Anda di halaman 1dari 5

Tarik-menarik Kepentingan Proyek

Bandara Bali Utara


6 Januari 2021   09:25 Diperbarui: 6 Januari 2021   09:25
690 6 0
Mengapa kita penting menyampaikan aspirasi atas rencana
pembangunan Bandar Udara Bali Utara? Karena proyek ini
sudah masuk Program Strategis Nasional (PSN) 2021 artinya
segera akan direalisasikan. Berbeda halnya dengan proyek
jalan kereta api, jalan tol Denpasar-Singaraja yang baru
wacana dan konsep.

Saya berterima kasih kepada presiden Jokowi yang telah


memberi perhatian terhadap Bali dimana proyek Bandara Bali
Utara melalui Perpres tahun 2020 disisipkan agar masuk PSN
2021.

Memang sebelum penetapan lokasi tentu harus melalui kajian


yang menyeluruh baik aspek teknis maupun non teknis.

Setiap pembangunan seharusnya berdampak untuk jangka


panjang. Bukan lagi berorientasi sekedar ada proyek yang
mengabaikan kepentingan stategis, ekonomi dan
kesejahteraan berjangka panjang dan menyeluruh.

Strategi pembangunan yang dijalankan presiden Jokowi


dalam kurun waktu 6 tahun ini sebagai upaya
mendistribusikan pembangunan dengan konsep Indonesia
sentris telah dibuktikan dengan capaian membangun tol trans
Sumatera, jalan trans Kalimantan, trans Papua,
bendungan/waduk yang tersebar di seluruh Indonesia,
membangun bandar udara dan pelabuhan baru, membangun
transportasi (https://www.kompasiana.com/tag/transportasi)
modern di Jakarta, membangun kawasan industri nikel di
Sulawesi, kawasan industri manufaktur di Batang, Jawa
Tengah yang didukung Pelabuhan Patimban (setara Tanjung
Priok, Jakarta), di Subang dan Bandara Kertajati, Majalengka,
Jawa Barat.

Bahkan keputusan luar biasa yang tinggal menunggu


pengesahan DPRRI adalah RUU Ibukota Negara ke Kalimantan
Timur dengan mengambil kembali aset negara dalam bentuk
Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikuasai korporasi.

Apa yang telah diupayakan presiden tersebut tentu


diproyeksikan jangka panjang untuk mengurangi kesenjangan
ekonomi di seluruh wilayah NKRI.

Kembali menyoal pembangunan Bali bahwa untuk mendukung


sektor pertanian/agrobisnis pemerintahan Jokowi melalui
APBN sedang membangun Bendungan Belok Sidan, Badung
dan Bendungan Tamblang, Buleleng. Keduanya bernilai 2 T
(termasuk pembebasan lahan).

Kemudian di sektor pariwisata budaya telah dimulai


pembangunan pelabuhan Nusa Penida-Sanur dan
pembangunan pusat budaya dengan normalisasi Tukad Unda
(bekas tambang batu, Gunaksa, Klungkung) serta yang
sedang hangat adalah tarik menarik penentuan lokasi
pembangunan Bandara Bali Utara, Buleleng.

Sebagai putra asli Buleleng, sudah pasti saya mendukung


pembangunan Bandara Bali Utara dan infrastruktur
pendukungnya. Namun saya akan kecewa jika penentuan
lokasinya mengabaikan kajian teknis/non teknis, feasibility
study, studi amdal termasuk konservasi alam, RTRW, zonasi
wilayah Bali sebagai satu kesatuan pulau apalagi hanya untuk
kepentingan keuntungan ekonomi sesaat "penguasa".

Untuk feasibility study dan amdal biarlah itu menjadi domain


para ahli yang kompeten dan independen. Apalagi saya bukan
ahli aerodinamika dan pesawat terbang, namun setidaknya
saya belajar mata kuliah "Lapangan Terbang" 2 SKS.
Masa lokasi membangun bandara baru akan dipilih lokasi di
Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak yang jaraknya
kurang lebih 30 km dengan Bandara Blimbingsari,
Banyuwangi, Jawa Timur?

