Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

TREND DAN ISSUE KESEHATAN LANSIA


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah : Keperawatan Gerontik
Dosen Pembimbing : Sutiyono.S.Kep.,M.Kes

Disusun Oleh :
ELIN WINDIKA PUTRI
(17021220)

UNIVERSITAS AN-NUUR PURWODADI


TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas anugerah-Nya tugas
Makalah Trend dan Issue Kesehatan Lansia ini dapat selesai. Adapun tujuan penyusunan
Makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan Gerontik. 
Namun kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, karena itu kami sangat mengharapkan berbagai kritik dan saran yang
membangun sebagai evaluasi demi penyempurnaan asuhan keperawatan ini selanjutnya.
semoga Makalah Trend dan Issue Kesehatan Lansia ini dapat bermanfaat.
Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Purwodadi, 05 Desember 2020

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gerontik berasal dari kata : Gerontologi + Geriatrik. Gerontologi adalah
cabang ilmuyang membahas atau menangani proses penuaan dan masalah yang timbul
pada orang yangtelah berusia lanjut. Geriatric berkaitan dengan penyakit atau
kecacatan yang terjadi padaorang yang berusia lanjut. Jadi, Keperawatan Gerontik
merupakan Suatu pelayanan professional yang berdasarkan ilmu dan kiat atau teknik
keperawatan yang berbentuk bio, psiko, social, spiritual, dan cultural yang ditujukan
pada klien usia lanjut, baik sehat maupunsakit pada tingkat individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat. Ilmu yang mempelajaritentang perawatan pada lansia
(Mubarak dkk.., 2009)

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Trend dan Issue Keperawatan Lansia
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi lansia dan fenomena demografi
b. Untuk mengetahui permasalahan pada lansia
c. Untuk mengetahui fenomena bio-psico-sosio-spiritual dan penyakit lansia
d. Untuk mengetahui masalah kesehatan gerontik
e. Untuk mengetahui Upaya Pelayanan Kesehatan terhadap Lansia
f. Untuk mengetahui Hukum dan Perundang-undangan yang Terkait dengan
Lansia
g. Untuk mengetahui Peran Perawat
h. Untuk mengetahui Program Pemerintah dalam Meningkatkan Kesehatan
Lansia
i. Untuk mengetahui Pandangan Islam Tentang Lansia
j. Untuk mengetahui perawatan lansia pada kasus osteoarthritis
3. Manfaat
a. Untuk penulis
1) Sebagai acuhan dasar dalam pemberian asuhan keperawatan
keluarga pada Lansia
2) Sebagai penambah wawasan bagi penulis dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan penulis.
b. Untuk institusi pendidikan
Sebagai bahan pembelajaran dan penambah daftar pustaka demi
kemajuannya institusi.
BAB II
TEORI

A. Definisi Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam
Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan
pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi
sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat,
sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara lanjut usia yang masih
produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya
merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa. Menua atau menjadi
tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua
merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu,
tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah
yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua
(Nugroho, 2006).
 Fenomena Demografi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak positif
terhadap kesejahteraan yang terlihat dari angka harapan hidup (AHH) yaitu :

AHH di Indonesia tahun 1971 : 46,6 tahun

AHH di Indonesia tahun 2000 : 67,5 tahun

Sebagaimana dilaporkan oleh Expert Committae on Health of the Erderly: Di


Indonesia akan diperkirakan beranjak dari peringkat ke sepuluh pada tahun 1980 ke
peringkat enam pada tahun 2020, di atas Brazil yang menduduki peringkat ke sebelas
tahun 1980.
Pada tahun 1990 jumlah penduduk yang berusia 60 tahun kurang lebih 10 juta
jiwa/ 5.5% dari total populasi penduduk.Pada tahun 2020 diperkirakan meningkat
3x,menjadi kurang lebih 29 juta jiwa/11,4% dari total populasi penduduk (lembaga
Demografi FE-UI-1993).

Dari hasil tersebut diatas terdapat hasil yang mengejutkan yaitu:

1. 62,3% lansia di Indonesia masih berpenghasilan dari pekerjaannya sendiri.


2. 59,4% dari lansia masih berperan sebagai kepela keluarga.
3. 53% lansia masih menanggung beban kehidupan keluarga.
4. Hanya 27,5% lansia mendapat penghasilan dari anak atau menantu.

B. Permasalahan Pada Lansia


1. Permasalahan Umum
a. Makin besar jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan.
b. Makin melemahnya nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang
berusia lanjut kurang diperhatikan,dihargai dan dihormati.
c. Lahirnya kelompok masyarakat industry.
d. Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut
usia.
e. Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan
lansia.
2. Permasalahan Khusus
a. Berlangsungnya proses menua yang berakibat timbulnya masalah baik
fisik,mental maupun sosial.
b. Berkurangnya integrasi sosial usila.
c. Rendahnya produktifitas kerja lansia.
d. Banyaknya lansia yang miskin,terlantar dan cacat.
e. Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat
individualistik.
f. Adanya dampak negatif dari proses pembangunan yang dapat mengganggu
kesehatan fisik lansia.

C. Fenomena Bio-psico-sosio-spiritual dan Penyakit Lansia


1. Penurunan fisik
2. Perubahan mental
3. Perubahan-perubahan Psikososial

Karakteristik Penyakit pada Lansia:

1. Penyakit sering multiple,yaitu saling berhubungan satu sama lain.


2. Penyakit bersifat degeneratif yang sering menimbulkan kecacatan.
3. Gejala sering tidak jelas dan berkembang secara perlahan.
4. Sering bersama-sama problem psikologis dan sosial.
5. Lansia sangat peka terhadap penyakit infeksi akut.
6. Sering terjadi penyakit iatrogenik.

Hasil Penelitian Profil Penyakit Lansia di 4 Kota (Padang,Bandung,Denpasar dan


Makassar) sbb:

1. Fungsi tubuh yang dirasakan menurun : penglihatan (76,24%),daya ingat


(69,39%),seksual (58,04%),kelenturan(53,23%),gigi dan mulut (51,12%).
2. Masalah kesehatan yang sering muncul : sakit tulang atau sendi (69,39%),sakit
kepala (51,15%),daya ingat menurun (38,51%),selera makan menurun
(30,08%),mual/perut perih (26,66%),sulit tidur (24,88%),dan sesak nafas
(21,28%).
3. Penyakit kronis : rematik (33,14%),darah tinggi (20,66%),gastritis (11,34%),dan
jantung (6,45%).

D. Masalah  Kesehatan Gerontik


1. Masalah kehidupan seksual

Adanya anggapan bahwa semua ketertarikan seks pada lansia telah


hilang adalah mitos atau kesalahpahaman. (parke, 1990). Pada kenyataannya
hubungan seksual pada suami isri yang sudah menikah dapat berlanjut sampai
bertahun-tahun. Bahkan aktivitas ini dapat dilakukan pada saat klien sakit aau
mengalami ketidakmampuan dengan cara berimajinasi atau menyesuaikan diri
dengan pasangan masing-masing. Hal ini dapat menjadi tanda bahwa maturitas
dan kemesraan antara kedua pasangan sepenuhnya normal. Ketertarikan
terhadap hubungan intim dapat terulang antara pasangan dalam membentuk
ikatan fisik dan emosional secara mendalam selama masih mampu
melaksanakan.
2. Perubahan prilaku
Pada lansia sering dijumpai terjadinya perubahan perilaku diantaranya:
daya ingat menurun, pelupa, sering menarik diri, ada kecendrungan penurunan
merawat diri, timbulnya kecemasan karena dirinya sudah tidak menarik lagi,
lansia sering menyebabkan sensitivitas emosional seseorang yang akhinya
menjadi sumber banyak masalah.

3. Pembatasan fisik

Semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran


terutama dibidang kemampuan fisik yang dapat mengakibatkan penurunan pada
peranan – peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan pula timbulnya ganggun di
dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat meningkatkan
ketergantunan yang memerlukan bantuan orang lain.

4. Palliative care

Pemberian obat pada lansia bersifat palliative care adalah obat tersebut
ditunjukan untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh lansia. Fenomena
poli fermasi dapat menimbulkan masalah, yaitu adanya interaksi obat dan efek
samping obat. Sebagai contoh klien dengan gagal jantung dan edema mungkin
diobatai dengan dioksin dan diuretika. Diuretik berfungsi untu mengurangi
volume darah dan salah satu efek sampingnya yaitu keracunan digosin. Klien
yang sama mungkin mengalami depresi sehingga diobati dengan antidepresan.
Dan efek samping inilah yang menyebaban ketidaknyaman lansia.

5. Pengunaan obat
Medikasi pada lansia memerlukan perhatian yang khusus dan
merupakan persoalan yang sering kali muncul dimasyarakat atau rumah sakit.
Persoalan utama dan terapi obat pada lansia adalah terjadinya perubahan
fisiologi pada lansia akibat efek obat yang luas, termasuk efek samping obat
tersebut. (Watson, 1992). Dampak praktis dengan adanya perubahan usia ini
adalah bahwa obat dengan dosis yang lebih kecil cenderung diberikan untuk
lansia. Namun hal ini tetap bermasalah karena lansia sering kali menderita
bermacam-macam penyakit untuk diobati sehingga mereka membutuhkan
beberapa jenis obat. Persoalan yang dialami lansia dalam pengobatan adalah :
a. Bingung
b. Lemah ingatan
c. Penglihatan berkurang
d. Tidak bias memegang
e. Kurang memahami pentingnya program tersebut unuk dipatuhi
f. Kesehatan mental

E. Upaya Pelayanan Kesehatan terhadap Lansia


Upaya pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi azas, pendekatan, dan
jenis pelayanan kesehatan yang diterima.
1. Azas
Menurut WHO (1991) adalah to Add life to the Years that Have Been Added
to life, dengan prinsip kemerdekaan (independence), partisipasi (participation),
perawatan (care), pemenuhan diri (self fulfillment), dan kehormatan
(dignity).Azas yang dianut oleh Departemen Kesehatan RI adalah Add life to
the Years, Add Health to Life, and Add Years to Life, yaitu meningkatkan
mutu kehidupan lanjut usia, meningkatkan kesehatan, dan memperpanjang
usia.
2. Pendekatan
Menurut World Health Organization (1982), pendekatan yang digunakan
adalag sebagai berikut :
a. Menikmati hasil pembangunan (sharing the benefits of social
development)
b. Masing-masing lansia mempunyai keunikan (individuality of aging
persons)
c. Lansia diusahakan mandiri dalam berbagai hal (nondependence)
d. Lansia turut memilih kebijakan (choice)
e. Memberikan perawatan di rumah (home care)
f. Pelayanan harus dicapai dengan mudah (accessibility)
g. Mendorong ikatan akrab antar kelompok/ antar generasi (engaging the
aging)
h. Transportasi dan utilitas bangunan yang sesuai dengan lansia
(mobility)
i. Para lansia dapat terus berguna dalam menghasilkan karya
(productivity)
j. Lansia beserta keluarga aktif memelihara kesehatan lansia (self help
care and family care)

3. Jenis
Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lim upaya kesehatan,
yaituPromotif, prevention, diagnosa dini dan pengobatan, pembatasan
kecacatan, serta pemulihan.

a. Promotif
Upaya promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk
meningkatkan dukungan klien, tenaga profesional dan masyarakat
terhadap praktek kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial.
Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia sebagai berikut :
1) Mengurangi cedera
2) Meningkatkan keamanan di tempat kerja
3) Meningkatkan perlindungan  dari kualitas udara yang buruk
4) Meningkatkan keamanan, penanganan makanan dan obat-
obatan
5) Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mulut
b. Preventif
1) Mencakup pencegahan primer, sekunder dan tersier. Contoh
pencegahan primer : program imunisasi, konseling, dukungan
nutrisi, exercise, keamanan di dalam dan sekitar rumah,
menejemen stres, menggunakan medikasi yang tepat.
2) Melakukakn pencegahan sekuder meliputi pemeriksaan
terhadap penderita tanpa gejala. Jenis pelayanan pencegahan
sekunder: kontrol hipertensi, deteksi dan pengobatan kanker,
skrining : pemeriksaan rektal, mamogram, papsmear, gigi,
mulut.
3) Melakukan pencegahan tersier dilakukan sesudah gejala
penyakit dan cacat. Jenis pelayanan mencegah berkembangnya
gejala dengan memfasilisasi rehabilitasi, medukung usaha
untuk mempertahankan kemampuan anggota badan yang masih
berfungsi.
c. Rehabilitatif
4. Prinsip Pelayanan Kesehatan Lansia
a. Pertahankan lingkungan aman
b. Pertahankan kenyamanan, istirahat, aktifitas dan mobilitas
c. Pertahankan kecukupan gizi
d. Pertahankan fungsi pernafasan
e. Pertahankan aliran darah
f. Pertahankan kulit
g. Pertahankan fungsi pencernaan
h. Pertahankan fungsi saluran perkemihaan
i. Meningkatkan fungsi psikososial
j. Pertahankan komunikasi
k. Mendorong pelaksanaan tugas

F. Hukum dan Perundang-undangan yang Terkait dengan Lansia


1. UU No. 4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan bagi Orang Jompo
2. UU No.14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja
3. UU No.6 tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
4. UU No.3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
5. UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
6. UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
7. UU No.4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman
8. UU No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera
9. UU No.11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun
10. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan
11. PP No.21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga
Sejahtera
12. PP No.27 tahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan
13. UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia (tambahan lembaran
negara Nomor 3796) sebagai pengganti UU No.4 tahun 1965 tentang
Pemberian Bantuan bagi Orang Jompo.

UU No. 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :


1. Hak, kewajiban, tugas, serta tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan
kelembagaan.
2. Upaya pemberdayaan
3. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia potensial dan tidak potensial
4. Pelayanan terhadap lansia
5. Perlindungan sosial
6. Bantuan sosial
7. Koordinasi
8. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi
9. Ketentuan peralihan

Beberapa undang-undang yang perlu disusun adalah :

1. UU tentang Pelayanan Lansia Berkelanjutan (Continum of Care)


2. UU tentang Tunjangan Perawatan Lansia
3. UU tentang Penghuni Panti (Charter of Resident’s Right)
4. UU tentang Pelayanan Lansia di Masyarakat (Community Option Program)

G. Peran Perawat
Berkaitan dengan kode etik yang harus diperhatikan oleh perawat adalah :
1. Perawat harus memberikan rasa hormat kepada klien tanpa memperhatikan
suku, ras, gol, pangkat, jabatan, status social, maslah kesehatan.
2. Menjaga rahasia klien
3. Melindungi klien dari campur tangan pihak yang tidak kompeten, tidak etis,
praktek illegal.
4. Perawat berhak menerima jasa dari hasil konsultasi danpekerjaannya
5. Perawat menjaga kompetesi keperawatan
6. Perawat memberikan pendapat dan menggunakannya. Kompetei individu serta
kualifikasi daalm memberikan konsultasi
7. Berpartisipasi aktif dalam kelanjutanyaperkembangannya body of knowledge
8. Berpartipitasi aktif dalam meningkatan standar professional
9. Berpatisipasi dalam usaha mencegah masyarakat, dari informasi yang salah
dan misinterpretasi dan menjaga integritas perawat
10. Perawat melakukan kolaborasi dengan profesi kesehatannya yang lain atau
ahli dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat termasuk pada lansia.
H. Program Pemerintah dalam Meningkatkan Kesehatan Lansia
Contoh upaya pemerintah di negara maju dalam meningkatkan kesehatan
masyarakatnya, diantaranya adanya medicare dan medicaid. Medicare adalah program
asuransi social federal yang dirancang untu menyediakan perawatan kesehatan bagi
lansia yang memberikan jaminan keamanan social. Medicare dibagi 2 : bagian A
asuransi rumah sakit dan B asuransi medis. Semua pasien berhak atas bagian A, yang
memberikan santunan terbatas untuk perawatan rumah sakit dan perawatan di rumah
pasca rumah sakit dan kunjungan asuhan kesehatan yang tidak terbatas di rumah.
Bagian B merupakan program sukarela dengan penambhan sedikit premi perbulan,
bagian B menyantuni secara terbatas layanan rawat jalan medis dan kunjungan dokter.
Layanan mayor yang tidak di santuni oleh ke dua bagian tersebut termasuk asuhan
keperwatan tidak terampil, asuhan keperawatan rumah yang berkelanjutan obat-obat
yang diresepkan, kaca mata dan perawatan gigi. Medical membayar sekitar biyaya
kesehatan lansia (U.S Senate Committee on Aging, 1991).
Medicaid adalah program kesehatan yang dibiayai oleh dana Negara dan
bantuan pemerintah bersangkutan. Program ini beredar antara satu Negara dengan
lainya dan hanya diperuntukan bagi orang tidak mampu. Medicaid merupakan sumber
utama dana masyarakat yang memberikan asuhan keperawatan di rumah bagi lansia
yang tidak mampu. Program ini menjamin semua layanan medis dasar dan layanan
medis lain seperti obta-obatan, kaca mata dan perawatan gigi.
Adapun program kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia  yang
diperuntukkan khusunya bagi lansia adalah JPKM yang merupakan salah satu
program pokok perawatan kesehatan masyarakat yang ada di puskesmas sasarannya
adalah yang didalamnya ada keluarga  lansia. Perkembangan jumlah keluarga yang
terus menerus meningkat dan banyaknya keluarga yang berisiko tentunya menurut
perawat memberikan pelayanan pada keluarga secara professional. Tuntutan ini
tentunya membangun “ Indonesia Sehat 2010 “ yang salah satu strateginya adalah
Jaminan Pemeliharan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Dengan strategi ini diharapkan
lansia mendapatkan yang baik dan perhatian yang layak.

I. Pandangan Islam Tentang Lansia


Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra : 23-24
Artinya :
Dan tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain dia dan
hendaklah berbuat baik ibu bapakmu. Jika salah seorang diantara keduanya atau
kedua-duanya sampai usia lanjut dalam pemeliharaan, maka jangan sekali-sekali
engkau mengatakan kepada ke duanya perkataan “Ah” dan janganlah engkau
membentak mereka dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah “ wahai tuhanku sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku diwaktu kecil”.
BAB III

KASUS

Nyeri sendi merupakan salah satu masalah yang sering di jumpai pada penderita
Osteoartritis yang disebabkan oleh terkikisnya kartilago, hal ini menyebabkan tulang-tulang
dibawah kartilago bergesekan satu sama lain, dari data Panti Werdha Hargodedali didapatkan
14% lansia yang mengalami osteoartritis. Tujuan asuhan keperawatan ini adalah memberikan
asuhan kepada klien yang mengalami nyeri dengan penyakit osteoartritis di Panti Werdha
Hargodedali Surabaya
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 hasil dari wawancara pada usia ≥
15 tahun rata-rata prevalensi penyakit sendi/rematik sebesar 24,7%. Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) merupakan provinsi dengan prevalensi OA tertinggi yaitu sekitar 33,1% dan
provinsi dangan prevalensi terendah adalah Riau yaitu sekitar 9% sedangkan di Jawa Timur
angka 2 prevalensinya cukup tinggi yaitu sekitar 27% (Riskesdas, 2013). 56, 7% pasien di
poliklinik Reumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta didiagnosis menderita
osteoartritis (Soenarto, 2010). Osteoarthritis paling banyak terjadi pada individu dengan usia
45 tahun ke atas (Anonim, 2011).
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Osteoartritis

a. Definisi

Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi yang paling sering

dan merupakan salah satu penyebab nyeri, disabilitas, dan kerugian

ekonomi dalam populasi (Donald,et al., 2010). Kata “osteoartritis”

sendiri berasal dari Yunani dimana “osteo” yang berarti tulang,

“arthro” yang berarti sendi, dan “itis” yang berarti inflamasi,

walaupun sebenarnya inflamasi pada osteoartritis tidak begitu

mencolok seperti yang ada pada remathoid dan autoimun arthritis

(Arya,et al., 2013). OA juga dikenal sebagai artritis degeneratif atau

penyakit sendi degeneratif atau Osteoartrosis, yang merupakan suatu

kelompok abnormalitas mekanik yang melibatkan degradasi/

kerusakan dari sendi, termasuk kartilago artikular dan tulang

subkondral ( Di Cesare,et al., 2009).

b. Klasifikasi

Berdasarkan patogenesisnya, osteoartritis dibedakan menjadi

dua yaitu osteoartritis primer dan osteoartritis sekunder.


1) Osteoartritis primer disebut juga dengan osteoartritis idiopatik

dimana kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya

dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada

sendi.

2) Osteoartritis sekunder adalah osteoartritis yang didasari oleh

kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan,

herediter, jejas makro dan mikro serta imobilisasi yang terlalu

lama (Soeroso S et al., 2006).

c. Etiologi

Penyebab dari osteoartritis hingga saat ini masih belum

terungkap, namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya

osteoartritis antara lain adalah :

1. Umur.

Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor

ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis

semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Osteoartritis

hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40

tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.

2. Jenis Kelamin.

Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki

lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan

leher. Secara keeluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis


kurang lebih sama pada laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun

frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita dari pada pria hal

ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis

osteoartritis.

3. Genetic

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal,

pada ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi

inter falang distal terdapat dua kali lebih sering osteoartritis pada

sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung

mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu dananak perempuan

dari wanita tanpa osteoarthritis.

4. Suku.

Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya

terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya

osteoartritis paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan

usia dari pada kaukasia. Osteoartritis lebih sering dijumpai pada

orang – orang Amerika asli dari pada orang kulit putih. Hal ini

mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun

perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.

5. Kegemukan.

Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya

resiko untuk timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pada

pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoartritis


pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan osteoartritis

sendi lain (tangan atau sternoklavikula).

d. Prevalensi

Penelitian tentang prevalensi osteoarthritislutut dan panggul

dan ketepatan penggantian sendi terhadap 7.577 responden di

Amerika, dikatakan bahwa prevalensi osteoarthritispanggul 7,4%,

kejadiannya pada wanita (8%) lebih tinggi dibanding laki-laki

(6,7%). Sedangkan prevalensi osteoarthritis lutut 12,2%, perempuan

(14,9%) lebih tinggi dari pada laki-laki (8,7%) diikuti peningkatan

usia. Jadi dapat disimpulkan bahwa prevalensi OA lutut lebih tinggi

bila dibandingkan dengan OA panggul (Sharon et al., 2011).

Di Indonesia prevalensi osteoarthritis cukup tinggi yaitu

mencapai 15,5%pada pria dan 12,7% pada wanita (Sudoyo,et al.,2014).

Adapun prevalensi OA di Indonesia mencapai 5% pada usia<40 tahun,

30% pada usia 40 – 60 tahun, dan 60% pada usia >61

tahun (Marlina, 2015). Menurut World Heath Organization ( WHO)

total prevalensi OA di Indonesia sekitar 8,1%.

e. Patogenesis

Perkembangan osteoarthritis tergantung dari interaksi antara

beberapa faktor dan proses ini dapat dianggap sebagai produk dari

interaksi faktor- faktor sistemik dan lokal (Zhang,et al., 2010).


Patofisiologi osteoarthritis meliputi kombinasi dari proses mekanik,

seluler, dan biomekanik dimana interaksi dari proses tersebut

menyebabkan perubahan komposisi dan sifat mekanik dari tulang

rawan sendi (Arya,et al., 2013).

Tulang rawan terdiri dari air, kolagen, dan proteoglikan.

Semakin bertambahnya usia seseorang, kandungan air di dalam

tulang rawannya akan semakin berkurang sebagai akibat dari

berkurangnya kandungan proteoglikan, sehingga menyebabkan

tulang rawan menjadi kurang lentur. Tanpa adanya efek proteksi

dari proteoglikan, serabut kolagen tulang rawan dapat menjadi

rentan terhadap degradasi sehingga dapat memperburuk degenerasi.

Peradangan di sekitar kapsul sendi juga dapat terjadi melalui proses

yang lebih ringan dibandingkan dengan peradangan yang terjadi

pada remathoid arthritis.

Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan molekul reaktif

kimia yang mengandung oksigen. Dalam konteks biologi, ROS

terbentuk sebagai produk sampingan alami dari metabolisme normal

oksigen dan memiliki peran penting dalam pemberian sinyal pada

sel dan homeostasis. Secara tidak langsung ROS telah terlibat dalam

mempromosikan apoptosis dari kondrosit, proses katabolik dan

kerusakan matrix. Jadi, dua peristiwa patogen penting yang

merupakan karakteristik OA kondrosit, yaitu penuaan dini dan

apoptosis merupakan hasil dari NO dan cedera oksidatif lainnya

(Afonso, 2007).
Peristiwa ini telah memperkuat konsep bahwa OA

merupakan penyakit penuaan dini pada sendi (Krasnokutsy,et al.,

2008).

Telah diketahui secara umum, bahwa OA tidak hanya

merupakan penyakit tulang rawan, tetapi merupakan kerusakan

seluruh sendi yang mengarah untuk mempertahankan proses

penyakitnya. Sinovitis (peradangan sinovium) terjadi pada awal OA

bahkan bisa juga pada kondisi sub-klinik. Studi atroskopik

menunjukkan bahwa proliferasi yang terlokalisir dan perubahan

inflamasi dari sinovium muncul hingga 50% dari pasien OA yang

kebanyakan dari mereka tidak tampak mengalami inflamasi aktif

(Krasnokutsy, et al.,2008).

f. Tanda dan Gejala

1. Riwayat Penyakit

a. Nyeri

- Nyeri pada awal gerakan

- Nyeri selama bergerak

- Nyeri yang menetap atau nyeri nocturnal

- Membutuhkan analgesic

b. Hilangnya fungsi

- Kekakuan (stiffness)

- Keterbatasan gerakan

- Penurunan aktivitas sehari- hari

- Kebutuhan akan alat bantu ortopedi


c. Gejala lain

- Krepitasi

- Peningkatan sensitivitas terhadap dingin dan atau lembab

- Progresi bertatahap (Joern, 2010)

2. Pemeriksaan Fisik

a. Hambatan gerak

Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA yang

masih dini (secara radiologis).Biasanya bertambah berat

dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa

digoyangkan dan menjadi kontraktur.Hambatan gerak dapat

konsentris (seluruh gerakan) maupun eksentris (salah satu arah

gerakan saja) (Sudoyo, 2014).

b. Krepitasi

Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut.

Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu

yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang

memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi

dapat terdengar sampai jara tertentu.Gejala ini mungkin timbul

karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi

digerakkan secara aktif maupun secara pasif (Sudoyo, 2014).

c. Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris

Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi


pada sendi yang biasanya tak banyak (<100 cc). Sebab lain

ialah karena adanya osteofit, yang dapat mengubah permukaan

sendi (Sudoyo, 2014).

d. Tanda- tanda peradangan

Tanda- tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan

gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan) mungkin

dijumpai pada OA karena adanya sinovitis.Biasanya tanda- tanda

ini tak menonjol dan timbul belakangan, seringkali dijumpai di

lutut, pergelangan kaki dan sendi- sendi kecil tangan dan kaki

(Sudoyo, 2014).

e. Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen. Perubahan

ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan

permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan

perubahan pada tulang dan permukaan sendi (Sudoyo, 2014).

f. Perubahan gaya berjalan

Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi

tumpuan berat badan.Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha,

dan OA tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi- sendi

lain, seperti tangan bahu, siku, dan pergelangan tangan, osteoarthritis

juga menimbulkan gangguan fungsi (Sudoyo, 2014).

g. Sendi- Sendi yang Terkena Sendi-

sendi yang sering terkena :


1. Pinggul

Nyeri dirasakan di daerah pangkal paha dan kadang- kadang

di bagian dalam lutut atau paha.

2. Lutut

Saat digerakkan terjadi sensasi 'gesekan' atau sering

disebut dengan krepitasi.

3. Jari

Pertumbuhan tulang atau spurs di tepi sendi dapat

menyebabkan jari menjadi bengkak, lembut, dan merah.

4. Kaki

Rasa sakit dan nyeri dirasakan di sendi besar di dasar

jempol kaki.Mungkin dikarenakan adanya pembengkakan

di pergelangan kaki atau jari kaki (Sudoyo, 2014).

h. Derajat OA

1. Kellgren- Lawrence

Tingkat keparahan OA dinilai berdasarkan skala penilaian

Kellgren- Lawrence (K-L system).K-L system merupakan alat

penilaian yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan

Osteoarthritis lutut pada foto polos X-Ray. Berdasarkan skala

penilaian Kellgren-Lawrence, Osteoarthritis dibagi menjadi

lima tahap :
Gambar 1: Gambar Radiologis Grade Osteoartritis berdasarkan
grade Kellgren-Lawrence
a) Grade 0

Pada tahap ini sendi masih dikategorikan 'normal'.Sendi tidak

menunjukkan tanda- tanda OA, dan fungsi sendi masih normal,

tanpa gangguan maupun nyeri.

b) Grade 1

Merupakan tahap awal OA.Pada tahap 1 ini mulai terjadi

pembentukan osteophyte (pertumbuhan tulang yang terjadi pada

sendi, disebut juga dengan 'spurs').

c) Grade 2

Tahap ini disebut sebagai tahap ringan dari OA.Pada tahap ini

terjadi penyempitan ruang sendi yang sedang.Terbentuk

subkondral sklerosis yang moderate.

d) Grade 3

Pada tahap ini >50% terjadi penyempitan sendi, kondilus

femoralis bulat, subkondral sklerosis yang luas, pembentukan

osteophyte yang luas (Joern et al., 2010).


e) Grade 4

Pada tahap ini, derajat OA termasuk dalam kategori berat. Pasien

yang mengalami OA pada derajat 4 ini akan merasakan nyeri dan

ketidaknyamanan saat berjalan (Emrani et al., 2007). Pada tahap

ini terjadi kerusakan sendi, hilangnya ruang sendi, terdapat kista

subkondral pada bagian atas tibia dan di kondilus femoralis (Joern,

et al., 2010).

2. WOMAC (Western Ontario and McMaster Universities Osteoarthritis

Index)

Selain menggunakan gambaran Radiologi, tingkat keparahan OA

dapat dinilai menggunakan instrumen lain seperti Visual Analog Scale

(VAS), Lequesne’s algofunctional index, Knee Osteoarthritis Outcome

Score (KOOS), dan WOMAC (Maya, 2014). Walaupun jarang digunakan

pada praktik sehari- hari di klinik, instrument/ index WOMAC memiliki

nilai yang cukup valid untuk menilai derajat keparahan OA (Joern,et al.,

2010). Validitas WOMAC berkisar antara 0,78 – 0,94 , sedangkan

reliabilitasnya antara 0,80 – 0,98 untuk OA lutut. Instrumen ini memiliki

tiga subskala yaitu nyeri, kekakuan, dan keterbatasan fungsi

fisik.

Pada subskala nyeri terdapat lima pertanyaan mengenai

intensitas nyeri yang dirasakan pada sendi- sendi pada saat berjalan,

naik tangga, istirahat, dan pada malam hari. Sedangkan subskala

kekakuan terdiri dari dua pertanyaan mengenai intensitas


kekakuan sendi yang dirasakan pada pagi dan sore/malam

hari.Dalam subskala keterbatasan fungsi fisik terdapat 17

pertanyaan. Subskala ini menilai disabilitas penderita OA

lutut yang terjadi saat naik-turun tangga, berdiri dari duduk,

berdiri, membungkuk ke lantai, berjalan di permukaan datar,

masuk/keluar dari mobil, berbelanja, memakai dan melepas

kaos kaki, berbaring dan bangun dari tempat tidur, mandi,

duduk, ke toilet, serta pada saat melakukan pekerjaan rumah

tangga baik ringan maupun berat (Yanuarti, 2014).

Dalam kuesioner tersebut, jawaban dari masing-

masing pertanyaan diberi skor 0 sampai 4. Selanjutnya skor

dari 24 pertanyaan dijumlah, dibagi 96 dan dikalikan 100%

untuk mengetahui skor totalnya. Semakin besar skor

menunjukkan semakin berat nyeri dan disabilitas pasien OA

lutut tersebut, dan sebaliknya (Yanuarti,2014).

B. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

1. Medikamentosa

Sampai sekarang belum ada obat yang spesifik yang khas

untuk osteoartritis, oleh karena patogenesisnya yang belum

jelas, obat yang diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa


sakit, meningkatkan mobilitas dan mengurangi ketidak

mampuan. Obat-obat anti inflamasinon steroid (OAINS)

bekerja sebagai analgetik dan sekaligus mengurangi

sinovitis, meskipun tak dapat memperbaiki atau

menghentikan proses patologis osteoartritis.

a. Analgesic yang dapat dipakai adalah asetaminofen dosis

2,6-4,9 g/hari atau profoksifen HCL. Asam salisilat juga

cukup efektif namun perhatikan efek samping pada

saluran cerna dan ginjal.

b. Jika tidak berpengaruh, atau tidak dapat peradangan maka

OAINS

seperti fenofrofin, piroksikam,ibuprofen dapat digunakan.

Dosis untuk osteoarthritis biasanya ½-1/3 dosis penuh untuk

arthritis rematoid. Karena pemakaian biasanya untuk jangka

panjang, efek samping utama adalahganggauan mukosa

lambung dan gangguan faal ginjal.

c. Injeksi cortisone.

Dokter akan menyuntikkan cortocosteroid pada engsel

yang mempu mengurangi nyeri/ngilu.

d. Suplementasi-visco.
Tindakan ini berupa injeksi turunan asam hyluronik yang

akan mengurangi nyeri pada pangkal tulang. Tindakan ini

hanya dilakukan jika osteoarhtritis pada lutut.

2. Perlindungan sendi

Osteoartritis mungkin timbul atau diperkuat karena

mekanisme tubuh yang kurang baik. Perlu dihindari aktivitas

yang berlebihan pada sendi yang sakit. Pemakaian tongkat,

alat-alat listrik yang dapat memperingan kerja sendi juga

perlu diperhatikan. Beban pada lutut berlebihan karena kakai

yang tertekuk (pronatio).

3. Diet

Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis

yang gemuk harus menjadi program utama pengobatan

osteoartritis. Penurunan

berat badan seringkali dapat mengurangi timbulnya

keluhan dan peradangan.

4. Dukungan psikososial

Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh

karena sifatnya yang menahun dan ketidakmampuannya

yang ditimbulkannya. Disatu pihak pasien ingin

menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain dia

ingin orang lain turut memikirkan penyakitnya. Pasien


osteoartritis sering kali keberatan untuk memakai alat-alat

pembantu karena faktor-faktor psikologis.

5. Persoalan Seksual

Gangguan seksual dapat dijumpai pada pasien osteoartritis

terutama pada tulang belakang, paha dan lutut. Sering kali

diskusi karena ini harus dimulai dari dokter karena

biasanya pasien enggan mengutarakannya.

6. Fisioterapi

Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan

osteoartritis, yang meliputi pemakaian panas dan dingin dan

program latihan yang tepat. Pemakaian panas yang sedang

diberikan sebelum latihan untk mengurangi rasa nyeri dan

kekakuan. Pada sendi yang masih aktif sebaiknya diberi

dingin dan obat-obat gosok jangan dipakai sebelum

pamanasan. Berbagai sumber panas dapat dipakai seperti

Hidrokolator, bantalan elektrik, ultrasonic, inframerah,

mandi paraffin dan mandi dari pancuran panas. Program

latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi dan

memperkuat otot yang biasanya

atropik pada sekitar sendi osteoartritis. Latihan isometrik

lebih baik dari pada isotonik karena mengurangi tegangan

pada sendi. Atropi rawan sendi dan tulang yang timbul


pada tungkai yang lumpuh timbul karena berkurangnya

beban ke sendi oleh karena kontraksi otot. Oleh karena

otot-otot periartikular memegang peran penting terhadap

perlindungan rawan senadi dari beban, maka penguatan

otot-otot tersebut adalah penting.

7. Operasi

Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis

dengan kerusakan sendi yang nyata dengan nyari yang

menetap dan kelemahan fungsi. Tindakan yang dilakukan

adalah osteotomy untuk mengoreksi ketidaklurusan atau

ketidaksesuaian, debridement sendi untuk menghilangkan

fragmen tulang rawan sendi, pebersihan osteofit.

a. Penggantian engsel (artroplasti).

Engsel yang rusak akan diangkat dan diganti dengan

alat yang terbuat dari plastik atau metal yang disebut

prostesis.

b. Pembersihan sambungan (debridemen).

Dokter bedah tulang akan mengangkat serpihan tulang

rawan yang rusak dan mengganggu pergerakan yang

menyebabkan nyeri saat tulang bergerak.


c. Penataan tulang. Opsi ini diambil untuk osteoatritis

pada anak dan remaja. Penataan dilakukan agar

sambungan/engsel tidak menerima beban saat bergerak

8. Terapi konservatif

mencakup penggunaan kompres hangat, penurunan

berat badan, upaya untuk menhistirahatkan sendi serta

menghindari penggunaan sendi yang berlebihan

pemakaian alat-alat ortotail. Untuk menyangga sendi

yang mengalami inflamasi ( bidai penopang) dan

latihan isometric serta postural.Terapi okupasioanl dan

fisioterapi dapat membantu pasien untuk mengadopsi

strategi penangan mandiri.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesejahteraan penduduk usia lanjut karena kondisi fisik dan/atau mentalnya

tidak memungkinkan lagi untuk berperan dalam pembangunan, maka lansia perlu

mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat. Berbagai upaya telah

dilaksanakan oleh instansi pemerintah diantaranya pelayanan kesehatan, sosial,

ketenagakerjaan dan lainnya telah dikerjakan pada berbagai tingkatan, yaitu tingkat

individu lansia, kelompok lansia, keluarga, Panti Sosial Wreda, Sarana pelayanan

kesehatan tingkat dasar (primer), tingkat pertama (sekunder), tingkat lanjutan, (tersier)

untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada lansia.

B. Saran

1. Semoga makalah ini dapat bermamfaat bagi yang pembaca, terutama

mahasiswa keperawatan

2. Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa

keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Setiabudhi, Tony. (1999). Panduan Gerontologi Tinjauan Dari Berbagai Aspek


Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Nugroho, Wahjudi SKM. (1995). Perawatan Lanjut Usia. Jakarta : EGC
Saharjuniati (2001) keperawatan gerontik, coordinator keperawatan komunitas, fakultas ilmu
keperawatan UI, Jakarta
Maryam, R siti. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatanya. Jakatra: Salemba
medika
Situart dan Sundart. (2001) Keperawatan Medikal Bedah 1. Jakarta: EGC
Qie30, (2009). Trend dan Isu Pelayanan Kesehatan Lansia. diakses 04 Mei 2011
Kurnia, Syamsudin, 2009. “Osteoarthritis Diagnosis, Penananganan dan Perawatan di
Rumah”. Yogyakarta : Fitramaya.
Moeleak, A. Faried ( 1990 ) Menuju Indonesia Sehat 2010, Depkes RI : Jakarta
Edisi 7. Jakarta
Watson Roger ( 2002 ), Anatomi dan Fisiologi Untuk Perawat. Edisi 10, Jakarta ;
EGC Yatim, Faisal. 2006. “Penyakit Tulang dan Persendian”. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Anda mungkin juga menyukai