Objektif:
Unit kompetensi ini berkaitan dengan keterampilan, pengetahuan, dan sikap kerja
yang dibutuhkan dalam mengelola Surat Pembeitauan Pajak sesuai dengan prosedur
yang ditetapkan pada perusahaan. Elemen-elemen kompetensi terdiri dari:
1. Menyiapkan dokumen transaksi pemungutan dan pemotongan Pajak Penghasilan
(PPh)
2. Menyiapkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan pasal 21
3. Menyiapkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi.
4. Menyiapkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan
5. Menyiapkan SPT Masa pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas
barang mewah (PPn-BM).
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi
atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,
disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
d. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
e. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
f. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
g. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
h. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
i. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
j. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
k. premi asuransi;
l. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
m. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
n. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
o. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
p. surplus Bank Indonesia.
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak
yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik
negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
Contoh 1 : Tarif 15 %
PT Bahagia membagikan deviden sebesar Rp 1000 per lembar saham yang dimiliki
pemegang saham. PT Bahagia merupakan perusahaan tertutup sehingga sahamnya
hanya dimiliki oleh pendiri perusahaan yaitu PT Aksara sebanyak 4000 lembar, PT
Ultra 6000 lembar, PT Gajah 5.000 lembar dan PT Sukses 3.000 lembar, maka atas
deviden yang diteri akan terhutang PPH pasal 23.
Jawaban:
Pemilik Saham Lembar Saham Total Deviden PPh Pasal 23 Yang diterima
PT Aksara 4.000 Rp 4000.000 Rp 600.000 Rp 3.400.000
PT Ultra 6.000 Rp 6.000.000 Rp 900.000 Rp 5.100.000
PT Gajah 5.000 Rp 5.000.000 Rp 750.000 Rp 4.250.000
PT Sukses 3.000 RP 3.000.000 Rp 450.000 Rp 2.550.000
Contoh 2 : Tarif 2%
PT Yesoa Indonesia menerima order dari PT Ang Lion International untuk mencarikan
perusahan pengangkutan laut dalam rangka pengiriman bahan baku obat dari Jakarta
dengan tujuan Surabaya. Pada tanggal 9 September 2013 PT Yesoa Indonesia
menerbitkan tagihan kepada PT Ang Lion International dengan nilai sebesar
Rp22.000.000,00 atas jasa tersebut dan dibayar pada tanggal 12 September 2013.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
Jawab:
Mengingat penghasilan yang diterima PT Yesoa Indonesia dalam transaksi tersebut
berkenaan dengan kegiatan PT Yesoa Indonesia untuk mencarikan perusahaan
pengangkutan laut maka penghasilan tersebut termasuk penghasilan dari jasa
perantara/keagenan yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 23 oleh PT Ang Lion
International sebagai pihak yang membayarkan penghasilan.
Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar:
2% x Rp 22.000.000 = Rp 440.000
Kewajiban PT Ang Lion International sebagai Pemotong PPh Pasal 23 adalah:
Dalam rangka peningkatan pemahaman para pegawai tentang filosofi dan budaya
perusahaan, PT Gajah Makmur mengadakan pelatihan tentang budaya perusahaan
yang diikuti oleh 50 orang pegawai dari bagian produksi selama satu hari dengan
menyewa meeting room Hotel Menara Jaya yang dimiliki oleh PT Tegal Arum dengan
pola paket full board seharga Rp300.000 per paket. Paket full board di Hotel Menara
Jaya tersebut terdiri dari:
Room for 1 night
Meeting room
Overhead & Screen
Flip Chart
White Board & Marker Board
Note Book & Ballpoint
Sound System
Candies
1 x Breakfast
2 x Coffe Break
1 x Lunch
1 x Dinner
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
Jawab:
Jasa perhotelan meliputi:
Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap
Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, dan hostel;
Sehingga penyewaan ruangan hotel dengan pola paket full board sebagaimana
tersebut diatas termasuk dalam pengertian jasa perhotelan.Berdasarkan Pasal 1
ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, jasa
perhotelan tidak termasuk sebagai jenis jasa yang dikenai pemotongan PPh
Pasal 23, sehingga atas pembayaran sebesar Rp15.000.000 (50 orang x
Rp300.000) kepada PT Tegal Arum tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.
c. Lain-lain
1. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final
2. Karena bersifat final, maka pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat
dikreditkan
3. Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak
dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam omset
penghasilan yang telah dipotong PPh Final
Contoh Kasus
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang Dilakukan Antara Dua Wajib
Pajak Orang Pribadi Pada tanggal 12 Agustus 2013 Rahmat menjual rumahnya di
kawasan Palo Alto Residence Bogor kepada Nasri. NJOP atas tanah dan bangunan
tersebut yang tertera pada SPPT PBB Tahun 2013 adalah Rp1.500.000.000 Harga
transaksi yang disepakati adalah Rp1.700.000.000 Rahmat dan Nasri sepakat untuk
melakukan penandatanganan Akta Jual Beli pada tanggal 15 Agustus 2013 di hadapan
PPAT Dhea Tunggadewi, S.H., M.Kn. Bagaimana kewajiban PPh atas transaksi
penjualan rumah tersebut?
Jawab:
Atas penghasilan yang diterima oleh Rahmat dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan wajib dibayar PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final.
Besarnya PPh yang wajib dibayar adalah: 5% x Rp1.700.000.000 = Rp 85.000.000
Kewajiban Rahmat atas transaksi tersebut adalah:
1. Melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) dengan menggunakan SSP sebesar
Rp85.000.000 paling lambat tanggal 15 Agustus 2013 sebelum ditandatanganinya
Akta Jual Beli;
2. Mengajukan formulir penelitian Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang dialihkan
haknya.
3. Melaporkan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT Masa
PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Agustus 2013 paling lambat tanggal 20 September
2013.
Sebelum menandatangani Akta Jual Beli, Dhea Tunggadewi, S.H., M.Kn. selaku
PPAT wajib memastikan terpenuhinya kewajiban PPh atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Rahmat dengan bukti fotokopi SSP
yang telah diteliti oleh KPP.
Pengalihan BTS
PT Atlanta Telekomunikasi melakukan penjualan salah satu menara telekomunikasi
yang dimilikinya di kota Surabaya kepada PT Antara Telekomunikasi seharga
Rp.600.000.000. Transaksi tersebut dibuatkan perjanjian jual beli oleh PPAT Gunarso
yang berkantor di Jl. Pramuka No. 48 Surabaya yang oleh kedua belah pihak perjanjian
tersebut ditandatangani pada tanggal 16 September 2013. Atas transaksi tersebut
dilakukan pembayaran oleh PT Antara Telekomunikasi kepada PT Atlanta
Telekomunikasi pada tanggal 16 September 2013.Menara telekomunikasi milik PT
Atlanta Telekomunikasi tersebut dibangun di atas tanah yang disewa dari masyarakat
dan bukan dibangun di atas tanah milik PT Atlanta Telekomunikasi dengan tujuan
penghematan biaya pembelian lahan tanah.Bagaimanakah kewajiban Pajak
Penghasilan terkait transaksi tersebut?
Jawab:
Ketentuan peraturan yang berlaku menyatakan bahwa Menara telekomunikasi
termasuk dalam definisi bangunan, oleh karena itu penjualan menara telekomunikasi
merupakan penjualan bangunan yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
yang bersifat final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final yang wajib dibayar
adalah:
5% x Rp 600.000.000 = Rp30.000.000
Sebelum menandatangani akta perjanjian jual beli tersebut Gunarso selaku PPAT
wajib memastikan terpenuhinya kewajiban PPh atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan oleh PT Komsat Telekomunikasi dengan bukti SSP yang
telah diteliti oleh KPP .
Para ahli waris sepakat atas harta warisan tersebut kesemuanya akan diberikan kepada
anak yang termuda, Bimo Rekso. Akta Hibah ditandatangani tanggal 10 Oktober 2013
dihadapan PPAT Siti Sinten Bumi, S.H., M.Kn.
Bagaimana kewajiban PPh atas serangkaian peristiwa pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan tersebut?
Jawab:
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan
dikecualikan dari kewajiban pembayaran PPh atas Penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan.Mekanisme pengecualiannya diberikan melalui
penerbitan Surat Keterangan Bebas yang diajukan ke KPP tempat Bambang
Reksodipuro terdaftar atau bertempat tinggal.
Setelah proses pewarisan selesai dan para ahli waris menerima haknya masing-masing,
maka pada saat rumah yang diterima oleh Sarinda dan Haryo Kresno diberikan kepada
Bimo Rekso:
Pengalihan hak atas rumah yang terletak di Jakarta dari Sarinda kepada Bimo
Rekso merupakan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran
PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang
mekanisme pengecualiannya diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan
Bebas. Sarinda sebagai pihak yang mengalihkan tanah dan/atau bangunan
harus mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas ke KPP tempat
Sarinda terdaftar dengan dilampiri Surat Pernyataan Hibah;
Pengalihan hak atas rumah yang terletak di Bogor dari Haryo Kresno kepada
Bimo Rekso merupakan hibah yang tidak dikecualikan dari kewajiban
pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, sehingga Haryo Kresno sebagai pihak yang mengalihkan wajib
membayar PPh sebesar 5% x Rp500.000.000 = Rp25.000.000.
