Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ALVIN KESA WF

NIM : 17042094

UAS PEMERINTAHAN NAGARI/DESA

“ANALISIS JURNAL SEJARAH PEMERINTAHAN NAGARI”

A. JUDUL : Menyoal Eksistensi Pemerintahan Nagari Di Provinsi Sumatera Barat


B. Oleh : Desna Aromatica, Heru Nurasa, Ida Widianingsih, Entang Adhy Muhtar
Universitas Padjajaran
C. Abstrak :
Pemerintahan Nagari adalah Pemerintahan terdepan di wilayah Provinsi Sumatera Barat,
yang diselenggarakan kembali pada tahun 2001. Pemerintahan Nagari memiliki sejarah
panjang dalam penyelenggaraannya. Pemerintahan yang telah ada sebelum Indonesia
merdeka ini telah pernah dihilangkan sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara dan
diganti dengan Pemerintahan Desa oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Diberlakukannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tahun
1999 menjadi momentum perubahan Pemerintahan Desa menjadi kembali berPemerintahan
Nagari di Sumatera Barat. Pemerintah Nagari perlu menjadi lembaga Pemerintahan yang
memadukan dengan sesuai indigenous value ke dalam tubuh administrasi publik melalui
adaptasi kelembagaan yang tepat.

D. Pendahuluan
Luas dan beragamnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
kemajemukan dan keanekaragaman corak suku bangsa dan adat istiadatnya membuat
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia menjadi beragam. Keberagaman
terlihat dari bentuk dan susunan pada pemerintahan terdepan yaitu Pemerintahan Desa.
Pengakuan negara atas keberagaman ini bermula sejak lahirnya Undang-Undang Otonomi
Daerah tahun 1999, hingga pemberlakuan tersendiri Undang-Undang yang mengatur khusus
tentang Desa yaitu UndangUndang Nomor 6 tahun 2014. Masyarakat Sumatera Barat
merupakan salah satu kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai susunan asli
berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa. Masyarakat Adat ada jauh sebelum
Indonesia Merdeka. Masyarakat adat mengembangkan lembaga dan tata kelolanya
berdasarkan kreasi sendiri dan mengelola sistem kemasyarakatan berdasarkan adat istiadat
yang melembaga dari kebiasaan yang dikembangkan sendiri (indigenous people) (Nurcholis,
2017). Kebiasaan yang dikembangkan sendiri dalam masyarakat adat kemudian menjadi
konsensus dan lahirlah sistem Adat yang berbeda di setiap Nagari. Perbedaan ini
menimbulkan istilah Adaik salingka Nagari dimana adat berlaku di satu Nagari akan berbeda
di Nagari lainnya. Kelembagaan Pemerintah adalah salah satu aspek administrasi publik
yang sangat penting. Problem dalam kelembagaan yang sangat menonjol dalam praktik
administrasi publik di Indonesia umumnya terletak pada rendahnya kualitas lembaga
pemerintah. Rendahnya kualitas lembaga pemerintah tentu akan berimbas pada tidak
tercapainya dengan maksimal berbagai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Dwiyanto,
2015). Kondisi tersebut akan menjadi salah satu pemicu lahirnya persoalan-persoalan
kelembagaan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk Pemerintahan
Nagari. Berbagai persoalan kelembagaan yang terjadi sepanjang penyelenggaraan
Pemerintahan Nagari diantaranya soal hubungan kelembagaan Pemerintahan Nagari yang
tidak efektif (Zulmasyhur, 2012). Peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang tumpang tindih
dengan lembaga lainnya yang ada di Nagari (Astuti, Lala, & Nirmala, 2009). Persoalan
sumber daya manusia Pemerintah Nagari (Effendi, 2013). Kelembagaan adalah keyakinan,
paradigma, kode, budaya dan pengetahuan yang mendukung aturan dan kebiasaan
(Frederickson, 2012). Regulasi yang baik atau tepat dalam menata Pemerintahan Nagari
adalah regulasi yang lahir atas produksi yang sesuai dengan pilar normative. Saat ini regulasi
yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemerintahan Nagari telah ada, yaitu Peraturan
Daerah Nomor 7 Tahun 2018. tentang Nagari. Maka pilar normative dapat menjadi bahan
masukan atau pertimbangan terhadap rumusan Peraturan Daerah yang akan dibuat. Untuk itu
pada kesempatan ini yang menjadi pokok penting dalam tulisan ini adalah pondasi pilar
normatif dari kelembagaan Pemerintahan Nagari.

