Anda di halaman 1dari 49

PEMANASAN GLOBAL

2016 Cetak Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah

| KAMIS, 22/12/2016 20:03 WIB

Dikutip dari DW, data sementara mencatat temperatur global meningkat sekitar 1,2 derajat
Celcius dibandingkan masa pra-industri.

Kehidupan beruang kutub ikut terancam karena pemanasan global. Tahun 2016 kemungkinan
akan jadi tahun terpanas sejak abad ke-18. Dikutip dari DW, data sementara mencatat temperatur
global meningkat sekitar 1,2 derajat Celcius dibandingkan masa pra-industri. Hitungan ini
mencetak rekor baru untuk suhu rata-rata tertinggi sejak pengukuran yang dilakukan pertama kali
oleh ilmuwan pada 1880 silam.

Badan Nasional Administrasi Atmosfer dan Samudera Amerika Serikat (NOAA) suhu rata-rata
bumi di atas daratan dan laut mencapai 14,94 derajat Celcius. Hasil ini dihitung mulai Januari
hingga November. Lebih hangat 0,06 derajat dibandingkan tahun lalu dengan periode yang sama.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) juga memprediksi 2016 akan menjadi tahun terpanas
dalam catatan sejarah manusia. Menurut perkiraan badan PBB tersebut, temperatur global 2016
mencapai 14,88 derajat, yakni 1,2 derajat lebih tinggi dibandingkan masa pra-Revolusi Industri
pada pertengahan abad ke-19. “Suhu rata-rata global antara 1961 dan 1990 ada di angka 14
derajat,” tulis WMO.

Peningkatan suhu yang pesat terjadi di kutub utara atau Artik, yang mengakibatkan es mencair.
Data dari NOAA mengungkap suhu rata-rata pada 2015 adalah 2,8 derajat lebih tinggi sejak awal
abad 20.

Pusat Data Es dan Salju Nasional Amerika melaporkan bahwa lapisan es di Artik pada
November 2016 berada di titik terendah dalam 38 tahun sejak diukur pertama kali menggunakan
satelit. Sisa lapisan es di kutub utara kini tinggal 9,8 juta meter persegi. Artinya, antara 1981
hingga 2010, sudah dua juta meter persegi lapisan es yang mencair.
Pemanasan Global, 252 Miliar Ton Es Mencair di Antartika

CNN Indonesia

Selasa, 15/01/2019 15:38

Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti menemukan fakta terbaru soal pemanasan global yang
membuat es di Antartika mencair lebih cepat dari 40 tahun yang lalu.

Antara tahun 1979 hingga 2017, peneliti mencatat pencairan permukaan laut di seluruh dunia
meningkat 1,4 cm akibat mencairnya es di Antartika. Akibatnya, permukaan laut di seluruh dunia
berpotensi menjadi semakin tinggi.

Dibandingkan tahun 2009-2017, saat ini es di Antartika mencair enam kali lipat lebih cepat
menjadi 252 miliar ton per tahun.

Dilaporkan AFP, peneliti menemukan fakta yang lebih mengkhawatirkan terkait area yang
sempat dianggap stabil dan tak terpengaruh perubahan di Antartika Timur. Di lokasi tersebut
banyak es yang kini mencair.

"Di sekitar Wilkes, Antartika Timur secara keseluruhan selalu menjadi area penting terkait
lapisan es yang mencair, bahkan sejak tahun 1980-an, seperti yang ditemukan pada riset kami,"
ungkap peneliti utama, ketua ilmu sistem Bumi di University of California, Eric Rignot.

Menurutnya, tim peneliti menduga area tersebut kemungkinan lebih sensitif terhadap perubahan
iklim dibandingkan prediksi sebelumnya. Daerah Antartika Timur memiliki lebih banyak lapisan
es dibandingkan Antartika Barat dan Semenanjung Antartika.

Rignot mengatakan meningkatnya permukaan laut bisa berbahaya di tahun-tahun kedepan. Yang
kini mulai terasa dan terlihat adalah meningkatnya suhu air laut yang di masa depan bisa
mempercepat mencairnya lapisan es.

"Ketika lapisan es di Antartika terus mencair, kami memperkirakan permukaan air laut akan
meningkat di masa mendatang," kata Rignot.

Di tahun 2100, peneliti memperkirakan akan terjadi skenario terburuk yakni banjir di daerah
pesisir lantaran permukaan air laut meningkat 1,8 meter. Kesimpulan ditarik berdasarkan
penilaian massa es terpanjang di 18 wilayah geografis Antartika. (AFP/evn)
Suhu Laut Memanas Lebih Cepat Akibat Pemanasan Global

CNN Indonesia

Selasa, 15/01/2019 10:47

Jakarta, CNN Indonesia -- Peningkatan suhu Bumi berimbas pada perubahan suhu air laut yang
kini memanas lebih cepat dari perkiraan.

Laporan ini dirilis dalam jurnal AS Sciene yang dipimpin oleh Chinese Academy of Sciences
sekaligus membantah laporan sebelumnya yang menyebut pemanasan global sempat terhenti
sesaat. Peneliti memperkirakan sekitar 93 persen pemanasan global disebabkan oleh emisi
karbon yang terakumulasi dan diserap oleh laut.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa laut memanas
sekitar 40 persen lebih cepat dari yang diperkirakan. Sejak tahun 1950-an, penelitian umumnya
menunjukkan bahwa laut menyerap setidaknya 10 kali lebih banyak energi setiap tahunnya.

"Pemanasan laut merupakan indikator perubahan iklim yang sangat penting. Laut, dalam banyak
hal, merupakan termometer terbaik yang dimiliki planet ini," ungkap peneliti perubahan iklim,
Zeke Hausfather dari University of California Berkeley.

Melansir AFP, perubahan iklim dalam jangka panjang memengaruhi suhu udara hingga
perubahan cuaca. Dengan cara ini, ilmuwan dunia melakukan penghitungan seberapa sensitif
Bumi terhadap emisi gas rumah kaca hingga meningkatkan suhu laut di masa mendatang.

Peneliti menyebut kondisi ini akan memengaruhi keragaman hayati hingga membuat beberapa
spesies bermigrasi ke perairan yang lebih dingin. Selain itu, kondisi ini juga membuat volume air
laut meningkat yang berkontribusi pada kenaikan permukaan laut.

Selama hampir dua dekade, ilmuwan menggunakan jaringan pelampung yang didistribusikan ke
lautan untuk memonitor suhu air di seluruh dunia. Namun di awal 2000-an, ilmuwan lebih
mengandalkan pengukuran yang diambil dari kapal yang lewat saat melintasi lautan.

Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti menggunakan model dan alat statistik untuk
menganalisis pengukuran sebelumnya untuk mengembangkan rekonstruksi pemanasan laut yang
lebih akurat selama satu abad terakhir.

Malin Pinsky, seorang profesor di departemen ekologi, evolusi, dan sumber daya alam di Rutgers
University mengatakan jika lautan tidak menyerap banyak panas, maka membuat permukaan
tanah memanas lebih cepat dari sekarang

"Faktanya, lautan telah menyelamatkan kita dari pemanasan besar saat ini," tulis Pinsky kepada
The New York Times. (AFP/evn)
Menyaksikan Dampak Perubahan Iklim di Patagonia Chili

AFP, CNN Indonesia

CNN Indonesia

Senin, 14/01/2019 20:06

Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu tempat yang bisa dijadikan 'laoratorium' untuk memahami
dampak perubahan iklim di bumi adalah kawasan Patagonia, khususnya yang berada di Chili,
Amerika Selatan. Sebagai bagian paling selatan di Chili, Patagonia adalah tempat di mana para
ilmuan berkumpul untuk meneliti tentang paus, lumba-lumba, dan alga terhadap perubahan
iklim.

Mengutip AFP, Senin (14/1), empat orang peneliti dari Universitas Austral di Chili bertolak dari
Punta Arenas menuju teluk tersembunyi Seno Ballena. Teluk tersebut didapuk sebagai tempat
yang representatif untuk mengamati kondisi lautan terkini, khususnya dalam beberapa dekade
terakhir di mana dampak pemanasan global makin bisa dirasakan oleh penduduk bumi."Tempat
ini mengizinkan kami untuk bereksperimen apapun yang menyangkut penelitian perubahan
iklim. Bahkan hasilnya pun bisa langsung didapatkan tanpa perlu waktu untuk membayangkan,"
ujar seorang pakar biologi kelautan, Maximiliano Vergara.

Namun proses penelitian di teluk tersebut bukan perkara yang mudah, para peneliti itu harus
melewati Selat Magellan yang dikenal memiliki ombak berbahaya. Jalur ini dikenal berbahaya
karena Selat Magellan menghubungkan dua samudra legendaris, Pasifik dan Atlantik.

Kemudian perjalanan masih harus dilanjutkan beralih wahana transportasi dengan perahu kecil
dengan kecepatan 100 kilometer per jam dalam suhu khas kutub. Setibanya di lokasi, para
peneliti akan menganalisis beberapa variabel pada air seperti unsur kimia, aspek biologi, kadar
keasaman, salinitas, dan kalsium untuk mengetahui dampak perubahan iklim.

Nama Seno Ballena diambil dari nama paus bungkuk yang selalu mampir ke tempat ini untuk
menyantap makanan favoritnya, setelah bertualang dari perairan Amerika Tengah.

Para paus itu kembali ke tempat ini bukan tanpa alasan, hal ini dikarenakan banyak ikan sarden
di tempat ini. Sehingga menu makanan untuk melenyapkan lapar bagi sang paus pun bisa
terpenuhi.Namun sayangnya, perubahan iklim membuat ekosistem berubah

Melelehnya es di Pulau Santa Ines membuat populasi sarden menurun karena makanannya, yakni
plankton, berkurang bahkan menghilang.

"Perubahan struktur mikroalga bisa membawa dampak yang besar bagi ekosistem di perairan
ini," ujar seorang pakar biologi kelautan, Marco Antonio Pinto.
"Pada kondisi yang normal, mikroalga menjadi makanan untuk zooplankton. Sistem inilah yang
membentuk rantai makanan di perairan ini sampai ke perut ikan paus, hingga akhirnya semuanya
berubah karena perubahan iklim."

Perubahan iklim: Kecepatan dan dampak pemanasan global saat ini 'tidak tertandingi'

Matt McGrath

Koresponden lingkungan

27 Juli 2019

Peneliti menyebut kecepatan dan skala dampak dari pemanasan global saat ini melampaui
peristiwa serupa dalam dua milenium terakhir. Mereka menunjukkan bahwa peristiwa bersejarah
terkenal seperti "Little Ice Age" tidak sebanding dengan skala pemanasan yang terlihat selama
berabad-abad terakhir.

Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemanasan saat ini lebih tinggi daripada yang diamati
sebelumnya.

Para ilmuwan mengatakan bahwa penelitian itu menunjukkan banyak argumen orang-orang yang
skeptis dengan perubahan iklim tidak lagi valid.

Ketika para ilmuwan mensurvei sejarah iklim dunia kita selama berabad-abad terakhir, sejumlah
era penting tampak menonjol.

Ini berkisar dari "Roman Warm Period", yang berlangsung dari 250 M hingga 400 M, dan
memperlihatkan cuaca hangat yang tidak biasa di Eropa, ke era Little Ice Age yang terkenal,
yang memperlihatkan suhu turun selama berabad-abad dari tahun 1300-an.

Peristiwa-peristiwa itu dilihat oleh beberapa orang sebagai bukti bahwa dunia telah menghangat
dan mendingin berkali-kali selama berabad-abad dan bahwa pemanasan yang terjadi di dunia
sejak masa revolusi industri adalah bagian dari pola itu dan karenanya tidak ada yang perlu
dikhawatirkan.

Namun, tiga makalah penelitian baru menunjukkan bahwa argumen itu mudah dipatahkan.

Sejumlah tim ilmuwan merekonstruksi kondisi iklim yang terjadi selama 2.000 tahun terakhir
menggunakan 700 catatan rekaman perubahan suhu, termasuk dari batang pohon, karang dan
sedimen danau. Mereka memastikan bahwa tidak satu pun dari peristiwa iklim ini terjadi dalam
skala global.
Para peneliti mengatakan bahwa, misalnya, dampak perubahan iklim pada Little Ice Age , atau
disebut zaman es kecil, yang terkuat di Samudra Pasifik pada abad ke-15, sedangkan di Eropa
adalah abad ke-17. Secara umum, setiap puncak atau palung dalam perubahan suhu jangka
panjang dapat dideteksi di tidak lebih dari setengah bola dunia pada satu waktu.

"Medieval Warm Period", yang berlangsung antara tahun 950 M dan 1250 M hanya
memperlihatkan suhu yang signifikan naik di 40% permukaan bumi. Sebaliknya, pemanasan hari
ini berdampak pada sebagian besar dunia. "Kami menemukan bahwa periode terhangat selama
dua milenium terakhir terjadi selama abad ke-20 untuk lebih dari 98% dunia," tulis penelitian
tersebut.

