Anda di halaman 1dari 27

Representasi Identitas Muslim pada Film Ali (Analisis Semiotika

Roland Barthes)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar


Sarjana Sosial (S.Sos) Strata Satu
pada Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh:

Muhammad Firdaus
NPM: 20170710041

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berkembangnya teknologi dan Informasi menjadikan dunia dapat dilihat
secara langsung, tanpa harus mengunjungi suatu tempat, atau dapat diartikan
informasi dan komunikasi berlangsung dengan cepat tanpa adanya batas wilayah
(negara) tertentu. Berkembangnya pula media massa, khususnya di dunia
pertelevisian turut menjadi pengaruh dalam pembentukan pola pikir masyarakat.
Selain dalam dunia pertelevisian, perfilman pun dianggap memiliki
kekuatan karena kelebihannya yang dapat menjangkau banyak elemen-elemen
sosial di masyarakat, juga memiliki potensi dikarenakan film dapat memengaruhi
khalayak luas dengan menampilkan realitas yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat (Sobur dalam Jalaludin, dan Nabilla, 2017: 59). Selain itu, film tidak
hanya merefleksikan namun juga dapat menciptakan realitas.
Film juga merupakan media yang cukup diminati banyak khalayak. Ini
dikarenakan media massa ini menyajikan pesannya dalam bentuk audio dan
visual. Bahkan saat ini, film bertranformasi dalam bentuk 3D (tiga dimensi) dan
4D (empat dimensi. Sehingga semakin membuat khalayak semakin tertarik
dengan media massa ini. Selain itu, dengan hadirnya 3D dan 4D ini membuat jiwa
khalayak seakan-akan melihat kejadian yang ada di dalam film seperti menjadi
nyata. Itulah mengapa film seolah-olah mengantarkan khayak menembus ruang
dan waktu serta dapat mempengaruhi khalayak secara optimal.
Sisi lain dari film, film dapat berperan sebagai pembentuk budaya massa.
Pengaruh film sangat kuat dan besar terhadap jiwa manusia karena khalayak
(penonton) tidak hanya terpengaruh ketika menonton film saja, tetapi akan terus
berlanjut hingga waktu yang cukup lama. Film menjadi bagian penting dalam
media massa untuk menyampaikan suatu pesan atau memberikan pengaruh positif
untuk bertindak sesuatu.
Salah satu Industri perfilman yang terpopuler di dunia saat ini ialah
Hollywood, dimana industri ini telah menghasilkan film dengan atusiasme
penonton yang banyak. Beberapa film yang diproduksi juga telah sering
mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik ditiap tahunnya (Mas Ian, Abdul
Muchith, dkk, 2018: 2). Dalam dua dekade terakhir perindustrian film Hollywood

2
telah melahirhakan film-film yang segmentasinya memberikan citra positif
ataupun negatif, khususnya dalam Islam. Citra negatif yang digambarkan
biasanya menggambarkan sesosok Muslim yang menjadi teroris, atau
menampilkan konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah yang dikenal sebagai
‘Islam Radikal’.
Awal mula citra negatif ini dimunculkan ketika pengebomam pertama di
gedung WTC (World Trade Center), New York, Amerika Serikat pada tahun
1993. Film-film yang mengangkat isu-isu teroris setelah insiden tersebut, antara
lain: True Lies (1994), Excecutive Decision (1996), Air Force One (1998), dan
The Siege (1998). Film-film tersebut menggambarkan para jihadis sebagai orang
gila yang terbelakang dan pembunuh massal potensial yang harus diperangi
dengan cara apapaun (Riegler dalam Jalaludin dan Nabilla, 2017: 59).
Citra negatif tentang Islam ini terus berlanjut ketika terjadinya
pengebomam kedua di gedung WTC, yang terjadi pada tanggal 9 September 2001,
atau dikenal dengan istilah 9/11 atau ‘nine one one’. Kala itu banyak tokoh yang
mengecam tindakan tersebut, baik tokoh internal Amerika hingga tokoh-tokoh di
luar Amerika. Presiden Amerika waktu itu, George W Bush, ikut memanaskan
suasana, dalam pidatonya ia mengatakan “This crusade, this war on terrorism
going to take a while”. Kata crusade ini merujuk pada perang Salib yang membuat
sakit hati seluruh umat Muslim di dunia dan membangun peperangan antar umat
Kristiani dan Muslim (BBC News, 2011).
Terlepas dari citra-citra negatif tentang Islam yang ditampilkan dalam
perindustrian film ini, tidak sedikit dari sutradara ataupun penulis naskah dalam
pembuatan film, mencoba untuk membenarkan atau menyatakan bahwa Islam
nyatanya tidak seperti yang telah digambarkan dalam film-film yang sebelumnya
telah penulis telah penulis sebutkan di pada alenia enam. Salah satunya film yang
berjudul Kindom of Heaven yang diproduksi pada tahun 2006. Film ini bercerita
tentang peperangan antara bangsa Barat (Kristen/ Nasrani) dengan bangsa Arab
(Islam). Sebelumnya juga telah diproduksi berbagai film yang menghadirkan citra
positif Islam, diantaranya: The Message (1976) dan Robin Hood: Princes of
Thieves (1991).
Terkait citra positif yang ditunjukan dalam film, penulis tertarik untuk
meneliti film yang berjudul ‘Ali’ yang diproduksi tahun 2001. Film ini adalah
salah satu film yang melejit namanya pasca tragedi 9/11. Film Ali menampilkan

3
citra Islam secara positif. Film ini bercerita sejarah hidup seorang petinju
legendaris dari Amerika, Muhammad Ali. Tokoh Muhammad Ali ini diperankan
sangat baik oleh Will Smith. Sebelumnya diketahui Will Smith kerap tampil pada
film-film komedi, mampu tampil baik sebagai Ali di film bergenre drama dan
sport ini. Kemudian, untuk pertama kalinya, Will Smith masuk nominasi Oscar
sebagai Aktor Utama Terbaik pada tahun 2002. Dikabarkan juga bahwa Ia tertarik
untuk mempelajari Islam (Henry Hens dalam Fimela.com: 2016). Film ini sendiri
disutradarai oleh Michael Hann.
Tokoh lainnya juga membersamai peran Muhammad Ali dalam film ini
seperti Malcom X yang diperankan oleh Mario Van Peebles, seorang Muslim
yang dikenal sebagai sahabat dari Muhammad Ali. Selanjutnya Herbert
Muhammad sebagai manajer di tim Ali yang diperankan oleh Barry Shabaka
Henley, sang sportcaster Muhammad Ali dalam film ini Howard Cossell yang
diperankan oleh Jon Voight, dimana Ia juga berhasil mendapatkan penghargaan
sebagai Aktor Pendukung Terbaik (2001). Jamie Foxx sebagai Drew ‘Bundini’
Brown, yang merupakan motivator yang berada di pinggir ring ketika Ali sedang
bertanding.
Beberapa tokoh dalam film ini tentu banyak yang menjadikannya sebagai
panutan, melaui pemikiran yang mereka pegang, cara hidup mereka, ataupun
mengenai hal lainnya. Meskipun film ini lebih memusatkan pada seorang Ali,
tokoh lain seperti Malcom X, Herbert Muhammad, Eljah Muhammad, mereka
merupakan tokoh yang cukup berpengaruh dalam perkembangan Islam di
Amerika, dan dikenal sebagai tokoh perlawanan etnis kulit hitam terhadap etnis
kulit putih di Amerika. Tokoh-tokoh di atas sejatinya memiliki identitasnya
masing-masing secara individual namun tetap satu dengan keyakinan bahwa Islam
adalah agama yang mereka yakini. Identitas yang mereka tunjukan dalam film ini
berupa sikap, perkataan, ataupun perbuatan yang mereka lakukan.
Identitas sendiri sejatinya menggambarkan bagaimana seseorang atau
individu dapat dikenal, yang terkadang memiliki ciri khas tersendiri. Secara
harfiah (makna kata) identitas berasal dari kata Idem yang berarti “serupa”. Hal ini
menjadi dasar dalam pembentukan kepribadian. Identitas adalah kesadaran diri,
diambil dari pendapat sekaligus sebagai kumpulan dari gambaran diri dalam
mengatur keseluruhan, tidak hanya meliputi kepandaian bersosialisasi, objek sifat,
namun juga peran (Cahya, dan Yulianto, 2018:2).

4
Melihat keterkaitan identitas dengan diri seorang Muslim, tentu seorang
Muslim perlu memiliki identitasnya sebagai pemeluk agama Islam. Sebagai
seorang Muslim perlu memiliki identitas yang membedakan antara umat
beragama lainnya, salah satu contoh dalam keseharian kita adalah mengucapkan
salam sesama Muslim dan tidak perlu mengucapkan salam kepada non-Muslim
(Farid dalam kutipannya, data.com: 2018). Pada tahap selanjutnya identitas ini
tidak hanya untuk masing-masing pribadi namun akan diteruskan dan
dipertahankan hingga generasi selanjutnya.
Identitas seorang Muslim juga dapat dilihat melalui perilaku yang Ia
tampilkan dalam kesehariannya. Mulai dari beribadah dan bersosialisasi dengan
masyarakat, inilah yang mencerminkan hablumminallah wa hablumminannas,
seorang Muslim perlu menyeimbangkan dua aspek ini dalam kehidupannya.
Beribadah dapat digambarkan ketika seorang Muslim memanjatkan doa, terlepas
dari perdebatan mengenai tata cara berdoa yang dipahami oleh setiap individu
Muslim. Masing-masing agama memiliki tata cara yang berbeda dalam
melaksanakan ibadah. Namun, perbedaan ini tidak menghalangi individu Muslim
untuk bersosialisasi dengan umat Non-Muslim. Sejatinya agama Islam diturunkan
di muka bumi menjadi agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis melihat bagaimana film ini
sangat menarik untuk diteliti, meliputi pesan-pesan (verbal), simbol-simbol
(nonverbal), konflik antar tokoh dalam film, gesture, ataupun secara teknis yang
akan memunculkan pembahasan tentang identitas Muslim yang terdapat dalam
film ini. Secara khusus peneliti akan menggunakan teori atau konsep tentang tanda
(semiotika) Roland Barthes. Teori semiotika Roland ini akan membahas makna
denotasi, meunju konotasi, hingga pemaknaan tentang mitos yang secara spessifik
menyangkut identitas Muslim yang terdapat dalam film ini. Sehingga dari
pemaparan tersebut penulis akan melalukan penelitian yang berjudul
“Representasi Identitas Muslim dalam Film Ali (Analisis Semiotika Roland
Barthes).

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
Representasi Identitas Muslim dalam Film Ali dengan menggunakan metode
Analisis Semiotika Roland Barthes?

5
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan pada penelitian ini adalah mengetahui bagaimana
Representasi Identitas Muslim dalam Film Ali dengan menggunakan metode
Analisis Semiotika Roland Barthes.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini terbagi dalam dua aspek yakni
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat teoritis:
Penelitian ini secara teoritis dapat bermanfaat sebagai Menambah kajian
keilmuan komunikasi, khususnya untuk jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam dalam hal pemahaman identitas Muslim dan analisis semiotik.
2. Manfaat praktis:
a. Diharapkan dapat mendeskripsikan identitas Muslim dalam penokohan
pada Film Ali.
b. Menambah wawasan bagi para peggemar film biografi, seperti film Ali ini
memberikan suatu hal yang dapat diambil terkait identitas Muslim yang
terdapat dalam film ini hingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan
seorang Muslim.

E. Tinjauan Pustaka
Terkait penelitian yang akan peneliti lakukan terkait identitas Muslim dan
semiotika Roland Barthes, maka penulis mengambil sepuluh penelitian meliputi
jurnal ataupun skripsi sebelumnya sebagai acuan untuk penelitian yang akan
penulis lakukan, dapat peneliti sebutkan sebagai berikut:
Pertama, penelitian yang ditulis oleh Husman Nurjaman, Uliviana Restu,
dan Bayu Teja Kusuma yang berjudul “Konstruksi Islam sebagai Simbol Identitas
melalui Representasi Perempuan Muslim pada Novel Religi” (2018). Penelitian
dengan pendekatan kualitatif analisis semiotika dari Roland Barthes ini
menguraikan teks dangan sistematika denotatif, konotatif dan mitos. Novel Ratu
yang Bersujud yang bersujud memberikan konsep Islam tentang bagaimana
perempuan muslim perlu mendapatkan perlindungan dan pemuliaan, peran
penting perempuan dalam rumah tangga, perempuan sebagai mitra laki-laki dan

6
kesetaraan laki-laki dan perempuan. Representasi konsep perempuan muslim ini
merupakan bagian dari konstruksi Islam sebagai identitas kelompok. Konstruksi
realitas sebagai hasil dari interaksi yang dilakukan oleh peneliti dengan realitas
pemikiran Islam, realitas kemajuan perempuan, realitas pandangan negatif
peradaban barat terhadap Islam, serta realitas tren simbolik kehidupan beragama,
yang kemudian diperdalam lagi dalam teks-teks novel, dan diinternalisasi oleh
masyarakat.
Kedua, penelitian dari Bulan Cahya Sakti, dan Much Yulianto dengan
judul, “Penggunaan Media Sosial Instagram dalam Pembentukan Identitas Diri
Remaja” (2018). Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui bagaimana vlogger
mengungkapkan dan menunjukan identitas dirinya dalam hubungan dengan
kehidupan sosialnya secara audio visual di media sosial Youtube. (2) Untuk
mengetahui pola komunikasi vlogger dengan penggemar dalam berinteraksi secara
virtual melalui media sosial di Youtube. Dalam penelitian ini, metode yang
digunakan adalah semiotika Charles S.Pierce dan juga etnografi virtual, dengan
didukung Teori pengungkapan diri dan Teori identitas Sosial. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa Ricis (vlogger) mengungkapkan identitas dirinya dengan
efektif dan terbuka.
Ketiga, berjudul “Pengungkapan Identitas Diri Melalui Media Sosial:
Studi Mengenai Etnografi Virtual melalui Vlog ” yang ditulis oleh Siti Nadila
T.A.F, Alimuddin Unde, dan Syamsuddin Aziz (2018). Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana penggunaan Instagram oleh remaja, dalam
pembentukan identitas diri mereka. Teori yang digunakan adalah Teori
Interaksionalisme Simbolik. Tipe penelitian kualitatif ini adalah Diskriptif
Kualitatif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah Indepth Interview dan
Studi Pustaka, jumlah informan yang diambil adalah 5 orang remaja, memiliki
akun Instagram dan merupakan pengguna aktif Instagram. Tentu penelitian ini
akan penulis ambil untuk memperdalam mengenai teori identitas yang akan
penulis ambil.
Keempat, penelitian yang berjudul “Identitas Diri Remaja Melalui Status
Sosial Facebook” (2014), yang ditulis oleh Muna Madrah dan Made Dwi Anjani.
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif dengan menggunakan
pendekatan grounded untuk memahami bagaimana remaja mengkonstruksi
identitas dirinya melalui status-status yang diunggah pada situs sosial media

