Pengkajian Airway
Pengkajian Airway
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini
dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari
gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan
cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila
terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih
dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada
penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.
Survei primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa
pasien. Survei primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam
prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10
detik). Apabila teridentifikasi henti nafas dan henti jantung maka resusitasi harus segera
dilakukan.
Apabila menemukan pasien dalam keadaan tidak sadar maka pertama kali amankan
lingkungan pasien atau bila memungkinkan pindahkan pasien ke tempat yang aman.
Selanjutnya posisikan pasien ke dalam posisi netral (terlentang) untuk memudahkan
pertolongan.
1. AIRWAY
Jalan nafas adalah yang pertama kali harus dinilai untuk mengkaji kelancaran nafas.
Keberhasilan jalan nafas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses
ventilasi (pertukaran gas antara atmosfer dengan paru-paru. Jalan nafas seringkali
mengalami obstruksi akibat benda asing, serpihan tulang akibat fraktur pada wajah,
akumulasi sekret dan jatuhnya lidah ke belakang.
Selama memeriksa jalan nafas harus melakukan kontrol servikal, barangkali terjadi
trauma pada leher. Oleh karena itu langkah awal untuk membebaskan jalan nafas adalah
dengan melakukan manuver head tilt dan chin lift seperti pada gambar di bawah ini :
Data yang berhubungan dengan status jalan nafas adalah :
- sianosis (mencerminkan hipoksemia)
- retraksi interkota (menandakan peningkatan upaya nafas.
- pernafasan cuping hidung
- bunyi nafas abnormal (menandakan ada sumbatan jalan nafas)
- tidak adanya hembusan udara (menandakan obstuksi total jalan nafas atau henti
nafas)
2. BREATHING
Kebersihan jalan nafas tidak menjamin bahwa pasien dapat bernafas secara adekwat.
Inspirasi dan eksprasi penting untuk terjadinya pertukaran gas, terutama masuknya
oksigen yang diperlukan untuk metabolisme tubuh. Inspirasi dan ekspirasi merupakan
tahap ventilasi pada proses respirasi. Fungsi ventilasi mencerminkan fungsi paru, dinding
dada dan diafragma.
Pengkajian pernafasan dilakukan dengan mengidentifikasi :
- pergerakan dada
- adanya bunyi nafas
- adanya hembusan/aliran udara
3. CIRCULATION
Sirkulasi yang adekwat menjamin distribusi oksigen ke jaringan dan pembuangan
karbondioksida sebagai sisa metabolisme. Sirkulasi tergantung dari fungsi sistem
kardiovaskuler.
Status hemodinamik dapat dilihat dari :
- tingkat kesadaran
- nadi
- warna kulit
Pemeriksaan nadi dilakukan pada arteri besar seperti pada arteri karotis dan arteri
femoral.
1.TUJUAN
Membebaskan jalan napas untuk menjamin pertukaran udara secara normal
2. PENGKAJIAN
Pengkajian airway dilakukan bersama-sama dengan breathing menggunakan teknik L
(look), L (listen) dan F (feel) yang dilakukan dalam satu gerakan dalam tempo waktu yang
singkat (lihat materi pengkajian ABC).
3. TINDAKAN
a. Tanpa Alat
1) Membuka jalan nafas dengan metode :
- Head Tilt (dorong kepala ke belakang)
- Chin Lift Manuver (perasat angkat dahu)
- Jaw Thrust Manuver (perasat tolak rahang)
Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya dilakukan Jaw
Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.
2) Membersihkan jalan nafas
- Finger Sweep (sapuan jari)
Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga
mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya)
dan hembusan napas hilang.
- Abdominal Thrust (Gentakan Abdomen)
- Chest Thrust (Pijatan Dada)
- Back Blow (Tepukan Pada Punggung)
b. Dengan Alat
1) Pemasangan Pipa (Tube)
- Dipasang jalan napas buatan (pipa orofaring, pipa nasofaring). Pipa orofaring
digunakan untuk mempertahankan jalan nafas dan menahan pangkal lidah agar tidak
jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan napas terutama pada pasien-pasien tidak
sadar.