E. Hasil Penelitian
Sistem normatif mencakup nilai dan norma. Nilai adalah konsepsi yg disukai atau
diinginkan bersamaan dengan pembangunan standar dimana struktur atau perilaku yang ada
dapat dibandingkan dan dinilai (Scott, 2014). Norma menentukan bagaimana segala sesuatu
harus dilakukan. Sistem normatif tidak hanya menentukan tujuan atau sasaran, tetapi juga
menentukan cara yang tepat untuk menerapkan, yaitu bagaimana sesuatu dijalankan. Pilar
normative dianalisa melalui enam elemen yaitu:

1. Basis of Compliance
Pada Pilar normatif, elemen dasar kepatuhan dilihat dari indikator Social Obligation
yang timbul pada setiap anggota organisasi. Setiap individu yang menjadi anggota
organisasi dalam hal ini tidak hanya Pemerintah Nagari, tetapi juga masyarakat
Nagari seperti elit adat, hendaknya memiliki dan merasa bahwa penyelenggaraan
Pemerintahan Nagari adalah social obligation. Ketika social obligation tidak hadir
dalam kehidupan Pemerintahan Nagari dan masyarakat Nagari, maka bisa jadi
pertanyaan yang muncul adalah, apakah regulasi yang mengatur penyelenggaraan
Pemerintahan Nagari telah sesuai dengan nilai dan norma yang dianut masyarakat
Nagari yang notabene merupakan masyarakat adat. Soal tumbuh tidaknya social
obligation terkait nilai dan norma yang berlaku di tengah Pemerintahan Nagari, dapat
dilihat dari persoalan-persoalan yang muncul sepanjang penyelenggaraan
Pemerintahan Nagari.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mekanisme pemilihan adat akan menghapus
kesempatan bagi orang-orang yang tidak memiliki hak dalam adat untuk menempati
jabatan tersebut. Mekanisme adat dari setiap Nagari yang menjadi lokasi penelitian
memiliki mekanisme adat yang serupa. Setiap suku dalam Nagari telah memiliki
penghulu, malin, manti dan dubalang yang dikenal sebagai empat jenis, yang gelarnya
tidak dapat diturunkan pada siapa saja. Maka social obligation akan nampak pada
penduduk asli Nagari dan bisa saja berkurang pada masyarakat pendatang. Hal ini
disebabkan karena Penguatan Nagari sebagai Desa Adat dengan nama lain melalui
Peraturan Daerah tentang Nagari Nomor 7 tahun 2018 tidak serta merta mendapat
dukungan penuh. Ada kekhawatiran dari beberapa kalangan bahwa menjadi Desa
Adat justru membawa penyelenggaraan Pemerintahan Nagari mundur dalam hal
demokrasi. Pro kontra yang timbul dapat menyebabkan lemahnya elemen basis of
compliance.
2. Basis of Order
Hal ini karena meskipun Pemerintahan Nagari adalah sebuah pemerintahan yang
mengatur masyarakat hukum adat, namun pada waktu yang sama pemerintahan ini
adalah bagian dari sistem penyelenggaraan negara. Pada prinsipnya penyelenggaraan
Desa atau Desa Adat tentu tetap didasarkan pada prinsip pengaturan Desa pada pasal
3 Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu berasaskan 1) rekognisi,
2) subsidiaritas, 3) keberagaman, 4) kebersamaan, 5) kegotongroyongan, 6)
kekeluargaan, 7) musyawarah, 8) demokrasi, 9) kemandirian, 10) partisipasi, 11)
kesetaraan, 12) pemberdayaan dan 13) keberlanjutan.
Di sisi lain peraturan ini berpotensi dalam implementasinya berbeda dengan prinsip
pengaturan desa yang ada dalam Undang-Undang. Inilah yang menjadi penyebab
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari ini menimbulkan polemik,
karena substansinya apabila dikaji sama dengan membuat wajah Nagari berjiwa desa.
Kerapatan Adat Nagari (KAN) secara adat adalah beranggotakan tokoh adat (niniak