"Ini memberikan bukti kuat bahwa pemanasan global antropogenik (yang disebabkan oleh
manusia) tidak hanya tak tertandingi dalam hal suhu absolut, tetapi juga belum pernah terjadi
sebelumnya dalam konsistensi spasial dalam konteks 2.000 tahun terakhir."

Apa yang para peneliti lihat adalah bahwa sebelum era industri modern, pengaruh paling
signifikan terhadap iklim adalah gunung berapi. Mereka tidak menemukan indikasi bahwa
variasi radiasi matahari berdampak pada suhu global.

Periode saat ini, kata penulis, secara signifikan melebihi variabilitas alami.

"Kami melihat dari data instrumental dan juga dari rekonstruksi kami bahwa di masa lalu tingkat
pemanasan jelas melebihi tingkat pemanasan alami yang kami hitung - itu pandangan lain untuk
melihat sifat luar biasa dari pemanasan saat ini," kata Dr Raphael Neukom, dari University of
Bern, Swiss.

Sementara para peneliti belum menguji apakah manusia adalah penyebab utama terciptanya
iklim saat ini, temuan mereka menunjukkan dengan jelas bahwa ini adalah masalahnya.

"Kami tidak fokus untuk melihat apa yang menyebabkan pemanasan terbaru karena ini telah
dilakukan berkali-kali dan bukti yang ada selalu menunjukkan bahwa penyebabnya adalah faktor
antropogenik," kata Dr Neukom.

"Kami tidak secara eksplisit menguji ini; kami hanya dapat menunjukkan bahwa penyebab alami
tidak cukup dari data kami untuk benar-benar menjadi penyebab pola spasial dan laju pemanasan
yang kita amati sekarang."

Ilmuwan lain terkesan dengan kualitas penelitian baru ini.

"Mereka telah melakukan ini di seluruh dunia dengan lebih dari 700 catatan selama 2.000 tahun
terakhir; mereka menggunakan karang, sampel danau dan juga data instrumental," kata Prof
Daniela Schmidt dari University of Bristol, Inggris, yang tidak terlibat dengan penelitian
tersebut.
"Dan mereka sangat berhati-hati dalam menilai data dan bias inheren yang dimiliki data apa pun,
sehingga kualitas data dan cakupan data ini adalah kemajuan besar yang nyata di sini; ini luar
biasa.

Banyak ahli mengatakan bahwa penelitian baru ini membantah banyak klaim yang dibuat oleh
orang-orang yang skeptis dengan perubahan iklim selama beberapa dekade terakhir.

"Laporan penelitian ini pada akhirnya seharusnya bisa menghentikan penolakan perubahan iklim
yang mengklaim bahwa pemanasan global koheren yang diamati baru-baru ini adalah bagian dari
siklus iklim alami," kata Prof Mark Maslin, dari University College London, Inggris, yang juga
tidak terlibat dalam penelitian.

"Penelitian ini menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok antara perubahan iklim regional
dan lokal di masa lalu dan efek global yang sebenarnya dari emisi rumah kaca antropogenik."
Australia Waspada Gelombang Panas, Peringatan Karhutla
CNN Indonesia

Jumat, 31/01/2020 03:48

Australia tengah bersiap menghadapi gelombang panas dalam beberapa hari mendatang. Suhu di


negara bagian Australia Selatan pada Kamis (30/1) mencapai di atas 40 derajat Celcius.
Peningkatan suhu mendorong pemerintah mengeluarkan peringatan rawan kebakaran hutan di
beberapa daerah. Gelombang panas diperkirakan juga akan terjadi di Melbourne, Sydney, dan
Canberra pada Jumat (31/1) mencapai 45 derajat Celcius.

Dilansir AFP, pemerintah Australia mengatakan suhu panas dan kering disertai angin berpotensi
memicu kebakaran hutan. Hingga saat ini lebih dari 80 kebakaran terpantau masih terjadi di
negara bagian Victoria dan New South Wales. "Kami mendapat banyak keuntungan dari
beberapa kondisi selama beberapa hari terakhir. Seperti yang telah kami dengar, cuaca akan
berubah panas dan kering," ungkap Komisioner Layanan Darurat Victoria, Andrew Crisp. Ia
sekaligus memperingatkan warga untuk bersiap dengan kemungkinan kebakaran hutan.

Kendati mulai dilanda gelombang panas, hujan petir diperkirakan akan turun di beberapa
wilayah. Hanya saja, kondisi itu justru menjadi ancaman bencana lain, termasuk potensi banjir
bandang.

Ancaman kebakaran hutan diumumkan setelah laporan korban tewas mencapai 32 orang dan
menghancurkan sebagian besar negara bagian New South Wales sejak September 2019 lalu.
Krisis usai kebakaran hutan hingga hujan es memicu seruan bagi pemerintah Australia untuk
segera mengambil tindakan terkait perubahan iklim. Perdana Menteri Scott Morrison didesak
untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara.

Para ilmuwan mengatakan bencana kebakaran hutan yang terjadi di Australia merupakan imbas
perubahan iklim. Kekeringan juga membuat api menyebar dengan cepat di luar kendali.

Di sisi lain, Morrison dinilai lamban mengakui penyebab kebakaran hutan dan mengantisipasi
penyebaran api. Morrison justru dinilai lebih fokus pada adaptasi iklim dan membangun
ketahanan dibandingkan mengambil upaya konkret mengurangi emisi.(AFP/evn)
Darurat Pemanasan Global Jelang 2020

Kompasiana.Com

25 Juli 2019   08:41 Diperbarui: 25 Juli 2019   08:41


Setahun lalu para ilmuwan dari berbagai negara yang tergabung dalam Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa untuk menekan kenaikan suhu global agar berada
di bawah ambang 1,5 derajat Celcius, perlu dilakukan pengurangan emisi karbondioksida
sebanyak 45 persen pada tahun 2030 mendatang (BBC News, 23 Juli 2019).

Suhu rata-rata Bumi memang naik 1,5 derajat Celcius sepanjang abad 20, lantas kenapa kita
harus mencemaskannya? Meski angka kenaikannya terlihat kecil, namun hal itu merupakan
sebuah fenomena yang tidak lazim terjadi sepanjang sejarah awal planet ini.

Data iklim Bumi yang tersimpan rapi dalam lingkaran-lingkaran usia di irisan lintang batang
pohon  (tree rings), sampel inti es yang diambil dari gletser di berbagai pegunungan tinggi (ice
cores), dan terumbu karang (coral reefs) memperlihatkan bahwa suhu rata-rata global selalu
stabil alias tidak pernah menunjukkan fluktuasi selama kurun waktu yang sangat panjang.

Itu berarti bahwa perubahan-perubahan sekecil apapun pada suhu Bumi mengisyaratkan telah
terjadinya perubahan lingkungan hidup secara besar-besaran. Gletser yang terus menyusut,
lapisan es di sungai dan gunung lebih cepat retak, habitat flora dan fauna mengalami pergeseran,
serta pepohonan yang berbunga lebih cepat adalah sebagian kecil contoh perubahan tersebut.
Berikutnya kenaikan permukaan laut yang lebih cepat dan berlangsung lama serta gelombang
panas yang kuat.

Awal tahun ini sebuah studi tentang kerugian yang dirasakan di seluruh dunia sebagai dampak
dari meluasnya campur tangan manusia telah memicu kehebohan besar di kalangan
pemerintahan banyak negara. Sebuah laporan menyebutkan kemungkinan sejuta spesies akan
lenyap dari muka Bumi pada beberapa dekade mendatang.

Penetapan tahun 2020 sebagai batas akhir untuk melakukan tindakan nyata merespon perubahan
iklim global dilontarkan oleh Hans Joachim Schellnhuber, pendiri dan sekarang menjadi direktur
emeritus Postdam Climate Institute,  pada tahun 2017,"Ancaman perubahan iklim sudah sangat
nyata dan bila langkah-langkah penyelamatan Bumi tidak segera dilakukan pada selambatnya
tahun 2020, maka dikuatirkan kerusakannya akan menjadi sangat fatal."

Kekhawatiran di atas ditegaskan kembali oleh Pangeran Charles dalam sebuah kesempatan
menjamu para menteri luar negeri Negara-negara Persemakmuran baru-baru ini,"
"Saya dengan jelas melihat bahwa 18 bulan ke depan akan menjadi penentu seberapa mampu
kita menjaga perubahan agar Bumi dapat bertahan dan mengembalikan alam pada keseimbangan
yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup kita."
Dia menaruh harapan pada serangkaian pertemuan menentukan yang akan digelar Perserikatan
Bangsa-bangsa tahun ini sampai akhir 2020 mendatang. Sejak kesepakatan iklim global
ditandatangani di Paris pada bulan Desember 2015, perdebatan seputar aturan teknis
pelaksanaannya masih terus berlangsung. Namun sesuai kesepakatan yang telah ditetapkan,
negara-negara penandatangan pakta tersebut telah berjanji untuk meningkatkan upaya
pengurangan emisi karbon di wilayah masing-masing pada akhir tahun depan.
Akhirnya Sejarah Dunia Baru Tercipta, Suhu Terpanas di Muka Bumi

Kompasiana.Com

19 Juni 2019   00:09 Diperbarui: 19 Juni 2019   00:09

Akhirnya sejarah dunia baru tercipta, yaitu tentang adanya suhu terpanas di muka bumi yang


mencapai 52 derajat celcius pada suhu normal di Kuwait, dan sebesar 63 derajat celcius apabila
pada bawah sinar matahari langsung (Sabtu/15/06/2019). Sedangkan di Arab Saudi, suhu panas
mencapai 55 derajat celcius. Kedua Negara ini telah menciptakan rekor baru untuk suhu terpanas
di muka bumi ini, di susul selanjutnya oleh India dengan suhu mencapai 48,9 derajat celcius.

Sejarah rekor suhu terpanas sebelumnya pada 106 tahun yang lalu, berada di Death Valley di
Furnace Creek Ranch, California pada 10 Juli 1913, dengan suhu panas berkisar 56,7 derajat
celcius (Badan Meteorologi dunia).

Dilansir dari Badan Meteorologi kuwait, suhu ektrim tersebut akan kembali mengalami
peningkatan sebesar 68 derajat celcius pada bulan depan. Karena ekstrimnya suhu tersebut,
pemerintah setempat mengusulkan RUU untuk jam kerja malam, dimulai pada pukul 17:00
sampai dengan 22:00. Selanjutnya RUU tersebut akan berlaku 1 juni sampai dengan 31 Agustus
setiap tahunnya.
Berikut ini daftar Suhu dunia dan iklim ekstrim sepanjang sejarah peradaban manusia yang
dilansir oleh Organisasi Meteorologi dunia (UN) melalui Arizona State University.
Kejadian ini telah diprediksi sebelumnya dimana pada tahun 2018 beberapa ilmuwan dilansir
pada Nationalgeographic.co.id bulan Desember 2018.

Profesor Adam Scaife, kepala prediksi cuaca jarak jauh di The Met Office mengatakan:

" perkiraan kami menunjukkan bahwa akhir tahun 2019, adalah 19 dari 20 tahun
terpanas yang akan terjadi sejak tahun 2000."

Tahun terpanas bumi telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir 2015-2018. Hal ini dipicu oleh
adanya peningkatan emisi karbon dioksida yang merangkap panas dan telah melebihi
kapasitasnya. Hal ini akan mengakibatkan iklim bumi menjadi lebih hangat dari rata-rata abad ke
20 selama 406 bulan terakhir.
Ancaman Pemanasan Global terhadap Ekosistem Laut

Kompasiana.Com

8 April 2018   10:34 Diperbarui: 8 April 2018   10:34

Selama ini masyarakat awam menganggap dampak pemanasan global (global warming) yang
menyebabkan runtuhnya gunung es di Kutub Utara dan Selatan hanya mengakibatkan naiknya
permukaan air laut saja. Padahal ternyata dengan makin panasnya  lautan membuat rantai
makanan (food chain) hewan laut di dalamnya berdampak sangat besar bagi asupan makanan
kepada hewan laut berukuran besar yang menjadi sumber protein manusia dan pada gilirannya
mengacaukan industri perikanan. Penelitian ilmiah telah meramalkan bila hal ini dibiarkan terus
maka dalam 30 tahun kedepan industri perikanan dunia akan kacau (collapse).

Pemanasan global yang terjadi karena terjebaknya panas matahari oleh gas efek rumah kaca
(greenhouse gas effect) menyebabkan panas yang terpantul kembali ke bumi terserap ke samudra
sehingga lautan ini menjadi panas dan menjadikan tempat ini menjadi sampah karbon yang
merusak ekosistem laut (marine ecoystem).

Ekosistem sendiri berarti "a community of living  things and its specific environment"(sebuah
komunitas yang dihuni makhluk hidup dengan lingkungan yang khusus), sedangkan marine
ecosystem adalah bagian dari sistem air terbesar di bumi (Earth's largest water system) yang
melingkupi lebih dari 70 persen permukaan bumi. 

