Anda di halaman 1dari 276

Dilarang memproduksi atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku

ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
© Hak cipta dilindung oleh Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014
All Right Reserved
LIPI Press
© 2019 Kementerian Kesehatan
Loka Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pangandaran
Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan

Katalog dalam Terbitan (KDT)


Dengue Update: Menilik Perjalanan Dengue di Jawa Barat/Agus Suwandono (ed.)–Jakarta:
LIPI Press, 2019.

xii hlm. + 262 hlm.; 14,8 × 21 cm

ISBN 978-602-496-107-7 (cetak)


978-602-496-108-4 (e-book)
1. Dengue 2. Jawa Barat

614.571598 2

Copy editor : Tantrina Dwi Aprianita dan Fadly Suhendra


Proofreader : Martinus Helmiawan
Penata isi : Rahma Hilma Taslima dan Landi Achmad
Desainer sampul : D.E.I.R. Mahelingga
Cetakan pertama : November 2019

Diterbitkan oleh:
LIPI Press, anggota Ikapi
Gedung PDDI LIPI, Lantai 6
Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta 12710
Telp.: (021) 573 3465
e-mail: press@mail.lipi.go.id
website: lipipress.lipi.go.id
LIPI Press
@lipi_press

Bekerja sama dengan:


Loka Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pangandaran
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan
Jln. Raya Pangandaran KM. 3,
Desa Babakan, Kec. Pangandaran,
Kab. Pangandaran, Jawa Barat 46396
Daftar Isi

Daftar Gambar...................................................................................................vii
Pengantar Penerbit.............................................................................................ix
Kata Pengantar....................................................................................................xi

Bab 1 Dinamika Dengue di Jawa Barat: Sebuah Pengantar


Agus Suwandono.....................................................................................1
Bab 2 Sebaran dan Faktor Risiko Dengue
Mara Ipa & Endang Puji Astuti............................................................7
Bab 3 Manifestasi Klinis dan Keparahan Dengue
Tri Wahono & Mara Ipa......................................................................29
Bab 4 Serotipe Virus Dengue dan Peranannya dalam Endemisitas
DBD Suatu Daerah
Heni Prasetyowati.................................................................................51
Bab 5 Analisis Vektor Demam Berdarah Dengue di Kota Bandung
Hubullah Fuadzy..................................................................................67
Bab 6 Key Container dan Peranannya dalam Pengendalian
Populasi Aedes
Mutiara Widawati & Heni Prasetyowati............................................89
Bab 7 Kerentanan Nyamuk Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD)
Terhadap Insektisida di Jawa Barat: Mekanisme Umum
dan Status Terkini
Joni Hendri..........................................................................................107

|v
Bab 8 Analisis Keruangan Kepadatan Penduduk dan Pemukiman
Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Kota Tasikmalaya
Andri Ruliansyah................................................................................147
Bab 9 Pengaruh Iklim Terhadap Kejadian Dengue
M. Ezza Azmi Fuadiyah ....................................................................167
Bab 10 Perilaku Pencarian Pengobatan Pasien Demam
Berdarah Dengue
Firda Yanuar Pradani & Rohmansyah Wahyu Nurindra...............195
Bab 11 Pencegahan Kasus Dengue dengan Pemberdayaan
Masyarakat “Community Empowerment”
Endang Puji Astuti & Yuneu Yuliasih...............................................217
Bab 12 Menilik Perjalanan Dengue di Jawa Barat
Agus Suwandono.................................................................................243

Daftar Singkatan..............................................................................................249
Indeks ..............................................................................................................253
Biodata Editor .................................................................................................255
Biodata Penulis................................................................................................257

vi |
Daftar Gambar

Gambar 2.1 Incidence Rate Dengue Berdasarkan Provinsi Tahun 2016


dan 2017.................................................................................. 9
Gambar 2.2 Distribusi Incidence Rate dan Case Fatality Rate DBD
Provinsi Jawa Barat Tahun 2004–2017............................... 10
Gambar 2.3 Jumlah Kasus DBD di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa
Barat Tahun 2009–2014........................................................ 11
Gambar 2.4 Incidence Rate Dengue per Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018...................................... 11
Gambar 2.5 Kejadian Virus Dengue di Provinsi Jawa Barat Tahun
2013–2014.............................................................................. 12
Gambar 2.6 Incidence Rate Dengue Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Barat Tahun 2016–September 2018............ 12
Gambar 2.7 Pengendalian Vektor Sebelum Masa Penularan Berbasis
Survei Jentik........................................................................... 21
Gambar 3.1 Klasifikasi Dengue WHO 2009............................................ 34
Gambar 4.1 Distribusi Serotipe Virus Vengue di Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Barat................................................................ 57
Gambar 5.1 Tren incidence rate (IR) (A) dan case fatality rate (CFR)
(B) DBD per 100.000 penduduk di Kota Bandung tahun
2004–2016 .............................................................................. 69
Gambar 7.1 Mode of Action Syntetic Pyrethriod (SP) dan mekanisme
resistansi nyamuk terhadap insektisida tersebut. ............. 115
Gambar 7.2 Protein/Enzim yang Teridentifikasi dari Vektor DBD
Resistan terhadap Insektisida............................................... 122

| vii
Gambar 7.3 (A) Sebaran keberadaan (terpublikasi) vektor DBD
resistan terhadap berbagai insektisida berdasarkan
kabupaten/kota di Jawa Barat; (B) Sebaran jenis dan
konsentrasi insektisida berdasarkan kabupaten/kota
dengan status resistensi vektor DBD
(11 kabupaten/kota). ............................................................ 124
Gambar 7.4 Peta Status Resistansi Vektor DBD di Jawa Barat.............. 128
Gambar 8.1 Angka Insiden Demam Berdarah Dengue Kota
Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Tahun 2013–2017 ........ 148
Gambar 8.2 Case Fatality Rate Demam Berdarah Dengue Kota
Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Tahun 2013–2017 ........ 148
Gambar 8.3 Kepadatan Penduduk Kota Tasikmalaya Provinsi
Jawa Barat Tahun 2013–2017 (per Km2)............................ 152
Gambar 8.4 Kepadatan Pemukiman Kota Tasikmalaya Provinsi
Jawa Barat Tahun 2013–2018 .............................................. 152
Gambar 8.5 Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota
Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Tahun 2011–2015
(per Hektare).......................................................................... 155
Gambar 8.6 Angka Kesakitan Demam Berdarah Dengue per 100.000
Penduduk per Kecamatan Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa
Barat Tahun 2011–2015 ....................................................... 156
Gambar 8.7 Informasi Spasial Sebaran Kejadian DBD Berdasarkan
Kepadatan Penduduk di Kota Tasikmalaya
Tahun 2011–2015.................................................................. 156
Gambar 8.8 Kepadatan Pemukiman (%) per Kecamatan di Kota
Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Tahun 2011–2015 ........ 159
Gambar 8.9 Informasi Spasial Sebaran Kejadian DBD Berdasarkan
Kepadatan Pemukiman di Kota Tasikmalaya
Tahun 2011–2015 ................................................................. 160
Gambar 9.1 Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
Manusia................................................................................... 169
Gambar 9.3 Diagram Pengaruh Biofisik pada Ekologi DENV............. 170
Gambar 11.1 Pilar Kebijakan Menteri Kesehatan dalam mencapai
Indonesia Sehat...................................................................... 219
Gambar 11.2 Peta distribusi pelaksanaan program G1R1J
di Indonesia tahun 2018....................................................... 236

viii |
Pengantar Penerbit

Sebagai penerbit ilmiah, LIPI Press mempunyai tanggung jawab


untuk menyediakan terbitan ilmiah yang berkualitas. Upaya tersebut
merupakan salah satu perwujudan tugas LIPI Press untuk ikut
serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang
diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Buku bunga rampai ini membahas permasalahan dan
perkembangan terkini demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia,
khususnya di Provinsi Jawa Barat. Sejak pertama kali kemunculannya,
kejadian demam berdarah dengue telah mencuri perhatian dunia.
Bahkan, kasus DBD di Indonesia setiap tahunnya berfluktuasi dan
semakin meluas, baik dari jumlah maupun wilayahnya. Badan
kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa demam berdarah
dengue (DBD) merupakan salah satu dari 20 penyakit tropis yang
terabaikan, khususnya dalam kategori penyakit infeksi oleh virus.
Melalui buku ini, para peneliti Loka Litbangkes Pangandaran
berupaya memberikan informasi dari berbagai sisi mengenai seluk-
beluk yang mempengaruhi perjalanan penyakit demam berdarah
dengue (DBD) di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Barat.
Selain memberikan gambaran mengenai penyakit deman berdarah
dengue, beberapa faktor yang menentukan terhadap pola sebaran
DBD dijelaskan secara komprehensif dan detail dalam buku ini.

| ix
Sebagai salah satu upaya penjaminan kualitas, penerbitan buku
ini telah melalui proses peer review oleh dua orang pakar di bidang
yang terkait dengan topik bahasan. Semoga buku ini dapat menjadi
referensi bagi mahasiswa, akademisi, peneliti, dan para pemangku
kepentingan, khususnya dalam upaya pencegahan dan pengendalian
demam berdarah dengue sebagai salah satu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus.

LIPI Press

x|
Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan anugerah
dan rahmat-Nya buku bunga rampai berjudul Dengue Update:
Menilik Perjalanan Dengue di Jawa Barat ini dapat diselesaikan.
Buku ini merupakan kumpulan analisis permasalahan dengue
yang merupakan penyakit tular vektor (mosquito borne disease)
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama
di Indonesia. Dalam buku ini, para peneliti Loka Litbangkes
Pangandaran dari berbagai latar belakang pendidikan dan keahlian
yang berbeda mencoba mengupas permasalahan dengue dari
berbagai sisi yang memengaruhinya. Artikel-artikel dalam buku
ini merupakan systematic review atau analisis dari berbagai hasil
penelitian yang sudah dilakukan, terutama di Provinsi Jawa Barat.
Banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang mengalir
selama proses penyusunan buku yang ditulis oleh para peneliti muda
ini. Terbitnya buku ini menjadi wujud nyata kerja keras para peneliti
selaku penulisnya. Harapannya, buku bunga rampai ini bermanfaat
bagi masyarakat dan menjadi referensi bagi masyarakat ilmiah yang
membutuhkan bahan bacaan mengenai penyakit dengue. Selain itu,
buku ini dapat menjadi salah satu bahan kebijakan penatalaksanaan
dan pengendalian dengue.

| xi
Buku bunga rampai ini tentunya masih jauh dari sempurna.
Kesalahan penulisan ataupun kurang dalamnya analisis tentunya
masih ditemukan dalam buku ini. Oleh karena itu, para peneliti
selaku penulis menerima segala bentuk kritik, pesan, dan saran agar
dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas penulisan karya
ilmiah, serta mampu menerbitkan kembali buku edisi selanjutnya
yang lebih baik lagi. Selamat membaca.


Salam,

Kepala Loka Litbangkes Pangandaran

xii |
Bab 1
Dinamika Dengue di Jawa Barat:
Sebuah Pengantar
Agus Suwandono

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit tular vektor


(mosquito borne disease) yang masih menjadi masalah global.
Kasus DBD pertama kali dilaporkan pada 1779–1780 di Asia,
Afrika, dan Amerika Utara. Gubler (1998) memperkirakan bahwa
nyamuk vektor telah tersebar di wilayah tropis selama lebih dari
200 tahun. Persebaran dengue pada mulanya tidak secepat saat
ini dan tidak terlalu sering ditemukan adanya kejadian luar biasa
(KLB). Namun, semakin meningkatnya mobilitas penduduk dan
pembangunan permukiman di beberapa wilayah, DBD semakin
mewabah dan meluas sebarannya. Berdasarkan data World Health
Organization (WHO, 2018), lebih dari 100 negara seperti di Afrika,
Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat telah
melaporkan adanya kasus DBD. Epidemi pertama dengan jumlah
kasus tinggi dilaporkan terjadi di Asia Tenggara (Gubler, 2006).
Beberapa dekade terakhir, kejadian DBD mengalami peningkatan
secara dramatis hampir di seluruh dunia dan sebagian besar kasus
DBD menyerang pada kelompok usia anak-anak (Centers for Disease
Control and Prevention, 2014).
Virus dengue penyebab DBD merupakan virus RNA untai
tunggal yang tergolong genus Flavivirus, Famili Flaviviridae. Sejak
1943, virus dengue teridentifikasi memiliki empat serotipe, yaitu

|1
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4; dan hingga saat ini, beberapa
wilayah, termasuk Provinsi Jawa Barat, telah melaporkan DBD
dengan keempat serotipe tersebut. Serotipe virus dengue pertama
kali terkonfirmasi di beberapa wilayah. DEN-1 terkonfirmasi pada
1943 di Jepang dan Polinesia; DEN-2 terlaporkan di Papua Nugini
dan Indonesia pada 1944; DEN-3 dan DEN-4 terlaporkan di Filipina
dan Thailand pada 1953 (Messina, Brady, & Scott, 2014). Vektor
penular dengue, yakni nyamuk Aedes aegypti, merupakan vektor
primer, sementara Ae. albopictus adalah vektor sekunder (WHO,
2000). Nyamuk vektor DBD, Ae. aegypti, ditemukan di dalam
rumah, dengan habitatnya di wadah-wadah penampung air, seperti
bak mandi, ember, penampung air dispenser/AC/lemari es, tempat
minum hewan peliharaan, dan lain-lain. Nyamuk ini pun hidup di
luar rumah dengan habitat dalam ban bekas dan barang-barang bekas
lainnya. Nyamuk Ae. albopictus banyak ditemukan di kebun atau
semak-semak dengan habitatnya di wadah-wadah alami, misalnya
lubang bambu, ketiak daun tanaman, dan tempurung kelapa.
Di Indonesia, kasus dengue pertama kali dilaporkan di Surabaya
dan Jakarta pada 1968, dan hingga saat ini, semua provinsi telah
melaporkan kejadian DBD di wilayahnya. Angka kasus DBD tahun
2016 secara nasional sebesar 78,85/100.000 penduduk, jumlah
tertinggi di Provinsi Bali, Kalimantan Timur, dan DKI Jakarta.
Selanjutnya, terjadi penurunan angka kasus pada 2017 menjadi
22,5/100.000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2017; 2018).
Sementara itu, Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah endemis.
Seluruh kabupaten/kota di wilayah ini telah melaporkan terjadinya
kasus DBD. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI,
distribusi jumlah orang yang terindikasi DBD di Provinsi Jawa Barat
mencapai 401 orang pada awal 2019.
Banyak faktor yang memengaruhi penyebaran dan peningkatan
jumlah kasus DBD di suatu daerah termasuk di Provinsi Jawa
Barat, yaitu manusia (host), nyamuk (vektor), virus dengue
(agent), dan lingkungan. Secara epidemiologis, penularan dengue

2| Dengue Update: Menilik ...


memerlukan manusia sebagai perantara dan nyamuk sebagai vektor.
Perkembangbiakan virus dengue (agent) melalui keduanya disebut
dengan masa inkubasi ekstrinsik dan intrinsik. Masa inkubasi
ekstrinsik terjadi di dalam tubuh nyamuk, virus dengue bereplikasi
selama 4–10 hari, virus ini akan masuk ke kelenjar ludah nyamuk
sehingga ketika nyamuk mulai mengisap darah manusia (host), pada
saat inilah virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia dan akan
bereplikasi selama 5–7 hari (masa inkubasi intrinsik) dan biasanya
akan timbul gejala klinis, walaupun beberapa orang tidak mengalami
gejala klinis (WHO, 2018). Kepadatan nyamuk vektor Ae. aegypti
disuatu wilayah meningkatkan risiko penularan DBD, didukung
pula dengan kondisi lingkungan (suhu, kelembapan) yang kondusif
bagi perkembangbiakan nyamuk. Nyamuk yang telah terinfeksi
virus dengue, akan tertular virus tersebut seumur hidupnya sehingga
mampu menularkan kembali virus dengue ke manusia (host)
berikutnya.
Faktor lainnya adalah keberadaan virus dengue yang memiliki
variasi serotipe yang berbeda (DEN-1–DEN-4). Bersirkulasinya
keempat serotipe virus tersebut di suatu daerah dapat berkontribusi
pada tingginya endemisitas DBD di daerah itu. Keberadaan keempat
serotipe juga memungkinkan penduduk terinfeksi virus dengue lebih
dari satu kali. Serotipe dengue di suatu daerah akan terpelihara dalam
suatu siklus yang melibatkan manusia dan nyamuk Aedes sebagai
vektornya. Semakin padat populasi nyamuk Aedes di suatu daerah,
tingkat penyebaran dan jumlah kasus DBD dapat semakin tinggi.
Nyamuk Aedes hidup dan berkembang biak di sekitar permukiman
penduduk dan kontainer di dalam maupun di luar rumah penduduk
memungkinkan nyamuk Aedes tumbuh dan berkembang biak.
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah
penduduk yang paling banyak. Mobilitas penduduk antarwilayah di
sana dan pola hidup tidak sehat meningkatkan penyebaran infeksi
virus dengue. Desakan ekonomi meningkatkan mobilitas penduduk
antarwilayah, baik perkotaan maupun perdesaan. Akibat mobiltas
penduduk tersebut, daerah yang semula non-endemis dapat berubah

Dinamika Dengue di Jawa ... |3


menjadi daerah endemis. Peran serta masyarakat dalam upaya
pencegahan DBD juga tergolong rendah. Hal ini terlihat dari perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) yang masih jauh dari yang diharapkan
pemerintah. Perilaku hidup tidak bersih akan meningkatkan
populasi nyamuk Aedes di sekitar rumah sehingga meningkatkan
penyebaran kasus DBD. Hal lain yang tidak bisa dihindari adalah
perubahan lingkungan akibat perubahan iklim, perubahan tata guna
lahan untuk tempat tinggal, dan adanya resistansi vektor. Semua
faktor tersebut berperan dalam peningkatan dan penyebaran kasus
DBD di Provinsi Jawa Barat.
Buku ini ditulis oleh para peneliti dari Loka Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Pangandaran Kementerian Kesehatan
RI. Tulisan ini merupakan systematic review dari berbagai perspektif
yang terkait dengan kejadian dengue, terutama di Provinsi Jawa Barat.
Bab 2 diawali dengan penjelasan sebaran dengue terkini di Provinsi
Jawa Barat serta faktor risiko yang menyertainya. Bab 3 dan bab 4
menguraikan tentang virus dengue, khususnya membahas gambaran
manifestasi klinis dan derajat keparahan dengue serta serotipe virus
dengue dan peranannya dalam endemisitas DBD di suatu daerah.
Bab selanjutnya, yakni bab 5, membahas analisis vektor DBD di Kota
Bandung. Bab 6 mendiskusikan key container dan peranannya dalam
pengendalian populasi nyamuk Aedes, sedangkan bab 7 membahas
kerentanan vektor DBD terhadap insektisida. Variabel yang
memengaruhi kejadian DBD dibahas dalam dua bab, yaitu bab 8
yang menganalisis keruangan kepadatan penduduk dan pemukiman,
serta bab 9 yang memotret pengaruh iklim terhadap kejadian dengue.
Uraian tentang manusia (host) digambarkan dalam 2 bab terakhir
(bab 10 dan bab 11), yakni tentang upaya penatalaksanaan kasus
DBD di antaranya pencarian pengobatan dan pengendalian vektor
dengue berbasis masyarakat.
Alur tulisan disajikan secara sistematis, diawali dengan kondisi
saat ini, kemudian dilakukan analisis berdasarkan hasil-hasil
penelitian yang berkesesuaian sehingga kondisi dengue di Indonesia,
khususnya di Provinsi Jawa Barat, dapat tergambarkan. Tulisan ini

4| Dengue Update: Menilik ...


merupakan persembahan untuk Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi
dengan kasus dengue yang masih tinggi di wilayah perkotaannya.
Pembaca diharapkan dapat mengikuti alur tulisan ini dan
memanfaatkannya sesuai dengan minat dan bidang masing-masing.
Walaupun masih jauh dari sempurna, buku ini dapat memberikan
manfaat dan menambah khazanah ilmu pengetahuan terkait dengue
dan pengendaliannya.

DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention. (2014). Epidemiology of dengue.
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention.
Gubler, D. (2006). Dengue/dengue haemorrhagic fever: History and current
status. Novartis Found Symp., 277, 3–16; discussion 16–22, 71–3, 251–
3.
Gubler, D. J. (1998). Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clinical
Microbiology Reviews, 11(3), 480–496.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Profil kesehatan Indonesia tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Data dan informasi profil kesehatan
Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Messina, J., Brad, O., & Scott, T. (2014). Global spread of dengue virus types:
Mapping the 70 year history. Trends in Microbiology, 22(3), 138–146.
World Health Organization. (2000). WHO report on global surveillance of
epidemic-prone infectious diseases: Dengue and dengue haemorrhagic
fever. Diakses pada 15 Oktober 2018) dari https://apps.who.int/iris/
bitstream/handle/10665/66485/WHO_CDS_CSR_ISR_2000.1.pdf.
World Health Organization. (2009). Dengue: Guidelines for diagnosis,
treatment, prevention, and control. New Delhi: World Health
Organization Regional Office for South-East Asia.
World Health Organization. (2018). Dengue control: Epidemiology. Diakses
pada 16 Oktober 2018 dari https://www.who.int/denguecontrol/
epidemiology/en/

Dinamika Dengue di Jawa ... |5


6| Dengue Update: Menilik ...
Bab 2
Sebaran dan Faktor Risiko
Dengue
Mara Ipa & Endang Puji Astuti

A. SEBARAN DENGUE
Angka kejadian infeksi virus dengue di dunia meningkat 30 kali
lipat dalam lima puluh tahun terakhir. Tercatat sekitar 50–100 juta
infeksi terjadi setiap tahunnya di lebih dari 100 negara endemis,
termasuk Indonesia (WHO, 2011). Sejak pertama kali dilaporkan di
Indonesia pada 1968, infeksi virus dengue masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat hingga saat ini. Penyebaran kasus infeksi virus
dengue yang awalnya ditemukan hanya di dua wilayah (Surabaya
dan Jakarta) pada 1968, kemudian menyebar ke seluruh provinsi di
Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2017a).
Infeksi virus dengue dibedakan menjadi tiga stadia, yaitu
demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), dan syok
sindrom dengue (SSD). Infeksi virus ini sering menimbulkan
kejadian luar biasa (KLB) di beberapa wilayah, bahkan termasuk satu
dari lima penyakit tertinggi dalam KLB (WHO, 2012). Terdapat lima
provinsi dengan incidence rate (IR) tertinggi pada 2010, yaitu DKI
Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Bali, dan Kepulauan
Riau (Departemen Kesehatan, 2010). Jumlah kasus per provinsi
berfluktuasi setiap tahunnya. Pada 2014, wilayah dengan IR tinggi
adalah Bali, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat, Kepulauan Riau, dan DKI Jakarta (Kementerian Kesehatan
RI, 2015). Sementara itu, case fatality rate (CFR) atau persentase

|7
kematian akibat DBD pada 2014 sebesar 0,9%; pada 2015 sebesar
0,83%; pada 2016 sebesar 0,78%; dan pada 2017 sebesar 0,72%.
Selanjutnya, CFR tahun 2018 sebesar 0,65%; pada 2019 sebesar
0,94% (Ditjen P2PTVZ, 2019).
Gambar 2.1 berisi fluktuasi IR setiap provinsi dari tahun 2016
hingga tahun 2017 dibandingkan dengan IR rata-rata nasional.
Pada 2016, diketahui terdapat 16 provinsi menduduki IR di atas
rata-rata nasional (IR >78,85/100.000 penduduk). Sebagian provinsi
mengalami penurunan drastis kasus DBD pada 2017 dengan angka
IR nasional sebesar 22,5/100.000 penduduk. Jumlah provinsi dengan
IR di atas rata-rata nasional meningkat menjadi 17 provinsi pada
tahun 2017. Provinsi Jawa Barat tergolong ke dalam daftar provinsi
yang tidak menyatakan KLB Dengue pada 2016 dan 2017 (Gambar
2.1) Pada saat itu, IR dengue di Jawa Barat berada di bawah rata-
rata nasional. Lantas bagaimana sebaran dan fluktuasi kasus dengue
di level kabupaten di Jawa Barat, apa saja faktor risikonya, dan
bagaimana keterkaitan antarfaktor risiko tersebut?

B. SEBARAN, FLUKTUASI KASUS, DAN KEMATIAN AKIBAT


DBD DI PROVINSI JAWA BARAT
Provinsi Jawa Barat terdiri dari 27 kabupaten/kota dan seluruhnya
telah melaporkan kejadian infeksi virus dengue. Sejak 2004, sebanyak
25 kabupaten/kota sudah menjadi wilayah endemis dengue, hanya
Kabupaten Bandung Barat dan Pangandaran yang belum melaporkan
kejadian infeksi virus dengue karena kedua kabupaten tersebut
merupakan kabupaten baru hasil pemekaran wilayah. Data Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat menunjukkan puncak kasus tertinggi
terjadi pada 2009 dengan jumlah kematian (case fatality rate/CFR)
tertinggi, yakni 0,81%. Fluktuasi IR dan CFR di Jawa Barat hampir
memiliki pola yang sama (Gambar 2.2), yakni peningkatan kasus
diikuti dengan peningkatan CFR atau sebaliknya. Kasus dengue
periode 2004–2017 (14 tahun) terlihat mengalami penurunan pada
2011, 2014, dan 2017. Kasus terendah terjadi pada 2017 dengan IR
24,08 per 100.000 penduduk. Angka kematian dengue pada tahun

8| Dengue Update: Menilik ...


Sumber: Kementerian Kesehatan RI (2018); Kementerian Kesehatan RI (2017b).
Gambar 2.1 Incidence Rate Dengue Berdasarkan Provinsi Tahun 2016 dan
2017

Sebaran dan Faktor Risiko ... |9


Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2018)
Gambar 2.2 Distribusi Incidence Rate dan Case Fatality Rate DBD Provinsi
Jawa Barat Tahun 2004–2017

2004–2006 masih di atas 1%. Angka ini berhasil ditekan pada tahun-
tahun berikutnya hingga di bawah 1% sesuai dengan target nasional,
sementara CFR terendah terjadi pada 2011 yakni sebesar 0,42%.
Pada periode 2013–2014, terdapat lima kota yang menyumbang
jumlah kasus tertinggi berturut-turut, yaitu Sukabumi, Bandung,
Tasikmalaya, Cimahi, dan Bogor. Wilayah perkotaan (urban) masih
menjadi tempat potensial terjadinya transmisi dengue. Namun,
pada perkembangannya, infeksi virus dengue juga menyebar ke
wilayah perdesaan (rural). IR DBD wilayah Kota Bandung, Kota
Sukabumi, Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya selama periode
2009–2014 menunjukkan angka di atas 100 per 100.000 penduduk.
Pada 2011, kejadian infeksi virus dengue di Kota Tasikmalaya dan
Cimahi mengalami penurunan dengan IR di bawah 100 per 100.000
penduduk (Gambar 2.3 dan 2.4). Kemudian, kejadian infeksi virus
dengue masih banyak ditemukan di wilayah perkotaan pada 2018.
Beberapa kota masih menjadi penyumbang terbesar, yaitu Kota
Bandung, Kota Sukabumi, dan Kota Bogor. Selain di tiga kota
tersebut, kejadian infeksi virus dengue dengan jumlah yang besar
juga muncul di Kota Banjar serta wilayah bukan perkotaan, yakni
Kabupaten Bandung (Gambar 2.5).

10 | Dengue Update: Menilik ...


Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2014)
Gambar 2.3 Jumlah Kasus DBD di 5 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009–2014

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2018)


Gambar 2.4 Incidence Rate Dengue per Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Barat Tahun 2018

Sebaran dan Faktor Risiko ... | 11


Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2014)
Gambar 2.5 Kejadian Virus Dengue di Provinsi Jawa Barat Tahun 2013–
2014

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2018)


Gambar 2.6 Incidence Rate Dengue Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Barat Tahun 2016–September 2018

Melihat perkembangan kasus per kabupaten/kota di Provinsi


Jawa Barat selama 2016–2018, terjadi penurunan jumlah kasus
di sebagian besar wilayah kabupaten/kota pada 2017–2018
dibandingkan tahun 2016. Namun, pada awal 2019, beberapa
wilayah melaporkan adanya peningkatan jumlah kasus infeksi

12 | Dengue Update: Menilik ...


virus dengue. Data Direktorat Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa laporan kasus infeksi
virus dengue di Indonesia per 1 Februari 2019 mencapai 15.132
kasus dengan angka kematian sebanyak 145 jiwa. Provinsi Jawa
Timur merupakan penyumbang kasus terbanyak dengan 3.074 kasus
dan 52 kematian, sedangkan posisi kedua ditempati Provinsi Jawa
Barat dengan 2.204 kasus dan 14 kematian (Saubani, 2019). Belum
diketahui secara pasti penyebab melonjaknya kasus infeksi virus
dengue pada awal 2019. Namun, beberapa sumber menyebutkan hal
tersebut berkaitan dengan perubahan iklim. Jika dikaitkan dengan
musim, BMKG memprakirakan puncak musim penghujan terjadi
pada Januari 2019 sebanyak 150 zona musim (ZOM) sebesar 43,9%
dan Februari 2019 sebanyak 77 ZOM sebesar 22,5%. Angka ini lebih
tinggi dibandingkan dengan musim penghujan pada September–
November 2018 (Saubani, 2019). Tingginya curah hujan diduga ikut
berkontribusi meningkatkan kasus infeksi virus dengue pada awal
2019. Hal tersebut dapat terjadi karena curah hujan berdampak
pada meningkatnya kontainer yang terisi air dan berpotensi tinggi
menjadi tempat berkembangbiak nyamuk (Benedum, Seidahmed,
Eltahir, & Markuzon, 2018).

C. FAKTOR RISIKO KEJADIAN INFEKSI VIRUS DENGUE


Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang terus berkembang di
berbagai sektor, di antaranya sektor pariwisata, bisnis, pendidikan
sehingga menjadi daya tarik bagi banyak orang, baik lokal maupun
mancanegara untuk datang. Hal ini memungkinkan virus dengue
menyebar dengan luas ke kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Wilayah yang padat penduduknya memudahkan transmisi virus
dengue dari nyamuk yang terinfeksi ke manusia, atau dari manusia ke
nyamuk yang tidak terinfeksi. Bagaimana sebaran dan perkembangan
faktor risiko DBD terkini di Jawa Barat?
Infeksi virus dengue merupakan hasil interaksi multifaktorial
antara faktor hospes, agen penyakit, dan lingkungan. Bahasan
faktor risiko dengue tentunya mengulas faktor-faktor yang berisiko

Sebaran dan Faktor Risiko ... | 13


terhadap kejadian DBD yang meliputi virus dengue sebagai agen,
manusia dan nyamuk sebagai host, dan lingkungan yang berperan
dalam kejadian DBD. Setiap faktor tersebut saling dipengaruhi dan
memengaruhi satu dan lainnya. Kompleksitas setiap faktor membuat
DBD sulit dikendalikan. Berikut ini ulasan setiap faktor yang berisiko
terhadap kejadian DBD di wilayah Jawa Barat.
Berbicara tentang faktor yang berisiko terhadap kejadian DBD
tentu tak terlepas dari virus dengue sebagai penyebab DBD. Virus
dengue tergolong genus Flavivirus dari keluarga Flaviviridae. Virus
ini mengandung single-strand RNA sebagai genom yang berukuran
kecil (50 nm). Virionnya terdiri dari nukleokapsida dengan kubik
simetri tertutup dalam amplop lipoprotein. Panjang genom virus
dengue adalah 11.644 nukleotida, dan terdiri dari tiga gen protein
struktural yang mengkodekan nukleokapsid atau inti protein
(C), protein terkait membran (M), protein amplop (E), dan tujuh
protein nonstruktural (NS) gen. Terdapat empat serotipe virus
dengue yang sudah teridentifikasi, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-
3, dan DENV-4. Infeksi dengan serotipe mana pun akan memberi
kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus tersebut. Namun,
infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa infeksi dengan
serotipe yang berbeda menyebabkan bentuk demam dengue (DBD/
DSS) yang parah (WHO, 2007). Masalahnya, setiap serotipe tersebut
mempunyai genotipe yang jumlahnya bervariasi. Dalam KLB di
DKI Jakarta pada 2004, diketahui bahwa dari keempat serotipe virus
dengue diidentifikasi, DEN-3 menjadi serotipe yang paling dominan
pulih, diikuti DEN-4, DEN-2, dan DEN-1. Hal ini menjelaskan
bahwa sirkulasi beberapa serotipe virus menghasilkan persentase
yang relatif tinggi terhadap pasien rawat inap DBD (Suwandono,
Kosasih, & Nurhayati, 2006).
Penularan virus dengue terjadi dalam tiga siklus. Pertama, siklus
enzootic, yakni siklus sylvatic primitive yang dipelihara oleh siklus
monyet-Aedes aegypti-monyet seperti yang dilaporkan terjadi di Asia
Selatan dan Afrika. Virus tersebut tidak patogen terhadap monyet
dan masa inkubasi virus (viremia) berlangsung selama 2–3 hari.

14 | Dengue Update: Menilik ...


Semua serotipe dengue (DENV-1 sampai DENV-4) dapat diisolasi
pada monyet/kera. Kedua, siklus epizootic, yakni virus dengue
menular dari manusia ke primata (monyet/kera) melalui nyamuk
vektor sehingga menimbulkan epidemi pada primata. Di Sri Lanka,
siklus epizootik diamati di antara kera touqe (Macaca sinica) secara
serologis dasar selama tahun 1986–1987 di daerah penelitian. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 94% monyet/
kera yang ditemukan terinfeksi virus dengue. Ketiga, siklus epidemi,
yakni siklus penularan dengue antara m ­ anusia-Ae.aegypti-manusia.
Siklus ini menimbulkan epidemi periodik/siklis dan pada umumnya
semua serotipe beredar sehingga menimbulkan hiperendemisitas di
suatu wilayah (Gubler, 1997).
Keberadaan agen tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dan keberadaan vektor. Berbagai studi
telah dilakukan untuk mengkaji kaitan antara faktor lingkungan
dengan kejadian kasus infeksi virus dengue. Hopp dan Foley (2001)
menegaskan bahwa penularan penyakit sangat dipengaruhi oleh
faktor iklim. Demikian pula distribusi dan perkembangan organisme
vektor dan host dipengaruhi oleh faktor iklim. Infeksi virus dengue
tersebar melalui vektor (vector borne disease) dan sangat dipengaruhi
oleh faktor iklim, bahkan penularannya meningkat sejalan dengan
perubahan iklim (Muliansyah & Baskoro, 2016; Ramesh, Sharmila,
Dhillon, & Aditya, 2010). Hasil penelitian di Jawa Barat menyebutkan
bahwa curah hujan mempunyai hubungan dengan kejadian infeksi
virus dengue, walaupun curah hujan tinggi dan peningkatan dengue
tidak terjadi pada waktu yang bersamaan (Raksanagara, Arisanti,
& Rinawan, 2015). Berdasarkan angka kasus infeksi virus dengue
tahun 2007–2012 di Banjar, Jawa Barat, masa penularan terjadi
sebelum dan sesudah curah hujan tinggi sehingga setiap tahun tidak
selalu sama waktunya (Ruliansyah, Yuliasih, & Hasbullah, 2014).
Beberapa hasil penelitian terkini menyebutkan bahwa kelembapan
udara optimal menyebabkan daya tahan hidup nyamuk bertambah.
Berbagai studi kepustakaan mengidentifikasikan bahwa kejadian
infeksi virus dengue erat kaitannya dengan kelembapan udara,

Sebaran dan Faktor Risiko ... | 15


salah satunya studi di Vietnam (2011) yang menemukan adanya
hubungan antara kelembapan udara dengan kejadian infeksi virus
dengue (RR=1,59) (Pham, Doam, Phan, & Minh, 2011). Penelitian
di Bogor Jawa Barat periode 2002–2010 menunjukkan bahwa faktor
iklim yang memengaruhi kejadian infeksi virus dengue adalah curah
hujan, suhu, dan kelembapan (Ariati & Anwar, 2014).
Variasi suhu dan kelembapan berdampak pada kegiatan
reproduksi dan kelangsungan hidup nyamuk. Nyamuk Ae. aegypti akan
meletakkan telurnya pada temperatur udara 25–30oC (Pham dkk.,
2011). Hal ini karena suhu di atas 30oC dan kelembapan relatif tinggi
(60%) akan menurunkan tingkat oviposisi nyamuk. Pada kelembapan
nisbi kurang dari 60%, umur nyamuk Ae. aegypti akan menjadi
pendek dan tidak dapat menjadi vektor karena tidak cukup waktu
untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Sebaliknya,
pada kelembapan nisbi lebih dari 60%, umur nyamuk menjadi
lebih panjang dan berpotensi menjadi infektif dalam menularkan
dengue (de Almeida Costa, Santos, Correia, & Albuquerque, 2010).
Hasil penelitian di Kota Semarang memperkuat hasil penelitian ini.
Penelitian tersebut menemukan adanya hubungan negatif antara
suhu dan kasus dengue. Maksudnya, jika suhu meningkat, jumlah
kasus dengue akan mengalami penurunan (Wirayoga, 2013). Hal
yang sama juga terjadi di Kota Manado saat peningkatan suhu 10oC
menurunkan jumlah kasus dengue sebanyak 18 kasus (Ariati &
Musadad, 2013). Suatu pola penyakit akan berubah seiring dengan
perubahan iklim suatu wilayah (Nakhapakorn & Tripathi, 2005).
Kasus infeksi virus dengue di Jawa Barat berfluktuasi tiap tahun dan
sudah tidak dapat menggambarkan siklus lima tahunan. Tampak
pada beberapa dekade terakhir, siklus lima tahunan peningkatan
kasus DBD sudah bergeser. Pergeseran siklus ini bersesuaian dengan
perubahan iklim. Kesimpulannya, peningkatan curah hujan, hari
hujan, kelembapan, dan penurunan suhu memengaruhi terjadinya
peningkatan kasus dengue (Ruliansyah dkk., 2014; Ariati & Anwar,
2014; Perwitasari, Ariati, & Puspita, 2015).

16 | Dengue Update: Menilik ...


Hasil riset lain berdasarkan klasifikasi iklim Koppen
menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat kerawanan dengue di
DKI Jakarta dan Jawa Barat. Provinsi DKI Jakarta memiliki tingkat
kerawanan dengue yang lebih tinggi dibandingkan Jawa Barat
karena curah hujan tahunan (iklim) di DKI Jakarta lebih rendah
dibandingkan di Jawa Barat. Lebih jauh, pengaruh curah hujan
terhadap breeding place atau tempat perkembangbiakan nyamuk
Ae. aegypti sangat erat. Curah hujan tinggi membuat breeding place
banyak bermunculan (Gustomy, 2014). Curah hujan yang tinggi
juga menyebabkan bertambahnya jumlah tempat perindukan
nyamuk alamiah berupa genangan air di lubang pohon atau ketiak
daun (Sukamto, 2007). Selain curah hujan, pergantian musim pun
berpengaruh positif terhadap populasi nyamuk. Hal ini karena air
hujan tidak mengalir dan menggenang di beberapa tempat (Gustomy,
2014) sehingga berkontribusi terhadap penyebaran virus dengue
(Prasetyowati, 2010).
Keberadaan habitat dan vektor sangat memengaruhi kejadian
dengue di suatu wilayah (Gama & Betty, 2010). Sucipto, Raharjo, dan
Nurjazuli (2015) mengungkapkan bahwa responden yang di rumah
tinggalnya ada tempat penampungan air (TPA) yang positif terdapat
jentik Ae. aegypti mempunyai risiko 8,8 kali lebih besar daripada
rumah responden dengan TPA negatif jentik. Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian di Purwokerto (Widiyanto, 2007) yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara TPA yang positif jentik
dengan kejadian infeksi virus dengue yang memiliki nilai p-value
= 0,017 (OR = 5,373). Penelitian di Vietnam (Pham dkk., 2011)
dan Denpasar (Purnama & Satoto, 2012) juga menemukan bahwa
keberadaan TPA potensial memengaruhi kejadian dengue.
Indikator keberhasilan upaya pengendalian dengue diukur
dengan nilai angka bebas jentik (ABJ). Hal ini karena keberadaan
jentik di suatu wilayah berpotensi menyebabkan kejadian infeksi
virus dengue. Secara nasional, nilai ABJ di Indonesia masih
rendah terutama di beberapa wilayah endemis. Data Kemenkes RI
menyebutkan ABJ nasional dari tahun 2010–2016 secara berturut-

Sebaran dan Faktor Risiko ... | 17


turut 80,2%; 76,2%; 79,3%; 80,1%; 24,1%; 54,2%, dan 67,6%. Angka-
angka tersebut masih jauh di bawah target 95% (Kementerian
Kesehatan RI, 2017a). Beberapa hasil penelitian telah mengungkap
faktor-faktor yang berkorelasi dengan tinggi rendahnya ABJ. Sebagai
contoh, penelitian di Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa
penyuluhan kelompok kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN), sarana pendukung PSN, dan pemantauan jentik secara berkala
terkait erat dengan ABJ (Rosidi & Adisasmito, 2009). Sementara itu,
penelitian di Kota Tasikmalaya menyebutkan bahwa kejadian dengue
cenderung terjadi di daerah dengan tingkat kepadatan penduduk
tinggi dan ABJ rendah (Ruliansyah dkk., 2017). Hasil penelitian di
Kabupaten Ciamis menunjukkan korelasi negatif antara ketinggian
tempat dan keberadaan vektor dengue. Artinya, semakin tinggi
suatu wilayah, semakin rendah jumlah jentiknya (Hendri, Santya, &
Prasetyowati, 2015).
Peningkatan jumlah dan luas daerah sebaran penyakit DBD
dipengaruhi faktor keberadaan agen dan lingkungan. Selain itu,
peningkatan mobilitas dan kepadatan penduduk juga menjadi
faktor penyebab meningkat dan meluasnya sebaran penyakit DBD.
Berdasarkan analisis indeks kerawanan DBD, di Jawa-Bali terdapat
58 kabupaten sangat rawan, 42 kabupaten rawan, 13 kabupaten
agak rawan, 3 kabupaten agak aman, dan tidak ada kabupaten yang
termasuk kategori aman. Tiga kabupaten yang agak aman adalah
Banjarnegara, Wonosobo, dan Purworejo. Sementara itu. wilayah
Jawa-Bali merupakan daerah yang kabupatennya paling banyak
masuk dalam kategori rawan dan sangat rawan. Artinya, daerah Jawa-
Bali sangat rentan terhadap kasus dengue. Hal ini disebabkan oleh
tingkat kepadatan dan mobilitas penduduk yang tinggi. Wilayah-
wilayah yang termasuk ke dalam kategori sangat rawan dan rawan
biasanya ibu kota kabupaten atau ibu kota provinsi dengan tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi (Fitriyani, 2007). Pernyataan ini
sejalan dengan beberapa penelitian mengenai indeks kerawanan
dengue yang menjelaskan bahwa kepadatan penduduk atau jarak
antarrumah yang berdekatan memengaruhi penyebaran nyamuk

18 | Dengue Update: Menilik ...


dari satu rumah ke rumah lain. Jadi, wilayah dengan permukiman
lebih padat akan meningkatkan risiko penularan dengue (Ruliansyah
dkk., 2014; Gustomy, 2014; Ramadhani & Astuti, 2013). Sebaliknya,
wilayah yang lebih luas dan penduduknya cenderung tinggal
menyebar atau jarak antarrumah berjauhan, risiko penularan dengue
akan menurun (Ramadhani & Astuti, 2013).
Faktor determinan lain dalam penyebaran infeksi virus dengue
adalah 1) perubahan demografi, termasuk pertumbuhan laju
penduduk, pertumbuhan ekonomi di negara tropis, dan pemanfaatan
lahan; 2) peningkatan urbanisasi; 3) transportasi modern yang
membuat mobilitas penduduk semakin tinggi dan semakin cepat
sehingga memudahkan perpindahan komoditas, hewan, vektor, dan
patogen; serta 4) perubahan kebijakan kesehatan dan politik (Ferreira,
2012). Terkait mobilitas penduduk, kemudahan akses transportasi
antara kota dengan desa menyebabkan peningkatan mobilitas
sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran virus dengue dari
daerah perkotaan ke perdesaan (Ramadhani & Astuti, 2013; Mustika,
2016). Penelitian di Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah
juga melaporkan bahwa pola pergerakan kasus dengue dipengaruhi
oleh mobilitas (Muliansyah & Baskoro, 2016). Selain mobilitas,
pemanfaatan lahan untuk permukiman juga berpengaruh terhadap
kejadian dengue (Ruliansyah dkk., 2014; Mustika, 2016).
Gubler (2012) menjelaskan bahwa faktor yang memengaruhi
munculnya kembali DBD antara lain pertumbuhan populasi di
daerah perkotaan dengan permukiman yang di bawah standar
kelayakan dan sistem pengelolaan air yang tidak mumpuni. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Ang, Rohani, dan Look (2010) yang
menyatakan bahwa faktor-faktor sosio-demografi yang turut andil
dalam kejadian DBD adalah kemiskinan, mobilitas, dan kepadatan
penduduk. Kemiskinan berkontribusi besar terhadap penularan
DBD di suatu daerah. Daerah miskin yang ditandai dengan
penyediaan air bersih yang tidak memadai, pengolahan sampah yang
tidak baik, dan drainase yang buruk dapat menjadi sarang nyamuk.
Jadi, kemiskinan berakibat pada lingkungan yang kurang baik dan

Sebaran dan Faktor Risiko ... | 19


mendukung perkembangbiakan nyamuk sehingga penduduk miskin
terpapar atau berisiko terkena DBD (Ang dkk., 2010). Mobilitas
penduduk berkontribusi terhadap penyebaran DBD mengingat jarak
terbang vektor Aedes aegypti terbatas. Studi yang dilakukan di Asia
Tenggara menunjukkan bahwa tingginya angka wisatawan turut
berkontribusi terhadap penyebaran virus dengue secara geografis
(Chaparro, de la hoz, Becerra, & Repetto 2014). Sementara itu,
kepadatan penduduk juga memiliki andil dalam penularan penyakit
DBD. Semakin padat penduduk, nyamuk Aedes aegypti semakin
mudah menularkan virus dengue dari satu orang ke orang lainnya.
Pertumbuhan penduduk yang tidak memiliki pola tertentu dan
urbanisasi yang tidak terkontrol menjadi faktor yang juga berperan
dalam munculnya kejadian luar biasa penyakit DBD (WHO, 2000).
Curah hujan sebagai determinan dari faktor lingkungan juga
berpengaruh terhadap kejadian DBD. Hasil riset menunjukkan
bahwa curah hujan memberikan efek positif terhadap kejadian DBD.
Intensitas curah hujan dalam satu tahun yang berkisar dari 1.500
mm hingga 3.670 mm akan memengaruhi kejadian DBD (Yussanti,
Salamah, & Kuswanto, 2011). Hasil studi lainnya menyatakan hal
yang serupa, misalnya penelitian di Vietnam membuktikan bahwa
faktor musim dan iklim secara signifikan meningkatkan kejadian
DBD (Hu dkk., 2017). Gambar 2.7 menjelaskan hubungan curah
hujan dengan peningkatan populasi vektor DBD.
Faktor risiko lainnya terkait kejadian DBD adalah perilaku
hidup bersih dan sehat. Hal ini diwujudkan lewat pembersihan
tempat penampungan air yang berpotensi menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk. Pembersihan ini bisa dilakukan
minimal satu minggu satu kali. Praktik pemberantasan sarang
nyamuk berkaitan erat dengan keberadaan jentik nyamuk (Nugroho,
2009). Penelitian di Kota Malang menunjukkan adanya hubungan
antara umur, jenis kelamin, lama tinggal, dan jumlah anggota
keluarga dengan perilaku pencegahan DBD.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa sebanyak
40% populasi di negara berkembang saat ini tinggal di daerah

20 | Dengue Update: Menilik ...


perkotaan. Jumlah ini diproyeksikan meningkat menjadi 56% pada
2030 karena maraknya migrasi dari wilayah perdesaan ke perkotaan.
Migrasi ini disebabkan oleh keinginan mencari penghasilan yang
lebih baik dan mencari fasilitas yang lebih baik, misalnya pendidikan,
perawatan kesehatan, dan lain-lain. Pemerintah kota gagal
menyediakan sarana dan prasarana umum untuk mengakomodasi
arus migrasi ini, yang ada hanyalah permukiman dengan air bersih
yang tidak memadai, sanitasi yang buruk (ditambah pembuangan
limbah padat), dan miskin infrastruktur kesehatan masyarakat. Semua
hal tersebut menimbulkan potensi bagi Ae. aegypti berkembangbiak
dan membuat lingkungan yang kondusif untuk terjadinya transmisi
(WHO, 2011).

Sumber: Presentasi Direktur PPTVZ (2018).


Gambar 2.7 Pengendalian Vektor Sebelum Masa Penularan Berbasis Survei
Jentik

D. PENUTUP
Pola sebaran DBD sejak ditemukan sampai saat ini semakin
meningkat, baik dari aspek luas wilayah maupun jumlah penderita.
Faktor yang terkait erat dengan pola sebaran dengue adalah faktor

Sebaran dan Faktor Risiko ... | 21


lingkungan. Faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik, sosial,
dan biologi. Curah hujan merupakan faktor lingkungan fisik yang
memengaruhi kelangsungan hidup nyamuk Ae. aegypti yang berperan
sebagai vektor. Hal ini diperparah dengan buruknya perilaku hidup
dan kondisi lingkungan perumahan yang masih jauh dari memadai.
Faktor lingkungan sosial yang memengaruhi persebaran DBD
adalah kepadatan penduduk yang tinggi. Di beberapa negara tropis,
jumlah kasus DBD meningkat seiring meningkatnya kepadatan
penduduk. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kontak antara
vektor dengan manusia. Kondisi demikian lebih banyak ditemui di
wilayah perkotaan daripada di perdesaan. Keberadaan jentik dan
potensial breeding place merupakan faktor biologi yang berperan
dalam meningkatnya kasus DBD. Terpeliharanya kondisi biologi
yang kondusif bagi perkembangbiakan vektor DBD menaikkan
tingkat risiko penularan penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ang, K. T., Rohani, I & Look, C. H. (2010). Role of primary care providers
in dengue prevention and control in the community. Med J Malaysia,
65(1), 58–62.
Ariati, J., & Anwar, A. (2014). Model prediksi kejadian demam berdarah
dengue (DBD) berdasarkan faktor iklim di Kota Bogor, Jawa Barat.
Buletin Penelitian Kesehatan, 42(4), 249–256.
Ariati, J., & Musadad, A. (2013). The relationship of climate to dengue cases
in Manado, North Sulawesi: 2001–2010. Health Science Journal of
Indonesia, 1, 22–6.
Benedum, C., Seidahmed, O. M. E., Eltahir E. A. B., & Markuzon, N.
(2018). Statistical modeling of the effect of rainfall flushing on dengue
transmission in Singapore. PLOS Neglected Tropical Diseases, 12,
e0006935. DOI: 10.1371/journal.pntd.0006935.
Chaparro, P. E., de la hoz, F., Becerra C. L., Repetto, S. A. (2014).
Internal travel and risk of dengue transmision in Columbia. Revista
Panamericana de Salud Pública, 36(3), 197–200.

22 | Dengue Update: Menilik ...


de Almeida Costa, E. A. P., Santos, E., Correia, J. C., Albuquerque, C.
(2010). Impact of small variations in temperature and humidity on
the reproductive activity and survival of Aedes aegypti (Diptera,
Culicidae). Rev. Bras. entomol, 54(3), 488–493.
Departemen Kesehatan. (2010). Topik utama: DBD di Indonesia tahun
1968–2009. Jakarta. Bulletin Jendela Epidemiologi, 2(Agustus 2010),
1–14. Diakses pada 1 Juli 2018 dari http://www.depkes.go.id/
download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-dbd.pdf
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. (2014). Laporan kasus demam
berdarah dengue tahun 2009–2013. Bandung.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. (2018). Situasi terkini dan tantangan
pengendalian DBD di Jawa Barat. Presentasi oleh pengelola program
DBD Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dalam Pertemuan
Diseminasi Penelitian “Penguatan Sistem Survailans Berbasis Keluarga
dalam Pengendalian Dengue,” Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Bandung.
Ditjen P2PTVZ. (2018). Strategi pencapaian target eliminasi dan
pengendalian penyakit tular vektor & zoonosis. Jakarta: BBTKLPP.
Ditjen P2PTVZ. (2019). Situasi DBD dan Pelaksanaan Program 1R1J. Dalam
Workshop seluruh Tim dari Balai/Loka, Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten Riset Implementasi Jurbastik dalam Penanggulangan DBD
(Multicenter 2019), 15 Februari 2019.
Ferreira, G. (2012). Global dengue epidemiology trends. Rev.Inst.Med.Trop.
Sao Paulo, 54 (Suppl 18), S5-6.
Fitriyani. (2007). Penentuan wilayah rawan demam berdarah dengue di
Indonesia dan analisis pengaruh pola hujan terhadap tingkat serangan.
Laporan Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Gama, A., & Betty, F. (2010). Analisa faktor risiko kejadian DBD di Desa
Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi, 5(2), 1–9.
Gubler, D. J. (1997). The arbovirus: epidemiology and ecology. New York:
CRC Press, CAB International.
Gubler, D. J. (2012). The economic burden of dengue. American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene 86,(5), 743–744.

Sebaran dan Faktor Risiko ... | 23


Gustomy, A. (2014). Pemetaan indeks kerawanan DBD Di wilayah Jawa
Barat dan DKI Jakarta. Laporan M.K. Biometeorologi. Departemen
Geofisika dan Metereologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Institut Pertanian Bogor.
Hendri, J., Santya, R. N. R. E., & Prasetyowati, H. (2015). Distribusi dan
kepadatan vektor demam berdarah dengue (DBD) berdasarkan
ketinggian tempat di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Jurnal Ekologi
Kesehatan, 14(1), 17–28.
Hopp, M. J., & Foley, J. A. (2001). Global-scale relationships between climate
and the dengue fever vector, Aedes aegypti. Climatic Change, 48(2–3),
441–463. Diakses pada 5 Juni 2018 dari https://link.springer.com/
article/10.1023/A:1010717502442.
Hu, S. L., Hung, N-V., Vu, S. N., & Lee, M., Won, S., Phuc, P. D., & Grace,
D. (2017). Seasonal patterns of dengue fever and associated climate
factors in 4 provinces in Vietnam from 1994 to 2013. BMC Infectious
Diseases, 17(1), 218. 10.1186/s12879-017-2326-8.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Data dan informasi profil kesehatan
Indonesia 2017 (R. Kurniawan, B. Hardhana, & Yulianto, eds). Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2017a). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2017b). Profil kesehatan Indonesia tahun 2016
(R. Kurniawan, Yudianto, B. Hardhana, & T. A. Soenardi, eds). Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Program pengendalian DBD dan
resistensi insektisida. Presentasi di MOT Penelitian Resistensi oleh
Kasubdit Pengendalian Vektor P2B2. Jakarta.
Muliansyah, & Baskoro, T. (2016). Analisis pola sebaran DBD terhadap
penggunaan lahan dengan pendekatan spatial di Kabupaten Banggai
Provinsi Sulawesi Tengah, 2011–2013. Journal of Information System
for Public Health, 1(1), 47–54.
Mustika, A. A. (2016). Perubahan penggunaan lahan provinsi lampung
dan pengaruhnya terhadap insidensi DBD. Skripsi Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung.
Nakhapakorn, K., & Tripathi, N. K. (2005). An information value based
analysis of physical and climatic factors affecting dengue fever and
dengue haemorrhagic fever incidence. Biomed, 13, 1–13.

24 | Dengue Update: Menilik ...


Nugroho, S. F. (2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberdaaan
jentik Aedes aegypti di Desa Ketintang Kecamatan Nogosari Kabupaten
Boyolali Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Perwitasari, D., Ariati, J., & Puspita T. (2015). Kondisi iklim dan pola
kejadian demam berdarah dengue di Kota Yogyakarta tahun 2004–
2011. Media Litbangkes, 25(4), 243–248.
Pham, H., Doam, H., Phan, T., & Minh, N. (2011). Ecological factors
associated with dengue fever in a central Highland, Province, Vietnam.
BMC Infections Diseases, 16(11), 172.
Prasetyowati, H. (2010). Serotipe virus dengue di tiga kabupaten/kota
dengan tingkat endemisitas DBD berbeda di Provinsi Jawa Barat. J.
Aspirator, 2(2), 120–124.
Purnama, S., & Satoto, T. B. T. (2012). Maya index dan kepadatan larva Aedes
aegypti terhadap infeksi dengue. Makara Kesehatan, 16(2), 57–64.
Rakhmani, A. N., Limpanont, Y., Kaewkungwal, J., & Okanurak, K. (2018).
Factors associated with dengue prevention behaviour in Lowokwaru,
Malang, Indonesia: A cross-sectional study.   BMC Public Health 18(1),
619.
Raksanagara, A. S., Arisanti, N., & Rinawan, F. (2015). Dampak perubahan
iklim terhadap kejadian demam berdarah di Jawa Barat. JSK, 1(1)43–
47.
Ramadhani, M. M., & Astuti, H. (2013). Kepadatan dan penyebaran Aedes
aegypti setelah penyuluhan DBD di Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat.
Journal Kedokteran Indonesia, 1, 10–14.
Ramesh, C., Sharmila, P., Dhillon, G., & Aditya, P. (2010). Climate change
and threat of vector-borne diseases in India: Are we prepared?
Parasitology Research, 106(4), 763–773.
Rosidi, A. R., & Adisasmito, W. (2009). Hubungan faktor penggerakan
pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue dengan
angka bebas jentik di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka,
Jawa Barat. Majalah Kedokteran Bandung, 41, 22–28. DOI: 10.15395/
mkb.v41n2.187.
Ruliansyah, A., Yuliasih, Y., & Hasbullah, S. (2014). Pemanfaatan citra aster
dalam penentuan dan verifikasi daerah rawan DBD di Kota Banjar
Provinsi Jawa Barat. Aspirator, 6(2), 55–62.

Sebaran dan Faktor Risiko ... | 25


Ruliansyah, A., Yuliasih, Y., Ridwan, W., & Kusnandar A. J. (2017). Analisis
spasial sebaran demam berdarah dengue di Kota Tasikmalaya tahun
2011–2015. Aspirator, 9(2), 85–90.
Saubani, A. (2019, 1 Februari). Per 1 Februari, ada 15.132 kasus DBD di
Indonesia. Republika.co.id. Diakses 14 Februari 2019 dari https://www.
republika.co.id/berita/nasional/daerah/19/02/01/pm8pc8409-per-1-
februari-ada-15132-kasus-dbd-di-seluruh-indonesia
Sulistyawati, R. L. (2019, 30 Januari). Kemenkes rilis jumlah korban DBD
dari 2014 Hingga 2019. Republika.co.id. Diakses 10 Februari 2019
dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/19/01/30/
pm5fi1349-kemenkes-rilis-jumlah-korban-dbd-dari-2014-
hingga-2019.
Sucipto P. T., Raharjo, M., & Nurjazuli. (2015). Faktor-faktor yang
memengaruhi kejadian penyakit demam berdarah dengue (DBD) dan
jenis serotipe virus dengue di Kabupaten Semarang. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 14(2), 51–55.
Sukamto. (2007). Studi karakteristik wilayah dengan kejadian DBD
di Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap. Tesis Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Semarang.
Suwandono, A., Kosasih, H., & Nurhayati. (2006). Four dengue virus
serotypes found circulating during an outbreak of dengue fever
and dengue haemorrhagic fever in Jakarta, Indonesia, during 2004.
Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene,
100(9), 855–862.
WHO. (2000). Prevention and control of dengue haemorrhagic fever (WHO
Regional Publication SEARO No.29) New Delhi: World Health
Organization Regional Office for South-East Asia.
WHO. (2007). Report on dengue 1–5Oktober 2006. Diakses pada? dari
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/69787/TDR_
SWG_08_eng.pdf?sequence=1&isAllowed=y
WHO. (2011). Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue
and dengue haemorrhagic fever (Revised and expanded edition). New
Delhi: World Health Organization, Regional Office for South-East
Asia. Diakses pada 18 Maret 2018 dari http://apps.searo.who.int/pds_
docs/B4751.pdf?ua=1
WHO. (2012). Global strategy for dengue prevention and control 2012–
2020. Geneva Switzerland.

26 | Dengue Update: Menilik ...


Widiyanto, T. (2007). Kajian manajemen lingkungan terhadap kejadian
demam berdarah dengue di Purwokerto Jawa Tengah. Tesis Magister
Kesehatan Lingkungan. Universitas Diponegoro.
Wirayoga, M. A. (2013). Hubungan kejadian DBD dengan iklim di Kota
Semarang tahun 2006–2011. Skripsi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang. Diakses 7
Desember 2018 dari https://lib.unnes.ac.id/19377/1/6450407074.pdf
Yussanti, N., Salamah, M., & Kuswanto, H. (2011). Pemodelan wabah
demam berdarah dengue (DBD) di Jawa Timur berdasarkan faktor
iklim dan sosioekonomi dengan pendekatan regresi panel semi
parametrik. Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

Sebaran dan Faktor Risiko ... | 27


28 | Dengue Update: Menilik ...
Bab 3
Manifestasi Klinis dan Keparahan
Dengue
Tri Wahono & Mara Ipa

A. MANIFESTASI KLINIS INFEKSI VIRUS DENGUE


Infeksi virus dengue sejak ditemukan pada 1823 hingga kini
menunjukkan peningkatan insiden. Manifestasi klinis yang muncul
pun menunjukkan variasi yang tidak spesifik lagi. Artinya, orang
yang mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue tidak
akan terserang penyakit meskipun dalam darahnya terdapat virus
dengue. Sebaliknya, orang yang tidak punya kekebalan yang cukup
akan sakit demam ringan atau demam tinggi disertai perdarahan,
bahkan syok. Jadi, keparahannya tergantung pada kekebalan yang
dimilikinya (Suroso, 2005).
Dengue adalah penyakit yang kompleks dengan spektrum klinis
yang luas sehingga sering tidak dikenali atau didiagnosis keliru
dengan penyakit demam tropis lainnya (Gubler, 1998; Amarasinghe,
Kuritsky, William Letson, & Margolis, 2011; Wilder-Smith, Ooi,
Horstick, & Wills, 2019). Salah diagnosis juga terjadi karena infeksi
virus dengue yang menyebabkan demam berdarah dengue (DBD)
bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Setelah masa
inkubasi, sebagian besar pasien mengalami serangan demam
mendadak selama 2–7 hari dan sering disertai dengan gejala mialgia,
arthralgia, anoreksia, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan ruam
pada kulit (Rigau-Pérez, Gubler, Vorndam, & Clark, 1997; Rigau-
Pérez, 1999). Bagian anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

| 29
menunjukkan bahwa pasien DBD sering menderita gejala batuk,
pilek, muntah, mual, ataupun diare. Masalah bisa bertambah karena
virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit
lain, seperti flu atau tifus. Oleh karena itu, diperlukan kejelian
pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue,
patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Pemeriksaan klinis
yang baik dan lengkap serta pemeriksaan penunjang (laboratorium)
dapat membantu diagnosis DBD, terutama bila gejala klinis kurang
memadai (Kristina & Wulandari, 2004).
Penggunaan acuan klinis diagnosis dan klasifikasi infeksi
dengue dari awal hingga kini beberapa kali diperbarui merujuk pada
klasifikasi WHO 1997, 2009, dan 2011. Klasifikasi pertama DBD
dimulai pada 1970-an; saat itu infeksi virus dengue diklasifikasikan
menjadi demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD),
dan syok sindrom dengue (SSD) seperti dijelaskan dalam pedoman
dengue WHO tahun 1975 (WHO, 1997). Dalam perkembangannya,
diketahui bahwa terdapat perbedaan antara demam berdarah,
demam berdarah dengue, dan syok sindrom. Hal tersebut menjadi
aspek utama dalam klasifikasi dengue tahun 1997. Setelah itu, terjadi
perluasan kasus dengue secara geografis dan peningkatan kasus
pada kelompok umur dewasa yang membuat klasifikasi WHO 1997
menjadi tidak relevan lagi. Pengalaman klinis membuktikan bahwa
dalam banyak kasus dengue, perbedaan spektrum penyakit lebih
terlihat daripada perbedaan fase penyakit. Pengelompokan kasus
dengue menjadi DD/DBD/SSD menyebabkan tumpang tindihnya
perawatan dan triase pasien (Bandyopadhyay, Lum, & Kroeger, 2006;
Barniol dkk., 2011; Hadinegoro, 2012).
Dalam perjalanannya, dilakukan pembaruan terhadap klasifikasi
infeksi virus dengue tahun 1997 dengan dikeluarkannya Pedoman
Dengue tahun 2009 oleh WHO. Dalam pedoman ini, infeksi dengue
diklasifikasikan ke dalam demam berdarah dengue dengan tanda
peringatan, demam berdarah dengue tanpa tanda peringatan, dan
demam berdarah yang parah (WHO, 2009). Pedoman WHO 2009 ini
dianggap lebih sensitif dalam mendiagnosis demam berdarah parah

30 | Dengue Update: Menilik ...


dan lebih bermanfaat dalam manajemen dan triase kasus (Basuki
dkk., 2010; Barniol dkk., 2011; Alexander dkk., 2011; Van De Weg
dkk., 2012; Pozo-Aguilar dkk., 2014; Horstick dkk., 2014).
Namun, masalah utama terletak pada penerapan diagnosis
dan tata laksana kasus. Beberapa ahli menganggap bahwa tanda
peringatan yang digunakan masih terlalu luas dan membutuhkan
tanda yang lebih spesifik (Hadinegoro, 2012). Selain itu, Pedoman
WHO tahun 2009 juga perlu dimodifikasi agar menjadi lebih mudah
untuk diterapkan (Kalayanarooj, 2011). Modifikasi dilakukan dengan
menggabungkan kriteria baru dengan kriteria WHO 1997 yang
masih relevan digunakan. Modifikasi dan penggabungan kriteria ini
ditunjukkan dalam klasifikasi infeksi dengue 2011 oleh WHO South
East Regional Office (SEARO). Pada Pedoman Dengue tahun 2011,
klasifikasi dengue sama seperti dalam Guidelines WHO 1997, tetapi
ditambah kriteria baru, yakni expanded dengue syndrome (WHO,
2011).

