Anda di halaman 1dari 10

UTS Perencanaan Desa Terpadu

“Pengembangan Kawasan Pedesaan dalam Bidang Pariwisata”

Oleh:

Gregorius Purusatama Ritang Pinandhito (E)

205060607111011

Dosen Pengampu:

Aris Subagyo, ST., MT

NIP. 19810404 201212 1 005

Jurusan Perencanaan Wilayah Dan Kota


Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya
Daerah rural ataupun desa merupakan kawasan yang biasanya jauh terletak dari pusat
kegiatan perkotaan, jika dilihat posisinya secara spasial desa merupakan kawasan dengan
kontur dan kondisi alam yang lebih beragam layaknya pegunungan, pesisir, lembah, dan
masih banyak lagi, berbeda dengan kota yang didominasi lahan bersifat homogen. Secara
teknis desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Undang-undang Nomor 6 Tentang Desa, 2014). Desa dikenal dengan tingkat pendidikan
masyarakatnya yang lebih rendah dari mesyarakat urban atau kota, karena akses terhadap
sarana di daerah pedesaaan lebih sulit. Pada pembahasan kali ini kita akan mengulas
mengenai langkah maupun strategi yang harus diambil untuk memperbaiki kualitas
kehidupan penduduk desa untuk menuju desa yang lebih maju.

Untuk menuju perkembangan daerah rural yang lebih maju dan terintegrasi kita harus
melihat terlebih dahulu mengapa perlu adanya pengelolaan yang baik di daerah desa. Untuk
menuju kesejahteraan ekonomi maupun sosial, pengelolaan yang baik sangat dibutuhkan
karena jika dilihat dari aspek infrastruktur misalnya pembangunan sarana dan prasarana
fisik di lingkungan pedesaan, khususnya kenyamanan transportasi, masih perlu mendapat
perhatian. Infrastruktur jalan di pedesaan masih memerlukan pengaturan pembangunan
yang lebih baik untuk menambah jenis permukaan aspal guna mendorong arus penduduk
dan mengembangkan potensi ekonomi lokal. Pada kawasan terpadu seperti Jawa Timur saja
berdasarkan statistik potensi desa di Indonesia tahun 2018, terdapat 7.858 desa di Jawa
Timur yang menggunakan lahan melalui jalan aspal. Selain itu, 592 desa masih
menggunakan jalan kerikil dan batu, dan 26 desa masih menggunakan jalan tanah (Badan
Pusat Statistik, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur perdesaan di daerah padat
dan terpadu seperti Jawa Timur saja masih membutuhkan pengelolaan dan pengembangan,
maka hal kondisi tersebut dapat mewakili mayoritas kondisi infrastruktur jalan desa di
Indonesia.

Menurut komposisi mata pencaharian penduduk desa di Indonesia masih didominasi oleh
sektor pertanian atau agrikultur sebesar 86,9% disusul dengan terbanyak kedua yaitu sektor
perdagangan sebesar 4,8% (Badan Pusat Statistik, 2018). Besarnya jumlah ketergantungan
pada sektor agrikultur menjadi alasan lain mengapa pengelolaan yang tepat sangat
dibutuhkan, karena mayoritas masyarakat yang memiliki mata pencaharian pada sektor
pertanian bergantung pada musim tanam dan panen kita juga tahu bahwa sektor pertanian
tidak selalu dapat memberi penghasilan yang tetap. Maka pengelolaan desa yang yang
mendukung ekonomi masyarakat sekitar sangatlah diperlukan untuk membantu masyarakat
desa dalam memaksimalkan potensi dan mengatasi masalah yang sering terjadi dalam
dinamika masyarakat rural.

