Anda di halaman 1dari 124

Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,

Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Analisis Kesalahan Penggunaan Termometer

Sarwanto

Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sebelas Maret;


Email: sarwanto@fkip.uns.ac.id

Abstrak
Termometer adalah salah satu alat penting untuk observasi suhu. Ditemukan
beberapa kesalahan yang dialami guru, siswa, dan mahasiswa dalam
menggunakan termometer. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesalahan-
kesalahan dalam menggunakan termometer, dan upaya untuk memperbaikinya.
Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa calon guru IPA SMP Universitas Sebelas
Maret menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan,
kesalahan penggunaan termometer disebabkan oleh intuisi, gerakan refleks
tangan, kesalahan konsep. Kegiatan eksperimen dapat digunakan untuk
mengatasi kesalahan dalam penggunaan termometer.

Kata kunci: termometer, miskonsepsi suhu, intuisi

PENDAHULUAN
Program Studi Pendidikan IPA UNS baru menerima mahasiswa tahun pelajaran
2016/2017. Program studi baru ini didirikan dengan profil lulusan yang dirancang
adalah menjadi calon guru IPA SMP, sebagai asisten peneliti pendidikan IPA, sebagai
wirausahawan dalam bidang pendidikan IPA. Berdasarkan ketiga profil lulusan inilah
program studi Pendidikan IPA UNS menyusun kurikulum, mulai dari capaian
pembelajaran sampai dengan penyusunan Rencana Pembelajaran Semester (RPS).
Salah satu mata kuliah hasil penyusunan kurikulum Prodi Pendidikan IPA UNS adalah
mata kuliah Pengamatan dan Pengukuran IPA.
Suhu merupakan salah satu besaran fisis yang berhubungan sangat erat
dengan kehidupan sehari-hari. Suhu adalah salah satu obyek IPA yang harus
diobservasi oleh mahasiswa calon guru IPA. Indikator kesehatan seseorang salah
satunya adalah suhu tubuh. Ketika ada bagian tubuh yang mengalami gangguan maka
suhu bagian tubuh itu berbeda dengan bagian lain. Perbedaan suhu antara dua tempat
akan mengakibatkan perbedaan tekanan udara. Keadaan ini akan mengakibatkan
terjadinya angin. Salah satu indikator pemanasan global adalah naiknya suhu rata-rata
suatu tempat. Oleh karena itu mahasiswa perlu pemahaman yang baik pada alat ukur
suhu.
Termometer dikembangan sebagai alat untuk mengukur tingkat panas atau
dinginnya tubuh atau lingkungan (Chamoun, 2005). Dalam kehidupan sehari-hari
termometer sering dijumpai penggunaannya untuk mengukur suhu pasien, mengukur
suhu ruangan, dan mengukur suhu mesin. Meskipun sering dijumpai sehari-hari tetapi
masih banyak kesalahan konsep tentang termometer dan suhu ini. Hapkiewichz (1992)
melakukan penelitian tentang miskonsepsi siswa sekolah dasar dan ditemukan banyak
miskonsepsi tentang suhu dan termometer. Thomaz (2003) menemukan kesalahan
konsep tentang suhu pada guru sekolah dasar sampai sekolah menengah tentang: 1).
Kalor; 2). Penyebab panas dan dingin suatu benda; 3). Tidak dapat membedakan kalor
dan suhu; 4). pemanasan berarti membuat benda menjadi panas atau menjaga panas;
dan 5). Suhu adalah kuantitas energi
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesalahan mahasiswa
pendidikan IPA dalam menggunakan termometer dan upaya untuk memperbaiki

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


147
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

kesalahan ini menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah.


Pembelajaran berbasis masalah memiliki kelebihan secara kontekstual berhubungan
dengan masalah nyata yang dihadapi oleh mahasiswa atau masyarakat dan ada
proses untuk memecahkan permasalahan tersebut.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah deskritif kualitatif. Penelitian deskriptif
kualitatif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek
dengan tujuan membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta atau fenomena yang diselidiki (Vaismoradi, M.,
Turunen, H., & Bondas, T. 2013)). Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa S1
Pendidikan IPA FKIP UNS tahun 2016. Profil lulusan Prodi S1 Pendidikan IPA FKIP
UNS adalah calon guru IPA SMP, sehingga sejak dari awal kurikulum Prodi S1
Pendidikan IPA didesain secara terpadu antara pembelajaran (Pedagogy) dan
pengetahuan substansi materi (Content Knowledge) atau PCK (Cochran, K. F, 1991).
Jumlah mahasiswa yang terlibat pada perkuliahan ini sebanyak 34 mahasiswa.
Penelitian ini dilakukan pada pembelajaran mata kuliah pengamatan dan pengukuran
IPA yang diberikan pada mahasiswa semester 1. Melalui mata kuliah ini capaian
pembelajaran mahasiswa adalah: membedakan observasi dan interpretasi, inferensi
dan simpulan; mengkomunikasikan data hasil pengukuran; melakukan percobaan
secara mandiri maupun bekerjasama dengan temannya; mempertangungjawabkan
kegiatan percobaan obyek fisis. Berdasarkan capaian pembelajaran ini, mahasiswa
setelah lulus dapat membelajarankan termometer pada siswa SMP secara kontekstual
dan sesuai dengan perkembangan kognitif siswa SMP.

HASIL PENELITIAN
Termometer klinis adalah termometer yang paling dikenal oleh mahasiswa.
Termometer ini digunakan oleh paramedis untuk mendiagnosis keadaan kesehatan
seorang pasien. Mahasiswa yang baru lulus dari sekolah menengah tingkat atas pun
lebih mengenal termometer klinis daripada termometer laboratorium. Bahkan ketika di
sekolah dasar siswa dilatih menjadi dokter kecil, juga dikenalkan termometer klinis
untuk mendiagnosis dirinya sendiri atau temannya yang sedang sakit. Namun demikian
masih ada mahasiswa belum terampil menggunakan termometer klinis dan membaca
hasil pengukurannya. Enam puluh dua persen siswa mengalami kesulitan dalam
membaca hasil pengukuran, karena warna raksa perak menyulitkan siswa mengamati
hasil pengukurannya.
Termometer klinis setelah digunakan, siswa diminta untuk menggambar
termometer ini. Hasil gambar yang ditunjukkan oleh siswa adalah: 1) menggambar
bentuk termometer, 2) menggambar reservoir dan pipa kapiler, 3) skala. Namun tidak
semua siswa menggambar selengkap ini, hanya 6% siswa menggambar bagian pipa
kapiler berlekuk. Sedangkan siswa yang menggambar skala pengukuran dengan benar
hanya 38%. Ketika siswa diminta menjelaskan cara menggunakan termometer,
pengisinya air raksa, batas skala pengukurannya 350C – 420C tetapi banyak yang tidak
tahu.
Siswa sudah pernah menggunakan termometer Lab, sehingga ketika
ditunjukkan termometer lab tidak ada wajah keterkejutan dengan termometer ini.
Keterkejutan yang muncul adalah cara siswa menggunakan termometer untuk

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


148
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

mengukur suhu air. Siswa menggunakan termometer dengan cara dikibas-kibaskan


untuk mengukur suhu suatu benda. setelah diukur lalu dengan tangannya kirinya
memegang reservoir termometer, sementara mata memandang skala dan membaca
hasil pengukurannya. Siswa mengatakan termometer laboratorium berisi alkohol
karena berwarna merah. Batas skalanya antara -10 sampai dengan 110 C sesuai yang
tertera pada termometer.
Setelah siswa yakin bahwa isi termometer adalah alkohol, dilanjutkan dengan
pertanyaan tentang titik didih alkohol. Hasil pencarian siswa dari sumber belajar yang
dimiliki adalah titik didih alkohol sebesar 79oC. Jika titik didih alkohol sebesar 79oC,
dilanjutkan dengan pertanyaan menantang "dapatkah termometer alkohol untuk
mengukur air mendidih?" Hasil penelitian menunjukkan semua siswa ragu dengan
jawaban semula bahwa isi termometer tersebut adalah alkohol, bahkan berubah
jawaban bahwa isi termometer tersebut adalah air raksa.

PEMBAHASAN
Termometer sebagai alat ukur suhu sudah dikenal oleh mahasiswa sejak di
jenjang pendidikan sekolah dasar sampai jenjang perguruan tinggi. Termometer yang
sudah dikenal dan dilihat oleh mahasiswa semester 1 adalah termometer badan dan
termometer laboratorium. Hasil dari diskusi lebih mendalam dengan mahasiswa
ternyata mereka sudah banyak termometer yang pernah dilihat oleh mahasiswa. Ini
menunjukkan kepeduliah mahasiswa terhadap lingkungannya rendah, bukan hanya
terhadap termometer saja tetapi, response mahasiswa calon guru IPA terhadap
peristiwa di lingkungan masih rendah (Sujarwanta, 2013).
Mahasiswa lebih banyak mengenal termometer sebagai alat ukur suhu badan
dibandingkan termometer laboratorium. Sebagian besar mahasiswa sudah pernah
menggunakan termometer ini, baik secara langsung atau melihat paramedis
menggunakan termometer badan untuk memeriksa kesehatan seorang pasien.
Mahasiswa mampu mendemonstrasikan cara menggunakan termometer ini
sebagaimana yang dilakukan paramedis ketika memeriksa pasien. Meniru merupakan
cara belajar yang paling sederhana, bahkan dengan meniru dapat mempercepat
proses terjadinya perubahan pada peserta didik (Yulinawati, Hartati & Sawitri, 2009).
Meniru dapat diterapkan pada pembelajaran yang menekankan pada ranah
psikomotorik, namun tidak untuk ranah kognitif. Meniru hanya muncul di bagian yang
tampak saja sehingga pada aspek pengetahuan tidak dapat diketahui
perubahanannya. Ketika meniru ini menjadi bagian inti dari pembelajaran, maka
pebelajar akan menggunakan keterampilannya ini untuk peristiwa yang lain. Inilah
yang terjadi ketika mahasiswa menggunakan termometer laboratorium, termometer
juga digoyang-goyangkan sebelum digunakan. Alasan mahasiswa menggoyang-
goyangkan termometer adalah agar suhunya turun, atau mengenolkan (zero adjust).
Mahasiswa menganalogikan termometer lab sama dengan termometer badan, ini juga
ditunjukkan oleh mahasiswa yang menggunakan termometer badan untuk mengukur
suhu air. Analogi yang salah akan mengakibatkan kesalahan konsep. Meskipun
demikian hasil penelitian dari Hasanah (2012) menunjukkan penggunaan analogi dapat
memudahkan siswa menguasai konsep Fisika.
Pembelajaran IPA di sekolah menengah belum menampilkan proses yang
kontekstual. Hal ini ditunjukkan oleh mahasiswa belum bisa membedakan antara
alkohol dan air raksa. Siswa sudah hafal tentang air raksa dan alkohol, tetapi belum

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


149
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

cukup mampu membedakan keduanya secara fisis. Hal ini juga terjadi pada
mahasiswa, mahasiswa lebih mengenal tekstual dari pada kontekstual (Sarwanto,
2012). Penggunaan fenomena fisis dalam pembelajaran akan mengarahkan proses
pembelajaran berlangsung secara kontekstual (Rusli, A., & Waldrip, B. 2015).
Proses membangun pengetahuan agar mantap, diawali dengan memberikan
fenomena yang menyebabkan konsep pada mahasiswa mengalami
goyah/disequilbrium (Powell dan Kalina, 2009). Proses ini akan mengakibatkan
terjadinya konflik kognitif pada pemikiran mahasiswa (Greene, et al. 2004). Pada saat
terjadi konflik kognitif antara pemikiran siswa dan fakta yang dilihat saat itu
berlawanan. Ketika siswa berfikir bahwa isi termometer adalah alkohol berwarna
merah, namun dalam pemikirannya alkohol mendidih pada suhu 79oC, sedangkan air
raksa mendidih pada suhu 356oC, menambah keyakinannya bahwa pengisi
termometer adalah air raksa. Namun ketika ditanyakan "apakah air raksa dapat
diwarnai?", pada saat ini mahasiswa timbul dua pendapat, dapat diwarnai dan tidak
dapat diwarnai. Berdasarkan hasil temuan ini ternyata konflik kognitif juga mampu
menumbuhkan motivasi belajar (Limon, 2001). Ketika pebelajar merasa sudah memiliki
konsep yang sama dengan yang akan dipelajari, maka motivasi untuk belajar akan
rendah. Dengan memelihara rasa ingin tahu (curiosity) ini maka mahasiswa akan
tertarik untuk tetap belajar meskipun di luar jam pembelajaran (Machin, 2014).
Mahasiswa dalam mencari tahu ini melalui tahapan dengan eksperimen dan
diskusi. Pada tahapan ini mahasiswa diajak untuk mengamati perubahan titik didih air
ketika tekanannya berubah. Proses ini merupakan proses asimilasi. Proses asimilasi
mahasiswa mengkonstruk pengetahuannya untuk menghubungkan skemata yang
sudah dimiliki sebelumnya menjadi suatu rangkaian baru (Renner, J. W., & Marek, E.
A. 1990). Mahasiswa sudah tahu titik didih, sudah tahu tekanan tapi belum mampu
mengaitkan dengan tekanan dengan titik didih. Proses menghubungkan antar skemata
yang sudah dimiliki oleh peserta didik ini membutuhkan kesabaran, kehati-hatian agar
tidak salah menghubungkan. Kesalahan dalam mengasimilasikan skemata yang
dimiliki pebelajar rentan mengakibatkan terjadinya salah konsep (Maier, 2004).
Tahap berikutnya adalah menghubungkan kembali hasil percobaan dengan
fenomena yang diangkat dalam pembelajaran. Proses ini merupakan proses
akomodasi. Pada proses akomodasi mahasiswa menerapkan pengetahuan yang
diperoleh melalui asimilasi, menjadi pengetahuan yang baru (Maier, 2004). Tidak
semua mahasiswa mampu dengan cepat menerapkan dalam situasi baru. Faktor
kemampuan berfikir tingkat tinggi berpengaruh terhadap kecepatan mengendapkan
pengetahuan yang diperolehnya. Setelah pengetahuan baru ini tertanam dalam pikiran
mahasiswa dengan baik, maka terjadi keseimbangan pemikiran (equilibium).
Keseluruhan proses dari disequilibrium, asimilasi, akomodasi, dan ekulibrasi ini dikenal
dengan tahapan perkembangan proses berfikir menurut Piaget.

PENUTUP
Kesimpulan
Ditemukan kesalahan dalam penggunaan termometer sebagai alat ukur suhu.
Kesalahan tersebut antara lain: cara memegang termometer pada bagian reservoirnya;
termometer lab sebelum digunakan digoyang-goyang dahulu; isi termometer yang
berwarna merah dikatakan air raksa. Penggunaan pembelajaran problem based
learning mampu mengubah kesalahan penggunaan dan persepsi mahasiswa tentang

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


150
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

termometer. Proses problem based learning dengan dipadukan step disekuilibrasi,


asimilasi, akomodasi dan ekulibrasi mengubah konsepsi mahasiswa tentang
termometer. Penggunaan istilah air raksa menjadi raksa perlu dilakukan agar
mahasiswa mengenali sifat raksa tidak sama dengan sifat air.

DAFTAR RUJUKAN
Chamoun, M. (2005). Measuring Temperature: The Thermometer. Australian Primary
Mathematics Classroom, 10(2), 30.
Cochran, K. F. (1991). Pedagogical Content Knowledge: A Tentative Model for
Teacher Preparation.
Hapkiewicz, A. (1992). Finding a List of Science Misconceptions. MSTA Newsletter, 38,
11-14.Greene, J. D., Nystrom, L. E., Engell, A. D., Darley, J. M., & Cohen, J. D.
(2004). The neural bases of cognitive conflict and control in moral
judgment. Neuron, 44(2), 389-400.
Hasanah, D. (2012, September). Analogi Sebagai Suatu Metode Alternatif Dalam
Pengajaran Sains Fisika Sekolah. In PROSIDING: Seminar Nasional Fisika dan
Pendidikan Fisika (Vol. 3, No. 5).
Limón, M. (2001). On the cognitive conflict as an instructional strategy for conceptual
change: A critical appraisal. Learning and instruction, 11(4), 357-380.
Machin, A. (2014). Implementasi pendekatan saintifik, penanaman karakter dan
konservasi pada pembelajaran materi pertumbuhan. Jurnal Pendidikan IPA
Indonesia (Indonesian Journal of Science Education), 3(1).
Maier, S. (2004). Misconception research and Piagetian models of intelligence. In Proc.
2004 Oklahoma Higher Education Teaching and Learning Conf.
Powell, K. C., & Kalina, C. J. (2009). Cognitive and social constructivism: Developing
tools for an effective classroom. Education, 130(2), 241.
Renner, J. W., & Marek, E. A. (1990). An educational theory base for science
teaching. Journal of Research in Science Teaching, 27(3), 241-246.
Rusli, A., & Waldrip, B. (2015). Implementasi Pembelajaran Berbasis Multi
Representasi Untuk Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika
Kuantum. Cakrawala Pendidikan, 1(1).
Sarwanto. (2012). Analisis Kemampuan Representasi Mahasiswa Pendidikan Sains
PPS UNS. Jurnal Materi dan Pembelajaran Fisika, 2.
Sujarwanta, A. (2013). Pengaruh Metode Quantum Learning Dan Pengetahuan
Tentang Lingkungan Terhadap Kepedulian Lingkungan. BIOEDUKASI Jurnal
Pendidikan Biologi, 4(1).
Thomaz, M. F. et al. 2003. An Attempt to Overcome Alternative Conceptions Related to
Heat and Temperature. Available: http://jcbmac.chem. brown.edu, February 13,
2003
Vaismoradi, M., Turunen, H., & Bondas, T. (2013). Content analysis and thematic
analysis: Implications for conducting a qualitative descriptive study. Nursing &
health sciences, 15(3), 398-405.
Yulinawati, I., Hartati, S., & Sawitri, D. R. (2009). Self-regulated learning mahasiswa
fast track. Online di http://eprints. undip. ac.
id/11134/1/Jurnal_SRL_Mahasiswa_Fast_Track. pdf.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


151
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Ekstrak Campuran Buah Mentimun (Cucumis sativus L.) dan


Daun Sirih (Piper betle L) sebagai Insektisida Nabati terhadap Intensitas
Serangan Hama Serangga Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.)
Desye Nurissa, Sonja V.T. Lumowa, Sri Purwati
FKIP Universitas Mulawarman, Jl. Muara Pahu Kampus Gunung Kelua, Samarinda
Email: nurisyadessy@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak campuran buah
mentimun (Cucumis sativus L) dan daun sirih (Piper betle L) sebagai insektisida nabati terhadap
intensitas serangan hama serangga pada tanaman mentimun (C. sativus L). Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5
perlakuan yaitu T0 (kontrol), T1 (ekstrak campuran 0%), T2 (ekstrak campuran 30%), T3
(ekstrak campuran 60%), T4 (ekstrak campuran 90%) dan 5 ulangan. Hasil analisis data
memberikan hasil Fhitung masing-masing perlakuan secara berturut-turut sebesar (55.00,
47.47, 45.20, 58.30) > Ftabel taraf signifikan 5% (3.01) dan 1% (4.77). Hal ini membuktikan
bahwa terdapat pengaruh sangat nyata atas pemberian ekstrak campuran buah mentimun dan
daun sirih sebagai insektisida nabati terhadap intensitas serangan hama serangga pada
tanaman mentimun.

Kata kunci: insektisida campuran, serangan serangga, Cucumis sativus, Piper betle

PENDAHULUAN
Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu jenis sayuran dari
keluarga labu-labuan (Cucurbitaceae) yang populer diseluruh dunia. Menurut Samadi
(2002), mentimun (C. sativus) merupakan salah satu jenis sayuran yang dapat
dimanfaatkan untuk kecantikan, menjaga kesehatan tubuh, dan mengobati beberapa
jenis penyakit. Kemudian Sumpena (2001) menambahkan, mentimun (C. sativus)
adalah salah satu sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Nilai gizi mentimun cukup baik karena sayuran buah ini merupakan sumber mineral
dan vitamin. Pembudidayaan mentimun meluas seluruh dunia, baik daerah beriklim
panas (tropis) maupun didaerah beriklim sedang (sub tropis). Di Indonesia tanaman
mentimun ditanam di daerah daratan rendah dan dataran tinggi 0–1000 meter di atas
permukaan laut. Dewasa ini Indonesia telah mengekspor buah mentimun ke beberapa
negara seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Inggris, Perancis, dan Belanda
(Samadi, 2002).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang hasil survei pertanian
tanaman hortikultura di Indonesia produksi mentimun periode 2010-2014 mengalami
penurunan. Tahun 2010 produksi mentimun di Indonesia adalah 547,141 ton, tahun
2011 turun menjadi 521,535 ton, penurunan juga terjadi pada tahun 2012 produksi
mentimun menjadi 511,525 ton, tahun 2013 turun menjadi 491,636 ton dan tahun 2014
juga mengalami penurunan produksi menjadi 477,989 ton. Penurunan produksi
mentimun ini juga ditunjukkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Holtikultura
Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2014 turun menjadi 15,303 ton sebelum
mencapai 18,163 ton pada tahun 2013.
Menurunnya produksi mentimun ini disebabkan beberapa kendala, diantaranya
terkait dengan budidaya mentimun yang meliputi iklim dan cuaca yang tidak menentu
dan gangguan berupa seranggan hama serta penyakit. Menurut Untung (2001),
serangan hama dapat mengakibatkan produksi tanaman menurun, baik kualitas,
bahkan bisa gagal panen. Beberapa hama yang sering terdapat pada tanaman
mentimun (C. Sativus) adalah kutu daun (Aphis gossypii), trips (Thrips parvispinus),

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


152
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

kutu kebul (Trialeurodes vaporarium), kumbang daun (Aulacophora similis), ulat daun
(Diaphania indica), dan lalat pengorok daun (Liriomyza spp) (Zulkarnain, 2013). Survei
lapangan yang telah dilakukan pada bulan Februari 2016 di kebun petani mentimun di
Gang Tanjung Sari, Kelurahan Loa Janan Ulu, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menemukan banyak daun mentimun yang
memperlihatkan kondisi daun yang rusak (bolong) dan menggulung. Kejadian ini cukup
tinggi, berdasarkan pengamatan peneliti kurang lebih dari 40% tanaman
memperlihatkan daun rusak pada usia tanaman 2 minggu.
Untuk menanggulangi hal tersebut petani sendiri mengungkapkan
menggunakan pestisida untuk menekan serangan hama. Pemakaian pestisida ini
dapat meninggalkan efek residu bahan kimia pada hasil pertanian yang kurang baik
bagi kesehatan. Selain itu aplikasi pestisida sintetis yang terus menerus menyebabkan
resistensi hama, resurgensi hama, timbulnya hama sekunder, matinya musuh alami
dan pencemaraan lingkungan (Pracaya, 2007). Penggunaan Insektisida sintetis yang
dinilai praktis untuk mengendalikan serangan hama khususnya serangga, ternyata
dapat membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitar bahkan bagi petani sendiri.
Sehingga dibutuhkan suatu alternatif lain yang tidak berdampak negatif seperti
insektisida nabati yang ramah lingkungan. Menurut Kardinan (1999), insektisida alami
relatif aman, sebab molekul racun yang berasal dari tumbuhan sebagian besar terdiri
dari nitrogen, oksigen, karbon dan hidrogen yang akan terurai di alam terbuka menjadi
senyawa-senyawa yang tidak berbahaya terhadap lingkungan.
Tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida nabati adalah buah
mentimun (Cucumis sativus L.). Dari data penelitian-penelitian yang telah dilakukan,
mentimun telah diakui bermanfaat sebagai obat, namun belum ada penelitian
mengenai pemanfaatan buah mentimun sebagai insektisida nabati atau alami. Namun,
berdasarkan Telaah Kandungan Kimia Ekstrak n- heksana Buah Mentimun (Cucumis
sativus L.) diketahui didalam buah mentimun terdapat dua isolat triterpenoid yang
mempunyai gugus –OH, -CH2-, CH3, C=O dan C-H dan tidak mempunyai ikatan
rangkap terkonjugasi (Laeliyatun dkk, 2006). Kemudian pada penelitian Siswanto, E.,
dkk (2014) dalam Uji Aktivitas Perasan Buah Mentimun (Cucumis sativus L.) sebagai
Biolarvasida terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti L menyatakan perasan buah
mentimun (C. Sativus L) memiliki efek sebagai lavarsida terhadap larva nyamuk Aedes
aegypti L. Hal ini menandakan mentimun memiliki senyawa metabolit sekunder alkaloid
dan saponin yang mampu memberikan efek insektisida terhadap hama serangga yang
menyerang, sehingga dapat diduga ekstrak buah mentimun (C. Sativus L) berpotensi
sebagai insektisida nabati.
Selain buah mentimun (C. Sativus L) yang dapat dimanfaatkan sebagai
insektisida nabati, famili tumbuhan lain yang dianggap merupakan sumber potensial
insektisida nabati adalah Meliacea, Annonaceae, Astraceae, Piperaceae dan Rutaceae
(Kardinan, 2002). Salah satu tumbuhan lainnya yaitu daun sirih (Piper betle L).
Menurut Nugroho (2003), daun sirih (Piper betle L.) termasuk dalam famili piperaceae
(sirih-sirihan) yang mengandung minyak atsiri dan senyawa alkaloid. Senyawa-
senyawa seperti sianida, saponin, tanin, flavonoid, steroid, alkanoid dan minyak atsiri
diduga dapat berfungsi sebagai insektisida (Aminah, 1995).
Beberapa hasil penelitian-penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk
membuktikan penggunaan ekstrak daun sirih sebagai insektisida. Salah satunya oleh
Widajat, dkk (2008) tentang Dosis Insektisida Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L)

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


153
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

terhadap Culex sp dengan potensi 50% menunjukkan bahwa dari ekstrak daun sirih
(Piper betle L) memiliki efek insektisida terhadap nyamuk Culex sp dengan potensi
50% dicapai pada dosis 5.104 ppm dengan waktu 15 menit. Karena memiliki potensi
membunuh nyamuk Culex sp maka dapat diduga daun sirih (Piper betle L) dapat
menekan intensitas serangan hama yang berasal dari kelas insecta atau serangga.
Insektisida nabati dapat digunakan dalam bentuk tunggal atau campuran.
Penggunaan insektisida nabati dalam bentuk campuran yang bersifat sinergis dapat
mengefisienkan penggunaan bahan tumbuhan dan mengurangi ketergantungan pada
satu jenis tumbuhan (Dadang & Prijono 2008). Ekstrak Piper spp. yang mengandung
senyawa yang memiliki gugus metilendioksifenil (MDP) dapat bersifat sinergis bila
dicampurkan dengan ekstrak tumbuhan lain (Scott et al, 2008).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merasa perlu melakukan penelitian
tentang Pengaruh Ekstrak Campuran Buah Mentimun (Cucumis sativus L.) dan Daun
Sirih (Piper betle L) sebagai Insektisida Nabati terhadap Intensitas Serangan Hama
Serangga Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.).

METODE PENELITIAN
Penelitian berjenis eksperimen. Penelitian akan dilaksanakan selama tiga bulan
di lahan mentimun Gang Tanjung Sari, Kelurahan Loa Janan, Kecamatan Loa Janan
Ulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Adapun alat dalam penelitian ini
yaitu alat tulis, blender, botol 1 liter, botol sprayer, ember, kamera, pisau, saringan,
sendok, tali rafia dan timbangan. Kemudian bahan dalam penelitian ini adalah air 300
ml, buah mentimun (Cucumis sativus L) 100 gram, daun sirih (Piper betle L) 100 gram,
detergen 3 gram dan pupuk kandang. Prosedur penelitian terdiri atas tahap persiapan
media tanam, penanaman benih, pembuatan ekstrak buah mentimun (Cucumis sativus
L), pembuatan ekstrak daun sirih (Piper betle L), pembuatan ekstrak campuran buah
mentimun dan daun sirih, aplikasi ekstrak buah mentimun dan daun sirih sebagai
insektisida nabati, pemeliharaan tanaman, menghitung intensitas serangan hama.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 5 perlakuan (termasuk kontrol) masing-masing
diulang sebanyak 5 kali ulangan sebagai kelompok. Jumlah perlakuan dalam penelitian
ini adalah 5 perlakuan dan jumlah ulangan dalam penelitian ini adalah 5 kali ulangan
sehingga jumlah pengukuran yang akan diteliti adalah 25 kelompok termasuk kontrol.
Jadi jumlah seluruh tanaman yang digunakan 125 buah tanaman.
Adapun metode pengumpulan data penelitian dilakukan dengan metode
dokumentasi dan mengamati intensitas kerusakan tanaman yaitu daun dan buah. Data
yang telah diperoleh, dimasukkan ke dalam tabel rancangan penelitian setelah itu
dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANAVA). Jika analisis menunjukkan
perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan
taraf signifikan 5%.

HASIL PENELITIAN
a. Intensitas Serangan Serangga Hama pada Daun Tanaman Mentimun (Cucumis
sativus L)
Intensitas serangan serangga hama dalam penelitian ini dilihat dari
kerusakan daun pada tanaman mentimun (Cucumis sativus L.) yang sebelumnya telah
diberikan beberapa perlakuan dengan pengaplikasian pestisida nabati yang diperoleh

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


154
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

dari ekstrak campuran buah mentimun (C. sativus L.) dan daun sirih hijau (Piper betle
L.). Dari data yang diperoleh 125 sampel tersebut dirata-ratakan dengan setiap
kelompok kemudian dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAK) dan metode
Analysis of Variance (ANAVA) yang selanjutnya diuji menggunakan Beda Nyata
Terkecil (BNT) taraf 5%. Berikut ini merupakan hasil perbedaan antara kelima
perlakuan terhadap parameter penelitian.
Tabel 1. Analisis Sidik Ragam pada Usia 21 Hari Setelah Tanam
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Ftabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Fhitung 0.05 0.01
Kelompok 4 0.0701 0.0175 3.95* 3.01 4.77
Perlakuan 4 0.9772 0.2443 55.00** 3.01 4.77
Galat 16 0.0711 0.0044
Total 24 1.1183
Sumber : Hasil Penelitian (2016)
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata
* = berpengaruh nyata
** = berpengaruh sangat nyata

Berdasarkan data tersebut hasil pengujian terhadap kelompok diperoleh nilai


Fhitung (3.95) > Ftabel taraf signifikan 5% yaitu (3.01). Hal ini menunjukkan bahwa
pengelompokkan yang dilakukan berhasil dalam mengendalikan keragaman data.
Kemudian, hasil pengujian terhadap perlakuan diperoleh nilai Fhitung (55.00) > Ftabel
taraf signifikan 1% yaitu (4.77). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa terdapat
pengaruh ekstrak campuran buah metimun dan daun sirih terhadap intensitas
serangan hama serangga pada tanaman mentimun. Selanjutnya, untuk mengetahui
lebih lanjut pengaruh ekstrak campuran buah mentimun (Cucumis sativus L) dan
daun sirih hijau (Piper betle L) terhadap intensitas serangan hama serangga pada
tanaman mentimun (Cucumis sativus L) pada usia 28 hari setelah tanam dilakukan
lagi perhitungan intensitas serangan hama serangga pada tanaman mentimun
(Cucumis sativus L) yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Sidik Ragam pada Usia 28 Hari Setelah Tanam
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Ftabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Fhitung 0.05 0.01
Kelompok 4 0.0685 0.0171 3.31* 3.01 4.77
Perlakuan 4 0.9837 0.2459 47.47** 3.01 4.77
Galat 16 0.0829 0.0052
Total 24 1.1351
Sumber : Hasil Penelitian (2016)
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata
* = berpengaruh nyata
** = berpengaruh sangat nyata

Berdasarkan data tersebut hasil pengujian terhadap kelompok diperoleh nilai


Fhitung (3.31) > Ftabel taraf signifikan 5% yaitu (3.01). Hal ini menunjukkan bahwa
pengelompokkan yang dilakukan berhasil dalam mengendalikan keragaman data.
Kemudian, hasil pengujian terhadap perlakuan diperoleh nilai Fhitung (47.47) > Ftabel
taraf signifikan 1% yaitu (4.77). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa terdapat
pengaruh ekstrak campuran buah metimun dan daun sirih terhadap intensitas
serangan hama serangga pada tanaman mentimun.
Tabel 3. Analisis Sidik Ragam pada Usia 35 Hari Setelah Tanam
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Fhitung Ftabel

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


155
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 0.05 0.01


Kelompok 4 0.1014 0.0253 4.04* 3.01 4.77
Perlakuan 4 1.1337 0.2834 45.20** 3.01 4.77
Galat 16 0.1003 0.0063
Total 24 1.3355
Sumber : Hasil Penelitian (2016)
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata
* = berpengaruh nyata
** = berpengaruh sangat nyata

Berdasarkan data tersebut hasil pengujian terhadap kelompok diperoleh nilai


Fhitung (4.04) > Ftabel taraf signifikan 5% yaitu (3.01). Hal ini menunjukkan bahwa
pengelompokkan yang dilakukan berhasil dalam mengendalikan keragaman data.
Kemudian, hasil pengujian terhadap perlakuan diperoleh nilai Fhitung (45.20) > Ftabel taraf
signifikan 1% yaitu (4.77). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh
ekstrak campuran buah metimun dan daun sirih terhadap intensitas serangan
hama serangga pada tanaman mentimun.
Berdasarkan perhitungan intensitas serangan hama serangga pada tanaman
mentimun (Cucumis sativus L) pada tabel 4 maka selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan Analysis of Variance (ANAVA). Perhitungan dapat dilihat pada
lampiran, dimana diperoleh hasil dapat dilihat pada tabel 21 berikut.
Tabel 4. Analisis Sidik Ragam pada Usia 42 Hari Setelah Tanam
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Ftabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Fhitung 0.05 0.01
Kelompok 4 0.0702 0.0175 4.17* 3.01 4.77
Perlakuan 4 0.9804 0.2451 58.30** 3.01 4.77
Galat 16 0.0673 0.0042
Total 24 1.1178
Sumber : Hasil Penelitian (2016)
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata
* = berpengaruh nyata
** = berpengaruh sangat nyata

Berdasarkan data tersebut hasil pengujian terhadap kelompok diperoleh nilai


Fhitung (4.17) > Ftabel taraf signifikan 5% yaitu (3.01). Hal ini menunjukkan bahwa
pengelompokkan yang dilakukan berhasil dalam mengendalikan keragaman data.
Kemudian, hasil pengujian terhadap perlakuan diperoleh nilai Fhitung (58.30) > Ftabel
taraf signifikan 1% yaitu (4.77). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa terdapat
pengaruh ekstrak campuran buah metimun dan daun sirih terhadap intensitas
serangan hama serangga pada tanaman mentimun.

b. Identfikasi Jenis Hama pada Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L)


Dalam penelitian ini ditemukan pula beberapa jenis hama serangga yang
menyerang tanaman mentimun yang dapat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Hama Yang Ditemukan Selama Penelitian
No Nama Ordo Famili
1 Kumbang daun (Aulacophora similis) Coleoptera Chrysomelidae
2 Kutu kebul (Trialeurodes vaporariorum) Hemiptera Aleyrodide
3 Ulat mentimun (Diaphania indica) Lepidoptera Pyralidae
4 Lalat pengorok daun (Liriomyza sp.) Diptera Agromyzidae

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


156
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Serangga hama pada tabel tersebut menimbulkan kerusakan pada daun


yang dapat terlihat secara kasat mata.

A C
B

Gambar 1. (A) Aulacophora similis ; (B) dan (C) Gejala yang Ditimbulkan Daunnya Berlubang
Dimakan Kumbang (Hasil Penelitian, 2016)

Pada gambar 1 merupakan kumbang daun (Aulacophora similis). Kumbang ini


merupakan hama utama pada saat penelitian. Hal ini karena hama tersebut paling
banyak tersebar dan selalu ditemukan pada saat pengamatan. Hal ini sesuai dengan
pendapat CABI (2005) menyatakan Aulacophora similis tersebar luas di kawasan Asia
dan Pasifik, terutama Asia Selatan, Asia tenggara dan Asia Timur.
Aulocophora sp. merupakan hama utama pada tanaman Famili Cucurbitaceae,
seperti mentimun, semangka, dan melon. Kemudian menurut Tarno (2003) populasi
serangga ini pada tanaman mentimun, lebih tinggi dibandingkan populasi hama
mentimun yang lain. Selain itu, pada gambar 16 tersebut terlihat pula gejala kerusakan
yang ditimbulkan adalah adanya daun yang berlubang akibat aktifitas makan kumbang.
Kerusakan atau lubang yang disebabkan oleh kumbang daun dapat dibedakan sangat
jelas karena daun yang terserang seperti memiliki lubang yang melingkar. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Wiguna (2013) Gejala khas yang ditunjukkan serangga ini
adalah lubang gerekan pada daun yang membentuk semisirkuler. Aktifitas makannya
pada daun dilakukan dengan cara memutar tubuhnya menggunakan ujung poros
abdomen, sehingga menghasilkan luka melingkar dan pada akhirnya lingkaran
tersebut akan luruh sehingga membentuk luka melingkar yang besar. Selanjutnya
hama serangga kutu kebul (Trialeurodes vaporariorum) dapat dilihat pada gambar 2
berikut.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


157
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Gambar 2. Kutu Kebul (Trialeurodes vaporariorum) di Daun Mentimun (Hasil Penelitian, 2016)

Pada saat pengamatan kutu kebul sering ditemui di daerah pucuk daun.
Serangga ini muncul saat pengamatan usia 35 hari setelah tanam. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Prabowo (2009) kutu kebul yang dijumpai tergolong Trialeurodes
vaporariorum terdapat pada daun daun bagian atas (pucuk tanaman). Menurut
Vaishampayan dan Kogan (1980) imago kutu kebul cukup selektif dalam memilih
tempat untuk makan dan bertelur.
Gejala serangan hama ini tidak bisa ditemukan atau terlihat oleh peneliti saat
pengamatan. Hal ini sesuai menurut Prabowo (2009) kerusakan yang diakibatkan T.
vaporariorum adalah adanya bercak-bercak kecil akibat nimfa dan imago yang
menghisap cairan dari daun tanaman, namun kerusakan yang ditimbulkan seringkali
tidak terlihat. Selanjutnya hama serangga ulat mentimun (Diaphania indica) dapat
dilihat pada gambar 3 berikut.

Gambar 3. (A) Larva Serangga (Diaphania indica) atau Dikenal Sebagai Ulat Mentimun ; (B)
Daun yang Terserang Ulat Mentimun Saat Usia 14 Hari Setelah Tanam (HST) (Hasil
Penelitian, 2016)

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


158
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pada gambar 2 tersebut terlihat ulat mentimun memiliki warna hijau dan dua
garis putih tubuh di sepanjang tubuhnya. Gejala serangan hama serangga ini
memakan bagian daun sehingga menyebabkan daun rusak dan bolong. Pada
serangan berat dapat tersisa hanya tangkai daun saja. Menurut CABI (2005) Larva
memakan daun, batang muda yang lunak dan menggerek buah. Kerusakan yang
paling merugikan adalah jika larva menyerang buah mentimun. Pada buah yang
terserang terlihat lubang pada permukaan buah, menyebabkan buah menjadi tidak
layak untuk dikonsumsi dan dijual serta menyebabkan buah menjadi cepat busuk.
Selanjutnya gejala serangan hama lalat pengorok daun (Liriomyza sp.) dapat
dilihat pada gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. (A) Gejala Serangan yang Disebabkan Liriomyza sp.; (B) Lalat Penggorok Daun
(Liriomyza sp.) (Hasil Penelitian, 2016)

Pada gambar tersebut terlihat gejala serangan Liriomyza sp. yang ditandai oleh
garis-garis putih pada permukaan daun. Gejala ini hampir ditemukan setiap
pengamatan setiap minggunya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prabowo (2009)
tanaman yang terserang oleh lalat pengorok daun memperlihatkan gejala yaitu pada
bagian daun terdapat bintik-bintik akibat tusukan ovipositor dan imago yang menghisap
cairan tanaman, selain itu gejala khasnya berupa liang korokan yang disebabkan larva
yang memakan jaringan mesofil, sehingga mengurangi kapasitas fotosintesis, hal ini
menyebabkan produksi buah menurun. Selain itu kerusakan akibat serangan lalat
pengorok daun juga dapat menyebabkan tanaman lebih mudah terserang penyakit dan
gugur daun sebelum waktunya.

PEMBAHASAN
Berdasarkan data pada hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi
konsentrasi ekstrak campuran buah mentimun (Cucumis sativus L) dan daun sirih

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


159
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

(Piper betle L) yang diberikan maka semakin rendah intensitas serangan hama
serangga pada tanaman mentimun (C. sativus L), begitupula sebaliknya. Hal ini dapat
terjadi karena pada konsentrasi tinggi mengandung senyawa aktif yang lebih banyak,
sehingga intensitas serangan hama serangga lebih sedikit. Sebagaimana diketahui
bahwa buah mentimun (Cucumis sativus L) mengandung senyawa kimia seperti
saponin, flavonoid dan alkaloid. Ketiga senyawa ini memiliki rasa pahit pada serangga
sehingga berfungsi sebagai antifeedent. Hal ini sesuai dengan pendapat Tekeli et al.
(2007) menyatakan saponin mempunyai sifat khas, seperti berasa pahit, membentuk
busa stabil dalam air, bersifat racun terhadap hewan berdarah dingin, seperti ikan,
siput, dan serangga. Kemudian hal ini ditambahkan pula oleh Savitri (2008), buah
mentimun mengandung senyawa flavonoid Secara biologis flavonoid memainkan
peranan penting dalam penyerbukan tanaman oleh serangga. Namun ada sejumlah
flavonoid mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat menolak serangga. Selain itu
Siswanto, E., dkk, (2014) menyatakan buah mentimun juga mengandung alkaloid.
Alkaloid memiliki sifat metabolit terhadap satu atau beberapa asam amino. Aktifitas
fisiologisnya bersifat racun dan memiliki rasa yang pahit. Selain itu, daun sirih (Piper
betle L) memiliki kandungan utama minyak atsiri yang cukup tinggi dan metabolit
sekunder cukup lengkap dalam hasil uji skrining fitokimia.
Inayati (2010) yang menyatakan positif terhadap senyawa alkaloid, flavonoid,
saponin, steroid, triterpenoid, tannin, dan kumarin. Hal ini ditambahkan pula oleh
Dubey et al. (2010) menyatakan bahwa aktivitas biologi minyak atsiri terhadap
serangga dapat bersifat menolak (repellent), menarik (attractant), racun kontak (toxic),
racun pernafasan (fumigant), mengurangi nafsu makan (antifeedant), menghambat
peletakan telur (oviposition deterrent), menghambat petumbuhan, menurunkan
fertilitas, serta sebagai antiserangga vektor. Dengan demikian, semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan maka kandungan bahan aktif dalam ekstrak buah
mentimun dan daun sirih lebih banyak, sehingga daya racun insektisida nabati semakin
tinggi dan akibatnya hama serangga tidak lagi memakan bagian tanaman yang
disukainya. Sedangkan pada konsentrasi rendah, bagian tanaman yang termakan
bersifat racun perut sehingga mengakibatkan kematian pada serangga. Cara kerja
insektisida racun perut dalam tubuh serangga yakni insektisida tersebut masuk
kedalam organ pencernaan dan diserap oleh dinding saluran pencernaan serangga.
Selanjutnya insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh ke tempat yang mematikan.
Hal ini dijelaskan pula oleh Gandahusada, (1998) menyatakan alat pencernaan
makanan serangga terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian depan, tengah dan belakang.
Bagian depan dan belakang mempunyai dinding dengan susunan seperti dinding
tubuh, sehingga penyerapan pada bagian depan dan belakang sama dengan
penyerapan pada dinding tubuh. Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui
mulut, jadi harus dimakan. Biasanya serangga yang diberantas dengan menggunakan
insektisida ini mempunyai bentuk mulut menggigit dan bentuk mengisap.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini kerusakan daun tanaman mentimun lebih
banyak terjadi pada tanaman yang disemprotkan ekstrak dengan konsentrasi rendah
maupun tanaman kontrol. Sebab, pada tanaman tersebut serangga masih dapat
memakan bagian daunnya, hingga pada akhirnya mati secara perlahan. Selain sebagai
racun perut, kandungan zat yang terdapat pada buah mentimun dan daun sirih juga
berperan sebagai racun pernafasan dan dapat merusak sistem saraf serangga. Hal ini
sesuai dengan pendapat Harborne (1987) dalam Siswanto, E., dkk, (2014) bila

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


160
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

senyawa flavonoid masuk kemulut serangga dapat mengakibatkan kelemahan pada


saraf dan kerusakan pada spirakel sehingga serangga tidak bisa bernafas dan
akhirnya mati. Selain itu, kelompok flavonoid yang berupa isoflavon juga memiliki efek
pada reproduksi serangga, yakni menghambat proses pertumbuhan serangga.
Sedangkan pada konsentrasi tinggi (khususnya pada konsentrasi 90%) aktivitas
makan serangga menjadi berkurang, karena semakin tinggi konsentrasi ekstrak
campuran buah mentimun dan daun sirih maka ekstrak yang dihasilkan akan semakin
pekat dan berbau sangat menyengat. Hal ini dikarenakan pada campuran daun sirih
memiliki karakteristik senyawa yang mengeluarkan bau khas yang bersifat volatile
(mudah menguap) (Sari, dkk., 2013 dalam Eka, 2014). Oleh sebab itu, pada
konsentrasi tinggi (khususnya pada konsentrasi 90%) kerusakan daun akibat serangan
hama serangga pada tanaman mentimun sangat rendah.
Selama penelitian, kerusakan daun tanaman mentimun tampak dari banyaknya
lubang-lubang pada daun tersebut. Kerusakan terjadi umumnya pada daun muda.
Pada daun yang cukup lebar, kerusakan daun umumnya kecil-kecil, namun pada
tanaman kontrol terdapat pula lubang-lubang besar pada daun. Pada beberapa
tanaman sampel tampak pula bagian permukaan daun bergaris keputih-putihan.
Menurut Prabowo (2009) tanaman yang terserang oleh lalat pengorok daun
memperlihatkan gejala yaitu pada bagian daun terdapat bintik-bintik akibat tusukan
ovipositor dan imago yang menghisap cairan tanaman, selain itu gejala khasnya
berupa liang korokan yang disebabkan larva yang memakan jaringan mesofil, sehingga
bila dilihat dari jauh nampak garis berwarna keputih-putihan.
Hanya terdapat beberapa serangga hama selama pengamatan dalam
penelitian kali ini. Beberapa serangga hama yang tampak, antara lain kumbang daun
(Aulacophora similis), kutu kebul (Trialeurodes vaporariorum), ulat mentimun
(Diaphania indica) dan lalat pengorok daun (Liriomyza sp.).
Secara umum, pada sebagian besar pertanian tanaman mentimun, kumbang
daun (Aulacophora similis) merupakan hama utama yang menyerang tanaman
tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat CABI (2005) menyatakan Aulacophora
similis tersebar luas di kawasan Asia dan Pasifik, terutama Asia Selatan, Asia
tenggara dan Asia Timur. Aulocophora sp. merupakan hama utama pada tanaman
Famili Cucurbitaceae, seperti mentimun, semangka, dan melon. Kemudian menurut
Tarno (2003) populasi serangga ini pada tanaman mentimun, lebih tinggi dibandingkan
populasi hama mentimun yang lain. Pada saat penelitian pula kumbang daun
(Aulacophora similis) merupakan hama utama. Hal ini karena hama tersebut paling
banyak tersebar dan selalu ditemukan pada saat pengamatan setiap minggunya.
Tidak semua hama serangga ataupun ulat yang berpotensi sebagai hama pada
tanaman mentimun ditemukan dalam penelitian kali ini. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain sebagian hama serangga beraktifitas pada malam hari,
sementara pengamatan terhadap intensitas serangan hama serangga pada pagi hari
sehingga hanya beberapa hama serangga yang ditemukan. Faktor laim yang dapat
mempengaruhi adalah akibat bau menyengat yang ditimbulkan dari aplikasi ekstrak
campuran buah mentimun dan daun sirih dengan konsentrasi tinggi pada akhirnya
hama serangga menjauhi tanaman mentimun tersebut, sedangkan pada konsentrasi
rendah hama serangga masih dapat memakan daun mentimun, tetapi selanjutnya
dapat mati secara perlahan. Dengan ukuran tubuh yang begitu kecil, ulat yang mati

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


161
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

kemungkinan akan tercampur ditanah bendengan sehingga tak tampak pada saat
pengamatan.
Kendala utama yang terjadi selama pengaplikasian insektisida nabati dari
ekstrak campuran buah mentimun dan daun sirih terhadap tanaman mentimun dalam
penelitian ini adalah faktor alam (hujan). Beberapa kali tepat setelah ekstrak
diaplikasikan pada tanaman mentimun, hujan turun yang memungkinkan ekstrak yang
sebelumnya belum merekat pada bagian tanaman sudah lebih dahulu larut bersama
air hujan. Hal inilah yang memungkinkan efektifitas ekstrak campuran buah mentimun
dan daun sirih belum maksimal dalam mengatasi serangan hama serangga pada
tanaman mentimun selama proses penelitian kali ini.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka diperoleh kesimpulan
bahwa penggunaan insektisida nabati ekstrak campuran buah mentimun (Cucumis
sativus L) dan daun sirih (Piper betle L) berpengaruh nyata terhadap pengendalian
intensitas serangan hama serangga pada tanaman mentimun (C. sativus L) dengan
perlakuan yang paling menonjol dibandingkan perlakuan lain yaitu perlakuan T4
insektisida nabati ekstrak campuran buah mentimun dan daun sirih dengan
konsentrasi 90%.

DAFTAR RUJUKAN
Adnyana, dkk. 2012. Efikasi Pestisida Nabati Minyak Atsiri Tanaman Tropis terhadap
Mortalitas Ulat Bulu Gempinis. Jurnal Agroekologi Tropika 1(1): 1-11.
Alam, A. A. 2011. Kualitas Karaginan Rumput Laut Jenis Eucheuma spinosum di
Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Aminah, S. N. 1995. Evaluasi tiga jenis tumbuhan sebagai insektisida dan repelan
terhadap nyamuk di laboraturium. Tesis. Institut Pertanian Bogor. (online)
http://grey.litbang.depkes.go.id/, diakses 10 Maret 2016
Badan Pusat Statistik Kaltim, 2016, (online) kaltim.bps.go.id/, diakses 10 Maret 2016
Badan Pusat Statistik (BPS) Holtikultura, 2016, (online) http://www.bps.
go.id/Subjek/view/id/55, diakses 10 Maret 2016
Dubey, N. K. , B. Srivastava, and A. Kumar. 2008. Current Status Of Plant Products As
Botanical Pesticides In Storage Pest Management. J. of Biopesticides 1 (2):182-
186.
Dubey, N. K., R. Shukla, A. Kumar, P. Singh, and B. Prakash. 2010. Prospects of
Botanical Pesticides in Sustainable Agriculure.Current Science 4 (25): 479-480.
Ellya Sibagariang, Eva, dkk. 2010. Gizi Reproduksi Wanita. Trans Info Media, Jakarta.
Farhaki, 2015, Manfaat Daun Sirih, (online) http://www.farhaki.com/2015/11/9-manfaat-
daun-sirih-hijau.html, Diakses 13 Maret 2016
Gandahusada, S., Herry D.I,Wita Pribadi, 1998, Parasitologi Kedokteran Edisi III, FKUI,
Jakarta
Ginting, Paham & Syafrizal Helmi Situmorang. 2010. Filsafat Ilmu dan Metode Riset.
Medan: USU Press
Harborne, J.B., (1987), Metode Fitokimia Edisi Kedua, ITB: Bandung.
Hartati, Sri Yuni, 2012, Prospek Pengembangan Minyak Atsiri Sebagai Pestisida
Nabati, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Perspektif Vol. 11 No. 1
/Juni 2012. Hlm 45 - 58
Inayah, A., 2010. Uji Efek Analgeltik dan Antiinflamasi Ekstrak Etanol 70% Daun Sirih
(Piper betle Linn) Secara In Vivo, Skripsi Jurusan Farmasi, UIN: Jakarta

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


162
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Kardinan, A. 1999. Sumber Insektisida Alami. Dalam Kumpulan Bahan Pelatihan


Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami. Pusat Kajian
Pengendalian Hama Terpadu. IPB. Bogor.
Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Kartasapoetra, A., 1988. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. Bina Aksara. Jakarta.
Tapahillah T. 2002. Survei Lalat Pengorok Daun Liriomyza Spp. (Diptera:
Agromyzidae) dan Parasitoidnya pada Berbagai Tumbuhan Inang dan
Ketinggian Tempat di Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor
Tohir, A.M. 2010. Teknik Ekstraksi Dan Aplikasi Beberapa Pestisida Nabati Untuk
Menurunkan Palatabilitas Ulat Grayak (Spodoptera Litura Fabr.) di Laboratorium.
Buletin Teknik Pertanian 15(1): 37-40
Untung, K., 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Fakultas Pertanian.
Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Utami, Sylvia, 2011, Sehat dan Segar dengan Mentimun (Cucumis sativus L), (online)
http://ntb.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?view=article&catid
=53%3Aartikel&id=433%3Asehat-dan-segar-dengan-mentimun - cucumis
sativus-l&format=pdf&option=com_content&Itemid=49, diakses 29 Maret 2016
Widajat. M, Sudjari, & Putri. R.W.D. 2008. Dosis insektisida ekstrak daun sirih (Piper
betle) terhadap Culex sp dengan potensi 50%. Medika, Vol. 34 No. 5, Juni, page
322Arikunto,S.2010. Prosedur penelitian :Suatu Penelitian Praktik. Rineka Cipta :
Jakarta.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


163
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Ekstrak Kulit Buah Nanas (Ananas comosus (L.) Merr var.
cayenne) terhadap Intensitas Serangan Serangga Hama pada Tanaman
Kembang Kol (Brassica oleracea var. botrytis L. subvar. Cauliflora DC.)
sebagai Penunjang Mata Kuliah Entomologi
Elva Anggraini ZR, Sonja V.T. Lumowa, Helmy Hassan
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman
Email: elva_anggrainizr@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kulit buah nanas (Ananas comosus
(L.) Merr var. Cayenne) terhadap intensitas serangan hama pada tanaman kembang kol
(Brassica oleracea var. botrytis L. subvar. cauliflora DC.) . Penelitiian ini dilaksanakan selama
dua bulan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima
perlakuan (termasuk kontrol) yang diulang sebanyak dua puluh lima kali. Masing-masing
perlakuan yaitu 25 %, 50 %, 75 % dan kontrol (tanpa perlakuan) kemudian di analisis dengan
menggunakan Anaysis of Variance (ANAVA) dan dilanjutkan dengan uji BNJ 5%. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nilai masing-masing Fhitung (46,79) (212,3) (66,14) (194,96)
(82,11) > Ftabel (3,01) sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian pestisida nabati kulit buah
nanas dapat mengurangi intensitas serangan hama pada tanaman kembang kol.

Kata kunci: ekstrak kulit buah nanas (Ananas comosus (L.) Merr var. Cayenne), intensitas
serangan, kembang kol (Brassica oleracea var. botrytis L. subvar. cauliflora DC.)

PENDAHULUAN
Nanas (Ananas comosus (L..) Merr) merupakan salah satu jenis buah yang
terdapat di Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan buah
nanas, karena banyak dikonsumsi sebagai buah segar. Biasanya nanas dapat diolah
menjadi minuman yang segar seperti jus dan sirup dari nanas. Penelitian yang
dilakukan oleh Budiman, I dan Destina, T (2014) Buah Nanas (Ananas comosus (L..)
Merr) Varietas Cayenne dapat menurunkan tekanan darah, hal ini disebabkan karena
buah nanas mengandung vitamin C.
Didaerah tempat peneliti tinggal yaitu di Tenggarong Kota, sering peneliti
jumpai limbah kulit nanas varietas cayenne banyak menumpuk dipasar dan penjual
buah yang terbuang begitu saja. Limbah kulit nanas ini termasuk limbah organik yang
masih mengandung banyak nutrisi yang dapat dimanfaatkan. Namun limbah organik
dari kulit nanas ini merupakan limbah organik basah yang mengandung kadar air yang
cukup tinggi sehingga mudah membusuk. Apabila dibiarkan begitu saja tanpa
penanganan yang tepat akan mencemari lingkungan. Kulit buah nanas yang biasanya
menjadi limbah, jika dimanfaatkan dengan benar akan menjadi sebuah inovasi yang
baru, sehingga lingkungan juga tidak akan dicemari oleh sampah dari kulit buah nanas
tersebut.
Kulit nanas yang dibuang begitu saja sebagai limbah, mengandung vitamin C,
karotenoid dan flavonoid (Erukainure etal., 2011). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Hatam,dkk (2013) dapat diketahui bahwa ekstrak kulit nanas dengan
metode ekstraksi maserasi memiliki kandungan total flavonoid yaitu 3,51 µg/mL.
Kandungan senyawa aktif lain yang terdapat pada kulit nanas adalah saponin, tanin,
dan flavonoid yang bisa dimanfaatkan untuk pengendalian hama pada tanaman
melalui proses ekstraksi. Menurut Hatam (2013) E kstrak merupakan kumpulan
senyawa-senyawa dari berbagai golongan yang terlarut didalam pelarut yang sesuai,
termasuk didalamnya senyawa-senyawa aktif atau yang tidak aktif.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


164
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Ekstrak kulit nanas dapat digunakan pula sebagai bahan untuk mengendalikan
hama. Menurut Cahyono (2001) Hama adalah organisme perusak tanaman pada akar,
batang, daun atau bagian tanaman lainnya sehingga tanaman tidak dapat tumbuh
dengan sempurna atau mati.
Hama juga dapat merusak tanaman hortikultura, Salah satu tanaman yang
dibudidayakan Indonesia adalah jenis sayuran yaitu kembang kol. Para petani di Kutai
Kartanegara tempat peneliti tinggal beranggapan bahwa hama kembang kol terlalu
banyak hingga enggan menanam. Sebenarnya tidak demikian, jika setiap hari diamati
dan dilakukan pencegahan maka serangan hama tidak akan begitu berat sehingga
merugikan.
Kebanyakan hama yang menyerang tanaman kembang kol adalah ulat dan
kutu penghisap. Kemudian untuk mengatasi serangan hama biasanya para petani
menggunakan pestisida kimiawi. Namun, jika pestisida tersebut digunakan secara
berlebihan akan menimbulkan dampak yang buruk baik bagi kesehatan. Untuk
pengendalian hama tersebut, sebaiknya digunakan jenis pestisida yang mudah terurai
seperti pestisida nabati. Menurut Kardinan (2002) Pestisida nabati adalah pestisida
yang bahan aktifnya berasal dari tanaman atau tumbuhan dan bahan organik lainnya
yang berkhasiat mengendalikan serangan hama.
Atas dasar tersebut peneliti ingin memanfaatkan ekstrak dari limbah kulit buah
nanas (Ananas comosus (L.) Merr var. cayenne) yang mengandung senyawa-senyawa
aktif seperti alkaloid, flavonoid, tannin dan saponin untuk pertahanan hama serangga
pada tanaman kembang kol (Brassica oleracea var. botrytis L. subvar. Cauliflora DC.).

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah eksperimen sungguhan (True Eksperimental
Research) yang bertujuan untuk mengetahui atau menyelidiki kemungkinan saling
berhubungan sebab akibat dengan cara menekankan kepada satu atau lebih kelompok
eksperimental satu atau lebih kondisi perlakuan dari membandingkan hasilnya dengan
satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan (Nurboko, 2014).
Rancangan yang digunakan adalah menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK), karena lokasi penelitian dilakukan dilapangan yang terdiri dari 5 perlakuan
(termasuk control) masing-masing diulang sebanyak 5 kali sebagai kelompok. Menurut
Murdiyanto (2005) RAK (Rancangan Acak Kelompok) adalah rancangan paling
sederhana yang sesuai untuk percobaan di lapangan (field experiment).
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain blender,
baskom, mulsa, karung, cangkul, timbangan, hand-sprayer, saringan, gelas ukur, tali,
alat pengukur , kamera, alat tulis, benih Kembang kol (Brassica oleracea var.botrytis
L.subvar.Cauliflora DC.), kulit nanas (Ananas comosus (l.) Merr var. cayenne) 500 gr,
deterjen 2 gr, air, dan pupuk kandang.
Prosedur penelitian ini dimulai dari penyemaian benih kembang kol,
penanaman pada umur kembang kol 21 hari, pemeliharaan dengan penyiraman dan
pembersihan gulma, pengaplikasian ekstrak kulit nanas pada perlakuan yang berbeda
yaitu konsentrasi 25 %, 50 % , 75 % dan perlakuan kontrol, dan pemanenan.
Teknik pengumpulan data dilakukan setiap satu minggu sekali sampai 5
minggu. Menghitung intensitas serangan hama yang menyerang pada daun yaitu pada
21, 28, 35, 42 dan 49 hari setelah tanam dibedengan dengan rumus :
Ket : I = Intensitas Serangan (%)

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


165
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Dengan nilai skalanya yaitu 0 (tidak ada serangan hama/tanaman sehat),


1 (kerusakan < 25% serangan hama ringan), 2 (kerusakan 25-50% (serangan hama
sedang), 3 (kerusakan 50-75% (serangan hama berat), 4 (kerusakan > 75% serangan
hama sangat besar) (Leatemia, 2011).
Kemudian data-data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam –
rancangan acak kelompok dengan analisis of varian (ANOVA) dengan selang
kepercayaan 95%. Dan dilanjutkan dengan BNJ 5%. Cara perhitungan sebagai berikut
:
Keterangan :
FK = Faktor korelasi
K JKT = Jumlah Kuadrat total
JKK = Jumlah Kuadrat Kelompok
JKP = Jumlah Kuadrat Perlakuan
JKG = Jumlah Kuadrat Galat

JKG = JKT – JKK – JKP

HASIL PENELITIAN
1. Intensitas Serangan Hama Serangga Pada Daun Tanaman Kembang Kol
(Brassica oleracea var. botrytis L. subvar. Cauliflora DC.)
a. Umur 21 Hari Setelah Tanam
Tabel 1. Intensitas Serangan Hama Serangga Umur 21 Hari Setelah Tanam
Ulangan Total Rerata
Perlakuan
R1 R2 R3 R4 R5 TPj ȳPj
P0 72.67 74.48 73.90 77.26 65.62 363.93 72.79
P1 61.71 71.67 66.67 66.12 53.43 319.60 63.92
P2 59.57 52.83 35.29 46.40 30.90 225.00 45.00
P3 46.07 48.69 38.36 35.26 31.86 200.24 40.05
P4 39.24 30.57 36.10 27.81 27.02 160.74 32.15
Total (TRi) 279.26 278.24 250.31 252.86 208.83 1269.50 253.90

Tabel 2. Hasil Analisis Sidik Ragam umur 21 Hari Setelah Tanam


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F Hitung F Tabel (5%)
Keragaman Kebebasan (Db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Kelompok 4 656.11 164.03 5.33 4,16 = 3.01
Perlakuan 4 5763.22 1440.81 46.79 4,16 = 3.01
Galat 16 492.69 30.79
Total 24 6912.02
Keterangan : Koefisien Keragaman = 2,2

Dari jumlah Fhitung (46.79) > Ftabel (3.01) sehingga ekstrak kulit nanas berhasil
dapat mengurangi intensitas serangan hama.

Tabel 3. Uji Lanjut BNJ Taraf 5 % Umur 21 Hari Setelah Tanam


Nilai Tengah
Perlakuan Rerata (%)
72.79 63.92 45 40.05 32.15
P0 72.79 0 8.87 27.79* 32.74* 40.64*
P1 63.92 -8.87 0 18.92* 23.87* 31.77*
P2 45 -27.79 -18.92 0 4.95 12.85*
P3 40.05 -32.74 -23.87 -4.95 0 7.9
P4 32.15 -40.64 -31.77 -12.85 -7.9 0
Keterangan: *: berbeda nyata ( selisih > uji BNJ )

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


166
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

b. Umur 28 Hari Setelah Tanam


Tabel 4. Intensitas Serangan Hama Serangga Umur 28 Hari Setelah Tanam
Ulangan Total Rerata
Perlakuan
R1 R2 R3 R4 R5 TPj ȳPj
P0 83.81 78.77 83.57 85.48 77.29 408.92 81.78
P1 73.33 63.57 63.33 62.46 58.67 321.36 64.27
P2 42.26 42.03 44.51 46.98 37.50 213.28 42.66
P3 34.45 39.11 29.93 31.05 29.94 164.48 32.90
P4 30.02 21.11 28.78 21.75 23.38 125.04 25.01
Total (TRi) 263.87 244.59 250.12 247.72 226.78 1233.08 246.62

Tabel 5. Hasil Analisis Sidik Ragam umur 28 Hari Setelah Tanam


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F Hitung F Tabel (5%)
Keragaman Kebebasan (Db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Kelompok 4 141.75 35.44 2.76 4,16 = 3.01
Perlakuan 4 10913.52 2728.38 212.30 4,16 = 3.01
Galat 16 205.62 12.85
Total 24 11260.89
Keterangan : Koefisien Keragaman = 1,5

Dari jumlah Fhitung (212.30) > Ftabel (3.01) sehingga ekstrak kulit nanas berhasil
dapat mengurangi intensitas serangan hama.

Tabel 6. Uji Lanjut BNJ Taraf 5 Umur 28 Hari Setelah Tanam.


Nilai Tengah
Perlakuan Rerata (%)
81.78 64.27 42.66 32.9 25.01
P0 81.78 0 17.51* 39.12* 48.88* 56.77*
P1 64.27 -17.51 0 21.61* 31.37* 39.26*
P2 42.66 -39.12 -21.61 0 9.76* 17.65*
P3 32.90 -48.88 -31.37 -9.76 0 7.89*
P4 25.01 -56.77 -39.26 -17.65 -7.89 0
Keterangan : *: berbeda nyata ( selisih > uji BNJ )

c. Umur 35 Hari Setelah Tanam


Tabel 7. Intensitas Serangan Hama Serangga Umur 35 Hari Setelah Tanam
Ulangan Total Rerata
Perlakuan
R1 R2 R3 R4 R5 TPj ȳPj
P0 80.12 70.11 88.00 75.74 50.04 364.01 72.80
P1 68.89 59.98 56.23 51.49 37.24 273.83 54.77
P2 40.93 29.44 44.99 35.84 26.61 177.81 35.56
P3 28.40 28.42 25.52 22.27 18.77 123.38 24.68
P4 26.01 18.12 21.27 17.49 15.26 98.15 19.63
Total (TRi) 244.35 206.07 236.01 202.83 147.92 1037.18 207.44

Tabel 8. Hasil Analisis Sidik Ragam umur 35 Hari Setelah Tanam


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F Hitung F Tabel (5%)
Keragaman Kebebasan (Db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Kelompok 4 1148.87 287.22 7.78 4,16 = 3.01
Perlakuan 4 9762.02 2440.51 66.14 4,16 = 3.01
Galat 16 590.37 36.90
Total 24 11501.27
Keterangan : Koefisien Keragaman = 2,9

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


167
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Dari jumlah Fhitung (66,14) > Ftabel (3.01) sehingga ekstrak kulit nanas berhasil
dapat mengurangi intensitas serangan hama.

Tabel 9. Uji Lanjut BNJ Taraf 5 % Umur 35 Hari Setelah Tanam


Nilai Tengah
Perlakuan Rerata (%)
72.8 54.77 35.56 24.68 19.63
P0 72.80 0 18.03* 37.24* 48.12* 53.17*
P1 54.77 -18.03 0 19.21* 30.09* 35.14*
P2 35.56 -37.24 -19.21 0 10.88* 15.93*
P3 24.68 -48.12 -30.09 -10.88 0 5.05
P4 19.63 -53.17 -35.14 -15.93 -5.05 0
Keterangan: * : berbeda nyata selisih > uji BNJ)

d. Umur 42 Hari Setelah Tanah


Tabel 10. Intensitas Serangan Hama Serangga Umur 42 Hari Setelah Tanah
Ulangan Total Rerata
Perlakuan
R1 R2 R3 R4 R5 TPj ȳPj
P0 80.51 70.13 74.78 71.01 56.65 353.08 70.62
P1 57.50 53.33 51.34 56.70 43.33 262.20 52.44
P2 36.06 26.20 34.26 27.56 22.33 146.41 29.28
P3 22.33 24.48 19.17 18.81 20.95 105.74 21.15
P4 19.78 13.40 16.82 12.82 6.58 69.40 13.88
Total (TRi) 216.18 187.54 196.37 186.90 149.84 936.83 187.37

Tabel 11. Hasil Analisis Sidik Ragam umur 42 Hari Setelah Tanam
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F Hitung F Tabel (5%)
Keragaman Kebebasan (Db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Kelompok 4 463.95 115.99 8.18 4,16 = 3.01
Perlakuan 4 11063.49 2765.87 194.96 4,16 = 3.01
Galat 16 226.99 14.19
Total 24 11754.43
Keterangan : Koefisien Keragaman = 2,0

Diketahui bahwa Fhitung (194,96) > Ftabel (3.01), maka penggunaan ekstrak kulit
nanas berhasil dapat mengurangi intensitas serangan hama.

Tabel 12. Uji Lanjut BNJ Taraf 5 Umur 42 Hari Setelah Tanam
Nilai Tengah
Perlakuan Rerata (%)
70.68 52.44 29.28 21.15 13.88
P0 70.62 -0.06 18.18* 41.34* 49.47* 56.74*
P1 52.44 -18.24 0 23.16* 31.29* 38.56*
P2 29.28 -41.4 -23.16 0 8.13* 15.4*
P3 21.15 -49.53 -31.29 -8.13 0 7.27
P4 13.88 -56.8 -38.56 -15.4 -7.27 0
Keterangan : *: berbeda nyata (selisih > uji BNJ)

e. Umur 49 Hari Setelah Tanam


Tabel 13. Intensitas Serangan Hama Serangga Umur 49 Hari Setelah Tanam.
Ulangan Total Rerata
Perlakuan
R1 R2 R3 R4 R5 TPj ȳPj
P0 64.50 49.07 60.40 56.20 38.33 268.50 53.70
P1 55.22 43.64 48.22 40.63 39.16 226.87 45.37
P2 29.91 29.20 24.83 27.26 22.54 133.74 26.75
P3 28.52 25.29 15.08 20.19 11.28 100.36 20.07

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


168
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Ulangan Total Rerata


Perlakuan
R1 R2 R3 R4 R5 TPj ȳPj
P4 16.57 14.81 11.11 14.54 4.01 61.04 12.21
Total (TRi) 194.72 162.01 159.64 158.82 115.32 790.51 158.10

Tabel 14. Hasil Analisis Sidik Ragam berumur 49 Hari Setelah Tanam
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F Hitung F Tabel (5%)
Keragaman Kebebasan (Db) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Kelompok 4 637.87 159.47 8.65 4,16 = 3.01
Perlakuan 4 6053.09 1513.27 82.11 4,16 = 3.01
Galat 16 294.89 18.43
Total 24 6985.85
Keterangan : Koefisien Keragaman = 2,7

Tabel 15. Uji Lanjut BNJ Taraf 5 % Umur 49 Hari Setelah Tanam
Nilai Tengah
Perlakuan Rerata (%)
53.7 45.37 26.75 20.07 12.21
P0 53.70 0 8.33* 26.95* 33.63* 41.49*
P1 45.37 -8.33 0 18.62* 25.3* 33.16*
P2 26.75 -26.95 -18.62 0 6.68* 14.54*
P3 20.07 -33.63 -25.3 -6.68 0 7.86
P4 12.21 -41.49 -33.16 -14.54 -7.86 0
Keterangan : *: berbeda nyata ( selisih > uji BNJ )

2. Identifikasi Jenis Hama Pada Daun Tanaman Kembang Kol (Brassica oleracea var.
botrytis L. subvar. Cauliflora DC.)
Dalam penelitian ini ditemukan pula beberapa jenis hama serangga yang
menyerang tanaman kembang kol yaitu sebagai berikut :
Tabel 16. Serangga yang Ditemukan Selama Penelitian
NO NAMA SPESIES JUMLAH
1 Plutella xylostella L. 10
2 Atractomorpha crenulata 27

PEMBAHASAN
Penelitian dimulai dari proses penyemaian yaitu dengan cara menaruh biji atau
benih kembang kol pada tempat yang telah disiapkan dan telah disiram terlebih dahulu,
tujuannya adalah agar tanah untuk persemaian menjadi lembab. Kemudian tempat
yang telah ditaburi dengan biji ditutup dengan menggunakan karung agar menjaga
kelembaban dari tanah yang dapat mempercepat munculnya tunas atau kecambah
dari biji kembang kol (Cahyono, 2001). Penyemaian dilakukan selama 21 hari yaitu
sampai calon tanaman kembang kol siap atau berjumlah 5-6 daun untuk dipindahkan
pada lahan penelitian.
Pestisida nabati dibuat dengan mengolah ekstrak kulit nanas yang caranya
yaitu menyiapkan masing-masing 500 gram kulit nanas yang kemudian masing-masing
diblender dengan campuran 1500 ml air. Dalam hal pembuatan pestisida nabati
pelarut yang digunakan adalah air, hal ini bertujuan untuk benar-benar mengurangi
kandungan zat kimia yang dapat menimbulkan dampak negatif dalam
pengaplikasiannya pada tanaman.
Penyemprotan atau pemberian ekstrak kulit nanas dimulai saat tanaman
berumur 14 hari setelah tanam (HST) pada sore hari. Ekstrak kulit nanas diaplikasikan
setiap 3 hari sekali untuk meningkatkan efektifitas ekstrak tersebut dalam mengurangi

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


169
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

intensitas serangan hama serangga yang seringkali menyerang tanaman kembang kol.
Sebab, kelemahan penggunaan pestisida nabati adalah cepat terurai dan aplikasinya
harus lebih sering, daya racun rendah, tidak langsung mematikan serangga/memiliki
efek lambat (Kardinan, 2002).
Hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian, khususnya pada hari ke
21, 28, 35, 42 dan hari ke 49 setelah tanam menunjukkan bahwa intensitas serangan
hama serangga pada tanaman kembang kol yang diberikan ekstrak kulit nanas dengan
konsentrasi yang lebih tinggi mengalami serangan hama serangga yang lebih sedikit
dibandingkan tanaman kembang kol yang diberikan ekstrak kulit nanas dengan
konsentrasi lebih rendah maupun kontrol.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam intensitas serangan hama serangga
pada umur 21, 28, 35, 42 dan 49 hari setelah tanam juga menunjukkan bahwa
pemberian pestisida nabati kullit nanas pada tanaman kembang kol berpengaruh
nyata dalam hal menurunkan intensitas serangan hama. Hal ini dilihat dari F hitung
lebih besar dari pada F tabel.
Berdasarkan rata-rata intensitas serangan hama pada setiap umur pengamatan
kembang kol terlihat pestisida nabati kulit nanas memiliki rata-rata intensitas serangan
hama serangga yang hampir sama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Hatam,dkk (2013) dapat diketahui bahwa ekstrak kulit nanas dengan metode ekstraksi
maserasi memiliki kandungan total flavonoid yaitu 3,51 µg/mL yang dapat menurunkan
aktivitas makan pada hama atau bersifat antifidant. Hal ini dikarenakan kulit nanas
mengandung flavonoid yang juga salah satu senyawa yang terkandung dalam kulit
nanas, merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang bersifat menghambat
makan serangga dan toksis (sifat zat yang menyebabkan keracunan) (Dinata, 2009).
Cara kerja insektisida racun kontak yang masuk kedalam tubuh serangga melalui
lubang-lubang alami dari tubuh serangga. Setelah masuk racun akan menyebar ke
seluruh tubuh serangga dan menyerang system saraf sehingga dapat menganggu
aktivitas serangga dan serangga akan mati.
Berdasarkan pengamatan selama penelitian dan perhitungan yang dilakukan
membuktikan bahwa terdapat pengaruh nyata ekstrak kulit nanas terhadap intensitas
serangan hama serangga pada tanaman kembang kol. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan serangan hama yang sangat signifikan antara tanaman
kembang kol yang diberikan perlakuan dengan aplikasi pestisida nabati dari ekstrak
kulit nanas dibandingkan tanaman kembang kol yang tidak diberikan pestisida nabati
dari ekstrak kulit nanas. Hal ini membuktikan bahwa senyawa metabolit sekunder yang
terkandung dalam kulit nanas memang berpotensi sebagai zat racun bagi serangga
hama sehingga bisa dijadikan sebagai pestisida nabati.

PENUTUP
Kesimpulan
Penggunaan pestisida nabati kulit nanas (Ananas comosus (l.) Merr var.
cayenne) berpengaruh nyata terhadap pengendalian intensitas serangan hama pada
kembang kol (Brassica oleracea var. botrytis L. subvar. Cauliflora DC.) dengan
perlakuan paling menonjol pada P4 (ekstrak kulit nanas dengan konsentrasi 75%).

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


170
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Saran
Kepada para petani perlu menggunakan pestisida nabati dari kulit nanas
sebagai solusi dalam pestisida alternative yang murah dan ramah lingkungan.
Perlunya dilakukan penelitian lanjutan mengenai tanaman yang berpotensi sebagai
pestisida nabati untuk menanggulangi masalah Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT). Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk mata kuliah
entomologi dalam hal senyawa metabolit tumbuhan yang dapat membantu dalam
pengendalian hayati.

DAFTAR RUJUKAN
Budiman, I dan Destina, T. 2014. Efek Nanas (Ananas comosus (L..) Merr) Terhadap
Penurunan Tekanan Darah 2014. Universitas Kristen Maranatha
Cahyono, B. 2001. Kubis Bunga dan Brokoli. Kanisius : Yogyakarta
Erukairune, O. L., J. A. Ajiboye, R. O. Adejobi, O. Y. Okafor, S.O. Adenekan. 2011.
Protective effect of pineapple (ananas comosus) peel extract on Alcohol -
induced oxidative stress in brain tissues of male albinorats. Asian Pac. J.
Trop. Disease. 5-9.
Hatam, Sri Febriani. dkk , 2013. Aktivitas Antioksidan Dari Ekstrak Kulit
Nanas (Ananas comosus (L) Merr). FMIPA UNSRAT : Manado
Dinata, L. P. 2009. Formulasi Tablet Ekstrak Herba Tapak Dara (Catharantus roseus
(L) G. Don) dengan Bahan Pengikat Gelatin dan Gom Arab pada Berbagai
Konsentrasi. Universitas Muhammadyah Surakarta
Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Cetakan Keempat.
Penebar Swadaya : Jakarta
Leatemia, J.A. 2011. Studi Kerusakan Akibat Serangan Hama Pada Tanaman Pangan
di Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur, Propinsi Maluku.
Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1
Murdiyanto, Bambang. 2005. Rancangan Percobaan.http://ikanlaut.tripod.com/
xdesign.pdf. Diakses 13 Februari 2016 (18.45)
Nurboko. Achmadi. 2014. Metodologi penelitian. Jakarta : PT Bumi Aksara.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


171
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Ekstrak Daun Karamunting (Melastoma malabathricum L.)


terhadap Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium acnes
Febrian Ramadana, Didimus T. Boleng, Jailani
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman
Email: febrian.ramadana@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak daun karamunting
terhadap bakteri Propionibacterium acne. Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui pengaruh
ekstrak daun karamunting terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes, (2)
mengetahui besar konsentrasi daya hambat ekstrak daun karamunting yang terbaik terhadap
pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes. Jenis Penelitian ini termasuk penelitian
eksperimen. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan secara in vitro dengan metode difusi agar.
Penelitian ini menggunakan Rancangan acak lengkap (RAL), yang terdiri dari 4 perlakuan dan 3
ulangan. Tingkat konsentrasi yang diberikan adalah 100 μg, 75 μg, 50 μg,dan 25 μg. Parameter
yang dilihat adalah besarnya diameter zona bening pertumbuhan bakteri yang diukur dengan
menggunakan mistar. Hasil pengamatan ekstrak daun karamunting terhadap pertumbuhan
bakteri Propionobacterium acnes nilai F hitung (10,60) > F tabel (7,59) berarti terdapat
perbedaan perlakuan yang signifikan, uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf nyata 0,01 = 1,85
dihasilkan 3 kelompok signifikan. Hasil pengujian menunjukan ekstrak daun karamunting
mempunyai pengaruh sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri Propionobacterium
acnes dengan konsentrasi daya hambat yang terbaik pada konsentrasi 100 μg dengan rata-rata
Diameter Zona Hambat adalah 11,90 mm.

Kata kunci: daun karamunting (Melastoma malabathricum L.), Propionibacterium acnes

PENDAHULUAN
Daun karamunting (Melastoma malabathricum L.) merupakan tanaman perdu
yang dianggap gulma bagi petani namun memiliki banyak manfaat seperti daun
karamunting direbus bersama daun atau kembang papaya agar mengurangi rasa pahit
dan buah karamunting dapat dimakanan. Karamunting juga merupakan obat tradisional
yang digunakan dari berbagai etnis diprovinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Semua bagian tubuh karamunting dijadikan obat mulai dari akar, batang, daun dan
buah untuk mengobati penyakit sakit gigi, sakit perut disentri, demam, korengan dan
obat sariawan (KEMENKES RI, 2015).
Tumbuhan karamunting tumbuh liar pada tempat-tempat yang mendapat
cukup sinar matahari, seperti di lereng gunung, semak belukar, lapangan yang tidak
terlalu gersang, atau di daerah objek wisata sebagai tanaman hias.Tumbuh sampai
ketinggian 1.650 m di atas permukaan laut, merupakan tumbuhan perdu, tegak, tinggi
0,5-4m, banyak bercabang, bersisik, dan berambut. Karamunting memiliki daun
tunggal, bertangkai letak berhadapan silang. Helai daun bundar telur memanjang
sampai lonjong, tepi rata, permukaan berambut pendek sehingga teraba kasar.
Berbunga majemuk yang berwarna ungu kemerahan, buah masak akan merekah dan
berwarna ungu (Dalimartha, 2000).
Kota Samarinda merupakan kota besar dan sebagian penduduknya kurang
mengetahui tanaman obat keluarga (TOGA) , sehingga warga Samarinda memilih obat
modern. Data dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda penderita dermatis contac
alergica dari awal hingga akhir tahun 2015 sebanyak 6990 orang. Angka ini
menggambarkan masih banyak warga Samarinda yang mengalami masalah jerawat
(Dinkes, 2016).
Propionibacterium acnes termasuk bakteri yang tumbuh relatif lambat. Bakteri
ini tipikal bakteri anaerob Gram positif yang toleran terhadap udara. Genom dari bakteri
ini telah dirangkai dan sebuah penelitian menunjukkan beberapa gen yang dapat
menghasilkan enzim untuk meluruhkan kulit dan protein, yang mungkin immunogenic
(mengaktifkan sistem kekebalan tubuh) (Normadi, 2012).

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


172
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Akne terjadi ketika lubang kecil pada permukaan kulit yang disebut pori-pori
tersumbat. Pori-pori merupakan lubang bagi saluran yang disebut folikel, yang
mengandung rambut dan kelenjar minyak. Biasanya, kelenjar minyak membantu
menjaga kelembaban kulit dan mengangkat sel kulit mati. Ketika kelenjar minyak
memproduksi terlalu banyak minyak, pori-pori akan banyak menimbun kotoran dan
juga mengandung bakteri. Mekanisme terjadinya jerawat adalah bakteri
Propionibacterium acnes merusak stratum corneum dan stratum germinat dengan cara
menyekresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori. Kondisi ini dapat
menyebabkan inflamasi. Asam lemak dan minyak kulit tersumbat dan mengeras. Jika
jerawat disentuh maka inflamasi akan meluas sehingga padatan asam lemak dan
minyak kulit yang mengeras akan membesar (Pramasanti, 2008).
Antibakteri adalah zat yang menghambat pertumbuhan bakteri dan digunakan
secara khusus untuk mengobati infeksi. Mekanisme keja antibakteri dapat tejadi
melalui beberapa cara yaitu kerusakan pada dinding sel, perubahan permeabilitas sel,
dan menghambat sintesis protein dan asam nukleat. Banyak faktor dan keadaan yang
dapat mempengaruhi keja antibakteri, antara lain konsentrasi antibakteri, jumlah
bakteri, spesies bakteri, adanya bahan organik, suhu, dan pH lingkungan
mikroorganisme dan penghambatan siklus sel mikroba.Mekanisme kerja dari senyawa
antibakteri diantaranya yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan
permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim, dan menghambat sintesis
asam nukleat dan protein(Nofrian, 2011).
Menurut Ditjen POM dalam Ardhila (2010) ekstraksi adalah kegiatan penarikan
kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut
dengan pelarut cair. Cara ekstraksi yang tepat tergantung pada bahan tumbuhan yang
diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya
bahan-bahan dikeringkan lebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan
tertentu.
Metode antimikroba yang sering digunakan adalah metode difusi media
agar. Uji ini dilakukan pada permukaan medium padat. Miroba ditumbuhkan pada
permukaan medium dan kertas saring atau lubang yang dibuat pada media
(sumur). Setelah diinkubasi, diameter zona hambat diukur. Diameter zona
hambat merupakan pengukuran MIC secara tidak langsung dari antibiotik
terhadap mikroba (Aisyah, 2011).

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, yang bertujuan untuk
mengetahui apakah ada pengaruh ekstrak daun karamunting (Melastoma
malabathricum L.) terhadap pertumbuhan Propionibacterium acnes. Variabel bebas
pada pemberian variasi konsentrasi ekstrak daun karamunting, sedangkan variabel
terikat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes. Penelitian ini bersifat
eksperimen dan dilaksanakan pada bulan Maret hingga September 2016. Tempat
penilitian di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan (FHUT), Universitas
Mulawarman.
Rancangan Penelitian untuk menganalisis data hasil penelitian, dipergunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Pada
penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan anova satu
arah. Jika analisis menunjukkan perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan uji LSD
disebut juga Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf signifikan 1%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengukuran diameter zona hambat yang terbentuk menunjukkan bahwa
faktor perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes.
Hasil uji aktivitas antibakteri dengan variasi konsentrasi yaitu 100 μg, 75 μg, 50 μg, 25
μg ekstrak daun karamunting (Melastoma malabathricum L.) dari tiga kali ulangan.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


173
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Tabel 1. Data Diameter Zona Hambat yang Dihasilkan dengan Perlakuan Ekstrak Daun
karamunting terhadap Bakteri Propionibacterium acnes.
Perlakuan
Pengulangan (P) Jumlah Rata-rata
(U) P1 P2 P3 P4
I 12,7 9,7 9,7 8,7 40,80 10,20
II 11,3 10 10,3 10 41,60 10,40
III 11,7 9 9,3 8,3 38,30 9,58
Jumlah 35,70 28,70 29,30 27,00 120,70 30,18
Rata-rata 11,90 9,57 9,77 9,00 40,23 10,06

Berdasarkan Tabel 1. kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus


analisis varian (Anava) dan hasil yang didapatkan adalah:

Tabel 2. Tabel Analisis Ragam Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun karamunting (Melastoma
malabathricum L.) terhadap Bakteri Propionibacterium acnes.
Jumlah Rataan Ftabel
Sumber Keragaman Db Fhitung
Kuadarat Kuadrat 1%
Perlakuan 3 14,52 4,84
Galat 8 3,65 0,46 10,60* 7,59
Total 11 18,17 5,30
Keterangan : * = signifikan

Hasil dari F hitung = 10,60 sedangkan F tabel(0,01) = 7,59 dimana F hitung > F
tabel, berarti pengaruh ekstrak daun karamunting sebagai antibakteri dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes dengan kategori kuat.
Analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada (0,01) pada
lampiran dan nilai BNT yang didapatkan adalah 7,59. Perhitungan BNT ini dilakukan
sebagai acuan untuk menentukan signifikan atau nonsignifikan antar kelompok
perlakuan.

Tabel 3. Data Rata-rata Kelompok Perlakuan


(P1) (P2) (P3) (P4)
10,90 9,57 9,77 9,00

Setelah diketahui nilai rata-rata perlakuan maka dapat diteruskan dengan


melakukan uji lanjutan untuk menentukan signifikan atau non signifikan antar kelompok
melalui Tabel 4.

Tabel 4. Uji Lanjutan


(P1) (P2) (P3) (P4)
Perlakuan BNT
11,90 9,57 9,77 9,00
(P1)
- 2,33* 2,13* 2,90*
11,90
(P2)
2,23* - 0,10 0,67
9,57
(P3) (0.01) = 1,85
2,13* 0,20 - 0,77
9,77
(P4)
2,90* 0,57 0,77 -
9,00
Keterangan * : signifikan

Dari Tabel 4. dapat disajikan dalam bentuk diagram batang untuk mengetahui
gambaran diameter zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium
acnes.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


174
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Rata-rata diameter zona hambat (mm)


14

12

10

8
Rata-rata diameter zona
6 hambat (mm)

0
100 μg 75 μg 50 μg 25 μg

Gambar 1. Diagram Diameter Zona Hambat Ekstrak Daun karamunting Pertumbuhan Bakteri
Propionibacterium acnes.

Pelaksanaan uji aktivitas antibakteri dilakukan secara septik. Metode yang


digunakan adalah Metode Difusi Agar, dimana biakan bakteri yang telah berumur 24
jam dalam media agar miring (NA) diambil dengan alat jarum ose kemudian
dimasukkan ke dalam beacker glass yang berisi aquades dan dihomogenkan. Dituang
media NA kedalam cawan petri lalu didiamkan hingga padat dan biarkan mengering
selama ± 30 menit, kemudian ditetesi suspensi bakteri sebanyak 100 µl diratakan
dengan menggunakan swab steril. Karena menggunakan metode sumuran, beri lubang
pada media yang masing-masing berisi 100 µl , 75 μg, 50 μg, 25 μg ekstrak daun
karamunting.Tujuannya adalah untuk mengontakkan senyawa aktif dengan media dan
bakteri uji. Setelah diinkubasi selama 18 jam muncul daerah bening disekitar sumur
yang berbentuk lingkaran. Diameter daerah bening merupakan daerah zona hambat
dari ekstrak terhadap bakteri uji.
Hasil rata-rata dari diameter zona hambat tersebut perhitungan dengan
menggunakan analisis varian (Anava) menghasilkan Fhitung (10,60) dan Ftabel (7,59),
ini berarti efektifitas ekstrak daun karamunting sebagai antibakteri efektif dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes dengan Fhitung
menyatakan hasil yang berbeda signifikan pada tiap perlakuannya. Adapun nilai BNT
0,01 yang dihasilkan adalah 1,85. Perlakuan terjadi adalah 4 perlakuan signifikan. Dari
hasil tersebut menunjukkan besarnya rata-rata diameter daerah zona hambat yang
terjadi pada pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes tergantung besarnya
konsentrasi ekstrak daun karamunting yang diberikan. Dimana semakin besar
konsentrasi yang diberikan, semakin besar diameter daerah zona hambat pada
pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes. Dalam uji antibakteri selain ekstrak.
Grafik diameter zona hambat pada konsentrasi berbeda ekstrak daun
karamunting terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes dapat dilihat
bahwa rata-rata zona hambat terlihat pada konsentrasi 100 μg yaitu 11,90 kemudian
mengalami penurunan pada konsentrasi 75 μg memiliki rata – rata 9,57 setelah itu
konsentrasi 50 μg memiliki rata – rata 9,77 dan 25 μg memiliki rata – rata 9,00. Hasil
tersebut menerangkan bahwa konsentrasi efektif ekstrak daun karamunting yang tepat
digunakan adalah 100 μg konsentrasi dengan kategori kuat sedangkan konsentrasi 75

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


175
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

μg, 50 μg dan 25 μg masuk dalam kategori sedang. Pada konsentrasi 75 μg dan 50


μg, dapat terlihat rata - rata konsentrasi 75 μg lebih rendah 0,20 dari konsentrasi 50
μg. Hal tersebut disebabkan oleh kesalahan saat pelaburan yang tidak merata
sehingga terdapat bagian yang memiliki bakteri lebih tebal dan pada saat pemberian
ekstrak bagian tebal tersebut bakteri tidak sepenuhnya mati sehingga terdapat bakteri
di tengah warna bening daya hambat pada media agar yang telah diberi konsentrasi.
Zona hambat terendah pada konsentrasi 25 μg, hal ini karena pada konsentrasi ini
hanya sedikit menggunakan ekstrak daun karamunting, mendapatkan hasil rata – rata
memghambat pertumbuhan bakteri yang paling kecil. Dari hasil uji aktivitas antibakteri
ekstrak daun karamunting.
Berikut ini adalah grafik zona daya hambat pertumbuhan bakteri
Propionibacterium acnes.

14

12

10

8 ulangan 1
ulangan 2
6
ulangan 3
4

0
p1 p2 p3 p4

Gambar 2. Grafik diameter zona hambat ekstrak daun karamunting (Melastoma malabathricum
L.)terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes.

Pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes yang dilakukan scara in-vitro


dengan metode difusi agar, hasil penelitian yang diperoleh pada uji daya antibakteri
ekstrak daun karamunting terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes
menunjukkan bahwa ekstrak daun karamunting mempunyai kemampuan sebagai
antibakteri terhadap bakteri Propionibacterium acnes. Pada bakteri uji bakteri
Propionibacterium acnes konsentrasi ekstrak daun karamunting 100 μg diperoleh nilai
rata-rata diameter zona hambat 11,90 mm (termasuk dalam kategori antibakteri kuat),
sedangkan pada konsentrasi 75 μg, 50 μg, dan 25 μg diperoleh nilai rata-rata diameter
zona hambat 9,57 mm, 9,77 mm dan 9,00 mm (termasuk dalam kategori sedang). Dari
nilai rata-rata zona hambat pada bakteri Propionibacterium acnes dapat dikatakan
bahwa bakteri uji tidak bersifat resisten terhadap ekstrak daun karamunting. Jadi
ditemukan konsentrasi ekstrak daun karamunting yang bersifat antibakteri terhadap
bakteri Propionibacterium acnes yaitu pada semua konsentrasi.
Berdasarkan hasil pengamatan, terbentuk zona hambat pada pertumbuhan
bakteri pada semua perlakuan menunjukkan bahwa ekstrak daun karamunting
menghasilkan suatu senyawa metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Propionibacterium acnes. Menurut Gunawan (2008) hal ini diduga senyawa metabolit
itu adalah flavonoid. Flavonoid ini memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan
bakteri. Beberapa fungsi flavonoid untuk tumbuhan adalah sebagai pengatur tumbuh,

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


176
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba, dan anti virus. Adanya kandungan flavonoid
yang merupakan senyawa fenol dapat bersifat koagulator protein. Protein yang
menggumpal tidak dapat berfungsi lagi, sehingga akan mengganggu pertumbuhan
dinding sel bakteri. Senyawa flavonoid terdiri atas lipid dan asam amino yang akan
bereaksi dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid sehingga dinding sel akan
rusak dan senyawa tersebut dapat masuk ke dalam inti sel bakteri. Selanjutnya
senyawa ini akan bereaksi dengan DNA pada inti sel bakteri dan melalui perbedaan
kepolaran antara lipid penyusun DNA dengan gugus alkohol pada senyawa flavonoid
akan terjadi reaksi sehingga akan merusak struktur lipid dari DNA bakteri akibatnya inti
sel bakteri akan mengalami lisis, selain senyawa aktif flavonoid ada senyawa lain
seperti tanin. Tanin dapat digunakan sebagai anti bakteri karena mempunyai gugus
fenol, sehingga tanin mempunyai sifat – sifat seperti alkohol yaitu bersifat anti septik
yang dapat digunakan sebagai komponen anti mikroba. Simatupang (2011)
menambahkan bahwa tanin merupakan senyawa yang dapat mengikat dan
mengendapkan protein. Senyawatanin yang memiliki gugus fenol dengan sifat – sifat
seperti alkohol yang menyebabkan daun karamunting bersifat anti bakteri.
Senyawa saponin juga salah satu senyawa yang terkandung pada daun
karamunting, Istiana (2005) menjelaskan saponin berfungsi sebagai antimikroba.
Saponin memiliki molekul yang dapat menarik air atau hidrofilik dan molekul yang
dapat melarutkan lemak atau lipofilik sehingga dapat menurunkan tegangan
permukaan sel yang akhirnya menyebabkan hancurnya bakteri.
Terpenoid mempengaruhi perusakan membran sel pada bakteri, senyawa
golongan terpenoid dapat berikatan dengan protein dan lipid yang terdapat dalam
membran sel, dan menimbulkan lisis pada sel. Menurut Gunawan (2008) membran sel
yang tersusun dari protein dan lipid sangat rentan terhadap zat kimia yang dapat
menurunkan tegangan permukaan. Kerusakan membran sel menyebabkan
terganggunya transportasi nutrisi melalui membran sel sehingga sel bakteri mengalami
kekurangan nutrisi. Perusakan membran sel pada bakteri Propionibacterium acnes
menyebabkan kurangnya nutrisi yang sangat diperlukan bagi sel Propionibacterium
acnes.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa ekstrak daun karamunting
memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri yaitu Propionibacterium acne. Dimana
Propionibacterium acnes merupakan bakteri yang menyebabkan jerawat. Penggunaan
daun karamunting sebagai obat dalam mengobati jerawat dapat dibuktikan karena
terbukti memiliki aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes .

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji dengan antibakteri daun karamunting
(Melastoma malabathricum L.) terhadap bakteri Propionibacterium acnes dapat
disimpulkan bahwa: Ekstrak daun karamunting (Melastoma malabathricum L.)
mempunyai pengaruh sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri
Propionibacterium acnes yang ditandai dengan terbentuknya zona hambat pada media
uji.Konsentrasi daya hambat ekstrak daun karamunting (Melastoma malabathricum L.)
yang terbaik terhadap pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes adalah
konsentrasi 100 μg dengan rata-rata Diameter Zona Hambat adalah 11,90 mm.

DAFTAR RUJUKAN
Aisyah. 2011. Uji Anti Bakteri Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hisbiscus sabdariffa L)
terhadap Bakteri Basillus cereus dan Samonella typhi. Skripsi Jurusan Biologi.
Universitas Mulawarman.
Ardhila, Ima. 2010. (Online), http://imamardhila.blogspot.com/2010/12/ekstraksi-
adaujlah-kegiatan-penarikan.html, diakses 26 maret 2016.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


177
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Ardiansyah. 2005. Daun Beluntas Sebagai Bahan Antibakteri dan antioksidan. Artikel
Diakses di ; Berita@iptek.com Pada tanggal 4 Jui 2016.
Dalimartha ,M.R. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid I. Jakarta: Trubus
Agrawidya.
DepKes, 2007. Masyarakat Bangsa dan Negara RI.http://bmf.Litbang.depkes.go.id.
Diakses 19 maret 2016
DinKes. 2015. Data Penderita Penyakit Kulit Dermatitis Contac Alergica. Samarinda
Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan : Jakarta.
Gunawan, I. W. G, 2008, Isolasi dan Identifikasi Senyawa Terpenoid yang Aktif
Antibakteri pada Herba Meniran (Phyllanthus niruri Linn), Jurusan Kimia,
FMIPA, Universitas Udayana,
Haryanto,S. 2009. Ensiklopedia Tanaman Obat Indonesia. Yogyakarta : Palmall
Istiana, S., 2005, Perbandingan Daya Antibakteri Perasan Rimpang Temu Kunci
(Boesenbergia pandurata Roxb.) dengan Bawang Putih (Allium sativum, L.)
terhadap Staphylococcus aureus, Skripsi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Airlangga, Surabaya.
Indriyani, Rena.,2014.Uji Potensi Sari Buah Karamunting (Melastoma malabathricum
L.) Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Aeromonas salmonicida smithia
Secara In Vitro. Surabaya : UNAIR
KEMENTRIAN KESEHATAN RI, 2015. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Balai Besar Penelitian Pengambangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional. Tawangmangu
Maulani,T.A.,2013. Studi Pontensi Ekstrak Daun Ulin (Eusyderoxyln zwageri T. et B.)
Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococus mutan dan Escherichia
coli Secara In Vitro. Skripsi Jurusan Biologi. Universitas Mulawarman.
Nofrian, Angga Putra. 2011. Anti Bakteri dan Mekanismenya (Online).
http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2011/06/10/anti-bakteri-dan-
mekanismenya
Normadi,S. 2012. Pengaruh Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum basillicum) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium acnes. Skripsi Jurusan Biologi.
Universitas Mulawarman
Novita,Dian.2009.Pengaruh Penggunaan Sediaan Krim Ekstrak Etilasetat Daun
Senduduk Sebagai Obat luka Bakar Pada Kelinci Putih Jantan. USU.Medan
Nofrian, Angga Putra. 2011. Anti Bakteri dan Mekanismenya (Online).
http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2011/06/10/anti-bakteri-dan-
mekanismenya/
Pelczar, M. J., S. Chan, 1998, Dasar-dasar Mikrobiologi . Ui-Press : Jakarta.
Pramasanti Tri Asih. 2008. Propionibacterium acne. Tri-asih-pramasanti-078114019.
Pdf. http://microba.liles.wordpress.com. Diakses 19 Maret 2016
Purnomo, Aris. 2010. Konsep Jerawat. (Online), http://arispurnomo.vom/konsep-
jeraawat-acne, Diakses 19 Maret 2016
Purwoko, T. 2007. Fisiologi Mikroba. Bumi Aksara, Jakarta.
Rabiah. 2015. Uji Efektivitas Air Perasan Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli. Skripsi Jurusan Biologi. Universitas
Mulawarman.
Rahayu,p. 2013. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Buah Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L) Terhadap Pertumbuhan. Makasar : Fakultas Kedokteran
Gigi.Universitas Hasanuddin
Rhezwan. 2009. Efek Anti Bakteri. (Online). Http://Rhezwan.digital_128100-R20-OB-
402-Efek antibakteri-Kerangka konsep , Diakses 19 Maret 2016
Sardjono,M.A.dkk.2015. Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal etnomedisin dan
Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas DiIndonesia. Samarinda
Setyawati, Titiek. 2010. RPI Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Konservasi Alam. Jakarta

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


178
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Simatupang,F.G. 2011. Isolasi Senyawa Flavonoid Dari Daun Senduduk. Universitas


Sumatera Utara. Medan
Siswandono dan Soekardjo, 2000, Kimia Medisinal 2, Airlangga University Press,
Surabaya
Soemarno. 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik. Akademi Analisis Kesehatan.
Yogyakarta.
Waluyo, Lud. 2008. Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi. Universitas
Muhammadiyah Malang. Malang.
Wijayakusuma,H., 2000. Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia JIlid 1. Jakarta : Gema
Insan.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


179
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Ekstrak Kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan Saliara (Lantana


camara L.) sebagai Pestisida Nabati Terhadap Intensitas Serangan Hama
pada Kacang Hijau (Vigna radiata L.)
Nani Kartini, Sonja V.T. Lumowa, Sri Purwati
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman Email:
nanikartini97@gmail.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak kirinyu
(Chromolaena odorata L.) sebagai pestisida nabati terhadap intensitas serangan hama pada
kacang hijau (Vigna radiata L.), untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian ekstrak saliara
(Lantana camara L.) sebagai pestisida nabati terhadap intensitas serangan hama pada kacang
hijau (Vigna radiata L.), untuk mengetahui adanya pengaruh pencampuran ekstrak kirinyu
(Chromolaena odorata L) dan saliara (Lantana camara L.) sebagai pestisida nabati terhadap
intensitas serangan hama pada kacang hijau (Vigna radiata L.). Sampel penelitian yang
digunakan adalah 192 tanaman kacang hijau yang dibagi kedalam enam taraf perlakuan yaitu
air (kontrol), detergen (kontrol), minyak tanah (kontrol), ekstrak kirinyu, ekstrak saliara dan
campuran ekstrak kirinyu dan saliara, dengan 4 kali pengulangan. Berdasarkan hasil penelitian
dan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa terdapat pemberian ekstrak kirinyu, ekstrak
saliara, dan campuran ekstrak kirinyu dan saliara sebagai pestisida nabati dapat mengurangi
intensitas serangan hama pada kacang hijau.

Kata kunci: pestisida nabati, kirinyu, saliara, intensitas serangan, hama

PENDAHULUAN
Kacang Hijau (Vigna radiata L.) adalah salah satu tanaman yang termasuk
dalam family Fabaceae (polong-polongan), tanaman ini memiliki banyak manfaat
dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber bahan pangan berprotein nabati tinggi
dan merupakan sumber mineral penting, antara lain kalsium dan fosfor. Menurut
Purwono (2011), kacang hijau merupakan tanaman berbentuk semak yang tumbuh
tegak. Kacang hijau diduga berasal dari india, kemudian menyebar ke berbagai Negara
Asia tropis,termasuk indonesia pada abad ke-17. Pada setiap daerah kacang hijau
memiliki nama yang berbeda seperti retek ijo (Aceh), ritik ertak (Batak),harita ndawa
(Nias), retak redip (lampung), kacang hejo (Sunda), kacang wilis (Bali),dan temelo
(ternate).
Tingginya kebutuhan masyarakat di Indonesia akan tanaman kacang hijau
(Vigna radiata L.), membuat produsen meningkatkan produksi kacang hijau. Namun,
usaha peningkatan produktivitas tersebut seringkali terkendala dengan adanya
organisme pengganggu tumbuhan (OPT) atau hama yang menyerang pada tanaman
kacang hijau. Hama tersebut menyerang tamanan kacangan hijau yang masih berada
di lahan maupun yang sudah disimpan digudang. Hal ini, menyebabkan para petani
kacang hijau mengalami kerugian dan gagal panen akibat hama yang menyerang.
Kebanyakan hama yang menyerang pada kacang hijau adalah penyakit busuk
batang,ulat daun,ulat jengkal, dan penyakit maosik kuning (Turrini, 2007).
Beberapa bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan pestisida nabati
adalah daun kirinyu(Chromolaena odorata L.) dan daun saliara (Lantana camara L.)
yang dianggap sebagai gulma bagi para petani karena keberadaannya menganggu
tanaman yang ditanam oleh petani. Namun, gulma tersebut ternyata memiliki manfaat
besar yang dapat digunakan untuk pengendalian hama tanaman. kirinyu(Chromolaena
odorata L.) mengandung senyawa fenol, alkaloid, triterpenoid, tannin, flavonoid

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


180
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

(eupatorin) dan limonen. Rumput kirinyu juga mengandung pryrrolizidine alkaloid yang
menyebabkan tanaman ini berbau busuk, rasa pahit, sehingga bersifat repellent
(pengusir) hama atau sebagai larvasida alami.Sedangkan saliara (Lantana camara L.)
mengandung lantadine, alkaloida, saponin, flavonoida, tannin dan minyak atsiri.
Rumput saliara merupakan gulma beracun dan beraroma khas yang dapat mengurangi
intensitas hama pada tanaman. Saliara mengandung lantadine sehingga gulma ini
berbau sangat menyengat yang bersifat racun syaraf bagi hama tanaman.(Darana,
sobar.2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian
ekstrak kirinyu (Chromolaena odorata L.) sebagai pestisida nabati terhadap intensitas
serangan hama pada kacang hijau (Vigna radiata L.), untuk mengetahui adanya
pengaruh pemberian ekstrak saliara (Lantana camara L.) sebagai pestisida nabati
terhadap intensitas serangan hama pada kacang hijau (Vigna radiata L.) dan untuk
mengetahui adanya pengaruh pencampuran ekstrak kirinyu (Chromolaena odorata L)
dan saliara (Lantana camara L.) sebagai pestisida nabati terhadap intensitas serangan
hama pada kacang hijau (Vigna radiata L.).

MOTODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dilaksanakan selama 3 bulan di Desa Bumi Jaya
Kecamatan Kaubun Kabupaten Kutai Timur. Percobaan di rancang dalam Rancangan
Acak Kelompok (RAK), terdiri dari 6 perlakuan dengan 4 pengulangan sehingga
terdapat 24 satuan percobaan. Pada setiap satu perlakuan digunakan 8 tanaman
kacang hijau. Perlakuan terdiri dari kontrol air, kontrol detergen, kontrol minyak
tanah, ekstrak kirinyu (Chromolaena odorata L.), ekstrak saliara (Lantana camara
L.) serta campuran kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.).
Pestisida nabati dibuat dengan cara mengolah ekstrak daun kirinyu dan daun
saliara. Untuk ekstrak kirinyu dan ekstrak saliara, disiapkan masing-masing 300 gram
kirinyu dan saliara yang kemudian masing-masing diblender dengan campuran 500 ml
air, 2 gram detergen dan 10 ml minyak tanah. Setelah selesai diblender masing-
masing ekstrak di taruh dalam baskom. Ekstrak diendapkan dalam baskom selama 24
jam setelah itu ekstrak di saring menggunakan kain saring lalu larutan dimasukan ke
dalam semprotan atau handsprayer. Begitu pula dengan pestisida nabati campuran, di
timbang daun kirinyu dan saliara masing-masing 150 gram lalu keduanya di blender
secara bersama-sama dengan campuran 500 ml air, 2 ml detergen dan 10 ml minyak
tanah. Sama seperti ekstrak kirinyu dan ekstrak saliara, ekstrak campuran kirinyu dan
saliara diendapkan selama 24 jam di dalam baskom setelah itu ekstrak di saring dan
dimasukan kedalam semprotan atau handsprayer.
Penyemprotan atau pengaplikasian ekstrak kirinyu dan saliara dimulai saat
tanaman berumur 7 hari setelah tanam pada sore hari sekitar pukul 15.00-17.00
karena biasanya hama tanaman kacang hijau menyerang pada malam hari.
Selanjutnya penyemprotan dilakukan setiap 2 hari sekali sampai 2 minggu sebelum
panen. Penyemprotan dilakukan dengan cara menyemprotkan ekstrak secara
langsung pada bagian pangkal batang hingga daun tanaman kacang hijau.
Pengamatan intensitas serangan hama dilakukan tanaman berumur 14 hari
dengan cara menghitung persentase kerusakan daun. Selanjutnya dilakukan
pengamatan setiap 1 minggu sekali sampai 2 minggu sebelum panen yaitu pada saat
tanaman berumur 14, 21, 28, 35, 42, dan 49 hari. Untuk menghitung intensitas
serangan hama

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


181
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Intensitas % =
Data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik Ragam dan dilanjutkan
dengan uji BNJ pada taraf 5 %.

HASIL PENELITIAN
Intensitas Serangan Hama pada Daun Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.)
Hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian terhadap intensitas
serangan hama pada daun tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) didapatkan hasil
sebagai berikut :
Umur 14 hari
Berdasarkan hasil penelitian dengan berbagai perlakuan diperoleh data intensitas
serangan hama pada tabel sebagai berikut.

Tabel 1. Intensitas Serangan Hama pada Umur 14 Hari (%)


Kelompok Rata-
NO. Perlakuan Jumlah
R1 R2 R3 R4 rata
1. T0 18.75 17.50 16.25 17.50 70.00 11.67
2. T1 17.50 16.25 13.75 13.75 61.25 10.21
3. T2 16.25 15.00 11.25 11.25 53.75 8.96
4. T3 10.00 7.50 10.00 6.25 33.75 5.63
5. T4 8.75 6.25 5.00 3.75 23..75 3.93
6. T5 6.25 5.00 3.75 2.50 17.50 2.92
Total 77.50 67.50 60.00 55.00 260.00 43.33

Intensitas serangan hama pada daun tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.)
dari tabel di atas dapat diketahui mempunyai nilai rata-rata tertinggi adalah 11.67 yaitu
pada perlakuan T0 (perlakuan kontrol) dan nilai rata-rata terendah adalah 2.92 yaitu
pada perlakuan T5. Perbedaan hasil pada masing-masing perlakuan dapat dilihat
pada grafik berikut :

15
11,55 Intensitas Serangan Hama (%)
10,21
8,96
10

5,63
3,96
5
2,92

0
T0 T1 T2 T3 T4 T5

Gambar 1. Grafik Intensitas Serangan Hama Umur 14 Hari

Umur 21 hari
Berdasarkan hasil penelitian dengan berbagai perlakuan diperoleh data
intensitas serangan hama pada tabel sebagai berikut.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


182
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Tabel 2. Intensitas Serangan Hama Pada Umur 21 Hari (%)


Kelompok Rata-
NO. Perlakuan Jumlah
R1 R2 R3 R4 rata
1. T0 18.75 17.50 16.25 17.50 70.00 11.67
2. T1 17.50 16.25 13.75 13.75 61.25 10.21
3. T2 16.25 15.00 11.25 11.25 53.75 8.96
4. T3 10.00 7.50 10.00 6.25 33.75 5.63
5. T4 8.75 6.25 5.00 3.75 23..75 3.93
6. T5 6.25 5.00 3.75 2.50 17.50 2.92
Total 77.50 67.50 60.00 55.00 260.00 43.33

Berdasar kan tabel 2, dapat diketahui intensitas sera ngan hama pada daun
tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) yang mempuny ai nilai rata-rata tertinggi
adalah 1 2.50 yaitu pada perlakuan T0 dan nilai ra ta-rata terendah adalah 5.01
yaitu pada perlakuan T5. Perbedaan hasil pada masing-masing perlakuan dapat
dilihat pada grafik berikut :

Intensitas Serangan Hama (%)


15 12,5
11,55
10,23
10
7,09
6,03
5,01
5

0
T0 T1 T2 T3 T4 T5

Gambar 2. Grafik Intensitas Serangan Hama Umur 21 Hari


Umur 28 hari
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh ekstrak kirinyu (Chromolaena
odorata L.) dan saliaara (Lantana camara L.) pada tanaman kac ang hijau (Vigna
radiata L.) dengan b erbagai perlakuan T0 (perlakuan kontrol airr), T1 (perlakuan kontrol
detergen), T2 (perlakuan kontrol minyak tanah), T3 (p erlakuan ekstrak kirinyu
(Chromolae na odorata L.)), T4 (perlakuan ekstrak s aliara (Lantana camara L.)) dan T5
(campuran ekstrak kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.))
diperoleh data intensitas serangan hama pada tabel sebagai berikut.
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh ekstrak kirinyu (Chromolaena
odorata L.) dan saliaara (Lantana camara L.) pada tanaman kac ang hijau (Vigna
radiata L.) dengan b erbagai perlakuan T0 (perlakuan kontrol airr), T1 (perlakuan kontrol
detergen), T2 (perlakuan kontrol minyak tanah), T3 (p erlakuan ekstrak kirinyu
(Chromolae na odorata L.)), T4 (perlakuan ekstrak s aliara (Lantana camara L.)) dan T5
(campuran ekstrak kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.))
diperoleh data intensitas serangan hama pada tabel sebagai berikut.

Tabel 3. Intensitas Serangan Hama Pada Umur 28 Hari (%)


Kelompok Rata-
No. Perlakuan Jumlah
R1 R2 R3 R4 Rata
1. T0 20.09 20.53 19.64 18.75 79.0 1 13.17
2. T1 18.30 18.75 17.86 17.86 72.7 7 12.13
3. T2 17.86 16.96 16.96 15.20 66.9 8 11.16

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


183
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

4. T3 10.71 13.39 11.61 12.95 48.6 6 8.11


5. T4 9.82 12.50 10.71 11.61 44.6 4 7.44
6. T5 8.03 8.93 8.48 10.27 35.7 1 5.95
Total 84.81 91.06 85.26 86.64 347. 77 57.96
Sumber data : Hasil Penelitian (2016)

Intensitas seraangan hama pada daun tanaman kacang hija u (Vigna radiata L.)
yang mempunyai nilai rata-rata tertinggi adalah 13,17, yaitu pada perlakuan T0 dan
nilai rata-rata ter endah adalah 5.95 yaitu pada perlakuan T5. Perbedaan hasil pada
masing-masing perlakuan dapat dilihat pada grafik berikut:

Intensitas Serangan Hama (%)


15 13,17
12,13
11,16
10 8,11 7,44
5,95
5

0
T0 T1 T2 T3 T4 T5

Gambar 3. Grafik Intensitas Serangan Hama Pada Umur 28 Hari


Umur 35 hari
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh diperoleh data intensitas serangan
hama pada tabel sebagai berikut.

Tabel 4. Intensitas Serangan Hama Pada Umur 35 Hari (%)

Kelompok
Rata-
NO. Perlakuan Jumlah
Rata
R1 R2 R3 R4
1. T0 22.05 21.69 23.89 20.22 87.85 14.64
2. T1 20.58 20.95 23.53 19.48 84.53 14.09
3. T2 20.22 19.85 22.05 18.75 80.87 13.48
4. T3 14.70 14.33 17.65 12.50 59.18 9.86
5. T4 13.97 11.39 10.29 11.76 47.41 7.90
6. T5 9.19 10.66 9.93 9.55 39.33 6.56
Total 100.71 98.87 107.33 92.26 399.17 66.53
Sumber data : Hasil Penelitian (2016)

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui intensitas serangan hama pada daun


tanaman kacang hijaau (Vigna radiata L.) yang nilai rata-rata tertinggi adalah 14.64
dan nilai rata-rata terendah adalah 6.56 yaitu pada perlaku an T5 (campuran ekstrak
kirinyu (Chrromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.). Perbedaan
hasil pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada grafik berikut.

Intensitas Serangan Hama (%)


20

15 14,64 14,09 13,48


10 9,86 7,9

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


184
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

6,56
5

0
: T0 T1 T2 T3 T4 T5

Gambar 4 . Grafik Intensitas Serangan Hama Pada Umur 35 Hari

Umur 42 hari
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pengaruh ekstrak kirinyu
(Chromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.) pada tanaman kacang hijau
(Vigna radiata L.) dengan berbagai perlakuan T0 (perlakua n kontrol air), T1 (perlakuan
kontrol d etergen), T2 (perlakuan kontrol minyak tanahh), T3 (perlakuan ekstrak kirinyu
(Ch romolaena odorata L.), T4 (perlakuan ekstrak saliara (Lantana camara L. ) dan
T5 (campuran ekstrak kirinyu (Chro molaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara
L.)) diperoleh data intensitas serangan hama pada tabel sebagai berikut.

Tabel 5. Intensitas Serangan Hama Pada Umur 42 Hari (%)


Kelompok
Rata-
NO. Perlakuan Jumlah
Rata
R1 R2 R3 R4
1. T0 23.12 22.50 23.43 22.18 91.23 15.21
2. T1 22.18 21.87 21.25 21.87 87.17 14.53
3. T2 21.56 21.25 20.94 20.25 84.00 14.00
4. T3 15.62 15.31 15.00 1125 57.18 9.53
5. T4 14.37 13.43 13.75 10.00 51.55 8.59
6. T5 12.50 11.25 10.93 9.37 44.05 7.34
Total 109.35 105.61 105.30 94.92 415.18 69.20

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui intensitas serangan hama pada daun


tanaman kacang hijaau (Vigna radiata L.) yang nilai rata-rata tertinggi adalah 15.21
yaitu yaitu pada perlakuan T0 (perlakuan kontrol air) da n nilai rata-rata terendah
adalah 7.34 yaitu pada perlakuan T5. Perbedaan hasil pada masing-masing
perlakuan dapat dilihat pada grafik berikut.

Intensitas Serangan Hama (%)


20
15,21
14,53 14
15
9,53 8,59
10 7,34

0
T0 T1 T2 T3 T4 T5

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


185
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Gambar 5. Grafik Intensitas Serangan Hama Pada Umur 42 Hari

Umur 49 hari
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data intensitas serangan hama pada
tabel sebagai berikut.
Tabel 6. Intensitas Serangan Hama Pada Umur 49 Hari (%)
Kelompok
Rata-
NO. Perlakuan Jumlah
Rata
R1 R2 R3 R4
1. T0 24.45 25.54 26.63 25.27 101.89 16.98
2. T1 22.28 22.55 22.28 22.55 89.66 14.94
3. T2 21.73 19.56 21.73 22.01 85.03 14.17
4. T3 15.48 16.58 16.84 16.03 64.93 10.82
5. T4 14.13 16.30 15.48 15.49 61.40 10.23
6. T5 12.22 14.67 14.94 13.58 55.41 9.24
Total 110.29 115.20 117.90 114.93 458.32 76.39
Sumber data : Hasil Penelitian (2016)
Intensitas Serangan Hama (%)

20
16,98
14,94
14,17
15
10,82 10,23
9,24
10

0
: T0 T1 T2 T3 T4 T5

Gambar 6. Grafik Intensitas Serangan Hama Pada U mur 49 hari

Identifikasi Jenis Hama


Berdasarkan hasil pengamatan yang telah di lakukan di lapangan selama
penelitian hama-hama yang dominan ditemui adalah hama ulat. Adapun hama ulat
yang banyak ditemui menyerang tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) saat
penelitian dilapangan adalah ulat grayak, ulat lemprosema dan ulat jengkal.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


186
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Gambar 7. Ulat Gerayak (Spodoptera sp.) Sumber : Dokumentasi Penelitian (2016)

Pada gambar dapat terlihat bagian daun tanaman kacang hijau (Vigna radiata
L.) nampak berlubang-lubang. Pada saat pengamatan dilapangan, ulat gerayak banyak
memakan daun bagian daging daun hingga tulang daun. Ulat ini menyerang secara
berkelompok sehingga daun yang di serang ulat gerayak dapat habis dengan cepat.
Hal ini sesuai dengan yang telah disampaikan oleh Endah (2002), ulat gerayak
gerayak menyerang tamanan secara bergerombol dan memakan daun sehingga
menyebabkan daun berlubang-lubang dengan ukuran yang tidak teratur dan rusak.
Larva yang sudah tua merusak hingga ke tulang daun.

Gambar 8. Ulat Jengkal (Plusia chalcites) Sumber: Dokumentasi Penelitian (2016)

Selain ulat gerayak pada saat pengamatan terdapat ulat jengkal. Pada siang
hari yang terik, ulat jengkal bersembunyi dibawah ketiak daun daun pangkal tanaman
sehingga ulat jengkal aman dan nyaman dari sengatan sinar matahari. Perbedaan
serangan ulat jengkal dibandingkan ulat gerayak yaitu pada jengkal menyerang daun
kacang hijau pada malam hari atau pada saat sinar matahari teduh namun ulat jengkal
hanya memakan bagian daging daun saja. Ulat jengkal menyerang daun yang muda,
pucuk dan daun tua Hal ini sesuai yang disampaikan oleh soeprapto (1999), ulat
jengkal (Plusia chalcites) menyerang tanaman kacang hijau yang masih muda dan
memakan daunnya sehingga tinggal tulang daunnya saja.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


187
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Gambar 9. Ulat Lemprosema (Callosobruchus maculates)


Sumber : Dokumentasi Penelitian (2016)

Pada gambar dapat terlihat bagian daun tanaman kacang hijau (Vigna radiata
L.) nampak berlubang-lubang. Pada saat pengamatan dilapangan, ulat lemprosema
banyak memakan daun bagian daging daun sedangkan bagian kulit luarnya tidak
dimakan sehingga daun tanpak transparan. Ulat ini menyerang dengan cara
menggulung daun dan memakan daun sampai berlubang-lubang kecil. Hal ini sesuai
dengan yang disampaikan olehSumarji (2013), Hama ulat lemprosema menyerang
daun, terdapat lubang-lubang kecil yang terdapat dalam keadaan menggulung yang
didalamnya terdapat ulat yang terlindung oleh benang-benar sutera serta kotorannya.

PEMBAHASAN
Penelitian dimulai dari proses persiapan lahan yaitu dengan cara
membersihkan terlebih dahulu lahan yang akan digunakan untuk penelitian dari
gulma,akar dan ranting pepohonan dengan menggunakan parang. Setelah lahan
bersih, kemudian dilakukan pembuatan lubang taman menggunakan alat tugal dengan
kedalaman 3-4 cm.Setiap lubang tanam tersebut diberi pupuk kandang kambing lalu
didiamkan selama seminggu agar amoniak yang terdapat dalam pupuk dapat
menguap.Setelah didiamkan selama seminggu lahan lahan siap di tanam bibit kacang
hijau.
Sebelum ditanami bibit kacang hijau, lahan yang telah dilubangi dan diberi
pupuk kandang diberi air terlebih dahulu agar tanah di lahan penelitian tersebut
menjadi lembab. Kemudian Untuk melakukan penanaman, terlebih dahulu dilakukan
pemilihan bibit benih kacang hijau yang bagus. Penanaman kacang hijau dilakukan
secara manual dengan memasukan benih ke dalam lubang yang telah disiapkan dan
setiap lubang diisi 2-3 butir benih kacang hijau per lubang tanam lalu ditutup lubangnya
dengan jarak tanam setiap tanaman kacang hijau (Vigna radiata L) adalah 20x30 cm.
Bibit kacang hijau akan tumbuh sekitar umur 3 hari selanjutnya dilakukan pemeliharaan
dengan melakukan penyiraman, penyiangan gulma yang mengganggu dan menyulam
kembali tamanan yang mati.
Pestisida nabati dibuat dengan cara mengolah ekstrak daun kirinyu dan daun
saliara. Untuk ekstrak kirinyu dan ekstrak saliara, disiapkan masing-masing 300 gram
kirinyu dan saliara yang kemudian masing-masing diblender dengan campuran 500 ml

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


188
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

air, 2 gram detergen dan 10 ml minyak tanah. Setelah selesai diblender masing-
masing ekstrak di taruh dalam baskom. Ekstrak diendapkan dalam baskom selama 24
jam setelah itu ekstrak di saring menggunakan kain saring lalu larutan dimasukan ke
dalam semprotan atau handsprayer. Begitu pula dengan pestisida nabati campuran, di
timbang daun kirinyu dan saliara masing-masing 150 gram lalu keduanya di blender
secara bersama-sama dengan campuran 500 ml air, 2 ml detergen dan 10 ml minyak
tanah. Sama seperti ekstrak kirinyu dan ekstrak saliara, ekstrak campuran kirinyu dan
saliara diendapkan selama 24 jam di dalam baskom setelah itu ekstrak di saring dan
dimasukan kedalam semprotan atau handsprayer.
Penyemprotan atau pengaplikasian ekstrak kirinyu dan saliara dimulai saat
tanaman berumur 7 hari setelah tanam pada sore hari sekitar pukul 15.00-17.00
karena biasanya hama tanaman kacang hijau menyerang pada malam hari.
Selanjutnya penyemprotan dilakukan setiap 2 hari sekali sampai 2 minggu sebelum
panen. Penyemprotan dilakukan dengan cara menyemprotkan ekstrak secara
langsung pada bagian pangkal batang hingga daun tanaman kacang hijau.
Setelah tanaman berumur 14 hari dilakukan pengamatan pertama dengan cara
mengamati kerusakan yang terjadi pada daun serta hama yang menyerang tanaman
kacang hijau. Untuk mendapatkan intensitas serangan hama pada tanaman dilakukan
perhitungan dengan cara menghitung persentase kerusakan daun. Selanjutnya
dilakukan pengamatan setiap 1 minggu sekali sampai 2 minggu sebelum panen yaitu
pada saat tanaman berumur 14, 21, 28, 35, 42, dan 49 hari. Kemudian persentase
kerusakan daun tersebut dianalisis menggunakan analisis sidik ragam.
Berdasarkan analisis sidik ragam intensitas serangan hama pada tanaman
yang berumur 14, 21, 28, 35, 42, dan 49 hari menunjukan bahwa pemberian ekstra
kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.) pada tanaman
kacang hijau (Vigna radiata L.) berpengaruh nyata dalam hal mengurangi intensitas
serangan hama pada daun tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.). Hal ini dapat
dilihat dari F hitung lebih besar dari F tabel. Pada perlakuan T 0, T1 dan T2 (perlakuan
kontrol) terlihat tingginya intensitas serangan hama menyebabkan daun pada
tanaman kacang hijau bayak mengalami kerusakan. Sedangkan T3 (ekstrak kirinyu
(Chromolaena odorata L.), T4 (ekstrak saliara (Lantana camara L.) dan T5 (campuran
ekstrak kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.) sama-
sama mampu mengurangi intensitas serangan hama dibandingkan perlakuan kontrol.
Berdasarkan rata-rata intensitas serangan hama dapat terlihat pestisida nabati
daun kirinyu dan pestisida nabati daun saliara memiliki intensitas serangan hama yang
hampir sama namun pestisida nabati daun kirinyu memiliki intensitas serangan hama
yang lebih kecil daripada pestisda nabati daun saliara. Berdasarkan penelitian
sebelumnya dilakukan oleh Darana( 2006) mengatakan kirinyu (Chromolaena odorata
L.) mengandung senyawa fenol, alkaloid, triterpenoid, tannin, flavonoid (eupatorin) dan
limonen. Rumput kirinyu juga mengandung pryrrolizidine alkaloid yang menyebabkan
tanaman ini berbau busuk, rasa pahit, sehingga bersifat repellent (pengusir) hama.
Sedangakan menurut Hardiansyah dkk ( 2015) mengatakan saliara (Lantana camara
L.) mengandung lantadine, alkaloida, saponin, flavonoida, tannin dan minyak atsiri.
Rumput saliara merupakan gulma beracun dan beraroma khas yang dapat mengurangi
intensitas hama pada tanaman. Saliara mengandung lantadine sehingga gulma ini
berbau sangat menyengat yang bersifat racun syaraf bagi hama tanaman. Sehingga
ekstrak daun saliara memiliki kemampuan lebih untuk mengurangi intensitas serangan

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


189
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

hamapada tanaman kacang hijau.


Pada perlakuan T5 (campuran ekstrak kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan
saliara (Lantana camara L.)) memiliki pengaruh yang paling menonjol dimana
setiap pengamatan dapat dilihat memiliki intensitas serangan hama paling rendah.
Kurangnya intensitas serangan hama pada perlakuan T5 diduga karena bahan aktif
yang ada pada daun kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan daun saliara (Lantana
camara L.) bekerja bersama-sama mempengaruhi secara fisiologis terhadap hama
yang menyerang. Kirinyu memberikan efek repellent (pengusir) terhadap serangga
menyebabkan berkurangnya kerusakan yang terjadi pada tanaman serta
dikombinasikan dengan daun saliara yang memberikan efek racun syaraf terhadap
serangga yang menyebabkan serangga mengalami kematian yang lebih cepat,
sehingga intensitas serangan hama pada tanaman yang diberikan ekstrak campuran
kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.) lebih efektif
berkurang dibandingkan tanaman yang tidak diberi pestisida nabati.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka diperoleh kesimpulan
bahwa :
1. Pemberian ekstrak kirinyu sebagai pestisida nabati terhadap intensitas serangan
hama pada kacang hijau berpengaruh nyata.
2. Pengaruh pemberian ekstrak saliara sebagai pestisida nabati terhadap intensitas
serangan hama pada kacang hijau berpengaruh nyata.
3. Pengaruh pencampuran ekstrak kirinyu dan saliara sebagai pestisida nabati
terhadap intensitas serangan hama pada kacang hijau berpengaruh nyata dan
paling menonjol dari perlakuan lainnya.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan maka dapat disarankan sebagai
berikut.
1. Kepada para petani khususnya petani kacang hijau dapat menggunakan pestisida
nabati nabati kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.)
sebagai alternatif pestisida alami yang murah,aman dan ramah lingkungan.
2. Perlunya penelitian lanjutan untuk meneliti adanya pengaruh pestisida nabati
kirinyu (Chromolaena odorata L.) dan saliara (Lantana camara L.) berpengaruh
nyata terhadap pengendalian intensitas serangan hama pada tanaman kacang
hijau (Vigna radiata L.) agar memperoleh hasil yang lebih baik dan terperinci.
3. Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk mata kuliah
entomologi.

DAFTAR PUSTAKA
Afrison, Imanuel. 2015. Hama Pada Kacang Hijau (Vigna radiata L). (Online).
(https://imanuelafrison.wordpress.com/2015/07/18/hama-pada-kacang-
hijau.html. Diakses Februari 2015
Bambang, 2007. Tumbuhan Kirinyu (Chromolaena odorata L) Sebagai Pestisida
Alami. Online).(https://bambang.wordpress.com/2007/07/08/tumbuhan-
kirinyu.html. Diakses Februari 2015
Darana, Sobar. 2006. Aktivitas Alelopati Ekstrak Kirinyu (Chromolaena odorata) dan

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


190
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Saliara (Lantana camara L) Terhadap Gulma di Pertanian The (Camellia


sinensis).Jurnal Penelitian Teh dan Kina,2006,9 (1-2) : 15-20
Endah, J. 2002. Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. Agromedia Pustaka:
Jakarta
Hanifah, 2011. Rancangan Percobaan Aplikatif. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Hardiansyah, dkk. 2015. Efektivitas Pestisida Nabati Saliara (Lantana camara L)
Terhadap Tanaman Rosella. Fakultas Pertanian Universitas Djuanda Bogor,
Jurnal Agronida Vol. 1 nomor 1, April 2015.
Hasna, Qolamul.2011.Macam-Macam Penyakit Pada Kacang Hijau. (Online).
(https://qolamulhasna.wordpress.com/2011/04/09/macam-macam penyakit-
pada-kacang-hijau.html.Diakses Maret 2015
Jumar, 2000. Entomologi Pertanian. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta
Kardinan, Agus. 2002. Pestisida Nabati : Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya:
Jakarta.
Lutfi, Sadika. 2011. Macam-Macam Penyakit Pada Kacang Hijau. (Online).
(https://Sadikalutfi.wordpress.com/2011/03/03/macam-macam-penyakit-pada-
kacang-hijau.html. Diakses Februari 2015
Malik, Hartono. 2013. Bahan Pembuat Pestisida Nabati. Tersedia di online dan
diakses pada tanggal 9 maret 2016.
Nadlir, 2006. Fungsi Ganda Rumput Minjangan (Chromolaena odorata) Dalam
Budidaya Tanaman. Balai Penelitian Pertanian Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Prameswari, Aditya. 2007. Pencemaran Pestisida Dampak dan Upaya
Pencegahannya. Tersedia di online dan diakses pada tanggal 20 februari 2016.
Prawira, Bambang. 2007. Kirinyu (Chromolaena odorata) R.M.King dan H.Robinson
Gulma Padang Rumput yang Merugikan. Balai Penelitian Ternak, Bogor 16002.
Purnomo, dkk. 2011. Aplikasi Ekstrak Gulma Siam (Chromolaena odorata) Pada Dua
Spesies Hama Penghisap Buah Kakao Di Laboratorium. Fakultas Pertanian
Universitas Lampung, November 2011.
Purwono, 2011. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya:
Jakarta
Ratnaningsih et al, 2009. Pengaruh Jenis Kacang Tolo, Proses Pembuatan Dan Jenis
Inokulum Terhadap Perubahan Zat-Zat Gizi Pada Fermentasi Tempe Kacang
Tolo. Jurnal Penelitian Saintek. Vol. 14 (1): 97-128
Rizal, Molide. 2009. Pemanfaatan Tanaman Arsiri sebagai Pestisida Nabati, Balitro:
Bogor
Safitri, Utrin. 2013. Budidaya pada tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata
L).(Online).(https://utrinsafitri1.wordpress.com/2013/07/28/budidaya-kacang-
hijau.html. Diakses Maret 2015
Sidik, 2011. Hama Pada Kacang Hijau (Vigna radiata L). (Online).
(https://Sidik33.wordpress.com/2011/03/13/hama-pada-kacang-hijau.html.
Diakses Februari 2015
Sigit, 2013. Tumbuhan Saliara (Lantana camara L) Sebagai Pestisda Nabati
(Online).(https://sigit21.wordpress.com/2013/04/09/tumbuhan-saliara.html.
Diakses Maret 2015
Sudarmo. 2005. Pestisida Nabati. Penerbit Kanisius: Jakarta
Sumarji, 2013. Laporan Kegiatan PenyuluhanTeknik Budidaya Tanaman Kacang
Hijau (Vigna radiata L.)Seminar Nasional. Universitas Islam Kadiri Disampaikan
pada Kegiatan Penyuluhan Petani, Desember 2013
Suharsaputra, 2012. Motodologi Penelitian Skala Pengukuran dan instrument
Penelitian. Tersedia di online dan diakses pada tanggal 10 Maret 2016
Thamrin, dkk. 2010. Pengendalian ulat grayak dengan menggunakan ekstrak bahan
tumbuhan rawa.hlm 178-192.Seminar Nasional. Perlindungan Tanaman. Pusat
Pengkajian Pengendalian HamaTerpadu Departemen Proteksi Tanaman
Fakultas PertanianInstitut Pertanian Bogor, Bogor 3 September.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


191
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Turrini , Yudiarti.2007. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Graha Ilmu : Yogyakarta


Uli, 2010. Pemanfaatan kacang hijau (Vigna radiata L) sebagai Obat
Maag.(Online).(https://uli88.wordpress.com/2010/08/26/manfaat-kacang-hijau-
sebagai-obat-maag.html.Diakses Maret 2015
Wardani, Ratih Sri dkk. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ektrak Daun Tembelekan
(Lantana camara L) terhadap Kematian Larva Aedes aegypti. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang Vol.6 no.2 tahun
2010.
Wikipedia, 2015. Penyakit dan Hama Pada Tanaman Kacang Hijau. (Online).
(https://wikipedia.wordpress.com/2015/03/26/penyakit-dan-hama-pada-
tanaman-kacang-hijau.html. Diakses Maret 2015

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


192
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Kombinasi Ekstrak Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.) dan


Jahe Merah (Zingiber officianale Var. Amarum) terhadap Serangan Hama
Pada Tanaman Sawi (Brassica rapa L. var. tosakan)
Nurbayah, Sonja V.T. Lumowa, Sri Purwati
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman
Email: nur_ryeori0694@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kombinasi ekstrak buah cabe
jawa dan jahe merah terhadap serangan hama pada tanaman sawi. Penelitian ini dilaksanakan
selama lima bulan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
empat perlakuan (termasuk kontrol) yang diulang sebanyak enam kali. Masing-masing
perlakuan yaitu aplikasi ekstrak cabe jawa, ekstrak jahe merah, dan kombinasi kedua ekstrak
tersebut dengan konsentrasi 50% dan kontrol (tanpa perlakuan). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata intensitas serangan serangga hama tanaman sawi hijau pada 10 hari setelah
tanam adalah 12,70% untuk kombinasi ekstrak cabe jawa dan jahe merah, 15,40% untuk
ekstrak cabe jawa, 15,80% untuk ekstrak jahe merah dan 25,40% pada tanaman sawi hijau
kontrol. Intensitas serangan serangga hama tanaman sawi hijau pada 17 hari setelah tanam
adalah 11,90% untuk kombinasi ekstrak cabe jawa dan jahe merah, 14,80% untuk ekstrak cabe
jawa, 15,40% untuk ekstrak jahe merah dan 27,70% pada tanaman sawi hijau kontrol.
Intensitas serangan serangga hama tanaman sawi hijau pada 24 hari setelah tanam berturut-
turut adalah 11,00% untuk kombinasi ekstrak cabe jawa dan jahe merah, 13,40% untuk ekstrak
cabe jawa, 14,00% untuk ekstrak jahe merah dan 30,60% pada tanaman sawi hijau kontrol.
Hasil analisis menunjukkan Fhitung tiap variabel terikat (6,33, 7,50, dan 16,00) > Ftabel dengan
taraf signifikan 1% (5,42) yang berarti hipotesis penelitian diterima. Sehingga, pemberian
kombinasi ekstrak cabe Jawa dan jahe merah memberikan pengaruh yang nyata terhadap
intensitas serangan serangga hama pada tanaman sawi hijau. Hasil uji BNT 1% menunjukkan
adanya perbedaan nyata antara tanaman sawi yang tidak mendapat perlakuan dengan
tanaman sawi yang diberikan kombinasi ekstrak cabe Jawa dan jahe merah.

Kata Kunci: kombinasi ekstrak cabe jawa dan jahe merah, serangga hama

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris dan sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian di bidang pertanian. Sebenarnya negara ini diuntungkan karena
dikaruniai kondisi alam yang mendukung, hamparan lahan yang luas, keragaman
hayati yang melimpah, serta beriklim tropis dimana sinar matahari terjadi sepanjang
tahun sehingga bisa menanam sepanjang tahun. Realita sumberdaya alam seperti ini
sewajarnya mampu membangkitkan Indonesia menjadi negara yang makmur,
tercukupi kebutuhan pangan seluruh warganya (Warsani, 2013).
Berbagai macam subsektor yang ada di Indonesia, salah satunya yaitu
hortikultura. Perkembangan budidaya hortikultura nasional sekarang ini diarahkan
untuk tumbuh kembangnya sistem agrobisnis dan agroindustri. Tanaman holtikultura
terbagi menjadi 4 kelompok yaitu, sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan obat-
obatan. Salah satu komuditas hortikultura dari kelompok sayur-sayuran yang
mempunyai prospek baik dan nilai ekonomis yang tinggi adalah tanaman sawi
(Halidah, 2006).
Sawi (Brassica rapa L. var tosakan) adalah salah satu tanaman hortikultura
jenis sayuran yang banyak diminati oleh kalangan masyarakat dan juga banyak
dibudidayakan di Indonesia. Untuk membudidayakan tanaman ini sungguh baik atau
bagus untuk dibudidayakan di Indonesia karena tumbuhan ini akan berkembang baik di
iklim tropis. Sawi juga tanaman yang memiliki daun yang cukup lebar dan memiliki rasa

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


193
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

yang nikmat untuk disantap (Muhammad Haikal, 2016). Selain itu daun sawi memiliki
gizi esensial dan baik dikonsumsi bagi kesehatan tubuh manusia.
Dibidang pertanian tentu tidak lepas dari masalah kegagalan panen. Pada
tanaman sawi masalah gagal panen yang sering kali muncul yaitu serangan hama.
Serangan hama ini dapat menyebabkan kerusakan dan terganggunya pertumbuhan
dari tanaman sawi tersebut. Untuk mendapatkan hasil pertanian yang maksimal,
biasanya para petani sawi melakukan berbagai cara salah satunya yaitu menggunakan
insektisida untuk mengendalikan hama yang dapat menyerang tumbuhan mereka.
Namun yang paling sering dilakukan oleh petani adalah pengendalian hama secara
kimiawi. Pengendalian hama secara kimiawi merupakan pengendalian hama dengan
menggunakan zat kimia. Pengendalian hama ini biasanya dilakukan dengan
penyemprotan zat kimia pada bagian tumbuhan. Permasalahan yang terjadi sekarang,
petani semakin cenderung menggunakan pengendalian hama dan penyakit dengan
cara kimiawi yakni dengan pestisida. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan petani akan interaksi tanaman dan usuh-musuh alaminya (Sudarmo,
2005).
Selain menggunakan insektisida sintetik, sebenarnya petani dapat juga
menggunakan insektisida nabati. Insektisida nabati adalah insektisida yang bahan
dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati dinilai aman bagi lingkungan
dibandingkan dengan insektisida sintetik karena insektisida nabati tidak meninggalkan
residu yang berbahaya pada tanaman maupun lingkungan, mudah terurai di alam,
tidak menimbulkan resurgensi bagi hama tanaman, aman bagi manusia dan jasad
yang bukan sasaran, serta dapat dibuat dengan proses yang mudah dengan
menggunakan bahan yang murah dan peralatan yang sederhana (Direktorat Bina
Perlindungan Tanaman Perkebunan, 1994).
Contoh tanaman yang dapat dijadikan sebagai insektisida nabati adalah cabe
Jawa (Piper retrofractum Vahl.) dan jahe merah (Zingiber officinale var. amarum).
Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.) termasuk famili Piperaceae yang tumbuh
memanjat. Manfaat utama cabe Jawa yaitu buahnya sebagai bahan campuran ramuan
jamu. Namun, dari berbagai sumber lain disebutkan pula bahwa tanaman cabe Jawa
(Piper retrofractum Vahl.) dapat dimanfaatkan sebagai insektisida nabati karena
kandungan yang terdapat pada buah cabe Jawa tersebut yaitu mengandung guininsin,
alkaloid, piperin, kavisin, saponin, polifenol, dan minyak atsiri (Umami, 2015).
Jahe merah (Zingiber officinale var. amarum) memiliki potensi sebagai bahan
insektisida nabati karena mengandung senyawa oleoresin yang memberikan rasa
pedas pada jahe, serta senyawa minyak atsiri yang mengandung banyak komponen,
diantaranya zingiberene, zingiberol, kaemferol, dan bisabolene (Kusumaningati, 2009).
Kaemferol bertindak sebagai inhibitor pernafasan kuat bagi serangga dan mampu
memblok organ olfactori dalam tubuh serangga, sehingga sistem pernafasan serangga
terganggu (Rahajoe dkk, 2012). Senyawa keton zingeron, yang merupakan turunan
dari senyawa zingiberene mampu memberikan penurunan aktivitas makan serangga
(Asfi, dkk., 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
kombinasi ektrakcabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.) dan jahe merah (Zingiber
officinale var. amarum) terhadap intensitasserangan hama pada tanaman sawi
(Brassica rapa L. var. tosakan).