Tabel 3.1 Perbedaan Klasifikasi Dengue Berdasarkan Pedoman WHO 1997,


2009, 2011
WHO 1997 WHO 2009 WHO SEARO 2011
Demam Dengue Demam Tanpa Tanda Demam Dengue
Demam Berdarah Peringatan Demam Berdarah
Dengue (Derajat I) Dengue (Derajat I)
Demam Berdarah Demam dengan Tanda Demam Berdarah
Dengue (Derajat II) Peringatan Dengue (Derajat II)
Demam Berdarah Demam Berdarah
Dengue (Derajat III) Dengue (Derajat III)
Demam Berdarah Demam parah Demam Berdarah
Dengue (Derajat IV) (kebocoran plasma, Dengue (Derajat IV)
pendarahan, dan Expanded Dengue
keterlibatan organ dalam
yang parah)
Sumber: WHO (1997, 2009, 2011)

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 31


B. PERJALANAN KLASIFIKASI DENGUE
Selanjutnya, akan diuraikan lebih terperinci terkait klasifikasi infeksi
virus dengue di setiap perubahannya. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, pembaruan dilakukan untuk menyempurnakan imple­
mentasi klasifikasi dalam penerapan diagnosis dan tata laksana
kasus. Berikut tiga perubahan klasifikasi infeksi virus dengue.

1. Pedoman WHO 1997


Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue
dan demam berdarah dengue. Demam dengue dapat muncul tanpa
manifestasi perdarahan, sedangkan demam berdarah dengue ditandai
dengan perembesan plasma yang dapat menuju kondisi berat yang
disebut sebagai dengue syok sindrom. Kondisi ini sering kali berakhir
dengan kematian, tetapi dapat pula menuju pada keadaan tanpa
syok yang dapat sembuh jika diterapi secara tepat (Djunaedi, 2006).
Manifestasi klinis infeksi virus dengue diklasifikasikan menjadi DD
dan DBD (derajat I, II, III, IV). Yang membedakan DBD derajat I dan
II dengan DD adalah adanya trombositopenia yang disertai dengan
hemokonsentrasi. Sementara itu, DBD derajat III dan IV dapat
dikategorikan sebagai SSD (WHO, 1997).
Secara lengkap, klasifikasi tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut.
a) Demam dengue (DD): demam disertai dua atau lebih tanda-
tanda sakit kepala, nyeri retroorbital, mialgia, dan athralgia.
Laboratoris: leukopenia, trombositopenia, tanpa bukti kebocoran
plasma.
b) Demam berdarah dengue derajat I: demam disertai dua atau lebih
tanda-tanda sakit kepala, nyeri retroorbital, mialgia, dan athralgia
dengan uji tourniquet positif. Laboratoris: trombositopenia
(<100.000/mm3) disertai bukti kebocoran plasma.
c) Demam berdarah dengue derajat II: manifestasi DBD derajat
I disertai perdarahan spontan. Laboratoris: trombositopenia
(<100.000/mm3) disertai bukti kebocoran plasma.

32 | Dengue Update: Menilik ...


d) Demam berdarah dengue derajat III: manifestasi DBD derajat
II disertai dengan kegagalan sirkulasi (kulit teraba lembap dan
dingin serta pasien gelisah). Laboratoris: trombositopenia
(<100.000/mm3) disertai bukti kebocoran plasma.
e)
Demam berdarah dengue derajat IV: syok berat disertai
dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur. Laboratoris:
trombositopenia (<100.000/mm3) disertai bukti kebocoran
plasma.

2. Pedoman WHO 2009


Berbagai penelitian dan studi kasus telah menunjukkan kelemahan
pedoman dengue WHO 1997 sehingga dilakukan pembaruan dengan
mengeluarkan Guidelines Dengue Infection tahun 2009. Pedoman
WHO 2009 ini tidak lagi membedakan ada tidaknya kebocoran
plasma yang sulit dideteksi bila masih ringan. Namun, pedoman
ini didasarkan pada simptom klinis ada tidaknya tanda peringatan
(warning sign) yang merupakan pertanda klinis akan terjadinya
manifestasi berat. Dengue dalam pedoman ini diklasifikasikan
menjadi demam berdarah dengue dengan tanda peringatan, demam
berdarah dengue tanpa tanda peringatan, dan demam berdarah
parah. Klasifikasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a) Demam berdarah tanpa tanda peringatan: tinggal atau bepergian
ke daerah endemis dengue. Demam dengan dua kriteria, seperti
mual/muntah, ruam, terasa sakit, dan pegal, tes torniquet positif,
dan leukopenia.
b) Demam berdarah dengan tanda peringatan: sakit di perut atau
saat ditekan, akumulasi cairan, pendarahan mukosa, lesu dan
gelisah, pembesaran hati (≥2 cm), peningkatan hematokrit, dan
penurunan trombosit.
c) Demam berdarah parah: kebocoran plasma yang mengarah
pada syok, akumulasi cairan dengan gangguan pernapasan,
pendarahan yang parah, keterlibatan organ yang parah (AST
atau ATL hati ≥1.000, gangguan keseimbangan, jantung dan
organ lain) (WHO, 2009).

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 33


DENGUE ± TANDA PERINGATAN DENGUE PARAH

Dengan Tanda 1. Kebocoran Plasma Yang Parah


Peringatan 2. Pendarahan Yang Parah
3. Kerusakan Organ Yang Parah

Tanpa Peringatan

Kemungkinan Dengue dengan tanda Kebocoran plasma yang


Dengue peringatan parah
Tinggal/bepergian Sakit perut atau nyeri Berujung pada:
ke daerah endemis tekan Syok (DSS)
dengue Muntah terus-menerus Akumulasi cairan dengan
Demam dengan Akumulasi cairan gangguan pernapasan
diikuti dua kriteria di klinis
bawah ini. Pendarahan mukosa Pendarahan yang parah
Mual, muntah Lesu dan gelisah Hasil pemeriksaan dokter
Ruam kulit Pembesaran hati >2 cm
Sakit dan nyeri Laboratorium: Keterlibatan organ yang
Test tourniquet positif peningkatan HCT parah
Leukopenia diikuti dengan Hati: AST atau ALT
Peringatan lainnya penurunan jumlah ≥1.000
trombosit secara cepat CNS: gangguan kesadaran
Jantung dan organ
Dengue yang Membutuhkan
lainnya
terkonfirmasi secara observasi yang ketat
laboratoris (penting dan intervensi medis
saat tidak ada tanda
kebocoran plasma)

Sumber: WHO (2009)


Gambar 3.1 Klasifikasi Dengue WHO 2009

3. Pedoman WHO SEARO 2011


Klasifikasi dengue WHO SEARO tahun 2011 merupakan modifikasi
klasifikasi WHO 1997 dan WHO 2009. Dalam pedoman ini,
dengue diklasifikasikan menjadi demam dengue, demam berdarah
dengue derajat I, II, III, dan IV ditambah dengan satu klasifikasi

34 | Dengue Update: Menilik ...


lagi, yakni expanded dengue syndrome. Expanded dengue syndrome
kemungkinan terjadi karena adanya komplikasi syok berat yang
parah, terkait kondisi atau penyakit inang, atau infeksi sekunder
(WHO, 2011).
Klasifikasi dengue dalam WHO SEARO 2011 dapat diuraikan
sebagai berikut.
1) Demam dengue (DD): demam disertai dua atau lebih tanda-tanda
sakit kepala, nyeri retroorbital, mialgia, athralgia. Laboratoris:
leukopenia, trombositopenia, tanpa bukti kebocoran plasma.
2) Derajat I: demam disertai dua atau lebih tanda-tanda sakit kepala,
nyeri retroorbital, mialgia, athralgia dengan uji tourniquet
positif. Laboratoris: trombositopenia (<100.000/mm3) disertai
bukti kebocoran plasma.
3) Derajat II: manifestasi DBD derajat I disertai perdarahan
spontan. Laboratoris: trombositopenia (<100.000/mm3) disertai
bukti kebocoran plasma.
4) Derajat III: manifestasi DBD derajat II disertai dengan kegagalan
sirkulasi (kulit teraba lembab dan dingin, gelisah). Laboratoris:
trombositopenia (<100.000/mm3) disertai bukti kebocoran
plasma.
5) Derajat IV: syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi
tidak terukur. Laboratoris: trombositopenia (<100.000/mm3)
disertai bukti kebocoran plasma.
6) Expanded dengue syndrome: demam berdarah dengan
manifestasi khusus atau tidak biasa meliputi neurologikal,
hepatik, renal, dan keterlibatan organ terisolasi lainnya.

C. DOMINASI KEPARAHAN DENGUE


Penyakit infeksi virus dengue merupakan hasil interaksi multifaktorial
antara faktor hospes, agen penyakit, dan lingkungan. Faktor agen
penyakit yang memengaruhi derajat keparahan penyakit DBD di
antaranya adalah faktor virulensi virus. Penelitian epidemiologi

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 35


molekuler menunjukkan hipotesis bahwa perbedaan strain virus
dengue akan berpengaruh terhadap virulensi virus tersebut. Laporan
dari berbagai daerah menunjukkan adanya jenis serotipe virus
dengue tertentu yang berhubungan dengan manifestasi klinis DBD
yang berat. Berikut beberapa faktor risiko terkait keparahan infeksi
virus dengue.

1. Karakteristik penderita infeksi virus dengue (umur dan


jenis kelamin)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok umur yang
mempunyai persentase paling tinggi terserang infeksi virus dengue
adalah kelompok anak-anak, tetapi kini mulai bergeser ke kelompok
umur dewasa. Hal ini sejalan dengan penelitian Kittigul di Thailand
yang menemukan bahwa pasien infeksi virus dengue terbanyak
di kelompok umur 10–14 tahun. Kelompok umur yang berbeda
mendominasi penderita DBD derajat I, yakni 20–29 tahun (Kittigul,
Pitakarnjanakul, Sujirarat, & Siripanichgon, 2007). Fakta ini sesuai
dengan penelitian Hammond bahwa gejala perdarahan internal
sebagian besar terjadi pada kelompok umur dewasa sebesar 15,2%.
Selama tahun 1993–1998, sebagian besar kasus DBD terjadi pada
anak-anak berumur antara 5–14 tahun. Namun, ada kecenderungan
peningkatan jumlah kasus DBD pada orang berumur lebih dari 15
tahun (Djunaedi, 2006). Keadaan yang sama juga terjadi di Singapura
di mana kelompok umur yang terinfeksi virus dengue terbanyak
pada usia 14 tahun pada 1973, kemudian meningkat menjadi usia 28
tahun pada 1994.
Bila dilihat dari jenis kelamin, penderita infeksi virus dengue
dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki jumlahnya tidak jauh
berbeda. Perempuan penderita DBD jumlahnya lebih banyak (58,7%)
dibandingkan dengan laki-laki (41,3%). Hal ini hampir sama dengan
hasil penelitian di Rumah Sakit Chon Buri Regional Bangkok tahun
1995–1998, yakni 55% penderita adalah perempuan. Penelitian pada
populasi Meksiko yang membandingkan infection rate virus dengue
berdasarkan jenis kelamin juga membuktikan adanya peningkatan

36 | Dengue Update: Menilik ...


risiko pada perempuan (Kaplan dkk., 1983). Hasil studi yang berbeda
di Asia menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya infeksi virus dengue
lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. Perbedaan tersebut
berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan (Guha-Sapir &
Schimmer, 2005).
Perbedaan jenis kelamin ternyata berkaitan erat dengan derajat
keparahan infeksi virus dengue. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa DBD derajat I dan II sebagian besar diderita oleh perempuan.
Hasil penelitian yang sama di Brazil menunjukkan bahwa perempuan
lebih berisiko terkena infeksi virus dengue dengan manifestasi klinis
yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki (Cordeiro dkk, 2011).
Permatasari menyatakan bahwa perempuan memiliki peluang 3,333
kali lebih besar menderita DBD daripada laki-laki (Permatasari,
Ramaningrum, & Novitasari, 2015). Halstead juga menegaskan hal
yang senada, yakni bahwa laki-laki yang terinfeksi virus dengue
derajat keparahannya lebih ringan dibandingkan dengan perempuan.
Masih menurut Halstead, hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus
demam syok sindrom (DSS) dan kasus fatal lebih banyak ditemukan
pada perempuan dibandingkan pada laki-laki, terutama usia di atas
4 tahun (Halstead, 1970). Keparahan penyakit akibat infeksi juga
dipengaruhi oleh usia. Hal ini sejalan dengan penelitian Guzman
yang menunjukkan bahwa DEN-2 mempunyai peluang yang sama
dalam menginfeksi semua kelompok usia. Namun, kerentanan
terhadap DSS terbanyak ditemukan pada kelompok usia antara 4–12
tahun dan menurun pada usia belasan (Guzman & Kouri, 2008).

D. HUBUNGAN JENIS INFEKSI DAN DERAJAT KEPARAHAN


INFEKSI VIRUS DENGUE
Berdasarkan hasil penelitian, penderita dengan infeksi sekunder
sebagian besar (56%) merupakan DD. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Cordeiro di Recife Brazil yang menemukan bahwa
infeksi sekunder mendominasi pada penderita dengan kategori
DD, sedangkan pada penderita DBD, proporsi infeksi primer dan

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 37


sekunder relatif sama (Cordeiro dkk., 2011). Namun, hasil berbeda
ditemukan di Thailand. Sebagian besar penderita dengan infeksi
sekunder di sana merupakan DBD (Nisalak dkk., 2003).
Penelitian di lima rumah sakit di Jawa Barat menunjukkan tidak
ada hubungan yang berarti antara jenis infeksi (infeksi primer dan
sekunder) dengan derajat keparahan infeksi virus dengue (Ipa, 2010).
Kesimpulan yang sama diperoleh dari penelitian di RSU Sanglah
Denpasar (Kardawinata, 2008).
Hubungan kuat antara DBD dan infeksi sekunder virus dengue
diketahui dari studi in vitro yang dilakukan Halstead. Studi tersebut
didasari oleh kenyataan bahwa manifestasi klinis pada infeksi
sekunder yang terjadi setelah beberapa waktu berbeda dengan
manifestasi klinis pada infeksi primer (Halstead dkk., 1970). Teori
infeksi sekunder menyatakan bahwa antibodi yang terbentuk
setelah pertama kali terinfeksi virus dengue dapat menetralisasi
virus yang sama (homolog). Teori secondary heterologous infection
menyatakan bahwa infeksi virus dengue kedua kali atau berikutnya
dengan serotipe virus yang berbeda pada seorang individu akan
bermanifestasi lebih berat dibandingkan infeksi primer. Antibodi
heterolog yang telah ada setelah infeksi virus dengue sebelumnya
akan mengenal virus dengue yang menginfeksi berikutnya dan
membentuk kompleks antigen antibodi yang berikatan dengan Fc
reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Antibodi
ini bersifat heterolog sehingga virus tidak dinetralkan oleh tubuh,
yang akan menyebabkan virus bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag (Wagenaar, Mairuhu, & Gorp, 2004).
Hipotesis ini dijelaskan dalam antibody-dependent immune
enhancement theory (ADE) yang secara in vitro menunjukkan bahwa
antibodi anti-dengue dapat meningkatkan infeksi virus melalui
peran IgG dalam sel monosit sehingga meningkatkan replikasi virus.
Satu-satunya spesies hewan besar selain manusia yang diketahui
terinfeksi secara alami dan dapat secara eksperimental terinfeksi
oleh rute parenteral adalah monyet dan kera. Respons antibodi
dan tingkat viremia pada monyet mirip dengan yang terlihat pada

38 | Dengue Update: Menilik ...


manusia, dan oleh karena itu mereka telah dipandang sebagai
model hewan yang dapat diterima untuk mempelajari aspek virologi
dan imunologi dalam infeksi virus dengue eksperimental. Selain
itu, telah didokumentasikan dengan baik bahwa dalam semua
aspek, komposisi sel sumsum tulang Rhesus macaque sangat mirip
dengan manusia dan digarisbawahi oleh fakta bahwa parameter
yang ditetapkan untuk transfusi darah pada monyet telah menjadi
panduan penting untuk prosedur ini dalam studi klinis. Selanjutnya,
sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan rekapitulasi hemorrhagic
manusia pada rhesus monyet melalui pemberian intravena dengan
dosis tinggi virus dengue. Meskipun tingkat viremia dengue sedikit
lebih rendah dari pada di manusia, model ini menunjukkan gejala
penyakit. Oleh karena itu, primata merupakan hewan yang lebih baik
untuk menyelidiki sumber viremia dengue (Noisakran dkk., 2010)
Keterkaitan antara infeksi sekunder dengan derajat keparahan
infeksi masih diragukan karena infeksi sekunder tidak selalu
dapat menerangkan etiologi DBD. Tidak semua infeksi sekunder
menimbulkan manifestasi klinis berat, dan sebaliknya, infeksi primer
kemungkinan dapat menimbulkan manifestasi berat, misalnya
komplikasi DSS (Halstead, 1988; Reed dkk., 2017). Hasil yang sama
didapat dari penelitian di Sri Lanka di mana terdapat manifestasi
perdarahan pada penderita positif IgM (Kularatne, Gawarammana,
& Kumarasiri, 2005).
Hasil pengamatan epidemiologis menunjukkan bahwa terdapat
korelasi kuat antara respons antibodi sekunder (secondary type
antibody responses) atau infeksi dengue sebelumnya dengan penyakit
yang ditimbulkan akibat infeksi virus dengue. Korelasi tersebut
menguat sejalan dengan keparahan penyakit pada anak-anak usia
lebih dari satu tahun. Namun, tidak semua pasien dengan infeksi
sekunder dengue meningkat menjadi DBD/DSS. Hasil Penelitian
di Nicaragua menyatakan bahwa infeksi sekunder terbukti menjadi
faktor risiko keparahan penderita infeksi virus dengue pada anak,
tetapi tidak pada orang dewasa (Harris dkk., 1998). Keparahan
penyakit dipengaruhi juga oleh virulensi virus. Teori virulensi

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 39


didasarkan pada perbedaan serotipe pada kasus-kasus fatal. Teori
virulensi menjelaskan bahwa DBD timbul karena infeksi pertama
virus dengue dengan virulensi yang tinggi. Teori ini muncul karena
tidak semua infeksi sekunder menimbulkan DBD (McBride &
Bielefeldt-Ohmann, 2000).
Interval antara infeksi primer dan sekunder memengaruhi
keparahan infeksi dengue. Semakin dekat intervalnya, infeksi yang
disebabkan akan lebih parah. Infeksi ganda akan menimbulkan
keparahan yang lebih tinggi karena interval infeksinya sangat dekat,
bahkan tidak ada intervalnya (Soo dkk., 2016). Infeksi sekunder
tidak selalu menimbulkan manifestasi berat. DBD berat terjadi hanya
pada 1% sampai 3% dari seluruh kasus. Faktor yang memengaruhi
berat tidaknya DBD adalah IgM spesifik anti dengue. IgM yang
bersifat netralisasi dapat berikatan dan menetralisasi infeksi sekunder
sehingga mencegah timbulnya sakit berat. Bila IgM tidak cukup, terjadi
peningkatan IgG yang mengakibatkan dengue berat (Pang, 1987).

E. HUBUNGAN SEROTIPE DAN DERAJAT KEPARAHAN


INFEKSI VIRUS DENGUE
Demam berdarah dengue/sindrom syok dengue (DBD/SSD) terdiri
dari 4 serotipe yang berbeda (DEN 1-4) (Nisalak dkk., 2003).
Perbedaan serotipe dengue menyebabkan berbagai gejala klinis yang
berbeda, tetapi serotipe apa yang berpengaruh terhadap perbedaan
klinis seperti apa belum dapat dipastikan. Beberapa laporan
mengindikasikan bahwa DEN-2 dan DEN-3 menyebabkan kasus
yang lebih parah, sementara DEN-4 menghasilkan gejala klinis yang
lebih ringan (Endy dkk., 2004; Nisalak dkk., 2003; Balmaseda dkk.,
2006). Penelitian yang dilakukan di tiga lokasi berbeda (Jakarta,
Yogyakarta, dan Medan) sebagian besar serotipenya adalah DEN-3
(42,5%) dan DEN-2 (33,7%) (Wuryadi, 1986). Pada saat terjadi KLB
DBD di Jakarta pada 2004, serotipe DEN-3 mendominasi, diikuti
DEN-4, DEN-2 dan DEN-1 (Suwandono dkk., 2006).
Di Jawa Barat, DEN-2 (42,8%) dan DEN-3 (38%) menjadi serotipe
yang banyak menyebabkan terjadinya kasus DBD (Ipa, 2010). Hal ini

40 | Dengue Update: Menilik ...


sejalan dengan penelitian di Thailand yang menemukan bahwa kasus
DBD terbanyak disebabkan oleh DEN-2 (35%) dan DEN-3 (31%)
(Endy dkk., 2002). Berdasarkan hasil penelitian lainnya, ditemukan
adanya infeksi ganda oleh dua serotipe yang berbeda (DEN-3 dan
DEN-4) dengan diagnosis klinis DBD derajat I. Infeksi ganda juga
muncul di Jawa Timur saat serotipe DEN-2 dan DEN-3 ditemukan
dalam sampel serum penderita dengan diagnosis klinis DBD derajat
IV. Infeksi ganda oleh dua serotipe yang berbeda dapat memperparah
penyakit DBD ini (Soegijanto, 2004).
Di Jawa Barat, ada hubungan kuat antara serotipe virus
dengue dengan derajat keparahan infeksi virus dengue, dan DEN
3 merupakan serotipe yang menunjukkan hubungan yang sangat
kuat dengan derajat infeksi virus dengue (Ipa, 2010). Hal ini sejalan
dengan penelitian wabah dengue di Bangladesh (Podder dkk.,
2006) dan Sumatra Selatan (Corwin dkk., 2001) yang menunjukkan
bahwa DEN-3 adalah serotipe yang dominan. DEN-1 menyebabkan
munculnya kasus dengue ringan di Indonesia, sedangkan DEN-3 dan
DEN-2 menjadi penyebab hadirnya kasus dengue berat. Sementara
itu, Siquera menguji perbedaan manifestasi klinis yang disebabkan
oleh perbedaan serotipe di Brazil. Hasilnya, individu yang terinfeksi
DEN-3 menunjukkan gejala lebih berat dibandingkan dengan yang
terinfeksi DEN-1 atau DEN-2 (Siqueira dkk., 2005). Namun, terdapat
penelitian yang hasilnya berbeda. Sebagai contoh, dalam penelitian
tentang wabah di Salta Argentina pada 1997 (Avilés dkk., 1999)
ditemukan bahwa serotipe DEN-2 adalah yang paling dominan.
Penelitian wabah di Kuba membuktikan bahwa kasus fatal yang
terjadi berhubungan dengan infeksi sekunder oleh DEN-2 (Kouri
dkk., 1989; Guzmán dkk., 2000). Sementara itu, hasil penelitian
di Thailand menunjukkan bahwa infeksi sekunder oleh DEN-2
berhubungan dengan lebih banyak kasus DBD/DSS dibandingkan
dengan infeksi sekunder oleh DEN-4 (Nisalak dkk., 2003). Penelitian
epidemi dengue di Nicaragua pada 1998 menyimpulkan bahwa
epidemiologi dengue dapat berbeda tergantung daerah geografi dan
serotipe virusnya (Balmaseda dkk., 1999).

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 41


Teori virulensi menyatakan bahwa penyebab hebatnya
manifestasi sakit adalah virulensi virus. Hasil penelitian telah
membuktikan teori tersebut dan menunjukkan bahwa DEN-1 lebih
patogenik dibandingkan dengan serotipe lainnya. Hal ini karena
serotipe DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 tidak berhasil membawa epitop
yang dapat meningkatkan antibodi netralisasi terhadap serotipe virus
DEN-1. Lalu, subtipe virus dengue juga menimbulkan perbedaan
derajat keparahan infeksi virus dengue. Bila seseorang terinfeksi virus
dengue serotipe DEN-2 dengan infeksi primer, antibodi anti-dengue
dapat menetralisasi dengan baik jika infeksi disebabkan oleh serotipe
DEN-3 grup A dibandingkan dengan serotipe DEN-3 grup B. Sejalan
dengan ditemukannya genotipe baru DEN-2 di Asia Tenggara, ada
tiga subtipe DEN-2 yang didasarkan pada perbedaan asam amino.
Infeksi sekunder subtipe 1 mengakibatkan DSS, infeksi sekunder
subtipe 2 menyebabkan DBD, dan infeksi subtipe 3 mengakibatkan
DD. Hal ini menunjukkan bahwa strain virus menentukan virulensi
dari virus dengue (Pandey & Igarashi, 2000).
Penelitian Silva mengindikasikan bahwa DEN-2 menyebabkan
kasus yang lebih parah dibandingkan dengan DEN-1 dan DEN-
3 (Hammond dkk., 2005; Silva dkk., 2018). Penelitian di Vittoria,
Brazil, menunjukkan bahwa DEN-2 menyebabkan kasus yang lebih
parah daripada DEN-1 atau DEN-4 (Vicente dkk., 2016). DEN-
1 berkaitan dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sedangkan DEN-2 dikaitkan dengan syok pada tingkat yang lebih
tinggi. DEN-2 menyebabkan keparahan yang lebih tinggi; hal ini
didukung data banyaknya infeksi DEN-2 yang mengakibatkan
pendarahan serius (misalnya, hematemesis, melena, hematuria,
menorrhagia, epistaksis, dan pendarahan gingiva). Sementara itu,
DEN 1 menyebabkan pendarahan yang ringan, seperti petekiae dan
tes torniquet positif yang menunjukkan adanya kerapuhan kapiler.
Studi pilogenetik dan epidemiologi menunjukkan bahwa
genotipe virus tertentu mempunyai kemampuan menimbulkan
epidemi DBD (Messer dkk., 2002), misalnya serotipe DEN-3 yang
memiliki empat subtipe berbeda berdasarkan perbedaan geografis
(Lanciotti, Lewis, Gubler, & Trent, 1994). Berdasarkan hasil analisis

42 | Dengue Update: Menilik ...


genetik, strain DEN-3 berpotensi membentuk genotipe baru
(genotipe V). Menurut Rosen, evolusi genetik dari virus dengue dalam
masing-masing serotipe akan menghasilkan generasi virus dengue
yang lebih virulen (Rosen, 1977). Hal senada dijelaskan oleh Gubler;
ia menyatakan bahwa strain virus dengue berhubungan dengan
berat ringannya derajat keparahan yang ditimbulkan (Gubler, 1987).
Beberapa strain virus dengue bertanggung jawab terhadap kejadian
DBD dengan jumlah insiden rendah dan transmisi tidak efisien.
Sementara itu, beberapa strain lainnya berperan pada insiden DBD
dalam jumlah yang lebih tinggi dengan transmisi cepat. Penelitian
Dash di India juga mengungkap bahwa serotipe DEN-3 virus dengue
subtipe III mudah transmisinya pada nyamuk dan manusia sebagai
hospes utama dan dapat beradaptasi dengan efisien di wilayah baru
(Dash dkk., 2006).
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa parameter terkait
virulensi virus dengue antara lain serotipe virus, urutan genom
virus, status kekebalan, dan selanjutnya serotipe yang berperan
dalam memodulasi penyakit dengue (Gutierrez dkk., 2011).
Virulensi virus ditentukan oleh faktor kepekaan hospes. Selain itu,
perbedaan sekuen asam nukleat DNA, baik di antara maupun di
dalam subtipe, juga menyebabkan perbedaan virulensi virus dan
potensi epideminya. Perubahan susunan asam amino pada protein E
virus dapat menyebabkan perubahan kepekaan sel hospes, kemudian
berdampak pada replikasi virus dan derajat berat ringannya penyakit
(Dash dkk., 2006).

F. PENUTUP
Manifestasi klinis infeksi virus dengue bermacam-macam, mulai
dari gejala ringan (mialgia, artralgia, anoreksia, sakit tenggorokan,
sakit kepala, dan ruam pada kulit) sampai gejala berat (kebocoran
plasma dan syok). Spektrum klinis yang luas dan tidak spesifik
membuat sering tidak dikenali atau salah diagnosis dengan penyakit
demam tropis lainnya. Pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap,
serta pemeriksaan laboratorium (RDT, ELISA, genetic sequencing)
sangat membantu dalam penegakan diagnosis DBD.

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 43


Acuan klinis diagnosis dan klasifikasi infeksi dengue telah
beberapa kali diperbarui merujuk pada Pedoman WHO 1997, 2009,
dan 2011. Infeksi virus dengue menurut WHO 1997 diklasifikasikan
menjadi demam dengue, demam berdarah dengue, dan syok
sindrom dengue (DD/DBD/SSD). Namun, aplikasi Pedoman WHO
1997 terbatas sehingga perlu dilakukan pembaruan. Kemudian,
dikeluarkanlah Pedoman WHO 2009 yang mengklasifikasikan
infeksi dengue menjadi demam berdarah dengue dengan tanda
peringatan, demam berdarah dengue tanpa tanda peringatan,
dan demam berdarah yang parah. Permasalahan muncul dalam
penanganan kasus DBD karena tanda peringatan yang digunakan
masih terlalu luas dan kurang spesifik. Oleh karena itu, WHO
melakukan modifikasi kriteria dengan menggabungkan dengan
kriteria WHO 1997 yang masih relevan digunakan. Kemudian,
dikeluarkanlah Pedoman WHO 2011 yang menggunakan klasifikasi
WHO 1997 ditambah dengan kriteria baru, yakni expanded dengue
syndrome.
Manifestasi klinis dan keparahan dengue dipengaruhi dua
faktor utama, yaitu hospes dan agen. Faktor hospes dipengaruhi oleh
karakteristik pasien, kondisi imunitas pasien, jenis infeksi virus
dengue dan interval infeksi virus dengue. Faktor agen dipengaruhi
oleh tingkat virulensi virus dengue, dan jenis serotipe virus dengue.

DAFTAR PUSTAKA
Alexander, N., Balmaseda, A., Coelho I. C. B., Dimaano, E., Hien, T. T., Hung,
N. T., ... Wills, B. (2011). Multicentre prospective study on dengue
classification in four South-east Asian and three Latin American
countries. Tropical Medicine and International Health, 16(8), 936–948.
Amarasinghe, A., Kuritsky, J. N., William Letson, G., & Margolis, H. S.
(2011). Dengue virus infection in Africa. Emerging Infectious Diseases,
17(8), 1349–1354.
Avilés, G., Rangeón, G., Vorndam, V., Briones, A., Baroni, P., Enria, D., &
Sabattini, M.S. (1999). Dengue reemergence in Argentina. Emerging
Infectious Diseases, 5(4), 575–578.

44 | Dengue Update: Menilik ...


Balmaseda, A.., Hammond, S.N., Pérez, L., Tellez, Y., Saborío, S. I., Mercado
J. C., ...    Harris E. (2018). Serotype-specific differences in clinical
manifestations of dengue. The American Journal of Tropical Medicine
and Hygiene, 74(3), 449–456.
Balmaseda, A., Sandoval, E., Pérez, L., Gutiérrez, C. M., & Harris, E. (1999).
Application of molecular typing techniques in the 1998 dengue
epidemic in Nicaragua. American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene, 61(6), 893–7.
Balmaseda, J., Reguera, E., Rodríguez-Hernández, J., Reguera, L., & Autie,
M. (2006). Behavior of transition metals ferricyanides as microporous
materials. Microporous and Mesoporous Materials, 96(1–3), 222–236.
Bandyopadhyay, S., Lum, L. C. S., & Kroeger, A. (2006). Classifying dengue:
A review of the difficulties in using the WHO case classification for
dengue haemorrhagic fever. Tropical Medicine and International
Health, 11(8), 1238–1255.
Barniol, J., Gaczkowski, R., Barbato, E. V., da Cunha, R. V., Salgado, D.,
Martínez, E., ... Jaenisch, T. (2011). Usefulness and applicability of the
revised dengue case classification by disease: Multi-centre study in 18
countries. BMC Infectious Diseases, 11(1), 106.
Basuki, P. S., Budiyanto, Puspitasari, D., Husada, D., Darmowandowo, W.,
Ismoedijanto, ... Yamanaka, A. (2010). Application of revised dengue
classification criteria as a severity marker of dengue viral infection in
Indonesia. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public
Health, 41(5), 1088–1094.
Cordeiro, R., Donalisio, M. R., Andrade, V. R., Mafra, A. C. C. N., Nucci, L.
B., Brown, J. C. & Stephan, C. (2011). Spatial distribution of the risk
of dengue fever in southeast Brazil, 2006–2007. BMC Public Health,
11(1), 355.
Corwin, A. L., Larasati, R. P., Bangs, M. J., Wuryadi, S., Arjoso, S., Sukri,
N, ... Porter, K. R. (2001). Epidemic dengue transmission in southern
Sumatra, Indonesia. Transactions of the Royal Society of Tropical
Medicine and Hygiene, 95(3), 257–65.
Dash, P.K., Parida, M., Saxena, P., Abhyankar, A. V., Singh, C. P., Tewari,
K. N., ... Rao, P. V. L. (2006). Reemergence of dengue virus type-3
(subtype-III) in India: Implications for increased incidence of DHF &
DSS. Virology Journal, 3(3), 55.

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 45


Djunaedi. (2006). Demam berdarah: Epidemiologi, imnopatologi, patogenesis,
diagnosis dan penatalaksanaanya. Malang: Penerbit Universitas
Muhammadiyah.
Endy, T. P., Nisalak, A., Chunsuttiwat, S., Libraty, D. H., Green, S., Rothman,
A. L., ... Ennis, F. A. (2002). Spatial and temporal circulation of dengue
virus serotypes: A prospective study of primary school children in
Kamphaeng Phet, Thailand. American Journal of Epidemiology, 156(1),
52–9.
Gubler, D. J. (1998). Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clinical
Microbiology Reviews, 11 (3), 480–496.
Gubler, D. J. (1987). Dengue and dengue hemorrhagic fever in the Americas.
Puerto Rico Health Sciences Journal, 6(2), 107–111.
Guha-Sapir, D., & Schimmer, B. (2005). Dengue fever: New paradigms for a
changing epidemiology. Emerging Themes in Epidemiology, 2(1), 1.
Gutierrez, G., Standish, K., Narvaez, F., Perez, M. A., Saborio, S., Elizondo,
D., … Harris, E. (2011). Unusual dengue virus 3 epidemic in Nicaragua,
2009. PLoS Negl. Trop. Dis., 5(11), e1394. https://doi.org/10.1371/
journal.pntd.0001394
Guzman, M. G., & Kouri, G. (2008). Dengue haemorrhagic fever integral
hypothesis: confirming observations, 1987–2007. Transactions of the
Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. 102(6), 522–3.
Guzmán, M. G., Kouri, G., Valdes, L., Bravo, J., Alvarez, M., Vazques, S., ...
Halstead, S.B. (2000). Epidemiologic studies on dengue in Santiago de
Cuba, 1997. American Journal of Epidemiology, 152(9), 793–9.
Hadinegoro, S. R. (2012). The revised WHO dengue case classification:
Does the system need to be modified? Paediatrics and International
Child Health, 32 Suppl 1(s1), 33–8.
Halstead, S. B. (1970). Observations related to pathogensis of dengue
hemorrhagic fever. VI. Hypotheses and discussion. The Yale Journal of
Biology and Medicine, 42(5), 350–62.
Halstead, S. B. (1988). Pathogenesis of dengue: Challenges to molecular
biology. Science, 239(4839), 476–481.
Halstead, S. B., Udomsakdi, S., Simasthien, P., Singharaj, P., Sukhavachana,
P., & Nisalak, A. (1970). Observations related to pathogenesis of dengue
hemorrhagic fever. I. Experience with classification of dengue viruses.
The Yale Journal of Biology and Medicine, 42(5), 261–275.

46 | Dengue Update: Menilik ...


Hammond, S. N., Balmaseda, A., Pérez, L., Tellez, Y., Saborío, S. I., Mercado,
J. C., … Harris, E. (2005). Differences in dengue severity in infants,
children, and adults in a 3-year hospital-based study in Nicaragua. Am.
J. Trop. Med. Hyg., 73(6), 1063–70.
Harris, E., Roberts, T. G., Smith, L., Selle, J., Kramer, L. D., Valle, S., ...
Balmaseda, A. (1998). Typing of dengue viruses in clinical specimens
and mosquitoes by single- tube multiplex reverse transcriptase PCR.
Journal of Clinical Microbiology, 36(9), 2634–9.
Horstick, O., Jaenisch, T., Martinez, E., Kroeger, A., Lum, L., Farrar, J.,
Runge-Ranzinger, S. (2014). Comparing the usefulness of the 1997 and
2009 WHO dengue case classification: A systematic literature review.
American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 91(3), 621–634.
Ipa, M. (2010). Hubungan jenis infeksi dan serotipe dengan derajat
keparahan penderita infeksi virus dengue di lima rumah sakit Provinsi
Jawa Barat. Universitas Gadjah Mada.
Kalayanarooj, S. (2011). Dengue classification: Current WHO vs. the newly
suggested classification for better clinical application? Journal of the
Medical Association of Thailand=Chotmaihet thangphaet, 94(Suppl 3),
S74–84.
Kaplan, J. E., Eliason, D. A., Moore, M., Sather, G. E., Schonberger, L. B.,
Cabrera-Coello, L., de Castro J. F. (1983). Epidemiologic investigations
of dengue infection in Mexico, 1980. American Journal of Epidemiology,
117(3), 335–343.
Kardawinata, M. P. (2008). Hubungan antara faktor host dan lingkungan
dengan derajat infeksi virus dengue di RSUP Sanglah Denpasar Bali.
Universitas Airlangga.
Kittigul, L., Pitakarnjanakul, P., Sujirarat, D., & Siripanichgon, K. (2007).
The differences of clinical manifestations and laboratory findings in
children and adults with dengue virus infection. Journal of Clinical
Virology, 39(2), 76–81.
Kouri, G. P., Guzmán, M. G., Bravo, J. R., & Triana, C. (1989). Dengue
haemorrhagic fever/dengue shock syndrome: lessons from the Cuban
epidemic 1981. Bulletin of the World Health Organization, 67(4), 375–
80.
Kristina, I., & Wulandari, L. (2004). Kajian masalah kesehatan: demam
berdarah dengue. Jakarta: Badan Litbangkes.

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 47


Kularatne, S. A. M., Gawarammana, I., & Kumarasiri, R. P. V. (2005).
Epidemiology, clinical features, laboratory investigations and early
diagnosis of dengue fever in adults: A descriptive study in Sri Lanka.
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 36(3),
686–92.
Lanciotti, R. S., Lewis, J. G., Gubler, D., & Trent, D. W. (1994). Molecular
evolution and epidemiology of dengue-3 viruses. Journal of General
Virology,75( Pt 1)(1), 65–75.
McBride, W. J. H., & Bielefeldt-Ohmann, H. (2000). Dengue viral infections:
Pathogenesis and epidemiology. Microbes and Infection, 2(9), 1041–50.
Messer, W. B., Vitarana, U. T., Sivananthan, K., Elvtigala, J., Preethimala,
L. D., Ramesh, R., ... De Silva, A. M. (2002). Epidemiology of dengue
in Srilanka before and after the emergence of epidemic dengue
hemorrhagic fever. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene,
66(6), 765–73.
Nisalak, A., Endy, T. P., Nimmannitya, S., Kalayanarooj, S., Thisayakorn,
U., Scott, R. M., ... Hoke, C. H. (2003). Serotype-specific dengue virus
circulation and dengue disease in Bangkok, Thailand from 1973 to
1999. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 68(2), 191–
202.
Noisakran, S., Onlamoon, N., Songprakhon, P., Hsiao, H-M.,
Chokephaibulkit, K., & Perng, G. C. (2010). Cells in dengue virus
infection in vivo. Advances in Virology, 2010, Article ID 164878. http://
dx.doi.org/10.1155/2010/164878
Pandey, B. D., & Igarashi, A. (2000). Severity-related molecular differences
among nineteen strains of dengue type 2 viruses. Microbiology and
Immunology, 44(3), 179–88.
Pang, T. (1987). Dengue-specific IgM and dengue haemorrhagic fever/
shock. The Lancet, 329(8539), P988. DOI: https://doi.org/10.1016/
S0140-6736(87)90346-1
Permatasari, D. Y., Ramaningrum, G., & Novitasari, A. (2015). Hubungan
status gizi, umur, dan jenis kelamin dengan derajat infeksi dengue
pada anak. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, 2(1), 24–28.
Podder, G., Breiman, R. F., Azim, T., Thu, Z. H., Velathanthiri, N., Le, M.,
... Aaskov, J. G. (2006). Origin of dengue type 3 viruses associated
with the dengue outbreak in Dhaka, Bangladesh, in 2000 and 2001.
American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 74(2), 263–5.

48 | Dengue Update: Menilik ...


Pozo-Aguilar, J. O., Monroy-Martínez, V., Díaz, D., Barrios-Palacios, J.,
Ramos, C., Ulloa-García, A., ... Ruiz-Ordaz, B.H. (2014). Evaluation of
host and viral factors associated with severe dengue based on the 2009
WHO classification. Parasites and Vectors, 7(1), 1–11.
Raekiansyah, M., & Sudiro, T. M. (2013). Genetic variation among dengue
virus that possibly correlate with pathogenesis. Medical Journal of
Indonesia, 13(3).
Reed, D., Kuberski, T., Mataika, J., & Rosen, L. (2017). Clinical and laboratory
observations on patients with primary and secondary dengue type
1 infections with hemorrhagic manifestations in Fiji. The American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 26(4), 775–783.
Rigau-Pérez, J. G. (1999). Surveillance for an emerging disease: dengue
hemorrhagic fever in Puerto Rico, 1988–1997. Puerto Rico Health
Sciences Journal, 18(4), 337–45.
Rigau-Pérez, J. G., Gubler, D. J., Vorndam, A. V., & Clark, G. G. (1997).
Dengue: A literature review and case study of travelers from the United
States, 1986–1994. Journal of Travel Medicine, 4(2)65–71.
Rosen, L. (1977). The emperor’s new clothes revisited, or reflections on
the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever. American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene, 26(3), 337–43.
Silva, S., Cuadra, R., Perez, M. A., Mercado, J. C., Hammond, S. N., Harris,
E., et al. 2018. Serotype-specific differences in clinical manifestations
of dengue. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene,
74(3), 449–456.
Siqueira, J. B., Martelli, C. T., Coelho, G. E., Da Rocha Simplício, A. C., &
Hatch, D. L. (2005). Dengue and dengue hemorrhagic fever, Brazil,
1981–2002. Emerging Infectious Diseases, 11(1), 48–53.
Soegijanto. (2004). Demam berdarah dengue. Surabaya: Airlangga University
Press.
Soo, K. M., Khalid, B., Ching, S. M., & Chee, H. Y. (2016). Meta analysis of
dengue severity during infection by different dengue virus serotypes
in primary and secondary infections. Plos One, 11(5), e0154760. doi:
10.1371/journal.pone.0154760.
Sung, M. J., Won, J. B., Kim, J., Seung, H. S., & Eung, S. H. (2016).
Epidemiological characteristics and risk factors of dengue infection in
Korean travelers. Journal of Korean Medical Science, 31(12), 1863.

Manifestasi Klinis dan Keparahan ... | 49


Suroso, T. (2005). Situasi epidemiologi dan program pemberantasan demam
berdarah dengue di Indonesia. Dalam seminar kedokteran tropis
kajian KLB DBD dari biologi molekuler sampai pemperantasannya.
Yogyakarta: Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis, Fakultas
Kedokteran, UGM.
Suwandono, A., Kosasih, H., Nurhayati, Kusriastuti, R., Harun, S., Ma’roef, C.,
.... Blair, P. (2006). Four dengue virus serotypes found circulating during
an outbreak of dengue fever and dengue haemorrhagic fever in Jakarta,
Indonesia, during 2004. Transactions of the Royal Society of Tropical
Medicine and Hygiene, 100(9), 855–62.
Wagenaar, J. F. P., Mairuhu, A. T. A. & Gorp, E. C. M. Van. (2004). Genetic
influences on dengue virus infections. Dengue Bulletin, 28, 126–134.
Wespestad, V. G., Fritz., L. W., Ingraham, J., Megrey, B. A. (2000). On
relationships between cannibalism, climate variability, physical
transport, and recruitment success of Bering Sea walleye pollock
(Theragra chalcogramma). ICES Journal of Marine Science, 57(2), 272–
278.
Vicente, C. R., Herbinger, K. H., Fröschl, G., Romano, C. M, Cabidelle, A de
S. A., & Junior, C. C. (2016). Serotype influences on dengue severity: A
cross-sectional study on 485 confirmed dengue cases in Vitória, Brazil.
BMC Infectious Diseases, 8(16), 320.
Van De Weg, C. A. M., Van Gorp, E. C. M., Supriatna, M., Soemantri, A.,
Osterhaus, A. D. M. E., & Martina, B. E. E. (2012). Evaluation of the
2009 WHO dengue case classification in an Indonesian pediatric
cohort. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 86(1),
166–170.
WHO. (2011). Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue
and dengue haemorrhagic fever. World Health Organization. Regional
office for South-East Asia. India: World Health Organization.
WHO. (1997). Dengue haemorrhagic fever Diagnosis, treatment, prevention
and control. Geneva: World Health Organization.
WHO. (2009). Preventive and control of dengue hemmorhagic fever. Geneva:
World Health Organization.
Wilder-Smith, A., Ooi, E.E., Horstick, O., & Wills, B. (2019). Dengue. The
Lancet, 393(10169), 350–363.
Wuryadi, S. (1986). Pengamatan virus dengue beberapa kota di Indonesia.
Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit Menular, Balitbangkes.

50 | Dengue Update: Menilik ...


Bab 4
Serotipe Virus Dengue dan
Peranannya Dalam Endemisitas
DBD Suatu Daerah
Heni Prasetyowati

A. ETIOLOGI VIRUS DENGUE


Berbicara tentang demam berdarah dengue (DBD) tentunya
tidak lepas dari penyebab infeksinya, yakni virus dengue. Virus
dengue merupakan jasad renik yang tergolong keluarga (famili)
Flaviviridae. Famili Flaviviridae dibagi menjadi tiga marga (genus),
yaitu Flavivirus, Pestivirus, dan Hepatitis C virus. Virus dengue
termasuk dalam genus Flaviviridae bersama dengan virus Tick
Borne Enchepalitis, Japanese B Enchepalitis, dan virus Yellow Fever
(Lindenbach, Theil, & Rice, 2007; Beasley & Barrett, 2008). Terdapat
setidaknya 67 anggota Flavivirus yang dibagi berdasarkan perbedaan
atau persamaan serologis dan berdasarkan sekuensi genom (Beasley
& Barrett, 2008).
Sesuai dengan sifat virus yang hanya dapat bereproduksi dalam
material hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk
hidup, Flavivirus pun membutuhkan inang berupa manusia atau
hewan bertulang belakang (vertebrata). Dalam invasinya, sebagian
besar Flavivirus ditularkan ke manusia dan vertebrata melalui
vektor (Lindenbach dkk., 2007; Beasley & Barrett, 2008). Adanya
vektor dalam proses penularan penyakit membuat Flavivirus
disebut Arboviruses atau Arthropoda-Borne Viruses. Sebutan
ini menunjukkan bahwa sebagian besar Flavivirus disebarkan

| 51
antarinang oleh nyamuk atau kutu. Famili lain yang juga disebut
Arboviruses adalah anggota Togaviridae, Bunyaviridae, Reoviridae,
Orthomyxoviridae, dan Rhabdoviridae. Walaupun punya kesamaan
sebagai Arboviruses, semuanya bisa dibedakan berdasarkan stuktur
virus dan pengorganisasian genomnya (Beasley & Barrett, 2008).
Berdasarkan perbedaan sifat antigennya, terdapat empat macam
serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Data distribusi serotipe virus dengue diperlukan untuk mengetahui
sejauh mana sebaran dan peranannya dalam angka kasus DBD di
suatu wilayah.
Jawa Barat merupakan salah satu wilayah endemis tinggi DBD
di Indonesia dengan kasus yang tersebar di seluruh kabupaten/kota
(lihat Bab 2). Tingginya angka kasus DBD di Jawa Barat dipengaruhi
oleh banyak hal. Menurut Soegijanto (2006), setidaknya terdapat
tiga faktor yang memegang peranan penting terhadap tingkat
endemisitas, khususnya penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia (host), lingkungan (environment), dan virus (agent). Faktor
host terdiri dari kerentanan (susceptibility) dan respons imun. Faktor
environment terbagi lagi menjadi kondisi geografi (ketinggian dari
permukaan laut, curah hujan, angin, kelembapan, pH air perindukan,
dan musim); kondisi demografi (perilaku, kepadatan dan mobilitas
penduduk, adat istiadat, serta sosial ekonomi penduduk). Selain itu,
spesies Aedes sebagai vektor penular DBD jelas ikut berpengaruh
dalam faktor environment ini. Faktor yang terakhir adalah agent
karena faktor ini terkait dengan karakteristik virus dengue.
Penyebaran virus dengue dan peranannya dalam kejadian
infeksi dengue di Jawa Barat perlu dipelajari untuk meningkatkan
kewaspadaan dini terhadap infeksi virus dengue. Itulah yang
menjadi dasar penulisan artikel ini. Analisis peranan virus dengue
dalam endemisitas DBD serta distribusinya di wilayah Provinsi Jawa
Barat diharapkan mampu memberi gambaran potensi penyebaran
kasus DBD serta menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan
pencegahan penularan DBD di wilayah Jawa Barat.

52 | Dengue Update: Menilik ...


B. DISTRIBUSI SEROTIPE VIRUS DENGUE
Indonesia merupakan negara dengan angka infeksi virus dengue
tinggi di dunia. WHO mengklasifikasikan Indonesia sebagai salah
satu negara endemis DBD tinggi. Beberapa faktor yang mendukung
tingginya kasus infeksi virus dengue di Indonesia adalah adanya
kejadian luar biasa (KLB) DBD yang terjadi secara periodik dalam
kurun waktu 3–5 tahun. Bersirkulasinya keempat serotipe virus
dengue dan iklim tropis merupakan faktor pendukung tingginya
jumlah kasus infeksi dengue di Indonesia. Selain itu, Aedes aegypti
sebagai vektor utama dapat hidup dan berkembang biak serta
tersebar luas di kota dan desa (WHO, 2009).
Distribusi keempat serotipe virus dengue sudah terlaporkan di
berbagai wilayah di Indonesia. Data sebaran serotipe virus dengue
di Indonesia dari tahun ke tahun telah tercatat dalam berbagai
penelitian. Survei isolasi virus dengue oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan dan NAMRU-2
menunjukkan bahwa sejak tahun 1972 sampai 1992, keempat
serotipe virus dengue ditemukan di Indonesia dari kasus ringan
sampai berat atau dirawat (Karyanti & Hadinegoro, 2009). Analisis
Suroso (2005) menyatakan bahwa keempat serotipe virus dengue
telah diidentifikasi di kota-kota besar di Indonesia. Laporan hasil
penelitian di berbagai daerah di Indonesia juga memperkuat hal
tersebut. Keempat serotipe virus dengue dilaporkan di Aceh pada
2012 dengan dominasi serotipe DEN-4 (Paisal dkk., 2015), di
Bandung pada 2011 dengan DEN-3 mendominasi (Andriyoko,
Parwati, Tjandrawati, & Lismayanti, 2012), di Pontianak dan Jakarta
pada 2008 dengan DEN-3 mendominasi serta di Medan pada 2008
dengan dominasi DEN-2 (Herman, Utami, Tuti, & Novriani, 2012).
Dari keempat serotipe virus dengue yang beredar di Indonesia,
serotipe virus DEN-2 dan DEN-3 secara bergantian merupakan
serotipe yang dominan. Namun, dominasi serotipe virus dengue
tidak menetap sepanjang tahun. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
wilayah dan waktu. Sebagai contoh, pemeriksaan serotipe sampel
kasus infeksi virus dengue mengidentifikasi kehadiran semua serotipe

Serotipe Virus Dengue ... | 53


virus dengue di Semarang pada 2007 dan 2013, dengan dominansi
serotipe yang berbeda. DEN-1 merupakan serotipe yang dominan
pada 2013 (Fahri dkk., 2013), sedangkan tahun 2007 didominasi oleh
DEN-3 (Mashoedi, 2007). Lain halnya yang terjadi di Kota Surabaya;
di sana terdapat dinamika serotipe virus dengue yang mendominasi.
Pada 2005 dan 2010, serotipe DEN-2 dan DEN-3 mendominasi,
sedangkan pada 2012 serotipe DEN-1 yang mendominasi (Wardhani
dkk., 2012). Pada penelitian kohort prospektif di Bandung, semua
serotipe ditemukan dan DEN-2 merupakan serotipe yang dominan
(Porter dkk., 2005). Pada 2010–2011, ditemukan keempat serotipe
di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung yang didominasi serotipe DEN-3
(Andriyoko dkk., 2012).
Serotipe virus DEN-3 dalam kurun waktu 1975–1980 maupun
1980–1990 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat (Soedarmo,
1999). Dominansi serotipe DEN-3 dilaporkan dari berbagai daerah,
misalnya Jakarta (Karyanti & Hadinegoro, 2009; Suwandono dkk.,
2006), Yogyakarta (Sumarmo, 1987; Graham dkk., 1999), Semarang
(Mashoedi, 2007), Surabaya (Wardhani dkk., 2012), dan Bandung
yang didominasi serotipe DEN-3 (Andriyoko dkk., 2012). Selain
DEN-3, serotipe DEN-2 juga dilaporkan mendominasi. Penelitian
di Kota Sukabumi, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Garut
menunjukkan bahwa keempat serotipe virus dengue ditemukan di
ketiga kabupaten/kota, dengan serotipe yang dominan adalah DEN-
2 (Prasetyowati & Astuti, 2010).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa Serotipe
DEN-2 dan DEN-3 yang berasal dari Asia dihubungkan dengan
kejadian epidemi dan infeksi dengue berat. Belum ada fakta yang
menunjukkan alasan keterkaitan antara serotipe DEN-2 dan DEN-
3 ini dengan infeksi dengue yang berat. Namun, berdasarkan
penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini, serotipe DEN-2 dan DEN-
3 menghasilkan titer virus yang lebih tinggi pada biakan sel dendrit
manusia dan pada nyamuk dibandingkan dengan serotipe lainnya.
Sampai saat ini belum dapat dipahami mengapa beberapa serotipe
virus dengue mempunyai kemampuan replikasi yang lebih tinggi

54 | Dengue Update: Menilik ...


bila dibandingkan dengan serotipe lainnya sehingga perlu dilakukan
pengawasan transmisi serotipe virus dengue yang memiliki potensi
virulensi tinggi (Andriyoko dkk., 2012).
Keragaman virus dengue tidak hanya pada serotipenya saja.
Seperti virus lainnya, virus dengue mempunyai keragaman genetik
yang disebabkan oleh laju mutasi yang tergolong cepat. Hal ini
tampak pada adanya kelompok-kelompok virus yang mempunyai
kemiripan genetik dalam satu serotipe, yang lazim disebut genotipe.
Masing-masing serotipe virus dengue mempunyai beberapa genotipe,
misalnya Genotipe I–IV pada DEN-1, Genotipe Cosmopolitan dan
Asian pada DEN-2, dan sebagainya (Sasmono dkk., 2015).
Beberapa analisis filogenetik virus dengue telah dilaporkan di
beberapa daerah di Indonesia. Di Semarang, dilaporkan peredaran
Genotipe DEN-2 Cosmopolitan, DEN-3 Genotipe I dan DEN-1
Genotipe I, serta DEN-1 Genotipe II lama (Fahri dkk., 2013). Selain
di Semarang, keragaman genotipe virus dengue juga dilaporkan
di Kota Sukabumi, terdiri dari DEN-1 Genotipe I dan IV, DEN-
2 Genotipe Cosmopolitan, dan DEN-4 Genotipe II (Nusa dkk.,
2014). Hasil analisis filogenetik di Pulau Bali menunjukkan adanya
peredaran DEN-1 Genotipe I, DEN-2 Genotipe Cosmopolitan, dan
Genotipe I dan Genotipe II untuk DEN-3 dan DEN-4 (Megawati
dkk., 2017). Di beberapa daerah lainnya, seperti Deli Serdang
(Sumatra Utara), Wonosari (Yogyakarta), Balikpapan (Kalimantan
Timur), Bitung (Sulawesi Utara), Ambon (Maluku), dan Mataram
(NTB), dilaporkan adanya peredaran DEN-1, DEN-2 Genotipe I dan
Cosmopolitan, serta DEN-3 Genotipe I (Herman, Agustiningsih,
Ikawati, Nugraha, & Sembiring 2016).
Terdapat dua aspek yang berhubungan dengan keragaman
genotipe virus dengue. Pertama, genotipe tertentu mempunyai
penyebaran geografis yang khas dan hanya ditemukan di daerah
tertentu di dunia, misalnya genotipe III dari DEN-1 yang tersebar
di Amerika, India, dan Asia Tenggara, sedangkan genotipe I DEN-
1 hanya terbatas di Asia Tenggara. Aspek kedua, genotipe virus
dengue bisa jadi berhubungan dengan keganasan penyakit, misalnya

Serotipe Virus Dengue ... | 55


Genotipe American dari DEN-2 menyebabkan derajat keparahan
yang lebih rendah daripada Genotipe Asian dari DEN-2 (Holmes,
2009). Adanya keragaman genotipe virus dengue yang dilaporkan di
Indonesia menunjukkan tingginya tingkat keragaman virus dengue
yang beredar di Indonesia.

C. SEROTIPE DENGUE DI JAWA BARAT


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Provinsi Jawa Barat
merupakan wilayah endemis tinggi DBD. Semua kabupaten/
kota di Jawa Barat merupakan daerah endemis DBD. Daerah
hiperendemisitas dengan empat serotipe di Provinsi Jawa Barat
didominasi daerah perkotaan, seperti Kota Cimahi, Kota Bandung,
Kota Sukabumi, Kota Tasikmalaya, dan Kota Cirebon. Keberadaan
serotipe virus dengue di Jawa Barat sudah banyak dilaporkan dalam
berbagai penelitian. Berdasarkan hasil penelitian menyeluruh tentang
sebaran serotipe virus dengue di kabupaten/kota di Jawa Barat,
diketahui bahwa dari 23 kabupaten/kota terdapat 5 kabupaten/kota
dengan keempat serotipe virus dengue, 10 kabupaten/kota dengan
tiga serotipe yang bersirkulasi, 5 kabupaten/kota dengan dua serotipe
virus dengue yang bersirkulasi, dan 3 kabupaten/kota dengan satu
serotipe yang bersirkulasi (Nusa & Astuti, 2012). Distribusi serotipe
virus dengue di kabupaten/kota se Provinsi Jawa Barat tahun 2008
tercantum dalam Gambar 4.1.
Penemuan keempat serotipe virus dengue di Provinsi Jawa Barat
menunjukkan bahwa keempat serotipe virus dengue bersirkulasi
dan terpelihara di daerah-daerah endemis di Provinsi Jawa Barat,
terutama di daerah perkotaan. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis DBD dapat terinfeksi oleh tiga atau empat serotipe selama
hidupnya. Hal tersebut karena infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan.
Sementara itu, antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain
sangat kurang sehingga tidak memberikan perlindungan memadai
terhadap serotipe lain (Harun, 2000). Adanya infeksi yang berulang
dari serotipe virus yang berbeda ini diduga menyebabkan tingginya

56 | Dengue Update: Menilik ...


Sumber: Nusa dan Astuti (2012)
Gambar 4.1 Distribusi Serotipe Virus Vengue di Kabupaten/Kota Provinsi
Jawa Barat.

kasus DBD di daerah-daerah endemis. Hasil penelitian Prasetyowati


(2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara distribusi
serotipe virus dengue dengan tingkat endemisitas DBD di Provinsi
Jawa Barat (Prasetyowati, 2010).
Hasil penelitian Nusa dan Astuti (2008) juga menunjukkan
bahwa DEN-3 merupakan serotipe yang dominan ditemukan di
Provinsi Jawa Barat pada 2008. Serotipe DEN-3 ditemukan di semua
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, disusul DEN-2, DEN-1, dan
DEN-4. Analisis Suwandono dkk. (2006) menyebutkan bahwa jika
virus DEN-3 menjadi penyebab utama KLB DBD di suatu daerah,
umumnya akan diikuti oleh DEN-2 dan DEN-1 sebagai penyebab
kedua terbanyak. Hal tersebut merupakan fenomena klasik sampai
tahun 2003 (Suwandono dkk., 2006) dan belum ditemukan alasan
fenomena ini terjadi. Namun, analisis tersebut diperkuat oleh Suroso
(2005) yang menyatakan bahwa DEN-4 merupakan serotipe yang
paling sedikit diisolasi dari tahun ke tahun.

Serotipe Virus Dengue ... | 57


Pada perjalanannya, dominasi serotipe yang ditemukan di
berbagai daerah di Jawa Barat menunjukkan hasil yang bervariasi.
Pada 2011, hasil pemeriksaan serotipe virus dengue pada 75 penderita
DBD di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menunjukkan DEN-3
masih mendominasi, diikuti DEN-4, DEN-2, dan DEN-1 (Andriyoko
dkk., 2012). Penelitian di wilayah Kota Sukabumi tahun 2012
menunjukkan hasil yang berbeda dibandingkan dengan tahun 2008.
Pada 2012, hasil pemeriksaan serotipe virus dengue menunjukkan
adanya dominasi DEN-2, diikuti oleh DEN-1, dan DEN-4. Tidak
ditemukan adanya isolat DEN-3 yang mendominasi seperti pada
2008 (Nusa dkk., 2014).
Data mengenai variasi genotipe virus dengue di wilayah Jawa
Barat belum banyak diketahui. Namun, beberapa hasil penelitian di
wilayah Jawa Barat menunjukkan adanya kesamaan variasi genotipe
virus dengue dengan daerah lain di Indonesia. Menurut Kosasih
dkk. (2016), analisis sequencing isolat yang dikumpulkan pada 2000–
2004 dan 2006–2009 di Jawa Barat menunjukkan bahwa DEN-1
dikelompokkan dalam genotipe IV, DEN-2 dikelompokkan dalam
genotipe Cosmopolitan, DEN-3 di kelompokkan dalam genotipe
1, dan DEN-4 dikelompokkan dalam genotipe II. Hal ini diperkuat
oleh hasil penelitian di Kota Sukabumi. Variasi genotipe di wilayah
Kota Sukabumi pada 2012 secara keseluruhan mirip dengan virus
dengue dari negara lain. Adapun variasi genotipe yang terdeteksi
adalah DEN-1 genotipe I dan DEN-1 genotipe IV, DEN-2 genotipe
Cosmopolitan, serta DEN-4 genotipe II (Nusa dkk., 2014).