Pengembangan potensi desa yang aplikatif dan sudah banyak dilakukan di Indonesia
adalah pengembangan desa sebagai sektor pariwisata, hal tersebut sudah banyak dilakukan
sebelumnya dan beberapa desa yang sudah berhasil bermetamorfosis menjadi desa wisata
yang terkenal di Indonesia sehingga mendongkrak kualitas ekonomi dan sosial
masyarakatnya diantaranya, Desa Penglipuran Bali, Desa Wisata Nglanggeran Yogyakarta,
Desa Pujon Kidul Malang, Desa Ubud Gianyar, Desa Ponggok Klaten, dan masih banyak lagi
desa wisata lain yang tebukti berhasil mewujudkan desa yang maju. Elemen dalam desa
wisata terdiri dari akomodasi, atraksi wisata masyarakat lokal, promosi dan
infrastruktur (Birin, 2010). Sebagai contoh kasus dalam pengembangan Desa Wisata
Pentingsari Sleman, D.I Yogyakarta melibatkan banyak pelaku, tidak hanya masyarakat
yang menjadi pelaku utama tapi juga peran serta pihak lainnya memberi kontribusi besar,
yaitu Pemerintah (Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman), dan Swasta (Asosiasi pelaku
pariwisata dan PT. Banck Central Asia (BCA). Tbk) (Andrianto & M.Damayanti, 2018).
Strategi pariwisata berbasis komunitas semacam ini dapat digunakan dalam pengembangan
pariwisata pedesaan, yang bertumpu pada pengembangan komunitas, berpusat pada
kemampuan sendiri, peningkatan kapasitas, keberlanjutan, perlindungan dan peningkatan
budaya untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat seiring dengan tingkat
kerjasama antar elemen yang ada.

Setiap elemen pembentuk desa wisata bersifat kesatuan dan saling mendukung tidak
berdiri sendiri, komponen pertama yaitu akomodasi. Menurut KBBI akomodasi merupakan
sesuatu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan, misalnya tempat menginap atau
tempat tinggal sementara bagi orang yang bepergian. Dalam kasus pengembangan desa
wisata, akomodasi merupakan aspek penting yang dapat menjadi sektor penyumbang
penghasilan tambahan terbesar bagi masyarakat sekitar. Akomodasi yang baik akan
meningkatkan kapasitas pelayanan suatu daerah desa wisata dan menambah pendapatan
keseluruhan aspek yang terlibat dalam suatu desa wisata, karena dengan akomodasi yang
baik kemungkinan wisatawan untuk menghabiskan waktunya di desa wisata akan lebih lama
dan otomatis ikut mensejahterakan elemen pendukung lainnya.
Atraksi masyarakat lokal merupakan elemen kedua dalam pengembangan desa wisata.
Nilai-nilai sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat dapat menjadi magnet utama
berkembangnya suatu moda pariwisata, wisatawan bepergian ke desa wisata ingin mencari
atraksi nilai budaya yang sudah lama berkembang di suatu wilayah. Atraksi yang ditawarkan
dapat berbentuk upacara adat, kesenian, keindahan alam, kuliner, dan masih banyak lagi
tergantung potensi tiap-tiap daerah.

Elemen ketiga adalah promosi, seiring perkembangan era digital akan mempermudah
proses promosi yang diperlukan setiap desa wisata untuk mencapai target pasar yang tepat
sesuai apa yang ditawarkan oleh setiap desa wisata. Media pemasaran digital seperti
Facebook ads, Google ads, dan masih banyak lainnya sedang diminati karena di masa
sekarang mayoritas negara di seluruh dunia sudah terhubung dengan jaringan internet
sehingga iklan berbasis digital akan sangat efektif mengingat kita dapat memilih kriteria
audience yang akan dituju untuk memasarkan desa wisata yang ada. Program pemerintah
dibawah naungan Kementrian Pariwisata seperti branding “Wonderful Indonesia” juga
berperan besar dalam promosi bidang pariwisata khususnya pariwisata berbasis komunitas
desa wisata sehingga dapat menarik wisatawan mancanegara yang nantinya dapat
mendukung perekonomian masyarakat sekitar.

