Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Cuci Tangan

1. Definisi Cuci Tangan

Cuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis

dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air. Tujuannya adalah

menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan

mengurangi jumlah mikroorganisme sementara (Abdullah, 2014).

Sabun dan deterjen merupakan produk-produk pembersih (berbentuk

batang, cair, selebaran atau bubuk) yang menurunkan tegangan permukaan

sehingga membantu membuang kotoran, debu dan mikroorganisme sementara

dari kedua belah tangan. Sabun biasa membutuhkan friksi (penggosokan) untuk

membuang mikroorganisme secara mekanis sedangkan sabun antiseptic juga

membunuh atau menghambat pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme.

Cuci tangan dengan sabun biasa dan air sama efektifnya dengan cuci

tangan menggunakan sabun antimicrobial, iritasi kulit jauh lebih rendah apabila

menggunakan sabun biasa. Cuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum

memeriksa/kontak langsung dengan pasien, sebelum memakai sarung tangan

bedah steril/DTT. Setelah kedua tangan terkontaminasi (memegang instrument

yang kotor dan alat lainnya, menyentuh selaput lendir, darah, kontak yang lama

dan intensif dengan pasien) setelah melepas sarung tangan (Abdullah, 2014).

8
9

Jadi, cuci tangan adalah tindakan membersihkan kedua tangan dari

mikoorganisme, debu, dan kotoran dengan cara menggosok kedua tangan

dengan menggunakan air dan sabun secara bersamaan kemudian dibilas

dengan air mengalir.

2. Manfaat Cuci Tangan

Cuci tangan sangat berguna untuk membunuh kuman penyakit yang ada

ditangan. Tangan yang bersih akan mencegah penularan penyakit seperti diare,

kolera disentri, typus, kecacingan, penyakit kulit dan lain-lain. Dengan

mencuci tangan, maka tangan menjadi bersih dan bebas dari kuman (Atikah

dkk, 2012).

Tujuan mencuci tangan adalah menghilangkan kotoran dan debu secara

mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme

sementara (Abdullah, 2014).

3. Indikasi Cuci Tangan

Menurut Astuti (2014), indikasi cuci tangan adalah :

a. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir bila tangan terkontaminasi

atau diduga terkontaminasi mikroorganisme, cairan tubuh, darah dan

setelah dari kamar mandi  

b. Alkohol handrub digunakan untuk tindakan antiseptic rutin untuk kegiatan

perawatan pasien

c. Lakukan cuci tangan

1) Sebelum kontak langsung dengan pasien

2)  Setelah melepas sarung tangan


10

3)  Sebelum melakukan dan menangani alat-alat invasive untuk

perawatan  pasien

4)  Setelah kontak dengan cairan tubuh, membrane mukosa, kulit yang

tidak utuh dan wound dressing 

5) Saat merawat pasien akan berpindah dari area terkontaminasi ke area

bersih

6)  Setelah kontak dengan peralatan dan lingkungan di sekitar pasien

d. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau handrub sebelum

menyiapkan obat dan makanan.

e.  Bila sudah cuci tangan alcohol handrub tidak perlu menggunakan sabun

dan air mengalir secara bersama-sama

4. Teknik dan Prosedur Mencuci Tangan

Tangan adalah vector utama infeksi di ruang rawat di rumah sakit,

dimana strain yang mengkoloni pasien sama dengan mengoloni tangan

perawat. Maka di

perlukan teknik mencuci tangan yang benar bagi petugas kesehatan yang

kontak dengan pasien. Menurut Abdullah (2014), teknik cuci tangan ada dua

cara :

a. Cuci tangan biasa

1) Peralatan dan perlengkapan

a) Sabun biasa atau antiseptic

b) Handuk bersih

c) Westafel atau air mengalir.


