Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA PEMBEDAHAN


MIOMEKTOMI DENGAN REGIONAL ANESTESI
untuk memenuhi tugas mata ajar asuhan kepenataan anestesi bedah Umum

KELOMPOK 4
AGUS MULYADI
AL ISLAMI
DERA MUTHIA L
ERIVAI ADNAN H
SEMUEL MANDASA
SYAHRINSYAH

FAKULTAS KESEHATAN
PRODI DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI PROGRAM B
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2021
A. Tinjauan Teori Penyakit
1. Mioma Uteri
a. Definisi
Mioma uteri merupakan tumor jinak otot rahim, disertai
jaringan ikatnya sehingga dapat dalam bentuk padat, karena
jaringan ikatnya dominan dan lunak, karena otot rahimnya dominan
(Manuaba, 2011).
Mioma uteri adalah tumor jinak yang struktur utamanya
adalah otot polos rahim. Mioma uteri terjadi pada 20%-25%
perempuan di usia reproduktif, tetapi oleh faktor yang tidak
diketahui secara pasti (Anwar, 2011 :274).
Mioma uteri adalah tumor jinak rahim ini sebagian besar
berasal dari sel muda otot rahim, yang mendapat rangsangan terus
menerus dari hormon estrogen sehingga terus bertumbuh dan
bertambah menjadi besar. Oleh karena itu tumor jinak otot rahim
sebagian besar terjadi pada masa reproduktif aktif, yaitu saat wanita
masih menstruasi (Manuaba, 2012).
Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari
sel- sel jaringan otot polos jaringan fibroid dan kolagen (Nurarif &
Hardi, 2013 : 445)
b. Etiologi
1) Ada beberapa faktor yang diduga kuat merupakan faktor
predisposisi terjadinya mioma uteri. ( Aspiani, 2017)
a) Umur
Mioma uteri ditemukan sekitar 20% pada wanita usia
produktif dan sekitar 40%-50% pada wanita usia di atas 40
tahun. Mioma uteri jarang ditemukan sebelum menarche
(sebelum mendapatkan haid).
b) Hormon Endogen (endogenous hormonal)
Konsentrasi estrogen pada jaringan mioma uteri lebih tinggi
dari pada jaringan miometrium normal.
c) Riwayat keluarga
Wanita dengan garis keturunan dengan tingkat pertama
dengan penderita mioma uteri mempunyai 2,5 kali
kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan
dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri.
d) Makanan
Makanan di laporkan bahwah daging sapi, daging setengah
matang (red meat), dan daging babi meningkatkan insiden
mioma uteri, namun sayuran hijau menurunkan insiden
menurunkan mioma uteri.
e) Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya
kadar estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya
vaskularisasi ke uterus. Hal ini mempercepat pembesaran
mioma uteri. Efek estrogen pada pertumbuhan mioma
mungkin berhubungan dengan respon dan faktor pertumbuhan
lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor
progesteron, dan faktor pertumbuhan epidermal.
f) Paritas
Mioma uteri lebih sering terjadi pada wanita multipara
dibandingkan dengan wanita yang mempunyai riwayat
melahirkan 1 (satu) kali atau 2 (2) kali
2) Faktor terbentuknya tumor:
a) Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang terjadinya reflikasi pada
saat sel-sel yang mati diganti oleh sel yang baru
merupakan kesalahan genetika yang diturunkan dari orang
tua. Kesalahan ini biasanya mengakibatkan kanker pada
usia dini. Jika seorang ibu mengidap kanker payudara,
tidak serta merta semua anak gandisnya akan mengalami
hal yang sama, karena sel yang mengalami kesalahan
genetik harus mengalami kerusakan terlebih dahulu
sebelum berubah menjadi sel kanker. Secara internal, tidak
dapat dicegah namun faktor eksternal dapat dicegah.
Menurut WHO, 10% – 15% kanker, disebabkan oleh
faktor internal dan 85%, disebabkan oleh faktor eksternal
(Apiani, 2017).
b) Faktor eksternal
Faktor eksternal yang dapat merusak sel adalah virus,
polusi udara, makanan, radiasi dan berasala dari bahan
kimia, baik bahan kimia yang ditam,bahkan pada makanan,
ataupun bahan makanan yang bersal dari polusi. Bahan
kimia yang ditambahkan dalam makanan seperti pengawet