Elemen keempat yang tidak kalah pentingnya merupakan infrastruktur. Infrastruktur atau
disebut juga pra sarana merupakan fasilitas penunjang yang sebelumnya harus ada sebelum
pengembangan kawasan desa wisata. Infrastruktur sendiri secara umum dapat dibagi
menjadi 2 yaitu infrastruktur fisik dan non fisik. Infrastruktur fisik contohnya ketersediaan
jalan dan moda transportasi sedangkan infrastruktur non-fisik dapat berupa undang-undang
dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan pemenuhan kualitas infrastruktur suatu
desa wisata akan lebih maksimal dalam operasionalnya sehingga diharapkan pendapatan
masyarakatnya lebih meningkat. Proses pemenuhan infrastruktur sendiri dapat bersifat
parsitipatif masyarakat secara mandiri sesuai kapasitas dan kebutuhan karena pada
beberapa kasus pemerintah belum dapat memenuhi pra sarana sampai ke wilayah
administrasi terkecil seperti layaknya desa wisata sehingga dalam pengentasan isu potensi,
masalah, dan tantangan perlu kontribusi masyarakat.

Setiap desa dalam dinamika-nya akan selalu timbul potensi, masalah, dan tantangan
yang datang silih berganti. Indikator komposit yang menggambarkan tingkat kemajuan atau
perkembangan desa dalam suatu waktu disebut Indeks Pembangunan Desa (IPD), indeks
tersebut membagi desa menjadi 3 kategori yaitu desa mandiri, desa berkembang, dan desa
tertingggal. Dimensi penilaian IPD terbagi menjadi 5 yaitu ketersediaan pelayanan dasar
(pendidikan dan kesehatan), kondisi infrastruktur, aksesbilitas/transportasi, pelayanan
umum, dan penyelenggaraan pemeirntahan (Badan Pusat Statistik, 2018). Menurut BPS
pada tahun 2018 dari keseluruhan jumlah desa di Indonesia terdapat 7,43% desa mandiri,
73,4% desa berkembang, dan 19,17% desa tertinggal data tersebut jika kita bandingkan
dengan status IPD sebelumnya yang tercatat yaitu pada tahun 2014 desa tertinggal di
Indonesia berkurang sebanyak 6.518 desa sedangkan desa mandiri bertambah sejumlah
2.665 desa (Badan Pusat Statistik, 2018). Tren positif tersebut menunjukan adanya
perbaikkan dan peningkatan dimensi kehidupan masyarakat secara umum sejak 2014-2018
dan peningkatan yang ada sudah melebihi target sasaran pembangunan desa dan kawasan
pedesaan yang sebelumnya sudah ditentukan. Menurut peta sebaran klasifikasi desa
menurut IPD pada tahun 2018, pulau dengan prosentase desa tertinggal terbanyak terdapat
di Pulau Kalimantan, Papua dan Maluku, hal tersebut dapat menjadi evaluasi pemerintah
kedepannya dalam perencanaan pemerataan pembangunan pada periode waktu kedepan.

Peningkatan IDP diiringi dengan potensi perkembangan desa/kelurahan wisata yang ada
di Indonesia, tercatat sejak 2014-2018 jumlah desa wisata di Indonesia terus mengalami
peningkatan dari 1.302 di tahun 2014 menjadi 1.734 di tahun 2018 (Badan Pusat Statistik,
2018). Selain potensi dan masalah, tantangan berupa bencana alam juga merupakan hal
yang berdampak besar dalam mengurangi progress pengembangan desa di Indonesia,
tercatat setidaknya banjir, tanah longsor, dan gempa bumi merupakan penyumbang
tantangan terbesar bagi desa setidaknya 19.675 desa terdampak banjir dalam periode 2015-
2018, dan sekitar 10.000 desa terdampak tanah longsor dan gempa bumi dalam periode
waktu yang sama dengan banjir (Badan Pusat Statistik, 2018). Untuk menanggulangi
bencana alam setidaknya beberapa upaya mitigasi yang tercatat dilakukan dalam skala desa
di Indonesia diantaranya sistem peringatan dini bencana alam, perlengkapan keselamatan
evakuasi bencana, sistem peringatan dini khusus tsunami, dan jalur-jalur evakuasi bagi
penduduk desa. Selain tantangan bencana alam, tantangan pencemaran dan isu sosial
masih terjadi di Indonesia, setidaknya 16.847 desa mengalami pencemaran air, 8.882 desa
mengalami pencemaran udara, dan 2.200 desa mengalami pencemaran tanah (Badan Pusat
Statistik, 2018). Mengenai isu sosial keamanan desa di Indonesia tercatat masih ditemukan
penyalahgunaan/pengedaran narkoba dan terjadinya perkelahian massal. Pada akhirnya
pemerintah masih memiliki pekerjaan untuk membantu mengentaskan
permasalahan/tantangan yang masih terjadi di Indonesia, langkah yang dapat diambil
diantaranya dengan kebijakan-kebijakan yang akan mendukung pengembangan desa ke
arah yang lebih baik lagi.

