Anda di halaman 1dari 19

BAB III

TEORI DASAR

3.1 Nikel Laterit

3.1.1 Pengertian Nikel dan Genesa Nikel Laterit

Bijih nikel dibagi menjadi dua berdasarkan proses pembentukannya yaitu

nikel sulfide dan nikel laterite. Endapan bijih nikel yang terdapat di Pomalaa

termasuk dalam jenis nikel laterit. Endapan nikel laterit menyumbang ±40%

produksi tahunan nikel dunia. Endapan laterit merupakan hasil dari proses lanjut

dari batuan ultramafic pembawa Ni-Silikat.

Proses pertama dalam pembentukan nikel laterit di awali dengan adanya

proses pelapukan. Pelapukan ini berlangsung pada batuan peridotit yang banyak

mengandung olivin, magnesium silikat dan besi silikat yang mengandung 0,3%

Ni. Batuan ini mudah mengalami pelapukan lateritik yang dapat memisahkan

nikel dari silikat dan asosiasi mineral lainnya.

Air resapan yang mengandung CO2 yang berasal dari udara meresap ke

bawah sampai ke permukaan air tanah melindi mineral primer yang tidak stabil

seperti olivin, serpentin dan piroksen. Air meresap secara perlahan sampai

batas antara zona limonit dan zona saprolit, kemudian mengalir secara lateral,

lebih banyak didominasi oleh transportasi larutan secara horizontal (Valeton,

1967). Proses ini menghasilkan Ca dan Mg yang larut disusul dengan Si yang

cenderung membentuk koloid dari partikel-partikel silika yang sangat halus

sehingga memungkinkan terbentuknya mineral baru melalui pengendapan kembali

20
21

unsur-unsur tersebut. Semua hasil pelarutan ini terbawa turun ke bagian bawah

mengisi celah-celah dan pori-pori batuan. Unsur-unsur Ca dan Mg yang terlarut

sebagai bikarbonat akan terbawa ke bawah sampai batas pelapukan dan

diendapkan sebagai dolomit dan magnesit yang mengisi rekahan-rekahan pada

batuan induk.

Adapun urat-urat ini dikenal sebagai batas petunjuk antara zona

pelapukan dengan zona batuan segar yang disebut dengan akar pelapukan (root of

weathering). Fluktuasi muka air tanah yang berlangsung secara kontinyu akan

melarutkan unsur-unsur Mg dan Si yang terdapat pada bongkah-bongkah batuan

asal di zona saprolit, sehingga memungkinkan penetrasi air tanah yang lebih

dalam. Zona saprolit dalam hal ini semakin bertambah ke dalam demikian pula

ikatan-ikatan yang mengandung oksida MgO sekitar 30-50 % berat dan SiO2

antara 35-40 % berat yang masih terkandung pada bongkah-bongkah di zona

saprolit akan mengalami pencucian dan ikut bersama-sama dengan aliran air

tanah, sehingga sedikit demi sedikit zona saprolit atas akan berubah porositasnya

dan akhirnya menjadi zona limonit. Daerah zona erosi dan proses pengayaan nikel

laterit dapat dilihat pada Gambar 3.1.


22

Sumber : Darijanto, 1999


Gambar 3.1
Penampang Tegak Endapan Nikel Laterit

Untuk bahan-bahan yang sukar atau tidak mudah larut akan tinggal pada

tempatnya dan sebagian turun ke bawah bersama larutan sebagai larutan koloid.

Bahan-bahan seperti Fe, Ni, dan Co akan membentuk konsentrasi residu dan

konsentrasi celah pada zona yang disebut dengan zona saprolit, berwarna coklat

kuning kemerahan. Batuan asal ultramafik pada zona ini selanjutnya diimpregnasi

oleh Ni melalui larutan yang mengandung Ni, sehingga kadar Ni dapat naik

hingga mencapai 7% dari total berat. Dalam hal ini, Ni dapat mensubtitusi Mg

dalam serpentin atau juga mengendap pada rekahan bersama dengan larutan yang

mengandung Mg dan Si sebagai garnierit dan krisopras.

Untuk Fe yang berada di dalam larutan akan teroksidasi dan mengendap

sebagai ferri-hidroksida, membentuk mineral-mineral seperti geothite, limonite

dan hematite yang dekat permukaan. Bersama mineral - mineral ini selalu ikut

serta unsur Co dalam jumlah kecil. Semakin ke bawah, menuju batuan dasar maka

Fe dan Co akan mengalami penurunan kadar. Pada zona saprolit Ni akan


23

terakumulasi di dalam mineral garnierite. Akumulasi tersebut terjadi akibat sifat

Ni yang berupa larutan pada kondisi oksidasi dan berupa padatan pada kondisi

silika.

3.1.2 Kontrol Pembentukan Nikel Laterit

Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi dan tingkat pelapukan kimia

yang dialami tiap batuan sangat beragam dan akan mempengaruhi

pembentukan endapan serta profil laterit dari tiap tempat. Faktor-faktor tersebut

diantaranya:

a. Iklim, Curah Hujan dan Vegetasi

Iklim yang sesuai dalam pembentukan endapan laterit adalah iklim

tropis dan sub tropis, terkait curah hujan dan sinar matahari memegang

peranan penting dalam proses pelapukan dan pelarutan unsur-unsur yang

terdapat pada batuan asal. Curah hujan akan mempengaruhi jumlah air

yang melewati tanah, yang mempengaruhi intensitas pelarutan dan

perpindahan komponen yang dapat dilarutkan. Dengan iklim dan curah

hujan yang mendukung maka vegetasi yang tumbuh pada kawasan ini

sangat beragam dan lebat. vegetasi ini akan membantu proses penetrasi

sebagian air menuju lebih dalam dengan mengikuti jalur akar pepohonan,

selain membantu proses pelapukan vegetasi juga menjaga suatu batuan

dari erosi (pelapukan mekanis).

b. Topografi

Kondisi relief dan lereng akan mempengaruhi proses penetrasi dan


24

sirkulasi air serta reagen-reagen lain. Adapun pada daerah yang curam, air

hujan yang jatuh ke permukaan lebih banyak yang mengalir sebagai run-

off dibandingkankan air yang meresap kedalam tanah, sehingga pelindian

dan transportasi unsur-unsur oleh air tanah tidak banyak terjadi. Pada

daerah ini sedikit terjadi pelapukan kimia sehingga menghasilkan endapan

nikel yang tipis. Sedangkan pada daerah yang landai, air mempunyai

kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui rekahan-

rekahan atau pori-pori batuan dan mengakibatkan terjadinya pelapukan

kimiawi secara intensif. Akumulasi endapan umumnya terdapat pada

daerah-daerah yang landai sampai kemiringan sedang, hal ini

menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk topografi.

c. Batuan asal

Komposisi dan stuktur dari batuan asal akan mempengaruhi

kandungan yang terendapkan serta tingkat pelapukan yang terjadi pada

batuan. Batuan asal merupakan jenis batuan ultra basa dengan kadar Ni

0.2 - 0.3 %

d. Kontrol Struktur

Adanya kontrol struktur dalam pembentukan endapan nikel laterit dapat

memungkinkan terjadinya pelapukan lebih lanjut akibat adanya pelarutan

oleh air dan unsur unsur hasil pencucian.

e. Waktu

Pelapukan yang berlangsung dalam waktu lama pada umumnya akan

menghasilkan endapan yang relatif lebih tebal, sedangkan pelapukan yang


25

berlangsung dalam waktu singkat akan membentuk endapan yang tipis.

Adapun waktu yang diperlukan dalam pembentukan nikel laterit

dipengaruhi oleh kontrol pembentukan lainnya, misalnya adanya struktur

akan membantu dalam proses pelindian dan pelapukan, adanya vegetasi

yang lebat juga akan mempercepat proses penetrasi air hujan yang

mengandung CO2 dari atmosfer dan juga asam humus yang membantu

pelapukan dalam proses kimia. Pada dasarnya seluruh komponen kontrol

pembentuk nikel laterit akan saling berkaitan dalam suatu pembentukan

nikel laterit.

3.2 Eksplorasi Nikel

Eksplorasi adalah kegiatan lanjutan dan prospeksi dengan tujuan untuk

menentukan secara akurat jumlah cadangan kadar, sifat fisik kimia, letak dan

bentuk endapan bahan galian (Suhala Supratna, 1998). Pemboran eksplorasi nikel

laterit dilakukan dengan pola persegi dan grid density (derajat kerapatan jarak

interval antar titik bor) yang terus bertambah pada tiap tahapan. Pemboran nikel

laterit pada tahap awal dimulai dengan interval 200m, dan akan semakin merapat

pada tahapan eksplorasi lebih lanjut yang menjadi 100m, 50m dan 25m. Hasil

pemboran dengan spasi 25 meter inilah yang digunakan sebagai acuan untuk

menghitung cadangan nikel. Apabila diperlukan lagi maka dapat dilakukan inpit

drilling (pemboran produksi) yang digunakan sebagai petunjuk dalam membuat

rencana penambangan dengan mempersingkat jarak antar titik bor menjadi 12,5m.
26

Eksplorasi dilakukan dengan beberapa tahap yang dijelaskan pada sub bab berikut

ini.

3.2.1 Eksplorasi pendahuluan

Dalam eksplorasi pendahuluan ini, tingkat ketelitian yang diperlukan

masih kecil sehingga peta–peta yang digunakan dalam eksplorasi pendahuluan

juga mempunyai skala yang relatif kecil. Sebelum memilih lokasi eksplorasi

dilakukan studi terhadap data dan peta yang sudah ada (dari survey terdahulu),

catatan–catatan lama, laporan temuan dan data pendukung lainnya, lalu dipilih

daerah yang akan disurvey.

Setelah pemilihan lokasi ditentukan langkah berikutnya merupakan studi

mengenai faktor–faktor geologi regional, dimana peta geologi regional sangat

penting untuk memilih daerah eksplorasi, karena pembentukan endapan bahan

galian dipengaruhi dan tergantung pada proses – proses geologi yang pernah

terjadi, singkapan–singkapan batuan pembawa bahan galian dan yang perlu juga

diperhatikan adalah perubahan/batas batuan, orientasi lapisan batuan sedimen

(strike dan dip), orientasi sesar dan tanda – tanda lainnya (Sunarto Notosiswoyo

dkk, 2000).

3.2.2 Eksplorasi Detail

Setelah tahap eksplorasi pendahuluan diketahui bahwa cadangan yang ada

mempunyai prospek yang baik, maka diteruskan dengan eksplorasi tahap detail.

Kegiatan utama dalam tahap ini ialah sampling dengan jarak yang lebih dekat

(rapat) yaitu dengan memperbanyak sumur uji atau lubang bor untuk
27

mendapatkan data–data yang lebih teliti mengenai penyebaran dan ketebalan

cadangan, penyebaran kadar/kualitas secara mendatar maupun tegak. Secara

umum hasil yang diharapkan dari pemboran eksplorasi adalah :

 Identifikasi struktur geologi

 Sifat fisik batuan samping dan badan bijih

 Mineralogi batuan samping dan badan bijih

 Geometri endapan

 Keperluan sampling

3.2.3 Proses Pengambilan Sampel Pada Eksplorasi

Ditinjau secara umum proses pengambilan conto (sample) dimaksudkan

untuk mengambil sebagian kecil dari suatu massa yang besar, dimana diharapkan

sebagian kecil massa tersebut cukup representatif untuk mewakili keseluruhan

massa yang diwakilinya. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara pemboran,

dari cara pemboran ini diharapkan dapat diidentifikasi lebih teliti penyebaran bijih

nikel secara vertikal sedangkan penyebaran secara horizontal dapat diperoleh

dengan menggabungkan beberapa titik.

Sampel dari hasil kegiatan eksplorasi atau kegiatan pemboran disusun

dalam core box menurut kedalaman satu meter. Setelah selesai pemboran sampel

dibawa ke rumah sampel dan kemudian dimasukan kedalam kantong sampel dan

diberikan kode seperti lokasi tempat pengeboran, kedalaman titik bor, nomor

sampel, dan nomor titik bor. Selanjutnya dikirim kebagian persiapan conto untuk
28

kemudian dipreparasi guna keperluan analisa kimia (Sunarto Notosiswoyo dkk,

2000).

Gambar 3.2
Hasil Sample Pemboran

3.3 Klasifikasi Sumberdaya Nikel

Klasifikasi Sumberdaya Mineral dan Cadangan adalah suatu proses

pengumpulan, penyaringan serta pengolahan data dan informasi dari suatu

endapan mineral untuk memperoleh gambaran yang ringkas mengenai suatu

endapan berdasarkan kriteria, yaitu : keyakinan geologi dan kelayakan tambang.

Kriteria keyakinan geologi didasarkan pada tahap eksplorasi yang meliputi

survei tinjau, prospeksi, eksplorasi umum dan eksplorasi rinci. Kriteria kelayakan

tambang didasarkan pada faktor-faktor ekonomi, teknologi, peraturan perundang-

undangan, lingkungan dan sosial (economic, technological, legal, environment

and social factor).


29

Sumberdaya Mineral (Mineral Resource) adalah endapan mineral yang

diharapkan dapat dimanfaatkan secara nyata. Cadangan (Reserve) adalah endapan

mineral yang telah diketahui ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas dan kualitasnya

dan yang secara ekonomis, teknis, hukum, lingkungan dan sosial dapat ditambang

pada saat perhitungan dilakukan.

Pengklasifikasian sumberdaya nikel dilakukan berdasarkan acuan yang

dibuat oleh Komite Cadangan Mineral Indonesia pada tahun 2011 (Kode-KCMI

2011). Berdasarkan klasifikasi ini, sumberdaya dapat dibagi menjadi tiga jenis

yaitu sumberdaya terukur (measured), tertunjuk (indicated) dan tereka (inferred)

dan tingkatan pengklasifikasian dipengaruhi oleh tingkat keyakinan terhadap

kondisi geologi. Sumberdaya dengan tingkat keyakinan geologi terendah dan

tertinggi adalah klasifikasi tereka (inferred) dan terukur (measured). Klasifikasi

sumberdaya dapat meningkat menjadi cadangan dipengaruhi oleh beberapa

parameter yaitu kelayakan ekonomi, teknologi, penambangan, pemasaran,

lingkungan, sosial dan pemerintah. Adapun hubungan antara klasifikasi

sumberdaya dan cadangan dapat dilihat pada Gambar 3.3.


30

Sumber : Kode KCMI, 2011


Gambar 3.3
Klasifikasi Sumberdaya Nikel

Klasifikasi sumberdaya nikel menurut Sinclair dan Blackwell (2005) yang

dimana hubungan sumberdaya measured, indicated dan inferred berdasarkan

Relative Kriging Standard Deviation (RKSD) sumberdaya dapat dikelompokkan

menjadi :

a. Terukur (measured)

Suatu sumberdaya dikategorikan sebagai measured apabila suatu blok

mempunyai nilai RKSD < 0,5.

b. Tertunjuk (Indicated)

Suatu sumberdaya dikategorikan sebagai indicated apabila suatu blok

mempunyai nilai 0,5 ≤ RKSD ≤ 1

c. Tereka (Inffered)

Suatu sumberdaya dikategorikan sebagai inffered apabila suatu blok

mempunyai nilai RKSD > 1.


31

Berdasarkan RKSD tersebut, klasifikasi sumberdaya dapat dirumuskan

sebagai berikut :

= ±1.96 ∗ (3.1)

Nilai σE diperoleh dari hasil kriging standard deviasi pada masing masing

blok dan nilai Z* merupakan nilai dari hasil kriging. Klasifikasi berdasarkan

kemenerusan variogram yang berasal dari nilai sill sebagai berikut :

a. Terukur (Measured)

Jika jarak antara lubang bor pada daerah lingkup eksplorasi berjarak 1/3

sampai 2/3 sill.

b. Tertunjuk (Indicated)

Jika jarak antara lubang bor pada daerah lingkup eksplorasi berjarak > 2/3

sill.

c. Tereka (Inffered)

Jika jarak antara lubang bor pada daerah lingkup eksplorasi berjarak > 3/3

sill.

3.4 Metode Estimasi Sumberdaya

Estimasi jumlah tonnase dan kadar pada sumberdaya dapat dilakukan

dengan dua metode yaitu metode konvensional dan metode geostatistik. Metode

konvensional yang sering digunakan dalam melakukan estimasi adalah Inverse

Distance Squared (IDS). Sedangkan metode geostatistik menggunakan Ordinary

Kriging (OK). Kedua metode tersebut akan dijabarkan pada sub-bab dibawah ini.
32

3.4.1 Inverse Distance Squared (IDS)

Prinsip penaksiran metode Inverse Distance adalah dilakukan teknik

pembobotan titik data yang didasarkan pada:

 Letak grid atau blok yang akan ditaksir terhadap letak data conto

 Kecenderungan penyebaran data kualitas

 Orientasi setiap conto yang menunjukkan hubungan letak ruang (jarak)

antar conto

Metode Inverse Distance Squared (IDS) ini biasanya digunakan dalam

industri pertambangan karena mudah untuk digunakan. Terdapat beberapa

pengertian mengenai Inverse Distance Squared (IDS) yang telah diungkapkan

oleh para ahli dan orang-orang yang meneliti dengan menggunakan metode

tersebut. Dimana menurut NCGIA (National Center for Geographic Information

and Analysis) tahun 1997, Inverse Distance merupakan metode deterministic yang

sederhana dengan mempertimbangkan titik di sekitarnya. Menurut Lam tahun

1983 menyatakan bahwa Inverse Distance merupakan salah satu teknik interpolasi

yang sering digunakan, karena relatif mudah untuk diprogram, mudah dimengerti

dan memberikan hasil yang cukup akurat.

Inverse Distance Squared (IDS) sesuai dengan namanya yaitu kebalikan

seperjarak yang dikuadratkan, dapat dikatakan dalam arti sempit merupakan salah

satu dari teknik interpolasi, yang dimana suatu nilai yang terdekat lebih di titik

beratkan daripada nilai yang lebih jauh. Serta dalam arti luas merupakan suatu

metode deterministic (interpolasi dilakukan berdasarkan perhitungan matematik)

secara sederhana yang hanya berdasarkan pada jarak data yang berada pada
33

daerah pencarian. Metode bobot seperjarak dikuadratkan ini merupakan suatu

metode penentuan bobot dalam estimasi titik maupun blok, dimana titik titik data

terdekat dengan titik estimasi akan memberikan bobot (pengaruh) terbesar dalam

proses estimasi. Sebaliknya, titik data terjauh akan memberikan bobot terkecil.

Titik yang akan diestimasi adalah titik yang terdapat pada grid, dimana semakin

rapat grid maka semakin banyak data yang akan diestimasikan.

Kerugian dari metode ini menurut Rasingma Sunila yang berjudul

principles of geostatistics tahun 2015 dan Gatot H. Pramono tahun 2008

adalah nilai hasil interpolasi terbatas pada nilai yang ada pada data sampel dan

ukuran radius pencarian yang digunakan. Dengan kata lain, karena metode ini

menggunakan rata-rata dari data sampel sehingga nilainya tidak bisa lebih kecil

dari minimum atau lebih besar dari data sampel. Jadi, puncak bukit atau lembah

terdalam tidak dapat ditampilkan dari hasil interpolasi model ini (Watson &

Philip, 1985). Untuk mendapatkan hasil yang baik, sampel data yang digunakan

harus rapat yang berhubungan dengan variasi lokal. Jika sampelnya agak jarang

dan tidak merata, hasilnya kemungkinan besar tidak sesuai dengan yang

diinginkan.

Adapun rumus perhitungan untuk dapat mengestimasi suatu nilai dengan

menggunakan metode Invers Distance Squared (IDS) dapat diuraikan sebagai

berikut:

Rumus umum estimasi

= ∑ (3.2)
34

Rumus Inverse Distance Squared (IDS)


= (3.3)

Keterangan :

E : Titik yang akan diestimasi

n : Jumlah data yang dipakai dalam estimasi

i : Titik data

Wi : Bobot yang diberikan untuk data pada titik – i

Xi : Nilai data pada titik – i

Untuk mendapatkan nilai dari bobot yang ingin dicari dapat menggunakan

rumus Faktor Pembobotan dibawah ini:

= (3.4)

Keterangan :

Wi : Bobot yang diberikan untuk data pada titik – i

d2i : Jarak antar titik data ke – i terhadap titik estimasi

3.4.2 Geostatistik

Geostatistik adalah statistika yang digunakan pada bidang ilmu batuan

yang berkaitan dengan waktu pembentukannya dan spasial. Acuan dasar yang

digunakan pada statistik spatial adalah Teori Regionalized Variables yaitu teori

yang menyatakan bahwa data bersifat spasial dan saling berhubungan satu sama

lain. Untuk mengetahui hubungan spasial antara titik-titik dalam suatu cebakan,
35

maka diperlukan suatu model variogram. Model variogram merupakan tahapan

awal dalam melakukan perhitungan geostatistik, perhitungan varians estimasi,

varians dispersi dan varians kriging. Terdapat beberapa model variogram yang

dimana penentuan model variogram tersebut berdasarkan dari hasil analisis

variogram eksperimental, sehingga sifat-sifat yang diperoleh dari penyebaran data

dapat disesuaikan dengan model variogram yang ada. Berikut macam-macam

model variogram dapat dilihat pada gambar 3.4.

Sumber : Rasingma Sunila, 2015


Gambar 3.4
Model Variogram

Secara umum, kriging merupakan suatu metode untuk menganalisis data

geostatistik, menginterpolasi suatu nilai kandungan mineral berdasarkan data

sampel. Semakin jauh jarak antar data, nilai variogramnya akan semakin besar
36

(positiveness devineal). Jenis Variogram yang digunakan merupakan variogram

jenis bola (Spherical Mode) dimana dirumuskan sebagai berikut:

(3.5)

Keterangan:

H = jarak antar lokasi sampel

Co+C = Sill

a = Range

Berikut adalah variogram dengan model spherical dapat dilihat pada

gambar 3.5.

Sumber : Geoff Bohling, 2005


Gambar 3.5
Model Variogram Spherical

1 Range

Range merupakan jarak antara dua data yang saling berhubungan atau jarak

dimana variogram mencapai nilai sill.


37

2 Sill

Sill merupakan masa stabil suatu variogram yang mencapai rangenya atau

suatu keadaan dimana variogram yang tidak mengalami suatu kenaikan.

3 Nugget Effect

Nugget effect merupakan banyak variasi dalam data pada jarak yang dekat.

Nugget effect biasanya disebabkan oleh kesalahan sistematis, kesalahan yang

dibuat oleh manusia seperti kesalahan membaca alat, kesalahan sampling dan

lain sebagainya.

Variogram didapat dari perhitungan dengan rumus sebagai berikut:

( ) = ∑ ( − ) (3.6)

Keterangan :

γ(h) : nilai variogram dengan jarak h

N : Jumlah Pasangan

h : Jarak antar data

i : urutan data

Estimasi jumlah tonnase dan kadar pada sumberdaya dapat dilakukan

dengan metode Ordinary Kriging. Ordinary Kriging adalah metode geostatistika

yang digunakan untuk memprediksi data pada lokasi tertentu. Metode Ordinary

Kriging dilakukan dengan memasukkan faktor dari hasil pemodelan variogram,

sehingga diperoleh estimasi kadar dan jumlah sumberdaya serta variasi yang

terdapat pada setiap blok. Perhitungan estimasi sumberdaya dengan metode ini

dapat dilakukan dengan persamaan dibawah ini :

=∑ . (3.7)
38

= . 1 + 2. 2 + ⋯+ . (3.8)

Keterangan :

Yi : Nilai data Y pada titik i

Wi : Bobot pada titik I terhadap titik Y

Dari perhitungan diatas, dicari nilai Wi dengan menggunakan persamaan

matriks yang dapat dilihat pada persamaan dibawah ini :

W1γ(h11) + W2γ(h12) + W3γ(h13) + λ = γ(h1p)

W1γ(h12) + W2γ(h22) + W3γ(h23) + λ = γ(h2p)

W1γ(h13) + W2γ(h23) + W3γ(h33) + λ = γ(h3p)

W1 + W2 + W3 +0 = 1 (3.9)

Jumlah total W adalah 1 dan menggunakan pengali Langrange seperti

perhitungan dibawah ini :

γ(h11) γ(h12) γ(h13) 1 W1 γ(h1p)

γ(h12) γ(h22) γ(h23) 1 W2 = γ(h2p)

γ(h13) γ(h23) γ(h33) 1 W3 γ(h3p)

1 1 1 0 λ 1 (3.10)

Perhitungan kriging variasi dapat diperoleh dalam perhitungan dibawah ini

S2 = W1 γ(h1p) + W2 γ(h2p) + W3 γ(h3p) + λ (3.11)

Keterangan :

S2 = variasi kriging

Wi = bobot pada titik i

γ(h1p) = jarak hasil variogram

Anda mungkin juga menyukai