mamak) dari berbagai suku yang ada di Nagari. Sementara dalam Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 2018 pada pasal 6 ayat 2 dituliskan bahwa keanggotaan Kerapatan
Adat Nagari (KAN) terdiri dari perwakilan niniak mamak dan unsur alim ulama
Nagari, bundo kanduang, cadiak pandai dan parik paga/pemuda dalam Nagari.
Apabila binding expectation tidak terwujud, maka basis of order lemah.
3. Mechanism
Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari tidak sepenuhnya dapat berpegang teguh pada
nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat hukum adat. Hal ini karena
Pemerintahan Nagari merupakan bagian dari sistem pemerintahan di Indonesia yang
harus taat pada prinsip penyelenggaraan negara. Nilai-nilai tradisional yang sulit
beradaptasi dengan nilai modern akhirnya menjadi belitan persoalan yang
menggoyahkan kekuatan pemerintah Nagari sebagai lembaga. Perpaduan Nagari adat
asli dan administrasi publik yang manajemennya dijalankan secara modern
melahirkan praktik berlembaga yang unik di Nagari. Nilai-nilai tradisional dalam
masyarakat adat yang diadopsi ke dalam lembaga Pemerintahan Nagari tidak
seluruhnya diterapkan. Nilai-nilai ini bertemu dengan nilai administrasi publik
menjadi nilai adaptasi.
4. Logic
Pilar normatif melihat elemen logika dari Appropriateness. Pilar normatif melihat
keberadaan lembaga dalam sebuah komunitas dilihat dari kelayakan, kepatutan dan
kepantasan keberadaan lembaga tersebut. Kelayakan ini perlu dilihat dari dua aspek,
yaitu adat dan pemerintahan dalam hal ini administrasi publik. Pemerintahan yang
dijalankan dengan hybrid system antara adat dan administrasi memiliki approriateness
yang berbeda. Nilai-nilai yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan
merupakan nilai adaptasi sehingga secara adat tentu tidak sepenuhnya dinilai
memenuhi kelayakan sebagai Pemerintahan Nagari yang seharusnya.
5. Indicators
Dalam pilar normatif, melihat elemen indicators dilihat dari certification,
accreditation. Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari dalam hal kelembagaan
sertifikasi dan akreditasi adalah apakah nilai dan norma yang hidup dan diakui dalam
masyarakat adat, juga diakui dalam sistem pemerintahan. Menilai keberhasilan kinerja
pemerintah Nagari tidak sekedar dilihat dari capaian indeks membangun dan laporan
kinerja keuangan Pemerintahan Nagari. Menilai sebuah penyelenggaraan
pemerintahan dalam pilar normatif adalah soal apakah nilai dan norma yang
diadaptasi oleh pemerintah dalam pengaturan penyelenggaran Pemerintahan Nagari
mendapat pengakuan dari masyarakat atau apakah pemerintah mengakui nilai dan
norma yang hidup dalam masyarakat adat, dan mengadopsi dalam pengaturan
Pemerintahan Nagari. Kondisinya adalah tidak ada nilai adat yang murni dimasukkan
ke dalam tubuh administrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari.
6. Affect
Pilar normatif melihat elemen ini dari indikator Shame/Honor, yaitu adakah rasa malu
dan menghormati dari setiap anggota organisasi. Pemerintahan Nagari yang
dijalankan dalam sistem hybrid tidak melahirkan rasa malu atau bersalah. Nilai dan
norma yang bermuara pada rasa malu dan bersalah ketika ada pelanggaran atau
penyimpangan tidak nampak nyata dalam Pemerintahan Nagari. Hybrid sistem
Pemerintahan Nagari hanya memproduksi sanksi atau hukuman.
7. Basis of Legitimacy
lemen ini dilihat dari indikator morally governed. Terkadang moral lebih tinggi dari
peraturan, sehingga tindakan yang dilakukan meskipun bertentangan dengan
