Anda di halaman 1dari 18

 

 PengertianKritik dan Esai Sastra


Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1997 : 531 ), disebutkan kritik adalah
kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk
terhadap sesuatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Sedangkan esai adalah karangan
prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi
penulisnya (Depdikbud, 1997: 270 ).
H.B. Jasin mengemukakan bahwa kritik kesusastraan adalah pertimbangan baik atau buruk
suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu disertai dengan alasan mengenai isi dan bentuk
karya sastra. Widyamartaya dan Sudiati (2004 : 117) berpendapat bahwa kritik sastra adalah
pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat, dan pertimbangan yang adil terhadap baik-
buruknya kualitas, nilai, kebenaran suatu karya sastra. Memberikan kritik dan esai dapat
beromanfaat untuk memberikan  panduan yang memadai kepada pembaca  tentang kualitas
sebuah karya. Di samping itu, penulis karya tersebut akan memperleh masukan, terutama
tentang kelemahannya.
Esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut
pandang pribadi penulisnya. Pengarang esai disebut esais. Esai sebagai satu bentuk karangan
dapat bersifat informal dan formal. Esai informal mempergunakan bahasa percakapan, dengan
bentuk sapaan “saya” dan seolah-olah ia berbicara langsung dengan pembacanya. Adapun
esai yang formal pendekatannya serius. Pengarang mempergunakan semua persyaratan
penulisan.
Esai adalah sebuah komposisi prosa singkat yang mengekspresikan opini penulis tentang
subyek tertentu. Sebuah esai dasar dibagi menjadi tiga bagian: pendahuluan yang berisi latar
belakang informasi yang mengidentifikasi subyek bahasan dan pengantar tentang subyek;
tubuh esai yang menyajikan seluruh informasi tentang subyek; dan terakhir adalah konklusi
yang memberikan kesimpulan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh
esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subyek.

2. Prinsip dalam menyusun kritik dan esai

a. Pokok persoalan yang dibahas harus layak untuk diulas. Hasil ulasannya pun harus
memberikan keterangan atau memperlihatkan sebab-musabab yang berkaitan dengan
suatu peristiwa yang nyata. Jadi, yang terpenting bukan apa yang diulas, tetapi
bagaimana cara penulis memberikan ulasannya.

b. Pendekatan yang digunakan harus jelas,  apakah persoalan  didekati dengan


pendekatan faktual atau imajinatif.

c. Ulasan yang menggunakan pendekatan faktual harus didukung oleh fakta yang
nyata dan objektif. Penulis tidak boleh mengubah fakta untuk mendukung
pandangannya. Pernyataan yang diungkapkan harus jelas, tidak samar-samar, harus
dapat dipercaya, tidak disangsikan atau disangkal, dan dapat dibuktikan
kebenarannya.

d. Pernyataan yang diungkapkan harus jelas, jangan samar-samar, harus dapat


dipercaya, tidak disangsikan atau disangkal, dan dapat dibuktikan kebenarannya.
. Ciri-Ciri Kritik Sastra dan Esai

a. Ciri-ciri Kritik Sastra yaitu:

- Memberikan tanggapan terhadap hasil karya.

- Memberikan pertimbangan baik dan buruk (kelebihan dan kekurangan) sebuah karya


sastra.

- Pertimbangan bersifat obyektif.

- Memaparkan kesan pribadi kritikus terhadap sebuah karya sastra.

- Memberikan alternatif perbaikan atau penyempurnaan.

- Tidak berprasangka.

- Tidak terpengaruh siapa penulisnya.

b. Ciri-ciri Esai yaitu :

- Berbentuk prosa.

- Singkat, dapat dibaca dengan santai dalam waktu dua jam.

- Memiliki gaya pembeda.

- Selalu tidak utuh.

- Memenuhi keutuhan penulisan.

- Mempunyai nada pribadi atau bersifat personal.

Contoh :
Sastra Penyindir Pemerintah
     Novel adalah salah satu jenis sastra yang semua orang dapat membuatnya, asalkan
ada ide dan cerita yang akan dibuatkan novel.
     Novel terkadang isinya diambil dari realitas kehidupan manusia sehari-hari. Novel
merupakan suatu imajinasi dari penulisnya kemudian dituangkan dalam kata-kata.
tidak jarang juga isi dari sastra novel itu berasal dari curahan hati si penulis contohnya
seperti percintaan, pendidikan bahkan ada juga novel yang bertema menyindir
pemerintah.
     Salah satu novel penyindir pemerintah yaitu Nyanyi Sunyi dari Indragiri, memang
tema novel seperti itu tidak banyak peminatnya tidak seperti novel percintaan yang
lain. Akibatnya novel seperti harus dikemas dengan baik agar banyak manusia yang
ingin membaca nya.
     Tapi zaman sekaran banyak penulis yang menerbitkan novel penyindir pemerintah
karena para penulis ingin menceritakan dan menyuarakan suaranya kepada
pemerintah lewat sastra seperti ini.
     Mereka ingin pemerintah mendengar apa yang mereka tulis tentan bencana akibat
keserakahan pemerintah yang pada akhirnya membuat masyarakat resah dan susah.
Faktanya di  Indonesia banyak desa-desa terpencil yang tidak tahu apa-apa dan
dibawah garis kemiskinan hanya bergantung pada alam. Tetapi alam yang mereka
punya diambil begitu saja atas nama pemerintah.
     Jika sastra novel ini terus dikembangkan dalam pembelajaran akan membantu para
calon penulis untuk terus menyuarakan isi hati mereka, agar pemerintah bisa
membaca dan memikirkan semua tindakan yang akan diambil.