- Bila dengan pemasangan jalan napas tersebut pernapasan belum juga baik,
dilakukan pemasangan pipa endotrakhea (ETT/endotracheal tube). Pemasangan pipa
endotrakhea akan menjamin jalan napas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan
memudahkan tindakan bantuan pernapasan.
2) Penghisapan Benda Cair (Suctioning)
- Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair maka dilakukan penghisapan
(suctioning). Penghisapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengisap
(penghisap manual portabel, pengisap dengan sumber listrik).
- Membersihkan benda asing padat dalam jalan napas: Bila pasien tidak sadar dan
terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang tidak mungkin diambil
dengan sapuan jari, maka digunakan alat bantuan berupa laringoskop, alat penghisap
(suction) dan alat penjepit (forceps)
3) Membuka Jalan Nafas Dengan Krikotirotomi
Bila pemasangan pipa endotrakhea tidak mungkin dilakukan, maka dipilih tindakan
krikotirotomi dengan jarum. Untuk petugas medis yang terlatih dan trampil, dapat
dilakukan krikotirotomi dengan pisau .
B. PENGELOLAAN FUNGSI PERNAFASAN (BREATHING MANAGEMENT)
1. TUJUAN
Memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara membersihkan pernafasan buatan untuk
menjamin kebutuhan oksigen dan pengeluaran karbondioksida.
2. PENGKAJIAN
Gangguan fungsi pernafasan dikaji dengan melihat tanda-tanda gangguan pernafasan
dengan metode LLF dan telah dilakukan pengelolaan jalan nafas tetapi tetap tidak ada
pernafasan.
3. TINDAKAN
a. Tanpa Alat
Memberikan pernafasan buatan dari mulut ke mulut atau dari mulut ke hidung
sebanyak 2 (dua) kali tiupan dan diselingi ekshalasi.
b. Dengan Alat
- Memberikan pernafasan buatan dengan alat “Ambu Bag” (self inflating bag). Pada
alat tersebut dapat pula ditambahkan oksigen. Pernapasan buatan dapat pula diberikan
dengan menggunakan ventilator mekanik.
- Memberikan bantuan nafas dan terapi oksigen dengan menggunakan masker, pipa
bersayap, balon otomatis (self inflating bag dan valve device) atau ventilator mekanik
GAGAL NAFAS
1. Pengertian
Menurut Bruner and Suddart (2002), gagal napas adalah sindroma dimana sistem
respirasi gagal untuk melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen, dan
pengeluaran karbondioksida. Keadekuatan tersebut dapat dilihat dari kemampuan
jaringan untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Indikasi gagal
napas adalah PaO2 < 60mmHg atau PaCO2 > 45mmHg, dan atau keduanya.
Gagal napas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi yang
terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar paru.
Menurut Joy M. Black (2005), gagal napas adalah suatu keadaan yang mengindikasikan
adanya ketidakmampuan sistem respirasi untuk memenuhi suplai oksigen untuk proses
metabolisme atau tidak mampu untuk mengeluarkan karbondioksida. Sedangkan
menurut Susan Martin (1997), gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan
untuk mempertahankan oksigenasi darah normal, eliminasi karbondioksida, dan pH yang
adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi, difusi, atau perfusi.
Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena kapasitas
difusi CO2 jauh lebih besar dari O2 dan karena daerah yang mengalami hipoventilasi
dapat dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang normal.
Hiperkapnia adalah proses gerakan gas keluar masuk paru yang tidak adekuat
(hipoventilasi global atau general) dan biasanya terjadi bersama dengan hipoksemia.
