ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
© Hak cipta dilindung oleh Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014
All Right Reserved
LIPI Press
© 2019 Kementerian Kesehatan
Loka Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pangandaran
Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
Diterbitkan oleh:
LIPI Press, anggota Ikapi
Gedung PDDI LIPI, Lantai 6
Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta 12710
Telp.: (021) 573 3465
e-mail: press@mail.lipi.go.id
website: lipipress.lipi.go.id
LIPI Press
@lipi_press
Daftar Gambar...................................................................................................vii
Pengantar Penerbit.............................................................................................ix
Kata Pengantar....................................................................................................xi
|v
Bab 8 Analisis Keruangan Kepadatan Penduduk dan Pemukiman
Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Kota Tasikmalaya
Andri Ruliansyah................................................................................147
Bab 9 Pengaruh Iklim Terhadap Kejadian Dengue
M. Ezza Azmi Fuadiyah ....................................................................167
Bab 10 Perilaku Pencarian Pengobatan Pasien Demam
Berdarah Dengue
Firda Yanuar Pradani & Rohmansyah Wahyu Nurindra...............195
Bab 11 Pencegahan Kasus Dengue dengan Pemberdayaan
Masyarakat “Community Empowerment”
Endang Puji Astuti & Yuneu Yuliasih...............................................217
Bab 12 Menilik Perjalanan Dengue di Jawa Barat
Agus Suwandono.................................................................................243
Daftar Singkatan..............................................................................................249
Indeks ..............................................................................................................253
Biodata Editor .................................................................................................255
Biodata Penulis................................................................................................257
vi |
Daftar Gambar
| vii
Gambar 7.3 (A) Sebaran keberadaan (terpublikasi) vektor DBD
resistan terhadap berbagai insektisida berdasarkan
kabupaten/kota di Jawa Barat; (B) Sebaran jenis dan
konsentrasi insektisida berdasarkan kabupaten/kota
dengan status resistensi vektor DBD
(11 kabupaten/kota). ............................................................ 124
Gambar 7.4 Peta Status Resistansi Vektor DBD di Jawa Barat.............. 128
Gambar 8.1 Angka Insiden Demam Berdarah Dengue Kota
Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Tahun 2013–2017 ........ 148
Gambar 8.2 Case Fatality Rate Demam Berdarah Dengue Kota
Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Tahun 2013–2017 ........ 148
Gambar 8.3 Kepadatan Penduduk Kota Tasikmalaya Provinsi
Jawa Barat Tahun 2013–2017 (per Km2)............................ 152
Gambar 8.4 Kepadatan Pemukiman Kota Tasikmalaya Provinsi
Jawa Barat Tahun 2013–2018 .............................................. 152
Gambar 8.5 Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota
Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Tahun 2011–2015
(per Hektare).......................................................................... 155
Gambar 8.6 Angka Kesakitan Demam Berdarah Dengue per 100.000
Penduduk per Kecamatan Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa
Barat Tahun 2011–2015 ....................................................... 156
Gambar 8.7 Informasi Spasial Sebaran Kejadian DBD Berdasarkan
Kepadatan Penduduk di Kota Tasikmalaya
Tahun 2011–2015.................................................................. 156
Gambar 8.8 Kepadatan Pemukiman (%) per Kecamatan di Kota
Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Tahun 2011–2015 ........ 159
Gambar 8.9 Informasi Spasial Sebaran Kejadian DBD Berdasarkan
Kepadatan Pemukiman di Kota Tasikmalaya
Tahun 2011–2015 ................................................................. 160
Gambar 9.1 Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Kesehatan
Manusia................................................................................... 169
Gambar 9.3 Diagram Pengaruh Biofisik pada Ekologi DENV............. 170
Gambar 11.1 Pilar Kebijakan Menteri Kesehatan dalam mencapai
Indonesia Sehat...................................................................... 219
Gambar 11.2 Peta distribusi pelaksanaan program G1R1J
di Indonesia tahun 2018....................................................... 236
viii |
Pengantar Penerbit
| ix
Sebagai salah satu upaya penjaminan kualitas, penerbitan buku
ini telah melalui proses peer review oleh dua orang pakar di bidang
yang terkait dengan topik bahasan. Semoga buku ini dapat menjadi
referensi bagi mahasiswa, akademisi, peneliti, dan para pemangku
kepentingan, khususnya dalam upaya pencegahan dan pengendalian
demam berdarah dengue sebagai salah satu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus.
LIPI Press
x|
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan anugerah
dan rahmat-Nya buku bunga rampai berjudul Dengue Update:
Menilik Perjalanan Dengue di Jawa Barat ini dapat diselesaikan.
Buku ini merupakan kumpulan analisis permasalahan dengue
yang merupakan penyakit tular vektor (mosquito borne disease)
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama
di Indonesia. Dalam buku ini, para peneliti Loka Litbangkes
Pangandaran dari berbagai latar belakang pendidikan dan keahlian
yang berbeda mencoba mengupas permasalahan dengue dari
berbagai sisi yang memengaruhinya. Artikel-artikel dalam buku
ini merupakan systematic review atau analisis dari berbagai hasil
penelitian yang sudah dilakukan, terutama di Provinsi Jawa Barat.
Banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang mengalir
selama proses penyusunan buku yang ditulis oleh para peneliti muda
ini. Terbitnya buku ini menjadi wujud nyata kerja keras para peneliti
selaku penulisnya. Harapannya, buku bunga rampai ini bermanfaat
bagi masyarakat dan menjadi referensi bagi masyarakat ilmiah yang
membutuhkan bahan bacaan mengenai penyakit dengue. Selain itu,
buku ini dapat menjadi salah satu bahan kebijakan penatalaksanaan
dan pengendalian dengue.
| xi
Buku bunga rampai ini tentunya masih jauh dari sempurna.
Kesalahan penulisan ataupun kurang dalamnya analisis tentunya
masih ditemukan dalam buku ini. Oleh karena itu, para peneliti
selaku penulis menerima segala bentuk kritik, pesan, dan saran agar
dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas penulisan karya
ilmiah, serta mampu menerbitkan kembali buku edisi selanjutnya
yang lebih baik lagi. Selamat membaca.
Salam,
xii |
Bab 1
Dinamika Dengue di Jawa Barat:
Sebuah Pengantar
Agus Suwandono
|1
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4; dan hingga saat ini, beberapa
wilayah, termasuk Provinsi Jawa Barat, telah melaporkan DBD
dengan keempat serotipe tersebut. Serotipe virus dengue pertama
kali terkonfirmasi di beberapa wilayah. DEN-1 terkonfirmasi pada
1943 di Jepang dan Polinesia; DEN-2 terlaporkan di Papua Nugini
dan Indonesia pada 1944; DEN-3 dan DEN-4 terlaporkan di Filipina
dan Thailand pada 1953 (Messina, Brady, & Scott, 2014). Vektor
penular dengue, yakni nyamuk Aedes aegypti, merupakan vektor
primer, sementara Ae. albopictus adalah vektor sekunder (WHO,
2000). Nyamuk vektor DBD, Ae. aegypti, ditemukan di dalam
rumah, dengan habitatnya di wadah-wadah penampung air, seperti
bak mandi, ember, penampung air dispenser/AC/lemari es, tempat
minum hewan peliharaan, dan lain-lain. Nyamuk ini pun hidup di
luar rumah dengan habitat dalam ban bekas dan barang-barang bekas
lainnya. Nyamuk Ae. albopictus banyak ditemukan di kebun atau
semak-semak dengan habitatnya di wadah-wadah alami, misalnya
lubang bambu, ketiak daun tanaman, dan tempurung kelapa.
Di Indonesia, kasus dengue pertama kali dilaporkan di Surabaya
dan Jakarta pada 1968, dan hingga saat ini, semua provinsi telah
melaporkan kejadian DBD di wilayahnya. Angka kasus DBD tahun
2016 secara nasional sebesar 78,85/100.000 penduduk, jumlah
tertinggi di Provinsi Bali, Kalimantan Timur, dan DKI Jakarta.
Selanjutnya, terjadi penurunan angka kasus pada 2017 menjadi
22,5/100.000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2017; 2018).