Kebijakan yang diambil pemerintah setelah melihat potensi, masalah, dan tantangan
yang ada di lapangan ada sebuah peluang untuk dapat mengentaskan kemiskinan pada
kawasan desa melalui sektor pariwisata. Menyikapi fenomena tersebut, pemerintah telah
menyusun kebijakan yaitu PNPM Mandiri Pariwisata yang dikelola langsung oleh
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. PNPM Mandiri Pariwisata merespon pergeseran
paradigma pembangunan yang mengambil strategi community development, community
development akan diimplementasikan dengan community-based tourism atau pariwisata
berbasis komunitas yang artinya masyarakat berperan sebagai pelaku usaha pariwisata
seperti desa wisata yang telah berkembang selama ini.

Teknis kebijakan PNPM Mandiri Pariwisata diawali dengan observasi pemetaan daerah
mana saja di Indonesia yang berpotensi menjadi kandidat pemberian stimulan dana untuk
pengmbangan pariwisatanya, penerimaan stimulan dibagi dalam 3 tahapan dan jika suatu
desa mampu mengembangkan daerahnya hingga mendapat bantuan hingga PNPM tahap
ketiga desa tersebut dianggap dapat merealisasikan bantuan PNPM Mandiri Pariwisata
dengan baik dan memiliki kemajuan dalam pengembangan desa wisata. Sesuai dengan
tujuan pariwisata PNPM Mandiri, keberhasilan pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat adalah tercapainya bantuan pengentasan kemiskinan.

Selain dana bantuan stimulus, pemerintah juga memberikan pelatihan melalui Dinas
Pariwisata dan instansi terkait sebagai bentuk penyiapan masyarakat yang kawasannya akan
dikembangkan menjadi desa wisata. Pelatihan ini diberikan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam mendukung pengelolaan desa wisata ke depan. Setelah
mendapatkan pelatihan tersebut, masyarakat dapat menggunakan kapabilitas barunya
sebagai pendukung, dan kedepannya juga bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi desa
wisata tersebut. Selain itu, masyarakat pedesaan secara bersama-sama mempersiapkan dan
membangun sarana dan prasarana pendukung desa wisata, seperti menyediakan home
stay/penginapan, membangun daerah atraksi publik, menyediakan lahan parkir, dan masih
banyak lainnya.
Sebagai contoh kasus pelatihan yang diberikan pemerintah untuk daerah yang akan
dikembangkan menjadi desa wisata ada pada awal pengembangan Desa Wisata Pentingsari
Sleman, D.I Yogyakarta. Desa Wisata Pentingsari telah mendapatkan beberapa pelatihan,
salah satunya pengelolaan homestay. Tujuan dari pelatihan ini adalah agar masyarakat
memahami standar sebuah bangunan yang layak dijadikan homestay bagi wisatawan.
Pelatihan dunia kuliner juga diberikan agar masyarakat dapat mengolah makanan dari
pertanian mereka sendiri atau produk yang ditanam (Andrianto & M.Damayanti, 2018).
Secara tidak langsung, pelatihan akan memberikan nilai jual yang lebih bagi hasil pertanian
dan penanaman mereka di masa mendatang.

Kegiatan pelatihan ini difasilitasi oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata Kab.
Sleman. Dinas Pariwisata tidak akan melakukan kegiatan pelatihan sendiri, tetapi akan
bekerjasama dengan instansi atau lembaga lain sesuai dengan departemen yang akan
diberdayakan. Seperti halnya penyelenggaraan kegiatan pelatihan memasak dan pengolahan
pangan untuk hasil pertanian dan perkebunan, Dinas Pariwisata Kab. Sleman bekerja sama
dengan Dinas Perindustrian Kab. Sleman dan pusat pelatihan kerja. Selain itu, dalam rangka
melaksanakan kegiatan pelatihan pengelolaan homestay dan pemandu wisata, Dinas
Pariwisata bekerjasama dengan PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) dan HPI
(Himpunan Pramuwisata Indonesia) untuk memberikan pelatihan kepada masyarakat desa
wisata. Selain itu, masyarakat juga mendapatkan pelatihan standar pelayanan dan pelatihan
komunikasi yang bermutu tinggi. Pelatihan tersebut memberikan wawasan kepada
masyarakat tentang bagaimana melayani wisatawan yang berkunjung ke desa dengan cara
yang ramah, bersahabat dan sopan. Kegiatan pelatihan ini disponsori oleh PT. Bank Central
Asia (BCA) cabang Yogyakarta sebagai salah satu bentuk kegiatan Bakti BCA untuk
komunitas masyarakat lokal. Selanjutnya, sebagai kelanjutan dari kegiatan Bakti BCA, Desa
Wisata Pentingsari diresmikan pada tahun 2015 di bawah binaan Bakti BCA. Pada acara
pembukaan tersebut, BCA akan terus memberikan pelatihan sumber daya manusia yang
meliputi berbagai materi antara lain pariwisata dan manajemennya, layanan berkualitas
tinggi, pelatihan kerjasama tim dan komunikasi (Andrianto & M.Damayanti, 2018).

Dalam pemberdayaan masyarakat desa menuju desa wisata akan selalu terjadi
pembangunan dan pemanfaatan ruang yang ada. Adanya penambahan aktivitas baru di
suatu wilayah dan fenomena komersialisasi ruang pastinya akan mempengaruhi tata ruang
yang ada sebelumnya serta terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi perubahan
struktur dan pola ruang suatu desa.
Sebagaimana kita tahu desa memiliki perbedaan tata ruang dengan kawasan perkotaan,
bergantung pada potensi tiap daerah yang akan dijadikan magnet wisatawan, tiap desa
akan menonjolkan pusat atraksi yang ditawarkan, misalnya pemanfaatan potensi keindahan
alamnya atau mungkin keunikan interaksi sosial dan adat istiadat masyarakat tiap daerah
akan mempengaruhi pola ruang yang terjadi. Variabel yang mempengaruhi perubahan pola
ruang suatu kawasan desa dapat dibedakan menjadi 2 yaitu variabel fisik yang langsung
berhubungan dengan bentuk tata ruang suatu wilayah dan aspek non-fisik yang
berhubungan dengan kondisi perubahan sosial budaya masyarakat sekitar desa tersebut.

Variabel fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan morfologi atau cara
memahami bentuk logis kawasan desa yang merupakan produk dari perubahan ruang sosial
suatu kawasan desa wisata dan morfologi ruang yang ada. Ruang/space merupakan suatu
yang lebih dari bentuk fisik tiga dimesi, pada waktu dan dalam konteks yang berbeda. Pada
dasarnya berurusan dengan berbagai jenis ruang dan fungsi mereka adalah masalah penting
dalam desain (Rapoport, 1977). Morfologi menyangkut kualitas spasial figural dan konteks
wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu
dengan yang lainnya (Schulz, 1988). Menurut Herbert (1973) lingkup kajian morfologi kota
ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dari lingkungan kekotaan yang dapat diamati dari
kenampakannya, yaitu meliputi unsur :
1. Sistem jalan-jalan yang ada
2. Blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun bukan (perdagangan/ industri)
3. Bangunan-bangunan individual

Variabel non-fisik merupakan faktor pembentuk ruang desa yang lebih bersifat ke
hubungan sosial. Sebelum dijadikan desa wisata, suatu kawasan pasti sudah memiliki
bentuk sosial kemasyarakatan dan nilai adat istiadat yang turun temurun diwariskan, selain
itu aktivitas penduduk seperti jenis dan kondisi mata pencaharian yang sudah ada juga
mempengaruhi pola ruang desa sebelum dijadikan desa wisata. Setelah dijadikan desa
wisata akan terdapat aktivitas baru dari para pendatang yang bertujuan untuk berwisata
dan dari masyarakat asli sekitarnya sendiri, jenis wisata yang ditawarkan setiap desa wisata
dan bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi setelah dijadikannya desa wisata pastinya
sedikit banyak berpengaruh pada perkembangan struktur dan pola ruang yang ada.
Dalam perancangan wilayah dan perkotaan, perencanaannya membutuhkan strategi yang
baik. Implementasi strategi tersebut dapat didasari teori Trancik (1986), tiga metode
digunakan untuk teori desain perkotaan, 3 pendekatan teori tersebut diantaranya :
1. Figure-ground theory, digunakan sebagai studi lahan bangunan sebagai massa yang
solid “figure” untuk membuka void “ground”.
2. Linkage theory, biasanya digunakan untuk mengatur sistem jaringan yang
menetapkan struktur dalam penempatan ruang.
3. Place theory, esensi dari teori ini dalam spatial design terletak dalam pemahaman
karakteristik antara budaya dan manusia dari ruang fisik.

Pada akhirnya untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan pedesaan menuju


desa yang maju dapat menggunakan pendekatan sektor pariwisata, karena memahami dari
potensi yang ada dan belajar dari pengalaman perkembangan desa di Indoneisa.
Pendekatan sektor pariwisata mengalami banyak kesuksesan yang tentunya dapat
mensejahterakan seluruh elemen masyarakat sekitar sesuai tujuan pembangunan desa
berbasis komunitas lokal. Dalam prosesnya, untuk mensukseskan proyek kebijakan
pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat menjadi desa wisata yang sukses,
melalui kebijakan seperti PNPM Mandiri Pariwisata, maka pengembangan desa wisata harus
memperhatikan faktor-faktor keberhasilan, seperti keunikan setiap lokasinya, kontribusi
masyarakat sebagai peserta wisata utama dan pelayanan yang diberikan, tidak lupa aspek
penataan dan perencanaan pola ruang yang baik sesuai kondisi tiap desa juga diperlukan.
Selain itu, perlu adanya tokoh penggerak dan hubungan yang baik dengan pengambil
keputusan seperti pemerintah pusat dan daerah agar bantuan yang sesuai dapat dengan
mudah didapatkan, sehingga pertumbuhan desa wisata di Indonesia menjadi lebih baik dan
lebih baik lagi.
Daftar Pustaka

Andrianto, R. & M.Damayanti, 2018. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengembangan Desa


Wisata, Studi Kasus : Desa Wisata Pentingsari, DIY. Teknik PWK, Vol 7(4), 2018, 242-
250.(E-ISSN : 2338-3526), pp. 242-250.

Badan Pusat Statistik, 2018. Statistik Potensi Desa Indonesia 2018. Katalog BPS: 1105014,
I(ISBN. 978-602-438-245-2), p. 114.

Birin, A., 2010. “Strategic Management of Sustainable Development in Rural Tourism”.


Journal of Tourism and Hospitality.
Herbert, D., 1973. Urban Geografi: A Social Perspective. London: Longman.

Rapoport, A., 1977. Human Aspect of Urban Form, Towards a Man-Environment Approach to
Urban Form and Design. Oxford: Pergamon Press.
Schulz, N. C., 1988. Architecture Meaning and Place. New York: Electa/Rizzol.

Trancik, R., 1986. Finding Lost Space. New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Undang-undang Nomor 6 Tentang Desa, 2014. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014


Tentang Desa. s.l.:Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai