Bagi saya disain cover buku ini menarik sekali. Sederhana tapi terkesan
elegan. Dominasi hitam dengan tambahan warna putih dan merah. Ini
rasanya cocok pula dengan bahasan penulis di buku ini yang menyimpan
"kengerian" masa depan manusia.
Tiga bagian utama buku dipisahkan oleh satu halaman khusus yang
bertuliskan Part 1, Part 2, dan Part 3. Di bawah tulisan masing-masing
Part, ada beberapa pertanyaan yang mewakili inti pembahasan di bab
tersebut.
Opini
Beberapa orang terkejut saat saya mem-posting buku ini pertama kali di
instagram karena memang tidak begitu populer di Indonesia, jauh
dibandingkan seri Sapiens. Jujur, saya pun tadinya tidak tahu ada buku
seri vintage mini karya Yuval Noah Harari jika tidak direkomendasikan
oleh Periplus Bandung untuk diulas. Sesuai dengan tipe bukunya yang
'vintage mini', disain cover buku ini menurut saya memang 'lampau' dan
sederhana ya. Tapi vintage dimana-mana juga menarik, begitupun
dengan disain buku ini. Sederhana dan mengena, ilustrasi bulat-bulat itu
sempat membuat saya menduga-duga apa arti dari gambar tersebut. Itu
pasti ilustrasi gambar koin. Buku ini juga mini, tipis hanya 155 halaman
totalnya. Tanpa preface, tanpa ini-itu, benar-benar buku yang berisi
'konten'nya saja. Senangnya adalah, buku ini nyaman dibawa kemana-
mana karena fisiknya yang kecil dan ringan.
Awal mula bahasan buku ini adalah jaman dimana manusia masih
menggunakan sistem barter dalam perdagangan. Jangan khawatir tidak
bisa memahami penjelasannya, karena Harari adalah salah satu penulis
yang mampu 'menyederhanakan' topik bahasannya sehingga bisa
dipahami oleh banyak orang. Begitupun dengan buku Money ini, tak perlu
khawatir dahi bakal berkerut, karena alih-alih bingung kita justru akan
asyik tersesat dalam sejarah uang berikut intriknya.
Money adalah buku yang berisi intisari dari buku Sapiens dan Homo Deus.
Isi buku ini meski saling bertautan, tapi seolah bisa dipisah menjadi dua
esay yang berbeda, yang satu bertopikkan uang serta ekonomi, dan
satunya lagi tentang liberalisme dan kemajuan teknologi kecerdasan
buatan. Dua topik ini memang dibahas di buku Sapiens dan Homo Deus.
Bahkan sebenarnya bahasan AI lebih banyak di buku 21 Lessons for The
21st Century, tapi karena Money diterbitkan lebih dahulu daripada buku
ketiga Harari tersebut maka tidak disinggung-singgung kaitan di antara
keduanya.
Fokus Harari di buku ini kurang lebih sama dengan Sapiens - Homo Deus
- 21 Lessons, yakni dengan mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi di masa depan, apa yang harus umat manusia lakukan sekarang
dan kemudian, untuk mencegah sisi negatif imbas kemajuan teknologi
Klik di sini untuk baca “Review Buku Sapiens – Yuval Noah Harari”
Klik di sini untuk baca “Review Buku Homo Deus – Yuval Noah Harari”
Klik di sini untuk baca “Review Buku 21st Lessons for The 21 Century –
Yuval Noah Harari”
Guns, Germs, and Steel adalah buku karya Jared Diamond, profesor
geografi dan fisiologi dari Universitas California (UCLA), yang diterbitkan
pertama kali di tahun 1997, dan setahun kemudian memperoleh
penghargaan Pulitzer Prize untuk kategori Non-fiction.
…..
Kalimat pembuka di Kata Pengantar buku ini bisa menjadi penunjuk
maksud penulisnya, “Buku ini hendak menyajikan riwayat singkat umat
manusia 13.000 tahun terakhir”. Dan, kalimat tanya yang ditulis Diamond
untuk memotivasi pembacanya sehingga bersedia meluangkan waktunya
untuk membaca buku ini adalah: “Mengapa sejarah berkembang secara
berbeda di berbagai dunia?”. Provokatif..
…..
Di bab pertama, Diamond mengutip pertanyaan Yali, penduduk asli Papua
yang menemaninya saat melakukan penelitian biologi disana, yang juga
menjadi pemicu keingintahuan pembaca, menjadi awal isi buku kajian
sejarah perkembangan budaya bangsa-bangsa di dunia ini: “Kenapa
kalian orang kulit putih membuat begitu banyak barang berharga dan
membawanya ke Papua, tapi kami orang kulit hitam memiliki begitu
sedikit barang berharga sendiri?”. Keahlian Diamond tentang aspek-aspek
lain evolusi manusia, sejarah, dan bahasa, menjadi modal untuk
menjawab pertanyaan Yali tersebut.
…..
Bila Why Nations Fail, karya Daron Acemoglu dan James Robinson,
beranggapan bahwa faktor manusia adalah penyebab utama perbedaan
nasib suatu bangsa, walaupun secara geografis dan sejarah bangsa2 yang
diperbandingkan tersebut hampir sama namun bisa berbeda
kesejahteraan, maka Jared Diamond dalam bukunya yg memenangkan
Pulitzer 1998 ini, menjadi menarik untuk dipelajari karena kesimpulan
yang berbeda, juga mengingat banyaknya dukungan data sejarah bangsa
yang berasal dari ribuan tahun yll. Kedua buku di atas membahas hal yg
kurang-lebih sama, yaitu mempertanyakan penyebab perbedaan
kesejahteraan bangsa-bangsa dengan sudut pandang kajian yang
berbeda. Faktor manusia, menurut Diamond hanyalah bagian
dari proximate factors (penyebab langsung), dan yang perlu digali lebih
lanjut adalah ultimate explanations (penyebab dasar). Kondisi fisik,
sosial, lingkungan seperti apakah yang bisa menyebabkan manusia bisa
menjadi proximate factor penentu kemakmuran?
…..
Perjalanan Diamond di Papua sebagai ahli Biologi Evolusi, menjadi titik-
tolak bahasan dalam buku ini. Sejarah perkembangan kehidupan manusia
Papua, Aborigin Australia, Maori banyak mendapat perhatian, selain juga
bangsa Erasia “Bulan Sabit Subur” (the Fertile Crescent), Afrika, Indian,
China dan Jepang, sebagai pusat perkembangan peradaban.
…..
Banyak pertanyaan dan penjelasannya disajikan dalam buku ini untuk
memancing pikiran kritis pembaca, misalnya “Mengapa sebagian orang
Eurasia dan bukan orang Aborigin, Australia, Afrika Sub-Sahara atau
penduduk asli Amerika yg berekspansi ke seluruh dunia?” atau “Mengapa
Eropa, bukan China?“.
…..
Penulisan buku ini juga dimotivasi oleh ketidakpuasan atas banyaknya
artikel sejarah perkembangan bangsa-bangsa yang dianggap Diamond
kurang komprehensif, karena pembahasan yang lebih dominan hanya
pada masyarakat Erasia dan Afrika Utara saja, yang saat itu sudah
mempunyai kemampuan baca-tulis, sehingga menurutnya memiliki tiga
kekurangan, yaitu:
…..
Pertama, semakin banyak orang tertarik pada kondisi sosial masyarakat
di luar masyarakat Erasia barat, yang meliputi sebagian besar penduduk
bumi dan mayoritas kelompok etnis, budaya, dan linguistik dunia.
Beberapa diantaranya bahkan sudah menjadi kekuatan ekonomi dan
politik dunia, dan beberapa lagi berpeluang untuk menyusul.
…..
Kedua, bagi orang yang secara spesifik berminat pada terbentuknya dunia
modern, uraian sejarah yang terbatas hanya pada perkembangan sejak
kemunculan tulisan, tidak dapat memberikan pemahaman yang
mendalam, karena sebenarnya masa pra-tulisan sebelum 3.000 SM
adalah akar dominasi Erasia barat di dunia modern.
…..
Ketiga, suatu uraian sejarah yang terfokus pada masyarakat-masyarakat
Erasia barat, sepenuhnya mengabaikan pertanyaan besar yang sudah
seharusnya diajukan. Mengapa justru masyarakat-masyarakat itu yang
menjadi berkuasa dan inovatif melebihi takaran sewajarnya? Atau,
mengapa semua unsur pendukung penaklukan itu muncul di Erasia barat,
dan hanya secara terbatas atau bahkan tidak muncul sama sekali di
tempat-tempat lain? Perlu penjelasan dasar lebih lanjut (ultimate
explanations).
…..
Memahami masyarakat-masyarakat Erasia barat pun mustahil dilakukan
jika perhatian terfokus hanya kepada masyarakat-masyarakat tersebut.
Untuk itu, perlu juga dipahami semua masyarakat lain, sehingga
masyarakat-masyarakat Erasia barat bisa ditempatkan di dalam konteks
yang lebih luas.
…..
Menurut Diamond, buku-buku lain mengenai sejarah dunia juga
cenderung terfokus pada peradaban-peradaban maju dan melek huruf di
Erasia selama 5000 tahun terakhir; semuanya membahas peradaban
penduduk asli Amerika pra-Kolumbus hanya sepintas lalu, dan
memberikan perhatian yang lebih sedikit lagi kepada sisa dunia selain
interaksinya dengan peradaban Erasia baru-baru ini. Sintesis sebab-
akibat historis yang bersifat global telah dijauhi oleh sebagian besar ahli
sejarah, karena merupakan permasalahan yang tampaknya tak
terpecahkan.
…..
Jadi, belum ada jawaban yang diterima secara umum terhadap
pertanyaan Yali. Di satu sisi, berbagai penjelasan hampiran sudah jelas:
suku bangsa tertentu mengembangkan senapan, kuman, baja dan faktor-
faktor lain yang menghasilkan kekuatan politik dan ekonomi sebelum
suku bangsa lain, sementara ada pula suku bangsa yang sama sekali
tidak pernah mengembangkan faktor-faktor tersebut. Di sisi lain,
penjelasan-penjelasan mendasar -misalnya, mengapa perkakas perunggu
muncul lebih awal di beberapa bagian Erasia namun muncul baru
belakangan dan di beberapa tempat saja di Dunia Baru, dan sama sekali
tidak muncul di Australia pribumi- tetap tak jelas.
…..
Sistematika Pembahasan
Diamond menyajikan buah pikirannya dalam 4 Bagian besar, yang
rasanya tidak harus dibaca secara berurutan mulai dari bagian depan
buku. Bagian Pertama “From Eden to Cajamarca” berisikan 3 bab,
dimulai dengan Bab 1 tentang kehidupan sosial manusia dan
penyebarannya sejak dari Afrika 7 juta tahun yangblalu, hingga masa
13.000 tahun setelah Jaman Es. Bab 2 tentang berbagai perubahan
lingkungan di berbagai benua, termasuk penyebaran Polinesia 3.200
tahun yang lalu ke berbagai kepulauan Pasifik. Bab 3 mengenai
penguasaan benua Amerika oleh bangsa Eropa, dengan kasus penaklukan
kepala suku Inka di Peru oleh Pizzaro dari Spanyol. Penguasaan atas
senjata, teknologi dan penyebaran penyakit, juga kemampuan baca-tulis,
menjadi isu penting dalam penaklukan, yang dibahas dalam bab ini.
…..
….
Membaca sejarah manusia, dan penyebarannya, selalu menarik. Untuk itu
perlu saya ringkaskan sedikit tulisan Diamond tentang hal ini sebagai
pengingat. Dimulai di Afrika 7 juta tahun yang lalu, berbagai temuan fosil
mengisyaratkan adanya evolusi menuju manusia yang berdiri agak tegak
sekitar 4 juta tahun yll, dan bertambahnya ukuran volume otak pada 2,5
juta tahun yll. Makhluk-makhluk tersebut dikenal secara berurutan
sebagsi Australopithecus, Africanus, Homo habilis dan Homo erectus.
Meskipun Homo erectus berbadan mirip manusia jaman modern, namun
ukuran otaknya masih setengah lebih kecil. Sudah melebihi fisik kera,
namun masih jauh dari manusia modern. Manusia pertama yang
menyebar keluar dari Africa adalah Homo erectus, yang fosilnya
ditemukan di pulau Jawa dan dikenal sebagai Manusia Jawa, berumur 1
juta tahun silam (ada yang berpendapat 1,8 juta tahun yll). Di Eropa,
kehadiran manusia diperkirakan baru 500 ribu tahun setelahnya.
Tengkorak Africa dan Eropa 500 ribu tahun silam tersebut mirip
tengkorak manusia modern, sehingga masuk dalam kategori spesies
Homo sapiens, meskipun volume otak masih lebih kecil dan sangat
berbeda dalam hal artefak dan perilaku. Saat itu, Australia dan Amerika
masih belum ada manusia.
…..
Populasi Eropa dan Asia Barat antara 130.000 dan 40.000 tahun yang lalu
diwakili oleh peninggalan kerangka, sebagai manusia Neanderthal, yang
masuk dalam spesies Homo Neanderthalensis. Mereka berkemampuan
mengubur sesamanya bila meninggal dan merawat sesamanya bila sakit.
Seperti halnya dengan manusia Afrika di jaman yang sama, mereka
belum mampu berburu binatang buas, bahkan memancingpun belum
dilakukan. Belum sepenuhnya dapat digolongkan sebagai manusia.
…..
Sejarah manusia modern mulai dikenal ketika ditemukan situs-situs Africa
Timur berupa perkakas batu dan perhiasan dari telur burung pada 50.000
tahun yang lalu, juga di Timur Tengah dan Eropa Tenggara. Dan 10.000
tahun kemudian, ditemukan artefak yang lebih modern di Eropa Barat
Daya, yang disebut manusia Cro-Magnon. Manusia yang secara biologis
dan perilaku bisa dianggap sebagai manusia modern. Peninggalan produk
seni berupa lukisan gua, patung dan alat musik adalah karya manusia
Cro-Magnon yang sudah banyak dikenal. Senjata pelontar tombak, panah
dan busur juga peralatan berburu seperti tali jala, tali pancing dan jerat,
menjadi penanda kemajuan manusia Cro-Magnon.
…..
Bagian Kedua, “The Rise and Spread of Food Production“, terdiri dari
7 bab yang intinya mengenai kemampuan bercocoktanam dan berternak
melalui domestikasi dari daerah lain, dan berubah dari budaya pemburu
menjadi produsen makanan sendiri. Namun, kemampuan tersebut tidak
merata di semua wilayah, sehingga proses domestikasi tidak terjadi.
Beberapa sentral produksi makanan mengalami kesulitan untuk menyebar
ke wilayah-wilayah lain. Penyebab utama perbedaan penyebaran tingkat
kemampuan berproduksi adalah orientasi “sumbu kontinen”. Sumbu
kontinen Eurasia adalah dominan barat-timur, sedangkan untuk Amerika
dan Afrika adalah utara-selatan. Bagian ini coba menjelaskan alasannya
secara rinci.
…..
Bagian Ketiga, “From Food to Guns, Germs, and Steel“, terdiri dari 4
Bab. Peran Kuman Penyakit dari Erasia lebih banyak membunuh
penduduk asli Amerika dan non-Erasia, daripada peran Senapan atau
senjata Baja. Ketidak-seimbangan penyebaran wabah mematikan ini
menjadi bahasan utama dalam Bagian Ketiga. Selain itu, kemampuan
memproduksi makanan dan baca-tulis ribuan tahun terakhir ini juga
menjadi penyebab kelebihan keberdayaan suatu kelompok di suatu
daerah dibanding kelompok di daerah lainnya.
…..
Bagian Keempat, “Around the World in Five Chapters“, terdiri dari 5
Bab yang membahas sejarah benua Australia, yang pada awalnya berada
dalam satu kawasan dengan pulau besar Papua. Perkembangan Aborigin
yang terlambat dan tetap menjadi pemburu pengumpul, dibanding orang
Papua yang sudah mulai berkebun, menjadi pokok bahasan dalam Bagian
4 ini. Masih dalam Bagian ini, juga dibahas tentang penaklukan Eropa
terhadap penduduk asli Amerika, yang disebabkan oleh faktor-faktor
perbedaan kemampuan domestikasi perkebunan dan peternakan, wabah
penyakit, lamanya pendudukan, orientasi sumbu kontinen, juga kesulitan-
kesulitan ekologis. Kelebihan besar dalam hal produksi makanan bangsa
Eurasia, dibanding penduduk asli Amerika, merupakan faktor dasar
(ultimate factor), sedangkan tingginya Kuman Penyakit, teknologi,
organisasi politik dan kemampuan baca-tulis bangsa Eurasia merupakan
faktor penyebab langsung (proximate factors) dalam penaklukan
penduduk asli Amerika oleh bangsa Eurasia.
…..
Menarik membaca bagian ini, mengingat saya sendiri pernah berada di
Papua selama 10 tahun, dan beberapa kali sempat mengunjungi berbagai
kota tambang di pedalaman Australia. Satu pertanyaan menggelitik dalam
bagian ini adalah “Bagaimana bisa ciri-ciri Papua itu tidak sampai ke
Australia?”. Selat Torres memisahkan daratan Papua dengan Australia
dan pulau Mabuiag berada di antaranya. Air sudah memisahkan keduanya
10.000 tahun yll. Babi, busur dan anak panah yang sangat melekat
dengan panduduk Papua, justru tidak dikenal oleh bangsa Aborigin
Australia, melainkan tombak dan pelontarnya lah yang menjadi senjata
utamanya. Aborigin Semenanjung York tidak melakukan pertanian
intensif spt Papua pegunungan, melainkan hidup dari konsumsi ikan. Tak
ada budaya Papua yg menyebar ke pedalaman Australia, kecuali kail ikan
dari cangkang kerang, juga perahu bercadik ala Papua. Genderang,
topeng upacara, tiang pemakaman dan pipa Papua juga diadopsi di
Semenanjung York. Mereka tidak memanfaatkan babi (sedikit atau
bahkan tidak ada) mgk krn kesulitan utk menyediakan makanannya.
Diamond berkesimpulan bahwa dahulu, Aborigin tidak pernah melihat
Papua, atau komunikasi Australia – Papua berhenti di Pulau
Mabuiag. Portugislah yang menemukan Papua 1526, lalu Belanda klaim
bagian Barat 1828 dan selanjutnya Inggris/Jerman klaim bagian Timur
Papua tahun 1884.
…..
“The Future of Human History as a Science“, merupakan bagian
Penutup dan ringkasan buku ini, dari hasil kajian sejarah manusia di
berbagai benua berdasar perkembangan budaya, anthropologi, linguistik,
arkeologi bahkan geologi. Disini dia dengan tegas menyatakan bahwa
“the striking differences between the long-term histories of peoples of the
different continents have been due not to innate differences in the
peoples themselves but to differences in their environments“. Ada
empat hal penyebab utama dalam perbedaan kondisi lingkungan
dimaksud, yaitu:
1. Spesies tanaman dan binatang liar sebagai sumber domestikasi
2. Kondisi alam di dalam masing2 benua, yang mempengaruhi
tingkat penyebaran dan migrasi
3. Kondisi alam perbatasan antar benua, yang mempengaruhi
tingkat penyebaran dan migrasi
4. Luas area atau total populasi. Budaya kompetisi dalam wilayah
yang padat dengan organisasi politik terpusat akan memicu
tumbuhnya penemuan untuk meningkatkan kemampuan produksi
dan akumulasi kelebihan makanan.
…..
Meskipun pembahasan sudah dilakukan secara panjang-lebar dari
berbagai sudut pandang keilmuan dalam buku yang tebal ini, namun
Diamond masih merasa jauh dari cukup untuk dapat menjawab
pertanyaan Yali di awal tulisan ini. “Compressing 13,000 years of history
on all continents into a 400-page book works out to an average of about
one page per continent per 150 years, making brevity and simplification
inevitable“. Sangat rumit dan terlalu menyederhanakan masalah, untuk
dapat menjawab pertanyaan Yali.
…..
Rekomendasi
Buku yang sangat lengkap dan rinci untuk memahami sejarah
perkembangan kebudayaan bangsa-bangsa sejak 13.000 tahun yang lalu
berdasar aspek budaya, arkheologi, anthropologi, linguistik, biologi dan
geografi. Sangat berharga untuk dibaca, meskipun sedikit melelahkan.