Contoh Kritik Esai

Masa-Masa Sekolah Menengah Atas


     Pada zaman sekarang memang banyak karya sastra yang berupa novel yang
bertemakan percintaan sebut saja salah satu novel yang pupoler di kalangan
masyarakat khususnya remaja Bandung yaitu Dilan 1990, yang ditulis oleh Pidi Baiq.
Quotes yang ada di novel Dilan 1990 sangat tenar contohnya "Milea, kamu cantik, tapi
akau belum mencintaimu, enggak tau kalau sore. Tunggu aja." (Dilan 1990).
     Quotes tersebut merupakan sepenggal ucapan Dilan kepada Milea yang tertera
pada cover belakang novel itu. Cover depan dari novel Dilan sangat sederhana tetapi
menarik karena da sesosok gambar dengan motor CB kesayangannya, dan ada
beberapa quotes  ynag ditulis dalam cover depan dan belakang. Contoh quotes yang
ada di cover depan "Cinta itu indah. ika bagimu tidak, mungkin karena salah milih
pasangan" (Dilan 1990).
     Kelebihan novel ini ada pada gaya bahsanya. Bahsanya yang santai, enak dibaca dan
mudah dimengerti. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, membuat
pembaca hanyut ke dalam cerita. Selain itu percakapan antar tokoh yang terasa natural
dan tidak dibuat-buat. Penambahan gambar pada novel itu membuat ilustrasi novel
menjadi lengkap dan semakin terasa, seperti gambar rumah Milea di Bandung.
     Kekurangan novel Dilan yaitu tidak konsisten dalam menggunakan kata tidak,
enggak dan gak dalam narasi. Serta terdapat beberapa bahasa yang tidak pantas
contohnya kata kasar yang diucapkan seorang anak geng motor kepada Dilaan. Selain
itu banyak dialog yang terlalu singkat dan kebanyakan dialog "hahaha" atau "hehehe".
Banyak tokoh yang tidak di deskripsikan tentang fisik tokoh maupun karakter di dalam
novel Dilan 1990.

     Intinya novel Dilan 1990 sangat bagus dan dapat membawa hanyut pembaca ke dalam
certa. Sifat yang dibuat Pidi Baiq tentang Dilan yang romantis, humoris dan bandel membuat
pembaca penasaran dengan sosok Dilan. Tetapi ada baiknya kata-kata yang kasar diganti dengan
kata-kata yang lebih baik sehingga pembaca dapat mengambil sisi positif dari Dilan.
Kritik Terhadap Novel Trilogi : Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi Berdasarkan
Orientasi Mimetik

Trilogi Negeri 5 Menara merupakan karya dari penulis asal Nagari Bayur, Maninjau,
Sumatra Barat, yaitu Ahmad Fuadi yang merupakan lulusan S-1 Hubungan Internasional -
Universitas Padjajaran, Bandung dan S-2 di School of media and public affairs, George
Washington University, USA. Novel Trilogi Negeri 5 Menara, diterbitkan secara bertahap.
Pertama, yang diterbitkan adalah novel yang berjudul Negeri 5 Menara yang menjadi awal novel
Trilogi karya Ahmad Fuadi, pada tahun 2009 – Gramedia, Jakarta. Selanjutnya, penulis yang
juga berprofesi sebagai praktisi konservasi dan juga wartawan menerbitkan novel kedua dari
Trilogi Negeri 5 Menara yang berjudul Ranah 3 Warna, yang terbit pada tahun 2011 – Gramedia,
Jakarta. Selanjutnya, Ahmad Fuadi menerbitkan novel ketiga yang sekaligus menjadi penutup
dari novel Triloginya yaitu berjudul Rantau 1 Muara.
Ketiga novel karya novelis asal minang yang pernah tinggal di Washington DC, London,
Quebec, dan Singapura merupakan novel yang cukup popular sejak pertama kali diterbitkan.
Dari ketiga novelnya tersebut menceritakan bagaimana perjuangan seorang pria yang bernama
Alif Fikri dalam usahanya menggapai impiannya.Novel Triloginya menggambarkan perjuangan
seorang anak dalam menempuh setiap jenjang pendidikan, mulai dari pesantren, mengikuti
SNMPTN hingga masuk ke perkuliahan dan menjadi sarajana Hubungan Internasional –
Universitas Padjajaran, Bandung. Selama proses perkuliahannya Alif berhasil mendapatkan
kesempatan dalam pertukaran pelajar di Kanada selama satu tahun. Selepas itu, Alif kembali
melanjutkan kuliahnya dan berhasil meraih gelar sarjana.Kemudian, Alif mencoba bekerja di
berbagai bidang yang bisa digelutinya.Hingga pada akhirnya Alif dapat meraih beasiswa S-2 di
Washington University, USA.
Dari ketiga novelnya, Ahmad Fuadi selaku penulis lebih dominan dalam menceritakan
kehidupan nyata yang merupakan pengalaman pribadinya yang kemudian Ia tuangkan ke dalam
bentuk karya sastra yang kini menjadi popular di kalangan masyarakat bahkan salah satu novel
triloginya dijadikan sebagai bahan perkuliahan di California University, bukunya yang berjudul
Negeri 5 Menara diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan berjudul “The Land Of Five
Towers” dan masih beserta dengan kata kuncinya yang luar biasa yakni Man Jadda Wajada “He
who gives his all will surely succed” atau dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa barang siapa
yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Oleh karena itu kami meberikan kritikan terhadap
novel Trilogi karya Ahmad Fuadi berdasarkan orientasi mimetik.

Mimetik - Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani ‘mimesis’ yang berarti ‘meniru’
atau ‘tiruan' atau ‘perwujudan’. Secara umum mimetik dapat diartikan sebagai suatu pendekatan
yang memandangkarya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dari dunia kehidupan
nyata.Mimetik juga dapat diartikan sebagai suatu teori yang
dalammetodenyamembentuksuatukaryasastra dengan didasarkan pada kenyataan kehidupan
sosial yang dialami dan kemudian dikembangkan menjadi suatu karya sastra
denganpenambahanskenario yangtimbuldaridayaimajinasi dan kreatifitas pengarang dalam
kehidupan nyata tersebut.

Berdasarkan hakekat mimetik di atas, novel Trilogi karya Ahmad Fuadi yang begitu lekat
dengan kehidupan nyata, jelas menunjukan keterkaitannya dengan kajian mimetik.Hal tersebut
semakin terlihat jelas pada setiap susunan kaliamat yang termuat di setiap novelnya yang dengan
jelas menggambarkan kehidupan nyata.Bahkan, Ahmad Fuadi sendiri mengungkapkan bahawa
novel Trilogi Negeri 5 Menaranya merupakan kisah kehidupan sosok Ahmad Fuadi sendiri yang
apada awalnya dimuat pada buku catatan atau yang sering dikenal sebagai buku diaryyang Ia
tulis sejak usia 13 Tahun karena terinspirasi dari Ibunya yang juga gemar menulis setiap
pengalam kedalam buku catatan.

Pada bagian awal cerita novel trilogi Negeri 5 Menara menceritakan bagaimana sosok
Alif Fikri mulai merancang mimpinya dan mulai memasuki dunia pesantren di pondok madani
yang berada di Jawa Timur.Cerita awal tersebut tertuang dalam novel Negeri 5 Menara yang
merupakan Novel pertama dari Trilogi “Negeri 5 Menara”.

Negeri 5 Menara bercerita tentang kisah Alif yang lulus SMP dengan nilai terbaik.
Setelah lulus dari SMP, Alif dan sahabatanya yang benama Randai bermimpi akan melanjutkan
ke SMA di Bukit Tinggi kemudian melanjutkan kuliah di ITB, namun keinginan itu harus pupus
karena Ibunya menginginkan Alif masuk pesantren. Pada awalnya Alif tidak mau menerima
usulan Ibundanya, akan tetapi karena Alif mendapatkan nasehat akhirnya Ia menerima keputusan
Ibundanya untuk masuk ke pesantren Madani yang ada di Ponorogo, Jawa timur.
“aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambil mengguncang-
guncang telapak tanganku, pak sikumbang, kepala sekolahku member selamat karena nilai
ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di kabupaten agam.” (Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara,
2009: 5)

“aku bahkan sudah berjanji dengan Randai, kawan dekatku di madrasah, untuk sama-sama
pergi mendaftar ke SMA. Alangkah bangganya kalau bisa bilang saya anak SMA Bukit Tinggi.”
(Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 5)

“aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie….” (Fuadi, Ahmad.
Negeri 5 Menara, 2009: 8)

Sesuai dengan pernyataan di atas, jelas bahwa Ahmad Fuadi menceritakan bagaimana
sosok Alif yang memiliki mimpi bersama dengan sahabatnya, kemudian mimpinya harus pupus,
dan masuk ke pesantren Madani yang ada di Jawa Timur.

Hal tersebut jelas mencerminkan sosok Ahmad Fuadi yang juga merupakan lulusan Pesantren
serta menjadi murid terpandai, Ahmad Fuadi juga merupakan penulis novel yang mengidolakan
sosok B.J. Habibie dan berkinginan kuliah di ITB. Namun, karena permintaan dari Ibunya
Ahmad Fuadi harus menerima kenyataan bahwa Ia harus merantau dan menuntut ilmu di
pesantren. Sama halnya dengan tokoh Alif, Ahmad Fuadi juga memiliki cita-cita pergi ke Jerman
seperti sosok B.J Habibie.

Selanjutnya, Ahmad Fuadi menceritakan bagaimana kehidupan seorang Alif Fikri di


pesantren, yaitu pada hari pertama Alif banyak berkenalan dengan orang dari seluruh penjuru
Indonesia. Diantaranya Baso dari Goa, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmaji dari
Sumenep, Atang dari Bandung, dan masih banyak lagi.

Selama tinggal di pesantren, Alif Fikri merasakan banyak hal yang lebih baik yang dapat
dijadikan pembelajaran yang luar biasa dalam kehidupannya. Misalnya saja, Alif merasakan
bahwa pondok Madani adalah suatu sekolah yang luar biasa dengan tingkat disiplin yang tinggi,
selain itu di Pondok Madani terdapat guru-guru yang sangat luarbiasa yang dapat membuka
cakrawala muridnya, seperti Ustadz Salman denagn kata-kata mutiara dari cuplikan kehidupan
tokoh-tokoh di dunia, sera pelajaran bahasa arab.

“Man Jadda Wajada”(Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 40)

Dan selama itu pula Alif Fikri memiliki persahabatan yang cukup hangat, dan biasa dikenal atau
disebut dengan “Sahibul Menara” karena mereka seringkali berdiri di bawah menara sambil
menunggu suara adzan.
“saking seringnya kami berkumpul di kaki menara, kawan-kawan lain menggelari kami dengan
sahibul menara, orang yang punya menara.”(Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 94)

            Penggambaran tersebut amat sanagta jelas menyampaikan bagaimana kehidupan


pesantren yang pernah dilalui oleh seorang Ahmad Fuadi yang digambarkan lewat tokoh Alif
Fikri, dan isi novel tersebut juga memberikan nilai moral kepada para pembaca melalui satu
kaliamat ajaib yang juga diterapkan dalam kehidupan seorang Ahmad Fuadi yakni “Man Jadda
Wajada” artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.