Peta Bali menunjukkan 2 opsi lokasi rencana Proyek


Pembangunan Bandara Bali Utara, Buleleng.

1) Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan (dekat


proyek sedang dibangun Bendungan Tamblang)

2) Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak (dekat


pelabuhan Gilimanuk dan Taman Nasional Bali Barat)

Terlepas dari feasibility study dan amdal, secara kasat mata


berdasarkan peta Bali, jika bandara dibangun, dari dua opsi
lokasi mana yang bermanfaat untuk Bali secara menyeluruh?

Saya pikir perlu dijadikan pengalaman "kegagalan" telah


membangun Bandara Wisnu di Desa Sumberkima, Gerokgak
yang tidak aman sekelas Cessna apalagi untuk Airbus atau
Boeing.

Jika Bandara Bali Utara dipaksakan dibangun di ujung Barat


pulau Bali maka:

1) Saya prediksi tidak akan ekonomis bagi operator


penerbangan.

Untuk target penumpang domestik sudah pasti tidak


mengcover Buleleng Timur, Amlapura, Karangasem dan
Bangli.

Untuk target internasional nanti wisatawan hanya mendapat


opsi destinasi terdekat yakni TNBB dan Banyuwangi.
Berbeda halnya jika Bandara di Kubutambahan, wisatawan
punya banyak opsi destinasi mulai dari kota sejarah Singaraja
(ibukota Sunda Kecil dan kota kelahiran ibunda Proklamator
Bung Karno), Lovina, hotspring Banjar, kampung wisata desa
Bali Mula seperti Sidatapa, Pedawa kebarat hingga TNBB
(termasuk pulau Menjangan), lalu ke timur ada Air Sanih,
Ponjok Batu, Tejakula, desa Bali Mula Sembiran, Tulamben,
Lempuyang, sampe ujung Karangasem, ke selatan banyak
agro wisata dan air terjun di Buleleng hingga Bedugul,
Tabanan dan Penelokan, Batur, Bangli.

2) Tidak memberi multiflier effect bagi masyarakat Bali


secara menyeluruh, karena lokasi secara geografis tidak di
tengah wilayah Buleleng

3) Cepat atau lambat akan merusak Taman Nasional Bali


Barat dan mempercepat kepunahan satwa langka Jalak Bali
(pesawat terbang rendah untuk landing/take off).

Taman Nasional Bali Barat merupakan kawasan pelestarian


alam dengan ekosistem asli dan merupakan habitat terakhir
bagi burung Jalak Bali.

4) Kurang aman untuk manuver landing/take off mengingat


jarak antara pegunungan dan pantai yang sangat dekat.
Belum lagi hanya berjarak 30 Km dengan Bandara
Banyuwangi.

Latihan terbang yang dilakukan secara rutin Bali International


Flight Academy (BIFA) yang berlokasi di Desa Sumberkima,
Kecamatan Gerokgak, Senin (24/6/2019) diwarnai dengan
insiden. Pesawat jenis Cessna 182 PK ROW mengalami
"overshoot" atau mendarat melebihi runway dan nyaris
menabrak pagar pembatas bandara.

Jika masalahnya adalah urusan pembebasan tanah kemudian


muncul opsi baru lokasinya di ujung barat pulau Bali yang
tidak rasional, bukankah negara dengan dilindungi konstitusi
Pasal 33 UUD 1945 bisa "ambil" jika untuk kepentingan
rakyat?

Untuk pembebasan lahan, seharusnya negara lebih mudah


menyelesaikan permasalahan perdata melawan korporasi
dibanding "melawan rakyat". Tanah Kubutambahan milik adat
yang terikat kontrak dengan perusahaan (pihak ketiga).

Jika pemerintah Buleleng dan Bali benar-benar ingin


menjadikan kehadiran pembangunan Bandara Bali Utara
memberi manfaat optimal dan jangka panjang untuk Bali
maka harus berani putuskan lokasi Kubutambahan lah yang
paling ideal. Dengan catatan pelepasan lahan adat tersebut
dijadikan penyertaan modal dalam bentuk saham konsorsium
pembangunan bandara.

HALAMAN :

Anda mungkin juga menyukai