Isi dari ekosistem laut termasuk rawa asin (salt marshes), terumbu karang (coral reefs) dan
hampir 4000 tanaman termasuk fitoplankton (phytoplankton), gulma laut (seaweed)  yang juga
dikenal sebagai alga, rumput laut dan bakau. Sedangkan hewan laut yang ada didalamnya antara
lain zooplankton, coral,landak laut (sea urchins), ikan kakatua (parrot fish), gurita
(squid),sardens, hiu (sharks), anjing laut (seals) dan hewan mamalia lainnya.

Lautan di dunia saat ini sudah lebih dari 50 tahun temperaturnya bertambah panas (getting
hotter) dan masih akan berlanjut pada tahun-tahun sesudahnya karena global warming terus
terjadi yang berakibat phytoplankton(tanaman laut berukuran kecil) jumlahnya berkurang
banyak. Kan ini hanya tanaman berukuran kecil (small plant) dan tidak banyak manfaatnya?
Jangan salah!  Phytoplankton ternyata memainkan peran besar dalam rantai makanan dalam
ekosistem laut karena tanaman kecil ini santapan dasar bagi zooplankton (hewan laut berukuran
kecil) yang juga santapan hewan laut lainnya yang berukuran besar dan dampaknya sangat besar
bila jumlah phytoplankton berkurang karena rantai makanan terganggu sehingga berakibat
kehidupan pada ekosistem laut menjadi bermasalah.
Tidak hanya jadi faktor penting dalam rantai makanan ternyata phytoplanktonseperti juga
tanaman yang hidup di darat melakukan fotosintesis dengan menangkap karbondioksida (CO2) 
yang ada di atmosfir dan menghasilkan oksigen (O2) yang kita manfaatkan untuk bernapas.
Berkurangnya phytoplanktonsama saja membiarkan gas karbondioksida melayang-layang di
udara dan membahayakan bagi yang menghirupnya.

Dan dampak serius berikutnya dari memanasnya air laut adalah pemutihan karang (coral
bleaching)  yaitu saat karang berubah warna menjadi putih (white),kelaparan (starving) dan
mati (dying). Padahal kita tahu karang adalah habitat dari ribuan spesies kecil hewan laut untuk
hidup dan penelitian para ahli menyatakan sepertiga dari kehidupan laut tergantung dari habitat
laut ini. Uniknya karang ini hanya bisa hidup dalam suhu tertentu dan laut yang bertambah panas
mempercepat kepunahannya.

"Climate change is not just about carbon dioxide levels and melting polar ice caps. It is about our
public health and protecting our Earth for future generations"-Mike Quigley(Perubahan iklim
tidak hanya soal tingkat karbon dioksida dan melelehnya es di kutub. Ini soal kesehatan publik
dan perlindungan terhadap Bumi kita yang diwariskan untuk generasi masa depan"-Mike
Quigley)
Wayan Suparta: Iklim dan Cuaca untuk Umat Manusia

Suara.Com

Arsito Hidayatullah | Pebriansyah Ariefana 


Sabtu, 23 November 2019 | 12:55 WIB

Isu perubahan iklim belakangan menguat kembali di Indonesia, terutama di Jakarta karena kasus


pencemaran udara dan suhu panas di musim kemarau. Sebenarnya, apa itu perubahan iklim?

Kalau melihat di daerah tropis, masyarakat memandang seperti tidak ada perubahan iklim.
Kecuali kalu mereka memaang sudah merasakan sesak napas, dehidrasi, dan kena penyakit diare.
Baru mereka merasakan akibat dari pemanasan yang ada. Kalau kita melihat perubahan iklim, itu
sebenarnya adalah perubahan cuaca jangka panjang.

Jadi perubahan lokal dari beberapa tempat itu bisa menyebar ke kawasan lain yang nantinya bisa
mempengaruhi bagian lainnya. Jadi perubahan iklim itu dipengaruhi suhu dan kelembaban.

Di Indonesia bukan dipengaruhi oleh suhu, tapi kelembaban atau hujan. Di situlah yang paling
menariknya.

Kalau di bagian negara Eropa, suhu yang mempengaruhi mereka. Mungkin ini dikarenakan kita
mempunyai 2 iklim; kemarau dan hujan. Tapi mereka di sana memiliki 4 musim. Jadi kalau
dihubungkan dengan kualitas udara, perubahan iklim memang salah satu penyebabnya. Jadi ada
pergerakan udara yang dibuat oleh manusia maupun pergerakan udara yang secara alami.

Apakah perubahan iklim ini sudah terjadi di dunia?

Perubahan iklim sudah terjadi.

Buktinya ada gelombang panas tapi belum menjalar ke Indonesia, karena Indonesia terletak di
garis ekuator. Jadi karena kita di sini menerima panas yang merata sepanjang tahun. Jadi kita
seolah-olah tidak merasakan gelombang panas. Tapi kalau di India, terutama bagian selatan,
mereka sampai kulitnya hitam itu karena di sana ada penguapan yang terlalu tinggi.

Kita melihat orang Tamil kulitnya hitam. Itu sebenarnya memang alamnya seperti itu,
sebenarnya mereka sudah ada gelombang panas di situ tapi suhunya 50-60 derajat celcius.
Contohnya yang paling nyata tentunya di kutub. Di kutub sekarang tiap tahun hampir terjadi
kenaikan suhu 1 derajat celcius.
Kalau ini dibiarkan terus memang akan berbahaya. Tapi bagaimana pun perubahan iklim atau
kenaikan suhu terus berjalan tiap tahun. Itu malah bukan linear ya, eksponensial. Jadi naiknya
lebih, 2 – 3 kali nya.

Kalau di Indonesia sendiri, berarti perubahan iklim ini belum terjadi?

Sebenarnya sudah, contoh perubahan iklim yang sering kita rasakan yang mungkin orang belum
merasakan yaitu terlambatnya datangnya hujan. Atau musim kemarau yang terlalu panjang.
Kalau musim kemarau yang terlalu panjang, maka musim hujam semakin pendek. Itu dari segi
meteorologi. Kalau dari astronomi kita bisa lihat, sekarang perubahan iklim ini membawa pada
pergeseran astronomi contohnya zodiak atau bintang-bintang.

Kemudian kebakaran, kebakaran di Indonesia yang sampai membawa asap ke Malaysia itu kan
susah dibendung sampai sekarang. Asap-asap itulah yang bisa menyebabkan partikel-partikel di
udara menjadi lebih berat dan bisa menghantui tranportasi di udara.

Perubahan iklim terjadi jika suhu sampai meningkat 2 derajat, kapan ini akan terjadi?

Kalau di Indonesia saya belum melihat apakah, kita negara membangun ya, apakah kita sudah
mencapai sampai 2 derajat atau belum. Karena kalau perjanjian Paris kan kita harus menjaga 1,5
sampai 2 jangan sampai lebih dari itu kenaikan suhunya.

Jadi kalau sudah lebih dari 2 derajat berarti kualitas udaranya sudah buruk dan itu nanti penyakit
akan semakin banyak. Saya belum sampai ke sana, belum meneliti sampai ke Indonesia, apalagi
kita mau membangun, kita masih banyak memerlukan industri, pabrik-pabrik, kilang-kilang, dan
sebagainya.

Kita tidak bisa menentukan kapan akan berakhirnya perubahan iklim selagi pembangunan itu
masih ada, dan manusia masih ingin mencapai sesuai target,. Di situlah tetap akan kenaikan.

Kecuali kalau negara-negara yang sudah stabil sudah membangun, sudah established, seperti
Belanda, Jepang, itu mereka bisa mnegurangi kadar penurunan CO2 atau karbondioksida.
Ditambah lagi mereka mengadakan program-program, mengendalikan manusia dengan beberapa
regulasi seperti naik sepeda.
Kekeringan ekstrm di sejumlah wilayah Indonesia

Yandi Mohammad

14:58 WIB - Minggu, 12 Agustus 2018,beritagar

Pada pekan kedua Agustus tahun ini, kekeringan terus melanda di sejumlah wilayah di
Indonesia. Sejumlah daerah telah mengalami hari tanpa hujan ekstrem atau lebih dari 60 hari
sehingga daerah-daerah tersebut perlu mewaspadai terjadinya kekeringan. Di Jawa Timur , ada
442 desa yang mengalami kekeringan. Di antara desa yang mengalami kekeringan itu, 199 desa
di antaranya mengalami kekeringan kritis yang berarti tidak ada potensi air.

Beberapa daerah diJawa Tengah, Jawa Barat, dan Yogyakarta juga mengalami
kekeringan. Ribuan hektare sawah berpotensi gagal panen karena kurangnya pasokan air.
Kekeringan pun melanda sejumlah wilayah di luar Pulau Jawa, seperti Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Akibat kekeringan, masyarakat sulit
memperoleh air bersih untuk kebutuhan sehari-hari karena air di sumur-sumur warga mulai
mengering.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksikan puncak


musim kemarau akan terjadi pada Agustus dan September 2018. Saat ini, sebagian besar wilayah
Indonesia telah memasuki musim kemarau yang diperkirakan normal dan tidak dipengaruhi El
Nino yang menyebabkan kekeringan parah seperti pada 2015.

Meski tidak dibarengi dengan El Nino atau anomali suhu permukaan air laut di Samudera
Pasifik ekuator yang membawa dampak kekeringan di Indonesia, namun musim kemarau tahun
ini sudah makin terasa dampaknya.

Musim kemarau di Indonesia sangat dipengaruhi oleh Monsun Australia. "Orang sering
menyebutnya angin timuran," kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal dikutip Saat
matahari berada di utara equator, yaitu pada April, Mei, Juni, Juli, dan Agustus, maka wilayah di
sebelah utara equator memiliki tekanan lebih rendah daripada wilayah selatan equator.
Akibat dari peristiwa tersebut, maka angin akan bergerak dari wilayah selatan equator,
yaitu Australia menuju utara (Asia). Angin ini sering dikenal dengan nama angin Monsun
Australia. Angin timuran itu membawa massa udara yang bersifat kering dan dingin sehingga
wilayah di Indonesia mengalami musim kemarau.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang diolah


Lokadata Beritagar.id, terdapat 19 kali bencana kekeringan di Indonesia pada 2017. Kejadian
bencana terjadi di lima provinsi, yaitu DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Nusa Tenggara Barat.

Sembilan kota/kabupaten di Nusa Tenggara Barat mengalami kekeringan. Jumlah korban


yang terdampak tertinggi ada di Kabupaten Lombok Tengah (282.793 jiwa). Kabupaten Lombok
Utara 153.681 jiwa, Kabupaten Lombok Timur 153.681 jiwa.

Adapun korban terdampak di Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta mencapai


132.681 jiwa. Sementara di Lamongan dan Pekalongan tidak tercatat jumlah korban, tetapi dua
daerah tersebut mengalami kekeringan. Musim kemarau yang menimbulkan krisis air sebenarnya
sudah terjadi beberapa kali di Indonesia. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), terdapat 606 kejadian bencana kekeringan di Indonesia sepanjang tahun 2010
hingga Juli 2017.

Jumlah korban pada periode ini sebanyak 2,77 juta yang menderita karena terdampak
bencana kekeringan. Terbanyak pada tahun 2013, yaitu sebesar 2,2 juta jiwa.
Perubahan iklim picu cuaca ekstrem

Sapariah saturi

6 Januari 2020, mongabay

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan, curah hujan yang seharusnya


turun selama satu bulan justru turun dalam satu hari karena perubahan iklim ini. Kondisi
ini, karena ada perubahan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim hingga
keseimbangan alam terganggu.

Doni Monardo, Kepala BNPB mengatakan, penyebab utama bencana banjir dan
longsor karena alih fungsi hutan dan lahan. Dia bilang, hujan ekstrem dan banjir ini
seharusnya dapat jadi peringatan bagi seluruh pemimpin daerah dan pelaku usaha untuk
melakukan kegiatan yang memerhatikan keseimbangan alam.

Pada 3 Januari 2020, pemerintah mulai menerapkan teknologi modifikasi cuaca


(cloud seeding) yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
untuk membuat curah hujan di Jabodetabek jadi mengecil. Upaya yang memiliki peluang
keberhasilan 70-80% ini diharapkan dapat menurunkan potensi curah hujan hingga 30-
40%.

BMKG memprakirakan, curah hujan tinggi tidak hanya akan terjadi di


Jabodetabek. Pasca 5-10 Januari 2020, arak-arakan aliran udara basah justru mengancam
wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Seluruh masyarakat diminta waspada dan
memerhatikan prakiraan BMKG.