Bisa dikatakan buku ini merupakan hasil penelitian penulis selama lebih
dari 20 tahun. Termasuk juga perjalanan pencarian jati diri dalam
memaknai rahasia besar yang terdapat dalam tradisi-tradisi paling kuno,
mistis serta kaya. Tentunya wajar jika penulis mampu menghasilkan
sebuah karya luar biasa, hingga diganjar Nautilius Book Awards. Info
lengkap tentang perhargaan tersebut ada di sini.
Pada dasarnya, buku ini bisa dianggap sebagai panduan, alat bantu, yang
dapat diapliaksikan guna menguak misteri kehidupan sehari-hari. Menjadi
jembatan antara misteri dunia quantum dengan pengalaman hidup
sehari-hari. Kita akan dibawa lebih jauh untuk memahami makna
bagaimana penemuan-penemuan saintifik bisa membantu kita menjadi
sosok yang lebih baik dan bersama membangun dunia menjadi lebih
indah.
Terdiri dari 3 bagian dan 8 bab, dimana dalam tiap bab terdapat uraian
mengenai 20 Kunci Penciptaan Berkesadaran dalam tata letak yang
sengaja dibuat berbeda sehingga tak mungkin luput dari bacaan. Guna
memudahkan memahami, pada halaman belakang, membaca bisa
menemukan daftar 20 Kunci Penciptaan Berkesadaran dalam satu
halaman langsung.
Guna bisa menyerap inti buku ini, saya sangat menyarankan pembaca
meluangkan waktu khusus. Cari waktu yang tepat, carilah me time Anda.
Siapkan secangkir teh, kopi atau minuman hangat lainnya. Baca tiap
lembar dengan niat untuk mendapat tambahan pengetahuan dan rasa
bersyukur pada karuniaNYA selama ini. Bukan sekedar untuk menambah
jumlah buku yang sudah dibaca semata.
Kesalahan saya ketika membaca buku ini adalah waktu dan tempat yang
tidak tepat. Awalnya ketikaberada dalam kondisi kurang nyaman,
menyambar buku ini untuk dibaca. Butuh hiburan. Ternyata buku ini
adalah buku yang sebaiknya dibaca ketika hati dan pikiran tenang. Jika
tidak, saya harus mengulang halaman yang saya baca beberapa kali
untuk paham apa maksud penulis.
Keras kepala saya masih juga ada. Sudah tahu isi buku ini spesial, saya
tetap nekat membaca dengan seenaknya. Saya membacanya dalam
perjalanan ke dan dari kantor, di kereta api misalnya. Hasilnya sama,
saya harus mengulang bacaan untuk bisa mendapatkan intinya. karena
ketika bacaan terputus secara tiba-tiba, dan konsentrasi terganggu,
menjadi susah untuk menemukan dan memahami apa yang menjadi inti
uraian.
Walau demikian tak perlu khawatir, waktu yang Anda luangkan untuk
membaca dan memahami isi buku ini teramat sangat sebanding dengan
makna yang Anda temukan.
Bagi Anda yang ingin menjembatani realitas masa lalu dengan harapan
masa depan, maka buku ini sangat tepat untuk Anda baca.
AWS berusaha menjawab keraguan banyak orang mengenai kebenaran adanya Wali
Songo. Karena sesuai dengan apa yang ditulis KH Agus Sunyoto dalam buku ini,
sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia berusaha dipelintir oleh oknum
tertentu untuk seakan menghilangkan jejak para Wali Songo. Salah satu bukti adalah
tidak dicantumkannya sedikit saja perihal Wali Songo di dalam buku Ensiklopedia
Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve. Kalau Wali Songo tidak pernah ada,
bagaimana mungkin berbagai tempat yang diyakini sebagai makam mereka masih
ramai diziarahi oleh umat muslim Indonesia hingga saat ini?
Dalam buku ini penulis menjelaskan dengan sangat detail bagaimana agama Islam
disebarkan dengan cara yang amat sangat rapi, terstruktur, sistematis, merasuk ke
dalam budaya masyarakat nusantara saat itu yang dikenal memiliki karakter yang
cenderung kaku. Dibahas di beberapa bab awal buku ini bagaimana kondisi
masyarakat nusantara sebelum masuknya Islam. Ada satu fakta yang akan
membuat Anda terkejut.
Saya masih sangat ingat isi pelajaran sejarah ketika kecil dulu yang menyebutkan
bahwa agama penduduk pribumi nusantara sebelum masuknya agama Hindu
maupun Budha adalah dinamisme dan animisme. Sebuah aliran kepercayaan yang
seperti menuhankan benda-benda (dinamisme), atau kepercayaan terhadap para
leluhur (animisme). Namun ternyata kepercayaan animisme dinamisme tersebut
pada dasarnya adalah sebuah kepercayaan kuno asli nusantara yang belum pernah
saya dengar hingga saya membaca buku AWS. Kepercayaan tersebut bernama
kapitayan. Dan tahukah Anda bagaimana para pengikut kapitayan ini
bersembahyang. Bersiaplah untuk terkejut.
Oke… Buku ini memang tidak serta merta langsung membahas mengenai Wali
Songo. Penulis berusaha dengan detail membahas bagaimana kondisi geografis
nusantara saat itu. Bagaimana kondisi penduduk kuno kepulauan nusantara, hingga
darimana nenek moyang kita berasal. Hal ini penting diketahui, untuk menjawab
pertanyaan mengapa para penyebar agama Islam saat itu harus menyusun strategi
khusus. Bagaimana kondisi penduduk nusantara sebelum memeluk agama Hindu,
Budha, hingga Islam, menurut saya dibahas dengan sangat lengkap oleh penulis.
Bahkan, menurut hemat saya, nampak lebih lengkap daripada deskripsi bab lain.
Bab ketiga buku ini membahas kondisi kerajaan nusantara terbesar di masa itu,
Majapahit, sebelum masa-masa intens penyebaran agama Islam oleh Wali Songo.
Penyebaran agama Islam di nusantara bertepatan dengan semakin kendornya
kekuasaan Majapahit. Di awal agama Islam mulai tersebar, banyak pejabat kerajaan
Majapahit yang sudah memeluk agama Islam. Mereka tidak dilarang oleh kerajaan,
dan justru diberi daerah kekuasaan tersendiri. Kebijakan inilah yang akhirnya menjadi
bumerang bagi Majapahit, disamping juga perang perebutan kekuasaan yang tak
kunjung usai.
Melalui buku ini pula, KH Agus Sunyoto berusaha meluruskan fakta sejarah penting.
Benarkah kerajaan Islam pertama di pulau Jawa adalah Demak? Ternyata salah!
Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa adalah kerajaan Lumajang. Jika Demak
berdiri di abad 15, kerajaan Lumajang berdiri di kisaran abad 12. Justru berdasarkan
sisa-sisa artefak dan ideofak yang ada, Demak adalah kerajaan Islam kelima di Jawa
setelah Lumajang, Surabaya, Tuban, dan Giri. Dijelaskan pada bab ketiga buku ini,
saat itu kerajaan Lumajang berada di bawah kerajaan Tumapel (Singhasari).
Bab keempat hingga ketujuh Atlas Wali Songo ini membahas dengan cukup lengkap
bagaimana para Wali Songo menyebarkan ajaran agama Islam, dan berhasil
mengislamisasi penduduk nusantara. Berbagai metode dakwah para wali dibahas
dengan lengkap, termasuk melalui jalur politik, pendidikan, budaya, hingga
pernikahan. Karakter masing-masing wali dan cara mereka menyebarkan ajaran
Islam dibahas mendetail di masing-masing sub-bab. Tak hanya itu, buku ini juga
mengungkap bagaimana asal-usul, nazab, serta gerakan dakwah masing-masing
wali.
Disebutkan pula pada bab akhir buku ini bahwa pola pendidikan ala pesantren
merupakan hasil asimilasi budaya pendidikan Hindu-Budha dengan Islam. Ini adalah
salah satu fakta yang membuka mata saya juga. Sebab, budaya pesantren tidak
dikenal di negara-negara lain selain Indonesia. Diyakini juga, pola pendidikan
pesantren memiliki efek besar terhadap proses Islamisasi penduduk nusantara di
samping dakwah melalui jalur kesenian.
Buku ini juga mengungkap bagaimana penyebaran Islam melalui jalur budaya tidak
bisa kita lupakan begitu saja. Berbagai adat istiadat yang dikembangkan di jaman
kerajaan Demak, banyak yang syarat makna religius, dan oleh karena itulah masih
dilestarikan hingga saat ini.
Secara umum menurut saya buku ini sangat bagus. Detail sejarah yang disajikan
sangat lengkap. Namun bagi saya, atau Anda, yang menikmati cerita sejarah hanya
sebagai sesuatu yang “nice to know” saja, mungkin akan sedikit bosan membaca
buku ini. Hal ini tidak lepas dari tujuan utama ditulisnya buku ini yang ingin dibuat
sebagai “text book“, untuk meluruskan beberapa sejarah yang sedikit melenceng.
Banyak dari buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah, harus direvisi karena
beberapa fakta baru yang diungkap oleh KH Agus Sanyoto melalui Atlas Wali Songo.
Buku ini lebih cocok sebagai rujukan bagi para guru sejarah, mahasiswa sejarah,
praktisi, serta para sejarawan lain. Namun demikian, siapapun Anda yang menikmati
sejarah, memiliki rasa penasaran dengan bagaimana Islam menjadi dominan di
Indonesia, bagaimana beberapa adat budaya bisa bernafaskan Islam, ataupun ingin
tahu bagaimana sepak terjang para Wali Songo, saya yakin Anda akan menikmati
keterkejutan fakta-fakta baru yang menarik di dalam buku ini.
Selama ini, terdapat sebagian kalangan yang meragukan kiprah Walisongo dalam menyebarkan
Islam di Nusantara. Mereka bahkan beranggapan bahwa kisah tentang Walisongo sekadar mitos
atau legenda. Alasannya, tidak mungkin Islam menyebar begitu meluas hanya dapat tempo yang
sebentar. Padahal, berabad-abad sebelumnya, Islam mengalami banyak kesulitan untuk
menyebar di Nusantara, khususnya di Jawa.
Memang diakui, pada awalnya tidak mudah bagi Islam untuk masuk dan berkembang di
Nusantara. Bahkan dalam catatan sejarah, dalam rentang waktu sekitar 800 tahun, Islam belum
bisa berkembang secara massif. Catatan Dinasti Tan dari China menulis, saudagar-saudagar
dari Timur Tengah sudah datang ke kerajaan Kalingga di Jawa pada tahun 674 M, yakni dalam
masa peralihan Khalifah Ali bin Abi Thalib ke Muawiyah. Pada abad ke-10, sejumlah rombongan
dari suku Lor Persia datang ke Jawa. Mereka tinggal di suatu daerah di Ngudung (Kudus),
sehingga dikenal sebagai Loram (dari kata Lor). Mereka juga membentuk komunitas-komunitas
di daerah lain, seperti di Gresik yang dikenal dengan daerah Leran. Tapi tidak ada cerita
perkembangan Islam selanjutnya.
Selain itu, berdasarkan catatan Jawa ditulis, Sultan Algabah dari Rum, mengirim 20.000
keluarga ke Jawa, namun semuanya mati terbunuh, dan hanya menyisakan 200 keluarga. Sang
Sultan pun murka. Agar Islam tetap berkembang di Jawa, Sultan pun mengirim orang-orang
yang dianggap wali dan memiliki karomah, salah satu tokohnya adalah Syeikh Subakir yang
terkenal numbali tanah Jawa agar bisa ditempati. Pada abad ke-10 tersebut, Syeikh Subakir
mengelilingi Jawa dan kemudian kembali lagi ke Rum. Setelah itu, tidak diketahui Islam
berkembang atau tidak.
Dalam catatannya, Marcopolo menulis, ketika kembali dari China ke Italia tahun 1292 M, ia tidak
melewati Jalur Sutera, tetapi melewati laut menuju Teluk Persia. Ia singgah di kota pelabuhan
Perlak Aceh yang terletak di selatan Malaka. Menurutnya, di Perlak, ada tiga kelompok
masyarakat, yaitu (1) China, yang seluruhnya beragama Islam; (2) Barat (Persia), yang
seluruhnya beragama Islam; dan (3) pribumi, yang menyembah pohon, batu, dan roh, bahkan di
pedalaman masih memakan manusia.
Seratus tahun setelah Marcopolo, datanglah Laksamana Cheng Ho ke Jawa tahun 1405. Ia
mencatat, ketika singgah di Tuban, ia menemukan ada 1000 keluarga China beragama muslim.
Di Gresik juga ada 1000 keluarga China beragama muslim, demikian juga di Surabaya ada 1000
keluarga China beragama muslim. Pada kunjungan Cheng Ho yang ketujuh (terakhir) ke Jawa
pada tahun 1433, ia mengajak juru tulisnya yang bernama Ma Huan. Menurut catatan Ma Huan,
kota-kota di pantai-pantai utara Jawa, penduduknya yang China dan Arab beragama muslim,
sedangkan penduduk pribumi rata-rata kafir sebab menyembah pohon, batu, dan roh.
Tujuh tahun setelah itu, yakni tahun 1440, datanglah seorang wali dari negeri Campa (Vietnam
Selatan) ke Jawa beserta keluarganya, yaitu Syeikh Ibrahim Samarqandi dan dua putranya, Ali
Murtadho dan Ali Rahmat. Mereka tinggal di daerah Tuban, tepatnya di Desa Gisikharjo Kec.
Palang. Namun belum sempat berkembang, Syeikh Ibrahim meninggal dan dimakamkan di
sana. Kedua putranya pun menuju Majapahit, sebab bibinya dinikahi raja Majapahit. Oleh raja,
keduanya diangkat sebagai pejabat. Ali Murtadho sebagai raja pendeta (menteri agama) untuk
orang-orang Islam, sedangkan Ali Rahmat sebagai imam di Surabaya. Ali Rahmat inilah yang
kemudian dikenal sebagai Raden Rahmat Sunan Ampel.