dan pewarna makanan cara memasak juga dapat mengubah
makanan menjadi senyawa kimia yang berbahaya.
Kuman yang hidup dalam makanan juga dapat
menyebarkan racun, misalnya aflatoksin pada kacang-
kacangan, sangat erat hubungannya dengan kanker hati.
Makin sering tubuh terserang virus makin besar
kemungkinan sel normal menjadi sel kanker. Proses
detoksifikasi yang dilakukan oleh tubuh, dalam prosesnya
sering menghasilkan senyawa yang lebih berbahaya bagi
tubuh,yaitu senyawa yang bersifat radikal atau
korsinogenik. Zat korsinogenik dapat menyebabkan
kerusakan pada sel.
3) Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor
pada mioma, disamping faktor predisposisi genetik.
a) Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Sering kali,
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan terjadi
dan dilakukan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan
mengecil pada saat menopouse dan oleh pengangkatan
ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan
dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas.
Enzim hidrxydesidrogenase mengungbah estradiol (sebuah
estrogen kuat) menjadi estrogen (estrogen lemah). Aktivitas
enzim ini berkurang pada jaringan miomatous, yang juga
mempunyai jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak
dari pada miometrium normal.
b) Progesteron
Progesteron merupakan antogonis natural dari estrogen.
Progesteron menghambat pertumbuhan tumor dengan dua
cara, yaitu mengaktifkan hidroxydesidrogenase dan
menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.
c) Hormon pertumbuhan (growth hormone)
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan,
tetapi hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas
biologik serupa, yaitu HPL, terlihat pada periode ini dan
memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari
leimioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari
aksi sinergistik antara HPL dan estrogen
c. Gambaran Klinis
Hampir separuh dari kasus mioma uteri ditemukan secara
kebetulan pada pemeriksaan pelvik rutin. Penderita memang
tidak mempunyai keluhan apa-apa dan tidak sadar bahwa
mereka sedang mengalami penyakit mioma uteri dalam rahim.
1) Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik
meliputi hal-hal berikut.
a) Besarnya mioma uteri.
b) Lokalisasi mioma uteri.
c) Perubahan-perubahan pada mioma uteri.
d) Gejala klinik terjadi hanya sekitar 35%-50% dari pasien yang
terkena.
2) Gejalah klinis lain yang dapat timbul pada mioma uteri
adalah sebagai berikut.
a) Perdarahan abnormal merupakan gejala klinik yang
sering ditemukan (30%). Bentuk perdarahan yang ditemukan berupa
menoragia, metroragia, dan hipermenorhe. Perdarahan dapat menyebabkan
anemia defisiensi Fe. Perdarahan abnormal ini dapat dijelaskan oleh karena
bertambahnya areah permukaan dari endometrium yang menyebabkan
gangguan kontraksi otot rahim, distorsi, dan kongesti dari pembuluh darah
disekitarnya dan ulserasi dari lapisan endometrium.
b) Penekanan rahim yang membesar.
c) Terasa berat di abdomen bagian bawah.
d) Terjadi gejalah traktus urinarius: urine freqency, retensi
urine, obstruksi ureter, dan hidronefrosis.
e) Terjadi gejalah intestinal: kontipasi dan obstruksi
intestinal.
f) Terasa nyeri karena saraf tertekan.
3) Sedangkan rasa nyeri pada kasus mioma dapat disebabkan
oleh beberapa hal berikut.
a) Penekanan saraf.
b) Torsi bertangkai.
c) Submukosa mioma terlahir.
d) Infeksi pada mioma.
4) Perdarahan kontinu pada pasien dengan mioma submukosa
dapat berakibat pada hal-hal berikut.
a) Menghalangi implantasi terdapat peningkatan insiden aborsi
dan kelahiran prematur pada pasien dengan mioma
intramural dan submukosa. Kongesti vena terjadi karena
kompresi tumor yang menyebabkan edema ekstermitas
bawah, hemorrhoid, nyeri, dan dyspareunia. Selain itu
terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan
kelahiran.