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


194
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

METODE PENELITIAN
Penelitiandilaksanakan selama 5 bulan yaitu dari bulan April hingga Agustus
Tahun 2016 di lahan pertanian di Kecamatan Sang-sanga Kabupaten Kutai
Kartanegara. Percobaan dirancang dalam Rancang Acak Kelompok (RAK), terdiri dari
4 perlakuan dengan 6 pengulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Pada
setiap satu perlakuan digunakan 6 tanaman sawi. Perlakuan terdiri dari kontrol air
ditambah detergen, ekstrak cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.), ekstrak jahe merah
(Zingiber officinale var. amarum), serta kombinasi ekstrak cabe Jawa (Piper
retrofractum Vahl.) danjahe merah (Zingiber officinale var. amarum).
Insektisida nabati dibuat dengan cara mengolah ekstrak cabe Jawa dan jahe
merah. Untuk ekstrak cabe Jawa dan jahe merah disiapkan alat yang akan digunakan
seperti blender, saringan, dan botol ukur 1 liter serta bahan yaitu buah cabe jawa
(Piper retrofractum Vahl.) kering dan rimpang jahe merah. Masing-masing 100 gram
dari keduabahan tersebut dicuci bersih dan ditiriskan kemudian diblender hingga halus.
Ditambahkan 300 ml air dan detergen sebanyak 3 gram, diaduk lalu ditutup dan
didiamkan selama 1 x 24 jam. Setelah itu didapatkan masing-masing larutan murni
sebanyak 300 ml kemudian dilakukan prosedur pengenceran ekstrak cabe Jawa dan
jahe merah dengan konsentrasi 50% (50 ml ekstrak + 50 ml air). Untuk mendapatkan
kombinasi kedua ekstrak tersebut, larutan murni 300 ml yang didapat dari masing-
masing ekstrak dicampurkan dengan perbandingan 1:1 sehingga dapat diperoleh
konsentrasi yang diinginkan yaitu konsentrasi 50% (50 ml kombinasi ekstrak buah
cabe Jawa dan rimpang jahe merah + 50 ml air).
Pemberian kombinasi ekstrak cabe Jawa dan jahe merah dilakukan secara rutin
setiap seminggu dua kali yaitu, pada saat tanaman berumur 5, 8, 12, 15, 19 dan 22
hari setelah tanam. Penyemprotan dilakukan dengan menyemprotkan seluruh bagian
tanaman, termasuk bagian belakang daun. Pelaksanaan penyemprotan dilakukan
pada sore hari sebanyak 180 ml.
Kegiatan pengumpulan data dengan melihat intensitas serangan serangga
hama yang mengakibatkan kerusakan daun pada tanaman sawi. Data intensitas
serangan serangga hama diperoleh pada saat tanaman berumur 10, 17, dan 24 hari
setelah tanam. Dengan menggunakan rumus:

Keterangan:
I = Kerusakan tanaman (%)
n = Jumlah daun yang terserang
N = Jumlah seluruh daun tiap tanaman

Data yang diperoleh dari pengamatan dan perhitungan kemudian dianalisis


dengan menggunakan Analysis of Variance (ANAVA).Jika dianalisis menunjukkan
perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan uji LSD disebut juga uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) dengan taraf signifikasi 1%.

HASIL PENELITIAN
Intensitas Serangan Hama pada Tanaman Sawi (Brassica rapa L. var. tosakan)
Hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian terhadap intensitas
serangan serangga hama pada tanaman sawi (Brassica rapa L. var. tosakan)
didapatkan hasil sebagai berikut :

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


195
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Umur 10 hari
Berdasarkan hasil penelitian dengan berbagai perlakuan diperoleh data
intensitas serangan serangga hama pada tabel sebagai berikut.
Tabel 1. Intensitas Serangan Serangga Hama Pada Tanaman Sawi Umur 10 Hari Setelah
Tanam
Ulangan Rata-
Perlakuan Jumlah
R1 R2 R3 R4 R5 R6 rata
T0 0,333 0,194 0,381 0,227 0,227 0,161 1,524 0,254
T1 0,132 0,111 0,158 0,125 0,273 0,125 0,923 0,154
T2 0,188 0,103 0,125 0,185 0,216 0,129 0,945 0,158
T3 0,138 0,167 0,106 0,122 0,111 0,115 0,759 0,127
Jumlah 0,790 0,574 0,770 0,659 0,827 0,531 4,152 0,692
Rata-rata 0,198 0,143 0,193 0,165 0,207 0,133 1,038 0,173

Intensitas serangan hama pada tanaman sawi (Brassica rapa L. var. tosakan)
dari tabel di atas menunjukkan bahwa intensitas serangan serangga hama tertinggi
sebesar 25,40% (serangan hama sedang) terdapat pada kontrol (tanaman sawi yang
tidak diberikan ekstrak tanaman) dan intensitas serangan serangga hama terendah
sebesar 12.70% (serangan hama ringan) terdapat pada T 3 (tanaman sawi yang
diberikan kombinasi ekstrak cabe Jawa dan jahe merah dengan konsentrasi 50%).
Perbedaan hasil pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Grafik 1.

30,00

25,00

20,00

15,00
25,40
10,00
15,40 15,80
12,70
5,00

0,00
Tanpa Ekstrak Ekstrak Cabe Ekstrak Jahe Kombinasi
Jawa Merah Ekstrak Cabe
Jawa dan Jahe
Merah

Gambar 1. Grafik Intensitas Serangan Serangga Hama Umur 10 Hari Setelah Tanam (%)

Umur 17 hari
Berdasarkan hasil penelitian dengan berbagai perlakuan diperoleh data
intensitas serangan serangga hama pada tabel sebagai berikut.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


196
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Tabel 2. Intensitas Serangan Serangga Hama Pada Tanaman Sawi Umur 17 Hari Setelah
Tanam
Ulangan Rata-
Perlakuan Jumlah
R1 R2 R3 R4 R5 R6 rata
T0 0,378 0,176 0,388 0,235 0,236 0,250 1,664 0,277
T1 0,118 0,100 0,186 0,109 0,256 0,118 0,887 0,148
T2 0,169 0,082 0,096 0,212 0,222 0,145 0,926 0,154
T3 0,117 0,156 0,101 0,095 0,094 0,149 0,712 0,119
Jumlah 0,781 0,514 0,771 0,651 0,809 0,662 4,188 0,698
Rata-rata 0,195 0,128 0,193 0,163 0,202 0,165 1,047 0,174

Intensitas serangan hama pada tanaman sawi (Brassica rapa L. var.


tosakan)dari tabel di atas menunjukkan bahwa intensitas serangan serangga hama
tertinggi pada hari ke 17 setelah tanam sebesar 27,70% (serangan hama sedang)
terdapat pada kontrol (tanaman sawi yang tidak diberikan ekstrak) dan intensitas
serangan serangga hama terendah sebesar 11,90% (serangan hama ringan) terdapat
pada T3 (tanaman sawi yang diberikan kombinasi ekstrak cabe Jawa dan jahe merah).
Perbedaan hasil pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada grafik berikut:

30,00

25,00

20,00

15,00
27,70

10,00
14,80 15,40
11,90
5,00

0,00
Tanpa Ekstrak Ekstrak Cabe Ekstrak Jahe Kombinasi
Jawa Merah Ekstrak Cabe
Jawa dan Jahe
Merah

Gambar 2. Grafik Intensitas Serangan Serangga Hama Umur 17 Hari Setelah Tanam (%)

Umur 24 hari
Berdasarkan hasil penelitian dengan berbagai perlakuan diperoleh data
intensitas serangan serangga hama pada tabel sebagai berikut.

Tabel 3. Intensitas Serangan Serangga Hama Pada Tanaman Sawi Umur 24 Hari Setelah Tanam
Ulangan Rata-
Perlakuan Jumlah
R1 R2 R3 R4 R5 R6 rata
T0 0,400 0,179 0,392 0,287 0,299 0,276 1,833 0,306
T1 0,098 0,083 0,193 0,085 0,228 0,116 0,803 0,134
T2 0,142 0,063 0,100 0,182 0,216 0,135 0,838 0,140
T3 0,103 0,143 0,096 0,089 0,089 0,141 0,662 0,110
Jumlah 0,742 0,467 0,782 0,643 0,832 0,669 4,136 0,689
Rata-rata 0,185 0,117 0,196 0,161 0,208 0,167 1,034 0,172

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


197
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Intensitas serangan hama pada tanaman sawi (Brassica rapa L. var.


tosakan)dari tabel di atas menunjukkan bahwa intensitas serangan serangga hama
tertinggi pada hari ke 24 setelah tanam sebesar 30,60% (serangan hama sedang)
terdapat pada kontrol (tanaman sawi yang tidak diberikan ekstrak) dan intensitas
serangan serangga hama terendah sebesar 11,00% (serangan hama ringan) terdapat
pada T3 (tanaman sawi yang diberikan kombinasi ekstrak cabe jawa dan jahe merah).
Perbedaan hasil pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3.

30,00

25,00

20,00

15,00 30,60

10,00
13,40 14,00
5,00 11,00

0,00
Tanpa Ekstrak Ekstrak Cabe Ekstrak Jahe Kombinasi
Jawa Merah Ekstrak Cabe
Jawa dan Jahe
Merah

Pemberian Perlakuan

Gambar 3. Grafik Intensitas Serangan Serangga Hama Umur 24 Hari Setelah Tanam (%)

PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan selama penelitian dan perhitungan yang dilakukan
maka membuktikan terdapat pengaruh nyata kombinasi ekstrak cabe Jawa (Piper
retrofractum Vahl.) dan jahe merah (Zingiber officianale var. amarum) terhadap
intensitas serangan serangga hama pada tanaman sawi (Brassica rapa L var.
tosakan). Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan serangan serangga hama
yang sangat signifikan antara tanaman sawi yang diberikan perlakuan dengan aplikasi
insektisida nabati dari ekstrak cabe Jawa, jahe merah maupun kombinasi ekstrak dari
kedua tanaman tersebut dibandingkan tanaman sawi yang tidak diberikan insektisida
nabati dari ekstrak kedua tanaman tersebut. Hal ini membuktikan senyawa metabolit
sekunder yang terkandung dalam cabe Jawa dan jahe merah memang berpotensi
sebagai zat racun bagi serangga hama sehingga layak untuk dijadikan sebagai
insektisida nabati.
Hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian, khususnya pada hari ke
10, 17, dan hari ke 24 setelah tanam menunjukkan bahwa intensitas serangan
serangga hama pada tanaman sawi yang diberikan kombinasi ekstrak cabe Jawa dan
jahe merah mengalami serangan hama yang lebih sedikit dibandingkan tanaman sawi
yang diberikan ekstrak cabe Jawa saja atau jahe merah saja terutama tanaman sawi
yang tidak diberi ekstrak sama sekali (kontrol).
Hal ini dapat terjadi karena kandungan zat kimia yang ada pada cabe Jawa dan
jahe merah bekerja secara sinergistik untuk menekan serangan serangga hama pada
tanaman sawi. Kandungan senyawa minyak atsiri yang mengandung banyak

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


198
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

komponen mampu memberikan penurunan aktivitas makan serangga, akibatnya,


hanya sedikit bagian daun sawi hijau yang dimakan oleh serangga hama. Cara kerja
insektisida racun perut dalam tubuh serangga yakni insektisida tersebut masuk
kedalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan.
Selanjutnya insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh ke tempat yang mematikan.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini kerusakan daun sawi lebih banyak terjadi
pada tanaman kontrol yang tidak diberikan ekstrak apapun, dan juga tanaman sawi
yang hanya diberi salah satu ekstrak juga memiliki intensitas kerusakan lebih tinggi
dibandingkan tanaman yang diberi kombinasi ekstrak cabe Jawa dan jahe merah.
Selain sebagai racun perut, kandungan zat kimia yang terdapat dalam cabe Jawa dan
jahe merah juga dapat merusak sistem saraf serangga hama serta bertindak sebagai
inhibitor pernafasan kuat bagi serangga dan mampu memblok organ olfactori dalam
tubuh serangga, sehingga sistem pernafasan serangga terganggu racun pernapasan,
ekstrak cabe Jawa dan jahe merah yang digunakan memang memiliki aroma khas
yang sangat kuat.
Selama penelitian, kerusakan tanaman sawi tampak dari banyaknya lubang-
lubang pada daun sawi tersebut. Kerusakan daun umumnya terjadi pada daun yang
masih muda (bagian pucuk). Pada daun yang besar, kerusakan daun umumnya
terdapat dibagian tepi daun, lubang-lubang pada daun umumnya kecil-kecil, namun
pada tanaman kontrol terdapat pula lubang-lubang besar pada daun bahkan ada yang
hanya tersisa tulang daunnya saja. Pada beberapa tanaman sampel tampak pula
bagian permukaan daun berwarna keputih-putihan.
Beberapa serangga hama yang tampak dalam penelitian ini, antara lain; Ulat
Tritip (Plutella xylostella L.), Ulat Krop (Crocidolomia binotalis Zell), Ulat Tanah (Agrotis
ipsilon Hufn), dan Ulat Jengkal (Chrysodexis calcites).
Secara umum, pada sebagian besar pertanian tanaman sawi, ulat Tritip
(Plutella xylostella L.) merupakan hama utama yang menyerang tanaman tersebut. Hal
tersebut terjadi pula dalam penelitian kali ini, ulat plutella terdapat dalam jumlah yang
lebih banyak dibandingkan serangga hama atau ulat lainnya dengan gejala serangan
yaitu daun berlubang-lubang kecil. Kerusakan daun sawi juga tampak dari hasil
serangan serangga hama berupa lubang-lubang dan meninggalkan bercak kotoran
pada daun, yang kemungkinan besar hal ini diakibatkan oleh serangan Ulat Krop
(Crocidolomia binotalis Zell).

PENUTUP
Kesimpulan
Pemberian kombinasi ekstrak cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.) dan jahe
merah (Zingiber officianale var. amarum) memberikan pengaruh terhadap intensitas
serangan hama pada tanaman sawi (Brassica rapa L var. tosakan).Hal tersebut dapat
dibuktikan dari Fhitung> Ftabel , yang dapat dilihat pada hasil analisis sebagai berikut,
pada pengamatan 10 hari setelah tanaman, Fhitung> Ftabel (6,33 > 5,42), pada
pengamatan 17 hari setelah tanaman, Fhitung> Ftabel (7,50 > 5,42), pada pengamatan 24
hari setelah tanaman, Fhitung> Ftabel (16,0 > 5,42).

DAFTAR PUSTAKA
Asfi, S., H., dkk. 2015.Uji Bioaktivitas Filtrat Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale)
terhadap Tingkat Mortalitas dan Penghambatan Aktivitas Makan Larva Plutella
xylostella secara In-Vitro. Universitas Negeri Surabaya. Surabaya

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


199
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. 2016. Program Penyuluhan


Pertanian BP3K Sanga Sanga Tahun 2016, Kecamatan Sanga Sanga
Dadang, dkk. 2015. Aktivitas Insektisida Buah Cabai Jawa (Piper retrofractum Vahl.)
terhadap Helopeltis antonii (Hemiptera:Miridae). IPB: Bogor
DITJEN POM. 2000. Pengolahan Tanaman Herbal, (online). http://www.pom.go.id
/webreg. Diakses 14 Maret 2016
Halidah, Elssy. 2006. Pengaruh Aplikasi Bacillus thuringiensis dan Profenofos terhadap
Intensitas Serangan Hama pada Sawi (Brassica juncea L.). Universitas
Mulawarman: Samarinda
Handayani, L. 2003. Membedah Rahasia Ramuan Madura. PT Agromedia Pustaka:
Surabaya
Hariana, A. 2004. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri I. Penebar Swadaya: Jakarta
Haryudin, W dan Rostiana, O. 2009. Karakteristik Morfologi Tanaman Cabe Jawa
(Piper retrofractum Vahl.) di Beberapa Sentra Produksi. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor
Haryudin, W dan Rostiana, O. 2011. Stabilitas Karakter Morfologi 10 Aksesi Cabe
Jawa (Piper retrofractum Vahl.) di Kebun Percobaan Cikampek. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor
Hasnah dan Rusdy, A. 2015. Pengaruh Ekstrak Buah Cabe Jawa (Piper retrofractum
Vahl.) terhadap Perkembangan dan Mortalitas Kepik Hijau. Universitas Syiah
Kuala: Aceh
Isnaeni, R. 2012. Uji Efektivitas Insektisida Nabati untuk Mengendalikan
HamaKumbang Daun (Phyllotreta VitataF)pada Tanaman Sawi(Brassica rapa
Var. Parachinensis L). Universitas Jember. Jember
Julaily, N., dkk. 2013. Pengendalian Hama pada Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)
Menggunakan Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L.). Universitas
Tanjungpura: Pontianak
Juliati, I. 2005. Uji Efektivitas Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica W. Benth.), Daun
Mimba (Azadirachta indica A. Juss) serta campurannya terhadap Spodoptera
litura F. di Laboratorium. Universitas Mulawarman. Samarinda
Lupitasari, D. 2014. Indonesia sebagai Negara Agraris, (online),
http://dianilupitasari.blogspot.com/2014/07/indonesia-sebagai-negara-
agraris.html. Diakses 05 Maret 2016
Mifianita, A. dkk. 2015. Uji Efektivitas Ekstrak Jahe (Zingiber officinale) sebagai
Repellent terhadap Semut Api (Solenopsis sp). Universitas Sriwijaya. Palembang
Padmadisastra, Y., dkk. 2009. Formulasi Tablet Ekstrak Buah Cabe Jawa (Piper
retrofractum Vahl.) dengan Metode Kempa Langsung. UNPAD: Bandung
Riyanto dan Santri, D., Y. 2015. Uji Efektivitas Ekstrak Jahe (Zingiber Officinale)
Sebagai Repellent terhadap Semut Api (Solenopsis Sp.) dan Sumbangannya
pada Mata Pelajaran Biologi SMA. Universitas Sriwijaya: Palembang
Shohifuddin, M. 2014. Perbandingan Aktivitas Antibakteri antara Ekstrak Daun, Batang
dan Rimpang Binahong (Anredera cordifolia) terhadap Bakteri Staphylococcus
aureus (Penunjang Mata Kuliah Bioteknologi). Universitas Mulawarman.
Samarinda
Sudana, I., M., dkk. 2015. Aplikasi Campuran Biourin Dengan Agen Pengendali Hayati
Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapaVar.
Parachinensis L.). Universitas Udayana: Bali
Sudarmo, S. 2005. Mudah Membuat Pestisida Nabati Ampuh. Agromedia Pustaka:
Jakarta
Sunarjo, H. 2003. Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebar Swadaya: Jakarta
Syukur, C. 2002. Agar Jahe Bereproduksi Tinggi. Penebar Swadaya: Jakarta
Tarigan, R., dkk. 2012.Uji Efektifitas Larutan Kulit Jeruk Manis dan Larutan Daun
Nimba untuk Mengendalikan Spodoptera LituraF. (Lepidoptera: Noctuidae) pada
Tanaman Sawi di Lapangan. USU: Medan

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


200
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Tohir, A.M. 2010. Teknik Ekstraksi dan Aplikasi Beberapa Pestisida Nabatiuntuk
Menurunkan Palatabilitas Ulat Grayak (Spodoptera Litura Fabr.)di Laboratorium.
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Bogor
Umami, L dan Purwani, K., I. 2015. Pengaruh Ekstrakl Buah Cabe Jamu (Piper
retrofractum Vahl.) terhadap Perkembangan Larva Grayak (Spodoptera litura F.).
ITS: Surabaya
UPT Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2016. Luas Panen, Produksi,
dan Produktivitas Tanaman Sayuran dan Buah-Buahan Semusim Kabupaten
Kutai Kartanegara, Kutai Kartanegara
Warsani, H. 2013. Kajian Pemanfaatan Lahan Sawah Di Kecamatan Kuantan Tengah
Kabupaten Kuantan Singingi. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung
Zunida, dkk. 2011. Hama-Hama Penting Tanaman Sayuran Famili Brassicaceae dan
Cucurbitaceae. Universitas Sriwijaya: Palembang.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


201
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Unsur-unsur Hara Pada Pupuk Organik Tablet Berbasis


Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dan Mikro Organisme Lokal Pada
Pertumbuhan Tanaman Sengon (Albizia chinensis)
1* 2
Lambang Subagiyo dan Rusdiansyah
1
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan - Universitas Mulawarman - Samarinda
2
Fakultas Pertanian - Universitas Mulawarman - Samarinda
*
Email: lbsubagiyo@yahoo.com

Abstrak
Pengembangan pupuk organik tablet dari limbah cair pabrik kelapa sawit dan mikroorganisme
lokal (MOL) yang laksanakan peneliti telah mencapai fase uji coba kinerja pupuk terhadap
pertumbuhan tanaman, Tujuan penelitian ini adalah : (1) Mengetahui kandungan unsur N, P, K,
C, kadar air, pH dan unsure hara makro lainnya pada pupuk organik tablet yang dihasilkan
dengan fermentasi dan dengan filler (2) Mengaplikasikan pupuk tablet yang dihasilkan melalui
uji coba pada pertumbuhan tanaman sengon (Albizia chinensis). Bahan dasar pupuk tablet ini
adalah limbah pabrik kelapa sawit dan mikroorganisme local yang diproses secara fermentasi
selama 28 hari. Karakterisasi kandungan hara pupuk dilakukan dengan mengukur unsur-unsur
hara N, P, K, Mg, dan parameter logam berat. Uji coba tanaman sengon sebanyak 85 batang
selama 2 bulan. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penormalan pH antara 7,54 – 8,88, dan
unsure hara mikro serta unsur logam, normal. Kandungan hara dalam pupuk tablet yang
dihasilkan adalah N-N total = 1,68 %, P2O5 = 0,52 % dan K2O = 7,32 % C/N = 13,1. Uji coba
terhadap pertumbuhan tanaman sengon diperoleh hasil bahwa pemberian pupuk paling efektif
700 Kg/Ha dengan rerata pertambahan tinggi tanaman 40,64 cm, rerata pertambahan diamater
batang 4,0 dan pertamhanan jumlah daun adalah 8,86 helai. Disarankan pengembangan pupuk
organik tablet terus dikembangkan untuk memberi solusi pengolahan limbah pabrik kelapa
sawit.

Kata kunci: pupuk organik, pupuk tablet, mikroorganisme lokal, sengon

PENDAHULUAN
Pengolahan industri hilir dari investasi perkebunan kelapa sawit berpotensi
menimbulkan limbah yang dapat menggangu kelestarian lingkungan, oleh karenanya
harus dipikirkan upaya untuk pengelolaan lingkungan yang baik. Potensi limbah pabrik
kelapa sawit di Kalimantan Timur pada tahun 2015 terdapat lebih dari 4.702.260 ton
limbah sawit yang dihasilkan oleh aktivitas pabrik yang tersebar di berbagai lokasi
(BLH Kaltim, 2015). Setiap pengolahan 1 ton tandan buah segar (TBS) dapat
menghasilkan limbah tandan kosong segar (TKS) sebanyak 200-250 kg sedangkan
untuk setiap produksi 1 ton minyak sawit mentah (MSM) akan menghasilkan 0,6-0,7
ton limbah cair dengan BOD 20.000-60.000 mg/liter. Sedangkan kandungan unsur
hara seperti unsur makro yang terdapat pada limbah sawit cair adalah 450 mg N/l, 80
mg P/l, 1.250 mg K/l dan 215 mg Mg/l (BLH Kaltim, 2012).
Pengembangan pupuk organic berbasis limbah cair sawit, mikroorganisme local
(MOL) dan filler berbasis limbah domestic yang dikembangkan diharapkan
menghasilkan pupuk organic tablet yang memenuhi kebutuhan pupuk organik yang
setiap tahun selalu meningkat. Indikator keberhasilan pupuk yang dihasilkan adalah
kandungan unsur N, P, K, C, rasio C/N, pH dan unsure hara mikro pada pupuk organik
tablet dari berbagai variasi menunjukan kaualitas pupuk organic yang baik berdasarkan
standar yang berlaku.
Pupuk organik tablet yang dikembangkan pada penelitian ini adalah
penambahan filler untuk memperkaya unsure hara P barasal dari utama tulang ikan,
karena memiliki kandungan Fosfor yang tinggi sehingga dapat dijadikan sumber utama
Fosfor (Mazaya M, dkk, 2013). Fosfor dalam tulang biasanya berbentuk Kalsium Fosfat

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


202
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

(Ca3(PO4)2). Sedangkan unsure hara K diperkaya dengan penggunaan abu tandan


sawit kosong. Dalam tandan kosong buah segar sawit mengandung nutrisi terutama
unsur Nitrogen, Fosfor, Kalium, dan Magnesium memberikan peluang dan potensi
sebagai bahan suplemen pupuk organic. Pada abu tandan buah segar mengandung
30 - 40% K2O, 7% P2O5, 9% CaO dan 3% MgO. Selain itu juga mengandung unsur
hara mikro yaitu 1.200 ppm Fe, 1.000 ppm Mn, 400 ppm Zn, dan 100 ppm Cu. Selain
sebagai pengganti sumber nutrisi, penggunaan tandan kosong kelapa sawit sebagai
filler akan mengurangi dampak dan resiko lingkungan, sehingga dapat dikategorikan
sebagai salah satu tindakan dalam pengelolaan lingkungan melalui program Produksi
Bersih (Cleaner Production).
Pengembangan pupuk organik tablet berbahan baku limbah kelapa sawit dan
mikroorganisme lokal yang telah dilakukan dalam penelitian ini diharapkan dapat
memberi solusi yang bermanfaat untuk pengelolaan lingkungan yang sekaligus
memberikan nilai tambah (added value) bagi pengembangan industri pertanian, dalam
mendukung program ketahanan pangan di Indonesia.
Dalam penelitian ini telah dihasilkan beberapa rekomendasi meliputi komposisi
terbaik antara sludge, mikroorganisme local dan Filler. Hasil uji laboratorium terhadap
hasil penelitian ini antara lain analisis kandungan unsure hara N, P, K, C, rasio C/N, pH
dan unsure hara mikro pada pupuk organik tablet yang dihasilkan memiliki kualitas
terbaik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan bahan-bahan dari limbah organik yaitu sludge sawit
dan tandan buah kosong kelapa sawit dan Mikro Organisme Lokal (MOL). Bahan MOL
dibuat dari limbah buah-buahan, sedangkan suplemen/filler tambahan berupa
cangkang telur ayam dan tulang ikan. Bahan perekat untuk pembuatan tablet dibuat
dari tepung kanji.
Sasaran penelitian ini adalah pemanfaatan limbah sawit menjadi pupuk tablet
kinerja tinggi yang sesuai Peraturan Menteri Pertanian RI No. 70 tahun 2011 tentang
pupuk organik dan pupuk hayati. Karakterisasi terhadap kandungan unsur-unsur hara
digunakan sejumlah bahan kimia dengan kualitas pro analisa (p.a.). Langkah-langkah
penelitian dilakukan sebagai berikut :
1. Pembuatan MOL dilaksanakan dengan fermentasi selama 28 hari, dilanjutkan
dengan karakterisasi awal pada masing-masing bahan, yaitu untuk mengetahui
kandungan unsur hara N, P, K, C, C/N, pH dan unsur hara mikro lainya.
2. Pembuatan pupuk organik tablet dilakukan dengan mengkomposit antara sludge,
mikroorganisme local dan filler selanjutnya difermentasi, komposisi
(perbandingan) yang ditetapkan antara MOL dan limbah cair sawit (LCS) dan
bahan suplemen hara adalah 1:1:1. Pembuatan tablet pupuk organik dengan
penambahan bahan perekat berupa tepung kanji.
3. Pengujian sampel dilakukan dengan metode uji SNI 2803-2012 tentang Pupuk
NPK padat. Parameter yang diuji adalah unsure N, P, K , pH, rasio C/N, kadar air
dan logam berat.
4. Menguji efektivitas kerja pupuk dengan cara mengamati pertumbuhan tanaman
sengon (Albizia chinensis) yang diberi pupuk dengan dosis 350 kh/Ha, 700 Kg/Ha,
1050 Kg/Ha dan 1400 Kg/Ha. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari dengan
mengukur pertambahan tinggi tanaman, pertambahan diameter batang tanaman

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


203
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

dan jumlah daun. Jumlah seluruh sampel adalah 85 polybag yang diberi pupuk
secara bervariasi, dimana jumlah polybag pupuk A sebanyak 40 tanaman dan
untuk uji coba pupuk B sebanyak 45 tanaman, dengan sampel setiap perlakuan
sebanyak 8 tanaman yang diberi perlakuan sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Kandungan Hara Pada Pupuk Tablet Organik Berbasis Limbah Cair Pabrik
Kelapa Sawit dan Mol
Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah pupuk tablet organik, yang
dikomposit dari limbah cair pabrik kelapa sawit, miroorganisme lokal dan penambahan
filler dari abu tandan buah segar kepala sawit dan serbuk tulang ikan. Dimensi pupuk
tablet yang dihasilkan adalah diameter 1,5 cm dan beratnya 1 g. Pengukuran
dilakukan untuk mengatehui kandungan dasar unsure-unsur hara, terutama unsure
hara makro yang sangat diperlukan tanaman. Hasil pengukuran kandungan hara
pupuk A dengan MOL yang terbuat dari kol, kacang panjang, bayam dan buah pisang
dan pupuk organik B dengan MOL berbasis kacang panjang, buncis dan pisang
ditunjukkan pada tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1. Kadungan Hara Pupuk Organik Tablet A


No Parameter Metode Satuan Kandungan Hara Keterangan
1 C Organik Wallkdey % Black % 15,80 Baik
2 N Total Kjeldahl % 1,2 Tinggi
3 P2O5 Spektronic % 0,70 Cukup Tinggi
4 K2O AAS % 4,25 Tinggi
5 Rasio C/N Calculator % 13,1 Baik
6 CaO AAS % 5,12 Tinggi
7 MgO AAS % 0,53 Cukup
8 Pb AAS mg/Kg 101,5 Maksimal 500
9 Cd AAS mg/Kg 4,01 Maksimal 50
10 Ph Elektrode - 7,54 Ideal
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium (2015).

Dari tabel 1 telah ditunjukkan hasil analisis kandungan unsur hara pada pupuk
tablet dari bahan MOL berbasis kacang-kacangan dan sludge dari limbah pabrik
kelapa sawit. Berdasarkan hasil tersebut nampak bahwa kandungan unsur hara
esensial (N,P,K) dari pupuk tersebut dikatagorikan sangat baik. Peraturan menteri
pertanian No 70 tahun 2011 hanya menyaratkan syarat minimal pupuk organik juga
diketahui bahwa kandungan unsur hara tertinggi di dalam endapan limbah adalah
kandungan hara Total N, P, K sebesar 4%. Oleh karenanya pupuk organik yang
dihasilkan dalam eksperimen ini telah melebihi ketentuan tersebut. Rasio C/N dari
pupuk tablet ini juga sangat ideal yang berada pada kisaran 12 - 25. pH dari pupuk
yang dihasilkan juga menunjukkan nilai ideal berada pada kisaran netral dengan sedikit
basa yaitu 7,54.
Catatan khusus yang perlu diperhatikan adalah kandungan Pb terdeteksi cukup
tinggi namun masih jauh dibawah baku mutu yang ditetapkan, diduga berasal dari
sludge yang belum mengalami pengendapan. untuk menurunkan kandungan Pb
disarankan sebelum pengambilan sludge dilakukan pengadukan. pada tabel diatas
ditemukan kandungan hara yang masih cukup rendah. diduga karena penggunaan
filler dari tulang sapi belum efektif. Untuk meningkatkan unsur hara P disarankan untuk
menambahkan filler dari cangkang telor atau tulang ikan.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


204
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Dalam eksperimen ini juga dihitung tingkat kerapatan bakteri Bacillus sp pada
limbah cair pabrik kelapa sawit yaitu mencapai 16,6 x 106 CFU/mL. Bakteri Bacillus sp
ini berperan untuk sebagai perombak rantai karbon dari senyawa organik, sehingga
dapat meningkatkan kandungan hara dalam pupuk tablet.

Tabel 2. Kadungan Hara Pupuk Organik Tablet B


No Parameter Metode Satuan Mol _ Slugde Keterangan
1 N Total Kjeldahl % 1,68 Baik
2 C Organik Wallkdey % Black % 22,62 Tinggi
3 Rasio C/N Calculator % 13,5 Baik
4 P2O5 Spektronic % 0,52 Tinggi
5 K2O AAS % 7,32 Baik
6 CaO AAS % 3,42 Tinggi
7 MgO AAS % 0,90 Cukup
8 Pb AAS mg/Kg 288,64 Mak 500 ppm
9 Cd AAS mg/Kg 2,01 Mak 50 ppm
10 pH Elektrode - 8,88 Ideal
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium (2015)

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa unsure hara N dan K sangat tinggi,


sedangkan kandungan hara P cukup tinggi. Berdasarkan peraturan menteri pertanian
No. 70 tahun 2011 pupuk tablet ini telah memenuhi syarat sebagai pupuk organik yang
dapat digunakan untuk tanaman perkebunan maupun pertanian. Total kandungan
hara N,P, K dari pupuk yang dihasilkan adalah 9,52%, telah melebihi ketentuan
Permentan No 70 tahin 2011 yaitu 4%. pH pupuk berada dalam kisaran nornal dengan
sedikit basa. Hasil pengukuran tersebut menunjukan bahwa karakteristik pupuk yang
dihasilkan lebih dominan unsure hara K. Diduga peningkatan unsur K merupakan
kontribusi filler dari abu tandan buah segar, sedangkan filer dari tulang ikan kurang
bekerja efektif. Beberapa parameter seperti kadar air, kadar kalium, kandungan CaO,
MgO, logam Pb dan Cd sesuai dengan SNI 2803-2012.
Kadungan Pb dari pupuk tablet juga terlihat cukup tinggi (288,64) namun masih
berada dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 500 ppm. Untuk menurunkan
kandungan Pb disarankan sebelum dilakukan pengambilan sampel harus dilakukan
pengadukan dan ditunggu beberapa waktu, sehingga terjadi pengendapan Pb di dalam
dasar kolam.
Adanya peningkatan unsur hara disebabkan adanya kandungan hara yang
terdapat pada bahan penyusun mikroorganisme lokal. Bahan penyusun
mikroorganisme lokal karbohidrat berupa sari pati, protein glutein, selulosa,
hemiselulosa, gula dan vitamin yang tinggi dan merupakan media alternatif pembawa
bakteri. Air kelapa kaya mineral, mengandung gula dan protein. Dengan adanya
mineral pada air kelapa meningkatkan konsentrasi ion OH- dan menurunkan ion H-,
sehingga terjadi peningkatan pH pada limbah cair sawit dan mikroorganisme lokal.
Selain itu adanya gula merah pada bahan penyusun mikroorganisme lokal sebagai
penghasil glukosa, yang berfungsi sebagai enzim membantu bakteri lactobacillus sp
dalam proses penguraian (dekomposisi) senyawa-senyawa kompleks (senyawa-
senyawa organik) dan senyawa-senyawa beracun lainnya yang terdapat pada larutan
limbah cair sawit dengan memutus rantai C (carbon) dan mengubahnya menjadi
senyawa-senyawa sederhana yang tersedia untuk tanaman. Hal ini menunjukan
bahwa larutan mikroorganisme lokal berpotensi dimanfaatkan sebagai bahan pengurai

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


205
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

atau dekomposer untuk menetralisir bahan-bahan cemaran terutama senyawa-


senyawa organik mudah larut yang terdapat pada limbah cair sawit.
Pendapat Hartutik (2009), proses penguraian senyawa-senyawa kompleks pada
bahan limbah menjadi senyawa sederhana oleh bakteri lactobacillus sp. dilakukan
dengan cara menghasilkan Adenosin Tri Phospat (ATP), asam laktat dan asam amino.
Lactobacillus sp adalah merupakan salah satu jenis mikroorganisme yang dapat
mengubah senyawa kompleks yang mengandung Fosfor (P) dari keadaan tidak larut
menjadi terlarut dengan mengeksresikan asam-asam organik (asam amino) seperti
asam sitrat, glutamat, asetat, propionat, laktat, fumirat dan suksinat. Asam-asam
organik yang dieksresikan ini juga menjadi sumber unsur hara N, P, K, Mg, Ca dan S.
Selain itu Lactobacillus sp juga mengeksresikan fito hormon yang berfungsi memacu
proses penguraian senyawa kompleks yang terdapat pada bahan limbah. Nilai Kalium
yang meningkat karena bahan dasar berupa abu tandan buah kelapa sawit
mengandung unsur hara kalium tinggi yaitu sekitar 20-30% serta mengandung unsur
CaO dan MgO.
Untuk mengetahui pangaruh pupuk tablet tehadap pertumbuhan tanaman, maka
dilakukan uji pada tanaman sengon dengan mengamati pertambahan tinggi,
pertambahan diameter batang dan jumlah daun. Tanaman sengon diberikan pupuk
tablet dengan variasi 350 kg/Ha, 700 kg/Ha, 1050 kg/Ha dan 1400 kg/Ha, serta
tanaman kontrol yang tidak diberi pupuk. Hasil pengujian terhadap pertambahan tinggi
tanaman yang dipupuk dengan pupuk tablet ini ditunjukkan dalam Gambar 1.

Pupuk B

40
pertambahan tinggi (Cm)

32
Pupuk A

24

0 350 700 1050 1400


Berat Pupuk (Kg)

Gambar 1. Grafik perbandingan pertambahan tinggi tanaman pada pemberian pupuk


A dan B

Berdasarkan tabel tersebut nampak pertambahan tinggi tanaman cukup


bervariasi. pemberian pupuk B sebesar 700 kg/Ha menunjukkan pertumbuhan
tanaman yang lebih besar dibanding pupuk A yaitu sebesar 40,64 cm dalam waktu 7
minggu, sedangkan penggunaan pupuk A mengalami pertambahan tinggi sebesar
31,25 cm, namun penggunaan dua pupuk tersebut efektif dengan jumlah pupuk 700
Kg/Ha. Pertambahan tinggi tanaman pada tanaman sengon yang tidak diberi pupuk
sedikit lebih lambat dibandingkan dengan yang diberi pupuk. Pada pemberian pupuk
yang berlebihan juga tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap pertambahan

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


206
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

tinggi tanaman, sehingga disarankan pemberian pupuk harus sesuai dengan


kebutuhan unsur hara pada tanaman.
Perbandingan diameter batang berdasarkan variasi pemberian pupuk dengan
dosis yang berbeda beda, sebagaimana disampaikan pada Gambar 2.

4,5

Pupuk B
4,0
Pertambahan Diameter (Cm)

3,5
Pupuk A

3,0

2,5

2,0
0 350 700 1050 1400

Jumlah Pupuk (Kg)

Gambar 2. Grafik perbandingan pertambahan Diamater Batang pada pemberian


pupuk A dan B.

Hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa pemupukan dengan 700 kg/Ha


dalam 7 minggu mengalami peningkatan yang lebih besar diamater tanaman sengon
yaitu sebesar 4,0 cm pada pupuk B, sementara penggunaan pupuk A rerata
pertambahan diameter pada usia 7 minggu adalah 3,44 cm.
Indikator lainya yang menunjukkan kinerja pupuk adalah rerta pertambahan
jumlah daun yang diukur mulai awal pemupukan pada periode waktu 7 minggu.
pengelompokan juga didasarkan pada variasi pemberian pupuk dengan dosis yang
berbeda beda, sebagaimana disampaikan pada Gambar 3.

9,0 Dampak Pupuk B

8,5
Pertambahan Daun (helai)

Dampak Pupuk A
8,0

7,5

7,0

6,5

6,0
0 350 700 1050 1400

Berat Pupuk (kg)

Gambar 3. Grafik perbandingan pertambahan Jumlah daun pada pemberian pupuk A


dan B

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


207
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Berdasarkan Gambar 3, nampak bahwa pemberian pupuk 700 kg/Ha pupuk A


memberikan pertambahan daun sebanyak 8,53 dengan rerata jumlah daun 12,50.
Selanjutnya penggunaan pupuk B dengan 1050 Kg/Ha memberi pertambahan yang
lebih banyak yaitu sebesar 8,86 helai daun dan rerata jumlah daun adalah 13 Helai.
Berdasarkan tiga parameter pengukuran tersebut direkomendasikan pemberian pupuk
tablet berbasis MOL dan sludge limbah cair pabrik kelapa kelapa sawit adalah 1050
kg/Ha. Berdasarkan hasil dari beberapa parameter pengukuran di atas nampak baki
penggunaan pupuk A maupun pupuk B menunjukan bahwa pemberian pupuk 700
kg/Ha lebih efektif untuk memacu pertumbuhan tanaman dari indikator pertambahan
tinggi, pertambahan diamater dan jumlah daun tanaman sengon. Hal ini diduga
kebutuhan hara untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman sudah mencukupi.
Pemberian pupuk lebih dari 700 Kg/Ha tetap memberi kontribusi positif pada
pertumbuhan tanaman, namun kurang memberi keuntungan ekonomi.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Telah dihasilkan pupuk organic tablet berbasis limbah cair pabrik kelapa sawit,
MOL dan filler dengan kandungan hara makro terutama N, P dan K memenuhi
Standar Permentan No. 70 tahun 2011.
2. Terjadi peningkatan pH, N-total, P2O5, dan K2O komposit limbah cair sawit dan
MOL pada semua perlakuan. Kandungan hara terbaik yang dicapai adalah Pupuk
N = 1,68 %, pupuk P = 0,52 % dan pupuk K = 7,32 %, C/N = 13,5 dan pH = 8,8.
Peningkatan terbaik diperoleh pada komposit limbah cair sawit dan MOL dan
suplemen dengan perbandingan 1:1:1,
3. Uji coba terhadap pertumbuhan tanaman sengon diperoleh hasil bahwa pemberian
pupuk paling efektif 700 Kg/Ha dengan rerata pertambahan tinggi tanaman 40,64
cm, rerata pertambahan diamater batang 4,0 dan pertambahan jumlah daun
adalah 8,86 helai.

DAFTAR RUJUKAN
Cheriatna. 2007. Pupuk dan Tanaman Karet Terjemahan E.D.Purbayanti, 1991. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
Departemen Pertanian. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan
Pupuk. Jakarta
Fauzan Zakaria, 2009. Pertumbuhan dan Hasil Jagung yang Dipupuk N, P, dan K pada
Tanah Vertisol Isimu Utara Kabupaten Gorontalo. J. Tanah Trop., Vol. 14, No.1,
2009 pp: 49-56
Garsoni. 2009 Pupuk dan Pemupukan Penebar Swadaya, Jakarta
Kasno and M.T. Sutriadi. 2012. Indonesian Rock-Phosphate Effectivity For Maize Crop
On Ultisols Soils, Agrivita Vol. 34. No. 1. 2012 pp: 14 -22
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 Tentang
Pedoman Teknis Pengkajian dan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak
Kelapa Sawit Pada Tanah di Perkebunan. Jakarta
Lynch, J.M. & N.J.Poole, 1979, Microbial Ecology A Conceptual Approach. Blackwell
Scientific Publications. Oxford
Musnamar, Effi Ismawati. 2005. Pupuk Organik: Cair dan Padat, Pembuatan, Aplikasi.
Penebar Swadaya: Jakarta

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


208
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Mazaya, 2013, Pemanfaatan Tulang Ikan Kakap Untuk Meningkatkan Kadar Fosfor
Pupuk Cair Limbah Tempe, Indonesian Journal of Chemical Science, Indo. J .
Chem. Sci. 2 (1) (2013), Jurusan Kimia FMIP A Universitas Negeri Semarang
Runik Dyah Purwaningrahayu. 2008. Aplikasi Bahan Organik Dan Pupuk Anorganik P
Dan K Pada Kacang Hijau Di Lahan Sawah, j. Agrivigor Vol. 8 No. 1. 2008.
PP. 49-56
Siregar, Parpen. 2009. Produksi Biogas melalui Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik
Minyak Kelapa Sawit dengan Digester Anaerob. Jakarta
Standar Nasional Indonesia (SNI) 2803 : 2012 Tentang Pupuk NPK Padat, Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


209
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Pemberian Limbah Cair Tahu Terhadap Pertumbuhan Bibit


Gaharu (Aquillaria malaccensis L.)
Rabianur Mala Alisti, Herliani, Masitah
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian limbah cair tahu
terhadap pertumbuhan bibit gaharu (Aquillaria malaccensis L.). Penelitian ini dilakukan selama
tiga bulan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan enam kali ulangan. Perlakuan tersebut
adalah P0 (kontrol), P1 (20% limbah cair tahu), P2 (40% limbah cair tahu), dan P3 (60% limbah
cair tahu). Pengukuran tinggi dan jumlah daun dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada hari ke-
14, 28 dan 42. Pemberian Limbah cair tahu diberikan pada hari ke delapan setelah tujuh hari
masa aklimatisasi sampai hari ke empat puluh dua dan dilakukan pengukuran tinggi dan jumlah
daun terakhir. Hasil dari pengukuran tersebut dilakukan analisis varians diikuti dengan BNT 5%.
Hasil analisis Fhitung untuk tinggi tanaman (7.42), sedangkan Fhitung untuk jumlah daun (5.20)
> Ftabel (3.10). Berdasarkan hasil analisis ini, terbukti bahwa terdapat pengaruh pemberian
limbah cair tahu terhadap pertumbuhan bibit gaharu (Aquillaria malaccensis L.), variasi
konsentrasi limbah cair tahu memiliki perbedaan signifikan antara P1, P2, dan P3 terhadap P0.

Kata kunci: limbah cair tahu, bibit gaharu

PENDAHULUAN
Produksi tahu menghasilkan limbah baik berupa padat maupun cair. Limbah
padat dihasilkan dari hasil proses penyaringan dan penggumpalan, limbah ini sebagian
besar oleh para pembuat tahu diolah menjadi tempe gembus, dan pakan ternak ada
pula yang diolah menjadi tepung ampas tahu sebagai bahan baku pembuatan roti
kering. Sedangkan limbah cairnya dihasilkan dari proses perendaman, pencucian,
perebusan, pengempresan dan pencetakan. Hampir dari seluruh proses ini
menghasilkan limbah yang berupa cair yang berakibat tingginya limbah cair tahu.
Limbah merupakan salah satu penyebab pencemaran lingkungan yang
membawa dampak memburuknya kesehatan bagi mayarakat, hal tersebut disebabkan
oleh limbah cair dari berbagai industri seperti industri pabrik tahu dalam proses
produksinya menghasilkan limbah cair yang masih banyak mengandung unsur-unsur
organik, dimana unsur organik itu mudah membusuk dan mengeluarkan bau yang
kurang sedap sehingga selain mencemari air juga dapat mencemari udara sekitar
pabrik produksi.
Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam buangan industri tahu pada
umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut
dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Diantara senyawa-senyawa
tersebut, protein dan lemak adalah yang jumlahnya paling besar. Protein mencapai 40-
60%, karbohidrat 25-50%, dan lemak 10%. Air buangan industri tahu kualitasnya
bergantung dari proses yang digunakan. Apabila air prosesnya baik, maka kandungan
bahan organik pada air buangannya biasanya rendah. Komponen terbesar dari limbah
cair tahu yaitu protein (Ntotal) sebesar 226,06-434,78 mg/L, sehingga masuknya
limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen di perairan
tersebut. Adapun gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah tahu adalah gas
nitrogen (N2),oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), karbondioksida
(CO2) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan
organik yang terdapat di dalam air buangan (Herlambang, 2002).

