Tugas 02 - Etika Perencanaan - Muumin Muuzi (4620102003)
Tugas 02 - Etika Perencanaan - Muumin Muuzi (4620102003)
I. LATAR BELAKANG
Luasnya ruang lingkup dan banyaknya aspek-aspek yang perlu ditinjau serta
diperhatikan dalam dalam kegiatan penataan ruang menuntut setiap perencana harus
memiliki skill dan kemampuan yang dalam terkait dengan bidang keilmuan dan tanggung
jawabnya sebagai seorang perencana. Beberapa aspek pengetahuan dasar yang dapat
dijadikan sebagai pilar pengetahuan untuk menjadi seorang perencanaan wilayah dan kota
adalah meliputi pengetahuan tentang Teori Perencanaan, Lingkungan dan SDA, Sosial dan
Kependudukan, Ekonomi untuk Perencanaan, Sistem Keruangan, Kelembagaan dan Metode
Perencanaan (PWK_SAPPK ITB; ASPI dalam Manaf, 2020). Aspek-aspek ilmu pengetahuan
yang telah disebutkan tersebut merupakan bidang ilmu yang sangat penting dan perlu
dipahami dengan mendalam oleh setiap perencana dalam melaksanakan kegiatan penataan
ruang bilamana ingin bergelut dalam dalam bidang keprofesian/praktisi perencanaan
wilayah dan kota.
Dalam implementasinya, permasalahan-permasalahan yang menyebabkan banyaknya
perencanaan yang gagal ternyata tidak sepenuhnya disebabkan oleh pihak pelaksana
implemntasi pembangunan (pemerintah, masyarakat, dan swasta), namun sering pula
gagalnya perencanaan tersebut disebabkan oleh ulah perencana itu sendiri, dan hal tersebut
tiada lain disebabkan oleh lemahnya etik planning yang dimilikinya. Lemahnya etik
planning yang dimiliki oleh seorang perencana akan berimplikasi pada rendahnya kualitas
produk perencanaan yang dihasilkannya, sehingga tidak heran bilamana banyak produk
perencanaan yang dihasilkan oleh perencana tidak dapat digunakan untuk kegiatan
pembanggunan, bahkan kerap kali menyebabkan permasalahan pada saat pelaksanaan dan
sesudah pelaksanaan pembangunan. Seperti contohnya adalah produk rencana tata ruang
wilayah (RTRW) Kota Palu tahun 2010-2030 yang dalam penyusunanya tidak
memperhatikan aspek bencana alam geologi secarah menyeluruh sehingga ruang-ruang
yang sebenarnya berfungsi lindung (kawasan rawan bencana alam), justru termanfaatkan
untuk kegiatan budidaya, dan alhasil pada saat terjadi likuifaksi yang dipicu oleh bencana
alam gempa pada tahun 2018 lalu, kawasan-kawasan tersebut menerima dampak yang
sangat besar, baik dari aspek banyaknya korban jiwa (meninggal, luka-luka dan hilang),
kerusakan dan kehilangan harta benda masyarakat, serta kerusakan infrastruktur dan
suprastruktur wilayah.
Berdasarkan sumber data yang diperoleh dari (Compas.com, 2018), didapati bahwa
RTRW Kota Palu tahun 2010-2030 telah menyebutkan adanya kawasan rawan bencana,
namun belum dicantumkan secara detail dan hanya dijelaskan secara tersirat tampa
dicerminkan dalam peta rawan bencana. Selain itu, kawasan rawan bencana yang
disebutkan dalam rencana tata ruang Kota Palu tersebut hanya terdiri atas kawasan rawan
bencana tanah longsor, gelombang pasang tsunami, dan kawasan rawan banjir, sementara
kawasan rawan bencana gempa bumi dan kawasan berpotensi terjadi likuifaksi tidak
dicantumkan. Dari uraian tersebut, peneliti berasumsi bahwa salah satu penyebab gagalnya
tata ruang Kota Palu adalah merupakan kesalahan dari pihak perencana yang dalam proses
penyusunannya tidak memperhatikan potensi geografis kebencanaan Kota Palu secara
menyeluruh dan juga tidak menjelaskan secara detail dan spasial mengenai sebaran-
sebaran kawasan rawan bencana di Kota Palu.