Malam pergantian tahun di Jakarta, Bogor, Bekasi dan Banten, serta beberapa
daerah lain diiringi hujan lebat. Banjir dan longsor pun melanda Jakarta, Banten, dan
Jawa Barat, pada hari perdana tahun baru. Korban meninggal dunia dampak bencana
banjir dan longsor di Jakarta, Banten dan Jawa Barat, sampai Sabtu (4/1/20), ada 60
orang. Potensi bencana masih membayangi Jabodetabek.
Banjir di Jakarta, ibu kota negara Indonesia ini sebenarnya bukan cerita baru.
Bertahun-tahun Jakarta bertarung dengan genangan air yang datang dari hujan ataupun
aliran air dari kota-kota sekitar. Hanya saja, eskalasi banjir makin meningkat setiap
tahun. Kalau melihat perbandingan curah hujan, awal 2020, tertinggi 377 mm perhari,
pada 2015 tertinggi 277 mm perhari dan 100-150 mm perhari pada 2016.

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan, hujan punya siklus, hujan


ekstrem biasa lima sampai 10 tahun sekali. Belakangan siklus ini memendek. “Jika,
seharusnya hujan ekstrem terjadi periode 5-10 tahun sekali, sekarang justru kurang dari
itu,” katanya dalam temu media operasi teknologi modifikasi cuaca di Jakarta, Jumat
(4/1/20). Stasiun Jakarta Observatory BMKG menganalisis, statistik ekstrem data series
150 tahun untuk perubahan risiko dan peluang curah hujan ekstrem, sebagaimana periode
ulang kejadian 2014 dan 2015 di Jakarta menunjukkan peningkatan 23% bila
dibandingkan kondisi iklim 100 tahun lalu.

Kondisi ini, kata Dwikorita, karena ada perubahan lingkungan yang menyebabkan
perubahan iklim hingga keseimbangan alam terganggu. Menurut dia, curah hujan yang
seharusnya turun selama satu bulan justru turun dalam satu hari karena perubahan iklim
ini.

BMKG sendiri mencatat, terjadi kenaikan suhu di wilayah Indonesia selama 30


tahun terakhir. “Mulai dari 0,1 hingga 1,0 sekian derajat Celsius (kenaikan). Kayaknya
kecil, tapi dampaknya bisa parah,” kata Dwikorita.

Ucapan Dwikorita diamini Doni Monardo, Kepala Badan Nasional


Penanggulangan Bencana. Dia beberapa kali menyebutkan kerusakan lingkungan jadi
penyebab meningkatnya dampak bencana di Indonesia. “Saya ditanya presiden ‘apa
penyebab utama (bencana banjir dan longsor)?’ Yang pertama, alih fungsi lahan, dari
kawasan hutan, tertutama kawasan konservasi, berubah jadi kawasan perkebunan,
pertanian dan tambang,” katanya.

Doni bilang, hujan ekstrem dan banjir ini seharusnya dapat jadi peringatan bagi seluruh
pemimpin daerah dan pelaku usaha untuk melakukan kegiatan yang memerhatikan
keseimbangan alam. “Jangan sampai kita mendapat pendapatan besar, tapi justru dampak
kerugian jiwa juga besar,” katanya.

Memaksa hujan jatuh di luar Jabodetabek

Dengan ada prakiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) yang


menyebutkan akan terjadi peningkatan curah hujan pada 5-10 Januari 2020, pemerintah
berupaya cepat guna memimalisir dampak.

Pada 3 Januari 2020, pemerintah mulai menerapkan teknologi modifikasi cuaca


(cloud seeding) yang dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
untuk membuat curah hujan di Jabodetabek jadi mengecil.. Secara teknis, upaya ini
dengan cara menyemai garam (NHCL) pada awan yang berpotensi hujan agar turun
sebelum mencapai Jabodetabek. “Tapi harus dipastikan dulu, bahwa awan yang akan
disemai itu benar bergerak ke arah Jabodetabek,” kata Hammam Riza, Kepala BPPT.

Mengacu prakiraan BMKG, Indonesia akan disambangi aliran udara basah dari
Timur Afrika yang berjalan sepanjang ekuator menuju Samudera Pasifik. Aliran udara
basah itu akan masuk dari pantai barat Sumatera menuju Kalimantan dan akan
menyenggol wilayah kepulauan Jawa melalui Bangka Belitung, Jambi, Sumatera Selatan
dan Lampung. Berdasarkan jalur itu, awan hujan akan coba dicegat di Selat Sunda dan
Laut Jawa, hingga hujan dapat terdistribusi dan Jabodetabek, tidak mengalami hujan
seekstrem 1 Januari lalu.

Untuk itu, katanya, penting agar kalkulasi data akurat, mulai dari bentukan awan
hujan, hingga arah angin yang akan membawa awan hujan. Tim yang terlibat dalam
hujan buatan ini, terdiri dari BPPT, BMKG, BNPB hingga TNI Angkatan Udara.

Untuk penaburan garam ini dengan mengerahkan pesawat jenis CASA 212-200
dan CN-295. Tiap hari, akan dilakukan empat kali penerbangan (sorti) dengan perkiraan
garam ditaburkan mencapai 6-8 ton. “Biasa kalau jumlah segitu kita tabur, dapat
menghasilkan hujan sekian juta kubik,” kata Hammam. Sampai siang 3 Januari, BPPT
menyatakan telah tiga kali penerbangan dan terlihat curah hujan yang turun di
Jabodetabek minim hingga sore dan keesokan hari.

Upaya yang memiliki peluang keberhasilan 70-80% ini diharapkan dapat


menurunkan potensi curah hujan hingga 30-40%. Dengan demikian, kalau pada 1 Januari
lalu curah hujan mencapai 377 mm perhari, estimasi jadi hanya sekitar 200 mm perhari,
itupun masih tergolong tinggi, kata Hammam. Angka normal curah hujan lebat hanya
berkisar 50 mm perhari.

Waspada Kalimantan dan Sulawesi

BMKG memprakirakan, curah hujan tinggi tidak hanya akan terjadi di


Jabodetabek. Pasca 5-10 Januari 2020, arak-arakan aliran udara basah justru mengancam
wilayah Kalimantan dan Sulawesi.

Dia meminta, seluruh masyarakat waspada dan memerhatikan prakiraan BMKG.


“Prakiraan kami adalah peringatan dini. Kami tidak hanya memakai data satelit, juga
didukung puluhan radar yang tersebar di seluruh Indonesia. Data-data itu dihitung secara
matematis dan modeling dan diverifikasi dengan data lokal,” kata Dwikorita.

Dia menyebut, prakiraan BMKG memiliki ketepatan 80-85%. Namun, katanya,


pihak-pihak terkait termasuk masyarakat kerap abai terhadap prakiraan BMKG hingga
adaptasi terhadap bencana gagal.

Terkait banjir di Jakarta, dia menyebut sudah memberikan peringatan dini


bersama dengan BNPB seminggu sebelum hujan ekstrem yang berujung banjir itu.
“Terakhir bersama BNPB kami berikan peringatan dini pada 30 Desember. Ternyata
mungkin dianggap kurang dahsyat dampaknya. Barangkali publik mengira ini hanya
perkiraan, bukan prakiraan,” katanya. Ke depan, kata Dwikorita, aliran udara basah yang
terjadi pada 11-15 Januari akan masuk ke Kalimantan Barat, kemudian bergerak ke timur
melalui Kalimantan bagian Selatan dan Timur.
Terakhir, sebelum masuk ke Samudera Pasifik, aliran udara basah ini akan
mampir di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Selain itu, pada 20 Januari
diperkirakan ada terobosan udara dingin yang masuk dari Laut Cina Selatan yang
disebabkan pengaruh perbedaan tekanan udara dari Tiongkok, Tibet dan Hong Kong.
“Jadi kami mohon untuk terus waspada, tanggal-tanggal itu akan ada peningkatan
intensitas hujan di wilayah-wilayah yang kami sebutkan.”

 
Pemanasan Global Ancam Pasokan Air
12/11/2012

Rosanne Skirble

Pemanasan global menaikkan suhu planet dan mengurangi jumlah tumpukan salju yang
merupakan sumber air bersih yang penting di belahan Bumi utara.

Pemanasan global di abad mendatang dapat secara signifikan mengurangi jumlah salju yang
mengeras di tanah pada musim dingin di wilayah pegunungan di belahan Bumi bagian utara,
menurut sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change.

Salju yang mencair merupakan sumber air bersih yang penting, dan hilangnya salju tersebut
dapat mengancam pasokan air minum, irigasi pertanian dan ekosistem alam liar.

Ahli iklim Universitas Stanford Noah Diffenbaugh memimpin penelitian tersebut, yang
membandingkan kondisi salju di belahan Bumi utara pada akhir abad 20 dengan proyeksi model
iklim untuk 100 tahun mendatang.

Proyeksi-proyeksi tersebut didasarkan pada serangkaian skenario yang melihat peningkatan suhu
rata-rata global antara dua dan empat derajat Celsius.

Studi tersebut menyimpulkan bahwa akumulasi salju rata-rata akan menurun di sebagian besar
wilayah Amerika Serikat bagian barat, Eropa, Asia Tengah dan Himalaya, dibandingkan dengan
pola-pola sejarah.

Penelitian tersebut memproyeksikan bahwa rendah dan sangat rendahnya curah salju akan terus
menurun antara 10 sampai 20 persen dibandingkan akhir abad 20 dengan kenaikan suhu dua
derajat.

“Jika planet memanas 4 derajat Celsius, Amerika akan mengalami akumulasi salju di tanah di
bawah level akhir abad 20 sampai 80 persen,” ujar Diffenbaugh.

Di bagian lain belahan Bumi utara, tumpukan salju juga merupakan penyimpanan air yang alami
dan kritis.

Studi tersebut menemukan bahwa pencairan salju pada awal musim semi akan membawa lebih
banyak air ke daerah aliran sungai lebih cepat dari biasanya, bisa membuat sungai, danau dan
bendungan meluap.

Dengan berkurangnya air yang tersedia pada musim ini, kemungkinan untuk terjadinya
kebakaran lahan, hama dan kepunahan spesies meningkat.

Diffenbaugh mengatakan bahwa saat seperti itu akan memperburuk musim kering ketika
permintaan untuk air paling tinggi.
“Kami dapat menyimpulkan bahwa jika perubahan iklim secara fisik terjadi di masa depan, akan
ada dampaknya pada pasokan air untuk pertanian dan konsumsi manusia dan untuk ekosistem
alami jika penyimpanan air dan sistem manajemen tidak disesuaikan dengan perubahan-
perubahan tersebut,” ujarnya.

Menurut model iklim, hujan ekstrem dapat meningkat seiring kenaikan suhu Bumi. Namun,
Diffenbaugh mengatakan, hal itu tidak akan mengubah respon tumpukan salju pada perubahan
iklim.

“Bahkan jika ada kenaikan curah hujan ekstrem dalam model tersebut, ada penurunan yang
tinggi untuk jumlah salju di atas tanah pada akhir musim dingin.”

California Alami Iklim Ekstrem

Frank Gehrke menganggap penelitian itu sangat serius. Ia mengepalai program Survei Salju
Kooperatif California, yang memperkirakan aliran air dari pegunungan ke penampungan yang
menyediakan air untuk tanaman dan manusia.

California hanya salah satu bagian dari gambaran besar yang dibahas dalam laporan tersebut.
Karena curah hujan di negara bagian itu menurun pada musim semi dan musim panas, Gehrke
mengatakan waktu mencairnya salju menjadi sangat kritis.

Ia mengatakan ia melihat variasi iklim yang lebih besar dari yang pernah ada sebelumnya.

“Kami memiliki ekstrem-ekstrem yang lebih banyak terkait musim dingin dan panas. Tidak
hanya di sini, tapi juga dalam pembahasan dengan banyak orang yang mempelajari iklim,”
ujarnya.

Gehrke mengatakan para pengelola air di California memerlukan alat pengukuran yang lebih
baik dan foto-foto udara dengan resolusi lebih tinggi untuk tumpukan salju dibandingkan yang
ada dalam penelitian di Standford. Untuk itu, negara bagian itu telah meminta bantuan dari
lembaga antariksa AS, Observatorium Salju yang Dibawa Udara.

Terbang dengan ketinggian sekitar 7.000 meter, pesawat pengintai mengambil foto-foto
tumpukan salju di gunung yang detail di wilayah yang luas, membuat para ilmuwan dapat
menghitung volume air di daerah aliran sungai tertentu dengan lebih akurat.

Penerbangan NASA juga dapat mengukur berapa banyak sinar matahari yang dipantulkan oleh
tumpukan salju tersebut, yang dapat mengindikasikan seberapa cepat ia dapat mencair.

Global Warming Ancam Ketersediaan Air Layak Minum


Monday, 19 December 2011
Berdasarkan hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2010, hanya 45% rumah tangga di
Indonesia dapat mengakses air minum yang layak. Angka ini masih separuh dari target
Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015, dimana penduduk Indonesia (86,9%) harus
dapat mengakses air minum yang bersih dan sehat. Kondisi ini memberi kontribusi terhadap
seratus ribu anak-anak Indonesia yang meninggal karena diare setiap tahunnya.