peraturan namun secara moral lebih tinggi. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Nagari kondisi ini terjadi. Contoh dalam pemilihan pemimpin Nagari. Untuk menjadi
calon Wali Nagari ada keinginan tokoh adat yang berharap agar calon-calon Wali
Nagari berasal dari anak Nagari dan berasal dari keturunan yang memiliki kedudukan
terhormat dalam adat. Penolakan terhadap caloncalon Wali Nagari di luar penilaian
adat bisa saja tersingkir.
F. Analisis
Upaya Negara untuk menerapkan azas yang sama dalam pengaturan Pemerintahan
Desa dengan bentuk pemerintahan yang tidak sama adalah upaya menjaga
keberagaman tetap dalam kesatuan. Namun penyamaan azas pengaturan dalam
masyarakat komunal seperti Nagari dengan Desa, pada akhirnya berbuah persoalan
dalam Pemerintahan Nagari. Perpaduan adat dan administrasi publik dalam konteks
hybrid system telah menyebabkan Nagari sama dengan Desa. Pemberlakuan Undang-
Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang direspon dengan Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 2018 telah menguatkan kedudukan Pemerintahan Nagari sebagai desa
adat dengan nama lain. Sayangnya masih tidak ditemui pemerintahan adat yang
berotonomi sesuai hak asal-usulnya yang bersifat istimewa. Pengaturan Desa Adat
dengan nama lain diakui oleh negara selama tidak bertentangan dengan prinsip
pengaturan Desa yang diatur Undang-Undang. Pengaturan Pemerintahan Nagari
dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari yang menguatkan
Nagari sebagai Desa Adat dengan nama lain tetap saja merupakan hybrid system.
Eksistensi Nagari yang dihidupkan kembali oleh pemerintah adalah sesuatu
yang membuat masyarakat Nagari memiliki ekspektasi yang terlalu besar bahwa
pengelolaannya akan dapat mereka atur sebagaimana Nagari dulunya yang kental
dengan nilai adat. Apabila pemerintah tidak memberikan sepenuhnya otonomi asli
maka saran yang dapat peneliti berikan adalah pemisahan antara desa adat dengan
desa administrasi.
REFERENSI
Astuti, N. B., Lala, M. K., & Nirmala, K. P. (2009). Dilema Dalam Transformasi
Desa ke Nagari; Studi Kasus di Nagari Palembayan Provinsi Sumatera Barat. Bogor:
Institute Pertanian Bogor.
Basri, H., & Moehar, D. (2008). Otonomi Nagari; Kebijakan Efektif Untuk Memacu
Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Sumatera Barat. Solok Selatan:
Pemerintah Kabupaten Solok Selatan.
Dwiyanto, A. (2015). Administrasi Publik; Desentralisasi, Kelembagaan, dan
Aparatur Sipil Negara. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Effendi, S. (2013). Profil Sumberdaya Manusia Pada Lembaga Eksekutif Nagari di
Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Demokrasi Vol. II No. 1, 79-92.
Frederickson, H. G. (2012). The Public Administration Theory Primer; Second
edition. Colorado: Westview Press.
Hodges. (2006). What Are Institution. Journal of Economic ISSUES. Vol. XL No.I,
1-25.
Ismanto. (2018), J. Tribunnews.com. Dipetik Agustus Jumat, 2018).
www.Tribunnews.com: http://m.tribunnews.com/kilas-daerah/2018/01/10/disahkan-
ranperda-Nagari-lemahkanfungsi-adat-minangkabau
Nurcholis, H. (2017). Pemerintahan Desa; Unit Pemerintahan Semu Dalam Sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Bee Media Pustaka.
Scott, W. (2014). Institutions and Organizations; Ideas, Interest, and Identities. United
State of America: Sage.
Zulmasyhur. (2012). Hubungan Kelembagaan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Nagari di Era Otonomi Daerah; Studi Pada Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat.
Bandung: Universitas Padjajaran.

Anda mungkin juga menyukai