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


210
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Limbah cair industri tahu yang berasal dari kacang kedelai dapat digunakan
sebagai pupuk, karena mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan untuk
memperbaiki kesuburan tanah. Pupuk organik baik berbentuk padat maupun cair
mempunyai fungsi yang penting yaitu untuk menggemburkan lapisan tanah permukaan
(top soil), meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya
simpan air, yang keseluruhannya dapat meningkatkan kesuburan tanah. Ada beberapa
jenis pupuk organik yang berasal dari alam, yaitu pupuk kandang, pupuk hijau,
kompos, humus, pupuk hayati dan limbah industri pertanian (Anwar, 2006).
Gaharu dikelompokkan sebagai salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) dengan bentuk berupa kayu gumpalan, serpihan serta serbuk yang di
dalamnya terkandung kadar resin serta chromone yang bila dibakar akan
mengeluarkan aroma yang khas (Sumadiwangsa, 1998).
Salampesi (2004), melaporkan bahwa masyarakat di wilayah Timur Tengah
menggunakan gaharu untuk mengharumkan tubuh dan ruangan. Selain itu oleh
masyarakat beragama Hindu dalam bentuk produk hio digunakan sebagai
perlengkapan upacara ritual keagamaan.
Sejak sekitar tahun 2000 dengan berkembangnya ilmu dan teknologi industri
serta perubahan paradigma pengobatan untuk kembali memanfaatkan bahan alami
(back to nature), gaharu selain dibutuhkan sebagai bahan parfum dan kosmetik, juga
dapat diproduksi sebagai bahan obat herbal untuk pengobatan stress, rheumatik, liver,
radang ginjal dan lambung, bahan antibiotik TBC serta kanker dan tumor (Asgarin,
2004).
Sumarna (2002), menyatakan bahwa produksi gaharu semula dipungut
masyarakat dengan memanfaatkan pohon yang telah mati secara alami. Akibat
meningkatnya permintaan pasar dengan harga jual yang tinggi, masyarakat banyak
memburu gaharu dengan cara menebang pohon yang hidup dan mencacah batang
untuk mencari bagian kayu yang telah bergaharu. Hingga tahun 1998 produksi gaharu
masih dapat mencapai sekitar 600 ton per tahun, tahun 2002 dengan kuota ekspor
sekitar 300 ton hanya terpenuhi antara 10-15%, dan hingga akhir tahun 2004 dengan
kuota antara 50-150 ton tidak tercatat data perdagangan ekspor gaharu dari Indonesia
(Biro Pusat Statistik, 2004).
Sumarna (2002), melaporkan dalamupaya konservasi sumberdaya pohon
penghasil gaharu, komisi Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora (CITES) telah menetapkan genus Aquilaria spp. dan Gyrinops
sp., masuk sebagai tumbuhan dalam Appendix II CITES. Untuk memulihkan status
pembatasan ekspor dari kedua genus tersebut, perlu upaya pembinaan dengan
produksi yang tidak tergantung kepada hutan alam, maka secara teknis dapat dibina
melalui pembudidayaan.
Sumarna dan Santoso (2004), melaporkan bahwa tanaman pohon penghasil
gaharu dapat dikembangkan dengan menggunakan benih, anakan alam serta
pengembangan secara vegetatif dengan stek pucuk, cangkok atau kultur jaringan.
Usaha yang dilakukan untuk mendukung tersedianya tanaman dalam upaya
pembudidayaan tanaman karas (Aquillaria malaccensis L.) berkualitas, maka salah
satu upaya penyediaan bibit yang berkualitas perlu didukung oleh tersedianya media
tanam yang baik serta tersedianya hara yang menunjang pertumbuhan bibit hingga
siap tanam. Dalam upaya mempertahankan posisi indonesia sebagai produsen gaharu
serta upaya melestarikan sumberdaya pohon penghasil gaharu, upaya budidaya

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


211
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

terhadap jenis-jenis pohon penghasil yang bernilai komersial tinggi perlu


dikembangkan, baik di wilayah in-situ maupun pada berbagai lahan kawasan ex-situ
yang memiliki kesesuaian tumbuh optimal (Sumarna dan Santoso, 2006).
Seiring dengan kebutuhan untuk tujuan pembudidayaan bahan tanaman yang
memiliki nilai jual tinggi yaitu pohon penghasil gaharu, dapat dikembangkan dengan
memanfaatkan potensi benih dari pohon induk alami yang masih cukup tersedia di
hutan alam produksi dengan kendala fenologis, berupa sifat benih yang rekalsitran dan
memiliki masa dormansi rendah serta embrio atau benih rentan terhadap kekeringan
(Fitter dan Hay, 1992).
Berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin mengetahui “Pengaruh Pemberian
Limbah Cair Tahu Terhadap Pertumbuhan Bibit Gaharu (Aquillaria malaccensis L.)
dengan berbagai perlakuan”.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang bertujuan untuk
mengetahui Pengaruh Pemberian Limbah Cair Tahu untuk Pertumbuhan Bibit Gaharu
(Aquillaria malaccensis L.) Penelitian ini dilaksanakan di Jl. Kadrioening Blok. C
Samarinda, penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari – Mei 2016. Rancangan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL), dengan menggunakan 4 perlakuan termasuk kontrol dengan konsentrasi air
limbah tahu yang berbeda (20%, 40%, 60%). Penelitian ini diulang sebanyak 6 kali
diperoleh dari persamaan sebagai berikut :
( t – 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15 Keterangan :
( 4 – 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15 t : Perlakuan
3r – 3 ≥ 15 r : Pengulangan
3r ≥ 18 r ≥ 6

Berdasarkan penggunaan teknik Rancangan Acak Lengkap (RAL),Tata letak


objek penelitian diletakkan secara beracak dan tidak berdasarkan perlakuan yang
diberikan, berikut posisi objek penelitian.

P0U1 P3U5 P0U3 P2U6 P0U4 P2U1


P1U2 P0U2 P1U1 P0U5 P2U5 P0U6
P2U3 P1U3 P3U1 P3U3 P1U6 P3U6
P3U4 P2U4 P2U2 P1U4 P3U2 P1U5
Gambar 4. Denah tata letak objek penelitian yang dilakukan secara acak.

Data yang dikumpulkan adalah dengan cara menghitung tinggi tanaman dan
jumlah daun yang dilakukan pada hari ke-14, 28, dan hari ke-42 setelah bibit melalui
tahapan aklimatisasi dan pemindahan kedalam kantong plastik (polybag). Setelah data
diperoleh dari hasil perhitungan yang dilakukan pada hari yang telah ditentukan, maka
data akan dibuat dalam bentuk tabulasi.
Setelah dilakukan perhitungan tinggi tanaman dan jumlah daun bibit gaharu
menggunakan Uji Homogenitas dan Uji Normalitas maka sampel dinyatakan
berdistribusi normal dan bersifat homogen. Setelah melalui beberapa serangkaian
pengujian sampel sebelum diberikan perlakuan, maka sampel tersebut akan memasuki
tahap aklimatisasi terlebih dahulu yaitu tahap adaptasi atau penyesuaian dengan

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


212
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

lingkungan yang baru dan proses aklimatisasi ini berlangsung selama 7 hari. Proses
aklimatisasi ini diawali dengan pemindahan bibit gaharu kedalam kantong plastik
(polybag) yang baru, dan selama proses aklimatisasi atau adaptasi ini berlangsung
bibit gaharu hanya disiram menggunakan air yaitu pada pagi dan sore hari pukul 06.00
WITA. Selain proses penyesuaian dengan lingkungan baru, pada tahap ini juga akan
dilakukan penyulaman atau penyisipan apabila terdapat bibit gaharu yang abnormal
(mati).
Tahapan selanjutnya saat proses aklimatisasi selesai adalah pemberian
perlakuan limbah cair tahu dengan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu (20%, 40%
dan 60%), dengan penyiraman atau pemberian perlakuan ini dilakukan seminggu 3 kali
pada pagi dan sore hari pukul 06.00 WITA dan sisanya (selain hari pemberian
perlakuan) hanya disiram menggunakan air. Pada pemberian perlakuan limbah cair
tahu nantinya akan dicampurkan air terlebih dahulu sehingga setiap bibit tanaman
akan mendapatkan 100ml (percampuran limbah cair tahu dengan air), misalnya
konsentrasi 20% maka limbah tahu nya 20 ml dicampur dengan air sebanyak 80 ml
dan jumlah totalnya adalah 100ml, sehingga setiap perlakuan 1 (20%) dengan ulangan
sebanyak 6 kali akan mendapatkan 100ml percampuran limbah cair tahu dengan air
perbibit tanaman, begitu seterusnya dengan perlakuan 2 (40%) dan perlakuan 3 (60%).
Limbah cair tahu yang digunakan dalam memberikan perlakuan adalah limbah cair
tahu yang sebelumnya sudah difermentasikan (dimalamkan) selama 1 malam
sebelumnya. Limbah cair tahu ini diperoleh dari pabrik tahu milik pak kasmo yang
berada di Jl. selili samarinda. Pabrik tahu milik pak kasmo ini beroperasi setiap hari
dari pukul 03.00 dini hari – 11.00 siang, limbah cair tahu ini biasanya hanya akan
dibuang langsung ke aliran sungai tanpa diolah terlebih dahulu. Pemberian perlakuan
pertama pada tanggal 21 maret 2016 pada pukul 06.00 WITA. Selain pemberian
perlakuan dengan limbah cair tahu bibit gaharu juga diberikan pupuk NPK dan effective
microorganisme (E-M4) yang diberikan 2 minggu sekali secara berselang-seling.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka peneliti melakukan analisis
dimana besar hasil │ỹi - ỹ‟i │> nilai BNT 5% (3.80 maka antara ỹi dengan ỹ‟i
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nyata dilihat dari hasil yang diperoleh dari P3
(60%) menunjukan hasil yang sangat berbeda nyata dengan P0 (kontrol/0%) sebagai
pembanding. Begitu juga dengan P2 (40%) dan P1 (20%) menunjukan hasil berbeda
nyata dengan P0 (kontrol/0%) sebagai pembanding.

Tabel 1. Hasil Anaysis of Varians (ANOVA) Jumlah Daun Bibit Gaharu Setelah 42 Hari Diberikan
Perlakuan Limbah Cair Tahu.
Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat F hitung F tabel
Varian (dB) Kuadrat (JK) Tengah (KT)
Perlakuan 3 814.125 271.375
Galat 20 1042.833 52.14167 .204571 3.10
Total 23 1856,958

Berdasarkan data pada tabel diperoleh bahwa Fhitung (5.20 ˃ tabel (3.10) taraf
signifikan 5%, dengan demikian dapat diketahui bahwa ada pengaruh pemberian
limbah cair tahu terhadap pertambahan jumlah daun bibit gaharu. Selanjutnya karena

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


213
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

hasil perhitungan Analysis of Varians (ANOVA) menunjukan nilai yang positif, maka
dilanjutkan dengan Uji Nilai Terkecil (BNT) dengan taraf signifikansi 5%.
Uji Nilai Terkecil (BNT) bertujuan untuk membandingkan nilai rata-rata dari
perlakuan sehingga diketahui ada tidaknya perbedaan dari rata-rata perlakuan yang
ada. Dikatakan ada perbedaan jika rata-rata jika µi - µj ˃ BNT, jika sebaliknya maka
dapat dikatakan bahwa nilai rata-rata masing-masing perlakuan tidak berbeda. Dengan
hasil perhitungan disajikan dalam tabel 2 :

Tabel 2. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil Pengaruh Pemberian Limbah Cair Tahu Terhadap
Pertumbuhan Bibit Gaharu.
Perlakuan Rata-rata Perlakuan (%) BNT
(%) 0 20 40 60 5%
15,83 27,67 24,67 31,67
0 15,83 0 7,19
20 27,67 11,84** 0
ns
40 24,67 8,84** 3 0
ns ns
60 31,67 15,84** 4 7 0
Keterangan : ** Berbeda sangat nyata, ns : non signifikan.

Karena sebagian besar hasil │ỹi - ỹ‟i │> nilai BNT 5% (7.19 maka antara ỹi
dengan ỹ‟i dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nyata dilihat dari hasil yang
diperoleh dari P3 (60%) menunjukan hasil yang signifikan atau berbeda sangat nyata
dengan P0 (kontrol/0%) sebagai pembanding. Begitu juga dengan P2 (40%) dan P1
(20%) menunjukan hasil yang berbeda nyata dengan P0 (kontrol/0%) sebagai
pembanding, bila dilihat dari masing-masing perlakuan konsentrasi.
Pada P1 konsentrasi (20%) menunjukan perbedaan yang signifikan secara
statistik perbedaan tersebut dianggap berbeda nyata. Begitu pula dengan P2
konsentrasi (40%) dan P3 konsentrasi (60%) yang juga menunjukan perbedaan yang
signifikan, sehingga secara statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
yang sangat nyata mengenai pemberian limbah cair tahu terhadap bibit gaharu pada
setiap konsentrasi antar setiap perlakuan.
Hasil pengukuran atau pengambilan data dengan mengukur tinggi tanaman
bibit gaharu dan menghitung jumlah daun setiap perlakuan dengan 6 kali ulangan
dapat dilihat pada Gambar 1.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


214
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Gambar 1. Hasil Pengukuran Tinggi Bibit Gaharu

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa pengukuran atau pengambilan data


terakhir yang dilakukan pada hari ke- 42 juga memperlihatkan pertumbuhan tinggi
tanaman dan pertambahan jumlah daun bibit gaharu yang signifikan pada setiap
perlakuan. Adapun pertumbuhan tinggi tanaman bibit gaharu yang optimal pada
perlakuan ke 3 yaitu konsentrasi 60% ulangan ke 5 dengan tinggi tanaman 44 cm,
sedangkan pertambahan jumlah daun yang optimal juga terlihat pada perlakuan ke 3
yaitu konsentrasi 60% ulangan ke 3 dengan jumlah daun sebanyak 40 helai.

PEMBAHASAN
Hasil yang didapatkan kemudian di analisis menggunakan Analysis of Varians
(ANOVA). Dari perhitungan menunjukan nilai untuk tinggi tanaman bibit gaharu yaitu
Fhitung (7.42) > Ftabel (3.10) dengan taraf signifikansi 5%, sedangkan nilai untuk jumlah
daun bibit gaharu yaitu Fhitung (5.20) > Ftabel (3.10) sehingga memperlihatkan adanya
pengaruh pemberian limbah cair tahu terhadap pertumbuhan bibit gaharu (Aquillaria
malaccensis L.) . Karena Ho telah ditolak maka selanjutnya ingin diketahui antar
perlakuan (rata-rata) yang berbeda nyata, maka untuk mengetahui hal tersebut
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil.
Karena sebagian besar hasil │ỹi - ỹ‟i │> nilai BNT 5% (1.725 , maka antara ỹi
dengan ỹ‟i disimpulkan terdapat perbedaan nyata dilihat dari hasil yang diperoleh dari
P3 (60%) menunjukan hasil yang signifikan atau sangat berbeda nyata dengan P0
(kontrol/0%) sebagai pembanding. Begitu juga dengan P2 (40%) dan P1 (20%)
menunjukan hasil yang sangat berbeda nyata dengan P0 (kontrol/0%) sebagai
pembanding.
Berdasarkan hasil perhitungan secara Analysis of Variance (ANOVA) dan Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) dapat dilihat adanya pertambahan tinggi tanaman dan
jumlah daun pada bibit gaharu serta adanya perbedaan rata-rata dalam pertambahan
tinggi dan jumlah daun bibit gaharu yang diberikan antar perlakuan. Perbedaan ini
diakibatkan adanya perbedaan konsentrasi limbah cair tahu yang diberikan.
Pengukuran tinggi tanaman dan jumlah daun dilakukan sebanyak 3 kali yaitu
pada hari ke 14, 28 dan 42 hari. Untuk hasil pengukuran pertama (hari ke-14)

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


215
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

pertumbuhan tinggi tanaman yang optimal terlihat pada P2 (40%) ulangan ke 5 yaitu 39
cm, sedangkan pertambahan jumlah daun terlihat pada P3 (60%) ulangan ke 3 yaitu 33
helai. Untuk hasil pengukuran kedua (hari ke-28) pertumbuhan tinggi tanaman yang
optimal terlihat pada P3 (60%) ulangan ke 5 yaitu 40cm, sedangkan pertambahan
jumlah daun terlihat pada P1, P2, dan P3 (terkecuali kontrol) ulangan ke 4, 3, 3 yaitu 31
helai. Begitu pula dengan hasil pengukuran terakhir atau ke tiga (hari ke-42)
pertumbuhan tinggi tanaman yang optimal terlihat pada P3 (60%) ulangan ke 5 yaitu 44
cm, sedangkan pertambahan jumlah daun yang optimal terlihat pada P3 (60%) ulangan
ke 3 yaitu 40 helai.
Pengaruh yang diberikan limbah cair tahu terhadap pertumbuhan bibit gaharu
baik pertambahan tinggi maupun jumlah daunya disebabkan limbah cair tahu tersebut
masih mengandung beberapa senyawa yang masih berguna bagi tumbuhan dan dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk alternatif. Dimana limbah tersebut juga banyak
mengandung mineral contohnya P, K, Ca, Mg, Na, Fe, Zn dan berkolaborasi dengan
beberapa mikroorganisme yang diperoleh dari hasil fermentasi limbah cair tahu. Selain
itu, mengandung gula dengan kadar yang rendah yaitu berkisar 0,7-0,9% (Warisno &
Dahana, 2009).
Berdasarkan kandungan dan dekomposisi mikroorganisme yang terdapat
dalam limbah cair tahu dapat dimanfaatkan dalam pertumbuhan beberapa tanaman.
Salah satunya penelitian yang berjudul Pemanfaatan Limbah Cair Tahu Untuk
Peningkatan Hasil Tanaman Petsai (Brassica chinensis). Dalam penelitian ini hasil
statistik yang diperoleh menunjukan pengaruh limbah cair tahu untuk pertumbuhan
tanaman petsai serta pertumbuhan yang paling optimal terdapat pada konsentrasi 20%
dengan persentase 64,34% (Asmoro,2008).
Lestari (2015), juga membuktikan dalam penelitianya yang berjudul Pengaruh
Pemberian Limbah Cair Tahu Terhadap Pertumbuhan Tanaman Sawi Caisim (Brassica
juncea L.). Berdasarkah hasil statistika yang diperoleh pemberian limbah cair tahu
pada konsentrasi 20% menunjukan pengaruh yang nyata dari konsentrasi 10% dan
30%. Hal ini berarti perlakuan dengan memberikan limbah cair tahu dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman sawi caisim (Brassica juncea L.) dengan
konsentrasi yang paling optimal yaitu konsentrasi 20%.
Pemberian limbah cair tahu juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan
terhadap pertumbuhan bibit gaharu yang mana terlihat adanya pertambahan tinggi
tanaman dan jumlah daun setiap minggunya. Hal ini juga disebutkan dalam pengertian
mengenai pertumbuhan suatu tumbuhan yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan adalah proses pertambahan ukuran, bentuk, jumlah daun serta volume
yang diiringi dengan proses menuju kedewasaan. Pertumbuhan tanaman dapat
didefinisikan sebagai peristiwa perubahan biologis yang terjadi pada tanaman berupa
perubahan ukuran, bentuk dan volume yang bersifat irreversible (tidak berubah
kembali ke asal atau tidak dapat balik).

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian yang telah di analisis menggunakan Analysis
of Varians (ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95%, Fhitung untuk tinggi tanaman
(7.42) > Ftabel (3.10) dan Fhitung untuk jumlah daun (5.20) > Ftabel (3.10), maka dapat

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


216
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

disimpulkan bahwa limbah cair tahu memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan bibit
gaharu (Aquillaria malaccensis L.), yaitu ditandai dengan pertambahan tinggi dan
jumlah daun.
Konsentrasi yang paling optimal untuk pertumbuhan tinggi tanaman adalah
konsentrasi 60% dengan tinggi 40cm, sedangkan konsentrasi yang paling optimal
untuk pertambahan jumlah daun adalah konsentrasi 60% dengan jumlah daun
sebanyak 40 helai.

DAFTAR RUJUKAN
Anwar, E. K. dan H. Suganda. 2006. Pupuk Limbah Industri. Dalam Simanungkalit, R.
D. M., D. A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik (Eds).
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Badan Litbang Pertanian. P.83-112.
Asgarin. 2004. Tata Niaga Perdagangan Gaharu Indonesia. Asosiasi Gaharu
Indonesia, Temu Pakar, Rencana Strategis (Renstra) Pengembangan Komoditi
Gaharu. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.
Asahan Budidaya Gaharu. 2010, Gaharu: Pohon Eksekutif Akan diproduksi Secara
Lestari di Indonesia, tersedia online http://asahangaharu.blogspot.com/. Di akses
tanggal 06 Januari 2016.
Biro Pusat Statistik. 2004. Data Perdagangan Komoditi Hasil Hutan Tahun 2004.
Departemen Perdagangan dan Perindustrian. Jakarta.
Damayanti, A.,Hermana, J. Masduqi, A.2004. Analisis Resiko Lingkungan dari
Pengolahan Limbah Pabrik Tahu Dengan Kayu Apu. Jurnal Purifikasi 5 (4) : 151-
156
Desiana, C. 2013. Pengaruh Pupuk Organik Cair Urin Sapi dan Limbah Tahu Terhadap
Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) 114-115
Fahrudin, Fuat. 2009. Budidaya Caisim Menggunakan Ekstrak Teh dan Pupuk
Kascing. Surakarta : UNS
Fitter, A.H. dan R.K. Hay. 1992. Environmental Physiology of Plants. Departement of
Biology University of York, England.
Herlambang. A. 2002. Teknologi Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu. Pusat
pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (BPPT) dan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Samarinda.
Kafadi, N.M. 1990. Memproduksi Tahu Secara Praktis. Surabaya: Karya Anda
Kaswinarni, 2007. Kajian Teknik Pengolahan Limbah Padat dan Cair Industri Tahu.
Tesis Ilmu Lingkungan UNDIP: Semarang.
Lisnasari, S.F, 1995. Pemanfaatan Gulma Air (Aquatic Weeds) Sebagai Upaya
Pengolahan Limbah Cair Industri Pembuatan Tahu . thesis master.Program
pasca sarjana USU, Medan.
Moertinah, S & Djarwanti. 2003. Penelitian Identifikasi Pencemaran Industri Kecil
Tahu-Tempe Di Kelurahan Debong Tengah Kota Tegal Dan Konsep
Pengendaliannya. Laporan Penelitian. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Industri Semarang.
Naswir. 2008. Pemanfaatan urine sapi yang difermentasi sebagai nutrisitanaman.
naswirauoei@yahoo.com. Diakses tanggal 05 Januari 2016.
Novri, Stevanus. 2014. Budidaya Pohon Penghasil Gaharu (Aquillaria malaccensis) di
Kenagarian Pilubang, Kecamatan Harau, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera
Barat. 001-004.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


217
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pranata, A.S. 2004. Pupuk Organik Cair Aplikasi Dan Manfaatnya. Jakarta:
Agromedia Pustaka
Rossiana, N. 2006. Uji Toksisitas limbah cair tahu sumedang terhadap reproduksi
Daphnia carinata KING. Bandung : Universitas Padjajaran. Diakses tanggal 06
Januari 2016.
Salampesi, F. 2004. Tata Niaga Perdagangan Gaharu di Indonesia. Asosiasi Gaharu
Indonesia. Prosiding lokakarya Budidaya dan Pengembangan Komoditi Gaharu.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.
Samekto, R. 2008. Pemupukan . Yokyakarta : PT.Aji Cipta Pratama.
Santoso, E dan Y. Sumarna 2006. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu pada
Jenis Pohon Penghasil Gaharu. Bogor: Pulitbang Hutan Konservasi Alam.
Satria B. 2010, Tanaman Gaharu Yang Terlupakan, tersediaonline
http://gaharubennisatria.blogspot.com/2010/06/tanamangaharu-yang
terlupakan.html. Di akses tanggal 05 Januari 2016.
Sutejo, M.M. 1990. Pupuk dan cara pemupukan. Jakarta: Rineka Cipta
Sumadiwangsa, E. 1998. Prospek Pengembangan Komoditas Gaharu. Prosiding
Lokakarya Pengembangan Gaharu. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial Universitas Mataram.
Sumarna, Y. 2012. Pembudidayaan Pohon Penghasil Gaharu. Departemen
Kehutanan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Pusat Litban
Produktifitas Hutan. Bogor.
Sumarna,Y. 2002. Budidaya Gaharu. Seri Agribisni Penebar Swadaya. Jakarta.
Sumarna, Y. dan E. Santoso. 2004. Budidaya dan Rekayasa Pengembangan Produksi
Gaharu. Makalah Sosialisasi Gaharu di Provinsi Sumatera Utara. Biro Kerjasama
Luar Negeri dan Investasi. Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan, Jakarta.
Simanungkalit. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian
Triyanto. 2008. Pengaruh Konsetrasi Dan Lama Fermentasi Ampas Tahu
Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Selada (Lactuca Sativa)
Secara Hidroponik. Agrosains 10(2): 62-68
Utomo, A.S. 2007. Pembuatan Kompos Dengan Limbah Organik. Jakarta: CV
Sinar Cemerlang Abadi
Warisno, S. Dan Dahana, K. 2009. Inspirasi Usaha Membuata Aneka Nata.
Jakarta : Agromedia Pustaka.
Yuliarti, N. 2009. 1001 Cara Menghasilkan Pupuk Organik. Yogyakarta: Lily
Publiser.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


218
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Analisis Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Pada Tanah Lahan


Pertanian di Samarinda Kalimantan Timur
Rasinta Andriani, Ichrar Asbar, Sri Purwati
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman,
Samarinda

Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya kandungan kadar logam berat timbal (Pb) dan
seberapa besar kandungan logam berat timbal (Pb) pada tanah lahan pertanian yang diperoleh
dari lima wilayah di Samarinda. Sampel penelitian ini adalah tanah lahan pertanian di lima
wilayah di Kota Samarinda. Pengukuran kandungan kadar logam berat timbal dilakukan dengan
menggunakan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Berdasarkan hasil
analisis data, dapat disimpulkan terdapat kandungan logam berat timbal (Pb) pada tanah lahan
pertanian di Samarinda dengan besar kandungan logam berat timbal (Pb) yang berbeda-beda
disetiap lokasi pengambilan sampel. Saran yang dapat diajukan ialah melakukan penelitian
lebih lanjut tentang kandungan logam berat jenis lain pada tanah lahan pertanian, masyarakat
dihimbau untuk mengurangi penggunaan bahan agrokimia pada lahan pertanian agar
produktivitas hasil pertanian tetap stabil.

Kata kunci: logam berat timbal (Pb), pencemaran tanah

PENDAHULUAN
Samarinda merupakan Ibukota dari provinsi Kalimantan Timur. Walaupun
tergolong daerah perkotaan, ada sebagian masyarakat yang masih bermata
pencaharian sebagai petani dengan membuka lahan pertanian. Aktivitas pertanian di
daerah perkotaan ini semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk. Sementara lahan pertanian produktif semakin sempit.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2013) kepemilikan lahan garapan per KK
(kepala keluarga) adalah 0,3 ha. Disamping itu, lahan pertanian keberadaannya sudah
di kelilingi berbagai infrastruktur termasuk pemukiman, jalan raya, bahkan di daerah
dekat eks tambang. Dalam keadaan demikian lahan pertanian sangat terancam
produktivitasnya. Kualitas tanah menurun menyebabkan produksi tanaman ikut
menurun. Hal ini karena lahan pertanian sudah terkontaminasi oleh bahan tercemar
(Erfandi dan Juarsah, 2013).
Menurut UU No.32 tahun 2009 Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan (Erfandi dan Juarsah, 2013).
Penggunaan bahan agrokimia yang tidak terkendali pada lahan pertanian
terutama pada tanaman sayur-sayuran berdampak negatif, antara lain meningkatnya
resistensi hama atau penyakit tanaman, terbunuhnya musuh alami dan organisme
yang berguna, serta terakumulasinya zat-zat kimia berbahaya dalam tanah.
Kandungan logam berat timbal (Pb) dalam batuan beku dan batuan sedimen adalah
sebagai berikut: batuan beku basalt 2–18 ppm, batuan beku granit 6–30 ppm, lempung
dan liat 16–50 ppm, batu pasir < 31 ppm (Charlena, 2004).
Air limbah pabrik dan rumah tangga juga merupakan penyebab adanya
kandungan logam berat timbal (Pb) pada tanah, selain dari penggunaan pupuk dan
pestisida. Limbah tersebut termasuk limbah anorganik atau limbah yang bukan berasal
dari sisa makhluk hidup.Limbah anorganik mengandung unsur-unsur kimia anorganik
yang sifatnya sulit sekali diuraikan oleh mikroorganisme

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


219
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Contoh limbah anorganik yaitu sisa-sisa logam, kaleng bekas, kaca, karet, plastik,
deterjen dan lain-lain (Utami, 2013) .
Logam berat timbal (Pb) juga dapat diperoleh melalui udara buangan emisi
kendaraan bermotor karena penggunaan bahan bakar pada motor yang mengandung
timbal (Pb), sehingga lahan pertanian yang berada dipinggir jalan dapat terakumulasi
logam berat timbal (Pb).
Logam berat timbal (Pb) yang terdapat pada tanah tentu akan mempengaruhi
produktivitas tanaman diatasnya. Perpindahan timbal dari tanah ke tanaman
tergantung komposisi dan pH tanah. Konsentrasi timbal yang tinggi (100-1000 mg/kg)
akan mengakibatkan pengaruh toksik pada proses fotosintesis dan pertumbuhan.
Timbal hanya mempengaruhi tanaman bila konsentrasinya tinggi dan tanah dapat
menyerap timbal (Pb) pada saat kondisi kesuburan dan kandungan bahan organik
tanah rendah. Pada keadaan ini logam berat Pb akan terlepas dari ikatan tanah dan
berupa ion yang bergerak bebas pada larutan tanah. Jika logam lain tidak mampu
menghambat keberadaannya, maka akan terjadi serapan Pb oleh akar tanaman
(Charlene, 2004).
Timbal merupakan logam berat yang sangat beracun, dapat dideteksi secara
praktis pada seluruh benda mati di lingkungan dan seluruh sistem biologis. Komponen
ini beracun terhadap seluruh aspek kehidupan. Timbal menunjukkan beracun pada
sistem saraf, hemetologic, hemetotoxic dan mempengaruhi kerja ginjal (Charlene,
2004).
Berdasarkan uraian pada latar belakang , maka penulis merasa perlu meneliti
lebih jauh mengenai “Analisis Kandungan Logam Berat Timbal (Pb Pada Tanah
Lahan Pertanian Di Samarinda Kalimantan Timur”

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif
atau description research, yaitu penelitian yang memaparkan secara murni hasil dari
objek yang diamati. Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan.Tempat penelitian
yaitu di Laboratorium Biokimia Fakultas MIPA Universitas Mulawarman untuk menguji
kandungan logam berat Timbal (Pb), dan pengambilan sampel tanah diperoleh dari 5
wilayah di Samarinda yaitu :
1. Jalan Perjuangan, berupa lahan kering yang ditanami kangkung rambat, pisang,
dan singkong
2. Jalan R.A Kartini Desa Sekorejo Lempake, berupa lahan kering yang ditanami
cabai, bayam dan kangkung
3. Jalan Sumber Mas Kelurahan Pulau Atas, berupa lahan basah yang ditanami padi
4. Jalan Merapi Gang Tani Tanah Merah, berupa lahan basah yang ditanami padi
5. Jalan Niaga Palaran berupa lahan basah yang ditanami padi dan lahan kering yang
ditanami jagung dan kedelai.
Variabel pada penelitian ini adalah kandungan logam berat timbal (Pb) yang
terdapat pada tanah yang berada di lahan pertanian di Jalan Perjuangan, Jalan R.A
Kartini Desa Sekorejo Lempake, Jalan Sumber Mas Kelurahan Pulau Atas, JalaN
Merapi Gang Tani Tanah Merah dan Jalan Niaga Palaran
Populasi penelitian ini adalah semua tanah lahan pertanian yang berada di Kota
Samarinda Kalimantan Timur. Sampel penelitian ini adalah sebagian tanah lahan
pertanian yang diperoleh dari tanah lahan pertanian yang berada di :

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


220
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

a. Jalan Perjuangan, berupa lahan kering yang ditanami kangkung rambat, pisang,
dan singkong
b. Jalan R.A Kartini Desa Sekorejo Lempake, berupa lahan kering yang ditanami
cabai, bayam dan kangkung
c. Jalan Sumber Mas Kelurahan Pulau Atas, berupa lahan basah yang ditanami padi
d. Jalan Merapi Gang Tani Tanah Merah, berupa lahan basah yang ditanami padi
e. Jalan Niaga Palaran berupa lahan basah yang ditanami padi dan lahan kering yang
ditanami jagung dan kedelai.
Prosedur pada penelitian ini meliputi observasi lapangan, pengambilan sampel
tanah di lahan pertanian, preparasi sampel berupa tanah pada lahan pertanian, dan
destruksi sampel berupa tanah pada lahan pertanian.

HASIL PENELITIAN
Lokasi penelitian terletak di Samarinda. Kota Samarinda merupakan Ibu Kota
Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai
Kartanegara. Kota Samarinda secara astronomis terletak pada posisi antara
116°15'36"-117°24'16" Bujur Timur dan 0°21'18" - 1°09'16" Lintang Selatan, dengan
ketinggian 10.200 cm diatas permukaan laut dan suhu udara kota antara 22 - 32°C
dengan curah hujan mencapai 2.345 mm pertahun dengan kelembaban udara rata-rata
2
81,4 %. Kota ini memiliki luas wilayah 718 km , jumlah penduduk Kota Samarinda
hingga Mei 2015 lalu tercatat sebanyak 883.838 jiwa. Sesuai dengan kondisi iklim di
Kota Samarinda yang tergolong dalam tipe iklim tropika humida, maka jenis-jenis tanah
yang terdapat di daerah ini tergolong ke dalam tanah yang bereaksi masam. Jenis-
jenis tanah yang terdapat di Kota Samarinda, menurut Soil Taxanomy USDA tergolong
kedalam jenis tanah Ultisol, Entisol, Histosol, Inceptiols dan Mollisol atau bila menurut
Lembaga Penelitian Tanah Bogor terdiri dari jenis tanah Podsolik, Alluvial, dan
Organosol.

Tabel 1. Data Hasil Pengukuran pH dengan Menggunakan pH meter


pH Sampel Lahan Pertanian
No Lokasi Rata-rata
Lahan I Lahan II Lahan III
1 Tanah Merah 5 5,5 5,5 5,3
2 Palaran 5 6,6 6 5,87
3 Perjuangan 5,6 6,2 6,4 6,07
4 Pulau Atas 6 5,4 5,4 5,6
5 Lempake 6,6 6,8 6,6 6,67

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa hasil pengukuran secara insitu pada


tanah lahan pertanian menunjukkan bahwa pH terbesar berada pada Jalan Lempake
yaitu sebesar 6,67 sedangkan pH pada tanah lahan pertanian yang terendah berada
pada Jalan Merapi Gang Tani Tanah Merah yaitu sebesar 5,3. Pada tabel juga
menunjukkan kadar pH pada tanah lahan pertanian yang dijadikan sampel termasuk
jenis tanah asam karena memiliki pH <7.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


221
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Tabel 2. Data Hasil Pengukuran Suhu dengan Menggunakan Termometer


Suhu Sampel Lahan Pertanian (C)
No Lokasi Rata-rata (C)
Lahan I Lahan II Lahan III
1 Tanah Merah 29 29 29 29
2 Palaran 29 33 29 30,3
3 Perjuangan 36 28 39 34,3
4 Pulau Atas 30 28 28 28,67
5 Lempake 29 31 31 30,3

Berdasarkan Tabel 2. diketahui bahwa hasil pengukuran secara insitu pada


tanah lahan pertanian menunjukkan bahwa suhu tertinggi berada pada Jalan
Perjuangan yaitu sebesar 34,3 C sedangkan suhu terendah sampel tanah lahan
pertanian berada pada Jalan Merapi Gang Tani Tanah Merah yaitu sebesar 29 C.
Suhu sampel tanah masih tergolong suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman
karena berkisar antara 18 – 30 C, sehingga kemungkinan adanya kandungan logam
berat pada tanah masih dalam batas normal atau kadar alami pada tanah.
Hasil yang yang diperoleh dari analisis kadar timbal (Pb) pada lahan
pertanian di Kota Samarinda Kalimantan Timur dengan menggunakan
Spektrofotometer Serapan Atom sebagai berikut :

Tabel 3. Data Hasil Analisis Logam Berat Timbal (Pb) pada Tanah Lahan Pertanian
Rata - rata Pb pada Tanah Rata – rata PB pada
No Lokasi (µg/gr) atau mg/kg keseluruhan Tanah
Lahan I Lahan II Lahan III (µg/gr) atau mg/kg
1 Tanah Merah 24,25 27,25 26,99 26,16
2 Palaran 15 18,66 17,14 16,93
3 Perjuangan 19,69 17,38 18 18,36
4 Pulau Atas 26,08 27,81 28,76 27,55
5 Lempake 19,78 26,93 19,78 24,34

Berdasarkan Tabel 3. diketahui bahwa hasil analisis kandungan timbal (Pb) pada
tanah lahan pertanian menunjukkan bahwa konsentrasi timbal (Pb) terbesar ialah pada
lahan yang berada di Pulau Atas yaitu sebesar 27,55 µg/gr, sedangkan kandungan
timbal (Pb) pada tanah lahan pertanian terendah ialah pada lahan yang berada di
Palaran yaitu sebesar 16,93 µg/gr. Lahan pertanian di daerah Pulau Atas memiliki
kandungan timbal (Pb) yang lebih besar dibandingkan daerah lain karena lahan
pertanian ini memanfaatkan sungai Mahakam sebagai sumber pengairan sawah yang
diketahui bahwa sungai Mahakam telah tercemar limbah rumah tangga. Sedangkan
Palaran memiliki konsentrasi kadar timbal (Pb) paling rendah dikarenakan lahan
pertanian di daerah ini berlokasi jauh dari jalan raya maupun pemukiman penduduk
sehingga kontaminasi dari logam timbal cukup kecil.

PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kandungan logam
berat timbal (Pb) pada tanah lahan pertanian di Kota Samarinda Kalimantan Timur
dengan memilih lima wilayah sebagai sampel dalam penelitian yaitu di Jalan
Perjuangan,Jalan R.A Kartini Desa Sekorejo Lempake,Jalan Sumber Mas Kelurahan
Pulau Atas, Jalan Merapi Gang Tani Tanah Merah, dan Jalan Niaga Palaran. Pada

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


222
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

wilayah tempat pengambilan sampel dipilih masing-masing tiga lahan yang terdiri dari
lahan basah dan lahan kering. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, stasiun
penelitian I (pertama) berada di Jalan Merapi Gang Tani Kelurahan Tanah Merah.
Pada wilayah ini lahan pertanian yang dijadikan sampel adalah lahan basah berupa
sawah. Sawah yang dipilih berada didekat eks tambang batu bara. Stasiun penelitian II
(dua) berada di Jalan Niaga Palaran. Pada wilayah ini lahan pertanian yang dijadikan
sampel adalah lahan basah dan lahan kering. Lahan basah berupa sawah yang
ditanami padi sedangkan lahan kering berupa ladang jagung dan kacang kedelai. Pada
wilayah ini lahan pertanian jauh dari jalan raya maupun pemukiman warga dan terletak
didaerah dekat perbukitan. Stasiun penelitian III (tiga) berada di Jalan Perjuangan.
Pada wilayah ini lahan pertanian yang dijadikan sampel berupa lahan kering yaitu
ladang yang ditanami kangkung rambat dan singkong serta kebun pisang. Lahan
pertanian yang terdapat di jalan Perjuangan berbatasan langsung dengan jalan raya
yang cukup ramai dilewati berbagai macam kendaraan baik roda dua maupun roda
empat. Stasiun penelitian IV (empat) berada di Jalan Sumber Mas Kelurahan Pulau
Atas. Lahan Pertanian yang dijadikan sampel berupa lahan basah yaitu sawah. Sawah
pada daerah ini berlokasi tepat dipinggir sungai Mahakam sehingga dalam
pengairannya memanfaatkan pasang surut air sungai Mahakam. Sungai Mahakam
telah tercemar berbagai macam limbah rumah tangga maupun pabrik, sehingga
akumulasi dari logam berat di dalamnya ikut terbawa dan terserap oleh tanah. Selain
itu, lahan pertanian ini juga berseberangan dengan pabrik plywood yang diduga
sebagai penyumbang pencemaran udara dan air yang dapat terserap oleh tanah ketika
hujan turun. Stasiun Penelitian V (lima) berada pada Jalan R.A Kartini Desa Sekorejo
Lempake. Lahan pertanian yang dijadikan sampel pada wilayah ini yaitu lahan kering
berupa ladang yang ditanami cabai, bayam dan kangkung. Lahan pertanian berada
jauh dari pemukiman warga dan pinggir jalan yaitu ±800 m yang disekitarnya masih
banyak terdapat hutan- hutan. Daerah ini memiliki kelembaban yang lebih tinggi di
bandingkan wilayah penelitian lainnya.
Bahan organik yang berasal dari tanaman dengan kandungan basa-basa kurang
mencukupi kebutuhan mikrobia pendekomposernya, menyebabkan mikrobia tersebut
menyerap basa-basa keperluannya dari sistem tanah, sehingga basa-basa tanah
seperti kalsium dan magnesium terkuras dari tanah maka menyebabkan terjadinya
pengasaman tanah.
Menurut Palar (2004) rata- rata timbal (Pb) yang terdapat di permukaan tanah
adalah sebesar 5-25 mg/kg. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar logam berat
timbal (Pb) yang terdapat pada tanah lahan pertanian di lima wilayah pengambilan
sampel berkisar antara 16,93–27,55 mg/kg. Data hasil pengukuran pH dan suhu yang
merupakan parameter fisika dan kimia dari adanya kandungan logam berat timbal (Pb)
pada tanah juga menunjukkan kadar normal yang menandakan tidak berlebihnya
kandungan timbal (Pb) pada tanah. Hal ini dikarenakan penggunaan bahan agrokimia
di wilayah pengambilan sampel masih dalam batas wajar.
Berdasarkan gambar 5 dapat diketahui bahwa kandungan logam berat timbal
(Pb) tertinggi berada pada Jalan Sumber Mas Pulau Atas yaitu 27,55 mg/kg. Pada
daerah ini sistem pengairan masih memanfaatkan pasang surut air sungai Mahakam
karena lokasinya yang berada disekitar sungai mahakam yang mulai tercemar limbah
rumah tangga. Selain itu, kapal pengangkutan batubara sering melintasi daerah
tersebut. Sehingga dapat menyebabkan terbawanya kandungan logam berat timbal

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


223
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

(Pb) oleh air yang kemudian diserap oleh tanah pada lahan pertanian. Hasil
pengukuran pH dan suhu pada Jalan Sumber Mas.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang analisis kadar logam
berat timbal (Pb) pada tanah lahan pertanian di Kota Samarinda maka dapat
disimpulkan terdapat kandungan timbal (Pb) pada tanah lahan pertanian di lima
wilayah Kota Samarinda Kalimantan Timur yaitu pada sampel tanah di daerah Tanah
Merah sebanyak 26,16 mg/kg, pada sampel di daerah Pulau Atas sebanyak 27,55
mg/kg, pada sampel di daerah Perjuangan sebanyak 18,36 mg/kg, pada sampel di
daerah Palaran sebanyak 16,93 mg/kg dan terakhir sampel pada daerah Lempake
sebanyak 24,34 mg/kg.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran-saran yang dapat penulis sampaikan
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan logam berat jenis lain pada
tanah lahan pertanian.
2. Menghimbau masyarakat untuk mengurangi penggunaan bahan agrokimia pada
lahan pertanian agar produktivitas hasil pertanian tetap stabil.
3. Menghindari pembukaan areal pertanian yang berlokasi di daerah eks tambang, di
pinggir jalan raya yang padat kendaraan, dan dekat aliran sungai.
4. Menghindari pemanfaatan sungai sebagai sumber pengairan lahan pertanian, agar
tanah lahan pertanian tidak tercemar limbah rumah tangga.

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. PT.Rhineka Cipta : Jakarta
Bintang, Maria. 2010. BIOKIMIA Teknik dan Penelitian. Erlangga : Jakarta
Catur, Purwanto, dkk. 2010. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Sektor Non
Pertanian terhadap Ketersediaan Beras di Kabupaten Klaten Provinsi jawa
Tengah. 1-2
Charlene. 2004. Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) pada
Sayur-Sayuran. IPB Press : Bogor
Darmono. 2006. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Universitas Indonesia Press :
Jakarta
Day, R.A dan A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Erlangga : Jakarta
Djaenuddin, A. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertaniaan. IPB
Press : Bogor
Eary, L.E. 1999. Geochemical and equilibrium trend in mine pit lake. J. Geochem. Expl.
64. 223-236.
Gammon, K. 2011. Pollution Fact/type of pollution. Live Science. Contributor.
http://www.Livescience.com. diakses 25 februari 2016
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo : Jakarta
Heny C. dan E. Susanti. 2009. Karakteristik limnologist kolong bekas tambang timah di
Pulau Bangka. Limnotek. XVI (2): 119-131.
Juarsah, Erfandi. 2013. Teknologi Pengendalian Pencemaran Logam Berat pada
Lahan Pertanian. Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim. 185: 165-
168
Kamisa. (1997). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Kartika : Surabaya

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


224
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Kurniawan. 2013. Pengaruh Kegiatan Penambangan Timah terhadap Kualitas Air Laut
dan Kualitas Ikan Kakap Merah (Lutjanus campechanus) hasil tangkapan di
wilayah pesisir Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tesis.
Magister Managemen Sumberdaya Pesisir dan Pantai Universitas Diponegoro.
Lasat, M.M. 2000. Phytoextraction of metals from contaminated soil: a review of plant
/soil/metal interaction and assessment of pertinent agronomic issues
Journal of Hazardous Substances Research 2: 1–25.
McLaren, R. G., L. M. Clucas, and M. D. Taylor. 2005. Leaching of macronutrients and
metals from undisturbed soils treated with metal-spiked sewage sludge. 3.
Distribution of residual metals. Australian Journal of Soil Research 43(2): 159–
170.
McLaughlin, M. J., R. E. Hamon, R. G. McLaren, T. W. Speir, and S. L. Rogers. 2000.
Review: a bioavailability-based rationale for controlling metal and metalloid
contamination of agricultural land in Australia and New Zealand. Australian
Journal of Soil Research 38(6): 1037–1086.
Miettinen, J.K. 2004. Inorganic Trace Element as Water Pollution to Health Man and
Aquatic Biota Dalam F.Coulation and E.Mark, Ed. Water Quality Process of an
Int. Forum Academic Press. New York : 133-136
Mulyani, Kartasapoetra. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. Rhineka Cipta : Jakarta
Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press : Bogor
Notohadiprawiro, T. 2006. Logam Berat dalam Pertanian. Repro:Ilmu Tanah
Universitas Gajah Mada. 10 : 4-5.
Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rhineka Cipta : Jakarta
Raven, P. H., L. R. Berg, and G. B. Johnson 1998. Environment, Saunders. College
Publishing, New York, NY, USA, 2nd edition.
Setyorini, D., Soeparto, dan Sulaeman. 2003. Kadar logam berat dalam pupuk. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Produk
Pertanian: Pertanian Produktif Ramah Lingkungan Mendukung Ketahanan dan
Keamanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Shevenell, L., Connors, K.A., and Henry, C.D. 1999. Control on pit lake water quality at
sixteen open pit mines in Nevada. Appl. Geoch. 14: 669-687.
Soemarwoto, O. 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Subroto. 2003. Tanah Pengelolaan dan Dampaknya. Fajar Gemilang : Samarinda
Subroto, Yusrani. 2005. Kesuburan dan pemanfaatan Tanah. Bayumedia : Malang
Sulistiana, S., dan Setijorini, L.E., 2015. Kemampuan Penyerapan Timbal(Pb) pada
Beberapa Kultivar Tanaman Puring (Codiaeum Variegatum). Jurnal Matematika,
Sains dan Teknologi. Vol.16 No.1 Hal: 10-17
Supriatno dan Lelifajri. 2009. Analisis Logam Berat Pb Dan Cd Dalam Sampel Ikan
Nila Dan Kerang Secara Spektrofotometri Serapan Atom. Jurnal Rekayasa
Kimia Dan Lingkungan. Vol 7. No1. Hal 5 – 8
Utami. 2013. Limbah dan Jenisnya (online). http:
www.utamisubardjo.blogspot.com, diakses 20 maret 2016.
Wuana, R. A. and Felix, E. Okieimen. 2011. Heavy Metals in Contaminated Soils: A
Review of Sources, Chemistry, Risks and Best Available Strategies for
Remediation. ISRN Ecology. Article ID 402647. 20 p.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


225
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pemanfaatan Ampas Tebu (Saccharum officinarum) Sebagai Media


Perbanyakan Trichoderma spp.
Sapri, Sonja V.T. Lumowa, Akhmad
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman
Email: safriekcharles@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan Ampas Tebu sebagai media
perbanyakan Jamur Trichoderma spp dan mengetahui pada komposisis berapa persen Ampas
Tebu menghasilkan pertumbuhan Jamur Trichoderma spp terbaik.Rancangan penelitian
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 Perlakuan yang terdiri lima variasi
persentase Ampas Tebu sebagai bahan media tumbuh dan 4 kali ulangan. Perlakuan yang diuji
adalah : media beras menir (100g) = K0 (Kontrol), media beras menir : Ampas Tebu (75g : 25g)
=K1, media beras menir : Ampas Tebu (50g : 50g) = K2, media beras menir : Ampas Tebu (25g
: 75g) = K3, Ampas Tebu (100g) = K5. Paramater yang diamati adalah kerapatan spora
Trichoderma spp pada hari ke 15.Hasil Anava menunjukkan bahwa factor variasi persentase
Ampas Tebu sebagai media tumbuh berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap
perbanyakan jamur Trichoderma spp pada taraf kepercayaan 95%. Media perbanyakan jamur
terbaik ditunjukkan pada perlakuan media yang menggunakan bahan Ampas tebu dan beras
menir (25g : 75g) = K1 yaitu 13.500.000 sel/ml.

Kata kunci: ampas tebu, Trichoderma spp.

PENDAHULUAN
Ganguan hama dan penyakit pada tanaman merupakan salah satu kendala
dalam usaha pertanian. Oleh karena itu pencarian teknologi pengendalianhama
terpaduterus dikembangkan (Aditia, 2015). Usaha pengendalian serangan hama dan
penyakit yang kerap dilakukan adalah melalui pemberian insektisida. Namun,
penggunaan insektisida secara berlebihan akan berdampak terhadap keseimbangan
ekosistem. Misalnya, hama menjadi lebih kebal. Artinya, penggunaan bahan kimia
secara berlebihan bukan tidak mungkin menyebabkan populasi hama maupun
penyakitnya akan semakin bertambah. Selain itu, musuh alami dari hama yang berada
di lahan pertanian maupun perkebunan juga akan ikut mati, bahkan terancam punah.
Pengendalian kimia secara serampangan juga akan menyebabkan penurunan
jasad renik. Padahal jasad renik memiliki peran besar sebagai pengurai benda mati
menjadi bahan organik yang diperlukan untuk kesuburan tanah pengendalian kimia
secara berlebihan juga menyebabkan tertinggalnya residu insektisida pada produk
pertanian. Upaya mengganti insektisida bisa dilakukan dengan pengendalian hama
secara biologis (Angraeini, 2010)
Untuk mengurangi dampak negatif tersebut maka pemanfaatan pengendali
hayati menjadi sangat penting seperti pengunaan bakteri antagonis yang hidup
didaerah perakaran , mempunyai prospek yang dapat berfungsi untuk menekan
penyakit tanaman dan dapat mendorong pertumbuhan tanaman. Alternatif lain untuk
mengendalikan penyakit tanaman adalah dengan memanfaatkan mikroba agen
pengendali hayati. Pengendalian dengan cara ini dilaporkan cukup efektif dan belum
ada yang melaporkan timbulnya ketahanan jamur patogen terhadap agen pengendali
hayati (Freeman, 2002 dalam Beriu, 2013)
Salah satu organisme yang sedang dikembangkan sebagai jamur agen
pengendali hayati adalah jamur antagonis Trichordema spp(Eddy, 2004). Menurut
Ismail dkk (2010), jamur Trichordema spp disamping karakternya sebagai antagonis
diketahui pula bahwa Trichoderma spp juga berfungsi sebagai dekomposer dalam
pembuatan pupuk organik.Dalam perkembangannya ada dua teknologi untuk
pengembangan agen pengendali hayati jenis jamur yaitu media cair dan media
padat.Pengembangan media cair menggunakan media ekstrak kentang gula dan
media padatmengunakan media jagung, bekatul, dan beras menir (Vikayantidkk, 2010

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


226
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

dalam Beriu, 2013). Media jamur harus mengandung subtansi organik sebagai sumber
C, sumber N, ion anorganik dalam jumlah yang cukup sebagai pemasok pertumbuhan
daan sumber Vitamin (Nugroho, 2007)
Untuk memenuhi permintaan petani dan meningkatkan produktivitas perlu
dilakukan upaya mencari sumber alternatif pembuatan media pertumbuhan jamur
Trichordemasspyaitu dengan cara mengembangbiakan dengan menggunakan bahan
lokal yang melimpah dan banyak dijumpai dilingkungan sekitar. Salah satu bahan
tersebut adalah ampas tebu.Pemanfaatan ampas tebu sebagai media tumbuh
perbanyakan Trichordema ssp. perlu dipertimbangkan, hal ini dikarenakan tanaman
tebu setelah pasca pemanenan ampas tebu tidak lagi dimamfaatkan dan dibuang
begitu saja.
Ampas tebu adalah hasil samping dari proses ektrasi (pemerahan) cairan tebu.
dari satu pabrik dapat dihasilkan ampas tebu sekitar 35-40% dari berat tebu yang
digiling (Sugito, 1992) Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI) pada musim giling 2006 lalu, data yang diperoleh dari Ikatan Ahli
Gula Indonesia (Ikagi) menunjukkan bahwa jumlah tebu yang digiling oleh 57 pabrik
gula diindonesia mencapai sekitar 30 juta ton, sehinggah ampas tebu yang dihasilkan
diperkirakan mencapai 9.640.000 ton. Namun, sebanyak 5.740.000 ton dari ampas
tebu tersebut dimamfaatkan oleh pabrik gula sebagai bahan bakar, bahan baku untuk
kertas, bahan baku industri, kanvas rem, dll. Oleh karena itu sebanyak 3.856.000 ton
dari ampas tebu tersebut belum dimamfaatkan (Kusuma, 2009).
Menurut Aditya (2007) nutrisi yang terkandung dalam limbah organik ampas
tebu yaitu abu 3,82%, selulosa 37,65%, sari 1,81%, pentosan 27,97%, dan SiO2
3,01% dan sedangkan menurut Intannursiam (2010) ampas tebu (bagasse) merupakan
hasil limbah kasar setelah tebu digiling yang mengandung serat kasar yang tinggi yang
terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin. Selulosa dan lignin merupakan nutrisi yang
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur sehingga diduga dapat
dimamfaatkan sebagai media tumbuh jamur Trichoderma spp. (Fatan, 2014).
Beras menir adalah butir beras yang ukurannya lebih kecil 2/10 atau butir beras
yang lolos dari ayakan atau saringan yang berdiameter 1,753 mm – 2 mm hasil dari
pengilingan beras (Ambiya, 2016).Dari hasil observasi dan wawancara peneliti pada
tanggal 4 april 2016 dengan pemilik pengilingan padi di Tanah Merah, bahwa menir
rata-rata yang dihasilkan padi satu karung bisa mencapai ½ kg menir. Beras menir
hampir sama dengan bekatul, kurang dimamfaatkan sebagai bahan pokok dan sering
digunakan sebagai tambahan bahan pakan ternak saja.Beras menir
memilikikandungan nutrisi yang sama dengan kandungan nutrisi pada beras.Dalam
penelitian sebelumnya, menyimpulkan bahwa pada media beras menir pertumbuhan
jamur Trichoderma spp. sanggat tinggi sehingga peneliti pada penelitian ini tertarik
menggunkan beras menir sebagai media perbandingan pertumbuhan jamur
Trichoderma spp.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian Kuantitatif Jenis
Eksperimen.Eksperimen adalah observasi dibawah kondisi buatan (artificial condition)
dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh si peneliti.Dengan demikian penelitian
eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi
terhadap objek penelitian serta adanya control. (Nazir, 2005). Waktu penelitian ini akan
dilakukan selama 2 bulan dan penelitian ini di laksanakan di Laboratorium IHPT
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda.
Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah Ampas Tebu
(Saccharum officinarum) dengan konsentrasi 25gram, 50gram, 75gram, dan 100 gram.
Variabel terikat (devendent variable) adalah pertumbuhan jamur Trichoderma spp
Populasi dalam penelitian ini adalah Ampas Tebu (Saccharum officinaarum) yang
diambil dari penjual es tebu daerah Sempaja Ujung, Samarinda. Sampel dalam

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


227
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

penelitian ini adalah Ampas Tebu (Saccharum officinaarum) dengan komposisi25


gram, 50 gram, 75 gram dan 100 gram sebanyak 16 sampel sebagai media
pertumbuhan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Perlakuan terdiri atas enam variasi presentase Ampas Tebu sebagai
bahan media tumbuh dan empat kali ulangan yang diperoleh dari persamaan berikut.
(t - 1) (r - 1) ≥ 15
(6 – 1) (r – 1) ≥ 15
5r – 5 ≥ 15
r ≥4
Keterangan
t = Perlakuan
r = Pengulangan

Adapun jenis media tumbuh pertumbuhanTrichoderma spp. adalah sebagai


berikut.
K0 (Kontrol) = Media beras menir (100 gram)
K1 (Perlakuan 1) = Ampas tebu : beras menir (25 gram : 75 gram)
K2 (Perlakuan 2) = Ampas tebu : beras menir (50 gram : 50 gram)
K3 (Perlakuan 3) = Ampas tebu : beras menir (75 gram : 25 gram)
K4 (Perlakuan 4) =Ampas tebu : beras menir (100 gram)
(Keterangan dari masing-masing perlakuan dilakukan empat kali ulangan)

HASIL PENELITIAN
1. Penyajian Data
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Laboratorium IHPT Jurusan
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda sebagai tempat
pembuatan perbanyakan Trichoderma spp. Sampel yang digunakan dalam penelitian
ini berjumlah 20 sampel, 4 sampel control dan 16 sampel dengan komposisi 25 gram,
50 gram, 75 gram dan 100 gram.
Sebelum masuk pada tahap perlakuan disiapkan isolate murni jamur
Trichoderma spp yang berasal dari daerah lempake yang sebelumnya telah
dikembangbiakan di laboratorium IHPT Agroteknologi Pertanian Universitas
Mulawarman. Selanjutnya pembuatan PDA. Pembuatan media PDA (Potato Dextrose
Agar) bertujuan sebagai tempat peremajaan dan pembiakan bibit jamur Trichoderma
spp agar cukup untuk media yang akan di pakai sebagai media perbanyakan
Trichoderma spp.
Kemudian pembuatan media pertumbuhan. Media pertumbuhan yang
digunakan adalah ampas tebu yang sudah dipotong kecil-kecil dengan komposisi 25
gram, 50 gram, 75 gram, dan 100 gram masing-masing media terdiri dari empat kali
ulangan. Proses selanjutnya isolate murni Trichoderma spp ditanam atau diinjeksikan
kedalam masing-masing perlakuan kemudian media diinkubasi pada suhu ruangan 22
– 230C selama 15 hari sampai spora jamur tumbuh sempurna. Setelah diinkubasi
selama 15 hari didalam ruangan inkubasi kemudian diencerkan dan dihitung kerapatan
sporanya menggunakan haemacytometer di atas mikroskop.
Pada Tabel 1. berikut dapat dilihat hasil perhitungan kerapat spora Trichoderma
spp yang dimana dari hasil penelitian ini diketahui bahwa komposisi media ampas tebu
: beras menir (25 gram : 75 gram) menghasilkan jumlah rata-rata spora terbanyak
dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


228
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Tabel 1. Jumlah Spora Trichoderma spp. pada Masing-Masing Perlakuan Komposisi


Media..Tumbuh Hari Ke-15 (360 Jam) Pengamatan
P Jumlah Spora Trichoderma spp (spora/ml) pada tiap Ulangan
(Perlakuan) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4
K0 21.625.000 22.000.000 22.000.000 21.437.000
K1 14.500.000 12.500.000 13.750.000 13.250.000
K2 10.094.000 10.000.000 10.120.000 11.000.000
K3 8.187.000 8.125.000 7.750.000 8.500.000
K4 5.937.000 5.500.000 5.187.500 4.750.000

Nilai rata-rata kerapatan jumlah spora pada hari ke-15 dari masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel
2.

Tabel 2. Nilai rata-rata spora jamur Trichoderma spp.


No Perlakuan Nilai rata-rata (spora/ml)
1 K0 21.903.000ª
2 K1 13.500.000ªᵇ
3 K2 10.303.500ᵇ
4 K3 8.140.500ᵇᶜ
5 K4 5.343.625ᶜ

Analisis Data
Setelah diperoleh data perhitungan dari masing-masing perlakuan 4 kali
pengulangan maka selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisis of Varians
(ANAVA). Dengan hasil perhitungan ANAVA dapat dilihat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. sidik ragam pengaruh media terhadap pertumbuhan jamur Trichoderma spp.
Sumber F.
No JK Db KR F. Hitung
Keragaman Tabel
1 Perlaakuan 3.18894E+15 3 1.06298E+15 139.98 3.24
2 Galat 1.215E+14 16 7.59375E+12
3 Total 3.31044E+15 19

Berdasarkan hasil sidik ragam Anova atau Analisis Of Varians (lampiran 2)


menunjukkan bahwa Fhitung>Ftabel (139.98>3.24) dengan taraf kepercayaan 95%, hal ini
menjukkan bahwa factor variasi presentase ampas tebu sebagai bahan media tumbuh
berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap produksi spora Trichoderma spp. Uji
DMRT (Duncan Multiple Range Test) menunjukkan bahwa spora pada perlakuan K0
(control) berbeda nyata pada perlakuan K1, K2, K3 dan K4. Perlakuan K1 tidak
berbeda nyata dengan perlakuan K2 dan K3, tetatpi berbeda nyata terhadap perlakuan
K4 dan K0.Perlakuan K3 tidak berbeda nyata terhadap K2 dan K4 tetapi berbeda nyata
pada perlakuan K0 dan K1.Perlakuan K4 tidak berbeda nyata terhadap perlakuan K3
tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan K0, K2 dan K3.

PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ampas tebu (Saccharum
officinarum) dapat digunakan sebagai media pertumbuhan jamur Trichoderma spp.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium IHPT Agroteknogi Pertanian Universitas
Mulawarman. Jamur yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang diisolasi
dari tanah daerah lempake. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20
sampel, 4 sampel control dan 16 sampel dengan perlakuan komposisi ampas tebu
yang berbeda yaitu K1 (komposisi ampas tebu 25 gram), K2 (komposisi ampas tebu 50
gram), K3 (komposisi ampas tebu 75 gram), dan K4 (komposisi ampas tebu 100 gram).
Sebelum Isolate murni jamur Trichoderma spp. dibiakan di media ampas tebu.
Ampas tebu yang digunakan untuk pembiakan jamur Trichoderma spp sebanyak 1 kilo
gram. Kemudian ampas tebu dipotong-potong sekecil mungkin agar jamur
Trichoderma spp mampu menyerap nutrisi yang ada pada tebu. Untuk beras disiapkan
sebanyak 1 kilo gram, kemudian beras menir menir dicuci dan dimasak hingga

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


229
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

setengga matang, setelah itu dinginkan selama kurang lebih 20 menit. Setelah beras
menir dingin, timbang ampas tebu sesuai dengan komposisi masing-masing perlakuan
hingga ulangan kempat, yaitu ampas tebu : beras menir (25 g : 75 g), ampas tebu :
beras menir (50 g : 50 g), ampas tebu : beras menir (75 g : 25 g), ampas tebu (100 g)
dan beras menir (100 g). Ampas tebu dan beras menir yang sudah ditimbang
dimasukkan kedalam plastic berukuran 12 x 25 cm dan diikat atau distapler,
selanjutnya kemasan diberi label sesuai komposisi masing-masing media.
Setelah pembuatan media perbanyakan, Isolate murni Trichoderma spp
dicampur dengan 5-10 ml aquades steril kedalam media PDA miring Trichoderma spp,
kemudian dihomogenkan. Selanjutnya tuang kedalam gelas kimia.Selajutnya diambil 3
ml suspense tersebut dengan menggunakan spuit, kemudian diinjeksikan pada
kemasan media perbanyakan. Setiap ulangan diberikan suspense sebnayak 5 ml.
Selanjutnya media dihomogenkan dan disusun diatas koranyang sebelumnya
disemprotkan dengan Alkohol 70%. Penempatan media dilakukan dengan cara
random sampling (undian). Lalu media ditutup dengan menggunakan kertas Koran
serta sekitarnya disemprot dengan alcohol 70%. Kemudian media diinkubasi pada
suhu ruangan 22-23 erajat celcius selam 15 hari sampai spora jamur tumbuh
sempurna. Kemduian jamur Trichoderma spp yang akan dihitung jumlah sporanya
terlebih dahulu diencerkan dengan metode pengenceran bertingkat. Dengan
mengambil 1 gram dari setiap perlakuanyaitu K0 sampai dengan K4 yang sudah
ditumbuhi jamur Trichoderma spp lalu disuspensikan kedalam tabung reaksi sebanyak
10 ml aquadest steril. Selanjutnya suspense jamur Trichoderma spp dihomogenkan
dengan cara dikocok sampai spora terlepas dari medianya.
Diambil 1 ml suspense spora Trichoderma spp dari media yang sudah
dihomogenkan dengan menggunakan pipet ukur, kemudian dimasukkan kedalam
tabung reaksi yang telah diisi 9 ml aquadest steril (pengenceran ). Pertumbuhan
spora dapat dilihat dengan cara melakukan perhitungan jumlah spora. Diambil 1 tetes
suspense Trichoderma spp menggunakan pipet tetes yang merupakan hasil dari
pengenceran. Kemudian dimasukkan kedalam ruang haemacytometer. Selanjutnya
diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 4x10 – 10x10 dan dihitung jumlah
spora yang terlihat. Jika dalam pengamatan jumlah spora tidak mampu maka
pengenceran dilakukankan lagi hingga spora mampu dihitung pada saat pengamatan.
Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan K0 (control) tidak diberi perlakuan, K1
dengan komposisi 25 gram, K2 dengan komposisi 50 gram, K3 dengan komposisi 75
gram, dan K4 dengan komposisi 100 gram. Setiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan
.Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa spora mampu berkecambah pada media
dalam waktu 120 jam (hari ke-5) setelah masa inkubasi dan merata pada perlakuan
control (K0) maupun pada perlakuan K1, K2, K3, dan K4. Spora jamur baru yang
terbentuk, bewarna hialin (transparan) pada masa ini spora jamur belum terbentuk
secara sempurna dan rentan terjadinya kontaminasi. Pada hari ke-7 (168 jam) masa
inkubasi, spora jamur sudah mengalami perubahan yang awalnya bewarna hialin
menjadi putih kehijauan atau hijau gelap (V. T. L. Sonya 2010). Kemudian pada hari
ke-15 masa inkubasi media sudah ditumbuhi oleh jamur secara keseluruhan dan
pengamatan ini juga terlihat bahwa bentuk dan struktur media tumbuh (beras menir)
yang awalnya berupa butiran besar berubah menjadi butiran kecil.Bau pada media
tumbuh pun berubah menjadi bau yang sedikit khas atau berbau jamur.Hal ini
menandakan bahwa jamur telah bekerja dalam menguraikan atau merombak bahan
organic (Beriu, 2013).
Selama masa inkubasi media ditempatkan didalam ruangan dengan suhu
berkisar antara 22-28% derajat celcius dan pada suhu tesebut spora jamur
Trichoderma spp pada media perlakuan dapat tumbuh dengan baik. Menurut Gunawan
(2001), suhu merupakan factor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur. Suhu
ekstrim, yaitu suhu minimum dan suhu maksimum merupakan factor yang menentukan

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


230
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

pertumbuhan jamur sebab dibawah batas suhu minimum dan suhu maksimum jamur
tidak akan hidup.
Suhu pertumbuhan Trichoderma spp pada saat inkubasi lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu pada saat pertumbuhan.Suhu inkubasi jamur berkisar
antara 22-28 derajat celcius dengan kelembapan 60-80%.Kelembapan, secara umum
memerlukan kelembapan yang relative cukup tinggi.Kelembapan relative sebesar 95%
- 100% menunjang pertumbuhan yang maksimum pada kebanyakan jamur.
Adapun hasil yang diperoleh dari perlakuan ampas tebu dan campuran beras
menir yaitu pada perlakuan K0 (Kontrol) diperoleh jumlah rata-rata sel spora sebanyak
21.903.000 sel/ml. pada perlakuan K1 diperoleh jumlah rata-rata sel spora sebanyak
13.500.000 sel/ml. pada perlakuan K2 terlihat jumlah rata-rata sel spora 10.303.500
sel/ml. Pada perlakuan K3 jumlah rata-rata sel spora sebanyak 8.140.500 sel/ml. Dan
pada perlakuan K4 jumlah rata-rata sel spora sebanyak 5.343.625 sel/ml. Komposisi
bahan atau media perbanyakan yang tidak sama konsentrasinya menentukan
pertumbuhan jumlah spora Trichoderma spp.
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pola hubungan antara jumlah
spora Trichoderma spp dengan variasi perlakuan presentase ampas tebu sebagai
media tumbuh dapat dilihat pada gambar berikut.
Pertumbuhan Spora Trichoderma spp (gr/ml) pada media
ampas tebu
30000
21.903.000
25000
Jumlah Spora (Sel/mL)

20000 13.500.000
10.305.000
15000 8.140.500

10000
5.343.626
5000

0
1 2 3 4 5

Gambar 1. Hubungan antara jumlah spora Trichoderma spp dengan variasi perlakuan presentase ampas
tebu sebagai media tumbuh.

Dari Gambar 1 terlihat bahwa pada hari ke-15 pengamatan perlakuan K0


(Kontrol) memiliki rata-rata jumlah spora paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainya. Perlakuan K0 (control) menghasilkan nilai rata-rata tertinggi yaitu 21.903.000
spora/mili dan menghasilkan sedangkan nilai rata-rata terendah pada perlakuan K4
yaitu 5.343.626 spora/milliliter.
Data yang didapatkan kemudiandianalisis menggunakan Analisis of Varians.
Dari perhitungan menunjukkan bahwa Fhitung>Ftabel (139.98>3.24) dengan taraf
kepercayaan 95%, hal ini menjukkan bahwa factor variasi presentase ampas tebu
sebagai bahan media tumbuh berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap produksi
spora Trichoderma spp. Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) menunjukkan bahwa
spora pada perlakuan K0 (control) berbeda nyata pada perlakuan K1, K2, K3 dan K4.
Perlakuan K1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K2 dan K3, tetatpi berbeda nyata
terhadap perlakuan K4 dan K0.Perlakuan K3 tidak berbeda nyata terhadap K2 dan K4
tetapi berbeda nyata pada perlakuan K0 dan K1. Perlakuan K4 tidak berbeda nyata
terhadap perlakuan K3 tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan K0, K2 dan K3.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


231
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Komposisi bahan media perbanyakan yang tidak seimbang akan menentukan


pertumbuhan jumlah spora Trichoderma spp. Semakin rendah dan tidak seimbangnya
komposisi media yang digunakan, semakin menurun juga jumlah spora yang
dihasilkan, sehinggah rendah pula tingkat keragaman jumlah spora dari masing-
masing perlakuan tersebut.
Walker (1991) dalam marlina (2012) menyatakan bahwa ada beberapa dasar
penting untuk mempersiapkan media yang baik, yaitu :
1. Komposisi bahan : Kemurnian, perbandingan karbon dan nitrogen, perbedaan
variasi tiap bagian, tersedianya nutrisibagi pertumbuhan jamur.
2. Pengaruh dari perbedaan percampuran tiap bahan, pH yang dibutuhkan sebelum
dan sesudah sterilisasi, efek sterilisasi pada mineral dan garam.
3. Perubahan pada media sebelum inokulasi, suhu, aerasi dan pengadukan.
Walker (1998) dalam Marlina (2012), telah menyebutkan bahwa komposisi
bahan atau media harus diperhatikan untuk pertumbuhan jamur karena berpengaruh
terhadap jumlah nutrisiyang terkandung dalam media tersebut..Ferron (1981) dalam
Vikayanti dkk.(2007) berpendapat bahwa sumber nutrisi dapat berpengaruh pada
pertumbuhan jamur entomopatogen.Pada media yang nutrisinya terbatas, koloni
tampak transparan (hijau muda), sedangkan pada media yang nutrisinya lebih banyak
koloni dapat terlihat hijau tua (gelap) pada seluruh permukaan media (Irwan,
2010).Menurut bannet dan Hunter (1998) dalam Syhari dan Thamrin (2011), sumber
nutrisi yang dibutuhkan jamur terutama berupa karbon dan nitrogen, oleh karena itu
Trichoderma spp diperbanyak di media yang mengandung nutrisi tersebut.Urilal (2012)
menambahkan bahwa jamur memerlukan kandungan karbon dan nitrogen untuk
energy yang membantu dalam pertumbuhan sel-sel jamur. Sumber karbon dapat
diperoleh dari karbohidrat dengan kadar gula 4-5% (Sutejo, 1991 dalam Purwatisari,
2008). Kelley (1977) dalam Urial dkk (2012) mengemukan bahwa pertumbuhan
Trichoderma sppsangat bergantung pada ketersediaan karbohidrat yang digunakan
sebagai sumber energy untuk pertumbuhannya.Riyanto dan Santoso(1991),
menambahkan karbohidrat diperlukan jamur untuk perkembangbiakan koloni dan
merupakan sumber energy atau bahan bakar sebagai penyusun sel.
Nitrogen dapat disedikan dalam bentuk nitrat, ammonia atau bahan organic
seperti asam aminoatau protein.(Taborsky, 1992 dalam Marlina, 2012).Alexander
(1994) dalam Uruillal, dkk (2012) menyatakan unsur nitrogen diperlukan untuk sintesis
asam amino dan protein, nukleotida, purin dan pyrimidin, dan vitamin-vitamin
tertentu.Pembentukan konida jamur dipengaruhi oleh kandungan protein dalam media.
Protein diperlukan dalam pembentukan apikal hifa dan sisntesis enzim yang diperlukan
selama proses tersebut dan enzim juga yang berperan dalam aktivitas perkecambahan
dan protein yang diserap dalam bentuk asam amino (Garraway) 1984 dalam Vikayanti,
dkk (2007).
Selain karbohidrat dan protein, makronutrisi penting yang lain adalah fosfor
(dalam bentuk fosfaf). Rukman, (1997) menyatakan bahwa ampas tebu mengadung
zat besi sebanyak 2 mg dan kalsium sebanyak 40 mg. Meurut Riyanto dan Santoso
(1991) dalam Marlina (2012) menyatakan bahwa kekurangan akan unsure zat besi dan
kalsium akan menghambat perkembangan dari jamur. Dua unsur tersebut berperan
sebagai aktifator enzim dan sebagai komponen dari porphyrins yang sangat penting
dalam transfer electron. Kekurangan zat besi akan berpengaruh terhadap proses-prose
biokimia. Pada inang dapat menurunkan tingkat ATP dan menghambat sintesa DNA,
Sehinggah proses perkecambahan terhambat.Selain itu menurut Aditya (2007), ampas
tebu mengandung 13% Lignin dari keseluruhan nutrisi pada ampas tebu. Lignin
berfungsi untuk memperkuat hifa yang nantinya akan menembus diding sel pada jamur
patogen.
Jamur juga memerlukan kalsium untuk pertumbuhannya, tentang jumlahnya
sulit dibuktikan, karena sering kali terjadi kontaminasi pada media. Kalsium berguna
sebagai antibiotic sel jamur dan meningkatkan toksin. Peran utama kalsium dalam

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


232
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

jamur adalah mengatur osmotic potensial secara selular dalam sel, meningkatkan
tekanan turgor, serta berhubungan dengan transportasi dalam sel. (Marlina, 2012)
Selain komposisi media yang harus baik, pertumbuhan spora juga dipengaruhi
oleh factor-faktor lingkungan yaitu ;Suhu merupakan faktor penting yang
mempengaruhi pertumbuhan jamur. Suhu ekstrem, yaitu suhu minimum dan
maksimum merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan jamur sebab dibawah
batas suhu minimum dan diatas suhu maksimum jamur tidak akan hidup.Berdasarkan
pada kisaran suhu, jamur dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamur psiklorofil,
jamur mesofil, dan jamur termofil. Kelompok psikrofil merupakan jamur yang
mempunyai suhu minimum dibawah nol derajat celcius, suhu optimum di atas 0 derajat
sampai 7 derajat celcius dan pada suhu diatas 20 derajat celcius jamur ini sudah tidak
dapat hidup. Kelompok kedua yaitu jamur mesofl memiliki suhu minimum diatas 0
derajat celcius, suhu maksimum dibawah 50 derajat celcius, dan suhu optimum antar
15-40 derajat celcius. Kelompok ketiga yaitu kelompok termofil yang mempunyai suhu
minimum diatas 20 derajat celcius, suhu maksimum 50 derajat celcius atau lebih, dan
suhu optimum sekitar 35 derajat celcius atau lebih.
Pengaruh pH terhadap pertumbuhan jamur tidak dapat dinyatakan secara
umum karena bergantung pada beberapa faktor, seperti ketersediaan ion
logamtertentu, permeabilitas membran sel yang berhubungan dengan pertukaranion
produksi CO2 atau NH3, dan asam organik.Di laboratorium umumnya jamur akan
tumbuh pada kisaran pH yang cukup luas yaitu antar 4,5-8,0 dengan pH optimum
antara 5,5-7,5 atau bergantung pada jenis jamurnya. Kisaran pH untuk pertumbuhan
miselium yang optimum umumnya berbeda dengan yang diperlukan untuk
pembentukkan tubuh buah jamur. Untuk jamur Trichoderma spp pH optimal untuk
pertumbuhannya 3-7. Jamur mempunyai daya hambat tertinggi pada pH 5-6,4 dan pH
optimumnya antara 3,7-4,7 pada tekanan bagian CO2 normal (Soesanto, 2008).
Sedangkan menurut Burgers (1981) dalam Nugroho (2007), menyebutkan tingkat pH
yang sesuai berkisar antar 3,3-8,5 sedangkan pertumbuhan optimal terjadi pada pH
6,5.
Suhu dan kelembapan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan jamur
Trichoderma spp terutama untuk pertumbuhan dan perkecambahan konidia serta
patogenesitasnya. Batasan suhu untuk pertumbuhan dan perkecambahan jamur
antara 15-35 C. Pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 23-25 C . Konidia akan
tumbuh dengan baik dan maksimun pada kelembaban 80-92%.
Dua komponen penting dalam udara yang berpengaruh pada pertumbuhan
jamur, yaitu O2 (oksigen), dan CO2 (karbondioksida). Oksigen merupakan unsur
penting dalam respirasi sel. Sumberenergi didalam sel dioksidasi menjadi karbon
dioksida dan air sehingga energi menjadi tersedia..
Kebanyakan jamur, kecuali Agaricus memerlukan cahaya untuk awal
pembentukan tubuh buah dan perkembangannya yang normal. Namun untuk
kebanyakan jamur kebutuhan cahaya ini secara tepat belum diketahui. Satu hal
penting yang diketahui yaitu hanya sejumlah kecil panjang gelombang tertentu yang
diperlukan, tetapi cahaya putih diperlukan dalam jumlah relatif besar.
Secara umum jamur memerlukan kelembapan relatif yang cukup tinggi.
Kelembapan relatif sebesar 95-100 kelembapan
Berdasarkan uraian diatas, ada bebebrapa hal yang harus diperhartikan dalam
proses perbanyakan jamur Trichoderma spp yaitu; perisiapan dan pemelihan
komposisi media, dan faktor-faktor lingkungan. Agar hasil yang diperoleh memuaskan
dan mengurangi terjadinya tingkat kegagalan.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
Ampas Tebu (Saccharum officinarum) dapat dimamfaatkan sebagai media

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


233
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

pertumbuhanTrichoderma spp. Presentase media amapas tebu (Saccharum


officinarum) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jamur Trichoderma spp.
Komposisi media pertumbuhan Trichoderma sppterbaikditunjukkan oleh komposisi
25% ampas tebu (Saccharum officinarum).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, maka Penulis
menyarankan kepada:
1. Pemilik kebun tebu, setelah pasca pemanenan dan pemerasan ekstrak tebu agar
ampas tebu tidak dibuang begitu saja karena ampas tebu dapat dimamfaatkan
sebagai media pertumbuhan Trichoderma spp.
2. Masyarakat khususnya para petani agar dapat memfaatkan jamur patogen
Trichoderma spp ini sebagai penganti Insektisida dalam membasmi hama pada
Tanaman.
3. Peneliti selanjutnya dalam pemilihan jenis media perbanyakan Trichoderma spp
harus mempertimbangkan jumlah nutrisi dan protein yang dibutuhkan oleh jamur
Trichoderma spp yang terkandung dalam media tersebut.

DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 1992.Pembudidayaan Tebu di Lahan Sawah dan Tegalan. Jakarta. Penebar
Swadaya.
Aditya, 2007. Ampas Tebu. Fakultas Pertanian. Skripsi Universitas Sumatera Utara.
Medan
Ambiya, E. N. 2010 Mekanisasi Pertanian http://webcache. Googleusercontent
.com/search?q=cache:X20mvqpaSp4J:dhie91boy.blogspot.com/2010/06/mekani
sasi-pertanian.html+&cd=4&hl=id&ct=clnkdiakses 14 maret 2016
Angraeni, A. Y. 2015. Pengendalian Hayati. http://pengendalian
hayati.Blogspot.co.id/2010/01/pengendalian hayati.html.Diakses pada 10 Maret
2016.
Beriu.J, 2013.Pemamfataan Eceng Gondok Sebagai Media Produksi Spora Jamur
Trichoderma Harzianum Rifai.Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Mulawarman. Samarinda
Djafarudin. 2000. Dasar-dasar pengendalian Penyakit Tanaman. Jakarta: Bumi Aksara.
Eddy, P. T. 2005. Pengaruh Introduksi Jamur (Trichoderma spp) Terhadap
Perkembangan Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum), Pertumbuhan
dan Hasil Tanaman Tomat. Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Jawa Barat
Fatan. D. P, 2012. Trichoderma harzianum Rifai.Http://fatan dwiputra.blogspot. co.id/
2012/12/ trichoderma-sp.html.Diakses pada 1 Maret 2016 pukul 13.00 WITA.
Gunawan, A. W. 2001. Usaha Pembibitan Jamur. Jakarta. Penebar Swadaya.
Gusnawati, HS. 2014. Karakterisasi Morfologis Trichoderma spp. Indigenus Sulawesi
Tenggara. Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
Intanursiam, 2010. Bahan Makanan Ternak : Limbah Industry Perkebunan.
http://Intannursiams-blogspot .com/bahanmakanan46. Di akses pada 2 Maret
2016
Ismail, dkk.2010. Potensi Agens Hayati Trichoderma spp Sebagai Agnes Pengendalian
Hayati.Balai Pengkajian Teknologi Pertanaian (BPTP) Sulawesi Utara.
Kusuma, J. K. 2009. Pengaruh Tingkat Penggunaan Ampas Tebu (Bagasse)
Fermentasi Dalam Ransum Terhada Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik Pada Domba Lokal Jantan. Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Marlina, 2012. Pemamfataan Singkong (Manihotutilisima Pohl.) Sebagai Media
Produksi Spora Jamur Trichoderma Harzianum Rifai.Skripsi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Mulawarman : Samarinda
Nazir, M. 2005. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Ciawi, Bogor Selatan.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


234
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Nugroho, C. H. 2007. Pengaruh Penambahan Tepung Beras dan Tepung Terigu Pada
Media Jagung Giling Terhadap Peningkatan Jumlah Spora Jamur Metarhizium
anisopliae
Nuryatiningsih, 2005.Prospek Jamur Trichoderma koningii Untuk Pengendalian
Penyakit Phytophthora palmiovora Pada Tanaman Kakao.http://www.prospek
jamur trichoderma_kononggi./2hjamur.com. Diakses pada 11 Februari 2016
Riyanto dan Santoso, 1991.Cendawan Beauveria basian dan Cara Pengembangannya
Guna Mengendalikan Hama Buah Kopi. Jakarta
Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Jakarta. PT.
Raja Grafindo Persada.
Suriawiria, U. 1986. Pengantar Untuk Mengenal dan Menanam Jamur. Bandung.
Angkasa.
Syifa, B. 2016.Media Tumbuh Jamur Merang.http://www. binasyifa.
com/939/71/26/media- tumbuh-jamur-merang.htmDiakses 14 maret 2016.
Syahni dan Thamrin, T. 2011.Potensi Pemanfaatan Cendawan Trichoderma spp.
Sebagai Agens Pengendali Penyakit Tanaman di Lahan Rawa Lebak.Balai
Pengkajian Teknologi Pertanaian (BPTP) Sumatera Selatan. Palembang.
Uruilal, C. Klaay, M., Kaya.E. dan Siregar, A. 2012. Pemanfaatan Kompos Elga Sagu,
Sekam dan Dedak sebagai Media Perbanyakan Agens Hayati Trichoderma
harzianum Rifai. Jurnal Teknologi Fakultas Pertanian. Universitas Pattimura.
Ambon,
Vikayanti, 2007. Uji Berbagai Media Tumbuh Dalam Pengembangan Massal APH
Golongan Jamur. Balai Proteksi Tanaman Perkebunan. Jawa Timur.
Lumowa, SVT. 2010. Pengaruh Ukuran Benih, Pupuk Kandang dan Trichoderma
koningii (Rivai) Terhadap Populasi Serangga dan Insidensi Penyakit Pada
Tanaman Kentang. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Wijayanti, 2008. Mengenal Tanaman Tebu. Penebar Swadaya. Jakarta

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


235
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Pemberian Ekstrak Nanas (Ananas comosus L. Merr) Terhadap


Kualitas Organoleptik Daging Ayam Kampung (Gallus domestica)
Sapti Yuliana, Jailani, Sri Purwati
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman
Email: violletaamoo443@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak nanas (Ananas
comosus L. Merr) terhadap kualitas organoleptik daging ayam kampung (Gallus domestica).
Lebih lanjut penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa nanas dapat digunakan sebagai
bahan pengmepuk daging. Teknik Analisis penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan (termasuk kontrol) dan diulang sebanyak tiga kali.
Masing-masing perlakuan yaitu esktrak nanas dengan konsentrasi 0%, konsentrasi 40%,
konsentrasi 60%, dan konsentrasi 80%. Hasil yang diperoleh dianalisis menggunakan Anava.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak nanas berbeda signifikan secara
statistik. Rata-rata nilai hasil uji kesukaan terhadap rasa daging ayam yang tertinggi adalah
pada P3 (konsentrasi 80%) 28,3 dan yang paling rendah adalah pada P 0 (kontrol) 22,33. Hasil
analisis data menunjukkan bahwa FHitung (5,16) > FTabel (4,07) dengan nilai signifikansi 0,00 lebih
kecil dari 0,05 (ρ<0,05). Rata-rata nilai uji kesukaan terhadap tekstur daging ayam yang
tertinggi adalah pada P3 (konsentrasi 80%) 28,67 dan yang paling rendah adalah pada P0
(kontrol) 23,33. Hasil analisis data menunjukkan bahwa F Hitung (6,99) > FTabel (4,07) dengan nilai
signifikansi 0,00 lebih kecil dari 0,05 (ρ<0,05).. Ini berarti terdapat pengaruh pemberian ekstrak
nanas (Ananas comosus L. Merr) terhadap kualitas organoleptik daging ayam kampung (Gallus
domestica).

Kata kunci: nanas (Ananas comosus L. Merr), daging ayam kampung (Gallus domestica), rasa,
tekstur

PENDAHULUAN
Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah
lekat dengan masyarakat. Umumnya, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan
ayam buras (bukan ras), atau ayam sayur. Penampilan ayam kampung memiiki banyak
keragaman, begitu pula dengan sifat genetiknya. Wilayah penyebaran ayam kampung
sangatlah luas, mulai dari daerah perkotaan maupun pedesaan. Hal ini menunjukkan
bahwa ayam kampung sangat berpotensi bagi peningkatan gizi dan ekonomi
masyarakat
Daging merupakan salah satu bahan pangan asal hewani yang mempunyai
kandungan gizi tinggi, yang dibutuhkan oleh tubuh untuk mempertahankan fungsi
fisiologisnya. Daging mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang,
sebagai sumber kalori karena kandungan lemaknya yang cukup tinggi, serta kaya akan
mineral dan vitamin (Murtidjo dalam Hehanussa, dkk, 2011).
Salah satu kelemahan dari ayam kampung adalah dibutuhkan waktu yang lebih
lama untuk mencapai bobot badan yang cukup untuk dipotong. Ternak ayam kampung
biasanya dipotong setelah dipelihara selama lebih dari dua tahun dengan bobot badan
lebih dari satu kilogram. Hal ini mengakibatkan daging ayam menjadi lebih keras dan
diperlukan waktu yang lebih lama untuk dimasak hingga menjadi empuk (Murtidjo
dalam Hehanussa, 2011).
Nanas adalah salah satu tanaman buah yang banyak dibudidayakan didaerah
tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada
buahnya. Industri pengolahan buah nanas di Indonesia menjadi prioritas tanaman yang
dikembangkan, karena memiliki potensi ekspor (Febrina, 2011).

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


236
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Buah nanas banyak mengandung enzim bromelin, tetapi kandungan bromelin di


dalam kulitnya lebih banyak lagi. Oleh karena itu, jangan membuang kulit nanas
karena bagian ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengempuk alami. Enzim
bromelain mampu menguraikan serat-serat daging sehingga daging menjadi lebih
empuk (Nuraini, 2011).
Penggunaan panas yang tinggi dalam pemasakan yang berlebih dapat
mengakibatkan kerusakan asam amino yang terkandung dalam daging terutama lisin,
sehingga daging akan semakin alot atau malah manjadi hancur. Sedangkan pada
metode penambahan enzim pengempuk daging akan mengalami kelebihan distribusi
enzim yang dapat mempengaruhi seluruh organ, jaringan dan perototan sehingga
keempukan akan lebih efektif dan merata (Soeparno dalam Radiati dkk, 2010).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen yaitu untuk mengetahui
hubungan sebab akibat dengan cara memberikan suatu perlakuan kepada satu atau
lebih kelompok eksperimental dengan membandingkan satu atau lebih kelompok
kontrol yang tidak diberi perlakuan. Adapun penelitian ini adalah eksperimen yang
dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah nanas (Ananas
commosus L Merr Var. Cayene) terhadap kualitas organoleptik pada daging ayam
kampung (Gallus domestica).
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2016 sampai dengan bulan Agustus
2016 di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur
Samarinda. Populasi dalam penelitian ini adalah 3 ekor ayam kampung jantan berusia
1 tahun. Sampelnya adalah tiga bagian daging ayam bagian dada seberat 50 gram
yang diberi ekstrak nanas dengan dosis berbeda. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode scoring (metode panel) untuk uji organoleptik daging
ayam.
Pengambilan data dilakukan pada saat 30 menit setelah pemberian perlakuan
sesuai dengan variasi dosis ekstrak nanas yang diberikan. Data hasil pengujian
kualitas organoleptik daging ayam kampung yang diambil yaitu 3 kali pengulangan
dengan waktu yang bersamaan selama 30 menit kemudian dari masing-masing
sampel dilakukan pengujian organoleptik daging ayam yang meliputi warna, bau,
keempukan, dan rasa daging ayam kampung tersebut oleh empat orang panelis. Data
yang telah diperoleh dari hasil pengamatan dan perhitungan kemudian dianalisis
secara statistik dengan menggunakan analisis varian dua arah (ANAVA).

HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Pengaruh Pemberian Perlakuan Terhadap Uji Tingkat Kesukaan Responden Terhadap
Rasa Daging Ayam Kampung (Gallus domestica)
Perlakuan
Ulangan Rata-Rata
P0 P1 P2 P3
U1 22 25 25 27 24,75
U2 26 23 27 29 26,25
U3 19 22 28 29 24,50
Rata-rata 22,33 23,33 26,67 28,33 25,17
Keterangan :
P0 = Kontrol (tanpa ekstrak nanas)
P1 = Ekstrak Nanas konsentrasi 40%
P2 = Ekstrak Nanas konsentrasi 60%
P3 = Ekstrak Nanas konsentrasi 80%

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


237
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Tabel 2. Hasil Analisis Sidik Ragam Uji Kesukaan Panelis Terhadap Rasa Daging Ayam Kampung
(Gallus domestica) yang Diberi Ekstrak Nanas (Ananas comosus L. Merr)
Ftabel
SK DB JK KT Fhitung
5%
Perlakuan 71,00 3 23,67 5,16 4,07
Galat 36,67 8 4,58
Total 107,67 11

Hasil analisis sidik ragam pada tabel didapatkan hasil bahwa pemberian
ekstrak nanas (Ananas comosus L. Merr) berpengaruh secara nyata terhadap aroma
daging ayam kampung (Gallus domestica). Hal ini terlihat dari nilai Fhitung yang lebih
besar dibanding Ftabel yaitu (5,16 > 3,07).

Tabel 3. Hasil Uji BNJ 5%


Rata-rata P0 (22,33) P1 (23,33) P2 (26,67) P3 (28,33) BNJ 5%
P0 (22,33) - - - -
NS
P1 (23,33) 1 - - -
1,24
P2 (26,67) 4,34** 3,34** - -
P3 (28,33) 6** 5** 1,66* -
Keterangan:
NS : Non Signifikan
* : Signifikan
** : Sangat Signifikan

Perlakuan P2 dan P3 berbeda secara nyata dengan perlakuan P0, sedangkan P1


tidak berbeda nyata dengan P0.

Tabel 4. Pengaruh Pemberian Perlakuan Terhadap Uji Tingkat Kesukaan Responden Terhadap
Tekstur Daging Ayam Kampung (Gallus domestica)
Perlakuan
Ulangan Rata-Rata
P0 P1 P2 P3
U1 24 24 27 28 25,75
U2 24 23 31 28 26,50
U3 22 26 26 30 26,00
Rata-rata 23,33 24,33 28,00 28,67 26,08
(Sumber : Hasil Penelitian, 2016)
Keterangan :
P0 = Kontrol (tanpa ekstrak nanas)
P1 = Ekstrak Nanas konsentrasi 40%
P2 = Ekstrak Nanas konsentrasi 60%
P3 = Ekstrak Nanas konsentrasi 80%

Tabel 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Uji Kesukaan Panelis Terhadap Tekstur Daging Ayam
Kampung (Gallus domestica) yang Diberi Ekstrak Nanas (Ananas comosus L. Merr)
Ftabel
SK DB JK KT Fhitung
5%
Perlakuan 62,92 3 20,97 6,99 4,07
Galat 24,00 8 3,00
Total 86,92 11

Hasil analisis sidik ragam pada tabel didapatkan hasil bahwa pemberian
ekstrak nanas (Ananas comosus L. Merr) berpengaruh secara nyata terhadap aroma
daging ayam kampung (Gallus domestica). Hal ini terlihat dari nilai Fhitung yang lebih
besar dibanding Ftabel yaitu (6,99 > 4,07).

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


238
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Tabel 6. Uji Lanjut BNJ 5%


Rata-rata P0 (23,33) P1 (24,33) P2 (28,00) P3 (28,67) BNJ 5%
P0 (23,33) - - - -
*
P1 (24,33) 1 - - -
** ** 1
P2 (28,00) 4,67 3,67 - -
** ** NS
P3 (28,67) 5,34 4,34 0,67 -

Keterangan:
NS : Non Signifikan
* : Signifikan
** : Sangat Signifikan

Berdasarkan uji BNJ 5% terhadap rata-rata nilai uji tingkat kesukaan responden
terhadap tekstur sampel daging ayam kampung (Gallus domestica) menunjukkan
bahwa perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda secara nyata dengan perlakuan P0.

PEMBAHASAN
Nilai rata-rata yang diberikan dari yang terendah pada P0 (kontrol) 22,67 dan
nilai rata-rata tertinggi pada P1 (konsentrasi 40%) 29,00. Nilai Fhitung lebih rendah dari
nilai Ftabel (3,11 < 4,07). Warna daging cenderung lebih pucat bila ditambahkan ekstrak
nanas. Berdasarkan uji analisis sidik ragam pemberian ekstrak nanas pada daging
ayam kampung tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap warna daging
ayam. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kesukaan responden terhadap warna
daging ayam kampung yang diberi ekstrak nanas adalah sama dengan warna daging
ayam kampung yang tidak diberi ekstrak nanas. Adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi warna daging ayam antara lain adalah jenis pakan, spesies, umur, jenis
kelamin, dan kondisi nutrisi. Faktor-faktor tersebut merupakan penentu konsentrasi
pigmen mioglobin pada daging ayam.
Adapun nilai uji dari yang terendah dan tertinggi terhadap aroma daging ayam
kampung adalah nilai terendah pada P0 (kontrol) 25,00 dan nilai rata-rata tertinggi pada
P2 (konsentrasi 60%) 29,33. Nilai Fhitung yang lebih kecil dari nilai Ftabel (2,27 > 4,07).
Dari hasil analisis sidik ragam didapatkan kesimpulan bahwa penambahan ekstrak
nanas (Ananas comosus L. Merr Var. Cayene) tidak berpengaruh secara nyata
terhadap aroma daging ayam kampung (Gallus domestica).
Uji tingkat kesukaan responden terhadap rasa daging yam kampung pada
berbagai taraf konsentrasi ekstrak nanas nilai terendah dan tertinggi pada rasa daging
ayam adalah nilai rata-rata terendah pada P0 (kontrol) 22,33 dan nilai rata-rata tertinggi
pada P3 (konsentrasi 80%) 28,33. Nilai Fhitung lebih kecil dari nilai Ftabel (5,16 > 4,07).
Berdasarkan analisis sidik ragam didapat hasil bahwa ekstrak nanas berpengaruh
secara nyata terhadap rasa daging ayam kampung. Berdasarkan uji BNJ 5% terhadap
rata-rata nilai uji tingkat kesukaan responden terhadap tekstur sampel daging ayam
kampung menunjukkan bahwa perlakuan P2 dan P3 berbeda secara nyata dengan
perlakuan P0, sedangkan P1 tidak berbeda nyata dengan P0. Hal ini terjadi karena
penambahan ekstrak nanas sehingga terdapat sedikit rasa nanas pada daging ayam.
Rata-rata nilai terendah dan tertinggi tekstur daging dada ayam pada masing-
masing perlakuan adalah nilai rata-rata terendah pada P0 (kontrol) 23,33 dan nilai rata-
rata tertinggi pada P3 (konsentrasi 80%) 28,67. Nilai Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel
(6,99 > 4,07). Berdasarkan uji BNJ 5% terhadap rata-rata nilai uji tingkat kesukaan
responden terhadap tekstur sampel daging ayam kampung menunjukkan bahwa
perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda secara nyata dengan perlakuan P0. Selain itu,

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


239
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

masing-masing sampel menggunakan strain dan umur ayam yang sama, begitu pula
dengan proses pemasakannya.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa ekstrak buah nanas memiliki
kemampuan sebagai bahan pengempuk daging ayam kampung. Hal ini karena buah
nanas mengandung enzim bromelin. Penggunaan buah nanas sebagai bahan alami
pengempuk daging ayam kampung dapat dibuktikan secara ilmiah karena terbukti
mampu memperlukan tekstur ayam kampung yang semula kenyal menjadi lebih lunak.
Tentunya masih banyak potensi-potensi lain yang dapat digali dari buah nanas ini,
yang tentunya memerlukan penelitian lebih Ianjut.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji organoleptik daging ayam kampung, pemberian ekstrak
nanas tidak berpengaruh secra nyata pada warna dan aroma, namun berpengaruh
secra nyata terhadap rasa dan tekstur daging ayam kampung. Hal ini terlihat pada
hasil analisis varian (ANNAVA) rasa daging ayam kampung yaitu Fhitung (5,16) > Ftabel
(4,07) dan tekstur daging ayam yaitu Fhitung (6,99) > Ftabel (4,07). Dengan nilai
signifikansi 0,00 lebih kecil dari 0,05 (P>0,05). Adapun dosis yang paling baik untuk
mengempukan daging ayam kampung dalam penelitian ini yaitu pada konsentrasi 80%
sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak buah nanas (Ananas comosus L. Merr Var.
Cayene) terbukti secara ilmiah dapat menjadi bahan pengempuk untuk daging ayam
kampung (Gallus domestica).
Saran
Penggunaan ekstrak buah nanas (Ananas comosus L. merr Var. Cayene) untuk
pengempukan daging ayam kampung (Gallus domestica) dapat dianjurkan secara
lebih luas kepada masyarakat dan perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai dosis,
efek samping, dan perubahan kadar protein, air, lemak, dan pH pada daging sampel.

DAFTAR PUSTAKA
Agromedia, Redaksi. 2009. Buku Pintar Budi Daya Tanaman Buah Unggul
Indonesia. Jakarta: Penerbit Agromedia Pustaka
Arianti, Rahma. 2014. Pengaruh Pemberian Air Rebusan Daun Keci Beling
(Strobilanthes crispus BL.) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Pada
Mencit (Mus musculus L.) Hiperglikemia. Skripsi Sarjana FKIP. Universitas
Mulawarman Samarinda.
Candrawati, O.P.M.A. 2008. Pendugaan Kebutuhan Energi Dan Protein Ayam
Kampung Umur 0-8 Minggu.Tesis Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Tersedia Online di akses di Samarinda tanggal 17 Maret 2016 Pukul
10.32
Darmana, Irawan, dkk. 2013. Ayam Lingnan, Ayam Kampung Unggul China.
Semarang : Penerbit Swadaya
Fadillah, Roni dan Polana, Agustin. 2011. Aneka Penyakit Pada Ayam Dan Cara
Mengatasinya. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka
Febrina, Rina. 2012. Pengaruh Pemberian Level Nanas Terhadap Kualitas Dendeng
Giling Daging Sapi Pada Lama Penyimpanan Yang Berbeda. Skripsi Mahasiswa
Fakultas Peternakan Program Studi Teknologi Hasil Ternak Universitas

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


240
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Hasanuddin Makassar. Tersedia Online di akses di Samarinda tanggal 11 Maret


2016 Pukul 12.32
Hehanusa, Sylvia Ch H, dkk. 2011. Pengaruh Penggunaan Ekstrak Batang (Ham
Nanas Terhadap Kualitas Organoleptik Daging Ayam Kampung. Jumal
Penelitia Dosen Petemakan Universitas Pattimura Ambon Tersedia Online di
akses di Samarinda tanggal 17 Maret 2016
Iswanto, Hadi. 2015. Kandungan Gizi Daging Ayam Kampung. http://blogtemak
ayam.blogspot.com/kandungan-gizi-ayam-kampung.html. Di akses di Samarinda
tanggal 13 Maret 2016 Pukul 09.10
Iswanto, Hadi. 2002. Ayam Kampung Pedaging. Jakarta : PT. Agromedia Pustaka
Karyono, Yono. 2013. Perbedaan Ayam Kampung Dan Ayam Broiler. http://perbedaan-
ayam-kampung-dan-ayam-broiler.html. Di akses di Samarinda tanggal 13 Maret
2016 Pukul 09.19

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


241
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Uji Daya Hambat Dekok Rambut Jagung (Zea Mays L.) Terhadap
Pertumbuhan Jamur Candida Albicans
Sri Mandari Arbia, Didimus Tanah Boleng, Syahril Bardin
FKIP Universitas Mulawarman, Jl. Muara Pahu Kampus Gunung Kelua, Samarinda
E-mail:srimandariarbia@yahoo.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian dekok rambut jagung
(Zea mays L.) terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans. Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan
empat kali ulangan. Perlakuan tersebut adalah P0 (tanpa dekok rambut jagung), P1 (dekok
rambut jagung konsentrasi 100%), P2 (dekok rambut jagung konsentrasi 80%), P3 (dekok
rambut jagung konsentrasi 60%), P4 (dekok rambut jagung konsentrasi 40%) dan P5 (dekok
rambut jagung konsentrasi 20%). Pengukuran zona hambat pertumbuhan jamur Candida
albicans setelah diinkubasi selama tiga hari. Hasil dari pengukuran kolesterol tersebut dilakukan
analisis varian diikuti dengan BNT 5 %. Hasil analisis data Fhitung (55,43972) > F tabel (2,77).
Berdasarkan data ini, terbukti bahwa variasi konsentrasi dekok rambut jagung dapat
menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans. terdapat perbedaan yang signifikan antara
P1, P2, P3, P4, dan P5, terhadap P0.

Kata kunci: dekok rambut jagung, Candida albicans

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Potensi alam
yang dimiliki Indonesia sangat melimpah terutama pada sektor pertanian, peternakan,
perikanan, perkebunan, kehutanan dan kelautan serta pariwisata. Pemanfaatan
kekayaan alam secara terkontrol dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pencegahan penyakit menggunakan tanaman merupakan salah satu pemanfaatan
sumber daya alam yang ada di Indonesia. Tanaman memiliki peranan yang penting
dalam memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maupun hewan, karena tanaman
memiliki kandungan senyawa bioaktif yang berkhasiat.
Infeksi jamur termasuk salah satu yang masih merupakan masalah kesehatan
di Indonesia. Menurut Agung (2013), penyakit infeksi masih menduduki urutan pertama
di Indonesia. Banyak faktor penyebab infeksi yang menyerang manusia diantaranya,
lingkungan yang kumuh, udara yang berdebu, temperatur yang hangat serta lembab
sehingga mikroba tumbuh subur. Infeksi pada manusia disebabkan oleh
mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur dam protozoa.
Infeksi jamur juga merupakan salah satu masalah yang terjadi di Kalimantan
Timur khususnya di Kota Samarinda. Data yang diperoleh pada bulan Mei 2016 dari
Dinas Kesehatan Kota Samarinda menunjukkan dari tahun 2013 sampai tahun 2015
menunjukkan peningkatan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Data yang diperoleh
dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda (2013) menunjukkan bahwa terdapat 68 kasus
untuk penyakit yang disebabkan oleh jamur. Data yang diperoleh dari
Dinas Kesehatan Kota Samarinda (2014) berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan bahwa terdapat 17 kasus untuk penyakit yang disebabkan oleh jamur.
Selanjutnya data dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda (2015) menunjukkan bahwa
terdapat 6990 kasus untuk penyakit dermatitis serta terdapat 1732 kasus untuk
penyakit sariawan. Dari data yang diperoleh maka dapat diketahui bahwa tingkat
penyakit yang disebabkan oleh jamur masih tergolong tinggi dan harus ditangani
dengan cepat dan serius.
Jamur merupakan salah satu penyebab penyakit infeksi terutama di negara –

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


242
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

negara tropis. Iklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi di Indonesia sangat
mendukung pertumbuhan jamur. Banyaknya infeksi jamur juga didukung oleh masih
banyaknya masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga
masalah kebersihan lingkungan, sanitasi dan pola hidup sehat kurang menjadi
perhatian dalam kehidupan sehari – hari masyarakat Indonesia.
Menurut Setiadi (2015), penyakit kandidiasis merupakan suatu penyakit yang
diakibatkan oleh jamur Candida albicans. Pada kasus pasien dengan sistemik, spesies
Candida albicans merupakan patogen keempat tersering yang diisolasi dari kultur
darah. Kandidiasis menyarang pria maupun wanita. Candida albicans merupakan
penyebab kedua tersering penyakit vaginitis pada wanita. Selain itu, Candida albicans
menyerang bagian lipatan kulit, sebagai contoh: sela – sela jari, dan lipatan paha.
Berbagai usaha dilakukan untuk mengobati penyakit kandidiasis, diantaranya
menggunakan obat anti jamur. Namun kekurangan obat anti jamur antara lain karena
efek samping yang cukup mengganggu seperti mual, muntah, diare, nyeri perut, dan
munculnya jamur yang resisten. Harga obat anti jamur pun mahal, dan terdapat banyak
resistensi pada pemberian obat anti jamur. Oleh karena itu, masyarakat mulai mencari
pengobatan lain dengan menggunakan herbal. Menurut perkiraan Badan Dunia
Kesehatan (WHO), 80% penduduk dunia masih menggantungkan kesehatannya pada
pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman.
Tanaman jagung memiliki banyak kegunaan. Hampir semua bagian dari
tanaman jagung mulai dari akar sampai daun dapat dimanfaatkan. Bagian jagung yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah buahnya dan biji yang diolah salah
satunya menjadi tepung jagung. Biji jagung merupakan sumber gizi (nutrisi) yang
potensial untuk bahan pangan ataupun nonpangan. Jagunng merupakan tanaman
semusim. Masyarakat seringkali mengabaikan limbah dari rambut jagung. Rambut
jagung dalam kehidupan sehari – hari dilihat sebagai limbah industri pangan maupun
rumah tangga, rambut jagung mengandung zat yang berguna bagi kesehatan.
Rambut jagung merupakan sekumpulan stigma yang halus, lembut, terlihat
seperti benang maupun rambut yang berwarna kekuningan. Rambut jagung berasal
dari bunga betina dari tanaman jagung. Pada awalnya warna rambut jagung biasanya
hijau muda, lalu akan berubah menjadi merah, kuning maupun coklat muda tergantung
varietas. Fungsi dari rambut jagung sendiri adalah untuk menjebak serbuk sari guna
penyerbukan. Panjang rambut jagung ini bisa mencapai 30 cm atau lebih dan memiliki
rasa agak manis. Pemanfaatan rambut jagung yang merupakan limbah dari budidaya
jagung masih terbatas pada penggunaannya sebagai obat tradisional seperti dapat
digunakan untuk peluruh air seni dan penurun tekanan darah. Selain itu biasanya
rambut jagung yang masih terikut pada kulit (klobot) jagung digunakan sebagai pakan
ternak (Prasiddha, 2016).
Rambut jagung mengandung senyawa bioaktif seperti minyak volatil, steroid,
alkaloid, alantoin, tanin, flavonoid, asam klorogenat, dan senyawa fenolik lainnya
(Laeliocattleya dkk, 2014). Rambut jagung memiliki senyawa flavonoid, alkaloid, tanin,
dan fenolik yang bersifat antijamur sehingga perlu diteliti efektivitas rambut jagung
dalam menghambat Candida albicans. Dekok rambut jagung perlu diteliti sebagai obat
herbal antijamur untuk menjadi obat kandidiasis yang lebih aman dan efisien yang
dapat digunakan oleh masyarakat.

METODE PENELITIAN

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


243
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen sesungguhnya atau


true eksperimen. Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Fakultas
Pertanian Universitas Mulawarman dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Pertanian
Universitas Mulawarman selama 3 bulan dari bulan Mei sampai dengan Juli 2016.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dekok berbahan dasar rambut
jagung (Zea mays L.) yang diberikan pada media biakan jamur Candida albicans.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah zona hambat pertumbuhan jamur Candida
albicans pada media agar setelah diberi dekok rambut jagung (Zea mays L.)
menggunakan kertas cakram.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua rambut jagung (Zea mays L.) yang
ada di pasar segiri Kota Samarinda. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian
rambut jagung (Zea mays L.) yang berumur 60 – 70 hari yang masih segar yang telah
di bawa ke Laboratorium Biokimia Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman
Samarinda. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Proses pengacakan dapat dibuat denah lapangan dari RAL sebagai berikut.
P0: Kontrol
P1 : konsentrasi dekok rambut jagung 100%
P2 : konsentrasi dekok rambut jagung 80%
P3 : konsentrasi dekok rambut jagung 60%
P4 : konsentrasi dekok rambut jagung 40%
P5 : konsentrasi dekok rambut jagung 20%
U : ulangan

HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Faperta Universitas
Mulawarman sebagai tempat pembuatan dekok rambut jagung sedangkan
Laboratorium Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Faperta Universitas
Mulawarman sebagai tempat pembuatan dekok rambut jagung sedangkan
Laboratorium Mikrobiologi Faperta Universitas Mulawarman sebagai tempat pengujian
zona hambat pertumbuhan jamur Candida albicans.Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini berjumlah 24 cawan media Potato Dextrose Agar (PDA) yang kemudian
diberi biakan jamur Candida albicans.
Sebelum masuk pada tahap perlakuan disiapkan media pengenceran jamur
Candida albicans yaitu Nutrient Broth (NB). Selanjutnya NB sebanyak 5 ml dimasukan
ke dalam tabung reaksi kemudian dimasukan jamur Candida albicans dengan jarum
ose bulat. Setelah pengenceran jamur Candida albicans kemudian dilanjutkan dengan
pembuatan dekok rambut jagung.
Proses selanjutnya pembuatan media PDA. Pembuatan media PDA bertujuan
sebagai tempat perlakuan pemberian dekok rambut jagung terhadap pertumbuhan
jamur Candidaalbicans.
Sebelum masuk pada tahap perlakuan disiapkan media pengenceran jamur
Candida albicans yaitu Nutrient Broth (NB). Selanjutnya NB sebanyak 5 ml dimasukan
ke dalam tabung reaksi kemudian dimasukan jamur Candida albicans dengan jarum
ose bulat. Setelah pengenceran jamur Candida albicans kemudian dilanjutkan dengan
pembuatan dekok rambut jagung.
Proses selanjutnya pembuatan media PDA. Pembuatan media PDA bertujuan
sebagai tempat perlakuan pemberian dekok rambut jagung terhadap pertumbuhan

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


244
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

jamur Candidaalbicans.

PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dekok rambut jagung (Zea
mays L.) terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans. Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Biokimia Fakultas Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Pertanian Universitas Mulawarman. Jamur yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari Laboratorium Biologi Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 24 cawan petri tempat pertumbuhan jamur
Candida albicans yang diberi perlakuan dekok rambut jagung yang berbeda. Setelah
pembuatan media pembiakan jamur Candida albicans selesai, kemudian pembuatan
dekok rambut jagung. Pembuatan dekok rambut jagung diawali dengan penyiapan
bahan baku yaitu rambut jagung manis yang berumur 60-70 hari. Kemudian rambut
jagung disortir atau dipisahkan dari kotoran-kotoran yang menempel dan dipisahkan
dari bagian rambut jagung yang sudah tua atau layu biasanya bewarna coklat tua
dengan yang masih segar bewarna kuning keemasan. Bagian yang masih segar
kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil lalu dicuci hingga bersih
dengan air yang mengalir. Setelah dicuci ditiriskan selama ± 30 menit, kemudian
rambut jagung sebanyak 100 gram dan air aquadest steril sebanyak 500 ml direbus
selama ± 30 menit dengan suhu 300C sampai tersisa 100 ml dekok rambut jagung.
Dekok rambut jagung disaring ke dalam gelas piala steril dengan kertas saring dan
corong saring.
Dilanjutkan dengan pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA) yang akan
dijadikan media pembiakan jamur Candida albicans dan media penelitian zona hambat
pertumbuhan jamur Candida albicans. PDA yang digunakan sebanyak 31,2 gram yang
dilarutkan dengan aquadest steril sebanyak 800 ml yang dihomogenkan dengan
dipanaskan dan diaduk hingga mendidih diatas hot plate. Kemudian sebelum dituang
ke dalam cawan petri ditserilkan terlebih dahulu dengan menggunakan autoklaf
dengan suhu 1210C selama 15 menit. Setelah disterilkan dan didinginkan kemudian
PDA cair dituang ke dalam cawan petri untuk digunakan sebagai media pembiakan
dan penelitian zona hambat jamur Candida albicans. Setelah pembuatan media PDA
kemudian dilanjutkan dengan pembuatan konsetrasi dekok rambut jagung. Konsentrasi
dekok rambut jagung yang akan digunakan dalam penelitian ini 100%, 80%, 60%, 40%
dan 20%. Untuk setiap konsentrasi dekok rambut jagung disiapkan 20 ml yang
„dimasukan ke dalam helas piala 50 ml, lalu dimasukan kertas cakram ke dalam dekok
rambut jagung dengan masing-masing konsentrasi. Kemudian dilanjutkan dengan
penuangan biakan jamur Candida albicans sebanyak 0,5 ml ke dalam media PDA yang
telah menjadi agar dengan menggunakan mikropipet, dilanjutkan dengan peletakan
kertas cakram ke dalam media PDA yang telah dituangijamur Candida albicans.
Kertas cakram yang diletakan di media sebanyak 6 buah dengan ukuran masing-
masing kertas cakram 6 mm. Media PDA yang telah diletakan kertas cakram siap
untuk diinkubasi selama 3 hari di dalam inkubator.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dianalisis mengunakan Analsys of
Varians dengan taraf kepercayaan 95%, F tanin akan berikatan dengan dinding sel
jamur yang akan menghambat aktivasi protease dan inaktivasi secara langsung.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


245
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Dinding sel jamur merupakan bagian pertama yang akan berinteraksi dengan sel
inang, oleh sebab itu ketika dinding sel dirusak oleh senyawa tannin maka proses
infeksi tidak akan terjadi. Senyawa saponin bersifat sebagai surfaktan yang berbentuk
polar sehingga akan memecah lapisan lemak pada membran sel yang pada akhirnya
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel, hal tersebut mengakibatkan
proses difusi bahan atau zat-zat yang diperlukan oleh jamur dapat terganggu, akhirnya
sel membengkak dan pecah. F hitung (55,43972) > F tabel (2,77) maka dapat disimpulkan
bahwa dekok rambut jagung (Zea mays L.) memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan
jamur Candida albicans yang ditandai dengan zona bening yang terbentuk di sekitar
kertas cakram yang telah diberi dekok rambut jagung (Zea mays L.) sebagai zona
penghambatan pertumbuhan jamur Candida albicans. Kadar dekok rambut jagung
yang terlihat sangat mempengaruhi penghambatan pertumbuhan jamur Candida
albicans konsentrasi dekok rambut jagung 100%.

SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dilakukan maka
peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlu diadakan sosialisasi kepada masyarakat agar dapat menggunakan bagian
tumbuhan yang dianggap limbah sebagai obat alami dari pada memilih obat-obat
kimia sebagai obat antijamur salah satunya dengan menggunakan dekok rambut
jagung dapat menjadi salah satu pilihan obat antijamur alami.
2. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk meneliti bagian lain dari tanaman
jagung yang jarang digunakan sebagai obat antijamur alami.

DAFTAR RUJUKAN
AAK. 1999. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius: Yogyakarta
Agung AP, dkk. 2013. Potensi Kelenjar Mukosa Pada Kulit Duttaphrynus melanostictus
Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli Dan Staphylococcus
aureus.ISBN 978-602-14989-0-3: 74.
Aulya A. 2012. Isolasi Jamur Candida albicans dan Trichophyton rubrum serta Uji
Aktivitas Antijamur Ekstrak dan Fraksi Beberapa Spon Laut Terhadap Isolat.
Skripsi tidak diterbitkan.Padang:Fakultas Farmasi.UNAND.
Bhaskara GY. 2012. Uji Daya Antifungi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzgium
polianthum[Wight] Walp.) Terhadap Candida albicans ATCC 10231 Secara In
Vitro. Naskah Publikasi. Surakarta: Fakultas Kedokteran. UMS.
Dewi RC. 2009. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Buah Pare Belut (Trichosanthes
anguina L.). Skripsi tidak diterbitkan.Surakarta:Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.UNS.
Ekawati G. 2011. Uji Efek Antiinflamasi Infus Rambut Jagung (Zea mays L.) Ditinjau
Dari Penurunan Udem Pada Telapak Kaki Tikus Putih Jantan Yang Diinduksi
Keraginan. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. UI.
Hasanah KU. 2012. Uji Daya Antifungi Propolis Terhadap Candida albicans dan
Pityrosporum ovale. Skripsi tidak diterbitkan.Surakarta:Fakultas
Kedokteran.UMS.
Nasir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta
Prasetya W. 2010. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Etil Asetat Buah Ceremai
(Phyllanthus acidus (L.) Skeel) Terhadap Candida albicans dan Trichophyton
rubrum:8-13.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


246
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Prasiddha IJ, dkk. 2016. Potensi Senyawa Bioaktif Rambut Jagung (Zea mays L.)
Untuk Tabir Surya Alami. 4: 41-42.
Prawira MY, dkk.2013.Daya Hambat Dekok Daun Kersen (Muntingia calabura L.)
Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus Penyebab Penyakit
Mastitis Pada Sapi Perah: 1.
Ramadani FH, dkk. 2016. Profil Penurunan Kadar Glukosa Darah Ekstrak Air Rambut
Jagung (Zea mays L.) Tua Dan Muda Pada Mencit Jantan Galur Balb-C. 3: 43
Rukmana R. 2007. Jagung Budidaya, Pascapanen dan Penganekaragaman
Pangan. CV.Aneka Ilmu: Semarang
Sari M, dan Cicik S. 2014. Pengaruh Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi
L.) Dalam Menghambat Pertumbuhan Jamur Candida albicans Secara In Vitro.
Jurnal disajikan dalam Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Pembelajarannya,
Universitas Negeri Medan, Medan 23 Agustus.
Setiadi L, dan Roro W. 2015. Efek Antifungal Minyak Atsiri Jahe Merah (Zingiber
officinale var.rubrum) Terhadap Candida albicans Secara In Vitro: 1.
Setiorini MS. 2014. Potensi Antimikroba Krim Ektrak Ranting Patah Tulang (Euphorbia
tirucalli Linn.) Terhadap Propionibacterium acnes ATCC 11827 Dan Candida
albicans ATCC 24433. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas
Teknobiologi. UAJY.
Setyowati H, dkk.2013. Krim Kulit Buah Durian (Durio ziberthinus L.) Sebagai Obat
Herbal Pengobatan Infeksi Jamur Candida albicans: 1-2.
Silamba NS. 2014. Daya Hambat Tanaman Sarang Semut (Myrmecodia pendens)
Terhadap Pertumbuhan Jamur Candida albicans. Skripsi tidak diterbitkan.
Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi. UNHAS.
Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. CV. ALFABETA: Bandung Suprapto.
1996. Bertanam Jagung.Penebar Swadaya: Jakarta Suprihatin SD. 1982.
Candida dan Kandidiasis Pada Manusia. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta
Utami P. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Pt. Agromedia Pustaka: Jakarta
Utariningsih D, dkk. 2007. Dekok Rambut Jagung (Zea mays L.) Efektif Dalam
Menurunkan Kadar Kolestrol Tikus Putih (Rattus norvegicus):8-9.
Warisno. 2007. Jagung Hibrida. Kanisius: Yogyakarta

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


247
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Pemberian Ekstrak Tanaman Serai Dapur (Cymbopogon


citratus) terhadap Intensitas Serangan Hama pada Kacang Panjang (Vigna
sinensis L. var. sesquipedalis)
Teodora Ballos, Sonja V. T Lumowa, Helmy Hassan
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman
Email: teodoraballos94@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tanaman serai dapur
(Cymbopogon citratus) terhadap intensitas serangan hama pada kacang panjang (Vigna
sinensis L. var. sesquipedalis). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan enam perlakuan (termasuk kontrol) yang diulang sebanyak enam belas kali. Masing-
masing perlakuan yaitu 80%, 60 %, 40%, 20% dan kontrol (tanpa perlakuan). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata intensitas serangan serangga hama tanaman kacang panjang
pada 21 hst (hari setelah tanam) secara berturut-turut dengan perlakuan TO (67.86%), T1
(53.13%), T2 (47.77%),T3 (41.52 %), T4 (34.82%)dan T5 (29.02%). Intensitas serangan serangga
hama tanaman kacang panjang pada 28 hst (hari setelah tanam) secara berturut-turut dengan
perlakuan TO (46.54%), T1 (23.28%), T2 (21.12%), T3 (17.46%),T4 (14.88%) dan T5 (12.80 %).
Intensitas serangan serangga hama tanaman kacang panjang pada 35 hst (hari setelah tanam)
secara berturut-turut dengan perlakuan TO (29.40%), T1 (13.19%), T2 (11.08%), T3 (11.36%), T4
(9.94%)dan T5 (8.06%). Intensitas serangan serangga hama tanaman kacang panjang pada 42
hst (hari setelah tanam) secara berturut-turut dengan perlakuan T O (25.94%), T1 (9.39%), T2
(7.68%), T3 (5.70%), T4 (4.04%) dan T5 (2.39%). Pemberian ekstrak tanaman serai dapur
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap intensitas serangan hama pada kacang
panjang. Hasil uji lanjut BNJ 5 % diperoleh hasil bahwa terhadap perbedaan nyata dari tiap
konsentrasi ekstrak tanaman serai dapur yang diberikan pada tanaman kacang panjang.

Kata kunci: serai dapur (Cymbopogon citratus), kacang panjang (Vigna sinensis L. var.
sesquipedalis), serangga hama

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) dengan luas daratan
191,7 juta hektar. Sebanyak 133,7 juta hektar (67,9 %) dari luas daratan tersebut
berpotensi menjadi lahan pertanian dan 22,4 juta hektar (11,7%) sangat layak untuk
usaha pertanian tanaman pangan dan holtikultural. Kacang panjang (Vigna sinensis L.
var. sesquipedalis)merupakan tanaman semusim yang berbentuk perdu. Kacang
panjang bersifat dwiguna, artinya sebagai sayuran polong dan sebagai penyubur
tanah. Menurut Kardinan (2002), kehilangan hasil panen keseluruhan yang yang
diakibatkan oleh organisme pengganggu tanaman dapat mencapai 40%- 55%. Pada
umumnya budidaya tanaman sayuran masih banyak kendala yang dihadapi. Salah
satu diantaranya adalah serangan hama yang dapat menurunkan hasil panen. Sampai
saat ini titik berat pengendalian hama-hama tanaman sayuran yang dilakukan petani
adalah dengan cara kimia yaitu menggunakan insektisida.
Salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
menerapkan konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pengendalian Hama
Terpadu merupakan konsepsi pengendalian hama yang akrab lingkungan, yang
berusaha mendorong berperannya musuh alami dan merupakan cara pengendalian
non kimia lainnya. Salah satu pestisida alami yang dapat digunakan adalah ekstrak
daun serai dapur. Serai dapur merupakan tanaman yang banyak sekali terdapat di
lingkungan sekitar,. Serai dapur banyak ditanam disekitar belakang rumah warga,
karena serai dapur banyak digunakan untuk bumbu memasak bagi ibu-ibu (Endah dan
Novizan. 2002).

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


248
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Berdasarkan hasil penelitian (Adnyana, dkk), menunjukkan bahwa konsentrasi


minyak serai dapur 10%, 5%, 2%, 1%,0,75%, dan 0,5% merupakan konsentrasi yang
mampu membunuh ulat bulu dengan persentase mortalitas diatas 90%. Konsentrasi
0,25% merupakan yang memiliki persentase paling rendah yakni hanya 50%. Pada
penelitian ini ulat bulu mengalami kejang-kejang yang berarti terganggu- nya sistem
syaraf, mengeluarkan cairan tubuh, dan mengalami kematian. Senyawa- senyawa
yang terkandung dalam minyak serai dapur sangat dapat berperan dalam membunuh
ulat bulu. Selain ramah lingkungan, pestisida alami merupakan pestisida yang relatif
aman dalam penggunaannya dan ekonomis. Untuk itu, penulis akan membahas
mengenai pemanfaatan ekstrak tanaman serai dapur (Cymbopogon citratus)sebagai
pestisida alami yang ramah lingkungan.

METODEPENELITIAN
Jenis dari penelitian ini adalah eksperimen sungguhan (True Eksperimental
Research) yang bertujan untuk mengetahui atau menyelidiki kemungkinan saling
hubungan sebab akibat dengan cara menekankan kepada satu atau lebih kelompok
eksperimental, satu atau lebih kondisi perlakuan dari membandingkan hasilnya dengan
satu atau lebih kelompok control yang tidak dikenai kondisi perlakuan (Nurboko dan
Achmadi, 2005). Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 96 bibit kacang
panjang yang di seleksi dan dianggap memiliki kualitas tanam baik, yang mempunyai
kriteria sehat dan tumbuh tegak. Alat dan bahan yang digunakan adalah cangkul,
parang,timbangan, wadah, penyaring, gelas ukur, handsprayer, kamera, ajir, alat tulis,
benih kacang panjang, tanaman serai dapur, air pelarut, sabun dan pupuk kandang.
Kegiatan selama proses penelitian antara lain persiapan lahan, penanaman,
penyulaman, enyiraman, pemasangan ajir,penyiangan, pemangkasan, pemupukan dan
penanggulangan hama.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK), yang terdiri dari 6 perlakuan termasuk kontrol dan 4 ulangan. Ekstrak tanaman
serai dapur (Cymbopogon citratus) yang diaplikasikan pada beberapa sampel
tanaman kacang panjang memiliki kosentrasi yang bervariasi, yakni kosentrasi 20 %,
40 %, 60 %, dan 80 %, selain itu, dalam penelitian ini terdapat beberapa sampel
tanaman kacang panjang yang tidak diberikan ekstrak tanaman serai dapur tetapi
hanya air dan deterjen.
Pengamatan intensitas serangan serangga hama dilakukan dengan selang
waktu 7 hari sekali setelah pengaplikasian ekstrak, atau pengamatan dilakukan pada
pengamatan umur 21, 28, 35 dan 42 dengan menggunakan rumus sebagai berikut
, ket : I = Intensitas Serangan (%).
Dengan nilai skalanya yaitu 0 (tidak ada serangan hama/tanaman sehat), 1
(kerusakan < 25% serangan hama ringan), 2 (kerusakan 25-50% (serangan hama
sedang), 3 (kerusakan 50-75% (serangan hama berat), 4 (kerusakan > 75% serangan
hama sangat besar).
Kemudian data-data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik
ragam rancangan acak kelompok dengan analisis of varian (ANOVA) dengan selang
kepercayaan 95%. Dan dilanjutkan dengan BNJ 5%.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


249
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Intensitas Serangan Serangga Hama Pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.
var. sesquipedalis )(%) umur 21 (Hari Setelah Tanam).
Ulangan
Perlakuan Total Rerata
R1 R2 R3 R4
T0 64.29 67.86 69.64 69.64 271.43 67.86
T1 53.57 51.79 50.00 57.14 212.50 53.13
T2 42.86 50.00 48.21 50.00 191.07 47.77
T3 37.5 44.64 42.86 41.07 166.07 41.52
T4 33.93 33.93 35.71 35.71 139.28 34.82
T5 28.57 28.57 28.57 30.36 116.07 29.02
Total 260.72 276.79 274.99 283.92 1096.42 274.10

Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Pada 21 Hari Setelah Tanam


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F hitung F tabel 5 %
keragaman bebas kuadrat tengah
Kelompok 3 47.27 15.76
Perlakuan 5 3857.94 771.59
171.66* 2.90
Galat 15 67.42 4.49
Total 23 3972.63
Keterangan : * : Berpengaruh Nyata.
Berdasarkan data pada Tabel 2., diperoleh bahawa Fhitung (171.66>Ftabel (2.90) tarif signifikan 5 %
yaitu 2.90. Dengan demikan, dapat diketahui bahwa ada pengaruh ekstrak tanaman serai dapur
(Cymbopogon citratus) terhadap intensitas serangan serangga hama pada tanaman kacang panjang
(Vigna sinensis L. var. sesquipedalis).

Tabel 3. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) Intensitas Serangan Serangga Hama Pada
Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L. var. sesquipedalis) Umur 21 (Hari Setelah
Tanam)
Rata- Berbeda Dengan BNJ
Perlakuan rata T0 T1 T2 T3 T4 T5
5%
(%) 67.86 53.13 47.77 41.52 34.82 29.02
T0 67.86 - 14.73* 20.09* 26.34* 33.04* 38.84*
T1 53.13 - 5.36* 11.61* 18.31* 24.11*
T2 47.77 - 6.25* 12.95* 18.75* 2.31
T3 41.52 - 6.70* 12.5*
T4 34.82 - 5.80*
T5 29.02 -
Keterangan : * : Berpengaruh nytata (selisih >Ft 5%)

Tabel 4. Intensitas Serangan Serangga Hama Pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.
var. sesquipedalis ) (%) Umur 28 (Hari Setelah Tanam)
Ulangan
Perlakuan Total Rerata
R1 R2 R3 R4
T0 46.48 44.83 46.55 48.28 186.14 46.54
T1 21.55 22.41 21.55 27.59 93.10 23.28
T2 18.97 21.55 22.41 21.55 84.48 21.12
T3 15.52 18.97 18.1 17.24 69.83 17.46
T4 14.66 14.66 15.52 14.66 59.50 14.88
T5 12.93 12.93 12.93 12.39 51.18 12.80
Total 130.11 135.35 137.06 141.71 544.23 136.06
Sumber : Hasil Penelitian (2016)

Tabel 5. Analisis Sidik Ragam Pada 28 Hari Setelah Tanam


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F hitung F tabel 5 %
keragaman bebas kuadrat tengah
Kelompok 3 11.47 3.82
Perlakuan 5 3031.02 606.20
269.55* 2.90
Galat 15 33.73 2.25
Total 23 3076.22
Keterangan : *: Berpengaruh nyata.
Berdasarkan data pada Tabel 5., diperoleh bahwa Fhitung (269.55>Ftabel (2.90)
tarif signifikan 5 % yaitu 2.90. Dengan demikan, dapat diketahui bahwa ada pengaruh

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


250
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

ekstrak tanaman serai dapur (Cymbopogon citratus) terhadap intensitas serangan


serangga hama pada tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L. var. sesquipedalis).

Tabel 6. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) Intensitas Serangan Serangga Hama Pada
Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L. var. sesquipedalis ) Umur 28 (Hari Setelah
Tanam).
Rata- Berbeda Dengan BNJ
Perlakuan rata T0 T1 T2 T3 T4 T5
5%
(%) 46.54 23.28 21.12 17.46 14.88 12.80
T0 46.54 - 23.26* 25.39* 29.08* 31.66* 33.74*
T1 23.28 - 2.16* 5.82* 8.40* 10.48*
T2 21.12 - 3.66* 6.24* 8.32*
1.64
T3 17.46 - 2.58 4.66*
T4 14.88 - 2.08
T5 12.80 -
Keterangan : * : berbeda nyata (selisih > Ft 5 %)

Tabel 7. Intensitas Serangan Serangga Hama Pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.
var. sesquipedalis ) (%) Umur 35 (Hari Setelah Tanam)
Ulangan
Perlakuan Total Rerata
R1 R2 R3 R4
T0 30.64 28.94 29.03 30.64 119.25 29.81
T1 13.78 12.78 12.78 13.78 53.12 13.28
T2 11.11 12.11 11.11 11.11 45.44 11.36
T3 9.44 10.44 10.44 9.44 39.76 9.94
T4 7.78 8.33 8.33 7.78 32.22 8.06
T5 6.67 5.22 7.22 6.67 26.13 6.53
Total 76.20 77.16 77.91 78.86 310.13 77.53

Tabel 8. Analisis Sidik Ragam 35 Hari Setelah Tanam


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F hitung F tabel 5 %
keragaman bebas kuadrat tengah
Kelompok 3 1.63 0.54
Perlakuan 5 1558.40 311.68
185.67* 2.90
Galat 15 25.18 1.68
Total 23 1585.21
Keterangan : * : Berpengaruh nyata.

Berdasarkan data pada Tabel 8., diperoleh bahwa Fhitung (185.67>Ftabel (2.90)
tarif signifikan 5 % yaitu 2.90. Dengan demikan, dapat diketahui bahwa ada pengaruh
ekstrak tanaman serai dapur (Cymbopogon citratus) terhadap intensitas serangan
serangga hama pada tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L. var.
sesquipedalis).Selanjutnya dilakukan uji BNJ untuk mengetahui tingkat perbedaan
yang nyata dari masing-masing perlakuan, dengan hasil perhitungan seperti tabel 15.

Tabel 9. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) Intensitas Serangan Serangga Hama Pada
Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L. var. sesquipedalis) umur 35 (Hari Setelah
Tanam).
Rata- Berbeda Dengan BNJ
Perlakuan rata T0 T1 T2 T3 T4 T5
5%
(%) 29.81 13.28 11.36 9.94 8.06 6.53
T0 29.81 - 16.53* 17.87* 18.17* 19.89* 22.28*
T1 13.28 - 1.92* 3.34* 5.22* 6.75*
T2 11.36 - 1.45* 3.30* 4.83* 1.42
T3 9.94 - 1.88* 3.41*
T4 8.06 - 1.52*
T5 6.53 -
Keterangan : * : berbeda nyata (selisih >Ft 5 %)

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


251
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Tabel 10. Intensitas Serangan Serangga Hama Pada Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.
var. sesquipedalis ) (%) umur 42 (Hari Setelah Tanam)
Ulangan
Perlakuan Total Rerata
R1 R2 R3 R4
T0 25.00 26.82 27.27 24.68 103.77 25.94
T1 9.50 9.27 9.52 9.25 37.54 9.39
T2 7.89 7.55 7.58 7.68 30.70 7.68
T3 5.79 5.68 5.67 5.67 22.81 5.70
T4 3.75 4.00 3.89 4.50 16.14 4.04
T5 2.52 2.52 2.26 2.26 9.56 2.39
Total 54.45 55.84 56.19 54.04 220.52 55.13

Tabel 11. Analisis Sidik Ragam 42 Hari Setelah Tanam


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat
F hitung F tabel 5 %
keragaman bebas kuadrat tengah
Kelompok 3 0.55 0.18
Perlakuan 5 1448.98 289.80
156.10* 2.90
Galat 15 27.85 1.86
Total 23 6259.14
Keterangan : * : Berpengaruh nyata.

Berdasarkan data pada tabel 17, diperoleh bahwa Fhitung (156.10>Ftabel (2.90)
tarif signifikan 5 % yaitu 2.90. Dengan demikan, dapat diketahui bahwa ada pengaruh
ekstrak tanaman serai dapur (Cymbopogon citratus) terhadap intensitas serangan
serangga hama pada tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L. var. sesquipedalis).
Selanjutnya dilakukan uji BNJ untuk mengetahui tingkat perbedaan yang nyata dari
masing-masing perlakuan, dengan hasil perhitungan seperti tabel 18.

Tabel 12. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) Intensitas Serangan Serangga Hama Pada
Tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L. var. sesquipedalis) Umur 42 (Hari Setelah
Tanam)
Rata- Berbeda Dengan
BNJ
Perlakuan rata T0 T1 T2 T3 T4 T5
5%
(%) 25.94 9.39 7.68 5.70 4.04 2.39
T0 25.94 - 16.55 18.26* 20.24* 21.91* 23.55*
T1 9.39 - 1.71* 3.68* 5.35* 7.00*
T2 7.68 - 1.97* 3.64* 5.29* 1.49
T3 5.70 - 1.67* 3.31*
T4 4.04 - 1.65*
T5 2.39 -
Keterangan : * : berbeda nyata (selisih >Ft 5 %)

Dalam penelitian ini ditemukan pula beberapa jenis serangga hama yang
menyerang tanaman kacang panjang yaitu lalat kacang (Ophiomyia phaseoli) dan juga
kumbang koksi (Coccinellidae).

PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dilakukan selama 3 bulan terhitung dari bulan Maret
hingga Juni 2016 mulai dari observasi, studi literatur, penelitian, dan tahap penyusunan
laporan, dengan penelitian lapangan yang berlokasi di lahan pertanian yang terletak di
jalan Sempaja Samarinda, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak
tanaman serai dapur (Cymbopogon citratus) terhadap intensitas serangan serangga
hama pada tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L. var. sesquipedalis ). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa serangan serangga hama tanaman kacang panjang
yang diberikan perlakuan dengan aplikasi pestisida nabati dari ekstrak tanaman serai

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


252
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

dapur lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman kacang panjang yang tidak diberikan
pestisida nabati dari ekstrak serai dapur hanya air dan deterjen saja. Hal ini
membuktikan bahwa kandungan zat aktif dari serai dapur adalah alkaloid, flavonoid,
polifenol, dan minyak atsiri yang terkandung dalam tanaman serai dapur layak
dijadikan sebagai pestisida nabati. Menurut Hariana (2013), kandungan zat aktif dari
serai dapur adalah alkaloid, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri. Alkaloid adalah
senyawa yang bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Bila senyawa
tersebut masuk dalam tubuh serangga maka alat pencernaannya akan menjadi
terganggu. Flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernapasan atau sebagai
racun pernapasan. Flavonoid mempunyai cara kerja yaitu dengan masuk ke dalam
tubuh larva melalui sistem pernapasan yang kemudian akan menimbulkan kelayuan
pada syaraf serta kerusakan pada sistem pernapasan dan mengakibatkan larva tidak
bisa bernapas dan akhirnya mati. Flavonoid juga dapat menghambat daya makan
serangga (antifeedant).
Dalam penelitian ini ekstrak tanaman serai dapur yang dijadikan sebagai
pestisida nabati adalah diperoleh dengan cara mengekstrak daun dan batang tanaman
serai dapur (Cymbopogon citratus)yang telah diolah. Proses pengolahan ekstrak
tanaman serai dapur dilakukan dengan cara yang sangat sederhana,yaitu dengan
memblender semua bahan kemudian hasilnya disimpan selama satu hari.
Bahan dan cara yang digunakan dalam pembuatan ekstrak tanaman serai
dapur inipun sangat sederhana, hanya diperlukan batang dan daun dari tanaman serai
dapur, air, dan deterjen yang sudah ditimbang sebagai bahan untuk menghasilkan
ekstrak. Dalam hal ini pembuatan pestisida nabati pelarut yang baik digunakan adalah
air dan juga deterjen hal ini disebabkan karena deterjen dapat berfungsi sebagai
perekat zat yang terkandung dalam ekstrak tanaman serai dapur agar ekstrak tanaman
serai dapur yang diaplikasikan lebih tahan merekat pada tanaman.
Dalam penelitian ini, ekstrak tanaman serai dapur dapat diperoleh dari cairan
hasil yang diblender dengan penamabahan air dan juga deterjen yang kemudian
disimpan selama 1 hari dan disaring setelah proses penyimpanan untuk selanjutnya
dapat diaplikasikan setiap 2 kali dalam seminggu pada kisaran jam 15.00 -17.00 Wita.
Ekstrak tanaman serai dapur diaplikasikan setiap 2 kali dalam seminggu untuk
meningkatkan efektifitas ekstrak tersebut dalam mengurangi intensitas serangan
serangga hama yang seringkali menyerang tanaman kacang panjang.
Pada perhitungan hasil pengamatan hari ke 21 setelah tanam, menghasil rata-
rata kerusakan daun akibat serangan serangga hama secara berturut-turut dengan
perlakuan TO, T1, T2, T3, T4 danT5 adalah 67.86 % (serangan hama berat), 53.13 %
(serangan hama berat), 47.77 % (serangan hama sedang), 41.52 % (serangan hama
sedang), 34.82 % (serangan hama sedang), 29.02 % (serangan hama sedang).
Pada perhitungan hasil pengamatan hari ke 28 setelah tanam menghasilkan
rata-rata kerusakan daun akibat serangan serangga hama secara berturut-turut
dengan perlakuan TO, T1, T2, T3, T4 danT5 adalah 46.54% (serangan hama sedang),
23.28% (serangan hama ringan), 21.12% (serangan hama ringan), 17.46% (serangan
hama ringan), 14.88% (serangan hama ringan), 12.80 % (serangan hama ringan).
Pada perhitungan hasil pengamatan hari ke 35 setelah tanam menghasilkan
rata-rata kerusakan daun akibat serangan serangga hama secara berturut-turut
dengan perlakuan TO, T1, T2, T3, T4 danT5 adalah 29.81% (serangan hama sedang),

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


253
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

13.28 % (serangan hama ringan), 11.36% (serangan hama ringan), 9.94 % (serangan
hama ringan), 8.06 % (serangan hama ringan), 6.53 % (serangan hama ringan).
Pada perhitungan hasil pengamatan hari ke 42 setelah tanam menghasilkan
rata-rata kerusakan daun akibat serangan serangga hama secara berturut-turut
dengan perlakuan TO, T1, T2, T3, T4 danT5 adalah 25.94% (serangan hama sedang),
9.39% (serangan hama ringan), 7.68 % (serangan hama ringan), 5.70 % (serangan
hama ringan), 4.04 % (serangan hama ringan), 2.39% (serangan hama ringan).
Data tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak tanaman
serai dapur (Cymbopogon citratus) terhadap intensitas serangan serangga hama
pada dauntanaman kacang panjang (Vigna sinensis L. var. sesquipedalis ), maka
semakin rendah intensitas serangan serangga hama pada tanaman kacang panjang
(Vigna sinensis L. var. sesquipedalis ), begitu pula sebaliknya. Selama penelitian,
kerusakan kacang panjang tampak dari banyaknya lubang-lubang dan bercak-bercak
warna kuning pada daun kacang panjang tersebut. Rusaknya daun secara umum
disebabkan akibat pola makan hama tanaman pada tanaman khususnya pada daun,
baik berupa gigitan daun secara langsung, tusukan atau sayatan, bahkan akibat
diisapnya cairan pada daun tersebut. Selain itu dapat juga disebabkan karena
menumpuknya larva atau telur pada daun tersebut (Zalina 2012).
Beberapa serangga hama yang tampak dalam penelitian ini, antara lain lalat
kacang (Ophiomyia phaseoli) 5 ekor dan juga kumbang koksi (Coccinellidae)7 ekor.
Kendala utama yang terjadi selama pengaplikasian pestisida nabati dari ekstrak
tanaman serai dapur terhadap kacang panjang dalam penelitian ini, ialah faktor alam
atau cuaca yang berubah-ubah, kadang panas terik kadang hujan deras.

PENUTUP
Kesimpulan
Pemberian ekstrak tanaman serai dapur (Cymbopogon citratus) memberikan
pengaruh terhadap intensitas serangan serangga hama pada tanaman kacang panjang
(Vigna sinensis L. var. sesquipedalis ).Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak
tanaman serai dapur (Cymbopogon citratus) yang terbaik dalam mengurangi
intensitas serangan serangga hama pada tanaman tanaman kacang panjang (Vigna
sinensis L. var. sesquipedalis ) adalah konsentrasi 80 %.
Saran
Pihak akademisi, pemerintah, dan masyarakat hendaknya turut mendukung
penelitian dan perkembangan aplikasi dari pestisida nabati dalam peningkatan kualitas
pangan atau hasil pertanian.Perlu adanya sosialisasi lebih lanjut ketingkat kelompok
tani atau petani tentang keuntungan dan cara praktis penggunan pestisida nabati
(alami), terutama pestisida nabati dari tanaman serai dapur (Cymbopogon citratus)
sehingga secara ekonomis dan ekologis menguntungkan, dan melakukan penelitian
lanjutan tentang pengaruh ekstrak tanaman serai dapur (Cymbopogon citratus).

DAFTAR RUJUKAN
Achmadi, Narbuko.2005. Metodologi Penelitian. Bumi Aksara: Jakarta
Adnyana, dkk. 2012. Efikasi Pestisida Nabati Minyak Atsiri Tanaman Tropis terhadap
Mortalitas Ulat Bulu Gempinis. Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Udayana :Denpasar, Bali
Astuti,T,P dkk. 2013. Petunjuk Teknis Pembuatan Pestisida Nabati. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP): Bengkulu

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


254
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Astri, Anto, 2013. Teknologi Budidaya Kacang Panjang. Penyuluh Pertanian BPTP.
Kalimantan Tengah
Cahyono. 2003. Kacang Panjang. Teknik budidaya dan Analisis Usaha Tani. Yayasan
Pustaka Nusantara : Yogyakarta.
Endah,J dan Novizan. 2002. Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman. Penerbit
AgroMedia Pustaka: Jakarta
Hariana, A. 2013. Tumbuhan Obat Dan Khasiatnya. Penebar Swadaya : Jakarta.
Haryanto,E. 2007. Teknik Cara Bertanam Kacang Panjang. Intan Persada :
Semarang
Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. PT. Penebar Swadaya :
Jakarta.
Novizan,2008. Mengendalikan dan Penyakit Tanaman. Agromedia Pustaka :
Pustaka.
Nurboko. Achmadi. 2014. Metodologi penelitian. Jakarta : PT Bumi Aksara
Rukmana, R dan Sugandi, U.1997. Hama Tanaman Dan Teknik Pengendalian.
Kanisius : Yogyakarta
Sastrosiswoyo.2002. Program Pengendalian Hama Terpadu. Makalah Dalam Jangka
Pendek Metodologi dan Management PHT Holtikultular di Dataran Rendah.
Sub Balai Penelitian Holtikultura : Sei Gunung
Sugiyono.2012.Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R&D. Penerbit
Alfabeta:Jakarta
Sunarjono, H.2003. Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebar Swadaya: Jakarta
Tayipnabis, F.F. 2012. Potensi Sektor Pertanian dan Prospek Agribisnis Suatu
Pemikiran “ Back To Basic” Perekonomian Menuju Modernisasi Pertanian
Indonesia Menghadapi Eraa Globalisasi. Jurnal Agri Tek
Tanzil, A. I. Hama dan Penyakit Tanaman. http:/blog.ub.ac.id/proteksitanaman.Diakses
pada tanggal 3 April 2016.
Zalina, D. 2012. Penyakit Pada Tanaman. http.www.debbyzalina.com. Diakses pada
tanggal 14 Juni 2016

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


255
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Pemberian Air Rebusan Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.


Merr) Terhadap Penurunan Kadar, Glukosa Darah Mencit (Mus musculus
Hiperglikemia
Wempy Prawidya Antarezza, Jailani, Sri Purwati
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman
Email sheralinda44@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian air rebusan buah jambu biji
(Psidium Guajava L. Merr) terhadap penurunan kadar glukosa darah pada mencit (Mus
Musculus L.) hiperglikemia. Teknik Analisis penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan (termasuk kontrol) dan diulang sebanyak enam kali.
Masing-masing perlakuan yaitu perebusan buah jambu biji dengan konsentrasi 0%, konsentrasi
30%, konsentrasi 50%, dan konsentrasi 70%. Hasil yang diperoleh dianalisis menggunakan
analisis varian dua arah (annava). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian air rebusan
buah jambu biji berbeda signifikan secara statistik. Rata-rata penurunan kadar glukosa darah
tertinggi adalah pada perlakuan kontrol yaitu 153,23; konsentrasi 70% yaitu 138,27; konsentrasi
50% yaitu 131,60; dan konsentrasi 30% yaitu 124,70. Hasil analisis data menunjukkan bahwa
FHitung (13,23) > FTabel (3,10 dengan nilai signifikansi 0,00 lebih kecil dari 0,05 (ρ<0,05 . Ini
berarti terdapat pengaruh pemberian air rebusan buah jambu biji (Psidium guajava L. Merr)
terhadap penurunan kadar glukosa darah pada mencit (Mus musculus L.) hiperglikemia.

Kata kunci: jambu biji (Psidium guajava L. Merr), kadar glukosa darah, mencit (Mus musculus
L.)

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati, baik
flora maupun fauna. Terdapat berbagai macam jenis tanaman yang seringkali
dibutuhkan masyarakat dalam kehidupan mereka.Salah satunya manfaat dari tanaman
tersebut adalah dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Obat tradisional sendiri
merupakan obat-obatan yang berasal darl tanaman yang dimanfaatkan oleh
masyarakat karena kepercayaan mereka terhadap khasiat yang dimiliki oleh tanaman
tersebut mampu menyembuhkan penyakit tertentu. Kekayaan alam tanaman obat
Indonesia menduduki peringkat ke-2 di dunia. Sehingga apapun penyakitnya akan
ada obatnya di sekitar kita (Harmanto dan Utami, 2011). Jambu biji adalah salah satu
tanaman buah jenis perdu yang berasal dari Brazil, Amerika Tengah. Tanaman ini
kemudian menyebar ke Thailand dan wilayah Asia lainnya seperti Indonesia. Saat ini
jambu biji telah dibudidayakan dan tersebar luas di Pulau Jawa.Jambu biji sering
disebut jambu klutuk atau jambu batu. Dalam Bahasa Inggris, buah ini disebut lambo
guajava. Dari sejumlah jenis jambu biji, beberapa varietas memiliki nilai ekonomi yang
tinggi, seperti jambu sukun, jambu bangkok, jambu merah, jambu pasar minggu, jambu
sari, jambu palembang, jambu apel, dan jambu merah getas.
Jambu biji memiliki rasa yang dan aroma yang khas, karena kandungan
senyawa eugenol. Buah jambu biji biasanya di manfaatkan sebagai buah segar atau
olahan berupa jus. Kandungan vitamin c dalam jambu biji lima kali lipat lebih banyak
daripada kandungan vitamin C dalam buah jeruk. Selain itu, kandungan vitamin A buah
ini tergolong tinggi dengan kadar gula 8 %. Tanaman jambu biji juga di manfaatkan
sebagai pagar di pekarangan dan tanaman hias. Kayunya kuat dan keras, sehingga
bisa di buat berbagai alat dapur.
Manusia di dalam kehidupannya seringkali mengalami masalah dengan
kesehatannya. Masalah kesehatan yang sekarang sedang banyak di derita oleh

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


256
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

masyarakat adalah penyakit-penyakit gangguan hormonal yang di sebabkan karena


kurangnya perhatian terhadap pola makan sehari-hari. Salah satu nya penyakit yang
berpengaruh terhadap pola makan adalah penyakit diabetes melitus yang disebut
penyakit kencing manis oleh masyarakat. Penyakit kencing manis ini di tandai dengan
gejala meningkatnya kadar glukosa darah yang tinggi (Arianti, 2014).
Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan heterogen atau gangguan
metabolisme kronis yang ditandai kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia) disertai
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi atau
defisiensi insulin oleh sel beta kelenjar pankreas. Di Indonesia saat ini, penyakit
diabetes melitus belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan,
waiaupun sudah jelas dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas sumber
daya manusia, terutama akibat penyakit menahun yang ditimbulkannya.
Dalam berbagai penelitian di Indonesia yang telah didapatkan penulis dari
berbagai sumber, didapatkan angka prevalensi 3 diabetes melitus sebesar 1,5-2,3%
pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Berdasarkan pertambahan penduduk,
diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di
atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi diabetes melitus sebesar 4 % akan
didapatkan 7 juta pasien diabetes melitus, suatu jumlah yang sangat besar untuk
sesegera mungkin ditangani oleh berbagai profesi kesehatan. Hal ini dapat menjadi
permasalahan yang cukup meresahkan publik dan masyarakat. Berdasarkan penelitian
sebelumnya oleh Yusuf dan Said, (2004), pemberian perasan air buah jambu biji 0,517
g/hari dapat menurunkan kadar glukosa darah mulai minggu ketiga pada tikus yang
diinduksi aloksan, berdasarkan studi literatur dari tanaman obat disebutkan bahwa
infusa dan dekokta dari buah jambu biji dapat menurunkan kadar glukosa darah
pada kelinci (Galicia, et al, 2002), serta pemberian ekstrak air buah jambu biji
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah pada kelinci yang sebanding
dengan glibenklamid yang dibuat dosis 0,23 mg/kgbb (Permatasari, 2008).
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
khasiat air rebusan buah jambu biji (Psidium guajava L.) terhadap penurunan kadar
glukosa darah pada mencit (Mus musculus L.) hiperglikemia.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen yaitu untuk mengetahui
hubungan sebab akibat dengan cara memberikan suatu perlakuan kepada satu atau
lebih kelompok eksperimental dengan membandingkan satu atau lebih kelompok
kontrol yang tidak diberi perlakuan. Adapun penelitian ini adalah eksperimen yang
dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian air rebusan buah Jambu Biji
(Psidium guajava L. Merr) terhadap kadar glukosa pada darah Mencit (Mus musculus
L.) hiperglikemia.
Penelitian ini dilaksanakan pada Februari 2016 sampai dengan Maret 2016 di
Laboratorium Fisiologi, Perkembangan dan Molekular Hewan Fakultas Matematika dan
IImu Pengetahuan Alam Universitas Mulawarman Samarinda. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua mencit. Sampelnya adalah 24 ekor mencit yang diberi air
rebusan buah jambu dengan konsentrasi berbeda.
Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dilakukan
dengan cara random sampling. Pengambilan data dilakukan pada saat setelah
pemberian perlakuan sesuai dengan variasi dosis yang diberikan dan pembebanan

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


257
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

glukosa. Masing-masing sampel dilakukan pengukuran kadar glukosa. Data kadar


glukosa darah yang diambil yaitu pada waktu waktu 0 menit, 30 menit, 60 menit, 90
menit, dan 120 menit setelah perlakuan. Pengukuran data kadar glukosa darah diulang
sebanyak 6 kali yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan ANAVA.

HASIL PENELITIAN
a. Menit Ke-0
Data hasil penelitian pada menunjukkan kadar glukosa darah mencit pada
menit ke-0 setelah pemberian larutan glukosa 50 % telah berada dalam kondisi
hiperglikemia. Kadar glukosa darah yang paling tinggi adalah pada U4 di P3 (perlakuan
3) yaitu sebesar 204 mg/dL. Sedangkan kadar glukosa darah terendah adalah pada
U5 di kelompok P0 (kontrol) yaitu sebesar 125 mg/dL.
b. Menit ke-30
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan kadar glukosa darah mencit pada
menit ke-30 setelah perlakuan yang paling tinggi adalah pada U4 pada P3 (perlakuan 3)
yaitu sebesar 185 mg/dL. Sedangkan kadar glukosa darah terendah adalah pada U4 di
kelompok P1 (perlakuan 1) dan U1 pada P3 (perlakuan 3) yaitu sebesar 121 mg/dL.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian air rebusan buah jambu biji
belum berpengaruh secara nyata atau signifikan terhadap penurunan kadar glukosa
darah mencit pada menit ke-30. Hal ini dapat terlihat dari jumlah Fhitung yang lebih kecil
dibandingkan Ftabel 5 % yaitu (1,33< 3,10).
c. Menit ke-60
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan kadar glukosa darah mencit pada
menit ke-60 setelah perlakuan yang paling tinggi adalah pada U1 pada P0 (kontrol) yaitu
sebesar 182 mg/dL. Sedangkan kadar glukosa darah terendah adalah pada U6 di
kelompok P1 (perlakuan 1) yaitu sebesar 102 mg/dL. Berdasarkan dari hasil analisis
sidik ragam pada tabel 11 menunjukkan bahwa pemberian air rebusan buah jambu biji
berpengaruh secara nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah mencit pada
menit ke-60. Hal ini dapat terlihat dari jumlah Fhitung yang lebih besar dibandingkan Ftabel
5 % yaitu (4,69 > 3,10). Sehingga untuk dapat mengetahui lebih lanjut mengenai
perbedaan yang nyata dari perlakuan 1, perlakuan 2, perlakuan 3, dan perlakuan 4
maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Hasil dari uji BNT
menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2 berbeda secara nyata dengan perlakuan P0,
sedangkan P3 tidak berbeda secara nyata dengan P0.
d. Menit Ke-90
Hasil penelitian menunjukkan kadar glukosa darah mencit pada menit ke-90
setelah perlakuan yang paling tinggi adalah pada U1 pada P0 (kontrol) yaitu sebesar
168 mg/dL. Sedangkan kadar glukosa darah terendah adalah pada U6 di kelompok P1
(perlakuan 1) yaitu sebesar 83 mg/dL. Berdasarkan dari hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa pemberian air rebusan buah jambu biji berpengaruh secara nyata
terhadap penurunan kadar glukosa darah mencit pada menit ke-90. Terlihat dari jumlah
Fhitung yang lebih besar dibandingkan Ftabel 5 % yaitu (8,68 > 3,10). Untuk mengetahui
lebih lanjut perbedaan yang nyata dari masing-masing perlakuan maka dilanjutkan
dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Hasil dari uji BNT menunjukkan bahwa
perlakuan P1, P2, P3 berbeda secara nyata dengan perlakuan P0.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


258
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

e. Menit Ke-120
Berdasarkan menunjukkan kadar glukosa darah mencit pada menit ke-120
setelah perlakuan yang paling tinggi adalah pada U1 pada P0 (perlakuan 1) yaitu
sebesar 161 mg/dL. Sedangkan kadar glukosa darah yang terendah adalah pada U6 di
kelompok P1 (perlakuan 2) yaitu sebesar 71 mg/dL. Selanjutnya data hasil penelitian
tersebut akan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dalam rancangan acak
lengkap (RAL) untuk melihat adanya pengaruh yang signifikan atau tidakHasil analisis
sidik ragam pada tabel 17 menunjukkan bahwa pemberian air rebusan buah jambu biji
berpengaruh secara nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah mencit pada
menit ke-90. Terlihat dari jumlah Fhitung yang lebih besar dibandingkan Ftabel 5 % yaitu
(13,23 > 3,10). Untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan yang nyata dari masing-
masing perlakuan maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Hasilnya
dari uji BNT menunjukkan bahwa perlakuan P1, P2, P3 berbeda secara nyata dengan
perlakuan P0.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan diketahui setiap perlakuan
yang diberikan menunjukkan penurunan kadar glukosa. Setelah 30 menit dari
pembebanan dengan Iarutan glukosa 50%, rata-rata kadar glukosa darah mencit tiap
kelompok perlakuan memiliki rentang 162,5 -167,5 mg/dL. Nilai rata-rata tersebut
menunjukkan bahwa kadar glukosa darah mencit telah berada dalam kondisi
hiperglikemia. Hal ini merujuk pada pendapat Soemardji (2004), bahwa kondisi
hiperglikemia pada mencit adalah > 124 mg/dL. Rata-rata kadar glukosa darah pada 0
menit setelah perlakuan adalah pada perlakuan 1/P0 (kontrol) yaitu 162,5 mg/dL,
perlakuan 2/P1 (konsentrasi 30%) yaitu 165,7 mg/dL, perlakuan 3/P2 (konsentrasi
50%) yaitu 167,5 mg/dL, dan perlakuan 4/P3 (konsentrasi 70%) yaitu 163,67 mg/dL.
Pada menit ke-30 setelah pemberian perlakuan, rata-rata kadar glukosa darah
mencit tiap kelompok memiliki rentang 141-162,8 mg/dL. Nilai rata-rata tertinggi terlihat
pada perlakuan 1 (kontrol) yaitu 162,8 mg/dL, selanjutnya disusul perlakuan 4
(konsentrasi 70%) yaitu 153,8 mg/dL, perlakuan 3 (konsentrasi 50%) yaitu 146,5
mg/dL, dan perlakuan 2 (konsentrasi 30%) yaitu 141mg/dL. Hal ini menunjukkan
bahwa pengaruh pemberian air rebusan buah jambubiji mulai terlihat pada waktu
pengukuran menit ke-30. Rata-rata kadar glukosa darah mencit pada kelompok yang
telah diberi air rebusan buah jambu biji mengalami penurunan namun masih dalam
kondisi hiperglikemia.
Pada menit ke-60 penurunan rata-rata kadar glukosa darah mencit padatiap
kelompok memiliki rentang 119,8-154,8 mg/dL. Rata-rata kadar glukosadarah tertinggi
terlihat pada perlakuan 1 (kontrol) yaitu 154,8 mg/dL, selanjutnya perlakuan 4
(konsentrasi 70%) yaitu 138,5 mg/dL, perlakuan 3 (konsentrasi50%) yaitu 128,5 mg/dL
dan perlakuan 2 (konsentrasi 60%) memilikj rata-rata terendah yaitu 119,8 mg/dL.
Rata-rata kadar glukosa darah mencit padakelompok yang diberi air rebusan buah
jambu biji mengalami penurunan mendekati kondisi normal, kecuali pada perlakuan 2
(konsentrasi 30%) yang menunjukkan rata-rata kadar glukosa telah normal yaitu 119,8
mg/dL.
Hasil pengukuran pada menit ke-90 menunjukkan bahwa kembali
terjadipenurunan rata-rata kadar glukosa darah pada setiap kelompok perlakuan yaitu
memiliki rentang 105,5-146,2 mg/dL. Rata-rata kadar glukosa darah padatertinggi
terlihat pada perlakuan 1 (kontrol) yaitu 146,2 mg/dL, selanjutnya perlakuan 4
(konsentrasi 70%) yaitu 124,3 mg/dL, perlakuan 3 (konsentrasi 50%) yaitu 115,3

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


259
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

mg/dL, dan rata-rata terendah terlihat pada perlakuan 2 (konsentrasi 30%) yaitu 105,5
mg/dL.
Pada menit ke-120, nilai rata-rata kadar glukosa darah pada perlakuan 2,
perlakuan 3, dan perlakuan 4 sudah menunjukkan nilai normal, yaitu 91,5 mg/dL, 100,2
mg/dL, dan 111 mg/dL. Penurunan rata-rata kadar glukosa darah ini menunjukkan
pada menit ke-120 pengaruh pemberian mulai merangsang hormon insulin dalam
tubuh mencit bekerja sesuai dengan fungsinya untuk menurunkan glukosa darah dan
glukosa dalam tubuh mencit mulai terpakai untuk beraktivitas. Menurut Soewolo
(2000), glukosa darah yang tinggi menstimulus sel beta pankreas untuk mengeluarkan
insulin. Soewolo (2000) menambahkan bahwa kerja insulin dalam menurunkan kadar
glukosa darah yang tinggi yaitu dengan cara mempercepat masuknya glukosa darah
ke dalam sel atau jaringan melalui peningkatan laju transpor terfasilitasi dari glukosa
melintasi membran sel.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pemberian air rebusan buah
jambu biji (Psidium guajava L. Merr) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
penurunan kadar glukosa darah mencit (Mus musculus L.). Hal ini terlihat pada hasil
Uji Analisis Varian (ANAVA) pada menit ke-120 yaitu FHitung (13,23) > FTabel (3,10)
dengan nilai signifikansi 0,00 lebih kecil dari 0,05 )P>0,05). Adapun dosis yang paling
baik untuk menurunkan kadar glukosa darah mencit dalam penelitian ini yaitu pada
konsentrasi 30%.
Saran
Akhir dari penulis ini, maka penulis mengemukakan beberapa saran agar hasil
penelirian ini lebih bermanfaat, diantaranya sebagai berikut
1. Penggunaan air rebusan buah jambu biji (Psidium guajava L.Merr) sebagai obat
penyakit diabetes mellitus dapat dianjurkan secara lebih luas kepada masyarakat
khususnya para penderita diabetes mellitus.
2. Dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai uji keselamatan terhadap kandungan
sediaan air rebusan buah jambu biji (Psidium guajava L.Merr) sebagai obat
diabetes mellitus sehingga penggunaannya dapat lebih tepat dan aman dalam
upaya pengobatan penyakit diabetes mellitus.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan dosis konsentrasi yang berbeda untuk
mengetahui efektifitas yang lebih optimal dari air rebusan buah jambu biji (Psidium
guajava L.Merr) dalam menurunkan kadar glukosa darah.
4. Dapat dilakukan penelitian mengenai efek toksisitas buah jambu biji pada hewan uji
untuk mengevaluasi keamanannya jika digunakan dalam jangka panjang

DAFTAR RUJUKAN
Allo, l.G, Wowor, P.M, dan Awaloei, H. 2012. Uji Ekstrak Etanol Jambu Biji (Psidium
Guajava L.) Terhadap Kadar Kolesterol Total Tikus Winstar (Rattus
norvegicus).Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangie Manado.
Tersedia Online dan di akses di Samarinda pada tanggal 18 Maret 2015 pukul
13.21
Arianti, Rahma. 2014. Pengaruh Pemberian Air Rebusan Daun Keci Beling
(Strobilanthes crispus BL.) Terhadap Penumnan Kadar Glukosa Darah Pada

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


260
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Mencit (Mus musculus L.) Hiperglikemia. Skripsi Sarjana FKIP Universitas


Mulawarman Samarinda.
Chairunnisa, Ririn. 2012. Pengaruh Jumlah Pasta Tomat Terhadap Penurunan Kadar
Gula Darah Pada Mencit Diabetes. Hasil Penelitian Jurnal Teknologi lndustri
Pertanian PASCA UNAND Medan. Tersedia Online dan di akses di Samarinda
pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 13.14
Faigin, R. 2001. Meningkatkan Hormon Secara Alami. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada
Ghoffar, Mohammad. 2012. Salat, Olahraga Ampuh Untuk Diabetes Mellitus.
Tangerang : Graha llmu
Harmanto, Ning, dan Utami, Prapti. 2013. Jamu Ajaib Penakluk Diabetes. Jakarta : PT.
Agromedia Pustaka
Kumiawan, Ari. 2011. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jambu Biji (Psidium guajava L.)
Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Winstar Yang Dibebani
GIukosa. Skripsi Sarjana Kedokteran Universitas Diponegoro Surabaya. Tersedia
Online dan di akses di Samarinda pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 13.08.
Leslie. R.D.G. 2002. Diabetes. Jakarta : Penerbit Arcan
Maulida, A. 2012. Uji Fitokimia dan Pengaruh Pemberian Ekstrak Tangkai Daun Talas
Kemumu (Coalacasia gigantea Hook.f) Terhadap Penuruanan Kadar Glukosa
Darah Mencit (Mus musculus L.) Yang Dibebani Glukosa. Skripsi Sarjana FMIPA
Universitas Mulawarman Samarinda Tersedia Online dan di akses di Samarinda
pada tanggal 18 Maret 2015 pukul 13.18
Parimin. 2006. Jambu Bilji : Budidaya Dan Ragam Pemanfaatannya. Jakarta : PT.
Penebar Swadaya
Permatasari, Arryska. 2008. Uji Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Ekstrak Etanol
70% Buah Jambu Blji (Psidium Guajava L.) Pada Kelinci Jantan Lokal. Skripsi
Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tersedia Online dan di akses di Samarinda pada tanggal 18 Maret 2015 pukul
13.18
Ratimanjari, D.A. 2011 Pengaruh Pemberian Infusa Herba Sambiloto (Andrographis
paniculata Nees) Terhadap Glibenklamid Dalam Menurunkan Kadar Glukosa
Darah Tikus Putih Jantan Yang Dibuat Diabetes. Skripsi Sarjana FMIPA
Universitas Indonesia Depok. Tersedia Online dan di akses di Samarinda pada
tanggal 18 Maret 2015 pukul 13.18
Redaksi, Agromedia. 2009. Buku Pintar Budi Daya Tanaman Buah Unggul Indonesia.
Jakarta : PT. Agromedia Pustaka.
Rufaida, A.D. 2010. Pengobatan Penyakit Dalam. Jakarta : PT. Sunda Pustaka
Rukmana, Rahmat. 1995. Jambu Biji. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


261
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Pengaruh Pemberian Tepung Keong Mas (Pomacea canaliculata L.) dalam


Ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler (Gallus domesticus)
Wijaya Kusuma, Jailani, Sri Purwati
FKIP Universitas Mulawarman, Jl. Muara Pahu Kampus Gunung Kelua, Samarinda
Email: vwkxyz@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung keong mas dalam
ransum terhadap bobot ayam broiler (Gallus domesticus). Penelitian ini merupakan jenis
penelitian eksperimen. Hasil analisis data untuk berat badan ayam broiler diketahui berat badan
ayam pada minggu pertama yang mengalami pertumbuhan paling signifikan adalah U3P3 dan
U6P3 dengan bobot seberat 170 gram. Minggu kedua yang mengalami pertumbuhan paling
signifikan adalah U6P3 dengan bobot seberat 450 gram. Minggu ketiga yang mengalami
pertumbuhan paling signifikan ada pada U6P3 dengan bobot seberat 860 gram. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tepung keong mas (P. canaliculata) sesuai dengan Fhitung (11,54) >
Ftabel (4,94) berat badan yang signifikan pada minggu pertama, Fhitung (64,413) > Ftabel
(4,94) berat badan yang signifikan pada minggu kedua, dan Fhitung (83,623) > Ftabel (4,94)
berat badan yang sangat signifikan pada minggu ketiga. Konsentrasi yang sangat berpengaruh
untuk pertumbuhan ayam broiler adalah konsentrasi 15% dan itu dibuktikan oleh uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) dimana menunjukkan perlakukan P3> BNT 0,01. Dengan demikian ditarik
kesimpulan bahwa terdapat pengaruh antara banyaknya tepung keong mas yang diberikan
terhadap pertumbuhan ayam broiler dari segi parameter yang diukur yaitu berat badan.

Kata kunci: pertumbuhan, tepung keong mas, ayam broiler (Gallus domesticus)

PENDAHULUAN
Keadaan ekonomi individu yang terus membaik dan adanya tingkat kesadaran
masyarakat akan arti pentingnya memelihara kesehatan tubuh melalui asupan
makanan bergizi merupakan faktor utama terjadinya peningkatan jumlah permintaaan
pasar akan daging ayam broiler yang berkualitas baik.
Usaha peternakan ayam broiler komersial dewasa ini tumbuh subur di
beberapa negara, termasuk di Indonesia. Usaha peternakan ayam broiler komersial
dilakukan menggunakan strains atau bibit ayam broiler unggulan. Dari daratan Amerika
dan Eropa, kemudian ayam broiler komerisal berkembang ke seluruh pelosok dunia.
Hal ini sejalan dengan perkembangan arus globalisasi, penyebaran penduduk, dan
kemudahan sarana transportasi dan informasi. Perkembangan dan penyebaran ayam
broiler kemersial ke seluruh dunia amat disokong oleh diberlakukannya pasar bebas di
era globalisasi. Hal itu terutama berpengaruh pada penyebaran strains ayam broiler
unggul yang dikembangkan dari potensi genetik.
Faktor-faktor yang menentukan perkembangan populasi ayam broiler di
berbagai daerah di Indonesia antara lain sejalan dengan pertumbuhan populasi
penduduk, pergeseran gaya hidup, tingkat pendapatan, perkembangan situasi ekonomi
dan politik, serta kondisi keamanan suatu wilayah atau daerah di Indonesia.
Ayam broiler adalah ayam yang sengaja dibibitkan dan dikembangkan untuk
menghasilkan daging yang cepat. Daging ayam broiler merupakan salah satu produk
hewani yang digemari oleh masyarakat. Semakin tingginya kesadaran masyarakat
mengenai pentingnya gizi menyebabkan tingginya konsumsi akan protein hewani,
salah satunya konsumsi daging ayam broiler yang meningkat. Pernyataan tersebut
selaras dengan data yang diperoleh Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan
Hewan (2011), bahwa konsumsi daging ayam broiler per kapita (kg/tahun) setiap
tahunnya mengalami peningkatan yakni tahun 2007 sebesar 2,26 kg/tahun, tahun 2008

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


262
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

sebesar 2,39 kg/tahun, tahun 2009 sebesar 2,36 kg/tahun dan tahun 2010 sebesar
2,68 kg/tahun.
Ditinjau dari sudut gizi ayam merupakan sumber protein hewani bagi manusia.
Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan manusia. Mengingat pentingnya ayam
sebagai sumber protein hewani bagi manusia dan dapat diusahakan dalam waktu
relatif singkat, maka hewan unggas ini menjadi pilihan dan banyak diternakkan secara
komersial diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
Ayam broiler seperti hewan ternak lainnya umumnya tidak bisa memenuhi
kebutuhan nutrisinya sendiri. Karena itu, seluruh kebutuhan nutrisinya harus dipenuhi
melalui makanan. Nutrisi yang dimaksud adalah air, karbohidrat, protein, lemak vitamin
dan mineral. Di dalam tubuh ayam, nutrisi digunakan untuk keperluan pokok hidup dan
kelebihannya akan digunakan untuk produksi dan reproduksi. Ayam broiler yang
selama hidupnya berada dalam kandang memerlukan pakan yang diberikan secara
terus-menerus dalam jumlah cukup. Perberian pakan memegang sebagian besar dari
total biaya produksi. Angka tersebut tentu saja menjadikan usaha ayam broiler rentan
terhadap gejolak harga pakan.
Dalam hal produksi pakan ternak, sebagian besar bahan baku utama pakan
seperti tepung ikan, bungkil kedelai, tepung daging dan tulang, feed additive dan feed
suplement yang memegang porsi cukup besar dari komposisi pakan, ketersediaannya
di dalam negara tidak stabil, sehingga sebagian besar masih harus disediakan dengan
cara mengimpor dari negara lain. Di sisi lain, distribusi pakan ternak komersial untuk
ayam ras pedaging dari pabrik pakan ternak kepada peternak mata rantainya sangat
panjang, sehingga harga jual di tingkat subagen atau toko penjual pakan menjadi
mahal. Kendala-kendala tersebut pada akhirnya akan dibebankan kepada peternak
sebagai konsumen. Permasalahan inilah yang masih akan terus dihadapi oleh industri
perunggasan rakyat di Indonesia.
Mengingat kendala-kendala yang masih terus dihadapi perunggasan rakyat di
Indonesia, peternak hanya bisa berupaya untuk menghemat biaya produksi agar harga
sarana produksi pangan maupun harga jual pada saat panen tidak terlalu memberikan
efek negatif terhadap kelangsungan usaha peternakan unggas yang dikelolanya.
Salah satu upaya efektif dalam rangka penghematan biaya produksi budi daya
ternak adalah membuat pakan sendiri. Upaya ini dilalukan dengan memanfaatkan
bahan baku pakan yang murah dan mudah diperoleh. Dengan upaya ini diharapkan
akan dihasilkan pakan yang relatif murah, tetapi kualitasnya setaran dengan pakan
komersial buatan pabrik.
Dengan membuat pakan sendiri, setidaknya tidak diperlukan lagi jalur distribusi
karena pembuat pakan bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen. Jika akan
dipasarkan, pakan tersebut dapat langsung dijual kepada ternak lainnya tanpa melalui
perantara atau pedagang yang akhirnya akan mengurangi tingkat keuntungan yang
diharapkan. Selain itu dengan pemilihan bahan baku pakan yang melimpah di sekitar
peternak, peternak akan mampu menciptakan formula pakan yang murah serta
tangguh dalam menghadapi fluktuasi harga bahan baku pakan lainnya. Selain dapat
menghemat, membuat pakan sendiri bisa menciptakan peluang usaha baru karena
pakan yang dibuat bisa digunakan untuk keperluan sendiri dan dijual ke peternak lain.
Semua bahan makanan dalam komposisi pakan ayam ras pedaging
mengandung zat-zat gizi atau nutrisi yang dilaklasifikasikan menjadi enam golongan,
yaitu air, karbohidrat protein lemak, vitamin, dan mineral.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


263
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Protein sebagai zat terbanyak yang ada pada keong mas dan unsur pokok alat
tubuh dan jaringan lunak tubuh ayam broiler, diperlukan ternak terutama untuk
memenuhi fungsi yaitu sebagai zat pembangun untuk membentuk jaringan baru,
regulator yang berperan dalam pembentukan enzim dan metabolisme tubuh, dan
penghasil energi.
Salah satu bahan pakan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan
sebagai sumber protein hewani untuk ayam adalah “golden snail” atau yang lebih
dikenal dengan sebutan keong emas (Pomacea canaliculata). Menurut Khairuman
(2002), keong mas ini mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan dapat dijadikan
bahan pakan untuk ayam. Keong emas memiliki kandungan protein 52,76%,
karbohidrat 0,68%, dan lemak 14,62%. keong mas mempunyai sifat herbivora
poliphagus yaitu sangat rakus terhadap tumbuhan air. Karena itu, dikhawatirkan pada
suatu waktu akan terjadi ledakan populasi keong mas dan menjadi hama pertanian
yang tidak terkontrol sebagaimana yang telah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia
dari tahun 1997-2007.
Oleh karena itu penulis memilih keong mas sebagai pakan tambahan karena
yang awalnya keong mas yang dianggap sebagai hama tanaman khususnya pada
tanaman padi kemudian dapat digunakan untuk bahan pakan tambahan pada ayam
broiler yang lebih terjangkau, dan memiliki kualitas yang baik.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini termasuk penelitian eksperimen. Eksperimen merupakan
penelitian pengujian hipotesa yang menguji hubungan sebab akibat diantara variabel
yang diteliti. Eksperimen dalam penelitian ini membuktikan bahwa apakah ada
pengaruh pemberian tepung keong mas dalam ransum terhadap bobot ayam Broiler
(Gallus domesticus). Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan Oktober 2015.
Di Jalan K. H. Harun Nafsi No. 33 C Kecamatan Loa Janan Ilir Samarinda.
Data diperoleh dan dianalisis dengan menggunakan analisis Rancangan Acak
Lengkap (RAL), Kemudian dilanjutkan dengan Analisis Varian Satu Arah. Selanjutnya
dilakukan analisis uji F untuk menguji hipotesis penelitian.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian merupakan data dari hasil pengukuran terhadap pertumbuhan
ayam broiler (Gallus Domesticus) pada umur 7 hari, 14 hari, dan 21 hari selama masa
pemeliharaan. Paramater yg diukur adalah pertambahan berat badan. Hasil
pengamatan yg dilakukan selama penelitian, didapatkan sebagai berikut.
a. Minggu Pertama
Hasil pengukuran pada minggu pertama didapatkan berat ayam broiler (Gallus
domesticus). Hasil pengukuran dapat dilihat di tabel berikut :
Tabel 1. Berat Badan Ayam Broiler (Gallus domesticus) Minggu Pertama
Ulangan Berat Badan (minggu/gr) Rata-
Perlakuan Total
U1 U2 U3 U4 U5 U6 rata
P0 110 120 130 120 110 130 720 120
P1 125 130 140 130 120 150 795 132,5
P2 130 145 160 140 125 160 860 143,3
P3 150 160 170 160 140 170 950 158,3
Total 515 555 600 550 495 610 3325 554,17

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


264
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Data hasil penelitian pada tabel 3 diketahui bahwa berat badan ayam broiler
pada minggu pertama yang paling mengalami pertumbuhan signifikan adalah pada U3
dan U6 pada P3 dengan bobot sebesar 170 gram. Yang mengalami pertambahan berat
badan paling rendah adalah U1 dan U5 pada P0 sebesar 110 gram.

b. Minggu ke Dua
Dari hasil pengukuran didapat berat masing-masing ayam broiler (Gallus
domesticus) pada minggu ke dua. Hasil pengukuran dapat dilihat di tabel berikut:
Tabel 2. Berat Badan Ayam Broiler Minggu ke Dua
Ulangan Berat Badan (minggu/gr) Rata-
Perlakuan Total
1 2 3 4 5 6 rata
P0 300 320 330 320 300 320 1890 315
P1 350 350 350 340 330 360 2080 346,6
P2 390 420 410 360 380 410 2370 395
P3 410 430 440 420 430 450 2580 430
Total 1450 1520 1530 1440 1440 1540 8920 1486,6

Dari data hasil penelitian pada tabel 3 diketahui bahwa berat badan ayam
broiler pada minggu pertama yang paling mengalami pertumbuhan signifikan adalah U6
pada P3 dengan bobot sebesar 450 gram. Dan yang mengalami pertambahan berat
badan paling rendah adalah U1 dan U5 pada P0 sebesar 300 gram
c. Minggu ke Tiga
Dari hasil pengukuran didapatkan berat ayam broiler pada minggu ke tiga. Hasil
pengukuran dapat dilihat di tabel berikut ini :
Tabel 3. Berat Badan Ayam Broiler Minggu ke Tiga
Ulangan Berat Badan (minggu/gr) Rata-
Perlakuan Total
U1 U2 U3 U4 U5 U6 rata
P0 550 580 600 590 570 600 3940 581,7
P1 610 650 650 640 610 670 3830 638,3
P2 720 750 760 710 700 780 4420 736,7
P3 760 820 840 800 830 860 4910 818,3
Total 2640 2800 2850 2740 2710 2910 16650 2775

Dari data hasil penelitian pada tabel 3 diketahui bahwa berat badan ayam
broiler pada minggu pertama yang paling mengalami pertumbuhan signifikan adalah U6
pada P3 dengan bobot sebesar 860 gram. Dan yang mengalami pertambahan berat
badan paling rendah adalah U1 pada P3 sebesar 500 gram.

PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ransum dan
tepung keong mas terhadap pertumbuhan ayam broiler (Gallus domesticus).
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan diantaranya penyediaan penyediaan
kandang ayam sebanyak 4 petak, pembuatan tepung keong mas dengan
perbandingan yang berbeda-beda, pelaksanaan pemeliharaan ayam selama penelitian
dan pengukuran bobot ayam. Keong emas dicuci & daging jeroannya dikeluarkan dari
cangkangnya. Antara daging dengan jeroan dipisahkan. Daging direndam selama 30
menit untuk membersihkan lendirnya dan menetralkan sifat asamnya. Kemudian
daging dicincang. Daging yang sudah dicincang diolah dengan cara direbus selama 30
menit pada suhu air 60oC. Lendir keong mas terdapat zat anti nutrisi (thiamnase) yang

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


265
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

dapat menurunkan produksi telur dan menghambat pertumbuhan ternak. Untuk


menghilangkan anti nutrisi tersebut dapat dilakukan perebusan selama 20-30 menit
(BPTP Kaltim, 2001). Setelah selesai didinginkan dengan cara diangin-anginkan.
Kemudian dijemur dibawah terik matahari selama satu hari. Setelah itu dilakukan
proses penggilingan terhadap daging keong emas untuk menjadi tepung. Selama ini,
masyarakat hanya mengambil keong emas yang menjadi hama untuk dimanfaatkan
dagingnya saja. Padahal cangkang keong mas tersebut mengandung kalsium.
Setelah itu tepung keong mas disimpan dalam wadah dan kemudian dilakukan
pembuatan kandang ayam. Kandang dibuat bersekat di tiap perlakuannya. Setiap
sekatnya diberi lampu bohlam 15 watt untuk menjaga suhu kandang agar tetap hangat.
Kandang yang baik bagi anak ayam adalah apabila suhu di sisi luar sebelah bawah
kandang berkisar antara 30 sampai 32o C.Pembersihan kandang dilakukan setiap tiga
hari sekali untuk menjaga kandang tidak lembab karena kotoran ayam dan ayam
terjaga dari kuman dan penyakit. Kandang harus aman dari gangguan kucing, tikus,
serta binatang pemangsa lainnya. Diperiksa juga atapnya apakah tidak bocor apabila
hujan turun.
Setelah selesai dalam pembuatan kandang anak ayam yang baru saja
dimasukkan ke dalam kandang dibiarkan selama ± 15 menit agar ayam tersebut dapat
beradaptasi, kemudian diberi air untuk minum dengan tambahan gula putih agar dapat
mengembalikan stamina anak ayam. Setelah puas minum, anak ayam diberikan
pakan. Pada hari pertama anak ayam diberik pakan secara ad libitium (tidak terbatas)
dimana anak ayam akan makan dengan kenyang (Rasyaf, 2004). Proses memasukkan
anak ayam ke dalam kandang harus secara lembut diangkat dari kotak pengirimannya
dan diletakkan pada kandang yang hangat. Jangan dijatuhkan atau ditaburkan begitu
saja karena dapat melukainya dan ayam akan cacat permanen.
Anak ayam yang sudah beradaptasi dengan kandang maka ditunjukkan dengan
mengeluarkan bunyi yang bernada rendah dan teratur. Apabila kedinginan, maka
suara anak ayam akan tidak beraturan dan cenderung menciak keras.
Pakan dan air harus diperiksa setiap hari. Apabila kotor, tempat pakan dan air
harus segera dibersihkan. Pakan dan minumannya juga harus diganti dengan yang
baru. Tempat pakan harus benar-benar kering sebelum diisi dan pakan tersebut harus
senatiasa berada dalam keadaan kering. Penyebab utama dari penyakit adalah
bersumber dari pakan dan air yang tidak bersih.
Pemberian pakan dilakukan sebanyak sekali dalam sehari. Pada minggu
pertama pakan diberikan sebanyak 17 gram ransum/ekor setiap hari untuk P0, 16,15
gram ransum ditambah dengan 0,85 gram tepung keong mas setiap ekor/hari pada P1,
15,3 gram ransum ditambah dengan 1,7 gram tepung keong mas setiap ekor/hari pada
P2, 14,5 gram ransum ditambah dengan 2,55 gram tepung keong mas setiap ekor/hari
pada P3, Pada minggu kedua pakan diberikan sebanyak 43 gram ransum/ekor setiap
hari untuk P0, 40,9 gram ransum ditambah dengan 2,15 gram tepung keong mas setiap
ekor/hari pada P1, 38,7 gram ransum ditambah dengan 4,3 gram tepung keong mas
setiap ekor/hari pada P2, 36,6 gram ransum ditambah dengan 6,45 gram tepung keong
mas setiap ekor/hari pada P3, Pada minggu ketiga pakan diberikan sebanyak 66 gram
ransum/ekor setiap hari untuk P0, 62,7 gram ransum ditambah dengan 3,3 gram
tepung keong mas setiap ekor/hari pada P1, 59,4 gram ransum ditambah dengan 6,6
gram tepung keong mas setiap ekor/hari pada P2, 56,1 gram ransum ditambah dengan
9,9 gram tepung keong mas setiap ekor/hari pada P3. Ulangan sebanyak 6, jadi total

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


266
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

ayam yang dipelihara sebanyak 24 ekor. Ayam diberi minum 1 liter air masak yg
dicampur dengan vitamin setiap harinya.
Pemanfaatan keong emas sebagai tambahan ransum ayam didasar beberapa
keunggulan diantaranya produksi cukup besar dan kandungan nutrisinya juga cukup
besar (Filawati, 2008). Siklus telur keong mas cukup singkat, sehingga hama tanaman
ini dapat berkembang biak sangat pesat. Apabila tidak diimbangi dengan pengendalian
hama yang intensif, maka bisa jadi keong mas akan sangat merugikan hasil panen
padi.dalam berbagai penelitian dilaporkan bahwa kandungan gizi keong mas cukup
tinggi. Tepung keong mas mengandung protein sebesar 15,15%; lemak kasar 0,79%;
Kalsium (Ca) 29,33%; dan phospos 0,13%; sedangkan cangkang keong emas
mengandung protein 2,94%; lemak kasar 0,12%; Kalsium (Ca) 29,35%; dan phospos
0,19%.Oleh karena itu, keong mas ini berpotensi untuk digunakan sebagai pakan
ternak. Penggunaan keong mas sebagai pakan ternak, tentunya disamping potensi gizi
yang cukup mumpuni, juga dapat menjadi salah satu alternatif cara untuk
mengendalikan hama keong mas di lahan sawah padi.
Hasil penambahan tepung keong mas terhadap pertumbuhan ayam broiler
menunjukkan adanya pengaruh sangat nyata. Hal ini dapat dilihat dari parameter yang
digunakan yaitu berat badan ayam broiler. Hasil perhitungan yang telah diperoleh
dapat dikatakan bahwa tepung keong mas dapat dijadikan pakan tambahan untuk
ayam broiler karena tepung keong mas mempengaruhi pertumbuhan ayam, khususnya
pada pertambahan berat badan ayam dengan konsumsi pakan utama yang relatif lebih
dikurangi. Jadi tepung keong emas ini memiliki kandungan yang diperlukan ayam
untuk pertumbuhannya pada fase starter khususnya. Konsumsi protein dan energi
yang tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan yang cepat. Sehingga dapat terlihat
bahwa pada tepung keong emas terdapat kandungan protein yang mendukung
pertumbuhan ayam.
Hasil analisis data untuk berat badan ayam broiler diketahui berat badan ayam
pada minggu pertama yang mengalami pertumbuhan paling signifikan adalah U3P3
dan U6P3 dengan bobot seberat 170 gram dengan pemberian 14,5 gram ransum
ditambah dengan 2,55 gram tepung keong mas setiap ekor/hari. Minggu kedua yang
mengalami pertumbuhan paling signifikan adalah U6P3 dengan bobot seberat 450 gram
dengan pemberian 36,6 gram ransum ditambah dengan 6,45 gram tepung keong mas
setiap ekor/hari. Minggu ketiga yang mengalami pertumbuhan paling signifikan ada
pada U6P3 dengan bobot seberat 860 gram dengan pemberian 56,1 gram ransum
ditambah dengan 9,9 gram tepung keong mas setiap ekor/hari.Hal itu menunjukkan
adanya pengaruh pemberian tepung keong emas sebagai pakan tambahan dalam
ransum ayam broiler. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan maka
konsentrasi yang paling berpengaruh dalam berat badan ayam adalah perlakuan P3
(15%).
Tepung daging keong mas mengandung protein sebesar 15,15% yang memiliki
fungsi sebagai zat pembangun dan pendorong metabolisme. lemak kasar 0,79%
memiliki peranan penting bagi baik bagi pertumbuhan maupun perkembangan ayam,
sebab lemak dapat berfungsi sebagai cadangan sumber energi bagi ayam dan
menambah bobot ayam; Kalsium (Ca) 29,33% memiliki peran untuk pembentukan
jaringan tulang dan urat, membantu proses pencernaan dan penyerapan makanan;
dan phospos 0,13%; sedangkan cangkang keong emas mengandung protein 2,94%;
lemak kasar 0,12%; Kalsium (Ca) 29,35%; dan phospos 0,19%.

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


267
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Selain sebagai pakan tambahan pada ayam broiler, tepung keong mas juga
dapat dijadikan alternatif makanan untuk unggas ternak lainnya. Pemberian tepung
keong emas sebagai pakan tambahan sangat berpengaruh dan sangat efekti
digunakan untuk membantu pertumbuhan ayam broiler. Hal dibuktikan dalam
penelitian ini dan didukung dalam beberapa teori. Dalam hal ini pemberian pakan
tambahan tepung keong emas pada perlakuan P3 yaitu 15% membuktikan bahwa
adanya pengaruh sangat nyata pada pertumbuhan ayam broiler.

PENUTUP
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung keong mas (P. canaliculata) sesuai
dengan Fhitung (11,54) > Ftabel (4,94) berat badan yang signifikan pada minggu pertama,
Fhitung (64,413) > Ftabel (4,94) berat badan yang signifikan pada minggu kedua, dan
Fhitung (83,623) > Ftabel (4,94) berat badan yang sangat signifikan pada minggu ketiga.
Konsentrasi yang sangat berpengaruh untuk pertumbuhan ayam broiler adalah
konsentrasi 15% dan itu dibuktikan oleh uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dimana
menunjukkan perlakukan P3> BNT 0,01. Dengan demikian ditarik kesimpulan bahwa
terdapat pengaruh antara banyaknya tepung keong mas yang diberikan terhadap
pertumbuhan ayam broiler (Gallus domesticus) dari segi parameter yang diukur yaitu
berat badan.

DAFTAR RUJUKAN
Astuti, D. 2009. Petunjuk Praktis Beternak Ayam Ras Petelur, Itik dan Puyuh,
Agromedia Pustaka; Jakarta
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2011, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-
Ekonomi Indonesia: Trends of Selected Socio-Economic Indicators of Indonesia,
Jakarta (ID); Badan Pusat Statistik
Chaerul, U., 2012, Ayam Broiler (Online) http://umamchaerul.blogspot.com, diakses
bulan September 2015
Filawati, 2008, Performans Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Silase
Limbah Udang Sebagai Pengganti Tepung Ikan, Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Peternakan Vol. XI (3): 135-137
Hanafiah, Kemas A., 2004, Rancangan Percobaan, PT. Raja Gravindo Persada;
Jakarta
Ichwan, I., 2003, Membuat Pakan Ayam Ras Pedaging, Agromedia Pustaka; Jakarta
Kartadisastra, H. R., 2002, Pengelolaan Pakan Ayam Kiat Meningkatkan Keuntungan
dalam Agrobisnis Unggas, Kanisius; Yogyakarta
Kompyang, I.P ., A,P.Sinurat, T.Purwadaria, J .Danna And Supriyati . 1997 .Cassapro
In Broiler Ration : Effect Of HalquinolSupplementation . Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner Vol 2 Nomor 3 Tahun 1997.Pg 181-183
Nurjannah, A., 2013, Metode Penelitian Eksperimental (Online)
http://amalianurjannah.wordpress.com. Diakses bulan September 2015
Parwanto, dkk., 2007, Sukses Beternak Ayam Broiler, Agromedia Pustaka; Jakarta
Rasyaf, M., 1991, Pengelolaan Produksi Telur, Kanisius; Yogyakarta
Rasyaf, M., 1997, Beternak Ayam Petelur, PT. Penebar Swadaya; Jakarta
Rasyaf, M., 2004, Beternak Ayam Pedaging, PT. Penebar Swadaya; Jakarta
Samosir, D. J ., 1983 . Ilmu Ternak Air. PT. Gramedia, Jakarta
Sinurat AR. 1999. Penggunaan Bahan Pakan Lokal Dalam Pembuatan Ransum Ayam
Buras. Wartazoa volume 9 nomor I halaman 12-20. Bogor

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


268
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

Siregar, A.P ., M. Sabrani dan Pramu, S. 1980. Teknik Beternak Ayam Pedaging di
Indonesia. Cetakan ke-3 Margie Group, Jakarta
Sudaryani, T., dan Santosa, H., 2003, Pembibitan Ayam Ras, Penebar Swadaya;
Jakarta
Sugiyono, 2009, Metodologi Penelitian Pendidikan, CV. Alfabeta; Bandung
Sugiyono, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, CV. Alfabeta; Bandung
Sugiyono, 2014, Statistika untuk Penelitian, CV. Alfabeta; Bandung

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


269
Prosiding Seminar Nasional II Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 3 Desember 2016

“Menyiapkan Generasi Cerdas Berwawasan Lingkungan di Abad 21”


270

Anda mungkin juga menyukai