Dari Sunan Ampel, lahirlah Sunan Bonang dan Sunan Drajat, serta putri-putrinya, kemudian
murid-muridnya, seperti Sunan Giri dan Raden Fatah. Dari sini kemudian terbentuklah
Walisongo. Ketika pertama datang tahun 1440, Sunan Ampel waktu itu belum menikah. Dan
pada tahun 1470 atau butuh waktu sekitar 30 tahun inilah, Sunan Ampel mengembangkan Islam
di tanah Jawa, sembari putra-putri dan murid-muridnya tumbuh dewasa. Inilah dimulainya era
Walisongo, yakni pada tahun 1470.
Sekitar 40 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1513, seorang Portugis bernama Tome Pires
datang ke Jawa. Ia mencatat, sepanjang pantai utara Jawa, penguasanya adalah para adipati
muslim. Padahal sebelumnya, menurut Ma Huan pada tahun 1433, sepanjang pantai utara Jawa
adalah kafir. Ini mengindikasikan bahwa Islam berkembang secara massal baru sejak era
Walisongo.
Kesaksian lainnya, pada tahun 1522, Antonio Pigafetta, seorang pengelana dari Italia yang
menumpang kapal Portugis datang ke Jawa, ia menyaksikan penduduk pribumi di sepanjang
utara Jawa seluruhnya muslim. Di pedalaman masih ada kerajaan majapahit, rajanya Raden
Wijaya, namun sudah tidak berkembang. Sekali lagi, inilah bukti Islam berkembang luas baru
pada era Walisongo.
Pertanyaannya: mengapa hanya dalam kurun waktu 40-50 tahun Islam diterima begitu meluas di
Jawa, padahal sebelumnya sangat sulit berkembang? Faktor kesuksesan dakwah Walisongo
salah satunya adalah dengan mengembangkan peradaban yang ditinggalkan Majapahit menjadi
sebuah peradaban baru yang akarnya Majapahit tapi cirinya Islam. Contohnya, sampai era
Demak awal, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok besar, seperti era majapahit.
Pertama, Golongan Gusti, yakni orang-orang yang tinggal di dalam keraton. Kedua, Golongan
Kawula, orang yang tinggal di luar keraton.Gusti artinya tuan, kawula artinya budak, yang tidak
mempunyai apa-apa, hanya memiliki hak sewa, bukan hak milik, sebab yang punya adalah
tuannya (gusti). Jadi, pada era Majapahit, semua hak milik adalah milik keraton. Jika raja ingin
memberi seorang kawula yang berjasa, ia diberi tanah simah/perdikan.
Yang dirintis Walisongo, terutama Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, adalah mengubah
struktur masyarakat gusti dan kawula yang tidak relevan dan tidak manusiawi tersebut.
Digunakanlah struktur komunitas baru yang disebut “masyarakat”, berasal dari istilah
Arab,musyarakah, yang berarti komunitas yang sederajat dan saling bekerjasama.
Salah satu metode Walisongo adalah dengan mengubah mindset masyarakat.
Golongangusti menyebut kata ganti dirinya: intahulun, kulun atau ingsun. Sedangkan
golongankawula menyebut kata ganti dirinya: kulo atau kawula. Orang Sunda
menyebutnya: abdi; orang Sumatera: saya atau sahaya; orang Minang: hamba atau ambo.
Walisongo mengubah semua sebutan yang berarti budak tersebut, dan diganti dengan ingsun,
aku, kulun, atau awak, dan sebutan lain yang tidak mewakili identitas budak. Itulah konsep
masyarakat yang tidak membedakan panggilan antara golongan gusti dan kawula. Bahkan
dalam bahasa Kawi, tidak ada istilah “masyarakat”, “rakyat”, dan sebagainya.
Pada zaman Majapahit, selain golongan gusti, orang tidak mempunyai hak milik, seperti rumah,
ternak, dan seterusnya, sebab semuanya milik keraton. Kalau keraton punya hajat, seperti ingin
membangun jembatan atau candi dan membutuhkan tumbal, maka anak dari
golongan kawula yang diambil dan dijadikan korban. Dengan mengubah struktur masyarakat,
golongan kawula akhirnya bisa menolak karena merasa sederajat.
Orang Jawa era Majapahit terkenal arogan. Prinsip hidupnya adalah adigang adigung adiguna.
Mereka bangga jika sudah bisa menundukkan dan merendahkan orang lain. Menurut kesaksian
Antonio Pigafetta, pada waktu itu, tidak ada orang yang sombong melebihi orang Jawa. Kalau ia
sedang berjalan, dan ada orang dari bangsa lain juga berjalan tetapi di tempat yang lebih tinggi,
maka akan disuruh turun. Jika menolak, akan dibunuh. Itulah watak orang Jawa. Sehingga
dalam bahasa Jawa asli (Kawi), tidak dikenal istilah “kalah”. Kalau seseorang berselisih dengan
orang lain, maka yang ada adalah “menang” atau “mati”. Walisongo kemudian mengembangkan
istilah ngalah, bukan dari asal kata kalah, tetapi bermakna
seperti ngalas (menuju alas) ngawang (menuju awang-awang), maka ngalah berarti menuju
Gusti Alah, yakni tawakkal.
Sebagai bukti kesombongan orang Jawa adalah ketika utusan dari China mengirimkan pesan
dari rajanya kepada ke Raja Kertanegara, karena tersinggung, utusan tersebut dilukai.
Istilah carok di Madura juga berasal dari tradisi Jawa Kuno. Carok dalam bahasa Kawi berarti
berkelahi; warok berarti tukang berkelahi; dan Ken Arok disebut sebagai pemimpin tukang
berkelahi. Oleh Walisongo, dikenalkan istilah baru, seperti sabar, adil, tawadhu’, dan
sebagainya.
Walisongo melihat sebetulnya agama Hindu dan Buddha hanya dipeluk oleh kalangan Gusti di
keraton-keraton. Masyarakat umumnya beragama Kapitayan, yakni pemuja Sang Hyang
Taya. Taya artinya suwung, kosong. Tuhannya orang Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa
digambarkan. Taya didefinisikan secara sederhana dengan “tan keno kinaya ngapa”, tidak bisa
diapa-apakan, dilihat, dipikir, dibayangkan. Kekuatan Sang Hyang Taya inilah yang kemudian
ada di berbagai tempat, seperti di batu, tugu, pohon, dan disitulah mereka melakukan sesaji.
Agama Kapitayan inilah agama kuno yang dalam arkeologi, sisa-sisa peninggalannya dikenal
dalam istilah Barat dengan dorman, menhir, sarkofagus, dan lainnya yang menunjukkan ada
agama kuno di tempat itu. Oleh sejarawan Belanda, hal ini disebut sebagai animisme dan
dinamisme, karena memuja pohon-pohon, batu, dan ruh. Sedangkan menurut istilah Ma Huan,
praktik seperti ini disebut kafir.
Nilai-nilai agama Kapitayan ini diambil alih oleh Walisongo, dalam menyebarkan Islam. Sebab
konsep tauhid Kapitayan sama dengan Islam. Tan keno kinaya ngapa sama artinya dengan laisa
kamitslihi syai’un. Istilah-istilah yang digunakan Walisongo pun masih istilah Kapitayan, seperti
menyembah tuhan disebut sembahyang (sembah hyang taya). Tempat ibadah Kapitayan disebut
sanggar, yakni bangunan empat persegi yang pada dindingnya ada lubang kosong (simbol dari
Sang Hyang Taya, bukan patung atau arca seperti Hindu Buddha). Walisongo menyebutnya
langgar.
Dalam Kapitayan, ada juga ritual berupa tidak makan dari pagi sampai malam. Walisongo tidak
menggunakan istilah shaum atau siyam, tapi upawasa (puasa, poso). Poso dino pituberarti yaitu
puasa padi hari kedua dan kelima. Nilainya sama dengan puasa tujuh hari. Dalam Islam, dikenal
dengan Puasa Senin Kamis. Tumpeng dalam sesaji juga tetap dijalankan. Inilah yang dalam
istilah Gus Dur disebut “mempribumikan Islam”.
Pada zaman Majapahit, ada upacara “sraddha”, yakni upacara setelah 12 tahun kematian
seseorang. Ketika terjadi peringatan sraddha seorang raja Majapahit, Bhre Pamotan Sang
Sinagara, seorang pujangga, Mpu Tanakung, membuat kidung “Banawa Sekar” (Perahu Bunga),
untuk menunjukkan betapa upacara itu dilaksanakan dengan penuh kemewahan dan
kemegahan. Masyarakat pantai atau sekitar telaga menyebut tradisi tersebut dengan
istilah sadran atau nyadran (dari kata sraddha).
Walisongo yang berasal dari Campa juga membawa tradisi keagamaan, seperti peringatan 3
hari, 7 hari, 40 hari, 10 hari, 1000 hari kematian seseorang. Tradisi ini adalah tradisi Campa,
bukan tradisi asli Jawa, bukan juga tradisi Hindu. Sebab tradisi tersebut juga ada di sebagian
Asia Tengah, seperti Uzbekistan dan Kazakhstan. Dalam buku-buku tentang Tradisi di Campa,
akan diketahui bahwa peringatan tersebut sudah ada sejak dulu.
Dalam tahayul Majapahit, hanya dikenal Yaksa, Pisaca, Wiwil, Raksasa, Gandharwa, Bhuta,
Khinnara, Widyadhara, Ilu-Ilu, Dewayoni, Banaspati, dan arwah leluhur. Orang Majapahit
terkenal sebagai orang yang rasional. Mereka pelaut dan mengenal orang-orang dari China,
India, Arab, dan sebagainya. Dalam zaman Islam yang terpengaruh dari Campa, muncul banyak
tahayul, seperti pocong. Ini jelas berasal dari keyakinan Islam, sebab orang Majapahit matinya
dibakar dan tidak dipocong. Ada juga kuntilanak, tuyul, hingga Nyai Roro Kidul atau Ratu Laut
Selatan yang muncul belakangan, sebab laut mana saja, oleh orang Majapahit, akan dilewati.
Era Walisongo, tidak ada penyebaran Islam dengan kekerasan senjata. Baru zaman Belanda,
terutama pasca Perang Diponegoro, Belanda betul-betul kehabisan dana, sehingga berhutang
jutaan gulden. Setelah Diponegoro ditangkap, ternyata pengikutnya tetap tidak pernah tunduk.
Belanda akhirnya melakukan dekonstruksi cerita-cerita tentang Walisongo, seperti pada Babab
Kediri. Dari babad inilah muncul kitab Darmo Gandul dan Suluk Gatholoco. Yang mengarang
kitab ini bernama Ngabdullah, orang Pati, yang karena kemiskinan, membuatnya murtad menjadi
Nasrani. Ia kemudian berganti nama menjadi Ki Tunggul Wulung dan menetap di Kediri.
Dalam serat karangannya, terdapat banyak cerita yang bertolak belakang dengan kenyataan
sejarah, seperti Demak menyerang Majapahit tahun 1478 dan munculnya tokoh fiktif Sabdo
Palon Naya Genggong yang bersumpah bahwa 500 tahun setelah penyerangan itu, Majapahit
akan bangkit kembali. Padahal menurut naskah yang lebih otentik dan lebih kuno, pada tahun itu
yang menyerang Majapahit adalah Raja Girindrawardhana, raja Hindu dari Kediri. Saking
kuatnya dongeng itu, membuat Presiden Soeharto begitu percaya sehingga menetapkan
disahkannya Aliran Kepercayaan pada tahun 1978 (500 tahun setelah 1478) sebagai simbol
kebenaran sumpah Sabdo Palon akan kebangkitan Majapahit.
Demikian juga diskriminasi melalui lembaga sekolah. Menurut taktik Belanda ini, umat Islam bisa
ditundukkan kalau anak-anak muslim dijadikan sebagai manusia modern dengan mengirim
mereka ke sekolah, sebab pesantren resistensinya sangat tinggi. Dari sekolah inilah umat Islam
menjadi modern, sehingga muncul Serikat Dagang Islam yang kemudian menjadi Serikat Islam
(1912), Muhammadiyyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persis (1923), dan sebagainya. Mereka
adalah golongan orang-orang yang berpikiran modern. Dengan cara inilah Belanda
menundukkan umat Islam. Buktinya, PKI lahir dari orang-orang sekolah, yakni dari SI Merah. SI
pecah menjadi dua: SI Merah dan SI Hijau. SI Merah kemudian menjadi Serikat Rakyat yang
pada Mei 1920 menjadi PKI. Sedangkan mereka yang di pesantren dituduh tradisional, primitif,
dan tempatnya TBC (Tahayul Bid’ah, Churafat). Orang-orang pesantren ini akhirnya bertahan
dengan mendirikan NU pada tahun 1926.
Warisan Walisongo terputus ketika pesantren meninggalkan tulisan Jawa. Pada abad ke-17
hingga 18, terutama setelah Terusan Suez dibuka, orang banyak pergi haji ke Tanah Suci.
Pengaruh Timur Tengah pun mulai muncul. Salah satunya, munculnya tulisan pegon yang tanpa
diduga akhirnya menjadi mainstream di pesantren. Dampaknya, pesantren tidak mewarisi
warisan Walisongo yang tertulis dalam tulisan Jawa. Padahal peradaban baru pasca Majapahit
adalah peradaban warisan Walisongo sangat tinggi nilainya, dan ditulis dalam tulisan Jawa.
Dalam teknologi metalurgi peleburan besi dan baja, misalnya, orang-orang Majapahit bisa
membuat pusaka, keris, tombak, panah, bahkan barunastra, yakni panah yang berfungsi seperti
torpedo air yang jika ditembakkan bisa membuat kapal jebol. Bahkan kerajaan Demak mampu
membuat meriam-meriam ukuran besar dan diekspor ke Malaka, Pasai, bahkan Jepang. Fakta
Jepang pernah membeli meriam dari Demak bersumber dari catatan bahwa ketika Portugis
menaklukkan pelabuhan Malaka, benteng Malaka dilengkapi oleh meriam-meriam ukuran besar
yang didatangkan dari Jawa. Portugis yang baru datang dari Eropa, kapal-kapal mereka dijebol
meriam ketika mendekati pelabuhan Malaka. Buktinya saat ini bisa dilihat di Benteng Surosowan
Banten, dimana di depannya ada meriam bernama “Ki Amuk” yang besar. Orang bisa masuk ke
lubang meriam menggambarkan besarnya meriam yang ditembakkan. Bahkan capnya pun
masih ada, yakni buatan Jepara. Istilah “bedil besar” dan “juru mudining bedil besar”
menggambarkan meriam dan operator meriam. Itulah teknologi militer era Walisongo.
Bahkan dalam peradaban berbuasana, pada era Walisongo muncul pakaian kemben, surjan,
dan sebagainya. Padahal zaman Majapahit, orang-orang tidak berpakaian sempurna. Ini bisa
dilihat pada relief-relief candi, dimana laki-laki dan perempuan bertelanjang dada.
Zaman Majapahit, keseniannya adalah “wayang beber”, sedangkan era Walisongo adalah
“wayang kulit”. Ceritanya tentang Mahabharata, oleh Walisongo dibuat versinya sendiri yang
berbeda dengan versi asli India. Dalam versi India, Pandawa Lima memiliki satu istri, Drupadi. Ini
berarti konsep poliandri. Walisongo mengubah konsep tersebut dengan menceritakan bahwa
Drupadi adalah istri Yudhistira, saudara tertua. Werkudara atau Bima istrinya Arimbi, yang
kemudian kawin lagi dengan Dewi Nagagini yang memiliki anak Ontorejo dan Ontoseno, dan
seterusnya. Digambarkan bahwa semua Pandawa berpoligami. Padahal versi aslinya, Drupadi
berpoliandri dengan lima pandawa.
Demikian halnya dalam cerita Ramayana. Hanuman memiliki dua ayah, yakni Kesari Raja
Maliawan dan Dewa Bayu. Oleh Walisongo, Hanuman disebut sebagai anak dari Dewa Bayu.
Walisongo bahkan membuat silsilah bahwa dewa-dewa itu keturunan Nabi Adam. Hal ini bisa
dilihat dari pakem pewayangan Ringgit Purwa di Pustaka Raja Purwa Solo, yakni suatu pakem
untuk para dalang. Jadi pakem yang dipakai para dalang itu adalah pakem Walisongo, bukan
pakem India. Wayang inilah tontonan sekaligus tuntunan dalam dakwah Islam Walisongo.
Dalam dunia sastra, Majapahit mengenal kakawin dan kidung. Oleh Walisongo, ditambah
dengan berbagai tembang, seperti tembang gedhe, tembang tengahan, dan tembang alit.
Berkembang pula tembang macapat di daerah pesisir. Kakawin dan kidung hanya bisa dipahami
oleh pujangga. Tetapi untuk tembang, masyarakat buta huruf pun bisa. Inilah metode Dakwah
Walisongo melalui jalur kesenian dan kebudayaan.
Contoh lain, slametan yang dikembangkan Sunan Bonang dan kemudian sunan-sunan yang
lain. Dalam agama Tantrayana yang dianut oleh raja-raja di Nusantara, salah satu sektenya
adalah Bhairawa Tantra yang memuja Dewi Pertiwi, Dewi Durga, Dewi Kali, dan lainnya. Ritual
mereka dengan membuat lingkaran yang disebut ksetra. Yang terbesar di Majapahit
adalah ksetra laya, sehingga sekarang disebut daerah Troloyo.
Ritual tersebut dikenal dengan upacara Panca Makara (lima ma, malima),
yaitu mamsa(daging), matsya (ikan), madya (arak), maithuna (seksual), dan mudra (semedi).
Laki-laki dan perempuan membentuk lingkaran dan semuanya telanjang. Di tengahnya
disediakan daging, ikan, dan arak. Setelah makan dan minum, mereka bersetubuh (maituna)
beramai-ramai. Setelah memuaskan berbagai nafsunya tersebut, baru mereka bersemedi. Untuk
tingkatan yang lebih tinggi, mamsa diganti daging manusia, matsa diganti ikan sura (hiu),
dan madya diganti darah manusia.
Di Musem Nasional Jakarta, ada patung tokoh bernama Adityawarman yang tingginya tiga meter
dan berdiri di atas tumpukan tengkorak. Dialah pendeta Bhairawa Tantra, pengamal
ajaran malima. Dia dilantik menjadi pendeta Bhairawa dengan gelar Wisesa Dharani, penguasa
bumi. Digambarkan, ia duduk di atas tumpukan ratusan mayat dan minum darah sambil tertawa
terbahak-bahak.
Melihat hal tersebut, akhirnya Sunan Bonang membuat acara yang mirip. Ia masuk ke Kediri
sebagai pusatnya Bhairawa Tantra. Tidak heran jika semboyan Kediri sekarang adalah Canda
Bhirawa. Sunan Bonang berdakwah ke Kediri tapi tinggal di baratnya sungai, yakni di Desa
Singkal Nganjuk. Di situ ia mengadakan upacara serupa, membuat lingkaran, tetapi pesertanya
laki-laki semua, dan di tengahnya ada makanan, lalu berdoa. Inilah yang disebut tradisi kenduri
atau slametan. Dikembangkan dari kampung ke kampung untuk menandingi
upacara malima (Panca Makara). Oleh karenanya Sunan Bonang juga dikenal sebagai Sunan
Wadat Cakrawati, sebab menjadi pimpinan atau imam Cakra Iswara (Cakreswara).
Jadi di daerah pedalaman dulu, orang disebut Islam jika sudah baca syahadat, khitan, dan
slametan. Jadi malima itu aslinya bukan maling, main, madon, madat, dan mabuk, tapi lima
unsur Panca Makara. Islam pun berkembang karena masyarakat tidak mau anaknya dijadikan
korban seperti dalam Bhairawa Tantra. Mereka lebih memilih ikut slametan dengan tujuan
biar slamet. Inilah cara Walisongo menyebarkan Islam tanpa kekerasan.
Kesimpulannya, sekitar 800 tahun Islam masuk ke Nusantara, sejak tahun 674 hingga era
Walisongo tahun 1470, namun belum bisa diterima masyarakat secara massal. Dan baru sejak
era Walisongo, Islam berkembang begitu meluas di Nusantara. Dan hingga kini, ajaran
Walisongo pun masih dijalankan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
(Disarikan dari uraian Agus Sunyoto dalam acara Suluk Maleman dan Bedah Buku “Atlas
Walisongo: Buku Pertama yang Menguak Walisongo sebagai Fakta Sejarah”, 15 Maret 2013 di
Pati Jawa Tengah)