7
facebook. Penelitian ini difokuskan pada remaja usia 14 –18 tahun karena pada
usia ini mereka lebih sering melakukan update status setiap hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perangkat facebook memungkinkan setiap pengguna dan
atau pemilik akun di facebook disediakan form atau borang untuk menuliskan
profil diri mereka seperti nama, nama kecil, tempat tanggal lahir, pendidikan,
hobi, sampai pada kutipan yang disenangi olehnya.
Kelima, sebuah penelitian yang ditulis oleh Dedi Sahputra Napitupulu
(2019) dengan judul, “Nasionalisme dan Identitas Muslim (Telaah Aksiologi
Pendidikan Islam)”. Nasionalisme dan identitas muslim merupakan ciri khas yang
dimiliki bangsa Indonesia, walaupun keduanya berbeda substansinya tetapi
memiliki kesamaan prinsip, nasionalisme adalah kesadaran suatu bangsa yang
kemudian melahirkan perasaan cinta tanah air. Sedangkan identitas muslim yang
dianut ajaran Islam dan budaya Islam yang kemudian ditangkap sebagai identitas
muslim. Penelitian ini menggunakan metode studi perpustakaan penelitian
menghasilkan korelasi antara nasionalisme dan identitas muslim. Ini menarik bagi
penulis sehingga mengetahui lebih mendalam mengenai identitas, khususnya
mengenai identitas Islam/ Muslim.
Keenam, adalah penelitian dari Nurul Hidayanto dengan judul, “Pesan
Kepmimpinan Umar bin Khattab (Anlisis Semiotik Tokoh Umar bin Khattab
dalam Film “Omar” Episode 22-24” (2017). Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian analisi isi (conten analysis) melalui
kajian semiotika. Teknik pengumpulan data yang digunakan menggunakan teori
semiotika Roland Barthes. Berbagai tanda dan simbol dalam film ini
diterjemahkan melalui analisa double signifikasi versi Barthes (dua tahapan),
yakni dengan pemaknaan denotasi dan konotasi.
ketujuh, penelitian yang ditulis oleh Asnat Riwu dan Tri Pujiati dengan
judul “Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film 3 Dara (Kajian Semiotika)”
(2018). Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan analisis semiotika
dari Roland Barthes. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini pada film “3 Dara”
menemukan temuan-temuan sebagai berikut: (1) Makna denotasi dan konotasi
pada film ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa pentingnya bersikap
sopan dan menghargai seorang perempuan dan kepada siapa pun. Karena apa pun
yang kita tabur di dunia ini, baik itu perkataan, sikap baik dan buruk kepada
sesama, kita akan menuainya suatu hari nanti. (2) Mitos yang dapat disimpulkan

8
dalam penelitian ini adalah di saat Affandy, Jay, dan Richard mendatangi seorang
psikolog dan psikolog tersebut mengklaim bahwa mereka mengalami Gender
Diasyphora Syndrome, yaitu sebuah gejala di mana seorang pria secara perlahan
memiliki perubahan sikap dan perilaku sebagai seorang wanita.
Kedelapan, penelitian yang berjudul “Makna Gambar 3 Biri-biri dan
Kotak pada Film The Little Prince (Studi Analisis Semiotika Roland Barthes
tentang Makna Gambar ‘biri-biri dalam kotak’ pada Film ‘The Litte Prince’”
(2017) yang ditulis oleh Sri Seti Indriani dan Ditha Prasanti. Penelitian ini
bermaksud untuk melihat makna simbol visual Biri-biri dan Kotak dari film
tersebut yang berkaitan dengan hal yang esensial dalam hidup yang bermakna.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dengan metode semiotika analisis Roland Barthes. Metode semiotika ini
menganalisis fenomena dari segi tanda dan makna. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa makna tanda dan penanda dalam film ‘The Little Prince’
dapat dikaji dari makna denotasi, makna konotasi, dan makna mitos.
Kesembilan, berjudul “Representasi Kekerasan dalam Film ‘The Raid:
Redemption’” (2019), oleh Aditya Mulyana, Feri Ferdinan Alamsyah, dan
Yogaprasta Adi Nugraha. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
representasi terkait kekerasan baik verbal maupun non verbal dalam film The
Raid: Redemption. Dalam penelitian ini juga membantu menemukan makna
dalam The Raid: Redemption, penelitian ini menggunakan semiotika Roland
Barthes yang memandang segala sesuatu dengan tingkatan denotasi, konotasi
hingga mitos. Pengambilan metode penelitian kualitatif untuk mengetahui tujuan
kekerasan dan bagaimana kehidupan dan budaya kekerasan yang terjadi dalam
film The Raid: Redemption.
Kesepuluh, adalah sebuah tulisan yang berjudul “Kajian Semiotika dalam
Film” (2011), yang ditulis Yoyon Mudjiono. Film memiliki nilai seni tersendiri,
karena film tercipta sebagai sebuah karya dari tenaga-tenaga kreatif yang
profesional di bidangnya. Film sebagai benda seni sebaiknya dinilai dengan secara
artistik bukan rasional. Studi perfilman boleh dikatakan bidang studi yang relatif
baru dan tidak sebanding dengan proses evolusi teknologinya. Semiotika
merupakan suatu studi ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dalam
suatu konteks skenario, gambar, teks, dan adegan di film menjadi sesuatu yang
dapat dimaknai. Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa

9
informasi, dalam hal ini obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda yang digunakan dalam film tersebut.

F. Kerangka Teori
1. Representasi
Representasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berati: 1.
Perbuatan mewakili; 2. Keadaan diwakili; 3. Apa yang mewakili; perwakilan.
Sedangkan menurut Stuart Hall (1997) dalam (Aprinta, 2011: 16)
mengandung dua pengertian yaitu, pertama, representasi mental, adalah
konsep mengenai tentang sesuatu yang terdapat di dalam pikiran kita (kepala
kita) masing-masing atau biasa disebut dengan peta konseptual. Konsep ini
membentuk sesuatu yang abstrak (absurd). Kedua, representasi bahasa,
dimana representasi ini sangat berperan penting dalam pembentukan makna.
Konsep yang masih abstrak di kepala (pikiran) kita perlu diterjemahkan dalam
bahasa yang wajar, agar dapat dihubungkan dengan konsep-konsep dan ide-ide
kita tentang suatu tanda maupun simbol-simbol tertentu.
Representasi menunjuk pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu
tanda. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial
pemaknaaan melalui sistem penandaan yang tersedia, seperti dialog, video,
film, teks, fotografi dan sebagainya. Representasi adalah produksi makna
melalui bahasa.
2. Identitas Agama
a. Pengertian Identitas
Kata identitas sendiri diambil dari bahas latin yaitu Idem yang mempunyai
arti “serupa”. Hal tersebut merupakan dasar dari pengaturan kepribadian.
Identitas merupakan kesadaran diri, seperti diambil dari pendapat dan
pengamatan diri. Identitas merupakan pengumpulan dari semua gambaran diri
dalam mengatur keseluruhan, tidak hanya dengan kepandaian bergaul dengan
siapapun, objek sifat, dan peran. Identitas memiliki perbedaan dengan konsep
diri, di dalam identitas terdapat kenyataan pada perasaan dari orang lain
(Bulan dan Yulianto, 2018: 2).
Menurut Turner dalam (Rahmat, 2014: 150) secara sederhana identitas
dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu identitas sosial dan personal.
Identittas sosial memiliki kaitan dengan identifikasi sosial sseseorang, yaitu

10
kategori sosial atau kelompok-kelompok tertentu seperti ras, etnik,
kebangsaan, jenis kelamin, agaman, dan lain sebagainya - dapat diartikan juga
sebagai wadah seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian atau bukan
bagian dari suatu kelompok. Sebaliknya identitas personal berkaitan dengan
ciri-ciri individual seseorang.
Melanjutkan bahwa Klap dalam Piramida Qurrota (2016), menyatakan
bahwa identitas meliputi segala hal yang terdapat dalam diri seseorang yang
dapat dinyatakan secara sah serta dapat dipercaya tentang dirinya sendiri,
statusnya, nama, kepribadian, serta masa lalunya.
b. Identitas Muslim
Sebagai seorang Muslim tentu meyakini Islam sebagai agamanya. Islam
adalah satu-satunya agama besar yang pada namanya memiliki arti adanya dua
dimensi fokus keimanan. Sisi pertama, nama tersebut mengacu pada
penerimaan manusia secara perseorangan atau individu terhadap keesaan
Allah, dan pada sisi kedua, nama tersebut berarti kumpulan semua manusia
yang membentuk sebuah masyarakat keimanan yang mengakui dan meyakini
adanya Tuhan (Smith dalam Rosabella, 2018: 3). Respon keagamaan semua
manusia yang telah mengakui keesaan Allah tersebut dapat secara umum
dipahami sebagai Islam secara perorangan.
Sebagaimana yang kita maklumi bersama bahwa sebagai agama samawi
terakhir. Kehadiran agama Islam tentu akan bersinggungan secara langsung
dengan agama-agama yang telah diturunkan di muka bumi ini. Maka dari itu
resiko yang sangat masuk akal dari kontak peradaban sebuah agama adalah
adanya keterkaitan atau kesamaan baik itu dalam hal sisi ajaran maupun tata
cara peribadatan. Lebih jauh lagi agama Islam juga harus berhadapan dengan
kebudayaan dan peradaban dimana Islam pertama kali diturunkan.
Ayi Sobarna (2008) dalam Sahputra (2019: 164) mengungkapkan bahwa
Islam itu memang satu, namun dalam proses pengkajiannya terdapat berbagai
ragam ekspresi. Islam juga merupakan agama yang akan terus mengalami
perkembangan sesuai dengan kemajuan zaman. Sebagai agama yang
rahmatan lil’alamin Islam membuktikan bahwa ajarannya tidak akan pudar
ditelan zaman dan dapat disesuaikan pada konteks waktu dan tempat kapan
dan di mana saja.

11
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teori pemikiran salah satu
tokoh pembaharu Islam yakni Tariq Ramadan yang menampilkan identitas
Muslim sejati menurut konsepnya. Beliau dilahirkan pada 26 September 1962
di Ganeva, Swiss. Merupakan cucu dari pendiri gerakan Ihwanul Muslimin
(Makmun, 2019:2017). Konsep identitas Muslim yang ia utarakan dapat
penulis gambarkan sebagai berikut:

understanding
the texts and
contexs

faith, pratice
and spirituality Muslim actions and
participations

education and
transmission

Gambar 1.1 Peta Konsep Identitas Muslim oleh Tariq Ramadan

Peta konsep diatas menurut Ramadan (2001) dalam Rehayati (2011: 232)
dapat dijelaskan bahwa Islam tidak hanya terletak pada keyakinan
(spiritualitas), tetapi sangat terkait dengan pemahaman ajaran Islam itu sendiri
baik secara tertulis maupun pada penerapannya, pendidikan serta action
(‘amal al-shaleh). Islam tidak akan memiliki makna apabila umat Islam hanya
sibuk dengan urusan spiritualitas sementara pemahamannya terhadap teks dan
konteks ayat al-Qur’an dan Hadis masih sangat kurang. Sedangkalan
pemahaman terhadap teks ayat dan Hadis yang mengakibatkan umat Islam
sulit menyebarkan nilai-nilai pendidikan dalam Islam kepada sesama manusia,
sehingga tidak adanya keseimbangan antara hamblun min Allah dan hamblun
min an-naas, atau bisa dikatakan umat Islam tidak maksimal berbuat dalam
kancah kehidupan di era teknologi dan informasi dewasa ini.
c. Asas Jati Diri Seorang Muslim
Sebagai sumber utama dalam menuntun kehidupan seorang Muslim tidak
lain dan tidak bukan adalah Al-Quran dan Hadist (As-sunnah). Dua sumber ini
merupakan sumber tsaqafah (mendidik) Islam sangat otentik untuk
mewujudkan jati diri seorang Muslim yang dinamis, tenteram, qana’ah (sikap
rela) dalam kehidupannya sebagai manusia, bersikap muroqobah (mawas diri),

12
dan muhasabah (intropeksi diri) yang juga tertanam dalam jiwa setiap
Muslim.
Dalam bukunya Ahmad Umar Hasyim (2016) menjelaskan bagaimana jati
diri seorang Muslim dapat penulis paparkan sebagai berikut:
1. Akidah yang Benar
Sebagai asas yang utama dalam jati diri seorang Muslim, adalah akidah
yang benar dan kokoh dengan keimanan yang benar serta dapat
mendorong jalan kebenaran yang istiqomah (konsisten) sesuai dengan
tuntunan Allah subhanahu wata’la. Sebab manusia diciptakan ke muka
bumi dalam keadaan fitrah dan suci. Allah subhanahu wata’ala berfirman
(QS. Ar-rum: 30) yang artinya:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidakmengetahui.

Adapun akidah yang benar dalam diri seorang Muslim tolak ukurnya
yaitu percaya kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, hari kiamat (hari akhir), qadha, serta takdir baik maupun
buruk.
2. Keteladanan yang Baik
Al-Qur’an telah menyebutkan sifat-sifat dasar pribadi mukmin sesuai
yang Allah kehendaki, yaitu sangat jelas perilaku yang dicontohkan oleh
Rasulullah sallalahu ‘alaihi wasallam, sebab akhlak beliau adalah Al-
Qur’an, dan Allah azza wa jalla telah mendidiknya dengan sebaik-baiknya
pendidikan.
Imam Nasa’i menjelaskan berapa jati diri Muslim
a) Khusyuk dalam sholat.
b) Menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.
c) Seorang Muslim tidak hanya melakukan ibadah untuk dirinya sendiri
melainkan juga membantu sesama Muslim seperti zakat, infaq, ataupun
sedekah.
d) Iffah (menjaga kesucian diri) dengan membentengi keluarga dan
masyarakat dari perbuatan keji.

13
e) Al-Qur’an menekankan kehidupan manusia dengan memenuhi asas-
asas keamanan, ketentraman, kepercayaan terhadap orang lain dan
stabilitas, menjalankan amanat dan sebuah janji.
3. Ilmu Pengetahuan
Seorang Muslim memiliki keistimewaan apabila ia berilmu, sebab ilmu
itulah yang akan menunjukkan jalan kebenaran dan kebaikan serta
menyinari jalan-jalan kehidupan seorang Muslim. Ia juga akan mendapat
keistimewaan dibandingkan Muslim lainnya yang tidak berilmu.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (QS. Al-Mujadillah: 11) yang
artinya:

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-


lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ilmu akan memberikan dampak positif dalam pembinaan jiwa manusia


dengan menguatkan dan mengukuhkannya. Ilmu juga mempunyai
pengaruh terhadap hati manusia sebab ia mampu mengusir rasa was-was
dan keburukan, serta dapat menaungi pemiliknya dengan ketenangan dna
kewibawaan.
4. Ibadah
Asas lainnya dalam pembentukan jatidiri seorang Muslim adalah
Ibadah. Sebab ibadah merupakan pilar penyangga Islam dan pelaksanaan
akidah. Ibadah juga menbantu peranan dalam mengembangkan perilaku
yang baik dan akhlak yang mulia. Ibadah yang termuat dalam rukun Islam
yakni syahadat, Shalat, puasa, zakat, dan Haji bagi yang mampu. Di sisi
lain ibadah juga terdapat ibadah ghairu mahdhah yang artinya aktifitas
diluar rukun Islam tadi juga merupakan ibadah, misalnya senyum kepada
sesama, niat bekerja yang ikhlas, melakukan hal-hal baik, dan sebagainya.
5. Bekerja
Bekerja merupakan salah satu asas penting guna membentuk jatidiri
seorang Muslim. Seorang Muslim yang bekerja dalam bidang apapun itu,

14
mempunya urgensi dan posisi dalam kehidupan, asalkan pekerjaan yang ia
lakukan halal dan baik. Setiap orang yang bekerja memiliki peranan
penting untuk kehidupan kedepan. Hal ini dikarenakan setiap pekerjaan
memiliki karakteristiknya masing-masing, dan setiap orang yang bekerja
memiliki keistimewaaanya senidiri dalam pekerjaannya. Islam juga
mengajarkan untuk menjadi orang yang kuat dan jangan menjadi orang
yang lemah. Karena apabila kita kuat maka kita bisa membantu orang lain.
6. Jihad
Seorang Muslim layaknya memiliki sifat pemberani dan tidak
mengenal sikap pengecut dalam benaknya. Ia harus menyadari bahwa
keberanian tidak akan mengurangi umurnya dan sikap pengecutnya juga
tidak akan menambahkan usianya. Ia harus siap membela agama, jiwa,
tanah air, dan harta. Sesungguhnya jati diri seorang Muslim selalu
memancarkan iman dalam pelbagai aspek kehidupannya karena kebenaran
tidak akan hilang dari dalam dirinya, yakin dengan langkah yang dipilih,
juga tidak pelit untuk mengorbankan jiwa dan hartanya di jalan Allah.
3. Film
a. Film sebagai Media Massa
Film dapat diartikan sebagai gambar-hidup, biasa juga disebut movie.
Selain itu terdapat istilah lain seperti ‘sinema’. Film merupakan bentuk
seni, sebuah hiburan, serta bisnis. Film dihasilkan dengan melakukan
rekaman terhadap orang ataupun benda (entah itu fantasi atau hanya
sebagas figuran) dengan kamera, dan/ atau oleh animasi. Pendapat lain
juga mengutarakan bahwa film adalah suatu media massa yang begitu
amat penting untuk mengkomunikasikan suatu fakta yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, salah satunya menceritakan fakta (realitas) yang ada
di masyarakat.
Sebagai bagian dari komunikassi massa, film merupakan media yang
memiliki karakteristiknya sendiri. Film menampilkan pesan-pesan yang
dibungkus dalam cerita fiksi dan untuk menyaksikan atau menonton film,
seorang penonton harus membayarnya. Film juga memperkenalkan aktor-
aktor atau aktris-aktris yang akan bermain (adegan) sesuai dengan arahan
sutradara. Meskipun dalam film hiburan lebih dominan, namun terdapat
pesan yang bermanfaat ataupun berupa pesan yang tersembunyi dari film

15
yang disaksikan. Film saat ini merupakan media yang banyak digunakan
oleh masyarakat di seluruh dunia. Akses film sendiri bisa dilakukan
dengan menonton langsung di bisokop, ataupun melalui media internet
(streaming). Sebagai negara yang besar, Amerika Serikat dan Kanada
menghasilkan lebih dari satu juta tiket terjual setiap tahunnya (Agee dalam
Abdul, 2013: 9).
b. Genre film
Genre sendiri berasal dari bahasa Perancis yang memiliki arti “bentuk”
atau “tipe”. Kata genre ini menngacu pada istilah biologi, genus. Sebuah
pengelompokan flora dan fauna yang tingkatannya berada di atas spesies
dan di bawah family. Ini pun berlaku dalam film, film dapat dimaknai
sebagai jenis atau pengelempokkan dari beberapa (sekelompok) film yang
memiliki karakter atau pola sama (khas), seperti setting, isi, tema, struktur
peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta tokoh (Himawan, 2017:
39-40). Dalam fungsinya genre bagi penoton untuk memudahkan
klasifikasi dalam film, membantu penonton memilih film berdasarkan
spesifikasinya. Sedangkan bagi industri perfilaman, film digunakan untuk
mengetahui film dengan genre apa yang sedang tren.
Beberapa genre besar dan cukup berpengaruh dalam industri perfilman
Hollywood yang telah dijadikan titik perkembangan genre pada masa ini.
Perkembangan setiap massa beberapa genre memiliki masa keemasaanya.
Pada masa ini genre-genre yang cukup diminati seperti genre aksi, fantasi,
superhero, dan bencana yang menguasai dibeberapa box-office. Adapun
beberapa genre yang cukup popular ialah sebagai berikut: (menurut
Himawan 2017: 43-50).
1. Aksi
Genre ini menunjukkan aksi fisik yang seru, menegangkan,
berbahaya, nonstop, dan dengan tempo yang cepat. Penokohan tokoh
protagonis dan antagonisnya jelas. Umumnya, tokoh protagonis
merupakan seorang penegak hukum, seperti polisi, tentara, detektif,
agen pemerintahan, dan digambarkan juga mahir dalam menggunakan
senjata serta penggunaan tangan kosong untuk perlawanan terhadap
musuh. Pengisian tokoh umumnya menggunakan karakter laki-laki
sebagai tokoh utama.

16
2. Bencana
Film bencana berhubungan dengan tragedi, atau musibah, baik
skala besar maupun kecil yang dapat membahayakan nyawa manusia.
Dalam klasifikasinya film dengan genre bencana ini dibagi menjadi
dua, pertama bencana alamiah (angin topan, banjir, tsunami, virus, dan
sebagainya. Kedua, bencana buatan (penyebaran vaksin berbahaya,
kebocoran nuklir, malafungsi komputer, dan sebagainya).
3. Biografi
Genre yang menceritakan bagaimana kisah nyata atau kisah hidup
seseorang yang memiliki pengaruh di masa lalu ataupun masa
sekarang. Suka duka selama perjalanan masa hidupnya, atau
terlibatnya tokoh tersebut terhadap peristiwa penting.
4. Fantasi
Film fantasi ini erat kaitannya dengan tempat, peristiwa, serta
karakter yang tidak nyata. Film ini juga berhubungan dengan unsur-
unsur magic, mitos, imajinasi, dongeng, halusinasi, naga, penyihir, dan
sebagainya. Film ini umumnya mengharuskan bujet yang besar
denganpenggunan efek visual Computer Generated Imagery (CGI).
5. Fiksi Ilmiah
Film yang menggambarkan masa depan, perjalanan keluar angkasa,
perjalanan waktu. Film ini biasanya berhubungan dengan teknologi
yang jauh lebih maju dari teknologi pada masa ini, karakternya
berbentuk non-manusia atau artifisial seperti robot, monster, alien,
makhluk purba, dan sebagainya. Sama dengan film fantasi film ini juga
memerlukan biaya yang besar.
Selain ragam genre di atas, beberapa genre yang tidak kalah popular
seperti genre komedi, horor, romansa, musikal, olahraga, perang, dan
sebagainya. Pada masa sekarang genre-genre tersebut tidak lagi berdiri
sendiri. Berbagai genre telah mengalami pencampuran (mix). Bisa saja
dalam sebuah film terdapat tiga, hingga lima genre yang dapat mendukung
jalannya plot dalam sebuah film.
c. Pendukung Visualisasi dalam Film
Sebuah film yang dianggap baik tentu membutuhkan berbagai sarana
pendukung. Berbagai alat, teknologi, dan tentunya sumber daya manusia

17
yang perlu dipersiapkan demi menciptakan karya audio visual yang layak
untuk ditonton oleh khalayak luas. Tentu banyak hal-hal yang mendukung
berlangsungnya sebuah film, akan tetapi akan dijelaskan beberapa aspek
yang memiliki keterkaitan dengan konsep penelitian film dari perspektif
semiotik. Arif (2019: 39-41) menjelaskan dalam bukunya sebagai berikut:
1. Shot atau Angel
Shot merupakan teknik atau teknis dalam pengambilan gambar
ataupun video oleh kamera. Beberapa orang menyebutnya “shoot”,
namun secara umum yang sering dipakai ialah kata “shot”. Teknik ini
membutuhkan keterampilan dari sutradara dan kameramen untuk
membangun cerita yang menarik. sutradara dan kameramen perlu
memiliki komunikasi yang baik agar dalam sebuah proses shoting
mengurangi pengulangan adegan dalam sebuah film.
2. Lighting
Lighting atau dikenal juga dengan istilah “pencahayaan” juga
merupakan aspek penting dalam pembuatan film. Tanpa adanya
pencahayaan yang baik, kemungkinan besar pembuatan film sulit
untuk dilanjutkan. Terlebih pada latar atau setting yang bertemakan
malam hari. Di sisi lain pencahayaan juga membantu (memperjelas)
jalannya cerita. Pun pada siang hari pun begitu, ini ditujukan agar
dapat membentuk keseimbangan gambar dalam proses syuting.
3. Make up
Make up atau tata rias merupakan aspek penting dalam visualisasi
dalam film. Tata rias sendiri dalam film menunjukkan sebuah karakter
dalam film. Misalnya saja pada film horor, seorang tata rias perlu
membuat sosok karakter tersebut yang mugkin bisa saja harus
manakutkan, ataupun ril seperti nyata. Seorang tata rias juga mengikuti
keinginan atau alur yang telah ditentukan oleh sutradara yang menjadi
penentu keberhasilan sebuah film.
4. Wardobe
Wardobe atau pakaian yang dikenakan, peranan wardobe sendiri
hampir sama dengan tata rias. Dalam sebuah film tentu pakaian dan
segala aksesoris yang dikenakan tokoh yang dapat memunculkan
kakterisasi. Misalnya dalam film pertarungan sumo, maka perlu

18
menyiapkan pakaian dengan tema tersebut, dari gaya rambutnya, atau
bada pesumo tersebut, dan sebagainya. Wardobe tentu berfungsi
sebagai identitas sang tokoh.
5. Back Sound
Backsound atau musik pengiring juga merupakan aspek yang tidak
boleh dilupakan dalam film. Tanpa adanya musik pengiring maka
sebuah film akan menjadi hambar rasanya. Namun dibeberapa film
juga ada yang tidak menggunakan unsur ini, seperti film bisu. Pada
saat ini hampir disemua genre film menggunakan backsound dalam
pembuatannya.
4. Semiotika
a. Pengertian Semiotika Secara Umum
Kata “semiotika” sendiri berasal dari bahasa Yunani. Semeion yang
memiliki arti “tanda” (Sudjiman dan Van Zoest, 1996: vii) atau seme, yang
berarti “penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1994: 4). Semiotika ini juga
berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan
poetika (Kurniawan, 2001: 49) Sobur (2016:17). “tanda” pada waktu itu
masih merujuk sesuatu hal yang lain. Misalnya, asap menandai adanya api.
Sebelumnya, kata semiotika ini berdampingan dengan kata semiologi
(semiology). Namun tidak ada masalah dalam pemaknaan dua kata
tersebut. Disini penulis hanya ingin menggambarkan bahwa istilah
semiologi dipakai oleh orang-orang Eropa. Sedangkan kata “semiotika”
cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris (Amerika Serikat).
Lebih jelasnnya isitilah semiologi mengacu pada tradisi eropa yang di
bawa oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Sedangkan istilah
semiotika mengikuti tradisi yang ada di Amerika Serikat yang dibawa oleh
Charles Sanders Pierce (1839-1914).
Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa isitilah
semiotik dimunculkan pada akhir abad ke-19, seorang filsut beraliran
pragmatik Amerika, Charles Sanders Pierce, merujuk kepada “doktrin
formal tentang tanda-tanda”. Alex Sobur (2016) mengungkapkan dalam
bukunya Semiotika Komunikasi mengungkapkan bahwa, yang menjadi
dasar dari semiotika adalah konsep tentan tanda: tak hanya bahasa dan
sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu

19
sendiri pun─sejauh terkait dengan pikiran manusia─seluruhnya terdiri atas
tanda-tanda karena, jika, tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin
hubungannya dengan realitas. Selanjutnya bahasa merupakan sistem tanda
yang paling dasar dalam kehidupan manusia. Sedangkan tanda-tanda
nonverbal seperti kedipan mata, warna pakaian yang dipakai, atau
sebagainya, dapat ditujukan sebagai sejenis bahasa yang melengkapi
bahasa verbal.
b. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes, ialah seorang yang lahir pada tahun 1915 di Cherboug,
Prancis. Pemikirannya mengenai semiologi merupakan pengembangan
dari semiologi Saussure. Dimana ia menjadikan kajian struktur bahasa
sebagai titik fokus, kemudian dihubungkan dengan hal-hal lain di luar
bahasa yang dijadikan sebagai objek penerapan (Mudjiono dalam Fauzy,
Skripsi, 2011: 125-128).
Pada teori Semiotika Barthes ini terdapat enam unsur yakni pertama,
Signifier (penanda); kedua, Signified (petanda); ketiga, Denotative sign
(tanda denotatif); keempat, Connotative signifier (penanda konotatif);
kelima connotative signified (petanda konotatif); dan terakhir connotative
sign (tanda konotatif).
Pada dasarnya, terdapat perbedaan makna denotasi dan konotasi dalam
pendapat Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti
sebagai makna harfiah, atau “makna sesungguhnya”, bahkan kadang kala
juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi secara
tradisional ini mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai
dengan apa yang diucapkan. Namun, menurut Barthes dan pengikutnya,
denotasi merupakan sistem signifikasi pertama, sedangkan sistem
signifikasi kedua adalah makna konotasi. Dalam hal ini makna denotasi
lebih dicondongkan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian,
sensor atau represi politis. Barthes sendiri menolak adanya denotasi, ia
menyatakan yang ada hanyalah konotasi semata. Penolakan ini cukup
ekstrim, namun memberikan koreksi dalam kepercayaan bahwa makna
“harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Sobur, 2016: 70).
Dalam kerangka Barthes, konotasi erat kaitannya dengan operasi
ideologi, yang ia sebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk

20
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai yang
berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman dalam Sobur, 1999: 22).
Alex Sobur (2016) melanjutkan dalam bukunya Analisis Semiotika ini
bahwa mitos ini juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan
tanda namun menjadi sebuah sistem yang unik, mitos disini telah dibangun
dari suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata
lain, mitos merupakan suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Pada mitos
ini petanda dapat memeiliki beberapa penanda.
Apa kaitan atara ideologi dengan mitos menurut Barthes? Menurut
Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena, hubungan antara
ideologi dengan mitos pada petanda konotatif sama-sama terjadi secara
termotivasi. Ia juga mengutarakan bahwa ideologi sebagai kesadaran palsu
yang membuat seseorang hidup di dalam dunia khalayalan (imajiner) dan
ideal (sesuai keinginan), meski dalam realitasnya tidaklah seperti itu.
Kebudayaan mewujudkan dirinya dalam teks-teks dan, dengan demikian,
ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang menembus
masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti
tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Sobur, 2016: 71).

G. Metode penelian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian
kualitatif, dengan menggunakan pendekatan analisis teks. Hal ini dilakukan
karena penelitian ini berkaitan dengan isi laporan dari sebuah film yang
dianalisis menggunakan analisis semiotika. Selanjutnya, untuk langkah-
langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan
metode analisis deskriptif. Pendekatan ini berusaha menjelaskan realitas
menggunakan penjelasan deskriptif dalam bentuk kalimat.
2. Operasional Konsep
Penelitian ini menggunakan empat konsep dengan kesimpulan yang
bersumber dari kerangka teori yaitu:
a. Identitas Muslim

21
Konsep yang digunakan dalam penentuan identitas Muslim ini
penulis menggunakan konsep pemikiran Tariq Ramadan terdiri dari
empat unsur, dapat penulis sebutkan sebagai berikut:
1) Iman dan spiritualitas
2) Memahami kitab suci antara teks dan konteks
3) Berpendidikan
4) Berpartisipasi aktif dalam masyrakat
b. Asas Jatidiri Seorang Muslim
Konsep di atas diperkuat lagi oleh Ahmad Umar Hayim yang
menjelaskan bagaimana jatidiri seorang Muslim, dapat penulis
sebutkan sebagai berikut:
1) Akidah yang benar
2) Keteladanan yang baik
3) Ilmu pengetahuan
4) Ibadah
5) Bekerja
6) Jihad
c. Semiotika
Jadi dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis semiotika
Roland Barthes. Dimana analisis Barthes merupakan pengembangan
dari teori Saussure sebelumnya, namun teori Saussure hanya sampai
pada tahap penanda (denotasi), sedangkan Barthes menambahkan
tahap kedua yaitu petanda (konotasi). Penanda hanya menafsirkan
sesuatu dari tanda yang ditunjukkan, sedangkan petanda menafsirkan
dari sudut yang lebih luas.
d. Film
Film merupakan media komunikasi massa yang bisa
mempertunjukan berbagai pesan kepada khalayak ramai. Selain itu
film juga bisa dijadikan sebagai media untuk hiburan, juga dapat
mempengaruhi pola pikir masyarakat.
3. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah Film Ali. Di dalam film ini akan
diamati identitas Muslim yang digambarkan dalam gersture, ekspresi wajah,
penampilan, perilaku, ucapan, make up, dan suara (Fiske dalam Prasetya,

22
2019: 52) yang akan dilanjutkan dengan proses penandaan semiotika makna
denotasi, konotasi, serta mitos dalam teori Roland Barthes yang termuat dalam
sebuah film.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data mengenai identitas Muslim dalam film Ali, dalam
penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data yang berupa data
primer dan sekunder:
a. Data Primer
Dilakukan dengan cara menonton film Ali ini melalui situs film
yang ada di website atau mengunduh film tersebut sebagai bahan
penelitian. Juga akan diteruskan dengan mencermati lebih dalam
mengenai scene-scene yang terdapat pada Film Ali. Dalam scene-
scene ini juga akan penulis uraikan yang akan penulis amati dalam film
Ali ini, sebagai berikut:
1) Simbol seorang Muslim atau Muslimah
a) Tata cara beribadah
b) Pakaian yang dikenakan
c) Tata cara bersosialisasi sesama muslim dan Non-Muslim
2) Konflik yang terjadi antar tokoh
a) Konflik pemeran utama dengan lingkungan sekitar
b) Konflik pemeran utama dengan keluarganya
c) Konflik dengan sesama umat Muslim
3) Setting yang terdiri dari
a) Latar
b) Tempat
c) Suasana
b. Data Sekunder
Data sekunder dapat dilakukan dengan cara mencari data-data
seperti buku, jurnal, situs berita online ataupun yang lainnya.
Dokumentasi juga bisa dijadikan sebagai data pendukung untuk
memperkuat data.
5. Analisis Data
Dalam penilitian ini analisis yang digunakan oleh peneliti yakni analisis
semiotika dari teori Roland Barthes. Data yang di analisis diambil dari film

23
Ali. Setelah mendapatkan data tersebut kemudian peneliti mengalisis
bagaimana bagaimana Tanda, Penanda dan Petanda. Selain itu dari data
(primer atau sekunder) tersebut peneliti mendapatkan kesimpulan bagaimana
identias Muslim yang digambarkan dalam film Ali.
Penelitian ini menggunakan model analisis semiotika Roland Barthes yang
mengembangkan teori dari Saussure. Analisis Barthes mengembangkan
menjadi dua tataran makna yaitu; pertama Denotatif dan kedua Konotatif.
Signifikasi pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di
dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya denotasi,
yaitu makna paling nyata dari tanda. Signifikasi kedua yaitu konotasi.
Konotasi menggambarkan objek, dan bermakna subjektif juga intersubjektif,
sehingga kehadirannya tidak disadari. Pada signifikasi tahap kedua yang
berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Mitos merupakan
produksi kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominansi, sedang dalam
dunia modern mitos dikenal dengan bentuk feminisme, maskulinitas, ilmu
pengetahuan dan kesuksesan. Dapat dijelaskan pada tabel di bawah:

Gambar 1.2 Konsep Semiotika Roland Barthes

Pada peta Roland Barthes diatas menunjukkan bahwa tanda denotatif (3)
terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan,
tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Tanda konotatif dalam
konsep ini tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2016:
69). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: yang kalau jika

24
kita mengenal tanda ”bunga mawar”, barulah konotasi seperti romansa,
penghiatanan, dan penggambaran seorang perempuan pun menjadi mungkin.
6. Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas diperlukan untuk memperoleh data yang akurat. Kredibilitas
dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan membangun realitas yang
beragam secara tepat dan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya (Ismail,
2015: 100).

Daftar Pustaka
Buku
Al-Qur’an Terjemahan Indonesia.
Barthes, Roland. 1968. Elements of Semiology. Adriansyah, M. 2017. Yogyakarta:
Basabasi.
Elvinaro, Ardianto, dkk. 2017. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar Edisi Revisi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Halik, Abdul. 2013. Komunikasi Massa. Makassar: Alauddin University Pers.
Hasyim, Ahmad Umar. 2016. Identitas dan Jatidiri Muslim. Bekasi: Akademika
Pressindo.
Ismail, Nawari. 2015. Metode Penelitian untuk Studi Islam. Yogyakarta: Samudera
Biru.
Prasetya, Arif Budi. 2019. Analisis Semiotika Film dan Komunikasi. Malang:
Intrans Publishing.
Pratista, Himawan. 2017. Memahami Film Edisi 2. Bandung: Montase Press.
Sobur, Alex. 2016. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosadakarya.

Jurnal dan Skripsi


Aprinta, Gita E.B. 2011. Kajian Media Massa: Representasi Girl Power Wanita
Modern dalam Media Online. The Messengger, Vol. 2, No. 2, hal. 12-27.
Cahya, Bulan Sakti dan Muchammad Yulianto. 2018. Penggunaan Media Sosial
Instagram dalam Pembentukan Identitas Remaja. Jurnal Interaksi Online,
Vol. 6, No. 4, Hal. 490-501.
Erlangga, Azif Fatahillah. 2018. Representasi Identitas Anak Muda Islam dalam
Film Cinta Subuh 2 (Analisis Semiotik John Fiske). Skripsi, Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel: Surabaya.

25
Hidayanto, Nurul. 2017. Pesan Kepemimpinan Umar bin Khattab. Skripsi,
Universitas Negeri Sunan Kalijaga: Yogyakarta.
Hidayatullah, Rahmat. 2014. Punk Muslim: Ekspresi Identitas Keagamaan
Subkultur Muslim Urban. Kawalu: Journal of Local Culture, Vol. 1, No. 2,
Hal. 145-164.
Indriani, Sri Seti, dan Ditha Prasanti. 2017. Makna Gambar 3 Biri-biri dan Kotak
pada ‘The Little Prince’. ProTVF, Vol. 01, No. 01, Hal. 77-88.
Jalaluddin, dan Nabila Puti Syafira. 2019. Represntasi Citra Positif Islam dalam
Film Kingdom of Heaven. Medina-Te: Jurnal Studi Islam, Vol. 15, No. 1, Hal.
58-74.
Madrah Muna, dan Made Dwi Anjani. 2014. Identitas Diri Remaja melalui Status
Sosial Facebook. Jurnal Ilmiah Komunikasi Makna, Vol. 4, No. 2, Hal. 181-
198.
Mudjiono Yoyon. 2011. Kajian Semiotika dalam Film. Jurnal Ilmu Komunikasi,
Vol. 1, No. 1, Hal. 125-138.
Mulyana, Aditya, dkk. 2019. Reperesentasi Kekerasan dalam Film “The Raid:
redemption”. Jurnal Apik, Vol. 1, No. 2, Hal. 61-69.
Makmun, Moh. 2019. Melacak Pemikiran Hukum Tariq Ramadan. Madinah: Jurnal
Studi Islam, Vol. 6, No. 1, Hal. 16-28.
Nurjuman, Husnan, dkk. 2018. Konstruksi Islam sebagai Simbol Identitas melalui
Representasi Perempuan Muslim pada Novel Religi. Ilmu Dakwah: Academic
Journal for Homiletic Studies. Vol. 12, No. 1, Hal. 61-81.
Riwu, Asnat dan Tri Pujiati. 2018. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film 3
Dara (Kajian Semiotika). Deiksis, Vol. 10, No. 03, Hal. 212-223.
Rehayati, Rina. 2011. Minoritas Muslim: Belajar dari Kasus Minoritas Muslim di
Filipina. Jurnal Ushuluhuddin, Vol. XVII, No. 2, Hal. 225-242.
Rosabella, Tiffany T. 2018. Representasi Islamophobia dalam Film London Has
Fallen. Jurnal E-Komunikasi, Vol. 6, No. 1, Hal. 1-9.
Sahputra, Dedi. 2019. Nasionalisme dan Identitas Muslim (Telaah Aksiologi
Pendidikan Islam). Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 07, No. 01, Hal.
157-174.
Tenri, Siti Nadila T.A.F.S, dkk. 2018. Pengungkapan Identitas Diri melalui melalui
Media Sosial: Studi Mengenai Etnografi Virtual melalui Vlog. Jurnal
Komunikasi Kareba, Vol. 7, No. 1, Hal. 83-92.

26
Situs Website
BBC News. (25 September 2001). Infinite Justice, out – enduring freedom, in.
Diambil dari BBC: http://news.bbc.co.uk./2/hi/americas/1563722.stm.
Dakta News. (27 Juli 2018). Seorang Muslim Harus Miliki Identitas Berbeda.
Diambil dari dakta.com: https://www.dakta.com/news/15715/ust-farid-
seorang-muslim-harus-miliki-identitas-pembeda.
Fimela News. (07 Juli 2016). 6 Film Hollywood yang Tampilkan Citra Positif
Islam. Diambil dari fimela.com: https://www.fimela.com/news-
entertainment/read/2544805/6-film-hollywood-yang-tampilkan-citra-positif-
islam.
https://www.imdb.com/title/tt0248667/
kbbi.web.id

27

Anda mungkin juga menyukai