“Ini diperparah dengan adanya global warming yang mengancam penurunan kualitas dan
kuantitas air yang bersih,” kata Sharad Prasad Adhikary, perwakilan WHO untuk Indonesia, saat
menjadi pembicara dalam “The 2nd International Seminar on Environmental Health” di Hotel
Singgasana Surabaya, 3-4 Desember kemarin. Acara ini diselenggarakan oleh Departemen
Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Menurutnya, berdasarkan hasil studi tahun 2006, Asia diperkirakan akan kehilangan 90% sumber
air bersih akibat perubahan iklim terkait global warming. Studi lainnya menunjukkan,
peningkatan suhu 1 derajat celsius menyebabkan jumlah penderita diare meningkat 8%. “Saat ini
terdapat 4 milyar kasus diare setiap tahunnya dan 2,2 juta kematian akibat diare. Artinya jika
suhu meningkat 1 derajat celcius, maka akan ada tambahan 320 juta kasus dan 176 ribu kematian
karena diare,” jelasnya.

Menurut Sharad, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi global
warming yang mengancam ketersediaan air yang aman untuk penduduk Indonesia. Tetapi,
lanjutnya, upaya tersebut belum maksimal. “Perlu duduk bersama dan komitmen semua level
dan sektor untuk mensupport upaya mengurangi dampak perubahan iklim,” imbuhnya.

Sementara itu, Louis O’Brien ketua USAID untuk Indonesia Urban Water, Sanitation & Hygiene
(IUWASH) menekankan pentingnya akses air bersih untuk warga miskin. Menurutnya, penyakit
yang timbul akibat kurangnya air bersih dan sanitasi paling banyak diderita warga miskin dan
mereka harus menanggung biaya untuk penyembuhannya. Louis menilai, PDAM saat ini
menghadapi banyak kendala, seperti tarif yang ditetapkan tidak bisa menutupi biaya operasional,
rendahnya investasi, kualitas air yang rendah dengan sistem perpipaan yang buruk dan distribusi
yang tidak merata. Karena itu pihaknya saat ini bekerja sama dengan PDAM Sidoarjo dan
beberapa kota lainnya sedang mengembangkan “master meter”, dimana satu pipa besar PDAM
diletakkan di satu wilayah kumuh yang dapat memenuhi kebutuhan 50-100 KK. “Pemeliharaan
dan pengelolaannya diserahkan pada warga, dan ini telah berjalan dengan baik,” tuturnya.

Limbah Rumah Sakit

Pada bagian lain seminar, ahli lingkungan dari Universitas Airlangga, Prof. Soedjajadi Keman.
dr. MS., Ph.D., menyoroti pentingnya pengelolaan limbah medis dari rumah sakit. Sebagian
limbah rumah sakit merupakan limbah yang berbahaya dan mengandung infeksi. Potensi bahaya
bisa berasal dari benda-benda tajam (gunting, alat suntik), infeksi, jaringan tubuh, farmasi,
kimia, sitotoksik dan radioaktif. “Pemisahan sampah medis dengan sampah lainnya merupakan
kunci manajemen limbah medis, termasuk didalamnya pengumpulan, pengangkutan dan proses
pemusnahannya,” jelas Keman.

Sementara itu, Prof. Dr. J. Mukono, dr. MS., MPH., ahli lingkungan lainnya dari Universitas
Airlangga, mengingatkan dampak dari sanitasi rumah sakit yang buruk, berupa infeksi
nosokomial, yaitu seorang pasien dapat menderita infeksi lainnya selama dirawat di rumah sakit
selain penyakit yang sudah diderita sebelumnya. Menurutnya, staf rumah sakit yang tidak
menerapkan hygiene secara teratur dapat menjadi perantara timbulnya penyakit lainnya pada
pasien dan pasien bisa memiliki imunitas yang lebih rendah daripada sebelum dirawat dirumah
sakit. Ia menyarankan perlunya tindakan pencegahan seperti cuci tangan, penggunaan alat
pelindung, teknik aseptic, isolasi, pembuangan limbah, kebersihan lingkungan dan sebagainya.

Acara yang dihadiri sekitar 100 orang dari kalangan akademisi dan praktisi lingkungan hidup,
rumah sakti, puskesmas, dan juga PDAM ini diharapkan dapat memberikan solusi dari
permasalahan air yang kerap dialami oleh Indonesia. Global Warming telah menjadi masalah
pelik yang dihadapi oleh masyarakat dunia. Kita, sebagai bagian dari masyarakat dunia perlu
memikirkan solusi untuk menjaga kualitas hidup manusia di tengah krisis pemanasan global
melanda.

Dampak Perubahan Iklim kepada Binatang dan Tanaman


8 April 2018 06:07 Diperbarui: 8 April 2018 13:42

Ref : Dari sejumlah sumber


Pemanasan Global (Global Warming) telah menyebabkan Perubahan Iklim (Climate Change)
dan dampaknya bukan hanya kepada manusia tapi juga hewan dan tanaman. Runtuhnya gunung
es di Kutub Utara dan Selatan menimbulkan permasalahan dengan kehidupan beruang laut (polar
bear), bebek (ducks) dan angsa (geese) karena selain membuat habitat mereka menyempit juga
siklus hidup dan rantai makanan mereka terganggu.

Beruang laut yang kurang pandai berenang memerlukan lapisan es tebal yang luas untuk
memburu makanannya yaitu anjing laut (seal) dan bila permukaan esnya makin menyempit
seperti yang terjadi di Laut Arctic, membuatnya kesulitan mendapatkan makanan itu. Dengan
masa berburu (hunting season) yang berkurang menyebabkan beruang kutub kurang makan
sehingga mempengaruhi reproduksinya. Para ahli telah memperkirakan populasi beruang laut
berkurang hingga 20 persen dalam menghasilkan keturunan barunya.

Ada empat hal yang menjadi syarat hewan bisa hidup di habitatnya yang ideal yaitu
bertemperatur baik, cukup air yang bisa diminum (fresh water), sumber makanan yang
mencukupi dan tempat yang memungkinkan membesarkan keturunannya. Seandainya salah satu
dari faktor ini terganggu mereka harus bergerak dan mendapatkan habitat baru untuk beradaptasi

Dampak kepada bebek dan angsa yang punya pola migrasi (berpindah dari satu tempat ke tempat
lain) karena perubahan musim juga terjadi saat musim dingin (winter) tiba. Mereka yang
berpindah ke daerah yang lebih hangat (warmer) menemukan karena adanya perubahan iklim,
tanaman yang seharusnya jadi makanannya belum tumbuh sehingga yang terjadi makan apa saja
dan berkompetisi dengan hewan lain yang juga berpindah pula.

Kasarnya bila tidak ada makanan yang secara tradisional disiapkan alam mereka harus saling
berburu dan pilihannya makan atau dimakan. Dengan berubahnya pola migrasi juga akan
mengecewakan predator dan juga manusia yang biasa berburu kedua binatang itu untuk
mendapatkan makanan.

Sedangkan dampak perubahan iklim kepada pepohonan dan tanaman adalah karena faktor inilah
membuat jumlah salju berkurang. Salju penting bagi pepohonan dan tanaman karena material ini
mampu mengisolasi (insulate) atau melindungi tanah di bagian paling bawah agar tetap hangat.

Bila lapisan es tebal diatasnya meleleh akan membuat tanah dibawahnya akan membeku karena
tidak ada lagi yang menahannya dan dampaknya akan merusak dan membuat tanah kehilangan
nutrisi (nutrient) yang diperlukan tanaman diatasnya untuk tetap hidup dengan sehat.

Perubahan iklim juga menciptakan kondisi yang sangat berbahaya (extremely dangerous) akan
terjadinya peningkatan kebakaran hutan (wildfires). Kebakaran hutan yang terjadi karena
kekeringan (drought) yang disebabkan pepohonan dan tanaman mengering karena kekurangan
air (water shortage)
"Climate change is happening, humans are causing it, and I think this is perhaps the most serious
environmental issue facing us" -- Bill Nye(Perubahan Iklim sedang terjadi, manusia
penyebabnya, dan saya berpikir hal ini merupakan masalah lingkungan yang paling serius yang
harus kita hadapi-Bill Nye)

Ref : Dari sejumlah sumber

Pemanasan Global dan Kebakaran Hutan


Jan 16, 2020 00:32 Asia/Jakarta
Kebakaran hutan di Australia

Para ahli lingkungan meyakini salah satu konsekuensi yang menghancurkan dari perubahan
iklim dalam beberapa tahun terakhir di seluruh dunia adalah kebakaran hutan. Bank Dunia telah
melaporkan bahwa dari tahun 1990 hingga 2016, sekitar 1,5 juta kilometer persegi hutan di dunia
telah punah, yang setara dengan luas total Afrika Selatan.

Pada tahun lalu (2019), terjadi banyak kebakaran hutan di dunia, salah satunya adalah yang
paling signifikan di hutan Amazon. Tingkat kebakaran hutan di Amazon yang memainkan peran
utama dalam perubahan iklim belum pernah terjadi sebelumnya. Selama waktu kurang dari satu
tahun, Institut Penelitian Antariksa Nasional Brasil (INPE) melaporkan bahwa Amazon telah
kehilangan lebih dari 3445 kilometer persegi dari luas hutan di Brasil, yang naik sekitar 39
persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Negara bagian California di AS juga mengalami kebakaran besar dalam beberapa tahun terakhir.
Camp Fire yang dimulai 8 November, adalah kebakaran terbesar dan paling merusak dalam
sejarah California. Api, dengan kecepatan 32 hektar permenit, membakar 5.000 hektar taman dan
hutan nasional. Kebakaran hutan Australia, yang dimulai pada akhir 1960-an dan telah
berlangsung lama, jauh lebih dahsyat karena membahayakan kehidupan banyak spesies, terutama
spesies langka.

Keanekaragaman hayati adalah fitur penting kehidupan di bumi dan sumber daya yang tidak
dapat diperbaiki dalam waktu singkat. Pentingnya keanekaragaman hayati adalah karena
perannya dalam menjaga stabilitas ekosistem. Semakin besar keanekaragaman spesies dalam
suatu ekosistem, semakin lama rantai makanan dan jaringan kehidupan yang lebih kompleks,
untuk menghasilkan lingkungan yang lebih stabil dan terkendali secara natural.

Di sisi lain, pengurangan keanekaragaman hayati dalam suatu ekosistem dapat memiliki efek
negatif terhadap kuantitas dan kualitas ekosistem serta menimbulkan konsekuensi biologis dan
ekonomi yang negatif. Sayangnya, di dunia sekarang ini, sumber daya yang sangat besar ini
berisiko karena berbagai alasan, salah satunya karena perubahan iklim. Kebakaran hutan, salah
satu konsekuensi dari pemanasan global telah memainkan peran utama dalam mengurangi atau
menghilangkan keanekaragaman hayati selama beberapa tahun terakhir. Kebakaran di hutan
Australia adalah contoh nyata dari masalah besar ini.

Pada tahun 200, televisi French 24 menurunkan sebuah laporan yang mengutip pernyataan
Kevin Rudd yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Australia mengenai urgensi studi
tentang dampak pemanasan global dan perubahan iklim terhadap ekonomi negara itu 12 tahun
lalu. Ross Garnaut Institute melakukan penelitian dan memprediksi pada tahun 2020 akan terjadi
kebakaran monsoon besar di Australia. Penelitian lain menunjukkan bahwa fenomena gas rumah
kaca akan terus menjadi masalah besar dalam beberapa dekade mendatang. Tetapi pemerintah
Australia selanjutnya terus mengabaikan persyaratan lingkungan internasional dan menyalakan
api yang sekarang membakar hutan mereka sendiri. Australia menyumbang 1,3 persen dari emisi
karbon dunia dan nomor dua setelah Amerika Serikat dalam hal emisi perkapita di dunia.

Kantor meteorologi Australia menyebut 2019 sebagai sebagai tahun terpanas di negara itu, dan
para ahli menyebut kebakaran di hutan Australia karena proses pemanasan global. Kebakaran itu,
yang sekarang meliputi berbagai bagian di wilayah tenggara Australia, termasuk New South
Wales, Australia Selatan, Victoria, Queensland, dan Australia Barat, telah menyebabkan
kebakaran dahsyat.

Menurut Pusat Studi Lingkungan Australia, keanekragaman hayati yang menjadi korban
kebakaran hutan tidak hanya spesies mamalia, burung dan reptil saja, tapi juga serangga,
kelelawar, katak dan lainnya, yang sulit untuk dideteksi jumlah kematian spesies tersebut. Lebih
menyakitkan lagi, Australia adalah tanah spesies hewan langka yang tidak ditemukan di tempat
lain di bumi. Sebab, spesies ini tidak hanya mencakup hewan yang kita kenal seperti koala atau
kanguru, tetapi para ilmuwan berbicara tentang spesies yang kurang dikenal dan di ambang
kepunahan karena perubahan iklim. Beberapa spesies burung dan tikus hanya ditemukan di pulau
Kanguru di Australia tenggara dan 300 spesies langka ini mati karena sepertiga dari pulau itu
telah terbakar.