b) Kehamilan dengan disertai mioma uteri menimbulkan


proses saling mempengaruhi.
c) Keguguran dapat terjadi.
d) Persalinan prematuritas.
e) Gangguan proses persalinan.
f) Tertutupnya saluran indung telur menimbulkan infentiritas.
g) Gangguan pelepasan plasenta dan perdarahan.
h) Biasanya mioma akan mengalami involusi yang nyata
setelah kelahiran.
d. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait
Nurafif & Hardhi (2013) pemerikasaan diagnostik mioma uteri
meliputi :
1) Tes laboratorium
Hitung darah lengkap dan apusan darah : leukositosis dapat
disebabkan oleh nekrosis akibat torsi atau degenerasi.
Menurunnya kadar hemoglobin dan hematokrit menunjukan
adanya kehilangan darah yang kronik.
2) Tes kehamilan terhadap chorioetic gonadotropin
Sering membantu dalam evaluasi suatu pembesaran uterus yang
simetrik menyerupai kehamilan atau terdpat bersama- sama
dengan kehamilan.
3) Ultrasonografi
Apabila keberadaan massa pelvis meragukan, sonografi dapat
membantu.
4) Pielogram intraven
Dapat membantu dalam evaluasi diagnostik.
5) Pap smear serviks
Selalu diindikasikan untuk menyingkap neoplasia serviks
sebelum histerektomi.
6) Histerosal pingogram
Dianjurkan bila klien menginginkan anak lagi dikemudian hari
untuk mengevaluasi distorsi rongga uterus dan kelangsungan
tuba falopi (Nurarif & Kusuma, 2013).
e. Penatalaksanaan Medis
1) Penatalaksanaan Terapi
Dalam pasien mioma uteri tidak membutuhkan pengobatan. Hal
ini terutama untuk pasien yang tidak ada keluhan atau berakhir
mati haid. Mioma uteri dengan ukuran tidak lebih dari usia
kehamilan tiga bulan akan mengecil sendiri pada mati haid,
namun perlu pengawasan yang ketat akan pelaksanaan
degenerasi benigna atau maligna. Tindak sebuah konservatif
terutama dilakukan untuk wanita yang masih mempunyai anak
dan ukuran mioma masih kecil. Tindakan konservatif tidak
dilakukan bila terdapat gejala-gejala yang merupakan tanda
pembedahan atau radiasi seperti nyeri perut atau panggul
distorsio perut karena tumor-tumor besar dan pertumbuhan
tumor yang cepat. Khusus sebagai penunjang pengobatan bagi
pasien dengan anemia karena hiperminore.dlldapat diberikan
ferum, tranfusi darah, diet kaya protein, kalsium.
2) Penatalaksanaan Operatif
Pada pasien mioma uteri dapat dilakukan tindakan pembedahan
antara lain miomektomi dan histerektomi.
a) Miomektomi
Yaitu operasi pengambilan sarang mioma saja tanpa
pengangkatan rahim. Tindakan ini dapat dilakukan pada
mioma submukosa yang bertangkai atau jika fungsi rahim
masih ingin dipertahankan karena keinginan mempunyai
anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan 30-50%
setelah dilakukan miomektomi untuk menyelamatkan janin.
Miomektomi bisa kambuh lagi 15-30% untuk dilakukan
miomektomi yang kedua.
b) Histerektomi.
Sekitar 25-35 % pasien mioma uteri masih membutuhkan
histerektomi. Histerektomi adalah operasi pengangkatan
rahim yang pada umumnya merupakan tindakan terpilih.
Histerektomi dapat dilakukan lewat perut maupun vagina.
Pada histerektomi lewat vagiona ini jarang dilakukan,
karena uterus harus lebih kecil dari telur angsa dan tidak
ada perlekatan dengan sekitar rahim. Macam-macam
histerektomiperut antara lain :
1) Histerektomi subtotalis
Operasi yang mengangkat rahim atau rahim saja.
2) Histerektomi totalis
Operasi yang mengangkat rahim
3) Histerektomi totalis dengan salpingo oforektomi
bilateral
Operasi yang mengangkat rahim, leher rahim, saluran
telur, indung telur, bagian hulu vagina, ligamen, saat
getah bening dan jaringan lemah dari dalam rongga
pinggul. Histerektomi totalis biasanya dilakukan
dengan mencegah timbulnya karsinoma servik uteri.
2. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan
rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk
menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston,
2011).
2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh.
Anestesi umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi
intravena atau melalui inhalasi (Royal College of Physicians (UK),
2011).
Teknik General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010),
dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
1) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan
obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
2) General Anestesi Inhalasi

Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan


kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
3) Anestesi Imbang

Teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat- obatan baik


obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi
teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai
trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu: (a) Efek hipnosis,
diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau obat anestesi
umum yang lain. (b) Efek analgesia, diperoleh dengan
mempergunakan obat analgetik opiat atau obat general anestesi atau
dengan cara analgesia regional. (c) Efek relaksasi, diperoleh dengan
mempergunakan obat pelumpuh otot atau general anestesi, atau
dengan cara analgesia regional.

b. Regional Anestesi
1) Pengertian Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang
intratekal, secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar
region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis
berakhir. (Keat, dkk, 2013)
Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada
pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses
konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh
tertentu. (Rochimah, dkk, 2011)
2) Tujuan Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi spinal
dapat digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan,
penanganan nyeri akut maupun kronik.
3) Kontraindikasi Anestesi Spinal
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional
yang luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi
hipovolemia yang belum terkontrol karena dapat mengakibatkan
hipotensi berat.
4) Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut
Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah :
a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup;
b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan
dan memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera;
c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung
pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang
digunakan.
5) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal
yang utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif
untuk 1 jam, dan bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam
sampai 4 jam (Reeder, S., 2011).
c. Anestesi Lokal
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang
diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat
terdifusi ke dalam sirkulasi. Anestesi lokal umumnya digunakan
dalam prosedur minor pada tempat bedah sehari.
3. Teknik Anestesi
Anestesi regional dilakukan dengan memblokir rasa sakit di sebagian
anggota tubuh. Seperti halnya anestesi lokal, pasien akan tetap tersadar
selama operasi berlangsung, namun tidak dapat merasakan sebagian
anggota tubuhnya. Pada anestesi regional, obat akan diberikan dengan cara
disuntikkan di dekat sumsum tulang belakang atau di sekitar area saraf.
Suntikan ini akan menghilangkan rasa sakit pada beberapa bagian tubuh,
seperti pinggul, perut, lengan, dan kaki. Terdapat beberapa jenis anestesi
regional, yaitu blok saraf perifer, epidural, dan spinal. Anestesi regional
yang paling sering digunakan adalah epidural, yang umum digunakan saat
persalinan. (Whitlock, J. Very Well Health,2019)
Anestesi Spinal adalah Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang
subaraknoid disegmen lumbal 3-4 atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang
subaraknoid, jarum spinal menembus kulit subkutan lalu menembus
ligamentum supraspinosum, ligamen interspinosum, ligamentum flavum,
ruang epidural, durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda dicapainya
ruang subaraknoid adalah dengan keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS).
anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi abdomen bawah dan
ekstermitas bawah. (Kusumawati,2019)

4. Rumatan Anestesi
a) Lidokain
1) Onset kerja : cepat
2) Dosis maksimum : 3-5mg/kg
3) Durasi kerja ; Pendek 60-180 menit tergantung penggunaan
4) Efek samping : toksisitas kardiak lebih rendah dibandingkan
bupivakain
5) Metabolisme : di hati, n-dealkylation yang diikuti dengan
hidrolisis untuk menghasilkan metablit yang dieksresikan di
urin. Lidocain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf,
infitrasi dan anestesi regional intravena begitu juga topical,
epidural dan itratekal.
b) Bupivakain
1) Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit,
intratekal 30 detik
2) Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam; pidural 3-4 jam;
intrakardial 2-3 jam
3) Efek samping : lebih cenderung mengakibatkan toksisitas
kardiak berupa penurunan tekanan darah dibandingkan obat
anestesi lokal lainnya
4) Eliminasi : N-dealkylation menjadi pipecolyoxylidine dan
metabolit lainnya yang diekskresikan di urin
Bupivakain lazim digunakan untuk spinal anestesi. Menggunakan
plain bupivacaine membuatnya dapat naik ke atas atau turun ke
bawah, yang dapat mengakibatkan peningkatan blok yang
membahayakan fungsi respirasi dan kardio. Jika dekstrosa
ditambahkan akan menjadi berat (heavy) dan akan mengalir lebih
dapat diprediksi turun ke tulang belakang, hanya memengaruhi
saraf yang non esensial. Larutan plain dapat menyebabkan
hipotensi yang lebih sedikit tapi pasien harus tidur terlentang (Keat,
dkk., 2013).
c) Tetrakain Tetrakain (pantocaine)
Suatu ester amino kerja – panjang, secara signifikan lebih paten
dan mempunyai durasi kerja lebih panjang daripada anestetik lokal
jenis ester lain yang umum digunakan. Obat ini banyak digunakan
pada spinal anestesi ketika durasi kerja obat yang panjang
diperlukan. Tetrakain juga ditambahkan pada beberapa sediaan
anestetik topikal. Tetrakain jarang digunakan pada blokade saraf
perifer karena sering diperlukan dosis yang besar, onsetnya yang
lambat, dan berpotensi menimbulkan toksisitas (Brunton, dkk,
2011).
5. Resiko
Menurut Latief (2002), beberapa risiko yang mungkin terjadi pada
pasien dengan anestesi spinal adalah :
a. Reaksi alergi;
b. Sakit kepala yang parah (PDPH);
c. Hipotensi berat akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’;
d. Bradikardi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat
kendali napas;
e. Trauma pembuluh darah;
f. Mual muntah;
g. Blok spinal tinggi atau spinal total.
B. Tinjauan Teori ASKAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi
kebebutuhan serta masalahnya.
Pengkajian meliputi :
a. Data Subjektif
1) Pasien merasa tidak dapat rileks
2) Pasien mengatakan takut dengan operasi
3) Pasien mengatakan pusing
4) Pasien mengatakan kedinginan
5) Pasien merasa badan lemas
6) Pasien mengatakan kaki sulit digerakkan
b. Data obyektif
1) Wajah pasien tampak grimace
2) Mukosa bibir kering dan pucat
3) Akral teraba dingin
4) CRT >3 detik
5) Tekanan darah pasien dibawah batas normal
6) Denyut nadi lemah dan tidak teratur
7) Pasien tampak lemah
8) Suhu tubuh 32,5oC
9) Bromage score >1

2. Masalah Kesehatan Anestesi


Pre Anestesi :
a. Ansietas
b. Risiko Cedera Anestesi
Intra Anestesi :
a. PK Syok Hipovolemik
b. PK Disfungsi Kardiovaskular
c. Risiko Cedera Trauma Pembedahan

Post Anestesi :
a. Nyeri Pasca Operasi
b. Risiko Jatuh

3. Intervensi

Masalah Kesehatan Tujuan Intervensi


Pre Anestesi Ansietas Ansietas
1. Ansietas Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian
2. Risiko Cedera Anestesi tindakan kepenataan ulang sebelum operasi
anestesi diharapkan 2. KIE pasien terkait jenis
cemas berkurang tindakan anestesi dan
dengan kriteria hasil: efek obat anestesi
a. Tanda-tanda vital 3. Observasi tandai vital pre
dalam batas normal anestesi
TD: 110-120 / 70-80 4. Anjurkan pasien untuk
mmHg, Nadi: 60-100 berdoa sesuai keyakinan
x/menit, Suhu: 36- 5. Ajarkan pasien
37°C, RR: 16-20 melakukan teknik
x/menit relaksasi
b. Pasien tampak tenang 6. Kolaborasi dengan
dokter anestesi dalam
Risiko Cedera pemberian premedikasi
Anestesi anti cemas sesuai
Setelah dilakukan program
tindakan keperawatan
anestesi diharapkan Risiko Cedera Anestesi
risiko cedera anestesi 1. Lakukan pengkajian
tidak terjadi dengan ulang sebelum operasi
kriteria hasil: 2. Persiapan obat, alat,
a. Pasien siap untuk mesin anestesi sesuai
dilakukan tindakan penetapan teknik anestesi
anestesi 3. Lakukan persiapan
b. Pemilihan teknik pasien dan kaji ulang
anestesi yang tepat kelengkapan informed
sesuai kondisi pasien consent
4. Kolaborasi dengan
dokter anestesi dalam
penetapan teknik anestesi
Kolaborasi dengan dokter
terhadap pemberian
profilaksis pra operasi
Intra Anestesi PK Syok Hipovolemik RK Syok Hipovolemik
1. PK Syok Setelah dilakukan 1. Observasi tanda vital
Hipovolemik tindakan keperawatan selama intra anestesi
2. PK Disfungsi anestesi diharapkan 2. Posisikan pasien
Kardiovaskuler syok hipovolemik tidak supine
3. Risiko Cedera terjadi dengan kriteria 3. Kolaborasi dalam
Trauma hasil: melakukan
Pembedahan a. RR normal: 16-20 pemeliharaan jalan
x/menit napas (membuka jalan
b. SpO2 normal: 95–100 nafas dengan metode
% jaw trust atau head tilt
c. Tidak terjadi chin list)
desaturasi oksigen 4. Kolaborasi dengan
dokter anestesi
tentang tindakan
LMA atau intubasi
RK Disfungsi dengan ETT sesuai
Kardiovaskuler ukuran pasien
Setelah dilakukan 5. Kolaborasi dengan
tindakan kepenataan dokter anestesi dalam
anestesi diharapkan pemasangan alat
tidak terjadi disfungsi ventilasi mekanik
kardiovaskular dengan (k/p)
kriteria hasil: 6. Monitoring saturasi
a. Tanda – tanda vital oksigen pasien
dalam batas normal 7. Pengakhiran tindakan
TD: 110 – 120 / 70 – anestesi: reverse dan
80 mmhg Nadi : 60 – ekstubasi
100 x/menit Suhu :
36-37°C RR : 16 – 20 RK Disfungsi
x/menit Kardiovaskuler
b. CRT < 2 detik 1. Observasi TTV
c. Tidak terjadi cyanosis 2. Monitoring cairan
masuk dan cairan
Risiko Cedera keluar
Trauma Pembedahan 3. Monitoring efek obat
Setelah dilakukan anestesi (IV) terhadap
tindakan kepenataan hemodinamik
anestesi diharapkan 4. Kolaborasi dengan
risiko cedera anestesi dokter anestesi dalam
tidak terjadi dengan tindakan perioperatif
kriteria hasil: maintenance cairan
a. Pasien siap untuk intravena dan
dilakukan tindakan vasopresor
anestesi
b. Pemilihan teknik Risiko Cedera
anestesi yang tepat Trauma Pembedahan
sesuai kondisi pasien 1. Cek kembali kesiapan
alat, mesin anestesi
dan obat
2. Posisikan pasien
sesuai dengan
tindakan operasi
3. Pasang alat untuk
monitoring
4. Observasi tanda vital
selama intra anestesi
5. Kolaborasi pemberian
obat general anestesi
melalui IV
6. Kolaborasi dalam
melakukan
pemeliharaan jalan
napas (preoksigenasi,
jaw trust)
7. Lakukan pemasangan
alat ventilasi mekanik
(k/p)

Pasca Anestesi Nyeri Pasca Operasi Nyeri Pasca Operasi


1. Nyeri Pasca Setelah dilakukan 1. Observasi TTV
Operasi tindakan kepenataan 2. Lakukan pengkajian
2. Risiko Jatuh anestesi diharapkan PQRST
nyeri pasca operasi 3. Ajarkan teknik
teratasi dengan kriteria distraksi relaksasi
hasil : 4. Kolaborasi
a. Tanda-tanda vital pemberian analgetik
dalam batas normal post operasi
TD: 110-120 / 70-80
mmHg, Nadi: 60-100
x/menit, Suhu: 36- Risiko Jatuh
37°C, RR: 16-20 1. Monitoring TTV
x/menit 2. Lakukan penilaian
b. Skala nyeri 0-3 aldrete score
c. Pasien tampak tenang 3. Berikan pengaman
pada tempat tidur
Risiko Jatuh pasien
Setelah dilakukan 4. Berikan gelang resiko
tindakan kepenataan jatuh
anestesi diharapkan
pasien aman setelah
pembedahan dengan
kriteria hasil:
a. Tanda-tanda vital
dalam batas normal
TD: 110-120 / 70-80
mmHg, Nadi: 60-100
x/menit, Suhu: 36-
37°C, RR: 16-20
x/menit
Aldrete Score >9

4. Implementasi
Tahap proses asuhan kepenataan anestesi dengan melaksanakan
berbagai strategi tindakan keperawatan anestesi yg telah direncanakan.
Penata anestesi harus mengetahui berbagai hal: bahaya fisik,
perlindungan pasien, teknik komunikasi, prosedur tindakan
5. Evaluasi
Evaluasi  tindakan asuhan kepenataan anestesi intra anestesi,
mengevaluasi secara mandiri maupun kolaboratif. Evaluasi dilakukan
terhadap tanda-tanda hemodinamik stabil atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Manuaba, I. B. G. (2011). Ilmu Kebidanan, Dan Keluarga Berencana Untuk


Pendidikan Bidan. Jakarta: ECG.
Manuaba, I. A. C. IBG Fajar M., dan I. BG Manuaba, 2012. Ilmu Kebidanan,
Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan Edisi, 2.
Nurarif, A. H & Kusuma, Hardi.(2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC.
World Health Organization, & UNICEF. (2013). Progress on sanitation and
drinking-water. World Health Organization.
Anwar M, Baziad A, Prabowo R.P. (2011). Ilmu Kandungan. Edisi 3. Jakarta: PT.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
Llewellyn-Jones, D. (2001). Dasar-dasar obstetri dan ginekologi. Hipokrates.
Jakarta.
Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 3.
Jakarta: EGC.
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan.
Jakarta:EGC.
Arif Muttaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Muskuloskeletal. Jakarta:EGC
Arif Muttaqin. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada
Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.
Sally.2013. Anaesthesia on the move. Jakarta: Indeks
Latief, Said. dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI
Medical Mini Notes. 2019. Anesthesia and Intensive Care. MMN
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2011. Clinical Anesthesiology, 4thed.
Lange Medical Books/McGraw-Hill
Nagelhout, John and Plaus. 2010. Handbook Of Nurse Anesthesia. USA: Elsevier.
Sabiston, D. C. 2011. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
Syamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta:
EGC
Woodall NM, Cook TM. National census of airway management techniques used
for anaesthesia in the UK : first phase of the Fourth National Audit Project
at the Royal College of Anaesthetists. Br J Anaesth. 2011;106(2):266–71

Anda mungkin juga menyukai