Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Benzena (C6H6)

2.1.1 Gambaran umum benzena

Gambar 2.1 Struktur Benzena


Terdiri dari ikatan rangkap C-C yang berselang-seling dan enam rantai C-H
(International Agency for Research on Cancer , 2012)
Benzena (C6H6) adalah senyawa aromatik dengan enam cincin karbon

tunggal tidak jenuh, mempunyai nama lain benzol, cyclohexatrene, phenyl hydride,

atau coal naphta. Secara alamiah, benzena terbentuk dalam minyak mentah pada

tingkat 4 g/l, senyawa ini merupakan suatu cairan tak berwarna, mudah menguap

dengan bau yang khas. Cairan ini mendidih pada suhu 80,1 oC, sangat mudah

terbakar dan uapnya sangat mudah meledak. Benzena dihasilkan melalui distilasi

batu bara atau minyak mentah. (World Health Organization, 2010).

Benzena di udara sebagian besar berada dalam fase uap dengan lamanya

waktu tinggal bervariasi antara satu hari dan dua minggu tergantung pada

lingkungan, iklim dan konsentrasi polutan lainnya. Reaksi dengan radikal hidroksil

adalah sarana degradasi yang paling penting, dengan laju konstan 1,2 × 10−12 cm3

5
6

molecule − 1.s − 1 pada 298 K. Benzena sedikit larut dalam air dan biasanya

dicampur dengan aseton, kloroform, dietil eter, etanol dan larut dalam karbon

tetraklorida. (International Agency for Research on Cancer , 2012)

2.1.2 Sifat fisika dan kimia benzena

Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan beberapa sifak fisika dan kimia dari

senyawa benzena.

Tabel 2.1 Sifat Fisika dan Kimia Benzena


No. Sifat Fisika dan Kimia Keterangan
1. Nama kimia 11. Benzena, benzol,
Cyclohexatriene, Pyrobenzole,
Coal naphtha, Mineral naphtha.

2. Rumus molekul C6H6


3. Keadaan pada suhu ruangan Larutan jernih, bau khas aromatik
3. Massa molekul relative 78.114 g/mol
4. Titik leleh 5.5 oC
5. Titik didih 80,1 oC
6. Kelarutan dalam air pada 25°C 0,188 % (berat/berat) atau 1,8 gr/L
7. Kelanitan dalam pelarut organic Alkohol, kloroform, eter, aseton,
karbon tetraklorida, asam asetat
glasial
8. Koefisien partisi oktanol-air Log Kow = 2,13
9. Faktor konversi 1 ppm = 3,24 mg/in3 (20°C, 1 atm)
mg/m3 == 0,31 ppm
10. Batas mudah terbakar 1,3-7,1%
11. Batas ambang bau 4,8-15 mg/m3
(National Center for Biotechnology Information, 2018)
2.1.3 Sumber benzena di lingkungan

Benzena merupakan senyawa organik siklik yang biasanya ditemukan dalam

konsentrasi rendah di Lingkungan. Bahan ini digunakan sebagai salah satu bahan

mentah dan pelarut dalam produksi senyawa aromatik seperti fenol, nitrobenzena,
7

siren, sikloheksana, obat-obatan, deterjen dan pestisida dalam (International

Agency for Research on Cancer , 2012).

Di USA penggunaan utama benzena adalah sebagai bahan produksi etil

benzena yaitu sebanyak 52% dari total permintaan benzena pada tahun 2008 dan

sebagian besar turunan bezena seperti etilbenzena digunakan dalam pembuatan

styrene, polistiren dan berbagai kopolimer stirena, lateks dan resin. Penggunaan

terbesar kedua benzena yaitu dalam produksi isopropylbenzena dalam pembuatan

fenol, selain itu benzena juga digunakan untuk membuat intermediet kimia:

sikloheksana, digunakan dalam pembuatan monomer nilon tertentu (15%);

nitrobenzena, zat antara untuk anilin dan produk lainnya (7%); alkylbenzena,

digunakan dalam deterjen (2%); chlorobenzenas, digunakan dalam polimer

rekayasa (1%); dan berbagai penggunaan lainnya (1%) (Kirschner, 2009).