Sementara itu, Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah endemis.
Seluruh kabupaten/kota di wilayah ini telah melaporkan terjadinya
kasus DBD. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI,
distribusi jumlah orang yang terindikasi DBD di Provinsi Jawa Barat
mencapai 401 orang pada awal 2019.
Banyak faktor yang memengaruhi penyebaran dan peningkatan
jumlah kasus DBD di suatu daerah termasuk di Provinsi Jawa
Barat, yaitu manusia (host), nyamuk (vektor), virus dengue
(agent), dan lingkungan. Secara epidemiologis, penularan dengue
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention. (2014). Epidemiology of dengue.
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention.
Gubler, D. (2006). Dengue/dengue haemorrhagic fever: History and current
status. Novartis Found Symp., 277, 3–16; discussion 16–22, 71–3, 251–
3.
Gubler, D. J. (1998). Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clinical
Microbiology Reviews, 11(3), 480–496.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Profil kesehatan Indonesia tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Data dan informasi profil kesehatan
Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Messina, J., Brad, O., & Scott, T. (2014). Global spread of dengue virus types:
Mapping the 70 year history. Trends in Microbiology, 22(3), 138–146.
World Health Organization. (2000). WHO report on global surveillance of
epidemic-prone infectious diseases: Dengue and dengue haemorrhagic
fever. Diakses pada 15 Oktober 2018) dari https://apps.who.int/iris/
bitstream/handle/10665/66485/WHO_CDS_CSR_ISR_2000.1.pdf.
World Health Organization. (2009). Dengue: Guidelines for diagnosis,
treatment, prevention, and control. New Delhi: World Health
Organization Regional Office for South-East Asia.
World Health Organization. (2018). Dengue control: Epidemiology. Diakses
pada 16 Oktober 2018 dari https://www.who.int/denguecontrol/
epidemiology/en/
A. SEBARAN DENGUE
Angka kejadian infeksi virus dengue di dunia meningkat 30 kali
lipat dalam lima puluh tahun terakhir. Tercatat sekitar 50–100 juta
infeksi terjadi setiap tahunnya di lebih dari 100 negara endemis,
termasuk Indonesia (WHO, 2011). Sejak pertama kali dilaporkan di
Indonesia pada 1968, infeksi virus dengue masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat hingga saat ini. Penyebaran kasus infeksi virus
dengue yang awalnya ditemukan hanya di dua wilayah (Surabaya
dan Jakarta) pada 1968, kemudian menyebar ke seluruh provinsi di
Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2017a).
Infeksi virus dengue dibedakan menjadi tiga stadia, yaitu
demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), dan syok
sindrom dengue (SSD). Infeksi virus ini sering menimbulkan
kejadian luar biasa (KLB) di beberapa wilayah, bahkan termasuk satu
dari lima penyakit tertinggi dalam KLB (WHO, 2012). Terdapat lima
provinsi dengan incidence rate (IR) tertinggi pada 2010, yaitu DKI
Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Bali, dan Kepulauan
Riau (Departemen Kesehatan, 2010). Jumlah kasus per provinsi
berfluktuasi setiap tahunnya. Pada 2014, wilayah dengan IR tinggi
adalah Bali, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat, Kepulauan Riau, dan DKI Jakarta (Kementerian Kesehatan
RI, 2015). Sementara itu, case fatality rate (CFR) atau persentase
|7
kematian akibat DBD pada 2014 sebesar 0,9%; pada 2015 sebesar
0,83%; pada 2016 sebesar 0,78%; dan pada 2017 sebesar 0,72%.
Selanjutnya, CFR tahun 2018 sebesar 0,65%; pada 2019 sebesar
0,94% (Ditjen P2PTVZ, 2019).
Gambar 2.1 berisi fluktuasi IR setiap provinsi dari tahun 2016
hingga tahun 2017 dibandingkan dengan IR rata-rata nasional.
Pada 2016, diketahui terdapat 16 provinsi menduduki IR di atas
rata-rata nasional (IR >78,85/100.000 penduduk). Sebagian provinsi
mengalami penurunan drastis kasus DBD pada 2017 dengan angka
IR nasional sebesar 22,5/100.000 penduduk. Jumlah provinsi dengan
IR di atas rata-rata nasional meningkat menjadi 17 provinsi pada
tahun 2017. Provinsi Jawa Barat tergolong ke dalam daftar provinsi
yang tidak menyatakan KLB Dengue pada 2016 dan 2017 (Gambar
2.1) Pada saat itu, IR dengue di Jawa Barat berada di bawah rata-
rata nasional. Lantas bagaimana sebaran dan fluktuasi kasus dengue
di level kabupaten di Jawa Barat, apa saja faktor risikonya, dan
bagaimana keterkaitan antarfaktor risiko tersebut?
2004–2006 masih di atas 1%. Angka ini berhasil ditekan pada tahun-
tahun berikutnya hingga di bawah 1% sesuai dengan target nasional,
sementara CFR terendah terjadi pada 2011 yakni sebesar 0,42%.
Pada periode 2013–2014, terdapat lima kota yang menyumbang
jumlah kasus tertinggi berturut-turut, yaitu Sukabumi, Bandung,
Tasikmalaya, Cimahi, dan Bogor. Wilayah perkotaan (urban) masih
menjadi tempat potensial terjadinya transmisi dengue. Namun,
pada perkembangannya, infeksi virus dengue juga menyebar ke
wilayah perdesaan (rural). IR DBD wilayah Kota Bandung, Kota
Sukabumi, Kota Cimahi, dan Kota Tasikmalaya selama periode
2009–2014 menunjukkan angka di atas 100 per 100.000 penduduk.
Pada 2011, kejadian infeksi virus dengue di Kota Tasikmalaya dan
Cimahi mengalami penurunan dengan IR di bawah 100 per 100.000
penduduk (Gambar 2.3 dan 2.4). Kemudian, kejadian infeksi virus
dengue masih banyak ditemukan di wilayah perkotaan pada 2018.
Beberapa kota masih menjadi penyumbang terbesar, yaitu Kota
Bandung, Kota Sukabumi, dan Kota Bogor. Selain di tiga kota
tersebut, kejadian infeksi virus dengue dengan jumlah yang besar
juga muncul di Kota Banjar serta wilayah bukan perkotaan, yakni
Kabupaten Bandung (Gambar 2.5).
D. PENUTUP
Pola sebaran DBD sejak ditemukan sampai saat ini semakin
meningkat, baik dari aspek luas wilayah maupun jumlah penderita.
Faktor yang terkait erat dengan pola sebaran dengue adalah faktor
DAFTAR PUSTAKA
Ang, K. T., Rohani, I & Look, C. H. (2010). Role of primary care providers
in dengue prevention and control in the community. Med J Malaysia,
65(1), 58–62.
Ariati, J., & Anwar, A. (2014). Model prediksi kejadian demam berdarah
dengue (DBD) berdasarkan faktor iklim di Kota Bogor, Jawa Barat.
Buletin Penelitian Kesehatan, 42(4), 249–256.
Ariati, J., & Musadad, A. (2013). The relationship of climate to dengue cases
in Manado, North Sulawesi: 2001–2010. Health Science Journal of
Indonesia, 1, 22–6.
Benedum, C., Seidahmed, O. M. E., Eltahir E. A. B., & Markuzon, N.
(2018). Statistical modeling of the effect of rainfall flushing on dengue
transmission in Singapore. PLOS Neglected Tropical Diseases, 12,
e0006935. DOI: 10.1371/journal.pntd.0006935.
Chaparro, P. E., de la hoz, F., Becerra C. L., Repetto, S. A. (2014).
Internal travel and risk of dengue transmision in Columbia. Revista
Panamericana de Salud Pública, 36(3), 197–200.
| 29
menunjukkan bahwa pasien DBD sering menderita gejala batuk,
pilek, muntah, mual, ataupun diare. Masalah bisa bertambah karena
virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit
lain, seperti flu atau tifus. Oleh karena itu, diperlukan kejelian
pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue,
patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Pemeriksaan klinis
yang baik dan lengkap serta pemeriksaan penunjang (laboratorium)
dapat membantu diagnosis DBD, terutama bila gejala klinis kurang
memadai (Kristina & Wulandari, 2004).
Penggunaan acuan klinis diagnosis dan klasifikasi infeksi
dengue dari awal hingga kini beberapa kali diperbarui merujuk pada
klasifikasi WHO 1997, 2009, dan 2011. Klasifikasi pertama DBD
dimulai pada 1970-an; saat itu infeksi virus dengue diklasifikasikan
menjadi demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD),
dan syok sindrom dengue (SSD) seperti dijelaskan dalam pedoman
dengue WHO tahun 1975 (WHO, 1997). Dalam perkembangannya,
diketahui bahwa terdapat perbedaan antara demam berdarah,
demam berdarah dengue, dan syok sindrom. Hal tersebut menjadi
aspek utama dalam klasifikasi dengue tahun 1997. Setelah itu, terjadi
perluasan kasus dengue secara geografis dan peningkatan kasus
pada kelompok umur dewasa yang membuat klasifikasi WHO 1997
menjadi tidak relevan lagi. Pengalaman klinis membuktikan bahwa
dalam banyak kasus dengue, perbedaan spektrum penyakit lebih
terlihat daripada perbedaan fase penyakit. Pengelompokan kasus
dengue menjadi DD/DBD/SSD menyebabkan tumpang tindihnya
perawatan dan triase pasien (Bandyopadhyay, Lum, & Kroeger, 2006;
Barniol dkk., 2011; Hadinegoro, 2012).
Dalam perjalanannya, dilakukan pembaruan terhadap klasifikasi
infeksi virus dengue tahun 1997 dengan dikeluarkannya Pedoman
Dengue tahun 2009 oleh WHO. Dalam pedoman ini, infeksi dengue
diklasifikasikan ke dalam demam berdarah dengue dengan tanda
peringatan, demam berdarah dengue tanpa tanda peringatan, dan
demam berdarah yang parah (WHO, 2009). Pedoman WHO 2009 ini
dianggap lebih sensitif dalam mendiagnosis demam berdarah parah
Tanpa Peringatan
F. PENUTUP
Manifestasi klinis infeksi virus dengue bermacam-macam, mulai
dari gejala ringan (mialgia, artralgia, anoreksia, sakit tenggorokan,
sakit kepala, dan ruam pada kulit) sampai gejala berat (kebocoran
plasma dan syok). Spektrum klinis yang luas dan tidak spesifik
membuat sering tidak dikenali atau salah diagnosis dengan penyakit
demam tropis lainnya. Pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap,
serta pemeriksaan laboratorium (RDT, ELISA, genetic sequencing)
sangat membantu dalam penegakan diagnosis DBD.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, N., Balmaseda, A., Coelho I. C. B., Dimaano, E., Hien, T. T., Hung,
N. T., ... Wills, B. (2011). Multicentre prospective study on dengue
classification in four South-east Asian and three Latin American
countries. Tropical Medicine and International Health, 16(8), 936–948.
Amarasinghe, A., Kuritsky, J. N., William Letson, G., & Margolis, H. S.
(2011). Dengue virus infection in Africa. Emerging Infectious Diseases,
17(8), 1349–1354.
Avilés, G., Rangeón, G., Vorndam, V., Briones, A., Baroni, P., Enria, D., &
Sabattini, M.S. (1999). Dengue reemergence in Argentina. Emerging
Infectious Diseases, 5(4), 575–578.
| 51
antarinang oleh nyamuk atau kutu. Famili lain yang juga disebut
Arboviruses adalah anggota Togaviridae, Bunyaviridae, Reoviridae,
Orthomyxoviridae, dan Rhabdoviridae. Walaupun punya kesamaan
sebagai Arboviruses, semuanya bisa dibedakan berdasarkan stuktur
virus dan pengorganisasian genomnya (Beasley & Barrett, 2008).
Berdasarkan perbedaan sifat antigennya, terdapat empat macam
serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Data distribusi serotipe virus dengue diperlukan untuk mengetahui
sejauh mana sebaran dan peranannya dalam angka kasus DBD di
suatu wilayah.
Jawa Barat merupakan salah satu wilayah endemis tinggi DBD
di Indonesia dengan kasus yang tersebar di seluruh kabupaten/kota
(lihat Bab 2). Tingginya angka kasus DBD di Jawa Barat dipengaruhi
oleh banyak hal. Menurut Soegijanto (2006), setidaknya terdapat
tiga faktor yang memegang peranan penting terhadap tingkat
endemisitas, khususnya penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia (host), lingkungan (environment), dan virus (agent). Faktor
host terdiri dari kerentanan (susceptibility) dan respons imun. Faktor
environment terbagi lagi menjadi kondisi geografi (ketinggian dari
permukaan laut, curah hujan, angin, kelembapan, pH air perindukan,
dan musim); kondisi demografi (perilaku, kepadatan dan mobilitas
penduduk, adat istiadat, serta sosial ekonomi penduduk). Selain itu,
spesies Aedes sebagai vektor penular DBD jelas ikut berpengaruh
dalam faktor environment ini. Faktor yang terakhir adalah agent
karena faktor ini terkait dengan karakteristik virus dengue.
Penyebaran virus dengue dan peranannya dalam kejadian
infeksi dengue di Jawa Barat perlu dipelajari untuk meningkatkan
kewaspadaan dini terhadap infeksi virus dengue. Itulah yang
menjadi dasar penulisan artikel ini. Analisis peranan virus dengue
dalam endemisitas DBD serta distribusinya di wilayah Provinsi Jawa
Barat diharapkan mampu memberi gambaran potensi penyebaran
kasus DBD serta menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan
pencegahan penularan DBD di wilayah Jawa Barat.
E. PENUTUP
Tingkat endemisitas DBD suatu daerah dipengaruhi oleh banyak hal,
salah satunya serotipe virus dengue yang beredar di daerah tersebut. Di
Indonesia, keempat serotipe virus dengue telah terdeteksi di berbagai
wilayah dengan varian genotipe di dalamnya. Keempat serotipe virus
dengue juga telah beredar di wilayah Provinsi Jawa Barat. Adapun
variasi genotipe virus dengue yang terdeteksi di wilayah Jawa Barat
adalah DEN-1 genotipe I dan DEN-1 genotipe IV, DEN-2 genotipe
Cosmopolitan, DEN-3 genotipe 1, dan DEN-4 genotipe II. Semakin
banyaknya serotipe dan genotipe yang bersirkulasi dan terpelihara
di suatu daerah, jumlah infeksi sekunder dan infeksi primer di
daerah tersebut pun semakin meningkat. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan jumlah kasus infeksi virus dengue.
Serotipe virus dengue di suatu daerah selalu mengalami
perubahan. Dengan demikian, sangat diperlukan surveilans kontinu
terhadap serotipe virus dengue untuk memahami epidemiologi dan
memprediksi manifestasi klinis infeksi untuk melihat kecenderungan
DAFTAR PUSTAKA
Andriyoko, B., Parwati, I., Tjandrawati, A., & Lismayanti, L. (2012).
Penentuan serotipe virus dengue dan gambaran manifestasi klinis
serta hematologi rutin pada infeksi virus dengue. MKB, 44(4), 253–
260. 10.15395/mkb.v44n4.138.
Beasley, D. W., & Barrett, A. D. (2008). The infectious agent. Dalam Halstead,
S. B. (ed.), Dengue, pp. 29–74. London: Imperial College Press.
Domingo, C., Palacios, G., Niedrig, M., Cabrerizo, M., Jabado, O., Reyes,
N., ... Tenorio (2004). A new tool for the diagnosis and molecular
surveillance of dengue infections in clinical samples. Dengue Bulletine,
28, 87–95.
Fahri, S., Yohan, B., Trimarsanto, H., Sayono, S., Hadisaputro, S., Dharmana,
E., ... Sasmono, R. T. (2013). Molecular surveillance of dengue in
Semarang, Indonesia revealed the circulation of an old genotype of
dengue virus serotype-1. PLoS Negl Trop Dis, 7(8).