Mengingat sangat pentingnya etik planning bagi setiap perencana khususnya dalam
penyusun produk rencana tata ruang, maka dalam penulisan esai ini penulis tertarik
membahas tentang upaya peningkatan etika perencanaan dalam mendiagnoasa diri sebagai
prencana wilayah dan kota dengan mempendalaman pemahaman terhadap substansi dan
proses serta prosedur perencanaan dalam penyusunan rencana tata ruang. Penulisan esai
UPAYA PENINGKATAN ETIKA PERENCANAAN DALAM MENDIAGNOSA DIRI SEBAGAI PRAKTISI PERENCANA WILAYAH DAN KOTA
Studi Kasus: Potensi Bencana Gempa Bumi dan Likuifaksi Yang Terabaikan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
Tugas Kedua (II) Nama : Muumin Muuzi
Mata Kuliah Etika Keruangan NIM : 46 201 02 003
III. TUJUAN
Penulisan esai ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pentingnya
pemahaman terhadap substansi perencanaan dan proses serta prosedur perencanaan
terhadap seorang perencana dalam menyusun suatu produk rencana tata ruang dan juga
sebagai suatu bentuk upaya untuk meningkatkan etika perencanaan penulis dalam
mendiagnosa diri sebagai praktisi perencanaan wilayah dan kota sesuai dengan kode etik
perencanaan, khususnya dalam hal memahami substansi perencanaan dan proses serta
prosedur perencanaan dalam kegiatan penyusunan rencana tata ruang.
UPAYA PENINGKATAN ETIKA PERENCANAAN DALAM MENDIAGNOSA DIRI SEBAGAI PRAKTISI PERENCANA WILAYAH DAN KOTA
Studi Kasus: Potensi Bencana Gempa Bumi dan Likuifaksi Yang Terabaikan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
Tugas Kedua (II) Nama : Muumin Muuzi
Mata Kuliah Etika Keruangan NIM : 46 201 02 003
Eurasia, dan Filipina. Selanjutnya, berdasarkan data yang diperoleh dari buku Dibalik
Pesona Kota Palu yang disusun oleh Andiani dkk., (2018), didapati bahwa wilayah Sulawesi
Tengah terletak dalam lingkup benturan tiga lempeng yang telah disebutkan di atas, dan
Patahan Palu Koro sebagai patahan utama dan paling aktif di daerah ini dengan panjang
kurang lebih 240 km dari utara (Kota Palu) ke selatan (Malili) hingga Teluk Bone
merupakan patahan yang terbentuk akibat dari benturan tiga lempeng tektonik tersebut.
Dari kondisi geografis wilayah yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar dunia dan
berada pada jalur patahan Palu Koro yang sangat aktif tersebut, tidak heran bilamana
daerah Sulawesi Tengah khususnya daerah Kota Palu dan sekitarnya sering dilanda dan
memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana alam gempa bumi tektonik
dengan kekuatan magnitude yang sangat kuat yang mampu menyebabkan terjadinya
tsunami. Selanjutnya, dari peta kajian risiko bencana (KRB) gempabumi Provinsi Sulaweesi
Tengah yang dibbuat oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia. Pada
tahun 2012, didapati bahwa wilayah Kota Palu merupakan daerah yang terdapat pada
daerah Zona Merah (Kawasan Rawan Bencana Gempabumi Tinggi) dengan potensi
terjadinya rekahan tanah, pelulukan, gerakan tanah pada daerah terjal dan pergeseran
tanah. Untuk lebih jelasnya terkait dengan potensi bencana gempabumi yang dimiliki oleh
Kota Palu dan wilayah sekitarnya di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan data dari Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia tersebut adalah sebagaimana
ditunjukan pada peta berikut.
(Sumber: KRB Gempa Sulawesi Tengah Oleh Galeri Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi , t.t., 2012.)