Berikutnya pada akhir cerita novel Negeri 5 Menara Ahmad Fuadi menuliskan bagaimana anak
pesantren mempersiapkan segala hal dalam menyambut datangnya Ujian Akhir.Selama persiapan
Ujian Akhir, semua siswa kelas berada di aula, selama satu bulan siswa-siswa ini menempati
aula sebagai tempat tinggal, kelas, dan tempat berdiskusi, karena guru-guru siap melayani jika
ada pertanyaan.Hal tersebut dilaksanakan hingga hari ujian pun tiba, semua menyiapkan diri
dengan sebaiknya hingga dua minggu lamanya. Hasil ujian diumumkan diaula, dan sahibul
menara lulus dengan hasil yang memuaskan, dan pada hari perpisahan semuanya saling
berpelukan dan mendoakan termasuk ustadz dan adik-adik kelas.

“hari ini semua orang memakai wajah suka cita. Ketegangan tentang hasil ujian telah reda.Tadi
pagi semua nilai ujian diumumkan. Aku bersyukur sekali, hasil jerih payah belajar habis-
habisan menghasilkan nilai yang baik….” (Fuadi, Ahmad. Negeri 5 Menara, 2009: 219)

Dari hal tersebut, dapat diketahui bahwa sosok Alif Fikri yang berperan sebagai Ahmad Fuadi,
menampilkan bagaimana proses seseorang dalam menempuh hal yang baik, dengan kerja kersa
yang luar biasa yang dapat terjadi pada kehidupan orang lain, bahwa apapun akan terjadi dan
tercapai jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh seperti pada kutipan yang menjadi ikon
novel Negeri 5 Menara yakni “Man Jadda Wajada”.

Selain pada novel Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi yang pernah mendapat Award untuk
belajar di Royal Holloway, University of London menceritakan pengalaman hidupnya pula pada
novel kedua dari Trilogi Negeri 5 Menara yaitu Ranah 3 Warna yang diterbitkan pada tahun
2011.

Novel kedua ini, menceritakan tentang sosok Alif yang diragukan lingkungan sekitar untuk mauk
perguruan tinggi meskipun lulus ujian dengan baik, hanya karena satu alasan yakni “lulusan
pesantren” yang tak memiliki ijazah. Namun, sosok Alif tak pernah menyerah, ia tetap berdiri
tegak pada mimpinya dengan cara menutup telingan terhadap semua perkataan yang melukai
hatinya. Alif bertekad untuk dapat menggapai mimpinya dengan belajar serajin-rajinnya, dan
juga dengan bantuan teman-teman yang bersimpati dengannya. Akhirnya, ia berhasil lulus ujian
persamaan SMA melalui paket C meskipun dengan nilai yang dapat dibilang pas-pasan.

“Akhirnya ujian persamaan sebagai syarat ikut UMPTN datang juga, dilepas dengan doa dari
amak dan ayah aku merasa siap maju ke medan perang.”(Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna, 2011:
13)

“… Alhamdulillah tidak ada merah, semuanya biru tapi bukan biru perkasa, nilai ku Cuma rata-
rata 6,5.” (Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna, 2011: 13)

Hal tersebut jelas terjadi pada lingkungan pesantren yang ada di Indonesia, yakni bahwa
sebagian besar pesantren di Indonesia blum sepenuhnya terkait dengan instansi atau lembaga
pendidikan yang dapat memeberikan ijazah kepada setiap lulusannya. Sehingga bagi mereka
yang merupakan lullusan pesantren harus mengikuti ujian persamaan sesuai dengan jenjang
pendidikannya (SD/SMP/SMA).

Kemudian, setelah Alif Fikri berhasil mengikuti ujian persamaan sekolah yaitu berupa
paket C, Alif fikri berusaha keras untuk dapat mengikuti UMPTN meskipun dengan nilai paket C
yang pas-pasan, karena ia percaya terhadap mantra saktinya yang diperoleh saat belajar di
pesantren madani yakni “Man Jadda Wajada”. Kemudian ia mendaftarkan diri menjadi peseerta
UMPTN di UNPAD, dan dengan kerja keras serta doanya yang tak pernah henti akhirnya ia
berhasil masuk menjadi mahasiswa Hubungan Internasional di UNPAD. Dan ia tak lupa
memberikan kabar gembira tersebut kepada teman yang dekat dengannya yaitu para sahibul
menara.
“Aku menahan napas dengan telunjuk gemetar menuruni kolom ke bawah 01577, 01579.Aku
baca ulang agar yakin benar.Aku rogoh kartu ujian ku dan aku geser telunjukku ke sebelah
kanan sejajar. Alif Fikri. Namaku terletak jelas disana.” (Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011:
30)
Dan tiba waktunya Alif pergi ke Bandung dan memulai kuliah. Sejak saat itu, ia tinggal bersama
Randai dalam satu kamar kost. Ia berjanji sampai mendapat kost yang baru, baru ia akan tinggal
di tempat yang lain. Alif memasuki masa yang baru menjadi mahasiswa.Alif harus melewati
serangkaian ospek untuk bisa lebih mengenali kampus dan berkenalan dengan teman-temannya
yang baru.
“hari pertama kuliah datang juga ditemani si hitam yang masih memancarkan sinar barunya
dengan meyakinkan, aku berdiri di depan kampusku di pati ukur, bukan di depan jalan ganeca
seperti yang dulu aku impikan…” (Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 46)
Cerita tersebut selaras dengan klehidupan nyata, yaitu pada dunia perkuliahan mengenaln istilah
ospek bagi para mahasiswa baru untuk mengenal kampus dan mendapatkan teman baru. Juga
Ahmad Fuadi menuliskan bagaiman kisah anak rantau yang harus menempuh pendidikan di kota
orang lain, dan harus bertempat tinggal yang katanya bernama kost. Sama halnya dengan
kehidupan para mahasiswa yang harus menempuh pendidikan di Universitas yang letaknya jauh
dari tempat asal, mereka tentu harus bertempat tinggal secara terpisah dari keluarga dan menjadi
anak rantau atau yang biasa dikenal sebagai anak kost.
Lanjut cerita, bahwa selama kuliah Alif mendapatkan banyak teman baru, misalnya wira,
agam dan memet juga raisa. Selam ia melaksanakan perkuliahn, ia mulai aktif menulis. Hari kian
cepat bergulir, hingga tak terasa Alif telah melewati satu semester masa perkuliahan.Ia merasa
sangat senang saat ia tahu mendapatkan nilai hasil belajar yang cukup baik dan hasil tulisannya
dimuat dalam majalah dinding kampus.
“memet berlari-lari menyongsongku yang baru mendaki halaman kampus yang berbukit-bukit.
Ditangannya melambai-lambai sebuah majalah. Hai alif hebat sekali kamu yaa..tulisanmu
masuk ke majalah kampus terbaru kita.”(Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 78)
“hampir setahun aku di Bandung, persahabatn dengan teman-teman baru di kampus sungguh
menyenangkan. Aku tidak kesulitan dengan berbagaimacam matakuliah, dan Alhamdulillah
nilaiku bagus...”(Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 83)
Kesedihan dalam kehidupan pasti ada.Kalimat tersebut mungkin tepat menggambarkan perasaan
hati seorang Alif.Ia yang baru saja merasakan kebahagiaan karena memperoleh nilai yang baik
dan berhasil menerbitkan karyanya di majalah dinding kampus, harus merasakan bagaiamana
sedihnya kehilangan seorang Ayah yang dicintai. Namun Alif tak ingin berlarut-larut dalam
kesedihan, ia mencoba untuk menerima segalanya dengan lapang dada, kemudian ia hanya dapat
berjanji akan melakukan apa saja yang diperintahkan oleh almarhum ayahnya. Seperti untuk
tetap melanjutkan kuliah dan menjaga Ibu dan adik-adiknya.
“… ia berbisik lirih “alif waang bukan anak-anak lagi sudah jadi laki-laki. Karena itu jadilah
laki-laki pembela adik-adik dan amakm” ayah melanjutkan, “selesaikan apa yang waang mulai,
selesaikan sekolah.”(Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 94)
Melihat isi ceritanya, jelas bahwa Ahmad Fuadi menulis novel tersebut sesuai dengan apa yang
dialami, apa yang dirasakan dan apa yang terjadi di lingkungannya. Hal tersebut terbukti bahwa
seseorang yang berhasil mendapatkan nilai yang baik tentu merasa senang.Namun, Ahmad Fuadi
tidak melebih-lebihkan rasa senang yang dirasakan oleh tokoh Alif. Begitupun saat Alif harus
ditinggalkan oleh ayahnya, selaku penulis Ahmad Fuadi hanya menyertakan kata “kesedihan”
dan tidak menambahkan dengan hal-hal lain yang munkin saja dalam imajinasi seseorang
mebayangkan bagaimana tertekannya psikologi seorang anak saat ditingglkan ayahnya. Namun
tidak demikian bagi Ahmad Fuadi. Dia hanya menuliskan sekedarnya saja mengenai apa yang
dirasakan dan mencoba untuk bangkit dalam menjalani kehidupan kedepannya.
Alif semakin bersemangat menjalani hidupnya, impiannya sudah banyak yang terkabul.
Kini ia punya mimpi yang besar yaitu mendapat beasiswa ke luar negeri. Dalam menjalani
kuliahnya Alif mencoba mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika, bermodalkan niat dan tekad.
Dan akhirnya ia lolos menjadi peserta yang mengikuti pertukaran pelajar di Kanada. Selain Alif,
satu teman kampusnya juga ikut lolos ke dalam pertukaran pelajar tersebut.
Tiba waktunya Alif beserta peserta, dan segenap duta Indonesia pergi ke Kanada untuk
melaksanakan misi pertukaran mahasiswa. Sejak mengikuti pertukaran itu, Alif pun semakin
berambisi untuk bisa mempersembahkan medali emas dan menunjukan kepada dunia bahwa ia
bisa berprestasi. Bersama duta Indonesia yang lain di Kanada, Alif berhasil membawa nama
Indonesia mereka sukses mempertunjukan kebolehan mereka dengan menampilakn tarian
tradisional dan masakan khas Indonesia.
“Sehari menjelang keberangkatan ke Kanada, kami mengadakan malam perpisahan yang
dihadiri oleh para pejabat…” (Fuadi, Ahmad. Ranah 3 Warna. 2011: 225)
“menginjakan kaki di tarmac bandara di montrail ini menjadi sebuah sensasi”(Fuadi, Ahmad.
Ranah 3 Warna. 2011: 255)
Setelah melakukan pertukaran pelajar Alif kembali ke Indonesia untuk menyelesaikan kuliahnya
yang sempat tertunda satu semester.
Dari penceritaan di atas, Ahmad Fuadi kembali tidak melebih-lebihkan ceritanya saat
mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar di Kanada dan dalam menjalani kehidupan di Kanada.
Ahmad Fuadi hanya menceritakan proses pembelajaran yang ia lakukan selam di Kanada, dan
terlepas dari menceritakan secara rinci bagaiman Negara Kanada yang munkin banyak orang
ingin berkunjung ke sana.

            Berikutnya Ahmad Fuadi melanjutkan penulisan novel Trilogi Negeri 5 Menara, dengan
menerbitkan novel yang berjudul Rantai 1 Muara yang merupakan novel ketiga sekaligus
menjadi penutup bagi novel Trilogi Negeri 5 Menara. Novel Rantau 1 Muara diterbitkan pada
tahun 2013, selisih dua tahun setelah novel Ranah 3 Warna diterbitkan melalui Gramedia –
Jakarta.
Cerita pada novel Rantau 1 Muara bermula pada saat Alif kembali ke Indonesia setelah
mejalankan tugasnya dalam pertukaran pelajar di Kanada.Ia kembali menjalani aktifitas
kuliahnya setelah tertinggal atau cuti satu semester.Ia juga kembali merasakan bagaimana tinggal
di tempat kost yang tak jauh dari kampusnya.
Saat Alif kembali ke Bandung, dan memulai perkuliahannya kembali.Ia disambut hangat oleh
teman-temannya, bahkan sosok Alif dapat menjadi motivasi bagi teman-temannya yang lain.
“… “Assalamualaikum, ketemu lagi kita” sapaku iseng keseisi kamar kost.” (Fuadi, Ahmad.
Rantau 1 Muara. 2013: 1)
“… aku baru ingat kalu aku belum mengurus pendaftaran kuliah selama di Kanada, kalau tidak
diurus aku bisa dianggap cuti lagi satu semester…”(Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 5)
“begitu aku mendekat ke warung kang Maman, wira, agam, dan memet dari geng Uno memeluk
dan mengguncang-guncang bahuku senang… “enaknya kamu lif, bisa jalan-jalan ke Kanada
gratis. Beruntung banget.”…”(Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 8)
Hal tersebut jelas menggambarkan bahwa pada realitanya seseorang yang berilmu tentu akan
disegani oleh banyak orang. Dan mengenai cerita Alif di Kanada jelas menggambarkan
bagaimana sosok Ahmad Fuadi yang juga pernah mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar di
Kanada.Oleh karenanya, jelas bahwa novel ketiga dari Trilogi Negeri 5 Menara merupakan
cerminan seorang novelis yakni “Ahmad Fuadi”.
Setelah menyelesaikan satu semester yang tersisa akhirnya Alif dapat mengikuti proses
Wisuda dan memperoleh Ijazah sebagai tanda bahwa ia telah berhasil menjadi sarjana.
“melegalisir Ijazah adalah kegiatan popular dikalangan kami yang baru di wisuda.” (Fuadi,
Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 11)
Kutipan tersebut benar-benar menduplikat dari kisah nyata yang jelas-jelas bahwa sesorang yang
melakukan prosesi wisuda tentu saja melakukan legalisir ijazah sebagai penanda bahwa Ia telah
berhasil menyelesaikan perkuliahan.
Tak melulu menceritakan bagaimana sosok Alif Fikri menjalani kehidupan dalam meraih cita-
citanya, Ahmad Fuadi selaku penulis Trilogi Negeri 5 Menara itu mencantumkan bagaimana
runtuhnya order lama karena terjadi krismon “Krisis Moneter”. Saat Alif Fikri lulus dari
Hubungan Internasional – Universitas Padjajaran Bandung, saat itu pula peruntuhan masa orde
lama terjadi. Banyak mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besar di setiap daerah khusunya
ibu kota. Bahkan tokoh Alif pun tak luput dari kerumunan mahasiswa yang melakukan
demonstrasi besar-besaran di gedung sate.Hal itu pula yang menyebabkan Alif sulit menemukan
pekerjaan. Meskipun Alif memiliki prestasi yang baik dan segudang pengalaman yang luar biasa,
bahakan selama kuliah ia sudah mulai aktif mengirimkan karya tulisnya di salah satu surat kabar
di Bandung, dan selalu berhasil dimuat dalam surat kabar yang terbit setip minggunya. Namun
sangat disayngkan karena prestasi dan pengalaman Alif tak dapat bertindak lebih jauh kala krisis
moneter melanda.Banyak lapangan pekerjaan yang gulung tikar.Jangankan untuk Alif dapat
diterima bekerja sebagai pegawai tetap dalam suatu pekerjaan.Karya tulisnya yang biasa dimuat
dalam surat kabar mingguan itu kini berhenti diterbitkan atau kasarnya yakni “ditolak” untuk
diterbitkan. Karena perusahaan hanya akan menerbitkan karya tulis dari pegawai tetap dan tidak
mengambil karya tulis dari luar. Hal tersebut terjadi karena krisis moneter yang terus melanda
Indonesia dan beberapa Negara lainnya.
“Kosa kata krismon atau krisis moneter baru saja menjadi buah bibir sejak harga dolar
melambung dan ikut mengatrol harga barang.”(Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 13)

“bagaimana para pencari kerja baru seperti aku dan teman-teman kuliahku?.”(Fuadi, Ahmad.
Rantau 1 Muara. 2013: 14)

“jadi lif karena ada penyusutan dalam surat kabar perusahaan kami, kami mohon pengertian
mu. Untuk sementara kami tidak bisa memuat tulisan dari penulis luar….” (Fuadi, Ahmad.
Rantau 1 Muara. 2013: 17)

“Aku dan  geng Uno meski sudah lulus tetap ikut bergabung dengan demo mahasiswa sampai ke
Gedung Sate.” (Fuadi, Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 19)

Jika dikaitkan kembali dengan hakekat mimetik menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah
dunia pengalaman yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang
sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan.

Jelas bahwa novel yang ditulis oleh Ahmad Fuadi merupakan tiruan yang berasal dari kehidupan
pribadinya sendiri. Saat ia lulus, ia menjadi orang yang tak beruntung karena tak dapat
memanfaatkan Ijazahnya serta prestasi dan pengalamannya yang luar biasa karena kurangnya
lapangan pekerjaan akibat adanya krisis moneter, hal ini kian terbukti saat kita ketahui bahwa
Ahmad Fuadi lulus dari Universitas Padjajaran pada tahun 1998/1999, tepat pada peristiwa
krismon melanda Indonesia.

            Pengalaman yang di alami oleh Alif dapat dikatakan selalu saja mulus dan diberikan
kemudahan oleh yang Maha Kuasa.Meski pada awal-awal pencarian kerjanya Alif ditolak oleh
beberapa perusahan dimana Alif mendaftarkan dirinya sebagai calaon pekerja disana. Berkali-
kali ia mencoba melamar pekerjaan diberbagai tempat, berkali-kali juga ia menerima penolakan.

Bukan Alif namanya jika menyerah begitu saja dalam setiap kekalahan, kalimat saktinya “man
jadda wajada” selalu memacu dirinya untuk terus mengejar mimpinya dan menjadi orang yang
bermanfaat di dunia.

Beberapa bulan kemudian, setelah Alif melamar dan selalu mendapatkan surat dari pos bahwa ia
"tidak diterima” oleh perusahan dimana ia melamar. Alif pun bertemu dengan hari
bersejarahnya, kata saktinya dalam novel yang ketiga ini yaitu “Man saara Ala Darbi Washalla”
yang artinya siapa yang berjalan dijalannya akan sampai ketujuan, memberikan dorongan yang
semakin kuat bagi Alif dalam menjalani kehidupannya yang tak mudah. Ia mencoba melamar di
salah satu bidang percetakan majalah dan menjadi wartawan serta penulis berita yang sesuai
dengan jalan yang dapat ditempuhnya, hingga pada akhirnya Alif pun diterima di perusahan
majalah yang ada di Jakarta. Alif pun sangat bersyukur akan rezeki yang diberikan oleh Allah
SWT.

“… Anda mampu untuk bergabung bersama tim redaksi Derap. Selamat bergabung.”(Fuadi,
Ahmad. Rantau 1 Muara. 2013: 38)

Alif pun segera bersiap-siap membereskan barang-barangnya untuk pindah dari Bandung ke
Jakarta.Ya, ini adalah tempat rantau yang baru bagi Alif. Di Jakarta Alif tinggal bersama
pamannya selama Alif belum mendapatkan tempat kost di sana.

Hari-hari Alif kini mulai disibukan dengan pekerjaanya sebagai wartawan Derap. Kantor tempat
Alif bekerja merupakan perusahaan yang pernah ditutup oleh pemerintah dalam masa orde lama
karena isi-isi majalahnya yang selalu menyindir apa saja yang dilakukan oleh pemerintah pada
masa itu. Tetapi saat ini perusahaan tersebut kembali beroperasi, namun masih banyak wartawan
dan narasumber diluaran sana yang mempersulit proses pencarian berita dari tim Derap.

Alif kembali mendapatkan banyak pengalaman ditempat rantau barunya, bertemu seorang
sahabat, memiliki program kerja yang unik yakni bekerja mengumpulkan berita dari kamar
jenazah, hingga mewawancari seorang TNI yang pernah terlibat dalam pemerintahan orde lama
yang dipimpin oleh Soeharto.Ditempat Rantaunya juga Alif dipertemukan kembali dengan tokoh
Dinara (sahabat Raisa) yang dikenalnya saat persiapan pendaftaran mahasiswa dalam program
beasiswa pertukaran pelajar ke Kanada.

selama bertemu ditempat kerja rupanya Alif dan Dinara muai jatuh cinta, keduanya sepakat
untuk meresmikan hubungannya setelah berhasil memperoleh beasiswa S-2 ke luar negeri. Saat
itu Alif yang lebih dulu mendapatkan beasiswa S-2 ke Amerika dan kekasihnya Dinara
mendapatkan beasiswa S-2 di London.Setelah menyelesaikan program S-2 nya di Amerika, Alif
memberanikan diri melamar Dinara kepada ayah Dinara.Ayah Dinara pun yang awalnya tak
menyetujui kini mulai yakin kepada Alif bahwa Alif merupakan orang yang dapat bertanggung
jawab kepada putrid tercintanya, Dinara.

            Dari cerita tersebut jelas bahwa Ahmad Fuadi menggambarkan bagimana keberhasilan
seorang Alif dalam meraih cita-citanya setinggi yang dia inginkan.Dan mantra ketiga “Man
Saara Ala Darbi Washalla” berhasil mengantarkan Alif meraih cita-cita hidupnya.Ahmad Fuadi
yang juga merupakan seorang perantau, menerangkan melalui novelnya bahwa hidup hakikatnya
adalah perantauan.Suatu masa pasti kembali ke akar, ke yang satu, ke yang awal, muara segala
muara. Rantau 1 Muara ini juga merupakan kisah pencarian tempat berkarya, pencarian belahan
jiwa, pencarian dimana hidup akan bermuara.
Ketika dikaitkan kembali antara isi cerita yang ada di dalam novel dengan kehidupan Ahmad
Fuadi selaku penulis novelnya. Jelas bahwa segala apa yang tertuang di dalam novelnya
merupakan cerminan, tiruan atau duplikasi dari kehidupan yang ada, kehidupan yang di alami
oleh Ahmad Fuadi sendiri. Dalam realitanya Ahmad Fuadi adalah seorang penulis yang
merupakan lulus Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1998/1999 program studi
Hubungan Internasioal. Kemudian mendapatkan beasiswa S-2 di School of media and public
Affairs, George Washington. University of USA, Amerika.

            Dari ketiga novelnya, Ahmad Fuadi sangat dominan menceritakan pengalaman hidupnya
di dunia pesantren, kuliah di Universitas Padjajaran hingga meraih besiswa S-2 di
Amerika.Novel Triloginya tersebut merupakan cerminan yang sebenarnya terjadi pada diri
Ahmad Fuadi.Ahmad Fuadi sendiri mengakui dalam salah satu acara talkshow bahwa tokoh Alif
Fikri merupakan gambaran bagaimana Ahmad Fuadi yang sebenarnya, bagaimana kehidupan
Ahmad Fuadi yang tak mudah hingga berhasil menjadi penulis novel terkenal.