Api membakar 155.000 hektar lahan di Pulau Kanguru di Australia. Pulau yang menampung
sebagian besar satwa liar Australia yang terancam punah, termasuk salah satu habitat koala di
Australia. Ahli biologi sangat prihatin tentang spesies yang terancam punah karena gerakan
lambat koala. Mereka memperkirakan sekitar 25.000 koala telah mati dalam kebakaran sejauh
ini.

Ahli biologi juga memiliki kekhawatiran tentang spesies langka lainnya, seperti mikroba dan
burung beo. Selama hampir dua dekade, para ilmuwan dan pecinta satwa liar telah mencoba
menjaga dan mengembangkan jumlah burung beo ini, yang merupakan salah satu subspesies
unik di Australia, dari 150 di tahun 1980 menjadi 200 di tahun 1990. Menurut para ahli, hewan
besar seperti kanguru dan, tentu saja, banyak burung yang dapat melarikan diri relatif bisa
menyelamatkan diri dari kobaran api. Tetapi spesies hewan yang lebih jarang bergerak dan
spesies yang lebih kecil sangat bergantung pada hutan dan lebih berisiko punah. Para ahli
menekankan bahwa spesies yang lebih kecil tidak mampu menyelamatkan diri dari kobaran api
dan sekitar 300 tikus di Pulau Kanguru mungkin telah tewas.

Menurut penelitian oleh Chris Dickman, profesor University of Sydney, Australia, banyak hewan
terbunuh secara langsung dalam kobaran api, dan yang lainnya mati karena kekurangan
makanan, kurangnya tempat berteduh dan menjadi sasaran spesies liar lainnya. Pulau Kanguru
Australia, yang dulu dikenal dengan habitat margasatwa murni dan satu-satunya habitat yang
diketahui untuk berbagai jenis spesies, kini telah menjadi lahan yang terbakar.
Tentu saja, kisah Australia dan api mengerikan yang ditinggalkannya tidak terbatas hanya
menimpa negara itu, tetapi telah menyebar ke luar perbatasan negara lain dan pulau-pulau
tetangganya, sehingga menyulitkan orang untuk bernapas.

Gambar satelit dari ruang angkasa menunjukkan bahwa kontaminasi dari api akan segera
menyebar ke berbagai belahan dunia, dengan berbagai dampaknya, meskipun kecil. Namun,
terlepas dari meluasnya kebakaran di negara itu dan kemarahan publik serta peringatan para
ilmuwan, pemerintah Australia tetap bersikukuh meyakini tidak ada hubungan langsung antara
perubahan iklim dan kebakaran hebat.

Pemerintah Australia berpendapat bahwa peningkatan upaya untuk mengurangi emisi karbon
akan merugikan perekonomian, terutama jika itu merusak ekspor batubara dan gasnya. Padahal,
banyak ilmuwan dan pencinta lingkungan di seluruh dunia sepakat bahwa perubahan iklim
berhubungan dengan kebakaran hutan di Australia. Kebakaran yang sejauh ini menewaskan 26
orang dan ribuan rumah serta jutaan hektar tanah, juga telah menghancurkan jutaan spesies
hewan dan tumbuhan.(PH)

Bukti Pemanasan Global dan Iklim Ekstrem, Kebakaran Hutan Amazon dan
Melelehnya Gletser Okjokull
Jumat, 23 Agustus 2019 17:15 WIB

Penulis: Dhimas Yanuar Nur Rochmat

Kebakaran hutan Amazon, Brazil.

TRIBUNNEWS.COM - Perebuahan iklim dunia kini mulai dirasakan oleh para penduduknya,
dari kebakaran hutan Amazon, Brasil hingga lelehnya gletser gunung Okjokull, Islandia.

Hutan Amazon yang merupakan rumah bagi tiga juta spesies hewan dan tumbuhan serta satu juta
suku kini mengalami kebakaran terburuk yang pernah terjadi.

Badan Antariksa Amerika Serikat (AS) NASA merilis citra satelit yang memperlihatkan asap
mengepul dari lokasi kebakaran hutan Amazon, dilansir dari Daily Mirror (21/8/2019).

Citra satelit Aqua milik NASA menunjukkan sejumlah titik api yang muncuk di Negara Bagian
Rondonia, Amazonas, Para dan Mato Grossi sepanjang 11-13 Agustus 2019.

• Lebih dari 200 Rusa Kutub Utara Mati, Peneliti: Disebabkan oleh Perubahan Iklim Drastis

• Greenland Terancam Kehilangan Es Karena Pemanasan Global, Simak Perkiraan Perubahan di


Tahun 2300!

Lembaga Nasional untuk Penelitian Luar Angkasa (INPE) mengatakan data satelitnya
menunjukkan peningkatan 84 persen pada periode yang sama pada tahun 2018.

Lebih dari 9.500 kebakaran telah terdeteksi pada minggu lalu, menambahkan total 73.000 dari
Januari hingga Agustus 2019.

Banyak yang sekarang khawatir tentang konsekuensi kebakaran hutan hujan Amazon, hutan
tropis terbesar di dunia yang menyediakan 20 persen oksigen dunia.

Dilansir dari Express.co.uk via Intisari pada Jumat (23/8/2019), lembah Amazon adalah hutan
hujan terbesar di dunia, dengan simpanan karbon penting yang mampu memperlambat
pemanasan global.

Secara total, itu mengandung 40 persen dari hutan tropis dunia.

Hutan hujan Amazon juga menyumbang antara 10 dan 15 persen keanekaragaman hayati di
Bumi.

Sehingga saat terjadi kebakaran Amazon, hal itu tentu sangat mengkhawatirkan.

Para ilmuwan mengatakan bahwa pohon adalah garis pertahanan pertama planet ini terhadap
pemanasan global..
Islandia memperingati hilangnya gletser pertama di negara tersebut yang diakibatkan pemanasan
global akibat perubahan iklim.

Gletser Okjokull yang tahun 1890 mencakup 16 kilometer persegi, pada 2012 hanya tinggal 0,7
kilometer persegi.

Kini Gletser tersebut dinyatakan punah.

Di lokasi bekas gletser, saat ini dipasang sebuah tulisan berjudul "Surat untuk Masa Depan"
dengan isi: "Monumen ini dibuat untuk mengakui bahwa kita tahu apa yang terjadi dan apa yang
perlu dilakukan. Hanya Anda yang tahu, apakah kita telah melakukannya."

Proyek peringatan ini dibentuk oleh para peneliti lokal dan rekan-rekan mereka dari Rice
University di AS

Sekitar 100 orang hadir di lokasi, termasuk Perdana Menteri Islandia Katrin Jakobsdottir,
Menteri Lingkungan Gudmundur Ingi Gudbrandsson, dan mantan Presiden Irlandia yang juga
mantan komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia, Mary Robinson.

"Ini akan menjadi monumen pertama bagi gletser yang hilang akibat perubahan iklim di dunia,"
kata Cymene Howe, Profesor Antropologi di Rice University pada Bulan Juli lalu dalam
persiapan monumen di Islandia dilansir dari Suar pada (23/8/2019).

Cymene Howe mengatakan, mengenang gletser yang hilang ini penting untuk mengingatkan
bahwa jumlah gletser semakin berkurang di seluruh dunia.

Upacara ini mengingatkan "Kenyataannya, ini adalah sesuatu yang telah dilakukan oleh manusia,
meskipun itu bukanlah sesuatu yang harus kita banggakan.".

Para Ilmuwan memperingatkan bahwa sekitar 400 gletser di Islandiaberisiko mengalami nasib
yang sama.

Mereka khawatir pada 2200, Islandia akan kehilangan semua Gletsernya. (Tribunstyle/Dhimas
Yanuar).

Kekeringan melanda Jawa Barat dan Nusa Tenggara

Tasya simatupang
Kamis, 04 oktober 2018, beritagar

Tahun ini beberapa daerah di Indonesia harus menghadapi kemarau lebih panjang dari
biasanya. Setelah Lamongan di Jawa Timur, kini wilayah Jawa Barat mengekor.

Salah satu wilayah yang baru saja terkena dampaknya ialah Bandung. Perusahaan Daerah
Air Minum ( PDAM) Tirtawening Kota Bandung bahkan terpaksa menghentikan suplai air ke
sejumlah pelanggannya.

Direktur Utama PDAM Tirtawening Kota Bandung, Sonny Salimi, mengatakan


penghentian suplai air bersih tersebut dilakukan sebagai langkah penghematan. Penyebabnya,
Situ Cipanunjang dan Situ Cileunca yang memasok 70 persen kebutuhan air baku di Kota
Bandung saat ini surut akibat kemarau.

"Penghentiannya empat jam sehari pada waktu malam," kata Sonny dikutip Kompas.com, Rabu
(3/10/2018). Sonny juga mengatakan bahwa selama ini suplai air bersih ke kota Bandung
merupakan air sisa pembuangan turbin di Cikalong yang digerakkan oleh air dari Situ
Cipanunjang dan Situ Cileunca. Turbin tersebut kini tak berjalan dengan semestinya sehingga tak
ada air yang bisa diambil. Akhirnya pasokan diganti dari sungai yang lebih kecil alirannya.

Guna mengatasi masalah ini, seperti dituturkan Wali Kota Bandung Oded M Danial,
Pemerintah Kota Bandung tengah mencari teknologi alternatif agar dapat mengelola air limbah
rumah tanggah menjadi air bersih.

Oded mengatakan, teknologi tersebut diharapkan dapat menjadi solusi cadangan apabila
kekeringan melanda sumber air baku untuk kota Bandung. "Tidak perlu untuk kebutuhan air
minum, Bisa untuk kebutuhan yang lain. Yang penting ada upaya menambah debit air,"
tukasnya.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun mengimbau masyarakat untuk
membatasi penggunaan air. Terutama setelah melihat kondisi sejumlah waduk, termasuk
Jatiluhur dan Jatigede, serta beberapa sungai yang surut airnya. "Saya monitor ada beberapa
lokasi bekas kampungnya kelihatan lagi, sungainya juga kering. Ini imbauan pertama tentunya
kita harapkan warga berhemat air semaksimal mungkin," katanya saat ditemui Merdeka.com di
Gedung Sate, Jalan Diponegoro, kota Bandung, Rabu (3/10).
Kang Emil, sapaan akrab sang gubernur, juga menginstruksikan Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) memberikan program tangki air untuk wilayah yang kekurangan karena tidak
ada suplai air bersih.

“Sambil saya akan mengecek juga ke BMKG apakah tren ini normal atau ada fenomena alam
yang kita perlu waspadai pada waktu-waktu mendatang," tutur Emil dalam JabarNews.

Selain dari sisi teknis, Kang Emil pun sudah berkoordinasi dengan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) untuk melaksanakan salat Istiqa di Lapangan Gasibu, Bandung, pada Jumat
(5/10). "Dengan MUI Jawa Barat kita juga akan laksanakan salat Istisqa. Urusan dunia kita
carikan, urusan spiritual juga kita usahakan," ucapnya dilansir Antaranews, Rabu (3/10).

Kekeringan yang melanda Jawa Barat telah berlangsung kurang lebih dua bulan di 22
kabupaten. Antara lain Kabupaten/Kota Bogor, Kabupaten Puwarkarta, Kota Sukabumi,
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, dan
Kabupaten/Kota Bandung.

Pada 5 September 2018, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat
(Jabar) mencatat 286.802 kepala keluarga terdampak kekurangan air bersih. Selain itu, 41.946
lahan juga mengalami kekeringan.

Menurut prediksi BPBD Jabar, musim kemarau dan kekeringan ini akan berlanjut hingga
31 Oktober 2018. Bukan cuma Bandung , Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB,
Sutopo Purwo Nugroho, menambahkan ada 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan dan 4.053 desa
yang merupakan sentra beras dan jagung di Indonesia yang mengalami kekeringan.

"Khususnya di Jawa dan Nusa Tenggara. Kemarau menyebabkan pasokan air berkurang, debit
sungai menurun, tinggi muka air di danau dan waduk menyusut," kata Sutopo, ditulis Republika,
Ahad (30/9). Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sebanyak 1,23 juta jiwa penduduk
terdampak kekeringan. Mereka berada di sembilan kabupaten/kota, 74 kecamatan, dan 346 desa.
Sedangkan di Nusa Tenggara Timur (NTT), 11 dari 21 kabupaten/kota di wilayah itu
mengalami kekeringan ekstrem. Hari tanpa hujan dengan kategori kekeringan ekstrem mencapai
60 hari.

Meski begitu angka ini belum final karena hingga saat ini masih dilakukan pendataan di
beberapa daerah.

Pemanasan Global dan fakta menariknya

Risky Wika Shintya Devi

23 eptember 2019, detik


1.Penyebab Pemanasan Global

Pemanasan global terjadi karena emisi gas karbondioksida dari efek rumah kaca (ERK)
dari aktivitas manusia . Peristiwa ERK ini memerangkap sebagian panas matahari di atmosfer
bumi. Hal itu disebabkan olej aktivitas manusia, seperti penggunaan bahan bakar fosil (batu bara,
minyak bumi dan gas alam).

Tak hanya itu, penyebab lain karena ulah manusia ialah penebangan hutan, limbah
industri, limbah peternakan dan pertanian, serta penggunaan listrik.

2. Pemanasan Global Terjadi Lebih Cepat

Adanya kenaikan suhu bumi sebesar 7 derajat Celsius pada 2100 membuat bumi
terancam karena peningkatan 1 derajat Celsius bisa menyebabkan gelombang panas, kekeringan,
banjir, dan siklon tropis. Suhu yang lebih tinggi menyebabkan mencairnya lapisan es hingga
akhirnya mempercepat pemanasan global.

3. Gletser di Greenland Antartika Menurun

Keberadaan gletser atau bongkahan es penting loh, Detikers. Faktanya, pada Minggu
(22/9/2019), gletser Pizol di Pegunungan Glarus, Switzerland Timur, telah kehilangan 80 persen
dari volumenya.

Jika tingkat melelehnya gletser meningkat, maka kenaikan air laut cepat akan berdampak
pada sekitar 50 juta orang yang hidup tinggal di kawasan pantai yang rendah dan kota-kota besar
dunia, seperti London, New York, dan Shanghai. Fenomena lainnya juga terjadi penurunan es di
Kutub Utara sekitar 12 persen per dekade selama 40 tahun terakhir.

4. Karbondioksida Meningkat

Karbon dioksida termasuk gas yang paling umum dihasilkan oleh aktivitas manusia.
Faktanya, tingkat karbon dioksida atmosfer pada Maret 2019 sekitar 411,97 bagian per juta gas
dan masih meningkat hingga sekarang.
5. Kepunahan Satwa

Diperkirakan sekitar 1 juta spesies hewan di bumi terancam punah karena perubahan
iklim. Jika terjadi kepunahan, hal itu akan berdampak pada perubahan ekosistem dalam
kehidupan dunia.

6.Upaya Mengurangi Pemanasan Global

Berikut ini beberapa kegiatan yang bisa mengurangi pemanasan global dan perubahan iklim:

1. Mulai meninggalkan pembalut dan tampon bagi wanita.

2. Makan makanan sehat, seperti buah dan sayur.

3. Hemat penggunaan air.

4. Berhenti membeli kemasan plastik.

5. Hemat listrik.

6. Bepergian menggunakan kendaraan umum.

7. Hijaukan lingkungan dengan menanam dan merawat tumbuhan.

8. Beri tahu dan didik generasi penerus serta orang lain untuk memahami lingkungan hidup.

Dampak perubahan iklim

9 Agustus 2019, kompasiana

Dulu, tepatnya tahun 2007, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)


mengeluarkan laporan yang menyatakan indikator pemanasan global yakni kenaikan temperatur
total suhu bumi dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,760C dan
kenaikan muka air laut dalam rentang waktu antara tahun 1061 sampai tahun 2003 rata-rata 1,8
mm per-tahun. Salah satu indikator yang dicanangkan kala itu ialah mencegah kenaikan suhu
bumi hingga 1C. Hampir satu dasawarsa berlalu, tepatnya di Tahun 2016, emisi global telah
mencapai sekitar 52 GtCO2e dan diproyeksikan akan mencapai 52-58 GtCO2e pada tahun 2030.
Dengan angka ini, angka antisipatif kenaikan temperatur total suhu bumi "bertoleransi" menjadi
1,5C.

Tahun berlalu dan bumi terus mengkonsumsi emisi dari berbagai aktivitas manusia.
Angka antisipatif terhadap kenaikan temperatur total suhu bumi semakin bertoleransi meskipun
dampaknya semakinmasif terasa diberbagai belahan dunia. Padahal bahaya besar mengancam
manusia jika kenaikan temperatur total suhu bumi mencapai lebih dari 1C. Paling tidak laut akan
kehilangan lapisan es di atasnya sehingga akan menyerap panas lebih banyak dan mempercepat
pemanasan global. Selain itu air tawar akan lenyap dari sepertiga permukaan bumi dan daerah
dataran rendah di pesisir pantai akan diterjang banjir. Hal inilah yang dipaparkan oleh Mark
Lynas dalam bukunya Six Degrees: Our Future on A Hotter Planet.

Kita dengan segenap aktivitas dalam kehidupan seringkali melupakan dan tidak mau tahu
dengan ancaman perubahan iklim yang pengaruhnya telah kita rasakan. Perlu disadari
pemanasan global kini bukan lagi sebatas masalah lingkungan, melainkan juga menjadi masalah
sosial, ekonomi dan gaya hidup. Mari kita lihat beberapa fenomena yang telah terjadi.

Perubahan iklim berdampak pada tidak menentunya musim hujan dan musim kemarau,
menyebabkan hasil-hasil pertanian menjadi tidak menentu kuantitas dan kualitasnya, banyak
petani yang gagal panen karena kualitas cuaca yang berubah-ubah. Para nelayan tidak berani
melaut karena gelombang laut yang tidak menentu. Kedua hal tersebut akan mempengaruhi
tingkat pendapatan dan harga komoditas dipasaran. Cuaca ekstrim telah membuat berbagai
aktivitas menjadi terhambat, contohnya penerbangan.

Kekeringan berkepanjangan yang melanda menyebabkan masyarakat dibeberapa daerah


kesulitan memperoleh air bersih sehingga berpengaruh pada kualitas kesehatan. Masyarakat
daerah pesisir menjadi semakin sering mengalami banjir dan gelombang pasang, begitupun
dengan masyarakat yang bermukim didaerah hulu seringkali mendapat banjir kiriman.

Contoh terakhir bukan merupakan satu-satunya ancaman perubahan iklim terhadap


habitat manusia. Wilayah perkotaan merupakan penyumbang terbesar konsentrasi emisi gas
rumah kaca, baik dari penggunaan bahan bakar minyak, transportasi, industri maupun sampah.
Hal ini membuat masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan juga merasakan langsung
dampak pemanasan global yakni menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan.
Berkurangnya ketersediaan air, udara yang tidak lagi bersih, suhu udara yang tidak menentu,
terganggunya infrastruktur dan transportasi, terbatasnya penyediaan energi hingga terhambatnya
produksi industri dan ekonomi adalah sebagian kecil contohnya. Ironisnya kebutuhan akan
permukiman di perkotaan terus meningkat seiring bertambahnya populasi penduduk. Artinya
ditengah kualitas dan daya dukung lingkungan yang kian menurun, penduduk yang bermukim
diperkotaan justru semakin bertambah padat.

Dampak pada Permukiman

Semakin meningkatnya jumlah penduduk baik wilayah desa maupun kota berimplikasi
pada peningkatan kebutuhan manusia akan hunian. Hal ini ditunjukan dengan semakin
banyaknya perumahan dan kawasan permukiman, khususnya diwilayah perkotaan. Seperti yang
telah disinggung sebelumnya kawasan perkotaan merupakan penyumbang terbesar konsentrasi
emisi gas rumah kaca . Hal tersebut menjadi mungkin jika melihat realitas kehidupan kota
khususnya di indonesia: sedikit sekali memiliki ruang terbuka hijau, transportasi yang semakin
tidak efisien dan menjadi penyumbang polusi, penggunaan energi yang tidak dapat diperbaharui
semakin meningkat baik untuk industri, perkantoran maupun permukiman, maupun pengelolaan
limbah dan sampah yang buruk. Polutan dan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan dari realitas
tersebut kemudian masuk ke atmosfer dan semakin memperparah kondisi pemanasan global
sehingga menyebabkan iklim tidak lagi stabil. Lantas bagaimana perubahan iklim mempengaruhi
lingkungan permukiman?

Perubahan iklim yang terjadi telah menyebabkan kualitas dan daya dukung lingkungan
semakin menurun. Fenomena yang terjadi saat musim hujan tiba, hujan yang turun selalu dengan
curah hujan dan frekuensi tinggi. Kondisi ini menyebabkan kawasan permukiman mudah
terancam bencana banjir. Hujan yang turun dengan debit air dan frekuensi yang tinggi tidak
dapat terserap ke dalam tanah karena lahan telah habis untuk bangunan fisik dan infrastruktur
sehingga langsung menggenang dan mengalir kedalam saluran pembuangan air.

Ironisnya jaringan drainase diwilayah permukiman perkotaan lebih sering dikelola


dengan buruk sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Hal ini membuat saluran-saluran
pembuangan air tidak mampu menampung debit air hujan sehingga menyebabkan banjir
diwilayah permukiman. Dampak banjir dikawasan tersebut tidak lagi sebatas mengganggu
aktivitas masyarakat, tetapi telah mengganggu sektor sosial dan ekonomi.

Perubahan Iklim Mengakibatkan Penguin Tali Dagu Turun Tajam


TEMPO.CO, Jakarta

Selasa, 11 Februari 2020 14:03 WIB

Jumlah penguin tali dagu di Antartika Barat telah berkurang sebanyak 77 persen sejak
disurvei pada 1970-an, kata ilmuwan yang mempelajari dampak perubahan iklim di wilayah
terpencilPenguin tali dagu merupakan spesies penguin yang mendiami berbagai pulau dan pantai
di Pasifik Selatan dan Samudera Antartika.

"Penurunan jumlah penguin yang memakan krill (sejenis udang) itu benar-benar
dramatis," kata Steve Forrest, ahli biologi konservasi yang bergabung dengan tim ilmuwan dari
dua universitas di AS, Stony Brook dan Northeastern dalam ekspedisi Antartika yang baru saja
berakhir.

"Ada sesuatu yang terjadi pada bangunan dasar rantai makanan di sini. Kelimpahan
makanan semakin sedikit yang mendorong populasi penguin tali dagu semakin rendah seiring
waktu. Pertanyaannya adalah, apakah itu akan berlanjut?"

Para ilmuwan, bepergian dengan dua kapal Greenpeace, Esperanza dan Arktik Sunrise,
melakukan ekspedisi mereka ke Antartika Barat dari 5 Januari hingga 8 Februari, dan
menggunakan teknik survei manual dan pesawat nirawak (drone) untuk menilai skala
kerusakan.Jumlah penguin tali dagu (chinstrap) di satu habitat penting di Pulau Gajah telah
anjlok sekitar 60 persen sejak survei terakhir pada tahun 1971, menjadi kurang dari 53 ribu
pasangan hari ini, berdasarkan laporan ekspedisi.

"Sementara beberapa faktor mungkin berperan, semua bukti yang kami miliki
menunjukkan bahwa perubahan iklim bertanggung jawab atas perubahan yang kami lihat," kata
Heather Lynch, profesor ekologi dan evolusi di Universitas Stony Brook.

Organisasi Meteorologi Dunia mengatakan pekan lalu bahwa sebuah pangkalan


penelitian di Antartika telah mencatat suhu terpanas di benua itu - 18,3 derajat Celsius (64,94
derajat Fahrenheit) - karena pemanasan global menyebabkan peningkatan mencairnya lapisan es
di sekitar kutub selatan.

Sementara itu, Greenpeace menyerukan PBB untuk berkomitmen untuk melindungi 30


persen lautan dunia pada tahun 2030 sesuai dengan permintaan para ilmuwan.Peran pemerintah
diperlukan untuk menghentikan kerusakan akibat aktivitas manusia yang berbahaya.Amerika
Serikat akan bertemu mulai 23 Maret hingga 3 April untuk mencoba menyepakati perjanjian laut
global, yang kemudian bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk meratifikasinya.

"Saya pikir kita akan kehilangan sebagian besar dari apa yang kita cintai ... seperti
penguin dari Pulau Gajah," ujar Frida Bengtsson, juru kampanye Greenpeace Oceans, kepada
Reuters di Pulau Anvers.

"Laut sangat penting untuk mengatur iklim global kita."Usnia Granger yang berusia 36
tahun, seorang aktivis Greenpeace yang ikut serta dalam ekspedisi, mengatakan, mengunjungi
Antartika adalah "mimpi yang menjadi kenyataan", meskipun ia harus bekerja keras untuk
membersihkan sampah di Antartika.

"Saya pikir kekacauan iklim global mendatangkan malapetaka di mana-mana dan saya
tidak membayangkan Antartika akan berbeda dari itu," katanya kepada Reuters.

Lebih dari 200 Rusa Kutub Utara Mati, Peneliti: Disebabkan oleh Perubahan
Iklim Drastis
TRIBUNSTYLE.COM

Rabu, 7 Agustus 2019 13:32

Cuaca ekstrem memang lagi menghembus di Indonesia, dengan puncak musim kemarau
dingin di Indonesia pada bulan Agustus ini.Namun bersamaan dengan perubahan iklim ini
dikabarkan lebih dari 200 rusa Svalbard telah ditemukan mati di kepulauan terpencil di Svalbard
diantara Norwegia dan Kutub Utara.
Dikutip dari Intisari dan Gulf News, angka kematian rusa kutub ini ini merupakan angka
tertinggi yang pernah tercatat sejak 1978.Sehingga para peneliti pun meyakini jika perubahan
iklim merupakan penyebab kematian masif itu.Menurut laporan di situs Norwegian Polar
Institute, rusa Svalbard (Rangifer tarandus platyrhynchus) menderita kelaparan hingga
mati.Mereka yang selamat dari kekurangan makanan pun berkurang berat badannya.

"Sangat menakutkan menemukan begitu banyak hewan yang mati.Ini adalah contoh yang
menakutkan tentang bagaimana perubahan iklim mempengaruhi alam," kata Onvik Pedersen,
ahli ekologi Norwegian Polar Institute.Rusa Svalbard sendiri merupakan hewan endemik dan
spesies kunci yang sangat penting bagi ekosistem tundra.

Meskipun predator mereka sedikit, bangkai mereka merupakan bagian penting dari pola
makan hewan lain.Rusa menjadi rantai makanan dibawah rubah Arktik (Vulpes lagopus) yang
juga mendiami wilayah Svalbard.Jadi perubahan jumlah rusa cenderung akan berdampak pada
populasi lain serta pertumbuhan vegetasi.Para peneliti mengungkapkan jika kekurangan makanan
yang terjadi pada rusa disebabkan oleh perubahan suhu di Kutub Utara.

Perubahan ini mengakibatkan curah hujan yang lebih tinggi selama musim dingin.Tanah
pun membeku dan menghasilkan lapisan es yang keras serta tebal, sehingga akan mempengaruhi
lingkaran makanan rusa.Rusa biasanya akan menggali salju untuk menemukan vegetasi di
bawahnya, tetapi lapisan es tahun ini tidak bisa ditembus.

Rusa-rusa pun kelaparan, dan terjadi persaingan yang lebih besar untuk mencari
makanan.Rusa-rusa juga mengambil risiko untuk menemukan makanan.Mereka kini dikabarkan
mendaki sisi gunung untuk mencapai vegetasi yang lebih tinggi.Alhasil, rusa yang paling lemah
pun tak selamat, begitu juga rusa yang sudah berusia tua tidak akan mencapai tempat
tersebut.Sayangnya, kondisi ini tidak menutup kemungkinan bahwa rusa-rusa muda juga
mengalami kelaparan.

"Svalbard mengalami perubahan suhu udara di darat terbesar dan tercepat.""Konsekuensi


untuk keadaan ekosistem pun menjadi tidak jelas." jelas Onvik Pedersen.

”Tetapi berpotensi menimbulkan dampak yang dramatis sehingga perlu pemantauan


supaya populasi di wilayah itu bisa beradaptasi cepat dengan kondisi baru.".
(Tribunstyle/Dhimas Yanuar).

Greenland Terancam Kehilangan Es Karena Pemanasan Global, Simak


Perkiraan Perubahan di Tahun 2300!
TRIBUNSTYLE.COM

Kamis, 4 Juli 2019 13:35


Belum lama ini, ada laporan yang menyatakan bahwa Greenland kehilangan dua miliar
ton es dalam satu hari selama seminggu.Namun, itu hanyalah permulaannya. Jika kondisi iklim
terus berlangsung seperti ini, maka Greenland benar-benar bisa kehilangan semua esnya.

Dipublikasikan dalam jurnal Science Advances, para ahli geofisika telah menggunakan
data satelit dan pemodelan komputer untuk memprediksi efek jangka panjang dari pemanasan
suhu global yang membuat lapisan es Greenland mencair.Seperti yang sudah diduga, hasilnya
tidak baik. Lapisan es di Greenland bisa hilang pada tahun 3000.

Perkiraan pencairan es di Greenland pada 2300. Cindy Starr/NASA / Perkiraan pencairan


es di Greenland pada 2300.Bahkan dalam skenario terbaiknya pun–misalnya jika emisi berhasil
dikurangi–lapisan es Greenland hanya tersisa 8-25%. Itu akan menyebabkan kenaikan
permukaan laut sekitar 1,8 milimeter dalam satu abad.

Dalam jangka pendek, gambarannya cukup suram.Mencairnya es Greenland diketahui


berkontribusi pada kenaikan permukaan laut global sebanyak 160 sentimeter–jumlah ini lebih
banyak 80% dari perkiraan sebelumnya.

“Jika keadaan terus seperti ini, Greendland akan mencair,” kata Andy Aschwanden,
pemimpin penelitian sekaligus profesor dari University of Alaska Fairbanks’ Geophysical
Institute.

“Hal kecil apa pun yang kita lakukan saat ini untuk mengurangi emisi, dapat memberikan
dampak besar dalam jangka panjang.Jika es di Greenland meleleh, itu akan berdampak pada
permukaan laut dan peradaban manusia,” imbuhnya.Lapisan es Greenland saat ini berdiri lebih
dari 3.050 meter (10 ribu kaki) di atas permukaan laut dari titik paling tebalnya. Dihadapkan
dengan perubahan iklim, keseimbangan di sana nantiny.

Pentingkah Membangun Informasi Iklim untuk Pengembangan Pariwisata?


Suara.com

Senin, 09 Maret 2020 | 10:46 WIB

Satu dekade terakhir ini wilayah Indonesia sering dilanda bencana alam terutama yang
disebabkan oleh faktor iklim. Seperti bencana banjir, longsor, kebakaran hutan dan lain
sebagainya. Berikut ini beberapa bencana alam tersebut seperti banjir di Wasior Papua Barat
2010 yang memakan korban 288 orang.

Banjir Jakarta 2013 memakan korban 38 orang. Banjir bandang Manado 2014 memakan
korban 26 orang. Kebakaran hutan dan lahan 2015 yang berdampak sedikitnya 16 Propinsi
diselimuti kabut asap. Berbagai penelitian mencoba mengungkap apa penyebab bencana alam
yang semakin sering terjadi.

Perubahan iklim dan pemanasan global sering disebut sebagai pemicu terjadinya iklim
ekstrem yang berakibat munculnya berbagai bencana tersebut. Di sisi lain perkembangan sektor
pariwisata selama satu dekade terakhir semakin bagus. Sebagai penyumbang devisa negara,
peringkat sektor pariwisata terus meningkat. Data yang dikeluarkan oleh Kemenpar (2018),
devisa dari sektor pariwisata tahun 2011 dan 2012 menempati urutan kelima setelah migas, batu
bara, minyak kelapa sawit dan karet olahan.

Devisa tahun 2011 sebesar 8,554 miliar dolar Amerika dan tahun 2012 sebesar 9,12
miliar dolar Amerika (meningkat 6,6 persen). Tahun 2013-2015 sektor pariwisata menempati
urutan keempat dengan masing-masing nilai devisa 10,054 miliar dolar Amerika (2013), 11,166
miliar dolar Amerika (2014) dan 12,225 miliar dolar Amerika (2015), di mana terjadi
peningkatan devisa sebesar 11,1 persen dan 9,5 persen.

Perolehan devisa negara dari sektor pariwisata sejak tahun 2016 sudah mengalahkan
pemasukan dari migas dan di bawah pemasukan minyak kelapa sawit. Devisa pada tahun 2016
sebesar 13,568 miliar dolar Amerika (meningkat 11 persen) berada di posisi kedua setelah
minyak kelapa sawit 15,965 miliar dolar Amerika. Bukan tidak mungkin tahun 2020 pariwisata
bisa menduduki peringkat pertama.

Industri pariwisata sangat sensitif terhadap iklim dikarenakan hal ini berkaitan dengan
keputusan kemana wisatawan akan memilih tujuan wisatanya. Faktor yang mempengaruhi
keputusan untuk menentukan daerah yang akan dikunjungi selain faktor geografis, topografi,
lanskap, vegetasi dan fauna adalah faktor iklim.

Berarti kondisi iklim merupakan hal yang penting untuk kegiatan pariwisata.
Kenyamanan berwisata dikaitkan dengan kondisi iklim adalah faktor yang saling mempengaruhi
wisatawan dalam menentukan destinasi wisata. Iklim yang kurang baik seperti hujan lebat atau
angin kencang akan sangat mempengaruhi wisatawan untuk mengunjungi suatu kawasan wisata.

Begitu juga sebaliknya, iklim yang baik akan memberikan nilai tambah wisatawan untuk
berkunjung. Aktifitas wisata outdoor akan terganggu dengan kondisi iklim yang kurang baik.
Sehingga pengalaman dan persepsi wisatawan terhadap kondisi iklim perlu dijadikan referensi
dalam pemeringkatan kenyamanan berwisata.

Informasi iklim akan sangat membantu kita dalam mengambil keputusan. Prakiraan iklim
yang dikeluarkan oleh Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofiska (BMKG) bisa kita jadikan
sebagai pedoman dalam memutuskan kemana akan berwisata.

Begitu juga dengan pengelola kawasan wisata, informasi iklim juga bisa membantu untuk
meningkatkan pemasukan finansial dan mutu layanan wisata. Oleh karena itu menjadi penting
bagaimana memberikan informasi kenyamanan wisata berdasarkan parameter iklim seperti curah
hujan, suhu, angin, kelembaban udara dan cahaya matahari.

Kita akan sangat sulit menentukan nyaman atau tidaknya suatu kawasan wisata hanya
didasarkan dari satu parameter seperti suhu saja. Sehingga dibutuhkan setidaknya lima parameter
untuk menentukan nyaman atau tidaknya suatu kawasan wisata.

Paradigma yang mesti dipakai oleh pengelola kawasan wisata terutama wisata alam
adalah tempat wisata/rekreasi dikontrol oleh iklim yang dilihat sebagai sumber daya rekreasi dan
lokasi yang dapat diklasifikan sebagai spektrum yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan. Dengan demikian iklim adalah sumber daya yang mesti diekploitasi setelah
sumber daya alam.

Dengan cara ini iklim dapat diperlakukan sebagai aset ekonomi untuk pariwisata. Aset ini
dapat diukur dan merupakan sumber daya yang mampu dinilai. Tapi ada banyak masalah, salah
satunya adalah pemilihan kriteria klimatologi.

Misalnya, apa sebenarnya kriteria untuk kondisi ideal, cocok, diterima, atau tidak dapat
diterima? Kapan waktu terbaik untuk mengunjungi tempat wisata atau rekreasi? Jenis pakaian
apa yang harus digunakan untuk mengunjungi tempat wisata?

Bahaya apa yang diakibatkan untuk dunia wisatra jika terjadi iklim atau iklim ekstrem?
Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya. Hanya setelah kriteria iklim yang sesuai
diidentifikasi dengan jelas dapat menjawab semua pertanyaan tersebut.

Saat ini banyak indeks yang digunakan dalam menentukan kenyamanan iklim untuk
berwisata, salah satunya adalah TCI (Tourism Climate Index). TCI ini memakai lima parameter
iklim yakni suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, sinar matahari dan kecepatan angin.

Penghitungan kenyamanan didasarkan pada bobot masing-masing parameter. Suhu dan


kelembaban mempunyai bobot 50 persen, curah hujan mempunyai bobot 20 persen, sinar
matahari mempunyai bobot 20 persen dan kecepatan angin mempunyai bobot 10 persen.

Semua parameter dijumlahkan dengan kriteria jika skor indeks di atas 60 persen dianggap
nyaman. Skor indeks antara 40-59 persen adalah ambang toleransi. Dan skor indeks dibawah 40
persen kondisi tidak nyaman.

Dengan semakin meningkatnya potensi bencana alam seperti banjir, tanah longsor,
kekeringan dan lain sebaginya maka informasi iklim terkait kenyamanan wisata menjadi sangat
penting.Diharapkan informasi tersebut dapat dipahami dan diakses dengan mudah oleh
masyarakat. Sehingga masyarakat dapat dengan mudah merencanakan kegiatan berwisata yang
nyaman.
Pemanasan Global Bakal Rugikan Nelayan
Liputan6.com

Pada 09 Jan 2020, 17:45 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Pakar Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia


(KNTI) Alan Koropitan mengaku kecewa dengan hasil konferensi iklim PBB di Madrid-Spanyol
Desember lalu. Sebab, hasil pertemuan internasional tersebut tidak melahirkan solusi yang jelas
dalam menangani pemanasan global.

Negara penyumbang emisi terbesar seperti Amerika, Belanda dan Australia bungkam.
Sementara negara kecil seperti Indonesia diminta menurunkan kadar emisi.Pemerintah Indonesia
memang sudah melaporkan akan mengurangi emisi hinggap 26 persen. Jumlahnya akan
bertambah hingga 46 persen jika mendapatkan bantuan pembiayaan dari dunia internasional.

"Kalau menurunkan emisi bisa mengganggu ekonomi suatu bangsa," kata Alan kepada
wartawan, Kamis (9/1/2020).

Pemanasan global ini kata Alan sangat merugikan industri perikanan. Dari data jurnal
sains magazine yang dibacanya, selama 80 tahun terakhir hasil stok ikan di dunia berkurang
hingga 4,1 persen. Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat penurunan hasil
ikan secara global berkurang hingga 80 juta ton.

Anda mungkin juga menyukai