UPAYA PENINGKATAN ETIKA PERENCANAAN DALAM MENDIAGNOSA DIRI SEBAGAI PRAKTISI PERENCANA WILAYAH DAN KOTA
Studi Kasus: Potensi Bencana Gempa Bumi dan Likuifaksi Yang Terabaikan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
Tugas Kedua (II) Nama : Muumin Muuzi
Rekaman
Mata Kuliah gempabumi merusak di
Etika Keruangan NIM : 46 201 02 003
Sulawesi sejak tahun 1900
(Sumber: Andiani dkk., 2018)
lurus Sesar Palu-Koro sekitar wilayah Kulawi hingga Lindu. Dua tahun berikutnya, terjadi
gempabumi dengan kekuatan lebih besar yang menghancurkan seluruh wilayah itu.
Besarnya gempa digambarkan dengan jatuhnya buah kelapa yang masih muda dari
pohonnya. Dahsyatnya gempa 1927 yang disertai tsunami hingga membuat puluhan warga
kehilangan nyawa. Pada 1938 terjadi gempabumi yang hebat menyebabkan air laut naik
menyapu rumah-rumah dan pohon kelapa rakyat di sepanjang pantai Kampung Mamboro,
di tepi pantai barat Kabupaten Donggala. Pada 10 Agustus 1968 terjadi gempa
bermagnitudo 7,3 dengan pusat gempa di Laut Sulawesi. Saat itu gelombang tsunami besar
menyapu kawasan pantai Donggala. Dua ratus orang tewas dan banyak rumah hancur
terutama di desa pesisir Tambu. Tsunami juga menghantam Teluk Mapaga, dan Pulau
Tuguan setinggi 8-10 meter serta melabrak pantai sejauh 300 meter. Pada 14 Agustus 1968
terjadi gempabumi kedua berkekuatan 7,4 Mw dengan pusat gempa di Laut Sulawesi yang
menghasilkan tsunami besar dan mengakibatkan Pulau Tuguan tenggelam sepenuhnya.
Kemudian pada 2012 terjadi gempa di wilayah yang hampir sama dengan karakteristik
gempa bumi 1907, dan pada tanggal 28 September 2018 lalu, gempa dengan kekuatan 7,4
Mw telah meluluhlantakan wilah Kota Palu yang goncangannya dirasakan smpai pada
wilayah Kabupaten Donggala, Kota Palu, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten
Sigi, Kabupaten Poso, Kabupaten Tolitoli, Kabupaten Mamuju bahkan hingga Kota
Samarinda, Kota Balikpapan, dan Kota Makassar.
Gempa dahsyat itu juga memicu terjadinya likuifaksi dan tsunami. Dua tempat yang
paling nyata mengalami bencana ini adalah Petobo dan Balaroa di Kota Palu. Balaroa
terletak di tengah-tengah Sesar Palu-Koro. Saat terjadinya likuifaksi, terjadi kenaikan dan
penurunan muka tanah. Beberapa bagian amblas 5 meter, dan beberapa bagian naik sampai
2 meter. Di Petobo, ratusan rumah tertimbun lumpur setinggi 3-5 meter. Setelah gempa,
tanah di daerah itu dengan lekas berubah jadi lumpur yang dengan segera menyeret
bangunan-bangunan di atasnya. Di Balaroa, rumah amblas, bagai terisap ke dalam tanah.
Sementara tsunami menerjang pantai, menghantam permukiman hingga gedung-gedung
dan fasilitas umum. Data menyebutkan bahwa titik tertinggi tsunami tercatat 11,3 meter,
terjadi di Desa Tondo, Palu Timur, Kota Palu.
3. Potensi Bencana Likuifaksi Kota Palu
Fenomena bencana likuifaksi di Kota Palu pada tanggal 28 September 2018 lalu
memang merupakan fenomena yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah kebencanaan
di Pulau Sulawesi khususnya di Kota Palu sendiri. Lokasi terjadinya bencana likuifaksi di
Kota Palu ini terdapat di dua daerah, yaitu daerah Petobo dan Balaroa, dan darai data yang
diperoleh dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB),
didapati bahwa luas area terjadinya
likuifaksi di Petobo mencapai 180
hektare (ha) dan tercatata sebanyak
2.050 bangunan rusak dan 178 unit
bangunan diperkirakan rusak,
sedangkan pada daerah Balaroa,
luas area likuifaksi mencapai 47,8
ha, sedangkan jumlah bangunan
rusak mencapai 1.045 unit.
