Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Film merupakan salah satu produk industri budaya massa yang melekat di

masyarakat. Hal tersebut dijelaskan oleh Rosnan (2010, h. 325) salah satunya karena

film merupakan produk yang dapat meningkatkan ekonomi negara. Lall (2004, h. 73)

mengatakan bahwa beberapa negara dengan gencar mengangkat aktor dan aktrisnya

sehingga mereka dapat menjadi aktor yang mendunia untuk menarik perhatian dunia,

seperti: Argentina, Meksiko, dan Brazil. Selain itu, film juga berperan dalam

mengembangkan perekonomian suatu kota bahkan negara melalui penggambaran

suatu wilayah yang berdampak pada minat asing untuk berwisata, seperti Disneyland

yang diciptakan setelah kemunculan film-film yang diproduksi Disney (Durmaz,

2008, h. 1).

Peneliti mengasumsikan adanya indikasi bahwa beberapa negara

memanfaatkan film dengan tujuan profit. Namun dari sekian banyak negara, Amerika

Serikat (AS) merupakan salah satu negara yang paling populer dalam dunia

perfilman. Melalui 'Hollywood'nya, AS mampu menguasai pasar perfilman seluruh

dunia sejak tahun 1988 (Klein, 2004 dalam Silver, 2007, h. 1). Perusahaan film besar

seperti Universal, Paramount, Walt Disney, dan FOX merupakan perusahaan yang

berasal dari AS yang dan AS-pun banyak menghasilkan film yang diminati oleh para

1
audiens. Film itu sendiri memiliki pengaruh bagi audiensnya. Menurut Godall (2007,

h. xiii) diungkapkan bahwa film berfungsi untuk membentuk cara masyarakat melihat

keadaan sekitar melalui representasi dalam film. Sobur (2006, h. 127) juga

menjelaskan bahwa pada dasarnya representasi membentuk cara pandang masyarakat

sesuai dengan apa yang ditampilkan dalam sebuah film (Sobur, 2006, h. 127),

misalnya seperti film Avengers (2012). Film ini menceritakan tentang sekumpulan

super hero di AS yang berusaha untuk melawan pasukan alien yang ingin menguasai

bumi. Dari film ini peneliti mengasumsikan bahwa film tersebut membentuk

pandangan audiens mengenai kehebatan negara AS dalam menyelamatkan dunia.

Selain itu, film memiliki keunggulan tersendiri yang oleh Davie (2011, h. 1)

dijelaskan bahwa film berada dalam lingkup yang luas karena memiliki dua bentuk,

yaitu sebagai karya seni dan juga sebagai media komunikasi massa yang memiliki

kekuatan untuk memotivasi dan menggerakkan audiens secara emosional. Salah satu

hal yang membuat film dapat mengerakkan audiens secara emosional adalah

heroisme si tokoh.

Heroisme merupakan sebuah tindakan untuk menolong orang lain, walaupun

memungkinkan munculnya resiko bagi penolong (Becker dan Eagly, 2004, h. 163).

Terdapat dua jenis heroisme dalam film, yaitu individual heroism dan colective

heroism. Wei (2012, h. 1458) menjelaskan bahwa individual heroism merupakan

tindakan berkorban yang dilakukan seseorang, sedangkan colective heroism

merupakan tindakan berkorban yang dilakukan oleh sekumpulan orang. Hal ini bisa

dilihat dalam film I am Legend (2007) karya Francis Lawrence yang menceritakan

2
tentang perjuangan seorang Robert Neville dalam menemukan antivirus untuk virus

carnivore zombie. Robert merupakan seorang ilmuwan medis militer yang memilih

untuk menetap seorang diri di suatu kota yang penduduknya sudah terinfeksi virus,

demi menemukan antivirus. Tidak hanya itu, ia juga berusaha mencari orang-orang

yang kemungkinan masih berada di kota tersebut dan belum terinfeksi. Pada akhirnya

ia harus mati, namun ia berhasil menemukan antivirus. Contoh dari colective

heroism dapat kita lihat dalam film Armageddon (1998) yang menceritakan tentang

perjuangan NASA dalam menghancurkan asteroid yang akan menabrak dan

menghancurkan bumi. Dalam film ini, orang-orang dari NASA harus terbang ke luar

angkasa untuk mendarat di asteroid tersebut untuk menanamkan bom yang berfungsi

untuk menghancurkannya demi menyelamatkan dunia. Melalui contoh di atas,

peneliti mengasumsikan bahwa heroisme dalam film tidak terpaku dengan tokoh

super hero, seperti batman, spiderman, superman, ataupun tokoh dari DC dan Marvel

lainnya.

Film AS sangat dekat dengan konsep heroisme, terlebih lagi pada individual

heroism. Hal ini disebutkan oleh Wei (2012, h. 1458) bahwa konsep individual

heroism merupakan salah satu konsep yang mencerminkan value of America, yaitu

nilai “I” yang berarti aku dan bukan kami atau kita. AS memiliki sikap individual

yang tinggi dan AS juga memiliki pandangan bahwa mereka memiliki kelebihan atau

derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya. Sehingga, untuk mendukung

sikap individu tersebut, Wei (2012, h. 1460) menyebutkan bahwa AS

menunjukkannya melalui beberapa film seperti Rambo, Comando, Shooter, dan

3
lainnya yang mana tokoh utama memiliki sifat pantang menyerah, pemberani, cinta

damai, menjunjung tinggi keadilan, bijaksana, kuat, dan memiliki hati yang kuat.

Penggambaran heroisme dalam suatu film memang menjadi daya tarik

tersendiri bagi audiens. Davie (2011, h. 1) menjelaskan hal tersebut melalui

pernyataan bahwa film-film yang menceritakan tentang hero dibuat seinspiratif

mungkin agar bisa menjadi inspirasi bagi audiens. Oleh karena itu, tidak dipungkiri

bahwa film-film Hollywood banyak diminati oleh audiens karena salah satu

penyebabnya adalah tokoh yang inspiratif. Namun, ketika Hollywood

menggambarkan dua tokoh atau lebih, ada kecenderungan penggambarannya terkesan

‘tidak adil’ terhadap tokoh yang bukan berlatar belakang white american. Salah satu

contohnya adalah orang Jepang yang ditampilkan dalam film Hollywood. Yumiko

(1999, h. 54) mengatakan bahwa penggambaran Jepang dalam film Holywood pada

tahun 90an hanya terpaut pada tiga hal yaitu geisha, samurai, dan Gunung Fuji.

Dalam beberapa film Hollywood yang menceritakan tentang Jepang, di sanalah figur

geisha menjadi representasi perempuan Jepang. Film The Teahouse of the August

Moon (1956), The Barbarian and the Geisha (1958), Cry for Happy (1961), dan My

Geisha (1962) merupakan terpaan secara beruntun mengenai gambaran perempuan

Jepang (Yumiko, 1999, h. 55). Tidak hanya penggambaran perempuan saja, dalam

film Guadalcanal Diary (1943), laki-laki Jepang digambar sebagai orang yang bengis

dan juga primitif. Dower (dalam Yumiko, 1999, h. 59) mengatakan bahwa AS dalam

menampilkan gambaran laki-laki Jepang sangatlah jelas. Hal tersebut ditunjukkan

melalui salah satu dialog antar tentara Amerika : "Hey Tony, three monkeys in a

4
rope." "Pretty small, eh?" "Yeah. Ugly, aren't they?" "Don't smell so good, either."

"Hey, smell white, where's the rest of the seven dwarvers?". Dari dialog tersebut,

Yumiko menyimpulkan bahwa film tersebut membuat audiens untuk memiliki sikap

anti Jepang yang ditimbulkan dari hasil representasi dalam film mengenai orang

Jepang. Fenomena-fenomena tersebut dipicu setelah berakhirnya perang dunia ke-2

yang sempat melibatkan Jepang dengan sekutu AS dan berakhir dengan bom atom di

Hiroshima dan Nagasaki. Selain itu, Yumiko (1999, h. 59) mengatakan bahwa hal ini

berdampak negatif pada aktor Jepang yang tinggal di AS. Aktor Jepang yang menetap

di AS menjadi tidak terpakai dan jika pun mereka mendapat peran, maka peran

tersebut adalah peran sebagai orang Jepang yang jahat. Sedangkan tokoh Jepang yang

baik akan diperankan oleh orang AS itu sendiri dengan mengandalkan make updan

operasi pelastik. Hal ini menunjukkan film-film hollywood dapat merepresentasikan

pihak apapun termasuk dirinya sendiri sesuai kemauan mereka dan berdampak bagi

pihak yang direpresentasi.

Peneliti memiliki kesimpulan bahwa meskipun film AS banyak diminati

audiens, tidak jarang kritik-kritik terhadap film AS muncul dalam bentukdiskriminatif

dalam merepresentasikan suatu pihak. Salah satu film yang mendapat kritik tersebut

adalah berita

Film The Ridiculous 6 diproduksi oleh Happy Madison Production (HMP).

Film ini merupakan film bergenre komedi yang diperankan oleh tokoh-tokoh populer

seperti Adam Sandler serta Taylor Lautner. HMP merupakan perusahaan dibidang

perfilman dan pertelevisian yang dibentuk oleh aktor Adam Sandler. Dilihat dari hasil

5
film-film yang selama ini dikeluarkan oleh HMP, genre komedi merupakan ciri khas

dari HMP dalam membuat film. Beberapa film yang pernah diproduksioleh HMP

antara lain, Click (2006), Growm Ups (2010), Grown Ups 2 (2013), Pixel (2015), dan

lain-lain.

Penggambaran native american dalam film The Ridiculous 6 bukan yang

pertama kalinya dalam sejarah. Beberapa film hingga media lainnya seperti komik,

kartun, dan televisi juga pernah merepresentasikan native american. Salah satu kartun

yang merepresentasikan native american yaitu pada film produksi Disney,

Pocahontas (1995). Native american digambarkan bahwa mereka adalah suku yang

tertutup, tidak mau menerima kehadiran pendatang sehingga tindakan menangkap

pendatang dan mengikatnya di tengah api unggun untuk menerima hukuman mati pun

dianggap sebagai bentuk ketidakterbukan mereka terhadap bangsa lain. Padahal,

menurut Chavers (2009, h. 23) native american adalah suku yang paling terbuka dan

paling ramah terhadap pendatang berdasarkan pengalamannya sendiri berobservasi

dalam pembuatan sebuah buku.

Contoh lainnya melalui tv series yang berjudul The Lone Ranger (1995)

misalnya, tokoh bernama Tonto direpresentasikan dengan berbagai macam stereotip

native american. Tonto yang diperankan oleh Jay Silverheels adalah salah satu

kareakter utama dalam acara tersebut. Wilson (2003) mengatakan :"His role as a

Native American reflected the established Indian stereotype, including the pinto pony,

broken English dialogue, fringed buckskin attire, and secondary status relative to the

white hero.". Di dalam perannya, Tonto dan Ranger yang diperankan oleh Clayton

6
Moore memang berusaha mengalahkan penjahat, membela kebenaran, dan

memperjuangkan kebebasan. Namun dalam hal ini, banyak makna tersirat yang

mengandung unsur stereotip native american seperti yang disebutkan oleh Wilson.

Pada pembaharuan film itu pun, yakni The Lone Ranger (2013), rasisme terhadap

native american masih tetap ada meskipun film ini memiliki genre komedi. Tonto

yang diperankan oleh Johnny Depp memerankan stereotip native american yang

'pemalas', pendiam tidak banyak bicara, namun biadab (Bailey, 2013). Dari contoh-

contoh di atas, peneliti melihat bahwa penggambaran native american dalam media

film dan televisi cenderung ‘negatif’. Hal tersebut dilihat dari perilaku, sikap, dan

peran yang ditunjukkan melalui tokoh native american dalam beberapa contoh film

pada penjelasan sebelumnya.

Bergeser ke media lainnya, native american juga direpresentasikan dengan

stereotip dalam komik Tintin. Komik Tintin sempat ditarik kembali edisi pertamanya

karena dinilai terlalu rasis. Komik tersebut menggambarkan native american adalah

seorang yang pemalas dan menjadi pengemis. Thanh Ha (2015) menyebutkan bahwa

komik Tintin dinilai sangat rasis bahkan beberapa komik harus ditarik lagi karena

terlalu rasis bahkan tidak hanya terhadap orang native american saja, melainkan

Afrika, China, dan lain-lain. Seperti contohnya pada gambar di bawah ini :

7
Gambar 1 : Perubahan komik Tintin dari tahun 1930 ke tahun 1946

(http://lespageslettres.pagesperso-orange.fr/tintin-c.htm)

Pada gambar di kiri, adalah edisi pertama di tahun 1930, menggambarkan

stereoipbahwa native american adalah orang yang pemalas (mengemis). sedangkan di

kanan, adalah edisi remake pada tahun 1946 dengan menghilangkan stereotipbahwa

native american adalah pemalas dan juga mengganti gambar salah satu native

americanyang sedang mengemis menjadi tidak sedang mengemis. Pada gambar

sebelah kanan, Tintin hanya menunjukkan pada Snowy bahwa inilah orang Indian

asli.

Melalui penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan pembahasan

terhadap film tersebut. Peneliti ingin melihat penggambaran native american dalam

film The Ridiculous 6. Pemberitaan yang disebutkan oleh peneliti pada halaman

sebelumnya mengenai film The Ridiculous 6 yang dinilai rasis tersebut lebih melihat

kepada nama-nama native american itu sendiri, peneliti melihat masih banyak hal

lain juga yang perlu dilihat dari native american dalam film tersebut, misalnya seperti

8
perilaku mereka. Pemberitaan tersebut juga cenderung langsung menyasar pada satu

hal saja yang tampak negatif, tanpa melihat hal yang ‘terkesan’ tampak positif.

Terlebih lagi, film ini merupakan produk Amerika Serikat (Hollywood) yang tak

lepas dari nilai-nilai heroisme. Maka dari itu, peneliti memiliki ketertarikan untuk

membahas heroisme native american dalam film The Ridiculous 6. Heroisme dari

native american menjadi sasaran utama dalam penelitian ini supaya representasi

native american dapat dilihat dari konteks lain terutama pada tindakan mereka yang

‘terkesan’ baik.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah representasi heroisme native american dalam film The

Ridiculous 6?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk melihat representasi heroisme native american

pada film The Ridiculous 6.

D. Manfaat Penelitian

 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya referensi penelitian dalam

ranah komunikasi khususnya perihal representasi dalam media.


 Manfaat Praktis

9
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan mengenai native

american yang sering dimunculkan dalam media, sehingga penelitian

semacam ini memiliki manfaat untuk memberikan pandangan objektif

mengenai native american.

E. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori untuk menganalisis

film The Ridiculous 6, yaitu representasi dan heroisme. Representasi merupakan teori

milik Stuart Hall yang berfungsi untuk menghubungkan makna, bahasa, maupun

budaya. Bahasa itu sendiripun dapat digunakan untuk menerjemahkan konsep

menjadi kata-kata, suara, atau gambar sehingga isi yang disampaikan melalui film

tersebut dapat merepresentasikan makna dan mengkomunikasikannya pada orang

lain. Maka, teori ini bertujuan untuk memahami makna yang ada dalam teks film The

Ridiculous 6.

Terkait mengenai penggambaran tokoh dalam film, terdapat konsep yang

tidak bisa lepas dari film Hollywood yaitu heroisme. Peneliti ingin melihat bentuk-

bentuk heorisme yang dimunculkan melalui native american berdasarkan

penokohannya. Penokohan dalam penelitian ini digunakan untuk melihat perwatakan

tokoh-tokoh native america sebagai pertimbangan untuk melihat bentuk-bentuk

heroisme pada proses semiotik. Karena pada proses semiotik, peneliti akan

melakukan interpretasi yang salah satu pertimbangannya dari penokohan tokoh-tokoh

native america. Herorisme dalam film bukan berarti membahas bagaimana suatu

10
tokoh dianggap sebagai pahlawan dan pantas dinggap sebagai idola. Terdapat kondisi

tertentu ketika suatu tokoh direpresentasikan secara heroisme namun hal tersebut

tidak terdapat di tokoh lainnya. Peran dari tokoh yang bernama White Knife sangat

mendominasi dalam film tersebut. Sehingga tokoh lainnya (tokoh tambahan) yang

dalam konteks ini adalah native american mendapatkan perhatian yang kurang dan

ditambah lagi dengan watak mereka yang ‘konyol’. Maka, konsep heroisme dipilih

untuk melihat tindakan native american dan bukan dari tampilan fisik. Konsep

penokohan dan heroisme juga dapat menjamah tokoh-tokoh dengan peran yang

sedikit (tokoh tambahan). Hal ini yang mungkin jarang dilihat oleh audiens. Selain

itu, teori ini juga akan menjadi dasar dalam melakukan pembahasan dari interpretan-

interpretan yang ditemukan melalui metode analisis semiotika Charles Sanders

Peirce. Berikut penjelasan secara detail mengenai teori dan konsep yang akan

digunakan :

 Representasi dalam film

Representasi adalah sebuah hal yang penting dalam studi tentang budaya,

dimana representasi digunakan untuk menghubungkan makna, bahasa, maupun

dengan budaya (Hall, 1997, h. 15). Terdapat tiga hal yang dilibatkan di dalam

sebuah proses representasi, yaitu penggunaan bahasa, tanda, dan gambar. Ia juga

menjelaskan mengenai dua makna dalam penggunaan kata representasi tersebut,

yakni (1997, h. 16):

11
a) Representasi bisa muncul saat mendeskripsikan atau menggambarkan suatu

hal, dimana saat itu juga ada pikiran yang muncul terkait deskripsi, gambaran,

atau imajinasi; untuk menempatkan kemiripan di dalam pikiran atau indera

kita. Pada bentuk pertama ini, Hall memberikan contoh seperti: jika kita

sedang melihat gambar 13 orang yang sedang berkumpul bersama dan gambar

itu biasanya ada di dalam gereja, interpretasi yang kemudian muncul bisa jadi

mengarah pada perjamuan terakhir Yesus bersama dengan 12 muridnya.


b) Representasi juga bisa berarti melambangkan, berdiri, menjadi sebuah model,

atau untuk menggantikan, seperti misalnya pada kalimat, “Dalam agama

Kristen, salib merepresentasikan penderitaan dan penyaliban Kristus”.

Representasi adalah konsep yang kompleks, karena pada dasarnya hal tersebut

terkait dengan isi dari pikiran kita yang berbeda-beda antara satu dengan

lainnya (Hall, 1997, h. 17). Benda yang sedang kita lihat seperti gelas atau

piring, jika sedang tidak dilihat berarti benda tersebut hanya ada dalam pikiran

kita. Gelas atau piring yang kita pikirkan kemudian, mengarah pada konsep

“gelas” dan “piring” yang kita ketahui. Di situlah sebuah representasi muncul.

Maka, Hall (1997, h. 18-19)mengatakan bahwa ada dua proses untuk

menjelaskan tentang sistem representasi tersebut, yakni:

a) Sistem

Pembentukan makna terjadi karena sistem konsep dan gambar yang terbentuk

di dalam pikiran kita. Hal tersebut digunakan untuk mewakili atau

merepresentasikan dunia dan merujuk pada hal-hal di dalam maupun di luar

12
pikiran seseorang. Pembentukan makna yang muncul di dalam pikiran kita

sudah diorganisir dari pengalaman-pengalaman tentang apa yang kita lihat,

walaupun itu menjadi hal yang abstrak. Selain pengorganisasian, juga ada

pengelompokan, pengaturan, dan pengklasifikasian objek, sertamembangun

hubungan yang kompleks. Tetapi, bagaimana pembentukan akan suatu makna

itu bisa muncul di dalam pikiran kita akan berbeda-beda, sehingga menjadi

sesuatu yang unik dari manusia. Sebuah interpretasi yang muncul untuk

melihat dunia, adalah sebuah hal yang kita konstruksi juga. Maka, budaya

terkadang dapat didefinisikan sebagai pendekatan dari “makna bersama atau

peta konseptual bersama”.

b) Bahasa
Bahasa adalah sistem representasi kedua yang dilibatkan dalam konstruksi

makna. Peta konseptual kita perlu diterjemahkan ke dalam bahasa untuk

membuat korelasi antara konsep dan ide dengan kata-kata tertentu yang

dituliskan, suara atau gambar yang membawa makna sebagai sebuah tanda.

Tanda diorganisasikan menjadi tanda dan eksistensi bahasa yang dapat

digunakan untuk menerjemahkan konsep menjadi kata-kata, suara atau

gambar, dan dengan menggunakan beberapa hal itu, pengoperasian bahasa

digunakan untuk mengekspresikan makna dan mengomunikasikan pikiran

kepada orang lain. Di dalam hal ini, fashion, musik, kata-kata, juga dapat

disebut sebagai bahasa. Inti proses pemaknaan budaya ini ada pada hubungan

antara kedua sistem representasi tersebut. Sistem representasi pertama, adalah

13
sebagai pemberian makna atas dunia dari konstruksi yang dibangun dari rantai

ekuivalensi antara benda dan sistem konsep. Sistem representasi kedua,

merujuk pada konstruksi seperangkat koresponden antara peta konseptual dan

seperangkat tanda, yang diatur dan diorganisasikan dalam berbagai bahasa

yang mewakili sebuah konsep. Relasi antara sesuatu, konsep, dan tanda

menjadi inti dari produksi makna dalam bahasa, dimana suatu proses yang

menghubungkan ketiganya itu disebut representasi (Hall, 1997, h. 19). Kedua

hal tersebut menjadi fokus di dalam penelitian ini dengan asumsi bahwa isi

yang ditampilkan di dalam film adalah suatu bentuk konstruksi. Representasi

pada film dokumenter ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari pemahaman

tentang penggunan teknik kamera. Sehingga peneliti juga akan menggunakan

definisi dari beberapa jenis sudut pandang kamera untuk membantu dalam

melihat representasi dalam film dokumenter. Menurut Marselli Sumarno

(1996, h. 25) ada tiga faktor yang menentukan sudut pandang kamera, yaitu

besar kecil subjek, sudut subjek, dan ketinggian kamera terhadap subjek,

seperti yang akan dijabarkan berikut:

a)Besar-kecil Subjek

1) Extreme Long Shot (ELS)

Shot yang diambil dari jarak yang sangat jauh. Mulai dari jarak 200 meter keatas.

Shot ini bertujuan memperlihatkan situasi geografis. Pengambilan gambar dengan

Extreme Long Shot digunakan ketika penonton diharapkan terkesan dengan luasnya

jangkauan sebuah keadaan atau kejadian.

14
2) Long Shot (LS)

Sama dengan Extreme Long Shot untuk menunjukkan letak geografisnya, hanya saja

shot ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara subjek-subjek dan latar

belakang.

3) Medium Shot (MS)

Pengambilan Medium Shot menggambarkan personal relationship pada obek,

menunjukkan interaksi antar karakter. Selain itu, Medium Shot membuat kamera

cukup dekat untuk merekam gesture dan ekspresi, dan sering digunakan pada film

dokumenter pada saat mewawancarai narasumber.

4) Close shot (CS)

Istilah bebas untuk menyebut jarak dekat pemotretan, yaitu lebih dekat dari Medium

Shot, tetapi belum sedekat Close Up.

5) Close up (CU)

Tembakan kamera pada jarak yang sangat dekat dan memperlihatkan hanya bagain

kecil subjek. Close up cenderung mengungkapkan pentingnya objek dan sering

memiliki arti simbolik, sehingga ekspresi dari objek akan terlihat.

6) Extreme close up (ECU)

Sebuah close up yang sangat besar, untuk mengungkapkan detail reaksi amnesia,

sehingga ekspresi akan menjadi fokusnya dan lebih terlihat ketimbang Close Up.

b) Ketinggian Kamera Terhadap Subjek

Kamera bisa merekam subjek dengan sudut pengambilan normal (eye level), sudut

pandang mendongak (low angle), dan sudut pandang dari atas (high angle).

15
Ketinggian pengambilan kamera ini membawa dampak dramatis dan psikologis

tertentu.

1) Sudut pandang normal (eye level)

Sudut pengambilan normal direkam dari level mata subjek, lebih bersifat

netral dan biasa. Objek terlihat lebih superior, dominan, dan menekan

2) Sudut pandang mendongak (low angle)

Sudut pandang dengan kamera menghadap ke atas. Sudut pandang ini akan

mengesankan kegagahan dan wibawa.

3) Sudut pandang high angle

Sudut pandang high angle akan memberikan efek sebaliknya dari low angle.

Akan tetapi dapat juga dipakai untuk alasan teknis yang lain. Objek akan

terlihat imperior dan tertekan.

c) Gerakan Kamera Komposisi

Menurut Askurifai Baskin (2006, h. 42), untuk menciptakan gambar yang dinamis

dan dramatis, kita perlu mengenal macam-macam gerakan kamera. Antara lain;

1) Zooming

Suatu pergerakan lensa kamera menuju (in) objek atau menjauh (out) dengan

posisi kamera diam ditempat. Sehingga menimbulkan efek membesar bila

mendekat (in) dan mengecil bila menjauh (out).

2) Tilting

Suatu gerakan kamera keatas (up) dan kebawah (down) tanpa memindahkan

posisi kamera. Gerakan ini penonton memiliki kesan penasaran yang

ditimbulkan dengan cara perlahan.

16
3) Paning

Gerakan kamera ke kanan (pan right) dan ke kiri (pan left) tanpa

memindahkan posisi kamera. Efek yang ditimbulkan sam dengan gerakan

tilting.

4) Follow

Gerakan kamera mengikuti objeknya. Sehingga gambar yang dihasilkan

lebih bervariasi.

 Penokohan

Konsep penokohan dalam tulisan ini bukan hanya membahas siapa

saja tokoh yang ada dalam film The Ridiculous 6, namun juga membahas

bagaimana peran mereka dan juga watak mereka khususnya tokoh native

american. Nurgiyantoro (2010, h. 166) membedakan istilah tokoh dengan

penokohan. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan

penokohan memiliki pengertian yang lebih luas daripada tokoh. Penokohan

mencakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan pelukisannya di

dalam cerita. Sehingga konsep ini digunakan untuk melihat tokoh native

american atas dasar tindakan dan latar belakangnya. Hal ini perlu dilakukan

karena peneliti ingin melihat tindakan dan keputusan tokoh yang terkait

dengan heroisme.

Untuk membedakan atau mengetahui terogolong tokoh jenis apakah

native american dalam film The Ridiculous 6, peneliti menggunakan

klasifikasi tokoh oleh Nurgiyantoro (2010, h. 165), yaitu :

17
a) Berdasarkan Segi Peranan:

1. Tokoh utama, Marquaß menyebutnya dengan Hauptfigur, adalah

tokoh yang diutamakan penceritaannya dan sangat menentukan

perkembangan alur secara keseluruhan.

2. Tokoh tambahan atau Nebenfigur, yaitu tokoh yang permunculannya

lebih sedikit dan kehadirannya jika hanya ada keterkaitannya dengan

tokoh utama secara langsung atau tidak langsung.

b) Berdasarkan Fungsi Penampilan Tokoh:

1. Tokoh protagonis (Protagonist), yaitu tokoh yang merupakan

perwujudan nilai-nilai ideal bagi pembaca.

2. Tokoh antagonis (Antagonist), adalah tokoh yang menjadi penyebab

terjadinya konflik.

c) Berdasarkan Perwatakannya:

1. Tokoh sederhana (typisiert), tokoh yang hanya memiliki satu sifat.

2.Tokoh bulat (komplex), tokoh yang memiliki beberapa macam sifat

atau kepribadian.

d) Berdasarkan Perkembangan Perwatakan:

1. Tokoh statis (statisch), adalah tokoh yang tidak mengalami

perubahan perwatakan.

2. Tokoh berkembang (dynamisch), adalah tokoh yang mengalami

perubahan perwatakan seiring dengan jalannya cerita.

18
e) Berdasarkan Pencerminan Tokoh:

1. Tokoh tipikal, tokoh yang berperan sebagai masyarakat golongan

atas.

2. Tokoh netral, tokoh yang menggambarkan masyarakat biasa yang

ada dalam kehidupan sehari-hari.

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa tokoh merupakan seseorang

atau pelaku yang ada di dalam sebuah cerita atau peristiwa.

Marquaß (1997, h. 36-37) menambahkan bahwa terdapat tiga aspek

untuk melihat penokohan dalam sebuah cerita yang dalam tulisan ini adalah

film The Ridiculous 6, yaitu :

1. Karakteristik tokoh

Terdapat empat ciri untuk melihat karakterisitk tokoh. (1) Ciri-

ciri lahiriah: umur, bentuk tubuh, dan pakaian. (2) Ciri-ciri sosial:

pekerjaan, pendidikan, kedudukan di masyarakat, dan hubungan antar

masyarakat. (3) Tingkah laku: kebiasaan, pola perilaku, dan cara

berbicara. (4) Pikiran dan perilaku: cara berpikir, pendirian atau sikap,

ketertarikan, keinginan, dan ketakutan.

2. Hubungan antar Tokoh

Tokoh-tokoh di dalam prosa memiliki bermacam-macam

hubungan dengan tokoh lain, misalnya melalui hubungan kekerabatan

dan hubungan dalam pekerjaan. Selain itu, tokoh juga memiliki

simpati dan antipati satu sama lain. Di dalam pemahaman tentang

19
konstelasi tokoh, ada beberapa pertanyaan yang menjadi acuan, yakni:

(1) Tokoh mana yang terhubung kekerabatan dan atas dasar persamaan

yang mana? (2) Apakah tokoh-tokoh itu terangkai di dalam sebuah

kelompok secara hierarki? (3) Tokoh yang mana atau kelompok yang

mana yang berdiri sebagai penentang? Kepentingan apa? (4) Apakah

kontelasinya stabil? Atau kekerabatan, pertentangan, dan jalinan

kekuasaan berubah? (Marquaß, 1997, h. 38). Ada beberapa konstelasi

yang sering muncul dalam cerita roman, contoh pertama, yakni

permusuhan: ada tiga contoh konstelasi permusuhan, yaitu tokoh

utama dan tokoh penentang, penghasut atau pengintrik dan korban,

dan penggemar dan saingan. Kedua, persekutuan: Ada dua contoh

konstelasi persekutuan, yaitu majikan dan pembantu dan orang yang

mencintai dan dicintai.

3. Konsepsi Tokoh

Tokoh diciptakan oleh pengarang menurut pola dasar tertentu

yang meliputi: 1) Statis atau dinamis. Pada bagian ini dijelaskan

mengenai karakteristik tokoh, apakah tokoh-tokoh itu memiliki watak

yang tetap atau berubah pada cerita. 2) Sederhana atau kompleks.

Tokoh dapat dikatakan sebagai tokoh sederhana apabila tokoh

memiliki sedikit karakteristik, sedangkan tokoh dengan banyak sifat

disebut sebagai tokoh kompleks. 3) Tertutup atau terbuka. Sementara

itu, pada bagian ini dijelaskan apakah tokoh memiliki watak yang

20
dapat dimengerti dengan jelas dan tegas atau tokoh dengan watak yang

membingungkan. (Marquaß, 1997, h. 39). Ketiga hal tersebut berperan

penting dalam konsepsi tokoh. Pembaca dituntut untuk lebih jeli.

Tokoh yang kompleks dan dinamis harus diperhatikan lebih intensif

daripada tokoh lainnya, apa yang membuat tokoh tersebut lebih

menarik.

 Heroisme

Heroisme merupakan sebuah konsep yang ada sejak tahun 1857 di

Inggris (Smith, 2008, h. 43). Hal tersebut ditandai dengan sebuah

penghargaan bernama Victoria Cross (VC) yang pertama kali dipersembahkan

oleh ratu Victoria. Penghargaan tersebut diberikan kepada tentara dari segala

golongan yang melakukan aksi pengorbanan diri di saat perang. Namun bukan

berarti seorang tentara dapat dilihat menggunakan konsep heroisme karena

pada dasarnya, heroisme mengarah pada sebuah tindakan, sedangkan hero

merupakan sebuah subjek atau tokoh. Jung (1968, dalam Bhisma 2013: 12)

Jung (1968 : 68) YAKIN? mengatakan bahwa hero diartikan sebagai

seseorang yang memiliki kekuatan super atau dewa. Sedangkan heroisme

didefinisikan sebagai keadaan seseorang untuk mau membantu lainnya

dengan mempertaruhkan nyawanya atau pengorbanan diri

Terdapat beberapa kriteria heroisme dari Hankins (1983, h. 269) untuk

melihat suatu tokoh melalui aksi heroiknya. Pertama, seseorang sedang berada

21
jauh dari masyarakat dan berada di luar wilayahnya. Hal ini bisa dilihat pada

film First Blood (1982) yang mana Rambo berperang melawan tentara

Vietnam. Kondisi Rambo dalam hal itu berada jauh dari mayarakat dan

wilayah yang dia kenal. Kedua, seseorang tidak berada dalam kondisi yang

makmur atau kaya. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan sikap mandiri dan

penuh perjuangan dari suatu tokoh. Rambo tidak pernah sekalipun

diperlihatkan memiliki banyak uang atau harta yang melimpah. Ia selalu

dalam kondisi yang berusaha hidup tanpa uang. Senjata yang ia miliki adalah

hasil dari musuh-musuh yang dikalahkan. Namun bukan berarti tokoh Batman

dan Ironman tidak masuk dalam kriteria ini meskipun kondisi kedua hero

tersebut berada dalam keluarga yang kaya raya dan makmur. Jika melihat

tujuan kriteria ini yaitu untuk membangun sikap mandiri dari si tokoh.

Kenyataannya, Ironman dan Batman merupakan tokoh yang mandiri karena

pada adegan tertentu, mereka ditampilkan dalam keadaan bangkrut atau tidak

bisa mengandalkan kekayaannya sama sekali. Namun mereka tetap survive

dan melakukan tugasnya sebagai super hero.

Ketiga, orientasi sex yang jelas dari si tokoh. Tokoh tidak digambarkan

sebagai seorang yang homoseksual melainkan memiliki ketertarikan kepada

lawan jenis. Biasanya digambarkan dengan seorang laki-laki yang tetap lajang

meski ia sudah bertemu dengan beberapa perempuan dan sempat terjalin suatu

hubungan. Seperti dalam film James Bond yang mana tokoh tersebut selalu

22
identik dengan bertemu perempuan dan melakukan hubungan bercinta tanpa

status.

Keempat, seseorang berada dalam masyarakat yang bukan merupakan

lingkungan aslinya. Pada tokoh super hero, superman merupakan contoh yang

berada dalam kondisi ini. Ia merupakan warga asli planet Krypton namun

bertarung untuk menjaga bumi seperti yang terjadi Picolo dan Songoku yang

bukan warga bumi. Terakhir, tokoh mengalami pertempuran antara pihak baik

melawan pihak jahat. Walaupun tokoh tersebut merupakan tokoh yang terlahir

jahat atau memiliki kekuatan jahat, namun di akhir cerita ia menggunakan

kekuatan tersebut untuk kebaikan.

Penjelasan kelima kriteria heroisme menurut Haskins menjadi salah

satu acuan yang akan digunakan peneliti untuk melihat bentuk-bentuk

heroisme dari native american dalam film The Ridiculous 6. Namun tentunya,

definisi heroisme dari Thomas juga menjadi kunci dari konsep heroisme yaitu

melakukan pengorbanan diri. Pengorbanan diri tidak selamanya seseorang

harus mati demi orang lain. Hal ini dilihat dari niat dan tindakan seseorang

untuk berkorban, walupun kemungkinannya ia akan gugur.

Konsep heroisme tidak semata-mata untuk menggambarkan kebaikan

seseorang melalui tindakan heroiknya. Namun hal ini juga dipengaruhi dari

latar belakang suatu tokoh dan konteks lingkungan yang dimunculkan

besertaan dengan konsep heroisme. Maka dalam penulisan ini, konsep

heroisme digunakan untuk melihat bentuk-bentuk heroisme native american

23
baik secara kolektif maupun individu. Karena tidak semata-mata tokoh utama

dapat diartikan secara langsung sebagai cerminan heorisme. Tidak semua hero

berarti melakukan tindakan yang terkait konsep heroisme.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Berdasarkan penjelasan mengenai apa yang akan dianalisis oleh peneliti

dan teori-teori apa yang akan digunakan, maka penelitian ini akan

menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Jenis penelitian deskripitf

bertujuan membuat deskripsi secara faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan

sifat-sifat populasi atau objek tertentu (Kriyantono, 2006, h. 69). Tentunya

ketika berbicara mengenai analisis teks, maka jenis penelitian kualitatif lebih

tepat dibandingkan dengan jenis penelitian kuantitatif. Hal ini dikarenakan

penelitian kualitatif lebih mementingkan kedalaman isi, sedangkan kuantitatif

lebih mementingkan kuantitas. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya

populasi, jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan

fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya

(Kriyantono, 2007, h. 58)

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah film yang diproduksi oleh Happy Madison

Production pada tahun 2015 yang berjudul The Ridiculous6. Film ini

dipilih lantaran membahas tentang native american dan sempat diberitakan

24
di beberapa media sosial bahwa film ini dikategorikan sebagai film yang

'rasis' sehingga menarik minat peneliti untuk melihat representasi native

american dalam film tersebut

3. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan studi dokumentasi pada fillm The Ridiculous 6

sebagai data primer. Selain itu, data sekunder didapat pada internet, buku,

maupun artikel dan bahan-bahan lain yang berkaitan dengan rerpresentasi

native american pada media guna membantu proses pengumpulan data

dalam penelitian analisis semiotika ini. Data yang ingin didapat berupa

shot yang menampilkan native american dan juga yang terkait dengan

native american. Misalnya, ketika ada perbicangan mengenai native

american oleh tokoh-tokoh lain maka shot tersebut akan dianalisis lantaran

berkaitan dengan penggambaran native american. Lalu pada shot 19, 31,

46, 58, dan 66 dalam film tersebut tidak akan dilakukan analisis lantaran

pada shot tersebut adalah cerita mengenai kelima tokoh dalam enam tokoh

utama. White Knife merupakan tokoh pertama, dan tokoh kedua hingga

keenam bukan native american dan tidak memiliki kaitan apapun.

Pada penelitian ini, peneliti tidak melakukan reduksi data terkait

dengan shotyang menampilkan native american. Semua shot tersebut akan

digunakan dalam analisis karena peneliti sudah menentukannya

berdasarkan teori dan konsep yang digunakan sebagai pisau analisis yaitu

penokohan dan heroisme. Native american merupakan sebuah kelompok,

25
namun dalam film ini juga muncul tokoh-tokoh secara ‘individu’. Tokoh-

tokoh tersebut ialah........

4. Metode Analisis

Teknik analisis yang akan digunakan adalah semiotika. Semiotika

dipilih karena kajian ini dinilai mampu memberi ruang bagi peneliti untuk

membongkar ‘pesan tersembunyi’ dalam film (Irawanto dalam Dwicahyo,

1999, h. vii). Langkah awal analisis adalah dengan membagi film berdasarkan

sekuen-sekuen. Di dalam film ini terdapat enam tokoh utama, namun peneliti

hanya melihat pada tokoh tambahan yaitu native american. Setiap penceritaan

native american akan digunakan sebagai bahan analisis sesuai urutan dari

awal hingga akhir film menggunakan teori-teori yang sudah dijelaskan

sebelumnya. Sedangkan metode analisis semiotika Charles S. Peirce

digunakan untuk menjelaskan bagaimana proses semiosis dalam struktur

triadic di dalam film The Ridiculous 6. Sehingga, semiotika Peirce dengan

konsep ikon, indeks dan simbolnya dapat memberikan penjelasan yang detail

dengan objek penelitian ini.

Analisis pada sekuen dilakukan dengan bantuan teori segitiga makna

triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign/

representamen), objek, dan interpretan. Representamen adalah bagian tanda

yang dapat dipersepsi indera yang merujuk pada suatu yang diwakili olehnya

yang disebut dengan objek. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat

representatif, yaitu tanda adalah “sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain”.

26
Kemudian interpretan adalah interpretasi yang lebih luas dari proses

penafsiran hubungan antara representamen dengan objek. Oleh karena itu,

bagi Peirce tanda tidak hanya representatif namun juga interpretatif. Di dalam

melihat proses interpretasi, Peirce membedakan tiga jenis tanda yang

mungkin ada. (1) Hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa

hubungan kemiripan; tanda itu disebut ikon. (2) Hubungan ini dapat timbul

karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu didebut indeks. (3) Akhirnya

hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara

konvensional; tanda itu adalah symbol (Sudjiman dan Zoest, 1992, h. 8-

9).Sedangkan acuan bagi tanda ini disebut objek. Objek merupakan konteks

sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk oleh tanda.

Interpretan atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang

menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna

yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh sebuah

tanda. Hal terpenting dalam proses signifikasi adalah bagaimana makna

muncul dari sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan dalam proses

berkomunikasi. Di dalam proses pemaknaannya, peneliti menggunakan data

dan informasi dari beberapa referensi seperti buku, artikel, maupun jurnal.

Melalui cara ini peneliti ingin menjaga agar hasil penelitian ini menjadi tidak

begitu subjektif.

Tujuan dari penggunaan metode Peirce untuk mengetahui tanda-tanda

yang direpresentasikan oleh film. Dengan metode triadiknya, Peirce dapat

27
melakukan identifikasi tanda sampai pada enam puluh enam jenis. Peneliti

membatasi struktur triadik tanda dalam representamen, objek, dan interpretan.

Maka, untuk dapat menganalisis struktur triadiknya, peneliti akan melakukan

beberapahal sebagai berikut:

a) Melihat beberapa tanda yang dominan di dalam setiap sekuen sehingga

kemudian dapat dikategorikan sebagai representamen.

b) Menghubungkan representamen dengan konteks social dengan tidak

menutup kemungkinan menggunakan referensi lain untuk

mendapatkan objek yang cenderung lebih relevan dengan realitanya.

c) Menghubungkan representamen dan objek untuk menafsirkan makna

yang ada dibalik tanda tersebut.

Selanjutnya, untuk melakukan analisis secara keseluruhan pada film

ini, peneliti akan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a) Membuat anatomi film untuk melihat keseluruhan data yang akan

digunakan sebagai dasar dari penelitian.

b) Membagi film berdasarkan beberapa sekuen. Hal ini dilakukan dengan

mengamati secara teliti kemudian mengidentifikasi sekuen-sekuen

yang berkaitan dengan topik penelitian yakni konsep penokohan dan

heroisme native american.

c) Melihat signifikansi terkait makna yang berkaitan dengan konsep

heroisme dibalik tanda-tanda yang muncul dalam setiap sekuen yang

telah dipilih.

28
d) Menentukan dan menganalisis struktur triadik yakni representamen,

objek, dan interpretan dari setiap sekuen yang sudah dipilih.

e) Hasil analisis tersebut akan menjadi dasar dalam analisis untuk

selanjutnya dikombinasikan dengan data sekunder yakni literatur yang

relevan dengan heroisme tokoh dalam film.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi menjadi empat bab dengan rincian isi sebagai

berikut:

1. Bab I adalah bagian pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara

akademis maupun praktis, kerangka teori, dan metodologi penelitian.

2. Bab II adalah deskripsi objek penelitian mengenai native americandan

film The Ridiculous 6.

3. Bab III adalah bagian pembahasan yang berisi temuan data dan

analisis yang dilakukan dengan menggunakan acuan yang ada.

4. Bab IV adalah bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

29
30
Daftar Pustaka

Adlin, Alfathri. 2010. Imaji Musik Teks. Jalasutra: Yogyakarta.

Barthes, Roland. 1972. Mythologies. The Noonday Press : New York.

Blank, Rebecca M. 2004. Measuring Racial Discrimination. The National Academies


Press : Washington DC.

Buckland, Warren. 2004. The Cognitive Semiotics of Film. Cambridge University Press:
Cambridge.

Chavers, Dean. 2009. Racism In Indian Country. New York : Peter Lang.

Fiske, John. 2007. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. Jalasutra: Yogyakarta.

Fiske, John. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi Edisi 3. Rajawali Pers: Jakarta.

Goodall, Mark, Jill Good, Will Godfrey. 2007. Crash Cinema: Representation in Film.
Cambridge Scholars Publishing: Newcastle.

Hawkes, Terence. 2004. Structuralism and Semiotics. Routledge: London.

Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representation and Signifying Practices.


Sage Publication: London.

Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi Disertai Contoh Prakts
Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi
Pemasaran. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.

Monaco, James. 2000. How to Read a Film The Worl of Movies, Media and Multimedia
Language, History, Theory. Oxford University Press: New York.

Sobur, Alex. 2004. Semiotik Komunikasi. Rosdakarya: Bandung.

Storey, John. 2009. Cultural Theory and Popular Culture an Introduction 4th Edition.
Pearson, Longman: London.

Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Kanal: Yogyakarta.

31
Theodorson, George A, Achilles G. Theodorson. 1979. A Modern Dictionary of
Sociology : Everyday Handbook Series. Barnes and Noble : New York.
Thwaites, Tony. Lloyd Davis. Warwick Mules. 2009. Introducing Cultural and Media
Studies. Jalasura: Yogyakarta.

Turner, Graeme. 1999. Film as Social Practice. Routledge: London dan New York.

White, John Kenneth, Sandra L. Hanson. 2011. The American Dreams in The 21st
Century. Temple University Press : United States.

Wilson, Clint. 2003. Racism, Sexism, and the Media : The Rise of Class
Communication in Multicultural America. Sage : London.
Curtiss, Richard, Delinda Hayley. 2001. Dr. Jack Shaheen Reel Bad Arabs : How
Hollywood Vilifies a People. The Washington Report On Middle East Affairs Volume
20 No. 5 Hal. 103
De Benoist, Alain. 1999. What is Racism?. Racism Journal Volume. 1999 No. 114
Hal. 11-48
Dwicahyo, Nicolaus Sulistyo. 2016. Representasi Fetisisme Komoditas Fans JKT48
dalam Film Dokumenter “Idolaku, Jiwa Ragaku”. Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. (Skripsi)

Margolis, Harriet. 1999. Stereotypical Strategies : Black Film Aesthetics, Spectator


Positioning, and Self-Directed Stereotypes in Hollywood Shuffle and I'm Gonna Git
You Sucka. Cinema Journal Volume 36 No. 3 Hal. 50
Menard, Valerie. 1997. Lucious Latina. Hispanic Volume 10 No. 5 Hal. 20
Nurgiyantoro, Burhan. 2010 (cetakan kedelapan). Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Silver, J.D. 2007. Hollywood's Dominance of The Movie Industry : How Did It Arise
and How Has It Been Maintained?. Queensland University of Technology Australia.
(Tesis)
Yumiko, Murakami. 1999. Hollywood's Slanted View. Japan Quarterly Volume 46 No.
3 Hal. 54
Webb, Franki. (2009). Under-representation of Native Americans in The Mainstream
Media. Diperoleh pada 3 Mei 2017, dari
http://www.nativeweb.org/papers/essays/franki_webb.html

32
Bailey, Jason. (2013). With or Without Johnny Depp as Tonto, The Lone Ranger Was
Too Racisct to Reboot. Diperoleh pada 3 Mei 2017, dari
http://flavorwire.com/401959/with-or-without-johnny-depp-as-tonto-the-lone-ranger-
was-too-racist-to-reboot
NSW Government. (2015). Racism. No Way. Diperoleh pada 4 Mei 2017, dari
http://www.racismnoway.com.au/about-racism/australian-legislation-international-
law/international-law-relating-to-racism-and-discrimination/
Than Ha, Tu. (2015). Is Tintin Racist? Uproar in Winnipeg Opens New Chapter in
Old Argument. Diperoleh pada 4 Mei 2017,
darihttp://www.theglobeandmail.com/arts/books-and-media/is-tintin-racist-uproar-in-
winnipeg-opens-new-chapter-in-old-argument/article23552666/
Wheller, Kim. (2015). Tintin Comic Temporarily Pulled From Winnipeg Chapters
Over Racist Complain. Diperoleh pada 4 Mei 2017, dari
http://www.cbc.ca/news/indigenous/tintin-comic-temporarily-pulled-from-winnipeg-
chapters-over-racism-complaint-1.2997320

33

Anda mungkin juga menyukai