2. Etiologi
Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi dari
beberapa keadaan, dimana penyebeb utamanya adalah :
a. Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun
ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran napas bawah,
sirkulasi pulmonal, jaringan, dan daerah kapiler alveolar. Kelainan ekstrapulmonal
disebabkan oleh obstruksi akut maupun obstruksi kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh
fleksi leher pada pasien tidak sadar, spasme larink, atau oedema larink, epiglotis akut,
dan tumor pada trakhea. Obstruksi kronik, misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik,
asma, COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis terutama yang disertai dengan sepsis.
b. Gangguan neuromuskular
Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera spinal,
fraktur servikal, keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan gangguan metabolik
seperti alkalosis metabolik kronik yang ditandai dengan depresi saraf pernapasan.
c. Gangguan/depresi pusat pernapasan
Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma, infark
otak, hipoksia berat pada susunan saraf pusat.
d. Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan minute
volume (mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering terjadi pada guillain bare
syndrome, distropi muskular, miastenia gravis, kiposkoliosis, dan obesitas.
e. Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas hipoksemia,
seperti pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak), ARDS, fibrosis paru, emfisema,
emboli lemak, pneumonia, tumor paru, aspirasi, perdarahan masif pulmonal.
f. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace (ruang rugi), seperti pada tromboemboli, emfisema,
dan bronkhiektasis.
3. Klasifikasi
1) Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah :
a. Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu menunjukkkan kadar
PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu PaCO2>50mmHg. Hal ini disebabkan
karena kadar CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 yang tersisih di alveolar dan
PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu biasanya diperoleh hiperkapneu dan
hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara inspirasi diberi tambahan oksigen.
Sedangkan nilai pH tergantung pada level dari bikarbonat dan juga lamanya kondisi
hiperkapneu.
b. Gagal napas hipoksemia
Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi nilai
PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang membedakannya dengan
gagal napas hiperkapneu, yang masalah utamanya pada hipoventilasi alveolar. Gagal
napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapneu.
2) Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :
a. Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai
dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi
peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul pada pasien yang keadaan
parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul.
b. Gagal napas kronik
Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada pasien
dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan emfisema. Pasien akan
mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapneu yang memburuk secara
bertahap.
3) Klasifikasi gagal napas berdasarkan penyebab organ :
a. Kardiak
Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2
akibat menjauhnya jarak difusi akibat oedema paru. Oedema paru ini terjadi akibat
kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya sehingga terjadi peningkatan
perpindahan aliran dari vaskuler ke interstisial dan alveoli paru.
Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong terjadinya
disfungsi miokard dan peningkatan left ventricel end diastolic volume (LVEDV)
dan left ventricel end diastolic pressure (LVEDP) yang menyebabkan mekanisme
backward-forward.
Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard :
Infark miokard
Kardiomiopati
Miokarditis
Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan coartasio aorta
Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi, ASD,
dan VSD.
Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid insufisiensi.
b. Nonkardiak
Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah maupun di pusat
pernapasan, serta proses difusi. Hal ini dapat disebabkan oleh obstruksi, emfisema,
atelektasis, pneumothorak, dan ARDS.
7. Penatalaksanaan
a. Jalan nafas
Jalan nafas sangat penting untuk ventilasi, oksigen, dan pemberian obat-obatan
pernapasan dan harus diperiksa adanya sumbatan jalan nafas. Pertimbangan untuk
insersi jalan nafas artificial seperti ETT berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas
artificial dibandingkan jalan napas alami. Keuntungan jalan napas artificial adalah
dapat melintasi jalan napas bagian atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-
obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP . memfasilitasi penyedotan
sekret, dan rute untuk bronkhoskopi.
b. Oksigen
Besarnya aliran oksigen tambahan yang diperlukan tergantung dari mekanisme
hipoksemia dan tipe alat pemberi oksigen. CPAP (Continous Positive Airway
Pressure ) sering menjadi pilihan oksigenasi pada gagal napas akut. CPAP bekerja
dengan memberikan tekanan positif pada saluran pernapasan sehingga terjadi
peningkatan tekanan transpulmoner dan inflasi alveoli optimal. Tekanan yang
diberikan ditingkatkan secara bertahap mulai dari 5 cm H 2O sampai toleransi pasien
dan penurunan skor sesak serta frekuensi napas tercapai.
c. Bronkhodilator
Bronkhodilator mempengaruhi kontraksi otot polos, tetapi beberapa jenis
bronkhodilator mempunyai efek tidak langsung terhadap oedema dan inflamasi.
Bronkhodilator merupakan terapi utama untuk penyakit paru obstruksi, tetapi
peningkatan resistensi jalan nafas juga banyak ditemukan pada penyakit paru lainnya.
d. Agonis beta-adrenergik
Obat-obatan ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan
secara parenteral atau oral.
e. Antikolinergik
Respon bronkhodilator terhadap antikolinergik tergantung pada derajat tonus
parasimpatis intrinsik.
f. Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui
secara pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi.
g. Fisioterapi dada dan nutrisi
Merupakan aspek penting yang perlu diintegrasikan dalam tatalaksana menyeluruh
gagal nafas.
h. Pemantauan hemodinamik
Meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut jantung, ritme jantung tekanan darah
sistemik, tekanan vena central, dan penentuan hemodinamik yang lebih invasif.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian Data Dasar
a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala:
Kekurangan energi/kelelahan, insomnia
b. Sirkulasi
Gejala:
Riwayat adanya bedah jantung jantung-paru, fenomena embolik (darah,udara,lemak)
Tanda:
Tekanan darah dapat normal atau meningkat pada awal (berlanjut menjadi hipoksia)
;hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau terdapat faktor pencetus seperti pada
eklampsi. Frekuensi jantung: takikardi biasanya ada. Bunyi jantung : normal pada tahap
dini ; S3 mungkin terjadi. Distritmia dapat terjadi , tetapi EKG sering normal. Kulit dan
membran mukosa : Pucat, dingin. Sianosis biasanya trjasi (tahap lanjut).
c. Integritas Ego
Gejala:
Ketakutan, ancaman perasaan takut
Tanda:
Gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang, perubahan mental.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan gagal napas :
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret/ retensi
sputum di jalan napas dan
hilangnya reflek batuk sekunder terhadap pemasangan ventilator.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan retensi sekret, proses weaning,
setting ventilator yang tidak
tepat.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator
yang tidak tepat,
peningkatan sekresi, obstruksi ETT
4. Sindroma defisit perawatan diri berhubungan dengan penggunaan ventilator
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang ETT (Endo
Tracheal Tube)
6. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
miokard
7. Ansietas atau ketakutan berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Keperawatan Rasional
. Keperawatan
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan Mandiri
tak efektif keperawatan selama 30 a. Lakukan suctioning sesuai indikasi a. Mengeluarkan sekret yang terakumulasi di jalan
berhubungan dengan menit diharapkan jalan dengan prinsip 3A (atraumatic, asianotic, nafas, seraya mencegah terjadinya trauma jalan
akumulasi sekret/ napas menjadi paten, aseptic). nafas, mencegah hipoksia dan mengurangi risiko
retensi sputum di jalan dengan kriteria hasil : infeksi paru
napas dan hilangnya a. Pasien menyatakan sesakb. Ubah posisi pasien secara periodik b. Meningkatkan drainage sekret dan ventilasi pada
reflek batuk sekunder berkurang c. Observasi penurunan ekspansi dinding semua segmen paru, menurunkan risiko atelektasis
terhadap pemasanganb. Retensi sekret tidak ada dada dan adanya peningkatan fremitus. c. Ekspansi dada terbatas atau tak simetris
ventilator. c. Suara napas vesikuler sehubungan dengan akumulasi cairan, edema, dan
d. Pada foto thoraks tak d. Catat karakteristik bunyi napas sekret dalam seksi lobus. Konsolidasi paru dan
tampak gambaran infiltrat pengisian cairan dapat meningkatkan fremitus.
d. Bunyi napas menunjukkan aliran udara melalui
trakeobronkial dan dipengaruhi oleh adanya cairan,
mukus, atau obstruksi aliran udara lain. Mengi dapat
merupakan bukti konstruksi bronkus atau
penyempitan jalan napas sehubungan dengan
edema. Ronkhi dapat jelas tanpa batuk dan
e. Catat karakteristik dan produksi menunjukkan pengumpulan mukus pada jalan
sputum. napas.
e. Karakteristik batuk dapat berubah tergantung
pada penyebab/etiologi gagal pernafasan. Sputum
f. Pertahankan posisi tubuh/kepala bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, dan
dengan tepat. /atau purulen
f. Mempertahankan kepatenan jalan napas saat
g. Observasi status respirasi : frekuensi, pasien mengalami gangguan tingkat kesadaran,
kedalaman nafas, reguralitas, adanya sedasi, dan trauma maksilofasial
dipsneu g. Mengevaluasi keefektifan fungsi respirasi
Kolaborasi
h. Berikan oksigen yang lembab, cairan
intravena yang adekuat sesuai
kemampuan pasien h. Kelembaban mengurangi akumulasi sekret dan
i. Berikan terapi nebulizer dengan obat meningkatkan transport oksigen
mukolitik, bronkodilator sesuai indikasi
j. Bantu dengan/berikan fisioterapi dada,i. Pengobatan dibuat untuk meningkatkan ventilasi/
perkusi dada/vibrasi sesuai indikasi. bronkodilatasi/ kelembaban dengan kuat pada
alveoli dan untuk menghancurkan mucous/ sekret
j. Meningkatkan ventilasi pada semua segmenparu
dan membantu drainase sekret
n. Kolaborasi pemeriksaan EKG, dan m. Obat laxative dapat membantu menurunkan resiko
enzim jantung vagal yang dapat memperparah penurunan cardiac
Penkes output
o. Anjurkan untuk tidak mengejan saat n. Membantu menilai perkembangan dan status kerja
BAB maupun BAK jantung
o. Meningkatkan kerjasama klien untuk
menyukseskan program keperawatan. Serangan
valsava menyebabkan stimulasi vagal, menurunkan
p. Jelaskan pentingnya mengubah gaya heart rate (bradikardi) yang mungkin diikuti dengan
hidup (menghindari merokok, diit rendah takikardi diantara meningkatnya cardiac output.
kolesterol, olahraga) p. Meningkatkan kerjasama klien terhadap program
perawatan. Gaya hidup sehat akan meningkatkan
kualitas kehidupan
Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan ialah tindakan pemberian asuhan keperawatan yang
dilaksanakan untuk membantu mencapai tujuan pada rencana keperawatan yang telah
disusun. Prinsip dalam memberikan tindakan keperawatan menggunakan komunikasi
terapeutik serta penjelasan setiap tindakan yang diberikan kepada klien. Selain itu, juga
berprinsip melakukan tindakan keperawatan yang telah dituliskan dalam rencana
keperawatan dan menuliskan setiap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Tindakan keperawatan yang dilakukan dapat berupa tindakan keperawatan secara
independent, dependent, dan interdependent. Tindakan independen yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Tindakan dependen ialah tindakan yang berhubungan dengan tindakan medis atau dengan
perintah dokter atau tenaga kesehat lain. Tindakan interdependen ialah tindakan keperawatan
yang memerlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lain seperti ahli gizi, radiologi,
fisioterapi dan lain-lain.
Dalam melakukan tindakan pada pasien dengan gagal napas perlu diperhatikan ialah
penanganan terhadap tidak efektifnya bersihan jalan napas, gangguan pertukaran gas, pola
napas tidak efektif, kondisi aktual atau resiko penurunan curah jantung, adanya
ansietas/ketakutan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan yang dapat digunakan
sebagai alat ukur kerberhasilan suatu asuhan keperawatan yang dibuat. Evaluasi berguna
untuk menilai setiap langkah dalam perencanaan, mengukur kemajuan klien dalam mencapai
tujuan akhir dan untuk mengevaluasi reaksi dalam menentukan keefektifan rencana atau
perubahan dalam membantu asuhan keperawatan. Evaluasi keperawatan ada 2 macam, yaitu
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan sesaat setelah
memberikan implementasi keperawatan untuk menilai keberhasilan terapi dalam jangka
pendek. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan untuk menilai keberhasilan terapi dalam
jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta : EGC.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC:
Jakarta.
Sadguna, Dwija. (2011). Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Nafas.
http://www.scribd.com. Diakses tanggal 18 Januari 2012.
Sherwood, Lauralee. (2011). Fisiologi Manusia (Dari Sel ke Sistem ). Edisi ke-6. Jakarta:
EGC.
Ulfah, Anna, dkk. (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta : Bidang
Pendidikan dan Pelatihan Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional
Harapan Kita.