Kewajiban Haryo Kresno atas pengalihan hak atas rumah yang terletak di Bogor
kepada Bimo Rekso adalah:
Melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) dengan menggunakan SSP
sebesar Rp25.000.000. paling lambat tanggal 10 Oktober 2013 sebelum
ditandatanganinya Akta Hibah;
2. Bank Buana membayar bunga bank sebesar Rp. 10.000.000 kepada PT.
Yassindo atas deposito yang ditanamkannya. Atas bunga deposito tersebut
dipotong PPh Final sebesar 20% oleh Bank, Maka jurnalnya yang di catat
oleh Bank Buana saat pengakuan beban bunga adalah :
5. PT. Kurnia membayar sewa tanah dan bangunan sebesar Rp 50.000.000. maka
jurnal saat membebankan sewa adalah :
a. Beban Sewa Bangunan Rp 50.000.000
PPH Final Rp 5.000.000
Kas dan bank 55.000.000
6. PT. Sugijaya membayar jasa konsultan tenaga ahli sebesar Rp. 50.000.000,-.
Atas jasa tersebut dipotongPPh pasal 23 sebesar ?
a. Rp 3.750.000
b. Rp 5.000.000
c. Rp 2.500.000
d. Rp 7.500.000
2.1 Pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 21 yang belum atau telah dilaporkan dan
dilakukan perhitungan kembali
2.2 SPT Tahunan PPh Pasal 21 disajikan sesuai peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku
2.3 Surat setoran pajak diisi dan dibayar tepat waktu
2.4 SPT Tahunan PPh Pasal 21 disampaikan tepat waktu
2.5 Dokumen dan SPT Tahunan PPh Pasal 21 diarsip
Dibawah ini merupakan pemberi kerja yang dikecualikan dari pemotongan PPh pasal
21 antara lain:
Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah orang pribadi yang
merupakan:
1. Pegawai;
2. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa, meliputi:
1 . Da s a r Huk um P e r hitu n ga n P P h P a s a l 2 1
Dasar hukum perhitungan dan pemotongan pajak penghasilan ini terdapat pada UU
No. 36 Tahun 2008 Pasal 21 (PPh Pasal 21) dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.
PER-16/PJ/2016 yang mengatur tarif terbaru Penghasilan Tidak Kena Pajak 2016
(PTKP terbaru).
Untuk memahami detail perhitungan PPh Pasal 21, Anda bisa mempelajari komponen-
komponen dan konsep dasar cara perhitungan PPh 21 di bawah ini. Komponen-
komponen tersebut terbagi dalam 3 bagian besar yaitu:
1. Penghasilan Rutin
Cara perhitungan PPh 21 2016 tidak akan terlepas dari penghasilan
rutin wajib pajak orang pribadi, yakni upah atau gaji yang diterima
secara teratur dalam jangka waktu tertentu, seperti:
1. Gaji Pokok
Gaji pokok adalah gaji dasar yang ditetapkan untuk
melaksanakan satu jabatan atau pekerjaan tertentu pada
golongan pangkat dan waktu tertentu.
2. Tunjangan
Tunjangan adalah penghasilan tambahan di luar gaji pokok yang
berkaitan dalam pelaksanaan tugas dan sebagai insentif.
Misalnya adalah tunjangan jabatan, tunjangan transportasi,
tunjangan makan, dll.
1. Bonus
Bonus adalah tambahan penghasilan di luar gaji kepada pegawai
atau dividen tambahan kepada pemegang saham.
3. Upah Lembur
Upah lembur adalah tambahan upah yang dibayarkan
perusahaan karena pekerja melakukan perpanjangan jam kerja
dari jam kerja normal yang telah ditentukan.
1. Biaya Jabatan
Biaya jabatan adalah biaya yang diasumsikan petugas perpajakan
bahwa sebagai pegawai pasti memiliki pengeluaran (biaya) selama
setahun yang berhubungan dengan pekerjaannya. Karena itu ditetapkan
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 bahwa
biaya jabatan adalah sebesar 5% dari penghasilan bruto setahun dan
setinggi-tingginya Rp 500.000,- sebulan atau Rp 6 juta setahun. Dari
staf biasa sampai direktur berhak mendapatkan pengurang penghasilan
bruto ini.
2. Biaya Pensiun
LSP Universitas Gunadarma Halaman | 52
Modul Teknisi Akuntansi Madya 2018
o Rp 54.000.000 per tahun atau Rp 4.500.000 per bulan untuk diri Wajib
Pajak orang pribadi
o Rp 54.000.000 per tahun atau Rp 375.000 per bulan untuk istri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
3 . Ta rif PPh 2 1
Tarif PPh 21 merupakan tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi
dengan jumlah penghasilan tertentu. Tarif ini merupakan salah satu komponen penting
dalam cara perhitungan PPh 21 2018 dan ditentukan berdasarkan Pasal 17 ayat (1)
huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, tarif PPh 21
ini.Tarif PPh 21 berikut ini berlaku pada Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP):
o Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi
dari mereka yang memiliki NPWP.
M e t o de Pe rhit ung a n Ga ji Ka ry a wa n
Walaupun perhitungan PPh 21 telah diatur oleh DJP, namun pada praktiknya, setiap
perusahaan memiliki metode perhitungan PPh 21 sendiri yang disesuaikan dengan
tunjangan pajak atau gaji bersih yang diterima karyawannya. Ada 3 metode
perhitungan pph 21 2018 yang paling umum, yaitu:
Metode gross ini diterapkan bagi pegawai atau penerima penghasilan yang
menanggung PPh Pasal 21 terutangnya sendiri. Ini berarti gaji bruto atau kotor
pegawai tersebut belum dipotong PPh Pasal 21.
Misalnya Ardi, seorang laki-laki lajang (TK/0) menerima gaji sebulan sebesar
Rp 10.000.000,-, maka:
Metode gross-up ini diterapkan bagi karyawan atau penerima penghasilan yang
diberikan tunjangan pajak (gajinya dinaikkan terlebih dahulu) sebesar pajak
yang dipotong.
Misalnya Ardi, seorang laki-laki lajang (TK/0) menerima gaji sebulan sebesar
Rp 10.000.000,-, maka:
Misalnya jika Ardi, seorang laki-laki lajang (TK/0) menerima gaji sebulan
sebesar Rp 10.000.000,-, maka:
Berikut adalah contoh dari perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap
yang menerima penghasilan secara bulanan.
1) Bagi wajib pajak yang memiliki NPWP
Rudi Hantoro pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Sun Jaya dengan
memperoleh gaji sebulan Rp5.750.000 dan membayar iuran pensiun sebesar
Rp200.000. Rudi Hantoro menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan
Januari penghasilan Retto dari PT Sun Jaya hanya dari gaji. Penghitungan PPh
Pasal 21 bulan Januari adalah sebagai berikut:
Gaji Rp 5.750.000
Penghasilan Bruto Rp 5.750.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan
5% X Rp 5.750.000,00 Rp 287.500
Iuran Pensiun Rp 200.000 +
Rp 487.500 -
Penghasilan Neto Sebulan Rp 5.262.500
PTKP Setahun
Untuk Wajib Pajak sendiri Rp 54.000.000
Tambahan karena menikah Rp 4.500.000 +
Rp 58.500.000-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Setahun Rp 4.650.000
b) SPT Tahunan. Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama
3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak atau pada akhir Bulan Maret.
SSE Pajak adalah singkatan dari Surat Setoran Elektronik Pajak yang
menghasilkan kode id Billing sejumlah 15 digit untuk transaksi pembayaran pajak
secara online. Aplikasi ini bisa Anda akses melalui situs Direktorat Jendral Pajak
dengan alamat sse.pajak.go.id.
Sistem eBilling SSE Pajak ini wajib digunakan sebagai pengganti Surat Setoran Pajak
(SSP) terhitung sejak Tanggal 1 Juli 2016.
Apabila kode id Billing tersebut telah selesai Anda buat, pembayaran pajak bisa Anda
lakukan melalui Teller Bank, Kantor Pos Persepsi, ATM, Mesin EDC di KPP, Internet
Banking, dan Mobile Banking.
Menurut penjelasan dari Ditjen Pajak bahwa ketiga alamat URL diatas, masih bisa
Anda gunakan untuk membuat kode id Billing untuk pembayaran pajak.
Terdapat tambahan fitur di sistem SSE Pajak versi 2 atau 3 dimana Anda bisa
membuat kode Id Billing bagi NPWP Pihak lain dan Tanpa NPWP, jika dibandingkan
dengan Versi Pertama.
Fitur ini sangat diperlukan bagi para Bendahara dan Pihak Pemungut Pajak, namun
jika Anda menggunakan aplikasi ini untuk keperluan pembayaran pajak atas nama
pribadi, Anda bebas memilih aplikasi mana yang sesuai dengan keinginan Anda.
Namun untuk bisa mengakses aplikasi SSE Pajak Versi 2, sebelumnya Anda
diwajibkan memiliki nomorE-FIN Pajak yang bisa Anda peroleh melalui Kantor
Pelayanan Pajak dimana NPWP Anda terdaftar.
Apabila Anda telah selesai membuat Akun SSE Pajak Versi 1 ini, nomor PIN yang
digunakan bisa untuk login dan membuat kode Id Billing Versi 3.
Pembuatan kode id Billing dan proses pembayaran pajak bisa Anda lihat pada gambar
infografis berikut ini :
Klik Daftar Baru, Proses registrasi hanya dilakukan sekali saja, Masukkan Data
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang valid serta nama dan alamat email Anda
untuk proses Aktivasi; masukkan kode angka captcha dan klik register.
Form Registrasi
Silakan cek email, dan lakukan proses aktivasi dengan mengklik link aktivasi
akun; Link Aktivasi akan kadaluarsa sampai dengan 3 hari; lakukan proses registrasi
ulang jika Anda lupa untuk mengaktifkan Link Aktivasi Akun lebih dari tiga hari.
Sampai tahap ini proses registrasi akun e billing di SSE Pajak sudah selesai dan
selanjutnya Anda membuat kode id Billing untuk proses pembayaran pajak.
Setelah itu akan muncul slip seperti dibawah ini, pastikan data yang Anda
masukkan sudah benar; jika sudah yakin Anda bisa langsung mengklik terbitkan kode
billing.
Selanjutnya akan muncul form id billing dan Tanggal aktif; masa aktif id
billing ini adalah 7 hari setelah diterbitkan dan pastikan Anda melakukan pembayaran
sebelum masa tenggang waktu tersebut.
Klik cetak untuk menyimpan data id billing pajak dalam format PDF.
2. Melalui https://sse2.pajak.go.id
karena merupakan bagian dari single sign-on (satu username dan password untuk beberapa
layanan perpajakan) DJP Online, maka registrasi https://sse2.pajak.go.id tidak diperlukan
bagi:
• Wajib Pajak yang telah memiliki akun DJP Online (E-FILING, E-REG, atau E-NOFA),
karena username dan password pada layanan DJP Online tersebut dapat digunakan
untuk login pada https://sse2.pajak.go.id; dan
• Wajib Pajak yang telah terdaftar pada https://sse.pajak.go.id tetapi belum memiliki
akun DJP Online, karena PIN pada https://sse2.pajak.go.id dapat digunakan untuk
login pada https://sse2.pajak.go.id.