11

2) Prosedur pelaksanaan

a) Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan

b) Lepas cincin, jam tangan dan gelang

c) Sinsingkan lengan baju sampai kesku

d) Basahi tangan dengan air mengalir, gunakan sabun secara merata pada

kedua tangan

e) Gosok kedua tangan dan jari

f) Gosok punggung tangan secara bergantian

g) Gosok sela jari dengan jari-jari tangan yang berlawanan, lakukan

secara bergantian

h) Gosok punggung jari secara bergantian

i) Gosok ibu jari secara bergantian

j) Gosok ujung jari pada telapak tangan secara bergantian

k) Bilas kedua tangan dengan air bersih yang mengalir

l) Tutup kran dengan tisu atau handuk bersih

m) Keringkan tangan dengan handuk bersih

b. Cuci tangan bedah

Cuci tangan bedah adalah menghilangkan kotoran, debu dan

organisme sementara secara mekanikal dan mengurangi flora tetap selama

pembedahan.

Tujuannya adalah mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme

dari kedua belah tangan. Cuci tangan dengan sabun biasa dan air yang

diikuti dengan penggunaan penggosokan dengan bahan dasar alkohol tanpa


12

air yang mengandung klorheksidin menunjukkan pengurangan yang lebih

besar pada jumlah microbial pada tangan, meningkatkan kesehatan kulit dan

mereduksi waktu dan sumber daya.

1) Peralatan dan perlengkapan

a) Sabun biasa atau antiseptic

b) Bahan antiseptic

c) Sikat lembu DTT

d) Spon

e) Handuk steril atau lap bersih dan kering

f) Wastafel atau air mengalir.

2) Prosedur pelaksanaan

a) Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan

b) Lepas cincin, jam tangan dan gelang

c) Singsingkan lengan baju sampai ke siku

d) Basahi tangan dengan menggunakan air mengalir sampai kesiku,

gunakan sabun kearah lengan bawah, lakukan hal yang sama pada

sebelah tangan

e) Bersihkan kuku dengan pembersih kuku atau sikat lembu ke arah

luar kemudian bersihkan jari hingga siku dengan gerakan sirkular

dengan sopan. Mengulangi hal yang sama pada lengan lain. Lakukan

selama minimal 2 menit


13

f) Membilas tangan dengan lengan secara terpisah dengan air mengalir,

setelah bersih, tahan kedua tangan mengarah ke atas sebatasa siku.

Jangan biarkan air bulasan mengalir ke arah bersih

g) Menggosok seluruh permukaan kedua belah tangan, jari dan lengan

bawah dengan antiseptic minimal selama 2 menit

h) Membilas setiap tangan dengan lengan secara terpisah dengan air

mengalir setelah bersih tahan kedua tangan mengarah ke atas sebatas

siku. Jangan biarkan air bilasan mengalir ke arah tangan

i) Menegakkan kedua tangan ke arah atas dan jauhkan dari badan,

jangan sentuh permukaan atau benda apapun

j) Mengeringkan tangan menggunakan handuk steril atau diangin-

anginkan. Sela tangan dimulai dari ujung jari hingga siku. Untuk

tangan yang berbeda gunakan sisi handuk yang berbeda

k) Pakai sarung tangan bedah yang steril atai DTT pada kedua tangan.

5. Prinsip Cuci Tangan

Kebersihan kulit dan membran mukosa sangatlah penting karena kulit

merupakan garis pertahan tubuh yang pertama dari kuman penyakit. Dalam

menjalankan fungsinya, kulit menerima berbagai rangsangan dari luar dan

menjadi pintu masuk utama kuman patogen ke dalam tubuh (Ambarwati,

2014).

Cuci tangan menjadi salah satu langkah yang efektif untuk memutuskan

rantai transmisi infeksi, sehingga insidensi nosokomial dapat berkurang.

Pencegahan dan pengendalian infeksi mutlak harus dilakukan oleh perawat,


14

dokter dan seluruh orang yang terlibat dalam perawatan pasien. Salah satu

komponen standar kewaspadaan dan usaha menurunkan infeksi nosokomial

adalah menggunakan panduan kebersihan tangan yang benar dan

mengimplementasikan secara efektif.

Hand hygiene adalah istilah yang digunakan untuk membersihkan

tangan dari mikroorganisme dengan cara menggosok kedua tangan

menggunakan air dan sabun antiseptic ataupun menggunakan alcohol handrub.

WHO (2009) mencetuskan promosi global patient safety challenge dengan

clean care is safecare, yang artinya adalah perawatan yang bersih maupun

higienis adalah perawatan yang aman untuk keselamatan pasien (patient safety)

dengan merumuskan inovasi strategi penerapan hand hygiene atau kebersihan

tangan untuk petugas kesehatan dengan five moments for hand hygiene atau 5

momen mencuci tangan, yaitu mencuci tangan di 5 momen krusial.


15

6. 5 Momen Cuci Tangan

Menurut Rifki (2013) 5 momen mencuci tangan adalah sebagai berikut:

a. Sebelum kontak dengan pasien

Mencuci tangan sebelum menyentuh pasien ketika mendekati pasien

dalam situasi seperti berjabat tangan, membantu pasien bergeser ataupun

berpindah posisi, dan pemeriksaan klinis

b. Sebelum melakukan tindakan aseptik

Mencuci tangan segera sebelum tindakan aseptik dalam situasi seperti

perawatan gigi dan mulut, aspirasi sekresi, pembalutan dan perawatan

luka, insersi kateter, mempersiapkan makanan, dan pemberian obat.

c. Setelah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien risiko tinggi


16

Mencuci tangan segera setelah terpapar dengan cairan tubuh pasien yang

beresiko tinggi atau setelah melepaskan sarung tangan dalam situasi

seperti perawatan gigi dan mulut, aspirasi sekresi, pengambilan dan

memeriksa darah, membersihkan urin, feses, dan penanganan limbah.

d. Setelah kontak dengan pasien

Mencuci tangan setelah menyentuh pasien dan lingkungan sekitarnya dan

ketika meninggalkan pasien dalam situasi seperti berjabat tangan,

membantu pasien merubah posisi dan pemeriksaan klinik.

e. Setelah bersentuhan dengan lingku ngan sekitar pasien

Mencuci tangan setelah menyentuh benda atau peralatan pasien di lingku

ngan sekitarnya dan ketika meninggalkan ruangan pasien bahkan bila tidak

menyentuh pasien dalam situasi mengganti linen tempat tidur pasien dan

penyetelan kecepatan perfusi.

Perpindahan kuman patogen secara umum terjadi pada tangan petugas

kesehatan yang terkontaminasi (Mani dkk, 2010). Menurut WHO (2009),

diketahui bahwa terdapat bakteri yang mendiami tangan manusia yaitu :

a. Resident flora merupakan mikroorganisasi yang bertempat tinggal di

kulit yaitu pada lapisan luar dan pada permukaan kulit. \

b. Transient flora merupakan mikroorganisme pada lapisan kulit yang dapat

dihilangkan dengan pelaksanaan hand hygiene secara rutin. Transient

flora dapat bertahan dan memperbanyak diri secara sporadis pada

permukaan kulit walau jenis mikroorganisme ini tidak memperbanyak

diri pada kulit. Jenis mikroorganisme yang termasuk transient flora ini
17

didapatkan petugas kesehatan dari kontak langsung dengan pasien. Selain

kontak langsung dengan pasien, transient flora juga bisa mengontaminasi

tangan petugas kesehatan saat kontak langsung dengan lingkungan pasien

yang terkontaminasi.

Kuman patogen yang dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lain

dengan media tangan petugas kesehatan (WHO, 2009). Pada jurnal tersebut

dituliskan perpindahan kuman patogen melalui lima tahapan yaitu :

a. Pada kulit pasien terdapat organisme . Tidak hanya pada kulit organisme

juga dapat ditemukan lingkungan sekitar pasien.

b. Organisme pada kulit pasien atau lingkungan sekitar pasien tersebut

berpindah melalui tangan petugas kesehatan.

c. Organisme yang berpindah tersebut bertahan pada tangan petugas

kesehatan.

d. Tangan petugas kesehatan tetap terkontaminasi akibatpelaksanaan

pembersihan tangan yang tidak sempurna.

e. Pada akhirnya terjadi kontaminasi silang akibat tangan petugas kesehatan

yang masih tercemar.

Ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab hal ini terjadi yaitu

kurangnya pengetahuan tentang pentingnya cuci tangan, rendahnya

pengawasan praktik mencuci tangan dan kurangnya gambaran yang positif

tentang mencuci tangan. Faktor lain yang juga mendudukng ketidaktaatan

adalah kekurangan tenaga di ruangan kerja dan jenis kelamin (Hassan, 2009).

Selain itu peningkatan pengetahuan dan kemudahan mengakses dispenser


18

dengan alcohol hand crub (ALC) sebagai anti septik mencuci tangan secara

signifikan juga dapat meningkatkan kepatuahan mencuci tangan petugas

kesehatan (Beyea, 2010).

B. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penerapan Five Moment


Kebersihan Tangan oleh Tenaga Kesehatan

Secara umum petugas kesehatan peduli terhadap pentingnya hand

hygiene untuk pencegahan infeksi, namun pemenuhan hand hygiene sesuai

prosedur masih rendah (Akyol, 2005). Dalam jurnalnya Akyol (2005)

menuliskan bahwa kepatuhan petugas kesehatan masih rendah, biasanya

dibawah 50% untuk melaksanakan hand hygiene sesuai aturan. Pernyataan

yang sama juga terdapat dalam jurnal Mani dkk (2010) yaitu pemenuhan hand

hygiene masih rendah dibawah 50% dari yang seharusnya yaitu pelaksanaan

yang sesuai denagn prosedur yang telah ditetapkan,

Dalam beberapa jurnal penelitian terdapat beberapa pendapat mengenai

beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya penerapan cuci tangan. Dalam

jurnal yang ditulis Akyol (2005):

1. Iritasi kulit dan kekeringan

2. Terlalu sibuk untuk melakukan cuci tangan dan tidak ada fasilitas

untuk cuci tangan

3. Motivasi yang rendah

4. Kurang nya Pengetahuan petugas kesehatan

5. Kurang nya tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan

keperawatan sehingga tidak terlaksananya cuci tangan


19

6. Rendahnya komintmen institusi

Dalam jurnal yang berjudul “hand hygiene among health care workers”

tersebut, masalah kekurangan tenaga dan pekerjaan yang padat turut menjadi

alasan rendahnya pelaksanaan cuci tangan. Selain itu, rendahnya akses pada

fasilitas cuci tangan serta iritasi kulit karena pajanan sabun dan air menjadi

alasan pula mengapa pelaksanaan cuci tangan masih rendah dalam jurnal

tersebut. Faktor laian rendahnya komitmen institusi untuk pelaksanaan hand

hygiene yang baik juga berkontribusi dalam rendahnya pelaksanaan cuci

tangan. Dalam jurnal oleh Karabay dkk (2005) mengungkapkan mengenai

faktor rendahnya pelaksanaan hand hygiene yaitu karena waktu yang waktu

yang terbatasi meningkatnya beban kerja, menurunnya jumlah tenaga

keyakinan bahwa menggunakan sarung tangan sudah tidak membutuhkan hand

hygiene, jauh untuk mencapai bak cuci, ketidak pedulian dan tidak setuju

perawat terhadap aturan. Alasan yang hampir serupa seperti tidak terdapat

fasilitas cuci tangan, iritasi dan kering pada kulit, telah menggunakan sarung

tangan, kurangnya motivasi, tidak memikirkan tentang hand hygiene atau

alasan terlalu sibuk juga ditemukan pada jurnal yang dituliskan Akyol (2005).

Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku adalah faktor predisposisi

(predisposing factor) merupakan faktor dasar motivasi untuk bertindak

meliputi : pengetahuan, sikap, keyakinan, persepsi, pendidikan dan sosial

ekonomi. Faktor pemungkin (enabling factor) merupakan faktor yang

memungkinkan suatu motivasi pelaksana yang meliputi ketersediaan sarana


20

SDM dan pelayanan kesehatan dan faktor penguat (reinforcing factor)

merupakan faktor yang memperkuat perubahan perilaku seseorang meliputi

dukungan keluarga, personal petugas kesehatan, atasan dan lainnya. Perilaku

perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan dengan faktor predisposisi

dan faktor penguat yaitu tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan dan motivasi.

1. Faktor Predisposisi

Merupakan faktor dasar motivasi untuk bertindak meliputi :

a. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan merupakan unsur pokok dalam perubahan perilaku bagi

setiap individu. Pengetahuan juga dikatakan sebagai suatu pembentukan

secara terus menerus oleh seseorang dan setiap saat mengalami reorganisasi

karena ada pemahaman-pemahaman baru. Seseorang yang di paparkan oleh

pengetahuan yang terus menerus tentunya akan memberikan pengaruh

terhadap perilakunya (Mangkuprawiro, 2008). Begitu juga, jika perawat

diberikan pengetahuan tentang pentingnya hand hygiene maka dapat

meningkatkan perilaku hand hygienenya.

Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

penerapan hand hygiene. Tingkat pengetahuan tentang hand hygiene tidak

hanya sebatas pentingnya pelaksanaannya, namun juga harus mencakup

indikasi dan teknik pelaksanaannya. Banyak perawat yang mengetahui

tujuan hand hygiene untuk mencegah kontaminasi silang antara petugas

kesehatan ke pasien, namuan tidak banyak perawat mengetahui indikasi dan

teknik pelaksanaan hand hygiene.


21

Kedewasaan seseorang akan memberikan pengaruh tertentu pada

kualitas diri orang tersebut, salah satunya adalah pengetahuan yang lebih

baik. Pengetahuan itu penting dalam meningkatkan status individu. Sebagai

contoh, agar terhindar dari penyakit kulit, kita harus mandi dengan bersih

setiap hari (Ambarwati, 2014).

Hasil penelitian Khatimah (2009) bahwa pengetahuan perawat tentang

sejalan dengan itu, mencuci tangan tergolong juga baik, (83,33%) cuci

tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan sangat rendah (33,33%),

cuci tangan sebelum melakukan tindakan tergolong rendah (8,3%),

kecapakan perawat dalam melakukan cuci tangan tergolong baik (58,33%).

Perilaku perawat dalam menerapkan cuci tangan selama pelaksanaan

tindakan keperawatan tergolong rendah, walaupun tingkat pengetahuan

sudah cukup baik.

b. Sikap

Sikap (attitude) didefinisikan oleh Robbins (2007) sebagai pernyataan

evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap

objek, individu, atau peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan

seseorang tentang sesuatu.

Sementara Kreitner dan Kinicki (2005) mendefinisikan sikap sebagai

kecenderungan merespon sesuatu secara konsisten untuk mendukung atau

tidak mendukung dengan memperhatikan objek tertentu.


22

Sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap.

Ketiga komponen itu adalah komponen kognitif, afektif dan konatif dengan

uraian sebagai berikut (Robbins, 2007) :

1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang

berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, atau persepsi

pendapat, kepercayaan. Komponen ini mengacu kepada proses berpikir,

dengan penekanan pada rasionalitas dan logika. Elemen penting dari

kognisi adalah kepercayaan yang bersifat penilaian yang dilakukan

seseorang. Kepercayaan evaluatif yang dimanifestasikan sebagai kesan

yang baik atau tidak baik yang dilakukan seseorang terhadap objek atau

orang.

2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang

berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap.

Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang

adalah hal negatif.

3) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu

komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak atau

berperilaku terhadap obyek sikap. Misalnya ramah, hangat, agresif, tidak

ramah atau apatis. Beberapa tindakan dapat diukur atau dinilai untuk

memeriksa komponen perilaku sikap.


23

c. Persepsi

Sugihartono, dkk (2007) mengemukakan bahwa persepsi adalah

kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk

menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi

manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang

mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi

negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.

Menurut Bimo Walgito (2011), faktor-faktor yang berperan dalam

persepsi dapat dikemuk akan beberapa faktor, yaitu:

1) Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.

Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga

dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung

mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.

2) Alat indera, syaraf dan susunan syaraf

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus,

disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk

meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu

otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon

diperlukan motoris yang dapat membentuk persepsi seseorang.


24

3) Perhatian

Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya

perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam

rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau

konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu

sekumpulan objek.

d. Tingkat Pendidikan

Pendidikan berpengaruh terhadap pola pikir individu. Sedangan pola

pikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang dengan kata lain pola pikir

seseorang yang berpendidikan yang rendah akan berbeda dengan pola pikir

seseorang yang berpendidikan tinggi (Asmadi, 2010). Pendidikan keperawatan

mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas pelayanan keperawatan.

Pendidikan yang tinggi dari seorang perawat akan memberi pelayanan yang

optimal.

Jenjang pendidikan memegang peranan cukup penting dalam kesehatan

masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah menjadiakan mereka sulit

diberi tahu mengenai pentingnya kebersihan perorangan dan sanitasi

lingkungan untuk mencegahterjangkitnya penyakit menular. Masyarakat yang

pendidikannya rendah sulit menerima penyuluhan, menyebabkan mereka tidak

peduli terhadap uapaya pencegahan penyakit menular (Sander, 2005).

Pendidikan adalah suatu konsep guna untuk mencapai suatu tujuan

(Perubahan tingkah laku). Perilaku manusia adalah refleksi dari berbagai gejala

kejiwaan antara lain tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang. Tahap


25

pendidikan sangat menentukan kemampuan seseorang dalam mengatasi

berbagai masalah dalam kehidupannya (Sarwono, 2005).

Pendidikan secara umum, adalah segala upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga

mereka melakukan apa yang di harapkan oleh pelaku pendidikan. Menururt

(Notoatmodjo, 2010) batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yakni:

1) Input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan

pelaku pendidikan.

2) Proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain).

3) Output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku).

Menurut Soekanto (2008) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan proses pembelajaran agar secara aktif dapat

mengembangkan petensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, keeerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan

yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Disebutkan jenjang

pendidikan dibagi menjadi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan

pendidikan tinggi. Yang termasuk dalam pendidikan dasar yaitu SD/Sederajat

dan SLTP/Sederajat, pendidikan menengah yaitu SLTA/sederajat, sedangkan

pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah menengah yang

mencakup Diploma (D3), Sarjana, Magister, Spesialis dan Doctor yang

diselenggarakan oleh perguruan tinggi. (Sarwono, 2005).


26

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Bauman

mengemukakan bahwa semakin terdidik keluarga, maka semakin baik

pengetahuan keluarga tentang kesehatan. Hal ini juga yang turut berpengaruh

dalam aktif atau tidaknya keluarga untuk datang menimbangkan balitanya,

yaitu faktor geografis, dimana letak dan kondisi geografis di wilayah tersebut

(Octaviani, 2010).

e. Sosial ekonomi

Kebiasan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui  penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan

bertambah pengetahuannya ealaupun tidak melakukan. Status ekonomi

seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan

ntuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi

ekonomi seseorang.

f. Motivasi Perawat

Motivasi kerja berperan seolah bensin yang akan membuat kita tetap

terus berjalan dan menghadpi segala kesulitan. Pentingnya motivasi dalam

bekerja karena tanpa adanya motivasi kerja yang kuat kita akan mudah sekali

tergoyahkan dan memutuskan untuk berhenti. Pengertian motivasi

adalah suatu kekuatan  penggerak dalam prilaku  individu dalam prilaku

individu baik yang akan menentukan arah.

Seseorang yang tidak memiliki motivasi kerja yang tinggi, dalam

mengerjakan tugas cenderung dilakukan hanya sebatas gugur kewajiban,


27

tidak ada kreasi dan semangat untuk menjadikan apa yang dilakukan menjadi

istimewa dan mencapai hasil yang maksimal. Sedangkan seseorang yang

memiliki motivasi kerja yang tinggi dia akan mampu mengeluarkan ide-ide

dan bekerja tidak di batas bawah sehingga hasil pekerjaannya mengesankan

dan mudah mendapatkan kepercayaan. Tentu saja orang-orang yang memiliki

motivasi kerja yang tinggi tersebutlah yang akan selalu mendapatkan

kesempatan untuk mengerjakan tugas yang lebih tinggi dan karirnya akan

selalu naik.

Faktor yang akan mempengaruhi motivasi kerja perawat di sebuah

rumah sakit :

1) Faktor kebijakan rumah sakit

Melipui gaji, tunjangan, dan pensiun. Dampaknya terhadap motivasi kerja

biasanya hanya sekedar untuk bertahan. Tidak memberikan dampak yang

begitu besar dalam peningkatakan kinerja. Jadi, rumah sakit tidak cukup

hanya mengandalkan masalah gaji, pensiun, dan tunjangan untuk

memotivasi perawat untuk mendapatkan kinerja terbaik. Kecuali, jika

rumah sakit mampu memberikan gaji selangit, jauh diatas rata-rata gaji,

mungkin akan memiliki pengaruh.

2) Faktor imbalan atau reward

Jika dikelola dengan baik, sistem imbalan atau reward terhadap perawat

yang berprestasi akan memberikan dampak yang besar untuk peningkatan

motivasi.
28

3) Faktor kultur rumah sakit

Meski terlihat sederhana, tetapi masalah kultur rumah sakit bisa

memberikan dampak yang besar dalam peningkatan motivasi kerja.

Kultur-kultur yang mengedepankan rasa hormat, kebersamaan, kejujuran,

dan keakraban akan meningkatkan motivasi kerja cukup signifikan.

4) Faktor kondisi mental perawat itu sendiri

Ini yang terpenting. Jika seorang perawat yang memiliki mental yang kuat,

dia akan tetap memiliki motivasi kerja meski ketiga faktor diatas kurang

mendukung. Mereka memiliki pikiran jauh ke depan. Pandangannya tidak

sempit hanya saat ini saja. Mereka memiliki jiwa besar untuk tetap

memberikan kontribusi sebaik mungkin. Sayangnya, faktor ini kadang

terlewatkan baik oleh perawatnya sendiri maupun oleh rumah sakit.

Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku

seseorang secara optimal, hal ini disebabkan karena motivasi merupakan

kondisi internal, kejiwaan dan mental manusia seperti aneka keinginan,

harapan kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong individu untuk

berperilaku kerja guna untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya atau

mendapatkan kepuasan atas perbuatannya.

Motivasi juga merupakan konsep yang di pakai untuk menguraikan

keadaan entrinsik yang ditampilkan dalam perilaku. Respon intrinsik juga

sebagai motif (pendorong) yang mengarahkan perilaku ke rumusan kebutuhan

atau pencapaian tujuan. Stimulus ekstrinsik dapat berupa hadiah atau insentif,

mendorong individu melakukan atau mencapai sesuatu. Jadi motivasi adalah


29

interaksi intrinsik dan ektrinsik yang dapat dilihat berupa perilaku atau

penampilan (Sadili, 2006).

Motivasi adalah faktor yang berpengaruh di dalam proses pembelajaran

dan salah satu tujuan dar pelatihan adalah untuk meningkatkan motivasi peserta

untuk belajar. Pelatihan juga dapat meningkatkan motivasi. Begitu juga dengan

simulasi hand hygiene yang merupakan salah satu jenis pelatihan ini tentunya

juga dapat meningkatkan motivasi. Seseorang yang memiliki motivasi yang

tinggi, dapat meningkatkan kinerjanya, hal ini sesuai dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Riyadi (2007) yang menemukan adanya hubungan yang

signifikan antara kinerja dan perilaku. Begitu juga, apabila perawat memiliki

motivasi yang tinggi, juga dapat meningkatkan kinerjanya dalam melakukan

hand hygiene.

Motivasi akan dikaitkan dengan tindakan, sebab motif yang besar tidak

efektif tanpa ada tindakan yang merupakan follow-up dari motof tersebut. Oleh

karena itu, perlu dipahami terlebih dahulu apa sebenarnya tindakan itu.

Tindakan apapun merupakan suatu jenis perbuatan manusia, akan tetapi

perbuatan tersebut mengandung maksud tertentu yang memang dikehendaki

oleh orang yang melakukakn kegiatan. Ada dua macam perbuatan yaitu (Sadili,

2006) :

a. Pemikiran (thinking) yaitu perbuatan rohani yang menghendaki

bekerjanya daya pikir (otak) manusia


30

b. Tindakan (action) yakni perbuatan jasmani yang amat membutuhkan

gerak otot tubuh manusia. Perbuatan tersebut mengandung maksud

tertentu yang memang dikehendaki oleh yang bersangkutan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi

merupakan suatu yang dapat menimbulkan semangat atau dorongan bekerja

individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam memuaskan kebutuhan-

kebutuhan.

a. Faktor Enabling

Merupakan faktor yang memungkinkan suatu motivasi pelaksana

yang meliputi ketersediaan sarana SDM dan pelayanan kesehatan :

1) Tersedianya sarana kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2007), sarana pelayanan kesehatan bagi

masyarakat terdiri dari rumah sakit, puskesmas, pustu, poliklinik,

posyandu, polindes, praktek dokter/bidan swasta, dan sebagainya.

Untuk berperilaku sehat, perawat memerlukan sarana dan prasarana

pendukung, misalnya sarana tempat mencuci tangan di setiap ruang

rawat inap, sarana lainnya yang menyangkut dengan fasilitas cuci

tangan. Mencuci tangan memerlukan alat dan bahan seperti sabun, lap

tangan atau tisu kering, dan semuanya memerlukan uang untuk

menyediakannya.
31

2) Pelayanan kesehatan

Mc Clelland antara lain mengemukakan bahwa yang mendorong

seseorang untuk melakukan sesuatu atau bekerja adalah berfokus pada tiga

kebutuhan dasar adalah kebutuhan akan prestasi (achievement) dorongan

untuk mengungguli atau berprestasi, kebutuhan akan afiliasi atau ikatan

hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan karib, dan

kebutuhan akan kekuasaan (power) kebutuhan yang mendorong seseorang

untuk menguasai atau mendominasi orang lain (Sigit, 2008). Jika motivasi

perawat tinggi terhadap penerapan hand hygiene maka akan menghasilkan

pelayanan kesehatan yang optimal pula.

b. Faktor Reinforching

Adalah faktor yang merupakan sumber yang sangat penting untuk

terbentuknya perilaku yang berasal dari orang lain yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku, seperti keluarga, teman sebaya, guru atau petugas

kesehatan (Notoatmodjo, 2010).


32

C. Kerangka Teori

Dalam WHO (2009) terdapat pendapat mengenai lima tindakan

sehingga dapat terjadi perpindahan kuman pada tangan yang terkontaminasi.

Lima hal tersebut yaitu adanya organisme pada kulit pasien atau menyebar

pada benda di sekitar pasien, organisme tersebut berpindah pada tangan

petugas kesehatan lalu organisme bertahan beberapa menit pada tangan petugas

kesehatan, hand hygiene tidak terpenuhi atau hilang sama sekali atau

pelaksanaan hand hygiene yang tidak tepat lalu terdapat kontak langsung

tangan petugas kesehatan pada pasien lain atau lingkungan pasien yang

selanjutnya berkontak langsung dengan pasien.

Namun pada kenyataannya penerapan hand hygiene yang sesuai

prosedur oleh petugas kesehatan masih rendah. Secara umum, masih di bawah

50% tingkat pemenuhan hand hygiene yang sesuai dengan prosedur pada

petugas kesehatan (Mani dkk, 2010). Terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi rendahnya penerapan hand hygiene petugas kesehatan.

Pada penelitian kali ini peneliti ingin mengetahui persepsi perawat

mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerapan five moment

kebersihan tangan oleh perawat pelaksana di instalasi rawat inap Rumah Sakit

Siti Rahmah Padang tahun 2015.


33

Kerangka teori dari penelitian ini yang dikemukakan oleh Green dalam

notoatmodjo (2012) adalah :

Faktor Predisposisi

Tingkat Pengetahuan

Sikap

Keyakinan

Persepsi

Sikap

Sosial Ekonomi

Motivasi Perawat

Faktor Enabling

 Tersedianya sarana kesehatan


Penerapan Five
 Pelayanan kesehatan Moment

Faktor Reinforcing

 Keluarga
 Petugas kesehatan

Sumber : Green et al dalam Notoatmodjo (2010)


Ket :
: Tidak diteliti : Diteliti

Bagan 2.1
Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai