Anda di halaman 1dari 16

“Transfer Pricing Dalam Perpajakan”

(Tugas I Mata Kuliah Hukum Pajak – Dr. Waty Tjakra, S.H., M.H)

SANTI PURNAMA SARI (00000006961)


Universitas Pelita Harapan
Program MKN Batch II

1
“TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN"

A. MASALAH TRANSFER PRICING DALAM PERPAJAKAN

Pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional yang berkembang pesat turut memacu

perkembangan korporasi multinasional (multinational company). Kegiatan korporasi

multinasional sebagai group-group perusahaan telah banyak ditemukan dalam negara

berkembang, sehingga menjadi unit-unit bisnis yang besar dan berkuasa, dengan

konsep dan strategi yang lebih luas.

Ada beberapa alasan utama yang mendorong munculnya korporasi multinasional, yaitu

keinginan dan tujuan untuk memperluas pasar, untuk mencari sumber bahan baku,

untuk mencari teknologi baru, untuk mencapai efisiensi, untuk menghindari peraturan

atau kebijakan pemerintah, dan diversifikasi. Namun demikian, setidaknya kita bisa

mengidentifikasikan adanya 3 (tiga) permasalahan yang dihadapi oleh korporasi

multinasional, yaitu (i) perbedaan budaya (cultural differences), (ii) transfer pricing, dan

(iii) nilai tukar mata uang (exchange rate).

Apakah yang dimaksud dengan transfer pricing itu? Transfer pricing (harga transfer)

merupakan sebutan atau istilah yang umum digunakan untuk penentuan harga atas

berbagai transaksi antar anggota group korporasi multinasional. Transfer pricing dapat

ditentukan berbeda dengan harga wajar atau harga yang berlaku di pasaran bebas,

namun dapat juga ditentukan lebih tinggi atau bahkan lebih rendah. Transfer pricing ini

2
merupakan isu klasik dalam bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi

internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. John Neighbour menyatakan

bahwa transfer pricing pada awalnya hanya merupakan isu utama bagi administrasi

perpajakan dan ahli perpajakan saja, tetapi pada masa sekarang ini transfer pricing

telah menjadi pembicaraan para politisi, ahli ekonomi dan juga lembaga-lembaga

swadaya masyarakat menyangkut kewajiban pembayaran pajak atas aktivitas bisnis

korporasi multinasional.1

Survei yang dilakukan oleh Ernst and Young International pada tahun 1995

menunjukkan bahwa lebih dari 80% responden mengindikasikan transfer pricing

sebagai masalah utama dalam perpajakan yang dihadapi oleh korporasi multinasional.

Responden tersebut terdiri dari korporasi multinasional di 8 (delapan) Negara termasuk

Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Inggris. 2

Sementara itu, penelitian tim UNTC PBB yang diketuai oleh Silvain Plasschaert yang

dinyatakan kembali oleh Gunadi (1999), disebutkan bahwa motivasi transfer pricing di

Indonesia terkait dengan beberapa hal antara lain:

1. Pengurangan objek pajak, terutama pajak penghasilan;

2. Pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri;

3. Penurunan pengaruh depresiasi Rupiah;

4. Menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor;

1
Imam Santoso, Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer Pricing dari Perspektif
Perpajakan Indonesia, Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol. 6, No.2, November 2004: 123.
2
Ibid.

3
5. Mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan

usaha;

6. Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan

karyawan dan kepedulian lingkungan;

7. Memperkecil akibat pembatasan dan risiko bisnis di luar negeri. 3

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing dapat

dipicu oleh alasan pajak (tax motive) ataupun alasan bukan pajak (non-tax motive).

Beberapa transaksi yang terjadi antar anggota group korporasi multinasional dapat

dikategorikan dalam beberapa transaksi, antara lain seperti penjualan barang dan jasa,

lisensi, royalti, paten dan know-how, penjaminan utang, serta penjualan komponen

untuk kegiatan produksi. Transaksi-transaksi yang terjadi antar unit bisnis group

korporasi multinasional hampir selalu merupakan cross border transaction yang

menyebabkan otoritas pajak menduganya sebagai salah satu bentuk pengalihan

(shifting) beban pajak dari suatu Negara yang mempunyai tarif tinggi (high tax

countries) ke Negara lainnya yang mempunyai tarif pajak lebih rendah (low tax

countries).

Untuk menghindari praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh korporasi

multinasional, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-

3
Ibid.
4
Undang No. 7 Tahun 1983 memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk

menentukan kembali harga wajar transaksi antar pihak-pihak yang memiliki hubungan

istimewa (associated enterprises/related parties) dan mewajibkan Wajib Pajak yang

mempunyai transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa untuk

membuat perjanjian dengan Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk Advance Pricing

Agreement/APA (kesepakatan harga transfer) mengenai harga wajar produk dalam

transaksi yang dilakukan antar mereka.

Menurut sejumlah literatur, transfer pricing merupakan suatu harga jual khusus yang

dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual

(selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division). Tujuan utama dari kegiatan

ini adalah untuk mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan.

Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi

karena adanya hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan

kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Hubungan ini terjadi

karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada

hubungan biasa. Hubungan istimewa ini dapat mengakibatkan kekurangwajaran

pelaporan, sebagai akibat pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan biaya pada

suatu transaksi dari suatu pihak ke pihak lainnya. Jadi secara umum transaksi antara

pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa tersebut dikenal dengan transfer pricing.

5
Transfer pricing sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk

meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer

antardivisi. Perusahaan multinasional cenderung merelokasi penghasilan globalnya

pada low tax country dan menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada

high tax country. Artinya, ada pergeseran kewajiban perpajakan dari Negara-negara

yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke Negara yang menerapkan pajak rendah.

Disinilah terlihat praktik transfer pricing tersebut yang mengakibatkan potensi

penerimaan suatu Negara khususnya yang berasal dari penerimaan pajak akan

berkurang. Sementara dari sisi bisnis, perusahaan akan cenderung berupaya

meminimalkan biaya-biaya termasuk efisiensi dalam hal pembayaran pajak

perusahaan. Bagi perusahaan multinasional, transfer pricing merupakan strategi yang

efektif untuk memenangkan persaingan dengan sumber daya yang terbatas. Jika

transfer pricing dilakukan antar perusahaan lokal (dalam negeri) maka hal ini tidak

menjadi persoalan, karena pemerintah tetap akan memperoleh pajak dari salah satu

perusahaan yang diuntungkan. Yang menjadi masalah adalah jika transfer pricing

dilakukan oleh perusahaan asing dengan perusahaan lokal. Jika hal ini terjadi maka

akan sangat berbahaya.

Perusahaan lokal yang menjadi subsidiari dari perusahaan asing akan “dikorbankan”.

Artinya, perusahaan lokal itu sengaja dibuat merugi, padahal sebenarnya perusahaan

lokal tersebut sedang tidak merugi. Tujuannya tentu untuk menghindari pembayaran

pajak oleh kedua perusahaan tersebut. Kasus ini sering terjadi pada industri batu bara.

Jenis tambang itu merupakan incaran perusahaan tambang multinasional. Tidak jarang

6
perusahaan asing yang mendekati perusahaan tambang batu bara lokal. Dari sinilah

akan timbul negosiasi harga. Setelah itu yang terjadi justru praktik transfer pricing. Jika

batu bara banyak dibeli oleh perusahaan asing, maka tidak mungkin perusahaan lokal

itu akan merugi. Jika ada dua perusahaan yang berkonspirasi untuk merugikan suatu

perusahaan, hal ini sudah pasti transfer pricing.

Untuk mengatasi masalah mengenai transfer pricing ini, Departemen Keuangan harus

memiliki auditor yang handal untuk menyelidiki keuangan suatu perusahaan. Untuk

masalah batu bara, sebenarnya Indonesia memiliki Indonesia Coal Index (ICI). ICI

dapat digunakan untuk mengukur kewajaran harga batu bara. ICI merupakan indeks

harga batu bara yang dibuat di Indonesia melalui berbagai sumber. Maka sebenarnya

tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk menghindar dari penyelidikan dugaan transfer

pricing. Dengan melihat kasus Adaro, Negara diperkirakan rugi triliunan Rupiah akibat

hal ini. Negara kehilangan pajak penghasilan yang seharusnya disetor oleh Adaro.

Negara tidak memperoleh PPh 30% dan royalty 13,5%. Padahal untuk setiap USD 10

selisih harga dalam praktik transfer pricing, tiap tahun kerugian Negara dapat mencapai

Rp. 400 miliar.

Saat ini transfer pricing diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 36

Tahun 2008. Dalam Pasal 18 ayat (3) diatur mengenai kewenangan Ditjen Pajak untuk
4
menghitung kembali suatu transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Dalam Pasal 18 ayat (3) (a) diatur bahwa “Direktur Jenderal Pajak berwenang

4
Lihat penjelasan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undan No. 36 Tahun 2008.
7
melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas

pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang

mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku

selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan

renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir”. Penjelasan pasal ini juga

menyatakan bahwa “kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA)

adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai

harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai

hubungan istimewa (related parties) dengan Wajib Pajak tersebut”.

Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan

transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan

Direktorat Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual

produk yang dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain yang tergantung pada

kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan

kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi terhadap harga

jual dan keuntungan produk yang dijual oleh wajib pajak kepada perusahaan dalam

suatu group yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan

antara Direktorat Jenderal Pajak dengan wajib pajak. APA dapat juga bersifat bilateral,

yaitu merupakan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas

perpajakan Negara lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah

yurisdiksinya.

8
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh memberikan pengertian mengenai apa yang

dimaksud dengan hubungan istimewa dan penanganan transfer pricing harus

memenuhi kedua unsur, yaitu adanya kewenangan Direktorat Jenderal Pajak serta

memenuhi definisi hubungan istimewa. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh

mengatur hubungan istimewa dianggap ada apabila:

1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling

rendah 25% pada Wajib Pajak lain;

2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak

berada di bawah pengusaan yang sama baik secara langsung ataupun tidak

langsung; atau

3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis

keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Pengungkapan kasus transfer pricing saat ini sedang dikembangkan oleh Direktorat

Jenderal Pajak. Beberapa perusahaan yang dijadikan contoh antara lain adalah

PT Adaro, PT Arutmin, PT Kaltim, Asian Agri dan lain-lain. Bahkan Asian Agri sudah

dilanjutkan ke penyidikan, karena diduga terlibat tindak pidana perpajakan.

Sehubungan dengan penyidikan tersebut dapat dipertanyakan apakah praktik transfer

pricing merupakan suatu upaya penghindaran pajak untuk mencari penghematan pajak

secara legal atau sudah merupakan penggelapan pajak untuk meminimalisir pajak

secara ilegal.

9
Sebagai contoh praktik transfer pricing, jika PT A mengekspor produk dengan harga

pokok dan biaya lainnya US$100 ke XY di Negara PQ dengan harga US$200, atas laba

US$100 dibayar PPh di Indonesia sebesar US$30. Namun jika dijual ke perusahaan

afiliasi SQ di Singapura dengan harga transfer pricing sebesar US$120 dan kemudian

SQ menjual kepada XY dengan harga US$200. Maka, atas laba PT A sebesar US$20

dan QS sebesar US$80 akan dibayar pajak sejumlah US$22 (di Indonesia US$6, dan di

Singapura US$16).

Dengan chanelling ke Singapura, dari laba global US$100 sudah didapat penghematan

pajak sebesar US$8. Kalau SQ menjual ke perusahaan afiliasinya HK di HongKong

(yang mengenakan pajak korporasi sebesar US$16) dengan harga US$150, maka atas

laba di Indonesia US$20, di Singapura US$30 dan di HongKong US$50 akan dibayar

PPh sebesar US$20 (PT A membayar US$6, SQ membayar US$6, dan HK membayar

US$8). Dengan tiga tahap penjualan ini, terdapat penghematan pajak sebesar US$10.

Jadi, semakin rendah tarif pajak Negara tempat kedudukan perusahaan trading afiliasi

yang dimanfaatkan dalam mata rantai perdagangan, semakin besar pula penghematan

pajak dari praktik transfer pricing ini.

Dalam buku Multinational Corporations, Transfer Prices and Taxes: Evidences from US

Petroleum Industry (1990), Bernard & Weiner menyatakan bahwa, kecuali dilarang

dalam undang-undang, transfer pricing dapat digunakan untuk mengatur jumlah laba

dari beberapa perusahaan dalam satu group yang berada di beberapa wilayah

yurisdiksi perpajakan. Hal ini menunjukan secara hukum, jika tidak dinyatakan secara
10
tegas dalam undang-undang bahwa transfer pricing merupakan tindak pidana pajak,

maka menjadi sulit untuk “mengkriminalkan” praktik transfer pricing. Pendapat ini

sepertinya didukung oleh adanya penghentian penyelidikan PT Adaro yang menurut

Media Indonesia (12 February 2008) dihentikan karena tidak ada masalah dan royalty

serta “semuanya” telah dibayar. Maka tampak bahwa atas transfer pricing lebih

ditempuh solusi administratif daripada pidana. Solusi ini juga dianut oleh Pasal 18 ayat

(3) Undang-Undang PPh jo. SE 04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-

Kasus Transfer Pricing. Dari Surat Edaran ini dapat dikemukakan bahwa transfer

pricing dapat terjadi antara wajib pajak dalam negeri atau antara wajib pajak dalam

negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di tax haven countries

(Negara yang tidak memungut pajak atau yang memungut pajak lebih rendah dari

Indonesia). Terhadap transaksi antara wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa,

undang-undang perpajakan Indonesia menganut asas materiil (substance over form

rule).

B. ASPEK PERPAJAKAN DALAM PRAKTIK TRANSFER PRICING

1. Metode Transfer Pricing

Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan

konglomerasi dan divisionalisasi/departementasi adalah sebagai berikut:5

5
Yenni Mangoting, Aspek Perpajakan dalam Praktik Transfer Pricing, Jurnal Akuntansi & Keuangan
Vol.2, No. 1, Mei 2000, hlm. 70
11
a. Harga transfer dasar biaya (cost based transfer pricing)

Perusahaan yang menggunakan metode transfer ini menetapkan harga transfer atas

biaya variabel dan tetap, yang bisa dalam 3 (tiga) pemilihan bentuk, yaitu biaya

penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup), dan

gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).

b. Harga transfer atas dasar harga pasar (market basis transfer pricing)

Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode ini merupakan ukuran yang paling

memadai, karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar

yang terkadang menjadi kendala dalam menggunakan metode transfer pricing ini.

c. Harga transfer negosiasi (negotiated transfer prices)

Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam

perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan

harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasi mencerminkan perspektif

kontrol abilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban, karena setiap

divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya akan bertanggungjawab atas

harga transfer yang dinegosiasikan.

12
2. Transfer Pricing Pada Perusahaan Multinasional

Ada dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional,

yaitu:6

a. Performance evaluation

Salah satu ukuran yang digunakan oleh banyak perusahaan untuk menilai

kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau return on investment.

Terkadang tingkat ROI untuk satu divisi dengan divisi lainnya dalam satu

perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, divisi penjual

menginginkan harga transfer yang tinggi yang akan meningkatkan income, yang

secara otomatis juga akan meningkatkan ROI-nya. Namun di sisi lain, divisi

pembeli menuntut harga transfer yang rendah yang nantinya berakibat pada

peningkatan income, yang berarti juga peningkatan dalam ROI. Oleh karena itu

dalam hal ini induk perusahaan akan sangat berkepentingan dalam penentuan

harga transfer.

b. Optimal determination of taxes

Tarif pajak antar satu Negara dengan Negara yang lain berbeda. Perbedaan ini

disebabkan oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang berlaku

dalam Negara tersebut. Sebagai contoh di Afrika, karena tingkat investasi

6
Ibid., Yenni Mangoting, Vol.2, No.1, Mei 2000, hlm. 72.
13
rendah, tarif pajak yang berlaku di Negara itu juga rendah. Akan tetapi jika kita

bandingkan dengan Amerika, tidak mungkin tarif pajak yang diberlakukan di

Negara tersebut sama dengan di Afrika. Hal ini jelas karena di Negara maju

seperti Amerika tingkat investasi sangat tinggi yang dibuktikan dengan tingkat

pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Atas dasar inilah tarif pajak

yang ditetapkan di Negara tersebut tinggi.

3. Transfer Pricing Atas Royalti

Perkembangan ekonomi global dan adanya persaingan internasional membuat

suatu perusahaan harus melakukan berbagai upaya untuk menguasai pasar dan

mendekatkan diri dengan konsumen yang berada di berbagai Negara.

Perkembangan tersebut mengakibatkan banyak perusahaan di berbagai Negara

mengubah konsep bisnisnya menjadi perusahaan multinasional. Dalam konsep

perusahaan multinasional ini, kontrol yang dimiliki oleh perusahaan induk terhadap

anak perusahaan di berbagai Negara seringkali menyebabkan terjadinya transaksi

internasional, yaitu transfer pricing. Transaksi transfer pricing dapat berupa transfer

harga atas barang, jasa dan harta tidak berwujud. Transaksi antar perusahaan yang

memiliki hubungan istimewa seringkali menimbulkan ketidakwajaran harga transfer.

Hal ini dilakukan sebagai upaya memonopoli pasar global sebagai strategi bisnis

ataupun untuk mengurangi total beban pajak global yang harus ditanggung

perusahaan akibat transaksi lintas Negara.

14
Otoritas pajak di banyak Negara menggunakan metode perbandingan harga untuk

menentukan harga transfer yang wajar dalam perusahaan yang memiliki hubungan

istimewa. Hal ini terutama untuk mengurangi potential loss pada penerimaan pajak

yang diperoleh, hanya saja dalam praktiknya terjadi banyak permasalahan yang

muncul atas perbandingan harga. Salah satu permasalahan yang timbul adalah

sulitnya mencari perusahaan pembanding. Kesulitan menjadi bertambah ketika

harga yang diperbandingkan adalah harga atas transfer royalti. Seringkali harta

yang tidak berwujud tidak mempunyai karakteristik yang sama atau identik di setiap

produsen dan dimungkinkan adanya perbedaan biaya untuk menghasilkan royalti

tersebut.

Karakteristik yang berbeda-beda dari harga royalti dapat mengakibatkan kesalahan

dalam penentuan koreksi harga yang dilakukan oleh otoritas pajak, yang pada

akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi wajib pajak ataupun otoritas pajak di

suatu Negara. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang timbul, maka penting

dilakukan pengaturan yang baik dalam Undang Undang Perpajakan untuk

memberikan kepastian hukum atas transaksi transfer pricing royalti ataupun untuk

mengurangi biaya yang harus dikeluarkan dalam memeriksa dan mencari harga

pasar wajar pembanding atas royalti.

Indonesia sendiri saat ini belum mengatur secara pasti atau khusus atas transaksi

transfer pricing. Peraturan perundang-undangan yang ada hanya mengatur

mengenai hubungan istimewa dan penentuan harga pasar wajar apabila terjadi

15
transaksi yang di dalamnya terindikasi ada hubungan istimewa, tanpa mengatur

secara rinci pencegahan atau penyelesaian yang dapat digunakan untuk transfer

pricing atas royalti.

***

16

Anda mungkin juga menyukai