Masukkan data setoran pajak yang akan dibayarkan, lalu klik Simpan
• Sistem akan menerbitkan Kode Billing atas data pembayaran yang direkam.
Kode Billing akan aktif selama dalam jangka tertentu.
• Pembayaran dapat dilakukan dengan mencetak kode billing atau hanya
dengan menyebutkan kode billing
Hanya dengan melakukan beberapa langkah saja Anda bisa melakukan pembayaran
pajak menggunakan system e billing dimana aplikasinya telah disediakan secara online
oleh Ditjen Pajak.
Dengan adanya kemudahan aplikasi pembayaran pajak secara online via e Billing
Pajak ini diharapkan Anda sebagai warganera yang baik dapat melaksanakan
kewajiban dan tertib dalam membayar pajak
Hanya dengan melakukan beberapa langkah saja Anda bisa melakukan pembayaran
pajak menggunakan system e billing dimana aplikasinya telah disediakan secara online
oleh Ditjen Pajak.
Dengan adanya kemudahan aplikasi pembayaran pajak secara online via e Billing
Pajak ini diharapkan Anda sebagai warganera yang baik dapat melaksanakan
kewajiban dan tertib dalam membayar pajak
2. Nanang Hermawan (belum menikah) karyawan tidak tetap pada bulan Maret
2016 bekerja pada perusahaan PT Tani Jaya, menerima upah sebesar Rp
250.000,00 per hari dibayarkan bulanan , Selama bulan Maret Nanang bekerja
selama 20 hari. Hitunglah pajak yang di pungut perusahaan selama 20 hari
kerja
3. Rizal Fahmi (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai
perakit TV pada suatu perusahaan elektronika. Upah yang dibayar berdasarkan
atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp 125.000,00 per buah TV
dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan
sebanyak 24 buah TV Hitunglah pajak upah mingguan Rizal Fahmi
A. Rp 15.000
B. Rp 30.000
C. Rp 12.500
D. Rp 10.000
C. Rp 500.000
D. Rp 0
2. Laporan Neraca
Laporan neraca atau laporan posisi keuangan atau dalam bahasa Inggris
disebut balance sheet atau statement of financial position adalah bagian dari laporan
keuangan suatu perusahaan yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang
menunjukkan posisi keuangan perusahaan tersebut pada akhir periode tersebut. Neraca
terdiri dari tiga unsur, yaitu aset, liabilitas, dan ekuitas.
Objek Pajak
Bicara tentang Pajak Penghasilan, maka objek pajaknya adalah penghasilan.
Penghasilan bisa dalam berbagai bentuk, selain tentu saja uang. Hadiah yang diterima,
hibah, fasilitas yang diperoleh, juga merupakan bentuk penghasilan lainnya.
Oleh karena itu Pasal 4 (1) Undang-Undang PPh memberikan definisi penghasilan
yang dapat mengakomodir keseluruhan bentuk tersebut yaitu “setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, termasuk:
a. Pengertian atau imblan berkenan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
undang – undang ini.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan
lainnya sebgai penganti saham atau penyertaan modal.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotannya yang terdiri
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenkan
pajak
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
r. Imbalan bungga sebagaimana yang dimaksud dalam undang – undang yang
mengatuh mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan dan,
s. Surplus Bank Indonesia.
Pajak Penghasilan dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh subjek
pajak dalam satu tahun pajak, atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan
dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir
dalam tahun pajak.
Tahun pajak yang dimaksud di sini adalah tahun takwim yang dimulai dari bulan
Januari dan berakhir di bulan Desember. Wajib Pajak dapat juga menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, misalnya Maret 2017 sampai dengan Februari
2018.
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang terutang dalam tahun berjalan adalah
berdasarkan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 23 serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dan;
Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negri yang boleh
dikreditkan sebagimana dimaksud dalam pasal 24 di bagi 12 (dua belas)
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Apabila terdapat surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan untuk tahun pajak yang
lalu, maka besarnya angsuran pajak yang dihitung kembali berdasarkan surat
ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan surat ketetapan pajak.
Terkait Wajib Pajak yang baru memperoleh penghasilan serta Wajib Pajak yang
memiliki beberapa tempat usaha, Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 memberikan perlakukan khusus mengenai
penghitungan besarnya angsuran pajak, yaitu:
penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan penghasilan
dari modal, jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksuddalam Pasal 23.
Pemotong dan pemungut pajak wajib menyerahkan kepada Wajib Pajak yang
dipotong atau dipungut PPh bukti pemotongan dan pemungutan sesuai format
yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.Bukti pemotongan dan
pemungutan ini merupakan dasar bagi Wajib Pajak untuk mengakui adanya
setoran pajak penghasilan yang dapat diperhitungkan dengan pajak yang terutang
pada tahun pajak yang bersangkutan.
Peraturan ini mengenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% dari
peredaran bruto terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas dan penghasilan yang telah dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan di bidang perpajakan.
Peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya;
Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha;dan
Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah;
Pekerjaan bebas dalam Peraturan Pemerintah tersebut meliputi:
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, dan penari;
Olahragawan;
Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
Agen iklan;
Pengawas atau pengelola proyek;
Perantara;
Petugas penjaja barang dagangan;
Agen asuransi; dan
Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan
langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Ketentuan lainnya terkait dengan kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2) sesuai PP 46 di atas
adalah sebagai berikut:
Penghitungan dan penyetoran dilakukan setiap bulan berdasarkan peredaran bruto
setiap bulan, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
Jika pada suatu bulan jumlah peredaran bruto secara kumulatif telah melebihi
jumlah Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam
suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap melanjutkan kewajiban penyetoran PPh
Pasal 4 ayat (2) berdasarkan PP 46 sampai dengan akhir Tahun Pajak yang
bersangkutan.
Apabila pada tahun sebelumnya peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi
jumlah Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka atas
penghasilan yang diterima pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan tersebut
dan menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan
bersifat final, menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto.
Dalam modul ini Wajib Pajak Orang Pribadi yang dibahas adalah yang menentukan
Penghasilan Netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Sdr. Agus merupakan direktur PT. XYZ dan memiliki tiga orang anak. Sepanjang
tahun 2016 Sdr. Agus memiliki penghasilan Rp. 250.000.000,00. Sdri. Mulyatun,
isteri dari Sdr. Agus, memiliki NPWP sendiri, bekerja sebagai PNS dengan
penghasilan Rp. 150.000.000,00 sepanjang tahun 2016.
Pengenaan pajak suami isteri tsb.dihitung berdasarkan jumlah penghasilan keduanya
sebesar Rp 400.000.000,00 sehingga jumlah pajak yang terutang adalah sebesar Rp
38.500.000,00.
Maka untuk masing‐masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai
berikut:
‐ Suami: 250.000.000,00 x Rp 38.500.000,00 = Rp 24.062.500,00
400.000.000,00
‐ Isteri : 150.000.000,00 x Rp 38.500.000,00 = Rp 14.437.500,00
400.000.000,00
2. Pekerjaan Bebas
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang
tidak terikat oleh suatu hubungan kerja seperti pengacara, dokter, konsultan, artis,
Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan dari pekerjaan bebas
dibagi menjadi 2 (dua) kelompok peredaran bruto, yaitu:
a. Peredaran Usaha Rp. 4,8 milyar atau lebih
Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya Rp. 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) Tahun Pajak
wajib menyelenggarakan pembukuan. Penghitungan PPh terutang atas
penghasilan tersebut didasarkan pada Laba yang tertera pada Laporan
Keuangan yang dilaporkan sebagai lampiran dari SPT Tahunan PPh OP. Setiap
bulannya Wajib Pajak diwajibkan menyetorkan PPh Pasal 25 yang merupakan
angsuran dari PPh terutang. Jenis Pajak Penghasilan yang harus disetor adalah
PPh Pasal 25 yang dibayarkan setiap bulan/masa dan PPh Pasal 29 yang
dibayarkan setiap tahun.
disetor adalah PPh Pasal 25 yang dibayarkan setiap bulan/masa dan PPh Pasal
29 yang dibayarkan setiap tahun. Penghitungan PPh terutang atas penghasilan
tersebut didasarkan pada Laba yang tertera pada Laporan Keuangan yang
dilaporkan sebagai lampiran dari SPT Tahunan PPh OP. Setiap bulannya Wajib
Pajak diwajibkan menyetorkan PPh Pasal 25 yang merupakan angsuran dari
PPh terutang.
Tambahan Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) untuk status
kawin
Tambahan Rp. 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk seorang istri
yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
Tambahan Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang dapat dijadikan pengurang ditentukan
oleh keadaan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan pada awal tahun pajak
atau awal bagian tahun pajak.
Tarif Pajak
Sesuai Pasal 17 UU PPh No. 7 tahun 1983 stdtd UU No. 36 tahun 2008, tarif pajak
yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
5%
sampai dengan Rp 50.000.000,00
15%
di atas Rp 50.000.000,00
s.d. Rp 250.000.000,00
25%
di atas Rp25.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00
Tarif pajak di atas tidak berlaku bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah dikenakan
PPh Final sesuai Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Telah dijelaskan diatas bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Orang Pribadi dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final dengan taris sebesar
1% dari penghasilan bruto jika masuk dalam kriteria yang disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, selainnya berlaku ketentuan tarif Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Penghitungan PPh terutang untuk Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final adalah sebagai berikut
:
1. Peredaran Usaha Bruto Rp. XXX
2. Peredaran Usaha Neto : Rp. XXX
(diperoleh dari Laporan Laba Rugi jika menyelenggarakan
pembukuan atau dari Peredaran Usaha Bruto X Tarif
Norma jika WP diperbolehkan menggunakan Norma.
3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
WP Sendiri Rp. XXX
Isteri Bekerja Rp. XXX
Status Kawin Rp. XXX
Tanggungan (maksimal 3 orang) Rp. XXX
Jumlah Rp. XXX
4. Penghasilan Kena Pajak (PKP) diperoleh dari angka 2 Rp. XXX
dikurangi angka 3
5. PPh Terutang:
5% X Rp. XXX
15% X Rp. XXX
25% X Rp. XXX
30% X Rp. XXX
Jumlah Rp. XXX
6. Kredit Pajak:
a. PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain, PPh yang Rp. XXX
dibayar/dipotong di luar negeri dan PPh ditanggung
pemerintah
b. PPh yang dibayar sendiri
PPh Pasal 25 Rp. XXX
STP PPh PASAL 25 (HANYA POKOK PAJAK) Rp. XXX
Jumlah Kredit Pajak Rp. XXX
Contoh Kasus
1. Tn. Amien seorang pengusaha toko bangunan di kota Depok terdaftar sebagai
Wajib Pajak pada tanggal 27 Desember 2014. Selama tahun 2015 Tn. Amien
memiliki peredaran bruto dan membayar PPh Pasal 4 (2) PP 46 setiap bulan
sebagai berikut:
PPh Ps 4 (2) PP
Peredaran Bruto
Bulan 46
(Rp) (Rp)
Januari 175,000,000.00 1,750,000.00
Februari 150,000,000.00 1,500,000.00
Maret 180,000,000.00 1,800,000.00
April 200,000,000.00 2,000,000.00
Mei 450,000,000.00 4,500,000.00
Juni 500,000,000.00 5,000,000.00
Juli 570,000,000.00 5,700,000.00
Agustus 410,000,000.00 4,100,000.00
September 340,000,000.00 3,400,000.00
Oktober 425,000,000.00 4,250,000.00
November 500,000,000.00 5,000,000.00
Desember 900,000,000.00 9,000,000.00
Jumlah 4,800,000,000.00 48,000,000.00
Tn. Amien telah menikah dan memiliki 3 (tiga) orang anak yang masih berada
dalam tanggungannya. Oleh karena peredaran bruto Tn. Amien pada tahun 2015
telah mencapai Rp. 4,8 Miliar, maka pengenaan pajaknya pada tahun 2016
menggunakan ketentuan PPh Pasal 25.
2. Dokter Mulyadi adalah seorang dokter spesialis jantung di Jakarta. Pada tahun
2016 memiliki catatan penghasilan dari praktek pribadi Rp. 500.000.000,00.
Selain itu dr. Mulyadi juga memiliki penghasilan dari rumah sakit sebagai berikut:
Penghasilan
No. Pemberi Kerja PPh Ps 21
Bruto Neto
1 RS Pemerintah 100.000.000,00 50.000.000,00 2.500.000,00
PQR
2 RS Swasta XXX 300,000,000,00 150.000.000,00 17.500.000,00
Isteri dr. Mulyadi, Karina, adalah seorang penulis novel, memperoleh penghasilan
selama tahun 2016 Rp. 100.000.000,00. Dr. Mulyadi memiliki 2(dua) orang anak,
salah satunya adalah Sena, artis sinetron cilik yang memiliki penghasilan Rp.
200.000.000,00 pada tahun 2016. Dr. Mulyadi membayar PPh Pasal 25 selama
tahun 2016 Rp. 1.000.000,00 per bulan. Terdapat bukti potong PPh Pasal 21 atas
nama Isterinya sejumlah Rp. 1.200.000,00 dan atas nama anaknya Rp.
5.000.000,00.
c. 5 % x Rp50.000.000 d. 5 % x Rp50.000.000
15% x Rp105.978.000 15% x Rp105.978.950
d. 1770 SS
5. HARIS adalah seorang pengusaha sukses, menikah dengan NANING (ibu rumah
tangga) pada 20 Mei 2008 dan mempunyai anggota keluarga yang menjadi
tanggungan adalah sebagai berikut:
Fathiyyah, anak kandung, lahir tanggal 18 Mei 2009, SD
Faiz, anak kandung, lahir tanggal 23 November 2011, TK
Fauzy, anak kandung, lahir tanggal 1 September 2014, Balita
Besarnya PTKP yang diperkenankan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak
HARIS tahun pajak 2017 adalah ....
a. Rp58.500.000
b. Rp63.000.000
c. Rp67.500.000
d. Rp72.000.000
6. Lapisan tarif progresif dalam menghitung PPh Orang Pribadi yang berlaku saat ini
adalah sebagai berikut…
a. 5%, 10%, 15%, 25%, 35%
b. 5%, 15%, 25%, 35%
c. 5%, 10%, 15%, 25%, 30%
7. Penghasilan Tidak Kena Pajak Tahun 2017 bagi Tn Bahrudin (K/0) dengan status
Menikah dan tanpa tanggungan adalah…
a. Rp24.300.000
b. Rp36.000.000
c. Rp39.000.000
d. Rp58.500.000
8. Tahun Pajak 2017 telah berakhir maka bagi setiap Wajib Pajak Orang Pribadi
memiliki kewajiban melaporkan SPT Tahunan PPh ke KPP, kapankah batas waktu
pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, dan apa saksinya apabila terlambat
melaporkannya?
a. 31 Maret 2017, Sanksi Denda sebesar Rp100.000
b. 31 Maret 2018, Sanksi Denda sebesar Rp100.000
c. 31 Maret 2018, Sanksi Bunga sebesar 2% perbulan
d. 31 Maret 2018, Sanksi Denda sebesar Rp1.000.000
10. Berapa besar tarif yang dikenakan untuk Sewa dalam PPh Pasal 23?
a. 2%
b. 10%
c. 15%
d. Semua jawaban salah
2. Laporan Ekuitas
Yaitu laporan keuangan yang memberikan informasi tentang perubahan ekuitas
pemilik atau modal selama kurun waktu (periode) tertentu.
3. Neraca
Yaitu laporan keuangan yang memberkan informasi tentang aset, kewajiban dan
ekuitas perusahaan pada saat (tanggal) tertentu.
pengakuan nilai suatu transaksi. Perbedaan ini biasa disebut sebagai koreksi fiskal.
Koreksi fiskal terdiri atas dua jenis..
1. Koreksi positif, yaitu koreksi yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi
lebih besar. Misainya terdapat beban operasional yang menurut akuntansi
komersial dapat diakui, namun menurut pajak tidak dapat diakui sebagai
pengurang penghasilan (non-deductible expense). Sebagai contoh adalah biaya
untuk kepentingan pribadi pengurus.
2. Koreksi negatif, yaitu koreksi yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi
lebih kecil. Misainya, terdapat penghasilan yang menurut akuntansi komersial
dapat diakui, namun menurut pajak tidak dapat diakui sebagai objek pajak.
Sebagai contoh adalah penghasilan yang diterima dalam bentuk natura.
Wajib Pajak mungkin sering mendengar istilah Laporan Keuangan Fiskal,
istilah ini sebenarnya bukan istilah baku dalam terminologi akuntansi di Indonesia.
istilah ini digunakan untuk merujuk laporan keuangan yang telah dilengkapi dengan
koreksi fiskal untuk menghitung dasar pengenaan pajak. Dalam buku ini sedapat
mungkin dihindari penggunaan istilah Laporan Keuangan Fiskal karena dapat
menimbulkan kesalahpahaman di mana istilah ini dianggap merujuk pada Laporan
Keuangan yang disusun berdasarkan ketentuan perpajakan. Sehingga dengan demikian
akan timbul persepsi bahwa ada dua jenis laporan keuangan yaitu Laporan Keuangan
Komersil dan Laporan Keuangan Fiskal. Padahal tidak demikian kenyataannya.
Ketentuan perpajakan hanya mengatur bahwa Wajib Pajak harus
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan sesuai dengan amanat pada Pasal 28
UU Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
(selanjutnya disebut UU KUP). Namun, peraturan perpajakan tidak mengatur tentang
bagaimana mencatat transaksi dan menyusun pembukuan atau pencatatan tersebut.
Pencatatan transaksi dan penyusunan Laporan Keuangan adalah domain akuntansi
keuangan yang tunduk pada aturan-aturan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
Peraturan perpajakan memanfaatkan informasi yang telah tersedia pada Laporan
Keuangan untuk kemudian dilakukan proses penyesuaian sehingga diperoleh dasar
pengenaan pajak. Hal ini sesuai dengan memori penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP
yang menyatakan bahwa, "Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan
dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan
menentukan lain."
Berdasarkan Pasal 12 UU KUP dapat disimpulkan bahwa sistem
pemungutan PPh Indonesia menganut sistem "Self Assessment". Dalam sistem ini
Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri
pajak-pajak yang terutang berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan dan
melaporkan ke kantor pelayanan pajak dengan cara mengisi dan menyampaikan SPT
Dengan demikian penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang berada pada
Wajib Pajak itu sendiri.
Pajak Penghasilan menganut sistem pemajakan
komprehensif (comprehensive income taxation) dengan mendefinisikan penghasilan
berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis. Pajak Penghasilan dikenakan atas dasar
jumlah penghasilan yang dikenakan pajak yang diambil dari catatan pembukuan.
Dalam Perpajakan ditentukan bahwa Wajib Pajak dalam negeri diwajibkan untuk
melaporkan pajak terutangnya kepada negara dengan menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) pajak yang dilampiri dengan Laporan Keuangan. Laporan
Keuangan ini disusun khusus untuk kepentingan perpajakan dengan rnengindahkan
semua peraturan perpajakan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UU KUP menyatakan sebagai berikut: "Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak.” Laporan Keuangan tersebut merupakan insrumen
yang sangat berharga untuk menilai kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajibannya.
KOREKSI FISKAL
Laporan keuangan yang disusun perusahaan biasanya harus disesuaikan
dengan peraturan fiskal ketika laporan keuangan tersebut sebagai dasar pada SPT PPh
yang disampaikan ke kantor pajak. Hal ini disebabkan laporan keuangan perusahaan
mengacu pada standar akuntansi komersial. Untuk memenuhi kebutuhan pelaporan
pajak maka perusahaan melakukan penyesuaian fiskal (koreksi fiskal).
Beda Tetap, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang tidak boleh
dikurangkan pada penghasilan kena pajak, contohnya : sumbangan, entertain (tanpa
daftar nominatif), pengeluaran yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan perusahaan
dan lain2.
Beda waktu, yaitu perbedaan pembebanan suatu biaya dimana jangka waktu
pembebananya berbeda.
Misal :
Biaya penyusutan, perusahaan menetapkan masa manfaat aktiva 10 tahun, tapi
berdasarkan fiskal Cuma 4 tahun, maka akan terjadi pembebanan yang berbeda.
Pajak Penghasilan
Sanksi administrasi (Pajak)
Penyusutan/amortisasi
Dll
Penyustan bisa menimbulkan koreksi negatif atau positif tergantung hasil perhitungan
apa lebih besar atau malah lebih kecil.
Untuk lebih mendalami koreksi fiskal kita dapat juga membaca laporan audit akuntan
publik atas laporan keuangan suatu perusahaan. Setiap perusahaan akan mempunyai
pos yang berbeda atas koreksi fiskal nya. Laporan audit pada perusahaan go public di
perpustakaan BEJ dapat kita pinjam dan baca untuk menambah wawasan tentang
koreksi fiskal.
Koreksi fiskal adalah koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak
sebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak
orang pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena
pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan
maupun biaya antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.
Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya
antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya
koreksi fiskal, yaitu:
1. Beda Tetap (Permanent Different)
Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen
artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena
pajak tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :
Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-
undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang
diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-
undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:
Bunga Deposito dan Tabungan lainnya
Penghasilan berupa hadiah undian
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan
Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut
akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan
merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya
penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus
dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah
dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang
akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.
Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang
diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan
menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh
terutang akan lebih besar.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :
Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi
komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya
sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-
undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :
Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode
penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode
penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO
Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang
tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat
penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun
berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah,
sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak
akan berkurang.
Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi
negatif tergantung dari metode yang digunakan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak,
Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).
bangunan menjadi 10 tahun untuk bangunan semi permanen dan 20 tahun untuk
bangunan permanen.
Secara akuntansi, aktiva tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat aktiva
tersebut siap untuk digunakan. Secara perpajakan, aktiva tetap mulai disusutkan
pada bulan dilakukannya pengeluaran (pada saat diperoleh/dibeli).
Saat ini khusus untuk SPT Masa PPN sudah dapat disampaikan secara
elektronik melalui aplikasi e-Filing. Penyampaian SPT Tahunan PPh juga dapat
dilakukan secara Online melalui aplikasi e-SPT.
Keterlambatan Pelaporan untuk SPT Masa PPh dikenakan denda sebesar Rp
100.000,- (seratus ribu rupiah). Sedangkan untuk keterlambatan SPT Tahunan
PPh Badan khususnya mulai Tahun Pajak 2008 dikenakan denda sebesar Rp
1.000.000,- (satu juta rupiah).
B. Tarif
Sesuai Pasal 17 UU PPh No. 7 tahun 1983 stdtd UU No. 36 tahun 2008, tarif pajak
yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri
dan bentuk usaha tetap adalah tarif tunggal sebesar 25% (dua puluh lima persen).
Tarif ini mulai berlaku sejak tahun pajak 2010, setelah sebelumnya menggunakan
tarif 28% (dua puluh delapan persen).
Terdapat ketentuan lain terkait dengan penerapan tarif PPh Pasal 17 ini, yaitu
fasilitas pengurangan tarif yang diatur dalam Pasal 31E UU PPh, serta tarif PPh
Final atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor
46 tahun 2013.
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas :
Rp 3.000.000.000,00 – Rp 480.000.000,00 =2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang: ‐ (50% x 28%) x Rp 480.000.000,00
= Rp 67.200.000,00 ‐ 28% x Rp 2.520.000.000,00
= Rp 705.600.000,00(+)
Jumlah Penghasilan Pajak yang Terhutang Rp 772.800.000,00
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu.
Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 17/PJ/2015 tentang Norma
Penghitungan Penghasilan Neto menjelaskan bahwa dalam hal terhadap Wajib
Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ternyata Wajib Pajak
orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau
bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya digitung dengan menggunakan
norma perhitungan penghasilan neto.
CONTOH KASUS
Pendapatan lainnya pada data di atas merupakan pendapatan dari persewaan ruangan
gedung miliknya sebesar Rp. 2.000.000.000,00 per tahun dengan biaya maintenance
yang harus dikeluarkan Rp. 500.000.000,00.
Penghitungan PPh Badan yang terutang tahun pajak 2016 adalah sebagai berikut:
b) SPT 1770 S
Digunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribado yang mempunyai
penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan
jumlah penghasilan bruto mencapai Rp 60.000.000; setahun.
c) SPT 1770
Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dari
usaha/pekerjaan bebas, baik yang menyelenggarakan pembukuan
atau pencatatan, melaporkan pembayaran dan perhitungan Pajak
penghasilan tahunan menggunakan formulir SPT 1770.
4) SPT Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21
c. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
d. SPT Masa PPN bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
1.3 Batas Waktu Penyampaian SPT
a. SPT Masa, paling lama dua puluh hari setelah akhir Masa Pajak, kecuali
untuk SPT Masa PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM yang dipungut oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu secara mingguan paling lama
pada hari kerja terakhir minggu berikutnya, dan SPT Masa PPh Pasal 22,
PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Bendahara paling lama 14 hari
setelah Masa Pajak berakhir. Untuk WP dengan kriteria tertentu yang
melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa, paling lama 20
hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
b. SPT Tahunan, Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, paling
lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak, sedangkan untuk SPT
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat)
bulan setelah akhir Tahun Pajak.
2. Menyiapkan arsip SPT Masa PPN termasuk semua faktur pajak masukan
dan faktur pajak keluaran Januari s/d Desember.
3. Menyiapkan arsip SPT Masa PPh Pasal 21 Januari s/d Desember.
4. Menyiapkan arsip bukti Pemotongan PPh Pasal 23 masa Januari s/d
Desember.
5. Menyiapkan arsip bukti pemungutan PPh Pasal 22 dan bukti pungutan
atau bukti pembayaran Pasal 22 impor masa Januari s/d Desember.
6. Menyiapkan arsip bukti pemotongan PPh Pasal 4 (2) masa Januari s/d
Desember.
7. Menyiapkan arsip Bukti Pembayaran PPh Pasal 25 Masa Januari s/d
Desember 2017. Apabila termasuk Wajib Pajak dengan kewajiban
berdasarkan PP nomor 46 Tahun 2013, maka yang disiapkan adalah Bukti
Pembayaran PPh Pasal 4 ayat 2 Masa Januari s/d Desember.
8. Menyiapkan arsip Bukti Pembayaran atas STP PPh Pasal 25 Masa
Januari s/d Desember.
9. Menyiapkan Laporan Keuangan (Rugi Laba, Neraca), termasuk Laporan
Keuangan hasil audit akuntan publik, serta data pendukungnya seperti :
Buku besar pendukung Laporan Keuangan.
Buku besar pembantu pendukung laporan keuangan.
Rekening Koran/tabungan (rekening Koran/tabungan harus terpisah
dengan kegiatan usaha lainnya dan milik pribadi, jadi rekening
Koran/tabungan khusus transaksi perusahaan tersebut).
Bukti penerimaan dan pengeluaran (kwitansi, bon, nota dan lain-lain).
10. Menyiapkan arsip akte pendirian dan atau akte perubahannya
11. Menyiapkan lampiran SPT Tahunan PPh Badan seperti Daftar
Penyusutan, Perhitungan Kompensasi Kerugian, daftar nominatif biaya
entertainment, biaya promosi dan lain-lain.
b. Yang harus diperhatikan dalam pengisian SPT Tahunan PPh Badan
1. Wajib Pajak harus melakukan equalisasi / pencocokan atas peredaran
usaha dan penghasilan luar usaha antara lain:
Pembelian dan biaya dengan Objek PPh Pasal 4 (2) pada SPT Masa
PPh Pasal 4 (2) yang menjadi kewajiban pemotongan PPh Pasal 4 (2)
oleh wajib pajak Masa Januari s/d Desember.
3. Wajib Pajak harus melakukan equalisasi/pencocokan atas komponen
neraca antara lain :
Posisi kas di neraca dengan buku kas per 31 Desember.
Posisi Bank di neraca dengan buku rekening koran atau bank per 31
Desember.
Posisi piutang di neraca dengan buku piutang per 31 Desember.
Posisi persediaan akhir di neraca dengan buku persediaan per 31
Desember dan dengan persediaan akhir di laporan laba rugi.
Posisi aktiva di neraca dengan buku aktiva per 31 Desember.
Posisi hutang di neraca dengan buku hutang per 31 Desember.
Posisi modal di neraca dengan buku modal per 31 Desember dan
dengan modal pada akte pendirian atau akte perubahan.
4. Wajib Pajak harus melakukan equalisasi / pencocokan atas persediaan
awal dengan persediaan akhir pada SPT Tahunan PPh Badan Tahun 1771
Tahun 2016.
2. Syarat Kelengkapan Pelaporan SPT Tahunan PPh Badan 1771 Yang
Disampaikan Dalam Bentuk Kertas
No Nama/Bentuk Keterangan
Lampiran/Formulir
I. Formulir
8A-8/8B-8))
penghasilan bruto.
5. Surat Kuasa Khusus Harus disampaikan apabila SPT
Tahunan ditandatangani
selain Pimpinan/ Pengurus
Perusahaan.
6. Perhitungan Peredaran Bruto dan Harus disampaikan apabilaWajib
Pembayaran PPh Final berdasarkan Pajak dikenai PPh berdasarkan PP
PP No.46 Tahun 2013 No.46 Tahun 2013.
7. Laporan Keuangan dari Badan Harus disampaikan oleh Wajib Pajak
Usaha yang memiliki penyertaan
di Luar Negeri yang Kepemilikan modal, atau secara bersama-sama
Sahamnya Mulai dari 50% dengan Wajib Pajak dalam negeri
lainnya, memiliki penyertaan modal
paling rendah 50% dari jumlah saham
yang disetor pada badan usaha luar
negeri.
8. Daftar Nominatif Biaya Harus disampaikan oleh Wajib Pajak
Entertainment yang mengurangkan biaya
entertainment, jamuan makan,
representasi dan sejenisnya. Daftar
Nominatif berisi:
· nomor urut,
· tanggal acara /kegiatan,
· nama dan alamat lokasi acara
/kegiatan,
· jenis acara/kegiatanentertainment
· nominal
· identitas pihak/relasi
penerimaentertainment
Bidang Usaha Hulu Minyak di bidang usaha hulu minyak dan /atau
dan/atau gas bumi. Dokumen terdiri dari:
Gas Bumi · Financial Quarterly Report (FQR)
tahun pajak bersangkutan;
· Bukti Penyetoran PPh;
· Lampiran Khusus Penghitungan
Pajak Penghasilan bagi Kontraktor
Kontrak Kerja Sama Migas;
· Lampiran Khusus Rincian Biaya
dalam rangka Kontrak Kerja Sama
Migas;
· Lampiran Khusus Daftar Penyusutan
dalam Rangka Kontrak Kerja Sama
Migas;
Catatan:
Dalam hal :
1. SPT Nihil atau SPT Lebih
Bayar; atau
2. Seluruh pajak penghasilan
Wajib Pajak ditanggung
Pemerintah,
maka Surat Setoran Pajak nihil
tidak perlu dilampirkan.
Laporan Keuangan
atau Laporan Keuangan yang
telah Diaudit oleh Akuntan
Publik
4. Dokumen Elektronik Harus disampaikan apabila SPT
Tahunan ditandatangani selain
Surat Kuasa Khusus Pimpinan/Pengurus Perusahaan.
5. Dokumen Elektronik Harus disampaikan apabilaWajib
Pajak dikenai PPh berdasarkan
Perhitungan Peredaran Bruto PP No.46 Tahun 2013.
dan Pembayaran PPh Final
berdasarkan PP No.46 Tahun
2013
6. Dokumen Elektronik Harus disampaikan oleh Wajib
Pajak yang memiliki penyertaan
Laporan Keuangan dari Badan modal, atau secara bersama-sama
Usaha dengan Wajib Pajak dalam negeri
di Luar Negeri yang lainnya, memiliki penyertaan
Kepemilikan modal paling rendah 50% dari
Sahamnya Mulai dari 50% jumlah saham yang disetor pada
badan usaha luar negeri.
7. Dokumen Elektronik Harus disampaikan oleh Wajib
Pajak yang mengurangkan biaya
Daftar Nominatif Biaya entertainment, jamuan makan,
Entertainment representasi dan sejenisnya.
nomor urut,
tanggal acara / kegiatan,
nama dan alamat lokasi acara
/ kegiatan,
jenis acara / kegiatan
entertainment
nominal
identitas pihak / relasi
penerima entertainment
Penghitungan Pajak
Penghasilan bagi Kontraktor
Kontrak Kerja Sama Migas;
Lampiran Khusus Rincian
Biaya dalam rangka Kontrak
Kerja Sama Migas;
Lampiran Khusus Daftar
Penyusutan dalam Rangka
Kontrak Kerja Sama Migas;
1. Laporan keuangan perusahaan yang disusun sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam perpajakan disebut :
a. Laporan keuangan fiskal
b. Laporan keuangan komersial
c. Laporan keuangan konsolidasi
d. Laporan keuangan badan usaha
4 Proses penyusutan untuk aktiva jangka panjang dipengaruhi oleh tiga faktor berikut,
kecuali :
a. Menentukan fungsi dari aktiva
b. Menentukan masa manfaat dari aktiva
c. Menentukan metode mengalokasian biaya
5. Perbedaan antara akuntansi dan pajak disebabkan antara karena di satu sisi
akuntansi mengakui semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan tetapi menurut
pajak tidak semua biaya boleh sebagai pengurang penghasilan . Perbedaan ini
dikenal dengan nama
a. Beda Sementara
b. Beda Prinsip
c. Beda Waktu
d. Beda Tetap/ Permanen
6. Berikut ini antara lain contoh perbedaan waktu antara akuntansi dan pajak adalah
a. Pengakuan dividen
b. Pengakuan biaya gaji
c. Pengakuan penghasilan bunga deposito
d. Pengakuan biaya penyusutan
7. Masa manfaat dari aktiva untuk kelompok 3 dalam menentukan biaya penyusutan
sesuai ketentuan pajak adalah :
a. 4 tahun
b. 8 tahun
c. 16 tahun
d. 20 tahun
8. Koreksi fiscal dapat berupa koreksi fiscal positif dan koreksi fiscal negatif. Koreksi
positif biasanya dilakukan akibat :
a. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak
b. Penyusutan komersial lebih besar dari pada penyusutan fiskal
c. Penghasilan yang dikenakan PPh Final
9. Lapisan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak yang benar adalah
a. Diatas Rp250 juta – 500 jt tarif pajak 25%
b. Sampai dengan Rp25 juta, tarif pajak 5%
c. Diatas Rp100 juta –Rp200 juta, tarif pajak 15%
d. Diatas Rp50 juta –Rp100 juta, tarif pajak 10%
Penjelasan terkait laporan laba rugi yang telah disusun perusahaan (dalam
ribuan rupiah sama seperti satuan dalam tabel).
a. Dalam biaya gaji dan upah terdapat tunjangan seragam sopir sebesar 700.000 dan
seragam kantor sebesar 200.000.
c. Beban depresiasi kendaraan dan peralatan kantor dihitung dari tabel berikut ini.
Mobil dinas adalah kendaraan yang digunakan oleh pimpinan perusahaan pada
level tertentu. Mobil ini dibawa pulang oleh pimpinan tersebut, namun bahan
bakar dan perawatannya ditanggung oleh perusahaan. Beban perawatan mobil
dinas sebesar 1.200.000 dan bahan bakar sebesar 1.600.000.
e. Termasuk beban iklan dan pemasaran terdapat biaya entertainment yang tidak ada
daftar nominatifnya sebesar 300.000.
f. Termasuk dalam staf insentif adalah beban outing karyawan yang dilaksanakan
pada hari ulang tahun perusahaan sebesar 5.000.000. Penyediaan kesehatan dalam
bentuk poliklinik perusahaan sebesar 800.000.
j. Pendapatan sewa dikenakan pajak final 10% dari dari total sewa sebesar
1.000.000.
k. Dividen PT. Patron telah dikenakan pajak sebesar 30% dan Beatiful dikenakan
pajak sebesar 20%. Perusahaan mencatat pendapatan ini secara nett setelah pajak
yang dibayarkan di LN. Investasi di PT. Patron dijual pada tahun 2011 dengan
keuntungan penjualan sebesar 14.000.000 dikenakan pajak 30%.
m. Pendapatan hasil investasi jangka pendek berupa dividen 500.000 (dipotong pajak
15%), capital gain yang telah terealisasi 200.000 dan capital gain yang belum
terealisasi 500.000.
Nilai
Dep Dep buku
Umur Akt Pajak Perolehan akuntansi Nilai jual Keuntungan
p. Selain pajak yang telah disebutkan di atas, perusahaan telah membayar angsuran
PPh 25 selama tahun 2011 sebesar 13.200.000.
Diminta :
2. Hitung kredit pajak PPh 24 atas penghasilan yang diterima perusahaan dari luar
negeri. Buatlah koreksi pencatatan atas pendapatan dari luar negeri yang
seharusnya dibuat perusahaan sehingga pencatatannya konsisten dengan
penghasilan yang lain.
3. Hitung total kredit pajak dan pajak yang harus dibayarkan di akhir tahun.
Buatlah jurnal untuk memunculkan beban dan liabilitas pajak kini?
4. Hitung berapa jumlah angsuran pajak untuk tahun 2012 dengan memperhatikan
penghasilan tidak teratur yaitu keuntungan penjualan kendaraan dan investasi
yang dijual.
Biaya Operasional
Gaji dan Upah 80.000.000
Beban depresiasi kendaraan operasi 140.000.000
Beban depresiasi kantor 23.000.000
Beban Pemeliharaan 51.200.000
Beban Bahan Bakar 50.000.000
Beban sewa kendaraan 20.000.000
Beban Pengembangan staf 12.000.000
Beban iklan dan pemasaran 8.500.000
Beban administrasi 18.000.000
Beban operasional lain 22.000.000
Total Beban Operasional 424.700.000
Laba Operasional 75.800.000
5.2 SPT Masa PPN dan PPn-BM baik mekanisme umum maupun mekanisme
khusus disajikan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku
1. PENGERTIAN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services
Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, Disebut pajak tidak langsung
karena tidak langsung dibebankan kepada penanggung pajak (konsumen) tetapi
melalui mekanisme pemungutan pajak dan disetor oleh pihak lain (penjual). Transaksi
penyerahannya bisa dalam bentuk jual-beli, pemanfaatan jasa, dan sewa-menyewa.
Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang
dikenakan PPN. Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak kecuali
yang diatur lain oleh Undang-Undang Nomor PPN itu sendiri. Barang Kena Pajak
tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak
berwujud (hak cipta, merek dagang, paten, dll.
Sedangkan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan yang
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang
atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan
dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN, Contohnya: jasa konstruksi, jasa
sewa ruangan, jasa konsultan, jasa perantara, dll.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak
pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat
PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak
keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP
menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP
membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
2. Jasa Kena Pajak yaitu setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau
kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas
petunjuk dari pemesan, yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Apa saja yang menjadi Objek PPN selengkapnya diatur dalam Undang-undang PPN
pasal 4, pasal 16 C, dan pasal 16 D.
Pasal 4:
PPN dikenakan atas:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
2. Impor Barang Kena Pajak;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 16 C:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan
tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
Pasal 16 D:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak,
kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”
1. SUBYEK PPN
Pengusaha kena pajak
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah pengusaha yang melakukan kegiatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a yaitu menyerahkan BKP, Pasal 4 ayat
1 huruf c yaitu menyerahkan JKP, dan Pasal 4 ayat 1 huruf f UU PPN 1984 yaitu
mengekspor BKP, serta bentuk kerjasama operasi sebagaimana diatur dalam Pasal 3
ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012.
Sedangkan pengertian PKP dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 yaitu
pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP atau ekspor
BKP. Berdasarkan memori penjelasan Pasal 4 ayat huruf a dan huruf c UU PPN 1984
“pengusaha” yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dalam ketentuan ini
meliputi, baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, maupun pengusaha
yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP, tetapi belum dikukuhkan. Oleh karena itu,
ketika seorang pengusaha atau suatu perusahaan menyerahkan BKP/JKP yang
dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, pad dasarnya sudah dapat dikenai
pPPn tanpa menunggu pengukuhan sebagai PKP.
Berbeda halnya dengan ekspor BKP. Dalam memori penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf f,
ekspor BKP dapat dikenai PPN hanya apabila yang melakukan ekspor adalah
pengusaha yang sudah dikukuhkan menjadi PKP. Dalam hal eksportir belum
dikukuhkan menjadi PKP, atas ekspor BKP ini tidak dikenai PPN. Pemahaman yangs
ama berlaku terhadap Pasal 4 ayat 1 huruf g dan huruf h.
Pengusaha Tidak Kena Pajak
Pengusaha bukan PKP yang menjadi subjek PPN meliputi pengusaha yang melakukan
kegiatan dimaksud Pasal 4 ayat 1 huruf b, huruf d, dan huruf e serta Pasal 16C UU
PPN 1984.pengukuhan pengusaha ini sebagai atau menjadi PKP, bukan faktor yang
menentukam statusnya sebagai subjek pajak.
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran
harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.
5. Pada Faktur Pajak Pengganti sebagaimana dimaksud pada butir 1, dibubuhkan cap
yang mencantumkan Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti
tersebut. Pengusaha Kena Pajak dapat membuat cap tersebut seperti contoh berikut.
Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti dapat diisi dengan
cara manual.
6. Penerbitan Faktur Pajak Pengganti mengakibatkan adanya kewajiban untuk
membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak
terjadinya kesalahan pembuatan Faktur Pajak tersebut.
7. Faktur Pajak Pengganti dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai pada :
a. Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti,
dengan mencantumkan nilai setelah penggantian; dan
b. Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Pengganti tersebut dengan mencantumkan
nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN dan PPn BM, untuk menjaga urutan Faktur
Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak.
8. Pelaporan Faktur Pajak Pengganti pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 7 huruf a dan b,
harus mencantumkan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti pada kolom
yang telah ditentukan.
3. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang melakukan pembatalan Faktur Pajak harus
memiliki bukti dari Pengusaha Kena Pajak Pembeli yang menyatakan bahwa
transaksi dibatalkan.
4. Faktur Pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasi (disimpan) oleh Pengusaha
Kena Pajak Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut.
5. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang membatalkan Faktur Pajak harus mengirimkan
surat pemberitahuan dan copy dari Faktur Pajak yang dibatalkan ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Penjual dikukuhkan dan ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak Pembeli dikukuhkan.
6. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Penjual belum melaporkan Faktur Pajak yang
dibatalkan di dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, maka
Pengusaha Kena Pajak Penjual harus tetap melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan mencantumkan nilai 0
(nol) pada kolom DPP, PPN atau PPnBM Pengusaha Kena Pajak pembeli atau
penerima Jasa Kena Pajak tersebut.
d. Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa
Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak atau pemberi Jasa Kena Pajak
untuk meyakinkan bahwa Faktur Pajak yang dilaporkan hilang tersebut sudah
dilaporkan sebagai Pajak Keluaran.
2. Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa kena Pajak.
a. Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak dapat mengajukan
permohonan tertulis untuk meminta copy dari Faktur Pajak yang hilang kepada
Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dengan tembusan
kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau
penerima Jasa Kena Pajak dikukuhkan dan kepada Kantor Pelayanan Pajak di
tempat Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan.
b. Berdasarkan permohonan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa
Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak membuat
copy dari arsip Faktur Pajak yang disimpan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau
pemberi Jasa Kena Pajak, untuk dilegalisir oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan. Copy dibuat
dalam rangkap 2 (dua), yaitu :
- Lembar ke-1 : diserahkan ke Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa
Kena Pajak melalui Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa kena Pajak.
- Lembar ke-2 : arsip Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan.
c. Legalisir diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak
penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan setelah meneliti asli arsip Faktur
Pajak dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena
Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak tersebut.
d. Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa
Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena
Pajak untuk meyakinkan bahwa Faktur Pajak yang dilaporkan hilang tersebut sudah
dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
b. Nomor Seri dan tanggal Faktur Pajak dari JKP yang dibatalkan;
c. Nama, alamat, dan NPWP penerima JKP;
d. Nama, alamat, NPWP PKP Pemberi Jasa Kena Pajak;
e. Jenis jasa dan jumlah penggantian JKP yang dibatalkan;
f. PPN atas JKP yang dibatalkan;
g. Tanggal pembuatan Nota pembatalan;
h. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota pembatalan.
5. Dianggap tidak terjadi pengembalian BKP atau pembatalan JKP jika Nota Retur
atau Nota Pembatalan tidak mencantumkan syarat-syarat yang harus dimuat dalam
Nota Retur atau Nota Pembatalan, tidak dibuat pada saat BKP dikembalikan atau JKP
dibatalkan dan tidak menyampaikan lembar ke-3 nota retur ke KPP pembeli sehingga
tidak dapat mengurangi Pajak Keluaran bagi penjual atau Pajak Masukan, atau harta,
atau biaya bagi pembeli.
6. Nota Retur atau Nota Pembatalan dibuat paling sedikit rangkap 2 (dua):
- lembar ke-1 : untuk PKP penjual/pemberi JKP
- lembar ke-2 : untuk arsip pembeli/penerima JKP
Jika pembeli BKP atau penerima JKP bukan PKP, Nota Retur atau Nota Pembatalan
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila
Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang
tergolong mewah.
c. PPN/ PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
SAAT TERHUTANG
SAAT PAJAK TERUTANG
Saat pajak terutang diatur dalam Pasal 11 UU PPN 1984 yang penjabarannyadilakukan
lebih lanjut dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 serta beberapa
Keputusan Direktorat Jendral Pajak untuk yang bersifat khusus.Pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun2012 mengatur tentang terjadinya peristiwa hukum atau
perbuatan hukum yang menimbulkan utang pajak.
Karena saat terutang sangat ditentukan oleh perbuatan hukumyang dilakukan atau
peristiwa hukum yang terjadi, maka dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2012 diatur lebih lanjut tentang saat suatu peristiwa hukum dilakukan atau suatu
peristiwa hukum terjadi, sebagai berikut :
1. Untuk BKP berwujud yang sifat atau hukumnya berupa barang bergerak terjadi
pada saat:
2. Penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukum berupa barang tidak
bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai
BKP berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
3. Penyerahan BKP tidak berwujud, terjadi saat :
4. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih ada pada saat pembubaran perusahaan ditentukan oleh
salah satu dari perbuatan hukum yang terjadi lebih dahulu yaitu pada saat :
5. Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan
dan pengambilalihan usaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 1A ayat 2 huruf d
UU PPN 1984 atau perubahan bentuk usaha, terjai pada saat :
6. Saat impor BKP terjadi saat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
7. Penyerahn JKP terjadi pada saat :
8. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah pabean
sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat 1 huruf d dan huruf e UU PPN 1984,
ditentukan perbuatan hukum yang terlebih dahulu dilakukan diantara tiga perbuatan
hukum dibawah ini, yaitu pada saat :
TARIF
Tarif dan Cara Penghitungan Tarif PPN
PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka
memudahkan melakukan kredit pajak. Dalam menghitung PPN terutang diberikan
beberapa contoh menghitung termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan
nilai lain, seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas
penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak
berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman Paket.
Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak maupun
pembayaran.
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama akhir
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP tersebut.
3. PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor, harus
Cara Penghitungan
PPN yang terutang atas pemanfaatan BKP dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean
dihitung dengan cara sebagai berikut:
10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada
pihak yang menyerahkan BKP/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau
seharusnya dibayarkan tidak termasuk PPN; atau
10/110 dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada
pihak yang menyerahkan BKP/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau
seharusnya dibayarkan sudah termasuk PPN.
Dalam hal tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk jumlah yang
dibayarkan atau seharusnya dibayarkan atau ditemukan adanya kontrak atau perjanjian
tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau
perjanjian sudah termasuk PPN, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung
sebesar 10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan
kepada pihak yang menyerahkan BKP/JKP dari luar Daerah Pabean
dibayarkan oleh pengusaha kena pajak berubah-ubah sesuai dengan pajak masukan
yang dibayarkan dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak.
Contoh :
PT.ABC melakukan penjualan komputer dengan perincian sebagai berikut :
Harga Jual Komputer Rp 10.000.000
PPN Rp 1.000.000 +
Harga Jual Komputer dan PPN Rp 11.000.000
Maka PPN sebesar 1.000.000 merupakan Pajak Keluaran bagi PT.ABC.
Pajak Keluaran dan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak dituangkan dalah
sebuah Faktur Pajak yakni bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan
Jasa Kena Pajak (JKP).
Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) digunakan nilai yang menjadi
Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Sedangkan untuk mengetahui PPN dan/atau PPn BM
yang terutang DPP tersebut dikalikan dengan tarif. Saat ini tarif ppn 10%, untuk
ekspor BKP (termasuk ekspor BKP yang tergolong mewah), JKP dan BKP tak
berwujud tarifnya 0%, sedangkan tarif PPnBM ditetapkan 10% s/d 100%
(pengenaanya diatur oleh menteri keuangan).
Berdasarkan UU PPN pasal 8A Dasar Pengenaan Pajak (DPP) terdiri dari;
1. Harga Jual
2. Penggantian
3. Nilai Impor
4. nilai ekspor
5. Nilai lain yang diatur oleh Menteri Keuangan
1. Harga Jual
Berdasarkan pasal 1 angka 18 UU PPN yang dimaksud dengan harga jual adalah nilai
berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Dari Pengertian tersebut dapat diambil 3 hal yang termasuk harga jual, yaitu;
Nilai nya berupa uang karena penyerahan BKP oleh Pengusaha kena Pajak.
termasuk semua biaya yang diminta atau seharunya diminta oleh penjual, contoh;
biaya angkut, asuransi ,dll.
tidak temasuk PPN dan potongan harga yang tercantum dalam FP.
2. Penggantian
Pengeritan penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 19 adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa
karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Dari pengertian tersebut dapat diambil 3 hal yang termasuk harga jual, yaitu;
Nilai berupa uang karena penyerahan JKP, ekspor BKP tak berwujud oleh
Pengusaha Kena Pajak atau yang dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan
JKP dan/atau BKP tak berwujud dari luar baerah pabean didalam daerah pabean.
termasuk semua biaya yang diminta atau seharunya diminta pengusaha
karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud.
tidak temasuk PPN dan potongan harga yang tercantum dalam FP.
3. Nilai Impor
Pengeritan penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 20 adalah nilai berupa uang
yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan
dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-undang PPN.
Dari pengertian tersebut dapat diambil 3 hal yang termasuk harga jual, yaitu;
Nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
termasuk pungutan lain berdasarkan peraturan undang-undang mengenai
kepabeanan dan cuka atas impor BKP.
tidak termasuk PPN dan PPn BM.
4. Nilai Ekspor
Pengeritan penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 26 adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain
Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak
yang diatur oleh menteri kuangan. Sampai saat ini menteri keuangan mengatur nilai
lain dalam pertauran menteri keuangan no. 75/PMK.03/2010 yang telah diubah
terakhir dengan peraturan no. 38/PMK.011/2013.
11. Sebesar 10% dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih untuk; 1) penyerahan
jasa pengiriman paket; 2) penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata;
3) penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang didalam
tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight
charges). Pajak Masukan yang berhubungan angka 10 dan 11 tidak dapat
dikreditakan.
FAKTUR PAJAK
A. PENGERTIAN FAKTUR PAJAK
Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP) atau oleh Ditjen Bea dan Cukai karena import BKP.
1. Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP atau penerima JKP sebagai bukti Pajak
Masukan
2. Lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan faktur pajak standart sebagai bukti
Pajak Keluaran
4. Dalam hal Faktur Pajak Standart dibuat lebih dari rangkap 2 (dua), maka
peruntukan lembar ketiga dan seterusnya harus dinyatakan secara jelas dalam faktur
pajak yang bersangkutan, misalnya, Lembar ke-3 : Untuk KPP dalam hal
penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada pemungut PPN
2. Dalam hal terdapat pembayaran sebelum penyerahan BKP / JKP atau terdapat
pembayaran sebelum faktur pajak gabungan tersebut dibuat, maka untuk
pembayaran tersebut dibuat faktur pajak tersebut pada saat diterima pembayaran.
3. Tanggal penyerahan / pembayaran pada faktur pajak diisi dengan tanggal awal
penyerahan BKP / JKP sampai dengan tanggal terakhir dari masa pajak yang dibuat
faktur pajak gabungan, dengan melampirkan daftar tanggal penyerahan dari masing-
masing faktur penjualan.
yang mengajukan permohonan untuk menggunakan e-Filing. Itu adalah syarat utama
agar bisa melakukan lapor SPT Masa PPN Online dan pajak online lainnya.
Agar lancar lapor SPT Masa PPN Online pastikan file yang akan diunggah
dalam format CSV
yang wajib diunggah nantinya adalah file CSV, sedangkan file PDF tidak
diwajibkan. Karena sudah disediakan upload file PDF manfaatkan untuk
upload bukti pendukungnya.
Anda tidak dapat mengunggah file PDF saja tetapi jika hanya file CSV bisa
diunggah.
Hanya 1 (satu) buah file csv yang dapat diunggah
Hanya 1 (satu) buah file pdf yang dapat diunggah
Karena lapor SPT Masa PPN sekarang harus output dari aplikasi e-faktur maka
pastikan CSV dan PDF merupakan hasil output dari aplikasi e-faktur.
Jangan merubah nama file baik CSV maupun PDF hasil aplikasi e-faktur
biarkan sesuai outputnya.
Jika mengunggah file PDF bukti lain silahkan convert kedalam PDF dan
ukuran terkecil serta bukan dari file hasil scan.
Apabila file CSV dan PDF yang anda miliki sudah sesuai format dan persyaratan.
Sebagai asumsi formalnya file CSV dan PDF hasil output dari aplikasi e-faktur. Jika
sudah, mulailah lapor SPT Masa PPN di DJP Online. Berikut caranya :
Login dengan akun yang telah anda buat di djponline.pajak.go.id. Masukkan NPWP
dan Password yang sudah anda miliki saat buat akun di DJP Online serta kode
keamanan yang tertera. Kemudian klik Login.
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus
dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.
2. Bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP karena penyerahan BKP atau JKP
atau bukti pungutan atas impor BKP digunakan oleh Dirjen Bea dan Cukai,
disebut.........
A. SSP
B. SPT
C. Faktur pajak*
D. Dokumen
3. Sanksi yang dikenakan terhadap Pengusaha Kecil yang membuat Faktur Pajak :
A. Tidak dikenakan sanksi
B. 2 % setiap bulan
C. 2 % dari DPP*
D. Denda Rp. 25.000
4. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya dibayarkan oleh PKP karena perolehan
BKP dan/atau JKP dan/atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah
pabean disebut :
A. Pajak Masukan*
B. Pajak Keluaran
C. Pajak Impor
D. Pajak Ekspor
8. Dibawah ini adalah DPP yang digunakan sebagai dasar penghitungan PPN,
kecuali………..
A. Harga Jual
B. Harga Beli*
C. Nilai Ekspor
D. Nilai Impor
9. Seorang pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
mempunyai kewajiban:
A. Membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP dan JKP;
B. Memungut, menghitung, dan menyetorkan PPN & PPn BM yang terutang
atas penyerahan BKP atau JKP atau ekspor BKP ;
C. Mengisi dan menyampaikan SPT Masa (paling lambat 20 hari setelah
berakhirnya Masa Pajak)
D. Semua jawaban Benar*
10. Faktur yang dapat digunakan sebagai bukti pungutan pajak sebagai sarana untuk
mengkreditkan pajak masukan disebut:
A. Faktur pajak standar sederhana
B. Faktur pajak tambahan
C. Faktur pajak on line
D. Faktur pajak standar*
11. Suatu faktur pajak dapat dikreditkan pada pajak keluaran maksimal:
A. Pada masa pajak yang sama
B. Bulan kedua setelah masa pajak berakhir
C. Bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir
D. Bulan ketiga setelah masa pajak berakhir*
12. Persyaratan formal yang harus dipenuhi untuk dapat mengkreditkan Pajak
Masukan adalah:
A. Yang dilakukan adalah penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa
Kena Pajak
14. Pajak Masukan berikut ini dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, kecuali :
A. Pajak Masukan yang dibayar setelah pengusaha dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak
B. Pajak Masukan atas pembelian Bahan Baku
C. Pajak Masukan atas perbaikan rumah peristirahatan perusahaan*
D. Pajak Masukan atas pembelian mesin produksi
16. Saat terutangnya PPN atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjual belikan dan atas persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan adalah, kecuali :
A. Saat ditandatanganinya akte pembubaran
B. Saat aktiva tersebut diserahkan langsung kepada Pembeli atau pihak
ketiga*
C. Saat diketahui bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak
melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan
D. Saat diketahui bahwa perusahaan telah bubar berdasarkan data atau
dokumen yang ada
17. Dasar pengenaan pajak atas transaksi penyerahan aktiva menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan adalah sebesar:
A. Harga pengganti
B. Harga jual*
C. Nilai lain
D. Nilai Buku Aktiva
A. Subyektif
B. Obyektif*
C. Langsung
D. Tidak ada jawaban yang benar
20. Berikut ini adalah merupakan hak yang dimiliki oleh Pengusaha Kena Pajak:
A. Mengajukan keberatan dan Banding
B. Melakukan Kompensasi dan Restitusi
C. Mengkreditkan Pajak Masukan
D. Semua jawaban benar*
1 1 April Perusahaan memesan bahan baku lokal kepada PT. Berantas total
sebesar Rp 300.000.000 belum termasuk PPN. Barang akan dikirim
bulan Mei
2 4 April PT. Mawar memesan baju untuk karyawannya dengan total pesanan Rp
500.000.000. Perusahaan menerima uang muka sebesar 20% dari total
pesanan ditambah nilai PPNnya. Penyelesaian baju dilakukan pada
bulan Mei
3 5 April Mengimport bahan baku sebesar 20.000 USD. Atas import ini cost
3.000 USD, insurance 1.000 USD. Bea masuk dikenakan 10% dari
CIF. Kurs KMK yang berlaku saat transaksi tersebut adalah Rp 13.400,
sedangkan kurs spot sebesar Rp 13.500.
6 10 April Menerima laporan dari Supermarket ABC bahwa barang yang terjual
selama bulan Maret sebanyak Rp 400.000.000 belum termasuk PPN.
7 11 April Menerima bahan baku yang dipesan PT. Kenanga pada Maret 2016
total sebesar Rp400.000.000. Atas bahan baku ini perusahaan telah
membayar DP 20%nya. Pada tanggal penerimaan tersebut perusahaan
membayar 60% dari total pesanan dan akan melunasi pada bulan Mei
2016.
8 12 April Membeli bahan baku kepada pemasok lokal secara kredit sebesar Rp
600.000.000 ditambah PPN. Barang diterima pada tanggal pembelian
beserta faktur pajaknya. Pembayaran baru dilakukan pada bulan Mei.
16 22 April Entitas membangun sendiri gedung kantor seluas 800m2. Biaya yang
dikeluarkan untuk pembangunan tersebut selama bulan April sebesar
Rp 220.000.000 untuk pembelian material dan biaya upah sebesar Rp
150.000.000. Nilai tanah Rp 200.000.000. Nilai pengeluaran untuk
pembelian material termasuk PPN masukan, perusahaan menerima
faktur pajak masukan atas pembelian material tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pajak (2015), 2016 Target Pajak Realistis Rp. 1.200 Triliun, 30
Desember, situs www.pajak.go.id
Jonathan Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Edisi Pertama.
Graha Ilmu: Yogyakarta.
Perpajakan; Konsep, Aspek Formal, Cetakan 2, Graha Ilmu, Yogyakarta Surat Edaran
Direktorat Jenderal Pajak No. 06/PJ/2009. Tentang Prosedur
Penyampaian e-SPT
Siti Kurnia Rahayu, dan Ely Suhayati. 2010. Perpajakan Indonesia Teori Dan Teknis
Perhitungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siti Kurnia Rahayu. 2010. Perpajakan Indonesia: Konsep dan Aspek Formal.
Yoygakarta; Graha Ilmu.
Siti Resmi. 2003. Perpajakan: Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat.
Tax Center Universitas Gunadarma. Modul Pelatihan Pajak Terapan Brevet A Dan B
Terpadu. Universitas Gunadarma, 2018
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. 2003. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
www.ortax.org
www.pajak.go.id
(http://Kliping/Bisnis_Dan_Ekonomi/24 Februari)
(http://acehprov.go.id/kepemerintahan)
www.pajakonline.com