi.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik harus dinilai:

 Tanda severitas eksaserbasi dan tanda vital, (contoh: tingkat kesadaran, suhu,
frekuensi nadi, frekuensi nafas, tekanan darah, kemampuan dalam melengkapi
kalimat, penggunaan otot-otot aksesoris)
 Faktor-faktor yang mempersulit (contoh: anafilaksis, pneumonia, atelectasis,
pneumotoraks, atau pneumomediastinum)
 Tanda-tanda dari kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak napas akut
(contoh: gagal jantung, disfungsi saluran napas atas, terhisap benda asing, atau
emboli paru).

Pengukuran Objektif

 Pulse oximetry. Saturasi <90% pada anak atau dewasa menandakan kebutuhan
terapi agresif. PEF pada pasien usia >5 tahun.

Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Layanan Primer

Terapi inisial utama adalah inhalasi berulang bronkodilator kerja singkat,


kortikosteroid sistemik, dan suplementasi oksigen terkontrol. Tujuan pengobatan yaitu
meringankan obstruksi saluran napas dan hipoksemia secara cepat, mengetahui
patofisiologi inflamasi penyebab, dan mencegah relaps.
Short Acting Beta Agonist (SABA) Inhalasi

Untuk eksaserbasi ringan-sedang:

 Diberikan inhalasi SABA berulang 4 – 10 semprot tiap 20 menit dalam 1 jam


pertama. Hal ini sangat efektif dan efisien untuk mengembalikan aliran udara yang
terbatas akibat asma (Evidance A).

 Setelah 1 jam tadi, dosis SABA inhalasi bervariasi dari 4 – 10 semprot tiap 3 – 4 jam
atau 6 – 10 semprot tiap 1 – 2 jam, atau lebih sering. Tidak ada penambahan SABA
bila respon inisialnya sudah bagus (PEF >60- 80% dari nilai prediksi atau biasanya
cukup diberikan SABA tiap 3 – 4 jam saja).

 Pemberian SABA lewat Metered Doses Inhaler (MDI) dan spacer/DPI sama saja
seperti pemberian lewat nebu, yaitu dapat meningkatkan fungsi paru. Evidence A:
(kecuali pada acute severe asthma) paling efektif pemberian lewat MDI atau spacer,
tapi pasien harus mengetahui benar cara pemakaiannya karena static charge pada
plastic spacer harus dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan detergen dan
dikeringkan diudara sebelum dipakai.

Terapi Oksigen Terkontrol (jika ada)

 Terapi oksigen harus dititrasi berdasarkan pulse oxymetri (jika tersedia) ini
bertujuan untuk menjaga saturasi oksigen 93 – 95% atau 94 – 98% untuk anak usia
6 – 11 tahun. Terapi oksigen terkontrol atau dititrasi memberikan hasil klinis yang
lebih baik daripada terapi oksigen 100% aliran tinggi (Evidance B). Bila tidak ada
pulse oximetry, pasien dimonitor terhadap perburukan, somnolen, atau penurunan
kesadaran.

Kortikosteroid Sistemik (OCS)

 OCS harus diberikan secara tepat terutama pada pasien yang deorientasi atau pasien
yang sudah meningkatkan reliever dan controller medication sebelum muncul
eksaserbasi.

 Evidance B: Dosis rekomendasi untuk dewasa: 1 mg/kgBB/Hari metilprednisolone


dan dosis maksimal 50mg/hari. Dosis rekomendasi untuk anak 6 – 11 tahun: 1 – 2
mg/kgBB/Hari metilprednisolone dan dosis maksimal 40mg/hari. OCS ini biasanya
diberikan lagi sampe 5-7 hari. OCS memiliki efek samping seperti gangguan tidur,
peningkatan nafsu makan, refluks dan perubahan mood sehingga beri tahu kepasien.
Obat Controller

 Pasien yang sebelumnya sudah menggunakan controller dosisnya nanti akan


ditambah pada minggu ke 2 – 4. Jika pasien tidak mengunakan controller biasanya
disarankan untuk menggukanan regular ICS-containing teraphy agar.

Antibiotik (tidak direkomendasikan)

 Tidak diberikan antibiotik pada pasien eksaserbasi asma kecuali ada bukti kuat bila
seseorang memiliki infeksi paru (adanya demam, purulen sputum atau rontgen
pneumonia).

Gambar2. Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Layanan Primer1


Evaluasi Respon

Selama pengobatan pasien harus dimonitor secara ketat dan titrasi obat sesuai
dengan respon pasien. Pasien dengan eksaserbasi berat atau mengancam nyawa, yang
gagal terhadap pengobatan, atau pasien yang terus memburuk harus segera dirujuk ke
fasilitas emergensi. Pasien dengan respon pengobatan SABA sedikit atau lambat harus
dimonitor secara ketat.
Pada kebanyakan pasien, fungsi paru dapat dikontrol setelah terapi SABA dimulai.
Pengobatan tambahan harus dilanjutkan hingga APE dan VEP1 stabil atau kembali ke
nilai terbaik sebelumnya. Kemudian keputusan pulang atau rujuk ke fasilitas emergensi
dapat ditentukan setelahnya.1

Follow Up

Obat untuk pulang harus termasuk reliever saat dibutuhkan, kortikosteroid oral, dan
controller rutin. Teknik inhaler dan kepatuhan berobat harus dinilai sebelum pemulangan.
Pasien harus dinasehati agar menggunakan reliever hanya jika dibutuhkan. Perjanjian
jadwal kontrol berikutnya harus diatur 2-7 hari kemudian, tergantung kondisi klinis dan
sosial.
Saat kontrol, tenaga kesehatan harus menentukan serangan sudah teratasi atau
belum dan kortikosteroid oral dapat dihentikan atau tidak. Asesmen level kontrol gejala
pasien dan faktor risiko, eksplorasi penyebab potensial eksaserbasi, dan peninjauan ulang
rencana aksi asma tertulis harus dilakukan. Terapi controller harian dapat diturunkan ke
tingkat sebelum eksaserbasi pada 2-4 minggu setelah eksaserbasi, kecuali eksaserbasi
diawai dengan gejala yang sugestif menunjukkan asma tidak terkontrol kronik. Dalam
situasi tersebut, teknik inhaler dan kepatuhan berobat harus dicek, dan dianjurkan
peningkatan satu langkah terapi.1

2.1.5 Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Departemen Emergensi

Asma eksaserbasi berat adalah kegawatdaruratan medis yang mengancam jiwa,


yang mana manajemen penyelamatannya dilakukan di perawatan akut seperti di unit
gawat darurat.
Anamnesis

Anamnesis harus mencakup:

 Waktu onset dan penyebab eksaserbasi (jika diketahui).


 Severitas gejala asma, termasuk keterbatasan latihan atau gangguan tidur
 Gejala anafilaksis
 Faktor risiko kematian terkait asma
 Semua obat reliever dan contoller, termasuk dosis dan penulisan resep,
pola kepatuhan, perubahan dosis, dan respon terhadap terapi.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus menilai:

 Tanda severitas eksaserbasi dan tanda vital, (contoh: tingkat kesadaran, suhu,
frekuensi nadi, frekuensi nafas, tekanan darah, kemampuan dalam melengkapi
kalimat, penggunaan otot-otot aksesoris). Faktor-faktor yang mempersulit (contoh:
anafilaksis, pneumonia, atelektasis, pneumotoraks atau pneumomediastinum)
 Tanda-tanda dari kondisi alternatif yang dapat menjelaskan sesak napas akut
(contoh: gagal jantung, disfungsi saluran napas atas, benda asing atau emboli paru).

Penilaian Objektif

Penilaian objektif juga dibutuhkan sementara pemeriksaan fisik sendiri mungkin


tidak dapat menilai severitas eksaserbasi. Pasien dan bukan nilai laboratorium, yang
harus menjadi fokus dalam pengobatan.
 Pengukuran fungsi paru: sangat direkomendasikan. Jika mungkin, dan tanpa
penundaan pengobatan, APE atau VEP1 harus direkam sebelum pengobatan
dimulai, meskipun spirometri tidak memungkinkan untuk anak- anak dengan asma
akut. Fungsi paru harus dimonitor selama 1 jam dan pada interval sampai respon
yang jelas untuk pengobatan terjadi atau mencapai kestabilan.
 Saturasi oksigen: ini harus dimonitor secara dekat, lebih baik dengan pulse
oximetry. Khusus digunakan pada anak-anak jika tidak bisa mengukur APE. Pada
anak, saturasi oksigen normal >95% dan saturasi <92% adalah sebuah prediktor
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Tingkat saturasi <90% pada anak atau
dewasa mengindikasikan perlunya terapi yang agresif. Sesuai dengan urgensi klinis,
saturasi harus dinilai sebelum oksigen diberikan, atau 5 menit setelah oksigen
dilepas atau ketika saturasi stabil.
 Pengukuran gas darah arteri tidak rutin diperlukan, hal ini harus dipertimbangkan
untuk pasien dengan nilai APE atau VEP 1 <50% prediksi atau bagi pasien yang
tidak respon dengan pengobatan awal atau mengalami perburukan. Tambahan
oksigen terkontrol harus dilanjutkan sementara analisis gas darah diperoleh. PaO2<
60 mmHg (8 kPa) dan normal atau peningkatan PaCO 2 (khususnya <45 mmHg, 6
kPa) mengindikasikan gagal nafas. Kelelahan dan somnolen menunjukkan bahwa
pCO2 mungkin meningkat dan intervensi saluran napas mungkin diperlukan.
 Rontgen dada (CXR) tidak dianjurkan secara rutin: Pada dewasa, CXR harus
dipertimbangkan jika terdapat komplikasi atau proses kardiopulmoner alternatif
(khususnya pada pasien yang lebih tua), atau untuk pasien yang tidak respon
terhadap pengobatan dimana pneumotoraks sulit untuk didiagnosis secara klinis.
Demikian pula pada anak-anak, CXR rutin tidak direkomendasikan, kecuali jika ada
tanda-tanda fisik yang mengarah ke pneumotoraks, penyakit parenkim atau benda
asing saluran napas. Kondisi yang terkait dengan temuan CXR positif pada anak-
anak termasuk demam, tidak ada riwayat keluarga asma, dan temuan pemeriksaan
paru terlokalisasi.

Gambar 3. Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Departemen Emergensi1


Tatalaksana Akut di Departemen Emergensi

Oksigen

Untuk mencapai saturasi oksigen arteri 93-95% (94-98% untuk anak-anak 6-11
tahun), oksigen harus diberikan dengan nasal kanul atau mask. Pada eksaserbasi berat,
kontrol terapi oksigen aliran rendah menggunakan pulse oximetry untuk mempertahankan
saturasi pada 93-95% berhubungan dengan hasil fisiologis yang lebih baik daripada dengan
terapi oksigen 100% aliran tinggi. Bagaimanapun terapi oksigen tidak harus dilakukan jika
pulse oximetry tidak tersedia. Setelah pasien stabil, pertimbangkan penyapihan oksigen
dengan untuk memandu kebutuhan terapi oksigen.
SABA Inhalasi

Terapi SABA inhalasi harus diberikan secara berkala pada pasien dengan asma akut.
Penggunaan pMDI dengan spacer merupakan pilihan yang paling hemat dan efisien.
Bukti-bukti kurang kuat pada asma berat dan hampir fatal. Tinjauan sistematik dari
nebulisasi intermitten versus terus-menerus dari SABA pada asma akut memberikan hasil
yang bertentangan. Salah satu hasil yaitu tidak terdapat perbedaan signifikan dalam fungsi
paru atau rawatan rumah sakit, namun penelitian lebih lanjut dengan tambahan variabel
menemukan penurunan angka rawatan di rumah sakit dan fungsi paru lebih baik dengan
membandingkan nebulisasi terus-menerus dan intermiten khusus pada pasien dengan
fungsi paru yang lebih buruk. Studi terbaru pada pasien rawatan menemukan bahwa terapi
intermiten sesuai kebutuhan mempersingkat lama rawatan, nebulisasi dan palpitasi lebih
sedikit jika dibandingkan dengan terapi intermiten 4 jam. Pendekatan yang masuk akal
untuk penggunaan SABA inhalasi saat eksaserbasi akan menjadi awal terapi kontiniu,
yang diikuti terapi intermiten sesuai kebutuhan untuk pasien rawatan. Tidak ada bukti
yang mendukung penggunaan rutin beta2-agonis intravena pada pasien dengan asma
eksaserbasi berat.
Epinefrin (untuk anafilaksis)

Epinefrin intramuskular (adrenalin) diindikasikan sebagai tambahan terapi standar


untuk asma akut yang terkait anafilaksis dan angioedema. Bukan indikasi rutin untuk
asma eksaserbasi lainnya.
Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid sistemik mempercepat resolusi eksaserbasi dan mencegah kambuh,


dan harus digunakan pada semua eksaserbasi pada dewasa kecuali yang paling ringan,
remaja dan anak-anak 6-11 tahun (Bukti A). Bila memungkinkan, kortikosteroid sistemik
harus diberikan untuk pasien dengan onset 1 jam. Penggunaan kortikosteroid sistemik
sangat penting di layanan gawat darurat jika:

 Pengobatan SABA inisial gagal mencapai perbaikan gejala yang tetap

 Pasien mengalami eksaserbasi saat pasien mengonsumsi OCS

 Riwayat eksaserbasi pada pasien yang memerlukan OCS

Rute masuk obat: oral sama efektifnya dengan intravena. Rute oral lebih disarankan
karena lebih cepat, tidak invasif dan murah. Untuk anak-anak, sediaan sirup lebih
dianjurkan daripada tablet. OCS membutuhkan waktu minimal 4 jam untuk menimbulkan
perbaikan klinis. Kortikosteroid intravena dapat diberikan bila pasien terlalu sesak untuk
menelan; jika pasien muntah; atau ketika pasien memerlukan ventilasi non-invasif atau
intubasi. Pada pasien yang dipulangkan dari unit gawat darurat, kortikosteroid
intramuskular dapat berguna, terutama jika ada kekhawatiran mengenai kepatuhan terapi
oral.1
Dosis: dosis harian OCS setara dengan prednisolon 50 mg dosis tunggal pagi hari,
atau 200 mg hidrokortison dalam dosis terbagi, adekuat untuk kebanyakan pasien (Bukti B).
Bagi anak-anak, dosis OCS 1-2 mg/kg sampai maksimum 40 mg/hari. Durasi: seri 5 dan 7
hari pada dewasa terbukti sama efektif dengan seri 10 dan 14 hari, dan seri 3-5 hari pada
anak-anak biasanya dianggap cukup (Bukti B). Deksametason oral untuk 1-2 hari juga bisa
digunakan, tetapi ada kemungkinan efek samping metabolik bila dilanjutkan lebih dari 2
hari. Beberapa penelitian dimana semua pasien mengonsumsi ICS harian setelah
dipulangkan dari IGD menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dosis bertahap OCS, baik
dalam jangka pendek atau beberapa minggu (Bukti B).1
Kortikosteroid Inhalasi

Saat di IGD, dosis tinggi ICS yang diberikan dalam satu jam pertama onset dapat
mengurangi kebutuhan rawat inap pada pasien yang tidak menerima kortikosteroid
sistemik (Bukti A). Bila diberikan sebagai tambahan kortikosteroid sistemik, bukti
bertentangan (Bukti B). Secara keseluruhan, ICS dapat ditoleransi dengan baik; namun,
biaya merupakan faktor yang signifikan, dan agen, dosis serta durasi pengobatan dengan
ICS dalam penatalaksanaan asma di IGD masih belum jelas.
Saat pulang ke rumah, sebagian besar pasien harus diberi ICS reguler karena
eksaserbasi berat merupakan salah satu faktor risiko eksaserbasi di masa depan (Bukti B),
dan obat mengandung ICS secara signifikan menurunkan risiko kematian terkait asma
atau rawat inap (Bukti A). Untuk target jangka pendek, seperti relaps yang harus rawat
inap, gejala, dan kualitas hidup, tinjauan sistematis menunjukkan tidak terdapat perbedaan
signifikan bila ICS ditambahkan pada kortikosteroid sistemik setelah pulang. Beberapa
bukti menunjukkan, bagaimanapun, ICS setelah pulang memiliki efektifitas sama dengan
kortikosteroid sistemik untuk eksaserbasi ringan, tetapi batas keyakinannya lebar (Bukti
B). Biaya merupakan faktor signifikan pada pasien dengan ICS dosis tinggi, dan
penelitian lebih lanjut diperlukan.1

Obat Lainnya

Ipratropium bromida

Pada dewasa dan anak dengan eksaserbasi sedang-berat, pengobatan di IGD


menggabungkan SABA dan ipratropium, antikolinergik short-acting, dihubungkan dengan
angka rawatan lebih kecil dan peningkatan APE dan VEP1 dibandingkan dengan SABA
saja. Untuk anak-anak yang dirawat karena asma akut, tidak ada manfaat penambahan
ipratropium, termasuk tidak terdapat pengurangan lama rawat.

Aminofilin dan teofilin

Aminofilin intravena dan teofilin tidak boleh digunakan pada eksaserbasi,


mengingat profil efikasi dan keamanan yang buruk, dan efektivitas dan keamanan SABA
yang lebih tinggi. Penggunaan aminofilin intravena dihubungkan dengan efek samping
yang parah dan berpotensi fatal, terutama pada pasien yang telah menerima teofilin lepas
cepat. Pada dewasa dengan eksaserbasi berat, penambahan aminofilin tidak meningkatkan
hasil jika dibandingkan dengan SABA saja.
Magnesium

Magnesium sulfat intravena tidak dianjurkan sebagai penggunaan rutin eksaserbasi


asma, namun bila infusion tunggal 2 g selama 20 menit, mengurangi angka rawatan pada
beberapa pasien, termasuk dewasa dengan VEP1<25-30% prediksi saat onset, dewasa dan
anak-anak yang gagal respon pengobatan awal dan mengalami hipoksemia persisten; dan
anak-anak dengan VEP1 tidak mencapai 60% prediksi setelah 1 jam rawatan. Penelitian
yang mengeksklusi pasien asma berat menunjukkan tidak ada manfaat penambahan
magnesium intravena atau nebulisasi dibandingkan dengan plasebo dalam
penatalaksanaan rutin asma eksaserbasi pada dewasa, remaja dan anak-anak. Nebulisasi
salbutamol paling sering dimasukkan dalam larutan fisiologis; namun juga dapat
diberikan dalam magnesium sulfat isotonik. Sementara, keseluruhan praktik ini belum
jelas, data gabungan dari tiga percobaan menunjukkan kemungkinan peningkatan fungsi
paru pada pasien dengan asma eksaserbasi berat (VEP1<50% prediksi).1
Terapi Oksigen Helium

Penelitian yang membandingkan oksigen helium dengan oksigen udara


menunjukkan bahwa tidak ada peran intervensi ini dalam perawatan rutin (Bukti B), tetapi
dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak respon terapi standar; namun, ketersediaan,
harga dan teknis harus dipertimbangkan.

Antagonis Reseptor Leukotrien

Hanya ada sedikit penelitian yang mendukung peran anagonis reseptor leukotrien
oral atau intravena pada asma akut. Studi kecil menunjukkan adanya peningkatan fungsi
paru-paru, namun peran klinis agen ini memerlukan peneitian lebih lanjut.
Kombinasi ICS/LABA

Peran obat-obatan ini di IGD atau rumah sakit belum jelas. Satu studi menunjukkan
bahwa dosis tinggi budesonid/formoterol pada pasien di IGD, semua pasien yang
menerima prednisolon, memiliki efiksasi dan profil keamanan yang sama. Studi lain
menguji penambahan salmeterol pada OCS untuk pasien rawat inap, tetapi tidak adekuat
sebagai rekomendasi.
Antibiotik (tidak direkomendasikan)

Tidak ada bukti yang mendukung peran antibiotik pada eksaserbasi asma tetapi
terdapat bukti kuat pada infeksi paru (misalnya demam atau dahak purulen atau bukti
radiografi pneumonia). Pengobatan agresif dengan kortikosteroid harus diberikan sebelum
pertimbangan antibiotik.
Sedatif

Sedasi harus benar-benar dihindari selama asma eksaserbasi karena efek depresi
saluran nafas dari obat anxiolitik dan hipnotik. Terdapat hubungan antara penggunaan
obat ini dan pencegahan kematian.
Ventilasi Non-Invasif (NIV)

Bukti mengenai peran NIV pada asma masih lemah. Sebuah peninjauan sistematis
pada lima studi yang melibatkan 206 peserta dengan asma berat akut yang diobati dengan
NIV atau plasebo. Dua studi menunjukkan tidak terdapat perbedaan dalam kebutuhan
intubasi endotrakeal, namun satu studi menunjukkan angka rawatan lebih kecil pada
kelompok NIV. Tak ada kematian yang dilaporkan dalam studi ini. Mengingat kecilnya
ukuran penelitian, tidak ada rekomendasi yang diberikan. Bila NIV dicoba, pasien harus
dimonitor secara ketat (Bukti D). NIV tidak boleh diberikan pada pasien yang gelisah, dan
pasien tidak boleh disedasi untuk menerima NIV (Bukti D).
Evaluasi Respon

Status klinis dan saturasi oksigen harus dinilai ulang secara rutin, dan perawatan
lanjut dititrasi sesuai respon pasien. Fungsi paru harus diukur setelah satu jam, contohnya
setelah 3 jam pertama pengobatan bronkodilator, dan pasien yang memburuk meski
pengobatan bronkodilator intensif dan kortikosteroid harus dievaluasi ulang untuk
pemindahan ke ICU.
 Kriteria Rawat Inap vs Perencanaan Pulang
Berdasarkan analisis retrospektif, status klinis (termasuk kemampuan untuk berbaring
datar) dan fungsi paru 1 jam setelah pengobatan dimulai adalah prediktor yang lebih
reliabel untuk kebutuhan rawat inap dibandingkan status pasien saat datang.

Rekomendasi konsensus dalam penelitian lain sebagai berikut:1

 Jika APE dan VEP1 sebelum pengobatan <25% prediksi atau terbaik, atau APE dan
VEP1 setelah pengobatan <40% prediksi atau terbaik, rawat inap disarankan
 Jika fungsi paru pasca-pengobatan 40-60% prediksi, pemulangan dapat dilakukan
setelah mempertimbangkan faktor risiko pasien dan ketersediaan layanan kesehatan
untuk follow up.
 Bila fungsi paru pasca-pengobatan >60% prediksi atau terbaik, pemulangan
disarankan setelah mempertimbangkan faktor risiko dan ketersediaan layanan
follow up.1

1
Faktor lain yang berhubungan dengan peningkatan kebutuhan rawatan:

 Jenis kelamin wanita, usia lebih tua dan ras bukan putih
 Penggunaan lebih dari delapan semprot beta2-agonis dalam 24 jam sebelumnya.
 Severitas eksaserbasi (contohnya kebutuhan resusitasi atau intervensi medis cepat
saat datang, frekuensi napas >22 kali/menit, saturasi oksigen <995%, APE akhir
<50% prediksi)
 Riwayat eksaserbasi parah sebelumnya (misalnya intubasi, rawatan asma)
 Kunjungan emergensi tidak terjadwal yang membutuhkan OCS.

Secara keseluruhan, faktor risiko ini harus dipertimbangkan oleh dokter saat
membuat keputusan tentang biaya masuk untuk pasien asma yang ditangani di tempat
perawatan akut.
Perencanaan Pulang

Sebelum dikeluarkan dari IGD atau rumah sakit ke rumah, perjanjian kontrol
berikutnya harus diatur dalam waktu satu minggu, dan strategi untuk meningkatkan
manajemen asma termasuk obat-obatan, keterampilan menggunakan inhaler dan rencana
aksi asma tertulis, harus dilakukan.

Follow Up setelah kunjungan IGD atau Rawat Inap

Setelah keluar, pasien harus dievaluasi oleh petugas kesehatan secara teratur selama
beberapa minggu hingga kontrol gejala yang baik tercapai dan fungsi paru-paru terbaik
diperoleh atau dilampaui. Insentif seperti transportasi gratis dan telepon pengingat
meningkatkan follow-up layanan primer namun tidak menunjukkan efek jangka panjang.
Pasien yang pulang dari IGD atau rawat inap, harus menjadi target utama program
edukasi asma, jika tersedia. Pasien yang dirawat di rumah sakit mungkin dapat menerima
informasi dan saran tentang penyakit mereka. Tenaga kesehatan harus mengambil
kesempatan untuk meninjau kembali:1
 Pemahaman pasien mengenai penyebab eksaserbasi asma
 Faktor risiko dapat dimodifikasi untuk eksaserbasi (bila relevan, merokok)
 Pemahaman pasien mengenai tujuan dan cara penggunaan obat yang benar
 Tindakan yang perlu dilakukan pasien sebagai respon atas gejala perburukan atau
penurnan arus puncak
Setelah presentasi di IGD, program intervensi komprehensif mencakup
manajemen controller yang optimal, teknik inhaler dan elemen edukasi manajemen
mandiri (self-monitoring, rencana aksi asma tertulis dan tinjauan berkala) hemat biaya dan
telah menunjukkan peningkatan signifikan pada hasil asma (Bukti B).
Rujukan untuk saran ahli harus dipertimbangkan untuk pasien yang telah dirawat di
rumah sakit karena asma, atau yang berulang kali mengunjungi perawatan akut walaupun
memiliki penyedia layanan kesehatan primer. Tidak ada studi terbaru yang tersedia,
namun penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa follow up oleh spesialis berhubungan
dengan kunjungan gawat darurat berikutnya lebih sedikit atau rawat inap dan kontrol

asma yang lebih baik.1


Gambar 4. Follow Up setelah kunjungan IGD atau Rawat Inap Pasien Asma1
2.2 Diagnosis dan Tatalaksana Awal Asma, PPOK atau Keduanya (Asma-PPOK)

2.2.1 Pendahuluan

Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit heterogen
yang ditandai dengan obstruksi saluran pernafasan. Terdapat beberapa perbedaan fenotip
klinis dan mekanisme yang mendasari asma dan PPOK. Fenotip asma dan PPOK yang
mudah dikenal pada anak-anak atau dewasa muda yaitu asma alergi serta emfisema pada
perokok lama. Asthma-COPD overlap didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan
hambatan aliran udara persisten dengan beberapa manifestasi klinis yang biasanya
berhubungan dengan asma dan PPOK. Asthma-COPD overlap diidentifikasi secara klinis
jika memiliki manifestasi asma dan PPOK.

Sangat penting membedakan rekomendasi terapi untuk asma dan PPOK. Pemberian
bronkodilator long-acting tanpa kortikosteroid inhalasi direkomendasikan sebagai terapi
awal PPOK. Namun kontraindikasi untuk asma karena dapat menimbulkan risiko
eksaserbasi dan kematian. Risiko tersebut dapat muncul pada pasien Asthma-COPD overlap

Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien Asthma-COPD overlap yang diberikan


bronkodilator long-acting akan meningkat risiko perawatan atau kematian, dibandingkan
dengan pemberian kombinasi kortikosteroid inhalasi dan bronkodilator long-acting.
Berdasarkan hal tersebut, sangat penting mengidentifikasi pasien yang berisiko jika
diberikan bronkodilator long-acting saja. Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi tidak boleh
diberikan untuk pasien PPOK karena meningkatkan risiko pneumonia. Pada pasien dengan
riwayat asma yang sudah lama, ditemukan keterbatasan aliran udara yang persisten.
Peningkatan risiko PPOK lebih besar ditemukan pada pasien perokok atau memiliki faktor
risiko lainnya. Pada pasien PPOK Terdapat obstruksi aliran udara yang reversibel saat
diberikan bronkodilator kerja cepat. Istilah Asthma-COPD overlap sering digunakan.

Definisi

Asma adalah penyakit heterogen yang ditandai dengan inflamasi saluran nafas kronik
serta terdapat riwayat gejala seperti wheezing atau mengi, sesak nafas, rasa berat di dada
dan batuk yang intensitasnya berberda-beda berdasarkan variasi keterbatasan aliran udara
ekspirasi.

22
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang dapat
dicegah dan diobati ditandai dengan hambatan aliran udara yang persisten, progresif dan
berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis di paru terhadap partikel dan gas
berbahaya serta dipengaruhi oleh faktor host meliputi gangguan pengembangan paru.
Asthma-COPD overlap merupakan penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran
udara persisten dengan beberapa manifestasi klinis yang biasanya berhubungan dengan
asma dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK). Istilah tersebut bukan berkmakna sebagai
suatu penyakit tunggal, namun menggambarkan beberapa fenotip klinis yang berbeda serta
mencerminkan mekanisme mendasarinya.

Prevalensi dan Morbiditas Asthma-COPD overlap

Studi epidemiologi melaporkan prevalensi asma-PPOK overlap sebesar 9-55% yang


bervariasi dari jenis kelamin dan umurnya. Sering terdapat gejala eksaserbasi pada asma-
PPOK dan memiliki kualitas hidup yang buruk. Semakin cepat penurunan fungsi paru
tersebut maka semakin tinggi mortalitasnya.

2.2.2 Penilaian dan Manajemen Pasien dengan Gejala Saluran Napas Kronis

1. Penilaian Riwayat dan Gejala Klinis

 Sifat dan pola gejala pernafasan (bervariasi dan atau persisten)


 Riwayat penyakit asma saat usia anak-anak dan atau saat sekarang.
 Riwayat paparan: merokok dan atau paparan lain yang meningkatkan risiko PPOK

Gambar 5. Pendekatan untuk terapi awal pasien dengan asma dan atau PPOK 1
2. Spirometri Penting untuk Mengkonfirmasi Keadaan Berikut:

 Adanya hambatan aliran udara ekspirasi yang persisten


 Hambatan aliran udara variabel ekspirasi
Spirometri dilakukan pada penilaian awal. Pada kasus klinis yang darurat itu mungkin
tertunda pada kunjungan berikutnya, tetapi untuk mengkonfirmasi diagnosis mungkin lebih
sulit jika pasien memulai terapi yang mengandung kortikosteroid inhalasi. Konfirmasi lebih
awal (atau ekslusi) adanya hambatan aliran udara ekspirasi yang persisten mungkin dapat
menghindari percobaan terapi yang tidak perlu, atau penundaan dalam memulai
pemeriksaan yang lain. Spirometri dapat menentukan hambatan aliran udara persisten dan
reversibilitas.

Pengukuran puncak laju aliran pernapasan (PEF), jika dilakukan secara berulang
selama 1-2 minggu, dapat membantu menentukan hambatan aliran udara reversibel dan
diagnosis asma dengan menunjukkan variabilitas yang berlebihan. Bagaimanapun, PEF
tidak seakurat spirometri, dan PEF yang normal tidak menyingkirkan asma atau PPOK.1

Gambar 6. Pemeriksaan Spirometri pada Asma, PPOK, dan Asthma-COPD


overlap11
3. Pemilihan Terapi

Inisial Asma

Farmakoterapi didasarkan pada kortikosteroid inhalasi untuk mengurangi risiko


eksaserbasi yang berat dan kematian dan untuk meningkatkan kontrol dari gejala, dengan
terapi tambahan sesuai kebutuhan misal tambahan LABA dan/atau LAMA. Kortikosteroid
inhalasi-formoterol dosis rendah sesuai kebutuhan dapat digunakan sebagai reliever,
kegunaannya sendiri pada asma ringan atau sebagai tambahan untuk maintenance,
kortikosteroid inhalasi-formoterol pada pasien dengan asma sedang-berat diresepkan
sebagai maintenance dan reliever.

PPOK

Farmakoterapi dimulai dengan terapi simptomatik dengan bronkodilator kerja panjang


(LABA dan/atau LAMA). Kortikosteroid dapat ditambahkan untuk pasien dengan rawat
inap, ≥2 kali eksaserbasi pertahun yang membutuhkan kortikosteroid oral, atau eosiofil
darah ≥300 /μ, tetapi tidak digunakan sendiri sebagai monoterapi tanpa LABA dan/atau
LAMA. Terapi inhalasi harus dioptimalkan untuk mengurangi kebutuhan kortikosteroid
oral. Pada pasien dengan PPOK, kortikosteroid inhalasi dosis tinggi harus dihindari karena
risiko pneumonia.

Asma dan PPOK

Kortikosteroid inhalasi mempunyai peran penting mencegah morbiditas dan kematian


pada pasien dengan gejala asma tidak terkontrol, untuk gejala yag bahkan tampak nya
ringan (bandingkan dengan PPOK sedang atau berat) mengindikasikan risiko serangan yang
mengacam jiwa. Pada pasien dengan asma dan PPOK, kortikosteroid inhalasi harus dimulai
dengan dosis rendah atau medium, tergantung pada tingkatan gejala dan risiko efek samping
termasuk pneumonia. Pasien dengan tampilan atau diagnosis asma dan PPOK biasanya akan
membutuhkan terapi tambahan dengan LABA dan/atau LAMA untuk mengontrol gejala.
Pasien dengan beberapa klinis asma tidak diterapi tunggal dengan LABA dan/ atau
LAMA, tanpa Kortikosteroid Inhalasi.

Studi case-control pada komunitas pasien dengan PPOK yang baru didiagnosis
ditemukan juga dengan diagnosis asma memiliki risikoo rendah untuk rawat inap karena
PPOK dan kematin jika diterapi dengan kombinasi ICS-LABA daripada dengan LABA
tunggal. Pada studi kohort populasi longitudinal retrospektif yang besae pada pasien berusia
≥66 tahun, yang dicatat memiliki asma dengan PPOK mempunyai morbiditas dan rawat
inap yang lebih rendah jika mereka menerima terapi kortikosteroid inhalasi; sebuah manfaat
yang sama dapat terlihat pada PPOK bersamaan dengan asma.

Semua pasien dengan hambatan aliran udara kronik

Saran yang dijelaskan dalam GINA dan GOLD, tentang:

 Terapi faktor risiko yang dapat dimodifikasi termasuk edukasi tentang penghentian
merokok
 Terapi komorbiditas
 Strategi non farmakologi termasuk aktivitas fisik, dan untuk PPOK atau asma-PPOK,
rehabilitasi pumonar dan vaksinasi
 Strategi manajemen diri yang tepat
 Follow up secara teratur
Pada kebanyakan pasien, terapi inisial asma dan PPOK dapat memuaskan yang
dilakukan di tingkat layanan primer. Bagaimana pun, GINA dan GOLD merekomendasikan
rujuakan untuk prosedur diagnostik lebih lanjut pada point yang relevan dalam terapi
pasien. Hal ini penting terutama untuk pasien dengan PPOK dan asma, mengingat ini terkait
dengan hasil yang buruk dan pemanfaatan fasilitas kesehatan yang lebih besar.

4. Rujukan untuk Pemerisaan Lebih Spesifik (jika dibutuhkan)

Rujukan untuk nasehat ahli dan evaluasi diagnostik lebih lanjut disarankan pada
kedaan berikut:

 Pasien dengan gejala persisten dan/atau eksaserbasi meskipun sudah diterapi


 Ketidakpastian diagnostik, terutama jika dignosis alternatif (misal bronkiektasis, skar
post-tuberkulosis, bronkiolitis, fibrosis pulmonar, hipertensi pulmonar, penyakit
kardiovaskular dan penyebab lainnya dari gejala respirasi) butuh untuk diperiksa
 Pasien dengan suspek asma atau PPOK dengan gejala atipikal atau tambahan (misal
hemoptisis, berat badan turun signifikan, keringat malam, demam, tanda bronkiektasis
atau penyakit paru struktural lain) disarankan untuk diagnosis pulmonar tambahan.
Hal ini harus cepat dirujuk, tanpa menunggu percobaan terapi asma atau PPOK
 Ketik penyakit kronik jalan napas dicurigai tetapi ciri sindromik asma dan PPOK
sedikit
 Pasien dengan komorbid yang dapat terganggu dengan pemeriksaan dan manajemen
dari penyakit saluran napas mereka
 Rujukan juga sesuai untuk masalah yang timbul selama terapi asma yang sedang
berlangsung.1

Gambar 7. Investigasi Khusus Dalam Membedakan Asma dan PPOK1


BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Asma merupakan penyakit heterogen yang ditandai dengan inflamasi saluran nafas
kronik serta terdapat riwayat gejala seperti wheezing atau mengi, sesak nafas, rasa
berat di dada dan batuk yang intensitasnya berberda-beda berdasarkan variasi
keterbatasan aliran udara ekspirasi.
 Asma eksaserbasi merupakan episode yang ditandai dengan peningkatan progresif
gejala sesak napas, batuk, mengi atau rasa berat di dada dan penurunan progresif
fungsi paru. Penurunan aliran ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran fungsi paru
seperti arus puncak ekspirasi (APE) atau volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1),
dibandingkan dengan fungsi paru pasien sebeumnya atau nilai prediksi.
 Penatalaksanaan asma eksaserbasi dapat dilakukan secara mandiri menggunakan
rencana aksi tertulis atau dengan mengunjungi layanan kesehatan primer dan
departemen emergensi.
 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang dapat
dicegah dan diobati ditandai dengan hambatan aliran udara yang persisten, progresif
dan berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis di paru terhadap
partikel dan gas berbahaya.
 Asthma-COPD overlap didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan
hambatan aliran udara persisten dengan beberapa manifestasi klinis yang biasanya
berhubungan dengan asma dan PPOK. Asthma-COPD overlap diidentifikasi secara
klinis jika memiliki manifestasi asma dan PPOK.
 Terdapat beberapa tahap dalam menilai dan manajemen awal paasien dengan gejala
napas kronis, yaitu: menilai riwayat dan gejala klinis pasien, pemeriksaan spirometri,
pemberian terapi inisial untuk asma, PPOK, serta Asthma-COPD overlap, dan
merujuk pasien jika dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative For Asthma (GINA). Global strategy for asthma management
and prevention. 2020.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan asma di Indonesia. Jakarta; 2011.

Anda mungkin juga menyukai