Sehingga jelas jika dikaitkan dengan kritik orientasi mimetik, novel yang memberikan banyak
sekali nilai moral ini merupakan novel yang sepenuhnya ditulis berdasarkan pengalaman
pengarang, atau merupakan cerminan dari kehidupan pengarang.

Novel ini banyak memberikan nilai moral kepada para pembacanya, khusunya kaum remaja
yang dapat memetik segudang pelajaran yang dapat memotivasi diri untuk memiliki kerja keras
yang luar biasa dalam meraih mimpi yang dicita-citakan.

Namun meskipun novel ini memberikan sejuta pengalaman dan pembelajaran yang sangat
berharga, sayangnya novel tersebut seolah-olah terlepas dari pengaruh imajinatif dan kretifitas
dalam membangun daya hayal dari seorang pengarang.Jelaslah bahwa kekurangan dari novel ini
selaras dengan kekurangan yang terdapat dalam teori mimetik.

            Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra berkaitan dengan
realitas atau kenyataan.Mimetik dalam bahasa yunani disebut tiruan. Pendekatan yang
memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas (Abrams, 1981:189).Hal ini diperkuat oleh
pendapat Najid (2009:47) pendekatan mimetik adalah pendekatan yang memandang prosa fiksi
sebagai hasil ciptaan manusia yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dan semesta
(pengalaman hidup penulis atau hasil penghayatan penulis terhadap kehidupan
disekitarnya). Dalam pendekatan ini, karya sastra merupakan hasil tiruan atau cermin dari
kehidupan.

Namun sayangnya, teori mimetik yang ada ditentang oleh Aristotles yang berpendapat bahwa
karya sastra bukan hanya semata-mata cerminan atau duplikasi dari kehidupan pengarang, tetapi
juga menampilkan imajinasi dan kreatifitas dalam menuliskan karya sastra, sehingga karya sastra
tersebut berhasil membawa pembacanya menikmati apa yang dituliskan oleh pengarang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahawa Novel Trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi
begitu sejalan dengan teori mimetik, dimana karya sastra merupakan hasil tiruan dari kenyataan
begitu juga dengan novel Trilogi Karya Ahmad Fuadi yang merupakan cerminan pengalaman
hidup sosok Ahmad Fuadi.

Dalam penulisan karya sastra hendaknya tidak terpaku pada pengalaman yang ada atau
pengalaman yang dimiliki oelh pengarang saja.Akan tetapi agar karya sastra itu menjadi lebih
indah, pengarang hendaknya memberikan polesan kepada karya sastra yang dibuatnya sehingga
cerita yang ditampilkan tidak mengalir mudah begitu saja, tetapi juga mampu membangkitkan
daya imajinasi pembaca dalam menikmati karya sastra.

Oleh :
Gita Indah Safitri
FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Wiralodra Indramayu

SASTRA
KRITIK TERHADAP SEBUAH ARTIKEL EKONOMI KOMPAS

Oleh : Muhammad Islam *

Melihat artikel Kompas mengenai “40 Orang Memiliki Harta Rp 761,7 Triliun” pada hari sabtu
26 November 2011 yang lalu, tepatnya pada halaman 17 tentang ekonomi. Entah banyak yang
sadar atau tidak, tetapi saya merasa bingung membaca penjelasan artikel tersebut mengenai
Produk Domestik Bruto. Untuk lebih jelasnya ada baiknya saya mengutip sebagian dari artikel
tersebut.

“Nilai total produk domestik bruto Indonesia versi Badan Pusat Statistik sampai triwulan
III-2011 sudah mencapai Rp 5.472,9 triliun atau rata-rata per triwulan Rp 1.824 triliun.
Jadi total PDB hingga akhir tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp7.396,5 triliun.

Definisi PDB yakni nilai barang dan jasa yang diproduksi warga dari suatu negara selama
periode satu tahun. Dalam memproduksi ini warga negara tadi bisa saja menggunakan
faktor-faktor produksi yang ada dalam negara itu atau faktor produksi yang berada di
negara lain. Para tenga kerja Indonesia di luar negeri masuk dalam hitungan terakhir ini.

Intinya, total PDB sebanyak Rp7.396,5 triliun tadi merupakan hasil kerja keras seluruh
warga negara Indonesia dimana saja mereka berada….dst…..”

Menurut yang selama ini saya pelajari bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan
merupakan penjumlahan nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara, sehingga PDB
dihitung berdasarkan wilayah bukan kewarganegaraan.  Sehingga PDB tidak bisa dikatakan hasil
kerja keras seluruh warga negara Indonesia dimana saja mereka berada. Tetapi nilai PDB yang
sebesar Rp 7.396,5 bukan sepenuhnya milik orang Indonesia tetapi juga milik orang-orang asing
atau perusahaan asing di Indonesia termasuk Freeport, dan sebagainya. sedangkan untuk
mengetahui berapa jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara Indonesia,
dapat digunakan ukuran lain yakni Gross Nasional Product (GNP) atau Produk Nasional Bruto
(PNB).

Hal ini menjadi penting untuk dikoreksi sehingga masyarakat tidak terjebak dengan pertumbuhan
PDB yang sesungguhnya belum tentu dapat dinikmati oleh warga negara Indonesia. Semoga
tulisan ini mendapat tanggapan dari pihak Kompas, sehingga kebingungan saya ketika membaca
penjelasan artikel tersebut dapat terjawab.

Anda mungkin juga menyukai