D. PERANAN SEROTIPE VIRUS DENGUE DALAM


ENDEMISITAS DBD
Infeksi oleh serotipe virus dengue tertentu dapat memberi kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe virus tersebut. Namun, adanya
interaksi yang berbeda dari masing-masing serotipe terhadap
antibodi serum darah manusia menyebabkan masing-masing
serotipe tidak dapat saling memberikan perlindungan silang.
Seseorang yang pernah terinfeksi salah satu serotipe virus dengue

58 | Dengue Update: Menilik ...


dapat terinfeksi kembali oleh serotipe virus dengue yang lain.
Menurut Halstead, infeksi sekunder virus dengue dengan serotipe
yang berbeda atau beberapa infeksi dengan serotipe yang berbeda
sering kali menyebabkan manifestasi klinis yang parah (Soegijanto,
2006).
WHO menyebutkan bahwa keberadaan virus dengue dengan
keempat serotipenya di suatu wilayah dikaitkan dengan epidemi
demam berdarah. Peningkatan kasus DBD di dunia tidak lepas
dari sirkulasi keempat serotipe virus dengue. Laporan WHO juga
menyebutkan bahwa DBD endemis terjadi di lebih dari 100 negara
di wilayah Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan
Pasifik Barat. Asia Tenggara dan Pasifik Barat adalah wilayah yang
paling banyak ditemukan kasus DD dan DBD. Indonesia merupakan
negara endemis tinggi DBD dengan kategori A yang kasus DBD-nya
mendominasi di berbagai rumah sakit, adanya kematian anak-anak
karena kasus DBD, dan bersirkulasinya keempat serotipe DBD di
Indonesia (WHO, 2011).
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatis maupun
simtomatis. Gejala klinis infeksi virus dengue yang paling ringan
berupa demam dengue (DD). Tingkatan infeksi virus dengue yang
lebih serius adalah demam berdarah dengue (DBD) dan sindrom
syok dengue (DSS) (Mongkolsapaya dkk., 2003). Ada beberapa
faktor yang berhubungan dengan derajat keparahan infeksi virus
dengue, yaitu status gizi (Faizzaty, 2015), keterlambatan penanganan,
tingkat imunitas, dan riwayat pernah menderita DBD (infeksi
sekunder) (Silvarianto, 2013). Studi epidemiologi mengindikasikan
bahwa manifestasi klinis DBD dan DSS sering terjadi ketika
seseorang mendapat infeksi kedua dengan serotipe virus dengue
yang berbeda. Laporan hasil penelitian di beberapa wilayah di
Indonesia menyebutkan bahwa kejadian infeksi sekunder lebih
banyak teridentifikasi di rumah sakit dibandingkan dengan infeksi
primer (Mongkolsapaya dkk., 2003; Trisnadewi & Wande, 2016; Ipa
& Astuti, 2010)

Serotipe Virus Dengue ... | 59


Hasil penelitian Prasetyowati (2010) menunjukkan bahwa
berdasarkan pemeriksaan serologis IgG dan IgM penderita di daerah
endemis tinggi, endemis sedang dan endemis rendah di Provinsi
Jawa Barat, sebanyak 85% responden menderita infeksi sekunder.
Artinya, sebagian besar penderita mengalami infeksi virus dengue
yang berulang. Penderita yang mengalami infeksi sekunder paling
banyak ditemukan di daerah endemis sedang dan tinggi dengan
keempat serotipe virus dengue ditemukan di daerah tersebut. Fakta
ini menunjukkan bahwa keempat serotipe virus dengue bersirkulasi
dan terpelihara di daerah endemis sedang dan tinggi. Semakin
banyaknya serotipe yang bersirkulasi dan terpelihara di suatu daerah,
jumlah infeksi sekunder dan infeksi primer di daerah tersebut
semakin meningkat. Hal ini akan menyebabkan peningkatan jumlah
kasus infeksi virus dengue (Prasetyowati, 2010).
Banyaknya infeksi sekunder di daerah endemis tinggi dan
sedang menunjukkan adanya infeksi virus dengue yang berulang
pada penderita dengan serotipe yang berbeda. Hal ini sesuai dengan
teori infeksi sekunder yang menyebutkan bahwa seseorang yang
mendapat infeksi virus dengue satu serotipe akan kebal terhadap
virus ini dalam jangka panjang, tetapi tidak kebal terhadap serotipe
lain. Dasar teori infeksi sekunder adalah proses imunopatologi dalam
menghadapi aksi infeksi virus dengue. Jika seseorang mendapatkan
infeksi primer dengan satu jenis virus dengue, kemudian mendapat
infeksi sekunder dengan jenis virus dengue yang lain, ada risiko
besar terjadi infeksi berat. Teori yang dikembangkan Halstead ini
sampai sekarang masih banyak penganutnya, meskipun banyak
pula penentangnya. Teori infeksi sekunder ini menyatakan secara
tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua
kalinya dengan serotipe virus dengue yang berbeda (heterolog),
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD/SSD.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi, membentuk kompleks antigen antibodi,
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit,
terutama makrofag. Karena antibodi-nya heterolog, virus tidak

60 | Dengue Update: Menilik ...


dinetralisasikan oleh tubuh sehingga bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag (Soegijanto, 2006).
Selain perlunya pengetahuan tentang variasi serotipe dalam
satu wilayah, perlu adanya kewaspadaan terhadap variasi genotipe
yang ada di wilayah tersebut. Telah disebutkan bahwa genotipe
virus dengue bisa jadi berhubungan dengan keganasan penyakit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Genotipe American dari
DEN-2 menyebabkan derajat keparahan yang lebih rendah daripada
Genotipe Asian dari DEN-2 (Holmes, 2009). Keragaman genotipe
virus dengue yang dilaporkan di Indonesia juga menunjukkan
tingginya tingkat keragaman virus dengue di Indonesia. Masing-
masing serotipe dengan berbagai genotipe di dalamnya memiliki
interaksi yang berbeda dengan antibodi dalam serum darah manusia
sehingga tidak bisa melindungi dari infeksi serotipe lain. Jadi,
perlu kewaspadaan yang lebih terhadap penyebaran virus dengue.
Analisis komparatif genom dengue pada penelitian sebelumnya juga
menunjukkan adanya korelasi antara patogenisitas virus dengan
struktur genetik sehingga mutasi pada genom virus meningkatkan
patogenesis virus (Leitmeyer dkk., 1999).
Analisis filogenetik terhadap genotipe virus dengue mengung­
kapkan garis asal virus dengue di suatu daerah. Menurut Moore
dkk. (2017), analisis filogenetik virus dengue di Papua Nugini
mengungkap adanya garis keturunan baru DEN 1–3 yang muncul
dalam dekade terakhir ini. Garis keturunan baru DEN 1–3 ini mirip
dengan yang diketemukan di negara-negara Kepulauan Pasifik dan
Indonesia. Studi ini menunjukkan bahwa ada kosirkulasi strain
DEN 1–4 untuk pertama kalinya di Papua Nugini dan sekaligus
membuktikan adanya molekuler dari transmisi virus dengue.
Munculnya variasi serotipe di suatu daerah tidak terlepas dari
mobilisasi penduduk antarwilayah. Adanya mobilisasi penduduk
dari daerah endemis ke daerah non-endemis dapat menjadi sumber
penularan di daerah non-endemis. Demikian juga mobilisasi pen­
duduk dari daerah endemis tinggi (dengan sirkulasi empat serotipe)
ke daerah endemis rendah (deengan sirkulasi hanya satu atau dua

Serotipe Virus Dengue ... | 61


serotipe) akan meningkatkan endemisitas DBD di wilayah endemis
rendah. Mudahnya transportasi antarkota dengan desa menyebabkan
mobilitas penduduk meningkat sehingga memungkinkan terjadinya
penyebaran virus dengue dari daerah perkotaan ke perdesaan.
Berdasarkan hal tersebut, suatu daerah yang semula non-endemis
dapat menjadi endemis jika daerah tersebut merupakan daerah
reseptif atau nyamuk Aedes spp. sebagai vektor DBD ditemukan di
daerah tersebut (Hadi & Yuniarti, 2004).
Selain karena adanya empat serotipe virus dengue, peningkatan
jumlah kasus demam berdarah di suatu wilayah juga berhubungan
dengan tingkat penyebaran dan kepadatan vektor. Serotipe virus
dengue di suatu daerah akan terpelihara dalam suatu siklus yang
melibatkan manusia dan nyamuk Aedes spp. sebagai vektornya. Hal
inilah yang menyebabkan serotipe-serotipe yang bersirkulasi di suatu
daerah bersirkulasi sepanjang tahun sehingga jumlah kasus infeksi
virus dengue meningkat (Gubler dkk., 1979).

E. PENUTUP
Tingkat endemisitas DBD suatu daerah dipengaruhi oleh banyak hal,
salah satunya serotipe virus dengue yang beredar di daerah tersebut. Di
Indonesia, keempat serotipe virus dengue telah terdeteksi di berbagai
wilayah dengan varian genotipe di dalamnya. Keempat serotipe virus
dengue juga telah beredar di wilayah Provinsi Jawa Barat. Adapun
variasi genotipe virus dengue yang terdeteksi di wilayah Jawa Barat
adalah DEN-1 genotipe I dan DEN-1 genotipe IV, DEN-2 genotipe
Cosmopolitan, DEN-3 genotipe 1, dan DEN-4 genotipe II. Semakin
banyaknya serotipe dan genotipe yang bersirkulasi dan terpelihara
di suatu daerah, jumlah infeksi sekunder dan infeksi primer di
daerah tersebut pun semakin meningkat. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan jumlah kasus infeksi virus dengue.
Serotipe virus dengue di suatu daerah selalu mengalami
perubahan. Dengan demikian, sangat diperlukan surveilans kontinu
terhadap serotipe virus dengue untuk memahami epidemiologi dan
memprediksi manifestasi klinis infeksi untuk melihat kecenderungan

62 | Dengue Update: Menilik ...


infeksi berat akibat infeksi serotipe virus dengue tertentu. Penentuan
serotipe virus dengue penting untuk epidemiologi dan menentukan
potensi patogenitas penyakit tersebut terhadap populasi. Data
distribusi serotipe dan genotipe di suatu wilayah menjadi penting
untuk melihat sirkulasi serotipe dan genotipe virus dengue di setiap
daerah serta untuk melihat potensi patogenitas virus dengue di
daerah tersebut (WHO, 2009; Domingo dkk., 2004).

DAFTAR PUSTAKA
Andriyoko, B., Parwati, I., Tjandrawati, A., & Lismayanti, L. (2012).
Penentuan serotipe virus dengue dan gambaran manifestasi klinis
serta hematologi rutin pada infeksi virus dengue. MKB, 44(4), 253–
260. 10.15395/mkb.v44n4.138.
Beasley, D. W., & Barrett, A. D. (2008). The infectious agent. Dalam Halstead,
S. B. (ed.), Dengue, pp. 29–74. London: Imperial College Press.
Domingo, C., Palacios, G., Niedrig, M., Cabrerizo, M., Jabado, O., Reyes,
N., ... Tenorio (2004). A new tool for the diagnosis and molecular
surveillance of dengue infections in clinical samples. Dengue Bulletine,
28, 87–95.
Fahri, S., Yohan, B., Trimarsanto, H., Sayono, S., Hadisaputro, S., Dharmana,
E., ... Sasmono, R. T. (2013). Molecular surveillance of dengue in
Semarang, Indonesia revealed the circulation of an old genotype of
dengue virus serotype-1. PLoS Negl Trop Dis, 7(8).
Faizzaty, I. F. (2015). Faktor resiko yang mempengaruhi derajat keparahan
demam berdarah dengue (DBD) di RSUD dr. Soetomo Surabaya Periode
Februari 2014–Maret 2015. (Skripsi). Universitas Airlangga, Surabaya.
Graham, R. R., Juffrie, M., Tan, R., Hayes, C. G., Laksono, Ma’roef, C., ...
Halstead, S. B. (1999). A prospective seroepidemiologic study on
dengue in children four to nine years of age in Yogyakarta, Indonesia.
Am J Trop Med Hyg, 61(3), 412–419.
Gubler, D. J., Suharyono, W., Lubis, I., Eram S, Saroso, S. J. (1979). Epidemic
dengue hemorrhagic fever in rural Indonesia. Am. J. Tro. Med. Hyg,
28(4), 701–710.
Hadi, S., & Yuniarti, R. A. (2004). Pengamatan entomologi daerah endemis
dan non-endemis demam berdarah dengue di Kabupaten Grobogan
Jawa Tengah. Jurnal Kedokteran Yarsi, 12 (1), 52–58.

Serotipe Virus Dengue ... | 63


Harun, S. R. (2000). Tata laksana demam dengue/demah berdarah dengue
pada anak. demam berdarah dengue dalam naskah lengkap pelatihan
bagi dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam. Dalam
Rejeki, S. (ed.), Tata laksana kasus DBD. Jakarta: FKUI.
Herman, R., Utami, B. S., Tuti, S., & Novriani, H. (2012). Sebaran serotipe
virus dengue di Pontianak, Medan, dan Jakarta Tahun 2008. Jurnal
Biotek Medisiana Indonesia, 1(2), 73–78.
Herman, R., Agustiningsih, N., Ikawati, D., Nugraha, A. A., & Sembiring,
M. M. (2016). Genotypes of dengue virus circulate in dengue sentinel
surveillance in Indonesia. HSJI, 7(2), 69–74.
Holmes, E. C. (2009). RNA virus genomics: a world of possibilities. J Clin
Invest, 119(9), 2488–2495.
Ipa, M., & Astuti, E. P. (2010). Secondary infection and DEN-3 serotype
most common among dengue patients: a preliminary study. HSJI, 1(1).
Karyanti, M. R., & Hadinegoro, S. R. (2009). Perubahan epidemiologi demam
berdarah dengue di Indonesia. Sari Pediatri, 10(6), 424–432.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Profil kesehatan
Indonesia tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kosasih, H., Alisjahbana, B., Nurhayati., de Mast, Q., Rudiman, I. F., Widjaja,
... Porter, K. R. (2016). The epidemiology, virology and clinical findings
of dengue virus infections in a cohort of Indonesian adults in western
Java. PLoS Neglected Tropical Diseases, 10(2), e0004390. doi: 10.1371/
journal.pntd.0004390.
Leitmeyer, K. C., Vaughn, D. W., Watts, D. M., Salas, R., Villalobos I, de
Chacon, ... Rico-Hesse, R. (1999). Hesse dengue virus structural
differences that correlate with pathogenesis. J. Virol, 73, 4738–4747.
Lindenbach, B., Theil, H. J., & Rice, C. (2007). Flaviviridae: the viruses and
their replication. Dalam Knipe, D. & Howley, P. (eds), Fields virology
(5th edition). Philadephia: Lippincott-Raven Publishers.
Mashoedi, I. (2007). Hubungan antara distribusi serotipe virus dengue
dari isolat nyamuk Aedes spesies dengan tingkat endemisitas demam
Berdarah Dengue (DBD) (Studi Kasus di Kota Semarang). Universitas
Diponegoro.

64 | Dengue Update: Menilik ...


Megawati, D., Masyeni, S., Yohan, B., Lestarini, A., Hayati, R. F., Meutiawati,
F., ... Sasmono, R.T (2017). Dengue in Bali: clinical characteristics and
genetic diversity of circulating dengue viruses. PLoS Negl Trop Dis.,
11(5), 1–15.
Mongkolsapaya, J., Dejnirattisai, W., Xu, X. N., Vasanawathana, S.,
Tangthawornchaikul, N., Chairunsri, A., ... Screaton G. (2003). Original
antigenic sin and apoptosis in the pathogenesis of dengue hemorrhagic
fever. Nat Med, 9, 921–927.
Moore, P. R., Van Den Hurk, A. F., Mackenie, J. S., & Pyke, A. T. (2017).
Dengue viruses in Papua New Guinea: Evidence of endemicity and
phylogenetic variation, including the evolution of new genetic lineages.
Emerging Microbes and Infections, 6(12), e114.
Nusa, R., Prasetyowati, H., Meutiawati, F., Yohan, B., Trimarsanto, H.,
Setianingsih, T. Y., & Sasmono, R. T. (2014). Molecular surveillance of
dengue in Sukabumi, West Java province, Indonesia. J Infect Dev Ctries,
8(6), 733–41.
Nusa, R., & Astuti E. P., (2012). Sebaran serotipe virus dengue di Provinsi
Jawa Barat. Jurnal Ekologi Kesehatan, 11(4), 327–332.
Paisal, Herman, R., Arifin, A. Y., Ardiansyah, A., Hanum, S., Khairiah, ...
Yasir. (2015). Serotipe virus dengue di Provinsi Aceh Aspirator, 7(1),
7–12.
Porter, K. R., Beckett, C. G., Kosasih, H., Tan, R. I., Alisjahbana, B., Rudiman,
P. I., ... Wuryadi, S. (2005). Epidemiology of dengue and dengue
hemorrhagic fever in a cohort of adults living in Bandung, West Java,
Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg, 72(1), 60–66.
Prasetyowati, H. (2010). Hubungan distribusi serotipe virus dengue dengan
tingkat endemisitas DBD di Provinsi Jawa Barat (Thesis, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta).
Prasetyowati, H., & Astuti, E. P. (2010). Serotipe virus dengue di tiga
kabupaten/kota dengan tingkat endemisitas DBD berbeda di Propinsi
Jawa Barat. Aspirator, 2(2), 120–124.
Sasmono, R. T., Wahid, I., Trimarsanto, H., Johan B., Wahyuni, S.,
Hertanto, M., ... Schreiber, M. J. (2015). Genomic analysis and growth
characteristic of dengue viruses from Makassar, Indonesia. Infect Genet
Evol, 32, 165–77.

Serotipe Virus Dengue ... | 65


Silvarianto, D. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
dengue syok syndrome (DSS) pada anak dengan demam berdarah
dengue (DBD): Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Semarang. (Skripsi). Universitas Dian Nuswantoro, Semarang.
Soedarmo, S. (1999). Masalah demam berdarah dengue di Indonesia.
Dalam S. R. Hadinegoro & H. I. Satari (eds), Demam berdarah dengue.
Jakarta: Penerbit FK UI.
Soegijanto, S. (2006). Demam berdarah dengue. Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press.
Sumarmo. (1987). Dengue haemorrhagic fever in Indonesia. Southeast
Asian J Trop Med Public Health, 18(3), 269–74.
Suroso, T. (2005). Situasi epidemiologi dan program pemberantasan demam
berdarah dengue di Indonesia. Dalam Seminar kajian KLB DBD dari
biologi molekuler sampai pemperantasannya. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Suwandono, A., Kosasih, H., Nurhayati., Kusriastuti, R., Harun, S., Ma’roef,
C., & Blair, P. J. (2006). Four dengue virus serotypes found circulating
during an outbreak of dengue fever and dengue haemorrhagic fever in
Jakarta, Indonesia, during 2004. Trans R Soc Trop Med Hyg., 100(9),
855–62.
Trisnadewi, N., & Wande, I. N. (2016). Pola serologi IgM dan IgG pada
infeksi demam berdarah dengue (DBD) di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah, Denpasar, Bali Bulan Agustus Sampai September 2014.
E-jurnal medika, 5(8), 1–5.
Wardhani, P., Yohan, B., Aryati, Setianingsih, T. Y., Puspitasari, D., Vitanata,
M., ... Sasmono, R. T. (2012). Dengue virus distribution and clinical
manifestation in Surabaya-Indonesia during 2012. Diakses 22 Februari
2019 dari https://www.academia.edu/26520458/Dengue_Virus_
Distribution_and_Clinical_Manifestation_in_Surabaya-Indonesia_
during_2012
WHO. (2009). Dengue guideline for diagnosis, treatment, prevention and
control. Geneva: WHO Press.
WHO. (2011). Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue
and dengue haemorrhagic fever. Geneva: WHO Press.
Wibisono, B. H. (1995). Studi epidemiologis demam berdarah dengue pada
orang dewasa. Medika, 21(10), 767.

66 | Dengue Update: Menilik ...


Bab 5
Analisis Vektor Demam Berdarah
Dengue di Kota Bandung
Hubullah Fuadzy

A. KEJADIAN DENGUE DI KOTA BANDUNG


Setiap awal musim penghujan hingga memasuki musim kemarau
tiap tahunnya, kejadian demam berdarah dengue (DBD) menjadi hal
yang wajib diwartakan, baik oleh media cetak, elektronik, maupun
online. Pada periode itu, DBD menjadi topik utama yang kadang
mengalahkan berita-berita politik, kriminal, dan permasalahan
korupsi. Hal ini karena pada musim penghujan, jumlah kejadian
DBD akan mengalami lonjakan. Peningkatan jumlah kasus DBD
akan terjadi mulai November hingga Mei dengan puncaknya pada
Februari (Karyanti & Hadinegoro, 2009).
Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan musim seolah sudah
tidak mengalami keteraturan lagi di Kota Bandung. Pada musim
kemarau, sering terjadi hujan lebat berhari-hari, sementara panas
terik berhari-hari sering terjadi pada musim hujan. Hujan pada
bulan-bulan musim kemarau terjadi cukup deras dalam rentang
waktu yang lama, bahkan menyebabkan banjir. Fenomena tersebut
mengakibatkan melimpahnya kontainer yang digenangi air hujan
sehingga berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
vektor DBD. Keberadaan vektor DBD di permukiman penduduk
berpotensi meningkatkan kasus DBD. Hal itu dibuktikan dengan
maraknya kasus DBD di Kota Bandung (Respati, Raksanagara,

| 67
Djuhaeni, & Sofyan, 2017a), yakni antara 261–573 kasus per bulan
pada 2012 (Ariva & Oginawati, 2013).
Penyumbang angka insiden DBD tertinggi di Jawa Barat adalah
Kota Bandung (231,30 per 100.000 penduduk). Berdasarkan laporan
kasus DBD di Kota Bandung, sejak tahun 2004 hingga 2016, jumlah
angka kesakitan mengalami fluktuasi meski cenderung stagnan.
Sementara itu, angka kematian cenderung mengalami penurunan
yang signifikan (Gambar 5.1). Gambaran umum kasus DBD di Kota
Bandung dapat dilihat dari jumlah penderita DBD yang dirawat
di Rumah Sakit Immanuel Bandung mencapai 890 orang dan
mayoritasnya anak berusia 0–10 tahun (Setiani, 2015). Penderita
dalam usia rentan, yakni balita dan manula (lebih dari 60 tahun),
berpeluang lebih besar menderita DBD yang lebih parah hingga
mengalami syok dan berujung kematian. Pemerintah sebenarnya
telah berhasil mengembangkan manajemen kasus DBD melalui
upaya kuratif pencegahan kematian bagi penderitanya. Namun,
upaya pemerintah dalam pengendalian vektor untuk memutus mata
rantai penularan DBD masih mengalami banyak kendala. Hal ini
dapat dibuktikan dengan munculnya strain Aedes sp. yang resisten
terhadap insektisida, akibat penggunaan insektisida yang kurang
bijaksana oleh masyarakat, sehingga aplikasi fogging dalam memutus
rantai penularan menjadi tidak efektif (Yee, Heryaman, & Faridah,
2017).
Penelitian di Kota Bandung menyatakan bahwa faktor risiko
yang dapat meningkatkan kasus DBD adalah jenis kelamin,
pendidikan, pengetahuan masyarakat mengenai DBD, dan sanitasi
dasar pemukiman penduduk (Respati dkk., 2017b), kurangnya
sumber daya manusia dan keuangan, kurangnya keterlibatan pihak
swasta, dan tidak adanya peraturan daerah yang mengatur penyakit
tular vektor (Somantri, 2017). Komponen faktor risiko tersebut
akan bermuara pada permasalahan utama kurangnya kepedulian
masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) di lingkungan tempat tinggal (Arundina, Tantular, & Pontoh,
2017). Akibatnya, lingkungan tempat tinggal masyarakat menjadi

68 | Dengue Update: Menilik ...


tempat potensial bagi nyamuk vektor DBD seperti Aedes aegypti dan
Aedes albopistus (Gullan & Cranston, 2010; Kemkes, 2012). Apabila
hambatan ini tidak segera diatasi dengan bijaksana oleh seluruh
pemangku kepentingan, bukan tidak mungkin peningkatan jumlah
kejadian DBD dapat terjadi lagi.

(A) (B)

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung (2017)


Gambar 10. Tren incidence rate (IR) (A) dan case fatality rate (CFR) (B) DBD per 100.000 penduduk di
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung (2017)
Kota Bandung tahun 2004–2016
Gambar 5.1 Tren incidence rate (IR) (A) dan case fatality rate (CFR) (B)
DBD per 100.000 penduduk di Kota Bandung tahun 2004–2016

Upaya edukasi PHBS dilakukan agar masyarakat termotivasi


untuk melakukan pengendalian vektor DBD. Namun, upaya tersebut
perlu didasari pengetahuan mengenai lokal spesifik bioekologi
vektor setempat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelusuran
pustaka mengenai bioekologi Ae. aegypti di Kota Bandung. Hal
ini agar intervensi yang dilakukan dapat menurunkan kepadatan
vektor hingga mencapai nilai ABJ > 95%. Dengan demikian, angka
kesakitan DBD dapat ditekan hingga angka insiden <49 per 100.000
penduduk di Kota Bandung.

Analisis Vektor Demam ... | 69


B. BIOLOGI AEDES AEGYPTI DALAM PENULARAN DBD
Ae. aegypti tergolong ordo Diptera, famili Culicidae, genus Aedes,
dan telah teridentifikasi lebih dari 950 spesies (Rozandaal, 1997).
Ae. aegypti dewasa berukuran 6 mm, berwarna hitam dengan nodus
putih, memiliki mesonotum toraks dengan garis putih seperti lyre
dengan femoral tengah dua garis lurus dan lengkung longitudinal
(Robinson, 2005), memiliki setae pada postspiracular di lateral toraks
(Whelan dkk., 2008), tarsi dengan pita pucat basal meruncing pada
segmen ketiga, segmen tarsi terakhir kaki belakang ditutupi dengan
sisik putih (Varnado, Goddard, & Harrison, 2012).
Aedes aegypti dapat berperan sebagai penular penyakit in­
feksi virus, seperti dengue, zika, chikungunya, yellow fever, dan
encephalitis (Collett dkk., 1972). Di Indonesia, terdapat tiga spesies
Aedes yang berperan sebagai vektor dengue, yaitu Ae. aegypti
(vektor utama), Ae. Albopictus, dan Ae. scutellaris (keduanya vektor
sekunder) (Sukana, 1993). Hasil identifikasi morfologi terhadap 288
nyamuk yang dikoleksi dari rumah tinggal penduduk Kota Bandung
mengindikasikan bahwa 92,01%-nya merupakan Ae. aegypti (Faridah,
Respati, Sudigdoadi, & Sukandar, 2017).
Nyamuk Ae. aegypti yang sudah terinfeksi akan membawa virus
dengue dalam tubuhnya selama 15–65 hari masa hidup (Chakraborty,
2008), bahkan seumur hidup (Collett dkk., 1972). Virus dengue pun
dapat diwariskan antargenerasi nyamuk Ae. aegypti melalui proses
transovarial. Fenomena transovarial telah dilaporkan terjadi di
Sumatra Barat oleh serotipe DEN-1 dan DEN-4 (Rosa & Salmah,
2015); di Bantul oleh serotipe DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Satoto
dkk., 2014); serta di Surabaya oleh serotipe DEN-2 tahun 2008 dan
DEN-1 tahun 2009–2011 (Mulyatno, Yamanaka, Yotopranoto, &
Konishi, 2012). Interaksi Ae. aegypti, virus dengue, dan manusia
dalam satu lingkungan tertentu dapat menimbulkan penyakit demam
berdarah (DB), demam berdarah dengue (DBD), serta sindrom syok
dengue (SSD) yang mengakibatkan kematian bagi 44% penderitanya
(Chakraborty, 2008).

70 | Dengue Update: Menilik ...


C. HABITAT AEDES AEGYPTI
Di Kota Bandung, nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan di
penampungan air dispenser dibandingkan dengan bak mandi,
ember, dan drum (Fuadzy dkk., 2016). Hal ini agak mengherankan
mengingat mayoritas masyarakat Kota Bandung menampung air
bersih di ember. Lebih sedikitnya nyamuk Ae. Aegypti ditemukan di
ember terjadi karena air yang ditampung di ember segera digunakan
sampai habis, kemudian cepat diisi air lagi. Jadi, ember hanya untuk
menampung air dalam waktu singkat sehingga tidak ada air yang
tergenang dalam waktu yang lama. Kondisi ini berbeda dengan yang
terjadi pada dispenser. Air buangan yang ada di penampungan air
pada dispenser cenderung menggenang selama lebih dari 16 hari. Air
buangan ini biasanya menggenang dalam volume yang relatif sedikit
sehingga masyarakat kurang memperhatikannya. Akibatnya, telur
Ae. aegypti dapat menetas dan tumbuh menjadi nyamuk dewasa.
Genangan air yang tersimpan lebih dari 16 hari menjadi tempat
potensial bagi perkembangbiakan nyamuk. Hal ini karena proses
metamorfosis Ae. aegypti membutuhkan waktu maksimal 16 hari
pada kondisi optimum, mulai dari telur, larva, pupa, hingga nyamuk
dewasa. Fase telur menetas menjadi larva setelah 72 jam masa
perkembangan embrionisasi pada suhu 25–30 oC (Collett dkk.,
1972). Stadium larva Ae. aegypti mengalami 4 kali pergantian kulit
(instar) dan membutuhkan waktu 5–7 hari pada suhu optimum 25–
30 oC untuk molting menjadi pupa (Collett dkk., 1972). Stadium pupa
membutuhkan waktu 1–5 hari pada suhu 27–32oC, biasanya jantan
eksklosi rata-rata 1,9 hari dan betina 2,5 hari (Collett dkk., 1972).
Telur nyamuk yang melekat di kontainer air dapat bermetamorfosis
menjadi nyamuk dewasa apabila genangan air tidak dikuras dalam
masa 16 hari. Hal ini tentunya berdampak pada risiko penularan
DBD.
Jika Ae. aegypti banyak ditemukan di penampungan air dispenser
penduduk Kota Bandung (36,8–37,91%), hal berbeda terjadi di
kota-kota lainnya. Sebagai contoh,di Karsamenak Kota Tasikmalaya
(Fuadzy & Hendri, 2015), Kota Bogor (Fadilla, Hadi, & Setiyaningsih,

Analisis Vektor Demam ... | 71


2015), Denpasar Selatan Kota Denpasar (Purnama & Baskoro, 2012),
Kota Kediri (Joharina & Widiarti, 2014), dan Kota Medan serta
Langkat Sumatra Utara (Siregar, Makmur, & Huda, 2016) nyamuk
Ae. Aegypti dominan ditemukan di bak mandi, sedangkan dispenser
berada pada urutan kedua atau ketiga. Hal ini dikarenakan mayoritas
masyarakat Kota Bandung yang pernah mengalami DBD adalah
masyarakat menengah ke atas dengan kondisi rumah yang sehat
dan laik huni. Selain itu, masyarakat Kota Bandung lebih banyak
menggunakan aliran air langsung (shower) untuk keperluan mandi,
cuci, kakus daripada menampung air di bak mandi atau ember.

D. PERILAKU PAKAN AEDES AEGYPTI


Hasil identifikasi morfologi terhadap 288 nyamuk dari rumah
penduduk Kota Bandung mengindikasikan bahwa 92,01% merupakan
Ae. aegypti (Faridah dkk., 2017). Nyamuk tersebut mayoritasnya
betina sehingga berpotensi menjadi vektor penyakit DBD. Hal
ini karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah manusia,
sementara nyamuk jantan hanya mengisap nektar tumbuhan. Pada
saat nyamuk mengisap darah inilah terjadi penularan penyakit DBD.
Proses penularan DBD terjadi ketika satu nyamuk betina
mengisap darah manusia yang mengalami viremia dengue, kemudian
dengue akan beraktivitas dalam tubuh nyamuk selama 8–12 hari.
Apabila virus dengue sudah berada di kelenjar ludah, dan nyamuk
mengisap darah orang yang sehat, nyamuk akan melepaskan kelenjar
ludah untuk mencegah koagulasi darah manusia tersebut. Akibatnya,
virus ini berpindah dari nyamuk ke manusia, dan terjadilah penularan
agen penyakit yang menyebabkan orang sehat menjadi sakit. Proses
penularan ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni aktivitas nyamuk
mengisap darah, siklus gonotrofik, dan umur nyamuk.
Ae. aegypti bersifat diurnal atau aktif mengisap darah pada
pagi (pukul 10.00–11.00) dan sore menjelang terbenam matahari
(pukul 16.00–17.00) (Robinson, 2005; Fadilla dkk., 2015). Namun,
Ae. aegypti dapat pula bersifat nokturnal atau aktif mengisap darah
manusia sepanjang malam (pukul 18.00–05.50), baik di dalam

72 | Dengue Update: Menilik ...


rumah maupun di luar rumah (Hadi, Soviana, & Gunandini, 2012).
Hal ini dijelaskan oleh Christophers sebagai akibat dari ketertarikan
Ae. aegypti terhadap objek gelap yang bergerak dan arus udara
hangat dari inang, tetapi secara alamiah tetap sebagai nyamuk yang
menggigit pada siang hari atau day-bitting mosquito (Christophers,
1960).
Siklus gonotrofik merupakan siklus reproduksi mulai dari
kondisi kenyang gula, mengisap darah, pematangan telur, meletakkan
telur di air, hingga mengisap darah kembali (Reisen, 2009). Satu
siklus gonotrofik Ae. aegypti di Meksiko membutuhkan waktu 3 hari
pada musim kering dan 4 hari pada musim hujan (Baak-Baak dkk.,
2017); sementara di Indonesia membutuhkan 3–5 hari pada suhu
26,2–30,3oC dan kelembapan 62,7–71,8% (Pramestuti & Martini,
2012). Satu nyamuk dapat melakukan beberapa kali siklus gonotropik
selama hidupnya sehingga nyamuk dapat melakukan aktivitas
mengisap darah berkali-kali (multiple blood feeding) (Eldridge, 2003;
Reisen, 2009).
Umur Ae. aegypti dewasa bergantung pada suhu, kelembapan,
aktivitas reproduksi, dan makanan (Collett dkk., 1972). Suhu
dan kelembapan yang optimal bagi tumbuh kembang Ae. aegypti
berkisar antara 25–28oC dengan kelembapan di atas 70%, sedangkan
suhu kurang dari 4oC dan di atas 40oC menyebabkan kematian
(Christophers, 1960). Pada kondisi optimum, Ae. aegypti betina dapat
hidup lebih lama (102 hari) bila hanya mengonsumsi madu (nektar)
dan tidak mengisap darah. Namun, nyamuk betina membutuhkan
darah manusia (antropofagik) untuk meningkatkan kebugaran
(energi) demi kelangsungan hidup dan proses pematangan telur
(Eldridge, 2009). Hal ini mengakibatkan umur nyamuk menjadi
lebih pendek 62 hari (Collett dkk., 1972).
Aktivitas bionomik Ae. aegypti tersebut dipengaruhi faktor
kondisi lingkungan fisik yang optimum. Pada 2015, suhu lingkungan
fisik di Kota Bandung antara 18,1oC pada Agustus hingga 31,9oC
pada Oktober, suhu rata-rata mencapai 23–24oC tiap bulan
sepanjang tahun, dan kelembapan nisbi antara 63% pada Oktober

Analisis Vektor Demam ... | 73


hingga 82% pada Desember 2015 (BPS, 2016). Data ini memberikan
informasi bahwa suhu dan kelembapan Kota Bandung merupakan
kondisi optimal bagi Ae. aegypti untuk beraktivitas sebagai day
bitting mosquito, antropophagic, dan multiple blood feeding sepanjang
tahun. Berdasarkan uraian tersebut, dapat digambarkan bahwa satu
nyamuk Ae. aegypti strain Kota Bandung yang terinfeksi virus dengue
cenderung memiliki kemampuan menularkan penyakit DBD kepada
lebih dari satu orang dalam satu hari selama lebih dari 20 kali siklus
gonotropik.

E. PERILAKU ISTIRAHAT NYAMUK AEDES AEGYPTI


Aedes aegypti dominan ditemukan di dalam rumah (endofilik)
masyarakat Kota Bandung (Faridah, dkk., 2017) sehingga tidak
membutuhkan sintesis cepat glikogen untuk aktivitas terbang jauh
(Eldridge, 2009). Nyamuk ini biasanya hinggap pada ketinggian
kurang dari 1,5 m di atas lantai (Dzul-Manzanilla dkk., 2016) pada
material yang gelap dan lembap.
Apabila sudah kenyang darah, Ae. aegypti akan terbang mencari
tempat istirahat (resting) yang terdekat untuk mencerna protein
darah, air, dan garam. Setelah beristirahat (resting) selama 1–2 jam,
Ae. aegypti akan terbang kembali untuk menentukan tempat istirahat
yang teduh, lembap, dan tanpa gangguan hingga proses pematangan
telur selesai (half-gravid dan gravid) (Reisen, 2009). Apabila di dalam
rumah terdapat ruangan dengan kondisi tersebut, Ae. aegypti tidak
akan keluar dari rumah. Hal ini dibuktikan dengan banyak Ae. aegypti
ditemukan sedang beristirahat dalam status ovarium gravid dalam
rumah penduduk (Jayanetti, Wijesundera, & Amerasinghe, 1987).
Perilaku ini menjadi pertimbangan banyaknya kasus DBD yang
terjadi di antara penghuni rumah dalam satu periode penularan.

F. KEPADATAN VEKTOR AEDES AEGYPTI


Indikator yang digunakan pemerintah Indonesia untuk mengukur
besarnya kevektoran DBD adalah angka bebas jentik (ABJ). Target
ABJ yang ditetapkan pemerintah adalah >95%. Artinya, apabila

74 | Dengue Update: Menilik ...


dalam satu wilayah tertentu nilai ABJ-nya di atas 95%, penularan
DBD dapat ditekan seminimal mungkin. Namun, apabila bawah
95%, daerah tersebut berpotensi terjadi peningkatan kasus DBD
dalam satu periode penularan. ABJ diukur berdasarkan rasio jumlah
rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik dengan jumlah
rumah/bangunan yang diperiksa dikali 100%.
Nilai ABJ di empat kecamatan Kota Bandung masih berada di
bawah target pemerintah (Tabel 5.1). Oleh karena itu, keberadaan
Ae. aegyti di rumah penduduk berpotensi menularkan virus dengue,
baik antar-penghuni rumah maupun penghuni dengan tetangga
yang berkunjung. Artinya, di lokasi tersebut pada periode penularan
berpotensi terjadi peningkatan kasus DBD yang cukup signifikan.
Beberapa penelitian di Kota Bandung pun memperlihatkan
bahwa indikator kepadatan vektor yang diukur masih menunjukkan
potensi peningkatan kasus DBD yang cukup signifikan. Di beberapa
daerah, nilai ABJ berkisar di angka 73,3–81,4% (Tabel 5.1), jumlah
yang masih jauh dari target pemerintah. Oleh karena itu, perlu kerja
sama antarinstansi pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat untuk
menanggulangi peningkatan kasus DBD.

Tabel 5.1 Angka Bebas Jentik dan Key Container di Empat Puskesmas Kota
Bandung
Jumlah Responden
No. Kecamatan ABJ Key Container
n = 783
1 Coblong Kasus: 67 79,10% Dispenser
Non Kasus: 134
2 Buah Batu Kasus: 60 67,22% Dispenser
Non Kasus: 120
3 Bojong Loa Kasus: 72 65,74% Dispenser
Non Kasus: 144
4 Rancasari Kasus: 62 59,14% Dispenser
Non Kasus: 124
Sumber: Fuadzy dkk. (2016)

Analisis Vektor Demam ... | 75


Tabel 5.2 Sebaran Indeks Entomologi Aedes aegypti Berdasarkan Hasil
Beberapa Penelitian di Kota Bandung
No. Sampel Indeks EntomologiPelaksanaan Referensi
1 55 rumah di RW HI 20% 2017 (Gifari,
06 Kel, Turangga ABJ 80% Rusmartini &
Astuti, 2017)
2 100 rumah di Kel. HI 18,6–26,7 % 2016 (Elsa, Sumardi,
Cijawura CI 6,7–13,2 % & Faridah,
ABJ 73,3–81,4 % 2017)
3 100 rumah di Kel. HI 19–28,4 % 2016 (Elsa, Sumardi,
Cisaranten Wetan CI 5–9,58 % & Faridah,
ABJ 71,6–81 % 2017)
4 261 rumah di Kasus DBD 2016 (Fuadzy dkk
wilayah kerja 2016)
Puskesmas Dago, HI 26,44 %
Sekejati, Kopo, dan CI 15,42 %
Cipamokolan BI 58,62 %
ABJ 73,56 %

522 rumah di Non Kasus DBD


wilayah kerja HI 20,84 %
Puskesmas Dago, CI 11,15 %
Sekejati, Kopo, dan BI 44,17 %
Cipamokolan ABJ 79,16 %

5 28 toilet di 5 SD di CI 28,57 % 2016 (Sopandi,


Kel. Neglasari 2016)
6 1.983 rumah di 16 HI 24 % 2015 (Faridah dkk.,
Kel. Kota Bandung CI 12 % 2017)
BI 36
ABJ 76 %
7 4 lokasi di CI 17 % 2015 (Astuti dkk.,
lingkungan FK 2016)
Unisba
8 153 KK di Kel. HI 22,22 % 2012 (Ariva &
Cicadas CI 12,84 % Oginawati,
BI 27,45 2013)
ABJ 77,78 %

76 | Dengue Update: Menilik ...


Nilai ABJ di Kota Bandung tidak dipengaruhi oleh pengetahuan,
sikap, dan tindakan 3M Plus masyarakatnya. Sebagai contoh,
masyarakat di RW 06, Kelurahan Turangga, Kecamatan Lengkong,
telah memiliki pengetahuan dan tindakan 3 M Plus yang baik, tetapi
masih ditemukan jentik Ae. aegypti di 20% rumah yang diteliti (Gifari,
Rusmartini, & Astuti, 2017). Begitu pula yang terjadi di Kelurahan
Cijawura dan Cisaranten di mana tidak ada pengaruh kenaikan
ABJ sebelum dan sesudah penyuluhan mengenai DBD kepada
masyarakatnya (Elsa, Sumardi, & Faridah, 2017). Hal ini karena
masyarakat tidak melakukan tindakan 3 M Plus secara tepat. Sebagai
contoh, kontainer di rumah dikuras, tetapi tidak disikat. Akibatnya,
telur Ae. aegypti tetap bisa melekat pada dinding kontainer dan bila
terjadi kontak dengan air, telur akan menetas menjadi jentik, dan
akhirnya menjadi nyamuk dewasa yang berpotensi menjadi vektor
DBD. Oleh karena itu, perlu Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik
(juru pemantau jentik), yakni menunjuk satu anggota keluarga
untuk menjadi jumantik rumah yang bertindak membasmi langsung
populasi Ae. aegypti di rumahnya. Agar gerakan ini bisa berjalan
baik, jumantik rumah perlu didampingi oleh koordinator jumantik
dan supervisor jumantik.
Faktor curah hujan dan hari hujan pun turut memengaruhi
kepadatan populasi Ae. aegypti di Kota Bandung. Curah hujan
tertinggi sepanjang 2015 mencapai 455 mm pada November dan 0,3
mm pada Juli. Adapun hari hujan terlama terjadi pada Maret dengan
jumlah 28 hari dan yang paling sebentar mencapai 4 hari pada
Agustus dan September (BPS, 2016). Meningkatnya curah hujan
pada November merupakan indikator kesiapsiagaan mencegah
penularan DBD. Penularan DBD cenderung meningkat pada
November, tetapi masih dalam tempo yang lambat. Jumlah kasus
meningkat drastis pada Januari, dan memuncak pada Februari. Pada
Januari, curah hujan mencapai 188 mm dengan hari hujan sebanyak
22 hari sehingga memengaruhi peningkatan kepadatan Ae. aegypti.
Setelah mengalami periode siklus hidup dan siklus gonotropik
nyamuk, serta siklus ekstrinsik, pada Februari mulai muncul Ae.
aegypti infektif yang menularkan dengue.

Analisis Vektor Demam ... | 77


G. RUMAH SEBAGAI BREEDING PLACE AEDES AEGYPTI
Penularan DBD lebih banyak terjadi di rumah tinggal (Velasco-
Salas dkk., 2014). Penelitian Porter mengindikasikan bahwa besar
masyarakat Kota Bandung dominan terinfeksi DBD di rumah tinggal
dibandingkan dengan di tempat kerja (Porter, dkk., 2005).
Pada 2016 dilakukan penelitian untuk mengukur besarnya
masalah karakteristik rumah tinggal penduduk dengan peningkatan
jumlah kasus DBD di Kota Bandung. Penelitian menggunakan
pendekatan kasus kontrol sepadan. Populasinya adalah penderita
DBD dengan sampel 211 rumah tangga penderita DBD dan 522
rumah bukan penderita DBD. Sampel tersebar di empat kecamatan
yaitu Coblong, Buah Batu, Bojong Loa, dan Rancasari. Penilaian
kualitas rumah tinggal meliputi tiga komponen besar, yaitu
komponen bangunan di dalam rumah, sanitasi rumah, dan perilaku
penghuni.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 61,30% masyarakat
Kota Bandung yang pernah menderita DBD bertempat tinggal di
rumah yang tidak sehat. Rumah disebut tidak sehat karena perilaku
penghuni rumah belum mencerminkan perilaku hidup bersih
dan sehat, terutama dalam aspek pemberantasan sarang nyamuk,
walaupun komponen bangunan di dalam rumah dan sanitasi rumah
telah laik huni. Sebagai contoh, mayoritas komponen dalam rumah
(langit-langit, lantai dan dinding, jendela kamar tidur, jendela
ruang keluarga, dan pencahayaan) dan komponen sanitasi (sarana
air bersih dan jamban) telah memenuhi syarat kesehatan. Namun,
mayoritas penghuninya menggantung pakaian kotor, menutup
tempat penampungan air, dan tidak terlindung dari kontak dengan
nyamuk sehingga belum memenuhi syarat kesehatan. Perilaku
seperti ini tergolong faktor risiko rumah tinggal sebagai tempat
perkembangbiakan (breeding place) Aedes aegypti yang potensial.
Hal ini menggambarkan bahwa mayoritas masyarakat Kota
Bandung telah memiliki kualitas bangunan rumah tinggal yang laik
huni, tetapi kualitas kesehatan rumah tinggal dari risiko penularan

78 | Dengue Update: Menilik ...


DBD yang masih rendah. Indikatornya adalah kondisi rumah telah
laik huni tetapi masih ditemukan Ae. aegypti di rumah tersebut.

H. ALTERNATIF UPAYA PENGENDALIAN AEDES AEGYPTI


Pengendalian Ae. aegypti dilakukan untuk menekan kepadatan Ae.
aegypti di permukiman hingga batas yang tidak membahayakan
bagi kesehatan masyarakatnya. Indikator kepadatan yang dire­
komendasikan pemerintah adalah angka bebas jentik (ABJ) sebesar
>95%. Artinya, dari 100 rumah yang diperiksa, maksimal hanya
lima rumah yang ditemukan jentik Ae. aegypti. Jika sudah terpenuhi
angka bebas jentik (ABJ) sebesar >95%, disinyalir tidak akan terjadi
penularan DBD setempat. Apabila muncul kasus DBD pun akan
lebih mudah ditanggulangi.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai target tersebut
adalah dengan tiga pendekatan, yaitu mekanik, biologi, dan kimia.
Penelitian di Kelurahan Cicadas Kota Bandung memberikan
gambaran bahwa mayoritas masyarakat (68%) telah melakukan
upaya pengendalian vektor untuk mencegah penularan DBD
di wilayahnya. Sebaran pendekatan yang dilakukan adalah 25%
dengan cara mekanik (memasang kassa pada ventilasi rumah dan
menggunakan raket listrik untuk membunuh nyamuk), 10% dengan
cara biologi (menebar ikan cupang dan ikan mujair di bak mandi dan
drum air), dan 62% dengan cara kimia (menggunakan insektisida
rumah tangga komersial berupa obat nyamuk bakar/coil, elektrik/
mat, dan semprot/aerosol) (Ariva & Oginawati, 2013).
Pendekatan mekanik dengan memasang kassa jenis kain atau
kawat pada ventilasi rumah disinyalir mampu mencegah nyamuk
masuk ke rumah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
memasang kassa pada ventilasi dan jendela rumah berhubungan
dengan kejadian DBD, seperti di wilayah kerja Puskesmas Celikah
Kab. Ogan Komering Ilir (p-value < 0,05; OR 7,8) dan wilayah kerja
Puskesmas Tlogosari Wetan (p-value < 0,05; OR 3,659) (Lontoh,
Rattu, & Kaunang, 2016). Namun, pemilihan kain atau kawat kassa
perlu memperhatikan diameter lubang atau kisi kassa tersebut. Kassa

Analisis Vektor Demam ... | 79


yang digunakan sebaiknya berdiameter lebih kecil dari panjang sayap
nyamuk Aedes spp., yakni 2,64–4,41 mm (Landry, DeFoliart, & Hogg,
1988) atau rata-rata 2,388 mm untuk Ae. aegypti dan 2,429 untuk Ae.
albopictus (Rey & O’Connell, 2014). Panjang sayap nyamuk tersebut
menjadi indikator untuk menentukan perkiraan dimensi ukuran
tubuh nyamuk rata-rata. Oleh karena itu, diameter atau keliling
lubang kassa harus lebih kecil dari 2,3 mm, agar nyamuk tidak bisa
merayap masuk ke dalam rumah melalui lubang kassa tersebut.
Upaya tersebut akan lebih optimal bila dilakukan secara terpadu
dengan pemberdayan masyarakat melalui pendekatan pengendalian
vektor terpadu (PVT). Upaya PVT memiliki keunggulan karena
ketiga pendekatan dilakukan serentak oleh masyarakat dan lintas
sektor sehingga dapat mengeliminasi Ae. aegypti pada stadium
pradewasa dan dewasa hingga tidak tersisa. PVT juga berdampak
pada menurunnya kepadatan serangga vektor lainnya di rumah
tinggal, seperti nyamuk (Culex, Anopheles, Armigeres, Mansonia),
agas (Culicoides), lalat (Muscidae), dan lainnya.
Upaya mekanik yang paling ampuh dilakukan untuk
mengeliminasi populasi Ae. aegypti adalah pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) melalui tindakan 3 M, yaitu menguras, menutup
kontainer air, dan mendaur ulang barang tak dipakai. Tindakan
menguras dilakukan dengan membersihkan dan menyikat kontainer
air seperti bak mandi, penampungan air buangan pada dispenser dan
kulkas, vas dan pot bunga, ember dan tutupnya, drum dan tutupnya,
toren dan tutupnya, kolam ikan, dan lainnya. Setelah dikuras,
kontainer tersebut ditutup rapat bila diisi air sehingga serangga tidak
bisa berkembangbiak. Apabila disimpan dalam waktu lama, kontainer
tersebut harus kering dan tertutup rapat. Apabila di rumah terdapat
barang yang tidak dipakai lagi, seperti kaleng, ban, botol, galon,
wadah plastik, gelas plastik, akuarium, styrofoam, hendaknya didaur
ulang agar bernilai ekonomi. Daur ulang dapat dilakukan sendiri atau
diilakukan orang lain. Apabila barang tak dipakai disimpan, harus
dipastikan kering dan ditutup rapat sehingga tidak ada genangan air.
Permasalahan dispenser sebagai key container Ae. aegypti di Kota

80 | Dengue Update: Menilik ...


Bandung dapat dikendalikan dengan dua upaya terobosan, yaitu
penempelan stiker jentik di dispenser sebagai pengingat penghuni
rumah untuk menguras tempat penampungan air secara rutin, baik
oleh produsen maupun Pemerintah Daerah; dan melepaskan atau
tidak menggunakan lagi tempat penampungan air di dispenser.
Upaya biologi yang bisa dilakukan adalah menanam tanaman
penolak serangga di sekeliling rumah, seperti zodia, geranium,
lavender, sereh wangi, rosemary, dan kayu putih. Selain itu, ikan
pemakan jentik dapat dipelihara di kontainer air besar, seperti ikan
kepala timah, ikan gupi, ikan cupang, nila merah, dan mujair. Dewasa
ini telah dikembangkan pemanfaatan endotoksin bakteri Bacillus
thuringiensis israelensis (BTI) yang diteteskan pada kontainer air.
Teknologi BTI ini ramah lingkungan, sehat, dan disinyalir tidak
menimbulkan efek resistensi.
Upaya kimia dalam pengendalian vektor sebisa mungkin
dihindari. Jika digunakan, sebaiknya seoptimal dan sebijaksana
mungkin sehingga tidak merugikan mikroorganisme lainnya dan
tidak menurunkan tingkat toleransi nyamuk terhadap insektisida.
Upaya kimia yang bisa dilakukan adalah menggunakan larvasida
temefos (abatisasi) dan spinosad untuk mengeliminasi jentik.
Pengembangan larvasida saat ini lebih mengarah pada insect growth
regulators (IGRs) seperti fenoksikarb, metopren, piriproksifen,
diflubensuron, dan heksaflumuron. IGRs tergolong senyawa kimia
bukan sintetik dan senyawa hormon yang dapat mengganggu proses
pertumbuhan dan perkembangan serangga. Larvasida diaplikasikan
pada kontainer-kontainer air untuk mematikan atau menghambat
molting Ae. aegypti pada stadium jentik.
Pengendalian nyamuk dewasa Ae. aegypti dapat pula dilakukan
dengan menggunakan insektisida rumah tangga (cypermethrin,
d-allethrin, d-phenothrin, d-trans-allethrin, imiprothrin, meperfluthrin,
metoflethrin, metofluthrin, permethrin, prallethrin, sifenothrin,
siflutrin, tetramethrin, transfluthrin). Namun, perlu diperhatikan
bahwa jentik Ae. aegypti di Kota Bandung telah resisten terhadap
insektisida permetrin golongan piretroid. Rasio resistennya

Analisis Vektor Demam ... | 81


(RR50) mencapai 25,66 kali pada generasi pertama dan meningkat
sebanyak 4,95 kali pada generasi kelima, sedangkan nyamuk tanpa
paparan insektisida menurun sebanyak 2,39 kali pada generasi
kelima. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam menggunakan
insektisida rumah tangga karena masih satu golongan piretroid
(Mantolu, Kustiati, Ambarningrum, Yusmalinar, & Ahmad, 2016).
Kemungkinannya dapat terjadi multiple resistance. Berdasarkan hal
tersebut, penggunaan insektisida rumah tangga perlu memperhatikan
dan mengikuti anjuran yang tercantum pada kemasan.
Pemanfaatan fogging di Kota Bandung perlu kajian lebih lanjut
untuk mengevaluasi kualitas mesin fogger dan efikasi insektisida.
Penelitian Yee menyatakan bahwa penggunaan metode fogging
di Kota Bandung dapat meningkatkan angka kejadian DBD (Yee,
Heryaman, & Faridah, 2017) padahal tujuan diaplikasikannya
fogging adalah mematikan nyamuk dewasa Ae. Aegypti sehingga
dapat memutus rantai penularan DBD di satu daerah tertentu.
Bila fogging harus dilakukan, sebaiknya menggunakan insektisida
golongan organofosfat untuk rentang waktu tertentu. Upaya ini untuk
menghindari penurunan status toleran Ae. aegypti yang disinyalir
telah resisten terhadap satu jenis insektisida golongan piretroid.

I. PENUTUP
Angka kesakitan DBD di Kota Bandung cenderung stagnan,
sedangkan angka kematian mengalami penurunan dari tahun ke
tahun. Hal ini menggambarkan bahwa upaya kuratif pemerintah
dalam tata laksana pengobatan pasien DBD telah mengalami
kemajuan yang cukup berarti. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh
pemahaman masyarakat mengenai swamedikasi dan meningkatnya
kesadaran untuk secepatnya membawa anggota rumah tangga yang
demam tinggi ke fasilitas kesehatan terdekat. Sementara itu, upaya
preventif pemerintah untuk memutus mata rantai penularan DBD
dengan mengendalikan populasi Aedes aegypti masih mengalami
banyak kendala. Hal ini dibuktikan dengan ABJ pada beberapa lokus
di Kota Bandung masih di bawah target pemerintah 95%.

82 | Dengue Update: Menilik ...


Rendahnya ABJ menjadi indikator bahwa Ae. aegypti telah
tersebar luas di setiap jenis permukiman masyarakat Kota Bandung.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa keberadaan dispenser
menjadi risiko utama meningkatnya kepadatan Ae. aegypti di
Kota Bandung. Nyamuk ini beraktivitas pada pagi hingga sore
hari (diurnal) untuk mengisap darah penghuni rumah (endofilik)
berkali-kali (multiple blood feeding) secara agresif (fittness). Perilaku
inilah yang menjadi risiko utama keberadaan Ae. aegypti pada proses
penularan DBD di rumah tinggal. Selain itu, peningkatan jumlah
kasus DBD ditunjang pula oleh faktor eksternal, seperti faktor iklim
(curah hujan dan hari hujan) serta rendahnya perilaku hidup bersih
dan sehat masyarakat Kota Bandung.
Seluruh faktor risiko tersebut harus segera dikendalikan dengan
upaya yang paling ampuh, yakni pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) melalui Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik. Upaya ini
menitikberatkan pada peran anggota rumah tangga untuk melakukan
3M Plus, yaitu menguras, menutup, dan mendaur ulang kontainer
yang tidak dipakai, serta melakukan upaya lainnya agar terhindar
dari kontak dengan nyamuk. Upaya terobosan yang dapat dilakukan
adalah penempelan stiker jentik sebagai pengingat dan melepaskan
tempat penampungan air di dispenser. Adapun upaya fogging perlu
dikaji kembali untuk menentukan efektivitas dan efisiensinya karena
hanya penanggulangan sesaat, tidak menghilangan penyebab secara
permanen, dan mahal.

DAFTAR PUSTAKA
Ariva, L., & Oginawati, K. (2013). Identifikasi density figure dan pengendalian
vektor demam berdarah pada Kelurahan Cicadas Bandung. Jurnal
Teknik Lingkungan, 19(1), 55–63.
Arundina, D. R., Tantular, B., & Pontoh, R. S. (2017). Multilevel poisson
regression modelling for determining factors of dengue fever cases in
Bandung. AIP Conference Proceedings Vol. 020043. AIP Publishing.
https://doi.org/10.1063/1.4979459

Analisis Vektor Demam ... | 83


Baak-Baak, C. M., Ulloa-Garcia, A., Cigarroa-Toledo, N., Tzuc Dzul, J.
C., Machain-Williams, C., Torres-Chable, O. M., … Garcia-Rejon, J.
E. (2017). Blood feeding status, gonotrophic cycle and survivorship
of Aedes (Stegomyia) aegypti (L.) (Diptera: Culicidae) caught in
Churches from Merida, Yucatan, Mexico. Neotropical Entomology,
46(6), 622–630. https://doi.org/10.1007/s13744-017-0499-x
BPS. (2016). Kota Bandung dalam angka 2016. Kota Bandung.
Chakraborty, T. (2008). Dengue fever and other hemorrhagic viruses (deadly
diseases & epidemics) (E.I. Alcamo, Ed). New York: Chelsea House.
Christophers, S. S. R. (1960). Aedes aegypti (L.): the yellow fever mosquito:
its life history, bionomics and structure. London: The Syndics od the
Cambridge University Press.
Collett, G. C., Graham, J. E., Schoof, H. F., Quarterman, K. D., Johnson, D.
R., Barnes, A. M., … Pratt, H. D. (1972). Vector control in international
health. Switzerland: World Health Organization. Diakses 4 Februari
2019 dari http://pesquisa.bvsalud.org/bvsms/resource/pt/mis-18151
Dinkes. (2017). Profil kesehatan Kota Bandung tahun 2016. Kota Bandung.
Dzul-Manzanilla, F., Ibarra-López, J., Marín, W. B., Martini-Jaimes, A.,
Leyva, J. T., Correa-Morales, F., … Day, J. (2016). Indoor resting
behavior of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in Acapulco, Mexico.
Journal of Medical Entomology, 0(0), 1–4. https://doi.org/10.1093/jme/
tjw203
Eldridge, B. F. (2003). Mosquito. Encyclopedia of insects.
Eldridge, B. F. (2009). Mosquito. Dalam V.H. Resh, & R.T. Carde, (Eds.),
Encyclopedia of insect, (p.658). London: Elsevier.
Elsa, Z., Sumardi, U., & Faridah, L. (2017). Effect of health education on
community participation to eradicate Aedes aegypti-breeding sites in
Buahbatu and Cinambo Districts, Bandung. National Public Health
Journal, 12(2), 73–78. https://doi.org/10.21109/kesmas.v12i2.1298
Fadilla, Z., Hadi, U., & Setiyaningsih, S. (2015). Bioekologi vektor demam
berdarah dengue (DBD) serta deteksi virus dengue pada Aedes
aegypti (Linnaeus) dan Ae. albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae) di
Kelurahan endemik DBD Bantarjati, Kota Bogor. Jurnal Entomologi
Indonesia, 12(1), 31–38. https://doi.org/10.5994/jei.12.1.31

84 | Dengue Update: Menilik ...


Faridah, L., Respati, T., Sudigdoadi, S., & Sukandar, H. (2017). Gambaran
partisipasi masyarakat terhadap pengendalian vektor melalui kajian
tempat perkembangbiakan Aedes aegypti di Kota Bandung. Majalah
Kedokteran Bandung, 49(1), 43–47.
Fuadzy, H., Astuti, E. P., Prasetyowati, H., Hendri, J., Rohmansyah, &
Hodijah, D. N. (2016). Penentuan faktor risiko sanitasi rumah tinggal
pada kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kota Bandung
(Laporan Penelitian). Ciamis, Pangandaran.
Fuadzy, H., & Hendri, J. (2015). Indeks entomologi dan kerentanan larva
Aedes aegypti terhadap temefos di Kelurahan Karsamenak Kecamatan
Kawalu Kota Tasikmalaya. Vektora, 7(2), 57–64.
Gifari, M. A., Rusmartini, T., & Astuti, R. D. I. (2017). Hubungan tingkat
pengetahuan dan perilaku gerakan 3M Plus dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti. Bandung Meeting on Global Medicine & Health, 1, 84–
90). Bandung.
Gullan, P. J., & Cranston, P. S. (2010). The insects: An outline of entomology.
African Journal of Ecology Fourth, 39, 229–232. Oxford: Wiley
Blackwell. https://doi.org/10.1046/j.1365-2028.2001.0270e.x
Hadi, U. K., Soviana, S., & Gunandini, D. D. (2012). Aktivitas nokturnal
vektor demam berdarah dengue di beberapa daerah di Indonesia.
Jurnal Entomologi Indonesia, 9(1), 1–6. https://doi.org/10.5994/jei.9.1.1
Jayanetti, S. R., Wijesundera, M. D. S., & Amerasinghe, F. P. (1987). A study
on the bionomics of indoor resting mosquitoes in Kandy. Ceylon
Journal of Medicine Science, 30(2), 47–62.
Joharina, A. S., & Widiarti. (2014). Kepadatan larva nyamuk vektor sebagai
indikator penularan demam berdarah dengue di daerah endemis di
Jawa Timur. Jurnal Vektor Penyakit, 8(2), 33–40.
Karyanti, M. R., & Hadinegoro, S. R. (2009). Perubahan epidemiologi
demam berdarah dengue di Indonesia. Sari Pediatri, 10(6), 424–432.
Kemkes. (2012). Pedoman penggunaan insektisida (pestisida) dalam
pengendalian vektor (Pertama). Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Landry, S. V., DeFoliart, G. R., & Hogg, D. B. (1988). Adult body size and
survivorship in a field population of Aedes triseriatus. Journal of the
American Mosquito Control Association, 4(2), 121–128.

Analisis Vektor Demam ... | 85


Lontoh, R. Y., Rattu, A. J. M., & Kaunang, W. P. J. (2016). Hubungan
antara pengetahuan dan sikap dengan tindakan pencegahan demam
berdarah dengue (DBD) di Kelurahan Malalayang 2 Lingkungan III.
Pharmacon, 5(1), 382–389.
Mantolu, Y., Kustiati, K., Ambarningrum, T. B., Yusmalinar, S., & Ahmad, I.
(2016). Status dan perkembangan resistensi Aedes aegypti (Linnaeus)
(Diptera: Culicidae) strain Bandung, Bogor, Makassar, Palu, dan VCRU
terhadap insektisida permetrin dengan seleksi lima generasi. Jurnal
Entomologi Indonesia, 13(1), 1–8. https://doi.org/10.5994/jei.13.1.1
Mulyatno, K.C., Yamanaka, A., Yotopranoto, S., & Konishi, E. (2012).
Vertical transmission of dengue virus in Aedes aegypti collected in
Surabaya, Indonesia, during 2008–2011. Japanese Journal of Infectious
Diseases, 65(3), 274–276. https://doi.org/10.7883/yoken.65.274
Porter, K. R., Beckett, C. G., Kosasih, H., Tan, R. I., Alisjahbana, B., Irani,
P., … Wuryadi, S. (2005). Epidemiology of dengue and dengue
hemorrhagic fever in a cohort of adults living in Bandung, West Java,
Indonesia. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 72(1),
60–66.
Pramestuti, N., & Martini. (2012). Perbedaan siklus gonotropik dan peluang
hidup Aedes sp. di Kabupaten Wonosobo. Jurnal Ekologi Kesehatan,
11(3), 194–201.
Purnama, S. G., & Baskoro, T. (2012). Maya index dan kepadatan larva Aedes
aegypti terhadap infeksi dengue. Makara Kesehatan, 16(2), 57–64.
Reisen, W. K. (2009). Epidemiology of vector-borne diseases. Dalam G.
Mullen & L. Durden (eds.), Medical and Veterinary Entomology
(Second, pp. 15–27). Elsevier Science.
Respati, T., Raksanagara, A., Djuhaeni, H., & Sofyan, A. (2017a). Spatial
distribution of dengue hemorrhagic fever (DHF) in urban setting of
Bandung City. Global Medical and Health Commnunication, 5(3), 212–
218.
Respati, T., Raksanegara, A., Djuhaeni, H., Sofyan, A., Agustian, D., &
Faridah, L. (2017b). Berbagai faktor yang memengaruhi kejadian
demam berdarah dengue di Kota Bandung. Aspirator, 9(2), 91–96.
Rey, J. R., & O’Connell, S. M. (2014). Oviposition by Aedes aegypti and
Aedes albopictus: Influence of congeners and of oviposition site
characteristics. Journal of Vector Ecology, 39(1), 190–196.

86 | Dengue Update: Menilik ...


Robinson, W. H. (2005). Urban Insects and Arachnids-a handbook of urban
entomology. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/
CBO9780511542718
Rosa, E., & Salmah, S. (2015). Detection of transovarial dengue virus with
RT-PCR in Aedes albopictus (Skuse) larvae inhabiting phytotelmata
in endemic DHF areas in West Sumatra, Indonesia. American Journal
of Infectious Diseases and Mircobiology, 3(1), 14–17. https://doi.
org/10.12691/ajidm-3-1-3
Rozandaal, J. A. (1997). Vector control: Methods for use by indiviudals and
communities. Geneva: World Health Organization.
Satoto, T. B. T., Umniyati, S. R., Astuti, F. D., Wijayanti, N., Gavotte, L.,
Devaux, C., & Frutos, R. (2014). Assessment of vertical dengue virus
transmission in Aedes aegypti and serotype prevalence in Bantul,
Indonesia. Asian Pacific Journal of Tropical Disease, 4(S2), S563–S568.
https://doi.org/10.1016/S2222-1808(14)60677-0
Setiani, D. B. H. (2015). Gambaran penderita demam berdarah dengue di
rumah sakit Immanuel periode Januari–Desember 2014. Bandung:
Universitas Kristen Maranatha.
Siregar, F. A., Makmur, T., & Huda, N. (2016). Key breeding place for dengue
vectors and the impact of larvae density on dengue transmission in
North Sumatera Province, Indonesia. Asian Journal of Epidemiology,
10(1), 1–9. https://doi.org/10.3923/aje.2017.1.9
Somantri, R. (2017). Implementasi kebijakan pengendalian insiden penyakit
demam berdarah dengue (DBD) (Strategi dalam menurunkan wilayah
endemis di Kota Bandung). Bandung: Universitas Pasundan Bandung.
Sukana, B. (1993). Pemberantasan vektor DBD di Indonesia. Media
Litbangkes, III(01), 9–16.
Varnado, W., Goddard, J., & Harrison, B. (2012). Identification guide to adult
mosquitoes in Mississippi. U.S. Department of Agriculture.
Velasco-Salas, Z. I., Sierra, G. M., Guzman, D. M., Zambrano, J., Vivas, D.,
Comach, G., … Tami, A. (2014). Dengue seroprevalence and risk factors
for past and recent viral transmission in Venezuela : A comprehensive
community-based btudy. American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene, 91(5), 1039–1048. https://doi.org/10.4269/ajtmh.14-0127

Analisis Vektor Demam ... | 87


Whelan, P., Kurucz, N., Warchot, A., Carter, J., Pettit, W., Nguyen, H. U.
Y., … Pearce, T. (2008). Medical Entomology Branch Report 2006/07.
Darwin.
Yee, L. Y., Heryaman, H., & Faridah, L. (2017). The relationship between
frequency of fogging focus and incidence of dengue hemorrhagic fever
cases in Bandung in year 2010-2015. Int. J. Community Med Public
Health, 4(2), 456–459.

88 | Dengue Update: Menilik ...


Bab 6
Key Container dan Peranannya
dalam Pengendalian Populasi
Aedes
Mutiara Widawati & Heni Prasetyowati

A. AEDES DAN KEJADIAN DENGUE


Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini ditemukan di daerah
tropis dan sub-tropis, terutama di daerah perkotaan. Jumlah kasus
dengue meningkat drastis dan menjadi insiden global dalam
beberapa dekade terakhir, bahkan sekitar setengah populasi di dunia
sekarang berisiko terinfeksi dengue. Indonesia merupakan negara
endemis dengue dengan jumlah kasus tertinggi di dunia (WHO,
2018). Sejak ditemukan di Indonesia, penyakit ini telah menyebar ke
semua provinsi, bahkan beberapa wilayah juga melaporkan adanya
kejadian luar biasa (KLB). Walaupun case fatality rate (CFR) semakin
menurun, jumlah kasus DBD justru semakin meningkat tiap tahun
(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Salah satu provinsi dengan
angka kejadian demam berdarah dengue yang tertinggi adalah
Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan profil kesehatan Jawa Barat tahun
2017, angka kejadian DBD di provinsi Jawa Barat meningkat tajam
dari 47,34/100.000 penduduk menjadi 78,98/100.000 penduduk
pada 2016. Angka kejadian DBD tersebut bahkan jauh melampaui
ambang batas angka kesakitan DBD tahun 2015 sebesar 50/100.000
penduduk. Angka kejadian DBD di wilayah kabupaten dengan
perkotaan menunjukkan perbedaan yang relatif besar, dengan angka

| 89
kejadian DBD di kota menunjukkan angka yang lebih tinggi (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2017).
Virus dengue ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina. Belum ditemukannya
obat dan vaksin untuk mencegah DBD menyebabkan pemberantasan
penyakit ini lebih dititikberatkan pada pengendalian vektornya.
Indonesia beriklim tropis sehingga sangat mendukung kedua jenis
nyamuk vektor DBD untuk berkembangbiak. Keberadaan tempat
perkembangbiakan nyamuk bisa dijadikan indikator terkait DBD.
Penelitian di Padang dilakukan menggunakan kepadatan larva
dan maya index untuk menunjukkan risiko penularan dan risiko
kemunculan tempat perkembangbiakan nyamuk. Berdasarkan
indikator larva, disimpulkan bahwa semua desa yang diteliti
menunjukkan risiko sedang-tinggi untuk menularkan dengue (Nofita,
Rusdji, & Irawati, 2017). Penelitian lain di Semarang juga melaporkan
keberadaan tempat perkembangbiakan nyamuk dan container index
yang berhubungan dengan kasus DBD (Husna, Wahyuningsih, &
Murwani, 2017). Nyamuk Aedes hidup dan berkembang biak di
wadah-wadah yang dekat dengan tempat tinggal manusia. Nyamuk
ini biasanya berkembangbiak di wadah penampung air buatan, tetapi
sudah ada juga laporan yang menunjukkan bahwa nyamuk ini dapat
berkembangbiak di wadah penampung air alami (Derraik, 2005).
Tempat perkembangbiakan yang potensial untuk Aedes adalah
kontainer yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, seperti
drum, tempayan, bak mandi, ember, dan sejenisnya.
Tempat penampungan air yang paling berperan sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk vektor DBD di suatu wilayah disebut
juga key container. Dalam upaya pengendalian populasi Aedes di
suatu wilayah, identifikasi key kontainer penting diketahui agar
pengendalian populasi vektor DBD tepat sasaran. Menurut ­Macielde-­
Freitas & Lourenço-de-Oliveira (2011), identifikasi key kontainer
dalam pengendalian vektor DBD dapat menurunkan kepadatan
nyamuk betina secara drastis walaupun hanya untuk jangka waktu
yang tidak lama. Manfaat lain dengan mengetahui key container

90 | Dengue Update: Menilik ...


adalah membantu fokus pengendalian terutama yang dilakukan
oleh masyarakat sendiri (Joharina & Widiarti, 2014). Tulisan ini
menggambarkan key kontainer dan peranannya dalam pengendalian
vector, khususnya di Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu provinsi
endemis DBD di Indonesia.

B. KARAKTERISTIK HABITAT VEKTOR DENGUE


Sebagai serangga holometabola, selama hidupnya Aedes mengalami
empat stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa. Stadium pra-
dewasa Aedes berada di air (sta­di­um akuatik). Nyamuk Aedes tidak
bertelur di genangan air yang langsung bersentuhan dengan tanah
atau air kotor, tetapi di genangan air yang ditampung dalam suatu
wadah atau kontainer, bisa juga berupa penampungan air bersih
(Hidayat, Ludfi, & Hadi, 1997). Seiring berjalannya waktu, banyak
penelitian menunjukkan adanya perubahan perilaku berkembang
biak nyamuk Aedes, yakni mau bertelur di perangkap telur (ovitrap)
yang diisi air rendaman jerami (Sayono, 2008; Dwinata, Baskoro, &
Indriani, 2015), campuran air dengan kotoran sapi, campuran air
dengan tanah dan campuran air dengan kotoran kuda. Selain itu,
nyamuk Ae.aegypti mampu hidup dan berkembang biak di campuran
air dengan kotoran ayam dan air sabun (Wurisastuti, 2013).
Dalam mencari tempat perindukan, nyamuk Ae. aegypti betina
menggunakan penglihatan, penciuman, dan alat indra yang sensitif
untuk memilih air yang disukainya (Gunandini & Gionar, 1999).
Telur yang berada dalam kontainer akan menetas antara dua sampai
tiga hari pada suhu 30oC, sedangkan pada suhu 16o C membutuhkan
waktu penetasan selama tujuh hari (Hadi & Soviana, 2010).
Menurut Soedarmo, perkembangan telur sampai menjadi nyamuk
dewasa minimal selama sembilan hari (Soedarmo, 1988). Suhu air
yang optimal untuk penetasan telur adalah 25–28oC. Faktor yang
menentukan menetas atau tidaknya telur adalah temperatur air, sifat
alami mikroflora di dalamnya, ada tidaknya zat pembusuk dalam air,
dan kadar keasaman atau kebasaan air (Soulsby, 1968).

Key Container dan ... | 91


Pemilihan habitat perkembangbiakan untuk kelangsungan
hidup nyamuk dan dinamika populasi bergantung pada karakteristik
lingkungan. Seleksi habitat oleh nyamuk Aedes berpengaruh terhadap
pengendalian penularan demam berdarah. Oleh karena itu, penting
untuk mengetahui komponen-komponen kunci dari ekosistem yang
memengaruhi distribusi dan banyaknya populasi nyamuk. Salah satu
komponen kunci yang dimaksud adalah kualitas air karena kualitas
air dapat memengaruhi proses oviposisi dan tahap pengembangan
spesies Aedes (Piyaratne, Amerasinghe, Amerasinghe, & Konradsen,
2005; Oyewole dkk., 2009).
Larva nyamuk Aedes membutuhkan air untuk menyelesaikan
siklus pertumbuhannya. Jadi, segala sesuatu tentang air tersebut
akan memengaruhi perkembangan larva Aedes. Sebagai contoh,
kualitas air memengaruhi produktivitas habitat perkembangbiakan
nyamuk. Sejumlah besar nyamuk hidup pada kontainer dengan
sirkulasi yang buruk, suhu yang tinggi, kandungan organik tinggi;
sebagian lagi hidup pada kontainer yang memiliki sirkulasi baik,
suhu rendah, dan lebih rendah kandungan organiknya. Pengetahuan
tentang habitat perkembangbiakan spesies Aedes sangat penting
untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang interaksi
dalam faktor lingkungan. Kesimpulannya, karakteristik lingkungan
memengaruhi pemilihan habitat pengembangbiakan oleh spesies
Aedes untuk kelangsungan hidup dan kepadatan populasi spesies
nyamuk tersebut (Dom, Ahmad, & Ismail, 2013).
Ada beberapa komponen yang dapat memengaruhi kehidupan
larva, yaitu pH air, kelembapan, dan kemampuan nyamuk untuk
beradaptasi. pH air dapat berpengaruh terhadap proses osmosis
dan transportasi oksigen pada nyamuk (Umar & Don Pedro, 2008).
Sementara itu, Thomson (1938) mengungkapkan bahwa perubahan
kelembapan juga berpengaruh terhadap kehidupan nyamuk. Selain
itu, Aedes sp. memiliki kemampuan adaptasi lingkungan yang sangat
baik. Nyamuk ini mampu memanfaatkan berbagai habitat dengan
karakteristik yang berbeda sebagai tempat perkembangbiakannya
(Dom dkk., 2013).

92 | Dengue Update: Menilik ...


Beberapa penelitian mengenai tempat perkembangbiakan telah
dilakukan, salah satunya oleh Umar dan Don Pedro tahun 2008.
Berdasarkan penelitian tersebut, pH air yang berkisar antara 6,72
sampai 7,63 menunjukkan korelasi positif (r = 0,4) dengan densitas
larva. Kelangsungan hidup larva Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus
ditemukan optimal pada kisaran pH 6,5–8 (Umar & Don Pedro,
2008). Penelitian Rao, Harikumar, Jayakrishnan, dan George pada
2011 menunjukkan bahwa pengendalian tempat perkembangbiakan
nyamuk dapat dilakukan dengan memanipulasi pH menggunakan
biopestisida, seperti minyak nimba (Rao dkk., 2011). Penelitian
Filinger dkk. mengungkapkan bahwa di antara parameter fisika-
kimia yang diamati, konduktivitas air dengan kisaran 162,9–616,9
μS/cm memiliki hubungan yang signifikan dan berkorelasi negatif
dengan kepadatan larva.
Di lingkungan perkotaan, kontainer penampung air dijadikan
tempat perkembangbiakan nyamuk pra-dewasa. Kontainer yang
disukai adalah yang terletak di daerah yang kurang pencahayaan
(teduh), terutama di area dengan suhu yang lebih rendah
dibandingkan area yang terkena sinar matahari langsung. Jenis
wadah, kualitas air, dan kondisi wadah juga berpengaruh terhadap
perkembangbiakan nyamuk. Faktor yang menentukan nyamuk
betina memilih suatu habitat air sebagai tempat perkembangbiakan
adalah karakteristik kimia pada habitat tersebut (Getachew, Tekie,
Gebre-Michael, Balkew, & Mesfin, 2015). Ada beberapa karakteristik
kimia air yang memengaruhi oviposisi nyamuk, yaitu suhu air, pH,
tingkat amonia, tingkat nitrat, sulfat, fosfat, dan padatan terlarutnya
(Olayemi, Omalu, Famotele, Shegna, & Idris, 2010; Rao, 2010).
Selain karakteristik kimia dari air, kondisi lingkungan sekitar
dan kondisi wadah juga dapat mempengaruhi terbentuknya tempat
perkembangbiakan nyamuk. Kondisi yang menyebabkan infestasi
nyamuk adalah
1) Tersimpannya air dalam wadah untuk periode yang lama;
2) Curah hujan yang lebih tinggi; suhu dan kelembapan lingkungan
sekitar yang mendukung berkembangnya nyamuk;

Key Container dan ... | 93


3) Reinfestasi vektor ke daerah geografis baru;
4) Iklim hangat dan lembap;
5) Peningkatan populasi yang menyebabkan kepadatan pemukiman;
6) Pola penyimpanan air di rumah;
7) Penyimpanan sampah.

Pola penyimpanan sampah, seperti penyimpanan bahan daur


ulang, bisa menjadi faktor risiko infeksi virus dengue (Getachew
dkk., 2015). Musim hujan menyebabkan tempat penampungan
air di luar rumah menjadi semakin banyak dan beragam. Sebagai
contoh, pot bunga, ban bekas, dan botol bekas yang dibuang begitu
saja di halaman rumah akan terisi air dan digunakan sebagai tempat
bertelur nyamuk (Nagao dkk., 2003).
Berdasarkan penelitian Gopalakrishnan, Das, Baruah, Veer,
dan Dutta (2013) di Asom, India, salah satu karakteristik habitat
perkembangbiakan larva nyamuk adalah konduktivitas air.
Konduktivitas sangat berhubungan dengan kepadatan larva nyamuk
di habitatnya. Semakin padat larva nyamuk di suatu habitat maka
semakin rendah konduktivitasnya. Sifat ini dapat dimanfaatkan untuk
sistem kewaspadaan dini penyakit tular vektor karena konduktivitas
dapat mendeteksi peningkatan kepadatan larva di habitat vektor.
Hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi
ovitrap agar dapat digunakan untuk pemantauan vektor penyakit
dengan metode modifikasi parameter fisika-kimia.
Korelasi negatif didapatkan dari pengamatan konduktivitas air
terhadap kerapatan larva pada kasus vektor malaria Gambia. Dalam
hal ini, konduktivitas di atas 2000 μS/cm menyebabkan pengurangan
densitas larva yang signifikan (Fillinger dkk., 2009). Salinitas air di
habitat perkembangbiakan nyamuk bervariasi dari 0,09 sampai 0,39
ppt dan berkorelasi negatif dengan densitas larva. Berdasarkan studi
laboratorium yang dilakukan Navarro pada 2003 tentang pemilihan
lokasi oviposisi oleh Ae. Aegypti, jumlah oviposisi menurun seiring
dengan kenaikan salinitas. Pada salinitas di atas 12%, hampir
tidak ada oviposisi yang terjadi (Navarro dkk., 2003). Penelitian

94 | Dengue Update: Menilik ...


karakteristik habitat perkembangbiakan Ae. albopictus di Calicut,
India, menunjukkan korelasi positif densitas larva dengan total
padatan terlarut padatan, kekeruhan, konduktivitas dan salinitas.
Sementara itu, pH menunjukkan korelasi negatif dengan densitas
larva (Rao dkk., 2011)
Aedes aegypti adalah vektor yang paling efisien untuk berperan
sebagai arbovirus karena bersifat sangat antropofilik, sering
menggigit, dan tumbuh subur di dekat manusia (World Health
Organization, 2009). Menurut de Figuiredo (2012) dan Knudsen
(1995), Ae. aegypti dan Ae. albopictus betina yang terinfeksi dapat
menularkan virus ke generasi berikutnya secara transovarial
(Knudsen, 1995; de Figueiredo, 2012). Ae. aegypti dewasa lebih
suka beristirahat di dalam rumah dan mencari darah manusia pada
siang hari (Gubler, 1998). Puncak periode menggigit terjadi pada
awal pagi hari dan sebelum gelap pada malam hari (World Health
Organization, 2012; Gubler, 1998). Sebagian besar Ae. aegypti betina
menghabiskan hidup mereka di sekitar rumah pemukiman (World
Health Organization, 2009). Pada periode epidemi, virus dengue
akan terus dibawa dalam siklus penularanAe. aegypti-manusia-Ae.
aegypti (Gubler, 1998). Setelah terjangkit virus dengue, nyamuk tetap
akan terinfeksi selama hidupnya dan dapat menularkan virus selama
makan darah (de Figueiredo, 2012).
Berdasarkan Gopalakrishnan dkk. (2013) dan Thangamathi
(2014), upaya melawan demam dengue selalu menemui jalan buntu
karena kurangnya pengetahuan dan tenaga kerja terlatih, kurangnya
partisipasi masyarakat, dan praktik pembuangan limbah yang
buruk oleh penduduk. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai
faktor ekologis, seperti karakteristik habitat perkembangbiakan
nyamuk, sangat penting karena terkait erat dengan karakteristik
biologi nyamuk, dan pada akhirnya dapat memperbaiki program
pengelolaan vektor (Gopalakrishnan dkk., 2013; Nagamani,
Thangamathi, Ananth, Gnanasoundrai, & Lavanya, 2014).

Key Container dan ... | 95


C. KEPADATAN VEKTOR DENGUE DI WILAYAH ENDEMIS:
JAWA BARAT
Sebagai daerah dengan kasus DBD tertinggi, kegiatan pengendalian
vektor telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Pembentukan juru pemantau jentik (jumantik) di berbagai kabupaten
kota merupakan salah satu contohnya. Sampai tahun 2016, angka
bebas jentik (ABJ) secara nasional belum mencapai target program
95%. ABJ pada 2016 hanya sebesar 67,6% (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2017) yang artinya masih banyak rumah dengan
jentik di dalamnya.
Beberapa penelitian di Jawa Barat yang membahas tentang
kontainer sudah pernah dilakukan. Dalam penelitian Hodijah
Prasetyowatil, & Marina di Kota Sukabumi tahun 2015, dilaporkan
bahwa Aedes spp. ditemukan di lingkungan permukiman dan di
tempat-tempat umum dari fase telur, larva, pupa, hingga dewasa.
Berdasarkan tata guna lahan, Aedes spp. yang ditemukan di
permukiman sebanyak 36,8% dan 23,5% di tempat-tempat umum.
Bak mandi merupakan jenis kontainer yang paling dominan terdapat
Aedes spp., dari 216 kontainer yang ada, didapatkan 36 positif Aedes
spp. (Hodijah dkk., 2015). Tempat umum yang memiliki risiko tinggi
sebagai tempat penularan DBD—terutama pada anak-anak—adalah
sekolah. Hal ini terjadi karena tidak adanya pihak yang bertanggung
jawab membersihkan penampungan air sehingga banyaknya
kontainer di lingkungan sekolah yang positif larva (Pranoto, 1995).
Penelitian Riandi, Ipa, & Hendri di lima kelurahan wilayah
Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya pada 2012 menunjukkan
bahwa terdapat 24 jenis kontainer dengan total 4251 buah. Jumlah
kontainer positif larva sebanyak 193 buah (4,5%) dengan jenis
kontainer terbanyak bak (111), dispenser (52), kulkas (14), ember (5),
akuarium (2), drum (2), tempat minum burung (2), guci air (1), kolam
(1), dan tempayan (1). Dari total jumlah kontainer positif larva yang
ditemukan, hanya dua kontainer ditemukan di luar ruangan rumah,
selebihnya ditemukan di dalam rumah. Selain itu, didapatkan nilai
indeks rumah (HI) selama empat bulan dari Juli hingga Oktober 2011,

96 | Dengue Update: Menilik ...


yaitu 14,6%; 8,8%; 6,4%; dan 5,6%. Nilai indeks kontainer (CI), yaitu
8,1%; 4,3%; 3,0%; 2,7%. Nilai Breteau Index (BI), yaitu 16,2%; 9,2%;
6,6%; 5,8% (Riandi dkk., 2012). Berdasarkan hasil penelitian Fuadzy
di Kawalu tahun 2015, Tasikmalaya menunjukkan House Index (HI)
sebesar 24,9; Container Index (CI) 9,05; Breteau Index (BI) 29,07;
dan Density Figure (DF) 4. Penelitian ini menunjukkan bahwa larva
Ae. aegypti umumnya ditemukan di bak mandi penduduk (Fuadzy &
Hendri, 2015).
Hasil penelitian Kursianto tahun 2017 menunjukkan bahwa
Sumedang menghasilkan data HI sebesar 31,3%; CI sebesar 14,5%; BI
sebesar 40,3; dan PI sebesar 5,1%. Berdasarkan nilai HI, CI, dan BI,
didapatkan nilai density figure (DF) 4,7. Nilai tersebut masuk dalam
kategori kepadatan sedang. Penelitian ini menunjukkan bahwa jenis,
bahan, warna, letak, kondisi penutup wadah, pencahayaan matahari,
volume, dan sumber air berhubungan erat dengan keberadaan larva
Ae. aegypti. Hasil analisis multivariat menunjukkan karakteristik
habitat yang berisiko terhadap keberadaan larva Ae. aegypti.
Karakteristik tersebut adalah volume air kontainer yang lebih dari
20 Liter (OR=2,54) dan letak kontainer di dalam rumah (OR=2,98).
Analisis maya indeks menunjukkan kategori sedang, yakni sebesar
89,75% (Kursianto, 2017).
Cara yang biasa digunakan dalam penelitian tentang kontainer
potensial adalah perhitungan menggunakan Maya Indeks (MI).
Maya Indeks merupakan pendekatan kuantitatif untuk melihat
apakah suatu area berisiko menjadi tempat perkembangbiakan
larva atau tidak (Danis-Lozano, Rodríguez, & Hernández-Avila,
2002). Analisis maya indeks juga dilakukan oleh Dhewantara dan
Dinata, hasilnya menunjukkan bahwa jenis kontainer yang dominan
dipakai oleh masyarakat Kota Banjar adalah tempayan tanah liat
(15,52%), bak air (14,35%), pot bunga (48,47%), dan penampung air
pada dispenser (7%). Larva Aedes sp. banyak ditemukan di bak air
(48,57%) dan penampung air pada dispenser (22,86%). Sementara
itu, ada beberapa jenis disposable container yang paling banyak

Key Container dan ... | 97


ditemukan larva di dalamnya, yaitu botol bekas (35,3%) dan kaleng
bekas (26,1%) (Dhewantara & Dinata, 2015). 
Pada penelitian Widawati tahun 2016, tempat perkembangbiakan
nyamuk di rumah-rumah digambarkan oleh adanya controllable
container dan disposable container. Penelitian ini menunjukkan
bahwa mayoritas rumah di Kota Serang berpotensi untuk menjadi
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes. Berdasarkan analisis
Maya Indeks (MI) dan indeks kepadatan larva, Kota Serang
digolongkan menjadi kategori rendah. Penelitian di kota Serang ini
menunjukkan bahwa masyarakat lebih banyak memiliki controllable
container dibandingkan dengan disposable container. Oleh karena
itu, tingkat perkembangbiakan larva pun lebih dominan ada di
controllable container (Widawati, Wahono, & Yuliasih, 2016).
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan budaya,
umumnya masyarakat di Indonesia lebih banyak memilih untuk
memakai kontainer air yang dapat terus dipakai dibandingkan
dengan kontainer sekali buang (Sitio, 2008; Dhewantara & Dinata,
2015).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah disebutkan,
sebagian besar key container yang ditemukan di beberapa wilayah
di Jawa Barat adalah bak mandi. Menurut Zuhriyah, bak mandi
dan tangki/ember penampung air untuk memasak merupakan
kontainer yang umum dimiliki oleh masyarakat perkotaan dan
perdesaan. Penutupan yang tidak tepat menyebabkan dua kontainer
ini menjadi tempat perkembangbiakan larva Ae. aegypti (Zuhriyah,
Habibie, & Baskoro, 2012). Bak mandi berpotensi besar sebagai
tempat perkembangbiakan jentik Aedes karena volumenya lebih
besar dibandingkan dengan tempat yang lain (Ramdja, Anwar,
& Waiman, 2000). Selain itu, masyarakat sering terlambat untuk
membersihkannya minimal seminggu sekali. Bak mandi juga
merupakan tempat perindukan strategis bagi nyamuk Ae. aegypti
karena biasanya hanya sedikit memperoleh cahaya matahari
(Purnama & Baskoro, 2012).

98 | Dengue Update: Menilik ...


Penelitian Widawati dkk. pada 2016 juga mengungkapkan hal
yang serupa. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bak mandi dan
ember merupakan kontainer yang paling banyak dimiliki masyarakat
Serang. Namun, dibandingkan dengan ember, lebih banyak larva
yang terdapat di bak mandi. Hal ini karena volume bak mandi
yang lebih besar dari ember sehingga frekuensi masyarakat untuk
membersihkan bak mandi pun tidak sesering ember (Widawati
dkk., 2016). Berdasarkan hasil tersebut, pengendalian vektor di Kota
Serang harus ditekankan pada kontainer-kontainer di dalam rumah,
seperti bak mandi. Ember dapat digunakan sebagai pengganti bak
mandi. Namun, masyarakat perlu membersihkan dan menyikat
ember dengan teratur dan sering mengingat adanya kemungkinan
telur yang menempel di dinding ember (Widawati dkk., 2016).
Keberadaan bak mandi sebagai key container juga didapatkan
dari hasil penelitian-penelitian yang lain. Pada penelitian-penelitian
di Jrakah dan Mijen (Semarang), Surgi Mufti (Banjarmasin), dan
Tawang (Tasikmalaya), bak mandi juga menjadi kontainer yang
paling banyak ditemukan larva Ae. Aegypti (Zubaidah, Setiadi, &
Akbari, 2014; Riandi dkk., 2012; Adriawan 2006; Lubabul, 2015).
Beda tempat dan lingkungan tentunya menyebabkan perbedaan
key container yang digunakan. Adakalanya kontainer yang sedikit
ditemukan memiliki presentase kontainer positif jentik yang tinggi.
Kontainer yang jarang ditemukan, tetapi memiliki produktivitas
tinggi disebut rare but extremly productive container (REPC).
Kontainer REPC perlu diperhatian lebih karena produktivitasnya
yang tinggi dan selama ini memang kurang diperhatikan (Focks &
Chadee, 1997).
Key container di setiap daerah berbeda-beda bergantung kondisi
daerah tersebut. Di Kota Cilegon dan Kota Serang, bak mandi
merupakan key container, sementara di Kota Tangerang Selatan, key
container-nya adalah ember (Prasetyowati dkk., 2018). Perbedaan
key container disebabkan oleh pola penyimpanan air di masing
masing wilayah berbeda. Masyarakat di daerah tertentu masih
menggunakan bak mandi dengan ukuran besar untuk menampung

Key Container dan ... | 99


air dari sumur gali. Masyarakat di daerah permukiman yang tidak
tertata juga masih banyak yang menggunakan bak mandi. Kondisi
ini akan berbeda dengan masyarakat di daerah lain, terutama
perkotaan, yang sudah banyak beralih ke ember untuk penampungan
air sehari-hari. Pasokan air untuk keperluan sehari-hari penduduk
yang memang kurang lancar menyebabkan sebagian masyarakat
menggunakan banyak ember untuk menampung air dalam waktu
lama dan lalai membersihkannya. Hal ini dapat memperbesar
peluang perkembangan jentik Aedes sp. menjadi nyamuk dewasa
(Permadi, 2013). Di beberapa daerah, menampung air bersih juga
tetap dilakukan walaupun aliran air di daerah tersebut lancar. Hal
tersebut karena menyimpan air dalam kontainer sudah menjadi
suatu kebiasaan yang membudaya (Nagao dkk., 2003).

D. POTENSI KEY CONTAINER DALAM PENGENDALIAN


VEKTOR
Keberadaan kontainer di sekitar masyarakat membuat nyamuk
Aedes berpotensi untuk berkembang biak. Oleh karena itu, di
daerah endemis DBD, keberadaan nyamuk Aedes di sekitar
tempat tinggal perlu dikendalikan agar penularan DBD di daerah
tersebut dapat dihentikan. Berdasarkan penelitian sebelumnya,
sebagian besar jenis kontainer yang ditemukan di wilayah yang di
survei merupakan kontainer yang digunakan sehari-hari sehingga
mudah untuk mengontrol keberadaan jentik Aedes-nya. Namun,
pada kenyataannya, masih ditemukan keberadaan jentik Aedes di
kontainer-kontainer tersebut (Prasetyowati dkk., 2018; Lubabul,
2015; Kursianto, 2017; Zuhriyah dkk., 2012).
Identifikasi key container penting agar pengendalian populasi
vektor DBD di suatu wilayah berjalan tepat sasaran. Kesadaran
lingkungan sudah selayaknya dimiliki oleh warga. Hal ini karena
mencegah dan menanggulangi kejadian DBD bukan hanya tanggung
jawab tenaga kesehatan, melainkan juga membutuhkan peran
serta masyarakat. Kegiatan pemberantasan sarang nyamuk perlu
dilaksanakan secara rutin minimal seminggu sekali, mengingat

100 | Dengue Update: Menilik ...


persentase kepadatan jentik di setiap rumah cukup tinggi. ABJ di
sembilan kelurahan masih jauh dari standar ABJ Nasional. ABJ
digunakan sebagai indikator pengendalian penyakit DBD. Jika ABJ
di suatu daerah rendah, artinya upaya pengendalian DBD di daerah
tersebut rendah. Nilai ABJ yang relatif rendah (kurang dari 95%)
memperbesar peluang terjadinya transmisi virus DBD (Hasyimi,
Sukowati, Kusriastuti, & Muchlastriningsih, 2005).
Menurut Kementerian Kesehatan RI, rendahnya ABJ di Indonesia
terjadi karena sebagian besar puskesmas tidak melaksanakan
kegiatan pemantauan jentik berkala (PJB) secara rutin. Di samping
itu, kegiatan kader jumantik tidak berjalan di sebagian besar wilayah
karena keterbatasan alokasi anggaran di daerah untuk kedua kegiatan
tersebut (Kementerian Kesehatan, 2015). Rendahnya ABJ di wilayah
yang disurvei bukan tanggung jawab jumantik dan tenaga kesehatan
saja, masyarakat pun punya andil besar dalam meningkatkan ABJ
di wilayah mereka. Meningkatkan kebersihan rumah, sekitar
rumah, dan lingkungan sekitar wajib dilakukan masyarakat agar
pengendalian vektor DBD berhasil sehingga DBD di wilayah tersebut
dapat diberantas.

E. PENUTUP
Informasi terkait key container penting untuk disampaikan
kepada masyarakat dan pemerintah. Pengetahuan mengenai key
container dapat digunakan oleh pemerintah daerah setempat
untuk mengadakan intervensi pengetahuan yang berfokus pada
pemberantasan sarang nyamuk. Pengetahuan mengenai key container
juga dapat meningkatkan upaya menghindari timbulnya tempat
perkembangbiakan nyamuk. Karena pentingnya informasi key
container dalam pengendalian DBD, langkah strategis selanjutnya
adalah tindak lanjut oleh pemerintah melalui media promosi yang
tepat.

Key Container dan ... | 101


DAFTAR PUSTAKA
Adriawan, A. (2006). Gambaran vektor demam berdarah dengue ditinjau
dari kepadatan nyamuk dan indeks larva Aedes aegypti di Kelurahan
Jrakah Kecamatan Tugu Kota Semarang. Universitas Dian Nuswantoro
Semarang.
Danis-Lozano, R., Rodríguez, M. H., & Hernández-Avila, M. (2002). Gender-
related family head schooling and Aedes aegypti larval breeding risk in
Southern Mexico. Salud Publica de Mexico, 44(3), 237–242.
Derraik, J. G. B. (2005). Mosquitoes breeding in container habitats in
urban and peri-urban areas in the Auckland Region, New Zealand.
Entomotropica, 20(2), 89–93.
Dhewantara, P. W, & Dinata, A. (2015). Analisis risiko dengue berbasis
maya index pada rumah penderita DBD di Kota Banjar Tahun 2012.
BALABA: Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
Banjarnegara, 11(1), 1­–8.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. (2017). Profil kesehatan Jawa Barat 2016.
Dom, N. C., Ahmad, A. H., & Ismail, R. (2013). Habitat characterization
of Aedes sp. breeding in urban hotspot area. Procedia-Social and
Behavioral Sciences.
Dwinata, I., Baskoro, T., & Indriani, C. (2015). Autocidal ovitrap atraktan
rendaman jerami sebagai alternatif pengendalian vektor DBD di Kab.
Gunungkidul. Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 11 (2),
125–131.
de Figueiredo, R. M. P. (2012). Molecular characterization of dengue virus
circulating in Manaus, the capital city of the state of Amazonas, Brazil.
Dalam A. Rodriguez-Morales (ed.), Current topics in tropical medicine,
pp. 81–90. Rijeka, Croatia: InTech.
Fillinger, U., Sombroek, H., Majambere, S., van Loon, E., Takken, W., &
Lindsay, S.W. (2009). Identifying the most productive breeding sites
for malaria mosquitoes in The Gambia. Malaria journal, 8(1), 62.
Focks, D. A., & Chadee, D. D. (1997). Pupal survey: An epidemiologically
significant surveillance method for Aedes aegypti: An example using
data from Trinidad. American Journal of Tropical Medicine and
Hygiene, 56, 159–167.
Fuadzy, H., & Hendri, J. (2015). Indeks entomologi dan kerentanan larva
Aedes aegypti terhadap temefos di Kelurahan Karsamenak Kecamatan
Kawalu Kota Tasikmalaya. Vektora, 7(2), 57–64.

102 | Dengue Update: Menilik ...


Getachew, D., Tekie, H., Gebre-Michael, T., Balkew, M., & Mesfin, A. (2015).
Breeding sites of Aedes aegypti: potential dengue vectors in Dire Dawa,
East Ethiopia. Interdisciplinary Perspectives on Infectious Diseases. DOI:
10.1155/2015/706276.
Gopalakrishnan, R., Das, M., Baruah, I., Veer, V., & Dutta, P. (2013).
Physicochemical characteristics of habitats in relation to the density of
container-breeding mosquitoes in Asom, India. Journal of vector borne
diseases, 50(3), 215.
Gubler, D. J. (1998). Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clinical
Microbiology Reviews, 11(3), 480–496.
Gunandini, D., & Gionar, Y. (1999). Penentuan status resistensi nyamuk
Aedes aegypti terhadap malation melalui gambaran pola larik DNA
sebagai dasar pengendalian. Laporan Penelitian.
Hadi, U., & Soviana, S. (2010). Ektoparasit pengenalan, diagnosa, dan
pengendaliannya. Bogor: IPB Press.
Hasyimi, M., Sukowati, S., Kusriastuti, R., & Muchlastriningsih, E. (2005).
Situasi vektor demam berdarah saat kejadian luar biasa (KLB)
di Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 15(2), 14–18.
Hidayat, M., Ludfi, S., & Hadi, S. (1997). Pengaruh pH air perindukan
terhadap pertumbuhan dan Perkembangan Aedes aegypti pra-dewasa.
Cermin Dunia Kedokteran, 119, 47–49.
Hodijah, D. N., Prasetyowatil, H., & Marina, R. (2015). Tempat per­
kembangbiakan Aedes spp. sebagai penular virus dengue pada berbagai
tempat di Kota Sukabumi. Jurnal Ekologi Kesehatan, 14(1), 1–7.
Husna, R. N., Wahyuningsih, N. E., & Murwani, R. (2017). Mosquito
breeding place and container index are related to dengue hemorrhagic
fever cases in uptown Semarang.  Advanced Science Letters,  23(7),
6468–6471.
Joharina, A. S., & Widiarti. (2014). Kepadatan larva nyamuk vektor sebagai
indikator penularan demam berdarah dengue di daerah endemis di
Jawa Timur. Jurnal Vektor Penyakit, 8(2), 33–40.
Kementerian Kesehatan. (2015). Profil kesehatan Indonesia 2014. Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Profil kesehatan
Indonesia 2016. Jakarta.

Key Container dan ... | 103


Kementerian Kesehatan RI. (2010). Demam berdarah dengue. Buletin
Jendela Epidemiologi, 2, 48.
Knudsen, A. B. (1995). Global distribution and continuing spread of Aedes
albopictus. Parassitologia, 37(2–3), 91–7.
Kursianto. (2017). Kajian kepadatan dan karakteristik habitat larva Aedes
aegypti di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. IPB.
Lubabul, A. (2015). Hubungan karakteristik kontainer dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti di wilayah endemis dan non-endemis di
Puskesmas Mijen tahun 2015. Udinus.
Maciel-de-Freitas, R., & Lourenço-de-Oliveira, R. (2011). Does targeting
key-containers effectively reduce Aedes aegypti population density?
Tropical Medicine and International Health, 16(8), 965–973.
Nagao, Y., Thavara, U., Chitnumsup, P., Tawatsin, A., Chansang, C., &
Campbell-Lendrum, D. (2003). Climatic and social risk factors for
Aedes infestation in rural Thailand. Tropical Medicine & International
Health, 8(7), 650–659.
Navarro, D. M. A. F., De Oliveira, P. E. S., Potting, R. P. J., Brito, A. C., Fital,
S. J. F., & Sant’Ana, A. G. (2003). The potential attractant or repellent
effects of different water types on oviposition in Aedes aegypti L.(Dipt.,
Culicidae). Journal of Applied Entomology, 127(1), 46–50.
Nofita, E., Rusdji, S. R., & Irawati, N. (2017). Analysis of indicators
entomology Aedes aegypti in endemic areas of dengue fever in Padang,
West Sumatra, Indonesia. International Journal of Mosquito Research,
4(2), 57–59.
Olayemi, I. K., Omalu, I. C. J., Famotele, O. I., Shegna, S. P., & Idris,
B. (2010). Distribution of mosquito larvae in relation to physico-
chemical characteristics of breeding habitats in Minna, north central
Nigeria. Reviews in Infection, 1(1), 49–53.
Oyewole, I. O., Momoh, O. O., Anyasor, G. N., Ogunnowo, A. A., Ibidapo,
C. A., Oduola, O. A., Obansa, J. B., & Awolola, T. S. (2009). Physico-
chemical characteristics of Anopheles breeding sites: impact on
fecundity and progeny development. African Journal of Environmental
Science and Technology, 3(12), 447–452.
Permadi, I. G. W. D. S. (2013). Kontainer larva Aedes sp. di Desa Saung
Naga, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan tahun 2012.
Aspirator, 5(1), 16–22.

104 | Dengue Update: Menilik ...


Piyaratne, M. K., Amerasinghe, F. P., Amerasinghe, P. H., & Konradsen,
F. (2005). Physico-chemical characteristics of Anopheles culicifacies
and Anopheles varuna breeding water in a dry zone stream in Sri
Lanka. Journal of Vector Borne Diseases, 42(2), 61.
Pranoto, M. A. (1995). Kajian tempat perindukan vektor dengan pengetahuan
dan sikap masyarakat terhadap penyakit demam berdarah dengue di
Kota Batam. Jakarta: Depkes RI.
Prasetyowati, H., Ipa, M., & Widawati, M. (2018). Pre-adult survey to
identify the key container habitat of Aedes aegypti (L.) in dengue
endemic areas of Banten Province, Indonesia. The Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health, 49(1), 23–31.
Purnama, S. G., & Baskoro, T. (2012). Maya index and density of larva Aedes
aegypti Dengue Infection. Makara Kesehatan, 16(2), 57–64. Diakses
22 Januari 2019 dari http://journal.ui.ac.id/index.php/health/article/
viewFile/1630/1360.
Ramdja, M., Anwar, C., & Waiman, S. (2000). Pengaruh frekuensi
pemberian darah manusia terhadap kemampuan bertelur nyamuk
demam berdarah Aedes aegypti. Majalah Kedokteran Sriwijaya, 32(1).
Rao, B. B., Harikumar, P. S., Jayakrishnan, T., & George, B. (2011).
Characteristics of Aedes (Stegomyia) albopictus Skuse (Diptera:
Culicidae) breeding sites.  Southeast Asian J. Trop. Med. Public
Health, 42(5), 1077–82.
Rao, B. B. (2010). Larval habitats of Aedes albopictus (Skuse) in rural areas
of Calicut, Kerala, India. Journal of Vector Borne Diseases, 47(3), 175–7.
Riandi, M. U., Ipa, M., & Hendri, J. (2012). Sebaran jentik nyamuk Aedes
spp di Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya. Dalam Rumusan Strategi
Kesehatan dan Pertanian dalam Percepatan Pengentasa Kemiskinan
Menuju Tercapainya Target MDGs 2015.
Sayono. (2008). Pengaruh modifikasi ovitrap terhadap jumlah nyamuk
Aedes yang terperangkap (Tesis, Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro, Semarang).
Sitio, A. (2008). Hubungan perilaku tentang pemberantasan sarang nyamuk
dan kebiasaan keluarga dengan kejadian demam berdarah dengue
di Kecamatam Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2008 (Tesis,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang).
Soedarmo, S. P. (1988). Demam berdarah (dengue) pada anak. Jakarta: UI-
Press.

Key Container dan ... | 105


Soulsby, E. J. L. (1968). Helminths, arthropods and protozoa of domesticated
animals. Seventh edition. Dalam Sixth edition of Monnig’s veterinary
helminthology and entomology.
Nagamani, S., Thangamathi., P., Ananth, S., Gnanasoundrai, A., & Lavanya,
M. (2014). Seasonal variations and physicochemical characteristics of
the habitats in relation to the density of dengue vector Aedes aegypti
in Thanjavur, Tamil Nadu, India. International Journal of Science and
Nature, 5(2), 271–276.
Thomson, R. C. M. (1938). The reactions of mosquitoes to temperature and
humidity. Bulletin of Entomological Research, 29(2), 125–140.
Umar, A., & Don Pedro, K. (2008). The effects of pH on the larvae of
Ae. aegypti and Cx. quinquefasciatus. International Journal Pure
Application Science, 2, 58–62.
Widawati, M., Wahono, T., & Yuliasih, Y. (2016). Tingkat pendidikan
keluarga tidak berasosiasi dengan risiko tempat perkembangbiakan
potensial nyamuk Aedes aegypti: kasus di Kota Serang.  Aspirator-
Jurnal Penelitian Penyakit Tular Vektor, 8(2), 87–92.
World Health Organization. (2009). Dengue: guidelines for diagnosis,
treatment, prevention, and control. Geneva, Switzerland.
World Health Organization (WHO). (2018). Dengue and severe dengue.
Fact sheet, 13 September 2018. Diakses 13 September 2018 dari https://
www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail.
World Health Organization (WHO). (2012). Global strategy for dengue
prevention and control 2012–2020. Geneva, Switzerland.
Wurisastuti, T. (2013). Perilaku bertelur nyamuk Aedes aegypti pada media
air tercemar. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia, 2 (1).
Zubaidah, T., Setiadi, G., & Akbari, P. (2014). The Aedes sp larvae density
on container inside and outside the house in Kelurahan Surgi Mufti
Banjarmasin. Epidemology and Zoonosis Journal, 5(2), 95–100.
Zuhriyah, L., Habibie, I,. & Baskoro, A. (2012). The key container of Ae.
aegypti in rural and urban Malang, East Java, Indonesia. Health and the
Environment Journal, 3(3), 51–58.

106 | Dengue Update: Menilik ...


Bab 7
Kerentanan Nyamuk Vektor
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Terhadap Insektisida di Jawa Barat:
Mekanisme Umum dan Status Terkini
Joni Hendri

A. INSEKTISIDA DAN RESISTENSI VEKTOR DBD


Nyamuk merupakan serangga vektor yang selalu menimbulkan
masalah jika kontak dengan manusia. Banyaknya penyakit yang dapat
ditularkan oleh nyamuk, seperti malaria, demam berdarah, filariasis,
dan japanese encephalitis, memacu para peneliti untuk menemukan
cara pengendalian yang tepat. Salah satu caranya adalah dengan
memutus rantai penularan menggunakan insektisida. Mengacu
pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1973, insektisida
adalah zat kimia dan bahan lainnya, jasad renik, serta virus yang
digunakan untuk memberantas atau mencegah binatang yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia. Insektisida yang digunakan
untuk mengendalikan vektor penyakit dan hama di permukiman
(dalam hal ini nyamuk) disebut insektisida kesehatan masyarakat
(Ditjen PP dan PL, 2012).
Insektisida telah digunakan oleh manusia sejak 1.000 tahun
sebelum Masehi. Pada awalnya, insektisida yang digunakan adalah
insektisida alami, misalnya penggunaan belerang untuk fumigasi
atau penggunaan empedu kadal untuk melindungi apel dari
serangan hama cacing dan pembusukan. Insektisida buatan secara
terbatas digunakan sejak Perang Dunia II pada 1940. Pada waktu
itu, yang digunakan adalah bahan arsenik, oli petroleum, piretrum,
rotenon, gas sianida, dan kriolit. Sejak saat itu, muncul pemahaman

| 107
baru tentang konsep kontrol serangga dengan menggunakan bahan
kimia sintesis, yakni dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT).
DDT merupakan insektisida sintesis pertama yang dibuat sebagai
pengendali serangga (Ware & Whitacre, 2006).
Penggunaan insektisida secara terus-menerus, baik terhadap
nyamuk maupun terhadap lingkungan sekitar, mengarah pada
bahaya resistensi, termasuk terhadap serangga vektor seperti
nyamuk. Menurut WHO (2012), resistansi merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan situasi ketika vektor tidak dapat
dibunuh oleh dosis standar insektisida atau berhasil menghindari
kontak dengan insektisida melalui fenomena evolusi. Sementara itu,
menurut Insecticide Resistance Action Committee (IRAC) (2015),
resistensi adalah meningkatnya sensitivitas populasi hama terhadap
insektisida/pestisida, ditandai dengan kegagalan berulang suatu
produk dalam mencapai tingkat pengendalian yang diharapkan
ketika diaplikasikan berdasarkan dosis anjuran. Perbedaan kedua
definisi tersebut terletak pada penentuan dosis paparan. WHO
merekomendasikan sesuai dengan dosis standar insektisida,
sedangkan IRAC berdasarkan dosis yang dikeluarkan produsen
insektisida.
WHO menyatakan bahwa status resistansi dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu molekuler, fenotipik, dan kegagalan pengendalian.
Resistansi molekuler didasarkan pada adanya bukti perubahan
gen yang berhubungan dengan sifat resistansi yang diperoleh anak
dari induknya. Tingkat resistansi dapat diketahui berdasarkan
individu vektor yang memiliki gen resistan serta frekuensinya
dalam populasi serangga uji. Resistansi fenotipik diukur dengan
melihat kematian vektor melalui tes kerentanan terhadap dosis
standar insektisida. Dengan demikian, dapat diperoleh informasi
mengenai pembentukan kemampuan strain serangga dalam
menoleransi dosis standar insektisida yang menyebabkan kematian
jika dipaparkan pada serangga yang sama. Resistansi berdasarkan
kegagalan pengendalian dapat disimpulkan berdasarkan fenomena
epidemologi atau dalam hal ini resistansi diidentifikasi sebagai

108 | Dengue Update: Menilik ...


penyebab meningkatnya kasus. Suatu wilayah menegakkan status
resistansi setelah terbukti ada kegagalan pengendalian vektor di
lapangan. Bidang pertanian biasanya mengadopsi seperti metode
ini. Namun, dalam pengendalian serangga yang terkait dengan
kesehatan masyarakat, pengendalian serangga metode terakhir ini
tidak digunakan. WHO beranggapan bahwa pengendalian serangga
vektor harus secepatnya dan bukan menunggu setelah adanya bukti
kegagalan pengendalian (WHO, 2012).
Sejak dilaporkan pertama kali oleh Melander pada 1914,
resistansi menjadi perhatian para peneliti. Para peneliti pun terus
mempublikasikan status resistansi tersebut, bahkan insektisida
DDT yang saat itu dianggap sebagai solusi diduga telah mengalami
penurunan aktivitas karena sudah tidak ampuh (IRAC, 2015). Di
Indonesia, insektisida sudah sejak lama digunakan. Sebagai contoh,
DDT dilaporkan telah digunakan pada 1945 oleh pemerintah Belanda
sebagai pengendali nyamuk di Jawa Barat (Alfiah, 2011). Sementara
itu, organofosfat dan piretriod sintetik telah digunakan sejak 1970-
an dan 1980-an (Ahmad, Astari, & Tan, 2007). Berdasarkan latar
belakang tersebut, status kerentanan nyamuk vektor demam berdarah
dengue (DBD) di Indonesia menarik untuk dikaji lebih jauh.
Artikel ini menggambarkan status kerentanan vektor DBD
di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Bagian awal artikel ini
mendeskripsikan mekanisme terjadinya resistansi pada nyamuk
vektor DBD. Dengan mengetahui status terkini dan mekanisme
resistansi insektisida, para pelaku pengendalian vektor diharapakan
dapat menentukan insektisida yang digunakan, khususnya di
Provinsi Jawa Barat.

B. SISTEM FISIOLOGIS SERANGGA SEBAGAI TITIK TARGET


Sebelum mencermati mekanisme resistansi insektisida dalam tubuh
nyamuk vektor DBD, ada baiknya terlebih dahulu memahami secara
umum bagian sistem fisiologis mana yang menjadi titik target
dari insektisida. Menurut Ditjen P2 dan PL (2012), insektisida
memberikan pengaruhnya melalui titik tangkap yang dimiliki

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 109


serangga, yang biasanya berupa enzim atau protein. Cara seperti
ini disebut juga mode of action. Insektisida juga dapat masuk ke
dalam tubuh serangga melalui berbagai tempat, seperti kutikula, alat
pencernaan, atau sistem pernapasan. Cara seperti ini disebut juga
mode of entry. Kedua model ini (mode of action dan mode of entry)
berhubungan dengan sistem fisiologis tubuh nyamuk. Secara umum,
insektisida dirancang untuk dapat memengaruhi tiga sistem fisiologis
serangga, yaitu sistem saraf, perkembangan dan pertumbuhan, serta
metabolisme dan produksi energi.

1. Sistem Saraf
Sistem saraf terbagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf perifer
dan sistem saraf pusat (Brown, 2013). Sistem saraf perifer merupakan
sistem saraf yang menangkap dan mentransmisikan sinyal yang
datang seperti rasa, bau, suara, ataupun sentuhan. Sistem saraf pusat/
central nervous system (CNS) ialah sistem yang menginterpretasikan
sinyal dan mengoordinasikan respons dan gerakan tubuh. Pada
serangga, sistem ini berbentuk serangkaian ganglia atau saraf yang
dikemas secara khusus.
Berdasarkan sistem koordinasinya, sel saraf (neuron) akan
saling terhubung dengan sel saraf lainnya dan memiliki jarak
pemisah yang disebut synapse dalam merespons sinyal yang datang.
Jika terdapat sinyal (seperti bau makanan), sinyal tersebut akan
ditransformasikan melalui sistem muatan partikel elektrik (electrical
charge) yang akan memenuhi seluruh neuron. Muatan partikel/ion
tersebut akan melalui sebuah saluran yang terdapat di membran
neuron. Neuron yang telah dipenuhi muatan elektrik pembawa sinyal
akan merangsang keluarnya pesan kimiawi yang disebut dengan
neurotransmiter, untuk kemudian dilepaskan ke dalam synapse.
Neurotransmiter akan melalui synapse dan ditangkap oleh neuron
lainnya melalui pengikatan pada reseptor dan terjadi terus-menerus
sehingga pesan diinterpretasikan oleh sistem saraf pusat. Melalui
cara yang sama, hasil interpretasi akan diterima oleh sistem saraf
perifer sehingga otot atau tubuh dapat merespons pesan tersebut
(Brown, 2013).

110 | Dengue Update: Menilik ...


Beberapa titik dalam sistem saraf menjadi target insektisida.
Insektisida dapat mengganggu wilayah membran neuron yang
terdapat banyak salurannya (channel). Beberapa channel (seperti
sodium channels, potassium channels, calcium channels, dan chloride
channels) memiliki gerbang yang bisa menutup atau terbuka terhadap
respons stimulus (Brown, 2013). Seperti diketahui, insektisida DDT
memengaruhi voltage-gate sodium channel (VSGC) pada sistem saraf
perifer sehingga neuron bereaksi spontan dan mengakibatkan otot
seperti terkejut dan mengakibatkan tremor. Selain DDT, insektisida
jenis piretroid juga mampu membuat efek kejut dengan memodifikasi
VSGC. Bedanya adalah insektisida ini bekerja pada kedua sistem
saraf (baik pusat maupun perifer) dan efek yang ditimbulkan lebih
jelas, bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan otot (Davies, Field,
Usherwood, & Williamson, 2007). Sementara itu, insektisida seperti
Avemectins dan Milbemycin bekerja dengan cara memengaruhi
chloride channel (Wolstenholme & Rogers, 2005).
Insektisida juga dirancang untuk mengganggu fungsi
neurotransmiter. Sama seperti manusia, serangga juga memiliki
beberapa tipe neurotransmiter yang fungsinya berbeda dengan
sistem saraf. Acetylcholine (ACh) dan gamma-aminobutyric acid
(GABA) merupakan neurotransmiter penting yang menjadi terget
insektisida. ACh dapat bersifat merangsang atau menghambat
target neuron, sedangkan GABA akan menghentikan impuls saraf
ketika aktif di dalam synaps (Brown, 2013). Insektisida organofosfat
(seperti malation dan temefos) serta insektisida karbamat (seperti
bendiocarb dan propoksur) merupakan insektisida yang bekerja
sebagai acetylcholinesterase (AChE) inhibitor (Ditjen PP & PL,
2012; Brown, 2013). Dalam proses normal, setelah ACh melalui
synaps dan ditangkap oleh reseptor, ACh lepas dari reseptor dan
kembali ke keadaan semula sehingga diperlukan bantuan enzim
AChE. Insektisida jenis organofosfat dan karbamat bekerja melalui
pengikatan enzim tersebut sehingga terjadi overstimulasi sistem
saraf karena ACh terus melekat pada reseptor dan mengakibatkan
kematian serangga target (Brown, 2013).

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 111


Insektisida lainnya yang memiliki mode of action pada ACh
adalah neonikotinoid, seperti imidacloprid, nitenpyram, thiacloprid,
dan thiamethoxam (Tomizawa & Casida, 2005; Simon-Delso dkk.,
2015). Neonikotinoid merupakan insektisida pengendali serangga
pertanian yang cukup banyak digunakan di Eropa (Main dkk., 2014).
Cara kerjanya hampir sama dengan organofosfat dan karbamat,
yakni menimbulkan efek overstimulus pada sistem saraf. Bedanya,
neonikotinoid bukan mengikat AChE, melainkan meniru ACh
sehingga dapat ditangkap oleh reseptor (Tomizawa & Casida, 2005;
Brown, 2013). Berbeda dengan ketiga jenis insektisida yang telah
disebutkan, cyclodiene—yang termasuk golongan organoklorin—
bekerja dengan menghambat fungsi GABA pada chloride channel
sehingga terjadi hipereksitasi sistem saraf pusat dan mengarah pada
kematian serangga (Bloomquist, 1993). Hal ini sedikit berbeda
dengan yang dilakukan oleh bifenazate. Insektisida ini bekerja
dengan cara meniru GABA sehingga gerbang channel menutup dan
impuls saraf tidak bisa melewatinya (Brown, 2013).

2. Sistem Perkembangan dan Pertumbuhan


Terdapat dua hormon penting yang membantu dalam pertumbuhan
dan perkembangan serangga seperti nyamuk, yaitu hormon molting
/ecdysteroids dan hormon juvenile (Sullivan, 2000). Pestisida
dirancang dengan memanfaatkan mekanisme ini sebagai target
aksinya. Sebagai contoh, pyriproxyfen menargetkan fungsi hormon
juvenile. Insektisida ini tergolong insect growth regulators (IGRs)
dengan bahan aktif senyawa yang meniru hormon juvenile. Hormon
juvenile adalah hormon yang memiliki efek morfogenetik, seperti
pematangan tubuh dan organ internal serta pembentukan dan
pewarnaan kutikula.
Dalam perkembangan larva, hormon juvenile harus rendah
pada saat tertentu sehingga memberi kesempatan hormon
lainnya (ecdysteroids) berperan dalam perkembangan pupa dan
persiapan fase pada dewasa. Hormon tersebut kemudian muncul
dan meningkat kembali pada fase dewasa serta berperan dalam
proses reproduksi serangga (Adame, 2003). Hormon tiruan dalam

112 | Dengue Update: Menilik ...


insektisida pyriproxyfen yang menetap pada fase larva akan
menyebabkan kekacauan bentuk dan pertumbuhan serangga dewasa
karena menghambat kemunculan hormon ecdysteroids. Efikasi lab
ataupun semi-lapangan untuk menguji insektisida tersebut pernah
dilakukan terhadap vektor DBD dengan hasil yang cukup baik
(Ohba dkk., 2013; Suman, Wang, Dong, & Gaugler, 2013; Doud dkk.,
2014). Di Indonesia, insektisida ini juga pernah diujicobakan pada
vektor DBD dengan hasil yang cukup menjanjikan (Akbar, Istiana,
& Al Haudah, 2014).
Selain membuat senyawa tiruan, sistem perkembangan
dan pertumbuhan dapat juga dimanfaatkan untuk mendesain
insektisida lainnya yang memiliki mode of action berbeda.
Insektisida benzoylphenyl urea, seperti novaluron, memiliki bahan
aktif yang dapat menghambat pembentukan kitin (chitin synthesis
inhibitors/CSIs) dengan mekanisme yang belum sepenuhnya
jelas (Cutler & Scott-Dupree, 2007). Kitin sangat penting sebagai
komponen pembentukan kutikula pada serangga (Merzendorfer,
2006). Dihambatnya komponen penting dalam pembentukan dan
pematangan kutikula pada larva, seperti pada proses pergantian
kulit, akan mengarah pada kematian serangga tersebut (Cutler &
Scott-Dupree, 2007). Uji coba lapangan insektisida ini terhadap
Culex mendapatkan hasil efikasi yang cukup baik (Tawatsin dkk.,
2007).

3. Metabolisme dan Produksi Energi


Seperti halnya manusia, serangga memiliki sistem metabolisme
dengan proses yang sangat kompleks dan melibatkan organ
serta enzim tertentu. Beberapa insektisida memiliki kemampuan
mencegah agar nyamuk tidak mendapat asupan makanan. Bahan
aktif dari pohon mimba (Azadirachta indica A.Juss), yakni
Azadirachtin, merupakan salah satu insektisida yang dapat mencegah
agar nyamuk tidak mendapat asupan makanan (antifeedant). Selain
itu, bahan aktif tersebut juga berpengaruh terhadap reproduksi dan
pertumbuhan serangga (Mordue & Nisbet, 2000). Beberapa uji efikasi

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 113


pohon mimba terhadap fase akuatik nyamuk telah banyak dilakukan
dengan hasil yang bervariasi (Indrawati, Kasmara, & Ratnaningsih,
2000; Kasmara, 2004; Suirta, Puspawati, & Gumiati, 2007; Wahyudi,
Priyo, Fidellia, & Andriyani, 2008; Handayani, Roskiana, & Karim,
2013).
Produksi energi dalam bentuk adenosine triphosphate (ATP)
merupakan hasil dari proses panjang yang melibatkan tahapan
penting, di antaranya proses fosforilasi oksidasi dan transfer elektron.
Terdapat insektisida yang memanfaatkan mekanisme tersebut
untuk dapat melumpuhkan serangga. Insektisida organoklorin
tipe alifatik, seperti dicofol, merupakan insektisida yang memiliki
sistem kerja penghambatan transfer elektron sehingga ATP tidak
dapat diproduksi. Sementara itu, cyhexatin (insektisida organotin)
memiliki mode of action melalui penghentian atau penghambatan
proses fosforilasi oksidasi pada pembentukan ATP (Brown, 2013).

C. MEKANISME RESISTANSI VEKTOR DBD


Pada dasarnya, nyamuk memiliki daya adaptasi yang cukup baik
terhadap berbagai kondisi lingkungan (Shockman, 2015). Hal ini
memungkinkan nyamuk melakukan modifikasi genetik sehingga
meningkatkan daya tahan terhadap bahaya yang mengancam,
termasuk terhadap paparan insektisida melalui mekanisme resistansi.
Selain melalui paparan langsung oleh insektisida tertentu, resistansi
juga terjadi akibat adanya bahan toksik lainnya yang terdapat di
lingkungan serangga (Poupardin dkk., 2012; Nkya, Akhouayri,
Kisinza, & David, 2013). Menurut Clark dan Yamaguchi (2001),
secara umum terdapat empat mekanisme resistansi yang dilakukan
oleh nyamuk. Pertama, metabolisme xenobiotic. Dalam mekanisme
ini, meningkatnya pelepasan enzim tertentu atau terbentuknya enzim
baru mampu menurunkan kemampuan insektisida (detoksifikasi),
seperti cytochrome P450 monooxygenase (CTYP450), esterase, dan
glutathione S-transferase (GST). Kedua, memodifikasi situs target
insektisida. Dalam mekanisme ini, ada perubahan struktur molekul
reseptor yang menjadi target insektisida sehingga tidak terjadi
ikatan dengan molekul bahan aktif insektisida yang mengarah pada

114 | Dengue Update: Menilik ...


menurunnya sensitivitas serangga terhadap insektisida. Modifikasi
reseptor umumnya dapat ditemui pada gen yang berhubungan
dengan fisiologi sistem saraf serangga, seperti pada ace (gen
pengkode enzim asetilkolinesterase), gen GABA, khususnya pada
alel kdl (resistant to dieldrin) dan gen VSGC khusunya pada alel
kdr (knockdown resistance). Ketiga, perubahan toksikokinetik
insektisida. Dalam mekanisme ini, terjadi perubahan kemampuan
organ serangga sehingga dapat menurunkan penyerapan insektisida
atau meningkatkan jumlah pengeluaran insektisida dari dalam tubuh.
Sebagai contoh, adanya modifikasi kutikula dapat menurunkan
tingkat penetrasi dari insektisida sehingga jumlah insektisida yang
diserap menurun. Mekanisme keempat adalah kebiasaan, misalnya
perubahan kebiasaan makan atau penurunan jumlah konsumsi.

Sumber: Nkya dkk. (2013)


Gambar 7.1 Mode of Action Syntetic Pyrethriod (SP) dan mekanisme
resistansi nyamuk terhadap insektisida tersebut.

Mekanisme metabolisme xenobiotic melalui munculnya gen


yang mengekspresikan enzim detoksifikasi serta enzim lainnya
merupakan mekanisme umum yang terjadi di samping mekanisme
perubahan reseptor target insektisida (Hemingway, Hawkes,
McCarroll, & Ranson, 2004; Lapied, Pennetier, Apaire-Marchais,

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 115


Licznar, & Corbel, 2009). Walaupun tidak seefektif mekanisme
lainnya, toksikokinetik dan perubahan kebiasaan telah teridentifikasi
secara luas pada berbagai insektisida sebaran dan bersinergi dengan
mekanisme lainnya (Clark & Yamaguchi, 2001). Berdasarkan hasil
penelusuran pustaka, diperoleh informasi berbagai mekanisme
resistansi vektor DBD terhadap beberapa insektisida (Tabel
7.1). Dengan mengidentifikasi hasil tersebut, diketahui bahwa
mekanisme over-ekspresi enzim detoksifikasi bukanlah mekanisme
tunggal yang terjadi dalam proses resistensi insektisida. Perubahan
situs target juga banyak ditemukan pada individu nyamuk vektor
DBD dengan adanya mutasi pada titik tertentu dari gen target.
Hal ini memunculkan dugaan bahwa ada sinergisme antara kedua
mekanisme atau ada multi mekanisme resistansi dari nyamuk vektor
DBD dalam merespons tekanan insektisida.
Aponte, Penilla, Rodríguez, dan Ocampo (2018) menyimpulkan
bahwa mekanisme mutasi gen kdr dan munculnya enzim GST
(mekanisme xenobiotic) terdeteksi pada nyamuk yang resistan
terhadap insektisida golongan piretroid. Adanya dugaan multi
mekanisme resistansi juga terdapat pada beberapa penelitian lainnya
(Estep dkk., 2017; Seixas dkk., 2017; Francis dkk., 2017; Viana-
Medeiros, Bellinato, & Valle, 2018). Selain dua mekanisme tersebut,
mekanisme penghambatan psikokinetik insektisida dan perubahan
kebiasaan perlu diperhitungkan. Dari tinjauan berbagai penelitian di
Thailand, diperoleh informasi adanya perubahan kebiasaan vektor
DBD yang disertai resistansi fisik, seperti munculnya mutasi pada
gen kdr dan rdl (Chareonviriyaphap dkk., 2013).
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang terangkum dalam
Tabel 7.1, diketahui bahwa terdapat mekanisme resistansi yang serupa
baik antartipe maupun antargolongan insektisida. Berdasarkan
perubahan situs target (modifikasi situs target), mutasi yang terjadi
pada posisi basa ke-1534 gen VSGC (kdr) dari fenilalanin menjadi
sistein (F1534C) umumnya ditemukan pada insektisida golongan
piretroid, baik tipe I maupun tipe II. Mutasi juga ditemukan pada
posisi basa 1016 dari valin menjadi glisin (V1016G) atau valin

116 | Dengue Update: Menilik ...


menjadi isoleusin (V1016I). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian
Moyes dkk., (2017) untuk nyamuk dari Asia, Amerika, dan Afrika.
Selain itu, mutasi F1534C juga ditemukan pada nyamuk vektor
DBD yang resistan terhadap DDT. Sementara itu, publikasi yang ada
mengenai insektisida golongan lainnya masih terbatas dan mutasi
yang terjadi masih cukup spesifik berdasarkan situs targetnya.
Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa mutasi
V1016G lebih sering ditemukan. Penelitian di Yogyakarta
menyimpulkan bahwa mutasi V1016G memiliki korelasi tinggi
dengan nyamuk yang resistan terhadap piretroid tipe I dan tipe II,
sedangkan F1534C hanya memiliki korelasi lemah dengan piretroid
tipe I saja (Wuliandari dkk., 2015). Penelitian yang dilakukan di
Banjarmasin menyimpulkan bahwa V1016G memiliki hubungan
yang signifikan dalam resistansi vektor DBD terhadap permetrin,
dan sebaliknya, keberadaan mutasi F1534C tidak memiliki korelasi
dengan individu nyamuk resisten terhadap permetrin (Hamid dkk.,
2018). Selain itu, ditemukan juga mutasi V410L pada nyamuk yang
resistan terhadap permetrin dan deltametrin (Haddi dkk., 2017);
mutasi S989P pada nyamuk yang resistan terhadap deltametrin dan
α-sipermetrin (Wuliandari dkk., 2015; Sayono dkk., 2016) serta
mutasi L1014F untuk nyamuk yang resistan terhadap sipermetrin
(Widiarti dkk., 2012).

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 117


Tabel 7.1 Mekanisme Resistensi Insektisida Pada Vektor DBD
Perubahan Situs target Metabolisme/
Situs Detoksifikasi
Insektisida
Target Gen Molekular (Overproduksi
Enzim/Protein)
Piretriod Sintetik
Permetrin Sodium Kdr Mutasi: CYTP450 (Lin dkk.,
channel D1794Y (Chang dkk., 2009; 2013; Rajatileka dkk.,
Lin dkk., 2013). 2008; Aponte dkk.,
V1023G (Chang dkk., 2009; 2018)
Lin dkk., 2013) GST (Lin dkk., 2013;
F1552C (Yanola dkk., 2010), Rajatileka dkk., 2008
V1016G (Rajatileka dkk., ; Aponte dkk., 2018)
2008; Hamid dkk., 2017; ESTERASE (Arief,
Fernando dkk., 2018; Islami 2000; Flores dkk.,
dkk., 2018; Hamid dkk., 2018) 2005; Lin dkk., 2013;
V1016I (Saavedra-Rodriguez Rajatileka dkk., 2008
dkk., 2007; Linss dkk., 2014; ; Eka Putra dkk.,
Aponte dkk., 2013; Alvarez 2016; Widiastuti
dkk., 2015; Collet dkk., 2016; & Ikawati, 2016;
Kasai dkk., 2014); Maestre- Aponte dkk., 2018)
Serrano dkk., 2018; Aponte ALDHs (Lumjuan
dkk., 2018; Estep dkk., 2018; dkk., 2014; Somwang
Islami dkk., 2018) dkk., 2011)
F1534C (Harris dkk., 2010; MFO (Astari &
Linss dkk., 2014; Kushwah Ahmad, 2005; Eka
dkk., 2015; Kasai dkk., 2014); Putra dkk., 2016)
Plernsub dkk., 2016; Fernando
dkk., 2018; Aponte dkk., 2018;
Estep dkk., 2018)
T1520I (Kushwah dkk., 2015)
S989P (Kasai dkk., 2014;
Fernando dkk., 2018)
V410L (Haddi dkk., 2017;
Hamid dkk., 2017; Saavedra-
Rodriguez dkk., 2018)

118 | Dengue Update: Menilik ...


Perubahan Situs target Metabolisme/
Situs Detoksifikasi
Insektisida
Target Gen Molekular (Overproduksi
Enzim/Protein)
Deltametrin Sodium Kdr Mutasi: ESTERASE
channel V1016G (Marcombe dkk., (Jagadeshwaran
2009; Stenhouse dkk., & Vijayan, 2009);
2013; Ghiffari dkk., 2013); Aponte dkk., 2018)
Wuliandari dkk., 2015; G6PD
Widiastuti dkk., 2015; (Jagadeshwaran &
Plernsub dkk., 2016; Al Vijayan, 2009)
Nazawi dkk., 2017; Fernando CYTP450
dkk., 2018) (Jagadeshwaran &
V1016I (Aponte dkk., 2018) Vijayan, 2009); Xu
F1534C (Alvarez dkk., 2015); dkk., 2018; Aponte
Plernsub dkk., 2016; Al dkk., 2018)
Nazawi dkk., 2017; Fernando GST (Xu dkk., 2018;
dkk., 2018; Aponte dkk., Aponte dkk., 2018)
2018)
S989P (Wuliandari dkk.,
2015; Plernsub dkk., 2016; Al
Nazawi dkk., 2017; Fernando
dkk., 2018)
I1532T (Xu dkk., 2016)
F1534S (Xu dkk., 2016)
V410L (Haddi dkk., 2017;
Saavedra-Rodriguez dkk.,
2018)
Lamda Sodium Kdr Mutasi: ESTERASE
sihalotrin channel V1016I (Maestre-Serrano (Santacoloma Varón
dkk., 2018; Aponte dkk., dkk., 2010)
2018) MFO (Santacoloma
F1534C (Aponte dkk., 2018) Varón dkk., 2010)
GST (Aponte dkk.,
2018)
Sipermetrin Sodium Kdr Mutasi: MFO (Astari &
channel F1534C (Widiastuti & Ahmad, 2005)
Agustiningsih, 2017; CYTP450(Astuti
Mulyaningsih dkk., 2018) dkk., 2014)
V1016G (Widiastuti &
Agustiningsih, 2017)
L1014F (Widiarti, dkk.,
2012)

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 119


Perubahan Situs target Metabolisme/
Situs Detoksifikasi
Insektisida
Target Gen Molekular (Overproduksi
Enzim/Protein)
α-sipermetrin Sodium Kdr Mutasi:
channel S989P, V1016G dan F1534C
(Sayono dkk., 2016)

Organofosfat
Temefos, AChE ace-1 Mutasi: ESTERASE (Melo-
G119S (Tantely dkk., 2010) Santos dkk., 2010;
Poupardin dkk.,
ace-1 T506T (Hasmiwati dkk., 2014; Ocampo dkk.,
2018) 2011; Grigoraki dkk.,
2015; (Eka Putra
dkk., 2016; Goindin
dkk., 2017; Grigoraki
dkk., 2017)
CYTP450 (Strode
dkk., 2012; Grigoraki
dkk., 2015; Goindin
dkk., 2017)
GST (Melo-Santos
dkk., 2010; Goindin
dkk., 2017)
MFO (Melo-Santos
dkk., 2010; Eka
Putra dkk., 2016)
UDPGTs (Grigoraki
dkk., 2015)

120 | Dengue Update: Menilik ...


Perubahan Situs target Metabolisme/
Situs Detoksifikasi
Insektisida
Target Gen Molekular (Overproduksi
Enzim/Protein)
Malation AChE ace-1 Tidak diketahui ESTERASE (Melo-
Santos dkk., 2010;
Poupardin dkk.,
2014; Ocampo dkk.,
2011; Eka Putra dkk.,
2016; Mulyaningsih
dkk., 2017)
CYTP450 (Strode
dkk., 2012)
GST (Melo-Santos
dkk., 2010)
MFO (Melo-Santos
dkk., 2010; Eka
Putra dkk., 2016)

Karbamat
Propoksur AChE ace Mutasi: GST (Aponte dkk.,
Tdk diketahui (Bisset dkk., 2018)
2006)
Organoklorin
DDT Sodium Kdr Mutasi: GST (Lumjuan dkk.,
channel F1534C (Harris dkk., 2010) 2014)
ESTERASE (Aponte
dkk., 2018)
Dieldrin GABA Rdl Mutasi: -
reseptor A302S (Tantely dkk., 2010)
Siklodin GABA Rdl Mutasi: -
reseptor A885S (Thompson dkk.,
1993)
Neonikotiniod
Imidakloprid - UDPGTs, CYTP450
(Riaz dkk., 2013)

Keterangan: CYTP450 = Cytochrome P450 monooxygenase; GST = glutathione


S-transferase; ALDHs = Aldehyde dehydrogenases; MFO = mixed-function
oxidases; G6PD = Glucose-6-phosphate dehydrogenase; UDPGTs = Glucosyl
transferases; CCEs carboxylesterases; ALPs = Alkaline phophatases; APNs =
Aminopeptidases; kdr = knockdown resistance allel; rdl = Resistance dieldrin Allel;
ace = Acetylcholinesterase gene.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 121


Sumber: Hasil olah data Tabel 7.1
Gambar 7.2 Protein/Enzim yang Teridentifikasi dari Vektor DBD Resistan
terhadap Insektisida

Kondisi yang lebih kompleks teridentifikasi dari enzim


yang berhubungan dengan detoksifikasi insektisida (mekanisme
xenobiotic). Enzim esterase, CYTP450, GST, dan MFO teridentifikasi
pada nyamuk yang resistan terhadap insektisida, baik golongan
piretroid maupun organofosfat yang memiliki mode of action ataupun
situs target berbeda. Selain itu, GST dan esterase juga ditemukan pada
nyamuk yang resistan terhadap insektisida golongan organoklorin.
Sementara itu, pada nyamuk yang resistan terhadap karbamat hanya
ditemukan GST saja (Gambar 7.2).
Dengan mencermati penanda yang muncul dari kedua
mekanisme resistansi tersebut (perubahan situs target dan
metabolisme xenobiotic), setidaknya terdapat dua hal yang patut
diperhatikan. Pertama, adanya vektor DBD yang memiliki resistansi
silang terhadap insektisida tertentu (multiple resistance) sangat
mungkin terjadi. Hal ini karena beberapa penanda mekanisme
resistansi yang ditemukan memiliki kesamaan antarinsektisida baik
antargolongan maupun antartipe dalam satu golongan insektisida.
Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa vektor DBD di Kota

122 | Dengue Update: Menilik ...


Bandung telah mengalami resistansi silang antara permetrin dan
sipermetrin (Ahmad, Astari, & Tan, 2007). Di Sumatra Barat, larva
Aedes aegypti yang mengalami resistansi terhadap temefos dan
malathion, juga resistan terhadap permetrin dan α-sipermetrin
(Hasmiwati & Supargiyono, 2018). Kedua, terlalu dini bila
menyimpulkan bahwa munculnya penanda mekanisme resistansi
insektisida tertentu—terutama berbagai enzim detoksifikasi—
terjadi akibat paparan insektisida yang diujikan. Untuk itu, perlu
dilakukan uji lanjutan dengan insektisida jenis lainnya, terlebih jika
mempertimbangkan adanya tekanan bahan kimia/insektisida sektor
non-kesehatan lainnya yang ada di lingkungan vektor (Poupardin
dkk., 2008; Poupardin dkk., 2012; Nkya dkk., 2013).
Bioinsektisida diduga telah mengalami penurunan daya bunuh
nyamuk, misalnya Bacillus thuringiensis israelensis (Bti). Menurut
Tetreau dkk., (2012), beberapa perubahan pada reseptor toksin
(seperti chaderin, aminopeptidase-N dan alkaline phosphatase
dari midgut serangga) berhubungan dengan resistansi vektor DBD
dengan mekanisme yang belum diketahui. Mekanisme resistansi
terhadap Bti sedikit diperjelas oleh penelitian Després dkk. (2014).
Dalam penelitian tersebut, diperoleh informasi bahwa resistansi Bti
berhubungan dengan perubahan level transkripsi dari enzim yang
terlibat dalam detoksifikasi dan metabolism kitin. Hal ini dibuktikan
dengan perbedaan pola transkripsi dari berbagai enzim yang
bertindak sebagai reseptor toksin Bti, antara nyamuk resistan dan
nyamuk rentan.
Di Jawa Barat, tidak terdapat publikasi yang mengekplorasi
mekanisme resistansi vektor DBD. Satu-satunya yang terlaporkan
adalah ditemukannya enzim CYTP450 pada nyamuk yang resistan
terhadap sipermetrin (Astuti, Ipa, & Pradani, 2014). Namun, seperti
yang sudah dikemukakan, hasil ini masih perlu dibuktikan lebih
lanjut karena tidak dilakukan seleksi insektisida lainnya. Di Kota
Depok terlaporkan adanya aktivitas enzim esterase non-spesifik
pada nyamuk yang diuji dengan malation. Namun, secara umum
disimpulkan bahwa vektor DBD di wilayah tersebut masih rentan

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 123


terhadap malation (Santya, Ipa, Delia, & Santi, 2008). Dengan
demikian, beberapa mekanisme resistansi insektisida yang telah
dikemukakan, terutama yang terdapat di Indonesia, bisa dijadikan
bahan rujukan mekanisme resistansi di Jawa Barat.

D. SEBARAN VEKTOR DBD RESISTAN DI JAWA BARAT


Hasil penelusuran pustaka menggambarkan bahwa ada vektor DBD
yang resistan terhadap berbagai jenis insektisida di 11 kabupaten/
kota (41%) di Jawa Barat. Berdasarkan data tersebut, Kota Bandung
merupakan wilayah dengan jenis dan konsentrasi insektisida
terbanyak (21%) (Gambar 7.3).

A B

Sumber: Arief (2000); Astari dan Ahmad (2005); Sinta dkk. (2006); Ahmad, Astari,
dan Tan, (2007); Pradani dkk. (2011); Fuadzy dan Hendri (2015); Kuspujianty dkk.
(2015); Fuadzy dkk. (2015); Lokalitbang P2B2 Ciamis (2015); Mantolu dkk. (2016);
Hidayati (2016); Sulistyorini (2016); Sinaga dkk. (2016); Putra dkk. (2016); Fuadzy
dkk. (2017); Amelia-Yap dkk. (2018); Trisna dkk. (2018); Haziqah-Rashid dkk.
(2018).
Gambar 7.3 (A) Sebaran keberadaan (terpublikasi) vektor DBD resistan
terhadap berbagai insektisida berdasarkan kabupaten/kota di Jawa Barat;
(B) Sebaran jenis dan konsentrasi insektisida berdasarkan kabupaten/kota
dengan status resistensi vektor DBD (11 kabupaten/kota).

124 | Dengue Update: Menilik ...


Terdapat 15 jenis insektisida dari tiga golongan insektisida
yang sudah tidak efektif mengendalikan vektor DBD di beberapa
wilayah Jawa Barat. Dari 15 jenis tersebut, malation merupakan
jenis insektisida terbanyak yang ditemukan, yakni 20,69%, disusul
temefos dan permetrin masing-masing 18,97% (Tabel 7.2).

Tabel 7.2 Sebaran jenis insektisida berdasarkan golongannya yang


terlaporkan sudah tidak efektif mengendalikan vektor DBD di 11 kabupaten/
kota di Jawa Barat.
Golongan (%)
Jenis Insektisida
Karbamat Organofosfat Organoklorin Piretroid
Bendiocarb 3,45% - - -
Bromofos - 1,72% - -
D-aletrin - - - 3,45%
DDT - - 1,72% -
Deltametrin - - - 6,90%
Dieldrin - - 1,72% -
Fention - 1,72% - -
Klopirifos - 1,72% - -
Lamdasihalotrin - 1,72% - 3,45%
Malation - 20,69% - -
Metoflutrin - - - 1,72%
Permetrin - - - 18,97%
Sipermetrin - - - 10,34%
Temefos - 18,97% - -
Transflutrin - - - 1,72%
TOTAL 3% 47% 3% 47%
Sumber: Arief (2000); Astari dan Ahmad (2005); Sinta dkk. (2006); Ahmad, Astari,
dan Tan, (2007); Pradani dkk. (2011); Fuadzy & Hendri (2015); Kuspujianty dkk.
(2015); Fuadzy dkk. (2015); Lokalitbang P2B2 Ciamis (2015); Mantolu dkk. (2016);
Hidayati (2016); Sulistyorini (2016); Sinaga dkk. (2016); Putra dkk. (2016); Fuadzy
dkk. (2017); Amelia-Yap dkk. (2018); Trisna dkk. (2018); Haziqah-Rashid dkk.
(2018).

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 125


Dari semua jenis insektisida tersebut, ditemukan sebanyak
29 konsentrasi insektisida berbeda yang tersebar di 11 kabupaten/
kota. Hampir seluruh uji status resistansi vektor DBD ditentukan
menggunakan metode WHO (menggunakan “tabung susceptible”),
baik untuk uji nyamuk dewasa maupun jentik; hanya satu yang tidak
menggunakan metode WHO, yakni menggunakan botol sebagai
pengganti “tabung susceptible”, seperti dikemukakan oleh Centers for
Disease Control and Prevention (CDC). Beberapa jenis insektisida
rumah tangga yang berbentuk coil (spiral) juga sudah tidak efektif
lagi dalam mengendalikan vektor DBD di Kabupaten Kuningan.
Vektor DBD yang resistan terhadap malation ditemukan di semua
kabupaten/kota yang terindikasi memiliki vektor resistan, kecuali di
Kota Cimahi, Kabupaten Kuningan, dan Kota Bekasi (Gambar 13).
Resistansi nyamuk terhadap insektisida di Indonesia setidaknya
dilaporkan terjadi pada 1959. Saat itu, nyamuk Anopheles yang
diperoleh dari Jawa Tengah dan Yogyakarta terindikasi resistan
terhadap insektisida dieldrin yang merupakan insektisida alternatif
pengganti DDT (Soerono, Davidson, & Nuir, 1965). Kirnowardoyo
(1985) dan Bangs, Anis, Bahang, Hamzah, dan Arbani (1993) juga
melaporkan adanya spesies Anopheles yang resistan terhadap
insektisida di wilayah Indonesia. Saat ini, nyamuk vektor DBD
juga diduga telah resistan terhadap berbagai jenis insektisida di
berbagai wilayah di Indonesia (Mardihusodo, 1995; Brengues dkk.,
2003; Ahmad dkk., 2007; Ahmad dkk., 2009; Widiarti dkk., 2011;
Istiana, Heriyani, & Isnaini, 2012; Ghiffari, Fatimi, & Anwar, 2013;
Sunaryo, Ikawati, Rahmawati, & Widiastuti, 2014; Ikawati, Sunaryo,
& Widiastuti, 2015; Anindita & Kesetyaningsih, 2016; Widjanarko
dkk., 2017; Hamid dkk., 2018). Di Jawa Barat, vektor DBD resistan
mulai terpublikasi pada 2000. Saat itu, malation dan permetrin
terindikasi tidak efektif terhadap nyamuk uji yang diperoleh dari
Ciamis dan Purwakarta (Arief, 2000). Namun, hal ini tidak bisa
dijadikan sebagai patokan awal munculnya vektor DBD resistan
di Jawa Barat mengingat kedua golongan tersebut telah digunakan
sejak 1970-an dan 1980-an di Indonesia (Ahmad dkk., 2007).

126 | Dengue Update: Menilik ...


Hasil penelusuran pustaka menginformasikan bahwa sebagian
besar wilayah di Jawa Barat belum melaporkan adanya vektor DBD
resistan (Gambar 13A). Kondisi ini diduga karena penelitian belum
pernah dilakukan atau ada beberapa data hasil penelitian yang tidak
dapat diakses melalui penelusuran elektronik. Selain itu, ada sebagian
wilayah kabupaten/kota yang melaporkan bahwa insektisida tertentu
masih efektif untuk digunakan. Pada penelitian yang dipublikasi
tahun 2008 di Kota Depok, malation diduga masih bisa digunakan
walaupun secara kimiawi sudah ditemukan enzim detoksifikasi yang
biasa muncul pada mekanisme resistansi vektor (Santya dkk., 2008).
Hakim (2007) juga mengemukakan bahwa vektor DBD masih rentan
terhadap sipermetrin di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Bekasi.
Malation dan temefos (golongan organofosfat) serta sipermetrin
(golongan piretroid) merupakan insektisida yang banyak terlaporkan
sudah tidak efektif di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat. Ketiga
jenis insektisida tersebut sudah lama digunakan sebagai pengendali
vektor DBD dalam program fogging focus. Sayangnya, tidak ditemukan
publikasi sejak kapan Provinsi Jawa Barat menggunakan ketiga
jenis insektisida tersebut. Sebagai perbandingan, Dinas Kesehatan
Jawa Tengah telah menggunakan organofosfat dan piretroid untuk
mengendalikan vektor DBD sejak 1999 (Sayono dkk., 2016).

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 127


128 | Dengue Update: Menilik ...
Keterangan: D = Bahan uji nyamuk dewasa; L= Bahan uji larva; β = Uji susceptibility metode botol oleh CDC; ϕ = Uji insektisda
rumah tangga bentuk coil.
Sumber: (1) Putra dkk. (2016); (2) Amelia-Yap dkk.. (2018); (3) Trisna dkk. (2018); (4) Hidayati (2016); (5) Haziqah-Rashid dkk.
(2018); (6) Sulistyorini (2016); (7) Mantolu dkk. (2016); (8). Sinaga dkk. (2016); (9) Fuadzy dkk. (2017); (10) Kuspujianty dkk.
(2015); (11) Astari dan Ahmad (2005); (12) Ahmad, Astari, dan Tan (2007); (14) Sinta dkk., 2008; (15) Pradani dkk. (2011); (16).
Lokalitbang P2B2 Ciamis (2015); (17) Fuadzy dkk. (2015); (18) Arief (2000).
Gambar 7.4 Peta Status Resistansi Vektor DBD di Jawa Barat
Mengacu pada peta status resistansi tersebut, disarankan agar
monitoring resistansi vektor DBD tidak hanya terfokus pada jenis
insektisida program, tetapi juga insektisida rumah tangga. Hal ini
terbukti dengan adanya insektisida rumah tangga jenis coil yang
sudah tidak efektif lagi terhadap vektor DBD (Gambar 7.4). Sampai
saat ini, informasi tersebut sangat terbatas, khususnya di Jawa Barat.
Hal yang tidak kalah penting adalah pemahaman bahwa status
resistansi tersebut tidak mewakili wilayah administratif secara
keseluruhan, tetapi lebih bersifat local specific. Penelitian pada 2012
menginformasikan bahwa tidak semua kelurahan di Kota Sukabumi
menunjukkan hasil yang resistan terhadap insektisida uji dan sebagian
besar vektor masih toleran (Fuadzy, Hodijah, Jajang, & Widawati,
2015). Dengan demikian, status resistansi tersebut menggambarkan
adanya individu nyamuk yang resistan dalam populasi nyamuk di
wilayah tersebut. Antisipasi diperlukan agar nyamuk resistan tidak
berkembang secara kuantitas maupun cakupan wilayah.
Individu vektor DBD resistan bisa berkembang dan meluas
karena resistansi bisa bersifat “diwariskan.” Trisna, Ahmad, dan
Hariani (2018) menyimpulkan bahwa resistansi permetrin pada
vektor DBD di Bandung berkembang relatif cepat karena adanya
tekanan terus-menerus dan diwariskan secara resesif, autosomal,
serta dikendalikan oleh gen tunggal (monogenik). Jika saat ini vektor
DBD di suatu wilayah dinyatakan masih rentan, besar kemungkinan
dalam waktu yang tidak lama akan ditemukan nyamuk yang resistan.
Penelitian vektor malaria oleh Akiner, Cagler, dan Simsek (2013)
bisa dijadikan rujukan. Dalam penelitian tersebut, kerentanan
vektor dapat berubah dari waktu ke waktu dan dalam tempo yang
relatif singkat. Dalam jangka satu tahun, vektor sudah menunjukkan
penurunan kerentanan yang cukup signifikan. Dengan demikian,
monitoring status kerentanan vektor DBD (serta mekanismenya)
bukan hanya harus dilakukan di wilayah yang belum memiliki
informasi sama sekali, melainkan juga berkelanjutan dilakukan di
seluruh wilayah Jawa Barat.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 129


E. PENUTUP
Vektor DBD di beberapa kota/kabupaten di Jawa Barat telah
mengalami resistansi terhadap insektisida yang banyak digunakan
dalam program pengendalian vektor DBD. Mekanisme resistansi pun
diduga mirip dengan yang terjadi secara umum di Indonesia maupun
di belahan dunia lainnya. Oleh karena itu, para peneliti, akademisi,
ataupun para pelaku pengendalian harus segera memetakan status
resistansi di Jawa Barat, mengingat pemetaan status resistansi
ataupun mekanisme yang terjadi sangat penting dalam menyusun
strategi pengendalian nyamuk vektor DBD.
Penggunaan insektisida tidak mungkin dihentikan, tetapi untuk
menghindari meluasnya vektor resistan, perlu adanya manajemen
resistansi yang baik. Beberapa hal yang bisa dilakukan menurut
WHO adalah (1) rotasi dengan menggunakan insektisida yang
berbeda cara kerjanya—idealnya siklus dua tahunan; (2) intervensi
dilakukan pada nyamuk dewasa dan larva secara bersamaan
dengan insektisida yang memiliki cara kerja yang berbeda pula,
misalnya nyamuk dewasa menggunakan organofosfat dan larva
menggunakan Bti atau IGR; dan (3) menggunakan insektisida yang
memiliki cara kerja berbeda yang diaplikasikan berdasarkan wilayah
geografis, misalnya wilayah A menggunakan piretroid dan wilayah
B menggunakan organofosfat (WHO, 2016). Untuk mempermudah
manajemen resistansi, pemahaman cara kerja masing-masing
insektisida, mekanisme resistansi, dan monitoring resistansi vektor
secara berkala mutlak diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
Adame M. (2003). Juvenile hormones. Dalam F. Resh & R. Carde (eds.),
Encyclopedia of insect (pp. 611–617). Amsterdam: Academic Press.
Ahmad, I., Astari, S., Rahayu, R., & Hariani, N. (2009). Status kerentanan
Aedes aegypti (Diptera:Culicidae) pada tahun 2006–2007 terhadap
malathion di Bandung, Jakarta, Surabaya, Palembang, dan Palu.
Biosfera, 26(2), 82–89.

130 | Dengue Update: Menilik ...


Ahmad, I., Astari, S., & Tan, M. (2007). Resistance of Aedes aegypti
(Diptera: Culicidae) in 2006 to pyrethroid insecticides in Indonesia
and its association with oxidase and esterase levels. Pakistan Journal of
Biological Sciences, 10(20), 3688–3692.
Akbar, A., Istiana, & Al Haudah, N. (2014). Efektivitas peroksifen terhadap
larva Aedes aegypti yang diambil dari wilayah Banjarmasin Timur.
Berkala Kedokteran Jurnal Kedokteran & Kesehatan, 10(1), 41–48.
Akiner, M., Cagler, S., & Simsek, M. (2013). Yearly changes of insecticide
susceptibility and possible insecticide resistance mechanisms of
Anopheles maculipennis (Diptera: Culicidae) in Turkey. Acta Tropica,
126, 280–285.
Alfiah, S. (2011). Dikloro difenil trikloroetan (DDT). Vektora, III(2), 149–
156.
Alvarez, L. C., Ponce, G., Saavedra-Rodriguez, K., Lopez, B., & Flores, A.
E. (2015). Frequency of V1016I and F1534C mutations in the voltage-
gated sodium channel gene in Aedes aegypti in Venezuela. Pest
Management Science, 71(6), 863–869.
Al Nazawi, A. M. Aqili, J., Alzahrani, M., McCall, P. J., & Weetman, D.
(2017). Combined target site (kdr) mutations play a primary role in
highly pyrethroid resistant phenotypes of Aedes aegypti from Saudi
Arabia. Parasites and Vectors, 10(1), 1–10.
Ambarita, L. P., Taviv, Y., Budiyanto, A., Sitorus, H., & Pahlepi R. I. F. (2015).
Tingkat kerentanan Aedes aegypti (Linn.) terhadap malation di
Provinsi Sumatra Selatan. Buletin Penelitian Kesehatan, 43(2), 97–104.
Amelia-Yap, Z. H., Chen, C. D., Sofian-Azirun, M., Lau, K. W., Suana, I.
W., Harmonis, ... Low, V. L. (2018). Efficacy of mosquito coils: cross-
resistance to pyrethroids in Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) from
Indonesia. Journal of Economic Entomology, 111(6), 2854–2860
Anindita, R., & Kesetyaningsih, T. W. (2016). Deteksi resistensi larva Aedes
aegypti dengan uji biokimia berdasarkan aktivitas enzim esterase di
Kabupaten Bantul DIY. Mutiara Medika, 7(2), 88–94.
Aponte, H. A., Penilla, R. P., Dzul-Manzanilla, F., Che-Mendoza, A., López,
A. D., Solis, F., ... Rodriguez, A. D. (2013). The pyrethroid resistance
status and mechanisms in Aedes aegypti from the Guerrero state,
Mexico. Pesticide Biochemistry and Physiology, 107(2), 226–234.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 131


Aponte, H. A., Penilla, R. P., Rodríguez, A. D., & Ocampo, C. B. (2018).
Mechanisms of pyrethroid resistance in Aedes (Stegomyia) aegypti from
Colombia. Acta Tropica, 191, 146–154.? Diakses pada 8 Januari 2019
dari https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0001706X18313251.
Arief, R. (2000). Uji resistensi Aedes aegypti (L.) dari empat kota di Jawa
Barat terhadap propoksur, malathion, permethrin, dan esbiothrin
(Skripsi ITB, Bandung).
Astari, S., & Ahmad, I. (2005). Uji resistensi dan efek pyperonyl butoxid
sebagai sinergis pada tiga strain nyamuk Aedes aegypti (Linn) (Diptera:
Culicidae) terhadap insektisida permetrin, cypermetrin dan d-aletrin.
Buletin Penelitian Kesehatan, 33(2), 73–79.
Astuti, E. P., Ipa, M., & Pradani, F. Y. (2014). Resistance detection of Aedes
aegypti larvae to cypermethrin from endemic area in Cimahi City
West Java. Aspirator, 6(1), 7–12.
Bangs, M. J., Anis, B. A., Bahang, Z. A., Hamzah, N., & Arbani, P. R. (1993).
Insecticide susceptibility status of Anopheles koliensis (Diptera:
Culicidae) in Northeastern Irian Jaya, Indonesia. Southeast Asian J.
Trop. Med. Public Health, 24(2), 357–356.
Bisset, J., Rodríguez, M. M., & Fernández, D. (2006). Selection of insensitive
acetylcholinesterase as a resistance mechanism in Aedes aegypti
(Diptera: Culicidae) from Santiago de Cuba. Journal of Medical
Entomology, 43(6), 1185–1189.
Bloomquist, J. R. (1993). Toxicology, mode of action and target site-mediated
resistance to insecticides acting on chloride channels. Comparative
Biochemistry and Physiology. Part C: Comparative, 106(2), 301–314.
Brengues, C., Hawkes, N. J., Chandre, F., McCarroll, L., Duchon, S., Guillet,
P., ... Hemingway, J. (2003). Pyrethroid and DDT cross-resistance in
Aedes aegypti is correlated with novel mutations in the voltage-gated
sodium channel gene. Medical and Veterinary Entomology, 17(1), 87–
94.
Brown, A. E. (2013). Pesticide information leaflet no. 43: mode of action
of insecticide and related pest control chemichals for production
agriculture, ornamentals, and turf. Diakses pada 30 Januari 2016 dari
http;//pesticide.umd/products/.

132 | Dengue Update: Menilik ...


Chang, C., Shen, W. K., Wang, T. T., Lin, Y. H., Hsu, E. L., & Dai, S. M. (2009).
A novel amino acid substitution in a voltage-gated sodium channel is
associated with knockdown resistance to permethrin in Aedes aegypti.
Insect Biochemistry and Molecular Biology, 39(4), 272–278.
Chareonviriyaphap, T., Bangs, M. J., Suwonkerd, W., Kongmee, M., Corbel, V.,
& Ngoen-Klan, R. 2013. Review of insecticide resistance and behavioral
avoidance of vectors of human diseases in Thailand. Parasites & Vectors,
6(1), 280. Diakes pada 26 Maret 2015 dari http://parasitesandvectors.
biomedcentral.com/articles/10.1186/1756-3305-6-280.
Clark, J. M., & Yamaguchi, I. (2001). Scope and status of pesticide resistance.
Dalam J. Clark & I. Yamaguchi (eds.), Agrochemical resistance,
extent, mechanism, and detection (p. 22). Washington DC: American
Chemical Society.
Collet, M. L., Frizzo, C., Orlandin, E., Rona, L. D. P., Nascimento, J. C.,
Montano, M. A., .... Wagner, G. (2016). Frequency of the Val1016Ile
mutation on the kdr gene in Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in
south Brazil. Genetics and Molecular Research, 15(4). doi: 10.4238/
gmr15048940.
Cutler, G. C., & Scott-Dupree, C. D. (2007). Novaluron: Prospects and
limitations in insect pest management. Dalam Variety registery (pp.
38–46).
Davies, T. G. E., Field, L. M., Usherwood, P. N. R., & Williamson, M. S.
(2007). DDT, pyrethrins, pyrethroids, and insect sodium channels.
IUBMB Life, 59(3),151–62. Diakses 24 Februari 2015 dari http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17487686.
Després, L., Stalinski, R., Tetreau, G., Paris, M., Bonin, A., Navratil,
V., ... David J. P. (2014). Gene expression patterns and sequence
polymorphisms associated with mosquito resistance to Bacillus
thuringiensis israelensis toxins. BMC Genomics, 15(1), 926.
Ditjen PP dan PL. (2012). Pedoman penggunaan insektisida (pestisida)
dalam pengendalian vektor. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Doud, C. W., Hanley, A. M., Chalaire, K. C., Richardson, A. G., Britch,
S. C., & Xue, R. D. (2014). Truck-mounted area-wide application of
pyriproxyfen targeting Aedes aegypti and Aedes albopictus in Northeast
Florida. Journal of the American Mosquito Control Association, 30(4),
291–297. Diakses 26 Februari 2015 dari http://www.bioone.org/doi/
abs/10.2987/14-6413.1.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 133


Estep, A. S., Sanscrainte, N. D., Waits, C. M., Bernard, S. J., Lloyd, A. M.,
Lucas, K. J., ... Becnel, J. J. (2018). Quantification of permethrin
resistance and kdr alleles in Florida strains of Aedes aegypti (L.) and
Aedes albopictus (Skuse). PLoS Neglected Tropical Diseases, 12(10),
p.e0006544. Diakses 10 Januari 2019 dari https://doi.org/10.1371/
journal. pntd.00.
Estep, A. S., Sanscrainte, N. D., Waits, C. M., Louton, J. E., & Becnel, J. J.
(2017). Resistance status and resistance mechanisms in a strain of
Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) from Puerto Rico. Journal of
Medical Entomology, 54(6), 1643–1648.
Fernando, S. D., Hapugoda, M., Perera, R., Saavedra-Rodriguez, K., Black,
W. C., & De Silva, N. K. (2018). First report of V1016G and S989P
knockdown resistant (kdr) mutations in pyrethroid-resistant Sri
Lankan Aedes aegypti mosquitoes. Parasites & vectors, 11(1), 526.
Diakses 10 Januari 2019 dari https://doi.org/10.1186/s13071-018-
3113–0.
Flores, A. E. Albeldaño-Vázquez,W., Salas, I. F., Badii, M. H., Becerra, H. L.,
Garcia, G. P., ... Beaty. B. (2005). Elevated α-esterase levels associated
with permethrin tolerance in Aedes aegypti (L.) from Baja California,
Mexico. Pesticide Biochemistry and Physiology, 82(1), 66–78.
Francis, S., Saavedra-Rodriguez, K., Perera, R., Paine, M., Black, W. C., &
Delgoda, R. (2017). Correction: Insecticide resistance to permethrin
and malathion and associated mechanisms in Aedes aegypti mosquitoes
from St. Andrew Jamaica. PLoS ONE, 12(8), p.e0179673.
Fuadzy, H., & Hendri, J. (2015). Indeks entomologi dan kerentanan larva
Aedes aegypti terhadap temefos di Kelurahan Kersamenak Kecamatan
Kawalu Kota Tasikmalaya. Vektora, 7(2), 57–64.
Fuadzy, H., Hodijah, D. N., Jajang, A., & Widawati, M. (2015). Kerentanan
larva Aedes aegypti terhadap temefos di tiga kelurahan endemis
demam berdarah dengue Kota Sukabumi. Buletin Penelitian Kesehatan,
43(1), 41–46.
Fuadzy, H., Wahono, T., & Widawati, M. (2017). Susceptibility of Aedes
aegypti larvae against temephos in dengue hemorrhagic fever endemic
area Tasikmalaya City. Aspirator, 9(1), 29–34.
Ghiffari, A., Fatimi, H., & Anwar, C. (2013). Deteksi resistensi insektisida
sintetik piretriod terhadap Aedes aegypti (L.) strain Palembang
menggunakan teknik polymerase chain reaction. Aspirator, 5(2), 37–
43.

134 | Dengue Update: Menilik ...


Goindin, D., Delannay, C., Gelasse, A., Ramdini, C., Gaude, T., Faucon, F.,
... Fourque, F. (2017). Levels of insecticide resistance to deltamethrin,
malathion, and temephos, and associated mechanisms in Aedes aegypti
mosquitoes from the Guadeloupe and Saint Martin islands (French
West Indies). Infectious Diseases of Poverty, 6(1), 38. doi. 10.1186/
s40249-017-0254–x.
Grigoraki, L., Lagnel, J., Kioulos, I., Kampouraki, A., Morou, E, Labbé, P.,
..., Fouque, F. (2015). Transcriptome profiling and genetic study reveal
amplified carboxylesterase genes implicated in temephos resistance,
in the Asian tiger mosquito Aedes albopictus. PLoS Neglected Tropical
Diseases, 9(5), p.e0003771. doi:10.1371/journal.pntd.0003771.
Grigoraki, L., Pipini, D., Labbé, P., Chaskopoulou, A., Weill, M., & Vontas,
J. (2017). Carboxylesterase gene amplifications associated with
insecticide resistance in Aedes albopictus: geographical distribution
and evolutionary origin. PLoS Neglected Tropical Diseases, 11(4),
p.e0005533. https://doi. org/10.1371/journal.pntd.00.
Haddi, K., Tomé, H. V. V., Du, Y., Valbon, W. R., Nomura, Y., Martins, G.
F., ... Oliveira, E. E. (2017). Detection of a new pyrethroid resistance
mutation (V410L) in the sodium channel of Aedes aegypti: A
potential challenge for mosquito control. Scientific Reports, 7, 46549.
doi:10.1038/srep46549.
Hakim, L. (2007). Resistensi nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida
cypermethrin di daerah endemis DBD Jawa Barat. Inside, II(2).
Hamid, P. H., Ninditya, V. I., Prastowo, J., Haryanto, A., Taubert, A., &
Hermosilla, C. (2018). Current status of Aedes aegypti insecticide
resistance development from Banjarmasin, Kalimantan, Indonesia.
BioMed Research International, 2018 (1735358),1–7. https://doi.
org/10.1155/2018/1735358
Hamid, P. H., Prastowo, J., Widyasari, A., Taubert, A., & Hermosilla, C.
(2017). Knockdown resistance (kdr) of the voltage-gated sodium
channel gene of Aedes aegypti population in Denpasar, Bali, Indonesia.
Parasites and Vectors, 10, 283.
Handayani, S., Roskiana, A. A., & Karim, U. K. (2013). Uji aktivitas larvasida
ekstrak terpurifikasi daging buah mimba (Azadirachta indica A. Juss.)
asala Pulau Lombok terhadap Aedes aegypti. As-syifaa, 5(2), 204–2011.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 135


Harris, A., Rajatileka, S., & Ranson, H. (2010). Pyrethroid resistance in
Aedes aegypti from Grand Cayman. Am J. Trop Med Hyg, 83(2), 277–
284.
Hasmiwati, Rusjdi, S. R., & Nofita, E. (2018). Detection of ace-1 gene
with insecticides resistance in Aedes aegypti populations from DHF-
endemic areas in Padang, Indonesia. Biodiversitas, 19(1), 31–36.
Hasmiwati, & Supargiyono. (2018). Short communication: Genotyping of
kdr allele in insecticide resistant-Aedes aegypti populations from West
Sumatra, Indonesia. Biodiversitas, 19(2), 502–508.
Haziqah-Rashid, A., Chen, C. D., Lau, K. W., Low, V. L., Sofian-Azirun, M.,
Suana, I. W., ... Azidah, A. A. (2019). Monitoring insecticide resistance
profiles of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in the Sunda Islands of
Indonesia based on diagnostic doses of larvicides. Journal of Medical
Entomology, 56(2), 514–518.
Hemingway, J., Hawkes, N. J., McCarroll, L., & Ranson, H. (2004). The
molecular basis of insecticide resistance in mosquitoes. Dalam S. Gill
& M. Jindra (eds.), Insect Biochemistry and Molecular Biology (pp. 653–
665).
Hidayati, L. (2016). Status resistensi Aedes aegypti terhadap insektisida dan
hubungan iklim dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota
Sukabumi. Institut Pertanian Bogor.
Ikawati, B., Sunaryo, & Widiastuti, D. (2015). Peta status kerentanan Aedes
aegypti (Linn.) terhadap insektisida cypermethrin dan malathion di
Jawa Tengah. Aspirator, 7(1), 23–28.
Indrawati, I., Kasmara, H., & Ratnaningsih, N. (2000). Toksisistas dan daya
hambat ekstrak biji nimba (Azdirachta indica A. juss) terhadap larva
nyamuk aedes aegypti L.: laporan penelitian, Bandung.
IRAC. (tanpa tahun). Insecticide resistance: Causes and action. Southern
IPM Centre. Diakses pada 25 Januari 2015 dari www.sripmc.org/
IRACMOA/IRMFactSheet.pdf.
Islami, S., Puspa, A., Hidayati, N., Wibowo, H., & Syafruddin, D. (2018).
The role of voltage-gated sodium channel (VGSC) gene mutations
in the resistance of Aedes aegypti L. to pyrethroid permethrin in
Palembang and Jakarta, Indonesia. Preprints, (March), p.2018030070.
doi: 10.20944/preprints201803.0070.v1.

136 | Dengue Update: Menilik ...


Istiana, Heriyani, F., & Isnaini. (2012). Resistance status of Aedes aegypti
larvae to temephos in West Banjarmasin. Epidemology and Zoonois
Journal, 4(2), 53–58.
Jagadeshwaran, U., & Vijayan, V. A. (2009). Biochemical characterization
of deltamethrin resistance in a laboratory-selected strain of Aedes
aegypti. Parasitology Research, 104(6), 1431–1438.
Kasai, S., Komagata, O., Itokawa, K., Shono, T., Ng, L. C., Kobayashi, M., &
Tomita, T. (2014). Mechanisms of pyrethroid resistance in the dengue
mosquito vector, Aedes aegypti: Target site insensitivity, penetration,
and metabolism. PLoS Neglected Tropical Diseases, 8(6). DOI: https://
doi.org/10.1371/journal.pntd.0002948
Kasmara, H. (2004). Toksisitas dan daya hambat ekstrak biji nimba
(Azadirachta indica A. Juss) terhadap larva Aedes aegypti. Biotika
Jurnal Ilmiah Biologi, 32(2). DOI: https://doi.org/10.24198/bjib.
v3i2.273
Kirnowardoyo, S. (1985). Status of Anopheles malaria vectors in Indonesia.
The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health,
16(1), 129–132.
Kushwah, R. B. S., Dykes, C.L., Kapoor, N., Adak, T., & Singh, O. . (2015).
Pyrethroid-resistance and presence of two knockdown resistance
(kdr) mutations, F1534C and a novel mutation T1520I, in Indian
Aedes aegypti. PLoS Neglected Tropical Diseases, 9(1). DOI: https://doi.
org/10.1371/journal.pntd.0003332
Kuspujianty, M. D., Rusmartini, T., & Purbaningsih, W. (2015). Resistensi
malathion 0,8% dan temephos 1% pada nyamuk Aedes Aegypti dewasa
dan larva di Kecamatan Buah Batu Kota Bandung. Prosiding Penelitian
Sivitas Akademika Unisba, 1(2), 156–160. Diakses 10 Januari 2019 dari
http://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/dokter/article/view/1075.
Lapied, B., Pennetier, C., Apaire-Marchais, V., Licznar, P., & Corbel, V.
(2009). Innovative applications for insect viruses: towards insecticide
sensitization. Trends in Biotechnology, 27(4), 190–198.
Lestari, A. H. Y. (2014). Karakteristik tempat perindukan dan status
resistensi larva Aedes spp. terhadap insektisida organophosphat di
daerah demam berdarah dengue di Kecamatan Banguntapan, Bantul,
Daerah Istimewa Yogjakarta. Universitas Gadjah Mada.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 137


Lin, Y-H., Tsen, W-L., Tien, N-Y., & Luo, Y-P. (2013). Biochemical and
molecular analyses to determine pyrethroid resistance in Aedes
aegypti. Pesticide Biochemistry and Physiology, 107(2), 266–276.
Diakses 24 Februari 2015 dari http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/
pii/S0048357513001478.
Linss, J. G. B., Brito, L. P., Garcia, G. A., Araki, A. S., Bruno, R. V., Lima,
J. B. P. ... Martins, A. J. (2014). Distribution and dissemination of the
Val1016Ile and Phe1534Cys Kdr mutations in Aedes aegypti Brazilian
natural populations. Parasites and Vectors, 7(1).
Lokalitbang P2B2 Ciamis. (2015). Pemetaan status kerentanan Aedes
aegypti terhadap insektisida Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan
Aceh: Laporan Penelitian, Pangandaran.
Lumjuan, N., Wicheer, J., Leelapat, P., Choochote, W., & Somboon, P.
(2014). Identification and characterisation of Aedes aegypti aldehyde
dehydrogenases involved in pyrethroid metabolism. PLoS ONE, 9(7).
DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0102746
Maestre-Serrano, R., Pareja-Loaiza, P., Gomez Camargo, D., Ponce-García,
G., & Flores A. E. (2019). Co-occurrence of V1016I and F1534C
mutations in the voltage-gated sodium channel and resistance to
pyrethroids in Aedes aegypti (L.) from the Colombian Caribbean
region. Pest Management Science, 75, 1681–1688. Diakses dari http://
doi.wiley.com/10.1002/ps.5287.
Main, A. R., Headley, J. V., Peru, K. M., Michel, N. L., Cessna, A. J., &
Morrissey, C. A. (2014). Widespread use and frequent detection of
neonicotinoid insecticides in wetlands of Canada’s prairie pothole
region. PLoS ONE, 9(3). DOI: https://doi.org/10.1371/journal.
pone.0092821
Mantolu, Y., Kustiati, Ambarningrum, T. B., Yusmalinar, S., & Ahmad, I.
(2016). Status dan perkembangan resistensi Aedes aegypti (Linnaeus)
(Diptera: Culicidae) strain Bandung, Bogor, Makassar, Palu, dan
VCRU terhadap insektisida permetrin dengan seleksi lima generasi.
Indonesian Journal of Entomology, 13(1), 1–8.
Marcombe, S., Poupardin, R., Darriet, F., Reynaud, S., Bonnet, J., Strode,
C., ... David, J. P. (2009). Exploring the molecular basis of insecticide
resistance in the dengue vector Aedes aegypti: a case study in
Martinique Island (French West Indies). BMC Genomics, 10, 494.

138 | Dengue Update: Menilik ...


Mardihusodo, S. J. (1995). Microplate assay analysis of potential for
organophosphate insecticide resistanse in Aedes aegypti in the
Yogyakarta Municipality, Indonesia. Berkala Ilmu kedokteran,27(2),
71–79.
Melo-Santos, M. A. V., Varjal-Melo, J. J. M., Araújo, A. P., Gomes, T. C. S.,
Paiva, M. H. S., Regis, L. N., ... Ayres, C. F. (2010). Resistance to the
organophosphate temephos: Mechanisms, evolution and reversion in
an Aedes aegypti laboratory strain from Brazil. Acta Tropica, 113(2),
180–189.
Merzendorfer, H. (2006). Insect chitin synthases: a review. Journal of
Comparative Physiology B: Biochemical, Systemic, and Environmental
Physiology, 176(1), 1–15.
Mordue (Luntz) A. J., & Nisbet, A. J. (2000). Azadirachtin from the neem
tree Azadirachta indica: its action against insects. Anais da Sociedade
Entomológica do Brasil, 29(4), 615–632. Diakses 24 Februari 2015
dari http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0301-
80592000000400001&lng=en&tlng=en.
Moyes, C. L., Vontas, J., Martins, A. J., Ng, L. C., Koou, S. Y., Dusfour, I.,
... Weetman, D. (2017). Contemporary status of insecticide resistance
in the major Aedes vectors of arboviruses infecting humans. PLoS
Neglected Tropical Diseases, 11(7), p.e0005625. https://doi.org/
10.1371/journal.pntd.00.
Mulyaningsih, B., Umniyati, S. R., & Hadianto, T. (2017). Detection of
nonspecific esterase activity in organophosphate resistant strain of
aedes albopictus skuse (Diptera: Culicidae) larvae in Yogyakarta,
Indonesia. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public
Health, 48(3), 552–560.
Mulyaningsih, B., Umniyati, S. R., Satoto, T. B. T., Ernaningsih, &
Nugrahaningsih, D. A. A. (2018). Detection of polymorphism on
voltage-gated sodium channel gene of Indonesian Aedes aegypti
associated with resistance to pyrethroids. The Indonesian Biomedical
Journal, 10(3), 250–255.
Mulyatno, K. C., Yamanaka, A., Ngadino, & Konishi, E. (2012). Resistance
of Aedes aegypti (L.) larvae to temephos in Surabaya, Indonesia.
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 43(1),
29–33.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 139


Nkya, T. E., Akhouayri, I., Kisinza, W., & David, J. P. (2013). Impact of
environment on mosquito response to pyrethroid insecticides: Facts,
evidences and prospects. Insect Biochemistry and Molecular Biology,
43(4), 407–416.
Ocampo, C. B., Salazar-Terreros, M. J., Mina, N. J., McAllister, J., & Brogdon,
W. (2011). Insecticide resistance status of Aedes aegypti in 10 localities
in Colombia. Acta Tropica, 118(1), 37–44.
Ohba, S. Y., Ohashi, K., Pujiyati, E., Higa, Y., Kawada, H., Mito, N., Takagi, M.
(2013). The effect of pyriproxyfen as a “population growth regulator”
against Aedes albopictus under semi-field conditions. PLoS ONE, 8(7),
e67045. doi: 10.1371/journal.pone.0067045.
Plernsub, S., Saingamsook, J., Yanola, J., Lumjuan, N., Tippawangkosol, P.,
Sukontason K., Somboon, P. (2016). Additive effect of knockdown
resistance mutations, S989P, V1016G and F1534C, in a heterozygous
genotype conferring pyrethroid resistance in Aedes aegypti in Thailand.
Parasites and Vectors, 9(1), 417.
Poupardin, R., Reynaud, S., Strode, C., Ranson, H., Vontas, J., & David,
J.P. (2008). Cross-induction of detoxification genes by environmental
xenobiotics and insecticides in the mosquito Aedes aegypti: Impact
on larval tolerance to chemical insecticides. Insect Biochemistry and
Molecular Biology, 38(5), 540–551.
Poupardin, R., Riaz, M. A., Jones, C. M., Chandor-Proust, A., Reynaud,
S., & David, J. P. (2012). Do pollutants affect insecticide-driven gene
selection in mosquitoes? Experimental evidence from transcriptomics.
Aquatic Toxicology, 114–115, 49–57.
Poupardin, R., Srisukontarat, W., Yunta, C., & Ranson, H. (2014).
Identification of carboxylesterase genes implicated in temephos
resistance in the dengue vector Aedes aegypti. PLoS Neglected Tropical
Diseases, 8(3), e2743.
Pradani, F. Y., Ipa, M., Marina, R., & Yuliasih, Y. (2011). Status resistensi
Aedes aegypti dengan metode susceptibility di Kota Cimahi terhadap
cypermethrin. Aspirator, 3(1), 18–24.
Purnama, S. G., & Satoto, T. B. T. (2012). Vaktor risiko Infeksi dengue,
pemetaan resitensi dan pemeriksaan transovarial nyamuk Aedes
aegypti di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali.
Universitas Gadjah Mada.

140 | Dengue Update: Menilik ...


Putra, E. R., Ahmad, I., Prasetyo, D. B., Susanti, S., Rahayu, R., & Hariani, N.
(2016). Detection of insecticide resistance in the larvae of some Aedes
aegypti (Diptera: Culicidae) strains from Java, Indonesia to temephos,
malathion and permethrin. International Journal of Mosquito Research
IJMR, 23(33), 23–28. Diakses pada? dari http://www.dipterajournal.
com/vol3issue3/pdf/3-2-4.1.pdf.
Rajatileka, S., Black, W. C., Saavedra-Rodriguez, K., Trongtokit, Y.,
Apiwathnasorn, C., McCall, P. J., Ranson, H. (2008). Development
and application of a simple colorimetric assay reveals widespread
distribution of sodium channel mutations in Thai populations of Aedes
aegypti. Acta tropica, 108(1), 54–57. Diakses 26 Februari 2015 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18801327.
Riaz, M. A., Chandor-Proust, A., Dauphin-Villemant, C., Poupardin, R.,
Jones, C. M., Strode, C, et al. (2013). Molecular mechanisms associated
with increased tolerance to the neonicotinoid insecticide imidacloprid
in the dengue vector Aedes aegypti. Aquatic Toxicology, 126, 326–337.
Saavedra-Rodriguez, K., Maloof, F. V., Campbell, C. L., Garcia-Rejon, J.,
Lenhart, A., Penilla, P., ... Black, W. C. (2018). Parallel evolution of vgsc
mutations at domains IS6, IIS6 and IIIS6 in pyrethroid resistant Aedes
aegypti from Mexico. Scientific Reports, 8(1), 6747. DOI:10.1038/
s41598-018-25222–0.
Saavedra-Rodriguez, K., Urdaneta-Marquez, L., Rajatileka, S., Moulton, M.,
Flores, A. E., Fernandez-Salas, I, ..., Black, W. C. (2007). A mutation
in the voltage-gated sodium channel gene associated with pyrethroid
resistance in Latin American Aedes aegypti. Insect Molecular Biology,
16(6), 785–798.
Varón, L. S., Córdoba B. C., & Brochero, H. L. (2010). Susceptibilidad de Aedes
aegypti a DDT, deltametrina y lambdacialotrina en Colombia. Revista
Panamericaca de Slaud Publica, 27(1), 66–73. Diakses 26 Februari 2015
dari http://iris.paho.org/xmlui/bitstream/handle/123456789/9577/10.
pdf?sequence=1&isAllowed=y
Santya, R. N. R. E., Ipa, M., Delia, T., & Santi, M. (2008). Penentuan status
resistensi Aedes aegypti dari daerah endemis DBD di Kota Depok
terhadap malathion. Buletin Penelitian Kesehatan, 36(2), 20–25.
Sayono, & Nurullita, U. (2015). Situasi terkini vektor dengue [Aedes aegypti
Lin] di Jawa Tengah. Dalam the-2nd university research coloquium
2015, pp. 133–140. Diakses 10 Januari 2019 dari http://jurnal.unimus.
ac.id/index.php/psn12012010/article/view/1580/1632.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 141


Sayono, Hidayati, A. P. N., Fahri, S., Sumanto, D., Dharmana, E.,
Hadisaputro, S. ... Syafruddin, D. (2016). Distribution of voltage-gated
sodium channel (NAV) alleles among the aedes aegypti populations
in central Java province and its aociation with resistance to pyrethroid
insecticides. PLoS ONE, 11(3), p.e0150577. doi:10.1371/journal.
pone.0150577.
Sayono, Syafruddin, D., & Sumanto, D. (2012). Distribusi resistensi nyamuk
Aedes aegypti terhadap insektisida sipermetrin di Semarang. Dalam
Seminar hasil-hasil penelitian, pp. 8–13. Semarang: LPPM UNIMUS.
Seixas, G., Grigoraki, L., Weetman, D., Vicente, J. L., Silva, A. C., Pinto, J.,
..., Sousa, C. A. (2017). Insecticide resistance is mediated by multiple
mechanisms in recently introduced Aedes aegypti from Madeira
Island (Portugal). PLoS Neglected Tropical Diseases, 11(7), p.e0005799.
https://doi.org/10.1371/ journal.pntd.00.
Shockman, E. (2015). Mosquitoes are developing resistance to
insecticides. Diakses pada 21 Agustus 2019 dari https://www.pri.
org/stories/2015-08-04/mosquitoes-are-developing-resistance-
insecticides.
Simon-Delso, N., Amaral-Rogers, V., Belzunces, L.P., Bonmatin, J. M.,
Chagnon, M., Downs, C., ... Long, E. (2015). Systemic insecticides
(Neonicotinoids and fipronil): trends, uses, mode of action and
metabolites. Environmental Science and Pollution Research, 22(1), 5–34.
Sinaga, L. S., Martini, & Saraswati, L. D. (2016). Status esistensi larva Aedes
aegypti (Linnaeus) terhadap temephos (studi di Kelurahan Jatiasih
Kecamatan Jatiasih Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat). Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 4(1), 143–152.
Sinta, Sukowati, S., & Fauziyah, A. (2008). Kerentanan nyamuk Aedes
aegypti di Daerah Khusus Ibukota dan Bogor terhadap insektisida
malathion dan lamdacyhalothrin. Jurnal Ekologi Kesehatan, 7(1), 722–
731.
Sinta, Sukowati, S., Sukirno, M., & Aryati, M. (2006). Uji kerentanan
vektor demam berdarah dengue Aedes aegypti terhadap insektisida
organophosphat dan pyrethriod di delapan kecamatan endemis DBD
di DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Laporan Penelitian,
Jakarta.

142 | Dengue Update: Menilik ...


Soenjono, S. J. (2011). Status kerentanan nyamuk Aedes sp. (Diptera:
Culicidae) terhadap malathion dan aktivitas enzim esterase non-
spesifik di wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan Bandar Udara
Sam Ratulangi Manado. JKL, 1(1), 1–6.
Soerono, M., Davidson, G., & Nuir, D. (1965). The development and trend
of insecticide-resistance in Anopheles aconitus in Indonesia and its
association with oxidase and esterase levels. Bull.Wld.Hlth. Org, 32,
161–168.
Somwang, P., Yanola, J., Suwan, W., Walton, C., Lumjuan, N., Prapanthadara,
L. A., & Somboon, P. (2011). Enzymes-based resistant mechanism
in pyrethroid resistant and susceptible Aedes aegypti strains from
northern Thailand. Parasitology Research, 109(3), 531–537.
Stenhouse, S., Plernsub, S., Yanola, J., Lumjuan, N., Dantrakool, A., &
Choochote, W. (2013). Detection of the V1016G mutation in the
voltage-gated sodium channel gene of Aedes aegypti (Diptera:
Culicidae) by allele-specific PCR assay, and its distribution and effect
on deltamethrin resistance in Thailand. Parasit Vectors, 6(1), 253.
Strode, C., de Melo-Santos, M., Magalhães, T., Araújo, A., & Ayres, C. (2012).
Expression profile of genes during resistance reversal in a temephos
selected strain of the dengue vector, Aedes aegypti. PLoS ONE, 7(8).
DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0039439.
Suirta, I. W., Puspawati, N. M., & Gumiati, N. K. (2007). Isolasi dan
identifikasi senyawa aktif larvasida dari biji mimba (Azadirachta
Indika A. Juss) terhadap larva nyamuk demam berdarah (Aedes
Aegypti). Jurnal Kimia, 1(1), 47–54.
Sulistyorini, E. (2016). Faktor penentu keberadaan larva Aedes Spp. pada
daerah endemis demam berdarah dengue tertinggi dan terendah di
Kota Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Sullivan, J. (2000). California Department of Pesticide Regulation.
Suman, D. S., Wang, Y., Dong, L., & Gaugler, R. (2013). Effects of larval
habitat substrate on pyriproxyfen efficacy against Aedes albopictus
(Diptera: Culicidae). Journal of Medical Entomology, 50(6), 1261–
1266. Diakses 10 Januari 2019 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/24843930.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 143


Sunaryo, Ikawati, B., Rahmawati, & Widiastuti, D. (2014). Status resistensi
vektor demam berdarah dengue Aedes aegypti terhadap malathion
0,8%, Permethrin 0,25% di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekologi
Kesehatan, 13(2), 146–152.
Suwito. (2012). Status kerentanan nyamuk Aedes aegypti (Linn) (Diptera:
Culicidae) terhadap insektisida malathion 5% di Kota Surabaya. Jurnal
Dunia Kesmas, 1(4), 229–235.
Tantely, M. L., Tortosa, P., Alout, H., Berticat, C., Berthomieu, A., Rutee,
A., ... Weill, M. (2010). Insecticide resistance in Culex pipiens
quinquefasciatus and Aedes albopictus mosquitoes from La Réunion
Island. Insect Biochemistry and Molecular Biology, 40(4), 317–324.
Tawatsin, A., Thavara, U., Bhakdeenuan, P., Chompoosri, J., Siriyasatien,
P., Asavadachanukorn, P., & Mulla, M. S. (2007). Field evaluation of
novaluron, a chitin synthesis inhibitor larvicide, against mosquito
larvae in polluted water in urban areas of Bangkok, Thailand. Southeast
Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 38(3), 434–441.
Tetreau, G., Bayyareddy, K., Jones, C. M., Stalinski, R., Riaz, M. A., Paris,
M., .... Després L. (2012). Larval midgut modifications associated
with Bti resistance in the yellow fever mosquito using proteomic and
transcriptomic approaches. BMC Genomics, 13(1), 248.
Thompson, M., Shotkoski, F., & Ffrench-Constant, R. (1993). Cloning and
sequencing of the cyclodiene insecticide resistance gene from the
yellow fever mosquito Aedes aegypti. Conservation of the gene and
resistance associated mutation with Drosophila. Febs Letters, 325(3),
187–190.
Tomizawa, M., & Casida, J. E. (2005). Neonicotinoid insecticide toxicology:
mechanisms of selective action. Annual Review of Pharmacology and
Toxicology, 45, 247–268.
Trisna, M., Ahmad, I., & Hariani, N. (2018). Inheritance of insecticide
resistance to permethrin in Aedes aegypti (Diptera: Culicidae).
International Journal of Entomology Research, 3(2), 91–95.
Viana-Medeiros, P. F., Bellinato, D. F., & Valle, D. (2018). Laboratory
selection of Aedes aegypti field populations with the organophosphate
malathion: Negative impacts on resistance to deltamethrin and to the
organophosphate temephos. PLoS Neglected Tropical Diseases, 12(8),
p.e0006734. https://doi.org/10.1371/ journal.pntd.00.

144 | Dengue Update: Menilik ...


Wahyudi, Priyo, Fidellia, E., & Andriyani, L. (2008). Aktivitas larvasida
ekstrak metanol biji nimba (Azadirachta indica A. Juss) terhadap
nyamuk Aedes aegypti dan larva culex quenquefasciatus. Jurnal
Bahan Alam Indonesia, 6(5). Diakses 24 Februari 2015 dari http://
id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=414772
Ware, D., & Whitacre, D. (2006). An introduction to insecticides (4th edition).
University of Monnesota. Diakses pada 27 Januari 2015 dari http://
ipmworld.umn.edu/chapters/ware.htm.
WHO. (2012). Global plan for insecticide resistance management in malaria
vector (GPIRM). Geneva, Switzerland: WHO Press.
WHO. (2016). Monitoring and managing insecticide resistance in Aedes
mosquito populations Interim guidance for entomologists. Geneva:
WHO Press.
Widiarti, Boewono, D. T., Garjito, T. A., Tunjungsari, R., Asih, P. B. S., &
Syafruddin, D. (2012). Identifikasi mutasi noktah pada “gen voltage
gated sodium channel” Aedes aegypti resisten terhadap insektisida
pyrethriod di Semarang Jawa Tengah. Bulletin Penelitian Kesehatan,
40(1), 31–38.
Widiarti, Heriyanto, B., Boewono, D. T., Mujioni, Lasmiati, & Yuliadi.
(2011). Peta resistensi vektor demam berdarah dengue Aedes aegypti
terhadap insektisida kelompok organofosfat, karbamat dan piretroid
di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogjakarta. Buletin
Penelitian Kesehatan, 39(4), 176–189.
Widiastuti, D., & Agustiningsih. (2017). V1016G and F1534C mutation in
the VGSC gene of cypermethrin resistant Aedes aegypti from Central
Java. Advanced Science Letters, 23(4), 3309–3312.
Widiastuti, D., & Ikawati, B. (2016). Resistensi malathion dan aktivitas
enzim esterase pada populasi nyamuk Aedes aegypti di Kabupaten
Pekalongan. Balaba, 12(2), 61–70. Diakses 11 Januari 2019 dari http://
ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/view/4475.
Widiastuti, D., Sunaryo, Pramestuti, N., & Martini. (2015). Aktivitas enzim
monooksigenase pada populasi nyamuk Aedes aegypti di Kecamatan
Tembalang, Kota Semarang. Vektora, 7(1), 1–6.
Widiastuti, D., Sunaryo, Pramestuti, N., Sari, T. F., & Wijayanti, N. (2015).
Deteksi mutasi V1016G pada gen voltage-gated sodium channel pada
populasi Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) di Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah dengan metode allele-specific PCR. Jurnal Vektora, 7(2), 65–
70.

Kerentanan Nyamuk Vektor ... | 145


Widjanarko, B., Martini, & Hestiningsih, R. (2017). Resistance status of
aedes sp strain from high land in central java, Indonesia, as an indicator
of increasing vector’s capacity of dengue hemorrhagic fever. Annals of
Tropical Medicine and Public Health 10, (1), 71
Wolstenholme, A. J., & Rogers, A. T. (2005). Glutamate-gated chloride
channels and the mode of action of the avermectin/milbemycin
anthelmintics. Parasitology, 131 Suppl, S85–S95.
Wuliandari, J. R., Lee, S. F., White, V. L., Tantowijoyo, W., Hoffmann, A.
A., & Endersby-Harshman, N. M. (2015). Association between three
mutations, F1565C, V1023G and S996P, in the voltage-sensitive
sodium channel gene and knockdown resistance in aedes aegypti from
Yogyakarta, Indonesia. Insects, 6(3), 658–685.
Xu, J., Bonizzoni, M., Zhong, D., Zhou, G., Cai, S., Li, Y., ... Chen, X. G.
(2016). Multi-country survey revealed prevalent and novel F1534S
mutation in voltage-gated sodium channel (VGSC) gene in Aedes
albopictus. PLoS Neglected Tropical Diseases, 10(5), p.e0004696.
doi:10.1371/journal.pntd.0004696.
Xu, J., Su, X., Bonizzoni, M., Zhong, D., Li, Y., Zhou, G., ... Yan, G. (2018).
Comparative transcriptome analysis and RNA interference reveal
CYP6A8 and SNPs related to pyrethroid resistance in Aedes albopictus.
PLoS Negl. Trop. Dis., 12(11), p.e0006828. https://doi.org/10.1371/
journal.pntd.000.
Yanola, J., Somboon, P., Walton, C., Nachaiwieng, W., & Prapanthadara,
L. (2010). A novel F1552/C1552 point mutation in the Aedes aegypti
voltage-gated sodium channel gene associated with permethrin
resistance. Pesticide Biochemistry and Physiology, 96(3), 127–131.
Yanti, S., Oktasari, A., Boewono, D. T., & Hestiningsih, R. (2012). Vector
resistance status of dengue haemorhagic fever (Aedes aegypty) in the
Sidorejo District Salatiga City Against Temephos. Vektora, 4(1), 9–21.

146 | Dengue Update: Menilik ...


Bab 8
Analisis Keruangan Kepadatan
Penduduk Dan Pemukiman
Terhadap Kejadian Demam Berdarah
Dengue (DBD) Di Kota Tasikmalaya
Andri Ruliansyah

A. DEFINISI ANALISIS KERUANGAN


Kota Tasikmalaya termasuk daerah endemis DBD di Provinsi Jawa
Barat. Pada 2017, jumlah kasus DBD sebanyak 298 kasus dan tidak
ditemukan kasus kematian. Jumlah tersebut mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2016, yaitu sejumlah 754 kasus dengan lima
kasus kematian. Tren angka kesakitan dapat dilihat pada Gambar 8.1,
sedangkan kematian akibat DBD selama kurun waktu 2013–2017
dapat dilihat pada Gambar 8.2.
Gambar 8.1 dan 8.2 menunjukkan bahwa kasus DBD di Kota
Tasikmalaya merupakan hal yang masih patut diwaspadai. Adanya
kasus DBD dipengaruhi faktor daerah yang padat penduduk,
kepadatan vektor yang tinggi, dan perilaku masyarakat dalam
pemberantasan sarang nyamuk yang belum optimal.
DBD dapat dengan mudah menyebar melalui nyamuk, bahkan
antarwilayah sehingga kejadian DBD selalu meningkat dan menyebar
secara luas dengan cepat. Oleh karena itu, diperlukan analisis untuk
melihat peranan berbagai faktor yang memengaruhi penyebaran ini,
baik nonspasial maupun spasial. Wilayah yang berdekatan memiliki
hubungan lebih erat dibandingkan dengan yang berjauhan (Anselin,
1999). Begitu pula dengan kejadian DBD yang kemungkinan besar

| 147
memiliki hubungan antarwilayah. Penelitian di Kota Bogor dengan
menggunakan uji statistik indeks Moran, Geary’s Ratio dan ­Chi-
square, menyimpulkan bahwa wilayah yang berdekatan langsung
akan memengaruhi penyebaran penyakit DBD (Yoli, 2007).

Sumber: Dinkes Provinsi Jawa Barat (2014, 2015, 2016, 2017, 2018).
Gambar 8.1 Angka Insiden Demam Berdarah Dengue Kota Tasikmalaya
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013–2017

Sumber: Dinkes Provinsi Jawa Barat (2014, 2015, 2016, 2017, 2018)
Gambar 8.2 Case Fatality Rate Demam Berdarah Dengue Kota Tasikmalaya
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013–2017

148 | Dengue Update: Menilik ...


Analisis spasial dalam manajemen penyakit berbasis wilayah
dapat dirumuskan dalam bentuk uraian dan analisis kejadian penyakit
serta dihubungkan dengan semua data spasial yang menjadi faktor
risiko kesehatan, baik lingkungan maupun faktor sosial ekonomi dan
perilaku masyarakat setempat dalam sebuah wilayah spasial, sebagai
dasar manajemen penyakit atau kajian lebih lanjut. Analisis spasial
dapat menganalisis dua hal sekaligus, yaitu titik atau lokasi sebuah
kejadian dan hubungannya dengan variabel spasial (faktor risiko)
yang mempengaruhi atau berhubungan dengan wilayah spasial atau
permukaan bumi (Achmadi, 2012).
Faktor keruangan atau spasial dapat digunakan sebagai
dasar perencanaan jika diolah menggunakan metode yang tepat.
Analisis spasial pun dapat digunakan dengan mempertimbangkan
berbagai kondisi fisik dan sosial ekonomi suatu wilayah untuk
suatu perencanaan. Risiko kesehatan juga dapat diestimasikan
berdasarkan faktor determinan dengan menggunakan analisis
spasial guna memprioritaskan intervensi dan merumuskan kebijakan
penanggulangan (Wu dkk., 2009).
Pola sebaran dengue awalnya di daerah perkotaan (urban),
tetapi kini mulai merambah ke daerah perdesaan. Berdasarkan
perubahan pola sebaran tersebut, pemanfaatan analisis spasial
diperlukan untuk memahami distribusi dan mengidentifikasi daerah
yang paling terkena dampak dengue. Analisis spasial memungkinkan
visualisasi desa-desa dengan insiden demam berdarah tertinggi
serta eksplorasi pola geografisnya dari waktu ke waktu. Studi-studi
telah menunjukkan bahwa teknik sistem informasi geografis (SIG)
terbukti bermanfaat untuk merancang dan mengimplementasikan
pengawasan dan tindakan pengendalian DBD (Dhewantara,
Ruliansyah, Fuadiyah, Astuti, & Widawati, 2015) Hasil penelitian
di Kecamatan Genuk Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa
kejadian DBD terkonsentrasi di beberapa RW yang dekat dengan
tumpukan ban bekas di sekitar permukiman dan sumur gali terbuka
(Kartika & Pawenang, 2017). Penelitian di Kabupaten Cirebon
mengidentifikasi bahwa sebagian besar desa yang berisiko tinggi

Analisis Keruangan Kepadatan ... | 149


terletak di bagian utara Cirebon dan dekat dengan kota, juga jaringan
jalan utama yang menghubungkan Cirebon dengan Majalengka dan
Indramayu. Kedua wilayah kabupaten ini dikenal sebagai daerah
rawan demam berdarah (Astuti dkk., 2019). Adanya informasi
spasial diharapkan mendukung kemudahan intervensi kebijakan
secara lokal spesifik pada wilayah yang dianggap memiliki risiko
yang lebih besar daripada wilayah yang lain.

B. KEPADATAN PENDUDUK DAN PERMUKIMAN


Kepadatan penduduk merupakan fenomena yang menimbulkan
permasalahan bagi setiap negara pada masa yang akan datang. Hal
ini disebabkan oleh terbatasnya luas bumi dan terbatasnya potensi
sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia,
sementara perkembangan jumlah manusia di dunia tidak terbatas.
Berdasarkan fenomena yang muncul saat ini dan perkiraan masalah
di masa yang akan datang, kepadatan penduduk perlu dikaji secara
lebih mendalam dalam usaha mengantisipasi masalah sosial yang
timbul pada masa kini dan masa yang akan datang (Panjaitan, 2014).
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan
yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal, atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan
dan penghidupan (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992).
Permukiman diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat
tinggal dengan segala unsur serta kegiatan yang berkaitan dan yang
ada di dalam permukiman. Jika perumahan diartikan sebagai wadah
fisiknya, permukiman ialah paduan antara wadah dan isinya, yakni
manusia yang hidup bermasyarakat dan berbudaya. Sementara itu,
prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan
yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi
sebagaimana mestinya (Pranoto, 2007).
Kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor risiko
penularan penyakit DBD. Semakin padat penduduk, semakin
mudah nyamuk Aedes menularkan virusnya dari satu orang ke orang

150 | Dengue Update: Menilik ...


lainnya. Pertumbuhan penduduk yang tidak memiliki pola tertentu
dan urbanisasi yang tidak terencana serta tidak terkontrol merupakan
faktor yang berperan dalam munculnya kembali kejadian luar biasa
penyakit DBD (WHO, 2011).
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, permukiman
juga akan terus berkembang. Peningkatan jumlah penduduk akan
meningkatkan permintaan permukiman dan sarana pendukung,
sementara lahan yang tersedia terbatas. Akibatnya, terjadi kepadatan
permukiman. Kepadatan permukiman yang terus meningkat,
pengelolaan lingkungan perkotaan yang belum optimal, dan
ditunjang oleh kondisi iklim akan mempercepat penyebaran DBD.
Hal ini karena penyebaran populasi nyamuk Aedes sp. erat semakin
marak akibat didirikannya rumah-rumah baru yang dilengkapi
sarana pengadaan dan penyimpanan air untuk keperluan sehari-
hari. Sebuah penelitian tentang analisis tingkat kerawanan penyakit
demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Gondokusuman Kota
Yogyakarta dengan bantuan sistem informasi geografis menyatakan
bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kerawanan
penyakit DBD di Kecamatan Gondokusuman adalah kepadatan
pemukiman. Hasil analisis regresi menunjukan bahwa kepadatan
pemukiman memiliki nilai sumbangan efektif sebesar 19,54%
(Chasanah, 2016).
Sementara itu, jumlah jumlah penduduk di Kota Tasikmalaya
terus mengalami peningkatan tiap tahun. Hal tersebut berpengaruh
terhadap kepadatan penduduk, seperti dapat dilihat pada Gambar
8.3.
Jumlah penduduk di Kota Tasikmalaya yang terus mengalami
peningkatan berimplikasi terhadap kondisi permukiman. Kebutuhan
akan lahan pemukiman semakin meningkat setiap tahun. Hal
tersebut berpengaruh terhadap kepadatan permukiman Kota
Tasikmalaya (Gambar 8.4).

Analisis Keruangan Kepadatan ... | 151


Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya (2014, 2015, 2016, 2017)
Gambar 8.3 Kepadatan Penduduk Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat
Tahun 2013–2017 (per Km2)

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya (2013, 2014, 2015, 2016, 2017)
Gambar 8.4 Kepadatan Pemukiman Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat
Tahun 2013–2018

152 | Dengue Update: Menilik ...


C. KETERKAITAN ANTARA KEPADATAN PENDUDUK DAN
ANGKA KEJADIAN DBD
Kepadatan penduduk turut menunjang penularan penyakit
DBD. Semakin padat penduduk, semakin mudah nyamuk Aedes
menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya. Pertumbuhan
penduduk yang tidak memiliki pola tertentu dan urbanisasi yang
tidak terencana serta tidak terkontrol berperan dalam munculnya
kembali kejadian luar biasa penyakit DBD (WHO, 2011). Namun,
hasil penelitian di Kota Tasikmalaya tidak sejalan pernyataan
tersebut. Berdasarkan uji chi-square untuk mengetahui hubungan
antara kepadatan penduduk dan kejadian DBD, diperoleh nilai
p-value = 0,99 (> 0,05) sehingga tidak ada hubungan antara
kepadatan penduduk dengan kejadian DBD (Ruliansyah, Yuliasih,
Ridwan, & Kusnandar, 2017). Dalam penelitian di Kecamatan
Umbulharjo, Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
daerah yang sering terjangkit DBD bukanlah wilayah dengan
kepadatan penduduk yang tinggi. Saat terjadi kasus DBD, Puskesmas
Umbulharjo langsung melakukan pemantauan epidemiologi ke
rumah penderita, dan jika dalam wilayah tersebut telah terjadi
dua kasus secara beruntun, langsung dilakukan fogging (Setiawan,
Supardi, & Bani, 2017). Hasil penelitian di Puskesmas Umbulharjo
berbeda dengan penelitian spasial DBD yang dilakukan di Malaysia.
Hasil penelitian spasial DBD di Malaysia menyebutkan bahwa faktor
yang paling berpengaruh dalam risiko penularan demam dengue
adalah tipe permukiman, kepadatan populasi, penggunaan lahan,
dan ketinggian (Hazrin dkk., 2016; Dom, Ahmad, Latif, & Ismail,
2016). Studi spasial dengue menggunakan SaTScan di Bangladesh
menunjukkan bahwa penularan spasial temporal DBD di Bangladesh
pada 2000–2002 tersebar secara cluster atau mengelompok, dengan
Kota Dhaka sebagai cluster utama. Beberapa kota lain di Bangladesh
merupakan cluster kedua (secondary cluster) (Banu dkk., 2012).
Faktor kepadatan penduduk memengaruhi proses penularan
atau pemindahan penyakit dari satu orang ke orang lain. Tanpa
adanya upaya pencegahan yang memadai, semakin padat penduduk

Analisis Keruangan Kepadatan ... | 153


menyebabkan semakin kondusifnya perkembangbiakan virus
sehingga mengakibatkan peningkatan kasus DBD (Achmadi, 2012;
Ruliansyah, Gunawan, & Juwono, 2011). Kepadatan penduduk dan
urbanisasi yang tidak terkendali memerlukan perhatian khusus
pemerintah karena hal ini terkait dengan kelayakan hidup manusia.
Oleh sebab itu, diperlukan informasi distribusi penduduk secara
geografis yang memungkinkan pemerintah untuk mengatasi masalah
kepadatan penduduk. Informasi kepadatan penduduk tersebut tentu
sangat berpengaruh terhadap upaya-upaya dalam bidang kesehatan
(Achmadi, 2012). Sebuah penelitian analisis spasial kejadian DBD
di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang
Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah menyimpulkan bahwa
penyebaran DBD menunjukkan pola berkerumun atau cluster,
terutama di kelurahan dengan kepadatan penduduk yang tertinggi.
Sebaran kejadian DBD berdasarkan kepadatan penduduk dengan
analisis buffer menunjukkan bahwa semua kelurahan memiliki
potensi penularan DBD (Kusuma & Sukendra, 2016).
Angka kepadatan penduduk per kecamatan di Kota Tasikmalaya
pada 2011–2015 memiliki jumlah yang bervariasi. Gambar 8.5
menunjukkan bahwa kepadatan penduduk terendah terjadi pada
2011, yakni 1.790,75 jiwa/km2 di Kecamatan Tamansari, sedangkan
yang tertinggi terjadi pada 2013, yakni 13.461,57 jiwa/km2 di
Kecamatan Cihideung. Berdasarkan UU No.56 tahun 1960, suatu
wilayah tergolong sangat padat bila dihuni lebih dari 401 jiwa/km2
(Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1960).
Meskipun memiliki tingkat kepadatan yang sama-sama tinggi,
terdapat perbedaan yang signifikan antara kepadatan Kecamatan
Cihideung dengan Kecamatan Tamansari. Kondisi tersebut
disebabkan oleh perbedaan karakteristik kedua wilayah kecamatan
tersebut. Kecamatan Tamansari tergolong perdesaan, sementara
Kecamatan Cihideung merupakan pusat kota sehingga terjadi
mobilisasi penduduk yang cukup besar ke Kecamatan Cihideung.
Di pusat kota, terdapat faktor penarik masyarakat melakukan
perpindahan ke kota di antaranya kesempatan memperoleh

154 | Dengue Update: Menilik ...


pendidikan yang lebih baik, adanya aktivitas di tempat hiburan dan
pusat kebudayaan, dan adanya harapan memperoleh kesempatan
memperbaiki taraf hidup (Todaro & Smith, 2003).
Kejadian DBD di Kota Tasikmalaya pada 2011–2015 berdasarkan
Gambar 8.6 terdapat di semua wilayah kecamatan, dengan jumlah
angka kejadian DBD bervariasi. Angka kejadian demam berdarah
dengue terendah terjadi pada 2014 dengan IR 0/100.000 penduduk di
Kecamatan Tamansari, sedangkan yang tertinggi pada 2013 dengan
IR 141,54/100.000 penduduk di Kecamatan Tawang.

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya (2013, 2014, 2015, 2016, 2017)
Gambar 8.5 Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Tasikmalaya
Provinsi Jawa Barat Tahun 2011–2015 (per Hektare).

Analisis Keruangan Kepadatan ... | 155


Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya (2013, 2014, 2015, 2016, 2017)
Gambar 8.6 Angka Kesakitan Demam Berdarah Dengue per 100.000
Penduduk per Kecamatan Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Tahun
2011–2015

Gambar 8.7 Informasi Spasial Sebaran Kejadian DBD Berdasarkan


Kepadatan Penduduk di Kota Tasikmalaya Tahun 2011–2015.

156 | Dengue Update: Menilik ...


Jika ditumpangsusunkan antara kepadatan penduduk dengan
angka kesakitan, terlihat bahwa sebaran DBD tidak terfokus pada
kecamatan yang memiliki jumlah penduduk yang padat saja, tetapi
di setiap kecamatan terdapat kasus. Berikut ini informasi spasial
sebaran kejadian DBD berdasarkan kepadatan penduduk di Kota
Tasikmalaya Tahun 2011–2015.
Data kepadatan penduduk dan data kejadian DBD dari 10
kecamatan selama kurun waktu 2011–2015 diuji korelasi dengan
menggunakan uji korelasi Spearman untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan dan bagaimana arah hubungan antara dua variabel yang
diteliti. Adapun hasil uji korelasi ditampilkan pada Tabel 8.1.

Tabel 8.1 Hasil Uji Korelasi Spearman Antara Kepadatan Penduduk dan
Angka Kejadian DBD di Kota Tasikmalaya Tahun 2011–2015
No Tahun Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) p-value
1 2011 0,646 0,043 0,05
2 2012 0,683 0,03
3 2013 0,394 0,26
4 2014 0,091 0,802
5 2015 0,236 0,511

Berdasarkan Tabel 8.1, didapatkan nilai signifikan yang bervariasi.


Pada 2011, nilai p=0,043 dan pada 2012 nilai p=0,03 dengan nilai
(p < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk
dan angka kejadian demam berdarah mempunyai hubungan. Nilai
koefisien korelasi didapatkan sebesar 0,646 dan 0,0683 atau bernilai
positif, artinya memiliki hubungan yang kuat. Pada 2013, 2014,
dan 2015, nilai p > 0,05 sehingga pada tahun tersebut kepadatan
penduduk dan angka kejadian demam berdarah tidak mempunyai
hubungan.
Di Kota Tasikmalaya, tidak terdapat hubungan antara kepadatan
penduduk dengan angka kejadian DBD. Hal ini sejalan dengan

Analisis Keruangan Kepadatan ... | 157


kondisi di Kabupaten Jember yang tidak ada hubungan signifikan
antara kepadatan penduduk dengan kejadian penyakit DBD
(Sholehhudin, Ma’rufi, & Ellyke dkk., 2014). Demikian juga yang
terjadi di Kota Mataram; kepadatan penduduk tidak berperan dalam
kejadian luar biasa penyakit DBD. Kepadatan penduduk bukan
merupakan faktor kausatif, melainkan hanya salah satu faktor risiko
yang bersama dengan faktor risiko lainnya (mobilitas penduduk,
sanitasi lingkungan, keberadaan kontainer perindukan nyamuk
Aedes, kepadatan vektor, tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan
masyarakat) dapat memengaruhi terjadinya penyakit DBD (Fathi,
Soedjajadi, & Wahyuni, 2005).
Hal ini berseberangan dengan penelitian di Kabupaten Sleman
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kepadatan penduduk dengan kejadian demam berdarah dengue di
Kabupaten Sleman (Riyanto, 2017). Begitu juga dengan penelitian
di Kabupaten Tanah Datar, yang menyimpulkan bahwa semakin
tinggi kepadatan penduduk maka semakin tinggi pula kejadian DBD
(Masrizal & Sari, 2016).

D. KETERKAITAN ANTARA KEPADATAN PEMUKIMAN DAN


ANGKA KEJADIAN DBD
Permasalahan yang terjadi dengan adanya peningkatan jumlah
penduduk adalah meningkatnya permintaan akan permukiman dan
sarana pendukung. Namun, lahan yang tersedia semakin terbatas
sehingga terjadi kepadatan pemukiman. Penataan permukiman,
baik yang sudah terbangun maupun yang akan dibangun, menjadi
penting untuk layanan hidup sehat. Pemerintah dan masyarakat
seyogianya memikirkan dan mewujudkan bersama hal ini agar
pencegahan wabah penyakit yang disebabkan oleh faktor kepadatan
pemukiman dapat terhindari (Boekoesoe, 2013).
Kepadatan pemukiman yang terus meningkat, pengelolaan
lingkungan perkotaan yang belum optimal dan ditunjang oleh
kondisi iklim, akan mempercepat penyebaran DBD. Belum
adanya cara penentuan tingkat kerentanan wilayah terhadap

158 | Dengue Update: Menilik ...


perkembangbiakan nyamuk membuat pengendalian sarang
nyamuk Ae aegypti dan Ae albopictus membutuhkan tenaga, biaya
yang besar, dan waktu yang lama. Seperti diketahui, penyebaran
populasi Aedes sp. erat kaitannya dengan kepadatan permukiman,
terutama didirikannya rumah-rumah baru yang dilengkapi sarana
penyimpanan air untuk keperluan sehari-hari. Penelitian “Analisis
Tingkat Kerawanan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta dengan Berbantuan
Sistem Informasi Geografis” menyatakan bahwa variabel yang paling
berpengaruh terhadap kerawanan penyakit DBD di Kecamatan
Gondokusuman adalah kepadatan permukiman. Hasil analisis
regresi menunjukkan bahwa kepadatan pemukiman memiliki nilai
sumbangan efektif sebesar 19,54% terhadap kerawanan penyakit
DBD (Chasanah, 2016).

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya (2013, 2014, 2015, 2016, 2017)
Gambar 8.8 Kepadatan Pemukiman (%) per Kecamatan di Kota Tasikmalaya
Provinsi Jawa Barat Tahun 2011–2015

Analisis Keruangan Kepadatan ... | 159


Kota Tasikmalaya dalam kurun waktu 2011–2015 memiliki
angka kepadatan pemukiman dengan jumlah yang bervariasi.
Berdasarkan Gambar 22, kepadatan permukiman terendah terjadi
pada 2011, yakni 21,12% di Kecamatan Bungursari, sedangkan yang
tertinggi terjadi pada 2011, yakni 80,23% di Kecamatan Cihideung.
Kepadatan permukiman tiap kecamatan di Kota Tasikmalaya
jumlahnya variatif antara satu kecamatan dengan kecamatan yang
lain. Jika ditumpangsusunkan antara kepadatan permukiman dengan
angka kesakitan, terlihat bahwa sebaran DBD tidak terfokus pada
kecamatan dengan kepadatan pemukiman yang padat saja, tetapi
di setiap kecamatan terdapat kasus. Berikut ini informasi spasial
sebaran kejadian DBD berdasarkan kepadatan pemukiman di Kota
Tasikmalaya Tahun 2011–2015.

Gambar 8.9 Informasi Spasial Sebaran Kejadian DBD Berdasarkan


Kepadatan Pemukiman di Kota Tasikmalaya Tahun 2011–2015

160 | Dengue Update: Menilik ...


Data kepadatan pemukiman dan kejadian DBD yang didapat
dari 10 kecamatan selama kurun waktu 2011–2015 diuji korelasi
dengan menggunakan uji korelasi Spearman untuk mengetahui
ada tidaknya hubungan dan bagaimana arah hubungan antara dua
variabel yang diteliti. Adapun hasil uji korelasi ditampilkan pada
Tabel 8.2.

Tabel 8.2 Hasil Uji Korelasi Spearman Antara Kepadatan Penduduk dan
Angka Kejadian DBD di Kota Tasikmalaya Tahun 2011–2015
No Tahun Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) p-value
1 2011 0,579 0,079 0,05
2 2012 0,616 0,058
3 2013 0,345 0,328
4 2014 0,109 0,763
5 2015 0,261 0,467

Berdasarkan Tabel 8.2, didapatkan nilai signifikan yang


bervariasi. Pada 2011–2015 nilai p > 0,05 sehingga dapat disimpulkan
bahwa kepadatan pemukiman dan angka kejadian demam berdarah
tidak mempunyai hubungan. Kepadatan permukiman hanya
merupakan faktor risiko, sama seperti faktor risiko lainnya, yaitu
mobilitas penduduk, sanitasi lingkungan, keberadaan kontainer
perindukan nyamuk Aedes, kepadatan vektor, tingkat pengetahuan,
sikap dan tindakan yang dapat memengaruhi terjadinya penyakit
DBD.
Hal ini berseberangan dengan penelitian di Kota Malang
yang menunjukkan bahwa secara statistik terdapat hubungan
yang signifikan antara luas penggunaan lahan permukiman
dengan kejadian DBD. Luas penggunaan lahan permukiman dan
kejadian demam berdarah dengue di Kota Malang pada 2002–2011
menunjukkan hubungan yang sangat kuat (r=0,750) dan berpola
positif. Artinya, semakin luas lahan permukiman, kejadian DBD
akan semakin meningkat (Sihombing, Marsaulina, & Ashar, 2014).

Analisis Keruangan Kepadatan ... | 161


E. PENUTUP
Kepadatan penduduk di permukiman, meskipun secara statistik
tidak ada hubungan, bisa dijadikan sebagai peringatan dini terkait
DBD. Hal tersebut didapatkan dari hasil analisis tetangga dekat,
yakni salah satu analisis yang digunakan untuk menjelaskan pola
persebaran dari titik-titik lokasi tempat dengan menggunakan
perhitungan yang mempertimbangkan, jarak, jumlah titik lokasi
dan luas wilayah. Hasil analisis tersebut lebih jauh menyatakan
bahwa jenis pola sebaran kasus DBD di Kota Tasikmalaya terjadi
secara mengelompok sehingga wilayah-wilayah yang terjadi
pengelompokan (clustering) kasus merupakan daerah yang rentan
terhadap penyakit DBD (Ruliansyah dkk, 2017). Pertumbuhan
penduduk yang semakin meningkat, terutama di pusat-pusat kota,
merupakan sumber terciptanya individu yang rentan terhadap
penyebaran penyakit DBD. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
wilayah dengan jumlah penduduk yang besar dan mempunyai
kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan tingginya insiden
demam berdarah dengue (DBD). Selama ini, penyebaran penyakit
DBD banyak dilaporkan di daerah-daerah perkotaan dan daerah
dengan permukiman baru. Hal ini terjadi karena populasi penduduk
semakin padat dan menyebabkan kepadatan tempat tinggal di
daerah tersebut. Hal ini menyebabkan jarak terbang vektor penyakit
DBD menjadi lebih pendek sehingga penularan semakin mudah dan
menciptakan kondisi yang tepat untuk transmisi (Prasetyo, 2012).

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. (2012). Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta:
Rajawali Press.
Anselin, L. (1999). Spatial econometrics. Dallas: School of Social Sciences
University of Texas at Dallas.
Astuti, E. P., Dhewantara, P. W., Prasetyowati, H., Ipa, M., Herawati, C.,
& Hendrayana, K. (2019). Paediatric dengue infection in Cirebon,
Indonesia: a temporal and spatial analysis of notified dengue
incidence to inform surveillance. Parasites Vectors, 12, 186. https://doi.
org/10.1186/s13071-019-3446-3

162 | Dengue Update: Menilik ...


Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya. (2013). Statistik daerah Kota
Tasikmalaya 2013. Tasikmalaya
Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya. (2015). Kota Tasikmalaya dalam
angka 2015. Tasikmalaya.
Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya. (2017). Kota Tasikmalaya dalam
angka 2017. Tasikmalaya.
Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya. (2014). Statistik daerah Kota
Tasikmalaya 2014. Tasikmalaya.
Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya. (2016). Statistik daerah Kota
Tasikmalaya 2016, Tasikmalaya.
Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya. (2018). Statistik Daerah Kota
Tasikmalaya 2018. Tasikmalaya.
Banu, S., Wenbiao, Hu., Hurst, C., Guo, Y., Islam, M. Z., & Tong, S. (2012).
Space-time clusters of dengue fever in Bangladesh. Tropical Medicine
& International Health, 17, 1086–1091.
Boekoesoe, L. (2013). Kajian faktor lingkungan terhadap kasus demam
berdarah dengue (DBD) studi kasus di Kota Gorontalo Provinsi
Gorontalo (Disertasi Universitas Negeri Gorontalo).
Chasanah, M. Z. (2016). Analisis tingkat kerawanan penyakit demam
berdarah dengue (DBD) di Kecamatan Gondokusuman Kota
Yogyakarta dengan berbantuan sistem informasi geografis. Jurnal Geo
Educasia, 1(10), 2–20.
Dhewantara, P. W., Ruliansyah, A., Fuadiyah, M. E., Astuti, E. P., & Widawati,
M. (2015). Space-time scan statistics of 2007–2013 dengue incidence
in Cimahi City, Indonesia. Geospat Health, 10(2), 373.
Dinkes Provinsi Jawa Barat. (2014). Profil kesehatan Provinsi Jawa Barat
tahun 2013. Bandung: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Dinkes Provinsi Jawa Barat. (2015). Profil kesehatan Provinsi Jawa Barat
tahun 2014. Bandung: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Dinkes Provinsi Jawa Barat. (2016). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat
tahun 2015. Bandung: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Dinkes Provinsi Jawa Barat. (2017). Profil kesehatan Provinsi Jawa Barat
tahun 2016. Bandung: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Dinkes Provinsi Jawa Barat. (2018). Profil kesehatan Provinsi Jawa Barat
tahun 2017. Bandung.

Analisis Keruangan Kepadatan ... | 163


Dom, N. C., Ahmad, A. H., Latif, Z. A., & Ismail, R. (2016). Application
of geographical information system-based analytical hierarchy process
as a tool for dengue risk assessment. Asian Pacific Journal of Tropical
Disease, 6(12), 928–935.
Fathi, K., Soedjajadi & Wahyuni, C. U., 2005. Peran faktor lingkungan
dan perilaku terhadap penularan demam berdarah dengue di Kota
Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(1), 1–10.
Hazrin, M., Guat. H. T., Jai, N., Yoep, N., Mutalip, H., Paiwai, F., ..., Warijo,
O. (2016). Spatial distribution of dengue incidence : a case study in
Putrajaya. Journal of Geographic Information System, 8,(February),
89–97.
Kartika, K., & Pawenang, E. T. (2017). Analisis spasial faktor lingkungan
pada kejadian demam berdarah dengue di Kecamatan Genuk. Unnes
Journal of Public Health 6(4), 225–231.
Kusuma, A. P., & Sukendra, D. M. (2016). Analisis spasial kejadian demam
berdarah dengue berdasarkan kepadatan penduduk. Unnes Journal of
Public Health, 5(1), 48–56.
Masrizal, & Sari, N. P. (2016). Analisis kasus DBD berdasarkan unsur iklim
dan kepadatan penduduk melalui pendekatan GIS di Tanah Datar.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(2), 166–171.
Panjaitan, E. R. R. (2014). Analisis pengaruh kepadatan penduduk terhadap
kepadatan ruas jalan menggunakan sistem informasi geografis.
Universitas Dipenogoro.
Pranoto, A. B. (2007). Hubungan kepadatan pemukiman dengan
ketersediaan infrastruktur. Universitas Dipenogoro.
Prasetyo, A. (2012). Analisis spasial penyebaran penyakit demam berdarah
dengue di Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan. Universitas
Gadjah Mada.
Riyanto, S. (2017). Hubungan kepadatan penduduk dengan kejadian demam
berdarah dengue di Kabupaten Sleman. Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Ruliansyah, A., Yuliasih, Y., Ridwan, W., & Kusnandar, A. J. (2017). Analisis
risiko kejadian demam berdarah dengue (DBD) dengan model
standart deviational ellipse (SDE) sebagai bahan penguatan surveilans
di Kota Tasikmalaya, Pangandaran. Aspirator, 9(2), 85–90.

164 | Dengue Update: Menilik ...


Ruliansyah, A., Gunawan, T., & Juwono, S. (2011). Pemanfaatan citra
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk pemetaan
daerah rawan demam berdarah dengue (studi kasus di Kecamatan
Pangandaran Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat). Aspirator, 3(2),
72–81.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1960). Undang-undang no. 56 PRP
tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Jakarta.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1992). Undang-undang Republik
Indonesia nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman.
Jakarta.
Setiawan, B., Supardi, F., & Bani, V. K. B. (2017). Analisis spasial kerentanan
wilayah terhadap kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja
Puskesmas Umbulharjo Kota Yogyakarta tahun 2013. Jurnal Vektor
Penyakit, 11(2), 77–87.
Sholehhudin, M., Ma’rufi, I., & Ellyke. (2014). Hubungan sanitasi lingkungan,
perilaku pengendalian jentik dan nyamuk, dan kepadatan penduduk
dengan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten
Jember. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 2(3), 476–484.
Sihombing, G. F., Marsaulina, I., & Ashar, T. (2014). Hubungan curah hujan,
suhu udara, kelembaban udara, kepadatan penduduk dan luas lahan
pemukiman dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota Malang
periode tahun 2002–2011. Jurnal Lingkungan dan Kesehatan Kerja,
3(1), 1–9.
Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2003). Pembangunan ekonomi di dunia ketiga
(edisi ke-8). Jakarta: Erlangga.
WHO. (2011). Comprehensive guidelines for prevention and control of
dengue and dengue haemorrhagic fever. New Delhi: SEARO Technical
Publication Series.
Wu, P.-C., Lay J. G., Guo, H. R., Lin, C. Y., Lung, S. C., & Su, H. J. (2009).
Higher temperature and urbanization affect the spatial patterns of
dengue fever transmission in subtropical Taiwan. The Science of the
Total Environment, 407(7), 2224–2233.
Yoli, K. (2007). Pola penyebaran spasial demam berdarah dengue di Kota
Bogor tahun 2005 (Skripsi Institut Pertanian Bogor).

Analisis Keruangan Kepadatan ... | 165


166 | Dengue Update: Menilik ...
Bab 9
Pengaruh Iklim Terhadap
Kejadian Dengue
M. Ezza Azmi Fuadiyah

A. IKLIM DAN PERUBAHAN


Sebelum tahun 1970, hanya sembilan negara yang mengalami
epidemi demam berdarah dengue (DBD). Namun, penyakit ini kini
telah menjadi penyakit endemis di lebih dari 100 negara di Afrika,
Mediterania Timur, Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat.
Tiga wilayah terakhir merupakan wilayah yang paling terdampak.
Kasus di tiga wilayah tersebut melampaui 1,2 juta pada 2008 dan 3,2
juta pada 2015. Diperkirakan 500.000 orang dirawat di rumah sakit
karena DBD tiap tahunnya dan 2,5%-nya berakhir dengan kematian
(WHO, 2018). Brady dkk. (2012) menyatakan bahwa 3,9 miliar orang
di 128 negara berisiko terinfeksi dengue.
Demam berdarah dengue, sebagaimana penyakit tular vektor
yang lain, bergantung pada kondisi vektor yang menularkannya.
Nyamuk vektor dapat bertahan dan bereproduksi secara optimal
pada kondisi iklim tertentu sehingga perubahan pada kondisi iklim
tersebut dapat secara signifikan mengubah pola transmisi penyakit.
DBD merupakan penyakit musiman yang sering diasosiasikan
dengan cuaca yang hangat dan lembap. Meskipun faktor iklim yang
paling berpengaruh pada transmisi penyakit tular vektor adalah
suhu dan penguapan, ketinggian permukaan air laut, angin, dan

| 167
penyinaran matahari juga penting untuk diperhatikan (McMichael,
Friel, Nyong, & Corvalan, 2008). Pengaruh perubahan iklim terhadap
penyakit tular vektor tergolong tidak langsung, tetapi tetap harus
tetap diperhatikan karena perubahan kondisi iklim (seperti pola
hujan, suhu dan kelembapan) berpengaruh pada jumlah dan survival
rate nyamuk. Informasi mengenai iklim menjadi sangat penting bagi
para peneliti untuk memprediksi tren penyakit tular vektor, seperti
DBD (WHO, 2014).
Perubahan iklim menurut Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) adalah segala bentuk perubahan pada iklim seiring
waktu, baik penyebab alami maupun hasil dari aktivitas manusia.
Framework Convention on Climate Change (FCCC) menyatakan
bahwa perubahan iklim adalah perubahan komposisi atmosfer
global yang terjadi karena aktivitas manusia, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dan karena sebab alami yang diobservasi
dalam kurun waktu tertentu (IPCC, 2007). Unsur iklim meliputi
temperatur (suhu), curah hujan, cahaya, tekanan udara, dan laju
serta arah angin (Ahrens, 2013).

B. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA PENYAKIT TULAR


VEKTOR
Perubahan iklim telah dan akan berdampak terhadap kesehatan
manusia (Caminade, Mcintyre, & Jones, 2018; Levy, Patz, &
Francis, 2015). Konsekuensi dari perubahan iklim adalah terjadinya
perubahan lingkungan, misalnya kenaikan suhu, tingkat penguapan
yang ekstrem, kenaikan permukaan air laut, dan fenomena cuaca yang
ekstrem. Dampak langsung perubahan iklim terhadap kesehatan
adalah kesakitan dan kematian yang terkait dengan suhu ekstrem,
fenomena cuaca ekstrem, dan paparan radiasi ultraviolet. Dampak
tidak langsung terlihat pada pola penyakit tular vektor, penyakit pada
saluran pernapasan karena perubahan kualitas udara dan adanya
alergen, penyakit pencernaan, tengkes (stunting), dan malnutrisi
karena memburuknya ketahanan pangan, serta ketersediaan dan
keamanan air (Levy dkk., 2015; Wolf, Lyne, Martinez, & Kendrovski,
2015).

168 | Dengue Update: Menilik ...


Penyakit Akibat Kerja Stress
PERUBAHAN IKLIM terutama di Perkotaan Penyakit Jantung
Peningkatan temperatur
Peningkatan Permukaan Polusi Udara Penyakit Paru, Asma
air laut
Malaria, DBD, Enchepalitis,
Vector-borned Diseases Hantavirus pulmonary
1,5–6°C tahun 2001
syndrome, Ritf Valley Fever
14–80 cm tahun 2001

Cholera, Cyclosporodiosis,
(Perkiraan IPCC) Water-borned Diseases Criptosporodiosis,
Campylobacteriosis,
Leptospirosis

Sumber Air dan Suplai Kelaparan, Diare


Makanan

Penyakit Infeksi
Lingkungan Pengungsi Perang/konflik

Sumber: Patz dan Reisen (2001)


Gambar 9.1 Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Kesehatan Manusia

Penyakit tular vektor sangat terpengaruh oleh perubahan iklim.


Hal ini karena vektor yang menjadi faktor penting dalam penularan
membutuhkan kondisi lingkungan tertentu agar optimal dalam
pertumbuhan, ketahanan hidup, kemampuan berpindah tempat,
dan persebarannya. Faktor-faktor yang membentuk kondisi optimal
tersebut, yaitu penguapan, suhu, kelembapan, dan intensitas radiasi
ultraviolet. Penyakit malaria dan dengue diasosiasikan dengan
kondisi lingkungan hangat, terutama daerah tropis dengan pola
transmisi penyakit tergantung musim. Iklim dapat secara langsung
memengaruhi transmisi penyakit menular melalui efeknya terhadap
perkembangbiakan dan pergerakan agen dan vektor penyakit.
Namun, iklim juga dapat berpengaruh secara tidak langsung melalui
dampaknya terhadap perubahan ekologi dan perilaku manusia
(National Research Council, 2001).

Sumber: National Research Council (2001)

Pengaruh Iklim terhadap ... | 169


Transmisi Biologi
IKLIM
Replikasi/Pergerakan
Suhu, Kelembapan, mikrob, Reproduksi/
curah hujan, kondisi pergerakan vektor, Evolusi
ekstrem mikrob/vektor

Outcome Penyakit
Risk, Rate penularan

Ekologi Faktor Sosial


Vegetasi, Kelembapan Sanitasi, pengendalian
tanah, kompetisi spesies vektor, travel/migrasi,
perilaku/ekonomi/
populasi/demografi

Gambar 9.2 Gambaran “Jaring” Faktor-Faktor yang Memengaruhi Transmisi Agen


Penyakit Menular

Iklim berpengaruh terhadap transmisi penyakit, misalnya


vektor akan berkembangbiak dengan optimum apabila suhu,
kelembapan, dan zat hara tersedia dalam jumlah yang optimum
untuk kehidupannya. Pada keadaan optimum, nyamuk akan cepat
sekali berubah dari fase telur mencapai fase dewasa dalam tujuh hari
atau kurang. Namun, apabila lingkungan tidak mendukung, siklus
ini bisa berlangsung sangat lama (Sumirat, 2009).

Sumber: Morin, Comrie, dan Ernst (2013)


Gambar 9.3 Diagram Pengaruh Biofisik pada Ekologi DENV

170 | Dengue Update: Menilik ...


Gambar 9.3 memperlihatkan interaksi antara variabel iklim,
vektor, dan virus. Angka yang tertera pada garis yang menghubungkan
antara satu variabel dengan variabel lain mengidentifikasi
jenis hubungan antarvariabel tersebut. Ketersediaan tempat
perkembangbiakan potensial bagi larva vektor dipengaruhi oleh suhu
melalui penguapan dan transpirasi (1) dan hujan yang akan turun (2).
Suhu merupakan regulator utama dalam empat proses berikut (3–6):
perkembangbiakan nyamuk (3), replikasi virus dalam tubuh nyamuk
terinfeksi (4), daya tahan hidup nyamuk (5), dan perilaku reproduksi
nyamuk (6). Ketersediaan habitat perkembangbiakan yang potensial
sangat diperlukan untuk daya tahan hidup larva (7) dan reproduksi
nyamuk dewasa (8). Pertumbuhan dan peningkatan daya tahan
hidup nyamuk akan mempercepat masa reproduksi nyamuk (9
dan 10). Peningkatan reproduksi nyamuk memperbesar peluang
terjadinya transmisi virus pada saat nyamuk mengisap darah (11),
sedangkan replikasi virus yang semakin cepat akan meningkatkan
peluang transmisi dengan mempersingkat masa inkubasi ekstrinsik
(12). Terakhir, meningkatnya daya tahan hidup nyamuk dewasa akan
meningkatkan jumlah replikasi virus (13) (Morin dkk., 2013).
Suhu telah diketahui memiliki peranan penting dalam ketahanan
hidup, replikasi virus, dan masa infektif pada vektor dewasa. Studi di
Pasifik Barat Daya mengemukakan bahwa kenaikan suhu global yang
diobservasi selama empat dekade berhubungan dengan kenaikan
risiko terjadinya perjangkitan DBD (Souza, Silva, & Silva, 2010; Hii
dkk., 2009). Suhu yang lebih tinggi juga menyebabkan beberapa
virus bermutasi. Hal ini sudah terjadi pada virus penyebab demam
berdarah dengue sehingga menyebabkan penyakit ini makin sulit
diatasi (UNDP, 2017). Selain itu, kondisi suhu dapat mempersingkat
masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh vektor dan mempercepat
persebaran DBD (Tjaden, Thomas, Fischer, & Beierkuhnlein, 2013).
Kenaikan suhu global dapat meningkatkan kemungkinan
migrasi dan ketahanan hidup vektor ke wilayah yang semula bukan
daerah endemik atau di luar daerah tropis (Murray, Quam, & ­­Wilder-
Smith, 2013). Menurut IPCC, suhu rata-rata diprediksi meningkat

Pengaruh Iklim terhadap ... | 171


secara global dan dapat menciptakan kondisi kondusif bagi
perkembangbiakan Aedes sp. di daerah yang saat ini bukan daerah
endemis DBD. Kesesuaian dan kesamaan iklim di daerah non-
endemis dengan daerah endemis DBD karena dampak perubahan
iklim menyebabkan Ae aegypti dan Ae albopictus muncul dan
bertahan hidup di daerah non-endemis pada waktu dekat (Reiter,
2010).
Kelembapan memengaruhi kelangsungan hidup (survival
rate), kebiasaan menggigit, istirahat, dan lain-lain dari nyamuk.
Kelembapan nisbi akan memengaruhi umur (longevity), distribusi,
dan lama hidup nyamuk. Kelembapan yang rendah akan
memperpendek umur nyamuk. Pada kelembapan kurang dari 60%,
umur nyamuk akan menjadi pendek sehingga tidak cukup untuk
siklus pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk (McMichael, Friel,
Nyong, & Corvalan, 2008).
Periode epidemi erat kaitannya dengan kelembapan yang
tinggi di musim penghujan. Hal ini karena lingkungan dengan
kelembapan tinggi dapat mempersingkat masa inkubasi dan
meningkatkan aktivitas vektor dalam menggigit (Djunaedi, 2006).
Jadi, pada kelembapan yang lebih tinggi, nyamuk akan lebih aktif
dan lebih sering menggigit. Suhu tinggi dan kelembapan tinggi akan
memperpanjang daya tahan hidup vektor. Namun, kelembapan
rendah menyebabkan vektor lebih banyak mencari makan untuk
mengatasi dehidrasi. Peningkatan suhu yang tinggi dan kelembapan
yang rendah menyebabkan vektor menghasilkan keturunan dua kali
lipat lebih banyak daripada suhu yang rendah dengan kelembapan
yang tinggi (Soegijanto, 2004). Suatu penelitian menyebutkan
bahwa persentase jumlah telur Ae aegypti yang menetas mengalami
peningkatan terbesar seiring dengan meningkatnya kelembapan (Xu
dkk., 2014).
Angin berkontribusi dalam arah penyebaran dan distribusi
vektor secara pasif. Kecepatan angin memengaruhi daya terbang
nyamuk. Kecepatan angin 11–14 meter per detik atau 25–31 mil per
jam akan menghambat daya terbang nyamuk. Kecepatan angin juga

172 | Dengue Update: Menilik ...


memengaruhi suhu udara dan pemberantasan vektor dengan cara
pengasapan (fogging) (Departemen Kesehatan RI, 2007). Kecepatan
angin memengaruhi daya jangkau nyamuk Ae. aegypti. Semakin luas
daya jangkau nyamuk, semakin banyak kesempatan untuk kontak
dengan manusia sehingga umur dan masa reproduksi nyamuk
akan semakin panjang. Namun, semakin tinggi kecepatan angin
akan menyulitkan nyamuk untuk terbang. Karena nyamuk jadi sulit
untuk berpindah-pindah tempat, kemungkinan untuk menularkan
penyakit pun menurun (Dini, Fitriany, & Wulandari, 2010).
Hujan yang lebat membuat tempat perkembangbiakan vektor
bersih karena jentiknya hanyut dan mati. Jumlah kejadian penyakit
yang ditularkan nyamuk biasanya meninggi beberapa waktu sebelum
hujan lebat atau setelah hujan lebat. Pengaruh hujan berbeda-
beda tergantung pada banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah
(Soegijanto, 2004). Puncak kasus DBD diketahui pada musim hujan,
yakni dari Desember sampai Maret. Namun, di wilayah perkotaan,
seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, puncak kasus
terjadi pada Juni atau Juli atau pada permulaan musim kemarau
(Soedarmo, 2000). Hujan memengaruhi kelembapan nisbi udara
dan menambah jumlah tempat perkembangan vektor. Suhu udara
dan kelembapan udara selama musim hujan sangat kondusif
untuk kelangsungan hidup nyamuk dewasa dan meningkatkan
kemungkinan kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi.
Di negara empat musim, epidemi DBD berlangsung terutama
pada musim panas, meskipun ditemukan juga kasus-kasus DBD
sporadis pada musim dingin. Di negara-negara Asia Tenggara,
epidemi DBD terutama terjadi pada musim penghujan. Di Indonesia,
Malaysia, dan Filipina epidemi DBD terjadi beberapa minggu setelah
musim hujan. Epidemi mencapai puncak tertinggi sebulan sebelum
curah hujan mencapai puncak tertinggi, kemudian menurun sejalan
dengan menurunnya curah hujan (Djunaedi, 2006). Jumlah hari
hujan juga merupakan faktor penting karena memunculkan tempat
perkembangbiakan nyamuk yang mempunyai masa larva dan
kepompong yang hidup di air (breeding place). Banyaknya hari hujan

Pengaruh Iklim terhadap ... | 173


akan memengaruhi kelembapan udara dan suhu (McMichael dkk.,
1996).
Cahaya berpengaruh terhadap pergerakan nyamuk untuk
mencari makan atau tempat beristirahat. Nyamuk betina biasanya
mencari mangsanya pada siang hari, antara pukul 09.00–10.00 dan
16.00–17.00 (Departemen Kesehatan RI, 2005). Nyamuk Ae. aegypti
beristirahat di tempat gelap dan terlindung dari panas matahari.
Tempat yang dicari adalah tempat yang teduh dengan kelembapan
yang cukup. Penyinaran matahari akan memengaruhi suhu udara,
kelembapan, dan curah hujan.

C. PENGARUH IKLIM TERHADAP KEJADIAN DBD DI


BERBAGAI BELAHAN DUNIA
Telah banyak dilakukan penelitian tentang kaitan antara iklim dan
atau perubahan iklim dengan transmisi dengue di berbagai belahan
dunia. Penelitian tersebut banyak dilaksanakan di daerah endemis
dengue, yaitu negara-negara tropis di Asia, Afrika, Australia,
sebagian Amerika, dan Eropa. Selain di daerah endemis, penelitian
tentang dengue juga dilakukan di negara non-endemis yang mulai
memiliki kondisi iklim yang mirip dengan iklim di daerah endemis
akibat perubahan iklim global.
Perubahan iklim di Benua Afrika terlihat dari naiknya rata-
rata suhu yang kecepatannya melebihi kenaikan rata-rata suhu
global. Iklim di Afrika sangat bervariasi mulai dari iklim kering
yang ekstrem di gurun Sahara sampai dengan hutan hujan yang
memiliki kelembapan tinggi di Kongo (Conway, 2009). Wilayah yang
diketahui memiliki sebaran Aedes aegypti dan Ae albopictus sebagai
vektor dengue tinggi adalah Afrika bagian pesisir utara. Namun, hasil
penelitian dampak perubahan iklim menyebutkan bahwa persebaran
kedua spesies tersebut diproyeksikan meluas ke arah Afrika bagian
selatan dan tengah (Campbell dkk., 2015). Kemungkinan perluasan
sebaran vektor tersebut karena meningkatnya suhu yang diprediksi
sebesar 0,29°C, terutama di kawasan dengan hutan hujan (Conway,
2009). Adanya kemungkinan perluasan vektor memperbesar peluang
meluasnya persebaran DBD di berbagai negara di Afrika.

174 | Dengue Update: Menilik ...


Transmisi dengue di Australia berpusat di Queensland dengan
banyak ditemukannya vektor Ae aegypti. Namun, sebuah studi
yang dipublikasikan pada 2016 menemukan adanya perluasan zona
risiko transmisi dengue hingga ke Sidney. Perluasan ini disebabkan
oleh persebaran vektor yang merambah keluar wilayah Queensland
(Russell dkk., 2009). Meluasnya sebaran vektor dan transmisi dengue
terjadi karena perubahan iklim (berupa naiknya rata-rata hujan dan
rata-rata suhu maksimum), meskipun ada berbagai hal lain yang
juga berpengaruh (Hu dkk., 2012). Hasil penelitian yang dianalisis
menggunakan SARIMA menyebutkan bahwa variabel iklim
berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap kejadian
dengue (Hu dkk., 2010).
Wilayah Benua Amerika yang tergolong daerah endemis dengue
adalah Amerika Latin dan sebagian wilayah Amerika utara yang
berbatasan dengan Meksiko. Ada enam negara yang total kasusnya
mencapai 75% dari seluruh kasus dengue di seluruh Amerika
Latin, yaitu Venezuela, Brazil, Kostarika, Kolombia, Honduras,
dan Meksiko; dan Meksiko menjadi negara dengan kenaikan kasus
tertinggi setiap tahun (Barclay, 2008; Tapia-Conyer, Betancourt-
Cravioto, & Méndez-Galván, 2012). Kaitan variabel iklim dengan
kejadian dengue telah banyak diteliti di berbagai negara di kawasan
Amerika Latin. Kenaikan suhu dan kelembapan ditemukan berkaitan
dengan kenaikan kasus dengue (Johansson, Dominici, & Glass, 2009;
Bultó dkk., 2006). Selain variabel iklim, kaitan periode iklim dengan
kejadian dengue juga banyak diteliti. Periode iklim yang disebut
El Nino Southern Oscillation (ENSO) juga memiliki hubungan
yang signifikan dengan kejadian dengue. Menurut Zambrano dkk.
(2012), kasus dengue tercatat lebih banyak terjadi pada fase La
Nina daripada saat fase El Nino. Pada periode ENSO, ada variasi
tidak teratur pada angin dan suhu permukaan laut di wilayah tropis
Samudra Pasifik bagian timur yang memengaruhi iklim di negara
tropis dan sub-tropis. Fase saat suhu permukaan laut naik disebut
El Nino, sedangkan fase saat suhu turun disebut La Nina (Pidwirny,
2006). Namun, ada penelitian yang menyebutkan bahwa pengaruh

Pengaruh Iklim terhadap ... | 175


ENSO pada kejadian dengue bervariasi pada tiap wilayah tergantung
heterogenitas iklim lokal (Descloux dkk., 2012).
Ae. aegypti mulai merambah Eropa pada dekade 1920-an dan
dikenal sebagai nyamuk Yellow Fever dan dilaporkan di beberapa
negara di Eropa, dari Portugal di Eropa selatan hingga Prancis
di bagian utara Eropa, juga ditemukan di Spanyol, Italia, Bosnia,
Macedonia, dan Rusia (Christophers, 1960). Namun, nyamuk
tersebut saat ini tidak ditemukan di Eropa, kecuali di sebagian kecil
daerah pantai Georgia dan Rusia bagian baratdaya serta di Pulau
Madeira yang terletak di Portugal (ECDC, 2019). Perubahan iklim
memungkinkan vektor menyebar ke wilayah lain dalam beberapa
tahun ke depan tergantung pada skenario emisi karbon yang terjadi
(Liu-Helmersson, Rocklöv, Sewe, & Brännström, 2019). Sejarah
Eropa mencatat hanya ada dua kota yang mengalami wabah dengue,
yaitu Athena (1927–1928) dan Madeira (2012–2013) dengan Ae
aegypti sebagai vektor (Rosen, 1986; ECDC, 2013). Apabila emisi
karbon tetap tinggi dan pemanasan global pada 4,9°C, vektor dengue
dapat mencapai wilayah padat penduduk di Eropa selatan, bahkan
dapat mencapai 5,3% daratan Eropa (Liu-Helmersson dkk., 2019).
Kasus DBD banyak tercatat di berbagai wilayah di Asia dan yang
paling tinggi di Asia Tenggara. Negara Asia lain yang memiliki kasus
DBD tinggi adalah negara di Asia Selatan, yaitu Bangladesh, India,
dan Pakistan. Penelitian tentang kaitan antara iklim dan DBD yang
dilakukan di Asia tidak hanya melihat pengaruh variabel iklim dan
periode ENSO dengan DBD, tetapi juga melihat dampak perubahan
iklim terhadap persebaran vektor dengue. Beberapa penelitian, baik
terkait pengaruh iklim terhadap transmisi DBD maupun persebaran
vektornya di Asia dapat dilihat pada Tabel 9.1.

176 | Dengue Update: Menilik ...


Tabel 9.1 Penelitian Tentang Kaitan Antara Iklim dengan Kasus dan Vektor DBD di Asia
Sumber Data Metode
Referensi Periode Data Data DBD Variabel Independen Kesimpulan
Iklim Analisis
(Sang dkk., Guangzhou, Data bulanan Data bulanan variabel China Analisis Turunnya tekanan
2014) China laporan iklim (suhu minimum Meteorological autokorelasi udara lokal,
kasus dengue ekstrem, rata-rata suhu Data Sharing dan Analisis kenaikan suhu,
Maret 2006– (transmisi minimum, rata-rata Service korelasi silang bertambahnya
Desember lokal dan suhu, rata-rata suhu curah hujan
2012 impor) maksimum, suhu Analisis dan kenaikan
maksimum ekstrem, komponen kelembapan relatif
rata-rata kelembapan utama minimum akan
relatif, rata-rata meningkatkan
kelembapan relatif Analisis deret risiko transmisi
minimum, rata-rata berkala lokal dengue
tekanan uap, tekanan dalam konteks
udara minimum kasus dengue
ekstrem, tekanan udara impor dan
maksimum ekstrem, kepadatan
rata-rata tekanan udara, nyamuk
curah hujan total, curah
hujan harian maksimum,
kecepatan udara
maksimum, rata-rata
kecepatan angin)
Data Entomologi (HI,
CI, BI)

Pengaruh Iklim terhadap ... | 177


Sumber Data Metode
Referensi Periode Data Data DBD Variabel Independen Kesimpulan
Iklim Analisis
(Dhimal Nepal Data variabel iklim Department of Model linier curah hujan, suhu,
dkk., 2015) (curah hujan, suhu, dan Hydrology and tergeneralisir dan kelembapan
September kelembapan relatif) Meteorology (generalized relatif merupakan
2011– (DHM), linear models faktor yang
Februari 2012 Data Entomologi (HI, Government of [GLMs]) signifikan dalam
CI, BI) Nepal memprediksi

178 | Dengue Update: Menilik ...


Data Primer keberadaan Ae.
(Data aegypti dan Ae
entomologi) albopictus
(Xu dkk., Guangzhou, Data bulanan Data bulanan variabel China Structural Kondisi iklim,
2017) China laporan kasus iklim (rata-rata suhu Meteorological equation model berupa efek curah
dengue maksimum, Jumlah Hari Data Sharing (SEM) hujan dan suhu
2005 – 2015 Hujan) Service pada kelimpahan
Generalized nyamuk dan
Data entomologi additive models transmisi dengue,
(Kepadatan Ae (GAM) dan memiliki peran
albopictus dewasa) zero-inflated penting dalam
GAM (ZIGAM) menjelaskan
dinamika
temporal kejadian
dengue pada
populasi
(model matematis
prediksi pengaruh
iklim pada vektor
dan dengue)
Sumber Data Metode
Referensi Periode Data Data DBD Variabel Independen Kesimpulan
Iklim Analisis
(Chen & Taiwan Data harian Data harian variabel Taiwan Generalized Curah hujan
Hsieh, kasus dengue iklim (suhu, curah Meteorological additive models berkaitan
2012) 1994–2008 terkonfirmasi hujan) Station (GAM) dengan kejadian
dengue dengan
Data faktor memperhatikan
sosiodemografi jeda waktu (lag
effect)

Perubahan iklim
mempunyai
pengaruh pada
wabah dengue
(Karim Dhaka, Data bulanan Data bulanan variabel Meteorological Regresi linier Iklim berdampak
dkk., 2012) Banglaadesh kasus dengue iklim (rata-rata Department of besar pada
kelembapan, curah Dhaka, Bangladesh terjadinya infeksi
2000–2008 hujan, suhu minimum dengue
dan maksimum)

Pengaruh Iklim terhadap ... | 179


Sumber Data Metode
Referensi Periode Data Data DBD Variabel Independen Kesimpulan
Iklim Analisis
(Earnest Singapura Data Data mingguan variabel Meteorological Regresi Poisson Suhu, kelembapan
dkk., 2012) mingguan iklim (suhu rata-rata/ Services Division relatif dan
2001–2008 kasus dengue minimum/maksimum, of the National Fungsi Southern
konfirmasi rata-rata curah hujan, Environment gelombang Oscillation Index
laboratorium kelembapan relatif Agency(NEA), sinus (SOI) berkaitan
rata-rata/minimum/ Singapore dengan dengue

180 | Dengue Update: Menilik ...


maksimum, rata-
rata jam penyinaran
matahari, rata-rata jam
mendung)
(Thai dkk., Vietnam Data bulanan Data bulanan variabel Binh Thuan Wavelet time Indeks ENSO dan
2010) kasus iklim (rata-rata suhu, provincial series variabel iklim
Januari 1994– terkonfirmasi curah hujan, dan meteorological secara signifikan
Juni 2009 kelembapan relatif) dan department berhubungan
indeks ENSO dengan kejadian
dengue
Sumber Data Metode
Referensi Periode Data Data DBD Variabel Independen Kesimpulan
Iklim Analisis
(Pinto dkk., Singapura Data Data mingguan Meteorological Regresi poisson Setiap kenaikan
2011) mingguan variabel iklim suhu Services Division 2–10 derajat
2000–2007 kasus minimum dan of the National Principal pada variasi suhu
terkonfirmasi maksimum, kelembapan Environment component maksimum dan
relatif minimum dan Agency(NEA), analysis minimum maka
maksimum) Singapore akan terjadi
kenaikan sebesar
22–184% (suhu
maksimum) dan
26–230% (suhu
minimum)
Suhu merupakan
indikator
terbaik untuk
memprediksi
kenaikan dengue
di Singapura

Pengaruh Iklim terhadap ... | 181


Sumber Data Metode
Referensi Periode Data Data DBD Variabel Independen Kesimpulan
Iklim Analisis
(Dom dkk., Malaysia Data kasus Data variabel iklim Ministry of Health Metode runtun Variabel iklim
2013) dengue (curah hujan, suhu dan Malaysia waktu Box- berperan sebagai
2005–2010 kelembapan relatif) Jenkin (atau regresi eksternal
autoregresif pada peramalan
integrated kejadian dengue
moving average

182 | Dengue Update: Menilik ...


[ARIMA])
(Cheong Malaysia Data kasus Data variabel iklim Stasiun lokal cuaca Generalized Risiko kejadian
dkk., 2013) konfirmasi (suhu rata-rata/ di Kuala Lumpur additive models dengue berasosiasi
2008–2010 laboratorium minimum/maksimum, (GAM) positif dengan
(ELISA) curah hujan kumulatif kenaikan 11,92%
dua mingguan, suhu minimum
kelembapan relatif, dengan efek
kecepatan angin) tertinggi pada jeda
waktu 51 hari;
kenaikan 21,45%
curah hujan dua
mingguan pada
jeda 26–28 hari.
Sumber Data Metode
Referensi Periode Data Data DBD Variabel Independen Kesimpulan
Iklim Analisis
(Bangs Palembang, Data kasus Data bulanan variabel BMKG Analisis Kenaikan suhu
dkk., 2006) Indonesia dengue iklim (suhu harian deskriptif yang dipengaruhi
rata-rata/minimum/ ENSO
1997–1998 Data Primer maksimum, kelembapan memperlihatkan
relatif, curah hujan) pengaruh yang
besar pada
Data entomologi (HI transmisi dengue
Aedes aegypti dan Ae yang disebabkan
albopictus) peningkatan
populasi vektor
(Arcari Indonesia Data bulanan Data bulanan variabel BMKG Regresi ganda Curah hujan
dkk., 2007) kasus dengue iklim (suhu, curah merupakan
1992–2001 hujan, anomali curah variabel
hujan, kelembapan) dan utama yang
indeks ENSO memengaruhi
distribusi kejadian
dengue sedangkan
suhu berperan
pada intensitas
wabah

Pengaruh Iklim terhadap ... | 183


Sumber Data Metode
Referensi Periode Data Data DBD Variabel Independen Kesimpulan
Iklim Analisis
(Halide & Makassar, Data bulanan Data bulanan variabel Stasiun cuaca Regresi Ganda Kelembapan
Ridd, 2008) Indonesia Kasus DBD iklim (curah hujan, Bandara Sultan relatif 3-4 bulan
terkonfirmasi kelembapan relatif, dan Hasanuddin sebelumnya dan
1998–2005 suhu udara rata-rata/ kasus dengue
minimum/maksimum) terkini merupakan
determinan

184 | Dengue Update: Menilik ...


utama untuk
memprediksi KLB
dengue
(Gama Nganjuk, Data bulanan Data bulanan variabel BMKG Uji Korelasi Kelembapan
dkk., 2013) Indonesia kasus DBD iklim (suhu minimum Spearman dan curah hujan
/maksimum, curah mempunyai
2005–2010 hujan, kelembapan, lama korelasi positif
penyinaran matahari dan dengan kejadian
kecepatan angin) DBD sedangkan
suhu maksimal
dan lama
penyinaran
matahari
berkorelasi negatif
(Ramadona Yogyakarta, Data bulanan Data bulanan variabel BMKG Regresi linier Suhu dan
dkk., 2016) Indonesia kasus dengue iklim (curah hujan curah hujan
kumulatif, suhu dan berhubungan
2001–2010 kelembapan relatif) dengan kejadian
dan transmisi
dengue
D. PENGARUH IKLIM TERHADAP KEJADIAN DBD DI ASIA
TENGGARA
Persebaran dengue di Asia Tenggara dimulai setelah Perang Dunia
II, kemudian berkembang pada masa meningkatnya urbanisasi yang
ditandai dengan perpindahan manusia ke daerah perkotaan tanpa
adanya persiapan yang baik dalam hal perumahan, ketersediaan air,
dan saluran pembuangan limbah. Kondisi lingkungan urban dengan
populasi yang terus bertambah menjadikan dengue terus ada dengan
mengikuti pola siklus tertentu (Ooi & Gubler, 2008). Meskipun
demikian, menurut studi di Thailand, kejadian DBD bergerak
secara radial dengan Bangkok sebagai episentral ke arah luar dengan
kecepatan 148 km per bulan (Cummings dkk., 2004; Bhatia, Dash, &
Sunyoto, 2013). Di beberapa negara, kejadian dengue lebih banyak
ditemukan di daerah rural daripada di daerah urban. Kejadian
dengue, khususnya di Asia Tenggara, sering diasosiasikan dengan
musim hujan. Penelitian di Thailand menunjukkan bahwa faktor
iklim mempunyai pengaruh dalam siklus transmisi DBD, tetapi
kekuatan hubungan masing-masing faktor iklim dengan kejadian
DBD bervariasi sesuai wilayah geografi (Bhatia dkk., 2013). Beberapa
penelitian terkait iklim dengan dengue di Asia Tenggara dapat dilihat
pada Tabel 9.1.
Penelitian tentang kerentanan kesehatan akibat perubahan
iklim juga telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia
bekerja sama dengan Pusat Penelitian Perubahan Iklim-Universitas
Indonesia di 21 kabupaten/kota di Indonesia sejak awal 2013.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa semua daerah memiliki
kerentanan tinggi terhadap DBD karena tidak mampu menghadapi
dampak perubahan iklim. Hasil penelitian menyebutkan jika terjadi
kenaikan suhu sebesar 0,2°C per dekade maka pada tahun 2100
diperkirakan terjadi kenaikan suhu sebesar 2–2,5°C. Hal ini dapat
menyebabkan perubahan pada nyamuk penyebar penyakit DBD
karena kenaikan suhu dapat membuat rata-rata kehidupan nyamuk
menjadi lebih pendek, tetapi frekuensi makannya lebih sering (Adi,
2014).

Pengaruh Iklim terhadap ... | 185


E. PENGARUH IKLIM TERHADAP KEJADIAN DBD DI JAWA
BARAT
Di Provinsi Jawa Barat, penelitian telah dilakukan di beberapa kota,
seperti Depok, Bogor, dan Cimahi. Penelitian di Depok, dengan
menggunakan data tahun 2006–2008 yang dianalisis melalui
uji korelasi, menyatakan bahwa suhu dan kelembapan memiliki
hubungan dengan kasus dengue (Sofiyana, 2010). Sementara itu,
penelitian di Bogor menyimpulkan bahwa faktor iklim berupa
curah hujan, jumlah hari hujan, suhu, dan kelembapan mempunyai
hubungan dengan kejadian DBD di Kota Bogor. Data yang dianalisis
adalah data tahun 2004–2011 yang dianalisis secara time series
dengan menggunakan program minitab. Penelitian tersebut juga
menghasilkan model prediksi kejadian DBD yang meliputi keempat
faktor iklim dengan selang waktu dua bulan (Ariati & Anwar, 2014).
Kaitan antara faktor iklim dan kejadian DBD juga diteliti
Fuadiyah (2015) di Kota Cimahi. Hasil uji korelasi menggunakan
pearson’s product moment dan spearman’s rho menunjukkan bahwa
empat faktor iklim (suhu, kelembapan, curah hujan, dan lama
penyinaran matahari) mempunyai korelasi yang signifikan dengan
kasus DBD, dengan hubungan terkuat pada selang waktu yang
berbeda dan arah hubungan yang berbeda. Suhu dan curah hujan
memiliki hubungan signifikan dengan koefisien korelasi terkuat
pada selang waktu satu bulan, sedangkan kelembapan dan lama
penyinaran matahari memiliki hubungan yang signifikan dengan
koefisien korelasi terbesar pada selang waktu dua bulan. Faktor iklim
yang memiliki hubungan dengan arah positif adalah kelembapan
dan curah hujan, sedangkan suhu dan lama penyinaran matahari
mempunyai arah hubungan yang negatif. Artinya, apabila nilai kedua
faktor tersebut naik, kasus DBD cenderung menurun.
Teori dan hasil-hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa
kondisi iklim dapat berpengaruh pada kehidupan vektor. Hal ini
pada akhirnya akan memengaruhi kejadian dengue. Jadi, tren
perubahan iklim secara global sangat mungkin membawa perubahan
terhadap pola hidup vektor dan terjadinya transmisi dengue. Salah

186 | Dengue Update: Menilik ...


satu dampak perubahan iklim adalah fakta bahwa serbuan demam
berdarah hampir merata di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir, baik di dataran rendah maupun tinggi. Sejak 2013, laporan
DBD dari kota-kota dataran tinggi yang sebelumnya berudara sejuk,
seperti Bandung, Lembang, dan Pangalengan mulai tercatat di dinas
kesehatan. Di antara kota-kota di Jawa Barat, Kota Cimahi adalah
salah satu yang paling parah terpapar demam berdarah.

F. PENUTUP
Perubahan iklim, baik di lokal wilayah tertentu maupun secara global,
mempunyai dampak pada kesehatan masyarakat, termasuk pada
transmisi penyakit menular. Penyakit tular vektor yang transmisinya
sangat bergantung pada keberadaan vektor sebagai pembawa agent
penyakit sangat terpengaruh oleh kondisi iklim, baik berupa kondisi
variabel iklim (suhu, curah hujan, kelembapan, kecepatan angin, dan
lama penyinaran matahari) maupun periodesitas iklim.
Perubahan pada variabel dan periodesitas iklim berpengaruh
pada kejadian dengue, yakni dalam hal membawa perubahan pada
distribusi vektor, daya tahan hidup vektor, lama periode daur hidup
vektor, serta masa inkubasi ekstrinsik virus dalam vektor. Vektor
dengue yang semula lebih banyak ditemukan di daerah tropis, kini
mulai merambah ke daerah sub-tropis, bahkan hingga daerah empat
musim yang semula bukan merupakan habitat vektor. Meningkatnya
daya tahan dan semakin pendeknya daur hidup vektor berpengaruh
pada kepadatan vektor yang meningkatkan peluang terjadinya
transmisi penyakit. Perubahan suhu dan curah hujan memperpendek
masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh vektor yang memperbesar
peluang semakin cepatnya persebaran virus dengue.
Pembuatan model prediksi kejadian dengue dengan
mempertimbangkan faktor iklim perlu dilakukan sebagai bentuk
kewaspadaan dini dalam pengendalian penularan penyakit ini.
Model prediksi dapat dibuat sesuai dengan keadaan lokal di
wilayah tertentu sebagai peringatan agar pengambil kebijakan dapat
melakukan langkah pengendalian vektor yang dapat menurunkan
risiko penularan.

Pengaruh Iklim terhadap ... | 187


DAFTAR PUSTAKA
Adi I. M. (2014, April 19). Indonesia pelajari mendalam dampak perubahan
iklim terhadap kesehatan. Ekuatorial.com. 9 April 2015 dari https://
www.ekuatorial.com/id/2014/04/indonesia-pelajari-mendalam-
dampak-perubahan-iklim-terhadap-kesehatan/#!/map=4847.
Ahrens, C. D. (2013). Meteorology today, an introduction to weather, climate,
and the environment.
Arcari, P. Tapper, N., & Pfueller, S. (2007). Regional variability in relationships
between climate and dengue/DHF in Indonesia. Singapore Journal of
Tropical Geography, 28, 251–272.
Ariati, J., & Anwar, A. (2014). Model Prediksi kejadian demam berdarah
dengue (DBD) berdasarkan faktor iklim di Kota Bogor Jawa Barat.
Buletin Penelitian Kesehatan, 42(4), 249–256.
Bangs, M. J., Larasati, R. P., Corwin, A. L., & Wuryadi, S. (2006). Climatic
factors associated with epidemic dengue in Palembang, Indonesia:
implications of short-term meteorological events on virus transmission.
Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health, 37(6), 1103–1116.
Barclay, E. (2008). Is climate change affecting dengue in the Americas?
Lancet, 371(9617), 973–974.
Bhatia, R., Dash, A., & Sunyoto, T. (2013). Changing epidemiology of
dengue in South-East Asia. WHO South-East Asia Journal of Public
Health, 2(1), 23. Diakses 31 Januari 2019 dari http://www.who-seajph.
org/text.asp?2013/2/1/23/115830.
Brady, O. J., Gething, P. W., Bhatt, S., Messina, J. P., Brownstein, J. S., Hoen,
A. G., ... Hai, S. I. (2012). Refining the global spatial limits of dengue
virus transmission by evidence-based consensus. PLoS Negl Trop Dis.,
6(8), e1760. doi: 10.1371/journal.pntd.0001760.
Bultó, P. L. O., Rodríguez, A. P., Valencia, A. R., Vega, N. L., Gonzalez, M.
D., & Carrera, A. P. (2006). Assessment of human health vulnerability
to climate variability and change in Cuba. Environmental Health
Perspectives, 114(12), 1942–1949.
Russell, R. C., Currie, B. J., Lindsay, M. D., Mackenzie, J. S., Ritchie, S.
A., & Whelan, P. I. (2009). Dengue and climate change in Australia:
Predictions for the future should incorporate knowledge from the past.
The Medical Journal of Australia, 190, 265–268.

188 | Dengue Update: Menilik ...


Caminade, C., Mcintyre, K. M., & Jones, A. E. (2018). Impact of recent and
future climate change on vector-borne diseases, pp.1–17.
Campbell, L. P., Luther, C., Moo-llanes, D., Ramsey, J. M., Danis-lozano,
R., Peterson, A. T. (2015). Climate change influences on global
distributions of dengue and chikungunya virus vectors. Philosopical
Transaction Royal Society, 370(1665), 20140135.
Chen, S-C., & Hsieh, M-H. (2012). Modeling the transmission dynamics of
dengue fever: Implications of temperature effects. Science of The Total
Environment, 431, 385–391. Diakses 4 Maret 2018 dari http://www.
sciencedirect.com/science/article/pii/S00489697 12006584.
Cheong, Y. L., Burkart, K., Leitão, P. J., & Lakes, T. (2013). Assessing
weather effects on dengue disease in Malaysia. International Journal of
Environmental Research and Public Health, 10(12), 6319–6334. Diakses
4 Maret 2018 dari http://www.mdpi.com/1660-4601/10/12/6319.
Christophers, S. R. (1960). Aedes aegypti (L.) the yellow fever mosquito: It’s
life history, bionomics and structure. The Syndics of the Cambridge
University Press.
Conway, G. (2009). The Science of Climate Change in Africa: Impacts and
Adaptation. UK: Chief Scientific Advisor Department for International
Development.
Cummings, D. A.., Irizarry, R. A., Huang, N. E., Endy, T. P., Nisalak,
A., Ungchusak, K., & Burke, D. S. (2004). Travelling waves in the
occurrence of dengue haemorrhagic fever in Thailand. Nature, 427,
344–347.
Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman ekologi dan aspek perilaku
vector. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. (2005). Pencegahan dan pemberantasan demam
berdarah dengue. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI.
Descloux, E., Mangeas, M., Menkes, C. E., Lengaigne, M., Leroy, A., Tehei, T.,
.... De Lamballerie, X. (2012). Climate-based models for understanding
and forecasting dengue epidemics. PLOS Neglected Tropical Diseases,
6(2), 1–19. DOI: https://doi.org/10.1371/ journal.pntd.n 0001470.

Pengaruh Iklim terhadap ... | 189


Dhimal, M., Gautam, I., Joshi, H. D., O’Hara, R. B., Ahrens, B., & Kuch,
U. (2015). Risk Factors for the presence of chikungunya and dengue
vectors (Aedes aegypti and Aedes albopictus), their altitudinal
distribution and climatic determinants of their abundance in Central
Nepal. PLOS Neglected Tropical Diseases, 9(3), 1–20. DOI: https://doi.
org/10.1371/journal.pntd.0003545.
Dini, A. M. V., Fitriany, R. N., & Wulandari, R. A. (2010). Faktor iklim
dan angka insiden demam berdarah di Kabupaten Serang. Makara,
Kesehatan, 14(1), 37–45.
Djunaedi, D. (2006). Demam berdarah dengue: Epidemiologi,
immunopatologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaannya.
Malang: UMM Press.
Dom, N. C., Hassan, A. A., Latif, Z. A., & Ismail, R. (2013). Generating
temporal model using climate variables for the prediction of dengue
cases in Subang Jaya, Malaysia. Asian Pacific Journal of Tropical Disease,
3(5), 352–361. Diakses 4 Maret 2018 dari http://www.sciencedirect.
com/science/article/pii/S2222180813600845.
Earnest, A., Tan, S. B., & Wilder-Smith, A. (2012). Meteorological factors
and El Niño Southern Oscillation are independently associated with
dengue infections. Epidemiology and Infection, 140(7), 1244–1251.
ECDC. (2013, Februari 13). Epidemiological update: Outbreak of dengue in
Madeira, Portugal. Epidemiological Update.
European Centre for disease prevention and control and european safety
authority. (2019). Mosquito maps: Aedes aegypti & Aedes albopictus-
current known distribution-January 2019. ECDC Stockholm. Diakses
pada 1 Maret 2019 dari https://ecdc.europa.eu/en/publications-data/
aedes-aegypti-current-known-distribution-january-2019.
Fuadiyah, M. E. A. (2015). Model prediksi kejadian DBD berdasarkan faktor
iklim di Kota Cimahi (Tahun 2004–2013). Universitas Indonesia.
Gama, Z. P., Bullet, G., & Nakagoshi, N. (2013). Climatic variability and
dengue haemaorrhagic fever incidence in Nganjuk District, East Java,
Indonesia. Acta Biologica Malaysiana, 2, 31–39.
Halide, H., & Ridd, P. (2008). A predictive model for dengue hemorrhagic
fever epidemics. International Journal of Environmental Health
Research, 18, 253–265.

190 | Dengue Update: Menilik ...


Hii, Y. L., Rocklov, J., Ng, N., Tang, C. S., Pang, F. Y., & Sauerborn, R. (2009).
Climate variability and increase in intensity and magnitude of dengue
incidence in Singapore. Global Health Action, 2(1), 0–9.
Hu, W., Clements, A., Williams, G., & Tong, S. (2010). Dengue fever
and El Niño/southern oscillation in Queensland, Australia: a time
series predictive model. Occupational and Environmental Medicine,
67(5), 307–311. Diakses 9 April 2015 dari https://oem.bmj.com/
content/67/5/307.
Hu, W., Clements, A., Williams, G., Tong, S., & Mengersen, K. (2012). Spatial
patterns and socioecological drivers of dengue fever transmission in
Queensland, Australia. Environmental Health Perspectives, 120(2),
260–266.
IPCC. (2007). Climate change 2007: the physical science basis.
Intergovernmental Panel on Climate Change.
Johansson, M. A., Dominici, F., & Glass, G. E. (2009). Local and global
effects of climate on dengue transmission in Puerto Rico. PLOS
Neglected Tropical Diseases, 3(2), 1–5. DOI: https://doi.org/10.1371/
journal.pntd.0000382.
Karim, M. N., Munshi, S. U., Anwar, N., & Alam, M. S. (2012). Climatic
factors influencing dengue cases in Dhaka city: a model for dengue
prediction. The Indian Journal of Medical Research, 136(1), 32–9.
Levy, B. S., Patz, J. A., & Francis, P. (2015). Climate change, human rights,
and social justice. Annals of Global Health 81(3), 310–322.
Liu-Helmersson, J., Rocklöv, J., Sewe, M., & Brännström, Å. (2019). Climate
change may enable Aedes aegypti Infestation in major European cities
by 2100. Environmental Research, 172, 693–699.
McMichael, A. J., Friel, S., Nyong, A., & Corvalan, C. (2008). Global
environmental change and health: Impacts, inequalities, and the health
sector. BMJ Clinical Research, 336(7637), 191–194.
McMichael, A. J., Haines, A., Sloof, R., & Kovats, S. (1996). Climate change
and human health. An assessment/prepared by a task group on behalf of
the World Health Organization, the World Meteorological Association
and the United Nations Environment Programme, A. McMichael (ed.).
Geneva: World Health Organization.
Morin, C. W., Comrie, A. C., & Ernst, K. (2013). Climate and dengue
transmission: Evidence and implications. Environmental Health
Perspectives, 121(11–12), 1264–1272.

Pengaruh Iklim terhadap ... | 191


Murray, N. E., Quam, M. B., Wilder-Smith, A. (2013). Epidemiology of
dengue: Past, present and future prospects. Clinical Epidemiology, 5,
299–309.
National Research Council. (2001). Under the weather: climate, ecosystems,
and infectious disease. Washington, DC: The National Academies
Press. https://doi.org/10.17226/10025.
Ooi, E-E., & Gubler, D. J. (2008). Dengue in Southeast Asia : Epidemiological
characteristics and strategic challenges in disease prevention dengue
no sudeste asiático : características epidemiológicas e desafi os
estratégicos na prevenção da doença. Cad. Saúde Pública.25, supl.1.
DOI: http://dx.doi.org/10.1590/S0102-311X2009001300011
Patz, J. A., & Reisen, W. K. (2001). Immunology, climate change and vector-
borne diseases. Trends in Immunology, 22(4), 171–172.
Pidwirny, M. (2006). El Nino, La Nina and The Southern Oscillation.
Fundamentals of physical geography (2nd edition). Diakses pada 13
Januari 2019 dari http://www.physicalgeography.net/fundamentals/
7z.html.
Pinto, E., Coelho, M., Oliver, L., & Massad, E. (2011). The influence of
climate variables on dengue in Singapore. International Journal of
Environmental Health Research, 21(6), 415–426. DOI: https://doi.org/1
0.1080/09603123.2011.572279.
Ramadona, A., Lazuardi, L., Hii, Y. L., Holmner, Å., Kusnanto, H., &
Rocklöv, J. (2016). Prediction of dengue outbreaks based on disease
surveillance and meteorological data. PloS one, 11, e0152688.
Reiter, P. (2010). Yellow fever and dengue: a threat to Europe? Goo-
gle Scholar, 1–7. Diakses 31 Januari 2019 dari http://scholar.google.
co.uk/scholar?q=yellow+fever+and+dengue%3A+a+threat+to+eu-
rope%3F&hl=en&btnG=Search&as_sdt=1%2C5&as_sdtp=on.
Rosen, L. (1986). Dengue in Greece in 1927 and 1928 and the pathogenesis
of dengue hemorrhagic fever: New data and a different conclusion. The
American Society of Tropical Medicine and Hygiene, 35(3),.642–653.
Sang, S., Yin, W., Bi, P., Zhang, H., Wang, C., Liu, X., ...Yang, W. (2014).
Predicting local dengue transmission in Guangzhou, China, through
the influence of imported cases, mosquito density and climate
variability. PLOS ONE, 9(7), 1–10. DOI: https://doi.org/10.1371/
journal.pone.0102755.

192 | Dengue Update: Menilik ...


Soedarmo, S. (2000). Masalah demam berdarah di Indonesia. Dalam
Demam berdarah dengue. S.R. Hadinegiri & H. I. Satari (eds.) Jakarta:
Penerbit FK UI.
Soegijanto, S. (2004). Demam berdarah dengue. Surabaya: Airlangga Uni-
versity Press.
Sofiyana, E. (2010). Analisis spasial penyakit demam berdarah di Kota De-
pok tahun 2006–2008. Universitas Indonesia.
Souza, S. S., Silva, I. G., & Silva, H. H. G. (2010). Associação entre incidência
de dengue, pluviosidade e densidade larvária de Aedes aegypti, no
Estado de Goiás. Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical,
43(2), 152–155.
Sumirat J. (2009). Kesehatan lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
university Press.
Tapia-Conyer, R., Betancourt-Cravioto, M., & Méndez-Galván, J. (2012).
Dengue: an escalating public health problem in Latin America.
Paediatrics and International Child Health, 32(sup1), 14–17. DOI:
https://doi.org/10.1179/2046904712Z.00000000046.
Thai, K. T. D., Cazelles, B., Nguyen, N-Van., Vo, L. T., Boni, M. F., Farrar,
J.,... de Vries, P. J. (2010). Dengue dynamics in Binh Thuan Province,
Southern Vietnam: periodicity, synchronicity and climate variability.
PLOS Neglected Tropical Diseases, 4(7), 1–8. DOI: https://doi.
org/10.1371/journal.pntd.0000747.
Tjaden, N. B., Thomas, S. M., Fischer, D., & Beierkuhnlein, C. (2013).
Extrinsic incubation period of dengue: Knowledge, backlog, and
applications of temperature dependence. PLoS Negl Trop Dis, 7(6),
e2207. DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0002207
United Nation Development Programme. (2017). Sisi lain perubahan
iklim: mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat
miskinnya.
Wolf, T., Lyne, K., Martinez, G. S., & Kendrovski, V. (2015). The health
effects of climate change in the WHO European region. Climate, 3,
901–936. doi:10.3390/cli3040901
World Health Organization. (2014). A global brief on vector-borne diseases.
World Health Organization. Diakses 31 Januari 2019 dari https://apps.
who.int/iris/handle/10665/111008

Pengaruh Iklim terhadap ... | 193


World Health Organization (WHO). (2018). Dengue and severe dengue.
Diakses pada 15 Oktober 2018 dari https://www.who.int/news-room/
fact-sheets/detail/dengue-and-severe-dengue.
Xu, H. Y., Fu, X., Lee, L. K. H., Ma, S., Goh, K. T., Wong, J., ... Lee, C. N.
(2014). Statistical modeling reveals the effect of absolute humidity on
dengue in Singapore. PLoS Neglected Tropical Diseases, 8(5), e2805.
DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0002805
Xu, L., Stige, L. C., Chan, K-S., Zhou, J., Yang, J., Sang, S.... Stenseth, N. S.
(2017). Climate variation drives dengue dynamics. Proceedings of the
National Academy of Sciences, 114(1), 113–118. Diakses 1 Maret 2019
dari https://www.pnas.org/content/114/1/113.
Zambrano, L. I., Sevilla, C., Reyes-García, S. Z., Sierra, M., Kafati, R.,
Rodriguez-Morales, A. J., & Matar, S. (2012). Potential impacts of
climate variability on dengue hemorrhagic fever in Honduras 2010.
Tropical biomedicine, 29(4), 499–507. Diakses 27 Februari 2019 dari
http://europepmc.org/abstract/MED/23202593.

194 | Dengue Update: Menilik ...


Bab 10
Perilaku Pencarian Pengobatan
Pasien Demam Berdarah Dengue
Firda Yanuar Pradani & Rohmansyah Wahyu Nurindra

A. DEFINISI PERILAKU KESEHATAN


Semua rasa yang timbul dari penyakit pada tubuh (baik fisik,
psikis, maupun sosial) merupakan kenyataan universal yang
dialami kelompok manusia. Kenyataan universal ini kemudian
mengembangkan pengertian, kepercayaan, dan persepsi yang
konsisten dengan matriks budaya kelompok manusia tersebut
untuk menyadari adanya suatu penyakit. Seperangkat pengetahuan
kebudayaan membuat perilaku dapat terwujud atau menjadi nyata.
Dalam konteks budaya, perilaku merupakan tindakan konkret dan
dapat dilihat serta diwujudkan dalam sistem sosial di lingkungan
kelompok manusia tersebut. Artinya, kelompok manusia—karena
perbedaan kebudayaan mereka masing-masing—akan menghasilkan
pandangan atau persepsi yang berbeda tentang suatu pengertian,
termasuk dalam konteks penyakit. Hal ini pada ujungnya akan
berpengaruh terhadap usaha kelompok manusia tersebut untuk
mencari layanan kesehatan.
Masyarakat atau anggota masyarakat yang menderita penyakit,
tetapi tidak merasakan sakit (silent infection), cenderung tidak
melakukan apa pun untuk mengobati penyakitnya. Sebaliknya,
ketika penyakitnya itu menimbulkan rasa sakit atau ketika sudah

| 195
tidak bisa lagi melakukan kegiatan rutin sehari-hari, barulah orang
tersebut melakukan upaya untuk mengobati penyakitnya. Respons
yang ditimbulkan pun akan berbeda-beda, dari tidak melakukan
apa-apa dengan pertimbangan rasa sakit tersebut akan hilang dengan
sendirinya dan tidak dirasa mengganggu aktivitasnya, kemudian
melakukan pengobatan sendiri (self-treatment atau self-medication)
karena merasa usaha pengobatan sendiri dapat mendatangkan
kesembuhan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Respons se­
nya adalah mencari pengobatan ke tempat pengobatan
lanjut­
tradisional (traditional remedy) karena sebagian masyarakat di
Indonesia menganggap bahwa sakit itu lebih bersifat budaya
sehingga pengobatannya pun cenderung berorientasi sosial-budaya
dan atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan
modern (profesional) yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga
kesehatan swasta.
Variabel yang mendasari tindakan seseorang dalam mengobati
penyakitnya adalah kerentanan yang dirasakan (perceived
susceptibility), keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness),
manfaat dan rintangan yang dirasakan (perceived benefits and
barriers) dan isyarat atau tanda-tanda (cues). Selain variabel tersebut,
beberapa variabel juga ikut memengaruhi kepercayaan atau persepsi
seseorang, yaitu umur, budaya, ekonomi, serta kepercayaan, dan
kesanggupan diri (Bachtiar, 2017). Penelitian Mushalinas menyatakan
bahwa tingkat keparahan terhadap penyakit menyebabkan individu
percaya bahwa konsekuensi dari tingkat keparahan yang dirasakan
merupakan ancaman bagi hidupnya sehingga individu akan
mengambil tindakan untuk mencari pengobatan dan pencegahan
terhadap penyakit (Mushalinas, 2014).
Anderson (2009) menggambarkan model sistem kesehatan
(health system model) berupa model kepercayaan kesehatan dalam
tiga kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yaitu

196 | Dengue Update: Menilik ...


1) Karakteristik predisposisi (predisposing characteristics). Karak­
teristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap
individu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan
pelayanan kesehatan yang berbeda karena adanya ciri individu
yang meliputi jenis kelamin, umur, struktur sosial, seperti tingkat
pendidikan serta manfaat kesehatan sesuai dengan keyakinan
masing-masing individu.
arakteristik pendukung (enabling characteristics). Meski­
2) K
pun mempunyai predisposisi untuk menggunakan pe­
layanan kesehatan, individu tidak akan bertindak untuk
menggunakannya, kecuali apabila individu tersebut memiliki
kemampuan menggunakannya.
arakteristik kebutuhan (need characteristics). Kebutuhan ini
3) K
dibagi lagi menjadi dua, yaitu yang dirasa atau persepsi individu
(subject assesment).

Konsep perilaku merupakan satu kesatuan dengan konsep


kebudayaan, dan dalam hal ini, kebudayaan menjadi dasar. Perilaku
kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan,
kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya.
Artinya, terapi dan pencegahan penyakit pun berkaitan dengan
kebudayaannya masing-masing.
Banyak definisi perilaku yang dilihat dari berbagai segi keilmuan,
seperti psikologi, biologi, antropologi, dan sosiologi. Dalam ilmu
psikologi, perilaku tak lepas dari aliran psikoanalisis. Pandangan
aliran psikoanalisis (teori Freud) menyebutkan bahwa perilaku
manusia ditentukan oleh kepribadiannya, sedangkan kepribadian
ditentukan oleh prinsip pencarian kenikmatan dan penghindaran
ketidaknikmatan (aspek biologis), dan dalam pencapaiannya,
manusia menyesuaikan dengan realitas (aspek psikologis) dan
dikendalikan oleh aspek norma sosial (sosiologis) (Hamzah, 2010).
Berikut ini beberapa konsep tentang perilaku yang dikenal
dalam ilmu perilaku.

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 197


1) Konsep behaviorisme menganalisis perilaku manusia dari gejala
yang tampak saja, yang dapat diukur dan diramalkan. Konsep
behaviorisme mengakui bahwa seluruh perilaku manusia (kecuali
insting) adalah hasil dari belajar. Konsep behaviorisme selanjutnya
berkembang menjadi beberapa aliran, seperti empirisme
(manusia lahir dalam keadaan kosong, perilakunya dipengaruhi
lingkungan terutama pendidikan), nativisme (perilaku manusia
sudah ditentukan sejak lahir/bawaan), naturalisme (pada
hakikatnya manusia terlahir baik, adapun kemudian tetap baik
atau menjadi tidak baik adalah karena pengaruh lingkungan),
dan aliran konvergensi (perilaku merupakan perpaduan antara
bawaan dan lingkungan sehingga meskipun perilaku dapat
dikembangkan tetapi memiliki keterbatasan yaitu pembawaan)
(Notoatmodjo, 2012).
2) Aliran psikologi kognitif bersumber dari aliran rasionalisme yang
menyatakan bahwa perilaku bukan hanya sekadar reaksi atau
respons terhadap lingkungan, melainkan juga melewati proses
pemikiran dan pemahaman terlebih dahulu. Pengetahuan tidak
hanya bersumber dari indra, tetapi bersumber dari jiwa atau
budi. Pada perkembangannya, terjadi kognisi positif dan negatif
yang menimbulkan kenyamanan dan keresahan sehingga pada
akhirnya pengetahuan atau pemahaman dan kepercayaan atau
keyakinan akan menghilangkan kognisi negatif yang memicu
keresahan.
3) Aliran psikohumanistik. Aliran ini lebih mengacu pada aliran
filsafat fenomenologi dan eksistensialisme. Aliran ini membuat
beberapa asumsi, yaitu perilaku manusia berpusat pada konsep
diri, berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan dan
mengaktualisasikan dirinya sendiri, bereaksi pada situasi sesuai
dengan persepsi tentang diri dan dunianya, ketika ada ancaman
akan diikuti oleh pertahanan diri dan kecenderungan batiniah
(menuju kesehatan dan keutuhan diri) sehingga dalam kondisi
normal manusia akan berperilaku rasional dan konstruktif
(Notoatmodjo, 2012).

198 | Dengue Update: Menilik ...


Dari segi biologi, perilaku adalah suatu kegiatan organisme
(makhluk hidup). Jadi, semua makhluk hidup berperilaku karena
masing-masing memiliki aktivitas. Perilaku manusia pada hakikatnya
adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri, yang memiliki
bentangan sangat luas, baik yang dapat diamati langsung maupun
yang tidak dapat diamati. Skiner (1938), ahli psikologi, merumuskan
bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar.
Teori Skiner lebih dikenal dengan nama teori S-O-R atau
stimulus organisme respons. Ada dua respons yang dihasilkan, yaitu
respondent respons atau reflexive dan operant respons. Respondent
respons atau reflexive ialah respons ditimbulkan oleh stimulus tertentu
atau disebut eliciting stimulation karena respons yang ditimbulkan
biasanya relatif tetap. Operant respons atau instrumental respons
ialah respons yang timbul dan berkembang dengan stimulus yang
baru sehingga meningkatkan respons yang diberikan. Jika dilihat
dari kedua respons tersebut, perilaku terbagi menjadi dua, yaitu
perilaku tertutup (covert behaviour) karena responsnya tertutup atau
terselubung; dan perilaku terbuka (overt behaviour) berupa respons
dalam bentuk tindakan nyata sehingga mudah diamati atau dilihat
orang lain (Notoatmodjo, 2010).
Setidaknya ada lima teori yang dikembangkan oleh para ahli
terkait pembentukan perilaku pada manusia, yaitu
1) Teori ABC (Sulzer & Mayer, 1986). Teori ini mengungkapkan
bahwa perilaku merupakan suatu proses dan sekaligus hasil
interaksi antara pemicu (antecedent), reaksi atau tindakan
(behaviour), dan kejadian selanjutnya akibat respons, bisa positif
maupun negatif (soncequences).
2) Teori Reason-Action (Ajzen & Fishbein, 1980). Teori ini
menekankan pentingnya peranan “intention” atau niat sebagai
alasan atau faktor penentu perilaku. Selanjutnya, niat ini
ditentukan oleh sikap, norma subjektif, dan pengendalian
perilaku.

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 199


3) Teori Preced-Proceed (Green & Kreuter, 1992). Teori ini
menyatakan bahwa perilaku terbentuk dari tiga faktor, yaitu faktor
predisposisi (pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-
nilai dan sebagainya); faktor pemungkin/enabling (lingkungan
fisik, ada atau tidaknya fasilitas pendukung dan sebagainya) serta
faktor pendorong atau penguat/renforcing (sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan referensi
dari perilaku masyarakat) (Priyoto, 2015).
4) Teori Behaviour Intention (Snehendu Kar/1983). Teori ini
menyatakan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat
ditentukan oleh niat orang terhadap objek kesehatan, ada atau
tidaknya dukungan dari masyarakat sekitar, ada atau tidaknya
informasi tentang kesehatan, dan kebebasan individu untuk
mengambil keputusan/bertindak serta situasi penghalang atau
pendukung.
5) Teori Thoughs and Feeling (WHO/1984). Hasil analisis
menyimpulkan bahwa ada empat alasan pokok yang menyebabkan
seseorang berperilaku, yaitu pengetahuan, kepercayaan dan
sikap; persepsi; sumber daya dan budaya (Notoatmodjo, 2010).

Dari beberapa teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku


manusia merupakan refleksi dari beberapa gejala kejiwaan, seperti
pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, dan
sikap. Berdasarkan lima teori perilaku tersebut, perilaku kesehatan
dapat didefinisikan sebagai respons seseorang terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makan dan minuman, serta lingkungan. Perilaku kesehatan sendiri
terdiri dari tiga aspek yaitu
1) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance). Perilaku
ini merupakan usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga
kesehatan agar tidak sakit dan usaha penyembuhan ketika sakit.
Perilaku ini mencakup tiga aspek, yaitu perilaku pencegahan
penyakit, perilaku peningkatan kesehatan, dan perilaku gizi
(makanan) serta minuman.

200 | Dengue Update: Menilik ...


2) Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas
pelayanan kesehatan atau sering disebut perilaku pencarian
pengobatan (health seeking behaviour). Perilaku ini menyangkut
upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit
dan atau kecelakaan, mulai dari mengobati diri sendiri (self-
treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
3) Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang
merespons lingkungan, baik fisik maupun sosial budaya sehingga
lingkungan tersebut tidak memengaruhi kondisi kesehatannya,
keluarganya, atau masyarakatnya (Notoatmodjo, 2012).

Becker (1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku


kesehatan, yaitu
1) Perilaku hidup sehat yang mencakup makan dengan menu
seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak meminum
alkohol dan narkoba, istirahat cukup, dan mengendalikan stress
serta gaya hidup lain yang positif.
2) Perilaku sakit (illness behaviour) mencakup respons seseorang
terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit,
pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, dan
pengobatan penyakit.
3) Perilaku peran sakit (the sick role behaviour) mencakup tindakan
untuk memperoleh kesembuhan, mengenal/mengetahui fasilitas
atau sarana pelayanan penyembuhan penyakit yang layak,
dan mengetahui hak dan kewajiban orang sakit, misalnya hak
mendapatkan perawatan dan kewajiban untuk memberitahukan
penyakitnya kepada dokter atau petugas kesehatan.

B. PENCARIAN PENGOBATAN DBD


Gejala demam berdarah dengue (DBD) sangat bervariasi, dari gejala
ringan, gejala sedang, dan gejala yang lebih parah. Gejala ringan,
misalnya demam, sakit kepala, mual, dan ruam biasanya sembuh
dengan sendirinya dalam satu minggu. Gejala sedang atau tanpa

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 201


gejala biasanya terjadi pada penderita dengan infeksi primer. Gejala
yang lebih parah dimanifestasikan dengan pendarahan, tekanan
darah rendah, trombositopenia, dan kebocoran plasma yang
diikuti kerusakan saraf, dan biasanya mengakibatkan renjatan atau
syok dan memicu kerusakan atau kegagalan multisistem sehingga
berujung pada kematian. Ketidaktersediaan manajemen kasus yang
layak karena keterbatasan sumber daya, kesalahan diagnosis, atau
kurangnya pengetahuan, dapat berakibat fatal. Meskipun kematian
akibat DBD dapat dicegah, pada kenyataannya angka kematian
(CFR) DBD selalu di atas 1% di seluruh dunia (Huy dkk., 2013).
Infeksi virus dengue (DENV) dapat mengawali manifestasi
klinis yang lebih luas, dari demam ringan sampai renjatan yang bisa
berakibat fatal. Berdasarkan gejalanya, penyakit ini diklasifikasikan
sebagai demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD)
dan dengue shock syndrome (DSS). DENV sendiri tergolong dalam
famili Flaviviridae dan dibedakan menjadi empat serotipe, yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, dan masing-masing serotipe
ini memiliki kekhasan sendiri dilihat dari gejalanya. Hasil penelitian
terhadap pasien yang positif terkena DENV menunjukkan bahwa
infeksi virus DEN-2 lebih cenderung mengarah pada myalgia dan
trombositopenia hebat dibandingkan dengan serotipe lain. Namun,
jika dilihat dari tingkat keparahan, pasien dengan virus DEN-1
cenderung menunjukkan gejala lebih parah dibandingkan dengan
serotipe lainnya (Dhanoa dkk., 2016).
Ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keparahan
penyakit ini, yaitu
1) Individu. Faktor individu meliputi karakteristik pekerjaan,
pendapatan, dan pendidikan. Selain itu, komponen biologis
juga termasuk kategori ini, seperti umur, jenis kelamin, suku,
morbiditas, dan kondisi individu (status imunologi dan tipe
infeksi).
2) Sosial dan lingkungan. Yang termasuk Faktor sosial adalah
sosioekonomi dan politik, perang dan konflik, serta perilaku
sosial. Sementara itu, faktor lingkungan meliputi kelembapan,

202 | Dengue Update: Menilik ...


curah hujan, dan aspek geografis, di dalamnya termasuk
karakteristik virus dan keberadaan virus.
3) Sistem kesehatan. Faktor ini mencakup informasi tentang akses
pelayanan kesehatan, cakupan, kualitas fasilitas kesehatan, dan
informasi surveilans (Carabali dkk., 2015).

Pengetahuan yang cukup tidak menjamin seseorang langsung


mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan terdekat. Hasil penelitian
terhadap penderita malaria di Kabupaten Purbalingga menunjukkan
bahwa sebagian penderita malaria baru mencari pengobatan
setelah dua hari menderita gejala penyakit, padahal sudah sangat
paham akibat dan bahaya penyakit tersebut (Andriyani, Heriyanto,
Trapsilowati, Septia, & Widiarti, 2010). Hasil berbeda ditemukan
di daerah Colombia. Penelitian yang dilakukan dengan melakukan
wawancara terhadap responden yang salah satu anggota keluarganya
pernah terkena DBD menyebutkan bahwa ketika mereka merasakan
atau melihat anggota keluarganya menunjukkan gejala DBD, seperti
demam, mereka langsung mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan
atau mendatangi dokter. Hasil ini berbanding lurus dengan tingkat
pengetahuan responden serta pendidikannya (Diaz-Quijano dkk.,
2018). Hasil berbeda juga ditemukan di Provinsi Binh Thuan,
Vietnam, yang masyarakatnya lebih memilih melakukan pengobatan
sendiri, bahkan meminum antibiotik tanpa konsultasi dulu ke tenaga
kesehatan (Phuong dkk., 2010).
Hasil penelitian lain di Laos menyebutkan bahwa tingkat
pengetahuan yang baik akan mendukung praktik yang baik juga,
meskipun pengetahuan yang baik cenderung berasosiasi dengan
sikap yang buruk (Mayfong dkk., 2013). Peran penyuluh kesehatan
dan dukungan sosial dari orang terdekat menjadi faktor pendorong.
Penyuluh kesehatan dapat mengambil peran dengan terus-menerus
memberikan sosialisasi dan informasi mengenai penyakit. Hasil
studi di Thailand menunjukkan bahwa peran aktif dari Pemerintah
(Kementerian Kesehatan) dalam menyosialisasikan bahaya ma­
laria dan dengue berhasil meningkatkan kewaspadaan terhadap

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 203


penularan dan kegiatan pencegahan penularan (Brusich dkk., 2015).
Dukungan orang terdekat, dalam hal ini keluarga, bisa ditunjukkan
dengan memberikan dorongan dan semangat sehingga penderita
ingin segera sembuh. Dukungan juga bisa ditunjukkan dengan
memberikan bantuan biaya rumah sakit atau menunggui pasien
dirawat di rumah sakit (Hamzah, 2010).
Keterbatasan waktu dan biaya merupakan faktor yang
memengaruhi perilaku pencarian pengobatan sesegera mungkin.
Sebagian besar masyarakat enggan jika harus meluangkan waktunya
untuk mengobati gejala yang dianggap sepele atau sedikit, apalagi
harus mengeluarkan biaya obat dan jasa pelayanan, atau bahkan
mengharuskan mereka tidak masuk kerja (Lee, Lee, & Low, 2014).
Selain itu, pemeriksaan awal terkait kemungkinan penyakit juga
tidak populer di kalangan masyarakat karena pertimbangan yang
sama (Chan dkk., 2018).
Setelah program BPJS dilaksanakan mulai tahun 2014,
masyarakat cenderung lebih mudah untuk menentukan fasilitas
pelayanan kesehatan pratama, terutama yang disediakan Pemerintah
(Puskesmas) sebagai pilihan layanan kesehatan. Keberadaan
tenaga kesehatan profesional yang terjangkau dari segi pembiayaan
mempermudah pemilihan pelayanan kesehatan (Janis, 2014). Pada
awal pelaksanaan memang terdapat hambatan manakala masyarakat
belum mengerti syarat administrasi yang harus disiapkan. Namun,
seiring berjalannya waktu, masyarakat menjadi terbiasa dan mulai
merasakan manfaat BPJS sehingga mengurus administrasi tidak lagi
dirasakan sebagai hambatan. Masyarakat mau meluangkan waktu
untuk mengurus administrasi dalam berobat dengan pertimbangan
bahwa mereka akan mendapatkan layanan kesehatan yang baik dari
para profesional. Persepsi pasien ini sangat penting karena pasien
yang puas akan mematuhi pengobatan dan mau datang berobat
kembali, termasuk ketika mereka mendapatkan obat yang relatif
cepat memberikan kesembuhan (Apriyanto, Kuntjoro, & Lazuardi,
2013).

204 | Dengue Update: Menilik ...


Kesempatan mendapatkan perawatan berhubungan dengan
cakupan dan akses ke fasilitas kesehatan. Hal ini berhubungan
dengan kefatalan penyakit. Meskipun kondisi keuangan dan sosial
cukup baik, jika masyarakat tidak memiliki akses ke fasilitas
kesehatan, akan terjadi keterlambatan penanganan yang berakibat
fatal (Carabali dkk., 2015).
Bagaimana upaya penderita DBD mencari pengobatan, berapa
lama waktu yang dibutuhkan, dan siapa yang mengambil keputusan
terkait pengobatan menjadi penting untuk diketahui. Pada prinsipnya,
rentang waktu antara kondisi viremia dalam tubuh penderita dengan
upaya pengobatan yang dilakukan akan memengaruhi peluang
penularan oleh vektor penyakit. Upaya dan kecepatan pencarian
pengobatan akan memengaruhi proses penularan virus dengue.
Individu yang mengalami viremia akan menjadi sumber virus untuk
ditularkan oleh Aedes aegypti atau vektor lainnya. Hal ini tentunya
menjadi faktor pendukung penyebaran penyakit DBD sendiri.
Upaya pencarian pengobatan merupakan perilaku seseorang
terhadap penyakit atau rasa sakit yang ada pada dirinya (Hamzah,
2010). Ketanggapan melakukan pengobatan tergolong dalam
perilaku kesehatan. Seperti diketahui perilaku kesehatan adalah
reaksi seseorang terhadap rangsangan yang berkaitan dengan sakit
dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan. Reaksi
tersebut bisa berbeda. Ada yang bereaksi aktif dengan melakukan
tindakan nyata (praktik), ada pula yang bereaksi pasif ditunjukkan
melalui pengetahuan, persepsi dan sikap. Ketika merasakan gejala
sakit, seseorang akan mencoba melakukan swamedikasi terlebih
dahulu atau melakukan pengobatan sendiri yang diyakini akan
mengurangi gejala sakit yang dirasakannya (Fitriana, 2017).
Gejala awal DBD, seperti demam, sakit kepala, dan mual
memiliki persamaan dengan gejala penyakit radang atau influenza.
Hal ini yang menyebabkan penderita biasanya tidak langsung datang
ke tempat pelayanan kesehatan atau tempat praktik tenaga kesehatan.
Pada umumnya, penderita baru mendatangi tempat fasilitas
kesehatan pada hari ketiga atau keempat demam atau muncul gejala

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 205


penyakit lainnya (Fitriana, 2017). Gejala ini juga kadang dianggap
biasa di beberapa etnis tertentu. Persepsi masyarakat tentang demam
sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat tradisional. Sebagai
contoh, di daerah Malawi, demam yang dialami oleh anak-anak
di bawah 5 tahun—yang sebetulnya merupakan gejala malaria—
dianggap biasa “efek samping” dari pertumbuhan organ genital dan
alat reproduksi anak tersebut (Chibwana, Mathanga, Chinkhumba,
& Campbell, 2009).
Hasil penelitian di Kota Sukabumi terhadap beberapa penderita
DBD menunjukkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan yang
dituju untuk mendapatkan pengobatan adalah rumah sakit, praktik
dokter mandiri, dan puskesmas. Rumah sakit menjadi fasilitas
kesehatan (fasilitas kesehatan) yang paling banyak dipilih dengan
pertimbangan kelengkapan alat dan obat, waktu pelayanan, dan
jarak dari rumah tempat tinggal yang tidak terlalu jauh (Nurindra &
Santya, 2015). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh responden dari
wilayah Kabupaten Ciamis, yang cenderung memilih rumah sakit
sebagai fasilitas kesehatan yang dituju karena kelengkapan alat dan
sarana serta obat-obatan (Nurindra, Masturoh, Hendri, & Ipa, 2010).
Jarak fasilitas kesehatan dengan tempat tinggal menjadi
pertimbangan utama pemilihan fasilitas kesehatan. Efisiensi
biaya transportasi yang harus dikeluarkan menjadi poin penting
dalam pemilihan fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, biaya
pengobatan yang relatif murah ikut juga menjadi pertimbangan
sehingga beberapa penderita memilih puskesmas untuk berobat.
Alasan berbeda dikemukakan oleh beberapa pasien yang lebih
memilih untuk datang ke tempat praktik dokter mandiri. Efisiensi
waktu menjadi pertimbangan utama pemilihan fasilitas praktik
dokter tersebut. Sebagian besar beranggapan bahwa tidak butuh
waktu lama untuk mendapatkan pengobatan jika datang ke tempat
praktik dokter langsung daripada harus antre di rumah sakit atau
puskesmas (Nurindra & Santya, 2015). Setelah program BPJS
diterapkan, pemilihan tempat berobat masyarakat cenderung
bergeser. Masyarakat kini memilih untuk mengikuti “alur” yang

206 | Dengue Update: Menilik ...


diatur oleh BPJS, yakni dengan mendatangi fasilitas kesehatan
tingkat pertama terlebih dahulu untuk mendapatkan penanganan
bagi keluhan penyakitnya. Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang ditunjuk biasanya dekat dengan domisili atau rumah
tinggal masyarakat.
Penegakan diagnosis DBD harus melalui pemeriksaan klinis
disertai pemeriksaan pendukung laboratoris, seperti hematologi
atau imunologi, karena gejala penyakit DBD hampir sama dengan
beberapa penyakit infeksi lain. Hal ini juga yang menyebabkan
penegakan diagnosis berjalan lama dan sering kali mengakibatkan
renjatan atau syok pada beberapa penderita bila terjadi keterlambatan
penanganan kasus. Oleh karena itu, keterampilan dan kejelian tenaga
kesehatan yang memeriksa sangat diperlukan. Tenaga kesehatan
pun diharapkan lebih komunikatif dengan pasien, terutama pasien
dengan gejala yang tidak spesifik, seperti menanyakan riwayat
perjalanan pasien dalam tujuh hari terakhir untuk mengetahui
kemungkinan penularan penyakit dari daerah endemis. Apabila
dalam kurun waktu tersebut pasien sempat melakukan perjalanan
ke daerah endemis, sebaiknya dianjurkan untuk melakukan tes
serologis untuk memastikan apakah gejala tersebut akibat DBD atau
bukan (Carabali dkk., 2015).
Setelah mendapat diagnosis DBD, beberapa pasien biasanya
melanjutkan upaya swamedikasi dengan menggunakan obat
tradisional yang dianggap mampu mengobati DBD atau menaikkan
trombosit. Berbagai macam obat tradisional, misalnya madu, sari
kurma, angkak, ekstrak rebusan daun pepaya, ubi jalar, dan jambu
biji menjadi obat tradisional yang cukup populer di kalangan
penderita DBD. Tidak heran pasien yang dirawat dengan diagnosis
DBD biasanya meminum obat-obat tradisional ini selain meminum
obat yang diresepkan oleh dokter di tempat perawatan.
Upaya swamedikasi yang dilakukan masyarakat dipengaruhi
oleh kepemilikan asuransi kesehatan (Supadmi, 2013). Selain itu,
kecenderungan memilih dan mencari pengobatan tradisional juga
dipengaruhi oleh usia, wilayah tempat tinggal, dan keberadaan pos

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 207


obat (Jennifer & Saptutyningsih, 2015). Faktor wilayah tempat tinggal
dan keberadaan obat tentunya erat kaitannya dengan kemudahan
akses masyarakat dalam menjangkau ke fasilitas kesehatan modern
dan juga sejalan dengan besaran biaya untuk mendapatkan
pengobatan.
Permenkes No. 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang standar
minimal pelayanan kesehatan menyebutkan bahwa jenis pelayanan
kesehatan dasar (mencakup pelayanan ibu hamil, komplikasi
kebidanan, dan sebagainya) ataupun pelayanan kesehatan rujukan,
harus dapat menjangkau masyarakat, terutama masyarakat miskin
dan pasien dengan kegawatdaruratan level 1. Yang tergolong
kegawatdaruratan level 1 adalah penyakit epidemiologi dan
penanggulangan KLB serta promosi dan pemberdayaan masyarakat.
Permenkes tersebut seharusnya menjadi dasar dalam pemerataan
pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat sehingga tidak ada
lagi alasan jarak tempuh yang terlalu jauh sehingga masyarakat
tidak mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak dan lebih
memilih melakukan swamedikasi atau mencari fasilitas pengobatan
tradisional (Rahman, Sulthonie, & Solihin, 2018).
Berdasarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang sistem
jaringan sosial nasional dan UU No. 24 tahun 2011 tentang badan
penyelenggara jaminan sosial, pemerintah mulai menggodok konsep
universal health coverage. Dalam konsep ini, seluruh masyarakat
wajib diberikan lima jaminan dasar, termasuk jaminan kesehatan.
Pemerintah mencanangkan program jaminan kesehatan menyeluruh
yang diwujudkan dalam program BPJS kesehatan sehingga
masyarakat mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan dengan
membayar iuran setiap bulannya. Pembiayaan jaminan kesehatan ini
dapat dibiayai oleh perorangan, pemberi kerja/perusahaan dan/atau
pemerintah sehingga masyarakat yang tidak mampu membayar iuran
tetap mendapatkan hak yang sama. Pelaksanaan program ini akan
berjalan baik jika terdapat kesesuaian permintaan dan penawaran.
Permintaan yang dimaksud adalah keberadaan masyarakat yang
berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan. Sementara itu, penawaran

208 | Dengue Update: Menilik ...


yang dimaksud adalah sumber daya kesehatan, obat yang memadai,
dan akses yang mudah untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan
tingkat pertama (Janis, 2014).
Para ibu biasanya lebih sensitif dalam mendeteksi gejala sakit
yang diderita anggota keluarga, terutama pada anak-anak. Ketika ibu
meraba bagian tubuh anak dan dirasa demam, biasanya ibu langsung
memberikan pertolongan pertama berupa kompres turun panas atau
diberikan obat turun panas. Ketika gejala tersebut terindikasi DBD,
biasanya para ibu bertindak lebih cepat untuk mencari pengobatan.
Ibu yang paham tentang keparahan penyakit DBD, mengetahui jika
telat ditangani akan menyebabkan kematian, akan berpikir cepat
untuk membawa anggota keluarga yang sakit ke fasilitas kesehatan
untuk mendapatkan pengobatan. Namun, pada kenyataannya, si ibu
tidak bisa serta merta pergi ke fasilitas kesehatan karena keterbatasan
akses (terutama transportasi) dan sumber daya (terutama uang)
(Khun & Manderson, 2007).
Ketanggapan pengambilan keputusan mencari pengobatan oleh
orang tua dipengaruhi faktor usia anak, persepsi derajat keparahan
sakit, dan referensi tentang sakit dan penyakit dari berbagai
pihak. Usia anak menjadi pertimbangan bagi orang tua pada saat
memutuskan untuk mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan.
Orang tua dengan anak usia lebih muda biasanya lebih cepat
memutuskan untuk mencari pengobatan dibandingkan orang tua
dengan usia anak lebih tua (Rkain dkk., 2014). Hal ini disebabkan
orang tua memiliki kecenderungan untuk lebih merasa cemas dan
takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anaknya (misalnya
kejang) karena anak berusia muda dianggap memiliki daya tahan
tubuh lebih lemah. Persepsi orang tua tentang keparahan penyakit
juga berpengaruh pada ketanggapan mencari pengobatan. Sebagian
orang tua menganggap bahwa gejala sakit sudah parah ditunjukkan
oleh demam. Sebagian orang tua lainnya tidak menganggap seperti
itu. Orang tua dengan persepsi demam dianggap sudah parah tentu
saja akan lebih cepat memutuskan untuk membawa anaknya ke
fasilitas kesehatan (Rkain dkk., 2014).

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 209


Alden, Merz, dan Akashi (2012) membuat model perilaku
tentang pilihan berobat yang meliputi empat unsur utama, yaitu
1) Daya tarik (gravity), yakni tingkat keparahan yang dirasakan
oleh individu.
2) Informasi tentang cara penyembuhan populer (home remedy).
Jika pengobatan ini tidak diketahui atau setelah dicoba ternyata
tidak efektif, barulah individu beralih pada sistem rujukan
profesional.
3) Kepercayaan (faith), yakni kepercayaan terhadap keberhasilan
berbagai pilihan pengobatan.
4) Kemudahan (accessibility), yakni biaya dan ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan (Alden dkk., 2012).

Hasil penelitian yang dilakukan dengan responden buruh migran


(laki-laki) yang tinggal di Singapura menunjukkan bahwa keputusan
untuk mendatangi dokter dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari
135 responden yang mengalami demam, hanya 88 orang (65%) yang
mendatangi dokter untuk mendapatkan pengobatan sebelum tiga
hari. Ketika hingga lebih dari tiga hari demam demam tidak kunjung
sembuh, sebanyak 91% yang mendatangi dokter. Ketika ditanyakan
mengapa tidak berobat, responden menyebutkan ketiadaan biaya
pengobatan sebagai alasannya. Selain itu, ada pula responden yang
menganggap bahwa gejala yang dirasakan mereka bukanlah penyakit
serius. Namun, alasan terpopuler responden mendatangi dokter
adalah bahwa mereka percaya dokter bisa membuat kondisinya lebih
baik sehingga mereka dapat segera bekerja kembali (Lee dkk., 2014).

C. PENUTUP
Perilaku pencarian pengobatan tergantung pada kondisi sosial
budaya, pengalaman dan pemahaman orang tua terhadap kondisi
sakit anggota keluarganya. Faktor ekonomi dan institusional (fasilitas
kesehatan) berkontribusi besar terhadap penundaan pencarian
pengobatan. Hal ini mencakup akses ke fasilitas kesehatan, kualitas
serta waktu pelayanan, biaya transportasi, dan ketersediaan dana

210 | Dengue Update: Menilik ...


untuk membayar pengobatan atau konsultasi dokter. Kemiskinan
menjadi faktor yang disebut pertama kali dalam pertimbangan
apakah seseorang akan atau tidak akan menemui tenaga kesehatan,
atau pilihan layanan kesehatan mana yang akan dipilih. Meskipun
akses ke fasilitas kesehatan cukup bagus, pemanfaatannya akan
kurang ketika masyarakat tidak mampu membayar. Perilaku ini mulai
sedikit bergeser setelah diterapkannya sistem jaminan kesehatan oleh
pemerintah melalui BPJS. Pemanfaatan pelayanan kesehatan tingkat
pertama cenderung meningkat setelah diberlakukannya BPJS.
Masyarakat tidak lagi khawatir harus membayar biaya yang cukup
mahal karena sudah ada sistem jaminan pembiayaan kesehatan, baik
untuk individu maupun perusahaan/perseroan. Tingkat pemanfaatan
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya pelayanan dan
kompetensi tenaga kesehatan, akses ke fasilitas pelayanan kesehatan,
serta akses sosial Rumengan, Umboh, & Kandou, 2015).
Keputusan mencari pengobatan merupakan hasil kombinasi
beberapa faktor, termasuk diagnosis dan pemahaman tentang
perawatan yang layak untuk gejala yang tampak, evaluasi kapasitas
tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan, dan akses serta
ketersediaan berbagai pelayanan dan modal. Proses pencarian
pengobatan ini biasanya rumit dan tidak bisa diprediksi karena begitu
banyak faktor yang berkontribusi dalam pengambilan keputusan.
Dukungan keluarga menjadi faktor yang memengaruhi cepat
atau lambatnya respons untuk mencari pengobatan (Chaniago,
Cahyo, & Indraswari, 2018). Faktor nasihat, saran, atau referensi
dari seseorang—orang yang dijadikan panutan oleh orang tua,
termasuk tokoh masyarakat dan tokoh agama—juga menentukan
ketanggapan pencarian pemilihan pelayanan kesehatan. Tidak hanya
anggota keluarga yang memiliki peran penting sebagai referensi
dalam pengambilan keputusan pencarian pengobatan. Kerabat dan
tetangga pun bisa menjadi sumber referensi. Saran yang didapat
tidak selalu anjuran untuk datang ke fasilitas kesehatan, tetapi bisa
juga nasihat untuk mendatangi fasilitas nonkesehatan (Krisnanto,
Julia, & Lusmilasari, 2017).

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 211


Pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD sudah mulai
meningkat. Masyarakat tidak lagi menganggap sepele DBD, bahkan
cenderung melakukan antisipasi untuk mencegah keluarganya
tertular. Ketika tinggal di daerah endemis dan mulai menunjukkan
gejala DBD, masyarakat cenderung lebih tanggap untuk mencari
pengobatan modern (medis). Masyarakat yang masih memilih
pengobatan tradisional biasanya belum terpapar tentang bahaya
DBD dan menganggap bahwa penyakit itu berasal dari hal-hal
yang bersifat supranatural sehingga cukup diobati dengan upaya
pengobatan tradisional. Hal ini lazim terjadi di wilayah yang
masyarakatnya masih memegang teguh budaya leluhur (masyarakat
adat). Secara umum, pencarian pengobatan DBD di Indonesia ada
dua, yaitu
1) Masyarakat langsung mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan
ketika terkena DBD;
2) Masyarakat melakukan swamedikasi untuk meredakan gejala
awal DBD dan kemudian memutuskan untuk melakukan
pengobatan medis ketika gejala tersebut tidak membaik atau
berkurang.

Semakin gencarnya pemerintah menyosialisasikan bahaya DBD


dan didukung oleh pengetahuan masyarakat yang lebih baik, angka
kematian akibat DBD sudah mulai turun. Keberadaan BPJS menjadi
faktor pendukung semakin sadarnya masyarakat untuk segera
mencari pengobatan medis tanpa harus khawatir tentang biaya yang
dikeluarkan. Namun, harus diperhatikan juga kesiapan dari supply
BPJS, seperti sumber daya kesehatan, infrastruktur, ketersediaan
obat, dan ketanggapan pelayanan. Jangan sampai pengguna BPJS
menjadi kapok berobat karena merasakan kekurangan pelayanan
di beberapa fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Hal seperti ini
mengemuka di beberapa hasil survei kepuasan pelanggan terhadap
pelayanan kesehatan, khususnya yang bermitra dengan BPJS
(Widyaningsih, Mubin, & Hidyati, 2014).

212 | Dengue Update: Menilik ...


DAFTAR PUSTAKA
Alden, D. L., Merz, M. Y., & Akashi, J. (2012). Young adult preferences for
physician decision making style in Japan and The United States. Asia
Pacific Journal of Public Health, 24, 173–184.
Anderson, F. (2009). Antropologi kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Andriyani, D., Heriyanto, B., Trapsilowati, W., Septia, A., & Widiarti. (2010).
Faktor risiko dan pengetahuan, sikap, perilaku (PSP) masyarakat pada
kejadian luar biasa (KLB) Malaria di Kabupaten Purbalingga. Bul.
Penelit. Kesehat., 41(2), 84–102.
Apriyanto, R. H., Kuntjoro, T., & Lazuardi, L. (2013). Implementasi
kebijakan subsidi pelayanan kesehatan dasar terhadap kualitas
pelayanan puskesmas di Kota Singkawang. Jurnal Kebijakan Kesehatan
Indonesia, 2(4), 180–188.
Ajzen, I., & Fishbein, M. (1980). Understanding attituteds and predicting
social behavior. Englewood Cliffs. NJ: Prentice Hall
Becker, M. H. (1979). Psychosocial aspects of health related behaviour.
Dalam H. E. Freeman & S. Levine (Ed.), Handbook of medical sociology.
Englewood Cliffs, Ney Jesey: Prentice Hall.
Brusich, M., Grieco, J., Penney, N., Tisgratog, R., Ritthison, W.,
Chareonviriyaphap, T., & Achee, N. (2015). Targeting educational
campaigns for prevention of malaria and dengue fever: An assessment
in Thailand. Parasit Vectors, 8(43). Doi: 10.1186/s13071-015-0653-4
Carabali, M., Hernandez, L. M., Arauz, M. J., Villar, L. A., & Ridde, V. (2015).
Why are people with dengue dying? A scoping review of determinants
for dengue mortality. BMC Infectious Diseases, 15(1), 1–14.
Chan, C. Q. H., Lee, K. H., & Low, L. L. (2018). A systematic review of health
status, health seeking behaviour and healthcare utilisation of low
socioeconomic status populations in urban Singapore. International
Journal for Equity in Health, 17(1), 1–21.
Chaniago, F. N., Cahyo, K., & Indraswari, R. (2018). Faktor-faktor yang
berhubungan tindakan awal pada penderita infeksi dengue di
Kelurahan Sendangmulyo. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6,
753–760.

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 213


Chibwana, A. I., Mathanga, D. P., Chinkhumba, J., & Campbell, C. H.
(2009). Socio-cultural predictors of health-seeking behaviour for
febrile under-five children in Mwanza-Neno district, Malawi. Malaria
Journal, 8(1), 1–8.
Rumengan, D. S. S., Umboh, J. M. L., & Kandau, G. D. (2015). Faktor-
faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan
pada peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas Paniki Bawah, Kecamatan
Mapanget, Kota Manado. JIKMU, Suplemen 5 (1).
Dhanoa, A., Hassan, S. S., Ngim, C. F., Lau, C. F., Chan, T. S., Adnan, N.
A. A., ... Rajasekaram, G. (2016). Impact of dengue virus (DENV) co-
infection on clinical manifestations, disease severity and laboratory
parameters. BMC Infectious Diseases, 16(1), 406. DOI: http://dx.doi.
org/10.1186/s12879-016-1731-8.
Diaz-Quijano, F. A., Martínez-Vega, R. A., Rodriguez-Morales, A. J., Rojas-
Calero, R. A., Luna-González, M. L., & Díaz-Quijano, R. G. (2018).
Association between the level of education and knowledge, attitudes
and practices regarding dengue in the Caribbean region of Colombia.
BMC Public Health, 18(1), 1–10.
Widyaningsih, E., Mubin, M. F., & Hidyati, E. (2014). Persepsi masyarakat
terhadap pelayanan BPJS di RSI Kendal. Prosiding Konferensi Nasional
II PPNI Jawa Tengah.
Fitriana, L. B. (2017). Analisis faktor yang mempengaruhi perilaku ibu
dalam penanganan demam pada anak balita di Puskesmas Depok
Sleman Yogyakarta. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 4(2),
179–188. Diakses 2 April 2019 dari http://nursingjurnal.respati.ac.id/
index.php/JKRY/index.
Green, L., & Kreuter, M. W. (1992). CDC’S planned approach to community
health as an aplication of precede and an inspiration for proceed.
Journal of Health Education, 23(3), 140–147
Hamzah. (2010). Analisis perilaku masyarakat dalam pemanfaatan
pelayanan kesehatan (studi kasus pemegang Jamkesmas) di Puskesmas
Donggala tahun 2010. Universitas Hasanudin.
Bachtiar, H. M. B. (2017). Aplikasi health belief model pada perilaku
pencegahan demam berdarah dengue. Jurnal PROMKES, 5(2), 245–
255. Diakses 27 Februari 2019 dari https://e-journal.unair.ac.id/
PROMKES/article/view/7744/4588.

214 | Dengue Update: Menilik ...


Phuong, H. L., Nga, T. T., Giao, P. T., Hung, L. Q., Binh, T. Q., Nam, N.
V., Nagelkerke N. P. J. D. V. (2010). Randomised primary health
center based interventions to improve the diagnosis and treatment of
undifferentiated fever and dengue in Vietnam. BMC Health Services
Research, 10, 275.
Huy, N. T., Van Giang, Thuy, D. H. D., Kikuci, M., Hien, T. T., Zamora, J. &
Hirayama, K. (2013). Factor associated with dengue shock syndrome: a
systematic review and meta-analysis. PLoS Neglected Tropical Diseases,
7(9), e2412. DOI: https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0002412
Janis, N. (2014). BPJS Kesehatan, supply dan demand terhadap layanan
kesehatan. Diakses pada 10 September 2019 dari https://kemenkeu.
go.id/sites/default/files/2014_kajian_pprf_bpjs.pdf
Jennifer, H., & Saptutyningsih, E. (2015). Individual preferences to traditional
treatment in Indonesia.Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 16(1),
26–41.
Khun, S., & Manderson, L. (2007). Health seeking and access to care for
children with suspected dengue in Cambodia: an ethnographic study.
BMC Public Health, 7, 1–10.
Mayfong M., Chui, W., Thammavong, S., Khensakhou, K., Vongxay, V., In-
thasoum, L. ..., Amstrong, G. (2013). Dengue in peri-urban Pak-Ngum
district, Vientiane capital of Laos: a community survey on knowledge,
attitudes and practices. BMC Public Health, 13, 434. Diakses 8 April
2019 dari http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference
&D=emed15&NEWS=N&AN=369195050.
Mushalinas, S. (2014). Hubungan paritas dengan kejadian pendarahan
postpartum pada ibu bersalin. Jurnal Penelitian Kesehatan, 5(1), 5–6.
Novian, J. (2014). BPJS Kesehatan, supply dan demand terhadap layanan
kesehatan. Laporan Kajian.
Krisnanto, P. D., Julia, M., & Lusmilasari, L. (2017). Faktor yang
mempengaruhi perilaku orang tua dalam pencarian pengobatan anak
balita demam. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 3(2), 10–16.
Priyoto, N. (2015). Perubahan dalam perilaku kesehatan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2012). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta.

Perilaku Pencarian Pengobatan ... | 215


Rahman, M. T., Sulthonie, A. A., & Solihin, S. (2018). Sosiologi informasi
pengobatan tradisional religius kajian di masyarakat perdesaan Jawa
Barat. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 14(2), 100.
Rkain M., Rkain, I., Safi, M., Kabiri, M., Ahid, S., & Benjelloun. (2014).
Knowledge and management of fever among Moroccan parents.
Eastern Mediterranian Health Journal, 20(6), 397–402..
Nurindra, R. W., & Santya, R. N. R. E. (2015). Gambaran upaya pencarian
pengobatan penderita DBD di Kota Sukabumi tahun 2012. Balaba,
11(01), 15–22.
Nurindra, R. W. Masturoh, I., Hendri, J., & Ipa, M. (2010). Gambaran
perilaku pencarian pengobatan penderita demam berdarah dengue di
Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Aspirator, 2(2), 103–109.
Rumengan, D. S. S., Umboh, J. M. L., Kandou, G. D. (2015). Faktor-faktor
yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada
peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas Paniki Bawah, Kecamatan
Mapanget, Kota Manado. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Unsrat,
5(2), 93–94
Skinner, B. F. (1938). Behavior of organism: An experimental analysis.
Cambridge. Massachusetts: B.F Skinner Foundation.
Snehendu, B. Kar. (1983). A Psychological of Health Behaviour, Health
Valuses. Achiving High Level Wellness. Volume 7. No.2. March/April.
Sulzer-Azaroff, B., & Mayer, R. G. (1986). Achieving educational excellence:
Using behavioral strategies. New York: Holt.
Supadmi, W. (2013). Gambaran pasien geriatri melakukan swamedikasi di
Kabupaten Sleman. Jurnal Pharmaciana, 3(2), 45–50.
Lee, W., Neo, A., Tan, S., Cook, A. R., Wong, M. L., Tan, J., ... Ho, C. (2014).
Health-seeking behaviour of male foreign migrant workers living in a
dormitory in Singapore. BMC Health Services Research, 14, 300. doi:
10.1186/1472-6963-14-300.

216 | Dengue Update: Menilik ...


Bab 11
Pencegahan Kasus Dengue
dengan Pemberdayaan Masyarakat
“Community Empowerment”
Endang Puji Astuti & Yuneu Yuliasih

A. UPAYA PENGENDALIAN DENGUE


Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada 1968,
kasus demam berdarah dengue (DBD) makin luas persebarannya
dan sekarang telah 50 tahun kasus DBD di Indonesia dengan jumlah
kasus yang masih berfluktuasi. Berbagai upaya pengendalian telah
dilakukan untuk menurunkan kasus dan angka kematian akibat
DBD. Kementerian Kesehatan dalam upaya pengendalian DBD
menetapkan lima kegiatan, yaitu (1) menemukan kasus secepatnya
dan mengobati sesuai dengan prosedur tetap; (2) memutus mata
rantai transmisi siklus nyamuk; (3) kemitraan dalam pokjanal
(kelompok kerja operasional) DBD; (4) pemberdayaan masyarakat
dalam gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN); dan (5)
peningkatan profesionalisme pelaksana program (Ditjen P2P, 2008).
Kepmenkes No. 581/1992 menetapkan PSN sebagai prioritas
utama yang dilaksanakan langsung oleh masyarakat. Gerakan PSN
juga dideklarasikan kembali pada 2011, saat Indonesia sebagai tuan
rumah ASEAN Dengue Day (ADD). Hal ini didukung pula dalam
Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan tahun 2015–2019 yang menetapkan indikator peningkatan
kesehatan masyarakat di antaranya peningkatan kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat (Direktorat Jenderal Pengendalian

| 217
dan Penyehatan Lingkungan, 2015). Pemberdayaan masyarakat
merupakan salah satu pilar kebijakan Menteri Kesehatan dalam
mencapai Indonesia sehat melalui penguatan pelayanan kesehatan,
di antaranya Paradigma Sehat.
Upaya kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian dengue
tidak lepas dari peran masyarakat dan pemerintah. Kesehatan,
menurut Blum dalam Notoatmodjo (2005) merupakan hasil interaksi
berbagai faktor yang memengaruhi individu, kelompok, dan
masyarakat, yaitu lingkungan (environment), perilaku (behaviour),
pelayanan kesehatan (health service), dan keturunan (heredity). Arah
kebijakan pemerintah dalam upaya pengendalian dengue adalah
menggalakkan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang
telah dilaksanakan pada semua wilayah di Indonesia. Indikator
keberhasilan gerakan PSN adalah peningkatan angka bebas jentik
(ABJ) dan penurunan kasus dengue. Pelaksanaan PSN ini tidaklah
mudah. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, ABJ Nasional
dari 2010–2015 masih < 95% atau di bawah target nasional dan
angka kesakitan dengue masih berfluktuasi (Kemenkes RI, 2017).
Istilah PSN melalui 3M plus (membersihkan, menutup,
mendaur-ulang) sudah dikenal oleh masyarakat, terutama di
wilayah endemis. Kegiatan lain dari 3M plus adalah menaburkan
bubuk larvasida, menggunakan obat nyamuk, menggunakan
kelambu, memelihara ikan pemakan jentik, menanam tanaman
pengusir nyamuk, mengatur cahaya dan ventilasi rumah, dan
menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah.
Namun, karena kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen,
pemberdayaan masyarakat ini belum dapat berjalan optimal.
Beberapa hasil studi menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap
di masyarakat berhubungan dengan kejadian dengue di wilayah
tersebut (Hasyim, 2013; Nuryanti, 2013). Pengetahuan masyarakat
tentang pengendalian dengue terkadang cukup baik, tetapi hal
ini malah diikuti dengan perilaku PSN yang masih rendah (Lubis
Purnama, Ekawati, & Muliantar, 2012; Manalu & Munif, 2017).
Partisipasi masyarakat merupakan faktor pendorong keberhasilan

218 | Dengue Update: Menilik ...


Keterangan: Atas: visi misi kesehatan; Bawah: Penguatan Pelayanan Kesehatan
Sumber: Moeloek (2015)
Gambar 11.1 Pilar Kebijakan Menteri Kesehatan dalam mencapai Indonesia
Sehat

Pencegahan Kasus Dengue ... | 219


kegiatan PSN. Namun, hal ini membutuhkan proses panjang dan
memerlukan konsistensi, ketekunan, serta kesinambungan dalam
memberikan upaya pemahaman dan motivasi, baik kepada individu,
kelompok masyarakat, maupun pemegang kebijakan, terutama di
daerah. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat di antaranya
memberikan penyuluhan dalam bentuk promosi kesehatan. Promosi
kesehatan dengan strategi komunikasi tergolong sebagai upaya
perubahan perilaku. Strategi utamanya adalah advokasi, kemitraan,
dan pemberdayaan masyarakat.

B. PERAN MEDIA DALAM PROMOSI KESEHATAN


Promosi kesehatan (health promotion) menurut Green (1980) adalah
“segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang
terkait dengan ekonomi, politik, dan organisasi yang dirancang
untuk memudahkan perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi
kesehatan.” Promosi kesehatan merupakan bentuk yang lebih
dari pendidikan kesehatan (health education) karena output yang
diharapkan adalah keadaan kondusif bagi kesehatan, baik perilaku
maupun lingkungan. Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di
Ottawa, Kanada (1986), menyatakan:
Health promotion is the process of enabling people to increase
control over, and improve their health. To reach a state of complete
physical, mental and social well-being, an individual or group must
be able to identify and realize aspiration, to satisfy need, and to
change or cope the environment.
Batasan ini jelas mengungkapkan bahwa ada proses dalam
memaukan (willingness) dan memampukan (ability) masyarakat
dalam mempertahankan/memelihara serta meningkatkan kesehatan
(Notoatmodjo, 2005). Perubahan perilaku dapat dilakukan melalui
pendekatan individu, keluarga, dan masyarakat. Proses perubahan
perilaku sendiri haruslah melalui beberapa tahap dan membutuhkan
jangka waktu lama. Individu ataupun masyarakat sendiri merupakan
subjek dalam promosi kesehatan dan pengambilan keputusan. Latar
belakang pendidikan dan akses untuk mendapatkan informasi sangat

220 | Dengue Update: Menilik ...


penting dalam mendukung kesadaran sehingga masyarakat mau
berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Pelaksanaan upaya promosi
kesehatan harus disesuaikan dengan subjek atau target sehingga
dapat berjalan optimal. Oleh karena itu, dibutuhkan pula peran media
sebagai alat penyampaian pemahaman terhadap masyarakat. Media
promosi kesehatan adalah semua sarana untuk menampilkan pesan
atau informasi yang ingin disampaikan. Beberapa media yang sering
digunakan adalah (1). media cetak (poster, leaflet, buku pedoman,
lembar balik dan lainnya); (2). media elektronik (TV, radio, video,
media sosial, internet, dan lainnya) serta (3). media lainnya (papan
reklame, spanduk, banner, dan lainnya). Setiap media mempunyai
kelebihan dan kekurangan, sehingga sarana media yang dipilih harus
menyesuaikan tujuan maupun sasarannya, misal promosi dengan
sasaran remaja, akan lebih tepat jika menggunakan media sosial
disesuaikan dengan generasi milenial saat ini. Pesan atau informasi
yang disampaikan dengan media yang sesuai dengan tujuan dan
sasaran maka dapat meningkatkan pemahaman serta perubahan
perilaku ke arah positif terutama terhadap kesehatan.
Saat ini, media promosi populer di antaranya adalah jejaring
sosial, media ini lebih luas jangkauannya baik ruang dan waktu.
Pemanfaatan jaringan sosial dalam penyebarluasan informasi lebih
leluasa dan lebih mengena ke personal. Berdasarkan hasil analisis
potensi jejaring sosial promosi kesehatan tentang DBD yang
dilakukan Ipa dan Laksono (2014), terdapat 76 video seperti di
YouTube, Vimeo, dan Veoh yang terbagi dalam kategori pencegahan,
pengendalian penularan, pengobatan DBD. Selain itu, kategori
informasi lain menjelaskan tentang klasifikasi derajat keparahan
infeksi dengue, vektor (morfologi, siklus hidup, bionomik), fase
intrinsik virus dengue serta penemuan vaksin dengue. Ketersediaan
informasi terkait tentang demam berdarah dengue di media sosial
dirasa masih sangat kurang sehingga perlu dilakukan optimalisasi
penyebaran informasi melalui situs internet. Penelitian lainnya
mengungkapkan bahwa pesan-pesan tentang demam berdarah
dengue yang disajikan dalam bentuk media, seperti poster dan

Pencegahan Kasus Dengue ... | 221


kalender; media fisik dan gabungan antara keduanya, hasilnya
sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang pengendalian demam berdarah dengue (Marlina, Saleh,
& Lumintang, 2009). Hasil penelitian di Jawa Barat oleh Nasution,
Sadono, dan Wibowo (2018) menyatakan bahwa mempromosikan
PSN DBD menggunakan media manga dan infografis terbukti efektif
meningkatkan pengetahuan sismantik (siswa pemantau jentik)
karena siswa SD atau SMP akan lebih tertarik untuk membaca
informasi dengan gambar kartun atau dalam bentuk komik.

C. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (COMMUNITY


EMPOWERMENT) DALAM GERAKAN PSN
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) adalah
strategi promosi kesehatan yang ditujukan pada masyarakat
langsung (Notoatmodjo, 2005) agar mampu mengambil keputusan
dan menentukan tindakan secara mandiri dalam meningkatkan
kesehatannya. Prinsip pemberdayaan kesehatan pada dasarnya
mendorong masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dalam
bertindak dan menentukan keputusan yang berpengaruh terhadap
kesehatannya (Mardikanto, 2010). Hal yang harus digali dalam
proses pemberdayaan masyarakat terkait PSN adalah membangun
kesadaran, pemahaman, dan kemauan yang didukung keterampilan
sehingga pelaksanaan PSN dapat terlaksana dengan optimal dan
mampu menurunkan kasus DBD di suatu wilayah.
Pembangunan kesadaran, pemahaman, dan motivasi masyarakat
dalam program PSN harus didukung dengan pengetahuan yang
baik. Hasil penelitian di Kota Makassar menyebutkan bahwa
variabel tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat
berhubungan (signifikan) dengan keberadaan larva di wilayah
penelitian (Nahumarury, 2013). Terkait dengan perilaku, hasil
penelitian di Sawangan (Surabaya) yang merupakan wilayah endemis
dengue—dan dulunya adalah area prostitusi—menarik untuk dikaji.
Masyarakat di sana masih memiliki permasalahan dalam perilaku,
seperti pengelolaan sampah yang masih kurang, kepemilikan toilet

222 | Dengue Update: Menilik ...


bersih masih rendah, dan kurang kesadaran dalam hal kebersihan,
serta kegiatan PSN yang belum optimal dijalankan (Asri, Nuntaboot,
& Wiliyanarti, 2017) sehingga membutuhkan gerakan yang bersifat
komunitas. Beberapa upaya pengendalian vektor DBD berbasis
lingkungan yang dapat dilakukan oleh komunitas masyarakat adalah
membersihkan bak mandi, pengelolaan sampah (memilah limbah
padat, daur ulang, membuat kompos), menanam tanaman anti-
nyamuk serta membersihkan air tergenang (Tana, Umniyati, Petzold,
Kroeger, & Sommerfeld, 2012).
Pemberdayaan komunitas masyarakat dengan meningkatkan
kesadaran dalam upaya pengendalian vektor DBD perlu didukung
berbagai sektor, terutama pemerintah daerah sehingga dapat
berkelanjutan. Kegiatan masyarakat seperti pertemuan/majelis dapat
digunakan untuk membangun kerjasama kemitraan (Tana dkk.,
2012). Gerakan masyarakat seperti piket bersama, menurut penelitian
terhadap kelompok masyarakat Dasa Wisma (Purwokerto), mampu
mengurangi keberadaan vektor di wilayah tersebut. Hal ini juga
didukung oleh tokoh masyarakat, pemerintah daerah, dan non-
pemerintah (Kusriastuti, Suroso, Nalim, & Kusumadi, 2004). Modal
sosial diyakini mampu memecahkan masalah kesehatan masyarakat,
terutama dalam pengendalian dengue. Modal sosial masyarakat
terdiri dari (1) norma; (2) kepercayaan; (3) jejaring melalui kegiatan
komunitas, seperti pembentukan kelompok pemantau jentik yang
terbagi dalam Bumantik (Ibu Pemantau Jentik), Jumantik (Juru
Pemantau Jentik), Rumantik (Guru Pemantau Jentik) dan Wamantik
(Siswa Pemantau Jentik); (4) kolaborasi lintas sektoral; serta (5)
dukungan pemerintah daerah (Asri dkk., 2017).
Unit terkecil dalam pemberdayaan masyarakat adalah rumah
tangga. Oleh karena itu, peran kepala keluarga sangat menentukan
peran serta individu dalam masyarakat. Hasil penelitian di Thailand
menyebutkan bahwa kepala keluarga berkontribusi dalam gerakan
PSN DBD. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa setelah program
pemberdayaan masyarakat selama delapan minggu, perilaku
yang baik dalam pengendalian vektor DBD dari kepala keluarga

Pencegahan Kasus Dengue ... | 223


dapat meningkatkan angka ABJ di wilayah tersebut (Pengvanich,
2011). Selain kepala keluarga, peran tokoh masyarakat juga sangat
diperlukan dalam pemberdayaan masyarakat. Tokoh agama (toga)
dan tokoh masyarakat (toma) masih dijadikan panutan oleh
masyarakat, terutama di wilayah rural (pedesaan). Peran toga dan
toma penting dalam penyebarluasan informasi pencegahan dan
pengendalian DBD untuk memotivasi peran serta masyarakat.
Penelitian di Kota Salatiga, menyebutkan bahwa tokoh masyarakat
(toma) aktif menyebarluaskan informasi dan mengimbau warga
untuk melakukan PSN. Selain itu, pengetahuan toma tentang DBD
pun sudah cukup baik (Trapsilowati & Suskamdani, 2007) sehingga
mampu memotivasi warga.
Tokoh yang tidak kalah penting dalam pemberdayaan masya­
rakat adalah kader kesehatan. Kader kesehatan bahkan menjadi
tolok ukur keberhasilan program kesehatan. Begitu pula dalam
kegiatan PSN. Partisipasi dan kinerja kader kesehatan (dalam hal
ini jumantik) menjadi tolok ukur indikator ABJ suatu wilayah.
Partisipasi kader kesehatan terhadap program PSN harus dibekali
dengan pemahaman pengetahuan. Proses edukasi, seperti pelatihan,
akan meningkatkan kemampuan dan keahlian kader. Hasil intervensi
di Semarang (Pujiyanti & Trapsilowati, 2016) membuktikan bahwa
kegiatan pelatihan mampu meningkatkan pengetahuan manajerial
kader sehingga mampu menyusun tindak lanjut kegiatan PSN
spesifik di wilayahnya. Penelitian di Kabupaten Ogan Ilir Sumatra
Selatan menemukan bahwa terdapat hubungan motivasi, komunikasi,
kerjasama, dan penghargaan terhadap partisipasi kader jumantik
(Rahayu, Budi, & Yeni, 2017). Pemberdayaan kader jumantik dalam
PSN DBD memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan
ABJ (Chadijah, Rosmini, & Halimuddin, 2011).
Mengenal faktor-faktor pengungkit dalam pemberdayaan
masyarakat sangat penting untuk menyusun dan mengembangkan
strategi perubahan perilaku terkait pemberdayaan masyarakat.
Strategi berbasis masyarakat sendiri telah banyak dikembangkan
di seluruh dunia. Namun, saat ini masih diperlukan lebih banyak

224 | Dengue Update: Menilik ...


bukti atau model tentang bagaimana strategi tersebut dapat
diimplementasikan secara efektif, efisien, diterima masyarakat, dan
berkelanjutan. Salah satu strategi berbasis masyarakat yang banyak
diteliti adalah kemitraan. Kemitraan di sini terkait dengan upaya lintas
sektoral yang berkoordinasi dan berkolaborasi dalam menyelesaikan
suatu permasalahan. Upaya pemberdayaan masyarakat dalam PSN
DBD bukan hanya tugas sektor kesehatan, melainkan juga perlu
didukung oleh sektor lainnya. Sebagai contoh, adanya surat edaran
atau surat keputusan oleh pemerintah daerah setempat (bupati/
walikota) untuk pelaksanaan PSN DBD di wilayahnya, kerjasama
dengan dinas pendidikan untuk membentuk rumantik (guru
pemantau jentik) atau sismantik (siswa pemantau jentik); Dinas
Kominfo (komunikasi dan informasi), Bappeda, dan lain lain.
Faktor lainnya adalah perlunya pengembangan pendidikan
kesehatan yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat.
Selain itu, menggerakkan perempuan, siswa, dan kelompok
masyarakat lainnya telah terbukti menurunkan kepadatan vektor yang
berbasis lingkungan dan sanitasi, seperti manajemen pengelolaan
sampah. Temuan ini sangat relevan dalam mendefinisikan intervensi
pengendalian vektor yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan, yang
sesuai dengan strategi WHO dalam manajemen pengendalian vektor
terpadu (Sommerfeld & Kroeger, 2012). Hasil penelitian di Kuba
(Sanchez dkk., 2009) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan angka
breteau index (BI) antara wilayah perlakuan (diberi intervensi) dan
kontrol (tidak diberikan intervensi). Selama dua tahun penelitian,
terjadi penurunan angka BI di wilayah intervensi. Artinya, tren
perubahan perilaku peran serta masyarakat ini bisa terjadi karena
didukung oleh intervensi (pengawasan dalam setiap kegiatan rutin).
Oleh karena itu, koordinasi dengan lintas sektor sangat efektif dalam
upaya pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dengan PSN 3 M Plus sudah menjadi
jargon upaya pengendalian dengue di Indonesia. Provinsi Jawa Barat
merupakan salah satu wilayah endemis dengue dengan jumlah
kasus yang cukup tinggi tiap tahunnya, terutama wilayah perkotaan.

Pencegahan Kasus Dengue ... | 225


Kasus DBD di Provinsi Jawa Barat bukan hanya terjadi di wilayah
perkotaan, melainkan juga di semua kota/kabupaten di Provinsi
Jawa Barat. Hal ini membuktikan bahwa DBD tidak hanya terjadi di
wilayah urban (perkotaan), tetapi juga di wilayah rural (perdesaan).
Pengendalian dengue di Provinsi Jawa Barat berfokus pada kegiatan
pemberdayaan masyarakat dengan gerakan PSN 3 M Plus. Beberapa
penelitian yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat dalam
upaya pengendalian dengue telah banyak dilakukan. Berdasarkan
penelusuran pustaka, ditemukan kurang lebih 20 sumber yang
tentang pemberdayaan masyarakat di beberapa wilayah kabupaten/
kota Provinsi Jawa Barat, tetapi hanya ada 12 pustaka yang membahas
rangkaian pemberdayaan masyarakat untuk mendukung program
Gerakan PSN 3 M Plus (Tabel 11.1).
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pengetahuan
dan kesadaran masyarakat untuk melakukan PSN masih harus terus
diintervensi dan masih memerlukan strategi dalam pengembangan
pemberdayaan masyarakat. Hal yang masih menjadi masalah
adalah tingkat kesinambungan kegiatan PSN DBD. Ketika jumlah
kasus meningkat, masyarakat mulai tersadar dan melakukan
berbagai upaya pengendalian. Namun, jika jumlah kasus berkurang,
kesadaran masyarakat juga mulai menurun. Kondisi ini perlu
diwaspadai karena dengan menurunnya kegiatan PSN DBD
akan menjadi pemicu meledaknya jumlah kasus DBD, terutama
pada awal musim penghujan setelah kemarau panjang. Program
kesehatan lintas sektor harus terus melakukan promosi kesehatan
kepada masyarakat. Bentuk dan media promosi kesehatan juga perlu
memperhatikan target/sasaran, contohnya media visual manga atau
komik sangat efektif untuk mengenalkan DBD dan gerakan PSN
DBD kepada siswa sekolah. Kesimpulannya, upaya intervensi untuk
meningkatkan pemberdayaan masyarakat perlu dioptimalkan dan
dijaga kesinambungannya agar kasus DBD tidak meningkat dan
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).

226 | Dengue Update: Menilik ...


Tabel 11.1 Beberapa hasil penelitian tentang pemberdayaan masyarakat terkait dengue di Provinsi Jawa Barat
Tujuan Kota/ jumlah
No. Penulis Desain definisi sampel Temuan Keterbatasan
penelitian Kabupaten sampel
1. (Respati Faktor- Kota Observasional Rumah 2035 DBD dipengaruhi
dkk., 2018) faktor yang Bandung analitis tangga di 12 oleh keberadaan
memengaruhi eksplorasi kecamatan dan kontainer
DBD survei 16 kelurahan berisiko, saluran
berdasarkan sampling pembuangan air
peran serta limbah, program
masyarakat, DBD dan peran
sanitasi dasar, serta masyarakat.
dan program
pengendalian
DBD
2. (Gifari Hubungan Kota Observasional rumah tangga 55 Terdapat hubungan
dkk., 2017) tingkat Bandung analitis perilaku Gerakan
pengetahuan dengan desain 3M Plus dengan
dan perilaku cross sectional keberadaan jentik.
Gerakan 3M study.
plus dengan
keberadaan
jentik Aedes
aegypti.

Pencegahan Kasus Dengue ... | 227


Tujuan Kota/ jumlah
No. Penulis Desain definisi sampel Temuan Keterbatasan
penelitian Kabupaten sampel
3. (Nasution Pengaruh media Kabupaten Eksperimen siswa kelas V 291 (1) perlakuan Tidak
dkk., 2018) visual manga Bogor menggunakan dan VI MI media visual dilaksanakan
dan infografis kelompok terbukti mampu peningkatan
terhadap intervensi memberikan penyuluhan
pemahaman kontrol uji peningkatan pentingnya
informasi, pre-post test. terhadap ketiga tindakan

228 | Dengue Update: Menilik ...


persepsi dan efek media pencegahan
sikap sismantik. visual dibanding penyakit
kelompok kontrol; DBD dengan
; (2) media visual Gerakan 3M
yang paling efektif Plus.
meningkatkan
persepsi risiko
adalah manga
(kedua jenis
tipe pesan) dan
manga Gerakan
3M Plus untuk
pembentukan sikap
positif.
Tujuan Kota/ jumlah
No. Penulis Desain definisi sampel Temuan Keterbatasan
penelitian Kabupaten sampel
4. (Nitami & Untuk Kabupaten Cross-sectional Ibu rumah 125 Penyuluhan dan
Budiutami, mengetahui Bogor . tangga Penerapan PSN
2016) faktor yang secara mandiri
memengaruhi berhubungan
penerapan PSN dengan keberadaan
pada ibu rumah jentik.
tangga
terhadap di
Kecamatan
Cibinong,
Kabupaten
Bogor.
5. (Ipa dkk., Hubungan Kabupaten Cross sectional Rumah tangga 195 pengetahuan
2009) tingkat Pangandaran dan sikap
pengetahuan, masyarakat tentang
sikap dan pengendalian DBD
praktik terhadap sudah cukup baik,
kejadian DBD tetapi praktiknya
terutama PSN
masih kurang.

Pencegahan Kasus Dengue ... | 229


Tujuan Kota/ jumlah
No. Penulis Desain definisi sampel Temuan Keterbatasan
penelitian Kabupaten sampel
6. (Masturoh Mengetahui Kabupaten Quasi Ibu rumah 67 Kelompok ibu
dkk., 2009) efektivitas Karawang experimental tangga rumah tangga
pemberdayaan (kelompok yang telah diberi
ibu rumah kasus dan pelatihan,
tangga dalam kontrol) ternyata bisa
peningkatan diberdayakan

230 | Dengue Update: Menilik ...


pengetahuan, dalam
sikap dan menyebarluaskan
praktik (PSP) informasi yang
penanggulangan berkaitan dengan
DBD pencegahan dan
pengendalian DBD
terhadap kelompok
IRT yang menjadi
binaannya
7. (Rianasari Hubungan Kota Bekasi Cross Sectional Kepala 95 Resting place, Faktor perilaku
dkk., 2016) lingkungan fisik keluarga yang breeding place, lain dan
dan perilaku dipilih secara kelembapan, lingkungan
masyarakat purposive kebiasaan fisik lainnya
dengan kejadian sampling. menggantung tidak diteliti.
DBD. pakaian, praktik
PSN, pengetahuan
ada hubungannya
dengan kejadian
DBD.
Tujuan Kota/ jumlah
No. Penulis Desain definisi sampel Temuan Keterbatasan
penelitian Kabupaten sampel
8. (Santya Upaya Kota Cross Sectional Pasien DBD pasien Masih ditemukan
dkk., 2016) pencegahan Sukabumi dan sampel : 113, jentik di masyarakat
masyarakat bangunan bangunan dan tempat-tempat
dalam yaitu yang : 437 umum, sehingga
pencegahan dikunjungi membutuhkan
DBD pasien satu sebuah pendekatan
minggu dalam bentuk
sebelum mobilisasi
terkena gejala masyarakat dalam
DBD mengontrol
keberadaan jentik.
9. (Elsa dkk., Mengetahui Kota Quasi Kepala 100 Pendidikan Pendidikan
2017) pengaruh Bandung experimental keluarga atau kesehatan yang kesehatan
pendidikan orang dewasa diberikan kepada seharusnya
kesehatan di Kecamatan masyarakat dapat dilakukan
terhadap Cijawura,dan meningkatkan secara
partisipasi Cisaranten tingkat berkelanjutan
masyarakat Wetan pengetahuan dan
dalam Kecamatan dan partisipasi menggunakan
memberantas yang dipilih mereka untuk metode yang
sarang nyamuk secara acak. mengendalikan lebih menarik.
Aedes aegypti tempat
yang diukur perkembangbiakan
tingkat nyamuk Aedes

Pencegahan Kasus Dengue ... | 231


pengetahuan. aegypti.
Tujuan Kota/ jumlah
No. Penulis Desain definisi sampel Temuan Keterbatasan
penelitian Kabupaten sampel
10. (Zubaedah, Mengetahui Kota Cross sectional Kader di 36 108 Terdapat
2007) hubungan Tasikmalaya kelurahan hubungan antara
faktor-faktor pengetahuan,
sumber daya persepsi, sikap,
manusia motivasi, beban
terhadap kerja dan imbalan

232 | Dengue Update: Menilik ...


kinerja petugas terhadap kinerja
pokja tingkat kader sebagai
kelurahan petugas pokjanal
di Kota DBD. perlu
Tasikmalaya. meningkatkan
pengetahuan
kader agar dapat
meningkatkan
peran serta
masyarakat dalam
program PSN DBD.
Tujuan Kota/ jumlah
No. Penulis Desain definisi sampel Temuan Keterbatasan
penelitian Kabupaten sampel
11. (Marlina Menganalisis Kelurahan Quasi Ibu rumah 60 (1) efektivitas Kurang
dkk., 2009) efektivitas Tegal Gundil, experimental tangga yang media dapat ditambahkan
penyampaian Kecamatan aktif di ditingkatkan untuk melihat
pesan tentang Bogor Utara, posyandu. melalui pengaruh pada
tanaman Zodia Bogor penggunaan perubahan
melalui media media fisik; (2) sikap dan
cetak (folder peningkatan tindakan atau
dan poster- pengetahuan sangat keterampilan
kalender), efektif melalui masyarakat.
objek zodia kombinasi media.
dan gabungan
keduanya
terhadap
peningkatan
pengetahuan
masyarakat.

Pencegahan Kasus Dengue ... | 233


Tujuan Kota/ jumlah
No. Penulis Desain definisi sampel Temuan Keterbatasan
penelitian Kabupaten sampel
12. (Rosidi, Mengetahui Kabupaten Cross-sectional Semua Rumah 48 Terdapat hubungan
2006) faktor PSN- Majalengka tangga yang yang bermakna
DBD dengan melaksanakan antara penyuluhan
angka bebas PSN kelompok tentang
jentik (ABJ) DBD, adanya kader
di Kecamatan jumantik, kegiatan

234 | Dengue Update: Menilik ...


Sumberjaya PSN DBD, sarana
Kabupaten pendukung PSN,
Majalengka. dan pemantauan
jentik secara
berkala dengan
Angka Bebas Jentik.
Sumber: dari berbagai sumber
D. GERAKAN SATU RUMAH SATU JUMANTIK (G1R1J)
Tiga pilar dalam strategi penanganan kasus dengue adalah penguatan
dan diagnosis dini serta tata laksana kasus yang tepat; gerakan satu
rumah satu jumantik; vaksinasi. Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik
(G1R1J) dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan pada 2015
dan dituangkan dalam Surat Edaran Menkes Nomor: PM.01.11/
MENKES/591/2016. Kegiatan yang dilakukan dalam G1R1J adalah
pelaksanaan advokasi, pelatihan kader, sosialisasi PSN G1R1J pada
warga dan jumantik serta lintas sektor, pengamatan jentik, serta
PSN dengan larvasidasi.
Program G1R1J lebih menekankan peran serta jumantik rumah
dalam tiap rumah tangga. Mekanisme struktur dalam G1R1J adalah
jumantik rumah/jumantik lingkungan, koordinator jumantik, dan
supervisor jumantik. Jumantik rumah adalah anggota rumah tangga
yang dipilih dan bersedia menjadi jumantik di rumahnya dengan
kriteria berusia lebih dari 15 tahun, merupakan anggota rumah
tangga, dan dapat memotivasi anggota keluarga yang lain untuk
melakukan PSN DBD. Tugas jumantik rumah adalah melakukan
pemantauan dan pembasmian jentik (jika ditemukan positif jentik)
setiap seminggu sekali dan mencatat di kartu pemeriksaan rumah
tangga. Koordinator jumantik melakukan tugas sosialisasi dan
pembinaan kepada jumantik rumah tentang kegiatan PSN DBD
serta memantau keberadaan jentik di rumah warga bersama-sama
dengan jumantik rumah. Koordinator jumantik bertugas membina
lebih kurang 20 rumah tangga binaan di wilayah kerjanya atau
disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah. Pencatatan
hasil pengisian form oleh jumantik rumah direkap oleh koordinator
jumantik dan diserahkan ke supervisor jumantik setiap satu bulan
sekali. Supervisor akan merekap hasil laporan dari beberapa
koordinator dan menghitung angka bebas jentik di wilayah tersebut
per bulan untuk diserahkan ke Puskesmas setempat.
Beberapa wilayah telah menjalankan kegiatan G1R1J. Sampai
tahun 2019 telah ada 116 kabupaten/kota telah melaksanakan G1R1J
dengan target tahun 2020 sebanyak 166 kabupaten/kota dan tahun

Pencegahan Kasus Dengue ... | 235


2024 ditargetkan sebanyak 370 kabupaten/kota melaksanakan G1R1J
(Subdit Arbovirosis, 2019). Hingga saat ini, beberapa wilayah di
kabupaten/kota mulai menYosialisasikan G1R1J dan melaksanakan
program tersebut. Konsep pikir dalam gerakan G1R1J adalah semua
kabupaten/kota melaksanakan G1R1J sehingga dapat meningkatkan
angka bebas jentik, dan pada akhirnya dapat menurunkan jumlah
kasus kesakitan dengue serta menurunkan angka kematian akibat
dengue secara nasional.

Merah : Belum terbentuk 1 R 1 J


Kuning : Capaian belum 40 %
Hijau : Sudah mencapai atau >
40 %

Sumber: Subdit Arbovirosis (2019)


Gambar 11.2 Peta distribusi pelaksanaan program G1R1J di Indonesia
tahun 2018

E. PENUTUP
Upaya pengendalian demam berdarah dengue melalui pemberdayaan
masyarakat (dalam hal ini PSN 3 M Plus dan gerakan satu rumah
satu jumantik) masih menjadi tugas bersama. Proses pemberdayaan
masyarakat yang terkait individu dan komunitas membutuhkan
waktu yang panjang, strategi yang optimal, dan melibatkan semua
pihak, terutama dukungan pemerintah dan koordinasi lintas sektor.
Pengembangan strategi berbasis masyarakat masih diperlukan agar
strategi yang efektif, efisien, dan berkelanjutan dapat ditentukan
sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya
yang dapat dilakukan adalah menggencarkan sosialisasi gerakan satu
rumah satu jumantik melalui media promosi, seperti iklan di televisi,

236 | Dengue Update: Menilik ...


jejaring sosial, poster, atau spanduk. Kader sebagai ujung tombak
terlaksananya kegiatan kesehatan di masyarakat harus dilatih
dan dibekali informasi yang baik sehingga mereka dapat menjadi
motivator dalam menggerakkan masyarakat. Selain itu, peraturan
daerah setempat (yang dikeluarkan gubernur, walikota, atau bupati)
dapat menjadi pemicu yang baik dalam menggerakkan program PSN
DBD. Koordinasi dengan sektor lainnya, seperti dinas pendidikan,
dinas kominfo, dinas tata ruang, dan Bappeda dibutuhkan agar
program pemberdayaan masyarakat ini terintegrasi dengan baik dan
dapat direalisasikan dalam bentuk naskah kerja sama (memorandum
of understanding/MOU). Jika G1R1J dapat diadopsi oleh setiap
individu, upaya pengendalian DBD akan semakin mudah karena
setiap individu bertanggung jawab terhadap rumah dan lingkungan
sekitarnya sehingga keberadaan jentik DBD dapat diminimalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Asri, Nuntaboot, K., & Wiliyanarti, P. F. (2017). Community social capital on
fighting dengue fever in suburban Surabaya, Indonesia: A qualitative
study. International Journal of Nursing Sciences, 4(4), 374–377.
Chadijah, S., Rosmini, & Halimuddin. (2011). Peningkatan peran serta
masyarakat dalam pelaksanaan PSN DBD di dua keluarahan di Kota
Palu, Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehatan, 21(4), 183–190.
Departemen Kesehatan RI. (2010). Profil kesehatan Indonesia 2010. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan. (2015).
Rencana aksi program pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan tahun 2015–2019. Kementerian Kesehatan RI.
Ditjen P2P. (2008). Modul pelatihan bagi pelatih pengendalian sarang
nyamuk DBD dengan pendekatan komunikasi perubahan perilaku.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Elsa, Z., Sumardi, U., & Faridah, L. (2017). Pengaruh pendidikan kesehatan
pada partisipasi masyarakat memberantas sarang nyamuk Aedes
aegypti di Kecamatan Buahbatu dan Cinambo, Bandung. National
Public Health Journal, 12(2), 73–78.

Pencegahan Kasus Dengue ... | 237


Gifari, M. A., Rusmartini, T., & Astuti, R. D. I. (2017). Hubungan tingkat
pengetahuan dan perilaku gerakan 3M plus dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti. Bandung Meeting on Global Medicine & Health
(BaMGMH), 1(1), 84–90.
Green, L. (1980). Health education: a diagnosis approach. John Hopskin
University: Mayfield Publishing Co.
Hasyim, D. M. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan
pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue. Jurnal
Kesehatan, 4(2), 364–370.
Hayani, Erlan, A, W. Y., & Samarang. (2006). Pengaruh pelatihan guru UKS
terhadap efektivitas PSN DBD di tingkat Sekolah Dasar di Kota Palu,
Sulawesi Tenggara. Jurnal Ekologi Kesehatan, 5(1), 376–379.
Ipa, M., & Laksono, A. D. (2014). Potential analysis of promoting the dengue
hemorrhagic fever prevention through Youtube. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan, 17(1), 97–106.
Ipa, M., Lasut, D., Yuliasih, Y., & Delia, T. (2009). Gambaran pengetahuan,
sikap dan tindakan masyarakat serta hubungannya dengan kejadian
demam berdarah dengue di Kecamatan Pangandaran Kabupaten
Ciamis. Aspirator, 1(1), 16–21.
Moeloek, N. F. (2015). Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat.
Presentasi disampaikan pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional Regional
Barat, Batam, 4 Maret 2015. Diakses pada 10 September 2019 dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/rakerkesnas-2015/reg-
barat/Paparan%20Menteri%20Kesehatan.pdf
Kementerian Kesehatan. (2017). Profil kesehatan Indonesia tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan. (2018). Data dan informasi profil kesehatan
Indonesia 2017 (R. Kurniawan, B. Hardhana, & Yulianto, eds.). Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Kusriastuti, R., Suroso, T., Nalim, S., & Kusumadi, W. (2004). “Together
picket:” community activities in dengue source reduction in
Purwokerto City, Central Java, Indonesia. Dengue Bulletin, 28(Suppl),
35–38.
Lubis, D., Purnama, S. G., Ekawati, K., & Muliantar, N. K. A. (2012). Asosiasi
pengetahuan tentang demam berdarah dan upaya pemberantasan
sarang nyamuk di Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan Bali. Arc.com.
Health, 1(2), 124–132.

238 | Dengue Update: Menilik ...


Mardikanto, T. (2010). Konsep-konsep pemberdayaan masyarakat. Surakarta:
UNS Press.
Marlina, L., Saleh, A., & Lumintang, R. W. (2009). Perbandingan efektivitas
media cetak (folder dan poster-kalender) dan penyajian tanaman
zodia terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat. Jurnal Ekologi
Pembangunan, 07(2), 1–20.
Masturoh, I., Rohmansyah, W. N., Dinata, A., & Yusmiadji, D. (2009).
Efektivitas pemberdayaan kelompok ibu rumah tangga dalam
peningkatan pengetahuan, sikap dan praktik pemberantasan demam
berdarah dengue di Kelurahan Adiarsa Barat Kabupaten Karawang
Provinsi Jawa Barat. Aspirator, 1(1), 22–27.
Nahumarury, N. A. (2013). Pengetahuan, sikap dan tindakan pemberantasan
sarang nyamuk Aedes aegypti dengan keberadaan larva di Kelurahan
Kassi Kassi Kota Makasar. Jurnal MKMI, September, 147–152.
Nasution, S., Sadono, D., & Wibowo, C. T. (2018). Penyuluhan kesehatan
untuk pencegahan dan risiko penyakit DBD dalam manga dan
infografis. Jurnal Penyuluhan, 14(1), 104–117. DOI: 10.25015/
penyuluhan.v14i1.17618
Nitami, M., & Budiutami, S. T. (2016). Determinan pemberantasan sarang
nyamuk dengue pada rumah tangga di Bogor tahun 2016. Berita
Kedokteran Masyarakat, 32(6), 189–194.
Notoatmodjo, S. (2005). Promosi kesehatan teori dan aplikasi (cetakan I).
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nuryanti, E. (2013). Perilaku pemberantasan sarang nyamuk di masyarakat.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9(1), 15–23.
Manalu H. S. P., & Munif, A. (2017). Pengetahuan dan perilaku masyarakat
dalam pencegahan demam berdarah dengue di Provinsi Jawa Barat
dan Kalimantan Barat. ASPIRATOR - Journal of Vector-borne Disease
Studies, 8(2), 69–76.
Pengvanich, V. (2011). Family leader empowerment program using par-
ticipatory learning process for dengue vector control. Journal of the
Medical Association of Thailand, 94(2), 235–241. Diakses 2 Februari
2019 dari http://www.mat.or.th/journal/files/ Vol94_No.2_235_8814.
pdf%5Cnhttp://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference
&D=emed10&NEWS=N&AN=2011132938.

Pencegahan Kasus Dengue ... | 239


Pujiyanti, A., & Trapsilowati, W. (2016). Learning management cadre of
mosquito breeding place control in Semarang city. Vektora, 8(2), 91–
98.
Rahayu, Y., Budi, I. S., & Yeni. (2017). Analisis partisipasi kader jumantik
dalam upaya penanggulangan demam berdarah dengue di wilayah
kerja Puskesmas Indralaya. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 8(3),
200–207.
Respati, T., Raksanagara, A., & Djuhaeni, H. (2018). Model program demam
berdarah dengue, peran serta masyarakat, serta sanitasi dasar di Kota
Bandung. Majalah Kedokteran Bandung, 50(3), 159–165.
Rianasari, Suhartono, & Dharminto. (2016). Hubungan faktor risiko
lingkungan fisik dan perilaku dengan kejadian demam berdarah
dengue di Kelurahan Mustikajaya Kota Bekasi. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-Journal), 4(5), 151–159.
Rosidi, A. R. (2006). Hubungan antara penggerakan pemberantasan sarang
nyamuk demam berdarah dengue (PSN-DBD) dan angka bebas
jentik di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Sanchez, L., Perez, D., Cruz, G., Castro, M., Kourı, G., Shkedy, Z.,... Van der
Stuyft, P. (2009). Intersectoral coordination, community empowerment
and dengue prevention: Six years of controlled interventions in Playa
Municipality, Havana, Cuba. TropicDer,al Medicine and International
Health, 14(11), 1356–1364.
Santya, R. N. R. E. Ayu, G. A. K., & Rosita. (2016). Upaya masyarakat dalam
pencegahan demam berdarah di Kota Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Jurnal Ekologi Kesehatan, 15(3), 179–190.
Sommerfeld, J., & Kroeger, A. (2012). Eco-bio-social research on dengue
in Asia: a multicountry study on ecosystem and community based
approaches for the control of dengue vectors in urban and peri-urban
Asia. Pathogens and Global Health, 106(8), 428–435.
Subdit Arbovirosis. (2019). Juknis implementasi PSN 3 M Plus dengan
gerakan satu rumah satu jumantik. Paparan Presentasi pada bulan
Februari 2019. kegiatan MOT Penelitian multicenter Jurbastik Badan
Litbang Kesehatan. Jakarta.

240 | Dengue Update: Menilik ...


Tana, S., Umniyati, S. R., Petzold, M., Kroeger, A., & Sommerfeld, J. (2012).
Building and analyzing an innovative community centered dengue
ecosystem management intervention in Yogyakarta, Indonesia.
Pathogens and Global Health, 106(8), 469–748.
Trapsilowati, W., & Suskamdani. (2007). Studi kualitatif pengetahuan dan
peran tokoh masyarakat dalam pengendalian DBD di Kota Salatiga.
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 17(4). Diakses 14
Maret 2019 dari http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/
article/view/820
Zubaedah, I. S. (2007). Hubungan faktor-faktor sumber daya manusia
terhadap kinerja petugas pokja DBD tingkat kelurahan di Kota
Tasikmalaya. Universitas Diponegoro.

Pencegahan Kasus Dengue ... | 241


242 |
Bab 12
Menilik Perjalanan Dengue
di Jawa Barat
Agus Suwandono

Badan kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa dari 20 penyakit


tropis yang terabaikan, khususnya dalam kategori penyakit infeksi
oleh virus, demam berdarah dengue (DBD) termasuk salah
satunya (World Health Organization, 2017). Sejak pertama kali
kemunculannya, kejadian dengue telah mencuri perhatian di dunia
dan di Indonesia khususnya. Bagaimana tidak, interaksi agent, host,
dan vector yang terkait erat dengan lingkungan ini sangat cepat
dinamika perubahannya. Perkembangan kejadian dengue yang cepat
tentunya harus diimbangi dengan data yang terkini dari multi faktor
pencetusnya.
Informasi lebih dalam tentang faktor pencetus dari dengue
sangat penting bagi penyusunan langkah pengendalian dan
pemberantasannya. Multifaktor pencetus penularan dengue secara
epidemiologi tidak lepas dari tiga hal, yaitu faktor inang (host),
vektor, dan lingkungan. Peranan faktor inang (manusia) meliputi
sebaran kasus, manifestasi klinis, tata laksana pengobatan, sebaran
serotipe, kepadatan penduduk, perilaku masyarakat terhadap upaya
pengendalian dan pencegahan terhadap kasus dengue. Faktor lainnya
adalah keberadaan vektor yaitu Aedes aegypti dan lingkungan yang
mendukung, faktor-faktor ini meliputi kondisi pemukiman, tata
guna lahan, keberadaan key container yang berisiko, dan iklim yang

| 243
dapat meningkatkan kepadatan populasi vektor di suatu wilayah
terutama di Provinsi Jawa Barat. Faktor iklim sebagai salah faktor fisik
dibahas lebih mendalam di dalam buku ini dan dilengkapi dengan
beberapa hasil penelitian terkait iklim dan hubungannya dengan
kejadian DBD di dunia, Indonesia, dan Jawa Barat khususnya. DBD
tergolong penyakit tular vektor yang transmisinya sangat bergantung
pada keberadaan vektor sebagai pembawa agen penyakit. Vektor ini
sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, baik berupa kondisi variabel
iklim (suhu, curah hujan, kelembapan, kecepatan angin, dan lama
penyinaran matahari) maupun periodesitas iklim.
Aedes aegypti biasanya mengisap darah (mencari pakan darah)
saat teduh pada siang hari atau ketika cuaca mendung, terutama
dua jam setelah matahari terbit dan sebelum matahari terbenam.
Penularan virus dengue (DENV) oleh nyamuk ke manusia (host)
memerlukan proses yang rumit yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu genetika dan imunitas nyamuk, serta iklim. Kondisi iklim
(suhu, kelembapan, dan curah hujan) di suatu wilayah memengaruhi
perkembangbiakan nyamuk pra-dewasa (telur-larva/jentik-pupa);
semakin kondusif iklim maka pertumbuhan nyamuk semakin
baik sehingga menetas menjadi nyamuk dewasa yang imunitasnya
semakin kuat, walaupun dalam tubuhnya terinfeksi virus dengue.
Nyamuk vektor ini (Ae. aegypti betina) akan lebih agresif untuk
mengisap darah manusia (host) sehingga semakin besar potensi
dalam penularan DBD di suatu wilayah.
Vektor dengue yang semula lebih banyak ditemukan di daerah
tropis, kini mulai merambah ke daerah subtropis, bahkan ke daerah
empat musim yang semula bukan merupakan habitat vektor.
Meningkatnya daya tahan dan semakin pendeknya daur hidup
vektor berpengaruh pada kepadatan vektor yang meningkatkan
peluang terjadinya transmisi penyakit. Perubahan suhu dan curah
hujan memperpendek masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh
vektor sehingga memperbesar peluang semakin cepatnya persebaran
virus dengue.

244 | Dengue Update: Menilik ...


Selanjutnya, manifestasi klinis DBD sebagai dasar penentuan
derajat keparahan penyakit, dibahas secara apik dengan merunutkan
latar belakang perubahan klasifikasi keparahan DBD. Sampai saat ini,
WHO telah tiga kali melakukan perubahan klasifikasi infeksi dengue,
yakni pada 1997, 2009, dan 2011. Selain melengkapi keterbatasan
aplikasi pedoman WHO sebelumnya, pembaruan klasifikasi ini juga
lebih relevan dan applicable dalam implementasinya di lapangan
(World Health Organization, 2017). Virus dengue (sebagai agen)
termasuk dalam genus flaviviridae, dan adanya vektor dalam proses
penularannya disebut juga arbovirus. Berdasarkan perbedaan sifat
antigennya, diketahui terdapat empat bahan antigenik (virus) yang
dikenal, yaitu serotipe 1–4 (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4).
Bersirkulasinya keempat serotipe virus dengue ini di Indonesia,
membuat Indonesia menjadi negara dengan angka infeksi tinggi di
dunia. Hasil penelitian menunjukkan DEN-3 berhubungan dengan
kasus dengue ringan di Indonesia, sedangkan di Provinsi Jawa Barat
DEN-2 dan DEN-3 bertanggung jawab untuk kasus dengue berat.
Keragaman virus dengue tidak hanya berdasarkan serotipe saja,
tetapi juga berdasarkan keragaman genetik. Hal ini terkait dengan
genotipe tertentu dari serotipe DBD tertentu mempunyai penyebaran
geografis yang khas dan hanya ditemukan di daerah tertentu.
Penelitian berkelanjutan terkait serotipe dan genotipe virus dengue
penting dilakukan secara berkala sebagai upaya untuk memahami
epidemiologi DBD dan sebagai kewaspadaan dini terjadinya
parahnya KLB BDB karena mutasi dan resistensi virus dengue.
Surveilans merupakan kunci dalam upaya sistem kewaspadaan
dini, demikian pula dengan DBD. Beberapa ukuran terkait vektor
(indeks entomologi) di antaranya Breteau Index (BI); Container
Index (CI), House Index (HI), Maya Index, dan Angka Bebas Jentik
(ABJ), merupakan keluaran dari kegiatan surveillans vektor DBD.
Keberadaan vektor sebagai salah satu faktor risiko terjadinya transmisi
tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus dikendalikan. Dalam hal
ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya pengendalian, mulai
dari 3M, 3M plus, kemudian gerakan satu rumah satu jumantik yang
pada prinsipnya dilakukan untuk memutus rantai penularan DBD.

Menilik Perjalanan Dengue ... | 245


Dalam buku ini, pembahasan terkait perilaku mencakup dua hal,
yaitu perilaku pencarian pengobatan dan pemberdayaan masyarakat
sebagai solusi pengendalian penyakit DBD. Dalam uraian, dijelaskan
bahwa perilaku pencarian pengobatan sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan tentang penyakit itu sendiri dan pengalaman sakit
dari anggota keluarga. Faktor ekonomi dan akses, baik transportasi
dan keberadaan fasilitas kesehatan, juga berkontribusi dalam
perilaku pencarian pengobatan. Perubahan perilaku tentunya bukan
pekerjaan sekejap, melainkan perlu upaya berkelanjutan untuk
terus menyadarkan dan mengajak masyarakat bahwa memberantas
dengue adalah tugas bersama. Upaya perubahan perilaku haruslah
dilakukan dengan lengkap dan dengan strategi yang optimal, serta
melibatkan peran semua pihak yang terkait, terutama dukungan
pemerintah daerah, koordinasi, dan kolaborasi lintas sektor. Selain
itu, pengembangan strategi berbasis masyarakat dan berbasis kearifan
dan budaya lokal sangat diperlukan agar mampu menanamkan
perilaku sehat di masyarakat.
Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) selalu disebut sebagai
upaya utama pengendalian DBD. Namun, pada kenyataannya PSN
hanya dikerjakan setelah terjadinya kasus dan KLB. Akhirnya upaya
ini berujung pada upaya pengasapan (fogging). Apabila dilakukan
tidak sesuai dengan kebijakan pengendalian DBD, pengasapan
akan menyebabkan terjadinya resistansi vektor DBD. Kegiatan
pengasapan seharusnya menjadi solusi paling akhir, tetapi tetap saja
menjadi upaya terfavorit di masyarakat. Saat ini, tidak hanya dinas
kesehatan setempat yang melakukan pengasapan massal, tetapi
juga perusahaan swasta. Pengasapan ini kebanyakan dilakukan atas
permintaan dan biaya masyarakat tanpa indikasi, dosis obat, dan cara
yang sesuai dengan kebijakan/pedoman pengasapan dinas kesehatan.
Hal ini tentunya menjadi ancaman serius karena dapat menyebabkan
resistensi vektor DBD. Penggunaan insektisida di rumah tangga juga
perlu diwaspadai bila tidak dilakukan dengan tepat guna. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan vektor DBD mengalami resistansi
terhadap insektisida di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk

246 | Dengue Update: Menilik ...


Jawa Barat. Permasalahan resistansi vektor adalah hal yang fatal
apabila tidak segera dicegah. Penanggulangan yang diharapkan
mampu memutus transmisi bisa menjadi bumerang bila tidak ada
tindak lanjut terhadap hal-hal penyebab terjadinya resistansi vektor
DBD. Beberapa hal yang bisa dilakukan menurut WHO adalah (1)
rotasi insektisida dengan menggunakan obat yang berbeda cara
kerjanya; (2) intervensi dilakukan pada nyamuk dewasa dan larva
secara bersamaan dengan insektisida yang memiliki cara kerja yang
berbeda, dan (3) menggunakan insektisida yang memiliki cara kerja
berbeda dan diaplikasikan berdasarkan wilayah geografis vektor.
Mudahnya penyakit DBD menyebar dari orang ke orang lain
melalui nyamuk, bahkan dari satu wilayah ke wilayah yang lain,
mengakibatkan jumlah kejadian DBD semakin meningkat dan
menyebar luas. Berbagai analisis untuk melihat berbagai faktor baik
spasial maupun nonspasial tentunya diperlukan untuk menentukan
pengendalian yang tepat. Dalam faktor spasial, wilayah yang
berdekatan memiliki hubungan lebih erat dibandingkan dengan
yang berjauhan (Anselin, 1999). Hal ini terkait dengan jangkauan
terbang nyamuk vektor berkisar 100–150 meter dan tidak mengenal
batas administrasi. Begitu pula dengan kejadian DBD yang
kemungkinan memiliki hubungan antarwilayah. Hasil penelitian
terkait peran analisis keruangan di Kota Tasikmalaya bisa dijadikan
sistem kewaspadaan dini (early warning system) terkait DBD. Hal ini
karena adanya keterbatasan dari riset di Kota Tasikmalaya yang harus
disandingkan juga dengan mobilitas penduduk, sanitasi lingkungan,
keberadaan kontainer perindukan nyamuk Aedes, kepadatan vektor,
tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan yang dapat memengaruhi
terjadinya penyakit DBD.
Hingga saat ini, permasalahan penyakit DBD masih tergolong
masalah yang kompleks dan menyisakan banyak hambatan dalam
pengendaliannya. Namun, dengan upaya koordinasi dan kolaborasi
lintas sektor di tingkat nasional dan daerah yang lebih baik serta
adanya sinergitas antara pemerintah/pemda dan masyarakat, masalah
DBD diharapkan dapat teratasi. Selain itu, hal yang tidak kalah

Menilik Perjalanan Dengue ... | 247


penting adalah kesadaran kita bersama untuk lebih berpartisipasi
dalam upaya mengendalikan demam berdarah dengue di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Anselin, L. (1999). Spatial econometrics. Dallas Richardson. Bruton Centre
School of Social Sciences University of Texas.
WHO. (2011). Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue
and dengue haemorrhagic fever (revised and expanded edition). India:
World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.
Diakses pada 18 Maret 2018 http://apps.searo.who.int/pds_docs/
B4751.pdf?ua=1
World Health Organization (WHO). (2017). Neglected tropical Diseases
2017. Diakses pada 20 April 2019 dari https://www.who.int/neglected_
diseases/diseases/en/
Mweya, C. N., Kimera, S. I., Karimuribo, E. D., & Mboera, L. E. (2013).
Comparison of sampling techniques for rift valley fever virus potential
vectors, Aedes aegypti and Culex pipiens complex, in Ngorongoro
District in nortern Tanzania. Tanzan Jheal Res, 15(3), 158–164. Diakses
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26591704
Black, W. C., Bennett, K. E., Gorrochhotegui-Escalante, N., Barillas-Mury,
C.V., Fernandez-Salas, I., de Lourdes Munoz, M., ... Beaty, B.J. (2002).
Flavivirus susceptibility in Aedes aegypti. Arch Med Res. 33, 379–388.
Diakses 20 April 2019 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
12234528PMID:1223452835.
Alto, B. W., Lounibos, L. P., Mores, C. N., & Reiskind, M. H. (2008).
Larval competition alters susceptibility of adult Aedes mosquitoes
to dengue infection. Proc Biol Sci., 275, 463–471. doi:10.1098/
rspb.2007.1497PMID:1807725036.
Capinha, C., Rocha, J., & Sousa, C. A. (2014). Macro climate determines the
global range limit of Aedes aegypti. Eco-health, 11(3), 420–428. doi:
10.1007/s10393-014-0918-y.
Colon-Gonzalez, F. J., Fezzi, C., Lake, I. R., & Hunter, P. R. (2013). The effect
softweather and climate change on dengue. Plos Negl Trop Dis., 7(11),
e2503. doi: 10.1371/journal.pntd.0002503.

248 | Dengue Update: Menilik ...


Daftar Singkatan

3M : menguras, menutup, mengubur


A : antecedent
ABJ : angka bebas jentik
AC : air conditioner
ace : Acetylcholinesterase
ACh : Acetylcholine
AchE : Acetylcholinesterase
ADD : ASEAN Dengue Day
ADE : antibody-dependent immune enhancement
Ae : Aedes
ALDHs : Aldehiyde Dehydrogenase
ALPs : Alkaline Phosphatases
ALT : Alanine Aminotransferase
APNs : Aminopeptidases
AST : Aspartate Transaminase
ATP : Adenosine Triphosphate
B : behavior
Bappeda : Badan Pembangunan Daerah
BI : Breuteu Index

| 249
BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPS : Badan Pusat Statistik
BTI : Bacillus thuringiensisi israelensis
C : Celcius
C : Concequences
C : Core
CCEs : Carboxylesterases
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
CFR : Case Fatality Rate
CI : Container Index
CNS : central nervous system
CSIs : Chitin Synthesis Inhibitor
CYTP450 : Cytochrome P450 Monooxygenase
DBD : demam berdarah dengue
DD : demam dengue
DDT : Dicloro Diphenyl Trichloroethane
Den : dengue
DENV : dengue virus
DF : Density Figure
Dinkes : Dinas Kesehatan
Ditjen : Direktorat Jenderal
DKI : Daerah Khusus Ibukota
DSS : Dengue Shock Syndrome
E : Envelope
ECDC : European Centre for Disease Prevention and Control
ELISA : Enzyme Link Immunosorbent Assay
ENSO : El Nino Southern Oscillation
FCCC : Framework Convention on Climate Change
G1R1J : Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik
G6PD : Glucose-6-phosphate Dehydrogenase
GABA : Gamma-aminobutyric Acid

250 | Dengue Update: Menilik ...


GAM : Generalized Additive Models
GST : Glutathione S-transferase
HI : House Index
IgG : Immunoglobulin G
IgM : Immunoglobulin M
IGRs : Insect Growth Regulators
IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change
IR : Incidence Rate
IRAC : Insecticide Resistance Action Committee
kdr : knockdown resistance allel
Kemenkes : Kementerian Kesehatan
Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan
KLB : kejadian luar biasa
Kominfo : Komunikasi dan Informasi
M : Membrane
MFO : mixed-function oxidases
MI : Maya Index
MOU : Memorandum of Understanding
NAMRU : Naval Medical Research Unit
NEA : National Environment Agency
NS : non structural
NTB : Nusa Tenggara Barat
OR : odd’s ratio
P2PTVZ : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor
dan Zoonotik
Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
POKJANAL : Kelompok Kerja Operasional
PP & PL : Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk
PVT : Pengendalian Vektor Terpadu
rdl : resistance dieldrin allel

Daftar Singkatan | 251


RDT : Rapid Diagnose Test
REPC : rare but extremly productive container
RI : Republik Indonesia
RNA : Ribonucleic Acid
RR : resistant ratio
RS : rumah sakit
RSU : Rumah Sakit Umum
Rumantik : guru pemantau jentik
SEARO : South East Regional Office
Sismantik : siswa pemantau jentik
S-O-R : stimulus organisme respond
SSD : syok sindrom dengue
TPA : tempat penampungan air
UDPGTs : Glucosyl Transferases
UNDP : United Nation Development Programme
VGSC : Voltage-Gate Sodium Channel
WHO : World Health Organization
ZOM : zona musim

252 | Dengue Update: Menilik ...


Indeks

3M, 218, 227 Endemis, 96


ABJ, 17, 18, 69, 74–77, 79, 82, 83, 96, Epidemiologi, 23, 46, 104, 190
101, 218, 224, 234, 245, 249
Aedes aegypti, 2, 14, 20, 22–25, 53, Flaviviridae, 1, 14, 51, 64, 202
69, 70–72, 74, 76, 78, 79, 82, Flavivirus, 1, 14, 55, 51, 248
84–87, 90, 95, 102–106, 123, Gerakan Satu Rumah Satu
130–146, 174, 183, 189–191, Jumantik, 77, 235, 250
193, 205, 227, 231, 238, 239,
244, 248 Habitat, 71, 91, 102
Aedes albopictus, 86, 87, 90, 104,
105, 133–135, 140, 143, 144, Infeksi, 7, 13–15, 29, 37, 40–42, 44,
146, 190 58, 59, 140, 202
Antibodi, 38, 60 Insektisida, 107, 110–114, 118, 122,
125
Bioekologi, 84
Karbamat, 121, 125
Case Fatality Rate, 10, 148 Kasus, 1, 8, 11, 16, 64, 66, 75, 76,
167, 176, 177, 184, 217, 226
Demam Berdarah Dengue, 31, 67,
Kelembapan, 172, 184
107, 147, 148, 156, 159, 195
Kontainer, 93, 99, 104
Dengue, 1, 5, 7–9, 11–13, 23, 29–35,
37, 40, 44, 46–51, 53, 56, 58, Larva, 92, 97
63–67, 84, 87, 89, 91, 96, 103, Larvasida, 81
105–107, 147, 148, 156, 159,
167, 188, 191–195, 215, 217, Mosquitoes, 102, 142
238, 243, 249

| 253
Nyamuk, 2, 3, 16, 70, 72, 74, 83, RDT, 43, 252
90–92, 107, 167, 174, 244, 251 Replikasi, 284
Reservoir, 284
Organofosfat, 120, 125
Organoklorin, 121, 125 Serotipe, 2, 3, 25, 40, 51, 53, 54, 56,
57, 58, 62, 65
PCR, 47, 87, 143, 145 Suhu, 73, 91, 171, 172, 173, 180,
Pemberantasan Sarang Nyamuk, 181, 184, 186
251 Telur, 71, 91
Pengendalian Vektor Terpadu, 251 Transmisi, 170, 175
Pengetahuan, 23, 24, 92, 101, 198, Vektor, 2, 13, 21, 24, 67, 74, 85, 91,
203, 212, 218, 239 96, 100, 103, 106, 107, 114,
Pengobatan, 195, 201 118, 122, 124, 126, 128, 130,
Peran serta masyarakat, 4 165, 168, 177, 187, 244, 251
Perilaku, 72, 74, 78, 83, 106, 195,
197, 199, 200, 201, 210, 211,
239, 251

254 | Dengue Update: Menilik ...


Biografi Editor

Agus Suwandono
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat/Epide­
miologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)
UNDIP, Semarang. Jabatan terakhir sebelum
pensiun di Badan Litbangkes Kemenkes RI adalah
Profesor Riset Bidang Kebijakan Kesehatan dan
Biomedis. Saat ini ia bekerja sebagai Senior
Technical Officer, USAID-OHW-EPT2 Project,
University of Minnesota (UMN), Twin Cities, USA
untuk Indonesia One Health University Network (INDOHUN) UI.
Mantan Sekretaris Badan Litbangkes, Kepala Puslitbang Pemberantasan
Penyakit dan Kepala Puslitbang Pelayanan Kesehatan, Depkes RI.
Mantan Anggota Panel Ahli Komisi Nasional (Komnas) Flu Burung dan
Pademi Preparedness dan Komnas Zoonosis. Menyelesaikan beberapa
pekerjaan konsultan, field officer, anggota board di berbagai institusi
kesehatan internasional (UNICEF, WHO, AusAID, SDC, COHRED,
PDVI, IVI), pernah menjabat Kepala Puskesmas Karangkobar,
Kabupaten Banjarnegara. Ia menyelesaikan pendidikan dokter FK
UNDIP Semarang, S2 (MPH) dan S3 (Dr. PH) dari School of Public
Health, University of Hawaii, Honolulu, USA. Sebagai ketua tim peneliti
di berbagai penelitian internasional dan nasional bidang kebijakan

| 255
kesehatan, ketenagaan dan fasilitas kesehatan, DBD, avian influenza,
Japanese enchepalitis, kecelakaan lalu lintas. Penulis telah menulis lebih
dari 80 artikel di majalah ilmiah nasional dan internasional. Ia juga
menjadi penulis dan editor beberapa buku ilmiah dan ilmiah populer,
misalnya Epidemiologi Manajetial: Teori dan Aplikasi, OH SMART,
Malaria, Dance of Minds, Puskesmas.

256 | Dengue Update: Menilik ...


Biografi Penulis

Endang Puji Astuti


Peneliti Ahli Madya di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes
RI ini menye­ lesaikan pendidikan Sarjana
Kesehatan Masyarakat di Universitas Airlangga
Surabaya, dan Master of Science Entomologi
Kesehatan di Institut Pertanian Bogor.
Beberapa penelitian telah ia lakukan di bidang
epidemiologi penya­ kit tular vektor, seperti
malaria, filariasis, dan demam berdarah dengue. Ia juga kontributor
dalam buku Fauna Anopheles, Filariasis di Jawa Barat (Penyakit Tropis
yang terabaikan), Seputar Dengue dan Malaria, Pestisida Nabati, dan
Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah.

| 257
Mara Ipa
Peneliti Ahli Madya di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes
RI ini menye­ lesaikan pendidikan Sarjana
Kesehatan Ma­syarakat di Universitas Airlangga
Surabaya, dan Master of Science program studi
ilmu kedokteran tropis di Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah
ia lakukan di bidang epidemiologi penyakit
tular vektor, seperti malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Ia juga
kontributor buku Fauna Anopheles, Filariasis di Jawa Barat (Penyakit
Tropis yang terabaikan), Balutan Pikukuh Persalinan Baduy, Seputar
Dengue dan Malaria, dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah.
Tri Wahono
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI ini
menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran
Hewan dan Pendidikan Profesi Dokter Hewan
di Institut Pertanian Bogor; Master of Science
program studi ilmu kedokteran tropis di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa
penelitian telah dilakukannya pada bidang
epidemiologi penyakit tular vektor, seperti malaria, filariasis, dan
demam berdarah dengue. Ia juga sebagai kontributor buku Filariasis di
Jawa Barat (Penyakit Tropis yang terabaikan) dan Dengue dalam Multi-
Perspektif; dan sebagai editor buku Surveilans dan Pengendalian Vektor
Demam Berdarah Dengue.

258 | Dengue Update: Menilik ...


Heni Prasetyowati
Peneliti Ahli Madya di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI
ini menyelesaikan pendidikan Sarjana Sains di
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman,
dan Master of Science di Prodi Kedokteran Tropis
Universitas Gadjah Mada. Beberapa penelitian
telah dilakukannya dalam bidang epidemiologi
penyakit tular vektor malaria dan demam
berdarah dengue. Ia juga kontributor penulis
dalam buku Fauna Anopheles, Pestisida Nabati dalam Pengendalian
Demam Berdarah Dengue, dan Seputar Dengue dan Malaria.

Hubullah Fuadzy
Ia adalah Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Ia
menyelesaikan pendidikan Diploma III Kesehatan
Lingkungan di Poltekkes Bandung, Sarjana Biologi
di Universitas Nasional Jakarta; dan Pascasarjana
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan di Institut
Pertanian Bogor. Fokus penelitiannya adalah
bidang penyakit tular vektor, misalnya malaria,
chikungunya, filariasis, dan demam berdarah
dengue. Ia sempat menjadi kontributor penulis untuk buku Fauna
Anopheles, dan Pestisida Nabati.

Mutiara Widawati
Ia adalah Calon Peneliti di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI
yang menyelesaikan pendidikan Sarjana Sains
di Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung
dan Master of Public Health di School of Public
Health University of Sydney. Ia telah melakukan

Biografi Penulis | 259


beberapa penelitian di bidang epidemiologi penyakit tular vektor,
seperti malaria, demam berdarah dengue, dan filaria. Ia juga menjadi
kontributor penulis untuk buku Pestisida Nabati dalam Pengendalian
Demam Berdarah Dengue, Senyawa-senyawa aktif dalam insektisida
nabati, dan buku Pemanfaatan Nanoteknologi dalam Pengembangan
Pupuk dan Pestisida Organik.

Joni Hendri
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes Pangandaran,
Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan
pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat di
Universitas Siliwangi Tasikmalaya Tahun 2009;
dan Master of Biotechnology dari Universitas
Gadjah Mada Tahun 2014. Beberapa penelitian
telah dilakukan pada bidang tular vektor termasuk
Demam Berdarah Dengue. Kontributor penulis
dalam buku Fauna Anopheles, Insektisida Nabati dalam Pengendalian
Demam Berdarah Dengue; Seputar Dengue dan Malaria; dan Buku Saku
Menghapus Jejak Kaki Gajah. Beberapa tulisan ilmiah semi populer juga
pernah di muat di Koran Pikiran Rakyat dan Majalah Inside.

Andri Ruliansyah
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI.
Menyelesaikan pendidikan Diploma Kesehatan
Lingkungan di Akademi Kesehatan Lingkungan
Bandung, Sarjana Kesehatan Masyarakat di
Universitas Indonesia Depok, dan Master of
Science program studi Penginderaan Jauh di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa
penelitian telah ia lakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular
vektor, seperti malaria, filariasis, dan demam berdarah dengue. Ia juga
sempat menjadi kontributor penulis dalam buku Seputar Dengue &

260 | Dengue Update: Menilik ...


Malaria dan Buku Surveilans & Pengendalian Vektor Demam Berdarah
Dengue.

M Ezza Azmi Fuadiyah


Peneliti Ahli Pertama di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Ia
mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
dari Universitas Diponegoro Semarang dan
Magister Kesehatan Masyarakat dari Universitas
Indonesia. Ia memiliki ketertarikan tentang
pengaruh perubahan iklim terhadap penyebaran
penyakit tular vektor.

Firda Yanuar Pradani


Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes Pangandaran
Badan Litbangkes Kemenkes RI. Ia menyelesaikan
pendidikan Sarjana dan Magister Biologi di
Universitas Jendral Soedirman Purwokerto dan aktif
dalam berbagai kegiatan penelitian Badan Litbang
Kesehatan ataupun Lokalitbangkes Pangandaran.
Ia juga sempat menjadi kontributor penulis dalam
buku Fauna Anopheles dan Pestisida Nabati.

Rohmansyah Wahyu Nurindra


Peneliti Ahli Pertama di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI.
Ia pernah berkuliah di jurusan Antropologi
Universitas Padjadjaran. Bekerja mulai tahun
2005 sampai dengan saat ini dan telah mengikuti
berbagai pendidikan dan pelatihan berkait bidang
pekerjaan. Selama bekerja, ia telah melakukan
berbagai penelitian dan menjadi kontributor

Biografi Penulis | 261


penulis beberapa buku yang berkaitan dengan pengendalian penyakit
bersumber binatang, humaniora kesehatan, dan kesehatan masyarakat,
baik berskala regional maupun nasional.

Yuneu Yuliasih
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes
RI. Ia me­ nyelesaikan pendidikan Sarjana
Kesehatan Masyarakat di Universitas Siliwangi
Tasikmalaya dan Master of Science Program
Studi Ilmu Kedokteran Dasar di Universitas
Gadjah Mada. Beberapa penelitian telah
dilakukannya pada bidang epidemiologi
penyakit tular vektor, seperti malaria, filariasis, demam berdarah dengue.
Ia juga sempat menjadi kontributor penulis dalam buku Pestisida Nabati
dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah.

262 | Dengue Update: Menilik ...

Anda mungkin juga menyukai