Anda di halaman 1dari 24

Telaah jurnal : Ergonomik Partisipatif

Berjenjang Sebagai Bentuk Intervensi


Keperawatan
Komunitas Pada Kelompok Pekerja
Dengan Risiko Gangguan
Muskuloskeletal Di Pt X

Nama : siti mudrikah


NIM : 1812101010123
Tutorial : 4
Judul : Ergonomik Partisipatif Berjenjang Sebagai Bentuk Intervensi Keperawatan Komunitas
Pada Kelompok Pekerja Dengan Risiko Gangguan Muskuloskeletal Di Pt X
Penulis : Moch. Aspihan, Junaiti Sahar, Henny Permatasari
Nama program : intervensi ergonomic partisipatif pada kelompok pekerja dengan resiko gangguan
muskuloskeletal
Tujuan penelitian :

tujuan dari penelitian ini adalah yakni penulis bertujuan untuk menilai peningkatan dari perilaku kader melalui peningkatan nilai

rata-rata sebelum dan sesudah intervensi. Hal ini bisa fahami bahwa, tujuan intervensi membedakan cara dan hasil temuan yang

didapat.
(1) terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan kader dalam melaksanakan Ergonomik Partisipatif Berjenjang,
(2) didapatkannya peningkatan kemampuan kader dalam melakukan supervisi dan umpan balik selama menjalankan Ergonomik
Partisipatif Berjenjang,
(3) terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan pekerja dalam mencegah masalah
kesehatan gangguan muskuloskeletal,
(4) terjadinya peningkatan kelenturan otot dan fleksibilitas sendi pekerja setelah melakukan peregangan mandiri,
(5) terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dalam pencegahan penyakit akibat kerja, dan
(6) terjadinya peningkatan kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan muskuloskeletal.
Metode penelitian :
Teknis pelaksanaan Ergonomik Partisipatif yang

WHOA dikembangkan oleh penulis dilakukan secara berjenjang


dan bertahap. Berjenjang maksudnya adalah, penulis
bekerja sama dengan kader dalam penerapannya.

! Bertahap maksudnya adalah proses perubahan dilakukan


secara berurutan mulai dari: mengidentifikasi faktor risiko
ergonomi, meningkatkan pengetahuan pekerja melalui
pendidikan kesehatan secara langsung oleh penulis
bersama dengan kader (pre-post test), melatih ergonomi
pekerja sesuai dengan divisi masingmasing,melakukan
perubahan pada lingkungan kerja yang mungkin dilakukan,
terakhir evaluasi dan umpan balik.
Prosedur intervensi :

Responden :
Kader yang sudah dilatih sebanyak 22 orang sebelumnya, hanya bagian divisi produksi dan packaging saja yaitu berjumlah 4
orang masing-masing divisi 2 orang dari nilai pelatihan yang tinggi.
Hasil penelitian :
Pelaksanaan intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang menghasilkan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan kader. Pelaksanaan evaluasi terbagi menjadi 2 yakni pengukuran tingkat pengetahun dengan
menggunakan angket dan pengukuran tindakan ergonomik dengan menggunakan lembar check list. Sementara
untuk pengukuran sikap kader dinilai sekali selama pelaksanaan program. Pelaksanaan training pada kader
diikuti oleh 4 orang kader, 2 dari divisi produksi dan 2 orang kader dari divisi packaging. Hasil intervensi
menunjukkan Pengetahuan kader meningkat dari rata-rata 60 (SD: 8,16 ; 2 SD = 76,32); menjadi 85,0. Sikap
kader dalam melaksanakan Ergonomik Partisipatif Berjenjang termasuk dalam kategori sedang yaitu dengan
skor rata-rata 72,5. (rendah: 20 – 46; sedang: 47-73; tinggi 74-100). Hasil training menunjukkan peningkatan
tindakan praktik ergonomik kader yang diukur dengan membandingkan antara sebelum dan sesudah training
yakni naik dari rata-rata dari 55 (SD=5,77; minimal meningkat 66,54) menjadi rata-rata 77,50.
Terjadinya peningkatan kelenturan otot dan
fleksibilitas sendi pekerja setelah melakukan
peregangamandiri.
Hasil menunjukkan terjadinya peningkatan respon tubuh
THE
berupa kelenturan otot dan flesibiltas sendi darata-rata
64,5, SD=9,29, 2SD= 83,689 menjadi rata-rata 85, 92.
Pengukuran II dilakukan tanggal 28 Mei 2013diikuti oleh
SLIDE
14 pekerja yang sama pada pengukuran I. Hasil
didapatkan perbedaan rata-rata respon tubuhterhadap
kelenturan otot dan fleksibilitas sendi dari rata-rata 61,
TITLE
92; SD=8,20; 2SD= 78,34 menjadi 87,07Pengukuran
pertama dan kedua menunjukkan peningkatan rata-rata
respon pekerja terhadap kelenturaotot dan fleksibilitas
GOES
sendi lebih dari 2 SD setelah melakuan stretching.
HERE
Terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dengan masalah kesehatan fatigue
pada Bp M. melalui intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang.
Penulis mengelola 5 keluarga pekerja PT X salah satunya adalah pada Bp M. Asuhan keperawatan keluarga
yang diberikan oleh penulis pada keluarga Bp.M menunjukkan peningkatan perilaku keluarga dalam upaya
pencegahan terhadap gangguan muskuloskeletal. Hal ini ditunjukkan dari ungkapan keluarga yang mampu
mengidentifikasi penyebab kelelahan (fatigue) pada Bp M. Kelelahan yang dialami oleh Bp M, yang bukan
saja karena masalah aktivitas yang terlalu berat, perilaku kerja tidak ergonomik, juga disebabkan faktor dari
ketidakadekuatan dukungan keluarga untuk memfasilitasi istirahat Bp M serta disebabkan faktor stres
psikologis yang dialami oleh Bp M.

Peningkatan sikap keluarga dalam upaya mencegah gangguan muskuloskeletal teidentifikasi melalui
kunjungan tidak terencana. Sikap keluarga mau memperbaiki situasi lingkungan rumah saat Bp M istirahat
melalui pengaturan bermain pada anak. Ungkapan keluarga untuk secara aktif melakukan aktivitas fisik.
Peningkatan tindakan keluarga dalam upaya pencegahan gangguan muskuloskeletal ditunjukkan dengan
kemampuan keluarga menerapkan prinsip ergonomik dalam aktivitas kerja di rumah dan melakukan
aktivitas streching secara aktif terutama Bp M minimal 2 kali sehari. Keluarga mampu melakukan upaya
relaksasi progresif untuk menurunkan kelelahan, serta mampu mengatur jadual istirahat dengan teratur.
Kekurangan :
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penerapan intervensi yang telah dilakukan oleh penulis yakni:
(1)teknik sampling yang digunakan adalah non probability,
(2) variabel Intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang yang dilakukan penulis hanya mencakup 2 komponen ergonomik, yakni
elemen biomekanik dan psikologi kerja,
(4) indikator pencapaian program intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang terbatas pada perubahan perilaku peserta program.

Terdapat beberapa hambatan dalam penerapan intervensi ini yakni :

(1) dukungan dari pihak perusahaan belum optimal dalam penerapan intervensi ergonomi, keterbatasan waktu dan kesempatan

untuk kontak

langsung dengan pekerja dan kader kesehatan di perusahaan

(3) kebijakan dari pihak manajemen pada penulis untuk kontak secara langsung dengan pekerja,

(4) terbatasnya waktu dengan pekerja di rumah dalam rangka pembinaan keperawatan keluarga terkait dengan jadual shift kerja.
Kelebihan :
Penerapan intervensi ini merupakan bagian dari pelayanan kesehatan kerja di yang tidak terbatas pada
perusahaan yang bergerak di sektor manufacturing saja, melainkan dapat juga diadopsi oleh institusi kerja baik
formal maupun informal dan berbagai jenis perusahaan misalnya: instansi pemerintah, produksi obat atau
makanan, operator komputer, pekerja kesehatan, nelayan, akademisi, transportasi, konstruksi, pertambangan.
Implikasi :
Intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang yang dikembangkan oleh penulis berlandasakan
strategi pemberdayaan memuat bentuk intervensi-intervensi yang mendukung yakni pendidikan
kesehatan, konseling kesehatan, terapi modalitias keperawatan (proactive stretching) dan
proses kelompok.
ntervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang ini terbukti dapat meningkatkan perilaku kesehatan
pada kader kesehatan kerja, pekerja dan keluarga pekerja pada domain pengetahuan dan
tindakan dalam mencegah gangguan muskuloskeletal. Hal ini berdampak positif pada
penurunan tingkat risiko gangguan muskuloskeletal pada level populasi pekerja di perusahaan,
peningkatan derajat kesehatan pekerja dan peningkatan kemandirian keluarga pekerja dalam
bidang kesehatan. Dampak jangka panjang dari intervensi ini bila dibudayakan tentu saja
adalah peningkatan produktivitas kerja.
THANK YOU
Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

Ergonomik Partisipatif Berjenjang Sebagai Bentuk Intervensi Keperawatan


Komunitas Pada Kelompok Pekerja Dengan Risiko Gangguan
Muskuloskeletal Di Pt X
The Levelling Participatory Ergonomic as community health nursing intervention
for worker population with risk of musculoskeletal disorder.

