Anda di halaman 1dari 5

1.

JELASKAN PROSES TERJADINYA KONTRAKSI OTOT


a. Pelepasan asetilkolin neurotransmitter dipicu oleh impuls saraf yang mencapai ujung
saraf motorik
b. Asetilkolin melewati celah saraf otot dan mengikat reseptor asetilkolin dari serat otot.
c. Rangsangan reseptor memicu impuls di sekitar sarkolema yang berada di tubulus
T dan yang menuju kantong retikulum sarkoplasma
d. Dari kantong tersebut, kalsium dihasilkan dan segera menuju ke sarkoplasma. Di
dalam miofilamen tipis yang ada di sarkoplasma, kalsium mengikat molekul troponin.
e. Pergeseran miofilamen tipis menimbulkan molekul tropomiosin yang mempengaruhi
situs aktif aktin.
f. Jembatan miofilamen memberikan energi kepada jembatan miosin. Energi ini
digunakan untuk menarik miofilamen tipis. Adenosin trifosfat mengulangi siklus ini
terus-menerus.
g. Filamen seluruh otot memendek ketika filamen melewati miofilamen yang tebal.

2. FISIOLOGI DAN TAHAPAN TIDUR

Fisiologi tidur yaitu aktivitas tidur yang diatur dan dikontrol oleh 2 sistem pada batang otak,
yaitu: reticular activating sistem (RAS) dan bulbar syncrhronizing region (BSR). RAS di
bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yng dapat mempertahankan
kewaspadaan dan kesadaran, memberi stimulasi visual,pendengaran, nyeri, dan sensori raba
serta emosi. Pada saat sadar, RAS akan melepaskan katekolamin, sedangkan pada saat tidur
terjadi pelepasan serum serotonin dan BSR.
Tahapan tidur terbagi 2, yaitu:
a) NREM (Non Rapid Eye Movement)
 tidur dengan pergerakan mata lambat
 selama NREM seseorang tidur melalui 4 tahapan (tahapannya ada di nomor 5)
b) REM ( Rapid Eye Movement)
 Tidur dengan pergerakan mata lambat
 Fase akhir pada siklus tidur selama 90 menit
 Waktu untuk konsolidasi dan pemulihan psikologis
 Dikarakterisasikan dengan meningkatnya level aktivitas dibandingkan dengan
tidur tahap NREM

3. FISIOLOGI NYERI

Terjadinya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang
dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki
sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin, yang tersebar pad akulit dan mukosa, khususnya
pada vicera, persendian, dinding arteri, hati dan kadung empedu. Reseptor nyeri dapat
memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa
zat kimiawi seperti bradikinin, histamin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang
dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi
yang lain dapat berupa termal, listrik atau mekanis
4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OKSIGENASI
 Faktor Fisiologis
a. menurunnya kapasitas O2 seperti pada anemia
b. Menurunnya konsentrasi O2 yang diinspirasi seperti pada obstruksi saluran napas
bagian atas, seperti pada penyakit asma.
c. Hipovelimia, merupakan suatu kondisi penurunan volume darah sirkulasi
sehingga tekanan darah menurun mengakibatkan transpor O2 terganggu yang
disebabkan cairan ekstraseluler yang terjadi pada kondisi tertentu, misalnya syok
dan dehidrasi berat.
d. Meningkatnya metabolisme, Peningkatan laju metabolisme tubuh dapat
meningkatkan kebutuhan oksigen. Saat sistem tubuh tidak mampu memenuhi
kebutuhan tubuh, maka kadar oksigenasi akan menurun sehingga seperti adanya
infeksi, demam, ibu hamil, luka, dan penyakit hipertiroid.
e. Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada, seperti kehamilan,
obesitas, kelainan sistem muskuloskeletal, trauma, penyakit otot, penyakit sistem
persarafan, perubahan sistem saraf pusat, penyakit kronik
 Faktor Perkembangan
a. bayi prematur
b. bayi dan toddler
c. anak usia sekolah dan remaja
d. dewasa muda dan pertengahan
e. dewasa tua
 Faktor Perilaku
a. nutrisi
b. latihan dapat meningkatkan kebutuhan oksigen karena meningkatnya metabolisme
c. merokok
d. penyalahgunaan substansi (alkohol dan obat-obatan)
e. kecemasan dan emosi
 Faktor Lingkungan
a. tempat kerja yang tidak baik, seperti banyak polusi udara dan alergen
b. temperatur lingkungan
c. ketinggian tempat dari permukaan laut
 Status Kesehatan
Penyakit pada sistem kardiovaskular berakibat pada terganggunya pengiriman oksigen
ke sel-sel tubuh. Selain itu penyakit-penyakit pada sistem pernapasan dapat
mempunyai efek sebaliknya terhadap oksigen darah. Salah satu contoh kondisi
kardiovaskular yang mempengaruhi oksigen adalah anemia, karena hemoglobin
berfungsi membawa oksigen dan karbondioksida maka anemia dapat mempengaruhi
transportasi gas-gas tersebut ke dan dari sel.

5. SIKLUS TIDUR

Kondisi pre-sleep merupakan keadaan dimana seseorang masih dalam keadaan sadar penuh,
namun mulai ada keinginan untuk tidur. Pada perilaku pre-sleep ini, misalnya seseorang pergi
ke kamar tidur lalu berbaring di kasur atau berdiam diri merebahkan dan melemaskan otot,
namun belum tidur. Selanjutnya mulai merasa kantuk, maka orang tersebut memasuki tahap
I. Bila tidak bangun baik disengaja maupun tidak disengaja, maka selanjutnya ia memasuki
tahap II. Begitu seterusnya sampai tahap IV, ia kembali memasuki tahap III dan selanjutnya
tahap II. Ini adalah fase tidur NREM. Selanjutnya ia akan memasuki tahap V, ini disebut tidur
REM. Bila ini telah dilalui semua, maka orang tersebut telah melalui siklus tidur pertama
baik tidur NREM maupun REM. Siklus ini terus berlanjut selama orang tersebut tidur.
Namun, pergantian siklus tidur ini tidak lagi dimulai dari awal tidur, yaitu pre-sleep dan tahap
I, tetapi langsung tahap II ke tahap selanjutnya seperti pada siklus pertama. Semua siklus ini
berakhir bila orang tersebut terbangun dari tidurnya (Asmadi, 2008).

Jika orang tersebut terbangun dan kembali tidur, yang merupakan hal yang sering terjadi pada
lansia, maka tahap I akan dimulai kembali. Dalam pola tidur normal, sekitar 70 sampai 90
menit setelah awitan tidur dimulailah periode REM pertama, bergantian dengan tidur NREM
pada siklus 90 menit selama periode tidur nocturnal. Konsekuensi dari terbangun, seperti
untuk ke toilet pada malam hari atau prosedur keperawatan dapat menimbulkan efek buruk
pada fisiologis dan fungsi mental lansia ( Stanley dan Bear, 2007).
TIDUR NREM

1) Tahap I
Tahap ini merupakan tahap transisi, berlangsung selama 5 menit yang mana seseorang beralih
dari sadar menjadi tidur. Seseorang merasa kabur dan relaks, mata bergerak ke kanan dan ke
kiri, kecepatan jantung dan pernafasan turun secara jelas. Gelombang alpha sewaktu
seseorang masih sadar diganti dengan gelombang betha yang lebih lambat. Seseorang yang
tidur pada tahap I dapat di bangunkan dengan mudah. Ketika bangun seseorang merasa
seperti telah melamun.
2) Tahap II
Tahap ini merupakan tahap tidur ringan, dan proses tubuh terus menurun. Mata masih
bergerak-gerak, kecepatan jantung dan pernafasan turun dengan jelas, suhu tubuh dan
metabolisme menurun. Gelombang otak ditandai dengan “sleep spindles” dan gelombang K
komplek. Tahap II berlangsung pendek dan berakhir dalam waktu 10 sampai dengan 15
menit. Pada tahap ini merupakan periodetidur bersuara, kemajuan relaksasi, untuk bangun
relatif mudah.
3). Tahap III
Pada tahap ini meliputi awal dari tidur dalam. Otot-otot dalam keadaan santai penuh,
kecepatan jantung, pernafasan serta proses tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat
dominasi sistem syaraf parasimpatik. Seseorang menjadi lebih sulit dibangunkan dan jarang
bergerak. Gelombang otak menjadi lebih teratur dan terdapat penambahan gelombang delta
yang lambat. Tahap ini berlangsung 15-30 menit.
4) Tahap IV
Tahap ini merupakan tahap tidur dalam yang ditandai dengan predominasi gelombang delta
yang melambat. Kecepatan jantung dan pernafasan turun. Seseorang dalam keadaan rileks,
jarang bergerak dan sulit dibangunkan. (mengenai gambar grafik gelombang dapat dilihat
dalam gambar). Siklus tidur sebagian besar merupakan tidur NREM dan berakhir dengan
tidur REM. Tahap ini berlangsung 15-30 menit.
6. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEFEKASI

a. Usia
Setiap tahap perkembangan usia memiliki kemampuan mengontrol defekasi yang berbeda.
Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dalam buang air besar,
sedangkan orang dewasa sudah memiliki kemampuan mengontrol secara penuh, dan pada
usia lanjut proses pengontrolan tersebut mengalami penurunan. (Hidayat, 2006.)
b. Diet
Diet atau pola atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi proses defekasi.
Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu proses percepatan defekasi
dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat memengaruhi. (Hidayat, 2006.)
c. Asupan cairan
Pemasukan cairan yang kurang akan menyebabkan feses menjadi lebih keras, disebabkan
oleh absorpsi cairan yang meningkat. (Tarwoto Wartonah, 2006.)
d. Aktivitas
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena melalui aktivitas tonus otot abdomen,
pelvis, dan diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi, sehingga proses gerakan
peristaltik pada daerah kolon dapat bertambah baik dan memudahkan dalam membantu
proses kelancaran proses defekasi. (Hidayat, 2006.)
e. Pengobatan
Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi, dapat mengakibatkan diare dan konstipasi,
seperti penggunaan laksansia atau antasida yang terlalu sering. (Hidayat, 2006.)
f. Gaya hidup
Kebiasaan untuk melatih pola buang air besar sejak kecil secara teratur, fasilitas buang air
besar, dan kebiasaan menahan buang air besar. Kebiasaan atau gaya hidup dapat
memengaruhi proses defekasi. Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya
hidup sehatkebiasaan melakukan buang air besar di tempat yang bersih atau toilet. Maka,
ketika orang tersebut buang air besar di tempat yang terbuka atau tempat yang kotor, ia
mengalami kesulitan dalam proses defekasi. (Hidayat, 2006.)
g. Penyakit
Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses defekasi, biasanya penyakit-penyakit yang
berhubungan langsung pada sistem pencernaan, seperti gastroenteristis atau penyakit infeksi
lainnya. (Hidayat, 2006.)
h. Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuankeinginan untuk berdefekasi, seperti pada
beberapa kasus hemoroid, fraktur ospubis, dan episiotomy akan mengurangi keinginan untuk
buang air besar. (Tarwoto Wartonah, 2006.)
i. Kerusakan Sensoris dan Motoris
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat memengaruhi proses defekasi karena dapat
menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam berdefekasi. Hal tersebut dapat
diakibatkan oleh kerusakan pada tulang belakang atau kerusakan saraf lainnya. (Hidayat,
2006.)
7. SUMBER TENAGA PADA OTOT

Sumber energi gerak otot adalah ATP (Adenosin Trifosfat). ATP merupakan energi yang
digunakan langsung oleh otot saat kontraksi. Adapun cadangan energi pada otot berupa
kreatin fosfat dan glikogen. Kedua cadangan energi tersebut akan dibentuk menjadi ATP
untuk kontraksi otot.
8. MEKANISME PERNAFASAN
1. Inspirasi (Penghirupan)
Pada tahap tersebut terjadi akibat otot tulang rusuk dan diafragma. Volume rongga
dada dan paru-paru meningkat ketika diafragma bergerak turun ke bawah dan
sangkar tulang rusuk membesar. Kemudian tekanan udara dalam paru-paru akan
turun di bawah tekanan udara atmosfer dan udara akan mengalir ke dalam paru-
paru.

2. Ekspirasi (Pengembusan)
Tahap pengembusan terjadi akibat otot tulang rusuk dan diafragma berelaksasi.
Volume rongga dada dan paru-paru mengecil ketika diafragma bergerak naik dan
sangkar tulang rusuk mengecil. Tekanan udara dalam paru-paru akan naik melebihi
tekanan udara atmosfer, dan udara akan mengalir keluar dari paru-paru. Dilansir
Encyclopaedia Britannica (2015), dalam mekanisme pernapasan udara bergerak
masuk dan keluar dari paru-paru sebagai respons terhadap perbedaan tekanan.

Anda mungkin juga menyukai