UPAYA PENINGKATAN ETIKA PERENCANAAN DALAM MENDIAGNOSA DIRI SEBAGAI PRAKTISI PERENCANA WILAYAH DAN KOTA
Studi Kasus: Potensi Bencana Gempa Bumi dan Likuifaksi Yang Terabaikan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
Tugas Kedua (II) Nama : Muumin Muuzi
Mata Kuliah Etika Keruangan NIM : 46 201 02 003
sendiri dominan pada posisi likuifaksi tinggi sampai dengan sangat tinggi karena posisinya
yang berada pada Zona Sesar Palu Koro dengan potensi kegempaan kuat yang sering
berulang serta kondisi geologi wilayah Kota Palu yang didominasi oleh endapan kuarter
yang terdiri atas endapan fluviatil dan alluvium dengan tanah lapisan atas (1-7 m) terutama
bertekstur pasir, lempung di lapisan tengah, dan liat di lapisan bawah.
PETA LIKUIFAKSI DAN BANGUNAN TERDAMPAK DI BALAORA PETA LIKUIFAKSI DAN BANGUNAN TERDAMPAK DI PETOBO
UPAYA PENINGKATAN ETIKA PERENCANAAN DALAM MENDIAGNOSA DIRI SEBAGAI PRAKTISI PERENCANA WILAYAH DAN KOTA
Studi Kasus: Potensi Bencana Gempa Bumi dan Likuifaksi Yang Terabaikan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
Tugas Kedua (II) Nama : Muumin Muuzi
Mata Kuliah Etika Keruangan NIM : 46 201 02 003
(Sumber: PERDA Kota Palu No. 16 Tahun 2011 Tentang RTRW Kota Palu Tahun 2010-2030)
UPAYA PENINGKATAN ETIKA PERENCANAAN DALAM MENDIAGNOSA DIRI SEBAGAI PRAKTISI PERENCANA WILAYAH DAN KOTA
Studi Kasus: Potensi Bencana Gempa Bumi dan Likuifaksi Yang Terabaikan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
Tugas Kedua (II) Nama : Muumin Muuzi
Mata Kuliah Etika Keruangan NIM : 46 201 02 003
V. PEMBAHASAN
Dari berbagai data yang telah disajikan pada pembahasan sebelumnya, dapat diketahui
bahwa Kota palu merupakan daerah yang tepat berada pada kompleks zona-zona patahan
yang melintasi Pulau Sulawesi, khususnya Patahan Palu Koro serta merupakan daerah yang
menjadi pertemuan antara tiga lempeng besar dunia yaitu lempeng Pasifik, Indo-Australia
dan lempeng Eurasia. Posisi geografis wilayah Kota Palu tersebut menyebabkannya sangat
rentan terhadap bahaya bencana geologi, khusunya gempabumi. Belum lagi ditambah
dengan kondisi fisik lahan dari aspek geologi dan jenis tanahnya yang terdiri atas endapan
fluviatil dan alluvium yang memiliki lapisan tanah atas (1-7 m) terutama bertekstur pasir,
lempung di lapisan tengah, dan liat di lapisan bawah, akan membuatnya rentan terhadap
potensi bencana likuifaksi bilamana terjadi gempabumi, dan hal ini telah terbukti pada
tanggal 28 September 2018 lalu, dimana gempabumi dengan kekuatan 7,4 Mw telah
mengguncang wilayah Kota Palu sehingga menyebabkan terjadinya likuifaksi di dua
kawasan Kota Palu yaitu Petobo dan Balaroa. Fenomena ini juga sebenarnya telah sangat
jelas, diungkapkan dan di interprestasikan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh
Widyaningrum & Buana pada tahun 2012, dimana mereka mengungkapkan bahwa Kota
Palu dan wilayah sekitarnya memiliki potensi bencana likuifaksi tinggi hingga sangat tinggi
bilamana terjadi gempa bumi dengan kekuatan yang besar akibat dari posisinya yang
berada pada Zona Sesar Palu Koro.
Jika meninjau kembali terkait dengan bencana likuifaksi di Kota Palu, fenomena ini
bukanlah yang pertama kali terjadi di dunia, bahkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
fenomena bencana likuifaksi yang sama, juga pernah terjadi di daerah Lombok pada tanggal
5 Agustus 2018 dan Yogyakarta pada tahun 2006, namun skalanya lebih kecil
dibandinggkan dengan yang terjadi di Kota Palu. Selanjutnya, di negara-negara luar
fenomena likuifaksi juga bukanlah merupakan hal yang baru, karena berdasarkan data yang
penulis peroleh negara-negara yang pernah mengalami bencana likuifaksi adalah berupa
negara Amarika Serikat (San Francisco, Kalifornia) pada tahun 1906, Loma Prieta
(California, AS, tahun 1989), Hanshin-Awaji (Jepang) tahun 1995, dan di daerah Canterbury
(Selandia Baru) pada tahun 2010. Dari fenomena-fenomena bencana likuifaksi yang telah
disebutkan tersebut, semuanya pada dasarnya terjadi karena dipicu oleh adanya kekuatan
besar dari guncangan gempabumi yang melanda wilayah-wilayah tersebut, dan dari hasil
selururh literatur yang penulis peroleh didapati bahwa penyebab utama terjadinya
likuifaksi pada suatu wilayah adalah karna dipicu oleh faktor bencana gempabumi.
Posisi geografis wilayah Kota Palu yang terletak pada Zona Patahan Palu Koro dan
potensi bencana kegempaannya telah banyak dijelaskan dalam informasi-informasi
kebencanaan dan berbagai penelitian-penelitian geologi dan kebencanaan di Indonesia,
seperti yang dilakukan oleh Soehaimi, dkk., dalam melakukan pemetaan Zonasi Kerentanan
Bencana Gempabumi Daerah Palu dan Sekitarnya pada tahun 2000. Kemudian pada Peta
Rawan Gempa Bumi Indonesia yang diterbitkan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi pada tahun 2004, kemudian rekaman data historis bencana kegempaan tampak
bahwa di wilayah ini telah terjadi tidak kurang dari 7 (tujuh) kali gempabumi merusak sejak
tahun 1900 (Silver, “Ophiolite emplacement by collision between the Sula Platform and the
Sulawesi Island Arc, Indonesi”, 1979), dan masih banyak sumber-sumber informasi lainnya
yang tidak sempat disebutkan.
Dari sekian banyak data-data serta informasi yang tersajikan mengenai potensi
bencana Kota Palu, bencana alam gempabumi merupakan bencana yang paling sering dan
intens terjadi, namun sayangnya diabaikan dalam kegiatan perencanan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Palu tahun 2010-2030 dan tidak sedikitpun pihak perencana
mencoba mendalami dan memperdalam aspek bencana kegempaan tersebut. Hal tersebut
penulis kemukakan, karena dari hasil tinjauan penulis terkait dengan PERDA RTRW Kota
Palu tahun 2010-2030 tersebut, penulis sama sekali tidak mendapatkan adanya arahan
kawasan lindung untuk kawasan rawan bencana gempabumi dan kawasan berpotensi
likuifaksi, yang ada hanyalah kawasan rawan beencana longsor, tsunami dan banjir.
UPAYA PENINGKATAN ETIKA PERENCANAAN DALAM MENDIAGNOSA DIRI SEBAGAI PRAKTISI PERENCANA WILAYAH DAN KOTA
Studi Kasus: Potensi Bencana Gempa Bumi dan Likuifaksi Yang Terabaikan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
Tugas Kedua (II) Nama : Muumin Muuzi
Mata Kuliah Etika Keruangan NIM : 46 201 02 003
Sementara jika ditinjau dari berbagai hasil literatur yang didapatkan, dijelaskan bahwa
bencana longsor dan tsunami yang kerap melanda Kota Palu merupakan implikasi dari
bencana gempabumi yang disebabkan oleh posisi Kota Palu yang terdapat pada Zona
Patahan palu Koro sehingga setiap kali terjadi guncangan gempabumi yang kuat, maka pasti
akan diikuti oleh bencana susulan tsunami di daerah pesisir Kota Palu dan longsoran tanah
pada daerah pegunungan Kota palu. Hal ini mengindikasikan bahwa salah satu penyebab
gagalnya produk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu adalah merupakan
kesalahan perencana itu sendiri yang telah mengabaikan aspek bencana kegempaan dalam
melakukan analisis kewilayahan secara menyeluruh sesuai dengan karakteristik fisik
wilayah Kota Palu dan keterkaitannya terhadap potensi bencana yang dimiliki. Olehnya itu,
karena kajian mengenai potensi bencana alam gempa yang terabaikan dalam penyusunan
RTRW Kota Palu tersebut, maka tidak heran bilamana hasil perencanaannya juga
mengalami kekeliruan dimana lahan yang seharusnya diperuntukan sebagai kawasan
lindung karena memiliki potensi bencana gempabumi dan likuifaksi yang besar, justru
dijadikan sebagai kawasan pengembangan permukiman di Kota Palu.
Berangakat dari pembelajaran akan fenomena bencana alam gempabumi dan likuifaksi
yang terabaikan dalam kasus tata ruang wilayah Kota Palu ini, maka penulis sangat
berharap bahwa dalam setiap kegiatan perencanaan tata ruang, kajian mengenai analisa
geologi lingkungan untuk pengembangan wilayah sangatlah perlu ditekankan pada setiap
produk perencanaan khususnya terkait dengan komponen-komponen geologi dan kendala
geologi wilayah dari aspek kebencanaan agar segala bentuk keterkaitan antara unsur-unsur
geologi wilayah dapat dikaji secara menyeluruh berdasarkan potensi bencana yang ada agar
produk tata ruang yang disusun dapat memiliki nilai kualitas yangg baik dan tangguh
bencana.
VI. KESIMPULAN
Dengan berangkat dari pada kasus benca alam gempabumi dan likuifaksi yang
diabaikan dalam kegiatan penataan ruang kota palu sebagaiaman yang telah di uraikan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan ketahanan dari suatu wilayah dapat
tercapai jika informasi berbagai unsur geologi lingkungan diintegrasikan dalam rencana
tata ruang wilayah dan dijadikan acuan pada saat proses penyusunan tata ruang serta
djadikan alat pengendali pembangunan fisik wilayah tersebut. Alat pengendali ini tidak
hanya digunakan untuk mengendalikan pembangunan saat ini saja, tetapi digunakan juga
sebagai alat untuk mengendalikan pembangunan di masa datang. Olehnya itu, para
perencana wilayah dan Kota, dalam melaksanakan kegiatan perencanaan ruang, harus
mengikutserrtakan kajian geologi lingkungan secara mendalam dan menyeluruh sebagai
upaya untuk menghasilkan produk perencanaan yang disusunnya.
UPAYA PENINGKATAN ETIKA PERENCANAAN DALAM MENDIAGNOSA DIRI SEBAGAI PRAKTISI PERENCANA WILAYAH DAN KOTA
Studi Kasus: Potensi Bencana Gempa Bumi dan Likuifaksi Yang Terabaikan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
Tugas Kedua (II) Nama : Muumin Muuzi
Mata Kuliah Etika Keruangan NIM : 46 201 02 003
Perpustakaan Bappenas. (t.t.). Peraturan Daerah Kota Palu No. 16 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu Tahun 2010-2030. Diambil 4 Desember 2020,
dari http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/131177-[_Konten_]-
Konten%20C9264.pdf
Widyaningrum, R., & Buana, T. W. (2012). STUDI BAHAYA LIKUIFAKSI PALU BERDASARKAN
DATA luk. GEOLOGI PALU Berdasarkan klasifikasi sumber gempa . dokumen.tips.
https://dokumen.tips/documents/studi-bahaya-likuifaksi-palu-berdasarkan-data-luk-
geologi-palu-berdasarkan-klasifikasi.html
Peta Zona Ruang Rawan Bencana Kota Palu dan Sekitarnya. (t.t.). GeoPortal Sulteng. Diambil 3
Desember 2020, dari http://geoportal.sultengprov.go.id/documents/268
UPAYA PENINGKATAN ETIKA PERENCANAAN DALAM MENDIAGNOSA DIRI SEBAGAI PRAKTISI PERENCANA WILAYAH DAN KOTA
Studi Kasus: Potensi Bencana Gempa Bumi dan Likuifaksi Yang Terabaikan Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu