Film ayat-ayat cinta 1 yang rilis pada 28 februari 2008 merupakan film dengan genre
drama percintaan yang dibalut dengan tema islami tepatya latar belakang tempat, suasana dan
status sosial yang erat kaitannya dengan islam. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya
bahwa penerjemahaan islam tidak serta merta diartikan begitu saja, perlu adanya pendalaman
makna dari sebuah simbol sehingga tidak terjadi banalisasi. Dalam film yang di sutradarai
oleh Hanung Bramantyo ini sukses melejit dengan menembus angka dua juta penonton dalam
waktu sepekan. Sehingga dapat dipastikan film ini sudah mengguncang hati dan pikiran para
penontonnya. Namun sisi lain adalah banyaknya terjadi penyimpangan makna dalam
Kegagalan memberi makna terhadap simbol-simbol islam tersebut bisa beresiko ditiru
dan dipraktikkan oleh orang-orang yang secara dangkal memahami simbol agama. Adapun
simbol-simbol agama yang menjadi banalitas terdapat dalam film ayat-ayat cinta 1 ini
terbagi kedalam dua pengelempokkan yaitu simbol secara verbal dan simbol secara non
a. Banalisasi Verbal
Terdapat beberapa banalisasi verbal dalam film ayat-ayat cinta 1 yaitu: 1).
Penggunakan kata kafir, dinisbatkan kepada orang-orang non islam dengan tidak mentolelir
dan menerima agama lain. Lebih lanjut lagi orang yang di hukumi kafir seolah tidak
mendapatkan tempat dalam kehidupan sosialnya. Hal ini jelas bertolak belakang dengan
ajaran islam yang penuh akan cinta dan kasih sayang serta toleransi antar umat beragama.
Padahal pada islam merupakan agama yang secara literal, bermakna kedamaian atau
keselamatan. Sebagai sebuah agama dan jalan hidup, Islam menawarkan kedamaian dan
keselamatan bagi seluruh manusia di dunia ini. Orang yang memilih hidup dalam Islam akan
berada dalam kedamaian dan keselamatan. Begitu juga orang yang menolak Islam sebagai
sebuah keyakinan, tetapi tetap menghormatinya. Semua manusia yang menghargai kehadiran
Islam akan mendapatkan percikan kedamaian, sekalipun dengan skala yang berbeda-beda.
2). Ta'aruf dan pacaran, dalam adegan film tersebut terdapat scene berupa ta'aruf yaitu
perkenalan antara Fahri dan Maria dengan dalih menghindari pacaran. Padahal dalam budaya
ta'aruf dikenal sebagai bentuk silaturahmi antar keluarga dengan maksud saling
memperkenalkan anak yang ingin ditikahnkan. Konsep dikenalkan dalam (karim : 45-46)
taaruf diartikan sebagai sebuah proses pengenalan antar dua insan yang kemudian dapat
menemukan cinta positif hingga menuju jenjang pernikahan. Tidak ada istilah pacaran untuk
saling mengenal satu sama lain. Sedangkan dalam film tersebut menayangkan bagaimana
Fahri dan Maria berduaan di tepi sungai dan menatap nya dengan penuh makna.
3). Istigfar, terdapat lanjutan dari scene setelah fahri menatap maria. Yaitu diakhiri
dengan kalimat istigfar, menggambarkan kesadaran penuh dan mengakhiri sebuah tatapan
dengan membaca istighfar setelah mendapat kepuasan setelah memandang. Sejatinya istigfar
adalah upaya seseorang untuk mendapatkan ampunan dari Allah atas kesalahanya dan
dilakukan dengan kerendahan hati, penuh penyesalan dan sungguh-sungguh. 4). Pernikahan,
pernikahan merupakan sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. yang secara
definitif dilakukan untuk mengahalalkan sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan,
bersifat sakral dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Sehingga pernikahan menjadi sebuah
ikatan yang dapat melekatkan antar pasangan untuk hidup bersama. Dalam film ayat-ayat
Pemaknaan verbal tersebut merupakan bentuk banalisasi yang terjadi dalam film ayat-
ayat cinta 1. Pemaknaan yang dangkal akan sebuah makna berpotensi menggiring opini
publik untuk menyimpulkan hal serupa dengan apa yang dilihatnya. Hannah Arendt yang
menyebut bahwa banalisasi dalah bentuk kejahatan yang dianggap biasa dan terjadi karena
adanya kegagal fahaman dalam menerjemahkan sebuah peristiwa. Hal serupa dapat
lebih jauh lagi dengan tidak memeberkan ruang berekspresi kepada seseorang hanya karena
bertolak belakang dalam kepercayaanya. Begitu pula dengan ta'aruf, pacaran, pernikahan dan
istigfar. Peristiwa dalam film ayat-ayat cinta 1 tersbut dapat memberikan efek terhadap
penonton untuk melakukan hal serupa. Didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh pakar
komunikasi yang bernama George Gerbner. Menurut teori kultivasi, televisi menjadi media
atau alat utama di mana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur di
lingkungannya. Persepsi apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan
budaya sangatditentukan oleh televisi. Melalui kontak televisi, penonton belajar mengenai
dunia, manusianya, nilainya serta adat kebiasaannya. Teori kultivasi mengkaji masalah media
Film sebagai produk dari media yang kemudian dapat ditonton dan disaksikan oleh
banyak pasang mata dapat merunsh perdesi pada individu atau kelompok. Sehingga jika
sajian penoton berupa pemaknaan yang dangkal atas istilah kafir maka akan memberikan
dampak serupa terhadap penonton. Begitu juga dengan banalitas yang terjadi pada adegan-
adegan verbal lainnya. Pendangkalan makna berupa pacaran, pernikahan hidup toleran juga
memberikan perubahan persepsi pada dua juta pasang mata yang menonton film ayat-ayat
cinta 1 ini. Sehingga banalisasi yang terjadi secara verbal dalam film ini berdasarkan pada
Pada film ayat-ayat cinta 1 juga terdapat peristwa banalisasi secara non verbal yaitu
berupa pakaian yang dikenakan oleh para pereman dalam film tesebut. Pakaian menjadi salah
satu simbol yang mencerminkan nilai-nilai agama yang melekat pada seseorang hal ini
sejalan dengan ungkapkan dalam kamus Geertz mengatakan bahwa agama adalah: “1) a
system of symbols which acts to 2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and
clothing these conceptions with such an aura of factuality that 5) the moods and motivations
"1) sistem simbol yang bertindak untuk 2) membangun suasana hati dan motivasi
yang kuat, meresap, dan bertahan lama pada pria dengan 3) merumuskan konsepsi tentang
tatanan umum keberadaan dan 4) pakaian konsepsi ini dengan aura faktualitas sedemikian
rupa sehingga 5) suasana hati dan motivasi tampak realistis secara unik”.
Terdapat beberapa simbol yang dikenakan dalam film ayat-ayat cinta 1 yaitu: 1).
Gamis, yang digunakan oleh aisyah bertujuan untuk menjadikan dirinya sebagai seorang
muslimah yang alim. Sedangkan dalam pemaknaan simbol yang sebenarnya gamis digunakan
sebagai pakaiannya yang menutup aurat. 2.) Peci, digunakan oleh seseorang sebagai aksesoris
baik dalam aktivitas kehidupan sehari atau sebagai alat membantu seseorang menghadang
rambut dalam proses sujud pada sholat. Bahkan dalam beberapa budaya negara peci di
pandang sebagai budaya saja sehingga orang-orang non islampun banyak mengenakan peci.
Namun dalam adegan film ayat-ayat cinta 1 peci digunakan oleh seseorang yang kemudian ia
bersitegang dengan beberapa orang lainnya utamanya dengan non islam dari amerika bahkan
memberikan pukulan. Sehingga citra islam dalam konteks ini mejadi tercoreng. 3.) kerudung
dan cadar, merupakan busana muslimah yang sangat melekat hampir diseluruh tempat meski
sebagian ada yang menganggapnya sebagai budaya saja. Sejatinya kerudung dan cadar
digunakan untuk menutup aurat perempuan dan menghindarkan syahwat dari lawan jenis.
Adapun dalam adegan film tersebut kerudung dan cadar dijadikan sebagai simbol yang
dikenakan oleh Naura dan memerintahkan Fahri untuk memperkosa dirinya. Adapun Cadar
digunakan oleh Aisyah yang memaksa suaminya untuk menikahi Maria agar sembuh. Adegan
tersebut memberikan spekulasi akan anggapan bahwa yang bercadar siap dan mau untuk di
poligami.
Mengacu pada teori Cultural imperialism theory Teori ini diperkenalkan oleh Herb
Schiller. Asumsi dasar teori ini menyatakan bahwa bahwa negara Barat mendominasi media
di seluruh dunia. Hal ini berarti bahwa media massa Barat mendominasi media massa di
dunia ketiga. Adanya dominasi ini mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media
dunia ke tiga, sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Saat
terjadi peniruan budaya, maka terjadilah apa yang disebut dengan cultural imperialism
(penjajahan budaya). Apa yang disajikan dalam film ayat-ayat cinta 1 dapat menjadi budaya
yang ditiru oleh penontonya. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi
pendangkalan makna akan sebuah simbol yang dikenakan oleh seseorang. (Mukarom, 2020 :
145)
Pakaian berupa gamis, kerudung, peci dan cadar sejatinya merupakan budaya yang
sudah melekat di Indonesia. Tak jarang ditemukan bahwa laki-laki yang mengenakan peci
hanya formalitas dalam kegiatannya, pun dengan perempuan yang berkerudung ia melepas
kerudungnya pada kegiatan lain misalnya dikantor ia berkerudung namun saat bermain ia
melepasnya. Hal demikian menjadi sebuah faktwa bahwa penggunaan pakaian dan busana
muslim dipandang sebagai budaya bahkan tidak tahu makna yang mendasar. Sehingga
kegagalan pemahaman atas peristiwa tersebut dianggap biasa saja. (Saprillah, 2019 : 46)
Dengan demikian sebutan simbol keagamaan sangat relevan dengan fakta sosial yang
sering di panggil "pak haji", saat menggunakan pakaian bergamis disebut dengan istilah
"ustadz" bahkan saat berbicara dengan muatan-muatan keagamaan yang ringan disebut
sebagai "penceramah". Padahal nyatanya apa yang dikenakan dan ucapkan tidaklah dapat
disimpulkan sebagai seorang tokoh agama. Hal ini yang kemudian menjadi penguat
bahwasannya agama sebagai simbol telah melekat dalam khalayak umum lebih jauh dari itu
banyak persepsi yang salah dan dangkal dalam menerjemahkan simbol agama.
Hal itu pula sejalan dengan definisi simbol dalam kamus Collin Cobuild yang
mengartikan simbol sebagai sebuah cerminan dari ide atau aspek lain dalam kehidupan
bermasyarakat. Kemudian simbol menjadi sarana simpulan yang begitu ringan untuk dinilai
Identitas islam yang dituangkan dalam film ayat-ayat cinta 1 sangat kental di wujudkan
dengan penggunaan pakaian yang dikenakan oleh para pemerannya. Sehingga nuansa akan
islam sangat jelas tercermin dalam film tersbut. Maka islam melalui film ayat-ayat cinta 1 di
interpretasikan sebagaimana alur cerita film yang dibuat. Padahal pemaknaan islam melalui
Referensi:
Arendt, Hannah, “The Concentration Camps”, Dalam Partisan Reviews, Vol. 15 No. 7
(Juli 1948).
Arika Zulfitri Karim. 2015. Dari Ta’aruf Hingga Menikah: Eksplorasi Pengalaman
Penemuan Makna Cinta Dengan Interpretative Phenomenological Analysis. Jurnal Empati,
Januari 2015, Volume 4(1), 43-48
Solihati, Putra, Nugroho. 2015. Banalitas Simbol Keagamaan Dalam Sinetron Religi:
Analisis Tayangan Sinetron “Bukan Islam Ktp” Di Sctv. Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 35, No.1,
Januari – Juni 2015
Abizal Muhammad Yati. 2007. Islam Dan Kedamaian Dunia. Islam Futura, Vol. Vi,
No. 2, Tahun 2007