Moch. Aspihan1, Junaiti Sahar2, Henny Permatasari3


1
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung
2
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Abstrak
Pendahuluan: Pekerja merupakan kelompok berisiko mengalami masalah kesehatan yakni gangguan muskuloskeletal.
Perawat Spesialis Komunitas mempunyai peran untuk mencegah terjadinya masalah tersebut. Studi ini membahas
penerapan intervensi inovatif Ergonomik Partisipatif Berjenjang pada kelompok pekerja di PT X. Hasil intervensi
menunjukkan peningkatan pengetahuan kader kesehatan kerja dari rata-rata 60 (SD: 8,16) menjadi 85,0; peningkatan
keterampilan ergonomik dari 55 (SD=5,77) menjadi 77,50; peningkatan kemampuan supervisi dan umpan balik dari
rata-rata 52 (kurang) menjadi 67,5 (cukup). Terjadi peningkatan pengetahuan pekerja dari rata- rata 67,9 (SD = 8,73)
menjadi 87,7; sikap pekerja dalam kategori sedang, peningkatan keterampilan ergonomik pekerja dari rata-rata 49,3
(SD = 8,28) menjadi 71,4; peningkatan kelenturan otot dan fleksibilitas sendi pekerja dari rata-rata 64,5 (SD=9,29)
menjadi 85, 92. Terjadi peningkatan perilaku keluarga pekerja (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) dalam mencegah
gangguan muskuloskeletal. Intervensi ini disarankan menjadi program pengembangan upaya kesehatan bagi pihak
dinas kesehatan, puskesmas dan perusahaan.
Kata Kunci: Keperawatan komunitas, Ergonomik, Gangguan muskuloskeletal, Kader, Pekerja, Keluarga pekerja.

Abstract
Population of workers are at risk of musculoskeletal health problems. Community nurses specialist have a role to
prevent such problems. This study discusses the application of innovative interventions Levelling Participatory
Ergonomics in the group of workers at PT X. Intervention results showed an increase in knowledge of occupational
health workers from an average of 60 (SD: 8.16) to 85.0; improved ergonomics skills of 55 (SD = 5.77) to 77.50, an
increase ability of supervision and feedback from an average 52 (less off attitude) to 67.5 (enough attitude). An
increase in knowledge of workers from en average 67.9 (SD = 8.73) to 87.7; attitudes of workers in the medium
category, improved ergonomics skills of workers on average 49.3 (SD = 8.28) to 71, 4; increased muscle and joint
flexibility of worker from the average 64.5 (SD = 9.29) to 85, 92. An increase in workers' family behavior (knowledge,
attitude and skills) in preventing musculoskeletal disorders. This intervention is recommended to program
development efforts for the company's health, public health and health services.

Key words : Community Nursing, Levelling Participatory Ergonomic, Musculoskeletal disorders, Voluntary health
workers, worker, worker’s family.

Corresponding Author :
Moch. Aspihan, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas islam Sultan Agung Semarang
aspihan@unissula.ac.id

PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja, terdapat dampak postitif terhadap laju pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Namun pekerja juga mempunyai risiko negatif penyakit akibat kerja dan kecelakaan
kerja. Secara global, Organisasi Buruh Dunia (International Labour Organization – ILO, 2013) menyebutkan
bahwa, setiap 15 detik terdapat seorang pekerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja dan setiap
15 detik terdapat 160 orang pekerja yang mengalami sakit akibat kecelakaan. Setiap hari terdapat 6.300
orang meninggal dunia sebagai akibat dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja serta terhitung lebih

UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 ) 161


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

dari 2,3 juta kematian per tahun. ILO menambahkan bahwa terdapat sebanyak 317 juta kecelakaan terjadi
setiap tahunnya, akibatnya banyak diantaranya yang kehilangan pekerjaan.

Kecenderungan naiknya angka kejadian penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja perlu mendapatkan
perhatian serius dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Hal ini dikarenakan dampak negatif yang
bukan hanya bagi pekerja dan keluarga khususnya, juga berdampak bagi negara pada umumnya
sebagaimana dinyatakan oleh United States Departement of Health and Human Service/USDHHS, (1995
dalam Stanhope dan Lancaster, 2009) bahwa penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja menjadi isu yang
penting karena kedua masalah tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup pekerja secara individual,
keluarga dan komunitas.

Upaya mengatasi masalah kesehatan pada pekerja, secara umum telah tertuang dalam perencanaan global
kesehatan kerja 2008-2017, WHO (2007) bahwa upaya promosi kesehatan dan pencegahan pada penyakit
tidak menular harus dilaksanakan di tempat kerja. Upaya tersebut ditujukan pada dukungan pemberian diet
dan aktivitas fisik pada pekerja, promosi kesehatan mental dan kesehatan keluarga di tempat kerja. Namun
upaya ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Upaya yang dilaksanakan lebih menekankan pada aspek kuratif
dengan menyediakan klinik perusahaan untuk berobat.

Kesehatan bagi pekerja adalah hak pekerja yang harus dipenuhi. Amanat Undang-Undang No 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan pada Pasal 86 disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak
untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja. Hal ini dipertegas lagi melalui
terbitnya Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa pengelola
tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya peningkatan, pencegahan,
pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.

Upaya kesehatan tersebut perlu memperhatikan faktor risiko terkait masalah kesehatan yang terjadi.
Menurut National Institute for Occupational Health and Safety (NIOHS, 2006) menyatakan bahwa penyakit
dan kecelakaan kerja yang dialami oleh pekerja disebabkan oleh lima faktor risiko di tempat kerja. Kelima
faktor risiko bahaya terhadap kesehatan tersebut adalah: (1) faktor kimia, seperti cairan, gas, partikel,
debu, uap dan serbuk kimia; (2) faktor fisika seperti gelombang elektromagnetik, radiasi ion, kebisingan,
getaran, panas, dan dingin; (3) faktor biologi, seperti serangga, bakteri patogen, jamur; (4) faktor
lingkungan kerja (ergonomi) seperti gerakan monoton, kelelahan, ketegangan otot/boredom; (5) faktor
psikologi yaitu, stress, hubungan yang kurang harmonis antar pekerja atau hubungan yang kurang harmonis
antara staf dengan atasan. Masalah kesehatan pekerja yang lazim ditemui akibat terpapar faktor risiko
tersebut salah satunya adalah gangguan muskuloskeletal.

Gangguan muskuloskeletal pada pekerja berdampak buruk pada individu pekerja, perusahaan dan negara.
Daniel, (2006) menemukan bahwa, gangguan tersebut berdampak pada individu berupa kelainan sistem
muskuloskeletal yang merupakan penyebab utama dari nyeri menahun dan kelainan fisik. Komponen
sistem muskuloskeletal bisa mengalami robekan, cedera maupun peradangan. Dampak bagi perusahaan
akibat gangguan muskuloskeletal pada pekerja adalah menurunnya produktivitas kerja. Menurut European
Agency for Safety and Health at Work (2007) gangguan muskuloskeletal akibat kerja menjadi penyebab
utama absensi pekerja di seluruh negara bagian Eropa dan menghabiskan sekitar 40% dari total kompensasi
bagi pekerja. Selain itu, gangguan muskuloskeletal terkait kerja pada pekerja juga menjadi penyebab
penurunan 1,6 % GDP (Gross Domestic product), menurunkan profit perusahaan dan menambah anggaran
sosial bagi pemerintah. Namun fakta ini di Indonesia belum ditemukan publikasi sejenis.

Berbagai intervensi melalui pendekatan ergonomik telah dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan
gangguan muskuloskeletal pada pekerja. Oakley (2008) menyebutkan bahwa, upaya intervensi ergonomik
simpel difokuskan pada faktor risiko lingkungan kerja (ergonomik) tanpa melibatkan pekerja dalam proses
perencanaan. Pendekatan lainnya yang lebih kompleks adalah melalui multidisiplin (Guzman et al, 2001).
Pendekatan multidisiplin sering didasarkan pada model biopsikososial. Intervensi tersebut terdiri dari

162 UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 )


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

latihan fisik (bio), pengubahan perilaku (psiko) dan intervensi tempat kerja (sosial). Hal ini sejalan dengan
Cole, Eerd, Bigelow dan Rivilis, (2006) bahwa intervensi intervensi ergonomik disarankan untuk mencapai
kedua level preventif primer dan sekunder.

Bentuk pendekatan ergonomik yang dapat menampung upaya pencegahan primer dan sekunder adalah
ergonomik partisipatif. Ergonomik partisipatif merupakan sebuah pendekatan integratif yaitu dengan
melibatkan pekerja dalam proses intervensi. Hignett, Wilson dan Morris (2005) menjelaskan bahwa selama
prsoes intervensi ergonomik partisipatif, pekerja diberi kesempatan dan kekuatan untuk menggunakan
pengetahuan mereka untuk mengatasi masalah ergonomik yang berkaitan dengan aktivitas kerja mereka
sendiri. Program intervensi tersebut menggunakan konsep pemberdayaan.

Studi intervensi pada kelompok pekerja untuk menurunkan risiko gangguan muskuloskeletal dengan
menggunakan pendekatan ergonomik partisipatif adalah Rosado (2006). Semua responden yang berjumlah
30 pekerja menunjukkan peningkatan pengetahuan tentang pencegahan cedera terkait kerja setelah
mereka terpapar dengan pembelajaran tentang safety yang dikombinasikan dengan latihan perilaku
ergonomik proaktif. Studi lainnya yang dilakukan oleh Nelson (2008) tentang dampak penerapan training
ergonomik partisipatif terhadap pengetahuan, persepsi kemampuan fisik dan pemberdayaan pada asisten
perawat selama 8 minggu. Hasil studi tersebut menunjukkan pengetahuan asisten perawat terkait dengan
hambatan dalam penggunaan alat bantu pemindahan pasien diatasi dengan meminta bantuan teman
sejawat, perasaan pemberdayaan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara sebelum dan
sesudah intervensi.

Studi intervensi ergonomik simpel oleh perawat komunitas dalam bentuk lain yakni dengan penerapan
model promosi kesehatan Tannahill’s pernah dilakukan oleh Permatasari (2007) di perusahaan kimia,
Depok. Intervensi yang diterapkan adalah penyuluhan langsung kepada pekerja, pelatihan tentang
ergonomik, konseling ergonomik dan pemutaran film tentang ergonomik. Hasil menunjukkan peningkatan
tindakan kerja terkait risiko ergonomik, terlaksananya pelatihan ergonomik yang diikuti oleh divisi Safety,
Health and Environment (6 orang perawat dan 1 dokter). Sikap pekerja diukur dengan proporsi
keikusertaan pekerja mengikuti pemutaran film tentang ergonomi sebanyak 60%.

Pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas lanjut pada aggregate pekerja menurut prinsip dasarnya
adalah memandang kelompok tersebut sebagai mitra yang sepadan, berfokus pada pemilihan intervensi
yang sesuai, bersifat kolaboratif untuk meningkatkan dan mempertahankan derajat kesehatan (ANA, 2007
dalam McFarlane, 2011). Hal ini terdapat konsekuensi penerapan prinsip manajemen dalam pengelolaan
program intervensi yang direncanakan agar tujuan tercapai optimal. Di samping itu, seorang perawat
komunitas perlu memperhatikan peran dan fungsi perawat sesuai dengan setting pelayanan asuhan dalam
hal ini adalah keperawatan kesehatan kerja.

Berdasarkan paparan tersebut, yakni mengenai fakta, gangguan muskuloskeletal terjadi karena multifaktor,
kelompok pekerja merupakan populasi at risk, keperawatan komunitas memprioritaskan intervensi pada
level pencegahan primer (dengan tidak meninggalkan pencegahan sekunder dan tersier), berfokus pada
pemilihan intervensi yang sesuai dan bersifat kolaboratif, maka penulis menggunakan pendekatan
integratif. Pendekatan integratif dimaksud adalah mengintegrasaikan beberapa teori yakni Community As
Partner (McFarlane, 2011), Ergonomik Partisipatif (Keyserling & Armstrong, 1999 dalam Rogers, 2003;
Hignett, Wilson & Morris, 2005); manajemen pelayanan (Gillies, 1999; Marquis & Huston, 2011) dan Family
Centre Nursing (FCN dari Friedman, Bowden dan Jones, 2010) dan bentuk intervensi Ergonomik Partisipatif
Berjenjang.

Ergonomik Partisipatif Berjenjang merupakan inovasi penulis yang digunakan dalam intervensi pada
kelompok pekerja berisiko gangguan muskuloskeletal di PT X. Pelaksanaan intervensi dilaksanakan secara
berjenjang dimulai dari (1) kader kesehatan dan HSSE, (2) kelompok pekerja dan (3) keluarga pekerja. Kader
dan HSSE diberikan pelatihan tentang ergonomik, kemudian mereka melakukan intervensi kepada pekerja.

UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 ) 163


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

Pekerja menerapkan ergonomik di lingkungan kerja dan selanjutnya pekerja menerapkannya pada keluarga
mereka. Intervensi tersebut mencakup aspek manajemen pelayanan, asuhan keperawatan komunitas pada
level kelompok dan level keluarga.

Tujuan penerapan intervensi ini yakni (1) terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan
kader dalam melaksanakan Ergonomik Partisipatif Berjenjang, (2) didapatkannya peningkatan kemampuan
kader dalam melakukan supervisi dan umpan balik selama menjalankan Ergonomik Partisipatif Berjenjang,
(3) terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan pekerja dalam mencegah masalah
kesehatan gangguan muskuloskeletal, (4) terjadinya peningkatan kelenturan otot dan fleksibilitas sendi
pekerja setelah melakukan peregangan mandiri, (5) terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan
perilaku keluarga dalam pencegahan penyakit akibat kerja, dan (6) terjadinya peningkatan kemandirian
keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan muskuloskeletal.

Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Komunitas


Teknis pelaksanaan Ergonomik Partisipatif yang dikembangkan oleh penulis dilakukan secara berjenjang
dan bertahap. Berjenjang maksudnya adalah, penulis bekerja sama dengan kader dalam penerapannya.
Bertahap maksudnya adalah proses perubahan dilakukan secara berurutan mulai dari: mengidentifikasi
faktor risiko ergonomi, meningkatkan pengetahuan pekerja melalui pendidikan kesehatan secara langsung
oleh penulis bersama dengan kader (pre-post test), melatih ergonomi pekerja sesuai dengan divisi masing-
masing, melakukan perubahan pada lingkungan kerja yang mungkin dilakukan, terakhir evaluasi dan umpan
balik. Alur pelaksanaan sebagaimana tergambar pada gambar berikut ini.

Kader yang sudah dilatih sebanyak 22 orang sebelumnya, hanya bagian divisi produksi dan packaging saja
yaitu berjumlah 4 orang masing-masing divisi 2 orang dari nilai pelatihan yang tinggi. Kader didelegasikan
untuk melatih pekerja tentang tindakan kerja ergonomis yang mencakup angkat-angkut dan perubahan
posisi kerja. Kader yang dilibatkan tersebut diberikan petunjuk observasi ergonomi yang digunakan untuk
mencatat temuan faktor risiko ergonomi. Temuan hasil observasi masing-masing divisi dilakukan diskusi
dan pembahasan dengan penulis untuk dilakukan perubahan pada faktor lingkungan yang memungkinkan
untuk dirubah.

Hasil dan Pembahasan


Pelaksanaan intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang menghasilkan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan kader. Pelaksanaan evaluasi terbagi menjadi 2 yakni pengukuran tingkat pengetahun dengan
menggunakan angket dan pengukuran tindakan ergonomik dengan menggunakan lembar check list.

164 UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 )


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

Sementara untuk pengukuran sikap kader dinilai sekali selama pelaksanaan program. Pelaksanaan training
pada kader diikuti oleh 4 orang kader, 2 dari divisi produksi dan 2 orang kader dari divisi packaging. Hasil
intervensi menunjukkan Pengetahuan kader meningkat dari rata-rata 60 (SD: 8,16 ; 2 SD = 76,32); menjadi
85,0. Sikap kader dalam melaksanakan Ergonomik Partisipatif Berjenjang termasuk dalam kategori sedang
yaitu dengan skor rata-rata 72,5. (rendah: 20 – 46; sedang: 47-73; tinggi 74-100). Hasil training
menunjukkan peningkatan tindakan praktik ergonomik kader yang diukur dengan membandingkan antara
sebelum dan sesudah training yakni naik dari rata-rata dari 55 (SD=5,77; minimal meningkat 66,54) menjadi
rata-rata 77,50.

Hasil dari intervensi ergonomik partisipatif yang dilakukan oleh Rosado (2006) menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan pengetahuan pada semua responden (30 pekerja) tentang pencegahan cedera terkait kerja
setelah mereka terpapar dengan pembelajaran tentang safety yang dikombinasikan dengan latihan perilaku
ergonomi. Antara studi yang dilakukan penulis dengan Rosado, keduanya sama-sama menunjukkan hasil
peningkatan pengetahuan dari peserta latihan dan menggunakan strategi pemberdayaan. Perbedaan
terletak pada sasaran, yakni, bila Rosado mengintervensi pekerja tanpa melalui perantara, sementara yang
dilakukan penulis adalah sasaran intervensi pada kader adalah sebagai upaya penerapan pada level pekerja.
Hal ini dilakukan penulis untuk mengatasi masalah manajemen pelayanan yakni risiko pelayanan kesehatan
di PT X belum komprehensif.

Intervensi yang dilakukan Rosado mencakup pendidikan kesehatan tentang gangguan muskuloskeletal
terkait kerja dan safety dan dikombinasikan dengan latihan perilaku (tindakan) ergonomik. Uji yang
dilakukan dengan menggunakan statistik uji perbedaan mean sebelum dan sesudah intervensi. Hal itu
memungkinkan dilakukan ketika persyaratan uji tersebut terpenuhi. Sementara itu, penulis bertujuan untuk
menilai peningkatan dari perilaku kader melalui peningkatan nilai rata-rata sebelum dan sesudah
intervensi. Hal ini bisa fahami bahwa, tujuan intervensi membedakan cara dan hasil temuan yang didapat.

Studi intervensi ergonomik lainnya untuk mengatasi gangguan muskuloskeletal terkait kerja pada pekerja
pernah dilakukan oleh Permatasari (2007) di perusahaan kimia, Depok. Desain studi yang digunakan adalah
penerapan integrasi model keperawatna kesehatan kerja dari Roger’s (2003), model promosi kesehatan
Downie dan Tannahill’s serta model epidemiologi. Fokus kajian dalam studi tersebut adalah masalah
kesehatan fisik yang didalamnya termasuk gangguan muskuloskeletal terkait kerja pada pekerja.
Implementasi yang diterapkan berupa penyuluhan langsung kepada pekerja, konseling ergonomi dan
pemutaran film tentang ergonomi. Hasil intervensi menunjukkan hasil kualitatif melalui observasi langsung
terhadap tindakan kerja terkait risiko ergonomi, terlaksananya pelatihan tentang ergonomi yang diikuti
oleh divisi Safety, Health and Environment. Sikap pekerja diukur dengan proporsi keikutsertaan pekerja
mengikuti pemutaran film tentang ergonomi sebanyak 60%.

Studi tersebut menunjukkan bahwa intervensi ergonomik secara langsung diterapkan pada kelompok
pekerja tanpa menggunakan strategi pemberdayaan. Hal ini bisa dimengerti bahwa, berdasarkan laporan
studi yang dilakukan teridentifikasi adanya kesempatan kontak langsung dengan pekerja lebih leluasa.
Analisia situasi yang ditampilkan menunjukkan dukungan yang cukup kuat dari pihak perusahaan serta
terdapatnya sumber daya tenaga kesehatan yang cukup yakni 6 orang perawat dan 1 orang tenaga medik.
Bila situasi tersebut dibandingkan dengan kondisi di PT X, penerapan strategi pemberdayaan yang
dilakukan penulis lebih merujuk kepada adanya potensi untuk diterapkan karena 1). Data temuan faktor
risiko tindakan ergonomi pekerja melalui observasi langsung belum optimal, idealnya menggunakan alat
perekam baik foto maupun video kamera dan 2). Sudah terbentuknya Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (P2K3) di PT X. Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut
P2K3 ialah badan pembantu di tempat kerja yang merupakan wadah kerjasama antara pengusaha dan
pekerja untuk mengembangkan kerjasama saling pengertian dan partisipasi efektif dalam penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja. (Direjen Bina Kesja, 2011).

UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 ) 165


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

Keberadaan P2K3 di PT X, selain sebagai bentuk penerapan Undang-Undang No.1 Tahun 1970, juga
merupakan salah satu penerpaan prinsip pemberdayaan sebagaimana tertuang dalam salah satu misi
Departemen Kesehataan RI yakni meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. Perusahaan berupaya membangun karyawan yang
sehat dengan menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan mendorong
promosi kesehatan di tempat kerja. Paparan tersebut menunjukkan bahwa, terdapat keserasian antara misi
pemerintah, misi PT X dengan strategi intervensi yang dilakukan oleh penulis yakni pemberdayaan.

Upaya peningkatan kemampuan kader dalam pengelolaan kesehatan tersebut, selain dilakukan melalui
training, juga dilakukan melalui upaya supervisi kader. Hasil intervensi supervisi yang dilakukan
menunjukkan hasil rasa percaya diri kader yang meningkat serta meningkatnya kemampuan supervisi dan
umpan balik dari rata-rata dari skor 52 (kurang) menjadi skor rata-rata 67,5 (cukup). Dengan semakin
meningkatnya kemampuan kader dalam pengelolaan pelayanan, memungkinkan untuk dilakukan
pendelegasian. Sebagaimana Marquis dan Huston (2012) menyatakan bahwa, aspek-aspek pendelegasian
mencakup penilaian situasi sebelum pendelegasian, mengidentifikasi keterampilan yang diperlukan dan
tingkat pendidikan, memilih orang yang mampu (capable), menyampaikan tujuan dengan jelas,
memberdayakan orang yang didelegasikan, menentukan batas dan memonitor perkembangan,
memberikan petunjuk, mengevaluasi penampilan orang yang didelegasikan dan memberikan reward
setelah tugas selesai dilaksanakan.

Paparan tersebut menunjukkan bahwa, peran kader dalam intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang
sangat penting. Karena itulah kompetensi perawat spesialis komunitas dalam pengelolaan pelayanan
kesehatan pada kelompok pekerja harus mampu menunjukkan kecakapnnya dalam menerapkan fungsinya
sebagai poengelola. Hal ini dipertegas oleh Rogers (2003) bahwa, perawat kesehatan kerja dalam
menjalankan fungsinya sebagai pengelolan harus menerapkan kemampuan menajemen pelayanan dan
kepemimpinan untuk memfasilitasi pekerjaan staf sehingga efektif dan efisien. Untuk mencapai efektitas
dan efisiensi pelayanan, perawat kesehatan kerja memiliki peran penting melalui penyediaan struktur dan
pengarahan dalam pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi kualitas program pelayanan keperawatan.
Namun demikian, keberhasilan dalam pengelolaan pelayanan keperawatan kesehatan kerja juga
dipengaruhi dari faktor perusahan tempat perawat kesehatan kerja tersebut berpraktik. Sebagaimana
dikemukakan oleh Cole, Ibrahim dan Shannon (2005) faktor keberhasilan intervensi Ergonomik Partisipatif
mencakup dukungan manajemen yang kuat, partisipasi aktif oleh para pekerja, ketersediaan ahli, akses ke
sumber daya yang memadai, dan penerapan ergonomik secara bertahap. Uraian tersebut menegaskan
bahwa, terdapat tiga komponen yang berperan dalam keberhasilan pengelolaan intervensi Partisipasi
Ergonomik Berjenjang yakni, perawat, perusahaan dan pekerja. Dari sini dapat dinyatakan bahwa, perawat,
perusahaan dan pekerja berada dalam sebuah sistem manajemen pelayanan.

Wijono (2008) menyampaikan bahwa pengelolaan pelayanan kesehatan selain memuat proses manajemen
juga sistem manajemen. Tinjuan sistem manajemen menempatkan perawat kesehatan kerja pada posisi
sebagai sumber daya yang melakukan proses manajemen untuk mencapai tujuan tertentu. Sifat sistem
yang saling mempengaruhi satu sama lain tersebut, akan menyebabkan berhasil tidaknya tujuan yang ingin
dicapai ketika perawat bukan bagian dari sistem. Dengan kata lain, hal ini memberikan peluang
ketidakefektifan bahkan gagalnya proses manajemen pelayanan mulai dari fungsi planning, organizing,
staffing, directing dan controlling berikut elemen masing-masing fungsi tersebut.

Pelaksanaan upaya kesehatan kerja oleh perawat selain penggunaan ilmu pengetahuan keperawatan yang
menjadi landasan kompetensi, juga diperlukan pemahaman tentang batasan peran dan fungsi perawat
kesehatan kerja. Menurut Rogers (2003) peran perawat kesehatan kerja mencakup klinisi/praktisi, manajer
kasus, promosi kesehatan, pengelola program, pendidik, peneliti dan konsultan. Melihat peran perawat
yang sedemikian kompleks tersebut, sudah barang tentu menuntut perawat untuk senantiasa
meningkatkan kemampuan profesionalismenya melalui berbagai upaya baik melalui pendidikan formal
maupun kiat-kiat tertentu sesuai kebutuhan misalnya pelatihan/training, seminar maupun kegiatan praktis

166 UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 )


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

lain yang mendukung. Sementara itu, fakta pendidikan keperawatan di Indonesia masih mengenal berbagai
tingkatan mulai dari Sekolah Perawat Kesehatan, Akademi Keperawatan dan Fakultas Ilmu Keperawatan.
Hal ini menjadikan perbedaan pemahaman terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta bervariasinya
kualifikasi perawat yang bekerja di perusahaan.

Dukungan pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


1758/MENKES/SK/XII/2003 maupun Keputusan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Nomor.
KEP 22/DJPPK/V/2008 yang mempersyaratkan perawat mengikuti pelatihan K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja) dan Hyperkes turut menjaga mutu pelayanan kesehatan kerja yang dilakukan oleh
perawat. Selain itu, juga telah diterbitkannya ketetapan SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia) Sektor Jasa Pelayanan Kesehatan Bidang Keperawatan nomor KEP. 148/MEN/III/2007. Dalam
SKKNI tersebut secara tegas dibedakan antara kompetensi perawat vokasional dan generalis. Bila dicermati
dan dikaitkan dengan peran perawat kesehatan kerja sebagaimana disebutkan sebelumnya, standar
kompetensi tersebut belum secara utuh memberikan peluang kepada perawat kesehatan kerja untuk
menerapkan peran dan fungsinya secara komprehensif. Konsekuensi dari hal ini adalah, seyogyanya
perawat yang bekerja di perusahaan bukan lagi dipersyaratkan dengan pelatihan K3 ataupun Hyperkes,
melainkan pelatihan Keperawatan Kesehatan Kerja dan perlu dilakukan sertifikasi secara khusus bidang
keperawatan kesehatan kerja. Dampak positif yang ditimbulkan tentunya penerapan praktik keperawatan
sesuai dengan latar belakang disiplin keilmuan keperawatan dengan tetap mengacu pada ruang lingkup
Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Selain itu, bagi pihak perusahaan dapat mengambil manfaat positif dari
pengembangan staf melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan yang diberikan kepada seorang karyawan
untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian-keahlian tertentu dan perilaku-perilaku terkait jabatan
karyawan yang pada gilirannya adalah peningkatan produktivitas (Gillies, 1999).

Ditinjau dari landasan penetapan kompetensi dalam SKKNI bagi perawat adalah berpedoman pada area
Community-Based Nursing Practice. Sementara itu, konteks area praktik keperawatan kesehatan kerja
(Occupational Health Nursing) berada pada 2 domain yakni Public Health Nursing Practice dan Community
Health Nursing Practice (Rogers, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi perawat pada SKKNI belum
tepat memenuhi kaidah keperawatan kesehatan kerja sebagaimana landasan disiplin ilmu yang diperlukan.
Dengan demikian, maka dapat difahami bahwa keperawatan kesehatan kerja berhubungan erat dengan
Public Health Nursing dan Community Health Nursing dari segi filosofis, teori dan penerapan praktik.
Konsekuensinya adalah layanan praktik keperawatan kesehatan kerja tidak saja ditujukan pada populasi
pekerja, melainkan sampai kepada keluarga pekerja. Dari sini nampak semakin jelas bahwa penerapan
upaya keperawatan kesehatan kerja yang sampai menjangkau pada level keluarga, tidak saja keluarga
pekerja dipandang sebagai efek atau dampak dari kesehatan pekerja melainkan kesehatan keluarga juga
sebagai faktor risiko yang mempengaruhi kesehatan pekerja itu sendiri. Dengan demikian, maka upaya
pelayanan keperawatan kesehatan kerja dapat dilaksanakan lebih komprehensif.

Masalah Keperawatan Komunitas Risiko terjadinya peningkatan angka kejadian gangguan muskuloskeketal
akibat kerja pada kelompok pekerja di PT X (khususnya divisi produksi dan packaging).

Hasil evaluasi akhir menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan pekerja setelah dilakukan intervensi
Ergonomik Partisipatif Berjenjang selama 3 bulan. Peningkatan pengetahuan ditunjukkan dari
meningkatnya rata-rata diketahui hasil pre test di dapatkan tingkat pengetahuan pekerja rata-rata: 67,9,
(SD= 8,73; standar minimal 2 SD = 85,3) menjadi 87,7. Evaluasi hasil menujukkan sikap pekerja dalam
menjalankan Ergonomik Partisipatif Berjenjang teridentifikasi skor = 52,7. Kategori sedang. (rendah bila
skor 5 –> 30; sedang bila skor 31 –> 55; dan tinggi bila skor 56 -> 80. Keterampilan pekerja dalam
melakuakn tindakan ergonomis menunjukkan peningkatan yakni dari rata-rata 49,3; SD = 8,28 menjadi
71,4.

Intervensi ergonomik partisipatif mampu meningkatkan pengetahuan pekerja. Studi yang dilakukan oleh
Rosado (2006), salah satu proses intervensi dilakukan dengan metode pembelajaran safety dan tindakan

UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 ) 167


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

ergonomik pada pekerja menunjukkan hasil yang sama dengan yang dilakukan penulis, yakni terjadi
peningkatan pengetahuan. Hasil uji perbedaan rata-rata menunjukkan adanya peningkatan dari nilai rata-
rata 6,0 (SD=2,0) menjadi rata-rata 9,0 (SD=1). Terdapat perbedaan pencapaian peningkatan tindakan
ergonomik pekerja bila dibandingkan dengan intervensi Ergonomik Partipatif Berjenjang yang dilakukan
penulis. Perbedaan terletak selain pada pencapaain tindakan, juga pada penilaian sikap pekerja. Penulis
membuktikan bahwa, intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang dapat meningkatkan tindakan
ergonomik pada pekerja. Sementara pada studi Rosado tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pre
dan post intervensi. Adanya perbedaan hasil pada perubahan tindakan pekerja dapat dilihat dari besar
sampel, strategi, metode pengukuran, durasi waktu pengamatan, alat bantu pengamatan, observer dan
variabel yang diteliti. Hal ini menjadi diskursus tersendiri ketika membandingkan hasil penelitian dengan
hasil inovasi dalam konteks praktik.

Tingkat pengetahuan pekerja menjadi salah satu faktor psikologis dalam menerapkan prinsip ergonomik
saat bekerja (www.hse.gov.uk, 2010). Prihardany (2004) membuktikan bahwa faktor pengetahuan pekerja
secara signifikan berhubungan dengan persepsi dalam menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan
kerja. Disamping itu, tindakan kerja yang tidak ergonomik memicu terjadinya gangguan muskuloskeletal
pada pekerja misalnya adalah membungkuk, miring, jongkok, bertumpu pada satu kaki, berlutut, berputar,
pengulangan dan durasi yang lama (Straker, 2000).

Terjadinya peningkatan kelenturan otot dan fleksibilitas sendi pekerja setelah melakukan peregangan
mandiri.
Hasil menunjukkan terjadinya peningkatan respon tubuh berupa kelenturan otot dan flesibiltas sendi dari
rata-rata 64,5, SD=9,29, 2SD= 83,689 menjadi rata-rata 85, 92. Pengukuran II dilakukan tanggal 28 Mei 2013
diikuti oleh 14 pekerja yang sama pada pengukuran I. Hasil didapatkan perbedaan rata-rata respon tubuh
terhadap kelenturan otot dan fleksibilitas sendi dari rata-rata 61, 92; SD=8,20; 2SD= 78,34 menjadi 87,07.
Pengukuran pertama dan kedua menunjukkan peningkatan rata-rata respon pekerja terhadap kelenturan
otot dan fleksibilitas sendi lebih dari 2 SD setelah melakuan stretching.

Penelitian yang dilakukan oleh Gartley dan Prosser (2011) diketahui hasil setelah intervensi bahwa dari nilai
risiko relatif injuri yang tidak melakukan stretching sebesar 5.13, dan risiko cedera yang melakukan
stretching adalah adalah 0,19. Interpretasi hasil uji statistik menunjukkan bahwa karyawan yang tidak
melakukan stretching kemungkinan akan mengalami cedera muskuloskeletal yang berhubungan dengan
pekerjaan adalah 5,41 kali lebih tinggi dibanding dengan yang melakukan stretching.

Kedua studi di atas sama-sama menggunakan pendekatan streching dalam menurunkan risiko terjadinya
gangguan muskuloskeletal akibat kerja. Perbedaan terletak pada area stretching yang dilakukan dan cara
ukur yang digunakan. Penulis menggunakan perbandingan respon peserta terhadap efek streching setelah
melakukan streching dan sebelum melakukan sementara Gartly dan Prosser (201) menggunakan ukuran
risiko relatif terjadinya gangguan muskuloskeletal.

Selain dua studi tersebut, Moore (1998) melakukan penelitian di perusahaan farmasi tentang efektifitas
stretching yang terdiri dari 36 sesi peregangan. Penelitian dilakukan selama selama 2 bulan dan melibatkan
60 karyawan. Fleksibilitas diukur dengan profil fleksibilitas termasuk duduk dan uji jangkauan, pengukuran
rotasi tubuh bilateral, dan pengukuran rotasi bahu. Selama studi, masing-masing peserta dilakukan
peregangan 5 kali per hari. Temuan menunjukkan bahwa peregangan program di tempat kerja dapat
menguntungkan karyawan dengan meningkatkan fleksibilitas dan berpotensi mencegah gangguan
muskuloskeletal terkait kerja (Moore, 1998). Paparan tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara
studi yang dilakukan penulis dengan Moore (1998). Selain dari segi intensitas stretching yang terukur juga
strategi pengukuran yang digunakan. Moore (1998) menggunakan uji jangkauan pada peserta sementara
penulis menggunakan respon dari stretching. Penggunaan respon sebagai alat ukur disebabkan kontrol
terhadap pekerja yang tidak optimal baik oleh penulis maupun oleh kader.

168 UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 )


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

Terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dengan masalah kesehatan fatigue
pada Bp M. melalui intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang.
Penulis mengelola 5 keluarga pekerja PT X salah satunya adalah pada Bp M. Asuhan keperawatan keluarga
yang diberikan oleh penulis pada keluarga Bp.M menunjukkan peningkatan perilaku keluarga dalam upaya
pencegahan terhadap gangguan muskuloskeletal. Hal ini ditunjukkan dari ungkapan keluarga yang mampu
mengidentifikasi penyebab kelelahan (fatigue) pada Bp M. Kelelahan yang dialami oleh Bp M, yang bukan
saja karena masalah aktivitas yang terlalu berat, perilaku kerja tidak ergonomik, juga disebabkan faktor dari
ketidakadekuatan dukungan keluarga untuk memfasilitasi istirahat Bp M serta disebabkan faktor stres
psikologis yang dialami oleh Bp M.

Peningkatan sikap keluarga dalam upaya mencegah gangguan muskuloskeletal teidentifikasi melalui
kunjungan tidak terencana. Sikap keluarga mau memperbaiki situasi lingkungan rumah saat Bp M istirahat
melalui pengaturan bermain pada anak. Ungkapan keluarga untuk secara aktif melakukan aktivitas fisik.
Peningkatan tindakan keluarga dalam upaya pencegahan gangguan muskuloskeletal ditunjukkan dengan
kemampuan keluarga menerapkan prinsip ergonomik dalam aktivitas kerja di rumah dan melakukan
aktivitas streching secara aktif terutama Bp M minimal 2 kali sehari. Keluarga mampu melakukan upaya
relaksasi progresif untuk menurunkan kelelahan, serta mampu mengatur jadual istirahat dengan teratur.

Ditinjau dari faktor risiko ergonomik, kejadian fatigue yang dialami oleh Bp M merupakan salah satu dari
komponen psikologi kerja. Armstrong (1999 dalam Rogers, 2003) menyatakan bahwa, psikologi kerja
berkaitan dengan respon sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, dan muskuloskeletal terhadap
tuntutan metabolisme saat bekerja psikologi kerja difokuskan pada upaya pencegahan terhadap fatigue
(kelelahan) pada seluruh tubuh ataupun pada area tubuh tertentu. Kecukupan waktu istirahat pada pekerja
menjadi salah satu faktor risiko terjadinya gangguan muskuloskeletal sebagaimana Rogers (2003)
menyampaikan bahwa terdapat 8 faktor yaitu postur janggal, mengangkat beban berlebihan, gerakan
berulang, contact stress, getaran, kompresi, kondisi lain (suhu dingin, kecukupan waktu istirahat dan jeda).
Hal ini perlu menjadi perhatian keluarga terkait dengan fatigue yang dialami oleh Bp M.

Risiko gangguan muskuloskeletal akibat kerja secara fisiologis dipengaruhi oleh oleh proses metabolisme
otot ketika sedang beraktivitas. Selama seseorang beraktivitas seperti biasanya, dan ketika terdapat
kecukupan oksigen dalam aliran darah maka secara kimiawi akan terjadi kesetimbangan. Akan tetapi ketika
terjadi insufisiensi oksigen dalam darah misalya aktivitas yang terlalu intense (berkepanjangan, berulang-
ulang, statis), kondisi tersebut memungkinkan untuk terjadinya perubahan dalam metabolisme otot
(Oakley, 2008). Menurut David M. Kietrys (2010) bahwa aktivitas yang dilakukan secara berulang dapat
menyebabkan mikrotrauma sehingga terjadi injuri jaringan muskuloskeletal. Injuri tersebut menyebabkan
inflamasi akut bahkan sampai kronik sehingga menyebabkan penurunan motorik. Menurut Oakley (2008)
selama aktivitas statis otot cenderung berkontraksi untuk mempertahankan posisi seperti semula,
menyebabkan terakumulasinya asam laktat dan jika berkepanjangan menjadikan nyeri akut dan kelelahan
otot.

Hasil pengelolaan yang dilakukan oleh penulis menunjukkan keluarga mampu melakukan upaya
pencegahan gangguan muskuloskeletal secara mandiri melalui penerapan ergonomik pada aktivitas kerja di
rumah. Selain itu, pada anggota keluarga yang lain misalnya pada anak Bp M sudah dapat mengenal
penerpan ergonomik sejak dini. Hal ini memungkinkan penyerapan dan penerapan ergonomik dapat
dilakukan dengan optimal. Selain itu, upaya pengendalian faktor risiko lainnya penting untuk diketahui dan
dilakukan oleh keluarga misalnya adalah faktor risiko biologis yakni indeks massa tubuh. Indeks massa
tubuh dan obesitas telah diidentifikasi dalam studi sebagai faktor risiko potensial untuk gangguan
muskuloskeletal tertentu, khususnya sindrom trauma kumulatiif dan herniasi lumbal. Penelitan yang
dilakukan oleh Vessey et al. (1990 dalam Werner et al, 1994) menemukan bahwa risiko terjadi sindrom
trauma kumulatif antara wanita gemuk sebesar dua kali lipat dari wanita ramping. Hubungan antara
penyakit dan indeks massa tubuh dikaitkan dengan peningkatan jaringan lemak dalam saluran karpal atau

UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 ) 169


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

peningkatan tekanan hidrostatik sepanjang kanal karpal pada orang obesitas dibandingkan dengan orang
yang ramping.

Hambatan
Terdapat beberapa hambatan dalam penerapan intervensi ini yakni : (1) dukungan dari pihak perusahaan
belum optimal dalam penerapan intervensi ergonomi, keterbatasan waktu dan kesempatan untuk kontak
langsung dengan pekerja dan kader kesehatan di perusahaan (3) kebijakan dari pihak manajemen pada
penulis untuk kontak secara langsung dengan pekerja, (4) terbatasnya waktu dengan pekerja di rumah
dalam rangka pembinaan keperawatan keluarga terkait dengan jadual shift kerja.

Keterbatasan
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penerapan intervensi yang telah dilakukan oleh penulis yakni: (1)
teknik sampling yang digunakan adalah non probability, (2) variabel Intervensi Ergonomik Partisipatif
Berjenjang yang dilakukan penulis hanya mencakup 2 komponen ergonomik, yakni elemen biomekanik dan
psikologi kerja, (3). pengukuran sikap kader dan pekerja peserta program, (4) indikator pencapaian program
intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang terbatas pada perubahan perilaku peserta program.

Implikasi Terhadap Praktik Keperawatan Komunitas


Intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang yang dikembangkan oleh penulis berlandasakan strategi
pemberdayaan memuat bentuk intervensi-intervensi yang mendukung yakni pendidikan kesehatan,
konseling kesehatan, terapi modalitias keperawatan (proactive stretching) dan proses kelompok. Bentuk
intervensi dan materi dapat dikembangkan berdasarkan kebutuhan di lahan praktik sesuai dengan
mempertimbangkan faktor risiko, potensi bahaya (hazard) baik derajat maupun karakterisitknya.
Penerapan intervensi ini merupakan bagian dari pelayanan kesehatan kerja di yang tidak terbatas pada
perusahaan yang bergerak di sektor manufacturing saja, melainkan dapat juga diadopsi oleh institusi kerja
baik formal maupun informal dan berbagai jenis perusahaan misalnya: instansi pemerintah, produksi obat
atau makanan, operator komputer, pekerja kesehatan, nelayan, akademisi, transportasi, konstruksi,
pertambangan.
Intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang ini terbukti dapat meningkatkan perilaku kesehatan pada
kader kesehatan kerja, pekerja dan keluarga pekerja pada domain pengetahuan dan tindakan dalam
mencegah gangguan muskuloskeletal. Hal ini berdampak positif pada penurunan tingkat risiko gangguan
muskuloskeletal pada level populasi pekerja di perusahaan, peningkatan derajat kesehatan pekerja dan
peningkatan kemandirian keluarga pekerja dalam bidang kesehatan. Dampak jangka panjang dari intervensi
ini bila dibudayakan tentu saja adalah peningkatan produktivitas kerja. Dengan terjadinya peningkatan
produktivitas kerja maka perusahaan diuntungkan dengan meningkatnya profit. Dampak positif tersebut
akan didapatkan dengan optimal bila dilakukan secara berkesinambungan, dukungan yang adekuat dari
perusahaaan serta petugas kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kerja merupakan bagian dari sistem
manajemen perusahaan.
Fakta beragamnya jenis pendidikan keperawatan di Indonesia berdampak pada kapasitas disiplin ilmu dan
kompetensi yang bervariatif. Penentuan standar kompetensi yang sesuai dengan filosofis, teori dan
penerapan praktik menempatkan perawat dapat menjalankan peran dan fungsinya secara lebih
komprehensif. Upaya pemerintah dalam pengawasan ketenagakerjaan khususnya pelayanan kesehatan
kerja di sektor formal menempatkan posisi perawat yang melaksanakan kesehatan kerja menjadi belum
optimal sesuai dengan peran dan fungsi perawat kesehatan kerja. Hal ini mengindikasikan perlunya
perombakan kebijakan terkait standar kompetensi minimal bagi perawat kesehatan kerja, kebutuhan
tenaga kesehatan khususnya perawat kesehatan kerja.

Simpulan dan Saran


Simpulan
Intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang sebagai bentuk intervensi keperawatan komunitas mampu
meningkatkan perilaku pekerja, kader dan kemandirian keluarga binaan. Intervensi ini dapat berhasil
optimal bila mendapatkan dukungan dari pihak institusi kerja informal maupun formal. Bentuk dukungan

170 UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 )


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

perusahaan adalah baik tenaga kesehatan pelaksana maupun program intervensi menjadi bagian dari
sistem manajemen institusi kerja secara keseluruhan serta diperukan serta tenaga kesehatan pelaksana
upaya kesehatan kerja memiliki kompetensi tertentu sehingga mampu menjalankan peran dan fungsinya
dengan optimal. Intervensi ini dapat berjalan optimal bila dilakukan oleh perawat yang telah memiliki dasar
keilmuan keperawatan kesehatan komunitas, keperawatan kesehatan keluarga dan keperawatan
kesehatan kerja.

Saran
intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang dapat dijadikan sebagai masukan dalam mengembangkan
kebijakan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di wilayah kerja dan menerapkannya dalam
lingkup institusi kerja sesuai dengan faktor risiko ergonomik yang ditemukan. Bagi Kementrian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi perlu menetapkan kebijakan dan menata kembali standar kompetensi yang diperlukan
oleh tenaga kesehatan kerja khususnya perawat kesehatan kerja dengan berpedoman pada dasar
keperawatan kesehatan kerja dan menetapkan kebijakan standar minimal pendidikan perawat kesehatan
kerja adalah DIII keperawatan serta memiliki sertifikasi khusus terkait keperawatan kesehatan kerja.
Bagi Puskesmas disarankan untuk dapat mengadopsi intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang dalam
meningkatkan cakupan pelatihan kesehatan kerja baik bagi staf maupun bagi pekerja baik formal maupun
informal.di wilayah kerja dan perlu melakukan supervisi pelayanan upaya kesehatan kerja di wilayah kerja
baik pada sektor pekerja formal maupun informal.
Bagi Perawat Komunitas dan keluarga disarankan untuk menggunakan Ergonomik Partisipatif Berjenjang
sebagai intervensi pada asuhan keperawatan komunitas dan keperawatan keluarga pada kelompok pekerja
dengan masalah kesehatan gangguan muskuloskeletal baik risiko maupun aktual, mengembangkan bentuk
intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang melalui praktik nyata dan penelitian pada komponen
ergonomik psikologi teknik, antropometrik, psikologi kerja dan biomekanik, menginisiasi pembentukan
perawat kesehatan kerja dan mengembangkan jejaring perawat kesehatan kerja pada tingkat regional
maupun nasional, menyusun standar kompetensi pelayanan keperawatan kesehatan kerja sebagai
masukan bagi Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai pemangku kebijakan dalam menerbitkan
standar kompetensi yang diperlukan.
Bagi Institusi Kerja meneruskan dan menerapkan intervensi Ergonomik Partisipatif Berjenjang pada seluruh
divisi serta menempatkan ergonomi kerja sebagai bagian dari peogram kesehatan di perusahaan,
memberikan kebijakan waktu luang di jam kerja untuk kader kesehatan dalam melaksanakan tugas,
merekrut tenaga kesehatan khususnya perawat kesehatan kerja sesuai dengan rasio jumlah pekerja dan
tingkat risiko bahaya di lingkungan institusi kerja.

KEPUSTAKAAN
Anderson.,E. T., McFarlane, J. (2011). Community As Partner: Theory and Practice in Nursing. (6 th ed). Philadelphia.
USA Lippincott Williams & Wilkins..
Bulecheck, G.M., Bucher, H.K., Dochterman. J.M. (2008). Nursing Intervention Classification (NIC). 5th ed. United State
of America, St Louis: Mosby Elsevier.
Canadian Centre for Occupational Health and Safety. (2013). ¶ 1. Work-related usculoskeletal Disorders. Diperoleh dari
:http://www.ccohs-.ca/oshanswers-/diseases/rmirsi.html. tanggal 11 Juli 2013.
Clark, Mary J, D. (2003). Community Health Nursing: Caring for Populations. New Jersey: Prentice Hall
Clemen-Stone,S., McGuire, Sandra, L., dan Eigsti, Diane, L. (2002). Comprehensive Community Health Nursing: family,
aggregate & community practice. United State of America, St Louis: Mosby
Cullen, Jennifer Colleen. (2005). The effects of work-family conflict and the psychosocial work environment on
employee safety performance. Portland State University. ProQuest. UMI Dissertations Publishing. 3169407.
Daniel. (2006). Prinsip Ergonomik Kurangi Gangguan Kesehatan Kerja. Farmacia. Jan; 5(6).
Departemen Kesehatan RI. (2005). Profil Masalah Kesehatan Pekerja di Indonesia tahun 2005. (www. Depkes. go.id.
diunduh tanggal 5 Mei 2013).
Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga. (2011). Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Kader Kesehatan Kerja.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia

UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 ) 171


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

Direktorat Bina Kesehatan Kerja. (2009). Pedoman Klinik di Tempat Kerja/Perusahaan. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Direktorat Bina Kesehatan Kerja. (2009). Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Bagi Pekerja. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Ervin, Naomi E. (2002). Advanced Community Health Nursing Practice: Population-Focused Care. New Jersey: Prentice
Hall.
Eurpean Agency for Safety and Health at Work. (2013). Preventing work-related musculoskeletal diosders. diakses
tanggal 11 Juli 2013. https://osha.europa.eu/en/publ-ications/factsheets/4 .
Feuerstein, M., Sult, S., Houle, M. (1985) Environmental stressors and chronic low back pain: Life events. family and
work environment. Pain; 22: 295–307.
Feuerstein, M., Berkowitz ,S., Huang, G.D. (1999). Predictors of occupational low back disability: Implications
forsecondary prevention. Journal of Occup Environ Med; 41: 1024–1031.
Friedman, Marilyn M., Bowden, Vickey R., Jones, Elanie G. (2010) Family Nursing: Research, Theory, and Practice, (5 th
ed). (Hamid, A,Y, S. et al penerjemah). Jakarta: EGC.
Guzman, J., Esmail, R., Karjalainen, K., Malmivaara, A., Irvin, E. Bombardier. (2001) Multidisciplinary rehabilitation for
chronic low back pain: systematic review’. BMJ.. 322: 1511-1516.
Harian Pos Kota. (2012). ¶ 1-2. http://www.poskotanews.com/2012/06/01/angka-kecelakaan-kerja-lima-tahun-
terahir-cendrungnaik/ diperoleh tanggal 08 Juni 2013.
http://www.ilo.org/safework/info/WCMS_208226/lang--en/index.htm. Diakses tanggak 13 Mei 2013.
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/15/2/122976/Kecelakaan-Kerja-di-Indonesia-masih-Tinggi;
diakses tanggal 13 Mei 2013 (Selasa. 15 Januari 2013 | 17:46 WIB)
Huang, G,D., Feuerstein M., Berkowitz S.M., Peck C.A. (1998) Occupational upper-extremity-related disability:
Demographic.physical. and psychosocial factors. Mil Med ; 163: 552–558.
Huang, G.D., Feuerstein, M., Berkowitz, S.M., Peck, C.A. (1998). Occupational upper-extremity-related disability:
Demographic.physical. and psychosocial factors. Mil Med; 163: 552–558.
ILO. (2010). Ergonomic Checkpoints: Practical and easy-to-implement solution for improving safety. health and
working conditions. (2 nd ed). Genewa: International Labour Office.
ILO. (2011). ILO introductory report: global trends and challenges on occupational safety and health. Report. XIX World
Congress on Safety and Health at Work. Istanbul. 2011 (Geneva). Diakses dari www.ilo.org/
wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---safework/documents/publication/wcms_162662.pdf [10
Jan. 2013].
ILO. (2013). ¶ 1. http://www.ilo.org/-global/topics/safety-and-health-at-work/lang--en/index.htm diakses tanggal 20
Juni 2013).
ILO. (2013). ¶ http://www.ilo.-org) /jakarta/info/public/pir/-WCMS_155174/-langen/index.htm diakses tanggal 4 Mei
2013).
ILO. (2013). The prevention of occupational diseases: 2 million workers killed every year. (Publication). Genewa:
International Labour Office.
Joanna, Noonan, M.A., Shannon, L., Wagner, P. (2010). AAOHN Journal • Vol. 58. No. 3. 2010
Kementrian Komunikasi dan Informatika. (2013). ¶ 1.2. http://info-publik.kominfo.go.id/indexc4b3.html?-
page=news&newsid=-40168 diperoleh tanggal 15 Mei 2013.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279/Menkes/SK/IV/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Upaya
Keperawatan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Perawat.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 038/Menkes/SK/I/2007 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Kerja pada
Puskesmas Kawasan/ Sentra Industri.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1758/Menkes/SK/XII/2003 tentang Standar Pelayanan Kesehatan Kerja
Dasar.
Kumar, S. (2001). Theories of musculoskeletal injury causation. Ergonomics. 44(1). 17-47.

172 UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 )


Buku Proceeding Unissula Nursing Conference
Tema : “Nurse Roles in Providing Spiritual Care in Hospital, Academic and Community”

Moore, J,S., Garg, A. (1997) The effectiveness of participatory ergonomics in the red meat packing industry evaluation
of a corporation. International Journal of Industrial Ergonomics.; 21(1): 47-58.
Moorhead, S., Johnson M., Maas, M.L., Swanson, E. (2008). Nursing Outcome Classification (NOC). (5th ed). United
State of America, St Louis: Mosby Elsevier.
NIOSH. (2011). Elements of Ergonomics Programs. in: NIOSH Publication No. 97-117. 2012. Diunduh dari:
http://www.cdc.gov/niosh/docs/97-117/eptbtr4.html. tanggal 15 Februari 2013
Nordin, Gunnar., Andersson, B.J., Pope, M, H. (2007). Musculoskeletal disorders in the workplace: Principles and
practice. —2nd ed. / [edited by] Margareta. Mosby-Elsevier. Philadelphia.
Oakley, Katie. (2008). Occupational Health Nursing. (3rd ed). England: John Wiley & Son. Ltd.
OHSSA.,BC. (2013). Participatory Ergonomics. Available at: http://www.ohsah.bc.ca/index.php?-
section_id=1350&section_copy_id=5416 . Diakses tanggal 13 Februari 2013.
Riyadina, W., Suharyanto F.X. dan Tana, L. (2008) Keluhan Nyeri Muskuloskeletal pada Pekerja Industri di Kawasan
Industri Pulo Gadung Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia. Volum: 58. Nomor: 1. Januari.
Rogers, Bonie. (2003). Occupatinal and Environmental Health Nursing: Concepts and Practice. (2nd ed). Philadhelphia:
Elsevier.
Rosado, Wanda T. (2006). Proactive Ergonomic Behaviours Intervention: Effects on Promoting Safe Practice and
Reducing Work-Related Musculoskeletal Disorders Among Water Utiliy Workers. Disertasi. Univercity of
Miami. ProQuest Disertations and Thesis; diunduh Tanggal 15 Februari 2013.
Silverstein BA. Fine LJ. Armstrong TJ. (1987). Occupational factors and carpal tunnel syndrome. Am J Ind Med. 11:343-
358.
Silverstein, B., Rancy, Clark. (2004). Interventions to reduce work-related musculoskeletal disorder. Journal of
Electromyography and Kinesiology 14: 135–152.
Stanhope, M., dan Lancaster, J. (2009). Community & public health nursing. (7th ed). St. Louis: Mosby-Year Book.
Starkey, Chard. (2004). Theapeutic Modalities. (3 rd. ed). Philadelphia: Davis Company..
Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Vessey, M.P., Viillard-Mackintosh, L. dan Yeates, D. (1990) Epidemiology of carpal tunnel syndrome in women of
childbearing age: Findings in a large cohort study. International Journal of Epidemiology. 19(3). 655–9.
WHO. (2012). Workers’ health: global plan of action 2008–2017: Objective 2, to protect and promote health at the
workplace. Genewa: International Labour Office.
Wijono, Djoko. (2008). Manajemen Puskesmas: Kebijakan dan Strategi. Surabaya: Duta Prima Airlangga

UNISSULA PRESS ( ISBN 978-602-1145-69-2 ) 173

Anda mungkin juga menyukai