Faizzaty, I. F. (2015). Faktor resiko yang mempengaruhi derajat keparahan
demam berdarah dengue (DBD) di RSUD dr. Soetomo Surabaya Periode
Februari 2014–Maret 2015. (Skripsi). Universitas Airlangga, Surabaya.
Graham, R. R., Juffrie, M., Tan, R., Hayes, C. G., Laksono, Ma’roef, C., ...
Halstead, S. B. (1999). A prospective seroepidemiologic study on
dengue in children four to nine years of age in Yogyakarta, Indonesia.
Am J Trop Med Hyg, 61(3), 412–419.
Gubler, D. J., Suharyono, W., Lubis, I., Eram S, Saroso, S. J. (1979). Epidemic
dengue hemorrhagic fever in rural Indonesia. Am. J. Tro. Med. Hyg,
28(4), 701–710.
Hadi, S., & Yuniarti, R. A. (2004). Pengamatan entomologi daerah endemis
dan non-endemis demam berdarah dengue di Kabupaten Grobogan
Jawa Tengah. Jurnal Kedokteran Yarsi, 12 (1), 52–58.
| 67
Djuhaeni, & Sofyan, 2017a), yakni antara 261–573 kasus per bulan
pada 2012 (Ariva & Oginawati, 2013).
Penyumbang angka insiden DBD tertinggi di Jawa Barat adalah
Kota Bandung (231,30 per 100.000 penduduk). Berdasarkan laporan
kasus DBD di Kota Bandung, sejak tahun 2004 hingga 2016, jumlah
angka kesakitan mengalami fluktuasi meski cenderung stagnan.
Sementara itu, angka kematian cenderung mengalami penurunan
yang signifikan (Gambar 5.1). Gambaran umum kasus DBD di Kota
Bandung dapat dilihat dari jumlah penderita DBD yang dirawat
di Rumah Sakit Immanuel Bandung mencapai 890 orang dan
mayoritasnya anak berusia 0–10 tahun (Setiani, 2015). Penderita
dalam usia rentan, yakni balita dan manula (lebih dari 60 tahun),
berpeluang lebih besar menderita DBD yang lebih parah hingga
mengalami syok dan berujung kematian. Pemerintah sebenarnya
telah berhasil mengembangkan manajemen kasus DBD melalui
upaya kuratif pencegahan kematian bagi penderitanya. Namun,
upaya pemerintah dalam pengendalian vektor untuk memutus mata
rantai penularan DBD masih mengalami banyak kendala. Hal ini
dapat dibuktikan dengan munculnya strain Aedes sp. yang resisten
terhadap insektisida, akibat penggunaan insektisida yang kurang
bijaksana oleh masyarakat, sehingga aplikasi fogging dalam memutus
rantai penularan menjadi tidak efektif (Yee, Heryaman, & Faridah,
2017).
Penelitian di Kota Bandung menyatakan bahwa faktor risiko
yang dapat meningkatkan kasus DBD adalah jenis kelamin,
pendidikan, pengetahuan masyarakat mengenai DBD, dan sanitasi
dasar pemukiman penduduk (Respati dkk., 2017b), kurangnya
sumber daya manusia dan keuangan, kurangnya keterlibatan pihak
swasta, dan tidak adanya peraturan daerah yang mengatur penyakit
tular vektor (Somantri, 2017). Komponen faktor risiko tersebut
akan bermuara pada permasalahan utama kurangnya kepedulian
masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) di lingkungan tempat tinggal (Arundina, Tantular, & Pontoh,
2017). Akibatnya, lingkungan tempat tinggal masyarakat menjadi
(A) (B)
Tabel 5.1 Angka Bebas Jentik dan Key Container di Empat Puskesmas Kota
Bandung
Jumlah Responden
No. Kecamatan ABJ Key Container
n = 783
1 Coblong Kasus: 67 79,10% Dispenser
Non Kasus: 134
2 Buah Batu Kasus: 60 67,22% Dispenser
Non Kasus: 120
3 Bojong Loa Kasus: 72 65,74% Dispenser
Non Kasus: 144
4 Rancasari Kasus: 62 59,14% Dispenser
Non Kasus: 124
Sumber: Fuadzy dkk. (2016)
I. PENUTUP
Angka kesakitan DBD di Kota Bandung cenderung stagnan,
sedangkan angka kematian mengalami penurunan dari tahun ke
tahun. Hal ini menggambarkan bahwa upaya kuratif pemerintah
dalam tata laksana pengobatan pasien DBD telah mengalami
kemajuan yang cukup berarti. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh
pemahaman masyarakat mengenai swamedikasi dan meningkatnya
kesadaran untuk secepatnya membawa anggota rumah tangga yang
demam tinggi ke fasilitas kesehatan terdekat. Sementara itu, upaya
preventif pemerintah untuk memutus mata rantai penularan DBD
dengan mengendalikan populasi Aedes aegypti masih mengalami
banyak kendala. Hal ini dibuktikan dengan ABJ pada beberapa lokus
di Kota Bandung masih di bawah target pemerintah 95%.
DAFTAR PUSTAKA
Ariva, L., & Oginawati, K. (2013). Identifikasi density figure dan pengendalian
vektor demam berdarah pada Kelurahan Cicadas Bandung. Jurnal
Teknik Lingkungan, 19(1), 55–63.
Arundina, D. R., Tantular, B., & Pontoh, R. S. (2017). Multilevel poisson
regression modelling for determining factors of dengue fever cases in
Bandung. AIP Conference Proceedings Vol. 020043. AIP Publishing.
https://doi.org/10.1063/1.4979459
| 89
kejadian DBD di kota menunjukkan angka yang lebih tinggi (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2017).
Virus dengue ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina. Belum ditemukannya
obat dan vaksin untuk mencegah DBD menyebabkan pemberantasan
penyakit ini lebih dititikberatkan pada pengendalian vektornya.
Indonesia beriklim tropis sehingga sangat mendukung kedua jenis
nyamuk vektor DBD untuk berkembangbiak. Keberadaan tempat
perkembangbiakan nyamuk bisa dijadikan indikator terkait DBD.
Penelitian di Padang dilakukan menggunakan kepadatan larva
dan maya index untuk menunjukkan risiko penularan dan risiko
kemunculan tempat perkembangbiakan nyamuk. Berdasarkan
indikator larva, disimpulkan bahwa semua desa yang diteliti
menunjukkan risiko sedang-tinggi untuk menularkan dengue (Nofita,
Rusdji, & Irawati, 2017). Penelitian lain di Semarang juga melaporkan
keberadaan tempat perkembangbiakan nyamuk dan container index
yang berhubungan dengan kasus DBD (Husna, Wahyuningsih, &
Murwani, 2017). Nyamuk Aedes hidup dan berkembang biak di
wadah-wadah yang dekat dengan tempat tinggal manusia. Nyamuk
ini biasanya berkembangbiak di wadah penampung air buatan, tetapi
sudah ada juga laporan yang menunjukkan bahwa nyamuk ini dapat
berkembangbiak di wadah penampung air alami (Derraik, 2005).
Tempat perkembangbiakan yang potensial untuk Aedes adalah
kontainer yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, seperti
drum, tempayan, bak mandi, ember, dan sejenisnya.
Tempat penampungan air yang paling berperan sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk vektor DBD di suatu wilayah disebut
juga key container. Dalam upaya pengendalian populasi Aedes di
suatu wilayah, identifikasi key kontainer penting diketahui agar
pengendalian populasi vektor DBD tepat sasaran. Menurut Macielde-
Freitas & Lourenço-de-Oliveira (2011), identifikasi key kontainer
dalam pengendalian vektor DBD dapat menurunkan kepadatan
nyamuk betina secara drastis walaupun hanya untuk jangka waktu
yang tidak lama. Manfaat lain dengan mengetahui key container
E. PENUTUP
Informasi terkait key container penting untuk disampaikan
kepada masyarakat dan pemerintah. Pengetahuan mengenai key
container dapat digunakan oleh pemerintah daerah setempat
untuk mengadakan intervensi pengetahuan yang berfokus pada
pemberantasan sarang nyamuk. Pengetahuan mengenai key container
juga dapat meningkatkan upaya menghindari timbulnya tempat
perkembangbiakan nyamuk. Karena pentingnya informasi key
container dalam pengendalian DBD, langkah strategis selanjutnya
adalah tindak lanjut oleh pemerintah melalui media promosi yang
tepat.
| 107
baru tentang konsep kontrol serangga dengan menggunakan bahan
kimia sintesis, yakni dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT).
DDT merupakan insektisida sintesis pertama yang dibuat sebagai
pengendali serangga (Ware & Whitacre, 2006).
Penggunaan insektisida secara terus-menerus, baik terhadap
nyamuk maupun terhadap lingkungan sekitar, mengarah pada
bahaya resistensi, termasuk terhadap serangga vektor seperti
nyamuk. Menurut WHO (2012), resistansi merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan situasi ketika vektor tidak dapat
dibunuh oleh dosis standar insektisida atau berhasil menghindari
kontak dengan insektisida melalui fenomena evolusi. Sementara itu,
menurut Insecticide Resistance Action Committee (IRAC) (2015),
resistensi adalah meningkatnya sensitivitas populasi hama terhadap
insektisida/pestisida, ditandai dengan kegagalan berulang suatu
produk dalam mencapai tingkat pengendalian yang diharapkan
ketika diaplikasikan berdasarkan dosis anjuran. Perbedaan kedua
definisi tersebut terletak pada penentuan dosis paparan. WHO
merekomendasikan sesuai dengan dosis standar insektisida,
sedangkan IRAC berdasarkan dosis yang dikeluarkan produsen
insektisida.
WHO menyatakan bahwa status resistansi dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu molekuler, fenotipik, dan kegagalan pengendalian.
Resistansi molekuler didasarkan pada adanya bukti perubahan
gen yang berhubungan dengan sifat resistansi yang diperoleh anak
dari induknya. Tingkat resistansi dapat diketahui berdasarkan
individu vektor yang memiliki gen resistan serta frekuensinya
dalam populasi serangga uji. Resistansi fenotipik diukur dengan
melihat kematian vektor melalui tes kerentanan terhadap dosis
standar insektisida. Dengan demikian, dapat diperoleh informasi
mengenai pembentukan kemampuan strain serangga dalam
menoleransi dosis standar insektisida yang menyebabkan kematian
jika dipaparkan pada serangga yang sama. Resistansi berdasarkan
kegagalan pengendalian dapat disimpulkan berdasarkan fenomena
epidemologi atau dalam hal ini resistansi diidentifikasi sebagai
1. Sistem Saraf
Sistem saraf terbagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf perifer
dan sistem saraf pusat (Brown, 2013). Sistem saraf perifer merupakan
sistem saraf yang menangkap dan mentransmisikan sinyal yang
datang seperti rasa, bau, suara, ataupun sentuhan. Sistem saraf pusat/
central nervous system (CNS) ialah sistem yang menginterpretasikan
sinyal dan mengoordinasikan respons dan gerakan tubuh. Pada
serangga, sistem ini berbentuk serangkaian ganglia atau saraf yang
dikemas secara khusus.
Berdasarkan sistem koordinasinya, sel saraf (neuron) akan
saling terhubung dengan sel saraf lainnya dan memiliki jarak
pemisah yang disebut synapse dalam merespons sinyal yang datang.
Jika terdapat sinyal (seperti bau makanan), sinyal tersebut akan
ditransformasikan melalui sistem muatan partikel elektrik (electrical
charge) yang akan memenuhi seluruh neuron. Muatan partikel/ion
tersebut akan melalui sebuah saluran yang terdapat di membran
neuron. Neuron yang telah dipenuhi muatan elektrik pembawa sinyal
akan merangsang keluarnya pesan kimiawi yang disebut dengan
neurotransmiter, untuk kemudian dilepaskan ke dalam synapse.
Neurotransmiter akan melalui synapse dan ditangkap oleh neuron
lainnya melalui pengikatan pada reseptor dan terjadi terus-menerus
sehingga pesan diinterpretasikan oleh sistem saraf pusat. Melalui
cara yang sama, hasil interpretasi akan diterima oleh sistem saraf
perifer sehingga otot atau tubuh dapat merespons pesan tersebut
(Brown, 2013).
Organofosfat
Temefos, AChE ace-1 Mutasi: ESTERASE (Melo-
G119S (Tantely dkk., 2010) Santos dkk., 2010;
Poupardin dkk.,
ace-1 T506T (Hasmiwati dkk., 2014; Ocampo dkk.,
2018) 2011; Grigoraki dkk.,
2015; (Eka Putra
dkk., 2016; Goindin
dkk., 2017; Grigoraki
dkk., 2017)
CYTP450 (Strode
dkk., 2012; Grigoraki
dkk., 2015; Goindin
dkk., 2017)
GST (Melo-Santos
dkk., 2010; Goindin
dkk., 2017)
MFO (Melo-Santos
dkk., 2010; Eka
Putra dkk., 2016)
UDPGTs (Grigoraki
dkk., 2015)
Karbamat
Propoksur AChE ace Mutasi: GST (Aponte dkk.,
Tdk diketahui (Bisset dkk., 2018)
2006)
Organoklorin
DDT Sodium Kdr Mutasi: GST (Lumjuan dkk.,
channel F1534C (Harris dkk., 2010) 2014)
ESTERASE (Aponte
dkk., 2018)
Dieldrin GABA Rdl Mutasi: -
reseptor A302S (Tantely dkk., 2010)
Siklodin GABA Rdl Mutasi: -
reseptor A885S (Thompson dkk.,
1993)
Neonikotiniod
Imidakloprid - UDPGTs, CYTP450
(Riaz dkk., 2013)
A B
Sumber: Arief (2000); Astari dan Ahmad (2005); Sinta dkk. (2006); Ahmad, Astari,
dan Tan, (2007); Pradani dkk. (2011); Fuadzy dan Hendri (2015); Kuspujianty dkk.
(2015); Fuadzy dkk. (2015); Lokalitbang P2B2 Ciamis (2015); Mantolu dkk. (2016);
Hidayati (2016); Sulistyorini (2016); Sinaga dkk. (2016); Putra dkk. (2016); Fuadzy
dkk. (2017); Amelia-Yap dkk. (2018); Trisna dkk. (2018); Haziqah-Rashid dkk.
(2018).
Gambar 7.3 (A) Sebaran keberadaan (terpublikasi) vektor DBD resistan
terhadap berbagai insektisida berdasarkan kabupaten/kota di Jawa Barat;
(B) Sebaran jenis dan konsentrasi insektisida berdasarkan kabupaten/kota
dengan status resistensi vektor DBD (11 kabupaten/kota).
DAFTAR PUSTAKA
Adame M. (2003). Juvenile hormones. Dalam F. Resh & R. Carde (eds.),
Encyclopedia of insect (pp. 611–617). Amsterdam: Academic Press.
Ahmad, I., Astari, S., Rahayu, R., & Hariani, N. (2009). Status kerentanan
Aedes aegypti (Diptera:Culicidae) pada tahun 2006–2007 terhadap
malathion di Bandung, Jakarta, Surabaya, Palembang, dan Palu.
Biosfera, 26(2), 82–89.
| 147
memiliki hubungan antarwilayah. Penelitian di Kota Bogor dengan
menggunakan uji statistik indeks Moran, Geary’s Ratio dan Chi-
square, menyimpulkan bahwa wilayah yang berdekatan langsung
akan memengaruhi penyebaran penyakit DBD (Yoli, 2007).
Sumber: Dinkes Provinsi Jawa Barat (2014, 2015, 2016, 2017, 2018).
Gambar 8.1 Angka Insiden Demam Berdarah Dengue Kota Tasikmalaya
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013–2017
Sumber: Dinkes Provinsi Jawa Barat (2014, 2015, 2016, 2017, 2018)
Gambar 8.2 Case Fatality Rate Demam Berdarah Dengue Kota Tasikmalaya
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013–2017
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya (2013, 2014, 2015, 2016, 2017)
Gambar 8.4 Kepadatan Pemukiman Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat
Tahun 2013–2018
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya (2013, 2014, 2015, 2016, 2017)
Gambar 8.5 Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Tasikmalaya
Provinsi Jawa Barat Tahun 2011–2015 (per Hektare).
Tabel 8.1 Hasil Uji Korelasi Spearman Antara Kepadatan Penduduk dan
Angka Kejadian DBD di Kota Tasikmalaya Tahun 2011–2015
No Tahun Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) p-value
1 2011 0,646 0,043 0,05
2 2012 0,683 0,03
3 2013 0,394 0,26
4 2014 0,091 0,802
5 2015 0,236 0,511
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya (2013, 2014, 2015, 2016, 2017)
Gambar 8.8 Kepadatan Pemukiman (%) per Kecamatan di Kota Tasikmalaya
Provinsi Jawa Barat Tahun 2011–2015
Tabel 8.2 Hasil Uji Korelasi Spearman Antara Kepadatan Penduduk dan
Angka Kejadian DBD di Kota Tasikmalaya Tahun 2011–2015
No Tahun Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) p-value
1 2011 0,579 0,079 0,05
2 2012 0,616 0,058
3 2013 0,345 0,328
4 2014 0,109 0,763
5 2015 0,261 0,467
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. (2012). Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta:
Rajawali Press.
Anselin, L. (1999). Spatial econometrics. Dallas: School of Social Sciences
University of Texas at Dallas.
Astuti, E. P., Dhewantara, P. W., Prasetyowati, H., Ipa, M., Herawati, C.,
& Hendrayana, K. (2019). Paediatric dengue infection in Cirebon,
Indonesia: a temporal and spatial analysis of notified dengue
incidence to inform surveillance. Parasites Vectors, 12, 186. https://doi.
org/10.1186/s13071-019-3446-3
| 167
penyinaran matahari juga penting untuk diperhatikan (McMichael,
Friel, Nyong, & Corvalan, 2008). Pengaruh perubahan iklim terhadap
penyakit tular vektor tergolong tidak langsung, tetapi tetap harus
tetap diperhatikan karena perubahan kondisi iklim (seperti pola
hujan, suhu dan kelembapan) berpengaruh pada jumlah dan survival
rate nyamuk. Informasi mengenai iklim menjadi sangat penting bagi
para peneliti untuk memprediksi tren penyakit tular vektor, seperti
DBD (WHO, 2014).
Perubahan iklim menurut Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) adalah segala bentuk perubahan pada iklim seiring
waktu, baik penyebab alami maupun hasil dari aktivitas manusia.
Framework Convention on Climate Change (FCCC) menyatakan
bahwa perubahan iklim adalah perubahan komposisi atmosfer
global yang terjadi karena aktivitas manusia, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dan karena sebab alami yang diobservasi
dalam kurun waktu tertentu (IPCC, 2007). Unsur iklim meliputi
temperatur (suhu), curah hujan, cahaya, tekanan udara, dan laju
serta arah angin (Ahrens, 2013).
Cholera, Cyclosporodiosis,
(Perkiraan IPCC) Water-borned Diseases Criptosporodiosis,
Campylobacteriosis,
Leptospirosis
Penyakit Infeksi
Lingkungan Pengungsi Perang/konflik
Outcome Penyakit
Risk, Rate penularan
Perubahan iklim
mempunyai
pengaruh pada
wabah dengue
(Karim Dhaka, Data bulanan Data bulanan variabel Meteorological Regresi linier Iklim berdampak
dkk., 2012) Banglaadesh kasus dengue iklim (rata-rata Department of besar pada
kelembapan, curah Dhaka, Bangladesh terjadinya infeksi
2000–2008 hujan, suhu minimum dengue
dan maksimum)
F. PENUTUP
Perubahan iklim, baik di lokal wilayah tertentu maupun secara global,
mempunyai dampak pada kesehatan masyarakat, termasuk pada
transmisi penyakit menular. Penyakit tular vektor yang transmisinya
sangat bergantung pada keberadaan vektor sebagai pembawa agent
penyakit sangat terpengaruh oleh kondisi iklim, baik berupa kondisi
variabel iklim (suhu, curah hujan, kelembapan, kecepatan angin, dan
lama penyinaran matahari) maupun periodesitas iklim.
Perubahan pada variabel dan periodesitas iklim berpengaruh
pada kejadian dengue, yakni dalam hal membawa perubahan pada
distribusi vektor, daya tahan hidup vektor, lama periode daur hidup
vektor, serta masa inkubasi ekstrinsik virus dalam vektor. Vektor
dengue yang semula lebih banyak ditemukan di daerah tropis, kini
mulai merambah ke daerah sub-tropis, bahkan hingga daerah empat
musim yang semula bukan merupakan habitat vektor. Meningkatnya
daya tahan dan semakin pendeknya daur hidup vektor berpengaruh
pada kepadatan vektor yang meningkatkan peluang terjadinya
transmisi penyakit. Perubahan suhu dan curah hujan memperpendek
masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh vektor yang memperbesar
peluang semakin cepatnya persebaran virus dengue.
Pembuatan model prediksi kejadian dengue dengan
mempertimbangkan faktor iklim perlu dilakukan sebagai bentuk
kewaspadaan dini dalam pengendalian penularan penyakit ini.
Model prediksi dapat dibuat sesuai dengan keadaan lokal di
wilayah tertentu sebagai peringatan agar pengambil kebijakan dapat
melakukan langkah pengendalian vektor yang dapat menurunkan
risiko penularan.
| 195
tidak bisa lagi melakukan kegiatan rutin sehari-hari, barulah orang
tersebut melakukan upaya untuk mengobati penyakitnya. Respons
yang ditimbulkan pun akan berbeda-beda, dari tidak melakukan
apa-apa dengan pertimbangan rasa sakit tersebut akan hilang dengan
sendirinya dan tidak dirasa mengganggu aktivitasnya, kemudian
melakukan pengobatan sendiri (self-treatment atau self-medication)
karena merasa usaha pengobatan sendiri dapat mendatangkan
kesembuhan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Respons se
nya adalah mencari pengobatan ke tempat pengobatan
lanjut
tradisional (traditional remedy) karena sebagian masyarakat di
Indonesia menganggap bahwa sakit itu lebih bersifat budaya
sehingga pengobatannya pun cenderung berorientasi sosial-budaya
dan atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan
modern (profesional) yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga
kesehatan swasta.
Variabel yang mendasari tindakan seseorang dalam mengobati
penyakitnya adalah kerentanan yang dirasakan (perceived
susceptibility), keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness),
manfaat dan rintangan yang dirasakan (perceived benefits and
barriers) dan isyarat atau tanda-tanda (cues). Selain variabel tersebut,
beberapa variabel juga ikut memengaruhi kepercayaan atau persepsi
seseorang, yaitu umur, budaya, ekonomi, serta kepercayaan, dan
kesanggupan diri (Bachtiar, 2017). Penelitian Mushalinas menyatakan
bahwa tingkat keparahan terhadap penyakit menyebabkan individu
percaya bahwa konsekuensi dari tingkat keparahan yang dirasakan
merupakan ancaman bagi hidupnya sehingga individu akan
mengambil tindakan untuk mencari pengobatan dan pencegahan
terhadap penyakit (Mushalinas, 2014).
Anderson (2009) menggambarkan model sistem kesehatan
(health system model) berupa model kepercayaan kesehatan dalam
tiga kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yaitu
C. PENUTUP
Perilaku pencarian pengobatan tergantung pada kondisi sosial
budaya, pengalaman dan pemahaman orang tua terhadap kondisi
sakit anggota keluarganya. Faktor ekonomi dan institusional (fasilitas
kesehatan) berkontribusi besar terhadap penundaan pencarian
pengobatan. Hal ini mencakup akses ke fasilitas kesehatan, kualitas
serta waktu pelayanan, biaya transportasi, dan ketersediaan dana
| 217
dan Penyehatan Lingkungan, 2015). Pemberdayaan masyarakat
merupakan salah satu pilar kebijakan Menteri Kesehatan dalam
mencapai Indonesia sehat melalui penguatan pelayanan kesehatan,
di antaranya Paradigma Sehat.
Upaya kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian dengue
tidak lepas dari peran masyarakat dan pemerintah. Kesehatan,
menurut Blum dalam Notoatmodjo (2005) merupakan hasil interaksi
berbagai faktor yang memengaruhi individu, kelompok, dan
masyarakat, yaitu lingkungan (environment), perilaku (behaviour),
pelayanan kesehatan (health service), dan keturunan (heredity). Arah
kebijakan pemerintah dalam upaya pengendalian dengue adalah
menggalakkan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang
telah dilaksanakan pada semua wilayah di Indonesia. Indikator
keberhasilan gerakan PSN adalah peningkatan angka bebas jentik
(ABJ) dan penurunan kasus dengue. Pelaksanaan PSN ini tidaklah
mudah. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, ABJ Nasional
dari 2010–2015 masih < 95% atau di bawah target nasional dan
angka kesakitan dengue masih berfluktuasi (Kemenkes RI, 2017).
Istilah PSN melalui 3M plus (membersihkan, menutup,
mendaur-ulang) sudah dikenal oleh masyarakat, terutama di
wilayah endemis. Kegiatan lain dari 3M plus adalah menaburkan
bubuk larvasida, menggunakan obat nyamuk, menggunakan
kelambu, memelihara ikan pemakan jentik, menanam tanaman
pengusir nyamuk, mengatur cahaya dan ventilasi rumah, dan
menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah.
Namun, karena kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen,
pemberdayaan masyarakat ini belum dapat berjalan optimal.
Beberapa hasil studi menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap
di masyarakat berhubungan dengan kejadian dengue di wilayah
tersebut (Hasyim, 2013; Nuryanti, 2013). Pengetahuan masyarakat
tentang pengendalian dengue terkadang cukup baik, tetapi hal
ini malah diikuti dengan perilaku PSN yang masih rendah (Lubis
Purnama, Ekawati, & Muliantar, 2012; Manalu & Munif, 2017).
Partisipasi masyarakat merupakan faktor pendorong keberhasilan
E. PENUTUP
Upaya pengendalian demam berdarah dengue melalui pemberdayaan
masyarakat (dalam hal ini PSN 3 M Plus dan gerakan satu rumah
satu jumantik) masih menjadi tugas bersama. Proses pemberdayaan
masyarakat yang terkait individu dan komunitas membutuhkan
waktu yang panjang, strategi yang optimal, dan melibatkan semua
pihak, terutama dukungan pemerintah dan koordinasi lintas sektor.
Pengembangan strategi berbasis masyarakat masih diperlukan agar
strategi yang efektif, efisien, dan berkelanjutan dapat ditentukan
sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya
yang dapat dilakukan adalah menggencarkan sosialisasi gerakan satu
rumah satu jumantik melalui media promosi, seperti iklan di televisi,
DAFTAR PUSTAKA
Asri, Nuntaboot, K., & Wiliyanarti, P. F. (2017). Community social capital on
fighting dengue fever in suburban Surabaya, Indonesia: A qualitative
study. International Journal of Nursing Sciences, 4(4), 374–377.
Chadijah, S., Rosmini, & Halimuddin. (2011). Peningkatan peran serta
masyarakat dalam pelaksanaan PSN DBD di dua keluarahan di Kota
Palu, Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehatan, 21(4), 183–190.
Departemen Kesehatan RI. (2010). Profil kesehatan Indonesia 2010. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan. (2015).
Rencana aksi program pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan tahun 2015–2019. Kementerian Kesehatan RI.
Ditjen P2P. (2008). Modul pelatihan bagi pelatih pengendalian sarang
nyamuk DBD dengan pendekatan komunikasi perubahan perilaku.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Elsa, Z., Sumardi, U., & Faridah, L. (2017). Pengaruh pendidikan kesehatan
pada partisipasi masyarakat memberantas sarang nyamuk Aedes
aegypti di Kecamatan Buahbatu dan Cinambo, Bandung. National
Public Health Journal, 12(2), 73–78.
| 243
dapat meningkatkan kepadatan populasi vektor di suatu wilayah
terutama di Provinsi Jawa Barat. Faktor iklim sebagai salah faktor fisik
dibahas lebih mendalam di dalam buku ini dan dilengkapi dengan
beberapa hasil penelitian terkait iklim dan hubungannya dengan
kejadian DBD di dunia, Indonesia, dan Jawa Barat khususnya. DBD
tergolong penyakit tular vektor yang transmisinya sangat bergantung
pada keberadaan vektor sebagai pembawa agen penyakit. Vektor ini
sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, baik berupa kondisi variabel
iklim (suhu, curah hujan, kelembapan, kecepatan angin, dan lama
penyinaran matahari) maupun periodesitas iklim.
Aedes aegypti biasanya mengisap darah (mencari pakan darah)
saat teduh pada siang hari atau ketika cuaca mendung, terutama
dua jam setelah matahari terbit dan sebelum matahari terbenam.
Penularan virus dengue (DENV) oleh nyamuk ke manusia (host)
memerlukan proses yang rumit yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu genetika dan imunitas nyamuk, serta iklim. Kondisi iklim
(suhu, kelembapan, dan curah hujan) di suatu wilayah memengaruhi
perkembangbiakan nyamuk pra-dewasa (telur-larva/jentik-pupa);
semakin kondusif iklim maka pertumbuhan nyamuk semakin
baik sehingga menetas menjadi nyamuk dewasa yang imunitasnya
semakin kuat, walaupun dalam tubuhnya terinfeksi virus dengue.
Nyamuk vektor ini (Ae. aegypti betina) akan lebih agresif untuk
mengisap darah manusia (host) sehingga semakin besar potensi
dalam penularan DBD di suatu wilayah.
Vektor dengue yang semula lebih banyak ditemukan di daerah
tropis, kini mulai merambah ke daerah subtropis, bahkan ke daerah
empat musim yang semula bukan merupakan habitat vektor.
Meningkatnya daya tahan dan semakin pendeknya daur hidup
vektor berpengaruh pada kepadatan vektor yang meningkatkan
peluang terjadinya transmisi penyakit. Perubahan suhu dan curah
hujan memperpendek masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh
vektor sehingga memperbesar peluang semakin cepatnya persebaran
virus dengue.
DAFTAR PUSTAKA
Anselin, L. (1999). Spatial econometrics. Dallas Richardson. Bruton Centre
School of Social Sciences University of Texas.
WHO. (2011). Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue
and dengue haemorrhagic fever (revised and expanded edition). India:
World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.
Diakses pada 18 Maret 2018 http://apps.searo.who.int/pds_docs/
B4751.pdf?ua=1
World Health Organization (WHO). (2017). Neglected tropical Diseases
2017. Diakses pada 20 April 2019 dari https://www.who.int/neglected_
diseases/diseases/en/
Mweya, C. N., Kimera, S. I., Karimuribo, E. D., & Mboera, L. E. (2013).
Comparison of sampling techniques for rift valley fever virus potential
vectors, Aedes aegypti and Culex pipiens complex, in Ngorongoro
District in nortern Tanzania. Tanzan Jheal Res, 15(3), 158–164. Diakses
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26591704
Black, W. C., Bennett, K. E., Gorrochhotegui-Escalante, N., Barillas-Mury,
C.V., Fernandez-Salas, I., de Lourdes Munoz, M., ... Beaty, B.J. (2002).
Flavivirus susceptibility in Aedes aegypti. Arch Med Res. 33, 379–388.
Diakses 20 April 2019 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
12234528PMID:1223452835.
Alto, B. W., Lounibos, L. P., Mores, C. N., & Reiskind, M. H. (2008).
Larval competition alters susceptibility of adult Aedes mosquitoes
to dengue infection. Proc Biol Sci., 275, 463–471. doi:10.1098/
rspb.2007.1497PMID:1807725036.
Capinha, C., Rocha, J., & Sousa, C. A. (2014). Macro climate determines the
global range limit of Aedes aegypti. Eco-health, 11(3), 420–428. doi:
10.1007/s10393-014-0918-y.
Colon-Gonzalez, F. J., Fezzi, C., Lake, I. R., & Hunter, P. R. (2013). The effect
softweather and climate change on dengue. Plos Negl Trop Dis., 7(11),
e2503. doi: 10.1371/journal.pntd.0002503.
| 249
BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPS : Badan Pusat Statistik
BTI : Bacillus thuringiensisi israelensis
C : Celcius
C : Concequences
C : Core
CCEs : Carboxylesterases
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
CFR : Case Fatality Rate
CI : Container Index
CNS : central nervous system
CSIs : Chitin Synthesis Inhibitor
CYTP450 : Cytochrome P450 Monooxygenase
DBD : demam berdarah dengue
DD : demam dengue
DDT : Dicloro Diphenyl Trichloroethane
Den : dengue
DENV : dengue virus
DF : Density Figure
Dinkes : Dinas Kesehatan
Ditjen : Direktorat Jenderal
DKI : Daerah Khusus Ibukota
DSS : Dengue Shock Syndrome
E : Envelope
ECDC : European Centre for Disease Prevention and Control
ELISA : Enzyme Link Immunosorbent Assay
ENSO : El Nino Southern Oscillation
FCCC : Framework Convention on Climate Change
G1R1J : Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik
G6PD : Glucose-6-phosphate Dehydrogenase
GABA : Gamma-aminobutyric Acid
| 253
Nyamuk, 2, 3, 16, 70, 72, 74, 83, RDT, 43, 252
90–92, 107, 167, 174, 244, 251 Replikasi, 284
Reservoir, 284
Organofosfat, 120, 125
Organoklorin, 121, 125 Serotipe, 2, 3, 25, 40, 51, 53, 54, 56,
57, 58, 62, 65
PCR, 47, 87, 143, 145 Suhu, 73, 91, 171, 172, 173, 180,
Pemberantasan Sarang Nyamuk, 181, 184, 186
251 Telur, 71, 91
Pengendalian Vektor Terpadu, 251 Transmisi, 170, 175
Pengetahuan, 23, 24, 92, 101, 198, Vektor, 2, 13, 21, 24, 67, 74, 85, 91,
203, 212, 218, 239 96, 100, 103, 106, 107, 114,
Pengobatan, 195, 201 118, 122, 124, 126, 128, 130,
Peran serta masyarakat, 4 165, 168, 177, 187, 244, 251
Perilaku, 72, 74, 78, 83, 106, 195,
197, 199, 200, 201, 210, 211,
239, 251
Agus Suwandono
Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat/Epide
miologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)
UNDIP, Semarang. Jabatan terakhir sebelum
pensiun di Badan Litbangkes Kemenkes RI adalah
Profesor Riset Bidang Kebijakan Kesehatan dan
Biomedis. Saat ini ia bekerja sebagai Senior
Technical Officer, USAID-OHW-EPT2 Project,
University of Minnesota (UMN), Twin Cities, USA
untuk Indonesia One Health University Network (INDOHUN) UI.
Mantan Sekretaris Badan Litbangkes, Kepala Puslitbang Pemberantasan
Penyakit dan Kepala Puslitbang Pelayanan Kesehatan, Depkes RI.
Mantan Anggota Panel Ahli Komisi Nasional (Komnas) Flu Burung dan
Pademi Preparedness dan Komnas Zoonosis. Menyelesaikan beberapa
pekerjaan konsultan, field officer, anggota board di berbagai institusi
kesehatan internasional (UNICEF, WHO, AusAID, SDC, COHRED,
PDVI, IVI), pernah menjabat Kepala Puskesmas Karangkobar,
Kabupaten Banjarnegara. Ia menyelesaikan pendidikan dokter FK
UNDIP Semarang, S2 (MPH) dan S3 (Dr. PH) dari School of Public
Health, University of Hawaii, Honolulu, USA. Sebagai ketua tim peneliti
di berbagai penelitian internasional dan nasional bidang kebijakan
| 255
kesehatan, ketenagaan dan fasilitas kesehatan, DBD, avian influenza,
Japanese enchepalitis, kecelakaan lalu lintas. Penulis telah menulis lebih
dari 80 artikel di majalah ilmiah nasional dan internasional. Ia juga
menjadi penulis dan editor beberapa buku ilmiah dan ilmiah populer,
misalnya Epidemiologi Manajetial: Teori dan Aplikasi, OH SMART,
Malaria, Dance of Minds, Puskesmas.
| 257
Mara Ipa
Peneliti Ahli Madya di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes
RI ini menye lesaikan pendidikan Sarjana
Kesehatan Masyarakat di Universitas Airlangga
Surabaya, dan Master of Science program studi
ilmu kedokteran tropis di Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah
ia lakukan di bidang epidemiologi penyakit
tular vektor, seperti malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Ia juga
kontributor buku Fauna Anopheles, Filariasis di Jawa Barat (Penyakit
Tropis yang terabaikan), Balutan Pikukuh Persalinan Baduy, Seputar
Dengue dan Malaria, dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah.
Tri Wahono
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI ini
menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran
Hewan dan Pendidikan Profesi Dokter Hewan
di Institut Pertanian Bogor; Master of Science
program studi ilmu kedokteran tropis di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa
penelitian telah dilakukannya pada bidang
epidemiologi penyakit tular vektor, seperti malaria, filariasis, dan
demam berdarah dengue. Ia juga sebagai kontributor buku Filariasis di
Jawa Barat (Penyakit Tropis yang terabaikan) dan Dengue dalam Multi-
Perspektif; dan sebagai editor buku Surveilans dan Pengendalian Vektor
Demam Berdarah Dengue.
Hubullah Fuadzy
Ia adalah Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Ia
menyelesaikan pendidikan Diploma III Kesehatan
Lingkungan di Poltekkes Bandung, Sarjana Biologi
di Universitas Nasional Jakarta; dan Pascasarjana
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan di Institut
Pertanian Bogor. Fokus penelitiannya adalah
bidang penyakit tular vektor, misalnya malaria,
chikungunya, filariasis, dan demam berdarah
dengue. Ia sempat menjadi kontributor penulis untuk buku Fauna
Anopheles, dan Pestisida Nabati.
Mutiara Widawati
Ia adalah Calon Peneliti di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI
yang menyelesaikan pendidikan Sarjana Sains
di Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung
dan Master of Public Health di School of Public
Health University of Sydney. Ia telah melakukan
Joni Hendri
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes Pangandaran,
Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan
pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat di
Universitas Siliwangi Tasikmalaya Tahun 2009;
dan Master of Biotechnology dari Universitas
Gadjah Mada Tahun 2014. Beberapa penelitian
telah dilakukan pada bidang tular vektor termasuk
Demam Berdarah Dengue. Kontributor penulis
dalam buku Fauna Anopheles, Insektisida Nabati dalam Pengendalian
Demam Berdarah Dengue; Seputar Dengue dan Malaria; dan Buku Saku
Menghapus Jejak Kaki Gajah. Beberapa tulisan ilmiah semi populer juga
pernah di muat di Koran Pikiran Rakyat dan Majalah Inside.
Andri Ruliansyah
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI.
Menyelesaikan pendidikan Diploma Kesehatan
Lingkungan di Akademi Kesehatan Lingkungan
Bandung, Sarjana Kesehatan Masyarakat di
Universitas Indonesia Depok, dan Master of
Science program studi Penginderaan Jauh di
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa
penelitian telah ia lakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular
vektor, seperti malaria, filariasis, dan demam berdarah dengue. Ia juga
sempat menjadi kontributor penulis dalam buku Seputar Dengue &
Yuneu Yuliasih
Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes
Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes
RI. Ia me nyelesaikan pendidikan Sarjana
Kesehatan Masyarakat di Universitas Siliwangi
Tasikmalaya dan Master of Science Program
Studi Ilmu Kedokteran Dasar di Universitas
Gadjah Mada. Beberapa penelitian telah
dilakukannya pada bidang epidemiologi
penyakit tular vektor, seperti malaria, filariasis, demam berdarah dengue.
Ia juga sempat menjadi kontributor penulis dalam buku Pestisida Nabati
dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah.