Anda di halaman 1dari 13

MEMBACA FILM GARIN (Review)

Karya: Philip Cheah dkk. 2002

Philip Cheah mengenal Garin lewat film-filmnya yang dicekal oleh

pemerintahan rezim Soeharto. Menurut Philip Cheah, Garin adalah seorang

pembuat film yang memiliki visi. Film-film yang dibuat Garin semuanya memiliki

tujuan, contohnya film dokumenter Air dan Romi (1991) yang mengangkat dampak

dari polusi sungai-sungai di Indonesia, Surat untuk Bidadari dan Bulan Tertusuk

Ilalang (1995) yang mengkritik sentralisme kekuasaan dalam dominasi kekuasaan

jawa, sehingga menekan perkembangan multikultur dalam prespektif pluralisme

yang akhirnya melahirkan berbagai bencana dalam pertumbuhan Indonesia (Philip

Cheah, 2002:11).

Sejak runtuhnya kekuasaan Soeharto tahun 1998, Garin telah membuat Iklan

Layanan Masyarakat (ILM) untuk menciptakan kesadaran baru dalam pemilihan

umum yang demokratis pasca Soeharto. Menurut Philip Cheah, apa yang

diekspresikan Garin lewat karya-karyanya adalah suara yang berupaya untuk

membuka pandangan dunia tentang masyarakat Indonesia yang tertindas, yang

dipenuhi berbagai kekerasan (Philip Cheah, 2002:11-12).

Membaca Garin adalah membaca paradoks. Karena di tengah system yang

menuntut keseragaman era Soeharto, ia bicara nilai individu, seperti yang terungkap

dalam film Bulan Tertusuk Ilalang, yakni “setiap orang punya sidik jari berbeda-

beda”, maka Garin sering dicap “egois dan keras kepala” (Wawancara Kompas

1
dalam Philip Cheah, 2002:191). Hal serupa juga diungkapkan oleh Tony Rayns.

Menurut Tony Rayns sosok Garin juga hadir sendiri sebagai New Wave dalam

sinema Indonesia sejak ia membuat film pertamanya di tahun 1991. Di tengah krisis

dan kekacauan sinema Indonesia pasca 1990, Garin tampil sendiri dalam

menghidupkan sinema Indonesia yan ia hadirkan dengan pengkespresian yang

berbeda secara radikal dalam bentuk dan tema satu dengan lainya. Seperti film

Bulan Tertusuk Ilalang yang hadir dengan bentuk puitik dan allusive (penuh

perlambangan). Keindahan dan keunikan, dalam karya-karyanya, Garin Nugroho

jauh dari bentuk stereotip sutradara-sutradara dunia ke tiga (Tony Rayns dalam

Philip Cheah, 2002:17).

Namun pandangan sedikit berbeda di lontarkan oleh Seno Gumira,

menurutnya film-film Garin di Indonesia selalu diandaikan sebagai film yang tidak

bisa dimengerti. Meski diukur dari jumlah maupun prestasi penghargaan

internasional merupakan film yang sukses. Sayangnya penghargaan paling layak

didapat dari sebuah film, yakni dimengerti di negeri sendiri, masih merupakan

perjalanan panjang bagi film-film Garin, karena hampir semua pujian mengenai film-

film Garin di Indonesia tidak selalu terbaca sebagai suatu pengertian yang

mendalam, yang artinya penonton masih meraba-raba menafsirkan pesan apa yang

ingin di sampaikan oleh Garin (Seno Gumira dalam Philip Cheah, 2002:44).

Selama perjalanannya, beberapa karya Garin di kategorikan sebagai berikut,

yaitu film dokumenter, film cerita, film pendek, iklan televisi, seri dokumenter televisi,

film untuk televisi, dan video musik. Dalam buku ini akan dikupas beberapa film

cerita karya Garin Nugroho, diantaranya ;

2
1. Cinta dalam Sepotong Roti (1991)

Film ini secara berbeda menciptakan sebuah nuansa dari kehidupan

sehari-hari dari sepasang suami istri, dalam kehidupan kelas menengah ke

atas pada masa orde baru Jakarta. Sang istri, Mayang, bekerja sebagai ‘figur

kolumnis’ untuk sebuah majalah wanita, dan teman pasangan ini Topan,

adalah seorang fotografer. Suami Mayang, yaitu Haris, adalah seorang tuan

tanah dan sebagai manajer perkebunan. Pada saat yang sama, karena film

ini mengurung alam sehari-hari dari pasangan tersebut, film ini secara

persuasive mendramatisir kebutuhan refleksi diri, terhadap kualitas dan

kondisi dari kehidupan emosional mereka (David Hanan dalam Philip Cheah,

2002:112).

Dalam film ini, Garin Nugroho mempertanyakan seks dalam rumah

tangga sepasang suami istri muda, yang melakukan perjalanan untuk

mencari kesegaran dalam hubungan mereka (Philip Cheah, 2002:48). Film

ini dipandang bukanlah sebuah film yang menghadirkan cerita sederhana,

namun film ini ‘pintar’ agar penonton berfikir lebih mendalam mengenai

permasalahan seperti apa yang dialami tokoh-tokoh dalam film ini. Tentu

harus pula disebutkan, bahasa film dalam Cinta dalam Sepotong Roti bukan

Cuma gambar. Percakapan-percakapan, idiom musik pop, maupun kalimat-

kalimat konsultasi masalah kejiwaan di radio, semua itu dihadirkan dengan

penuh makna, sehingga membentuk atmosfir dunia anak muda yang baru

menikah satu tahun (Philip Cheah, 2002:49).

3
Dengan semua itu, Garin menghadirkan dirinya mampu membuat film

yang sekedar bercerita. Ia telah membuat puisi (Philip Cheah, 2002:49).

Namun sayangnya, film ini dirasa terlalu ‘pintar’, sehingga dalam

pemaknaannya sering kali membuat penonton bingung.

Pemaknaan dalam film ini ternayata sangat luas, bukan hanya

permasalahan cinta segitiga saja, namun juga keterkaitan pada judul film itu

sendiri. Yang terungkap dalam film ini lewat diskusi-diskusi tentang rasa

olesan apa yang disukai masing-masing pribadi untuk mengoles roti, maka

judulnya adalah Cinta dalam Sepotong Roti. Penggunaan makanan ini

sebagai suatu elemen dalam menyelaraskan perbandingan antara pasangan,

dan sebagai bentuk dari perubahan yang sangat kuat antara mereka.

Kepekaan emosional yang dinilai film ini, juga bergantung kepada pasangan-

pasangan yang berdasarkan akan kebutuhan-kebutuhan pernyataan

emosional lainya. Tapi dalam film ini, sang suami berada dalam sebilah mata

pisau, dan dalam bagian-bagian berikutnya kekerasan emosionalnya datang

tiba-tiba (David Hanan dalam Philip Cheah, 2002:113).

Pemaknaan lain yang terungkap yaitu mengenai bagaimana

perempuan direpresentasikan. Tidak seperti beberapa film lain yang

menempatkan perempuan menjadi sosok yang tertindas. Menurut Garin,

perempuan dalam suatu hubungan sangat bermakna bagi dirinya. Kaum

perempuan dan laki-laki berbicara secara terbuka tentang apa yang penting

bagi mereka dalam suatu hubungan dan tentang apa yang mereka harapkan

dari keintiman (David Hanan dalam Philip Cheah, 2002:113-114).

4
Uniknya, oleh David Hanan, pemaknaan permasalahan rumah tangga

dalam film ini juga dapat dikaitkan dengan masa ‘orde baru’ Soeharto dimana

pemilihan umum secara jujur tidak pernah dilakukan selama 32 tahun,

kekuasaan golongan-golongan elit pemerintah dipertahankan oleh jaringan

mereka lewat Soeharto dengan tentaranya (David Hanan dalam Philip

Cheah, 2002:117).

Pada akhir film, pasangan ini bersatu kembali dan perbedaan mereka

terpecahkan. Garin memilih untuk membuat ending yang lebih dapat diterima

oleh penonton Indonesia (David Hanan dalam Philip Cheah, 2002:119).

2. Surat untuk Bidadari (1993) (Philip Cheah, 2002:51-55)

Surat untuk Bidadari (Letter for an Angel) mencoba mensejajarkan diri

dengan bentuk baru sinema Asia. Film ini dibuat di pulau Sumba dan berisi

dialog dalam bahasa Sumba Timur. Tujuan film ini tidak untuk menampilkan

budaya yang terisolasi, namun menyoroti bagaimana pertentangan yang

timbul antara budaya modern dengan budaya lokal. cerita berkisar pada

kebingunan seorang anak laki-laki bernama Lewa yang mendapat sebuah

kamera polaroid atas kunjungan seorang model. Lewa mulai mengambil

serangkaian foto yang diharapkan dapat merepresentasikan kehidupannya di

dunia. Subyek film ini, pada kenyataanya adalah proses representasi dari

kesenjangan yang dirasakannya antara persepsi dan kenyataan yang terjadi

(hlm89). Penggunaan kamera polaroid menunjukkan bagaimana cara

pandang pribumi bias terserap dan merubah kekuatan imperialistik.

5
Meski banyak mendapat penghargaan dalam Festival Film Taormina

dan Festival Film Tokyo, namun film ini masih saja menimbulkan pertanyaan,

karena jika banyak diantara penonton yang jujur, maka harus diakui

memerlukan perjuangan cukup keras untuk bisa menikmati film ini, terutama

karena Surat untuk Bidadari tidak berusaha memanjakan penonton. Berbeda

dengan film Hollywood yang film sebagai hiburan dan dapat memanipulasi

reaksi psikologis penonton. Tepatnya oleh bahasa film Amerika; cepat,

tegang, menimbulkan rasa ingin tahu yang sangat kuat, dan memberi

penyelesaian tuntas.

Dengan kata lain, Surat untu Bidadari adalah film untuk kaum

intelektual, orang harus merelakan dirinya berpikir keras. Sapapun yang

merasa dirinya terpanggil untuk bergulat dalam dunia pemikiran tentang

segala hal secara mendalam. Film ini menghadirkan cerita bukan untuk

menghibur penonton, melainkan apa yang ingin disampaikan Garin. Bagi

seorang psikolog, boleh jadi ini bisa disebut “film-egois” yang tak

memperdulikan penonton dan barang kali juga produser. Namun dari segi

kesenian, inilah seni yang “benar”, karena sebuah film adalah ekspresi bebas

seorang seniman. Maka Garin memilih untuk tidak membangun kisahnya

dengan pahlawan atau legenda lokal, tapi mengenai orang-orang biasa yang

menderita dislokasi karena kehidupan modern (Janet Hoskins dalam Philip

Cheah, 2002:97).

Surat untuk Bidadari adalah cara bertutur alternatif. Alternatif ini

secara konseptual jauh lebih penting ketimbang film yang paling menghibur

6
di dunia. Pengertian secara konseptual menunjukkan sukses Surat untuk

Bidadari memang di dunia pemikiran sinema, di dunia teori film, bukan di

bumi konkret pasar film, apalagi pasar film Indonesia.

3. Bulan Tertusuk Ilalang (1995)

Film ini berlokasi di Solo, Jawa Tengah dan dipusatkan pada sebuah sekolah

musik yang berhubungan dengan Keraton Kasunanan. Dalam bahasa

Indonesia, kata ‘tertusuk’ dalam judul film ini mengandung konotasi penetrasi

seksual (David Hanan dalam Philip Cheah, 2002:127). Film ini dibuka

dengan tarian Bedaya Sangopati yang menggunakan perangkat pistol. Tari

Bedaya merujuk pada sebuah budaya yang halus, sementara pistol mewakili

kekerasan. Adegan ini menjadi prolog penggambaran mengenai estetika

kekerasan. Namun kekerasan dalam film ini ditampilkan dengan cara yang

artistik. Adegan ini adalah puncak dan pertemuan dari segala kehalusan

serta kekerasan sepanjang film (Philip Cheah, 2002:56).

Film ini tidak memiliki banyak dialog, hanya diperkuat oleh musik

yang dimainkan oleh para tokoh pada film. Film ini memulia ceritanya dengan

seorang laki-laki bernama Ilalang, yang datang ke sekolah musik milik Pak

Waluyo, dengan maksud untuk belajar musik. Selain bertemu dengan Pak

Waluyo, disana ia juga bertemu dengan seorang perempuan pendatang baru

bernama Bulan, dan seorang perempuan murid lama Pak Waluyo yang

bernama Wulan. Wulan seorang penyayi tradisional yang telah menikah dan

memiliki seorang anak. Pada film ini, tradisi belajar dipresentasikan untuk

7
menuntut penyembahan dan penyerahan diri yang lengkap terhadap sang

guru (David Hanan dalam Philip Cheah, 2002:128).

Bulan Tertusuk Ilalang jelas merupakan suatu obsesi estetik,

penampilan sadisme secara halus, dan penjelajahan sebuah dunia yang

disebut adiluhung dalam atmosfer budaya Jawa, khususnya kraton

Surakarta.

Secara tambahan, terdapat beberapa adegan yang secara tidak

langsung dipresentasikan mengandung keterlibatan politik. pada film terdapat

adegan seorang Priyayi Istana memukul seorang pria. Priyayi itu kemudian

menjelaskan “Saya baru saja membunuh seorang pria, dan itu adalah hal

yang benar untuk dilakukan, karena ia menciptakan begitu banyak masalah

disini” (David Hanan dalam Philip Cheah, 2002:132). Adegan ini memiliki

keterlibatan untuk Indonesia modern di bawah pimpinan Soeharto, yang

mengontrol tulisan-tulisan wartawan.

Pasti tidak mudah untuk menangkap gagasan Garin, namun

penonton sebenarnya mempunyai hak untuk menangkap apa yang

disukainya saja dari film ini, karena memang begitu banyak makna

terbentang mengambang sepanjang film.

4. Daun di Atas Bantal (1998) (Philip Cheah, 2002:51-59)

Daun di Atas Bantal adalah sebuah sketsa kemiskinan yang

dihadirkan dengan cara manis dan tragis. film ini dibuat sesaat sebelum

rezim pemerintahan Soeharto runtuh, dan di publikasikan tidak lama setelah

8
keruntuhannya. Film ini dinilai sebagai film yang mudah dimengerti daripada

beberapa film karya Garin yang lain, film ini juga menjadi pemenang Festival

Film Asia Pasifik 1998.

Film layar lebar yang berkembang dari film dokumenter ini,

merupakan salah satu dari beberapa film Garin yang tidak memunculkan

banyak pertanyaan-pertanyaan filosofis. Daun di Atas Bantal memiliki suatu

kesederhanaan dan faktor kebetulan, yang membuatnya berebeda dari film-

film karya Garin yang lain, tetapi karakteristik kasar dan keras yang

membumbui film ini merupakan nilai plus tersendiri.

Daun di Atas Bantal adalah cerita tentang nasib tragis tiga anak

jalanan yang hidup di kota Yogyakarta. Mereka datang dari beberapa daerah

di luar Yogya, dan hidup di jalanan. Mereka bekerja sebagai penyemir

sepatu, pengemis, dan terkadang juga mencuri. Pada akhirnya mereka

meninggal secara tragis, Heru dicekik oleh komplotan penipu uang asuransi,

Sugeng tertikam pisau ketika membantu temannya dalam perekelahian antar

geng, dan kancil mati tertabrak kereta api.

Film ini diambil dari kisah kehidupan mereka (para anak jalanan)

sehari-hari. Perasaan senang, sedih, marah, dan gembira digambarkan

dengan jelas. Garin Nugroho melukiskan berbagai perasaan anak-anak itu

sedemikian rupa tidak hanya sebagai laporan dari hasil pengamatan

terhadap mereka, tapi juga menggambarkan bagaimana mereka saling

memberi dukungan, dengan cara mereka sendiri, bagaimana mereka tidak

manbdikan proses pembentukan moral diri sendiri.

9
Sebagai film cerita, bukan Garin yang mengabdi kepada realitas,

melainkan realitas itu harus menyesuaikan diri dengan dunia. Dalam Daun

di Atas Bantal, dunia itu tampil dengan polesan. Gambar-gambar apik, ritme

terjaga, dan sebuah plot ringan. Garin bermain dengan suasana, dan

suasana-suasana itu hadir sebagai elemen-elemen filmis yang benar-benar

estetik. Seluruh prestati estetik itu mengurangi bau bacin dari pojok-pojok

gelap kekumuhan kehidupan jalanan. Lebih tepatnya menyodorkan

kemiskinan tanpa menampilkan kekumuhan.

Secara simbolik, film Daun di Atas Bantal ini menunjukkan nilai-nilai

kepedulian. Sebenarnya, secara periodik dalam film terdapat penggambaran

mengenai ‘kepedulian sosial’ yang lebih luas, kepedulian sosial yang

ditunjukkan kepada penonton tentang keberadaan anak-anak jalanan dan

bahaya yang terus mengintai kehidupan mereka.

Untuk sinema Indonesia, agaknya Daun di Atas Bantal mestinya bisa

lebih meyakinkan para pembuat film : bahwa film Indonesia sah untuk dibuat

menurut cara kita sendiri- bukan mencoba-coba meniru Hollywood.

“Bagi saya, sebuah film seperti layaknya “bahasa”. Karena ia harus terus dilatih
untuk diucapakan. Dan bahasa bagi saya, tidak habis untuk dijelajahi. Seperti
halnya huruf A, B, C, D sampai Z. Huruf “A” misalnya, bias diucapkan dengan
berbagai nada dan memunculkan berbagai macam pengertian. Karena film layaknya
bahasa, ia bias jadi seperti isi Koran, ada essay, tajuk, berita teknologi, atau resep
makanan. Maka, saya pun mencoba menjelajahi dengan membuat berbagai jenis
film. Memang kadang terpeleset, dan terkadang menemukan sesuatu. Tetapi,
disinilah keindahan kerja dalam mengayuh bahasa, saya rasakan.”
(Garin Nugroho, pra-produksi film Cinta dalam Sepotong Roti)

10
Menurut Bambang Sugiharto, karya-karya Garin mengandung insight

serentak dan bersifat ambigu. Film-film Garin seperti selalu mengelak penafsiran-

penafsiran tunggal. Hal ini karena pola representasi atau “bahasa” yang digunakan

Garin bersifat spesifik: konfigurasi metaforik, minimnya penggunaan wacana verbal,

pencampuran fiksi dan fakta, dst. Namun, satu hal yang jelas, menurut Bambang

Sugihato, berbicara mengenai film-film Garin, adalah berbicara tentang seorang

manusia yang bergumul dengan kenyataan-kenyataan pahit sebuah negara

berkembang. Jika melihat perjalanan kreatif seorang Garin yang diawali dengan film-

film dokumenter, sejak semula Garin memfokuskan pada persoalan-persoalan

eksistensi manusia. Meminjam istilah Brecht, film-film Garin banyak melukiskan

sosial gestus, melukiskan persoalan dasar yang tersembunyi di balik perilaku

masyarakat sehari-hari (Bambang Sugiharto dalam Philip Cheah, 2002:150).

Dengan cerdas, Garin memperlakukan tradisi dengan mencampuradukkan fakta,

dan sengaja mengeksplorasi kekerasan sebagai suatu strategi, seperti yang

digunakan Antonin Artaud yakni penampilan imaji-imaji yang kelugasannya

menggelisahkan dan mengganggu, dengan tujuan memprovokasi perubahan psiko-

sosial pada penontonnya (Bambang Sugiharto dalam Philip Cheah, 2002:157).

Membaca film Garin, adalah membaca paradoks. Dengan mengksplorasi

berbagai paradoks, Garin secara tidak langsung mengangkat pula kesadaran

berbagai sisi konstelasi budaya lokal maupun global. Dalam situasi seperti ini, Garin

menghadirkan film Bulan Tertusuk Ilalang, yang merupakan penggambaran dari

kekacauan tersebut. Selain itu, Garin juga merangkumkan keadaan carut marut

11
akibat rezim politik yang terjadi dalam masyarakat multikultur pada film Air dan

Romi, Daun di Atas Bantal, dan Surat untuk Bidadari.

Tanggapan

Menurut pendapat saya, keunikan serta keindahan yang di hadirkan dalam

film-film Garin tidak semata-mata untuk hiburan saja, namun di dalamnya tersirat

berbagai macam makna yang tidak mudah untuk dipecahkan dan disimpulkan.

Menurut saya, film-film Garin lebih mirip dengan film-film Eropa yang selalu saja

menggantungkan permasalahan secara mendalam dan menuntut agar penonton

dapat berfikir dan membuat ‘ending’ cerita sendiri. Jadi setiap film akan memiliki

‘ending’ yang berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan penonton untuk

menafsirkannya.

Namun, sayangnya hampir semua film-film Garin menggunakan bahasa lokal

dan sedikit bahasa Indonesia, sehingga pesan-pesan Garin dalam film yang bersifat

multitafsir tersebut semakin sulit untuk dipahami, dan sering kali penonton akan

terpleset.

Sebenarnya buku Membaca Film Garin ini sangat menarik, yaitu membahas

mengenai sosok Garin Nugroho dan film-film hasil karyanya dari berbagai macam

sudut pandang. Tulisan-tulisan yang dihadirkan juga tidak melalui satu sudut

pandang seorang penulis saja, namun menghadirkan beberapa penulis dalam dan

12
luar negeri, sehingga buku ini memberi wawasan secara terbuka dan luas. Ketika

saya membaca buku ini, seperti biyasa akan menemukan beberapa pendapat yang

menurut saya kurang tepat atau terkesan di buat-buat, seperti pada pendapat Philip

Cheah mengenai keterkaitan permaslahan dalam film Cinta dalam Sepotong Roti

dengan masalah politik ‘orde baru’, saya kira itu penafsiran yang terlalu jauh. Karena

menurut saya, film ini lebih menyoroti keberadaan perempuan. Bagaimana peran

seorang perempuan dalam sebuah keluarga, dan bagaimana sudut pandang

perempuan dalam menyikapi kehidupan rumah tangga.

Selain itu, ketika saya membaca buku ini, saya merasa tulisan dalam buku ini

tidak berimbang, karena antara kritikan dan pujian, lebih banyak pujian terhadap

karya-karya Garin, karena tentunya dari sekian banyak karya Garin, pastilah ada

pula kekurangannya. Kemudian pada tulisan David Hanan ditemukan beberapa

kalimat yang sulit untuk dipahami, mungkin tulisan ini awalnya berbahasa Inggris

dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga beberapa

susunan kalimatnya terbalik-balik. Namun jika benar begitu, beberapa tulisan dari

penulis luar negeri seperti Tadao Sato, Janet Hoskin, dan Philip Cheah, susunan

kalimatnya tidak terbalik-balik dan tidak membingungkan.

13

Anda mungkin juga menyukai