Benzena merupakan salah satu bahan kimia yang penggunaanya cukup luas

dan beragam khususnya di lingkungan industri. Penggunaan benzena dalam

kegiatan sehari-hari akan meningkatkan konsentrasi benzena yang ada di udara.

Penduduk yang tinggal di kota dan daerah industri umumnya terpapar benzena lebih

tinggi daripada daerah pedesaan. Konsentrasi benzena di udara pedesaan berkisar 1

µg/M³, sedangkan di perkotaan sebesar 5-20 µg/M³. Individu yang terpapar

benzena lebih tinggi biasanya tinggal di dekat pengisian bahan bakar kendaraan,

kilang minyak, tempat pembuangan limbah dan pabrik petrokimia. Sumber utama

benzena di lingkungan berasal dari penguapan bensin yaitu sebesar 1-5% benzena.

Penggunaan benzena di lingkungan industri dapat ditemukan pada industri

pembuatan karet, pembuatan mesin otomobil, rokok sigaret, obat-obatan, sepatu,

pewarna, percetakan dan asap dari proses pembakaran. Pada industri percetakan,
8

benzena dapat berasal dari tabung tinta, silinder pada alat perctakan yang tidak

tertutup, tempat keluarnya kertas, jaringan kertas, corong tempat pengisian tinta ,

dan tumpahan tinta (Dayu, et al., 2017).

Bahan yang digunakan dalam konstruksi, remodelling dan dekorasi adalah

kontributor utama konsentrasi benzena dalam ruangan. Bahan-bahan perabotan

tertentu dan bahan polimerik seperti vinyl, lantai karet, karpet nilon dan karpet yang

mengandung lateks, dapat mengandung senyawa benzena. Benzena juga dapat

ditemukan dalam furnitur kayu lapis, fiberglass, perekat lantai, cat, panel kayu, dan

thinner. Oleh karena itu, bangunan baru atau ruangan yang baru didekorasi ulang

dikaitkan dengan konsentrasi tinggi benzena dari bahan furnitur (Hodgson & Levin,

2013).

2.1.4 Toksikokinetika benzena dalam tubuh manusia

1. Absorbsi benzena

Benzena masuk kedalam tubuh terutama melalui inhalasi (pernafasan),

selain itu dapat melaui mulut (per oral) dan kontak langsung dengan kulit

(perkutan). Benzena yang masuk kedalam tubuh secara inhalasi akan diabsorbsi

dalam paru-paru dan akan masuk kedalam pembuluh darah sebelum akhirnya

terdistribusi ke seluruh jaringan tubuh dan berkumpul di jaringan lemak. Melalui

inhalasi, benzena diabsorbsi tubuh sebesar 70-80% pada lima menit pertama, dan

pada satu jam berikutnya sebesar 20-60% kemudian melalui paparan per oral

absorbsi benzena adalah sekitar 98% dan melalui kontak kulit benzena di absorbsi

sebanyak 80% kedalam tubuh (World Health Organization, 2010).


9

2. Distribusi benzena

Benzena terdistribusi ke seluruh tubuh dan karena sifatnya yang lipofilik

(lebih larut dengan minyak) maka benzena banyak terakumulasi di jaringan kaya

lemak terutama sumsum tulang dan jaringan lemak. Kadar benzena pada jaringan

lemak, urin, dan sumsum tulang 20 kali lebih banyak dibandingkan dalam darah

dan dalam otot kadarnya lebih tinggi 1-3 kali dari dalam darah. Pada manusia

benzena menembus blood brain barrier dan plasenta sehingga benzena dapat

ditemukan di otak dan darah plasenta dalam jumlah yang lebih besar atau sama

dengan yang ada dalam darah ibu. RBC mengandung kadar benzena dua kali lebih

tinggi dari dalam plasma. (World Health Organization, 2010) .

3. Metabolisme benzena

Benzena dimetabolisme di hati dan di jaringan lain seperti sumsum tulang

melalui serangkaian reaksi biokimia. Metabolisme benzena yang merupakan

serangkaian reaksi biokimia dalam tubuh ditunjukkan dalam gambar berikut.

Gambar 2.2 Rangkaian metabolisme benzena


Benzena dioksidasi menjadi benzena oksida oleh enzim P-450 di hepar, oksidasi lebih lanjut
akan menghasilkan metabolit akhir benzokuinon, benzenetriol dan t-t Muconaldehyde yang
bersifat toksik (Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 2014).
10

Benzena dioksidasi menjadi benzena oksida oleh enzim cytochrome P450-

monooksigenase (CYP2E1) di hati. Ada tiga jalur utama dimana benzena oksida

dimetabolisme lebih lanjut; (1) Melalui serangkaian reaksi kerusakan cincin untuk

membentuk t,t-muconaldehyde, yang selanjutnya dioksidasi menjadi asam

mukonik; (2) melalui serangkaian reaksi untuk membentuk konjugasi dengan

glutathione, yang akhirnya diekskresikan dalam urin sebagai asam fenil

merkapturat; (3) mengatur ulang secara non-enzimatik (spontaneous) untuk

membentuk fenol. Fenol dapat diekskresikan dalam urin secara langsung atau dapat

dioksidasi lagi oleh enzim CYP2E1 menjadi katekol atau hidrokuinon. Katekol dan

hidrokuinon dioksidasi lebih lanjut oleh enzim CYP2E1 menjadi benzenatriol.

Semua senyawa fenolik dapat membentuk konjugat (glucuronides atau sulfat) dan

diekskresikan dalam urin. Enzim myeloperoxidase (MPO) yang terdapat di sumsum

tulang dapat mengoksidasi senyawa hidrokuinon dan katekol menjadi

benzoquinones. Metabolit toksik yang menyebabkan sitotoksisitas sel darah antara

lain benzokuinon, benzenatriol dan muconaldehyde. Benzokuinon dan

muconaldehyde keduanya reaktif, senyawa bipolar yang diketahui klastogenik

(menyebabkan kerusakan kromosom) (World Health Organization, 2010).

4. Eliminasi benzena

Metabolit benzena 90% diekskresikan melalui urine dari dalam tubuh

khususnya konjugasi phenol (Glucuronic dan Sulphuric acid) dan asam fenil

merkapturat. Benzena yang tidak dimetabolisme akan di ekskresi lewat paru-paru.

Eliminasi benzena secara non enzimatik dapat melalui ekshalasi dalam bentuk yang

tidak berubah. Kadar benzena yang diabsorpsi dieliminasi melalui ekshalasi

sebesar 8-17% (Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 2014).
11

2.1.5 Toksisitas benzena

Paparan ringan benzena dapat mengiritasi kulit, mata dan saluran pernafasan.

Paparan akut benzena dapat menyebabkan depresi sistem saraf pusat dan aritmia.

Paparan benzena jangka panjang dapat menyebabkan anemia, leukemia, dan

perubahan sistem imunologi. Pengaruh paparan akut dengan konsentrasi tinggi

dapat menyebabkan kelainan di berbagai sistem organ yang terjadi segera setelah

paparan. Efek neurologis muncul terutama disebabkan paparan langsung dari

benzena pada sistem saraf pusat, mekanisme anastetik benzena pada sistem saraf

pusat dengan menginduksi eksitasi yang diikuti oleh depresi dan jika paparan

berlanjut akan terjadi kegagalan nafas dan dapat menyebabkan kematian

(Mityanand, 2015).

Benzena dimetabolisme oleh hati dan hasil metabolitnya diekskresikan oleh

ginjal. Toksisitas benzena sebagian besar disebabkan oleh generasi radikal oksigen

melalui sitokrom P450. Metabolit larut air dari benzena yang terbentuk di hati

bertanggung jawab atas efek hematopoietiknya. Benzena dapat menyebabkan

kematian pada paparan akut terutama oleh sifat anestetiknya (tahanan pernapasan)

atau sifat sensitisasi miokardial (aritmia fatal). Anak-anak tidak selalu merespons

terhadap bahan kimia dengan cara yang sama seperti orang dewasa. Selain itu, anak-

anak dari berbagai usia (misalnya, fetus, bayi, balita, anak-anak) mungkin memiliki

tanggapan yang berbeda terhadap paparan bahan kimia tertentu dengan demikian,

protokol yang berbeda untuk mengelola perawatan mereka mungkin diperlukan

(Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 2014).

Secara umum gejala toksisitas CNS muncul segera setelah inhalasi benzena

dosis tinggi (3000 ppm selama 5 menit) dan 30-60 menit setelah tertelan. Efek
12

ringan dari paparan benzena dapat terjadi sakit kepala, pusing, kebingungan,

nausea, jalan tak seimbang, dan penglihatan kabur. Efek yang lebih berat yaitu

tremor, depresi sistem pernafasan, koma dan kematian. Ketidaksadaran dapat

berlangsung lama, meskipun sebagian besar individu mendapatkan kesadaran

kembali dengan cepat setelah paparan dihilangkan. Paparan akut benzena uap dapat

mengiritasi membran mukosa saluran pernafasan dengan paparan (20000 ppm

selama 5 menit), akumulasi cairan di paru-paru dapat menyebabkan depresi

pernapasan. Aspirasi paru-paru dari muntahan beracun atau cairan benzena yang

tertelan dapat menyebabkan radang hemoragik berat pada paru-paru. (Agency for

Toxic Substances and Disease Registry , 2005).

Paparan konsentrasi yang sangat tinggi (lebih dari 1.000 ppm) dari benzena

dapat menurunkan treshold otot jantung terhadap efek epinefrin, yang berakibat

pada aritmia seperti fibrilasi ventrikel. Efek ini biasanya reversibel jika pemaparan

diakhiri. Benzena dapat menyebabkan iritasi kulit sehingga akan menurunkan kulit,

terutama setelah kontak yang lama atau berulang dengan cairan. Secara lokal,

benzena dapat menghasilkan eritema, sensasi terbakar, dan dalam kasus yang lebih

parah, edema dan bahkan melepuh. Karena luas permukaannya yang lebih besar:

rasio berat badan, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa terhadap racun

yang diserap melalui kulit. Pada saluran pencernaan Jika tertelan, benzena dapat

mengiritasi perut, menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis oral yang

diperkirakan mematikan adalah 100 mL (sekitar 1 g / kg, untuk pria 75 kg),

meskipun sedikitnya 15 mL atau 50 mg / kg telah menyebabkan kematian. Pada

konsentrasi uap benzena dosis tinggi dapat menyebabkan iritasi mata dan

penglihatan kabur. Ketika terkena mata, benzena dapat menyebabkan rasa sakit
13

terbakar dan peluruhan permukaan mata (Agency for Toxic Substances and Disease

Registry, 2014).

Efek toksik benzena yang utama adalah depresi sumsum tulang yang dapat

mempengaruhi hematopoesis secara laten maupun reversible. Paparan benzena

dalam periode yang lama dapat menimbulkan efek yang berbahaya terhadap sel

darah dengan cara merusak produksi sel darah normal dan menyebabkan penurunan

komponen darah. Penurunan sel darah akibat paparan benzena akan menyebabkan

terjadinya anemia khususnya anemia aplastik, atau dapat menyebabkan perdarahan

yang hebat. Namun produksi sel darah dapat kembali normal jika paparan benzena

dihentikan pada depresi sumsum tulang yang ringan. Paparan benzena yang berat

dapat menyebabkan penurunan sistem imun sehingga meningkatkan resiko infeksi

dan menurunkan pertahanan tubuh terhadap kanker (Qing, et al., 2017).

IARC (International Agency for Cancer Research) dan USEPA (United

States Environmentai Protection Agency) mengklasifikasikan benzena termasuk

senyawa yang bersifat karsinogen terhadap manusia. Studi yang dilakukan oleh

Aksoy di Universitas Istanbul pada pekerja pabrik sepatu menemukan sejumlah 26

pekerja menderita leukemia di antara 28.500 pekerja pembuat sepatu. Penelitian

lain yang dilakukan di U.S National Cancer Institute pada pekerja yang terpapar

benzena di Cina. Dalam laporan awal, mereka mendeskripsikan penelitian dengan

metode kohort dari 35.805 subjek kontrol dibandingkan dengan 74.497 pekerja

yang terpajan benzena. Analisis data mengungkapkan bahwa terdapat peningkatan

yang signifikan terhadap kelompok yang terpapar benzena terhadap kejadian

leukemia myelogenous akut, limfoma ganas, sindrom myelodysplastic dan anemia

aplastik.
14

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Huiyao, et al., 2018) menunjukkan

bahwa paparan benzena pada dosis 100 mg/kg secara signifikan berdampak pada

penurunan jumlah WBC dan RBC kelompok tikus yang terpapar. Beberapa

penelitian lain yang terkait dengan pengaruh paparan benzena terhadap sel darah

tercantum dalam tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Ringkasan Studi Benzena terhadap sel darah

Benzene Study size

Study Methods exposure Exposed controls Major findings References

(ppm)

CBC <1,<10,>10 250 140 Decrease in all (Lan, et al.,


blood cell counts
2004)

WBC <0.5, 0.5-1, >1 701 1059 No effect (Swaen, et al.,

2010)

CBC <5, >5 to 15, 130 51 Decrease WBC, (Qu, et al.,


>15 to 30, >30 RBC, neutrophils
2002)

(McHale, et al., 2012)

2.1.6 Mekanisme hematoksisitas benzena

Metabolit benzena secara umum dianggap sebagai faktor utama terhadap

hematotoksisitas benzena, mekanisme hematotoksisitas benzena dalam tubuh

digambarkan dalam skema berikut.


15

Gambar 2.3 Skema hematotoksisitas benzena


Oksidasi di hepar dan sebagian kecil di paru-paru menjadi benzena oksida, oksidasi benzena
oksida lebih lanjut menghasilkan t,t muconaldehyde dan secara spontan menjadi fenol, enzim
sitokrom P-450 mengkatalisis fenol menjadi hidrokuinon yang akan mengalami metabolisme
sekunder di sumsum tulang oleh enzim MPO menjadi metabolit toksik benzokuinon
(McHale, et al., 2012)
Metabolisme benzena terjadi terutama di hati dan di paru-paru, dengan

metabolisme sekunder terjadi di sumsum tulang. Langkah pertama yang melibatkan

oksidasi benzena menjadi benzena oksida terutama dikatalisis pada tingkat paparan

yang tinggi oleh enzim sitokrom-P450 (CYP2E1) di hati. Namun enzim CYP2F1

dan CYP2A13 yang keduanya sangat aktif dalam paru-paru manusia merupakan

enzim metabolisme berkapasitas rendah dan berkadar tinggi yang baru-baru ini

dilaporkan aktif di tingkat benzena <1 ppm sehingga menunjukkan bahwa paru-

paru merupakan organ tempat benzena dimetabolisme dalam dosis rendah. Benzena

oksida secara spontan disusun kembali menjadi fenol (PH), dan sisanya dihidrolisis

untuk menghasilkan katekol dan 1,2-benzoquinon melalui proses dehydrogenase

oleh benzena dihidrodiol, atau bereaksi dengan glutathione untuk menghasilkan


16

asam S-phenylmercapturic. Fenol diekskresikan atau dimetabolisme lebih lanjut

menjadi hydroquinone (HQ) dan diubah menjadi metabolit reaktif 1,2,4-

benzenatriol melalui katalisis CYP2E1selain itu fenol di dalam sumsum tulang akan

mengalami reaksi peroksidase (dengan bantuan myeloperoksidase) dan berubah

menjadi benzoquinone yang sangat reaktif. Metabolit benzoquinone menyebabkan

perubahan hematopoesis dengan cara apoptosis sel bakal pluripotent yang belum

berdeferensiasi menyebabkan penurunan jumlah sel bakal myeoloid sehingga

terjadi penurunan RBC, WBC dan PLT yang dapat menyebabkan anemia aplastik

yang ditandai dengan pansitopenia. Paparan terus menerus akan memberikan efek

kerusakan genetik melalui pecahnya kromosom dan aneuploidy (kehilangan

seluruh kromosom) yang dapat menyebabkan leukemia (McHale, et al., 2012).

2.2 Proses Pembentukan Sel Darah (Hematopoesis)

Setelah manusia lahir, sumsum tulang memegang peranan sebagai tempat sel

darah terbentuk. Semua sel darah berasal dari sel induk yang bersifat pluripotent

disebut Hematopoetic Stem Cell (HSC). Sel induk akan berdeferensiasi menjadi dua

bentuk stem sel yaitu sel bakal myeoloid dan sel bakal limfoid. Sel bakal limfoid

akan berkembang menjadi sel limfosit sedangkan sel myeoloid perkembangannya

sangat kompleks. Sel myeoloid akan berdeferensiasi menjadi beberapa prekursor

dari sel darah diantaranya: (1) megakariosit berdeferensiasi menjadi platelet, (2)

Prekursor RBC berkembang menjadi RBC, (3) prekursor granulosit menjadi

granulosit dan (4) prekursor monosit berkembang menjadi monosit, kemudian

komponen sel darah matur hasil deferensiasi dari sel induk tersebut akan
17

dilepaskan (Madhumita & Leonard, 2013). Skema hematopoesis ditunjukkan pada

gambar dibawah ini.

Gambar 2.4 Skema Hematopoesis di sumsum tulang


Hematopoetic Stem Cell (HSC) akan berdiferensiasi menjadi sel myeloid yang akan
berkembang menjadi prekursor sel eritrosit, platelet, monosit, neutrophil segmen, basofil dan
sel limfoid akan berkembang menjadi prekursor sel limfosit T&B
(Rodak & Carr, 2013).

2.2.1 Red blood cell (RBC)

Red Blood Cell (RBC) merupakan komponen yang sangat penting bagi tubuh,

sel ini berbentuk lempengan bikonkaf yang dibentuk di sumsum tulang. RBC akan

kehilangan intinya sebelum memasuki sirkulasi dan berada di dalam sirkulasi

selama kurang lebih 120 hari. Jumlah normal RBC pada pria dan wanita berbeda,

pada pria jumlahnya mencapai kurang lebih 5,4 juta/µl dan wanita 4,8 juta/µl. RBC

akan berwarna kemerah–merahan melalui pengecatan Wright karena mengandung

haemoglobin dan sifatnya lentur mudah berubah bentuk selama beredaridalam


18

sirkulasi. Setiap milimeter darah mengandung sekitar 5 miliar RBC yang secara

klinis dilaporkan dalam hitung seliidarah merah sebagai lima juta per milimeter

kubik (mm3). RBC normal berbentuk bikonkaf tanpa inti dengan bagian tengah

lebih tipis dari bagian tepi. Setiap RBC memiliki diameter sekitar 7,5 µm, dan tebal

di bagian tepi 2 µm sedangkan bagian tengah 1 µm, tiap sel mengandung 29 pg

hemoglobin. Bentuk khas ini ikut berperan, melalui dua cara, terhadap efisiensi

RBC melakukan fungsi mereka untuk mengangkut oksigen dalam darah (Ramon,

2007).

2.2.2 White blood cell (WBC)

White Blood Cell (WBC) merupakan unit sistem pertahanan tubuh manusia.

Imunitas mengarah pada kemampuan tubuh untuk menghancurkan dan

mengeliminasi sel abnormal atau benda asing yang berpotensi merusak sel tubuh

normal. Normal jumlah WBC dalam tubuh manusia sekitar 5.000-11.000 /µl.

Terdapat dua jenis WBC yaitu granulosit dan agranulosit dengan jumlah terbanyak

dalam tubuh adalah granulosit (WBC polimorfnuklear/PMN). Sel granulosit muda

memiliki inti berbentuk sepatu kuda yang akan berubah menjadiaAmultilobuler

dengan meningkatnyaiiiumur sel. (Kiswari, 2014).

1.2.3 Platelet (PLT)

Platelet adalah fragmen sel anukleat kecil yang bersirkulasi dalam darah dan

berperan penting dalam mengatur integritas vaskular dan mengatur hemostasis.

Fungsi platelet dalam tubuh berhubungan dengan homeostasis yaitu berperan

menginisiasi pembekuan darah. Meskipun sangat dinamis, platelet biasanya berada

dalam bentuk tidak aktif dan akan diaktifkan hanya ketika pembuluh darah

mengalami kerusakan. Aktivitas platelet dikaitkan dengan inisiasi kaskade


19

koagulasi. Kerusakan pembuluh darah menjadikan permukaan subendotelial

sebagai target utama aksi platelet, dimana platelet membentuk homeostasis.

Megakariosit dari sumsum tulang merupakan tempat pembentukan formasi platelet.

Diameter platelet dewasa adalah 2-3 μm dan hidup selama 5-9 hari. Sekitar 2/3 dari

platelet beredar dalam darah dan 1/3 disimpan dalam limpa. Jumlah platelet normal

adalah (150-400) X 103 per microliter darah. Setiap megakariosit dapat

menghasilkan 5000-10000 platelet, dan rata-rata orang dewasa yang sehat dapat

menghasilkan 1011 platelet per hari. Platelet yang tua akan dihancurkan melalui

fagositosis di limpa dan hati (sel Kupffer) (Ghoshal & Bhattacharyya, 2014).

1.3 Anemia Aplastik

2.3.1 Definisi anemia Aplastik

Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau

bisitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan.primer pada sumsum

tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau

pendesakan pada sumsum tulang. Pansitopenia adalah berkurangnya.jumlah semua

jenis sel darah diantaranya RBC, WBC, dan platelet dalam darah. Keadaan ini

disebabkan oleh penurunan produksi di sumsum tulang atau peningkatan dekstruksi

di perifer (Bakta, 2015).

2.3.2 Etiologi anemia aplastik

Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) bersifat idiopatik atau

tidak diketahui. Kesulitan mencari penyebab penyakit ini disebabkan karena

progresifitas penyakit yang berlangsung secara perlahan-lahan. Namun penyebab

lain seperti jenis obat-obatan dan bahan kimia tertentu juga dapat menyebabkan
20

anemia aplastik. Penyakit ini dibagi berdasarkan penyebabnya menjadi tipe primer

(kongenital atau didapat) atau sekunder. Tabel 2.3 berikut ini menunjukkan

klasifikasi penyebab anemia aplastik.

Tabel 2.3 Klasifikasi penyebab anemia aplastik


Primer Sekunder
Kongenital (tipe fanconi dan Radiasi pengion: pajanan radioterapi,
non-fanconi) isotope radioaktif, stasiun pembangkit
listrik nuklir
Idiopatik Bahan kimia: Benzena, organofosfat
dan pelarut organik lainnya, DDT dan
pestisida lainnya
Obat: obat yang menekan sumsum
tulang (mis: busulfan, melfalan,
nitrosourea)
Obat yang kadang atau jarang menekan
sumsum tulang (mis: kloramfenikol,
sulfonamid, obat anti kejang/depresan)
Virus: virus hepatitis, EBV
(Hoffbrand & Moss, 2015)

2.3.3 Patofisiologi anemia aplastik

Mekanisme terjadinya anemia aplstik diperkirakan dapat melalui:

1. Kerusakan HSC (seed theory)

2. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory)

3. Mekanisme imunologik

Kerusakan HSC sebagai mekanisme terjadinya anemia aplastik dapat terjadi

melalui pajanan zat-zat yang disebut zat myeolotoxic seperti obat-obatan dan zat

kimia. Beberapa zat sudah diperkirakan dapat merusak sumsum tulang yang terkait

pada dosis, misalnya obat anti tumor, benzena dan kloramfenikol (Kumar, et al.,

2013). Kerusakan HSC telah dibuktikan secara tidak langsung melalui

keberhasilan.transplantasi.sumsum tulang pada penderita yang berarti bahwa

penggantian sel induk.dapat memperbaiki proses.patologis.yang terjadi. Faktor


21

penting dalam menopang produksi HSC adalah lingkungan mikro sumsum tulang.

Komponen penting di dalamnya adalah sel stroma sumsum tulang, matriks

ekstraseluler, dan gradien sitokin lokal. Elemen hematopoetik dan non-

hematopoetik berinteraksi erat dalam mempertahankan dan menyeimbangkan

hematopoesis (Medinger, et al., 2018).

Mekanisme imunologik terjadinya Auto-imun anemia aplastik diawali

dengan antigen yang dipresentasikan ke CD8 + sel T oleh Antigen Precenting Cell

(APC) menyebabkan aktivasi dan proliferasi sel limfosit T sitotoksik yang berperan

penting dalam dekstruksi sumsum tulang dengan menginduksi apoptosis HSC. Sel

limfosit T yang teraktivasi akan mensekresi Interferon-Gamma (IFN-γ), Tumor

Necrosis Factor-Alfa (TNF-α), dan Transforming Growth Factor (TGF) yang

menginduksi apoptosis HSC melalui interaksi dengan reseptor pada HSC. Defisit

kuantitatif dan kualitatif sel T regulator (Treg), yang normalnya menekan

autoreaktivitas populasi sel T, lebih lanjut merangsang ekspansi sel T. Sekresi

IFN-γ oleh sel limfosit T meningkatkan produksi makrofag yang mendorong

hilangnya HSC dan megakariosit. IFN-γ secara tidak langsung menyebabkan

kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang dengan terganggunya fungsi

Mesenchymal Stem Cells (MSC).


22

Gambar 2.5 Destruksi imunologik pada sumsum tulang


Aktivasi sel T limfosit disertai defisit T regulator akan mensekresi Interferon-Gamma (IFN-γ),
Tumor Necrosis Factor-Alfa (TNF-α), dan Transforming Growth Factor (TGF) yang menginduksi
apoptosis HSC (Medinger, et al., 2018).

Perubahan fungsi MSC yang menyimpang akan merusak pemeliharaan

homeostasis imun, HSC tidak dapat berkembang dengan baik, dan sel T yang aktif

tidak dapat ditekan. Sel B yang meningkat akan menghasilkan auto antibbodi

terhadap HSC. Adipocytes (AC) meningkat dan Pericytes (PC) menurun sehingga

menekan hematopoiesis. Lebih lanjut, ekspresi Microvessel Density (MVD) dan

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) juga menurun (Medinger, et al.,

2018).

2.3.4 Gejala klinis anemia aplastik

Penyakit ini dapat muncul secara perlahan atau akut dengan gejala klinis

timbul akibat adanya anemia, leukopenia, plateletopenia. Permulaan muncul pada

semua usia dengan insiden puncak sekitar usia 30 tahun. Anemia yang dijumpai

berupa anemia normokromik normositer disertai retikulositopenia dengan


23

kadar Hb <7 g/dl. Sindrom anemia mulai ringan sampai berat seperti pusing, sakit

kepala, lemas, lesu, dan pucat. Keadaan leukopenia pada penderita anemia aplastik

dapat dengan mudah terjadi infeksi, terutama pada mulut dan tenggorokan yang

ditandai dengan ulserasi pada mulut atau tenggorok selulitis leher, sepsis, febris

atau syok septik. Plateletopenia yang terjadi dapat bervariasi dari ringan sampai

sangat berat, munculnya dapat berupa perdarahan kulit seperti ptekie dan ekimosis.

Perdarahan mukosa dapat berupa epistaksis, perdarahan sub konjungtiva,

perdarahan gusi, hematemesis/melena dan pada wanita dapat berupa menorrhagia,

tidak dijumpai adanya organomegali berupa splenomegali, limfadenopati, dan

hepatomegali (Marsh, et al., 2009).

2.3.5 Kriteria diagnosis anemia aplastik

Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau

bisitopenia di darah perifer dengan hipoplasia sumsum tulang. Namun penyakitini

perlu dibedakan dari penyebab lain pansitopenia. Kriteria diagnosis anemia aplastik

menurut International Agranulocytosis and Agranulocytosis and Animal Study

Group (IAAG) dalam (Bakta, 2015) adalah sebagai berikut:

Terdapat minimal dua dari kriteria berikut:

1. Haemoglobin <10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%

2. WBC kurang dari 3,5 x 109 /L atau neutrophil kurang dari 1,5 x 109/L

3. Platelet kurang dari 50 x 109/L

4. Retikulosit <30 x 109/L (<1%)

5. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat):


24

a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel

hematopoetik atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal

dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit.

b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.

Pada pasien yang lebih tua, mielodisplasia hipoplastik mungkin tampak

gambaran serupa. Kelainan kualitatif sel dan perubahan sitogenetik klonal lebih

merupakan mielodisplasia daripada anemia aplastik. Sebagian pasien yang semula

didiagnosis mengidap anemia aplastik kemudian mengalami PNH (Paroxysmal

Nocturnal Haemoglobinuria) atau hemoglobinuria nocturnal paroksismal,

mielodisplasia, atau AML pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini dapat terjadi

bahkan pada pasien yang berespons baik terhadap terapi imunosupresif (Hoffbrand

& Moss, 2015).

Anda mungkin juga menyukai